View
229
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL
BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT DALAM
HUKUM PIDANA ISLAM
DISERTASI
Disusun Guna Memenuhi Syarat
untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum
Oleh:
ACHMAD IRWAN HAMZANI
NIM 1101011500001
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN
PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PEMBANGUNAN
HUKUM PIDANA NASIONAL BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT
DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
Oleh:
ACHMAD IRWAN HAMZANI
NIM 1101011500001
Semarang, 7 Agustus 2015
Telah Diujikan pada Ujian Terbuka
Tim Promotor
Promotor Co Promotor
Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum Dr. Rohidin, M.Ag
NIP 197002021994031001 NIK 924100103
Mengetahui,
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH, M.Hum
NIP 19620118198031002
iii
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Achmad Irwan Hamzani
NIM : 1101011500001
Alamat : Karangjati RT 02 RW 01 Wiradesa Pekalongan
Asal Instansi : Universitas Pancasakti
Dengan ini menyatakan:
1. Karya tulis saya, disertasi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (doktor), baik di Universitas Diponegoro
maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Promotor.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang
dan judul buku aslinya dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya ini, serta sanksi sesuai dengan norma yang berlaku di
perguruan tinggi ini.
Semarang, Juli 2015
Yang membuat pernyataan,
Achmad Irwan Hamzani
NIM 1101011500001
iv
MOTTO
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah”, mereka menjawab: “Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah
kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. Apakah mereka akan
mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk” . (Q.S. al-Baqarah: 170)
“Seringkali kebenaran bertentangan dengan kehendak mayoritas”.
(Achmad Irwan Hamzani)
v
PERSEMBAHAN
Disertasi ini penulis persembahkan untuk:
1. Orang tua penulis
2. Isteri penulis
3. Putra-putri penulis
4. Mertua penulis
vi
ABSTRAK
Bangsa Indonesia sejak merdeka mempunyai keinginan untuk memiliki
produk hukum pidana sendiri. Upaya pembentukan pun dilakukan dengan
menyusun RUU KUHP baru. Hukum pidana Islam penting diperhitungkan
sebagai sumber pembangunan hukum pidana nasional dengan mengkontribusikan
ketentuan qişâş-diyat. Pendekatan restorative justice juga perlu diatur dalam
hukum pidana nasional ke depan agar penyelesaian perkara pidana dapat
memberikan keadilan dan perlindungan kepada korban atau ahli warisnya.
Problem penelitian ini adalah; 1) Posisi hukum pidana Islam dalam
pembangunan hukum pidana nasional. 2) Kontribusi ketentuan qişâş-diyat
terhadap pembangunan hukum pidana nasional. 3) Konstruksi pendekatan
restorative justice dalam pembangunan hukum pidana nasional berbasis ketentuan
qişâş-diyat.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan paradigm
konstruktivisme. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologis. Spesifikasinya
termasuk deskriptif-analitis. Data yang diperoleh adalah data primer dan sekunder.
Metode analisis yang digunakan adalah induksi-interpretasi konseptualisasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan; posisi hukum pidana Islam dalam
pembangunan hukum pidana nasional adalah sebagai sumber materiil bersama
sumber hukum. Hukum pidana Islam sebagai sumber materiil merupakan corak
yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya. Ketentuan qişâş-diyat
dapat dikontribusikan ke dalam hukum pidana nasional untuk menyempurnakan
RUU KUHP. Rumusannya tidak harus persis, namun esensinya sama, yaitu
memberikan hak kepada korban atau ahli warisnya dalam menentukan sanksi
untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan sebagai bentuk perhatian dan
perlindungan kepada korban atau ahli warisnya. Pendekatan restorative justice
dapat diatur dalam hukum pidana nasional dengan berbasis ketentuan qişâş-diyat.
Konstruksinya melalui mekanisme di luar proses peradilan pidana tetapi masih
terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai pintu atau kamar tersendiri. Perlu
dibentuk komisi atau lembaga pemaafan yang berfungsi mendamaikan dan
mengantisipasi komersialisasi ganti rugi. Perdamaian yang disepakati dilegitimasi
oleh putusan pengadilan yang mengikat dan final sebagai jaminan agar
kesepakatan dilaksanakan dan ganti rugi dibayar oleh pelaku.
Hasil penelitian ini merekomendasikan; 1) Agar hukum pidana Islam
dijadikan sumber materiil dalam pembangunan hukum pidana nasional. 2)
Ketentuan qişâş-diyat ditransformasikan ke dalam RUU KUHP. 3) Pendekatan
restorative justice berbasis qişâş-diyat dapat dirumuskan dalam RUU KUHP,
dengan penyelesaian di luar proses melalui lembaga pemaafan yang masih
terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai pintu/kamar tersendiri.
Kata kunci: restorative justice, hukum pidana nasional, qişaş-diyat
vii
ABSTRACT
Indonesian nation since independence have a desire to have their own
criminal laws. Efforts have been undertaken with the establishment of the Penal
Code Draft. Islamic criminal law are important taken into account as a source of
development of national criminal law by contributing qişâş-diyat provisions.
Restorative justice approach also needs to be regulated in national criminal law
forward to the completion of the criminal case can provide justice and protection
to the victims or their heirs.
This is a research problem; 1) The position of the Islamic criminal law in
the construction of national criminal law. 2) Contributions provisions of the qişâş-
diyat to the development of national criminal law. 3) Construction of restorative
justice approaches in the development of the national criminal law based
provisions of the qişâş-diyat.
This research includes qualitative research paradigm constructivism. The
approach is sociological. Specifications including descriptive-analytic. Materials
obtained are primary and secondary. The analytical method used is induction-
interpretation of conceptualization.
The results showed; the position of Islamic criminal law in the
construction of national criminal law is a source of legal source material together.
Islamic criminal law as a source of material is a style that emphasizes the aspects
of substance, not a formal legal. Qişâş-diyat provisions can be contributed to the
national criminal law to enhance the Penal Code Draft. Formulation does not have
to be exactly, but essentially the same, that gives the right to the victims or their
heirs in determining sanctions for criminal acts of murder and torture as a form of
attention and protection to the victims or their heirs. Restorative justice approach
can be regulated in national criminal law provisions based qişâş-diyat.
Construction through mechanisms outside the criminal justice process but still
integrated within the justice system as a separate room. Need to set up a
commission or agency that serves reconcile forgiveness and anticipate
commercialization of compensation. Peace agreed legitimized by court decisions
binding and final as a guarantee that the agreement is implemented and
compensation paid by the offender.
Results of this study recommends; 1) In order for the Islamic criminal law
as source material in the construction of national criminal law. 2) The provisions
of the Qişâş-diyat transformed into the Criminal Code draft. 3) The restorative
justice approach based qişâş-diyat can be formulated in the Penal Code Draft, with
settlement outside through a process of forgiveness is still integrated institutions
in the justice system as a separate room.
Keywords: restorative justice, national criminal law, qişâş-diyat
viii
RINGKASAN
Pendahuluan
Sejak merdeka, bangsa Indonesia mempunyai keinginan untuk memiliki
produk hukum pidana sendiri mengganti hukum peninggalan Belanda. Berbagai
kegiatan ilmiah yang berskala lokal maupun nasional guna merumuskan
pembentukan hukum nasional sering dilakukan baik oleh pemerintah maupun
lembaga pendidikan tinggi. Para pakar hukum pun banyak yang telah
mengusulkan tentang profil hukum pidana nasional ke depan. Pemerintah
Indonesia juga telah berupaya membuat hukum pidana nasional produk sendiri
dengan menyusun Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (RUU KUHP) yang hingga sekarang belum final dan terus dilakukan
perbaikan.
Pembangunan sistem hukum tidak bisa lepas dari politik hukum. Arah
politik hukum di Indonesia dalam pembangunan hukum cakupannya
menyederhanakan pada daftar rencana materi hukum yang akan dibuat. Rencana
pembangunan materi hukum termuat di dalam Program Legislasi Nasional yang
disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah.
Hukum pidana Islam sebagai bagian dari hukum Islam penting untuk
diperhitungkan sebagai sumber pembangunan hukum pidana nasional. Secara
faktual hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup (the living law) dalam
masyarakat Indonesia sejak masuknya Islam ke Nusantara. Hukum pidana Islam
dapat diserap sebagai sumber materiil dalam pembangunan hukum pidana
nasional meskipun tidak semuanya. Untuk ketentuan tindak pidana pembunuhan
dan pelukaan atau penganiayaan dapat diserap delik maupun sanksinya. Sanksi
ganti kerugian (diyat) yang di dalamnya ada proses perdamaian lebih sesuai
kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia dikenal
pemaaf, mengedepankan kekeluargaan dan musyarawarah dalam menyelesaikan
sengketa. Banyak kasus hukum khususnya yang dalam KUHP disebut sebagai
kelalaian sehingga menyebabkan nyawa orang lain hilang, dapat diselesaikan
secara kekeluargaan dengan mengganti kerugian. Penyelesaian tindak pidana
menghilangkan nyawa orang lain dengan cara perdamaian mirip dengan ketentuan
qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum
pidana Islam sedikit banyak telah membentuk kesadaran hukum masyarakat.
Sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia saat ini hanya berorientasi
pada pelaku, sehingga jika diterapkan untuk tindak pidana terhadap nyawa orang
lain, tidak memberikan keadilan kepada korban atau keluarganya. Seiring
berkembangnya wacana global tentang perlunya pendekatan restorative justice,
maka pendekatan tersebut perlu diatur dalam RUU KUHP. Pendekatan restorative
justice memberikan perhatian dan perlindungan terhadap korban atau keluarganya.
Pelaku tindak pidana dapat bertanggung jawab atas perbuatannya dan mengganti
kerugian, korban atau keluarganya memaafkan serta menerima ganti kerugian, dan
hubungan ke dapan dapat dipulihkan. Hal ini juga ada kemiripan dengan
ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Pidana qişâş (setimpal) dan
diyat (ganti rugi) menjadi hak korban atau ahli warisnya, sehingga dapat
memberikan amnesti (pemaafan) kepada pelaku. Apabila memaafkan, gugurlah
pidana qişâş, diganti dengan diyat (ganti rugi), bahkan tanpa diyat sama sekali.
ix
Ketentuan qişâş-diyat berorientasi pada perhatian dan perlindungan pada korban,
dan penyelesaiannya melalui perdamaian (şulh).
Permasalahan dalam disertasi ini adalah: 1) Bagaimanakah posisi hukum
pidana Islam dalam pembangunan hukum pidana nasional? 2) Bagaimanakah
kontribusi ketentuan qişâş-diyat terhadap pembangunan hukum pidana nasional?
3) Bagaimanakan konstruksi pendekatan restorative justice dalam pembangunan
hukum pidana nasional berbasis ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam.
Tiga permasalahan tersebut memiliki lingkup pembahasan dan analisis yang
saling terkait secara hirarkhis.
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang secara fundamental
bergantung dari pengamatan pada manusia. Paradigma yang digunakan adalah
konstruktivisme yang operasionalnya menggunakan cara pandang relativisme dan
realitas dilihat sebagai konstruksi sosial. Pendekatan yang digunakan adalah
sosiologis sehingga penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian hukum
sosiologis. Spesifikasinya termasuk deskriptif-analitis yaitu untuk membuat
pencandraan tentang siatuasi atau kejadian yang disajikan secara naratif. Data
dalam penelitian dikelompokkan sebagai data primer (yang diperoleh dari
pengamatan dan wawancara) dan sekunder (yang diperoleh melalui penelaahan
bahan-bahan pustaka). Metode analisis yang digunakan adalah induksi-
interpretasi-konseptualisasi yaitu dengan melakukan penyusunan, pengkategorian
dalam tema, validasi, rekonstruksi dan analisis secara induktif kualitatif.
Pembangunan Hukum Pidana Nasional melalui Formulasi Restorative Justice
Berbasis pada Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam
Pembangunan secara sederhana mengandung pengertian upaya melakukan
perbaikan dari kondisi yang kurang baik menuju ke arah yang lebih baik. Menurut
pengertian ini pembangunan semakna dengan pembaharuan. Sedangkan hukum
pidana nasional merupakan bagian sistem hukum nasional yang memuat
peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap
pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan. Hukum pidana
nasional adalah hukum yang didasarkan pada landasan ideologi dan konstitusi
negara, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD NRI 1945) yang berlaku secara nasional. Pembangunan hukum
pidana merupakan suatu proses memperbarui hukum positif yang saat ini berlaku.
Prosesnya hingga saat ini masih berlangsung yang dikemas melalui legislasi.
Memiliki hukum pidana produk sendiri bagi bangsa Indonesia merupakan
upaya menampakkan jati diri bangsa sesuai dengan harapan dan cita-cita
kemerdekaan. Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
berdasarkan Pancasila. Hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi
landasan dan tujuan politik hukum di Indonesia.
Teori prasarat fungsional (imperatif-fungsional) Talcott Parsons dan
pengembangannya oleh pemikir lain dapat menjelaskan tentang urgensi
pembangunan hukum serta tujuannya yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia.
Parsons merumuskan bahwa masyarakat mencakup sebuah sistem yang luas dan
elemen-elemennya mengisi empat fungsi dasarnya yaitu adaptasi (Adaptation),
melanjutkan tujuan (Goal), integrasi (Integration) dan memelihara norma-norma
(Laten Pattern Maintenance) atau pendekatan AGIL. AGIL yang dikembangkan
x
Parsons merupakan nomoteknis dalam mempertimbangkan fungsi-fungsi sistem
sosial. Masing-masing fungsi ini terkait dengan sebuah sub sistem. Sub sistem
ekonomi bertujuan untuk melakukan adaptasi; sub sistem politik bertanggung
jawab memberi definisi tujuan akhir; sub sistem kultural (agama dan sekolah)
bertugas untuk mendefinisikan dan memelihara norma-norma dan nilai; sub
sistem sosial (termasuk hukum) bertugas sebagai integrasi sosial. Parsons
menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem dalam sistem sosial yang lebih
besar. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of
the game).
Harry C. Bredemeier mengembangkan teori yang dirumuskan Parsons
tersebut. Hukum menurut Bredemeier dapat digunakan sebagai pengintegrasi
sosial di dalam masyarakat. Keserasian antara warga masyarakat dengan norma
yang mengaturnya menciptakan suatu keserasian dalam hubungan di dalam
masyarakat yang bersangkutan. Menjadi hal yang tidak logis apabila hukum
pidana yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum yang tidak sesuai dengan
norma-norma atau nilai-nilai yang yang dianut bangsa Indonesia. KUHP yang
merupakan peninggalan Belanda banyak yang tidak sesuai dengan nilai dan
budaya yang dianut bangsa Indonesia. Apabila hal ini terus dipaksakan berarti
terjadi ketidakserasian dalam hubungan bermasyarakat. Diperlukan hukum baru
yang sesuai dengan nilai yang dianut bangsa Indonesia yang dapat disebut hukum
Pancasila yang di dalamnya mengakomodasi hukum-hukum yang berasal dari
agama.
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa Indonesia perlu diimplementasikan
khususnya postulat moral kalimat ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam setiap
usaha pembangunan perundang-undangan nasional. Demikian halnya dalam
pembangunan hukum pidana nasional yang mendasarkan pada filsafat Pancasila,
dalam pengejawantahannya harus dijiwai nilai-nilai Pancasila termasuk
keseimbangan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang dapat digali dari
hukum-hukum agama. Perlu dilakukan penggalian terhadap nilai-nilai hukum
agama yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Hukum-
hukum dari agama dapat dijadikan sumber dalam pembangunan hukum pidana
nasional.
Hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam, dan sebagai salah
satu dari tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, di samping hukum adat
dan hukum Barat, mempunyai kedudukan penting dan strategis. Hukum pidana
Islam membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia yang tidak boleh
dilakukan (terlarang) dan yang harus dilakukan, ancaman pidananya, dan
pertanggungjawabannya. Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana
menurut hukum pidana Islam dapat berbeda penggolongan dan cara
peninjauannya. Dilihat dari segi berat-ringannya ancaman pidana, tindak pidana
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu tindak pidana yang diancam pidana had
(jarimah hudud), tindak pidana yang diancam pidana qişâş-diyat (jarimah qişâş-
diyat) dan tindak pidana yang diancam pidana ta’zir (jarimah ta’zir). Ditinjau
berdasarkan karakter khusus tindak pidana, dapat dibagi menjadi tindak pidana
masyarakat (jaraim al-jama’ah), tindak pidana perseorangan (jaraim al-afrad),
tindak pidana biasa (jaraim ‘adiyah) dan tindak pidana politik (jaraim siyasah).
xi
Hukum pidana dan sistem peradilan pidana saat ini tidak memberikan
perhatian dan keadilan kepada korban, karena pusat perhatiannya pada pelaku.
Orientasi pemidanaan sudah saatnya digantikan menjadi keadilan untuk semua,
bukan hanya untuk pelaku kejahatan, tetapi juga korban. Perlu
mempertimbangkan pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan perkara
pidana ke depan. Restorative justice merupakan paradigma yang kembali
diwacanakan untuk digunakan dalam penanganan perkara pidana yang bertujuan
mencapai keadilan untuk semua. Dengan restorative justice keadilah lebih
berpeluang dapat diperoleh oleh semua pihak khususnya korban yang biasanya
tersisihkan dalam sistem peradilan pidana saat ini.
Restorative justice merupakan mekanisme hukum yang bertujuan untuk
mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh
kejahatan, dan untuk mencegah kejahatan lanjutan sebagai balas dendam.
Prosesnya dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban,
reparasi, konferensi pelaku-korban atau keluarganya serta tokoh masyarakat, dan
usaha dari pelaku untuk peduli dampak dari perbuatannya. Prinsip dasar
restorative justice adalah: 1) Meprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban,
2) Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan, 3)
Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman, 4) Ada upaya
untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan, 5) Pelaku pelanggar
harus sadar tentang bagaimana cara menghindari kejahatan di masa depan, 6)
Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan korban dengan pelaku.
Tindak pidana (jarimah) qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam
merupakan tindak pidana yang diancam pidana qişâş (setimpal) dan diyat (ganti
rugi), untuk tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaan (pelukaan).
Penentuan pidananya menjadi hak korban atau ahli warisnya. Korban atau ahli
warisnya dapat membatalkan pidana tersebut dengan memberikan amnesti
(pemaafan) kepada pelaku. Apabila memaafkan, gugurlah pidana qişâş, diganti
dengan diyat (ganti rugi), bahkan tanpa diyat sama sekali. Apabila pemaafan
tersebut tanpa diyat, pemerintah masih berhak menjatuhkan pidana ta’zir kepada
pelaku. Tindak pidana qişâş-diyat bersifat perseorangandan dan lebih banyak
menyentuh kehidupan serta fisik korban daripada menyentuh kehidupan
masyarakat, sehingga penentuan pidananya menjadi hak korban.
Ketentuan qişâş-diyat berorientasi pada perhatian dan perlindungan
terhadap korban, dan penyelesaiannya melalui perdamaian. Tidak berlebihan
apabila disimpulkan bahwa penyelesaian tindak pidana qişâş-diyat menggunakan
pendekatan restorative justice. Esensi dari pidana qişâş-diyat ialah memberi hak
kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada yang merugikannya dengan
kadar yang seimbang setelah melalui proses şulh. Korban atau ahli warisnya
sangat dianjurkan memberikan maaf terhadap pelaku sebagai kebaikan, pelaku
memberikan ganti kerugian, dan hubungan ke depan menjadi pulih.
Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil dalam Pembangunan
Hukum Pidana Nasional
Secara normatif menurut hukum pidana di Indonesia, perkara pidana hanya
dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan (litigasi) yang diistilahkan dengan in
court system (sistem peradilan pidana). Namun banyak tindak pidana khususnya
xii
yang di dalam KUHP Pasal 359 disebut sebagai kelalaian sehingga menyebabkan
orang lain hilang, dapat diselesaikan melalui musyawarah untuk berdamai.
Penyelesaiannya dengan melibatkan pelaku, keluarga korban, dan pihak ketiga
sebagai mediator baik dari tokoh masyarakat, tokoh agama, perangkat
desa/kelurahan, dan aparat kepolisian.
Tiga kasus yang dijadikan obyek penelitian ini dapat menjadi fakta, yaitu
kasus; 1) Tabrakan dua sepeda motor yang mengakibatkan ada korban yang
meninggal dunia di Demak. 2) Kasus tabrakan dua sepeda motor yang
mengakibatkan ada korban yang meninggal dunia di Semarang. 3) Kasus mobil
Suzuki Cary menabrak sepeda motor yang mengakibatkan pengendara sepeda
motor meninggal dunia, di Pekalongan. Ketiga kasus tersebut diselesaikan secara
kekeluargaan dengan berdamai dan pemberian ganti kerugian. Penyelesaian
perkara tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain melalui musyawarah
mirip dengan ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Hal ini
menunjukkan bahwa hukum pidana Islam sedikit banyak telah menjadi hukum
yang hidup (the living law).
Hukum pidana Islam pernah diterapkan secara formal di Nusantara pada
zaman kerajaan-kerajaan Islam, hingga akhirnya dianulir oleh penjajah Belanda.
Sepanjang abad ke-19 di kalangan ahli hukum Hindia Belanda berkembang
pendapat bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam seperti dikemukakan oleh
Salomon Keyzer (1823-1868) dan dikuatkan oleh Lodewijk Williem Christian van
den Berg (1845-1927). Menurut Berg, hukum mengikuti agama yang dianut
seseorang. Jika telah memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku
baginya. Orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam
keseluruhan bidangnya sebagai satu kesatuan atau receptio in complexu.
Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, hukum Islam selalu
memperteguh eksistensinya sebagai hukum tertulis maupun tidak tertulis. Hukum
Islam dalam pembangunan hukum nasional mempunyai dua fungsi; 1) Sebagai
hukum positif yang berlaku hanya bagi pemeluk Islam saja. 2) Sebagai ekspresi
nilai-nilai yang akan berlaku bagi semua warga negara. Hukum Islam dari sisi
pelaksanaannya dapat digolongkan tiga macam; 1) Dapat dilaksanakan oleh
individu secara langsung tanpa bantuan Negara, seperti hukum-hukum di bidang
peribadatan ritual. 2) Pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara
dalam kerangka administratif atau pelayanan, seperti hukum keluarga. 3) Tidak
mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak ada campur tangan negara, seperti hukum
pidana.
Hukum pidana Islam sangat penting untuk diperhitungkan dalam
pembangunan hukum pidana nasional sebagai sumber. Karena hukum pidana di
Indonesia menganut unifikasi, yakni hanya satu hukum, maka hukum pidana
Islam posisinya sebagai sumber materiil atau bahan yang disandingkan dengan
sumber atau bahan lain. Berbeda dengan hukum perdata khususnya hukum
keluarga yang menganut pluralisme hukum, hukum Islam di bidang perdata dapat
menjadi sumber formil. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang
belum memiliki bentuk tertentu atau masih berupa bahan sehingga belum bisa
diterapkan. Sedangkan sumber hukum formil adalah sumber hukum yang telah
memiliki bentuk tertentu sehingga bisa langsung diterapkan.
xiii
Sebagai sumber materiil, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum
pidana Islam dapat diserap meskipun tidak semuanya, dapat deliknya, pidananya,
atau untuk bagian tertentu keduanya. Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa,
dapat diserap deliknya maupun pidananya. Pidana ganti rugi (diyat) untuk tindak
pidana terhadap nyawa dan penganiayaan, lebih diterima masyarakat Indonesia
dibanding pidana penjara. Secara metodologis hukum pidana Islam sebagai
sumber materiil, merupakan corak hukum Islam yang menekankan pada aspek
subtansi, bukan legal formalnya.
Namun demikian, posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil,
akan menemui problem internal maupun eksternal. Problem internalnya adalah
apabila posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil bersamaan dengan
sumber-sumber lain, hukum pidana tersebut bukan lagi sebagai hukum pidana
Islam. Posisi ini tentu akan sulit diterima oleh umat Islam yang menghendaki
hukum pidana Islam sebagai sumber formiil dan diterapkan secara total. Tidak ada
keterikatan teologis bagi orang untuk tunduk terhadap hukum tersebut. Sedangkan
problem eksternalnya adalah memungkinkan adanya anggapan akan menjadikan
hukum pidana Islam sebagai hukum positif, dan masalah pergumulan antara
hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat dalam wacana akademik di kalangan
pakar hukum, maupun dalam pergumulan sejarah eksistensinya. Tidak sedikit
pandangan pakar hukum yang tidak mengetahui eksistensi hukum pidana Islam,
dan ada pula yang memandangnya sebagai subsistem dari hukum adat sehingga
harus disesuaikan dengan hukum adat.
Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam terhadap
Pembangunan Hukum Pidana Nasional
Pedoman pemidanaan dalam hukum pidana Islam adalah bersifat syar’i,
perseorangan dan bersifat umum. Sanksi bersifat syar’i yaitu bersandarkan kepada
sumber-sumber hukum Islam, al-Qur’an, hadits, hasil ijtihad (termasuk undang-
undang yang dikeluarkan pihak berwenang). Hukum pidana Islam menentukan
pidana qişâş (setimpal), diyat (ganti rugi) terhadap tindak pidana pembunuhan dan
pelukaan. Penentuan pidana qişâş-diyat merupakan hak korban atau ahli warisnya
yang kadar jumlahnya tidak memiliki batasan minimal ataupun maksimal, namun
dengan prinsip kebaikan (bi al-ma’ruf). Korban atau ahli warisnya dapat
membatalkan pidana tersebut dengan memaafkan (afwun) pelaku. Apabila
memaafkan, gugurlah pidana qişâş, diganti dengan diyat (ganti rugi), atau tanpa
diyat sama sekali. Namun hakim masih mempunyai hak untuk menjatuhkan
pidana ta’zir, bukan pidana qişâş ataupun diyat dengan mempertimbangkan
dampak sosial jika korban dibebaskan dari qişâş maupun diyat.
Pidana qişâş-diyat mengandung unsur perlindungan hukum terhadap
korban, pelaku, dan masyarakat. Pelaku tindak pidana akan dikenai pidana mati,
tetapi disepakati terlebih dahulu oleh keluarga korban. Apabila pelaku dimaafkan
oleh keluarga korban, pelaku bebas dari qişâş, sebagai gantinya harus membayar
diyat (ganti rugi), yang diberikan pada keluarga korban. Diyat yang harus
dibayarkan pelaku sejumlah 100 ekor unta. Apabila sekarang harga unta tiap
ekornya Rp 15.000.000,00 denda yang harus dibayarkan Rp 1.500.000.000,00.
Seandainya yang dibunuh meninggalkan seorang istri dan empat anak, maka
dengan uang Rp 1.500.000.000,00 akan dapat membiayai kehidupan keluarga
xiv
korban termasuk biaya pendidikan anak-anaknya. Dapat dibandingkan jika dalam
kasus tersebut digunakan KUHP, pelaku dipidana 15 atau 20 tahun penjara. Tentu
saja keluarga korban akan kecewa karena tidak pernah diajak bicara. Bahkan yang
lebih sengsara lagi, dia kehilangan hak nafkahnya. Secara psikologis, dendam
keluarga korban juga tidak akan hilang dengan penjara 15 tahun.
Penjatuhan pidana qişâş-diyat lebih manusiawi dan lebih adil. Esensi dari
pidana qişâş ialah memberi hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas
kepada yang merugikannya dengan kadar yang seimbang (setara). Esensi diyat
adalah sebagai social security (perlindungan social) bagi keluarga korban.
Sedangkan esensi melalui perdamaian (şulh) adalah untuk menghilangkan dendam
dan potensi korban selanjutnya. Ketentuan qişâş-diyat sejalan dengan kesadaran
hukum masyarakat yang lebih mengedepankan musyawarah mufakat dalam
menyelesaikan perkara.
Meskipun setiap tindak pidana dapat menyentuh eksistensi masyarakat,
namun terkadang tidak sampai mengancam sistem dasarnya secara langsung.
Tindak pidana terhadap nyawa dan penganiayaan/pelukaan tidak mempengaruhi
keamanan dan ketentraman masyarakat meskipun sangat berbahaya bagi
keselamatan perseorangan. Setiap orang tidak takut terhadap pembunuhan atau
pelukaan orang lain karena mengetahui bahwa pembunuhan atau pelukaan hanya
didorong oleh motif perseorangan seperti dendam pribadi.
RUU KUHP mencantumkan pedoman pemidanaan, hak korban dan
keluarganya, tentang pembayaran ganti kerugian, dan pengampunan oleh hakim.
Adanya pidana pembayaran ganti rugi merupakan terobosan baru dalam
perkembangan hukum pidana di Indonesia. Secara victimologis, pembayaran ganti
rugi kepada korban atau ahli warisnya sangat penting dan bermanfaat sebagai
wujud tanggung jawab pelaku. Hanya saja, makna viktimologis tersebut tidak
optimal karena penempatannya sebagai pidana tambahan. Sebab, pidana tambahan
hanya dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang telah dijatuhkan terlebih
dahulu dan sangat tergantung pada pertimbangan hakim. Ketentuan qişâş-diyat
dalam hukum pidana Islam dapat ditransformasikan ke dalam RUU KUHP untuk
memberikan perlindungan dan perhatian kepada korban secara lebih optimal, dan
dalam rangka memenuhi tujuan pemidanaan agar memberikan manfaat dan
maslahat. Beberapa pasal dalam RUU KUHP tentang tujuan pemidanaan,
pedoman pemidanaan, hak korban, pembayaran ganti kerugian, pengampunan
oleh hakim, termasuk ketentuan pidananya, dapat disempurkan dengan kontribusi
ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam.
Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam Pembangunan Hukum
Pidana Nasional Berbasis Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam
Restorative justice telah menjadi wacana global dan dipandang sebagai
filosofi pemidanaan baru yang sifatnya berbeda dari pidana konvensional yang
menempatkan pelaku melawan negara. Kejahatan tidak hanya dilihat sebagai
pelanggaran undang-undang negara, melainkan pelanggaran orang terhadap orang.
Pendekatan restorative justice prinsipnya untuk membangun partisipasi bersama
antara pelaku, korban, dan masyarakat dalam menyelesaikan suatu tindak pidana
untuk mencapai win-win solutions serta implikasinya ke masa depan. Setiap lima
tahun sekali PBB menyelenggarakan kongres yang disebut ”Congress on Crime
xv
Prevention and The Treatment of Offenders”. Kongres PBB ke-12 di Brasil, 12-19
April 2010, merekomendasikan untuk mengevaluasi dan mengadakan
pembaharuan kebijakan peradilan pidana dengan pengembangan strategi
komprehensif termasuk restorative justice.
Masyarakat Indonesia juga sudah familier dengan pendekatan yang mirip
restorative justice dalam menyelesaikan perkara pidana menghilangkan nyawa
dengan bermusyawarah. Bahkan di dalam Pancasila sebagai core philosopy
bangsa Indonesia, restorative justice juga dapat diurai. Sila ke-4 Pancasila
menyebutkan “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan”. Sila ini dapat menjadi panduan dalam menentukan
sebuah pilihan melalui cara musyawarah dan mengutamakannya dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai
mufakat diliputi semangat kebersamaan sehingga jika dibreakdown menjadi kata
kunci dalam restorative justice.
Menurut perkembangan hukum Barat modern, termasuk di Indonesia, yang
berhak melaksanakan proses pemidanaan adalah negara, oleh karena itu pelaku
tindak pidana berhadapan dengan negara. Akibat korban tidak dilibatkan untuk
menentukan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku, banyak menimbulkan
masalah bagi korban atau keluarganya karena kerugian yang diderita tidak diganti.
Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain atau yang menyebabkan
hilangnya nyawa orang lain, pelukaan atau penganiayaan, proses hukum tanpa
melibatkan korban atau keluarganya tidak akan memberikan keadilan kepada
korban atau keluarganya. Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan
dan menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama dengan keadilan
menurut korban. Fokus perhatian pemidanaan hanya pada upaya bagaimana agar
pelaku menjadi orang baik, pelaku menjadi orang yang berguna kembali di
masyarakat setelah menjalani hukuman, dan sedapat mungkin dipidana seringan-
ringannya. Sedangkan pihak korban atau keluarganya yang dirugikan dan
terganggu keharmonisannya tidak mendapatkan perhatian.
Model pemidanaan demikian perlu dikaji kembali. Harus dilihat apa yang
menjadi penyebab terjadinya tindak pidana. Proses penyelesainnya harus dengan
cara melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana. Proses ini akan
jauh lebih efektif dan lebih diterima oleh masyarakat karena pihak yang
berhubungan dengan tindak pidana secara bersama-sama mencari alternatif
pemecahannya. Model seperti ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh
masyarakat, yaitu musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku
untuk tindak pidana qişâş-diyat melalui perdamaian (şulh).
Evaluasi untuk mendesain kembali model pemidanaan agar lebih efektif
dan memberikan keadilan untuk semua pihak perlu dilakukan. Hukum pidana
yang ada sekarang, hanya berorientasi pada rehabilitasi pelaku tindak pidana saja,
sedangkan perlindungan terhadap korban atau keluarganya tidak menjadi
perhatian. Diperlukan rumusan agar pendekatan restotarive justice ke depan dapat
dirumuskan dalam RUU KUHP sebagai model penyelesaian perkara pidana
dengan mengakomodir ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam. Qişâş-
diyat berorientasi pada perlindungan korban (victim oriented) dan masyarakat.
Pemaafan/pengampunan sangat dianjurkan daripada pelaksanaan qişâş, dan
pemaafan baru akan terjadi setelah adanya şulh dengan kebersihan hati kedua
xvi
belah pihak. Şulh mengandung dimensi pemberdayaan diri oleh para pihak
melalui upaya dialog, negosiasi, dan rekonsiliasi sehingga dimensi hubungan
dapat mengalami proses pemulihan.
Salah satu instrumen restorative justice adalah mediasi penal, yaitu
mediasi antara korban dan pelaku tindak pidana. Potensi penerapan mediasi penal
ke depan sudah termuat dalam RUU KUHP seperti disebutkan dalam Buku I Bab
IV Pasal 153 bahwa kewenangan penuntutan gugur jika … penyelesaian di luar
proses …. Ketentuan tersebut perlu dipertegas dan diperjelas untuk jenis tindak
pidana apa dan di luar proses yang seperti apa, sehingga mengikat para pihak dan
aparat penegak hukum. Dengan memperjelas “penyelesaian di luar proses”, maka
mediasi penal ke depan menjadi terlembagakan. Idealnya landasan hukum
pelembagaan mediasi penal masuk ke dalam KUHP dan KUHAP karena sebagai
induk hukum pidana nasional.
Mediasi penal ke depan dapat menjadi alternatif baru dalam penyelesaian
perkara pidana dengan merumuskan pendekatan restorative justice berbasis qişâş-
diyat. Hal ini juga dalam rangka menguruangi beban peradilan pidana yang
selama ini terlalu berlebihan (over criminalization). Konstruksi pendekatan
restorative justice dalam hukum pidana nasional ke depan dengan berbasis
kententuan qişâş-diyat adalah melalui mekanisme di luar proses peradilan pidana
tetapi masih terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai pintu/kamar tersendiri.
Peran mediator sangat menentukan, sehingga perlu dibentuk komisi atau lembaga
pemaafan. Lembaga pemaafan berfungsi agar perdamaian bisa tercapai dan nilai
ganti kerugian disepakati dengan prinsip bi al-ma’ruf (kebaikan) dan menghindari
komersialisasi ganti rugi. Perdamaian yang disepakati selanjutnya dilegitimasi
oleh putusan pengadilan yang mengikat dan final. Fungsi putusan pengadilan
adalah untuk memastikan agar kesepakatan dilaksanakan dan ganti rugi dibayar
oleh pelaku. Legitimasi pengadilan juga sebagai bentuk tanggung jawab negara
dalam memberikan perhatian dan perlindungan kepada kedua belah pihak.
Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1)
Hukum pidana Islam adalah sebagai sumber materiil dalam pembangunan hukum
pidana nasional. Posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil merupakan
corak hukum Islam yang menekankan aspek subtansi, bukan legal formalnya.
Posisi hukum pidana Islam sebagai sumber materiil, akan menemui problem
internal dan eksternal. Problem internalnya akan sulit diterima oleh kalangan umat
Islam yang menghendaki hukum pidana Islam diterapkan secara formal. Problem
eksternalnya dimungkinkan adanya anggapan akan menjadikan hukum pidana
Islam sebagai hukum positif, dan tidak sedikit pandangan pakar hukum yang tidak
mengetahui eksistensi hukum pidana Islam dan memandangnya sebagai subsistem
dari hukum adat sehingga harus sesuai dengan hukum adat. 2) Ketentuan qişâş-
diyat dapat dikontribusikan untuk menyermpurnakan RUU KUHP. Rumusannya
tidak harus persis, namun esensinya sama, yaitu memberi hak kepada keluarga
korban untuk ikut menentukan hukuman, memberikan perhatian dan perlindungan
kepada korban atau keluargannya. 3) Pendekatan restorative justice perlu
diterapkan agar orientasi pemidanaan tidak hanya memperhatikan pelaku tindak
pidana saja, melainkan juga korban atau ahli warisnya. Rumusannya berbasis
xvii
ketentuan qişâş-diyat dalam hukum pidana Islam, karena memiliki komitmen kuat
dalam memberikan perhatian dan perlindungan kepada korban atau ahli warisnya
dan tetap melibatkan peran negara. Diperlukan payung hukum agar pendekatan
restotarive justice dapat diterapkan, yaitu diatur dalam KUHP baru.
Konstruksinya melalui lembaga pemaafan yang mekanisme di luar proses
peradilan pidana tetapi masih terintegrasi dalam sistem peradilan sebagai pintu
atau kamar tersendiri. Lembaga pemaafan berfungsi agar perdamaian dapat
tercapai dan nilai ganti kerugian disepakati dengan prinsip bi al-ma’ruf (kebaikan)
dan menghindari komersialisasi ganti rugi. Perdamaian yang disepakati
dilegitimasi oleh putusan pengadilan yang mengikat dan final. Fungsi putusan
pengadilan adalah untuk memastikan agar kesepakatan dilaksanakan dan ganti
rugi dibayar oleh pelaku.
xviii
SUMMARY
Introduction
Since independence, the Indonesian people have a desire to have their own
criminal laws. Various scientific activities of local and national scale in order to
formulate the formation of national law is often done both by government and
higher education institutions. Legal experts have suggested that much of the
national criminal laws of the profile of the future. Indonesian government has also
attempted to create their own national criminal law products with Penal Code
Draft, which until now was not final and continues to be improved.
Development of the legal system can not be separated from politics law.
Political direction in the development of law in Indonesia simplify the legal scope
on the list of planned legal matter to be made. Development plans legal materials
contained in the National Legislation Program prepared by the Parliament and the
Government.
Islamic criminal law is important to be taken into account as a source of
development of national criminal law. Factually, Islamic law has been a law of
life (the living law) in Indonesian society since the entry of Islam into the
archipelago. Islamic criminal law can be absorbed as a source of material in the
construction of national criminal law although not all of them. To the provisions
of the criminal act of murder and wounding or abuse can be absorbed offenses and
sanctions. Diyat sanctions in which there is a peace process is more appropriate
legal consciousness of the people of Indonesia. Moreover, Indonesia is known
forgiving society, family and these meetings are put forward in resolving the
dispute. Many legal cases especially those in the Criminal Code referred to as
negligence causing another person's life is lost, it can be resolved amicably to
indemnify. The completion of the criminal act of killing another person in a
manner similar to the provisions of the Qişâş-diyat in Islamic criminal law. This
indicates that Islamic criminal law has established more or less legal awareness.
Criminal system prevailing in Indonesia at this time is only oriented
towards the perpetrator, so that when applied to a criminal act against another
person's life, do not give justice to the victims or their families. As the
development of global discourse on the need for restorative justice approach, the
approach needs to be rugulated in the draft Criminal Code. Restorative justice
approach to provide care and protection to the victims or their families. The
offender can be held accountable for his actions and indemnify the victims or their
families to forgive and receive compensation, and exposure to dapan can be
restored. It is also a similarity with the provisions of the Qişâş-diyat in Islamic
criminal law. Criminal qişâş (in kind) and diyat (compensation) to the right of
victims or their heirs, so as to provide amnesty (forgiveness) to the perpetrators.
When forgiving, Qişâş crime fell off, replaced by diyat (compensation), even
without diyat altogether.Provisions of qişâş-diyat oriented attention and protection
to the victims, and settlement through peace (Şulh).
The problem in this dissertation are: 1) How is the position of Islamic
criminal law in the construction of national criminal law? 2) What is the
contribution of the provisions of the Qişâş-diyat to the development of national
criminal law? 3) how is the construction of restorative justice approaches in the
xix
development of the national criminal law provisions of the qişâş-diyat based in
Islamic criminal law. The three problems have the scope of the discussion and
analysis of interrelated be hierarchical.
This study includes qualitative research that fundamentally relies on
observations in humans. The paradigm used is constructivism operations using the
perspective of relativism and the reality seen as a social construction. Approaches
is that this study included within the scope of the law of sociological research.
Specifications including descriptive-analytic is to create a depiction of siatuasi or
events that are presented in a narrative. Materials research in the study were
classified as primary (obtained from observations and interviews) and secondary
(obtained through a review of library materials). The analytical method used is
induction-interpretation-conceptualization is to do the preparation, categorizing
the theme, validation, reconstruction and qualitative inductive analysis.
Development of the National Criminal Law With Through Restorative
Justice Formulation Based on Qişâş-Diyat provisions in the Islamic Criminal
Law Simply implies development effort in the improvement of the conditions
unfavorable towards the better. According to this construction to convey the same
sense of renewal. While national criminal law is a national legal system part that
contains the regulations contain mandatory and prohibition on violators were
threatened with punishment in the form of punishment of the body. National
criminal law is a law that is based on the foundation of ideology and constitution
of the country, namely Pancasila and the Constitution of the Republic of
Indonesia 1945 (Constitution 1945) which applies nationwide. Development of
criminal law is a process of updating the positive law that currently applies. The
process is still in progress are packed through legislation.
Having a criminal law alone product for Indonesia was an attempt to show
national identity in accordance with the expectations and aspirations of
independence. The goal is to protect all the people of Indonesia based on
Pancasila. This is a general policy lines which form the basis and political purpose
of law in Indonesia.
Imperative-functional theory by Talcott Parsons and development by other
thinkers can explain the urgency of the development of law and its purpose is to
protect the whole Indonesian nation. Parsons theorized that society includes a
broad system and elements fill four basic functions, namely adaptation
(Adaptation), continuing the goal (Goal), integration (Integration) and maintain
norms (Latent Pattern Maintenance) or AGIL approach. AGIL theory developed
by Parsons is nomoteknis in considering the functions of the social system. Each
function is associated with a sub-system. Sub economic system aims to adapt; Sub
political system responsible for defining the final destination; sub-system of
cultural (religious school) in charge of defining and maintaining norms and
values; social sub-systems (including the law) served as social integration.
Parsons put the law as one of the sub-systems within the larger social system. Law
refers to the rules as rules together (rule of the game).
Harry C. Bredemeier develop the theory postulated by Parsons. Bredemeier
according to the law can be used as a social integrator in society. Harmony
xx
between citizens with the norms that govern it creates a harmony in relationships
within the community. Becomes illogical if the criminal law in force in Indonesia
is a law that is not in accordance with the norms or values espoused Indonesian
nation. The current Criminal Code is not in accordance with the values and culture
that embraced the Indonesian nation. If this continues to happen clash forced
mean in social relations. Required new law adopted in accordance with the value
of the Indonesian people who can be called Pancasila law in which to
accommodate the laws derived from religion.
Pancasila as the basic philosophy of the Indonesian people need to be
implemented especially moral postulates of the sentence "Almighty God" in any
development of national legislation. Similarly, in the construction of national
criminal law based on the philosophy of Pancasila, the manifestations must be
inspired values of Pancasila including balance values Almighty God that can be
extracted from the religious laws. Needs to be carried out excavations on the
values of religious law is the law of life in Indonesian society. The laws of
religion can be used as a source in the development of national criminal law.
Islamic law as part of the teachings of Islam, and as one of the three legal
systems applicable in Indonesia, in addition to the customary law and Western
law, have a position of strategic importance. Islamic criminal law talks about
human actions that should not be done (forbidden) and that should be done,
criminal threats, and accountability. Acts that included crimes under Islamic
criminal law can be different classifications and how the review. In terms of the
severity of the threat of criminal, criminal offenses can be classified into three,
namely offenses punishable had (jarimah hudud), an offense which carries a
punishment of qişâş-diyat (jarimah qişâş-diyat) and criminal offenses are
punishable ta'zir (jarimah ta'zir). Judging by the special character of crime,
criminal offenses can be divided into public (jaraim al-Jama'ah), individual
criminal acts (jaraim al-afrad), ordinary crime (jaraim 'adiyah) and political
crimes (jaraim siyasah).
Criminal law and the criminal justice system is not currently paying
attention to the victims, because the center of attention on the perpetrators.
Orientation criminal prosecution be considered for replacement be justice for all,
not just for offenders but also victims. Need to consider restorative justice
approach in solving criminal cases forward. Restorative justice is a paradigm that
re-discourse to be used in the handling of criminal cases aimed at achieving
justice for all. With restorative justice's justice is more likely to be obtained by all
parties, especially victims who are usually marginalized in the criminal justice
system now.
Restorative justice is a legal mechanism that aims to restore well-being of
victims, offenders and communities damaged by the crime, and to prevent further
crimes as revenge. The process can be carried out by way of mediation between
the offender and the victim, reparations, conference offender-victim or her family
as well as community leaders, and the efforts of the offender to care about the
impact of his actions. Basic principles of restorative justice are: 1) prioritize the
support and healing of victims, 2) offenders are responsible for what they do, 3)
Dialogue between the victim with the offender to reach an understanding, 4)
There is an attempt to put it correctly losses incurred, 5 ) Actors offenders should
xxi
be aware of how to avoid future crimes, 6) Society helped to integrate the victims
with the perpetrators.
Crime (jarimah) qişâş-diyat in Islamic criminal law is a criminal offense that
is punishable qişâş (in kind) and diyat (compensation), for criminal acts against
life and persecution (wounding). Determination of the rights of criminal victims
or their heirs. Victims or their heirs may cancel the criminal by giving amnesty
(forgiveness) to the perpetrators. When forgiving, Qişâş crime fell off, replaced by
diyat (compensation), even without diyat altogether. If forgiveness is without
diyat, the government is still entitled to convict ta'zir to the perpetrators. Qişâş-
diyat criminal acts are perseorangandan and more touching than the victim's life
and physical touch people's lives, so that the determination of the criminal
becomes the victim rights.
Provisions of the qişâş-diyat oriented care and protection of victims, and
settlement through peace. Not excessive if a criminal offense is concluded that the
settlement of qişâş-diyat using restorative justice approach. The essence of Qişâş-
diyat is entitles the aggrieved person to reply to that is detrimental to a balanced
level after going through the process of Şulh. Victims or their heirs highly
recommended giving forgiveness to the offender as a favor, the perpetrator
provide compensation, and the relationship forward into recovery.
The Position of Islamic Criminal Law as Source Material in the Development
of the National Criminal Law
Normatively according to the Indonesian criminal law, criminal cases can
only be solved through the courts (litigation) is termed in court system (criminal
justice system). However, many criminal acts, especially that in the Criminal
Code Article 359 is referred to as negligence causing other people missing, may
be resolved through negotiation for peace. The solution involves the offender, the
victim's family, and the third party as a mediator either from community leaders,
religious leaders, village leaders, and the police.
Three cases were made the object of this study could be the fact, that is the
case; 1) Collision of two motorcycles which resulted in no casualties who died in
Demak. 2) The case of a collision of two motorcycles which resulted in no
casualties who died in Semarang. 3) The case of the Suzuki car hit a motorcycle
Cary resulting motorcyclists died, in Pekalongan. These three cases are settled
amicably with the reconciled and the provision of compensation. Settlement of
criminal cases eliminates the lives of others through consultation similar to qişâş-
diyat provisions in the criminal law of Islam. This suggests that Islamic criminal
law has more or less become living law (the living law).
Islamic criminal law had been applied formally in the archipelago at the
time of Islamic kingdoms, and finally annulled by the Dutch colonists.
Throughout the 19th century among legal experts Indies Indonesia's growing
opinion that apply Islamic law as proposed by Salomon Keyzer (1823 to 1868)
and corroborated by Christian Willem Lodewijk van den Berg (1845-1927).
According to Berg, the legal follow one's religious affiliations. If you have
converted to Islam, Islam law which apply to him. Indonesian Muslims have been
doing the reception of Islamic law in the whole field as a single unit or receptio in
complexu.
xxii
Throughout the history of law in Indonesia, Islamic law has always affirm
its existence as written and unwritten laws. Islamic law in the construction of
national law has two functions; 1) As the positive law applies only to Muslims
only. 2) As an expression of the values that will apply to all citizens. Islamic law
can be classified in terms of the implementation of three kinds; 1) Can be
implemented by individuals directly without the help of the State, such as the laws
in the field of ritual worship. 2) Its implementation requires assistance of state
power within the framework of administrative or services, such as family law. 3)
There may be implemented if there is no interference from the state, such as
criminal law.
Islamic criminal law is very important to be taken into account in the
development of national criminal law as a source. Because the criminal law in
Indonesia adheres to unification, which is only one law, then the position of
Islamic criminal law as a source of material or material that is juxtaposed with the
source or other materials. Unlike the civil law, especially family law legal
pluralism, Islam in the field of civil law can be a formal source. Source material
law is a source of law which do not yet have a specific shape or still a material
that can not be applied. While the formal legal source is the source of law which
has had a particular shape that can be directly applied.
As source material, provisions exist in the Islamic criminal law can be
absorbed though not all, can the offense, criminal, or to a particular part of both.
For criminal acts of killing, can be absorbed by the offense and the criminal.
Criminal compensation (diyat) for criminal acts against life and persecution, more
accepted by the community Indonesia than imprisonment. Methodologically
Islamic criminal law as source material, is a style of Islamic law that emphasizes
the aspects of substance, not a formal legal.
However, the position of Islamic criminal law as a source of material, will
meet internal and external problems. Internal problem is that if the position of
Islamic criminal law as a source of material in conjunction with other sources, the
criminal law is no longer an Islamic criminal law. This position would be difficult
to be accepted by Muslims who want Islam as a source of criminal law and
applied formiil total. There is no theological attachment for people to be subject to
the law. While the problem is external allows the presumption will make Islamic
criminal law as a positive law, and the problem of the struggle between Islamic
law, customary law, and the law of the West in academic discourse among legal
experts, as well as in the history of the struggle of existence. Not a bit of view of
legal experts who do not know the existence of Islamic criminal law, and some
saw it as a subsystem of customary law and should be adapted to customary law.
Contribution Provision of the Qişâş-Diyat in Islamic Criminal Law of the
National Criminal Law Development Sentencing guidelines in Islamic criminal law is to be syar'i, individual and
general nature. Sanctions are syar'i is relying to the sources of Islamic law, the al-
Qur’an, hadith, ijtihad results (including laws issued by the authorities). Islamic
criminal law determines the punishment of qişâş (in kind), diyat (compensation)
for the crime of murder and wounding. Determination of criminal qişâş-diyat is
the right of victims or their heirs who do not have the number of levels of
xxiii
minimum or maximum limit, but the principle of goodness (bi al-ma'ruf). Victims
or their heirs may cancel the criminal to forgive (afwun) actors. When forgiving,
Qişâş crime fell off, replaced by diyat (compensation), or without diyat altogether.
But the judge still has the power to impose criminal ta'zir, not criminal qişâş or
diyat taking into account the social impact if the victim was released from the
qişâş and diyat.
Criminal qişâş-diyat contain elements of legal protection for victims,
offenders, and the community. The offender will be subject to the death penalty,
but agreed beforehand by the victim's family. If the offender forgiven by the
family of the victim, the perpetrator free of qişâş, instead of having to pay diyat
(compensation), which is given to the families of the victims. Diyat to be paid
perpetrators of some 100 camels. If the current price of each tail camel
Rp15,000,000.00 fine to be paid Rp 1,500,000,000.00. Suppose that killed leaving
a wife and four children, then the money Rp 1,500,000,000.00 will be able to
finance the cost of the lives of the victims' families, including their children's
education. If the case can be compared to the use of the Criminal Code, the
offender shall be punished 15 or 20 years in prison. Of course, the victim's family
will be disappointed because they never talk. Even more miserable again, he loses
the right to live on. Psychologically, revenge families of the victims also will not
disappear with the imprisonment of 15 years.
Criminal punishment of qişâş-diyat more humane and fairer. The essence of
criminal Qişâş is entitles the aggrieved person to reply to that is detrimental to a
balanced level (equivalent). Diyat essence is as social security (social protection)
to the families of the victims. While the essence through peace (sulh) is to
eliminate hatred and potential next victim. Qişâş-diyat provisions in line with the
legal awareness of society that emphasizes consensus in resolving the case.
Although every criminal act can touch people's existence, but sometimes not
until essentially directly threaten the system. Criminal offenses against life and
persecution / wounding did not affect the security and peace of the community
although it is very dangerous for the safety of individuals. Everyone is not afraid
of killing or wounding another person knowing that the killing or wounding only
driven by personal motives such as personal grudges.
The Penal Code Draf include sentencing guidelines, the rights of victims
and their families, on payment of compensation, and forgiveness by the judge.
Their criminal compensation payment is a new breakthrough in the development
of criminal law in Indonesia. In victimologis, payment of compensation to the
victims or their heirs is very important and useful as a form of responsibility of
the offender. However, the meaning of viktimologis is not optimal because its
placement as an additional penalty. Therefore, additional criminal only meant to
supplement the basic criminal who has dropped in advance and is highly
dependent on the consideration of judges. Qişâş-diyat provisions in the criminal
law of Islam can be transformed into the Penal Code Draf to provide protection
and attention to victims more optimally, and in order to meet the objectives of
sentencing in order to provide the benefits and interests. Several articles in the
Penal Code Draft purpose of punishment, sentencing guidelines, victims' rights,
payment of compensation, forgiveness by the judge, including criminal
xxiv
provisions, can disempurkan with the provisions of the Qişâş-diyat contribution in
Islamic criminal law.
Construction Restorative Justice Approaches in Development of National
Criminal Law Based Provisions of Qişâş-Diyat on Islamic Criminal Law
Restorative justice has become a global discourse and is seen as a new
sentencing philosophy that are different from conventional criminal who put the
perpetrator against the state. Crime is not just seen as a violation of state laws, but
the offense against the person. Restorative justice approach principle to build a
joint participation between the perpetrator, the victim, and the community in
solving a crime to achieve win-win solutions and their implications for the future.
Every five years the United Nations congress called "Congress on Crime
Prevention and the Treatment of Offenders". 12th UN Congress in Brazil, 12 to 19
April 2010, recommended to evaluate and conduct of criminal justice policy
reform with the development of a comprehensive strategy including restorative
justice.
Indonesian society is also already familiar with similar restorative justice
approach in resolving the criminal case of killing with deliberation. Even in the
Pancasila as the core philosophy that the Indonesian nation, restorative justice can
also be parsed. 4th principle of Pancasila mention "Populist Led By Wisdom
Wisdom in the Consultative / Representative". This principle can be a guide in
determining an option by way of deliberation and mengutamakannya in making
decisions for the common good. Deliberations to reach a consensus suffused spirit
of togetherness that if developed into a key word in restorative justice.
According to the development of modern Western law, including in
Indonesia, which is entitled to carry out the process of criminalization is a
country, therefore the perpetrators of criminal acts against the state. Because the
victim was not involved in determining the sentence imposed on the offender,
causing many problems for victims or their families because of the losses suffered
not replaced. For the crime of taking the life of others or which cause loss of life
of others, wounding or torture, without legal proceedings involving the victims or
their families will not give justice to the victims or their families. Justice intended
created merely justice and according to the size of the ruler, which of course is not
the same as justice by victims. Focus attention on efforts to punishment only how
to be good actors, actors to be a useful back in the community after serving their
sentences, and wherever possible convicted lenient. Meanwhile, the victims or
their families are harmed and disturbed the harmony did not get attention.
Models such punishment needs to be reassessed. To be seen what the cause
of the crime. The process of its solution must be a way to involve all the people
associated with criminal acts. This process will be far more effective and more
accepted by society as those associated with criminal acts jointly seek alternative
solutions. Models like this in Indonesia has been known and practiced by the
people, namely consensus, which in Islamic criminal law applies to the crime of
qişâş-diyat through peace (Şulh).
Evaluation to redesign the model to make it more effective sentencing and
give justice to all parties need to be done. The existing criminal law, only oriented
to the rehabilitation of perpetrators of criminal acts alone, while the protection of
xxv
the victim or his family is not a concern. Formulation required in order to
approach the next restotarive justice can be formulated in the Penal Code Draf as
a model to accommodate the completion of criminal cases qişâş-diyat provisions
in the criminal law of Islam. Qişâş-oriented diyat protection of victims (victim
oriented) and the community. Forgiveness / remission is highly recommended
rather than the implementation of qişâş, and forgiveness will occur after the Şulh
with probity both sides. Şulh containing the dimensions of self-empowerment by
the parties through the efforts of dialogue, negotiation, and reconciliation so that
the dimensions of the relationship can experience the recovery process.
One of the instruments of restorative justice are penal mediation, the
mediation between the victim and the offender. Potential future application of
penal mediation already contained in the Draft Bill as mentioned in Book I
Chapter IV Article 153 that the prosecution authority void if ... settlement out of
the process .... These provisions need to be reinforced and clarified to what type of
criminal offense and outside processes such as what, so binding on the parties and
law enforcement officials. By clarifying the "settlement out of the process", then
the next penal mediation be institutionalized. Ideally cornerstone of the
institutionalization of mediation penal law into the Penal Code and Penal
Procedure Code because as the holding of national criminal law.
Penal mediation could be an alternative to a new front in the completion of
the criminal case by formulating a restorative justice approach based qişâş-diyat.
It is also within the framework of the criminal justice menguruangi loads that have
too much (over-criminalization). Construction restorative justice approach in
national criminal law provisions based forward with qişâş-diyat is through
mechanisms outside the criminal justice process but still integrated within the
justice system separate room. The mediator's role is crucial, so it is necessary to
establish a commission or agency forgiveness. Forgiveness institutions function so
that peace can be achieved and value of compensation agreed with the principle of
bi al-ma'ruf (goodness) and avoid the commercialization of compensation. Peace
agreed further legitimized by court decisions binding and final. The function of
the court ruling is to ensure that the agreement is implemented and compensation
paid by the offender. The legitimacy of the court as well as a form of state
responsibility in providing care and protection to both parties.
Epilog Based on the above discussion can be summarized as follows: 1) Islamic
criminal law is a source of material in the construction of national criminal law.
The position of the Islamic criminal law as a source of material was also a feature
of Islamic law which emphasizes aspects of substance, not a formal legal. The
position of the Islamic criminal law as a source of material, will meet internal and
external problems. Internal problems will be difficult to be accepted by the
Muslims who want Islamic criminal law applied formally. External problems will
make possible the notion of Islamic criminal law as a positive law, and not least
the views of legal experts who do not know the existence of Islamic criminal law
and sees it as a subsystem of customary law and should be in accordance with
customary law. 2) The provisions of the qişâş-diyat can contribute to enhance the
Penal Code Draft. Formulation does not have to be exactly, but essentially the
xxvi
same, namely to give rights to the family of the victim to participate in
determining the penalty, giving attention and protection to the victims or their
families. 3) Restorative justice approach should be applied to not only pay
attention to the orientation of criminal perpetrators of criminal acts, but also the
victims or their heirs. Based formulation provisions of the qişâş-diyat in Islamic
criminal law, as it has a strong commitment in providing care and protection to the
victims or their heirs and still involve the role of the state. Necessary legal
framework for restorative justice approach can be applied, needs to be rugulated
in the draft Criminal Code. Construction through the mechanism of forgiveness
agencies outside the criminal justice process but still integrated within the justice
system as a door or a separate room. Forgiveness institutions function so that
peace can be achieved and value of compensation agreed with the principle of
goodness and avoid ommercialization of compensation. Peace agreed legitimized
by court decisions binding and final. The function of the court ruling is to ensure
that the agreement is implemented and compensation paid by the offender.
xxvii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadiran Allah Swt. penulis panjatkan, shalawat dan salam
penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Atas pertolongan Yang
Maha Menolong-lah penulisan disertasi ini dapat selesai dengan berbagai
kesulitan dan rintangan tentunya.
Pemilihan tema disertasi ini terdorong untuk ikut memberikan sumbangan
konsep profil hukum pidana nasional ke depan dengan mengkontribusikan hukum
pidana Islam. Ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana Islam seperti qişâş-diyat
secara filosofis lebih menjanjikan dapat memberikan manfaat dan kepastian
keadilan sebagaimana tujuan utama dalam hukum pidana. Menurut hukum yang
berlaku di Indonesia, yang berhak melaksanakan proses pemidanaan adalah
penguasa, korban tidak dilibatkan. Akibat korban tidak dillibatkan, dalam
pelaksanaan pidana banyak menimbulkan masalah bagi korban, misalnya korban
merasa tidak mendapat perlindungan dari Negara dan tidak puas karena kerugian
yang diderita korban tidak tergantikan. Untuk tindak pidana menghilangkan
nyawa orang lain/penganiayaan, proses hukum tanpa melibatkan korban atau
keluarganya tentu tidak akan memberikan keadilan kepada korban atau
keluarganya. Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan dan
menurut ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama dengan keadilan menurut
korban. Model pemidanaan demikian perlu untuk dikaji kembali. Sebab untuk
tindak pidana terhadap nyawa, keadilan tidak dapat terwujud tanpa
memperhatikan korban atau keluarganya, dan harmoni dalam masyarakat tidak
dapat dikembalikan. Penyelesaian perkara pidana yang lebih adil adalah dengan
cara melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana tersebut. Model
seperti ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu
musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku untuk tindak
pidana qişâş-diyat melalui perdamaian (şulh) dan mirip dengan pendekatan
restorative justice yang saat ini menjadi wacana global untuk diterapkan dalam
menyelesaikan perkara pidana.
Penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini tidak akan selesai tanpa
adanya bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak.
xxviii
Oleh karena ini, dengan kerendahan dan ketulusan hati, penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa BPPS
kepada penulis.
2. Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian
Keuangan RI yang telah memberikan beasiswa disertasi kepada penulis.
3. Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah yang telah memberikan
rekomendasi kepada penulis untuk mendapatkan Beasiswa BPPS.
4. Rektor Universitas Diponegoro, Direktur Program Pascasarjana Universitas
Dipoengoro, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
5. Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Prof. Dr.
Fx. Adji Samekto, SH, M.Hum, dan segenap pengelola yang yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi dan
memberikan layanan akademik dan administrasi dengan baik.
6. Rektor Universitas Pancasakti, Prof. Dr. Wahyono, SH, M.Hum, dan mantan
Rektor, Prof. Dr. Tri Jaka Kartana, M.Si, yang telah memberikan tugas
belajar kepada penulis.
7. Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasakti, Nuridin, SH, MH, dan
mantan Dekan, Dr. Hamidah Abdurrachman, SH, M.Hum, dan Mukhidin,
SH, MH, yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis.
8. Prof. Dr. Suteki, SH, M.Hum, dan Dr. Rokhidin, M.Ag, selaku Promotor dan
Co Promotor yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan
arahan, masukan dan koreksi dalam penulisan disertasi ini.
9. Tim Penguji Disertasi yang telah memberikan masukan dan koreksi untuk
penyempurnaan disertasi ini.
10. Semua dosen di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro yang
telah memberikan ilmunya dan pencerahan kepada penulis.
11. Para imforman yang tidak dapat disebutkan satu persatu
12. Semua pihak yang ikut membantu khususnya Dr. Ahwan Fanani, M.Ag,
selaku praktisi mediasi, yang berkenan meluangkan waktunya untuk
xxix
berdiskusi terkait dengan tema restorative justice dan pemaafan dalam hukum
pidana Islam juga meminjamkan kitab-kitab “langka” untuk dicopi sebagai
bahan penulisan disertasi, M. Abdul Kholiq, SH, MH, yang telah berkenan
meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan masukan pada penulis,
dan juga rekan-rekan yang telah membantu memberikan informasi yang
dibutuhkan dalam disertasi ini.
13. Keluarga; isteri penulis, Nur Khasanah, dan putra-putri; Haidar M. Nijad,
Nabila A. Manahil, yang selalu menjadi penyemangat, dan juga kedua orang
tua dan mertua yang selalu memberikan dorongan doa pada penulis.
Semoga bantuan yang diberikan dapat menjadi amal shaleh
danmendapatkan balasan yang berlipat dari Allah Swt., dengan iringan doa
jazakumullah ahsanal jaza wa jazakumullah khairan katsira.
Penulis menyadari, disertasi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan dan saran untuk
perbaikan disertasi ini menjadi karya yang lebih baik lagi. Namun demikian, penulis
juga berharap agar disertasi ini dapat memberi manfaat.
Semarang, Juli 2015
Penulis,
Achmad Irwan Hamzani
xxx
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. v
HALAMAN ABSTRAK ............................................................................. vi
HALAMAN ABSTRACT ............................................................................ vii
HALAMAN RINGKASAN ........................................................................ viii
HALAMAN SUMMARY ........................................................................... xvii
HALAMAN KATA PENGANTAR ........................................................... xxvi
HALAMAN DAFTAR ISI ......................................................................... xxix
HALAMAN GLOSSARY ............................................................................. xxxiv
HALAMAN DAFTAR SINGKATAN ....................................................... xxxvi
HALAMAN DAFTAR TABEL ................................................................. xxxvii
HALAMAN DAFTAR RAGAAN ............................................................. xxxviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Fokus Studi dan Permasalahan ........................................ 14
1. Fokus Studi ................................................................... 14
2. Permasalahan ................................................................ 15
C. Kerangka Pemikiran ........................................................... 16
D. Tujuan dan Kontribusi Penelitian ....................................... 19
1. Tujuan Penelitian .......................................................... 19
2. Kontribusi Penelitian .................................................... 20
E. Proses Penelitian .............................................................. 21
1. Titik Pandang (Stand Point) Penelitian ...................... 21
2. Paradigma Penelitian ................................................. 22
3. Pendekatan Penelitian ................................................ 24
4. Metode Penelitian ....................................................... 25
xxxi
F. Orisinilitas Penelitian .......................................................... 32
G. Sistematika dan Pertanggungjawaban Penulisan .............. 41
BAB II PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL
MELALUI FORMULASI PENDEKATAN RESTORATIVE
JUSTICE BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT
DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pembangunan Hukum Pidana Nasional ............................ 43
1. Pengertian Pembangunan Hukum Pidana Nasional ..... 43
2. Tujuan Pembangunan Hukum Pidana Nasional
sebagai Implementasi Tujuan Nasional ..................... 57
3. Politik Hukum dalam Pembangunan Hukum Pidana
Nasional .................................................................... 66
4. Sumber dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional 70
B. Pancasila sebagai Kaidah Penuntun dalam Pembangunan
Hukum Pidana Nasional ................................................... 80
1. Pengertian Pancasila ................................................... 80
2. Fungsi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara ..................................................................... 84
3. Cita Hukum Pancasila ................................................... 99
4. Pancasila sebagai Kaidah Penuntun Pembangunan
Hukum Pidana Nasional ............................................ 103
C. Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Pembangunan
Hukum Pidana Nasional ................................................... 110
1. Eksistensi Hukum Islam di Indonesia ......................... 110
2. Hukum Pidana Islam ................................................... 122
D. Restorative Justice sebagai Model dalam Penyelesaian
Perkara Pidana ................................................................... 131
1. Pengertian Restorative Justice ...................................... 131
2. Sejarah Restorative Justice ........................................ 136
3. Relevansi Penerapan Restorative Justice dalam
Penyelesaian Perkara Pidana ...................................... 140
xxxii
E. Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam dan
Relevansinya dengan Restorative Justice ......................... 145
1. Pengertian Qişâş-Diyat ............................................. 145
2. Macam Tindak Pidana Qişâş-Diyat dan Pidananya 156
3. Restorative Justice dalam Qişâş-Diyat ..................... 166
BAB III POSISI HUKUM PIDANA ISLAM SEBAGAI SUMBER
MATERIIL DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA
NASIONAL
A. Deskripsi Penyelesaian Perkara Pidana terhadap Nyawa
melalui Musyawarah di Masyarakat dan Relevansinya
dengan Ketentuan dalam Hukum Pidana Islam ................ 174
1. Praktek Masyarakat dalam Penyelesaian Perkara
Pidana terhadap Nyawa melalui Musyawarah ........... 174
2. Eksistensi Hukum Pidana Islam di Indonesia ............ 188
B. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil
dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional .................. 195
1. Urgensi Pembangunan Materi Hukum Pidana
Nasional yang Sesuai dengan Hukum yang Hidup di
Masyarakat ............................................................... 195
2. Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber Materiil
dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional ......... 207
C. Problematika Posisi Hukum Pidana Islam sebagai Sumber
Materiil dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional .. . 218
1. Problem Internal ....................................................... 218
2. Problem Eksternal ..................................................... 223
BAB IV KONTRIBUSI KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT DALAM
HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBANGUNAN
HUKUM PIDANA NASIONAL
A. Beberapa Ketentuan dalam Rancangan Undang-undang
Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai Potensi
xxxiii
Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana
Islam ................................................................................... 241
1. Perkembangan Pemikiran tentang Sanksi Pidana ....... 241
2. Kaidah Dasar Sanksi Pidana Qişâş-Diyat dalam
Hukum Pidana Islam ................................................... 247
3. Beberapa Ketentuan dalam Rancangan Undang-
undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai
Prospek Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam
Hukum Pidana Islam ................................................... 265
B. Relevansi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana
Islam dengan Praktek Penyelesaian Perkara Pidana
Melalui Musyawarah di Masyarakat .................................. 276
C. Kontribusi Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana
Islam ke Dalam Rancangan Undang-undang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana ........................................ 285
BAB V KONSTRUKSI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA
NASIONAL BERBASIS KETENTUAN QIŞÂŞ-DIYAT
DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Relevansi Pendekatan Restorative Justice dalam
Penyelesaian Perkara Pidana dalam Sistem Hukum
Pidana Nasional ke Depan ................................................ 316
1. Wacana Global Restorative Justice sebagai
Pendekatan dalam Penyelesaian Perkara Pidana ......... 316
2. Restorative Justice dalam Tradisi Masyarakat
Indonesia .................................................................... 320
3. Relevansi Restorative Justice sebagai Pendekatan
Penyelesaian Perkara Pidana dalam Sistem Hukum
Pidana Nasional ke Depan ......................................... 329
B. Dari Qişâş-Diyat ke Pendekatan Restorative Justice
dalam Sitem Hukum Pidana Nasional ke Depan ............. 344
xxxiv
1. Perdamaian sebagai Inti dari Restorative Justice ....... 344
2. Dari Qişâş-Diyat ke Pendekatan Restorative Justice 349
C. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam
Pembangunan Hukum Pidana Nasional Berbasis
Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam ........ 359
1. Konstruksi melalui Pelembagaan Mediasi Penal ....... 359
2. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice dalam
Sistem Hukum Pidana Nasional ke Depan Berbasis
Ketentuan Qişâş-Diyat dalam Hukum Pidana Islam ... 373
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan .......................................................................... 387
B. Implikasi Studi ................................................................. 390
C. Rekomendasi .................................................................... 392
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
xxxv
GLOSSARY
Afwun : pengampunan dari korban atau ahli warisnya agar
pelaku terhindar dari pidana qişâş atau diyat
Dawafi syakhsiyah : tindak pidana yang bersifat perseorangan
Diyat : ganti kerugian yang harus diberikan oleh pelaku
kepada korban atau ahli warisnya
Diyat mughalladhah : diyat yang harus ditanggung sendiri oleh
terpidana (restitusi)
Diyat mukhaffafah : diyat yang dapat dibantu oleh keluarga dan
bahkan negara (kompensasi), dan pembayarannya
diangsur
Doubble movement : tarikan ganda, yaitu memahami al-Qur’ân
berangkat dari situasi sekarang ke masa al-Qur’ân
diturunkan, dan kembali ke masa kini
Fiqh : pemahaman tentang hukum yang berasal dari
syari’at Islam
Fiqh jinayah : pemahaman tentang hukum pidana yang berasal
dari syari’at Islam, yang dapat diterjemahkan
hukum pidana Islam
Fuqaha : jama’ dari faqh; para ahli fiqh
Had : sanksi pidana yang sudah ditentukan jenis dan
batasannya
Hukum pidana Islam : terjemahan dari fiqh jinayah, hukum pidana yang
bersumber dari syari’at Islam
Hukum pidana nasional : hukum pidana yang berlaku secara nasional di
Indonesia
Idea moral al-Qur’an : semangat cita-cita yang dikehendaki al-Qur’an
Ijtihad : penalaran seorang pakar dalam pengembangan
hukum Islam
Jarimah : tindakan yang melanggar larangan syara’ atau
tidak melakukan perintah syara’ yang diancam
dengan pidana
Jarimah hudud : tindak pidana yang diancam pidana had
Jarimah qişâş-diyat : tindak pidana yang diancam pidana qişâş atau
diyat.
Jarimah ta’zir : tindak pidana yang diancam pidana ta’zir
Jinayah : sinonim dari jarimah
Kaidah : acuan dalam menetapkan suatu persoalan
Kifarat : tebusan akibat tindakan kesalahan atau
pelanggaran dengan menjalankan amalan tertentu
sebagai sarana taubat.
Maşlahat : teori dalam hukum Islam bahwa prinsip
diadakannya hukum adalah untuk memberikan
maslahat terhadap individu dan masyarakat
secara seimbang
Pluralisme hukum : pemahaman bahwa sistem hukum beragam
xxxvi
Politik hukum : kebijakan politik di bidang hukum
Qişâş : sanksi pidana yang setara dengan akibat tindak
pidana untuk tindak pidana pembunuhan dan
pelukaan
Receptie in complexu : teori bahwa hukum yang berlaku bagi suatu
masyarakat adalah hukum dari agama yang
dianutnya, bagi orang Islam berlaku penuh
hukum Islam walaupun pelaksanannya terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Teori ini
dirumuskan oleh Van der Berg
Receptie : teori bahwa hukum Islam bukanlah hukum
apabila belum diterima oleh adat dan menjadi
hukum adat. Teori ini dirumuskan oleh Christian
Snock Hurgronje
Receptie exit : teori bahwa hukum Islam adalah hukum yang
mandiri dan lepas dari pengaruh hukum lainnya
termasuk adat. Teori ini dirumukan oleh Hazarin
sebagai bantahan terhadap teori receptie
Receptie a contrario : teori bahwa hukum Islam berlaku sesuai
kehendak umat Islam, dan hukum adat berlaku
apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Teori ini dirumuskan oleh Sajuti Thalib sebagai
bantahan terhadap teori receptie
Restorative justice : model pendekatan penyelesaian perkara pidana
dengan mempertemukan pelaku, korban atau
keluarganya, dibantu pihak ketiga untuk
mencapai kesapakatan pelaku bertanggung jawab
atas perbuatannya dengan memberikan ganti rugi
kepada korban atau keluarganya
Şulh : perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara
Ta’zir : sanksi pidana yang belum ditentukan jenisnya
dan menjadi kewenangan pemerintah untuk
mengaturnya
The living law : hukum yang telah lama hidup di masyarakat dan
membentuk kesadaran hukum masyarakat
Unifikasi hukum : hanya satu hukum yang berlaku dan mengikat
bagi seluruh warga
xxxvii
DAFTAR SINGKATAN
ABA : American Bar Association
AGIL : Adaptation, Goal, Integration, Laten Pattern Maintenance
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
FCGC : Family Community Group Conferencing
FGC : Family Group Conference
GBHN : Garis-Garis Besar Haluan Negara
HAM : Hak Asasi Manusia
HIR : Herziene Inlandsch Reglement
KKN : Korupsi Kolusi dan Nepotisme
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MA : Mahkamah Agung
NGO : Non Government Organisation
NRI : Negara Republik Indonesia
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PP : Peraturan Pemerintah
Proglegnas : Program Legislasi Nasional
Prolegda : Program Legislasi Daerah
RI : Republik Indonesia
RUU : Rancangan Undang-Undang
Saw. : Şalalahu ‘Alaihi Wasalam
SKB : Surat Keputusan Bersama
Swt. : Subhanahu Wata’ala
UN : United Nations
UUD : Undang-Undang Dasar
VOC : Victim Offender Conferencing
VOM : Victim-Offender Mediation
VORP : Victim Offender Reconciliation Program
WvS : Wetboek van Strafrecht
WvSNI : Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie
xxxviii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Penelitian Terkait .................................................................... 33
Tabel 2 Perkembangan Orientasi dalam Teori Pemidanaan ................. 143
Tabel 3 Kadar Diyat yang Harus Dibayarkan ...................................... 154
Tabel 4 Tindak Pidana Qişâş-Diyat dan Sanksi Pidananya ................. 264
Tabel 5 Mekanisme Şulh dan Restorative Justice .............................. 358
Tabel 6 Manfaat Mediasi dalam Perkara Pidana ................................. 368
xxxix
DAFTAR RAGAAN
Halaman
Ragaan 1 Formulasi Restorative Justice dalam Pembangunan Hukum
Pidana Nasional Berbasis Kontribusi Qişâş-Diyat dalam
Hukum Pidana Islam ................................................................ 16
Ragaan 2 Analisis Data ........................................................................... 31
Ragaan 3 Tujuan Nasional ...................................................................... 59
Ragaan 4 Kondisi Hukum Islam di Indonesia Saat Ini ........................... 121
Ragaan 5 Proses Musyawarah dalam Menyelesaikan Perkara Pidana di
Masyarakat .............................................................................. 187
Ragaan 6 Proses untuk Menentukan Pidana Qişâş-Diyat oleh Korban
atau Keluarganya terhadap Pelaku .......................................... 264
Ragaan 7 Mekanisme Restorative Justice ............................................. 348
Ragaan 8 Elemen Rekonsiliasi ............................................................... 356
Ragaan 9 Konstruksi Restorative Justice Berbasis Qişâş-Diyat ............. 385
Recommended