View
82
Download
18
Category
Preview:
DESCRIPTION
Modifikasi Bentonit
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan
Polydiallyl Dimethyl Ammonium sebagai Adsorben
Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate
SKRIPSI
Deagita Yolani
0806326595
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM S1 KIMIA
DEPOK
JANUARI 2012
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan
Polydiallyl Dimethyl Ammonium sebagai Adsorben
Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains
Deagita Yolani
0806326595
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DEPARTEMEN KIMIA
DEPOK
JANUARI 2012
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya
nyatakan dengan benar.
Nama : Deagita Yolani
NPM : 0806326595
Tanda Tangan :
Tanggal : 30 Desember 2011
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh
Nama : Deagita Yolani
NPM : 0806326595
Program Studi : Departemen Kimia
Judul Skripsi : Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan
Polydiallyl Dimethyl Ammonium sebagai
Adsorben Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada Program Studi S1 - Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I : Dra. Tresye Utari, M.Si
Pembimbing II : Dr. Yoki Yulizar, M.Sc
Penguji I : Dr. rer. nat. Widayanti Wibowo
Penguji II : Dr. Yuni K. Krisnandi
Penguji III : Dr. Asep Saefumillah
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 6 Januari 2012
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Deagita Yolani NPM : 0806326595 Program Studi : Kimia Departemen : Kimia Fakultas : MIPA Jenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan Polydiallyl Dimethyl
Ammonium sebagai Adsorben Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 30 Desember 2011
Yang menyatakan
( Deagita Yolani )
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Sains Jurusan Kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tidaklah mungkin bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik
selama masa perkuliahan sampai dengan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Maka dari itu, penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada:
a. Kedua orang tua saya (Ibu dan Alm.Bapak), dan adik saya, yang selalu
memberikan dukungan baik materil maupun imateril, dorongan semangat,
dan doa yang tiada hentinya;
b. Dra.Tresye Utari, M.Si, selaku dosen pembimbing I dan koordinator
penelitian yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini;
c. Dr. Yoki Yulizar, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penelitian dan
penyusunan skripsi ini;
d. Novena Damar Asri, S.Si yang telah banyak membimbing penulis dalam hal
penulisan skripsi yang baik dan benar;
e. Dr. Ridla Bakri, M.Phil selaku Ketua Departemen Kimia FMIPA Universitas
Indonesia;
f. Drs. Erzi Rizal selaku pembimbing akademis yang telah membimbing penulis
dalam kegiatan akademis perkuliahan;
g. Dr. rer. nat Widayanti Wibowo, Dr. Yuni K. Krisnandi, Dr. Asep Saefumillah
selaku dosen penguji yang telah banyak memberi masukan kepada penulis;
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
h. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia yang
telah memberikan bekal ilmu yang sangat berguna selama perkuliahan bagi
penulis;
i. Ir. Hedi Surrahman, M.Si yang telah banyak memberikan bantuan dalam
proses peminjaman alat dan bahan selama penelitian;
j. Bapak Sutrisno Babe Perpustakaan, Mbak Ina, Mbak Cucu, Mbak Tri,
Mbak Emma, Pak Mardji, Pak Hadi, Pak Kiri, Pak Amin, dan seluruh staf
Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia;
k. Kak Rispa, Kak Alvin, Kak Dio, Kak Daniel, Kak Rasyid, dan Pegawai Lab
Afiliasi Departemen Kimia UI lainnya, serta Bapak Wisnu dan operator XRD
Batan yang telah banyak membantu dalam karakterisasi sampel;
l. Rekan-rekan selama penelitian: Kak Sonia, Kak Narita, Kak Rosa, Kak Reka,
Kak Rohman, Kak Putri, Dinda, Bu Nurlita, dan seluruh rekan-rekan
penelitian lantai 3 dan 4 yang telah menemani penulis melewati masa-masa
suka dan duka penelitian dan selalu memberikan semangat kepada penulis;
m. Sahabat-sahabat saya: Esti, Inna, Tata, Asef, yang telah memberikan
semangat dalam perkuliahan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Terima
kasih atas semua tawa, tangis, dan petualangan yang telah kita rasakan
bersama;
n. Seluruh teman-teman angkatan 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yang tidak
dapat disebutkan satu-persatu;
o. Agung Kurniawan Putra selaku pembimbing ketiga bagi penulis yang telah
mencurahkan cinta kasih, waktu, tenaga, dan pikirannya kepada penulis, serta
dorongan semangat dan wejangan-wejangan pembakar semangatnya yang
selalu berhasil membantu penulis dalam mengatasi berbagai permasalahan;
p. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
saya dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu penulis. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.
Penulis
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
ABSTRAK
Nama : Deagita Yolani
Program Studi : Kimia
Judul : Modifikasi Bentonit Terpilar Al Menggunakan Polydiallyl
Dimethyl Ammonium sebagai Adsorben Sodium Dodecyl Benzene
Sulfonate
Bentonit merupakan salah satu mineral yang kelimpahannya cukup besar di
Indonesia. Kemampuan bentonit sebagai adsorben beserta modifikasi untuk
meningkatkan kemampuan adsorpsinya telah banyak dilakukan sebelumnya, dan
salah satunya adalah melalui metode pilarisasi. Penelitian ini dilakukan untuk
membuat bentonit terpilar Al dengan template CTAB yang akan diaplikasikan
untuk adsorben limbah surfaktan Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate (SDBS).
Bentonit yang telah diaktivasi dan difraksinasi untuk mendapatkan fraksi
montmorillonite (MMT), kemudian dijenuhkan dengan NaCl (Na-MMT). KTK
(Kapasitas Tukar Kation) Na-MMT ditentukan dengan adsorpsi metilen biru,
diperoleh nilai KTK sebesar 34,9 meq/100gr. Pembuatan bentonit terpilar Al
dilakukan dengan penambahan polikation Al dan surfaktan N-Cetyl-N,N,N-
Trimethyl-Ammonium Bromide (CTAB) secara bersamaan ke dalam Na-MMT
membentuk Al-MM T. Al-MMT yang dibuat dengan penambahan CTAB
kemudian dimodifikasi dengan Poly Dialllyl Dimethyl Ammonium Bromide
(PDDA) dengan konsentrasi yang divariasikan antara 1x10-5
1x10-3 M, diperoleh konsentrasi optimum yang ditentukan menggunakan FTIR yaitu 5x10
-4
M. Hasil ini dinamakan PMAM yang diaplikasikan untuk adsorpsi SDBS dengan
melakukan variasi konsentrasi dan waktu kontak SDBS. Kondisi optimum yang
diperoleh adalah konsentrasi 1x10-3
M dan waktu kontak 45 menit dengan
%SDBS terserap 99,3%, kemudian dilakukan perbandingan kemampuan adsorpsi
PMAMt (PMAM dari Al-MMT tanpa CTAB), dan PMNM (Polymer Modified
Na-MMT), didapatkan %SDBS terserap sebesar 89,58% dan 97,23%.
Kata Kunci : Adsorpsi, Bentonit, Montmorillonite, Polikation Al,
PDDA, SDBS
xvi+ 87 halaman : 40 gambar, 10 tabel
Daftar Pustaka : 87 (1985-2011)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
ABSTRACT
Name : Deagita Yolani
Program Study: Chemistry
Title : Modification of Al-Pillared Bentonite Using Polydiallyl
Dimethyl Ammonium as an Adsorben to Sodium Dodecyl
Benzene-Sulfonate
Bentonite is one of the most abundant mineral in Indonesia. The ability of
bentonite as an adsorbent and modifications to enhance the adsorption capacity
has been studied before, and one of them was through a pillarization method. This
research was done to prepare Al pillared bentonite with CTAB as template and
will be applied for adsorbing surfactant Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate
(SDBS). Bentonite that was first activated and fractionated to obtain
montmorillonite (MMT), and then was saturated with NaCl, to obtain Na-MMT.
Cation Exchange Capacity (CEC) of Na-MMT was determined by methylene blue
adsorption, CEC values obtained for 34.9 meq/100gr. The preparation of Al-
pillared bentonite performed with the addition of Al and polycationic surfactant
N-Cetyl-N,N,N-Trimethyl-Ammonium Bromide (CTAB) simultaneously into the
Na-MMT to form Al-MM T. Then, Al-MMT was modified with Poly Dialllyl
Dimethyl Ammonium Bromide (PDDA) with concentrations that varied between
1x10-5
- 1x10-3
M, obtained the optimum concentration was determined using
FTIR is 5x10-4
M. This result is called PMAM that will be applied to the
adsorption of SDBS by varying the concentration and contact time SDBS.
Optimum conditions obtained were 1x10-3
M of concentration and 45 minutes of
contact time with% SDBS absorbed 99.3%, and then the adsorption capability of
PMAMt (PMAM without CTAB) and PMNM (Polymer Modified Na-MMT)
were compared in optimum condition, obtained 89,58% and 97,23% of %SDBS
absorbed.
Keywords : Adsorption, Bentonite, Montmorillonite, Polication Al, PDDA,
SDBS
xvi+ 87 pages : 40 pictures, 10 tables
Bibliography : 87 (1985-2011)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS....................................... iii LEMBAR PENGESAHAN............... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.............. v KATA PENGANTAR.............................................................................................. vi
ABSTRAK........................................................................................................ viii ABSTRACT.......................................................................................................... ix DAFTAR ISI.................................................................................................... x DAFTAR TABEL............. xiii DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xvi
1. PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang........... 1 1.2 Perumusan Masalah........................ 5 1.3 Tujuan Penelitian 5
2. TINJAUAN PUSTAKA......... 6 I. Kajian Pustaka dari Penelitian yang Telah Dilakukan.. .6
II. Studi Literatur. 8 2.1 Bentonit...................... 8 2.1.1 Montmorilonit............................................ 9
2.2 Polikation Al... 10 2.3 Adsorpsi.............. 11 2.3.1 Isoterm Adsorpsi 12 2.4 Interkalasi....... 12 2.4.1 Pilarisasi 14 2.5 Polielektrolit.................... 15 2.5.1 Muatan Polielektrolit...................................................................... 15
2.5.2 Konformasi Polielektrolit............................................................... 15
2.5.3 Poly Diallyl Dimethyl Ammonium (PDDA)................................... 16
2.6 Surfaktan. 17 2.6.1 N-Cetyl, N,N,N-Trimethyl-Ammonium Bromide (CTAB).. 18 2.6.2 Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate (SDBS). 19 2.7 Instrumen Karakterisasi... 20 2.7.1 XRF (X-Ray Flourescence)..... 20 2.7.2 Spektrofotometri Infra Merah FTIR. 21 2.7.3 Difraksi Sinar X (XRD). 21 2.7.4 Uv-Vis Spektrofotometer... 21 2.7.5 Brunauer-Emmet-Teller (BET).. 23 2.7.6 Transmission Electron Microscopy (TEM) 24
3. METODE PENELITIAN........ 25 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian..... 25
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
3.2 Alat dan Bahan........ 25 3.2.1 Alat Proses............................. 25 3.2.2 Alat Uji........... 25 3.2.3 Bahan......... 25
3.3 Prosedur kerja............ 26 3.3.1 Preparasi Montmorilonit........ 26 3.3.3.1.1 Preparasi bentonit alam... 26 3.3.3.1.2 Fraksinasi Sedimentasi Bentonit..................................... 26
3.3.3.1.3 Penjenuhan dengan NaCl............................................. 27
3.3.2 Penentuan Kapasitas Tukar Kation....... 27 3.3.3 Proses Pilarisasi Montmorilonit................. 27
3.3.4 Pembuatan PMAM (Polymer Modified Al(CTAB)-MMT)........... 28
3.3.5 Aplikasi PMAM sebagai Adsorben SDBS................................ 28
3.3.6 Pengujian Kekuatan Ikatan antara PDDA (dalam PMAM)
dengan SDBS.29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN................ 30 4.1 Preparasi Montmorilonit..... 30
4.1.1 Preparasi bentonit alam... 30 4.1.2 Fraksinasi... 30 4.1.3 Penjenuhan dengan NaCl 31 4.1.4 Karakterisasi bentonit alam dan Na-MMT.. 35 4.1.4.1 Karakterisasi dengan XRD.. 38 4.1.4.2 Karakterisasi dengan FTIR.. 38 4.1.5 Penentuan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) 39
4.2 Pilarisasi Montmorilonit... 42 4.2.1 Pembuatan polikation Al 43 4.2.2 Pilarisasi MMT dengan polikation Al 44 4.2.3 Pilarisasi MMT dengan polikation Al dan template CTAB... 45 4.2.4 Karakterisasi MMT terpilar 47 4.2.4.1 Karakterisasi MMT terpilar dengan FTIR... 47 4.2.4.2 Karakterisasi MMT terpilar dengan XRD.. 49 4.2.4.3 Karakterisasi Na-MMT, Al-MMT, dan Al(CTAB)-MMT
dengan BET... 51 4.3 Modifikasi MMT dengan Polimer... 52
4.3.1 Karakterisasi PMAM.. 53 4.3.2 Penentuan adsorpsi optimum PDDA pada Al(CTAB)-MMT 54
4.4 Aplikasi PMAM sebagai Adsorben SDBS 56 4.4.1 Penentuan kondisi optimum aplikasi.. 56 4.4.1.1 Pengaruh konsentrasi awal SDBS.. 57 4.4.1.2 Pengaruh waktu pengadukan... 58 4.4.2 Perbandingan kemampuan adsorpsi adsorben 59 4.4.3 Karakterisasi PMAM-SDBS.... 60 4.4.3.1 Karakterisasi PMAM-SDBS dengan FTIR.. 60 4.4.3.2 Karakterisasi PMAM-SDBS dengan TEM 61 4.4.4 Isoterm Adsorpsi SDBS pada PMAM.. 62 4.4.4.1 Isoterm Adsorpsi Langmuir SDBS pada PMAM. 62
4.4.4.2 Isoterm Adsorpsi Freundlich SDBS pada PMAM... 63
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
4.4.5 Pengujian kestabilan interaksi antara PDDA (dalam PMAM) dengan
SDBS 65
5. KESIMPULAN DAN SARAN.. 66 5.1 Kesimpulan..... 66 5.2 Saran........... 67
DAFTAR PUSTAKA................ 68 LAMPIRAN .77
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Tabel puncak difraktogram XRD pada bentonit alam
dan Na-MMT.. 36 Tabel 4.2 Tabel penentuan nilai KTK Na-MMT................................................ 40
Tabel 4.3 Nilai koefisien ikatan antara beberapa ion dengan montmorilonit..... 42
Tabel 4.4 Tabel puncak difraktogram XRD pada Al-MMT
dan Al(CTAB)-MMT...................................................................... 50
Tabel 4.5 Hasil karakterisasi menggunakan BET...............................................51
Tabel 4.6 Luas puncak serapan N-R dengan variasi konsentrasi PDDA............ 55
Tabel 4.7 Tabel perbandingan intensitas puncak N-R........................................ 56
Tabel 4.8 Tabel hasil adsorpsi dengan variasi waktu pengadukan tanpa
pengendapan secara alami.................................................................. 59
Tabel 4.9 Perbandingan kemampuan adsorpsi berbagai adsorben..................... 60
Tabel 4.10 Tabel hasil hasil uji kestabilan interaksi PDDA dan SDBS..65
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Montmorillonite............................................................... 10
Gambar 2.2 Struktur polikation Al model Keggin............................................ 11
Gambar 2.3 Proses interkalasi dalam lempung.................................................. 13
Gambar 2.4 Mekanisme pilarisasi..................................................................... 14
Gambar 2.5 Gambaran polielektrolit yang menempel pada substrat. 16 Gambar 2.6 Struktur PDDA.............................................................................. 16
Gambar 2.7 Struktur surfaktan.. 17 Gambar 2.8 Struktur CTAB............................................................................... 18
Gambar 2.9 Ukuran CTAB................................................................................ 19
Gambar 2.10 Struktur SDBS....... 19 Gambar 2.11 Skema kerja XRF.. 20 Gambar 2.12 Skema kerja Uv-Vis Spectrofotometer......................... 22 Gambar 2.13 Komponen-komponen TEM......................................................... 24
Gambar 4.1 Fraksi 2 (F2) setelah diendapkan selama 2 jam............................. 31
Gambar 4.2 Proses tukar kation dengan Na+..................................................... 32
Gambar 4.3 Proses penjenuhan dengan NaCl.................................................... 32
Gambar 4.4 Proses swelling Na-MMT.............................................................. 33
Gambar 4.5 Hasil uji dengan AgNO3 1 M pada filtrat yang masih mengandung
Cl- (kiri) dan yang sudah bebas Cl
- (kanan)................................... 34
Gambar 4.6 Tampilan fisik bentonit alam (kiri) dan Na-MMT (kanan)............ 34
Gambar 4.7 Difraktogram XRD bentonit alam dan Na-MMT.. 35 Gambar 4.8 Ukuran ion dan atom dalam tabel periodik 38 Gambar 4.9 Spektra FTIR bentonit alam dan Na-MMT................................... 39
Gambar 4.10 Endapan Na-MMT yang diberi MB (kiri) dan filtratnya (kanan). 40
Gambar 4.11 Struktur metilen biru..................................................................... 41
Gambar 4.12 Proses pembuatan polikation Al................................................... 43
Gambar 4.13 Ikatan pilar Al2O3 dengan Si tetrahedral....................................... 45
Gambar 4.14 Posisi polikation Al dan CTAB yang diharapkan......................... 46
Gambar 4.15 Spektra FTIR untuk Al-MMT tanpa CTAB dan Na-MMT.......... 47
Gambar 4.16 Spektra FTIR untuk Na-MMT, dan Al(CTAB)-MMT sebelum
dan setelah kalsinasi...................................................................... 48
Gambar 4.17 Difraktogram XRD bentonit alam, Na-MMT, Al-MMT
dan Al(CTAB)-MMT................................................................... 49
Gambar 4.18 Gambaran pola distribusi yang terjadi antara polikation Al dan
CTAB............................................................................................. 52
Gambar 4.19 Pearl Necklace Model... 53 Gambar 4.20 Spektra FTIR Al(CTAB)-MMT dan PMAM.... 54 Gambar 4.21 Kurva adsorpsi optimum PDDA pada Al(CTAB)-MMT. 55 Gambar 4.22 Kurva pengaruh konsentrasi awal SDBS terhadap %SDBS
terserap... 57 Gambar 4.23 Kurva penentuan waktu pengadukan optimum untuk
adsorpsi SDBS... 58 Gambar 4.24 Spektra FTIR PMAM dan PMAM yang telah jenuh oleh
SDBS..... 60
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Gambar 4.25 Hasil karakterisasi menggunakan TEM dengan perbesaran 20.00x
(a), 50.000x (b), 200.000x (c), dan 500.000x (d).. 62
Gambar 4.26 Kurva isoterm adsorpsi Langmuir SDBS pada PMAM63
Gambar 4.27 Kurva isoterm adsorpsi Freundlich SDBS pada PMAM.......64
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Bagan kerja penelitian
Lampiran 2: Bagan kerja penentuan surfaktan anionik (metode MBAS)
Lampiran 3a: Tabel data difraktogram XRD untuk bentonit alam
Lampiran 3b: Perhitungan basal spacing bentonit alam
Lampiran 4a: Tabel data difraktogram XRD untuk Na-MMT
Lampiran 4b: Perhitungan basal spacing Na-MMT
Lampiran 5: Data XRF pada F2 (Hadrah, Tesis 2011)
Lampiran 6a: Kurva standar metilen biru
Lampiran 6b: Data absorbansi larutan standar MB
Lampiran 7: Tabel data difraktogram XRD untuk Al-MMT
Lampiran 8:Tabel data difraktogram XRD untuk Al(CTAB)-MMT
Lampiran 9: Data BET uuntuk Na-MMT (Hadrah, Tesis 2011)
Lampiran 10: Data BET untuk Al(CTAB)-MMT
Lampiran 11: Data BET untuk Al-MMT
Lampiran 12a : Spektra FTIR PMAM dengan variasi konsentrasi
Lampiran 12b: Perbandingan luas puncak serapan N-R pada spektra FTIR
Lampiran 13a: Kurva standar SDBS
Lampiran 13b: Data absorbansi larutan standar SDBS
Lampiran 14a: Tabel perhitungan penyerapan SDBS ke dalam PMAM
Lampiran 14b: Spektra Uv-Vis Spektrofotometer variasi konsentrasi SDBS
Lampiran 15a: Tabel perhitungan waktu pengadukan optimum untuk penyerapan
SDBS
Lampiran 15b: Spektra UV-Vis Spektrofotometer variasi waktu pengadukan SDBS
Lampiran 16: Data isoterm adsorpsi SDBS pada PMAM
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan salah satu kebutuhan pokok setiap makhluk hidup. Seiring
berkembangnya zaman dan meningkatnya kebutuhan manusia yang tidak disertai
dengan kesadaran akan kelestarian lingkungan, mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan terutama air. Di antara pencemaran udara, air, dan tanah,
pencemaran air merupakan salah satu bentuk pencemaran yang perlu diwaspadai,
dan di antara parameter pencemar air, parameter logam berat dan polutan organik
adalah yang paling berbahaya (Kus Sri Martini et al., 2009). Apabila air tercemar
maka akan memberi pengaruh berupa berkurangnya kandungan oksigen yang
terlarut, perubahan pH, temperatur air, dan berkurangnya nutrisi dalam air
(Prawiro, 1985). Pencemaran air terjadi apabila masukan zat organik maupun
anorganik ke dalam suatu perairan melampaui batas kemampuan ekosistem untuk
mengasimilasi zat tersebut. Dengan terlampauinya kemampuan asimilasi
ekosistem itu, maka terjadi penumpukan (akumulasi) zat organik atau zat
anorganik yang terdapat di dalam air. Akumulasi ini akan mengakibatkan
berkembangnya organisme tertentu secara berlebihan, sementara organisme lain
terhambat dan terdesak oleh organisme yang pertama (Taufik, 2005).
Senyawa deterjen bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian pada
makhluk hidup, terutama makhluk hidup yang tinggal di air seperti ikan. Menurut
Fujita dan Koga (1976), Lundahl, dan Cabredenc (1978) dalam Mautidina (2000)
menyatakan bahwa kematian pada ikan yang disebabkan oleh limbah deterjen
terjadi karena deterjen mampu menghambat kerja enzim di dalam tubuh ikan.
Selain itu, senyawa deterjen mampu menghambat masuknya oksigen dari udara ke
dalam air, sehingga mengakibatkan kadar oksigen dalam air berkurang dan
membuat organisme di dalamnya kekurangan oksigen (Varley, 1987). Senyawa
deterjen juga bersifat karsinogenik dengan tingkat keasaman (pH) rata-rata 10-12,
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
sementara pH yang dapat ditoleransi oleh lingkungan adalah 6-9 (Agung R,
2001).
SDBS (Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate) merupakan salah satu jenis
surfaktan yang digunakan sebagai bahan dasar deterjen, penggunaanya berkurang
sampai ditemukannya jenis surfaktan baru yang dianggap lebih ramah lingkungan
seperti LAS (C.J. Krueger, et al., 1998, dan A.M. Nielsen, et al., 1997) akan
tetapi berdasarkan data dari US EPA (Environmental Protection Agency)
registration products, diketahui bahwa SDBS masih banyak digunakan dalam
produk-produk seperti pada beberapa merk deterjen, pestisida, fungisida, dan
desinfektan. SDBS memiliki sifat yang sulit terdegradasi baik di air maupun di
tanah (M Elimelech, et al., 1999), sehingga butuh penanganan khusus untuk
menanggulangi masalah pencemaran yang disebabkan oleh surfaktan jenis ini.
Studi untuk mengatasi permasalahan pencemaran perairan masih terus
berkembang, salah satu metode yang sedang marak dikembangkan dan akan
dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan metode adsorpsi. Selain adsorpsi,
metode lain yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah limbah surfaktan
adalah dengan fotokatalisis, akan tetapi karena harga yang relatif lebih mahal,
membuat teknik adsorpsi lebih banyak digunakan. Teknik adsorpsi memiliki
kemampuan yang baik dalam mengatasi limbah organik (Lizhong Zu, et al.,1998,
Runliang Zhu, et al., 2009), dan limbah anorganik seperti logam berat Cd dan Cu
(Liang-guo Yan, 2007, Chih-Huang Weng, et al., 2006).
Bentonit merupakan salah satu mineral yang kelimpahannya cukup besar
di alam, terutama di Indonesia. Berdasarkan data dari Departemen ESDM pada
tahun 2005, bentonit tersebar di pulau-pulau besar Indonesia, seperti di
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Jawa, dengan cadangan diperkirakan lebih
dari 380 juta ton. Namun, penggunaan bahan ini belum maksimal dan masih
bernilai rendah.
Bentonit memiliki konfigurasi 2:1 dimana terdiri dari 2 lapis tetrahedral
(silikon-oksigen), dan 1 lapis oktahedral (alumunium-oksigen-hidroksil).
Montmorilonit memiliki kandungan yang paling banyak di dalam bentonit alam.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Montmorilonit secara alami mengalami subtitusi isomorfis, dimana posisi Al3+
digantikan oleh Mg2+
/Fe2+
dan Si4+
digantikan Al3+
sehingga memiliki muatan
total negatif dan harus diseimbangkan dengan kation seperti Na+ dan Ca
2+ (Yunfei
Xi, et al., 2005). Bentonit alam masih bersifat hidrofilik, sehingga tidak efektif
bila digunakan sebagai adsorben senyawa organik yang terlarut dalam air
(Chaiko, D, 2002, dan J.H. Kim, et al., 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan
modifikasi terlebih dahulu terhadap bentonit alam agar dapat digunakan sebagai
adsorben limbah surfaktan dalam perairan.
Kemampuan adsorpsi bentonit alam dapat ditingkatkan dengan melakukan
modifikasi melalui proses tukar kation dalam bentonit dengan kation amina dari
surfaktan kationik [(CH3)2NHR]+ (T.S. Anirudhan, M. Ramachandran, 2006).
Metode ini dikenal dengan pembuatan organoclay, dan dapat meningkatkan
afinitas antara bentonit dengan limbah organik, akan tetapi ruang antar lapis yang
sebagian besar diisi oleh surfaktan (Zhu, et al., 2008) mengakibatkan
berkurangnya ukuran basal spacing pada bentonit dan berkurangnya tempat bagi
limbah organik untuk teradsorpsi ke dalam ruang antar lapis (Zonghua Qin, et
al.,2010). Selain itu walaupun modifikasi bentonit dengan surfaktan dapat
meningkatkan basal spacing atau ruang antar lapis dalam bentonit, akan tetapi
sifatnya yang tidak stabil terhadap suhu yang tinggi mengakibatkan basal spacing
yang dihasilkan tidak permanen (J. Theo Kloprogge, et al., 2002). Hal ini
mendorong berkembangnya studi menggunakan polikation anorganik sebagai
agen pemilar, dimana dapat memberikan kestabilan yang tinggi terhadap panas
serta area permukaan yang luas, dan bila dikalsinasi akan menghasilkan pilar
oksida logam yang permanen (Kloprogge, et al., 2002, D. M. Manohar, et al.,
2005, A. Tabak, et al., 2007).
Selama beberapa dekade terakhir, penggunaan polikation logam seperti Al,
Fe, Ti, Zn sebagai agen pemilar dalam bentonit telah marak dilakukan (Liang-guo
Yan, et al., 2008, N.R. Sanabria, et al., 2009, R.B. Yu, et al., 2008, J.W. Tang, et
al., 2006). Polikation Al adalah agen pemilar yang paling banyak digunakan, baik
untuk selanjutnya digunakan secara langsung untuk mengadsorb logam, pewarna,
dan polutan-polutan lainnya (Z.H. Shao, et al., 2005, D. Pentari, et al., 2009)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
maupun tidak langsung melalui modifikasi lanjutan dengan cara menambahkan
kitosan (Wei Tan, et al., 2007), 3-aminopropyltriethoxysilane (Zonghua Qin, et
al., 2010), atau 2-pralidoxime (PAM) (Lev Bromberg, et al., 2011) pada bentonit
terpilar Al untuk selanjutnya digunakan sebagai adsorben, dimana proses
pemilaran membuat basal spacing meningkat secara permanen dan jumlah zat
yang dapat diadsorbsi semakin banyak (Tatsuya Yamazaki, et al., 2001).
Polikation Al dianggap sebagai pemilar yang baik karena dapat menghasilkan
volume pori dan kekuatan adsorpsi yang paling besar bila dibandingkan dengan
logam-logam lainnya (N. Maes, et al., 1996)
Penelitian-penelitian sebelumnya banyak menggunakan kitosan sebagai
modifier pada bentonit terpilar Al, karena sifatnya yang ramah lingkungan dan
mampu meningkatkan kemampuan adsorpsi bentonit (Wei Tan, et al., 2007) akan
tetapi pada penelitian ini tidak tepat bila digunakan kitosan, karena kitosan dapat
berikatan dengan montmorilonit pada pH asam dengan terbentuknya gugus NH3+
yang selanjutnya dapat mengalami proses tukar kation dengan montmorilonit
(Darder, et al., 2005), sedangkan pada penelitian ini ditujukan sebagai adsorben
surfaktan yang memiliki pH basa. Selain itu penggunaan kitosan akan
menghasilkan hasil yang baik apabila digunakan untuk adsorben ion logam,
karena akan terjadi ikatan koordinasi antara gugus -NH2 dan -OH pada kitosan
dengan ion logam (Wei Tan, et al., 2007), sedangkan pada penelitian ini surfaktan
yang akan diadsorpsi memiliki muatan negatif/kelebihan elektron, sehingga
kitosan tidak mampu berikatan dengan surfaktan anionik.
Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan
montmorilonit terpilar Al, untuk selanjutnya dimodifikasi dengan polimer
kationik PDDA (Poly Diallyl Dimethyl Ammonium) dan digunakan sebagai
adsorben surfaktan anionik SDBS (Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate). Pada
proses pemilaran montmorilonit, akan digunakan polikation Al dan CTAB (N-
Cetyl-N,N,N-Trimethyl Ammonium Bromide) yang ditambahkan secara
bersamaan, karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Runliang Zhu,
Tong Wang, Fei Ge, Wangxiang Chen, dan Zhimin You pada tahun 2009
membuktikan bahwa pembuatan montmorilonit terpilar Al akan menghasilkan
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
pilar yang tidak terlalu rigid dan pori seragam apabila digunakan CTAB sebagai
agen yang ikut membantu proses pilarisasi. Hal ini diharapkan akan memudahkan
PDDA masuk sebagai modifier pada montmorilonit dan meningkatkan
kemampuan adsorbsi. Walau penggunaannya pada bentonit belum pernah
dilakukan, PDDA terbukti mempunyai kemampuan adsorbsi yang baik untuk
surfaktan pada media emas (Alexander B, 2002), selain itu PDDA juga telah
digunakan sebagai modifier zeolit dan terbukti mampu mengadsorp surfaktan
dengan baik (Helen Stephanie, 2011).
1.2 Perumusan Masalah
a. Apakah pilarisasi bentonit alam dapat dilakukan dengan menggunakan
polikation Al dan surfaktan CTAB?
b. Apakah polikation PDDA dapat disisipkan pada pori-pori bentonit
alam yang telah terpilar?
c. Apakah organoclay bentonit-PDDA dapat mengabsorbsi surfaktan
anionik SDBS?
d. Apakah ikatan antara PDDA (dalam PMAM) dengan SDBS dapat
dipengaruhi oleh pH?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Melakukan pilarisasi pada bentonit alam dengan menggunakan
polikation Al dan surfaktan CTAB sebagai template.
b. Memodifikasi bentonit terpilar Al dengan PDDA dan mencari
konsentrasi adsorpsi PDDA optimum.
c. Mengaplikasikan bentonit terpilar Al yang telah dimodifikasi dengan
PDDA sebagai adsorben surfaktan SDBS dan mencari kondisi
optimumnya.
d. Menguji kekuatan ikatan antara PMAM dan SDBS dengan melakukan
variasi pH.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Kajian Pustaka dari Penelitian yang Telah Dilakukan
Penelitian yang telah dilakukan pada tahun 1996 oleh H.Khalaf, et al.
menunjukkan bahwa bentonit dapat dipilarisasi dengan Al melalui pembuatan
polikation Al. Pada penelitian tersebut, kondisi optimum polikation Al dibuat
dengan mencampurkan NaOH ke dalam larutan AlCl3 sampai terbentuk rasio
volume OH/Al sebesar 1,8. Setelah itu, bentonit ditambahkan pada larutan
polikation Al dengan rasio Al/bentonit 4 mmol/gram, untuk selanjutnya
ditambahkan CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) selaku modifier.
Terlihat penambahan CTAB dapat meningkatkan basal spacing dari sekitar 1,8
nm untuk Al-bentonit menjadi 2,1 nm. Akan tetapi kalsinasi hingga lebih dari 500
0C menyebabkan basal spacing kembali ke kondisi normal dan area permukaan
bentonit menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan Al-bentonit. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, maka proses pemilaran pada penelitian kali ini tidak
dilakukan dengan penambahan polikation Al terlebih dahulu sebelum CTAB, dan
didapatkan informasi bahwa CTAB dapat dihilangkan dari bentonit pada suhu
diatas 500 oC.
Kloprogge, et al. pada tahun 2002 melakukan penelitian dengan
menggunakan 10 jenis montmorilonit dari Miles, Queensland, Australia. Mereka
membuat montmorilonit terpilar Al dengan rasio volume OH/Al 2,2 dan
mengkarakterisasinya dengan XRD, ICP-AES, dan FTIR. Penelitian tersebut
membuktikan montmorilonit mampu bertahan hingga suhu 600 oC. Penelitian
tersebut memberikan informasi akan karakteristik bentonit terpilar Al.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh A. Tabak, et al. pada tahun 2007,
dilakukan sintesis dan karakterisasi bentonit terpilar Al menggunakan bentonit
turki. Penelitian tersebut menghasilkan komposisi optimum dalam pembuatan
polikation Al dan bentonit terpilar Al, yaitu dengan rasio volume OH/Al 2,2 dan
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
penambahan Na-MMT hingga rasio 9 mmol Al/gr Na-MMT. Penelitian tersebut
juga menunjukkan bahwa bentonit terpilar Al dapat bertahan hingga suhu 600 oC.
Sebagian besar prosedur pemilaran dilakukan berdasarkan penelitian tersebut,
Namun pada penelitian kali ini tidak digunakan polikation Al saja sebagai agen
pemilar, tetapi digunakan pula template CTAB.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Runliang Zhu, et al. pada tahun
2009 adalah melakukan interkalasi pada bentonit menggunakan CTAB dan
polikation Al dengan variasi urutan penambahan keduanya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa struktur dan ukuran basal spacing Al-bentonit ditentukan
oleh urutan penambahan CTAB dan polikation Al ke dalam bentonit. Apabila
keduanya ditambahkan secara bersamaan/simultan ke dalam bentonit dan atau
CTAB ditambahkan terlebih dahulu sebelum penambahan polikation Al, maka
terbentuk basal spacing yang lebih besar dan ukuran pori yang seragam.
Penambahan CTAB setelah penambahan polikation Al tidak menunjukkan
perubahan basal spacing yang besar karena Al menghambat masuknya CTAB ke
dalam ruang antar lapis dan membuat proses pembentukan pilar tidak sempurna,
mengakibatkan ukuran pori menjadi tidak seragam. Pada penelitian kali ini,
dilakukan pemilaran dengan tahapan seperti penelitian tersebut, dimana CTAB
dan polikation Al ditambahkan secara bersamaan ke dalam bentonit. Akan tetapi
penelitian kali ini tidak berhenti pada proses pemilaran saja, melainkan
dilanjutkan dengan memodifikasi bentonit menggunakan polikation kemudian
mengaplikasikannya sebagai adsorben.
Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Runliang Zhu, et al. pada tahun
2009 membuktikan sekali lagi, bahwa polikation Al dan CTAB mampu
menginterkalasi bentonit secara bersamaan. Namun penelitian tersebut tidak
ditujukan untuk membuat pilar, melainkan membuat bentonit anorganik-organik,
untuk selanjutnya digunakan sebagai adsorben naftalen dan pospat. Penelitian
tersebut digunakan sebagai dasar yang memperkuat proses pembuatan bentonit
terpilar Al dengan template CTAB melalui penambahan CTAB terlebih dahulu
sebelum Al atau keduanya dimasukkan secara bersamaan, serta memberikan
informasi bahwa bentonit terinterkalasi Al dan suatu molekul bermuatan positif
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
(CTAB) masih memiliki kemampuan adsorpsi terhadap polutan organik yang
bermuatan negatif. Penelitian kali ini ditujuan untuk membuat pilar, sehingga
dilakukan proses kalsinasi lalu dimodifikasi dengan polikation, tidak dengan
CTAB seperti yang dilakukan pada penelitian sebelumnya. CTAB hanya
berfungsi sebagai template. Pada proses akhir, bentonit termodifikasi akan
diaplikasikan untuk polutan organik, yaitu surfaktan.
Penelitian yang dilakukan oleh Alexander B. pada tahun 2003 mempelajari
interaksi antara PDDA dengan surfaktan anionik yaitu SDS dengan menggunakan
media emas. Pada penelitian tersebut dihasilkan kompleks SDS-PDDA dengan
cepat. Akan tetapi karena penggunaan media emas yang mahal, maka pada
penelitian kali ini, digunakan bentonit dan surfaktan sebagai adsorben SDBS,
dimana SDBS masih cukup banyak digunakan dalam berbegai produk pembersih
rumah tangga dan industri.
Interaksi antara PDDA dan SDBS dipelajari juga oleh Suvasree
Mukherjee, et al. pada tahun 2011. Penelitian ini mempelajari interaksi fisika dan
kimia yang terjadi antara PDDA dengan berbagai surfaktan anionik. Penelitian
tersebut memberikan informasi bahwa PDDA mampu berikatan dengan baik pada
SDBS. Oleh karena itu pada penelitian kali ini dilakukan modifikasi
menggunakan medium zat padat yaitu bentonit sebagai tempat PDDA yang
selanjutnya diaplikasikan sebagai adsorben surfaktan SDBS.
II. Studi Literatur
2.1 Bentonit
Bentonit adalah istilah pada lempung yang mengandung monmorillonit
dalam dunia perdagangan dan termasuk kelompok dioktahedral. Nama bentonit
pertama kali digunakan tahun 1896 oleh Knight untuk menamai suatu jenis
lempung yang sangat plastis yang terdapat pada formasi Benton, Rock, Creek, di
negara bagian Wyoming, Amerika Serikat.
Bentonit dapat dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan kandungan
alumunium silikat hydrous, yaitu activated clay dan fuller's Earth. Activated clay
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
adalah lempung yang kurang memiliki daya pemucat, tetapi daya pemucatnya
dapat ditingkatkan melalui pengolahan tertentu. Sementara itu, fuller's earth
digunakan dalam fulling atau pembersih bahan wool dari lemak.
Berdasarkan tipenya, bentonit dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Tipe Wyoming (Na-bentonit Swelling bentonite)
Na bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan kali apabila
dicelupkan ke dalam air, dan tetap terdispersi beberapa waktu dalam air. Dalam
keadaan kering berwarna putih atau krim, pada keadaan basah dan terkena sinar
matahari berwarna mengkilap. Perbandingan soda dan kapur tinggi, suspensi
koloidal mempunyai pH: 8,5-9,8, tidak dapat diaktivasi, posisi pertukaran
diduduki oleh ion-ion sodium (Na+).
b. Mg, (Ca-bentonit non swelling bentonite)
Tipe bentonit ini kurang mengembang apabila dicelupkan ke dalam air,
dan tetap terdispersi di dalam air, tetapi secara alami atau setelah diaktifkan
mempunyai sifat menghisap yang baik. Perbandingan kandungan Na dan Ca
rendah, suspensi koloidal memiliki pH 4-7. Posisi pertukaran ion lebih banyak
diduduki oleh ion-ion kalsium dan magnesium. Dalam keadaan kering bersifat
rapid slaking, berwarna abu-abu, biru, kuning, merah dan coklat. Penggunaan
bentonit dalam proses pemurnian minyak goreng perlu aktivasi terlebih dahulu.
Endapan bentonit Indonesia tersebar di P. Jawa, P. Sumatera, sebagian P.
Kalimantan dan P. Sulawesi, dengan cadangan diperkirakan lebih dari 380 juta
ton, serta pada umumnya terdiri dari jenis kalsium (Ca-bentonit). Beberapa lokasi
yang sudah dan sedang dieksploitasi, yaitu di Tasikmalaya, Leuwiliang,
Nanggulan, dan lain-lain. Indikasi endapan Na-bentonit terdapat di Pangkalan
Brandan; Sorolangun-Bangko; Boyolali (www.tekmira.esdm.go.id).
2.1.1.Montmorilonit (MMT)
Montmorilonit merupakan anggota kelompok mineral clay. Umumnya
montmorilonit membentuk kirstal mikroskopik atau setidaknya kristal micaceous
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
berlapis sangat kecil. Kandungan air sangat bervariasi dan apabila air diabsorbsi,
montmorilonit cenderung mengembang sampai beberapa kali volume awal. Sifat
struktur unit tetrahedral dan oktahedral ini membuat montmorilonit menjadi
mineral yang bermanfaat untuk berbagai tujuan, seperti untuk dijadikan katalis
dan adsorben. (www.tekmira.esdm.go.id)
Struktur montmorilonit seperti halnya pilosilikat 2:1 yang lain tersusun
dari lapisan tetrahedral yang mengapit lapisan oktahedral (lihat Gambar 2.1).
Secara alami struktur montmorilonit mengalami proses substitusi isomorfis,
dimana posisi Al3+
digantikan oleh Mg2+
/Fe3+
/Fe2+
dan Si4+
digantikan Al3+
.
Sebagai konsekuensinya terdapat netto muatan negatif pada permukaan dan harus
dinetralkan oleh kation lain, kation ini disebut kation interlayer (exchangeable
cations). (Yunfei Xi, et al., 2005)
Gambar 2.1 Struktur montmorilonit (Sumber: Syuhada et al., 2009)
2.2. Polikation Al
Polikation Al dengan rumus molekul [Al13O4(OH)24(H2O)12]7+
merupakan
agen pemilar yang paling banyak digunakan karena mampu meningkatkan basal
spacing yang paling besar dan seragam bila dibandingkan dengan menggunakan
logam Ti, Zr, Fe, sebagai agen pemilar (Maes,N. et al., 1996). Struktur polikation
Al dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Al, Fe, Mg
OH
O
Li, Mn, Pb, Ca
Tetrahedral
Tetrahedral
Oktahedral
Exchangeable cation
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Gambar 2.2. Struktur polikation Al model Keggin (sumber: Furrer et al., 1992)
2.3. Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan
maupun gas) terikat pada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu film
(lapisan tipis) pada permukaan padatan tersebut. Adsorpsi secara umum adalah
proses penggumpalan substansi terlarut (soluble) yang ada dalam larutan, oleh
permukaan zat atau benda penyerap, dimana terjadi suatu ikatan kimia fisika
antara substansi dengan penyerapnya.
Definisi lain menyatakan adsorpsi sebagai suatu peristiwa penyerapan
pada lapisan permukaan atau antar fasa, dimana molekul dari suatu materi
terkumpul pada bahan pengadsorpsi atau adsorben. Adsorpsi adalah pengumpulan
dari adsorbat diatas permukaan adsorben, sedang absorpsi adalah penyerapan dari
adsorbat kedalam adsorben dimana disebut dengan fenomena sorption. Materi
atau partikel yang diadsorpsi disebut adsorbat, sedang bahan yang berfungsi
sebagai pengadsorpsi disebut adsorben.
Adsorpsi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adsorpsi fisika (disebabkan
oleh gaya Van Der Waals (penyebab terjadinya kondensasi gas untuk membentuk
cairan) yang ada pada permukaan adsorben) dan adsorpsi kimia (terjadi reaksi
antara zat yang diserap dengan adsorben, banyaknya zat yang teradsorbsi
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
tergantung pada sifat khas zat padatnya yang merupakan fungsi tekanan dan suhu)
(Brady, 1999)
2.3.1 Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi adalah suatu model matematika yang menggambarkan
distribusi dari adsorbat diantara cairan dan adsorben, berdasarkan asumsi bahwa
sebagian besar berhubungan dengan heterogenitas/homogenitas dari adsorbat. Ada
beberapa jenis isoterm adsorpsi yaitu isoterm adsorpsi Langmuir, Freundlich, dan
Temkin (Kumar, et al., 2009).
2.4 Interkalasi
Interkalasi adalah suatu penyisipan spesies tamu (ion, atom, atau molekul)
ke dalam antarlapis senyawa berstruktur lapis. Schubert, et al., 2002
mendefinisikan interkalasi adalah suatu penyisipan suatu spesies pada ruang antar
lapis dari padatan dengan tetap mempertahankan struktur berlapisnya.Atom-atom
atau molekul-molekul yang akan disisipkan disebut sebagai interkalan, sedangkan
yang merupakan tempat yang akan dimasuki atom-atom atau molekul-molekul
disebut sebagai interkalat. Metode ini akan memperbesar pori material, karena
interkalan akan mendorong lapisan atau membuka antar lapisan untuk
mengembang
Menurut Ogawa dalam Rusman (1999), mekanisme pembentukan
interkalasi dapat dikelompokan menjadi lima golongan, yaitu :
1. Senyawa interkalasi yang terbentuk dari pertukaran kation. Senyawa
terinterkalasi jenis ini terbentuk dari pertukaran kation tamu dengan kation yang
menyetimbangkan muatan lapis. Jumlah kation tamu yang dapat terinterkalasi
tergantung pada jumlah muatan yang terkandung pada lapisan bahan inang.
Lempung terpilar adalah salah satu contoh senyawa terinterkalasi yang diperoleh
dari pertukaran kation. Spesies tamu dalam hal ini berperan sebagai pilar yang
akan membuka lapisan-lapisan lempung.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol dan pembentukan ikatan
hydrogen Senyawa terinterkalasi jenis ini terbentuk jika spesies inang (host)
bersifat isolator dan tidak memiliki muatan permukaan. Interaksi antaraspesies
tamu dan lapisan spesies inang hanya berupa interaksi dipol dan ikatan hidrogen,
oleh karena itu jenis interkalasi ini tidak stabil dan senyawa yang terinterkalasi ini
dengan mudah dapat digantikan.
3. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol antara spesies tamu dan
ion-ion di dalam antar lapis. Senyawa interkalasi jenis ini dapat terjadi melalui
pertukaran molekul-molekul solven. Pertukaran tersebut terjadi antara molekul-
molekul solven yang mensolvasi ion-ion dalam antarlapis dengan molekul-
molekul tamu. Hal tersebut terjadi, jika molekul tamu mempunyai polaritas yang
tinggi. Pada material lempung, molekul monomer dapat terinterkalasi melalui
penggantian dengan molekul air.
4. Senyawa interkalasi yang dibentuk dengan ikatan hidrogen Bila dibandingkan
dengan senyawa interkalasi yang lain, maka spesies tamu akan terikat lebih kuat
di dalam spesies induk, sehingga deinterkalasi lebih sulit terjadi.
5. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari transfer muatan. Senyawa interkalasi yang
terbentuk jika lapisan bahan induk bersifat konduktif.
Proses interkalasi dalam lempung dijelaskan pada Gambar 2.3. Lempung
yang semula berbentuk lapisan alumino silikat, dengan masuknya interkalan
Gambar 2.3. Proses Interkalasi dalam Lempung (Sumber: Yateman, 2006)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
diantara lapisan mengakibatkan lapisan terdekatnya akan terpisah menjadi lapisan
alumino silikat interkalan-alumino silikat.
2.4.1 Pilarisasi
Pilarisasi adalah proses dimana senyawa berlapis baik material mikro
dan/atau mesopori dirubah menjadi bersifat stabil terhadap panas, dengan cara
tetap mempertahankan struktur berlapisnya (Schoonheydt et al., 1999). Terdapat 3
kriteria dalam pemilaran, yaitu (i) terjadi melalui proses interkalasi, umumnya
dengan proses tukar kation pada interlayer anorganik dengan kationik agen
pemilar, serta mengakibatkan peningkatan d001 spacing sekurang-kurangnya 0,7
nm, (ii) material yang terpilar harus mampu mengembang (swelling), dan (iii)
basal spacing tidak berubah walaupun materi dipanaskan sekurang-kurangnya
200o C (pada beberapa kasus hingga 700-800
oC), dalam kondisi hidrat atau
anhidrat dan ketika pH divariasikan (Bergaya et al,. 1995). Mekanisme pilarisasi
dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Mekanisme pilarisasi (Sumber: Vercauteren, S. et al., 1996)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2.5 Polielektrolit
Polielektrolit adalah polimer yang merupakan pengulangan dari beberapa
grup elektrolit. Grup ini akan terdisosiasi dalam air, dan mengakibatkan polimer
bermuatan. Polielektrolit mempunyai sifat yang mirip dengan elektrolit (garam)
dan polimer (molekul berbobot besar), oleh karena itu polielektrolit juga sering
disebut polysalts.(M. Hess, et al., 2006)
2.5.1 Muatan polielektrolit
Asam dapat diklasifikasikan sebagai asam lemah atau kuat (begitu juga
dengan basa). Demikian juga terjadi untuk polielektrolit dapat dibedakan menjadi
lemah dan kuat. Polielektrolit kuat adalah yang terdisosiasi sempurna dalam
larutan yang mempunyai range pH luas. Polielektrolit lemah jauh berbeda sifatnya
dengan yang kuat, ia mempunyai konstanta disosiasi (pKa atau pKb) dalam
daerah 2 sampai 10, ini berarti akan terjadi disosiasi parsial dalam pH
intermediate. Jadi polielektrolit lemah tidak akan bermuatan sepenuhnya dalam
larutan dan fraksi muatan mereka dapat dimodifikasi dengan merubah pH larutan,
counter ion atau kuatnya ionik dalam larutan.
2.5.2 Konformasi polielektrolit
Konformasi polimer dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu arsitektur
polimer, afinitasnya terhadap pelarut, dan muatan polielektrolit. Rantai polimer
linear yang tak bermuatan selalu ditemukan dalam bentuk konformasi acak dalam
larutan, sedangkan dalam rantai linier polielektrolit yang bermuatan akan menolak
satu sama lain (gaya Coulomb). Hal ini mengakibatkan rantai menjadi lebih
terekspansi, konformasi menjadi seperti batang yang rigid. Jika larutan
mengandung sejumlah garam dalam jumlah tepat, muatan polielektrolit akan
ternetralkan dan akibatnya rantai polielektrolit akan kollaps menjadi konformasi
yang biasa. Konformasi polimer tentu mempengaruhi banyak hal pada sistem bulk
(seperti viskositas, turbiditas, dll). (R. Podgornik, M. Lier. 2006) Gambaran
polielektrolit yang menempel pada substrat dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2.5.3 Poly Diallyl Dimethyl Ammonium (PDDA)
Poly [diallyl(dimethyl)ammonium chloride] merupakan jenis polielektrolit
bermuatan positif, atau sering disebut polikation. Formula kimia monomer diallyl
dimethyl ammonium ini adalah C8H16N. Struktur PDDA dapat dilihat pada
Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Struktur PDDA (sumber: http://mits.nims.go.jp)
PDDA merupakan polimer kationik yang larut dalam air. Di dalam air,
molekulnya berbentuk coil. Material ini mempunyai bentuk amina siklik dan
terdapat amina kuarterner sebagai amina kuarterner klorida. Kemampuan untuk
memodifikasi permukaan dan menyediakan karakter kationik memungkinkan
peneliti menggunakan PDDA untuk menarik muatan negatif secara selektif
sehingga terikat pada permukaan yang terlapisi PDDA. Ikatan antara molekul
n
Gambar 2.5. Gambaran polielektrolit yang menempel pada substrat
(http://www.imtek.de/cpi/polyelectrolyte-brushes.php)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
negatif dengan PDDA akan mengurangi kelarutan dari polimer kationik ini (Goo
Soo Lee, et al., 2001).
2.6 Surfaktan
Surfaktan atau dalam bahasa Inggris disebut Surfactant (surface active
agent) adalah zat yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan
permukaan sistem tersebut jika diberikan dalam konsentrasi rendah. Struktur
surfactant terdiri dari dua bagian, yaitu bagian ekor dan kepala. Bagian ekornya
ialah bagian hidrofobik atau tidak suka air, yang artinya dibutuhkan energi yang
besar untuk melakukan kontak dengan air. Bagian ekor ini terbentuk dari rantai
karbon, yang sifatnya jika makin panjang makin baik untuk menangkap kotoran
non polar. Bagian kepala merupakan bagian yang hirofilik atau menyukai air,
yang artinya tidak diperlukan energi yang besar untuk melakukan kontak dengan
air (Salanger, 2002).Struktur surfactant diperlihatkan pada Gambar 2.7.
Muatan yang terkandung pada kepala surfactant menentukan jenis
surfactant itu sendiri. Jenis-jenis surfactant:
a. Anionik membawa muatan negatif, contoh: Sodium Dodesyl Sulfate
(SDS) CH3(CH2)11OSO3-Na
+, Natrium Stearat CH3(CH2)16COO
-Na
+, dan
Sodium Dodecyl Benzene Sulfonate C12H25C6H4SO3-Na
+
Gambar 2.7 Struktur surfactant (www.naturallycurly.com)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
b. Kationik membawa muatan positif, contoh: Dodesilamin Hidroklorida,
[CH3(CH2)11NH3]+Cl
-, Dodesiltrimetil Amonium Bromida
[CH3(CH2)15N(CH3)3]+Br
-, Heksadesil Trimetilamonium Bromida
(HDTMA-Br) [C16H33N(CH3)3]+Br
-, dan Oktadesil Trimetilamonium
Bromida (ODTMA-Br) [C18H37N(CH3)3]+Br
-.
c. Zwitterionik membawa muatan positif dan negatif, contoh: Dodesil
Betain, CH3(CH2)11NHCH2CH2COOH.
d. Nonionik tidak bermuatan, contoh: Tergitol, C9H19C6H4O(CH2-
CH2O)40H, Poliostilen laurel eter, dan C12H25O(C2H4O)8H.
2.6.1 N-Cetyl-N,N,N-Trimethyl-Ammonium Bromide (CTAB)
Memiliki nama lain N,N,N-Trimethyltetradecylammonium Bromide; N-
Hexadecyl-N,N,N-Trimethylammonium Bromide; N-Hexadecyl Trimethyl
Ammonium Bromide; Palmityl Trimethyl Ammonium Bromide; Trimethyl
Hexadecyl-Ammonium Bromide; 1-Hexadecanaminium, N,N,N-Trimethyl-
,Bromide.
CTAB merupakan surfaktan kationik dengan rumus molekul C19H42BrN.
Penggunaannya sebagai materi yang membantu proses pilarisasi bentonit dengan
Al telah banyak dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai basal spacing
(Zhu, Runliang et al., 2009). Struktur dan ukuran CTAB dapat dilihat pada
Gambar 2.8 dan 2.9.
Gambar 2.8 Struktur CTAB (Sumber: Zhu, Jianxi, et al., 2011)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Gambar 2.9 Ukuran CTAB ( Sumber: Runliang Zhu, et al., 2009)
2.6.2 Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate (SDBS)
SDBS (Sodium Dodecyl Benzene-Sulfonate) merupakan salah satu jenis
surfaktan yang digunakan sebagai bahan dasar deterjen, penggunaanya berkurang
sampai ditemukannya jenis surfaktan baru yang dianggap lebih ramah lingkungan
seperti LAS (Krueger, C.J, et al., 1998, dan Nielsen, et al., 1997). Akan tetapi
berdasarkan data dari US EPA (Environmental Protection Agency) registration
products, diketahui bahwa SDBS masih banyak digunakan dalam produk-produk
seperti beberapa merk deterjen, pestisida, fungisida, dan desinfektan. SDBS
selaku salah satu jenis surfaktan, memilik sifat layaknya deterjen karena bahan
dasar deterjen yang memang sebagian besar terdiri dari surfaktan. Keberadaan
limbah ini dalam air dapat membahayakan lingkungan dan membunuh makhluk
hidup air yang ada di dalamnya karena dapat mengurangi kadar oksigen dalam air
dan mengganggu kerja enzim organisme di dalamnya, contohnya ikan (Mautidina,
2000 dan Varley, 1987). SDBS memiliki rumus molekul C18H29NaO3S dan
berbentuk garam tidak berwarna. Struktur SDBS dapat dilihat pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Struktur SDBS(sumber: Salanger, 2002)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2.7 Instrumen Karakterisasi
2.7.1 XRF (X-Ray Flourescence)
XRF merupakan instrumen yang dapat menganalisa unsur-unsur dalam
suatu senyawa. Instrumen terdiri dari sumber radiasi, tempat sampel, dan detektor.
Prinsip kerja XRF dapat dilihat pada Gambar 2.11. Elektron pada kulit dalam
dieksitasi oleh foton dalam wilayah sinar X. Saat terjadi proses deeksitasi,
elektron berpindah dari tingkat energi tinggi untuk mengisi kekosongan pada kulit
dalam. Perbedaan energi diantara kedua kulit atom tersebut muncul sebagai suatu
sinar X yang diemisikan atom. Spektrum sinar X yang berasal dari proses tersebut
muncul sebagai peak yang khas. Energi tiap peak dapat digunakan untuk
identifikasi unsur yang ada dalam sampel (analisa kualitatif) sedangkan intensitas
peak memberikan informasi kadar unsur (analisa kuantitatif) (Gunlazuardi, 2010).
Gambar 2.11. Skema kerja XRF (Sumber: http://www.goldtester.in/introduction-
of-XRF-technology.html)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2.7.2 Spektrofotometri Infra Merah (FTIR)
Instrumen FTIR menggunakan sumber radiasi dalam kisaran inframerah
(bilangan gelombang = 4000-400 cm-1
). Radiasi dalam kisaran energi ini sesuai
dengan kisaran frekuensi vibrasi rentangan (stretching) dan vibrasi bengkokan
(bending) ikatan kovalen dalam kebanyakan molekul. Bila molekul menyerap
radiasi inframerah, energi yang diserap menyebabkan kenaikan amplitudo vibrasi
atom-atom yang saling berikatan. Panjang gelombang eksak absorbsi oleh suatu
tipe tertentu ikatan, bergantung pada jenis vibrasi ikatan tersebut. Oleh karena itu
tipe ikatan yang berbeda (C-H, C-C, C-O dll) menyerap radiasi inframerah pada
panjang gelombang berbeda.
Instrument FTIR terdiri sumber cahaya (Nerst glower atau Globar),
monokromator, detektor, dan sistem pengolah data (komputer). Spektum yang
dihasilkan merekam panjang gelombang atau frekuensi versus % T. (Oxtoby,
2002).
2.7.3 Difraksi Sinar-X (XRD)
Max von Laude menyatakan bahwa kristal dapat digunakan sebagai kisi
tiga dimensi untuk difraksi radiasi elektromagnetik. Ketika radiasi
elektromagnetik melewati suatu materi, terjadi interaksi dengan elektron dalam
atom dan sebagian dihamburkan ke segala arah. Dalam beberapa arah, gelombang
berada dalam satu fasa dan saling memperkuat satu sama lain sehingga terjadi
interferensi konstruktif sedangkan sebagian tidak satu fase dan saling meniadakan
sehingga terjadi interferensi destruktif (Gunlazuardi, 2005).
Interferensi konstruktif tergantung pada jarak antar bidang (d), besar sudut
difraksi () dan berlangsung hanya apabila memenuhi hukum Bragg :
n = 2d sin n= 1, 2, 3,
2.7.4 UV-Vis Spektrofotometer
Molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis karena
mengandung elektron yang dapat dieksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Spektrofotometer UV-Vis dapat membaca transisi pada panjang gelombang antara
190-1000 nm. Berdasarkan hukum lambert-Beer, absorbansi berbanding lurus
dengan konsentrasi, sesuai persamaan :
A = . b. C
A = a. b. C
Radiasi yang ditembakkan pada suatu sampel ada yang diserap dan ada
yang diteruskan. Logaritma daya radiasi yang diserap per daya radiasi yang
diteruskan merupakan nilai absorbansi (Gunlazuardi, 2010). Skema alat UV-Vis
spektrofotometer dapat dilihat pada Gambar 2.12
Gambar 2.12 Skema kerja UV-Vis spectrofotometer
(Sumber: http://bouman.chem.georgetown.edu/S00/handout/spectrometer.htm)
Cara kerja instrumentasi ini relatif sederhana. Berkas sinar dari sumber radiasi UV
dan/ atau Visible dipisahkan menjadi komponen panjang gelombangnya dengan
prisma ataupun diffraction grating. Setiap berkas sinar monokromatis kemudian
akan dipilah menjadi dua bagian dengan intensitas yang sebanding oleh peralatan
half mirror. Satu berkas sinar, berkas sampel, dilewatkan melalui wadah yang
A = absorbansi = absorptivitas molar
a = absorptivitas C = konsentrasi
b = tebal kuvet
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
transparan (kuvet) yang berisi larutan senyawa yang dipelajari dalam pelarut yang
transparan. Berkas sinar lainnya, pembanding, dilewatkan melalui kuvet yang
identik dengan kuvet sampel tetapi hanya mengandung pelarutnya saja. Intensitas
berkas sinar kemudian diukur dengan detektor dan keduanya dibandingkan.
Intensitas dari berkas pembanding, dimana tentunya tidak mengalami proses
serapan (kalaupun ada cukup kecil) ditentukan sebagai berkas dengan intensitas
Io. Intensitas dari berkas sampel ditentukan sebagai I. Dalam periode waktu yang
singkat, spektrometer menscan secara otomatis seluruh komponen panjang
gelombang dalam daerah tertentu. Scan daerah UV umumnya dilakukan dari 200
s/d 400 nm, dan scan daerah Visible dilakukan dari 400 s/d 800 nm (Gunlazuardi,
2010).
2.7.5 Brunauer-Emmet-Teller (BET)
Teori BET diperkenalkan tahun 1938 oleh Stephen Brunauer, Paul Hugh
Emmett, dan Edward Teller. BET adalah singkatan dari nama ketiga ilmuwan
tersebut. Teori ini menjelaskan fenomena adsorpsi molekul gas di permukaan zat
padat. Kuantitas molekul gas yang diadsorpsi sangat bergantung pada luas
permukaan yang dimiliki zat padat tersebut. Dengan demikian, secara tidak
langsung teori ini dapat dipergunakan untuk menentukan luas permukaan zat
padat (Mikrajuddin Abdullah dan Khairurrijal. 2009).
BET menerangkan keadaan molekul yang teradsorpsi pada permukaan zat
padat melalui persamaan berikut:
dengan P adalah tekanan kesetimbangan, Po adalah tekanan saturasi, v adalah
jumlah gas yang teradsorpsi, vm adalah jumlah gas yang teradsorpsi pada satu
lapis, dan c adalah konstanta BET yang memenuhi:
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
2.7.6 Transmission Electron Microscopy (TEM)
TEM digunakan dalam analisis mikrostruktur, idnetifikasi defect, analisis
interfasa, struktur kristal, tatanan atom pada kristal serta analisa elemental pada
skala nanometer. TEM bekerja dengan prinsip menembakkan elektron ke lapisan
tipis sampel, selanjutnya informasi tentang komposisi struktur dalam sampel
tersebut dapat terdeteksi dari analisis sifat tumbukan, pantulan maupun fase sinar
elektron yang menembus lapisan tipis tersebut. Dari sifat pantulan sinar elektron
tersebut juga bisa diketahui struktur kristal maupun arah dari struktur kristal
tersebut. Bahkan dari analisa lebih detail, dapat diketahui deretan struktur atom
dan ada tidaknya cacat (defect) pada struktur tersebut. Hanya perlu diketahui,
untuk observasi TEM ini, sampel perlu ditipiskan sampai ketebalan lebih tipis dari
100 nanometer. Dan penipisan tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah, karena
memerlukan keahlian dan alat khusus. Obyek yang tidak bisa ditipiskan sampai
order tersebut sulit diproses. TEM mampu menghasilkan resolusi hingga 0,1 nm
(1 Angstrom) atau sama dengan pembesaran hingga satu juta kali.(Mikrajuddin
Abdullah dan Khairurrijal. 2009). Komponen-komponen pada TEM dapat dilihat
pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13. Komponen-komponen TEM (Sumber:
http://www.unl.edu/CMRAcfem/temoptic.htm)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium Departemen Kimia FMIPA Universitas
Indonesia pada bulan Agustus sampai November 2011
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat Proses
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain gelas piala 100 mL,
250 mL, 500 mL, dan 1000mL, labu ukur 10mL, 250 mL, 500mL, dan 1000 mL,
pipet volumetri, pipet tetes, gelas beker, batang pengaduk, botol semprot, bulb,
tabung reaksi, mortar, neraca analitik, oven, termometer, sentrifuge, sonikator,
ayakan mesh, dan magnetic stirrer, labu ukur, corong pisah.
3.2.2 Alat Uji
Alat uji yang digunakan untuk analisa dan karakterisasi adalah
spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 2450, FTIR Shimadzu IR Prestige-21,
Difraksi sinar-X (XRD) Philip PW 1710, XRF dan BET.
3.2.3 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bentonit alam
(dari Tapanuli, Sumatera Utara), aquades, dan aquabides. Digunakan pula bahan-
bahan kimia yang berkualitas pro analis dari Merck, yaitu AgNO3, NaCl, HCl,
NaOH, metilen biru, N-Cetyl-N,N,N-Trimethyl Ammonium Bromide, indikator
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
PP, H2SO4, dan kloroform. Sedangkan PDDACl dan SDBS diperoleh dari Aldrich
dengan kualitas pro analis.
3.3 Prosedur kerja
Prosedur kerja pada penelitian ini mengacu pada prosedur yang telah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Irwansyah, 2007; Putra, Agung. K, 2010 dan
Stephanie, Helen, 2011) dan jurnal internasional (Tabak,A, et al., 2007; Khalaf,
H, et al., 1996; Kahr, G., F.T. Madsen. 1994; dan Zhu,Runliang, et al., 2009)
dengan beberapa modifikasi.
3.3.1 Preparasi Montmorilonit
3.3.1.1 Preparasi Bentonit Alam
Bentonit alam yang telah digerus, dipanaskan di dalam oven pada suhu 110
0C selama 2 jam. Bentonit yang telah kering, lalu disaring menggunakan ayakan
berukuran 200 mesh dan dikarakterisasi menggunakan XRD.
3.3.1.2 Fraksinasi Sedimentasi Bentonit
Sebanyak 200 gram bentonit dimasukkan ke dalam beaker glass dan
ditambahkan 2 liter aquades. Campuran tersebut diaduk dengan stirrer selama 30
menit, kemudian didiamkan selama 5 menit. Endapan yang terbentuk dipisahkan
dengan cara dekantasi. Endapan ini disebut sebagai fraksi satu (F1). Suspensi sisa
fraksi satu didiamkan kembali selama 2 jam. Endapan yang didapat disebut
sebagai fraksi dua (F2). Endapan dari fraksi dua lalu dikeringkan dalam oven pada
suhu 110 0C sampai kering.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
3.3.1.3. Penjenuhan dengan NaCl
Bentonit fraksi dua disuspensikan ke dalam 1000 mL larutan NaCl 1 M,
kemudian distirrer selama 24 jam pada suhu 70oC. Endapan hasil dekantasi dicuci
dengan akuades hingga bebas Cl- yang dibuktikan dengan penambahan 2 tetes
AgNO3 1 M pada 10 mL filtrat sampai tidak terbentuk endapan putih AgCl.
Selanjutnya endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 110 0C. Endapan digerus
dan diayak hingga berukuran 200 mesh. Na-MMT yang diperoleh di karakterisasi
dengan XRD, BET dan FTIR.
3.3.2. Penentuan Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Sebanyak 0,5 gr Na-MMT disuspensikan ke dalam 15 mL aquades dan
diaduk selama 1 jam. Ditambahkan 20 mL larutan metilen biru 0,005 M setetes
demi setetes dan disertai pengadukan dengan menggunakan pengaduk magnetic
selama 1 jam. Setelah dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring
kasar, dilakukan pengukuran absorbansi pada filtrat menggunakan UV-Vis
Spectrofotometer dengan = 667 nm. Selisih konsentrasi metilen biru sebelum
dan sesudah dicampurkan dengan Na-MMT digunakan untuk menghitung nilai
KTK. Dibuat deret standar dari metilen biru dengan konsentrasi 3x10-8
, 5x10-8
,
8x10-8
, 1x10-7
, 3x10-7
, 5x10-7
, 8x10-7
, 1x10-6
, dan 5x10-6
M.
3.3.3. Proses Pilarisasi Montmorilonit
Membuat larutan polikation Al dengan cara menambahkan secara perlahan
660 mL NaOH 0,2 M ke dalam 300 ml AlCl3.6H2O 0,1 M (rasio OH/Al 2,2)
sambil dilakukan pengadukan, lalu larutan di aging selama 2 hari. Di tempat
terpisah, dibuat larutan CTAB 2% (20 gr dalam 1000 ml). Selanjutnya dilakukan
penimbangan sebanyak 3,333 gr Na-MMT (agar proporsi Al/MMT yang didapat
sebanyak 9 mmol/gr), untuk selanjutnya dibuat 2% suspensi Na-MMT dengan
melarutkannya pada 166,665 ml aquades dan diaduk menggunakan stirrer
magnetik. Proses pilarisasi kemudian dilakukan dengan mencampurkan larutan
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
CTAB dan polikation Al secara perlahan-lahan ke dalam suspensi Na-MMT,
kemudian diaduk selama 24 jam. Sebagai pembanding, dibuat juga campuran
polikation Al dan Na-MMT tanpa penambahan CTAB. Endapan disaring dan
dicuci sampai sisa Cl- hilang (negatif terhadap uji AgNO3), lalu endapan
dikeringkan pada suhu 40 C selama 3 hari dan dikalsinasi secara bertahap sampai
600 C selama 3 jam. Padatan yang didapat dari pilarisasi menggunakan CTAB
dan polikation Al kemudian dinamakan Al-Montmorilonit (Al(CTAB)-MMT) dan
yang hanya dipilarisasi oleh polikation Al, dinamakan Al-MMT. Selanjutnya
Al(CTAB)-MMT dan Al-MMT dikarakterisasi dengan FTIR, XRD dan BET.
3.3.4. Pembuatan PMAM (Polymer Modified Al(CTAB)-MMT)
Dibuat larutan PDDACl; 0,04M NaCl dengan cara menambahkan 0,117 gr
NaCl pada masing-masing larutan PDDACl yang kemudian diencerkan
bersamaan pada labu 50 ml untuk mencapai konsentrasi PDDACl yang
diinginkan, yaitu PDDACl 1x10-5
, 1x10-4
, 5x10-4
, dan 1x10-3
M. Mencampurkan
masing-masing 12,5 ml larutan PDDACl;0,04M NaCl ke dalam 0,5 gr Al(CTAB)-
MMT, dan di tempat terpisah juga dilakukan pencampuran antara
PDDACl;0,04M NaCl dengan Na-MMT dan Al-MMT (sebagai pembanding).
Campuran kemudian diaduk selama 8 jam dan diendapkan semalaman. Endapan
didekantasi dan dipisahkan dari filtratnya melalui proses penyaringan dengan
menggunakan kertas saring kasar dan dicuci dengan 10 ml aquabides untuk
selanjutnya dikeringkan pada suhu ruang dan ditimbang hingga bobotnya tetap.
Hasil endapan dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR, dan konsentrasi
PDDACl optimum dapat ditentukan dengan melihat luas puncak serapan N-R
yang paling besar pada karakterisasi dengan FTIR dan dengan melalui
perbandingan intensitas puncak serapan N-R dengan puncak serapan pembanding.
3.3.5 Aplikasi PMAM Sebagai Adsorben Surfaktan SDBS
Pada 50 mg PMAM dengan konsentrasi PDDACl optimum, ditambahkan 10
ml larutan surfaktan SDBS dengan variasi konsentrasi 5x10-5
, 1x10-4
, 5x10-4
,
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
1x10-3
, 5x10-3
,dan 1x10-2
M. Campuran diaduk selama 120 menit, dan diendapkan
semalaman. Endapan didekantasi lalu disaring, dan filtrat disentrifugasi selama 1
jam. Konsentrasi optimum ditentukan dengan menentukan absorbansi pada filtrat
(konsentrasi yang tidak terserap) dengan menggunakan metode MBAS (Lampiran
2), kemudian konsentrasi SDBS yang tidak terserap dapat diketahui melalui
persamaan yang didapat dari kurva standar SDBS yang juga dibuat melalui
metode MBAS. Pada konsentrasi optimum SDBS, dilakukan pencampuran lagi
dengan PMAM dan digunakan variasi waktu pengadukan. Range waktu
pengadukan yang digunakan yaitu 15, 45, 75, 120, dan 180 menit. Campuran
diendapkan semalaman, lalu disaring dan filtrat disentrifugasi selama 1 jam.
Konsentrasi SDBS yang tidak terserap ditentukan dengan mengukur absorbansi
filtrat menggunakan metode MBAS. Untuk perbandingan, dilakukan juga
pencampuran PMNM dan PMAMt (dari hasil pilarisasi Al-MMT) pada SDBS
dengan kondisi optimum. Endapan hasil kemudian dikarakterisasi dengan FTIR,
dan adsorpsi SDBS dianalisa menggunakan isoterm adsorpsi Langmuir dan
Freundlich.
3.3.6 Pengujian Kekuatan Ikatan antara PDDA (dalam PMAM) dengan
SDBS
Pada endapan PMAM yang telah mengadsorp SDBS dalam kondisi
optimum, dilakukan penambahan HCl 1x10-3
M hingga terbentuk larutan dengan
pH 3,06; 4,37; dan 4,86. Untuk setiap variasi pH, ditambahkan 2 ml HCl ke dalam
10 mg endapan, kemudian diaduk selama 45 menit dan disentrifugasi. Pencucian
dengan HCl dilakukan 2x untuk masing-masing kondisi pH. Filtrat dipisahkan dan
konsentrasi SDBS yang mampu ditarik oleh HCl ditentukan dengan mengukur
absorbansi filtrat melalui metode MBAS dan memasukkan nilai absorbansi
tersebut ke dalam kurva standar SDBS.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Preparasi Montmorilonit
Sebelum bentonit digunakan lebih lanjut, dilakukan terlebih dahulu
perlakuan terhadap bentonit melalui 3 tahap preparasi yaitu preparasi bentonit,
fraksinasi, dan penjenuhan dengan NaCl yang kemudian ditentukan nilai kapasitas
tukar kationnya. Tahapan preparasi montmorilonit bertujuan untuk memperoleh
Na-MMT (Na-exchange Montmorilonit) yang kemudian akan digunakan pada
tahapan-tahapan selanjutnya.
4.1.1 Preparasi bentonit alam
Tahapan pertama pada proses preparasi montmorilonit adalah preparasi
bentonit alam yang bertujuan untuk mempersiapkan bentonit alam yang masih
banyak mengandung pengotor di dalamnya agar siap digunakan untuk proses
selanjutnya. Pada tahap preparasi, bentonit digerus dan dipanaskan pada suhu 110
oC selama 2 jam guna menghilangkan air dan pengotor organik yang mudah
menguap. Bentonit yang telah kering, diayak menggunakan ayakan 200 mesh agar
ukuran bentonit menjadi kecil dan seragam. Ukuran yang semakin kecil akan
membuat luas permukaan bentonit menjadi lebih besar dan semakin banyak zat
yang mampu diserap, sedangkan penyeragaman ukuran bertujuan untuk membuat
proses penyerapan yang terjadi juga seragam.
4.1.2 Fraksinasi
Setelah tahapan preparasi, pada bentonit dilakukan fraksinasi agar
didapatkan fraksi yang kaya akan montmorilonit. Fraksi yang kaya akan
montmorilonit akan membuat proses adorpsi lebih optimal, karena montmorilonit
adalah mineral utama dalam bentonit yang berperan dalam proses adsorpsi dan
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
menentukan sifat serta kualitas dari bentonit itu sendiri. Oleh karena itu,
pengotor-pengotor lain seperti kalsit, kuarsa, klinoptilolit, besi oksida, feldspars
dan asam humat yang masih terdapat dalam bentonit alam harus dihilangkan
terlebih dahulu melalui pemurnian baik secara fisika maupun kimia (Adel Fisli, et
al., 2008). Proses fraksinasi termasuk ke dalam proses pemurnian secara fisika,
dimana mineral-mineral yang memiliki massa jenis lebih besar akan mengendap
terlebih dahulu dan selanjutnya dipisahkan dari fraksi yang kaya akan
montmorilonit yang masih membentuk suspensi di atas permukaan endapan.
Montmorilonit akan mengendap lebih lama karena adanya ikatan yang lebih kuat
antara lapisan silikat di dalam montmorilonit dengan air (Oktaviani, 2011). Pada
penelitian ini tidak dilakukan pemurnian secara kimia seperti purifikasi karbonat
karena berdasarkan hasil penelitian Irwansyah pada tahun 2007, diketahui bahwa
perlakuan kimia pada bentonit dapat merusak struktur bentonit dan mengurangi
kandungan montmorilonit. Proses fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Fraksi 2 (F2) setelah diendapkan selama 2 jam
4.1.3 Penjenuhan dengan NaCl
Di dalam interlayer montmorilonit yang berasal dari bentonit alam, masih
terdapat beraneka ragam kation seperti Li+, Mn
2+, Pb
2+, dan Ca
2+ yang berfungsi
sebagai penyeimbang muatan untuk montmorilonit yang bersifat negatif, ukuran
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
kation-kation yang berbeda tersebut mengakibatkan ukuran interlayer tidak
seragam, sehingga diperlukan penyeragaman kation melalui proses tukar kation
yang semula beragam menjadi Na+. Proses tukar kation dengan Na
+ dapat dilihat
pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Proses tukar kation dengan Na+
(Sumber: Oktaviani, 2011, dengan modifikasi)
Proses penyeragaman kation pada penelitian ini dilakukan melalui
penjenuhan dengan NaCl 1M pada fraksi 2 (F2) dengan suhu 70 oC selama 24
jam. NaCl ditambahkan dengan perbandingan (F2:NaCl) 1:20 untuk memberi
kesempatan Na-MMT mengembang/swelling secara maksimal. Proses
penjenuhan dengan NaCl dapat dilihat pada Gambar 4.3
Gambar 4.3 Proses penjenuhan dengan NaCl
Na+
Kation keluar
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Penyeragaman dengan kation Na sangat penting untuk membuat
montmorilonit bersifat swelling, sehingga memudahkan masuknya polikation Al
dalam proses pilarisasi. Sifat swelling yang dihasilkan oleh Na-MMT diakibatkan
karena ion Na+ yang berada di permukaan bentonit akan berasosiasi dengan
daerah yang mengalami defisiensi muatan positif pada salah satu lembar saja,
sehingga di antara lembaran akan terpisah cukup jauh dan memungkinkan
interaksi dengan air lebih banyak dan meningkatkan kestabilan (Irwansyah, 2007).
Proses swelling Na-MMT dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Proses swelling Na-MMT (Sumber: Nelson, 2011)
Hasil endapan disaring dan dicuci menggunakan aquades hingga tidak
lagi mengandung ion Cl- yang dibuktikan dengan hasil negatif terhadap pengujian
dengan AgNO3 1 M. Hasil pengujian dengan AgNO3 pada filtrat yang masih
mengandung Cl- dan pada filtrat yang telah bebas dari Cl
- dapat dilihat pada
Gambar 4.5.
Ion Cl- harus dipastikan tidak ada lagi di dalam montmorilonit karena
keberadaannya dapat mengganggu proses selanjutnya. Polikation Al dan CTAB
yang akan digunakan pada proses selanjutnya memiliki muatan positif dan
diharapkan mengalami proses tukar kation untuk berikatan dengan montmorilonit
yang bermuatan negatif. Adanya ion Cl- menyebabkan polikation Al dan CTAB
akan berikatan dengan ion Cl- dan bukan langsung berikatan dengan
montmorilonit. Oleh karena itu, ion Cl- harus dipastikan benar-benar hilang dari
Na-MMT.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Gambar 4.5. Hasil uji dengan AgNO3 1 M pada filtrat yang masih mengandung
Cl- (kiri) dan yang sudah bebas Cl
- (kanan)
Endapan selanjutnya dikeringkan pada suhu 110 oC untuk menghilangkan
air dan diayak kembali dengan ayakan 200 mesh agar ukurannya kembali
seragam, lalu dikarakterisasi menggunakan XRD dan FTIR. Hasil penjenuhan
dengan NaCl dinamakan Na-MMT. Perbedaan secara fisik antara bentonit alam
dan Na-MMT tidak terlalu terlihat jelas, dimana Na-MMT terlihat sedikit lebih
pucat dibandingkan dengan bentonit alam. Hal ini disebabkan karena pengotor-
pengotor yang semula terdapat dalam bentonit alam sudah dibersihkan. Tampilan
fisik bentonit alam dan Na-MMT dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6. Tampilan fisik bentonit alam (kiri) dan Na-MMT (kanan)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
4.1.4 Karakterisasi bentonit alam dan Na-MMT
Karakterisasi dilakukan menggunakan XRD dan FTIR untuk mengetahui
morfologi bentonit alam dan Na-MMT yang kemudian akan berguna sebagai
karakterisasi awal atau pembanding dari produk-produk yang akan dihasilkan
pada tahapan selanjutnya.
4.1.4.1 Karakterisasi dengan XRD
Gambar 4.7 menggambarkan pola difraksi bentonit alam dan Na-MMT.
Pada difraktogram tersebut terlihat bahwa tidak terdapat perubahan signifikan
antara bentonit alam dengan Na-MMT yang diperjelas dengan rangkuman pada
Tabel 4.1 yang menunjukkan sudut 2 dari bentonit alam dan Na-MMT.
Gambar 4.7. Difraktogram XRD bentonit alam dan Na-MMT
Database montmorilonit pada Tabel 4.1 diperoleh dari Batan dengan melihat
database montmorilonit yang digunakan pada instrumen XRD yang digunakan
yaitu Philip PW 1710, sehingga dengan mencocokkan nilai 2 pada difraktogram
bentonit alam dan Na-MMT dengan 2 pada database montmorilonit, dapat
diketahui puncak mana saja yang menunjukkan puncak khas dari montmorilonit
10 20 30 40 50 600
100
200
300
Na-MMT Bentonit alam
2 theta
inte
nsi
tas
(a.u
)
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
pada difraktogram tersebut, sedangkan untuk penentuan karakteristik puncak khas
dari SiO2, kuarsa dan analcime, digunakan database dari penelitian yang
dilakukan oleh Adel Fisli, et al. yang juga melakukan pengukuran XRD di Batan.
Tabel 4.1. Tabel puncak difraktogram XRD pada bentonit alam dan Na-MMT
2
Karakteristik Database
Montmorilonit
Bentonit
alam Na-MMT
6,494 5,7951 6,239 Montmorilonit
17,17 17,3741 - Montmorilonit
19,891 19,903 19,6195 Montmorilonit
22,0816 21,7187 SiO2
26,72 26,4125 Kuarsa
28,5701 - Analcime
35,022 35,0301 35,9802 Montmorilonit
36,2531 - Montmorilonit
54,231 54,5346 54,0836 Montmorilonit
Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa pembuatan Na-MMT tidak menyebabkan
perubahan struktur pada montmorilonit yang ditandai dengan puncak 2 yang
masih menunjukkan puncak khas montmorilonit dan SiO2 yang merupakan
penyusun kerangka dasar dari montmorilonit. Selain itu pembuatan Na-MMT juga
berhasil menghilangkan sebagian pengotor seperti analcime sehingga tidak terlihat
adanya puncak khas analcime pada Na-MMT. Namun ternyata masih terdapat
pengotor berupa kuarsa yang belum dapat dihilangkan dari Na-MMT,
kemungkinan hal ini disebabkan karena kerangka dasar kuarsa yang juga terdiri
dari SiO2 sehingga membuatnya agak sulit dipisahkan dari montmorilonit.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adel Fisli, et al. keberadaan kuarsa
akan secara signifikan berkurang dari bentonit pada saat isolasi fraksi 3 yang
didapatkan dengan cara mengendapkan kembali sisa supensi yang belum
mengendap pada fraksi 2.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Puncak spektrum pada daerah sudut kecil (biasanya antara 2: 3-9),
merupakan ciri khas montmorilonit yang berasal dari difraksi bidang d001 atau
yang dikenal dengan bidang ruang basal/basal spacing (Adel Fisli, et al., 2007).
Puncak pada daerah tersebut akan menentukan besarnya basal spacing atau ruang
antar lapis, dan perhitungannya dikenal sebagai hukum Bragg dengan persamaan:
n = 2dsin
Dengan nilai = 1,5406 yang dihasilkan dari sumber sinar Cu yang
digunakan , nilai orde difraksi n = 1, dan puncak 2 dari bentonit alam dan Na-
MMT yaitu 5,7951 dan 6,239, maka berdasarkan perhitungan pada Lampiran 3b
dan 4b dapat diketahui nilai basal spacing pada bentonit alam adalah 15,2383
atau 1,52383 nm dan untuk Na-MMT adalah 14,15507 atau 1,415507 nm.
Terjadi pergeseran nilai basal spacing menjadi nilai yang lebih kecil kemungkinan
disebabkan karena sebagian besar ruang antar lapis (interlayer) pada bentonit
alam diisi oleh kation Ca2+
yang dibuktikan dengan pengukuran menggunakan
XRF (Lampiran 3) . Ukuran ion Ca2+
lebih besar dari Na+, dengan jari-jari ion
0,099 nm untuk Ca2+
dan 0,095 nm untuk Na+, sehingga ruang antar lapis pada
bentonit alam yang sebagian besar masih mengandung Ca2+
lebih besar
dibandingkan dengan Na-MMT yang sebagian besar kation pada ruang antar
lapisnya telah digantikan dengan Na+
. Perbandingan nilai jari-jari ion dan atom
pada tabel periodik dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Ion Na+ mampu menggantikan Ca
2+ yang bermuatan dan berukuran lebih
besar karena pada pembuatan Na-MMT, dilakukan penambahan NaCl dalam
konsentrasi besar. Konsentrasi Na+ yang besar sangat diperlukan karena tiap 1 ion
Ca2+
akan digantikan oleh 2 ion Na+.
Ion Na+ mampu menggantikan Ca
2+ yang bermuatan dan berukuran lebih
besar karena pada pembuatan Na-MMT, dilakukan penambahan NaCl dalam
konsentrasi besar. Konsentrasi Na+ yang besar sangat diperlukan karena tiap 1 ion
Ca2+
akan digantikan oleh 2 ion Na+.
Modifikasi bentonit..., Deagita Yolani, FMIPA UI, 2012
Gambar 4.8. Ukuran ion dan atom dalam tabel periodik
(sumber: http://boomeria.org/chemlectures/textass2/firstsemass.html)
4.1.4.2 Karakterisasi dengan FTIR
Spektra FTIR bentonit alam dan Na-MMT diperlihatkan pada Gambar 4.9.
Dari Gambar 4.9 terlihat bahwa pada Na-MMT tidak muncul puncak baru bila
dibandingkan dengan bentonit alam. Hal ini menjadi dasar yang menguatkan
kesimpulan sebelumnya dari data XRD yang menunjukkan struktur montmorilonit
tidak rusak selama pembentukan Na-MMT. Spektrum FTIR bentonit alam dan
Na-MMT masih menunjukkan puncak serapan pada 3635,82 cm-1
yang
menunjukkan vibrasi regang dari Al(Mg)-O-H, lalu pada 1635 cm-1
Recommended