View
43
Download
19
Category
Preview:
DESCRIPTION
Bahan Diskusi Strategi Pembelajaran FIsika
Citation preview
BAB VTEORI-TEORI BELJAR SAINS
Belajar adalah perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman. Paling sedikit ada lima macam perilaku perubahan pengalaman dan dianggap sebagai faktor-faktor penyebab dasar dalam belajar, yaitu: (1) Belajar respon, (2) Belajar kontiguitas, (3) Belajar operan, (4) Belajar observasional, (5) Belajar kognitif Ada lima macam perilaku perubahan pengalaman: 1. Belajar respon
Pada tingkat emosional yang paling primitif, terjadi perubahan perilaku yang diakibatkan oleh perpasangan suatu stimulus yang tak terkondisikan dengan stimulus yang terkondisi. Sebagai fungsi pengalaman, stimulus terkondisi itu pada suatu saat memperoleh kemampuan untuk mengeluarkan respon yang terkondisi. Bentuk belajar semacam ini disebut belajar respon dan menolong kita untuk memahami bagaimana para siswa menyenangi sekolah atau bidang-bidang studi.
2. Belajar kontiguitas. Belajar kontiguitas, yaitu bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang lain pada suatu waktu, dan hal ini sering kita alami. Kita melihat bagaimana asosiasi ini dapat menyebabkan belajar dari “drill” dan belajar stereotipe-stereotipe.
3. Belajar operan. Konsekuensi-konsekuensi perilaku yang mempengaruhi apakah perilaku itu akan diulangi atau tidak dan berapa besar pengulangan itu. Belajar semacam ini disebut belajar operan.
4. Belajar observasional. Pengalaman belajar sebagai hasil observasi manusia dari kejadian-kejadian. Kita belajar dari model-model dan masing-masing kita mungkin menjadi suatu model bagi orang lain dalam belajar observasional.
5. Belajar kognitif Belajar kognitif terjadi dalam kepala kita, bila kita melihat dan memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita dan dengan inisiatif belajar menyelami pengertian.
Teori-teori belajar dikelompokkan menjadi: 1. Teori-teori belajar sebelum abad ke-20.
Teori-teori belajar sebelum abad ke-20 dikembangkan berdasarkan pemikiran filosofis atau spekulatif, tanpa dilandasai eksperimen. Kedalaman teori-teori belajar sebelum abad ke-20 termasuk teori disiplin mental, teori pengembangan alamiah dan teori apersepsi.
2. Teori-teori belajar selama abad ke-20. Teori-teori belajar abad ke- 20 dibagi menjadi dua keluarga, yaitu: keluarga perilaku atau behavioristik yang meliputi teori-teori stimulus-respon, dan keluarga Gestalt Field yang meliputi teori-teori kognitif.
Teori-teori belajar yang dapat digunakan dalam pembelajaran Sains:5.1. Teori Belajar Gagne. 5.2. Teori Belajar Bruner. 5.3. Teori Belajar Ausubel. 5.4. Teori Belajar Piaget.Untuk lebih jelasnya dipelajari uraian sebagai berikut:
BAHAN DISKUSI 1 SPF 2015
5.1. TEORI BELAJAR GAGNE. .
Menurut Gagne (1984), belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Bentuk-bentuk belajar menurut Gagne (1984) ada lima, yaitu: (a) Bentuk belajar responden, (b) Bentuk belajar kontiguitas, (c) Bentuk belajar operan, (d) Bentuk belajar observasional, (e) Bentuk belajar kognitif. Untuk jelasnya perhatikan uraian sebagai berikut: (1) Bentuk belajar responden
Belajar semacam ini, suatu respon dihasilkan oleh suatu stimulus yang telah dikenal. Contoh belajar responden adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh psikolog Rusia yang terkenal yaitu Ivan Pavlov: Seekor anjing diberi serbuk daging dan sambil makan keluar air liurnya. Serbuk daging disebut stimulus tidak terkondisi (uncoditioned stimulus = US), dan tindakan mengeluarkan air liur disebut respons tidak terkondisi (uncoditioned reponse = UR). Terjadinya respon terhadap penyajian stimulus ini tidak merupakan belajar tetapi terjadi secara instink.
Sekarang lampu dihidupkan di tempat ajing itu, menghidupkan lampu mempunyai efek yang minimal terhadap keluar air liur anjing itu. Kemudian lampu dinyalakan tepat sebelum memberikan serbuk daging pada anjing (US). Jika hal ini dilakukan beberapa kali dan kemudian pada suatu percobaan tanpa memberikan serbuk daging, maka akan terlihat timbulnya respon anjing mengeluarkan air liur. Cahaya yang sebelumnya merupakan stimulus netral, sekarang menjadi stimulus terkondisi (condtioned stimulus = CS) dan respon yang ditimbulkan disebut respons terkondisi (condtioned response = CR).
Dalam situasi yang dikemukakan di atas, perilaku berubah sebagai hasil suatu pengalaman. Jadi situasi ini sesuai dengan definisi belajar yang sederhana, yang telah dikemukakan terdahulu.
Sekarang kita pindah dari anjing ke manusia, dan model ini digunakan dalam bentuk yang lebih umum. Kita dapat menganggap hubungan antara stimulus tak terkondisi dengan respon beroperasi, bila stimulus (US) menimbulkan reaksi emosional (UR), misal: takut, marah, gembira, senang, bahagia. Memasangkan stimulus terkondisi, yaitu suatu stimulus netral sebelumnya, dengan stimulus tak terkondisi menghasilkan timbulnya respons terkondisi (misal takut atau gembira) terhadap stimulus terkondisi itu.
(2) Bentuk belajar kontiguitas,Telah diketahui bahwa pasangan stimulus tidak terkondisi dan stimulus terkondisi
merupakan suatu syarat untuk belajar responden. Beberapa teoriawan belajar, mengemukakan bahwa pemasangan kejadian-kejadian sederhanan apapun, dapat menghasilkan belajar. Tidak diperlukan hubungan antara stimulus tak terkondisi dengan respons.
Asosiasi dekat (contiguous) sederhana antara suatu stimulus dan suatu respons dapat menghasilkan suatu perubahan dalam perilaku. Kekuatan belajar kontiguitas sederhana dapat dilihat bila seseorang memberikan respons terhadap pernyataan yang belum lengkap, seperti di bawah ini:Sembilan kali lima sama dengan ...................Gunung semeru ialah gunung tertinggi di ...Anak itu sepandai ...........................................Cita-citanya setinggi .......................................Dengan mengisikan kata-kata: empat puluh lima, Jawa Timur, ayahnya, langit, ditunjukkan bahwa belajar sesuatu karena peristiwa-peristiwa atau stimulus-stimulus terjadi berdekatan pada waktu yang sama.Kadang-kadang diperlukan pengulangan dari peristiwa-peristiwa itu, tetapi ada kalanya belajar terjadi tanpa diulang.
Jadi tidak perlu kita menganggap hubungan-hubungan stimulus tak terkondisi dengan respons. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa manusia dapat berubah sebagai hasil dari mengalami peristiwa-peristiwa yang berpasangan. Di sekolah, kita melihat bentuk belajar ini waktu guru “mendrill” siswa. Mengajar dengan metode “drill” ini walaupun kerap kali membosankan, tetapi dapat menjadi efisien, karena peristiwa-peristiwa yang terjadi secara bersamaan dapat menghasilkan belajar. Mengatakan “empat” terhadap stimulus “2+2”, menghasilkan pasangan stimulus dan respons yang asosiasinya akan dipelajari.
Bentuk belajar kontiguitas yang lain ialah “stereotyping”. Bila sandiwara di TV secara berulang kali memperlihatkan: seorang ilmuwan dengan orang berkacamata, seorang guru dengan orang yang ramah, seorang ibu tiri dengan wanita kejam, seorang sastrawan berjenggot panjang,maka sandiwara di TV itu menciptakan kondisi-kondisi untuk belajar “stereotyping”.Tidak semua ilmuwan itu berkacamata, Tidak semua ibu tiri itu kejam, Tetapi karena kerapkali dipasangkannya kategori-kategori ini, orang percaya bahwa konsep-konsep itu berjalan seiring. Kerap kali komunikasi-komunikasi media, termasuk buku-buku pelajaran, memperkuat stereotipe-stereotipe ini, yaitu menimbulkan keyakin-an yang terlalu dipermudah dan kaku tentang kategori-kategori orang-orang.
(3) Bentuk belajar operan,Belajar sebagai akibat reinforcemen merupakan bentuk belajar lain yang banyak
diterapkan dalam teknologi modifikasi perilaku. Bentuk belajar ini disebut Terkondisi
operan, sebab perilaku yang diinginkan timbul secara spontan, tanpa dikeluarkan secara instink oleh stimulus apa pun, organisme “beroperasi” terhadap lingkungan. Berbeda dengan belajar responden, perilaku operan tidak mempunyai stimulus fisiologis yang dikenal. Perilaku tidak dikeluarkan, tetapi dipancarkan dan konsekuensi dari perilaku itu bagi organisme merupakan variabel yang penting dalam belajar operan. Perilaku akan diperkuat bila akibatnya berupa suatu peristiwa-peristiwa terreinforcemen. Perilaku yang mengalamai reinforcemen mempunyai kecenderungan meningkat dalam hal frekuensi, magnitude, atau probabilitas terjadinya. Karena peristiwa-peristiwa yang mengalami reinforcemen dapat menghasilkan efek-efek yang begitu penting, perlu kita bertanya, apakah reinforser itu? Suatu reinforser ialah setiap stimulus yang meningkatkan kekuatan suatu perilaku. (Gagne , 1984). Menurut Slavin (1988) reinforser adalah suatu konsekuensi yang memperkuat ( berarti meningkatkan frekuensi ) perilaku-perilaku.
Belajar operan ditunjukkan dalam perilaku berbagai hewan tikus menekan pengungkit, burung merpati mematuk kunci, kuda menganggukan kepalanya. Pada dasarnya, setiap perilaku operan dapat ditimbulkan kerap kali dengan pemberian reinforcemen segera setelah timbulnya perilaku itu.
Pada manusia, berlaku hal yang sama. Berbagai perilaku manusia dapat ditimbulkan berulang kali dengan adanya reinforcemen, segera setelah ada respons. Respons itu dapat berupa suatu pernyataan, suatu gerakan, suatu tindakan. Misalnya, respons itu dapat berupa menjawab pertanyaan guru dengan sukarela atau dapat pula respons itu berupa jawaban siswa itu sendiri. Adakalanya respons itu sulit untuk diketahui, seperti bila seorang siswa duduk diam saja, dan kelihatan nya tidak berbuat apa-apa.
Bila respons berupa menjawab secara sukarela pertanyaan guru, maka reinforser terhadap respons itu mungkin dalam bentuk “diberi giliran oleh guru”. Bila respons itu berupa jawaban itu sendiri terhadap pertanyaan, maka reinforser mungkin berupa ucapan guru. “Betul” atau “Bagus sekali”, atau bila respons itu berupa duduk diam dan tidak berbuat apa-apa, salah satu reinforser yang menyebabkan perilaku itu akan terjadi lagi, yaitu suatu tanda persetujuan guru, apakah itu berupa kata-kata atau senyuman. Contoh mahasiswa sastra yang dipuji karena tulisannya, dan meningkatnya kemampuan menulis mahasiswa, merupakan penerapan teori reinforcemen.
(4) Bentuk belajar observasional,Bentuk lain dari belajar yang akan dibahas dalam bagian mi, yaitu belajar
observasional. Bentuk belajar ini banyak dijumpai pada kehidupan sehari-hari. Contoh: (a)) Bila kita pertama kali belajar mengendarai mobil, kita akan mengamati seorang
instruktur untuk mengetahui urutan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk menghidupkan dan kemudian menjalankan mobil.
(b)) Demikian pula, bila seseorang mulai bermain bola volly, ia berusaha meniru temannya yang terkenal Seperti pemain ulung dalam melemparkan bola, misalnya.
(c)) Bila seseorang diundang makan di hotel besar, di mana tersedia berbagai macam sendok, garpu, dan gelas, mungkin sekali orang itu akan menunggu hingga ada seorang yang tampaknya mengetahui bagaimana cra makan, sebelum ia mulai makan, dan ía menggunakan perilaku orang itu, untuk membimbing perilakunya sendiri.
Contoh-contoh ini memperlihatkan betapa tergantungnya kita pada belajar observasional. Model-model perilaku — sopir, pemain bola volly, dan orang dengan kesopanan sosial — mem-bimbing perilaku kita. Pengamatan-pengamatan tentang model-model mengubah perilaku kita.
Jadi perubahan perilaku semacam ini merupa-kan belajar, sesuai dengan definisi yang telah dikemukakan terdahulu.
Konsep belajar observasional memperlihatkan, bahwa orang dapat belajar dengan mengamati orang lain, melakukan apa yang akan dipelajari. Oleh karena itu, perlu diperhatikan, agar anak-anak lebih banyak diberi kesempatan untuk mengamati model-model penilaku yang baik atau yang diinginkan, dan mengurangi kesempatan-kesempatan untuk melihat perilaku-perilaku yang tidak baik.
(5) Bentuk belajar kognitif.Beberapa ahli psikologi dan ahli pendidikan berpendapat, bahwa konsep-konsep
tentang belajar yang telah dikenal, tidak satu pun yang mempersoalkan proses-proses kognitif yang terjadi selama belajar. Proses-proses semacam itu menyangkut “insight”, atau berpikir dan “reasoning”, atau menggunakan logika deduktif dan induktif. Walaupun konsep-konsep lain tentang belajar dapat diterapkan pada hubungan-hubungan antara stimulus dan respons yang arbitrer dan tak logis, para ahli psikologi dan pendidikan berpendapat, bahwa lebih banyak dibutuhkan untuk menjelaskan belajar tentang hubungan-hubungan yang logis, rasional atau non arbitrer.
Jadi, perlu dipikirkan bentuk belajar yang terjadi pada Ari, siswa SMA yang menguraikan prinsip “momen-momen gaya” pada tiap sisi titik tumpu harus sama, jika pengungkit itu harus setimbang. Ia melihat bahwa momen gaya itu ialah hasil kali vektor gaya (berat adiknya) dan kedudukan adiknya dari titik tumpu. Ia mengerti mengapa adiknya harus lebih jauh dari titik tumpu dibandingkan dengan dirinya, agar pengungkit itu setimbang, ia memahami hukum tentang hubungan antara gaya-gaya dan kedudukan-kedudukan yang disetimbangkan.
Tabel 5.1. Hierarkis 8 Bentuk Belajar Menurut Gagne.Bentuk belajar Prosedur Contoh
1. Belajar tanda (signal).
Conditioning klasik. Mata dipejamkan terhadap suatu suara, setelah suara dibunyikan dengan menghembuskan udara pada mata.
2. Belajar stimulus respons.
Conditioning operan. Belajar yang terjadi pada bayi untuk memegang botol susu.
3. Chaining. Seri koneksi-koneksi S-R. Membuka pintu, terdiri atas: (1) Positioning kunci, (2) memasukkan kunci, (3) memutar kunci, (4) membuka pintu.
4. Asosiasi verbal. Rantai-rantai verbal, tentang memberi nama objek-objek dan koneksi-konenksi kata-kata menjadi urutan verbal.
Belajar teks “Sumpah Pemuda”.
5. Belajar diskriminasi.
Menghasilkan respons yang berbeda pada stimulus-stimulus yang mirip.
Membedakan lingkaran dan ellips..
6. Belajar konsep konkret.
Membuat respons yang sama pada stimulus-stimulus dengan atribut yang mirip.
Respons sama tentang rumah terhadap berbagai ukuran dan bentuk gedung-gedung.
7a. Konsep terdefinisi.
a. Menggunakan konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya untuk memperoleh suatu konsep dan baru.
a. Saudara sepupu adalah anak laki-laki atau anak perempuan dari paman atau bibi.
7b. Aturan. b. Memberikan respon pada satu kelas stimulus-stimulus dengan satu kelas penampilan-penampilan.
b. Jarak sama dengan kelajuan kali waktu.
7c. Pemecahan masalah.
c. Menggabungkan aturan-aturan untuk mencapai suatu pemecahan yang menghasilkan suatu aturan dengan tingkat yang lebih tinggi.
c. Menemukan langkah-langkah dalam membuktikan suatu teori dalam geometri.
Dalam bukunya Principles of Instructional Design (1988), Gagne menyarankan bahwa dibutuhkan dua kondisi agar setiap bentuk belajar terjadi, yaitu:kondisi internal dan kondisi eksternal. a) Kondisi internal.
Siswa harus dapat membedakan contoh suatu konsep dan non contoh suatu konsep. Jika digunakan instruksi verbal, subjek sebelumnya sudah harus mempelajari nama verbal. Siswa harus mengingat kembali diskriminasi maupun nama verbal.
b) Kondisi eksternal: Isyarat-isyarat verbal merupakan cara-cara utama dalam mengajar konsep-konsep konkret.
Robert M. Gagne (1916 - ) adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang telah mengembangkan suatu pendekatan perilaku yang eklektik mengenai psikologi belajar. Gagasan-gagasan Gagne tentang belajar telah banyak dikemukakan, misalnya tentang model pemrosesan informasi, belajar konsep, dan beberapa lainnya.
Dalam bagian ini pembahasan akan dibatasi pada hasil-hasil belajar yang dikemukakan oleh Gagne serta kejadian-kejadian belajar dan kejadian-kejadian instruksi, dan hubungan antara kejadian-kejadian itu.1. Hasil-hasil Belajar Menurut Gagne.
Dalam mengajar, kita harus sudah mengetahui tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam mengajarkan suatu pokok bahasan. Untuk itu kita merumuskan Tujuan Instruksional Khusus (indikator atau tujuan pembelajaran) yang didasarkan pada Taksonomi Bloom tentang tujuan-tujuan perilaku (Bloom, 1956), yang meliputi tiga domain, yaitu: domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotorik.
Gagne mengemukakan lima macam hasil belajar, tiga di antaranya bersifat kognitif, satu bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik.Penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut kemampuan-kemampuan (capabilities) (Gagne, 1988). Menurut Gagne ada lima kemampuan, ditinjau dari segi hasil yang diharapkaan suatu pengajaran atau instruksi, kemampuan-kemampuan itu perlu dibedakan, sebab
kemampuan-kemampuan itu memungkinkan terjadinya berbagai macam penampilan manusia, dan juga karena kondisi untuk memperoleh berbagai kemampuan ini berbeda-beda. Sebagai contoh, suatu pembelajaran Sains dapat mempunyai tujuan umum untuk memperoleh hasil-hasil belajar sebagai (1) memecahkan masalah tentang kecepatan, waktu, dan percepatan; (2) menyusun eksperimen untuk menguji secara ilmiah suatu hipotesis; (3) memberikan nilai-nilai pada kegiatan-kegiatan Sains. Kemampuan pertama disebut keterampilan intelektual, karena keterampilan itu merupakan penampilan yang ditunjukkan oleh siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Kemampuan kedua, yaitu penggunaan strategi kognitif, karena siswa perlu menunjukkan penampilan yang kompleks dalam suatu situasi baru, di mana diberikan sedikit bimbingan dalam memilih dan menerapkan aturan-aturan dan konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya. Kemampuan ketiga, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan sikap, atau mungkin sekumpulan sikap, yang dapat ditunjukkan oleh perilaku yang mencerminkan pilihan tindakan terhadap kegiatan-kegiatan Sains. Kemampuan keempat, yaitu kemampuan hasil belajar menurut Gagne ialah informasi verbal, dan yang terakhir yaitu keterampilan motorik. Perlu dikemukakan, bahwa menurut Gagne urutan antara kelima hasil belajar atau kemampuan-kemampuan ini tidak perlu dipermasalahkan. Untuk selanjutnya akan dibahas setiap hasil belajar ini.a. Keterampilan Intelektual.
Keterampilan-keterampilan intelektual yang memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Belajar keterampilan intelektual ini sudah dimulai sejak tingkat-tingkat pertama di Sekolah Dasar (Sekolah Taman Kanak-kanak), dan dilanjutkan sesuai dengan perhatian dan kemampuan intelektual seseorang. Selama bersekolah, banyak sekali jumlah keterampilan-keterampilan intelektual yang dipelajari oleh seseorang. Keterampilan-keterampilan intelektual ini, untuk bidang studi apa pun, dapat digolongkan berdasar-kan kompleksitasnya.
Perbedaan yang berguna antara keterampilan-keterampilan intelektual untuk tujuan-tujuan pengajaran, diperlihatkan pada Gambar 5.2. Belajar mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang dengan cara yang disarankan oleh diagram pada Gambar 5.2. (Gagne, 1988). Untuk memecahkan masalah, siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinggi, yaitu aturan-aturan yang kompleks. Demikian pula diperlukan aturan-aturan dan konsep-konsep terdefinisi. Untuk memperoleh aturan-aturan ini, siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret, dan untuk belajar konsep-konsep konkret ini, siswa harus menguasai diskriminasi-diskriminasi. 1) Diskriminasi-diskriminasi.
Diskriminasi merupakan suatu kemampuan untuk mengadakan respons yang berbeda terhadap stimulus yang berbeda dalam satu atau lebih dimensi fisik. Dalam kasus yang paling sederhana, seseorang memberikan respons, bahwa dua stimulus sama atau berbeda. Diskriminasi merupa kan keterampilan intelektual yang paling dasar. Pengajaran diskriminasi paling banyak diberikan pada anak-anak kecil atau anak-anak atau orang-orang yang cacat mental (mentally retarded).
PEMECAHAN MASALAHmelibatkan pembentukan
ATURAN-ATURAN TINGKAT TINGGIyang membutuhkan sebagai Prasyarat-prasyarat.
ATURAN-ATURANdan
KONSEP.KONSEP TERDEFINISIyang memeriukan sebagai Prasyarat-Prasyarat
KONSEP-KONSEP KONKRETyang memerlukan sebagai Prasyarat-prasyarat
DISKRIMINASI-DISKRIMINASI
Gambar 5.2. Tingkat-tingkat Kompleksitas DalamKeterampilan Intelektual (Gagne, 1988).
2) Konsep-konsep Konkret. Menurut Gagne: ”salah satu keterampilan intelektual ialah konsep konkret, dan
suatu konsep konkret menunjukkan suatu sifat objek atau atribut objek (warna, bentuk, dan lain-lain). Konsep-konsep ini disebut "konkret" sebab penampilan manusia yang dibutuhkan konsep-konsep ini ialah mengenal suatu objek yang konkret”Contoh sifat-sifat objek yaitu: bulat, persegi, biru, merah, halus. Kita dapat mengatakan bahwa orang tertentu telah memepelajari suatu konsep konkret, dengan meminta orang itu untuk menunjukkan dua atau lebih anggota yang termasuk ke dalam kelas objek yang mempunyai sifat sama, misalnya dengan menunjuk pada suatu uang logam/ suatu ban mobil, dan bulan purnama sebagai benda bulat. Operasi menunjuk dapat dilakukan dengan berbagai cara; dapat dengan memilih, melingkari, atau memegang.
Suatu macam konsep konkret yang penting ialah posisi objek. Ini dapat dianggap sebagai sifat objek, sebab posisi dapat ditentukan dengan menunjuk. Tetapi jelas bahwa posisi suatu objek harus dihubungkan dengan posisi objek lain. Contoh posisi objek ialah di atas, di bawah, di samping, di sekitar, di kiri, di kanan, di tengah, di rnuka. Kemampuan untuk menentukan konsep-konsep konkret merupakan dasar yang penting untuk mempelajari yang lebih kompleks.
Banyak peneliti menekankan pentingnya "belajar konlret'; sebagai pra syarat untuk "mempelajari gagasan abstrak". Piaget membuat perbedaan ini sebagai suatu inti gagasan dalam teorinya mengenai perkembangan intelektual. Perolehan konsep-konsep terdefinisi (yang akan dibahas sesudah ini), meminta siswa untuk dapat menentukan konsep-konsep konkret yang digunakan dalam definisi-definisi itu. 3) Konsep terdefinisi.
Seseorang dikatakan telah mengerti suatu konsep terdefinisi bila ia dapat mendemonstrasikan arti dari kelas teitentu, tentang objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan. Misalnya, kita perhatikan konsep asam suatu zat yang memerahkan kertas lakmus biru. Seorang siswa yang telah mempelajari konsep itu, akan dapat memilih zat sesuai dengan
definisi, dengan memperlihatkan jika dimasukkan kertas lakmus biru ke dalam zat itu (yang ditempatkan dalam tabung reaksi), tampak perubahan pada kertas lakmus itu dari biru menjadi merah. Demonstrasi tentang arti, membedakan proses mental ini dari proses mental yang menyangkut mengingat informasi verbal, seperti "Asam adalah zat yang dapat memerahkan kertas-lakmus biru." seperti telah dikemukakan terdahulul, untuk memiliki konsep terdefinisi ini siswa sudah dapat menunjukkan konsep-konsep konkret, yaitu zat, merah, dan kertas lakmus biru. banyak konsep yang hanya dapat diperoreh sebagai konsep terdefinisi, dan tidak dapat ditentukan dengan "menunjuk", seperti konsep-konsep konkret, misalnya. kota, keluarga, dan,konsep abstrak seperti keadilan, kemakmuran. Tetapi ada beberapa konsep terdefinisi yang juga berupa konsep-konsep konkret, yaitu mempunyai nama sama, dan memiliki sifat-sifat tertentu yang sama. Misalnya, banyak anak-anak kecil belajar bentuk dasar dari suatu segi tiga sebagai suatu konsep konkret.
Baru setelah mereka belajar geometri mereka berhadapan dengan konsep terdefinisi dari segi tiga, "suatu bentuk datar tertutup yang terbentuk dari tiga segmen-segmen garis yang bersilangan pada tiga titik." Arti konkret dan terdefinisi dari segi tiga tidak sama secara eksak, tetapi kedua macam arti itu ada segi-segi kesamaannya.4) Aturan-aturan.
Seseorang telah belajar suatu aturan bila penampilannya mempunyai semacam "keteraturan" dalam berbagai situasi khusus. Banyak contoh mengenai perilaku yang dikuasai oleh aturan. Pada kenyataannya, sebagian besar dari perilaku manusia termasuk kategori perilaku ini. Misalnya dalam kalimat ,,Ibu mencium adik dengan penuh kasih sayang", kata kerja mencium ditempatkan sesudah kata Ibu, tidak sebelumnya. Demikian pula kata-kata lain dalam kalimat itu sudah mengikuti suatu aturan dalam bahasa. Dengan aturan yang telah kita pelajari ini, kita dapat menyusun kalimat-kalimat lain dengan struktur yang sama.
Prinsip-prinsip yang dipelajari dalam Sains ditampilkan oleh siswa sebagai perilaku penggunaan aturan. Misalnya kita mengharapkan para siswa yang telah mempelajari hukum Ohm: E = I R, untuk menerapkan aturan yang tercakup dalam pernyataan ini. Kita dapat bertanya, " Pada suatu penghantar yang hambatannya l2 ohm. jika arus listrik yang mengalir pada penghantar diperbesar dari 20 ampere menjadi 30 ampere, berapa perubahan tegangan listrik pada penghantar?’. Seorang siswa mempunyai kemampuan suatu aturan, tidak berarti bahwa ia dapat menyatakan aturan itu secara verbal. Sebaliknya ada siswa yang dapat menyebutkan, "Tegangan sama dengan arus kali tahanan”, Tetapi ia belum tentu dapat menerapkan aturan itu pada suatu masalah-masalah konkret khusus. Tetapi, banyak contoh di mana siswa tidak dapat menyatakan suatu aturan, walaupun penampilan mereka menunjukkan bahwa mereka "mengetahui" aturan itu.
Setelah kita mengenal apa aturan itu, kita dapat menerima bahwa suatu konsep terdefinisi seperti ying dijelaskan terdahulu, pada kenyataannya tidak berbeda dengan suatu aturan, dan dipelajari dengan cara yang sama. Dengan perkataan lain, suatu konsep terdefinisi merupakan suatu bentuk khusus dari aturan yang bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek dan kejadian-kejadian; konsep terdefinisi adalah suatu aturan pengklasifikasian.5) Aturan-aturan tingkat tinggi.
Adakalanya, aturan-aturan yang dipelajari merupakan gabungan yang kompleks tentang aturan-aturan yang lebih sederhana. Kerap kali aturan-aturan yang kompleks atau aturan-aturan tingkat tinggi ini ditemu kan untuk memecahkan suatu masalah yang praktis
atau sekelompok masalah. Kemampuan untuk memecahkan masalah, pada dasarnya merupakan tujuan utama proses pendidikan. Bila para siswa memecahkan suatu masalah yang mewakili kejadian-kejadian nyata, mereka terlibat dalam perilaku berpikir. Dengan mencapai pemecahan suatu masalah secara nyata, para siswa juga mencapai suatu kemampuan baru. Mereka telah belajar sesuatu yang dapat digeneralisasikan pada masalah-masalah lain yang mempunyai ciri-ciri formal yang mirip. Ini berarti, mereka telah memperoleh suatu aturan baru atau mungkin juga suatu set baru tentang aturan-aturan.
Suatu kondisi yang esensial yang membuat belajar aturan-aturan tingkat tinggi suatu kejadian pemecahan masalah, yaitu karena tidak adanya bimbingan belajar, apakah dalam bentuk komunikasi verbal atau dalam bentuk lain. Pemecahan masalah telah "ditemukan". Bimbingan belajar diberikan oleh si pemecah masalah itu sendiri, tidak oleh guru atau sumber eksternal yang lain.
Sekali siswa berhasil memecahkan masalah, siswa- siswa itu telah belajar aturan baru, lebih kompleks daripada aturan-aturan yang digunakan dalam gabungan. Aturan baru yang dipelajari akan disimpan dalam memori, dan digunakan lagi untuk memecah-kan masalah-masalah lain.
Aturan-aturan memegang peran penting dalam pemecahan masalah. Tidak mungkin bagi siswa untuk memperoleh semua aturan yang diperlukan bagi setiap situasi. Konsep-konsep dan aturan-aturan harus disintesis menjadi bentuk-bentuk kompleks yang baru, agar siswa dapat menghadapi situasi-situasi masalah yang baru. Pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang mengga-bungkan konsep-konsep dan aturin-aturan yang telah diperoleh sebelumnya, dan tidak sebagai suatu keterampilan generik.
Kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah Matematika tidak secara otomatis pindah ke pemecahan masalah-masalah mekanik suatu mobil.
b. Strategi-strategi Kognitif. Suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan
tertentu bagi belajar dan berpikir ialah strategi kognitif. Dalam teori belajar modern, suatu strategi kognitif merupakan suatu proses kontrol, yaitu suatu proses internal yang digunakan siswa (orang yang belajar) untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar mengingat, dan berpikir. (Gagne,1985). Beberapa tulisan Bruner (1961, 1971) menguraikan operasi dan kegunaan strategi kognitif dalam memecahkan masalah.
Berbagai macam strategi kognitif. Walaupun siswa menggunakan strategi-strategi khusus dalam melaksanakan tugas-tugas belajar, untuk memudahkan strategi-strategi kognitif itu dikelompokan sesuai dengan fungsinya. Pengelompokan itu disarankan oleh Wienstein dan Meyer (1986). 1) Strategi-strategi menghafal (rehearsal strategies).
Dengan penggolongan strategi ini, para siswa melakukan, latihan mereka sendiri tentang materi yang dipelajari. Dalam bentuk yang paling sederhana, Latihan itu berupa mengulangi nama-nama dalam suatu urutan (misalnya, nama-nama pahlawan, tahun-tahun pecahnya Perang Dunia, dan lain-lain). Dalam mempelajari tugas-tugas yang lebih kompleks (misalnya mempelajari gagasan-gagasan yang penting, menghafal dapat dilakukan dengan menggarisbawahi gagasan-gagasan penting itu, atau dengan menyalin bagian-bagian dari teks.
2) Strategi-strategi elaborasi. Dalam menggunakan teknik elaborasi, siswa mengasosiasikan hal-hal yang akan dipelajari dengan bahan-bahan lain yang tersedia. Bila diterapkan pada belajar dari
teks prosa (misalnya: kegiatan-kegiatan elaborasi merupakan pembuatan paraphrase (paraphrasing), pembuatan ringkasan, pembuatan catatan, dan perumusan pertanyaan dengan jawaban-jawaban.
3) Strategi-strategi pengaturan (organizing strategies). Menyusun materi yang akan dipelajari ke dalam suatu kerangka yang teratur, merupakan teknik dasar dari strategi-strategi ini. Sekumpulan kata-kata yang akan diingat diatur oleh siswa menjadi kategori-kategori yang bermakna. Hubungan-hubungan antara fakta-fakta yang disusun menjadi tabel-tabel, memungkinkan penggunaan pertolongan penyusunan ruang untuk menghafal materi pelajaran. Cara lain ialah dengan membuat garis besar tentang gagasan-gagasan utama dan menyusun organisasi-organisasi baru untuk gagasan-gagasan itu.
4) Strategi-strategi metakognitif. Menurut Brown (1978), strategi-strategi metakognitif meliputi kemampuan-kemampuan siswa untuk menentukan tujuan-tujuan belajar, memperkirakan keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan itu, dan memiliki alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
5) Strategi-strategi afektif. Teknik-teknik ini digunakan para siswa untuk memusatkan dan mempertahankan perhatian, untuk mengendalikan kemarahan dan mengguna-kan waktu secara efektif.
c. Informasi Verbal. Informasi verbal juga disebut pengetahuan verbal; menurut teori, pengetahuan
verbal ini disimpan sebagai jaringan proposisi-proposisi (Anderson, 1985; E.D. Gagne, 1985).
Nama lain untuk pengetahuan verbal ini ialah pengetahuan deklaratif. Informasi verbal diperoleh sebagai hasil belajar di sekolah, dan juga dari kata-kata yang diucapkan orang, dari membaca, radio, televisi, dan media lain-lainnya.
d. Sikap-sikap. Sikap merupakan pembawaan yang dapat dipelajari, dan dapat mempengaruhi
perilaku seseorang terhadap benda-benda, kejadian-kejadian, atau makhluk-makhluk hidup lainnya. Sekelompok sikap yang penting ialah sikap-sikap kita terhadap orang-orang lain. Oleh karena itu, Gagne juga memperhatikan bagaimana siswa-siswa memperoleh sikap-
sikap sosial ini. Dalam pelajaran Sains misalnya, sikap sosial ini dapat dipelajari selama
para siswa melakukan percobaan di laboratorium, antara lain dapat disebutkan, selama memanaskan zat-zat dalam tabung reaksi hendaknya para siswa jangan menghadapkan mulut tabung reaksi itu pada temannya, agar temannya jangan sampai kena percikan zat yang dipanaskan.
Demikian pula bila melakukan reaksi-reaksi dengan gas-gas yang tidak enak baunya, atau berbahaya untuk kesehatan, para siswa tidak melakukan reaksi-reaksi di luar laboratorium, bila tidak ada lemari asam yang khusus disediakan untuk itu.
Ada pula sikap-sikap yang sangat umum sifatnya, yang biasanya disebut nilai-nilai, diharapkan sekolah dan institusi-institusi lainnya memupuk dan mempengaruhi nilai-nilai ini. Sikap-sikap ini ditujukkan pada perilaku-perilaku sosial, seperti kata-kata kejujuran, dermawan, dan istilah yang lebih umum moralitas.Suatu sikap mempengaruhi sekumpulan besar perilaku-perilaku khusus seseorang. Oleh karena itu, ada beberapa prinsip-prinsip belajar umum yang dapat diterapkan untuk memperoleh dan mengubah sikap-sikap.
e. Keterampilan-keterampilan Motorik
Keterampilan-keterampilan motorik tidak hanya mencakup kegiatan-kegiatan fisik, melainkan juga kegiatan-kegiatan motorik yang digabung dengan keterampilan intelektual, misalnya: bila membaca, menulis, memainkan sebuah instrumen musik, ataudalam pelajaran Sains, bagaimana menggunakan berbagai macam alat; seperti mikroskop, berbagai alat listrik dalam pelajaran Fisika, dan buret, alat distilasi dalam pelajaran Kimia.
2. Kejadian-kejadian Belajar. Bertitik tolak dari model belajar pemrosesan informasi, Gagne mengemukakan
delapan fase dalam satu tindakan belajar (learning act). Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa (yang belajar) atau guru. Setiap fase dipasangkan dengan suatu proses yang terjadi dalam pikiran siswa. Gambar 5.2. menunjukkan satu tindakan belajar menurut Gagne. Setiap fase diberi nama, dan di bawah masing-masing fase terlihat satu kotak yang menunjukkan proses internal utama, yaitu kejadian belajar yang berlangsung selama fase itu. Kejadian-kejadian belajar itu akan diuraikan di bawah ini. a. Fase Motivasi
Siswa harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan, bahwa belajar akan memperoleh hadiah. Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa informasi akan memenuhi keingintahuan mereka tentang suatu pokok bahasan, akan berguna bagi mereka, atau dapat menolong mereka untuk memperoleh angka yang lebih baikb. Fase Pengenalan (apprehending phase).
Siswa harus memberikan perhatian pada bagian-bagian yang esensial dari suatu kejadian instruksional, jika belajar akan terjadi. Misalnya, siswa memperhatikan aspek-aspek yang relevan tentang apa yang dikatakan guru, atau tentang gagasan-gagasan utama dalam buku teks. Guru dapat memfokuskan perhatian terhadap informasi yang penting, misalnya dengan berkata: "Dengarkan kedua kata yang ibu katakan, apakah ada perbedaannya". Bahan-bahan tertulis dapat juga melakukan demikian dengan menggaris-bawahi kata, atau kalimat tertentu, atau dengan memberikan garis besarnya untuk setiap bab. c. Fase Perolehan (acquisition phase).
Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap untuk menerima pelajaran/informasi disajikan. Sudah dikemukakan dalam bagian terdahulu, bahwa informasi tidak langsung disimpan dalam memori. Informasi itu diubah menjadi bentuk yang bermakna, yang dihubungkan dengan informasi yang telah ada dalam memori siswa. Siswa dapat membentuk gambaran-gambaran mental dari informasi itu, atau membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.
Guru dapat memperlancar proses ini dengan menggunakan pengatur-pengatur awal (Ausubel. 1963), dengan membiarkan para siswa melihat atau memanipulasi benda-benda, atau dengan menunjukkan hubungan-hubungan antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya.d. Fase Retensi.
Informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka-pendek ke memori jangka-panjang. Ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali (rehearsal), praktek (practice), elaborasi atau lain-lainnya.
HARAPAN
PERHATIAN PERSEPSI SELEKTIF
KODING MULAI PENYIMPANAN
PENYIMPANAN MEMORI
PEMANGGILAN
TRANSFER
PEMBERIAN RESPONS
REINFORCEMEN
Fase motivasi
Fase pengenalan
Fase perolehan
Fase retensi
Fase pemanggilan
Fase generalisasi
Fase penampilan
Fase umpan balik
Gambar 5.3. Kejadian-kejadian Belajar.
e. Fase Pemanggilan (recall).Mungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan informasi dalam memori
jangka panjang. Jadi bagian penting dalam belajar ialah memperoleh hubungan dengan apa yang telah kita pelajari, untuk memanggil (recall) informasi yang telah dipelajari sebelumnya, Hubungan dengan informil ditolong oleh organisasi materi yang diatur dengan baik dengan pengelompokan menjadi kategori-kategori atau konsep-konsep, lebih mudah dipanggil daripada materi yang disajikan tidak teratur. Pemanggilan juga dapat ditolong dengan memperhatikan hubungan-hubungan antara konsep-konsep, khususnya antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya.
f. Fase Generalisasi. Biasanyan informasi itu kurang nilainya jika tidak dapat diterapkan di luar
konteks, di mana informasi itu dipelajari. Jadi generalisasi atau transfer informasi pada situasi-situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat ditolong dengan meminta para siswa untuk menggunakan informasi dalam keadaan baru, misalnya meminta para siswa menggunakan keterampilan-keterampilan berhitung baru untuk memecahkan masalah-masalah nyata; setelah mempelajari pemuaian zat, mereka dapat menjelaskan mengapa botol yang berisi penuh dengan air dan tertutup, menjadi retak dalam lemari es. g. Fase Penampilan.
Para siswa harus memperlihatkan, bahwa mereka telah belajar sesuatu melalui penampilan yang tampak. Misalnya setelah mempelajari bagaimana menggunakan mikroskop dalam pelajaran Biologi, para siswa dapat mengamati bagaimana bentuk sel dan menggambarkan set itu; setelah mempelajari struktur kalimat dalam bahasa, mereka dapat menyusun kalimat yang benar.h. Fase Umpan Balik.
Para siswa harus memperoleh umpan barik tentang penampilan mereka, yang menunjukkan apakah mereka telah atau belum mengerti tentang apa yang diajarkan. Umpan balik ini dapat memberikan reinfor-cemen, pada mereka untuk penampilan yang berhasil.
3. Kejadian-kejadian Instruksi.Berdasarkan analisisnya tentang kejadian-kejadian belajar, Gagne menyarankan
kejadian-kejadian instruksi. Menurut Gagne, bukan hanya guru yang dapat memberikan instruksi; kejadian-kejadian belajarnya dapat juga diterapkan baik pada belajar penemuan, atau belajar di luar kelas, maupun belajar dalam kelas. Tetapi kejadian-kejadian instruksi yang dikemukakan Gagne ditunjukkan pada guru yarig menyajikan suatu pelajaran pada sekelompok siswa-siswa. Kejadian-kejadian instruksi itu adalah:a. Mengaktifkan motivasi (activating motivation).b. Memberi tahu tujuan-tujuan belajar.c. Mengarahkan perhatian (directing attention). d. Merangsang ingatan (stimulating recall). e. Menyediakan bimbingan belajarf. Meningkatkan retensi (enhancing retention)g. Melancarkan transfer belajarh. Mengeluarkan penampilan; memberikan umpan balik.
Di bawah ini akan diuraikan setiap kejadian instruksi itu.a. Mengaktifkan Motivasi.
Langkah pertama dalam suatu pelajaran ialah memotivasi para siswa untuk belajar. Kerap kali ini dilakukan dengan membangkitkan perhatian mereka dalam isi pelajaran, dan mengemukakan kegunaannya. Misalnya, guru membangkitkan perhatian para siswa dalam belajar tentang ukuran liter, serta fraksi-frakisinya, dengan memberi tahu mereka bahwa informasi ini nanti akan mereka perlukin di masa yang akan datang, dan mengemukakan masalah tentang pembeiran minyak goreng untuk Ibu, atau bensin untuk sepeda motor atau mobil.
b. Memberitahu Tujuan-tujuan Belajar.Kejadian instruksi kedua ini sangat erat hubungannya dengan kejadian instruksi
pertama. Sebagian dari mengaktifkan motivasi para siswa ialah dengan membeiitahu mereka tentang mengapa mereka belajar, apa yang mereka pelajari, dan apa yang akan mereka pelajari. Memberitahu para siswa tentang tujgan-tujuan belajar juga menolong memusatkan perhatian para siswa terhadap aspek-aspek yang relevan tentang pelajaran.Bagaimana merumuskan tujuan-tujuan belajar yang dikenal dengan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) itu, tidak asing lagi bagi kita semua. Dengan mengenal model belajar Gagne, kita mempunyai dasar yang lebih kuat tentang kegunaan tujuan-tujuan belijar ini. Selama ini kita merumuskan Tujuan Instruksional Khusus berdasarkan Taksonomi Bloom, dengan tiga domainnya, yaitu domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotor. Sekarang kita sudah mengenal hasil-hasil belajar menurut Gagne, yang telah dibahas sebelum ini, yaitu kita telah diperkenalkan pada Taksonomi Gagne, dan dengan demikian kita akan merumuskan pula tujuan-tujuan belajar sesuai dengan gagasan Gagne. Tetapi, akan kita lihat, bahwa perumusan itu tidak akan banyak berbeda, sebab dasar penggolongan tujuan-tujuan itu sebenarnya sama.
c. Mengarahkan perhatian. Gagne mengemukakan dua bentuk perhatian, yang satu berfungsi untuk
membuat siswa siap menerima stimulus-stimulus. Dalam mengajar, perubahan stimulus secara tiba-tiba mencapai maksud ini. Dalam pelajaran Kimia hal ini dapat dilakukan dengan guru berkata, "Perhatikan perubahan warna yang terjadi", waktu guru mengajarkan kecepatan reaksi dengan metode demonstrasi.
Bentuk kedua dari perhatian disebut persepsi selektif. Dengan cara ini siswa memilih informasi yang mana akan diteruskan ke memori jangka-pendek.
Dalam mengajar, seleksi stimulus-stimulus relevan yang akan dipelajari, dapat ditolong guru dengan cara mengeraskan ucapan suatu kata selama mengajar, atau menggaris bawahi suatu kata atau beberapa kata dalam suatu kalimat, atau dengan menunjukkan sesuatu yang harus diperhatikan para siswa, misalnya dalam mengajarkan penulisan rumus-rumus Kimia, diminta perhatian siswa-siswa pada penulisan angka-angka sedikit di bawah huruf-huruf (dalam menulis rumus , angka 2 dan 4 ditulis agak di bawah huruf H dan O).
d. Merangsang ingatan tentang pelajaran yang telah lampau.Pemberian kode pada informasi yang berasal dari memori jangka-pendek yang
disimpan dalam memori jangka-panjang, menurut Gagne merupakan bagian yang paling kritis dalam proses belajar. Guru dapat berusaha untuk menolong siswa-siswa dalam mengingat atau mengeluarkan pengetahuan yang disimpan dalam memori jangka-panjang itu. Cara menolong ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada para siswa, yang merupakan suatu cara pengulangan.
e. Menyediakan bimbingan belajarUntuk memperlancar masuknya informasi ke memori jangka-panjang,
diperlukan bimbingan langsung dalam pemberian kode pada informasi. Untuk mempelajari nformasi verbal, bimbingan itu dapat diberikan dengan cara mengaitkan informasi baru itu pada pengalaman siswa. Dalam belajar konsep dapat diberikan contoh-contoh dan noncontoh. Bila suatu aturan yang akan diajarkan, maka siswa-siswa seharusnya sudah memahami dahulu konsep-konsep yang merupakan komponen-komponen pembentuk aturan itu.
Jadi, kalau para siswa akan mempelajari, bahwa "Volume 1 mol sembarang gas pada C dan 76 cm Hg adalah 22,4 liter", maka guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang setiap konsep yang ada dalam aturan itu, untuk mengetahui apakah para siswa telah memahami apa yang dimaksud oleh setiap konsep itu, yaitu konsep-konsep volume, satu mol, sembarang gas, C, 76 crn Hg, dan liter.
Dalam belajar penemuan, bimbingan dapat diberikan dalam bentuk penyediaan bahan-bahan dan isyarat-isyarat untuk membimbing para siswa ke arah keberhasilan.
f. Meningkatkan retensi. Retensi atau bertahannya materi yang dipelajari (jadi tidak dilupakan) dapat
diusahakan oleh guru dan para siswa itu sendiri dengan cara sering mengulangi pelajaran itu. Cara lain ialah memberi banyak contoh-contoh. Dapat pula diusahakan penggunaan berbagai “Jembatan keledai". Dengan cara ini materi pelajaran disusun sedemikian rupa sehingga mudah diingat.
Sebaiknya siswa sendiri yang menyusun jembatan keledai itu, sebab dengan demikian ia akan lebih lama ingat (tidak cepat lupa).
Sebagai contoh dalam pelajaran Kimia misalnya, untuk mengingat apakah perubahan warna yang dialami indikator lakmus bila dimasukkan ke dalam larutan asam atau basa, maka kalimat pendek yang diingat siswa ialah: asam memerahkan kertas lakmus biru (m-m), basa membirukan kertas lakmus merah (b-b). Selain cara-cara yang diberikan di atas, tabel-tabel, diagram-diagram dan gambar-gambar pun dapat digunakan guru untuk menolong para siswa agar jangan cepat melupakan pelajaran yang telah diberikan.
g. Melancarkan transfer belajar. Tujuan transfer belajar ialah menerapkan apa yang telah dipelajari pada situasi
baru. Ini berarti bahwa apa yang telah dipelajari itu dibuat umum sifatnya. Melalui tugas pemecahan masalah dan diskusi kelompok guru dapat membantu transfer belajar. Untuk
dapat melaksanakan ini para siswa tentu diharapkan telah menguasai fakta-fakta, konsep-konsep, dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan.
Dalam pelajaran sains misalnya, transfer belajar akan terjadi waktu guru memberikan tugas pada para siswa untuk merencanakan bagaimana menanggulangi masalah pencemaran lingkungan.
Dalam hal ini para siswa dalam setiap kelompok diharapkan telah mengetahui apa saja yang ada dalam lingkungan yang tercemar, misalnya macam-macam gas yang berasal dari knalpot mobil-mobil, sampah yang bertumpuk di mana-mana, dan lain-lain. Selain itu mereka juga memiliki keterampilan-keterampilan untuk meniadakan hal-hal yang menyebabkan pencemaran itu. Misalnya dengan memisahkan Pencemar-Pencemar yang tidak dapat mengalami pelapukan, yaitu plastik-plastik, dan Pencemar-pencemar yang dapat mengalami pelapukan, yaitu daun-daun dan bahan-bahan lain yang berasal dari makhluk hidup. Kemudian mereka juga harus mengetahui cara-cara untuk memusnahkan pencemar-pencemar itu berdasarkan sifat-sifatnya, hingga tidak merugikan masyarakat di sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat dilihat penguasaan fakta-fakta. konsep-konsep, serta keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki para siswa untuk dapat menyusun suatu rencana yang baik.
h. Mengeluarkan penampilan; memberikan umpan balikHasil belajar perlu diperlihatkan melalui suatu cara, agar guru dan siswa itu
sendiri mengetahui apakah tujuan belajar telah tercapai. Untuk itu sebaiknya guru tidak menunggu hingga seluruh pelajaran selesai. Sebaiknya guru memberikan kesempatan sedini mungkin pada siswa untuk memperlihatkan hasil belajar mereka, agar dapat diberi umpan balik, sehingga pelajaran selanjutnya berjalan dengan lancar. Cara-cara yang dapat digunakan guru ialah memberikan tes, atau dengan mengamati perilaku siswa. Umpan balik, bila bersifat positif menjadi pertanda bagi siswa bahwa ia telah mencapai tujuan belajar, dan dengan demikian harapan atau expectancy yang muncul pada permulaan tindakan belajar telah dipenuhi. Dalam hal ini, menurut Gagne umpan balik menghasilkan reinforcemen.Perlu diingat, bahwa umpan balik tidak selalu diberikan secara eksplisit, dengan cara menyetujui atau kata-kata yang membetulkan. Ada kalanya situasi belajar itu sendiri sudah merupakan umpan balik.
Gambar 5.4. Hubungan Antara Fase-fase dan Kejadian-kejadian
Instruksi Menurut Gagne.
Beberapa catatan: Kejadian-kejadian instruksional dalam kelas, seperti mengaktifkan motivasi, memberitahu tujuan-tujuan instruksional serta mengarahkan perhatian, dapat dilakukan guru secara klasikal, tetapi kejadian-kejadian instruksional yang lain meminta guru agar memperhatikan perbedaan individu para siswa. Hubungan antara fase-fase belajar dari kejadian-kejadian instruksional menurut Gagne diberikan Gambar 5.4.
5.2. TEORI BELAJAR JEROME BRUNER(BELAJAR PENEMUAN).
Banyak ahli-ahli psikologi kognitif yang mempelajari bagaimana terjadinya belajar
mengambil pula langkah berikutnya, dan menyarankan bagaimana seharusnya mengajar
dilakukan. Jerome Bruner (1966), David Ausubel (1968), dan Robert Gagne (1970) telah
mengemukakan tiga model-model instruksional kognitif yang paling berpengaruh. Dalam
bagian ini akan dibahas siapa Jerome Bruner itu, apakah sumbangannya pada masalah
belajar dan mengajar.
1. BRUNER DAN TEORINYA
Jerome S. Bruner (1915) adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli
psikologi belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya
yang demikian banyak itu meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir.
Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan
pencipta informasi.
Buku Bruner tentang The Process of Education yang diterbitkan pada tahun 1960,
merupakan rangkuman dari hasil konperensi Woods Hole yang diadakan pada tahun
1959, suatu konperensi yang membawa banyak pengaruh pada pendidikan pada
umunya, pengajaran Sains pada khususnya.
Menurut Bruner: Inti dari belajar adalah cara-cara bagaimana orang memilih,
mempertahankan, dan mentransformasi informasi secara aktif. Oleh karena itu,
Bruner memusatkan perhatiannya pada masalah apa yang dilakukan manusia dengan
informasi yang diterimanya, dan apa yang dilakukannya sesudah memperoleh informasi
yang diskrit itu untuk mencapai pemahaman yang memberikan kemampuan padanya.
a. Empat Tema tentang Pendidikan
Dalam bukunya (Bruner, 1960), Bruner mengemukakan empat tema
pendidikan.
1) Tema pertama mengemukakann pentingnya arti struktur pengetahuan. Kurikulum
hendaknya mementingkan struktur pengetahuan. Hal ini perlu, sebab dengan struktur
pengetahuan kita menolong para siswa untuk melihat, bagaimana fakta-fakta yang
kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain, dan
pada informasi yang telah mereka miliki.
2) Tema kedua ialah tentang kesiapan (readiness) untuk belajar. Menurut Bruner
(1966:29), kesiapan terdiri atas penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih
sederhana yang dapat mengijinkan seseorang untuk mencapai keterampilan-
keterampilan yang lebih tinggi. Kesiapan untuk Geometri Euclidian misalnya, dapat
diperoleh dengan memberikan kesempatan pada para siswa untuk membangun
konstruksi-konstruksi yang makin kompleks dengan menggunakan poligon-poligon.
3) Tema ketiga menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi,
dimaksudkan oleh Bruner (Bruner, 7960:73), teknik-teknik intelektual untuk sampai
pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk
mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan
yang sahih atau tidak. Yang dikemukakan oleh Bruner ini ialah semacam educated
guess yang kerap kali digunakan oleh para Saintis, artis, dan orang-orang kreatif
lainnya.
4) Tema keempat dan terakhir ialah tentang motivasi atau keinginan untuk belajar, dan
cara-cara yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu.
Pengalaman-pengalaman pendidikan yang merangsang motivasi ialah pengalaman-
pengalaman di mana para siswa berpartisipasi secara aktif dalam menghadapi
alamnya. Menurut Bruner, pengalaman belajar semacam ini dapat dicontohkan oleh
pengalaman belajar penemuan yang intuitif, dan implikasi dari assumsi ini akan
dibahas dalam bagian-bagian yang akan datang.
b. Model dan Kategori:
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi (Rosser, 1984).
1) Asumsi pertama ialah, bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses
interaktif. Berlawanan dengan para penganut teori perilaku, Bruner yakin, bahwa
orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif; perubahan tidak
hanya terjadi di lingkungan, tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
2) Assumsi kedua ialah bahwa orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan
menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang
diperoleh sebelumnya suatu model alam.(model of the world) menurut dia.
Model Bruner ini mendekati sekali struktur kognitif Ausubel Setiap model
seseolang khas bagi dirinya. Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan kita,
kita akan membentuk suatu struktur atau model yang mengizinkan kita untuk
mengelompokkan hal-hal tertentu, atau membangun suatu hubungan antara hal-hal
yang telah kita ketahui. Dengan model ini kita dapat menyusun hipotesis, untuk
memasukkan pengetahuan baru ke dalam struktur-struktur kita, dengan memperluas
struktur-struktur itu atau dengan mengembangkan struktur atau substruktur baru, dan
untuk mengembangkan harapan-harapan tentang apa yang akan terjadi. Kemampuan-
kemampuan yang mewakili sebagian dari model alam ini yang bagi kita tidak asing
lagi, ditunjukkan oleh Gambar 5.5. .
Gambar 5.5. Suatu Susunan Hierarki SebagaiBagian dari Struktur Kognitif.
Gambar 5.5, merupakan bagian dari model alam yang kita miliki. Anggaplah ada suatu
benda yang tidak kita kenal terdapat dalam lingkungan kita. Karena sifat ingin tahu kita,
kita ingin memasukkan benda ini ke dalam struktur kognitif kita.
Waktu kita melihat benda itu, ternyata ia bergerak. salah satu hipotesis yang mungkin
ialah, "bila suatu organisme bergerak, maka organisme itu ialah hewan, Dalam model
kita tentang alam ini, kita telah mempunyai beberapa ciri-ciri tentang hewan, jadi kita
dapat mencek ciri-ciri yang lain dari benda itu untuk melihat apakah hipotesis kita betul
atau tidak. Jika benda itu juga memiliki ciri-ciri lain dari hewan, maka benda itu kita
masukkan ke dalam kategori hewan, dan bukan ke dalam kategori tumbuhan. Setelah
mengamati lagi, kita mungkin menyimpulkan, bahwa benda itu mempunyai tulang
belakang, jadi kita dapat menggolongkan benda itu ke dalam kategori yang lebih
Makhluk hidup
Hewan Tumbuhan
Vertebrata Invertebrata
Burung Ikan Kuda
Appaloosas Percherons
sempit, yaitu vertebrata. Waktu mengembangkan model kita, kita memberikan atribut-
atribut tertentu pada setiap kategori.
Dengan mencek atribut-atribut dari benda baru ini terhadap atribut-atribut dari kategori-
kategori yang telah ditetapkan semula, akhirnya kita dapat menempatkan benda itu
dalam kategori kuda. Jika benda itu gagal untuk dimasukkan ke dalam klasifikasi-
klasifikasi yang lebih khusus tentang kuda (Appaloosa, Percheron, dan lain-lain), kita
harus menambahkan suatu kategori baru untuk menerimanya.
Menurut Bruner, dalam belajar, hal-hal yang mempunyai kemiripan
dihubungkan menjadi suatu struktur yang memberikan arti pada hal-hal itu. Dalam proses
hidup - berinteraksi dengan lingkungan, - orang mengembangkan model dalam (inner
mode) atau sistem koding untuk menyajikan alam sebagaimana yang diketahuinya. Kita
dapat membayangkan struktur ini sebagai suatu lemari map (feling cabinet) yang besar
sekali, dengan banyak laci dan banyak map (file) dalam setiap laci. Manusia
mempunyai kapasitas untuk mengisi lemari ini, dan menyimpan segala yang
dimasukkan kedalamnya selama waktu lama. ]ika kita gunakan Gambar 5.5, kita lihat
bahwa lemari map itu mungkin bernama makhluk-makhluk hidup dan mempunyai laci-
laci yang diberi nama tumbuhan dan hewan. Setiap laci ini mempunyai beberapa map,
dan setiap map mungkin dibagi lagi menjadi subbagian. Tetapi, jika hanya ini yang
terdapat dalam sistem penyimpanan itu, maka struktur itu merupakan hal yang steril.
Keadaan yang sebenarnya ialah menurut Bruner, dalam sistem yang besar ini
terdapat banyak referensi silang (cross references) yang saling menghubungkan
map-map itu untuk membentuk satu seri hubungan-hubungan yang sangat
kompleks. Bila kita membaca kata kuda misalnya, banyak gagasan-gagasan yang
berbeda timbul suatu gambaran seekor kuda yang khas, seekor kuda dalam sirkus, dalam
"cowboys", dalam pacuan kuda, dan lain-lainnya.
Pendekatan Bruner terhadap belajar dapat diuraikan sebagai suatu pendekatan
kategorisasi. Bruner beranggapan, bahwa semua interaksi-interaksi kita dengan alam
melibatkan kategori-kategori yang dibutuhkan bagi pemfungsian manusia. Tanpa
kategori-kategori kita harus mempunyai satu laci dalam lemari map kita untuk setiap
objek, benda, dan gagasan dalam pengalaman kita. Kategorisasi menyederhanakan
kekomplekan dalam lingkungan kita. Karena sistem kategori kita dapat mengenal
obiek-objek baru. Oleh karena itu, objek-objek baru memiliki kemiripan dengan objek-
objek yang telah ada dalam sistem kode kita, kita dapat mengklasifikasikan dan
memberikan ciri-ciri tertentu pada benda-benda atau gagasan-gagasan baru. Dalam
kenyataannya, jika kita dihadapkan pada suatu benda baru, dan kita tidak dapat
mengkategorisasikannya dengan cara-cara tertentu, kita tidak dapat menentukannya, kita
tidak dapat nenempatkannya di dalam sistem penyimpanan kita.
Selanjutnya yang penting menurut Bruner ialah, bahwa kategorisasi dapat
membawa kita ke tingkat yang lebih tinggi daripada informasi yang diberikan.
Kita menentukan objek-objek dengan mengasosiasikan objek-objek itu dengan
suatu kelas. Bila kita mengklasifikasikan suatu objek, kita pengaruhi objek itu dengan
sekumpulan sifat-sifat, atribut-atribut kritis, dan hubungan-hubungan. Kita melakukan
hal ini melalui inferensi, menemukan lebih banyak daripada yang kita peroleh langsung
dari objek itu.
Ringkasnya, Bruner beranggapan, bahwa belajar merupakan
pengembangan kategori-kategori dan pengembangan suatu sistem pengkodean
(coding). Berbagai kategori-kategori saling berkaitan sedemikian rupa, sehingga
setiap individu mempunyai model yang unik tentang alam. Dalam model ini, belajar
baru dapat terjadi dengan mengubah model itu. Hal ini terjadi melalui'pengubahan
kategori-kategori, menguhubungkan kategori-kategori dengan suatu cara baru,
atau dengan menambahkan kategori-kategori baru.
c. Belajar sebagai Proses Kognitif
Bruner mengemukakan, bahwa belajar melibatkan tiga proses yang
berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu ialah (1) memperoleh informasi
baru, (2) transformasi informasi, dan (3) menguji relevansi dan ketepatan
pengetahuan (Bruner,1973).
Informasi baru dapat merupakan penghalusan dari informasi sebelurnnya
yang dimiliki seseorang, atau informasi itu dapat bersifat sedemikian rupa sehingga
berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Sebagai contoh,
seseorang setelah mempelajari bahwa darah itu beredar, barulah ia niempelajari secara
terperinci sistem peredaran atau sistem sirkulasi darah. Demikian pula, setelah berpikir
bahwa energi itu dibuang-buang atau tidak dihemat, baru ia belajar teori konservasi
energi.
Dalam transformasi pengetahuan seseorang memperlakukan pengetahuan
agar cocok atau sesuai dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita
memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi, atau dengan mengubah
menjadi bentuk lain. Kita menguji relevansi dan ketetapan pengetahua dengan menilai
apakah cara kita memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan tugas yang ada.
Bruner menyebut pandangannya tentang berajar atau pertumbuhan kognitif
sebagai konseptualisme instrumental. Pandangan ini berpusat pada dua prirsip, yaitu: (1)
pengetahuan seseorang tentang alam didasarkan pada model-model tentang kenyataan
yang dibangunnya, dan (2) model-model semacam itu mula-mula diadopsi dari
kebudayaan seseorang, kemudian model-model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi
orang bersangkutan.
Persepsi seseorang tentang suatu peristiwa merupakan suatu proses
konstruktif. Dalam proses ini orang itu menyusun suatu hipotesis dengan
menghubungkan data inderanya pada model yang telah disusunnya tentan[ alam, lilu
meiguji hipotesisnya terhadap sifat-sifat tambahan dari peristiwa itu. Jadi, seorang
pengamat itu tidak dipandang sebagai organisme reaktif yang pasif, tetapi sebagai
seseorang yang memilih informasi secara aktif, dan membentuk hipotesis perseptual.
Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang,
menurut Bruner adalah:
(1) Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya ketidaktergantungan
respons dari sifat stimulus. Dalam pertumbuhan intelektual ini ada kalanya kita lihat,
bahwa seorang anak mempertahankan suatu respons dalam lingkungan stimulus yang
berubah-ubah. Atau belajar mengubah responsnya dalam lingkungan stimulus yang
tidak berubah. Jadi, melalui pertumbuhan seorang memperoleh kebebasan dari
pengontrolan stimulus melalui proses-proses perantara yang mengubah stimulus
sebelum respons.
(2) Pertumbuhan intelektual tergantung pada bagaimana seorang menginternalisasi
peristiwa-peristiwa menjadi suatu sistem simpanan (storage system) yang sesuai
dengan lingkungan. Sistem inilah yang memungkinkan peningkatan kemampuan
anak untuk bertindak di atas informasi yang diperoleh pada suatu kesempatan. Ia
melakukan ini dengan membuat ramalan-ramalan, dan ekstrapolasi-ekstrapolasi dari
model alam yang disimpannya.
(3) Pertumbuhan intelektual menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk
berkata pada dirinya sendiri atau pada orang-orang lain, dengan pertolongan kata-
kata dan simbol-simbol, apa yang telah dilakukannya itu akan dilakukannya.
Kesadaran diri ini mengizinkan suafu transisi diri perilaku keteraturan ke perilaku
logika. Ini merupakan suatu proses yang membawa manusia melampaui adaptasi
empiris.
Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tiga sistem keterampilan
untuk menyatakan kemampuan-kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem
keterampilan itu ialah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh
Bruner (1.966). Ketiga cara itu ialah: cara enaktif, cara ikonik, dan cara simbolik.
(1) Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, iadi bersifat manipulatif.
Dengan cara ini seorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan
pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadiin-kejadiin yang
lampau melalui respons-respons motorik. Dengan cara ini dilakukan satu set
kegiatan-kegiatan untuk mencapai hasil tertentu. Misalnya seorang anak secara
enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda.
(2) Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan
oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak
mendefinsikan sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga menyatakan
konsep kesegitigaan. Penyajian ikonik terutama dikendalikan oleh prinsip-prinsip
organisai perseptual dan oleh transformasi-transformasi secara ekonomis dalam
organisasi perseptual. Rupa-rupanya, penyajian enaktif didasarkan pada belajar
tenlang respons-respons dan bentuk-bentuk kebiasaan. Penyajian ikonik tertinggi
pada umumnya dijumpai pada. anak-anak berumur antara 5 dan 7 tahun, yaitu
periode waktu anak sangat tergantung pada penginderaannya sendiri.
Dengan mendekati masa adolesens, bagi seseorang, bahasa menjadi makin
penting sebagai suatu media berpikir. Maka orang mencapai suatu transisi dari
penggunaan penyajian ikonik yang didasarkan pada penginderaan ke penggunaan
penyajian simbolik yang didasarkan pada sistem berpikir abstrak, arbitrer, dan
lebih fleksibel. Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian
simbolik dibuktikan oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi atau
pernyataan daripada objek-objek; memberikan struktur hierarkis pada konsep-konsep,
dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan alternati{ dalam suatu cara
kombinatorial. Sebagai ilustrasi dari ketiga cara penyajian ini), Bruner memberikan suatu
contoh tentang pelajaran penggunaan timbangan (Bruner, 1966).
Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan "prinsip-prinsip”, timbangan, dan
menunjukkan hal itu dengan dapat menaiki papan jungkak-jungkik (Gambar 5.6). la
tahu, bahwa untuk dapat lebih jauh ke bawah, ia harus duduk lebih menjauhi pusat.
Anak yang lebih tua, dapat menyajikan timbangan pada dirinya sendiri dengan suatu
model atau dengan suatu gambaran. "Bayangan”, timbangan itu dapat diperinci seperti
yang terdapat dalam buku pelajaran. Akhirnya suatu timbangan dapat dijelaskan
dengan menggunakan bahasa, tanpa pertolongan gambar, atau dapat pula dijelaskan
secara matematik dengan menggunakan Hukum Newton tentang momen gaya.
d. Belajar Penemuan.
Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari
jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery
learning). Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian
pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil
yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta
pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar
bermakna. Belajar bermakna dengan arti seperti diberikan di atas, merupakan satu-
satunya macam belajar yang mendapat perhatian Bruner.
Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi
secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan untuk
memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengijinkan
mereka un tuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa
kebaikkan:
1) Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapar diingat, atau lebih mudah
diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain.
2) Kedua, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil
belajar lainnya. Dengan lain perkataan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang
dijadikan milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru.
3) Ketiga, secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan
kemampuan untuk berpikir secara bebas. Secara khusus relajar penemuan melatih
ketrampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah
tanpa pertolongan orang lain.
Selanjutnya dikemukakan, bahwa belajar penemuan membangkitkan
keingintahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan
jawaban-jawaban. Lagi pula pendekatan ini dapat mengajarkan ketrampilan-
keterampilan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain, dan meminta para siswa
untuk menganalisis dan memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja.
Bruner menyadari, bahwa belajar penemuan yang murni memerlukan waktu,
karena itu dalam bukunya The Releaance of Education (1977), ia menyarankan agar
penggunaan belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu
dengan mengarahkannya pada struktur bidang studi.
Struktur suatu bidang studi terutama diberikan oleh konsep-konsep dasar dan
prinsip-prinsip dari bidang studi itu. Bila seorang siswa telah menguasai struktur dasar,
maka kurang sulit baginya untuk mempelajari bahan-bahan pelajaran lain dalam bidang
studi yang sama, dan ia akan lebih mudah ingat akan bahan baru itu. Hal ini disebabkan
karena ia telah memperoleh kerangka pengetahuan yang bermakna, yang dapat
digunakannya untuk melihat hubungan-hubungan yang esensial dalam bidang studi itu,
dan dengan demikian dapat memahami hal-hal yang mendetail.
Menurut Bruner, mengerti struktur suatu bidang studi ialah memahami
bidang studi itu sedemikian rupa sehingga dapat menghubungkan hal-hal lain
pada struktur itu secara bermakna. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
mempelajari struktur adalah mempelajari bagaimana hal-hal dihubungkan.
2. TEORI INSTRUKSI BRUNER.
Dalam bagian terdahulu telah kita ketahui beberapa prinsip belajar menurut
Bruner. Dalam bagian ini akan kita bahas bagaimana pengajaran atau instruksi
dilaksanakan sesuai dengan teori yang telah dikemukakan tentang belajar.
Menurut Bruner, suatu teori instruksi (Bruner,1966) hendaknya meliputi a.
Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa untuk mau dan dapat belajar.
b. Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal.
c. Perincian urutan-urutan penyajian materi pelajaran secara optimal.
d. Bentuk dan pemberian reinforcemen.
Untuk lebih jelasnya perhatikan uaraian sebagai berikut:
a. Pengalaman-pengalaman Optimal untuk Mau dan Dapat Belajar
Menurut Bruner, belajar dan pemecahan masalah tergantung pada
penyelidikan alternatif-alternatif. Oleh karena itu, pengajaran atau instruksi
harus memperlancar dan mengatur penyelidikan alternatif-alternatif, ditinjau dari
segi siswa.
Penyelidikan alternatif-alternatif membutuhkan aktivasi, pemeliharaan, dan
pengarahan. Dengan lain perkataan, penyelidikan alternatil-alternatif membutuhkan
sesuatu untuk dapat mulai; sesudah dimulai keadaan itu harus dipelihara atau
dipertahankan; kemudian dijaga agar tidak kehilangan arah.
Kondisi untuk aktivasi ialah adanya suatu tingkat ketidaktentuan yang
optimal. Keingintahuan merupakan suatu respons terhadap ketidaktentuan dan
kesangsian. Suatu tugas yang begitu terperinci menghendaki sedikit penyelidikan; tugas
yang begitu tidak tentu dapat menimbulkan kebingungan dan kecemasan, dengan akibat
mengurangi penyelidikan.
Setelah penyelidikan teraktifkan, situasi itu dipelihara dengan membuat risiko
seminim mungkin dalam penyelidikan itu. Belajar dengan pertolongan guru seharusnya
kurang mengambil risiko dibandingkan dengan belajar sendiri. Ini berarti, bahwa akibat
membuat kesalahan, menyelidiki alternatif-alternatif yang salah, hendaknya tidak banyak
terjadi di bawah bimbingan guru, dan hasil dari penyelidikan alternatif-alternatif yang
benar dengan sendirinya besar.
Arah penyelidikan tergantung pada dua hal yang saling berkaiatan, yaitu tujuan
dari tugas yang diberikan sampai batas-batas tertentu harus diketahui, dan sampai
seberapa jauh tujuan itu telah tercapai pun harus diketahui.
b. Penstrukturan Pengetahuan untuk Pemahaman Optimal.
Struktur suatu dominan pengetahuan mempunyai tiga ciri dan setiap ciri
itu mempengaruhi kemampuan siswa untuk menguasainya Ketiga ciri itu ialah cara
penyajian (mode of representation), ekonomi, dan kuasa (power). Cara penyajian,
ekonomi, dan kuasa, berbeda bila dihubungkan dengan usia, ”gaya” para siswa, dan
jenis bidang studi.
Kita sudah mengetahui, bahwa ada tiga cara penyajian, yaitu cara enaktif,
ikonik, dan simbolik, dan contoh-contoh untuk setiap cara penyajian itu telah
diberikan pula. Banyak bidang studi mempunyai berbagai alternatif cara penyajian.
Ekonomi dalam penyajian pengetahuan dihubungkan dengan sejumlah
informasi yang dapat disimpan dalam pikiran, dan proses untuk mencapai
pemahaman. Makin banyak jumlah informasi yang harus dipelajari siswa untuk
memahami sesuatu atau untuk menangani suatu masalah, makin banyak langkah-langkah
yang harus ditempuh dalam memproses informasi untuk mencapai suatu kesimpulan, dan
makin kurang ekonomis.
Lebih ekonomis untuk merangkum hubungan antara volume dan tekanan gas
dengan rumus PV = C, misalnya daripada menyajikan dalam bentuk tabel tentang hasil-
hasil pengamatan mengenai hubungan volume dan tekanan berbagai macam gas.
Ekonomi berubah dengan cara penyajian. Ekonomi makin meningkat dengan
menggunakan diagram atau gambar. Dapat kita bandingkan suatu flow chart dengan
uraian mengenai cara menghasilkan gula putih dari tebu, misalnya. manakah yang lebih
ekonomis?
Kuasa dari suatu penyajian dapat juga diterangkan sebagai kemampuan
penyajian itu untuk menghubung-hubungkan hal-hal yang kelihatannya sangat
terpisah-pisah.
c. Perincian Urutan-urutan Penyajian Materi Pelajaran Secara Optumal.
Dalam mengajar, siswa dibimbing melalui urutan pernyataan-pernyataan
dari suatu masalah atau sekumpulan pengetahuan untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam menerima, mengubah, dan menstransfer apa yang telah
dipelajarinya. Jadi, urutan materi pelajaran kesulitan yang dihadapi siswa dalam
mencapai penguasaan. Biasanya ada berbagai urutan yang setara dalam kemudian dan
kesulitan bagi para siswa. Tidak ada satu urutan khas bagi semua siswa, dan urutan yang
optimal tergantung pada berbagai faktor, misalnya belajar sebelumnya, tingkat
perkembangan anak, sifat materi pelajaran, dan perbedaan individu.
Dikemukakan oleh Bruner, bahwa perkembangan intelektual bergerak
dari penyajian enaktif, melalui penyajian ekonik ke penyajian simbolik. Karena
itu urutan optimum materi pelajaran juga mengikuti arah yang sama.
d. Bentuk dan Pemberian Reinforcemen
Dalam teorinya Bruner mengemukakan, bahwa bentuk hadiah atau pujian
dan hukuman harus dipikirkan. Demikian pula bila pujian atau hukuman itu
diberikan selama proses belajar-mengajar. Secara intuitif, jelas bahwa selama proses
belajar mengajar berlangsung, ada suatu ketika hadiah ekstrinsik bergeser ke hadiah
intrinsik. Sebagai hadiah ekstrinsik misalnya, berupa pujian dari guru, sedangkan hadiah
intrinsik timbul karena berhasil memecahkan masalah. Demikian pula ada kalanya
hadiah yang diberikan secara langsung, harus diganti dengan hadiah yang
pemberiannya harus ditunda atau ditangguhkan. Ketepatan waktu pergeseran dari hadiah
ekstrinsik ke hadiah intrinsik, dari hadiah intrinsik ke hadiah ekstrinsik, dan dari hadiah
langsung ke hadiah yang ditangguhkan, sedikit sekali diketahui, karena itu dengan
sendirinya penting untuk diperhatikan.
Akhirnya patut ditekankan, bahwa tujuan mengajar ialah untuk menjadikan
siswa merasa puas. Umpan balik berupa perbaikan-perbaikan apa pun juga membawa
bahaya bagi siswa, karena siswa bersangkutan menjadi tetap bergantung pada guru atau
tutor. Tutor seharusnya memperbaiki, siswa sedemikian rupa, sehingga akhirnya siswa
itu dimungkinkan untuk menggantikan fungsi tutor itu.
3. MENERAPKAN MENGAIAR PENEMUAN
Salah satu dari model-model instruksional kognitif yang paling berpengaruh
ialah model belajar penemuan ]erome Bruner (7966). Dalam bagian ini akan dibahas
bagaimana menerapkan belajar penemuan pada siswa, ditinjau dari segi metode, tujuan,
serta peranan guru.
a. Metode dan Tujuan.
Dalam belajar penemuan, metode dan tujuan tidak sepenuhnya seiring.
Tujuan belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja. Tujuan belajar
sebenarnya ialah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat
melatih kemampuan-kemampuan intelektual para siswa, dan merangsang
keingintahuan mereka dan memotivasi kemampuan mereka. Inilah yang dimaksud
dengan memperoleh pengetahuan melalui belajar penemuan.
Jadi, kalau kita mengajar Sains, misalnya kita bukan akan menghasilkan
perpustakaan-perpustakaan hidup kecil tentang Sains, melainkan kita ingin membuat
anak-anak kita berpikir secara matematis bagi dirinya sendiri, berperan serta dalam
proses perolehan pengetahuan. Mengetahui itu adalah suatu proses, bukan suatu produk.
Apakah implikasi ungkapan Bruner? Tujuan-tujuan mengajar hanya dapat
diuraikan secara garis besar, dan dapat dicapai dengan cara-cara yang tidak perlu sama
oleh para siswa yang mengikuti pelajaran yang sama itu.
Dengan mengajar seperti yang dimaksud oleh Bruner ini, bagaimana peranan
guru dalam proses belajar-mengajar? Dalam belajar penemuan siswa mendapat
kebebasan sampai batas-batas tertentu untuk menyelidiki, secara perorangan atau dalam
suatu tanya jawab dengan guru, atau oleh guru dan atau siswa-siswa lain, untuk
memecahkan masalah yang diberikan oleh guru, atau oleh guru dan siswa-siswa
bersama-sama. Dengan demikian jelas, bahwa peranan guru lain sekali bila
dibandingkan dengan peranan guru yang mengajar secara klasikal dengan metode
ceramah. Dengan belajar penemuan ini guru tidak begitu mengendalikan proses belajar-
mengajar.
b. Peranan Guru.
Dalam belajar penemuan, peranan guru dapat merangkum sebagai berikut:
(1) Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada
masalah-masalah yan g tepat untuk diselidiki oleh para siswa.
(2) Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk
memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada
pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan penggunaan
fakta-fakta yang berlawanan. Guru hendaknya mulai dengan sesuatu yang sudah
dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru mengemukakan sesuatu yang berlawanan.
Dengan demikian terjadi konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbullah
masalah. Dalam keadaan yang ideal, hal yang berlawanan itu menimbulkan suatu
kesangsian yang merangsang para siswa untuk menyelidiki masalah itu, menyusun
hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip
yang mendasari masalah itu.
(3) Selain hal-hal yang tersebut di atas, guru juga harus memperhatikan tiga cara
penyajian yang telah dibahas terdahulu. Cara-cara penyajian itu ialah cara enaktif,
cara ikonik, dan cara simbolik. Contoh cara-cara penyaajian ini telah diberikan
dalam uraian terdahulu. Untuk menjamin keberhasilan relajar, guru hendaknya
jangan menggunakan cara penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif siswa.
Disarankan agar guru mengikuti aturan penyajian daari enaktif, ikonik, lalu
simbolik. Perkembangan intelektual diassumsikan mengikuti urutan enaktif, ikonik,
dan simbolik. Jadi demikian pula harapan tentang urutan pengajaran.
(4) Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara teoritis, guru
hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya
daknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan
dipelajari, tetapi ia hendaknya memberikan saran-saran bilamana diperlukan.
Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang
tepat. Umpan balik sebagi perbaikan hendaknya diberikan dengan cara sedemikian
rupa sehingga siswa tidak tetap tergantung pada pertolongan guru. Akhirnya siswa
harus melakukan sendiri fungsi tutor itu.
(5) Menilai hasil belajar merupakan suatu msalah dalam belajar penemuan. Seperti kita
ketahui, tujuan-tujuan tidak dapat dirumuskan secara mendetail, dan tujuan-tujuan
itu tidak diminta sama untuk berbagai siswa. Lagi pula tujuan dan proses tidak
selalu seiring. Secara garis besar, tujuan belajar penemuan ialah mempelajari
generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu.
Di lapangan, penilaian hasil belajar penemuan meliputi pemahaman tentang
prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang studi, dan kemampuan siswa untuk
menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi baru. Untuk maksud ini bentuk tes
dapat berupa tes objektif atau tes esai.
Dalam usaha meningkatkan pendidikan pada umumnya, pendidikan sains pada
khususnya, Bruner mengemukakan empat tema, yaitu: struktur, kesiapan, intuisi, dan
motivasi.
Bruner menganggap, bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu
memperoleh informasi baru, transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan
ketepatan pengetahuan. Pandangannya terhadap belajar yang disebutnya sebagai
konseptualisme instrumental itu, didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan orang
tentang alam didasarkan pada model-model mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan
model-model itu mula-mula diadopsi dari kebudayaan seseorang, dan kemudian model-
model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi orang itu.
Pematangan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan oleh
bertambahnya ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Pertumbuhan itu
tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi
suatu "sistem simpanan" yang sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan itu menyangkut
peningkatan kemampuan seseorang untuk mengemukakan pada dirinya sendiri atau pada
orang lain tentang apa yang telah atau akan dilakukannya.
Penyajian kemampuan dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu cara enaktif, cara
ekonik, dan cara simbolik.
Menurut Bruner beiajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan.
Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama, dan mempunyai
efek transfer yang lebih baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan
berpikir secara bebas, dan melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan
dan memecahkan masalah.
Teori instruksi menurut Bruner hendaknya mencakup:
1).Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa untuk mau dan dapat belajar, ditinjau dari
segi aktivitasi, pemeliharaan, dan pengarahan.
2).Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal, ditinjau dari segi cara penyajian,
ekonomi, dan kuasa.
3).Perincian urutan-urutan penyajian materi pelajaran secara original, dengan
memperhatikan faktor-faktor belajar sebelumnya, tingkat perkembanganan anak, sifat
materi pelajaran, dan perbedaan individu.
4).Bentuk dan pemberian reinforcemen.
Dalam menerapkan belajar penemuan tujuan-tujuan mengajar hanya dapat dirumuskan
secara garis besar, dan cara-cara yang digunakan para siswa untuk mencapai tujuan
tidak perlu sama.
Dalam belajar penemuan, guru tidak begitu mengendalikan proses belajar-
mengajar. Guru hendaknya mengarahkan pelajaran pada penemuan dan pemecahan
masalah. Selain itu guru dim inta pula untuk memperhatikan tiga cara penyajian, yaitu cara
penyajian enaktif, cara ikonik, dan cara simbolik.
Penilaian hasil belajar penemuaan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip
dasar mengenai suatu bidang studi, dan aplikasi prinsip-prinsip itu pada situasi baru.
5.3. TEORI BELAJAR DAVID AUSUBEL(BELAJAR BERMAKNA).
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan, inilah yang membedakan
Ausubel dari teori-teoriwan lainnya yang hanya berlatar belakang psikologi, tetapi teori-teori
mereka diterjemahkan dari dunia psikologi ke dalam penerapan pendidikan. Ausubel memberi
penekanan pada ”belajar bermakna”, serta retensi dan variabel-variabel yang berhubungan
dengan macam belajar ini. Dalam baagian ini akan dibahas prinsip-prinsip belajar menurut
Ausubel, yaitu belajar bermakna, belajar hafalan, peristiwa subsumsi, diferensiasi progresif,
penyesuaian integratif, belajar superordinat, pengatur awal, serta bagaimana teori ini
diterapkan dalam mengajar.
1. BELAJAR MENURUT AUSUBEL
Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi, seperti
yang dinyatakan oleh Gambar 5.7.. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi
atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi
kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur
kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-
generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Pada tingkat pertama dalam
belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan
yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk belajar
penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi
yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa rnenghubungkan atau mengaitkan informasi
itu pada pengetahuan (berupa konsep-konsep atau lain-lain) yang telah dimilikinya; dalam hal
ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba
menghafalkan informasi baru itu, tanpa menghubungkannya pada konsep- konsep yang telah
ada dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Gambar 5.7. Bentuk-bentuk Belajar (menurut Ausubel & Robinson, 1969).
Kedua dimensi, yaitu penerimaan dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi
sederhana, melainkan merupakan suatu kontinum. Kedua kontinum itu diperlihatkan pada
Gambar 5.8.
Sepanjang kontinum (mendatar; terdapat dari kiri ke kanan berkurangnya belajar
penerimaan dan bertambahnya belajar penemuan, sedangkan sepanjang kontinum (vertikal;
terdapat dari bawah ke atas berkurangnya belajar hafalan bertambahnya belajar bermakna.
Ausubel menyatakan, bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan belajar penerimaan
dengan belajar hafalan, sebab mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya terjadi bila
siswa menemukan sendiri pengetahuan. Tetapi, kalau diperhatikan Gambar 5.8 tersebut, maka
Siswa dapat mengasimilasi materi pelajaran
1. Materi disajikan dalam bentuk final
SecaraPenemuan n
SecaraPenerimaan
2. Siswa menghafal materi yang disajikan.
Hafalan Bermakna
1. Materi disajikan dalam bentuk final
2. Siswa memasukkan materi ke dalam struktur kognitif.
Belajar dapat
1. Materi ditentukan oleh siswa.
2. Siswa menghafal materi.
1. Siswa menemukan materi.
2. Siswa memasukkan materi ke dalam struktur kognitif.
belajar penerimaan pun dapat dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan
antara konsep-konsep. Sedangkan belajar penemuan rendah kebermaknaannya, dan
merupakan belajar hafalan, yakni memecahkan suatu masalah hanya dengan coba-coba seperti
menebak suatu tekateki. Belajar penemuan yang bermakna sekali hanyalah terjadi pada
penelitian yang bersifat ilmiah.
Gambar 5.8. Dua Kontinuum Belaiar (Noaak, 19845)
a. Belajar Bermakna
Inti dari teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna (Ausubel, 1968).
Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkann informasi baru
pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Walaupun kita tidak mengetahui mekanisme biologi tentang memori atau disimpannya
pengetahuan, kita mengetahui bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam
otak. Banyak sel otak yang terlibat dalam penyimpanan pengetahuan itu. Dengan
BELAJAR BERMAKNA
Penelitian ilmiah
BELAJAR HAFALAN.
Menjelaskan hubungan antara konsep-konsep
Pengajaran audio-tutorial yang baik.
Penyajianmelalui ceramahatau bukupelajaran
Daftar perkalian.
BELAJAR PENERIMAAN
BELAJAR PENEMUAN TERPIMPIN.
BELAJAR PENEMUAN MANDIRI
Kegiatan dilaboratoriumsekolah.
Sebagianbesarpenelitianrutin atauproduksiintelektual
Menerapkanrumus-rumus untukmemecahkan masalah
Pemecahandengancoba-coba
berlangsungnya belajar, dihasilkan perubahan-perubahan dalam sel-sel otak, terutama sel-
sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan informasi yang sedang dipelajari.
Gambar 5.8 menunjukkan bagaimana informasi baru terkait pada susunan sel dalam otak.
Dasar-dasar Biologi belajar bermakna menyangkut perubahan-perubahan dalam
jumlah atau ciri-ciri neron yang berpartisipasi dalam belajar bermakna. Peristiwa psikologi
tentang belajar bermakna menyangkut asimilasi informasi baru pada pengetahuan yang
telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Jadi, dalam belajar bermakna informasi baru
diasimilasikan pada subsumer-subsumer relevan yang telah ada dalam struktur kognitif.
Belajar bermakna yang baru mengakibatkan pertumbuhan dan modifikasi subsumer-subsumer
yang telah ada itu. Tergantung pada sejarah pengalaman seseorang maka subsumer itu dapat
relatif besar dan berkembang, seperti, subsumer A atau kurang berkembang, seperti subsumer
B dan C (lihat (lihat Gambar 5.9).
Gambar 5.9. Dalam belajar bermakna, informasi baru a, b, c, dikaitkanpada konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif (subsumer) A, B, C. Subsumer A mengalami diferensiasi lebih banyak daripada subsumer B atau C. (Novak, 1977).
Dari mana datangnya subsumer?
Bila diinginkan belajar bermakna seperti yang dikemukakan oleh Ausubel dan bila
belajar bermakna memerlukan konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif yang disebut
subsumer itu, mungkin timbul pertanyaan: Dari mana datangnya subsumer itu?
Pada anak-anak, pembentukan konsep merupakan proses utama untuk memperoleh
konsep-konsep. Telah kita ketahui, bahwa pembentukan konsep adalah semacam belajar
penemuan yang menyangkut baik pembentukan hipotesis dan pengujian hipotesis, maupun
pembentukan generalisasi dari hal-hal yang khusus (lihat bab tentang belajar konsep).
Waktu usia masuk sekolah tiba kebanyakan anak telah mempunyai kerangkan nonsep-
konsep yang mengijinkan terjadinya belajar bermakna.
b. Belajar Hafalan.
Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan
atau subsumer-subsumer relenun, maka informasi baru dipelajari secara hafalan.
Bila tidak dilakukan usaha untuk mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-konsep
relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi belajar hafalan. Pada
kenyataannya, banyak guru dan bahan-bahan pelajaran jarang sekali menolong para siswa
untuk menentukan dan menggunakan konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif mereka
untuk mengasimilasikan pengetahuan baru, dan akibatnya pada para siswa hanya terjadi
belajar hafalan. Lagi pula sistem evaluasi di setcotair menghendaki hafalan, jadi timbul
pikiran pada para siswa untuk apa bersusah payah belajar secara bermakna?.
Kerap kali siswa-siswa diminta untuk mengemukakan prinsip-prinsip yang
sebenarnya tidak mereka mengerti apa yang mereka katakan, dapat diketahui, bagaimana
anak menghafalkan suatu prinsip tanpa mengerti apa artinya. Untuk apa mereka dapat
mengucapkan kata-iata yang muluk, tanpa mengerti apa yang dimaksud? Yang menjadi
masalah sekarang, berapa orang guru y;ng masih meminta anak belaiar demikian?.
c. Subsumsi dan Subsumsi Obliteratif.
Selama belajar bermakna berlangsung, informasi baru terkait pada konsep-konsep
dalam struktur kognitif. Untuk menekankan pada fenomena pengaitan ini, Ausubel
mengemukakan istilalr subsumer. Subsumer memegang Peranan dalam proses perolehan
informasi baru. Dalam belajar bermakna subsumer mempunyai peranan interaktif,
memperlancar gerakan informasi yang relevan melalui penghalang-penghalang perseptual
dan menyediakan suatu kaitan antara informasi yang baru diterima dan pengeiahuan yang
sudah dimiliki sebelumnya. Lagi pula, dalam proses terjadinya kaitan ini, subsumer itu
mengalami sedikit perubahan. Proses interaktif antara materi yang baru dipelajari dengan
subsumer-subsumer inilah yang menjadi inti teori belijar asimilasi Ausubel. Proses ini
disebut proses subsumsi, dan secara simbolis dinyatakan sebagai berikut:
a
Selama belajar bermakna, subsumer mengalami modifikasi dan terderensiasi lebih
lanjut. Derensiasi subsumer-subsumer diakibatkan oleh asimilasi pengetahuan baru selama
belajar bermakna berlangsung.
Informasi yang dipelajari secara bermakna, biasanya lebih lama diingat daripada
informasi yang dipelajari secara hafalan, tetapi ada kalanya unsur-unsur yang telah
tersubsumsi (yaitu tidak dapat lagi dikeluarkan dari memori, jadi sudah dilupakan.
Menurut Ausubel, terjadi subsumsi obliteratif (subsumsi yang telah rusak). Ini tidak berarti,
bahwa subsumer yang tinggal telah kembali pada keadaan sebelum terjadi proses subsumsi.
Jadi walaupun kelihatannya ada suatu unsur subordinat yang hilang, subsumer telah diubah
oleh pengalaman belajar bermakna sebelumnya. Peristiwa subsumsi obliteratif dapat
diperlihatkan sebagai berikut:
Dari rumus di atas terlihat, bahwa unsur sesudah waktu = 4, telah dilupakan, pada
waktu = 5 unsur , sesudah waktu = 6 unsur ikut dilupakan. Jadi, sesudah waktu = 6
tinggalah subsumer yang merupakan subsumer yang telah mengalami modifikasi yang
disebabkan oleh beberapa pengalaman belajar bermaakna sebelumnya.
Menurut Ausubel dan juga Novak (1977), ada tiga kebaikkan dari belajar
bermakna, yaitu:
1) Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
A = subsumer A’ = subsumer yang mengalami modifikasi. A’’ dan A = subsumer yang
lebih banyak mengalami modifikasi.
2) Informasi yang tersubsumsi berakibat peningkatan diferensiasi dari ubsumer-
subsumer, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi elajaran yang
mirip.
3) Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif, meninggalkan efek residual
pada subsumer, sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah
terjadi ”lupa”.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian mereka dan beberapa penelitian lainnya,
Ausubel dan Novak dapat mengharapkan, bahwa belajar bermakna baru yang relevan
terhadap subsumer A, akan berlangsung paling cepat pada waktu = 3, tetapi lebih cepit pada
waktu = 6 daripada waktu = 0. Penelitian-penelitiax laboratorium memperlihatkan, bahwa
informasi yang dipelajari secara hafalan meghalang-halangi belajar selanjutnya tentang
informasi baru yang mirip.
d. Variabel-variabel yang Mempengaruhi Belajar Penerimaan Bermakna.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel
(1963), ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam
suatu bidang studi tertJntu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan
validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur
kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. ]ika struktur kognitif itu stabil,
jelas, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan
timbul, dan cenderung bertahan.
Tetapi sebaliknya, jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratiur, maka
siruktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.
Prasyarat-prasyarat dari belajar bermakna adalah sebagai berikut: (1) materi yang
akan dipelajari harus bermakna secara potensial, dan (2) anak yang akan belajar atau siswa
harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat
untuk belajar bermakna (meanigful learning set). Tujuan siswa merupakan faktor utama
dalam belajar bermakna. Banyak siswa mengikuti pelajaran-pelajaran yang kelihatannya
tidak relevan dengan kebutuhan mereka pada saat itu. Dalam pelajaran-pelajaran demikian,
materi pelajaran dipelajari secara hafalan. Para siswa kelihatannya dapat memberikan
jawaban yang benar tanpa menghubungkan materi itu pada aspek-aspek lain daiam struktur
kognitif mereka.
Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung pada dua faktor: (1)
materi itu harus memiliki kebermaknaan logis, (2) gagasan-gagasan yang relevan harus
terdapat dalam struktur kognitif siswa. Materi yang memiliki kebermaknaan logis
merupakan materi yang nonarbitrer dan substantif. Yang dimaksudkan dengan materi yang
nonarbitrer ialah materi yang ajek (konsisten) dengan apayang telah diketanul. Sebagai
contoh misalnya, anak yang sudah mempelajari konsep-konsep segi empat dan bujur sangkar
dapat memasukkan kedua konsep ini, secara nonarbitrer ke dalam klasifikasi yang lebih
luas, yaitu kuadrilateral (bersegiempat), sebab sifat-sifat dari bentuk-bentuk bersegi-empat
akan cocok dengan konsep-konsep segiempat dan bujur sangkar yang sudah dipelajari.
Bahwa materi itu harus substantif berarti materi itu dapat dinyatakan dalam berbagai
cara, tanpa mengubah arti. Misalnya, definisi "Suatu segitiga ekilateral adalah segitiga yang
mempunyai tiga sisi yang sama" dapat diubah menjadi "Bila sebuah segi tiga mempunyai tiga
sisi yang sama"maka segitiga itu adalah segitiga ekilateral." Dengan mengubah urutan kata-
kata, kita tidak mengubah artinya; pernyataan-pernyataan itu ekuivalen. walaupun nomor-
nomor telepon atau nomor mobil kerap kali tidak memiliki kesubstantifan, jadi harus
dihafalkan, tetapi dengan ditemukannya suatu hubungan antara nomor-nomor itu tugas
untuk mempelajari dan mengingat informasi ini menjadi lebih mudah.
Aspek kedua tentang kebermaknaan potensial, ialah bahwa dalam struktur kognitif
siswa harus ada gagasan yang relevan. Dalam hal ini kita harus memperhatikan pengalaman
anak-anak, tingkat perkembangan mereka, intelegensi, dan usia. Isi pelajaran harus dipelajari
secara hafalan, bila anak-anak itu tidak mempunyai pengalaman yang diperlukan mereka
untuk mengaitkan atau menghubungkan isi pelajaran itu. Hal inilah yang kita jumpai dalam
pelajaran guru Geografi, di mana diharapkan anak-anak dapat mengerti ”igneous fusin” dan
”interio of the earth”. Oleh karena itu, agar terjadi belajar bermakna materi pelajaran harus
bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memasukkan materi itu ke dalam struktur
kognitifnya, dan dalam struktur kognitif anak harus terdapat unsur-unsur yang cocol untuk
mengaitkan atau menghubungkan materi baru secara non-arbitrer dan substantif . Jika salah
satu konponen ini tidak ada maka materi itu, kalaupun dipelajari secara hafalan (Rosser,
1984).
2. MENERAPKAN TEORI AUSUBEL DALAM MENGAJAR.
Untuk dapat menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, sebaiknya kita perhatikan apa
yang dikemukakan ole Ausubel dalam bukunya yang berjudul Educational Phychology: A
Cognitive View. Pernyataan itu berbunyi:
”The most important singel factor influencing learnin is what the learner already
knows. Ascertain this and teach him accordingly” (Ausubel, 1968).
Dalam bahasa kita kurang lebih pernyataan itu berbunyi: Faktor yang paling penting yang
mempengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui siswa. Yakinilah ini dan ajarilah ia
demikian.
Pernyataan Ausubel inilah yang menjadi inti teoei belajarnya. Jadi, agar terjadi belajar
bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah
ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, selain
konsep-konsep yang telah dibahas terdahulu, ada beberapa konsep dan prinsip-prinsip lain
yang perlu kita perhatikan. Konsep-konsep atau prinsip-prinsip itu ialah mengatur awal
(advance organizer), diferensiasi progresif, penyesuaian integratif, dan belajar superordinat.
Semua konsep-konsep ini akan dibahas, dengan sedapat mungkin memberikan contoh
penerapannya dalam mengajar.
a. Pengatur Awal (advance organizer).
David Ausubel (1960, 1963) memperkenalkan konsep pengatur awal dalam teorinya.
Pengatur awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari, dan menolong
mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat digunakan dalam
membantu menanamkan pengetahuan baru. Suatu pengatur awal dapat dianggap semacam
pertolongan mental, dan disajikan sebelum materi baru.
Banyak penelitian membuktikan, bahwa pengatur-pengatur awal meningkatkan
pemahaman siswa tentang berbagai macam materi Pelajalan (Hartley & Davies,
7976;Mayer,1979). Tetapi, efek pengatur-pengatur awal terhadap belajar ternyata
tergantung pada bagaimana pengatur-pengatur awal itu digunakan. Rupa-rupanya pengatur-
pengatur awal lebih berguna untuk mengajarkan isi pelajaran yang telah mempunyai
struktur teratur yang mungkin tidak secara otomatis terlihat oleh para siswa. Beberapa
peneliti (Barnes & Clawson, 1975; Ausubel, 1'978) mengemukakan bahwa pengatur-
pengatur awal belum pada umumnya ditemukan menolong siswa belajar informasi faktual
yang tidak diatur dengan jelas, atau materi pelajaran yang terdiri atas sejumlah besar topik-
topik yang terpisah-pisah. Kozlow (1978) mengemukakan, bahwa pengatur awal bisa
kurang efektif untuk bidang studi Sains, tetapi lebih efektif untuk konsep-konsep
klasifikasional, dan untuk kelas-kelas yang lebih tinggi. Adapun bentuk pengatur awal yang
diteiliti oleh Kozlow semuanya berupa bacaan, seperti yang diberikan di bawah ini.
Contoh 1.
Sumber : Hoffelder (1973).
Konsep yang
akan diajarkan : Struktur Atom
Pengatur awal : Para mahasiswa diminta membaca suatu uraian, yang garis-
garis besarnya adalah sebagai berikut:
Unit I: Struktur Atom
Dibahas teori atom, hubungan antara struktutr atom dan sifat
unsur-unsur. Mekanika kuantum dari struktur atom juga dibahas
sedikit.
Kegiatan-kegiatan
belajar : Para siswa menghadiri kuliah, dan berpartisipasi dalam kegiatan
laboratorium.
Contoh 2.
Sumber : Materi diperoleh dariLucas(1972).
Konsep : Hubungan antara makhluk hidup dan energi.
Pengatur awal : Para siswa membaca patagtaf berikut.
Matahari adalah sumber semua energi. Tumbuhan-tumbuhan hijau
memperoleh energi dari matahari. Serangga-serangga yang banyak
jumlahnya itu makan tanaman hijau yang ada'di sekitar, dan
serangga-serangga ini kemudian dimakan oleh hewan-hewan
pemakan serangga, seperti katak dan ikan. Ikan dan katak
merupakan makanan bagi hewan-hewan pemakan daging seperti ular
dan burung. Hewan-hewan pemakan daging ini lebih besar, tetapi
jumlahnya lebih sedikit.
Kegiatan-kegiatan
belajar : Para siswa membaca uraian tentang perubahan-perubahan energi
yang terjadi dalam fotosintesis, dan kegunaan makanan bagi hewan
b. Diferensiasi progesif.
Selama belajar bermakna berlangsung, perlu terjadi pengembangan dan elaborasi
konsep-konsep yang tersubsumsi. Menurut Ausubel, pengembangan konsep berlangsung
paling baik, bila unsur-unsur yang paling umum, paling inklusif dari suatu konsep
diperkenalkan terlebih dahulu, dan kemudian baru diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan
lebih khusus dari konsep itu. Dengan perkataan lain, model belajar menurut Ausubel pada
umumnya berlangsung dari umum ke khusus.
Dengan menggunakan strategi ini, guru mengajarkan konsep-konsep yang paling
inklusif dahulu, kemudian konsep-konsep yang kurang inklusif, dan setelah hal itu baru
mengajarkan hal-hal yang khusus, seperti contoh-contoh setiap konsep. Proses penyusunan
konsep semacam ini disebut diferensiasi progresif, dan merupakan salah satu dari sekian
banyak macam urutan belajar, dikatakan juga, bahwa konsep-konsep itu disusun secara
hierarkis.
Untuk menentukan dalam suatu kumpulan pengetahuan yang mana yang termasuk
konsep-konsep yang paling umum dan paling inklusif, dan yang mana yang berupa konsep-
konsep subordinat, merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Menurut Novak (1977), untuk
menyusun kurikulum yang baik, mula-mula diperlukan analisis konsep-konsep dalam suatu
bidang studi, dan kemudian diperhatikan hubungan-hubungan tertentu antara konsep-konsep
ini, sehingga dapat diketahuai konsep-konsep mana yang paling umum dan superordinat, dan
konsep-konsep mana yang lebih khusus dan subordinst. Salah satu sebab mengapa pengajran
di sekolah menjadi tidak efektif, ialah karena para pengembang kurikulum jarang sekali
memilih konsep-konsep yang akan diajarkan, dan lebih-lebih lagi jarang sekali mereka
mencoba mencari hubungan-hubungan hierarkis yang mungkin di antara konsep-konsep itu.
Novak, seperti juga banyak ahli-ahli pendidikan lainnya, menekankan bahwa fungsi pertama
dari bersekolah itu ialah belajar konsep. Oleh karena itu, kita harus memilih dari sekian
banyak pengetahuan itu konsep-konsep utama dan konsep-konsep subordinat yang ingin kita
ajarkan kepada para siswa. Sikap-sikap dan keterampilan-keterampilan diperlukan sebagai
unsur-unsur penun jang bagi belajar konsep, tetapi untuk sebagian besar pendidikan, sikap-
sikap dan keterampilan-keterampilan tidak termasuk struktur peimer dari kurikulum sekolah
(Novak, 1977: 86). Bahkan dalam sekolah kejuruan pun, belajar konsep-konsep paling sedikit
sama pentingnya dengan belajar keterampilan-keterampilan.
Sebagai contoh dalam pelajaranIlmu Kimia di SMA mengenai gagasan-gagasan
diferensiasi progresif, diberikan bagaimana mengajarkan “senyawa karbon”. Guru tidak mulai
dengan mengajarkan asam cuka, atau formaldehida, atau alkohol misalnya, melainkan ia
mulai dengan senyawa karbon, dengan menunjukkan mengapa senyawa itu disebut senyawa
karbon, yaitu senyawa alifatik dan senyawa aromatik, dan ini diterangkan atas dasar
perbedaan-perbedaan tertentu, misalnya tentang macam rantai atom karbon yang terdapat
dalam setiap golongan senyawa itu, dan lain-lain. Lalu senyawa alifatik dapat diturunkan lagi
menjadi beberapa golongan senyawa-senyawa, yaitu senyawa-senyawa hidrokarbon,
senyawa-senyawa karbonil, dan lain-lain. Kemudian senyawa hidrokarbon diperinci lagi
menjadi deret homolog alkana, alkena, dan alkuna, berdasarkan sifat-sifat tertenfu,
misalnya macam ikatan yang terdapat dalam masing-masing senyawa itu, reaksinya
terhadap air brom, dan lain-lain. Lalu untuk setiap deret homolog diberikan contoh-contoh,
terutama yang banyak terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Contoh-contoh inilah yang
merupakan konsep-konsep yang paling khusus, sedangkan senyawa karbon itu sendiri
merupakan konsep yang paling inklusif.
Suatu contoh hierarki konseptual berdasarkan diferensiasi progresif menurut Ausubel
seperti yang diuraikan di atas, diperlihatkan pada Gambar 5.10.
Gambar 5.10. Suatu Contoh Hierarki Konsepttual Berdasarkan Diferensiansi Progresif.
Pada gambar ini hanya sebagian konsep inklusif yang diturunkan menjadi konsep-
konsep yang kurang inklusif. Sudah dikatakan terdahulu, bahwa diferensiasi progresif
hanya merupakan satu dari sekian banyak macam urutan belajar. Proses ini nyata sekali kita
lihat waktu anak-anak memperoleh konsep. Misalnya anak-anak berumur sekitar dua tahun,
menyebut semua henda yang bergerak, dan mempunyai empat kaki dan ekor, kucing
(mungkin anjing?). Tetapi sesudah itu baru mereka membedakan kucing, anjing, kuda, sapi,
dan lain-lain.
c. Belajar Superordinat.
Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif
(subsumsi), konsep itu tumbuh atau mengalami diferensiasi. Proses subsumsi ini dapat terus
berlangsung hingga pada suatu saat ditemukan hal yang baru. Kita kembali pada contoh di
Senyawa karbon
Senyawa alifatik Senyawa aromatik
AlkoholAnilinFenolBenzena
Alkohol kprimer
Alkohol sekunder
Alkohol tersier
Hidrokarbon Senyawa karbonil
Alkana Alkena Alkuna Aldehida Keton Asam karboksilat
Ester
Metana Etena Asetile
atas, anak kecil dengan konsep kucingnya. Pada suatu saat ia menemukan bahwa tidak semua
kucing itu sama, lalu nama-nama konsep baru diterapkan pada unsur-unsur subordinat, anjing,
sapi, kuda, misalnya. Pada satu saat dalam belajar, anak itu mungkin mengenal atau
dibimbing untuk mengamati, bahwa semua yang dapat dibedakannya ini berambut dan
tergolong kelompok hewan yang disebut mamalia. Konsep mamalia sekarang dapat
berkembang secara hubungan superordinat terhadap konsep-konsep kucing, anjing, sapi, dan
lain-lainnya.
Belajaar superordinat terjadi, bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya
dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif. Hal yang sama
terjadi, bila anak belajar bahwa tomat, buncis, wortel adalah semua sayuran, dan setelah
mereka belajar Biologi dan ditekankan konsep-konsep buah tomat dan buncis adalah buah-
buah tanaman (plant fruits). Mungkin belajar superordinat tidak biasa terjadi di sekolah, sebab
sebagian besar guru-guru dan buku-buku teks mulai dengan konsep-konsepyang lebih
inklusif; tetapi kerapkali mereka gagal untuk memperlihatkan secara eksplisit hubungan-
hubungan pada konsep-konsep inklusif ini, waktu dikemudian hari disajikan konsep-konsep
khusus subordinat.
d. Penyesuaian Integratif.
Kadang-kadang seorang siswa dihadapkan pada suatu kenyataan yang disebut
pertentangan kognitif (cognitive dissonance). Hal ini terjadi bila dua atau lebih nama konsep
digunakan untuk menyatakan konsep yang sama, atau bila nama yang sama diterapkan lebih
dari konsep. Misalnya, buah ialah nama konsep untuk suatu konsep gizi, dan juga untuk suatu
konsep botani. Siswa itu akan bertanya, bagaimana buah dapat mencakup kedau-duanya, yaitu
masuk ke dalam gizi dan juga masuk ke dalam botani. Untuk mengatasi atau mengurangi
sedapat mungkin pertentangan kognitif ini. Ausubel menyarankan suatu prinsip lain, yaitu
yang dikenal dengan prinsip penyesuaian integratif atau rekonsiliasi integratif.
Menurut Ausubel, dalam mengajar bukan hanya urutan menurut diferensiasi
progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimanan konsep-
konsep baru dihubungkan pada konsep-konsep superordinat. Kita harus
memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan dan
dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan bagaimana
konsep-konsep yang tingkatnya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.
Untuk mencapai penyesuaian intehratif, materi pelajaran hendaknya disusun
sedemikian rupa sehingga kita menggerakkan hierki-hierarki konseptual ” ke atas dan ke
bawah” selama informasi disajikan. Kita dapat mulai dengan konsep-konsep yang paling
umum, tetapi kita perlu memperlihatkan bagaimana terkaitnya konsep dan kemudian bergerak
kembali melalui contoh-contoh ke arti baru bagi konsep yang tingkatnya lebih tinggi. Gerak
ke atas dan ke bawah dari hierarki konseptual ditunjukkan oleh Gambar 5.11.
Gambar 5.11. Bagan suatu hierarki konseptual (huruf) yang memperlihatkan urutan-urutan instruksional (bilangan) untuk mencapai diferensiasi progresif konsep-konsep tingkat tinggi dan penyesuaian integratif dari konsep-konsep (Novak. 1.977: 91 ).
Dalam bagan itu diperlihatkan, bahwa siswa hendaknya belajar, bahwa konsep G
dan konsep H adalah konsep-konsep yang khusus dari konsep C. Demikian pula konsep-
konsep I dan H adalah aspek-aspek khusus dari konsep D. Mereka juga harus tahu, bahwa
konsep-konsep G dan I berkaitan tetapi tidak secara langsung, melainkan melalui konsep-
A
B
1
K
J
IHG
EDC
15
87
11
10
96
5
4
3
2
13
12
14
F
konsep C dan D yang merupakan konsep-konsep yang lebih umum, tetapi juga merupakan
aspek-aspek yang khusus dari konsep B.
3. PETA KONSEP
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Ausubel sangat menekankan agar para guru
mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki para siswa supaya belajar bermakna dapat
berlangsung. Tetapi, Ausubel belum menyediakan suatu alat atau cara bagi para guru yang
dapat digunakan unttuk mengetahui apa yang telah diketahui para siswa. Novak (1985)
dalam bukunya Learning how to learn mengemukakan bahwa hal itu dapat dilakukan
dengan pertolongan peta konsep atau pemetaan konsep. Gagasan Novak ini didasarkan
atas teori belajar Ausubel.
a. Apakah Peta Konsep Itu?
Peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara
konsep-konsep dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi merupakan dua atau
lebih konsep-konsep yang dihubungkanoleh kata-kata dalam suatu unit semantik. Dalam
bentuknya yang paling sederhana, suatu peta konsep hanya terdiri atas dua konsep yang
dihubungkan oleh satu kata penghubung untuk membentuk suatu proposisi. Misalnya ”pada
itu hijau” akan merupakan suatu peta konsep yang sederhana sekali, terdiri atas dua konsep,
yaitu padi dan hijau, dihubungkan oleh kata itu.
Dengan menggunakan beberapa proposisi yang menyangkut konsep ”padi” maka
meningkatlah arti dan ketelitian arti bagi konsep ”padi” itu. Proposisi-proposisi itu antara lain
ialah : ’padi itu tumbuh”, ”padi itu tumbuhan”, ”padi menghasilkan beras”, ”padi milik
petani”, ”padi membawa kemakmuran” . Oleh karena itu, belajar bermakna lebih mudah
berlangsung bila konsep-konsep baru dikaitkan pada konsep yang lebih inklusif, maka peta
konsep harus disusun secara hierarki. Ini berarti, bahwa konsep yang lebih inklusif ada di
puncak peta. Makin ke bawah konsep-konsep diurutkan makin menjadi lebih khusus.
Beberapa contoh peta konsep akan diberikan di bawah ini. Perhatikanlah peta konsep yang
diperlihatkan oleh Gambar 5.12.
Gambar 5.12. Suatu peta konsep untuk air memperlihatkan beberapa konsep yang dikaitkan, dan proposisi-proposisi. Contoh-contoh diberikan di luar elips.
Konsep air merupakan konsep yang paling umum, atau juga disebut paling inklusif
dalam peta konsep ini. Sesudah itu ada tiga konsep yang lebih kurang inklusif, yaitu
konsep-konsep makhluk hidup, molekul, dan tingkat wujud. Ketiga konsep ini dikaitkan
pada konsep yang lebih inklusif air secara berturut-turut oleh kata penghubung:
dibutuhkan olell terdiri atas, dan berubah. Demikianlah seterusnya hingga ke bawah (dasar)
peta. Pada dasar peta ini terdapat konsep-konsep yang paling khusus, yaitu tumbuhan,
hewan, panas, salju, es, ketel, danau. Ada baiknya memberi contoh untuk konsep-konsep
khusus ini, sebab contoh-contoh itu akan membuat konsep itu lebih bermakna. Untuk
air
Diperlukan
Terdiri atas
berubah
SepertiDalam keadaan dapatdapatdapat
Seperti
kucingku
misalnya Seperti dalam
Seperti dalam
Seperti dalam
Seperti dalam Seperti dalam dalam
Tingkat wujud
molekul
hewan gerak padat gas cair
Menghasilkan
uapespanas “fog”
Beringin
dari
Seperti
komporku
salju Ketel
seperti
Mahkluk hidup
Tumbuhan
danau
Maninjau
tumbuhan misalnya, diberikan contoh beringin, atau pohon pisang yang ada di mana-manai
untuk danau, bagi anak yang tinggal di Sumatera Barat misalnya, diberikan contoh danau.
Maninjau, atau danau Singkarak, untuk mereka yang bersekolah di Sumatera Utara,
danau Toba, misalnya. Contoh-contoh itu semuanya bertujuan untuk menambah
kebermaknaan bagi para siswa.
Ada kalanya konsep-konsep yang sama, oleh orang. lain menghasilkan peta konsep
yang berbeda, sebab untuk orang itu kaitan konsep yang demikianlah yang bermakna.
Marilah kita perhatikan Gambar-gambar 5.13 dan 5.14. .
Apakah perbedaan yang kita lihat antara ketiga Gambar 5.12, 5.13 dan, Gambar
5.14?. Dalam Gambar 5.12, air merupakan konsep yang paling inklusif, terletak paling atas
pada peta konsep.
Gambar 5.13.
Kemudian diturunkan menjadi konsep-konsep yang kurang inklusif, lalu sampai pada
konsep-konsep yang khusus dengan contoh-contoh. Bagaimana dengan Gambar 5.13.? Pada
gambar ini, konsep yang paling inklusif ialah konsep makhluk hidup, lalu diturunkan menjadi
Mahkluk hidup
air
hewantumbuhan
molekul
panas gaspadat
tingkat wujud
cxair
gerak
dapatdapat
mengandungmengandung
berubah
dapatdapat
dapat
dalam keadaan
meningakat karena
Terdiri atas
konsep-konsep yang kurang inklusif hingga menjadi konsep-konsep yang khusus (panas,
padat, gas, cair). Pada Gambar 5.14, molekul merupakan konsep yang paling inklusif. Gambar
5.13 dan 5.14. memperlihatkan sebelas konsep-konsep dari peta konsep pada Gambar 5.12.
dengan susunan hierarkis yang berbeda.
Gambar 5.14.
Pada uraian di atas diperlihatkan bahwa sejumlah konsep yang sama dapat tersusun
dengan hierarki yang berbeda, jadi memberikan beberapa peta konsep. Tetapi bagaimanapun
hierarki itu, setiap peta konsep memperlihatkan kaitan-kaiatan konsep yang bermakna bagi
orang yang menyusunnya. Di sinilah kita lihat perbedaan individual yang ada pada para siswa.
Dengan lain perkataan, hubungan antara konsep-konsep bagi seseorang itu ialah
idiosinkratik. Ini berarti, bahwa kebermaknaan konsep-konsep itu khas bagi setiap orang.
2. Ciri-ciri Peta Konsep.
Setelah memperoleh bayangan apakah peta konsep itu, dalam bagian ini akan
dikemukakan beberapa ciri peta konsep.
(1) Peta konsep atau pemetaan konsep ialah suatu cara untuk memperlihatkan konsep-konsep
dan proposisi-proposisi suatu bidang studi, apakah itu bidang studi Fisika, Kimia, Biologi,
matematika, sejarah, ekonomi, geografi, dan lain-lain. Dengan membuat sendiri peta
Molekul
gerak
panas
Tingkatwujud
Padat
gas
cair
Meningkatkarena
dapat
dapatdapat
Air
Makhluk hidup
dapat
Menentukan
Mempunyai
Dapat berubah
hewan
tumbuhan
seperti
seperti
Terdapat dalam
konsep, siswa ”melihat” bidang studi itu lebih jelas dan mempelajari bidang studi lebih
bermakna.
(2). suatu peta konsep merupakan suatu gambar dua dimensi dari suatu bidang lihatkan
hubungan-hubungan proposisional.antara konsep-kbnsep. Hal lnilah yang
membedakan belajar bermakna dari belajar dengan cara mencatat pelajaran tanpa
memperlihatkan hubungan antara konsep-konsep; dan dengan demikian hanya
memperlihatkan gambar satu dimensi saja. Peta konsep fukan-hanya menggambarkan
konsp-konsep yang penting, merainkan juga hubungan antara konsep-konsep itu,
seperti hubungan antara kota-kota dalam peta jalan yang diperlihatkan oleh jalan-jalan
besar, jalan kereta api, dan jalan-jalan lainnya.
(3). Ciri yang ketiga ialah mengenai cara menyatakan hubungan antara konsep-kongep'
Tidak semua konsep mempunyai bobot yang sama. Ini berarti, bahwa ada beberapa
konsep yang lebih inklusif daripada konsep-konsep yang lain. Misalnya, konsep
makhluk hidup lebih inklusif daripada konsep tumbuhan atau hewan (lihat Gambar
5.12). Jadi dapat kita lihat pada peta konsep, bahwa konsep yang paling inklusif
terdapat pada pn.rcak, lalu menurun hingga sampai pada konsep-konsep yang lebih
khusus atau contoh-contoh.
(4). Ciri keempat peta konsep ialah tentang hierarki. Bila dua atau lebih konsep digambarkan
di bawah suatu konsep yang lebih inklusif, terbentuklah suatu hierarki pada peta
konsep itu. Untuk memahami hal ini perhatikanlah peta konsep pada Gambar 5.15,
yaitu tentang pelajaran sampah.
Gambar 5.15. Peta Konsep Sampah.
Dalam peta konsep sampah, sampah yang berupa zat padat diklasifikasikan
menjadi sampah organik dan anorganik, jadi kedua konsep itu digambarkan di bawah satu
konsep yang lebih inklusif, yaitu zat padat. Dengan demikian terbentuk suatu hierarki pada
sampah
airZat padat
anorganikorganik
Gas-gas terlarut mineral patogen beracun Bukan
patogen
Karbon dioksida
metan karbonat
Nitrat
cacing
E, coli endrin kertas
klorofenoksida
urea
sepertiseperti
dapat dapat
mengandung mengandung
dapat dapatdapat
seperti sepertiseperti seperti seperti
peta konsep itu. Sebaliknya, contoh-contoh nitrat, karbonat, memperlihatkan hubungan
linier terhadap konsep mineral, jadi tidak memperlihatkan suatu hierarki.
3. Menyusun Peta KonsepPeta konsep memegang peranan penting dalam belajar bermakna. Karena itu
hendaknya setiap siswa pandai menyusun peta konsep untuk meyakinkan, bahwa pada siswa
itu telah berlangsung belajar bermakna. Bagaimana mengajarkan pembuatan peta konsep
akan dibahas di bawah ini. Ada beberapa langkah yang harus diikuti, yaitu:
a. Pilihlah suatu bacaan.ilari buku pelajaran
Sebagai contoh diberikan bacaan sebagai berikut: Setiap orang tidak asing lagi
dengan logam. Logam itu dapat terdapat di alam dan biasanya diolah menjadi logam murni.
Beberapa logam murni seperti emas, perak, dan platina dianggap sebagai logam yang
jarangterdapat. Tembaga, timah, aluminium, dan besi sebaliknya, dianggap sebagai logam
yang banyak terdapat di alam.
Manusia telah belajar bagaimana mencampur beberapa logam murni d,an zat-zat lain
untuk menghasilkan logam baru, yang disebut logam campuran (perunggu dan kuningan
adalah logam campuran). Setiap hari kita melihat logam, terutama logam campuran, yaitu
pada gedung-gedung, mobil-mobil, dan lain-lain. Perhiasan yang dipakai orang terutama
dibuat dari logam –logam yang jarang didapat di alam, sedangkan pipa-pipa dan alat-alat
masak dibuat dari logam besi, aluminium dan logam-logam lain yang banyak terdapat di
alam.
b) Tentukan konsep-konsep yang relevan.
Untuk bacaan ini kobsep-konsep yang relevan ialah: logam alamiah: tembaga, besi, perak,
baja, timah, pipa, alat masak, gedung, mobil, aluminium.
c). Urutkan konsep-konsep itu inklusif atau contoh-contoh. Inklusif dari yang paling inklusif
ke yang paling tidak inklusif.
Paling inklusif Logam
alamiah buatan jarang banyak
emas perak platina tembaga
timah aluminium besi baja
kuningan perunggu.
Paling tidak inklusi perhiasan , pipa, panci, mobil, gedung
d). Susunlah konsep-konsep itu di atas kertns, mulai dengan konsep yang paling inklusif di
puncak ke konsep yang pnling tiilak inklusif.
e). Hubungkanlah konsep-konsep itu dengan kata atau kata-kata penghubung.
fl. Peta konsep yang sudah selesai pada terlihat Gambar 5.16.
Gambar 5.16. Peta Konsep Logam.
4. Kegunaan Petra Konsep.
Dalam pendidikan, peta konsep dapat diterapkan untuk berbagai tujuan.
a. Menyelidiki apa yang telah diketahui siswa.
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa belajar bermakna membutuhkan usaha yang
sungguh-sungguh dari pihak siswa untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep-
LOGAM
BUATAN ALAMIAH
JARANG BANYAK BAJA
misalnya misalnya
EMAS
PERAK
PLATINA
TEMBAGA
TIMAH
ALUMINIUM
KUNINGAN
PERUNGGU
digunakan
MOBIL
dapat dapat
jumlah jumlah misalnya
digunakandntuk BES GEDUNG
PERHIASAN digunakan
PIPA
PANCI
konsep relevan yang telah mereka miliki. Untuk memperlancar proses ini, baik guru maupun
siswa perlu mengetahui ”tempat awal konseptual”. Dengan lain perkataan guru harus
mengetahui konsep-konsep apa yang telah dimiliki siswa waktu pelajaran baru akan dimulai,
sedangkan para siswa diharapkan dapat menunjukkan di mana mereka berada, atau konsep-
konsep apa yang telah mereka miliki dalam menghadapi pelajaran baru itu. Dengan
menggunakan peta konsep guru dapat melaksanakan apa yang telah dikemukakan di atas, dan
dengan demikian para siswa diharapkan akan mengalami belajar bermakna.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan guru untuk maksud ini ialah dengan
memilih satu konsep utama (key concept) dari pokok bahasan baru yang akan dibahas. Para
siswa diminta untuk menyusun peta lkonsep yang memperlihatkan semua konsep, yang dapat
mereka kaitkan pada konsep utama itu, serta memperlihatkan pula hubungan-hubungan antara
konsep-konsep yang mereka gambar itu. Dengan melihat hasil peta konsep yang telah disusun
para siswa itu, guru dapat mengetahui sampai berapa jauh pengetahuan para siswa mengenai
pokok bahasan yang akan diajarkan itu, dan inilah yang dijadikan titik tolak pengembangan
selanjutnya.
Sebagai contoh dapat diberikan hal berikut: Seorang guru Kimia akan membahas
pokok bahasan ”Zat dan energi”. Guru itu dapat memilih satu konsep penting, misalnya
konsep ”senyawa”. Para siswa diminta untuk menyusun peta konsep yang memperlihatkan
semua konsep-konsep, serta hubungan-hubungannya. Beberapa prta konsep yang dapat
dihasilkan para siswa itu, di antaranya mungkin seperti yang digambarkan pada Gambar 5.17
dan 5.18.
Gambar 5.17. Peta Konsep Senyawa.
ZAT
dapat
SENYAWA
dapatdapat
BERGUNA
UNSUR-UNSUR
RACUN
Teruraimenjadi
Gambar 5.18. Peta Konsep Senyawa.2
Dua peta konsep yang dibuat oleh dua orang siswa yang diperlihatkan oleh Gambar
5.17 dan 5.18. menunjukkan pengetahuan yang berbeda antara kedua siswa itu. Ada siswa
yang sudah agak jauh pengetahuan kimianya, yaitu yang membuat peta konsep yang
ditunjukkan oleh Gambar 5.18, dan ada pula yang masih kurang seperti yang ditunjukkan
oleh peta konsep Gambar 5.17. Dengan memperhatikan semua peta konsep yang dihasilkan
oleh para siswa secara pintas lalu, guru dapat menentukan bagaimana ia memulai
pelajarannya agar konsep-konsep baru yang akan diajarkannya dapat dikaitkan dengan
konsep-konsep yang telah ada pada struktur kognitif setiap siswa. Dengan demikian belajar
bermakna akan terjadi pada setiap siswa. Akan lebih baik bila guru memperhatikan
perbedaan individual yang terdapat pada para siswa. Tetapi, kaiena hal ini tidak mungkin
dilakukakan oleh guru mengingat jumlah siswa yang cukup banyak dalam satu kelas, maka
guru sebaiknya mengambil jalan tengah yaitu dengan memberikan materi pelajaran yang
tidak terlalu asing bagi siswa dengan peta konsep yang masih sederhana sekali, tetapi
SENYAWA
dapat
terdapatdi
ALAMbagian terkecil BUATAN
dapat melalui
BERGUNA MOLEKUL REAKSI KIMIA
Contoh
Garam dapur
PABRIKLABORATORIUM
didiTerdiri atas
ATOM ATOM
gula
tidak pula terlalu bersifat mengulang bagi para siswa dengan peta konsep yang sudah agak
berkembang.
Pendekatan lain yang dapat digunakan guru ialah memilih beberapa konsep penting
dari pokok bahasan yang akan diajarkan. Para siswa kemudian disuruh menyusun peta
konsep dengan menghubungkan konsep-konsep itu. Lalu para siswa diminta untuk
menambahkan konsep-konsep dan mengaitkan konsep-konsep itu hingga membentuk
proposisi yang bermakna. Dari peta-peta konsep yang dihasilkan oleh para siswa, guru
dapat mengetahui sejauh mana pengetahuan para siswa tentang pokok bahasan yang akan
diajarkan.
b. Memempelajari cara belajar.
Bila seorang siswa dihadapkan pada suatu bab dari buku pelajaran, ia tidak akan
begitu saja memahami apa yang dibacanya. Dengan diminta untuk menyusun peta konsep dari
isi bab itu, ia akan berusaha untuk mengeluarkan konsep-konsep dari apa yang dibacanya,
menempatkan konsep yang palinf inklusif pada puncak peta konsep yang dibuatnya,
kemudian mengurutkan konsep-konsep yang lain yang kurang inklusif pada konsep yang
paling inklusif, demikian seterusnya. Lalu ia mencari kata atau kata-kata penghubung untuk
mengaitkan konsep-konsep itu menjadi proposisi-proposisi yang bermakna. Lebih dari itu ia
akan berusaha mengingat konsep-konsep lain dari pelajaran yang lampau, atau menerapkan
konsep-konsep yang sedang dihadapinya ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara
demikian ia telah berusaha benar untuk memahami isi pelajaran itu. Relajar bermakna telah
berlangsung pada siswa.
Tetapi perlu disadari bahwa relajar bermakna baru terjadi bila pembuatan peta konsep
itu bukan untuk memenuhi keinginan guru, jadi seakan-akan mau menyenangkan guru,
melainkan harus timbal dari keinginan siswa untuk mau memahami isi pelajaran bagi dirinya
sendiri. Siswa benar-benar harus mempunyai kesiapan dan minat untuk relajar bermakna ,
seperti dikatakan oleh Ausubel. Sikap ini harus demiliki para siswa agar belajar bermakna
dapat terjadi. Jadi, peta konsep berfungsi untuk menolong siswa mempelajari cara belajar.
Oleh karena itu, karena peta konsep itu mengungkapkan konsep-konsep dan proposisi-
proposisi yang dimiliki seseorang, maka guru dan siswa, demikian pula siswa dan siswa dapat
mengadakan diskusi untuk saling mengemukakn mengapa sesuatu kekurangan-kekurangan
dalam mengaitkan konsep-konsep, dan guru dapat menyarankan agar siswa bersangkutan
lebih baik belajar.
c. Mengungkapkan konsepsi salah.
Selain kegunaan-kegunaan yang telah disebutkan di atas, peta konsep dapat pula
mengungkapkan konsepsi salah (misconseption) yang terjadi pada siswa. Konsepsi salah
biasanya timbul karena terdapat kaitan antara konsep-konsep yang mengakibatkan proposisi
yang salah. Senagai contoh proposisi yang salah ini diberikan suatu proposisi yang
dikemukakan siswa dalam peta konsepnya. Proposisi itu berbunyi: Bayangan bumi
mengfhasilkan bentuk bulan. Hal ini disebabkan karena dalam kerangka konseptual siswa itu
tidak terdapat konsep-konsep yang menyangkut posisi relatif bulan dan bumi terhadap
matahari.
Konsepsi salah yang biasa dijumpai pada siswa ialah bahwa mereka melihat zat padat
atau zat cair terbentuk dari molekul-molekul yang padat atau molekul-molekul ”berupa air”.
Tetapi setelah mereka menyadari, bahwa molekul-molekul dikelilingi oleh ruang kosong, dan
bahwa tingkat wujud dihubungkan dengan suhu dan pola ikatan ntara molekul-molekul, maka
mereka menyesuaikan pendapat lama mereka dengan pendapat baru mereka (jadi terjadi
penyesuaian integratif): es berubah menjadi cair bila dipanaskan, bukan karena molekul-
molekulnya berubah, yaitu dari padat menjadi cair, melainkan karena ikatan-ikatan antara
molekul-molekulnya putus. Dan bila banyak energi diberikan, molekul-molekul itu dapat
"beterbangan", membentuk gas yang akan memuai tak terhingga bila tempat molekul-
molekul itu tidak tertutup.
d. Alat eoalu.asi
Penerapan peta konsep dalam pendidikan yang terakhir dibarrlas dalam buku
ini ialah peta konsep sebagai alat eaaluasi. Selama ini alat-alat evaluasi yang dikenal oleh
guru dan siswa terutama berbentuk tes objektif atau tes esai. Walupun cara evaluasi ini
akan terus memegang peranan dalam dunia pendidikan, teknik-teknik evaluasi baru perlu
dipikirkan unfuk memecahkan masalah-masalah evaluasi yang kita hadapi dewasa ini,
Salah satu teknik evaluasi yang disarankan dalam buku ini ialah penggunaan peta konsep.
Penggunaan peta konsep sebagai alat evaluasi didasarkan pada tiga gagasan dalam
teori kognitif Ausubel:
a) Struktur kognitif itu diatur secara hierarkis, dengan konsep-konsep dan proposisi-
proposisi yang lebih inklusif, lebih umrrm superordinat terhadap konsep-konsep dan
proposisi-proposisi yang kurang inklusif dan lebih khusus.
b) Konsep-konsep dalam struktur kognitif mengalami diferensiasi progresif. Prinsip Ausubel
ini menyatakan bahwa belajar bermakna merupakan proses yang kontinu, di mana
konsep-konsep baru memperoleh lebih banyak arti dengan dibentuknya lebih banyak
kaitan-kaitan proposional.
Jadi konsepkonsep tidak pernah "tuntas dipelaju{', tetapi selalu dipelajari,
dimodifikasi, dan dibuat lebih inklusif.
c) Penyesuaian integratif. Prinsip belajar ini menyatakan bahwa belajar bermakna akan
meningkat, bila siswa menyadari hubrrngan-hubungan baru (kaitan-kaitan konsep) antara
kumpulan (sets) konsep-konsep atau proposisi-proposisi yang berhubungan. Dalam
peta konsep penyesuaian integratif ini diperlihatkan dengan adanya kaitan-kaitan silang
(cross links) antara kumpulan konsep-konsep.
Didalam menilai peta konsep yang dibuat oleh para siswa ini, masih banyak yang
harus dibahas, tetapi buku ini tidak bertujuan untuk itu. Walaupun demikian, dapat
dikemukakan secara ringkas, bahwa Novak (198D memperhatikan empat kriteria penilaian,
yaitu: (1) kesahihan proposisi, (2) adanya hierarki, (3) adanya kaitan silang, dan (4) adanya
contoh-contoh.
5.4. TEORI BELAJAR PIAGET.
Dalam bagian ini akan dibahas teori belajar Piaget. Piaget memperoleh gelar Ph.D
dalam biologi pada umur 21 tahun, dan menaruh perhatian pada epistemology (epistemology
ialah cabang dari filsafat yang mempersoalkan hakikat pengetahuan). Piaget mempelajari
berpikir pada anak-anak, sebab ia yakin bahwa dengan cara ini ia akan dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan epistemologi, seperti “Bagaimana kita memperoleh pengetahuan?” dan
“Bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui?”.
Dalam bagian ini kita akan membahas beberapa aspek pertumbuhan intelektual,
tingkat-tingkat perkembangan intelektual, factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
intelektual, macam-macam pengetahuan, dan bagaimana pengetahuan dibangun menurut
Piaget, serta implikasinya terhadap mengajar.
1. TIGA ASPEK PERKEMBANGAN INTELEKTUAL.
Dalam perkembangan intelektual ada tiga aspek yang diteliti oleh Piaget, yaitu
struktur, isi (content) dan fungsi.
a. Struktur.
Untuk sampai pada pengertian struktur diperoleh suatu pengertian yang erat
hubungannya dengan struktur, yaitu pengertian operasi. Piaget berpendapat bahwa ada
hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental, dan perkembangan berpikir logis
anak-anak. Tindakan-tindakan (actions) menuju pada perkembangan operasi-operasi, dan
selanjutnya operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.operasi
mempunyai empat ciri:
Pertama, operasi merupakan tindakan yang terinternalisasi; ini berarti tindakan itu
baik merupakan tindakan mental maupun tindakan fisik. tanpa ada garis pemisah antara
keduanya. Misalnya, bila seorang anak mengumpulkan semua kelereng kuning dan semua
kelereng merah, tindakai itu sekaligus berupa tindakan mental dan tindakan fisik. Secara
fisik ia memindahkan kelereng-kelereng itu, tetapi tindakannya itu dibimbing oleh
hubungan "sama" dan "berbeda" yang diciptakannya dalam pikirannya.
Kedua, operasi itu bersifat reversibel. Misalnya, menambah dan mengurangi
merupakan operasi yang sama yang dilakukan dengan arah yang berlawanan: 2 dapat
ditambahkan pada 1 untuk memperoleh 3; atau 1 dapat dikurangi dari 3 untuk memperoleh
2.
Ketiga, operasi itu selalu tetap, walaupun selalu terjadi transformasi atau
perubahan. Dalam proses penambahan misalnya, pasangan bilangan dapat dikelompokkan
dengan berbagai cara (5 – 7; 4 – 2; 3 - 3), tetapi jumlahnya tetap.
Keempat, tidak ada operasi yang berdiri sendiri. Suatu operasi selalu berhubungan
dengan struktur atau sekumpulan operasi. Misalnya operasi penambahan-pengurangan
berhubungan dengan operasi klasifikasi, pengurutan, din konservasi bilangan. Operasi-
operasi itu saling membutuhkan. Jadi, operasi adalah tindakan mental yang terinternalisasi,
reversibel, tetap dan terintergrasi dengan struktur dan operasi lainnya.
Struktur yang juga disebut skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi, satu
tingkat lebih tinggi dari operasi-operasi. Menurut Piaget, struktur intelektual terbentuk
pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Struktur yang terbentuk lebih
memudahkan individu itu menghadapi tuntutan yang makin meningkat dari
lingkungannya. Diperolehnya suatu struklur atau skemati berarti telah terjadi suatu
perubahan dalam perkembangan intelektual anak.
b. Isi.
Aspek kedua yang menjadi perhatian Piaget ialah aspek isi. yang dimaksudkan
dengan isi ialah. pola perilaku anak yang khas yang tercermin padi respons yang
diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihidapinya.
Antara tahun 1920 dan 1930 perhatian Piaget dalam penelitiannya tertuju pada isi
pikiran anak, misalnya perubahan dalam kemampuan penalaran semenjak kecil hingga besar,
konsepsi anak tentang alam sekitarnya, yaitu pohon-pohon, matahari, bulan, dan konsepsi
anak tentang beberapa peristiwa alam, seperti bergeraknya awan dan sungai. Sesudah
tahun 1930 perhatian penelitian Piaget lebih dalam. Dari deskripsi pikiran anak ia beralih
pada analisis proses-proses dasar yang melandasi dan menentukan isi itu (Ginsburg, 1979).
c. Fungsi.
Fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual.
Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu organisasi
dan adaptasi.
Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mensistematikkan
atau mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologis menjadi sistem-sistem
yang teratur dan berhubungan atau struktur-struktur . Dalam likungan fisik misalnya, ikan
memiliki sejumlah struktur yang membuat ikan berfungsi secara efektif dalam air, yaitu
insang, sistem sirkulasi, mekanisme suhu. Semua struktur ini bekerja sama secara efisien
untuk mempertahankan ikan itu di lingkungannya. Koordinasi secara fisik ini merupakan
hasil kecenderungan organisasi.
Kecenderungan organisasi juga terdapat pada tingkat psikologis. Seorang bayi
mempunyai secara terpisah struktur perilaku untuk pemfokusan visual dan memegang. Pada
suatu saat dalam perkembangannya, bayi itu dapat mengorganisasi kedua struktur perilaku ini
menjadi struktur tingkat tinggi dengan memegang suatu benda sambil melihat benda itu.
Dengan organisasi, struktur fisik dan struktur psikologis diintegrasikan menjadi struktur
tingkat tinggi.
Fungsi kedua yang melandasi perkembangan intelektual ialah adaptasi. Semua organisme
lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi pada lingkungan
mereka. Cara adaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan organisme yang lain.
Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Dalam proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada
untuk menanggapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya. Dalam proses akomodasi
seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respons
terhadap tantangan lingkungannya.
Contoh yang menunjukkan hubungan antara asimilasi dan akomodasi: Seorang anak
yang mengetahui bahwa cara membuka laci dengan menarik harus mengembangkan gerak-
gerak tangan baru untuk membuka laci dengan cara memutar tombol; ia harus berakomodasi
terhadap lingkungannya. Tetapi, sekali lagi ia telah mempelajari respons baru ini, akan tetap
mengingat urutan perilaku untuk membuka laci semacam ini. Ia mengadakan asimilasi
terhadap lingkungannya.
Secara ringkas dapat dikatakan, bila seorang memiliki pola perilaku untuk berinteraksi
dengan ligkungannya, ia mengadakan asimilasi. Bila ia tidak memiliki sekumpulan perilaku
untuk menanggapi suatu situasi, maka ia harus mengubah pola responsnya, dan dia
berakomodasi terhadap lingkungannya.
Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Andaikata dengan proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi pada
lingkungannya, terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium) . Akibat ketidaksetimbangan
ini maka terjadilah akomodasi, dan struktur yang ada mengalami perubahan atau struktur
baru timbul. Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus-menerus tentang keadaan
ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi, bila terjadi
kembali kesetimbangan, maka individu itu berada pada tinngkat intelektual yang lebih tinggi
daripada sebelumnya.
Adaptasi dapat diterapkan pada belajar dalam kelas. Perkembangan kognitif sebagian
tergantung pada akomodasi. Siswa harus memasuki area yang tidak dikenal untuk dapat
belajar. Ia tidak dapat hanya mempelajari apa yan g telah diketahuinya, ia tidak dapat hanya
mengandaikan asimilasi. Dalam pelajaran yang tidak memberikan hal-hal baru, siswa
mengalami "overassimilation." Dalam pelajaran yang tidak dimengerti siswa, siswa
mengalami "overaccomodation".
Kedua keadaan ini tidak memperlancar pertumbuhan kognitif. Yang perlu
diusahakan ialah adanya keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Telah diuraikan di
atas bahwa ada tiga aspek pertumbuhan intelektual, yaitu struktur, isi dan fungsi. Selama
anak tumbuh, struktur dan isinya berubah, tetapi fungsinya tetap sama. Fungsi organisasi
dan adaptasi melahirkan satu seri tingkat perkembangan. Setiap tingkat mempunyai
struktur psikologis tertentu atau khas yang menentukan kemampuan berpikir anak. Secara
singkat dapat dikemukakan bahwa perkembangan intelektual merupakan suatu konstruksi
dari satu seri struktur, mental. Setiap struktur baru didasarkan pada kemampuan-
kemampuan tertentu sebelumnya, tetapi pada saat yang sama melibatkan hasil pengalaman.
Karena itu, perkembangan intelektual merupakan suatu Proses konstruksi yang aktif dan
dinamis yang berlangsung dari perilaku bayi hingga bentuk-bentuk berpikir masa remaja.
Bagi Piaget, intelegensi ialah jumlah struktur yang tersedia yang dapat digunakan
seseorang pada saat-saat tertentu dalam perkembangannya (Dembo, 1978).
2. TINGKAT-TINGKAT PERKEMBANGAN INTELEKTUAL
Menurut Piaget, setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan
intelektual sebagai berikut:
a. Sensori-motor (0 - 2 tahun)
b. Pra-operasional (2 - 7 tahun)
c. Operasional konkret (7 - 11 tahun)
d. Operasi formal (11 tahun - ke atas).
Usia yang tertulis di belakang setiap tingkat hanya merupakan suatu aproksimasi.
Semua anak melalui setiap tingkat, tetapi dengan kecepatan yang berbeda.
]adi, mungkin saja seorang anak yang berumur 6 tahun berada pada tingkat operasional
konkret, sedangkan ada seorang anak yang berumur 8 tahun masih pada tingkat pra-
operasional dalam cara berpikir. Tetapi, urutan perkembangan intelektual sama untuk semua
anak. Struktur-struktur untuk tingkat sebelumnya terintegrasi dan termasuk sebagai bagian
dari tingkat-tingkat berikutnya.
a. Tingkat Sensori-motor.
Tingkat sensori-motor menempati dua tahun pertama dalam kehidupan. Selama
periode ini anak mengatur alamnya dengan indera-inderanya (sensori) dan tindakan-
tindakannya (motor). Selama periode ini bayi tidak mempunyai konsepsi, ”object
permanence". Bila suatu benda disembunyikan, ia gagal untuk menemukannya. Sambil
pengalamannya bertambah, sampai mendekati akhir periode ini, bayi itu menyadari bahwa
benda yang disembunyikan itu masih ada, dan ia mulai mencarinya sesudah dilihatnya benda
itu disembunyikan. Konsep-konsep yang
tidak ada pada waktu lahir, seperti konsep-konsep ruang, waktu, kausalitas, berkem
bang dan terinkorporasi ke dalam pola-pola peilaku anak.
b. Tingkat Pra-operasional.
Tingkat ini ialah antara umur 2 hingga 7 tahun. Periode ini disebut pro-operasional,
karena pada umur ini anak belum mampu melaaksanakan operasi-operasi mental, seperti
yang telah dikemukakan terdahulu, yaitu menambah, mengurangi, dan lain-lain.
Tingkat pra-operasional terdiri atas dua sub-tingkat. Sub-tingkan pertama antara 2 - 4
tahun yang disebut sub-tingkat pra-logis, sub-tingkat kedua ialah antara 4
hingga 7 tahun yang disebut tingkat berpikir intuitif. Pada sub-tingkat pra-logis penalaran
anak adalah transduktif. Kita mengetahui bahwa deduksi ialah menalar dari umum ke
khusus. Sebagai contoh, diasumsikan bahwa semua anak baik. Jika kita melihat seorang
anak, maka kita mendeduksi bahwa anak itu baik. Kebaikan, dari deduksi ialah induksi, yaitu
mengambil generalisasi dari hal-hal yang khusus. Sebagi contoh, jika kita bertemu dengan
beberapa orang anak yang baaik, maka kita simpulkan bahwa semua anak itu baik.
Bagaimana dengan penalaran anak pada tingkat pra-logis? Menurut Piaget, penalaran si anak
bukan deduksi dan bukan pula induksi. Mereka bergerak dari khusus ke khusus, tanpa
menyentuh pada yang umum. Anak itu melihat suatu hubungan hal-hal tertentu yang
sebenarnya tidak ada. Piaget menyebut ini penalaran transduktif.
Piaget memberikan contoh penalaran transduktif dari anaknya sendiri. Suatu sore
anaknya tidak dapat tidur. Anak itu berkata pada Piaget: ”Saya belum tidur, jadi hari belum
sore” (Dembo, 1978).
Anak pada tingkat pra-operasiional tidak dapat berpikir reversibel. Operasi matematis yang
reversibel ditunjukkan oleh 4 + 8 = 12, dan 12 – 8 = 4. Jadi, kita lihat bahwa reversibilitas
ialah kemampuan berpikir kembali pada titik permulaan, menuju pada satu arah dan
mengadakan kompensasi dengan menuju pada arah yang berlawanan. Anak pra-oprasional
tidak mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang memerlukan
berpikir reversibel. Pikiran anak pra-operasional bersifat ireversibel. Sebagai contoh
diberikan sebagai berikut:
"Apakah kamu mempunyai saudara?”
"Ya."
"Siapa namanya?"
"Ali"
" Apakah Ali mempunyai saudara?”
"Tidak"
Ada hal lain yang perlu kita ketahui tentang anak pra-operasional, yaitu sifat
egosentris. Menurut Piaget anak pra-operasional bersifat egosentris, yang berarti anak itu
mempunyai kesulitan untuk menerima pendapat orang lain. Sifat egosentris memasuki arena
bahasa dan komunikasi, bukan personalitas anak. Sifat egosentris, ini dapat kita perhatikan
waktu anak-anak pra-operasional bermain bersama-sama. Kita akan mendengar pembicaraan
egosentris mereka. Kita dapat mendengar anak-anak itu "saling" berbicara, tanpa
sebetulnya mengharapkan saling mendengarkan atau saling menjawab.
Selanjutnya anak pra-operasional lebih memfokuskan diri pada aspek statis tentang
suatu peristiwa daripada transformasi dari satu keadaan kepada keadaan lain. Sebagai
contoh misalnya, pada seorang anak pra-operasional diperlihatkan dua buah bola dari lilin
yang sama besar. Kemudian bola yang satu diubah menjadi bentuk sosis. Lalu ditanyakan
pada anak itu: "Masih samakah?"- Anak itu menjawab, bahwa yang berbentuk sosis lebih
besar. Dalam percakapan ini anak itu mempertahankan bentuk lilin dan mengabaikan
transformasi, yaitu perubahan dari bentuk bulat (bola) ke bentuk sosis.
c. Tingkat Operasional Konkret
Periode operasional konkret adalah antara umur 7 - 11 tahun. Tingkat ini
merupakan permulaan berpikir rasional. Ini berarti, anak memiliki operasi-operasi logis yang
dapat diterapkannya pada masarah-masalah konkret. Bila menghadapi suatu pertentangan
antara pikiran dan persepsi, anak dalam periode opeiasionil konkret memilih pengambilan
keputusan log1s, dan bukan keputusan perseptual seperti anak pra-operasional. Operasi-
operasi dalam periode ini terikait pada pengalaman perorangan. Operai-operasi itu konkret,
bukan operasi-operasi formal. Anak belum dapat berurusan dengan materi abstrak, seperti
hipotesis dan proposisi-proposisi verbal. Berikut ini akan diberikan satu set operasi-operasi
penting,
Kombinativitas atau klasifikasi adalah suatu operasi yang menggabungkan dua atau
lebih kelas menjadi kelompok yang lebih besar; semua anak laki-laki + t-semua anak
perempuan = semua anak. Hubungan seperti A > B dan B > C dapat digabungkan menjadi
hubungan baru A > C. untuk pertama kalinya anak dapat membentuk berbagai hubungan-
hubungan kelas, dan bahwa beberapa kelas dapat dimasukkan ke dalam kelas-kelas yang
lain.
Reversibilitas merupakan kriteria utama dalam berpikir operasional dalam sistem
Piaget. Ini berarti, bahwa setiap operasi logis atau maiematis dapat ditiadakan dengan
operasi yang berlawanan. semua anak - semua anak perempuan = semua anak laki-laki;
atau 7 + 3 = 10 dan 10 - 7 = 3.
Asosiativitas merupakan operasi penggabungan kelas-kelas dalam urutan apa saja:
(1 +3) +5 = 1+ (3 +5) Dalam penalaran,operasi inimengizinkan anak sampai pada jawaban
melalui banyak macam cara.
Identitas ialah operasi di mana terdapat suatu unsur nol yang, bila digabungkan
dengan unsur atau kelas apa pun, tidik menghasilkan peiubahan10 + 0 =10.
Demikiam pula, suatu kuantitas dapat dinolkan dengan menggabungkan lawannya:
10 - 10 = 0, atau jika saya berjalan ke Timur 3 km, dan ke Barat 3 km, saya akan berakhir di
tempat saya mulai (berangkat).
Tidak berarti bahwa anak-anak pada tingkat operasional konkret lebih ”pandai"
daripada anak-anak prasekolah, tetapi mereka memperoleh kemampuan tertentu untuk
memecahkan masalah-masalah yang sebelumnya belum dapat mereka pecahkan dengan
benar. Berpikir operasional lionkret lebih stabil bila dibandingkan dengan berpikir yang
sangat impresionistis dan statis yang terdapat pada anak-anak pra-operasional.
Anak dalam periode ini dapat menyusun satu seri objek dalam urutan, misalnya
mainan daii kayu atau lidi, sesuai dengan ukuran benda-benda itu. Piaget menyebut operasi
ini seriasi. Tetapi, anak hanya akan dapat melakukan ini selama masalahnya konkret. Baru
pada tingkat adolesensi masalah semacam ini dapat, diterapkan secara mental dengan
menggunakan proposisi verbal.
Selama periode ini bahasa juga berubah. Anak-anak menjadi kurang egosentris dan
lebih sosiosentris dalam berkomunikasi. Mereka berusaha untuk mengerti orang lain dan
mengemukakan perasaan dan gagasan-gagasan merekaa pada orang dewasa dan teman-
teman. Proses berpikir pun menjadi kurang egosentris, dan mereka sekarang dapat menerima
pendapat orang lain.
d. Tingkat Operasional Formal.
Pada umur kira-kira 11 tahun, timbul periode operasi baru. Pada periode ini
anak.dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang
lebih kompleks.
Kemajuan utama pada anak selama periode ini ialah bahwa ini tidak perlu berpikir
dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-peristiwa konkret; ia mempunyai kemampuan
untuk berpikir abstrak.
Sudah dikemukakan terdahulu, bahwa anak pada periode operasional konkret dapat
mengurutkan benda-benda menurut ukurannya. Tetapi, baru waktu ia mencapai periode
operasional formal ia dapat memecahkan masalah verbal yang serupa: Ani lebih putih
daripada Siti. Ani lebih hitam daripada Lili. Siapakah yang terhitam dari ketiga anak ini?.
Flawell (1963) mengemukakan beberapa karakteristik dari berpikir perasional formal.
Pertama, berpikir adolesensi ialah hipotesis deduktif. Ia dapat merumuskan banyak alternatif
hipotesis dalam menanggapi masalah, dan mencek daata terhadap setiap hipotesis untuk
membuat keputusan yang layak. Tetapi ia belum mempunyai kemampuan untuk menerima
atau menolak hipotesis.
Kedua, periode ini ditandai oleh berpikir proposional. Dalam berpikir seorang anak
operasional formal tidak dibatasi pada benda-benda atau peristiwa-peristiwa yang konkret, ia
dapat menangani pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi yang memerikan data
konkrit ini. Ia bahkan dapat menangani proposisi yang berlawanan dengan fakta. Jika seorang
anak dalam periode-periode yang lain diminta untuk pura-pura menjadi Presiden Republik
Indonesia, dan kemudian ditanyakan padanya tentang suatu situasi hipotetis yang mungkin
dialaminya sebagai presiden, maka anak itu kemungkinan besar menjawab. ”Tetapi, aku
bukan presiden Republik Indonesia.” Seorang adolesen tidak menemui kesulitan menerima
proposisi-proposisi yang berlawanan dengan fakta itu, dan menalar dari proposisi-proposisi
itu
Ketiga, seorang adolesen berpikir kombinatorial, yaitu berpikir meliputi semua
kombinasi benda-benda, gagasan-gagasan atau proposisi-proposisi yang mungkin. Sebagai
contoh diberikan hal berikut:
Dua orang anak, yaitu Arif dan Nono, diberi empat botol yang berisi zat cair jernih dan tak
berbau: (1) air, (2) air diberi oksigen, (3) asam sulfat encer, dan (4) tiosulfat, dan satu botol
kecil betutup pipet yang berisi (5) kalium iodida. Percobaan ini didasarkan pada
fakta,bahwa air yang rhengandung oksigen (2) mengoksidasi kalium iodida (5) dalam
suasan asam (3). Jadi campuran (2), (3) dan (5) akan menhasilkan warna kuning. Air (1)
netral tetapi tiosulfat (4) bersifat sebagai zat pengelantang (menghilangkan warna). Kedua
anak ini diberi tahu, bahwa suatu kombinasi yang melibatkan zat cair dalam botol kecil (5)
akan memberikan warna kuning. Tugas mereka ialah menemukan kombinasi itu. (Yang
perlu diperhatikan ialah cara anak itu mencampur berbagai zat cair itu).
Arif, umur 9 tahun:
Ia mencampur 5 dengan 1,5 dengan 2,5 dengan 4. "Tidak ada sesuatu yang terjadi".
Masih ada cara lain untuk mencampur? "Mungkin mencampur semuanya". Ia
mencampur 1. dan 2, lalu menambahkan setetes atau dua tetes 5, menambahkan 3.
"Mulai menjadi kuning" - dan kemudian menuangkan sedikit 4. "Warna kuning
hilang."
Nono, umur 13 tahun:
Ia mencoba 1 dan 5, 2 dan5,3 dan 5, 4 dan1, dengan tidak ada hasil. "Kukira, harus
dicampur." Ia mencoba 1,,2 dan 5; L,3, dan 5; 1.4. dan 5 ; 2,3 dan 5. "Itu dia!" (ia
melihat warna kuning terjadi). Apakah ada cara-cara lain? "Akan kucoba.'a Ia
mencampur 2, 4, dan 5; lalu 3,4 dan 5. "Tidak." Masih ada
kombinasi lain? "Kombinasi empat." Ia melanjutkan mencampur 1,2,3, dan S.
"Terjadi kuning lagi. Dalam botol (1) ini mungkin terdapat air, sebab tidak
menimbulkan perbedaan dengan (2,3, dan 5)." Dilanjutkannya dengan kombinasi-
kombinasi yang lain: 1, 3, 4, dan 5;2,3, 4, dan 5; dan akhirnya 1., 2 ,3, 4 dan 5 - tanpa
ada hasil. Ya, hanya campuran 2,3, dan botol kecil (5) atau 1.,2,3, dan botol kecil (5)
yang menghasilkan warna kuning. Nah, kita lihat bahwa Nonormenggunakan semua
kombinasi yang mungkin (empat belas), sedangkan Arif menggunakan hanya
bentuk-bentuk kombinasi yang elementer saja. Dalam hal ini kita katakan: Nono
berpikir kombinatorial.
Keempat, anak operasional formal berpikir refleksif. Anak-anak dalam periode ini
berpikir sebagai orang dewasa. Ia dapat berpikir kembali pada satu seri operasional mental.
Dengan perkataan lain ia dapat berpikir tentang "berpikirnya".
Ia dapat juga menyatakan operasi mentalnya dengan simbol-simbol. Dalam Ilmu Kimia
misalnya, setelah seorang siswa melakukan penyulingan campuran berbagai zat cair, dapat
diberi pertanyaan: "Bagaimana kamu mengulangi percobaan ini agar hasilnya lebih
memuaskan?" Siswa itu tentu harus memikirkan dan menilai apa yang telah dilakukannya,
agar ia dapat menemukan cara yang lebih baik. Ia berpikir refleksif.
3. FAKTOR-FAKTOR YANG MENUNJANG PERKEMBANGAN INTEKTUAL
Suatu pertanyaan yang diajukan mengenai tingkat-tingkat perkembangan intelektual
Piaget ialah: "Apakah yang menyebabkan seorang pindah dari tingkat yang satu ke tingkat
yang lain?"
Berdasarkan hasil studinya yang bertahun-tahun, Piaget mengemukakan bahwa ada 5
faktor yang mempebgaruhi transisi ini. Kelima faktor ini ialah kedewasaan (maturation),
pengalaman fisik (physical experience), pengalaman logiko
matematik (logico–mathematicale experience), transmisi sosial (social transmission), dan
proses keseimbangan (equilibration) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation).
(Phillips, 1981).
a. Kedewasaan
Perkembangan sistem saraf sentral, otak, koordinasi motorik, dan manifestasi
fisik lainnya mempengaruhi perkembangan kognitif.
maturasi merupakan faktor penting dalam perkembangan intelektual, namun ma
turasi tidak cukup menerangkan perkembangan intelektual ini. Andaikata dapat ,
maka peranan guru sangat kecil dalam mempengaruhi perkembangan intelektual
anak.
b. Pengalaman Fisik.
Interaksi dengan lingkung fisik digunakan anak untuk mengabstrak berbagai sifat
fisik dari benda-benda. Bila seorang anak menjatuhkan sebuah benda dan menemukan bahwa
benda itu pecah, atau bila ia menempatkan benda itu dalam air kemudian melihat bahwa
benda itu terapung, maka ia sudah terlibat dalam proses abstraksi, yaitu abstraksi sederhana
atau abstraksi empiris. Pengalaman ini disebut pengalaman fisik, untuk membedakannya dari
pengalaman logiko-matematik, tetapi secara paradoks pengalaman fisik ini selalu
melibatkan asimilasi pada struktur-struktur logiko-matematik. Pengalaman fisik ini
meningkatkan kecepatan perkembangan anak, sebab observasi benda-benda serta sifat benda-
benda itu menolong timbulnya pikiran yang lebih kompleks.
c. Pengalaman Logiko-matematika.
Bila seorang anak mengamati benda-benda, selain pengalaman fisik ada pula
pengalaman lain yang diperoleh anak itu, yaitu waktu ia membangun atau mengkonstruksi
hubungan-hubungan antara objek-objek. Sebagai contoh misalnya, anak yang sedang
menghitung berapa kelereng yang dimilikinya, dan ia menemukan "sepuluh" kelereng. .
Konsep ”sepuluh” bukannya suatu sifat dari kelereng-kelereng itu, melainkan suatu
konstruksi dari pikiran anak itu. Pengalaman dari konstruksi itu dan konstruksi-konstruksi
lain yang serupa, disebutpengalaman logiko-matematik, untuk membedakannya dar
pengalaman fisik. Proses konstruksi biasanya disebut abstraksi reflektif. Piaget membuat
perbedaan penting antara abstraksi reflektif dan abstraksi empiris. Dalam abstraksi empiris,
anak memperhatikan sifat fisik tertentu dari benda dan tidak mengindahkan hal-hal lain.
Misalnya waktu ia mengabstraksikan warna dari suatu benda, ia sama sekali tidak
memperhatikan sifat-sifat yang lain, seperti massa dan dari bahan apa benda itu terbuat.
Sebaliknya, abstraksi reflektif melibatkan pembentukan hubungan-hubungan antara benda-
benda. Hubungan itu, seperti konsep ’sepuluh” yang telah dikemukakan di atas, tidak terdapat
pada kelereng yang manapun, atau di mana saja di alam nyata ini. "Sepuluh" itu hanya
terdapat dalam kepala anak yang sedang menghitung.kelereng-kelereng
itu. Mungkin lebih baik digunakan istilah abstraksi konstruktif daripada istilah abstraksi
reflektif, sebab istilah itu menunjukkan bahwa abstraksi itu merupakan suatu konstruksi
sungguh-sungguh oleh pikiran
d. Transmisi Sosial
Pengetahuan yang diperoleh anak dari pengalaman fisik diabstraksi dari benda-benda
fisik. Dalam.hal pengalaman logiko-matematika, pengetahuan dikonstruksi tindakan-tindakan
anak terhadap benda-benda itu. Dalam transmisi sosial, pengetahuan itu datang dari orang
lain. Pengaruh bahasa, instruksi formal, dan membaca, begitu pula interaksi dengan teman-
teman dan orang-orang dewasa termasuk faktor transmisi sosial dan memegang peranan
dalani perkembangan intelektual anak.
e. Pengaturan-sendiri.
Pengaturan-sendiri atau equilibrasi adalah kemampuan untuk mencapai kembali
kesetimbangan (equilibriim) selama periode ketidaksetimbangan (disequilibriim) .
Equilibrasi merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat-tingkat berfungsi kognitif yang
lebih tinggi melilui asimilasi dan akomodasi, tingkat demi tingkat.
4. PENGETAHUAN FISIK, PENGETAHUAN LOGIKO-MATEMATIK, DAN
PENGETAHUAN SOSIAL.
Dalam teori Piaget, ada tiga bentuk pengetahuan yaitu pengetahuan fisik (physical
knowledge) pengetahuan logiko-matemitik (logico-matiemftical knowledge), dan
pengetahuan sosial (social knowledge) yang dapat dibedakan rnenurut sumber-.sumber
utamanya, serta cara penstrukturannya. Tetapi perlu diperhatikan bahwa trikotomi ini hanya
merupakan suatu perbedaan teoritis. Dalam kenyataan psikologi anak itu, menurut Piaget,
ketiga bentuk pengetahuan tersebut terdapat bersama-sama, tidak terpisah-pisah, kecuali
dalam matematika murni dan logika (Kamii, 1979).
Dalam membicarakan.berbagai pengalaman, yang merupakan faktor yang
menunjang pengembangan intelektual anak, telah disinggung sedikit tentang ketiga macam
pengetahuan ini.
Sekarang akan diberikan pembahasan yang agak lebih terurai:
a. Pengetahuan Fisik dan Pengetahuan Logiko-matematik.
Pengetahuan fisik.merupakan pengetahuan tentang benda-benda, yang ada "di luar”
dan dapat diamati dalam kenyataan eksternal. Mengenal fakta bahwa sebuah bola memantul
bila dijatuhkan ke lantai, sedangkan suatu gelas pecah bila jatuh ke lantai, merupakan
pengetahuan fisik. Berat din warna dari suatu benda juga merupakan contoh-contoh dari
pengetahuan fisik. Sumber pengetahuan fisik terutama terdapat dalam benda itu sendiri,
yaitu dalam cara benda itu memberikan pada subjek kesempatan-kesempatan untuk
pengamatan. Pengetahuan logiko-matematik terdiri atas hubungan-hubungan yang diciptakan
subjek dan diintroduksikan pada objek-objek.
Contoh suatu hubungan ialah perbedaan antara bola merah dan bola biru Hubungan
"perbedaan" tidak terdapat pada bola biru maupun pada bola merah demikian pula tidak
dapat ditemukan di mana saja dalam kenyataan eksternal "Perbedaan" itu hanya terdapat
dalam kepala anak itu yang menempatkan kedua objek itu dalam hubungan ini, dan bila anak
itu tidak dapat menciptakan hubungan ini perbedaan itu tidak akan ada padanya. Anaak itu
dapat pula menempatkan kedua bola itu dalam hubungan ”sama” (sebab kedua bola itu ialah
bola bilyard)
Kesamaan ini pun tidak terdapat baik pada bola biru maupun pada bola merah tetapi dalam
pikiran anak yang menganggap kedua bola itu sama. Demikian pula ia dapat menempatkan
kedua bola itu dalam hubungan ”dua”, yang juga tidak terdapat pada bola-bola itu.
b, Pengetahuan Sosial.
Pengetahuan sosial, seperti fakta, bahwa hari minggu anak-anak tidak bersekolah,
didasarkan pada perjanjian sosial, suatu perjanjianatau kebiasaan yang dibuat oleh manusia.
Tidak seperti pengetahuan fisik dan pengetahuan logiko-matematik, pengetahuan sosial
membutuhkan manusia. Tanpa interaksi dengan manusia, tak mungkin bagi seorang anak
untuk memperoleh pengetahuan sosial.
Pengetahuan sosial dan pengetahuan fisik serupa dalam hal keduanya merupakan
pengetahuan tentang isi (content), dan terutama bersumber dari kenyataan eksternal. Di sini
dikatakan "terutama”, sebab kedua pengetahuan itu dikonstruksi tidak langsung dari keadaan
nyata, tetapi dari dalam melalui kerangka logiko-matematik dalam berinteraksi dengan
lingkungan (Kamii, 1979: 37). Tanpa kerangka logiko-matematik, anak tidak akan dapat
mengerti perjanjian apa pun, seperti ia tidak dapat mengenal suatu benda kuning terbuat dari
kayu sebagai sebuah pensil.
Dari uraian di atas dapat terlihat, bahwa pengetahuan fisik dan pengetahuan sosial
terutama merupakan pengetahuan empiris, sedangkan pengetahuan logiko-matematik
mewakili pengetahuan menurut tradisi rasionalis.
5. BAGAIMANA PENGETAHUAN DIPEROLEH?.
Berdasarkan penelitiannya tentang bagaimana anak-anak memperoleh pengetahuan,
Piaget sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak.
Penelitiannya inilah yang menyebabkan ia dikenal sebagai konstruktivis pertama (Bodner,
1986).
Menurut Piaget, pengetahuan sosial seperti nama hari dalam seminggu atau tanda
atom unsur-unsur dalam Ilmu Kimia dapat dipelajari secara langsung, yaitu dari pikiran guru
pindah ke pikiran siswa. Namun pengetahuan fisik dan pengetahuan logiko-matematik tidak
dapat secara utuh dipindahkan dari pikiran guru ke pikiran siswa. Dengan lain perkataan
pengetauan fisik dan begitu pula pengetahuan logiko-matematik tidak dapat diteruskan
dalam bentuk sudah jadi. Setiap anak harus membangun sendiri pengetahuan-pengetahuan
itu; pengetahuan-pengetahuan itu harus dikonstruksi sendiri oleh anak melalui operasi-
operasi, dan salah satu cara untuk membangun operasi ialah dengan equilibrasi.
a. Konstruksi Pengetahuan
Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa equilibrasi adalah salah satu
faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektual. (Faktor-faktor yang lain ialah
kedewasaan, pengalaman fisik, pengalaman logiko-matematik, dan transmisi sosial).
Equilibrasi merupakan faktor yang paling penting, sebab equilibrasi ini merupakan proses
pengatur-sendiri internal yang mengkoordinir pengaruh faktor-faktor yang lain.
Equilibrasi adalah proses kecenderungan kembali ke equilibrium (kesetimbangan).
Equilibrium Piaget bukan berarti homeostasis, atau kembali ke keadaan equilibrium
sebelumnya. Equilibriumnya merupakan suatu proses konstruktif..
Piaget membedakan tiga macam equilibrasi (Kamii, 1979):
1) Antara subjek dan objek
2) Antara skema-skema atau sub-subsistem
3) Antara pengetahuan keseluruhannya dan bagian-bagiannya.
Bentuk yang pertama dapat dilihat dalam konstruksi pengetahuan fisik. Anak
memahami kenyataan dengan mengasimilasi kenyataan itu ke dalam skema-skema
klasifikatori dan menempatkan kenyataan itu dalam seri-seri, dan dengan mengakomodasi
skema-skema ini. Bentuk yang kedua dan ketiga terjadi dalam subjek
Bentuk yang kedua terutama terlihat pada konstruksi pengetahuan logiko-matematik Ciri
bentuk ketiga ialah diferensiasi dari skema-skema dan pengintegrasiannya ke dalam
keseluruhan (totalitas) pengetahuan. Bentuk ketigi ini mendominasi bentuk-bentuk kedua
lainnya: Penekanan pada totalitas ini adalah tanda suatu konsepsi biologis dari
pengetahuan. Seperti halnya embrio tumbuh dengan cara diferensiasi progresif dan
integrasi, demikian pula pengetahuan, menurut Piaget , berkembang sebagai suatu totalitas
dari sejak semula, Totalitas, ini mempunyai suatu gaya kohesif.
b. Model Konstruktivis dalam Mengajar
Prinsip yang paling umum dan paling esensial yang dapat diturunkan dari
konstruktivisme ialah bahwa anak-anak memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah,
dan pendidikan seharusnya memperhatikan hal itu dan menunjang proses alamiah ini.
Untuk dapat melaksanakan proses belajar-mengajar semacam ini, di bawah ini disarankan
beberapa prinsip mengajarkan Sains di selohh dasar (Kamii, 1979). Untuk tingkat sekolah
yang lebih tinggi akan diberikan pula suatu strategi mengajar yang akan dibahas di bagian
lain.
1) Siapkanlah benda-benda nyata untuk digunakan para siswa.
Ada dua alasan bagi prinsip ini. Pengetahuan fisik diperoleh dengan berbuat
pada benda-benda, dan melihat bagaimana benda-benda itu bereaksi. Misalnya, untuk
mengetahui apakah sebuah bola yang dibuat dari tanah liat dapat terapung dalam air, anak itu
harus berbuat sesuatu pada benda-benda itu dan memperoleh jawaban dari benda-benda itu.
Sambil ia mengubah-ubah perbuatan atau tindakannya ia menghubungkan perubahan-
perubahan dalam perbuatannya dan perubahan-perubahan dalam reaksi benda-benda itu.
Bukan hanya pengetahuan fisik yang dikembangkannya, melainkan juga pengetahuan logiko-
matematika.
Alasan yang kedua para siswa harus bekerja dengan benda-benda ialah bahwa inilah satu-
satunya cara mereka dapat menglogiko-matematikan kenyataan. Bukan dengan cara belajar
kata-kata para siswa menjadi lebih baik berpikir mengenai alam nyata.
2) Dengan memperhatikan empat, cara di baawah ini mengenai berbuat terhadap
benda-benda, Pilihlah pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
a) Berbuat terhadap benda-benda dan melihat bagaimana benda-benda itu bereaksi.
b) Berbuat terhadap benda-benda untuk menghasilkan suatu efek yang diinginkan.
c) Menjadi sadar bagaimana seorang menghasilkan efek yang diinginkan.
d) Menjelaskan.
Mengenai pendekatan ketiga Piaget menemukan, bahwa di sekitar umur empat atau
lima tahun, anak-anak dapat melakukan banyak hal pada tingkat inteligensi praktis, tetapi
mereka tidak menyadari bagaimana menghasilkan sesuatu yang diinginkan itu.
Cara yang keempat dapat berupa penjelasan dari suatu peristiwa, atau berupa menguji
suatu hipotesis secara sistematis. Bila dipusatkan hanya pada penjelasan-penjelasan, ada
bahayanya karena kerap kali timbul verbalisme.
Bila digunakan dua pendekatan yang pertama, para siswa dapat diminta menjelaskan
apa yang menyebabkan mereka berpikir. Dalam pelajaran ”Terapung, melayang, dan
tenggelam", misalnya waktu mereka disuruh membuat ”kapal-kapal dari tanah liat", guru
menggunakan pendekatan kedua, bila ia meminta para siswa untuk membuat kapal tanah liat
yang dapat terapung dalam air. Kemudian, bila guru bertanya apa yang akan terjadi bila anak-
anak menempatkan benda-benda dalam kapal tanah liat itu, maka guru menggunakan
pendekatan yang pertama. Kedua pendekatan ini dan juga pendekatan yang ketiga, yang akan
dibahas di bawah ini, mengandung unsur penjelasan dan pada umumnya lebih baik dari pada
mengajar menjelaskan, yang bagaimanapun juga sulit bagi para siswa dalam periode-periode
konkret.
Pendekatan yang ketiga, yaitu menjadi sadar bagaimana seseorang menghasilkan
efek yang diinginkan, dapat digunakan bila guru menganjurkan siswa untuk bertanya pada
siswa yang lain bagaimana ia menyelesaikan tugasnya. Ini merupakan suatu contoh situasi
yang secara edukatif baik bagi siswa yang mengajarkan dan bagi siswa yang diajari.
3) Perkenalkan kegiatan yang layak, dan menarik, dan berilah para siswa kebebasan
untuk menolak saran-saran guru.
Kegiatan-kegiatan itu mungkin menarik bagi para siswa, tetapi jangan dipaksakan
pada mereka. Para siswa hendaknya mempunyai kebebasan untuk mengikuti perhatian
mereka sendiri, oleh karena pikiran itu hanya akan dapat berkembang bila siswa itu terlibat.
4) Tekankan penciptaan pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah dan demikian
pula pemecahan-pemecahannya
Dewasa ini para pendidik kerap kali menganjurkan "pemecahan masalah", tetapi
jarang kita dengar tentang pentingnya penciptaan masalah-masalah dan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan. Suatu bagian penting dalam konstruktivisme ialah konstruksi
pertanyaan-pertanyaan. Selain para siswa mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan atau
memecahkan masalah-masalah mereka, mereka juga termotivasi untuk bekerja keras.
Menurut Piaget, perumusan petanyaan-pertanyaan merupakan salah satu dari bagian-
bagian yang paling penting dan paling kreatif dari sains yang diabaikan dalam pendidikan
Sains.
5) Anjurkan para siswa untuk saling berinteraksi.
. Menurut Piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk
perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung,
perkembangannya dapat distimulasi oleh konfrontasi kritis, khususnya dengan teman-teman
setingkat. Seperti halnya perbedaan pendapat itu esensial untuk konstruksi sains, demikian
pula hal ini tidak dapat dihindari untuk mengkonstruksi pengetahuan fisik dan pengetahuan
logiko-matematik. Menurut Piaget, para siswa hendaknya dianjurkan untuk mempunyai
pendapat sendiri (walaupun pendapat itu mungkin "salah"), mengemukakannya,
mempertahankannya, dan merasa bertanggung jawab atasnya. Ungkapan keyakinan secara
jujur, akhirnya memupuk ekuilibrasi konstruktif dan membuat para siswa lebih cerdas dan
lebih termotivasi untuk terus belajar dibandingkan dengan belajar jawaban "benar".
Ada kalanya guru dapat menganjurkan para siswa untuk membandingkan berbagai gagasan.
Pada kesempatan lain guru membentuk kelompok-kelompok kecil untuk memecahkan
masalah tertentu. Cara ketiga untuk membangkitkan interaksi ialah dengan meminta seluruh
kelas membandingkan berbagai masalah, pengamatan, dan interpretasi.
6) Hindari istilah-istitah teknis dan tekankan berpikir.
Hasil penelitian mengungkapkan, bahwa bahasa dapat memperjelas dan
memperkaya gagasan-gagasan bila para siswa sudah pada tingkat perkembangan yang
tinggi. Tetapi, kerap kali kata-kata merintangi berpikir.
7) Anjurkan para siswa berpikir dengan cara mereka sendiri.
Ada kalanya siswa-siswa membandingkan hal-hal yang salah. walaupun demikian,
mereka harus dianjurkan untuk berpikir dengan cara mereka sendiri. Sebagian dari intuisi-
intuisi mereka itu ada yang salah dan sebagian ada yang betul, dan gagasan-gagasan ini harus
ditelusuri dan dikoordinasikan, agar para siswa menjadi pemikir-pemikir yang diharapkan.
8) Perkenalkan-ulang (reintroduce) materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa
tahun.
Anak yang sama bila melihat mobil, atau benda lain apapun juga atau peristiwa, tidak
akan melihat kenyataan yang sama pada umur enam, sepuluh, dan umur empat belas tahun.
Alasannnya ialah karena anak yang lebih tua mengasimilasikan benda-benda ke dalam
pengetahuan terstruktur yang lebih baik daripada anak yang iebih muda. Jadi, pengurutan
ketat dari isi tidak perlu, menurut Piaget. Kecuali itu, penelitian Piaget menunjukkan bahwa
anak-anak memperoleh pengetahuan dengan cara-cara yang amat berbeda dari cara orang
dewasa.
Pernyataan bahwa urutan ketat tidak perlu, tidak berarti bahwa semua urutan
harus dihindari. Misalnya, pelajaran ”Kapal tanah liat” diharuskan untuk kelas dua hingga
kelas enam. Dalam jangka umur yang panjang ini, guru diberitahu bahwa bagi anak-anak
yang muda masalahnya ialah membuat benda yang akan terapung. Sebaliknya, untuk anak-
anak yang lebih tua, masalah ialah menemukan mengapa bentuk benda tetentu dapat memuat
lebih banyak daripada benda yang lain, dan apa yang membuat suatu benda itu tenggelam
atau terapung.
Suatu urutan yang lain ditunjukkan oleh dua saran berikut, disarankan sesudah para siswa
dapat membuat kapal tanah liatnya terapung:
a) Guru dapat menanyakan pada para siswa apakah mereka mempunyai benda apa saja dalam
bangku mereka yang mereka mau tempatkan pada kapal mereka.
b) Guru memberi siswa beberapa benda kecil dan menyarankan agar siswa tersebut
menemukan berapa jumlah benda yang dapat dimuat oleh kapalnya.
Dalam setiap saran di atas, guru telah membawa “terapung dan tenggelam” ke tingkat
yang lebih tinggi daripada sebelumnya, dan yang penting ialah guru tidak memaksakan
gagasan-gagasan ini. Jika saran yang tepat dibuat pada waktu yang tepat, maka hal ini akan
membawa siswa ke pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi, seperti pertanyaan-pertanyaan
berikut:
Apakah kapal yang sama akan selalu memuat jumlah yang sama benda-benda ying
menyebabkan tenggelam?.
Haruskah benda-benda itu ditempatkan pada posisi yang sama?.
Apakah yang terjadi bila air masuk ke dalam kapal?.
Apakah yang terjadi, bila benda-benda itu dilemparkan ke dalam kapal?.
Dapat dilihat bahwa ada suatu derajat interaksi yang tinggi antara pengurutan
yang dilakukan guru dan pengurutan yang dilakukan para siswa. Seni mengajar terletak pada
memikirkan saat yang tepat, kapan akan mengajukan suatu pertanyaan yang baik yang akan
memberikan.stimulasi pada siswa untuk pindah ke tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan
akan menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan.
c. Siklus Belajar
Sesuai dengan prinsip mengajar menurut model konstruktivis seperti yang telah
dikemukakan di atas, maka kita harus menerima mengajar bukan sebagai proses di mana
gagasan-gagasan guru diteruskan pada para siswa, melainkan sebagai proses-proses untuk
mengubah gagasan-gagasan"anak yang sudah ada yang mungkin "salah" itu. Dasar
pemikiran para konstruktivis ialah, bahwa pengajaran efektif menghendaki agar guru
mengetahui bagaimana para siswa memandang fenomena yang menjadi subjek pengajaran.
Pelajaran kemudian dikembangkan dari gagasan yang telah ada itu, mungkin melalui
langkah-langkah intermediat, dan berakhir dengan gagasan yang telah mengalami
modifikasi.
Salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model konstruktivis ialah
penggunaan siklus belajar (Herron, 1988). Siklus belajar terdiri atas tiga fase, yaitu fase
eksplorasi, fase pengenalan konsep, dan fase aplikasi konsep. Selama eksplorasi para siswa
belajar melalui aksi dan reaksi mereka sendiri dalam suatu situasi baru (Misalnya, para
siswa bereskperimen dengan gas-gas yang terdapat dalam tabung penyuntik untuk melihat
bagaimana volum dapat diubah, mengamati film yang mengsimulasikan gerak partikel-
partikel dalam gas, dan beberapa hal lain). Dalam fase ini mereka kerap kali menyelidiki
suatu fenomena dengan bimbingan minimal. Fenomena baru itu seharusnya menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan atau kekomplekan yang tidak dapat mereka pecahkan dengan
gagasan-gagasan mereka yang ada atau dengan pola-pola penalaran yang biasa mereka
gunakan. Dengan lain perkataan, fase ini menyediaka4 kesempatan bagi para siswa untuk
menyuarakan gagasan-gagasan mereka yang bertentangan dan dapat menimbulkan
Perdebatan dan suatu analisis mengenai mengapa mereka mempunyai gagasan-gagasan
demikian. Eksplorasi juga membawa para siswa pada identifikasi suatu pola keteraturan
dalam fenomena yang diselidiki.
Fase kedua ialah pengenalan konsep, lang biasanya dimulai dengan memperkenalkan
suatu konsep atau konsep-konsep yang ada hubungannya dengan fenomena yang diselidiki,
dan didiskusikan dalam konteks apayang telah diamati selama fase eksplorasi (Misalnya,
dalam fase ini dapat didiskusikan apa yang dimaksudkan dengan tekanan gas dan volum
gas, atau energi kinetik molekul-molekul gas, dan beberapa konsep lainnya). Sesudah
pengenalan konsep, fase aplikasi menyediakan kesempatan bagi para siswa untuk
menggunakan konsep-konsep yang telah diperkenalkan untuk menyelidiki sifat-sifat gas
lebih lanjut.
d. Tiga Macam Siklus Belajar.
Lawson (1938) mengemukakan tiga macam siklus belajar: deskriptif, empiris-
induktif, dan hipotesis-deduktif. Ketiga siklus belajar ini menunjukkan suatu kontinum dari
sains deskriptif hingga sains eksperimetal. Dengan sendirinya ketiga siklus belajar ini
menghendaki perbedaan dalam inisiatif, pengetahuan, dan kemampuan menalar dari para
siswa. Ditinjau dari segi penalaran, siklus belajar deskriptif mengehendaki hanya pola-pola
deskriptif (misalnya seriasi, klasifikasi, konservasi), sedangkan siklus belajar hipotetis-
deduktif menghendaki pola-pola tingkat tinggi
(misalnya mengendalikan varibel, penalaran korelasional, penalaran hipotesis-deduktif).
Siklus belajar empiris-induktif bersifat intermediat, menghendaki pola-pola penalaran
deskriptif, tetapi pada umumnya melibatkan pula pola-pola tingkat tinggi. Ketiga siklus
belajar yang telah diuraikan di atas, tidak sama efektifnya dalam menimbulkan
disequilibrium, argumentasi dan penggunaan pola-pola menalar untuk menyelami konsepsi-
konsepsi atau miskonsepsi-niskonsepsi yang terdapat pada para siswa.
Dalam siklus belajar deskriptif para siswa menemukan dan memerikan suatu
pola empiris dalam suatu konteks khusus eksplorasi), guru memberi nama pada pola itu
(pengenalan istilah atau konsep), kemudian pola itu ditentukan dalam konteks-konsteks lain
(aplikasi konsep). Bentuk siklus belajar ini disebut deskriptif, sebab siswa dan guru hanya.
Memerikan apa yang mereka amati tanpa usaha untuk melahirkan hipotesis-hipotesis untuk
menjelaskan hasil pengamatan mereka.
Siklus belajar deskriptif menjawab pertanyaan, Apa?, tetapi tidak menimbulkan pertanyaan,
Mengapa?
Dalam siklus belajar empiris induktif para siswa juga menemukan dan memerikan
suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), tetapi mereka seanjutnya
mengemukakan sebab-sebab yang mungkin tentang terjadinya pola itu. Hal ini
membutuhkan penggunaan penalaran analogi untuk memindahkan atau mentransfer konsep-
konsep yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru'ini (pengenalan
konsep). Konsep-konsep itu dapat diperkenalkan oleh para siswa, guru, atau kedua-duanya.
Dengan bimbingan guru para siswa menganalisis data yang dikumpulkan selama fase
eksplorasi untuk melihat apakah sebab-sebab yang dihipotesiskan, ajek dengan data dan
fenomena lain yang dikenal (aplikasi-konsep). Dengan lain perkataan, pengamatan-
pengamata dilakukan secara deskripiif, tetapi bentuk siklus ini menghendaki lebih jauh, yaitu
mengemukakan sebab dan menguji sebab itu. Karena itu diberi nama empiris-induktif.
Bentuk siklus belajar yang ketiga, yaitu hipotetis-deduktif, dimulai dengan
pernyataan berupa suatu pertanvaan sebab. Para siswa diminta untuk merumuskan jawaban-
jawaban (hipotesis-hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaanitu. Selanjutnya para siswa
diminita untuk menurunkan konsekuensi- konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis ini, dan
merencanakan serta melakukan eksperimen-eksperimen untuk menguji hipotesis-hipoptesis
itu (eksplorasi). Analisis hasil-hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak,
sedangkan yang lain diterima, dan konsep-konsep dapat diperkenalkan (pengenalan konsep).
Akhirnya konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dan
didiskusikan, dapat diterapkan pada situasi-situasi lain di kemudian hari (aplikasi konsep).
Merumuskan hipotesis-hipotesis melalui deduksi logis dengan hasil empiris, diperlukan dalam
siklus belajar ini; karena itu diberi nama hipoteis-deduktif.
Dengan berpegang pada ketiga siklus belajar seperti yang diuraikan di atas, kita
mengajar dengan cara sedemikian rupa sehingga para siswa mampu mengemukakan konsepsi
atau gagasan yang sudah mereka miliki dan menguii serta mendiskusikan gagasan-gagasan
tersebut secara terbuka.
Pendekatan yang dikemukakan di atas mungkin lebih memberikan nilai pada
gagasan-gagasan semula anak-anak daripada yang biasa dilakukan guru. Karena itu,
sebelum guru mengajar hendaknya sudah menyadari, melalui bahan-bahan penunjang
kurikulum, adanya macam-macam pandangan yang mungkin dimilki para siswa dan juga
pandangan ilmiah yang dinyatakan dalam bahasa anak. Hal ini memberikan pada guru
kepercayaan pada diri sendiri untuk menghadapi situasi di mana berbagai pandangan
dikemukakan anak-anak yang akan didiskusikan dan dianalisis. Biasanya, banyak guru yang
membatasi diskusi, dan kerap kali secara dogmatis menyatakan pandangan mereka dalam
bahasa ilmiah yang sulit. Guru-guru ini tidak yakin ke mana diskusi bebas akan dibawa,
dan merasa tidak siap untuk menghadapi gagasan-gagasan yang tidak terduga yang
mungkin dikemukakan anak-anak.
Bila ditinjau dari segi siswa, dengan pendekatan ini para siswa akan belajar bahwa
gagasan hanya akan berguna bila cocok (fit) dengan kenyataan, dan mereka
akan mau mengubah pikiran mereka bila dihadapkan pada kenyataan - suatu sikap ilmiah
penting yang perlu dikembangkan.
------------------------- selesai -----------------------
Recommended