View
12
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
86
86
BAB IV
Dinamika Kehidupan Paguyuban Sumarah Di Surakarta
Tahun 1970-1998
Hubungan antara Islam dan negara mengalami metamorfosis. Pada
awalnya hubungan di antara mereka bersifat antagonistik (1966-1981), kemudian
berubah menjadi resiprokal-kritis dalam rentang waktu tahun 1982-1985 dan
mengambil pola hubungan akomodatif sejak tahun 1985 dan semakin transparan
pada tahun 1990-an.1 Hal tersebut berbanding terbalik dengan hubungan antara
kebatinan dengan pemerintah, artinya Islam dan kebatinan saling berebut posisi
kedekatan dengan pemerintah, sementara pemerintah sendiri terutama kebijakan
yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto dari sisi keberpihakan tergantung dari
suasana percaturan politik pada waktu itu, pada awal pemerintahannya
mendukung sekali kebatinan kemudian karena oposisi Islam semakin kuat maka
dukungan terhadap kebatinan semakin dibatasi.
Pada awal perjuangan orde baru (1966-1970) Paguyuban Sumarah mulai
menggeliat organisasinya dengan melakukan pendekatan diri kepada para
penguasa. Kepengurusan waktu itu dipindahkan ke Jakarta dengan sebutan Dewan
Pimpinan Pusat Sumarah (organisasi memasuki ranah politik di bawah kendali
Arymurthy, seorang tokoh intelektual, birokrat sekaligus tokoh politik. Ia ingin
menghimpun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia dalam kekaryaan yang
1 Zainal Abidin Amir., Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia anggota IKAPI, 2003), hlm.2-3.
87
disebut Badan Koordinasi Karyawan Kerohanian/ Ketabiban/ Kejiwaan Indonesia
(BK5I). Secara kelembagaan kelompok ini di bawah kendali Paguyuban Sumarah
yang secara politis melekat pada Golongan Karya. Ketika itu Sumarah menjadi
besar dan dibesarkan pengaruhnya sampai ke daerah-daerah lebih besar lagi
tatkala Zahid Hussein masuk ke Pengurusan Sumarah pada 1970-1974. Ia menjadi
ketua yang membidangi organisasi dan pengembangan,dan dikenal sebagai
kepercayaan presiden Soeharto.2
Pada tahun 1978, kebatinan secara resmi diakui sebagai sebuah ekspresi
keimanan yang sah, yang diwakili di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada saat yang sama ekspresi kejawaan ini juga menghadirkan dirinya kepada
masyarakat pada sebuah acara mingguan di televisi, seperti halnya kesempatan
yang diberikan untuk agama yang lain.3
Pada masa Orde Baru, penghayat kepercayaan diberikan legalitas untuk
memilih dalam kolom agama/ kepercayaan. Meskipun demikian, para anggota
Paguyuban Sumarah sendiri tetap memilih agama karena berpendapat bahwa Ilmu
Sumarah merupakan pelengkap dalam menjalankan ritual agama masing-masing,
meskipun kegiatan Paguyuban Sumarah berbasis spiritualitas, namun pemeluknya
semuanya mempunyai agama. Jadi tetap menjalankan dengan tambahan kegiatan
spiritualitas yaitu Sumarah.4 Anggota Paguyuban Sumarah juga sependapat bahwa
kegiatan spiritualitas/ ajaran Sumarah tidak memiliki pertentangan terhadap
2 Kementerian Agama RI, Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di
Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011), hlm. 137.3 Niels Mulder, Ruang Batin Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: LKiS,
2001), hlm.19.4 Wawancara dengan Nunun Tri Widarwati tanggal 28 Januari 2016
88
agama manapun karena bersama-sama ingin senantiasa ingat dan menyembah
kepada Tuhan Yang Maha Esa.5
A. Landasan Hukum dan Dukungan Politik
1. Landasan Hukum
“…kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan
merupakan agama. Pembinaan terhadap kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru.
Dan dalam mengefektifkan pembinaan yang perlu adalah agar
pelaksanaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa benar-benar
sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab” (TAP II MPR/
1988).6
“Di dalam Undang-Undang no. 16 tahun 1969 dan dihubungkan
dengan Undang-Undang no.5 Tahun 1975, yang dalam Pasal 6 (untuk
anggota MPR-RI) dan Pasal 14 (untuk keangotaan DPR-RI) ayat (1)
menyatakan bahwa sebelum mereka memangku jabatannya terlebih dahulu
secara bersama-sama diambil sumpah/ janjinya menurut agama atau
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa masing-masing. Tanda
Anggota Golkar-pun ada kolom agama/ kepercayaan. Disini nampak jelas
sekali negara memberikan perlakuan yang sama terhadap mereka pemeluk
5 Wawancara dengan Nunun Tri Widarwati tanggal 28 Januari 20156 Abu Su’ud., Ritus-Ritus Kebatinan, (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2001), hlm. 4.
89
agama ataupun mereka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dalam kedudukannya sebagai warga Negara.”7
a Undang-Undang Dasar 1945:
1) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28 E ayat 2:
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
2) Bab XI tentang Agama, pasal 29 ayat:
a) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.
c) Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan pasal 32
ayat 2: Pemerintah memajukan kebudayaan nasional
Indonesia dengan menjamin kemerdekaan dalam
melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya.
b Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
Dalam memenuhi kewajibannya sebagai warga negara dan
warga masyarakat, manusia Indonesia dalam menghayati dan
mengamalkan Pancasila secara bulat dan utuh menggunakan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Di
salah satu butir Pancasila, terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Bangsa Indonesia
7 Toeloes Koesoemaboedaja, Exsistensi Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, (Semarang: DPD HPK Tk. I Jawa Tengah ,1984), hlm. 27.
90
menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.8
Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikembangkan sikap
hormat-menghormati dan bekerjasama antara pemeluk-pemeluk agama
dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga
dapat selalu dibina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.9
Sadar bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi dengan
Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya, maka
dikembangkanlah sikap saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah sesuai agama dan kepercayaannya itu kepada orang lain.10
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kebebasan agama adalah
merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi
manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada
8 Bab II angka I tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1978), hlm13-14.
9 Ibid.10 Ibid.
91
martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan
beragama bukan pemberian Negara atau bukan pemberian golongan.11
Sasaran yang hendak dicapai dalam pelaksanaan Pembangunan
Jangka Panjang di bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa (Sosial-Budaya) adalah:
Atas dasar kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan
Yang Maha Esa maka kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia
harus benar-benar selaras dalam hubungannya dengan Tuhan Yang
Maha Esa, dengan sesama dan alam sekitarnya serta memiliki
kemantapan keseimbangan dalam kehidupan lahiriah dan batiniah serta
mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong royong yang
berkembang, sehingga sanggup serta mampu untuk melanjutkan
perjuangan Bangsa dalam mencapai tujuan nasional dengan
memanfaatkan landasan ekonomi yang seimbang. Bentuk-bentuk
kebudayaan sebagai pengejawantahan Pribadi Manusia Indonesia
harus benar-benar menunjukkan nilai hidup dan makna kesusilaan
yang dijiwai Pancasila. Sedangkan kebudayaan itu sendiri harus
merupakan penghayatan nilai-nilai yang luhur sehingga tidak
dipisahkan dari Manusia Budaya Indonesia sebagai pendukungnya.12
11 Penjelasan atas Bab II Angka I Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila, Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1978), hlm. 20.
12 Sasaran yang hendak dicapai dalam pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang di bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Sosial-Budaya) Bab III Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang, Naskah Garis-Garis Besar Haluan Negara, hlm. 46-47.
92
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan
agama. Pembinaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan agar
tidak mengarah pada pembentukan agama baru, selain itu untuk
mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu agar pelaksanaan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa benar-benar sesuai
dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.13
2. Dukungan Politik
Hakikat kelahiran dan tujuan Orde Baru adalah melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Hal ini merupakan
kesempatan bagi para penghayat kepercayaan yang memiliki kesamaan
kehendak dalam menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Pada masa
pemerintahan Orde Baru, organisasi dan kelompok kebatinan
legitimasinya bertambah dengan dukungan politik dari Golongan Karya.
Dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya atau lebih dikenal dengan
Sek. Ber. Golkar ditumbuhkan organisasi di bidang spiritual yaitu Badan
Koordinasi Karyawan Kebathinan/ Kerokhanian/Kejiwaan Indonesia
13 Bab IV Pola Umum Pelita Ketiga Bidang Agama dan Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial Budaya poin (f) dalam Naskah Garis-Garis Besar Haluan Negara, hlm. 76-77
93
(BK5I) dan di daerah-daerah berdiri Ikatan Karyawan Rokhaniah
(IKRAR) terutama di Jawa Tengah.14
Sebagai organisasi politik yang paling kuat, Golkar dapat
menyalurkan patronase yang banyak sekali dengan mendanai masjid-
masjid dan mensponsori infrastruktur keagamaan yang lain. Dengan
demikian, Golkar telah bisa mempengaruhi perilaku dan pendapat dari
beberapa pemimpin masyarakat Islam yang lebih oportunis.15 Dengan cara
seperti itu, dukungan terhadap kebatinan oleh pemerintah dapat terus
berjalan dan terus berkembang pada awal pemerintahan Orde Baru serta
membendung pengaruh Islam yang menjadi salah satu pesaing kuat dalam
perpolitikan Negara.
Pada Februari-Maret 1970, para tokoh kebatinan secara resmi
diminta untuk dijadikan calon oleh Golkar, partai pemerintah, dalam
perwakilan daerah. Pada November 1970, usaha untuk menyatukan
kebatinan dalam satu gerakan tunggal yang berjuang bagi pengakuan legal
mencapai puncaknya dalam sidang Panitia Nasional Simposium
Kepercayaa ̶ Kebatinan, Kejiwaan, dan Kerohanian Indonesia di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, kembali dengan Mr. Wongsonegoro
sebagai ketua kehormatan dan dengan restu nyata dari pemerintah.
Desember tahun yang sama, kebatinan memperoleh satu bentuk pengakuan
14 Toeloes Koesoemoboedojo, Sejarah dan Peranan Himpunan Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, DPD HPK tingkat I Jawa Tengah, hlm.18
15 Niels Mulder, Ruang Batin Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm.180.
94
resmi dengan menggabungkan diri ke dalam Golkar, organisasi politik
kelompok-kelompok fungsional yang didominasi oleh pemerintah; Golkar
mendirikan badan koordinasi para pemimpin spiritual dan mistik sederajat
dengan badan koordinasi serupa yang terdiri atas para ulama Islam.16
Jalinan hubungan antara Sek. Ber. Golkar dengan organisasi aliran
kepercayaan berlanjut dengan diselenggarakannya Musyawarah Nasional I
di Yogyakarta pada desember 1970 dengan hasil terbentuknya SKK
(Sekretariat Kerjasama Kepercayaan) yang kemudian menjadi wadah
nasional tunggal bagi organisasi kebatinan/ kepercayaan maupun
kebatinan dalam tataran individu.
Apabila dalam organisasi-organisasi aliran kepercayaan
mempunyai wadah nasional tunggal dalam menyalurkan aspirasinya dan
berhubungan dengan pemerintah melalui SKK, di lain pihak pemerintah
kemudian menerapkan kebijakan yang berbeda dengan pemerintahan
sebelumnya yaitu mengurangi wewenang Departemen Agama untuk tidak
mengurusi masalah aliran kepercayaan serta membentuk Direktorat
tersendiri bagi pembinaan penghayat kepercayaan terrhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Pembinaan masyarakat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, semula berada dalam wewenang Departemen Agama dan
pelaksanaannya diserahkan kepada Sub Bagian Tata Usaha Kantor
Wilayah Departemen Agama tingkat Propinsi. Kemudian dalam ketetapan
16 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa:
Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, (Jakarta: PT.Gramedia,1983), hlm.8.
95
MPR. No. IV/ MPR/ 1978 tanggal 22 Maret 1978 tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara ditetapkan bahwa Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa tidak merupakan Agama. Oleh karena itu Menteri Agama
pada tanggal 11 April 1978 No. 4 tahun 1978 mengeluarkan instruksi
kepada unit-unit kerjanya di Daerah untuk tidak lagi mengurusi soal-soal
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya pada tanggal 31 Agustus 1978 keluarlah Keppres No.
27 tahun 1978 yang menambah lampiran 12 Keppres No. 45 tahun 1974
pasal 9 yaitu mengenai struktur Direktorat Jenderal Kebudayaan, dengan
satu ayat lagi yaitu ayat (6) yang berupa pembentukan unit baru dengan
nama “Direktorat Pembinaan Penghayatan Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa”. Dengan demikian sejak itu, secara formil Direktorat
Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
terdapat dalam Direktorat Jenderal Kebudayaan. Khusus mengenai nama
Direktorat baru ini dengan Keppres Nomor 40 tahun 1978 tanggal 9
Nopember 1978, diubah menjadi Direktorat Pembinaan Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Keputusan Menteri P dan K tanggal 30 Juni 1979 No.
0145/0/1979 ditetapkan bahan tugas pokok Direktorat Pembinaan
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah
pembinaan peri kehidupan masyarakat Penghayat Kepercayaan terhadap
96
Tuhan Yang Maha Esa.17 Dalam hal publikasi, Direktorat Pembinaan dan
Penghayat Kepercayaan (PPK) melakukan pembinaan perikehidupan
berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah menghasilkan:
a. Seri Pembinaan 12 naskah diterbitkan sebanyak 24.000
eksemplar.
b. Naskah siaran RRI sebanyak 12; naskah siaran TVRI sebanyak
5, penyiarannya bekerjasama dengan HPK.18
B. Wadah Nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa
Timbulnya SKK telah mewarnai trace politik baru dalam Orde Baru, dan
mampu menggerakkan hatinya para Karyawan yang tergabung dalam Sek. Ber.
Golkar dan mereka itu berhasil memasukkan konsep pembangunan di bidang
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ke dalam TAP.IV/MPR/1973
disamping pembangunan di bidang agama. Di sini Nampak kesejajaran
kedudukan hukumnya antara Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dengan
17 Ruyandi, Bahan Sarasehan Program dan Kegiatan Direktorat Pembinaan
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Proyek Inventarisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Dit. PPK Ditjen Kebudayaan, Dep. P dan K.
18 Program Direktorat PPK 1983/1984 Seri Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa edisi 15, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Proyek Inventarisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 1983.
97
Agama. 19 Sementara itu, Munas Kepercayaan ke III yang diselenggarakan di
Tawangmangu Surakarta menghasilkan keputusan perubahan nama SKK menjadi
HPK (Himpunan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa).
HPK dibentuk sebagai pengganti wadah aspirasi organisasi aliran
kepercayaan sebelum-sebelumnya yang masih kurang efektif, yaitu: Sekretariat
Kerjasama Kepercayaan (SKK), Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI),
dan Badan Koordinator Karyawan Kebatinan, Kejiwaan, Kerohanian Indonesia
(BK5I).
Sarasehan Tingkat Nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa tanggal 25 s/d 27 November 1981 di Jakarta menghasilkan keputusan
salah satunya adalah menerima dan menyetujui tentang adanya Wadah Nasional
Tunggal bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yakni
Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK).
Persetujuan mengenai wadah tunggal bagi penghayat kepercayaan terlihat pada
laporan Direktur PPK/pemimpin proyek inventarisasi kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa sebagai berikut:
1. Telah dirintis oleh masyarakat penghayat sendiri dengan membentuk
Wadah Nasional sejak 1970 yang disebut SKK dan yang kini bernama
HPK, yang diharapkan dapat:
a. Menampung, memadu dan memperjuangkan aspirasi penghayat
kepercayaan, dan
19 Toeloes Koesoemaboedaja., Sejarah dan Perananan Himpunan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Semarang: DPD Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1982), hlm. 21.
98
2. Merumuskan, menyelenggarakan dan mengusahakan pemenuhan
kepentingan bersama.
3. Terdapat pada Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang merupakan tempat
penampungan kehendak rakyat untuk memberikan arah perjuangan Negara
dan Bangsa Indonesia, demi mewujudkan keadaan yang diinginkan dan
mungkin dicapai dalam jangka waktu lima tahun secara bertahap.20
Organisasi HPK menjadi wadah aspirasi, penggalian nilai budi luhur,
penyebaran, dan sekaligus kontrol dalam kehidupan penghayat. HPK ikut
membina penghayat agar dalam mengimplementasikan budi luhur dan budi
pekerti ke dalam pekerti sehari-hari sesuai dengan Dzat Kang Maha Suci. Selain
itu, HPK juga berperan mengkoordinasikan kegiatan, terutama dalam hal
menjembatani hubungan antara penghayat dengan pemerintah. 21 Pada periode
tahun 1979-1984, HPK masih dalam tahap pemantapan diri. Pada 1984-1989,
organisasi kebatinan ini mengawali kegiatannya, dengan menyelenggarakan
Munas Kepercayaan ke IV yang berlangsung tanggal 20-22 April 1989 di Cibubur,
Jakarta, dan berhasil membuat rumusan-rumusan, pernyataan, dan
20 Laporan Direktur PPK/ Pemimpin Proyek pada Sarasehan Tingkat
Nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tanggal 25 s/d 27 November 1981 di Jakarta. Seri Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa seri ke-11 mengenai Sarasehan Tingkat Nasional. Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 1982.
21 Suwardi, Budi Luhur dan Agamaisasi Penghayat Kepercayaan Kejawen Masa Kini”. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian, Hibah Penelitian untuk Mahasiswa Program Doktor tahun Anggaran 2009, (Yogyakarta:. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2009), hlm. 11.
99
penyempurnaan organisasi. Hasil Munas Kepercayaan ke IV tersebut berupa janji
(prasetya), bahwa penghayat tetap setia kepada Pancasila dan UUD.22
C. Kehidupan Paguyuban Sumarah Surakarta
tahun 1970-1998
Dalam kehidupan keorganisasian, Paguyuban Sumarah DPD tingkat II
Surakarta berkembang selaras dengan kondisi DPP Sumarah (pusat) yang pada
saat itu perkembangannya didasari oleh adanya dukungan politik masa Orde Baru,
hal itu terlihat dalam kebijakan yang tertuang dalam landasan hukum yang
menyangkut permasalahan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tokoh
besar Sumarah pesantrenyang mewakili Sumarah dalam percaturan politik kala itu
yaitu Arymurthy sebagai Dirjen pertama Binahayat dan Zahid Hussein sebagai
kepercayaan Presiden dalam mengoperasikan dana bantuan presiden (masing-
masing dari mereka pernah menjadi ketua HPK yang berarti secara tidak langsung
membawa ajaran Sumarah tidak hanya dalam pemerintahan namun juga dalam
organisasi persatuan para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
skala nasional).
Dengan adanya perkembangan secara organisasi dari pusat, terjadi
perkembangan organisasi di tingkat Daerah, Cabang, dan Ranting. Hal tersebut
terlihat dalam keputusan-keputusan dalam Rakernas Paguyuban Sumarah. Pada
22 Sejarah dan Peranan Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, hlm..18
100
periode DPP ke-III (1974-1978), terdapat adanya konsolidasi internal dalam
Paguyuban Sumarah, antara lain:
a. DPP ke-III dipilih oleh Kongres ke-7 pada tanggal 13-15 September
1974 di Surabaya. Sesuai ketentuan dalam AD/ART maka dalam masa
jabatan 4 tahun telah diadakan tiga kali konferensi DPP-Pleno, masing-
masing dalam tahun 1975 di Yogya, dalam tahun 1976 di Semarang
dan dalam, tahun 1977 di Denpasar.23
b. Lingkungan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tercatat 11 buah ialah:
DPD I Jakarta Raya, berkedudukan di Jakarta.
DPD II Jawa Barat, sementara bertingkat DPC di Bandung.
DPD III Jawa Tengah Utara, berkedudukan di Semarang.
DPD IV D.I. Yogyakarta, berkedudukan di Yogya.
DPD V Jawa Timur, berkedudukan di Surabaya.
DPD VI Jawa Timur, berkedudukan di Kediri.
DPD VII Jawa Timur, berkedudukan di Madiun.
DPD VIII Jawa Timur, berkedudukan di Ponorogo.
DPD IX Surakarta, berkedudukan di Sala.
DPD X Jawa Timur, berkedudukan di Nganjuk.
DPD XI Jawa Tengah Selatan, berkedudukan di Magelang.
c. Dalam konferensi DPP Pleno tanggal 24-25 Oktober 1975 diresmikan
penggunaan Pendapa Sumarah yang dibangun di tempat kediaman alm.
23 Tuntunan Sumarah selama 43 Tahun (8 September 1935/1978) dalam
Keputusan Kongres ke-VIII Paguyuban Sumarah tanggal 8-10 September 1978 di Pendopo Agung Sumarah, Wirabrajan Ng. 7/158 Yogyakarta, hlm. 5
101
R. Ng. Sukinohartono dengan ditandai surya sengkala Nata Kawruh
Sanggem Manunggal (1935). Pembangunan pendapa tersebut
dilaksanakan oleh Yayasan Sukino (Akte Notaris tanggal: 12
September 1972 No. 16) dan di tangani oleh warga-warga paguyuban
sendiri.
d. Melaksanakan penataran warga paguyuban untuk tiap DPD dalam
Jemaah bersama DPP demi menghayati bersama martabat siaga yang
dikelola oleh hukum purbawisesa dalam fase ke-IV. Sejak itu para
warga paguyuban dipersiapkan dalam fungsinya sebagai pamong
pribadi masing-masing, sedang para pamong hendaknya berorientasi
kepada fungsinya yang baru ialah sebagai pamong umum dan pamong
jaman. Tempat penyelenggaraan yang dipilihnya ialah Jakarta, Punten-
Malang, Semarang, Yogya, Madiun, Ponorogo, Nganjuk, Bandung,
dan Tegal.
e. Memperingati tanggal turunnya Tuntunan/ Wahyu Sumarah yang
pertama kalinya, bukan untuk mengkeramatkan tanggalnya, melainkan
untuk mengadakan kesempatan meneliti bersama bahwa perjalanan
Paguyuban Sumarah tidak menyimpang dari sumber tuntunan yang
melahirkannya, bahkan yang mestinya makin meningkat dalam
kemampuan untuk menerima hikmat kesuciannya. Telah disepakati
bersama bahwa peringatannya diadakan di Pendapa Agung ialah
Pendapa Sumarah, bukan untuk mengkeramatkan pendapanya,
melainkan untuk melestarikan lahirnya Sumarah di Bumi Indonesia.
102
f. Terus menghimpun wewarah-wewarah dan petunjuk-petunjuk
Sumarah, darimana dapat disusun bagian-bagian data bagi penulisan
Sejarah Paguyuban Sumarah, dan bukan informasi bagi umum.
Adapun wewarah dan petunjuk Sumarah tersebut bukanlah produk
produk pribadi melainkan menjabar dalam Jemaah kecil dan besar
secara langsung dan momental, tidak dikarang melainkan disuarakan
seketika di tengah Jemaah rutin, jemaah pertemuan konferensi dan
kongres terus dicatat atau direkam. Petugas yang menyuarakan
wewarah dan petunjuk itu disebut warono, sedang ciri kebenarannya
otentiknya dipersaksikan dalam iklim Jemaah itu sendiri yang
berlangsung dengan rahayu (khidmat dalam jiwa raga).24
Dengan adanya penguatan dalam intern organisasi Paguyuban
Sumarah, tidak hanya berdampak positif bagi Paguyuban Sumarah tingkat
pusat (DPP) namun di tingkat terkecil pun mendapatkan manfaat dengan
adanya konsolidasi tersebut. Hubungan antara pusat dengan daerah
menjadi lebih rapat dengan adanya agenda rutin kunjungan, temu
kekadangan, peringatan turunnya wahyu Sumarah, sehingga kehidupan
dalam menghayati Sumarah secara berjamaah ikatannya kian kuat.
24 Tuntunan Sumarah selama 43 Tahun (8 September 1935/1978) dalam
Keputusan Kongres ke-VIII Paguyuban Sumarah tanggal 8-10 September 1978 di Pendopo Agung Sumarah, Wirabrajan Ng. 7/158 Yogyakarta, hlm. 7
103
1. Penghayatan Paguyuban Sumarah Surakarta tahun 1970-1998
Sumarah merupakan ilmu pelengkap kekhusyukan dalam
menjalankan sembahyang keagamaan. Pada 1970-an di Surakarta
terdapat dua gaya tuntunan sujud yang masing-masing punya pengaruh
besar. Keduanya berporos pada pamong-pamong paling dinamis di
kota itu, yaitu Suwondo dan Sudarno Ong. Suwondo sudah diakui
sebagai pamong senior sejak awal 1970-an. Dia memiliki kedudukan
penting sebagai penuntun gerakan di Surakarta dan di cabang terpencil
di sekitarnya. Gaya tuntunan sujudnya lugas dan lebih menekankan
pada apa yang dipandang penting dalam terminologi dan nilai-nilai
Islam. Berbeda dengan Suwondo, Sudarno Ong yang aktif pada 1960-
an hingga wafatnya pada 1982 cenderung memakai filosofi Buddha
ketimbang Islam. Menjelang 1967, dia mengembangkan gaya tuntunan
sujud yang berbeda dan membuatnya lain dari pamong lainnnya. Dia
membimbing meditasi untuk Masyarakat Teosofi di Surakarta dan
sebagian besar komunitas Cina penganut Buddhisme Theravada di
Wihara Tanah Putih Semarang.25
Meskipun ada dua tokoh besar dalam Paguyuban Sumarah
Surakarta yaitu Sudarno Ong dan Suwondo, namun dalam intern
Paguyuban, anggota tidak terlalu mengenal Sudarno Ong dan berpusat
pada pola pengajaran Suwondo. Hal ini dikarenakan Sudarno Ong
mengembangkan sujud sendiri yang berada di luar papan Sumarah.
25 Paul Stange, Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah,
(Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 287.
104
Pada saat kepemimpinan Suwondo sebagai Pamong (Guru
Spiritual yang memimpin sujud Sumarah) terdapat perkembangan
kuantitas keanggotaan dan melebarkan pengajaran Sumarah hingga ke
luar negeri. Suwondo dikenal sebagai tangan kedua Suhardo yang
merupakan pinisepuh Paguyuban Sumarah.
Kualitas penghayatan cukup baik, hal ini dapat dibuktikan pada
saat pertemuan hari Kamis di pendopo Kratonan rumah Alm. Bp.
Suwondo banyak yang hadir dan tulus ikhlas mengikuti proses
penghayatan dari jam 13.00 s/d 16.00. Dalam proses penghayatan
setelah selesai meditasi diadakan Tanya jawab atau cocokan hasil
meditasi hal ini beragam menurut martabat kejiwaan masing individu
namun juga ada pertanyaan diluar meditasi misalnya kondisi pribadi
seharian yang kurang baik dan menghadapi problem harian disitu bisa
disampaikan.26
Pada waktu itu kuantitas menonjol sekali, tapi soal kualitas
sebetulnya tergantung pada masing-masing personal, ada mungkin
kualitas pada saat masuk Sumarah karena ada masalah kemudian
masuk, banyak yang begitu. Jadi yang berminat betul-betul kualitasnya
itu memang sedikit. Makanya Pak Wondo menyatakan “nek melu
Paguyuban Sumarah belajar ilmu Sumarah itu, yang terus bener yang
keluar juga bener. Lha yen keluar mergane yo entuke yo ngene terus.
Lha sing terus merasa ada perubahan dan diteruskan sampai sekarang
26 Wawancara dengan Pak Ripto tanggal 21 Desember 2015
105
lalu menjadi kualitas. Memang belajar ini nggak setaun dua tahun kok
10 tahun-20 tahun, ojo njaluk instan tidak bisa”. Hal itu yang
menyebabkan sampai saat ini yang berminat betul-betul sedikit
jumlahnya. Ilmu Sumarah ini terus berkembang tidak ada habisnya.
Selama kita diberi hidup, ini tugas kita mempelajari ini.27
Pola pengajaran sujud sumarah pada tahun 1970-1998 masih
sama dengan sistem pamong, sistem pamong ini prakteknya para
kadang sumarah datang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan
misal warga yang sudah dewasa martabatnya datang langsung patrap
sujud/meditasi mengikuti arahan pamong sedangkan warga yang baru
atau tingkat martabatnya masih muda biasanya pamong masih
mengikuti apa yang diinginkan dan pamong cenderung membiarkan
mereka ikut suasana nyaman dulu ini berlangsung lama bahkan
tahunan, sebagai ilustrasi saja ada warga yang ikut latihan
sujud/meditasi karena suasananya nyaman dan enak sampai tertidur,
dalam kondisi tertidur ini pamong membiarkan dan menunggui sampai
bangun, ada yang sampai jam 02.00 itu sudah biasa.28
Dari data diatas dapat diperoleh informasi bahwa memasuki era
kepamongan Suwondo merupakan era dimana Paguyuban Sumarah
Surakarta mampu mempertahankan pola pengajaran pamong
pendahulunya, kualitas sujud dinilai cukup baik meskipun kembali lagi
27 Wawancara dengan Pak Saryanto tanggal 19 Desember 201528 Wawancara dengan Pak Ripto tanggal 21 Desember 2015
106
pada tiap individu masing-masing. Sehingga pada tahun 1970 hingga
1998 atas sumbangan pengajaran dan pemikiran Suwondo, Paguyuban
Sumarah Surakarta mampu menjaga kemurnian ajaran dan
menciptakan suasana yang harmonis dan diantara anggota-anggota di
Paguyuban Sumarah Surakarta sendiri maupun dengan cabang-cabang
di eks-Karesidenan Surakarta.
a. Faktor Pendorong Menjadi Anggota Sumarah
Banyak faktor yang membuat seseorang tertarik untuk ikut dan
mendalami suatu gerakan/ organisasi kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Para Penghayat (sebutan dari orang yang mendalami
praktik kebatinan/ kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa)
kebanyakan sudah memiliki pengalaman bersinggungan dengan dunia
mistik sebelumnya diantaranya dengan ikut mencoba penghayatan di
aliran kebatinan satu ke yang lain sampai menemukan yang cocok pola
pengajarannya ataupun pengalaman ikut orang tua/ saudara yang
menghayati suatu aliran kepercayaan tertentu.
Salah satu anggota Paguyuban Sumarah Surakarta Dian Sakti
Kusumo mengemukakan bahwa alasan yang melatarbelakangi dirinya
untuk masuk mempelajari ilmu Sumarah adalah karena garis keturunan
dimana sesepuh dulu sudah meyakini ilmu Sumarah dimana bisa
membawa kelanggengan hidup dan setelah hidup. Paguyuban Sumarah
tidak mempelajari mistik kejawen dan bukan suatu agama atau
keyakinan bahkan kepercayaan. Ilmu Sumarah adalah sistem
107
kesadaran umat untuk selalu mawas diri di setiap waktu detik
kehidupan kita. Intinya kalau agama hanya sebatas pelajaran Syarekat,
kalau Sumarah sudah menuju hakekat bahkan bisa sampai makrifat.29
Sementara itu menurut pemaparan dari Ketua Umum
Paguyuban Sumarah Surakarta bahwa yang melatarbelakangi ikut
latihan Sumarah banyak faktor diantaranya masalah fisik (sakit)
seperti yang dialami oleh Pak Agus T. H. , persoalan rumah tangga
seperti Pak Saryanto Waluyo Kusumo, pekerjaan, kanuragan dan
sebagainya yang belum mendapatkan solusi, namun apabila sudah
mendapatkan solusi biasanya hanya berhenti disitu yang seharusnya
masih berlanjut dan ini juga tergantung dari tingkat martabatnya, maka
di Sumarah tidak ada ikatan apapun jadi yang terus boleh dan keluar
dari Sumarah juga dipersilahkan, mau masuk lagi juga
diperkenankan. 30 Di sisi lain ada pula anggota yang mengikuti
Paguyuban Sumarah dikarenakan keingintahuan serta untuk
mendalami ajaran agama masing-masing seperti yang dilakukan oleh
Ibu Nunun Tri Widarwati, Pak Sugiyono, Pak Ripto, dan Pak Suparno
R. L.
29 Wawancara dengan Dian Sakti Kusumo tanggal 3 Februari 201630 Wawancara dengan Pak Ripto tanggal 3 Februari 2016
108
b. Pengaruh Penghayatan Sumarah terhadap Kehidupan
Anggota
Di dalam suatu Paguyuban utamanya dalam Paguyuban aliran
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang menjadi patokan
dalam menilai eksistensinya adalah suasana harmonis, keterikatan
secara bersama-sama menyatukan visi misi yang dilakukan dengan
konsekuen, serta pengalaman masing-masing anggota yang mengarah
pada meningkatnya martabat secara spiritual.
Pada Paguyuban Sumarah Surakarta, anggota yang aktif secara
rutin mengikuti pertemuan sujud berjamaah rata-rata merupakan
anggota lama yang kebanyakan bergabung dari tahun 1970-1984,
sehingga secara pengalaman spiritual dan perbedaan yang dirasakan
setelah mengikuti penghayatan Sumarah dapat terlihat. Setiap anggota
memiliki pengalaman tersendiri hingga kemudian merasa cocok
dengan penghayatan Sumarah.
Seperti pengalaman yang diceritakan oleh salah satu anggota
berikut ini, beliau (Sukasno) mengembangkan Sumarah memakai
sepeda motor di daerah Pancingsari, Jatisrono, Wonogiri. Disana tidak
ada yang berani karena disana banyak orang-orang Jawa Timur
sebangsa Warok. Beliau masuk Sumarah sejak tahun 1957. Ketika
Sukasno dinas di AURI, teman-temannya tidak senang dengan beliau
sehingga secara realitas kepangkatannya tidak lancar. Namun setelah
beliau menilik ulang ke depan berdasarkan kenyataan yang terjadi
109
bahwa Tuhan memberikan apa yang ia butuhkan, menyadari hal itu
dengan ditambah proses praktek Sumarah dirinya mengaku hidupnya
senantiasa penuh ketenangan. Sumarah itu bukan pendidikan, bukan
rasional tapi ada hati nurani dan kesadaran. Kesadaran itu berhubungan
dengan Tuhan, sehingga dengan kesadaran tersebut Sumarah bukanlah
filsafat namun merupakan spiritual Ketuhanan.”31
Di sisi lain, pengalaman yang berbeda dirasakan oleh Saryanto.
Beliau masuk Sumarah setelah dikenalkan oleh Suwondo.
Permasalahan keluarga yang ada dapat diatasi setelah beliau
menjalankan perilaku penghayatan Sumarah, dengan mawas diri dan
menekan ego beliau dapat menciptakan suasana yang harmonis.
Dengan mengikuti penghayatan Sumarah, anggota yang masih
aktif dalam Paguyuban Sumarah menyatakan banyak sekali manfaat
yang dirasakan selama mempelajari ilmu Sumarah. Diantaranya bisa
merasakan lebih dekat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ibadah
menjadi lebih khusyuk, merasa teduh, tentram, tenang dalam batiniah,
dan kalau menghadapi situasi apapun bisa nggelemi (bisa menerima).32
Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa setelah mendalami ilmu
Sumarah kemudian merasakan hidup ini indah. Mendekat kepada
Allah itu indah, bahkan berbicara tentang spiritualitas itu lebih nikmat
daripada membicarakan tentang duniawi. Kalau dalam pekerjaan/
kehidupan sehari-hari beliau dalam melayani mahasiswa bisa
31 Wawancara dengan Pak Sukasno Pratipto Nagoro tanggal 24 Juni 201532 Wawancara dengan Nunun Tri Widarwati tanggal 28 Januari 2016
110
memposisikan diri harus bagaimana bersikap, di lingkungan pekerjaan
dan di rumah ingin menjadi orang yang lumrah.
Sementara itu, berdasarkan pengalaman Ripto mengenai
pengalaman pribadi beliau mula-mula mencoba mengikuti pertemuan
Sumarah tiap Rabu malam dan Kamis siang. Pada waktu permulaan
tidak tahu apa yang didiskusikan dalam pertemuan tersebut, dan ini
berlangsung sampai 3-4 tahunan namun tetap hadir dalam pertemuan
tersebut. Sampai suatu saat ada pengalaman spiritual yang kemudian
dimintakan cocokan dan saran pada pamong saat itu yaitu Bapak
Suwondo. Disitu dijelaskan ternyata pada waktu mulai ikut sampai 3-4
tahun itu ada rekaman di dalam batin beliau dan baru terasa, mengerti
dan melihat kasunyatan belakangan sampai sekarang perbedaan yang
terjadi pada diri beliau antara sebelum dan sesudahnya sangat banyak
dan intinya saya mengerti keseimbangan lahir dan batin tidak hanya
sekedar ngerti saja tetapi sampai sadar betul jasmani dan rokhaninya.33
Dalam kenyataan sehari-hari misalnya dalam pekerjaan dengan
kesadaran yang lengkap lahir dan batin, beliau tidak takut menghadapi
kehidupan dan keseharian ini, karena ada keyakinan kalau
melaksanakan tugas bekerja maupun apa saja niatnya jujur dan nanti
Tuhan akan memberikan juga yang terbaik, jadi kalau dulu ada
ketakutan misalnya mau menghadap pejabat, atau menghadapi teman
33 Wawancara dengan Ripto tanggal 3 Februari 2016
111
bisnis, sekarang sikapnya batin semelah tapi tegas karena bekalnya
jujur.
Dengan mempelajari ilmu Sumarah, anggota bisa memberikan
iklim karahayon, kepada diri pribadi, keluarga, masyarakat di
sekitarnya, dan meluasnya berfungsi nyata dalam negara dan bangsa,
ekonomi pekerjaan, sosial masyarakat semua tertata, lebih sabar, lebih
menguasai iklim/ kondisi dalam kehidupan. 34 Sejalan dengan
pengalaman pribadi Pak Suparno R. L dengan keikutsertaannya
mendalami ilmu Sumarah, beliau merasakan ada suatu ketentraman
jiwa, batin dari sedikit mulai bisa mengatur. Awalnya saya dulu mudah
marah, kemudian sekarang ini mulai memahami kalau seperti itu tidak
baik. Bisa mengendalikan diri, bisa menerima kenyataandan selalu
bersyukur terhadap apapun yang di alami. Jadi berusaha untuk tidak
kecewa terhadap apa yang dialami.35
Perbedaan yang menonjol terlihat dari sikap dan bertutur kata
para penghayat dengan masyarakat awam pada umumnya. Seperti yang
terlihat dari anggota Paguyuban Sumarah Surakarta dalam
menyeimbangkan dan penataan kehidupan, bagaimana cara mereka
harus bertingkah laku dan bertutur kata sebisa mungkin harus
mencerminkan perilaku penghayat yang mentaati poin di dalam
Sesanggeman. Apabila anggota Sumarah sanggup mentaati
Sesanggeman dan mempraktekkannya dalam perilaku sehari-hari maka
34 Wawancara dengan Dian Sakti Kusumo tanggal 3 Februari 201635 Wawancara dengan Suparno R. L tanggal 28 Februari 2016
112
tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi tetapi juga lingkungan sekitar
akan merasakan iklim karahayon yang terpancar dalam diri anggota.
2. Keanggotaan dan Organisasi Paguyuban Sumarah Surakarta
tahun 1970-1998
a. Kuantitas Anggota
Pada tahun 1970-an anggota Paguyuban Sumarah
Surakarta merupakan anggota yang sebelumnya ada dalam
kepengurusan Soetadi dan Soehardo yang masih mengikuti
praktek penghayatan di Paguyuban tersebut dan tergabung
kembali ke jajaran pengurus maupun keanggotaan setelahnya
yaitu pada masa Kepamongan Soewondo. Pada saat Soewondo
mulai menjadi Pamong di Paguyuban Sumarah Surakarta,
banyak yang kemudian masuk untuk menjadi anggota rata-rata
oleh kharisma tokoh Soewondo yang dikenal ramah dan tulus
melayani 24 jam dalam memberikan bantuan penyelesaian
permasalahan kehidupan dan dalam mengenalkan apa itu
Sumarah pada orang awam.
Kuantitas anggota sumarah pada tahun 1985 yang saya
ketahui se-ex Karesidenan Surakarta kurang lebih 1.500 orang
dari jumlah itu rata rata usianya antara 35 tahun s/d 80 tahun
dan biasanya ini pengikut dari pamong pamong pendahulu.36
36 Wawancara dengan Pak Ripto tanggal 21 Desember 2015
113
Meskipun terjadi peningkatan kuantitas anggota
terhitung sejak kepamongan Suwondo pada tahun 1970-an
hingga akhir tahun 1980-an, namun penurunan anggota
memang terjadi salah satunya dikarenakan pamor organisasi
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
menurun akibat peran pemerintah Orde Baru yang kembali
condong kepada kaum Muslimin, tapi disumarah tidak menjadi
soal karena pamong Bp Suwondo pun pernah ngendiko yang
masuk sumarah itu ya betul dan yang keluar dari sumarah pun
juga betul karena disini ukurannya kebutuhan jiwa. 37 Di
Paguyuban Sumarah Surakarta lebih mengutamakan segi
kualitas individu dibandingkan kuantitas banyaknya anggota
yang bergabung.
Beberapa faktor apa yang menjadikan kurangnya minat
untuk mempelajari/ mendalami penghayatan/ masuk menjadi
anggota Paguyuban Sumarah terutama kaum muda adalah
kebanyakan kaum muda ini mencari yang instan, cepat-cepat
bisa, inilah yang membuat susah dalam mempelajari ilmu
Sumarah, perlu laku yang sangat utama, benar-benar, dituntut
kesadaran setiap detik setiap waktunya. Kalau agama mudah
dipelajari tetapi Sumarah memakai laku sendiri yaitu berbuat
baik dan utama. Semua yang tertulis dalam buku ayat maupun
37 Wawancara dengan Pak Ripto tanggal 21 Desember 2015
114
firman Tuhan kita amalkan yakini setiap harinya, bukan
sebagai aksesoris saja.38
Upaya regenerasi agak sulit karena untuk menjadi
anggota Sumarah, seseorang harus berupaya menerima
kenyataan yang ada. Tidak setiap orang bisa. Kebanyakan
protes, dalam bentuk kata-kata mengiyakan tapi dalam batin/
hati tidak bisa menerima. Padahal kalau kita benar-benar sudah
yakin, sesuatu yang mengatur segalanya adalah Allah, nantinya
kita tidak bisa apa-apa. Pada intinya dengan sikap pasrah total
akan kehendak Tuhan (Sumarah ing Allah) maka manusia akan
menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati dalam hidup.39
b. Agenda Rutin Paguyuban Sumarah Surakarta
Penentuan kegiatan sumarah ditentukan didalam AD
ART sedangkan pelaksanaanya melalui Rakernas Paguyuban
Sumarah, kemudian DPD dan DPC menyesuaikan pelaksanaan
Rakernas Rakerda dan Rakercab ketentuannya satu tahun
sekali, sedangkan pertemuan ataupun kegiatan dimasing
masing daerah memutuskan sendiri berdasarkan rapat kerja.
Tempat pertemuan sujud berbeda dengan masa
sebelumnya yang dulunya berada di rumah Pak Soetadi
38 Wawancara dengan Dian Sakti Kusumo tanggal 3 Februari 201639 Wawancara dengan Suparno R. L tanggal 28 Januari 2016
115
(pinisepuh Paguyuban Sumarah) dan rumah Pamong Sumarah
di Surakarta pada masa Pak Soetadi dan Pak Soehardo masih
mengajarkan Sumarah. Pada tahun 1970 sejak Suwondo
menjadi Pamong, pertemuan seperti latihan sujud secara rutin
hari Kamis dilakukan di rumah beliau yang juga berfungsi
sebagai tempat pertemuan antar Daerah dan Cabang untuk
wilayah Surakarta tepatnya di Kratonan Jl. Madukoro no. 2.
Dulu sekitar tahun 1980 latihan sujud dan pertemuan
ada di Manahan dekat Kraton karena ada pengurusnya tinggal
disitu, tapi setelah Pak Wondo meninggal pengurus tersebut
sudah tidak aktif. Tempat pertemuan lainnya di rumah Pak
Saryanto dan rumahnya Dian. Jadi seminggu itu hampir ada
terus. Yang tidak ada cuma sabtu. Senin malam tempatnya
Dian, selasa malam (khusus pengurus) dan yang martabatnya
sudah sama disamping latihan itu klita juga secara
kepengurusan. Rabunya di Kratonan, Kamis Kratonan, Jumat
dan Minggu di Kerten.40
Selain pertemuan pada hari kamis Alm. Bapak
Suwondo pada bulan ganjil minggu pertama keliling
mendatangi tempat tempat latihan diantaranya di Selogiri di
Rumah Bapak Tirtodinomo dan Bapak Dwijo jam 08.00 s/d
jam 11.00 kemudian dilanjutkan ke Puron Kecamatan
40 Wawancara dengan Pak Saryanto tanggal 19 Desember 2015
116
Tawangsari Rumah Bapak Harjo jam 12.00 s/d jam 14.00
terakhir di daerah Klaten di rumah Bapak Cipto sampai jam
16.00 yang sampai saat ini tradisi keliling masih dilanjutkan
oleh pengurus sampai sekarang.
Pada saat Pamongnya Pak Wondo, Kemisan penuh.
Orang-orang dari DPC (Perwakilan Cabang) dari Sukoharjo,
dari Wonogiri, Klaten, Sragen, Karanganyar kalau Kamis siang
itu khusus dari mereka-mereka. Latihan sujud dan acara di
Paguyuban Sumarah Surakarta ramai, yang ikut sujud cukup
banyak, sampai Pak Wondo meninggal hari Rabu Desember
1999, dua hari sebelum tahun 2000. 41
Gambar. 2Suasana sujud Sumarah tahun 1970-an di Kratonan rumah Pak Suwondo
Sumber: Koleksi Paguyuban Sumarah Surakarta
41 Wawancara dengan Pak Saryanto tanggal 19 Desember 2015
117
3. Konsolidasi Eksternal Paguyuban Sumarah Surakarta
Selain adanya penyatuan dalam intern Paguyuban, terjadi pula
konsolidasi eksternal di Paguyuban Sumarah baik di tingkat pusat
hingga tingkat terbawah. Konsolodasi eksternal disini diartikan sebagai
penyatuan hubungan, kerjasama dengan pemerintah maupun hal-hal di
luar organisasi dan paguyuban Sumarah. Konsolidasi ini terjadi pada
tataran hubungannya dengan pemerintah, hubungan dengan sesama
penghayat kepercayaan yang tercermin pada wadah penyalur aspirasi
nasional SKK/ HPK, serta dengan keterlibatan Warga Negara Asing
dalam prosesnya memasuki Sumarah melalui Paguyuban Sumarah
Surakarta.
a. Hubungan dengan Pemerintah
Hubungan Paguyuban Sumarah dengan pemerintahan
Soeharto sangat erat dengan keterlibatan tokoh besar Sumarah
seperti Arymurthy dan Zahid Hussein. DPP Paguyuban Sumarah
selalu erat dengan Pemerintah Pusat dan menjadi pendukung kuat
dengan adanya keterlibatan pada sekber Golkar dan manjadi salah
satu kunci dalam mempertahankan pemerintahan Soeharto pada
waktu itu. Zaman Orde Baru, Pak Zahid itu dekat sekali dengan
Pak Harto, waktu itu menjadi Kepala Biro Bantuan Presiden
(Banpres) bertugas mengendalikan dana yang disalurkan ke
pesantren-pesantren. Pak Zahid berjasa dalam Serangan Umum
118
Sebelas Maret dan diangkat menjadi Kolonel Zahid Hussein.
Sementara Pak Arymurthy dulunya saat menjadi ketua HPK
mengusulkan adanya bimbingan para penghayat sehingga muncul
Dirjen Binahayat yang pada waktu itu Pak Arymurthy menjadi
Ketua pertamanya.42
Kepercayaan Pemerintah untuk mengisi siaran TV bidang
Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, merupakan bukti
bahwa suara Sumarah, Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat
dikenal oleh rakyat Indonesia dari Aceh sampai Timor Timur.
Bahkan sebagian rakyat Malaysia dan Singapura ada juga yang ikut
memonitor (mendengarkan), demikian wakil-wakil negara asing
yang berada di Indonesia., mencatat dan memperhatikan bahwa di
Indonesia diberi tempat, dan bahkan dihayati masalah Kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.43
Keterlibatan politik dan dukungan Paguyuban Sumarah
terhadap Golkar (pemerintah) terlihat pada statement Ketua DPP
Paguyuban Sumarah Periode 1987 s/d 1992 berikut ini, “…Orang
Sumarah itu ikut siapa ya?, ikut Golkar kok melu politik, ikut PDI
apalagi, ikut P3 itu membawa teklek, padahal tidak punya teklek.
Jadi begini, ini saya kutipkan kembali Pak Kino Tahun 1968,
waktu itu masih ada Sekbergolkar. Nah Pak Ary, Pak Puguh ini
42 Wawancara Pak Sugiyono tanggal 27 Februari 201543 Arsip Paguyuban Sumarah tahun 1992 koleksi Paguyuban Sumarah
cabang Wonogiri tentang Laporan Pertanggungjawaban Ketua DPP Paguyuban Sumarah Periode 1987 s/d 1992.
119
sudah merintis ada di BK5I, saya juga tahu Pak Ary masih sedikit
takut, sebab masih jinja jaman (Org. Orla)…dan Pak Kino bilang:
kalau Masyumi mesti tidak mau menerima Pancasila, Panca Sila
mesti dikurangi atau ditambahi (Organisasinya Pak Hartono pada
saat itu Front Nasional namanya). Kalau PNI itu betul kaum
Nasionalis tapi sudah kemasukan PKI, padahal PKI atau Komunis
itu, jahat, yang tidak sepaham ditindak. Masih aji (berharga) ayam
enak ikannya. Lah kalau orang dipitesi saja… Orang yang dipites
pasti mati. Nah kalau Sekbergolkar ini mestinya bisa diandalkan
mempertahankan Pancasila, nilainya disana. Jadi Sekbergolkar,
Pak Kino sendiri mengatakan: Masih bisa diandalkan
mempertahankan kemurnian Pancasila, itu ungkapan Pak Kino
tahun 1968. Sekarang tahun 1986/ 1987, jadi saya kira kalau saya
ceritakan ini masih relevan masih ada kaitannya, jadi dalam
perjuangan dunia lahiriyah, saya kira bagi warga Paguyuban
Sumarah tidak keliru kalau berada pada Golkar, tetap menegakkan
kemenangan Orde Baru, yang dalam hal ini Golongan Karya. 44
Dengan keterlibatan Paguyuban Sumarah dengan
pemerintah yaitu melalui Sek. Ber. Golkar yang dipelopori oleh
tokoh DPP yang juga aktif dalam tataran politik Orde Baru,
memberikan kontribusi tidak hanya di tingkat pusat namun juga
44 Sambutan/Pengarahan DPP Paguyuban Sumarah Pada Acara Pertemuan
Antar DPD-DPD Paguyuban Sumarah Se-Jawa Timur tanggal 6 Desember 1986 oleh Bapak Zahid Hussein. Bulletin Sumarah no.22/ Th. 5-17 Agustus 1987.
120
sampai ke wilayah terkecil dengan adanya dukungan politik Orde
Baru sehingga kehidupan berorganisasi, berkumpulnya anggota
Paguyuban Sumarah didukung sepenuhnya dan mengalami
perkembangan dari segi kegiatannya, kualitas serta kuantitas
anggotanya, tak luput pula kematangan organisasi dan
penghayatannya. Sementara itu, pemerintah diuntungkan dengan
adanya dukungan politik dari sektor kaum penghayat yang
terwadahi dalam HPK bersama dengan pemerintah menjalin
kerjasama dalam mempertahankan kedudukan Orde Baru dan
bergabung dalam Sek. Ber. Golkar.
b. Hubungan dengan Sekretariat Kerjasama Kepercayaan
(SKK) dan Himpunan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (HPK)
Tugas Paguyuban Sumarah adalah agar Ketuhanan Yang
Maha Esa dapat dipahami oleh seluruh Bangsa Indonesia. Karena
itu tiada jalan lain kecuali bahwa warga Paguyuban Sumarah
merasa wajib aktif dalam SKK.45 Hingga 1966 Sumarah nyaris
tidak pernah menjalin hubungan dengan gerakan kebatinan lain.
Setelah SKK dibentuk pada 1971, Sumarah mulai merespon secara
positif dengan dukungan komitmen Arymurthy. Sejak saat itulah,
45 Lampiran Keputusan Kongres ke VIII Paguyuban Sumarah dalam
Bidang Umum, poin VI, hlm. 15.
121
Sumarah secara resmi berafiliasi dan aktif di dalam organisasi
payung kebatinan itu.46
Di tingkat nasional, perwakilan Sumarah dalam
kepengurusan SKK sedemikian kuat sehingga memberi kesan
adanya dominasi dan ketimpangan. Dinamika yang terjadi dalam
SKK langsung memberi sumbangan berarti bagi berubahnya status
kebatinan pada 1970-an. Kemajuan itu ditandai dengan
disyahkannya UU tahun 1973 yang melegalkan keanggotaan
kebatinan. Dengan kata lain, mereka tidak perlu lagi
mencantumkan salah satu agama dalam kartu identitas mereka.
Kemudian pada 1978, DPR menyetujui pembentukan sebuah
direktorat yang bertanggung jawab mengurusi gerakan kebatinan di
bawah otoritas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Secara
teknis, keputusan itu membebaskan aliran kebatinan dari
cengkraman Kementerian Agama yang didominasi orang Islam.
Pada 1979, Arymurthy menjadi Dirjen pertamanya.47
Jika di Yogyakarta Sumarah sudah aktif di SKK sejak
pertama, di Surakarta mereka baru aktif pada akhir 1970-an.
Arymurthy dan Zahid Hussein adalah tokoh yang sering tampil di
TVRI, menguraikan arti penting dimensi spiritual kepada
masyarakat. Keduanya juga kerap diundang untuk memimpin
46 Paul Stange., op. cit., hlm. 247.47 Ibid., hlm. 248-249.
122
meditasi bersama dalam pertemuan yang digelar SKK.48 Seperti
pada SKK, dalam perkembanganya menjadi HPK, Arymurthy dan
Zahid Hussein perannya kian aktif terutama dengan adanya
dukungan politik dari pemerintah yang semakin kuat. Secara tidak
langsung dengan adanya keterlibatan aktif dan peran penting tokoh
Sumarah tersebut membawa Paguyuban Sumarah ke tataran politik
yang lebih tinggi dan diakui oleh organisasi aliran kepercayaan
lainnya. Sementara pada tingkat yang semakin kecil seperti daerah,
cabang, dan ranting, warga Paguyuban Sumarah terjamin dalam
penghayatannya serta dari segi kuantitas dan kualitas progressnya
sangat baik.
c. Hubungan dengan Warga Negara Asing
Paul Stange dalam bukunya yang berjudul “Kejawen
Modern” secara tidak langsung menceritakan bagaimana
pengalamannya sebagai orang Luar Negeri pertama yang masuk
dalam kehidupan penghayatan Sumarah. Jadi selain mengobservasi
apapun yang berurusan dengan Paguyuban Sumarah dari proses
terbentuknya, dia sekaligus menjadi saksi sejarah karena
keterlibatannya dalam proses arus kedatangan para Warga Negara
Asing dalam menghayati ilmu Sumarah yang membawa perubahan
48 Ibid., hlm. 249.
123
bagi Paguyuban Sumarah Surakarta yang membedakannya dengan
cabang-cabang lainnya.
Dalam banyak hal, latihan Sumarah di Surakarta
melanjutkan pola yang sudah ditinggalkan oleh cabang lain. Model
nyemak atau tuntunan spiritual satu per satu masih dijalankan oleh
pamong Surakarta, bahkan latihan kanoman juga masih sering
diamalkan.49 Hal ini pula yang menjadi salah satu penarik minat
orang Barat untuk memulai mempelajari Sumarah karena kurang
modern-nya sehingga tingkat penghayatannya masih lebih murni.
Selain karena pola yang cenderung lebih tertinggal, dari segi
organisasi, Paguyuban Sumarah Surakarta juga dilihat dari sejarah
perkembangannya sempat memisahkan diri dari arahan Pengurus
Besar tahun 1950 hingga 1966 dan lebih fokus pada persujudannya.
Sehingga dari segi organisasi, di daerah ini baru memulai
mengorganisir kepengurusannya saat periode DPP tahun 1966.
Walaupun daya Tarik Surakarta masih menjadi misteri bagi
kalangan Sumarah lain, agaknya tidak demikian di mata para
pelancong dan manca Negara. Kurangnya penekanan pada
organisasi, justru membuat kelompok ini menjadi terbuka karena
tidak ada bermacam formalitas seperti diterapkan cabang lainnya.
49 Ibid., hlm. 254.
124
Pada masa itu, orang Barat selalu menaruh perhatian terhadap gaya
tuntunan sujud langsung yang dipraktikkan pamong Surakarta.50
Proses pengenalan orang Barat dengan Sumarah terlihat
pada pemaparan Paul Stange, “Bukti nyata (jadi bukan cuma
“pandangan saya”) adalah bahwa hampir seketika orang Barat lain
mulai mengikuti. Bukan satu dua, melainkan ratusan di dalam
dasawarsa 1970-an, dan diantaranya puluhan yang secara khusyuk
mengikuti latihan di Solo selama beberapa bulan atau malah
bertahun-tahun. Di dalam periode itu, hampir semuanya baru
mengenal Sumarah di kota Surakarta saja, walaupun mulai 1973
perkembangan itu mulai diketahui organisasi, sampai pada waktu
berangkat ke luar negeri yang telah agak lama di Surakarta diajak
mampir berkenalan dengan Arymurthy, demi persaksian51sujud. Di
samping itu, pada awal tahun 1974, saya pernah mengantar satu
rombongan (sekitar 15 orang) untuk berkenalan dengan kalangan
Sumarah luas, ke Ponorogo). Selama tahun-tahun 1970-an hampir
semua mereka belum mampu berbahasa Indonesia. Setiap kali ada
latihan di Surakarta, yang paling banyak dilayani Pak Darno Ong
dan Pak Wondo, terpaksa ada penerjemah. Di waktu saya ada di
Surakarta (1971-1974) dan di dalam kunjungan singkat hampir
setiap tahun, dan untuk enam bulan tahun 1991, saya biasanya
50 Ibid., hlm. 26051 Ibid., hlm. 268.
125
menjadi juru bahasa. 52 Mereka tidak terikat organisasi, mereka
bukan warga Paguyuban Sumarah. Kepada mereka diberikan suatu
“certificate of acknowledgement” sebagai tanda bahwa mereka
pernah kontak dengan DPP. Paguyuban Sumarah yang
memberikan kesaksian atas dirinya dalam kondisi sujud dalam
tingkat awal mereka sebut “relaxed meditation”. Mereka dapat
berkorespondensi sekembalinya di negaranya sendiri bila dianggap
perlu dan secara bebas.53
Pak Wondo pengalamannya bisa dibawa ke luar negeri.
Pada awalnya banyak orang asing yang ke Kratonan, dari Australia
yang paling banyak. Pada suatu ketika orang Australia kesini
biasanya 8 orang atau 10 orang selama berapa minggu atau satu
minggu, lama-lama punya inisiatif daripada 8 kesini lebih baik 1
yang kesana. Pak Wondo meskipun begitu juga stress karena
pertama bahasa Inggrisnya kurang. Setelah itu makin banyak
orang-orang asing yang kesini (Paguyuban Sumarah Surakarta)
dari dari negara-negara Eropa lainnya seperti Italia, Australia, dan
Jerman54
52 Ibid., hlm. 269.53 Tuntunan Sumarah selama 43 Tahun (8 September 1935/1978) dalam
Keputusan Kongres ke-VIII Paguyuban Sumarah tanggal 8-10 September 1978 di Pendopo Agung Sumarah, Wirabrajan Ng. 7/158 Yogyakarta, hlm.8
54 Wawancara dengan Pak Saryanto tanggal 19 Desember 2015
126
Gambar. 3Bapak Suwondo dan Paul Stange (Peneliti dan Warga Nagara Asing pertama yang
ikut mendalami Sumarah)Sumber: Koleksi Paguyuban Sumarah Surakarta
Dalam tahun-tahun 1990-an ada perkembangan dan
kemajuan praktik luar negeri melalui Laura Romano. Dia mulai
mengikuti latihan di Surakarta sekitar 1975 dan saat itu menetap di
Solo, mula-mula sebagai seniman dan merangkap sebagai ilmuwan
(tesisnya juga mengenai Sumarah untuk universitasnya di Itali).
Pada penghujung tahun 1980-an, dia mulai menonjol sebagai
penerjemah, khususnya di dalam pertemuan yang dipamongi
Suwondo Hardosaputro.55 Kemudian, dia mulai menyelenggarakan
workshop demi latihan Sumarah sekeliling Eropa. Jadi, tahun yang
lalu ada jaringan yang lebih mantap lewat para penghayat luar
negeri.
55 Paul Stange, op. cit., hlm. 266.
127
“Banyak Warga Negara Asing yang tertarik dengan
Sumarah khususnya pada tahun 70-80an. Tahun 80-90an lumayan
banyak tapi tidak terlalu banyak. Lalu mulai berkurang. Itu
mengenai orang asing yang disini. Kalau orang asing yang disana
itu banyak. Karena sejak 20 tahun sejak tahun 95, Laura,
katakanlah membawa ilmu Sumarah ini ke Eropa dengan
mengadakan workshop-workshop, website yang disana ada event
mengenai workshop-workshop yang ia adakan di Itali, di Jerman,
dimana-mana. Lalu ada orang Barat yang ketemu dengan ilmu
Sumarah mungkin cara yang Laura bawa mungkin sedikit berbeda,
karena disesuaikan dengan budaya disana. Nah itu berkembang di
Eropa mungkin ada kira-kira 500-an orang lah. Sementara di
Indonesia dulu tahun 75 itu Paguyuban Sumarah anggotanya
10.000, kalau sekarang mungkin tinggal 2.500. Karena anak-anak
muda, generasi muda tidak terlalu tertarik. Sehingga orang-orang
tua meninggal dan tidak ada penggantinya.56
Ketertarikan Laura Romano pada Sumarah pada waktu
tahun 1975 karena bertemu seseorang yang namanya Pak Suwondo.
Pada waktu itu beliau dengan rombongan teater, Laura dan teman-
temannya yang berkewarganegaraan asing melakukan latihan teater
dan koreografernya yang berasal dari Indonesia itu kemudian
memanggil Pak Suwondo untuk memberi semacam latihan
56 Wawancara dengan Laura Romano tanggal 20 Juni 2015
128
relaksasi. Laura tertarik dengan sistem Pak Wondo ini dalam
menjalankan relaksasi sehingga pada akhirnya bertanya pada
koreografernya mengenai orang ini. Dia tidak pernah
membicarakan tentang meditasi, Pak Wondo berkata itu semacam
meditasi tradisi Jawa. Lalu hari rabu berikutnya Laura datang dan
terpesona dengan beliau, dengan cara dia menerangkannya, dengan
juga wataknya yang menyenangkan.”57
Gambar. 4Foto Warga Negara Asing yang ikut pertemuan latihan sujud Sumarah berjamaah
di rumah Pak Suwondo di Kratonan SurakartaSumber: Koleksi Paguyuban Sumarah Surakarta
Dengan banyaknya minat dari orang Asing yang ingin
mendalami Sumarah, pada awalnya seringkali terjadi
ketidakcocokan atau kesalahpahaman yang diakibatkan oleh
57 Wawancara dengan Laura Romano tanggal 20 Juni 2015
129
perbedaan budaya serta perbedaan martabat (tingkat spiritualitas)
dari para WNA dengan anggota yang sudah mengikuti laku
Sumarah. Dengan berjalannya waktu dan niat yang sungguh-
sungguh dalam mempelajari ilmu Sumarah, mereka dapat berbaur
bersama-sama dalam sujud dan memahami apa yang sebenarnya
tujuan dari praktik Sumarah itu sendiri bukan hanya sekedar rasio
namun juga penghayatan secara spiritual (batin).
Recommended