View
2
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
40
BAB III
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG
VERIFIKASI FAKTUAL PARTAI POLITIK DALAM
PERSPEKTIF KEADILAN (JUSTICE AS FAIRNESS)
Bab ini secara spesifik menjawab masalah atau isu hukum penelitian,
dalam hal ini menanggapi pendapat yudisial MKRI dalam Putusan Nomor
53/PUU-XV/2017. Isu hukum yang dijawab oleh Putusan Nomor 53/PUU-
XV/2017 adalah konstitusionalitas pengaturan tentang verifikasi faktual kepada
partai politik peserta pemilu 2019 dalam UU Pemilu. Ketentuan ini
dipermasalahkan secara konstitusional karena mengandung unsur perlakuan
berbeda kepada partai-partai politik peserta pemilu 2019: ada kelompok partai
politik yang wajib menjalani verifikasi faktual dan ada kelompok partai politik
yang dibebaskan dari kewajiban untuk menjalani verifikasi faktual. Berdasarkan
Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, ketentuan demikian sudah dinyatakan MKRI
sebagai inkonstitusional dengan implikasi semua partai politik peserta pemilu
2019 harus menjalani verifikasi faktual.
Poin utama analisis Bab ini adalah pendapat yudisial MKRI yang menjadi
pertimbangan hukum putusan tersebut. Pendapat yudisial tersebut yang penulis
kritik melalui penelitian ini. Dalam kritik tersebut, prinsip interpretif untuk Pasal
27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 akan penulis terapkan
sehingga, seperti penulis klaim, akan diberikan argumen keadilan yang lebih
substantif untuk menjustifikasi kewajiban semua partai politik peserta pemilu
2019 untuk menjalani verifikasi faktual. Dengan kata lain, Bab II akan menjadi
41
dasar dari pendapat hukum penulis pada Bab ini. Argumen ini jauh lebih baik dan
berbeda dengan pendapat yudisial MKRI dalam Putusan Nomor 53/PUU-
XV/2017.
A. Latar Belakang Pengaturan Verifikasi Faktual Partai Politik
Peserta Pemilu 2019
Dalam naskah Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum disebutkan bahwa partai politik menjadi peserta pemilu
merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). KPU melakukan verifikasi
terhadap kelengkapan dan kebenaran persyaratan, yang harus selesai
dilaksanakan paling lambat 15 (lima belas) bulan sebelum hari pemungutan
suara. Persyaratan partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu masih sama
dengan Pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012.76
Penelitian keabsahan administrasi dan penetapan persyaratan partai
politik peserta pemilu dilakukan oleh KPU. Hasil penelitian administrasi dan
penetapan keabsahan persyaratan oleh KPU dipublikasikan melalui media massa
elektronik dan cetak.77 Partai politik yang ingin menjadi peserta pemilu dengan
mengajukan pendaftaran peserta pemilu kepada KPU. Pengaturan mengenai
pendaftaran sama dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 8 Tahun 2012, dimana
pendaftaran diajukan dengan surat yang ditandatangani oleh ketua umum dan
76 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum,
Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, 2 September 2016, Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum, hlm. 213 77 Ibid., hlm. 214
42
sekretaris jenderal atau sebutan lain pada kepengurusan pusat partai politik.78
Gagasan tentang pengaturan verifikasi faktual partai politik dituangkan
dalam Pasal 143 Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan
Umum (RUU tentang Penyelenggaraan Penyelenggaraan Pemilu). Pasal 143 RUU
Penyelenggaraan Pemilu berbunyi sebagai berikut:
(1) Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah
ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.
(2) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai
Politik;
b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di
kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000
(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan
kepemilikan kartu tanda anggota;
g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada
KPU; dan
i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai
politik kepada KPU.79
Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017,
Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu krusial/penting
dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, di situ Rapart Kerja
Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan
Pemerintah menyetujui isu-isu krusial/penting dalam RUU tentang
Penyelenggaraan Pemilu. Salah satu isu krusialnya yaitu Persyaratan Partai Politik
78 Ibid. 79 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.... Tahun ..... tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum, hlm. 98
43
menjadi Peserta Pemilu. Keputusan Rapat menyebutkan Disetujui Opsi 1, yaitu
Tetap sesuai RUU, dengan penambahan ayat (3) yang berbunyi:
“(3) Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai
Politik Peserta Pemilu.”80
Ketentuan Pasal 143 RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu dan
penambahan ayat (3) di atas, akhirnya dituangkan dalam Pasal 173 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang secara
keseluruhannya berbunyi:
(1) Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah
ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.
(2) Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan undang-undang tentang Partai
Politik
b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen), jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. memiliki kepengurusan jumlah kecamatan 50% (lima puluh persen)
kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1000
(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan
kartu tanda anggota;
g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada
KPU; dan
i. menyeratrkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai
politik kepada KPU
(3) Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai
Partai Politik Peserta Pemilu.
80 Laporan Singkat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum, hlm. 2.
44
Meski penjelasan pasal ini berbunyi, “cukup jelas”, tapi ketentuan Pasal
173 ayat (3) ini dipandang tidak terlalu jelas. Menurut Direktur Eksekutif
Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), Titi Anggraini, ketentuan
Pasal 173 ayat (3) dimaknai sebagai partai peserta Pemilu 2014 secara otomatis
menjadi peserta Pemilu 2019. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh beberapa
partai politik. Bahkan mereka mengajukan permohonan pengujian Pasal 173 ayat
(1) dan ayat (3) ke MKRI. Beberapa partai yang telah mengajukan permohonan
pengujian pasal tersebut, diantaranya, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai
Islam Damai Aman (IDAMAN), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai
Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Indonesia Kerja (PIKA).
Salah satu permohonan judicial review yaitu dari Partai Idaman, dengan
perkara nomor 53/PUU-XV/2017, tanggal registrasi 21 Agustus 2017, dengan
Objek Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa "telah ditetapkan", Pasal 173
ayat (3) dan Pasal 222 Bertentangan dengan Pasal Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat
(2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (2), Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28D ayat (3),
Pasal 28I ayat (2).81
Inti masalahnya bahwa Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU a quo
memberikan 2 opsi bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu tahun 2019
yakni bagi Partai Politik yang menjadi peserta pemilu tahun 2014 langsung
ditetapkan sebagai peserta pemilu sedangkan Partai Politik yang baru berbadan
hukum harus menjalani proses verifikasi sebelum ditetapkan sebagai Peserta
81 Periksa, http://www.dpr.go.id/jdih/perkara/id/1699/id_perkara/1025, diakses tanggal 18
November 2018
45
Pemilu. Opsi yang diberikan ini bersifat diskriminasi terhadap Partai Politik yang
baru saja berbadan hukum.82
Terhadap permohonan tersebut, khususnya terkait dengan verifikasi
faktual partai politik, MKRI berkesimpulan bahwa berdasarkan penilaian atas
fakta dan hukum : (1) Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; (2)
Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk menngajukan permohonan a quo; (3)
Pokok permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 173 ayat (1) dan
ayat (3) UU Pemilu beralasan menurut hukum. Mahkamah Konstitusi menyatakan
: (1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; (2). Frasa ''telah
ditetapkan'' dalam Pasal 173 ayat (1) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
(3). Pasal 173 ayat (3) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.83
B. Pendapat Hukum dari Pemohon terkait Ketentuan Verifikasi
Faktual Partai Politik
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) sangatlah
tidak adil dan bersifat diskriminatif karena hanya menetapkan partai politik
peserta pemilu pada pemilu terakhir (Pemilu 2014) secara nasional secara
otomatis ditetapkan sebagai peserta pemilu berikutnya (2019) dengan tanpa harus
melalui persyaratan-persyaratan verifikasi faktual dengan kondisi yang lebih berat
oleh KPU serta tidak adil dan diskriminatif. Ketentuan tersebut dianggap
82 Ibid. 83 Ibid.
46
bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.84
Tindakan diskriminasi yang diciptakan Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa
“Telah Ditetapkan” dan Pasal 173 ayat (3) telah melanggar asas hukum yang
bersifat universal yakni Asas “Lex non distinglutur nos non distinguere
debemus”, hukum tidak membedakan dan karena itu kita harus tidak
membedakan. Pembentuk Undang-Undang dianggap telah menempatkan daulat
hukum di atas kepentingan pragmatis partai politik masing-masing untuk
menjegal Partai Politik yang baru berbadan hukum dan hal ini telah bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, “Segala warga negara kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”.85
Oleh karena itu, keberadaan Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “Telah
Ditetapkan” dan Pasal 173 ayat (3) UU No. 7/2017 telah membuat ketidakadilan
dalam memperoleh kesempatan yang sama untuk duduk di level eksekutif dan
legislatif dan hal ini telah bertentangan dengan asas Adil sebagaimana dimaksud
Pasal 22E UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 yang pada intinya menyatakan “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum termasuk untuk memperoleh kesempatan
yang sama untuk duduk di level Eksekutif dan Legislatif ”.86
Lebih lanjut, terhadap ketentuan tersebut, Pemohon tidak mendapatkan
jaminan perlakuan yang sama dan kepastian hukum yang adil (fair legal
84 Putusan MKRI Nomor 53/PUU-XV/2017., hlm. 5-6 85 Ibid., hlm. 8-9 86 Ibid., hlm. 12
47
uncertainty) dalam kepesertaan pemilu berikutnya (Pemilu 2019). Hal ini jelas-
jelas sudah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C
ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD
1945.87
Sehingga, untuk mengatasi norma Pasal 173 ayat (1) sepanjang Frasa
“Telah Ditetapkan” dan Pasal 173 ayat (3) UU No. 7/2017 yang diskriminatif
tersebut, semua partai politik harus diberlakukan persyaratan yang sama untuk
satu kontestasi politik atau pemilihan umum yang sama, yaitu Pemilihan
Umum Tahun 2019. Hal ini sebagai wujud equal treatment yang dijamin UUD
1945 dalam Kepesertaan Pemilu Tahun 2019.88
C. Pendapat Hukum dari Pemerintah Terhadap Ketentuan
Verifikasi Faktual Partai Politik Peserta Pemilu
Untuk menanggapi permohonan Pemohon, pemerintah memiliki
argumentasi hukum yang berbeda dengan Pemohon. Pemerintah berargumentasi
bahwa partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang telah
ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal
173 ayat (1) UU 7/2017. Hal ini bermakna bahwa partai-partai yang mengikuti
pemilu adalah partai yang telah memiliki kualifikasi dan kompetensi berdasarkan
persyaratan tertentu yang digunakan sebagai tolak ukur kepercayaan rakyat
terhadap partai-partai tersebut.89 Pemerintah beranggapan bahwa prinsip seluruh
partai yang mengikuti pemilu mutlak dilakukan verifikasi, baik terhadap partai
87 Ibid., hlm. 16. 88 Ibid. 89 Ibid.
48
lama maupun partai yang baru, namun bentuk verifikasinya yang berbeda.
Perbedaan tersebut bukanlah sebagai bentuk perlakuan yang tidak adil terhadap
partai peserta pemilu namun lebih pada percepatan proses, efisiensi dan
efektivitas proses verifikasi.90
Menurut pemerintah, saat ini terdapat 73 parpol yang mempunyai badan
hukum, di mana pada pemilihan umum tahun 2014 terdapat 61 parpol yang
dinyatakan tak lulus verifikasi dan saat ini ingin berpartisipasi pada Pemilu 2019.
Terhadap parpol yang tidak lolos verifikasi tersebut maka wajib mendaftar dan
diverifikasi kembali. Namun terhadap 12 parpol lainnya tidak perlu verifikasi
kembali karena sudah dikategorikan telah lolos dalam verifikasi sebelumnya
yaitu Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golkar, Partai Demokrat,
Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), serta Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia (PKPI).91
Terhadap partai yang telah lolos dalam verifikasi pada pemilihan umum
tahun 2014, pemerintah tetap akan melakukan pendataan dan melakukan
penelitian administratif untuk mencocokkan kebenaran dan keabsahan peserta
parpol tersebut, namun tidak perlu dilakukan diverifikasi ulang. Hal ini
mengingat verifikasi ulang justru akan menghabiskan anggaran dan waktu
pelaksanaan, karena alat ukur verifikasi sama dengan sebelumnya, hal inilah
yang menjadi alasan utama tidak dilakukannya verifikasi terhadap partai yang
90 Ibid. 91 Ibid., hlm. 35-36
49
telah mengikuti sebelumnya yaitu dalam rangka efisiensi anggaran dan efektifitas
waktu yang digunakan dalam proses verifikasi peserta pemilu tahun 2019.92
Oleh karena itu, pemerintah berargumentasi bahwa pengaturan mengenai
verifikasi partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3)
UU tentang Pemilu tidaklah mengakibatkan pengakuan hak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjadi
terabaikan. Justru dengan adanya pengaturan mengenai verifikasi partai politik
dalam UU yang diuji itu telah tegas memberikan jaminan kepastian hukum yang
adil, mengingat bahwa pengaturan verifikasi tersebut berlaku untuk seluruh
partai politik yang telah ditetapkan lulus verifikasi sehingga tidak perlu verifikasi
ulang serta terhadap partai politik baru yang memang belum pernah dilakukan
verifikasi sebelumnya, sehingga menurut pemerintah justru malah akan
menimbulkan ketidakadilan apabila menyamakan antara partai politik yang
pernah dilakukan verifikasi dengan partai politik baru yang memang belum
pernah dilakukan verifikasi sama sekali terhadapnya.93
D. Pendapat Hukum dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) Terhadap Ketentuan Verifikasi Faktual
Partai Politik Peserta Pemilu
Hampir senada dengan pemerintah, pandangan DPR RI mengenai
ketentuan Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “telah ditetapkan” dan Pasal 173
ayat (3) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
92 Ibid., hlm. 36 93 Ibid., hlm. 36-37
50
karena norma pasal yang dimohonkan untuk diuji justru memberikan kesempatan
bagi seluruh partai politik untuk dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu
sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang untuk
kepastian hukum yang adil bagi semua parti politik peserta Pemilu.94 Menurut
DPR RI, perlakuan yang tidak sama tidak serta merta bersifat diskriminatif,
demikian pula bahwa esensi keadilan bukan berarti harus selalu sama, melainkan
perlu pula dilihat secara proporsional.95
Norma yang dimohonkan untuk diuji tersebut pada pokoknya
mengandung maksud bahwa peserta pemilu adalah partai-partai politik yang
telah ditetapkan oleh KPU sebagai partai politik peserta pemilu. Pada prinsipnya
UU mengatur bahwa partai politik yang ditetapkan sebagai peserta pemilu adalah
partai politik yang ditetapkan KPU karena telah memenuhi persyaratan Pasal 173
ayat (2) berdasarkan hasil verifikasi. Selanjutnya terdapat partai-partai yang
sudah pernah diverifikasi berdasarkan Pasal 173 ayat (2) (yang substansinya
memang disamakan persis dengan persyaratan yang ada pada UU sebelumnya)
dan dinyatakan lulus, namun ada pula partai politik yang belum pernah
diverifikasi dengan persyaratan tersebut. Dengan kata lain ada 2 (dua) kategori,
yakni partai politik yang lulus karena memenuhi persyaratan verifikasi yang
diatur di Pasal 173 ayat (2) UU tentang Pemilu dan partai politik yang sudah
pernah lulus verifikasi yang diatur di Pasal 173 ayat (2) UU tentang Pemilu
tersebut. Dengan demikian penekanannya adalah verifikasi, bukan mengenai
partai politik lama atau partai politik baru sebagai dinyatakan oleh Para
94 Ibid. 95 Ibid., hlm. 69
51
Pemohon.96
Oleh karena itu, menurut DPR RI, partai politik yang sudah pernah
diverifikasi tidak hanya terbatas pada partai politik yang berhasil menempatkan
wakilnya di DPR RI, melainkan juga seluruh partai politik peserta pemilu yang
dinyatakan lulus verifikasi pada pemilu sebelumnya, meskipun tidak dapat
menempatkan wakilnya di DPR RI karena tidak memenuhi ambang batas. Hal
tersebut menunjukkan bahwa asumsi para Pemohon yang beranggapan
pembentuk UU tendensius dan hanya mementingkan partai politik yang
memperoleh kursi di DPR RI adalah tidak benar dan tidak berdasar.97
Terhadap perlakuan yang bertentangan dengan kemerdekaan berserikat
dan berkumpul (Pasal 28 ayat (1) UUD 1945) dan perlakuan tidak setara, DPR
RI berpendapat bahwa dalil tersebut tidak benar dan tidak berdasar. Hal ini dapat
dilihat dengan mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-
X/2012, mengingat dalam pembahasan perumusan norma tersebut, pembentuk
undang-undang sangat mencermati putusan tersebut dan dijadikan pegangan oleh
pembentuk undang-undang. Pada halaman 93 Putusan MK tersebut disebutkan:
“Untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai politik ada dua solusi yang
dapat ditempuh yaitu, pertama, menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara
partai politik peserta Pemilu tahun 2009 dan partai politik peserta Pemilu tahun 2014,
atau kedua, mewajibkan seluruh partai politik yang akan mengikuti Pemilu tahun 2014
dengan persyaratan baru yang ditentukan dalam Undang-Undang a quo”.98
Berdasarkan pendapat Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, pembentuk undang-undang memutuskan pilihan dengan menyamakan
persyaratan kepesertaan pemilu antara partai politik peserta pemilu 2014 dengan
partai politik peserta pemilu 2019. Meskipun dalam pembahasan terdapat 96 Ibid. 97 Ibid., hlm.69-70 98 Ibid.
52
keinginan untuk merumuskan syarat-syarat baru, namun pada akhirnya
disepakati untuk tetap menggunakan syarat sama seperti yang sebelumnya,
sesuai pendapat Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.99
Hal lainnya adalah kemanfaatan yang muncul dari norma dalam Pasal
173 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu. Adapun sebagaimana diketahui bahwa
sebelum pembentukan UU Pemilu ini, DPR RI sudah pernah mendapatkan
gambaran biaya dari KPU mengenai besaran biaya yang dibutuhkan untuk
Pemilu 2019, dan dana yang begitu besar dikeluarkan untuk kepentingan
verifikasi faktual partai politik yakni sebesar 600 miliar. Oleh karena itu pula,
maka pembentuk undang-undang rela untuk tidak diverifikasi kembali hal ini
dengan niatan mulia atas dasar menghemat anggaran negara. Sehingga dengan
ini pula maka nilai kemanfaatan norma ini begitu besar.100
Selain itu, pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu norma
selalu dihadapkan dengan kewajiban bahwa suatu norma harus dapat membawa
kemanfaatan. Apalah artinya norma yang ada dibuat namun memunculkan
keresahan. Hal ini juga tidak sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri yang
seharusnya mengandung nilai-nilai dasar yakni nilai keadilan (gerechtigkeit),
nilai kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan nilai kepastian (rechtssicherheit).
Radbruch menyebut nilai kemanfaatan sebagai tujuan keadilan atau finalitas.
Kemanfaatan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai. Isi hukum berkaitan secara langsung dengan
keadilan dalam arti umum, sebab hukum menurut isinya merupakan perwujudan
keadilan tersebut. Tujuan keadilan umum adalah tujuan hukum itu sendiri yaitu
99 Ibid., hlm. 70-71 100 Ibid., hlm. 71
53
memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Menurut Sudikno Mertokusumo,
hukum yang dimaksud dibuat untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan, timbul
keresahan di dalam masyarakat. Oleh karena itu pembentuk undang-undang
dalam hal ini membuat norma yang membawa kemanfaatan dalam Pasal 173
ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu.101
Ketentuan mengenai verifikasi partai politik peserta pemilu merupakan
bentuk upaya penyederhanaan jumlah partai politik yang akan ikut dalam Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut sejalan dengan tujuan dibentuknya
UU Pemilu, dalam penjelasan umum yang mengemukakan bahwa pengaturan
terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam UU dimaksudkan untuk
menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, dimana Presiden dan wakil
Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat,
namun dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan
basis dukungan DPR RI. Pemerintahan tanpa dukungan parlemen yang kuat
sangat sulit untuk merealisasikan program yang telah disusun.102
E. Pertimbangan Hukum dari Mahkamah Konstitusi Terhadap
Ketentuan Verifikasi Faktual Partai Politik Peserta Pemilu
Berkenaan dengan persoalan konstitusional mengenai persoalan verifikasi
partai politik peserta pemilu yang terkait dengan konstitusionalitas Pasal 173 ayat
(3) juncto Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu, menurut MKRI bahwa konstruksi dari
101 Ibid., hlm. 71-72 102 Ibid., hlm.72-73
54
kedua norma tersebut berkaitan satu sama lain. Dengan membaca konstruksi Pasal
173 secara utuh, keberadaan frasa “telah ditetapkan” dalam Pasal 173 ayat (1) UU
Pemilu sesungguhnya mengandung ketidakpastian hukum, karena frasa “telah
ditetapkan” disejajarkan dengan frasa “lulus verifikasi” dengan menggunakan
tanda baca “/” (garis miring). Frasa “telah ditetapkan/” sesungguhnya merupakan
tindakan administratif menetapkan, sedangkan lulus verifikasi hanya baru sebatas
hasil pengecekan terhadap keterpenuhan sesuatu syarat yang ditentukan UU, di
mana hasil verifikasi itulah kemudian yang akan berujung dengan adanya
tindakan penetapan dan oleh karena itu keduanya merupakan dua hal yang
berbeda dan tidak dapat disetarakan sebagaimana dalam rumusan Pasal 173 ayat
(1) UU Pemilu.103
Lebih lanjut, MKRI mengungkapkan bahwa konstruksi pemahaman
demikian linear dengan norma Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan,
“Partai Politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 178 ditetapkan sebagai peserta Pemilu oleh
KPU”. Artinya, hasil verifikasi merupakan hasil pemeriksaan terhadap
keterpenuhan syarat yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan penetapan sebagai
peserta pemilu oleh KPU. Dengan menghubungkan keberadaan Pasal 173 ayat (1)
dengan Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu, maka benar bahwa keberadaan frasa “telah
ditetapkan/” telah menimbulkan ketidakpastian dan dapat menjadi salah satu
penyebab terjadinya perlakuan berbeda antarpartai politik peserta Pemilu.104
Sekalipun demikian, meskipun frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173
ayat (1) UU Pemilu telah menimbulkan ketidakpastian dan dapat menyebabkan
103 Ibid., hlm. 108 104 Ibid., hlm. 108-109
55
terjadinya perlakuan berbeda, namun hal tersebut belum sepenuhnya dapat
disimpulkan demikian sebagaimana didalilkan Pemohon sebelum terlebih dahulu
mempertimbangkan norma Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu. Oleh karena itu,
pertimbangan hukum selengkapnya terkait frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal
173 ayat (1) UU Pemilu akan dipertimbangkan lebih lanjut bersama-sama dengan
pertimbangan konstitusionalitas Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu.105
Menurut MKRI, terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu,
pada pokoknya norma tersebut memuat norma bahwa untuk partai politik yang
telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat
(2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu.
Hal ini mengandung makna bahwa ada partai politik peserta Pemilu yang
dikategorikan telah lulus verifikasi dengan syarat yang telah ditentukan dan ada
partai politik calon peserta pemilu yang belum lulus verifikasi. Dengan ketentuan
tersebut, terhadap dua kelompok partai politik calon peserta Pemilu tersebut diatur
atau diterapkan perlakuan berbeda.106
Pengaturan tentang pengelompokan sekaligus perlakuan yang
membedakan antarpartai politik calon peserta Pemilu sebelumnya telah pula
pernah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 8/2012)
yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang
memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional
ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”.
105 Ibid., hlm. 109 106 Ibid., hlm. 109
56
Dalam ketentuan tersebut, perbedaan perlakuan terhadap partai politik calon
peserta pemilu dilakukan atas dasar partai politik yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional dengan partai politik yang
tidak memenuhi ambang batas dan partai politik baru.107
Berdasarkan pertimbangan dalam pengujian terhadap ketentuan UU
8/2012 yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap partai
politik calon peserta pemilu, dapat ditarik benang merah yang harusnya
dipedomani pembentuk undang-undang dalam menentukan syarat maupun untuk
menerapkan syarat kepada setiap calon peserta pemilu. Benang merah dimaksud
adalah (a) Norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya
mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta pemilu, sebab perlakuan
berbeda bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama di dalam hukum
dan pemerintahan; (b) Perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta
pemilu dapat dihindari dengan cara bahwa dalam pelaksanaan pemilu, setiap
partai politik calon peserta pemilu harus mengikuti verifikasi.108
Sekalipun perlakuan berbeda melalui penerapan norma secara berbeda kepada
subjek hukum yang diaturnya bukanlah sesuatu yang tidak selalu dilarang atau
bertentangan dengan UUD 1945, namun pada ranah kepesertaan dalam kontestasi
politik seperti pemilu, perlakuan berbeda sama sekali tidak dapat dibenarkan. Hal
mana, perlakuan berbeda dimaksud tidak sesuai dengan jaminan pemberian
kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk duduk dalam
pemerintahan. Menurut Mahkamah, perlakuan berbeda terhadap calon peserta
pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan konstitusi. Hal mana bukan saja
107 Ibid., hlm. 109-110 108 Ibid., hlm. 111
57
karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama
dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D
ayat (3) UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab
terjadinya ketidakadilan Pemilu.109
Untuk memastikan tidak ada perlakuan berbeda terhadap setiap calon
peserta pemilu, dari dua kemungkinan alternatif jalan yang dapat ditempuh
sebagaimana dimuat dalam Putusan tersebut, MKRI telah menentukan caranya,
yaitu dengan melakukan verifikasi terhadap seluruh partai politik calon peserta
pemilu 2014. Sementara pembentuk UU Pemilu dalam merumuskan Pasal 173
ayat (3) UU Pemilu justru memberikan perlakuan yang berbeda terhadap partai
politik yang memiliki kursi di DPR berdasarkan hasil pemilu 2014.110
Selain pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, MKRI memandang
penting untuk menekankan mengenai Keadilan bagi Setiap Calon Peserta
Pemilu. Menurut MKRI, perlakuan berbeda terhadap calon peserta pemilu
merupakan hal yang bertentangan dengan konstitusi. Hal mana bukan saja karena
hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama dalam
pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3)
UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab
terjadinya ketidakadilan pemilu. Merujuk salah satu indikator keadilan pemilu
adalah perlakuan yang sama atau setara antarpeserta pemilu. Baik perlakuan yang
sama antarpeserta pemilu anggota DPR dan DPRD maupun antarseluruh peserta
pemilu yang ditentukan dalam UUD 1945.111
109 Ibid., hlm. 111-112 110 Ibid., hlm. 112 111 Ibid., hlm. 113
58
Terkait perlakuan yang sama antarpeserta pemilu anggota DPR dan
DPRD, maka seluruh syarat dan penetapan syarat bagi partai politik untuk
menjadi peserta pemilu tidak dapat dibeda-bedakan, baik karena alasan bahwa
partai politik dimaksud memiliki kursi di DPR atau DPRD maupun karena alasan
telah mendapat dukungan dari rakyat melalui pemilu. Perolehan suara partai
politik dan kursi dalam suatu pemilu haruslah dibedakan dari syarat yang harus
dipenuhi setiap partai politik calon peserta pemilu. Dalam hal satu partai politik
tentu memperoleh suara dan kursi dalam pemilu, tidak berarti bahwa hal itu
menjadi alasan bagi partai politik dimaksud untuk langsung dapat ditetapkan
menjadi peserta pemilu berikutnya atau menjadi peserta pemilu tanpa harus
diverifikasi lagi keterpenuhan syarat sebagai calon peserta pemilu.
Bagaimanapun, perolehan suara dan kursi merupakan indikator kepercayaan
rakyat terhadap partai politik dalam sebuah pemilu, sedangkan keterpenuhan
syarat untuk menjadi calon peserta pemilu merupakan indikator bahwa partai
politik dimaksud masih layak untuk turut dalam kontestasi memperebutkan
kepercayaan rakyat dalam pemilu.112
Terkait perlakuan yang sama antar seluruh peserta pemilu, maka perlakuan
dalam pemenuhan syarat untuk ditetapkan sebagai peserta pemilu tidak boleh
dibedakan antara calon peserta pemilu anggota DPR dan DPRD dengan calon
peserta pemilu perseorangan. Dalam hal ini, Mahkamah sependapat dengan
keterangan yang disampaikan ahli dalam persidangan menyangkut substansi
verifikasi kepesertaan pemilu, dalam hal bahwa seluruh peserta pemilu, baik
partai politik maupun perseorangan haruslah diperlakukan sama dalam hal
112 Ibid., hlm. 114
59
bagaimana masing-masing peserta pemilu dimaksud memenuhi syarat sebagai
peserta pemilu.113
Sehubungan dengan itu, sepanjang sejarah pemilu yang dilaksanakan
setelah perubahan UUD, calon peserta pemilu sama sekali tidak pernah tidak
diverifikasi keterpenuhan syaratnya. Apakah perseorangan untuk calon anggota
DPD dimaksud merupakan calon anggota DPD yang telah dinyatakan memenuhi
syarat sebelumnya, sama sekali tidak dibebaskan dari proses verifikasi
keterpenuhan syarat sebagai calon. Semua calon peserta pemilu anggota DPD,
calon baru ataupun petahana, sama-sama harus mendaftar dan diverifikasi lagi
seluruh syarat yang ditentukan.114
Berdasarkan uraian di atas, menurut MKRI, dalil Pemohon agar frasa
“telah ditetapkan/” dalam Pasal 173 ayat (1) dan seluruh norma dalam Pasal 173
ayat (3) UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah beralasan menurut hukum.115
F. Kritik Substantif Terhadap Pendapat Yudisial Mahkamah
Konstitusi
Isu hukum penelitian ini adalah apakah verifikasi faktual partai politik
calon peserta pemilu 2019 kepada semua partai politik seperti tertuang dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, telah sesuai dengan
prinsip keadilan?”. Berdasarkan isu hukum tersebut, maka hanya point tertentu
113 Ibid. 114 Ibid. 115 Ibid.
60
dari pendapat yudiasial MKRI yang akan dikiritisi. Pendapat MKRI tersebut
secara spesifik adalah:
“Keadilan Bagi Setiap Calon Peserta Pemilu. Perlakuan berbeda terhadap calon
peserta Pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan Konstitusi. Hal mana bukan
saja karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama
dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3)
UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab terjadinya
ketidakadilan Pemilu. Merujuk salah satu indikator keadilan Pemilu adalah perlakuan
yang sama atau setara antarpeserta Pemilu. Baik perlakuan yang sama antarpeserta
Pemilu anggota DPR dan DPRD maupun antarseluruh peserta Pemilu yang ditentukan
dalam UUD 1945.....”116
Pendapat MKRI di atas dapat dikategorikan sebagai pendapat formal
karena MKRI hanya melihat bahwa partai-partai tersebut merupakan partai-partai
calon peserta pemilu 2019. Padahal kondisinya berbeda, karena ada partai politik
yang telah berkompetisi dalam pemilu 2014 dan ada partai politik yang baru akan
ikut berkompetisi dalam pemilu 2019. Pendapat itu tidak memuaskan dalam
menjustifikasi inkonstitusionalitas Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 173 ayat (3) UU
7/2017. Oleh karena itu, meski setuju dengan kesimpulan bahwa pasal tersebut
inkonstitusional, tetapi penulis akan mengemukakan argumen substantif yang
lebih memuaskan dari pendapat MKRI di atas.
Partai politik yang berkompetisi dalam pemilu 2014 dan turut andil dalam
pengesahan UU 7/2017 tentang Pemilu telah memiliki dukungan dari rakyat, salah
satunya dengan memiliki kursi di DPR RI (“Partai Senayan”). Sebaliknya ada
pula partai politik yang baru akan turut berkompetisi dalam pemilu 2019 (“Parpol
Baru”). Sehingga kondisi untuk berkompetisi dalam pemilu 2019 sangatlah
berbeda. Oleh karena itu, pertanyaannya apakah “Partai Senayan” berhak untuk
dibedakan dari “Partai Baru” terkait dengan pengecualian verifikasi faktual partai
politik peserta pemilu 2019?
116 Ibid
61
Menurut hemat penulis, “Parpol Senayan” tidak berhak dibedakan dengan
“Parpol Baru” karena “Parpol Senayan” telah mengikuti kompetisi di pemilu
sebelumnya. Sehingga “Parpol Senayan” lebih memiliki kesempatan untuk
menjadi peserta pemilu di pemilu berikutnya. Selain itu, “Parpol Senayan” telah
memiliki sumber daya yang dibutuhkan agar bisa turut serta dalam pemilu 2019.
Sumber daya tersebut antara lain, terpenuhinya legalitas sebagai partai politik dan
telah mendudukkan kader-kadernya sebagai anggota legislatif. Terlebih lagi,
“Parpol Senayan” juga telah memiliki kepengurusan sampai ke desa-desa.
Dworkin dalam Marzuki mengemukakan, “rights are best understood as
trumps over some background justification for political decisions that the state a
good for the community as a whole”.117 Lebih lanjut, Dworkin menyatakan bukan
hak yang diciptakan oleh hukum, melainkan hak yang memaksa adanya hukum.118
Terkait dengan hak, dalam justice as fairness, Rawls mengungkapkan:
Each person has an equal right to a fully adequate scheme of equal basic liberties which
is compatible with a similar scheme of liberties for all.119
Oleh Rawls, asas hak tersebut dijustifikasi dengan kekuatan moral yaitu:
First, the capacity for a sense of justice, exercised in deliberating with others about the
form of shared social institution, and second, the capacity for a conception of the good,
exercised in deliberating about how to live one’s own life.120
Kedua argumen tersebut tampak menonjol dalam penguatan tradisi hak.
Bila dikaitkan dengan argumen tersebut, “Partai Senayan” tidak memiliki alas hak
untuk membuat UU, terkait dengan verifikasi faktual partai politik peserta pemilu
2019, yang menguntungkan dan bermuara mengecualikan mereka dari proses
117 Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hlm. 178 118 Ibid., hlm.180. 119 Rawls, John, 1996, Political Liberalism, Columbia University Press, New York, hlm. 291. 120 Ibid., hlm. 332-333
62
verifikasi faktual partai politik peserta pemilu 2019. Selain itu, “Parpol Senayan”
juga telah melakukan tindakan “tidak bermoral” karena tanpa alas hak telah
membuat UU yang menguntungkan mereka dengan membebankan beban yang
lebih berat (verifikasi faktual partai politik peserta pemilu 2019) kepada pihak lain
(“Partai Baru”).
Terlebih lagi, pengaturan mengenai verifikasi faktual partai politik peserta
pemilu telah pernah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD121, dan oleh MKRI, pengaturan itu dianggap
inkonstitusional terhadap UUD NRI 1945 melalui Putusan MKRI Nomor
52/PUU-X/2012. Meski DPR RI memiliki kewenangan open legal policy untuk
membuat UU, tapi tindakan “Partai Senayan” dengan menghidupkan kembali
norma yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 merupakan tindakan yang tidak
memiliki alas hak dan alas moral.
Ihwal dihidupkannya kembali norma yang telah pernah dinyatakan
inkonstitusional oleh Mahkamah, telah ditegaskan Mahkamah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIV/2016, bertanggal 28 September
2017, yang menyatakan antara lain:
“Sebagai institusi yang diberikan wewenang konstitusional oleh konstitusi untuk
menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 langkah yang paling mungkin dilakukan
Mahkamah merespon dan sekaligus mengantisipasi segala macam pengabaian terhadap
norma-norma atau bagian-bagian tertentu suatu Undang-Undang yang telah
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tetapi dihidupkan kembali dalam revisi
Undang-Undang atau dalam Undang-Undang yang baru, maka bagi Mahkamah hal
demikian akan menjadi bukti yang tidak terbantahkan untuk menyatakan norma
Undang- Undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945”.122
121 Pasal 8 ayat (1) UU No. 8/2012 menyatakan “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu
terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional
ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”. 122 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, hlm. 119
63
Berdasarkan argumen-argumen di atas, bila dikaitkan dengan prinsip
keadilan Rawls (justice as fairness) khususnya mengenai prinsip perbedaan (the
difference principle), Rawls menyatakan,“they are to be to the greatest benefit of
the least advantaged members of society”123, maka “Parpol Senayan” bukan
merupakan (kelompok) masyarakat yang ‘disadvantage’/’vulnerable’. Karena
mereka telah memiliki pengalaman di pemilu 2014 dan telah mendudukkan
anggotanya menjadi legislator. Sehingga sudah selayaknyalah apabila “Parpol
Senayan” tidak masuk kualifikasi untuk diperlakukan secara berbeda dengan
“Parpol Baru”. Oleh karena itu, sepatutnyalah apabila “Parpol Senayan” juga
harus mengikuti verifikasi faktual partai politik dan tidak layak berlindung di
sebalik prinsip perbedaan.
123 Rawls, John, 1993, Op.Cit., hlm. 5-6
Recommended