View
269
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Situasi Kejadian Kebakaran Hutan/Lahan
Situasi kejadian kebakaran hutan/lahan di Indonesia tergambarkan oleh dua
macam data yaitu data jumlah titik panas (hotspots) dan data luasan kebakaran.
Kedua macam data tersebut diperoleh dari Dit. PKH, Kementerian Kehutanan.
Data hotspot diperoleh Dit. PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra
satelit dari stasiun pemantauan di Kantor Dit. PKH, Gedung Pusat Kementerian
Kehutanan Jakarta. Data hotspot lebih sering dijadikan indikator kebakaran
hutan/lahan oleh berbagai pihak baik para pengamat dan penulis mengenai
kebakaran hutan/lahan maupun pemerintah, karena data tersebut dianggap relatif
lebih lengkap dalam serial waktu, tersedia dan dapat diperoleh dengan relatif
mudah di berbagai media informasi terutama di internet, dan mencakup data pada
lokasi-lokasi yang terpencil.
Data kejadian kebakaran hutan/lahan yang faktual dari lapangan sulit
diperoleh pada organisasi-organisasi yang seharusnya mengelolanya sesuai
dengan kawasan yang dikelolanya. Di tingkat nasional, hanya Dit. PKH yang
memiliki data faktual tersebut, sementara di tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten/kota data yang diminta tersebut tidak dapat disediakan. Namun
demikian, data dari Dit. PKH tersebut juga dinyatakan kurang mewakili kondisi
sebenarnya di lapangan. Alasan utamanya adalah tidak setiap kejadian kebakaran
hutan/lahan ada laporannya. Ketiadaan laporan tersebut disebabkan oleh beberapa
hal antara lain (1) tidak setiap kejadian kebakaran hutan/lahan diketahui lokasinya
oleh organisasi penanggung jawabnya, (2) tidak setiap kebakaran dilakukan
penanganan atau pemadaman, termasuk pengukuran luasannya, (3) belum ada
standar pengukuran luasan kebakaran di lapangan sehingga luasan kebakaran yang
dilaporkan masih belum jelas apakah mencakup seluruh kawasan yang terbakar
sampai api padam ataukah hanya luasan kebakaran yang dipadamkan oleh tim
pemadam yang melaporkan. Oleh karena tidak adanya data luasan kebakaran yang
76
faktual, data kebakaran hutan/lahan selalu berdasarkan pada jumlah titik panas
(hotspot).
5.1.1. Korelasi antara jumlah hotspot dengan luasan kebakaran hutan/lahan
Jumlah hotspot, seperti disampaikan di atas, selama ini dijadikan sebagai
indikator kebakaran hutan/lahan. Penggunaan hotspot sebagai indikator juga
masih beragam yakni sebagai indikator untuk luasan kebakaran atau indikator
untuk jumlah kejadian kebakaran. Jika memahami makna hotspot yang
sebenarnya, maka penggunaan bagi kedua maksud tersebut sebenarnya masih
kurang tepat, bahkan penggunaan sebagai indikator adanya kebakaran hutan/lahan
pun sebenarnya masih perlu memenuhi beberapa persyaratan.
Keberadaan titik panas (hotspot) tidak selalu berarti adanya kebakaran
hutan/lahan, bergantung pada suhu ambang (threshold temperature) pengukuran
yang ditetapkan, namun untuk kepentingan pencegahan kebakaran, informasi
hotspot dapat menjadi indikator terjadinya kebakaran hutan (Hiroki & Prabowo
2003; Suprayitno & Syaufina 2008). Studi ini menguji kelayakan penggunaan
hotspot sebagai indikator kebakaran hutan/lahan dengan menghitung koefisien
korelasi secara linier antara jumlah akumulasi hotspot dengan luasan kebakaran
hutan/lahan.
Hasil perhitungan statistik berdasarkan data pada kurun waktu 10 tahun
(n=10) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif sebesar 0,53 atau 53% antara
jumlah hotspot dengan luasan kebakaran hutan/lahan seluruh Indonesia. Hal ini
berarti penggunaan jumlah hotspot sebagai indikator kebakaran hutan/lahan masih
dapat diterima. Data pada Tabel 2 dan diagram pada Gambar 5 memperlihatkan
bahwa trend line dari kedua data tersebut menunjukkan kecenderungan yang
relatif sama.
Namun demikian, koefisien korelasi yang relatif rendah tersebut juga
sekaligus memberikan peringatan untuk tidak serta merta menyatakan bahwa
jumlah hotspot yang tinggi berarti terdapat kebakaran hutan/lahan yang luas.
Jumlah hotspot kurang dapat menggambarkan luasan kebakaran karena sebuah
77
hotspot sebenarnya mewakili sebuah luasan 1,1 km2. Hal ini tidak berarti bahwa
sebuah hotspot kemudian menunjukkan adanya kebakaran hutan/lahan seluas 1,1
km2
Tahun
karena sebuah hotspot muncul atau tertangkap oleh citra satelit ketika suatu
area di permukaan bumi mengalami panas permukaan sampai suatu suhu tertentu
yang sudah ditetapkan pada sensor di satelit. Suhu tersebut dapat dicapai
meskipun luas kebakaran kurang dari 1,1 km dan begitu pula dapat terjadi situasi
Tabel 2 Jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan/lahan seluruh Indonesia
ΣHotspot Luas Karhutla
2000 11.583 43.648,08 2001 21.137 17.968,79 2002 69.765 45.527,93 2003 44.262 3.545,45 2004 65.693 42.806,99 2005 40.197 13.739,01 2006 146.264 56.218,65 2007 37.909 11.233,46 2008 30.616 16.137,49 2009 39.463 49.253,58
Sumber: Dit. PKH 2010
Gambar 5 Grafik jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan/lahan seluruh Indonesia (Sumber: Dit. PKH 2010).
78
di mana pada waktu yang sama di dalam luasan 1,1 km2 terdapat lebih dari satu
kebakaran dan secara kumulatif suhu yang ditimbulkan mencapai suhu ambang
tersebut, sehingga beberapa kebakaran tertangkap sebagai sebuah hotspot (Hiroki
& Prabowo, 2003). Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa sebuah hotspot
mewakili sebuah titik kebakaran hutan/lahan. Belum ada data yang rinci mengenai
frekuensi kejadian kebakaran yang dapat digunakan untuk menghitung korelasi
antara jumlah hotspot dengan jumlah kejadian kebakaran hutan/lahan.
5.1.2. Korelasi antara jumlah hotspot dengan curah hujan
Data hotspot dari Dit. PKH menunjukkan jumlah akumulasi hotspot di
seluruh Indonesia selama 10 tahun (2000 – 2009) berkisar antara 11.583 titik
sampai dengan 146.264 titik seperti ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 6
tersebut di atas. Jumlah rata-rata per tahun titik panas selama 10 tahun tersebut
adalah 50.689 titik. Jika dilihat per lima tahun, maka tampak bahwa jumlah
akumulasi titik panas pada lima tahun pertama (2000 – 2004) cenderung
meningkat sedangkan pada lima tahun terakhir (2005-2009) tampak menurun.
Sementara itu, untuk wilayah Provinsi Riau jumlah akumulasi titik panas juga
berfluktuasi dengan rata-rata sekitar 7.900 titik per tahun, dan di Provinsi Kalbar
rata-rata sekitar 9.200 titik per tahun seperti ditunjukkan pada Gambar 6.
Fluktuasi jumlah hotspot tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Faktor pertama yang sering dianggap sangat berpengaruh adalah kondisi cuaca.
BAPPENAS (1999) menyatakan bahwa 26 dari 28 tahun-tahun kekeringan di
Indonesia sejak 1887 berkaitan dengan El Nino South Oscillation (ENSO) dan hal
ini sejalan dengan terjadinya kebakaran hutan/lahan besar. Kebakaran besar tahun
1997-1998, misalnya, juga diduga dipengaruhi oleh terjadinya ENSO yang terkuat
di abad tersebut (abad ke-20). Pendapat tersebut terus berkembang sehingga
sistem peringatan dan deteksi dini kebakaran (fire early warning and detection
systems) maupun peramalan kebakaran (fire forecasting) yang dikembangkan di
Indonesia berdasarkan pada perhitungan kondisi cuaca.
79
Analisis hotspot pada penelitian ini menemukan hasil yang cukup
mengejutkan di mana korelasi antara jumlah titik panas dengan salah satu
parameter cuaca yaitu curah hujan ternyata relatif kecil berdasarkan data curah
hujan rata-rata dan jumlah titik panas selama 10 tahun . Korelasi antara jumlah
hotspot dengan curah hujan pada Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat dan
Kabupaten Inderagiri Hulu, Riau adalah negatif (-) yang artinya semakin tinggi
curah hujan, maka akan semakin rendah jumlah titik panas. Korelasi tersebut
logis, tidak seperti yang terjadi di Kabupaten Ketapang di mana korelasi tersebut
positif (+) yang artinya semakin tinggi curah hujan semakin banyak jumlah titik
panas. Tingkat korelasinya pun relatif rendah yakni 0,7% untuk Kab. Kubu Raya,
39% untuk Kab. Inderagiri Hulu, dan 1,12% untuk Kab. Ketapang.
Jika dilhat dari tingkat korelasi yang relatif rendah tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa curah hujan kurang signifikan pengaruhnya terhadap jumlah
hotspot. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan pendapat yang berkembang selama
ini bahwa kebakaran hutan/lahan sangat dipengaruhi oleh cuaca, terutama curah
hujan. Hal tersebut tentu masih perlu dikonfirmasikan dengan kajian yang lebih
mendalam terhadap, misalnya, korelasi antara titik panas dengan curah hujan
bulanan, periode atau bulan-bulan terjadinya kebakaran, dan sebagainya. Namun
demikian, hasil analisis tersebut juga setidaknya mengisyaratkan bahwa pada
kurun waktu sepuluh tahun terakhir terdapat faktor-faktor lain yang lebih
berpengaruh terhadap terjadinya hotspot (titik panas). Penelitian ini tidak
Gambar 6 Jumlah akumulasi titik panas (hot spot) tahunan di Provinsi Riau
dan Provinsi Kalimantan Barat (sumber: Dit. PKH 2010).
80
mengkaji lebih mendalam faktor-faktor tersebut, tetapi membahasnya berdasarkan
hasil kajian dari berbagai pustaka.
Berbagai studi menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan/lahan
terutama di Sumatera dan Kalimantan adalah penggunaan api atau pembakaran
yang disengaja di dalam kawasan hutan atau lahan karena berbagai alasan.
Bompard dan Guizol (1999) mencatat beberapa tindakan penggunaan api secara
sengaja di Sumatera Selatan, yang kondisinya relatif serupa dengan kondisi di
lokasi penelitian, untuk alasan-alasan antara lain: (1) penyiapan lahan untuk
permukiman transmigrasi, (2) merangsang pertumbuhan pakan bagi hewan
peliharaan, (3) merangsang pertumbuhan pakan bagi satwa buru, dan (4) sebagai
pernyataan ketidakpuasan oleh masyarakat setempat terhadap konsesi hutan yang
mewakili suatu administrasi hutn yang mengabaikan hak-hak mereka atas lahan
dan sumber daya hutan. Di samping itu, Bompard dan Guizol (1999) menegaskan
bahwa sebuah tradisi budidaya pertanian di daerah rawa-rawa yang disebut sonor
merupakan sumber utama kebakaran lahan di berbagai wilayah di Sumatera.
Sonor adalah sebuah bentuk budidaya padi rawa (swamp-rice) yang diterapkan
hanya setelah adanya periode tiga bulan kering di mana vegetasi sepanjang sungai
rawa benar-benar terpapar matahari dan cukup kering untuk dibakar (akhir
September – Oktober).
Pendapat serupa dinyatakan oleh Adinugroho et al. (2005) yang
menyebutkan bahwa kebakaran hutan/lahan di Indonesia disebabkan 99,9% oleh
manusia dan Saharjo (1999) yang memberikan angka 99% untuk penyebab oleh
manusia. Aktivitas penyiapan lahan untuk hutan tanaman industri dan perkebunan
di kedua wilayah tersebut kemungkinan juga berfluktuasi cukup tinggi
sebagaimana diprediksi oleh Casson (2003). Pembukaan lahan baru untuk
perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan meningkat tajam setelah
tahun 1967 dan sempat melambat di awal-awal reformasi sekitar tahun 1997 –
1999, namun kemudian diprediksi akan terus berkembang lagi. Penyiapan lahan
perkebunan tersebut pada umumnya menggunakan cara dengan pembakaran
sehingga berkembangnya usaha perkebunan dapat pula meningkatkan frekuensi
kebakaran hutan/lahan seperti diungkapkan Resosudarmo dan Colfer (2003).
Kegiatan-kegiatan penyiapan lahan tersebut pada umumnya dilakukan pada awal
81
dan akhir musim hujan di mana masih terdapat hari-hari hujan. Hal ini pula
barangkali yang menyebabkan koefisien korelasi yang positif di Kab. Ketapang.
Semua penyebab tersebut di atas pada dasarnya berada di bawah kendali
pemerintah, sehingga jumlah hotspot dapat menjadi indikator dari kinerja
pemerintah. Jumlah hotspot yang masih relatif tinggi, sementara korelasi yang
rendah antara jumlah titik panas dengan kondisi alam yang diwakili oleh curah
hujan dapat menggambarkan bahwa kendali organisasi pemerintah yang
berwewenang terhadap aktivitas-aktivitas penyebab kebakaran hutan/lahan
tersebut masih relatif lemah. Hasil analisis pada sub bab-sub bab berikut akan
membuktikan hal tersebut.
Data titik panas yang sudah memisahkan antara hotpot yang berada di
kawasan hutan dan yang di luar kawasan hutan (lahan) menunjukkan bahwa
persentase dari jumlah akumulasi hotspot di luar kawasan hutan selalu lebih
banyak daripada yang di kawasan hutan (Tabel 3 dan Gambar 7). Sayangnya
masih sulit untuk memperoleh data yang rinci mengenai jumlah hotspot dan
luasan kebakaran pada masing-masing fungsi kawasan hutan dan jenis peruntukan
lahannya. Sebagai gambaran, perbandingan rata-rata persentase jumlah hotspot
antara yang berada di kawasan hutan dengan yang berada di lahan adalah 24,61:
75,39 (Tabel 3)
Tabel 3 Jumlah hotspot menurut peruntukan hutan dan lahan seluruh Indonesia
Peruntukan 2006 2007 2008 2009 2010 Rata2
Kawasan Hutan
Titik 48.481 10.083 5.631 8.654 2.270 15.024 % 33,15 26,60 18,39 21,93 22,98 24.61
Lahan Titik 97.783 27.826 24.985 30.809 7.610 37.803
% 66,85 73,40 81,61 78,07 77,02 75.39
Jumlah Hotspot 146.264 37.909 30.616 39.463 9.880 52.827
Sumber: Dit. PKH 2011
82
Persentase keberadaan hotspot yang lebih besar di luar kawasan hutan
tampaknya tidak diimbangi oleh kinerja organisasi-organisasi pemerintah yang
memangku lahan. Hal ini dapat dilihat dari persentase rata-rata luasan kebakaran
yang ternyata lebih besar untuk kebakaran di kawasan hutan daripada kebakaran
lahan, yakni 57,94 : 42,06 (Tabel 4). Menurut pengamatan langsung dan
penjelasan responden di lapangan, memang instansi yang menangani kehutanan di
tiap tingkatan, baik kabuapten/kota, provinsi maupun nasional, relatif lebih aktif
dalam menangani kebakaran hutan/lahan dan aktivitas tersebut ditunjukkan oleh
lebih tingginya persentase luasan kebakaran yang dicatat instansi-instansi tersebut.
Instansi-instansi pemangku lahan pada umumnya belum memiliki kapasitas untuk
melakukan pengendalian kebakaran. Hasil analisis terhadap kapasitas organisasi
di daerah penelitian akan diuraikan pada sub bab 5.4.
Gambar 7 Grafik jumlah akumulasi hotspot di kawasan hutan dan lahan di luar kawasan hutan seluruh Indonesia tahun 2006 – 2010. (Sumber: Dit. PKH 2011).
Data jumlah titik panas (hotspot), luasan kawasan terbakar dan korelasi-
korelasi tersebut di atas serta kecenderungan jumlah hotspot yang masih
meningkat menurut data sepuluh tahun terakhir menggambarkan bahwa
permasalahan kebakaran hutan/lahan ke depan masih ada dan perlu mendapat
83
perhatian lebih serius. Sementara itu, kecenderungan dalam lima tahun terakhir
yang memperlihatkan arah menurun kemungkinan merupakan indikasi adanya
pengaruh positif dari sistem pengorganisasian yang dibentuk di daerah pada lima
tahun terakhir setelah sempat terhenti pada lima tahun pertama awal era
Reformasi. Detail mengenai keterkaitan pembentukan sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan tersebut dengan kecenderungan jumlah
hotspot dan luasan kebakaran masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Tabel 4 Luas kebakaran di kawasan hutan dan lahan seluruh Indonesia
Peruntukan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata2
Kawasan
Hutan
Ha 5,503 32,199 7,078 6,793 9,791 3,493 10,809
% 40.04 57.27 63.01 42.10 59.48 85.72 57.94
Lahan Ha 8,240 24,020 4,155 9,344 6,671 582 8,835
% 59.96 42.73 36.99 57.90 40.52 14.28 42.06
Jumlah (Ha) 13,742 56,219 11,233 16,137 16,462 4,075
Sumber: Dit.PKH 2011
Hasil kajian tersebut di atas mendukung pendapat yang ada sekarang ini
bahwa faktor alam relatif kurang berpengaruh dan faktor yang sangat berpengaruh
adalah manusia, yaitu orang-orang atau masyarakat yang masih memanfaatkan
pembakaran dalam kegiatan penyiapan lahannya untuk berbagai kepentingan.
Oleh sebab itu, pengendalian kebakaran hutan/lahan perlu diarahkan pada
penghentian atau pengurangan sampai ke titik terendah penggunaan api atau
pembakaran tersebut. Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan hasil penelitian ini memberi kejelasan mengenai organisasi atau
instansi pemerintah yang berwewenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan
faktor manusia tersebut prioritas pada bidang pencegahan kebakaran, dengan
penguatan kapasitas organisasi di tingkat bawah yang memungkinkan pelaksanaan
secara optimal program-program pengawasan kawasan dan peningkatan kesadaran
masyarakat mengenai kebakaran hutan/lahan.
84
5.2. Posisi dan Peranan Organisasi
Posisi dan peranan organisasi di dalam sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan pada penelitian ini dianalisis dari tiga sisi
yaitu (a) profil organisasi, (b) persepsi dari responden praktisi, dan (c) persepsi
responden pakar.
5.2.1. Posisi dan peranan menurut profil organisasi
Analisis dimaksudkan untuk mengetahui posisi dan peranan organisasi pada saat
ini dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Hasil identifikasi terhadap
organisasi-organisasi di tingkat nasional,tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten/kota menunjukkan bahwa berdasarkan profilnya, organisasi-organisasi
yang secara jelas menyebutkan kebakaran hutan/lahan dalam profilnya adalah
sebagai berikut:
• Tingkat nasional ada tiga organisasi, yaitu Dit. PKH, Asdep PKHL, dan
BNPB;
• Tingkat provinsi untuk Riau ada tiga organisasi yaitu: Dishut, Disbun, dan
BLHD, sedangkan untuk Kalimantan Barat terdapat hanya 1 (satu) organisasi
yaitu Dishut.
• Tingkat kabupaten/kota tidak ada satupun organisasi di empat kabupaten/kota
yang diamati yang profilnya secara tegas menyebutkan kebakaran hutan/lahan.
Uraian tentang profil masing-masing organisasi tersebut di atas yang
menunjukkan keterlibatannya dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan adalah
sebagai berikut.
1. Dit. PKH, Kementerian Kehutanan
Dit PKH sesuai dengan namanya sudah menyebutkan secara eksplisit
keterlibatannya dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Hal tersebut
secara jelas tertulis di dalam pernyataan visi dan misi, struktur organisasi,
maupun uraian tugas jabatan di dalam organisasi tersebut. Struktur organisasi
85
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.13/Menhut-
II/2005 mencakup empat jabatan eselon III yaitu Subdit Program dan
Evaluasi, Subdit Pencegahan dan Penanganan Pasca, Subdit Tenaga dan
Sarana, dan Subdit Pemadaman, dan sembilan jabatan eselon IV yaitu Seksi
Program, Seksi Evaluasi, Seksi Pencegahan, Seksi Penanganan Pasca, Seksi
Tenaga, Seksi Sarana, Seksi Pemadaman Wilayah I, Seksi Pemadaman
Wilayah II, dan Sub Bagian Tata Usaha.
2. Asdep PKHL, Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Asdep PKHL berperan dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan
sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
(Permeneg LH) No. 4 Tahun 2005 berupa indikator bagi kegiatan
pengendalian kerusakan hutan dan lahan. Di dalam struktur organisasinya
sesuai dengan Permeneg LH No. 1 Tahun 2005, Asdep PKHL berada di
bawah Deputi III Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan
Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Asdep PKHL, disebut juga Asisten
Deputi 4/III, mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan,
pengawasan penataan, analisis, evaluasi dan laporan di bidang peningkatan
konservasi dan pengendalian kerusakan hutan dan lahan. Di bawahnya
terdapat tiga bidang yaitu: (1) Bidang Pengelolaan Kawasan Non Budidaya,
(2) Bidang Pengendalian Kebakaran hutan/lahan, dan (3) Bidang Pengendalian
Kawasan Budidaya. Peranan dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan
tergambar dari sub bidang yang ada pada Bidang (2) yaitu Sub Bidang Deteksi
dan Advokasi, dan Sub Bidang Pengawasan dan Mitigasi. Uraian tugas
masing-masing sub bidang tersebut cukup jelas diuraikan di dalam Permeneg
LH No. 1 Tahun 2005 tersebut.
3. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)
Posisi dan peranan BNPB dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menjadi
lebih penting daripada sebelumnya ketika masih bernama Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB) sejak terbitnya UU No. 24
Tahun 2007 yang memasukkan kebakaran hutan/lahan sebagai salah satu dari
jenis bencana dan BNPB merupakan organisasi yang diberi mandat untuk
86
mengelolanya. BNPB menangani semua jenis bencana dan struktur
organisasinya menurut Peraturan Presiden RI No. 8 Tahun 2008 dan Peraturan
Kepala BNPB No. 1 Tahun 2008 disusun bukan berdasarkan jenis bencana
yang ditangani melainkan berdasarkan fungsi-fungsi pengelolaan bencana,
yang meliputi pencegahan dan kesiapsiagaan, penanganan darurat, rehabilitasi
dan rekonstruksi, logistik dan peralatan, serta informasi dan hubungan
masyarakat.
BNPB dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan dapat dikatakan
berada pada posisi utama dengan peranan pada semua tahapan pengendalian
kebakaran. Namun demikian, pada prakteknya terutama terhadap kebakaran
hutan/lahan, posisi dan peranan BNPB berubah sesuai tahapan penanganan
bencananya. Pada tahapan tidak terjadi bencana yakni pencegahan dan
kesiapsiagaan serta rehabilitasi dan rekonstruksi BNPB lebih berposisi sebagai
pendukung dengan posisi utama pada organisasi yang tugas dan fungsi
utamanya memangku kawasan di mana kebakaran dapat terjadi. Dalam hal ini,
untuk kawasan hutan adalah Kementerian Kehutanan, dan untuk lahan
perkebunan dan tanaman hortikultura adalah Kementerian Pertanian. Jika
terjadi kebakaran hutan/lahan, sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2007, PP No.
21 Tahun 2008, maupun PP No. 22 Tahun 2008, tanpa pengecualian untuk
kebakaran hutan/lahan seharusnya BNPB langsung mengambil komando
untuk operasi pemadamannya, tetapi dalam prakteknya BNPB masih
menerapkan kesepakatan tidak tertulis di antara organisasi-organisasi yang
menangani kebakaran hutan/lahan, yang dibuat di masa masih Bakornas PB
bahwa Bakornas PB, dan sekarang BNPB, hanya memantau situasi dan tidak
terlibat langsung dalam operasi pemadaman kebakaran sampai dengan situasi
kebakaran hutan/lahan dinyatakan sebagai bencana. Pernyataan status bencana
nasional kebakaran hutan/lahan sampai saat ini belum pernah ada dan
demikian pula peraturan atau kesepakatan tertulis mengenai kriteria dan
indikator bagi bencana kebakaran hutan/lahan yang menjadi landasan bagi
dinyatakannya situasi kebakaran hutan/lahan sebagai bencana.
87
4. Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Riau
Dishut Provinsi Riau dibentuk dengan Perda Riau No. 9 Tahun 2008 yang
menyebutkan secara eksplisit dalam struktur organisasinya sebagai organisasi
yang menangani penanggulangan kebakaran hutan. Hal tersebut tercantum di
dalam Pasal 47 Ayat (1) yang menyatakan adanya Seksi Penanggulangan
Kebakaran Hutan di bawah Bidang Perlindungan Hutan. Namun demikian,
uraian tugasnya secara rinci belum disusun. Dishut Provinsi Riau di dalam
Pusdalkarhutla ditunjuk sebagai Koordinator Bidang Operasi Penanggulangan
(Pemadaman) dan Pemulihan.
5. Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Riau
BLHD Provinsi Riau dibentuk dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Riau No.
16 Tahun 2009. Kebakaran hutan/lahan menjadi salah satu tugas dari Bidang
Pengendalian Kerusakan Lingkungan, khususnya Sub Bidang Pengendalian
Kerusakan Ekosistem Darat sebagaimana tersebut pada Pasal 14 Ayat (1)
Butir c dan d. BLHD Provinsi Riau menurut Pergub Riau No. 6 Tahun 2006
bertindak sebagai Koordinator Sekretariat Bersama Pusdalkarhutla Provinsi
Riau.
6. Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau
Disbun Provinsi Riau dibentuk dengan Perda Provinsi Riau No. 9 Tahun 2008.
Organisasi ini bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan perkebunan. Hal
ini tercermin dalam struktur organisasinya sesuai dengan Pasal 44 Ayat (1) di
mana terdapat Seksi Penanggulangan Kebakaran Kebun pada Bidang
Perlindungan Perkebunan. Di dalam Pusdalkarhutla Disbun Provinsi Riau
ditugasi sebagai Koordinator Bidang Deteksi/Peringatan Dini, Pemantauan
dan Pencegahan.
7. Unit Pelaksana Teknis Daerah Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan
Unit pelaksana teknis daerah penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
(UPT-PKHL) di Kalimantan Barat dibentuk di tingkat provinsi dengan
Peraturan Gubernur nomor 35 tahun 2009. UPT tersebut dibentuk sesuai
dengan amanat di dalam Peraturan Gubernur nomor 54 tahun 2008 mengenai
88
uraian tugas pokok dan fungsi Dishut Provinsi Kalimantan Barat untuk
melaksanakan tugas-tugas teknis operasional penanggulangan kebakaran
hutan/lahan.
Berdasarkan profil tersebut terlihat bahwa penanganan kebakaran
hutan/lahan di tingkat nasional terpecah di tiga organisasi yakni Kemenhut, KLH,
dan BNPB. Selanjutnya, di antara ketiga organisasi tersebut, Kemenhut memiliki
struktur yang relatif lengkap untuk menangani bidang-bidang pengendalian
kebakaran hutan/lahan yaitu pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca-
kebakaran. Hal ini akan menjadi pertimbangan nanti di dalam rancang bangun
sistem pengorganisasian pada akhir bab ini.
Ketiga organisasi di tingkat nasional tersebut ternyata belum berbagi
peranan secara formal, di mana pada saat ini, belum ada sebuah sistem yang
mengoordinaskan peranan-peranan dari ketiga organisasi tersebut. Sistem
pengorganisasian yang berlaku adalah hasil kesepakatan tidak tertulis di antara
organisasi-organisasi di tingkat nasional. Kesepakatan tersebut didasarkan pada
pengaturan yang pernah ada berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup nomor Kep-40/MENLH/09/97 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Nasional Kebakaran Hutan dan Lahan (TKN-KHL), yang membagi posisi dan
peranan organisasi-organisasi pemerintah di tingkat nasional terutama pada
bidang pemadaman. Keputusan tersebut belum dicabut, tetapi juga tidak lagi
menjadi landasan acuan, hanya kandungan aturannya yang tampaknya masih
dipegang sebagai kesepakatan. Kesepakatan tersebut mengatur bahwa pencegahan
dilakukan oleh masing-masing organisasi penanggung jawab kawasan, Kemenhut
bertanggung jawab atas pemadaman pada level bukan bencana, Bakornas PB yang
kemudian menjadi BNPB bertanggung jawab atas pemadaman ketika kebakaran
dinyatakan sebagai bencana, dan KNLH yang menjadi KLH bertanggung jawab
atas penanganan pasca kebakaran, terutama yustisi, serta departemen-departemen
lainnya sebagai pendukung sesuai dengan bidang tugas dan wewenang yang
dimilikinya. Pengaturan tersebut kemudian diperkuat dengan PP nomor 4 tahun
2001 yang memberi mandat kepada Menteri Kehutanan untuk menangani
pemadaman kebakaran lintas provinsi dan lintas batas negara.
89
Hasil identifikasi peranan organisasi pada tingkat provinsi di Riau dan
Kalimantan Barat berdasarkan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan yang ada terdapat perbedaan, yakni pada departementasi dalam
struktur organisasinya. Departementasi pada Pusdalkarhutla di Riau berdasarkan
pada bidang-bidang dari pengendalian kebakaran yang meliputi bidang
deteksi/peringatan dini, pemantauan dan pencegahan, bidang operasi
penanggulangan dan pemulihan, dan bidang evaluasi dan penegakan hukum,
sedangkan di Kalimantan Barat departementasi disusun menurut sektor-sektor
yaitu kehutanan, perkebunan, pertanian, kehewanan dan peternakan, tenaga kerja
dan kependudukan, dan kesehatan.
Perbedaan departementasi tersebut berimplikasi pada wilayah pertanggung-
jawaban di mana organisasi atau instansi yang ditunjuk sebagai penanggung
jawab bidang di Riau bertanggung jawab atas penyelenggaraan bidang tersebut di
semua status kawasan. Sebaliknya, di Kalimantan Barat, sektor-sektor tersebut
mewakili status kawasan sehingga organisasi atau instansi yang menjadi
penanggung jawab suatu sektor akan bertanggung jawab atas seluruh bidang
pengendalian kebakaran di kawasan sektornya. Sebagai contoh, Dishut Provinsi
Kalimantan Barat bertanggung jawab atas pengendalian kebakaran baik
pencegahan, pemadaman maupun penanganan pasca kebakaran di seluruh
kawasan hutan.
Dalam prakteknya di Kalimantan Barat, meskipun organisasi pemangku
kawasan yang seharusnya bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan
pangkuannya, ternyata ketika terjadi kebakaran, peranan tersebut tidak
dilaksanakan dengan benar. Hal ini disebabkan oleh ketidaksiapan organisasi-
organisasi tersebut dengan sumber daya pengendalian kebakarannya.
Ketidaksiapan tersebut karena tidak tersedianya anggaran akibat dari tidak adanya
urusan kebakaran hutan/lahan di dalam struktur organisasinya. Ketersediaan
anggaran sangat ditentukan oleh bidang tugas yang tercermin di dalam struktur
organisasi. Sementara itu, di sisi lain, Pusdalkarhutla tidak juga memiliki
anggaran sendiri karena sesuai dengan mekanisme anggaran, Pusdalkarhutla yang
dianggap bukan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tidak dapat mengelola
anggaran sendiri.
90
Untungnya, di Kalimantan Barat telah dibentuk UPTD-PKHL yang
merupakan SKPD sehingga meskipun hanya pada level eselon III yang pembinaan
teknisnya di bawah Dishut Provinsi, organisasi tersebut dapat mengelola anggaran
sendiri. Peranan UPTD tersebut menurut penjelasan Kepala UPTD terutama
adalah pada bidang pemadaman, sedangkan bidang pencegahan ditangani oleh
masing-masing organisasi pemangku kawasannya dan bidang penanganan pasca-
kebakaran, terutama yustisi ditangani oleh pemegang otoritas penegakan hukum
yaitu Polri, kejaksanaan, dan pengadilan, sesuai dengan tugas dan fungsi yang
tercantum di dalam Pusdalkarhutla.
Kondisi tersebut hanya berlaku di tingkat provinsi, sedangkan di tingkat
kabupaten/kota di Kalimantan Barat adalah serupa dengan kondisi yang ada di
tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota di Riau. Peranan pengendalian
kebakaran hutan/lahan yang ada pada Pusdalkarhutla maupun Satlakdalkarhutla di
di Riau maupun Kalimantan Barat menghadapi problema yang serupa yakni tidak
tersedianya anggaran tersendiri untuk menjalankan peranan tersebut karena alasan
serupa yaitu kedua organisasi tersebut bukan SKPD.
Di samping organisasi-organisasi yang profilnya secara jelas menyebut
kebakaran hutan/lahan, terdapat beberapa organisasi yang selama ini berperan
dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan, meskipun profilnya tidak menyatakan
secara eksplisit hal tersebut. Polri dan Kejagung dapat dimasukkan ke dalam
posisi utama dalam peranan yustisi karena tugas dan fungsi pokok kedua
organisasi tersebut memang di bidang yustisi yang mencakup semua jenis
pelanggaran pidana, termasuk pidana pada kebakaran hutan/lahan. Posisi Dit.
PKH dan Asdep PKHL sebagai pendukung dalam yustisi dilakukan baik dalam
penyediaan data dan informasi sebagai bahan dan keterangan (baket) bagi proses
yustisi maupun dalam penyediaan tenaga penyidik, yakni penyidik pegawai negeri
sipil (PPNS) yang mendampingi penyidik Polri dan Kejagung.
Kementerian Kesehatan juga memiliki organisasi yang berkaitan dengan
penanganan keadaan darurat yaitu Pusat Penanggulangan Krisis (PPK). Organisasi
tersebut dapat mendukung kegiatan pengendalian kebakaran, terutama dari segi
penanganan medis. PPK dibentuk dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
91
1575/SK/XI/2005. Tugas utama PPK adalah melaksanakan perumusan kebijakan
teknis penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan oleh Menteri dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PPK melaksanakan fungsi: (1) penyusunan rancangan kebijakan umum
penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, (2) penyiapan rumusan
kebijakan pelaksanaan dan perumusan kebijakan teknis dalam penanggulangan
krisis dan masalah kesehatan lain, (3) koordinasi pelaksanaan bimbingan dan
pengendalian di bidang pemantauan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan
lain, (4) mobilisasi sumber daya dalam penanggulangan krisis dan masalah
kesehatan lain, (5) mengumpulkan data, menganalisa dan menyajikan informasi
yang berkaitan dengan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, (6)
evaluasi pelaksanaan kebijakan, peraturan dan standar dan program yang
berkaitan dengan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, (7)
pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Berdasarkan tugas dan fungsi
tersebut, PPK dapat mengambil posisi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan
sebagai pendukung dengan peranan sebagai penyedia layanan kesehatan baik bagi
korban kebakaran maupun bagi pelaksana pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Keterlibatan organisasi-organisasi lain pada umumnya adalah juga dalam
operasi pemadaman kebakaran. Kementerian Luar Negeri terlibat sebagai
pendukung terutama dalam fasilitasi keimigrasian ketika terjadi pengerahan
sumber daya pemadaman dari luar negeri dan fasilitasi bagi penyebarluasan
informasi pengendalian kebakaran ke dunia internasional. Kementerian Keuangan
berperan dalam fasilitasi bea dan cukai bagi masuknya barang-barang dalam
mobilisasi bantuan internasional untuk kepentingan operasi pemadaman.
Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) terlibat sebagai pendukung dalam
pencegahan dan pemadaman kebakaran karena adanya Direktorat Manajemen
Pencegahan dan Penanggulangan Bencana di bawah Direktorat Jenderal
Pemerintahan Umum yang dibentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 130
tahun 2003 dan diperbarui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 41
tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri. Salah
satu sub direktorat menangani pencegahan dan penanggulangan kebakaran, tanpa
merinci jenis kebakaran yang dimaksud. Uraian tugas sub direktorat tersebut
92
menunjukkan bahwa organisasi tersebut tidak terlibat dalam operasional
pengendalian kebakaran di lapangan melainkan pada perumusan kebijakan,
fasilitasi, pemantauan dan evaluasi.
Posisi dan peranan organisasi-organisasi tersebut di atas tidak dijelaskan
secara eksplisit, tetapi berdasarkan analisis terhadap profil dan bidang kegiatan
yang selama ini biasa dilakukan peranan-peranan tersebut dapat diidentifikasi
seperti pada Tabel 5 berikut. Tabel tersebut hanya menyajikan organisasi-
organisasi yang dianggap memegang posisi utama, sedangkan Tabel yang
memasukkan juga organisasi-organisasi lain yang menjadi pendukung disajikan
pada Lampiran 8.
Tabel 5 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat nasional menurut profil organisasi
Organisasi Peranan Pencegahan Pemadaman Pasca Kebakaran
Dit. PKH U U P Asdep PKHL P P U
BNPB - U P Kemkes - U U Polri - P U Kejakgung - - U Keterangan: U = posisi utama, P = posisi pendukung
Pada tingkat provinsi, di samping organisasi-organisasi yang sudah
disebutkan di atas yang profilnya menyebutkan secara eksplisit kebakaran
hutan/lahan, terdapat pula beberapa organisasi yang dapat digolongkan sebagai
organisasi yang berperanan dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Seperti di
tingkat nasional, Polda dan Kejaksaan Tinggi di tingkat provinsi serta Polres dan
Kejaksaan Negeri di tingkat kabupaten/kota berada di posisi utama pada peranan
pasca-kebakaran (yustisi). Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla di Kalimantan
Barat mempunyai departementasi berdasarkan wilayah pemangkuan. Oleh sebab
itu, setiap organisasi yang memangku kawasan yang disebutkan di dalam struktur
organisasi Pusdalkarhutla ataupun Satlakdalkarhutla dapat dikatakan menduduki
posisi utama dan berperanan dalam setiap bidang pengendalian kebakaran.
93
Berbeda halnya dengan di Riau, Pusdalkarhutla di tingkat provinsi dan
Satlak-dalkarhutla di tingkat kabupaten/kota memiliki departementasi menurut
bidang-bidang dalam pengendalian kebakaran, sehingga setiap organisasi yang
ditunjuk sebagai penanggung jawab bidang dapat dikatakan sebagai pemegang
posisi utama dan berperanan dalam bidang tersebut. Organisasi-organisasi lain
yang dalam Pusdalkarhutla atau Satlak-dalkarhutla baik di Riau maupun di
Kalimantan ditunjuk sebagai anggota dapat disebut sebagai berada pada posisi
pendukung dengan peranan sesuai dengan bidang di mana organisasi tersebut
ditempatkan.
Berdasarkan analisis tersebut maka posisi dan peranan organisasi-organisasi
di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota di kedua lokasi penelitian (Riau
dan Kalimantan Barat) yang berada di posisi utama dapat dirangkum seperti pada
Tabel 6. Hasil identifikasi selengkapnya terhadap seluruh organisasi disajikan
pada Lampiran 8. Adapun keterkaitan masing-masing organisasi tersebut dengan
pengendalian kebakaran hutan/lahan dapat dilihat dari kedudukan masing-masing
organisasi tersebut di dalam struktur organisasi Pusdalkarhutla seperti pada
Gambar 8 dan Gambar 9. Setiap penanggung jawab sektor, kecuali sektor
kesehatan dan sekretariat, mempunyai tugas yang serupa yaitu: pembinaan
terhadap badan usaha di sektornya, pemantauan, pengarahan, dukungan sumber
daya, dan koordinasi dalam pelaksanaan pengendalian kebakaran di areal/kawasan
yang berada di bawah tanggung jawabnya.
1. Kota Dumai, Provinsi Riau
Tingkat Kabupaten/Kota
Organisasi-organisasi di tingkat kabupaten/kota yang menangani kebakaran
hutan/lahan relatif sama dengan organisasi-organisasi di tingkat provinsi baik di
Riau maupun Kalimantan Barat. Organisasi-organisasi tersebut adalah yang
menangani lingkungan hidup, kehutanan, pertanian, dan perkebunan.
Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan lahan di Kota Dumai
berbentuk Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
94
(Satlakdalkarhutla) Kota Dumai yang dibentuk dengan Peraturan Walikota
Dumai nomor 01 Tahun 2006. Susunan organisasi Satlakdalkarhutla Kota
Dumai ditetapkan dengan Keputusan Walikota Dumai nomor
334/PEREKO/2006. Satlakdalkarhutla dipimpin oleh Wakil Walikota. Dinas
Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) Kota Dumai menduduki
posisi utama dengan menjadi Sekretariat Satlak dan Kepala Distanbunhut Kota
bertindak sebagai Ketua Pelaksana Harian Satlak.
Tabel 6 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota menurut profil organisasi
No. Organisasi Peranan
Sekretariat Pencegahan Pemadaman Pasca Kebakaran
A. Riau 1. Dishut Prov. Riau - P U P 2. Disbun Prov. Riau - U P P 3. BLHD Prov. Riau U - P P 4. Polda Riau - - P U
B. Kalimantan Barat 1. Dishut Prov. Kalbar - U U P 2. Disbun Prov. Kalbar - U U P 3. Distan Prov. Kalbar - U U P 4. Distamben Prov. Kalbar - U U P 5. BLHD Prov.Kalbar U - - P 6. Polda Kalbar - - P U
C. Kota Dumai 1. DistanbunhutKota Dumai U P U P 2. Dinas KPLH Kota Dumai - U P - 3. Polresta Dumai - - P U
D. Kab. Inderagiri Hulu 1. BLHD Kab. Inhu U - - P 2. Dishutbun Kab. Inhu - U U P 3. Polres Inhu - - P U
E. Kab. Ketapang 1. Dishut Kab. Ketapang - U U P 2. Disbun Kab. Ketapang - U U P 3. BLHD Kab. Ketapang U - - P 4. Polres Ketapang - - P U
F. Kab. Kubu Raya 1. BLHD Kab.Kubu Raya U - - P 2. Dishutbun - U U P 3. Polres Pontianak - - P U
Keterangan: U = posisi utama, P = posisi pendukung
95
Gambar 8 Struktur organisasi Pusdalkarhutla Provinsi Riau (Sumber: Peraturan Gubernur Riau nomor 6 tahun 2006).
Di samping itu, Kepala Bidang Kehutanan sebagai Sekretaris dan
Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai Koordinator
Bidang Penanggulangan dan Wakil Koordinator Bidang Monitoring dan
Pencegahan. Namun demikian, profil organisasi Distanbunhut Kota Dumai sesuai
dengan Peraturan Daerah Kota Dumai nomor 13 tahun 2005 yang merupakan
dasar pembentukan instansi tersebut baik dalam struktur organisasi maupun uraian
tugas jabatan-jabatannya sama sekali tidak menyebutkan tentang kebakaran
96
hutan/lahan. Urusan kebakaran ditangani di tingkat eselon IV yaitu Seksi
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam pada Bidang Kehutanan.
Gambar 9 Struktur organisasi Pusdalkarhutla Provinsi Kalimantan Barat (Sumber: Keputusan Gubernur Kalimantan Barat nomor 164 tahun 2002).
97
2. Kabupaten Inderagiri Hulu, Provinsi Riau
Kabupaten Inderagiri Hulu belum memiliki sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan. Meskipun termasuk daerah rawan
kebakaran, sejak era Reformasi di tahun 1999 kabupaten ini belum
membangun kembali sistem pengendalian kebakarannya. Sistem yang berlaku
adalah Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
(Satlakdalkarhutla) sebagai bagian dari Pusdalkarhutlada yang dibangun
sebelum era Reformasi tersebut. Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD)
yang sebelumnya bernama Bapedalda Kabupaten bertindak sebagai Sekretariat
dan Dinas Kehutanan Kabupaten Inderagiri Hulu sebagai Ketua Pelaksana
Harian, sementara sebagai koordinator pelaksana pemadaman kebakaran sejak
tahun 2003 ditunjuk Manggala Agni Daerah Operasi (Daops) Rengat.
3. Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat
Pengendalian kebakaran hutan/lahan di Kabupaten Ketapang seperti halnya di
tingkat provinsi ditangani oleh masing-masing sektor. Pengorganisasian
pengendalian kebakaran masih menggunakan organisasi masa Orde Baru yaitu
Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran hutan/lahan di mana bupati sebagai
penanggung jawab. Penunjukan instansi-instansi yang bertanggung jawab atas
masing-masing sektor dikaitkan dengan struktur organisasi dan uraian tugas
instansi-instansi yang bersangkutan menurut Peraturan Daerah nomor 11
tahun 2008 secara singkat disampaikan sebagai berikut.
Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang bertanggung jawab atas
kebakaran di kawasan hutan, tetapi di dalam struktur organisasinya tidak
terdapat bidang atau seksi yang khusus menangani kebakaran hutan. Dinas
Perkebunan Kabupaten yang bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan
kebun memiliki seksi yang menangani kebakaran lahan/kebun. Dinas
Pertambangan Kabupaten dan Dinas Pertanian dan Peternakan yang masing-
masing menangani sektor pertambangan dan sektor pertanian dan peternakan
juga tidak memiliki bagian di dalam struktur organisasinya yang menangani
kebakaran. Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kabupaten, yang dulunya adalah
98
Bapedalda Kabupaten, yang sebelumnya bertindak sebagai Sekretariat
Satlakdalkarhutla Kabupaten juga tidak memiliki unsur yang menangani
kebakaran, bahkan dengan diturunkannya level jabatan dari eselon II (badan)
menjadi eselon III (kantor) menurut Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang
nomor 12 tahun 2008, posisi KLH Kabupaten hanya sebagai pendukung.
4. Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat
Kabupaten Kubu Raya merupakan kabupaten baru, hasil dari pemekaran
Kabupaten Pontianak berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2007.
Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan belum terbentuk, tetapi
sementara ditangani oleh Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Transmigrasi
(Dishutbuntrans) Kabupaten. Pelaksanaan operasional dilakukan bersama
dengan Manggala Agni Daerah Operasi Pontianak yang bermarkas di Rasau
Jaya yang berada di wilayah Kabupaten Kubu Raya. Dishutbuntrans
Kabupaten Kubu Raya memang berada di posisi utama dalam pengendalian
kebakaran hutan/lahan tetapi tidak ada unsur di dalam struktur organisasi
maupun uraian tugas jabatan-jabatan di organisasinya yang secara jelas
menyebutkan kebakaran hutan/lahan. Organisasi-organisasi lain di
pemerintahan kabupaten juga tidak ada yang secara jelas menyebutkan hal
tersebut.
Hasil pengamatan terhadap profil organisasi tersebut memperlihatkan bahwa
peranan organisasi dalam pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan
telah secara formal didefinisikan pada tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten/kota, tetapi justru belum terjadi di tingkat nasional. Pada tingkat
nasional, Kementerian Kehutanan yang menurut PP nomor 4 tahun 2001 Pasal 23
bertanggung jawab atau berperan dalam penanggulangan kebakaran hutan/lahan
jika dampaknya telah melintas batas provinsi dan/atau batas negara, tetapi
menurut PP nomor 45 tahun 2004 yang menjadi landasan utamanya justru
membatasi diri pada penanganan kebakaran hutan saja.
Hal tersebut di atas menunjukkan adanya diskrepansi peranan (Brown &
Harvey 2006) karena Kemenhut diharapkan menangani kebakaran tidak hanya di
kawasan hutan melainkan juga di lahan. Peranan yang diberikan oleh PP nomor 4
99
tahun 2001 seharusnya diterima oleh Kemenhut dengan penuh tanggung jawab
karena di setiap peranan ada harapan dan tanggung jawab (Martin & MacNeil,
2007) dan peranan tersebut diberikan karena adanya kepercayaan (Wehmeyer et
al. 2001) bahwa Kemenhut memiliki kapabilitas untuk menjalankannya.
Kepercayaan (trust) dalam hubungan antar organisasi, apapun organisasinya baik
bisnis maupun pemerintahan, merupakan sesuatu yang biasanya diperjuangkan
dengan sangat keras karena menurut berbagai literatur yang dikutip Wehmeyer et
al (2001) kepercayaan merupakan sebuah faktor yang sangat krusial bagi operasi
jejaring yang efisien. Kepercayaan serupa diberikan juga kepada organisasi yang
menangani kehutanan di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota seperti
terungkap pada hasil angket maupun wawancara.
Asdep PKHL yang secara tegas menyebutkan keterlibatannya pada
kebakaran hutan/lahan pada kenyataannya mengambil peranan lebih pada
penanganan pasca kebakaran yakni berhubungan dengan dampak kebakaran
hutan/lahan. Di sisi lain, BNPB juga belum secara tegas mengambil semua
peranan seperti yang diamanatkan oleh UU nomor 24 tahun 2007. Ketentuan di
masa lalu ketika masih bernama Bakornas PB, organisasi tersebut terlibat dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan, khususnya dalam operasi pemadaman jika
kondisi kebakaran dianggap telah menjadi bencana. UU tersebut kemudian
memberikan peranan penuh kepada BNPB untuk menangani bencana kebakaran
hutan/lahan. Namun demikian, sampai saat ini kriteria bencana kebakaran
hutan/lahan belum ditetapkan sehingga peranan BNPB tersebut masih belum jelas.
Keadaan tersebut di atas menunjukkan bahwa di tingkat nasional,
pembagian peranan memang belum ada kesepakatan di antara organisasi-
organisasi yang terlibat. Situasi yang terjadi masih menunjukkan adanya apa yang
disebut oleh Brown dan Harvey (2006) sebagai role ambiguity maupun role
conflict. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang belum jelas dan utuh dari
masing-masing organisasi tentang posisi dan peranannya, karena memang belum
ada kesepakatan formal mengenai hal tersebut. Suatu sistem pengorganisasian
harus segera dibangun dengan memberikan kejelasan mengenai posisi dan
peranan dari masing-masing unsur di dalam sistem tersebut. Jika melibatkan
100
berbagai organisasi, maka posisi dan peranan dari masing-masing organisasi yang
dilibatkan juga harus jelas.
5.2.2. Posisi dan peranan organisasi menurut pendapat responden praktisi
Posisi dan peranan organisasi selain dianalisis berdasarkan profil organisasi
juga dianalisis berdasarkan hasil pengisian angket penelitian dan wawancara
dengan para responden dari organisasi-organisasi yang diamati. Hasil pengujian
terhadap validitas dan reliabilitas angket penelitian memperoleh angka validitas
75% dan reliabilitas 80%. Hal tersebut menunjukkan bahwa angket tersebut layak
untuk digunakan. Jumlah angket yang diterima dalam keadaan terisi lengkap
sebanyak 72% dari jumlah angket yang dibagikan kepada responden dari
organisasi yang diamati di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Persentase dari jumlah angket yang kembali tersebut sebenarnya telah
diperkirakan sebesar sekitar 75%. Pencapaian 100% sulit dicapai karena beberapa
alasan antara lain yaitu:
1. rendahnya perhatian responden terhadap penelitian tersebut, terutama dari para
responden yang jabatannya tidak pernah berkaitan dengan pengendalian
kebakaran atau secara pribadi responden yang bersangkutan tidak memiliki
perhatian ataupun terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan;
2. responden tidak berada di tempat tugas selama penelitian dilaksanakan,
sehingga meskipun angket penelitian telah diserahkan, responden tersebut
tidak mengetahuinya;
Hasil pengisian angket penelitian oleh responden di dalam organisasi-
organisasi yang diamati menunjukkan pemahaman responden terhadap posisi dan
peranan organisasinya dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan dapat disajikan
secara ringkas di bawah ini.
1.
Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran
Identifikasi terhadap keterlibatan organisasi-organisasi di tingkat nasional
dalam dalkarhutla boleh dikatakan tepat sesuai dengan hasil pengisian angket
101
penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan
organisasinya terlibat atau berperan dalam dalkarhutla (Gambar 10). Hampir
separuh (41,67%) dari jumlah responden bahkan sangat yakin mengenai hal
tersebut. Jika dilihat dari asal organisasinya, semua organisasi yang diamati
terdapat respondennya yang menjawab setuju atau sangat setuju bahwa
organisasinya terlibat dalam dalkarhutla.
Gambar 10 Keterlibatan organisasi di tingkat nasional dalam dalkarhutla
Para responden adalah pejabat di organisasi-organisasi tersebut yang
tentunya mengetahui dan memahami dengan baik mengenai terlibat tidaknya
organisasinya dalam dalkarhutla. Beberapa responden yang ragu-ragu adalah
mereka yang masih baru di organisasinya tersebut atau jabatannya memang tidak
berkaitan sama sekali dengan dalkarhutla. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan
para pejabat tersebut secara pribadi dalam dalkarhutla. Gambar 11 menunjukkan
bahwa hampir sepertiga responden menyatakan tidak pernah terlibat dalam
kegiatan dalkarhutla dan bila ditambahkan dengan yang ragu-ragu maka hampir
separuh responden menyatakan hal tersebut.
Jika dikaitkan dengan profil organisasi pada sub bab tersebut di atas, hal ini
dapat menggambarkan bahwa keterlibatan organisasi dalam dalkarhutla lebih
disebabkan oleh kepedulian pejabatnya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan
102
dalkarhutla. Menurut pengamatan penulis selama bertugas di bidang dalkarhutla,
banyak organisasi yang menurut profilnya tidak berperanan dalam dalkarhutla,
pada periode pejabat tertentu hampir selalu terlibat dalam dalkarhutla dalam
berbagai bentuk seperti menghadiri rapat-rapat di tingkat nasional maupun tingkat
provinsi dan internasional. Namun, pada periode yang lain dengan pejabat yang
lain, organisasi tersebut seringkali sulit untuk dilibatkan karena kurangnya
perhatian dari pejabatnya.
Keinginan organisasi-organisasi untuk berperan dalam dalkarhutla
sebenarnya juga dinyatakan oleh para responden di mana lebih dari 80%
responden menyatakan bahwa dalkarhutla perlu melibatkan banyak organisasi dan
lebih dari 80% pula menyatakan bahwa organisasinya perlu terlibat dalam
dalkarhutla. Namun demikian alasannya tidak terkait dengan apa yang disebut
dalam teori peranan organisasi sebagai motivasi pelayanan publik atau public
service motivation atau PSM yakni keinginan atau motivasi untuk melayani
kepentingan publik (Moynihan & Pandey 2007). Pengendalian kebakaran
hutan/lahan merupakan kepentingan publik, untuk itu maka pengendaliannya
ditangani oleh pemerintah. Beberapa indikasi PSM yang belum terpenuhi jika
menggunakan kriteria PSM (Moynihan & Pandey 2007) yaitu bahwa mereka
seharusnya (a) berkontribusi positif terhadap upaya pengendalian kebakaran; (b)
menunjukkan level komitmen yang tinggi terhadap kinerja pengendalian
kebakaran; (c) bekerja lebih keras karena percaya bahwa pekerjaannya adalah
Gambar 11 Keterlibatan responden dari organisasi di tingkat nasional dalam kegiatan dalkarhutla.
103
penting; dan (d) terus meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya sehingga
kinerjanya tinggi dan tingkat kepuasan atas pekerjaannya juga lebih tinggi.
Alasan untuk berperan pada umumnya adalah untuk berbagi sumber daya
karena tidak ada satupun organisasi yang memiliki semua sumber daya yang
dibutuhkan untuk pengendalian kebakaran dan sumber daya yang dimiliki pada
umumnya masih sangat kurang untuk menjalankan peranannya secara optimal.
Namun demikian, usaha untuk dapat memiliki sumber daya atau kapasitas dan
kapabilitas pada tingkat yang optimal tampaknya masih kurang kuat. Hal ini juga
didukung oleh pendapat di dalam focus group discussion (FGD) di tingkat
nasional maupun provinsi dan kabupaten/kota.
Di tingkat provinsi, baik di Riau maupun Kalimantan Barat sebagian besar
responden juga menyatakan hal serupa bahwa organisasinya terlibat dalam
dalkarhutla, tetapi persentase jumlah responden yang menyatakan hal tersebut
relatif lebih rendah dibandingkan dengan di tingkat nasional. Organisasi yang
diamati di kedua provinsi tersebut adalah organisasi yang secara formal terdaftar
di dalam Pusdalkarhutlada, sehingga para pejabatnya seharusnya sudah
mengetahui hal tersebut. Di Riau bahkan masih ada (4,76%) pejabat di Dishut
Provinsi yang ragu-ragu mengenai keterlibatan organisasinya dalam dalkarhutla.
Para responden dari organisasi-organisasi di tingkat kabupaten/kota yang
termasuk sebagai penanggung jawab bidang atau sektor dalam Satlakdalkarhutla
hampir seluruhnya mengetahui bahwa organisasinya terlibat dalam dalkarhutla,
kecuali di Kabupaten Inderagiri Hulu ada sebagian kecil (12,5%) yang masih
ragu-ragu. Hal ini menggambarkan tingkat pengetahuan responden yang relatif
baik tentang peranan organisasi dalam dalkarhutla. Mereka yang masih ragu-ragu
mungkin karena pejabat baru yang datang bukan dari internal organisasi tersebut
atau yang tidak pernah terlibat dalam kegiatan dalkarhutla.
2.
Peranan dalam Sistem Peringatan dan Deteksi Dini (SPDD) Kebakaran
Sistem peringatan dan deteksi dini (SPDD) kebakaran hutan/lahan
mencakup dua hal yang sebenarnya terpisah yaitu sistem peringatan kebakaran
104
dan sistem deteksi kebakaran (Suprayitno & Syaufina 2008). Sistem peringatan
merupakan bagian dari pencegahan kebakaran sedangkan sistem deteksi
merupakan bagian dari pemadaman kebakaran. Kedua sistem tersebut di berbagai
negara termasuk Indonesia memanfaatkan terutama data dan informasi cuaca dan
peta. Oleh sebab itu, organisasi-organisasi yang dapat menyediakan, mengolah,
dan atau menyajikan data dan informasi cuaca menduduki posisi utama dalam
pengendalian kebakaran.
Gambar 12 menunjukkan bahwa hampir 90% responden dari organisasi-
organisasi di tingkat nasional menyatakan setuju (50%) dan sangat setuju
(37,50%) bahwa organisasinya berperan dalam SPDD. Organisasi yang seluruh
respondennya menyatakan bahwa organisasinya perlu berperan dalam SPDD
yaitu: Dit. PKH, Dit. Linbun, Asdep PKHL, BMKG, Bakosurtanal dan LAPAN.
Ketiga organisasi yang terakhir tersebut memang mempunyai tugas dan fungsi
yang sangat berkaitan dengan penyediaan data dan informasi untuk SPDD,
sedangkan ketiga organisasi yang pertama, berdasarkan hasil wawancara diketahui
memiliki alasan yang berbeda-beda.
Responden dari Dit. PKH menyatakan bahwa organisasinya berperan dalam
mengolah dan menyajikan informasi peringatan dan deteksi dini kebakaran.
Informasi yang dimaksud meliputi peringkat bahaya kebakaran (fire danger
rating) dan lokasi serta jumlah titik panas (hotspot). Informasi tersebut disebarkan
Gambar 12 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam sistem peringatan dan deteksi dini kebakaran hutan/lahan.
105
kepada berbagai instansi dan publik melalui sistem komunikasi radio terpadu
(SKRT) Kementerian Kehutanan dan media massa cetak maupun media massa
elektronik. Responden dari Dit. Linbun menyatakan bahwa organisasinya
berperan mendistribusikan informasi bahaya kebakaran dan lokasi titik panas
melalui sistem komunikasi di Kementerian Pertanian terutama kepada jajaran
instansi dan badan usaha pertanian dan perkebunan di seluruh provinsi. Peranan
Asdep PKHL menurut respondennya adalah menyebarluaskan informasi titik
panas kepada badan-badan lingkungan hidup di provinsi dan masyarakat..
Responden dari organisasi-organisasi tingkat provinsi maupun tingkat
kabupaten/kota baik di Riau maupun Kalimantan Barat sebagian besar
menyatakan organisasinya terlibat dalam SPDD. Keterlibatan tersebut, menurut
hasil wawancara terutama adalah sebagai penerima informasi dan penyebarluas
informasi. Organisasi-organisasi yang diamati di tingkat provinsi menerima
informasi peringkat bahaya kebakaran dan titik panas secara harian dari tingkat
nasional yaitu Dit. PKH. Organisasi-organisasi tersebut memilah-milah informasi,
terutama titik panas (hotspot), tersebut menurut lokasi kabupaten/kotanya dan
menyampaikan informasi tersebut kepada instansi serupa, misalnya instansi
kehutanan di tingkat provinsi kepada instansi kehutanan di tingkat kabupaten/kota
di mana terdapat titik panas pada waktu tersebut. Instansi-instansi di tingkat
kabupaten/kota tersebut selanjutnya menyampaikan informasi SPDD tersebut
kepada instansi-instansi pemda setempat melalui surat-menyurat atau
telekomunikasi dan kepada publik di wilayahnya melalui media massa lokal.
Pengakuan para responden mengenai keterlibatan organisasi dalam SPDD
tersebut di atas menunjukkan bahwa sebuah peranan “dikeroyok” oleh begitu
banyak organisasi tanpa kejelasan peranan spesifik dari masing-masing organisasi
yang terlibat tersebut, sehingga yang terjadi adalah konflik peranan (role
conflicts). Langkah yang harus ditempuh untuk menghindarkan konflik peranan
yang membuat peranan tersebut tidak dapat dijalankan secara efektif dan efisien
adalah membuat accurate descriptions of expectations (uraian yang tepat
mengenai hal-hal yang diharapkan) dari peranan tersebut dan menunjuk pemimpin
atau organisasi yang menduduki posisi utama dalam peranan tersebut (Martin &
MacNeil 2007).
106
107
3. Peranan dalam pencegahan
Peranan dalam pencegahan kebakaran hutan/lahan seperti ditunjukkan pada
Gambar 13 tampaknya juga menjadi pilihan sebagian besar responden dari
organisasi-organisasi di tingkat nasional. Responden yang memilih peranan dalam
pencegahan bagi organisasinya hampir seluruhnya berasal dari organisasi-
organisasi yang memangku kawasan yaitu Dit. PKH, Dit. Linbun dan Dit. Lintan.
Hal tersebut tampaknya dipahami oleh para responden bahwa kebakaran
hutan/lahan terjadi di kawasan-kawasan yang berada di bawah pemangkuan dan
tanggung jawab mereka dan disadari bahwa mereka harus mengambil peran dalam
pencegahan kebakaran.
Responden dari organisasi-organisasi yang menjadi koordinator atau
penanggung jawab bidang atau sektor di dalam Pusdalkarhutla di tingkat provinsi
maupun mereka yang berada di tingkat kabupaten/kota baik di Riau maupun
Kalimantan Barat sebagian besar, sekitar 95%, juga memilih setuju organisasinya
berperan di dalam pencegahan kebakaran hutan/lahan. Organisasi-organisasi
tersebut adalah pemangku kawasan sehingga hal tersebut dapat mengindikasikan
bahwa masing-masing organisasi tersebut merasa bertanggung jawab atas
pencegahan di kawasannya.
Gambar 13 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam pencegahan kebakaran.
108
4. Peranan dalam pemadaman
Preferensi responden dari organisasi-organisasi di tingkat nasional mengenai
peranan organisasinya dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan cukup beragam.
Dibandingkan dengan peranan dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran
maupun pencegahan kebakaran yang dipilih oleh lebih dari 50% bahkan hampir
oleh seluruh responden, peranan dalam pemadaman dipilih oleh kurang dari 50%
responden (Gambar 14). Hampir separuh responden lainnya menyatakan bahwa
organisasinya tidak berperan dalam pemadaman kebakaran. Para responden yang
menyatakan bahwa organisasinya berperan dalam pemadaman kebakaran
semuanya berasal dari Dit. PKH dan BNPB, serta sebagian dari Dit. Linbun,
sementara responden dari organisasi-organisasi lainnya di tingkat nasional
menyatakan tidak setuju atau ragu-ragu.
Para responden dari organisasi-organisasi di tingkat provinsi maupun
tingkat kabupaten/kota di Kalimantan Barat berpendapat serupa dengan mereka di
tingkat nasional bahwa organisasinya berperanan dalam pemadaman. Hal ini
berbeda dengan di Riau di mana responden yang menyatakan organisasinya
berperanan dalam pemadaman relatif lebih rendah, yakni di bawah 50% dari total
responden di daerah tersebut. Hal ini menggambarkan pengaruh dari posisi dan
peranan organisasi mereka di dalam Pusdalkarhutlada di mana organisasi-
organisasi di Kalimantan Barat bertanggung jawab atas kebakaran di sektornya,
yang artinya setiap organisasi tersebut bertanggung jawab atas semua bidang
Gambar 14 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam pemadaman kebakaran.
109
dalam pengendalian kebakaran, termasuk pemadamam. Di Riau, pembagian tugas
dan tanggung jawab dalam Pusdalkarhutlada berdasarkan bidang-bidang dalam
pengendalian kebakaran, sehingga hanya organisasi-organisasi yang termasuk
dalam bidang pemadaman yang menyatakan keterlibatan atau peranannya.
Hal tersebut dapat dikonfirmasi dari hasil angket penelitian di mana
responden di tingkat provinsi di Riau adalah hampir seluruhnya (lebih dari 95%)
berasal dari Dishut Provinsi, yang dalam Pusdalkarhutla bertanggung jawab atas
bidang operasi pemadaman. Hal tersebut pada tingkat kabupaten/kota, kurang
nampak perbedaan antara bidang pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca
kebakaran karena organisasi yang ditunjuk menangani bidang-bidang tersebut
yakni kehutanan dan perkebunan kebetulan bergabung dalam satu instansi, yaitu
Distanbunhut Kota Dumai dan Dishutbun Kabupaten Inderagiri Hulu.
5. Peranan dalam penanganan pasca kebakaran
Komposisi jumlah responden dari organisasi-organisasi di tingkat nasional
yang menyatakan peranan organisasinya dalam penanganan pasca kebakaran
cukup menyebar (Gambar 15), namun lebih dari separuh jumlah responden
menyatakan keterlibatan organisasinya dalam penanganan pasca kebakaran.
Organisasi-organisasi yang sebagian besar respondennya memilih organisasinya
berperan adalah Dit. PKH, Dit. Linbun dan Asdep PKHL, sedangkan organisasi
lainnya yang ada respondennya yang memilih peranan tersebut adalah BNPB dan
Bakosurtanal.
Para responden di tingkat provinsi di Riau, 47,5% menyatakan bahwa
organisasinya berperanan dalam penanganan pasca kebakaran, selebihnya yaitu
38,1% dan 14,4% menyatakan tidak terlibat dan ragu-ragu. Pada tingkat
kabupaten/kota di Dumai maupun Inderagiri Hulu terjadi hal yang serupa. Alasan
mengenai hal ini kemungkinan sama dengan alasan pada peranan di dalam
pemadaman yakni berkaitan dengan pembagian tanggung jawab dalam
pengendalian kebakaran baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota
yang berdasarkan bidang-bidang.
110
Selanjutnya, ketika dirinci bentuk keterlibatan tersebut, responden dari Dit.
PKH lebih memilih terlibat dalam rehabilitasi kawasan bekas kebakaran dan
pemulihan korban (satwa), sedangkan responden dari Dit. Linbun dan Asdep
PKHL lebih memilih keterlibatan dalam yustisi kebakaran. Responden BNPB
memilih keterlibatan dalam pemulihan korban (manusia), dan responden dari
Bakosurtanal memilih keterlibatan dalam proses yustisi.
Hal yang serupa dengan yang ada pada peranan pemadaman di Kalimantan
Barat terjadi pula pada peranan dalam penanganan pasca kebakaran di provinsi
tersebut. Para responden dari organisasi-organisasi baik di tingkat provinsi
maupun di tingkat kabupaten/kota juga menyatakan bahwa organisasinya
berperanan dalam penanganan pasca kebakaran. Alasannya pun tampaknya serupa
yakni bahwa masing-masing organisasi tersebut bertanggung jawab bukan hanya
pada bidang pengendalian tertentu melainkan pada semua bidang di sektornya
masing-masing.
Posisi dan peranan organisasi di tingkat nasional, tingkat provinsi dan
tingkat kabupaten/kota berdasarkan hasil dari pengisian angket penelitian dapat
dirangkum seperti berturut-turut pada Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9.
5.2.3 Posisi dan peranan organisasi menurut pendapat responden pakar
Analisis ini dimaksudkan untuk memperoleh pandangan dari para pakar di
bidang kelembagaan dan pakar di bidang kebakaran mengenai posisi dan peranan
Gambar 15 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam pasca-kebakaran.
111
Tabel 7 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat nasional menurut pendapat responden praktisi
No. Organisasi Peranan
SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh % Manusia Satwa 1 Dit. PKH √ √ √ - √ - √ 5 19,2 2 Dit. Lintan - √ - - - - - 1 3,8 3 Dit. Linbun √ √ √ √ - - - 4 15,4 4 Asdep PKHL √ √ - √ - - - 3 11,5 5 BNPB - - √ - - √ - 2 7,7 6 Bappenas - - - - - - - 0 0 7 BMKG √ - - - - - - 1 3,8 8 Basarnas - - - - - √ - 1 3,8 9 Bakosurtanal √ - - √ - - - 2 7,7 10 LAPAN √ - - - - - - 1 3,8 11 Kemdagri - - - - - - - 0 0 12 Kemlu - - - - - - - 0 0 13 Kemsos - - - - - √ - 1 3,8 14 Kemkes - - - - - √ - 1 3,8 15 Kemhub - - - - - - - 0 0 16 Kemkeu - - - - - - - 0 0
817 TNI - - √ - - √ - 2 7,7 18 Polri - - - √ - - - 1 3,8 19 Kejakgung - - - √ - - - 1 3,7 20 APHI - - - - - - - 0 0 21 GPPI - - - - - - - 0 0
26 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran; Pulih = pemulihan korban
Tabel 8 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat provinsi menurut pendapat responden praktisi
No. Organisasi Peranan
SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh % Manusia Satwa A. Riau
1. Dishut Prov. √ √ - - √ - √ 4 22,2 2. Disbun Prov. √ √ √ √ √ - - 5 27,8 3. Distan Prov. √ √ - √ √ - - 5 27,8 4. BLHD Prov √ - √ - √ √ - 4 22,2
18 100 B. Kalbar
1. Dishut Prov. √ √ √ √ √ - √ 6 35,3 2. Disbun Prov. √ √ √ √ √ - - 6 35,3 3. Distan Prov. √ - - √ √ - - 3 17,6 4. BLHD Prov √ - - - √ - - 2 11,8
17 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran;
112
No. Organisasi Peranan
SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh % Manusia Satwa Pulih = pemulihan korban
Tabel 9 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat kabupaten/kota menurut pendapat responden praktisi
No. Organisasi Peranan
SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh % Manusia Satwa A. Kota Dumai
1. Distanbunhut √ √ √ √ √ - - 5 62,5 2. Satpol PP - - √ - - - - 1 12,5 3. KLH √ - - √ - - - 2 25.0
8 100 B. Kab. Inhu
1. Dishutbun √ √ √ √ √ - - 5 62,5 2. Satpol PP - - √ - - - - 1 12,5 3. BLHD √ - - √ - - - 2 25,0
8 100 C. Kab. Ketapang - -
1. Dishut √ √ √ √ √ - - 5 41,7 2. Disbun. √ √ √ √ √ - - 5 41,7 3. BLHD √ - - √ - - - 2 16,6
12 100 D. Kab. Kubu Raya
1. Dishutbuntrans √ √ √ √ √ - - 5 71,4 2. BLHD √ - - √ - - - 2 28,6
7 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran; Pulih = pemulihan korban
organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Hal ini selanjutnya bersama dengan hasil analisis posisi dan peranan menurut
profil organisasi dan pendapat praktisi dari organisasi-organisasi tersebut di atas
dipergunakan dalam merancang bangun sistem pengorganisasian. Para pakar
tersebut terdiri atas tiga orang pakar di bidang kebakaran hutan yaitu seorang
praktisi dari Kementerian Kehutanan dan dua orang akademisi dari Fakultas
Kehutanan IPB, seorang pakar di bidang kelembagaan dari Fakultas Kehutanan
IPB, serta seorang pakar di bidang bencana alam dari BNPB.
113
Pengolahan data dengan perangkat analisis Interpretive Structural Modeling
(ISM) memperoleh gambaran mengenai posisi dari organisasi-organisasi yang
diamati dalam setiap aspek dari pengendalian kebakaran hutan/lahan. Posisi
organisasi yang penting sebagai key element (Eriyatno 2003) adalah organisasi
yang menduduki peringkat pertama yaitu yang di dalam diagram model struktur
berada di level terbawah. Level ini menggambarkan bahwa elemen atau dalam hal
ini organisasi tersebut memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang terbesar
dengan tingkat ketergantungan (dependence) terendah. Hasil dari analisis ISM ini
dapat ditafsirkan bahwa organisasi atau organisasi-organisasi yang berada di level
terbawah tersebut menduduki posisi terpenting (kunci) dalam aspek yang diamati.
Adapun aspek-aspek yang diamati yaitu: (1) perumusan kebijakan, (2) sistem
peringatan dan deteksi kebakaran, (3) pencegahan kebakaran, (4) pemadaman
kebakaran, (5) rehabilitasi kawasan bekas kebakaran, dan (6) yustisi kebakaran.
Posisi juga dibedakan tingkatannya menurut tingkatan pemerintahan yaitu tingkat
nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota.
a. Posisi dan peranan dalam perumusan kebijakan
Hasil identifikasi terhadap organisasi-organisasi di tingkat nasional
menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam tiga posisi yang ditunjukkan pada Matriks DP-D yaitu independent
(kwadran IV), dependent (kwadran II) dan autonomus (kwadran I). Organisasi
yang berada pada posisi independent, yaitu Dit. PKH, Dit. TD-BNPB, Dit.
Linbun, dan Bappenas (Gambar 16.a) memiliki pengaruh kuat terhadap
organisasi-organisasi lain dalam merumuskan kebijakan pengendalian kebakaran
hutan/lahan. Organisasi-organisasi inilah yang diharapkan berperan utama dalam
perumusan kebijakan tersebut.
Sementara itu, tidak ada satupun organisasi yang berada pada posisi linkage
(kwadran III). Posisi ini menggambarkan pengaruh yang kuat tetapi tingkat
keterkaitannya dengan organisasi lain juga tinggi. Sedangkan organisasi yang
berada di kwadran II adalah organisasi yang bergantung pada organisasi lain.
Dengan demikian, perumusan kebijakan akan lebih ditentukan oleh keempat
114
organisasi yang tersebut di atas. Selanjutnya, berdasarkan struktur hirarkinya
(Gambar 16.b) Dit. PKH merupakan organisasi yang berada di posisi utama, yang
harus berperan dalam menyiapkan rumusan dan memimpin dalam pembuatan
kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat nasional.
Situasi tersebut dapat juga ditafsirkan sebagai penggambaran bahwa
organisasi-oganisasi tersebut sebenarnya membawa atau mewakili masing-masing
kepentingan utama di dalam perumusan kebijakan. Dit. PKH (1)
merepresentasikan kepentingan Kehutanan, Dit. Linbun (2) mewakili kepentingan
Pertanian, atau dapat pula dianggap sebagai mewakili lahan, BNPB (6) dari sisi
kepentingan penanganan bencana, dan Bappenas (7) pada sisi pendukung
terutama dalam hal koordinasi perencanaan dan penganggaran.
(a) (b)
Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI
Gambar 16 Posisi organisasi di tingkat nasional dalam perumusan kebijakan. (a) Matrik DP-D menunjukkan posisi relatif organisasi terhadap organisasi lain; (b) Diagram ISM menunjukkan struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan.
1
2
3, 13
4
5
6
7
8, 12, 16
910
1114
15
17
18
19, 20
21, 22
0123456789
10111213141516171819202122
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
3 5 9 10 13 15 21 22
11 14 18 19 20
4 8 12 16
17
7
2
6
1
DRIVER POWER
DEPENDENCE
I II
III IV
115
Bappenas dan Depkeu sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya
mengoordinasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Koordinasi dalam perumusan
kebijakan sangat penting agar tercipta kebijakan yang komprehensif dan
pelaksanaannya dapat efektif dan efisien. Kondisi demikian mengisyaratkan
perlunya kemampuan tinggi dari Bappenas untuk menjalankan peranan sebagai
koordinator. Jika tidak, maka kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan
menjadi kurang terpadu dan lebih bersifat sektoral.
Perumusan kebijakan di tingkat provinsi, menurut matriks DP-D, akan
diarahkan oleh Dishut dan BLHD. Kedua organisasi tersebut berada di kwadaran
yang sama yang memiliki kekuatan penggerak (DP) tinggi. Diagram ISM pada
Gambar 17 memperlihatkan bahwa Dishut Provinsi dan Bapedalda (BLHD)
merupakan organisasi kunci dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran
hutan/lahan di tingkat provinsi.
Pada tingkat kabupaten/kota, sesuai dengan Diagram ISM pada Gambar 18,
Dishut, Disbun dan BLHD berada pada satu level tertinggi. Hal ini
mengisyaratkan bahwa pada tingkat terbawah yang berhubungan langsung dengan
3 4 5 6 7 8 9 10 11 13 14
2
12
1
Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.
Gambar 17 Struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat pada
perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat provinsi.
116
situasi dan kondisi lapangan di mana kebakaran terjadi, kebijakan
pengendaliannya dirumuskan bersama-sama dengan menyatukan kepentingan
pada kawasan hutan yang direpresentasikan oleh Dishut, lahan oleh Disbun, dan
dampak kebakaran serta koordinasi oleh BLHD. Posisi organisasi-organisasi
lainnya dalam aspek perumusan kebijakan dapat dikatakan sebagai pendukung.
Keberadaan institusi Kehutanan pada posisi utama di semua tingkat baik
nasional maupun provinsi dan kabupaten/kota dalam perumusan kebijakan
pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut profil organisasi, pendapat para
praktisi maupun pendapat para pakar memberikan pesan bahwa dalam perumusan
sistem pengorganisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan institusi tersebut perlu
ditempatkan sebagai organisasi kunci. Hal ini juga mengisyaratkan akan adanya
kemudahan-kemudahan bagi institusi tersebut dalam berkoordinasi lintas
tingkatan karena organisasi-organisasi tersebut berada dalam satu jajaran,
Kehutanan. Kendala yang dihadapi adalah berupa terputusnya hubungan komando
antar tingkatan akibat penerapan otonomi daerah. Hal ini akan dibahas lebih lanjut
dalam sub bab terakhir dari bab ini yang membahas alternatif-alternatif rumusan
sistem pengorganisasian.
4 5 6 7 8 9 10 11 13 14
3
1 2 12
Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.
Gambar 18 Struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat pada perumusan
kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat kabupaten/kota.
117
118
b. Sistem peringatan dan deteksi kebakaran
Matriks DP-D menempatkan BMKG (8), Dit. PKH (1), dan BNPB (6)
dalam satu kwadran yakni Kwadran IV untuk kepentingan dalam sistem
peringatan dan deteksi kebakaran di tingkat nasional (Gambar 19). Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga organisasi yang memiliki kekuatan penggerak (driver
power/DP) tertinggi tersebut yang dianggap sesuai untuk memiliki kewenangan
dan tanggung jawab bagi pengelolaan sistem peringatan dan deteksi kebakaran di
tingkat nasional.
(a) (b)
Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI
Gambar 19 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi di tingkat
nasional dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutan/lahan.
Ketiga organisasi tersebut memang selama ini dalam prakteknya dianggap
paling berperanan untuk kepentingan tersebut. Sistem peringatan dan deteksi
kebakaran hutan/lahan sangat berkaitan dengan tersedianya data dan informasi
iklim dan cuaca, dan sesuai tugas dan fungsinya, BMKG yang menyediakannya.
3 5 9 10 13 18 19 20 21 22
2 4 11 14 15 16
12
7 17
6
1
8
119
Data dan informasi iklim dan cuaca dari BMKG biasanya masih berupa data
mentah yang memerlukan pengolahan untuk menjadi data dan informasi cuaca
kebakaran (fire weather). Dit. PKH dan BNPB inilah yang melakukan pengolahan
data. Namun posisi tidak saling bergantung (independent) antara kedua organisasi
tersebut dapat ditafsirkan bahwa pengolahan dan penyajian informasi cuaca
kebakaran dilakukan terpisah demi kepentingan yang berbeda.
Kondisi tersebut adalah seperti yang terjadi sekarang di mana informasi
cuaca kebakaran dan titik panas (hotspot) dikeluarkan oleh beberapa instansi yang
berbeda. Meskipun sudah ada penjelasan bahwa informasi berbeda tersebut
memang untuk kepentingan yang berbeda, penjelasan tersebut belum tentu
dipahami oleh setiap orang sehingga terjadi persepsi yang bermacam-macam.
Untuk itu, sesuai dengan asas kesatuan tujuan, asas kesatuan komando, dan asas
tanggung jawab agar terwujud organisasi yang efektif (Hasibuan, 2008), peranan
sebagai penanggung jawab sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutan/lahan
sebaiknya diserahkan kepada satu organisasi yang paling layak yaitu BMKG.
Di tingkat provinsi, tampaknya masalah integrasi tersebut lebih mudah
diatasi karena sesuai dengan diagram ISM (Gambar 20), organisasi-organisasi
yang dianggap memiliki kekuatan penggerak (DP) tinggi untuk kepentingan
sistem peringatan dan deteksi kebakaran berada pada satu level dan dalam satu
kwadran yakni Kwadran III. Berada di kwadran ini, disebut linkage, bermakna
bahwa ada keterkaitan di antara organisasi-organisasi tersebut untuk suatu
kepentingan, yang dalam hal ini adalah pengelolaan sistem peringatan dan deteksi
kebakaran.
Organisasi-organisasi yang berada pada posisi terpenting tersebut adalah
Dishut (1), Disbun (2), BLHD (12), dan BMKG (13). Namun demikian, kesamaan
tersebut juga membuat kesulitan di dalam menentukan siapa di antara keempat
organisasi tersebut yang bertindak sebagai koordinator. Untuk itu, agar asas-asas
seperti tersebut di atas (Hasibuan, 2008) dapat terpenuhi, peranan koordinator
jejaring atau network coordinator (Wehmeyer 2001) juga diserahkan kepada
BMKG di tingkat provinsi.
120
Situasi serupa terjadi juga pada tingkat kabupaten/kota. Keempat organisasi
yaitu Dishut (1), Disbun (2), BLHD (12) dan BMKG (13) di tingkat
kabupaten/kota menurut matrik DP-D berada pada kwadran yang sama, yaitu
Kwadran III (Linkage) dan menurut diagram ISM berada pada level yang sama.
Dengan demikian, perlakuan serupa yaitu menyerahkan peranan koordinator
jejaring kepada BMKG di tingkat kabupaten/kota.
(a) (b)
Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.
Gambar 20 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi di tingkat
provinsi dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutan/lahan.
Penyerahan peranan sebagai koordinator jejaring kepada BMKG di semua
tingkatan memberikan peluang lebih besar bagi terciptanya keterpaduan kebijakan
atau policy integration (Meijers & Stead 2004) maupun koordinasi terpadu atau
integrative coordination (Bolland &Wilson 1994). Peranan sebagai koordinator
pada sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutan/lahan tersebut memberikan
kewenangan dan tanggung jawab kepada BMKG untuk mengoordinasikan data
dan informasi bagi kepentingan sistem tersebut. Kebutuhan akan segala data dan
informasi tersebut untuk berbagai kepentingan dalam bidang-bidang pengendalian
kebakaran (pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca-kebakaran)
4 5 6 7 8 9 10 11 14
3
1 2 12 13
121
disediakan oleh BMKG dan penyampaian kepada publik juga hanya dilakukan
oleh BMKG, sehingga tidak terjadi simpang siur data dan informasi. Untuk
mendukung peranan tersebut, BKMG telah memiliki dan harus terus
mengembangkan sistem informasi yang mantap, termasuk kerja sama dengan
berbagai media massa.
c. Pencegahan kebakaran
Hasil analisis posisi dan peranan di bidang pencegahan memperoleh
gambaran cukup jelas bahwa bidang pencegahan ditangani secara berbeda antara
di tingkat nasional dengan di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
Penanganan pencegahan kebakaran hutan/lahan tingkat nasional pada saat ini
menjadi wewenang dan tanggumg jawab organisasi pemangku kawasan.
Pencegahan pada kawasan hutan dengan cukup tegas dinyatakan di dalam PP
nomor 45 tahun 2004 pada Pasal 20 (3) sebagai tanggung jawab pencegahan di
kawasan hutan ada pada Menteri Kehutanan. Pencegahan di luar kawasan hutan,
dalam hal ini adalah lahan, belum ada penegasan siapa yang memiliki wewenang
dan tanggung jawabnya. PP nomor 4 tahun 2001 hanya menyebutkan bahwa
kewajiban pencegahan kebakaran hutan/lahan dibebankan kepada setiap orang
(Pasal 12) atau setiap penanggung jawab usaha (Pasal 13). Pertanggungjawaban
kepada pemerintah berhenti hanya sampai kepada Gubernur (Pasal 15), sedangkan
tanggung jawab kepada tingkat nasional tidak disebutkan secara tegas dan jelas.
Hal serupa juga terjadi untuk pencegahan kebakaran pada lahan perkebunan, di
mana UU nomor 18 tahun 2004 mewajibkan usaha pencegahan kebakaran hanya
kepada pelaku usaha perkebunan (Pasal 25 Ayat 1 dan Pasal 26). Pembinaannya
dilakukan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota (Pasal 44) tanpa
menjelaskan organisasi pemerintah yang dimaksud, kecuali untuk pelanggarannya
jelas dilakukan oleh instansi penegak hukum (Pasal 45).
Ketidakjelasan posisi dan peranan tersebut juga tampak pada profil
organisasi-organisasi yang memangku kawasan. Kemenhut yang memangku
kawasan hutan secara tegas seperti disebutkan di atas (PP nomor 45 tahun 2004)
hanya bertanggung jawab atas pencegahan kebakaran di kawasan hutan yang
122
dilaksanakan oleh Dit.PKH. Kementan yang bertanggung jawab atas hampir
seluruh fungsi lahan (pertanian pangan dan hortikultura, perkebunan, dan
peternakan) tidak secara tegas dan jelas pula menyatakan tanggung jawabnya atas
pencegahan kebakaran di kawasan yang menjadi tanggung jawabnya.
(a) (b)
Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI
Gambar 21 Struktur hirarki organisasi di tingkat nasional dalam pencegahan
kebakaran hutan/lahan.
Matriks DP-D dan diagram ISM pada Gambar 21 memberikan sebuah
alternatif solusi. Peranan dan tanggung jawab pencegahan kebakaran hutan/lahan
sebaiknya di tangan satu organisasi tingkat nasional yaitu Dit. PKH (1), yang
harus memegang posisi dan peranan sebagai koordinator di bidang pencegahan
kebakaran. Hal ini berbeda dari pendapat yang selama ini berkembang bahwa
pencegahan kebakaran hutan/lahan merupakan urusan bagi instansi pemangku
kawasan. Pendapat yang berkembang selama ini adalah bahwa urusan pencegahan
di kawasan hutan menjadi tanggung jawab Kemenhut, di lahan perkebunan dan
lahan pertanian di bawah Kementan, dan di luar ketiga fungsi kawasan tersebut
3 4 7 9 10 12 13 14 18 20
19
21 22
2 8 11 15 16 17
6
5
1
123
menjadi tanggung jawab Kemendagri. Menurut diagram ISM, kedua organisasi
yang disebut terakhir itu justru berada pada level kepentingan yang lebih rendah.
Hal ini berarti bahwa pencegahan kebakaran di tingkat nasional tidak menjadi
tanggung jawab masing-masing organisasi pemangku kawasan, melainkan
diserahkan kepada salah satu organisasi yang memiliki kekuatan penggerak (DP)
tertinggi di antara ketiga organisasi tersebut di atas, yaitu Dit. PKH.
Di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, Dishut (1) dan Disbun (2)
merupakan organisasi yang dianggap memiliki kekuatan penggerak (DP) tertinggi
untuk kepentingan pencegahan kebakaran. Keduanya baik yang di provinsi
maupun yang di kabupaten/kota berada pada kwadran III (linkage). Menurut
diagram ISM, di tingkat provinsi (Gambar 22), hanya terdapat dua level, di mana
pada posisi utama atau yang memiliki kekuatan tinggi untuk mengarahkan
dipegang oleh kedua organisasi tersebut ditambah dengan dua organisasi lain
yaitu BLHD (12) dan BMKG (13). Organisasi-organisasi lainnya dengan
kekuatan penggerak (DP) rendah berada pada level berikutnya. Demikian pula
halnya di tingkat kabupaten/kota (Gambar 23), terdapat tiga level, dengan level
kedua diduduki oleh Distan (3) dan BMKG (13), sedangkan organisasi-organisasi
lainnya berada di level berikutnya dengan kekuatan penggerak (DP) terendah.
Posisi-posisi tersebut dapat ditelaah dengan dua tafsiran. Pertama,
organisasi-organisasi yang memiliki kekuatan penggerak (DP) tinggi berada pada
posisi utama dengan tanggung jawab maupun pelaksanaan pencegahan kebakaran
hutan/lahan sepenuhnya dan organisasi-organisasi lainnya hanya sebagai
pendukung atau pelaksana atas program-program yang telah disusun oleh posisi
utama. Tafsir lainnya adalah bahwa organisasi dengan kekuatan penggerak (DP)
tertinggi hanya sebagai koordinator, sedangkan program dan pelaksanaan
pencegahan berada di tangan organisasi-organisasi lain yang berada di level-level
dengan kekuatan penggerak (DP) lebih rendah. Dishut dan Disbun baik di tingkat
provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota memiliki memiliki peluang yang sama
untuk ditunjuk sebagai koordinator bidang pencegahan di masing-masing
tingkatan. Dalam perancangan sistem pengorganisasian, hal ini menjadi
pertimbangan dan pemilihan koordinator akan ditentukan berdasarkan sistem yang
124
akan digunakan, apakah melibatkan banyak organisasi ataukah hanya satu
organisasi yang ditunjuk.
(a) (b)
Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.
Gambar 22 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi di tingkat provinsi dalam pencegahan kebakaran hutan/lahan.
(a) (b)
Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.
4 5 6 7 8 9 10 11 13 14
3 12
1 2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 14
1 2 12 13
125
Gambar 23 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi yang terlibat pada pencegahan kebakaran hutan/lahan di tingkat kabupaten/kota.
d. Pemadaman kebakaran
Hasil identifikasi terhadap posisi organisasi untuk urusan pemadaman
kebakaran menunjukkan bahwa organisasi-organisasi yang memiliki kekuatan
penggerak (DP) tinggi pada tingkat nasional (Gambar 24) yaitu Dit. PKH (1),
BNPB (6), dan Basarnas (9), sedangkan di tingkat provinsi (Gambar 25) dan
tingkat kabupaten/kota (Gambar 26) adalah Dishut (1) dan Disbun (2). Di tingkat
nasional ketiga organisasi berada dalam satu kwadran yakni Kwadran IV dan
menurut diagram ISM ketiganya independen dengan Dit. PKH pada posisi
tertinggi, disusul BNPB. Posisi tersebut tampaknya sejalan dengan anggapan dan
kondisi faktual sekarang bahwa untuk pemadaman kebakaran hutan/lahan,
organisasi yang telah memiliki sumber daya pemadaman adalah Kemenhut.
Keberadaan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni yang berada
di berbagai daerah di bawah kendali Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemenhut
tampaknya turut mempengaruhi penempatan Dit. PKH di posisi utama tersebut.
3 4 5 7 8 10 11 12 13 14 15 17 18 19 20 21 22
2 16
9
6
1
126
Sementara itu, di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, Dishut (1)
dan Disbun (2) dipandang sebagai organisasi yang bertanggung jawab terhadap
pemadaman kebakaran. Hal ini mungkin karena kebakaran banyak terjadi di
kawasan-kawasan yang berada di bawah wewenang dan tanggung jawab kedua
organisasi tersebut. Dikaitkan dengan profil organisasi yang disajikan di bagian
awal bab ini, di Provinsi Riau dan Provinsi Kalbar memang kedua organisasi
tersebut yang diberi mandat baik melalui keputusan atau peraturan gubernur atau
bupati/walikota untuk menjadi koordinator pemadaman kebakaran hutan/lahan.
(a) (b)
Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.
Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI
Gambar 24 Struktur hirarki organisasi di tingkat nasional dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan.
4 5 6 7 8 9 10 11 13
12
3 14
1 2
127
Gambar 25 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi di
tingkat provinsi dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan.
Persoalannya adalah kembali pada penerapan asas-asas pengorganisasian
yang efektif terutama asas kesatuan komando, asas rentang kendali, dan asas
pembagian kerja (Hasibuan 2008). Struktur hirarki ISM untuk tingkat nasional
sudah dengan tegas menunjukkan organisasi yang dapat berada di puncak
tanggung jawab yakni Dit. PKH, tetapi untuk tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten/kota masih terdapat dua organisasi di masing-masing tingkatan
tersebut. Penetapan mengenai organisasi mana yang ditunjuk sebagai koordinator
bidang pemadaman sebaiknya diserahkan kepada penanggung jawab wilayah,
dalam hal ini gubernur dan bupati/walikota. Namun demikian, kepada gubernur
dan bupati/walikota tersebut tetap perlu diberikan arahan pilihan yaitu memilih
salah satu di antara Dishut dan Disbun. Pertimbangan lainnya adalah berkaitan
dengan status fungsi kawasan di mana frekuensi dan skala tertinggi kejadian
kebakaran dan kapasitas organisasinya.
(a) (b)
Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran
Gambar 26 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi di
tingkat kabupaten/kota dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan.
4 5 6 7 8 9 10 11 13
12 14
3
1 2
128
e. Rehabilitasi kawasan bekas kebakaran
Matriks DP-D untuk rehabilitasi kawasan bekas kebakaran hutan/lahan
menurut para responden pakar menjadi wewenang dan tanggung jawab KNLH (5)
sebagai organisasi dengan kekuatan penggerak (DP) tertinggi seperti pada Gambar
27. Sementara itu, di level berikutnya terdapat Dit. Linbun (2) dan APHI (21) dan
organisasi-organisasi lainnya di level terakhir. Penempatan KNLH, dalam hal ini
Asdep PKHL, di posisi utama dapat ditafsirkan sebagai pemberian mandat kepada
organisasi tersebut untuk berperan sebagai pemegang tanggung jawab di tingkat
nasional untuk urusan rehabilitasi. Tanggung jawab tersebut mungkin dalam
penyusunan program dan kegiatan, penyediaan anggaran, pengarahan,
pemantauan, pengawasan, dan pelaporan. Sedangkan posisi Dit. Linbun dan APHI
tampaknya mewakili kawasan tempat kejadian kebakaran, di mana Dit. Linbun
bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan perkebunan khususnya dan lahan
pada umumnya,dan APHI untuk rehabilitasi di kawasan hutan.
1 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 22
2 21
5
129
Pemilihan APHI, yang merupakan organisasi non-pemerintah, menyiratkan
suatu harapan bahwa upaya-upaya rehabilitasi kawasan bekas kebakaran
sebaiknya menjadi tanggung jawab pengusaha, yang dalam hal ini adalah para
pengusaha kehutanan. Para pengusaha kehutanan pada dasarnya telah menerima
wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola suatu kawasan hutan, sehingga
apapun yang terjadi di dalam kawasannya, termasuk kebakaran hutan dan semua
tindakan penanganannya, yang meliputi rehabilitasi bekas kebakaran menjadi
tanggung jawabnya.
Di tingkat provinsi, Dishut (1), Disbun (2) dan Distan (3) menjadi organisasi
yang juga dipandang paling layak untuk mengarahkan upaya rehabilitasi kawasan
bekas kebakaran. Ketiga organisasi tersebut yang kawasannya paling banyak
terbakar tampaknya menjadi alasan untuk menempatkan ketiganya pada posisi
utama meskipun pada level yang berbeda menurut diagram ISM-nya. Hal serupa
berlaku pula di tingkat kabupaten/kota di mana ketiga organisasi, Dishut, Disbun
dan Distan, juga memperoleh skor kekuatan penggerak (DP) tertinggi.
f. Yustisi Kebakaran
Kebakaran hutan/lahan baik disengaja atau tidak disengaja menurut UU nomor 42
tahun 1999 dan UU nomor 23 tahun 1997 merupakan tindak pidana. Hal ini
tampaknya menjadi alasan bagi para responden pakar untuk menempatkan Mabes
POLRI (19) dan Kejagung (20) di posisi utama untuk urusan yustisi kebakaran
hutan/lahan seperti ditunjukkan oleh diagram ISM pada Gambar 28.
Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI
Gambar 27 Struktur hirarki organisasi-organisasi di tingkat nasional dalam
rehabilitasi kawasan bekas kebakaran hutan/lahan.
130
Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI
Gambar 28 Struktur hirarki organisasi-organisasi di tingkat nasional dalam yustisi kebakaran hutan/lahan.
Kedua organisasi tersebut berada pada level yang sama dengan kekuatan
penggerak (DP) tertinggi. Dit. PKH (1) dan KNLH (5) yang berada di level
berikutnya adalah untuk mendukung secara teknis kedua organisasi di posisi
utama tersebut yang menjalankan proses penanganan perkara pidananya.
Mahkamah Agung (MA) tidak diamati, karena penanganan perkara pidana oleh
organisasi tersebut merupakan tingkat penanganan yang terakhir setelah tingkat
pengadilan negeri di kabupaten/kota dan pengadilan tinggi di tingkat provinsi,
sekalipun kasusnya ditangani langsung oleh Mabes Polri dan Kejagung.
3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 21
22
2
1 5
19 20
131
Hal ini tergambar dari posisi utama untuk yustisi kebakaran di tingkat
provinsi yang posisi utamanya pada tiga organisasi penegak hukum yaitu Polda
(7), Kejakti (8), dan Pengadilan Tinggi (9) seperti pada diagram ISM (Gambar
29). Begitu pula halnya di tingkat kabupaten/kota, Polres (7), Kejari (8), dan
Pengadilan Negeri (9) merupakan organisasi-organisasi yang mendapat kekuatan
penggerak (DP) tertinggi dan berada pada satu level (Gambar 30).
Posisi di level berikutnya untuk tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota
adalah Dishut (1), Disbun (2) dan Distan (3). Ketiga organisasi tersebut berada di
level kedua pada posisi sebagai pendukung dalam upaya penegakan hukum dan
penanganan perkara karena kasus-kasus yustisi kebakaran hutan/lahan terjadi di
kawasan-kawasan yang berada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya.
(a) (b) Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran.
Gambar 29 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi di tingkat provinsi dalam yustisi kebakaran hutan/lahan.
4 5 6 10 11 13 14
12
1 2 3
7 8 9
132
Hasil pengolahan angket penelitian dari responden pakar dengan ISM
selengkapnya disajikan pada Lampiran 9. Rekapitulasi hasil analisis posisi dan
peranan organisasi menurut pendapat pakar disajikan pada Tabel 10. Tabel
tersebut hanya menyajikan organisasi-organisasi yang menduduki posisi utama
pada setiap peranan di setiap tingkatan. Hasil identifikasi selengkapnya disajikan
pada Lampiran 10.
Tabel 10 Hasil identifikasi organisasi pemeran utama dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut pendapat pakar
No. Organisasi Peranan Bijak SPDD Gah Dam Yus Rehab
A. Tingkat Nasional 1 Dit. PKH √ √ √ √ √ - 2 Dit. Linbun √ - - - - √ 3 KNLH - - √ - √ √ 4 BNPB √ √ √ √ - - 5 Bappenas √ - - - - - 6 BMKG - √ - - - - 7 Basarnas - - - √ - - 8 Mabes POLRI - - - - √ - 9 Kejagung - - - - √ -
10 APHI - - - - - √
(a) (b) Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. Bapedalda/BLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran
Gambar 30 Matriks DP-D (a) dan struktur hirarki (b) organisasi-organisasi di tingkat kabupaten/kota dalam yustisi kebakaran hutan/lahan.
5 6 11 13 14
3 4 10 12
1 2
7 8 9
133
Tabel 10 Lanjutan
No. Organisasi Peranan
Bijak SPDD Gah Dam Yus Rehab B. Tingkat Provinsi
1. Dishut √ √ √ √ - √ 2. Disbun - √ √ √ - √ 3. Distan - - - √ - - 4. Polda - - - - √ - 5. Kejati - - - - √ - 6. Pengadilan Tinggi - - - - √ - 7. BLHD √ √ √ - - - 8. BMKG - √ √ - - - 9. Disdamkar - - - √ - -
C. Tingkat Kabupaten/Kota 1. Dishut √ √ √ √ √ - 2. Disbun √ √ √ √ √ - 3. Distan - - - √ - - 4. Polres - - - - - √ 5. Kejari - - - - - √ 6. Pengadilan Negeri - - - - - √ 7. BLHD √ √ - - - - 8. BMKG - √ - - - -
Keterangan: Bijak = perumusan kebijakan; SPDD=sistem peringatan dan deteksi dini; Gah= pencegahan; Dam= pemadaman; Yus= yustisi; Rehab= rehabilitasi kawasan bekas terbakar.
Analisis terhadap posisi dan peranan organisasi menurut profil organisasi,
pendapat responden praktisi dan pendapat pakar tersebut di atas menunjukkan
bahwa peranan dalam bidang-bidang dari pengendalian kebakaran hutan/lahan
masih tersebar di berbagai organisasi. Beberapa peranan dipegang oleh lebih dari
satu organisasi, tetapi sejauh ini tidak ada penunjukan kejelasan secara definitif
organisasi yang berada di posisi utama dan posisi pendukung untuk masing-
masing peranan tersebut. Pada tingkat nasional sebenarnya telah ditetapkan BNPB
sebagai organisasi di posisi utama yang mendapat mandat menurut UU nomor 24
tahun 2007, namun dalam pelaksanaannya struktur organisasi BNPB yang
melibatkan berbagai organisasi justru tidak memasukkan Kemenhut dan
Kementan yang menurut analisis posisi dan peranan tersebut di atas paling banyak
berperanan dan seharusnya masuk di dalam struktur BNPB tersebut.
134
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi dan
kabupaten/kota di kedua lokasi penelitian belum termasuk organisasi yang diamati
dalam pengumpulan data melalui angket penelitian untuk posisi dan peranan
organisasi. BPBD merupakan organisasi yang relatif baru di kedua provinsi.
BPBD Kalimantan Barat baru dibentuk pada Mei 2009 dengan Peraturan
Gubernur nomor 76 tahun 2009. Seperti halnya di tingkat nasional, BPBD
tersebut juga tidak secara eksplisit menyebutkan kebakaran hutan/lahan sebagai
salah satu bidang tugasnya.
Menurut hasil wawancara dengan responden yang terdiri dari pimpinan
instansi-instansi penanggung jawab sektor pada Pusdalkarhutla Provinsi
Kalimantan Barat diperoleh penjelasan bahwa pada saat ini ada wacana
“perebutan” kewenangan dan tanggung jawab pengendalian kebakaran
hutan/lahan antara Pusdalkarhutla dengan BPBD. BPBD menganggap bahwa
urusan kebakaran hutan/lahan menjadi bagian dari kewenangannya sesuai dengan
UU nomor 24 tahun 2007 sedangkan Pusdalkarhutla beranggapan bahwa akan
lebih baik jika penanganan kebakaran hutan/lahan dilaksanakan oleh sebuah
organisasi tersendiri yang khusus menangani hal tersebut yakni Pusdalkarhutla.
Untuk itu, pada saat penelitian ini berjalan Pemerintah Daerah Provinsi
Kalimantan Barat yang dikoordinasikan oleh BLHD Provinsi sedang
mempersiapkan revisi Peraturan Gubernur tentang Pusdalkarhutla untuk
mendudukkan posisi dan peranan masing-masing organisasi termasuk BPBD
Provinsi serta mekanisme kerjanya dalam penanganan kebakaran hutan/lahan.
BPBD Provinsi Riau pada saat penelitian ini berjalan belum terbentuk dan
sedang dalam proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang
pembentukannya. Struktur organisasi BPBD menurut Raperda tersebut serupa
dengan struktur organisasi BPBD Provinsi Kalimantan Barat. Pembagian posisi
dan peranan antara BPBD dengan Pusdalkarhutla masih belum jelas. BPBD
tersebut kelak akan merupakan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dengan
kedudukan langsung di bawah Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) untuk
mempermudah koordinasi.
135
Selama BPBD tersebut belum terbentuk, penanganan bencana masih
dilakukan oleh Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan
Pengungsi (Satkorlak PBP). Satkorlak PBP Provinsi Riau dibentuk dengan
Keputusan Gubernur Riau nomor KPTS.594/XIII/2002. Gubernur Riau bertindak
sebagai Ketua dengan wakil-wakil terdiri dari Komandan Resort Militer
(Danrem), Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), dan Komandan Landasan Udara
(Danlanud).
Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat
kabupaten/kota sebenarnya juga relatif jelas di setiap kabupaten/kota yang diamati
di mana beberapa peranan dipegang oleh instansi yang menangani kehutanan
dan/atau perkebunan. Pada keempat kabupaten/kota yang diamati, kedua urusan
tersebut kebetulan ditangani oleh satu organisasi dan organisasi tersebut, yakni
Dishutbun atau Distanbunhut, ditunjuk sebagai penanggung jawab bidang-bidang
dalam pengendalian kebakaran ataupun sektor-sektor di mana kebakaran
hutan/lahan dianggap paling banyak terjadi. Namun demikian, pembagian posisi
dan peranan tersebut secara definitif, kecuali di Kota Dumai, belum memiliki
landasan hukum karena masih mengacu pada pengorganisasian masa lalu sebelum
era reformasi yakni Satlakdalkarhutla yang sebenarnya sudah tidak berlaku lagi
sejak era Reformasi. Ketiga kabupaten tersebut (Inderagiri Hulu di Riau dan
Ketapang dan Kubu Raya di Kalimantan Barat) belum merevisi Satlakdalkarhutla
tersebut.
5.3. Hubungan Antar Organisasi
Sub bab ini membahas hasil penelitian untuk menjawab tujuan penelitian kedua
yaitu menganalisis hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran
hutan dan lahan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan antar tingkatan.
Dua hal yang dianalisis dari hubungan antara organisasi yaitu: (1) pola hubungan
antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan, dan (2) tingkat
pengetahuan dan pemahaman para pemangku kepentingan mengenai mekanisme
hubungan antar organisasi. Analisis terhadap pola hubungan dilakukan pada tiga
aspek yaitu: (a) bantuan layanan, (b) administrasi, dan (c) perencanaan,
136
5.3.1. Pola hubungan antar organisasi
Pola hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan
dapat dilihat dari tiga aspek yang diadaptasi dari Bolland dan Wilson (1994), yaitu
(1) bantuan layanan, yakni hubungan antar organisasi yang diwujudkan dalam
bentuk memberi dan/atau menerima bantuan, (2) administrasi, yakni hubungan
antar organisasi dalam bentuk kontribusi suatu organisasi bagi pencapaian tujuan
organisasi lain, dan (3) perencanaan, yang diwujudkan dalam bentuk saling
mengenal antar orang-orang dari organisasi-organisasi tersebut. Ketiga aspek
tersebut dianalisis dari data yang diperoleh melalui angket dengan responden para
pimpinan atau pejabat pada organisasi-organisasi yang diamati.
Selama ini sering kali dinyatakan bahwa pengendalian kebakaran hutan dan
lahan belum efektif disebabkan antara lain oleh kurangnya koordinasi antara
instansi-instansi yang terkait. Laporan mengenai kurangnya koordinasi tersebut
seringkali tidak tepat menurut Bolland dan Wilson (1994), karena laporan (a)
tanpa dilandasi suatu dasar empiris bagi kesimpulannya, ataupun (b) tanpa
menunjukkan temuan-temuan empiris yang akan diterima sebagai bukti
koordinasi. Analisis terhadap ketiga aspek di bawah ini antara lain adalah untuk
memberikan gambaran apakah benar bahwa koordinasi antar instansi atau
organisasi yang terkait dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia masih kurang.
Hasil pengisian angket penelitian dan wawancara menunjukkan bahwa
semua responden menyatakan perlunya pelibatan berbagai organisasi pemerintah
baik dalam satu tingkatan maupun antar tingkatan dalam pengendalian kebakaran
hutan/lahan. Pelibatan berbagai organisasi tersebut memungkinkan adanya saling
membantu dalam berbagai hal, terutama sumber daya pengendalian kebakaran.
Pendapat responden tersebut sesuai dengan teori Muldford dan Klonglan (1982) di
mana dalam menghadapai permasalahan masa kini yang kompleks, organisasi
tunggal akan sulit jika bekerja sendirian sekalipun ia memiliki sumber daya yang
mencukupi. Sejauh mana konsistensi pendapat responden tersebut dikonfirmasi
dengan hasil analisis terhadap ketiga aspek tersebut di atas.
137
1. Bantuan layanan (client referral)
Hasil analisis bantuan layanan antar organisasi menunjukkan bahwa hanya
sedikit hubungan bantuan layanan yang terkonfirmasi, yang ditandai dengan
angka 1 pada matriks di Lampiran 11. Hubungan tersebut dapat digambarkan
dengan diagram baik dalam satu tingkatan maupun antar tingkatan, untuk Provinsi
Riau adalah seperti pada Gambar 31 dan untuk Provinsi Kalimantan Barat seperti
pada Gambar 32.
Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat nasional hanya
ada sembilan organisasi yang memiliki hubungan bantuan layanan saling
terkonfirmasi. LAPAN dan Bakosurtanal merupakan dua organisasi yang
Gambar 31 Diagram hubungan bantuan layanan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota di Provinsi Riau.
138
memiliki paling banyak hubungan layanan dengan organisasi-organisasi lain. Hal
ini terkait dengan jenis layanan yang diberikan kedua organisasi tersebut yaitu
informasi yang dibutuhkan oleh organisasi-organisasi lain. BMKG menurut
matriks pada Lampiran 11 sebenarnya juga memiliki banyak hubungan bantuan
layanan, tetapi hubungan tersebut tidak terkonfirmasi dan lebih banyak organisasi
yang menyatakan menerima bantuan layanan BMKG. Hal ini dapat menunjukkan
bahwa meskipun BMKG menyediakan layanan informasi kepada banyak
organisasi, layanan tersebut pada umumnya tersedia bagi publik dan mudah
diakses tanpa memerlukan kontak dengan BMKG.
Hubungan bantuan layanan antar organisasi di tingkat provinsi pada kedua
daerah, Riau dan Kalbar, menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hubungan
bantuan layanan di Riau relatif lebih baik di mana organisasi-organisasi pada satu
Gambar 32 Diagram hubungan bantuan layanan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat.
139
tingkatan maupun antar tingkatan dari tingkat nasional, provinsi sampai dengan
kabupaten/kota saling memiliki hubungan layanan yang terkonfirmasi. Berbeda
halnya dengan di Kalbar, tidak ada satupun hubungan bantuan layanan yang
terkonfirmasi baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun antar tingkatan.
Kondisi hubungan bantuan layanan di kedua daerah tersebut tampaknya
berkaitan dengan pembagian peranan yang ditunjukkan oleh departementasi pada
struktur organisasi Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla. Departementasi di Riau
yang berdasarkan bidang-bidang pengendalian kebakaran mengharuskan
dilakukannya kerja sama dengan pola koordinasi integratif sesuai dengan kriteria
Bolland dan Wilson (1994). Sebaliknya, pola hubungan yang terjadi di Kalbar
dengan departementasi berdasarkan wilayah pemangkuan tidak mengharuskan
adanya kerja sama antar organisasi. Di Kalbar, organisasi pemangku kawasan
bertanggung jawab atas semua bidang pengendalian kebakaran hutan/lahan di
kawasannya. Hal ini berarti masing-masing organisasi tersebut harus
mengembangkan kapasitas dan kapabilitas sendiri. Bantuan dari pihak lain tidak
dapat diharapkan karena masing-masing pihak lain tersebut juga harus
mempersiapkan dirinya untuk mengendalikan kebakaran di wilayahnya.
Hal tersebut di atas dapat mengindikasikan bahwa sekarang ini aliran
bantuan untuk pengendalian, khususnya dalam operasi pemadaman kebakaran
hutan/lahan sulit untuk mencapai sasaran di lapangan karena lemahnya koordinasi
antar tingkatan dari nasional sampai dengan lapangan (lokasi kebakaran).
Berbagai aspek dari koordinasi masih belum berjalan. Peranan-peranan dalam
koordinasi (Wehmeyer et al. 2001; Malone et al. 1999) belum terdefinisikan
dengan jelas. Sebagai contoh, peranan entry management yang bertanggung jawab
atas pengembangan infrastruktur dan pemantapan hubungan antar organisasi
belum ditetapkan siapa atau organisasi mana yang berperan, apakah semua
organisasi yang terlibat, ataukah ditunjuk satu organisasi untuk memegang
peranan tersebut. Peranan ini sebenarnya ada di tangan penanggung jawab bidang
untuk di Riau atau wilayah kerja untuk di Kalbar, namun penelitian ini tidak
menemukan adanya bukti-bukti bahwa peranan tersebut telah dijalankan, misalnya
belum ada rencana pengembangan infrastruktur pengendalian kebakaran dan
belum ada langkah-langkah menggalang kesepakatan dengan berbagai pihak.
140
Kesepakatan-kesepakatan dan komitmen untuk saling membantu antar pihak
seharusnya sudah dicapai sebelum operasi pengendalian kebakaran (Anonim
1998).
Hasil angket penelitian dan wawancara memperoleh gambaran baik di Riau
maupun di Kalbar bahwa meskipun responden menyatakan kerja sama untuk
pengendalian kebakaran hutan/lahan adalah keharusan, masih terdapat kesan yang
kuat bahwa kerja sama tersebut adalah lebih untuk memperoleh bantuan dari pada
berbagi bantuan. Dalam hal ini, Dishut atau organisasi yang menangani kehutanan
seperti Balai KSDA atau Balai Taman Nasional, baik di tingkat provinsi maupun
di tingkat kabupaten/kota dianggap sebagai organisasi yang menjadi sumber
bantuan karena dipandang telah memiliki sumber daya pengendalian
(pemadaman) kebakaran yang relatif paling lengkap.
Sementara itu, ketika organisasinya dimintai bantuan, respon terhadap
permintaan bantuan tersebut memerlukan beberapa pertimbangan. Keterkaitan
dengan tanggung jawab terhadap status kawasan yang terbakar menjadi
pertimbangan utama untuk merespon permintaan bantuan, sebagaimana
dinyatakan oleh 62,50% responden di tingkat nasional, 85,71% responden di
tingkat provinsi di Riau dan 55,50% responden di Kalbar. Alasan lainnya adalah
kedekatan hubungan secara psikologis antara pimpinan organisasi, di mana
permintaan bantuan oleh “kawan baik” berpeluang lebih besar untuk direspon
positif dan lebih cepat dibandingkan jika permintaan bantuan datang dari
organisasi yang pimpinannya kurang saling mengenal. Pernyataan tersebut
disetujui oleh sebagian besar responden di semua tingkatan, di mana di tingkat
nasional 41,67% responden setuju dan 29,16% responden menolak, di tingkat
Riau 57,14% responden setuju dan 23,81% menolak dan di Kalbar 50%
responden setuju dan 23,20% menolak serta yang lain ragu-ragu.
Organisasi-organisasi yang diamati tampaknya kurang memahami konsep
kerja sama (Mulford & Klonglan 1982) maupun konsep kemampuan (Ulrich
1997) dalam pengembangan organisasi. Mereka bukannya membangun
kapabilitasnya sendiri untuk dapat mengatasi masalahnya sendiri dan baru
meminta bantuan (kerja sama) jika sumber daya atau kapabilitasnya habis, tetapi
141
sejak dari awal sudah mengandalkan bantuan dari organisasi lain. Untuk itu,
penetapan tugas atau peranan atau task/role assignment (Malone et al. 1999)
seharusnya diperjelas di dalam struktur dan uraian tugas Pusdalkarhutla ataupun
sistem pengorganisasian yang akan dibangun.
Mekanisme perbantuan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran
hutan/lahan juga belum jelas tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak
yang berhubungan. Kedua hal tersebut harus jelas, tertulis dan disepakati bersama,
seperti yang diterapkan di Amerika Serikat dalam bentuk rencana mobilisasi
pemadaman kebakaran (fire suppression mobilization plan/FSMP) di tingkat
nasional dan di tingkat negara bagian (Anonim 1998). Mekanisme semacam itu
harus dibangun, dipahami dan dilatih-praktekkan oleh pihak-pihak yang terkait
sebelum adanya kejadian kebakaran, sehingga ketika terjadi kebakaran, masing –
masing pihak dapat menjalankan peranannya.
2. Pencapaian Tujuan (Administrative)
Hubungan administratif antar organisasi biasanya melibatkan transaksi
sumber daya yang memungkinkan organisasi tersebut lebih efektif dalam
mencapai tujuannya (Bolland & Wilson 1994). Hasil analisis untuk aspek
administrasi menunjukkan bahwa dari 21 organisasi yang diamati di tingkat
nasional, terdapat 15 organisasi yang memiliki hubungan mutualistik dalam
pencapaian tujuan organisasi, dan dua di antaranya yang memiliki hubungan
mutualistik terbanyak adalah Dit. PKH dan Asdep PKHL (Gambar 33).
Kondisi hubungan administratif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
untuk di Riau (Gambar 34) dan di Kalbar (Gambar 35) menunjukkan perbedaan
yang cukup mencolok di mana hubungan adminsitratif antar organisasi pada satu
tingkatan di Riau telah terjalin relatif lebih semarak daripada yang terjadi di
Kalbar. Pada tingkat provinsi di Riau, organisasi-organisasi yang terlibat dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan telah saling membantu di dalam pencapaian
tujuan organisasi, sedangkan di Kalbar hal tersebut tidak terjadi karena tidak
adanya hubungan yang terkonfirmasi dalam pencapaian tujuan.
142
Gambar 33 Diagram hubungan administratif (pencapaian tujuan) antar
organisasi pada tingkat nasional.
Secara umum, baik di Riau maupun di Kalbar, telah terjadi hubungan
administratif antar tingkatan, meskipun baru terjadi antar beberapa organisasi,
bahkan di Kalbar hanya Asdep PKHL yang memiliki hubungan tersebut. Di Riau,
hubungan administratif antara provinsi dengan kabupaten/kota telah terjalin,
sedangkan di Kalbar tidak terdapat hubungan tersebut.
Hubungan yang digambarkan pada kedua diagram di atas adalah hubungan
yang mutualistik, dan tidak berarti bahwa hanya organisasi-organisasi tersebut
yang saling berhubungan. Organisasi-organisasi lainnya juga berhubungan tetapi
derajat hubungannya tidak sampai pada level terkonfirmasi. Matriks yang
disajikan pada Lampiran 12 dapat memperlihatkan hubungan-hubungan yang
terjadi. Setiap hubungan yang memiliki angka 1 menunjukkan adanya pengakuan
oleh responden tentang adanya hubungan tersebut. Hubungan dinyatakan
mutualistik jika angkanya adalah (1,1), dan tidak ada hubungan sama sekali jika
angkanya adalah (0,0).
Hasil analisis dengan matriks tersebut menunjukkan bahwa Asdep PKHL
merupakan organisasi yang paling banyak memiliki komposisi (1,1) yakni
sebanyak 25 dan paling sedikit memiliki komposisi (0,0) yakni hanya 6. Hal ini
143
berarti bahwa Asdep PKHL merupakan organisasi yang paling banyak
berhubungan secara mutualistik dengan organisasi-organisasi lain. Di tingkat
provinsi, Disbun dan BLHD Provinsi Riau adalah organisasi yang mempunyai
hubungan mutualistis terbanyak, sedangkan di tingkat kabupaten/kota, Dishut
Gambar 34 Diagram hubungan administratif antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota Provinsi Riau.
144
merupakan organisasi yang terbanyak hubungan mutualistiknya. Kondisi tersebut
akan turut menentukan dalam pemilihan organisasi yang dapat ditunjuk sebagai
koordinator jejaring (network coordinator) atau pemegang posisi utama dalam
sistem pengorganisasian yang akan dibangun.
Gambar 35 Diagram hubungan administrasi antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat.
145
Koordinasi merupakan pengelolaan saling ketergantungan antar aktivitas
untuk mencapai tujuan (Malone et al. 1999) dan adanya hubungan administrasi
menunjukkan adanya saling ketergantungan dalam bentuk transaksi sumber daya
untuk mencapai tujuan (Bolland & Wilson 1994). Tidak adanya hubungan
tersebut mengindikasikan tidak adanya transaksi atau pertukaran sumber daya di
antara organisasi-organisasi tersebut, padahal tindakan-tindakan pengendalian
kebakaran memerlukan sumber daya dan masing-masing organisasi tersebut
belum memiliki sumber daya yang memadai untuk bertindak sendirian. Transaksi
atau pertukaran atau aliran sumber daya tidak terjadi karena belum jelasnya tujuan
bersama yang akan dicapai oleh pihak-pihak atau aktor-aktor yang bertransaksi
(Malone et al. 1999).
Menurut teori koordinasi, aktor di dalam organisasi-organisasi menghadapi
masalah koordinasi yang timbul dari ketergantungan yang menjadi kendala dalam
pelaksanaan tugas-tugas (Malone & Crowston 1994). Dalam konteks
pengendalian kebakaran hutan/lahan, terlihat jelas bahwa meskipun telah
dilakukan pembagian tugas di dalam Pusdalkarhutla maupun Satlakdalkarhutla,
baik menurut bidang-bidang pengendalian kebakaran maupun menurut wilayah
kerja, para pimpinan organisasi (aktor) masih menggantungkan diri pada
organisasi-organisasi lain. Mereka, para aktor tersebut, memang tidak mengakui
hal tersebut baik dalam mengisi angket maupun dalam wawancara, tetapi tidak
adanya usaha, bahkan rencana, untuk memiliki sumber daya yang memadai bagi
pelaksanaan tugasnya dapat menunjukkan bahwa ketergantungan tersebut
memang terjadi. Sikap saling bergantung tersebut sayangnya juga tidak
dinyatakan secara terbuka kepada pihak-pihak lain yang sebenarnya juga saling
bergantung, sehingga masalahnya menjadi tidak terselesaikan. Langkah yang
seharusnya dilakukan adalah seperti yang disarankan Malone dan Crowston
(1994) yakni melakukan aktivitas tambahan yang disebutnya sebagai coordination
mechanisms.
Mekanisme koordinasi tersebut dapat dilakukan dengan jalan seluruh
organisasi yang terlibat, terutama yang berada dalam satu bidang tugas, misalnya
pemadaman, pertama kali harus membahas dan menyepakati tujuan bersamanya.
Masalahnya adalah bahwa para pimpinan organisasi masih kurang perduli dengan
146
tujuan organisasi. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya responden yang
mengisi salah atau sama sekali tidak mengisi baris isian pada angket untuk visi
dan misi organisasinya (Gambar 36). Kondisi bahwa responden masih kurang
mengetahui tujuan organisasinya serupa dengan ketika ditanyakan tentang visi dan
misi pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan atau visi dan misi
Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla. Visi dan misi yang merupakan tujuan
jangka panjang juga belum didefinisikan lebih lanjut menjadi tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran jangka pendek. Oleh sebab itu, untuk meperbaiki mekanisme
koordinasi, seluruh organisasi yang terlibat dalam sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan harus menyepakati tujuan bersama tersebut.
Langkah selanjutnya adalah membagi tugas, mengidentifikasi sumber daya
yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas tersebut, mengidentifikasi sumber
daya mana saja yang harus dimiliki atau disediakan oleh organisasi mana, dan
bagaimana prosedur untuk memobilisasinya ketika diperlukan. Hal ini harus
dilakukan ketika sistem pengorganisasian melibatkan banyak organisasi dan
anggaran untuk penyediaan sumber daya berada di masing-masing organisasi
yang terlibat tersebut, seperti yang terjadi sekarang di mana Pusdalkarhutla dan
Satlakdalkarhutla masih dianggap sebagai bukan satuan kerja perangkat daerah
atau SKPD sehingga tidak dapat mengusulkan anggarannya sendiri.
Gambar 36 Komposisi responden (dalam %) tentang pengetahuannya terhadap visi dan misi organisasinya.
147
Di samping itu, kendala-kendala institusional yang pernah, sedang dan
mungkin akan dihadapi dalam manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan,
misalnya tentang ketersediaan anggaran harus diidentifikasi dan disepakati
bersama untuk berkomitmen untuk menyelesaikannya. Pengendalian kebakaran
masih dianggap sebagai kegiatan konsumtif yang hanya menghabiskan anggaran,
sementara masih banyak kegiatan lain yang dinilai lebih produktif sehingga dalam
keterbatasan kemampuan penyediaan anggaran bagi daerah, pengendalian
kebakaran hutan/lahan belum mendapatkan cukup prioritas. Hal ini dapat
dimaklumi pada kondisi keuangan daerah sekarang ini, di mana porsi belanja atau
pengeluaran daerah (22%) masih jauh lebih besar daripada porsi penerimaannya
(7%) dari keseluruhan penerimaan negara (Basri 2009). Porsi penerimaan daerah
dari pemerintah pusat yang sangat rendah tersebut menurut Basri (2009) juga telah
mendorong usaha daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)-nya.
Usaha tersebut antara lain berupa peningkatan pembangunan pertanian,
perkebunan, pertambangan, dan permukiman yang dalam penyiapan lahannya
biasanya menggunakan pembakaran. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor
penyebab masih kurang efektifnya pengendalian kebakaran hutan/lahan.
3. Perencanaan (agenda setting)
Hasil analisis terhadap angket mengenai agenda setting menunjukkan bahwa
telah terjadi cukup saling mengenal di antara pimpinan dari organisasi-organisasi
yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan/lahan, baik pada satu
tingkatan maupun antar tingkatan. Hal ini terlihat dari diagram hubungan antar
organisasi dari aspek perencanaan pada Gambar 37.
Diagram tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat nasional hubungan
saling mengenal antar organisasi relatif baik. Hubungan tersebut di Provinsi Riau
(Gambar 37) juga sudah relatif terjalin baik pada satu tingkatan maupun antar
tingkatan dari tingkat nasional, provinsi, sampai dengan kabupaten/kota, bahkan
terdapat pula hubungan dari tingkat nasional langsung ke tingkat kabupaten/kota.
Di Kalimantan Barat, hubungan antar tingkatan terjadi hanya antara tingkat
148
nasional dengan tingkat provinsi, dan tidak terjadi antara tingkat provinsi dengan
tingkat kabupaten/kota (Gambar 38).
Kondisi di mana saling mengenal di antara para pimpinan organisasi yang
terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan masih sedikit tersebut
berdasarkan tuturan responden disebabkan antara lain oleh: (a) organisasi
responden jarang melakukan kontak atau terlibat dalam pertemuan-pertemuan
dengan organisasi-organisasi lain dalam konteks kebakaran hutan/lahan, (b)
responden baru beberapa waktu menduduki jabatan di organisasinya yang
dianggap terkait dengan pengendalian kebakaran hutan/lahan dan selama masa
Gambar 37 Diagram hubungan perencanaan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, di Provinsi Riau.
149
tersebut belum pernah atau jarang sekali mengikuti pertemuan atau kontak dengan
organisasi-organisasi lain, (c) responden tidak selalu ditunjuk untuk
mengadakan kontak atau pertemuan dengan orang-orang dari organisasi-
organisasi lain dalam konteks kebakaran hutan/lahan karena tidak jelasnya kaitan
antara uraian tugas responden dengan urusan kebakaran hutan/lahan sehingga
sering terjadi penugasan terhadap pejabat atau staf berubah-ubah setiap kali
kontak atau pertemuan dengan organisasi-organisasi lain.
Gambar 38 Diagram hubungan perencanaan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, di Provinsi Kalimantan Barat.
150
Pengamatan terhadap hubungan saling mengenal antar organisasi antar
tingkatan menunjukkan bahwa pada umumnya organisasi-organisasi tersebut
saling mengenal hanya pada jajarannya di tingkatan-tingkatan lain. Sebagai
contoh, organisasi yang menangani kehutanan mengenali orang-orang dari
organisasi di tingkatan lain yang juga menangani kehutanan. Hal ini
menggambarkan bahwa hubungan antar organisasi antar tingkatan terjadi terutama
pada organisasi-organisasi yang berada dalam jajaran yang sama.
Tabel 11 Jumlah organisasi yang pimpinannya dikenali dan yang mengenali pimpinan-pimpinan organisasi lain
No. Organisasi Organisasi yang
dikenali Organisasi yang
mengenali Total % Total %
1 Asdep PKHL 14 35.90 7 17.95 2 Dit. PKH 3 7.69 4 10.26 3 Dit. TD-BNPB 2 5.13 2 5.13 4 BMKG 3 7.69 3 7.69 5 Dishut Prov. Riau 2 5.13 4 10.26 6 Disbun Prov. Riau 4 10.26 4 10.26 7 BLHD Prov. Riau 4 10.26 4 10.26 8 Dishut Prov. Kalbar 3 7.69 4 10.26 9 Disbun Prov. Kalbar 1 2.56 3 7.69 10 Distanbunhut Kota Dumai 4 10.26 1 2.56 11 Dishut Kab. Ketapang 2 5.13 2 5.13
Saling mengenal di antara orang-orang yang terlibat dalam suatu organisasi
atau pengorganisasian sangat penting, terutama untuk membina komunikasi. Hal
ini terkait dengan keterlibatan emosi di dalam manajemen organisasi dan orang-
orang (Everaert 1997). Everaert menegaskan hubungan atau kedekatan emosional
adalah sangat penting untuk menjaga tingkat produktivitas atau kinerja yang
tinggi dalam organisasi masa depan. Hasil penelitian ini menguatkan sinyalemen
Everaert (1997) bahwa organisasi-organisasi masa kini yang telah meninggalkan
aspek emosional ternyata banyak yang gagal dalam mencapai tujuannya. Pada
151
bagian hubungan bantuan layanan di atas disebutkan bahwa respon permintaan
bantuan dipengaruhi oleh kedekatan emosional pemimpin organisasi.
Kemampuan untuk saling mengenal juga penting dalam mekanisme untuk
membangun sistem sosial dan saling mengenal tersebut didasarkan pada level
saling mempercayai (Janssen 2005). Kondisi hubungan saling mengenal yang
masih relatif rendah seperti yang terjadi pada pengorganisasian pengendalian
kebakaran hutan/lahan sekarang ini dengan demikian menjadi salah satu faktor
penyebab lemahnya manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Salah satu kelemahan dalam manajemen pengendalian kebakaran
hutan/lahan adalah masih lemahnya aturan-aturan dan oleh sebab itu untuk
membangun manajemen pengendalian kebakaran yang baik diperlukan penguatan
aturan-aturan. Aturan-aturan, menurut Jenssen (2005), dibuat, dipilih, disimpan,
ditegakkan, diubah, dan dihapuskan, untuk itu penguatan aturan-aturan
pengendalian kebakaran hutan/lahan yang dimaksud haruslah mencakup
kapabilitas untuk membuat, memilih, menyimpan, menegakkan, mengubah, dan
menghapus aturan-aturan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi kebakaran
hutan/lahan. Keberhasilan tindakan-tindakan terhadap aturan-aturan tersebut
bergantung pada modal sosial (social capital), yang terdiri antara lain hubungan-
hubungan kepercayaan (relations of trust), hubungan timbal-balik (reciprocity),
aturan-aturan, norma-norma dan sanksi-sanksi, dan keterkaitan (connectedness) di
dalam institusi (Pretty 2001 diacu dalam Jenssen 2005).
Kondisi saling mengenal di antara organisasi-organisasi yang terlibat dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan tersebut dapat menggambarkan kondisi
tentang masih sulitnya menjalankan tindakan-tindakan terhadap aturan-aturan
dalam pengendalian kebakaran. Perencanaan atau agenda setting bersama
tampaknya masih sulit dikarena hubungan antar orang-orang dari organisasi-
organisasi tersebut belum akrab, bahkan banyak yang belum saling mengenal.
Alasan yang mungkin dari kondisi tersebut antara lain adalah frekuensi pertemuan
dan/atau komunikasi antar organisasi tersebut kemungkinan besar masih sangat
kurang, dan belum adanya penunjukan orang-orang tertentu dari masing-masing
organisasi sebagai kontak (contact persons) yang tetap. Kondisi hubungan antar
152
organisasi seperti ini pula yang tampaknya membuat penanganan kebakaran
hutan/lahan di semua tingkatan masih belum optimal.
Analisis terhadap pola hubungan antar organisasi berdasarkan dari ketiga
aspek tersebut di atas dapat memperoleh kesimpulan sementara bahwa integrative
coordination (Bolland & Wilson 1994) belum terpenuhi. Di sisi lain, integrasi
kebijakan (Meijers & Stead 2004) masih sulit dibangun karena konsep
keterpaduan (integrated) atau “kemenyeluruhan” (comprehensiveness) belum
menjadi acuan bagi organisasi-organisasi yang terlibat tersebut. Putusnya
hubungan antar tingkatan di hampir seluruh dari ketiga aspek hubungan antar
organisasi tersebut di atas masih menjadi kendala dalam penanganan pengendalian
kebakaran hutan/lahan di Indonesia.
5.3.2. Tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap mekanisme hubungan
antar organisasi
Hasil analisis terhadap angket penelitian tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar responden dari organisasi-organisasi yang diamati di tingkat
nasional, provinsi dan kabupaten/kota pada dasarnya telah mengetahui adanya
mekanisme hubungan internal organisasinya. Mekanisme hubungan internal
tersebut telah ditetapkan dalam bentuk tata hubungan kerja (tahubja) yang
mengikuti struktur dari organisasi yang bersangkutan. Sebagian besar organisasi,
terutama di tingkat nasional dan provinsi, pada umumnya telah relatif
berkembang, dalam arti bahwa aktivitas-aktivitas di dalam organisasi telah
direncanakan dengan baik, telah mengembangkan suatu mekanisme dalam bentuk
prosedur-prosedur yang mengatur aliran tugas, tanggung jawab, informasi, dan
lain-lain dari satu bagian ke bagian lain (Brown & Harvey 2006). Sebaliknya,
oganisasi-organisasi yang belum memiliki mekanisme hubungan internal terutama
adalah di tingkat kabupaten/kota. Hal ini disebabkan antara lain oleh belum
mantapnya organisasi dalam menetapkan visi dan misi, struktur organisasi,
sumber daya manusia, maupun sarana dan prasarana di dalam organisasi.
Organisasi-organisasi tersebut baru dibentuk mengikuti terbentuknya
kabupaten/kota baru hasil pemekaran dan/atau struktur pemerintahan baru yang
153
otonom, seperti di Kota Dumai, Riau dan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan
Barat. Penggabungan tiga organisasi pemerintah daerah di Kota Dumai yaitu
Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan menjadi satu yaitu
Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan telah mengubah mekanisme
hubungan antar ketiga organisasi yang sebelumnya bersifat eksternal untuk
mencapai visi yang berbeda-beda menjadi hubungan internal untuk mencapai satu
visi bersama. Sementara itu, di Kubu Raya yang merupakan pemekaran dari
Kabupaten Pontianak, pada saat penelitian ini dilakukan pemerintah daerahnya
masih disibukkan oleh penataan elemen-elemen organisasi, terutama sumber daya
manusia dan sarana dan prasarana organisasi.
Pada tingkat nasional, hanya sekitar separuh dari jumlah responden yang
menyatakan bahwa organisasinya telah memiliki mekanisme hubungan antar
organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan, dan seperempat dari
jumlah responden masih meragukan adanya mekanisme tersebut (Gambar 39).
Ketika hal tersebut dikonfirmasi dengan hasil wawancara terhadap beberapa
responden, semuanya menyatakan bahwa mekanisme hubungan tersebut masih
berupa suatu kesepakatan tidak tertulis di antara organisasi-organisasi tersebut.
Hampir semua responden yang menyatakan telah adanya mekanisme hubungan
tersebut adalah berasal dari organisasi-organisasi yang memang aktif terlibat
dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan yaitu Dit. PKH, Asdep PKHL, dan
Ditlinbun.
Keragu-raguan dan ketidaksetujuan responden mengenai sudah adanya
mekanisme hubungan antar organisasi di tingkat nasional tersebut beralasan
karena ternyata pada tingkat nasional belum terbentuk secara formal sistem
pengorganisasian untuk pengendalian kebakaran hutan/lahan. Sistem
pengorganisasian yang berlaku sekarang hanyalah merupakan kesepakatan tidak
tertulis untuk menjalankan sistem pengorganisasian yang pernah ada yaitu berupa
organisasi yang bernama Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional
(Pusdalkarhutnas). Organisasi tersebut dibentuk dengan Keputusan Menteri
Kehutanan nomor 188/Kpts-II/1995 dan berlaku di jajaran Departemen
Kehutanan, sedangkan sistem pengorganisasian yang melibatkan organisasi-
organisasi pemerintah lainnya di tingkat nasional adalah Tim Koordinasi Nasional
154
Penanggulangan Kebakaran Hutan/lahan (TKN-PKHL) yang dibentuk oleh
Menteri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1995. Kedua organisasi tersebut
tidak pernah dibubarkan tetapi juga dianggap sudah tidak berlaku lagi sejak era
reformasi tahun 1998/1999.
Mekanisme hubungan di tingkat nasional yang belum tertulis tersebut
tampaknya yang membuat para responden di tingkat provinsi baik di Riau
maupun Kalimantan Barat menyatakan ketidaktahuan mereka mengenai adanya
mekanisme tersebut. Namun mereka di tingkat kabupaten/kota di kedua provinsi
tersebut sebagian besar menjawab setuju mengenai sudah adanya mekanisme
tersebut di tingkat nasional. Hasil wawancara terhadap beberapa responden di
tingkat kabupaten/kota mengenai hal tersebut memperoleh gambaran tentang
keyakinan mereka bahwa di tingkat nasional pasti sudah ada mekanisme tersebut
karena selama ini instansi pemerintah pusat (nasional) dianggap cepat dalam
merespon laporan kejadian kebakaran dari kabupaten/kota.
Para responden di tingkat provinsi sendiri sebagian besar juga menyatakan
bahwa provinsinya belum memiliki mekanisme hubungan antar organisasi dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan. Gambar 40 merupakan contoh proporsi
jumlah responden di Provinsi Riau dan gambaran serupa bagi Kalimantan Barat
Gambar 39 Pendapat responden di tingkat nasional tentang adanya mekanisme hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat nasional.
155
dengan 16,67% menyatakan sangat tidak setuju dan 50% tidak setuju bahwa
provinsinya telah memiliki mekanisme tersebut.
Gambar 40 Pendapat responden di Provinsi Riau tentang adanya mekanisme hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Pendapat responden dari kabupaten/kota di kedua provinsi terhadap
mekanisme hubungan antar organisasi tersebut di tingkat provinsi sama dengan
pendapat mereka untuk tingkat nasional. Mereka percaya bahwa mekanisme
tersebut telah ada dengan alasan yang sama yaitu dapat mengalirnya respon dari
tingkat nasional ke kabupaten/kota melalui provinsi karena sudah adanya
mekanisme di tingkat provinsi. Pada kenyataannya, mekanisme yang baku di
masing-masing level maupun antar level belum terbentuk secara formal.
Ketiadaan mekanisme tersebut jelas menghambat proses pengerahan sumber daya
untuk pengendalian kebakaran, terutama terkait dengan penyediaan anggaran
untuk penanganan kejadian kebakaran.
Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut
lebih dari separuh responden baik di tingkat nasional, di tingkat provinsi maupun
di tingkat kabupaten/kota bukan hanya kalau dibutuhkan melainkan sudah
melekat di dalam bidang tugas. Persentase jumlah responden yang menyatakan hal
tersebut pada tingkat nasional adalah sekitar 66% (Gambar 41), di Provinsi Riau
dan Provinsi Kalimantan Barat, masing-masing 70% dan 88%, dan di tingkat
kabupaten/kota di Riau dan Kalimantan Barat masing-masing 67% dan 70%
(Gambar 42). Hal tersebut dapat dikaitkan dengan banyaknya responden yang
memiliki pengetahuan mengenai adanya prosedur tetap kerja sama dalam
156
pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkatannya masing-masing yakni
sebanyak 68% responden di tingkat nasional, 90% di Provinsi Riau, 93% di
Provinsi Kalimantan Barat, 66% di kedua kabupaten dan kota di Riau dan 58% di
kedua kabupaten di Kalimantan Barat.
Gambar 41 Alasan keterlibatan organisasi di tingkat nasional dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Gambar 42 Alasan keterlibatan organisasi di tingkat provinsi dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Hasil wawancara memperoleh gambaran bahwa para responden tersebut
sekadar mengetahui adanya dokumen yang mengatur tentang kerja sama berbagai
organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan, tetapi mereka
tidak mengetahui rincian tentang bagaimana mekanisme hubungan kerja sama
tersebut. Responden mengetahui tentang hubungan kerja sama tersebut juga hanya
pada tingkatan di mana organisasi mereka berada dan antar tingkatan (nasional,
157
provinsi, dan kabupaten/kota), sedangkan mengenai hubungan dengan organisasi
internasional sebagian besar (60%) menyatakan belum tahu.
Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan menurut
sebagian besar responden baik di tingkat nasional, di tingkat provinsi maupun di
tingkat kabupaten/kota ditentukan oleh ketersediaan sumber daya, terutama
ketersediaan sarana dan prasarana dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh
organisasi yang bersangkutan (Gambar 41 dan Gambar 42 ). Ketersediaan dana
atau anggaran dari organisasi sendiri menjadi pertimbangan berikutnya. Hal ini
berarti bahwa organisasi akan terlibat atau mengirimkan bantuan dalam
pengendalian kebakaran, terutama dalam pemadaman kebakaran hutan/lahan jika
mereka memiliki peralatan dan personil. Namun demikian, pengerahan bantuan
yang sebenarnya, akan terjadi jika organisasi tersebut memiliki cukup dana untuk
itu, sedangkan ketersediaan dana dari luar organisasi kurang menjadi
pertimbangan. Hal ini yang menjadi salah satu alasan organisasi-organisasi
tersebut tidak segera bertindak mengerahkan sumber dayanya ketika ada
kebakaran karena ternyata anggaran atau dana yang ada pada organisasinya
sendiri tidak ada atau sangat sedikit sedangkan dana dari luar organisasi juga
belum jelas mekanismenya.
Mekanisme baku mengenai perbantuan sumber daya antar organisasi sejauh
ini belum ada. Upaya untuk membangun kesepakatan antar organisasi untuk
menciptakan mekanisme tersebut juga belum ada. Kekosongan mekanisme
perbantuan sumber daya antar organisasi tersebut belum menjadi agenda dalam
pengorganisasian pengendalian kebakaran baik di tingkat nasional, provinsi
maupun kabupaten/kota, sehingga penanganan pengendalian kebakaran
hutan/lahan berjalan sendiri-sendiri oleh masing-masing organisasi.
Keterlibatan dalam pengendalian kebakaran juga dipengaruhi oleh
keterkaitan dengan tanggung jawab terhadap status kawasan yang terbakar,
sebagaimana dinyatakan oleh 62,50% responden di tingkat nasional, 85,71% di
tingkat provinsi Riau, 55,50% di tingkat provinsi Kalimantan Barat, 54,55% di
Kota Dumai, 44,40% di Kabupaten Inderagiri Hulu, 76,47% di Kabupaten
Ketapang, dan 52,50% di Kabupaten Kubu Raya. Hal ini berarti bahwa
158
keterlibatan organisasi dalam operasi pengendalian kebakaran, baik dalam bidang
pencegahan, penanganan pasca-kebakaran, maupun terutama pemadaman
kebakaran, sangat ditentukan oleh lokasi di mana kegiatan dilaksanakan. Dishut,
misalnya, akan dengan segera merespon permintaan bantuan jika kebakaran
terjadi di kawasan hutan. Demikian pula halnya dengan Disbun yang akan
memberikan prioritas respon kepada permintaan bantuan untuk penanganan
kebakaran di kawasan perkebunan.
Kedekatan hubungan antara organisasi yang meminta bantuan dengan
organisasi yang dimintai bantuan turut menjadi pertimbangan juga. Di tingkat
nasional, komposisi antara sangat tidak setuju dan tidak setuju dengan setuju dan
sangat setuju adalah 29,16% dengan 41,67%, dan 29,17% ragu-ragu, yang berarti
organisasi akan mengirimkan bantuan jika organisasi yang memintanya dianggap
dekat secara psikologis. Di Provinsi Riau, komposisinya relatif serupa yaitu
57,14% setuju dan 23,81% tidak setuju, sementara di Provinsi Kalimantan Barat
terjadi sebaliknya yaitu 50% tidak setuju dan 23, 20% setuju. Hal tersebut
kemungkinan berkaitan dengan departementasi pada struktur organisasi
Pusdalkarhutlada di mana di Riau pembagian tugas berdasarkan pada bidang-
bidang pengendalian kebakaran sehingga batas-batas kawasan pemangkuan
kurang menjadi perhatian, sementara di Kalimantan Barat pembagian tugas
berdasarkan tanggung jawab pada kawasan sehingga apapun yang terjadi di
kawasan yang menjadi tanggung jawabnya adalah benar-benar menjadi tugas dan
tanggung jawabnya dengan kurang mengharapkan bantuan dari organisasi lain
yang sudah memiliki tanggung jawab di kawasannya sendiri.
Hal serupa terjadi pada tingkat kabupaten/kota, di mana di kabupaten/kota
di Riau persentase responden yang tidak setuju dengan yang setuju adalah sama
yaitu 44,44, sedangkan di kedua kabupaten di Kalimantan Barat komposisinya
adalah 58,82% tidak setuju dan 29,41 setuju. Alasan untuk hal tersebut juga
tampaknya serupa karena pembagian tugas pada Pusdalkarhutlada di tingkat
provinsi dan Satlakdalkarhutla di tingkat kabupaten/kota di provinsi yang sama
juga serupa.
159
Hasil analisis data menunjukkan bahwa kurang dari separuh jumlah
responden menjawab pertanyaan di bagian tersebut. Hal ini ketika dikonfirmasi
kepada beberapa responden yang tidak menjawab angket tersebut diperoleh dua
alasan pokok. Pertama, responden merasa tidak mengetahui atau kurang yakin
mengenai hubungan organisasinya dengan organisasi-organisasi lain yang ada di
dalam daftar angket tersebut dalam hal-hal yang dipertanyakan. Sebagai contoh,
mengenai pertukaran bantuan, responden merasa kurang yakin mengenai adanya
saling memberi dan menerima bantuan antara organisasinya dengan organisasi
lain. Bantuan yang dimaksud sebenarnya tidak terbatas pada bantuan dalam
konteks pengendalian kebakaran hutan/lahan saja melainkan bantuan dalam
berbagai bidang. Hal ini memang tidak dijelaskan di dalam angket penelitian dan
peneliti juga tidak memberikan penjelasan ketika melakukan wawancara dan
konfirmasi tersebut karena peneliti beranggapan bahwa responden adalah pejabat
atau pimpinan organisasi yang dianggap telah mampu memahami makna yang
tersurat maupun tersirat dari kalimat-kalimat di dalam angket penelitian. Namun
demikian, hal tersebut juga dapat mengindikasikan bahwa responden yang terdiri
dari para pimpinan organisasi tersebut pada dasarnya belum memahami hubungan
atau keterkaitan antara organisasinya dengan organisasi-organisasi lain di
berbagai hal. Kekurangpahaman responden mengenai bantuan layanan yang
diberikan organisasinya ataupun yang diterima oleh organisasinya juga dapat
mengindikasikan bahwa organisasi-organisasi tersebut masih lebih banyak bekerja
atau berjalan secara sendiri-sendiri dan masih kurang bekerja sama baik dalam
bentuk koordinasi ataupun kolaborasi dengan organisasi-organisasi lain.
Kedua, responden merasa bahwa angket tersebut terlalu rumit dan sulit
mengisinya karena kurangnya petunjuk pengisian. Kerumitan dan kesulitan dalam
pengisian angket tersebut ternyata berkaitan dengan alasan pertama setelah
peneliti mengonfirmasi alasan kedua tersebut. Peneliti tidak melakukan perubahan
terhadap angket tersebut karena angket tersebut merupakan satu bentuk adaptasi
metode yang sedang diujicobakan melalui penelitian ini. Di samping itu, peneliti
melihat alasan utama tampaknya adalah keengganan responden untuk mengisi
semua pertanyaan dalam angket karena dari pemantauan peneliti terhadap
beberapa responden, mereka sepertinya sengaja melewatkan bagian dari angket
160
yang memerlukan perhatian lebih serius dan yang mengharuskan responden
menuliskan jawaban, bukan sekadar mencontreng. Hal ini dapat menjadi
pertimbangan bagi peneliti sendiri maupun para peneliti lain ketika membuat
angket penelitian serupa agar dapat memperoleh tingkat yang lebih tinggi dalam
pengisian angket yang disebarkan.
Kondisi seperti itu dapat terjadi antara lain karena kurang jelas dan rincinya
prosedur atau mekanisme hubungan antar organisasi di dalam dokumen
pembentukan organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan tersebut. Di tingkat
nasional, hubungan dalam bentuk perbantuan antar organisasi belum didefinisikan
dengan jelas. Salah satu landasan hukum yang menjelaskan hubungan antar
organisasi adalah Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana yang di dalamnya mengamanatkan adanya unsur pengarah yang
melibatkan berbagai instansi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (2).
Aturan tersebut kemudian diuraikan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden nomor
8 tahun 2008 di mana unsur pengarah tersebut melibatkan 10 (sepuluh) organisasi
Pemerintah. Peraturan Presiden tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut peranan
dari masing-masing organisasi tersebut yang seharusnya menjadi alasan
dilibatkannya mereka dalam BNPB. Ketiadaan uraian tentang peranan, tugas,
fungsi, dan tanggung jawab dari masing-masing organisasi tersebut serta tidak
adanya kejelasan mekanisme perbantuan dari dan oleh organisasi-organisasi
tersebut dapat membuat penanganan bencana menjadi tidak optimal.
Hal serupa juga terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di mana
dokumen pembentukan Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla juga tidak
menguraikan dengan jelas bentuk-bentuk layanan yang harus disediakan oleh
masing-masing organisasi yang terlibat serta mekanisme penyediaan dan
penerimaan layanan-layanan tersebut. Seharusnya, masing-masing organisasi
tersebut didefinisikan bentuk-bentuk layanan yang harus disediakan dan yang
diterima sehingga ketika diperlukan, organisasi-organisasi tersebut dengan
sendirinya dapat segera menyediakan layanan-layanan sesuai dengan
kewajibannya.
161
Jika mengacu pada hasil angket penelitian, dari jawaban yang diberikan
responden terlihat komposisi perbantuan layanan terbagi atas empat situasi, yaitu:
(1) situasi di mana responden tidak mendefinisikan bentuk perbantuan layanan
atau menganggap bahwa organisasinya tidak ada hubungan perbantuan layanan
dengan organisasi-organisasi lain, yang dalam hal ini digambarkan dengan
susunan (0,0);
(2) situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya memberikan
bantuan layanan kepada organisasi lain, yang digambarkan dengan susunan (1,0);
(3) situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya menerima
bantuan layanan dari organisasi lain, yang digambarkan dengan susunan (0,1); dan
(4) situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya memberikan
kepada dan juga menerima bantuan layanan dari organisasi lain, yang
digambarkan dengan susunan (1,1).
Jawaban dari responden secara ringkas dapat direkapitulasi seperti pada
Gambar 43. Responden memilih susunan (0,0) sebanyak 90,51%, susunan (1,0)
sebanyak 2,44%, susunan (0,1) sebanyak 3,27%, dan susunan (1,1) sebanyak
3,78% dari seluruh susunan yang ada. Hal ini dapat menggambarkan bahwa
sebagian besar responden masih menganggap bahwa organisasinya tidak memiliki
hubungan dengan organisasi lain dalam hal bantuan layanan. Di samping itu, jika
ada hubungan tersebut, responden menyatakan bahwa organisasinya lebih banyak
Gambar 43 Hubungan bantuan layanan menurut pendapat responden.
162
menerima (0,1) daripada memberikan (1,0) bantuan. Angket penelitian memang
tidak merinci pendapat responden sebagai gambaran kondisi yang sebenarnya
ataukah kondisi yang diinginkan responden saat penelitian. Namun demikian dari
wawancara dapat diketahui bahwa hal tersebut lebih merupakan keinginan
responden yang dilatari oleh kenyataan pada sekarang ini bahwa organisasi
mereka memiliki sumber daya yang sangat terbatas sehingga mereka berkeinginan
untuk memperoleh bantuan sumber daya, terutama dana, khususnya untuk
keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Permasalahan di dalam hubungan antar organisasi terutama dalam
perbantuan dan transaksi sumber daya baik dalam satu tingkatan maupun terutama
antar tingkatan terkait dengan persoalan-persoalan yang ada dalam penerapan
kebijakan otonomi daerah. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian
pembahasan rancang bangun sistem pengorganisasian di bagian akhir bab ini.
5.4. Kapasitas Organisasi
Kedua sub bab tersebut di atas telah menguraikan aspek-aspek dalam sistem
pengorganisasian dari sisi keterkaitan antara organisasi yang terlibat dalam sistem
tersebut. Sub bab ini menganalisis kondisi internal dari setiap organisasi yang
terlibat langsung dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Analisis dilakukan
terhadap efektivitas masing-masing organisasi dan terhadap komponen-komponen
dalam organisasi yang menunjukkan kapasitas organisasi-organisasi tersebut.
Sebagaimana diuraikan di dalam Bab II, penelitian ini membedakan antara
efektivitas dengan kinerja, di mana efektivitas organisasi digunakan untuk
menggambarkan kapasitas organisasi sedangkan kinerja organisasi adalah untuk
menggambarkan hasil yang dicapai oleh organisasi. Pengukuran efektivitas
organisasi dalam penelitian ini menggunakan salah satu pendekatan untuk
mengukur efektivitas organisasi yang dikemukakan Kreitner dan Kinicki (1992)
yakni pendekatan sistem-sistem yang sehat (healthy system). Pendekatan ini
meminta ukuran-ukuran efektivitas berupa antara lain adanya aliran informasi
yang baik, loyalitas pegawai, komitmen, kepuasan kerja dan kepercayaan.
163
Studi ini mencoba memberikan interpretasi terhadap pendekatan tersebut
karena tidak adanya arahan rinci mengenai hal tersebt. Penerapannya di dalam
penelitian ini adalah dengan membuat ukuran obyektif dan ukuran subyektif
(Young Lee & Whitford 2008). Ukuran obyektif dibangun dari catatan-catatan
atau arsip-arsip, yaitu dokumen-dokumen organisasi yang menunjukkan
komponen-komponen pengukuran efektivitas, seperti tertuang dalam prosedur
pengukuran efektivitas organisasi pada Lampiran 7. Sebagai contoh, Daftar Urut
Kepangkatan (DUK) digunakan untuk menilai kapasitas sumber daya manusia
(SDM) organisasi dari segi tingkat pendidikan dan keikutsertaan dalam pelatihan-
pelatihan yang berhubungan dengan pengendalian kebakaran hutan/lahan. Ukuran
subyektif dibangun dari respon survei yang diperoleh dari anggota organisasi.
Studi ini menggunakan komponen-komponen efektivitas organisasi dalam
melihat kapasitas organisasi untuk menjalankan tanggung jawabnya dalam
pengendalian kebakaran. Komponen-komponen yang dimaksud, yang dirangkum
dari Philbin dan Mikhus (2008) dan standar dari good governance (OPM dan
CIPFA 2004) meliputi: (1) visi dan misi, (2) struktur organisasi, (3) sumber daya
manusia, (4) sarana dan prasarana, dan (5) mekanisme kerja. Formula untuk
mengukur efektivitas organisasi pemerintah, terutama dalam pengendalian
kebakaran hutan/lahan belum ditemukan sampai dilaksanakannya studi ini. Studi
ini membuat formula sederhana dengan menjumlahkan skor dari kelima
komponen tersebut di atas.
Hasil analisis dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) terhadap hasil
pengisian angket penelitian oleh para pakar mendapatkan nilai bobot untuk
masing-masing dari kelima komponen kapasitas organisasi tersebut dan
selanjutnya nilai-nilai tersebut dimasukkan ke dalam rumus efektivitas organisasi
(EO) sehingga diperoleh rumus pengukuran efektivitas sebagai berikut:
di mana:
V = skor visi dan misi
S = skor struktur organisasi
EO = 0,285V + 0,238S + 0,243D + 0,089P + 0,145M
164
D = skor sumber daya manusia
P = skor sarana dan prasarana
M = skor mekanisme kerja
Nilai-nilai V, S, D, Pdan M diperoleh dari penilaian terhadap kondisi di
lapangan yakni profil organisasi, keberadaan dokumen bukti dari komponen-
komponen tersebut, dan hasil pengisian kuisioner. Penentuan tingkat efektivitas
dilakukan dengan menggunakan rumus tersebut dan memasukkan jumlah skor
minimum dan skor maksimum yang dapat diperoleh organisasi yang diamati.
Jumlah skor minimum adalah 0 (nol), sedangkan jumlah skor maksimum adalah
43. Penilaian efektivitas organisasi dilakukan dengan menempatkan EO hasil
pengamatan terhadap organisasi yang bersangkutan ke dalam daftar kisaran pada
Tabel 12.
Tabel 12 Kisaran untuk penilaian efektivitas organisasi
Tingkat Efektivitas Skor Total Tidak efektif 0 s/d 10,75
Kurang efektif > 10,75 s/d 21,50 Efektif > 21,50 s/d 32,25
Sangat efektif > 32,25 s/d 43
Pengukuran efektivitas organisasi dengan menggunakan tabel tersebut
menghasilkan kondisi efektivitas dari organisasi-organisasi yang di amati di tiap
tingkatan seperti ditunjukkan pada Tabel 13 untuk tingkat nasional, Tabel 14
untuk tingkat provinsi dan Tabel 15 untuk tingkat kabupaten/kota.
Tabel 13 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat nasional
No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO 1 Dit. PKH 8.917 5.678 6.275 1.761 3.553 26.184 E 2 Dit. Linbun 7.441 5.210 5.725 1.404 3.625 23.405 E 3 Dit. Lintan 5.288 6.214 6.318 1.859 4.189 23.868 E 4 Dit. TD 6.270 7.164 6.641 2.035 4.205 26.315 E 5 Asdep PKHL 7.553 5.950 6.500 1.780 3.625 25.408 E
VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja; ST = skor total; EO = efektivitas organisasi; E = efektif
165
Tabel 14 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat provinsi
No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO Provinsi Riau 1 Dishut Prov 6.555 5.474 5.832 1.780 3.335 22.976 E
2 Disbun Prov 5.914 4.701 5.346 1.424 2.900 20.285 KE 3 BLH Prov 7.533 5.543 5.623 1.131 3.128 22.958 E 4 BBKSDA Riau 7.980 5.686 6.128 1.652 3.335 24.781 E Provinsi Kalimantan Barat 1 Dishut Prov 7.233 5.743 5.621 1.424 3.566 23.587 E 2 Disbun Prov 6.726 5.284 6.075 1.355 3.321 22.761 E 3 BLHD Prov 7.664 6.267 6.371 1.711 3.496 25.509 E 4 BKSDA Kalbar 7.980 5.686 6.128 1.652 3.335 24.781 E
Keterangan: VM = skor visi dan misi; SO = skor struktur organisasi; SDM = skor sumber daya manusia; SP = skor sarana dan prasarana; MK = skor mekanisme kerja; ST = skor total, EO = efektivitas organisasi; E = efektif
Tabel 15 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat kabupaten/kota
No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO
Kota Dumai 1 Distanbunhut 5.606 5.077 6.318 1.484 2.900 21.385 KE 2 KLH 5.415 4.284 5.711 1.113 2.828 19.351 KE
Kab. Inhu 1 Dishutbun 5.358 4.950 5.881 1.355 3.031 20.575 KE 2 BLHD 5.415 4.205 5.183 1.217 3.093 19.113 KE
Kab. Ketapang 1 Dishut Kab 6.060 4.643 4.521 1.314 3.456 19.994 KE 2 Disbun Kab 5.911 4.184 5.065 1.245 3.211 19.616 KE 3 BLHD Kab 6.664 5.167 5.271 1.601 3.386 22.089 E
Kab. Kubu Raya 1 Dishutbun 5.448 4.705 5.772 1.300 3.047 20.272 KE 2 BLHD Kab 5.015 3.975 5.303 1.273 3.185 18.751 KE
Keterangan: VM = skor visi dan misi; SO = skor struktur organisasi; SDM = skor sumber daya manusia; SP = skor sarana dan prasarana; MK = skor mekanisme kerja; ST = skor total, EO = efektivitas organisasi; E = efektif; KE = kurang efektif
Hasil tersebut menunjukkan bahwa organisasi-organisasi di tingkat nasional
dan provinsi tersebut sudah efektif, sedangkan yang di tingkat kabupaten/kota
masih kurang efektif. Jika dilihat dari besarnya skor yang diperoleh, yang lebih
dekat kepada batas bawah pada tingkat efektif, maka dapat dikatakan bahwa
organisasi-organisasi di tingkat provinsi sudah berada pada tingkat efektif tetapi
166
relatif masih rendah, sedangkan di tingkat kabupaten/kota, hasil pengukuran
menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut masih belum efektif.
Efektivitas yang masih relatif rendah atau bahkan belum efektif pada
organisasi-organisasi tersebut dapat menunjukkan masih belum terpenuhinya
komponen-komponen prasyarat bagi organisasi yang efektif. Seberapa jauh
masing-masing organisasi tersebut telah memenuhi komponen-komponen tersebut
dapat dilihat dari persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per
komponennya, seperti ditunjukkan untuk organisasi-organisasi di tingkat nasional
pada Tabel 16 berikut. Persentase tersebut juga menggambarkan kapasitas dari
organisasi yang bersangkutan.
Persentase tersebut dihitung dari skor yang diperoleh masing-masing
organisasi pada komponen tersebut dibagi dengan skor maksimum (kontrol) pada
komponen tersebut. Persentase tersebut menunjukkan bahwa semua organisasi
yang diukur pada umumnya telah mencapai lebih dari 50% dari tingkat efektivitas
maksimum, tetapi masih di bawah 75%. Persentase tertinggi yang dicapai Dit.
PKH pada komponen visi dan misi yakni 74,49 % wajar karena hanya organisasi
tersebut yang memang visi dan misinya secara eksplisit menyebutkan unsur-unsur
dari pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Tabel 16 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi di tingkat nasional
No. Organisasi VM %
SO %
SDM %
SP %
MK %
1 Dit. PKH-Kemhut 74,49 51,86 57,38 56,53 61,26
2 Dit. Linbun-Kemtan 62,16 47,59 52,35 45,07 62,50
3 Dit. Lintan-Kemtan 44,18 56,76 57,78 59,68 72,22
4 Dit. TD-BNPB 52,38 65,44 60,73 65,33 72,50
5 Asdep PKHL-KNLH 63,10 54,35 59,44 57,14 62,50
Rata-rata 59,26 55,20 57,53 56,75 66,20
Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja
167
Sementara itu, adalah wajar juga jika Dit. Lintan memperoleh persentase
terendah untuk komponen visi dan misi karena dari angket penelitian maupun
wawancara dan profil organisasi, organisasi tersebut tidak berurusan dengan
kebakaran hutan/lahan. Penyiapan lahan yang biasanya menggunakan pembakaran
dianggap oleh para responden dari Dit. Lintan sebagai tidak lagi menjadi urusan
organisasi tersebut melainkan menjadi urusan dari pemilik atau pemangku
kawasan, yaitu para petani sendiri dan pemerintah daerah. Hal serupa juga
dinyatakan oleh Dit. Linbun, di mana organisasi tersebut hanya berurusan dengan
perlindungan perkebunan dari organisme pengganggu tanaman (OPT), sedangkan
urusan penyiapan lahan menjadi urusan pemilik atau pemangku kawasan.
BNPB memiliki persentase tertinggi di hampir semua komponen, kecuali
visi dan misi, dibandingkan dengan keempat organisasi lainnya di tingkat
nasional. Skor total bagi organisasi tersebut juga tertinggi, diikuti Dit. PKH dan
Asdep PKHL. Hal ini dapat menunjukkan bahwa di antara organisasi-organisasi
tersebut, BNPB merupakan organisasi yang paling siap kapasitasnya untuk
menangani pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Pada tingkat provinsi, seperti pada Tabel 17 dan Tabel 18, persentase skor
perolehan hampir seluruhnya masih di bawah 50%. Hal ini menggambarkan suatu
kondisi kapasitas organisasi yang masih jauh di bawah kapasitas optimalnya untuk
menangani kebakaran. Alasan ketidaksiapan organisasi-organisasi tersebut untuk
terlibat dalam pengendalian kebakaran biasanya adalah masih kurangnya sarana
dan prasarana. Hal ini memang sangat tampak dari Tabel tersebut.
Tabel 17 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi di tingkat provinsi untuk Provinsi Riau
No. Organisasi VM %
SO %
SDM %
SP %
MK %
1 Dishut Prov 54,76 50,00 53,33 57,14 57,50 2 Disbun Prov 49,41 42,94 48,89 45,71 50,00 3 BLHD Prov 62,93 50,63 51,42 36,31 53,93 4 BBKSDA 66,67 51,94 56,04 53,03 57,50 Rata-rata 58,44 48,88 52,42 48,05 54,73
Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja.
168
Tabel 18 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada
organisasi di tingkat provinsi untuk Provinsi Kalimantan Barat
No. Organisasi VM %
SO %
SDM %
SP %
MK %
1 Dishut Prov 60,43 52,46 51,40 45,71 61,48 2 Disbun Prov 56,19 48,26 55,56 43,50 57,26 3 BLHD Prov 64,03 57,24 58,26 54,93 60,28 4 BKSDA 66,67 51,94 56,04 53,03 57,50 Rata-rata 61,83 52,38 55,32 49,29 59,13
Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja.
Kepemilikan sarana dan prasarana baik untuk kepentingan umum organisasi
tersebut maupun untuk pengendalian kebakaran hutan/lahan masih relatif rendah.
Dishut Provinsi dan Balai KSDA merupakan organisasi yang memiliki sarana dan
prasarana relatif terbesar di antara organisasi-organisasi lain. Hal ini terkait
dengan tugas pengendalian kebakaran yang melekat pada kedua organisasi
tersebut. Dishut Provinsi memang diberi tugas di bidang pemadaman yang
memang memerlukan sarana dan prasarana pemadaman, sedangkan Balai KSDA
di kedua provinsi tersebut telah memiliki sumber daya pengendalian kebakaran
dengan adanya Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni.
Komponen lain yang mempunyai persentase besar adalah mekanisme kerja.
Pada umumnya organisasi-organisasi di tingkat nasional dan provinsi merupakan
organisasi lama dan telah memiliki prosedur-prosedur kerja tertulis tentang tata
hubungan kerja antar bagian di dalamnya. Sementara di tingkat kabupaten/kota,
penggabungan beberapa instansi menjadi satu, seperti di Kota Dumai di mana
Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, dan Dinas Kehutanan digabung menjadi satu
dan perubahan eselon dari organisasi eselon II (Badan Lingkungan Hidup) ke
eselon III (Kantor Lingkungan Hidup) membuat organisasi tersebut harus menata
diri kembali terutama dalam struktur organisasi dan mekanisme kerjanya. Hal ini
terlihat pada Tabel 19 dan Tabel 20 di mana persentase komponen-komponen
pada kedua organisasi tersebut masih di bawah 50%.
169
Tabel 19 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi tingkat kabupaten/kota di Provinsi Riau
No. Organisasi VM %
SO %
SDM %
SP %
MK %
1 Distanbunhut Kota Dumai 46,83 46,37 57,78 47,64 50,00 2 KLH Kota Dumai 45,24 39,13 52,23 35,73 48,76 3 Dishutbun Kab. Inhu 44,76 45,21 53,78 43,50 52,26 4 BLHD Kab. Inhu 45,24 38,41 47,40 39,07 53,33 Rata-rata 45,52 42,28 52,80 41,48 51,09
Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja;
Tabel 20 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada
organisasi tingkat kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat
No. Organisasi VM %
SO %
SDM %
SP %
MK %
1 Dishut Kab. Ketapang 50,63 42,41 41,34 42,18 59,59 2 Disbun Kab. Ketapang 49,38 38,22 46,32 39,97 55,36 3 BLHD Kab. Ketapang 55,67 47,20 48,20 51,40 58,38 4 Dishutbun Kab. Kubu Raya 45,51 42,98 52,78 41,73 52,53 5 BLHD Kab. Kubu Raya 41,90 36,31 48,50 40,87 54,91 Rata-rata 48,43 42,22 47,71 44,04 56,35
Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja;
Semua kondisi tersebut, baik cuaca yang sulit diatasi maupun pembukaan
lahan dan faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kebakaran sebenarnya dapat
diprediksi dan dikelola dengan kesiapan organisasi-organisasi yang bertanggung
jawab atas masalah tersebut, terutama yang berkaitan dengan pengendalian
kebakaran. Permasalahannya adalah apakah organisasi-organisasi yang menangani
masalah kebakaran sudah memiliki kapasitas yang memadai dan sudah efektif.
Jika melihat kondisi efektivitas organisasi tersebut di atas, terutama di tingkat
kabupaten/kota maka tampaknya masih terdapat masalah pada masing-masing
organisasi tersebut sehingga organisasi-organisasi tersebut belum mampu
mengatasi kebakaran hutan/lahan sampai tuntas. Berikut adalah analisis terhadap
masalah-masalah yang berkaitan dengan komponen-komponen efektivitas
organisasi dan kapasitas organisasi.
170
1. Visi dan Misi
Visi dan misi merupakan komponen efektivitas organisasi yang penting dan
bahkan beberapa pakar menyatakannya sebagai komponen terpenting dalam
pengembangan organisasi. Visi dan misi menurut Philbin dan Mikush (2008)
merupakan inti atau jantungnya sebuah organisasi (the heart of an organization)
dan sebagai komponen utama dalam standar dari good governance (OPM &
CIPFA 2004). Para responden pakar pun berpendapat serupa dengan memberikan
bobot terbesar pada visi dan misi (Bv).
Setiap organisasi atau instansi yang diamati telah memiliki pernyataan visi
dan misi secara tertulis. Organisasi di tingkat nasional yang secara jelas
menyatakan visinya mengenai pengendalian kebakaran adalah hanya Dit. PKH.
Visi dari organisasi-organisasi lainnya tidak secara jelas menunjukkan kaitan
dengan kebakaran hutan/lahan. Visi Dit. Linbun misalnya menyatakan tentang
perlindungan perkebunan, tetapi misinya lebih berfokus pada perlindungan
terhadap organisme penganggu tanaman (OPT), bukan pada perlindungan dari
kebakaran. Visi dan misi organisasi-organisasi di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota juga tidak menggambarkan keterkaitannya dengan pengendalian
kebakaran hutan/lahan, kecuali untuk BLH Provinsi Riau yang salah satu misinya
secara jelas menyebutkan pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Pengetahuan dan pemahaman dari pimpinan dan anggota organisasi
terhadap visi dan misi organisasinya tampaknya juga masih relatif rendah. Hal ini
terlihat antara lain dari sedikitnya atau rata-rata kurang dari 30% dari jumlah
responden di setiap organisasi yang menyebutkan dengan benar visi dan misi
organisasinya. Padahal organisasi akan efektif jika terdapat pemahaman yang jelas
dan tegas terhadap nilai-nilai, prioritas dan arahan-arahan sehingga setiap orang
paham dan dapat berkontribusi (Muhammad 2004; Kasim 1993). Hasil
wawancara menunjukkan bahwa para personil organisasi tidak begitu peduli
dengan ada tidaknya visi dan misi.
Visi dan misi belum menjadi nilai dan jiwa serta motivasi bagi setiap
personil organisasi. Beberapa alasan mungkin menyebabkan hal tersebut. Pertama,
pernyataan visi dan misi masih keliru. Pernyataan visi dan misi (mission
171
statement) belum berfokus pada apa yang dapat dilakukan dan dicapai oleh
organisasi tersebut (Drucker; 1990), sehingga setiap orang dalam organisasi
belum dapat berkata, “inilah kontribusi saya kepada tujuan tersebut.” Sebagai
contoh, Puspitojati (2008) menyatakan dengan tegas bahwa rencana strategis
berbagai dinas kehutanan provinsi tidak jelas, bahkan untuk Dishut Provinsi
Kalbar rumusan tujuan tidak sesuai dengan pengertiannya dan rumusan
strateginya juga tidak menjelaskan ide atau konsep serta cara terbaik untuk
mencapai tujuan.
Selain itu, visi dan misi harus sederhana dan jelas (Drucker 1990). Setiap
organisasi memiliki kompetensi, tetapi tidak mungkin, bahkan tidak perlu,
memiliki keseluruhan kompetensi atau total competence (Mulford & Klonglan
1982). Oleh sebab itu, visi dan misi organisasi harus sesuai dengan
kompetensinya. Hampir semua organisasi yang diamati menyatakan visi dan misi
yang belum memenuhi kriteria tersebut. Sebagai contoh, Dit. PKH memiliki visi
dan misi yang berbunyi: “Terwujudnya kondisi masyarakat yang terlindungi dari
berbagai ancaman jiwa, raga, dan harta benda serta terbebas dari pencemaran
asap.” Dilihat dari kriteria Drucker (1990) tersebut di atas, pernyataan tersebut
baru sekadar keinginan baik, karena untuk mewujudkan visi dan misi tersebut
diperlukan total competence dan Dit. PKH hanya memiliki sebagian kecil
kompetensi tersebut. Sebagai contoh, pencemaran asap dapat berasal dari berbagai
sumber selain kebakaran hutan/lahan antara lain kendaraan bermotor dan
kebakaran struktur. Dit PKH tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk
menangani semua sumber pencemaran tersebut, maka visi tersebut seharusnya
membatasi diri, misalnya, pada pencemaran asap yang ditimbulkan oleh
kebakaran hutan.
Kedua, visi dan misi hanya dibuat untuk level tertinggi organisasi,
sedangkan level-level di bawahnya tidak memiliki visi dan misi tersendiri. Pada
setiap organisasi dalam studi ini, visi dan misi hanya ada pada level eselon II, dan
belum ada di level eselon III dan IV serta di setiap personil. Ketiga, belum semua
personil mengetahui, memahami dan hafal pernyataan visi dan misi tersebut. Hal
ini disebabkan oleh sangat minimnya upaya sosialisasi visi dan misi terhadap
172
personil organisasi. Padahal, untuk membangun organisasi yang efektif setiap
orang di dalam organisasi harus memahami tujuan dan sasaran organisasi.
Tindakan yang harus dilakukan oleh organisasi-organisasi yang terlibat
dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan agar lebih efektif dan efisien adalah
merekayasa ulang (reengineering) organisasi antara lain melalui pemahaman
terhadap visi organisasi dan komitmen untuk mencapainya (Bennis & Mische
1996), meningkatkan pemahaman dan antusiasme orang-orang di dalam
organisasi terhadap nilai-nilai organisasi, terutama yang mengedepankan hasil
atau commitment to results dengan memandang pelanggan sebagai raja atau
customers are kings (Hammer 1997), dan meningkatkan motivasi pelayanan
publik (Moynihan & Pandey 2007). Dalam konteks kebakaran hutan/lahan,
kebutuhan utama pelanggan adalah tidak adanya kebakaran hutan/lahan.
Pada tingkat operasional, visi dan misi tersebut juga belum dapat
memberikan arahan yang semestinya. Ketika organisasi-organisasi tersebut
ditunjuk untuk suatu posisi dan peranan tertentu di dalam pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan, seharusnya mereka menunjukkan tanggung
jawab akan posisi dan peranan tersebut dalam bentuk memasukkan urusan
penanganan kebakaran hutan/lahan sebagai prioritas ke dalam rencana strategis
dan rencana kerjanya agar dapat memperoleh anggarannya. Jika memang
organisasi-organisasi tersebut sulit untuk memasukkan urusan kebakaran
hutan/lahan ke dalam rencananya, maka mungkin lebih baik bila pengendalian
kebakaran hutan/lahan ditangani oleh sebuah organisasi tersendiri yang tidak
melibatkan organisasi-organisasi yang ada tersebut.
2. Struktur Organisasi
Permasalahan utama dalam sistem pengorganisasian pengendalian
kebakaran hutan/lahan yang berlaku sekarang dari sisi struktur organisasi adalah
belum masuknya secara formal urusan kebakaran hutan/lahan ke dalam struktur
organisasi dari organisasi-organisasi yang terlibat, kecuali pada Dit. PKH dan
Asdep PKHL. Pada Dit. PKH semua level di struktur organisasinya adalah
mengenai pengendalian kebakaran hutan, dan di struktur organisasi Asdep PKHL
urusan kebakaran ada pada level eselon IV.
173
Pada organisasi-organisasi lainnya di tingkat nasional yang sebelumnya
dianggap ikut secara langsung menangani kebakaran hutan/lahan ternyata urusan
kebakaran tidak ada di dalam struktur organisasinya. Dit Linbun, misalnya, tidak
memasukkan urusan kebakaran di dalam uraian tugas. Demikian pula di Dit. TD
maupun BNPB, sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2008,
urusan kebakaran hutan/lahan sama sekali tidak disebut bahkan di dalam uraian
tugas seluruh jabatan yang ada. Unsur Pengarah yang anggotanya adalah pejabat
pemerintah eselon I pun tidak memasukkan pejabat dari Kementerian Kehutanan
dan Kementerian Pertanian yang selama ini dianggap sebagai organisasi yang
wilayah kerjanya dan tugasnya berkaitan dengan kebakaran hutan/lahan. Hal ini
dapat dimaklumi karena BNPB menangani semua jenis bencana, namun demikian
dalam uraian tugas yang semestinya rinci, urusan kebakaran tetap tidak disebutkan
secara tersendiri sebagai bagian dari urusan yang secara formal harus ditangani
organisasi tersebut.
Di tingkat provinsi, sesuai dengan Perda mengenai organisasi dan tata kerja
masing-masing provinsi (Riau dan Kalbar), kebakaran hutan/lahan masuk dalam
struktur organisasi pada level eselon IV (Seksi) di Dishut dan Disbun. Namun
sesuai dengan wilayah kerjanya, kedua organisasi tersebut hanya menangani
kebakaran di kawasan hutan dan di kawasan perkebunan, sedangkan untuk
kebakaran di fungsi lahan lainnya tidak ada yang menanganinya. Dinas Tanaman
Pangan yang semestinya menangani urusan-urusan di lahan pertanian, di dalam
struktur organisasinya tidak terdapat jabatan yang mengurusi kebakaran lahan,
bahkan tidak ada seorang staf pun yang ditugasi untuk menangani urusan tersebut.
Di tingkat kabupaten/kota, pengendalian kebakaran hutan/lahan juga belum
mendapat prioritas memadai. Sebagai contoh, di Kota Dumai, menurut Perda
nomor 13 tahun 2005, semua urusan pertanian, perkebunan, dan kehutanan
masing-masing berada pada level jabatan eselon III, dengan masing-masing terdiri
atas 2 jabatan eselon IV yang tidak mencakup urusan kebakaran. Urusan
kebakaran hutan/lahan ditangani hanya oleh seorang staf non-eselon. Sementara
itu, pada organisasi-organisasi lain yang terkait dengan kebakaran, yaitu
kebakaran kota, juga ditangani hanya di level eselon IV (seksi) pada Satpol PP.
174
Struktur organisasi merupakan pengaturan orang-orang dan tugas-tugas
untuk mencapai tujuan organisasi (Dubrin & Ireland 1993). Dengan tidak
tercantumnya penanganan kebakaran hutan/lahan pada struktur organisasi, maka
tidak ada komponen-komponen terkait seperti SDM, sarana dan prasarana serta
anggaran yang didedikasikan khusus untuk kebakaran hutan/lahan, sehingga
organisasi tidak mungkin mencapai tujuan pengendalian kebakaran hutan/lahan
secara efektif.
3. Sumber Daya Manusia
Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) merupakan isu yang
sangat penting dalam pengembangan organisasi. Oleh sebab itu, manajemen SDM
menjadi sangat penting dalam setiap organisasi (Rivai 2004), karena
pengembangan SDM merupakan salah satu ciri dari organisasi yang efektif
(Philbin & Mikush 2008). Salah satu aspek SDM dalam organisasi adalah
kompetensi. Data profil organisasi menunjukkan bahwa semua organisasi yang
diamati baik di tingkat nasional, tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota
memiliki kurang dari 25% jumlah SDM yang pernah mengikuti pelatihan
kebakaran hutan/lahan. Sementara itu, di dalam rencana strategis maupun rencana
kerja organisasi tidak terdapat program manajemen SDM yang jelas. Dengan
tingkat kompetensi seperti itu, sulit diharapkan bagi organisasi-organisasi tersebut
untuk efektif dan berkinerja tinggi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahannya.
Organisasi-organisasi tersebut belum menyadari pentingnya manajemen
SDM. Padahal manajemen SDM merupakan salah satu program penting bagi
organisasi untuk meningkatkan kontribusi produktif orang-orang yang ada dalam
organisasi melalui sejumlah cara yang bertanggung jawab secara strategis, etis dan
sosial (Rivai 2004). Tujuan akhirnya adalah peningkatan efisiensi, peningkatan
efektivitas, peningkatan produktivitas, rendahnya tingkat perpindahan pegawai,
rendahnya tingkat absensi, tingginya kepuasan kerja karyawan, tingginya kualitas
pelayanan, rendahnya komplain dari pelanggan, dan meningkatnya bisnis
organisasi.
Organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran
hutan/lahan perlu berfokus pada kebijakan SDM. Organisasi-organisasi tersebut
175
harus membantu personilnya memperoleh ketrampilan dan kemampuan diri untuk
menghadapi lingkungan baru, menemukan keamanan dan dukungan untuk
menghadapi tantangan yang terus meningkat (Kanter 1997). Hal ini memang
ditujukan untuk organisasi swasta yang sangat memungkinkan adanya pemecatan
pegawai, namun pada organisasi pemerintah pun sebenarnya hal serupa bisa
terjadi dalam konteks persaingan untuk memperoleh jabatan, promosi, dan
kepercayaan atasan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan dalam proses reformasi
birokrasi melalui perampingan organisasi para pegawai akan tersingkir jika tidak
memiliki kompetensi yang diperlukan organisasi. Organisasi masa depan harus
belajar untuk menangkap modal intelektual pegawainya, karena modal intelektual
merupakan aset yang paling dihargai dalam organisasi (Ulrich 1997).
Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang efektif
mensyaratkan adanya manajemen SDM yang berfokus pada kebijakan yang
menjadikan modal intelektual sebagai aset yang berharga. Program rekrutmen
harus berdasarkan persyaratan penerimaan pegawai yang ketat. Peningkatan
kapasitas dan kapabilitas pegawai melalui pendidikan dan pelatihan juga harus
dikelola secara sistematis dengan mempertimbangkan sistem karir yang jelas.
Pemahaman individu-individu dalam organisasi mengenai kebakaran
hutan/lahan relatif masih rendah. Hal ini dapat diindikasikan oleh sangat
rendahnya persentase responden, yakni rata-rata baru 12%, yang pernah mengikuti
pendidikan atau pelatihan kebakaran hutan/lahan. Rendahnya tingkat pemahaman
tersebut dapat menjadi penyebab rendahnya bukan hanya kapasitas dari masing-
masing organisasi tersebut melainkan juga kapasitas dari sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan. Pelibatan banyak organisasi dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan memerlukan saling memahami dan saling
menerima di antara organisasi-oganisasi yang terlibat. Kesamaan pengertian dan
persepsi di antara organisasi-organisasi tersebut tentang berbagai hal berpengaruh
positif di dalam hubungan antar organisasi dalam mencapai keberhasilan bersama
termasuk dalam persoalan kebakaran hutan/lahan. Oleh sebab itu, sesuai dengan
konsep organizational receptivity (Nieminen 2005), setiap organisasi yang terlibat
harus membina setiap individu, terutama yang diberi tugas, wewenang dan
tanggung jawab atau sebagai kontak dalam hubungan antar organisasi untuk
176
secara sendiri-sendiri atau terutama bersama-sama antar organisasi
mengembangkan diri dalam pemahaman mengenai pengendalian kebakaran
hutan/lahan agar lebih terjalin saling pengertian di antara organisasi-organisasi
tersebut. Setiap organisasi yang terlibat harus memiliki program pengembangan
SDM yang mendorong para pimpinan dan stafnya untuk mengikuti pendidikan
dan pelatihan pengendalian kebakaran hutan/lahan, baik diadakan sendiri ataupun
mengikutkan pada pendidikan dan pelatihan yang ada.
4. Sarana dan Prasarana
Organisasi-organisasi yang diamati pada umumnya menyatakan bahwa
mereka tidak memiliki cukup sarana dan prasarana untuk pengendalian kebakaran
hutan/lahan. Hasil wawancara memperoleh fakta bahwa keterlibatan organisasi
mereka dalam pengendalian kebakaran selalu dimaksudkan sebagai keterlibatan di
dalam operasi pemadaman kebakaran sehingga sarana dan prasarana pengendalian
kebakaran hampir selalu diartikan sebagai sarana dan prasarana pemadaman.
Ketika dijelaskan bahwa sarana dan prasarana yang dimaksud adalah yang
berkaitan dengan bidang tugasnya, beberapa organisasi di tingkat nasional,
provinsi maupun kabupaten/kota ternyata telah memiliki sarana dan prasarana
yang memadai.
Semua organisasi telah memiliki sarana dan prasarana yang mencukupi
untuk menjalankan tugas-tugas di kantornya terutama tugas-tugas administratif.
Sarana dan prasarana yang dianggap kurang, baik jenis maupun jumlahnya, adalah
yang dipergunakan di lapangan untuk operasi pencegahan, pemadaman, maupun
penanganan pasca-kebakaran. Sebagai contoh, perangkat komputer dengan
fasilitas internet telah tersedia dan operasional di setiap organisasi tersebut untuk
memperoleh data dan informasi titik panas, namun GPS dan alat transportasi
untuk pengecekan titik panas tersebut ke lapangan pada umumnya belum cukup
tersedia.
Sejauh ini belum ditemukan hasil studi mengenai standar kebutuhan sarana
dan prasarana pengendalian kebakaran hutan/lahan, sehingga masih sulit untuk
menyatakan cukup atau tidaknya sarana dan prasarana tersebut. Namun demikian,
penilaian subyektif dapat menyatakan bahwa sarana dan prasarana terutama untuk
177
operasi pemadaman yang meliputi peralatan pemadaman, perlengkapan logistik,
perlengkapan medis, dan sebagainya belum memadai di semua organisasi
tersebut. Oleh sebab itu beralasan bila intensitas penanganan kebakaran
hutan/lahan masih relatif rendah.
5. Mekanisme Kerja
Setiap organisasi organisasi yang diamati telah membangun mekanisme
kerja internal di mana tata hubungan antar bagian dalam struktur organisasi telah
didefinisikan dan dijalankan. Mekanisme hubungan antar organisasi juga
sebenarnya telah terbentuk. Di tingkat nasional, tata hubungan tersebut pernah
terbangun melalui TKN-PKHL dan masih dipraktekkan pada masa sekarang.
Sementara itu di era Reformasi sekarang mekanisme secara formal belum ada.
BNPB yang diberi mandat oleh UU nomor 24 tahun 2007 untuk
mengorganisasikan pengendalian kebakaran hutan/lahan memang telah menyusun
tata kerja dengan Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2008, namun tata kerja
hanya untuk unsur pelaksana, sedangkan tata kerja untuk unsur pengarah yang
melibatkan beberapa kementerian belum disusun. Seperti disebutkan di atas,
Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian tidak termasuk baik dalam
unsur pelaksana maupun dalam unsur pengarah. Ketika terjadi kebakaran
hutan/lahan, keterlibatan BNPB masih ditentukan oleh status keadaan
bencananya. Jika skala kebakaran dianggap belum sampai pada tahap bencana,
maka penanganannya oleh Kementerian Kehutanan. Hal ini mengindikasikan
masih diberlakukannya tata kerja menurut aturan tak tertulis seperti yang berlaku
pada masa sebelum era reformasi.
Hal serupa terjadi di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota di mana
tata hubungan antar organisasi di beberapa daerah masih mengikuti tata hubungan
yang pernah dijalin di masa sebelum era Reformasi. Tata hubungan antar
organisasi yang menyesuaikan dengan perubahan struktur pemerintahan di era
Reformasi baru dilakukan oleh beberapa daerah. Provinsi Riau dan Provinsi
Kalbar termasuk daerah yang telah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.
Perubahan struktur pemerintahan di daerah telah mengubah hubungan antar
organisasi antar tingkat pemerintahan. Otonomi daerah telah membalikkan
178
kosmopolitanisme imperial menuju micro-politics dengan desentralisasi dan
otonomi yang menjadi gerak utama (Dhakidae 2010). Hubungan antara
kementerian di tingkat nasional dengan lembaga teknis di tingkat provinsi dan
tingkat kabupaten/kota bukan lagi hubungan komando langsung. Lembaga-
lembaga teknis berupa dinas-dinas dan badan daerah dibentuk dengan peraturan
daerah dan bertanggung jawab kepada pimpinan daerah. Komando dari
kementerian tidak lagi langsung kepada dinas-dinas dan badan daerah tersebut
melainkan melalui pimpinan daerah (gubernur atau bupati/walikota).
Dalam konteks pengendalian kebakaran hutan/lahan, Riau dan Kalbar telah
menyusun prosedur tetap pengendalian kebakaran hutan/lahan tingkat provinsi. Di
Provinsi Riau, prosedur yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur nomor 91
tahun 2009, mengatur mekanisme kerja dalam pencegahan dan pemadaman
kebakaran. Di dalam prosedur tersebut, hubungan secara formal antara
kabupaten/kota dengan provinsi dilakukan hanya oleh bupati/walikota dengan
gubernur, bukan oleh pimpinan dinas-dinas dan lembaga teknis daerah karena
sesuai PP nomor 41 tahun 2007, mereka berkedudukan di bawah dan bertanggung
jawab kepada gubernur atau bupati/walikota. Prosedur tersebut tidak mengatur
hubungan antara provinsi dengan tingkat nasional.
Peraturan gubernur tersebut juga hanya mengatur prosedur-prosedur teknis
dan tidak mengatur prosedur pendanaan dan pembiayaannya, terutama dalam hal
sumber pendanaan untuk menjalankan prosedur teknis tersebut. Prosedur
pengawasan keuangan diatur yakni mengikuti aturan yang berlaku pada
pengawasan anggaran negara pada umumnya. Masalah utamanya adalah dalam
hal penyediaan anggaran.
Sebagaimana dijelaskan di bab terdahulu bahwa pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan di daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota dilakukan dengan membentuk sebuah organisasi yang melibatkan
berbagai instansi pemerintahan daerah. Organisasi yang dibentuk tersebut masih
dianggap bukan merupakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sehingga tidak
dapat mengusulkan anggaran tersendiri. Anggaran dibebankan kepada masing-
masing instansi yang terlibat, tetapi sebagaimana disampaikan di atas, urusan
kebakaran hutan/lahan tidak masuk di dalam struktur organisasi sehingga instansi
179
tidak dapat mengusulkan anggaran untuk kebakaran hutan/lahan. Hanya instansi
yang struktur organisasinya mencakup urusan kebakaran seperti dinas kehutanan
dan dinas perkebunan provinsi maupun kabupaten/kota yang dapat mengusulkan
anggaran untuk kebakaran hutan/lahan. Namun demikian, karena level yang
menangani kebakaran hutan/lahan hanya pada eselon terbawah maka jumlah
anggaran yang teralokasikan juga relatif rendah.
5.5. Rancang Bangun Sistem Pengorganisasian
5.5.1. Pertimbangan dalam perancangan
Tujuan pokok penelitian ini adalah merancang sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia berdasarkan kajian terhadap
posisi dan peranan organisasi, hubungan antar organisasi, kapasitas organisasi,
dan contoh pengorganisasian di negara-negara lain yang memiliki permasalahan
kebakaran hutan/lahan. Beberapa negara yang menjadi bahan kajian dan
pertimbangan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, Thailand dan Malaysia.
Analisis posisi dan peranan organisasi mendapatkan beberapa hal yang
menjadi pertimbangan perancangan model sistem pengorganisasian pengendalian
kebakaran hutan/lahan. Pertama, meskipun terjadi role discrepancy atau perilaku
organisasi yang menjalankan peranan tidak seperti yang diharapkan (Brown &
Harvey 2006), organisasi-organisasi yang menangani kehutanan baik di tingkat
nasional, tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota di samping karena
profilnya, juga memperoleh kepercayaan dan harapan (role expectation) para
praktisi dari organisasi-organisasi lain dan para pakar untuk memegang posisi
utama dan berperanan sebagai koordinator dalam bidang-bidang pengendalian
kebakaran hutan/lahan.
Kedua, masih terdapat role ambiguity atau kekurangpahaman terhadap
peranan yang diharapkan (Brown & Harvey 2006) dari organisasi-organisasi yang
terlibat dalam pengendalian kebakaran karena belum jelasnya batasan-batasan
tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing organisasi tersebut. Ketiga,
masih rendahnya public service motivation atau keinginan untuk melayani
180
kepentingan publik (Moynihan & Pandey 2007) dari organisasi-organisasi
tersebut, dan keempat, sebenarnya telah terjadi integrative coordination (Bolland
& Wilson 1994) dan policy integration (Meijers & Stead 2004) secara vertikal
antar tingkatan, tetapi hal tersebut masih kurang secara horizontal. Penyerahan
peranan sebagai network coordinator (Wehmeyer 2001) kepada organisasi-
organisasi tertentu untuk membangun kedua keterpaduan tersebut perlu disertai
dengan kejelasan tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing aktor
(organisasi) tersebut.
Analisis hubungan antar organisasi mencatat beberapa hal penting dan
memberikan bukti-bukti empiris mengenai masih lemahnya koordinasi di antara
organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan
baik pada satu tingkatan maupun antar tingkatan. Hasil analisis tersebut juga
menunjukkan bahwa departementasi pada struktur organisasi Pusdalkarhutla yang
berdasarkan pada bidang-bidang dari pengendalian kebakaran hutan/lahan
memberikan gambaran pola hubungan yang relatif lebih “akrab” antar organisasi-
organisasi yang terlibat. Kedekatan hubungan secara psikologis antara pimpinan
organisasi masih mendominasi alasan dalam memrioritaskan bantuan layanan.
Role assignment (Malone et al. 1999) yang belum tertuang dengan jelas di dalam
struktur dan uraian tugas organisasi-organisasi tersebut dan masih adanya
pemahaman yang keliru mengenai konsep kerja sama (Mulford & Klonglan 1982)
dan konsep kapabilitas (Ulrich 1997) menyebabkan organisasi-organisasi tersebut
tidak terpacu untuk mengembangkan kapasitas organisasinya.
Analisis hubungan antar organisasi juga mendapatkan gambaran bahwa
organisasi yang menangani kehutanan dan yang menangani lingkungan hidup
mempunyai hubungan yang relatif paling baik atau akrab dengan organisasi-
organisasi lain. Dengan demikian, kedua organisasi tersebut yang dapat
memperoleh prioritas untuk berperan sebagai koordinator jejaring (network
coordinator).
Analisis efektivitas organisasi mendapatkan bahwa BNPB dan Kemenhut
merupakan instansi yang memiliki kapasitas terbesar untuk dapat menangani
pengendalian kebakaran hutan/lahan. Kapabilitas BNPB untuk dapat
181
mengerahkan sumber daya dari berbagai pihak di seluruh Indonesia dan bahkan
dari internasional dapat menjadi pertimbangan bagi ditunjuknya organisasi
tersebut sebagai koordinator.
Kajian terhadap sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan yang berlaku di berbagai negara (Sukrismanto et al. 1998)
memperoleh beberapa pelajaran yang dipertimbangkan dalam rancang bangun
sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia.
Amerika Serikat mempunyai instansi-instansi pengendalian kebakaran
hutan/lahan di tingkat nasional, negara bagian, dan distrik yang beroperasi di
bawah payung sebuah struktur komando dan pengendalian nasional yaitu National
Interagency Fire Center (NIFC). Instansi yang berperan penting di setiap tingkatan
adalah instansi yang menangani kehutanan yakni forest service. Di Canada
hampir serupa, tetapi tanggung jawab utama ada di provinsi, sedangkan instansi di
tingkat nasional yaitu Canadian Interagency Foret Fire Center (CIFFC) bertindak
sebagai perantara dalam mobilisasi sumber daya antar provinsi yang didasarkan
atas kesepakatan saling menguntungkan untuk berbagi sumber daya (Mutual Aid
Resource Sharing). Di Australia, kebakaran hutan/lahan menjadi tanggung jawab
penuh provinsi dengan sumber daya pemadaman sebagian besar terdiri dari
relawan yang dikelola oleh sekumpulan profesional karir. Instansi di tingkat
nasional hanya berfungsi untuk mengoordinasikan mobilisasi sumber daya lintas
negara. Di Rusia tanggung jawab penuh pengendalian kebakaran hutan/lahan pada
tingkat nasional oleh dinas kehutanan federal (Federal Forest Service of Russia)
dengan rantai komando tunggal dari tingkat nasional sampai ke tingkat lokal.
Sementara itu, di Thailand, kebakaran hutan/lahan secara nasional ditangani oleh
satu divisi di bawah satu departemen yaitu Forest Fire Control Division (FFCD) di
bawah National Park, Wildlife and Plant Conservation Department.
Hal penting yang dapat dipelajari dari berbagai negara tersebut adalah
bahwa pengendalian kebakaran hutan/lahan harus ditangani dalam kesatuan
komando dan kontrol yang jelas (clear unity of command and control). Kesatuan
komando dan rantai komando (chain of command) merupakan prasyarat prinsip di
182
dalam pengorganisasian (organizing) yang efektif dan efisien (Hasibuan 2008;
ensklopedia manajemen7
Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia pada
saat ini tampaknya juga menerapkan prinsip kesatuan komando dan kendali, tetapi
belum konsisten. Hal tersebut dapat dikaji dari beberapa hal. Pertama, masih
terjadinya role ambiguity (Brown & Harvey 2006) berupa ketidakjelasan fungsi,
maksud dan tujuan dari pihak-pihak yang terlibat dalam rantai komando.
Landasan hukum pembentukan Pusdalkarhutla di tingkat provinsi dan
Satlakdalkarhutla di tingkat kabupaten/kota tidak menyebutkan hubungan
komando antara kedua level pengorganisasian tersebut. Hal ini dapat dilihat juga
misalnya pada landasan hukum pembentukan Satlakdalkarhutla yang dalam
konsideran ‘Mengingat’ tidak menyebutkan satupun produk hukum dari tingkat
provinsi. Masing-masing berdiri sendiri, bahkan karena di tingkat nasional belum
).
Di samping itu, di semua negara tersebut pengendalian kebakaran
hutan/lahan tetap menjadi urusan pemerintah baik di tingkat nasional, provinsi
atau negara bagian, maupun tingkat kabupaten/kota atau distrik, tetapi operasional
di lapangan dapat dilaksanakan bersama oleh sumber daya pemerintah dan non-
pemerintah termasuk relawan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Negara-negara tersebut telah menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah di
mana kawasan hutan dan lahan telah ditetapkan pengelolaannya. Di Amerika
Serikat, misalnya, kawasan hutan federal dikelola oleh US-Forest Service,
sedangkan di hutan negara bagian oleh State Forest Service. Dengan demikian,
jika terjadi kebakaran di kawasan hutan negara bagian maka State Forest Service
dari negara bagian yang bersangkutan yang bertanggung jawab. Jika State tersebut
tidak mampu lagi, maka State-FS akan meminta bantuan ke NIFC melalui
National Interagency Coordinating Center/NICC. Keadaan serupa terjadi di
Indonesia, di mana kawasan hutan konservasi masih di bawah pemerintah pusat,
sedangkan kawsan hutan produksi dan hutan lindung di bawah pemerintah daerah.
Oleh sebab itu, prinsip-prinsip tersebut menjadi pertimbangan di dalam
perancangan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan ini.
7http://www.enotes.com/management-encyclopedia/organizing, [25 Mar 2010]
183
ada pengorganisasian yang formal, maka rantai komando sebenarnya terputus-
putus antar tingkatan.
Kedua, konsep dasar otonomi daerah menyatakan bahwa sistem otonomi
adalah tidak bertingkat artinya tidak ada hubungan hirarki antara pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, maka hubungan antara provinsi dan
kabupaten/kota bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan (Rasyid 2009).
Konsep tersebut menganut intergrated prefectoral system di mana gubernur
memiliki dual role yakni sebagai kepala daerah sekaligus sebagai wakil
pemerintah pusat (Hoessein 2009). Namun demikian, penerapan sistem tersebut
yang terbatas di tingkat provinsi sesuai UU nomor 32 tahun 2004, menurut
Hoessein, menyebabkan terputusnya rantai komando dan tidak terciptanya
akuntabilitas manajerial (managerial accountability) dari bupati/walikota ke
gubernur hingga presiden. Konsep hubungan semacam itu sepertinya tidak lagi
mengijinkan adanya perintah atau komando gubernur kepada bupati/walikota dan
pimpinan instansi provinsi kepada pimpinan instansi kabupaten/kota seperti atasan
kepada bawahan. Hal semacam itu menjadi pertimbangan dalam perancangan
sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang tentunya juga
mengambil bentuk hubungan antar organisasi antar tingkatan berupa koordinasi.
Bentuk hubungan koordinasi tersebut mengharuskan terpenuhinya beberapa
syarat agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Koordinasi memerlukan
kepastian yang terkait dengan informasi, karena kepastian atau ketidakpastian
(uncertainty) mengubah mekanisme atau mode yang digunakan oleh suatu
organisasi untuk mengoordinasikan operasi-operasinya (Fenema et al. 2004).
Uncertainty menurut Fenema et al. (2004) merupakan perbedaan antara jumlah
informasi yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas dengan jumlah informasi
yang sudah dimiliki oleh organisasi. Organisasi yang terlibat dalam sistem
pengorganisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan harus memiliki dan
mengelola informasi yang memadai. Hasil analisis hubungan antar organisasi dan
efektivitas organisasi tersebut di atas menggambarkan bahwa organisasi-
organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan belum
memiliki cukup informasi. Sebagai contoh, hampir semua organisasi yang diamati
belum memiliki informasi mengenai sumber daya pemadaman, baik manusia
184
maupun sarana dan prasarana. Ketidakpastian tersebut dapat dikurangi melalui
investasi pada sistem informasi atau meningkatkan kontak di antara unit-unit kerja
atau organisasi (Femena et al. 2004).
Prasyarat lain yang harus dipenuhi bagi koordinasi yang efektif dan efisien
adalah kejelasan mengenai saling ketergantungan (interdependence) di antara
organisasi-organisasi yang terlibat. Dalam konteks pengendalian kebakaran
hutan/lahan, koordinasi terjadi dalam satu tingkatan dan antar tingkatan. Bentuk
ketergantungan yang mungkin terjadi adalah team interdependence atau saling
ketergantungan tim di mana beberapa organisasi bekerja bersama-sama untuk
menangani suatu tugas yang sama (Fenema et al. 2004), misalnya dalam operasi
pemadaman kebakaran. Bentuk koordinasi tersebut dinyatakan Fenema et al.
(2004) sebagai bentuk yang sulit dan memakan biaya (costly). Untuk itu,
pembagian peranan dengan batasan-batasan yang jelas harus dilakukan dan
diberitahukan serta disepakati oleh semua pihak yang terlibat.
Koordinasi yang efektif dan efisien juga harus memerhatikan kompleksitas,
yakni konektivitas yang kompleks (intricate connectivity) di antara tugas-tugas
dan aktor-aktor (Fenema et al. 2004). Dalam konteks sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan, kompleksitas menyangkut berapa banyak
atau besar tugas-tugas yang akan dilaksanakan dan berapa banyak organisasi yang
akan dilibatkan untuk menjalankan tugas-tugas tersebut. Secara garis besar, tugas
yang dilaksanakan mencakup pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca
kebakaran, sedangkan untuk mengurangi kompleksitas koordinasi, maka pelibatan
organisasi diusahakan sesedikit mungkin, bahkan jika perlu tidak perlu pelibatan
organisasi lain. Hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan jumlah
organisasi yang perlu dilibatkan adalah kapasitas dan kapabilitas organisasi
tersebut.
Jika memerhatikan hasil analisis mengenai kapasitas organisasi, maka dapat
disimpulkan bahwa hanya beberapa organisasi, terutama yang menangani
kehutanan dan perkebunan, yang telah memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk
menjalankan tugas-tugas pengendalian kebakaran hutan/lahan. Namun, kapasitas
dan kapabilitas tersebut pun masih relatif sangat kecil jika melihat sumber daya
185
yang tersedia, terutama manusia, sarana dan prasarana serta dana. Oleh sebab itu,
dari sisi ini, sistem pengorganisasian yang dirancang lebih cenderung pada
pembentukan organisasi baru, kemudian menarik semua sumber daya yang
tersebar di berbagai organisasi lain untuk menjadi modal awal organisasi yang
baru dibentuk tersebut. Setelah organisasi terbentuk, kemudian dilakukan
peningkatan kapasitas dan kapabilitas.
Penegasan mengenai koordinasi sebagai bentuk dari hubungan antar
organisasi tampaknya juga akan dapat mengatasi kerancuan di dalam pengaturan
hubungan antar organisasi antar tingkatan dalam kerangka desentralisasi dan
otonomi daerah. Kesan mengenai masih berlakunya komando atau perintah dari
level pemerintah di atas terhadap pemerintah di bawahnya menurut hasil
wawancara masih dirasakan oleh para responden, terutama di tingkat provinsi dan
tingkat kabupaten/kota, karena dalam prakteknya hal tersebut masih ada.
Sementara menurut pemahaman mereka, hal tersebut seharusnya sudah tidak
berlaku lagi, sejak berlakunya desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga
seringkali pimpinan instansi di tingkat kabupaten/kota tidak bersedia memenuhi
perintah atau komando tersebut. Hal inilah yang terkadang menimbulkan
ketidakserasian atau disharmoni hubungan antara pusat dan daerah, karena
menurut Sanit (2009) masih banyak pihak yang terlibat, terutama para elit atau
pimpinan organisasi pemerintah, baik di tingkat nasional maupun di daerah, yang
kurang pemahamannya terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Sebagian para elit pimpinan organisasi pemerintah masih memiliki persepsi
yang keliru tentang desentralisasi dan otonomi daerah (La Bakry 2009). Otonomi
seharusnya dipahami sebagai kesetaraan kedudukan antara kabupaten/kota dengan
provinsi. Masing-masing daerah otonom memang memiliki kedudukan mandiri.
Hubungan antara provinsi dengan kabupaten/kota tidak bersifat hirarki dan para
pejabat di kabupaten/kota tidak dapat dianggap berada pada posisi bawahan dari
para pejabat provinsi. Namun hal tersebut seharusnya tidak berhenti di sini. Asas
desentralisasi dan dekonsentrasi di provinsi menempatkan gubernur pada posisi
dua peranan (dual role) yakni sebagai kepala daerah dan sebagai wakil
pemerintah. Dalam posisi sebagai wakil pemerintah inilah hubungan antara
gubernur dan bupati/walikota bersifat hirarki, subordinasi, di mana pemerintahan
186
kabupaten/kota menjalankan fungsi pemerintahan pusat terhadap kabupaten/kota.
Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah provinsi campur tangan terhadap
kewenangan pemerintah kabupaten/kota, melainkan memberi kedudukan kepada
pemerintah provinsi untuk menjalankan tugas dan wewenang pembinaan,
pengawasan, dan koordinasi atas jalannya pemerintahan daerah dan tugas
perbantuan sebagai aspek-aspek pemerintahan umum.
Sinyalemen mengenai masih kuatnya ketergantungan daerah kepada
pemerintah pusat akibat dari penerapan sistem perencanaan terpusat (central
planning) pada masa lalu yang sangat lama (Rasyid 2009), tampaknya terkoreksi.
Hasil wawancara dengan para pimpinan organisasi pemerintah provinsi maupun
kabupaten/kota mengindikasikan bahwa sistem perencanaan sekarang tidak lagi
terpusat melainkan sudah berada di masing-masing daerah. Tahapan-tahapan
perencanaan sudah dimulai di tingkat pemerintahan terbawah yakni
kabupaten/kota dengan dilaksanakannya Musrenbangda (musyawarah
perencanaan pembangunan daerah) kabupaten/kota di mana usulan program dan
anggaran dari setiap SKPD kabupaten/kota dibahas. Program-program yang
anggarannya diusulkan kepada level di atasnya (provinsi atau nasional) juga
disiapkan dan dibahas di tingkat kabupaten/kota. Selanjutnya, di tingkat provinsi,
setiap SKPD, di samping mengusulkan program dan anggarannya sendiri, juga
menjaring usulan program dan anggaran dari SKPD jajarannya di tingkat
kabupaten/kota melalui forum Rakorenbangda (rapat koordinasi perencanaan
pembangunan daerah). Usulan-usulan program yang memang didanai oleh
anggaran provinsi, perencanaannya berhenti di tingkat provinsi, sedangkan yang
akan dimintakan dananya ke pusat/nasional diteruskan oleh pemerintah provinsi
ke tingkat nasional. Pada kondisi inilah ketergantungan pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat dipandang masih kuat terutama dalam hal anggaran di sisi
penerimaan (Basri 2009).
Pengendalian kebakaran hutan/lahan pada umumnya belum mendapatkan
porsi anggaran yang memadai karena masih kalah prioritas dibandingkan
program-program lain di setiap SKPD, baik di provinsi maupun kabupaten/kota.
Keberadaan Pusdalkarhutlada dan Satlakdalkarhutla yang bukan SKPD masih
terpinggirkan. Di Kalimantan Barat masih relatif beruntung karena adanya unit
187
pelaksana teknis daerah (UPTD-PKHL) yang meskipun secara teknis tanggung
jawabnya berada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi, namun tanggung jawab
anggaran sudah tersendiri karena termasuk sebagai SKPD dan selaku kuasa
pengguna anggaran (KPA) sendiri. Oleh sebab itu, untuk menjamin berjalannya
sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan, organisasi yang
mengelola sistem tersebut di daerah harus menjadi SKPD dan KPA. Kalaupun
tidak dapat berdiri sendiri dan harus berada di bawah tanggung jawab organisasi
lain, hanya tanggung jawab teknisnya saja, seperti UPTD-PKHL Kalimantan
Barat tersebut.
Penanggung jawab teknis dari organisasi tersebut sesuai dengan pilihan
berdasarkan profil organisasi maupun pilihan responden adalah organisasi yang
menangani kehutanan. Untuk itu, di tingkat nasional adalah Kementerian
Kehutanan, di tingkat provinsi adalah Dinas Kehutanan Provinsi dan di tingkat
kabupaten/kota adalah Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Namun dari sisi lain,
dengan masuknya kebakaran hutan/lahan sebagai salah satu jenis bencana, maka
sistem pengorganisasian dapat juga mengacu pada jalur organisasi pengelola
bencana yaitu BNPB, BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota.
Pertimbangan lain dalam memberikan kepercayaan kepada organisasi untuk
memegang tanggung jawab adalah berdasarkan kapasitas. Peranan hendaknya
diberikan kepada organisasi yang memiliki sistem yang sehat yaitu yang memiliki
kapasitas yang baik (Kreitner & Kinicki 1992). Analisis terhadap kapasitas
organisasi mendapati bahwa organisasi yang menangani kehutanan memiliki
kapasitas terbesar dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain. Kapasitas yang
dimaksud tergambarkan dari komponen-komponen efektivitas organisasi yaitu
visi dan misi, struktur organisasi, sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
serta mekanisme kerja.
Akhirnya, pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah faktor sejarah,
di mana pengelolaan pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia sampai
sekarang selalu berada pada organisasi pemerintah yang menangani kehutanan
baik di tingkat nasional, tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota. Faktor
ini penting karena menyangkut kapasitas dan kapabilitas di mana yang terbaik
salah satunya ada pada organisasi yang menangani kehutanan tersebut. Oleh sebab
188
itu, organisasi-organisasi kehutanan yang selayaknya diberi peranan, wewenang
dan tanggung jawab untuk mengelola pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Meskipun demikian, terdapat pula fakta bahwa sejak kejadian kebakaran
hutan/lahan yang relatif besar pada tahun 1997-1998 mulai ada keterlibatan
Bakornas PB pada waktu itu, yang sekarang menjadi BNPB, dalam menangani
kebakaran hutan/lahan yang dianggap menjadi bencana. Berlakunya Undang-
Undang nomor 24 tahun 2007 yang memasukkan kebakaran hutan/lahan sebagai
salah satu jenis bencana dapat memperkuat pertimbangan untuk menjadikan
BNPB sebagai alternatif koordinator.
Hal serupa juga terjadi di beberapa negara, di mana instansi yang menangani
kehutanan diberi kewenangan sebagai koordinator. Di Amerika Serikat yang
pengorganisasiannya melibatkan banyak pihak, meskipun kepemimpinan
organisasi, NIFC, dipegang secara bergantian di antara instansi-instansi yang
terlibat, ketergantungan sumber daya untuk pengendalian kebakaran hutan/lahan
tetap lebih besar pada dinas kehutanan (forest service) baik di tingkat federal
maupun di negara bagian dan distrik. Demikian pula di Kanada, kebijakan dan
pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan/lahan berada di tangan dewan menteri
kehutanan yang beranggotakan para menteri yang menangani kehutanan di tingkat
nasional, teritori dan provinsi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka studi ini
mengusulkan rancang bangun sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan di Indonesia seperti diuraikan di bawah ini.
5.5.2. Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan
Kebakaran hutan dan kebakaran lahan di dalam sistem pengorganisasian
yang diusulkan dalam penelitian ini tidak dipisahkan pengelolaannya dan untuk
menggambarkan hal tersebut selanjutnya sesuai dengan istilah yang tercantum di
dalam UU nomor 24 tahun 2007 ditulis sebagai kebakaran hutan/lahan. Tanda “/”
dibaca “dan” untuk menyatakan tidak ada pembedaan antara kejadian di dalam
atau di luar kawasan hutan, kecuali di dalam pelaporan.
189
Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang ada
sekarang, seperti ditunjukkan dengan diagram pada Gambar 44, menunjukkan
bahwa penanganan kebakaran pada saat ini masih terpisah-pisah berdasarkan
fungsi kawasan. Kebakaran di kawasan hutan konservasi dikelola Balai Besar atau
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA/BKSDA) atau Taman Nasional
(BBTN/BTN) dengan garis komando dari tingkat nasional oleh Kemenhut sampai
tingkat lapangan pada Seksi Wilayah KSDA/TN. Kebakaran di kawasan hutan
lindung dan kawasan hutan produksi serta lahan dikelola di tingkat
kabupaten/kota oleh Satlakdalkarhutla dan di tingkat provinsi oleh Pusdalkarhutla.
Kelemahan dari pengorganisasian yang ada sekarang terutama adalah pada
tidak adanya hubungan formal antar tingkatan, baik antara Satlakdalkarhutla
dengan Pusdalkarhutla maupun Pusdalkarhutla dengan tingkat nasional. Hal ini
terbukti pada hasil analisis hubungan antar organisasi antar tingkatan. Hubungan
tersebut kadang dijembatani oleh hubungan baik dan saling mengenal antara
pejabat dari tingkat kabupaten/kota dengan pejabat dari tingkat provinsi.
Hubungan informal semacam ini tentunya tidak tepat untuk perkembangan
organisasi yang sehat. Sistem pengorganisasian yang diusulkan oleh penelitian ini
akan mengoreksi kelemahan-kelemahan tersebut, terutama dengan menempatkan
wewenang dan tanggung jawab manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan
pada satu organisasi atau instansi pemerintah dan memperjelas hubungan
koordinasi dan komando antar tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Sistem pengorganisasian dirancang dengan memadukan temuan-temuan dari
studi ini dengan teori-teori organisasi dan pengendalian kebakaran hutan/lahan,
serta peraturan perundang-undangan yang berlakunya. Hasil analisis mendapatkan
bahwa terdapat dua alternatif organisasi yang dipandang tepat untuk ditunjuk
sebagai penanggung jawab manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan yaitu
organisasi yang menangani kehutanan ataukah yang menangani bencana. Oleh
sebab itu, diusulkan tiga alternatif pengorganisasian yaitu (1) menyerahkan
seluruh kewenangan dan tanggung jawab manajemen pengendalian kebakaran
hutan/lahan kepada instansi pengelola kehutanan, (2) menyerahkan seluruh
kewenangan dan tanggung jawab kepada instansi pengelola bencana, dan (3)
kombinasi antara (1) dan (2) pada situasi dan kondisi tertentu.
190
Alternatif 1
Alternatif ini memberikan kewenangan dan tanggung jawab manajemen
pengendalian kebakaran hutan/lahan kepada instansi yang mengelola kehutanan di
tiap tingkatan. Hal ini berarti bahwa seluruh koordinasi dan komando yang saat ini
dipegang oleh berbagai organisasi penanggung jawab baik di Pusdalkarhutla dan
Satlakdalkarhutla pada pencegahan dan pemadaman di level sebelum bencana
maupun oleh instansi pengelola bencana (BNPB dan BPBD) untuk pemadaman
setelah pada level bencana ditarik seluruhnya dan diserahkan kepada instansi-
instansi pengelola kehutanan di tiap tingkatan tersebut.
Pemberian wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya kepada instansi
kehutanan juga memiliki alasan penting yaitu terkait dengan penanganan dampak
kebakaran terhadap ekosistem. Penanganan kebakaran hutan/lahan tidak hanya
terhadap apinya, melainkan juga terhadap ekosistem beserta isinya. Pemulihan
ekosistem setelah terbakar menjadi perhatian utama. Penanganan korban
kebakaran hutan/lahan tidak hanya terhadap korban manusia tetapi juga korban
tumbuhan dan satwa liar yang ada di kawasan kebakaran. Penyelamatan tumbuhan
liar dan pengungsian satwa memerlukan penanganan khusus yang dapat dilakukan
oleh instansi kehutanan yang memang sudah memiliki sumber daya untuk itu.
Wewenang yang diberikan kepada instansi kehutanan di tiap tingkatan dalam
pengendalian kebakaran hutan/lahan akan mempermudah akses dalam
penyelamatan dan pemulihan korban bukan manusia tersebut.
Struktur pengorganisasian sesuai dengan alternatif 1 adalah seperti
diuraikan di bawah ini.
1. Tingkat nasional
a. Kebakaran hutan/lahan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah dan
dalam hal ini berada di tangan Presiden RI. Untuk itu Presiden RI
membentuk sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan
Indonesia yang disebut Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan
Indonesia. Brigade tersebut sebaiknya diberi nama Manggala Agni, karena
nama tersebut sudah cukup populer di Indonesia dan di ASEAN sebagai
nama organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan Indonesia.
191
Pembentukan sistem pengorganisasian tersebut dapat dilakukan dengan
Peraturan Presiden.
b. Di bawah Presiden, terdapat sebuah Forum Pengendalian Kebakaran
Hutan/Lahan (FPKHL). Forum ini merupakan pertemuan para menteri dan
pimpinan lembaga nasional yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan
kebakaran hutan/lahan.
• Forum ini dipimpin oleh Menteri Kehutanan, dengan keanggotaan
tetap terdiri dari Menteri Pertanian, Menteri Perhubungan, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Kepala Kepolisian RI (Kapolri),
Panglima TNI, dan Kepala BNPB.
• Forum tersebut dapat mengundang pimpinan lembaga-lembaga lain
dari pemerintah di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota
dan jika memandang perlu dapat mengangkat satu atau lebih pimpinan
lembaga-lembaga tersebut sebagai anggota tidak tetap untuk jangka
waktu tertentu.
• Forum juga dapat mengundang tenaga ahli dari lembaga-lembaga atau
perorangan jika dipandang perlu nasihatnya untuk hal-hal tertentu.
• Forum tersebut memiliki fungsi pembuatan kebijakan dan koordinasi
di tingkat nasional dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Tugas
pokoknya antara lain: (1) merancang kebijakan nasional untuk
diajukan kepada dan ditetapkan oleh Presiden, (2) menetapkan
kebijakan operasional pengendalian kebakaran hutan/lahan, (3)
mengoordinasikan program dan anggaran pengendalian kebakaran
hutan/lahan, (4) mengkaji dan mengusulkan penetapan status bencana
nasional kebakaran hutan/lahan, (5) memberikan arahan kepada
Pusdalkarhutla Nasional, dan (6) mengoordinasikan mobilisasi sumber
daya pemadaman tingkat nasional dan internasional.
• Forum mengadakan pertemuan sedikitnya dua kali dalam setahun.
c. Untuk menjalankan tugas-tugas operasional harian, dibentuk Pusat
Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan Nasional (Pusdalkarhutlanas).
• Pusdalkarhutlanas merupakan organisasi yang berfungsi
mengoordinasikan penyelenggaraan operasional pengendalian
192
kebakaran hutan/lahan di tingkat nasional dan antara tingkat nasional
dengan tingkat provinsi. Tugas pokoknya antara lain: (1)
mengoordinasikan upaya-upaya pencegahan, pemadaman, dan
penanganan pasca kebakaran hutan/lahan lintas provinsi dan lintas
negara, (2) mengadakan dan memobilisasi sumber daya pengendalian
kebakaran hutan/lahan lintas provinsi dan lintas negara.
• Pusdalkarhutlanas berkedudukan secara struktural pada Kementerian
Kehutanan di bawah Sekretariat Jenderal atau badan yang dibentuk
untuk menangani perlindungan hutan dan kebakaran hutan/lahan.
Pusdalkarhutnas dan dipimpin oleh seorang Kepala Pusdalkarhutlanas.
• Struktur organisasi Pusdalkarhutlanas terdiri atas:
o Bagian Umum, yang menangani urusan administrasi atau tata
usaha, keuangan atau anggaran, pengelolaan sumber daya
manusia, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran;
o Bagian Pencegahan, yang menangani data dan informasi serta
program pencegahan, sistem peringatan dan deteksi kebakaran,
dan pengerahan bantuan sumber daya pencegahan;
o Bagian Pemadaman, yang menangani data dan informasi serta
program pemadaman dan pengerahan sumber daya pemadaman;
o Bagian Penanganan Pasca Kebakaran, yang menangani data dan
informasi serta program penanganan pasca kebakaran dan
pengerahan sumber daya pendukung penanganan pasca
kebakaran.
d. Untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas tertentu atau khusus, menteri
Kehutanan membentuk satuan khusus nasional pengendalian kebakaran
hutan/lahan, yang disebut Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis
(SMART) dengan kualifikasi tingkat nasional. Satuan khusus tersebut
terdiri atas individu-individu terpilih yang telah memperoleh pelatihan
tertentu untuk memenuhi kualifikasi tingkat nasional. Satuan ini juga
dapat menjadi sumber daya cadangan nasional dan dapat diperbantukan
atau di bawah kendali operasi (BKO) kepada BNPB untuk mendukung
penanganan bencana.
193
2. Tingkat provinsi
a. Gubernur bertanggung jawab atas kebakaran hutan/lahan di provinsinya,
dan untuk itu gubernur menunjuk Dinas Kehutanan Provinsi sebagai
penanggung jawab operasional pengendalian kebakaran hutan/lahan. Jika
bukan Dinas Kehutanan Provinsi, maka instansi yang dapat ditunjuk
sesuai dengan hasil analisis adalah BPBD Provinsi atau BLHD Provinsi.
b. Instansi yang ditunjuk tersebut merupakan organisasi yang berfungsi
mengoordinasikan penyelenggaraan operasional pengendalian kebakaran
hutan/lahan di tingkat provinsi dan koordinasi dengan tingkat nasional
maupun dengan tingkat kabupaten/kota. Tugas pokoknya antara lain: (1)
menyiapkan rancangan kebijakan pengendalian kebakaran hutan/lahan
tingkat provinsi untuk diajukan kepada dan ditetapkan oleh gubernur, (2)
mengoordinasikan upaya-upaya pencegahan, pemadaman, dan
penanganan pasca kebakaran hutan/lahan lintas kabupaten/kota, (3)
mengadakan sumber daya pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat
provinsinya, (4) mengoordinasikan mobilisasi sumber daya pengendalian
kebakaran hutan/lahan lintas kabupaten/kota di provinsinya, antara
provinsinya dengan provinsi lain di Indonesia dan antara provinsinya
dengan Pusdalkarhutlanas menurut perintah gubernur.
c. Untuk menangani tugas pokok tersebut, instansi yang ditunjuk harus
membentuk unit pelaksana teknis pengendalian kebakaran hutan/lahan
(UPT-PKHL) di bawah struktur dan komandonya. UPT-PKHL tersebut
dipimpin oleh seorang Kepala UPT-PKHL Provinsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur atas pertimbangan dari Kepala Dinas
Kehutanan Provinsi atau instansi yang ditunjuk.
d. UPT-PKHL memiliki struktur yang terdiri atas:
• Bagian/Seksi Umum, yang menangani urusan administrasi atau tata
usaha, keuangan atau anggaran, pengelolaan sumber daya manusia,
sarana dan prasarana pengendalian kebakaran;
• Bagian/Seksi Pencegahan, yang menangani data dan informasi serta
program pencegahan, sistem peringatan dan deteksi kebakaran, dan
pengerahan bantuan sumber daya pencegahan;
194
• Bagian/Seksi Pemadaman, yang menangani data dan informasi serta
program pemadaman dan pengerahan sumber daya pemadaman;
• Bagian/Seksi Penanganan Pasca Kebakaran, yang menangani data
dan informasi serta program penanganan pasca kebakaran dan
pengerahan sumber daya pendukung penanganan pasca kebakaran.
e. Untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas tertentu atau khusus, UPT-
PKHL Provinsi memiliki satuan khusus pengendalian kebakaran
hutan/lahan, yang disebut Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis
(SMART) dengan kualifikasi tingkat provinsi. Satuan khusus tersebut
terdiri atas individu-individu terpilih yang telah memperoleh pelatihan
tertentu untuk memenuhi kualifikasi tingkat provinsi. Satuan ini dapat
menjadi sumber daya cadangan provinsi dan dapat diperbantukan kepada
BPBD Provinsi untuk mendukung penanganan bencana.
3. Tingkat kabupaten/kota
a. Bupati/Walikota bertanggung jawab atas kebakaran hutan/lahan di
kabupaten/kotanya, dan untuk itu Bupati/Walikota menunjuk Dinas
Kehutanan Kab/Kota atau instansi yang menangani kehutanan di
Kab/Kota-nya sebagai penanggung jawab operasional pengendalian
kebakaran hutan/lahan di Kabupaten/Kota. Jika bukan Dinas Kehutanan
Kab/Kota atau instansi kehutanan yang ditunjuk, maka instansi lain yang
ditunjuk adalah instansi yang menangani bencana (BPBD Kab/Kota) atau
yang menangani lingkungan hidup (BLHD Kab/Kota).
b. Dinas Kehutanan Kab/Kota atau instansi yang ditunjuk tersebut
merupakan organisasi yang berfungsi menyelenggarakan operasional
pengendalian kebakaran hutan/lahan di tingkat kabupaten/kota. Tugas
pokoknya antara lain: (1) menyiapkan rancangan kebijakan pengendalian
kebakaran hutan/lahan tingkat kabupaten/kota untuk diajukan kepada dan
ditetapkan oleh Bupati/Walikota, (2) melakukan upaya-upaya
pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran hutan/lahan
di kabupaten/kotanya, (3) mengadakan sumber daya pengendalian
kebakaran hutan/lahan untuk kabupaten/kotanya, (4) mengoordinasikan
mobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran hutan/lahan di
195
kabupaten/kotanya dan dengan kabupaten/kota lain di provinsinya dan
dengan instansi provinsi yang ditunjuk di tingkat provinsi untuk
menangani mobilisasi sumber daya ke wilayah-wilayah lain menurut
perintah bupati/walikotanya.
c. Dinas Kehutanan Kab/Kota atau instansi yang ditunjuk tersebut
membentuk unit pelaksana teknis pengendalian kebakaran hutan/lahan
(UPT-PKHL) di bawah struktur dan komandonya. UPT-PKHL Kab/Kota
dipimpin oleh seorang Kepala UPT-PKHL Kab/Kota yang diangkat dan
diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas pertimbangan dari Kepala Dinas
Kehutanan Kab/Kota atau instansi yang ditunjuk tersebut.
d. UPT-PKHL Kab/Kota memiliki struktur yang terdiri atas:
• Bagian/Seksi Umum, yang menangani urusan administrasi atau tata
usaha, keuangan atau anggaran, perencanaan dan pengelolaan
sumber daya manusia, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran;
• Bagian/Seksi Pencegahan, yang menangani data dan informasi serta
program pencegahan, sistem peringatan dan deteksi kebakaran, dan
pengerahan bantuan sumber daya pencegahan;
• Bagian/Seksi Pemadaman, yang menangani data dan informasi serta
program pemadaman dan pengerahan sumber daya pemadaman;
• Bagian/Seksi Penanganan Pasca Kebakaran, yang menangani data
dan informasi serta program penanganan pasca kebakaran dan
pengerahan sumber daya pendukung penanganan pasca kebakaran.
e. Untuk pelaksanaan tindakan pengendalian kebakaran hutan/lahan,
terutama pencegahan dan pemadaman, dibentuk Satuan Pengendalian
Kebakaran Hutan/Lahan (Satdal karhutla).
• Setiap Satdal tersebut bertanggung jawab atas pencegahan dan
pemadaman dalam satu atau lebih kecamatan yang ditetapkan oleh
Kepala UPT-PKHL Kab/Kota;
• Setiap Satdal terdiri atas regu-regu pengendalian kebakaran
hutan/lahan, yang jumlahnya disesuaikan dengan situasi dan kondisi
kerawanan kebakaran hutan/lahan. Setiap regu terdiri atas seorang
kepala regu dan 14 orang anggota regu.
196
f. Untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas tertentu atau khusus,
Pusdalkarhutla Kab/Kota memiliki satuan khusus pengendalian
kebakaran hutan/lahan, yang disebut Satuan Manggala Agni Reaksi
Taktis (SMART) dengan kualifikasi tingkat kabupaten/kota. Satuan
khusus tersebut terdiri atas individu-individu terpilih yang telah
memperoleh pelatihan tertentu untuk memenuhi kualifikasi tingkat
kabupaten/kota. Satuan ini dapat menjadi sumber daya cadangan provinsi
dan dapat diperbantukan kepada BPBD Kabupaten/Kota untuk
mendukung penanganan bencana
Sistem pengorganisasian tersebut ditunjukkan dengan diagram model
konseptual pada Gambar 45. Keterlibatan berbagai pihak, baik organisasi-
organisasi pemerintah yang lain, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan
swasta tetap diutamakan, tetapi tanggung jawab tetap berada pada pemerintah.
Gambar 44 Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia sekarang.
197
Sebagaimana disebutkan di atas, sistem tersebut memberikan wewenang dan
tanggung jawab penuh di tingkat nasional kepada Kemenhut. Wewenang dan
tanggung jawab tersebut mencakup pula koordinasi dalam mobilisasi sumber daya
pemadaman domestik maupun internasional pada semua tingkat kondisi bencana
kebakaran, termasuk pada bencana nasional kebakaran hutan/lahan. Hal ini berarti
mencabut wewenang dan tanggung jawab BNPB yang ditetapkan oleh UU nomor
24 tahun 2007. Untuk mendukung hal tersebut diperlukan sebuah landasan hukum
yang kuat berupa amandemen terhadap UU nomor 24 tahun 2007 tersebut.
Gambar 46 dan Gambar 47 menunjukkan model konseptual untuk
mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran hutan/lahan. Tahapan mobilisasi
dilaksanakan oleh pemerintah dari tingkat kabupaten/kota yakni oleh Dinas yang
menangani kehutanan, dan jika belum tertangani dengan tuntas karena kurangnya
sumber daya, maka dimintakan bantuan sumber daya ke tingkat provinsi melalui
bupati/wali kota kepada gubernur. Selanjutnya, gubernur meminta Dinas
Kehutanan Provinsi untuk mengerahkan sumber daya provinsi, termasuk sumber
daya dari kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Jika kebakaran belum
padam, gubernur dapat meminta dukungan sumber daya nasional melalui Menhut.
Dengan kewenangan dari Menhut, Pusdalkarhutla Nasional dapat mengerahkan
sumber daya nya dan sumber daya dari provinsi-provinsi lain, bahkan sumber
daya dari bantuan internasional. kepada Presiden berlanjut yang berwewenang dan
bertanggung jawab pada setiap tingkatan. Para pihak lain yang memiliki sumber
daya yang dapat dimobilisasi, baik organisasi pemerintah, swasta, maupun
masyarakat, tidak ditampilkan dalam diagram tersebut karena mereka berada di
bawah komando dan kendali desa, dinas kehutanan kabupaten/kota, dinas
kehutanan provinsi, dan Pusalkarhutlanas. Mekanisme untuk memperoleh dan
memobilisasi sumber daya kelak akan diatur dan disepakati bersama antara
organisasi-organisasi pemerintah dengan para pihak tersebut.
Rancang bangun sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan ini juga menampilkan sebuah model konseptual (Gambar 47) yang
menggambarkan langkah-langkah yang ditempuh oleh organisasi-organisasi yang
menjadi koordinator.
198
Gambar 45 Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan di Indonesia alternatif 1.
199
Gambar 46 Tahapan mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran hutan/lahan alternatif 1.
200
Gambar 47 Urutan langkah dalam proses pelaporan dan tindakan mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran hutan/lahan.
Alternatif 2
Alternatif ini hanya menegaskan keberadaan urusan pengendalian kebakaran
hutan/lahan pada BNPB dan BPBD. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
selama ini belum ada ketegasan mengenai institusi yang menangani urusan
tersebut, seperti tergambarkan pada sistem pengorganisasi saat ini (Gambar 44),
sehingga masih terjadi saling lempar tanggung jawab ketika timbul kebakaran
hutan/lahan dan dampak negatifnya.
Alternatif ini mencabut kewenangan dan tanggung jawab seluruh
manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan dari organisasi-organisasi lain,
termasuk dari Kemenhut dan Kementan, yang diberikan oleh Instruksi Presiden
nomor 16 tahun 2011, kecuali untuk urusan yustisi, dan meletakkannya di bawah
struktur organisasi pengelolaan bencana. Dengan demikian, segala urusan
201
manajemen pengendalian kebakaran hutan/lahan menjadi wewenang dan
tanggung jawab BNPB di tingkat nasional dan BPBD di tingkat daerah (provinsi
dan kabupaten/kota) baik dalam status normal maupun dalam status darurat.
Hal tersebut di atas sebenarnya tidak akan mengubah struktur organisasi
pada BNPB dan BPBD karena struktur organisasi BNPB dan BPBD pada
prinsipnya telah mencakup semua urusan bencana termasuk pengendalian
kebakaran hutan/lahan. Namun demikian, karena kebakaran hutan/lahan memiliki
karakteristik yang khas, yang berbeda dari jenis-jenis bencana lainnya, maka
diperlukan penanganan tersendiri. Seperti diuraiakan di atas, kebakaran
hutan/lahan berdampak terhadap ekosistem alam sehingga memerlukan
penanganan khusus, terutama mengenai penyelamatan dan pemulihan korban
bukan manusia berupa tumbuhan dan satwa. Terbitnya Inpres nomor 16 tahun
2011 dapat menjadi indikasi mengenai hal tersebut, di mana kebakaran
hutan/lahan memiliki kekhasan dalam pengelolaannya dan selama ini masih
kurang mendapat porsi perhatian yang memadai oleh BNPB dan BPBD, sehingga
dirasa perlu mengaturnya secara khusus.
Struktur organisasi BNPB dan BPBD sesuai dengan Pasal 11 dan Pasal 19
UU nomor 24 tahun 2007 terdiri atas unsur pengarah dan unsur pelaksana. Pasal
10 dan Pasal 11 dari Peraturan Presiden RI (Perpres) nomor 8 tahun 2008 dan
Pasal 10 dari Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2008, pada Ayat (2)
menunjukkan bahwa kebakaran hutan/lahan belum mendapatkan cukup perhatian.
Pejabat Pemerintah Eselon I dari Kemenhut dan Kementan yang berwewenang
dan bertanggung jawab atas kawasan kebakaran hutan/lahan tidak termasuk di
dalam unsur pengarah.
Oleh sebab itu, sistem pengorganisasian yang diusulkan ini menghendaki
masuknya kedua kementerian tersebut sebagai anggota unsur pengarah.
Pembatasan jumlah anggota unsur pengarah sebanyak 10 pejabat seperti
disebutkan pada Pasal 11 Perpres nomor 8 tahun 2008 dan Pasal 10 Ayat (1)
Peraturan Kepala BNPB tersebut di atas perlu diamandemen dengan mengubah
jumlah anggota unsur pengarah tersebut karena batasan jumlah tersebut tidak
secara tegas diatur di dalam UU nomor 24 tahun 2007 yang menjadi acuannya.
202
Dengan demikian, diusulkan agar jumlah anggota dari pejabat eselon I ditambah
sehingga menjadi 12 orang, yakni masing-masing satu orang dari kedua
kementerian tersebut di atas.
Unsur pelaksana juga perlu perubahan berupa penambahan jabatan.
Penambahan jabatan diusulkan terutama adalah tingkat eselon IV pada hampir
setiap eselon I yang ada. Jabatan yang ditambahkan adalah untuk khusus
menangani kebakaran hutan/lahan sesuai dengan eselon I-nya. Model konseptual
dari sistem pengorganisasian alternatif 2 adalah seperti pada Gambar 48.
Sedangkan untuk prosedur mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran
hutan/lahan dapat mengikuti prosedur penanganan bencana lainnya.
Gambar 48 Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia alternatif 2.
203
Alternatif 3
Alternatif ini memadukan alternatif 1 ke dalam manajemen bencana oleh
BNPB dan BPBD ketika kondisi kebakaran hutan/lahan ditetapkan sebagai status
darurat bencana nasional. Ketika kebakaran hutan/lahan berada pada kondisi biasa
dan status darurat bencana kabupaten/kota maupun provinsi, wewenang dan
tanggung jawab pengendalian kebakaran hutan/lahan masih berada di tangan
bupati/walikota atau gubernur dan komando tetap dilaksanakan oleh Dishut
Kab/Kota atau Dishut Provinsi. Komando di tingkat nasional masih di tangan
Kemenhut dan laporan situasi dan kondisi kebakaran dari daerah tetap
disampaikan secara berjenjang oleh Dishut Kab/Kota dan Dishut Provinsi kepada
Kemenhut (Pusdalkarhutlanas).
Berdasarkan laporan dari daerah tersebut dan hasil pemantauan serta analisis
situasi kebakaran hutan/lahan oleh Pusdalkarhutlanas, Menteri Kehutanan
(Menhut) melaporkan situasi tersebut kepada Menko Kesra. Jika situasi kebakaran
hutan/lahan sudah memenuhi syarat bagi status darurat bencana nasional, maka
laporan Menhut tersebut disertai dengan usulan bagi ditetapkannya status darurat
bencana nasional. Atas laporan tersebut, Menko Kesra segera mengundang Forum
PKHL untuk pertemuan pembahasan usulan penetapan status darurat bencana
nasional kepada Presiden dan atau dapat langsung mengusulkan kepada Presiden
untuk segera menetapkan status darurat bencana nasional kebakaran hutan/lahan.
Status darurat bencana kebakaran hutan/lahan nasional ditetapkan secara resmi
oleh Presiden RI sesuai dengan Pasal 51 UU nomor 24 tahun 2007.
Selama status darurat bencana nasional kebakaran hutan/lahan belum
ditetapkan secara resmi oleh Presiden, wewenang, tanggung jawab dan komando
pengendalian kebakaran hutan/lahan masih berada pada Menhut. Pada kondisi
tersebut, Menhut dapat melakukan koordinasi dan komando kepada semua
instansi atau organisasi pemerintah, LSM, maupun swasta di semua tingkatan
dalam rangka mobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran hutan/lahan
domestik. Menhut melaporkan perkembangan kondisi terkini kepada Menko
Kesra dan BNPB. Menko Kesra jika memandang perlu, dapat mengalihkan
204
wewenang dan tanggung jawab serta komando dari Menhut kepada BNPB
meskipun status darurat bencana nasional belum ditetapkan secara resmi oleh
Presiden. Hal ini sangat penting untuk kejelasan mengenai kesatuan wewenang,
tanggung jawab dan komando. Pengalihan tersebut harus dilakukan Menko Kesra
secara formal.
Ketika status darurat bencana nasional secara resmi ditetapkan oleh
Presiden, wewenang dan tanggung jawab koordinasi dan komando pengendalian
kebakaran hutan/lahan secara nasional diserahkan oleh Kemenhut kepada Menko
Kesra dan selanjutnya dilaksanakan oleh BNPB. Pada kondisi tersebut, status
Kemenhut berada di bawah komando operasi (BKO) BNPB. Tugas Kemenhut
adalah mendukung operasi tersebut sesuai dengan komando BNPB, antara lain
tetap mengoordinasikan mobilisasi sumber daya yang ada di bawah wewenang
dan tanggung jawabnya sesuai dengan sistem pada alternatif 1 dan bertanggung
jawab atas penyelamatan dan pemulihan korban kebakaran berupa tumbuhan dan
satwa liar. Model konseptual dari sistem pengorganisasian alternatif 3 adalah
seperti pada Gambar 49.
5.5.3. Integrasi dan koordinasi
Rancangan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan
tersebut di atas memiliki konsekuensi bagi dilakukannya integrasi dan koordinasi
beberapa hal. Langkah-langkah integrasi dan koordinasi yang dimaksud antara
lain diuraikan berikut ini.
1. Sistem pengorganisasian yang diusulkan tersebut menghendaki adanya
integrasi kebijakan dari tingkat nasional sampai dengan tingkat
kabupaten/kota dan lapangan (desa). Hubungan antara tingkat nasional,
tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota berdasarkan sistem prefektoral
terpadu (Hoessein 2009) adalah koordinasi. Presiden menetapkan kebijakan
nasional pengendalian kebakaran hutan/lahan yang menjadi acuan bagi
gubernur dalam menetapkan kebijakan untuk provinsinya, dan kebijakan
nasional dan kebijakan provinsi harus menjadi landasan bagi kebijakan
bupati/walikota.
205
Gambar 49 Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan di Indonesia alternatif 3. 2. Bupati/walikota bertanggung jawab penuh terhadap kebakaran hutan/lahan di
wilayahnya sehingga dapat mengeluarkan kebijakan yang dapat mendukung
pelaksanaan tanggung jawab tersebut, namun kebijakan-kebijakannya tidak
bertentangan dengan kebijakan provinsi dan kebijakan nasional.
Bupati/walikota tidak menerima perintah dari gubernur dalam pengendalian
kebakaran hutan/lahan, kecuali pada waktu pemadaman di level provinsi di
mana gubernur dapat memerintahkan bupati/walikota di provinsinya untuk
memobilisasi sumber daya dan di bawah kendali operasi (BKO) kepada
bupati/walikota yang meminta bantuan provinsi. Dalam hal ini, gubernur
menggunakan peranan gandanya sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah
pusat memantau dan mengawasi bupati/walikota.
3. Hal tersebut di atas berlaku terhadap gubernur pada tingkat provinsi, dan
untuk kepentingan mobilisasi sumber daya nasional dalam operasi
206
pemadaman, Menhut dapat memerintah gubernur secara langsung untuk
mememobilisasi sumber daya dari provinsinya ke provinsi yang meminta
bantuan.
4. Akuntabilitas bupati/walikota dalam pengelolaan pengendalian kebakaran
hutan/lahan adalah langsung kepada publik atau melalui Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota atau DPRD Provinsi bagi gubernur.
Jika bupati/walikota atau gubernur dengan UPT-PKHL-nya dinilai tidak
melaksanakan tanggung jawabnya, publik atau masyarakat yang menilai dan
memberikan sanksi, baik secara moral dengan pernyataan tidak percaya lagi
kepada bupati/walikota atau gubernur tersebut atau melalui mekanisme
hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebaliknya, penghargaan perlu diberikan pula kepada bupati/walikota atau
gubernur yang telah mengelola dengan baik pengendalian kebakaran
hutan/lahannya. Penghargaan dapat diberikan oleh masyarakat, DPRD,
gubernur bagi bupati/walikota maupun oleh Presiden bagi gubernur.
5. Hubungan ke atas dari bupati/walikota kepada gubernur adalah dalam bentuk
pelaporan hasil pelaksanaan tanggung jawabnya dalam mengelola
pengendalian kebakaran hutan/lahannya dan permintaan bantuan sumber daya
untuk mendukung pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut jika terjadi
kekurangan sumber daya setelah seluruh sumber daya yang dimilikinya sudah
dimobilisasi.
6. Mekanisme serupa berlaku pula untuk hubungan gubernur dengan Presiden,
di mana gubernur bertanggung jawab atas keseluruhan pengelolaan
pengendalian kebakaran hutan/lahan di wilayahnya. Hubungan ke atas antara
gubernur dengan Presiden adalah dalam bentuk pelaporan
pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan pengendalian kebakaran
hutan/lahannya dan permintaan bantuan sumber daya untuk mendukung
pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut jika terjadi kekurangan sumber daya
setelah seluruh sumber daya yang dimilikinya sudah dimobilisasi.
7. Urusan penanganan pasca kebakaran, terutama yustisi kebakaran hutan/lahan,
diserahkan sepenuhnya kepada organisasi penegak hukum (Polri, Kejaksaan,
dan Pengadilan) di setiap tingkatan. Pusdalkarhutnas dan UPT-PKHL di
207
masing-masing tingkatan hanya berperan memantau dan memberikan
dukungan yang diperlukan oleh organisasi penegak hukum. Keterlibatan
penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) hanya bersifat membantu dan
mendukung, terutama ketika pelanggaran hukum terjadi di wilayah kerjanya,
serta tetap dalam komando penyidik Polri.
8. Sistem pengorganisasian yang dirancang juga memerlukan penyesuaian status
pengelolaan sumber daya pengendalian kebakaran. Pada saat ini, Kementerian
Kehutanan telah memiliki sebuah brigade pengendalian kebakaran hutan yang
diberi nama Manggala Agni. Nama tersebut disarankan untuk tetap digunakan
untuk semua jajaran pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia karena
nama tersebut sudah cukup dikenal di dunia sebagai organisasi pengendalian
kebakaran hutan/lahan Indonesia. Di dalam sistem pengorganisasian yang
dirancang oleh penelitian ini, keberadaan Manggala Agni tersebut tetap
diperhatikan, tetapi kedudukannya mengalami sedikit perubahan.
Sekarang Manggala Agni berada di bawah UPT-PHKA (Balai/Balai
Besar KSDA atau Taman Nasional) dengan garis komando dari tingkat
terbawah pada Daerah Operasi (Daops) di kabupaten/kota, ke atas di tingkat
provinsi pada UPT-PHKA dan ke tingkat nasional pada Menteri Kehutanan
melalui Direktur Jenderal PHKA. Penunjukan Kementerian Kehutanan
sebagai organisasi penanggung jawab pengendaian kebakaran hutan/lahan
secara otomatis menjadikan Manggala Agni yang sudah ada sebagai modal
dasar.
Di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, integrasi dan koordinasi
Manggala Agni terhadap sistem pengorganisasian tersebut memiliki tiga
alternatif, yaitu:
(a) Manggala Agni tetap dalam komando dan tanggung jawab Kementerian
Kehutanan dengan status penempatan atau kepegawaian pada UPT-PHKA
dengan tanggung jawab utama pada kawasan konservasi. Jika diperlukan
untuk operasi pengendalian kebakaran hutan/lahan, pada tingkat
kabupaten/kota, UPT-PKHL Kab/Kota atas perintah bupati/walikota dapat
meminta langsung kepada Daops Manggala Agni terdekat dan pada tingkat
provinsi, UPT-PKHL Provinsi atas perintah gubernur dapat meminta
208
langsung kepada UPT-PHKA setempat atau terdekat sumber daya
Manggala Agni tersebut. Selanjutnya, sumber daya Manggala Agni
tersebut di bawah kendali operasi (BKO) UPT-PKHL tersebut dengan
tanggung jawab pembiayaan operasional oleh Kementerian Kehutanan
melalui Pusdalkarhutnas kepada UPT-PKHL.
(b) Penempatan sumber daya Manggala Agni dan status kepegawaiannya, yang
mencakup pembinaan karir, gaji/upah, dan berbagai pembiayaan rutin lainnya
tetap di bawah Kementerian Kehutanan melalui UPT-PHKA, tetapi komando
operasional dan seluruh pembiayaan operasional ditanggung oleh anggaran
APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota di bawah Dinas Kehutanan atau
instansi yang ditunjuk gubernur dan bupati/walikota (UPT-PKHL).
(c) Semua sumber daya Manggala Agni ditempatkan dan di bawah komando
serta tanggung jawab UPT-PKHL, termasuk status kepegawaian, pembinaan
karir, gaji/upah dan seluruh pembiayaan operasionalnya. UPT-PKHL Provinsi
bertanggung jawab atas sumber daya Manggala Agni di tingkat provinsi dan
UPT-PKHL Kab/Kota bertanggung jawab atas sumber daya Manggala Agni
di Daops.
Pada alternatif (c), Manggala Agni yang sumber dayanya ada di Daops
di tingkat kabupaten/kota diserahkan kepada UPT-PKHL Kab/Kota, dan
dengan demikian status kepegawaiannya serta operasionalnya diserahkan
kepada UPT-PKHL Kab/Kota. Alternatif (c) tersebut memberi UPT-PKHL
modal awal berupa sumber daya dari Manggala Agni sehingga langkah ke
depannya tinggal meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya untuk mencapai
tingkat sesuai dengan kebutuhan setempat, sedangkan alternatif (a) dan (b)
akan memaksa UPT-PKHL, terutama di kabupaten/kota untuk memulai
membangun kapasitas sumber dayanya sendiri, karena Manggala Agni
tersebut tidak berada di bawah komando langsungnya. Alternatif (a) akan
tetap memberikan beban kepada Pemerintah Pusat, alternatif (b) akan
membagi beban antara Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian
Kehutanan dan Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten/kota), sedangkan
alternatif (c) akan memberikan beban pengelolaan sumber daya pengendalian
kebakaran hutan/lahan pada pemerintah provinsi dan pemerintah
209
kabupaten/kota, terutama dalam hal manajemen sumber daya manusia seperti
gaji/upah, dan manajemen sarana dan prasarana seperti pengadaan,
operasional dan pemeliharaan. Pemilihan alternatif tersebut masih
memerlukan kajian lebih lanjut, sambil menunggu terbitnya undang-undang
tentang kepegawaian sebagai revisi terhadap UU nomor 43 tahun 1999, yang
dianggap masih sentralistik dan tidak sesuai lagi dengan semangat dan tujuan
desentralisasi (Dwiyono 2011).
Sumber daya pengendalian kebakaran juga telah dimiliki oleh
organisasi-organisasi pemerintah lainnya baik di tingkat nasional, tingkat
provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Status kepemilikan sumber daya
tersebut, baik SDM maupun peralatan pengendalian kebakaran menghadapi
tiga alternatif yang serupa dengan yang ada pada Manggala Agni. Sistem
pengorganisasian dirancang untuk tetap memberikan tanggung jawab
pengelolaan pengendalian kebakaran hutan/lahan pada instansi pemangku
kawasan hutan/lahan. Oleh sebab itu, instansi-instansi tersebut tetap harus
memiliki dan mengelola sumber daya untuk pengendalian kebakaran di
kawasan pemangkuannya. Rancangan sistem pengorganisasian ini
memberikan penegasan mengenai keharusan adanya mekanisme tertulis yang
disepakati berupa rencana mobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran
yang mengatur pengerahan sumber daya yang ada di instansi-instansi tersebut
di bawah komando Pusdalkarhutlanas dan UPT-PKHL pada setiap
tingkatannya.
Di samping itu, keberadaan instansi atau organisasi yang sekarang
menangani pengendalian kebakaran hutan/lahan yaitu UPTD-PKHL, seperti di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, yang merupakan SKPD dan
Pusdalkarhutlada dan Satlakdalkarhutla yang merupakan organisasi tersendiri
dan bukan SKPD di setiap provinsi dan kabupaten/kota, dalam rancangan
sistem pengorganisasian ini harus dilebur ke dalam UPT-PKHL yang berada
di dalam instansi yang ditunjuk gubernur dan bupati/walikota di setiap
provinsi dan kabupaten/kota. Peleburan tersebut mencakup sumber daya yang
ada di organisasi atau instansi tersebut seperti SDM, sarana dan prasarananya
210
maupun anggaran yang statusnya dipindahkan atau dimutasi kepada UPT-
PKHL.
9. Peranan para pihak non-pemerintah dalam pengendalian kebakaran
hutan/lahan diintegrasikan di dalam sistem pengorganisasian. Hal ini terutama
untuk alasan-alasan antara lain:
(a) Meningkatkan akuntabilitas sosial dalam penyelenggaraan pengendalian
kebakaran. Keterlibatan masyarakat akan mendorong perbaikan kinerja
pemerintah (Antlov & Watterberg 2010).8
(b) Mewujudkan hubungan yang lebih baik antara negara dengan masyarakat
(state-society relation). Sebelumnya masyarakat kurang mendapat tempat
dalam pembuatan kebijakan atau keputusan dan lebih berposisi sebagai obyek
dari kebijakan atau keputusan pemerintah, termasuk dalam pengendalian
kebakaran hutan/lahan. Di era Reformasi hubungan semacam itu bergeser di
mana masyarakat mengambil peranan cukup signifikan sebagai bagian dari
pembuat kebijakan atau keputusan (Hidayat 2010). Keterlibatan masyarakat
yang demikian ini akan membuat mereka ikut merasa bertanggung jawab atas
keberhasilan atau kegagalan pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan dirancang
untuk memberikan peluang bagi keterlibatan masyarakat yang lebih jelas. Peranan
utama memang masih dipegang oleh pemerintah dan keterlibatan masyarakat dan
lembaga non-pemerintah tidak tergambarkan secara eksplisit di dalam struktur
organisasi yang ditawarkan, tetapi sebenarnya masyarakat dengan berbagai
disiplin ilmu dan tingkat kapasitas dan kapabilitasnya merupakan bagian dari
unsur pendukung di tiap tingkatan. Keterlibatan masyarakat tertampung di dalam
Forum PKHL di tingkat nasional maupun UPT-PKHL di setiap tingkatan yang
harus memberikan ruang kepada tenaga ahli dan wakil-wakil masyarakat untuk
berperan serta di dalam perumusan kebijakan. Di samping itu, masyarakat dan
lembaga non-pemerintah berperanan memberikan pemantauan dan pengawasan
kepada pemerintah melalui berbagai mekanisme yang ada, baik secara moral
maupun secara yuridis. 8 Akuntabilitas sosial adalah kewajiban pemerintah dan DPRD (yang diberi kuasa oleh warga) untuk menyajikan pertanggungjawaban dan jawaban atas pelaksanaan tanggung jawab kepada mereka yang memberi amanah, yaitu masyarakat.
211
Posisi dan peranan masyarakat sangat penting pada tingkatan di bawah
kabupaten/kota, terutama di tingkat desa. Prinsip uniformitas struktur yang
menyamakan struktur organisasi pemerintahan desa sekarang sudah ditinggalkan
dan dengan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
desa diberikan kebebasan untuk menyusun struktur organisasi pemerintahannya
sendiri sesuai dengan kebutuhan (Rasyid 2009). Langkah-langkah pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan
Hidup berupa pembentukan kelompok-kelompok masyarakat peduli api (MPA)
harus lebih ditingkatkan, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Australia yang
lebih menitikberatkan kekuatan sumber daya pengendalian kebakarannya pada
para relawan yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat. Dalam rancangan
ini, MPA menjadi bagian dari struktur Pusdalkarhutla pada sumber daya manusia.
Sangat diharapkan bahwa MPA dapat menjadi bagian dari struktur pemerintahan
desa atau setidaknya menjadi bagian dari uraian tugas salah satu bagian dari
struktur pemerintahan desa tersebut.
5.5.4. Prasyarat Bagi Sistem Pengorganisasian
Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang
diusulkan penelitian ini akan dapat berjalan dengan baik jika dan hanya jika
memenuhi beberapa prasyarat seperti diuraikan di bawah ini.
(1) Pemahaman dan persepsi yang tepat tentang desentralisasi dan otonomi
daerah
Sistem pengorganisasian tersebut di atas memberlakukan hubungan
koordinatif antara tingkat nasional, provinsi sampai kabupaten/kota karena sistem
yang diterapkan dalam desentralisasi dan otonomi daerah tidak memungkinkan
lagi diterapkannya komando dari atas ke bawah. Namun demikian, prinsip
kesatuan komando tetap harus dipegang untuk menghindarkan kesimpangsiuran.
Prinsip tersebut menghendaki kesamaan persepsi bahwa meskipun masing-masing
tingkatan diberikan kebebasan menetapkan strategi dan taktik pengelolaan
kebakarannya, bukan berarti bahwa masing-masing kemudian bebas
melaksanakan atau tidak melaksanakan kebijakan di atasnya. Keberadaan Forum
212
PKHL diharapkan dapat menjadi ajang diskusi untuk mempertemukan
kepentingan dari masing-masing tingkatan. Kekhawatiran sementara pimpinan
organisasi di provinsi dan kabupaten/kota tentang sentralisasi yang membatalkan
prinsip-prinsip otonomi daerah, seperti terungkap dalam wawancara, dapat
dibicarakan di dalam forum tersebut.
Sistem pengorganisasian yang akan dibangun dari hasil penelitian ini tidak
akan menentang prinsip-prinsip otonomi di negara kesatuan, yang menurut
Hidayat (2010) terutama adalah berupa pembagian wewenang. Hal ini bermakna
bahwa rantai komando tetap sesuai dengan prinsip otonomi dan sifat hubungannya
adalah hubungan sinergistik. Hubungan sinergistik adalah hubungan kegiatan
kooperatif subsistem-subsistem semi independen yang bersama-sama
menghasilkan keluaran (output ) total yang lebih besar dibandingkan dengan
jumlah output mereka masing-masing disatukan secara independen (Winardi
2005).
Kesatuan komando dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan ini tidak berarti bahwa setiap organisasi di level atas dapat seenaknya
memerintahkan organisasi-organisasi di level bawahnya, melainkan tetap
menghormati hirarki pertanggungjawaban. Sebagai contoh, Direktur PKH di
tingkat nasional tidak dapat mengomando langsung Kepala Dinas di provinsi,
Dinas Kehutanan sekalipun, apalagi Kepala Dinas di kabupaten/kota.
Pemahaman bahwa otonomi daerah sebagai pemisahan atau pemberian
kewenangan penuh kepada daerah dan pemerintah di atasnya tidak boleh campur
tangan kepada pemerintah daerah di bawahnya juga harus diluruskan. Padahal
menurut landasan konsepsi mengenai hubungan pusat dan daerah dinyatakan
bahwa gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah harus melakukan supervisi,
monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building)
terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah
kabupaten/kota tersebut bisa berjalan secara optimal (Suwandi 2009). Jika hal
tersebut dipahami dan dipersepsi dengan tepat, rancangan sistem pengorganisasi
ini pada dasarnya menganut prinsip kesatuan komando dari tingkat nasional
213
sampai kabupaten/kota, tetapi memberikan kebebasan kepada provinsi dan
kabupaten/kota untuk implementasi komando tersebut.
Pemahaman dan persepsi yang tepat mengenai prinsip-prinsip otonomi
daerah dan berbagai peraturan yang bersangkutan dapat dibangun melalui
penyiapan para calon pimpinan dan staf pemerintahan, hal yang tampaknya
terlupakan di era Reformasi ini. Penyiapan yang dimaksud adalah adanya
persyaratan yang ketat untuk rekrutmen di mana pemahaman dan persepsi yang
tepat tersebut menjadi salah satunya, dan sistem pendidikan dan pelatihan yang
mampu membekali mereka dengan pemahaman dan persepsi yang tepat tersebut.
Pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (diklatpim) dari berbagai tingkat sampai
dengan kursus Lemhanas yang memberikan materi berisi berbagai aspek dari
desentralisasi dan otonomi daerah harus diberlakukan tidak hanya bagi para calon
pimpinan organisasi-organisasi SKPD melainkan juga bagi para calon pimpinan
organisasi di tingkat nasional dan para calon kepala daerah sebelum pemilukada.
(2) Landasan yang kuat bagi pembangunan sistem pengorganisasian
Kelemahan utama sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan sekarang ini adalah belum adanya landasan pembentukan
pengorganisasian yang terpadu untuk semua tingkatan. Di tingkat nasional sampai
saat ini belum jelas pengorganisasiannya karena memang belum dilakukan
pembentukan. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pengorganisasian dibentuk
dengan landasan yang sama di masing-masing tingkatan, yaitu peraturan gubernur
di provinsi dan peraturan bupati/walikota di kabupaten/kota.
Peraturan gubernur maupun peraturan bupati/walikota tersebut ternyata
tidak memiliki kekuatan untuk menjadikan organisasi yang dibentuk tersebut
sebagai SKPD. Untuk itu, penempatan organisasi pengendalian kebakaran
hutan/lahan sebagai bagian dari struktur SKPD yang ada secara otomatis
menjadikan organisasi tersebut sebagai bagian dari SKPD, sehingga anggaran
belanja organisasi dapat disediakan melalui APBD maupun sumber-sumber lain
yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
Landasan hukum yang kuat juga perlu diberikan kepada organisasi yang
diberi wewenang dan tanggung jawab sebagai koordinator di tiap tingkatan agar
214
dapat bergerak bebas dalam pengendalian kebakaran di semua fungsi kawasan
hutan dan lahan. Selama ini, instansi kehutanan, baik unit pelaksana teknis (UPT)
Kemenhut yakni Balai Besar/Balai KSDA atau TN maupun dinas kehutanan
provinsi dan kabupaten berperan lebih besar daripada organisasi pemerintah
lainnya dalam pengendalian kebakaran. Hal ini tampak pada persentase kejadian
kebakaran yang relatif lebih rendah di kawasan hutan daripada di lahan.
Organisasi-organisasi tersebut telah memperoleh kepercayaan dari organisasi
pemerintah yang lain maupun masyarakat untuk menangani kebakaran tidak
hanya di kawasan hutan, melainkan juga di lahan, tetapi organisasi kehutanan
tersebut tidak memiliki landasan hukum untuk secara langsung melakukan
pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran. Keterlibatan
organisasi-organisasi tersebut dalam pengendalian kebakaran di luar kawasan
hutan biasanya karena permintaan bantuan oleh instansi pemangku lahan atau
karena instuksi gubernur atau bupati/walikota. Oleh sebab itu, sistem
pengorganisasian yang diusulkan perlu memberikan landasan hukum yang
mengijinkan organisasi yang ditunjuk dan diberi wewenang dan tanggung jawab
sebagai koordinator untuk dapat “memasuki” semua fungsi kawasan hutan dan
lahan.
(3) Komitmen yang kuat untuk pengembangan organisasi
Organisasi di masa kini harus mampu menghadapi perubahan yang begitu
cepat kondisi lingkungannya, oleh sebab itu organisasi perlu beradaptasi dengan
kondisi lingkungan (pasar) yang berubah-ubah dan pada saat yang sama perlu
mengatasinya dengan pembaruan dan bukan sekadar reaktif (Brown & Harvey
2006). Organisasi terus-menerus berinteraksi dengan lingkungannya, bukan hanya
lingkungan setempat melainkan sampai pada lingkungan global. Kebakaran
hutan/lahan telah menjadi masalah nasional dan global. Hal ini harus dipahami
dan disadari oleh setiap pembuat kebijakan di setiap tingkatan.
Para pembuat kebijakan perlu berkomitmen kuat bahwa masalah kebakaran
hutan/lahan harus ditangani bersama oleh semua tingkatan. Mereka harus
memiliki komitmen untuk mengubah orientasi organisasinya kepada orientasi
nasional dan global, mengubah dari sentimen kedaerahannya menjadi sentimen
215
nasional dan global. Oleh sebab itu, agar rancangan sistem pengorganisasian
tersebut dapat diterapkan diperlukan kemauan para pembuat kebijakan, termasuk
para pimpinan organisasi-organisasi yang terkait di semua tingkatan untuk mau
mengubah organisasinya dari organisasi yang berjalan biasa-biasa saja menjadi
organisasi yang berjalan sesuai dengan kebutuhan lingkungannya, sehat dan
efektif.
Salah satu wujud dari komitmen tersebut adalah kemauan para pembuat
kebijakan untuk melakukan perubahan yang terkait dengan kebutuhan vital
organisasi yaitu anggaran. Mereka harus menciptakan suatu mekanisme
penyediaan dan penggunaan serta pertanggungjawaban anggaran yang menjamin
tersedianya dana dengan cepat pada waktu diperlukan untuk pengendalian
kebakaran. Penulis dalam kunjungan ke Markas NIFC di Boise, Idaho, Amerika
Serikat pada tahun 1997 memperoleh penjelasan bahwa NIFC memiliki
mekanisme penyediaan anggaran yang menjamin tersedianya dana pemadaman
kebakaran siap dalam satu-dua jam, sehari, dan beberapa hari ke depan sesuai
dengan kebutuhan dan dapat dikeluarkan dengan persetujuan Direktur NIFC.
Komitmen lain yang diperlukan dari para pembuat kebijakan, terutama para
pembuat peraturan baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan-
peraturan teknis, untuk mau membuat kebijakan-kebijakan dan peraturan-
peraturan yang rinci. Kebijakan dan peraturan yang akan menjadi landasan kerja
organisasi harus dibuat cukup rinci dan jelas, termasuk tafsirannya, sehingga
setiap pihak yang berkepentingan dengan pengendalian kebakaran hutan/lahan,
terutama yang menjalankan organisasi, masing-masing mengetahui dengan jelas
batasan-batasan wewenangnya, tanggung jawabnya, tugasnya, fungsinya, hak-
haknya, kewajiban-kewajibannya, dan konsekuensi-konsekuensinya.
5.5.5. Kebutuhan Organisasi Setelah Terbentuk
Setelah sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan
terbentuk dari tingkat nasional sampai dengan kabupaten/kota, berbagai hal perlu
dilakukan agar organisasi yang terbentuk tersebut dapat berfungsi secara efektif
dan efisien. Brown dan Harvey (2006) mengarahkan bahwa organisasi di masa
216
mendatang harus mengembangkan diri. Arahan Brown dan Harvey tersebut
memang ditujukan lebih kepada organisasi berorientasi keuntungan (profit
oriented) atau perusahaan, namun prinsip-prinsipnya dapat diadopsi pada
organisasi pemerintah. Arahan tersebut adalah bahwa organisasi masa depan perlu
melakukan rekayasa ulang (reengineering), menyesuaikan kembali strukturnya
(restructuring), dan memangkas hirarki (flattening the hierarchy) untuk
menghadapi tekanan pasar.
Brown dan Harvey (2006) menyarankan bahwa organisasi harus fleksibel
dan dapat berubah dalam kerangka waktu tahunan, bulanan, mingguan, atau
harian. Saran tersebut tampaknya kurang cocok diterapkan pada organisasi
pemerintah, termasuk organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan di
Indonesia, yang lebih mengutamakan pelayanan publik (Al Gore 1996; Ramses &
La Bakry 2009). Oleh sebab itu, pengembangan organisasi pemerintah tentunya
dilakukan agak berbeda, namun prinsip-prinsip pengembangan organisasi non-
pemerintah dapat diadopsi dengan beberapa penyesuaian. Perubahan dalam jangka
pendek dapat dilakukan bukan pada sistem pengorganisasian pengendalian
kebakarannya tetapi hanya pada pengorganisasian di lokasi kebakaran yang
dikenal dengan incident management system (IMS) yang mencakup mobilisasi
sumber daya dan sistem komando kejadian (incident command system/ICS)
ketika operasi pemadaman kebakaran hutan/lahan.
Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang dibangun
berdasarkan penelitian ini perlu dikembangkan secara sistematis agar efektif dan
efisien. Birokrasi yang selama ini dipandang secara negatif karena dipandang
lamban, tidak efektif, tidak efisien dan tidak produktif (Dwiyanto 2011), harus
diperbaiki. Beberapa hal yang perlu dilakukan terhadap pengorganisasian tersebut
antara lain adalah seperti diuraikan di bawah ini.
(1) Penetapan tujuan dan sasaran organisasi
Hampir semua penulis tentang pengembangan organisasi menyarankan
bahwa langkah pertama atau utama untuk menjadikan sebuah organisasi itu
merupakan organisasi masa depan (the organization of the future) yang sehat
(Beckhard 1997), kompetitif dan inovatif (Brown & Harvey 2006), dan efektif dan
217
efisien (Al Gore 1996) langkah utamanya adalah menetapkan tujuan dan sasaran
organisasi secara tepat. Pencakupan tujuan tersebut, selain memberikan panduan
bagi pengelola organisasi, juga akan memberikan landasan bagi organisasi
tersebut untuk dapat memperoleh sumber pendanaan (anggaran).
Tujuan dan sasaran Pusdalkarhutla di masing-masing tingkatan diwujudkan
dalam visi dan misi sesuai tingkatannya, tetapi berada dalam satu alur di mana visi
dan misi Pusdalkarhutla di tingkat kabupaten/kota diarahkan untuk mencapai visi
dan misi tingkat provinsi dan seterusnya visi dan misi di tingkat provinsi harus
merupakan jalan menuju tercapainya visi dan misi nasional. Visi dan misi
biasanya masih sangat global dan agar dapat dipahami oleh semua pihak terutama
yang terlibat dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan,
visi dan misi di masing-masing tingkatan harus disusun dalam rencana strategis
dan rencana operasional. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa tingkat
nasional harus menjadi acuan bagi tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota,
maka penetapan tujuan dan sasaran yang jelas harus segera dilakukan di tingkat
nasional dan disusul oleh tingkat provinsi sebelum tingkat kabupaten/kota.
Rencana-rencana tersebut harus secara gamblang menguraikan strategi, program
dan kegiatan dari setiap bidang dari pengendalian kebakaran hutan/lahan yang
meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca-kebakaran.
Visi Dit. PKH saat ini sebenarnya bukan hanya visi Dit. PKH melainkan
visi negara ini, karena visi tersebut tidak mungkin dilaksanakan sendirian oleh
Dit. PKH. Visi tersebut dapat diangkat menjadi visi Pusdalkarhutlanas yang
menurut sistem pengorganisasian yang diusulkan penelitian ini mewakili negara
karena menjadi organisasi yang menangani kebakaran hutan/lahan secara
nasional. Namun demikian, agar visi tersebut operasional perlu ditambahkan
pembatas yang jelas, sehingga visi tersebut menjadi berbunyi, “Terwujudnya
sistem pengendalian kebakaran hutan/lahan yang menjamin terlindungnya jiwa,
raga dan harta benda masyarakat Indonesia dari kebakaran hutan/lahan dan
dampak negatifnya.”
(2) Struktur organisasi yang lengkap tetapi ramping
218
Bechard (1997) mengarahkan bahwa organisasi yang sehat menetapkan
strukturnya dengan mode “form follows function”, artinya struktur dan mekanisme
organisasi ditentukan oleh fungsi atau pekerjaan yang akan dilakukan. Organisasi
sebaiknya dibuat seramping mungkin (Al Gore 1996). Penyusunan struktur
organisasi memerhatikan elemen-elemen yang umumnya ada pada organisasi,
yaitu: the operating core, the strategic apex, the middle line, the technostructure,
dan the supporting staff (Winardi 2005). Prinsip dasarnya adalah komando
diperpendek jalurnya dari atas ke bawah, ide atau gagasan dari bawah juga
diperpendek jalurnya untuk sampai ke atas dan mendapatkan persetujuan.
Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan struktur organisasi
pengendalian kebakaran hutan/lahan sebaiknya adalah kombinasi dari bidang-
bidang dalam pengendalian kebakaran, yang mencakup pencegahan, pemadaman,
dan penanganan pasca-kebakaran dengan fungsi-fungsi manajemen terutama
perencanaan, operasi, dan pengawasan. Bentuk strukturnya seperti dikemukakan
di atas adalah kesatuan komando (unity of command). Pemilihan model struktur
ini mempertimbangkan beberapa hal seperti diarahkan Davis (1979) yaitu tiga
dimensi dasar untuk pemilihan struktur yaitu: (1) fungsional, (2) produk, dan (3)
wilayah. Organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan bukan organisasi yang
menghasilkan suatu produk, sehingga struktur berdasarkan tahapan pembuatan
suatu produk dipandang kurang cocok. Wilayah dapat menjadi dimensi dalam
menyusun struktur organisasi pengendalian kebakaran, tetapi dimensi ini
digunakan pada struktur organisasi pada skala besarnya. Dimensi wilayah
digunakan untuk membedakan tingkatan atau hirarki organisasi antar tingkatan
pemerintahan yakni nasional, provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan struktur di
masing-masing wilayah lebih cocok menggunakan dimensi fungsional. Fungsi-
fungsi yang ada dalam struktur adalah berupa bidang-bidang dalam pengendalian
kebakaran dan fungsi-fungsi manajemen.
Model struktur organisasi menurut Davis (1979) ada dua macam yaitu unity
of command dan balance of power. Balance of power biasanya diterapkan pada
dimensi produk dan wilayah, sedangkan unity of command pada fungsional.
Model struktur pada sistem pengorganisasian yang dirancang dalam penelitian ini
adalah fungsional maka unity of command dianggap yang tepat.
219
Tanggung jawab tertinggi pengendalian kebakaran hutan/lahan di masing-
masing tingkatan adalah ada pada presiden, gubernur dan bupati/walikota, maka
kesatuan komando harus dibangun antar ketiga pemimpin tersebut. Jika masing-
masing pemimpin tersebut tidak dapat menjalankan komando hari-ke-hari (day to
day command), maka mereka harus menunjuk satu pemegang komando atas
namanya. Penunjukan pemegang komando tersebut dapat dilakukan secara
permanen ataupun kasus per kasus, yang terpenting adalah pemberitahuan yang
jelas kepada semua pihak yang terlibat agar komando dapat diterima oleh
penerima yang tepat dan dituruti. Pusdalkarhutlanas dan UPT-PKHL di masing-
masing tingkatan merupakan pemegang komando hari-ke-hari tersebut..
Tahap selanjutnya, yang sering dilupakan adalah membuat uraian tugas dan
fungsi serta wewenang dan tanggung jawabnya secara rinci untuk setiap unsur
dalam struktur. Uraian tersebut akan menjadi landasan untuk menentukan
persyaratan bagi para calon pengisi masing-masing jabatan tersebut, menjadi
pedoman mekanisme hubungan antar unsur, dan menjadi kriteria dan indikator
keberhasilan masing-masing unsur. Uraian tugas secara rinci tersebut belum
dibuat di dalam penelitian ini.
(3) Pembangunan kapasitas organisasi
Pembangunan kapasitas organisasi yang terkait dengan lingkungan hidup
dibedakan menjadi dua hal yaitu capacity building dan capacity development
(Muller-Glodde 1994). Capacity building dipahami sebagai penciptaan dan
penguatan kapasitas individu dan organisasi pada level mikro, sedangkan capacity
development lebih menekankan pada proses di mana individu meningkatkan
kapasitasnya untuk bertindak dan organisasi atau struktur kelembagaan
meningkatkan efisiensinya. Penulis memahami hal tersebut dengan perkataan lain
bahwa capacity building merupakan penyiapan “bekal” bagi individu atau
organisasi, sedangkan capacity development merupakan kemampuan
menggunakan “bekal” tersebut untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi.
Kedua-duanya harus dilakukan setiap individu dalam organisasi agar memiliki
kemampuan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan secara
bersama-sama membawa organisasi mencapai tujuannya.
220
Dalam konteks pengorganisasian kebakaran hutan/lahan, terdapat beberapa
kapasitas organisasi yang harus dikembangkan. Sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengembangan
jejaring merupakan beberapa kapasitas yang tersebut. Sumber daya manusia
(SDM) pengendalian kebakaran hutan/lahan meliputi regu-regu pengendali
kebakaran, para pimpinan dan staf administrasi, para ahli dari berbagai disiplin
ilmu, personil penegak hukum, dan tenaga pendukung. Sarana dan prasarana
pengendalian kebakaran meliputi peralatan dan perlengkapan untuk administrasi
dan teknis operasional pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran.
Ilmu pengetahuan dan teknologi mencakup seluruh disiplin yang terkait dengan
kebakaran hutan/lahan, bukan hanya ilmu dan teknologi kebakaran, melainkan
juga disiplin-disiplin ilmu pendukung seperti sosiologi, antropologi, hukum,
ekonomi, sosial, politik, kesehatan, dan sebagainya.
Di masa depan, pengembangan organisasi dalam sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan/lahan harus mencakup suatu sistem pengembangan
sarana dan prasarana maupun sumber daya manusia bagi semua aspek
pengendalian kebakaran. Untuk mendukung hal tersebut, maka penelitian dan
pengembangan (research and development) yang menangani sarana dan prasarana
serta pendidikan dan pelatihan (education and training) menjadi bagian penting
dalam rancangan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan.
Pada rancangan sistem pengorganisasian yang diusulkan tersebut, keduanya masih
tercakup dalam bidang tugas badan-badan yang menanganinya di Kementerian
Kehutanan, dengan lebih meningkatkan porsi bagi pengendalian kebakaran
hutan/lahan.
(4) Peningkatan hubungan antar organisasi
Kelemahan yang ada dalam pengorganisasian pengendalian kebakaran
hutan/lahan di Indonesia sekarang ini adalah kurang dekatnya hubungan antar
organisasi-organisasi yang terlibat, sebagaimana ditunjukkan pada analisis
hubungan antar organisasi di atas. Kurang dekatnya hubungan tersebut tidak
hanya terjadi antara tingkatan, melainkan juga terjadi di dalam satu tingkatan.
Salah satu hal yang perlu dibangun dalam sistem pengorganisasian pengendalian
221
kebakaran hutan/lahan adalah peningkatan kedekatan hubungan antar organisasi
atau instansi yang terlibat baik pada satu tingkatan maupun antar tingkatan. Untuk
itu, prasyarat berupa pemahaman dan persepsi yang benar mengenai otonomi
daerah benar-benar harus dipenuhi agar hubungan terutama antar tingkatan dapat
berjalan dekat dan harmonis.
Hubungan antar organisasi sangat penting terutama dalam penyediaan
sumber daya pengendalian kebakaran. Sumber daya yang meliputi SDM, sarana
dan prasarana, dana, ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi, dan sebagainya
mungkin dimiliki oleh organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan dalam jenis
dan jumlah yang kurang dari yang dibutuhkan pada suatu waktu diperlukan. Di
sisi lain, organisasi-organisasi lain mungkin memiliki sumber daya tersebut.
Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme penggalangan dan pengerahan sumber
daya pengendalian kebakaran yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang
berkaitan, yang disebut Rencana Mobilisasi Sumberdaya Pengendalian Kebakaran
Hutan/lahan. Hal ini belajar dari Amerika Serikat yang memiliki Fire Suppression
Mobilization Plan (FSMP), yakni sebuah dokumen yang mengatur mekanisme
penggalangan dan pengerahan sumber daya, tetapi khusus untuk pemadaman
kebakaran. Diagram model konseptual mobilisasi sumber daya tersebut disajikan
pada Lampiran 19.
Di samping itu, perlu pula dikembangkan suatu sistem komando yang
diterapkan ketika diadakan operasi pengendalian kebakaran, khususnya
pemadaman kebakaran, yang disebut sistem komando operasi pemadaman
(SKOP) kebakaran hutan/lahan. Sistem komando ini diadopsi dari sistem
komando kejadian atau incident command system (ICS) yang berlaku di negara-
negara lain, terutama Amerika Serikat dan Australia.
Peningkatan hubungan antar organisasi dapat ditempuh antara lain melalui
pelatihan simulasi mobilisasi sumber daya maupun SKOP kebakaran hutan/lahan
tersebut di atas. Pelatihan tersebut melibatkan berbagai pihak yang terkait, yang
sudah tercakup di dalam dokumen-dokumen tersebut. Pelatihan simulasi akan
membuat pihak-pihak yang terkait mengetahui, memahami dan mampu serta
222
terbiasa melakukan peranannya dalam suatu operasi pengendalian kebakaran
secara benar dan bertanggung jawab.
(5) Skema pendanaan
Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang ada
sekarang berjalan kurang optimal disebabkan antara lain oleh lemahnya anggaran
akibat dari tidak jelasnya skema pendanaan. Landasan hukum pembentukan
Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla di lokasi penelitian pada amar mengenai
pendanaan hanya menyebutkan bahwa anggaran untuk organisasi tersebut
dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan sumber-
sumber lain yang tidak mengikat. Namun demikian, status organisasi yang bukan
SKPD tidak memungkinkan organisasi tersebut untuk memperoleh anggaran dari
sumber manapun kecuali anggaran yang “disisihkan” oleh instansi-instansi
anggotanya.
Sistem pengorganisasian yang dirancang oleh penelitian ini menghapus
Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla yang ada sekarang dan tidak menggantinya
dengan organisasi serupa yang baru antara lain karena pertimbangan sulitnya
membentuk SKPD baru. Sistem yang dirancang ini meletakkan organisasi
pengelola pengendalian kebakaran hutan/lahan ke dalam SKPD yang ada yakni
instansi yang menangani kehutanan atau salah satu instansi lain yang ditunjuk
oleh gubernur atau bupati/walikota. Penambahan sub-organisasi pada SKPD
tersebut tentu akan membebani SKPD yang bersangkutan dan beban tersebut
tentunya harus diikuti dengan penambahan jumlah anggaran. Penambahan jumlah
anggaran ini dapat dilakukan dengan skema antara lain sebagai berikut:
(1) Penambahan anggaran bagi instansi yang ditunjuk mengelola pengendalian
kebakaran hutan/lahan di dalam APBD. Pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) harus memiliki komitmen kuat untuk mengalokasikan
anggaran bagi pengendalian kebakaran hutan/lahan sebagai salah satu wujud
kepeduliannya terhadap permasalahan lingkungan hidup.
(2) Pengalihan pengelolaan sumber daya, terutama SDM dari Manggala Agni
yang sudah ada dan penambahan SDM baru untuk pengendalian kebakaran
hutan/lahan tentu menambah alokasi dasar untuk gaji atau upah pegawai.
223
Begitu pula halnya dengan pengalihan pengelolaan sarpras pengendalian
kebakaran hutan/lahan dan pengadaan sarpras baru akan menambah kebutuhan
anggaran untuk operasi dan pemeliharaan (O & M). Hal tersebut pasti
meningkatkan kebutuhan fiskal daerah dan tampaknya cukup sulit untuk
diimbangi oleh kapasitas fiskal daerah sehingga diperlukan dukungan
anggaran dan seperti diatur pada Bagian Ketiga dari UU nomor 33 tahun 2004
dapat diusulkan berupa Dana Alokasi Umum (DAU).
(3) Program atau kegiatan teknis tertentu, seperti peningkatan kualitas SDM,
pengadaan sarpras, dan kebutuhan operasi pengendalian kebakaran
hutan/lahan dapat dimasukkan ke dalam kriteria teknis sesuai Pasal 40 Ayat
(4) UU nomor 33 tahun 2004 oleh Kementerian Kehutanan sehingga instansi
yang ditunjuk gubernur atau bupati/walikota tersebut dapat menerima Dana
Alokasi Khusus (DAK).
(4) Pusdalkarhutlanas bersama-sama UPT-PKHL provinsi maupun
kabupaten/kota aktif mencari peluang sumber dana dari pihak-pihak lain baik
di dalam maupun luar negeri untuk mendanai program atau kegiatan-kegiatan
yang mendukung pengembangan pengelolaan pengendalian kebakaran
hutan/lahan. Program-program yang mendapat peluang untuk memperoleh
bantuan dana ataupun bantuan teknis biasanya adalah pendidikan dan
pelatihan, penelitian, dan pengadaan sarpras.
Recommended