View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
62
BAB IV
ANALISA EKSPANSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN KEARIFAN
EKOTEOLOGIS MASYARAKAT TERUSAN
4.1. Analisa Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit: Produk Kapitalisme Global
Hasil penelitian yang telah dideskripsikan pada bab tiga yang menjadi ciri khas
pemikiran globalisasi ekonomi dengan kapitalismenya yang memberi ruang dan jalan
atas ekspansi perkebunan kelapa sawit di kecamatan Kembayan, Sanggau, yaitu:
1. Bersifat materialistis
Pemahaman kearifan lokal menjadi tergerus arus kapitalisme dan pola pikir ini
yang melegalkan aktivitas eksploitasi terhadap alam. Akhirnya hutan dirusak
karena dianggap tidak memiliki keuntungan materi yang memadai dan diganti
dengan perkebunan kelapa sawit yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Banyak
masyarakat adat lokal di wilayah Sanggau telah berubah dari cara pandang
tradisional ke modern, termasuk di sekitar dusun Terusan yang bersedia
mengkonversi wilayah hutannya menjadi perkebunan kelapa sawit. Pada awalnya
warisan nenek moyang dalam bidang pertanian dan pengelolaan hutan adalah cara
untuk pemenuhan kebutuhan hidup kemudian bertransformasi menjadi sarana
memperoleh kentungan materi yang sebesar-besarnya. Penelitian ini sejalan dengan
pemikiran Wasef dan Ilyas tentang industri sawit memang awalnya didesain
sebagai industri besar yang melibatkan kekuatan modal besar dalam jaringan global
yang mengakibatkan hingga kini kecenderungan para pemiliknya masuk dalam
63
daftar orang terkaya.1 Artinya penumpukan keuntungan materi diperoleh sebesar-
besarnya untuk pemilik dan pemodal. Pengalaman pemiskinan masyarakat dayak di
kecamatan tetangga meyakinkan masyarakat untuk menolak kehadiran perkebunan
kelapa sawit di wilayah mereka. Agenda memberantas kemiskinan hanya jargon
ilusi, nyatanya yang terjadi justru kesenjangan sosial yang mewujud dalam sistem
yang memiskinkan.
2. Menciptakan sistem ekonomi pasar yang rakus
Obsesi berlebihan untuk mengejar surplus membutuhkan peningkatan produksi dan
perluasan wilayah perkebunan kelapa sawit dengan membuka kawasan hutan.
Untuk meraih surplus produksi tanah pasti dipaksakan untuk berproduksi dan lahan
yang dibutuhkan juga semakin luas. Dalam upaya itu kerap terjadi sengketa agraria
dan tata ruang antara masyarakat adat, pemerintah dan pengusaha. Wilayah hutan
yang dianggap sebagai tanah ulayat dan hutan lindung kadang dialihfungsikan
menjadi hutan tanaman industri oleh pemerintah yang kemudian dikelola
perusahaan. Dalam beberapa kasus juga terjadi di Kembayan, perusahaan mengolah
lahan diluar dari izin yang diberikan kepadanya. Masyarakat adat yang dari sejak
dulu mengelola hutan secara arif akhirnya menjadi korban. Ketika masyarakat
global menganut pola hidup konsumtif, tuntutan kebutuhan pasar akan semakin
tinggi sehingga memerlukan areal yang luas, untuk mencapai tampak terjadi praktik
“jual beli izin”. Meningkatnya permintaan global untuk lemak nabati tetap menjadi
faktor utama yang mendorong investasi dan produksi lebih tinggi, perdagangan
perusahaan minyak sawit di bursa saham dan mempercepat pengambil-alihan
1 Mouna Wasef & Firdaus Ilyas, Merampok Hutan dan Uang Negara: Kajian Penerimaan
Keuangan Negara dari Sektor Kehutanan dan Perkebunan : Studi Kasus di Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2011), 17-18.
64
lahan.2 Produktifitas yang dituntut dalam sistem ini hanya dianggap sebagai
aktivitas untuk menghasilkan laba dan menumpuk modal. Sistem ekonomi pasar
yang rakus pemicu terjadinya penindasan terhadap alam semakin kejam. Daerah
pedalaman yang memiliki hutan “perawan” menjadi target pasar produksi. Dari sini
dapat ditemukan istilah ekspansi yang didasari atas kebutuhan pasar yang juga
semakin meningkat.
3. Berpola pikir reduksionis
Perkebunan kelapa sawit di Sanggau, baik dimanapun, selalu bercorak monokultur
yang berakibat cepatnya kerusakan ekosistem lingkungan. Corak perhutanan
monokultur merupakan produk kolonial3yang datang untuk mengambil keuntungan
bagi diri mereka sendiri. Telaah demikian mengalami pembenaran secara historis di
Indonesia yang hadirnya pertama kali kelapa sawit berada pada masa penjajahan
Belanda. Monokultur ditolak karena kesempatan untuk hidup bagi jenis tumbuhan
dan binatang lain yang sudah menjadikan hutan sebagai habitat aslinya terancam
punah. Keseimbangan ekosistem akan menjadi rusak bila sistem pertanian
monokultur kelapa sawit diberlakukan. Pohon di dalam hutan dengan nilai jual
rendah pasti akan dimusnahkan, sedangkan pohon sawit yang laku, dibutuhkan dan
memiliki harga beli mahal akan terus dipertahankan dan diperluas arealnya. Pola
pikir ini dapat mengorbankan mahluk lain dalam ekosistem yang memiliki hak
untuk hidup. Masyarakat Terusan memandang hutan sebagai sebuah keutuhan yang
tidak dapat dikecilkan dan dikucilkan. Mahluk hidup lain memiliki nilai instrinsik
pada dirinya. Paham reduksionis akhir-akhir ini dipromosikan oleh gerakan tertentu
2 Marcus Colchester & Sophie Chao (editor), Ekspansi Kelapa Sawit di Asia Tenggara:
Kecenderungan dan implikasi bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat (Bogor: Sawit Watch & Forest
People Programme, 2011), 19. 3 Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (London: Zed Book Ltd,
1988), 6.
65
yang difasilitasi pebisnis sawit untuk mensosialisasikan perkebunan kelapa sawit
adalah “proyek penghijauan” dan berjuang agar perkebunan kelapa sawit dianggap
sebagai sebuah “hutan”.
4. Berpola pikir dualistis-dikotomis dalam suasana kompetitif
Alam terpisah dengan manusia dan mempertentangkan keduanya yang berimplikasi
menjadikan alam sebagai sumber pemuasan diri dan dapat dieksploitasi. Pola pikir
dualistis-dikotomis berbahaya karena dapat melahirkan kebijakan dominatif, sebab
kedudukan manusia sebagai mahluk otonom dipisahkan secara tegas dengan alam.
Pemisahan ini dapat melemahkan ikatan emosional diantara keduanya. Manusia
dianggap lebih tinggi dari segala mahluk di bumi karena kepentingannya harus
dinomor satukan. Ketika manusia memandang diri sebagai subjek penguasa
sedangkan alam dijadikan sebagai objek pasif, maka melahirkan tindakan
penindasan. Ketika masyarakat Terusan memahami bahwa alam ibarat “Ibu”
semakain mempertegas hubungan emosional dengan kedekatan mereka dengan
alam yang jelas tidak memisahkannya.
5. Dekat dengan budaya kematian
Dengan munculnya perusahaan pembibitan kelapa sawit yang dibuka persis
bersebelahan dengan dusun Terusan mengindikasikan pola kapitalisme itu semakin
mewabah. Bibit tanaman dipandang sebagai kontiunitas kehidupan, sebaliknya
bagi perusahaan nilai bibit terletak pada diskontiunitas kehidupan. Perusahaan
pembibitan sengaja mengembangkan bibit yang tidak dapat dikembangbiakan
supaya petani selalu bergantung padanya.4 Wujud konkrit dari cara pandang ini
dalam konteks hutan adalah nilai pohon tidak diukur ketika pohon tersebut masih
4 Bernadus Wibowo Suliantoro & Caritas Woro Murdiati, Konsep Keadilan Sosial yang
Berwawasan Ekologis Menurut Vandana Shiva (Kajian dari perspekif Etika Lingkungan, Laporan
Penelitian, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, 2013), 70.
66
hidup melainkan ketika sudah mati, ditumbangkan, diolah dan diproduksi. Pohon
kelapa sawit juga dapat mematikan masa depan kesuburan tanah. Berbeda kontras
dengan pengalaman masyarakat Dayak dengan sistem ladang berpindah untuk
memberi kesempatan tanah bereproduksi.
Dari penjelasan diatas membuktikan perkebunan kelapa sawit yang terus
berekspansi ke wilayah Sanggau merupakan produk dari kapitalisme global. Kerusakan
dan ekologis di Indonesia atas berekspansinya perkebunan kelapa sawit jelas merupakan
dampak dari sistem kapitalisme global. Agen-agen globalisasi melalui perusahaan trans
nasional terus mengebaskan sayap industrinya. Perkebunan sawit di Indonesia yang
mulai hadir pada masa kolonial Belanda dan terus merambah ke berbagai wilayah
terisolir termasuk Sanggau hingga kini merupakan sebuah sistem eksploitasi yang lahir
dari proses penjajahan yang diwujudkan dalam bentuk mengelola tanah dengan tanaman
homogen, mengekspansi wilayah, memobilisasi tenaga kerja, dan melaksanakan
diskriminasi.5 Akhirnya kapitalisme global telah dengan deras merasuki wilayah-
wilayah terpencil termasuk Kalimantan yang sumber daya alam menjanjikan.
Seperti dikatakan oleh Ress dan Wackernagel: “Globalisasi ekonomi berarti
globalisasi krisis ekologi,”6 artinya ada keterhubungan pasti antara peningkatan
ekonomi dengan peningkatan krisis ekologi. Dalam mencapai tujuan ekonomi itu terjadi
kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global, Penguasa dan Pengusaha sehingga
muncul yang disebut Adji Samekto “koalisi kepentingan” yang semakin membuat
5Marcus Colchester,dkk, Tanah Yang Dijanjikan: Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di
Indonesia: Implikasi Terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat (Bogor: Sawit Watch, HuMa,
Forest People Programme, The World Agroforestry Centre, 2006), 49. 6 Wiliam E. Rees dan Mathis Wackernagel “Ecological Footprints and Approach to
Sustainability dalam Larry L. Rasmussen, Komunitas Bumi: Etika Bumi. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2010), 214.
67
masyarakat lokal dan lingkungan akan sangat mudah dikorbankan.7 Koalisi juga
melibatkan aktor-aktor pemerintah, swasta, makelar dan pimpinan adat yang kerap
bermain untuk melancarkan izin dan hak pengelolaan hutan menjadi industri kelapa
sawit.
Proses pembebasan lahan tanah dari masyarakat adat lokal ke tangan swasta
terjadi melalui pemerintah daerah, elite partai politik lokal dan pengusaha yang terlibat
dalam pendirian perkebunan kelapa sawit. Terdapat “perdagangan” akses terhadap izin
perkebunan dan menjanjikan kemakmuran kepada masyarakat lokal. Banyak
perusahaan lokal menghasilkan keuntungan besar dari penjualan kayu yang diperoleh
dari konversi hutan, setelah itu perusahaan dan izin perkebunannya sering dijual ke
konglomerat kelapa sawit nasional atau asing.8 Pada era otonomi, pemimpin daerah
merasa sebagai “raja kecil” yang memiliki kewenangan besar untuk mengelola alam
yang ada di daerah kekuasaannya. Ketika terjadi “kesepakatan gelap” pemerintah
daerah maupun pusat dengan pihak perusahaan (penguasa dan pemodal) dengan
melibatkan pemimpin adat, maka izin pembukaan hutan untuk perkebunan semakin
mudah dikeluarkan. Hutan ulayat masyarakat lokal yang dianggap sebagai milik pusaka
akhirnya berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang semakin meluas. Hal ini
terbukti dengan begitu banyak tawaran dan janji kekayanan yang disampaikan pihak
perusahaan kepada pimpinan adat dan dusun di Terusan dengan imbalan persetujuan
masuknya perkebunan kelapa sawit.
4.2. Analisa Kearifan Ekoteologis Masyarakat Terusan menghadapi ekspansi
perkebunan kelapa sawit
7 FX Adji Samekto, Kapitalisme, Modernisasi, dan Kerusakan Lingkungan (Yogyakarta:
Penerbit Genta, 2008), 89-90. 8 Martua T. Sirait, Indigenous Peoples and Oil Palm Plantation Expansion in West Kalimantan,
Indonesia (Amsterdam: Universiteit van Amsterdam and Cordaid Memisa, 2009), 6-7.
68
Praktik kapitalisme dalam jaringan yang terkoneksi secara global ibarat arus
deras yang sulit dibendung. Masyarakat adat lokal yang selama ini hidup dan dihidupi
oleh kepercayaan nilai-nilai kultural yang diwarisi leluhur yang sejak lama melekat
tidak sedikit telah berubah dan terseret gelombang globalisasi. Dalam menghadapi
kekuatan besar kapitalisme global itu dapat dilakukan bukan dengan perlawanan
represif gerakan “angkat senjata”, melainkan melalui penguatan nilai-nilai kearifan
lokal yang sebenarnya bertentangan dengan apa yang ditanamkan sistem kapitalisme di
era globalisasi ini.
Menghadapi tantangan globalisasi yang sudah memasuki wilayah perdesaan
berimplikasi pada memudarkan kebudayaan lokal, masyarakat Terusan tidak
menggunakan budaya orang lain atau menciptakan budaya baru bahkan tidak
menyesuaikan diri dengan budaya global yang secara khusus berdampak destruktif
terhadap lingkungan. Punontu Pumuduap Nganpengasua (Penjaga Kehidupan) adalah
konsep kehidupan kultural masyarakat Terusan membangun hidup dalam hubungan
yang integral dengan alam. Konsep itu didasari atas pemahaman teologis bahwa alam
adalah “ibu” yang melahirkan, merawat dan melindungi kehidupan. Agar kehidupan itu
terus ada dalam keseimbangan dan keutuhan, maka sang “Ibu” harus dijaga dan
dilindungi. Bila alam rusak, hidup manusia yang bergantung dalam sebuah rantai juga
akan ikut rusak. Konsep Punontu Pumuduap Nganpengasua mewujudkan satu kesatuan
antara manusia, alam dan Tuhan. Ekoteologis masyarakat Terusan yang tercermin
dalam konsep Punontu Pumuduap Nganpengasua adalah:
1. Memiliki pandangan Mugu kudo To mo (Tuhan terhubung dengan ciptaanNya)
Beberapa pandangan Mugu kudo To mo dalam masyarakat Terusan ditemukan pada
praktik Ngawei Minah Rangka dan ritual Lioa Puno yang melihat keterkaitan
dengan Allah melalui rangka kayu dan tanah yang dianggap menghubungkan
69
bagian dengan Tuhan. Ada peristiwa mistis yang dialami masyarakat Terusan
terhadap rangka dan tradisi menebas. Pengalaman itu melahirkan pemahaman dan
tindakan baru bagi mereka bahwa rangka dan tanah itu bukan disembah melainkan
untuk dihormati. Tindakan merusak berakibat buruk dan menjaga rangka serta
tanah akan beroleh pertolongan. Keterhubungan Allah melalui kayu dan tanah itu
menjadi nampak. Kayu dan tanah dalam pandangan masyarakat Terusan bukan
sesuatu yang bernilai ekonomis dan terpisah dari unsur apapun. Keduanya dianggap
memiliki sakralitas karena terhubung dengan Tuhan yang memengaruhi tindakan
hormat dan santun terhadapnya. Pandangan To no torut ngan du muduap no selaras
dengan panenteisme dalam dunia teologi yang salah satunya dikembangkan oleh
Sallie Mcfague yang mengatakan bumi adalah tubuh Tuhan. Panenteisme adalah
keyakinan bahwa semua ciptaan adalah bagian dari Allah. Dalam Panenteisme
Allah berbeda dengan ciptaan, namun terhubung dengan ciptaanNya.9 Pandangan
kontemporer dalam dunia teologi tentang panenteisme tampaknya sudah sejak lama
dipahami dan diyakini oleh masyarakat Terusan. Pola pikir barat yang melihat
panenteisme sesuatu yang baru karena sejak zaman pencerahan manusia dipandang
terpisah dengan alam, sedangkan dalam konsep masyarakat Dayak Bisomu di
Terusan pada budayanya memiliki kosmologi terkait dengan alam dan Tuhan.
Pemahaman ini mendorong masyakat untuk tidak melukai tubuh Allah melalui
perusakan sumber daya alam di dalam hutan.
2. Memosisikan diri sipantar ngan to no torut (setara dengan alam)
Sipantar ngan to no torut adalah sebuah relasi yang dibangun setara dengan alam.
Keyakinan dalam pandangan keterhubungan Allah dengan alam diatas tadi
9 Evelyn Tucker and John Grim, Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup.(Yogyakarta: Kanisius,
2003), 83.
70
menunjukkan bahwa yang menguasai alam lingkungan adalah kekuatan Ilahi dan
bukan manusia. Dalam konsep hutan tembawang yang dikelola masyarakat Terusan
tidak dikenal istilah kepemilikan tunggal, yang ada hanya kepemilikan komunal
dalam ikatan kekeluargaan. Satu tembawang dimiliki oleh berbagi sub keluarga
dengan pembagian wilayah yang jelas melalui kesepakatan bersama. Bagi
masyarakat dianggap tabu bila tanah adalah milik pribadi. Hasil kerja panen
dianggap sebagai kemurahan Tuhan melalui alam yang diekspresikan melalui
gawei banua. Alam adalah pemberi hidup sehingga hutan, sungai, tanah, dan hujan
adalah tanda-tanda nyata kemurahan alam dan Tuhan. Pandangan masyarakat
bahwa manusia bukan berada sebagai subjek yang otonom, tetapi ada sesuatu diluar
dirinya yang diakuinya ada dan memiliki otoritas dalam hidupnya yaitu Tuhan.10
Ada sikap hormat terhadap tempat dan barang yang dianggap “suci”. Manusia
merupakan bagian yang integral dari dunianya dan bukan subjek yang terpisah dari
dunia. Makna diri dan keberadaannya terdapat dalam kesatuan dengan komunitas
sukunya. Istilah pemilik dan penguasa tidak ada dalam kamus hidup masyarakat
Terusan, yang mereka tahu adalah sebagai penjaga agar hidup manusia dan alam
tetap utuh dan seimbang. Pandangan itu tercermin dari cara pengambilan keputusan
yang selalu melibatkan keluarga besar dan dalam skala yang lebih luas melalui
hasil pertemuan komunitas adat. Dari pemahaman tersebut masyarakat Terusan
menempatkan diri setara dengan alam bukan pemilik bahkan penguasa diatas dari
alam.
3. Mempertahankan To no torut ngan du muduap no (ekosistem)
Cara pandang kesatuan dengan alam dan Tuhan yang bukan dualisme menunjukkan
sikap dan tindakan masyarakat Terusan untuk mempertahankan ekosistem alam
10 Peter C. Aman, “Hidup Bersama Alam”, 158.
71
yang berkaitan juga dengan dirinya sendiri. Sistem pengelolaan hutan tembawang
harus dilakukan dengan pola multikultur, terdiri dari buah-buahan, kayu besar,
tanaman obat-obatan, dan sebagaian karet. Hutan juga merupakan “apotek”
kehidupan sumber obat-obatan. Pola pertanian agroforestry ini merupakan
pengakuan terhadap hakikat realitas yang beragam. Di dalam wilayah heterogen itu
dijamin keberlangsungan hidup mahluk lain yang memiliki hak sama untuk hidup.
Setiap komponen pembentuk ekosistem dijaga untuk memastikan semua elemen
dapat berfungsi dengan baik dalam jaringan kehidupan yang lestari. Berdasarkan
pertimbangan demikian salah satu alasan penolakan hadirnya perkebunan kelapa
sawit karena mengganti hutan yang campur sari dengan corak monokultur. Selama
ini kehidupan masyarakat Terusan yang agraris bergantung dari petunjuk dan tanda
alam. Pada penggalan hari ketujuh, dua puluh dan dua puluah lima bulan
merupakan “hari istirahat”, yakni suatu cara yang dilakukan masyarakat untuk
menghormati tanaman yang tidak boleh dikelola pada waktu tertentu. Sistem rotasi
ladang berpindah sebenarnya bermaksud agar tanah tidak dipaksa untuk
memproduksi. Tanah diberi kesempatan waktu beberapa tahun untuk memperbaiki
kualitasnya agar dapat kembali memberi kesuburan. Pemahaman ini menegaskan
bahwa masyarakat Dayak bukanlah perusak hutan karena sistem ladang berpindah.
Bagi mereka memberi kesempatan tanah untuk mereproduksi adalah bentuk
penghormatan dan jauh dari tindakan eksploitasi. Untuk melaksanakan aktivitas di
luar, masyarakat sering mendapat petunjuk burung coku. Bila hutan hilang diganti
dengan kebun tunggal kelapa sawit, rumah bagi burung coku sebagai pemberi
isyarat juga akan punah, masyarakat dapat kehilangan „roh” pemberi petunjuk
kehidupan. Etika hidup yang menjaga ekosistem adalah pola kerja masyarakat
Terusan. Pada saat pandangan kapitalisme berusaha memisahkan manusia dengan
72
alam yang profan, masyarakat Terusan memandang alam merupakan sesuatu yang
holistik dan alam merupakan “the sacred canopy”, dalam istilah Peter L. Berger.11
Pemahaman eklesiologi dalam terang ekoteologi dalam kaitan yang utuh dengan
alam semesta menegaskan upaya untuk mempertahankan ekosistem sebagai suatu
kesatuan dengan manusia. Keyakinan yang dipahami dalam kesadaran masyarakat
Terusan yang bergantung hidupnya dari alam dan melalui alam mereka terhubung
dengan Tuhan. Pemahaman dasar itu mengkonstruksi pemikiran dalam praksis
tindakan mereka untuk mempertahankan kelangsungan ekosistem alam khususnya
hutan. Kedatangan Yesus ke dalam bumi dalam rangka menyelamatkan dunia
termasuk manusia, karena itu masa depan ciptaan bukanlah kehancuran justru
mengalami penyempurnaan. Pemahaman teologis antroposentris dan biosentris
yang berimplikasi pada tindakan memisahkan manusia dengan alam dan
menempatkan manusia pada posisi berkuasa dapat terbantahkan dalam kajian ini.
4. Memiliki spritualitas Poro Bata Muduap
Poro Bata Muduap adalah spiritualitas hidup sederhana. Bagi masyarakat Terusan
tanah, air, dan kayu tidak dipandang sebagai aset ekonomi karena dianggap
memiliki unsur yang “suci”, namun dipahami juga sebagai dasar berada komunitas
masyarakat dan seluruh mahluk untuk memperoleh kehidupan. Tidak ditemukan
tindakan komersialisasi terhadap bagian dari alam itu. Masyarakat adat Terusan
melihat hubungan kekeluargaan jauh lebih penting daripada hubungan produksi.
Ikatan emosional identitas kekeluargaan itu akan terasa semakin erat ketika “ibu
memanggil pulang” pada waktu musim buah di hutan tembawang. Keluarga besar
11
Peter L Berger & Thomas Luckmann, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial
(Jakarta: Pustaka LP3ES, 1994)
73
yang berada di daerah jauh akan pulang untuk makan bersama dalam ikatan darah
kekeluargaan. Tanaman buah memang tidak bernilai ekonomis tinggi, tetapi tetap
dipertahankan sebagai alat menyambung rasa kekeluargaan dalam kesederhanaan.
Orientasi kerja lebih tertuju pada pemenuhan kebutuhan pokok dan bukan demi
pengumpulan harta kekayaan. Walaupun bisnis kelapa sawit menjanjikan perbaikan
ekonomi, masyarakat tetap menjaga hidup kesederhanaan dan menjaga diri menjadi
hamba materi. Bagi masyarakat keberlanjutan keutuhan hidup masa depan lebih
utama daripada harta. Nilai spiritualitas ugahari yang kuat mengakar dalam karakter
masyarakat lokal Terusan menjauhkan mereka untuk mengelola alam dengan cara
mengekspolitasi. Pemikiran dan pengalaman masyarakat Terusan ini sama dengan
istilah yang saat ini gencar dipromosikan yaitu spiritualitas ugahari. Sifat
ketamakan dan kerakusan merupakan awal dari tindakan eksploitatif terhadap alam.
Gaya hidup sederhana mengarahkan mereka untuk mengelola alam secukupnya
berdasarkan kebutuhan.
5. Membangun jejaring dalam partisipasi di ruang publik
Persoalan menjaga alam bukan hanya urusan internal sesama masyarakat Terusan
sendiri, sebab mereka akan berhadapan dengan sistem dan aktor-aktor dominan
yang kerap diskriminatif. Peran dalam ruang publik menjadi keharusan untuk dapat
menghadapi ketidakadilan. Menyikapi berbagai kebijakan yang tidak pro terhadap
eksistensi masyarakat adat lokal melalui pengalihfungsian hutan dan penyerobotan
lahan oleh “koalisi kepentingan”, masyarakat Terusan merajut jaringan antar
komunitas masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk
memperjuangkan hak-hak masyarakat. Banyak kasus ditemukan masyarakat lokal
kerap kalah ketika berhadapan dengan penguasa dan sistem kapitalisme dengan
modal yang berlimpah. Konflik sosial antara pihak perusahaan dengan warga selalu
74
ada dan tidak kunjung usai. Pemetaan wilayah hutan desa dan adat Terusan yang
sudah dilakukan menjadi salah satu cara yang baik untuk mempertegas legalitas
kawasan masyarakat. Usaha untuk pencanangan Terusan sebagai kampung budaya
merupakan perjuangan dalam ruang publik untuk melemahkan pihak luar dalam
rangka mengusai wilayah mereka karena sudah ada pengakuan dan penetapan
publik agar kawasan yang sakral itu dan komunitas Terusan selalu dilindungi dan
dilestarikan. Partisipasi aktif ini melibatkan banyak pihak lintas komunitas agama
dan berjejaring dengan lembaga-lembaga yang memiliki misi perjuangan yang
sama.
Masyarakat Terusan dari awal memandang manusia di dalam hidupnya berada
dalam kesatuan yang integral dengan alam dan Tuhan. Konsep penjaga kehidupan
merupakan refleksi dari kesadaran demikian. Relasi yang integral ini tercermin bahwa
manusia sebagai mahluk yang tercipta dari To no (tanah) dan Allah terhubung melalui
alam ciptaan-Nya (Mugu kudo To mo). Pemahaman ini berimplikasi pada melakukan
tindakan pelestarian terhadap alam juga berarti melindungi kehidupan manusia dan
merawat “tubuh Allah”. Sebaliknya tindakan eksploitasi terhadap alam juga akan
menciderai tubuh “Allah” dan merusak hidup manusia dalam ekosistem kehidupannya.
Masyarakat Terusan akan mampu bertahan atas arus kuat ekspansi perkebunan
kelapa sawit di sekitarnya dengan merevitalisasi kearifan ekoteologisnya dengan alam.
Model gereja yang terlalu asing dengan konteksnya juga perlu belajar dari pengalaman
dan pemahaman demikian. Gereja perlu mengadopsi pemahaman teologis dan berada
dalam “titik temu” dengan budaya lokalitas masyarakat untuk membangun model
gerejanya agar lebih relevan. Perjumpaan penginjilan barat dengan budaya lokal
75
masyarakat yang menganggap kearifan lokal sebagai suatu kekafiran12
perlu dikaji
kembali. Model gereja yang diwarisi terkesan duplikasi dari para pembawanya.
Persekutuan mistis tubuh Kristus sebagai model gereja yang populer di gereja Indonesia
kurang dapat menjawab dan merespon dengan tegas keberpihakan terhadap kerusakan
ekologis. Gereja belum banyak melihat konteks kerusakan ekologis dari perspektif
masyarakat lokal dan masih menempatkan diri dari sudut pandang gereja warisan
kolonial.
Sudut pandang barat yang melihat keterpisahan manusia dengan alam dan Tuhan
akan terus meminggirkan masyarakat lokal dan dianggap inferior, primitif 13
bahkan
irasional. Pada sisi yang lain gereja juga tampak banyak berperan sebagai “pasar” yang
merupakan realitas tentang praktik keseharian gereja dari pendekatan ekonomi14
, selain
hanya banyak mengurusi persoalan internalnya. Contoh terlibatnya gereja dalam
budidaya perkebunan kelapa sawit secara mandiri, termasuk GPIB induk dari pos pelkes
Terusan, dan contoh kasus yang ditulis oleh Stepanus Djuweng menunjukkan gereja
berada dalam sistem yang terlibat dalam kerusakan ekologi. Dimana ketika masyarakat
Dayak protes kepada perusahaan sawit di Sanggau seorang pejabat tinggi gereja lokal
malah menulis surat rekomendasi agar masyarakat Dayak setempat bekerja kembali.15
Pendekatan ini jelas dapat melemahkan fungsi suara kenabian gereja sebagai mercusuar
yang harus kritis atas setiap realitas. Gereja harus dapat memisahkan gen kapitalis
12 Chr de Jonge & Jan Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah Eklesiologi
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 91. 13 A. Wati Longchar , Returning to Mother Earth Theology, Christian Witness and Theological
Education An Indigenous Perspective (Taiwan: Programme for Theology and Cultures in Asia, 2013), 68. 14
Abraham Silo Wilar, “Mundus Imaginalis dalam, Teologi Tanah: Persepektif Kristen terhadap
ketidakadilan sosi-ekologis di Indonesia, Zakarias Ngelow (Editors) (Makasar: Oase Intim, 2015), 368. 15
Stepanus Djuweng, “Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi”. Dalam Hairus Salim
(ed.). Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan.Yogyakarta:
Dian/Interfi dei, 2006), 26.
76
bawaannya dan bermetamorfosis menjadi gereja yang kontekstual dan fungsional
dimanapun Tuhan mengutusnya.
Pemahaman masyarakat ekoteologis Terusan yang melihat hubungan integral
tentang kesatuan hubungan manusia, alam dan Tuhan dapat menjadi jalan masuk untuk
membangun sebuah model gereja dalam peran yang lebih kuat terhadap keutuhan
ciptaan dan keseimbangan ekologis yang selama ini telah menjadi rusak oleh karena
kepentingan bisnis ekonomi. Gereja sebagai komunitas eskatologis yang percaya akan
keselamatan alam semesta, mengarahkan perhatiannya bukan hanya berkarya pada
manusia semata. Pandangan kristen umumnya melihat alam sebagai objek pelayanan
dan kesaksian Gereja, pada model ini alam dirangkul menjadi bagian persekutuan
dengan Tuhan. Argumen teologis demikian menegaskan kembali jejak biblis yang
jarang diungkapkan dalam kajian ekoteologi yaitu: “Biarlah segala yang bernafas
memuji Tuhan” (Mazmur 150:6), dan “biarlah langit bersukacita dan dan bumi
bersorak-sorak, biarlah gemuruh laut serta isinya biarlah beria-ria padang dan segala
yang ada diatasnya, maka segala pohon di hutan bersorak-sorai” (Mazmur 96:11-12).
Rangkuman
Masyarakat Terusan memiliki kearifan ekoteologis dalam menghadapi ekspansi
perkebunan kelapa yang berimplikasi pada kerusakan keseimbangan ekologi. Punontu
Pumuduap Nganpengasua (Penjaga Kehidupan) adalah landasan hidup yang ramah
terhadap pelestarian lingkungan, yaitu memiliki spritualitas Poro Bata Muduap,
memosisikan diri sipantar ngan to no torut, memiliki pandangan Mugu kudo To mo,
mempertahankan To no torut ngan du muduap no, dan membangun jejaring dalam
partisipasi di ruang publik. Berdasarkan temuan dan kajian itu perlu memngembangkan
model yang relevan dan kontekstual dari perjumpaan kearifan ekoteologis masyarakat
Terusan.
77
Recommended