View
4
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gangguan Spektrum Autisme
2.1.1. Definisi
Gangguan Spektrum Autisme merupakan salah satu jenis gangguan
neurodevelopmental yang biasanya muncul sebelum usia 3 tahun. Gangguan
ini dahulu juga dikenal dengan istilah Autisme Infantil. Menurut Kriteria
ICD-X dikenal dengan istilah gangguan perkembangan pervasif.
Karakteristik dari gangguan ini adalah pada interaksi sosial, pola komunikasi,
minat dan gerakan yang terbatas, stereotipik dan diulang-ulang (Kaligis,
2017).
Kondisi seperti ini tentulah akan sangat mempengaruhi perkembangan
baik mental maupun fisik anak tersebut. Apabila tidak dilakukan intervensi
secara dini, dan tatalaksana yang tepat, sulit diharapkan perkembangan yang
optimal akan terjadi pada anak-anak ini. Mereka akan semakin terisolir dari
dunia luar dan hidup dalam dunianya sendiri, dengan berbagai gangguan
mental dan perilaku yang semakin mengganggu dan tentunya semakin
banyak dampak negatif yang akan terjadi kemudian hari (Widyawati, 2017).
2.1.2. Epidemiologi
Prevelensi di dunia dilaporkan 1 %, dengan jumlah anak laki-laki yang
lebih banyak mengalami gangguan ini. Bedasarkan data tahun 2011-2012,
prevelnsinya di Amerika Serikan pada anak laki-laki sekitar 3,23% sementara
pada anak perempuan 0,7%. Suatu penelitian retrospesifik juga mendapatkan
21
hubungan antara meningkatnya usia orang tua lebih dari 35 tahun dengan
kejadian autisme (Widyawati, 2017).
Di Indoneisa belum ada angka yang pasti mengenai prevelensi autisme
namun dari data yang ada di poliklinik Psikiatri Anak dan Remaja RSCM
pada tahun 1989 hanya ditemukan 2 pasien, dan pada tahun 2000 tercatat 103
pasien baru, terjadi peningkatan sekitar 50 kali. Dikatakan bahwa anak
laki-laki mudah mendapat gangguan fungsi otak. Namun anak perempuan
penyandang autisme biasanya mempunyai gejala yang lebih berat dan pada
test intelegensi mempunyai hasil yang lebih rendah dibanding pada anak
laki-laki (Widyawati, 2017).
2.1.3. Gambaran Klinis Anak dengan Gangguan Spektrum Autisme
1. Gangguan kualitatif pada interaksi dan komunikasi sosial
Gangguan interaksi dan komunikasi sosial merupakan katakteristik
gangguan spektrum autisme. Gejalanya termasuk gangguan pada
non-verbal yang digunakan untuk berinteraksi sosial, kegagalan dalam
membentuk hubungan sosial yang sesuai dengan tingkat
perkembangan anak, dan kurangnya minat spontanitas untuk berbagi
kesenangan, ketertarikan atau pencapaian dengan orang lain
(Widyawati, 2017).
Gambaran kualitatif pada komunikasi dapat berupa:
a. Keterlambatan atau tidak adanya sama sekali perkembangan
berbahasa untuk bicara, dan tidak disertai dengan usaha untuk
mengkompensasi keadaan terebut, misalnya anak-anak dengan
disabilitas dan sensorik biasanya akan berusaha untuk
22
mengkompensasinya dengan menggunakan cara-cara non-verbal
seperti bahasa tubuh untuk berkomunikasi (Widyawati, 2017).
b. Gangguan yang nyata pada kemampuan untuk memulai atau
mempertahankan pembicaraan, tampak pada anak gangguan
spektrum autisme yang memiliki kemampuan verbal baik. Hal ini
termasuk kurangnya kemampuan melakukan pembicaraan ringan
sehari-hari, tidak dapat memberikan informasi yang cukup, sulit
untuk menanyakan informasi dan tidak merespon komentar orang
lain secara tepat (Widyawati, 2017).
c. Bahasa yang stereotipikal, repetitif, atau idiosinkratik.
Terdapatnya ekolalia, yaitu repetisi dari kata-kata orang lain
adalah hal yang sering muncul. Kecepatan, volume dan intonasi
berbicara dapat tinggi, rendah, cepat, pelan, menyentak, monoton,
dan tampil tidak seperti pembicaraan biasa. Mungkin dapat
menciptakan kata-kata sendiri atau repetitif pada frase dan bahasa,
dapat mengulang frase yang sama, bahkan saat tidak sesuai
dengan konteks (Widyawati, 2017).
2. Gambaran klinis lainnya pada gangguan spektrum dengan autisme
i. Pola perilaku, aktifitas, dan minat yang repetitif, terbatas,
stereotipikal
ii. Gangguan kognitif
iii. Gangguan pada perilaku motorik
iv. Reaksi abnormal terhadap perangsangan indera
v. Gangguan tidur dan makan
23
vi. Gangguan afek dan mood/perasaan/emosi
vii. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan agresivitas
melawan orang lain
viii. Gangguan kejang
2.1.4. Kriteria Diagnosis Gangguan Spektrum Autisme
Kriteria Diagnosis Gangguan Spektrum Autisme Menurut DSM - V:
1. Terdapat defisit yang persisten dari komunikasi dan interaksi sosial
terhadap berbagai konteks, yang bermanifestasi sebagai berikut, pada
saat ini atau adanya riwayat (contoh adalah ilustratif, bukan secara
lengkap):
a. Defisit pada timbal balik sosial- emosional, yang misalnya
mencakup mulai dari pendekatan sosial yang abnormal dan
kegagalan dalam percakapan timbal - balik normal; hingga
berkurangnya berbagai minat, emosi, atau mempengaruhi; hingga
kegagalan untuk memulai atau merespon interaksi sosial.
b. Defisit pada perilaku komunikatif nonverbal yang digunakan
untuk interaksi sosial, yang misalnya mencakup mulai dari
buruknya integrasi komunikasi verbal dan nonverbal; hingga
abnormalitas pada kontak mata dan bahasa tubuh atau defisit
dalam memahami dan penggunaan isyarat; hingga tidak adanya
ekspresi wajah dan komunikasi nonverbal.
c. Defisit dalam mengembangkan, mempertahankan, dan memahami
hubungan, yang misalnya mencakup dari kesulitan dalam
menyesuaikan perilaku terhadap bermacam - macam konteks
24
sosial; hingga kesulitan dalam berbagi permainan imajinatif atau
dalam mencari teman; hingga tidak adanya minat terhadap teman
sebaya.
2. Pola perilaku, atau aktifitas yang terbatas atau repetitif, yang
bermanifestasi sebagai paling tidak dua dari hal berikut, pada saat ini
atau adanya riwayat (contoh adalah ilustrasi, bukan secara lengkap):
a. Gerakan motorik, penggunaan obyek, atau berbicara stereotipikal
atau misalnya repetitif misalnya stereotipe motorik simpel,
memberikan mainan atau membalikan barang, ekolalia, frase
idiosinkratik.
b. Desakan terhadap kesamaan, keterikatan yang kaku pada rutinitas,
atau pola perilaku verbal atau nonverbal, sebagai contoh adalah
tekanan yang ekstrim pada sedikit perubahan, kesulitan terhadap
transisi, pola pemikiran yang kaku, ritual dalam menyapa, harus
melalui rute yang sama atau memakan makanan yang sama setiap
hari.
c. Minat dengan keterbatasan dan fiksasi tinggi dengan intensitas
atau fokus yang abnormal, misalnya adalah keterikatan yang kuat
atau preokupasi terhadap obyek yang tidak biasa, minat yang
sangat terbatas atau perseveratif.
d. Hiper-atau hipoaktivitas terhadap input snsorik atau minat yang
tidak biasa dalam aspek sensorik dari lingkungan, sebagai contoh
adalah mengabaikan rasa nyeri/suhu, respon buruk terhadap suara
25
atau tekstur spesifik, mengendus atau menyentuh benda secara
berlebihan, kesenangan visual saat melihat cahaya atau gerakan.
3. Gejala - gejala harus ada saat periode awal perkembangan (tetapi
mungkin tidak menjadi manifestasi penuh hingga kebutuhan sosial
telah melebihi batas kapasitas, atau dapat ditutupi dengan strategi yang
dipelajari pada kehidupan mendatang).
4. Gejala - gejala menyebabkan gangguan klinis yang signifikan dalam
fungsi sosial, okupasional, atau area penting lainnya pada saat ini
5. Gangguan - gangguan tersebut tidak dapat dijelaskan lebih baik
dengan disabilitas intelektual (gangguan perkembangan intelektual)
atau keterlambatan perkembangan global. Disabilitas intelektual dan
gangguan spektrum autism biasanya terjadi secara bersamaan; dimana
untuk membuat diagnosis komorbid dari gangguan spectrum autism
dan disabilitas intelektual, komunikasi sosial harus lebih rendah
dibandingankan dengan tingkat perkembangan yang seharusnya.
Catatan: individu dengan diagnosis gangguan autistik DSM-IV yang sesuai,
gangguan Asperger, atau gangguan perkembangan pervasif yang tidak
terspesifikasikan seharusnya diberikan diagnosis gangguan spektrum
autism. Individu yang mempunyai defisit jelas pada komunikasi sosial,
tetapi dengan gejala yang tidak memenuhi kriteria gangguan spektrum
autism, harus dievaluasi untuk gangguan komunikasi sosial.
Tentukan keparahan saat ini: Keparahan berdasarkan dari gangguan
komunikasi sosial dan pola perilaku yang terbatas dan repetitif (lihat tabel)
26
Gambar 1. Severity levels for autism spectrum disorder
Sumber: DSM - V, 2013
2.1.5. Diagnosis Banding
1. Retardasi mental : keterampilan sosial dan komunikasi
verbal/nonverbal pada anak retardasi mental adalah sesuai dengan usia
mental mereka. Tes intelegensi biasanya menunjukan suatu penurunan
yang menyeluruh dari berbagai tes, berbeda dengan anak autistik hasil
tes-nya tidak menunjukkan hasil yang rata-rata sama. Kebanyakan
anak dengan taraf retardasi berat dan usia mental yang sangat rendah
menunjukkan tanda-tanda autisme yang khas, seperti gangguan dalam
interaksi sosial, stereotipi, dan buruknya kemampuan berkomunikasi
(Kaligis, 2017).
2. Skizofrenia : kebanyakan anak dengan skizofrenia secara umum
nampak normal pada saat bayi sampai akhir usia 2-3 tahun, dan baru
27
kemudian muncul halusinasi dan waham, gejala yang tidak terdapat
pada autisme. Gejala negatif skizofrenia (mis., Penurunan fungsi
normal) seperti pembatasan dalam ekspresi emosional, kelancaran
bicara, dan perilaku yang diarahkan pada tujuan, dll (Suthar, 2020).
3. Gangguan perkembangan bahasa: kondisi ini menunjukkan adanya
gangguan pada pemahaman dan dalam mengekspresikan pembicaraan.
Namun berkomunikasi nonverbal-nya baik, dengan memakai gerakan
tubuh dan ekspresi wajah. Juga tidak ditemukan adanya stereotipi dan
gangguan yang berat dalam interaksi sosial (Suthar, 2020).
4. Sindrom Landau - Kleffner: afasia yang didapat dengan epilepsi atau
sindrom Landau-Kleffner ditandai oleh perkembangan normal pada
usia tiga sampai empat tahun diikuti oleh gangguan pada bahasa
reseptif, dan kemudian ekspresif, ditandai dengan adanya kejang atau
gambaran elektroencefalogram yang abnormal (Fuentes, 2014).
5. Gangguan kelekatan yang reaktif: suatu gangguan dalam hubungan
sosial pada bayi dan anak kecil. Keadaan ini dikarenakan pengasuhan
yang buruk, sehingga dengan terapi dan pengasuhan yang baik dan
sesuai, kondisi ini dapat kembali normal (Fuentes, 2014).
6. Semua gangguan yang termasuk dalam kelompok Gangguan
Perkembangan Pervasif: Sindrom Asperger, Sindrom Rett, Autisme
Tak Khas, Gangguan Desintegratif Masa Kanak (Matson, 2015).
7. Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH): banyak
anak autisme yang juga mempunyai gejala hiperaktif, implusif, dan
inatensi, namun dangan pemngamatan klinis yang teliti akan tampak
28
bedanya dengan GPPH. Pada GPPH anak masih mempunyai interaksi
sosial yang baik, komunikasi non verbal yang baik dan minat/aktivitas
motorik yang sesuai dan terarah, ada tujuan walau tidak sesuai
(Fuentes, 2014).
2.1.6. Terapi
Tujuan dari terapi pada gangguan autistik adalah untuk:
1. Mengurangi masalah perilaku
2. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama
dalam penguasaan bahasa
3. Mampu bersosialisasi dan beradaptasi di lingkungan sosialnya.
Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi
yang menyeluruh dan bersifat individu, dimana pendidikan khusus dan
terapi wicara merupakan komponen yang penting. Namun tidak boleh
dilupakan adalah bahwa masing - masing inividu anak adalah unik, sehingga
jangan beranggapan bahwa satu metode berhasil untuk satu anak berarti
metode tersebut akan berhasil pula untuk anak yang lain. Akan lebih
bijaksana bila metodenyalah yang disesuaikan untuk si anak, bukan anak
yang harus menyesuaikan diri untuk metode terapi tertentu (Kaligis, 2017).
1. Pendekatan Edukatif
Prinsip pendekatan edukatif sangat tergantung pada
kondisi/ringannya gangguan yang ada. Pada ank yang mempunyai
intelegensi normal - tinggi sebaiknya tetap dimasukkan ke sekolah
formal umum, sedangkan yang mempunyai intelegensi di bawah
29
rata - rata normal sebaiknya bersekolah di SLB-C, tentu dengan
catatan perilaku dan emosinya telah terkendali (Kaligis, 2017)
Idealnya anak ikut serta menyusun pelatihan dengan tujuan agar
ia dapat mengatur sendiri pikiran dan tindakannya, dengan harapan
ia dapat memperoleh kemampuan untuk bekerja mandiri.
Pendekatan ini tentunya membutuhkan suatu kelas yang
perbandingan murid dan gurunya rendah. Contoh: Treatment and
Education of Autistic and Related Communication Handicapped
Children (TEACCH). Dalam pelajaran bahsa, anak lebih mudah
mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi bila fokus
pembicaraan mengenai hal - hal yang ada didalam kehidupan sehari
- hari (Subramanyam, 2019).
2. Terapi Perilaku
Dengan modifikasi perilaku yang spesifik, yang telah
disesuaikan dengan kebutuhan anak, diharapkan dapat membantu
anak autistik dalam mempelajari perilaku yang diharapkan dan
membuang perilaku yang bermasalah. Beberapa jenis terapi perilaku
yang digunakan menurut Center for Disease Control and Prevention
(CDC) :
a. Metode ABA (Applied Behavioral Analysis): terapi dilakukan
dengan memberikan positive reinforcement bila anak menuruti
perintah terapis. Disini anak diarahkan untuk mengubah
perilaku yang tidak diinginkan dan menggantikannya dengan
perilaku yang lebih bisa diterima.
30
b. Metode Option: lebih child centered, dimana terapis selalu
mengikuti perilaku anak. Yang ditekankan disini adalah
“acceptance” and “love”. orang tua justru harus berusaha untuk
masuk kedalam dunia anak tersebut.
c. Metode Floor Time. Ini sejenis terapi bermain yang dilakukan
pada anak.
3. Terapi khusus
Terapi wicara, terapi okupasi, sensori integrasi dan fisioterapi.
Dari satu penelitian pada anak autistik didapatkan hasil: 9% tidak
dapat bicara, dengan intervensi yang sesuai ada harapan anak
autistik dapat belajar bicara (Hasnita, 2015).
4. Psikoterapi
Dengan adanya pengetahuan tentang faktor biologi pada
autisme, psikodinamik psikoterapi yang dilakukan pada anak yang
masih kecil termasuk disini terapi bermain yang tidak terstruktur,
adalah tidak sesuai lagi. Psikoterapi individual, baik dengan atau
tanpa obat, mungkin lebih sesuai pada mereka yang telah
mempunyai fungsi hati lebih baik, saat usia mereka meningkat,
mungkin timbul perasaan cemas dan depresi ketika mereka
menyadari kelainan dan kesukaran dalam membina hubungan
dengan orang lain (Kaligis, 2017).
5. Terapi Obat
Menurut CDC, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan
autisme atau mengobati gejala inti. Namun, ada obat yang dapat
31
membantu beberapa orang dengan autisme. Misalnya, pengobatan
dapat membantu mengelola tingkat energi yang tinggi,
ketidakmampuan untuk fokus, kegelisahan dan depresi, reaktivitas
perilaku, cedera diri, atau kejang.
Pemeriksaan lengkap dari kondisi fisik dan laboratorium harus
dilakukan sebelum memulai pemberian obat - obatan. Periode
istirahat dari obat, setiap 6 bulan, dianjurkan untuk menilai lagi
apakah obat masih diperlukan dalam terapi. Orang tua dan terapis
harus memantau dengan cermat perkembangan dan reaksi anak saat
dia sedang minum obat untuk memastikan bahwa efek samping
negatif dari perawatan tidak melebihi manfaatnya.
Menurut National Institute of Child Health and Human
Development (NICHD), obat - obat yang digunakan antara lain :
A. Antipsikotik - memblok reseptor dopamin
Risperidone efektif untuk terapi anak gangguan spektrum
autisme yang disertai dengan emosi dan perilaku yang
maladaptif, seperti tantrums, agresivitas, dan perilaku yang
membahayakan diri sendiri, iritabel, stereotipik, hiperaktif, dan
gangguan komunikasi. Beberapa antipsikotik atipikal lain juga
mempunyai efek positif namun masih diperlukan penelitian
lebih lanjut:
- Olanzapine (Zyprexa): beberapa penelitian menunjukan adanya
perbaikan dalam iritabilitas, hiperaktivitas, bicara yang
32
berlebihan, dan komunikasi. Efek samping yang sering muncul
penambahan BB dan mengantuk .
- Aripiprazole (Abilify): mempunyai efek terapi yang hampir
sama.
B. SSRI - merupakan selective serotonin reuptake inhibitor
Fluoxetine (prozac), sertralin (Zoloft), fluvoxamine (Luvox),
sangat efektif untuk depresi, cemas, dan obsesif, juga
meningkatkan perilaku secara umum menjadi lebih terkendali,
interest yang terbatas, inatensi, hiperaktif, labilitas mood,
proses belajar, bahasa, dan sosialisasi.
C. Antikonvulsan - hampir sepertiga orang dengan gejala autisme
mengalami kejang atau gangguan kejang
D. Antiansietas - kelompok obat ini dapat membantu meringankan
kecemasan dan gangguan panik, yang sering dikaitkan dengan
gangguan spektrum autisme.
E. Naltrexone - antagonis opioida
F. Andtidepresan - Clomipramine
G. Clonidine - menurunkan aktivitas noradrenergik.
2.1.7 Pendidikan Bagi Penyandang Autisme
Pendidikan bagi anak autisme memiliki tujuan agar anak mandiri
dalam memenuhi kebutuhannya sendiri/melakukan aktivitas mengurus diri
sendiri, dengan tujuan khusus agar anak mampu berkomunikasi dengan
baik dan mampu bersosialisasi (Goldstein, 2018). Prinsip - prinsip untuk
pembelajaran anak autis, meliputi:
33
1. Terstruktur
Materi pengajaran dimulai dari bahan ajar yang paling mudah dan
yang dapat dilakukan oleh anak. Setelah kemampuan tersebut
dikuasai, selanjutnya ditingkatkan ke bahan ajar yang setingkat
diatasnya yang masih merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan
dari materi sebelumnya. Struktur pengajarannya meliputi; struktur
waktu, struktur ruang, dan strutur kegiatan.
2. Terpola
Pada umumnya kegiatan anak autis terbentuk dari rutinitas yang
terpola dan terjadwal, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Oleh karena itu, dalam pendidikannya harus dikondisikan atau
dibiasakan dengan pola yang teratur. Untuk anak autis yang
kemampuan kognitifnya telah berkembang, dapat dilatih dengan
memakai jadwal yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
lingkungannya, agar anak dapat menerima perubahan dari rutinitas
yang sudah berlaku agar menjadi lebih fleksibel. Dengan demikian
diharapkan anak autis akan menjadi lebih mudah menerima
perubahan, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya
(adaptif) dan dapat berperilaku secara wajar (sesuai dengan tujuan
pembelajarannya) .
3. Teprogram
Dalam program materi pendidikannya harus dilakukan secara
bertahap dan berdasarkan pada kemampuan anak, sehingga target
program pertama akan menjadi dasar target program yang kedua,
34
dan seterusnya. Prinsip dasar terprogram ini berguna untuk memberi
arahan dari tujuan yang ingin dicapai dan memudahkan dalam
melakukan evaluasi (Goldstein, 2018).
4. Konsisten
Konsisten artinya tetap dalam berbagai hal, ruang, dan waktu.
Konsisten bagi guru berarti tetap dalam bersikap, merespon dan
memperlakukan anak sesuai dengan karakter dan kemampuannya.
Konsisten bagi anak artinya tetap dalam menguasai kemampuan
sesuai dengan stimulan yang muncul dalam ruang dan waktu yang
berbeda. Peran orang tua dituntut konsisten dalam pendidikan bagi
anaknya, yakni dengan bersikap dan memberikan perlakuan
terhadap anak sesuai dengan program pendidikan yang telah disusun
bersama dengan gurunya (Goldstein, 2018).
5. Kontinyu
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autis bersifat kontinyu, artinya
berkesinambungan antara prinsip dasar pengajaran, program
pendidikan dan pelaksanaannya. Kontinyu dalam pelaksanaan
pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga harus ditindak lanjuti
di rumah dan lingkungan sekitar anak agar berkesinambungan,
simultan dan integral (menyeluruh dan terpadu) (Goldstein, 2018).
Ada beberapa gaya belajar yang dominan pada anak autis yang
dapat dijadikan acuan dalam pengembangan pembelajaran. Beberapa gaya
belajar yang dominan tersebut menurut Susman (dalam Buku Pedoman
Penanganan dan Pendidikan Autisme YPAC, 2015) antara lain adalah :
35
1. Rote Learner
Anak yang menggunakan gaya belajar ini cenderung menghafalkan
informasi apa adanya, tanpa memahami arti simbol yang mereka
hapalkan.
2. Gestal Learner
Anak cenderung belajar melihat sesuatu secara global. Anak
menghafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti
kata-per-kata yang terdapat pada kalimat tersebut.
3. Visual Learner
Anak dengan gaya belajar visual senang melihat-lihat buku atau
gambar atau menonton TV, pada umumnya lebih mudah mencerna
informasi yang dapat mereka lihat dari pada yang hanya mereka
dengar.
4. Hand on Learner
Anak yang belajar dengan gaya ini, senang mencobacoba dan
biasanya mendapatkan pengetahuan melalui pengalamannya.
Mulanya mungkin ia tidak tahu apa arti kata ”buka”, setelah
tangannya diletakkan di pegangan pintu dan membantu tangannya
membuka pintu sambil kita katakan ”buka”, ia segera tahu bahwa
bila kita mengatakan ”buka” berarti ...ia kepintu dan membuka pintu
itu.
36
5. Auditory Learner
Anak dengan gaya belajar ini senang bicara dan mendengarkan
orang lain bicara. Anak mendapatkan informasi melalui
pendengarannya.
6. Visual Thinking
Anak dengan gaya berfikir seperti ini lebih mudah memahami
hal-hal yang konkrit (dapat dilihat dan dipegang) dari pada hal yang
abstrak.
7. Processing Problems
Anak dengan gaya belajar ini sulit memahami informasi verbal yang
panjang. Mereka cenderung terbatas dalam memahami dan
menggunakan akal sehat/nalarnya.
8. Sensory Sensitivities
a. Sound Sensitivity
Takut berlebihan pada suara yang keras/bising, sehingga membuat
mereka bingung, merasa cemas atau terganggu yang
termanifestasikan dalam bentuk perilaku yang buruk.
b. Touch Sensitivity
Anak memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan yang terwujud
dalam bentuk masalah perilaku. Apabila anak terganggu dengan
sentuhan kita, maka pelukan kita justru ia artikan sebagai hukuman
yang menyakitkan.
9. Communications Frustrations
37
Mereka dapat mengerti orang lain, bila orang lain bicara langsung
pada mereka, seolah mereka tidak mendengar. Anak autis juga sulit
mengungkapkan diri, oleh karena itu lalu berteriak atau berperilaku
negative hanya sekedar untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkan.
10. Social and Emotional Issues
Keterpakuan akan sesuatu yang membuat anak autis cenderung
berfikir kaku. Akibatnya, anak autis sulit adaptasi atau memahami
perubahan yang terjadi di lingkungan sehari-hari .
Individu autis lebih mudah belajar dengan melihat (visual
learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk
mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar,
misalnya dengan metode PECS (Picture Exchange Communication System).
Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan
ketrampilan komunikasi. Contoh lain menggunakan Computer picture
(Banire, 2015.)
Anak-anak dengan autisme memiliki kekuatan dalam beberapa
keterampilan seperti pemrosesan visual (Grandin dalam Alter-Muri, 2017)
dan memori hafalan, sementara beberapa kelemahan mereka adalah
perhatian pada tugas belajar dan pemrosesan audio( Alter-Muri, 2017).
Gaya visual ini dipertimbangkan untuk memfasilitasi pemahaman
dalam pembelajaran. Video representasional diadopsi dari teknik
pemodelan video dimana ia digunakan untuk ilustrasi konten dalam belajar
untuk anak-anak dengan autisme yang mendukung kebutuhan mereka akan
38
skenario nyata (memberi mereka perhatian selektif) dalam tampilan visual
(Banire, B, 2015).
39
2.1.8 Teori Neuroplastisitas Pada Autisme
Neuroplastisitas ditetapkan sebagai kemampuan reorganisasi
fungsional dalam jaringan saraf, dimediasi oleh perubahan sirkuit saraf.
Belajar adalah produk sampingan dari neuroplastisitas. Dengan kata lain,
neuroplastisitas bergantung pada pengalaman, dan terapi perilaku adalah
kunci untuk meningkatkan reorganisasi otak. Konsep neuroplastisitas
menyiratkan bahwa otak pada dasarnya melakukan perbaikan sendiri
dengan menyesuaikan "geografi" dalam hal representasi kortikal
berdasarkan perubahan lingkungan. Sekarang diketahui bahwa keterlibatan
dalam berpikir, bertindak, dan belajar menghasilkan perubahan signifikan
pada struktur dan fungsi fisik otak (Debowska, 2016).
Gejala-gejala perilaku Autisme Spectrum Disorder (ASD) mulai
muncul di beberapa tahun pertama kehidupan ketika perkembangan otak
terjadi dengan sangat cepat (Losardo, 2016). Studi neuroimaging struktural
pada ASD secara konsisten melaporkan perkembangan otak terjadi antara 2
dan 5 tahun. Pertumbuhan kortikal atipikal ini tampaknya paling jelas di
lobus frontal; Namun, area lain seperti otak kecil dan sistem limbik telah
diidentifikasi.
Di lobus frontal, kelainan berkaitan dengan pembelajaran dan
pemecahan masalah, fungsi eksekutif, dan respons sosial-emosional. Selain
itu, kelainan ini dianggap berkontribusi pada ketidak mampuan untuk
menafsirkan keadaan emosional orang lain yang mengakibatkan kesulitan
memusatkan perhatian, perilaku sosial-emosional, dan perilaku komunikasi
sosial. Meskipun tidak dipahami dengan baik, otak kecil dianggap
40
Gambar 2. Strategi Intervensi untuk Mendukung Neuroplastisitas
memainkan peran dalam memproses bahasa, keterampilan
visuospatial, dan fungsi eksekutif (Losardo, 2016).
Beberapa penelitian telah dilakukan pada pengembangan
keterampilan verbal pada populasi anak-anak dengan autisme di bawah
usia 3. Teori yang berkaitan dengan neuroplastisitas dan perkembangan
otak sebelum usia 3 tahun mendukung gagasan periode kritis di mana
sirkuit kortikal di otak disempurnakan berdasarkan pengalaman. Salah satu
tanggung jawab dokter adalah memberikan stimulasi yang akan
menghasilkan perubahan positif pada struktural dan kimia di otak untuk
secara positif mengubah manifestasi klinis ASD. Peningkatan yang cukup
besar dalam keterampilan komunikasi anak-anak muda dengan autisme
dapat dikaitkan dengan intervensi awal yang diberikan sebelum usia 4
tahun dan keterlibatan pengasuh dan praktisi dalam proses intervensi
(Losardo, 2016).
41
2.2. Neuro Linguistik Programming
2.2.1 Definisi
Neurolinguistik adalah suatu bidang kajian dalam ilmu linguistik
yang membahas struktur otak yang dimiliki seseorang untuk memproses
bahasa, termasuk di dalamnya gangguan yang terjadi dalam memproses
bahasa (Sastra, 2011). Neurolinguistik berasal dari dua cabang ilmu, yaitu
bidang ilmu neurologi dan bidang ilmu linguistic. Neurologi, sasaran kajian
atau obyek kajiannya adalah anatomi saraf otak manusia (bidang ilmu
kedokteran), sedangkan linguistic, obyek kajiannya adalah bahasa.
Neurologi dan Linguistik bekerja sama dalam bidang pragmatic
(interdisipliner), sehingga melahirkan ilmu baru yang bernama
“Neurolinguistik”, yaitu ilmu tentang hubungan antara bahasa dan saraf
otak (Nur, 2016). Neurolinguistik adalah cabang linguistik yang
mempelajari prakondisi neurologis untuk perkembangan bahasa (Sastra,
2011)
Istilah Neuro Linguistik Programming atau NLP menekankan tiga
tema; bagian "neuro" mengimplikasikan anggapan bahwa semua perilaku
berasal dari proses neurologis, seperti visual, audio, taktil, penciuman,
dan pengecapan. Dengan bantuan panca indera, orang merasakan dunia,
menerima informasi, dan kemudian menggunakan informasi terapeutik ini.
Bagian "linguistik" menyiratkan gagasan bahwa individu menggunakan
bahasa untuk menyesuaikan perilaku dan pikirannya sendiri, dan untuk
menjalin komunikasi dengan orang lain. Bagian "Pemrograman" termasuk
42
memilih cara-cara di mana seseorang dapat memperoleh hasil yang
dimaksudkan untuk mengatur perilaku (Abdivarmazan, 2016)
Dari uraian tersebut dapat didefinisikan bahwa NLP merupakan
sebuah model yang memprogram interaksi antara pikiran dan bahasa
(verbal dan nonverbal) sehingga dapat menghasilkan pikiran dan perilaku
yang diharapkan. tujuan NLP di antaranya adalah membantu manusia
berkomunikasi lebih baik dengan diri mereka sendiri, mengurangi
ketakutan tanpa alasan, mengontrol emosi negatif, stres, dan kecemasan
(Abdivarmazan, 2016).
Dengan melakukan cara ini, orang merasa, berpikir, berbicara, dan
dengan demikian mampu mengatur diri sendiri dan mempengaruhi orang
lain. NLP mencari hubungan antara pemikiran, ucapan (linguistik), dan
pola perilaku (Farhadi, 2016)
2.2.2. Pilar NLP
Ada empat pilar yang penting diperhatikan dalam Neuro Linugistik
Prgoram (NLP). Pilar-pilar tersebut menjadi syarat utama yang harus
dimiliki untuk mencapai perubahan diri sesuai apa yang diinginkan.
(O’Conner, 2011). Keempat pilar tersebut, adalah:
1. Outcome (Tujuan atau Hasil Spesifik yang ingin dicapai).
Outcome adalah tujuan atau hasil. NLP memaknainya sebagai
suatu kondisi yang ingin dicapai oleh diri kita, dan tidak hanya
berwujud sebagai sesuatu yang tampak, melainkan juga termasuk
perasaan puas yang muncul karena keberhasilan yang telah dicapai.
Dalam menerapkan NLP, menentukan hasil spesifik sangatlah
43
penting karena akan menjadikan konsep maupun teknik yang
diterapkan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Dengan
tujuan yang spesifik dan teknik yang sesuai hasil akhirnya pun bisa
bertahan lebih lama.
2. Rapport (membangun kedekatan).
Rapport bisa juga diartikan sebagai hubungan keakraban.
Pembangunan rapport yang berhasil adalah yang bisa membuat
lawan komunikasi/lawan bicara kita menjadi lebih nyaman sehingga
proses komunikasi antar kita berjalan lancar dan efektif. Oleh karena
itu, pada saat kita berhasil menciptakan rapport pada lawan
komunikasi kita, maka kondisi lawan bicara merasa pada situasi
yang bebas sehingga dia bebas berbicara, menyampaikan semua
unek-unek yang ada dalam pikirannya tanpa dia menyembungikan
sesuatu, karena apapun yang dia kemukakan tetap mendapat
respon/tanggapan yang baik dari kita. Rapport berperan layaknya
sebuah jembatan yang menghubungkan jarak panjang antara
pembicara dan lawan bicara menuju sikap saling pengertian dan
proses intervensi yang tepat sasaran (O’Conner, 2011).
Ada tiga teknik dalam membangun rapport, yakni
pacing-leading, matching dan mirroring. Dalam NLP Pacing bisa
diartikan dengan menyamakan atau menyelaraskan, langkah
menyamakan model dunia yang dimiliki orang lain. (Widodo (2008)
dalam Sailendra, 2014:71). Adapun Leading artinya memimpin.
Selanjutnya pacing dapat dilakukan dengan cara memberi umpan
44
balik pada komunikasi verbal dan nonverbalnya, sebuah perasaan
akrab. Dengan demikian dapat diberikan umpan balik, seperti
mengangguk-angguk, menatap mata lawan bicara, tersenyum ketika
ia berhenti bicara, memberi komentar, menjawab pertanyaan, atau
meyampaikan afirmasi.
Kemudian, upaya mengajak lawan bicara ke arah yang kita
rancang, itulah yang disebut leading. Matching dan mirroring bisa
diartikan sebagai proses memahami orang lain dengan cara
menyamakan proses berpikir, berbicara, dan bertindak.Untuk
mempraktekkan matching dan mirroring, yaitu dengan melakukan
pengamatan terhadap lawan bicara, yakni dari segi fisiologi, suara,
posisi tubuh, gerakan tubuh, ekspresi wajah, gerakan mata, kata-kata
yang diucapkan, gerakan kepala, dsb. Apabila lawan bicara
mengikuti apa yang kita lakukan, berarti kita sudah berhasil
membangun rapport dengan baik.
3. Sensory Acuity (Kepekaan yang tinggi)
Pilar yang ketiga ini adalah sensory acuity, yakni melibatkan
kemampuan penggunaan panca indra dalam mengamati lawan
bicara secara cermat tanpa asumsi ataupun penilaian tertentu
sebelumnya sehingga lawan bicara dapat memberikan respon
dengan rapport yang maksimal. Setiap pencapaian yang diinginkan
hendaknya dapat terukur secara indrawi. Kepekaan yang tinggi yang
kita miliki membawa kita menuju tujuan yang sudah ditentukan
sebelumnya menjadi lebih dekat. Oleh karena itu, dengan kepekaan,
45
kita akan tahu perkembangan yang kita lakukan, sudah sejauh mana
kita melangkah di jalur yang tepat. Kunci dari keakraban adalah
pemahaman, dan kunci dari pemahaman adalah kepekaan
(O’Conner, 2011).
4. Fleksibilitas (Fleksibel/tidak kaku)
Dibutuhkan sikap fleksibel (tidak kaku) dalam proses mencapai
perubahan atau hasil akhir yang diinginkan, karena dalam perjalanan
mencapai perubahan itu, akan ada beberapa hal tak terduga dari
bermacam kondiisi lingkungan yang ada. Dalam menerapkan NLP,
pilar yang keempat ini sangat penting dalam menyikapi sebuah
masalah. Jika sebuah masalah yang dihadapi pembicara terhadap
lawan bicaranya, apabila tidak berhasil dengan satu cara, maka
hendaklah menggunakan cara lain. Inilah yang dimaksud dengan
fleksibel dalam NLP, yakin bahwa jika sesuatu yang sudah
dirumuskan dengan baik, tidak pernah ada tujuan yang tidak bisa
dicapai. Cara mencapai tujuan itulah diperlukan strategi yang tepat
berdasarkan situasi dan kondisi lawan bicara/lawan komunikasi
(O’Conner, 2011)
46
2.2.3 Model NLP
NLP memiliki beberapa model utama, diantaranya: Meta Model,
Represantional System Model,Milton Model.
1. Meta Model
Menurut Andreas (2003) (dalam O’Conner, 2011), Meta Model
dijelaskan sebagai berikut: "Orang merespons peristiwa berdasarkan
gambar internal mereka, suara dan perasaan. Mereka juga
mengumpulkan pengalaman ini ke dalam kelompok atau kategori
yang diberi label dengan kata-kata. Meta Model adalah metode
untuk membantu seseorang beralih dari peta informasi- kata kunci
kembali ke pengalaman berbasis sensorik spesifik yang menjadi
basisnya. Di sinilah dalam pengalaman spesifik yang kaya informasi
bahwa perubahan yang bermanfaat dapat dilakukan yang akan
menghasilkan perubahan perilaku”. Tujuan Meta Model bukanlah
untuk menemukan jawaban yang 'benar', tetapi untuk mengajukan
pertanyaan yang lebih baik - untuk memperluas peta dunia kita dari
pada untuk menemukan 'peta dunia yang tepat'.
Filosofi dari konsep Meta-Model adalah diyakini bahwa
manusia saat merekam realita (external world) adalah berupa
kesatuan utuh, akan tetapi saat mereka mengungkapkannya kembali
secara verbal, biasanya dalam konteks tertentu, maka terjadi proses
pelucutan dari kesatuan utuh yang ada sebelumnya, dimana dikenal
dengan proses yang diistilahkan sebagai : Distortion, Deletion, dan
Generalization. Teknik Meta-Model adalah sebuah analisa praktis
47
linguistik untuk membantu seseorang agar kembali melengkapi
suatu hal yang mungkin telah dilucuti oleh proses : Distortion,
Deletion, dan Generalization tersebut (O’Conner, 2011).
2. Representational System
Bradbury (dalam O’Conner, 2011) berpendapat bahwa
Representational System pada dasarnya adalah penggunaan panca
indera seseorang. Dengan demikian, ada tiga bagian dari
representational system yang utama: Auditorik (suara), Kinestetik
(perasaan, sentuhan dan emosi), Visual (gambar), dan dua sistem
lain yang cenderung lebih jarang digunakan, setidaknya di
masyarakat negara - negara bagian barat: Penciuman dan
Pengecapan. Representational system juga berkaitan dengan
penggunaan bahasa verbal dalam pembelajaran yang bergantung
pada gaya belajar yang dikuasai oleh masing-masing individu,
seperti gaya visual, audiori atau kinestetik.
Bradbury mengklarifikasi bahwa manusia menggunakan panca
indera mereka untuk mengumpulkan dan memproses semua
informasi sensorik. Meskipun mereka menggunakan semua panca
indera mereka sepanjang waktu, beberapa orang cenderung hanya
dapat fokus menggunakan satu atau dua dari bagian representational
system mereka, tergantung pada konteks yang ada. Misalnya, jika
seseorang sedang duduk di rumah, mendengarkan radio, dia
mungkin lebih fokus pada apa yang didengar. Tetapi jika orang itu
tiba-tiba mencium (atau paling tidak mengira dia mencium) sesuatu
48
yang terbakar, dia mungkin dengan cepat memfokuskan kembali
perhatiannya pada apa yang dia cium, sampai dia menemukan
darimana asal bau terbakar itu datang (O’Conner, 2011)
3. Milton Model
Milton Model merupakan model komunikasi yang lebih dikenal
dengan Hypnotic Language Pattern. Milton Model merupakan hasil
dari permodelan Milton H. Erickson yang lebih dikenal sebagai
legenda dalam dunia Hypnotherapi Modern. Ketika Meta Model
digunakan untuk mendetailkan suatu informasi, berbeda dengan
Milton Model yang justru menggunakan informasi yang abstrak
yang bertujuan untuk membuat seseorang masuk pada kondisi
“Trance” atau berada di alam bawah sadar, sehingga setiap sugesti
yang diberikan dapat masuk dengan sedikit intervensi (O’Conner,
2011).
Trance dapat digambarkan sebagai suatu kondisi dimana
seseorang fokus pada sesuatu hal (Fokus Tunggal). Sehari-hari
manusia mengalami trance secara alamiah dan terus berpindah
kondisi dari normal – trance – normal. Trance juga dapat dicapai
dengan induksi hypnosis. Contoh kondisi trance sehari-hari; Ketika
anda sedang asik membaca buku atau nonton televisi, anda mungkin
tidak menyadari kondisi sekitar anda, inilah salah satu kondisi
trance, tanpa anda sadari informasi pada buku atau film tersebut
masuk pada pikiran bawah sadar anda, atau ketika anda sedang
berjalan disuatu pusat perbelanjaan, dan tanpa sengaja anda melihat
49
suatu iklan yang menarik dan sesuai dengan “keinginan” anda,
kemudian tanpa disadari anda pun mencari informasi tentang produk
itu lebih lengkap lagi.
Dapat dikatakan setiap hari manusia masuk pada kondisi trance
tanpa disadari, dan komunikator handal mampu
memanfaatkan kondisi trance tersebut. Milton Model digunakan
untuk menciptakan dan memanfaatkan kondisi trance, sehingga
informasi yang hendak disampaikan dapat masuk pada lapisan
pikiran bawah sadar seseorang (Subconscious Mind) (O’Conner,
2011).
2.3 Hubungan Otak dan Bahasa
Untuk mengetahui bagaimanakah hubungan bahasa dengan otak melalui
sudut pandang neurolinguistik, maka di bawah ini akan dibahas pengertian
bahasa (Budianingsih, 2015).
Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi. Bahasa
adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu
masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya,
berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. Pendapat bahasa
menurut Brown adalah seperangkat symbol (vokal maupun visual) yang
sistematis, memasukan, mengkonvensionalkan makna kata yang dirujuk, dan
dipakai untuk berkomunikasi oleh manusia, dalam sebuah komunitas atau
budaya wicara, dan dikuasai oleh semua orang dalam cara yang sama
(Mayberry et al., 2018).
50
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diartikan bahwa bahasa adalah
suatu sistem lambang atau simbol yang sistematis yang digunakan oleh suatu
komunitas bahasa dan dikuasai oleh semua orang dalam cara yang sama untuk
berkomunikasi (Budianingsih, 2015).
Perihal bagaimana otak manusia menghasilkan dan memproses bahasa
dikaji dalam neurolinguistik sebagai perkembangan dari psikolinguistik. Dalam
hal ini yang perlu diangkat bukanlah perbedaan pengaruh otak kanan dan otak
kiri pada perilaku manusia, melainkan bagaimana secara anatomis hemisfer
kanan dan kiri bekerjasama dalam mengolah informasi kebahasaan. Inilah yang
menjadi fungsi utama corpus callosum yang menjadi panel penghubung kedua
sisi hemisfer (Schovel, dalam Rohmani 2017).
Untuk komunikasi linguistik pada bagian cortex otak dikenal dua area
yang dinamakan area Broca dan Wernicke. Paul Broca, ilmuwan Prancis, yang
juga sebagai penemu istilah aphasia, hilangnya kemampuan berbicara atau
berbahasa akibat cidera otak, menamai area dasar motor cortex yang
mempengaruhi kefasihan berbicara. Kerusakan pada area Broca berakibat pada
kemunduran kemampuan baca tulis, keraguan berbicara dan bahkan pada
beberapa kasus muncul gagap. Namun demikian kemampuan memahami
bahasa tidak bermasalah. Apabila cidera otak terjadi pada bagian belakang
telinga, yaitu pada area Wernicke, akibatnya akan berbeda. Karl Wernicke,
penerus Broca yang berasal dari Austria, meneliti dampak cidera pada sensory
cortex. Penderitanya akan mengalami kesulitan dalam mengolah masukan
linguistik meskipun secara umum kemampuan baca tulis tidak terlalu
terpengaruh. Penderita Wernicke’s aphasia lebih fasih daripada penderita
51
Broca’s aphasia, namun demikian cara bicaranya cenderung bergumam dan
tidak jelas ke mana arah pembicaraan yang dimaksudnya (Sastra, 2011).
Area utama untuk pemahaman bahasa disebut area Wernicke dan terletak
di belakang korteks auditorik primer pada bagian posterior girus temporalis di
lobus temporalis. Regio ini merupakan regio yang paling penting di seluruh
otak untuk fungsi intelektual yang lebih tinggi karena hampir semuanya
didasarkan pada bahasa. Pada bagian posterior area pemahaman bahasa,
terutama terletak di regio anterolateral pada lobus oksipitalis, terdapat area
asosiasi pengelihatan yang mencerna informasi pengelihatan dari kata-kata yang
dibaca ke dalam area Wernicke, yakni area pemahaman bahasa. Girus yang
disebut girus angularis diperlukan untuk mengartikan kata-kata yang diterima
secara visual. Bila area ini tidak ada, seseorang masih dapat memiliki
pemahaman bahasa yang sangat baikdengan cara mendengar tetapi tidak dengan
cara membaca (Mayberry et al., 2018).
Di daerah paling lateral dari lobus oksipitalis anterior dan lobus
temporalis posterior terdapat area untuk memberi nama suatu objek.
Nama-nama ini terutama dipelajari melalui input pendengaran sedangkan sifat
fisik suatu objek dipelajari terutama melalui input visual. Selanjutnya
nama-nama penting untuk pemahaman bahasa visual dan pendengaran dimana
fungsi yang dilakukan oleh area Wernicke terletak tepat di superior regio
penamaan auditoris dan di anterior dari area pemrosesan kata visual (Mayberry
et al., 2018).
Regio khusus pada korteks frontalis yang disebut area Broca
memilikilintasan saraf untuk pembentukan kata. Area ini sebagian terletak di
52
korteks prefrontal bagian posterior lateral dan sebagian lagi terletak di area
premotorik. Diarea ini rancangan dan pola motorik untuk menyatakan kata-kata
atau bahkan kalimat pendek dicetuskan dan dilaksanakan. Area ini bekerja sama
dengan area Wernicke di korteks asosiasi temporal (Sastra, 2011).
Cidera pada otak berakibat fatal terhadap perkembangan dan
kemampuan berbahasa. Adanya kelainan dalam sistem otak yang kompleks
dipelajari dalam relasi neuropatologi dan gangguan komunikasi. Gleason dan
Ratner (dalam Rohmani 2017) menjelaskan bahwa terdapat penyebab cidera
otak selain kecelakaan yaitu karena adanya penyakit cerebrovascular yang
membunuh jaringan saraf dan memotong aliran darah ke otak yang
membutuhkan suplai glukosa dan oksigen. Penyakit lainnya yaitu trauma, tumor
dan hydrosephalus yang menggerogoti jaringan saraf sehingga fungsinya
terganggu. Penyakit lain seperti multiple sclerosis mengikis lapisan myelin pada
otak sehingga hubungan antar saraf terganggu. Penyakit Hutington dan
Parkinson juga muncul akibat ketidaksingkronan hubungan antar saraf. Relasi
antara cidera otak dan gangguan berkomunikasi ditunjukkan pada tabel berikut.
53
Gambar 3. Relasi Cidera Otak dan Gangguan KomunikasiSumber: Rohmani, 2017
Cidera pada otak sebagaimana yang dijelaskan di atas mengarah pada
hilangnya kemampuan berbahasa. Kompleksitas bahasa manusia tercermin dari
munculnya beberapa anomali komunikasi seperti yang dicontohkan pada tabel
di atas. Selain itu, dalam neurolinguistik telah dikaji bahwa kemampuan
berbahasa sangat dipengaruhi oleh kemampuan otak memproses informasi.
Sebagaimana yang dibuktikan dalam beragam aphasia, kemampuan berbahasa
lebih banyak dipengaruhi hemisfer kiri. Namun dari beberapa bukti
keberhasilan operasi otak ternyata dapat disimpulkan bahwa kemampuan
berbahasa dan berbicara tidak mutlak terpusat pada satu area sisi otak. Pada
anak kecil, awalnya fungsi kebahasaan dikendalikan oleh kedua belah hemisfer.
Dalam perkembangannya kendali itu akan menyempit sehingga lebih cenderung
54
memaksimalkan fungsi kebahasaan dari salah satu hemisfer baik itu kanan
maupun kiri (Gleason dan Ratner, dalam Rohmani 2017).
Recommended