View
9
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Diskursus Tikrār dalam al-Qur’an:
Studi Terhadap Tafsīr Al- Sha’rāwī
Angga Marzuki, MA
Penerbit:
Yayasan Soebono Mantofani
2019
Judul: Diskursus Tikrār dalam al-Qur’an: Studi Terhadap Tafsīr Al-Sha’rāwī
Penulis Angga Marzuki
Editor : Muhammad Fanshuri Abdillah
Layout : Muhammad Fanshuri Abdillah
Desain Cover : Puput
Cetakan pertama : Desember 2019
ISBN : 978-602-5063-48-0
Penerbit: Yayasan Soebono Mantofani
Alamat: Jl. Rawa Lele No. 75, RT/RW 01/07, Jombang
Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.Kode pos: 15414
Email: info@yayasansoebono.org
Telpon:0217486251
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt.,
karena berkat Rahmat dan Ridho-Nya penulisan tesis yang telah
di bukukan ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam tak lupa
dihaturkan kepada Nabi Muhammad Saw. Keluarganya, para
sahabat serta para pengikutnya yang mulia dan istiqamah dalam
menjalankan risalah kenabiannya.
Penulisan buku dengan judul “Diskursus Tikrār dalam al-
Qur’an: Studi terhadap Tafsīr al-Sha’rāwī” dimaksudkan untuk
melengkapi sekaligus memenuhi salah satu persyaratan yang
ditetapkan untuk menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Konsentrasi Tafsir.
Dalam penulisan buku ini, penulis memperoleh bantuan
moril-materil, dorongan, bimbingan dan saran serta masukan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, sepatutnya disampaikan ucapan
terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof Dr. Amany Lubis, MA sebagai Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof Dr. Jamhari, MA.,Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan Dr. JM Muslimin, MA., (Ketua Jurusan Magister)
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA., selaku Pembimbing
yang banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan saran,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dan juga
penulis berterima kasih kepada Dr. Yusuf Rahman, MA yang
kepadanya penulis beberapa kali konsultasi penelitian ini.
4. Segenap dosen mata kuliah maupun penguji pada ujian
Proposal, Ujian Komprehensif, Work In Progress I dan II,
Dr. JM Muslimin, MA, Dr. Yusuf Rahman, MA, Dr. Euis
Amalia, MA, Dr. Bahrissalim, MA, Prof. Dr. Iik Arifin
Mansoor , MA, Dr. Usep Abdul Matin, MA, Dr. Ismatu Ropi,
MA. Terima kasih atas masukan dan kritikan yang
konstruktif ketika ujian.
ii
5. Kepada kedua sosok yang mendidik penulis, yaitu orang tua,
Hj. Ade dan H. Edi Chaidir Rohman yang gigih dan tidak
bosan mendoakan, mengingatkan, sekaligus memberikan
semangat untuk terus belajar menjadi pribadi yang lebih baik.
Semoga Allah mengkaruniakan kesehatan dan
memanjangkan umur keduanya.
6. Kepada guru mulia yang telah mendidik dan membentuk
pribadi penulis, Murabbi Ruhi, Abuya Bisri Imam dan Mang
Oyim Umar Anas, tanpa didikan dari keduanya entah penulis
menjadi apa.
7. Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
8. Kepada seluruh civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah melayani kepentingan
penulis, baik selama studi maupun dalam proses penyelesaian
tesis ini.
9. Kepada semua sahabat Program Magister (S2) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta angkatan 2015.
10. Kepada seluruh penikmat kantin SPs. Terimakasih atas kopi
dan diskusinya yang sangat bermanfaat untuk penulisan tesis
ini.
Terakhir, kepada semua pihak yang tidak sempat
disebutkan, tak lupa penulis ucapakan terima kasih.
Jakarta, Desember 2019
Penulis
Angga Marzuk
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ALA–LC ROMANIZATION tables yaitu
sebagai berikut:
A. Konsonan
Initial Romanization Initial Romanization
O ا
m
it
ḍ ض
ṭ ط B ب
ẓ ظ T ت
T ث
h
„ ع
G غ J ج
h ح Ḥ ف F
K خ
h
Q ق
K ك D د
D ذ
h
L ل
M م R ر
N ن Z ز
ه S س, ة
H
S ش
h
W و
Y ى Ṣ ص
B. Vokal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
...
..
..
Fatḥah A A
... Kasrah I I
....
..
.
Ḍammah U U
iv
2. Vokal Rangkap
Tanda Na
m
a
Gabungan Huruf Nama
.ى ... Fatḥah dan ya A
i
A dan I
…و .. Fatḥah dan wau A
u
A dan W
Contoh :
Ḥaul : حول Ḥusain : حسين
C. Vokal Panjang
Tanda Na
ma
Gabungan Huru
f
Nama
Fatḥah dan alif Ā a dan garis di آى
atas ىى Kasrah dan ya Ī i dan garis di
atas ىو Ḍammah dan wau ū u dan garis di
atas
D. Tā’ marbūṭah (ة)
Transliterasi ta’ marbut}ah (ة) di akhir kata bila dimatikan ditulis
h.
Contoh :
madrasah : مدرسة mar’ah : مرأة
(Ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang
sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat
dan sebagainya kecuali dikehendaki lafadz aslinya)
E. Shaddah
Shaddah/tasydīd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu.
Contoh:
shawwāl : شوال rabbanā : ربنا
v
F. Kata Sandang Alif + Lām
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah ditulis al.
Contoh :
al-Qalam : القلم
Apabila diikuti oleh huruf shamsiyah ditulis dengan
menggandeng huruf shamsiyah yang mengikutinya serta
menghilangkan huruf l-nya
Contoh:
Al-Nās :الناس Al-Shams : الشمس
G. Pengecualian Transliterasi
Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan di
dalam bahasa Indonesia, seperti الله, asmā al-ḥusnā dan ibn,
kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan
pertimbangan konsistensi dalam penulisan
9
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................
i
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................
iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
vii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................
1
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan 9
1. Identifikasi Masalah 9
2. Pembatasan Masalah 10
3. Perumusan Masalah 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 11
1. Tujuan Penelitian 11
2. Manfaat Penelitian . 12
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan 12
E. Metodologi Penelitian 26
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian …………………....................................
26
2. Sumber Data ………………………………………….
30
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data......................
30
F. Teknik Penulisan dan Penyajian Hasil Penelitian……..
31
G. Sistematika Penulisan ........................................................
32
BAB II : Al-TIKRĀR SEBAGAI CABANG ILMU AL-QUR’AN ........
35
A. Melacak Tradisi Awal Kajian Tikrār fī al-Qur’ān ............
36
B. Hubungan Tikrār dengan Cabang Ilmu al-Qur’an 48
C. Kajian Tikrār Kontemporer ................................................
60
BAB III : BIOGRAFI AL-SHA’RĀWĪ DAN PENAFSIRANNYA .........
67
A. Kondisi Sosial dan Pendidikan al-Sha'rāwī ........................
69
B. Sekilas Tentang Tafsīr al-Sha’rāwī ...................................
83
C. Posisi Tafsīr al-Sha'rāwī dalam Tradisi Tafsir Mesir .........
89
D. Beberapa Pemikiran al-Sha’rāwī .........................................
95
E. Latar Belakang dan Tujuan Pengkajian Tikrār .................
98
viii
BAB IV : KAJIAN TIKRĀR DALAM TAFSĪR AL-SHA'RĀWĪ ................
125
A. Karakteristik Tikrār dalam Tafsīr al-Sha’rāwī ..................
125
B. Analisis Kajian Tikrār dalam Tafsīr Al-Sha’rāwī................
133
C. Tikrār dalam Kajian Ilmuwan dan al-Sha’rāwī .............
168
BAB V : PENUTUP .................................................................................
187
A. Kesimpulan ..........................................................................
187
B. Saran dan Rekomendasi .......................................................
188
Daftar Pustaka ................................................................................................
189
Glosarium .......................................................................................................
201
Indeks .............................................................................................................
205
Lampiran-Lampiran Biodata Penulis
207 211
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara metodologis, wilayah kajian terhadap al-
Qur‟an dapat dipetakan menjadi tiga wilayah kajian1.
Pertama, kajian mengenai teks al-Qur‟an yang dilakukan
untuk membuktikan otentisitas atau untuk mengkaji isi
kandungan al-Qur‟an. Kedua, kajian mengenai hasil
penafsiran ulama yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir, yang
biasanya dimaksudkan untuk mendukung, menolak, menguji,
atau mengkritisi hasil penafsiran para ulama. Ketiga, kajian
tentang respon masyarakat terhadap al-Qur‟an yang
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, atau yang disebut
dengan Living Qur‟an, seperti fenomena semaan al-Qur‟an,
ruqyah (semacam jimat) dengan menggunakan ayat-ayat al-
Qur‟an dan sebagainya.
Sedangkan menurut Amīn al-Khūllī (1895-1966 M.),
dalam mengkaji al-Qur‟an, setidaknya ada dua wilayah kajian
studi2, yakni studi tentang apa yang di sekitar al-Qur‟an (mā
ḥawl al-qur‟ān) dan studi tentang teks al-Qur‟an itu sendiri
(mā fī al-Qur‟ān fī nafsih). Kajian pertama ditujukkan kepada
penggalian informasi latar belakang diturunkannya al-Qur‟an,
dimulai dari proses pewahyuan, perkembangan dan
penyebaranNya pada masyarakat Arab sebagai objek wahyu
pertama, serta kodifikasi dan cara bacanya, kajian-kajian
tersebut sekarang dikenal dengan istilah „Ulūm al-Qur‟ān,
ringkasnya, kajian ini fokus pada arti pentingnya aspek-aspek
historis, sosial, kultural dan antropologis masyarakat Arab
pada abad ke tujuh sebagai objek pertama diturunkannya al-
1Dalhari, “Karya Tafsir Modern Di Timur Tengah Abad 19
Dan 20 M,” dalam Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis 3, no.
1, juni 2013, h. 64. 2Amīn al-Khūlī, Manāhij Tajdīd fī Naḥw wa al-Balāghah
wa al-Adab (Mesir: Dār al-Ma‟ārif, t.th), h. 234.
2
Qur‟an.3 Adapun pendapat yang menyatakan bahwa dalam
mengkaji al-Qur‟an selain harus mengikut sertakan ilmu-ilmu
al-Qur‟an („Ulūm al-Qur‟ān), ilmu-ilmu Humaniora pun
harus digunakan untuk menggali kandungan dan maksud yang
dikehendaki al-Qur‟an, pendapat ini bukan hanya digagas oleh
Amīn al-Khūlī, Fazlur Rahman (1919-1988 M.)4 dan
Muḥammad „Abduh (1849-1905 M.)5 pun menggagas ini.
Kajian mengenai al-Qur‟an dan disiplin-disiplin ilmu
yang menopangnya menjadi perhatian yang cukup memikat.
Selain karena al-Qur‟an merupakan kitab suci yang diimani
oleh penganut agama Islam, juga karena al-Qur‟an
menyisakkan banyak misteri yang harus ditafsirkan untuk
mendapatkan nilai-nilai yang terkandung di dalamNya, selain
itu ada beberapa bagian dari al-Qur‟an yang menarik untuk
mengkajinya6, salah satunya yang banyak yang dipertanyakan
terkait aspek al-Qur‟an adalah adanya pengulangan-
pengulangan pada teks al-Qur‟an.
Jumhur Ulama telah sepakat bahwa urutan ayat yang
tersusun oleh kata-kata dalam satu surat merupakan tawqifī,
yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasullullah sebagai
penerima wahyu.7 Jika urutan kata-kata dalam ayat, urutan
3M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar
(Yogyakarta: eLSAQ, 2005), h. 12-13. 4Gagasan Fazlur Rahman terpenting bagi Studi al-Qur‟an,
yakni metode sistematisnya untuk menafsirkan al-Qur‟an yang
melibatkan historisitas dan kontekstualitas. Lihat: Fazlur Rahman,
“The Impact Of Modernity On Islam,” dalam Islamic Studies V,
1966, h. 121. 5Menurut Abduh dalam mengkaji al-Qur‟an sepatutnya
mengedepankan ilmu Sosiologi („Ilm Aḥwāl al-Bashar) lihat:
Muḥammad „Abduh, Muqaddimah Tafsīr al-Fātiḥah, h. 16. 6Ahmad Fawaid Sjadzili, “Diskursus „Ulum al-Qur‟an di
Mesir Kontemporer,” dalam Studi al-Qur‟an II, no. 2, 2007, h. 499. 7Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān
(Damaskus: Dār al-Fikr, 1979 ), h. 60-63.
3
ayat-ayat dalam surat dan urutan surat-surat yang ada
sekarang dalam muṣḥaf ūthmānī merupakan tauwqifī, maka
pada tataran penggalian kandungan susunan tersebut
merupakan ijtihadī karena bagaimana pun penggalian
kandungan dari pertalian ayat (munāsabah)8 dan pengulangan
lafaz itu dapat lahir dari sejauh mana seorang mufassir
berkecimpung9 dalam mengkaji al-Qur‟an, maka dari itu,
hasil dari dua kajian ilmu ini akan berbeda satu dengan
lainnya, walaupun tidak menutup kemungkinan seorang
mufasir memberikan pengaruh pada mufassir setelahnya.
Kosakata sebagai pembentuk kalimat yang tersusun
dalam sebuah karya manusia, umumnya bisa digantikan dan
dikembangkan dengan kata sinonim oleh pembaca. Namun
tidak demikian dengan mengutip firman Allah yang tertuang
dalam al-Qur‟an, karena hanya sang Pencipta yang berhak
mengubah kata-kata dan materi guna menjaga hak-Nya.10
Di
lain pihak banyaknya kata/lafaz dalam al-Qur‟an yang
diulangi berkali-kali.
8Hasani Ahmad Said, Diskursus Munāsabah al-Qur‟an
(Ciputat: Puspita Press, 2011), 14-15. 9Maka dari itu al-Sha‟rāwī pun lebih cocok menamai kitab
tafsirnya bukan dengan judul tafsir tetapi dengan Khawāṭir Ḥawl al-
Qur‟ān al-Karīm, lihat: surat pernyataan al-Sha‟rāwī yang terlampir
pada kitab Tafsīr al-Sha‟rāwī jilid pertama, pada surat tersebut al-
Sha‟rāwī menyatakan kitab yang berjilid-jilid yang disusun oleh
muridnya, adalah benar adalah isi dari ceramahnya: M. Mutawallī
al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī: Khawāṭir Faḍīlah al-Shaykh
Muḥummad Mutawallī al-Sha‟rāwī Ḥawl al-Qur‟ān al-Karīm
(Cairo: Idārah al-Kutub wa al-Maktabāt, 1991), h. 4. 10
M. Muṣṭafā „Azamī, The History of The Qur‟anic Text
from Revelation to Compilation A Comparative Study The Old and
New Testaments, Terj. Sohirin Solihin (Jakarta: Gema Insani Press,
2005), h. 74.
4
Bahkan Jika diamati banyak redaksi ayat yang
menguraikan kisah tertentu dengan beredaksi mirip11
.
Fenomena ini12
merupakan realitas menarik yang tidak dapat
dihindari oleh para mufassir. Menurut al-Khāṭib al-Iskāfi (420
H), dari 114 surat Al-Qur‟an, hanya 28 surah atau sekitar 25%
yang tidak mengandung ayat yang beredaksi mirip. Sementara
Taj al-Qurra al-Kirmānī bahwa dia menemukan sebelas surat
atau kurang dari 11% yang tidak mengandung ayat-ayat yang
mirip.13
Temuan ini menunjukkan bahwa intensnya al-Qur‟an
dalam menguraikan kandungannya dengan menggunakan
model pengulangan.
11
Penelitian terkait metode penafsiran ayat-ayat yang
beradaksi mirip telah dilakukan oleh Nasruddin Baidan pada tahun
1990, di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dari asil penelitiannya, Nasruddin menyimpulkan tak kurang dari
75% dari 144 surat dalam al-Qur‟an mengandung ayat-ayat
beredaksi mirip. lihat: Nasruddin Baidan, ”Metode Penafsiran Ayat-
Ayat Beredaksi Mirip di Dalam Al-Qur‟an,” (Disertasi S3 Fakultas
Pasca Sarjana IAIN Syari HIdayatullah Jakarta 1990), h. 324. 12
Menurut Ibn Qutaybah, masyarakat Arab memiliki tradisi
(sunnah) dalam bertutur (baik dalam bentuk perkataan, do‟a dan
tulisan) mengulang-ulang apa yang iya ingin sampaikan.
مذاىبهم. ومن فقد أعلمتك أن القرآن نزل بلسان القوم، وعلى “مذاىبهم التكرار: إرادة التوكيد والإفهام، كما أن من مذاىبهم الاختصار: إرادة التخفيف والإيجاز، لأن افتتان المتكلم والخطيب في
أحسن من اقتصاره في المقام -الفنون، وخروجو عن شيء إلى شيء ”على فن واحد.
Lihat: Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkīl al-Qur‟ān,,, h. 235. 13
Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Ayat-ayat yang
Beredaksi Mirip dalam Al-Qur‟an, (Pekan Baru: Fajarr Harapan,
1993), h. 7.
5
Topik pembahasan pengulangan lafaz dalam al-
Qur‟an sudah lama dipermasalahkan oleh banyak peneliti
(Orientalis)14
, sedangkan dari kaum yang mempercayai al-
Qur‟an sebagai kitab sucinya pun saling berbeda pendapat
terkait topik ini, menurut Ibn Qutaybah (213-276 H.),
pengulangan yang terdapat dalam al-Qu‟an itu berfungsi
untuk menguatkan kandungan yang sudah dipaparkan
sebelumnya dan memberi pemahaman yang mendalam.15
Sedangkan menurut al-Sha‟rāwī pengulangan lafaz yang
terdapat al-Qur‟an itu hanya pengulanan secara lafaz, tidak
ada pengulangan secara kandungan16
. Tentu pendapat ini
menarik untuk dikaji, bagaimana konsistensi dan metode yang
digunakan dalam mengeloborasi pengulangan dalam al-
Qur‟an
Adapun kajian tikrār17
fī al-Qur‟ān berawal dari
kenyataan bahwa dalam al-Qur‟an (Muṣḥaf Uthmanī ) banyak
sekali pengulangan, menurut Maḥmūd bin Ḥamzah al-
Karmānī (w. 505 H.) yang telah melakukan invetarisasi18
14
Salah satu Orientalis yang mengkaji al-Qur‟an dari segi
kebahasaannya adalah Cristoph Luxernberg, dari hasil kajiannya ia
berkesimpulan, bahwa tidak ada unsur kemukjizatan al-Qur‟an dari
segi kebahasaannnya, melainkan sebagian dari al-Qur‟an
berasal/menggunakan bahasa Syria-Aromaik, Lihat: Cristoph
Luxernberg, Syro-Aramaic Reading to The al-Qur‟an: A
Contribution to Decoding of The language to The Koran ( Berlin:
Verlag Hans Schiler, 2004), h. 30. 15
Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkil al-Qur‟ān…., h. 235. 16
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, (Cairo:
Idarah al-Kutub wa al-maktabāt, 1991), h. 48. 17
Tikrār merupakan bentuk maṣdar dari kata مكرارا - تكرارا
-تكريرا -تكريرة -تكريرا -يكرر -)كرر ( lihat: Muḥammad Ma‟ṣūm bin „
Alī, Amthilah al-Taṣrifiyyah, (Surabaya: Maktabah wa Maṭba‟ah
Sālim Nabhān, T. Th), h.14. 18
Inventarisasi bermakna pencatatan atau pengumpulan
data (tentang kegiatan, hasil yang dicapai dan sebagainya) Sumber:
Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia versi lima.
6
pengulangan lafaz yang dikategorikan per-surat, ia
menemukan 589 pengulangan lafaz19
, dari surat al-Fātiḥah
sampai surat al-Nās. Maka penggalian makna dan kandungan
yang terdapat tikrār dalam al-Qur‟an seyogyanya harus terus
digali untuk menjadikan al-Qur‟an selalu relevan.
Pandangan para pengkaji al-Qur‟an terhadap
pengulangan yang terdapat pada al-Qur‟an beragam,
mayoritas berpendapat bahwa tikrār itu berfungsi untuk
menguatkan (taw‟kīd) dan memberikan pemahaman yang
mendalam (ifhām) seperti Ibn Qutaybah, berbeda dengan
pendapat Badr al-Dīn Muḥammad al-Zarkashī, menurut al-
Zarkashī bahwa tikrār itu ablagh dari pada taw‟kīd, karena
tikrār itu membangun (makna dan maksud) sedangkan
taw‟kīd itu menentukan keinginan makna dari kata/kalimat
yang terdahulu dan menghilangkannya juga tidak apa-apa.20
Dengan persepektif inilah embrio gagasan bahwa
pengulangan dalam al-Qur‟an ada hanya pada tataran lafaz
saja, tidak berlaku pada wilayah makna dan kandungannya.
Kata-kata yang sama secara lafaz tetapi diletakkan di
ayat/surat yang berbeda memiliki filosofi makna dan
kandungan yang berbeda21
, ini menggambarkankan tentang
i`jāz al-Qur`ān yang tidak akan pernah habis ditelan zaman.
Karena itu, aspek i`jāz al-Qur`an harus terus berevolusi pada
tiap generasi, dengan dalih bahwa meskipun al-Qur`an telah
19
Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkil al-Qur‟ān…., h. 257. 20
Badr al-Dīn Abī „Abd Allāh Muḥammad al-Zarkashī, al-
Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān, h. 9.
ىناك تكرار في القران الكريم, وإذا تكرر اللفظ نقول انو ليس “21فيكون معناه في كل مرة مختلفا معناه فى المرة السابقة, لأن المتكلم ىو الله سبحانو وتعال ....ولذلك فهو يضع اللفظ فى مكانو
”الصحيح, وفى معناه الصحيح
Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī…., h. 47-48.
7
melewati berabad-abad dari masa penurunannya, al-Qur`an
masih tetap hangat dikaji, diteliti dan diperbincangkan.
Usaha-usaha untuk mengetahui rahasia-rahasia yang
terkandung di dalamnya masih terus dilakukan. Para
pengkritisi Islam pun sangat agresif mengkaji kitab suci ini,
walaupun tujuannya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk
mendapatkan kelemahan-kelemahan di dalamnya dan
merekapun tidak mendapatkanya.22
Salah satu penafsir yang meyakini dan mengkaji
bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an hanya ada secara lafaz
tidak secara makna adalah Muḥammad Mutawallī al-
Sha‟rāwī, juru dakwah,23
darinya lahir banyak karya, dia
mempunyai gagasan bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an
memiliki makna dan kandungan dari tiap masing-masing
pengulangannya24
. Tafsirnya pun tergolong dalam tafsir
22
Mahmūd bin Mahmud Al-Abdullah, al-I`jāz al-
bayanī Wa al-Tashrī`I wa al-Sabaq al-ilmi Li al-Qur`ān (Tanta: al-
Majdli al-Tsaqafah wa al-Ulum, 2008), h. 9. Walaupun anggapan
ini tidak benar sepenuhnya, banyak juga akademisi Barat meneliti
al-Qur‟an tanpa ada niat mencari kelemahan alQur‟an atau
mendikreditkan al-Qur‟an. 23
Ahmad al-Mursi Husein Jauhar, al-Shaykh Muḥammad
Mutawallī al-Sha‟rāwī; Imām al-„Ashr (t.tp t.th), h. 212-213. 24
Misalnya ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan lafaz الرحمن
dalam الرحمن الرحيم dalam surat al-Fātiḥah, menurutnya lafaz الرحيم
basmalah memiliki makna dan maksud yang berbeda dengan الرحمن
pada ayat surat al-Fatiḥah yang ke tiga, dalam menafsirkan الرحيم
al-Sha‟rāwī, memapar terlebih dahulu argumentasi الرحمن الرحيم
mengapa di setiap hendak melakukan sesuatu seorang hamba
sepatutnya mengucapkan bismillah,lalu al-Sha‟rāwī menyatakan
tidak ada pengulangan kandungan dalam al-Qur‟an, yang ada hanya
pengulangan lafaz. Dalam menafsirkan, al-Sha‟rāwī menggunakan
hadis, ayat (bi al-Ma‟thūr) dan ra‟yi sebagai sumber penasirannya.
Itu pun berlaku ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan lafaz di atas,
menurutnya perlu disadari oleh setiap kita, bahwa dua sifat Allah
yang tertera pada bismillāh itu merupakan peringatan pada kita
8
kontemporer, maka tak heran di dalamnya kerap kali
mendiskusikan problematika sosial yang ada pada zamannya.
Selain tafsir al-Sha‟rāwī, ada pula kitab yang
mempunyai gagasan yang sama bahwa tidak ada pengulangan
secara makna, yang ada hanya pengulangan secara laaz, di
tulis oleh Ibn al-Zubayr dengan nama lengkap Aḥmad b.
Ibrāhīm b. al-Zubayr b. Muḥammad b. Ibrāhīm (708 H.)25
, ia
menulis kitab yang berjudul Milāk al-Ta‟wîl al-Qāṭi‟ bi
Dhawi al-Ilḥād wa al-Ta‟ṭīl fī Tawjīh al-Mutashabih al-lafẓ
min Ây al-Tanzīl, karya Ibn al-Zubayr merupakan kitab tafsir
tematik yang orientasi penjelasannya menitikberatkan dalam
mentakwilkan ayat-ayat yang mengalami pengulangan
(tikrār), kalimat-kalimat yang beredaksi mirip (mutashābih
al-lafẓī26
). Tentu berbeda dengan al-Sha‟rāwī yang menafsiri
al-Qur‟an secara taḥlili.
bahwa pintu maaf selalu terbuka bagi setiap kita, al-Sha‟rāwī
menambahkan bahwa jika seseorang yang jatuh pada perbuatan keji
(maksiat). Sedangkan al-Sha‟rāwī ketika menafsirkan lafaz الرحمن
pada ayat yang ketiga dari surat al-Fātiḥah iya menitik الرحيم
beratkan pada konteks ayat, yaitu yang berhubungan dengan lafaz
ingin الرحمن الرحيم menurut al-Sha‟rāwī pada ayat ketiga , برب العالمين
menyatakan bahwa kasih sayang Allah Swt meliputi bagi setiap
makhluknya di muka bumi ini, baik itu mukmin dan pula kafir. Iya
mencontohkan nikmat yang Allah berikan berupa adanya matahari
dan turunnya hujan itu bagi siapa saja, baik itu mukmin dan pula
kafir. Lihat :M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, (Cairo:
Idarah al-Kutub wa al-maktabāt, 1991), h. 48-51. 25
Ibn al-Zubayr, Milāk al-Ta‟wīl (Libanon, Dār al-Kutub
al-„Ilmiyah, 1971),h. Cover. 26
Misalnya ketika menafsirkan diksi ayat pertama dari
surah al-Baqarah, Alif-Lām-mīm. Selain menjadi pembuka dari al-
Baqarah, ayat ini juga menjadi pembuka di beberapa surah yaitu
surat Āl 'Imrān, al-„Ankabūt, al-Rūm, Luqmān, dan al-Sajdah.
Menurut Ibn Zubayr, al-ḥurūf al-muqaṭṭa‟ah adalah indikasi khusus
tentang huruf-huruf yang terbanyak ditemukan dalam surat yang
diawali al-ḥurūf al-muqaṭṭa‟ah. Jika diperhatikan, huruf-huruf yang
9
B. Permasalahan
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian
pendahuluan, bahwa studi ini hendak mengkaji dan menguji
konsistensi pernyataan dan penafsiran al-Sha‟rāwī yang
berpendapat, bahwa pengulangan yang terdapat dalam al-
Qur‟an hanya berlaku pada tataran lafaz saja, pengulangan
tidak berlaku pada tataran makna. Ini secara tidak langsung
menolak pendapat yang memasukkan pembahasaan
pengulangan dalam al-Qur‟an termasuk pada bagian
pembahasan mutashābih al-Qur‟ān. Oleh karena itu, perlu
diajukan beberapa pertanyaan penelitian, agar penelitian ini
lebih akurat, terperinci dan fokus. Permasalahan penelitian
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu identifikasi masalah,
perumusan masalah dan pembatasan masalah. Adapun
rinciannya sebagai berikut:
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka
permasalahan yang mungkin untuk diteliti dalam tulisan ini
adalah pengulangan dalam al-Qur‟an perspektif al-Sha‟rāwī
merupakan tema sentral dalam penulisan karya ilmiah ini.
Dari penjabaran di atas penulis mencoba mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan yang muncul dari tema tersebut,
di antaranya adalah:
menjadi awal dan pembuka surat. Pendapat ini berbeda dengan
pendapat para pengkaji al-qur‟an, mayoritas ulama abad pertama
hingga abad ketiga, yang berpendapat bahwa al-ḥurūf al-muqaṭṭa‟ah
adalah rahasia Allah yang tidak bisa ditafsirkan, dan tidak ada ruang
bagi manusia untuk berpendapat. Lihat: Delta Yaumin Nahri,
“Ta‟wīl Ibn Al-Zubayr Terhadap Mutashābih Al-Lafẓ Dalam Al-
Qur‟an,” dalam Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis 4, no. 1,
Juni 2014, h. 5-6.
10
a) Bagaimana kriteria pengulangan yang dieloborasi
oleh al-Sha‟rāwī
b) Pendekatan apa yang digunakan oleh al-Sha‟rāwī
dalam menggali kandungan dalam pengulangan.
c) Bagaimana pola penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap
pengulangan yang terdapat pada tafsirnya.
d) Bagaimana konsistensi al-Sha‟rāwī dengan
pernyataan “tidak ada pengulangan dalam al-Qur‟an
secara makna, yang ada hanya pada tataran lafaz”
e) Bagaimana hasil dari penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap
pengulangan yang terdapat dalam tafsirnya
f) Bagaimana kajian tikrār pada masa klasik dan masa
modern/kontemporer.
Poin-poin di atas merupakan masalah yang muncul
dari pembahasan karya tulis ini. Pada bagian dibawah ini
penulis fokuskan yang menjadi objek/tujuan penelitian ini.
2. Pambatasan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah di atas dan
mengingat luasnya ruang lingkup objek dari kajian al-tikrār
dalam al-Qur‟an, maka dalam penulisan tesis ini, penulis
membatasi pada dua aspek, antara lain:
a) Penafsiran al-Sha'rāwī terhadap tikrār yang dia
uraikan pada tafsirnya, yaitu Tafsīr al-Sha'rāwī
terbitan Akhbār al-Yawm.
b) Bagaimana hasil dari penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap
pengulangan dalam al-Qur‟an, dibandingkan dengan
para sarjana yang sama-sama mengkaji tikrār fī al-
Qur‟ān.
11
Dalam studi ini, penulis membatasi kajian tikrār
dalam Tafsīr al-Sha‟rāwī dengan kriteria, pembandingan lafaz
dalam mengeloborasi objek tikrār tersebut.27
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian identifikasi masalah
di atas, dapat dirangkum rumusan masalah untuk studi ini
dalam sebuah kalimat seperti berikut: “Bagaimana penafsiran
al-Sha‟rāwī terhadap lafaz tikrār dalam tafsirnya yang
berjudul Tafsīr al-Sha‟rāwī”.
Rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam dua
pertanyaan, antara lain: pertama, bagaimana pola penafsiran
al-Sha'rāwī terhadap lafaz-lafaz yang mengalami
pengulangan? Kedua, bagaimana hasil penafsiran al-Sha'rāwī
terhadap tikrār dan pendekatan apa yang digunakannya dalam
menguraikan penafsiran?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Ada beberapa tujuan yang dimungkinkan dicapai dari
hasil penelitian ini, sehingga penelitian ini memang benar-
benar layak dan menarik untuk dikaji lebih lanjut dan
komprehensif, antara lain:
a) Menjelaskan dan menguraikan konstruk penjelasan
penafsiran dan pendekatan al-Sha'rāwī dalam
menguraikan lafaz tikrār.
27
Seperti halnya yang telah dipaparkan pada contoh yang
telah dipaparkan, bagaimana al-Sha‟rāwī menafsir lafaz al-raḥmān
al-raḥīm dalam surah al-Fātiḥah. Membandingkan dua unsur
pengulangan, lalu menjelaskan masing-masing konteks dari lafaz
yang mengalami pengulangan, dari situ ditemukan fokus utama dari
masing-masing pengulangan, lalu digabungkan antara kanddungan
satu dengan yang lain, guna memformulasikan makna yang
terkandung pada pengulangan.
12
b) Menjelaskan dan Menganalisa hasil dari penafsiran
al-Sha‟rāwī terhadap pengulangan dalam al-Qur‟an.
2. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik
secara akademik dan teoritis, antara lain:
Secara akademik, penelitian ini bermanfaat untuk
memperkaya khazanah studi al-Qur‟an yang berusaha untuk
menggali kandungan tikrār dari sudut pandang M. Mutawalli
al-Sha‟rāwī.
Secara Teori, Studi ini memberikan wawasan
kontribusi tikrār dengan gagasan tidak ada pengulangan
secara makna dan kandungan yang hanya ada pengulangan
secara lafaz.
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Tulisan ini bukan tulisan pertama yang membahas
tentang pengulangan dalam al-Qur‟an, bukan pula, tulisan
pertama mengenai tokoh mesir yang bernama M. Mutawalli
al-Sha'rāwī. Berikut dipaparkan tulisan-tulisan terdahulu
terkait dengan dua tema (pengulangan dalam al-Qur‟an dan
Penafsiran al-Sha'rāwī) pada pokok bahasan dalam penelitian
ini:
a. Tema pengulangan lafaz dalam al-Qur‟an, dijadikan
objek penelitian bukanlah hal yang baru. Sudah banyak
literatur klasik (turāth) maupun penelitian akademisi
yang mengkaji tentang tema ini. Untuk mencari tahu
sejauh mana tema ini telah didiskusikan, penulis
paparkan berikut tulisan dan penelitian mengenai tema
pengulangan lafaz dalam al-Qur‟an:
Pertama, Maḥmūd bin Ḥamzah al-Kirmānī28
(W. 505
H), Asrār al-Tikrār fī al-Qur‟ān; al-Burhān fī taujīh
28
al-Kirmānī yang dimaksud di sini bukan ulama yang
mensyarihi kitab Ṣaḥīḥ Bukharī, tetapi al-Kirmānī ini bernama
13
mutashābih al-Qur‟ān limā fī al-Hujjah wa al-Bayān.
Menguraikan penjelasan rahasia dari pengulangan dalam
al-Qur‟an.29
Dalam kitab ini, al-Kirmānī melakukan
inventarisasi lafaz-lafaz yang diulangi, berdasarkan
kategori tiap-tiap surat. Misalnya dalam kitabnya ini,
menurut al-Kirmānī dalam surat al-Fātiḥah ada empat
kali pengulangan. Di setiap pengulangan ia tafsiri dengan
singkat dan padat, sampai pada kata ḍomir pun.
Kedua, Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Ayat-
Ayat yang Beredaksi Mirip di dalam Al-Qur‟an. Dia
berpendapat, untuk menafsirkan ayat-ayat yang yang
beredaksi mirip, diperlukan metode, agar seorang
penafsir tidak keliru dalam menafsirkan ayat-ayat yang
beredaksi mirip. Dalam penelitian ini, Nashruddin
menemukan empat langkah yang perlu diterapkan dalam
menggunakan metode komparatif yaitu, pertama,
menghimpun dan mengidentifikasi ayat-ayat yang
beredaksi mirip. Kedua, membandingkan kemiripan
redaksi. Ketiga, menganalisa kemiripan redaksi. Dan
lengkap Maḥmūd bin Ḥamzah bin Naṣr Abū al-Qāsim Burhān al-
Dīn al-Kirmānī, ia menulis beberapa kitab, antara lain:
1) Lubāb al-Tafsīr wa „Ajāib al-Ta‟wīl atau sering
dinamai dengan al-„Ajāib wa al-Gharāib.
2) Khat al-Maṣāḥif
3) Lubāb al-Ta‟wīl
4) Asrār al-Tikrār fī al-Qur‟ān; al-Burhān fī taujīh
mutashābih al-Qur‟ān limā fī al-Hujjah wa al-
Bayān.
5) Sharḥ al-Lam‟i li Ibn Janā
6) Al-Ikhtiṣār al-Lam‟i li Ibn Janā
7) Al-Mukhtṣar al-Īḍāḥ li al-Fārisī (informasi
keterangan di atas didapatkan dari Maḥmūd bin
Ḥamzah al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-Qur‟ān
…., h. 15-19. 29
Maḥmūd bin Ḥamzah al-Karāmānī, Asrār al-Tikrār fī al-
Qur‟ān, Dār al-Faḍīlah, t.th.
14
keempat, membandingkan pendapat-pendapat para
mufassir tentang kemiripan redaksi tersebut. Penelitian
ini juga menyimpulkan, bahwa, kekeliruan dalam
menafsirkan ayat-ayat yang beredaksi mirip, salah satu
penyebab utamanya adalah mufassir kurang
memperhatikan metode tersebut.30
Dari disertasi tersebut
ditemukkan pengulangan dalam al-Qur‟an yang ditinjau
secara lafaz, namun belum ditemukkan pembahasan yang
menghasilkan bahwa tidak ada pengulangan pada al-
Qur‟an secara nilai dengan menggunakan pandangan al-
Sha‟rāwī.
Ketiga, Studi Neuwrith ini tentang bentuk dan
struktur surah al-Ḥijr, yang menjadi fokus kajian dari
studi ini adalah struktur surah, dalam kajiannya,
Neuwirth membagi surah menjadi beberapa bagian
berdasarkan kelompok ayat tematik (enjeux), seperti
penghiburan, polemik, dan narasi. Analisisnya tentang
bagian-bagian mengungkapkan apa yang dia sebut
“referentiality” (ayat yang diulangi, pararel secara
semantik) yang merupakan pengulangan tema sentral
berupa ayat-ayat di surah-surah yang berbeda, serta
kemunculan paralel antara pengulangan. Bagian surah,
seperti yang diperlihatkan Neuwirth dalam analisisnya,
satu sama lainnya adalah saling berhubungan dari hasil
observasinya terhadap ayat yang dia diistilahkan dengan
referentilality (ayat yang diulangi, pararel secara
semantik) antara surah al-Ḥijr dan surat-surat dalam al-
Qur'an, analisanya menunjukkan bahwa bentuk-bentuk
pengulangan bukan hanya sekedar pengulangan belaka
yang tidak memiliki makna, lebih dari itu, bentuk-bentuk
pengulangan tersebut jika dihimpun dan dianalisa
30
Nashruddin Baidan, “Metode Penafsiran Ayat-Ayat yang
Beredaksi Mirip di Dalam Al-Qur‟an,” ( Disertasi S3 Fakultas
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri, 1990), h. 324-325.
15
berkesimpulan bahwa pengulangan-pengulangan itu
membangun satu dengan yang lainnya, menyusun unsur-
unsur yang menghasilkan perpaduan yang darinya
melahirkan fokus makna yang baru.31
Kajian ini
menguatkan bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an hanya
berupa dalam tataran lafaz, tidak masuk pada tataran
makna, kesimpulan ini juga dipaparkan oleh al-Sha‟rāwī,
adapun penelitian ini berusaha membuktikan dan
menguatkan dengan cara mengkaji penafsiran al-
Sha‟rāwī terhadap lafaz yang mengalami pengulangan,
menurutnya pada tiap pengulangan lafaz memiliki makna
yang dipengaruhi oleh konteks dan informasi yang terkait
dengan lafaz, dengan cara dikombinasikan, makna yang
terdapat pada pengulangan lafaz menjadi bahan dalam
memformulasikan makna yang lebih komprehensif.
Keempat, Artikel yang berjudul “Repitition in the
Qur‟an: A Relevance Based Explanation of the
Phenomenon” ditulis oleh Salwa al-Awa32
. Diterbitkan
oleh jurnal Islamic Studies, Edisi Vol. 42, No. 4, 2003.
Salwa mengidentifikasi fungsi interaksi komunikasi dari
pengulangan-pengulangan ayat dan menunjukkan
bagaimana pengulangan-pengulangan tersebut berfungsi.
Salwa mendiskusikan tema ini melalui fenomena
kejadian-kejadian dalam al-Qur‟an, yang terdapat di
dalamnya pengulangan-pengulangan, Salwa mengajukan
31
Angelika Neuwrith,“Referentialty and Textuality in al-
Ḥijr: Some Observations on The Qur‟anic Canonical Process and
Emergency of Community,”15 dalam Literary Structures of
Religious Meaning in the Qur‟ān, ed. Issa J. Boullata (Richmond:
Curzon, 2000), 158-159. 32
Salwa el-Awa adalah seorang Dosen di bidang Qur‟anic
Studies pada Departemen Theology dan Religion di Brimingham
University. Lihat:
https://berkleycenter.georgetown.edu/people/salwa-el-awa diakses
pada 29- 01-2017.
16
sebuah framework baru untuk memahami pengulangan-
pengulangan dalam al-Qur‟an.33
dalam artikelnya Salwa
mengkategorikan pengulangan ayat yang terdapat pada
kisah-kisah dalam al-Qur‟an menjadi empat kategori, ini
tidak bisa lepas dari latar belakangnya yang menekuni
linguistik. Tidak ditemukan dalam artikelnya ini kutipan
yang berasal dari penafsiran Tafsīr al-Sha‟rāwī.
Kelima, John Wansbrough, menulis terkait kajian al-
Qur‟an secara luas, karyanya itu diberi judul “Qur‟anic
Studies: Sources and Method of Scriptural
Interpretation”. Karyanya ini tidak hanya fokus terhadap
kajian pengulangan dalam al-Qur‟an, tetapi salah satu
yang didiskusikan dalam buku ini adalah tema
pengulangan dalam al-Qur‟an pada kategori kisah-kisah
dalam al-Qur‟an. Menurut Wansbrough, pengulangan
kisah-kisah yang ada pada al-Qur‟an, yang tertulis pada
beberapa surat yang terpisah, itu dikarenakan para
penulis kisah-kisah tersebut berasal dari berbeda-beda
daerah. Pada kajian ini34
, WansBrough belum menguji
pengulangan dari segi kebahasaan dan apa yang
terkandung di dalamnya, seperti apa yang akan dilakukan
pada studi ini oleh penulis dengan menggunakan
perspektif penafsiran al-Sha‟rāwī. Keenam, Achmad Hasmi Hashona, menulis tentang
tema tikrār dengan judul “Repitisi Kisah Nabi Mūsa As.
Dalam al-Qur‟an; Kajian Strukturalisme dan Semiotik ”.
Hashona meneliti penggunaan gaya bahasa
(pengulangan) yang digunakan al-Qur‟an dalam
mengungkap kisah-kisah Nabi Musa As. Yang
33
Salwa al-Awa, “Repitition in the Qur‟an: A Relevance
Based Explanation of the Phenomenon,” dalam Islamic Studies 42,
no. 4, 2003, h. 577. 34
John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Method
of Scriptual Interpretation (New York: Prometheus Books, 2004), h.
42.
17
dipaparakan dalam beberapa surat dengan menggunakan
pendekatan strukturalisme-semiotik, meliputi sintaksis,
semantik, dan pragmatik, lalu mengungkap tujuan dari
kisah Nabi Musa As. Dengan penggunaan uslūb tikrār35
.
Dari penelitian yang Hashona lakukan, menyimpulkan,
bahwa, secara kebahasaan setiap repitisi plot/alur,
terjadi perbedaan kosakata, struktur kalimat dan konteks
kalimat, menurut Hashona perbedaan ketiga aspek
kebahasaan tersebut dilatar belakangi oleh tujuan dan
maksud yang berbeda. Dalam penelitian ini tidak
ditemukan penggunaan Penafsiran al-Sha'rāwī dalam
mengkaji repitisi kisah Nabi Musa As, lebih lagi, tidak
ditemukan dalam disertasi ini formulasi yang digunakan
al-Sha'rāwī dalam mengkaji tikrār fī al-Qur‟ān.
Ketujuh, pembahasaan pengulangan dalam hadis
Nabi, ditulis oleh Umaymah Badr al-Dīn dengan judul
“al-Tikrār fī al-Ḥadīth al-Nabawī al-Sharīf”, artikel ini
diterbitkan pada jurnal Universitas Damaskus pada edisi
26 tahun 2010, pada artikel ini Umaymah melakukan
inventarisasi terhadap kata-kata yang diulang beberapa
kali dalam beberapa sabda Nabi Muḥammad Saw. Tidak
sampai disitu, Umaymah pun mengkaji terhadap fungsi
repitisi yang terdapat pada hadis Nabi.36
Kedelapan, Disertasi yang ditulis oleh Dalia Abo
Haggar37
, dengan judul “Repetition: A key to Qur‟anic
Style, Structure and Meaning, 2010”. Dalam studi ini,
35
Achmad Hasmi Hashona, “Repitisi Kisah Nabi Musa As.
Dalam al-Qur‟an; Kajian Strukturalisme-Semiotika,” (Disertasi S3
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, 2008), h. 208. 36
Umaymah Badr al-Dīn, “al-Tikrār fī Hadīth al-Nabawī al-
Sharīf,” dalam Jurnal Universitas Damaskus 26 (2010) 37
Dalia Abo-Haggar seorang Dosen pada Center for Middle
Eastern Studies di Harvard University, lihat:
http://www.islamicstudies.harvard.edu/faculty/dalia-abo-haggar/
diakses pada 26/02/20017.
18
Abo Haggar menguji pengulangan ayat-ayat38
yang
terdapat pada tiga surat, yaitu surat al‟Arāf, Yūnus dan
al-Hūd. Dia amati dan analisa bagaimana fungsi dari
pengulangan ayat-ayat yang terdapat dari tiga surat yang
berbeda. Abo Haggar berkesimpulan bahwa, dalam
proses mengekstrak dan menganalisa perbedaan-
perbedaan skema yang terpaparkan dalam al-Qur‟an itu
semua bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih mendalam terhadap lapisan-lapisan dari makna teks
al-Qur‟an, selain itu dengan cara analisanya, dapat
mengulas hubungan dari pembahasan-pembahasan pokok
yang terdapat pada tiga surat tersebut dan kesimpulan
yang terakhir, dengan cara analisa seperti ini dapat
menunjukkan kepada pendengar/pembaca untuk
menemukan/mendapatkan kandungan-kandungan al-
Qur‟an yang tersirat/terpendam pada level struktur teks
al-Qur‟an39
Kesembilan, Andy Hadiyanto menulis, “Repitisi
Kisah al-Qur‟an; Analisis Struktural Genetik Terhadap
Kisah Nabi Ibrahim dalam Surah Makkiyyah dan
Madaniyyah”. Dilatar belakangi dari data yang ada dalam
al-Qur‟an, bahwa pengulangan suatu kisah diuraikan
dengan diulang-ulang pada beberapa surah, tetapi
sejatinya, adanya perbedaan gaya bahasa, gagasan, atau
episode yang diulang, inilah yang menjadikan penelitian
yang dilakukan oleh Hadianto dalam disertasinya.
Kesimpulan dari penelitian yang Hadiyanto lakukan
adalah Pertama. Konteks situasional dan kebahasan
dalam surah makkiyah dan madaniyyah berkontribusi
38
Ayat-ayat yang dimaksud disini adalah ayat-ayat yang
diulangi percis sama, kalaupun ada perbedaan/perubahan, itu hanya
perubahan/perbedaan minor. 39
Dalia Abo Haggar, Repetition: A Key To Qur‟anic Style,
Structure And Meaning, (Disertasi S3 University of Pennsylvania,
2010), h. viii.
19
dalam ragam maksud, tujuan, tipologi dan penyusunan
konstruksi unsur-unsur kisah Ibrahīm dalam al-Qur‟an.
Kedua. Variasi penyajian ulang kisah Ibrahīm
disesuaikan dengan tema besar yang ingin dicapai oleh
surah di mana kisah tersebut disajikan40
Kesepuluh, Khoridatul Mudhiah menulis artikel
dengan judul ,”Menelusuri Makna Pengulangan Redaksi
dalam Surah ar-Raḥmān”. Membahas tentang rahasia
pengulangan redaksi dalam surat al-Raḥmān.
Terdapatnya pengulangan redaksi dalam surah ini,
melatar belakangi Khoridatul untuk mengetahui rahasia
di balik pengulangan, dengan mengunakan konten
analisis, Khoridatul mencermati dan melakukan
penafsiran terhadap redaksi yang diulang-ulang, guna
mendapatkan sesuatu yang tersirat di balik pesan yang
beredaksi repetitif. Hasil dari penelitian Khoridatul
adalah suatu temuan di mana redaksi yang diulang-ulang
itu benar memberikan pemahaman yang mendalam
tentang aspek-aspek psikologis yang memilki pengaruh
terhadap para pembacanya.41
kesimpulan yang
didapatkan dari kajian Khoridatul, secara tidak langsung
menguatkan salah satu kesimpulan dari Ibn Qutaybah
yang berpendapat bahwa pengulangan yang terdapat
dalam al-Qur‟an itu bertujuan untuk menguatkan (taukīd)
dan memberikan pemahaman secara mendalam (ifhām)42
tetapi tidak ada pernyataan dan kesimpulan pada artikel
ini yang menyatakan bahwa tidak ada pengulangan
40
Andy Hadiyanto, Repitisi Kisah al-Qur‟an; “Analisis
Struktural Genetik Terhadap Kisah Nabi Ibrahim dalam Surah
Makkiyyah dan Madaniyyah,” (Disertasi Sekolah Pasasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 5-6. 41
Khoridatul Mudhiah, “Menelusuri Makna Pengulangan
Redaksi Dalam Surat al-Raḥmān,” Hermeunetik 8, no. 1, Juni 2014,
h. 133. 42
Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Muskil al-Qur‟an, ……., h. 235.
20
makna dan kandungan seperti yang dinyatakan oleh al-
Sha‟rāwī.
Kesebelas. Disertasinya yang diujikan pada 29
Januari 2016 di Univesitas Gadjah Mada, dengan Judul
“Bentuk dan Fungsi Pengulangan Dalam Surat Al-
Baqarah : Analisis Sistematik dan Stilistik”, Nur Faizin,
membahas bentuk dan fungsi pengulangan yang terdapat
di dalam surah Al-Baqarah sebagai sebuah teks tertulis.
Penelitian bentuk pengulangan ini dilakukan
menggunakan teori satuan-satuan kebahasaan (lingual
units) dalam hierarki bentuk satuan-satuannya. Analisis
meliputi analisis, fonologis, gramatikal dan tekstual,
yaitu analisis terhadap pengulangan fonem, morfem,
kata, frasa, klausa, kalimat, dan topik Surat Al-Baqarah.
Penelitian ini mengambil sumber data dari Q.S. Al-
Baqarah [2]. Pengambilan dan pengumpulan data
dilakukan dengan metode membaca dengan teknik
mencatat. Analisis data dilakukan dengan metode
distribusional dengan teknik bagi unsur langsung BUL
(segmenting immediate constituents) dan berupa teknik
lesap (deletion), teknik ganti (subtitution), dan teknik
ubah ujud (paraphase) sebagai teknik lanjutan.
Penggunaan teknik ganti dan ubah ujud digunakan
setelah teknik lesap dilakukan. Penelitian ini menemukan
bentuk-bentuk pengulangan yang mencakup: bentuk
pengulangan satuan kebahasaan fonem dan suku kata di
akhir ayat-ayat surah al-Baqarah; bentuk pengulangan
fonem di dalam ayat; bentuk pengulangan morfem dalam
ayat; bentuk pengulangan morfem dalam kata (tadl'if);
bentuk pengulangan kata dalam ayat yang meliputi
semua kelas kata: kata nomina, kata verba, dan juga
partikel (charf); bentuk pengulangan satuan kebahasaan
frasa dalam Ayat, meliputi frasa verbal, frasa nominal,
numeral, dan frasa adverbial; bentuk pengulangan klausa
dalam topik Surat yang meliputi klausa nominal dan
21
klausa verbal; bentuk pengulangan kalimat dalam topik
Surat yang meliputi kalimat nominal dan kalimat verbal,
kalimat tunggal maupun kalimat majemuk; bentuk
pengulangan tekstual yang berupa pengulangan proposisi
di dalam topik-topik Surah Al-Baqarah.
Melalui analisis lanjutan ditemukan dua jenis
pengulangan yang mencakup: (1) pengulangan sistemik
(2) pengulangan gaya bahasa (stilistik). Fungsi
pengulangan sistemik meliputi: pengulangan sebagai
pemarkah kasus, pengulangan sebagai pemarkah modus;
pengulangan sebagai pembentuk leksem/kata;
pengulangan sebagai penghubung; pengulangan partikel
sebagai alat; pengulangan infinitif sebagai keterangan,
dan pengulangan sebagai peranti kohesi. Fungsi
pengulangan gaya bahasa digunakan untuk memberikan
penekanan (ta‟kīd), menunjukkan perbedaan,
memberikan pendidikan (tarbiyah), mendapatkan
kenyamanan (talaḍḍuḍ), memberikan dorongan,
menujukkan perhatian (ihtimām), menyerupakan
(tashbih), dan lain-lain. Sedangkan fungsi pengulangan
gaya bahasa berdasarkan posisinya meliputi gaya bunyi
yang musikal inter-ayat, gaya keserasian bunyi intra-ayat,
gaya kebalikan (al-`aks), gaya kontras (tadladd), gaya
berhadapan (muqabalah), dan lain-lain.43
Dari abstrak
yang diupload pada halaman website Universitas Gadjah
Mada, tidak ditemukan Nur Faizin menyimpulkan bahwa
pengulangan yang terdapat dalam surat al-Baqarah itu
hanya pengulangan secara lafaz, tetapi tidak secara
makna dan kandungannya dalam tiap-tiap
pengulangannya seperti yang dinyatakan oleh al-
Sha‟rāwī.
43
lihat:http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?act=view&
buku_id=92964&mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&typ
=html. Diakses pada 26/02/2017.
22
Kedua belas, Artikel yang mengkaji tikrār terbaru
yang ditemukan adalah karya Faraan Alamgir Sayed
dengan judul "Repetition in Qurʾānic Qaṣaṣ: With
Reference to Thematic and Literary Coherence in the
Story of Moses" yang diterbitkan pada Journal of Islamic
and Muslim Studies pada Vol. 2, No. 2 (November
2017), lewat abstrak yang dapat diakses, dapat diketahui
bahwa, artikel ini mengkaji ayat-ayat yang mengalami
pengulangan yang mendiskusikan kisah Nabi Musa As.
kajian ini berkesimpulan bahwa, pengulangan lafaz yang
berbicara mengenai tema yang sama memiliki
keterhubungan, selain itu, kajian ini menyimpulkan
bahwa pengulangan lafaz secara leksikal dan tematis
saling melengkapi dalam menarasikan kisah Nabi Musa
dan memberikan kedalaman karakter lintas-kisah yang
lebih luas bagi penyimak.44
Ini semakna dengan pendapat
al-Sha‟rāwī dalam memahami lafaz yang mengalami
pengulangan yang berbicara tentang tema yang sama,
menurutnya bahwa sebagian kisah yang diuraikan dengan
cara pengulangan pada ayat/surah yang berbeda, masing-
masingnya memiliki makna dan fokus yang berbeda, jika
pengulangan yang dipaparkan pada ayat/surah yang
berbeda itu dikumpulkan, maka satu sama lain akan
saling melengkapi.45
Selian itu kajian ini menguatkan
hipotesa penulis, bahwa dalam menafsirkan dengan
44
https://www.jstor.org/stable/10.2979/jims.2.2.03?seq=1#p
age_scan_tab_contents. Diakses pada 24-01-2019. "والقصص في القرآن لا ترد مكررة. وقد يأتي بعض منها في آيات. 45
لقطة مختلفة. تعطينا في كل آية معلومة وبعض منها في آيات أخرى. ولكن الجديدة. بحيث أنك إذا جمعت كل الآيات التي ذكرت في القرآن الكريم. تجد -lihat: M. M. Al .أمامك قصة كاملة متكاملة. كل آية تضيف شيئا جديدا."
Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī ,,,,,,h. 237.
23
metode tafsir tematik sebelum menghubungkan
kandungan (dengan „ilm munāsabah) dua ayat atau lebih
yang berbicara tema yang sama, terlebih dahulu harus
dipahami kandungan yang terdapat pada lafaz repititif
dari masing-masing ayat.
b. Kajian mengenai al-Sha‟rāwī dan pemikirannya (tafsir)
sudah banyak dilakukan, untuk mencari tahu tema apa
saja yang telah dikaji terkait pemikiran al-Sha'rāwī,
berikut kajian-kajian mengenai al-Sha'rāwī dan
pemikirannya:
Pertama, Tesis yang meneliti terkait pemikiran kalam
al-Sha‟rāwī dilakukan oleh Salahuddin, studi ini yang
dirampungkan pada tahun 1997, Salahuddin mengkaji
pemikiran kalam al-Sha‟rāwī lewat kitab-kitab al-
Sha‟rāwī, tidak hanya melalu kitab tafsirnya, tetapi kitab-
kitab al-Sha‟rāwī yang lainnya pun, studi ini meneliti
beberapa term, terkait tentang pemikiran kalam, yang
menjadi fokus pembahasannya antara lain: Perbuatan
Manusia, kemampuan akal, melihat Allah, konsep doa,
konsep iman, kehendak Allah, hukum kausalitas,
keadilan Allah, mukjizat al-Qur‟an, nama dan sifat Allah
dan mukjizat al-Qur‟an. Studi ini menyimpulkan, bahwa
pemikiran kalam al-Sha‟rāwī mirip dengan pemikiran
kalam tradisional Ash‟ariyah. Akan tetapi pemikiran
kalam Sha‟rāwī bukan merupakan adopsi dari kalam
Ash‟ariyah, karena Sha‟rāwī mengemukakan
argumentasi yang berbeda dalam membela pandangan
kalamnya.46
Dalam studi ini, tidak ditemukkan
pembahasan yang mengkaji bagaimana penafsiran
46
Salahuddin, Dimensi Kalam dalam Pemikiran Syekh
Muḥammad Mutawallī Sya‟rawī, Tesis Program Pascasarjana IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 1997.
24
Sha‟rāwī terkait pengulangan dalam al-Qur‟an yang
menjadi fokus studi penulis.
Kedua, disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, diteliti oleh Isytibsyaroh
(2004) yang menelaah dan meneliti pemikiran al-
Sha‟rāwī terkait hak-hak perempuan dalam relasi gender,
melalui kitab tafsir karya al-Sha‟rāwī sebagai sumber
utamanya. Studi ini berkesimpulan bahwa pandangan al-
Sha‟rāwī terhadap term-term relasi jender pada tafsirnya
memiliki pandangan yang moderat, misalnya;
membolehkan perempuan bekerja di luar, sepanjang
pekerjaannya itu tidak menimbulkan fitnah, dapat
menjaga prinsip-prinsip ajaran agama, kesusilaan dan
dapat mejaga diri. Tidak hanya sampai disitu,
Isytibsyaroh juga memaparkan, bahwa al-Sha‟rāwī
berpendapat bahwa perempuan dapat menjadi saksi
sebagaimana laki-laki dan juga membolehkan perempuan
menjabat sebagai pemimpin.47
Dari pembacaan yang
penulis lakukan, dapat disimpulkan pada disertasi ini,
Istibsyaroh tidak membahas tikrār fī al-Qur‟ān.
Ketiga, Badruzzaman M. Yunus, Disertasinya yang
dirampungkan pada tahun 2009, di Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul “Tafsīr al-
Sha‟rāwī; Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan
Ittijāh. Dari kajian yang dilakukan oleh Badruzzaman
ini, ia menyimpulkan bahwa Tafsīr al-Sha‟rāwī
menggunakan ra‟yi sebagai sumber dari penafsiran yang
dilakukannya, menurut Badruzzaman, ra‟yi tidak
selamanya menggunakan ijtihad/nalar sebagai sumber
penafsiran secara murni. Selain itu, Badruzzaman
menyimpulkan bahwa al-Sha‟rāwī dalam menafsirkan
47
Istibsyaroh, “Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender
pada Tafsir al-Sha‟rāwī,” (Disertasi S3 Pascasarjana UIN Jakarta,
Jakarta: 2004).
25
menggunakan teori kesatuan dan teori korelasi. Adapun
ittijāh dalam tafsir bi al-ra‟yi muncul disebabkan latar
belakang dari seorang penafsir ketika ia menafsirkan dan
ittijāh pun muncul didasarkan dari tujuan yang telah
ditetapkan oleh mufassir pada saat akan menafsirkan.48
Jelas kiranya, dari kajian yang dilakukan Badruzzaman
terhadap Tafsīr al-Sha‟rāwī tidak membahas terkait
dengan penafsiran Sha‟rāwī terhadap pengulangan
(tikrār) dalam al-Qur‟an.
Keempat, Malkan, Dimensi Ilmiah dalam Tafsir al-
Sya‟rāwī Suatu Kajian Ayat tentang Penciptaan
Manusia. Disertasi Mahasiswa Sekolah Pascasarjana
UIN Jakarta tahun 2016, dia membandingkan
penafsiran al-Sha‟rāwī terkait ayat-ayat Proses produksi
manusia (ṭīn, ṭīn lāzib, ḥama‟ masnūn, Ṣalṣal, Nuṭfah,
„Alaqah, Muḍghah, Izām, panca indera, jantung dan sidik
jari) dengan ilmu pengetahuan modern, setelah
mencermati dari perbandingan dua sumber tersebut,
adanya beberapa pembahasan di atas yang relevan antara
penafsiran al-Sha‟rāwī dengan ilmu pengetahuan
modern.49
Kajian yang dilakukan oleh Malkan terhadap
Tafsir al-Sha‟rāwī itu hanya terkait dengan penafsiran
terhadap ayat-ayat yang mendiskusikan tentang
penciptaan manusia, tidak ditemukan dalam kajian ini
yang membahas tentang tikrār fī al-Qur‟an dalam Tafsir
al-Sha‟rāwī.
Berdasarkan pengamatan penulis, terhadap penelitian
dan karya tulis di atas, secara garis besar merefleksikan dua
wilayah kajian utama yakni, pertama Tafsīr Al-Sha‟rāwī dan
48
Badruzzaman M. Yunus, “Tafsir al-Sya‟rāwī; Tinjauan
Terhadap Sumber, Metode dan Ittijāh,” (Disertasi S3 Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta, Jakarta:2009). 49
Malkan, Dimensi Ilmiah Dalam Tafsīr Al-Sha‟rāwī:
Suatu Kajian Ayat Tentang Penciptaan Manusia, (Jakarta: Mazhab
Ciputat, 2016).
26
kajian tikrār dalam al-Qur‟an, sampai saat ini, belum
ditemukan studi yang mengkaji tikrār dalam Tafsīr al-
Sha‟rāwī.
E. Metodelogi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Mengingat sumber dari penelitian ini adalah pustaka
murni, maka jenis penelitian ini dikategorikan sebagai
penelitian library research (penelitian pustaka), yang berarti
bahwa data yang menjadi objek hal-hal yang terkait dengan
teori al-tikrār fī al-Qur‟ān yang digunakan oleh al-Sha‟rāwī
dalam menafsirkan pengulangan dalam al-Qur‟an. penelitian
ini bersifat teoritis, metode yang digunakan adalah metode
kualitatif. Metode kualitatif secara umum dapat didefinisikan
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati50
.
Pendekatan strukturalisme digunakan guna membaca
penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap lafaz-lafaz yang mengalami
pengulangan dalam al-Qur‟an. Sebelum berbicara jauh dan
menerapkan strukturalisme linguistik terlebih dahulu
dipaparkan penjelasan terkait dengan pendekatan ini. Pada
dasarnya strukturalisme merupakan cara berfikir tentang dunia
sebagai badan yang terstruktur oleh unsur-unsur
pembangunnya. Berbagai unsur pembangun tersebut
dipandang lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis dari
pada sekedar susunan unsur-unsur pembangun. Oleh karena
itu, masing-masing unsur hanya akan bermakna jika
dihubungkan dengan unsur yang lain di dalam struktur.51
Maka dengan perspektif ini memahami sebuah teks sebagai
50
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif
(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 4. 51
Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics (Taylor &
Francis e-Library, 2004), h. 6-7.
27
tubuh yang tersusun, yang setiap unsur penyusunnya
mempunyai makna dan kandungan dari tiap-tiap
bangunan/susunan yang disusunnya. Dengan demikian,
berbagai unsur pembangun/penyusun struktur memiliki
koherensi atau pertautan yang erat. mereka (unsur-unsur
penyusun) tidak berdiri sendiri satu dengan yang lainnya
(otonom), melainkan menjadi bagian dari situasi yang rumit
dan hanya dengan interaksi itulah teks itu mendapatkan arti.
Definisi strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur,
yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar
hubungannya, hubungan antar pihak yang satu dengan unsur
lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur-unsur
dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata
bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan
kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan
pertentangan. Dalam khazanah ilmu al-Qur‟an yang
membahas tentang bagaimana hubungan yang terdapat pada
al-Qur‟an, baik itu hubungan antar ayat, hubungan surah dan
masih banyak lagi macamnya, seperti yang telah penulis
paparkan pada bab sebelumnya. Ilmu ini dinamakan „Ilm
Munāsabah.
Linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang
menjadikan bahasa sabagai objek kajiannya, sedangkan
menurut Andre Matinet, linguistik adalah telaah ilmiah
mengenai bahasa manusia.52
Pandangan ini meneguhkan
bahwa linguistik merupakan pendekatan yang dapat
digunakan dalam menelaah al-Qu‟ran, karena al-Qur‟an
diuraikan menggunakan bahasa manusia, lebih spesifiknya
bahasa Arab.
Asumsi dasar Strukturalisme linguistik adalah bahwa
bahasa merupakan sistem yang terdiri kaidh-kaidah abstrak
yang menentukkan kombinasi serta relasi antar unsur
52
Andre Martinet, Ilmu Bahasa : Pengantar, Terj. Rahayu
S. Hidayat (Yogyakarta: Kansius , 1987), h. 19.
28
bahasa.53
Artinya dengan asumsi ini, pada kajian ini penulis
akan menggunakan pendekatan strukturalisme linguistik
untuk membaca penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap
susunan/hubungan lafaz yang terbangun pada tiap susunan
lafaz dalam tikrār.
Pendekatan strukturalisme menjadi tool dalam
membaca dan menganalisa pengeloborasian al-Sha‟rāwī
terhadap struktur lafaz tikrār. Pendekatan ini juga digunakan
dalam mengkaji secara mendalam dalam membaca sebuah
kajian seorang tokoh yang mengkaji al-Qur‟an, yaitu
mengkaji pemkiran Muḥammad Shaḥrūr, kajian ini mengkaji
karya Muḥammad Shaḥrūr yang berjudul al-Kitāb wa al-
Qur‟ān: Qirā‟ah Mu‟āṣirah.
Dalam pandangan Zaki Mubarok dari hasil kajiannya
terhadap kajian-kajian terhadap studi strukturalisme linguistik,
ada enam prinsip analisis teks strukturalis, prinsip ini
merupakan perwujudan strukturalisme yang berasal dari
paradigma Strukturalisme Linguistik, berikut enam prinsip
analisis teks strukturalisme:54
1. Prinsip Imanensi, yaitu menekankan analisis pada
struktur atau sistem dalam perspektif singkronis atau
diakronis
2. Prinsip Distingsi, yaitu analisis terhadap hubungan
distingtif antar unsur dalam sistem yang mempunyai
nilai berbeda-beda
3. Prinsip kesesuaian, yaitu mengkaji aturan-aturan
yang menentukan kombinasi tiap-tiap elemen dalam
teks
53
Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik
dalam Tafsir al-Qur‟an Kontemporer “ala” M. Syahrur,
(Yogyakarta: eLSAQ, 2007), h. 306. 54
Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme .......,h. 105.
29
4. Prinsip Integrasi, yaitu bahwa struktur-struktur
elementer harus diintegrasikan dalam totalitas sebuah
sistem
5. Prinsip perubahan diakronis. Perubahan diakronis
(sejarah) didasarkan pada analisis sinkronis sebuah
sistem
6. Prinsip fungsional, yaitu mengkaji fungsi komunikasi
dan fungsi-fungsi lainnya dari sistem ang ada pada
teks.
Enam analisis teks strukturalis linguistik di atas yang
disimpulkan oleh Zaki Mubarok ini tidak semuanya dapat
digunakan sebagai alat dalam menganalisa penafsiran al-
Sha‟rāwī terhadap tikrār, tentunya prinsip di atas lebih rinci
dari teori naẓm al-Jurjānī, tetapi penulis berpandangan bahwa
teori naẓm al-jurjānī relevan untuk membaca bagaimana
eloborasi al-Sha‟rāwī dalam menafsirkan tikrār fī al-Qur‟ān.
Pemahaman seperti ini kurang lebih serupa dengan
konsep Naẓm yang dikembangkan oleh „Abd al-Qāhir al-
Jurjānī55
(W. 471/1078) yang menyoal hubungan sintagmatis
kata di dalam kalimat dan struktur teks yang lebih luas. Kata-
kata individual , menurut al-Jurjānī, tidak memiliki nilai
distingtif kecuali berada dalam struktur yang lebih luas.56
Jadi
55
„Abd al-Qāhir al-Jurjānī lahir di kota Jurjān, sebuah kota
yang berlokasi di antara kota Khurāsān dan Ṭabaristān, al-Jurjāni
banyak menulis kitab, di antara banyak karyanya yang paling
penting di bidang balāghah dan i‟jaz al-Qur‟an adalah Dalāil al-
„Ijāz, Asrār al-Balāghah dan al-Risālah al-Shāfiyah . selain
kepakarannya di bidang linguistik, al-Jurjāni pun dikenal sebagai
pembela mazhab Asy„Ariyah di bidang Kalam dan Shafi‟iyah di
bidang Fiqih. Lihat: Muhammad Rafii Yunus, “Modern Approaches
to Study I‟jāz al-Qur‟ān,” (Disertasi S3 Fakultas Near Eastren
Studies di The University of Michigan, 1994), h. 10. 56
Sebagaimana yang dikutip oleh Fathurrahman, al-Qur‟an
dan Tafsirnya dalam Pesrpektif Toshihiko Izutsu, (Tesis Sekolah
PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 43. lihat: Aḥmad
30
dengan perspektif ini, pembaca akan menemukan makna yang
berbeda dari satu kata yang sama, yang dikarenakan kata
tersebut berada pada konteks/kalimat yang berbeda.
Dengan analisa strukturalisme linguistik ini, penulis
akan mencoba untuk membaca dan menganalisa bagaimana
penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap terhadap ayat-ayat yang
terdapat di dalamnya pengulangan dan bagaimana cara kerja
al-Sha‟rāwī dalam menafsirkan struktur ayat yang dimana
tersususn atas unsur-unsur, yang al-Sha‟rāwī yakini bahwa
setiap unsur penyusun dari setiap ayat memiliki kandungan
dan makna di setiap tempatnya.
2. Sumber Data
Sumber Primer dalam melakukan studi ini adalah
kitab Tafsīr al-Sha‟rāwī karya yang ditulis oleh murid-
muridnya, antara lain Muḥammad al-Sinrawi, „Abd al-
Waris al-Dasuqi dari hasil penafsiran al-Sharāwī57
, adapun
data sekunder untuk penelitian ini adalah literatur ilmu al-
Qur‟an yang tertera di dalamnya ilmu al-tikrār fī al-Qur‟ān,
literatur tafsir sebagai bahan untuk mengetahui posisi
penafsiran al-Sha‟rāwī, perbandingan, dan untuk memperkaya
data dalam melakukan penelitian ini, selain itu dalam
penelitian ini semua terjemahan al-Qur‟an bersumber dari
aplikasi Qur‟an Kemenag.
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Data Penelitian ini dikumpulkan melalui studi teks
(literatur) terhadap Tafsīr al-Sha‟rāwī karya Muhammad
Sayyid Muḥammad „Ammār , Naẓariyyat al-I„jaz al-Qur‟ān wa
Athāruhā fī al-Naqd al-„Arabi al-Qadīm (Beirut: Dār al-Fikr
Mu‟ṣirah, 1998), h.152. 57
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas
Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah, 2011), h. 148.
31
Mutawallī al-Sha‟rāwī. Penulis akan menginventarisir ragam
tikrār yang ditafsiri oleh al-Sha‟rāwī.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
dengan content analisis58
. Data yang telah terkumpul
kemudian diolah dan dianalisis secara objektif dengan
membandingkan penerapan penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap
tikrār dalam al-Qur‟an, dengan penafsiran para penafsir
pendahulunya, sehingga dengan cara ini, penulis mendapatkan
kesimpulan dimana posisi penafsiran al-Sha‟rāwī.
Adapun Prosedur atau langkah-langkah yang
ditempuh sebagai berikut: a) mengidentifikasi kategori
kata/kalimat yang secara lafaz59
adalah tikrār, namun al-
Sha‟rāwī memandangnya bukan tikrār60
, b). Mengumpulkan
penafsiran-penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap lafaz yang secara
tersurat memang diulangi, c) menganalisa pendekatan apa
yang digunakan al-Sha‟rāwī dalam menggali maksud dan
kandungan dari lafaz-lafaz yang diulang, d) menghubungkan
dan membandingkan penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap tikrār
dengan penafsiran penafsir-penafsir yang lain, e)
Menyimpulkan hasil penelitian.
F. Teknik Penulisan dan Penyajian Hasil Penelitian
Dalam Teknik Penulisan, penelitian tesis ini
mengikuti buku pedoman Penyusunan Proposal
58
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif
(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 4. 59
Penting mencari tahu kategori kata/kalimat (yang secara
lafaz adalah tikrār namun dalam pandangan al-Sha‟rāwī bukan
tikrār) yang ditafsiri al-Sha‟rāwi, karena berbeda menurut Karmānī 60
Ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan lafaz الرحمن الرحيم dalam
surat al-Fātiḥah, menurutnya lafaz الرحمن الرحيم dalam basmalah
memilki makna dan maksud yang berbeda dengan الرحمن الرحيم pada
ayat surat al-Fatiḥah ke tiga. Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr
al-Sha‟rāwī (Cairo: Idarah al-Kutub wa al-maktabāt, 1991), h. 47-
48.
32
Tesis/Disertasi yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hiadayatullah jakarta tahun 2017. Sementara
dalam penulisan footnote dan transliterasi, penulis mengacu
pada ALA-LC Romanization Tables dan Turabian and
Chicago Styles Citations.61
Hasil penelitian ini disajikan dalam semua
pembahasan (bab) dalam tesis ini, dan tidak dikhususkan pada
bab tertentu, karena tesis ini merupakan satu kesatuan yang
utuh mengenai hasil pembacaan, penulusuran data,
sistematisasi, validasi, dan konklusi terhadap pendekatan dan
penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap pengulangan yang ada dalam
al-Qur‟an, melalui kitab tafsirnya.
Penyajian hasil penelitian ini juga diperkuat dan
divalidasi dengan berbagai literatur atau referensi terkait yang
diletakkan pada catatan kaki (footnote). Beberapa hal (istilah,
konsep dan ungkapan) yang dinilai perlu diberi penjelasan
lebih lanjut juga diberikan penjelasan dalam dua tanda kurung
dan/atau dalam catatan kaki.
G. Sistematika Penulisan
Untuk teknik Penulisan tesis ini merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Bahasa Indonesi, Transliterasi dan
Pembuatan Notes Dalam Karya Ilmiah, Sekolah Pasca Sarjana
Pembahasan dalam tesis ini disajikan dalam lima bab, bab
pertama merupakan pengantar dalam bentuk pendahuluan,
yang mejelaskan latar belakang munculnya permasalahan,
kemudian dibatasi dan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
penelitian, yang hendak dijawab oleh penelitian ini, pada bab
ini juga menjelaskan metodelogi yang digunakan sebagai
instrumen analisis dan cara membaca data.
61
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia,
Transliterasi dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah (jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)
33
Pada bab kedua merupakan landasan teoritis bagi bab-
bab berikutnya. Bagian pertama pada bab ini akan membahas
perkembangan kajian tikrār dari masa klasik hingga modern,
serta mendiskusikan Teori al-Tikrār fī al-Qur‟ān yang telah
dikembangkan oleh para pakar „Ulūm al-Qur‟ān, lalu setelah
itu memaparkan dan menganalisa bagaimana hubungan kajian
tikrār dengan cabang-cabang ilmu al-Qur‟an62
dan metode
penafsiran al-Qur‟an yang menggunakan teks al-Qur‟an
sebagai instrumen dalam menggali kandungan al-Qur‟an, dan
serta menyoal tikrār sebagai bantahan terhadap pandangan
orientalis yang beranggapan pengulangan dalam al-Qur‟an itu
tidak perlu dan cenderung mendiskreditkan al-Qur‟an karena
terdapat banyak sekali pengulangan di dalamnya.
Pada bab ketiga mengulas tentang Muḥammad
Mutawallī al-Sha‟rāwī dan karya tafsirnya. Pembahasan ini
dibagi dalam beberapa poin, yaitu sekilas biografi yang
meliputi riwayat hidup, setting sosio-kultural, tafsir dan
karya-karya lainnya, setelah itu dilakukan kajian secara umum
tentang Tafsīr al-Sha‟rāwī, berupa tinjauan umum
karakteristik tafsir serta penyajian penafsirannya serta
memaparkan posisi penafsiran al-Sha‟rāwī dalam tradisi
menafsirkan di Mesir serta menguraikan motivasi dari al-
Sha‟rāwī dalam menafsirkan al-Tikrār dalam al-Qur‟an.
Pada bab empat berisi uraian pokok yaitu berupa
analisis terkait dengan penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap lafaz
yang tersurat kan diulangi inti dari penelitian ini, membahas
terkait dengan al-Tikrār sebagai sumber penggalian bukti
kemukjizatan al-Qur‟an dari aspek kebahasaan dan
kandungan, serta pembahasan yang terakhir membandingkan
kajian tikrār yang dilakukan oleh al-Sha‟rāwī dengan kajian
oleh sarjana, dengan mengamplikasian framework sarjana
terhadap eloborasi kajian tikrār al-Sha‟rāwī
62
Dengan ilmu munāsabah.
34
Bab ke lima adalah kesimpulan dari uraian penelitian
dan saran-masukan.
35
BAB II
Tikrār sebagai cabang Ilmu al-Qur’an
Bab ini dimulai dengan memaparkan tradisi awal
kajian tikrār, usaha ini dilakukan guna mengetahuai sejak
kapan kajian terhadap disiplin cabang „Ulūm al-Qur‟ān ini
menjadi pusat perhatian para penggiat kajian al-Qur‟an.
kemudian dilanjutkan dengan pembahasan dan
memetakan posisi kajian tikrār dengan posisi kajian beberapa
„Ulūm al-Qur‟ān lainnya yang berhubungan dengan
penggalian kandungan teks yang melibatkan kemiripan lafaz
secara cara penulisan. disiplin cabang-cabang ilmu al-
Qur‟annya adalah: Munāsabah, Balāghah dan Ishtirāk al-
Lafẓī. Ini dilakukan untuk memetakan perbedaan kajian tikrār
dengan cabang-cabang ilmu al-Qur‟an tersebut.
Pada sub terakhir dari bab ini, penulis menyajiakan
sebuah perspektif kajian tikrar kontemporer. Untuk
menunjukkan sejauh mana kajian terhadap disiplin ilmu ini
didiskusikan. Ini akan menunjukkan bahwa pengulangan yang
terdapat dalam al-Qur‟an merupakan hal yang sangat layak
untuk diteliti dan selain itu pula penelitian yang dipaparkan
akan digunakan guna membaca penafsiran al-Sha'rāwī dalam
mengkaji tikrār.
Dari sekian banyak kajian al-Qur‟an, yang mengkaji
al-Qur‟an dari segi bahasa, salah satunya kajian yang menitik
beratkan penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksi dan kata-
kata yang berulang (tikrār) atau beredaksi mirip. Orientasi
dari diskursus ini untuk mengungkap rahasia retorika bahasa
al-Qur‟an (asrār al-balāghah), karena bagaimanapun, teks al-
Qur‟an itu bersifat tauqifi dan dari teks yang sudah tidak bisa
diubah dari segi susunannya tidak pula bisa ditambah dari segi
36
kontennya1, maka dari itu, sebuah keharusan untuk menggali
kandungan di dalamnya, guna mendapatkan kandungan dari
teks tersebut.
A. Melacak Tradisi Awal Kajian Tikrār fī al-
Qur’ān
Sebelum berbicara banyak tentang sejarah awal mula
kajian tikrār dimulai, akan terlebih dahalu disajikan definisi
tikrār yang telah didiskusikan oleh [akar terlebih dahulu,
secara bahasa tikrār atau takrār (keduanya sama-sama bentuk
masdar dari kata ز مس ) mempunyai makna I‟adah atau Radd
yang berarti mengulang2 sedangkan secara istilah tikrār
menurut al-Zarkashī dalam karyanya al-Burhān fī „Ulūm al-
Qur‟ān, dia mendefinisikan penyebutan sesuatu lebih dari
sekali.3 Sedangkan menurut Ibn Zubayr dalam karyanya Milāk
Ta‟wīl, tikrār merupakan4 ayat yang mengalami pengulangan
secara lafaz, maupun perbedaan yang dikarenakan taqdim
(dikedepankan) atau ta'khīr (diterakhirkan) atau dengan
tambahan dalam ibarahnya. Adapun dalam karya-karyanya al-
1 Khālid „Uthmān al-Tsabt, Qawā‟id al-Tafsīr Jam‟an wa
Dirāsatan, (Mesir: Dār Ibn „Affān, 1421 H.), h. 102. 2 Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir Kamus
Arab-Indonesia, (Yogyakarta: UPBIK PP al-Munawwir, 1984), h.
521. 3 Badr al-Dīn al-Zarkashī, al-Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān,
(Baerut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah , 2007), Jil. 3, h. 8. 4Ibn Zubayr (W. 807 H.) salah satu pengkaji al-Qur‟an
yang fokus tentang tema mutashābih al-Lafẓī, menurutnya
pengertian terkait mutashābih al-Lafẓī sebagai berikut: توجحيو مااىزعجستكرر من آياتو لفظا أو اختلف بتقديم أو تأخير و بعض زيادة في lihat:
Ibn Zubayr, Milak al-Ta‟wīl, (Baerut Libanon: Dār kutub al-
'Ilmiyyah, 2006, Cet. I), h. 7.
37
Sha‟rāwī belum ditemukkan definisi tikrār secara explisit,
tetapi al-Sha‟rāwī mempunyai asumsi dasar sampai dia
berkesimpulan bahwa di dalam al-Qur‟an hanya ada
pengulangan secara lafaz, pengulangan tidak berlaku pada
ruang makna. Asumsi dasarnya bahwa yang menentukkan
letak susunan kata dan ayat dalam al-Qur‟an adalah Allah
Swt. dan dipastikan susunan al-Qur‟an memiliki makna.5
Al-Qur‟an sebagai kitab pedoman bagi umat manusia
diturunkan untuk menjadi petunjuk, guna mengarungi hidup
sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt, maka layakanya
buku pedoman dapat dipahami dengan baik, di lain pihak al-
Qur‟an sebagai wahyu ilahiyah, dalam ruang historis dan
manusiawi. Artinya, al-Qur‟an telah mengalami transformasi,
dari kalam al-nafsī, (The Idea of God) menuju kalam al-Lafẓī
yang menggunakan simbol-simbol bahasa yang digunakan
manusia, kejadian ini (transformasi) karena terjadi
penyampaian pesan/ajaran (risalah) yang ditujukkan kepada
umat manusia. Penyampaiannya lewat perantara Malaikat
Jibril lalu Nabi Muhammad Saw. Terus disampaikan ke umat
manusia6.
Oleh karena itu, dalam menggali kandungan-
kandungan al-Qur‟an (sebagai sebuah pesan Allah Swt.)
Memahami bahasa Arab (sebagai kode komunikasi)7 adalah
suatu bagian yang paling tidak terelakkan. Karena di beberapa
5لأن المتكلم ىو الله سبحانو وتعال ....ولذلك فهو يضع اللفظ فى
مكانو الصحيح, وفى معناه الصحيح
Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,,h.
48. 6Naṣr Ḥamīd Abū Zayd, “The Textuality of the Koran”
dalam Islam and Europe in Past and Present, NIAS, 1997, h. 43. 7Islah Gusmian, “Lompatan Stilistika dan Transformasi
Dunia Makna al-Qur‟an” dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. II, No.
2, 2007, h. 438.
38
kesempatan ada penegasan bahwa al-Qur‟an hanya
disampaikan dengan bahasa Arab.8 Maka tidak heran, para
pakar memberi syarat seseorang jika ingin menafsirkan,
seyogyanya memiliki kemampuan dalam bahasa Arab, baik
itu dalam bidang ilmu Naḥw, Ṣarf9 maupun Balāghah
10.
Dalam proses pembacaan simbol-simbol yang
dituangkan dalam bahasa Arab, ditemukan dalam uraian al-
Qur‟an, sepintas cukup banyak bagian teks al-Qur‟an yang
tidak mudah untuk dipahami secara jelas11
, lebih lagi, ada
8Setidaknya ada pada enam kesempatan, al-Quran
menegaskan diri-Nya hanya diturunkan dengan bahasa Arab, antara
lain: زق عد ىعي اى فب ف صس صىب قسآب عسثب مرىل أ ذمسا حدس ى أ
“Kami menurunkan al-Quran dalam bahasa Arab” (Q.S. Ṭāhā
[20]:113), رعقي صىب قسآب عسثب ىعين إب أ “Kami menurunkan al-Qur‟an
dengan berbahasa al-Qur‟an agar kamu memahaminya ” (Q.S.
Yūsuf [12]: 2) زق ج ىعي س ذ ع adalah al-Qur‟an“ قسآب عسثب غ
dalam bahasa Arab yang tidak ada bengkokannya” (Q.S. Al-Zumār
[39]: 28), عي يذ آبر قسآب عسثب ىق مزبة فص “adalah bacaan dalam
bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui” (Q.S. Fuṣilat [41]: 3),
ع ل اىج رز ر ىب ح اىقس رز أ ل قسآب عسثب ىز ب إى ح مرىل أ ت ف ز
عس فسق ف اىس Kami wahyukan kepada dalam bahasa“ فسق ف اىجخ
Arab” (Q.S.Al-Syūrā [42]: 7), رعقي Kami“ إب جعيب قسآب عسثب ىعين
menjadikan al-Qur‟an dalam bahasa Arab” (Q.S. Al-Zukhruf [43]:
3). Terjemahan berikut diambil dari aplikasi Qur‟an Kemenag yang
disusun oleh Lajnah Pentashihan al-Qur‟an versi dibawah
Kementerian Agama RI. 9Ṣarf adalah Ṣarf (Morfologi) ilmu yang melingkupi
pembahassan terkaitt perubahan bentuk kata (kata kerja, benda dan
sifat). Lihat: Abdallah Tayseer Alshdaifat, “The Formation of
Nominal Derivatives in the Arabic Language With a View to
Computational Linguistics”, (Disertasi S3 School of Humanities,
Languages and Social Sciences, University of Salford, Salford, UK,
2014), h. 2.
11 Bagian al-Qur‟an yang sukar atau samar untuk dipahami,
bagain ini diistilahkan dengan mutashābih al-Qur‟ān,
cangkupan/area kajian mutashābih menjadi perdebatan antara
39
pada beberapa bagian dari al-Qur‟an jika ditinjau sepintas
terkesan kontradiktif dan banyak juga di temukan
pengulangan yang terkesan tidak perlu.12
Dengan fakta seperti di atas. Namun di lain pihak,
disepakati secara meluas, bahwa susunan unsur penyusun
pengkaji al-Qur‟an, antara lain yang dikategorikan mutashābih al-
Qur‟ān:
1. Ayat-ayat yang hanya Allah yang tahu kapan terjadi apa
yang diinformasikannya, seperti kapan tibanya hari
kiamat dan hadirnya dābbah (دآثخ) QS. Al-Naml 27:82.
2. Ayat-ayat yang tidak dapat dipahami kecuali
mengaitkannya dengan penjelasan.
3. Ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna.
4. Ayat yang mansukh yang tidak diamalkan karena batal
hukumnya.
5. Apa yang diperintahkan untuk diimani, lalu menyerahkan
maknanya kepada Allah.
6. Kisah-kisah dalam al-Qur‟an.
7. Huruf-huruf alfabetis yang terdapat pada awal beberapa
surah, seperti اى (huruf muqata‟ah) lihat: M. Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan dan Aturan
Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat
Al-Qur‟an, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 211. Dari
sekian uraian Quraish Shihab terkait mutashābih dia atas,
satu yang memiliki kaitan erat dengan pembahasan tikrār
adalah bagian kisah-kisah dalam al-Quran. Bagian ini
dikategorikan mutashābih karena al-Qur‟an dalam
menyampaikan kisah-kisahNya menggunakan
pengulangan dan menyampaikannya dibeberapa surah
yang berbeda, untuk lebih dalamnya lihat: Andy
Hadianto, “Repetisi Kisah Al Qur‟an(Analisis Struktural
Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makkiyyah
dan Madaniyyah),” (Disertasi S3 Sekoalah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 12
Salwa el-Awa, “Repitition in the al-Qur‟an: A Relevance
Based Explanation of the Phenomenon,” dalam Islamic Studies, Vol.
42, No. 4, Winter 2003, h. 577.
40
dalam al-Qur‟an baik itu kata maupun kalimat adalah
susunannya bersifat tauqifi, maka sudah dipastikan, susunan
kata dan kalimat dalam al-Qur‟an bukan dalam ranah yang
bersiat ijtihadī13
, maka tidak bisa susunan yang sudah ada
pada raṣm uthmānī direkonstruksi. Maka pengulangan yang
ada merupakan ketentuan Tuhan, yang pasti memiliki maksud
dan makna di dalamnya, dalam hal ini, mutawalli al-Sha'rāwī‟
memberikan komentar sebagai berikut:
نحن نقول انو ليس ىناك تكرار في القران الكريم, وإذا تكرر اللفظ ال ....ولذلك يكون معناه في كل مرة السابقة لأن المتكلم ىو الله سبحانو وتع
14فهو يضع اللفظ فى مكانو الصحيح, وفى معناه الصحيح
Dari pernyataan ini, al-Sha'rāwī sangat meyakini bahwa
dalam setiap pengulangan yang ada dalam al-Qur‟an pasti
memiliki maksudnya masing-masing.
Di lain pihak tikrār adalah bagian dari naẓm al-Qur‟ān,
terkait naẓm al Qur‟ān, menurut Jāḥiz, Naẓm al-Qur‟an
merupakan salah satu i‟jaz al-Qur'an karena ketidak
mampuan orang-orang Arab dalam menulis yang serupa
(imitate) dengan al-Qur'an, dalam karyanya Hujjah al-
Nubuwwah. Namun demikian, perdebatan mengenai naẓm al-
Qur‟ān, merupakan kasus klasik yang sudah muncul dari
perdebatan di antara para pengkaji al-Qur‟an, sebagian
berpendapat bahwa naẓm al-Qur‟ān adalah salah satu bentuk
13
Merupakan hasil usaha kreatifitas secara rasional. 14
Kami Berpendapat bahwa tidak ada pengulangan (makna
dan substansi) dalam al-Qur‟an, jika suatu lafaz diulangi, itu akan
memiliki makna yang berbeda dengan makna lafaz yang telah lalu
(sebelumnya), karena yang bersabda adalah Allah Swt. Oleh maka
sebab itu, Allah Meletakkan sebuah lafaz pada posisi yang tepat dan
memiliki makna yang tepat (benar). M. Mutaawalli al-Sha'rāwī ,
Tafsīr al-Sha'rāwī,,,,,,h. 51-52.
41
kelebihan dari al-Qur‟an (I‟jāz15
), banyaknya yang telah
mengkaji tentang kemukjizatan (a miracle) naẓm al-Qur‟ān,
Pendapat Jāḥiz ini dikuatkan oleh pendapat-pendapat
penerusnya. Antara lain: 1). Ibn Jarīr al-Ṭabarī, menurutnya
bahwa naẓm al-Qur‟ān adalah salah satu i‟jaz, yaitu dengan
gaya al-Qur‟an dalam menguraikan kandungannya, cara
menguraikan kandungannya berbeda dengan cara
menguraikan kandungan pada kitab-kitab suci sebelumnya.
Menurutnya kemukjizatan naẓm al-Qur‟an terletak pada segi
koherensi dan kebersinambungan dalam naẓmnya, 2).
Rummānī menambahkan bahwa i‟jaz al-Qur‟an adalah
sebuah keindahan bahasa, kekhasan al-Qur‟an dalam
menyampaikan pesan-pesannya dan di dalamnya
menyusupkan persepsi umat manusia. 3). Khaṭṭābī
memberikan komentar terkait naẓm al-Qur‟an, menurutnya
sangat khas dan pada setiap makna terikat dengan kata-kata
yang tersusun dengan sistematis. 4). al-Jurjānī memberikan
pandangannya mengenai naẓm al-Qur‟an, menurutnya
komposisi naẓm al-Qur‟an sangat indah dan kaya akan makna,
memiliki keterhubungan antara setiap kata-katanya (talā‟um
al-alfāẓ), dengan gaya itu, membuat masing-masing kata
yang tersusun dalam al-Qur‟an memiliki hubungan, 5). al-
Zamakhsharī yang bukan lain adalah murid al-Jurjānī sangat
dipengaruhi oleh gagasan gurunya itu, terkait naẓm al-Qur‟an
Zamakhshārī menambahkan bahwa yang menjadikan al-
15
Menurut pendapat Abd al-Jabbar yang dikutip oleh
Yusuf Rahman, bahwa I‟jaz itu harus memenuhi beberapa kriteria,
antara lain: 1). datangnya dari Allah, baik itu secara langsung
maupun tidak langsung. 2). keajaiban harus mendekonstruksi
kebiasaan orang-orang yang menjadi sasaran kemukjizatannya. 3).
tidak ada sesuatu pun yang dapat membuat serupa dengan nya dan
sebuah mukjizat itu dipastikan original, itu untuk menjadi ciri
kenabian, lihat: Yusuf Rahman,” The Miraculous Nature of muslim
Scripture: A Study of 'Abd Al-Jabbar "I'jaz al-Qur'ān" dalam
Islamic Studies, Vol. 35, No. 4, Winter 1999, h. 413.
42
Qur‟an itu Mu‟jiz karena susunan dan sistematis teksnya. 6).
Fakhr al-Dīn al-Rāzī berpendapat bahwa kesempurnaan al-
Qur‟an terletak pada ekspresi dalam menguraikan
kandungannya (naẓm), bagian itu adalah salah satu unsur
kemukjizatan al-Qur‟an.16
7). adapun menurut al-Sha‟rāwī
terkait dengan naẓm al-Qur‟an, dia berpendapat bahwa Allah
yang maha benar tentu memiliki maksud dari setiap susunan
naẓm al-Qur‟ān, tentu suatu susunan kata dalam al-Qur‟an
memiliki makna17
.
Bukan tidak ada para pengkaji al-Qur‟an yang
berpendapat bahwa tidak ada keistimewaan (bukan I‟jaz)
dalam naẓm al-Qur‟an18
. Misalnya al-Qādhī „Abd al-Jabbār
(w. 415 H), tokoh Mu„tazilah, mengenai naẓm al-Qur‟ān
menurutnya bukanlah I„jāz al-Qur‟ān (inimitability of the
Qur‟ān), dia berpendapat bahwa kemukjizatan al-Qur‟ān
bukan terletak pada nazhamnya19
. „Abd al-Jabbar mengutip
pendapat gurunya yang berpendapat
16
Muhammad Rafii Yunus, “Modern Apprpaches to the
Study of I‟jaz al-Qur‟ān,” (Disertasi S3 The University of Michigan,
1994), h. 15-16. 17
M. Mutawalli al-Sha'rāwī, Tafsīr al-Sha'rāwī.....,h. 51-52.
Untuk perkembangan pemahaman terkait i‟jaz al-Qur‟an lihat:
Muhammad Rafii Yunus, “Modern Apprpaches to the Study of I‟jāz
al-Qur‟ān,” (Disertasi S3 The University of Michigan, 1994). 18
Menurut Audebert, dengan fakta mushaf al-Qur‟an yang
sekarang dari jumlah banyaknya pengulangan dalam al-Qur‟an,
tidak (kurang) ada hubungan antara teks al-Qur‟an. (the lack of
coherence in the composition of the Qur„anic text) lihat: Michel
Cuypers, “Semitic Rhetoric as a Key to the Question of Naẓm of the
Qur„anic Text,” dalam Journal Quranic Studies, 1. 19
Lebih lanjut, al-Qādhī „Abd al-Jabbār berpendat bahwa
kemukjizatan al-Qur‟an itu terletak pada makna kalimat, bukan pada
kata-kata tunggal bentuknya, lihat:
http://fitk.uinjkt.ac.id/index.php/2017/07/24/mengenal-pemikiran-
linguistik-al-jurjani-dalam-dalail-al-ijaz/. Diakses 30-01-2018.
43
“jika seseorang membuat sebuah tulisan yang
serupa dengan al-Qur‟an secara sastrawi, maka
tulisannya tersebut akan menyerupai al-Qur‟an”20
Dengan ketidak ada tandingan al-Qur‟an secara lafaz
bukan dikarenakan kemustahilan menandindingi al-Qur‟an
secara teks (naẓm), melainkan tidak adannya usaha yang
cukup untuk menandingi al-Qur‟an secara naẓm.
Tikrār salah satu bagian dari naẓm al-Qur‟ān yang
menjadi objek penelitian guna menguraikan makna yang
terkandung di dalamnya. Pada referensi lain, beberapa
pengkaji21
al-Qur‟an tidak menggunakan istilah tikrār, tetapi
menggunakan istilah mutāshabih lafẓī22
, ini telah dikonfirmasi
bahwa pengertian mutāshabih lafzī yang dimaksud adalah
ayat-ayat yang dipaparkan al-Quran berulang-ulang baik itu
tentang suatu kisah/cerita yang diuraikan ber-ulang beberapa
surah, maupun satu tema yang diperbincangkang dalam al-
Qur'an lebih dari satu kali, pada lafaz-lafaz yang sukar untuk
dipahami dan uslūb-uslūb yang berbeda tapi terkesan
20
Yusuf Rahman,” The Miraculous Nature of muslim
Scripture: A Study of 'Abd Al-Jabbar "I'jaz al-Qur'ān" dalam
Islamic Studies, Vol. 35, No. 4, Winter 1999, h. 414. 21
Ibn Zubayr (W. 807 H.) salah satu pengkaji al-Qur‟an
yang fokus tentang tema mutashābih al-Lafẓī, menurutnya
pengertian terkait mutashābih al-Lafẓī sebagai berikut: رجح ب رنسز
,lihat: Ibn Zubayr آبر ىفظب أ اخزيف ثزقد أ رأخس ثعط شبدح ف اىزعجس
Milak al-Ta‟wīl, (Baerut Libanon: Dār kutub al-'Ilmiyyah, 2006,
Cet. I), h. 7. 22
Terkait penelitian tema ini, telah dilakukan dengan sangat
baik dalam dua penelitian, satu penelitian yang dilakukan oleh
Yauman Delta, “Ta‟wīl Ibn Al-Zubayr Terhadap Mutashābih Al-
Lafẓ dalam al-Qur‟an,” dalam Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir
Hadis, Volume 4, Nomor 1, Juni 2014, h. 5-6. Dan Muhammad
Rajāī Aḥmad al-Jabālī, “Taujīh al-Mutāshabih al-Lafdhī fi al-Qur‟an
al-Karīm; Bayna al-Qudamā wa al-Muḥaddithīn, Aḥmad al-Gharnāṭī
wa Fāẓil al-Samurāī; Dirāsah Muqaranah,” (Akādīmiyyah al-
Dirāsah al-Islāmiyah, jāmi'ah malāya, 2012).
44
memiliki makna yang sama23
, dari pengertian di atas,
memperkuat anggapan bahwa tikrār memiliki porsi/tempat
dalam tafsir Maudhu‟ī, lebih lagi jika menggunakan metode
tafsir mauḍu‟ī yang digagas oleh „abd al-Hayyi al-Farmawī.24
Terkait kajian tentang tikrār dalam al-Qur‟an
dilakukan juga oleh non-Muslim, menurut sebagian orientalis,
pengulangan (kisah dalam al-Qur'an) merupakan bukti bahwa
al-Qur'an tidak balīgh. Bahkan Kamil Najjar beranggapan
bahwa pengulangan-pengulangan yang terdapat dalam al-
Qur'an hanya membuang-buang waktu dan membuat pembaca
bosan, Najjar pun mempertanyakan manfaat pengulangan
kisah Musa lengkap dengan rincian detailnya dalam lebih dari
tujuh surah, begitu pula kisah Ibrahim yang diulang dalam 25
surah.25
Perihal penyebaran potongan kisah Nabi dalam al-
Qur‟an di berbagai surah, menurut Ibn Qutaybah,
penyampaian kisah dalam al-Qur'an dengan cara lafaz tikrar
23
Khatīb al-Iskāfī, Durah al-Tanzīl wa Gurah al-Ta'wīl,
Tahqiq: Muḥammad Muṣtafā (Mekah: Maktabah al-Mulk Fahd al-
Watniyah Athnai al-Nashr, 2001, Juz 1), h. 55. Lihat juga: Ṣālih bin
'Abd Allāh Muḥammad al-Shartharī, “Mutashābih al-Lafẓī fī al-
Qur'ān al-Karīm wa Asrārih al-Balāghiah,” (Disertasi, Umm al-
Qurrā University, 2001), h. 8. 24
Dalam menulis tafsir mauḍu‟i, ada enam prosedur/tahap
yang mesti dilalui, dalam enam tahap yang ditentukan al-Farmawy
tersebut, melibatkan dua „ulūm al-Qur‟ān yaitu asbāb al-nuzūl dan
munāsabah, lihat: „Abd al-Hayy al-Farmawy, al-Bidāyah fī Tafsīr
al-Mauḍu‟ī, (Cairo: Maktab al-Jumhūriyyah, 1997), h. 58.
Ditambahkan oleh Shihab dengan melibatkan „am-khas dan mutlaq-
muqayyad. Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an;
Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan,
1994), h. 114-115. Dapat disempurnakan lagi melibatkan „ilm tikrār.
Karena bagaimana pun tidak bisa dipungkiri pada setiap dua
kalimat/ayat yang berbicara tetang sebuah tema yang sama, sangat
berpotensi menggunakan (terdapat) lafaz yang sama. 25
Kamil Najjār, Qirā‟ah Manhajiyyah li al-Islām, (Tripoli:
Talah, 2005), h. 123-124.
45
dan terdapat di berbagai surah, itu cara Allah menyampaikan
kandungannya dengan lembut serta itu merupakan rahmatnya,
agar kandungannya tersampaikan pada setiap penyimak al-
Qur'an, memantapkan setiap hati, dan menghadirkan di
dalamnya pemahaman dan peringatan.
في أطراف الأرض ويلقيها في فأراد الله، بلطفو ورحمتو، أن يشهر ىذه القصص .26كل سمع، ويثبتها في كل قلب، ويزيد الحاضرين في الإفهام والتحذير
Studi tentang tikrār atau mutashābih al-Lafẓī
mempunyai peran penting dalam memahami kandungan al-
Qur'an, yang mempunyai redaksi sama/yang mempunyai
redaksi sama dengan perbedaan minor, karena dalam al-
Qur‟an satu kosakata memiliki beberapa makna, dengan
lahirnya ilmu Ishtiraq dan Jinās yang memaparkan tentang
ragam makna dari sebuah kata, terkait dengan hubungan
tikrār dengan kedua cabang „ilm al-Qur‟ān ini akan
dipaparkan dipenjelasan selanjutnya.
Dalam memaparkan sejarah pengkajian tikrār, dapat
ditemukan dua pendapat yang telah dipaparkan dalam
disertasi, menurut Ṣālih bin 'Abd Allāh Muḥammad al-
Shartharī kajian tikrār/mutashābih al-Lafẓī dimulai dengan
kitab sebagai berikut:
Pengkaji Tikrār pada masa Awal Versi Muḥammad al-
Shartharī
Abad Penulis Judul Kitab
V Abī „Abd Allāh
Muḥammad bin „Abd
Allāh al-Aṣbahānī, lebih
dikenal dengan nama
Durrah al-Tanzīl
wa al-Gurrah al-
Ta‟wīl
26
Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkīl al-Qur‟ān,,,,h. 235.
46
Khaṭīb al-Iskāfī (W. 420
H.)27
VI Maḥmūd bin Hamzah bin
Naṣr al-Kirmānī (W. 505
H.)28
al-Burhān fī
Mutashābih al-
Qur'ān
VIII Aḥmad bin Ibrāhīm bin al-
Zubayr al-al-Thaqafī al-
Gharnāṭī (W. 708 H.)29
Milāk al-Ta‟wīl
VIII Badr al-Dīn bin Jam'ah
(639-833 H.)30
Kashf al-Ma‟ānī fī
al-Mutashābih
min al-Mathānī
IX
Abī Yaḥyā Zakariyyā al-
Anṣārī31
Fatḥ al-Raḥmān bi
Kashf mā Yaltabis
fī al-Qur‟ān
32
Dari pembacaan Data yang dipaparakan oleh
Muḥammad al-Shartharī dalam penelitiannya, setidaknya ada
27
Muḥammad Musṭafa Aydayn, “Durrah al-Tanzīl wa al-
Gurrah al-Ta‟wīl; Diraasah wa Tahqiiq wa Ta'liiq”, (Disertasi S3
Jaami'ah Umm al-Qurraa Mekkah: Maktabah al-Mulk Fahd, 2001
M. Juz 1). 28
Al-Kirmānī, al-Burhān fī Mutashābih al-Qur'ān, (Beirut:
Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1986) 29
Yauman Delta,” Ta‟wīl Ibn Al-Zubayr Terhadap
Mutashābih Al-Lafẓ dalam al-Qur‟an, Mutawātir: dalam Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadis, Vol.4, No. 1, Juni 2014, h. 4. 30
Badr al-Dīn bin Jam'ah, Kashf al-Ma‟ānī fī al-
Mutashābih min al-Mathānī, (Pakistan: Dār al-Wafā al-Mulabā‟ah
wa al-Nashr wa al-Tawzī‟, 1990), h. 5. 31
Referensi yang ditemukan, tidak diterangkan tahun wafat
penulis, ada pun Fatḥ al-Raḥmān yang ditemukan versi yang
ditaḥqiq oleh M. Alī al-Ṣābūnī, penulis Ṣafwah al-Tafāsīr dan juga
seorang dosen di bidang Tafsir pada Umm al-Qurrā University. 32Ṣālih bin 'Abd Allāh Muḥammad al-Shartharī, “Al-
Mutashābih al-Lafẓī fī al-Qur‟ān al-Karīm wa Asrārih Balāghiyah”,
(Disertasi S3 Umm al-Qurrā University, 2001), h. 6.
47
dua kesimpulan yang dapat diambil, pertama,
menginformasikan bahwa pengkajian secara fokus terhadap
repitisi dalam al-Qur‟an sudah dimulai sejak abad ke lima.
Kedua, dari lima kitab yang dipaparkan, semuanya
menguraikan pengulangan lafaz dalam al-Qur‟an di setiap
suratnya.
Setiap uraian dari pengulangan yang disuguhkan
dalam lima kitab di atas, memiliki metode dan sumber dalam
menguraikan pengulangan lafaznya yang berbeda33
, ini
menandakan bahwa penguraian lafaz yang diulangi adalah
dalam ranah ijtihadi.
Kajian di ranah kajian tikrār telah dimulai oleh Abī
Muḥammad „Abd Allāh bin Muslīm bin Qutaybah (W. 213-
33
Misalnya, dalam cara menyuguhkan penjelasannya, al-
Iskāfī menguraikan penjelasan mengapa lafaz tersebut berbeda
dengan yang dilakukan Ibn Zubayr dan Ibn jamā‟ah dalam
menguraikan lafaz yang akan dijelaskan. Mereka mengajukan
pertanyaan terlebih dahulu, dalam mengajukan pertanyaannya
antaranya Ibn Zubayr dan Ibn Jamā‟ah berbeda dalam
melakukannya, baik secara konten maupun cara menyampaikan
penjelasannya. Ibn Zubayr dalam menjelaskan/menafsirkan
beberapa bagian dari surat al-Fātiḥah mengajukan empat pertanyaan,
dengan mengajukan empat pertanyaan terlebih dahulu, setalah itu,
baru memaparkan uraian penjelasan untuk menjawab pertanyaan
yang sudah disuguhkan sebelumnya. Lihat: Ibn Zubayr, Milak
Ta'wil, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1971), h. 11-20. lain
halnya dengan Ibn Jamā‟ah, dalam menguraikan lafaz yang dia
jelaskan, dia mengajukan pertanyaan langsung dijawabnya, jadi
setiap setelah pertanyaan, dia menyertakan jawabanya untuk
menjelaskan lafaz yang ingin dia uraikan. Dalam menelah surat al-
Fātiḥah dia mengajukan sembilan bagian yang dia uraikan. Lihat:
Badr al-Dīn bin Jam'ah, Kashf al-Ma‟ānī fī al-Mutashābih min al-
Mathānī, (Pakistan: Dār al-Wafā al-Mulabā‟ah wa al-Nashr wa al-
Tawzī‟, 1990), h. 83-87.
48
276 H.) dengan karyanya Ta‟wīl Mushkil al-Qur‟ān34
¸jika
ditinjau dari masa hidup Ibn Qutaybah maka pada abad 3 H.
Ibn Qutaybah35
memaparkan dalam karyanya itu.
B. Hubungan Tikrār dan Cabang-Cabang Ilmu al-
Qur’an Dalam pembahasan ini, akan dipaparkan tarik ulur
dan hubungan ilmu tikrār dengan beberapa cabang Ilmu al-
Qur‟an, ini bertujuan untuk menegaskan wilayah kajian/ruang
lingkup „ilm tikrār dan menggambarkan perbedaan wilayah
kajian dengan cabang-cabang ilmu al-Qur‟an lainnya.
Beberapa cabang ilmu al-Qur‟an yang dimaksud adalah;
munāsabah, Istriraq dan tikrār ditinjau dari aspek balāghah.
Ini penting dilakukan untuk menegaskan posisi kajian „ilm
tikrār di antara cabang-cabang ilmu al-Qur‟an, yang kerap
kali Tikrār tidak begitu diperhitungkan.
Al-Qur‟an sebagai salah satu Pesan Allah yang
terekam, perlu dikaji secara mendalam, meski kajian terhadap
al-Quran tidak akan menemukan titik selesai, namun kajian
ini merupakan tugas yang tak kenal henti. Pengkajian
terhadap al-Qur‟an telah dilakukan oleh banyak pihak dan
menghabiskan waktu yang tidak sebentar, al-Qur‟an pun
dikaji dari berbagai sudut pandang ilmu, Dalam kurun waktu
itu, telah lahir banyak kajian dan ilmu dikembangkan. Itu
sebagai proses penggalian kekayaan kandungan al-Qur‟an.
Dalam hal lain, tidak jarang melahirkan beberapa hasil kajian
yang memiliki kemiripan (similiarty), sehingga dalam
prakteknya. dikarenakan keterbatasan pengetahuan oleh
seorang pengkaji, suatu ilmu menegasikan ilmu lainya. Maka
34
Terkait kitab ini telah diteliti dalam bentuk disertasi di
university of Edinburgh dengan judul “Ibn Qutaybah's contribution
to Qur'anic studies” 1993. Dan Tesis di MacGill University, oleh
Floyd W. Mackay dengan judul “Ibn Qutayba‟s Understanding of
Qur‟anic Brevity ” pada tahun 1991.
49
dalam hal ini penting, untuk menegaskan posisi kajian tikrār
sebagai salah satu cabang Ilmu al-Qur‟an yang digunakan
dalam mengeloborasi teks al-Qur‟an guna mendapatkan
pemahaman yang tidak parsial.
1. Tikrār dan Munāsabah: Menafsirkan Kesatuan
Tema (al-Waḥdah al-Mauḍu’iyah)
Al-Qur‟an dengan kemukjizatannya, memberikan
para pembacanya aneka ragam pengalaman dan pemahaman
pada setiap individu yang berinteraksi denganya36
. Maka tidak
mengejutkan jika setiap individu mendapatkan pemahaman
dan pengalaman yang berbeda-beda dalam melakukan
interaksi dengan al-Qur‟an. Menurut Abdullah Darraz bahwa
ayat-ayat yang tersusun dalam al-Qur‟an bagaikan intan
berlian, yang setiap sudutnya, memancarkan cahaya yang
berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut yang lain.
Sangat mungkin, jika kita mempersilahkan orang lain
mendengar al-Qur‟an, tidak jarang si pendengar akan
melihat/memahami lebih banyak ketimbang seorang yang
membacakan37
, tentu dikarenakan pendekatan, latar belakang
dan pengetahuan maka mendapatkan yang berbeda pula ketika
melakukan interaksi dengan al-Qur‟an.
Lebih lanjut, al-Qur‟an memiliki gaya bahasa yang
khas, berbeda dengan gaya sastra Arab lainnya. Susunan al-
Quran termasuk salah satu unsur i‟jaz, berbeda dengan
susunan tuturan orang-orang Arab pada umumnya, al-Qur‟an
memiliki gaya yang berbeda dari apa yang dikenal oleh orang-
36
Islah Gusmian, “Lompatan Stilistika dan Transformasi
Dunia Makna Al-Qur‟an”, dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. II,
No. 2, 2007, h. 436. 37
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi Dan
Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan,
1992), h. 16.
50
orang Arab38
pada masa awal disampaikannya al-Qur‟an oleh
Muḥammad Saw.
Terkait dengan susunan al-Qur‟an, salah satu cabang
„Ulūm al-Qur‟ān yang mengkaji tema ini adalah „Ilm
Munāsabah.39
Menurut Al-Suyūṭī Munāsabah memiliki
makna perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian,
kecocokan dan kepantasan. Kata munāsabah, adalah sinonim
(murādif) dengan kata al-muqārabah dan al-musyākalah,
yang masing-masing berarti kedekatan dan persamaan40
. Ilmu
ini mengaplikasikan pernyataan bahwa al-Qur‟an dapat
dipahami dengan memadukan ayat satu dengan ayat lain yang
berhubungan. bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang
komperhensif dan tidak parsial (al-Qur‟ān yufassiru ba‟ḍuhu
ba‟ḍan), sedangkan menurut Salwa El-Awa41
, Studi tentang
Pertaliaan yang memiliki hubungan pada teks (A study of
coherence relations) sangat mempertimbangkan hubungan
antara bagian-bagian dari sebuah teks itu sendiri, baik itu
bagian mayor dan pula komponen-komponen yang penting
dalam teks itu sendiri.42
maka hubungan pertalian teks itu
38
Al-Baqilāni, I‟jaz al-Qur‟ān, (Kairo: t.p, 1978), h. 38. 39
Terkait kajian „Ilm Munāsabah telah ditulis panjang lebar
dan mendalam. Lihat: Hasani Ahmad Said, Diskursus Munāsabah
al-Qur‟an Kajian atas Tafsir al-Misbāh, (Ciputat: Puspita Press,
2011, Cet. I). 40
Jalāluddīn al-Suyūthī, al-Itqān fī „Ulūm Al-Qur‟ān,
(Beirut: Dār al-Fikr: tt.), juz II, h. 108. 41
Murid dari 'A‟isha 'Abdul-Rahman, (Bint al-Shati‟), Lutfi
'Abdul-Badic and Ramadan 'Abdul-Tawwab, who first introduced
me to the study of linguistics and encouraged me to apply my work
to the Qur‟anic text. Lihat: Salwa M. S. El-Awa, Textual relations in
the Qur'an; Relevance,Coherence dan Structure, (Canada:
Routledge, 2006, Cet. I), x. 42
Salwa M. S. El-Awa Textual Relations in the Qur'an;
Relevance,Coherence dan Structre, (Canada: Routledge, 2006, Cet.
I), h. 26.
51
sangat mempertimbangkan apa yang menjadi perbincangan
antara teks-teks itu sendiri.
Sepintas, ranah kajian yang menjadi objek dan
orientasi dari dua cabang ilmu al-Qur‟an ini (Munāsabah dan
Tikrār) memiliki dua objek pembahasan yang sama, yaitu dua
ayat/kata atau lebih (parts of a text) yang membicarakan tema
yang sama, orientasi dari dua kajian ini untuk mendapatkan
pemahaman yang komperhensif dan menghindari pemahaman
yang parsial, dengan memadu pandankan dua
ayat/kata/kalimat yang memiliki hubungan/kemiripan dengan
prosedural melakukan pembacaan dan penelitian pada ayat-
ayat/kata-kata yang membicarakan tema yang sama43
.
Misalnya dalam memahami ayat pertama dan ketiga
dari surat al-Fātiḥah, kedua ayat tersebut sangat jelas memiliki
hubungan/korelasi (Munāsabah Ẓāhir), karena keduanya
menguraikan tema yang sama, ayat ketiga (al-Rāḥmān al-
Raḥīm) dalam surat al-Fātiḥāh, menurut Quraish Shihab tidak
bisa dianggap sebagai pengulangan sebagian kandungan dari
ayat pertama44
(Basmalah), menurut Shihab, lafaz al-Rāḥmān
al-Raḥīm pada ayat ketiga bertujuan untuk menjelaskan
rahmat dan kasih sayangnya Tuhan yang dicurahkan kepada
makhluk-makhlukNya45
Sedangkan al-Kirmānī dalam menelaah lafaz yang
diulangi, dia menyampaikan pendapat-pendapat pengkaji al-
Qur‟an yang pendahulunya46
, setelah itu dia memaparkan
43
. Misalnya memahami lafaz al-Raḥmān al-Raḥīm yang
tersurat dua kali dalam surat al-Fātihah, jika ditinjau dari sudut
pandang tikrār memiliki perbedaan makna dan maksud. Sedangkan
ditinjau dari sudut pandang munāsabah mencari tahu hubungan
antara dua makna yang memiliki hubungan. 44
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh, (Ciputat: Lentera
hati, Ed 2017, Cet. I, Jil. 1), 40. 45
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh,,,,,, h. 33. 46
Ketika menelaah lafaz al-Raḥmān al-Raḥīm, al-Kirmānī
menyampaikan dua pendapat pendahulunya, pendapat pertama
52
pendapatnya, adapun pendapat al-Kirmānī sendiri mengenai
lafaz al-Rāḥmān al-Raḥīm dalam surah al-Fātiḥah
menurutnya pada ayat pertama (Basmalah) hanya
menyebutkan zat pemberi nikmat tanpa menyebutkan pihak
penerimanya, maka diulangi untuk memberikan pengetahuan
pihak objek penerima nikmat, al-Raḥmān menurutnya
bermakna memberi untuk semuanya, sedangkan al-Raḥīm
hanya untuk orang mukmin terkait itu dengan pengampunan
pada hari pembalasan.47
Tentu ini berbeda dengan Sha'rāwī‟
dari segi pendapat dan cara menelaah lafaz yang diulangi48
Munāsabah49
berfungsi untuk mencari tahu
bagaimana hubungan antara unsur penyusun al-Qur‟an,
diulangi karena diwajibkan untuk memuji Allah karena Allah itu
maha pengasih lagi maha penyayang. 47
Al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār, ,,,,,,h. 65. 48
Lihat: bab satu yang mengkaji tema diatas 49
Munāsabah secara garis besar terbagi menjadi dua,
Munāsabah ayat (Munāsabah Āyāt) dan Munāsabah Surah
(Munāsabah al-Suwar), dalam rinciannya Munāsabah memilki
banyak macamnya, antara lain sebagai berikut:
Pola Munāsabah Ayat:
a) Munāsabah antar ayat dalam satu surah
b) Munāsabah antar ayat dengan Fāṣilah (penutupnya)
c) Munāsabah antar kalimat dengan kalimat dalam ayat
d) Munāsabah antar kata dengan kata dalam satu ayat
e) Munāsabah antar ayat pertama dengan ayat terakhir
dalam satu surah
Pola Munāsabah Surat
a) Munāsabah antar surah dengan surah sebelumnya
b) Munāsabah awal uraian surah dengan uraian akhir
surah
c) Munāsabah antara awal surah dengan uraian akhir
surah sebelumnya
d) Munāsabah tema surah dengan nama surah
e) Munāsabah antara kisah dalam satu surah
f) Munāsabah antara surah-surah dalam al-Quran
53
sebelum menghubungkan antara dua unsur penyusun al-
Qur‟an50
, baiknya terlebih dahulu menguraikan dan
mengetahui maksud dari masing-masing dari dua (lafaz) unsur
penyusun al-Qur‟an yang memiliki kesamaan secara tekstual,
karena kesamaan teks boleh jadi memiliki makna yang sangat
beda dikarenakan konteks kata/kalimat. Sebelum
menggunakan „ilm munāsabah, terlebih dahulu menggunakan
ilmu tikrār untuk memaparkan secara terperinci kandungan
pada setiap kandung ayat atau kalimat yang mengalmi
pengulangan, dapat digambarkan secara berikut:
g) Munāsabah antara Fawātiḥ Al-Suwar dengan isi surah
Pembagian dan kajian terkait Munāsabah-Munāsabah di atas dapat
di lihat: Hasani Ahmad said, Diskursus Munāsabah al-Qur‟an;
Kajian atas Tasir al-Misbāh, (Ciputat: Puspita Press, 2011), h. 222-
324. 50
Dalam kajian Linguistik terdapat dua pendekatan untuk
menelaah hubungan-hubungan antara teks, Teori Koherensi
(Coherence Theory) dan Teori Relevansi (Relevence Theory) dua
pendekatan ini tidak hanya menjelaskan bentuk kebahasaanya saja,
tetapi mempertimbangkan jugaf faktor yang mempengaruhi
pemahaman kita terhadap makna. Lihat: Salwa M. S. El-Awa,
Textual relations in the Qur'an; Relevance,Coherence dan
Structure,,,,,h. 26.
54
Gambar 1. Alur Penafsiran Tematik
Gambar di atas, menunjukkan bahwa pada kekayaan
uslūb al-Qur‟an, lafaz yang diulangi kerapkali membicarakan
satu tema yang sama, dari dua lafaz/ayat atau lebih memiliki
korelasi, jalur di atas adalah jalur mauḍu‟ī ditinjau dari naẓm
al-Qur‟an, perincian ini kerapkali tidak diperhatikan, jika
berkaca dengan prosedural Tafsir Madhui yang sudah populer,
yang dicetuskan oleh „Abd al-Hayyi al-Farmawī. Pada
prosedurnya, sebelum menghubungkan dua ayat atau lebih
yang membicarakan tema yang sama, tidak terlebih dulu
mengeloborasi aspek pengulangan yang terdapat padanya,
tetapi dengan tergesa-gesa menghubungkan („Ilm Munāsabah)
kandungan yang terdapat ayat-ayat tersebut.
2. Tikrār ditinjau dari aspek Balāghah
Balāghah51
menjadi salah satu cabang ilmu al-Qur‟an
yang penting untuk memahami al-Qur‟an, tanpa ilmu ini
51
. Pengertian Balāghah sebagai berikut:
55
seorang pembaca al-Qur‟an tidak menemukan keindahan
bahasa yang digunakan al-Qur‟an, tidak merasakan keindahan
yang dibaca hanyalah teks kering akan gaya bahasa yang
salah satu menjadikan al-Qur‟an karya syair bahasa Arab
terbesar sepanjang masa, sejak munculnya, al-Qur‟an telah
membuat takjub, dengan pemilihan kata dan gaya penuturan
yang khas menggugah dan menggebrak para
pujangga/Penyair Arab pada masa itu52
.
Lebih jauh lagi, kebahasaan al-Qur‟an sampai
sekarang menjadi sumber kajian yang tak lekang oleh waktu,
itu ditenggarai oleh kebahasaan al-Qur‟an yang sangat indah
dan logis, maka dalam memahami al-Qur‟an sudah
seyogyanya menggunakan ilmu Balāghah.
Pada tulisan ini, akan sedikit membahas/meninjau
tikrār dari aspek Balāghah, pambahasan tikrār dalam ranah
ilmu Balāghah termasuk dalam „Ilm Ma‟ānī53
. Tikrār pada
اىجلاغخ رأخ اىع اىجيو اظحب ثعجبزح صححخ فصحخ
Balāghah ialah menyampaikan makna yang luhur secara jelas
dengan menggunakan ungkapan bahasa yang benar serta fasih. Dua
aspek yang menjadi kajian utama „Ilm Balāghah. Pertama, “lapisan
dalam” yaitu makna yang terdapat dalam fikiran
mutakallim/pembicara. Kedua, “lapisan luar” yaitu berupa ujaran
yang diutarak oleh mutakallim baik secara atau tulisan untuk
menyampaikan makna. Lihat: D. Hidayat, al-Balāghah lil-Jamī‟wa
al-Shawāhid min Kalām al-Badī‟; Balaghah Untuk Semua, (Jakarta:
Karya Toha Putra dan Bina Masyarakat Qur‟ani Jakarta, 2002), h.8-
9. 52
Di antara pujangga Arab yang terkagum dengan kekhasan
gaya al-Qur‟an adalah al-Walīd bin al-Mughīrah. Lihat: Ahmad
Amin, Dhuhā al-Islām, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah,
1952), h. 11. 53
Pembahasan „Ilm Ma‟anī, selain tikrārada beberapa
pembahasan lain yang termasuk dalam ranah kajian „Ilm Ma‟anī,
antara lain: al-Ījāz, al-Ḥadhf, al-Qaṣr, al-Takrār, Dhikr al-Khāṣ
ba‟da al-„Ām wa al-„Aks, al-I‟tirāḍ, al-Faṣl bayna al-Jumlatayn dan
al-Iltifāt. Lihat : D. Hidayat, al-Balāghah lil-Jamī‟wa al-Shawāhid
56
dasarnya menunjukkan sebuah kata atau kelompok kata yang
mendapat pengulangan itu dianggap penting, karena
merupakan pikiran inti yang harus lebih ditonjolkan dari
unsur-unsur yang teks yang lain.54
Jadi pembahasan/gagasan
yang mendapatkan pengulangan merupakan mempunyai porsi
prioritas untuk ditekankan.
Tikrār ditinjau dari segi strukturnya, dapat dikategorikan
menjadi tiga model pengulangan, antara lain:
a) Tikrār Bersambungan, pada strukur ini
dihubungkan dengan ḥuruf aṭaf atau oleh
adawāh al-Istifhām55
b) Tikrār tidak bersambung, seperti pada ayat:
56
Ayat ini terdapat pada surah al-Qamar pada
ayat ke 17, 22, 23 dan 40.
min Kalām al-Badī‟; Balaghah Untuk Semua, (Jakarta: Karya Toha
Putra dan Bina Masyarakat Qur‟ani Jakarta, 2002), IV 54
D.Hidayat, al-Balāghah lil-Jamī‟wa al-Shawāhid min
Kalām al-Badī‟; Balaghah Untuk Semua, (Jakarta: Karya Toha
Putra dan Bina Masyarakat Qur‟ani Jakarta, 2002), h. IV. 55
QS. Al-Qāri‟ah 101: 1-3. kata al-Qāri‟ah diulangi dalam
tiga ayat, ini menekankan sebagai penegasan bakal datangnya hari
kiamat yang sangat dahsyat. 56
Menurut Quraish Shihab banyak upaya yang telah
ditempuh untuk memudahkan dalam memahami al-Qur‟an, degan
cara menurunkannya secara bertahap (), Mengulang-ulangi
urainnya, Memberikan serangkian contoh dan perumpamaan
menyangkut hal-hal yang abstrak dengan sesuatu yang kasat indrawi
melalui pemilihan bahasa yang paling kaya kosakatanya , menurut
Quraish Shihab untuk lebih memahami ayat ini, baca juga QS.
Yūnus (12): 2. Lihat: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan,
Kesan, dan keserasian dalam al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera
Hati,2009, edisi Baru Cet. I), h. 242-243.
57
Selain itu, pengulangan dalam al-Qur‟an jika ditinjau
dari sudut pandang Balāghah, menjadi pembahasan al-Jinās
al-Jinās ,(اىجبض)57
adalah gaya bahasa yang menggunakan
“ulangan kata” Kesesuaian atau kemiripan dua lafaz dalam
pengucapan sedangkan artinya berbeda”. Tentu ini sangat
sepaham dengan pendapat yang menyatakan tidak ada
sinonim dalam al-Qur‟an. Ada dua macam, antara lain: al-
Jinās al-Tām (bila dua kata persis sama dalam segi huruf,
bentuk, jumlah dan urutan huruf58
) dan al-Jinās ghayr al-Tām
(Jinās yang tidak sama dari segi empat kategori di atas).
Jika „ilm tikrār guna memparkan penjelasan mengapa
suatu lafaz berlafaz sama, dan melahirkan makna yang tersirat
dari pengulangan lafaz tersebut, sedangkan al-Jinās berguna
untuk memaparkan perbedaan makna suatu lafaz kata yang
sama.
3. Tikrār dan Ishtirāk al-Lafẓī: Menguraikan
Kandungan Satu Lafaz Dengan Ragam Makna
Kajian tentang tektualitas al-Qur‟an sudah banyak
dilakukan, salah satu pengkaji al-Qur‟an kontemporer
57
-lihat: Aḥmad al رشبث اىيفظز ف اىطق اخزلافب ف اىع .
Hāsyimī, Jawāhir al-Balāghah.…, 325. 58
dalam ayat ini, terdapat pengulangan kata اىسبعخ yang
memiliki dua makna yang berbeda. Lafaz yang pertama bermakna
hari kiamat dan lafaz kedua bermakna sesaat Lihat:
“Dan pada hari (ketika) terjadinya Kiamat, orang-orang
yang berdosa bersumpah, bahwa mereka berdiam (dalam
kubur) hanya sesaat (saja). Begitulah dahulu mereka
dipalingkan (dari kebenaran). (Q.S. al-Rūm [30]: 55)
58
misalnya Muhammad Arkoun melakukan kajian mendalam
terhadap teks al-Qur‟an, kajiannya terkait tekstualitas al-
Qur‟an sampai pada kesimpulan pada beberapa poin, antara
lain: 1). kata-kata Allah, 2). Wacana al-Qur‟an, 3). Korpus
tertutup resmi dan 4). Korpus-korpus tertafsir59
. Dalam hal ini
penulis tidak membahas empat kesimpulan Arkoun di atas,
Yang menjadi perhatian penulis adalah kesimpulan ketiga
dan keempat, dari kesimpulan ketiga merujuk pada fakta
kodifikasi al-Qur‟an yang telah dilakukan pada zaman
„Uthmān bin Affān, menurutnya, bahwa al-Qur‟an terdiri dari
sejumlah ujaran tertentu yang mempunyai bentuk tetap. Ini
berarti Al-Qur‟an selesai dari segi bentuk ungkapan dan isi60
.
Namun demikian, pada kesimpulan ke empat Arkoun juga
berpendapat bahwa korpus Al-Qur‟an bersifat terbuka, artinya
korpus tersebut terbuka bagi konteks yang beraneka ragam,
itu berarti korpus tertutup yang bersifat terbuka untuk
ditafsirkan dalam berbagai konteks, termasuk pada konteks
sekarang dan nanti yang akan semakin dinamis.
Dalam pembahasan makna, tidak dipungkiri adanya
kesamaan lafaz tetapi berbeda dalam pemaknaan, ini pun
terdapat dalam al-Qur‟an, terdapatnya kata-kata yang diulangi
yang secara lafaz (dari segi tulisan), dikarenakan berbeda
konteks suatu kata memiliki makna yang berbeda, „Abd al-
Qahir al-Jurjāni berpendapat bahwa kata tidak memiliki
makna pada dirinya (kata) jika tanpa dihubungkan dengan
konteksnya61
59
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-
Qur‟an; Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta:
Teraju, 2003), h. 63. 60
Mohammed Arkoun, Tarīkhiyyah al-Fikr al-„Arabi al-
Islām, (Beirut: Markaz al-inma, 1987), h. 5. 61
Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-
Qur‟an; Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta:
Teraju, 2003), h. 87.
59
Pada perkembangannya, sebuah teks akan dipahami
dengan sangat baik terlebih dengan memahami kontek teks
tersebut lahir atau posisi teks (Naẓm) tersebut berdiri, Abu
Zayd melakukan eloborasi sangat mendalam terkait level
konteks, menurutnya ada beberapa level konteks62
yang mesti
dipahami untuk memahami suatu teks dengan komperhensif.
Salah satu level yang berkaitan dengan teks (naẓm) adalah
level susunan linguistik, pada level ini perlu menganalisa
relasi-relasi suatu teks (naẓm), seperti Faṣl (pemisahan), Waṣl
(pengaitan) antara kalimat-kalimat secara gramatikal dan
relasi-relasi taqdīm (mendahulukan) ta‟khīr (menterakhirkan),
al-Dhikr wa al-Ḥadf (penyebutan dan penghapusan) dan
Tikrār (pengulangan)63
. Pada eloborasi ini dapat ditemukan
titik tolak yang mengharuskan menganaslisa kata-kata yang
diulangi, yang memiliki makna plural.
Dalam „Ulūm al-Qur‟ān, terdapat salah satu
cabangnya („Ulūm al-Qur‟ān) yang memabahas satu lafaz
beragam makna dikarenakan terletak di konteks yang berbeda,
Ishtirāk al-Lafẓī adalah pembahasaan tekait dengan satu lafaz
yang sama tetapi memilki makna yang berbeda64
, terkait ini
al-Zarkashi berpendapat bahwa, “satu kata, memiliki dua
puluh makna, ada kata yang jumlah maknanya lebih dari itu
ada juga kata maknanya kurang dari dua puluh, yang pasti
tidak ada perkataan seorangpun yang memiliki pluralitas
maknanya sebanyak al-Qur'an”65
maka kajian terkait satu kata
62
Baca: Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-
Qur‟an; ,,,,,,h. 90-93. 63
Naṣr Ḥamīd Abū Zayd, “Qadhiyyat al-Mar‟ah bayna
Sanadān al-Ḥadātsah wa Mathraqat al-Taqālīd: Dirāsah fī Tarīkh al-
Nuṣūṣ”, Alif, dalam Majallat al-Balāghah al-Muqāranah, No. 19,
1999, h. 41-42. 64
Muḥammad Nūr al-Dīn al-Munjid, al-Ishtirāk al-Lafẓī al-
Qurān al-Karīm (bayna al-Nadhriyah wa al-Taṭbīq), (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1999), 77. 65
Al-Zarkashī, al-Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān, Jil.I, h. 102.
60
yang diulangi, tetapi memiliki makna satu sama lain, tentu
sepintas kajian ini memiliki similiarty dengan tikrār, lalu apa
perbedaan yang tegas antara dua pembahasan ini.
Hasil dari pembahasan Ishtirāq al-Lafẓī ini
memaparkan ragam makna dari satu lafaz, tidak dengan
penjelasan yang mendalam dan terperinci, karena yang
menjadi inti pembahasan dari ishtirāq adalah memaparkan
bahwa suatu lafaz memiliki makna yang beragam, itu
dikarenakan konteks yang menghendaki sautu lafaz memiliki
makna tertentu, dan setiap konteks secara jelas menghendaki
makna suatu kata berbeda, Hasil kajian yang dilakukan oleh
Muḥammad Nūr al-Dīn al-Munjid terhadap lafaz اىلأخسح
menurutnya, kata اىلأخسح memiliki lima makna dalam al-
Qur‟an, makna-maknanya antara lain66
: al-Akhirah, al-
Qiyāmah (QS. Al-Mu‟mīn: 23/74, al-Layl: 2/102), al-Jannah
(al-Baqarah: 2/102, al-Zukhrūf: 43/35), Jahanam (al-Zumar:
39/9), dan al-Qabr (al-Ibrāhim: 14:27)
Perbedaan yang mendasar dari dua pembahasaan
(Ishtirāq al-Lafẓī dan Tikrār) ini adalah, jika Ishtirāq al-Lafẓī
memaparkan ragam makna suatu kata karena dipengaruhi
konteks kata.
C. Kajian Tikrār Kontemporer
Berkat kritikan yang dilontarkan oleh Edward Said,
kajian al-Qur‟an di Barat mengalami pergeseran yang cukup
signifikan, awalnya pada abad ke delapan belas dan Sembilan
belas Masehi kajian al-Qur‟an di Barat cenderung bias budaya
dan pemikiran Barat, itu tidak terlepas dari masa kolonial.
kritikannya itu berimplikasi pada kajian Islam dan Al-Qur‟an
di Barat pada abad ke dua puluh dan dua puluh satu berubah
66
Muḥammad Nūr al-Dīn al-Munjid, al-Ishtirāk al-Lafẓī al-
Qurān al-Karīm (Bayna al-Nadhriyah wa al-Taṭbīq), (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1999), h. 97-97.
61
dan lebih bervarian.67
Ini menandakan kritikan Said yang
berangkat dari kajiannya terhadap kajian Islam dan al-Qur‟an
di Barat menjadi salah satu titik tolak balik kecenderungan
kajian Islam dan al-Qur‟an di Barat.
Sebelum Membahas lebih jauh mengenai tema ini,
penting untuk ditegaskan, bahwa yang difokuskan pada
tulisan ini adalah kajian al-Qur‟an terkait tema tikrār yang
dilakukan di Barat. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan dan
menegaskan bahwa tikrār adalah tema yang polemic yang
kerap kali dijadikan objek kajian, baik di dunia Islam Maupun
oleh sarjana Barat. Menurut Gabriel Said Reynolds bahwa
kajian al-Qur‟an di Barat tengah pada masa keemasannya68
,
karena banyak wacana dan ragam kajian al-Qur‟an yang telah
dilakukan di Barat, maka dalam hal ini, penulis tidak
membahas semua kajian al-Qur‟an secara menyeluruh.
Menurut salwa el-Awa69
, pengulangan dalam al-
Qur‟an penguraiannya sangat mengalir, tentu itu tidak bisa
diabaikan untuk di analisa teks bahasa (pengulangan) yang
digunakan, dalam penelitiannya “ Repetition in the Qur‟an: A
Relevance Based Explanation of the Phenomenon” ingin
mengungkap fungsi pengulangan lebih dari Taukīd dan
67
Yusuf Rahman, “Tren Kajian al-Qur‟an di Dunia Barat”,
dalam Studi Insania, April 2013. Vol. 1, No. 1, h. 1. 68
Gabriel Said Reynolds, "Introduction: The Golden Age of
Qur'anic Studies?," dalam Gabriel Said Reynolds (ed.),New
Perspectiveson the Qur'an: The Qur'an in Its Historical Context 2
(London dan New York: Routledge, 2011), h. 2. 69
Salwa M. S. El-Awa adalah seorang Dosen dalam bidang
kajian al-Qur'an di fakultas (Departemen) Teologi dan Agama,
Universitas Birmingham, disana dia mengajar Hermeneutika Al-
Qur‟an dan metode penafsiran teks Islam. ketertarikannya dalam
meneliti analisis wacana Alquran. Lihat: Salwa M. S. El-Awa,
Textual Relations In Quran Relevance, Coherence and Structure,
(London and New York, Routledge Taylor and Francis Group,
2006).
62
Itnāb70
. Artinya dalam penelitiannya el-Awa bermaksud
mengungkap fungsi lain dari penglangan yang terdapat dalam
al-Qur‟an, selain kedua fungsi yang telah ditemukan sejak
lama.
Dalam artikelnya, el-Awa mengajukan tujuan dari
penelitiannya itu untuk mengidentifikasi fungsi komunikatif
dari pengulangan yang terdapat dalam al-Qur‟an al-Qur‟an
serta menujukkan bagamana fungsi itu dioperasikan.71
Utnuk
mencapai tujuan tersebut al-Awa mengajukan framework baru
guna mencapai tujuannya tersebut.
Pengkategorian tikrār yang dilakukan oleh el-Awa
ingin menguji bagaimana tikrār yang terdapat dalam al-
Qur‟an diuji dengan menerapkan model pengulangan yang
digagas oleh Deborah Tannen, yang disebut oleh el-Awa
dengan “Tannen‟s Dimensions of self-repetition” empat
kategori yang digagas oleh Tannen akan dipaparkan di depan.
El-Awa mengklasifikasikan pengulanga dalam al-
Qur‟an (tikrār) menjadi empat klasifikasi mayor, antara lain:
Exact Immediate, Exact Delayed, Paraphrase Immediate dan
Paraphrase Delayed.72
El-Awa Tidak menjelsakan secara rinci
tekait kategori yang menjadi pertimbangan suatu ayat/kalimt
dimasukan pada salah satu klasifikasi, hanya menjelsaskan
secara sederhana.
a. Exact Immadite (tepat dengan segera)
Klasifikasi ini menggambarkan kejadian atau
femomena yang terjadi tepat dengan segera73
,
70
Sudah dipaparakan di banyak ulum al-Qur‟an bahwa
fungsi tikrār dalam al-Qur‟an untuk taukīd dan iṭnāb. 71
Salwa el-Awa,” Repetition in the Qur‟an: A Relevance
Based Explanation of the Phenomenon”, dalam Islamic Studies,
42:4, 2003, h. 578. 72
Salwa el-Awa,” Repetition in the Qur‟an: ,,,,,, h. 579-581. 73
Seperti pada pengulangan yang terdapat pada surah al-
Inshirah (94:5 dan 6). Setelah kesulitan maka akan segera datang
kemudahan.
63
Menurut el-Awa, sangat jarang (often) ayat al-Qur‟an
yang masuk dalam klasifikasi ini, dalam klasifikasi ini
el-Awa mengajukan beberapa contoh antara lain:
Sūrat al-Fajr (89: 21,22)74
, al-Wāqi‟ah (56:10,11), al-
Sharḥ (94: 5,6) dan al-Takāthur (102: 3,4).
b. Exact Delayed
El-Awa memberikan penjelasan terkait dengan
klasifikasi ini, menurutnya klasfifikasi ini terjadi
ketika si pembicara mengulangi perkataannya setelah
kejadian dengan melibatkan item linguistik75
,
menurutnya pengulangan al-Qur‟an yang termasuk
pada klasifikasi ini adalah Sūrat al-Qāri‟ah (101: 1-
3)76
c. Paraphrase Immediate
Klasifikasi ini berlaku ketika Sebuah frase terjadi
ketika ide/gagasan yang sama diungkapkan dengan
kata-kata yang berbeda, gagasan yang sama dapat
disimpulkan dari kombinasi asumsi yang berbeda. Ini
membuat pengulangan gagasan secara eksplisit yang
persis sama, yang bermasalah, terutama jika
seseorang memikirkan frase dalam hal frase yang
74ب ) ب دم يل صفب 11ملا إذا دمذ الزض دم اى جبء زثل )
(11صفب ) “Sekali-kali tidak! Apabila bumi diguncangkan berturut-
turut (berbenturan). dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat
berbaris-baris. (Q.S. Al- Fajr [89]: 21-22). 75
Salwa el-Awa,” Repetition in the Qur‟an: A Relevance
Based Explanation of the Phenomenon”, dalam Islamic Studies,
42:4, 2003, h. 579. ب اىقبزعخ 1اىقبزعخ )76 ب اىقبزعخ ( 1)( ب أدزاك (3)
“Hari Kiamat. Apakah hari Kiamat itu?. Dan tahukah kamu
apakah hari Kiamat itu?” (Q.S. Al-Qāri‟ah [101]: 1-3).
64
sempurna atau lengkap. Namaun dalam memberikan
contoh untuk klasifikasi ini el-Awa kesulitan dan
merasa tidak yakin 100% dengan contoh yang
dimasukkan pada klasifikasi ini, adapun yang dia
ajukan contohnya sūrat al-Baqarah (2:33).77
“Because of the complexity of this
matter, I have excluded
paraphrases that are not complete
from my search for examples of this
category”78
d. Paraphrase Delayed
Tipe ini banyak menjadi objek penelitian, khususnya
pada surah madaniah, yang surahnya memiliki
retorika yang lebih panjang dari pada Surah
Makkiyah, selain mempunyai uraian yang panjang,
surah madaniah juga memilki ciri uraiannya sangat
detail. Tipe ini (Paraphrase Delayed) mempunyai
77
جأ ب أ في بئ ثأس جئ أ قبه ب آد
ت غ إ أعي أقو ىن قبه أى بئ اد ثأس ب اىس
رنز ز ب م ب رجد أعي الزض
“Dia (Allah) berfirman, “Wahai Adam! Beritahukanlah
kepada mereka nama-nama itu!” Setelah dia (Adam)
menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman, “Bukankah
telah Aku katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang
kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?” (Q.S.
Al-Baqarah [2]: 33)
78
Salwa el-Awa,” Repetition in the Qur‟an: A Relevance
Based Explanation of the Phenomenon”, Islamic Studies, 42:4,
2003, h. 579-580.
65
kriteria ketika sejumlah uraian mengilustrasikan suatu
tema atau menggambarkan suatu kisah.
Kerapkali tipe ini terpaparkan pada beberapa surah,
seperti pendeskripsian seorang Nabi Muhammad
manusia biasa yang menerima wahyu,
pendeskripsiannya dipaparkan dengan kondisi-kondisi
yang berbeda, itu dipaparkan pada al-Kahfi (18:110)79
dan (41:6)80
. Catatan untuk tipe ini adalah frase
pengulangan.
empat kategori di atas adalah kategori secara garis
besar, tentu masih dapat ini Tentu apa yang dilakukan el-Awa
tidak sama dengan apa yang menjadi tujuan utama dalam
79
. اى ح ثين ب اب ثشس احد قو ا اى ن ب اى ا
ل شسك ثعجبدح لا صبىحب و ع فيع ا ىقبء زث سج مب ف
احدا زث
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya
seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima
wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan
Yang Maha Esa.” Maka barangsiapa mengharap pertemuan
dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan
kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan
sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.(Q.S. Al-
Kahfi [18]: 110)
80
احد اى ن ب اى ا اى ح ثين ب اب ثشس قو ا
شسم و ىي اسزغفس ا اى فبسزق
“Katakanlah (Muhammad), “Aku ini hanyalah seorang
manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa
Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu
tetaplah kamu (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah
ampunan kepada-Nya. Dan celakalah bagi orang-orang
yang mempersekutukan-(Nya).” (Q.S. Fuṣṣilat [41]: 6)
66
penelitian ini, tetapi dengan apa yang telah dilakukan el-Awa
(pengkategrian tikrār) dapat dipertimbangkan untuk membaca
penafsiran tikrār yang diterapkan oleh al-Sha'rāwī.
Selain kajian yang dilakukan oleh Salwa el-Awa.
Dalia Abo Haggar menulis disertasi mengenai pangulangan
dalam al-Qur‟an, dari disertasinya itu Haggar ingin menguji
pangulangan sebagai sebuah metode dalam interaksi makna
dalam al-Qur‟an. Dalam mengkaji tikrār ada tiga surah yang
dikaji, surah al-A‟rāf, Yūnus dan ketika mengkaji al-A‟rāf
menyimpulkan bahwa pengulangan yang terdapat pada surah
ini menunjukkan bahwa pengulangan lafaz memiliki
kandungan yang tersirat di dalamnya, berupa penambahan
makna-makna yang baru81
, ketika menghubungkan dan
menguhubungkan ulang dengan kisah (section) dari bagian
surah. Menambahkan koherensi bagian-bagian surah.82
Kajian-kajian tikrār kontemporer ini, menunjukkan bahwa
kajin dengan tema ini didiskusikan oleh para sarjanawan dan
tentu masi perlu pengembangan dan pembacaan produktif
guna mengeluarkan kandungan yang tersirat dalam lafaz-lafaz
tikrār.
81
Ini sependapat dengan apa yang disimpulakan oleh
Khoridatul dari kajiannya, menurutnya pengulangan yang terdapat
pada surah al-Raḥmān memiliki muatan persepsi pada penambahan
makna berupa aspek Psikologis yang terdapat pada setiap uraiannya.
Lihat: Khoridatul Mudhiah, “Menelusuri Makna Pengulangan
Redaksi Dalam Surat al-Raḥmān,” dalam Hermeunetik 8, no. 1,Juni
2014, h. 133. 82
Dalia Abo Haggar, “Repitition a key to Qur‟anic Style,
Structure and Meaning”, (Disertasi S3 University o Pennsylvania,
2010), h.150.
67
BAB III
Biografi Al-Sha’rāwī Dan Penafsirannya
Pada bab ini dipaparkan, latar belakang profil penafsir
dan tafsirnya, itu meliputi motivasi, sumber, metode1 dan
pendekatan al-Sha‟rāwī selain itu pada salah satu sub dalam
bab ini, dipaparkan juga latar belakang penggalian kandungan
yang tersirat dalam lafaz-lafaz yang mengalami repitisi.
Dalam melakukan kajian terhadap suatu karya tafsir,
sebuah keniscayaan mengetahui latar belakang2 seorang
penafsir dan tafsirnya, karena bagaimana pun seorang
penafsir, tidak hidup pada ruang hampa, tetapi dia mengisi
ruang yang sangat dinamis, yang tiap eranya sangat
memungkinkan bergerak dan berkembang, maka sebuah
keharusan membahas latar belakang3 dan seluk beluk
1Menurut Norman Calder (1950-1998) yang dikutip oleh
Yusuf Rahman, bahwa kualitas yang membedakan dari hasil karya
seorang penafsir dengan penafsiran lainnya, bukan terletak pada
kesimpulannya sehubungan dengan apa yang al-Qur‟an maksud,
lebih dari pada itu, pada pengembangan dan penunjukkan teknik-
teknik yang menjadi tanda penguasaan mereka atas bidang
kebahasaan (sastra). Dengan kata lain, berbagai metode yang
digunakan oleh para penafsir bisa dianggap lebih penting ketimbang
hasil penafsirannya. Sering juga dikatakan bahwa berbagai
kesimpulan berbeda dalam penafsiran utamanya adalah karena
variasi metode yang digunakan oleh para penafsir. Lihat: Yususf
Rahman, "Akidah Sayyid Quṭb (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi
terhadap al-Qur‟an" dalam Jurnal Tsaqafah, Vol. 7, No. 1, April
2011, h. 71. 2Latar belakang disini dapat diklasifikasikan menjadi dua,
latar belakang yang mempengaruhi keilmuan al-Sha'rāwī dan latar
belakang terkait dengan penafsiran yang dilahirkan al-Sha‟rāwī. 3. Salah satu yang unik dalam melakukan pembacaan dan
memahami sebuah teks adalah teks terdahulu yang dibaca oleh
penulis. Lihat: Amina Wadud, Qur‟an and Woman; Rereading the
68
kehidupan al-Sha'rāwī4 dengan tafsirnya, guna mendapatkan
pemahaman yang komprehensif tentang Tafsīr al-Sha'rāwī.
Penafsiran al-Sha‟rāwī tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh disekitarnya atau aktivitas dia jalani,
keadaan/konteks dimana dan kapan Sha‟rāwī hidup, sebagai
Sacred Text From a Woman‟s Perspective, (New York: Oxford
University Press, 1999), h.5. 4Tentu ini bukan tulisan pertama yang mengulas tentang
kehidupan al-Sha‟rāwī dan perjalanan intelektualnya, yang mana
keduanya mempengaruhi terhadap hasil penafsirannya, beberapa
kajian yang dapat yang telah dilakukan terkait dengan tema tersebut,
dari sekian banyak para sarjana yang menulis tentang al-Sha‟rāwī
salah satunya adalah Jacquelene Jayne Gottlieb Brinton,seorang
Associate Professor di Kansas University. Lihat:
https://religiousstudies.ku.edu/jacquelene-brinton diakses pada 19-
04-2018. Dia melakukan kajian terkait dengan al-Sha‟rāwī dan
melahirkan tiga tulisan, satu dalam bentuk disertasi yang ditulisnya
pada Kansas University dan dua artikel jurnal. Lihat: “Preaching
Islamic Renewel: Shyakh Muhammad Mutawalli al-Sha and The
Synchronization of Revelation adn Contemporary Life. " Disertasi
di University of Virginia, 2009. , “Preaching and the
epistemological enforcement of ‘ ulama'’ authority: The sermons of
Muhammad Mutawalli al-Sha‟rāwī ." Intellectual Discourse, Vol
19, No 1, 2011. Dan “Religion, National Identity and Nation
Building: Muḥammad Mutwallī al-Shaʿrāwī‟s Concept of Islam
and Its Ties to Modern Egyptian Politics. " Comparative Islamic
Studies, 10.1 (2014) 61–85Ketiga tulisan Brinton memang tidak
mengulas Tafsīr al-Sha‟rāwī secara fokus, melainkan tulisannya
tersebut mengungkap pemikiran keagamaan al-Sha‟rāwī guna
merespon modernitas terkait dengan keseharian di era kontemporer
dan kehidupan berbangsa. Selain itu Pesona al-Sha‟rāwī pun tak
luput dari perhatian para sarjana Indonesia, beberapa telaah terhadap
pemikiran al-Sha‟rāwī pun telah dilakukan, setidaknnya empat karya
ilmiah yang telah dipaparkan pada bab 1, menunjukkan bahwa
pemikiran al-Sha‟rāwī memberikan sumbangsih sangat signifikan
bagi peradaban pemikiran Islam.
69
ulama5 yang dilahirkan dalam konteks kultur dan politik
Mesir, tentu itu sangat mempengaruhi dalam membentuk
pemikiran al-Sha‟rāwī yang dituangkan dalam penafsirannya.
A. Kondisi Sosial dan Pendidikan M. Mutawallī al-Sha’rāwī
Al-Sha‟rāwī Bernama lengkap Muḥammad Mutawallī
al-Sha'rāwī, (mempunyai gelar al-Shaykh al-Amīn al-
Sha'rāwī)6 lahir di Mesir
7 pada tanggal 17 Rābi al-Tsānī 1329
H bertepatan dengan 16 April 1911 M dan meninggal pada
usia 87 tahun pada tanggal 22 Ṣafar 1419 H atau 17 Juni 1998
M8.
Al-Sha‟rāwī‟ merupakan seorang cendikiawan
Muslim, pada tahun 1976 dia diberi amanat untuk menjabat
sebagai menteri, (in 1976, al-Sha‟rāwī was selected to become
the Egyptian Minister of Religious Endowments)9 di dalam
pemerintahan Mesir. Diamanatkan kepadanya jabatan menteri
6Jacquelene Jayne Gottlieb Brinton, “Preaching Islamic
Renewal: Shaykh Muḥammad Mitwallī Sha„rāwī and the
Synchronization of Revelation and Contemporary Life,” (Disertasi,
University of Virginia, August 2009), h. 78. 7Mesir adalah negara yang banyak melahirkan pemikir dan
cendikikiawan Muslim, pemikir-pemikir pembahru Islam, seperti
Jamalauddin al-Afghānī, Muḥammad „Abduh dan Rashīd Riḍā.
Lihat: Muhammad Yasin Jazar, Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī;
„Ālim `Aṣruh fî `Uyûn `Ashrih, (Kairo: Maktabah al-Turāth al-
Islāmī, 1409 H), h.15. 8Muḥammad Alī Iyāzī, al-Mufassirûn Ḥayātuhum wa
Manhajuhum, (Teheran: Mu‟assasah al-Ṭaba‟ah al-Naṣr, T.th.), h.
269. 9Jacquelene Brinton, “Preaching and Epistimological
Enforcement of Ulama Authority: The Sermons of Muḥammad
Mutawallī Sha‟rāwī” dalam Intelectual Discourse, 19, 97-121, 2011,
h.104.
70
kepada al-Sha‟rāwī mengindikasikan bahwa, al-Sha‟rāwī
memiliki keilmuan yang mumpuni, selain itu al-Sha‟rāwī pun
pada waktu itu merupakan kiblat warga Mesir dalam
memahami Islam, selain itu al-Sha‟rāwī‟ lebih dikenal sebagai
pendakwah yang memiliki popularitas yang tidak biasa pada
waktu itu.10 Popularitasnya itu sangat dipengaruhi oleh
tayangan pengajiannya yang mengupas tentang penafsiran
terhadap al-Qur‟an yang ditayangkan di televisi secara luas,
tayangan pengajiannya ini mengambil lokasi di berbagai
masjid, terkadang di daerah kairo dan Alexandria, rekaman
pengajiannya tayang setiap hari jum‟at.
Perjalanan al-Sha‟rāwī sebagai Dai yang populer di
sebuah program televisi di mulai pada tahun 198011
, ketika dia
berumur lima puluh sembilan tahun, program ceramahnya di
televisi dikenal dengan Nūr „alā Nūr dengan dipandu oleh
Maḥmūd Farag sebagai pembawa acaranya, latar belakang al-
Sha‟rāwī mengudara di televisi, awalnya, tidak langsung
pihak pemilik stasiun televisi membuat program secara
khusus untuk al-Sha‟rāwī, awalnya al-Sha‟rāwī hanya
diundang untuk menjadi bintang tamu untuk satu episode,
ternyata episode yang menghadirkan al-Sha‟rāwī sebagai
bintang tamu, pada kesempatan itu dia menguraikan
pemikirannya. Episode itu mendapatkan sambutan positif
ramai dari penonton, jadilah dia didaulat menjadi pengisi
program itu, bahkan program itu dijadikan format
ceramah/penguraian pemikiran yang berlandaskan kitab suci
al-Qur‟an.
10
Popularitas al-Sha‟rāwī tidak hanya terdengar di kalangat
masyarakat Mesir, lebih dari itu, al-Sha‟rāwī harum namanya di
masarakat dunia Arab. Lihat: Jacquelene Brinton, “Religion,
National Identity and Nation Building: Muḥammad Mutwallī al-
Shaʿrāwī‟s Concept of Islam and Its Ties to Modern Egyptian
Politics. " dalam Comparative Islamic Studies, 10.1 (2014), h. 61. 11
Jacquelene Brinton, “Preaching and Epistimological
Enforcement of Ulama,,, h. 104.
71
Dalam kitab Muhammad Mutawalli Al-Sha‟rāwī min
al-Qaryah ilā Ālamiyyah, sebagaimana yang dikutip oleh
Istibsyarah, bahwa al-Sha‟rāwī dilahirkan dari keluarga pas-
pasan, tidak kaya, tidak miskin, memiliki nasab yang
terhormat yaitu keturunan Aḥl al-Bayt12
. Akan tetapi Al-
Sha‟rāwī sendiri tidak perrnah menceritakan hal ini kepada
siapapun, sebagaimana al-Sha‟rāwī pernah berkata: “Aku
tidak pernah bercerita kepada siapapun terkait hal ini, maka
janganlah engkau memberitahu siapapun tentang hal ini.13
Ini
menunjukkan ke-tawadhuan al-Sha‟rāwī, selain itu sikap
tawadhu nya pun tercermin ketika berpendapat bahwa kajian
eloborasinya terhadap naṣ al-Qur‟ān bukanlah tafsir
melainkan khawāṭirī ḥawl al-Qur‟ān.14
Tidak berlebihan, jika al-Sha‟rāwī disebut sebagai tokoh
yang berpengaruh di zamannya, lebih khususnya di Mesir,
cakupan pengaruh masuk pada banyak elemen, baik itu
elemen elit yang diwujudkan ketika al-Sha‟rāwī menjabat
sebagai Menteri wakaf,, maupun al-Sha‟rāwī sangat
berpengaruh untuk masyarakat umum, lewat pengajian dan
ceramahnya al-Sha‟rāwī menjadi pencerah bagi masyarakat
mesir, selain kedua objek di atas itu, al-Sha‟rāwī pun
memberikan pengaruh kepada umat Islam di luar masyarakat
12
Aḥl al-Bayt dalam nomenklatur Islam diartikan sebagai
keturunan Nabi Muḥammad Saw. Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia bermakna keluarga terdekat Nabi Muḥammad
Saw.
13Istibsyarah, Hak-hak Perempuan, Relasi Gender menurut
Tafsir Al-Sya‟rāwī. (Jakarta: Teraju, 2004), h. 21. 14
dalam benak al-Sha‟rāwī, yang memiliki otoritas dalam
menafsirkan al-Qur‟an hanyalah Nabi Muhammad Saw. Dengan
keyakinan itu, menurut al-Sha‟rāwī bahwa eloborasi pada la-Qur‟an
merupakan percikan pikiran al-Sha‟rāwī atas bacaannya terhadap al-
Qur‟an. M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, (Kairo:
Akhbār al-Yawm, 1991), h. 9.
72
Mesir, terkait data ini akan dipaparkan pada pembahasan
berikutnya.
1. Kesarjanaan dan Aktivitas al-Sha'rāwī
Pendidikan al-Sha‟rāwī dimulai dengan menghafal
Qur‟an di bawah bimbingan gurunya yang bernama „Abd
Majīd Faṣa yang bukan lain adalah seorang penulis,
berdasarkan informasi yang ditemukan setelah cukup lamanya
al-Sha‟rāwī kecil menghafalkan tiap-tiap ayat dalam kitab
suci al-Qur‟an di bahwah bimbingan gurunya itu, akhirnya
pada umur sebelas15
tahun al-Sha‟rāwī menyelesaikan
hafalannya tiga puluh juz16
. Tentu hal ini (hafal al-Qur‟an
dalam usia dini) adalah suatu yang lumrah dikalangan para
ulama, terlebih untuk mereka yang memiliki konsen dalam
menggali kandungan kitab suci al-Qur‟an17
.
Selain sejak dini Al-Sha‟rāwī‟ kecil memulai pendidikan
informal, al-Sha‟rāwī pun menempuh pendidikan formal,
yang dimulai dari tingkat sekolah dasar sampai pada tingkat
Universitas, dia menempuh pendidikan formalnya pada
Universitas Al-Azhar, untuk lebih detail terkait data riwayat
pendidikan formalanya, berikut riwayat pendidikan al-
Sha‟rāwī:
15
Sedangkan dari sumber lain, al-Sha‟rāwī kecil telah hafal
al-Qur'an pada umur sepuluh tahun. Lihat: Jacquelene Brinton,
“Preaching Islamic Renewel: Shyakh Muhammad Mutawalli al-Sha
and The Synchronization of Revelation adn Contemporary Life"
Disertasi, University of Virginia, 2009, 72. 16
Malkan, Dimensi Ilmiah dalam Tafsir al-Sha‟rāwī; Suatu
Kajian Ayat Tentang Penciptaan Manusia, (Ciputat: Mazhab
Ciputat, 2016), 56. Lihat juga: Muḥammad Muṣṭafā, Riḥlah fī al-
A‟maq al-Sha‟rāwī, (Kairo: Dār al-Ṣafwah, 1991), 6. 17
Ulama tafsir yang hafal al-Qur‟an sejak usia dini antara
lain: ……
73
NO Pendidikan Daerah Jurusan .
Tahun
1 Sekolah Dasar al-
Azhar
Zaqāziq - 1926-
1932
2 Sekolah Menengah
Al-Azhar
Zaqāziq - 1932-
1936
3 Universitas al-Azhar
S1
Kairo Bahasa
Arab
1937-
1941
4 Universitas al-
Azharz S318
Kairo Bahasa
Arab
1943
Tabel. 1.2 Riwayat Pendidikan Formal al-
Sha’rāwī
Dari tabel di atas dapat dipahami, semasa hidupnya,
al-Sha‟rāwī menempuh pendidikan formal di lingkungan
Universitas al-Azhar, jadi keilmuan al-Sha‟rāwī berkembang
dikalangan para cendikiawan Mesir lainnya, maka tidak tepat
jika menganggap bahwa keilmuan al-Sha‟rāwī lepas dari
ruang-ruang kelas Universitas, lebih tepatnya ada dialektika
keilmuan dari al-Sha‟rāwī dengan kehidupan akademis di
Universitas Al-Azhar.
18
Pada dua referensi dijelasakan seperti ini. Lihat:
Isytibsyaroh, “Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender pada Tafsīr
al-Sha‟rāwī ” (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 36. Dan lihat juga: Selamat Amir,
dkk, "Pentafsiran Saintifik dalam al-Quran: Satu Pengenalan
Terhadap Metode al-Sha„rāwī dalam Tafsīr al-Sha„rāwī, Tumpuan
Surah al-An„ām Ayat 125" dalam Jurnal Usuluddin 42 , Juli –
Desember 2015, h. 61.
74
2. Aktivitas dan Karier
Penting untuk mengetahui kilas balik kehidupan
seorang penulis, karena dari situlah hipotesa-hipotesa yang
dipahami penulis dalam menentukan seseorang tersebut
akhirnya memililih untuk terjun/aktif dalam organisasi sosial
atau berdakwah, dalam hal ini, al-Sha‟rāwī muda memang
sudah sangat menggandrungi ilmu, karena tidak bisa
dielakkan bahwa, lahir dikelilingi guru mulia selain itu al-
Sha‟rāwī kecil pun dikelilingi kondisi sosialnya. Sebelum
menentukan untuk menekuni dunia dakwah, tentu al-Sha‟rāwī
pun memiliki aktivitas selain dunia yang dia tekuni dan
habiskan sisa hidupnya yaitu dijalan dakwah.
Pertama sebelum membahas hal lain, tentu yang sangat
penting diketahui adalah bagaimana kondisi dan apa yang
terjadi di tempat dimana dia dilahirkan dan tumbuh menjadi
al-Sha‟rāwī muda. di Daqadus pada waktu itu merupakan
daerah agraris, penduduk disana pada waktu itu mayoritas
berprofesi sebagai petani. Di samping menjadi petani. Dalam
ranah politik mayoritas warga Daqadus berafiliasi dengan
partai Wafd kala itu dipimpin oleh Sa‟ad Zaghlul,19
al-
19
Sa‟ad Zaghlul adalah salah satu tokoh yang yang
berjuang menuntut kemerdekaan Mesir dari Inggris, yang kemudian
Zaghlul diberikan kepercayaan sebagai pemimpin pergerakan
nasional Mesir. Dia mengutus perwakilan (wafd) dalam konferensi
perdamaian di Paris dan London, pergerakan ini dianggap sebagai
pemberontakan, dan konsekuensina Zaghlul ditangkap lalu
diasingkan ke Malta oleh Inggris pada tahun 1919. Lihat: Philip K.
Hitti, History of Arabs, (New York: Plgrave Macmilan, 1976), h.
751. Tindakan Inggris ini memicu kemarahan masyarakat Mesir
tentunya, Imbas dari kejadian itu masyarakat Mesir melakukan
demonstrasi, mogok kerja dan kerusuhan. Kejadian itu memaksa
Inggris memberikan kemerdekaan nominal (a semi independent) dan
lalu Zaghlul dibebaskan, lalu atas perjuangannya dia diberikan
penghormatan sebagai pahlawan nasional. Lihat: Henry Munson Jr. ,
Islam and Revolution in the Middle East, (New Haven and London:
Yale University, 1988), h. 75.
75
Sha‟rāwī muda juga dia aktif di organisasi.20 Orang tua al-
Sha‟rāwī adalah ulama di daerah Daqadus21
orang tuanya
memperkenalkan al-Sha‟rāwī sejak dia umur sembilan tahun
dengan cara mengajaknya di acara partai Wafd itu terjadi
sekitar tahun 1919.22
Al-Sha‟rāwī muda menjadi aktif di partai Wafd, tentu itu
bisa lepas dari jasa ayahnya yang memperkenalkan dirinya
dengan partai Wafd. Lalu al-Sha‟rāwī sangat kagum dan
dipengaruhi oleh perjuangan Sa‟ad Zaghlul dalam
memperjuangkan kemerdekaan Mesir, hingga kerap kali di
peringatan partai Wafd dan Sa‟ad Zaghlul, al-Sha‟rāwī
membuat syair yang berisi pujian. Al-Sha‟rāwī mengakui
bahwa dirinya merupakan politisi dari partai Wafd yang
beralmamater al-Azhar. Aktivitasnya di partai Wafd
berkurang ketika dia ditunjuk sebagai tenaga pengajar oleh al-
Azhar pada tahun 1943.23
Setelah penunjukkan ini al-Sha‟rāwī
menghabiskan waktunya untuk mengajar dan mengajar,
sampai pada akhirnya al-Sha‟rāwī menjalani aktivitas
bardakwah.
Karier al-Sha‟rāwī sebagai pendakwah yang sangat
masyhur tentu tidak mendadak secara tiba-tiba menjadi
panutan para jamaahnya, capaiannya sebagai pelita umat tentu
dimulai dari karier pemula (dari bawah). Awal profesi sebagai
20
Dalam sebuah kesempatan al-Sha‟rāwī
menginformasikan bahwa, masyarakat Daqadus semuannya
berafiliasi dengan partai Wafd.lihat: Sā‟id Abū „Ainain, al-Sha‟rāwī
al-Ladzī Lā Na‟rifuh , (Kairo: Akhbār al-Yaum), h. 57. 21
Daqadus berlokasi di wilayah distrik Mit Ghamr Provinsi
Daqaliah. 22
Al-Sha‟rāwī muda sempat melihat dua kali Saad Zaghlul.
Lihat:Sa‟īd Abū „Ainain, al-Sha‟rāwī al-Ladzī Lā Na‟rifuh ,,,,h.42. 23
Ahmad Mursi Husein Jauhar, al-Syaikh Muḥammad
Mutawallī al-Sha‟rāwī:Imām al-„Ashr, (Kairo: Nahdlah, 1990), h.
82.
76
pendakwahnya.24
Dimulai dengan aktif sebagai tenaga
pengajar di salah satu sekolah al-Azhar sebagai pengampu di
bidang ilmu Balaghah dan sastra.25
Dimulai pada tahun 1980. al-Sha‟rāwī menjajaki
dunia dakwah lewat media televisi26
, yang disiarkan pada
program Nūr „alā Nūr, awalnya al-Sha‟rāwī hanya diundang
untuk menjadi bintang tamu, setelah undangan pertama, al-
Sha‟rāwī diundang terus-menerus, walaupun ketika itu al-
Sha‟rāwī berumur lima puluh sembilan tahun, tentu dengan
usia itu, al-Sha‟rāwī tidak muda lagi, tapi itu tidak
mematahkan semangatnya untuk menyebarkan ajaran agama
Islam. Setelah memenuhi permintaan mengisi di program Nūr
„ala Nūr berkali-kali, dia pun lantas menjadi pendakwah yang
sangat populer dan program yang tadinya hanya
mengundangnya untuk mengisi, karena para masyarakat
merespon dengan sangat positif27
, jadilah program itu menjadi
24
Pada beberapa kesempatan al-Sha‟rāwī mengutarakan
bahwa awalnya dia tidak membayangkan menjadi pendakwah, dia
hanya ingin menjadi seperti ayahnya, yaitu seorang petani, salah
satu harapannya itu, dia utarakan ketika diwawancarai Maḥmūd
Fawzi: Minal-Qaryah ilā al-Qimmāḥ, (Cairo: Dar al-Nashr Hātīh,
1992), h. 72. 25
Informasi mengenai tahun al-Sha‟rāwī memulai mengajar
di sekolah al-Azhar 26
Jacquelene Brinton, “Preaching and Epistimological
Enforcement of Ulama Authority: The Sermons of Muḥammad
Mutawallī Sha‟rāwī” dalam Intelectual Discourse, 19, 2011, h.104. 27
Program Nūr „alā Nūr ditayangkan pada setiap setelah
shalat jum‟at, dalam tulisannya, Brinton menuturkan bahwa
masyarakat Mesir berbondong-bondong bergegas pulang setelah
menunaikan shalat jum‟at, guna menyaksikan tayangan program
Nūr „alā Nūr. Lihat: Jacquelene Brinton, “Preaching and
Epistimological Enforcement of Ulama Authority: The Sermons of
Muḥammad Mutawallī Sha‟rāwī” dalam Intelectual Discourse, 19,
2011, h. 104.
77
program yang dimana al-Sha‟rāwī sebagai narasumber
utamanya.
Secara singkat karir yang telah dijalani oleh al-
Sha‟rāwī dipaparkan pada tabel berikut:
NO Profesi Bidang Tempat
Tahun
1 Guru Pendidikan - 1926-
1932
2 Sekolah
Menengah Al-
Azhar
- 1932-
1936
3 Universitas al-
Azhar
Kairo Kairo 1937
4 Dosen untuk
Matakuliah
Tafsir-Hadis di
Fakultas
Syariah
Universitas al-
Mālik „Abd al-
„Azīz di
Mekkah
Pendidikan Mekkah 1951
5 Wakil sekolah
al-Azhar di
Tanta
1960
6 Direktur
Pengembangan
Dakwah Islam
pada Dept.
Wakaf
Pemerintahan Mesir 1961
7 Pengawas
Pengembangan
Bahasa Arab di
Akademisi
dan Birokrasi
Mesir 1962
78
al-Azhar
8 Asisten pribadi
Grand Syekh
Hasan Makmun
Akademisi
dan Birokrasi
Mesir 1964
9 Direktur Kantor
Grand Syekh
Akademisi
dan Birokrasi
Mesir 1967
10 Pengisi acara
(Dai) di
Program
Televisi Nūr
„alā Nūr28
Dai Mesir 1973
11 Menteri Wakaf Birokrasi Mesir 1967
12 Menteri Wakaf
dan Manteri
yang
berhubungan
dengan al-
Azhar
Birokrasi Mesir 1977-
1978
Tabel 1.3. Riwayat Karir al-Sha’rāwī
Dari Tabel riwayat karir di atas, dapat diketahui
bahwa banyak jabatan di bidang akademik dan pemerintahan
yang telah dilalui, al-Sha‟rāwī mempunyai pengalaman yang
luas dan diakui oleh skala nasional negara Mesir. selain
rangkaian karir di atas, al-Sha‟rāwī juga pada tahun 1987
diberikan amanah untuk menjadi anggota LitBang (Penelitian
dan Pengembangan) bahasa Arab di bawah lembaga
“Mujamma‟ al-Khālidīn” komunitas yang menangani
28
Pada program Nūr „alā Nūr lah penafsiran al-Sha‟rāwī
tehadap al-Qur‟an diuraikan, lewat program ini juga semua
masyarakat Mesir melihat dan mendengarkan ceramah keagamaan
dan penafsiran al-Sha‟rāwī selama dua puluh lima tahun . lihat:
Isytibsyaroh, “Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender pada Tafsīr
al-Sha‟rāwī….., h. 39-41.
79
perkembangan bahasa Arab di Kairo. Tidak lama setelah
penunjukkan ini, al-Sha‟rāwī pada tahun 1988 mendapatkan
penghargaan dari Presiden Husni Mubarok berupa medali
kenegaraan di acara Da‟i29
dan pada tahun 1990, al-Sha‟rāwī
mendapatkan gelar tertinggi bagi akademisi yaitu “Guru
Besar” titel tersebut diberikan dari Universitas al-Manṣūrah
dalam bidang Adab (Bahasa dan Sastra).
Tidak berenti sampai di situ, penghargaan dan
apresiasi masih berlanjut berdatangan kepada al-Sha‟rāwī,
atas dedikasinya pada kaum muslimin, di tahun 1998 al-
Sha‟rāwī diberikan gelar kepadanya sebagai tokoh Islam
utama di dunia ( الشصية الإسلامية الأولى) dan hadiah uang dari
putra mahkota al-Nahyan dari Dubai. Namun al-Sha‟rāwī
memberikan itu kepada al-Azhar dan para pelajar yang
dinamai al-bu‟ūs al-Islāmiyyah (pelajar di Al-Azhar yang
berasal dari negara-negara Islam dari seluruh dunia). dan
selain itu al-Sha‟rāwī mendapatkan penghargaan dari pihak
Rābiṭah al-„Alām al-Islāmī (perkumpulan tokoh Islam) di
Mekkah, dengan memilih al-Sha‟rāwī sebagai salah satu
penggagas berdirinya perkumpulan ini.30
Al-Sha‟rāwī melewati masa hidupnya dengan
berbagai pengalaman. Perjalanan hidupnya itulah dia
mendapatkan pembelajaran dan pengetahuan yang kelak
menjadi modal untuk diberdakwah dan pengetahuannya itu
yang menjadi modal untuk mengurai penafsiran yang mudah
diterima oleh masyarakat.31
29
Maḥmūd Rizq al-„Amāl, “Tarīkh al-Imam al-Sha‟rāwī ,”
dalam Majalah Manār al-Islām, September, 2001, No. 6, Vol. 27, h.
35. 30
Isytibsyaroh, “Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender
pada Tafsīr al-Sha‟rāwī….., h. 42. 31
Di Daqadus tempat al-Sha‟rāwī lahir, mayoritas menjadi
petani. Al-Sha‟rāwī ketika menafsirkan al-Sha‟rāwī menafsirkan
ayat ke tujuh puluh tiga dari surah al-Naḥl, dia menguraikan lafaz
80
3. Kontribusi Al-Sha’rāwī di Luar Mesir
Al-Sha‟rāwī diberi kepercayaan untuk mengisi posisi
pengajar di beberapa tempat, mulai dari guru di lingkungan al-
Azhar sampai pada menjadi dosen tamu di luar negara Mesir.
Diangakatnya al-Sha‟rāwī muda menjadi guru di lingkungan
al-Azhar pada tahun 194332
, pada tahun ini al-Sha‟rāwī di
angkat menjadi guru di sekolah lingkungan al-Azhar, untuk
mengajar bidang studi balāghah, al-Sha‟rāwī muda sudah
menekuni mengajar ilmu kebahasaan yang menjadi
bidangnya. Tentu sedikit-banyaknya pengalaman ini
menambah dan mempertajam keilmuannya di bidang
kebahasaan.
Tahun 1950, al-Sha‟rāwī diamanatkan menjadi Dosen
tamu pada Fakultas Syari‟ah Universitas King „Abd al-Aziz
Mekkah dan disana al-Sha‟rāwī diberikan kepercayaan untuk
mengampu mata kuliah Tafsir dan Hadis, di umur yang cukup
muda al-Sha‟rāwī diberikan kepercayaan untuk mengampu
dua mata kuliah yang notabenenya sangat penting untuk umat
Islam, tentu ini juga salah satu indikator bahwa keilmuan al-
السماوات والرض شيئارزقا من menurut al-Sha‟rāwī, rizki
yang datangnya dari langit merupakan air hujan, dan rizki yang
Allah berikan dari bumi merupakan hasil bercocok tanam, dari dua
sumber itu Allah memberikan riziki. Itulah merupakan dua rizki dari
Allah yang secara langsung dapat dinikmati, adapun harta
merupakan rizki yang tidak dapat langsung disantap dan manusia
dapat hidup dengan menyantap dari dua sumber itu(berupa air
minum dan makanan). Adapan untuk saat ini kita dapat hidup
dengan menyantap raghīf al-„Īsh (roti yang menjadi makanan pokok
warga Mesir). Dapat dilihat dari penafsirannya ini, al-Sha‟rāwī
dalam menafsirkan memberikan penjelasan yang mengambil
pengetahuan dari yang ada di masyarakat Mesir. Lihat: M.
Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,, h.8086. 32
Badruzzaman M. Yunus, “ Tafsir al-Sha‟rāwī ; Tinjauan
Terhadap Sumber, Metode dan Ittijāh” Disertasi, Sekolah Pasca
Sarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, 27.
81
Sha‟rāwī diakui tidak hanya terbatas di negara Mesir, lebih
khususnya di lingkungan al-Azhar, namun keilmuan al-
Sha‟rāwī diakui sampai luar Mesir.
Pada Tahun 1966, al-Sha‟rāwī mengemban misi di
negara Aljazair, dia menjadi ketua tim misi al-Azhar di
Aljazair, dia dikirim ke Aljazair untuk mengembalikkan
identitas Aljazair sebagai negara, karena pada masa itu,
Aljazair masih riskan terpengaruhi oleh sifat dari penjajah
yang baru saja pergi dari Aljazair, dari sekian banyak usaha
untuk mengembalikkan identitas Aljazair sebagai negara,
beberapa pokok yang dilakukan adalah mendirikan sekolah-
sekolah agama dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa
pengantar dalam kegaiatan belajar mengajarnya.33
Itu menjadi
titik tolak balik dari negara Aljazair untuk mengembalikkan
identitasnya sebagai negara berpenduduk Muslim.
Al-Sha‟rāwī Mengemban jabatan sebagai Menteri Wakaf
sejak tahun 1976, itu tidak menghalangi al-Sha‟rāwī untuk
melakukan kegiatan berdakwahnya, karena tidak lama setelah
penunjukkannya sebagai Menteri, dia menjadi pengisi
ceramah di Televisi. Tidak berhenti sampai disitu, bahkan al-
Sha‟rāwī mengunjungi beberapa negara, baik itu untuk
menghadiri beberapa konferensi, menghadiri undangan untuk
memberikan ceramah keagamaan, berikut beberapa kunjungan
dan kegiatan al-Sha‟rāwī di luar negara Mesir:
No. Kegiatan Negara Tahun
1 Menghadiri Konferensi Ekonomi
Islam
Inggris 1977
2 Menghadiri undangan Konferensi Islam
Asia
Pakistan 1978
3 Menghadiri undangan Konferensi Bank
Islam
Arab
Saudi
1978
4 Menghadiri undangan Konferensi Kanada 1978
33
Muḥammad Siddīq al-Misyāwī, Al-Syaikh al-Sha‟rāwī
wa Hadīth al-Dzikrayāt,,,,,,, h. 28.
82
Teknologi
5 Menghadiri undangan untuk memberikan
ceramah di hadapan Muslim Kanada
Kanada 1983
6 Menghadiri undangan untuk mengisi
ceramah di Islamic Centre Los Angeles
Amerika 1983
7 Menghadiri undangan Konferensi al-
Sunnah al-Nabawiyyah kedua
Los
Angeles
Amerika
1985
8 Memimpin Konferensi Konferensi al-
Sunnah al-Nabawiyyah ketiga
Los
Angeles
Amerika
1986
9 Menghadiri Pertemuan Duta Besar
negara-negara Arab
Austria 1986
Tabel 1.4. Kegiatan Berdakwah Al-Sha’rāwī di Luar
Mesir
Al-Sha‟rāwī tidak bisa dielakkan sebagai pandakwah
yang sangat ulung dan diakui keilmuwannya, dari tabel di atas
dapat diketahui pengakuan banyak pihak secara luas
merupakan penilaian dan apresiasi terhadap aktivitas dalam
mendakwahkan Islam di berbagai pihak dan golongan, uraian
ceramahnya bisa diterima dan dicerna oleh masyarakat umum
maupun para akademisi, pengakuan masyarakat Mesir
terhadap keulungan al-Sha‟rāwī dalam berdakwah diikuti oleh
para muslimin di belahan dunia.
Kegiatan al-Sha‟rāwī dalam menghadiri berbagai
konferensi secara umum bersifat oral, bersifat oral di sini yang
dimaksud adalah di berbagai forum konferensi al-Sha‟rāwī
diminta pendapat dan gagasannya. Selain menghadiri
konferensi di suatu negara, di negara itu juga kerap kali al-
Sha‟rāwī diminta oleh komunitas Muslim di sana untuk
menyampaikan ceramah keagamaan. Seperti ketika al-
Sha‟rāwī melakukan kunjungan ke Amerika Serikat pada
Tahun 1983, dia diberikan kehormatan untuk menjadi khotib
dan imam shalat jum‟at di masjid gedung PBB New York
83
pada tanggal 27 Oktober 1983. Shalat jum‟at tersebut
merupakan perdana yang dihelat di masjid tersebut, setelah
rangkaian shalat jum‟at selesai dihelat, al-Sha‟rāwī diminta
pandangannya tentang pokok ajaran Islam oleh jurnalis salah
satu stasiun televisi di Amerika Serikat. 34
B. Sekilas tentang Tafsīr al-Sha’rāwī
Untuk bagian ini, banyak sekali yang telah
menulis dan mengulas tentang Tafsīr al-Sha‟rāwī, baik
itu dari segi penulisan, metode, sumber, corak dan latar
belakang. salah satu penelitian yang secara fokus mengkaji
Tafsīr al-Sha‟rāwī adalah Disertasi yang ditulis oleh
Badruzzaman M. Yunus, yang ditulis pada tahun 2009,
dengan judul disertasinya “Tafsīr al-Sha‟rāwī ; Sebuah
Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan Ittijāh.” Sebuah
karya yang dijadikan penelitian merupakan indikasi bahwa, karya tersebut memiliki kontribusi dalam memperkaya
khazanah keilmuan secara umum, dalam hal ini secara khusus
khazanah penafsiran al-Qur‟an, walaupun sudah diketahu
secara luas bahwa Tafsīr al-Sha‟rāwī bukanlah karya Tafsir
yang ditulis al-Sha‟rāwī sediri,35
melainkan tafsir ini adalah
34
Badruzzaman M. Yunus, “Tafsir al-Sya‟rawi; Tinjauan
Terhadap Sumber, Metode dan Ittijāh”....h. 41-44. 35
Al-Sha‟rāwī‟adalah sosok ulama yang produktif sekali
dalam menguaraikan kandungan agama Islam secara lisan, karya-
karya yang dinisbatkan atas nama al-Sha‟rāwī bukanlah karya tulis
tangan al-Sha‟rāwī, melainkan bentuk “transkip” atas uraian-urain
al-Sha‟rāwī di berbagai forum majelis ilmu, al-Sha‟rāwī mengakui
sulit untuk menulis semua yang ada pada benaknya, jadi dapat
diketahui al-Sha‟rāwī dominan produktif dalam menyampaikan
gagasan dan ilmunya lewat mimbar dan majlis-majlis ilmu. Menurut
al-Sha‟rāwī, dia tidak menulis buku, karena tulisan hanya
diperuntukkan bagi para pembaca saja, dibandingkan buku,
perantara lisan lebih efektif dan ekonomis, yang terpenting adalah
84
“transkrip”36
ceramah al-Sha‟rāwī yang ditayangkan dalam
program Nūr „alā Nūr di Televisi. Oleh karena itu, bagian ini diuraikan untuk
memenuhi persyaratan dalam membahas seorang
penafsir dan tafsirnya, karena sudah menjadi salah satu
prosedur dalam mengkaji pemikiran dari seorang
penafsir, yaitu sebuah keharusan untuk menyuguhkan
tentang penafsirannya. Itu dilakukan guna mendapatkan
gambaran penafsirannya, bagaimana metode, alur,
sumber penafsiran dan apa yang melatar belakangi
seorang penafsir melahirkan uraian penafsirannya. Tafsīr al-Sha‟rāwī pertama kali diterbitkan oleh
Majalah al-Liwā‟ al-Islāmī mulai tahun 1986-1989 M.37
Di
Kairo. Kemudian dikumpulkan dalam bentuk seri yang diberi
judul “Khawātirī Ḥawl al-Qur‟ān al-Karīm” yang mulai
diterbitkan pada tahun 1982 oleh penerbit Dār May al-
Waṭaniyyah.38
Dalam pernyataan al-Sha‟rāwī dalam
pembukaan kitab Tafsirnya, dia mengutarakan bahwa dia
menghendaki bahwa tafsirnya ini diberi judul “Khawātirī
Ḥawl al-Qur‟ān” selain itu untuk memastikan dan
membuktikan originalitas dan validitas uraian penafsiran al-
memperoleh pahala atas apa yang telah dia sampaikan, adapun
tulisan adalah hanya salah satu dari metode dalam menyampaikan
gagasan. Lihat: Badruzzaman M. Yunus, Tafsīr al-Sha‟rāwī;
“Tinjauan Terhadap Metode, Sumber dan Ittijāh,” (Disertasi S3
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 53-
54. 36
Kata Transkrip dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dimaknai dengan salinan. 37
A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (
Kumpulan Ktab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik Sampai Masa
Kontemporer), (Pondok Cabe: LSIQ, 2013), h. 219. 38
Badruzzaman M. Yunus, “Tafsir al-Sya‟rawi,,,,h. 53 dan
54.
85
Sha‟rāwī yang dia sampaikan lewat bahasa lisan dan ditulis
oleh Tim, maka dalam pembukaan kitabnya al-Sha‟rāwī
membumbuhi surat pernyataan dengan tulisan al-Sha‟rāwī,
yang dilampirkan pada lembaran lampiran. Dan juga penting
diketahui bahwa tafsir ini ditashih oleh Lembaga Penelitian
Universitas al-Azhar (Majma‟ al-Buḥuth al-Islāmiyyah)39
,
namun pihak penerbit Akhbār al-Yawm menghendaki tafsir
ini diberi judul “Tafsīr al-Sha‟rāwī ”.40
1. Sistematika Penafsiran
Dalam menafsirkan, secara garis besar, al-Sha‟rāwī
tidak memiliki sistematika penafsiran yang permanen, itu
dikarenakan, uraian penjelasan al-Sha‟rāwī mengenai
pemahamnnya terhadap kandungan al-Qur‟an dimaksudkan
untuk para pendengar dan penyimaknya yang dia uraikan
dengan cara ceramah, uraiannya itu tidak dimaksudkan untuk
menjadi tafsir ilmiah atau penafsiran yang dibukukan.
Penafsiran al-Qur‟an yang dilakukan al-Sha‟rāwī
menempuh metode Taḥlilī, metode ini menghendaki seorang
penafsir memulai penafsirannya dari surah al-Fātiḥāh lalu
dilanjutkan dengan surah-surah berikutnya secara berurutan
berdasarkan susunan musḥaf uthmānī. selain metode ini,
dalam diskurus metode menafsirkan al-Qur‟an ada beberapa
metode dalam menafsirkan al-Qur‟an yang telah menjadi
pakem metode menafsirkan di kalangan para penafsir, antara
lain: Metode tafsir Taḥlilī, Ijmalī, Muqaran dan Maḍū‟ī.41
Empat metode di atas, tentu tidak lahir dalam ruang
hampa, empat metode ini tercipta sebagai usaha
mengkontekstualkan makna al-Qur‟an, ini wujud
39
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī , Tafsīr al-Sha‟rāwī, ,,,h. 1. 40
Badruzzaman M. Yunus, “Tafsir al-Sya‟rawi,,,,h. 54. 41
Hujair A. H. Sanaky, "Metode Tafsir [Perkembangan
Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin]," dalam
Al-Mawarid, Edisi, XVIII Tahun 2008, h. 267.
86
merealisasikan jargon al-Qur‟an Ṣāliḥ li Kulli Zamān wa
Makān, jargon ini sudah ada dan diyakini oleh para penafsir
terdahulu, hanya saja jargon ini dipahami dengan cara
“memaksakan”42
untuk konteks apa pun ke dalam al-Qur‟an,
akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tidak
menjawab tantangan zaman.
Secara garis besar Tafsīr al-Sha‟rāwī menempuh
sistematika menjelaskan makna dan hikmah (ketika
menafsirkan surah al-Fātiḥah), menafsirkan ayat per ayat,
menafsirkan ayat dengan ayat, menguraikan hubungan dengan
ayat sebelumnya atau yang berkaitan dengannya
(munāsabah), menafsirkan dengan riwayat (hadis Nabi,
perkataan sahabat).43
Dalam menafsirkan ayat, al-Sha‟rāwī menjelaskan
dengan perspektif bahasa yang rinci dan mudah dicerna.
Penjelasan dari sudut ilmu bahasa seperti naḥwu, balāghah.
Hal ini jelas menunjukkan kepakarannya dalam aspek bahasa
Arab. Apabila diperhatikan secara mendalam penafsiran al-
Sha'rawi, dia banyak dipengaruhi oleh metode mufasir
pendahulunya seperti Shaykh Muḥammad „Abduh, Rashid
Riḍa dan Sayyid Quṭb.44
2. Sumber Penafsiran
Sebuah tulisan atau gagasan yang berkualitas, dapat
terlihat dari beberapa aspek, salah satunya didasari atau
dibangun dari sumber-sumber otoritatif, sama halnya dengan
tulisan pada umumnya, penafsiran yang baik itu dapat
diketahui dengan bagaimana seorang penafsir dalam
membangun argumentasi dalam menyampaikan uraian
42
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer,
(Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 45-55. 43
A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir ,,,,,,h.
222. 44
M. Mutawallī al-Sha„rawi, Tafsīr al-Sha‟rāwī ,,,,h. 271.
87
tafsirnya. Dalam hal ini, al-Sha‟rāwī mempunyai posisi yang
berbeda dengan para penafsir pandahulunya, al-Sha‟rāwī
ketika menguraikan penafsirannya, dia sebagai pendakwah
yang di depannya para audien, maka dari itu banyak hal yang
dia ingat pada saat itu, maksudnya penjelasananya dapat
melebar dari ayat yang sedang dibahas. Penafsiran al-
Sha‟rāwī diperkaya oleh beberapa sumber, antara lain:
1) al-Qur‟an (Tafsīr ayat bil ayat)45
2) Penafsiran dengan riwayat46
3) Penafsiran dengan logika47
45
Penafsiran ayat dengan ayat diterapkan di banyak
kesempatan dalam Penafsiran al-Sha‟rāwī, salah satunya ketika
menafsirkan ayat ke enam dan ke tujuh dari surah al-Fātiḥah, al-
Sha‟rāwī menafsirkannya dengan ayat 186 dari surah al-Baqarah. 46
Intertekstual al-Qur‟an, mengharuskan dalam memahami
al-Qur‟an mengikutseratakan teks lain, teks lain disini salah satunya
riwayat yang disandarkan pada Nabi Muhammad, yang merupakan
penerima risalah al-Qur‟an, dalam memahami al-Qur‟an, menurut
al-Sha‟rāwī yang memiliki otoritas dalam menafsirkan al-Qur‟an
adalah Nabi Muhammad Saw. (lihat Muqaddimah Tafsīr al-
Sha‟rāwī ), untuk contoh bagaimana al-Sha‟rāwī menafsirkan al-
Qur‟an dengan hadis. Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-
Sha‟rāwī, ,,,h. 60. Berangkat dari pernyataan bahwa hadislah yang
paling menjadi prioritas dalam menafsirkan al-Qur‟an. Sedangkan
terkait dengan pembacaan intertekstual lebih detailnya dapat dilihat
: Mohd Sholeh Sheh Yusuff dan Mohd Nizam Sahad, "Bacaan
Intertekstual Teks Fadilat dalam Tafsīr Nūr al-Iḥsān" dalam Jurnal
Usuluddin, (Januari – Jun 2013), h. 35. Dan lihat juga: Lien Iffah
Naf‟atu Fina, “Membaca Metode Penafsiran Al-Qur‟an
Kontemporer Di Kalangan Sarjana Barat Analisis Pemikiran
Angelika Neuwirth," dalam Ulumuna Jurnal Studi Keislaman,
Volume 18 Nomor 2 (Desember) 2014, h. 228. 47
Penafsiran dengan logika (bi ra‟y). Al-Sha‟rāwī lakukan,
salah satunya ketika dia menguraikan bahwa kandungan dalam
pengulangan lafaz yang terdapat pada ayat pertama dan ayat ketiga
88
4) Asbāb al-Nuzūl48
5) Qawl Sahabat dan Tabi‟īn
6) Kondisi Aktual49
7) Kaedah kebahasaan50
8) Sejarah51
9) Syair52
10) Kaedah Uṣūl53
Dapat diketahui dari penjabaran di atas, bahwa
penafsiran al-Sha‟rāwī diperkaya oleh banyak komponen,
pembacaan intertekstual al-Sha‟rāwī untuk menafsirkan ayat
suci al-Qur‟an, membuat penafsirnnya kaya akan
pengetahuan.
dalam surah al-Fātiḥah. M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-
Sha‟rāwī,,,,h. 54. 48
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,h. 8087. 49
Ketika menguraikan lafaz ن السمبوات والأرض شيئب -al , م
Sha‟rāwī menjelaskan bahwa rezeki dari Allah Swt. yang hakiki dan
dapat langsung disantap itu berasal dari dua sumber, yaitu dari langit
berupa air hujan dan dari bumi yaitu berupa hasil bercocok tanam,
sedangkan emas dan perak (harta) itu merupakan rezeki yang tidak
bisa langsung disantap, sedangkan kita dapat bertahan hidup hanya
bisa menikmati rezeki yang bisa disantap. Adapun untuk konteks
kita saat ini, kita membutuhkan Roghīf al-„Īsh (roti yang menjadi
makanan pokok warga Mesir). Lihat: Muḥammad Mutawallī al-
Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, ,,,,h. 8086. 50
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, ,,,,h. 1894. 51
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, ,,,,h. 42. 52
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī, ,,,,h. 1314. 53
Dalam menafsirkan ayat ke tujuh puluh tiga, al-Sha‟rāwī
menguraikan penafsirannya menggunakan kaedah Ushul fiqh, ما لاإلا بو فهو واجبيتم الواجب kaedah ini digunakan untuk membantah
atau menjawab anggapan bahwa yang dikategorikan ibadah
hanyalah mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya lihat: M.
Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,, h. 8081.
89
Tafsir al-Sha‟rāwī bukan karya tulis ilmiah, karena
maksud dan tujuan tafsir ini (uraian penjelasan al-Qur‟an
menurut al-Sha‟rāwī) adalah menguraikan kepada masyarakat
secara luas tentang kemukjizatan al-Qur‟an, itu semua untuk
menyerukan para pendengar dan penyimak ceramahnya untuk
beriman dengan iman yang diperkaya pengetahuan. Jadi tidak
bisa dipungkiri eloborasi dan penjelasan aspek pengulangan
dalam al-Qur‟an yang dilakukan oleh al-Sha‟rāwī tidak lepas
dari tujun dan maksud di atas.
C. Posisi Tafsīr al-Sharāwī dalam Tradisi Tafsir
Mesir,
Sub Bab ini menguraikan dan mendudukan tafsir al-
Sha‟rāwī dalam perkembangan tafsir di Mesir, tentu
membahas perkembangan tafsir sampai pada era tafsir al-
Sha‟rāwī diterbitkan tidak akan terbahas secara utuh dalam
tulisan ini, tapi setidaknya sub bab ini mencoba
membentangkan bagaimana pemetaan perkembangan
eloborasi kandungan kitab suci al-Qur‟an di Mesir dan dari
situ dapat melihat dimana posisi tafsir al-Sha‟rāwī.
Mesir adalah salah satu negara yang sangat produktif
dalam melahirkan dan mengembangkan pemikiran Islam.
Keberadaan Universitas al-Azhar adalah salah satu bentuk
bukti kongkrit bagaimana perkembangan khazanah intelektual
Islam berkembang di Mesir, Universitas Mesir didirikan
pertama pada tahun 975 M. pada saat dinasti Fatimiyah54
dan
sampai saat ini masih memproduksi para cendikiawan
muslim.
Sejarah mencatat bahwa penulisan tafsir pertama di
Mesir telah dimulai jauh sebelum fase Muḥammad „Abduh
dan Rashīd Riḍā yang pemikiran kedua tokoh mesir ini
digadang-gadang menjadi pelopor kajian al-Qur‟an
54
“Sejarah Lahirnya al-Azhar”,.m.republika.co.id, diakses
pada 2 Maret 2019.
90
kontemporer, disinyalir kajian tafsir di Mesir telah dimulai
sejak sejak ekspansi Islam ke Mesir, tepatnya pada era „Umar
ibn al-Khaṭṭab (634-644 M)55
menguasai wilayah Mesir dari
imperium Bizantium, menurut Newby- Islam telah
menemukan lahannya yang subur dan menjadi pusat
peradaban khazanah keilmuan Islam di Mesir.
Untuk menguraikan dan memetakan perkembangan
tafsir al-Qur‟an di Mesir tidak bisa lepas dari dua kajian
ilmiah yang telah mengkaji tema ini secara mendalam, yang
pertama adalah kajian 'Abd Allāh Khūrshīd al-Barrī, dengan
judul “al-Qur‟ān wa „Ulūmuh fī Miṣr (20 H. 358 H./640 M.-
969 M.), kajian yang dilakukan oleh al-Barrī membantu untuk
memaparkan bagaimana peta awal dan perkembangan literasi
tafsir di Mesir, tentu ini belum beranjak dari tafsir klasik.
Kedua, untuk fase modern dalam mengkaji dan untuk
mendapatkan gambaran terkait tema perkembangan kajian
tafsir di Mesir Modern adalah kajian ang dilakukan oleh J.J.G.
Jansen, dalam kajiannya Jansen berusaha memetakan
perkembangan kajian ulama pada kandungan al-Qur‟an pada
fase modern, Jansen memberikan judul untuk kajiannya
dengan judul “the Interpretation of the Koran in Modern
Egypt.”56
55
. D. Newby (ed.), “Egypt” dalam A Concise
Encyclopaedia of Islam, (Oxford: One World, 2002), h. 56. 56
Karya Jansen berjudul The Interpretation of The Koran in
Modern Egypt adalah disertasi doktoralnya di Rijksuniversiteit
Leide tahun 1972. Kajiannya ini mengkaji secara mendalam
keseluruhan karya tafsir di Mesir modern. Buku setebal 111
halaman yang diterbitkan oleh E.J. Brill tahun 1980, berisi beberapa
bab, yaitu: bab pertama, Introduction: The Koran and its
Interpretation. Bab kedua, Mohammad Abduh‟s Koran
Interpretations. Bab ketiga, Koran Interpretation and Natural
History. Bab keempat, Koran and Interpretation and Philology, dan
bab kelima, Practical Koran Interpretation. Lihat: Abu Bakar,
Pemikiran Tafsīr Mesir Modern J.J.G Jansen(Telaah Atas Karya
91
Mengelaborasi kedua karya tersebut, diharapkan
mendapatkan gambaran terkait awal dan perkembangan kajian
tafsir dari masa klasik sampai modern. lebih komprehensif
meskipun adanya ketidak lengkapan karena terkendala dengan
hilangnya beberapa tahun (missing link)57
tafsir yang berkisar
antara fase pasca abad ke-9 M. [mengingat karya al-Barrī
hanya sampai pada abad ke-9 M.] hingga fase pra modern
[sebelum abad 19 M. yang belum sepenuhnya tersentuh dalam
kajian Jansen]. jadi dari dua kajian itu tidak seutuhnya
sinergis secara periodik, ada beberapa tahun yang belum
ditemukan secara kongktit datanya.
secara garis besar, kajian tafsir di Mesir dari sudut
periodesasinya menurut Dzikri Nirwana terbagi menjadi tiga
periode:
a. Fase Pembentukan („Aṣr al-Takwīn)
Menurut Khūrshīd, bahwa tafsir pada periode awal
Islam Mesir ini sangat bersifat kondisional, hanya muncul
pada peristiwa tertentu, riwayat-riwayatnya pun masih
terpencar-pencar (riwāyāt mutafarriqah) dan belum
terkodifikasi, meskipun hal ini setidaknya mengindikasikan
betapa tingginya semangat umat Islam pada masa itu untuk
mempelajari dan memahami al-Qur'an,58
pendapat ini senada
dengan pendapat al-Qaṭṭān bahwa tafsir pada fase ini memang
belum memasuki era tadwīn, karena fase kodifikasi tafsir baru
dimulai setelah abad ke-2 H. Tafsir masih merupakan bagian
J.J.G.Jansen The Interpretation Of The Koran in Modern Egypt),
dalam Al-Ihkām Vo l . V I N o . 1 J u n i 2 01 1, h. 4. 57
. Dzikri Nirwana, "Peta Tafsir Di Mesir: Melacak
Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an dari Abad Klasik Hingga Modern,"
dalam Jurnal Falasifa. Vol. 1 No.1 Maret 2010, h. 27-28. 58
'Abd Allāh Khūrshīd al-Barrī, al-Qur‟ān wa „Ulūmuh fī
Miṣr, (20 H.-358 H.), (Mesir: Dār al-Ma‟ārif, 1969), h. 267-270.
92
dari hadis, belum mengambil bentuknya sendiri59
fase ini,
kajian tafsir di Mesir belum terbentuk sepenuhnya, hanya
beberapa kajian tafsir secara parsial yang terdapat pada masa
itu, kajiannya pada periode ini dapat dibaca dengan tabel di
bawah ini60
:
No Nama Periode
1 Abū Ayyūb al-Anṣārī (w. 51 H.)
2 'Abd Allāh bin 'Amr bin
al-'Āṣ
(w. 56 H.)
3 'Abd Allāh bin 'Abbās (w. 68 H.)
4 Abd al-Raḥmān ibn
Ḥajīrah al-Khawlānī
(w. 83 H.)
5 'Utbah ibn al-Nuḍarr (w. 84 H.)
6 Mujāhid bin Jabbar (w. 103 H.)
7 'Alī ibn Rabāḥ al-
Lakhmī
(w. 114 H.)
Tabel 2,1 Nama Penafsir awal di Mesir
Aktivitas menafsirkan kalam Allah Swt. Telah
dimulai sejak awal ekspansi Islam ke berbagai daerah, salah
satu daerah yang menjadi penyebaran Islam di era awal adalah
yang sekarang disebut dengan negara Mesir, sejak ekspansi
Islam ke negara ini, negara ini menjadi negara yang sangat
produktif dalam mengembangkan khazanah keilmuan Islam.
a) Fase Kodifikasi („Aṣr al-Tadwīn)
Pada Fase kodisifikasi, Ibn „Abbās dan dua
muridnya, Mujāhid dan Ikrimah adalah aktor utama yang
menjadi penyebar kajian tafsir mazhab, atau dikenal dengan
istilah tafsir Mekkah di Mesir, Dalam kajian Khūrshīd, ada
59
. Al-Qaṭṭān, Mabāḥith, 337. Lihat juga: Dzikri Nirwana,
"Peta Tafsir Di Mesir... h. 30. 60
Dzikri Nirwana, "Peta Tafsir Di Mesir” ..h. 29.
93
sejumlah tokoh mufassir Mesir dicatat sebagai penerus tiga
tokoh di atas seperti:
No. Nama Periode
1 'Aṭā ibn Dīnār al-Hadhālī (w. 126 H.)
2 'Ubayd ibn Suwayyah al-
Anṣārī
(w. 135 H.)
3 'Abd Allāh ibn Wahb (w.197 H.)
4 al-Imām al-Shāfi'ī (w. 204 H.)
5 'Abd al-Allāh ibn Ṣālih (w. 223 H.)
6 'Abd al-Ghanī ibn Sa'īd al-
Thaqafī
(w. 229 H.)
7 Abū Ja'far alNaḥās (w. 338 H.)
8 Abū Bakr al-Adfawī (w. 388 H.)
Tabel No. 2,2. Daftar Nama Penafsir Pada Masa
Kodifikasi Di Mesir
Diperkirakan, sejumlah mufasir di atas telah mulai
menulis tafsirnya atau setidaknya tafsir mereka telah ditulis
oleh para muridnya dan dinisbahkan kepada mereka. Dilihat
dari periode penulisan tafsir pada fase kodifikasi, dapat
diketahui bahwa proses kodifikasi tafsir di Mesir diperkirakan
sudah dimulai sejak awal abad ke-2 H., sekitar akhir
pemerintahan Dinasti Umayyah dan awal pemerintahan
Dinasti 'Abbāsiyyah.61
Dari sebuah informasi bahwa Ibn
„Abbās pernah dua kali berkunjung ke Mesir.
Menurut Khūrshīd, bahwa tiga tafsir teratas sulit
ditemukan, kecuali melalui beberapa sumber sekunder yang
menginformasikannya dalam bentuk kutipan-kutipan yang
banyak disebut oleh sejumlah mufasir atau muhadis
belakangan. Pada fase ini penafsiran yang berkembang
cenderung mengikuti penafsiran Ibnu „Abbās dengan riwayat.
61
Dzikri Nirwana, "Peta Tafsir Di Mesir”,,,, h. 32.
94
b) Fase Pembaharuan („Aṣr al-Tajdīd)
Jansen menyatakan bahwa era pembaharuan dalam
sejarah tafsir di Mesir dimulai sejak fase Muḥammad „Abduh
(w. 1905 M.). Baik Tafsīr Juz „Amma sebagai karya tafsir
individual 'Abduh, ataupun Tafsīr al-Manār yang ditulis
bersama muridnya Rashīd Riḍā (w. 1935 M.)62
, diakui.
Menurut Jansen sebagai karya tafsir yang mampu membawa
angin segar. Karya Jansen berjudul The Interpretation of The
Koran in Modern Egypt adalah disertasi doktoralnya di
Rijksuniversiteit Leide tahun 1972.63
Disertasi ini secara fokus
mengkaji keseluruhan karya tafsir modern di Mesir. berikut
pandangan Muḥammad „Abduh terkait dengan tafsir-tafsir
yang telah ada pada masa sebelumnya:
ىذا لا ينبغى أن يسمى تفسير و إنما ىو ضرب من “64”التمرين في الفنون كاانحو والمعاني و غيرهما
Pendapat „Abduh ini mengkritik penafsiran yang dilahirkan
oleh para pendahulunya, yang sangat panjang lebar dalam
menguraikan aspek kebahasaan dan pemaknaan.
Dari pemetaan tafsir di atas, al-Sha‟rāwī mengisi
penafsiran yang menjelaskan kemukjizatan al-Qur‟an yang
62
Dzikri Nirwana, "Peta Tafsir Di Mesir; Melacak
Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an dari Abad Klasik Hingga Modern"
dalam Jurnal Falasifa. Vol. 1 No.1 Maret 2010, h. 36. 63
Abu Bakar, "Pemikiran Tafsir Mesir Modern J.J.G
Jansen (Telaah atas Karya J.J.G.Jansen The Interpretation of The
Koran in Modern Egypt)" dalam al-Ihkām, Vol . V I. No. 1, Juni,
2011, h. 4. 64
Ini sepatutnya tidak disebut sebuah penafsiran, melainkan
sebuah karya salah satu macam uraian beberapa bidang ilmu
kebahasaan seperti nahwu (gramatikal), ma'aani dan lainnya. Lihat:
Muḥammad Rashīd Riḍā, Tafsīr al-Qur‟ān al-Ḥakīm, (Beirut: Dār
al-Fikr, t.th), Vol.1, h. 25.
95
penjelasannya berdasarkan sosio-historis pada masa dan
dimana dia hidup.
D. Beberapa Pemikiran Pemikiran al-Sha’rāwī
Seseorang yang memiliki keilmuan yang mumpuni
dapat dinilai dengan pemikirannya. al-Sha‟rāwī adalah salah
satu pemikir Islam pada eranya, maka bukan hal yang aneh
jika beberapa penelitian mengkaji secara serius tentang
pemikiran al-Sha‟rāwī. Tujuan dilakukannya penelitian
pemikiran seorang tokoh, bertujuan untuk mencari tahu
bagaiamana tokoh tersebut dalam membangun argumen untuk
menopang pemikirannya, bagaimana tokoh tersebut dalam
membangun sebuah kesimpulan. selain itu, yang tidak kalah
penting untuk dicari tahu adalah konteks dan latar belakang
yang mengelilingi tokoh tersebut, dan pemikiran tersebut guna
menjawab persoalan apa.
Dalam hal ini banyak penelitian yang telah dilakukan
untuk mengkaji secara mendalam pemikiran al-Sha‟rāwī,
berikut beberapa pemikiran al-Sha‟rāwī yang diteliti oleh
akademisi:
1. Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender
Kajian mengenai jender dalam Islam banyak yang
telah dilakukan para sarjana, salah dua nya adalah
kajian yang dilakukan secara serius oleh Nasaruddin
Umar dan Hamka Hasan. Tema relasi jender dalam
Islam memang terus berkembang sampai pada saat
ini.
Istibsyaroh menyimpulkan bahwa penafsiran al-
Sha‟rāwī pada tema-tema relasi jender adalah
penafsiran yang bersifat moderat, ada beberapa tema
yang menjadi objek penelitiannya terkait relasi Jender
dalam Tafsīr al-Sha‟rāwī, antara lain kesimpulan dari
96
hasil penelitian yang dilakukan oleh Istibsyaroh
adalah sebagai berikut:65
i. Perempuan dapat menjadi saksi sebagaimana
halnya lelaki, dengan sarat perempuan itu melihat
dengan secara langsung.
ii. Perempuan dibolehkan bekerja di luar rumah,
sepanjang pekerjaan itu tidak melanggar prinsip-
prinsip ajaran agama.
iii. Perempuan sama hal nya dengan lelaki dapat
menjabat sebagai pemimpin di ruang publik dan
tidak ada superior dan inferior di dalam
kehidupan rumah tangga suami dan isteri,
keduanya bermusyawarah dalam membesarkan
dan mendidik anak.
Penafsiran al-Sha‟rāwī tentang hak-hak perempuan
dalam tafsirnya yang bersifat moderat ini dilatar
belakangi keilmuan dan sosio-historis yang ada pada
masa dan dimana dia hidup.
2. Relasi Agama dan Negara Perspektif al-Sha‟rāwī
Sampai pada saat ini, diskusi tentang hubungan
agama dan negara menjadi salah satu topik diskusi di
kalangan masyarakat akademis, Dalam sejarah Islam,
ada tiga tipologi hubungan antara agama dan negara
yang dilahirkan oleh para cendikiawan Islam. Din
Syamsudin membaginya sebagai berikut:Pertama,
pihak yang berpandangan bahwa hubungan antara
agama dan negara berjalan secara integral. Tokoh
pendukungan gerakan ini adalah al-Mawdudi. Kedua,
golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara
agama dan negara berjalan secara simbiotik dan
dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung,
65
Istibsyaroh, “Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender
pada Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,h. 286-289
97
agama memerlukan lembaga negara untuk melakukan
akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga
negara memerlukan agama untuk membangun negara
yang adil dan sesuai dengan spirit ketuhanan. Tokoh
Muslim dunia dalam golongan ini di antaranya adalah
Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Muḥammad Shahrūr,
Naṣr Ḥamīd Abū Zayd, Abdurrahman Wahid dan
Nurcholish Madjid. Ketiga, golongan yang
berpendapat bahwa agama dan negara merupakan dua
domian yang berbeda dan tidak ada hubungan sama
sekali.66
tema ini memang menjadi perhatian para
pemikir, al-Sha‟rāwī tidak lepas untuk mendiskusikan
tema ini.
Banyak cendekiawan muslim (ulama) Mesir terlibat
dalam gerakan nasionalis jauh sebelum Republik
Mesir didirikan yaitu sebelum revolusi 1952.67
Dalam
pandangan meraka, itu merupakan panggilan kepada
pihak yang mempunyai otoritas agama. Artinya jauh
sebelum al-Sha‟rāwī berbicara tentang nasionalisme,
para pendahulunya telah memperjuangkan hal ini.
Tetapi terkait dengan pemikiran al-Sha‟rāwī tentang
hubungan agama dan rasa nasionalisme, Jacquelene
Brinton mempunyai penilaian yang berbeda dengan
para ulama pendahulunya, hasil kesimpulan dari
mengkaji pemikiran al-Sha‟rāwī tentang tema ini
dengan konteks politik Mesir Modern.
Shaʿrāwī menghubungkan identitas keduanya agama
dan negara, dia menunjukkan bagaimana Islam
menjadi sumber identitas nasional di Mesir. Dengan
66
Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara”,
dalam Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan; Nasionalisme Religius
di Indonesia (Bandung:Pustaka Hidayah, 1999), h. 45-50. 67
Shalahuddin al-Ayubi, "Pengaruh Perang Dunia II
Terhadap Revolusi Mesir 1952," dalam Mimbar Sejarah, Sastra,
Budaya dan Agama, Vol. XXII, No. 2. Juli 2016. h. 277.
98
menggunakan simbol-simbol dan bahasa Islam untuk
meneruskan proyek pembangunan bangsa dan
Shaʿrāwī memberikan gagasan ajaran Islam yang
segar untuk menghubungkan gagasan sekular dan
pergerakan politik.68
Kajian tentang al-Sha‟rāwī di atas yang dilakukan
oleh ragam identitas sarjana, mengindikasikan aktivitas dan
pemikiran al-Sha‟rāwī yang disampaikan lewat uraian
dakwahnya mendapatkan perhatian dari akademisi dengan
latar belakang yang beragam, itu juga dapat diartikan sebagai
apresiasi dari para peneliti yang menujukkan pemikiran al-
Sha‟rāwī mempunyai peran dalam perkembangan keilmuan di
Mesir.
E. Latar Belakang dan tujuan pengkajian tikrār
Penelitian mengenai lafaz-lafaz yang mengalami
repitisi dalam al-Qur‟an, telah banyak dilakukan oleh para
pengkaji al-Qur‟an69
. Penelitian tersebut, tidak akan sampai
pada kebenaran yang absolut, karena bagaimana pun metode-
metode saintifik yang secanggih apapun tidak akan pernah
sampai pada kesimpulan kebenaran yang absolut, demikian
juga dengan pendekatan keilmuan sosial-humaniora yang
hanya sampai pada level relatif ketika keduanya digunakan
untuk mendekati meneliti kandungan al-Qur‟an. Tidak ada
seorang pun yang dapat memahami al-Qur‟an secara absolut70
68
Jacquelene Brinton, "Religion, National Identity and
Nation Building: Muhammad Mitwalli Shaʿrāwī‟s Concept of
Islam,,,,,, h. 81-82. 69
Penelitian-penelitian terkait dengan tema eloborasi lafaz-
lafaz tikrār telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya. 70
Pendapat serupa dapat ditemukan pada karya-kara para
sarjana muslim, di antaranya : Fazlur Rahman, Islam, 1988 . Hasan
Hanafi, Ikhtilāf fī Tafsīr am Ikhtilāf fī Mashāliḥ, dalam al-Dīn wa
Tsawrah: al-Yamīn wa al-Yasār fī al-Fikr al-Dīnī, Cairo 1981. Nasr
Ḥamīd Abū Zayd, Mafhum al-Nash: Dirosah fi „Ulūm al-Qur‟ān,
99
upaya manusia dalam menggali kebenaran pemahaman yang
terdapat dalam al-Qur‟an hanya sampai pada pemahaman
yang bersifat relativitas.
Keniscayaan tidak adanya penelitian/kajian terhadap
al-Qur‟an yang sampai pada kebenaran yang absolut
membuka ruang guna melakukan penelitian yang guna
memberikan pengembangan bagi riset-riset sebelumnya.
Tentu tulisan ini pun bermaksud salah satunya memberikan
kontribusi terhadap penelitian sebelumnya yang telah
dilakukan oleh para peneliti terdahulu.
Kajian terhadap lafaz tikrār ini guna mengeloborasi
teks al-Qur‟an, yang terkesan memiliki banyak pengulangan,
yang jika dibaca secara sepintas, pengulangan-pengulangan
tersebut tidak perlu dan itu merupakan salah satu aspek al-
Qur‟an yang banyak dikritik71
. Sedangkan pada teori
kontemporer, aspek-aspek pada teks, menjadikan teks sebagai
dunia hubungan-hubungan semantis, yang tidak dapat
mengekspresikan dirinya dan juga tidak dapat terungkap
kecuali melalui cakrawala pengetahuan yang berasal dari sang
pembaca teks72
. Begitu juga dengan teks al-Qur‟an yang
secara susunan sudah disepakati bersifat tawqifī73
, yang
antara setiap elemen penyusunnya memiliki hubungan. Yang
Cairo, 1987. Abdul Karim Soroush, “The Evolution and Devolution
of Religious Knowledge”, dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal
Islam: A Source Book, Oxford 1998. Lihat: M. Nur Kholis Setiawan,
al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ, 2005), h.
98. 71
Salwa el- Awa, “Repitition in the Qur'an: A Relevance
Based Explanation of Phenomenon”, dalam Islamic Studies,
42:4(2003), h. 577. 72
Naṣr Ḥamīd Abū Zayd, Kritik Wacana Agama,
Terj(Yogyakarta: Lkis, 2003), h.119-120. 73
Susunan surat-surat dalam al-Qur‟an itu tidak
berdasarkan ijtihad, melainkan susunannya berasal dari Malaikat
Jibril yang bersumber dari Allah Swt.
100
menurut „Abd Qāhir al-Jurjanī sebuah kata tidak dapat
dipahami dengan baik, tanpa memahaminya secara
komperhensif, yang artinya harus memahami sebuah kata
dengan memahami nuṣūṣ yang dengan memahaminya,
seorang pembaca mendapatkan pemahaman yang lebih baik
karena al-Qur‟an menjelaskan dirinya sendiri (the al-Qur‟an
explains itself)74
. Tetapi menjadikan penafsiran tekstualis
sebagai satu-satunya penafsiran dalam menggali kandungan
al-Qur‟an pun tidak menjadikan al-Qur‟an dapat berdialog
dengan era modern dan lebih lagi tidak menjadikan al-Qur‟an
sebagai petunjuk yang dapat menjawab/merespon
74
Terkait dengan pernyataan ini, salah satu tafsir yang
menerapkan prinsip ini adalah tafsir yang ditulis oleh Muḥammad
Bint Shātī, menurut Issa J. Boullata menurut metode yang
digunakan oleh Bint al-Shati tampak mengandung kehati-hatian
yang sengaja dijadikan standar agar memungkinkan membiarkan al-
Qur‟an berbicara mengenai dirinya sendiri, dan agar Kitab Suci itu
dipahami dengan cara yang paling langsung sebagaimana orang-
orang Arab pada masa kehidupan Nabi Muhammad. Lihat: Issa J.
Boullata, “Modern Qur‟anic Exegesis: A Atudy of Bint al-Shati‟s
Method”, dalam The Muslim World, vol. LXIV, 1974, h. 6.
metodologi yang digunakan Bint Shati adalah gagasan Amīn al-
Khūlī, yang merupakan suaminya, metodelogi Khulī diaplikasikan
secara baik oleh Bint al-Shati‟ dalam kitab tafsirnya al-Bayān. itu
terlihat ketika memulai sebuah pembahasan, dia mengungkapkan
waktu dan tempat di mana al-Qur‟an diturunkan. Bagi Bint al-Shati‟
pemahaman terhadap kronologi sebab turunya ayat surah (asbāb al-
Nuzūl) ini dimaksudkan untuk mendapat batas situasi yang
behubungan dengan teks khusus al-Qur‟an yang sesuai dengan
kaidah al-ibrah bi umum al lafẓ la bi al-khusūs al-sabāb. Imam
Taufiq, "Nuansa Etis Dalam Surat al-Balad (Sebuah Penafsiran
Linguistik Model Bint al-Syati‟)", dalam Teologia, Volume 16,
Nomor 1, Januari 2005, h. 70.
101
problematika saat ini.75
Tetapi kritikan dan anggapan bahwa
tekstualitas al-Qur‟an banyak terdapat di dalamnya
keambiguan pun suatu problem yang harus dijawab.
Kecenderungan para penafsir pada masa lalu yang
menitik beratkan fokus pada tekstualitas al-Qur‟an, dengan
kondisi ini, Asghar Ali Engineer berasumsi bahwa umat Islam
memiliki dua pilihan, menerima penafsiran yang telah mapan
selama ini (baca: literal) yang tidak menjawab problematika
umat pada masa modern atau menginterpretasinya agar dapat
menjawab problematika umat saat ini dan yang akan datang.
Tidak ada pilihan lain bagi umat Islam selain mengupayakan
agar al-Qur‟an tetap menunjukkan eksistensinya di tengah
perubahan sosial (social change) yang cukup besar saat ini.76
Ini juga yang diupayakan oleh Abdullah Saeed yang
meneruskan projek77
besar pendahulunya Fazlur Rahman.
Model interpretasi Saeed dikenal dengan istilah kontekstual,
maka tidak heran Saeed sangat memberikan fokus pada
konteks saat masa pewahyuan (Prophet‟s Life and of the First
muslim comunitty)78
dan konteks saat masa al-Qur‟an
ditafsirkan.
75
Massimo Campanini, The Qur‟an Modern Muslim
Interpretations , (London and New York: Routledge, 2011), h. 46-
48. 76
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam,
terj. Farid Wajdi dan Cici Fakhra Assegaf (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1994), h. 3. 77
Sheyla Nichlatus Sovia, “Interpretasi Kontekstual (Studi
Pemikiran Hermeneutika al-Qur‟an Abdullah Saeed)” dalam
Dialogia, Vol. 13. No. 1 (2015), h. 39. 78
Ini juga mencakup pada sebelum dan sesudah penurunan
al-Qur‟an. Lihat : Abdullah Saeed, Interprating The Qur‟an:
Towards A Contemporary Approach, (London and New York:
Routledge, 2006), h. 105.
102
Saeed yang digadang-gadang sebagai kontekstualis,
tidak hanya mempertimbangkan konteks (dua konteks di atas),
tapi menurutnya:
“From a Contextualist point of view, the meaning of a
word is not static; it changes with developments in the
linguistic and cultural environment of the community.
Some aspects of meaning become redundant, while
other aspects emerge or are emphasized, adding new
perspectives to the word. It is possible to argue that
even the so-called „core‟ meaning of the word does not
remain static.”79
Dengan jargon kontekstualnya, lantas tidak membuat
Saeed meninggalkan penafsiran berbasis teks al-Qur‟an begitu
saja, dia mengakui bahwa tidak semua aspek al-Qur‟an hanya
dapat dikaji dengan mengandalkan konteks yang menjadi
tumpuan Saeed dalam melakukan interpretasi, dia mengakui
bahwa sebagian aspek dalam al-Qur‟an, hanya dapat dipahami
jika menggunakan pendekatan linguistik, salah satunya
pengulangan, karena pengulangan adalah salah satu cara al-
Qur‟an dalam mengkomunikasikan makna.80
Artinya dengan
memahami pengulangan dengan pendekatan linguistik
merupakan keniscayaan guna memahami makna yang
dikomunikaskan dalam uraian al-Qur‟an berupa lafaz tikrār.
Dalam mengkaji sebuah teks banyak pendekatan yang
telah lahir, itu semua karena bagaimana seorang pengkaji
memperlakukan teks, mencari tahu dimana makna dari sebuah
teks. Pada penulis, teks atau pembaca. Karena dari tiga pihak
ini, menimbulkan pertanyaan yang penting untuk dijawab.
79
Abdullah Saeed, Interprating The Qur‟an: Towards A
Contemporary Approach,,,, h. 106. 80
Dalia Abo Haggar, "Repetition:A Key To Qur‟ānic Style,
Structure And Meaning,",,, h. vii.
103
Apakah sebuah teks memiliki makna yang plural? Atau apa
seorang pembaca dapat mendapatkan makna yang
dimaksudkan dari si penulis teks.
Pendekatan yang dapat digunakan dalam mendekati
teks jika ditinjau dari tiga hubungan penulis, teks dan
pembaca, maka lahir tiga, antara lain: pendekatan yang
memusatkan pada penulis (author-centered approach)81
,
dengan pendekatan ini makna sebuah teks ada pada penulis,
makna yang benar hanya ada pada si penulis. Untuk
menelusuri makna, bukan hanya konteks si penulis yang perlu
diteliti, tapi perlu dicermati juga faktor yang menyebabkan
teks itu lahir (motivasi penulisan). Dalam Qur‟anic studies,
ilmu yang memberikan informasi mengenai kondisi ketika
ayat al-Qur‟an diturunkan adalah asbāb al-nuzūl. Jika konteks
yang bisa dikaji dengan baik, maka idea moral82
dari sebuah
teks dapat digali.
Pendekatan kedua, dalam melakukan kajian pada
sebuah teks adalah pendekatan yang memusatkan perhatian
pada teks (text-centered approach), karena dengan
pendekatan ini, makna sebuah ada pada diri teks83
sendiri,
81
Mun‟im Sirry, Islam Revisionis; Kontestasi Agama
Zaman Radikal, (Yogyakarta: Suka Press, 2018), h. 78. 82
Ideal moral adalah suatu nilai dasar yang ada pada suatu
ayat yang berkomunikasi dengan konteks ketika ayat tersebut
diturunkan, ideal moral ini yang menjadi pertimbangan bagaimana
sebuah ayat dipahami pada saat si pembaca ayat menafsirkan dengan
memperimbangkan konteksnya. Lihat: Budi Harianto, "Tawaran
Metodologi Fazlur Rahman Dalam Teologi Islam," dalam
Kontemplasi, Vol. 04, No. 02, Desember 2016, h. 294. 83
Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Toshiko Izutsu,
bahwa sebuah kata memiliki makna yang berbeda jika memiliki
konteks yang berbeda, selain itu, kajian Izutsu ini menunjukkan cara
kerja semantik dalam mengkaji al-Qur‟an dan bagaimana kerumitan
dalam pemilihan sebuah kata yang digunakan al-Qur‟an. Toshihiko
Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qurʾan, (Kuala Lumpur:
Islamic Book Trust, 2004), h. 103. Kajian ini sangat membantu
104
menurut Mun‟im Sirry84
, pendekatan ini sangat diminati oleh
para strukturalist.85
Adapun menurut Roland Barthes sebuah
makna dilahirkan dari dua pihak, teks itu sendiri86
dan
untuk mengkaji aspek pengulangan dalam al-Qur‟an, karena kajian
ini menguatkan bahwa sebuah kata akan memilki makna yang
berbeda dikarenakan konteks yang berbeda. 84
Mun‟im Sirry adalah Assistan Professor di Fakultas
Teologi Universitas Notre Dame, USA. Tiga karyanya: Polemik
Kitab Suci: Tafsir Reformis Atas Kritik Al-Quran Terhadap Agama
Lain, (Gramedia, 2013). Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab
Tradisionalis dan Revisionis, (Mizan, 2015), dan Scriptural
Polemics: The Qur‟an and Other Religions" (Oxford University
Press, 2014). Lihat: https://geotimes.co.id/author/munim-a-sirry/ dan
lihat juga https://theology.nd.edu/people/faculty/munim-sirry/
(diakses pada 16-07-2018). 85
Salah satu pengkaji al-Qur‟an Michel Cuypers
melakukan kajian mendalam terhadap struktural al-Qur‟an, lebih
spesifiknya mengenai elemen-elemen yang mengalami repitisi, dia
melakukan pengamatan pada aspek struktur surah al-Māidah dan
dia mendeteksi elemen-elemen pengulangan dalam berbagai level,
dari level yang paling sederhana, pengulangan sebuah kata tunggal,
frase atau sampai aspek kalimat yang mana elemen-elemen
tersebut, diulangi membentuk struktur (seperti contoh dari Sūrat al-
Aʿrāf [Q. 7], Cuypers melakukan kajiannya dengan, menjadikan
sebuah surah menjadi dua section, bagian dan sub-bagian, Cuypers
mengulas hubungan-hubungan yang terdapat dari elemen yang
mengalami repitisi, dengan berbagai metode analisis teks Qurʾan
yang diulas, dapat disimpulkan bahwa semuanya melampaui
analisis linear dari teks untuk mengamati unsur-unsur yang diulang
secara verbal (seperti partikel, kata, dan elemen fonetik) tentu model
analisa ini turut mengembangkan studi analisis para pengkaji
struktural tentang bentuk dan koherensi surah. Lihat: Michel
Cuypers, The Banquet: A Reading of the Fifth Sura of the Qur‟an,
(Miami: ConviviumPress, 2009), h. 434–437.
86 Lain halnya dengan kesimpulan yang dilahirkan oleh
Daila Abou Haggar, dia menyimpulkan bahwa pengulangan yang
105
pembaca teks, karena menurutnya makna yang dimkasud oleh
sang penulis tidak dapat diraih sepenuhnya, selain itu jika
sebuah teks sudah dipublis, maknanya sudah tidak lagi ada di
si penulis.
Reader-centered approach adalah pendekatan yang
ketiga, pendekatan ini memberikan porsi yang besar kepada si
pembaca dalam melahirkan sebuah makna dari teks. Dengan
pendekatan ini makna dari sebuah teks ada pada seorang
pembaca, beda pembaca beda pula makna yang dilahirkan,
karena makna lahir dari horison yang dimiliki seorang
pembaca. Pendekatan ini mengembangkan pendekatan yang
kedua.
Perkembangan pendekatan maupun metode yang
ditujukkan untuk menggali kandungan al-Qur‟an, itu semua
melahirkan ragam makna dari al-Qur‟an yang satu, sama
halnya apa yang telah dilakukan oleh pada pengkaji al-Qur‟an
di masa klasik, salah satunya pengkaji tikrār, dia adalah al-
Kirmānī, karyanya mempunyai kontribusi penting dalam peta
kajian tikrār fī al-Qur‟ān, karyanya ini menghimpun
pengulangan dalam al-Qur‟an berdasarkan persurah.
Perbedaan jumlah pengulangan yang dikaji dalam
penafsiran al-Sha‟rāwī dan al-Kirmānī dalam surah al-
Fātiḥah, tidak bisa dilepaskan dari metode dan motif dari
masing-masing pengkaji dalam melakukan kajian terhadap
tikrār.
Latar belakang sebuah kajian perlu diugkap, karena
itu penting agar diketahui secara jelas apa yang menyebabkan
sebuah pengkajian dilaksanakan, walaupun menurut al-
Sha‟rāwī al-Qur‟an tidak butuh dibuktikan secara logika,
namun menurutnya ada beberapa aspek yang membutuhkan
terdapat dalam al-Qur‟an adalah sebuah metode yang dapat
melahirkan makna dalam al-Qur‟an, Dalia Abu Haggar, “Repetition:
A Key To Qur‟ānic Style, Structure And Meaning, (Disertasi S3
University of Pennsylvania, 2010), h. vii.
106
daya rasional guna membuktikan aspek-aspek kebenaran dan
kandungan yang tersimpan87
di dalam lafaz-lafaz dzāhir al-
Qur‟an, salah satu aspek tersebut adalah aspek tikrār, jumlah
pengulangan yang terdapat dalam al-Qur‟an yang tidak sedikit
melainkan banyak.
Walaupun tidak ditemukan secara eksplisit apa yang
melatar belakangi al-Sha‟rāwī mengkaji unsur pengulangan
dalam al-Qur‟an, tetapi al-Sha‟rāwī dalam sebuah kesempatan
memberikan pernyataan bahwa dalam al-Qur‟an tidak ada
pengulangan secara maknawi, melainkan hanya pengulangan
secara lafaz, menurutnya tidak ada satu pun lafaz dalam al-
Qur‟an yang tidak memiliki maksud atau salah tata letaknya,
karena menurutnya, dalam al-Qur‟an sang pembicara adalah
Allah Swt., tidak mungkin tidak memiliki makna dan maksud.
Sedangkan menurut Angelika Neuwirth, model uraian yang
sama dalam al-Qur‟an bukan hanya pengulangan tanpa
makna, tetapi menurutnya setiap pengulangan itu saling
membangun makna, karena masing-masing elemen lafaz
mempunyai fungsi (apa yang akan diuraikan), dan dari itu
membangun rangkaian dengan fokus makna yang baru.88
Dengan kata lain, Neuwirth dari hasil kajiannya, yang
mengkaji pengulangan yang terdapat surah al-Ḥijr
berkesimpulan bahwa, setiap pengulangan mempunyai fokus
makna utamanya masing-masing, jadi jika pengulangan-
pengulangan itu digabungkan dan disusun secara tepat, maka
akan tersusun makna yang komprehensif.89
87
Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī, Mu‟jizah al-Qur‟ān ,
(Mesir: Akhbār al-Yawm, Juz. 1, T. th.), h. 22. 88
Angelika Neuwirth, “Referentiality and Textuality in
Sūrat al-Ḥijr,,,,,h. 160. 89
Dia memberikan contoh pengulangan diksi „ibādī dalam
surah al-Ḥijr 42, 49. Lihat: Angelika Neuwirth, “Referentiality and
Textuality in Sūrat al-Ḥijr,,,,,h. 160.
107
Perlu diingat bahwa penafsiran yang dilakukan oleh
al-Sha‟rāwī dalam rangka berdakwah yang bertujuan
menjelaskan kepada penyimaknya kemukjizatan al-Qur‟an.
Awal kajian tikrār dilakukan karena adanya pengulangan di
banyak kesempatan dalam al-Qur'an, unsur ini menjadi
polemik yang dikaji oleh para pengkritik, mereka memberikan
perhatian pada bagian ini, mengkritik al-Qur'an secara
retorika, struktur dan gaya menguraikannya. Tentu kajian
mendalam perlu dilakukan guna menjawab kritikan di atas.
Salah satu pengkaji al-Qur‟an yang memberikan
jawaban terhadap kritikan di atas adalah Ibn Qutybah (W. 279
H./889 M.) dalam karyanya Ta‟wīl Mushkil al-Qur‟ān, Ibn
Qutaybah berpendapat bahwa, pengulangan dalam al-Qur‟an
yang berbicara mengenai kisah, informasi yang menjadi
sebuah basis sejarah, selain itu menjadi alasan bahwa benar
al-Qur'an adalah kitab suci yang diwahyukan dalam kurun
waktu dua puluh tiga tahun lamanya, sehingga umat Islam
dapat memahami uraiannya (menerima), diulanginya sebuah
lafaz dan berulang-ulang, meniscayakan terjadinya
internaslisasi dan mengingat kandungan-kandungannya yang
berisikan seruan dan nasihat, selain itu lafaz pengulangan
yang terdapat al-Qur‟an bertujuan untuk menguatkan dan
memberikan pemahaman (irādat al-tawkīd wa-l-ifhām). Gaya
penuturan al-Qur‟an yang seperti ini juga berhubungan
dengan tradisi oral dimana al-Qur‟an diturunkan, yaitu di
Arab.90
Argumen yang diajukkan Ibn Qutaybah di atas
merupakan rasonalisasi dan argumen yang menguatkan bahwa
aspek tikrār al-Qur‟ān yang dikritik merupakan tidak tepat,
melainkan uraian tikrār adalah salah satu cara al-Qur‟an
menguraikan kandungannya.
Setelah Ibn Qutaybah memberikan penjelasan terkait
pengulangan dalam al-Qur'an, pada periode berikutnya
muncul para pengkaji al-Qur'an suksesor Ibn Qutaybah yang
90
Ibn Qutayba, Taʾwīl mushkil al-Qurʾān, 235–237.
108
mengembangangkan dan mengeloborasi terkait gaya uraian
al-Qur'an secara umum, dan tikrār al-Qur‟ān secara khusus,
itu semua dilakukam berangkat dari pandangan mereka bahwa
Nazm al-Qur'an adalah salah satu bagian dari kemukjizatan al-
Qur'an, di antara nya adalah al-Khatṭābī (W. 388/998), al-
Bāqillānī (W. 405 H./1013 M.) dan diteruskan oleh „Abd al-
Qāhir al-Jurjānī (W. 417 H./1078 M.)91
Para ulama ini,
berusaha untuk menetapkan keunggulan naẓm Al-Qur'an
dengan cara mengamati hubungan antara susunan kata dan
struktur gramatikal dan makna yang dimaksud dari susunan
dan hubungannya.92
Dengan menerapkan pendekatan ini, al-
Khaṭṭābī dan al-Bāqillānī sampai pada kesimpulan bahwa
ayat-ayat yang mengulangi kata demi kata masing-masing
menunjukkan makna yang berbeda. Dengan kesimpulan ini
perkembangan dalam memahami tikrār mengalami
perkembangan, terkait dengan hubungan kata/kalimat dalam
al-Qur‟an, Quraish Shihab berpendapat bahwa al-Qur‟an
layaknya sebuah mutiara yang setiap sudutnya jika ditinjau
memiliki keindahan.
Menurut al-Jurjānī salah satu aspek kemukjizatan al-
Qur‟an yang sangat penting adalah aspek uraiannya secara
teks, dalam pandangan al-Jurjānī setiap kata memiliki makna
yang berbeda, jika lafaz memiliki posisi/konteks yang beda,
karena sebuah konteks memengaruhi makna sebuah
kata/kalimat,93
pandangan ini dikenal dengan teori naẓm.
Sebuah makna kata dan atau kalimat sangat dipengaruhi oleh
konteksnya masing-masing.
91
Dalia Abo Haggar, “Repetition: A Key To Qur‟ānic
Style, Structure And Meaning,,,, h. 9-10. 92
Untuk kajian ini secara mendalam, dapat dilihat pada :
Mustansir Mir, Coherence in the Qurʾān: A Study of Iṣlāḥī‟s
Concept of Naẓm in Tadabbur-i Qurʾān (Indianapolis, IN: American
Trust Publications, 1986), h. 10–16. 93
ʿAbd al-Qāhir al-Jurjānī, DalāʾIl Al-IʿJāz, (Cairo:
Maktabat al-Khanjī, 1984), h. 106–109.
109
Kesimpulan-kesimpulan yang diajukan oleh para
pakar di atas, menjadi titik tolak kelanjutan pengkajian lafaz
tikār yang dilakukan oleh para akademisi pada fase
berikutnya. Pengulangan kalimat atau frasa dalam al-Qur‟an
mempunyai fungsinya masing-masing, menurut sarjana
muslim, pengulangan berfungsi sebagai penguat. Artinya,
semakin sering sebuah tema atau kalimat di dalam al-Qur‟an
diulang, maka aksentuasi maknanya pun akan semakin kuat94
Pengulangan dalam al-Qur‟an termasuk dalam salah
satu gaya/model uraiannya mengikuti gaya komunikasi
masyarakat Arab, tetapi pengulangan dalam al-Qur‟an bukan
hanya mengikuti model komunikasi masyarakat Arab,
melainkan ada kandungan yang bersifat universal yang
terdapat dalam al-Qur‟an. Lebih dari itu, pada sebuah kajian
yang tertuang dalam sebuah disertasi bahwa pengulangan
merupakan sebuah metode al-Qur‟an dalam memberikan
makna tambahan di tiap pengulangan berikutnya atau dalam
penjelasan Haggar “repetition as a method of communicating
meaning in the Qurʾān”95
dengan kesimpulan ini, seorang
pembaca al-Qur‟an hendaknya memahami pengulangan bukan
hanya sekedar mengikuti tradisi komunikasi masyarakat Arab,
melainkan, lafaz yang mengalami repitisi memiliki
kandungannya masing-masing, pandangan ini juga
mematahkan anggapan bahwa banyaknya jumlah pengulangan
dalam al-Qur‟an tidak memiliki urgensi.
Neuwirth96
mengobservasi ayat yang dia diistilahkan
dengan dengan referentilality (ayat yang diulangi, pararel
94
Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkīl al-Qur‟ān.. 180-198. 95
Dalia Abo Haggar, “Repetition in The Qur‟ān: A Key To
Qur‟ānic Style, Structure And Meaning,‟ ,,,,, h. Vii.
96Angelika Neuwirth adalah seorang sarjana Barat Yahudi
yang lahir di Nienburg/Weser pada tanggal 4 November 1943.
Spesialisasi dan ketertarikan Neuwirth adalah pada bidang sastra
110
secara semantik) antara surah al-Ḥijr dan surat-surat dalam al-
Quran, analisanya menunjukkan bahwa bentuk-bentuk
pengulangan bukan hanya sekedar pengulangan belaka yang
tidak memiliki makna, lebih dari itu, bentuk-bentuk
pengulangan tersebut jika dihimpun dan dianalisa
berkesimpulan bahwa pengulangan-pengulangan itu
membangun satu dengan yang lainnya, menyusun unsur-unsur
yang menghasilkan perpaduan yang darinya melahirkan fokus
makna yang baru.97
Hasil analisa yang dilakukan oleh
Neuwirth ini menambahkan informasi mengenai pentingnya
fitur pengulangan dalam al-Qur'an. Dari kajiannya dia
menyimpulkan bahwa pengulangan bukan hanya berfungsi
untuk menunjukkan keterhubungan dalam sebuah surah dan
integrasi penyimak pada proses komunikasi pengulangan
(komunikasi yang tejalin antar pengalangan) dan juga
Arab klasik dan modern. Neuwirth adalah sarjana Barat pertama
yang mengkaji al-Qur'an sebagai teks sastra dan mengkajinya
dengan menggunakan pendekatan sastra, lebih khusus lagi tentang
pendekatan berbasis surat, terutama lewat disertasinya yang
diterbitkan menjadi buku pada tahun 1981, Studien Zur
Komposition Der Mekkanischen Suren: Die Literarische Form Des
Koran. al-Qur„an. Karenanya tak heran jika pendekatannya kepada
alQur„an sangat kental aroma sastranya. Lihat: Lien Iffah Naf‟atu
Fina, "Membaca Metode Penafsiran Al-Qur‟an Kontemporer Di
Kalangan Sarjana Barat Analisis Pemikiran Angelika Neuwirth,"
dalam Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 18 Nomor 2
(Desember) 2014, h. 271-272. 97
Angelika Neuwirth, “Referentialty and Textuality in al-
Ḥijr: Some Observations on The Qur‟anic Canonical Process and
Emergency of a Community,” dalam Literary Structures of
Religious Meaning in the Qur‟ān, ed. Issa J. Boullata (Richmond:
Curzon, 2000), h. 158-159.
111
melahirkan hubungan antara surah yang berbeda dan
mengembangkan makna-makna.98
Kesimpulan di atas, tidak bedanya dengan pendapat
al-Sha‟rāwī, menurut dia kisah dalam al-Qur‟an diuraikan
dengan berulang-ulang di tempat yang berbeda, suatu kisah
disampaikan pada suatu ayat yang berposisi di suatu surah,
kisah lainnya disampaikan pada ayat lain, pada uraiannya
yang sama terdapat temuan yang berbeda, memberikan
informasi yang baru pada tiap ayat yang menguraikan kisah,
andaikan seluruh ayat-ayat yang berbicara tentang kisah yang
sama (tema) dikumpulkan, akan ditemukan kisah yang
lengkap, setiap ayat menerima sesuatu yang baru. Artinya cara
al-Qur‟an dalam menyampaikan kisah dengan menggunakan
pengulangan, yang jika dilihat sekilas mengandung
pengulangan yang tidak berfaedah, tentu kesimpulan yang
sangat spekulasi ini tidak berlandaskan pengamatan dan
analisa yang mendalam, sebagai metode dalam
menyampaikannya, lafaz tikrār mengandung maknanya
masing-masing.
"والقصص في القرآن لا ترد مكررة. وقد يأتي بعض منها في آيات. وبعض منها في آيات أخرى. ولكن اللقطة مختلفة. تعطينا في كل آية معلومة جديدة. بحيث أنك إذا جمعت كل الآيات التي ذكرت في القرآن الكريم. تجد أمامك قصة كاملة متكاملة.
99."ل آية تضيف شيئا جديداك
Dari kajian yang dilakukan Neuwirth, dapat
disimpulkan bahwa fitur pengulangan yang terdapat al-
98
Dalia Abo Haggar, “Repitition: A Key to Qur‟ānic Style,
Structure and Meaning,” (Disertasi S3 di Universitas of
Pennsylvania, 2010), h. 33. 99
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,,h. 237.
112
Qur‟an memiliki peran penting dalam memformulasikan
makna, makna yang lahir dari fitur pengulangan yang terdapat
pada ragam konteks melahirkan makna yang memiliki fokus
baru.
Menurut Islam Dayeh100
, dia melakukan survey
terhadap ayat-ayat yang terdapat di dalamnya pengulangan,
menurutnya dengan model ini (menggunakan pengulangan)
menunjukkan kepada pembaca terkait urgensi dan bagaimana
fungsi lafaz-lafaz diulangi secara tematik, dengan mengkaji
variasi pengulangan dalam beberapa uraiannya, ini membuat
sebuah diskursus tertentu101
dalam kajian Islam, Dayeh
melakukan survey pada ayat-ayat yang mengalami
pengulangan, lalu dia membandingkan ayat-ayat tersebut dan
menyimpulkan kandungannya, Dayeh menganalisa
pengulangan ayat-ayat yang mengalami pengulangan pada al-
Hawāmīm102
yang termasuk dalam kategori surah
Makkiyah.103
Dari studinya, Dayeh berkesimpulan bahwa
100
Islam Dayeh adalah Asisten Profesor studi bahasa Arab
di Freie Universität Berlin dan Editor Eksekutif Jurnal Philological
Encounters (Brill).
Lihat:https://www.geschkult.fuberlin.de/en/e/semiarab/arabistik/Se
minar/Mitarbeiterinnen-und-
Mitarbeiter/Professuren/Dayeh/index.html 101
Islam Dayeh, “Al-Hawāmīm: Intertextuality and
Coherence In Meccan Surahs” dalam, The Qur‟ān In Context:
Historical and Literary Investigations Into The Qur‟ānic Milieu, ed.
Angelika Neuwirth dkk., h. 477-478. 102
Hawāmīm adalah surah-surah yang diwali dengan
hurruf muqata‟ah dalam hal ini khususnya huruf ḥā mīm. 103
Ayat makkiyah adalah ayat yang turun di kawasan
Makkah dan sekitarnya, sebelum ataupun setelah Nabi hijrah,
adapun gaya bahasa yang digunakan ayat makkiyah cenderung
bersifat keras dan tegas. Lihat: Moh. Muhtador, "Teologi Persuasif:
Sebuah Tafsir Relasi Umat Beragama," dalam Fikrah: Jurnal Ilmu
Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 4, No. 2, 2016, h. 190.
113
pengulangan pada surah al-Hawāmīm menunjukkan cara al-
Qur‟an menguraikan makna yang disampaikan pada beberapa
surah yang sangat berkaitan, dalam artikelnya dia
dimenyimpulkan bahwa:
“an intertextual reading, attentive to the
chronological development of these surahs,
will corroborate the thus far common, yet
unstudied notion that these surahs104
are
interrelated.”105
Pembacaan yang dilakukan Dayeh pengulangan yang
terdapat pada surah-surah al-Ḥawāmīm berkesimpulan bahwa
setiap pengulangan memiliki hubungan dan setiap lafaznya
memiliki pengaruh terhadap makna, model pembacaan ini
membuktikan dan menguatkan anggapan bahwa pengulangan
dalam al-Qur‟an urgen untuk dikaji dan diulas untuk terus
mengkaji makna apa yang terkandung dalam pengulangan.
1. Ragam Kajian Tikrār
Pengkajian pengulangan yang telah dilakukan oleh
para pakar dilakukan dengan beragam metode dalam
104
These are surahs 40 (Ghāfir), 41 (Fuṣṣilat), 42 (ash-
Shūrā), 43 (az-Zukhruf), 44 (ad-Dukhān), 45 (al-Jāthiya), 46 (al-
Aḥqāf), with surah 42 beginning with ḥā mīm ʿayn sīn qāf. Lihat:
Islam Dayeh, “Al-Hawāmīm: Intertextuality and Coherence In
Meccan Surahs”...h. 461.
105Sebuah bacaan Intertekstual yang memperhatikan
kronologis (surah Makkiyah) dari surat-surat ini, akan menguatkan
penelitian-penelitian tentang keterkaitan antara surah yang telah
dilakukan oleh beberapa akademisi antara lain: Neuwirth, Studien
zur Komposition der mekkanischen Suren; Mir, Coherence in the
Qurʾan; Robinson, Discovering the Qurʾan; dan el-Awa, Textual
Relations in the Qurʾan. Lihat: Islam Dayeh, “Al-Hawāmīm:
Intertextuality and Coherence In Meccan Surahs”...h. 461.
114
mengkajinya, secara garis besar aspek ini mereka kaji dengan
mengklasifikasinya menjadi dua ragam, lafziyah dan
maknawiyah. Dalam kajian yang dilakukan oleh al-Thawnī,
dia menglasifikasi aspek pengulangan dalam al-Qur‟an,
klasfikasi yang pertama, klasifikasi yang diajukan adalah
klasifikasi yang sudah diutarakan oleh para pengkaji al-Qur'an
dari masa awal, pengulangan secara lafaz dan makna,
klasifikasi yang kedua adalah pengulangan yang berfaedah
dan pengulangan yang tak berafedah106
. Selain kedua
klasifikasi itu, al-Thawnī juga mengungkapkan tikrār jika
ditinjau dari susunannya bisa dibagi menjadi al-Ittiṣāl107
dan
al-Infiṣāl.
Melahirkan beberapa ragam ilmu yang dapat
digunakan sebagai acuan dalam memahami aspek
pengulangan yang terdapat dalam al-Qur‟an, misalnya kajian
yang dilakukan oleh Khālid bin „Uthmān al-Tsabt108
,
menariknya, sebelum memaparkan uraian atas kajiannya
terhadap aspek pengulangan dalam al-Qur‟an, dia
memberikan keterangan tentang kajian tentang tema ini yang
telah dilakukan oleh para pakar, antara lain; Ta‟wīl Mushkīl
al-Qur‟ān, H. 233, Fiqh al-Lughah liltha‟labī H. 350. Al-
Ṣāḥibī H. 341. Nakt al-Intiṣār H. 313. Al-Burhān fī „Ulūm al-
Qur‟ān liZarkshī, al-IkSīr 240. Madkhāl lilḥdādī 290.
106
Hātif Barīhī Shiyā' al-Thawnī, "Dalālah al-Tikrār fī al-
Qur‟ān", dalam Majalah al-Qādisīyah li al-'Ulūm al-Insāniyah, Vol.
11. No. 4, 2007, h. 76. 107
. Kategori ini mencakup pengulangan baik itu dalam
format pengulangan sebuah kata, kalimat maupun ayat tidak
terpisah, pengulangan ini terdapat pada satu ayat atau pada dua ayat
yang berurutan. seperti pada ayat أولى لك أولى lihat QS. Al-Mulk. 108
Khālid bin „Uthmān al-Tsabt, “Qawā‟id al-Tafsīr ;
Jam‟an wa Dirasah” (tp: Dār Ibn „Affān, Jil. II), 700-
115
Nihāyah al-Ījāz H. 388. Al-Itqān 199. Tafsīr al-Qāsimī H.
256. I‟jāz al-Qur‟ān liRāfi‟ī H. 193. Al-Taqrīr fī al-Tikrār109
.
Dalam karyanya ini, terlihat secara jelas dari
judulnya, al-Thabt berusaha menyusun sebuah kitab yang
berisikan tentang kumpulan kaedah-kaedah „Ulūm al-Qur‟ān.
Al-Thabt memulai uraiannya mengenai tikrār fī al-Qur‟ān
seperti hal yang lumrah dilakukan penulis, memulainya
dengan menyampaikan definisi tikrār baik secara bahasa dan
istilah, selain itu juga dia juga menyampaikan alternatif
definisi. Beberapa kaedah tikrār yang diuraikan oleh al-Thabt
antara lain110
:
1. Pengulangan Lafaz Berkali-Kali Memiliki
Hubungan111
Makna dari kaidah pertama ini adalah, sungguh pengulangan
yang berulang dalam beberapa kali, menandakan adanya
keterkaitan satu sama lain, Penerapan kaedah ini, seperti
pengulangan lafaz فبأي الاء ربكمب تكذبب yang terdapat pada
surah al-Raḥmān, Adanya pengungalan redaksi ayat فبأي الاء
109
Khālid bin „Uthmān al-Tsabt, Qawā‟id al-Tafsīr ;
Jam‟an wa Dirasah,….h. 700. 110
Khālid bin „Uthmān al-Tsabt, Qawā‟id al-Tafsīr ,,,,h.
700-715. 111
adanya pengulangan dalam al-Qur'an baik itu ayat
maupun kalimat di sebagian surah dalam al-Qur'an berbicara tentang
pembahasan/tema yang berbeda, pengulangan-pengulangan tersebut
banyak yang mempertanyakannya,aspek inilah yang berpotensi
sukar utuk dipahami, lebih lagi jika menganggap baik kalimat
maupun ayat yang mengalami pengulangan tidak memiliki distingsi
dengan yang kalimat/ayat yang diulangi sebelumnya, pendapat ini
menurut al-Thabt tidak tepat, menurutnya setiap pengulangan dalam
al-Qur'an baik itu ayat maupun kalimat yang mengalami
pengulangan memiliki hubungan dengan yang telah diulangi
sebelumnya, maka dengan perspektif ini pengulangan hanya ada
pada tataran lafaz saja, tidak secara substansi. Khālid bin „Uthmān
al-Thabt, Qawā‟id al-Tafsīr,,,,,h. 702.
116
dalam surat al-Raḥmān, merupakan bentuk ربكمب تكذبب
pemisah dari adanya nikmat-nikmat Allah yang diberikan
kepada manusia yang tertuang dalam surat tersebut. Setiap
ayat yang diulang merupakan pemisah dan berkaitan dengan
ayat sebelumnya.112
Pengulangan yang terdapat pada surah al-
Raḥmān sangat bermuatan psikologis untuk pembacanya.
2. Pengulangan Dalam Al-Qur‟an Tidak Ada Yang
Berdampingan
Jumlah pengulangan lafaz yang terdapat dalam al-
Qur‟an menurut al-Kirmānī sebanyak 589.113
Tentu jumlah ini
cukup untuk mengatakan bahwa pengulangan dalam al-
Qur‟an tidak bisa dikategorikan sedikit, jumlah yang
didapatkan akan tidak sama, jika dalam mengkaji
pengulangan menggunakan metode yang berbeda, dengan
metode yang digunakan oleh al-Kirmānī, seperti kajian yang
telah dilakukan oleh ‟Abd al-Karīm al-Banjābī, menurut al-
Banjābī pengulangan dalam al-Qur‟an, terdapat sebanyak
335114
.Kedua hasil kajian di atas, menghasilkan kesimpulan
yang berbeda, itu dikarenakan penggunaan metode yang
berbeda. Tentu bukan hanya dua kitab ini yang mengkaji
pengulangan dalam al-Qur‟an. Namun dari jumlah
pengulangan di atas, tidak ditemukan pengulangan yang
saling bersandingan/bersampingan satu sama lain secara
langsung, hanya ditemukan pengulangan yang dipisahkan
112
Khoridatul Mudhiah, “Menelusuri Makna Pengulangan
Redaksi Dalam Surah Ar-Rahman,” Hermeunetik, Vol. 8, No. 1,
Juni 2014. 148. 113
Al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-Qur‟ān…..h. 258. 114
„Abd al-Ghofūr ‟Abd al-Karīm al-Banjābī, al-Tawḍīh
wa al-Bayān fī Tikrār wa Tushābih Ay al-Qur‟ān, (Madinah:
Maktabah al-'Ulūm wa al-Hikām, 1994), h. 346.
117
dengan kata atau kalimat. Seperti pada pengulangan pada
ayat-ayat berikut.115
3. Kesamaan Hanya Terdapat Pada Lafaz, Tidak Pada
Makna
Kaidah ini sama dengan pendapat al-Sha‟rāwī, yang
menurut al-Sha‟rāwī bahwa, pengulangan hanya berlaku pada
tataran lafaz dan tidak berlaku pada tataran makna, pernyataan
itu yang menjadi salah satu poin yang melatar belakangi
dilakukannya penulisan kajian ini, salah satu contoh dari
penggunaan kaidah ini adalah pemaknaan kata lafaz al-
Raḥmān al-Raḥīm yang terdapat pada ayat pertama
(basmallah) dan ayat ke tiga pada surah al-Fātiḥah, menurut
al-Sha‟rāwī lafaz al-Raḥmān al-Raḥīm ini mempunyai
masing-masing konteks, yang melahirkan fokus makna yang
berbeda, pendapat ini sama dengan apa yang disimpulkan oleh
Angelika Neuwrith.116
4. Nakirah
117 Jika Diulangi Menunjukkan Jumlah Yang
Banyak, Sebaliknya Dengan Ma‟rifah118
.
Kaidah ini menunjukkan bahwa adanya implikasi dan
perbedaan makna yang terjadi jika pengulangan kata itu
berstatus nakirah maupun ma‟rifah. Perbedaanya, jika
115
Pengulangan yang hampir bersandingan seperti kata
Iyyāka dalam surah al-Fātiḥah. Tentu kaedah ini memiliki
pengecualian, namun secara umum hanya sedikit ditemukan
pengulangan yang bersampingan. 116
Angelika Neuwrith, “Referentiality and Textuality in
Sūrat al-Ḥijr,,,, h. 159-160. 117
Isim (kata benda) yang menunjukkan sesuatu yang tidak
ditentukkan 118
Isim (kata benda) yang menunjukkan pada sesuatu yang
tertentu yang dapat dikenal dengan pengenalan yang sempurna.
Lihat: Hamka Ilyas, Al-Nakirah wa al-Ma'rifah, dalam Jurnal Shaut
al-Arabiyah, Vol. III, No. 2, Januari-Juni 2015, h. 8.
118
terdapat dua kata nakirah secara penulisan/lafaz sama, maka
dua kata itu akan memiliki makna/apa yang dimaksud
berbeda, antara yang kata yang pertama dan kedua, untuk
lebih jelasnya dijelaskan pada penjelasan berikut:
ث ق وة ضعف ث جعل من ب عد ضعف اللو الذي خلقكم من " "وشيبة يلق ما يشاء وىو العليم القدير ضعفا ق وة جعل من ب عد
"Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah,
kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan
lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan
(kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.
Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia
maha mengetahui, maha kuasa" (Q.S. Al-Rūm [03]: 54)
Dalam pandangan Thabt, tiga kata ḍa‟f dan dua kata
quwwah yang berstatus nakirah pada ayat di atas memiliki
makna yang berbeda, berikut119
pemaknaan kata ḍa‟f di atas
dalam perspektif Thabt secara berurutan dari awal ayat, yang
pertama bermakna sperma (nuṭfah) atau debu (turāb)
sedangkan yang kedua bermakna masa kecil (ṭafūliyah) dan
yang ketiga bermakna masa penuaan (shaykhūkhah). Ada pun
pemaknaan dua kata quwwah berstatus nakirah menurutnya
sebagai berikut: yang pertama bermakna daya yang membuat
seorang anak kecil bergerak, sedangkan kata quwwah yang
kedua bermakna masa setelah memasuki masa balig.120
Pemaparan perbedaan makna dari kata ḍa‟f dan quwwah pada
119
Khālid bin „Uthmān al-Thabt, Qawā‟id al-Tafsīr,,,h.
711-713. 120
Masa balig adalah masa dimana seorang remaja
memasuki pertumbuhan fisik ideal, ideal disini secara fisiknya
menuju pada sebagus-bagusnya fisik seseorang remaja dan dalam
masa inilah seorang remaja memasuki pengisian pribadi. Lihat:
Azyyati Mohd NAzim dkk. “Ciri-ciri Remaja Berisiko: Kajian
Literatur", dalam Islamiyyat, 35(1) 2013, h. 117-118.
119
ayat ke lima puluh empat dari surah al-Rūm ini membantah
hasil kajian Richard Bell yang berkesimpulan bahwa
pengulangan suatu lafaz yang sama menggantikan (me-
nasakh) lafaz yang diulangi sebelumnya.121
Isim ma‟rifah jika diulangi memiliki implikasi berbeda
dengan kata nakirah pada penjelasan di atas. Kata ma‟rifah
menurut al-Thabt jika diulangi, merupakan lafaz yang
diulangi dan yang mengulangi adalah satu hal yang sama.
Salah satu contohnya:
الذين أن عمت عليهم غير صراط ( 6المستقيم ) الصراط اىدنا “ ”(7) الي المغضوب عليهم ولا الض
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-
orang yang telah engkau beri nikmat kepadana; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat.” (Q.S. Al-Fatiḥah [1]:6-7)
Kata al-Ṣirāṭ adalah isim ma‟rifah, karena salah satu
ciri dari kata ma‟rifah adalah adanya alif lam, jadi Al-Thabt
berpendapat bahwa kata al-Ṣirāṭ pada ayat ke enam dan ke
tujuh merupakan hal yang sama.122
Tentu pendapat ini
berbeda dengan pendapat al-Sha‟rāwī yang telah dikutip pada
bab terdahulu.
Jika mengulas uraian penjelasan yang ditulis oleh para
Ulama, ada kecenderungan yang cukup jelas, mereka dalam
membahas bagian tikrār fī al-Qur‟ān, mengklasifikasikan
tikrār menjadi dua garis besar, pertama tikrār al-Lafẓī dan
tikrār al-Ma‟nawī, ini bisa dilihat dari karya ulama yang
121
Marianna Klar, "Text-Critical Approaches to Sura
Structure:Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-
Baqara Part Two,” dalam Journal of Qur‟anic Studies 19.2 (2017),
h. 67. 122
Khālid bin „Uthmān al-Thabt, Qawā‟id al-Tafsīr,,,h. 712.
120
membahas juga bab tikrār fī al-Qur‟ān. Tetapi jika ditelusuri
kajian yang secara fokus tentang objek ini bergerak
berkembang.
2. Metode Mengkaji Tikrār fī al-Qur’ān Kajian Tikrār sama halnya dengan kajian munāsabah,
pembahasan tikrār tidak termasuk pada tataran tauqifī123
(sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul), melainkan tikrār
termasuk pada tataran ijtihadī, maka dari itu hasil kajian
terhadap tikrār sangat dipengaruhi oleh subjektifitas seorang
mufassir, penghayatan seorang mufassir terhadap kebahasaan
al-Qur‟an, dapat dilihat dari eloborasi para penafsir terhadap
lafaz-lafaz tikrār, walaupun objek naṣ yang dieloborasi sama,
namun menghasilkan pemahaman yang berbeda. lihat
perbedaannya ketika empat penafsir dibawah ini ketika dalam
mengeloborasi surah al-Fātiḥah:
No Penulis Jumlah Sumber Sistematika
1 Al-
Kirmānī
Empat124
Pendapat
pendahulun
ya
1.Menyampaikan
pendapat
pendahulunya
2. Memaparkan
pendapatnya
2 Ibn
Zubayr
Empat
(dalam
Ilmu
kebahasaan
1.Menyampaikan
keselurahan
123
Seperti halnya pada panjang dan pendeknya sebuah
surah dalam al-Qur‟an dan juga keseluruhan urutan ayat merupakan
ketetapan Allah Swt. Ketika sebuah ayat diterima oleh Nabi
Muhammad, dia memerintahkan ayat ini ditaruh pada posisi dan
surah yang telah ditentukan. Lihat: Muḥammad Abū Zahrah,
Mu‟jizah al-Kubrā al-Qur‟ān, (T. Tp.:Dār al-Fikr al-„Arabī, T. Th.),
h. 175. 124
Al-Tāj al-Qurā Maḥmūd bin Hamzah al-Kirmānī , Asrār
al-Tikrār fī al-Qur‟ān, (T.tp: Dār al-Faḍīlah, T. th), 65-66.
121
bentuk
pertanyaa
n)125
pertanyaan-
pertanyaan terkait
lafaz yang akan
dibahas.
2. memaparkan
jawaban atas
pertanyaan-
pertanyaan yang telah
diajukan sebelumnya
dengan
membaandingkan
lafaz yang sama di
surah yang sama atau
berbeda.
3 Ibn
Jama‟ah
Sembilan
poin yang
dijelaska
n
Pendapat
pendahulun
ya dan
kebahasaan
1.Menyampaikan
pertanyaan terkait
poin yang akan
dijelaskan.
2. setiap satu
pertanyaan diikuti
langsung pemaparan
jawaban.
4 Al-
Sha'rāwī
‟
Satu poin Berbagai
disiplin
ilmu
1. Memaparkan naṣ
terkait lafaz tikrār
yang akan
dipaparkan.
2. Menjabarkan lafaz
Tabel No. 2,6. Rangkuman kajian tikrār/mutashābih al-
Lafẓī
125
Al-Imām Abī Ja‟far Ahmad bin Ibrāhīm bin Zubayr al-
Tsaqafī al-Ghirnāṭī ( 708 H.), Milāk al-Ta‟wī1, (Beirut: Dār al-
Kutub al-„Ilmiyah), 11-21.
122
Dari hasil rangkuman yang dipaparkan melalu tabel di atas,
dapat diketahui bahwa kajian tikrār termasuk pada klasifikasi
kajian yang bersifat ijtihādī, dan pada tabel di atas
menunjukkan bahwa, para ulama berbeda metode dan sumber
dalam mengkaji pengulangan dalam al-Qur‟an.
Tidak tepat jika diyakini bahwa pembahasan
pengulangan dalam al-Qur‟an tergolong baru dilakukan,
Muḥammad al-Barkah dalam tulisannya menyatakan bahwa
pembahasan pengulangan dalam al-Qur‟an sudah dimulai
sejak zaman Nabi Muḥammad Saw.126
Ini dapat terlihat jelas
dari riwayat yang membicarakan pengulangan dalam al-
Qur‟an:
أخبرنا أبو عبد الله الصفار ، ثنا أبو بكر بن أبي الدنيا ، حدثني عمار بن نصر ، ثنا الوليد بن مسلم ، حدثني عبد الله بن العلاء بن زبر ، ثنا القاسم بن عبد
الرحمن ، عن أبي أمامة رضي الله عنو ، عن النبي صلى الله عليو وسلم ، قال: " من القرآن: في سورة البقرة ، وآل عمران ، لفي ثلاث سور عظمإن اسم الله ال
وطو " فالتمستها فوجدت في سورة البقرة آية الكرسي: } الله لا إلو إلا ىو [ ، وفي سورة آل عمران: } الم الله لا إلو إلا ىو 522الحي القيوم { ]البقرة:
ه للحي القيوم [ ، وفي سورة طو: } وعنت الوجو 5الحي القيوم { ]آل عمران: 127[111{ ]طو:
126
Muḥammad bin Rashīd bin Muhammad al-Barkah, “al-
Mutashābih al-Lafẓī fī al-Qur'ān al-Karīm wa Tawjīh Dirasah
Maudu'iyah”, (Tesis S2 Arab Saudi: Universitas Ibn Saud, 2009), h.
75-87. 127
Abū „Abd Allāh Muḥammad bin „Abd Allāh bin
Muḥammad bin al-Ḥākim al- Naysābūrī, Mustadrāk „Alā al-
Ṣaḥīḥayn liḤākim, (Cairo: Dār al-Ḥaramayn, 1997, Jil. 1), 692.
123
Dari hadis di atas, dapat diketahui bahwa, sejak dulu,
Nabi Muhammad Saw. pun telah memberikan perhatian
kepada term pengulangan dalam al-Qur‟an, itu dilakukan
salah satunya guna mendapatkan pemaham tentang suatu hal
penting yang diutarakan beberapa kali pada beberapa
surah/ayat Secara garis besar dalam mengkaji tikrār dapat
diklasifikasikan menjadi dua garis besar, yang pertama,
mengkaji redaksi yang mirip/mengalami pengulangan dalam
satu surah128
, yang kedua, mengkaji redaksi yang
mirip/mengalami pengulangan dalam inter surah-surah129
pada disertasinya Nasruddin Baidan memformulakan
prosedur dalam menasirkan lafaz-lafaz yang beredaksi mirip,
ini sama halnya dengan diksi yang diulangi, Untuk lebih
jelasna berikut prosedur dalam menafsirkan ayat yang
beredaksi mirip dalam pandangan Baidan:130
a. Mengidentifikasi dan Menghimpun Ayat-Ayat Yang
Mirip
b. Membandingkan Redaksi yang Mirip
c. Analisa Redaksi yang Mirip
d. Bandingkan Pendapat Para Mufassir
Sudah barang tentu kajian yang dilakukan Nasruddin
Baidan ini menambah khazanah metode dalam menafsirkan
128
Metode ini yang dilakukukan oleh al-Kirmānī dalam
menyusun kitab Asrār al-Tikrār fī al-Qur‟ān. 129
Salah satunya Ibn Zubayr al-Ghirnāṭī yang melakuakn
eloborasi lafaz yang mengalami pengulangan, suatu lafaz tidak
hanya dibandingkan dengan lafaz sepadannya yang berada pada satu
surah, melainkan membandingkan dengan lafaz yang sama yang
berada di surah yang lain (berbeda) 130
. Nashruddin baidan, “Metode Penafsiran Ayat-Ayat
Yang Beredaksi Mirip di Dalam Al-Qur‟an, (Disertasi S3 Fakultas
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatulah Jakarta), h. 213.
124
ayat-ayat yang beredaksi Mirip, jika dilihat dari kesimpulan
metode atau prosedur dalam mengkaji lafaz yang beredaksi
mirip, maka kesimpulan yang akan didapatkan adalah bukan
hal yang baru, karena bertumpu pada pendapat penafsir yang
terdahulu, perlu ada kajian yang lebih dinamis yang
mempertimbangkan konteks, agar melahirkan kesimpulan
yang baru dan dapat menyentuh dan menjawab persoalan
masa kini. Dalam pandangan penulis, penafsiran terhadap
lafaz-lafaz tikrār sama halnya dengan kajian munāsabah yang
bersifat ijtihadī, yang berarti dapat berkembang.
125
BAB IV
Kajian Tikrār dalam Tafsīr Al-Sha’rāwī
Sebagaimana disampaikan pada bab I, pertanyaan
mayor yang diajukan untuk dijawab dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: “bagaimana penafsiran al-Sha‟rāwī
terhadap lafaz-lafaz dalam al-Qur‟an yang mengalami
pengulangan” untuk menjawab rumusan masalah di atas,
penulis menyampaikan dua pertanyaan. Pertama, Bagaimana
pola al-Sha‟rāwī dalam menguraikan penafsirannya terhadap
tikrār. Kedua, Bagaimana hasil penafsiran al-Sha‟rāwī
dibandingkan dengan para pakar yang mengkaji tikrār.
Bab ini juga memaparkan beberapa pembahasan,
mulai dari analisa penulisan terkait metode dan pendekatan
yang digunakan oleh al-Sha‟rāwī dalam mengkaji tikrār.
Yang tidak kalah penting dari bagian utama pada bab ini
adalah tinjaun kritis terhadap ragam kajian tikrār yang al-
Sha‟rāwī sampaikan dalam penafsirannya, dan pada akhir bab
ini penulis menengahkan komparasi kajian tikrār yang
dilakukan oleh dua ilmuwan dalam mengkaji tikrār. Ini
dilakukan bertujuan untuk menganalisa distingsi hasil
eloborasi kajian al-Sha‟rāwī dengan kajian yang telah
dilakukan ilmuwan.
A. Karakteristik Tikrār dalam Tafsīr al-Sha’rāwī
Uraian al-Qur‟an yang diakui dan dipercaya sebagai
kitab suci yang memiliki puncak keindahan bahasa1, itu
bukan berarti tidak ada yang mempertanyakan al-Qur‟an
secara retorikanya, baik itu dikarenakan sukar untuk dipahami
maupun memiliki makna yang bias. Salah satu yang banyak
dipertanyakan dan sukar untuk dipahami adalah aspek
pengulangan yang terdapat dalam al-Qur‟an. Maka tidak
1Al-Ṭūfī, Al-Iksīr fī ‘Ilm al-Tafsīr, (Cairo: Maktabah al-
Adāb, 1977), h. 270.
126
heran jika menganggap pengkajian pengulangan dalam al-
Qur‟an merupakan objek yang harus dikaji.
Banyak yang telah melakukan kajian mengenai
pengulangan dalam al-Qur‟an, bahkan Nabi Muḥammad Saw.
Telah memberikan contoh dengan menguraikan pengulangan
dalam al-Qur‟an,2 tentu ini menjadi indikator bahwa di dalam
aspek pengulangan lafaz dalam al-Qur‟an terdapat kandungan
yang tersimpan, karena jika dibaca secara sekilas, tikrār fī
al-Qur’ān tidak begitu urgen eksistensinya dalam al-Qur‟an.
Susunan al-Qur'an terkesan campur aduk, membuat kelelahan
untuk memahaminya ketika membaca al-Qur'an dengan
sebagai susunan/organisasi kontennya.3
Dalam literatur kajian tikrār yang telah dilakukan
oleh para pakar terdahulu, ada dua garis besar cara
menentukkan sebuah frase/kalimat yang mengalami
pengulangan yang akan dieloborasi oleh para pengkaji, sebut
saja dalam kitab Asrār tikrār fī al-Qur’an karya al-Kirmānī
dengan judul lengkap kitab ini adalah Asrār al-tikrār fī al-
Qur’ān al-Musammā al-Burhān fī tawjīh mutashābih al-
Qur’ān limā fīh min al-Ḥujjah wa al-Bayān, dari segi judul
saja menunjukkan bahwa pada masa itu tikrār termasuk
menjadi pembahasan pada ranah mutāshabih al-Qur’ān. Oleh
karena itu karya ini hadir untuk menjelaskan dan memberikan
sebuah perspektif untuk menjelaskan mutashābih-nya.4 Selain
itu, Karya ini salah satu yang menjadi literatur penting dalam
2Abū „Abd Allāh Muḥammad bin „Abd Allāh bin
Muḥammad bin al-Ḥākim al- Naysābūrī, Mustadrāk ‘Alā al-
Ṣaḥīḥayn liḤākim......h. 692. 3Arthur John Arberry, The Holy Koran: An Introduction
with Selections, Ethical & Religious Classics of the East West, no. 9
(London: George Allen and Unwin, 1953), h. 36. Thomas Carlyle,
Heroes, Hero-Worship and the Heroic in History (London:
Chapman and Hall, 1899), h. 59. 4 Maḥmūd bin Hamzah al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-
Qur’ān ......h. 64.
127
ranah kajian tikrār. Karena kajian memuat sebuah kajian yang
menginventarisir pengulangan lafaz secara penulisan
berdasarkan persurah.
Dalam kajian tikrār yang dilakukan oleh al-Kirmānī
(W. 505 H.) yang menjadi Kriteria tikrār adalah setiap macam
kata, kalimat dan ayat yang mengalami pengulangan pada
suatu surah. Misalnya, dalam mengkaji pengulangan yang
terdapat pada surah al-Fātiḥah, empat aspek pengulangan
yang menjadi lafaz yang dieloborasi oleh al-Kirmānī, antara
lain حيم حمن الر dan صراط ,إياك ,الر5 karena kajian tikrār itu .عليهم
bersifat ijtihadī, maka interpretasi terhadap objek aspek
pengulangan dapat terus berkembang.
Al-Zarkashī memiliki kajian yang berbeda dengan al-
Kirmānī, dalam karyanya yang berjudul al-Burhān fī ‘Ulūm
al-Qur’an, al-Zarkashī menjadikan kajian tikrār fī al-Qur’ān
berdasarkan tujuan dan maksud dari pengulangan sebuah lafaz
dalam al-Qur‟an, dari hasil kajiannya, al-Zarkashī
berkesimpulan bahwa setidaknya ada tujuh tujuan
pengulangan lafaz dalam al-Qur‟ān, berikut di antaranya
yang pertama, Penguatan (ta’kīd).6 Kedua, peringatan
5Maḥmūd bin Hamzah al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-
Qur’ān ......h.65-66. 6 Menurut al-Zarkashī, yang dia kutip dari pendapat al-
Zamakhshārī, bahwa Pengulangan lebih ablāgh Penegasan (Ta‟kid)
أكيد لنو وقع ف تكرار التأسيس وىو أب لغ من واعلم أن التكرير أب لغ من الت ف التأكيد فإن التأكيد ي قرر إرادة معن الول وعدم التجوز فلهذا قال الزمشري
كل سوف ت علمون{ إن الثانية تأسيس ل ق ولو ت عال: }كل سوف ت علمون ث نشاء تأكيد لنو جعل الثانية أب لغ ف ال
Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa pengulangan
lebih mengena/tersampaikan (ablāgh). Lihat: Al-Zarkashī, al-
Burhān fī al-Qur‟ān, (Baerut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah), h. 9-10.
128
tambahan.7 Ketiga, Untuk kembali memberikan fokus pada
objek utama.8 Keempat, mengagungkan dan mendramatisir.
Kelima, menyampaikan ancaman. Keenam, keta‟ajuban dan
ketujuh, adanya sejumlah uraian yang berhubungan.9 Tentu
dua kajian terdahulu ini sedikit banyak mempengaruhi dan
memnginspirasi kajian tikrār untuk generasi berikutnya
Ditemukan dalam kajian terdahulu, kajian yang
dilakukan oleh Muḥammad Rajāī Aḥmad al-Jabalī, dia
menulis sebuah disertasi, kajiannya menguraikan,
menganalisa dan pada bagian akhir dia membandingkan
kajian Mutashābih al-Lafẓī dari era klasik sampai era
kontemporer. Dalam disertasinya, salah satu yang dimaksud
dengan Mutashābih10
al-Lafẓī adalah lafaz-lafaz yang
كمل تلق الكلم بالقبول 7 همة ل نف الت نبه على ما ادة الت -lihat: Al .ز
Zarkashī, al-Burhān fī al-Qur‟ān, ...h. 11 8 تناس ال ا لههد إذا طال الكلم وخش ة له وتددد ا تطي ل ععد اان و
lihat: Al-Zarkashī, al-Burhān fī al-Qur‟ān, ...h. 11. 9Al-Zarkashī, al-Burhān fī al-Qur’ān, ...h. 9-14.
10Istilah mutshābih dalam disiplin ilmu al-Qur‟an kerap kali
disandingkan dengan istilah muḥkam, bukan hanya karena secara
definisi dua istilah ini berlawanan, karena al-Qur‟an dalam
menguraikan dua istilah dengan cara menyandingkan dan
membanding dua istilah ini. Lihat: (Āli ‘Imrān [3]: 7). Dalam
pandangan al-Sha‟rāwī definisi dari dua istilah ini adalah sebagai
berikut; pertama, ayat muḥkam adalah adalah ayat yang tidak salah
persepsi dan bias dalam memahaminya; karena , ayat-ayat ini
adalah teks-teks yang tidak ada perbedaan dalam memahaminya di
kalangan manusia, karena konten pada naṣ ini sangat jelas, tidak
memungkinkan perbedaan pendapat dalam memahaminya.
إن الشء المحكم هو الذي لا تسيب إله خلل ولا فساد ف الفهم؛ لنه لن النص فه , محكم، وهذ الآات المحكمة ه النصوص الت لا ختلف فها الناس
واضح وصيح لا حتمل سوا
Sedangkan itilah yang kedua, mutashābih dalam pandangan
al-Sha‟rāwī berarti ayat-ayat yang untuk memahaminya memerlukan
129
mengalami pengulangan dalam al-Qur‟an,11
pada era klasik
memang kajian pengulangan dimasukkan pada pembahasan
mutashābih al-Qur’ān, tetapi itu tidak berarti para pakar dulu
menyerah begitu saja dan tidak mencoba mengkaji dan
menggali kandungan yang terdapat pada fitur pengulangan
yang terdapat pada al-Qur‟an.
Ibn Zubayr salah satunya yang mengkaji makna dan
kandungan yang terdapat pada fitur pengulangan pada al-
Qur‟an. Ibn Zubayr memulai kajiannya dari surah al-Fātiḥah,
yang menjadi objek kajian tikrār nya adalah lafaz الحمد الله,
dalam membahasnya Ibn Zubayr mempertanyakan terkait
dengan pengulangan lafaz الحمد الله dalam al-Qur‟an, untuk
menguraikan kandungan pengulangan lafaz ini, Ibn Zubayr
mengajukan empat pertanyaan.12
Ibn Zubayr menganalisa
lafaz الحمد الله dengan menyandingkan lafaz tersebut yang
terdapat pada keseluruhan al-Qur‟an. Cara pengumpulan
sebuah lafaz dan menyandingkan pada lafaz yang sama yang
terdapat pada surah yang berbeda. Cara ini juga dilakukan
juga oleh „Abd al-Fattāḥ, tetapi tidak banyak penguraian atas
usaha ekstra, sesungguhnya ayat-ayat mutashābih itu bertujuan
untuk diimani.
المتشابه هو الذي نتهب ف فهم المياد منه، إن المتشابه من الآات قد داء مان بهللإ
Al-Sha‟rāwī memberikan contoh ayat mutashābih adalah
ayat menginformasikan bahwa Allah Swt. berada di Arsy, (Tahā
[02]: 5). Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī ,,,,,, h.
1273. 11
Muḥammad Rajāī Aḥmad al-Jabalī, “Tawjīh al-
Mutashābih al-Lafẓī fī al-Qur'ān al-Karīm bayna al-Qudamā wa al-
Muḥadthīn, Aḥmad al-Gharnāṭī wa Fāḍil al-Sāmiraī: Dirāsah
Muqaranah," (Disertasi S3 Jami'ah Malāyā Akādīmiyah al-Dirāsāt
al-Islamiyyah, 2012), h. 31. 12
Ibn Zubayr (W. 708 H.), Milāk al-Ta'wīl, (Baerut: Dār al-
Kutub al-'Ilmiyyah), h. 11-21.
130
analisa terhadap nas al-Qur‟an yang mengalami pengulangan,
dia hanya menghimpun bahwa lafaz الحمد الله terdapat pada
permulaan lima surah13
Tidak ditemukan dalam karya al-Sha‟rāwī, dia secara
eksplisit mengkategorikan pengulangan dalam al-Qur‟an
sebagai salah satu pembahasan dalam bab mutashābih al-
Qur’ān, tetapi yang ditemukan pendapat al-Sha‟rāwī terkait
dengan pengulangan al-Qur‟an sebagai berikut:
والنص القرآني إذا ما اتفق مع نص آخر، نقول: إن “ظر الداء الخاص ومقتضيات الحوال تختلف، ومن ين
إل خصوصيات ومقتضيات الحوال يعلم أن ىذا تأسيس وليس تكرارا، فقد تحمل آيتان معن عاما
”.واحدا، ولكن كل آية تدس خصوصية العطاء14
“Sebuah nas al-Qur‟an jika dibandingkan dengan
nas al-Qur‟an yang sama, menurut kami,
penyampaian yang khas dan persyaratan konteks
(yang membuat sebuah nas mempunyai
kandungannya masing-masing), barang siapa yang
bisa melihat (menemukan) kekhususan (cara
penguraiannya) dan persyaratannya aḥwal (mā
ḥawla naṣ), sungguh dia akan mengetahui bahwa
itu merupakan pendirian (punya makna sendiri)
dan itu bukan sebuah pengulangan, sungguh
terkadang dua ayat memiliki satu makna yang
13
(al-Fātiḥah [1]: 2) (al-An'ām [6]: 1), (al-Kahfi [18]:
1)(Sabā' [34]: 1) dan (al-Fāṭir [35]: 1) lihat: 'Abd al-Fattāḥ al-
Rawāwī , Dalīl al-Ḥuffaẓ fī Mutashābih al-Alfāẓ, (Kairo: Maktabah
al-Sunnah Bibawri Sa'īd, 2007), h. 11. 14
M. Mutawllī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī ,,,,,, Vol. 9,
h. 9355.
131
umum, tetapi setiap ayat memiliki sisi kekhususan
yang telah melekat padanya.”
Dari peryataan al-Sha‟rāwī memang tidak menolak
secara eksplisit bahwa pengulangan merupakan termasuk pada
pembahasan mutashābih al-Qur’ān. Namun dalam
peryantaannya di atas, al-Sha‟rāwī menegaskan bahwa, setiap
lafaz dalam al-Qur‟an yang mengalami pengulangan,
memiliki makna yang umum, tetapi setiap ayat juga memiliki
kekhususan yaitu teks yang di sekitarnya/yang berhubungan
dengannya dan cara penguraiannya yang khushus.
Terkait tema utama dalam kajian ini. dalam Tafsīr al-
Sha’rāwī tidak semua pengulangan lafaz dikaji dan
dieloborasi oleh al-Sha‟rāwī, ang dia eloborasi hanya diksi
yang memiliki makna yang berimplikasi menjelaskan
kemukjizatan al-Qur‟an dan memungkinkan mempunyai
implikasi untuk menguatkan keimanan para penyimaknya,
tentu ini tidak lepas dari tujuan al-Sha‟rāwī sebagai Dai dalam
melakukan penafsiran terhadap al-Qur‟an.
Diksi al-raḥmān al-raḥīm menjadi satu-satunya diksi
pengulangan yang dieloborasi al-Sha‟rāwī ketika menafsirkan
surah al-Fātiḥah. padahal jika merujuk pada kajian al-
Kirmānī, pengulangan lafaz dalam surah al-Fātiḥah terdapat
empat Lafaz, al-raḥmān al-raḥīm, iyyāka, al-Ṣirāṭ ‘alayhim.
Jadi berbeda dengan penafsiran yang menjadi fokus objek
kajian tulisan ini.
Al-Sha‟rāwī menjelaskan bahwa diksi al-raḥmān al-
raḥīm hanya mengalami pengulangan secara lafaz, bukan
pengulangan secara makna, dengan mengeloborasi diksi
pengulangan al-raḥmān al-raḥīm, dia menjabarkan
pemaknaan bagaimana dua diksi ini memiliki perbedaan
makna yang dikarenakan memiliki konteks dan cara
penguraian diksinya yang berbeda. Oleh karena itu
pengulangan lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam basmalah dan
pada ayat ketiga memberikan makna dan fokus utama yang
132
berbeda, seperti inilah bagaimana pengulangan dalam al-
Qur‟an sebagai cara memformulasikan makna.
Kajian ini tentu tidak mengkaji keseluruhan
penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap aspek pengulangan dalam
tafsirnya, ada beberapa kriteria yang mejadi objek kajian
penelitian ini, kriteria penafsiran tikrār al-Sha‟rāwī yang
dikaji dalam tulisan ini adalah penafsiran tikrār al-Sha‟rāwī
yang menggunakan perbandingan teks al-Qur‟an yang secara
sepintas terkesan pengulangan, tikrār yang dikaji merupakan
representasi dari pengulangan yang terdapat pada Tafsīr Al-
Sha’rāwī dan yang terakhir adalah adanya pernyataan al-
Sha‟rāwī yang mengkomentari lafaz tikrār sebagai bukan
merupakan pengulangan, karena ini berhubungan dengan
pernyataan al-Sha‟rāwī dalam penafsirannya, ketika
menafsirkan surah al-Fātiḥah berikut:
ف القرآن الكريم، وإذا تكرر تكرارنقول أن ليس ىناك “اه ف المرة اللفظ يكون معناه ف كل مرة متلفا عن معن
السابقة، لن المتكلم ىو الله سبحانو وتعال. . ولذلك فهو 15”ح.يضع اللفظ ف مكانو الصحيح، وف معناه الصحي
Dapat disimpulkan dari pernyataan di atas, al-
Sha‟rāwī sangat meyakini bahwa pengulangan hanya ada pada
tataran lafaz, pengulangan tidak masuk/menyentuh pada
tataran makna.
Setidaknya ada dua karakteristik yang menjadi objek
penafsiran pengulangan dalam Tafsīr al-Sha’rāwī, antara lain:
a. Menafsirkan sebuah lafaz/ayat lalu
membandingkan dengan lafaz/ayat lain yang
memiliki persamaan dengan ayat yang sedang
ditafsiri, baik itu dalam satu surah maupun lintas
surah.
15
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,, h. 51.
133
b. Menafsirkan suatu ayat dan menafsirkannya
dengan mengeloborasi aspek pengulangan yang
temanya berkaitan dengan ayat yang sedang
ditafsiri.16
B. Analisis Kajian Tikrār dalam Tafsīr Al-
Sha’rāwī
Bagian ini adalah bagian inti dari tulisan ini, diuraikan
untuk menguji konsistensi pernyataan al-Sha‟rāwī yang
berpendapat bahwa pengulangan hanya pada lafaz, tidak pada
makna.
Dalam merumuskan pola untuk bagian ini, menempuh
cara inventarisasi lafaz yang mengalami pengulangan dalam
penafsiran al-Sha‟rāwī, ditemukan beberapa lafaz tikrār yang
dieloborasi oleh al-Sha‟rāwī, pada banyak kesempatan al-
Sha‟rāwī menguraikan penafsirannya dengan cara
membandingkan dengan ayat lain yang berbicara tentang
topik yang sama. lebih dari itu, jika dia menafsirkan sebuah
ayat, ayat tersebut dibandingkan dengan ayat yang
sama/memiliki persamaan secara lafaz. Lalu al-Sha‟rāwī
membandingkan lafaz yang memiliki persamaan dan
menguraikan pendapatnya.17
16
Lihat ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan salah satu lafaz
dalam ayat ke tujuh puluh tiga dalam surah al-Naḥl , untuk
menafsirkan lafaz wa lā yastaṭi’ūn, al-Sha‟rāwī menguraikan
penjelasannya dengan mengeloborasi pengulangan pada surah al-
Kāfirūn. Untuk lebih jelasnya diuraikan pada pola tikrār pada satu
surah. 17
Ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan ayat ketiga puluh dari
surah al-Baqarah, dia menguraikan pandangannya bahwa pada ayat
menolak anggapan bahwa adanya pengulangan pada Q.S. al-Qaṣaṣ
[28]:7 dan Q.S. Ṭahā [02]:38-39, menurutnya anggapan yang
memandang adanya pengulangan pada ayat tersebut adalah
pemahaman dangkal, menurutnya pengulangan pada ayat tersebut
hanya secara lafaz, al-Sha‟rāwī menegaskan tidak adanya
134
Pola pengulangan tikrār, tidak beda jauh dengan pola
kajian munāsabah, sebagaimana halnya dalam macam
munāsabah yang telah diuraikan pada bab II halaman tiga
puluh dua. Di dalam pembahasan tikrār juga ada pengulangan
dalam satu surah, pengulangan dalam satu ayat dan masih
banyak, berikut beberapa kajian pola pengulangan tikrār yang
dieloborasi al-Sha‟rāwī:
a. Pola Tikrār dalam Satu Surah
Mendiskusikan mengenai pengulangan dalam satu
surah, tentu teringat pada surah al-Raḥmān, karena surah ini
adalah surah yang secara jumlah pengulangannya paling
banyak dalam al-Qur‟an, menurut al-Sha‟rāwī pengulangan
yang ada pada surah al-Raḥmān sebagai berikut “
pengulangan lafaz fabi‘ayyi ālā'i rabbikumā tukadhdhibān
selalu diungkapkan setelah menyebutkan nikmat yang Allah
telah anugerahkan dengan bernada teguran (al-tawbih) bagi
siapa pun yang mengingkari nikmat-nikmat yang telah
dianugerahkan dan menganggapnya kedustaan belaka. lafaz
tersebut diulangi bertujuan untuk menguatkan (ta‘kīd)”18
sedangkan menurut Khoridatul Mudhiah, tujuan pengulangan
yang terdapat pada surah al-Raḥmān erat hubungannya
dengan penegasan dan penetapan (ta‘kīd), penegesan
tersebutlah yang menjadi faktor yang mendukung
bersemayamnya pikiran dalam jiwa masyarakat dan tetapnya
dalam hati mereka. Nilai penetapan adalah dengan selalu
mengadakan pelafalan dengan mengulang-ulang secara terus-
menerus. Ketika sesuatu itu diulangi secara terus menerus,
pengulangan (makna) pada ayat tersebut. Lihat: Al-Sha‟rāwī, Tafsīr
al-Sha’rāwī,,,,h. 238. 18
Penjelsasan ini diuraikan al-Sha‟rāwī ketika menafsirkan
Q.S. al-Mu„minūn [23]:83. Lihat: M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr
al-Sha’rāwī, ,,,, h. 10121.
135
maka akan menancap dalam benak, dan akan dapat diterima
dengan lapang.19
Dalam mengkaji dan menganalisa sebuah surah dalam
al-Qur‟an, menurut El-Awa yang mengutip pendapat Amīn
Aḥsan Iṣlāḥī (1906-1997 M.) dan Sayyid Quṭb (1966 M.),
bahwa setiap surah dalam al-Qur‟an memiliki sebuah idea
utama (central idea), idea utama merupakan pesan yang
unik/original yang ada pada setiap surah, sedangkan uraian-
uraian di sekitar idea utama pada setiap surah ada untuk
dikembangkan dan dieloborasi detail dan uraiannya. Iṣlāḥī
menggunakan istilah „amūd (pillar) untuk menggambarkan
idea central, sedangkan Quṭb menggunakan istilah miḥwar
(axis),20
cara pembacaan seperti ini adalah sebuah pembacaan
ulang untuk menujukkan makna-makna dari setiap bagian dari
surah, sampai pada kesimpulan yang berupa tema/pesan
sentral dari sebuah surah.
Pembacaan yang dilakukan oleh Iṣlāḥī dan Quṭb
memberikan konsep awal kepada penerusnya/pengkaji al-
Qur‟an setelahnya, bagaimana menggambarkan
organisasi/struktur bagian pada sebuah surah. Konsep awal
inilah yang digunakan oleh para masyarakat akademis,
Angelika Neuwrith,21
Robinson, Zahniser dan Salwa el-Awa,
19
Khoridatul Mudhiah, “Menelusuri Makna Pengulangan
Redaksi dalam Surah Ar-Rahman,” dalam Hermeunetik, Vol. 8, No.
1, Juni 2014, h. 147-148. 20
Salwa El-Awa, “Linguistic Structure”,,,h. 57. Dalam The
Blackwell Companion to the Qur’ān, ed. Andrew Rippin, (United
Kingdom: Blackwell, 2009), h.57. 21
Neuwrith dalam mengkaji surah al-Ḥijr, dia membagi
menjadi lima bagian (subdivisions), antara lain: 2-15, 16-25, 26-48,
49-84 dan 85-99. Dalam membagi surah al-Ḥijr, Neuwrith
membaginya secara urutan dan konten. Menurutnya komposisi dari
konten surah ini heterogen, artinya banyak tema yang dibicarakan
dalam surah ini dan dia berkesimpulan bahwa pengulangan (secara
lafaz) merupakan sebuah karakter dari struktur pembagian dari al-
136
yaitu melakukan pembacaan sebuah surah, menganalisa dan
memetakan struktur surahnya berdasarkan beberapa bagian,
dari beberapa bagian tersebut disandingkan, dibandingkan dan
dihubungkan dengan uraian ayat yang memiliki kemiripan
baik secara konten, periode penurunan (Makki dan Madani)
dan kemiripan lafaz yang ada pada surah lain.
1) Pola Tikār dalam Surah al-Fātiḥah
Surah al-Fātiḥah adalah surah yang sematkan
kepadanya banyak nama, banyaknya nama yang disematkan
pada suatu surah menunjukkan bahwa kemuliaan surah
tersebut.22
Menurut Ḥasan al-Baṣrī, Tuhan telah merangkum
ilmu-ilmu dari kitab suci sebelumnya dalam al-Qur‟an.
Kemudian, Dia meringkas kandungan al-Qur‟an di dalam
surah al-Fātiḥah, masih menurut al-Baṣrī, barang siapa
menguasai tafsir dari surah al-Fātiḥah, maka seakan dia telah
menguasai tafsir seluruh kitab yang diwahyukan.23
Dari
pendapat ini, dapat diketahui bahwa surah al-Fātiḥāh
memiliki posisi sangat penting dalam al-Qur‟an. Tetapi, jika
diperhatikan dalam surah ini, terdapat beberapa pengulangan
lafaz, al-raḥmān al-raḥīm, Iyyāka, al-ṣirāṭ dan ‘alayhim.
Dalam pandangan Richard Bell, pengulangan sebuah
uraian/lafaz diperuntukkan untuk beberapa kemungkinan,
pertama, diperuntukkan menggantikan (menaskh) lafaz yang
diulangi sebelumnya dan kedua, untuk menghubungkan
uraian yang telah diuraian sebelumnya. menurutnya aspek
Qur‟an. Lihat: Angelika Neuwrith, “Referentiality and Textuality in
Sūrat al-Ḥijr,,,,,h. 148-152. 22
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafatiḥ al-Ghayb, (Libanon: Dār
al-Fikr, 1981), h. 179. 23
Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭī al-Shāfi‟ī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-
Qur’ān, (Maktabah Nazār Muṣṭafā al-Bāz, 2008), Vol. 4, h. 1124.
137
pengulangan sangat patut dipertanyakan.24
Pendapat Bell
bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an bertujuan untuk
menaskh lafaz sebelumnya yang diulangi, sudah banyak
dibantah para ilmuwan, salah satunya oleh Angelika Neuwrith
yang menyatakan bahwa setiap pengulangan memiliki fokus
maknanya masing-masing.25
Menurutnya pengulangan
bukanlah ungkapan al-Qur‟an yang monoton, melainkan
ungkapan pengulangan saling membangun satu sama lain
(build upon each other), karena tiap pengulangan mempunyai
poin fokusnya masing-masing (new focuses of meaning).
Memahami pernyataan al-Sha‟rāwī, bahwa tidak ada
pengulangan dalam al-Qur‟an, jika sebuah lafaz mengalami
pengulangan, maka setiap lafaznya memiliki makna yang
berbeda dari makna yang diulanginya, pernyataan ini dia
utarakan ketika menafsirkan Q.S. al-Fātiḥah [1]:3, tetapi
dalam penafsirannya, al-Sha‟rāwī tidak menjabarkan semua
makna lafaz yang mengalami pengulangan, dari empat lafaz
yang yang mengalami pengulangan dalam surah al-Fātiḥah,
hanya lafaz al-raḥmān al-raḥīm yang dia jabarkan
penjelasannya.
Dalam menafsirkan lafaz Iyyāka, al-Sha‟rāwī tidak
menjabarkan makna setiap kata iyyāka dan distingsinya,
namun dia menafsirkan panjang lebar apa yang dimaksud
dengan lafaz iyyāka na’bud dan iyyāka nasta’īn,26
menurutnya
lafaz ini menujukkan bahwa beribadah dan menyembah
secara khusus hanya kepada Allah tidak kepada selainnya.
Sedangkan menurut al-Kirmānī bahwa pengulangan lafaz
iyyāka memiliki faedah untuk tidak adanya homonim dari
24
Marianna Klar, “Text-Critical Approaches to Sura
Structure: Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-
Baqara. Part Two,”,,,h.71. 25
Angelika Neuwrith, “Referentiality and Textuality in
Sūrat al-Ḥijr,,,,,h. 159-160. 26
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,h. 78-83.
138
lafaz ay yang berhubungan dua kata kerja (na’bud dan
nasta’īn).27
Al-Sha‟rāwī pun tidak menjabarkan pengulangan
lafaz ṣirāṭ pada surah ini, dia hanya menjabarkan makna kata
ṣirāṭ adalah jalan yang dilewati menuju tujuan,28
dia tidak
membedakan makna lafaz ṣirāṭ pada ayat ke enam dan ke
tujuh, ini sependapat dengan kaidah yang mengemukakan
bahwa jika lafaz kata benda yang berstatus ma’rifah diulangi,
maka lafaz tersebut sama dengan lafaz yang diulangi.29
Penjelasan mengenai pendapat ini, telah diuraikan pada bab
terdahulu.
Pada pola tikrār dalam satu surah, yang menjadi
sempel kajian tikrār yang dilakukan oleh al-Sha‟rāwī adalah
lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam ayat yang pertama dalam
surah al-Fātiḥah dan lafaz al-raḥmān al-raḥīm pada surah
yang sama. Pola ini seperti yang telah dijadikan objek kajian
oleh al-Kirmānī30
namun pola tikrār oleh al-Kirmānī
mengindahkan pengulangan secara lafaz, jadi semua lafaz
yang muncul dalam satu surah, maka pengulangan tersebut
dijadikan objek pembahasan. Inilah letak perbedaan yang
terdapat pada kajian pengulangan al-Sha‟rāwī dan al-Kirmānī,
cara menentukan objek pengulangan yang dieloborasi, selain
itu perbedaan ada pada sumber yang dijadikan penjelasan
terhadap lafaz yang mengalami pengulangan.
Al-Sha‟rāwī awal mula menyampaikan pendapatnya
terkait lafaz yang mengalami pengulangan ketika menafsirkan
surah al-Fātiḥah, berikut pernyataan al-Sha‟rāwī tentang
tikrār :
27
Al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-Qur’ān,,,, h. 66. 28
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha‟rāwī,,,,h. 86. 29
Khālid bin „Uthmān al-Sabt, Qawā’id al-Tafsīr,
(T.tp.:Dār bin „Affān, T.th.), Vol. 2, h. 711-713. 30
Al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī al-Qur’ān,,,, h. 65.
139
الكتاب، الرحيم، وف فاتحة من ف بسم الله الرحتكررت ان ىناك ثلثة أسماء لله قد “
ف القرآن الكريم، وإذا تكرر اللفظ تكراراك والرحيم. نقول أن ليس ىنوىذه السماء ىي: الله. والرحمن وتعال. . انو سبحالمتكلم ىو الله ن ه ف كل مرة متلفا عن معناه ف المرة السابقة، ليكون معنا
31ح.معناه الصحيولذلك فهو يضع اللفظ ف مكانو الصحيح، وف “Terdapat tiga nama Allah yang mengalami
pengulangan dalam bismillah, tiga namaNya
antara lain: Allāh, al-Raḥmān dan al-Raḥīm
menurut al-Sha‟rāwī pencantuman tiga nama
Allah dalam surah al-Fātiḥah bukan merupakan
pengulangan karena jika sebuah lafaz diulangi,
maka lafaz makna tersebut di setiap
pengulangannya memiliki makna yang berbeda
dengan lafaz yang sama pada konteks yang
berbeda, karena sang mutakalim dalam al-
Qur‟an adalah Allah Swt. Allah pasti menaruh
dan memposisikan sebuah lafaz pada konteks
yang tepat dan dalam posisi kata tersebut
memiliki makna yang tepat.”
Pernyataan al-Sha‟rāwī ini yang menjadi asumsi dasar
yang menjadi basis kajian al-Sha‟rāwī yang mempercayai
bahwa tidak ada pengulangan secara makna, yang ada hanya
pengulangan secara lafaz. Al-Sha‟rāwī dalam pendapatnya di
atas menegaskan bahwa makna yang hakiki hanya ada pada
Allah Swt. jadi dapat disimpulkan bahwa dia mempercayai
bahwa penafsiran yang telah diupayakan para penafsir dalam
menggali kandungan dalam al-Qur‟an bukan merupakan
kebenaranan yang absolut. Dalam pendapatnya ini, al-
Sha‟rāwī terlihat berpegang pada pandangan bahwa makna
yang absolut pada naṣ al-Qur’ān ada pada Allah Swt.32
31
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,, h. 9 1. 32
Terkait dengan pendapat bahwa makna al-Qur‟an yang
absolut hanya ada pada Allah itu diperkuat oleh kajian oleh Khaled
140
Adapun penafsiran yang dilakukan para pakar terhadap al-
Qur‟an merupakan usaha untuk memahami dan mengeluarkan
kandungan dari al-Qur‟an dan hasilnya bersifat relatif.
Kajian terhadap al-Qur‟an yang satu. tidak jarang
menghadirkan kesimpulan yang berbeda, tidak semua sepakat
dengan pendapat al-Sha‟rāwī di atas, seperti pendapat yang
meyakini bahwa adanya pengulangan yang tidak memberikan
manfaat, pengkaji al-Qur‟an yang berpendapat seperti itu
salah satunya adalah al-Ṣirṣirī (W. 716 H./ 1216 M.). Dalam
karyanya, al-Ṣirṣirī menyampaikan pendapatnya bahwa
pengulangan dalam al-Qur‟an secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua, yang pertama, pengulangan
makna dan lafaz bersamaan dan yang kedua, pengulangan
makna tanpa dengan pengulangan lafaz. Selain itu, dia juga
berpendapat bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an beberapa di
antaranya tidak memiliki manfaat (ghayr mufīd),33
pendapat
ini tentu bersebrangan dengan pendapat al-Sha‟rāwī.
Al-Sha‟rāwī dalam menguraikan lafaz al-raḥmān al-
raḥīm yang mengalami pengulangan dalam surah al-Fātiḥah,
menjadikan lafaz ini sebagai tikrār
بسم اللو الرحمن الرحيم “Dengan nama Allah yang maha pengasih, maha
penyayang.” (Q.S. al-Fātiḥah [1]: 1).
Abo Fadel, kajiannya melahirkan term otoritarianisme, kajian
Khaled Fadel ini mengkritik golongan yang memiliki anggapan
bahwa pemahamannya terhadap al-Qur‟an merupakan pemahaman
yang final dan tunggal. Lihat: Rendra Khaldun, "Sebuah Upaya
untuk Menemukan Makna Kehendak Tuhan dalam Teks Agama,"
dalam Jurnal Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012, 118. Lihat juga:
Khaled Abou el Fadhl, Atas Nama Tuhan, Dari Fiqh Otoriter ke
Fikih Otoritatif, (Jakarta: Serambi, 2004), h. 98. 33
Sulayman bin „Abd al-Qawī bin „Abd al-Karīm al-Ṣirṣirī
al-Baghdādī (W. 716 H./ 1216 M.), Al-Iksīr fī ‘Ilm al-Tafsīr, (Kairo:
Maktabah al-Adāb, T. Th.), h. 269-270.
141
Dalam pandangan al-Sha‟rāwī, basmallāh dimaknai
dengan pertolongan dari Allah yang maha kuasa untuk setiap
hambanya dalam melakukan segala sesuatu, pertolonganNya
bagi siapa pun, dan kapanpun selalu terbuka baik itu bagi
seorang muslim yang taat maupun seseorang yang terjerumus
melakukan maksiat.34
Penafsiran ini sama dengan apa yang
diutarakan Muḥammad „Alī al-Ṣābūnī, bahwa pembacaan
basmallāh dalam setiap melakukan segala hal merupakan
bentuk permintaan pertolongan kepada Allah, pertolongan itu
bagi setiap makhlukNya35
Artinya, dua penafsir ini sepakat
bahwa basmallāh merupakan perwujudan bahwa pertolongan
Allah selalu terbuka untuk setiap makhlukNya. Itulah
pemaknaan lafaz al-raḥmān al-raḥīm yang terdapat pada ayat
pertama dari surah al-Fātiḥah, ayat pertama ini juga
mempunyai konteks yang mengelilinginya, baik itu hadis
yang memberikan informasi tambahan mengenai basmallāh,
maupun letak ayat ini pada surah pertama yang ada pada al-
Qur‟an.
Sedangkan menurut hasil penafsiran Andalusī (W.
754 H./1353 M.) dan Ṭabarsī (W. 548 H./1154 M.).36
bahwasanya lafaz al-raḥmān al-raḥīm bertujuan untuk
menguatkan (ta‘kīd) lafaz yang sebelumnya37
Kedua konteks di atas, menurut al-Sha‟rāwī memiliki
implikasi pada pemaknaan lafaz al-raḥmān al-raḥīm, ini juga
34
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī ,,,,, h. 52. 35
Muḥammad „Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwah al-Tafāsir,
(Baeirut:Dar al-Qur'an al-Karim,1981 M./1402 H.),h. 23. 36
Abū Ḥayyān Muḥammad ibn Yūsuf al -Ghirnāṭī al-
Andalusī, al-Baḥr al-muḥīṭ fi al-tafsīr (Bayrūt: Dār al-Fikr, 2005),
vol. 1, h. 35. Dan lihat juga: Abū Alī al-Faḍl ibn al-Ḥasan al-
Ṭabarsī, Majma῾ al-bayān fi tafsīr al-Qur‘ān, (Qum: Maktabat Āyat
Allāh al-Uẓmā al-Mar‟ashī al-Najafī, 1333 H.), vol. 1, h. 23. 37
Nevin Reda El-Tahry, "Textual Integrity and Coherence
in the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-
Baqara,,,h., h. 123-124.
142
yang menyebabkan perbedaan pemaknaan dengan lafaz al-
raḥmān al-raḥīm yang ada pada ayat ketiga, karena ayat
ketiga ini secara lafaz mengulangi sebagian lafaz pada ayat
pertama, namun ayat ini mempunyai konteks sendiri, yaitu
menurut al-Sha‟rāwī pemaknaan ayat ini sangat diperngaruhi
oleh konteks yang mengikatnya, yaitu dengan lafaz ini
berhubungan dengan lafaz rab al-‘Ālamīn.
Pemaknaan seperti di atas, sependapat dan selaras
dengan pernyataan teori naẓm al-Jurjānī, yang menyatakan
bahwa, sebuah lafaz tidak dapat dimaknai dengan secara baik
tanpa memahami konteks lafaz tersebut, karena konteks suatu
lafaz sangat mempengaruhi pemaknaan sebuah lafaz.38
Karena
menurut al-Jurjānī sebuah lafaz saling keterkaitannya antara
unsur-unsur yang membangun kalimat. dalam menguraikan
penafsirannya, dapat diketahui al-Sha‟rāwī menyuguhkan
penafsiran menghimpun dan mengola informasi yang
berhubungan dengan teks tersebut.
الرحمن الرحيم “Yang maha pengasih, maha penyayang.” (Q.S. al-
Fātiḥah [1]:3)
Menurut al-Sha‟rāwī, lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam basmallāh atau ayat pertama memiliki makna yang
berbeda dengan makna dari lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam
surah al-Fātiḥah pada ayat ketiga, lafaz ini pada basamllāh,
mengingatkan kita bahwa pertolongan Allah berupa rahmat
(kasih sayang) dan ampunan Allah Swt. sehingga, jika
seorang hamba terjerumus/khilaf melakukan maksiat,
menurutnya tidak usah malu dan takut untuk memohon
pertolongan dengan mengucapkan basmallāh, sungguh Allah
menginginkan hambanya agar senantiasa memohon
38
„Abd al-Qāhir al-Jurjānī, Kitāb Dala'il al-I'jāz, (Cairo:
Maktabah al-Khanji, 2004), h. 55- 56.
143
pertolongan dengan namanya di setiap aktivitasnya 39
jika
seseorang jatuh pada jurang kemaksiatan, maka dia bertanya
bagaimana kalau saya memohon pertolongan dengan
basmallāh, sedangkan saya telah melakukan maksiat?
menurutya perkara ini termasuk pada bab rahmat, maka Allah
akan senantiasa mengampuni dan membantu.40
Dalam perspektif Psikologi41
jika seseorang mengaku
membutuhkan pertolongan dan bantuan itu merupakan
sebuah kekuatan, bukan kelemahan. Saat seseorang meminta
tolong, itu berarti dia mengakui kelemahan dia dan menyadari
apa yang harus diperbaiki dari diri dia. Dan mengakui
kelemahan dan berjuang memperbaikinya merupakan
kekuatan, bukan kelemahan. Selain itu meminita tolong dapat
mengurangi rasa malu seseorang di kemudian hari.
Pada penafsirannya di atas, al-Sha‟rāwī
menginformasikan bahwa pertolongan dan ampunan selalu
terbuka kapan pun dan bagi siapa pun, baik seorang hamba
yang taat maupun yang telah melanggar ajaran Islam. Namun
makna dalam lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam ayat berbeda
dengan penafsiran di atas. Al-Sha'rawi dalam menafsirkan lafaz al-raḥmān al-
raḥīm dalam ayat ketiga dari surah al-Fātiḥah,
39
ي بال ل يبدأ فيو )ببسم الله الرحمن الرحيم( فهو أبتر أو أجذم أو أمر ذ ل ك أقطع
“Setiap aktivitas penting yang tidak dimulai dengan
bismillah (dalam riwayat lain : dengan mengingat Allah)
maka amalan tersebut terputus (kurang)
keberkahannya.”(H. R. Abū Dawud: Bab al-Adāb: 4840
dan Ibn Majjaḥ: Bab Nik āḥ 1894) 40
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 52. 41
Leslie Sokol, “Don't Be Afraid to Ask for Help Giving
and getting help benefits everyone,” artikel diakses pada 21 Maret
2019 dari https://www.psychologytoday.com/intl/blog/think-
confident-be confident/200909/dont-be-afraid-ask-help.
144
menghubungkan lafaz tersebut dengan kata rabb al-‘ālamīn,
lafaz ini sangat berhubungan dengan al-raḥmān al-raḥīm,
menurutnya rabb al-‘ālamīn itu dzat yang mengadakan
semuanya, yang sebelumnya tidak ada, Allah merupakan rabb
bagi orang yang beriman maupun orang kafir (tidak beriman),
oleh karenanya, Allah pula yang memberikan mereka (orang
beriman dan kafir) nikmat dan kasih sayangnya, itu semua
bukan karena mereka yang meminta haknya. Al-Sha‟rāwī
memberikan contoh nikmat dan kasih sayangnya, yang dapat
dirasakan dan dinikmati oleh semuanya, seperti nikmat sinar
matahari itu dirasakan bagi orang yang beriman maupun yang
tidak, jadi setiap nikmat yang itu berasal dari sisi rubūbiyyah
Allah itu diperuntukkan bagi setiap ciptaannya di dunia, dan
itu merupakan rahmat yang Allah berikan. Dan Allah
merupakan Rabb bagi semuanya, baik itu untuk hamba yang
taat maupun hamba yang melakukan maksiat, dan itu juga
perujudan kasih sayangnya, jadi dapat dipahami, lafaz al-
raḥmān al-raḥīm pada ayat ke tiga merupakan kasih sayang
Allah kepada makhluknya,42
ini bisa dipahami dengan
memahami term tawḥīd rubūbiyyah
Arti kata rabb memiliki beberapa makna, bisa
dimakna tuhan, mendidik dan mengatur,43
kata ini yang
merupakan kata dasar dari kata rūbubiyyah, term rubūbiyyah
dipahami terkait tiga kategori tawḥīd, dalam pandangan Aḥl
al-Sunnah Tauhid dikategorikan menjadi tiga, tawḥīd
rubūbiyyah, tawḥīd ulūwhiyyah dan tawḥīd al-asmā wa al-
ṣiffāt, dalam tulisan ini tidak diulas tiga kateogi tauhid ini,
tetapi dalam definis tawḥīd rubūbiyyah adalah Allah
mencipta, memberi rezeki, memiliki, menguasai, mengatur,
memperbaiki, dan mendidik bagi semesta alam, maka Dia
sajalah yang khusus dengan ketuhanan tanpa yang lain. Wajib
42
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 95. 43
Atābik „Alī dan Aḥmad Zuhdī Muḥḍar, Al-‘Aṣrī: ‘Arabī-
Indūnīsī, (Krapyak: Multi Karya Grafika, 1998), h. 952.
145
mengesakan-Nya dalam ketuhanan, dan tidak menerima
adanya sekutu bagi-Nya.44
Dari sini dapat dipahami bahwa
tawḥīd rubūbiyyah sifat ketuhanan yaitu menciptakan,
memberi rezeki, menguasai dan mengatur.45
Dari sinilah al-
Sha‟rāwī menopang argumennya dalam menguraikan
penafsiran lafaz al-raḥmān al-raḥīm dalam ayat ketiga dari
surah al-Fātīhah. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemakanaan
lafaz al-raḥmān al-raḥīm yang diuraikan pada penafsirannya
mempunyai fokus maknanya masing-masing. Pengulangan
lafaz bukan hanya pengulangan saja, melainkan pengulangan
tersebut mempunyai urain kandungannya masing-masing
yang jika dihimpun akan membangun makna yang saling
memperkaya satu sama lain46
, karena tiap lafaznya memiliki
konteksnya masing-masing.
Misalnya jika seorang pengkaji ingin mendapatkan
pemaknaan lafaz al-raḥmān al-raḥīm yang terkandung dalam
surah al-Fātiḥah, maka dengan cara menghimpun dua ayat
yang mengandung lafaz tersebut, lalu menguraikan maknanya
dengan memperhatikan konteks dari pengulangan lafaz
tersebut. Berikut penafsiran lafaz al-rāḥmān al-raḥīm dari
surah al-Fatiḥah menggunakan uraian penjelasan dari al-
Sha‟rāwī:
44
Mustaffa bin Abdullah dan Ahmad Zaki bin Ibrahim,
“Tawhid Uluhiyyah, Rububiyyah Dan Al-Asma‟ Wa Al-Sifat
Menurut Tafsiran Muhammad Rasyid Rida Dalam Tafsir Al-Manar"
dalam Jurnal Usuluddin, 20/07/2011, h. 50. 45
Jamiah Hariyati, "Nilai-Nilai Pendidikan pada Kisah
Qabil dan Habil (Q.S. Mā‟idah [5]: 27-32)," dalam Edu Riligia: Vol.
2 No.1, Januari - Maret 2018, h. 43. 46
Angelika Neuwrith, “Referentiality and Textuality in
Sūrat al-Ḥijr,,,,,h. 158-159.
146
Keterangan/Penafsira lafaz Tikrār Fokus Utama
Alur 4.1 Memformulasi Makna dalam Kajian Tikrār
1. Hadis Nabi Tentang
hendaknya memulai segala
sesuatu dengan Bismillah
2. Makna/Pemahaman Al-
Sha‟rāwī: itu merupakan
bentuk pertolongan dari
Allah Swt.
3. Mengingatkan pada kita
bahwa kasih sayang dan
ampunannya selalu terbuka,
sehingga kita tak perlu
ببسم الله الرحمن الرحيم
mengingatkan bahwa
rahmat dan ampunan
Allah Swt. Selalu ada untuk siapapun, sehingga
jangan pernah malu dan
takut untuk memohon
pertolongan/ampunanNya
, sekalipun sudah
terjerumus dalam kemaksiatan,karena
rahmat dan ampunanNya
selalu terbuka
1. Lafaz الرحمن الحيم Berdampingan
dengan Lafaz رب العالمين yang
bermakna tuhan semesta alam;
2. Sebagai Tuhan semesta alam
Allah memberikan nikmat
kepada setiap makhluknya, baik
itu yang beriman kepadanya
maupun yang tidak beriman
(contoh: nikmat terbitnya
matahari dan air hujan)
3. Lafaz الرحمن الحيم dalam ayat
ketiga dari surah al-Fātiḥah
bermakna Rahmat Allah dalam
sifat Rububiyah bagi
makhlukNya, itu berlaku bagi
setiap makhluknya.
Berhubungan dengan
konteks رب العالمين
menandakan bahwa
Allah Swt. Pun
memberikan
rahmatNYA berupa
nikmat (contoh: sinar
matahari dan hujan)
kepada setiap
makhluknya, baik itu
kepada yang beriman
dan maupun yang
tidak berimanNya
(Perwujudan
Rububiyah Allah)
Kesimpulan makna
Kesimpulan dari kajian lafaz tikrār الرحمن
-oleh al-Sha‟rāwī dalam surah al الحيم
Fātiḥah Rahmat dan ampunanNya Allah
selalu terbuka bagi siapapun, baik itu yang
taat maupun yang sedang terjerumus
kepada kemaksiatan. Selain itu kasih
sayang Allah juga meliputi orang yang
tidak beriman lebih lagi untuk yang
beriman, karena itu merupakan manifestasi
rubūbiyah Allah Swt.
147
Alur di atas adalah alur bagaimana memformulasikan
makna dari penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap tikrār,
kesimpulan ini sependapat dengan pendapat al-Jurjānī dan
Neuwrith. Penafsiran di atas menunjukkan benar mengamini
pendapat al-Jurjānī, suatu lafaz tidak dapat dimaknai secara
komprehensif, tanpa memahami konteks dari lafaz tersebut,
dalam penafsiran al-Sha‟rāwī pada lafaz al-raḥmān al-raḥīm,
al-Sha‟rāwī memandang bahwa lafaz tersebut sangat
berhubungan dengan keterangan hadis yang menganjurkan
melakukan segala sesuatu dengan membaca basmallāh, dan
lafaz al-raḥmān al-raḥīm pada ayat ketiga sangat
berhubungan dengan lafaz sebelumnya, yaitu lafaz rabb al-
‘ālamīn, dan al-Sha‟rāwī menyatakan bahwa pemaknaan lafaz
al-raḥmān al-raḥīm sangat dipengaruhi dengan teks
sebelumnya. Dia memaknai bahwa kasih sayang Allah itu
melingkupi semua makhluknya, baik yang mengimaninya
maupun yang mengkufurkannya, dia menjelaskan bahwa
pendapat ini dapat dicerna dengan memahami rubūbiyyah
Allah. Selain kesimpulan di atas, dapat diketahui dalam
pengurain di atas bahwa pernyataan al-Sha‟rāwī yang
mengatakan bahwa tidak ada pengulangan dalam al-Qur‟an,
melainkan setiap lafaz yang mengalami repetisi memiliki
makna yang berbeda pada tiap pengulangannya.47
Pernyataan
ini tidak berarti setiap pengulangan lafaz ditafsirkan al-
Sha‟rāwī diuraikan dan dibandingkan distingsi dari makna
pengulangan ada lafaz tersebut, itu dapat diketahui ketika al-
Sha‟rāwī menafsirkan surah al-Fātiḥah, dia hanya
menguraikan pengulangan lafaz al-raḥmān al-raḥīm yang
diuraikan perbedaan makna dari pengulangan lafaz tersebut,
tidak menguraikan tiga pengulangan lainnya.
47
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,,h. 51-52.
148
2) Surah al-Kāfirūn Surah al-Kāfirūn termasuk surah makiyyah, surah ini
terdiri dari enam ayat, uraiannya berisikan kandungan tentang
Tauhid dan melepaskan diri dari perbuatan menyekutukan
Allah Swt.48
dari enam ayat, dua ayat dalam surah ini secara
lafaznya sama, yaitu ayat ke lima sama dengan ayat ketiga
secara lafaz, dengan bahasa lain, salah satu ayat dari surah ini
adalah pengulangan. Dalam pandangan Richard Bell,
Pengulangan kata-kata atau frasa yang sama dalam ayat-ayat
yang berdekatan, dimaksudkan untuk menggantikan ayat yang
lain (nāsikh)49
. Kesimpulan Bell yang dikutip oleh Marianna
Klar dalam artikelnya ini, jika diterapkan untuk membaca
surah al-Kāfirūn, maka ayat ke lima menggantikan ayat
ketiga. Berbeda dengan pendapat al-Sha‟rāwī, menurutnya
pengulangan lafaz pada surah al-Kāfirūn bukanlah merupakan
pengulangan.
Pada kajian sebelumnya yang dilakukan oleh para
akademisi Eropa, yang mempersalahkan susunan al-Qur'an
dan uraiannya terputus-putus. pandangan Thomas Carlyle (W.
1881 M.)50
terhadap Al-Qur'an yang sudah mashur, berikut
pernyataannya mengenai uraian al-Qur'an:
48
M. „Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwah al-Tafāsir, (Beirut: Dār al-
Qur‟ān, 1981) Vol. 3, h. 613. 49
Marianna Klar, "Text-Critical Approaches to Sura
Structure: Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-
Baqara. Part Two,,,, h. 68. 50
Carlyle memang dikenal tidak menaruh simpatik pada
Islam dan Nabi Muḥammad, dia membuat evaluasi ini sangat parah.
pandangannya ini bukan satu-satunya penilaian dia utarakan. Lihat:
Reynold Alleyne Nicholson, Literary History of the Arabs, (London:
Cambridge U.P., 1969), h. 161. dan lihat juga: Nevin Reda El-
Tahry, “Textual Integrity and Coherence in the Qur‟an: Repetition
and Narrative Structure in Surat al-Baqara”, (Disertasi S3 University
of Toronto, 2010), h. 40-41.
149
“Saya harus mengatakan, sulit sekali
membaca al-Qur'an. Melelahkan, campur
aduk dan membuat bingung, uraiannya tak
berujung, bertele-tele, dan tidak berdasar,
kebodohan yang tidak dapat dukung,
singkatnya!”51
Pandangan ini memang sudah dibantah oleh hasil
kajian yang dilakukan oleh para akademisi pada generasi
berikutnya, salah satunya yang dilakukan oleh Carl W. Ernst,
dia melakukan kajian secara mendalam tentang susunan dan
cara memahami al-Quran, hasil kajiannya dia tuangkan pada
karyanya yang berjudul “How to read the Qur’an: a new
guide, with select translations”.52
Pembahasan pengulangan dalam surah al-Kāfirūn,
secara kasat mata, setidaknya ada beberapa ungkapan
pengulangan yang secara lafaz, antara lain: pengulangan ayat
ke tiga dan kelima (wa lā antum ‘ābidūna mā a’bud). Dan
lafaz a’budu yang terdapat pada ayat ke dua dan ketiga.
Dengan data ini, al-Sha‟rāwī berpendapat bahwa pada surah
ini tidak terdapat pengulangan, tentu pengulangan yang
dimaksud adalah pengulangan53
makna/tujuan dan filosofis.
51
Thomas Carlyle, Heroes, Hero-Worship and the Heroic
in History, (London: Chapman and Hall, 1899), h. 59. 52
ketika membaca surah 'Ali Imran, dia menguraikan bahwa ini
sangat berkaitan dengan surah kedua, dia menggambarkan topik apa
saja yang dibahas dalam surah ini, dan menyampaikan identitas dari
surah tersebut, dari segi madinah atau makiyyah. selain itu dalam
membaca sebuah surah dia mengutip neuwrith, bahwa surat ini
"does not seem to be a unity, but consists instead of diverse layers
belonging different periods of origin" dalam pandangan Neuwrith
surah ini dibagi mejadi beberapa bagian utama. Lihat: Carl W.
Ernst, How to read the Qur’an: a new guide, with select
translations, h. 169-170.
53
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,,h. 8087.
150
Pada uraiannya, al-Sha‟rāwī membantah anggapan
yang memahami bahwa ungkapan dalam surah al-Kāfirūn di
dalamnya terdapat pengulangan dan unsur kontradiksi dengan
kebahasaan al-Qur‟an, menurutnya tidak ada pengulangan
dalam surah ini.54
Pernyataan ini tidak bisa diterima dengan
mudah jika melihat lafaz surah al-Kāfirūn secara tekstual,
karena dalam surah ini jelas-jelas di dalamnya terdapat
banyak pengulangan.
Penjelasan yang disampaikan al-Sha‟rāwī terkait
pembantahan adanya pengulangan dalam surah al-Kāfirūn
ini diuraikan untuk membantu menafsirkan ayat ke tujuh
puluh tiga dari surah al-Naḥl, lebih spesifiknya untuk
menguraikan lafaz wa lā tastati’ūn55
menurutnya
ketidakbolehan untuk menyembah kepada selain Allah Swt.
itu berlaku untuk sekarang, dan seterusnya/hari esok. Bahwa
menurutnya hukum haram menyembah kepada selain Allah
hukumnya bersifat absolut (Ḥukm Qāti’ lā isti’naf lah fīmā
ba’d) berlaku untuk selamanya, dan tidak ada negosiasi (yang
bernada untuk mengajak menyembah kepada selain Allah)
yang bisa dilakukan pada masa yang akan datang/hari esok56
Untuk menguatkan pendapat ini al-Sha‟rāwī menggunakan
uraian ayat-ayat pada surah al-Kāfirūn, cara ini, yaitu
54
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 8087.
55 ماوات والرض وي عبدون من دون اللو ما ل يلك لم رزقا من الس شيئا ول يستطيعون
“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang
sama sekali tidak dapat memberikan rezeki kepada
mereka, dari langit dan bumi. Dan tidak akan sanggup
(berbuat apa pun)”. (Q.S. al-Naḥl [16]:73 ). 56
Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-
Sha’rāwī,,,,,h. 8087.
151
menafsirkan ayat/lafaz dengan menggunakan ayat lain
sebagai sumber penjelasannya dikenal dengan tafsīr bi ayat.57
Menurut al-Sha‟rāwī, dalam mengkaji dan
memahami surah al-Kāfirūn, banyak orang yang berbeda
pendapat, walaupun al-Sha‟rāwī tidak menyebutkan siapa
saja yang berbeda pendapat dan pada aspek apa perbedaan
para pengkaji al-Qur‟an dalam memahami surah ini.
Perbedaan pendapat dalam memahami surah ini menurut
Quraish Shihab, karena sebagian mufasir (tidak spesifik
menyebut nama mufasir juga) berpendapat bahwa,
kandungan ayat ke empat pada surah al-Kāfirūn ini tidak
berbeda kandungannya dengan ayat kedua, demikian juga
halnya dengan kandungan ayat ke lima tidak terdapat
perbedaan dari sisi lafaz dengan ayat ketiga.58
Tentu
pemahaman seperti ini bertolak belakang dengan pendapat al-
Sha‟rāwī yang menolak adanya pengulangan kandungan
dalam al-Qur‟an. Lebih dari itu. Pengulangan lafaz yang
secara susunan kata-kata atau frasanya sama, terjadi pada
ayat yang berdekatan (adjoining) itu bisa disebut dengan
terjadinya pengulangan kandungan (duplicate material)
secara mirip (similiarly), atau adanya sedikit sebuah
perbedaan pada subjek pada ayat-ayat berdekatan tersebut,
tetapi masih didominasi unsur pengulangan, menurut Richard
Bell59
, yang seperti itu merupakan sebuah hal yang pasti
57
Abd Ḥālim Maḥmūd, Manāhij al-Mufassirīn, (Kairo: Dār
al-Kitab al-Miṣr, 2000 M), h. 8. 58
Muhammad Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbāh, (Ciputat:
Lentera Hati, 2017), Vol. 15, h. 682. 59
Richard Bell adalah seorang orientalis yang hidup pada
akhir abad ke-19 dan awal ke-20 M.. dia pakar di bidang Lingusitik
ketimuran, terutama dalam bahasa Arab “Arabic Language”, dan
meniti karir menjadi Dosen pada Universitas Edinburgh London.
Bell mengawali karirnya sebagai ilmuwan dalam ranah kajian al-
Qur‟an lewat publikasi bahan-bahan kuliahnya di Universitas
Edinburgh, "The Origins of Islam in its Crhistian Environment"
152
bahwa salah satu ayat itu dimaksudkan untuk menggantikan
ayat yang lain (nāsikh).60
Shihab tidak sepakat dengan pendapat yang
menyatakan bahwa adanya duplikasi kandungan ayat yang
terdapat pada surah al-Kāfirūn, sama halnya dengan al-
Sha‟rāwī yang berpendapat bahwa dalam surah al-Kāfirūn
tidak terdapat pengulangan, namun dua penafsir ini memiliki
perbedaan pendekatan dan cara dalam memahami lafaz yang
di dalamnya terdapat lafaz yang mengalami repitisi.
Cara Shihab dalam menguraikan penjelasannya
terkait surah ini, dia menganalisa bentuk kata yang terdapat
pada masing-masing ayat, pertama, menganalisa ayat ke
empat dan ke dua. pada ayat ke empat menggunakan kata
‘abadtum (bentuk kata kerja masa lampau/fi’il māḍi).
Sedangkan pada ayat kedua menggunakan diksi ta’budūn
(bentuk kata kerja yang menunjukan makna masa pada masa
(1926). Diantara orientalis sezamannya, dia cukup disegani karena
kecermatannya dalam melanjutkan kajian-kajiannya. Lihat: W.
Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Quran, (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1991), h. 179-180. 60
Nāsikh adalah salah satu pembahasan dalam rumpun
kajian ‘Ulūm al-Qur’ān, yang berarti menggantikan ayat atau
mengangkat keberlakuan sebuah hukum yang terdapat pada ayat.
Terkait diskursus nāsikh adanya perbedaan pendapat di antara para
pakar mengenai adanya nāsikh dan mansūkh dalam al-Qur‟an.
Misalnya Quraish Shihab, dalam sebuah pertemuan di kelas Pusat
Studi al-Qur‟an, dia menyampaikan bahwa dia tidak sependapat
dengan adanya nāsikh dan mansūkh dalam al-Qur‟an, yang ada
hanyalah mauquf, karena menurutnya boleh jadi ayat yang dipahami
pada saat ini tidak relevan dengan konteks pada saat ini, bisa jadi,
akan relevan pada konteks lain atau di masa depan. Disampaikan
salah satu pertemuan Pendidikan Kader Mufasir angakatan XIII
yang diselenggarakan Oleh PSQ (pusat Studi al-Qur‟an) September
2017- Februari 2018.
153
kini dan masa yang akan datang).61
Yang dimaksud pada dua
ayat ini adalah untuk menegaskan bahwa Nabi Muḥammad
Saw. Tidak mungkin akan menyembah atau pun taat kepada
sembahan-sembahan mereka (al-Kāfirūn), baik yang mereka
sembah pada hari ini (ketika surah ini turun), hari esok
maupun yang pernah mereka sembah pada masa lalu.62
Artinya Muḥammad akan konsisten dalam menyembah dan
mentaati Allah Swt. dan menutup ruang adanya bias. Susunan
yang penulis uraikan ini sama seperti pada sumber yang
dikutip, menjelaskan ayat ke empat terlebih dahulu lalu
dilanjutkan dengan menjelaskan ayat kedua.
Sedangkan perbedaan pada ayat ketiga dan kelima
yang secara lafaz dan penulisan percis sama. Perbedaan yang
terdapat pada dua ayat ini menurut Shihab terletak pada lafaz
mā. Lafaz mā pada ayat ketiga merupakan mā mawṣūlah.63
Sehingga makna yang terkandung dalam lafaz tersebut
menurut Shihab, mā pada ayat ketiga berarti “apa yang” jadi, sedangkan lafaz mā pada ayat ketiga merupakan mā
maṣdariyah.64
Sedangkan mā pada ayat ke lima (juga ke
61
Ayat kedua dan ke empat bermaksud untuk menegaskan
bahwa Nabi Muḥammad Saw. Tidak mungkin akan menyembah
atau pun taat kepada sembahan mereka, baik yang mereka sembah
hari ini, hari esok dan yang pernah mereka sembah pada hari
kemarin. 62
Shihab, memberikan penafsiran seperti ini berlandaskan
hadis yang dia uraikan dalam tafsirnya, hadis yang berbicara
mengenai sejarah bahwa, kaum musyrikin dulu sering kali
mengubah sembahan-sembahan mereka, pada suatu waktu mereka
menyembah batu dan pada waktu yang lain mereka menyembah
pada sebuah bukit. Lihat: Muhammad Quraish Shihab, Tafsīr al-
Misbāh,,,,,, h. 682. 63
Ibn Mālik al-Andalusī, Naẓm al-Khalaṣah al-Fiyyah Ibn
Mālik; fī al-Naḥw wa al-Ṣarf, (Pekalongan: Maktabah wa Matba‟ah
Rājāmūrāh, T. th), h. 11. 64
Ibn Mālik al-Andalusī, Naẓm al-Khalaṣah al-Fiyyah Ibn
Mālik,,,h. 29.
154
empat) berarti bermakna “tentang cara” beribadah sehingga
pada ayat ke lima dan ke empat adalah berbicara tentang
cara. Dari sini, terlihat sangat jelas, Shihab sangat
memberikan perhatian terhadap unsur kaidah-kaidah
kebahasaan.
Al-Sha‟rāwī berbeda dalam menjelaskan uraiannya
terkait pengulangan dalam surah ini al-Kāfirūn, dia tidak
terpaku dengan kaedah kebahasaan yang terdapat pada surah
tersebut, tetapi itu tidak membuat dia memberikan
pemahaman yang menyalahi kebahasaan dari naṣ pada surah
ini. Al-Sha‟rāwī menitik beratkan pada argumen yang
dibangun dengan logika yang mudah dipahami oleh
audiennya, bahwa surah ini turun untuk menegaskan bahwa
tidak ada kemungkinan dibolehkannya melakukan negosiasi
yang mengajak untuk menyembah kepada selain Allah, baik
pada saat surah ini turun (al-Ḥāḍir), masa yang akan datang
(al-Mustaqbal) dan sampai hari kiamat (ila yawm al-
qiyāmah).65
Karena ini ditopang adanya sabāb al-nuzūl
tentang surah ini.
Al-Sha‟rāwī memberikan perhatian pada bagaimana
logika yang dibangun untuk menguraikan al-Qur‟an, untuk
dituangkan menjadi penjelasan yang dapat dipahami secara
mudah dipahami oleh para audiensinya66
. Maka dari itu
pengulangan yang terdapat pada surah al-Kāfirūn menurut al-
Sha‟rāwī itu memiliki fokus masing masing, pertama al-
Sha‟rāwī mendesign bahwa secara sederhana dapat
dikelompokkan ayat kedua dan ketiga dan ayat ketiga dan ke
empat. Kedua ayat memiliki fokus utama untuk menegaskan
bahwa tidak ada negosiasi untuk waktu sekarang (waktu pada
saat surah ini turun/al-Ḥādir).
65
Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-
Sha’rāwī,,,,,h. 8088. 66
Badruzzaman M. Yunus, “Tafsīr al-Sya‟rāwī; tinjauan
Terhadap Sumber, metode dan Ittijāh,” (Ciputat: Disertasi S3
Sekolah Pascasajana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 222.
155
Ayat ke empat dan ke lima mempunyai fokus utama
untuk menegaskan bahwa tidak ada pengulangan, bahwa dua
ayat ini menegaskan menutup kemungkinan adanya negosiasi
di masa mendatang yang mana mengajak untuk menyembah
kepada selain Allah, jadi negosisasi yang dilakukan oleh para
pembesar Kafir Quraisy itu selesai sampai dihari itu dan
berlaku untuk sampai kapan pun. al-Ḥādir (pada saat ini/pada
saat surah al-Kāfirūn turun), al-Mustaqbal (pada hari
esok/masa depan) dan ila Yawm Qiyāmah (hingga hari
kiamat).
Uraian al-Sha‟rāwī yang berusaha menegaskan
bahwa tidak ada pengulangan dalam surah al-Kāfirūn dapat
dipahami dalam bentuk Alur seperti berikut:
Q.S. Al-Kāfirūn
[]: 2-3.67
tidak ada negosiasi untuk
menyembah kepada selain Allah
untuk waktu sekarang (waktu
pada saat surah ini turun/al-
Ḥādir).
Q.S. Al-Kāfirūn
[]: 4-5.68
Manegaskan dan menguatkan
bahwa negosiasi ditidak
mungkin dilakukan untuk waktu
yang akan datang sampai hari
kiamat.
67 ( ول أن تم عابدون ما أعبد 2ل أعبد ما ت عبدون )
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang
aku sembah.”(Q.S. al-Kafirūn [109]: 2-3) 68 ( ول أن تم عابدون ما أعبد 4ول أنا عابد ما عبدت )
“dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah apa yang
aku sembah.” (Q.S. al-Kafirūn [109]: 4-5)
156
Tabel No. 2,5 Formulasi Meniadakan Negosiasi Berbuat
Syirik
Dengan uraian pada tabel di atas, al-Sha‟rāwī
menegaskan tidak ada pengulangan dalam surah ini, karena
setiapnya memiliki fokus utama masing-masing. Ayat ke tiga
dan kelima yang secara lafaznya sama menurut al-Sha‟rāwī
memiliki fokus utama yang yang berbeda, maka dapat
disimpulkan tidak ada satu ayat yang mengganti (replace)69
ayat yang lainnya dalam surah ini. Seperti kesimpulan
Richard Bell yang dikutip oleh Marianna Klar. Selain itu
kesimpulan dari hasil analisa kajian pengulangan yang
dilakukan oleh al-Sha‟rāwī itu menguatkan kesimpulan
Roslan Abdul-Rahim, yang dalam Disertasinya dia
berkesimpulan bahwa pengulangan bukanlah yang
menyebabkan suatu lafaz di-naskh.70
Sedangkan dalam pengkategorian pengulangan
berdasarkan fenomena yang dikaji oleh el-Awa, pengulangan
ayat ke tiga dan ke lima dalam surah al-Kāfirūn termasuk
pada ketgori pengulangan exact delayed, pengkategoriannya
telah diuraikan pada bab II, menurut el-Awa, pengulangan ini
syarat akan bahasa yang padat, dengan bermuatan hubungan
semantik.71
69
Marianna Klar, "Text-Critical Approaches to Sura
Structure: Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-
Baqara. Part Two," dalam Journal of Qur’anic Studies 19.2 (2017),
h. 68. 70
Roslan Abdul-Rahim, “Naskh Al-Qur‟an: A Theological
And Juridical Reconsideration Of The Theory Of Abrogation And
Its Impact On Qur‟anic Exegesis, (Disertasi S3 the Temple
University Graduate Board, 2011), h. 137-138. 71
Salwa El-Awa, "Repetition in the Qur'ān: A Relevance
Based Explanation of the Phenomenon",,,, h. 579-580.
157
Menurut al-Ṣābūnī, dari segi ilmu balāghah72
, uraian
ayat-ayat pada surah al-Kāfirūn memiliki keindahan bahasa,
ada empat analisa yang dituangkannya dalam menganalisa
surah ini dari segi ilmu balāghah, dua hasil analisanya antara
lain:73
1) Keserasian penutupan atau akhir ayat, pada ayat
pertama dan kedua
2) Disandingkannya dua kelompok ayat. Yang
pertama, ayat kedua dan ketiga. Dan yang kedua,
ayat keempat dan kelima. Susunan uraian ini
sangat indah (al-maḥasināt al-badī’īyyah), dan dia
berkesimpulan bahwa kelompok yang kedua
untuk masa sekarang (al-Ḥāl) dan yang kedua
untuk masa yang akan datang (al-Istiqbal).
Hasil analisa al-Ṣābūnī terhadap uraian surah al-
Kāfirūn dari segi keindahan bahasa (ilmu balāghah).
Kesimpulan kedua yang diuraikan di atas, sependapat dengan
kesimpulan al-Sha‟rāwī, kedua pakar pengkaji al-Qur‟an ini
membahas tentang uraian surah al-Kāfirūn dengan
pendekatan dan metode yang berbeda, tetapi dari kesimpulan-
kesimpulan yang dihasilkan, ada persamaan.
Penjelasan al-Sha‟rāwī di atas tentu tidak hadir tanpa
didukung oleh pengetahuan atau informasi lain, jika
ditelusuri, surah al-Kāfirūn mempunyai latar belakang
keterangan informasi bahwa surah ini diturunkan
72
Ṣafwah al-Tafāsir adalah kitab tafsir karya Muḥammad
„Alī al-Ṣābūnī, seorang dosen di King „Abd al-„Azīz University.
Yang menjadi perhatian ketika membaca kitab tafsir ini, pembaca
akan disuguhkan dengan penulisan tafsir yang kaya akan ilmu dan
sistematis penulisannya sangat baik, layaknya model penulisan
modern, penulisannya dibagi setiap pembahasannya, misalnya, ada
bagian munāsabah, asbāb nuzūl, balāghah, ḥikmah dan masih
banyak lagi. 73
Muḥammad „Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwah al-Tafāsir,,,, Vol. 3,
h. 614.
158
dilatarbelakangi oleh negosiasi yang dilakukan oleh kaum
Quraisy:
“Ya Muḥammad, ikutilah agama kami, nanti
kami ikuti agamamu. Kamu sembah tuhan
kami setahun dan kami sembah tuhanmu
setahun juga.”74
Lalu turun surah al-Kāfirūn.
Menurut Mahmud Yunus, dia menyampaikan
kritikan kepada penafsiran yang diuraikan dalam Tafsīr
Jalālayn, karena menurut Yunus, dalam penafsirannya al-
Shuyūṭī/al-Maḥālī hanya mengungkapkan bahwa Nabi
Muḥammad Saw. Tidak menyembah dewa/berhala yang
disembah oleh orang-orang kafir pada saat itu (ketika surah
al-Kāfirūn turun) dan pada masa yang akan datang. Menurut
Yunus, penafsiran seperti ini, yang tidak menjelaskan dan
menegaskan bahwa Nabi Muḥammad Saw. Tidak pernah
menyembah sembahan mereka (orang-orang kafir) pada masa
lalu. Masih menurut Yunus, karena jika tidak disampaikan
bahwa Nabi sejak kecil maupun sebelum diangkat menjadi
Nabi tidak pernah melakukan penyembahan kepada berhala,
maka ada peluang dapat dipahami ketika Nabi kecil pernah
menyembaah kepada tuhan meraka.
Yunus menyampaikan pemahamannya terkait surah
al-Kāfirūn, menurutnya, pada ayat kedua menyampaikan
untuk keterangan pada masa depan, karena menggunakan
diksi ‘abudu yang berarti liistiqbāl (masa yang akan datang).
Sedangkan penjelasan bahwa Nabi tidak pernah menyembah
berhala sebelumnya, itu menurut Yunus diuraikan pada ayat
ke empat. Saya bukanlah penyembah apa yang kamu dulu
sembah.75
Penafsiran Yunus jernih dalam menguraikan
makna pada surah ini, namun tidak ditemukan dalam
74
Abī al-Ḥasan „Alī bin Aḥmad al-Wāḥidī (W. 468 H.),
Asbāb Nuzūl al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1991),
h. 554. 75
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, (Ciputat: Mahmud
Yunus wa Dzuriyyah, 2011), h. 921.
159
penafsirannya, Yunus mengulas dan menjabarkan
pengulangan yang terdapat pada surah al-Kāfirūn.
Dapat disimpulkan bahwa, al-Sha‟rāwī dalam
menguraikan penjelasannya terkait pengulangan dalam surah
al-Kāfirūn menggunakan informasi asbāb nuzūl dengan
fleksibel dan tidak terpaku pada kaedah-kaedah kebahasan
yang terkandung pada surah ini, adapun kritikan yang
disampaikan Yunus, yang ditujukkan pada penafsiran surah
ini pada Tafsīr Jalālalyn dapat mengena untuk mengeritik
penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap pengulangan pada surah ini,
tetapi yang perlu diingat bahwa, pengeloborasian
pengulangan pada surah ini dalam rangka membantu untuk
menafsirkan ayat ke tujuh puluh tiga surah al-Naḥl, lebih
spesifiknya untuk menjelaskan lafaz wa lā yastati’ūn pada
ayat tersebut, lafaz ini menggunakan kata kerja muḍāri’
(present) yang berarti masa sekarang (al-Hāḍir) dan masa
yang akan datang (al-Mustaqbal).
b. Pola Tikrār dalam Satu Ayat
Banyak pembaca al-Qur‟an yang tidak memiliki
keahlian atau pengetahuan tentang bahasa Arab, meluncurkan
pertanyaan, karena mereka tidak dapat memahami hubungan
struktur kebahasaan al-Qur‟an76
, ada dua kelompok pembaca
struktur kebahasaan al-Qur‟an, selain kelompok pembaca
yang dipaparkan di atas, kelompok lain, yang memiliki
pengetahuan tentang bahasa Arab, namun tidak bisa
menyuguhkan penjelasan mengenai struktur kebahasaan al-
Qur‟an, karena mereka tidak mempunyai keresahan tentang
kebahasaan al-Qur‟an, tetapi mereka lebih memilih untuk
mengimani uraian al-Qur‟an tanpa ingin mengulasnya lebih
dalam.
76
Salwa M. S. El-Awa, “Linguistic Structure,” dalam The
Blackwell Companion to The Qur’ān, ed. Andrew Rippin,
(Singapore: Blackwell, 2009), h. 53.
160
Salah satu yang menjadi objek yang sukar dipahami
dan diterima dari uraian al-Qur‟an adalah adanya pengulangan
lafaz dalam jumlah yang banyak dalam al-Qur‟an, baik itu
pengulangan yang terdapat dalam satu surah maupun
pengulangan yang terdapat dalam satu ayat.
Tidak sedikit Pengulangan lafaz dalam satu ayat
dapat ditemukan dalam uraian al-Qur‟an, menurut pendapat
al-Jurjānī yang dikutip oleh Nur Ichwan, kata tidak memiliki
mkana pada dirinya (kata) melainkan, suatu kata hanya bisa
dimaknai dengan dihubungkan dengan konteks kata/lafaz
tersebut.77
Artinya adanya dua lafaz yang sama yang terdapat
pada satu ayat, namun memiliki makna yang berbeda.
Pada bab II, telah diuraikan pembahasan yang
mengkaji tentang adanya kesamaan lafaz namun memiliki
makna yang beragam, pembahasan ini diistilahkan dengan
Ishtirāk al-lafẓī, ilmu mengulas bahwa persamaan lafaz yang
terdapat pada al-Qur‟an memiliki ragam makna, Al-Itbā’
menurutnya setidaknya memiliki lima ragam makna78
, antara
lain: al-Ṣuḥbah (Q.S. Al-Kahfi [18]: 66.) al-Ikhtiyār (Q.S.Āli
‘Imrān [3]:7 ), al-Ṣalāh (Q.S. al-Baqarah [2]: 145), al-
Istiqāmah (Q.S. al-Naḥl [16]: 123), al-Ṭā’ah (Q.S. al-Nisā’
[4]:83). Ragam makna dari satu akar kata yaitu al-Itbā‟
dengan ragam derivasi dan konteks, melahirkan ragam makna,
makna-makna inilah yang dimaksudkan, bahwa makna lahir
bukan pada diri kata (dirinya), melainkan, makna dapat
dilahirkan dari makna dan dipengaruhi oleh konteks kata
tersebut.
Lebih dari uraian di atas, yang dari satu akar kata
memiliki makna yang beragam dari derivasi kata yang
77
Moch. Nur Ichwan, Meretas Keilmuwanan Kritis al-
Qur’an; Teori Hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta: Teraju,
2003), h. 87. 78
Muḥammad Nūr al-Dīn al-Munjid (W. 1216 M.), al-
Ishtirāk al-Lafẓi fī al-Qur’ān al-Karīm: bayna al-Naẓariyyah wa al-
Taṭbīq, (Beirut: Dār al-Fikr, 1999), h. 112-113.
161
berbeda pada konteks ayat berbeda pula. bahwa ditemukan
ada pengulangan lafaz yang terdapat pada satu ayat, dengan
bahasa lain, dalam satu ayat ada pengulangan lafaz. Salah satu
yang memiliki pengulangan sebagai berikut:
وإن كانوا من ق بل أن ي ن زل عليهم من ق بلو لمبلسي “Padahal walaupun sebelum hujan
diturunkan kepada mereka, mereka benar-
benar telah berputus asa” (QS. Al-Rūm
[30]: 49).
Tidak semua para pengkaji al-Qur‟an bersepakat
bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an mempunyai maknanya
masing-masing, salah satunya adalah Sulayman bin „Abd al-
Qāwī (1216 H.), dia berpendapat bahwa ada pengulangan
dalam al-Qur‟an yang tidak memiliki manfaat (ghayr mufīd).79
Sebelum menguraikan pendapat ini, dia menguraikan tipologi
pengulangan yang terdapat dalam al-Qur‟an, menurutnya
secara garis besar ada pengulangan dalam al-Qur‟an dibagi
menjadi dua, pertama, pengulangan lafaz disertai dengan
pengulangan makna. Kedua, pengulangan makna tanpa
disertai dengan pengulangan lafaz. Dua tipologi pegulangan
ini menurutnya ada yang memiliki manfaat maupun ada yang
tidak memiliki manfaat.
Pendapat Sulayman bin „Abd al-Qāwī, yang
menyatakan bahwa terdapat pengulangan dalam al-Qur‟an
yang tidak memiliki manafaat. Tentu pendapat ini bertolak
belakang dengan pendapat dengan yang diutarakan oleh al-
Sha‟rāwī. Menurut Sulayman bin „Abd al-Qāwī tentang
pengulangan ayat di atas (QS. Al-Rūm [30: 49]). Dia
mengelompokkan pada yang memiliki makna dan tujuan
yang satu. Artinya pengulangan lafaz min qabl pada ayat di
79
Sulayman bin „Abd al-Qawī bin „Abd al-Karīm al-Ṣirṣirī
al-Baghdādī, al-Iksīr fī ‘Ilm al-Tafsīr, (Kairo: Maktabah al-Adāb, T.
Th.), h. 269.
162
atas memiliki tujuan yang satu, tiap pengulangan tersebut
tidak memiliki makna, melainkan dua lafaz itu hanya satu
tujuannya (ma’nā wāḥīd ligharḍ wāḥid)80
. Pengulangan
pada ayat ini tidak memiliki manfaat, melain hanya sedikit,
melainkan hanya qorinah. Berbeda dengan penafsiran al-
Sha‟rāwī terhadap pengulangan yang terdapat pada ayat di
atas.
Menurut al-Sha‟rāwī pengulangan lafaz min qabl
pada ayat di atas memiliki makna dan manfaat masing-
masing, itu berdasarkan dan berangkat dari uraian ayat
sebelumnya Q.S. al-Rūm [30]:48 yang menjelsakan tentang
proses turunnya hujan yang diawali dengan dtiupkan angin.
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Sha‟rāwī mengawalinya
dengan menjelaskan lafaz al-mublisīn pada ayat di atas,
makna dari lafaz ini adalah keputus asaan terhadap harapan
turunnya hujan, jika turun hujan setelah mereka berputus asa,
maka kegembiraan meraka berlipat-lipat. Masih menurut al-
Sha‟rāwī, para ulama membutuhkan waktu untuk memahami
ayat di atas, karena adanya pengulangan lafaz min qabl. Ini
menandakan pengulangan memang cukup menguras tenaga
dan fikiran untuk memahaminya.
Membutuhkan perenungan untuk mendapatkan
makna dari pengulangan lafaz min qabl pada ayat ini,
menurut al-Sha‟rāwī pengulangan lafaz ini, adalah sebelum
menurunkan hujan kepada mereka, bahkan sebelum proses
menurunkan mereka sudah berputus asa, berarti menurutnya
ada dua kali keputus asaan.
Harus dipahami, bahwa ada proses sebelum proses
menurunkan hujan, proses ini adalah tiupan/transmisi angin
yang menandakan adanya potensi turun hujan (irsāl lilriyāḥ
al-llatī tubshir al-maṭar), setelah proses ini, lalu dilanjutkan
dengan proses turun hujan (inzāl al-maṭar), jadi sebelum
80
Sulayman bin „Abd al-Qawī bin „Abd al-Karīm al-Ṣirṣirī
al-Baghdādī, al-Iksīr fī ‘Ilm al-Tafsīr,,,, h. 273.
163
turunnya hujan, terlebih dahulu ada proses yang menandai
potensi adanya hujan, yaitu tiupan angin (irsāl), jadi menurut
al-Sha‟rāwī sebelum pada proses yang menandai berpotensi
turun hujan, mereka sudah berputus asa, dan setelah adanya
proses irsāl lilriyāḥ mereka berkata “mungkin tidak hujan”.
Dapat disimpulkan dari pemaparan di atas, adanya
maksud pada tiap pengulangan lafaz min qabl pada ayat di
atas, jadi sebelum proses turun hujan (qabl inzāl) dan
sebelum proses yang menandai potensi turunnya hujan yaitu
dihembuskannya angin (qabl irsāl). Dua uraian ini dapat
menghasilkan hasil analisa bahwa dua lafaz min qabl pada
ayat di atas, sebelum proses inzāl al-maṭar dan sebelum pada
proses inzāl mereka sudah berputus asa.81
Dari uraian penjelasan pengulangan lafaz min qabl
pada ayat Q.S. al-Rūm [30]: 49. Bahwa al-Sha‟rāwī dalam
memberikan pemahaman melakukan pembacaan kolaboratif,
pembacaan kolaboratif yang dimaksud adalah memadukan
pembacaan ayat/teks al-Qur‟an dengan pembacaan terhadap
fenomena alam atau dalam kajian ‘ulūm al-Qur’ān dikenal
dengan istillah Ayat kawnniyyah.82
81
Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-
Sha’rāwī,,,,,,h. 11511. 82
Setidaknya dua ayat ini yang menjadi basis kajian
fenomena yang terjadi pada alam dalam al-Qur‟an atau atau dikenal
dengan ayat kawniyyah:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-
orang yang berakal ”(Q.S. Āli „Imrān [3]: 190)
“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada di antara keduanya dengan
sia-sia. Itu anggapan orang kafir , maka
celakalah orang-orang yang kafir itu karena
mereka akan masuk neraka ”(Q.S. Ṣād [38]:
27)
164
Pembacaan fenomena alam dilakukan dengan cara
memerhatikan peristiwa yang terjadi pada alam, dalam ayat
di atas berbicara terkait tema turunnya hujan,fenomenai
merupakan fenomena alam yang cukup sering, terlebih lagi
pada dearah tropis pada musim hujan, seperti Indonesia. Tapi
secara umum, dalam kondisi normal beberapa saat sebelum
turunnya hujan, diawali terlebih dahulu oleh peristiwa yang
menandai potensi turun hujan, yaitu hembusan angin,
hembusan angin dengan kriteria tertentu menjadi tanda akan
terjadi/turunnya hujan.83
Artinya penjelasan al-Sha‟rāwī,
Pada era kontemporer, pengkajian al-Qur'an tentang ayat-
ayat kawniyyah, salah satunya dilakukan oleh Zaghlūl al-Najjār,
seorang Muslim yang mempunyai kepakaran di bidang Geologi,
pada tahun 1963 dia telah menyelasaikan studi PhD nya di bidang
kajian Kaji Bumi dan Geologi di Universitas Wales dan
memperoleh gelar guru besar pada tahun 1972 dari Universitas
Kuwait. melalu karyanya yang berjudul Tafsīr al-Āyah al-
Kawniyyah fī al-Qur’ān al-Karīm. karya ini berisikan penafsiran
enam puluh enam ayat yang berbicara tentang fenomena alam,
kajian tematik ini diperkaya dengan bukti-bukti saintifik lihat:
Selamat Bin Amir, dkk., “Aplikasi Elemen Saintifik Dalam Tafsir
Al-Qur‟an: Satu Pengamatan Awal Terhadap Manhaj Zaghlul Al-
Najjar Dalam Tafsir Al-Ayah Al-Kawniyyah Fi Al-Quran Al-
Karim” dalam Proceedings: The 2nd Annual International Qur’anic
Conference 2012, (Centre of Quranic Research (CQR)) h. 132-134. 83
untuk konteks pergantian musim di Indonesia
mengakibatkan jumlah butiran curah hujan juga dipengaruhi oleh
angin monsun, Dampak adanya angin monsun di Indonesia adalah
adanya angin baratan dan angin timuran. Angin baratan bertiup pada
bulan Oktober Maret, yang bertepatan saat terjadi monsoon dingin
di asia. Angin ini membawa massa udara dingin dan lembab,
sehingga menimbulkan hujan di berbagai lokasi yang terkena
pengaruhnya.. Lihat: Lili Kartika, dkk., “Analisis Hubungan Zonal
dan Angin Meridional Lapisan 850 Milibar Terhadap Curah Hujan
Di Sumatera Barat, ” dalam Pillar of Physics, Vol. 8. Oktober 2016,
h. 49-50.
165
yang menyatakan bahwa sebelum proses turunnya hujan,
sebelum proses itu terlebih dahulu terjadinya proses
hembusan angin, fenomena alam ini yang menjadi salah satu
tanda potensi terjadi turunnya hujan.kesimpulan ini
membantah anggapan jika uraian al-Sha‟rāwī tidak berdasar,
melainkan hanya retorika belaka. Anggapan tersebut
terbantah dengan temuan analisa sains yang sependapat
dengan uraian al-Sha‟rāwī terkait penafsirannya terhadap
lafaz yang mengalami repitisi.
Kesimpulan al-Sha‟rāwī berarti menghubungkan dua
lafaz yang mengalami pengulangan pada ayat Q.S. al-Rūm
[30]: 49. Dengan sesuatu penjelasan yang bersumber dari
selain teks al-Qur‟an, tetapi teks yang terdapat pada alam,
yaitu ayat kawniyyah. Jadi sederhananya, jika digambarkan
dalam bentuk alur penafsiran pengulangan lafaz min qabl,
seperti berikut:
No Penafsiran Lafaz Tikrār
من قبل إرسال للرياح 1
من قبل إنزال المطر 2
Tabel No. 4.3 Alur Penafsiran Pengulangan
Lafaz
Tabel di atas, memberikan gambaran bahwa al-
Sha‟rāwī memposisikan masing-masing lafaz min qabl
dengan konteksnya masing, yang berarti tiap pengulangan
lafaz min qabl mempunyai implikasinya masing-masing,
dengan pemetaan yang dipaparkan lewat tabel di atas,
pengualngan yang tadinya sukar untuk dipahami atau
berpotensi bias karenan adanya unsur mutashābih menjadi
jelas, gamblang untuk dipahami dan dengan pemaparan
penafsiran di atas, secara struktur unsur kebahasan menjadi
terbangun struktur uraian yang rinci. Selain itu, dari
uraiannya ini, al-Sha‟rāwī secara tidak langsung
mengungkapkan lewat eloborasi terhadap lafaz tikrār pada
ayat di atas, bagaimana al-Qur‟an memformulasikan makna
yang dimaksud-Nya, yaitu mereka telah berpustus asa
166
sebelum ada tanda yang menggambarkan ada potensi turun
hujan.
Cara yang ditempuh dan sumber yang dijadikan
materi oleh al-Sha‟rāwī dalam menguraikan penafsiran ayat
di atas, secara langsung membenarkan dan menegaskan
bahwa informasi dan ilmu pengetahuan yang mengelili al-
Qur‟an (mā ḥawl al-Qur’ān) harus diikutsertakan untuk
menjadi pendekatan dalam menafsirkan al-Qur‟an, seperti
apa yang telah dinyatakan oleh Amīn al-Khūlī yang penulis
telah kutip pada bab terdahulu, yang berpendapat bahwa
dalam memahami dan menafsirkan al-Qur‟an, seyogyanya
seorang penafsir memerhatikan mā fī al-Qur’ān dan mā ḥawl
al-Qur’ān. Yang dimaksud dengan mā fī al-Qur’ān adalah
apa yang terdapat pada teks al-Qur‟an itu sendiri, baik dari
pengulangan lafaz (tikrār), kebahasaan, lafaz khas dan masih
banyak lagi, adapun yang dimaksud dengan mā ḥawl al-
Qur’ān adalah informasi atau ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan al-Qur‟an baik itu dari ‘ulūm al-Qur’ān
maupun non-‘ulūm al-Qur’ān.
Penguraian bahwa adanya inzāl dan irsāl yang
berhubungan dengan lafaz yang mengalami pengulangan
(min qabl), dari pemaparan al-Sha‟rāwī di atas, maka
pertanyaan yang muncul, apakah inzāl dan irsāl termasuk
dari pembahasan (ḥadhf)84
, ḥadhf adalah salah satu
pembahasan dalam kajian ‘ulūm al-Qur’ān yang membahas
tentang penanggalan sebagian atau keseluruhan klausa
(kalam) karena adanya suatu dalil (petunjuk/indikasi). Istilah
84
Gagasan utama dari pengertian ḥadhf dalam diskursus
‘ulūm al-Qur’ān meliputi tiga hal pokok yaitu: menanggalkan
sebagian klausa/kalam, meninggalkan untuk tidak menyebutkan dan
ketiadaan penyebutan. Lihat: Muhammad Iskandar Zulkarnain, al-
Ḥadhf Dalam Penafsiran Al-Qur‟an (Telaah Kritis atas Konsepsi al-
HHadhf dalam Pemaknaan Ayat), (Tesis S2 Pasca Ilmuwan Institut
Agama Islam Negeri Surakarta, 2017), h.33.
167
ḥadhf sering juga diistilahkan dengan Elipsis. 85
Banyak
kriteria dan ragam kajian ḥadf yang telah dirumuskan oleh
para pengkaji al-Qur‟an, berikut ragam ḥadf dalam al-
Qur‟an:86
1. Ḥadhf al-huruf (Elipsis huruf)
2. Ḥadhf al-kalimah (Elipsis kata)
3. Ḥadhf al-jumlah (Elipsis ayat)
4. Ḥadhf al-tarkib (Elipsis rangkaian ayat)
Ayat di atas (Q.S. al-Rūm [30]: 49), termasuk pada
pembahasan bagian kedua ḥadhf, yaitu yang menanggalkan
dua kata yang berhubungan dengan dua lafaz min qabl pada
ayat tersebut, seperti yang telah diulas oleh Rahman yang
mengkaji diskursus ḥadhf dalam persepktif Ibn Qutaybah,
menurutnya pada Q.S. al-Baqarah [2]: 197 (al-hajj ashurun
ma’lūmāt), ada unsur/term yang ditanggalkan dalam ayat ini,
menurut Ibn Qutybah yang dikutipnya, unsur ditanggalkan
adalah waqt87
. Artinya dalam memahami ayat Q.S. al-
Baqarah [2]: 197, berkesimpulan bahwa ditanggal. Untuk
ayat (Q.S. al-Rūm [30]: 49), dapat memahami ayat ini,
setidaknya dapat menggunakan dua diskursus, pertama
menggunakan tikrār dan yang kedua menggunakan ḥadhf.
Penjelasan di atas menguatkan, bahwa sebuah uraian
a-Qur‟an dapat dipahami dengan multi pendekatan, untuk ayat
(Q.S. al-Rūm [30]: 49), setidaknya dapat menggunakan dua
85
Elipsis adalah peniadaan kata atau satuan lain yang wujud
asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar
bahasa. Lihat:Tim Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,2008), h. 385. 86
Mohd Shahrizal Nasir, ”Elipsis (al-Ḥadhf) dalam Al-
Quran Sebagai Satu Petunjuk Ketinggian Bahasa Arab Kalamullah"
dalam Manu Bil. 25, 2017, h. 162. 87
Yusuf Rahman, “Ellipsis in the Qur‟ān: A Study of Ibn
Qutaybah‟s Ta‟wīl Mushkīl al-Qur‟ān” dalam Literary Structures of
Religion Meaning in the Qur’ān, ed. Issa J. Boullatta, (UK: Curzon
Press, 2000), h. 280.
168
pendekatan, yaitu ḥadhf dan tikrār. Seperti halnya yang telah
diuraikan pada pembahasan pola tikrār dalam surah al-
Kāfirūn dapat dibahas menggunakan pendekatan tikrār dan
balāghah (menurut al-Ṣābūnī).
C. Tikrār dalam Kajian Ilmuwan dan al-Sha’rāwī
Tidak sedikit dari kalangan masyarakat ilmuwan yang
sudah melakukan penelitian terhadap aspek pengulangan
dalam al-Qur‟an, dalam mengkajinya, meraka menggunakan
berbagai metode. Bagian inti pada sub bagian ini, bukan
untuk mereview kajian mereka terhadap tikrār fī al-Qur’ān,
seperti apa yang telah diuraikan pada bab II, melainkan. Pada
sub ini akan disajikan bagaimana framework yang mereka
gunakan dalam mengkaji aspek pengulangan dalam al-Qur‟an
dan pada sub bagian ini juga akan diuraikan penafsiran al-
Sha‟rāwī terhadapa aspek pengulangan dengan menggunakan
framework yang digunakan ilmuwan dalam mengkaji
pengulangan dalam al-Qur‟an.
Penggunaan framework para ilmuwan, bertujuan
untuk membandingkan dan mendiskusikan bagaimana
penafsiran al-Sha‟rāwī dan masyarakat akademis dalam
mengkaji aspek pengulangan dalam al-Qur‟an adalah sebuah
usaha untuk menguji bagaimana hasil penafsiran al-Sha‟rāwī
terhadap aspek pengulangan. Selain itu untuk mengetahui
bagaimana distingsi dari kajian yang mereka lakukan terhadap
aspek pengulangan.
Masyarakat akademis yang dimaksud adalah para
ilmuwan yang dalam publikasi ilmiahnya (disertasi dan
artikel) mengkaji aspek pengulangan dalam al-Qur‟an, tentu
tidak semua para ilmuwan yang mengkaji tema ini diulas pada
bagian ini, yang akan diulas dalam kajian ini hanya dua yang
dianggap mewakili para ilmuwan dalam mengkaji
pengulangan, dalam bentuk disertasi dan artikel ilmiah.
1. Nevin Reda el-Tahry
169
Reda dalam Disertasinya mengkaji pengulangan yang
terdapat pada surah al-Baqarah dan al-Fātīḥah, menjadi
hal yang penting dalam menganaslisa struktur sebuah
surah, kerap kali dalam menganalisa, ditemukan al-Qur'an
dalam mengungkan kandungannya dengan menggunakan
pengulangan, baik itu pengulangan dalam bentuk kata
atau frase, di balik penggunaan pengulangan tersebut,
pasti ada sebuah hubungan tematik yang jelas (a clear
thematic connections) antara dua bagian (sections).88
Artinya pengulangan yang ada merupakan cara al-Qur‟an
dalam menguraikan kandungannya, dan jika pengulangan
itu dianalisa akan mendapatkan pemahaman yang
komprehensif karena setiap bagian pembahasan tema
yang dihubungkan menggunakan pengulangan
membangun uraian yang saling melengkapi.
Seperti halnya Neuwrith dalam mengkaji pengulangan
pada surah al-Ḥijr89
, Reda juga membagi surah yang
dikajinya menjadi beberapa bagian, menurut el-Awa cara
seperti ini digagas oleh al-Amīn Aḥsan Iṣlāḥī (1906-1997
M.) yang berasal dari Pakistan dan Sayyid Quṭb (W 1966
M.) yang berasal dari Mesir90
. Reda dalam mengkaji
pengulangan, membagi surah al-Baqarah menjadi
beberapa bagian sebagai berikut91
:
88
Raymond K. Farrin, "Surat al-Baqara: A Structural
Analysis" dalam The Muslim World, 2010: 100, 1, h. 18-19. 89
Angelika Neuwrith, ” Referentialitity and Textualit in
Sūrat al-Ḥijr,, h. 148-151 90
Salwa el-Awa, “Linguistic Structure,,,,h. 57. 91
Dalia Abo Haggar, Textual Integrity and Coherence in the
Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-Baqara.. h.
101-104. Apa yang dilakukan oleh Reda, dengan membuat tabel di
atas, yang bertujuah untuk membuktikan kesatuan dan
keterhubungan yang terdapat pada surah al-Baqarah. merupakan
pengembangan atas kajian yang telah dilakukan oleh
pendahulunya,tabel yang sejenis juga dibuat oleh Mathias Zahniser.
170
No.
Ayat
Aspek yang diulangi
Bagian I 2
5
16
26
38
ىدى ىدى
لدى ي هدي
ىداي dan ىدى
Bagian
II
40
47-48
122-
123
يا بن إسرائيل اذكروا نعمت الت أن عمت عليكم يا بن إسرائيل اذكروا نعمت الت أن عمت عليكم وأني
لتكم على العالمي ) ( وات قوا ي وما ل تزي ن فس 44فضها عدل ها شفاعة ول ي ؤخذ من عن ن فس شيئا ول ي قبل من
ول ىم ي نصرون وأني عليكم أن عمت الت نعمت اذكروا إسرائيل بن يا
لتكم ن فس زيت ل ي وما وات قوا( 222) العالمي على فضها ي قبل ول شيئا ن فس عن فعها ول عدل من ول شفاعة ت ن
ي نصرون ىم Bagian
III
129
191
لو عليهم آياتك وي علمهم هم ي ت رب نا واب عث فيهم رسول من يهم إنك أنت العزيز الكيم الكتاب والكمة وي زك
لو منكم رسول فيكم أرسلنا كما يكم آياتنا عليكم ي ت وي زكت علمون تكونوا ل ما وي علمكم والكمة الكتاب وي علمكم
Lihat: A. H. Mathias Zahniser, “Major Transitions and Thematic
Borders in Two Long Sūras: al-Baqara and al-Nisā‟”, dalam
Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’ān, ed. Issa J.
Boulatta, (UK: Curzon, 2000), h. 28.
171
Bab IV 092
084
لى القوم الكافرين وانصرنا ع فانصرنا على القوم الكافرين
Cara kerja dalam mengkaji pengulangan yang
dilakukan oleh Reda, mengingatkan bagaimana al-Kirmānī
mengkaji aspek, yaitu mengkaji pengulangan dalam satu
surah, dalam hal ini Reda memberikan batasan pada surah
al-Baqarah. Berbeda dengan Reda, al-Kirmānī
memberikan fokus empat puluh lima poin pengulangan.92
Ini dapat dipahami karena, al-Kirmānī dalam mengkaji
tikrār memasukkan semua ragam lafaz yang mengalami
pengulangan, termasuk pada kata penghubung dan kata
pengganti subjek/objek. (lihat kajiannya atas surah al-
Fātiḥah) selain itu dia juga memasukkan pengulangan
lintas surah, misalnya ketika al-Kirmānī memulai mengkaji
pengualangan dalam surah al-Baqarah, dia mengkaji lafaz
aliflāmīm,dalam penjelasannya mengani lafaz ini, dia
menjelaskan bahwa lafaz ini diulangi sebanyak tujuh kali,
lafaz ini merupakan lafaz yang sukar untuk dipahami, atau
dalam ilmu al-Qur‟an dikenal dengan istilah mutashābih
al-Lafẓ
Tentu tidak semua framework pengulangan yang
dikaji oleh Reda akan diulas dalam pada sub bagian ini,
namun dalam bagian satu dari kajian Reda, sebagai
representasi untuk menguji penafsiran al-Sha‟rāwī dengan
menggunakan framework pengulangan yang digunakan
oleh Reda dalam mengkaji pengulangan. Studi yang
dilakukannya menjadikan poin distingsi yang ada pada tiap
92
Muḥammad bin Ḥamzah al-Kirmānī, Asrār al-Tikrār fī
al-Qur’ān, ,,, h. 66-88.
172
pengulangan lafaz sebagai poin yang dieloborasi.93
Pada
tulisan ini yang akan dibandingkan adalah bagian pertama
yang dikaji oleh Reda, yaitu:
Bagian Pertama ayat 1-39
Pada bagian pertama ini, Reda memberikan fokus pada
diksi yang bermakna petunjuk (hudā), sejauh ayat pertama
sampai ayat ketiga puluh sembilah, hasil analisa Reda
bahwa ada diksi hudā pada ayat 2,5,16,26 dan 38.94
Secara
cara kerja, apa yang dilakukan dalam mengkaji
pengulangan oleh Reda, sepintas sama dengan cara kerja
Ishtirāk al-Lafẓī, yang telah dipaparkan pada bab II,
namun pengulangan yang dijadikan objek kajian oleh Reda
difokuskan pada satu surah, sedangkan Ishtirāk al-Lafẓī
pada lintas surah.
Dengan Reda melakukan kajian terhadap pengulangan
pada satu surah bertujuan untuk mengetahui bagimana kata
hudā didiskusikan pada surah ini, dengan membandingkan
penggunaan dan implikasi dari tiap konteks kata ini
diuraikan. Ini dilakukan sebagai pembuktian atas
hipotesanya bahwa uraian pengulangan merupakan
peralihan yang membatasi dan memasuki diskusi sebuah
tema dan pengkajian pengulangan yang dilakukan Reda,
dilakukan bertujuan untuk membantu memahami struktur
tema dan hubungannya dalam surah al-Baqarah95
artinya
dengan menganalisa pengulangan tema yang didiskusikan
93
Nevin Reda El-Tahry,Textual Integrity and Coherence in
the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-Baqara,
(Disertasi S3 Universitas Toronto, 2010), h. 78. 94
Nevin Reda El-Tahry,Textual Integrity and Coherence in
the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-Baqara,,,
h. 88. 95
Nevin Reda El-Tahry,”Textual Integrity and Coherence in
the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-
Baqara”,,,,h. 85.
173
dalam suatu surah, itu membantu pembaca untuk
mengetahui struktur pambahasan yang ada pada surah
tersebut, pendapat ini secara tidak langsung menolak
anggapan Wansbrough, bahwa pengulangan yang ada pada
teks al-Qur‟an hanya dikarenakan ragam periwayatan dan
ragam tradisi dalam proses kodifikasi al-Qur‟an.96
Kata hudā yang pertama terletak pada ayat kedua,
tersusun (composed) dan tidak terlepaskan dengan ayat
pertama yang hanya terdiri dari tiga huruf.97
Selain itu, al-
Baqarah adalah surah kedua setelah surah al-Fātiḥah,
menurut Reda dan pendapat ini telah diungkapkan oleh
pengkaji al-Qur‟an sebelumnya, sebut saja, al-Suyūṭī, al-
Biqā‟ī dan Ṭanṭāwī, bahwa ayat pertama dan ayat kedua
dari surah al-Baqarah berhubungan dengan surah al-
Fātiḥah, dimana pada surah tersebut diungkapkan
permohonan petunjuk.98
Adapun dalam menafsirkan kata
hudā pada konteks ini, al-Sha‟rāwī menghubungkan
dengan kata yang setelahnya yaitu al-muttaqīn lalu dia
mengutip ayat lain, bertujuan untuk menjelaskan susunan
ini (hudā lilmuttaqīn), menurutnya diksi hudā disini
bermakna petunjuk yang yang bukan lain merupakan al-
Qur‟an, petunjuk bagi semua makhluknya yang
menujukkan dan menerangkan menuju jalan yang lurus
(al-ṭarīq al-mustaqīm), dan petunjuk pada konteks ini
menurutnya merupakan hudā al-dalālah, yaitu petunjuk
yang mengantarkan semua makhluknya menuju ketaatan
96
John Wansbrough, Qur'anic Studies; Sources and
Methods of Scriptual Interpratation, (New York: Prometheus
Books, 2004) h. 20-21. 97
Nevin Reda El-Tahry,”Textual Integrity and Coherence in
the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-
Baqara”,,,,h. 85. 98
Nevin Reda El-Tahry,”Textual Integrity and Coherence in
the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-
Baqara”,,,,142.
174
kepadaNya dan surga-Nya.99
Selain itu, kata hudā dalam
ayat kedua berkaitan dengan kata lil muttaqīn, al-Sha‟rāwī
memaknai hudā lilmuttaqīn dengan mengutip sebuah ayat
Q.S. al-Taḥrīm [66]: 6100
, maka dapat dipahami bahwa
hudā (petunjuk) menyerukan untuk melakukan beramal
saleh agar terhindar dari siksa neraka.101
Pengulangan berikutnya terdapat pada pertengahan
pada bagian satu dari beberapa bagian yang dirumuskan
oleh Reda, yaitu pada ayat lima dan enam belas, menurut
Reda pengulangan diksi hudā pada dua ayat ini merupakan
pembatasan diskusi sebuah tema, selain pada dua ayat ini,
sama halnya dengan pengulangan kata yahdī102
pada ayat
ke dua puluh enam.
Pengulangan kata hudā pada ayat kelima,
mendiskusikan petunjuk bagi orang yang mengikuti seruan
Allah merekalah, orang-orang yang berhasil, uraian ini
dihubungkan dengan pembicaraan sebelumnya tentang
99
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 122.
يا أي ها الذين آمنوا قوا أن فسكم وأىليكم نارا وقودىا الناس 100ها ملئكة غلظ شداد ل ي عصون اللو ما أمرىم والجارة علي
وي فعلون ما ي ؤمرون “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. al-
Taḥrīm [66]:6). 101
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 119-
120. 102
Pengulangan yang dianalisa adalah kata hudā dan
derivasinya, bukan dalam bentuk satu hudā atau bukanpengulangan
verbatim
175
kesadaraan adanya Allah. Menurut al-Sha‟rāwī, kata hudā
pada ayat ini adalah petunjuk yang mengangkat derajat
seseorang yang diberi petujuk (al-muhtadī), petunjuk
tersebut menjaga manusia dari kerugian, seperti
kemurkaan Allah, penderitaan hidup bermasyarakat.103
Sedangkan pengulangan hudā pada ayat enam belas,
pada ayat ini membicarakan tentang orang-orang yang
telah membeli kesesatan dengan petunjuk oleh karena itu
perdagangan mereka tidak menguntungkan dan mereka
tidak diberi petunjuk (were not guided), pengulangan pada
ayat ini menurut Reda berhubungan dengan ayat ke tujuh.
Dua ayat ini menjelaskan diksi ḍālin pada surah al-
Fātiḥāh, diksi ḍālin ini merupakan pembahasan yang luas,
karena banyak yang termasuk bagian dari kategori ini,
seperti munafik104
. Berbeda dengan Reda, dalam
pandangan al-Sha‟rāwī hudā dalam ayat kelima bermakna.
Sedangkan kata hudā pada ayat ketiga puluh delapan
itu sangat erat kaitannya dengan ayat berikutnya, menurut
Reda bahwa ayat ketiga puluh sembilan merupakan
antitesa dari ayat sebelumnya.
Untuk kata hudā pada ayat enam belas, al-Sha‟rāwī
mengajukan uraian apakah petunjuk ada pada orang
munafik yang menukarkannya dengan kesesataan. boleh
jadi hidayah pada konteks ini, menurutnya adalah hidayah
fitrah (hudā al-fiṭrah), konteks ini menggambarkan mereka
memungkinkan untuk memilih hidayah, namun mereka
memilih kesesatan (al-dalalāh), untuk menguatkan
argumennya bahwa setiap manusia diberikan potensi untuk
menerima hudā dalālah, dia mengutip Q.S. Fuṣṣilat
[41]:17.105
103
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 132. 104
Nevin Reda El-Tahry,”Textual Integrity and Coherence
in the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in Surat al-
Baqara”,,,,h.142-143. 105
M. Mutawalilī Al-Sha'rāwī, Tafsīr al-Sha'rāwī,,, h. 163.
176
Sedangkan al-Sha'rāwī dalam menafsirkan ayat ke dua
puluh enam, dalam tafsirnya, dia tidak melakukan
eloborasi terhadap diksi yahdī (derivasi dari kata hudā),
dalam menafsirkan ayat ini, al-Sha'rāwī memberikan
perhatian pada dua poin, pertama. rahasia dan maksud dari
pemberian perempumaan nyamuk dan kedua pemaknaan
diksi fāsik. Adapun ungkapan yudhilu bihi kathiraa wa
yahdii bihi kathiraa... merupakan bantahan dari ungkapan
orang kafir yang mempertanyakan "mādhā arād Allāh
bihadhā mathalā"106
Al-Sha'rāwī dalam menafsirkan diksi yang bermakna
petunjuk (hudā) dalam ayat ke tiga puluh delapan,
menurutnya, petunjuk memiliki dua macam, yang pertama
sebagai petunjuk jalan menuju kebaikan dan petunjuk
berupa pertolongan untuk beriman.107
untuk menguatkan
argumennya, al-Sha'rawi Q.S Muhammad [47]: 17.
Jadi dapat disimpulkan dari uraian di atas, bahwa dalam
mengeloborasi diksi hudā pada tiga puluh delapan ayat
pertama dari surah al-Baqarah, al-Sha‟rāwī menghasilkan
ragam petunjuk, sebagai berikut:
1) Petunjuk yang dengan mengikutinya akan
mengantarkan pada ketaatan kepadaNya (hudā
al-dalālah). Lihat penafsiran hudā pada ayat
kedua surah al-Baqarah.
2) Petunjuk yang langsung dianugerahkan (hudā
firṭrah). Lihat Penafsiran ayat enam belas
surah al-Baqarah
3) petunjuk sebagai pertolongan (hudā al-i’ānah)
lihat: Penafsirannya ayat ke tiga puluh delapan
surah al-Baqarah
Dari kesimpulan di atas, menunjukkan eloborasi al-
Sha‟rāwī terhadap pengulangan diksi hudā, menghadirkan
106
M. Mutawalilī Al-Sha'rāwī, Tafsīr al-Sha'rāwī,,, h. 212. 107
M. Mutawalilī Al-Sha'rāwī, Tafsīr al-Sha'rāwī,,, h. 278.
177
diskusi tentang distingsi atau ragam makna hudā pada
masing-masing konteks, ini selaras dengan hipotesa Reda
bahwa, lewat mengkaji pengulangan pada sebuah
term/tema akan menghadirkan pemahaman yang lebih
komprehensif tentang tema tersebut.
2. Salwa El-Awa Menurut Salwa El-Awa, hubungan yang terjalin pada
naṣ al-Qur’ān baik itu dalam bentuk kata, frase maupun
kalimat/ayat, masing-masing menentukan makna.108
jadi
menurut El-Awa, hubungan-hubungan tekstual yang
diuraikan oleh al-Qur‟an berimplikasi terhadap maknanya,
maknanya itu dipengaruhi oleh konteks yang terhubung
dengan teks tersebut, pengulangan yang terdapat pada al-
Qur‟an di banyak kesempatan yang diuraikan di berbagai
surah yang berbeda. Pendapat ini diambil dari
pembacaanya terhadap kajian yang dilakukan Ibrāhim al-
Biqā‟i, menurut al-Biqā‟i makna sebuah ayat al-Qur‟an
tergantung ayat tersebut dihubungkan dengan ayat yang
bicara apa.109
Artinya pemaknaan suatu ayat sangat
dipengaruhi oleh ayat yang dihubungkan kepadanya, salah
satu metode penafsiran dalam diskursus tafsir, dikenal
dengan istilah metode tafsir tematik (mawḍū’ī).
Dalam Bab II, telah diuraikan bahwa dua ayat atau
lebih yang membicarakan tema yang sama, sangat
berpotensi pada ayat tersebut terdapat lafaz yang diulangi.
Dalam diskursus kajian tafsir metode tematik, secara garis
besar setidaknya ada dua macam, yang pertama berangkat
dari uraian teks al-Qur‟an (naṣ al-Qur’ān) dan yang kedua
berangkat dari realitas (al-wāqi’), kedua metode ini
108
Salwa El-Awa, Textual Relations in The Qur'an;
Relevance, Coherence and Structure,,, h. 27. 109
Burhān al-Dīn Ibrāhim Ibn „Umar Al-Biqā‟ī, Naẓm al-
Durar fī Tanāsub al-‘Ayāt wa al-Suwar,( Beirut: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyya, 1995 ), h. 7.
178
ditempuh bukan lain untuk menjawab problematika yang
ada di masyarakat (hudan li al-nās). Kedua metode ini
dikenal secara mashur diperkenalkan oleh „Abd al-Hayy
al-Farmāwī dan Bāqir Ṣadr, namun ini masih dalam
perdebatan, karena menurut kajian, ada yang lebih dulu
mengenalkan dua metode ini secara cara kerjanya. Kedua
metode tafsir ini dirumuskan untuk menghadirkan
penafsiran yang utuh, menggunakan korelasi (munāsabah)
ayat untuk mendapatkan penjelasan yang komprehensif,
namun aspek pengulangan belum menjadi perhatian yang
serius dalam kegaiatan menafsirkan secara metode tematik,
oleh karena itu pada gambar 2.2 pada bab II diajukan
bahwa sebelum pengeloborasian korelasi antar ayat
(munāsabah), hendaknya yang terlebih dulu dilakukan
adalah mengeloborasi lafaz pengulagan yang terdapat pada
ayat-ayatnya.
Menurut El-Awa pengulangan adalah salah satu tehnik
al-Qur'an dalam menguraikan kandungan-Nya, secara garis
besar kajiannya terhadap aspek pengulangan dalam al-
Qur'an telah dipaparkan pada Bab II. Dari apa yang dia
kaji, yaitu mengkaji aspek pengulangan dalam al-Qur'an
menggunakan kerangka kerja teori relevansi (framework
relevance theory), dengan mengkaji pengulangan pada al-
Qur'an berdasarkan fenomena/peristiwa yang dikisahkan
dan diuraikan. dia berkesimpulan bahwa, tikrar fī al-
Qur'ān adalah cara efektif yang memungkinkan untuk
menyampaikan makna dalam tiga cara, yaitu dengan jelas
tersampaikan makna yang dimaksudkan (explicature),
menyisipkan makna yang terkandung, meskipun tidak
dinyatakan secara jelas dan terang-terangan (implicature)
dan dengan menyampaian uraian yang pendek dengan
179
cara mengulangi (reduce).110
Jadi fitur pengulangan yang
digunakan al-Qur‟an dalam meyampaikan kandungannya
berdasarkan kajian El-Awa, memungkinkan setidaknya
tiga ragam hasil makna/manfaat, menguraikan makna
secara eksplisit, implisit dan uraian yang efektif dan
efisien.
Salah satu tema pengulangan yang dijadikan objek yang
dikaji oleh El-Awa adalah berhubungan dengan konsep
kenabian Nabi Muḥammad dalam al-Qur‟an, dia
memaparakan bahwa setidaknya ada dua ayat yang
berbicara tentang Nabi Muhammad sebagai Rasul yang
juga sebagai manusia membawa risalah, antara lain: 18:
110 dan 41:6, yang mejadi objek kajian dari el-Awa,
berikut ayatnya:
ا إلكم ا أنا بشر مث لكم يوحى إل أن قل إنفمن كان ي رجو لقاء ربو ف لي عمل عمل صالا إلو واحد
بعبادة ربو أحداول يشرك “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku
ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang
telah menerima wahyu, Bahwa sesungguhnya
Tuhan kamu adalah Tuhan yang maha Esa.
Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan
Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan
kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan
dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada
Tuhannya.”(Q.S. Al-Kahfi [18]:110)
110
Salwa El-Awa, “Repetition in the Qur'ān: A Relevance
Based Explanation of the Phenomenon,” dalam Islamic Studies, Vol.
42, No. 4 (Winter 2003), h. 593.
180
ا إلكم ا أنا بشر مث لكم يوحى إل أن قل إن واست غفروه وويل للمشركي فاستقيموا إليو إلو واحد
Katakanlah (Muhammad), “Aku ini
hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku bahwa tuhan kamu adalah
tuhan yang maha Esa, karena itulah tetaplah kamu
(beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan
kepada-Nya. Dan Celakalah bagi orang-orang
yang mempersekutukan (Nya).” (Q.S. Fuṣilat
[41]: 6)
Menurut El-Awa pengulangan pada ayat di atas
dimasukkan pada kategori delayed paraphrased, artinya
pengulangan yang berfungsi dan bermakna sebagai
penguhubung penjelasan dan penguraian yang telah
diuraikan sebelumnya, tipe ini berfungsi untuk
mengkomunikasi uraian yang sebelumnya, sederhananya
untuk menambahkan/melengkapi uraian sebelumnya.
masing-masing pengulangan lafaz pada ayat dia atas
terhubung dengan konteks yang berbeda, secara jelas
dapat dipahami bahwa ayat di atas menguraikan bahwa
"Nabi Muhammad sebagai manusia biasa yang menerima
wahyu," uraian tersebut berhubung dengan lafaz yang
menguraikan penjelasan yang berbeda, dengan ini,
menurut el-Awa pengulangan ini bermuatan informasi
tambahan bagi pembacanya.111
pendapat ini sependapat
dengan al-Sha‟rāwī dan Neuwrith yang berpendapat
bahwa pengulangan merupakan cara al-Qur'an
111
Salwa El-Awa, “Repetition in the Qur'ān: A Relevance
Based Explanation of the Phenomenon,” ,,,,h. 589-592.
181
membangun uraikanNya.112
Namun eloborasi yang
disajikan oleh El-Awa dalam membahas pengulangan
pada ayat di atas, tidak ditemukan secara detail
penjelasannya terkait perbedaan yang ada pada
pengulangan lafaz pada ayat di atas, juga tidak dieloborasi
secara komprehensif mengenai apa yang dilengkapi dari
uraian Q.S. Al-Kahfi [18]:110, Lalu bagaimana al-
Sha‟rāwī menguraiakan dan menafsirkan pengulangan
yang terdapat pada dua ayat di atas.
Tidak seperti yang telah dipaparkan pada penjelasan
sebelumnya, bahwa al-Sha‟rāwī ketika membahas
pengulangan lafaz, dia membandingkan dua lafaz tersebut.
Namun ketika menafsirkan Q.S. Al-Kahfi [18]:110. Al-
Sha‟rāwī tidak membandingkan dengan Q.S. Fuṣilat [41]:
6. Dan sebaliknya ketika al-Sha‟rāwī menafsirkan Q.S.
Fuṣilat [41]: 6, dia tidak membandingkannya dengan Q.S.
Al-Kahfi [18]:110. Padahal ketika menafsirkan dua ayat
ini, al-Sha‟rāwī menggunakan beberapa ayat lain untuk
menjelaskan kandungannya.
Namun penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap dua ayat di atas
dapat dipahami, bahwa Q.S. Al-Kahfi [18]:110 merupakan
satu uraian dan Q.S. Fuṣilat [41]: 6 uraian yang
melanjutkannya, jadi lafaz yang mengalami pengulangan
yang berada pada konteks ayat yang berbeda itu bukan
merupakan pengulangan yang tanpa makna dan manfaat,
melainkan pengulangan itu sama lain membangun
penjelasan yang lebih utuh, pendapat ini juga yang
dikuatkan oleh Neuwrith.113
Ketika menafsirkan pengulangan pada pada Q.S. Al-
Kahfi [18]:110, al-Sha‟rāwī memulainya dengan
112
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī, ,,,h. 5395.
Dan lihat: Angelika Newrith, “Referentialitity and Textualit in Sūrat
al-Ḥijr,,,,h. 159-160. 113
Angelika Newrith, “Referentialitity and Textualit in
Sūrat al-Ḥijr,,,,h. 159-160.
182
menyatakan bahwa ini adalah uraian yang baru (hadhā
kalām jadīd), ini menandakan bahwa al-Sha‟rāwī
memahami betul bahwa lafaz pada ayat ini bukan
mengulangi, melainkan objek yang diulangi. menurut al-
Sha‟rāwī bahwa tujuan dari ayat ini adalah seruan untuk
manusia mengambil suri tauladan dari Nabi Muḥammad,
yang merupakan dari kelompok manusia sama seperti
mereka.114
Lafaz Tikrār yang ada pada Q.S. Al-Kahfi [18]:110
dihubungkan dengan penjelasan seorang hamba yang
melakukan amal shaleh akan mendapatkan balasan dari
Allah, berupa puncak kenikmatan yaitu syurga-Nya, pada
ayat ini, dijelaskan bahwa balasan dari amal saleh dapat
menghantarkan seorang hamba untuk mendapatkan
kenikmatan lebih tinggi dari nikmat syurga, yaitu bertemu
dengan Allah Swt. dan memandang dzat yang maha mulia,
jadi kesimpulan al-Sha‟rāwī, amal saleh dapat menjadi
wasilah atau perantara bagi seorang hamba untuk bertemu
dengan Allah. Uraian selanjutnya berupa larangan untuk
menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, menurut al-
Sha'rawi sesuatu disini termasuk dengan syurga, untuk
menguatkan argumennya ini, dia mengutip syair Rābi‟ah
al-'Adawiyah yang berbicara mengenai hakikat tujuan
dalam melakukan ibadah kepada Allah Swt. bukan
dikarenakan untuk mendapatkan kenikmatan syurga dan
menghindari siksa api neraka dan seruan dalil. menurutnya
al-Sha‟rāwī. syair ini menjelasakan hadis qudsi yang
berbicara mengenai "andaikan saya tidak menciptakan
syurga dan neraka..."115
Sedangkan pada Q.S. Fuṣilat [41]: 6, menurut al-
Sha‟rāwī lafaz “qul innamā ana’ bashar mithlukum yūḥā
114
M. Mutawallī al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī, ,,,h. 1012. 115
M. Mutawalli al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h. 9013-
9014.
183
ilayya annamā ilāhukum ilāh wāhid” merupakan
penolakan terhadap anggapan mereka, orang-orang
musyrik yang beranggapan bahwa ada perbedaan atau
sekat yang membedakan Nabi dan meraka,anggaapan
mereka itu untuk menghalangi dakwah Nabi Muḥammad
Saw. ini yang diuraikan pada ayat sebelumnya. Setelah
lafaz ini diteruskan dengan uraian berupa perintah untuk
beristiqomah untuk menuju Allah, Menurut al-Sha‟rāwī
istiqmah pangkal batas istiqomah itu tidak melenceng pada
ke kanan atau kiri atau bisa dipahami bahwa pergilah
kepadNya melalu jalan yang lurus (al-Mustaqim) dan jika
dalam perjalanan kepadanya mengalami lalai (ghaflah)
makan memohon ampunlah.116
Jadi dapat dipahami kalau
penafsiran dua ayat ini yang dilakukan oleh al-Sha‟rāwī
menghasilkan penafsiran yang berbeda tiap lafaznya baik
pada Q.S. Al-Kahfi [18]:110. Maupun pada Q.S. Fuṣṣilat
[41]: 6. Penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap lafaz tikrār pada
ayat di atas, sederhananya dapat digambarkan dengan
sebagai berikut:
Penafsiran/fokus
utama Lafaz Tikrār Uraian setelahnya
Ini adalah kalimat
baru (bukan
mengulangi)
Nabi Muḥammad
adalah Manusia yang
diberi wahyu
kepadanya, maka
dari itu setiap
manusia ambillah
suri tauladan darinya
ا أنا بشر قل إنمث لكم يوحى ا إلكم إل أن
إلو واحد
seorang hamba yang
melakukan amal shaleh
akan mendapatkan
balasan dari Allah,
berupa puncak
kenikmatan yaitu
syurga-Nya, pada ayat
ini, dijelaskan bahwa
balasan dari amal saleh
dapat menghantarkan
seorang hamba untuk
116
M. Mutawalli al-Sha‟rāwī, Tafsīr al-Sha’rāwī,,,,h.
13496-13498.
184
mendapatkan
kenikmatan lebih tinggi
dari nikmat syurga,
yaitu bertemu dengan
Allah Swt.
larangan untuk
menyekutukan Allah
dengan sesuatu pun,
termasuk dengan syurga
penolakan terhadap
anggapan ada
perbedaan atau sekat
yang membedakan
Nabi dan
meraka,anggapan
mereka itu untuk
menghalangi dakwah
Nabi Muḥammad
Saw. ini yang
diuraikan pada ayat
sebelumnya
ا أنا قل إنبشر م ث لكم يوحى ا إلكم إلو إل أن
واحد
perintah untuk
beristiqomah untuk
menuju Allah, melalui
jalan yang lurus (al-
mustaqim)
jika dalam perjalanan
kepadanya mengalami
lalai (ghaflah) makan
memohon ampunlah
Tabel No. 4.4 Tikrār pada Q.S. Al-Kahfi [18]:110. Dan
Fuṣilat [41]: 6.
Dari tabel diatas, dapat dipahami bahwa lafaz tikrār
yang secara tekstual sama, namun memiliki fokus utama
dan konteksnya berbeda, selain itu memiliki implikasi
yang berbeda, seteleh lafaz tikrār, memiliki uraian yang
berkesinambungan, maka ini membuktikan kesimpulan
yang berpendapat bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an
adalah tehnik al-Qur‟an dalam menghubugkan uraiannya,
atau dalam kesimpulan Dalia, pengulangan dalam al-
Qur‟an adalah salah satu cara al-Qur‟an dalam
mengkomunikasikan makna (repetition as a method of
185
communicating meaning in the Qurʾān).117
Dengan begini,
memahami pengulangan dalam al-Qur‟an adalah salah satu
cara untuk mendapatkan pemahaman makna al-Qur‟an
yang komprehensif, setelah mendapatkan pemahaman
makna dan maksud dari masing-masing lafaz yang terdapat
pada tiap ayat, setelah itu baru menghubungkan atau lebih
tepatnya menggali hubungan yang terdapat pada dua ayat
tersebut. Jadi dapat disimpulkan sebelum menggunakan
ilmu munāsabah (korelasi), terlebih dahulu mengeloborasi
lafaz tikrār, untuk lebih rincinya lihat gambar No. 2.2 pada
bab II.
Pendapat yang menyatakan bahwa pengulangan
merupakan cara al-Qur‟an membangun uraian dan
maknanya, pendapat semakna dengan ini disampaikan
oleh Neuwrith dan salah satu118
pendapat Richard Bell
terhadap pengulangan dalam al-Qur‟an, yang dikutip oleh
Mariana Klar, bahwa pengulangan adalah sebuah tehnik
stilistik yang digunakan al-Qur‟an dalam menghubungkan
uraian kandungan yang telah disampaikan sebelumnya (It
remains possible, however, that repetition might have been
utilised as a tylistic technique in order to connect new
117
Dalia Abo Haggar, “Repetition: A Key To Qur‟ānic
Style, Structure And Meaning," (Disertasi S3 The University Of
Pennsylvania, 2010), h. Vii. 118
Selain berpendapat bahwa pengulangan dalam al-Qur‟an
sebagai cara al-Qu‟an menghubungkan dengan uraian sebelumnya,
Richard Bell juga mempunyai kesimpulan bahwa pengulangan
dalam al-Qur‟an berfungsi untuk mengganti materi yang
diduplikasi/diulangi pada ayat yang berdekatan (The repetition of
the same rhyme-word or phrase in adjoining verses to replace the
other). Lihat: Marianna Klar, "Text-Critical Approaches to Sura
Structure: Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-
Baqara. Part Two," dalam Journal of Qur’anic Studies, 19.2 (2017),
h. 68-71.
186
sections of text to pre-existing material)119
artinya
pengulangan dipahami sebagai tehnik al-Qur‟an dalam
memformulasikan sebuah uraian tentang sebuah tema,
dalam hal ini (dua ayat di atas) adalah konsep kenabian
Nabi Muḥammad. Dalam membaca dan memahami uraian
al-Qur‟an akan beresiko mendapatkan pemahaman yang
parsial, jika memandang uraian yang diulangi dalam al-
Qur‟an merupakan pengulangan belaka tanpa ada makna.
Sedangkan menurut Neuwrith bahwa format uraian
yang diulangi tidak bisa hanya dipahami sebagai
pengulangan belaka yang tanpa makna tambahan,
melainkan pengulangan itu saling membangun satu sama
lain, pengulangan lafaz dengan konteks yang berbeda
sesungguhnya memberikan fokus makna yang baru.
(reiterated patterns do not constitute mere repetitions, but
rather build upon each other, their elements proving
functinal in creating ever new ensembles with new focuses
of meaning).120
Dari Uraian di atas, membuktikan bahwa
hasil penafsiran al-Sha‟rāwī terhadap aspek pengulangan
dalam al-Qur‟an kompatibel untuk dibaca menggunakan
framework ilmuwan dalam mengkaji tema ini.
119
Marianna Klar, "Text-Critical Approaches to Sura
Structure: Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat al-
Baqara. Part Two,,, h. 71. 120
Angelika Newrith, “Referentialitity and Textualit in
Sūrat al-Ḥijr,,,,h. 159-160.
187
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Sesuai dengan pertanyaan penelitian pada Bab I yang
kemudian penulis jabarkan pada Bab IV, maka kesimpulan
dari penelitian ini menghasilkan sebuah pemahaman dan
eloborasi terhadap tikrār fī al-Qur'ān.
Muṣhaf yang ada pada saat ini merupakan korpus
tertutup, yang artinya secara teks sudah final tetapi secara
konteks terbuka untuk ditafsirkan. Beberapa unsur aspek
dalam al-Qur’an sukar untuk diipahami atau lebih tepatnya
beresiko dipahami secara bias, beberapa di antaranya, huruf
muqaṭa’ah, sistematika ayat, dan pengulangan lafaz. Dalam
hal ini, kenyataan bahwa banyaknya pengulangan lafaz yang
terdapat pada mushaf al-Qur’an merupakan sebuah kenyataan
yang tidak bisa dielakkan, tentu unsur ini mendapatkan
perhatian dari banyak pihak, baik itu dari para peneliti di
pihak akademisi maupun dari para pakar, dari kajian yang
telah dilakukan pada pada bab-bab terdahulu, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, banyaknya pengulangan yang terdapat
dalam al-Qur’an memiliki makna pada masing-masing lafaz,
makna tersebut dipengaruhi oleh konteks yang berhubungan
pada lafaz tersebut.
Kedua, keliru jika menganggap bahwa lafaz yang
sama memiliki makna yang sama juga, dari hasil kajian yang
telah dilakukan, terbukti bahwa pengulangan hanya ada pada
tataran lafaz tidak sampai masuk pada ruang makna.
Ketiga, pengulangan lafaz dalam al-Qur’an bukanlah
hal yang hampa faedah, melainkan, pengulangan adalah salah
satu cara al-Qur’an dalam memformulasikan makna. Seorang
penafsir yang hendak memahami/menafsirkan dua ayat/lebih
yang membahas tema yang sama, sebelum dia menggunakan
188
ilmu munāsabah, terlebih dahulu dia harus menguraikan
distingsi dan kandungan yang terdapat pada lafaz tikrār pada
ayat tersebut, karena pada dua ayat atau lebih jika
membicarakan tema yang sama, sangat berpotensi di dalam
ayat tersebut terdapat pengulangan.
Keempat, eloborasi al-Sha’rāwī terhadap lafaz-lafaz
yang mengalami pengulangan bersifat aplikatif dibaca atau
dikaji menggunakan dengan framewok para ilmuwan yang
mengkaji tikrār.
Kelima, dalam mengkaji tikrār, al-Sha’rāwī
menerapkan beberapa pola, di antaranya: pola tikrār dalam
satu surah, tikrār dalam satu ayat dan tikrār dalam lintas
surah.
Keenam, al-Sha’rāwī mengeloborasi tikrār fī al-
Qur’ān menggunakan multi pendekatan, dalam contoh yang
dianalisa pada tulisan ini, al-Sha’rāwī menggunakan
pendekatan tauhid rubūbiyah dan ayat kawniyyah sebagai
basis uraian penafsiran tikrār yang dilakukannya.
B. Saran
Meskipun al-Sha’rāwī cukup berhasil dalam menggali
kandungan yang terdapat pada lafaz tikrār dalam al-Qur’an,
namun tidak bisa dipungkiri, tidak semua lafaz tikrār dalam
al-Qur’an dieloborasi oleh al-Sha’rāwī, maka perlu kajian
lanjutan, untuk melengkapi apa yang telah dilakukan oleh al-
Sha’rāwī.
Kajian mengenai Tafsir tematik banyak yang sudah
dilakukan, namun belum banyak penafsiran yang
mengkajinya dengan menggunakan ilmu tikrār sebagai basis
ilmu munāsabah yang diterapkan dalam metode tafsir
maudhui’.
189
Daftar Pustaka
Sumber: Buku
Abū „Ainain, Sā‟id, al-Sha‟rāwī al-Ladzī Lā Na‟rifuh , Kairo:
Akhbār al-Yaum T. th.
Abū Zahrah, Muḥammad, Mu‟jizah al-Kubrā al-Qur‟ān,
T.Tp.:Dār al-Fikr al-„Arabī, T. Th.
Adi Permono, Syaichul. Ilmu Tafsir Al-Qur‟an.
Surabaya:Bina Ilmu, 1975.
„Ammār, Aḥmad Sayyid Muḥammad, Naẓariyyat al-I„jaz al-
Qur‟ān wa Athāruhā fī al-Naqd al-„Arabi al-Qadīm.
Beirut: Dār al-Fikr Mu‟ṣirah, 1998.
„Alī, Atābik dan Aḥmad Zuhdī Muḥḍar, Al-„Aṣrī: „Arabī-
Indūnīsī, (Krapyak: Multi Karya Grafika, 1998).
Al-Andalusī, Ibn Mālik, Naẓm al-Khalaṣah al-Fiyyah Ibn
Mālik; fī al-Naḥw wa al-Ṣarf, Pekalongan: Maktabah
wa Matba‟ah Rājāmūrāh, T. th.
Arkoun, Mohammed, Tarīkhiyyah al-Fikr al-„Arabi al-Islām,
Beirut: Markaz al-inma, 1987.
Arberry, Arthur John, The Holy Koran: An Introduction with
Selections, Ethical & Religious Classics of the East
West, no. 9, London: George Allen and Unwin, 1953.
El-Awa, Salwa, “Linguistic Structure” dalam The Blackwell
Companion to the Qur‟ān, ed. Andrew Rippin, United
Kingdom: Blackwell, 2009.
Al-Baghdādī, Sulayman bin „Abd al-Qawī bin „Abd al-Karīm
al-Ṣirṣirī (W. 716 H./ 1216 M.), Al-Iksīr fī „Ilm al-
Tafsīr, Kairo: Maktabah al-Adāb, T. Th.
Al-Banjābī, al-Ghofūr ‟Abd al-Karīm, „Abd, al-Tawḍīh wa al-
Bayān fī Tikrār wa Tushābih Ay al-Qur‟ān,
Madinah: Maktabah al-'Uluum wa al-Hikaam, 1994.
Al-Barrī, 'Abd Allāh Khūrshīd, al-Qur‟ān wa „Ulūmuh fī
Miṣr, Mesir: Dār al-Ma‟ārif, 1969.
190
El-Awa, Salwa M. S. Textual relations in the Qur'an;
Relevance,Coherence dan Structre, Canada:
Routledge, 2006.
„Azamī, M. Muṣṭafā. The History of The Qur‟anic Text from
Revelation to Compilation A Comparative Study The
Old and New Testaments, Terj. Sohirin Solihin ,
Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Baidan, Nasruddin. Metode Penafsiran Ayat-ayat yang
Beredaksi Mirip dalam Al-Qur‟an. Pekan Baru: Fajarr
Harapan, 1993.
Bin Mahmud, Abd Allāh Mahmud, al-I`jaz al-bayani Wa al-
Tashrī`I wa al-Sabaq al-ilmi Li al-Qur`ān. Tanta: al-
Majdli al-Tsaqafah wa al-Ulum , 2008).
Boullata, Issa J., “Modern Qur‟anic Exegesis: A Atudy of
Bint al-Shati‟s Method”, dalam The Muslim World,
vol. LXIV.
Carlyle, Thomas, Heroes, Hero-Worship and the Heroic in
History, London: Chapman and Hall, 1899.
Cuypers, Michel, The Banquet: A Reading of the Fifth Sura of
the Qur‟an, Miami: ConviviumPress, 2009.
El-Fadhl, Khaled Abou, Atas Nama Tuhan, Dari Fiqh
Otoriter ke Fikih Otoritatif, Terj. Jakarta: Serambi,
2004.
Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj.
Farid Wajdi dan Cici Fakhra Assegaf, Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1994.
Hidayat, D., al-Balāghah lil-Jamī‟wa al-Shawāhid min Kalām
al-Badī‟; Balaghah Untuk Semua, Jakarta: Karya
Toha Putra dan Bina Masyarakat Qur‟ani Jakarta,
2002.
Al-Iskāfī, Khatīb, Durah al-Tanzīl wa Gurah al-Ta'wīl,
Tahqiq: Muḥammad Muṣtafā, Mekah: Maktabah al-
Mulk Fahd al-Watniyah Athnai al-Nashr, 2001.
191
Iyāzī, Muḥammad Alī, al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa
Manhajuhum, Teheran: Mu‟assasah al-Ṭaba‟ah al-
Naṣr, T.th.
Jazar, Muḥammad Yāsīn, Muḥammad Mutawallī al-Sha‟rāwī;
„Ālim `Aṣruh fî `Uyûn `Ashrih, Kairo: Maktabah al-
Turāth al-Islāmī, 1409 H.
Al-Jurjānī,„Abd al-Qāhir, Kitab Dala'il al-I'jaz, Cairo:
Maktabah al-Khanji, 2004.
Ibn al-Zubayr, Milāk al-Ta‟wīl. Libanon: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyah, 1971.
--------------------- Milak al-Ta‟wīl, Baerut: Dār kutub al-
'Ilmiyyah, 2006.
Fawzi, Maḥmūd, Minal-Qaryah ilā al-Qimmāḥ, Kairo: Dār
al-Nashr Hātīh, 1992.
Hawkes, Terence, Structuralism and Semiotics, Taylor &
Francis: e-Library, 2004.
Husnul, Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir; Kumpulan
Kitab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik Sampai Masa
Kontemporer, (Depok: Lingkar Studi al-Qur‟an: LSIQ
2013).
Ibn Qutaybah, Ta‟wīl Mushkil al-Qur‟ān, (Kairo: Dār al-
Turāth, 1180 H).
Ichwan, Moch Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur‟an;
Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta:
Teraju, 2003).
----------------, al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta:
eLSAQ, 2005).
Al-Jurjānī, ʿAbd al-Qāhir, DalāʾIl Al-IʿJāz, ed. Maḥmūd
Muḥammad Shākir, (Kairo: Maktabat al-Khanjī,
1984).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional,2008.
Al-Kirmānī , Maḥmūd bin Ḥamzah, Asrār al-Tikrār fī al-
Qur‟ān. T. Tp: Dār al-Faḍīlah, T.th. T.tp.
192
----------------------, al-Burhān fī Mutashābih al-Qur'ān,
Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1986.
Khalafullah, Muḥammad Aḥmad,. Al-Fann al-Qaṣaṣ fī al-
Qur‟ān al-Karīm, Terj. Zuhairi Misrawi dan Anis
Maftukhin, Jakarta: Paramadina, 2002.
Al-Khūlī, Amīn, Manāhij Tajdīd fī Naḥw wa al-Balāghah wa
al-Adab, Mesir: Dār al-Ma‟ārif, T.th.
Luxernberg, Cristoph, Syro-Aramaic Reading to The al-
Qur‟an: A Contribution to Decoding of The language
to The Koran. Berlin: Verlag Hans Schiler, 2004.
Maḥmūd, Abd Ḥālim, Manāhij al-Mufassirīn, Kairo: Dār al-
Kitab al-Miṣr, 2000.
Malkan, Dimensi Ilmiah Dalam Tasir Al-Sha‟rāwī: Suatu
Kajian Ayat Tentang Penciptaan Manusia, Jakarta:
Mazhab Ciputat 2016.
Martinet, Andre, Ilmu Bahasa : Pengantar, Terj. Rahayu S.
Hidayat. Yogyakarta: Kansius , 1987.
Moleong, Lexy J, Metodelogi Penelitian Kualitatif.
Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Mubarok, Zaki, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam
Tafsir al-Qur‟an Kontemporer “ala” M. Syahrur,
Yogyakarta: eLSAQ, 2007.
Al-Munjid, Muḥammad Nūr al-Dīn, al-Ishtirāk al-Lafẓī al-
Qurān al-Karīm: bayna al-Nadhriyah wa al-Taṭbīq,
Damaskus: Dār al-Fikr, 1999.
Mustaqim, Abdul, Epistimologi Tafsir Kontemporer.
Yogyakarta:LKIS, 2012.
Mustansir, Mir, Coherence in the Qurʾān: A Study of Iṣlāḥī‟s
Concept of Naẓm in Tadabbur-i Qurʾān, Indianapolis,
IN: American Trust Publications, 1986.
Al-Naysābūrī, „Abd Allāh bin Muḥammad bin al-Ḥākim,
Abū, Mustadrāk „Alā al-Ṣaḥīḥayn liḤākim, Kairo:
Dār al-Ḥaramayn, 1997.
Newby, D. (ed.), “Egypt” dalam A Concise Encyclopaedia of
Islam, Oxford: One World, 2002.
193
Nicholson, Reynold Alleyne, Literary History of the Arabs,
London: Cambridge U.P., 1969.
Al-Rawāwī, 'Abd al-Fattāḥ, Dalīl al-Ḥuffaẓ fī Mutashābih al-
Alfāẓ, Kairo: Maktabah al-Sunnah Bibawri Sa'īd, 2007. Rahman, Yusuf, “Ellipsis in the Qur‟ān: A Study of Ibn Qutaybah‟s
Ta‟wīl Mushkīl al-Qur‟ān” dalam Literary Structures of
Religion Meaning in the Qur‟ān, ed. Issa J. Boullatta, UK:
Curzon Press, 2000.
Al-Rāzī, Fakhr al-Dīn, Mafātiḥ al-Ghayb, Libanon: Dār al-
Fikr, 1981.
Riḍā, Muḥammad Rashīd, Tafsīr al-Qur‟ān al-Ḥakīm, Beirut:
Dār al-Fikr, T.th.
Saeed, Abdullah, Interprating The Qur‟an: Towards A
Contemporary Approach, London and New York:
Routledge, 2006.
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munāsabah al-Qur‟an,
Ciputat: Puspita Press, 2011.
Al-Ṣābūnī, Muḥammad „Alī, Ṣafwah al-Tafāsir, Beirut: Dār
al-Qur‟ān, 1981.
Setiawan, M. Nur Kholis, al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar,
Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.
Soroush, Abdul Karim, “The Evolution and Devolution of
Religious Knowledge”, dalam Charles Kurzman (ed.),
Liberal Islam: A Source Book, Oxford: 1998.
Al-Sha‟rāwī, M. Mutawallī, Tafsīr al-Sha‟rāwī: Khawāṭir
Faḍīlah al-Shaykh Muḥummad Mutawallī al-Sha‟rāwī
Ḥawl al-Qur‟ān al-Karīm, Kairo: Idārah al-Kutub wa
al-Maktabāt, 1991.
--------------, Mu‟jizah al-Qur‟ān , Mesir: Akhbār al-Yawm,
T. Th.
Sirry, Mun‟im, Islam Revisionis; Kontestasi Agama Zaman
Radikal, Yogyakarta: Suka Press, 2018.
----------------, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis Atas
Kritik Al-Quran Terhadap Agama Lain" Jakarta:
Gramedia, 2013.
194
Al-Suyūṭi, Jalāl al-Dīn, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān,
Damaskus: Dār al-Fikr, 1979.
-----------------, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān, Maktabah Nazār
Muṣṭafā al-Bāz, 200).
-------------------, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān, Arab Saudi:
Markaz al-Dirāsah al-Qur‟āniyah T. Th.
Al-Ṭaharawanah, Sulaymān. Rahasia Pilihan Kata dalam al-
Qur‟an, Terj. Agus faishal Kariem dan Anis
Maftukhin, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
Al-Sabt, Khālid bin „Uthmān, Qawā‟id al-Tafsīr, T.tp.:Dār
bin „Affān, T.th.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan dan
Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami
Ayat-Ayat Al-Qur‟an, Ciputat: Lentera Hati, 2015.
--------------, Tafsīr al-Misbāh,Ciputat: Lentera Hati, 2017.
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia,
Transliterasi dan Pembuatan Notes dalam Karya
Ilmiah. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014.
------------------Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi
Program Magister dan Doktor, Jakarta: Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Wadud, Amina, Qur‟an and Woman; Rereading the Sacred
Text From a Woman‟s Perspective, New York:
Oxford University Press, 1999.
Al-Wāḥidī, Abī al-Ḥasan „Alī bin Aḥmad (W. 468 H.), Asbāb
Nuzūl al-Qur‟ān, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1991.
Watt, W. Montgomery, Bell‟s Introduction to the Quran,
Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991.
Yunus, Mahmud, Tafsir Qur‟an Karim, Ciputat: Mahmud
Yunus wa Dzuriyyah, 2011.
Al-Zarkashī, Badr al-Dīn Abī „Abd Allāh Muḥammad, al-
Burhān fī „Ulūm, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah,
2007.
195
Zayd, Nasr Ḥamīd Abū, Kritik Wacana Agama,
Terj.Yogyakarta: Lkis, 2003.
Sumber: hasil Penelitian, Jurnal, Website dan
Aplikasi.
Abdul-Rahim, Roslan, “Naskh Al-Qur‟an: A Theological And
Juridical Reconsideration Of The Theory Of
Abrogation And Its Impact On Qur‟anic Exegesis,
Disertasi S3 the Temple University Graduate Board,
2011.
Amir, Selamat et.al., "Pentafsiran Saintifik dalam al-Quran:
Satu PengenalanTerhadap Metode al-Sha„rāwī dalam
Tafsīr al-Sha„rāwī, Tumpuan Surah al-An„ām Ayat
125" dalam Jurnal Usuluddin 42 , Juli – Desember
2015.
Alshdaifat, Abdallah Tayseer, “The Formation of Nominal
Derivatives in the Arabic Language With a View to
Computational Linguistics”, Disertasi-S3 University
of Salford, Salford, UK, 2014.
Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia versi lima.
El-Awa, Salwa, “Repitition in the Qur‟an: A Relevance Based
Explanation of the Phenomenon” Islamic Studies 42,
No. 4, 2003.
Badr al-Dīn, “Umaymah, al-Tikrār fī Hadīth al-Nabawī al-
Sharīf.” Jurnal Universitas Damaskus 26, 2010.
Baidan, Nasruddin, “Metode Penafsiran Ayat-Ayat Beredaksi
Mirip di Dalam Al-Qur‟an, Disertasi S3 Fakultas
Pasca Sarjana IAIN Syari HIdayatullah Jakarta:
Ciputat, 1990.
Bin Abdullah, Mustaffa dan Ahmad Zaki bin Ibrahim,
“Tawhid Uluhiyyah, Rububiyyah Dan Al-Asma‟ Wa
Al-Sifat Menurut Tafsiran Muhammad Rasyid Rida
Dalam Tafsir Al-Manar" dalam Jurnal Usuluddin,
20/07/2011.
196
Al-Barkah, Muḥammad bin, “al-Mutashābih al-Lafẓī fī al-
Qur'ān al-Karīm wa Tawjīh Dirasah Maudu'iyah”,
Tesis S2 Arab Saudi: Universitas Ibn Saud, 2009.
Bakar, Abu, “Pemikiran Tafsīr Mesir Modern J.J.G. Jansen
(Telaah atas Karya J.J.G. Jansen The Interpretetation
of The Koran In Modern Egypt),” dalam Al-Iḥkām,
Vol. VI, No. 1 Juni 2011.
Al-Jabalī, Muḥammad Rajāī Aḥmad, Tawjīh al-Mutashābih
al-Lafẓī fī al-Qur'ān al-Karīm bayna al-Qudamā wa al-
Muḥadthīn, Aḥmad al-Gharnāṭī wa Fāḍil al-Sāmiraī:
Dirāsah Muqaranah, Disertasi-S3 Jami'ah Malāyā
Akādīmiyah al-Dirāsāt al-Islamiyyah, 2012.
Bin Amir, Selamat, et.al., “Aplikasi Elemen Saintifik Dalam
Tafsir Al-Qur‟an: Satu Pengamatan Awal Terhadap
Manhaj Zaghlul Al-Najjar Dalam Tafsir Al-Ayah Al-
Kawniyyah Fi Al-Quran Al-Karim” dalam
Proceedings: The 2nd Annual International Qur‟anic
Conference 2012, (Centre of Quranic Research (CQR).
Dalhari, “Karya Tafsir Modern Di Timur Tengah Abad 19
Dan 20 M,” Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis
3, No, 1, juni 2013.
Dayeh, Islam, “Al-Hawāmīm: Intertextuality and Coherence
In Meccan Surahs” dalam, The Qur‟ān In Context:
Historical and Literary Investigations Into The
Qur‟ānic Milieu, ed. Angelika Neuwrith.
Dzikri Nirwana, "Peta Tafsir Di Mesir; Melacak
Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an dari Abad Klasik
Hingga Modern" dalam Jurnal Falasifa. Vol. 1 No.1
Maret 2010.
Haggar, Dalia Abo, “Repetition: A Key To Qur‟anic Style,
Structure And Meaning”, Disertasi-S3 di University
of Pennsylvania, 2010.
Hariyati, Jamiah, “Nilai-Nilai Pendidikan pada Kisah Qabil
dan Habil (Q.S. Mā‟idah [5]: 27-32),” dalam Edu
Riligia: Vol. 2 No.1, Januari - Maret 2018.
197
J.J.G.Jansen, “The Interpretation of The Koran in Modern
Egypt” Disertasi-S3 Rijksuniversiteit Leiden, 1972.
Fathurrahman, Oman. “al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam
Pesrpektif Toshihiko Izutsu.” Tesis Sekolah
PascaSarjana, Ciputat: 2010.
Gusmian, Islah, “Lompatan Stilistika dan Transformasi Dunia
Makna al-Qur‟an” Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. II, No.
2, 2007.
Hadianto, Andy, Repetisi Kisah Al Qur‟an(Analisis Struktural
Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat
Makkiyyah dan Madaniyyah), Disertasi-S3 Sekoalah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender pada
Tafsir al-Sha‟rāwī. Disertasi S3. pada Program
Pascasarjana UIN Jakarta, 2004.
Al-Jabālī, Muhammad Rajāī Aḥmad, “Taujīh al-Mutāshabih
al-Lafdhī fi al-Qur‟an al-Karīm; Bayna al-Qudamā wa
al-Muḥaddithīn, Aḥmad al-Gharnāṭī wa Fāẓil al-
Samurāī; Dirāsah Muqaranah,” (Akādīmiyyah al-
Dirāsah al-Islāmiyah, jāmi'ah malāya, 2012.
J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern
Egypt, Disertasi S3 di Rijksuniversiteit Leide tahun
1972.
Jayne Gottlieb Brinton, Jacquelene, Preaching Islamic
Renewel: Shyakh Muhammad Mutawalli al-Sha and
The Synchronization of Revelation adn Contemporary
Life, Disertasi- S3 di University of Virginia, 2009.
----------------- “Preaching and the epistemological
enforcement of ‘ ulama'’ authority: The sermons of
Muhammad Mutawalli al-Sha‟rāwī ." Intellectual
Discourse, Vol 19, No 1, 2011.
-------------------- “Religion, National Identity and
Nation Building: Muḥammad Mutwallī al-Shaʿrāwī‟s
Concept of Islam and Its Ties to Modern Egyptian
Politics. " Comparative Islamic Studies, 10.1, 2014.
198
Kartika, Lili, et.al., “Analisis Hubungan Zonal dan Angin
Meridional Lapisan 850 Milibar Terhadap Curah
Hujan Di Sumatera Barat, ” dalam Pillar of Physics,
Vol. 8. Oktober 2016.
Khaldun, Rendra, "Sebuah Upaya untuk Menemukan Makna
Kehendak Tuhan dalam Teks Agama," dalam Jurnal
Edu-Islamika,Vol.3 No.1 Maret 2012.
Klar, Marianna, "Text-Critical Approaches to Sura Structure:
Combining Synchronicity with Diachronicity in Sūrat
al-Baqara. Part Two," dalam Journal of Qur‟anic
Studies 19.2 (2017).
Mudhiah, Khoridatul, “Menelusuri Makna Pengulangan
Redaksi Dalam Surat al-Raḥmān,” Hermeunetik 8, no
1, Juni 2014.
Neuwrith, Angelika, “Referentialty and Textuality in al-Ḥijr:
Some Observations on The Qur‟anic Canonical
Process and Emergency of a Community,” dalam
Literary Structures of Religious Meaning in the
Qur‟ān, ed. Issa J. Boullata, Richmond: Curzon,
2000.
Nahri, Delta Yaumin, “Ta‟wīl Ibn Al-Zubayr Terhadap
Mutashābih Al-Lafẓ dalam al-qur‟an,” Mutawātir:
Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis 4, no 1, Juni 2014.
Nahri, Delta Yaumin, “Ta‟wīl Ibn Al-Zubayr Terhadap
Mutashābih Al-Lafẓ dalam al-qur‟an,” Mutawātir:
Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis 4, no 1, Juni 2014.
Nirwana, Dzikri, "Peta Tafsir Di Mesir; Melacak
Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an dari Abad Klasik
Hingga Modern" dalam Jurnal Falasifa. Vol. 1 No.1
Maret 2010.
Muḥammad, „Abd al-Raḥmān, “al-Tikrār Muḍāhiruh wa
Asrāruh,” Tesis Ummu al-Qurā University, 1983.
Yunus, Muhammad Rafii, “Modern Apprpaches to the Study
of I‟jaz al-Qur‟ān,” Disertasi The University of
Michigan, 1994.
199
Rahman, Yusuf ” The Miraculous Nature of Muslim
Scripture: A Study of 'Abd Al-Jabbar "I'jaz al-
Qur'ān" Islamic Studies, Vol. 35, No. 4. Winter 1999.
--------------, “Tren Kajian al-Qur‟an di Dunia Barat”, Studi
Insania, April 2013. Vol. 1, No. 1.
--------------, "Akidah Sayyid Quṭb (1906-1966) dan
Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur‟an" dalam Jurnal
Tsaqafah, Vol. 7, No. 1, April 2011.
Salahuddin, Dimensi Kalam dalam Pemikiran Syekh
Muhammad Mutawalli Sya‟rawī. Tesis-S2 Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1997.
Sjadzili, Ahmad Fawaid, “Diskursus „Ulum al-Qur‟an di
Mesir Kontemporer,” dalam Studi al-Qur‟an, Vol. II,
No. 2, 2007.
Sokol, Leslie, “Don't Be Afraid to Ask for Help Giving and
getting help benefits everyone,” dalam
psychologytoday, diakses dari
https://www.psychologytoday.com/intl/blog/think-
confident-be confident/200909/dont-be-afraid-ask-help. Sovia, Sheyla Nichlatus, “Interpretasi Kontekstual (Studi
Pemikiran Hermeneutika al-Qur‟an Abdullah Saeed)”
dalam Dialogia, Vol. 13. No. 1, 2015.
El-Tahry, Nevin Reda, “Textual Integrity and Coherence in
the Qur‟an: Repetition and Narrative Structure in
Surat al-Baqara,” Disertasi S3, University Toronto,
2010.
Taufiq, Imam, "Nuansa Etis Dalam Surat al-Balad (Sebuah
Penafsiran Linguistik Model Bint al-
Syati‟)",Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari
2005.
Al-Tsabt, Khālid „Uthmān, Qawā‟id al-Tafsīr Jam‟an wa
Dirāsatan, Mesir: Dār Ibn „Affān, 1421 H.
Al-Thawnī, Hātif Barīhī Shiyā', "Dalālah al-Tikrār fī al-
Qur‟ān", dalam Majalah al-Qādisīyah li al-'Ulūm al-
Insāniyah, Vol. 11. No. 4, 2007.
200
Yunus, Badruzzaman M., “Tafsir al-Sya‟rāwī; Tinjauan
Terhadap Sumber, Metode dan Ittijāh,” Disertasi
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, .Jakarta: 2009.
Zayd, Naṣr Ḥamīd Abū, “The Textuality of the Koran” Islam
and Europe in Past and Present, NIAS, 1997.
Zulkarnain, Muhammad Iskandar, al-Ḥadhf dalam Penafsiran
Al-Qur‟an (Telaah Kritis atas Konsepsi al-Ḥadhf
dalam Pemaknaan Ayat), Tesis-S2 Pasca Sarjana
Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2017.
https://berkleycenter.georgetown.edu/people/salwa-el-awa
http://www.islamicstudies.harvard.edu/faculty/dalia-abo-
haggar/
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?act=view&buku_id
=92964&mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetai
l&typ=html
https://religiousstudies.ku.edu/jacquelene-brinton
https://geotimes.co.id/author/munim-a-sirry/
https://theology.nd.edu/people/faculty/munim-sirry/
https://www.geschkult.fuberlin.de/en/e/semiarab/arabistik/Se
minar/Mitarbeiterinnen-und-
Mitarbeiter/Professuren/Dayeh/index.html
201
GLOSARIUM
Al-waḥdah al- Mawḍū’iyyah: : Kesatuan tema, kesatuan tema-tema yang berserakandan menunjukkan bahwa dalam tema-tema tersebut tersusun satu kesatuan tema yang utuh dan tidak bertentangan satu sama lain. Ayat Kawniyyah : Sumber Ilmu Pengetahuan yang
bersumber dari segala hal tentang alam semesta.
Ayat Qur'āniyyah : Sumber Ilmu Pengetahuan yang bersumber dari kitab suci al-Qur‟an .
Asbāb al-Nuzūl : sesuatu yang menyebabkan satu ayat atau beberapa ayat diturunkan untuk membicarakan sebab atau menjelaskan hukum sebab tersebut pada masa terjadinya sebab itu.
Balāghah : Menyampaikan makna yang luhur secara jelas dengan menggunakan ungkapan bahasa yang benar serta fasih. Dua aspek yang menjadi kajian utama „Ilm Balāghah. Pertama, “lapisandalam” yaitu makna yang terdapat dalam fikiran mutakallim/pembicara. Kedua, “lapisan luar” yaitu berupa ujaran yang diutarak oleh mutakallim baik secara atau tulisan untuk menyampaikan makna.
Formulasi : Perumusan dalam bentuk/makna yang tepat. Ibrah : Pembelajaran yang bisa diambil dari sebuah teks,peristiwa dan fenomena. Ijtihādī : Penyusunannya berdasarkan ijtihd
202
para Sahabat Nabi dan Ulama (selain Allah dan Nabi).
Ishtirāk al-Lafẓī : Pembahasaan tekait dengan satu
lafaz yang sama tetapi memilki
makna yang berbeda.
Jinās : gaya bahasa yang
menggunakan “ulangan kata” Kesesuaian atau kemiripan dua lafaz dalam pengucapan sedangkan artinya berbeda.
Kontekstual : Sesuatu konsep yang berusaha untuk menerapkan sesuai dengan zamannya/konteksnya.
Kontemporer : Sesuatu yan bersifat kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Linguistik : Ilmu tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sabagai objek kajiannya. Munāsabah : Hubungan, keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al- Qur‟an. Mutashābih : Aspek dalam al-Qur‟an yang samar untuk dipahami kemungkinan memiliki banyak makna;
Mutashābih al-Lafẓī : Ayat atau lafaz yang
mengalami pengulangan secara lafaz,
maupun perbedaan yang dikarenakan
taqdim (dikedepankan) atau ta'khīr
(diterakhirkan) atau dengan tambahan
dalam ibarahnya.
Qaṣaṣ al-Qur’ān : Kisah-kisah yang terkandung dalam
al-Qur‟an.
203
Tafsīr Mawḍu’ī : Salah satu metode dalam menafsirkan
al-Quran , yaitu dengan cara menentukan
tema yang akan dibahas, lalu menghimpun
ayat-ayat al-Quran yang membicarakan tema
tersebut, lalu menyusun ayat itu berdasarkan
asbāb al- Nuzūl, dan menghubungkan
menganalisa hubungan dan kandungan dalam
ayat-ayat tersebut, dan pada akhir
menyimpulkan bagaimana ayat-ayat tersebut
berbicara tentang tema yang telah ditentukan
di awal. Tafsīr Taḥlilī :Cara menafsirkan al-Quran sesuai urutan mushaf disertai dengan analisa dari berbagai aspek, seperti, mufradat,
munāsabah, asbāb al-nuzūl dan masih banyak lagi, dengan metode ini, semua bagian ayat ditafsirkan, ruang lingkup metode tafsir ini sangat luas, metode ini mendalami ayat dari awal sampai akhir. Tafsīr Muqaran :Tafsir yang menjelaskan makna-makna
yang sukar untuk dipahami, yaitu dengan
cara membandingkan sejumlah ayat/lafaz
yang memiliki diksi kemiripan atau dengan
membandingkan pendapat para mufassir . Tawqifī :Penyusunannya (al-Qur‟an) berdasarkan Petunjuk dari Nabi
Tikrār :Ayat/lafaz yang mengalami pengulangan secara lafaz, maupun perbedaan yang dikarenakan taqdim (dikedepankan) atau ta'khīr (diterakhirkan) atau dengan tambahan dalam ibarahnya.
Semantik :Ilmu tentang makna kata dan
kalimat, pengetahuan mengenai seluk-
beluk dan pergeseran arti kata, bagi
struktur bahasa yang berhubungan dengan
204
makna dan ungkapan atau struktur suatu
wicara. Strukturalisme :Paham mengenai unsur-unsur
pembangun sebuah bangunan memiliki hubungan dan menempati posisi dalam sebuah tubuh yang kokoh.
‘Ulūm Al-Qur’ān :kumpulan disiplin ilmu yang dibutuhkan untuk memahami dan menggali kandungan dalam kitab suci al-Qur‟an.
205
Indeks
M
mufassir, 1, 2, 3, 9, 16, 59, 76
P
perjalanan, 43
‘
‘Abd al-Qāhir al-Jurjānī, 17, 68, 90
‘Ulūm al-Qur’ān, 2, 5, 20, 21, 30, 36, 63,
72, 73, 87, 96
A
Al-Sha’rāwī, 5, 15, 16, 43, 44, 45, 46, 48,
50, 51, 52, 53, 56, 78, 83, 84, 85, 86, 88,
89, 91, 98, 116
al-Zarkashī, 4, 5, 21, 82, 84
al-Zubayr, 6, 28
Amīn al-Khūllī, 1
Angelika Neuwrith, 10, 74, 92, 107
D
Dalia Abo Haggar, 12, 40, 41, 65, 68, 69,
70, 107
I
i`jāz al-Qur`ān, 5
Ibn Qutaybah, 3, 4, 13, 27, 29, 68, 69, 106
Ishtirāk al-Lafẓī, 21, 36, 37, 109
J
John Wansbrough, 11, 110
M
mufassir, 1, 2, 3, 9, 16, 59, 76
Munāsabah, 2, 21, 29, 30, 31, 32, 33, 80
mutashābih al-lafẓī, 6
P
perjalanan, 43
S
Salwa al-Awa, 10, 11
Salwa el-Awa, 10, 24, 38, 39, 40, 86, 107
T
Ta’wīl Mushkil al-Qur’ān, 4, 29, 68
Tafsīr al-Sha’rāwī, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11, 15,
16, 17, 18, 19, 20, 22, 44, 45, 47, 50, 51,
53, 54, 55, 56, 61, 71, 80, 83, 84, 85, 86,
87, 88, 89, 91, 92, 94, 95, 96, 98, 103,
110, 111, 115, 116, 117
‘
‘Abd al-Qāhir al-Jurjānī, 17, 68, 90
‘Aṣr al-Tadwīn, 59
‘Ulūm al-Qur’ān, 2, 5, 20, 21, 30, 36, 63,
72, 73, 87, 96
A
Abu Zayd, 36
Al-Sha’rāwī, 5, 15, 16, 43, 44, 45, 46, 48,
50, 51, 52, 53, 56, 78, 83, 84, 85, 86, 88,
89, 91, 98, 116
al-Zarkashī, 4, 5, 21, 82, 84
206
al-Zubayr, 6, 28
Amīn al-Khūllī, 1
Amina Wadud, 43
Angelika Neuwrith, 10, 74, 92, 107
D
Dalia Abo Haggar, 12, 40, 41, 65, 68, 69,
70, 107
G
Gabriel Said Reynolds, 37
I
i`jāz al-Qur`ān, 5
Ibn Jama’ah, 76
Ibn Qutaybah, 3, 4, 13, 27, 29, 68, 69, 106
Ishtirāk al-Lafẓī, 21, 36, 37, 109
J
John Wansbrough, 11, 110
M
mufassir, 1, 2, 3, 9, 16, 59, 76
Munāsabah, 2, 21, 29, 30, 31, 32, 33, 80
mutashābih al-lafẓī, 6
N
Nūr ‘alā Nūr, 45, 48, 49, 50, 53, 84
P
perjalanan, 43
S
Salwa al-Awa, 10, 11
Salwa el-Awa, 10, 24, 38, 39, 40, 86, 107
T
Ta’wīl Mushkil al-Qur’ān, 4, 29, 68
Tafsīr al-Sha’rāwī, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11, 15,
16, 17, 18, 19, 20, 22, 44, 45, 47, 50, 51,
53, 54, 55, 56, 61, 71, 80, 83, 84, 85, 86,
87, 88, 89, 91, 92, 94, 95, 96, 98, 103,
110, 111, 115, 116, 117
207
No Jilid Konten Halaman
1 I AL-Fātiḥāh s.d al-Baqarah 154 1-658
2 II Al-Baqarah 155 s.d ‘Alī ‘Imrān 13 659-1302
3 III ‘Alī ‘Imrān 14 s.d ‘Alī ‘Imrān 189 1945-1944
4 IV ‘Alī ‘Imrān 190 s.d al-Nisā’ 100 1945-2586
5 V Al-Nisā’ 101 s.d al-Mā’idah 54 2587-3228
6 VI Al-Māidah 55 s.d al-An’ām 109 3229-3870
7 VII Al-An’ām 110 s.d al-A’rāf 188 3871-4512
8 VIII Al-A’rāf 188 s.d Al-Tawbah 44 4513-5154
9 IX Al-Tawbah 45 s.d Yūnus 14 5155-5794
10 X Yūnus 15 s.d Hūd 27 5795-6432
11 XI Hūd 28 s.d Yūsuf 96 6433-7072
12 XII Yūsuf 97 s.d Al-Hāj 47 7073-7712
13 XIII Al-Hāj 48 s.d Al-Isrā’ 4 7713-8352
14 XIV Al-Isrā’ 5 s.d Al-Kahfi 98 8353-8992
15 XV Al-Kahfi 99 s.d Al-Anbiyā 90 8993-9632
16 XVI Al-Anbiyā 91 s.d Al-Nūr 35 9633-10272
17 XVII Al-Nūr 36 s.d Al-Qashash 29 10273-10912
18 XVIII Al-Qashash 30 s.d Al-Rūm 58 10913-11552
19 XIX Al-Rūm 59 s.d Al-Ahzāb 63 11553-12192
20 XX Al-Ahzāb 64 s.d Al-Shāffāt 138 12193-12832
Lampiran I
Konten Tafsir al-Sha’rāwī Perjilid dalam terbitan Akhbār al-Yawm
208
Lampiran II
Rekomendasi Lembaga Riset al-Azhar
الهر حي م ن ح الهر ه لل ا س م ب
Al-Azhar Islamic Research Academy
General Departement
ForResearching, Writting and
Translation
ازلألىر لإالاسمية الازحث مجم
الاامية أإرادلة واترلجمة التأليف للازحث و
بأاار زيلا زتلازر ي لطاا الاا هادرر اأسلتاذ ديسلأ/وبدا - وبركاتو ورح ة الله علكيم السال
الكريم الطران حزل زباطري : كتاب ومراجاة الالب صانا صفبح فاناء ىلع الشاراوي متزلي للايل محمد الشيخ ضفيةل : تأليف
طااة ىلع مان نم ولا سلإاالمية الاطدية رتاارض م فيو ام ليس اهذكزر الكتاب بأن نفيد . نااصة نفطتكم
الشررفة النازرة الاحلأدث الطرانية و االايت بكتابة التامة الانارة رضورة لعى التأكدي م . زهااقف الله
وبركاتو ورح ة الله علكيم السال و
الاا هادرر
والرتجمة الاحزث رادلإاة
رتحررا ي 1111/10/11 هزهااقف 00/01/ 1991
209
Lampiran III
Pernyataan al-Sha’rāwī dalam pembukaan kitab Tafsīr al-Sha’rāwī
الهر حي م ن ح الهر ه لل ا
س م ب ديسان محمد, رسلو ابمت رح تو و لعى لسم صلى الله و أن محمد, امدم الله امك انملع
.... باد و كتاب الله, عشت أين فيو رشف هتجلإادي , هجايد صحيلة , و الايمل , معري اصحد هفذا , و رعفاين
واجب وأدرت , ايمإين وفيت دهج كأزن دق لالى فيض الله , و ستطاال وتاكمتن لا كتاب الله لا و , بايد يأيت زباطر نم مفتاح ىذه بزاري كتزن نو نأ ساحان سأأل الله
ىداه هن دابره نالم نم الله ام ءنحد , و علهيا من لأارض و ررث الله ءاجعبو تىح ضطنت
كولايل نعم اللهو وحسبنا
رعشلاايو وتم لي محمد
210
211
Tentang Penulis
Angga Marzuki, lahir di Pandeglang,
01 Desember 1991. Memulai
pendidikan di Sekolah Dasar selama
lima tahun di SDN Palanyar Tiga dan
di tahun terakhir di SDN Palanyar
satu Kecamatan Cipeucang,
Kabupaten Pandeglang. Kemudian melanjutkan ke Jenjang
Madrasah Tsanawiyah di MTs Manbaul Hikmah, di sekolah ini
juga penulis menyelesaikan pendidikan Madrasah Aliyah, selama
penulis menjalani pendidikan Tsanawiyyah dan Aliyah, penulis
tinggal di pondok Pesantren Ma’had al-Shighor al-Islamy,
Gedongan, Cirebon. di bawah bimbingan guru Mulia Drs. KH.
Abuya Bisyri Imam M Ag. Setelah menghabiskan enam tahun,
penulis istirahat dari mondok dan melanjutkan ke jenjang
pendidikan berikutnya di tingkat Universitas, pada tahun 2010,
penulis mulai berstatus Mahasiswa di Universitas Negeri Syarif
Hiyatullah Jakarta, Alhamdulilah pada akhir tahun 2014 penulis
mengalami penyematana toga untuk tingkat ini.
Selama kuliah, penulis menyempatkan diri untuk
mengirimkan tulisan ke beberapa call paper, hanya dua tulisan
yang sempat lolos untuk dipresentasikan “Prinsip-Prisip dalam
Memilih Partai Politik pada Syair Nahdlah Karya Abu Fauzy
(Kyai Ma'shum) Pesantren Gedongan Cirebon.” Pada pagelaran
Muktamar Pemikiran Santri Nusantara yang diselenggarakan
oleh Kementerian Agama RI di tahun 2018. Dan “Nilai Budaya
dalam Ritual Ratib Samman di Lingga, Kepulauan Riau”
Sedangkan tulisan yang pernah dipublis antara lain:
sebuah Sebuah resensi buku, “Menuai Ajaran Islam ala M.
Quraish Shihab” dan “Meneguhkan Berislam di Negara
Pancasila” dan mengisi kolom Kamus Syariah, menjelaskan
makna dari kata “Syukur”.
“Fenomena Perceraian dan Penyebabnya:Studi Kasus
Kota Cilegon” dalam Jurnal Bimas Islam Vol. 9, no. 4, 2016.
212
“Rekonstruksi Penafsiran Ayat Amtsâl tentang
Tumbuhan dalam Membangun Karakter Individu (Studi
Pemikiran Ibn 'Âsyur di Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr)”
Dan “Prinsip Memilih Partai Politik: Kajian atas Syair
Nahḍah Karya K.H. Ma’shum Sirojdj Pesantren Gedongan,
Cirebon” Jurnal Lektur Keagamaan Vol. 17, No. 2, 2019. dalam
Jurnal Bimas Islam Vol. 10, No. 2, 2017. Penulis bisa dihubungi
lewat e-mail: anggamarzuki@gmail.com
Recommended