View
136
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
PEMAKAIAN OBAT ANTIJAMUR DALAM PERAWATAN KANDIDIASIS
RONGGA MULUT
Drg. Sri Rezeki, Sp. PM
ABSTRAKKandidiasis rongga mulut merupakan infeksi jamur yang umum ditemukan pada praktik dokter gigi. Untuk memperoleh keberhasilan perawatan kandidiasis rongga mulut, dokter gigi harus mengetahui strategi perawatan dengan obat anti jamur. Oleh karena itu, diperlukan pembahasan mengenai beberapa obat antijamur yang dapat dipakai, mekanisme aksi, aturan pakai serta interaksi obat. Obat anti jamur tersedia dalam beberapa golongan dan sediaan. Dokter gigi harus dapat memilih anti jamur yang akan diberikan berdasarkan riwayat medis pasien, manifestasi klinis, lokasi dan keparahan infeksi jamur. Dosis obat serta aturan pakai yang benar sangat berperan penting dalam mencapai keberhasilan perawatan. Selain itu, kebersihan rongga mulut maupun gigi tiruan, alat-alat yang digunakan dalam prosedur pembersihan gigi mulut dan gigi tiruan untuk mencegah reinokulasi infeksi jamur juga penting diperhatikan. Interaksi obat dapat menurunkan efektivitas beberapa obat anti jamur, bahkan dapat terjadi kegawatdaruratan meskipun dengan perawatan anti jamur secara topikal. Pemberian anti jamur secara profilaksis juga perlu dipertimbangkan pada beberapa keadaan yang memiliki faktor risiko infeksi jamur yang tinggi. Selain itu obat anti jamur juga dapat menyebabkan post-antifungal effect (PAFE) yang merupakan efek antifungal yang tertinggal setelah pemakaian anti jamur. Obat anti jamur dengan PAFE yang panjang dapat diberikan dengan interval pemberian yang lebih panjang. Pertimbangan antara keuntungan dan risiko perawatan sangat penting sebelum obat anti jamur diberikan.Kata kunci : kandidiasis rongga mulut, anti jamur, anti jamur profilaksis, post- antifungal effect (PAFE)
1
THE USE OF ANTIFUNGAL DRUGS IN THE TREATMENT OF ORAL CANDIDIASIS
Drg. Sri Rezeki, Sp. PM
ABSTRACT
Oral candidiasis is a common opportunistic fungal infection encountered in dental practice. To obtain successful oral candidiasis treatment, dentist must be familiar with antifungal treatment strategies. So, it is necessary to review about antifungals that can be used, mechanism of action, drug regimen and interaction. Antifungal agents are available in several categories and forms. Dentist must determine which antifungal agent can be given. Therapeutic should be based on the patient’s medical history, clinical manifestations, location, and severity of fungal infection. Appropriate dose and drug regimen have important role to achieve successfully treatment. In addition, oral and dentures hygiene, the device was used in the procedure are important in order to prevent reinoculation of fungal infection. Drug interactions can decrease efficacy of antifungals, moreover emergency can occur even with topical antifungal therapy. Conditions with high risk factors of fungal infection must be considered the administration of antifungal prophylaxis. Antifungal drugs can induce post-antifungal effect (PAFE). This effect is the suppression of fungal growth that persists after limited exposure to an antifungal agent. Antifungals that induced long PAFE can be administered with longer dosing intervals. Consideration between benefit versus risk is very essential before administration of antifungals.Keywords : oral candidiasis, antifungal, prophylactic antifungal, post-antifungal effect (PAFE)
2
I. PENDAHULUAN
Kandidiasis merupakan infeksi jamur oportunistik yang umum terjadi pada rongga
mulut.1 Penyakit ini dapat terjadi dengan adanya faktor predisposisi sehingga menyebabkan
perubahan Candida komensal menjadi parasitik.2 Infeksi Candida pada rongga mulut
memiliki berbagai gambaran klinis tergantung pada keadaan akut ataupun kronis1 serta
dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien.3
Kandidiasis paling sering disebabkan oleh Candida albicans.4,5 Selain itu dapat pula
disebabkan oleh Candida parapsilosis, Candida tropicalis, Candida glabrata, Candida
krusei, Candida pseudotropicalis dan Candida guilliermondi.4 Dewasa ini ditemukan
bahwa kandidiasis rongga mulut pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) berhubungan
dengan Candida dubliniensis 4,6,7 dan Candida inconspicua.7
Banyak faktor predisposisi timbulya kandidiasis rongga mulut. Adapun faktor
predisposisi tersebut termasuk kondisi fisiologis seperti kehamilan, bayi dan manula,8
kondisi sistemik dengan defisiensi zat besi,9 penyakit darah,8 AIDS,10 diabetes melitus,9
hipotiroid,9 hipoadrenal,9 infeksi bakteri,8 tumor ganas,8,10 penggunaan anti mikroba
berspektrum luas jangka panjang,8,10 imunosupresan,8,9 terapi radiasi kepala dan leher,8,9,11
serta kondisi lokal seperti iritasi mukosa oleh protesa gigi-geligi8,10 ataupun perubahan
saliva secara kualitatif maupun kuantitatif,8,11,12 diit tinggi karbohidrat, kebersihan rongga
mulut yang buruk.12
Berdasarkan data dari klinik penyakit mulut RSUPN-CM pada tahun 2006 ditemukan
9,34 % kasus pasien yang menderita kandidiasis rongga mulut. Namun demikan,
pemakaian obat anti jamur masih belum sesuai dengan aturan pakai. Oleh karena itu penulis
merasa perlu membahas mengenai beberapa obat-obat yang digunakan dalam perawatan
kandidiasis rongga mulut, profilaksis kandidiasis rongga mulut dan Post Antifungal Effect
(PAFE). Tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi teman sejawat
dalam praktik merawat pasien dengan kandidiasis rongga mulut.
3
II. PERAWATAN KANDIDIASIS RONGGA MULUT
Perawatan kandidiasis rongga mulut dipengaruhi oleh status medis pasien
sebelumnya dan saat ini.12 Sebelum perawatan dimulai, pendekatan riwayat medis dan gigi-
geligi termasuk seluruh obat-obatan yang dikonsumsi harus diketahui untuk menilai faktor
predisposisi kandidiasis rongga mulut12 sehingga eliminasi faktor predisposisi kandidiasis
rongga mulut dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi pasien.4 Selain itu, dengan
menggali riwayat pasien dapat diketahui kemungkinan interaksi antara obat–obat yang
dikonsumsi dengan obat anti jamur12 serta kontraindikasi pemberian obat anti jamur tertentu
terkait penyakit sistemik yang berpengaruh terhadap pemilihan obat. Pasien dengan
penyakit hati kontraindikasi diberikan obat anti jamur golongan azol seperti mikonazol,
flukonazol, ketokonazol dan itrakonazol.13 Alternatif lain obat anti jamur yang dapat
diberikan pada pasien tersebut adalah nistatin.13 Pasien dengan gangguan ginjal walaupun
masih ringan diperlukan penurunan dosis flukonazol karena termasuk dalam golongan obat
yang kurang aman diberikan pada pasien dengan gagal ginjal,13 sedangkan ketokonazol
termasuk dalam kelompok hampir aman sehingga pengurangan dosis hanya bila pasien
tergolong gagal ginjal berat.13,14
Kandidiasis rongga mulut merupakan suatu masalah, baik pada individu
imunokompeten maupun imunokompromis.15 Pada pasien imunokompeten, umumnya
kandidiasis rongga mulut ringan dan terlokalisasi. Kegagalan memulai perawatan dini
dengan obat anti jamur pada pasien imunokompromis dapat menyebabkan penyebaran
penyakit sehingga memerlukan perawatan secara sistemik yang lebih kuat.12
Kandidiasis rongga mulut yang ringan dan terlokalisasi biasanya dirawat dengan obat
anti jamur topikal.12 Keberhasilan perawatan dengan obat anti jamur topikal tergantung
pada waktu kontak adekuat antara obat dan mukosa rongga mulut yaitu 2 menit.16 Durasi
perawatan bervariasi antara 7 sampai 14 hari dengan melanjutkan perawatan minimal 2
sampai 3 hari setelah tanda dan simtom klinis berakhir.16 Keuntungan obat anti jamur
topikal adalah efek samping yang sedikit bila digunakan dalam dosis terapi karena
kurangnya absorbsi melalui traktus gastrointestinal.16
Obat anti jamur sistemik umumnya digunakan pada pasien dengan kandidiasis rongga
mulut yang berat, terlokalisasi ataupun menyebar, infeksi jamur pada pasien imunosupresi
4
ataupun tidak merespon perawatan dengan obat anti jamur topikal serta pasien mulut kering
dengan kesulitan mengisap.12 Obat anti jamur topikal pada umumnya tidak efektif
digunakan pada ODHA atau dengan imunosupresi.4 Chronic mucocutaneus candidosis
ataupun median rhomboid glossitis biasanya tidak efektif dirawat dengan anti jamur topikal
kecuali bila digunakan dalam waktu yang sangat lama. Penambakan obat anti jamur
golongan azol secara sistemik biasanya diperlukan untuk penyembuhan infeksi tersebut.4
Keuntungan pemberian obat anti jamur sistemik adalah obat dipakai 1 kali sehari dan
mencapai beberapa bagian tubuh, namun memiliki efek samping yang lebih banyak.16
Pemilihan obat harus mempertimbangkan indikasi, kontraindikasi, serta interaksi obat yang
dapat terjadi.
Pasien diinstruksikan untuk menggunakan obat anti jamur sesuai aturan pakai,
misalnya tablet isap dilarutkan di mulut secara perlahan, tidak menelan atau mengunyah,
menjaga kebersihan rongga mulut dan gigi tiruan dengan baik,12 serta mengganti
perlengkapan kebersihan rongga mulut seperti sikat gigi yang terkontaminasi selama
periode infeksi untuk mencegah reinokulasi infeksi Candida.17
Pada kasus denture stomatitis, perawatan ditujukan pada jaringan rongga mulut dan
gigi tiruan secara bersamaan,12 serta anjuran untuk melepas gigi tiruan pada malam hari.4
Protesa gigi tiruan yang dimasukkan dalam 8 ons air, diberikan radiasi microwave 60 hz
selama 5 menit efektif untuk sterilisasi protesa.3 Respon perawatan yang kurang pada
pasien dengan denture stomatitis dapat pula disebabkan oleh kerjasama pasien yang buruk.4
II.1 OBAT ANTIJAMUR GOLONGAN POLIEN
II.1.1Amfoterisin B
Amfoterisin B diperoleh dari Streptomyces nodosus, suatu actinomycetes yang
ditemukan di tanah.18 Obat ini bekerja menghambat fungi melalui interaksi dengan
ergosterol sehingga menyebabkan kehilangan permeabilitas selektif membran, kehilangan
potasium dan komponen intrasel yang selanjutnya mengakibatkan gangguan fungsi barier,
leakage komponen sel, dan kematian.2,17,18 Amfoterisin B dapat bersifat fungistatis maupun
fungisid.2,9 Pada konsentrasi obat rendah, leakage terbatas pada molekul dan ion kecil
sehingga kerusakan dapat diperbaiki. Pada konsentrasi tinggi, molekul yang lebih besar
5
diangkut melalui membran menyebabkan kehilangan konstituen sel ireversibel dan
selanjutnya terjadi kerusakan sel.2
Amfoterisin B memiliki aktivitas anti jamur berspektrum luas.18 Efektif melawan
spesies Candida, Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans dan Coccidioides
immitis. Amfoterisin B dapat menekan adhesi Candida albicans pada sel epitel bukal dan
menghambat pembentukan germ tube.2 Obat ini juga dapat menekan adhesi Candida pada
gigi tiruan akrilik yang kemungkinan karena mekanisme aksinya pada dinding sel Candida
sehingga menghambat sisi perlekatan yeast pada gigi tiruan akrilik.2 Amfoterisin B juga
dapat menghambat enzim secretory aspartyl proteinases (Saps). Enzim yang dihasilkan
oleh Candida ini berperan dalam perlekatan dan penetrasi pada membran mukosa.2
Pada perawatan mikosis sistemik, digunakan larutan intravena.9 Bentuk topikal dapat
berupa lozenge 10 mg2, suspensi oral 100 mg/ml,2,3 krim, ointment, lotion.9 Bentuk lozenge
dilarutkan dalam mulut secara perlahan 3-4 kali sehari setelah makan, dengan perawatan
minimal selama 2 minggu.2 Sediaan ini dapat digunakan untuk mengeliminasi yeast pada
permukaan mukosa pasien dengan denture stomatitis.3 Amfoterisin B dalam sediaan
suspensi sebanyak 1 ml diteteskan di rongga mulut setelah makan, dikulum di daerah lesi,2,3
ditahan di mulut selama 3-4 menit kemudian ditelan,3 digunakan 4 kali sehari selama 2
minggu.2 Namun, saat ini bentuk suspensi tidak dikeluarkan oleh pabrik.12 Krim, ointment
dan lotion dapat digunakan untuk angular cheilitis.9 Amfoterisin B sebagai obat kumur
tidak tersedia, namun dengan mencairkan bentuk sediaan parenteral sebagai obat kumur
untuk merawat kandidiasis rongga mulut yang resisten telah berhasil digunakan.9
Interaksi obat dapat terjadi dengan digoksin yaitu meningkatkan risiko toksisitas
digoksin berupa hipokalemia.17 Pemakaian bersama dengan obat-obat yang bersifat
depresan terhadap sumsum tulang dapat meningkatkan risiko anemia.17 Obat ini dapat
meningkatkan nefrotoksisitas obat lainnya seperti aminoglikosid dan siklosporin.2
Pemakaian bersama dengan steroid dapat menyebabkan hipokalemia berat.17 Mekloretamin
dan obat anti kanker lainnya dapat meningkatkan nefrotoksisitas, bronkospasme dan
hipotensi dari obat amfoterisin B.2,14
Amfoterisin B dapat meningkatkan blood urea nitrogen (BUN), kadar serum alkalin
fosfat, serum kreatinin, SGOT dan SGPT.17 Kadar serum kalsium, magnesium dan
6
potasium dapat turun.17 Absorpsi melalui gastrointestinal dapat diabaikan.2 Bila diberikan
secara intravena untuk mikosis dapat menyebabkan tromboflebitis, anoreksia, mual,
muntah, sakit kepala, anemia, hipokalemia, nefrotoksisitas, hipotensi, aritmia dan lain-lain.2
Efek samping lain yang dapat terjadi adalah anafilaksis, demam dan kejang.2 Pemakaian
obat secara topikal dapat menyebabkan iritasi lokal, kulit kering dan ruam.17 Reaksi serius
yang jarang terjadi adalah toksisitas kardiovaskular. Selain itu dapat terjadi perubahan
penglihatan dan pendengaran, gagal hati, gangguan koagulasi, kegagalan organ multipel
serta sepsis.17 Pemakaian obat ini kontraindikasi pada pasien hipersensitif terhadap
amfoterisin B ataupun sulfit.17 Faktor risiko untuk wanita hamil termasuk kategori B.14
II.1.2Nistatin
Nistatin merupakan obat anti jamur golongan polien yang dihasilkan oleh
Streptomyces noursei.9 Anti jamur ini mengikat sterol,9 mencegah biosintesis ergosterol
pada membran sel yang berperan penting untuk kestabilan, integritas membran serta fungsi
membran-bound enzyme termasuk chitin synthetase yang diperlukan untuk pertumbuhan
dan pembelahan sel jamur.2 Hambatan terhadap biosintesis ergosterol dapat mengubah
permeabilitas membran sel yeast sehingga menyebabkan leakage komponen intrasel dan
kematian.2,12
Pemakaian nistatin sering menjadi terapi pilihan untuk kandidiasis rongga mulut
terlokalisasi12 dan superfisial yang disebabkan oleh Candida albicans.2,19 Nistatin
digunakan secara topikal,20 memiliki aktivitas fungisid dan fungistatik, mampu menekan
adhesi Candida albicans pada sel epitel bukal, menghambat pembentukan germ tube serta
membatasi aktivitas proteolitiknya.2
Absorpsi melalui gastrointestinal kurang baik, tidak terdeteksi pada darah setelah
dosis terapi9 dan memiliki efek samping minimal.20 Pada dosis besar dapat menyebabkan
mual,21 muntah, diare dan gangguan gastrointestinal.9 Efek samping topikal dapat berupa
iritasi kulit.17 Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif terhadap nistatin.14 Faktor risiko
kehamilan termasuk dalam kategori B/C pada pemakaian intraoral.14 Nistatin dapat
diberikan pada wanita menyusui.14
Sangat dianjurkan untuk melakukan perawatan kandidiasis rongga mulut dengan
nistatin minimal selama 10-14 hari dan dilanjutkan sekurang-kurangnya 48-72 jam setelah
7
perbaikan tanda klinis.12 Nistatin tersedia dalam bentuk tablet (100.000 atau 500.000 IU),
pastille (100.000 IU), suspensi oral (100.000 IU/1mL), ointment (100.000 IU/g), obat
kumur,2,12 gel, krim,2 bubuk (100.000 IU/g).3,12 Dalam bentuk tablet dan pastille, pasien
diinstruksikan untuk menggunakannya sebagai lozenge dipakai 4 kali sehari.12 Tablet
vagina (100.000 IU) dilarutkan di mulut sebanyak 1 tablet dilakukan 3-4 kali sehari2,22 dan
dianjurkan untuk tidak berkumur selama 30 menit kemudian.22 Satu sampai dua pastille
(100.000 IU) dilarutkan di dalam mulut dapat dipakai untuk perawatan kandidiasis rongga
mulut, dilakukan 3-5 kali sehari.2,22 Bentuk sediaan ini diharapkan sebagai fungisid yang
lebih baik daripada suspensi karena dapat dikulum secara perlahan sehingga durasi aksi dan
retensi lebih lama.2 Pastille ideal untuk perawatan denture stomatitis terkait infeksi
Candida, namun dapat meningkatkan risiko karies gigi karena mengandung bahan sukrosa.2
Begitu pula halnya dengan bentuk suspensi yang mengandung sukrosa, sehingga hati-hati
dipakai pada pasien diabetes,21 serostomia3 dan individu yang rentan karies.2 Pasien
diinstruksikan untuk mengaplikasikan suspensi 2 18,22 sampai 5 ml kemudian ditahan di
mulut selama 2 menit,3,22 namun menurut Park dan Kang, nistatin ditahan di dalam mulut
minimal selama 5 menit.18 Selanjutnya obat dapat dibuang3,14 ataupun ditelan3,12,14,22 untuk
merawat daerah esofagus yang mungkin terlibat,21 dilakukan sebanyak 4 kali sehari.3,12,22
Sediaan dalam bentuk ointment mengandung parfum dan bahan lainnya sehingga tidak
sesuai untuk pemakaian intraoral, namun dapat dipakai pada perawatan angular cheilitis,2,3
diaplikasikan 3-4 kali sehari.2,3 Nistatin dalam sediaan obat kumur relatif tidak efektif untuk
perawatan kandidiasis rongga mulut karena memiliki kontak yang singkat dengan mukosa
serta mengandung sukrosa yang berisiko menimbulkan karies gigi.2 Pada pasien dengan
denture stomatitis, diinstruksikan untuk mengaplikasikan nistatin ointment atau bubuk pada
permukaan gigi tiruan yang berhadapan dengan permukaan jaringan, dilakukan sebanyak
empat kali sehari.12 Permukaan jaringan palatum yang terinfeksi Candida harus dirawat
juga dengan nistatin tablet ataupun pastille.12 Nistatin bubuk diaplikasikan tipis-tipis pada
protesa setiap selesai makan.3,22 Protesa gigi tiruan dapat direndam dalam beberapa tetes
nistatin suspensi oral (100.000 IU/ml) yang dilarutkan di dalam air pada malam hari,3
minimal selama 1 jam.23 Nistatin efektif mengeradiksi yeast pada permukaan gigi tiruan.2
Namun, pada penelitian oleh Banting dkk., 1995 mengenai keefektifan merendam gigi
8
tiruan dengan larutan nistatin untuk perawatan kandidiasis rongga mulut pada dewasa tua
dengan penyakit kronis, ditemukan bahwa hasil perawatan tidak memuaskan dengan
jumlah hifa candida invasif sekitar 80 % masih dapat didetaksi pada mukosa mulut dan gigi
tiruan.2 Penggunaan nistatin untuk kandidiasis rongga mulut pada ODHA sering tidak
efektif.22 Pada ODHA diindikasikan pemakaian obat anti jamur sistemik.18
II.2 OBAT ANTIJAMUR GOLONGAN IMIDAZOL
II.2.1 Klotrimazol
Klotrimazol dapat mengubah permeabilitas membran sel dengan mengikat fosfolipid
pada membran sel jamur.9,17 Selain memiliki aktivitas fungistatik dan fungisid,2,9
klotrimazol juga bersifat anti terhadap Staphylococcus.2 Pada umumnya digunakan untuk
perawatan infeksi Candida superfisial di rongga mulut.2 Indikasi penggunaan klotrimazol
adalah kandidiasis yang terlokalisasi pada kulit perioral dan membran mukosa serta sebagai
anti jamur profilaksis bagi pasien imunokompromis dan tidak diindikasikan untuk infeksi
sistemik.12,14 Obat ini efektif untuk perawatan kandidiasis orofaring,2 namun kurang efektif
bila dibandingkan dengan flukonazol untuk infeksi pada pasien imunokompromis.24
Kontraindikasi dipakai pada pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap klotrimazol.12
Bentuk sediaan klotrimazol berupa troche/lozenge/ tablet isap (10 mg),3,9,12 krim (10
mg/g)12 dan larutan.2 Sebuah tablet isap dilarutkan di mulut secara perlahan dilakukan
sebanyak 5 kali sehari.3,9 Setelah klotrimazol dilarutkan di mulut secara perlahan, anti jamur
ini terdapat pada saliva selama beberapa jam,21 selanjutnya berikatan dengan mukosa
rongga mulut dan dilepaskan secara perlahan,2,21 untuk mempertahankan konsentrasi
fungistatik selama beberapa jam.2 Pasien diinstruksikan untuk tidak makan dan minum
selama 20 menit kemudian.3 Pemakaian klotrimazol krim 1 % pada komisura sebanyak 3
kali sehari selama 3-4 minggu2 dapat digunakan untuk merawat angular cheilitis.9 Pada
pemakaian secara topikal, absorpsi sistemik minimal.17 Klotrimazol dalam bentuk larutan
sebanyak 5 ml dapat diaplikasikan pada daerah yang terinfeksi, dilakukan 3-4 kali sehari
selama 2 minggu.2
Interaksi dapat terjadi dengan beberapa obat seperti fentanil, takrolimus, trimetrexate
dan benzodiazepin17 Pemakaian bersama dengan fentanil dapat meningkatkan atau
9
memperpanjang efek opioid, yaitu depresi sistem saraf pusat. Toksisitas takrolimus maupun
trimitrexate dapat meningkat bila obat tersebut dipakai bersama dengan klotrimazol.
Pemakaian bersama dengan benzodiazepin dapat meningkatkan konsentrasi serum
benzodiazepin dan meningkatkan risiko toksisitas. 17
Pemakaian klotrimazol dapat meningkatkan SGOT.17 Efek samping yang ditimbulkan
sedikit,20 seperti mual, muntah, diare dan nyeri abdomen.17 Aplikasi topikal kadang-kadang
menyebabkan rasa gatal, terbakar, perih, eritema dan urtikaria.17 Keamanan dan keefektifan
obat isap klotrimazol pada anak berusia di bawah 3 tahun belum dibuktikan.14
Kontraindikasi pada pasien hipersensitif terhadap klotrimazol.14 Faktor risiko pada
kehamilan termasuk dalam kategori B untuk pemakaian secara topikal. Sediaan klotrimazol
dalam bentuk obat isap masuk ke dalam kategori C.17
II.2.2Mikonazol
Mikonazol memiliki aktivitas melawan fungi termasuk Candida albicans.2 Obat ini
juga efektif melawan bakteri gram positif seperti Staphylococcus sehingga dapat dipakai
pada perawatan angular cheilitis dengan infeksi bakteri dan fungi.2 Angular cheilitis dapat
hanya disebabkan oleh infeksi Candida (20 %), infeksi gabungan antara bakteri dan
Candida (60 %) ataupun hanya infeksi bakteri (20 %).3 Mikonazol efektif untuk semua
jenis kandidiasis rongga mulut termasuk kandidiasis mukokutaneus kronis.2 Mekanisme
aksinya adalah dengan menghambat sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting
untuk membentuk sel jamur serta merusak membran selnya.17 Efek terapi dapat sebagai
fungisid maupun fungistatik.17 Mikonazol mampu menekan adhesi Candida terhadap sel
epitel bukal dan menghambat pembentukan germ tube.2
Pemberian mikonazol secara parenteral dapat digunakan untuk perawatan kandidiasis
sistemik dan kriptokokosis.9 Namun, pemakaian mikonazol secara sistemik saat ini sangat
dibatasi karena toksisitasnya dan terdapat obat antijamur lain yang memiliki efek toksik
yang lebih sedikit dibandingkan mikonazol sistemik.18 Mikonazol topikal berupa krim 2 %
dapat digunakan untuk perawatan angular cheilitis dengan pemakaian 4 kali sehari3 dan
diteruskan sampai 10-14 hari setelah lesi sembuh.2 Dalam bentuk oral gel, mikonazol
diaplikasikan 3-4 kali sehari.2 Pada perawatan denture stomatitis, mikonazol oral gel (20
mg/ml) diaplikasikan pada permukaan gigi tiruan yang berkontak dengan mukosa yang
10
terinfeksi Candida ketika gigi tiruan sedang digunakan, dipakai 3 kali sehari sampai daerah
inflamasi membaik, biasanya selama 7 sampai 14 hari.4
Interaksi obat dapat terjadi dengan antikoagulan dan hipoglikemi oral yang dapat
meningkatkan efek obat tersebut.17 Mikonazol oral gel maupun krim yang dipakai bersama
dengan antikoagulan warfarin dan kumarin dapat memperpanjang masa koagulasi3 karena
mengganggu enzim hati yang membantu metabolisme warfarin3 dan memiliki potensi
menimbulkan kegawatdaruratan yang mengancam jiwa.2,25 Ketika digunakan sebagai oral
gel, mikonazol memiliki potensi untuk diabsorpsi.25 Pada jaringan yang terinflamasi terjadi
peningkatan absorpsi mikonazol,14 selanjutnya terjadi interaksi dengan antikoagulan
kumarin dan memiliki risiko berbahaya.25 Oleh karena itu, pemakaian mikonazol dapat
diganti dengan obat antijamur golongan polien seperti nistatin.25 Apabila warfarin
digunakan bersamaan dengan mikonazol oral gel, maka nilai INR harus terus dipantau.25
Mikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum fenitoin.14 Isoniazid dan rifampin dapat
menurunkan konsentrasi mikonazol.17 Pemakaian bersama dengan amfoterisin B dapat
menurunkan efek antijamur kedua obat tersebut.14
Mikonazol kontraindikasi pada anak berusia kurang dari 1 tahun, hipersensitif
terhadap mikonazol.17 Risiko kardiotoksisitas cisapride dapat meningkat bila digunakan
bersamaan dengan mikonazol, oleh karena itu kontraindikasi pemakaian kedua obat
tersebut secara bersamaan.14 Mikonazol topikal kontraindikasi pada anak berusia kurang
dari 2 tahun.17 Faktor risiko pada wanita hamil masuk dalam kategori C.14
Efek samping pemakaian secara topikal minimal,2 diantaranya dapat berupa kulit
terbakar, maserasi,2 rasa gatal,17 perih,17 eritema dan urtikaria.17 Pemakaian secara intravena
terutama dapat menyebabkan tromboflebitis pada daerah injeksi.18 Efek samping yang
sering terjadi adalah demam, ruam, gatal, mual dan muntah.17 Kadang-kadang dapat terjadi
pusing, sakit kepala, nyeri abdomen, konstipasi, diare dan selera makan berkurang.17
Anemia, trombositopenia, toksisitas hati,17 kejang dan hiponatremia jarang terjadi.18
II.2.3Ketokonazol
11
Ketokonazol efektif melawan fungi dan yeast termasuk spesies Candida namun tidak
memiliki aktivitas antibakteri.2 Mekanisme aksinya adalah menghambat sintesis
ergosterol,17 mengubah permeabilitas membran sel jamur dan merusak membran sel 9,17
dengan sifat fungistatik dan fungisid pada konsentrasi tinggi.9 Obat ini tidak digunakan
untuk perawatan kandidiasis rongga mulut primer. Indikasi pemakaiannya terutama untuk
kandidiasis rongga mulut sekunder seperti kandidiasis mukokutaneus kronis.2 Telah
dilaporkan penurunan germinasi dan adhesi Candida albicans terhadap sel epitel bukal
setelah pemberian ketokonazol.2
Ketokonazol dalam bentuk krim 2 % dapat dipakai untuk angular cheilitis dengan
cara diaplikasikan 2 kali sehari selama 2 sampai 4 minggu.3 Efek sampingnya termasuk
iritasi berat, pruritus dan perih.3 Pada pemakaian secara sistemik, ketokonazol tablet 200-
400 mg 1-2 kali sehari bersama makan ataupun jus jeruk dapat dipakai untuk perawatan
kandidiasis rongga mulut.2,3 Bioavailibilitas ketokonazol tergantung pada pH lambung.9
Pada pH lambung yang meningkat, bioavailibilitas dan absorbsi obat tersebut dapat
menurun.9 Makanan dapat memperpanjang konsentrasi serum puncak dan mengurangi
gangguan pada gastrointestinal.14 Bila diperlukan, pemakaian ketokonazol dapat
dikombinasi dengan nistatin.18
Interaksi dengan obat-obat seperti asetaminofen, karbamazepin, sulfonamid dan
alkohol dapat meningkatkan hepatotoksisitas ketokonazol,17 begitu pula halnya dengan
herbal seperti echinacea.17 Kadar beberapa obat seperti indinavir, saquinavir, ritonavir,
nisoldipine, haloperidol, karbamazepin, antidepresan trisiklik, buspiron, zolpidem dan
kortikosteroid dalam serum dapat meningkat.17 Absorpsi ketokonazol diturunkan oleh obat-
obat yang dapat meningkatkan pH lambung,9 seperti antasid, antikolinergik, antagonis H2
dan omeprazol.17 Oleh karena itu bila pasien juga sedang mengkonsumsi antasid, obat
tersebut diminum 2 jam setelah ketokonazol dikonsumsi.9 Obat antituberkulosis seperti
rifampin dan isoniazid dapat menurunkan konsentrasi ketokonazol dalam darah.17
Eritromisin dapat meningkatkan konsentrasi serum ketokonazol.14 Siklosporin, levostatin
dan simvastatin dapat meningkatkan konsentrasinya dalam darah serta risiko toksisitas obat
tersebut,17 disarankan untuk memantau fungsi ginjal dan kadar plasma darah.9 Ketokonazol
dapat menghambat metabolisme beberapa obat benzodiazepin seperti alprazolam,
12
klordiazepoksid, klonazepam, klorazepat, diazepam, estazolam, flurazepam, halazepam,
midazolam, quazepam, triazolam, zolpidem,14,17 dan temazepam.14 Metabolisme warfarin
juga dihambat oleh ketokonazol.17 Oleh karena itu, dianjurkan untuk memantau
prothrombin time bila ketokonazol digunakan bersama dengan antikoagulan.9 Gangguan
leukosit dapat terjadi bila digunakan bersama takrolimus.17 Efek terapi didanosin juga
dihambat oleh ketokonazol.17 Hindari pemakaian etanol karena dapat menyebabkan
disulfiram-like reaction.14 Aritmia jantung dapat terjadi bila digunakan bersama dengan
terfenadin (Seldane, Marion Merrell Dow) atau astemizol (Hismanal, Janssen).9
Kontraindikasi bila dipakai bersama dengan triazolam, lovastatin, dofetilide17 dan
cisapride.3 Cisapride digunakan untuk perawatan heartburn dan gastric reflux yang dapat
menyebabkan aritmia jantung fatal bila digunakan bersama dengan ketokonazol.3
Ketokonazol dapat meningkatkan kadar serum alkalin fosfat, bilirubin, SGOT, dan
SGPT.17 Pada dosis tinggi, ketokonazol dapat menekan fungsi adrenokorteks.14 Efek
samping dapat berupa mual dan muntah, nyeri abdomen, diare, sakit kepala, fotofobia,
pruritus.17 Pada pemakaian topikal dapat menyebabkan gatal-gatal, rasa terbakar dan
iritasi.17 Toksisitas hematologi seperti trombositopeni, anemia hemolitik dan leukopeni
kadang-kadang dapat terjadi.17 Reaksi anafilaksis jarang terjadi, sedangkan hepatotoksisitas
dapat terjadi dalam 1 minggu sampai beberapa bulan setelah terapi dimulai.17 Apabila
pasien akan diberikan ketokonazol selama lebih dari 2 minggu, maka direkomendasikan
untuk dilakukan pemeriksaaan fungsi hati, karena sekitar 1 dari 10.000 individu yang
dirawat dengan ketokonazol mengalami toksisitas hati idiosinkrasi. Food and Drug
Administration (FDA) menyatakan bahwa ketokonazol tidak dipakai untuk perawatan rutin
awal kandidiasis rongga mulut. 26
Pemakaian ketokonazol kontraindikasi untuk pasien hipersensitif terhadap obat
tersebut dan pada pasien dengan infeksi jamur sistem saraf pusat karena penetrasi obat
menuju sistem saraf pusat buruk.14 Selain itu kontraindikasi bila diberikan bersama dengan
triazolam, lovastatin, dofetilide,17 astemizol, terfenadin dan cisapride.3 Pemberian
ketokonazol bersama dengan astemizol, cisapride dan terfenadin berpotensi risiko aritmia
jantung fatal yang dapat menyebabkan kematian.14 Beberapa obat benzodiazepin seperti
13
alprazolam, diazepam, temazepam, triazolam dan midazolam juga kontraindikasi dipakai
bersama dengan ketokonazol.14 Faktor risiko pada kehamilan termasuk dalam kategori C.17
II.3 OBAT ANTIJAMUR GOLONGAN TRIAZOL
II.3.1Flukonazol
Flukonazol merupakan obat antijamur fungistatik17 dan fungisid27 yang memiliki
aktivitas antijamur berspektrum luas.2 Mekanisme aksinya adalah dengan menghambat
sitokrom P-450, suatu enzim yang dibutuhkan untuk pembentukan ergosterol.17 Efek terapi
flukonazol adalah merusak membran jamur secara langsung dan mengubah fungsinya.17
Obat ini aktif melawan strain Candida albicans tetapi kurang aktif melawan spesies selain
Candida albicans, khususnya Candida krusei dan Candida glabrata yang resisten terhadap
flukonazol.2 Pemakaian dalam waktu lama dapat menimbulkan resistensi flukonazole dan
menjadi permasalahan bagi beberapa pasien.12
Terdapat beberapa hal yang membedakan flukonazol dengan obat antijamur golongan
azol lainnya. Flukonazol dapat diabsorpsi dengan baik melalui saluran pencernaan2 dan
tidak tergantung pada pH lambung.12 Hanya sedikit laporan mengenai gangguan
gastrointestinal berkaitan dengan pemakaian flukonazol.9 Mengkonsumsi flukonazol
bersama dengan makan dapat mengurangi gangguan pada gastrointestinal.14 Obat ini juga
memiliki ikatan lemah dengan protein serum sehingga dapat dibawa ke bagian tubuh
dengan sempurna.2 Flukonazol memiliki efek yang dapat diabaikan terhadap fungsi hati
dibandingkan azol lainnya yang sebagian besar dimetabolisme di hati dan bersifat
hepatotoksik.2 Risiko hepatotoksisitas flukonazol lebih sedikit dibandingkan dengan
ketokonazol.16 Sekitar 80 persen flukonazol diekskresi melalui ginjal dalam bentuk yang
tidak berubah.2
Flukonazol tersedia dalam bentuk tablet (50, 100, atau 200 mg).4,12 Dosis awal
diberikan 200 mg dan kemudian 100 mg sehari, minimal diberikan selama 14 hari.14,16
Penyesuaian dosis dilakukan pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila creatinine
clearance 21-50 mL/menit, maka obat diberikan 50 % dari dosis yang direkomendasikan17
atau dapat diberikan setiap 48 jam.14 Apabila pasien dengan creatinine clearance 11-20
ml/menit, maka diberikan 25% dari dosis yang direkomendasi.17 Waktu untuk
14
mengkonsumsi flukonazol pada pasien hemodialisa adalah setiap setelah dialisa
dilakukan.14 Flukonazol efektif dalam mencapai respon klinis sempurna (sekitar 87 %
sampai 100%) dan kultur Candida negatif (53% sampai 87 %) setelah perawatan selama 14
hari.16
Pemberian dosis tunggal flukonazol 100 mg dapat mencapai konsentrasi saliva yang
lebih tinggi dibandingkan dengan ketokonazol 400 mg. Hal ini dapat menjelaskan
peningkatan efikasi klinis flukonazol dalam perawatan kandidiasis rongga mulut.2
Flukonazol dapat dideteksi dalam saliva dan ditemukan 2 jam setelah pemakaian secara
sistemik dengan rasio konsentrasi saliva-plasma sebesar 0.55.24 Absorpsi flukonazol
sistemik yang tinggi berguna dalam perawatan kandidiasis rongga mulut pada pasien yang
terinfeksi HIV.2 Pemakaian flukonazol secara intraoral dapat menjadi pilihan pada kasus
kandidiasis yang resisten.4 Saat ini flukonazol dipertimbangkan sebagai pilihan obat untuk
kandidiasis pada pasien dengan infeksi HIV.2 Pons dkk 1997 melakukan penelitian pada
pasien kandidiasis orofaring yang terinfeksi HIV. Pasien tersebut dirawat dengan
flukonazol suspensi oral 100 mg/hari dan nistatin cair 50.000 IU 4 kali sehari. Mereka
menemukan bahwa terapi sistemik menggunakan flukonazol lebih efektif dibandingkan
dengan nistatin topikal dalam merawat kandidiasis rongga mulut dan memberikan interval
bebas penyakit yang lebih panjang sebelum kambuh ulang.2 Flukonazol memiliki
kemampuan dalam mengurangi adhesi sampai 8 minggu setelah terapi karena terjadi
akumulasi flukonazol pada lapisan sel basal.27 Dalam merawat pasien terinfeksi HIV
dengan thrush, flukonazol dan klotrimazol memiliki keefektifan yang sama.2 Pemberian
flukonazol kapsul efektif untuk profilaksis dan perawatan kandidiasis mukosa pada pasien
imunokompromis.2 Flukonazol juga telah berhasil digunakan untuk perawatan kandida
leukoplakia, kandidiasis rongga mulut pada pasien transplantasi sumsum tulang, penyakit
keganasan dan leukemia akut. Flukonazol 100 mg perhari lebih efektif dalam
membersihkan Candida dan interval bebas penyakit lebih panjang dibandingkan dengan
pasien yang dirawat menggunakan klotrimazol 10 mg 5 kali sehari. Pada pasien dengan
denture stomatitis disebabkan Candida, flukonazol efektif terutama bila diberikan bersama
dengan antiseptik oral seperti klorheksidin.2
15
Flukonazol suspensi memberikan efek topikal pada kandidiasis orofaring. Hal ini
kemungkinan karena dibawa melalui cairan krevikular gingiva dan saliva.2 Telah
dilaporkan pemakaian flukonazol suspensi 100 mg sebagai obat kumur dengan cara ditahan
di mulut sebelum ditelan sehingga meningkatkan pemaparan obat terhadap mukosa rongga
mulut melalui saliva selama 4 jam. Keuntungan pemakaian obat dengan cara demikian
adalah memberikan konsentrasi flukonazol yang tinggi pada sekret rongga mulut,
memberikan kadar obat aktif secara langsung pada bagian yang terinfeksi kandida sehingga
meningkatkan efikasi obat.24 Penelitian oleh Epstein dkk terhadap 19 pasien dengan
kandidiasis rongga mulut yang diinstruksi untuk berkumur dengan 5 mL larutan flukonazol
(2 mg/mL flukonazol dalam air destilasi tanpa pemanis atau penambah rasa) ditahan di
mulut selama 1 menit kemudian dibuang, dilakukan 3 kali sehari selama 1 minggu. Hasil
penelitian didapatkan 18 pasien (95 %) bebas simtom dan tidak ditemukan kandidiasis
secara klinis. Setelah perawatan, hanya 15 pasien yang mengikuti pemeriksaan kultur.
Terdapat 14 pasien dinyatakan kultur kandida negatif dan 1 pasien dengan kultur positif.
Tidak ada pasien yang mengalami efek samping, tidak ditemukan keluhan mengenai mual
dan rasa terbakar. Pemberian flukonazol topikal dapat menjadi pertimbangan untuk pasien
dengan risiko tinggi, misalnya wanita hamil dan pasien usia lanjut.24
Interaksi obat dengan siklosporin terjadi bila dipakai bersamaan dengan flukonazol
dosis tinggi yang dapat meningkatkan konsentrasi siklosporin dalam darah.9,17 Pemakaian
secara bersamaan dengan antidiabetes oral, dapat mengurangi metabolisme obat
antidiabetes9 sehingga meningkatkan konsentrasinya dalam darah17 dan menyebabkan
hipoglikemi.9 Kadar teofilin, takrolimus dan kortikosteroid dapat meningkat dalam
plasma.17 Metabolisme fenitoin dapat berkurang bila dipakai bersamaan dengan
flukonazol17 sehingga dapat meningkatkan toksisitas fenitoin.9 Begitu pula halnya dengan
warfarin yang efek antikoagulannya dapat ditingkatkan.3,17 Metabolisme alprazolam,
klordiazepoksid, klonazepam, klorazepat, diazepam, estazolam, flurazepam, halazepam,
midazolam, triazolam, quazepam, zolpidem dapat dihambat.17 Interaksi obat dengan
rifampin, dapat meningkatkan metabolisme17 dan menurunkan keefektifan flukonazol.12
Diduga efek samping neurologis dapat ditingkatkan bila dipakai bersama haloperidol dan
antidepresan trisiklik, efek samping obat antihipertensi losartan juga ditingkatkan.17
16
Bersihan ginjal (renal clearance) flukonazol menurun bila dipakai bersama dengan
hidroklorotiazid.17 Diduga flukonazol dapat menurunkan keefektifan kontrasepsi oral.17
Pemakaian bersama dengan cisapride menyebabkan aritmia jantung yang fatal.3
Flukonazol dapat meningkatkan kadar serum alkalin fosfat, serum bilirubin, SGOT
dan SGPT.17 Efek samping yang terkadang dapat terjadi adalah reaksi hipersensitif
(termasuk demam, pruritus dan ruam), pusing, sakit kepala, konstipasi, diare, mual, muntah
dan nyeri abdomen.3,17 Konsumsi obat bersama dengan makan dapat mengurangi gangguan
pada gastrointestinal.14 Reaksi serius yang jarang terjadi adalah penyakit kulit eksfoliatif,
gangguan hati dan darah (eosinofilia, trombositopenia, anemia dan leukopenia).17
Kontraindikasi pada pasien hipersensitif terhadap flukonazol atau azol lainnya, pemakaian
bersama dengan terfenadin, cisapride atau astemizol.14 Faktor risiko pada kehamilan
termasuk dalam kategori C.17 Pemberian flukonazol pada wanita menyusui dimungkinkan
aman.14
II.3.2Itrakonazol
Itrakonazol merupakan obat antijamur golongan triazol sintetik berspektrum luas.
Bekerja dengan menghambat sitokrom P-450 yang diperlukan untuk pembentukan ergostrol
membran sel jamur sehingga menyebabkan perubahan permeabilitas dan keseimbangan
osmotik.12 Obat ini memiliki toksisitas rendah.9
Kandidiasis rongga mulut yang disebabkan oleh Candida albicans, Candida krusei
serta Candida glabrata efektif dirawat dengan itrakonazol.2 Pada kasus-kasus resisten,
itrakonazol intraoral dapat menjadi pilihan perawatan.4 Itrakonazol ideal digunakan pada
pasien dengan infeksi candida yang resisten terhadap flukonazol.2,16 Pada pasien
imunokompromis dengan kandidiasis pseudomembran ataupun eritematus yang resisten
terhadap perawatan menggunakan flukonazol, dapat digunakan itrakonazol 200 18 sampai
400 mg perhari.23 Blatchford 1990 menyatakan bahwa itrakonazol menghasilkan respon
yang lebih cepat dan kekambuhan penyakit yang lebih lama dibandingkan dengan
klotrimazol.2 Apabila terjadi resistensi terhadap itrakonazol pada pasien imunokompromis,
dapat diberikan ketokonazol 200 mg per hari selama 3 sampai 5 minggu.23 Smith dkk, 1988
meneliti bahwa pasien yang dirawat dengan itrakonazol 200 mg perhari memiliki masa
remisi yang lebih panjang dibandingkan dengan ketokonazol.2 Flukonazole dan
17
itrakonazole lebih efektif untuk perawatan kandidiasis orofaring daripada nistatin maupun
klotrimazol.16 Untuk perawatan kandidiasis rongga mulut dapat digunakan itrakonazol
tablet 100 mg, diminum 1 kali sehari2,28 segera setelah makan2 selama 15 hari.28 Absorbsi
itrakonazol membutuhkan pH lambung yang rendah.2 Pasien terinfeksi HIV telah
dilaporkan mengalami hypochlorhydria sehingga absorpsi obat pada pasien ini menurun.14
Larutan 10 mg/ml dapat digunakan untuk kandidiasis orofaring dengan cara kulum di mulut
kemudian ditelan, dipakai 1 kali sehari dengan dosis total sehari adalah 20 ml. 17 Sediaan
dalam bentuk larutan sebaiknya digunakan dalam keadaan lambung sedang kosong.14
Interaksi obat diantaranya dengan antasid, didanosin, H2 antagonis yang dapat
menurunkan absorpsi itrakonazol.17 Pemakaian bersama dengan imunosupresan seperti
siklosporin, sirolimus dan takrolimus dapat meningkatkan konsentrasi serum obat tersebut,
sehingga diperlukan pemantauan konsentrasi serum dan fungsi ginjal,14 begitu pula halnya
dengan metilprednisolon.14 Kadar plasma alfentanil, buspiron, karbamazepin, vinka
alkaloid, trimetrexate dan zolpidem dapat ditingkatkan.17 Konsentrasi serum buspiron juga
dapat ditingkatkan, sehingga diperlukan pemantauan sedasi.14 Pemakaian bersama dengan
dengan digoksin, lovastatin dan simvastatin dapat meningkatkan konsentrasi obat tersebut
dalam plasma,17 dengan antikoagulan oral dapat meningkatkan efek antikoagulan,
metabolisme warfarin dapat dihambat,17 sehingga diperlukan pemantauan INR.14 Fenitoin,
rifampin dan fenobarbital dapat menurunkan konsentrasi itrakonazol.9 Risiko rabdomiolisis
obat lovastatin dan simvastatin dapat ditingkatkan.17 Risiko hipoglikemi obat antidiabetes
oral dapat ditingkatkan.17 Obat ini kontraindikasi dipakai bersama dengan triazolam dan
midazolam.17 Metabolisme beberapa obat seperti alprazolam, klordiazepoksid, klonazepam,
klorazepat, diazepam, estazolam, flurzepam, halazepam, midazolam, triazolam, alopurinol
dan felodipin dihambat.17 Diduga dapat menurunkan keefektifan kontrasepsi oral.14 Kadar
plasma itrakonazol diduga dapat meningkat bila dipakai bersama dengan eritromisin,14
protease inhibitor (amprenavir, indinavir, nalfinavir, ritonavir, saquinavir),14 minuman
mengandung cola17 dan buah anggur.29 Buah anggur dapat mengubah absorpsi
itraconazole.17 Hindari pemakaian etanol karena dapat menimbulkan disulfiram-like
reaction.14
18
Itrakonazol dapat meningkatkan serum alkalin fosfat, bilirubin, SGOT, SGPT dan
menurunkan kadar potasium.17 Efek samping yang sering terjadi adalah mual dan ruam.14,17
Kadang-kadang dapat terjadi muntah, sakit kepala, diare, hipertensi, edema perifer, demam
dan kelelahan.14,17 Nyeri abdomen, pusing, anoreksia, pruritus dan hepatitis jarang terjadi.17
Telah dilaporkan terdapat kasus urtikaria, angioedema, anafilaksis, artimia, sindroma
Stevens-Johnson, gangguan menstruasi, neuropati dan neutropenia.14 Tidak
direkomendasikan pemberian itrakonazol pada wanita menyusui. Risiko pada wanita hamil
termasuk dalam kategori C.14 Kontraindikasi pada pasien hipersensitif terhadap itrakonazol
dan azol lainnya, pasien dengan gagal jantung kronis. Selain itu kontraindikasi bila
pemberian bersama dengan cisapride dan terfenadin karena dapat menyebabkan aritmia.
Asdocetaxel, pimozid, kuinidin, astemizol, dofetilid, lovastatin, simvastatin dan midazolam
juga kontraindikasi dipakai bersama dengan itrakonazol.14 Faktor risiko pada kehamilan
termasuk dalam kategori C. Pemberian pada wanita menyusui tidak direkomendasikan.14
II.4 IODOQUINOL
Iodoquinol memiliki aktivitas sebagai antijamur dan antibakteri.26 Sediaan dalam bentuk
krim iodoquinol 1 % dan hidrokortison 1 % diaplikasikan 3 sampai 4 kali sehari efektif
digunakan untuk perawatan angular cheilitis kronis dengan infeksi gabungan kandida dan
bakteri serta dapat mengurangi respon inflamasi dan gatal.3
II.5 KLORHEKSIDIN
Klorheksidin memiliki aktivitas berspektrum luas melawan mikroorganisme termasuk
Candida albicans.30 Biofilm Candida albicans dapat berkurang secara bermakna.30
Klorheksidin glukonat memiliki aksi ganda terhadap candida.2 Selain memiliki aktivitas
sebagai fungisid,31 klorheksidin secara signifikan mampu menekan adhesi Candida
terhadap substrat organik2 seperti pada sel epitel mukosa31 maupun substrat inorganik.2
Mekanisme aksi klorheksidin glukonat adalah sebagai antiseptik dan antimikroba,17 dengan
mengganggu permeabilitas membran yang pada akhirnya merusak membran sel.30
Klorheksidin glukonat 0.2 % telah menunjukkan keberhasilan sebagai obat kumur
untuk perawatan denture stomatitis yang disebabkan Candida serta pada kandidiasis
19
pseudomembran.2 Khlorheksidin glukonat dapat menekan adhesi Candida terhadap
permukaan akrilik gigi tiruan.2 Merendam gigi tiruan yang terinfeksi Candida albicans
dengan obat kumur klorheksidin pada malam hari selama 24 hari menunjukkan keefektifan
dalam eliminasi organisme dari permukaan resin akrilik.32 Namun demikian cara ini sering
disertai dengan pewarnaan kocoklatan pada gigi tiruan.3 Pada penelitian secara in vitro dan
in vivo, klorheksidin glukonat secara signifikan dapat menurunkan adhesi Candida terhadap
sel bukal.2
Pemakaian antijamur topikal bersama dengan klorheksidin harus dihindari karena
dapat menyebabkan obat menjadi tidak aktif.3 Pemakaian klorheksidin glukonat bersama
dengan nistatin dapat membentuk kompleks klorheksidin-nistatin sehingga dapat
menyebabkan keduanya menjadi tidak efektif melawan Candida.2
Toksisitas dan harga klorheksidin rendah serta pemakaiannya mudah.31 Efek samping
klorheksidin glukonat adalah perubahan warna gigi dan rasa.17 Perubahan rasa ini dapat
membaik setelah 1 minggu menghentikan pemakaian khlorheksidin.3 Reaksi anafilaktik
pernah dilaporkan, oleh karena itu kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif terhadap
klorheksidin glukonat.17
III. OBAT ANTIJAMUR PROFILAKSIS
Pasien dengan khemoterapi, radioterapi, terapi imunosupresif ataupun antibiotik
jangka panjang mempunyai risiko terbesar terkena infeksi jamur.2 Pasien yang terinfeksi
HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mm3 memiliki risiko berkembangnya kandidiasis
rongga mulut.33 Oleh karena itu, profilaksis antijamur umumnya ditujukan pada pasien
dengan imunodefisiensi.2
Pada perawatan infeksi jamur sangat penting memperhatikan penyebab yang
mendasari terjadinya infeksi tersebut sehingga mengurangi kebutuhan perawatan dengan
obat antijamur dalam jangka waktu panjang ataupun pengulangan perawatan (Scully dkk
1994).2 Pertimbangan keuntungan perawatan dibandingkan risiko sangat penting dalam
pemberian obat antijamur profilaksis.34 Bila angka kejadian kandidiasis rongga mulut tinggi
dan pertimbangan pentingnya mencegah perkembangan kandidiasis rongga mulut, maka
obat antijamur yang diabsorpsi seluruhnya atau sebagaian melalui gastrointestinal dapat
20
diberikan pada saat terapi kanker dimulai.34 Pertimbangan mengenai toksisitas,
perkembangan resistensi dan harga obat sangat penting untuk diperhatikan.34 Aturan pakai
obat dapat intermiten ataupun berkelanjutan tergantung pada beberapa faktor termasuk
keparahan penyakit yang menyertai, frekuensi rekurensi infeksi jamur, terapi antibiotik
bersamaan yang dapat meningkatkan pertumbuhan Candida serta lamanya terapi.2 Terapi
supresi berkelanjutan dapat menurunkan kecepatan ulang kambuh relatif dibandingkan
intermiten, berhubungan dengan peningkatan resistensi, namun frekuensi infeksi kandida
yang sukar disembuhkan secara klinis sama pada kedua kelompok tersebut.35
Publikasi oleh Cochrane Oral Health Group pada tahun 2005 mengenai panduan
perawatan pasien kanker yang menerima khemoterapi dan radioterapi berdasarkan
penelitian meta-analisis terhadap 4226 pasien sejak tahun 1966 sampai 2004 didapatkan
fakta yang kuat mengenai keefektifan obat antijamur yang diabsorpsi melalui
gastrointestinal dalam mencegah kandidiasis rongga mulut dibandingkan kelompok plasebo
ataupun tanpa perawatan.34 Obat antijamur yang diabsorpsi seluruhnya melalui
gastrointestinal adalah flukonazol, ketokonazol dan itrakonazol, sedangkan yang diabsorpsi
sebagian adalah mikonazol dan klotrimazol.34 Amfoterisin B secara oral terbukti lemah
dalam memberikan keuntungan. Fakta mengenai efikasi obat antijamur topikal seperti
nisatin ataupun klorheksidin masih terbatas.34
Flukonazol dengan dosis 50 sampai 100 mg perhari dan 150 16,36 sampai 200 mg
perminggu16 efektif dalam mencegah kambuh ulang maupun infeksi baru kandidiasis
rongga mulut dibandingkan plasebo16,36 dalam rentang waktu 3 sampai 17 bulan.16 Beberapa
penelitian membandingkan keefektifan pemberian flukonazol perhari ataupun perminggu
dalam mengurangi kandidiasis orofaring dengan plasebo atau tanpa perawatan
menunjukkan bahwa obat tersebut efektif sebagai profilaksis kandidiasis rongga mulut,
namun kambuh ulang masih dapat terjadi walaupun telah dirawat dengan flukonazol 50
sampai 100 mg perhari ataupun 150 sampai 200 mg perminggu, kambuh ulang lebih sering
dan cepat terjadi pada plasebo.34 Terdapat satu penelitian yang menemukan bahwa
flukonazole 200 mg perhari lebih efektif dibandingkan 400 mg perminggu dalam mencegah
kandidiasis orofaring simtomatik pada pasien terinfeksi HIV.35 Dua penelitian melaporkan
kasus kambuh ulang kandidiasis orofaring lebih sedikit dengan perawatan flukonazol 200
21
mg perhari atau 200 mg 3 kali seminggu dibandingkan perawatan diberikan hanya ketika
terjadi kambuh ulang.34 Pada pasien terinfeksi HIV dengan kandidiasis rongga mulut yang
menerima terapi flukonazol jangka panjang terjadi peningkatan resistensi Candida
albicans, Candida krusei dan glabrata2,36,37 dan sering terjadi pada pasien dengan supresi
imunitas berat, yaitu CD4 kurang dari 50 sel/mm3.16 Penggunaan flukonazol sebagai obat
antijamur profilaksis dapat meningkatkan jumlah Candida krusei sehingga resisten
terhadap perawatan dengan obat antijamur golongan azol.9 Itrakonazol 200 mg perhari telah
digunakan sebagai profilaksis infeksi jamur pada pasien AIDS dengan jumlah CD4 di
bawah 150/mm3, 38 namun resistensi juga dapat terjadi setelah pemakaian itrakonazol dalam
waktu lama.38 Nistatin pastille (200.000 sampai 400.000 U sehari) sebagai antijamur
profilaksis menunjukkan serangan kandidiasis orofaring yang tertunda,34 efektif dalam
mencegah infeksi kandida orofaring baru maupun kambuh ulang dengan dosis lebih besar
yang lebih efektif.16 Namun, nistatin kurang efektif bila dibandingkan dengan klotrimazol
25 mg 3 kali sehari.39 Klotrimazol dapat digunakan sebagai obat antijamur profilaksis pada
pasien yang menerima terapi steroid topikal.18 Pada dosis 10 mg dengan pemakaian 5 kali
sehari, klotrimazol kurang efektif sebagai obat antijamur profilaksis dibandingkan
flukonazol 200 mg perhari.34 Obat antijamur profilaksis perhari ataupun perminggu dengan
flukonazol, itrakonazol ataupun nistatin dapat mengurangi kejadian dan kambuh ulang
kandidiasis orofaring dibandingkan kelompok plasebo pada pasien terinfeksi HIV dan
AIDS.34
Pemberian profilaksis antijamur tidak hanya ditujukan pada permukaan mukosa
pejamu tetapi juga pada permukaan benda tidak hidup seperti protesa yang dapat
mengandung yeast dan memulai terjadi infeksi kambuhan.2 Asam benzoat diketahui
memiliki sifat sebagai fungistatik.29 Menurut Lacopino dan Wathen 1992, merendam gigi
tiruan dalam larutan yang mengandung asam benzoat dapat secara sempurna mengeradiksi
Candida albicans dari permukaan gigi tiruan.2 Begitu pula halnya dengan klorheksidin
glukonat 0.2 %. Obat tersebut dapat digunakan sebagai pembersih mekanis tambahan
dalam mencegah denture stomatitis karena infeksi Candida kambuhan.2
22
IV. POST ANTIFUNGAL EFFECT
Supresi pertumbuhan jamur yang menetap setelah pemaparan obat antijamur dalam
waktu terbatas disebut dengan post-antfungal effect (PAFE)40 yang merupakan parameter
farmakodinamik obat.41 PAFE lebih disebabkan karena sebelumnya terdapat pemaparan
jamur terhadap obat antijamur dalam waktu singkat daripada pemaparan berkelanjutan
selama jangka panjang.2 Efek setelah pemaparan obat sangat penting untuk dipahami
karena menyangkut efikasi obat42 dan membantu mengoptimalkan aturan pakai obat.41
Menurut Craig dan Gudmundsson 1996, PAFE memberikan pengaruh terhadap
aturan pakai obat. Sebagai contoh, obat antijamur dengan PAFE yang lebih panjang dapat
diberikan dengan interval pemberian obat yang lebih panjang dibandingkan penggunaan
sebelumnya dalam melawan organisme tertentu tanpa kehilangan efikasi dan kemungkinan
mengurangi efek samping.2,43 Oleh karena itu antijamur dengan PAFE yang panjang dapat
diberikan dengan frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan dengan PAFE singkat.40,43
Dalam hal ini PAFE dapat dijadikan indikator, namun tulisan mengenai hal tersebut masih
terbatas dan protokol standar masih belum ditemukan.43
Pada penelitian yang dilakukan oleh Anil et al 2001 diperoleh bahwa antijamur
golongan polien memiliki PAFE yang panjang (Gambar 1).43 Shibl dkk., 1995 menyatakan
bahwa mekanisme antimikroba dapat menghasilkan post-antibiotic effect (PAE) ataupun
post-antifungal effect (PAFE) pada jamur belum dikemukakan dengan jelas.2 Namun
demikian Craig dan Gudmundsson 1996 mengemukakan terdapat 3 mekanisme umum yang
dapat terjadi yaitu: (a) menetapnya obat pada binding site mikroba, (b) terjadi suatu
perbaikan karena obat menginduksi kerusakan nonletal struktur sel dan (c) waktu yang
diperlukan untuk sintesis protein dan enzim baru sebelum memulai pertumbuhan sel.2
Golongan polien mengubah permeabilitas membran sitoplasma yeast melalui ikatan
dengan ergosterol dan sel membutuhkan waktu yang relatif panjang untuk memperbaiki diri
sebelum budding aktif dan multiplikasi sehingga memberikan PAFE yang panjang
(Ellepola dan Samaranayake, 1999).2 Golongan azol dapat menyebabkan perubahan
membran sel jamur dengan menghambat tahap 14α-demethylation pada biosintesis
ergosterol.2 Berbeda dengan golongan polien, golongan azol tidak dapat memberikan PAFE
yang signifikan.43 Hal ini mencerminkan obat tersebut menyebabkan efek sementara dan
23
reversibel dengan cepat ataupun periode pemaparan yang terbatas tidak adekuat untuk
memperoleh efek obat yang diharapkan.43
Pengaruh PAFE pada atribut sel kandida sejauh ini belum diamati secara luas.2
Namun, beberapa penelitian membuktikan efek antijamur pada berbagai atribut Candida
albicans rongga mulut yang diambil selama periode PAFE. Pada satu penelitian
menunjukkan bahwa golongan polien (nistatin dan amfoterisin B) serta ketokonazol dapat
mengganggu pembentukan germ tube pada Candida albicans setelah pemaparan obat
dalam waktu singkat, sedangkan flukonazol gagal menimbulkan efek tersebut pada periode
PAFE (Ellepola dan Samaranayake., 1998).2 Pada penelitian lain ditemukan bahwa semua
obat tersebut secara signifikan dapat menghambat adhesi Candida terhadap permukaan
akrilik gigi tiruan selama periode PAFE (Ellepola dan Samaranayake.,1998).2
Hidrofobisitas merupakan faktor pendukung yang terlibat dalam adhesi yeast terhadap
permukaan pejamu dan hal ini dipertimbangkan sebagai atribut patogenik yang penting
bagi Candida.2 Ellepola dan Samaranayake memperlihatkan bahwa golongan polien dan
ketokonazol efektif meminimalkan hidrofobisitas relatif permukaan sel Candida albicans
rongga mulut selama periode PAFE, namun efek tersebut tidak terlihat setelah pemaparan
flukonazol dalam waktu terbatas.2
24
Gambar 1. Mean PAFE (±SD) dari 10 C. albicans dan 10 C. tropicalis yang diberikan lima obat antijamur dengan konsentrasi dua kali MIC. (NYS = Nystatin, AMB = Amphotericin B, FLU = fluconazole).43
V. KESIMPULAN
Apabila diagnosis kandidiasis rongga mulut sudah ditegakkan, maka tantangan
selanjutnya adalah pemilihan obat antijamur yang sesuai terutama pada pasien
imunokompromis. Sebagai seorang yang berperan penting dalam perawatan tersebut,
dokter gigi harus mengetahui dengan baik indikasi dan kontraindikasi pemberian obat,
mekanisme kerja obat, aturan pakai agar efek terapi dapat diperoleh dengan baik.
Obat antijamur golongan polien digunakan secara rutin untuk perawatan kandidiasis
rongga mulut primer. Pemilihan pertama obat antijamur golongan azol dengan pemakaian
yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi obat. Apabila tidak ada respon klinis dengan
pemakaian obat antijamur topikal, maka obat antijamur sistemik harus dipertimbangkan
sebagai pilihan perawatan.
Obat antijamur pada umumnya memiliki efek hepatotoksisitas maka hati-hati
pemilihan obat pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Pemakaian dalam jangka waktu
yang lama harus tetap memantau fungsi hati. Begitupula halnya dengan efek
nefrotoksisitas obat antijamur.
Interaksi obat juga sangat penting diperhatikan mengingat terdapat insidensi
kegawatdaruratan akibat pemakaian obat secara bersamaan ataupun dapat menghilangkan
efek terapi obat antijamur sehingga dapat menjadi salah satu penyebab kegagalan terapi
maupun mengurangi efek obat lainnya. Keberhasilan perawatan juga sangat didukung oleh
pendekatan edukasi kepada pasien mengenai cara pakai obat yang tepat, harga yang sesuai
dengan ekonomi pasien dan dukungan moril untuk meningkatkan kerjasama pasien.
DAFTAR PUSTAKA1 Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RC. Oral pathology clinical pathologic correlations,
4 edn. St. Louis Missouri: Saunders, 2003.2 Ellepola ANB, Samaranayake LP. Oral candidal infection and antimycotics. Crit
Rev Oral Biol Med 2000; 11 (2): 172-98.3 Zunt SL. Oral candidiasis: diagnosis and treatment. J Pract Hyg 2000: 31-6.
25
4 Farah CS, Ashman RB, Challacombe SJ. Oral candidosis. Clin Dermatol 2000; 18: 553-62.
5 Haberland-Carrodeguas C, Allen CM, Beck FM et al. Prevalence of fluconazole-resistant strains of candida albicans in otherwise healthy outpatients. J Oral Pathol Med; 31: 99-105.
6 Pinjon E, Jackson CJ, Kelly SLS, D et al. Reduced azole susceptibility in genotype 3 candida dubliniensis isolates associated with increased CdCDR1 and CDCDR2 expression. Antimicrobial agents and chemotherapy 2005; 45 (4): 1312-8.
7 Davies R, Bedi R, Scully C. ABC of oral health: Oral health care for patients with special needs. BMJ 2000; 321: 495-8.
8 Taillander J, Esnault Y. A comparison of fluconazole oral suspension and amphotericin B oral suspension in older patients with oropharyngeal candidiasis. Age and Ageing 2000; 29: 117-23.
9 Muzyka BC, Glick M. A review of oral fungal infections and appropriate therapy. JADA 1995; 126: 63-72.
10 Cannon RD, Holmes AR, Mason AB et al. Oral candida: Clearance, colonization, or candidiasis? J Dent Res 1995; 74 (5): 1153-61.
11 Rautemaa R, Rusanen P, Richardson M et al. Optimal sampling site for mucosal candidosis in oral cancer patients is the labial sulcus. Journal of Medical Microbiology 2006; 55: 1447-51.
12 Sherman RG, Prusinski L, Ravenel MC et al. Oral candidosis. Quintessence Int 2002; 33: 521-32.
13 Scully C, Diz Dios P, Kumar N. Special care in dentistry. Philadelphia: Elsevier, 2007.
14 Wynn RL, Meiller TF, Crossley HL. Drug information handbook for dentistry, 8 edn. Ohio: Lexi-Comp, 2002.
15 Steele C, Leigh J, Swoboda R et al. Potrential role for a carbohydrate moiety in anti-candida activity of human oral epithelial cells. Infecti. Immun 2001; 69 (11): 7091-9.
16 Patton LL, Bonito AJ, Shugars DA. A systematic review of the effectiveness of antifungal drugs for prevention and treatment of oropharyngeal candidiasis in HIV-positive patients. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2001; 92: 170-9.
17 Gage TW, Little JW. Mosby's 2007 dental drug consult. St.Louis, Missouri: Mosby, 2007.
18 Park NH, Kang MK. Antifungal and antiviral agents. In: Pharmacology and therapeutics for dentistry (Yagiela JA, Dowd FJ, Neidle EA, eds), 5 edn. New Delhi: Mosby, 2004: 660-6.
19 Arikan S, Ostrosky-Zeichner L, Lozano-Chiu M et al. In vitro activity of nystatin compared with those of liposomal Nystatin, Amphotericin B, and Fluconazole against clinical candida isolates. J Clin Microbiol 2002; 40 (4): 1406-12.
20 Fichtenbaum CJ, Pappas PG. Candidiasis. In: Aids therapy (Dolin R, Masur H, Saag M, eds), 3 edn. Canada: Churchill Livingstone, 2008: 801-11.
26
21 Fleischmann J. Topical and systemic antifungal and antiviral agents. In: Antibiotic and antimicrobial use in dental practice (Newman MG, Winkelhoff AJV, eds), 2 edn. Chicago: Quintessence books, 2001: 69-76.
22 Little JW, Falace DA, Miller CS et al. Dental management of the medically compromised patient, 7 edn. St. Louis: Mosby, 2008.
23 Gandolfo S, Scully C, Carrozzo M. Oral medicine, 3 edn. Philadelphia: Elsevier, 2006.
24 Epstein JB, Gorsky M, Caldwell J. Fluconazole mouthrinses for oral candidiasis in postirradiation, transplant, and other patients. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2002; 93: 671-5.
25 Pemberton MN, Oliver RJ, Theaker ED. Miconazole oral gel and drug interactons. BDJ 2004; 196 (9): 529-31.
26 Neville BW, Damm DD, Allen CM et al. Oral & maxillofacial pathology, 2 edn. Pannsylvania: Saunders, 2002.
27 Willis AM, Coulter WA, Fulton CR et al. The influence of antifungal drugs on virulence properties of candida albicans in patients with diabetes mellitus. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2001; 91: 317-21.
28 Martin MV. The use of fluconazole and itraconazole in the treatment of candida albicans infections: a review. JAC 1999; 44: 429-37.
29 Bennett JE. Antimicrobial agents Antifungal agents. In: Goodman & Gilman's The pharmacological basis of therapeutics (Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, eds), 11 edn. New York: McGraw-Hill, 2006: 1225-41.
30 Suci PA, Tyler BJ. Action of chlorhexidine digluconate against yeast and filamentous forms in an early-stage candida albicans biofilm. Antimicrobial agents and chemotherapy 2002; 46 (11): 3522-31.
31 Barasch A, Safford MM, Marcus ID et al. Efficacy of chlorhexidine gluconate rinse for and prevention of oral candidiasis in HIV-infected children: a pilot study. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2004; 97: 204-7.
32 Yilmaz H, Bal BT. Effects of disinfectants on resilient denture-lining materials contaminated with staphylococcus aureus, streptococcus sobrinus, and candida albicans. Quintessence Int 2005; 36: 373-81.
33 Yang YL, Lo HJ, Hung CC et al. Effect of prolonged HAART on oral colonization with candida and candidiasis. BMC Infectious Disease 2006; 6: 1-4.
34 Ship JA, Vissink A, Challacombe SJ. Use of prophylactic antifungal in the immunocompromised host. Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2007; 103 (suppl 1): 6-11.
35 Pappas PG, Rex JH, Sobel JD et al. Guidelines for treatment of candidiasis. Clinical Infectious Diseases 2004; 38: 161-89.
36 Gallant JE, Moore RD, Chaisson RE. Prophylaxis for opportunistic infections in patients with HIV infection. BMJ 1994; 120: 932-44.
37 Playford EG, Webster AC, Sorrell TC et al. Antifungal agents for preventing fungal infections non-neutropenic critically ill and surgical patients : systematic review and meta-analysis of randomized clinical trials. JAC 2006; 57: 628-38.
38 Goldman M, Cloud GA, Smedema M et al. Does long-term itraconazole prophylaxis result in in vitro azole resistance in mucosal candida albicans isolates
27
from persons with advanced human immunodeficiency virus infections? Antimicrobial agents and chemotherapy 2000; 44 (6): 1585-7.
39 Lhortholary O, Dupont B. Antifungal prophylaxis during neutropenia and immunodeficiency. Clinical Microbiology Reviews 1997; 10 (3): 477-83.
40 Ernst EJ, Klepser ME, Pfaller MA. Post antifungal effects of echinocandin, azole, polyene antifungal agent against candida albicans and cryptococcus neoformans. Antimicrobial agents and chemotherapy 2000; 44 (4): 1108-11.
41 Chryssanthou E, Sjolin J. Post-antifungal effect of amphotericin B and variconazole against aspergillus fumigatus analysed by an automated method based on fungal CO2 production : dependence on exposure time and drug consentration. JAC 2000; 54: 940-3.
42 Vitale RG, Meis JFGM, Mouton JW et al. Evaluation of the post-antifungal effect (PAFE) of amphotericin and nystatin against 30 zygomyetes using two different media. JAC 2003; 52: 65-70.
43 Anil S, Ellepola ANB, Samaranayake LP. Post-antifungal effect of polyene, azole and DNA-analogue against oral candida albicans and candida tropicalis isolates in HIV disease. J Oral Pathol Med 2001; 30: 481-8.
28
Recommended