View
229
Download
6
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Gelandangan
Gelandangan merupakan bagian dari fenomena dalam masyarakat
yang tidak dapat dipisahkan dari realitas kehidupan masyarakat.
Pengaturan tentang Fakir miskin dan anak-anak terlantar secara umum
yaitu ada di dalam Pasal 34 (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) menentukan bahwa: “ Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
dipelihara oleh negara” Berdasarkan rumusan pasal tersebut negara lah
yang berperan memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Sebagai pelaksana dari Pasal 34 (1) UUD 1945 tersebut
selanjutnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2011
tentang Penanganan Fakir Miskin Dalam ketentuan Umum Undang-
Undang ini yang dimaksud dengan Fakir miskin adalah orang yang
sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau
mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan
dirinya dan/atau keluarganya. Fakir miskin kurang mendapatkan
kesejahteraan sehingga perlu adanya perlindungan sosial.
Kesejahteraan sosial ini wujud dari adanya perlindungan sosial
seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (9) UU No.11 Tahun 2009 Tentang
kesejahteraan sosial menentukan bahwa: “Perlindungan Sosial adalah
semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko
dari guncangan dan kerentanan sosial”. Kewajiban memelihara dari
negara untuk mewujudkan kesejahteraan bagi gelandangan dan
pengemis.
Munculnya gelandangan di lingkungan perkotaan merupakan
gejala sosial budaya yang relatif menarik. Pada umumnnya gejala
tersebut dihubungkan dengan perkembangan lingkungan perkotaan.
1
Kondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya
dikotomi antara kehidupan “resmi’ kota dan kehidupan lain yang
berbeda atau berseberangan dengan konstruksi kehidupan “resmi”.
Kedatangan kaum gelandangan ini disebabkan karena tekanan
pajak atau penyitaan tanah oleh negara didaerah asal kaum Fakir dan
terlantar tersebut. Kebiasaan para gelandangan mengembara, seperti
sebagian besar masyarakat tradisonal pada umumnya. Kebiasaan ini
pun muncul dengan adanya urbanisasi dari berbagai tempat menuju ke
kota besar sebagai tempat bagi orang-orang yang mengadu nasib
sebagai pendatang, walaupun tekanan-tekanan eksternal yang dialami
para gelandangan di kota Besar untuk sekedar bertahan hidup
sangatlah sulit serta keberadaan kaum gelandangan di daerah
perkotaan cukup banyak, namun pada kenyataannya jumlah
gelandangan juga tidak berkurang.
Kondisi hidup dijalanan yang relatif keras dan penuh dengan
tekanan-tekanan dari masyarakat luar cenderung mengarahkan mereka
untuk sekedar dapat memenuhi kebutuhan makannya saja. Dalam
keterbatasan “ruang hidup” sebagai gelandangan tersebut, mereka
berusaha untuk sekedar dapat bertahan hidup di daerah perkotaan
dengan berbagai macam cara.
Perjuangan hidup sehari-hari sehari-hari mereka mengandung
resiko yang cukup berat, tidak hanya karena tekanan ekonomi, tetapi
juga tekanan sosial-budaya dari masyarakat, kerasnya kehidupan
jalanan, dan tekanan dari aparat ataupun petugas ketertiban kota.
2. Anak Putus Sekolah
Pada masa seperti ini pendidikan merupakan suatu kebutuhan
primer, dimana dalam memasuki era globaliasi seperti sekarang ini
pendidikan setinggi mungkin untuk mengejar teknologi yang semakin
canggih. Tetapi disisi lain, ada sebagian masyarakat tidak dapat
mengenyam pendidikan secara layak, baik dari tingkat dasar sampai
jenjang yang lebih tinggi. Selain itu juga ada sebagian masyarakat
2
yang sudah dapat mengenyam pendidikan dasar namun pada akhirnya
putus sekolah juga.
Ada banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tidak dapat
mengenyam pendidikan atau yang putus sekolah seperti diantaranya
keterbatasan dana pendidikan karena kesulitan ekonomi, kurangnya
niat seorang individu untuk mengenyam pendidikan, kurangnya
fasilitas pendidikan di daerah terpencil atau daerah teertinggil dan
selain itu karena adanya faktor lingkungan (pergaulan). Seperti yang
dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 195 pada salah
satu butir yang tercantum di sana dijelaskan
bahwa adanya pencerdasan kehidupan bangsa, jadi bagaimana
sekarang sikap pemerintah dan masyarakat harus dapat menyikapi hal
tesebut, karena secara tidak langsung orang yang tidak mengenyam
pendidikan formal akan dekat dengan kebodohan dan kemiskinan.
Dampak kemiskinan itu terjadi karena daya nalar orang dan mental
orang yang tidak perpendidikan sangatlah berbeda dengan orang yang
berpendidikan. Jangankan untuk mencari atau melamar pekerjaan
untuk membaca dan menulis saja mereka kesulitan. Dan dari sisi
mental mereka yang tidak mengenyam pendidikan akan merasa malu
dan minder untuk berkompetisi dengan orang yang mengenyam
pendidikan. Pada akhirnya mereka akan tersisih karena keterbatasan
mereka tersebut. Jadi secara garis besar pendidikan itu sangat penting
untuk menunjang karir dan cita-cita di masa depan. Selain itu juga
dapat merubah pola atau karakter hidup didalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Untuk menghadapi hal tersebut, pemerintah Indonesia mempunyai
program Wajib Belajar 9 tahun Program ini didasari konsep
“pendidikan dasar untuk semua” (universal basic education), yang
pada hakekatnya berarti penyediaan akses yang sama untuk semua
anak. Hal ini sesuai dengan kaedah-kaedah yang tercantum dalam
3
Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak, dan
tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak (Prayitno, 2000).
Melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan, dan
keterampilan dasar yang perlu dimiliki semua warga negara sebagai
bekal untuk dapat hidup dengan layak di masyarakat dan dapat
melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi baik ke
lembaga pendidikan sekolah ataupun luar sekolah. anak putus sekolah
adalah murid yang tidak dapat menyelesaikan program belajarnya
sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak tamat menyelesaikan
program belajarnya. Dengan wajib belajar, mereka akan dapat
menjalani hidup dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Di
samping itu, menurut May (1998) adalah merangsang aspirasi
pendidikan orangtua dan anak yang pada gilirannya diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara nasional. Untuk itu,
target penyelenggaraan W-9-T bukan semata-mata untuk mencapai
target angka partisipasi secara maksimal, namun perhatian yang sama
ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar yang
sekarang ini masih jauh dari standar nasional.
3. Anak Jalanan
Anak jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa (secara
fisik dan psikis) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di
jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang
guna mempertahankan hidupnya yang terkadang mendapat tekanan
fisik atau mental dari lingkunganya. Umumnya mereka berasal dari
keluarga yang ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan
berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan
kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga
memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif. Ketika
mereka dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu
pelaku kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah
4
berperan serta menjadikan anak-anak sebagai korban tak
berkesudahan. Menghapus stigmatisasi diatas menjadi sangat penting.
Sebenarnya anak-anak jalanan hanyalah korban dari konflik keluarga,
komunitas jalanan, dan korban kebijakan ekonomi permerintah yang
memberatkan rakyat. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak
jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk
mendorong pihak-pihak diluar anak jalanan agar menghentikan aksi-
aksi kekerasan terhadap anak jalanan.Sesuai konvensi hak anak-anak
yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rightsof the Child),
sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990,
menyatakan bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-
anak, maka mereka memerlukan perhatian dan perlindungan.
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan
sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan
merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam
kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak
jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat
dan negara.
Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum
begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka
adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya,
sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat,
beradab dan bermasa depan cerah. Begitu pula kiranya anak jalanan
yang memerlukan perhatian dan perlindungan terhadap hak-haknya
sebagai anak bangsa untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan
pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap warga
negaraberhak mendapat pengajaran. Melihat isi dari pasal 31 ayat 1
tersebut sangat bertolak belakang dengan yang dialami anak jalanan.
Mereka hampir tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan
pengajaran. Ironisnya di tengah pendidikan bagi anak jalanan yang
terabaikan, DPR justru berencana mendirikan gedung baru yang
5
megah dengan alasan “kinerja”. Sepertinya akan lebih bijak apabila
dana tersebut digunakan untuk mendirikan sekolah untuk anak jalanan,
memberikan honor bagi pengajar, dan penyediaan sarana belajar
mengajar untuk mereka. Akan tetapi dibalik hal tersebut kita
patut bangga karena kepedulian masyarakat Indonesia terhadap
pendidikan justru semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dari banyaknya
masyarakat yang mengabdikan diri sebagai pengajar di sanggar yang
telah didirikan.
Sebagai manusia yang tengah tumbuh-kembang, anak memiliki
keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan tersebut yang
merupakan hak anak. Orang dewasa termasuk orang tuanya,
masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak
tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya
termasuk keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak
tersebut. Seperti misalnya pada keluarga miskin, keluarga yang
pendidikan orang tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi
orang tua akan keberadaan anak, dan sebagainya. Pada anak jalanan,
kebutuhan dan hak-hak anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan
baik. Untuk itulah menjadi kewajiban orang tua, masyarakat dan
manusia dewasa lainnya untuk mengupayakan upaya perlindungannya
agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara optimal.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam merumuskan hak-hak anak.
Respon ini telah menjadi komitmen dunia international dalam melihat
hak-hak anak. Ini terbukti dari lahirnya konvensi internasional hak-hak
anak. Indonesiapun sebagai bagian dunia telah meratifikasi konvensi
tersebut. Keseriusan Indonesia melihat persoalan hak anak juga telah
dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak. Tanpa terkecuali, siapapun yang termasuk
dalam kategori anak Indonesia berhak mendapatkan hak-haknya
sebagai anak.
6
Pekerjaan sosial (social welfare) sekarang ini telah dianggap
sebagai suatu profesi. Suatu profesi tentunya mempunyai metoda
beserta teknik-teknik dalam melaksanakan profesinya demi mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Salah satu metoda dalam praktik profesi
pekerjaan sosial adalah Case Work. Case Work dikenal sebagai suatu
metoda utama dalam lingkup pekerjaan micro, yakni lingkup pekerjaan
sosial yang berhubungan dengan idividu dan keluarga; disamping
group work (lingkup mezzo; kelompok dan organisasi), dan Communty
Organization/Community Development; CO/CD (lingkup macro;
masyarakat).
Melalui laporan ini, akan diperoleh data awal terkait dengan
gelandangan, anak putus sekolah, dan anak jalanan. Data awal ini
terkait dengan permasalahan yang mereka hadapi dan bagaimana
dinamika kehidupannya.
B. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah Pekerjaan Sosial
dengan Individu dan Keluarga.
2. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai:
a. Gelandangan
1) Pengertian Gelandangan
2) Gambaran Umum Gelandangan
3) Faktor Penyebab Gelandangan
4) Penyimpangan Perilaku yang Ditimbulkan Gelandangan
5) Usaha untuk Menanggulangi Gelandangan
b. Anak Putus Sekolah
1) Pengertian anak putus sekolah
2) Hak Anak Akan Pendidikan
3) Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah
4) Akibat Anak Putus Sekolah
5) Penanggulangan Anak Putus Sekolah
7
c. Anak Jalanan
1) Pengertian Anak Jalanan
2) Karakteristik Anak Jalanan
3) Ciri-Ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan
4) Faktor Timbulnya Anak Jalanan
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GELANDANGAN
1. Pengertian
Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No. 8 Tahun 2012
didefinisikan bahwa gelandangan adalah orang-orang yang hidup
dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak
dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan
tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.
Kriteria :
a. tanpa Kartu Tanda Penduduk (KTP);
b. tanpa tempat tinggal yang pasti/tetap;
c. tanpa penghasilan yang tetap; dan
d. tanpa rencana hari depan anak-anaknya maupun dirinya.
2. Gambaran Umum Gelandangan
Menurut Muthalib dan Sudjarwo (dalam IqBali, 2005) diberikan
tiga gambaran umum gelandangan yaitu:
a. sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya,
b. orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai,
c. orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan
dan keterasingan.
3. Faktor Penyebab Gelandangan
Dari beberapa hasil pengamatan terhadap gelandangan, dapat
disebutkan bahwa penyebab munculnya gelandangan di kota kota
besar dibedakan kedalam faktor intern dan faktor ekstern.
a. Faktor Intern
Faktor intern meliputi hal-hal berikut ini seperti faktor malas, tidak
mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik, dan
adanya cacat psikis (jiwa).
9
b. Faktor Ekstern
Faktor ekstern terdiri dari faktor ekonomi, geografi, sosial,
pendidikan, psikologis, kultural, lingkungan dan agama. Faktor
ekstern ini adalah faktor yang utama dan rentan untuk melahirkan
gelandangan, selanjutnya dapat dijelaskan dibawah ini:
1) Faktor ekonomi
Kurangnya lapangan pekerjaan, kemiskinan dan akibat
rendahnya pendapatan perkapita serta tidak tercukupinya
kebutuhan hidup
2) Faktor geografi
Daerah asal yang minus dan tandus sehingga tidak
memungkinkan pengolahan tanahnya
3) Faktor sosial
Arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya
partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosial.
4) Faktor pendidikan
Relative rendahnya pendidikan menyebabkan kurangnya bekal
dan keterampilan untuk hidup layak, kurangnya pendidikan
informal ddalam keluarga dan masyarakat
5) Faktor psikologis
Adanya perpecahan atau keretakan dalam keluarga dan
keinginan melupakan pengalaman atau kejadian masa lampau
yang menyedihkan serta kurangnya gairah kerja
6) Faktor lingkungan
Pada gelandangan yang telah berkeluarga atau mempunyai
anak, secara tidak langsung sudah nampak adanya pembibitan
gelandangan
7) Faktor agama
Kurangnya dasar dasar ajaran agama sehingga meyebabkan
tipisnya iman, mebuat mereka tidak tahan mengahadapi cobaan
dan tidak mau berusaha untuk keluar dari cobaan itu.
10
4. Penyimpangan Perilaku yang Ditimbulkan Gelandangan
Ada beberapa penyimpangan prilaku yang ditimbulkan oleh fenomena
gelandangan dibawah ini adalah ;
a. Melakukan perbuatan miras, misalnya alkoholisme dan narkoba
serta sering mabuk mabukan.
b. Melakukan tindakan kriminal, misalnya penodongan,
penjambretan, pencurian, pencopetan, pemalakan dan perkelahian.
c. Melakukan tindakan asusia, misalnya pemerkosaan, pencabukan
dan bahkan bagi yang wanita terjerumus menjadi WTS
d. Melakukan perbuatan mengemis dan pemulung
5. Usaha untuk Menanggulangi Gelandangan
Dalam PP No. 31/ 1980 terdapat usaha untuk menanggulangi
adanya Gelandangan. Adapun usaha yang perlu dilakukan adalah:
a. Usaha Preventif
Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi
penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian
bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai
pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan
pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya:
1) pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-
keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit
penghidupannya;
2) meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan
pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya;
3) pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para
gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan telah
ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah
dikembalikan ke tengah masyarakat.
11
b. Usaha Represif
Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik
melalui lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan
pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di
dalam masyarakat.
c. Usaha Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi adalah usaha-usaha yang terorganisir
meliputi usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan
pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik
ke daerah-daerah pemukiman baru melalu transmigrasi maupun ke
tengah- tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut,
sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis,
kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai
dengan martabat manusia sebagai Warga negara Republik
Indonesia.
Usaha penanggulangan di atas termasuk ke dalam strategi-
strategi yang dikemukakan oleh Midgley (1993) dalam ide
pembangunan sosial yang membagi ideology pembangunan sosial ke
dalam tiga jenis, yaitu :
a. Strategi Individualis
Berfokus kepada aktualisasi diri dan perbaikan diri sendiri.
b. Strategi Collectivist
Berfokus pada pendekatan perkembangan dalam organisasi dan
pendekatan institusional.
c. Strategi Populasi
Perencanaan berfokus kepada aktivitas skala kecil di dalam
masyarakat lokal.
12
B. ANAK PUTUS SEKOLAH
1. Pengertian
Menurut Departemen Pendidikan di Amerika Serikat (MC Millen
Kaufman, dan Whitener, 1996) mendefinisikan bahwa anak putus
sekolah adalah murid yang tidak dapat menyelesaikan program
belajarnya sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak tamat
menyelesaikan program belajarnya.
Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami
keterlantaran karena sikap dan perlakuan orang tua yang tidak
memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang
anak tanpa memperhatikan hak–hak anak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak.
2. Hak Anak Akan Pendidikan
Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak.
Hak ini wajib dipenuhi dengan kerjasama paling tidak dari orang tua,
siswa, lembaga pendidikan dan pemerintah. Pendidikan akan mampu
terealisasi jika semua komponene yaitu orang tua, lembaga
masyarakat, pendidikan dan pemerintah bersedia menunjang jalannya
pendidikan.
Hak kewajiban anak tertuang dalam UU Perlindungan anak :
“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi (4). Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai
identitas diri dan status kewarganegaraan (5).Setiap anak berhak
untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, danberekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbinganorang tua
(6). Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan,dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (7 ayat 1).Setiap
anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan
sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (8).
13
Setiap anak berhak memperolehpendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan.
Pendidikan itu tanggung jawab semua masyarakat, bukan
hanyatanggung jawab sekolah. Konsekuensinya semua warga negara
memiliki kewajiban moral untuk menyelamatkan pendidikan.
Sehingga ketika ada anggota masyarakat yang tidak bisa sekolah hanya
karena tidak punya uang, maka masyarakat yang kaya atau tergolong
sejahtera memiliki kewajiban moral untuk menjadi orang tua asuh bagi
kelangsungan sekolah anak yang putussekolah pada tahun ini
mencapai puluhan juta anak di seluruh Indonesia.Pendidikan itu
dimulai dari keluarga. Paradigma ini penting untuk dimiliki oleh
seluruh orang tua untuk membentuk karakter manusia masa depan
bangsa ini.Keluarga adalah lingkungan yang paling pertama dan utama
dirasakan olehseorang anak, bahkan sejak masih dalam kandungan.
Karena itu pendidikan dikeluarga yang mencerahkan dan mampu
membentuk karakter anak yang solehdan kreatif adalah modal penting
bagi kesuksesan anak di masa-masaselanjutnya.
3. Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah
a. Faktor Ekonomi
Faktor yang menyebabkan anak putus sekolah yaitu faktor
ekonomi yakni mencapai 36%. Faktor ekonomi yang dimaksudkan
adalah ketidakmampuan keluarga si anak untuk membiayai segala
proses yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan atau
sekolah dalam satu jenjang tertentu. Walaupun Pemerintah telah
mencanangkan wajib belajar 9 tahun, namun belum berimplikasi
secara maksimal terhadap penurunan jumlah anak yang tidak dan
putus sekolah. Selain itu, program pendidikan gratis yang telah
dilaksanakan belum tersosialisasi hingga kelevel bawah.
Konsep gratis belum jelas sasaran pembiayaannya oleh
sekolah sehingga masih dianggap sebagai beban bagi keluarga
yang kurang mampu. Sebab, selain biaya yang dikeluarkan selama
14
sekolah anak harus mengeluarkan biaya untuk pakaian sekolah,
uang daftar, buku dan alat tulis lainnya, serta biaya transportasi
atau akomodasi bagi siswa yang jauh dari sekolah. Hal-hal tersebut
masih dianggap sebagai beban oleh orang tua sehingga membuat
mereka enggan untuk menyekolahkan anaknya. Selain itu, mata
pencaharian orang tua anak tidak dan putus sekolah sebagian besar
petani, sebagian kecil nelayan, buruh, serta terdapat orang tua
anak yang tidak memiliki pekerjaan (tetap). Perlu dikemukakan
bahwa terdapat sejumlah anak yang tidak dan putus sekolah
disebabkan oleh ketiadaan orang tua atau meninggal dunia. Jadi,
anak tersebut putus sekolah karena tidak adanya orang tua atau
pihak yang mau membiayai sekolah si anak. Jumlah anak yang
tidak dan putus sekolah karena orang tuanya meninggal dunia.
b. Rendahnya Atau Kurangnya Minat Anak Untuk Bersekolah
Faktor kedua yang menyebabkan anak tidak dan putus
sekolah adalah rendahnya atau kurangnya minat anak untuk
bersekolah, Rendahnya minat anak dapat disebabkan oleh
perhatian orang tua yang kurang, jarak antara tempat tinggal anak
dengan sekolah yang jauh, fasilitas belajar yang kurang, dan
pengaruh lingkungan sekitarnya. Minat yang kurang dapat
disebabkan oleh pengaruh lingkungan misalnya tingkat pendidikan
masyarakat rendah yang diikuti oleh rendahnya kesadaran tentang
pentingnya pendidikan. Ada pula anak putus sekolah karena malas
untuk pergi sekolah karena merasa minder, tidak dapat
bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya, sering dicemoohkan
karena tidak mampu membayar kewajiban biaya sekolah
dipengaruhi oleh berbagai faktor .Ketidak mampuan ekonomi
keluarga dalam menopang biaya pendidikan yang berdampak
terhadap masalah psikologi anak sehingga anak tidak bisa
bersosialisasi dengan baik dalam pergaulan dengan teman
sekolahnya selain itu adalah peranan lingkungan.
15
c. Kurangnya Perhatian Orang Tua
Rendahnya perhatian orang tua terhadap anak dapat
disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga atau rendahnya
pendapatan orang tua si anak sehingga perhatian orang tua lebih
banyak tercurah pada upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Persentase anak yang tidak dan putus sekolah karena rendahnya
kurangnya perhatian orang tua. Dalam keluarga miskin cenderung
timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan pembiayaan hidup
anak, sehingga mengganggu kegiatan belajar dan kesulitan
mengikuti pelajaran. Banyak sekali anak yang putus sekolah ini
diakibatkan karena keadan dirumahnya, biasanya dialami pada
masa SMP dan SMA, karena pada masa itu anak sedang mencari
jati dirinya sendiri, sehingga sangat sulit untuk dinasehati orang
tunya. Itu berakibat hubungan sang orang tua dengan anak menjadi
tidak harmonis lagi.
d. Ketiadaan Prasarana Sekolah
Faktor prasarana yang dimaksudkan adalah terkait dengan
ketidaktersediaan prasarana pendidikan berupa gedung sekolah
atau alat transportasi dari tempat tinggal siswa dengan sekolah.
Persentase anak yang putus sekolah yang disebabkan karena faktor
ketiadaan prasarana sekolah. Masalah ini sering terjadi di sekolah-
sekolah yang berada di pedesaan, maupun di wilayah pedalaman
seperti di hutan. Alat transportasi yang kurang serta jarak antara
rumah dengan sekolah yang cukup jauh. Faktor kelima yang
menyebabkan anak putus sekolah adalah fasilitas belajar yang
kurang memadai. Fasilitas belajar yang dimaksudkan adalah
fasilitas belajar yang tersedia di sekolah, misalnya perangkat (alat,
bahan, dan media) pembelajaran yang kurang memadai, buku
pelajaran kurang memadai, dan sebagainya. Kebutuhan dan
fasilitas belajar yang dibutuhkan siswa tidak dapat dipenuhi siswa
dapat menyebabkan turunnya minat anak yang pada akhirnya
16
menyebabkan putus sekolah. Faktor keenam, adalah budaya.
Faktor budaya yang dimaksudkan di sini adalah terkait dengan
kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Yaitu, rendahnya kesadaran
orang tua atau masyarakat akan pentingnya pendidikan. Perilaku
masyarakat pedesaan dalam menyekolahkan anaknya lebih banyak
dipengaruhi faktor lingkungan. Mereka beranggapan tanpa
bersekolah pun anak-anak mereka dapat hidup layak seperti anak
lainnya yang bersekolah. Oleh karena di desa jumlah anak yang
tidak bersekolah lebih banyak dan mereka dapat hidup layak maka
kondisi seperti itu dijadikan landasan dalam menentukan masa
depan anaknya. Kendala budaya yang dimaksudkan adalah
pandangan masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan tidak
penting. Pandangan banyak anak banyak rejeki membuat
masyarakat di pedesaan lebih banyak mengarahkan anaknya yang
masih usia sekolah diarahkan untuk membantu orang tua dalam
mencari nafkah.
e. Faktor Lainnya Adalah Kecacatan
IQ yang rendah, rendah diri, dan umur yang melampaui
usia sekolah. Persentase anak yang putus sekolah yang disebabkan
karena faktor ini sangat sedikit, yaitu kurang dari 1%. Begitu juga
untuk kategori anak tidak sekolah sama sekali, faktor penyebabnya
adalah karena ekonomi di samping faktor sarana, minat yang
kurang, perhatian orang tua yang rendah, dan fasilitas yang kurang.
Sebagian kecil anak yang tidak sekolah sama sekali disebabkan
karena cacat fisik.
4. Akibat Anak Putus Sekolah
a. Meningkatnya Pengangguran
Akibat putus sekolah dalam kehidupan sosial ialah semakin
banyaknya jumlah kaum pengangguran dan mereka merupakan
tenaga kerja yang tidak terlatih. Sedangkan masalah pengangguran
ini di negara kita merupakan masalah yang sudah sedemikian
17
hebatnya, hingga merupakan suatu hal yang harus ditangani lebih
serius.
b. Mengganggu Keamanan
Anak-anak yang putus sekolah dapat pula mengganggu
keamanan. Karena tidak ada kegiatan yang menentu, sehingga
kadang-kadang dapat menimbulkan kelompok-kelompok pemuda
liar. Anak-anak nakal dengan kegiatannya yang bersifat negatif,
seperti mencuri, memakai narkoba, mabuk mabukan, menipu,
menodong, dan sebagainya. Produktifitas anak putus sekolah
dalam pembangunan tidak seluruhnya dapat mereka kembangkan,
padahal semua anak Indonesia memiliki potensi untuk maju.
Akibat yang disebabkan anak putus sekolah sangat banyak,
diantaranya adalah kenakalan anak, tawuran, kebut-kebutan di
jalan raya, minum–minuman dan perkelahian, akibat lainnya juga
adalah perasaan minder dan rendah diri, banyak orang yang
menganggur. Itu dikarenakan banyak sekali anak yang tidak
mempunyai ijasah, maupun tidak adanya pembekalan skiil bagi
mereka yang putus sekolah. Hanya dengan generasi penerus yang
terdidik dan cerdas serta bermoral, maka hari depan bangsa bisa
dibayangkan titik terangnya. Namun pendidikan di Indonesia
semakin lama semakin mahal. Program pendidikan gratis yang
diterapkan pemerintah pun masih dianggap belum efektif dalam
meningkatkan pendidikan di Indonesia. Sehingga wajar bila
banyak anak-anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah akibat
masalah dana. Sebanyak 8 juta siswa SD sampai SLTP di seluruh
Indonesia terancam putus sekolah. Jumlah tersebut setara 20% -
40% siswa SD-SMP saat ini, yaitu sekitar 40 juta siswa.
5. Penanggulangan Anak Putus Sekolah
Persoalan putus sekolah merupakan tantangan bagi pekerja sosial.
Data dari susenas menyebutkan ratusan ribu pelajar terancam putus
sekolah, mereka berasal dari keluarga miskin. Anak usia sekolah dari
18
keluarga miskin inilah yang potensial keluar dari bangku sekolah
sebelum mengantongi ijazah. Solusi untuk menolong anak putus
sekolah yang tidak mampu yang baik adalah:
a. Kejar Paket
Diikutkan program Kelompok Belajar Paket A bagi mereka
yang tidak tamat SD dan B untuk yang belum tamat SMP.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) juga menyediakan
pendidikan alternatif untuk mereka yang kurang beruntung
tersebut. Namanya, pendidikan kesetaraan. Pendidikan kesetaraan
itu ditujukan untuk menunjang penuntasan wajar dikdas sembilan
tahun serta memperluas akses pendidikan menengah yang
menekankan pada keterampilan fungsional dan kepribadian
profesional. Pendidikan kesetaraan menjadi salah satu program
pada jalur pendidikan nonformal yang mengadakan pendidikan
umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA melalui program
Paket A, Paket B, dan Paket C. Di lapangan, program tersebut
sering mengombinasikan pendidikan aksara dan pembekalan
keterampilan. Untuk Paket A, pesertanya dibekali keterampilan
dasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Paket B
bertujuan memberikan bekal keterampilan untuk memenuhi
tuntutan dunia kerja. Adapun keterampilan untuk berwiraswasta
diberikan untuk peserta program Paket C. Pendidikan kesetaraan
itu bisa diselenggarakan oleh semua satuan pendidikan nonformal.
Misalnya, lembaga pelatihan, kursus, pusat kegiatan belajar
masyarakat (PKBM), majelis taklim, dan lain-lain.
Dalam dua tahun terakhir, pendidikan kesetaraan naik daun.
Itu seiring kebijakan Depdiknas yang memberikan kesempatan
kepada siswa SD hingga SMA sederajat yang tidak lulus ujian
nasional (unas) untuk mengikuti UNPK yang diadakan dua kali
dalam setahun. Dengan mengikuti UNPK Paket A, B, dan C,
mereka dapat memiliki ijazah setara sekolah formal SD/MI,
19
SMP/MTs, dan SMA/MA yang bisa digunakan untuk mendaftar di
sekolah formal dan perguruan tinggi serta mencari pekerjaan.
Pendidikan kesetaraan pun tak lagi dianggap kelas dua.Status
lulusan pendidikan kesetaraan memang telah dijamin sama dengan
lulusan pendidikan formal.
Disebutkan bahwa setiap orang yang lulus ujian kesetaraan
Paket A, Paket B, atau Paket C memiliki hak eligibilitas yang sama
dan setara dengan pemegang ijazah SD/MI, SMP/MTs dan
SMA/MA untuk dapat mendaftar pada satuan pendidikan yang
lebih tinggi. Garansi dari Mendiknas itu terbukti manjur. Cukup
banyak lulusan pendidikan kesetaraan Paket C yang mulus
melanjutkan studinya ke perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Bahkan, di Surabaya, ada seorang lulusan Paket C yang diterima
bekerja dan memegang jabatan penting sekelas manajer
operasional di sebuah minimarket.Bisa dibayangkan seperti apa
nasib mereka yang tak mampu mengakses pendidikan formal jika
tidak ada pendidikan kesetaraan. Mereka akan terpuruk selamanya
dalam kebodohan dan keterbelakangan. Pendidikan kesetaraan
telah menjadi lentera dalam kegelapan bagi mereka. Jadi, putus
sekolah bukan kiamat bagi mereka yang putus sekolah
C. ANAK JALANAN
1. Pengertian
Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No. 8 Tahun 2012
didefinisikan bahwa anak jalanan adalah anak yang rentan bekerja di
jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau anak yang bekerja dan
hidup di jalanan yang menghasilkan sebagian besar waktunya untuk
melakukan kegiatan hidup sehari-hari.
Kriteria :
a. menghabiskan sebagian besar waktunya dijalanan maupun
ditempat tempat umum; atau
20
b. mencari nafkah dan/atau berkeliaran di jalanan maupun ditempat-
tempat umum.
Menurut Shalahuddin (2000) anak jalanan adalah seseorang yang
berumur dibawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh
waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna
mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya.
Jadi, anak jalanan adalah seseorang yang berusia dibawah 18 tahun
yang hidup sebagian besar dihabiskan di jalanan tanpa ada pemantauan
dan hidup secara mandiri. Kehidupan anak jalanan bagi sebagian anak
jalanan mempunyai dampak yang positif misalnya anak menjadi tahan
kerja keras karena sudah terbiasa kena panas dan hujan, anak jalanan
bisa belajar bekerja sendiri, bertanggung jawab dan membantu
ekonomi orangtuanya.
Kategori anak jalanan berdasarkan hubungannya dengan keluarga
menurut (Tata Sudrajat dalam Shalahuddin 2004) dibagi 3 kelompok:
a. Children on the street
Adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan
yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua
kelompok anak dalam kategori ini, yaitu:
1) anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya dan senantiasa
pulang setiap hari, dan
2) anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di
jalanan namun masih mepertahankan hubungan dengan
keluarga dengan cara pulang baik secara berkala ataupun
dengan jadwal yang tidak rutin.
b. Children of the street
Adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar
waktunya di jalanan yang tidak memiliki atau memutuskan
hubungan dengan orang tua /keluarganya lagi.
21
c. Children in the street atau children from the families of the street
Adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan
yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan.
2. Karakteristik Anak Jalanan
a. Usia anak jalanan
Usia anak jalanan berperan dalam pembentukan perilaku
seseorang, karena usia berpengaruh dalam penerapan pola asuh
terhadap anak jalanan.
b. Jenis Kelamin Anak jalanan
Jenis kelamin anak jalanan mempengaruhi dalam berperilaku dan
didalam keluarga akan berbeda dalam menerapkan pola asuh. Anak
jalanan laki-laki lebih banyak dari pada anak jalanan perempuan.
c. Pendidikan Anak Jalanan
Kemampuan belajar yang dimiliki manusia merupakan bekal yang
sangat pokok. Sudah barang tentu tingkat pendidikan dapat
menghasilkan suatu perubahan dalam sikap tingkah laku yang
dapat di pandang bercorak negatif. Sebagaian besar pendidikan
anak jalanan masih rendah (SD sampai SMP), bahkan ada yang
putus. Anak jalanan setiap hari sibuk mencari nafkah atau berada
dijalanan sehingga tidak ada kesempatan untuk mendapatkan
pengetahuan tentang kesehatan system reproduksi yang benar.
d. Pekerjaan Anak Jalanan
Pekerjaan anak jalanan beraneka ragam, dimana kegiatan anak
jalanan laki-laki dan perempuan tidak berbeda yaitu mengamen,
menjual Koran atau asongan, membersihkan kaca mobil,
memulung, mencopet, memeras, mencuri, menemani orang berjudi
dan menawarkan jasa seksual. Anak jalanan tidak mengandalkan
satu jenis pekerjaan atau kegiatan tertentu saja untuk mendapatkan
uang atau makanan dalam rangka mempertahankan kelangsungan
hidupnya atau melindungi diri dari berbagai ancaman . Seiring
dengan aktivitas anak jalanan ini, maka mereka mempunyai
22
mobilitas yang tinggi. Sedangkan lama kerja anak jalanan
bervariasi, dimana anak jalanan bekerja 6-8 jam per hari, 9-12 jam
sampai 13 jam (Bagong, 2000).
e. Hubungan dengan Orang Tua
Pada anak jalanan yang tidak berhubungan dengan orang tuanya
sebanyak 16%, anak jalanan yang berhubungan tidak teratur
dengan orang tuanya sebanyak 41%, anak jalanan yang
berhubungan teratur dengan orang tuanya sebanyak 43% (DepKes,
2000).
3. Ciri-Ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan
Menurut Muis (2010) ciri-ciri fisik dan psikis anak jalanan
diantaranya yaitu sebagai berikut:
a. Ciri Fisik:
1) Warna kulit kusam
2) Rambut kemerah-merahan
3) Kebanyakan berbadan kurus
4) Pakaian tidak teruruS
b. Ciri Psikis:
1) Mobilitas tinggi
2) Acuh tak acuh
3) Penuh curiga
4) Sangat sensitive
5) Berwatak keras
6) Kreatif
7) Semangat hidup tinggi
8) Berani menanggung resiko
9) Mandiri
4. Faktor Timbulnya Anak Jalanan
Beragam faktor yang paling dominan menjadi penyebab
munculnya anak jalanan adalah faktor kondisi social ekonomi di
23
samping karena adanya faktor broken home serta berbagai faktor
lainnya.
Hasil penelitian Hening Budiyawati, dkk. (dalam Odi Shalahudin,
2000 :11) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak
pergi ke jalanan berdasarkan alasan dan penuturan mereka adalah
karena :
a. Kekerasan dalam keluarga.
b. Dorongan keluarga.
c. Ingin bebas.
d. Ingin memiliki uang sendiri, dan
e. Pengaruh teman.
24
BAB III
PEMBAHASAN
A. GELANDANGAN
1. Hasil Observasi
Observasi dilakukan pada hari Sabtu, 23 Mei 2015. Pertama-tama
saya bersama teman saya melakukan observasi di sekitar Alun-alun
Kota Bandung, kemudian kami juga menyusuri di sepanjang jalan
kepatihan. Kemudian kami melihat ada seorang bapak yang sudah
lanjut usia sedang duduk di pinggir jalan di dekat Yogya Kepatihan.
Kami mengamati kegiatan yang dilakukan oleh bapak tersebut selama
kurang lebih 15 menit. Selama waktu pengamatan tersebut, kami
melihat bahwa bapak tersebut adalah seorang pengemis. Beliau duduk
di emperan jalan dan di depannya terdapat kaleng bekas mie instan
untuk penandah uang. Selama 15 menit mengamati, kami melihat
banyak orang yang lalu lalang di depan bapak tersbut dan beberapa
orang memberikan sejumlah uang ke dalam kaleng. Jika ada uang
kertas dengan nominal yang cukup besar langsung dimasukkan ke
dalam saku bajunya. Lokasi tempat bapak tersebut panas sekali
terutama saat siang hari, sehingga hal itu membuat bapak tersebut
nampak dikasihani. Penampilan bapak tersebut juga terlihat lusuh dan
kurang terawat. Selain itu, beliau juga nampak bermasalah dengan
penglihatannya yang sebelah kanan. Mata sebelah kanan bapak
tersebut nampak selalu tertutup.
Berdasarkan pengamatan yang telah kami lakukan, kami
berinisiatif untuk mewawancarai bapak tersebut. Terutama untuk
mengetahui apakah bapak tersebut adalah seorang gelandangan, agar
sesuai dengan substansi yang kami butuhkan untuk memenuhi tugas
yang kami dapatkan.
25
2. Catatan Proses
Komentar
SupervisorIsi Wawancara
Ikhtisar Tingkat
Perasaan
(Gut Level
Feeling)
Peksos (P) : “Selamat siang pak,
Assalmualaikum.
punten mengganggu
bapak sebentar,
boleh nggak pak?”
Klien (K) :“ Waalaikumsalam, iya
neng.” (langsung
menyodorkan
tangannya untuk
bersalaman dengan
pekerja sosial)
Permulaan yang
cukup
mendebarkan
karena pekerja
sosial takut salah
berbicara atau
kurang sopan.
P : “Pak, perkenalkan saya Dhea
dan ini teman saya Okeu.
Kita mahasiswa kesejahteraan
sosial pak, boleh ngobrol-
ngobrol sebentar sama
bapak?”
K : “Iya boleh.” (menganggukkan
kepala sambil bersalaman
dengan peksos)
Pekerja sosial
merasa masih
gugup namun
juga merasa
senang karena
klien bersedia
untuk
diwawancara.,
P : “Kalau boleh tau nama bapak
siapa?”
K : “Endnag.”
Pekerja sosial
merasa kesulitan
memulai
percakapan P : “Bapak umurnya berapa?”
26
K: “72.” (Membuat gestur jari
membentuk angka 72) karena jawaban
klien yang P : “Bapak lahir bulan apa?”
K :“Ngg.. Lupa neng.” (wajah
nampak bingung dan
nampak sedang mengingat-
ingat bulan lahirnya)
Pekerja sosial
agak bingung
karena klien tidak
ingat bulan
kelahirannya.
P : “Oh gitu pak, iya pak nggak
apa-apa pak.”
K : (menganggukkan kepala)
Pekerja sosial
agak bingung
memilih kata dan
agak kesulitan
menghadapi
klien, karena
klien nampak
tidak terlalu
banyak bicara.
P : “Bapak aslinya dari mana?”
K:“Kebon Manggu.” (sambil
menunjuk arah)
P : “Bapak lagi apa di sini, panas
pak dekat sini.”
K:“Iya nggak apa-apa.”
(tersenyum)
Peksos merasa iba
Dan sedikit
kesulitan
mendengar suara
klien karena
pengucapan
kurang jelas.
P : “Bapak rumahnya dimana?”
K: “Di sini aja neng.”
P : “Bapak rumahnya dekat sini?”
K :“Nggak ada rumah.” (sambil
menggelengkan kepala)
P : “Keluarga bapak dimana?”
K : “Nggak di sini, anak bapak ada
di Cicalengka.”
Peksos agak
kesulitan untuk
bertanya lebih
lanjut, karena
pengucapan klien
P : “Oh, jauh ya pak, anaknya ada
berapa pak?”
27
K : “Ada tiga, sudah menikah.”
(membuat gestur angka tiga
menggunakan jari)yang terbata-bata
dan suara klien
yang kurang P : “Perempuan semua pak?”
K:“Iya, kerja disana.” (sambil
tersenyum)
P : “Istri bapak dimana?”
K: “Disana.” (menunjuk ke arah
jalan Dalem Kaum)
P : “Istri bapak kerja juga?”
K : “Iya.” (menganggukkan
kepala)
Peksos merasa
segan untuk
menanyakan
pekerjaan istri
bapak tersebut,
karena khawatir
kurang sopan.
P: “Maaf pak, kalau boleh tau,
bapak kenapa kerja begini
pak?”
K : “Sudah tua, nggak ada
tenaga.” (wajah nampak
memelas)
Peksos merasa
empati dengan
kondisi yang
dialami klien.P : “Oh begitu pak. Bapak dari
jam berapa di sini?”
K : “Dari pagi sampai sore di
sini.”
P : “Bapak tiap hari ke sini atau
28
pindah-pindah pak?”
K : “Dulu bapak di alun-alun, tapi
sekarang pindah ke sini.”
P : “Oh begitu pak, udah nggak
boleh lagi ya pak kalau di
alun-alun.”
K : “Iya neng. Jadi sekarang di
sini terus.”
P : “Jadi sekarang di sini terus
pak. Sampai sore gitu pak?
Kalau malam bapak
gimana?”
K : “Iya.” (menganggukkan kepala
dan tersenyum saja)
Pekerja sosial
agak segan untuk
menggali lebih
lanjut mengenai
klien, karena
klien hanya
menjawab dengan
sepatah kata, dan
nampak tidak
mau terlalu
menjelaskan
kondisinya.
P : “Bapak kalau tidur dimana?”
K : “Disini aja.” (tersenyum lagi)
P : “Disini aman nggak pak kalau
malam?”
K : “Aman.” (menganggukkan
kepala)
P : “Suka ada penertiban kita
nggak pak?”
K : “Iya ada.”
P : “ Pernah nggak pak kena sama
Satpol?”
K : “Pernah, tapi balik lagi.”
P : “Oh gitu pak. Makasih ya pak,
maaf sudah mengganggu
bapak.” (menyodorkan
tangan untuk berjabat tangan)
Peksos tidak ingin
terlalu lama
menyita waktu
klien, sehingga
29
K :“Iya nggak apa-apa.”
(menganggukkan kepala,
sambil tersenyum, dan
membalas jabat tangan).
peksos
memutuskan
untuk mengakhiri
wawancara.
P : “Iya pak, kita pamit dulu ya
pak. Bapak jangan deket sini
pak, duduk ke tempat yang
agak teduh pak. Panas dekat
sini pak.”
K: “Iya. Iya.” (menganggukkan
kepala)
Peksos merasa
empati dan
memberikan
semangat kepada
klien.
3. Asesmen Biopsikososial
a. Aspek Biologik
1) Identitas Klien
a) Nama : Bapak “E”
b) Jenis Kelamin : Laki-laki
c) Usia : 72 Th
d) Suku : Sunda
e) Asal Daerah : Kebon Manggu, Bandun
f) Pekerjaan : Mengemis
g) Tempat tinggal : Tidak punya (tinggal di sekitar jalan
Kepatihan)
h) Status Perkawinan : Menikah
2) Penampilan fisik
a) Penampilan fisik : terlihat tua namun pantas untuk
usianya, tidak rapi, tidak bersih,
mata sebelah kanan selalu tertutup
b) Aktivitas motorik : gerakan tubuh lambat dan bergetar.
c) Cara bicara : gagap, kecil, lambat, ragu-ragu.
d) Postur : Kaku
30
b. Aspek Psikologik
1) Sikap : Kooperatif, jujur, tenang
2) Afeksi : senang, rindu
3) Kognitif : membingungkan, memori kurang baik, konsentrasi
terganggung, linglung
c. Aspek sosial
Pekerjaan bapak “E” adalah sebagai pengemis. Sudah
menikah dan memiliki tiga anak perempuan yang tinggal terpisah.
Pernah ditangkap Satpol PP namun kembali lagi ke lokasi yang
sama dan bekerja seperti awal. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari
berasal dari mengemis.
4. Genogram
5. Dokumentasi
31
Bapak “E” Istri
Anak 1
Anak 3
Anak 2
Dokumentasi pada saat
melakukan wawancara
dengan Bapak “E”.
B. Anak Putus Sekolah
1. Hasil Observasi
Observasi yang saya lakukan yaitu pada hari Sabtu, 23 Mei 2015
sekitar pukul 10.50 WIB. Observasi yang saya lakukan di sekitar
wilayah Pasar Baru Kota Bandung. Saya mengamati aktivitas di sekitar
Pasar Baru kemudian saya melihat ada beberapa anak kecil yang
sedang berjualan ceumpal katel, yaitu sejenis lap untuk mengangkat
alat-alat masak yang panas. Kemudian saya berfokus untuk
memperhatikan seorang anak laki-laki yang sedang berjualan ceumpal
katel dan menawarkan ke beberapa pengunjung di sekitar Pasar Baru.
Saya memperhatikan aktivitas anak tersebut selama kurang lebih 15
menit. Dilihat secara fisik, anak tersebut bertubuh kecil, kurus,
berambut hitam yang bagian depannya nampak panjang dan berkulit
kecoklatan. Pakaian anak tersebut juga nampak kotor dan sedikit
lusuh. Selama saya memperhatikan aktivitas anak tersebut, beberapa
kali ia menawarkan dagangannya ke beberapa pengunjung, namun
32
hampir semua menolak membeli dagangan anak tersebut. Beberapa
kali anak tersebut terlihat berbicara dan bercanda dengan seorang anak
laki-laki lainnya yang juga menjual barang yang sama.
Setelah mengamati, saya berpindah posisi duduk agak dekat ke
anak tersebut. Kemudian anak tersebut menghampiri saya dan
menawarkan ceumpal katel. Setelah itu, saya berinisiatif untuk
mewawancarai anak tersebut. Untuk mengetahui lebih mendalam
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan anak tersebut dan apakah
anak tersebut dapat sesuai dengan kriteria tugas yang saya peroleh.
2. Catatan Proses
Komentar
Superviso
r
Isi Wawancara Ikhtisar Tingkat
Perasaan (Gut
Level Feeling)
Peksos (P) : “Ini apa dek?”
Klien (K) : “Ini ceumpal katel teh,
beli tiga 10 ribu aja
teh.”
Perasaan saya
biasa saja, namun
agak bingung
memulai
pembicaraan.
P : “Buat apa memangnya ini dek?”
K : “Ini buat di dapur teh, buat
angkat- angkat alat masak
yang panas.”
P : “Oh begitu dek, di tempat teteh
nggak ada yang kayak gini
dek. Emang ini dapetnya dari
mana?”
K : “Dari Cicalengka teh.”
Peksos sedikit
bingung karena
tidak terlalu tau
daerah yang di
sebutkan klien
P : “Oh.. Cicalengka, gimana bisa
dapet ini dek?”
K : “Ada yang bikin disana teh,
33
jadi dijualin.”
P : “Berarti adek yang jualin ke
sini, ngambilnya dari
Cicalengka gitu ya.”
K : “Iya teh, kan saya dari
Cicalengka. Kalau mau
ambil aja teh ini empat, 10
ribu aja nggak apa-apa
teh.” (melepas ikatan
ceumpal katel)
Agak bingung
untuk memulai
percakapan lebih
lanjut.
P : “Eh, nanti dulu dek.”
K : “Nggak apa-apa teh, empat jadi
10 ribu.”
Agak khawatir
mengganggu klien
berjualan
P : “Emang udah laku berapa dek,
udah banyak yang kejual?”
K : “Belum teh, tadi baru laku 2
aja.”
P : “oh iya, Nama adek siapa?”
K : “Tegar teh.”
P : “Oh Tegar, Ini teteh Dhea,
Tegar mah nama yang kayak
artis itu yah.”
K:(tersenyum sambil mengangguk)
Pekerja sosial
mencoba
mencairkan
suasana, namun
kurang mendapat
tanggapan dari
klien.
P : Adek udah biasa jualan di sini?”
K : ( wajah bingung) “Iya teh.”
34
P : “Setiap hari ke sini?”
K : “Iya teh.” (menganggukkan
kepala)
P : “Nggak ke sekolah?”
K : (wajah sedikit muram) “Nggak
teh.”
Agak sedikit
khawatir
membuat klien
merasa tidak
nyaman
P : “Oh gitu dek, adek ke sini nya
dari jam berapa?”
K : “Pagi jam 8 an teh sampai jam
4 palingan pulangnya.”
P : “Sekarang umurnya berapa
dek?”
K : “14 tahun teh.”
Pekerja sosial
agak kaget karena
awalnya mengira
klien berusia 11
atau 12 tahun
karena badan
klien yang kecil.
P : “Oh, kelahiran 2001 yah dek
berarti.
K : “Iya teh.”
Pekerja sosial
berpikir agak
lama, karena
menghitung tahun
kelahiran klien.
P : “Bulan apa emang lahirnya?”
K : “Januari teh, tanggal 1.”
P : “ Oh.. pas tahun baru dong
lahirnya.”
K : “Iya teh” (tersenyum)
Pekerja sosial
kembali mencoba
mencairkan
35
suasana
P : “Adek jualan ini sejak kapan?”
K : “Belum lama kok teh, baru
beberapa bulan.”
P : “Oh, pas nggak sekolah lagi ya
adek jualan di sini?”
K : “Iya teh.” (menganggukkan
kepala)
P : “Adek kalo boleh tau, kenapa
nggak ke sekolah lagi?”
K : “ Nggak ada duit teh.” (wajah
sedih)
Pekerja sosial
merasa iba.
P : “Oh, gitu dek. Oh iya, kalo gitu
nanti untung jualannya mau
dipake buat apa dek?”
K: “Buat sediri teh.”
P : “Oh gitu, dibolehin ya jualan
sama ibu?”
K : “Dibolehin teh.”
P : “Ke sini adek bolak balik ya,
dari Cicalengka?”
K : “Iya teh.”
P : “Ke sini pake apa?”
K : “Kereta api teh.”
P : “Oh gitu, kalau dirumah ada
siapa aja? Punya adik
nggak.”
K : “Nggak teh, punya kakak
empat.”
Pekerja sosial
mencoba mencari
lebih tau
mengenai klien
36
P : “Oh, kakaknya kerja semua
juga?”
K : “Iya teh.”
P : “Kakaknya laki-laki apa
perempuan?”
K : “Perempuan tiga, satu laki-
laki.”
P : “Yang paling tua kakak yang
laki-laki apa yang
perempuan?
K : “Yang kakak laki-laki.”
P : “Oh gitu.. Bapak sama ibu ada
juga di rumah apa kerja?”
K : “Ada kerja.”
Pekerja sosial
agak kesulitan
mencari informasi
mengenai klien,
karena klien
menjawab sepatah
kata saja.
P : “Oh begitu, kamu udah nggak
sekolah sejak kapan?”
K : “Pas kelas 2 teh.”
P : “2 SMP maksudnya?”
K : “Iya teh.”
P : “Berarti masih baru ya dek,
sekarang kan umurnya baru
14.”
K : “Iya teh.”
Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak
yang nampaknya juga penjual di
sekitar Pasar Baru menimpali
Pekerja sosial
agak kaget atas
37
Bapak Penjual (BP): “Kasian neng,
anak yatim
dia.”
P : “Iya pak?”
kehadiran bapak
tersebut, selain itu
juga kaget dengan
informasi yang
disampaikan
bapak tersebut.
BP : “Iya neng, bapaknya baru
meninggal palingan satu
tahunan.”
P : “ Oh iya pak. Gitu ya pak.”
(tersenyum)
BP :(mengangguk kemudian
langsung pergi)
P : “Bener ya dek kata bapak tadi?”
K : (mengangguk) “hmm” (wajah
nampak sangat sedih)
Pekerja sosial
agak khawatir
membuat klien
tersinggung dan
sedih
P : “Oh begitu dek, hmm, maaf ya
tadi teteh nggak tau.”
K : “Iya teh.” (wajah masih
nampak sedih)
P : “Tadi ini harganya berapa?
Boleh teteh beli 2 aja?”
K : “Iya teh nggak apa-apa. Dua,
lima ribu.”
Pekerja sosial
mencoba untuk
mengalihkan
pembicaraan,
karena klien
nampak tidak
nyaman dengan
topik tersebut.
P : “Oh iya, makasih ya dek.”
K : “Iya teh.” (memberikan
ceumpal ketel)
P : “Iya, ini dek. Semoga laku ya
38
jualannya dek.”
K : “Iya teh, makasih. Permisi.”
(mengangguk kemudian
pergi untuk berjualan
kembali)
3. Aspek Biopsikososial
Saya melakukan wawancara kurang lebih selama 25 menit.
Kendala yang saya alami selama melakukan wawancara dengan anak
tersebut adalah anak tersebut berbicara sedikit-sedikit, anak tersebut
nampak agak tertutup sehingga saya agak kesulitan untuk menggali
informasi mengenai anak tersebut. Namun, wawancara dapat berjalan
dengan baik. saya melakukan wawancara mendekati waktu siang,
sehingga itu merupakan jam anak tersebut untuk beristirahat dan tidak
terlalu menggangu waktu anak tersebut berjualan. Setelah melakukan
wawancara kami memperoleh hasil sebagai berikut.
a. Aspek Biologik
1) Identitas Klien
a) Nama : “T”
b) Jenis Kelamin : Laki-laki
c) Tempat, tanggal lahir : Cicalengka, 1 Januari 2001
(14 th)
d) Status Marital : Belum menikah
e) Suku : Sunda
f) Asal : Cicalengka
g) Pekerjaan : Menjual ceumpal katel
h) Tempat tinggal : Cicalengka
i) Pendidikan : Lulus SD (berhenti ketika
kelas 2 SMP)
2) Penampilan Fisik
a) Penampilan fisik : tidak rapi, terlihat lebih muda karena
39
badannya yang kecil
b) Aktivitas motorik : normal
c) Cara berjalan : Normal
d) Postur : Kecil, kurus
e) Cara berbicara : Ragu-ragu, lambat
b. Aspek Psikologis
1) Sikap : Pemalu, pendiam, kurang jujur, tegang
2) Afeksi : sedih, tertekan, muram
3) Kognitif : konsentrasi terganggu, kurang responsif,
c. Aspek Sosial
“T” merupakan anak yatim, Bapaknya meninggal ketika ia
kelas 1 SMP. Seluruh anggota keluarga bekerja termasuk dirinya.
“T” bekerja sebagai penjual ceumpal katel bersama teman satu
daerahnya, ia berteman dengan sesama pedagang di sekitar Pasar
Baru terutama yang seumuran dengannya. Saat ini “T” sudah tidak
bersekolah, ia behenti ketika kelas 2 SMP disebabkan kesulitan
perekonomian dan “T” bekerja untuk menambah penghasilan
keluarga dan dipergunakan untuk dirinya sendiri. “T” merupakan
anak terakhir dan memiliki 4 orang kakak.
4. Genogram
40
IBUBAPAK
5. Dokumentasi
Dokumentasi pada saat
melakukan wawancara
dengan “ T”.
C. Anak Jalanan
1. Hasil Observasi
Observasi yang saya lakukan yaitu pada hari Sabtu, 23 Mei 2015.
Observasi yang saya lakukan di sekitar wilayah Pasar Baru Kota
Bandung. Saya mengamati aktivitas di sekitar Pasar Baru kemudian
saya melihat ada seorang anak yang nampaknya sudah memasuki usia
remaja sedang mengamen di dekat pinggir jalan. Anak tesebut
41
KAKAK 4
KAKAK 3
KAKAK 2
KLIEN (“T”)KAKAK 1
mengamen ke pengunjung di sekitar Pasar Baru, pengunjung yang
didatanginya terutama pengunjung yang sedang memilih barang-
barang dagangan di sekitar pinggir jalan. Anak tersebut mengamen
hanya dengan bertepuk tangan dan menyanyikan lagu-lagu, ia tidak
menggunakan alat musik tertentu. Beberapa pengunjung terlihat
memberikan sejumlah uang kepada anak tersebut, namun juga ada
yang menolak memberikan uang. anak tersebut juga sesekali berjalan
cukup jauh namun masih tetap di sekitar Pasar Baru. Anak tersebut
berkulit kecoklatan, rambut lurus agak panjang, dan pakaiannya cukup
rapi,
Setelah mengamati, anak tersebut duduk dekat tangga di Pasar
Baru saat itu sekitar pukul 12.20 WIB saya mendatangani anak
tersebut. Kemudian mencoba untuk mewawancarai anak tersebut.
Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan anak tersebut dan apakah anak tersebut dapat sesuai dengan
kriteria tugas yang saya peroleh.
2. Catatan Proses
Komentar
Superviso
r
Isi Wawancara Ikhtisar Tingkat
Perasaan (Gut
Level Feeling)
Pekerja sosial (P): “Siang dek,
boleh
duduk
dekat sini
nggak?”
Klien (K) : “Oh iya teh, nggak apa-
apa.” (tersenyum
sambil
menganggukkan
kepala)
Agak ragu-ragu
dan deg-degan
P : “Lagi apa di sini dek?” Saya mencoba
42
K : “Nggak lagi ngapa-ngapain
teh.” (Menggelengka kepala)
memulai small
talk
P : “Oh gitu, di sini sendiri aja?”
K : “Iya teh.”
P : “Nggak takut gitu sendiri ke
sini?”
K : “Nggak teh biasa aja.”
P : “Udah biasa main ke sini?”
K : “Iya teh.”
P : “Oh iya, nama adek siapa?”
K : “Doni teh.”
P : “Oh Doni, ini teh Dhea.”
(mengajak berjabat tangan)
K : (menganggukkan kepala sambil
tersenyum kemudian
membalas jabat tangan)
P : “Oh iya, masih sekolah dek?”
K : Masih teh”
Saya mencoba
menggali
informasi lebih
dalam dab
berusaha untuk
bersikap lebih
halus.
P : “Oh, kelas berapa?”
K : “Kelas 3 SMP teh.”
P : “Udah ujian berarti ya?”
K : “Iya teh.” (menganggukkan
kepala)
P : “Mau lanjutin sekolah ke SMA
nggak?”
K : “Iya teh.”
P : “Oh gitu. Kalo sekarang kelas 3
SMP berarti umurnya udah 15
tahun ya?”
K : “Iya teh.” (menganggukkan
43
kepala)
P : “Kelahiran tahun 2000 ya
berarti. Bulan apa dek?”
K : “ 3 Maret teh.”
P : “Oh.. adek lagi sibuk nggak?”
K : “Nggak kok teh, nggak apa-
apa.”
Saya agak
khawatir
mengganggu
aktifitas klien
P : “Teteh boleh nanya-nanya
sedikit nggak?”
K :“ Nanya apa teh?” (mengerutkan
kening)
P : “Tentang adek, gimana sehari-
hari adek gitu.”
K : “Oh iya teh, nggak apa-apa.”
P : “Oh iya, tadi teteh liat adek
kayak lagi ngamen gitu ya.”
K : “Oh iya teh.” (menganggukkan
kepala, namun wajah nampak
kurang senang)
Saya merasa agak
kurang enak,
canggung, dan
segan
P : “Setiap hari ya ngemen kayak
gitu? “
K : “Iya teh.”
P : “Terus sekolahnya gimana?”
K : “Sekarangkan lagi libur teh.”
P :”Oh iya, buat apa uangnya?”
K : “Buat nambah uang sekolah
teh.”
Saya merasa agak
kasihan dengan
klien
P : “Oh gitu, bapak sama ibu ada di
rumah? Kerja juga?”
44
K : “Iya teh.” (menganggukkan
kepala)
P : “Kalo kerja di sini dibolehin?”
K : “Boleh teh.”
P : “Punya kakak atau adik nggak?”
K : “Punya teh, ada 2 kakak
cewek.”
P : “Oh kakaknya sekolah juga?”
K : “Udah nggak teh, kerja
semuanya.”
P : “Oh gitu. (jeda) kalau lagi
sekolah, ngamen juga
nggak?”
K : “Iya teh, tapi palingan sorean
gitu teh.”
Saya agak
bingung untuk
melanjutkan
percakapan
P : “Kalo sore bukannya udah tutup
Pasar Baru?”
K : “Kalo udah sore pindah teh, ke
sekitar angkot ngamennya.
Deket sana.” (Menunjukkan
arah ke terminal)
P : “Oh gitu, kalo lagi libur gini ke
sini dari pagi dek?”
K : “Iya teh sampai sore, terus
pindah ke sanaan yang agak
ramai.”
P : “Oh gitu, sehari bisa dapat
berapa dek?”
K : “70 lebih bisa dapet teh. Nggak
tentu juga.”
P : “Oh gitu, lumayan ya dek. Buat
45
ditabung buat sekolah ya
uangnya.”
K : “Iya teh.”
P: “Kalo balik kemana pulangnya?”
K : “Pulang ke rumah teh.”
Saya mencoba
bertanya lebih
lanjut
P : “Oh, dimana?”
K : “ Sekitar Astana Anyar teh.”
P : “Oh, sama keluarga di sana?”
K : “Iya teh.” (menganggukkan
kepala)
P : “Berarti adek asli dari Bandung
ya?”
K : “Iya teh.”
P : “Oh gitu, makasih ya dek udah
mau ditanya-tanya sama teteh,
adek udah mau ke sana lagi
ya.”
K : “Iya teh, udah siang juga.”
P : “Oh gitu, makasih ya. Sukses
buat sekolahnya.”
K : “Iya teh, makasih.”
(Menganggukkan
kepala)
3. Aspek Biopsikososial
a. Aspek Biologik
1) Identitas Klien
a) Nama : “D”
b) Jenis Kelamin : Laki-laki
46
c) Tempat, tanggal lahir : 3 Maret 2000 (15 th)
d) Status Marital : Belum menikah
e) Suku : Sunda
f) Asal : Bandung
g) Pekerjaan : Pengamen
h) Tempat tinggal : Astana Anyar
i) Pendidikan : SMP (akan melanjutkan
SMA)
2) Penampilan Fisik
a) Penampilan fisik : agak rapi, usia nampak lebih tua
daripada tampilan
b) Aktivitas motorik : normal
c) Cara berjalan : Normal
d) Postur : Normal, tubuh kecil kurus
e) Cara berbicara : Ragu-ragu, lambat, kooperatif
b. Aspek Psikologis
1) Sikap :, pendiam, jujur, tegang
2) Afeksi : senang, biasa saja
3) Kognitif : responsif
c. Aspek Sosial
“D” merupakan seorang pengamen dan anak jalanan. Namun
ia berada di jalanan pada saat tidak bersekolah atau setelah pulang
sekolah. Ia biasa mengamen sehari jika tidak sekolah, namun jika
sekolah ia meluangkan waktu setelah pulang jam sekolah. Ia
menjadi pengamen sebagai penambah biaya sekolah. Temannya
berasal dari sesama anak-anak yang juga memiliki kegiatan
ekonomi di sekitar Pasar Baru. Setiap hari “D” akan pulang ke
rumah setelah beraktivitas di jalan sekitar Pasar Baru. Anggota
47
keluarga masih lengkap, ia memiliki 2 orang kakak perempuan
yang sudah bekerja juga.
4. Genogram
5. Dokumentasi
Dokumentasi pada saat
melakukan wawancara
dengan “D”
48
Bapak
“D”
Ibu
Kakak 2
Kakak 1
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Munculnya gelandangan di lingkungan perkotaan merupakan gejala sosial
budaya yang relatif menarik. Pada umumnnya gejala tersebut dihubungkan
dengan perkembangan lingkungan perkotaan. Sebagai manusia yang tengah
tumbuh-kembang, anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah
kebutuhan tersebut yang merupakan hak anak. Orang dewasa termasuk orang
tuanya, masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak
49
tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya termasuk
keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak tersebut.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting, karena pendidikan saat ini
telah menjadi suatu kebutuhan primer. Selain permasalahan dengan
pendidikannya, anak juga seringkali menjadi korban pekerja anak, anak-anak
sering berada di jalanan dan melaksanakan kegiatan ekonomi untuk
memenuhi dan membantu kebutuhan perekonomian keluarganya. Sehingga
perlindungan dan pemenuhan kebutuhan anak kurang tercapai.
Permasalahan gelandangan, anak putus sekolah, dan anak jalanan
merupakan permasalahan yang sering terjadi. Faktor utama yang menjadi
penyebabnya adalah faktor perekonomian. Asesmen yang dilakukan atas
ketiga permasalahan tersebut melihat bahwa faktor ekonomi menjadi
penyebeb utama munculnya permasalahn tersebut. Kondisi ekonomi keluarga
yang kurang mampu menyebabkan anak-anak harus berhenti sekolah bahkan
ikut ke jalanan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya.
B. SARAN
Permasalahan gelandangan, anak putus sekolah, dan anak jalanan
merupakan permasalahan yang sangat penting untuk ditangani. Penanganan
masalah tersebut tidak hanya dari pemerintah saja namun, kerjasama antar
masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA
Benradit. 2013. Anak Jalanan. Dari : https://benradit.wordpress.com/ diakses
tanggal 30 Mei
Id.m.wikipedia.org/wiki/anak_jalanan diakses pada tanggal 30 Mei 2015
Lestari, Eny. 2013. Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah. Dari:
http://eonyhuh.blogspot.com/, diakses pada 28 Mei 2015.
Ramsen, Kurniawan. 2013. Analisis Masalah Gelandangan. Dari:
http://kurniawan-ramsen.blogspot.com/2013/06/analisis-masalah-
gelandangan.html, diakses pada 27 Mei 2015.
50
Simanjuntak, Tianna. 2011. Makalah ISBD Perilaku Sosial Anak Jalanan. dari:
http://tiana-simanjuntak.blogspot.com/2011/08/makalah-isbd-perilaku-
sosial-anak.html, diakses pada tanggal 27 Mei 2015.
Tho, Kuroi. 2013. Makalah Ilmu Sosial dan Budaya Gelandangan Sebagai
Masalah Sosial Budaya. dari:
http://kuroitho.blogspot.com/2013/11/makalah-ilmu-sosial-dan-
budaya_16.html, diakses pada tanggal 28 Mei 2015.
51
Recommended