View
4
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ix
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN ............................................................................................. i
SAMPUL DALAM ............................................................................................ ii
PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ................................................ iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................ xiii
ABSTRACT ....................................................................................................... xiv
ABSTRAK ......................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 9
1.3 Ruang Lingkup Masalah ......................................................... 9
1.4 Orisinalitas Penelitian ............................................................. 10
1.5 Tujuan Penelitian .................................................................... 11
1.5.1. Tujuan Umum… ....................................................... 11
1.5.2. Tujuan Khusus .......................................................... 11
1.6 Manfaat Penelitian .................................................................. 12
1.6.1 Manfaat Teoritis ....................................................... 12
1.6.2 ManfaatPraktis .......................................................... 12
x
1.7 Landasan Teoritis .................................................................... 13
1.8 Metode Penelitian ................................................................... 19
1.8.1 Jenis Penelitian ......................................................... 19
1.8.2 Jenis Pendekatan ....................................................... 20
1.8.3 Bahan Hukum/Data .................................................. 21
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................ 23
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum................................. 24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KORUPSI, PENYIDIKAN,
TINDAK PIDANA KORUPSI SERTA KEWENANGAN
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002
2.1. Pengertian Penyidikan ............................................................ 25
2.2. Pengertian Tindak Pidana ...................................................... 30
2.3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Dan Unsur-Unsur
Tindak Pidana Korupsi ........................................................... 32
2.3.1 Pengertian Tindak Pidana Korupsi ................................ 32
2.3.2 Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi ............................. 35
2.4. Kedudukan KPK Sebagai Lembaga Penyidik Tindak Pidana
Korupsi .................................................................................. 39
xi
BAB III KETENTUAN PENGATURAN TERKAIT BATAS
WAKTU PENAHANAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN
KORUPSI (KPK)
3.1 Dasar Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Yang Pernah Berlaku Di Indonesia........................................ 44
3.1.1 Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ........................... 44
3.1.2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rebuplik
Indonesia Nomor XI/MPR/1998 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas
Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme ...................................... 46
3.1.3 Undang-Undang RI No. 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas
Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme ...................................... 47
3.1.4 Undang-Undang RI No.31 Tahun 1999 Juncto Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi................................................................. 48
3.1.5 Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .............. 50
3.1.6 Instruksi Presiden RI No. 5 Tahun 2004 Tentang
Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ........ 52
xii
3.2. Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kepolisian dan
Kejaksaan ................................................................................ 53
3.3. Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ............................................... 60
BAB IV TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH KPK
TERKAIT TIDAK CUKUP BUKTI DALAM PENYIDIKAN
4.1. Dasar Hukum Dan Alasan Terjadinya Suatu Tindakan
Hukum .................................................................................... 67
4.2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sebagai Lembaga
Superbody Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .... 68
4.3. Kewenangan KPK Dalam Proses Penyidikan ........................ 75
4.3.1 Kewenangan KPK Dalam Penyidikan ........................ 75
4.3.2 KewenanganKPK Melakukan Tindakan Hukum
Terkait Tidak Cukup Bukti Dalam Proses
Penyidikan ................................................................... 81
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan ............................................................................... 84
5.2. Saran .................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
xiii
ABSTRACT
Corruption is a problem in the economy of every nation in the world,
whether in government or in the private environment, in Indonesia, the crime of
corruption is already an extraordinary crime, so its handling requires special
efforts, both of the proceedings and of the law enforcement. Indonesian
authorities in the investigation of corruption is owned by three law enforcement
agencies, namely the police, judiciary and the Corruption Eradication
Commission. In this case problems arise: (1) Are there any provisions regarding
the regulation time limit corruption investigation by the Commission? (2) Is the
legal action that can be done when the Commission investigation was doing was
not enough evidence?
This type of research used in this paper is a normative legal research,
approach used is the approach of legislation and approach to the concept.
Related to Law Commission there is no regulation regarding the time limit
of investigation in a probe of corruption resulted in a process of investigation by
the Commission shall be the maximum in accordance with their authority. As well
as when in an examination can not be enough evidence in a corruption
investigation authority of the Commission as an institution is also hindered by the
authority can not terminate the investigation.
Keywords: The Corruption Eradication Commission, Corruption, Investigations
xiv
ABSTRAK
Korupsi adalah masalah dalam perekonomian bagi setiap bangsa didunia,
baik dalam lingkungan pemerintahan maupun lingkungan swasta, dimana di
Indonesia sendiri, kejahatan tindak pidana korupsi sudah merupakan kejahatan
yang luar biasa, sehingga penanganannya memerlukan upaya khusus, baik dari
proses peradilannya maupun dari penegak hukumnya. Di Indonesia kewenangan
penyidikan tindak pidana korupsi dimiliki oleh 3 instansi penegak hukum yaitu
Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam hal ini timbul
permasalahan : (1) Apakah ada ketentuan pengaturan mengenai batas waktu
penyidikan tindak pidana korupsi oleh KPK ? (2) Apakah tindakan hukum yang
dapat dilakukan KPK bila penyidikan yang dilakukannya ternyata tidak cukup
bukti ?
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
hukum normatif, Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan dan pendekatan konsep.
Terkait dalam Undang-undang KPK tidak terdapat pengaturan mengenai
batas waktu penyidikan dalam suatu pemeriksaan tindak pidana korupsi
mengakibatkan suatu proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK tidak dapat
maksimal sesuai dengan kewenangannya. Serta apabila dalam suatu pemeriksaan
tidak dapat cukup bukti pada suatu tindak pidana korupsi kewenangan KPK
sebagai lembaga penyidik juga terhalang oleh kewenangannya yang tidak dapat
melakukan penghentian penyidikan.
Kata kunci : Komisi Pemberantasan Korupsi, Korupsi, Penyidikan
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korupsi adalah masalah dalam perekonomian bagi setiap bangsa
didunia, baik dalam lingkungan pemerintahan maupun lingkungan swasta.
Selain merupakan alat untuk memperkaya diri bagi para pelakunya, Korupsi
juga merugikan keuangan baik dalam sistem negara maupun dalam
perusahaaan atau badan terkait. Indonesia adalah negara hukum banyak
pengaturan yang dibuat untuk menekan tingginya angka korupsi di Negara
Indonesia.
Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kuantitas
maupun sisi kualitas dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi
merupakan kejahatan biasa (Ordinary Crimes), akan tetapi sudah merupakan
kejahatan yang sangat luar biasa (Extra Ordinary Crimes1). Mengingat
kompleksitas serta efek negatifnya, maka korupsi yang dikategorikan sebagai
kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crimes) memerlukan upaya
pemberantasan dengan cara-cara yang luar biasa (Extra Ordinary Measure)
Menurut Fockema Andrea yang dikutip Andi Hamzah dalam bukunya,
kata korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus (Webster
student Dictionary (1960)). Selanjutnya disebutkan bahwa Corruptio itu
1 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal
Justice System), Program Magister Ilmu Hukum, Semarang, hlm.92.
xvi
berasal pula dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa
latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption,
corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptive, corruptive
(korruptie). Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia
yaitu “korupsi”.2 Praktik korupsi bukanlah merupakan suatu tindak pidana
baru didalam lingkungan pejabat negara atau pejabat swasta di Indonesia.
Pemerintah telah berupaya untuk menanggulangi praktik ini diantaranya
dengan membuat peraturan khusus terkait tindak pidana korupsi dan membuat
lembaga/badan khusus untuk menangani kasus tersebut. Tindakan ini
dilakukan sebagai bentuk nyata pemerintah dalam menanggulangi korupsi
yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan
menghambat pembangunan nasional, sehingga harus ditanggulangi dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai langkah awal dari pemberantasan korupsi pemerintah
menjadikan korupsi adalah tindak pidana khusus dan mengeluarkan peraturan
mengenai hal tersebut yang mana merupakan peraturan yang berjalan diluar
KUHP (Lex Specialis Derogate Legi Generali). Ini menjadikan penanganan
terhadap korupsi dapat berjalan dengan peraturan yang dapat berkembang
dimasyarakat dan mengikuti perkembangan zaman. Hal ini menunjukkan
pemerintah bertindak tegas dalam menanggulangi korupsi yang telah, sedang,
2Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Andi Hamzah I), hlm.4.
xvii
dan akan merugikan negara baik dari segi ekonomi maupun dalam segi
perkembangan negara. Peraturan tersebut diantaranya pada Masa Peraturan
Penguasa Militer dengan mengeluarkan Peraturan Militer Nomor
PRT/PM/06/1957 hingga pada masa Undang-Undang yang terbaru dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.3
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membawa kemajuan terhadap peran
pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Dalam Undang-Undang tersebut
dimuat tentang peradilan khusus tindak pidana korupsi dan mengamanatkan
tentang pembentukan badan pemberantasan korupsi. Dimana dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tercantum dalam Pasal 43 ayat (1), yaitu : “Dalam waktu paling
lambat 2 (Dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Merujuk akan hal tersebut Pemerintah pada tahun 2002 melalui
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan
badan khusus dalam menangani kasus korupsi dan merupakan badan “super
3Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 22-
23.
xviii
body” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukanlah badan pertama yang
dibentuk oleh pemerintah untuk menangani kasus korupsi. Sejak tahun 1967
pemerintah telah melakukan pembentukan badan serupa untuk menangani
kasus korupsi. Badan khusus ini diantaranya adalah Tim Pemberantasan
Korupsi yang dibentuk pada tahun 1967, Komite Anti Korupsi (KAK) yang
dibentuk pada tahun 1970, Komisi Empat yang dibentuk pada tahun 1970,
Operasi Tertib (OPSTIB) yang dibentuk pada tahun 1977, Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) yang dibentuk pada tahun 1982, Komisi
Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang dibentuk pada tahun
1999, dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
yang dibentuk pada tahun 1999.
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah dalam
rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan korupsi. Sebagai badan yang diharapkan bertindak luar biasa
dalam memberantas korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki
5 (lima) tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu:
a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; intansi yang berwenang adalah
termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara,
inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-
Departemen.
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi.
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
xix
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga yang memiliki
beberapa fungsi antara lain :
- KPK sebagai koordinator pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- KPK sebagai tonggak mekanisme pemeberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
- KPK sebagai supervisor pemeberantasan tindak pidana korupsi.
Fungsi diatas tentang Komisi Pemberantasan Korupsi berbeda dengan
kewenangan yang dimiliki oleh komisi-komisi anti korupsi yang pernah di
bentuk sebelumnya. Selain itu dalam pelaksanaan tugasnya, KPK
bertanggung jawab hanya kepada publik atau kepada masyarakat, KPK hanya
memberi laporan secara berkala saja kepada presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).4
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 Kriteria
tindak pidana korupsi dimana KPK berwenang melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan adalah tindak pidana korupsi yang :
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat.
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (Satu
milyar rupiah).
Apabila terdapat kasus korupsi yang tidak memenuhi kriteria tersebut,
maka penanganan kasus tersebut bukanlah oleh KPK melainkan oleh institusi
4https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi_Republik_Indonesia,diakse
s pada Jumat 26 Februari 2016
xx
penegak hukum lainnya yang berwenang untuk itu, seperti lembaga
Kepolisian dan Kejaksaan.
Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang No.30 Tahun 2002, dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK
berwenang :
1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk bepergian ke luar
negeri
3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang
diperiksa.
4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka
terdakwa atau pihak lain yang terkait.
5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.
6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa
kepada instansi yang terkait.
7. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan ,transaksi
perdagangan dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara
perizinan, lisensi serta konsesi yang di lakukan atau dimiliki oleh
tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang
cukup ada hubungan dengan tindak pidana korupsi yang sedang di
periksa.
8. Meminta bantuan lnterpol Indonesia atau instansi penegak hukum
negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan
barang bukti di luar negeri.
9. Meminta bantuan Kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan. dan penyitaan
dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Dalam kewenangan di atas, terlihat bahwa Undang-Undang No.30
Tahun 2002 memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada
penyidik KPK jika dibandingkan dengan penyidik Kepolisian dan Kejaksaan.
Hal tersebut dikarenakan besarnya tugas yang diemban oleh KPK seiring
dengan makin parahnya tindak pidana korupsi merajalela di Indonesia,
xxi
sementara institusi Kepolisian dan Kejaksaan dinilai kurang efektif dalam
penanganan tindak pidana korupsi yang terjadi. Dalam menjalankan
fungsinya terkait dengan kewenangan yang dimilikinya KPK berpedoman
pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 serta KPK juga tidak lepas dari
pengaturan sebagaimana diatur oleh KUHAP.
Dalam berbagai pengaturan serta kewenangan yang diberikan
terhadap KPK, tidak ada pengaturan yang mengatur mengenai batas waktu
penahan yang diberikan secara jelas di dalam Undang-Undang KPK maupun
di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga
menyebabkan segala hal yang berkatian dengan sistem beracara dalam
menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi masih berpedoman pada Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana termasuk mengenai batasan waktu
penahanan dalam proses penyidikan, sehingga dalam praktek yang sering di
gunakan adalah batasan waktu penahanan dalam KUHAP. Berkaitan dengan
berpedomannya sistem beracara tindak pidana korupsi yang masih berpatok
pada KUHAP maka masa batas waktu penahannya bervariasi tergantung pada
siapa yang menahan tersangka/ terdakwa. Penjelasan mengenai batasan waktu
yang bervariasi tersebut di dalam KUHAP mengenai batas waktu penahanan
terhadap tersangka/terdakwa diatur dalam:
a. Penahanan Oleh Polisi dan Pejabat Lain (Pasal 24 KUHAP)
b. Penahanan atas Perintah Penuntut Umum (Pasal 25 KUHAP)
c. Penahanan atas Surat Perintah Penahanan Hakim Pengadilan Negeri
(Pasal 26 KUHAP)
d. Penahanan atas Surat Perintah Penahanan Hakim Pengadilan Tinggi
(Pasal 27 KUHAP)
xxii
e. Penahanan atas Surat Perintah Penahanan, Mahkaman Agung (Pasal 28
KUHAP)5
Pelaksanaan di dalam praktek nya, apabila batasan waktu penahanan
yang diterapkan menyimpang atau bahkan melebihi batasan waktu yang
ditentukan dalam KUHAP maka hal ini dapat menimbulkan suatu
permasalahan dimana hak asasi manusia dari tersangka/terdakwa telah
dilanggar dimana pengaturan mengenai HAM tiap orang diatur dalam
Undang-undang Peradilan HAM No. 26 Tahun 2000.
Norma kosong yang terjadi dalam pembatasan waktu penyidikan
dalam tindak pidana korupsi ini menuntut adanya aturan baru yang dapat
ditegaskan khususnya dalam tindak pidana korupsi mengingat tindak pidana
korupsi di Indonesia sudah termasuk dalam tindak kejahatan luar biasa (Extra
Ordinary Crimes) sehingga diperlukan pengaturan khusus yang mengatur
mengenai batasan waktu penahanan dalam tindak pidana korupsi dimana asas
Lex Specialis Derogat Generalis dapat diberlakukan dan kedepannya dalam
tindak pidana korupsi mengenai batasan waktu penahan tidak lagi berpatokan
pada KUHAP.
Luasnya kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
diberikan oleh undang-undang namun juga masih terdapat kekosongan
hukum pada batas waktu penyidikan sehingga sistem beracara dalam tindak
pidana korupsi masih berpedoman pada KUHAP, menjadikan penelitian ini
tidak mungkin bisa mencakup semua kewenangan dan berbagai aturan
5Syamsudin Aziz, 2014, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 172-173.
xxiii
lainnya secara keseluruhan. Namun pada kesempatan ini penulis akan fokus
kepada kewenangan dari KPK dalam melaksanakan penyidikan yang
berkaitan pada batasan waktupenahan dalam tindak pidana korupsi. Oleh
karena itu, sesuai dengan latar belakang diatas maka penulis membuat
makalah penelitian yang berjudul “Kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dapat
disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada ketentuan pengaturan mengenai batas waktu penyidikan
Tindak Pidana Korupsi oleh KPK ?
2. Apa tindakan hukum yang dapat dilakukan KPK bila penyidikan yang
dilakukannya ternyata tidak cukup bukti?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Agar suatu masalah tidak keluar dari pokok permasalahan yang ada,
maka ruang lingkup dari penelitian ini yaitu :
1. Untuk rumusan masalah yang pertama akan membahas terkait mengenai
ada atau tidaknya pengaturan yang tercantum dalam berbagai pengaturan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur tentang
batasan waktu dalam melaksanakan penyidikan .
xxiv
2. Untuk rumusan masalah yang kedua akan membahas tentang apa tindakan
yang dapat di ambil apabila suatu tindakan penyidikan ternyata tidak
memiliki cukup bukti.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Guna menumbuhkan semangat anti plagiat dalam bidang pendidikan
di Indonesia, maka mahasiswa dan mahasiswi diwajibkan untuk mampu
menunjukkan keorisinalitasan dari penelitian yang tengah dikerjakan dengan
menampilkan beberapa judul penelitian terdahulu yang serupa sebagai suatu
pembanding.
Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan penelitian
lainnya yang digunakan sebagai pembanding dengan penelitian yang dibuat
saat ini yaitu :
1. Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan atas Tindak Pidana
Korupsi Dalam Hal Terdapat Institution Conflict Of Interest, oleh
Ni Nyoman Murniyati, Universitas Udayana, dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaturuan dalam melakukan proses penyelidikan
dan penyidikan atas tindak pidana korupsi dalam hal terdapat
institution of conflict tersebut ?
b. Lembaga mana yang memiliki wewenang untuk menunjuk
institusi untuk melakukan proses penyelidikan dan penyidikan
dalam hal terdapat institution of conflict
xxv
2. Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Daerah (Studi Implementasi
Tindak Pidana Korupsi di daerah Cilacap),oleh Muchammad Fahmi
Rosadi, Universitas Jendral Soedirman, dengan rumusan masalah
sebagai berikut :
a. Bagaimana penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan
di wilayah Cilacap ?
b. Apakah ada hambatan dalam pelaksanaan penyidikan Tindak
Pidana Korupsi di wilayah Cilacap ?
1.5 Tujuan Penelitian
Dalam usulan penelitian yang membahas mengenai suatu tindak
pidana dalam pemilihan umum ini memiliki dua tujuan yang dapat kita
perhatikan dalam penelitian ini yaitu :
1.5.1 Tujuan Umum
a) Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada
bidang penelitian yang dilakukan mahasiswa.
b) Untuk mengetahui mengenai kedudukan dari lemabaga Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melaksanakan penyelidikan
dan penyidikan pada suatu tindak pidana korupsi.
1.5.2 Tujuan Khusus
a) Untuk dapat mengetahui bagaimana pengaturan mengenai batasan
waktu dalam pelaksanaan penyidikan yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi pada suatu tindak pidana korupsi
xxvi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
b) Untuk dapat mengetahui apa bentuk tindakan hukum yang dapat
dilakukan oleh Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika di
dalam suatu pneyidikan tidak memiliki bukti yang cukup.
1.6 Manfaat Penelitian
Berdasarkan dengan permasalah yang telah dipaparkan, dan untuk
mencapai tujuan dari adanya penelitian ini maka manfaat yang diharapkan
yaitu :
1.6.1 Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis dari adanya penelitian ini yaitu hasil
penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat dan menjadi suatu
sumbangan pemikiran bagi pengembangan disiplin bidang ilmu hukum
khususnya pada hukum acara peradilan pidana dengan spesifikasi
mengenai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
melaksanakan suatu penyidikan pada tindak pidana korupsi.
1.6.2 Manfaat Praktis
Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini nantinya akan
dapat berguna dan menjadi wawasan serta menjadi bahan pertimbangan
atau masukan tersendiri bagi pihak-pihak dan aparat penegak hukum
maupun para civitas akademika untuk lebih mengetahui mengenai
xxvii
mengenai Kewenangan Dan Pengaturan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) serta apa saja tindakan hukum yang dapat dilakukan
oleh KPK selama melakukan penyidikan.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum atau khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan lain-lain
yang akan dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian.
Sebelum mengkaji lebih lanjut, dalam pembahasan maka akan dibahas
terlebih dahulu tentang definisi mengenai korupsi.
Definisi mengenai korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,
bergantung pada disiplim ilmu yang digunakan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Beneveniste dalam Suyatno, korupsi didefinisikan menjadi
4 jenis :
1. Descretionary Corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena
adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun
nampaknya dapat bersifat sah bukanlah praktek-praktek yang dapat
diterima oleh para anggota organisasi.
2. Illegal Curruption, ialah jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasan atau maksud-maksud hukum, peraturan dan
regulasi tertentu.
3. Mercenary Curruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang
dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
4. Ideological Corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun
discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan
kelompok.6
6 Suyatno, 2005, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm.17-
18.
xxviii
Pengertian Korupsi menurut Gunar Myrdal dalam bukunya berjudul
Asian Drama, Volume II adalah : “To include not only all form of improper
or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the
special position one occupies in the public life but also the activity of the
bribers”.7
Pengertian atau asal kata korupsi menurut Fockma Andrea dalam
Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa latin curruptio atau corruptus
(Webster Student Dictionar;1960) yang selanjutnya disebutkan bahwa
corruption itu berasal dari asal kata corrumpere, suatu kata dalam bahasa
latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa
seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; Belanda
yaitu cottuptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari
bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia. Yaitu “korupsi”.8
Dalam Kamus Belanda Indonesia yang disusun oleh Wijowasito,
corruptie yang juga disalain menjadi corruptien dalam Bahasa Belanda
mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.9
Pengertian korupsi secara harafiah menurut John M. Echols dan
Hassan Shadaly, berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut A.I.N Kramer
S.R10
, mengartikan kata korupsi sebagai; busuk, rusak, atau dapat disuap.11
7 Gunar Myrdal, 1968, Asian Drama Volume II, Pantheon, New York, hlm. 973.
8 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.4-6.
9Wijowasito, 1999,Kamus Umum Belanda Indonesia, Ikhtiar Baru, Jakarta, hlm.128
10A.I.N Kramer SR, 1977, Kamus Kantong Inggris Indonesia, Ikhtiar Baru Van Voeve,
Jakarta, hlm.62. 11
John M.Echols dan Hassan Shadaly, 1977, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, (Selanjutnya disingkat John M.Echolas & Hassan Shaidly I), hlm.149.
xxix
Kemudian arti korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
Bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta: “Korupsi ialah
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya”.12
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang berfungsi
sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi (trigger mechanism) KPK memiliki tugas dan
wewenang yang cukup berbeda, diantaranya melakukan kordinasi dan
supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
dalam kasus korupsi. Hal ini berbeda dengan kewenangan yang dimiliki oleh
komisi-komisi anti korupsi yang pernah di bentuk sebelumnya. Selain itu
dalam pelaksanaan tugasnya, KPK bertanggung jawab hanya kepada publik
atau kepada masyarakat, KPK hanya memberi laporan secara berkala saja
kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) hal ini tercantum dalam Pasal 20 Undang-Undang No.30
Tahun 2002.
Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih dahulu telah
dilakukan tahap proses penyelidikan oleh penyelidik suatu tindak pidana yang
terjadi. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan pengertian penyelidikan adalah
sebagai berikut : “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu
12
W.J.S.Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
hlm.524.
xxx
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.13
Selain pengertian tersebut, hal yang berkaitan dengan penyelidikan
yaitu terdapat penyidikan yang pengertian dijabarkan dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu : “Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.”14
Sementara Pengertian penyidik menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP
Penyidik adalah “Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-
undang untuk melakukan penyidikan.” Namun, dalam hal tertentu Jaksa juga
memiliki kewenangan sebagai penyidik terhadap perkara atau tindak pidana
khusus, seperti perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi, hal
ini tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 16 Tahun
2004 yang menyatakan bahwa “Kejaksaan mempunyai wewenang melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu.”
Pada proses penyidikan titik beratnya diletakkan pada penekanan
mencari serta mnegumpulkan bukti agar dan supaya dalam tindak pidana
13
Indonesia (c), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 LN. No. 137 Tahun 2002,
TLN No. 4250. Pasal 45
14 Ibid.
xxxi
yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan
menentukan pelakunya. Hampir tidak ada perbedaan makna antara keduanya
(penyelidikan dan penyidikan). Antara penyelidikan dan penyidikan saling
berkaitan dan saling isi mengisi guna dapat diselesaikannya pemeriksaan
suatu peristiwa pidana.15
Tindak pidana dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah strafbaar
feit yang merupakan istilah resmi dalam strawfwetboek atau dalam KUHP
yang sekarang berlaku di Indonesia.16
Istilah tersebut juga dipakai dalam
KUHP. Beberapa ahli memberikan istilah yang berbeda mengenai
strafbaarfeit dalam karangannya tentang hukum pidana antara lain delict,
peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana. Penggunaan istilah
tindak pidana lebih sering digunakan karena kata tindak tidak menunjuk
kepada hal yang abstrak perbuatan. Tapi hanya menyatakan keadaan konkrit
sebagaimana halnya dengan peristiwa. “Antara tindak perbuatan memiliki
perbedaan yaitu tindak adalah kelakuan tingkah laku gerak-gerik atau sikap
jasmani seseorang hal mana dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan
bertindak dan belakangan juga sering disebut ditindak”.17
Dalam terjemahan KUHP resmi dari Tim Penerjemah Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman yang memakai istilah
tindak pidana dengan alasan sebagai berikut :
15
M. Yahya Harahap,2003, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP
;Penyidikan dan penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.109.
16 Wirjono Projodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung,
hlm.55.
17 Moeljatno, 1980, Azas-azas Hukum Pidana, Offset Gadjah Mada University Press,
hlm.38.
xxxii
1. Penggunaan istilah tindak pidana dipakai karena jika ditinjau dari
segi sosial yuridis, hampir semua perundang-undangan pidana
memakai tindak pidana.
2. Semua instansi penegak hukum dan hampir seluruh penegak
hukum menggunakan istilah tindak pidana.
3. Para mahasiswa yang mengikuti tradisi tertentu dengan memakai
istilah perbuatan pidana ternyata dalam kenyataannya tidak mampu
mengatasi dan menjebatani tantangan kebiasaan penggunaan istilah
tindak pidana.18
Terdapat pula istilah-istilah tindak pidana dalam bahasa asing antara
lain Delict merupakan istilah tindak pidana yangberasal dari bahasa latin
yakni delictum, dalam bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis
disebut dengan delit.19
Selain istilah delict beberapa ahli memberikan pengertian terhadap
istilah strafbaarfeit. Menurut R. Achmad Soema dalam bukunya memberikan
pengertian Strafbaarfeit adalah suatu kelakuan manusia, yang termasuk dalam
batas-batas perumusan suatu delik yang melawan hukum, dan disebabkan
karena kesalahan dari pada si petindak20
. Dari pengertian tersebut bahwa
untuk dapat dikatakan sebagai strafbaarfeit, kelakuan manusia harus
memenuhi unsur suatu delik untuk dapat dikatakan melawan hukum yang
disebabkan oleh petindak.
Menurut Simons bahwa strafbaarfeit adalah “Kelakuan yang diancam
pidana, karena bersifat melawan hukum berhubungan dengan kesalahan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab”21
. Dalam pengertian
18
Ibid, hlm.19. 19
Leden Marpaung, 2005, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta
(Selanjutnya disingkat Leden Marpaung I), hlm.7. 20
R. Achmad Soema Di Pradja, 1978, Asas-asas Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
hlm.65. 21
Ibid
xxxiii
yang diberikan oleh Simons, bahwa bukan saja adanya kelakuan manusia
yang melawan hukum untuk dapat dikatakan sebagai strafbaarfeit. Akan
tetapi si pelaku juga merupakan orang yang mampu bertanggung jawab. Oleh
karena syarat dapat mempertanggung jawabkan ini akan berkaitan dengan
dapat tidaknya seseorang dipidana.
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang
salah satunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris Mehod, Latin
Methodus, Yunani Methodos, meta berarti diatas, sedangkan thodos berarti
suatu jalan, atau suatu cara).
Dalam rangka memperoleh, kemudian mengumpulkan, serta
menganalisis setiap data atau informasi yang bersifat ilmiah, tentunya
dibutuhkan suatu metode dengan tujuan agar suatu karya tulis ilmiah
memiliki susunan yang sitematis, terarah dan konsisten. Adapun metode
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang berjudul “Kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi" menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif ialah metode penelitian hukum yang dilakukan
xxxiv
dengan cara meneliti bahan pustaka22
. Menurut Bambang Sunggono,
penelitian hukum normatif disebut juga peneliatian hukum teoritis
atau dogmatig, karena tidak mengkaji pelaksanaan atau implementasi
hukum, penemuan hukum dalam perkara pidana maupun perdata,
sistemik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum, dan
sejarah hukum.23
Jenis penelitian Yuridis Normatif dapat juga dikatakan
sebagai suatu studi kepustakaan karena yang diteliti dan dikaji adalah
pasal-pasal dan proses penerapan pasal terkait dengan kedudukan dan
kewenangan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
penyelidik dan penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi.
Dalam penelitian normatif harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral atau tema utama
dari suatu penelitian.24
1.8.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis
pendekatan, yaitu : pendekatan kasus (case approach), pendekatan
Fakta (fact approach), pendekatan frasa (words & pharase approach),
pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan perundang-
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.13. 23
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta, hlm. 83. 24
Johnny Ibrahim, 2005, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Malang, hlm. 248.
xxxv
undangan (statute approach), pendekatan perbandingan (comparative
approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan
analisis (analytical approach), pendekatan filasafat (philosophical
approach).25
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk
skripsi ini digunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani, dan pendekatan fakta (fact approach) yaitu pendekatan
masalah yang didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di lapangan
yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas.
1.8.3 Bahan Hukum/ Data
Demi berjalannya penelitian ini maka diperlukan suatu data
yang berasal dari berbagai sumber hukum yang ada. Dalam penelitian
ini bahan hukum yang digunakan berasal dari penelitian kepustakaan
(library research). Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang
menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.
Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat
karena dikeluarkan oleh pemerintah, contohnya berbagai Peraturan
Perundang-undangan; putusan pengadilan serta traktat. Sedangkan
sumber hukum sekunder adalah bahan-bahan yang isinya membahas
bahan hukum primer, contohnya buku; artikel, serta bahan hukum
25
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta,
hlm. 93-137.
xxxvi
tersier adalah bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, contonya adalah kamus dan buku
pegangan.26
Dalam penelitian ini sumber hukum yang dimaksudkan
adalah sebagai berikut :
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan
mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia
Nomor 3209).
c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4150).
26
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hlm.93.
xxxvii
d. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4168)
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang meliputi antara lain:
Buku-buku hukum (Literatur), artikel, makalah, thesis, skripsi, dan
bahan-bahan hukum seperti dokumen dan surat-surat perjanjian
yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus hukum dan kamus
Baha Indonesia, Ensiklopedia dan sebagainya.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan-bahan hukum diawali dengan kegiatan
inventarsisasi dengan pengoleksian, dan pengorganisasian bahan-
bahan hukum secara bermutu dengan bentuk kalimat yang teratur,
runtut, logis, dan sesuai dengan penulisan kalimat yang baik dan
benar, sehingga memudahkan interprestasi bahan-bahan hukum dan
pemahaman hasil analisa. Deskriptif artinya, analisa dilakukan dengan
menguraikan dan menjelaskan masalah terkait secara detail dari
berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian.
xxxviii
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan
teknik deskriptif, mendeskripsikan bahan-bahan dengan cara
mengkonstruksikan bahan hukum dan argumentasi, yang selanjutnya
dilakukan penilaian berdasarkan pada alasan-alalsan yang bersifat
penalaran hukum, yakni dengan mengemukakan doktrin dan asas-asas
yang ada terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini.
Recommended