View
240
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
DIMENSI DAN SISTEM PERAKARAN SENGON
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DI DESA CIKARAWANG
KECAMATAN DRAMAGA, KABUPATEN BOGOR
RUMMI AZAHRA GUMILAR
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dimensi dan Sistem Perakaran
Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) di Desa Cikarawang, Kecamatan
Dramaga, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Rummi Azahra Gumilar
NIM E44100035
ABSTRAK
RUMMI AZAHRA GUMILAR. Dimensi dan Sistem Perakaran Sengon
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO.
Tanaman sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) merupakan salah
satu tanaman kehutanan yang saat ini banyak dikembangkan dalam hutan rakyat
dan banyak diminati untuk bahan baku industri. Namun kebanyakan
pengembangannya belum diikuti dengan penggunaan lahan dengan sistem
agroforestri, sehingga pemanfaatan lahan menjadi kurang optimal. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji dimensi tanaman sengon, persen penutupan tajuk, dan
sistem perakaran sengon pada berbagai jarak tanam. Jarak tanam yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu 2 x 2 m, 3 x 3 m, dan 3 x 4 m. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dimensi tanaman (diameter setinggi dada, tinggi total, panjang
tajuk, lebar tajuk) terbaik ditemukan pada jarak tanam 3 x 3 m. Namun, persentase
penutupan tajuk terbesar ditemukan pada jarak tanam 2 x 2 m. Variabel panjang
akar horizontal memiliki hasil yang berbeda dengan variabel sistem perakaran
lainnya. Panjang akar horizontal terpanjang ditemukan pada jarak tanam 3 x 4 m,
sedangkan untuk kedalaman akar horizontal, fraksi akar horizontal, dan shoot-root
ratio terbesar ditemukan pada jarak tanam 3 x 3 m.
Kata kunci : Agroforestri, dimensi tanaman, Paraserianthes falcataria (L.)
Nielsen., sistem perakaran
ABSTRACT
RUMMI AZAHRA GUMILAR. Dimensions and Rooting System of Sengon
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) in Cikarawang Village, Bogor District.
Supervised by NURHENI WIJAYANTO.
Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) is one of tree species which
is currently developed on a wide scale in community forests and highly demanded
as raw industrial material. However, most of sengon plantation has not been
followed by agroforestry system land use, so that the land becomes less productive.
This study aims to identify the dimensions of sengon plants, percent canopy closure,
and the root system at different spacing. Spacing used in this study are 2 x 2 m, 3 x
3 m, and 3 x 4 m. The results showed that the plant parameters; diameter at breast
height, total height, crown length and crown width best found at 3 x 3 m spacing.
However, the largest percentage of canopy closure was found at a spacing of 2 x 2
m. Variable of horizontal root length have different results with other root system
variables. The length of the longest horizontal roots were found at a spacing of 3 x
4 m, whereas for horizontal root depth, horizontal root fraction, and shoot-root ratio
were found at greatest spacing of 3 x 3 m.
Keyword: Agroforestry, Paraserianthes falcataria (L) Nielsen, plant dimension,
rooting system
DIMENSI DAN SISTEM PERAKARAN SENGON
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) DI DESA CIKARAWANG
KECAMATAN DRAMAGA, KABUPATEN BOGOR
RUMMI AZAHRA GUMILAR
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Dimensi dan Sistem Perakaran Sengon (Paraserianthes falcataria
(L.) Nielsen) di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor
Nama : Rummi Azahra Gumilar
NIM : E44100035
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan skripsi yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014, dengan judul Dimensi
dan Sistem Perakaran Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) di Desa
Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Dalam penelitian ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan
kepada semua pihak yang telah memberikan arahan dan bimbingannya sehingga dapat
terselesaikannya penyusunan skripsi ini dengan lancar, terutama kepada Prof Dr Ir
Nurheni Wijayanto, MS selaku dosen pembimbing. Ayah, ibu, adik, serta seluruh
keluarga yang telah memberi doa dan dukungannya. Di samping itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada kak Adisti yang juga telah memberikan bantuan
arahan dalam penelitian ini. Kepada teman-teman satu bimbingan Kumala, Yahayu dan
Alfy, terimakasih atas segala semangat dan kebersamaannya selama penulis melakukan
penelitian hingga penyusunan skripsi. Terima kasih juga kepada Indra Cahna, Inggar,
Ayi, Uci, Devina, teman-teman Gesek Pala serta seluruh teman-teman Silvikultur 47
dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis
dalam penelitian ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk
penyempurnaan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan
ilmu dan masyarakat.
Bogor, Juli 2014
Rummi Azahra Gumilar
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Prosedur Penelitian
Penentuan Lokasi Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Pengukuran Dimensi Tegakan
Pengukuran Persentase Penutupan Tajuk
Pengukuran Intensitas Cahaya
Pengukuran Dimensi Perakaran
Analisis Data
Analisis Statistik
Teknik Pengukuran Perakaran
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Fisik dan Kimia Tanah Lokasi Penelitian
Penutupan Tajuk dan Intensitas Cahaya
Dimensi Tanaman
Sistem Perakaran
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
viii
viii
1
2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
5
5
5
8
10
12
16
16
19
DAFTAR TABEL
1 Hasil analisis sifat fisik tanah 5 2 Hasil analisis sifat kimia tanah 7 3 Rekapitulasi persen penutupan tajuk sengon 8 4 Hasil sidik ragam pengaruh jarak tanam terhadap variabel dimensi
tanaman 10 5 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap diameter setinggi dada 10 6 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap tinggi total 10
7 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap panjang tajuk 11
8 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap lebar tajuk 11
9 Hasil sidik ragam pengaruh jarak tanam terhadap variabel sistem
perakaran 12 10 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap panjang akar
horizontal 13
11 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap kedalaman akar
horizontal 13 12 Rata-rata fraksi akar horizontal pada Cikarawang 1, 2 dan 3 13
13 Rata-rata shoot-root ratio pada Cikarawang 1, 2 dan 3 14
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertambahan penduduk dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa Indonesia
akan menjadi negara yang berpenduduk sangat besar pada dekade mendatang.
Pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan kemampuan
produksi menambah beban pembangunan yang berkaitan dengan penyediaan
pangan, sandang, dan papan. Di sisi lain deforestasi dan degradasi hutan dan lahan
justru memperburuk keadaan.
Hutan berisi sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan prospek
yang baik di pasar domestik maupun internasional. Hutan memiliki potensi yang
tinggi untuk pengembangan pembangunan yang berkaitan dengan penyediaan
pangan dan papan. Maka tidak heran bila kegiatan alih fungsi lahan dan eksploitasi
sumberdaya sering dilakukan di kawasan hutan. Padahal kegiatan ini berpotensi
menyebabkan gangguan ekologis hutan seperti penurunan kesuburan tanah,
kepunahan flora dan fauna, kekeringan, dan bahkan perubahan lingkungan global.
Salah satu kebijakan kehutanan yang diambil untuk mengatasi permasalahan
tersebut adalah meningkatkan pengelolaan hutan terpadu antara pelestarian hutan
dan pembangunan hutan tanaman penghasil kayu dan pangan dengan sistem
agroforestri (Wibowo 2012).
Nair (1993) menyatakan bahwa agroforestri merupakan sistem penggunaan
lahan terpadu, yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui
pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan atau ternak (hewan),
baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari satu unit lahan tercapai
hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan. Konsep
agroforestri berarti pada penyatuan dua karakter tanaman yang berbeda di dalam
suatu lahan. Interaksi antar tanaman di dalam suatu lahan merupakan suatu hal yang
tidak bisa dihindari. Namun seringkali interaksi negatif seperti persaingan unsur
hara, air, maupun cahaya matahari menjadi kendala dalam pengembangan sistem
agroforestri.
Interaksi negatif antar tanaman pada sistem agroforestri dapat dipelajari
dengan melakukan penelitian tentang perakaran sengon. Pohon sengon dipilih
karena sudah demikian populer dikembangkan di hutan rakyat. Namun kebanyakan
pengembangannya masih dilakukan secara monokultur. Petani hutan rakyat sengon
pada umumnya menjadikan sengon sebagai tanaman tunggal di lahannya, sehingga
pemanfaatan lahan menjadi kurang optimal. Padahal tanaman sengon dapat
dikombinasikan dengan berbagai tanaman pertanian. Oleh karena itu pemilihan
jenis tanaman semusim dalam penyusunan pola agroforestri menjadi hal yang
sangat penting. Kesesuaian jenis dalam pola agroforestri dapat dilihat dari kondisi
fisiologis pohon seperti kondisi tajuk dan perakaran yang nantinya berpengaruh
terhadap pengaturan jarak tanam yang ideal (Wijayanto dan Rhahmi 2012).
Perakaran tanaman pokok dalam sistem agroforestri menjadi indikator
persaingan unsur hara dan air dengan tanaman pertanian. Oleh karena itu, perakaran
tanaman pokok dapat digunakan sebagai salah satu parameter pemilihan kombinasi
dengan tanaman pertanian.
2
Perumusan Masalah
Kegiatan alih fungsi lahan dan eksploitasi sumberdaya hutan terjadi karena
adanya peningkatan kebutuhan pembangunan sebagai upaya dalam memenuhi
ketersediaan pangan, sandang, dan papan. Hal ini menyebabkan gangguan ekologis
di dalam hutan. Solusi yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan ini
diantaranya adalah dengan menerapkan sistem agroforestri. Agroforestri sengon
memiliki peluang yang besar untuk mengatasi permasalahan lahan di Indonesia,
karena sengon merupakan jenis komersil yang sudah sangat umum dibudidayakan
untuk hutan rakyat.
Hutan rakyat sengon di Indonesia kebanyakan pengembangannya masih
dilakukan secara monokultur. Padahal sengon dapat dikombinasikan dengan
berbagai tanaman pertanian dengan memperhatikan interaksi yang terjadi antar
komponen dalam sistem agroforestri dan faktor pendukung dalam tegakan seperti
persentase penutupan tajuk, kondisi fisik dan kimia tanah, dan perkembangan
perakaran. Faktor-faktor inilah yang nantinya akan dijadikan pertimbangan dalam
pengkombinasian jenis tanaman dalam sistem agroforestri.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dimensi tegakan dan sistem
perakaran sengon, persentase penutupan tajuk dan intensitas cahaya di hutan rakyat
sengon dengan berbagai jarak tanam.
Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan
informasi karakteristik dimensi tegakan dan sistem perakaran sengon, dan dapat
mengetahui pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan sengon.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan selama 3 bulan yaitu pada bulan Januari 2014 – Maret
2014 dan berlokasi di beberapa lahan hutan rakyat sengon di Desa Cikarawang,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah tegakan
sengon berumur 3 tahun dengan jarak tanam 2x2 m (Cikarawang 1), 3x3 m
(Cikarawang 2), dan 3x4 m (Cikarawang 3). Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah golok, cangkul, hagahypsometer, kaliper, busur derajat,
meteran, pita ukur, densiometer, kompas, lux meter, kamera digital, dan alat tulis.
3
Prosedur Penelitian
Penentuan Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian dipilih dengan memperhatikan umur tegakan
dan jarak tanam tegakan sengon yang akan diamati perakarannya. Lokasi penelitian
dipilih di sekitar Kampus IPB Darmaga, tepatnya di Desa Cikarawang.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data primer dan
data sekunder. Proses pengumpulan data primer melalui pengukuran langsung di
lapangan terhadap dimensi tanaman, dimensi akar (diameter dan panjang akar), dan
persentase penutupan tajuk.
Data sekunder yang dibutuhkan adalah data lokasi penelitian meliputi data
letak dan luas, pola penggunaan lahan, topografi, data analisis sifat fisik dan kimia
tanah, kondisi iklim, dan sejarah pengelolaan lahan. Data sekunder ini berfungsi
sebagai data pendukung untuk data primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan
melalui wawancara dengan masyarakat dan studi pustaka.
Pengambilan Sampel Tanah
Pengambilan sampel tanah menggunakan metode systematic sampling
(SyS). Pengambilan sampel tanah melalui dua metode, yaitu metode tanah terusik
dan metode tanah utuh (ring contoh). Contoh tanah terusik diambil menggunakan
bor sedalam 0–20 cm. Contoh tanah ini digunakan untuk pengamatan sifat kimia
tanah dan sifat fisik tanah. Sifat fisik yang diamati pada contoh tanah terusik
meliputi tekstur, struktur dan warna tanah. Sifat fisik tanah lainnya yang diamati
melalui metode tanah utuh, yaitu bobot isi, porositas dan air tersedia. Sifat fisik dan
kimia tanah seperti pH, KTK, kandungan nutrisi berupa C-organik, N, P tersedia,
K dan unsur hara lain dianalisis di SEAMEO BIOTROP services laboratory.
Pengukuran Dimensi Tegakan
Pengukuran dimensi pohon (tinggi, diameter, dan tajuk) dilakukan pada
semua pohon sengon yang ada di dalam plot penelitian yang berukuran 20 x 20 m.
Tinggi pohon diukur dengan menggunakan hagahypsometer, diameter pohon
diukur menggunakan pita ukur, dan tajuk pohon diukur dengan menggunakan
kompas dan meteran. Pengukuran tajuk dilakukan terhadap panjang dan lebar tajuk
kemudian dirata-ratakan untuk mengetahui diameter tajuk.
Pengukuran Persentase Penutupan Tajuk
Data penutupan tajuk diperoleh dengan pengukuran menggunakan
densiometer pada jarak 30 – 45 cm dari badan pengamat dengan ketinggian sejajar
lengan. Dari masing-masing kotak yang terdapat pada densiometer dihitung
persentase bayangan langit yang dapat ditangkap cermin dengan pembobotan.
Terbuka penuh memiliki bobot 4 (100%), bobot 3 (75%), bobot 2 (50%), bobot 1
(25%), dan bobot 0 (tidak ada bayangan langit yang bisa dilihat). Pengukuran
dilakukan pada lima titik dalam masing-masing blok, yaitu pada bagian tengah dan
pada empat sisi blok. Dalam setiap titik dilakukan empat kali pengukuran yaitu pada
setiap arah mata angin (Utara, Selatan, Timur, dan Barat).
4
Data pengukuran masing-masing titik selanjutnya dirata-ratakan. Bobot
rata-rata pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus:
Ti = 𝑇1+𝑇2+𝑇3+⋯+𝑇𝑛
𝑁 𝑥 1,04
Keterangan:
Ti : Keterbukaan tajuk
Tn : Bobot pada masing-masing titik pengukuran
N : Jumlah titik pengukuran
1,04 : Faktor koreksi
Persentase penutupan tajuk (T) pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus:
T = 100-Ti (Supriyanto dan Irawan 2001).
Pengukuran Intensitas Cahaya
Pengukuran intensitas cahaya matahari dilakukan dengan menggunakan alat
lux meter. Bagian lux meter yang peka terhadap cahaya diarahkan pada pantulan
datangnya cahaya, besarnya intensitas cahaya dapat dilihat pada skala. Pengukuran
pada masing-masing tempat dilakukan di empat titik yaitu di setiap arah mata angin.
Lux meter bekerja dengan sensor cahaya. Lux meter cukup dipegang setinggi 75 cm
di atas lantai hutan. Layar penunjuknya akan menampilkan tingkat pencahayaan
pada titik pengukuran.
Pengukuran Dimensi Perakaran
Pengukuran dimensi perakaran berupa diameter dan panjang akar sengon
yang berada pada kedalaman 0-30 cm menggunakan alat cangkul, caliper dan busur
derajat sebagai penanda arah akar. Setelah perakaran tanaman terlihat kemudian
dilakukan pemisahan antara akar horizontal dengan akar vertikal. Setiap blok
diambil 6 tanaman sengon yang saling berdekatan untuk diukur. Pohon contoh yang
diambil adalah pohon yang berada di tengah blok.
Murniati (2009) menyatakan akar dikatakan sebagai akar horizontal (Hroot)
apabila sudut antara akar dan bidang vertikal lebih besar atau sama dengan 45°
(>45°). Jika sudutnya lebih kecil dari 45° (<45°) akar tersebut diklasifikasikan
sebagai akar vertikal (Vroot). Diameter akar diukur pada jarak 20 cm dari dasar
batang. Demikian pula besarnya sudut akar-akar tersebut terhadap bidang
horizontal. Shoot-root ratio dapat dikemukakan melalui perbandingan antara total
luas penampang melintang akar dengan luas penampang melintang batang. Fraksi
akar horizontal adalah perbandingan antara luas permukaan akar-akar horizontal
dengan total luas permukaan akar (horizontal dan vertikal).
Analisis Data
Analisis Statistik
Data hasil pengukuran di lapangan akan dibuat ke dalam bentuk tabel agar
mudah diolah dan dianalisa. Pengolahan data akan diolah dengan menggunakan
microsoft excel dan software SAS 9.1 Portable. Data-data ini kemudian dianalisis
dengan sidik ragam (ANOVA) dan bila terdapat pengaruh yang signifikan pada
variabel penelitian, maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan.
5
Teknik Pengukuran Perakaran
Fraksi akar horizontal dihitung dengan rumus (Murniati 2009):
Fraksi akar horizontal = ∑ 𝑑
𝑟2, 𝐻𝑟𝑜𝑜𝑡
𝑛ℎ1
∑ 𝑑𝑟2,𝑛1 𝐻+𝑉𝑟𝑜𝑜𝑡
Dimana:
nh : Jumlah akar horizontal
n : Jumlah semua akar (horizontal dan vertikal)
Shoot-root ratio dihitung dari kuadrat diameter batang (d2) dan jumlah
kuadrat semua diameter akar (Ʃ dr2, H+Vroots) dari setiap individu pohon sesuai
formula berikut:
Shoot-root ratio = 𝑑2
∑ 𝑑𝑟2 𝑛1
Dimana:
n : Jumlah semua akar (horizontal dan vertikal)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Fisik dan Kimia Tanah Lokasi Penelitian
Data hasil analisis tanah (Tabel 1 dan 2) sangat berguna untuk mengetahui
karakteristik tanah dan sebagai parameter untuk pemilihan jenis dan perlakuan yang
diperlukan tanah.
Tabel 1 Hasil analisis sifat fisik tanah
Parameter Hasil
Cikarawang 1 Cikarawang 2 Cikarawang 3
Bulk density (g/cm3) 1.11 1.23 1.15
Ruang pori total (%) 58.11 53.58 56.60
Kadar air (% volume)
PF 2.54 46.70 43.86 48.01
PF 4.20 30.56 29.51 31.56
Air tersedia (%) 16.14 14.35 16.45
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa Cikarawang 2 memiliki nilai Bulk
density yang paling tinggi. Bulk density menunjukkan perbandingan antara berat
tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Semakin
tinggi nilai Bulk density maka tanah akan semakin padat. Struktur tanah yang padat
akan menghambat laju penetrasi akar lebih dalam (Rusdiana et al. 2000) sehingga
daerah pemanjangan akar semakin pendek. Pada umumnya bulk density berkisar
dari 1.1 – 1.6 g/cm3 (Hardjowigeno 2007). Nilai bulk density pada ketiga tempat
penelitian berkisar antara 1.11 – 1.23 g/cm3, nilai ini masih tergolong wajar
sehingga tanah masih bisa mendukung pemanjangan akar. Bulk density memiliki
hubungan yang erat dengan porositas tanah. Tanah dengan porositas yang tinggi
dan tekstur yang halus menyebabkan kerapatan massa (bulk density) yang rendah.
Porositas adalah ruang pori total yang terdapat dalam satuan volume tanah
yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga merupakan indikator drainase dan
aerasi tanah. Porositas tanah di ketiga lokasi penelitian cukup tinggi. Porositas tanah
6
salah satunya dipengaruhi oleh tekstur tanah. Tanah bertekstur halus akan memiliki
persentase pori total yang lebih tinggi daripada bertekstur kasar. Ketiga tempat
penelitian diketahui memiliki tekstur liat dan liat berdebu, sehingga bisa
dikelompokkan ke dalam kelas tekstur halus. Tekstur tanah akan menentukan tata
air dan tanah yang terdiri dari kecepatan infiltrasi, penetrasi, dan kemampuan
mengikat air oleh tanah. Tanah di tempat penelitian diketahui memiliki tekstur yang
halus sehingga kemampuan mengikat airnya tinggi. Hal ini karena tanah memiliki
fraksi liat yang lebih tinggi, sedangkan fraksi liat memiliki luas permukaan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi pasir dan debu.
Kadar air tanah merupakan salah satu parameter penting dalam sistem
pengolahan tanah. Kadar air di dalam tanah, terutama di sekitar daerah perakaran
harus cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman atau berada dalam kondisi
kapasitas lapangan, agar tanaman dapat tumbuh dengan optimal, sehingga
menghasilkan produksi yang maksimal. Data kadar air yang diperlukan untuk
mengetahui kebutuhan air bagi tumbuhan adalah data kadar air tanah pada kondisi
kapasitas lapang dan titik layu permanen. Kapasitas lapang adalah keadaan tanah
yang cukup lembab yang menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan
oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi. Sedangkan titik layu permanen adalah
kandungan air tanah dimana akar-akar tanaman mulai tidak mampu lagi menyerap
air dari tanah, sehinga tanaman menjadi layu.
Banyaknya kandungan air dalam tanah berhubungan erat dengan besarnya
tegangan air (moisture tension) dalam tanah tersebut. Besarnya tegangan air
menunjukkan besarnya tenaga yang diperlukan untuk menahan air tersebut di dalam
tanah. Hardjowigeno (2007) menyatakan kandungan air pada kapasitas lapang
ditunjukkan oleh kandungan air pada tegangan 2.54 PF. Sedangkan kandungan air
pada titik layu permanen adalah pada tegangan 4.20 PF. Berdasarkan hasil analisis
sifat fisik tanah, kadar air pada kapasitas lapang di Cikarawang 1 sebesar 46.70%,
di Cikarawang 2 sebesar 43.86%, dan Cikarawang 3 sebesar 48.01%. Sementara
kadar air pada titik layu permanen di Cikarawang 1 sebesar 30.56%, di Cikarawang
2 sebesar 29.51, dan Cikarawang 3 sebesar 31.56%. Selisih kadar air antara
kapasitas lapangan dan titik layu permanen disebut air tersedia (Hardjowigeno
2007), sehingga kapasitas air tersedia di Cikarawang 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah
16.14%, 14.35%, dan 16.45%. Berdasarkan Lembaga Penelitian Tanah (1979),
kapasitas air tersedia di Cikarawang 1 dan 3 tergolong tinggi, sedangkan di
Cikarawang 2 tergolong sedang. Hal ini menunjukkan bahwa tanah masih bisa
mencukupi kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman.
7
Tabel 2 Hasil analisis sifat kimia tanah
No Parameter
Pengujian Satuan
Tempat Pengambilan Contoh Tanah
Cikarawang
1
Cikarawang
2
Cikarawang
3
1 pH 5.1 6.3 5.4
2 C Org % 1.42 1.81 1.44
3 N Total % 0.17 0.22 0.16
4 P2O5 Tersedia Ppm 1.7 5.0 3.2
5 Ca cmol/kg 7.82 14.39 8.56
6 Mg cmol/kg 2.39 2.43 2.49
7 K cmol/kg 0.22 1.48 0.27
8 Na cmol/kg 0.28 0.22 0.21
9 KTK cmol/kg 13.95 19.76 15.76
10 KB % 76.77 93.72 73.16
11 Al-Hdd me/100g 0.23 0.11 0.12
12 Pasir % 11.0 29.0 9.4
13 Debu % 42.2 28.7 42.5
14 Liat % 46.8 42.3 48.1
Informasi mengenai sifat kimia tanah juga sangat penting karena dapat
menggambarkan tingkat kesuburan tanah. Hasil pengujian sifat kimia tanah yang
tertera pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pH tanah di Cikarawang 1, 2, dan 3
berturut-turut adalah 5.1; 6.3 dan 5.4. Hasil ini menunjukkan bahwa pH tanah di
Cikarawang 2 tergolong agak masam dan Cikarawang 1 dan 3 tergolong masam.
Kandungan C organik di ketiga tempat tergolong rendah. Di Cikarawang 2 kadar N
total tergolong sedang, sedangkan di dua tempat lainnya tergolong rendah.
Kandungan P tersedia tergolong sangat rendah, namun kandungan Mg tinggi di
ketiga tempat. Kandungan Ca masuk dalam kriteria sedang – tinggi. K dalam
kriteria rendah – sangat tinggi, sedangkan Na dalam kategori rendah. Nilai KTK di
ketiga tempat masuk dalam kriteria rendah – sedang. Sedangkan KB di ketiga
tempat dalam kategori sangat tinggi. Kandungan Al di ketiga tempat berturut-turut
adalah 0.23 me/100g; 0.11 me/100g; dan 0.12 me/100g. Sedangkan berdasarkan
persentase fraksi tanah, Cikarawang 2 diketahui memiliki tekstur liat sedangkan
kedua tempat lainnya bertekstur liat berdebu.
Reaksi tanah yang dinyatakan oleh nilai pH menentukan mudah tidaknya
unsur-unsur hara diserap akar tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap
akar tanaman pada pH sekitar netral. Hasil pengujian sifat kimia tanah
menunjukkan bahwa Cikarawang 2 memiliki pH yang paling mendekati netral,
dibandingkan dengan Cikarawang 1 dan 3 yang memiliki tanah masam. Pada tanah
masam unsur P tidak dapat diserap tanaman karena difiksasi oleh Al (Hardjowigeno
2007). Hal ini terlihat dari kandungan P yang sangat rendah. Ketersediaan P yang
sangat rendah di dalam tanah menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman,
karena kekurangan unsur P dapat menghambat pembesaran sel tanaman. Selain itu
pada tanah yang masam unsur-unsur mikro menjadi lebih mudah larut dan beracun.
Cikarawang 2 memiliki nilai unsur hara yang lebih besar dibandingkan
Cikarawang 1 dan 3. Pada Cikarawang 2 kandungan unsur hara seperti N, Ca, dan
K dan nilai KTK nya lebih tinggi dibandingkan Cikarawang 1 dan 3. Nilai KTK
yang lebih besar di Cikarawang 2 juga memungkinkan tanah lebih mudah
8
menangkap dan menyediakan unsur hara lebih baik. Berdasarkan data dan literatur
yang ada maka unsur hara yang terkandung pada masing-masing tempat
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan sengon. Hal ini terlihat
dari tinggi dan diameter rata-rata pohon pada Cikarawang 2 lebih besar
dibandingkan Cikarawang 1 dan 3.
Kekurangan-kekurangan unsur hara di dalam tanah mengakibatkan
terganggunya pertumbuhan tanaman yang berakibat pada menurunnya hasil
fotosintesis. Namun tingginya kandungan Mg pada masing-masing lokasi dapat
membantu fotosintesis tetap berjalan karena Mg merupakan atom penyusun klorofil
dan berperan dalam sintesis protein (Wijaya 2008). Kandungan Mg yang tinggi
memungkinkan pembentukan klorofil yang cukup, sehingga dapat dipastikan
tanaman mampu melakukan fotosintesis yang menghasilkan asimilat untuk
pertumbuhan tanaman lebih lanjut.
Analisis tanah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mengetahui kekurangan unsur hara dalam tanah. Informasi mengenai ketersediaan
air dan unsur hara di dalam tanah sangat penting, karena dapat menjadi faktor
pembatas pertumbuhan tanaman baik dimensi pohon maupun perkembangan
perakaran. Informasi mengenai ketersediaan air dan unsur hara juga dapat dijadikan
pertimbangan dalam pemilihan jenis dalam sistem agroforestry, dan penentuan
perlakuan yang diperlukan oleh tanah. Selain dengan pengaturan jarak tanam, tanah
yang memiliki kondisi fisik dan kimia yang baik dapat menunjang pertumbuhan
tanaman dengan baik pula.
Penutupan Tajuk dan Intensitas Cahaya
Tajuk pohon merupakan faktor yang sangat menentukan pertumbuhan
tanaman semusim dalam sistem agroforestri. Tanaman semusim tidak semuanya
mampu bertahan di bawah naungan. Kerapatan tajuk menjadi salah satu faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatan ruang, karena penutupan tajuk pohon
menggambarkan intensitas cahaya yang dapat menembus sampai ke tanah. Tajuk
yang rapat akan menjadi kompetitor dominan bagi tanaman semusim dalam sistem
agroforestri. Informasi mengenai persentase penutupan tajuk dan intensitas cahaya
(Tabel 3) dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman semusim
dalam sistem agroforestri.
Tabel 3 Rekapitulasi persen penutupan tajuk sengon dan intensitas cahaya
Tempat Persentase Penutupan
Tajuk (%)
Intensitas Cahaya (Lux) x
100
Cikarawang 1 66.87 62.97
Cikarawang 2 57.26 78.02
Cikarawang 3 52.06 89.33
Berdasarkan hasil pengukuran penutupan tajuk pada Tabel 3, tempat yang
memiliki persentase penutupan tajuk yang terbesar adalah Cikarawang 1, diikuti
oleh Cikarawang 2 dan Cikarawang 3. Sebaliknya tempat yang memiliki intensitas
cahaya tertinggi adalah Cikarawang 3. Tingginya persentase penutupan tajuk di
Cikarawang 1 karena pada lokasi tersebut jarak tanamnya paling kecil yaitu 2x2 m,
sehingga tajuknya lebih rapat dan bayangan tajuk yang ditangkap densiometer lebih
banyak. Persen penutupan tajuk di Cikarawang 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah
9
66.87%, 57.26%, dan 52.06%. Sedangkan intensitas cahaya matahari yang diterima
di Cikarawang 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah 62.97 lux, 78.02 lux, dan 89.33 lux.
Tutupan tajuk yang penuh akan mengakibatkan minimnya cahaya matahari yang
sampai ke lantai hutan, sedangkan tutupan tajuk yang rendah sebaliknya. Penutupan
tajuk di ketiga tempat penelitian dapat digolongkan cukup karena persentasenya
berada dalam interval 40 – 70% (Arief 2001). Dalam keadaan penutupan tajuk
seperti ini, kompetisi dalam memperebutkan cahaya matahari antara pohon dan
tanaman semusim tidak terlalu besar. Namun pemilihan jenis tanaman semusim
yang tahan naungan tetap merupakan hal yang sangat penting dalam sistem
agroforestri, karena setiap tanaman memiliki kebutuhan cahaya yang berbeda-beda.
Intensitas cahaya akan mempengaruhi proses fotosintesis pada tanaman.
Penerimaan intensitas cahaya yang optimal pada daun akan mempercepat laju
transpirasi, pembukaan stomata, sehingga mempengaruhi proses laju fotosintesis.
Adanya proses fotosintesis yang maksimal akan mempercepat pertumbuhan
diameter dan tinggi tanaman. Intensitas cahaya terutama berhubungan erat dengan
pertumbuhan tanaman semusim dalam sistem agroforestri, karena kebutuhan
cahayanya yang cenderung lebih besar. Intensitas cahaya yang rendah karena
naungan yang terlalu rapat bagi jenis yang memerlukan cahaya (intoleran) akan
menyebabkan etiolasi. Sementara intensitas cahaya yang berlebihan akan
menyebabkan gangguan pada pertumbuhan bahkan kematian bagi tanaman yang
toleran (Herdiana et al. 2008). Cikarawang 3 diketahui memiliki intensitas cahaya
yang paling besar, hal ini berarti budidaya tanaman semusim yang menyukai cahaya
lebih cocok dilakukan di lokasi tersebut dibandingkan dua lokasi lainnya.
Cahaya berpengaruh terhadap pembesaran sel dan diferensiasi sel
berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, ukuran daun serta batang (Simorangkir
2000). Pada umumnya pada tempat teduh pertumbuhan tinggi tanaman lebih cepat
naik dibandingkan diameternya. Hal ini karena penguapan yang terjadi pada tanah
di tempat yang teduh lebih sedikit sehingga kadar air tanah lebih tinggi. Kondisi air
tanah yang cukup ini mendukung tanaman dalam kegiatan fotosintesis sehingga
aktifitas tanaman untuk tumbuh dan bereproduksi lebih baik (Wijayanto dan
Hidayanthi 2012).
Kramer dan Kozlowski (1960) mengatakan bahwa pertumbuhan diameter
sebagian besar jelas berasal dari hasil fotosintesis dan sangat peka terhadap kondisi
lingkungan, terutama persediaan air. Secara tidak langsung intensitas cahaya
berhubungan dengan respon akar dalam menyerap air dan unsur hara. Intensitas
cahaya yang tinggi akan mengakibatkan suhu lingkungan juga menjadi tinggi.
Adanya intensitas cahaya yang lebih tinggi akan lebih baik bagi pertumbuhan akar,
karena akar akan lebih maksimal dalam menyerap unsur hara saat suhu dalam tanah
maksimum. Penyerapan air yang maksimal tentunya akan mendukung proses
fotosintesis. Bagaimanapun, pada siang hari bila tumbuhan mendapat cahaya yang
cukup maka fotosintesis berlangsung dengan laju sekitar 10 kali lebih besar dari
pada laju respirasi. Daniel et al. (1987) menyatakan bahwa pada intensitas cahaya
yang rendah pertumbuhan diameter terhambat karena produk fotosintesisnya serta
spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses
pembentukan sel meristematik ke arah diameter batang.
10
Dimensi Tanaman
Dimensi tanaman yang diukur dalam penelitian ini meliputi diameter
setinggi dada, tinggi total, panjang tajuk dan lebar tajuk. Rekapitulasi hasil sidik
ragam pengaruh perlakuan jarak tanam terhadap variable dimensi tanaman dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil sidik ragam pengaruh jarak tanam terhadap variabel dimensi tanaman
Variabel Perlakuan P-Value
Diameter setinggi dada * <0.0001
Tinggi pohon * 0.0012
Panjang tajuk * <0.0001
Lebar tajuk * <0.0001 * = perlakuan berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%
Berdasarkan Tabel 4 diperoleh hasil bahwa jarak tanam memberikan
pengaruh yang nyata terhadap seluruh variabel dimensi tanaman, maka pengujian
dilanjutkan dengan uji Duncan.
Diameter Setinggi Dada
Berdasarkan hasil uji Duncan, jarak tanam terbaik dengan rata-rata diameter
setinggi dada terbesar (Tabel 5) ditemukan di Cikarawang 2 dengan jarak tanam 3
x 3 m. Pengaruh jarak tanam terhadap diameter setinggi dada disajikan pada Tabel
5.
Tabel 5 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap diameter setinggi dada
Tempat N (Pohon) Rataan dbh (cm)
Cikarawang 1 86 9.92b
Cikarawang 2 36 14.24a
Cikarawang 3 53 10.14b Huruf beda di belakang angka menunjukkan pengaruh nyata menurut uji F pada taraf 5%
Tinggi Total
Berdasarkan hasil uji Duncan, jarak tanam terbaik dengan rata-rata tinggi
total terbesar juga ditemukan di Cikarawang 2. Pengaruh jarak tanam terhadap
tinggi total disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap tinggi total
Tempat N (Pohon) Rataan tinggi total (m)
Cikarawang 1 86 12.23a
Cikarawang 2 36 12.85a
Cikarawang 3 53 10.75b Huruf beda di belakang angka menunjukkan pengaruh nyata menurut uji F pada taraf 5%
11
Panjang Tajuk
Berdasarkan hasil uji Duncan, jarak tanam terbaik dengan rata-rata panjang
tajuk terbesar ditemukan di Cikarawang 2. Pengaruh jarak tanam terhadap panjang
tajuk disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap panjang tajuk
Tempat N (Pohon) Rataan panjang tajuk (m)
Cikarawang 1 86 3.55c
Cikarawang 2 36 6.31a
Cikarawang 3 53 4.64b Huruf beda di belakang angka menunjukkan pengaruh nyata menurut uji F pada taraf 5%
Lebar Tajuk
Berdasarkan hasil uji Duncan, jarak tanam terbaik dengan rata-rata lebar
tajuk terbesar ditemukan di Cikarawang 2. Pengaruh jarak tanam terhadap panjang
tajuk disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap lebar tajuk
Tempat N (Pohon) Rataan lebar tajuk (m)
Cikarawang 1 86 2.47c
Cikarawang 2 36 4.66a
Cikarawang 3 53 3.22b Huruf beda di belakang angka menunjukkan pengaruh nyata menurut uji F pada taraf 5%
Pertumbuhan merupakan pertambahan dimensi menurut fungsi waktu yang
tidak bisa kembali lagi ke dimensi awal. Pertumbuhan pohon terjadi seiring
bertambahnya diameter dan tinggi pohon. Menurut Alder (1983), pertumbuhan
suatu jenis pohon tergantung dari beberapa parameter diantaranya tingkat populasi,
faktor tempat tumbuh, umur pohon, persaingan, stratum tegakan pohon dan faktor
genetik. Sistem agroforestri memungkinkan terjadinya interaksi dan kompetisi
antar komponen di dalamnya sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan komponen-komponen tersebut.
Variabel dimensi tanaman yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari
diameter setinggi dada, tinggi total, panjang tajuk dan lebar tajuk. Berdasarkan
Tabel 4 diketahui bahwa jarak tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap
seluruh variabel dimensi tanaman. Sedangkan hasil uji Duncan menunjukkan
bahwa jarak tanam terbaik untuk seluruh variabel dimensi tanaman ditemukan di
Cikarawang 2 dengan jarak tanam 3 x 3 m. Hal ini disebabkan oleh pengaturan jarak
tanam di Cikarawang 2 lebih lebar dibandingkan dengan Cikarawang 1, sehingga
persaingan hara lebih kecil. Cikarawang 3 memiliki jarak tanam yang lebih lebar
dan intensitas cahaya yang lebih tinggi dibandingkan Cikarawang 2, namun pada
jarak tanam yang terlalu lebar jumlah anggota populasi per satuan luas akan rendah
dan juga ruang terbuka akan ditumbuhi gulma yang menjadi pesaing untuk tanaman
pokok sehingga hasil akan rendah. Selain itu kondisi tanah Cikarawang 2 yang lebih
subur memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik.
Jarak tanam mempengaruhi populasi tanaman dan efisiensi dalam
penggunaan cahaya, kompetisi antar tanaman dalam penggunaan air dan zat hara
baik antar tanaman pokok maupun antara tanaman pokok dengan gulma yang pada
12
akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil. Jarak tanam yang tidak
terlalu lebar memungkinkan pertumbuhan tinggi dan diameternya lebih optimal,
karena intensitas cahaya matahari cukup untuk proses fotosintesis. Tumbuhan yang
ditanam dengan jarak tanam rapat, mempunyai ruang tumbuh yang sempit untuk
berkembang dan area fotosintesis yang sempit untuk melakukan aktivitas fisiologis.
Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan aktivitas fisiologisnya tumbuhan tersebut
memacu pertumbuhan tingginya (Marjenah 2003). Hal inilah yang menyebabkan
rata-rata tinggi total di Cikarawang 1 tidak berbeda jauh dengan Cikarawang 2.
Mayer (1953) menyatakan bahwa makin bertambahnya intensitas cahaya
yang diberikan makin bertambah pula pertumbuhan memanjang dari batang,
ketebalan atau kekerasan batang. Namun, pada jarak tanam yang terlalu lebar
jumlah anggota populasi per satuan luas akan rendah dan juga ruang terbuka akan
ditumbuhi gulma yang menjadi pesaing untuk tanaman pokok sehingga hasil akan
rendah.
Ukuran tajuk merupakan komponen penting dalam pertumbuhan pohon,
karena secara langsung berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Tajuk pohon yang
luas akan memperbesar proses fotosintesis yang terjadi pada pohon sehingga
pertumbuhannya juga semakin cepat (Raharjo dan Sadono 2008). Pertambahan luas
tajuk berbanding lurus dengan diameter dan tinggi tanaman. Oleh karena itu
Cikarawang 2 memiliki rata-rata diameter dan tinggi pohon yang paling besar. Hal
ini berbanding terbalik dengan Cikarawang 1 yang memiliki rata-rata panjang dan
lebar tajuk yang kecil, sehingga rata-rata diameter dan tinggi pohonnya juga kecil.
Tanaman yang mempunyai ukuran yang lebih besar, tajuk yang luas dan akar yang
lebih banyak, diduga lebih mampu memperebutkan faktor lingkungan seperti
cahaya, unsur hara dan air (Raharjo dan Sadono 2008). Hal ini berarti ukuran tajuk
dapat dijadikan acuan dalam menentukan kompetisi antar tanaman.
Berdasarkan data dan literatur yang ada maka jarak tanam memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan dimensi tanaman. Jarak tanam yang
paling ideal untuk pertumbuhan dimensi tanaman yang terdiri dari diameter setinggi
dada, tinggi total, panjang tajuk dan lebar tajuk adalah jarak tanam 3x3 m yaitu
Cikarawang 2.
Sistem Perakaran
Sistem perakaran yang diamati dalam penelitian ini meliputi: panjang akar
horizontal, kedalaman akar horizontal, fraksi akar horizontal, dan shoot-root ratio.
Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh perlakuan jarak tanam terhadap variable
sistem perakaran dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil sidik ragam pengaruh jarak tanam terhadap variabel sistem perakaran
Variabel Perlakuan P-Value
Panjang akar * <0.0001
Kedalaman akar * 0.0017
Fraksi akar horizontal tn 0.0671
Shoot root ratio tn 0.7095 * = perlakuan berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%, tn = perlakuan tidak berpengaruh
nyata
13
Berdasarkan Tabel 9 diperoleh hasil bahwa perlakuan jarak tanam hanya
memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel panjang akar dan kedalaman
akar horizontal.
Panjang Akar Horizontal
Berdasarkan hasil Duncan, jarak tanam terbaik dengan rata-rata panjang
akar horizontal terbesar ditemukan di Cikarawang 3. Pengaruh jarak tanam terhadap
panjang tajuk disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap panjang akar horizontal
Tempat N (Pohon) Rataan panjang akar (cm)
Cikarawang 1 6 78.22b
Cikarawang 2 6 97.55b
Cikarawang 3 6 164.78a Huruf beda di belakang angka menunjukkan pengaruh nyata menurut uji F pada taraf 5%
Kedalaman Akar Horizontal
Berdasarkan hasil Duncan, jarak tanam terbaik dengan rata-rata kedalaman
akar terdalam ditemukan di Cikarawang 2. Pengaruh jarak tanam terhadap panjang
tajuk disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Hasil uji Duncan pengaruh jarak tanam terhadap kedalaman akar
horizontal
Tempat N (Pohon) Rataan kedalaman akar (cm)
Cikarawang 1 6 18.76a
Cikarawang 2 6 20.11a
Cikarawang 3 6 13.56b Huruf beda di belakang angka menunjukkan pengaruh nyata menurut uji F pada taraf 5%
Fraksi Akar Horizontal
Perlakuan jarak tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
fraksi akar horizontal. Adapun rata-rata fraksi akar horizontal disajikan pada Tabel
12. Berdasarkan Tabel 12 fraksi akar horizontal terbesar ditemukan di Cikarawang
2 dengan jarak tanam 3 x 3 m.
Tabel 12 Rata-rata fraksi akar horizontal pada Cikarawang 1, 2 dan 3
Tempat Jarak Tanam (m) Rata-rata Fraksi Akar
Horizontal
Cikarawang 1 2 x 2 0.4995
Cikarawang 2 3 x 3 0.6647
Cikarawang 3 3 x 4 0.4087
Shoot-root Ratio
Adapun rata-rata shoot-root ratio disajikan pada Tabel 13. Berdasarkan
Tabel 13 shoot-root ratio terbesar juga ditemukan di Cikarawang 2 dengan jarak
tanam 3 x 3 m.
14
Tabel 13 Rata-rata shoot-root ratio pada Cikarawang 1, 2 dan 3
Tempat Jarak Tanam (m) Rata-rata Shoot-root Ratio
Cikarawang 1 2 x 2 0.8680
Cikarawang 2 3 x 3 0.9733
Cikarawang 3 3 x 4 0.7853
Akar merupakan organ terpenting yang dimiliki oleh tanaman, karena
berperan dalam penyediaan air dan unsur hara untuk proses metabolismenya.
Distribusi sistem perakaran pohon sangat penting dalam pemanfaatan lahan dengan
sistem agroforestri. Sengon memiliki akar yang sebagian besar menyebar secara
horizontal sehingga memberikan peluang yang besar untuk terjadinya kompetisi zat
hara tanah (Nugroho 2007). Oleh karena itu, pengaturan jarak tanam merupakan
kunci untuk mengurangi kompetisi antar tanaman dalam sistem agroforestri.
Hasil analisis statistik (Tabel 9) menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam
hanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel panjang akar dan
kedalaman akar horizontal. Panjang akar horizontal terpendek ditemukan di
Cikarawang 1 dengan jarak tanam 2 x 2 m, sedangkan panjang akar horizontal
terpanjang ditemukan di Cikarawang 3 dengan jarak tanam 3 x 4 m. Kedalaman
akar yang terdalam ditemukan di Cikarawang 2 dengan jarak tanam 3 x 3 m,
sedangkan kedalaman akar terdangkal ditemukan di Cikarawang 3 . Nilai fraksi
akar horizontal dan shoot-root ratio tertinggi ditemukan di Cikarawang 2. Selain
memiliki rata-rata kedalaman akar dan fraksi akar horizontal yang besar,
Cikarawang 2 juga diketahui memiliki rata-rata tertinggi untuk semua variabel
dimensi tanaman.
Perkembangan perakaran berhubungan erat dengan kondisi fisik dan kimia
tanah. Tanah dengan tingkat kepadatan yang tinggi memiliki ruang pori yang sedikit
sehingga akan mengganggu penetrasi akar di dalam tanah. Cikarawang 1 memiliki
rata-rata panjang akar horizontal terpendek karena jarak tanamnya yang sempit dan
intensitas cahayanya rendah. Secara tidak langsung intensitas cahaya berhubungan
dengan respon akar dalam menyerap air dan unsur hara. Intensitas cahaya yang
rendah karena sempitnya jarak tanam diduga akan mengakibatkan penurunan suhu
lingkungan. Menurut Marsono (1992) suhu rendah menghambat pertumbuhan
metabolisme dan pendewasaan akar. Namun panjang akar yang pendek
memungkinkan akar antara tanaman tidak tumpang tindih sehingga kompetisi
antara tanaman dalam sistem agroforestri lebih kecil.
Kedalaman perakaran merupakan salah satu variabel yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan. Perakaran yang dalam berhubungan dengan aktivitas akar
menemukan air dan unsur hara untuk pertumbuhannya. Arah pergerakan akar
mengikuti letak air dan unsur hara di dalam tanah. Menurut Dhyani dan Tripathi
(2000), 51 % akar kasar sengon terkonsentrasi di lapisan tanah pada kedalaman 10-
20 cm. Cikarawang 1 dan 2 memiliki rata-rata kedalaman akar yang tidak terlalu
jauh berbeda. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan rata-rata kedalaman akar
sengon berada pada kisaran 13-20 cm. Cikarawang 1 dan 2 memiliki jarak tanam
yang lebih sempit dibandingkan Cikarawang 3, sehingga persaingan unsur hara dan
airnya lebih besar. Pada tempat dengan persaingan unsur hara yang tinggi, akar akan
bergerak mengikuti letak air dan unsur hara yang biasanya terdapat pada kedalaman
tanah.
15
Di daerah tropika basah, pohon yang berperakaran dalam umumnya lebih
menguntungkan karena dapat memanfaatkan hara yang tercuci dan biasanya lebih
tahan terhadap kekeringan. Menurut Hairiah et al. (2004) ada 3 faktor utama
pembatas pertumbuhan akar yaitu, genetik, kimia (rendahnya ketersediaan hara dan
kandungan bahan organik tanah serta tingginya tingkat keracunan hara tertentu),
dan fisik (tingginya berat isi). Kondisi tempat tumbuh sengon pada penelitian ini
memiliki tanah yang tergolong masam. Pada tanah masam, penghambat utama
pertumbuhan akar adalah tingginya konsentrasi Al di lapisan bawah (Hairiah et al
2000). Cikarawang 2 memiliki rata-rata kedalaman akar yang paling dalam dan
tingkat kemasaman yang lebih rendah dibandingkan Cikarawang 1 dan 3.
Dangkalnya sistem perakaran tanaman mungkin karena adanya respon local dari
akar tanaman, dengan memilih tempat yang menguntungkan atau dengan
menghindari tempat yang beracun di lapisan bawah (Hairiah et al. 1995).
Faktor lain yang mempengaruhi sistem perakaran adalah bentuk tajuk
tanaman pokok. Banyaknya akar mempengaruhi pertumbuhan tajuk sedangkan
sebaran tajuk menentukan kedalaman dan luas sebaran perakaran tanaman. Menurut
konsep fisiologi, pertumbuhan akar didasarkan atas keseimbangan morfogenetik
antara akar dan tajuk tanaman. Dengan kata lain bahwa semakin panjang dan
banyaknya jumlah akar mengakibatkan pertumbuhan tajuk menjadi lebih baik
(Suryanto et al. 2005). Cikarawang 3 diketahui memiliki rata-rata panjang akar
yang paling besar, hingga seharusnya rata-rata panjang tajuk dan lebar tajuk
terbesar juga ditemukan di Cikarawang 3. Namun rata-rata panjang tajuk dan lebar
tajuk terbesar ditemukan di Cikarawang 2. Hal ini diduga karena kondisi tanah yang
lebih subur di Cikarawang 2 memungkinkan pertumbuhan tajuknya lebih maksimal
dibandingkan dengan Cikarawang 3.
Distribusi perakaran dalam ruang dan waktu dipengaruhi baik oleh faktor
genetik maupun kondisi tanah setempat. Distribusi perakaran dapat didekati dengan
mencari nilai fraksi akar horizontal dan perbandingan pucuk dan akar (shoot-root
ratio). Fraksi akar horizontal adalah perbandingan antara luas permukaan akar-akar
horizontal dengan total luas permukaan akar (horizontal + vertikal). Rata-rata fraksi
akar horizontal tertinggi ditemukan di Cikarawang 2, sedangkan Cikarawang 1 dan
3 memiliki rata-rata fraksi akar horizontal yang lebih rendah dari Cikarawang 2.
Hal ini berarti pertumbuhan akar vertikal di Cikarawang 1 dan 3 lebih kuat dan
cepat. Perakaran pohon yang dalam dan vertikal memungkinkan akar menyerap
hara pada lapisan yang lebih dalam dan juga berfungsi sebagai jaring pengaman.
Shoot-root ratio adalah nilai yang membandingkan bagian atas dan bagian
di bawah tanah dari sebatang pohon. Semakin besar nilai shoot-root ratio berarti
laju pertumbuhan diameter batang lebih tinggi, dan semakin tua umur tanaman
maka nilai shoot-root ratio akan semakin kecil. Pohon yang digunakan dalam
penelitian berumur 3 tahun dan rata-rata shoot-root ratio tertinggi ditemukan di
Cikarawang 2. Cikarawang 1 dan 3 memiliki rata-rata shoot-root ratio yang lebih
kecil dari Cikarawang 2, hal ini berarti pertumbuhan akar di kedua tempat tersebut
lebih cepat dibandingkan pertumbuhan batangnya.
Shoot-root ratio juga dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen (N) di dalam
tanah. Suplai N mempengaruhi luas daun, maka tanaman yang mendapat suplai N
yang baik memiliki shoot-root ratio lebih tinggi dibandingkan tanaman yang
mendapat suplai N buruk (Basra 1994). Analisis sifat kimia tanah menunjukkan
Cikarawang 2 memiliki kandungan N yang paling tinggi dibandingkan kedua
16
tempat lainnya, sehingga rata-rata shoot-root ratio nya lebih besar. Nilai shoot-root
ratio dapat digunakan untuk menggambarkan respon tanaman terhadap kondisi
kekurangan unsur hara.
Berdasarkan data dan literatur yang ada, Cikarawang 2 merupakan lokasi
dengan jarak tanam yang paling ideal untuk keperluan agroforestri. Hal ini karena
pada lokasi tersebut sistem perakaran sengon yang dalam dan tidak terlalu panjang
dapat meminimalisir interaksi negatif antar tanaman, yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu jarak tanam yang tidak terlalu
lebar memungkinkan pertumbuhan dimensi tanaman lebih optimal. Cikarawang 3
memiliki jarak tanam yang lebih lebar dan intensitas cahaya yang lebih tinggi
dibandingkan Cikarawang 2, namun perakaran di Cikarawang 3 memiliki perakaran
yang panjang dan dangkal. Hal ini akan mengakibatkan akar sengon saling tumpang
tindih dengan tanaman semusim, sehingga persaingan air dan unsur haranya akan
lebih besar.
Pengetahuan akan distribusi dan kedalaman akar sangat diperlukan dalam
mengkombinasikan pohon dengan tanaman semusim dalam sistem agroforestri.
Pengaturan sifat-sifat perakaran sangat diperlukan untuk menghindari persaingan
air dan unsur hara. Tanaman dengan sistem perakaran yang dalam dikombinasikan
dengan tanaman yang berakar dangkal.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Jarak tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap seluruh variabel
dimensi tanaman. Tanaman sengon dengan jarak tanam 3x3 m (Cikarawang 2)
memiliki dimensi tanaman yang paling baik.
2. Sengon memiliki akar yang sebagian besar menyebar secara horizontal. Jarak
tanam memberikan pengaruh yang nyata pada variabel panjang dan kedalaman
akar horizontal.
3. Persentase penutupan tajuk terbesar ditemukan pada jarak tanam 2x2 m
(Cikarawang 1), sedangkan intensitas cahaya tertinggi ditemukan di
Cikarawang 3 dengan jarak tanam 3x4 m.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada jarak tanam dan umur tegakan sengon
yang berbeda.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai arsitektur sistem perakaran sengon.
DAFTAR PUSTAKA
Alder, D. 1983. Growth and Yield of Mixed Tropocal Forest. Part 2 - Forecasting
Techniques. FAO: Oxford.
Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius.
17
Basra AS. 1994. Mechanisms of Plant Growth and Improved Productivity. Marcel
Dekker, Inc. New York
Daniel TW, Helms JA, Baker FS. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Dhyani SK, Tripathi RS. 2000. Biomass and production of fine root of trees under
agrisilvicultural practices in north-east India. Agroforestry Systems 50 :107-
121.
Hairiah K, Van Noordwijk M, Setijono S. 1995. Tolerance and avoidance of Al
toxicity by Mucuna pruriens var. utilis at different levels of P supply. Plant
Soil 1(1): 77-81.
Hairiah K, Sugiarto C, Utami SR, Purnomosidhi P, dan Roshetko JM. 2000.
Diagnosis faktor penghambat pertumbuhan akar sengon pada ultisol di
Lampung. Jurnal Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Malang.
Hairiah K, Van Noordwijk M, Weise S. 2004. Sustainability of tropical land use
sistems following forest conversion [Internet]. [diunduh 2014 Jun 20].
Tersedia pada http://www.asb.cgiar.org/PDFwebdocs/Sustainability_of
Tropical_Land_Use_Sistems_Conversion.pdf
Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Herdiana N, Siahaan H, Rahman TS. 2008. Pengaruh arang kompos dan intensitas
cahaya terhadap pertumbuhan bibit kayu bawang. J. Penelitian Hutan
Tanaman 5(3): 1-7.
Kramer PJ, Kozlowski TT. 1960. Physiology of trees. New York: Mc Graw-Hill.
[LPT] Lembaga penelitian tanah. 1979. Penuntun Analisa Fisika Tanah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Marjenah. 2003. Hubungan antara jarak tanam dengan tinggi dan diameter tanaman
jati (Tectona grandis Linn.f) di Kalimantan Timur. Rimba Kalimantan
Fakultas Kehutanan Unmul 11(1): 21 – 26.
Marsono D. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Mayer BS, Anderson DB. 1953. Plant Physiology. London: Van Nostrand
Company, Inc.
Murniati. 2009. Arsitektur pohon, distribusi perakaran, dan pendugaan biomassa
pohon dalam sistem agroforestri. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam 7(2): 103 – 117.
Nair PKR. 1993. An Introduction to Agroforestry. Netherlands: Kluwer Academic
Publishers.
Nugroho Y. 2007. Sistem perakaran tanaman sengon laut (Paraserianthes
falcataria (L) Nielsen) pada lahan bekas penambangan tipe C. Jurnal Hutan
Tropis Borneo (20): 6 – 55.
Raharjo JT, Sadono R. 2008. Model tajuk jati (Tectona grandis) dari berbagai famili
pada uji keturunan umur 9 tahun. J Ilmu Kehutanan 2(2):89−95.
Rusdiana O, Fakuara Y, Kusmana C, Hidayat Y. 2000. Respon pertumbuhan akar
tanaman sengon (Paraserienthes falcataria) terhadap kepadatan dan
kandungan air tanah podsolik merah kuning. J Manaj Hut trop Vol 6(2): 43-
53.
18
Simorangkir, 2000. Analisis Riap Dryobalanops lanceolata Burck pada Jalur yang
Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Kalimantan
Timur B.D.A.S.
Supriyanto, Irawan US. 2001. Teknik Pengukuran Penutupan Tajuk dan
Pembukaan Tajuk Tegakan dengan Menggunakan Spherical Densiometer.
Bogor: Laboratorium Silvikultur SEAMEO-BIOTROP.
Suryanto P, Tohari, Sabarnurdin MS. 2005. Dinamika sistem berbagi sumberdaya
(Resouces Sharing) dalam agroforestri: dasar pertimbangan penyusunan
strategi silvikultur. J Ilmu Pertanian 12(2):165-178.
Wibowo ARP. 2012. Agroforestri sentang (Azadirachta excelsa Jack) dan sorgum
(Sorghum bicolor L. Moench) [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Wijaya KA. 2008. Nutrisi Tanaman Sebagai Penentu Kualitas Hasil dan Resistensi
Alami Tanaman. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Wijayanto N, Hidayanthi D. 2012. Dimensi dan sistem perakaran tanaman sentang
(Melia excelsa Jack) di lahan agroforestri. Jurnal Silvikultur Tropika 3(3):
196 – 202.
Wijayanto N, Rhahmi I. 2012. Panjang dan kedalaman akar lateral jabon
(Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) di desa Cibening,
kecamatan Pamijahan, kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jurnal
Silvikultur Tropika 4(1): 23 – 29.
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Garut pada tanggal 12 Mei 1993 dari ayah
Bangbang M S Gumilar dan ibu Ani Maryani. Penulis adalah putri pertama dari tiga
bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ciamis dan pada tahun
yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas
Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi, yaitu
sebagai anggota Lises Gentra Kaheman pada tahun 2010, anggota lembaga
kemahasiswaan IFSA LC IPB pada divisi Public Relation (PR) pada tahun 2011,
sekretaris II Himpunan profesi Tree Grower Community. Selain itu, penulis juga
aktif di kepanitiaan yakni sebagai panitia Forester Cup 2011, panitia Belantara
2012, dan panitia TGC in Action 2013. Penulis juga pernah melaksanakan Praktek
Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di TWA Kamojang dan Cagar Alam
Leuweung Sancang tahun 2012. Penulis melakukan Praktek Pembinaan Hutan
(PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi tahun 2013. Penulis
juga telah melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di Persemaian Permanen
BPDAS Citarum – Ciliwung pada bulan Februari sampai dengan April 2014. Untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan
judul “Dimensi dan Sistem Perakaran Sengon (Paraserianthes falcataria (L.)
Nielsen) di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor” di bawah
bimbingan Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS.
Recommended