View
46
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
1
Citation preview
Laporan Kasus
Kronik Cor Pulmonal
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jantung dan Pembuluh Universitas Syiah
Kuala BLUD/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Oleh:
Safarna lavia
1507101030018
Pembimbing:
dr. Sri Murdiati Sp.JP
BAGIAN/SMF KEDOKTERAN ILMU KESEHATAN
JANTUNG DAN PEMBULUH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD/RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesehatan dan waktu untuk
penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini.
Adapun maksud dan tujuan pembuatan tugas laporan kasus yang berjudul
“Cor Pulmonal” ini adalah untuk memenuhi tugas dalam menjalankan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Ilmu Kesehatan Jantung dan
Pembuluh Fakultas Kedokteran Unsyiah, Provinsi Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pembimbing dr.
Sri Murdiati Sp.JP yang telah membimbing, memberi saran dan kritikan sehingga
terselesaikannya tugas ini, juga kepada teman-teman dokter muda yang turut
membantu dalam pembuatan tugas ini.
Akhirnya penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam tulisan ini,
kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca sekalian untuk
kesempurnaan tulisan ini, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Banda Aceh, Februari 2016
Penulis
BAB IPENDAHULUAN
Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi
ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang
menyerang struktur, fungsi paru, atau pembuluh darah pulmonal yang dapat
berlanjut menjadi gagal jantung kanan. Menurut World Health Organization
(WHO), definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan hipertrofi
ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru.
Tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan
penyakit jantung kongenital (bawaan). Istilah hipertrofi yang bermakna sebaiknya
diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi ventrikel kanan.
Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel
kanan dengan bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru akan
mempengaruhi secara selektif jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum yang
menyebabkan kor pulmonal adalah peningkatan dari resistensi aliran darah
melalui sirkulasi paru dan mengarah pada hipertensi arteri pulmonal.
Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor
pulmonal akut tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal kronik
sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada kor
pulmonal kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan sedangkan pada kor-
pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Insidens yang tepat dari kor pulmonal tidak diketahui karena seringkali
terjadi tanpa dapat dikenali secara klinis. Diperkirakan insidens kor pulmonal
adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung. Di Inggris terdapat
sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya kor pulmonal pada populasi
usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalami hipertensi
pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit
yang secara primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang
mengganggu aliran darah paru. Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia,
menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal berturut-turut adalah asma
bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit interstisial paru,
bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-90%
pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK akan
berkembang menjadi kor pulmonal.
Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan
berlebihan pada ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan kerja
ventrikel kanan yang menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya
berdinding tipis, yang akhirnya dapat menyebabkan disfungsi ventrikel dan
berlanjut kepada gagal jantung.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Saluran Pernafasan
Paru-paru mempunyai sumbe suplai darah dari Arteria Bronkialis dan
Arteria pulmonalis. Arteria Bronkialis berasal dari Aorta torakalis dan berjalan
sepanjang dinding posterior bronkus. Vena bronchialis yang besar mengalirkan
darahnya ke dalam sistem azigos, yang kemudian bermuara ke vena cava superior
dan mengembalikan darah ke atrium kanan. Vena brochialis yang lebih kecil akan
mengalirkan darah vena pulmonalis, karena sirkulasi bronchial tidak berperanan
pada pertukaran gas, darah yang tidak teroksigenasi mengalami pirau sekitar 2-3%
curah jantung. Sirkulasi bronchial menyediakan darah teroksigenisasi dari
sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru-
paru.
Arteri Pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan mengalirkan darah
vena campuran ke paru-paru dimana darah tersebut mengambil bagian dalam
pertukaran gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus mengitari dan menutup
alveolus, merupakan kontak erat yang diperlukan untuk proses pertukaran gas
antara alveolus dan darah. Darah yang teroksigenasi kemudian dikembalikan
melalui vena pulmonalis ke ventrikel kiri yang selanjutnya membagikannya
kepada sel-sel melalui sirkulasi sistemik.
2.2 Anatomi Jantung Ventrikel Kanan
Letak ruang ventrikel kanan paling depan di dalam rongga dada yaitu tepat
di bawah manubrium sterni. Sebagian besar ventrikel kanan berada di kanan
depan ventrikel kiri dan medial atrium kiri. Berbentuk bulan sabit/setengah
bulatan berdinding tipis dengan tebal 4-5 mm yang disebabkan oleh tekanan di
ventrikel kiri yang lebih besar.
Dinding anterior dan inferior disusun oleh serabut otot yaitu trabekula
karnae yang sering membentuk persilangan satu sama lain. otot ini di bagian
apikal berukuran besar yaitu trabecula septo marginal (moderator band). Ventrikel
kanan secara fungsional dapat dibagi dua alur ruang yaitu alur masuk ventrikel
kanan (Righ ventricular out flow tract) berbentuk tabung atau corong, berdinding
licin terletak di bagaian superior ventrikel kanan yaitu infundibulum/conus
arteriosus. Alur masuk dan keluar dipisahkan oleh krista supra ventrikuler yang
terletak tepat di atas daun anterior katup tricuspid.
2.3 Definisi
Cor pulmonal kronik adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat
hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh
darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Istilah hipertrofi
yang bermakna patologis sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi
ventrikel kanan. Untuk menetapkan adanya kor pulmonal secara klinis pada
pasien gagal napas diperlukan tanda pada pemeriksaan fisis yakni edema.
Hipertensi pulmonal “sine qua non” dengan cor pulmonal maka defenisi kor
pulmonal yang terbaik adalah: hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit
yang mengenai struktur dan atau pembuluh darah paru; hipertensi pulmonal
menghasilkan pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi) dan
berlanjut dengan berjalannya waktu menjadi gagal jantung kanan. Penyakit paru
obstruktif konis (PPOK) merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik
dan kor pulmonal, diperkirakan 80˘ 90% kasus.
2.4 Etiologi
Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan
menjadi 4 kelompok :
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma,
granuloma atau fibrosis.
3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan
pernafasaan saat tidur.
Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal kronis adalah
PPOK, diperkirakan 80-90% kasus.
2.5 Patogenesis
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit
yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-
paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat
penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi
peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi
pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga
mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian
kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler paru pada
arteri dan arteriola kecil.
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler
paru adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya
hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru.
Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk
menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia
alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru,
sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis,
hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan
vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia
dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan
hiperkapnia, juga ikut meningkatkan tekanan arteri paru.
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan tekanan
arteri paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh kerusakan
bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari
kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen
menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada penyakit
obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari
volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik
terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik
dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari
anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi
peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik
terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat
hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi. Setiap
penyakit paru memengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau jaringan
vaskular paru dapat mengakibatkan kor pulmonal.
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi
pulmonal dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada
parenkim paru, kinerja paru, maupun sistem peredaran darah paru secara akut
maupun kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada paru
yang ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada akhirnya
dapat menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang
mengakibatkan terjadinya gagal ventrikel kanan dan kematian. Hipertensi
pulmonal dibagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah
hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan oleh adanya penyakit jantung,
parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang melatarbelakanginya. Hipertensi
pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut hipertensi pulmonal sekunder.
Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru (sekunder) didefinisikan
sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP) istirahat, yakni >20
mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg.
Pada pasien muda (<50 tahun) TAP normalnya berada pada kisaran 10-15 mmHg.
Dengan bertambahnya usia TAP akan meningkat kurang lebih 1 mmHg setiap 10
tahun. Selain dipengaruhi usia TAP juga dipengaruhi oleh aktivitas. Semakin
berat aktivitas maka TAP akan semakin meningkat. Pada aktivitas ringan TAP
dapat meningkat >30 mmHg. Melihat hal tersebut maka pemeriksaan TAP harus
dilakukan saat pasien dalam keadaan istirahat dan rileks.
Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya
hipertensi pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular.
Ketiganya adalah mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah
pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat adanya dua
faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif seperti, nitric oxide dan
prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari mediator
vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya mekanisme tersebut
maka pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi lebih terang yakni dengan
pemberian preparat nitric oxide, derivat prostacyclin, antagonis reseptor
endothelin-1, dan inhibitor phosphodiesterase-5.
Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan
dan dapat mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung. Timbulnya
keadaan ini diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan,
hipervolemia akibat adanya retensi air dan natrium, serta meningkatnya cardiac
output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat melakukan adaptasi dan kompensasi
maka akhirnya timbul kegagalan jantung kanan yang ditandai dengan adanya
edema perifer. Jangka waktu terjadinya hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan
maupun gagal jantung kanan pada masing-masing orang berbeda-beda.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, kor pulmonal dibagi menjadi 5 fase:
Tabel Fase perjalanan penyakit kor pulmonal
Fase Deskripsi
Fase 1
Fase 2
Pada fase ini belum nampak gejala klinis
yang jelas, selain ditemukannya gejala
awal penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK), bronkitis kronis, tuberkulosis
paru, bronkiektasis dan sejenisnya.
Anamnesa pada pasien 50 tahun biasanya
didapatkan kebiasaan banyak merokok.
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-
tanda berkurangnya ventilasi paru.
Gejalanya antara lain, batuk lama yang
berdahak (terutama bronkiektasis), sesak
napas, mengi, sesak napas ketika berjalan
menanjak atau setelah banyak bicara.
Sedangkan sianosis masih belum
nampak. Pemeriksaan fisik ditemukan
kelainan berupa, hipersonor, suara napas
berkurang, ekspirasi memanjang, ronki
basah dan kering, mengi. Letak
diafragma rendah dan denyut jantung
lebih redup. Pemeriksaan radiologi
menunjukkan berkurangnya corakan
bronkovaskular, letak diafragma rendah
dan mendatar, posisi jantung vertikal.
Fase 3
Fase 4
Fase 5
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia
yang lebih jelas. Didapatkan pula
berkurangnya nafsu makan, berat badan
berkurang, cepat lelah. Pemeriksaan fisik
nampak sianotik, disertai sesak dan
tanda-tanda emfisema yang lebih nyata.
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah,
mudah tersinggung kadang somnolen.
Pada keadaan yang berat dapat terjadi
koma dan kehilangan kesadaran.
Pada fase ini nampak kelainan jantung,
dan tekanan arteri pulmonal meningkat.
Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel,
namun fungsi ventrikel kanan masih
dapat kompensasi. Selanjutnya terjadi
hipertrofi ventrikel kanan kemudian
terjadi gagal jantung kanan. Pemeriksaan
fisik nampak sianotik, bendungan vena
jugularis, hepatomegali, edema tungkai
dan kadang asites.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai patogenesis kor pulmonal,
disediakan ringkasan pada gambar berikut :
Hipertensi Pulmonal
Polisitemia dan hiperviskositas
darah
Vasokonstriksi Berkurangnya vascular bed paru
Asidosis dan hiperkapnia
Hipoksia alveolar
Kerusakan paru & semakin terdesaknya pembuluh darah
oleh paru yang mengembang
Penyakit paru kronis
Gambar. Patogenesis Kor Pulmonal
2.6 Diagnosis
Diagnosis cor pulmonale dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya
hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk
menegakkan diagnosis cor pulmonale secara pasti maka dilakukan prosedur
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara tepat. Pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun
fungsional. Adanya hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti
dengan hanya pemeriksaan fisik dan anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan
penunjang.
Pada cor pulmonale selama jantung masih bisa melakukan kompensasi
terhadap hipertensi pulmonal, anamnesis pada penderita cor pulmonale hanya
didapatkan keluhan yang terkait dengan gangguan yang melatarbelakanginya.
Keluhan yang biasanya didapatkan adalah batuk produktif, sesak nafas saat
aktivitas (dispneu on effort), adanya mengi, cepat letih, dan lemas. Ketika
progresivitas penyakit bertambah keluhan yang sering muncul adalah sesak nafas
walaupun tidak beraktivitas, tachypnea, orthopnea, edema, dan perasaan tidak
nyaman pada kuadran kanan atas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bentuk dada dengan diameter terbesar
anteroposterior atau disebut barrel chest. Pada pemeriksaan auskultasi paru
didapatkan memanjangnya suara nafas ekspirasi dan pada pasien eksaserbasi
biasanya didapatkan mengi dan ronki. Pasien yang telah menjadi gagal jantung
kanan didapatkan tanda-tanda seperti edema, peningkatan tekanan vena jugularis,
refluks hepatojugular, pulsasi epigastrium dan parasternal, asites, hepatomegali
dan takikardia. Menurunnya cardiac output dapat menyebabkan hipotensi dan
pulsasi yang lemah. Pada pemeriksaan jantung pasien dengan gagal jantung kanan
didapatkan kardiomegali ventrikel kanan yang menyebabkan batas jantung kanan
bawah bergeser ke bawah kanan. Pada auskultasi didapatkan suara gallop S3
disertai meningkatnya intensitas bunyi P2. Insufisiensi katup trikuspid ditandai
dengan adanya pansistolik murmur yang terdengar di parasternal kiri bawah dan
mengeras dengan inspirasi. Selain itu, dapat pula terdengar ejeksi sistolik
pulmonal.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mengetahui secara pasti tejadinya cor
pulmonale adalah dengan kateterisasi jantung kanan (Swan-Ganz catheterization)
untuk mengukur secara pasti hipertensi pulmonal. Kateterisasi jantung kanan ini
dimasukkan melalui vena sentral (V. axillaris, v, jugularis, atau v.
brachiocephalica) dan diteruskan ke dalam ventrikel kanan melalui katup trikuspid
dan diteruskan ke dalam arteri pulmonalis.
Dalam pemasangannya pasien diharuskan puasa 8 jam sebelumnya.
Operator harus memperhatikan gambaran radiologis sebelumnya agar dalam
memasang kateter tidak mencederai organ yang dilewati. Adapun penggunaan
kateter ini memiliki resiko antara lain, infeksi, emboli, jendalan darah dan dapat
menyebabkan aritmia. Penggunaan kateter ini masih sangat terbatas karena
sifatnya yang invasif, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan biaya yang diperlukan
cukup tinggi.
Mengingat banyaknya kekurangan dengan menggunakan kateter Swan-
Ganz maka untuk menunjang diagnosis cor pulmonale diperlukan pemeriksaan-
pemeriksaan lain yang lebih mudah, tidak invasif, dan lebih terjangkau.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengetahui penyakit yang
mendasari dan untuk menilai komplikasi serta perjalanan penyakit. Pemeriksaan
yang dilakukan antara lain, hematokrit untuk mengetahui polisitemia, antinuclear
antibody untuk mengetahui penyakit vaskuler kolagen seperti skleroderma,
proteins S dan C, antitrombin III, factor V Leyden, antikardiolipin antibodi, dan
homocysteine untuk mengetahui hiperkoagulasi, analisis gas darah untuk
mengetahui saturasi oksigen, pemeriksaan kadar BNP (Brain Natruretic Peptide)
untuk mengatahui hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan, serta
pemeriksaan spirometri untuk mengetahui status fungsional paru.
2. Pemeriksaan pencitraan
a. Foto Toraks
Pada pasien dengan cor pulmonale hasil foto toraks didapatkan pelebaran arteri
pulmonal sentral. Hipertensi pulmonal dicurigai jika ditemukan diameter arteri
pulmonal desenden kanan lebih lebar dari 16 mm dan arteri pulmonal kiri lebih
lebar dari 18 mm.4 Pelebaran jantung kanan menyebabkan diameter transversal
meningkat dengan cardiothorax ratio (CTR) 50% dan bayangan jantung melebar
ke kanan pada foto toraks posisi anteroposterior. Pada pasien dengan PPOK
didapatkan gambaran sela iga melebar, diafragma mendatar dan gambaran
pinggang jantung pendulum.4 Pada foto lateral didapatkan pengisian ruang
retrosternal dan meningkatnya diameter toraks anterroposterior.
Gambar . Foto toraks posisi anteroposterior
Gambar Foto toraks posisi anteroposterior dan lateral.
b. Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan
diagnosis cor pulmonale adalah dengan ekokardiografi. Pemeriksaan dengan
gelombang suara menggunakan Doppler ekokardiografi ini memungkinkan
penghitungan gradien tekanan yang transtrikuspid dari kecepatan puncak pancaran
regurgitan katup trikuspid, yakni dengan menggunakan persamaan Bernouili.
Dengan asumsi bahwa tekanan atrium kanan adalah 5 mmHg maka tekanan
sistolik ventrikel kanan yang identik dengan tekanan sistolik arteri pulmonal dapat
diestimasikan. Caranya, yakni dengan menjumlahkan tekanan atrium kanan
dengan gradient tekanan transtrikuspid.
Pada pasien PPOK penggunaan Doppler ekokardiografi ini kurang efektif
karena hiperinflasi dan pengisian ruang retrosternal yang menyebabkan transmisi
gelombang suara kurang optimal. Computed tomography (CT) scan, Magnetic
Resonance Imaging (MRI), maupun ekokardiografi dua dimensi dapat digunakan
untuk menilai ketebalan dinding ventrikel kanan sehingga dapat mengetahui
hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan
Gambar Ekokardiogram (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)
3. Pemeriksaan EKG
Gambaran abnormal cor pulmonale pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1S2S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau
inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan
prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena
adanya hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran
gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan
infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur
atrium terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial
paroksismal, takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter.
Disritmia ini dapat dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari
(kecemasan, hipoksemia, gangguan keseimbangan asam-basa, gangguan
elektrolit, serta penggunaan bronkodilator berlebihan).
Diagnosis cor pulmonale biasanya menunjukkan kombinasi adanya
gangguan respirasi yang dihubungkan dengan hipertensi pulmonal dan adanya
gangguan pada ventrikel kanan yang didapat secara klinis, radiologis,
elektrocardiogram. Dalam praktek sehari-hari sering didapatkan kesulitan dalam
membuat diagnosis col pulmonal yakni bila keadaan pasien sedang stabil atau
belum terjadi gagal jantung kanan. Untuk itu dianjurkan membuatkan EKG dan
pemeriksaan radiologis dada secara serial.
2.8 Diagnosis Banding
- Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup
mitral. Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran
arteri pulmonal karena peninggian tekanan aorta yang relatif kecil (pada
fase lanjut), pembesaran ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-
tanda bendungan vena
- Perikarditis konstriktifa dapat dibedakan dengan test fungsi paru dan
analisa gas darah.
2.9 Penatalaksanaan
Penanganan cor pulmonale secara umum adalah mencegah berlanjutnya
proses patogenesis yang masih bisa ditangani secara langsung dan secara
bersamaan menangani komplikasi yang terjadi seperti hipoksemia, hiperkapnia,
dan asidosis. Pemberian terapi pada cor pulmonale ditujukan untuk mengurangi
hipoksemia, meningkatkan toleransi aktivitas pasien dan jika memungkinkan
menghilangkan faktor yang mendasari. Untuk mengatasi faktor-faktor tersebut
diatas perlu diambil tindakan berikut.
a) Mengusahakan supaya jalan nafas tetap terbuka dengan jalan memberikan
obat-obatan (bronkodilator, mukolitik), drainase postural, pengisapan
lendir dari jalan nafas dan lain-lain.
b) Terapi O2 pada penderita cor pulmonale yang disebabkan oleh PPOK
harus berhati-hati oleh karena dapat mengakibatkan retensi CO2.. Oleh
karena itu pemeriksaan analisa gas darah yang berulang-ulang sangat
penting. Biasanya O2 diberikan dengan konsentrasi rendah. Pemberian
terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK terbukti memperbaiki
prognosis dan dapat mencegah terjadinya hipertropi ventrikel kanan.
c) Mengatasi infeksi saluran nafas, yakni dengan pemberian antibiotik yang
sesuai dan dengan dosis adekuat.
d) Pemberian glikosida jantung (digoxin) pada pasien dengan gagal jantung
kanan. Digoxin bersifat inotropik positif sehingga dapat meningkatkan
cardiac output pada pasien dengan gagal jantung kanan.
e) Vasodilator arteri pulmonal seperti diazoxide, nitroprussid, hydralazin,
ACE inhibitor, penyekat kanal kalsium, atau prostaglandin. Pemberian
inhalasi vasodilator dalam jangka panjang harus dihindari karena efek
toksiknya. Pada pasien PPOK pemberian vasodilator masih dipertanyakan.
Hal ini dikarenakan hipertensi pulmonal pada PPOK cenderung ringan
tetapi dapat menjadi berat saat terjadi eksaserbasi.
f) Flebotomi untuk mengurangi jumlah sel darah merah. Hal ini jarang
dilakukan karena prosedur yang invasif. Tujuannya adalah menghilangkan
polisitemia.
g) Antikoagulan untuk mengurangi resiko tromboemboli.
h) Diet rendah garam, pembatasan asupan cairan, pemberian diuretic, untuk
mengurangi edema dan mengurangi afterload.
2.10 Komplikasi
Komplikasi dari cor pulmonale adalah bisa terjadi syncope, hypoxia, pedal
edema, passive hepatic congestion dan kematian.
2.11 Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari
prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti
"restrictive pulmonary disease", dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer
mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat hidup antara 5 sampai 17 tahun
setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan mendapat pengobatan
yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14 tahun. Sadouls di
Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Eugene Braunwald, Stephen L. Hauser, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, L
Longo, J Larry Jameson. Heart Failure and Cor pulmonale. Harrison’s
Principles of Internal Medicine, seventeenth edition, 2010, PP. 158-160
2. Fishman A, Elias J.A, et al. Cor pulmonale. Fishman’s Pulmonary Diseases
and Disorders, fourth edition,2008, PP. 1360- 1370
3. Aderaye, G. Causes and Clinical Characteristics Of Chronic Cor-Pulmonale In
Ethiopia. East African Medical Journal. 2004. 81 (4): 202-205.
4. Springhouse. Cor pulmonale. Professional Guide to Diseases. Lippincott
Williams & Wilkins.2005.
5. Hill. N.S and Farber. W. Pulmonary Hypertension. N Engl J Med. 2008.
359;20.
6. Allegra et al. Possible Role Of Erythropoietin In The Pathogenesis Of Chronic
Cor pulmonale. Nephrol Dial Transplant. 2005. 20: 2867.
7. Weitzenblum, Emmanuel. Chronic Cor pulmonale. Heart. 2003. 89(2): 225–
230.
8. Lily Ismodiati, Faisal Baras, Santoso K, Popy S : Buku Ajar Kardiologi,
FKUI, Jakarta 2003.
Recommended