View
221
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB IV
PENDANGAN ISLAM TERHADAP PAJAK
A. Konsep Islam Tentang Pajak
Islam tidak hanya mengajarkan mengenai ibadah dalam arti yang
sempit. Ajaran Islam meluaskan makna ibadah bukan hanya pada tatanan
hubungan manusia dengan penciptanya saja namun juga termasuk hubungan
manusia dengan dirinya dan sesamanya termasuk dalam hal ini adalah ekonomi,
sosial, politik dan budaya. Dalam konteks yang lebih besar lagi, Islam mengatur
urusan manusia dalam segala aspek kehidupan.
Dalam perekonomian, Islam memberikan hak kepada negara untuk ikut
campur dalam kegiatan ekonomi umat. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah dalam
hal pembagian harta Fai’ Bani Nadir kepada Kaum Muhajirin saja kecuali dua
orang yang fakir di kalangan Kaum Anshar. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah
untuk menegakkan keseimbangan antara orang-orang Muhajirin yang telah
meninggalkan harta mereka di Mekah dan lari membawa agama mereka ke
Madinah dengan orang-orang Anshar yang masih memiliki harta.1
Islam memiliki sistem ekonomi tersendiri yang memiliki tujuan dan
nilai-nilai tersendiri yang membedakan dengan ekonomi konvensional, yaitu
ekonomi Islam bertujuan kebaikan dalam kerangka kerja norma-norma moral
Islam, persaudaraan dan kesejahteraan yang sifatnya universal, distribusi
1 Ismail Nawawi, Ekonomi Islam Perspektif Teori, Sistem dan Aspek Hukum, (Surabaya: Putra
Media Nusantara, 2009), 183.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
pendapatan yang merata dan kemerdekaan individu dalam konteks kesejahteraan
sosial.2
Mengenai pungutan oleh negara atau pajak, Islam juga memiliki
pandangan dan konsep tersendiri.
1. Definisi Pajak Dalam Islam
Telah dijelaskan dalam bab terdahulu mengenai definisi pajak secara
umum dan bagaimana definisi pajak menurut undang-undang Negara Indonesia.
Istilah pajak sebenarnya juga dikenal dalam periode sejarah Islam. Disebutkan
bahwa Sumber pendapatan yang pertama kali diperkenalkan di zaman Rasulullah
adalah Kharaj, yaitu pajak terhadap tanah. Kharaj ditentukan berdasarkan tingkat
produktivitas dari tanah. Kharaj ini dibayarkan oleh seluruh anggota masyarakat
baik orang muslim maupun non muslim, yang jumlah pembayarannya ditentukan
oleh pemerintah.3
Kata pajak sendiri bukanlah berasal dari Islam. Namun, terjemahan
yang hampir sama atau banyak disamakan dengan maksud pajak pada keumuman
adalah terdapat dalam ayat berikut:
2 Veithzal Rivai dkk, Islamic Financial Management, Jilid 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, Cet.1,
2010), 127. 3 Nur Rianto, Teori Makro Ekonomi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2010), 156.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam Keadaan tunduk.”4
Pada ayat diatas, kata “jizyah” diterjemahkan dengan pajak.
Secara etimologi, pajak dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah
dharibah yang berasal dari kata dasar dharabah, yadhribu, dharban yang artinya
mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau
membebankan.5 Dharabah adalah bentuk kata kerja (fi’il) sedangkan bentuk kata
bendanya (ism) adalah dharibah yang artinya beban. Ia disebut sebagai beban
karena merupakan kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga
pelaksanaannya akan dirasakan sebagai sebuah beban. Disebutkan bahwa
sebagian ulama menyebutkan ungkapan dharibah digunakan untuk menyebut
harta yang dipungut sebagai kewajiban seperti ungkapan jizyah dan kharaj
dipungut secara dharibah, yakni secara wajib.
Dalam sistem ekonomi konvensional, istilah pajak memiliki makna
sebagai pungutan wajib yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.
Makna tersebut menjadi realitas dari dharibah yaitu harta yang dipungut secara
wajib dari rakyat untuk keperluan pembiayaan negara. Sedangkan dalam Islam,
maksud dari dharibah adalah pajak tambahan yang sifat dan karakteristiknya
berbeda dengan pajak menurut ekonomi non Islam.
4 QS At Taubah (9): 29.
5 Gusfahmi, Pajak …, 29.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Terdapat tiga definisi dari pajak menurut ulama Islam, yaitu:
a. Menurut Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah
berpendapat:
Pajak adalah kewajiban yang diterapkan terhadap wajib pajak, yang
harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa
mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan
untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan
tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai negara.
b. Gazy Inayah dalam kitabnya Al-Iqtishad al-Islami as-Zakah wa
ad-Dharibah, berpendapat bahwa pajak adalah kewajiban untuk
membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat yang
berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu.
Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik
harta dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara
umum dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi
pemerintah.
c. Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah al-
Khilafah berpendapat bahwa pajak adalah harta yang diwajibkan
Allah kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan
dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka,
pada kondisi Baitul Mal tidak ada uang atau harta.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Dari tiga definisi diatas, dapat dirangkum unsur pokok dalam pajak
menurut Islam, yaitu:
a. Diwajibkan oleh Allah.
b. Objeknya adalah harta.
c. Subjeknya adalah kaum muslim yang kaya saja dan tidak termasuk
non muslim.
d. Tujuannya hanya untuk membiayai kebutuhan kaum muslimin saja.
e. Diberlakukan hanya karena adanya kondisi darurat atau khusus
yang harus segera diatasi oleh pemimpin.
Sesungguhnya, pajak sendiri dalam ekonomi Islam juga masih terus
menerus dikaji. Karena pajak akan menjadi kewajiban kaum muslimin dalam
kondisi yang sudah ditetapkan oleh syariat, menyebabkan terjadinya perbedaan
pendapat dikalangan ulama terkait dengan kebolehan pemungutannya.
Ekonom Islam yang membolehkan pemungutan pajak antara lain:6
a. Abu Yusuf dalam kitabnya al-Kharaj menyebutkan bahwa:
“Semua Khulafaurrasyidin, terutama Umar, Ali dan Umar bin
Abdul Aziz dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus
dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan
melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan sampai
membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok
mereka sehari-hari.”
6 Gusfahmi, Pajak…, 156.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Abu Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau
menurunkan pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani.
b. Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah merefleksikan
pemikiran pada zamannya mengenai distribusi beban pajak yang
merata.
c. M. Umer Chapra dalam bukunya Islam and The Economic
Challenge menyatakan:
“Hak negara Islam untuk meningkatkan sumber-sumber daya lewat
pajak disamping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah fuqaha
yang pada prinsipnya telah mewakili semua madzhab fiqh. Hal ini
disebabkan karena dana zakat dipergunakan ada prinsipnya untuk
kesejahteraan kaum miskin padahal negara memerlukan sumber-
sumber dana yang lain agar dapat melakukan fungsi-fungsi alokasi,
distribusi dan stabilisasi secara efektif.”
d. Hasan al-Banna dalam bukunya Majmuatur-Rasa’il mengatakan:
“Melihat tujuan keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang
merata, maka sistem perpajakan progresif tampaknya seirama
dengan sasaran-sasaran Islam.”
e. Ibnu Taimiyah dalam Majmuatul Fatawa mengatakan:
“Larangan penghindaran pajak sekalipun itu tidak adil berdasarkan
argument bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang
berkewajiban akan mengakibatkan beban yang lebih besar bagi
kelompok lain.”
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
f. Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah
mengatakan:
“Berbagai pos pengeluaran yang tidak tercukupi oleh Baitul Mal
adalah menjadi kewajiban kaum muslimin. Jika berbagai kebutuhan
dan pos-pos pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul
kemudharatan atas kaum muslimin, padahal Allah juga telah
mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan
yang menimpa kaum muslimin. Jika terjadi kondisi tersebut, negara
mewajibkan kaum muslimin untuk membayar pajak, hanya untuk
menutupi (kekurangan biaya terhadap) berbagai kebutuhan dan
pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, tanpa berlebih.”
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa pajak itu haram adalah
Hasan Turobi dalam bukunya Principle of Governance, Freedom, and
Responsibility in Islam menyatakan:7
“Pemerintahan yang ada di dunia muslim dalam sejarah yang begitu lama pada
umumnya tidak sah. Karena itu para fuqaha khawatir jika diperbolehkan menarik
pajak akan disalah gunakan dan menjadi suatu alat penindasan.”
2. Karakteristik Pajak Menurut Islam
Terdapat beberapa ketentuan tentang pajak menurut Islam yang
sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem non Islam, yaitu:
a. Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu dalam
artian hanya boleh dipungut ketika dalam Baitul Maal tidak ada
harta atau kurang memenuhi. Ketika Baitul Maal sudah terisi
kembali, maka kewajiban pajak dapat dihapuskan. Berbeda dengan
zakat yang tetap dipungut walaupun tidak ada lagi pihak yang
7 Gusfahmi, Pajak…, 158.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
membutuhkan (mustahik). Sedangkan pajak dalam sistem non
Islam bersifat abadi atau selamanya.
b. Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang
merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang
diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih.
Sedangkan pajak dalam sistem non Islam dipungut tanpa ada
rentang waktu dan dipungut selamanya sebagai pemasukan terbesar
negara.
c. Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim dan tidak
dipungut dari non muslim. Karena dharibah dipungut untuk
membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim,
yang tidak menjadi kewajiban non muslim. Sedangkan dalam teori
pajak non Islam, pajak dipungut atas seluruh warga negara tanpa
membedakan agama sebagai bentuk penyeragaman.
d. Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya,
tidak dipungut kepada selainnya. Orang kaya adalah orang yang
memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan
kebutuhan lainnya bagi dirinya dan keluarganya menurut kelayakan
masyarakat sekitarnya. Dalam pajak non Islam, pajak dalam
beberapa hal tetap dipungut kepada seluruh warga negara tanpa
terkecuali karena kepemilikan objek pajak seperti Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) dan juga atas pembelian barang kena pajak (PPN)
walaupun subjek pajak adalah orang tak mampu.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
e. Pajak (dharibah) dapat dihapus, bila sudah tidak diperlukan.
Sedangkan dalam teori non Islam, pajak tidak akan dihapus karena
merupakan sumber utama pendapatan negara.
3. Landasan Teori Pajak Menurut Islam
Dalam sistem ekonomi Islam, juga dikenal adanya kebijakan fiskal.
Tujuan kebijakan fiskal adalah menopang tujuan yang ingin dicapai oleh
pemerintah. Yang membedakan antara ekonomi konvensional dan Islam adalah
prinsip-prinsip dalam pengelolaan anggaran. Dalam Islam, prinsip pengelolaan
anggaran keuangan negara selalu ditujukan untuk menciptakan keadilan sehingga
segala sesuatunya bersumber dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedangkan dalam ekonomi konvensional, kebijakan anggaran hanyalah sebagai
komplemen kebijakan moneter untuk mencapai tujuan ekonomi makro.8
Kebijakan fiskal ini sudah diterapkan sejak pemerintahan Islam yang
pertama oleh Rasulullah. Adapun contoh-contoh kebijakan yang ditempuh pada
masa pemerintahan Islam awal adalah sebagai berikut:
a. Kebijakan Fiskal di masa Rasulullah SAW
Sejarah Islam mencatat, dasar perekonomian secara islami dimulai
dan dicontohkan oleh Rasulullah sesuai dengan kondisi masa itu.
Rasulullah meletakkan dasar adanya jizyah (pajak yang dibayarkan
oleh non muslim khususnya ahli kitab untuk jaminan perlindungan
jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib
8 Jusmaliani dan Muhammad Soekarni, Kebijakan Ekonomi Dalam Islam, (Jogjakarta: Kreasi
Wacana, Cetakan Pertama, 2005), 144.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
militer). Pada masa itu, Rasulullah menetapkan besaran jizyah
adalah satu dinar setiap tahun untuk orang dewasa yang mampu.
Jizyah ini tidak berlaku kepada wanita dan mereka yang tidak
mampu dan akan berhenti dipungut ketika mereka masuk Islam.
Hal ini sesuai dengan firman Allah:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam Keadaan tunduk.”9
Rasulullah juga menerapkan kharaj (pajak atas tanah) yang
dipungut kepada kaum non Islam ketika penaklukan Khaibar.
Jumlah kharaj yang ditetapkan Rasulullah adalah seperdua dari
hasil produksi. Selain itu, Rasulullah juga menetapkan adanya
Ushr, yaitu biaya impor yang dikenakan kepada semua pedagang
yang dibayarkan sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi
barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Ushr ini dipungut
kepada kaum kafir dzimmi yang melewati perbatasan wilayah Islam
9 QS At Tawbah (9): 29.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
disebabkan adanya perjanjian damai antara kaum muslimin dengan
mereka.
Zakat dan ushr adalah pendapatan utama negara pada masa
Rasulullah ini. Kedua jenis pendapatan ini berbeda dengan pajak
dan tidak diberlakukan seperti halnya pajak. Zakat dan ushr
merupakan kewajiban agama dan menjadi salah satu pilar Islam.10
Secara garis besar, sumber penerimaan negara pada masa
Rasulullah adalah:
1) Dari Kaum Muslimin yaitu zakat, ushr, zakat fitrah, wakaf,
amwal fadhla, nawaib, shadaqah.
2) Dari kaum non muslim yaitu jizyah, kharaj dan ushr.
3) Dari sumber lain yaitu ghanimah, fai’, uang tebusan, hadiah
dari pemimpin negara lain, pinjaman dari kaum muslimin atau
non muslim.
Sedangkan belanja pemerintahan digunakan untuk membiayai
pertahanan negara, penyaluran zakat dan ushr untuk mereka yang
berhak, pembayaran gaji pegawai pemerintah, pembayaran utang
negara serta bantuan musafir. Pada masa ini, asas anggaran
berimbang dijalankan oleh Rasulullah yaitu semua penerimaan
negara habis untuk pengeluaran negara.
10
Nurul Huda et al, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, (Jakarta: Kencana, Edisi
Pertama, Cet.1, 2009), 160.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
b. Kebijakan Fiskal di masa Khulafaurrasyidin
Setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan kaum muslimin
dilanjutkan oleh penerus rasulullah dari kalangan sahabat. Pada
masa pemerintahan para sahabat, kondisi kaum muslimin
mengalami perkembangan. Perkembangan ini tampak dari semakin
meluasnya wilayah Islam yang mengakibatkan masuknya
kebudayaan dan pengetahuan dari luar yang pada akhirnya sedikit
ataukah banyak akan mempengaruhi kehidupan kaum muslimin
disegala bidang termasuk bidang perekonomian.
Adapun kebijakan perekonomian yang ditempuh oleh masing-
masing sahabat yang meneruskan perjuangan dan kepemimpinan
Rasulullah adalah:11
1) Kholifah Abu Bakar
Kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh Kholifah Abu Bakar
pada masa pemerintahannya adalah:
a) Memberikan perhatian terhadap keakuratan perhitungan
zakat.
b) Pengembangan pembangunan Baitul Mal.
c) Menerapkan konsep kebijakan anggaran seimbang pada
Baitul Mal.
d) Menegakkan hukum kepada mereka yang ingkar berzakat.
11
Nawawi, Ekonomi …, 195.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2) Kholifah Umar bin Khattab
Kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh Kholifah umar adalah
sebagai berikut:
a) Reorganisasi Baitul Mal dengan mendirikan dewan yang
pertama yang disebut dengan Al-Diwan.12
b) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pemenuhan
kebutuhan makan dan pakaian warga.
c) Disertifikasi terhadap objek zakat dan tarif zakat.
d) Pengembangan pajak (ushr) pertanian.
e) Menetapkan undang-undang perubahan pemilikan tanah
(land reform).
f) Mengelompokkan pendapatan negara menjadi:
(1) zakat dan ushr.
(2) khums dan shadaqah.
(3) kharaj, fai’, jizyah, ushr, sewa tetap.
(4) lain-lain.
Kholifah Umar juga terkenal dengan kepiawaian dalam
administrasi negara. Pada masanya, Kholifah Umar pernah
menjual barang-barang yang ditumpuk-tumpuk secara paksa
dari penyimpanan dengan harga umum, membatasi harga
beberapa macam barang untuk mencegah eksploitasi dan
bahaya terhadap orang banyak, melarang penjualan daging dan
12
Al Diwan adalah kantor yang ditunjuk untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang
dan pensiunan serta tunjangan-tunjangan lain.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
membolehkan kaumnya hanya makan daging selama dua hari
berturut-turut perminggu ketika mengalami kekurangan daging
dan tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan kaum
muslimin di Madinah.
3) Kholifah Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahannya, Kholifah Utsman menerapkan
kebijakan antara lain:
a) Pembangunan Infrastruktur.
b) Pembentukan organisasi kepolisian.
c) Pembangunan gedung-gedung pengadilan.
d) Pembagian lahan milik Raja Parsi kepada kaum muslimin.
4) Kholifah Ali bin Abi Thalib
Pada masa pemerintahannya, Kholifah Ali menerapkan
kebijakan antara lain:
a) Distribusi semua pendapatan yang ada pada Baitul Mal.
b) Menghilangkan pengeluaran untuk angkatan laut.
c) Kebijakan pengetatan anggaran.
Kebijakan fiskal merupakan sistem kebijakan keuangan negara yang
terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu penerimaan negara, pengeluaran negara
dan utang negara. Pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang dirumuskan
oleh pemerintah. Hal yang menjadi landasan pembolehan pajak dalam Islam,
yaitu:
a. Pajak dipungut setelah zakat ditunaikan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
b. Kewajiban pajak bukan karena adanya harta, melainkan karena
kebutuhan mendesak sedangkan Baitul Mal dalam kondisi kosong
atau belum mencukupi.
c. Hanya orang kaya yang dibebani kewajiban tambahan.
d. Pemberlakuan pajak sifatnya situasional atau tidak secara kontinu.
Pungutan pajak dapat dihapuskan apabila Baitul Mal telah terisi
kembali.
Adapun menurut Qardhawi, asas teori wajib pajak disamakan dengan
teori wajib zakat sebagai berikut:13
a. Teori Beban Umum
Merupakan hak Allah sebagai Pemberi nikmat untuk
membebankan kepada hambanya apa yang dikehendakinya, baik
kewajiban badani maupun harta, untuk melaksanakan
kewajibannya dan tanda syukur atas nikmat-Nya dan untuk
menguji siapakah yang paling baik amalnya. Teori ini
menerangkan bahwa merupakan sesuatu hal yang wajar ketika
Allah meletakkan kepada manusia berbagai kewajiban terutama
menyangkut hartanya. Dalam ayat berikut, Allah berfirman:
“Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi supaya Dia memberi Balasan kepada orang-orang
yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan
13
Gusfahmi, Pajak …, 173.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan
pahala yang lebih baik (syurga).”14
b. Teori Khilafah
Teori ini menerangkan bahwa harta adalah amanah Allah. Ketika
manusia sebagai pemegang amanah mendapatkan harta tersebut,
maka manusia harus mengeluarkan sebagian dari hartanya untuk
tujuan di jalan Allah, meninggikan rahmat Allah dan untuk
menolong saudara-saudaranya sebagai bentuk kesyukuran dan
tanggung jawab atas amanah.
c. Teori Pembelaan Antara Pribadi dan Masyarakat
Masyarakat dalam suatu negara memiliki hak untuk diuruskan atau
diaturkan kebutuhan dan kepentingannya. Maka masyarakat juga
memiliki kewajiban menyerahkan sebagian hartanya yang akan
digunakan untuk memelihara kelangsungan hidupnya,
memberantas segala bentuk kejahatan dan permusuhan serta segala
sesuatu untuk kebaikan masyarakat seluruhnya.
d. Teori Persaudaraan
Diantara sesama manusia terdapat jalinan kasih sayang dan
persaudaraan yang sifatnya universal. Karena kasih sayang antar
manusia, keinginan untuk hidup bahagia sendiri tanpa
memperdulikan orang lain menjadi terkikis. Sifat egoisme yang
melekat pada setiap manusia menjadi berkurang. Dengan adanya
14
Al-Qur’an 53: 31.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
hal ini maka manusia akan terdorong untuk membantu sesamanya
agar mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan bersama.
4. Tujuan Pajak Menurut Syariat
Pajak merupakan kewajiban lain yang dibebankan oleh negara karena
suatu kondisi Baitul mal sedang kekurangan atau kosong sedangkan kebutuhan
negara mendesak untuk dipenuhi. Tujuan pajak adalah untuk membiayai berbagai
pos pengeluaran negara yang memang diwajibkan atas kaum muslimin. Sehingga
berdasarkan syariat, ada waktu pajak dibolehkan dipungut oleh negara. Jika pajak
digunakan untuk kepentingan lain atau dipungut oleh negara tanpa alasan yang
dibenarkan oleh syariat, maka menjadi haram hukumnya pajak.
Menurut Zallum, terdapat enam jenis pengeluaran yang bisa dibiayai
oleh pajak, yaitu:15
a. Pembiayaan jihad seperti pembentukan dan pelatihan pasukan,
pengadaan persenjataan dan sebagainya.
b. Pembiayaan untuk pengadaan dan pengembangan industry militer
dan industry pendukungnya.
c. Pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pokok orang fakir, miskin
dan ibnu sabil.
15
Gusfahmi, Pajak …, 179.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
d. Pembiayaan untuk gaji tentara, hakim, guru dan semua pegawai
negara untuk menjalankan pengaturan dan pemeliharaan berbagai
kemaslahatan umat.
e. Pembiayaan atas pengadaan kemaslahatan atau fasilitas umum
yang jika tidak ada akan menyebabkan bahaya bagi umat seperti
jalan umum, sekolah dan rumah sakit.
f. Pembiayaan untuk penanggulangan bencana dan kejadian yang
menimpa umat ketika Baitul Mal kosong atau kekurangan.
Berdasarkan enam jenis pengeluaran menurut Zallum diatas, maka
pajak harus dibelanjakan sesuai dengan pengadaannya atau tujuannya dipungut.
Selain dari tujuan diatas, maka pajak haram dipungut oleh negara kepada kaum
muslimin.
B. Pandangan Islam Terhadap Pajak Sebagai Pendapatan Negara
Dalam Sistem Ekonomi Islam terdapat prinsip-prinsip yang menjadi
rambu-rambu bagi pemerintah untuk mengelola Baitul Mal. Adapun prinsip
pendapatan menurut Sistem Ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
1. Harus ada nash yang Memerintahkannya
Setiap pendapatan dalam sistem ekonomi Islam harus diperoleh sesuai
dengan hukum Islam dalam artian ada nash (Al-Qur’an dan hadis) yang
memerintahkannya. Sebagai contoh dalam kebijakan pembebanan
pajak, sebagian ulama berpendapat bahwa ada kewajiban lain atas harta
selain zakat dengan adanya dalil Al Qur’an, yaitu:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
ت و ٱلذي وهو ت وغير معروش عروش ت مرع و ٱلنخل أنشأ جن ۥمختلفا أكله ٱلز
يتون و ان و ٱلز م به كلوا من ثمره ٱلر بها وغير متش يوم ۥإذا أثمر وءاتوا حقه ۦ متش
إنه ۦ حصاده ا ٱلمسرفين ل يحب ۥول تسرفو
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang
tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan
tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam
itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya
(dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan”16
بيل ٱبن و ٱلمسكين و ۥحقه ٱلقربى ذا ا ف لك خير للذين ٱلس ذ
يريدون وجه ئك هم ٱلل ٱلمفلحون وأول
“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian
(pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.
Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah;
dan mereka itulah orang-orang beruntung.”17
Hadis Rasulullah SAW:
Dari Fathimah binti Qais ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Di Dalam harta terdapat hak-hak yang lain di samping zakat.”
Kemudian beliau membaca ayat Al Qur’an surat Al-Baqarah: 177. (HR
Tirmidzi dan Ibnu Majah).
2. Harus Ada Pemisahan muslim dan Non-Muslim
Islam membedakan antara subjek zakat dan pajak antara muslim dengan
non muslim. Contohnya adalah zakat yang hanya bersumber dari kaum
muslimin dan digunakan untuk kepentingan kaum muslimin dalam
delapan golongan yang ditentukan Allah. Pembedaan ini berkaitan
dengan esensi bahwa pembayaran zakat dan pajak oleh kaum muslimin
16
QS Al An’am (6): 141. 17
QS Ar Ruum (30): 38.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
adalah bernilai ibadah, sedangkan bagi kaum non muslim bukanlah
bernilai ibadah dan ketentuan pemungutan kepada mereka bernilai
kehinaan karena kekafiran mereka terhadap Allah.
3. Hanya Golongan Kaya yang Menanggung Beban
Prinsip kebijakan pemasukan yang terpenting adalah bahwa sistem
zakat dan pajak harus menjamin bahwa golongan mampu atau kaya dan
makmur yang memiliki kelebihan harta yang akan memikul beban
utama. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan dari
kebutuhan bukan dari keinginannya. Hal ini menunjukkan keadilan
dalam sistem Islam dalam pembebanan kepada masyarakat.
4. Adanya tuntutan Kemaslahatan Umum
Prinsip kebijakan penerimaan negara keempat adalah adanya tuntutan
kemaslahatan umum yang harus didahulukan untuk mencegah bahaya.
Seorang pemimpin dalam sistem ekonomi Islam memiliki kewajiban
mencukupi kebutuhan rakyatnya terutama kebutuhan pokok seperti
makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Pemimpin negara harus memenuhi kebutuhan pokok rakyat ini tanpa
melihat apakah ada harta ataukah tidak.
Sedangkan prinsip pengeluaran negara dalam Sistem Ekonomi Islam
adalah:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1. Tujuan penggunaan Pengeluaran Kekayaan Negara Telah Ditetapkan
Langsung oleh Allah.
Allah telah menetapkan secara langsung tujuan-tujuan pengeluaran
negara melalui Al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa ketika Allah telah
menetapkan suatu sumber pemasukan, Allah juga telah menentukan
peruntukannya. Contohnya adalah zakat yang hanya boleh
didistribusikan kepada delapan golongan yang disebut dalam Al-
Qur’an.
2. Apabila Ada Kewajiban Tambahan, Maka Harus Digunakan untuk
Tujuan Pemungutan
Dalam ekonomi Islam, kebutuhan dibagi menjadi dua, yaitu kebutuhan
individu dan kebutuhan negara. Kebutuhan individu adalah kebutuhan
yang pengadaannya diwajibkan kepada pribadi kaum muslimin (kepala
keluarga) seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sedangkan
kebutuhan negara adalah kebutuhan yang pengadaannya diwajibkan
kepada negara melalui Baitul Mal dari pos shadaqah, ghanimah dan
fai’. Kebutuhan negara ini adalah pengadaan kesehatan, keamanan dan
pendidikan.
Jika terjadi kekosongan atau kekurangan dalam Baitul Mal, pemimpin
berhak memungut kepada kaum muslimin karena hal ini berkaitan
dengan kemaslahatan kaum muslimin sendiri. Pungutan inilah yang
disebut pajak. Pajak ini tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
dari kebutuhan apalagi digunakan untuk kepentingan pejabat dan hal
lain yang tidak bermanfaat.
3. Adanya pemisahan antara Pengeluaran yang Wajib Diadakan Pada
setiap Saat dan Pengeluran Yang Wajib Diadakan Hanya Pada saat
Adanya harta.
Menurut Nabhani, tidak semua jenis pengeluaran harus diadakan,
melainkan bergantung pada sifat-sifat pengeluaran itu sendiri.
Pemerintah harus membuat daftar skala prioritas terhadap kebutuhan
dan pengeluaran negara. Beberapa pengeluaran yang harus dipisahkan
anatar yang sifatnya paten tanpa melihat apakah Baitul Mal ada ataukah
tidak ada harta dan pengeluaran yang sifatnya wajib ketika pos
penerimaan Baitul Mal ada, antara lain:
a) Pengeluaran zakat hanya pada saat adanya harta zakat. Hal ini
karena harta zakat memiliki pos sendiri dalam Baitul Mal yang
telah ditetapkan oleh nash.
b) Pengeluaran untuk mengatasi kemiskinan atau mendanai jihad
sifatnya paten tanpa melihat apakah Baitul Mal dalam kondisi ada
harta ataukah kosong. Jika terjadi kekosongan, padahal dana ini
harus disediakan, maka negara dapat meminjam dari kaum
muslimin.
c) Pengeluaran untuk Kompensasi, harus Dibayar di saat Ada atau
Tidak Ada Harta. Pengeluaran ini adalah biaya yang harus dibayar
oleh negara sebagai kompensasi orang-orang yang telah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
memberikan jasanya seperti tentara, pegawai negri, hakim dan
guru. Kewajiban pembayaran kompensasi ini sifatnya paten baik
ketika Baitul Mal ada harta maupun dalam kondisi kosong atau
kurang. Jika negara tidak memiliki harta untuk pemngeluaran ini,
maka pemerintah wajib mengusahakannya dengan cara memungut
pajak. Hal ini berbeda dengan pengeluaran untuk mengatasi
kemiskinan atau pendanaan jihad. Kedua pengeluaran ini memiliki
persamaan sifat yaitu harus disediakan dana walaupun Baitul Mal
dalam kondisi kosong ataukah ada dana. Yang membedakan hanya
cara memperoleh harta yaitu dengan cara meminjam untuk
pengeluaran kemiskinan atau jihad dan dengan cara pemungutan
pajak untuk pengeluaran kompensasi ketika kondisi Baitul Mal
kosong atau kurang.
d) Pembelanjaan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan untuk
kompensasi yang sifatnya vital juga bersifat paten. Contoh
pembelanjaan ini adalah pengadaan infrastruktur yang sifatnya vital
bagi kemaslahatan umat seperti jalan utama penghubung antar kota,
jembatan penghubung, rumah sakit utama, sekolah, masjid, waduk
dan lain-lain.
e) Pembelanjaan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umat namun
tidak bersifat vital dan bukan sebagai kompensasi. Contohnya
adalah pembangunan jalan baru dari jalan utama yang sudah ada,
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
rumah sakit baru ketika sudah ada rumah sakit lain. Pembelanjaan
ini berdasarkan adanya harta dalam kas Baitul Mal.
4. Pengeluaran Harus Hemat
Pemerintah dalam menganggarkan pengeluaran harus sesuai dengan
kaidah dan dilakukan dengan hemat. Islam sendiri mengutuk
pemborosan. Penimbunan juga dilarang dalam Islam karena
penimbunan kekayaan akan menyebabkan kekayaan itu tidak dapat
beredardan bermanfaat penggunaannya. Artinya pemerintah harus
membuat anggaran yang dapat dipertanggungjawabkan bukan hanya
kepada masyarakat namun terlebih dihadapan Allah kelak.
Dari landasan dan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan diatas, maka
pada dasarnya, sistem perpajakan diperbolehkan diambil sebagai salah satu cara
mendapatkan pemasukan bagi Baitul Mal untuk melaksanakan tujuan negara yaitu
mensejahterakan dengan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Namun ada perbedaan
dari konsep perpajakan dalam Islam dengan ekonomi konvensional. Jika pada
Islam, pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara yang diambil ketika
kondisi Baitul Mal kosong atau kekurangan, sedangkan pada ekonomi
konvensional, pajak dijadikan sumber utama penopang perekonomian dan
kehidupan bernegara.
Dalam Islam, ketika negara telah memutuskan memungut pajak dari
rakyatnya, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh negara, yaitu:18
18
Azmi, Ekonomi Islam…, 164.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1. Syarat-Syarat Penetapan Pajak
Beberapa syarat perpajakan dalam Islam telah dikemukakan
sebelumnya. Bahwa pajak ditetapkan atas orang kaya yang memiliki
kelebihan harta dari kebutuhannya. Pajak juga harus dibebankan hanya
pada bentuk-bentuk kekayaan yang dapat berkembang.
2. Penetapan Dasar Pajak dan Jumlah pajak
Negara harus mempertimbangkan dasar pemungutan pajak dan jumlah
yang dipungut kepada rakyat agar tidak terjadi kedzaliman. Abu Yusuf
berpendapat bahwa negara memiliki hak untuk memutuskan apakah
akan mengurangi atau meningkatkan pajak sesuai dengan kemampuan
umat untuk membayar.
3. Fleksibilitas Penetapan pajak
Karena dalam Islam, pajak ditentukan dari kebutuhan, maka negara
dapat melakukan penyesuaian tingkatan pajak dan dasar pajak sesuai
dengan kondisi. Hal ini bermakna bahwa sistem perpajakan Islam
memiliki fleksibilitas dalam memenuhi kebutuhan negara.
Disamping hal-hal diatas, negara juga harus membuat aturan-aturan
yang menjelaskan secara mendetail dan transparan mengenai:
1. Bagaimana pajak akan dikenakan dan dipungut yang dalam administrasi
pemerintahan modern diatur dalam undang-undang perpajakan.
2. Ketentuan menyangkut alokasi pembelanjaan uang pajak, untuk
kepentingan apa dan siapa uang pajak ini yang dalam administrasi
pemerintahan modern diatur dalam Undang-Undang Belanja Negara.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3. Ketentuan tentang lembaga pemerintah yang bertindak sebagai
pengumpul pajak mengenai hak dan tanggung jawabnya.
C. Pandangan Islam Terhadap Kesejahteraan
Sistem Ekonomi Islam memiliki tiga asas, yaitu:19
1. Kepemilikan (al Milkiyyah).
Adalah tata cara yang digunakan oleh seseorang untuk mendapatkan
manfaat yang dihasilkan oleh jasa atau barang tertentu. Menurut syara’,
kepemilikan adalah izin pembuat syariat untuk memanfaatkan zat.
Kepemilikan terbagi menjdi tiga, yaitu:
a) Pemilikan individu (private ownership).
b) Pemilikan umum (public ownership).
c) Pemilikan negara (state ownership)
2. Pengelolaan dan pemanfaatan hak milik (tasharruf al-milkiyyah).
Adalah cara yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim ketika
menggunakan dan memanfaatkan hartanya. Ekonomi Islam menetapkan
du acara pengelolaan pemilikan, yaitu:
a) Pengembangan Harta (tanmiyah al-maal)
b) Pembelanjaan Hak Milik (al-infaq)
3. Distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tawzi al-amwaal bayn an-
naas).
19
Hafidz Abdurrahman, “Diskursus Islam Politik Dan Spiritual”, Editor: Maghfur Wachid, Cet.1,
(Bogor: Al Azhar Press, 2004), 200.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Islam mensyariatkan hukum-hukum guna menjamin pendistribusian
kekayaan di tengah masyarakat secara adil, antara lain:
a) Mewajibkan syariat zakat.
b) Pemberian hak kepada seluruh anggota masyarakat untuk
memanfaatkan pemilikan umum.
c) Pemberian Negara secara Cuma-Cuma kepada anggota masyarakat
yang membutuhkan yang diambil dari harta milik Negara.
d) Pembagian harta waris kepada ahli waris.
Selain syariat diatas, demi terwujudnya keadilan ekonomi, Islam
melarang dan mengharamkan sebagai berikut:
a) Penimbunan emas dan perak atau mata uang.
b) Penimbunan barang
c) Bakhil dan kikir.
Teori kesejahteraan dalam ekonomi modern menyebutkan bahwa
kesejahteraan dilihat dari beberapa indikator seperti terpenuhinya sandang,
pangan, papan, kesehatan, keamanan dan pendidikan. Dalam Islam pun terdapat
indikator kesejahteraan yang menjadi hak kemanusian tiap individu. Islam
melindungi hak-hak manusia, antara lain:20
1. Hak yang berhubungan dengan integritas dan perkembangan fisik (hifzh
al-nafs).
20
Masdar F. Mas’udi, “Menggagas Ulang Zakat Sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara Untuk
Rakyat”, Cet.1, (Bandung: Mizan, 2005), 154.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2. Hak yang berhubungan dengan integritas dan perkembangan akal budi
dan mental (hifzh al-aql)
3. Hak yang berhubungan dengan integritas dan perkembangan keyakinan
agama (hifzh al-din)
4. Hak yang berhubungan dengan integritas dan perkembangan
kesejahteraan ekonomi (hifzh al mal).
5. Hak yang berhubungan dengan integritas keluarga (hifzh al-‘irdhl wa
al-nasl)
Dari kelima hak manusia yang di atas, pihak yang bertanggung jawab
dalam mengusahakan pemenuhannya adalah diri pribadi masing-masing. Jika
seseorang tidak mampu mengusahan pemenuhan haknya, maka tanggung jawab
pemenuhan ini beralih kepada keluarga. Jika keluarga tidak mampu memenuhi
tanggung jawab pemenuhan hak ini, maka tanggung jawab ini beralih kepada
masyarakat. Jika masyarakat tidak mampu memenuhi tanggung jawab ini, maka
negara menjadi tumpuan terakhir tanggung jawab pemenuhan hak. Negara
menjadi pihak yang bertanggung jawab hanya ketika hak kemanusiaan ini tidak
lagi mampu dipenuhi oleh pihak individu, keluarga maupun masyarakat.
Dapat disimpulkan, bahwa tugas negara adalah memberikan dukungan
(subsidi) untuk memberdayakan warganya yang lemah agar dapat bertahan dalam
kehidupan sosial. Subsidi pemberdayaan ini meliputi:
1. Subsidi jaminan kesehatan untuk penguatan kualitas fisik.
2. Jaminan pendidikan untuk penguatan mental spiritual.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3. Subsidi di bidang infrastruktur untuk menopang tingkat
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Karena besarnya tanggung jawab atau tugas negara dalam
menyelenggarakan hak kemanusiaan, maka Sistem Ekonomi Islam mengatur cara
agar negara mendapatkan dana untuk memenuhi kewajiban ini melalui mekanisme
Baitul Mal.
Baitul Mal merupakan institusi khusus yang menangani harta yang
diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak
menerimanya. 21
Baitul Mal memiliki fungsi sebagai tempat penampungan dan
pengeluaran harta yang merupakan bagian dari pendapatan negara. Baitul Mal
terdiri dari dua bagian pokok. Bagian pertama berkaitan dengan harta yang masuk
menjadi sumber pemasukan negara. Bagian kedua berkaitan dengan harta yang
akan dikeluarkan untuk keperluan masing-masing. Beberapa cendekiawan muslim
memaparkan pos-pos yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran negara
dalam Islam. Adapun sumber penerimaan negara dalam Islam seperti yang
berlaku pada masa pemerintahan Rasulullah dan pemerintahan Islam pada masa
lampau adalah sebagai berikut:22
a. zakat
Pengeluaran atau pembayaran zakat oleh kaum muslimin dalam
Islam dimulai setelah hijrah dan terbentuknya Negara Islam di
21
Zallum, Sistem …, 5. 22
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, (Jogjakarta: Graha Ilmu, Edisi Pertama, 2005), 173.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Madinah. Pembayaran zakat merupakan kewajiban agama dan
salah satu dari lima rukun Islam. Kewajiban zakat ini berlaku bagi
setiap muslim yang telah baligh, merdeka, berakal sehat dan
memiliki harta yang telah mencapai nisab. Pentingnya zakat telah
disampaikan dalam Al-Qur’an dan Hadis mulai dari cakupan zakat,
nisab harta, para mustahiq (yang berhak menerima pajak) dan tata
cara pelaksanaannya.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”23
Zakat merupakan sumber pertama dan terpenting dari penerimaan
negara pada awal pemerintahan Islam. Zakat tidak pernah
menggantikan komponen pengeluaran pemerintah untuk
kesejahteraan dan untuk bantuan disaat terjadi bencana. Zakat telah
dikhususkan peruntukannya dalam Islam yang menyebabkan
keunikan tersendiri dalam sistem ekonomi Islam.24
b. Wakaf
Wakaf diartikan sebagai menahan harta yang mungkin diambil
manfaatnya. Kepemilikan objek wakaf dikembalikan pada Allah
sehingga barang yang diwakafkan tidak boleh dihabiskan,
23
QS At Tawbah (9): 103. 24
Jusmaliani dan Soekarni, Kebijakan …, 149.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
diberikan atau dijual kepada pihak lain. Dalam menunaikan wakaf,
bisa dilakukan dengan harta bergerak maupun yang tidak bergerak.
c. Kharaj
Kharaj atau biasa disebut dengan pajak bumi atau tanah adalah
jenis pajak yang dikenakan pada tanah terutama yang ditaklukan
oleh kekuatan senjata, tanpa memandang siapa pemilik tanah.
Dalam pelaksanaannya, kharaj dibedakan menjadi dua, yaitu
Kharaj Proporsional (muqasimah) dan Kharaj Tetap (wazifah).
Kharaj proporsional artinya dikenakan sebagai bagian total dari
hasil produksi pertanian, misalnya setengah atau sepertiga,
seperempat, seperlima dan sebagainya. Kharaj Proporsional
dikenakan secara tidak tetap bergantung pada hasil dan harga setiap
jenis hasil pertanian atau dipungut setiap kali panen. Sedangkan
Kharaj Tetap artinya pajak tetap atas tanah atau beban khusus pada
tanah sebanyak hasil alam yang dikenakan setiap setahun sekali
atau setelah satu tahun.
Penentuan kharaj harus melihat faktor yang menentukan
kemampuan memikul pajak bumi dengan melihat kemampuan
tanah yang berkaitan dengan faktor mutu tanah yang dapat
menghasilkan panen yang besar atau cacat yang menyebabkan hasil
kecil, faktor jenis panen karena harga hasil panen tentulah berbeda,
dan faktor irigasi juga akan membedakan penilaian kharaj.
d. Ghanimah (Harta Rampasan Perang)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Ghanimah merupakan jenis barang bergerak, yang bisa
dipindahkan, diperoleh dalam peperangan melawan musuh.
Anggota pasukan akan mendapat bagian sebesar empat perlima.
Aturan mengenai ghanimah tertuang dalam firman Allah dalam Al-
Qur’an, yaitu:
“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka Sesungguhnya seperlima untuk
Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan ibnus sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa
yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.”25
Ghanimah merupakan sumber yang berarti bagi Negara Islam pada
masa penaklukan dan penyebaran Islam. Perintah mengenai
ghanimah ini turun setelah perang Badar pada tahun kedua setelah
Hijrah ke Madinah.
e. Fai’
Menurut ajaran Islam, bagi orang yang tidak beriman dan mereka
takluk tanpa melalui peperangan maka pasukan akan mendapatkan
harta rampasan yang disebut dengan fai’. Pembagian fai’ berbeda
dengan ghanimah. Dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
25
Al-Qur’an 8: 41.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
“Dan apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu
kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor
untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-
Nya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.”26
Penggunaan fai’ diatur oleh Rasulullah sebagai harta negara dan
dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat umum.
Dari pos-pos penerimaan negara dalam sistem Islam, dikatakan cukup
untuk membiayai pengaturan dan pemeliharaan urusan dan kemaslahatan rakyat.
Tugas pemerintah untuk menggunakan seluruh sumber Baitul Mal untuk
memenuhi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan meningkatkan
ketaqwaan kaum muslimin. Ibn Taimiyah memberikan arahan agar Baitul Mal
digunakan dan diarahkan untuk merealisasikan program: menghilangkan
kemiskinan, regulasi pasar, kebijakan moneter dan perencanaan ekonomi. Ibn
Taimiyah juga menekankan pengentasan kemiskinan karena kemiskinan
menyebabkan umat dekat pada kekafiran.27
Pos-pos pengeluaran negara dalam sistem ekonomi Islam, sudah terarah
sesuai dengan pos-pos pendapatan. Contohnya pos pendapatan negara dari zakat
diperuntukan untuk delapan golongan yang sudah disebutkan dalam Al-Qur’an
26
Al-Qur’an 59: 6. 27
Muhammad, Kebijakan Moneter dan Fiskal Dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: Salemba Empat,
Edisi Pertama, 2002), 202.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
yaitu orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil, para mu’allaf, untuk
memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jihad di jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Pos penerimaan negara dari zakat
tidak dialokasikan kepada selain delapan golongan ini. Seandainya tidak
ditemukan salah satu dari delapan golongan ini, maka zakat tetap tidak
diperuntukan yang lain, namun zakat akan disimpan dalam kas Baitul Mal sampai
adanya golongan yang berhak atas zakat.28
Selain zakat, ghanimah juga diarahkan sesuai dengan petunjuk Al-
Qur’an yang diperuntukan untuk Allah dan Rasulullah, kerabat Rasulullah, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Pos penerimaan dari Fai’
diperuntukkan untuk kepentingan memelihara kehidupan sosial masyarakat dalam
menghadapi serangan baik dalam dan luar negeri serta untuk mengembangkan
kehidupan sosial.
Dalam Sistem Ekonomi Islam, kebijakan belanja umum pemerintahan
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
2. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber
dana tersedia.
3. Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh
masyarakat berikut system pendanaannya.
28
Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), 257.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Secara rinci, pos pengeluaran negara atau pengeluaran Baitul Mal
ditetapkan dalam enam kaidah berikut, yaitu:29
a. Harta yang menjadi khas tersendiri, yaitu harta zakat. Pos
penerimaan zakat diperuntukkan hanya untuk delapan golongan.
Apabila harta zakat tidak ada atau kosong, maka kedelapan
golongan zakat ini tidak akan mendapatkan alokasi zakat karena
negara tidak akan mengadakan pinjaman untuk pembayaran zakat.
Dengan kata lain, jika harta zakat ada, maka harta zakat ini akan
didistribusikan sesuai dengan peruntukannya. Jika tidak ada, maka
tidak ada pembagian harta zakat kepada delapan golongan zakat
yang tersebut dalam Al-Qur’an. Inilah yang menjadi kekhasan dari
pos penerimaan zakat.
b. Baitul Mal memiliki kewajiban untuk mengadakan pembelanjaan
untuk fakir miskin, ibnu sabil dan keperluan jihad tanpa melihat
apakah ada harta dalam Baitul Mal. Hal ini berarti bahwa Baitul
Mal berhak mengisi kekosongan kasnya ketika terjadi kekurangan
harta yang apabila ditangguhkan pemenuhannya akan
menyebabkan penderitaan atau ketika panggilan jihad tiba. Dalam
memenuhi keadaan ini, Baitul Mal bisa terisi dengan cara
pemerintah melakukan pinjaman dari kaum muslimin.
c. Baitul Mal harus memiliki harta karena tuntutan kompensasi seperti
gaji para tentara, gaji pegawai negeri, hakim dan tenaga pendidik.
29
Ibid, 264.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Pembelanjaan untuk pos ini tidak bergantung pada ada atau tidak
adanya harta. Karena menjadi kewajiban dari negara untuk
membayar kompensasi gaji melalui Baitul Mal. Jika Baitul mal
dalam kondisi kosong atau kekurangan, maka pemerintah harus
mengusahakan pemenuhan kebutuhan ini.
d. Baitul Mal berhak atas harta yang pembelanjaannya untuk
kemaslahatan dan kemanfaatan umat seperti infrastruktur, rumah
sakit, sekolah dan lain-lain yang menjadi kebutuhan umum yang
jika tidak ada, umat akan mengalami penderitaan. Hal ini berlaku
sama dengan poin ketiga yaitu pemenuhan pos pengeluaran ini
tidak melihat apakah kas Baitul Mal ada ataukah kosong. Karena
pengadaan infrastruktur ini sifatnya vital, maka pengadaannya
menjadi kewajiban negara melalui Baitul Mal. Bila kondisi Baitul
Mal kosong atau kekurangan, maka negara harus mencari cara dan
mengusahakannya agar terpenuhi Baitul Mal untuk pos
pengeluaran ini.
e. Pos pengeluaran Baitul Mal untuk kemaslahatan umat dimana pos
ini akan dipenuhi ketika ada harta dalam Baitul Mal. Jika kondisi
Baitul Mal kosong ataukah kekurangan, maka pengeluaran untuk
pos ini dapat ditangguhkan atau digugurkan. Contohnya adalah
pembangunan jalan baru, rumah sakit baru yang sifatnya hanya
sebagai pengganti.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
f. Pos pengeluaran Baitul mal yang sifatnya terpaksa atau mendesak
seperti terjadi bencana alam, paceklik, atau adanya serangan
musuh. Pos pengeluaran ini harus diutamakan ketika kas Baitul
Mal ada. Jika Baitul Mal sedang dalam kondisi kosong atau
kekurangan, maka menjadi kewajiban kaum muslimin untuk
memenuhi Baitul Mal yang akan digunakan untuk pembiayaan pos
ini.
Syariat Islam menetapkan bahwa pembiayaan atas berbagai keperluan
dan bidang dibebankan kepada Baitul Mal yang diisi dari pos-pos pendapatan
yang telah diuraikan diatas. Namun ketika di Baitul Mal terjadi kekurangan atau
tidak ada harta, maka syariat Islam menetapkan pembiayaannya menjadi
kewajiban seluruh kaum muslimin.
Islam mewajibkan pemungutan zakat dengan tujuan mulia menjamin
keadilan dan hak-hak diantara kaum muslimin. Sehingga terdapat dua komponen
penting dalam ajaran zakat, yaitu:
1. Ajaran yang berkenaan dengan pemungutan biaya publik (akhdz al-
shadaqah) oleh otoritas negara dari warga negara yang
berkemampuan.
2. Ajaran yang berkenaan dengan pembelanjaan (tasharruf) biaya
publik untuk tujuan redistribusi kesejahteraan, khususnya bagi yang
lemah, dan biaya kemaslahatan umum bagi semua.
Recommended