View
695
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas
desentralisasi. Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung dua pengertian
utama, yaitu, Desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan
penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Desentralisasi
dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang
telah dibentuk oleh pemerintah pusat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan,
dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah1. Karena itu Pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945, antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah di Indonesia atas daerah
besar dan kecil, dengan bentuk dan sususnan pemerintahannya di tetapkan dengan
Undang-Undang.
Perjalanan otonomi daerah di Indonesia diawali oleh tumbangnya
pemerintah orde baru yang sentralistis. Reformasi tata pemerintahan akhirnya
melahirkan model desentralisasi yang paling masif di dunia, sistem sentralisasi
yang pernah di terapkan, di mana semua urusan negara menjadi urusan pusat,
pusat dalam hal ini pemerintahan yang dipusatkan pada pemerintah pusat, pusat
memegang semua kendali atas semua wilayah atau daerah di Indonesia, dan
daerah harus melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah pusat.2 Dalam
penjelasan tersebut, daerah dapat diartikan bahwa daerah Indonesia dibagi dalam
daerah provinsi, daerah provinsi dibagi dengan daerah yang lebih kecil.
Dengan penerapan sistem terpusat di segala bidang kehidupan ternyata tidak
dapat menciptakan kemakmuran rakyat yang merata di seluruh daerah, karena
jauhnya jangkauan dari pusat, sehingga kebanyakan daerah yang jauh dari
pemerintah pusat kurang mendapatkan perhatian, dan tujuan membangun Good
Governence belum dapat terwujud. Berakhirnya rezim orde baru, berganti dengan
1 Joko Widodo,Analisis Kebijakan Publik Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Banyu Media Publising, Malang, 2007
2 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan, Bumi Aksara, Jakarta, 2008. Hlm 17
1
era reformasi, mengubah cara pandang untk mewujudkan Good Governence, salah
satunya dengan adanya otonomi daerah, karena Otonomi Daerah dapat
mengembangkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Selain itu penerapan Otonomi daerah sebagai wujud amanat daru Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 5 yang berbunyi:
“Pemerintah daerah menjalankan Otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai
urusan pemerintah pusat”.
Perlu juga diketahui, Indonesia bukan salah satu negara yang berhasil dalam
penerapan otonomi daerah guna membangun Good Governance, beberapa
indikator di antaranya adalah, beban APBN baik dari sisi penerimaan maupun
pengeluaran tidak cukup mampu untuk menggerakkan roda perekonomian, daya
saing Indonesia pada tahun 2007 berada pada urutan 54 dari 55 negara, rangking 3
sebagai negara koruptor, Indeks pembangunan manusia tahun 2007 urutan ke 112
dari 117 negara, daya tarik investasi urutan terakhir dari ASEAN. Dari fakta
tersebut kurang berhasilnya membangun Good Governance juga di pengaruhi atas
kurang berhasilnya pelaksanaan Otonomi Daerah, yang nanti akan di bahas lebih
lanjut, keterkaitan Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam mewujudkan Good
Governance.3
Dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk membuat suatu makalah
dengan judul:
”EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI
OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO.
32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD
GOVERNANCE”
B. Perumusan Masalah
3 sumber Internasional Institute for Management Development, http://www.asosiasipoliteknik.or.id/index.phpmodule=aspi_jurnal&func=display&jurnal_id=269
2
1) Apakah pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 kaitannya dengan Otonomi
Daerah sudah terlaksana dengan baik dalam membangun Good
Governance?
2) Faktor – Faktor apa yang mempengaruhi efektifitas kebijakan pemerintah
mengenai otonomi daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
3
A. Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Melalui Otonomi Daerah dalam
Membangun Good Governance
Berbagai definisi yang diberikan ini memiliki fokus yang sama yaitu pada
nilai, tujuan, dan sarana. Salah satu sarana yang banyak dipilih adalah peraturan
perundang-undangan, utamanya undang-undang yang dilegitimasi melalui
pengesahan oleh DPR sehingga mempunyai sifat mengikat bagi seluruh warga
masyarakat. Oleh karena itu, pada hakikatnya hukum pun mengandung nilai,
konsep-konsep dan tujuan yang mana proses perwujudan ide dan tujuan
merupakan hakikat dari penegakan hukum. Hukum tidak lagi hanya berfungsi
sebagai alat kontrol sosial, tetapi juga dipakai sebagai sarana untuk melakukan
perubahan masyarakat hingga digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan
tujuan-tujuan politik 4.
Constitutions, statutes, administrative orders and executive orders are
indicators of policy dimana alokasi penetapan tujuan merupakan output dari
sistem politik yang dapat berupa alokasi nilai otoritatif dinyatakan sebagai
kebijakan publik, selanjutnya akan diimplementasikan pada masyarakat, sehingga
nampak bahwa hukum merupakan indikator adanya kebijakan. Kebijakan publik
dapat dilihat dari tiga lingkungan kebijakan, yaitu perumusan kebijakan,
pelaksanaan kebijakan, dan penilaian (evaluasi) kebijakan.
Pada tahap penilaian (evaluasi) apakah suatu kebijakan telah berlaku secara
efektif atau belum, ada unsure-unsur yang berperan di dalamnya. Suatu peraturan
perundang-undangan akan menjadi efektif apabila dalam pembuatan maupun
implementasinya didukung oleh sarana-sarana yang memadai. Unsur-unsur yang
mana harus diperhatikan agar hukum (dalam hal ini peraturan perundang-
undangan) dapat digunakan secara efektif sebagai suatu instrumen (kebijaksanaan
publik) dan batas–batas kemungkinan penggunaan yang demikian itu adalah suatu
langkah yang penting baik secara teoritik maupun praktis, oleh karena
4 Esmi Warassih,Pranata Hukum Sebuah Telaah Soiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005. Hlm 133
4
perkembangan studi–studi kebijaksanaan dalam peraturan perundang–undangan
menyangkut permasalahan hukum dan perilaku sosial.5
Evaluasi kebijaksanaan publik (dalam praktiknya) banyak dilakukan untuk
mengetahui dampak dari kebijaksanaan publik. Dampak yang dimaksudkan disini
adalah dampak yang dikehendaki oleh suatu kebijaksanaan publik, artinya
dampak tersebut sesuai dengan tujuan – tujuan yang telah ditetapkan. Anderson
menguraikan sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono, bahwa dampak
kebijaksanaan publik tersebut dalam beberapa dimensi yaitu :
1) dampak kebijaksanaan yang diharapkan dan atau yang tidak diharapkan,
baik pada problematikanya maupun pada masyarakat. Sasaran
kebijaksanaan juga ditentukan dengan jelas.
2) dampak kebijaksanaan terhadap situasi atau (kelompok) orang yang bukan
menjadi sasaran utama dari suatu kebijaksanaan publik. Hal ini biasanya
disebut dengan externalities atau spillover effects. Dampak yang demikian
dapat positif maupun negatif.
3) dampak kebijaksanaan – kebijaksanaan yang dapat terjadi atau
berpengaruh pada kondisi sekarang maupun yang akan datang.
4) dampak kebijaksanan terhadap direct costs. Dalam kaitan ini menghitung
suatueconomic costs dari suatu program kebijaksanaan publik relatif
mudah apabila dibandingakan dengan menghitung (timbulnya biaya –
biaya lain yang bersifat kualitatif (social costs)
5) dampak kebijaksanaan terhadap indirect costs yang biasanya mengena atau
dialami oleh angota – angota masyarakat..
Apabila dampak kebijaksanaan yang diharapakan terjadi, maka timbul
permasalahan, sampai di mana ia dapat dianggap sebagai hasil dari implementasi
suatu kebijaksanaan, atau dengan perkataan lain, dari penggunaan sarana yang
dipilih apakah sudah tepat dan efektif. Efektifitas disini berarti menyangkut
tingkat kegunaan sarana tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.6 Dalam
pembahasan terkait dengan keberadaan Undang-Undang Pemerintah Daerah
5 Bambang Sunggono, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994. Hlm 154 – 155
6 Ibid, Hlm 162
5
Nomor 32 Tahun 2004, maka bentuk kebijakan publik ini diartikan sebagai bentuk
pengesahan formal penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konteks Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sebelumnya
menggunakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah.
Perlu diketahui terlebih dahulu makna dari otonomi daerah dalam bahasan
ini, otonomi daerah menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 yaitu “hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan dan pemerintahan dan kepentingan daerah setempatsesuai dengan
peraturan perundang-undangan”, sedangkan yang dimaksud dengan daerah
otonom menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 32 Tahun 2004 yaitu “adalah kesatuan
daerah hukum yang mempunyai batasan wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
Dalam pelaksanaannya dari tahun 1999 hingga saat ini sistem otonomi
daerah belum bisa sepenuhnya dapat menciptakan Good Governence, masih
banyak hal-hal yang belum dapat terpenuhi. Pelaksanaan asas Good
Governance tidak berhasil diterapkan pada daerah yang kini berstatus otonomi,
yang diartikan mandiri, karena ketidak pahaman bahwa governance merupakan
prinsip pengelolaan atau cara untuk memanage layaknya perusahaan (good
corporate governance) yang kemudian diterapkan pada daerah. Konsep pemikiran
dari manajemen daerah adalah mengoptimalkan sumber daya yang tersedia, bukan
yang mungkin tersedia. Sehingga dalam mengelola daerah tidak melakukan
rancangan “angan-angan”, tetapi bagaimana mengelola potensi-potensi daerah
yang selama ini terabaikan untuk kemudian menjadi andalan daerah.
Beberapa kegiatan yang diselenggarakan untuk menmperkenalkan potensi
daerah, misalnya kegiatan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pemerintah Kota
Seluruh Indonesia (APEKSI) yang diadakan di Kota Solo beberapa waktu lalu
adalah salah satu upaya untuk memunculkan potensi, memasarkan dan kemudian
berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat, seperti batik yang
6
menjadi andalan Kota Solo terfokus pada daerah Laweyan dan Kauman.
Indikator-indikator diatas yang menjadi penilai keberhasilan atau bahkan
kegagalan daerah dalam mengelola daerah dalam lingkup kewenangan otonomi.
Contoh good corporate governance yang ditunjukkan Pemerintah Kabupaten
Jembrana dengan kebijakan pendidikan dan kesehatan gratisnya masih bisa
dibilang merupakan contoh langka dalam kisah sukses penerapan kebijakan
otonomi daerah (otda) di Indonesia.
Kebijakan otonomi daerah, terlepas dari euforia dan optimisme yang
ditampilkannya, ternyata masih membutuhkan banyak revisi. Pemerintah pusat
yang seharusnya menjadi anutan dalam pembuatan dan penerapan kebijakan yang
berpihak kepada publik, malah cenderung mengutamakan kebijakan yang lebih
peduli pada masalah penurunan defisit anggaran dan kesehatan fiskal daripada
memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Hak-hak dasar rakyat seperti pangan,
pendidikan, dan kesehatan masih menjadi prioritas kesekian di bawah kebijakan
ekonomi. Kebijakan ekonomi dan politik bukannya tidak penting dalam
pelaksanaan kebijakan publik secara keseluruhan, namun mengabaikan kebijakan-
kebijakan publik yang peka dan tanggap akan kebutuhan sosial rakyat, terutama
yang menyangkut hak-hak dasar rakyat adalah kesalahan dasar bagi terciptanya
sumber daya manusia. Di tengah maraknya pilkada dan euforia partai politik, serta
masyarakat di daerah yang melakukan pilkada, kebijakan politik juga masih
melalaikan masalah pemenuhan hak-hak dasar rakyat.
Otonomi daerah tidak serta-merta mampu memenuhi target, jika tidak
menjamin, hubungan pemerintah, rakyat, dan pasar yang lebih baik. Otonomi
daerah seharusnya menjamin mudahnya akses informasi dan pelayanan sosial
untuk masyarakat; kesadaran dan partisipasi politik masyarakat yang lebih baik
serta kemajuan pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat. Tetapi otonomi
daerah malah menjadi ajang untuk memperkaya diri dan perpanjangan korupsi
oleh para elite politik di daerah. Yang terjadi adalah otonomi daerah malah
mendorong eksploitasi negatif terhadap daerah-daerah yang ada dan tidak
memberdayakan masyarakat sekitar maupun membangun daerah secara optimal
dan efektif seperti yang diharapkan dari penerapan otonomi daerah itu sendiri.
7
Penggunaan APBD yang sewenang-wenang tidak hanya menggerogoti dan
mencuri kebutuhan hak-hak dasar rakyat, seperti dalam hal pengadaan buku
wajib, tunjangan tenaga kesehatan, serta dana-dana pemberdayaan, seperti untuk
reboisasi, bantuan permodalan, dan koperasi. Korupsi juga memengaruhi kinerja
DPRD ketika dana penunjang kegiatannya diselewengkan kepala daerah atau
ketika para anggota DPRD dan pimpinannya merekayasa dana tunjangan
perumahan maupun kunjungan untuk kepentingan pribadi. Disfungsi dan
mandulnya pemerintah daerah dan DPRD penjadi salah satu penyebab gagalnya
pelaksanaan otonomi daerah dengan mengorbankan hak-hak dasar rakyat,
Gagalnya otonomi daerah dalam memenuhi hak-hak dasar rakyat merupakan
persoalan serius.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memastikan
bahwa instrumen politik seperti pilkada mampu menghasilkan pemerintah daerah
yang efektif, kredibel, dan bertanggung jawab, serta relevan dengan masyarakat
dan daerah yang bersangkutan. Sementara itu, pemerintah daerah yang masih
menjabat juga perlu mengambil inisiatif dan langkah strategis dalam
memanfaatkan wewenangnya untuk menjalankan program-program pembangunan
di daerah secara efektif dan optimal. Selain dari indikator tersebut di atas terdapat
pula penerapan Otonomi daerah yang tidak tepat (resentralistik) antara lain: 7
1) Secara Khusus Undang-Undang No.32 Tahun 2004 telah berjalan.
Khususnya dalam sektor pelayanan publik dan pengembangan daerah.
2) Tetapi belum memberikan dampak secara ekonomi kepada masyarakat
apalagi memberikan peluang peningkatan lapangan pekerjaa, seperti yang
telah penulis singgung di atas.
3) Terjadi eforia dalam melakukan pemekaran wilayah (pada saat ini telah
terjadi pemekaran 150 daerah Propinsi dan kabupaten/kota) yang
berdampak semakin tingginya biaya operasional dalam bentuk Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang
sebenarnya dapat dialokasikan untuk pemenuhan kesejahteraan
masyarakat. Alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia kerap kali di
7 Sutiyoso: 2008, http://www.suara-daerahonline.com
8
akibatkan kebijakan pemerintah seperti dalam pemekaran wilayah, baik
pemekaran Provinsi ataupun Kabupaten/Kota.
Hutan lindung yang seharusnya tidak boleh berubah fungsi kerap kali
terancam akibat pemekaran wilayah. Di Pulau Bintan, wilayah hutan
lindung justru masuk sebagai daerah yang akan di jadikan ibu kota.
Koordinasi antar pihak terkait seakan tidak berjalan baik, sehingga
wilayah hutan lindung dapat ditetapkan sebagai daerah pemukiman. Pihak-
pihak terkait dengan sosial masyarakat dan kehutanan harus segera
memperbaiki koordinasi yang berjalan atau bahkan meninjau ulang
kebijakan penetapan alih fungsi hutan lindung. Alih fungsi lahan
semestinya harus mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia.
Baik dari sisi kelangsungan hidup sebagai mahluk hidup maupun untuk
meningkatkan kesejahteraan. Alih fungsi hutan lindung menjadi hutan
produksi di harapkan dapat menjadi salah satu faktor pendukung
meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang memanfaatkan hal tersebut.
4) Terjadi kerancuan dalam administrasi dan sistem anggaran (misal
keterlambatan dalam menyusun APBD Propinsi karena harus
mendapatkan persetujuan Depdagri dan persetujuan RAPBD oleh pusat
meskipun telahh mendapatkan persetujuan oleh DPRD). Yang kemudian
berdampak RAPBD tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah,
atau bahkan daerah-daerah tersebut minim nilai APBDnya. Tentu tidak
dapat dibayangkan bagaimana roda pembangunan dapat berjalan dengan
kondisi seperti ini, belum lagi terdapat rasa ketakutan pada diri eksekutif
oleh oknum aparat (KPK, Polisi, dll)
5) Terjadinya Three in One dalam menjalankan pemerintahan , yaitu
Regulator, Kontrol, dan Operator dalam satu pelaksana
6) Terjadinya tumpang tindih antara sektor sehingga menghambat semangat
Otonomi Daerah yang desentralisasi dan cenderung kembali kepada
semangat sentralistik. Hal ini dicontohkan dalam pengambil alihan
kewenangan dalam bidang kehutanan, transportasi dan organisasi BPN.
9
B. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Kebijakan
Pemerintah Dalam Otonomi Daerah
Secara garis besar ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan
suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara:
1. Faktor politis
Pembentukan hukum oleh lembaga yang berwenang, yang dibentuk oleh
karir politik, melahirkan suatu kewajaran bahwa hukum yang dibentuk tidak
sesuai dengan paradigma yang ada. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap
kebijakan yang dikeluarkan termasuk dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004
tidak lepas dari faktor politis, setiap kepentingan ikut berpengaruh didalamnya,
begitupula dalam pelaksanaannya, sehingga berpengaruh pada evaluasi terhadap
kebijakan yang dikeluarkan. Salah satu permasalahan dalam otonomi daerah
adalah hubungan keuangan, sejauh mana konsensus nasional dapat dicapai
sebagaipolitical will, yang akan menjadi landasan politis srategis buat menata
hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah secara nasional melalui Undang-
Undang, kemudiandisusul dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang diatur
melalui Peraturan Pemerintahan (PP).
2. Faktor Yuridis
Faktor yuridis sebagai dasar dalam pelasanaan kebijakan, dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah diperlukan adanya sebuah Perda sebagai dasar
hukum dilaksanakannya sebuah kebijakan di suatu daerah. Namun demikian
dalam rumusan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 34
Tahun 2000 maupun sejumlah peraturan Menteri, memang tidak diketemukan
ketentuan yang mengatur sanksi apabila Pemda tidak menyampaikan rancangan
Perda tentang pajak dan retribusi kepada pemerintah. Akibatnya, Pemda ”ogah-
ogahan” dan terkesan ”membangkang”. Ini menunjukkan bahwa pemerintah
daerah masih belum mampu memaknai secara komprehensif dan holistic
mengenai hak, wewenang serta kewajiban sebagai bagian dari pemerintah pusat
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Merumuskan dan melakukan revisi UU No. 34 Tahun 2000 ataupun UU No.
32 Tahun 2004 yang mengatur mengenai sanksi bagi Pemda adalah sangat bijak
10
dan menjadi keniscayaan. Meskipun disadari, untuk mencari formulasi sanksi
yang tepat tidaklah mudah, karena tidak mungkin memberikan sanksi yang
bersifat politis. Kalaupun dimungkinkan hanya sanksi administratif yang dapat
diberikan kepada Pemda. Bentuknya dapat berupa penataan kembali suatu daerah
otonom, evaluasi terhadap bantuan pusat kepada daerah, atau penangguhan DAU.
Berkaitan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah
khususnya pembentukan Perda oleh pemerintah daerah propinsi, kabupaten atau
kota, selama ini dikenal adanya pengawasan preventif dan represif.
Pengawasan preventif berlangsung dimana pengawasan yang dilakukan
sebelum keputusan atau peraturan efektif berlaku. Pengawasan ini dikhususkan
terhadap rancangan Perda yang mengatur pajak dan retribusi daerah, APBD, dan
tata ruang daerah sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi
oleh Mendagri. Begitupun terhadap hierarki pemerintahan di bawahnya, gubernur
mengevaluasi Perda Kabupaten dan Kota. Sedangkan pengawasan represif
dilakukan setelah Perda ditetapkan dan diberlakukan. Akan tetapi dalam praktik
selama ini, kedua pengawasan tersebut tidaklah berjalan secara efektif.
Salah satunya karena di lapangan masih ditemukan kendala teknis.
Misalkan, belum memadainya sistem technology informations (IT) di Pemda
khususnya daerah kabupaten, kondisi giografis dan transportasi, keterbatasan
sumber daya manusia di Depdagri dan Depkeu yang bertugas melakukan
pengawasan langsung. Disamping itu, banyaknya Perda yang harus dievaluasi dari
sekitar 363 kabupaten, 93 kota, dan 33 propinsi yang ada di Indonesia.
3. Faktor sosiologis
Untuk mengetahui apakah suatu undang – undang berlaku efektif atau tidak,
sebenarnya dapat dilihat dari masyarakatnya. Karena sebenarnya obyek utama
suatu kebijakan adalah masyarakat. Dalam pelaksanaan otonomi daerah,
masyarakat di daerah memiliki pemahaman yang sedikit “meleneceng” dari jalur.
Mereka mengartikan otonomi sebagai suatu kebebasan yang sebebas- bebasnya,
hingga misalnya, mereka beranggapan bebas mengeksploitasi hasil alam, dengan
dalih pendapatan daerah. Contoh lain adalah adanya penolakan kebijakan
11
pemerintah pusat, sehingga seolah – olah masyarakat didaerah ingin lepas dari
pemerintah pusat.
Pelaksana kebijakan sangat bergantung pada jenis kebijakan apa yang akan
dilaksanakan, namun setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
a) Dinas, badan, kantor, unit pelaksana teknis di lingkungan pemerintah
daerah.
b) Sektor swasta (private sektor) sadar sepenuhnya bahwa Pemerintahan
tidak mampu sendirian untuk membiayai pembangunan nasional
perekonomian misalnya, dan oleh karenanya tak dapat tidak harus
dirangkul potensi sektor swasta (private sectors) untuk mendukung beban
ini, (domestic and foreign) setidak-tidaknya melalui penanaman modal dan
pengembangan usaha di sektor pertanian dan perindustrian, lalu kemudian
mengekspor barang jadi dan setengah jadi ke luar, peroleh devisa, lalu
menggunakan via APBN dan APBD untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan.
c) Lembaga swadaya masyarakat (SDM)
d) Komponen masyarakat, penetapan pelaku kebijakan bukan sekadar
menetapkan lembaga mana yang melaksanakan dan siapa saja yang
melaksanakan, tetapi juga menetapkan tugas pokok, fungsi, kewenangan,
dan tanggungjawab dari masing-masing pelaku kebijakan. Instrumen
untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya harus dibuat payung hukum
dalam bentuk Perda. Secara teori, menggali potensi daerah dengan
melakukan pungutan pajak.dan retribusi adalah sesuatu yang jauh lebih
mudah jika dibandingkan upaya terobosan lain dalam mencari alternatif
meningkatkan PAD. Apalagi Pemda dan DPRD dapat dengan mudah
meng-copypaste Perda daerah lain yang lebih dahulu mengatur pajak,
retribusi, dan pungutan. Biasanya meng-copypaste itu dilakukan pada saat
anggota DPRD dan Pemda melakukan studi banding ke daerah lain.
e) Dalam masa transisi peraturan dari UU No. 5 tahun 1974 kepada UU No.
22 1999 juncto PP. No. 108 tahun 2000 mengenai Tata cara penyampaian
pertanggung jawaban KDH kepada DPRD, terlihat ketidak-siapan, dalam
12
arti kedua pihak belum sepenuhnya memahami isi dan makna UU yang
baru itu dibandingkan dengan isi dan makna UU yang lama.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah rentan terjadi hal – hal :
1) Terjadi semacam rebutan kedudukan antar kaum politisi dari Parpol dan
kalangan aparat birokrat yang telah meniti karir dengan jenjang pendidikan
dan dengan jam terbang pengalaman yang cukup lama untuk menduduki
posisi-posisi eksekutif. Bahkan disana sini terjadi “money politics”
padahal menurut teriakan dan pekik reformasi semula, KKN harus dikikis
habis, khususnya “suap menyuap” dalam hal pencalonan Kepala Daerah
dan Wakilnya. Sampai saat ini masih ada kasus money politics ini, yang
belum tuntas pemerosesannya secara yuridis.
2) Terdapat ketidak -pastian mengenai perlu tidaknya penyusunan Program
Pembangunan Daerah (Propeda) Kabupaten, disusun dengan cara
menyesuaikan dengan Propeda Propinsi (termasuk Rencana Strategisnya),
dan sebaliknya apakah pemerintah Propinsi masih punya kewenangan
memberikan semacam arahan strategis kepada Kabupaten dan Kota.
Kalaupun tidak mengakui perlunya sub-ordinasi, apakah tidak perlu lagi
koordinasi, sebagai salah satu fungsi manajemen.
3) Tidak semua pihak legislatif maupun eksekutif didaerah Kabupaten dan
Daerah Kota itu dinilai “siap” dalam arti menguasai pemahaman untuk
menerapkan UU itu, dengan persepsi yang sama.
4) Terjadi sikap yang sedemikian Ekstrim, sehingga Daerah-daerah
Kabupaten dan Kota menganggap tidak ada hubungan administratif dan
fungsional sama sekali dengan Propinsi, dan beberapa KDH telah
langsung berhubungan dengan Pemerintah pusat tanpa “sekedar
pemberitahuan atau beri kabar pun” kepada Gubernur KDH Propinsi.
5) Timbul kecenderungan Kabupaten untuk mengeruk sebanyak mungkin
sumber PAD seakan-akan kepentingan kesejahteraan masyarakat dinomor
duakan, dan belum tentu terjamin bahwa pungutan-pungutan itu akan
membalik (feed back, melting process) sebagai biaya penanggulangan
kepentingan kesejahteraan rakyat (public service)
13
6) Terlihat adanya kecenderungan pengkavlingan wilayah kekuasaan diantara
Kabupaten-kabupaten dengan semangat otonomi yang meluap-luap dan
menganggap tidak harus adanya lagi campur tangan Pusat terhadap
kasusnya meskipun mengaku bahwa negara ini (masih) negara kesatuan.
Apakah merasa tidak perlu adanya lagi koordinasi ataupun konsultasi?.
Dalam praktek dan perkembangan di daerah-daerah, muncul pemeo bahwa
penguasa sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah, telah menjadi
semacam “raja-raja kecil” yang mengklaim tidak adanya lagi hubungan
kordinatif dan kontrol oleh Propinsi / Gubernur terhadap Kabupaten /
Bupati dan Kota / Walikota. Beberapa contoh Bupati sudah langsung
berhubungan dengan menteri Dalam Negeri “tanpa kordinasi / konsultasi /
pamit” lagi kepada Gubernur.
BAB III
PENUTUP
14
A. Kesimpulan
1. Pelaksanaan otonomi daerah belumlah efektif. Otonomi daerah yang
tujuan utamanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata
baik di daerah perkotaan sampai pelosok tanah air dirasa belum
menampakkan perubahan signifikan baik kualitas maupun kuantitas
terhadap pelayanan publik. Masih banyak pihak yang mengeluh atas
pelaksanaan otonomi daerah. Terlebih belum jelasnya pembagian
kewenangan atas urusan pemerintahan, baik pusat, provinsi
kabupaten/kota, kondisi ini ditambah dengan lemahnya supervisi dari
pemerintah pusat
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas kebijakan pemerintah
mengenai otomi daerah antara lain:
a. Aspek politis
b. Aspek yuridis
c. Aspek sosiologis
B. Saran
1. Pemerintah dalam menyusun suatu kebijakan hendaknya benar – benar
memperhatikan asas – asas umum pemerintahan yang baik
2. Pemerintah daerah, hendaknya menyadari bahwa pelaksanaan otonomi
daerah sebenarnya merupakan salah satu upaya pemerintah memajukan
kesejahteraan daerah dan bukan untuk melegalkan pemerintah daerah
lepas dari pemerintah pusat.
3. Masyarakat hendaknya berpartisipasi dalam mensukseskan
penyelenggaraan otomi daerah, dengan memahami hakikat otonomi daerah
yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sunggono, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
15
Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Soiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005.
Jamal Wiwoho dkk, Bahan Perkuliahan Hukum dan Kebijakan Publik, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Banyu Media Publising, Malang, 2007.
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan, Bumi Aksara, Jakarta, 2008.
Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
http://www.suara-daerahonline.com
http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi6/6kolom_2.html
http://www.asosiasipoliteknik.or.id/index.phpmodule=aspi_jurnal&func=display&jurnal_id=269
16
Recommended