View
222
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
EFISIENSI DAN KECERNAAN SERAT RANSUM
MENGANDUNG LIMBAH TAUGE PADA
KELINCI LOKAL JANTAN
MASA PERTUMBUHAN
SKRIPSI
NOVYA CHRISTIANA
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
NOVYA CHRISTIANA. D24080253. 2012. Efisiensi dan Kecernaan Serat
Ransum Mengandung Limbah Tauge Pada Kelinci Lokal Jantan Masa
Pertumbuhan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Didid Diapari, M. Si.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Jajat Jachja F. A, M. Agr.
Kelinci merupakan ternak sumber protein hewani yang dapat berpeluang
sebagai produk unggulan di sektor peternakan. Kebutuhan kualitas nutrisi yang bagus
pada pakan kelinci sudah tersedia pada pakan komersil namun ransum komersil
untuk kelinci yang ada di pasaran cenderung mempunyai harga yang mahal sehingga
diperlukan alternatif untuk mencari pakan yang tersedia secara kontinu, memiliki
nilai gizi yg cukup, mudah dicerna, dan murah seperti limbah tauge. Limbah tauge
merupakan sisa produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-
pecahan tauge. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa dan kecernaan
komponen serat dalam ransum komplit campuran limbah tauge dengan level
pemberian limbah tauge yang berbeda pada kelinci lokal jantan masa pertumbuhan.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan uji lanjut Duncan yang terdiri dari 4 perlakuan 3 ulangan
masing-masing ulangan terdiri dari 1 ekor kelinci Lokal jantan. Perlakuan yang
digunakan yaitu P0 (100% ransum komersil), P1, P2, dan P3 (masing-masing terdiri
dari ransum komersil 85%, 70%, dan 55%, penambahan limbah tauge masing-
masing 15%, 30% dan 45%). Peubah yang digunakan dalam penelitian adalah
konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan harian, efisiensi pakan, kecernaan
serat kasar (SK), kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF), dan kecernaan Acid
Detergent Fiber (ADF).
Berdasarkan uji sidik ragam, penambahan limbah tauge pada ransum kelinci
lokal jantan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap konsumsi
bahan kering, pertambahan bobot badan harian, kecernaan serat kasar, kecernaan
NDF dan ADF. Efisiensi pakan mempunyai pengaruh yang nyata (P<0.05).
Konsumsi BK, pbbh, dan efisiensi dari P0= 69,13, 17,14 dan 0,26, P1= 72,82, 12,14
dan 0,16, P2= 104,41, 17,40 dan 0,17, P3= 95,26, 14,21 dan 0,15. Kecernaan SK,
NDF, dan ADF dari P0= 30,04, 41,46 dan 20,30, P1= 44,00, 43,91 dan 31,03, P2=
33,39, 38,86 dan 27,38, P3= 33,23, 41,36 dan 43,36. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pemberian limbah tauge sampai taraf 45% tidak mempengaruhi
pertambahan bobot badan harian, kecernaan serat kasar, kecernaan NDF dan
kecernaan ADF. Penambahan limbah tauge pada ransum komersil dapat
meningkatkan palatabilitas pakan dan cenderung meningkatkan konsumsi bahan
kering namun menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang tidak berbeda
nyata.
Kata-kata kunci: limbah tauge, kelinci lokal jantan, performa, kecernaan
ABSTRACT
Efficiency and Digestibility of Fiber in Ration which Contain Bean Sprouts
Waste in Growing Phase of Local Male Rabbits
Christiana, N., D. Diapari, and J.J.F. Arief
The aims of this research to determine the feed efficiency (gram/rabbit/day) and
digestibility of fiber in commercial feed with bean sprouts waste pelleted by giving
the different amount of bean sprouts waste for each local male rabbits at growing
phase. These rabbits were divided into four treatments and three replications. The
result were analyzed using analysis of variance in completely randomized block
design with Duncan advanced test. The treatments were P0 (100% commercial feed),
P1, P2, and P3 (consisted of commercial feed respectively 85%, 70%, 55 % and
waste of Tauge respectively 15%, 30%, 45%). The parameters in this research were
consumption of dry matters, daily weight gained, feed efficiency, digestibility of
crude fiber (CF), Neutral Detergent Fiber (NDF), Acid Detergent Fiber (ADF). The
results of the study showed that the effect of giving bean sprouts waste in complete
feed for male local rabbit was not significantly (P>0.05) affecting consumption of
dry matters, daily weight gained, crude fiber digestibility, NDF digestibility and
ADF digestibiltity. Feed efficiency were affected significantly (P<0.05). It can be
concluded that the provision of bean sprouts waste to 45% did not affect daily weight
gained, digestibility of crude fiber, NDF digestibility and ADF digestibility. Addition
of bean sprouts waste on a commercial feed increased palatability of feed, and tend
to increase dry matter intake but daily body weight gain was not significantly
different.
Keywords: bean sprouts waste, local male rabbit, performance, digestibility
EFISIENSI DAN KECERNAAN SERAT RANSUM
MENGANDUNG LIMBAH TAUGE PADA
KELINCI LOKAL JANTAN
MASA PERTUMBUHAN
NOVYA CHRISTIANA
D24080253
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul : Efisiensi dan Kecernaan Serat Ransum Mengandung Limbah Tauge
Pada Kelinci Lokal Jantan Masa Pertumbuhan
Nama : Novya Christiana
NIM : D24080253
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Dr. Ir. Didid Diapari, M. Si)
NIP. 19620617 199002 1 001
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Jajat Jachja F. A, M. Agr)
NIP. 19620425 198603 1 002
Mengetahui:
Ketua Departemen,
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc. Agr
NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 7 Sepetember 2012 Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 November 1989
di Magetan, Jawa Timur. Penulis adalah putri kedua dari
empat bersaudara dari pasangan Bapak Kasruni, SP dan Ibu
Hartatik.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2002 di
SDN 1 Krowe, Pendidikan lanjutan menengah pertama
diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 2 Parang dan
pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2008 di SMAN 2
Magetan. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi
kampus antara lain: Bendahara Umum dan Dewan Penasihat Chess Unity of
Agriculture (CUA) periode 2009-2010 dan 2010-2011, Sekretaris Umum II dan I
Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) periode 2009-
2010 dan 2010-2011, dan dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Ikatan
Mahasiswa, Pelajar, dan Alumni Magetan (IMPATA) sebagai anggota tahun 2008-
2012.
Selama studi di IPB penulis juga mendapatkan bantuan beasiswa POM tahun
2009-2010, beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) tahun 2010-2012. Penulis juga
pernah menjadi Juara 2 Kejuaraan Catur Beregu di Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI)
tahun 2009, Juara 3 Kejuaraan Catur Putri di Home Tournament tahun 2010, Juara 2
Kejuaraan Catur Beregu di Dekan Cup tahun 2010, Delegasi IPB di Kejuaraan
Nasional Catur Mahasiswa III dan IV tahun 2010 dan 2011. Penulis berkesempatan
menjadi peserta Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didanai sebanyak 3
proposal dengan judul pertama Tepung pletekan (Ruellia tuberose l.) sebagai obat
alternatif diabetes mellitus pada tikus hiperglikimia, judul kedua Pengujian
tepung dan seduhan pletekan (Ruellia tuberose l.) sebagai obat herbal alternatif
diabetes mellitus secara invivo pada tikus (Rattus norvegicus), judul ketiga
Pemanfaatan limbah tongkol jagung sebagai pakan substitusi hijauan pada
domba.
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Tidak ada kata yang terucap selain alhamdulillaahirabbil’aalamiin atas segala
petunjuk dan kemudahan-Nya, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan lindungan, bimbingan, serta kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Efisiensi dan Kecernaan Serat Ransum
Mengandung Limbah Tauge pada Kelinci Lokal Jantan Masa Pertumbuhan
dan ditulis berdasarkan hasil penelitian pada bulan Februari sampai April 2012.
Pakan berperan penting dalam menentukan produktivitas ternak kelinci.
Pakan yang berkualitas bagus akan menjadi perhatian penting dalam suatu
peternakan kelinci. Pakan kelinci yang umum diberikan yaitu berupa ransum
komersil (pellet) dan hijauan. Ransum komersil yang ada di pasaran dengan harga
yang relatif mahal biasanya menjadi penghambat untuk peternakan kelinci.
Penulis mencoba membuat alternatif mengurangi penggunaan ransum
komersil melalui penambahan limbah tauge dengan biaya yang lebih ekonomis dan
tidak mengganggu kesehatan. Penulis membandingkan ternak kelinci yang diberi
ransum komersil dengan kelinci yang diberi ransum komersil yang ditambah limbah
tauge pada level pemberian yang berbeda.
Kualitas masing-masing pakan tersebut dapat dilihat dari performa dan
kecernaan serat pada kelinci tersebut. Performa yang diamati meliputi konsumsi
bahan kering, pertambahan bobot badan harian, dan efisiensi pakan.
Penulis menyadari adanya kekurangan-kekurangan dalam tulisan ini, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada
umumnya.
Bogor, September 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ................................................................................................ i
ABSTRACT ................................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
Latar Belakang ................................................................................... 1
Tujuan ............................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3
Kelinci ................................................................................................ 3
Saluran Pencernaan Kelinci ............................................................... 4
Pakan Kelinci ..................................................................................... 7
Konsumsi Pakan ................................................................................ 7
Kebutuhan Nutrisi Kelinci ................................................................. 8
Limbah Tauge .................................................................................... 10
Pellet .................................................................................................. 11
Serat Kasar ......................................................................................... 12
Komponen Dinding Sel ..................................................................... 12
Neutral Detergent Fiber (NDF) ......................................................... 14
Acid Detergent Fiber (ADF) .............................................................. 15
Pertambahan Bobot Badan ................................................................. 16
Efisiensi Pakan ................................................................................... 16
MATERI DAN METODE ............................................................................. 18
Lokasi dan Waktu .............................................................................. 18
Materi ................................................................................................. 18
Ternak .................................................................................... 18
Kandang dan Peralatan .......................................................... 18
Pakan dan Air Minum ............................................................ 18
Prosedur ............................................................................................. 19
Pembuatan Ransum Perlakuan ............................................... 19
Persiapan Kandang ................................................................ 20
Pemeliharaan .......................................................................... 21
Pengumpulan Sampel ............................................................ 21
Analisa Bahan Kering ............................................................ 21
Analisa Serat Kasar ................................................................ 22
Analisa Neutral Detergent Fiber (NDF) ............................... 22
Analisa Acid Detergent Fiber (ADF) .................................... 23
Analisa Selulosa ..................................................................... 23
Analisa Lignin ........................................................................ 23
Rancangan Percobaan dan Analisa Data ........................................... 24
Perlakuan ............................................................................... 24
Rancangan .............................................................................. 24
Analisis Data .......................................................................... 25
Peubah yang Diukur ............................................................... 25
Konsumsi Bahan Kering ............................................ 25
Pertambahan Bobot Badan Harian ............................. 25
Efisisensi Pakan ......................................................... 25
Kecernaan Serat Kasar ............................................... 26
Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF) ............... 26
Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF) ................... 26
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 27
Konsumsi Bahan Kering .................................................................... 27
Pertambahan Bobot Badan Harian ..................................................... 29
Efisiensi Pakan ................................................................................... 31
Kecernaan Serat Kasar ....................................................................... 32
Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF) ....................................... 34
Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF) ........................................... 36
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 39
Kesimpulan ........................................................................................ 39
Saran .................................................................................................. 39
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 41
LAMPIRAN ................................................................................................... 44
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perbedaan Kandungan Nutrisi Feses Lunak dan Feses Keras pada
Kelinci .................................................................................................. 6
2. Kebutuhan Nutrisi pada Pakan Kelinci ................................................ 9
3. Komposisi Ransum Penelitian .............................................................. 18
4. Kandungan Zat Makanan Tepung Limbah Tauge dan Ransum
Perlakuan .............................................................................................. 19
5. Rataan Konsumsi, PBBH, dan Efisiensi Pakan pada Kelinci Lokal
Jantan .................................................................................................... 27
6. Kecernaan Serat Kasar pada Kelinci Lokal Jantan ............................... 33
7. Kecernaan NDF pada Kelinci Lokal Jantan ......................................... 35
8. Kecernaan ADF pada Kelinci Lokal Jantan ......................................... 36
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Sistem Saluran Pencernaan Kelinci ....................................................... 5
2. Limbah Tauge ....................................................................................... 11
3. Skema Dinding Sel Tanaman dan Isi Sel Tanaman .............................. 13
4. Skema Pembagian Hijauan Menurut Van Soest ................................... 14
5. Proses Pembuatan Ransum Perlakuan ................................................... 20
6. Grafik Regresi Konsumsi BK dan NDF ................................................ 35
7. Grafik Regresi Konsumsi BK dan ADF ................................................ 37
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Dokumentasi Penelitian ......................................................................... 45
2. Analisis Ragam Konsumsi Bahan Kering ............................................. 46
3. Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Harian .............................. 46
4. Analisis Ragam Efisiensi Pakan ............................................................ 46
5. Analisis Ragam Kecernaan Serat Kasar ................................................ 47
6. Analisis Ragam Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF) ................ 47
7. Analisis Ragam Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF) ..................... 47
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani
menuntut tersedianya sumber protein hewani dari berbagai jenis ternak. Salah satu
alternatif penyedia daging untuk mendorong percepatan penganeka ragaman sumber
pangan asal ternak adalah kelinci. Kelinci merupakan ternak sumber protein hewani
yang dapat berpeluang sebagai produk unggulan di sektor peternakan. Kelinci
mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai ternak penghasil
daging.
Usaha budidaya ternak kelinci sebagai penghasil daging lebih
menguntungkan karena kelinci merupakan ternak prolifik yang dapat beranak 6 kali
dalam setahun dengan rata-rata jumlah anak 6 ekor per kelahiran (Sudaryanto, 2007).
Kualitas daging kelinci juga mengandung protein tinggi yaitu 21 g/100g dan rendah
kolesterol yaitu 164 mg/100g (Lebas et al., 1997).
Pakan merupakan faktor utama yang dapat menentukan keberhasilan suatu
peternakan. Ketersediaan bahan baku pakan yang terjamin nilai nutrisinya dengan
harga yang lebih ekonomis merupakan salah satu penunjang usaha produksi ternak
kelinci. Kelinci merupakan hewan pseudo-ruminant sehingga kelinci juga mampu
mengkonsumsi hijauan, limbah sayuran, dan hasil produk pakan yang mudah tersedia
atau murah. Kualitas nutrisi pakan pada kelinci juga perlu diperhatikan. Kualitas
pakan yang bagus biasanya sudah tersedia pada ransum komersil. Ransum komersil
untuk kelinci yang ada di pasaran cenderung mempunyai harga yang mahal sehingga
diperlukan alternatif untuk mencari pakan yang tersedia secara kontinu, murah,
mudah didapat, memiliki nilai gizi yang cukup, mudah dicerna serta tidak
mengganggu kesehatan ternak. Salah satu alternatif pakan untuk mengurangi
penggunaan ransum komersil adalah limbah tauge. Pemanfaatan limbah sebagai
pakan ternak juga merupakan salah satu cara pemecahan masalah dalam mengurangi
pencemaran lingkungan akibat limbah industri.
Limbah adalah bahan buangan dari proses perlakuan atau pengolahan untuk
memperoleh hasil utama atau hasil sampingan. Limbah tauge adalah sisa produksi
tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge yang dibawa
dalam cucian akhir pembuatan tauge segar yang tidak mempunyai nilai ekonomi dan
2
dapat mencemari lingkungan (Agustina, 2002). Hasil survey Rahayu et al. (2010)
menginformasikan bahwa total produksi tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari
dan berpeluang menghasilkan limbah tauge sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge juga
memiliki nilai nutrisi yang cukup baik, yaitu kandungan air 63,35%, abu 7,35%,
lemak 1,17%, protein 13,62%, dan serat kasar 49,44%.
Melihat kandungan gizinya yang tinggi sangat memungkinkan limbah tauge
digunakan sebagai pakan tambahan untuk mengurangi penggunaan pakan komersil
pada kelinci. Pemanfaatan limbah tauge secara maksimal merupakan langkah
strategis dalam upaya mencapai efisiensi usaha, terlebih limbah tersebut bukan
merupakan kebutuhan langsung bagi manusia. Kemampuan mencerna serat yang
rendah pada kelinci juga harus menjadi pertimbangan dalam penggunaan pakan ini,
sehingga perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut tentang efisiensi pakan, dan
kecernaan seratnya. Pengujian penggunaan limbah tauge dengan beberapa level
pemberian yang berbeda pada pakan kelinci lokal jantan untuk mengurangi
penggunaan ransum komersil perlu dilakukan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa dan kecernaan komponen
serat dalam ransum komersil campuran limbah tauge dengan level pemberian limbah
tauge yang berbeda pada kelinci lokal jantan masa pertumbuhan.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Kelinci
Klasifikasi kelinci menurut Damron (2003) adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Lagomorpha
Family : Leporidae
Genus : Oryctolagus (rabbits), Lepos (hares), Ochotona (pikas), Sylvilagus
(cottontails)
Species : cuniculus forma domestica (domestic rabbit), cuniculus (wild rabbit)
Whendrato dan Madyana (1986) menyatakan bahwa pada saat ini di
Indonesia ada tiga macam kelinci yaitu kelinci lokal, kelinci unggul dan kelinci
persilangan (crossing). Kelinci lokal adalah keturunan kelinci yang masuk ke
Indonesia sejak lama, dibawa oleh orang Eropa dan Belanda sebagai ternak hias atau
kesayangan. Ciri-ciri kelinci lokal adalah: bentuk dan bobotnya kecil, sekitar 1,5 kg,
bulu bervariasi putih, hitam, belang dan abu-abu. Sarwono (2009) menyatakan
bahwa di Indonesia terdapat kelinci lokal yang ukurannya lebih kecil daripada kelinci
impor. Kelinci lokal ini memiliki laju pertumbuhan yang lambat, bobot dewasa 0,9-
1,2 kg. Bulunya yang sangat bagus, corak kombinasi antara putih dan hitam. Kelinci
dapat melahirkan empat kali setahun, karena masa buntingnya hanya 30-35 hari dan
sekali melahirkan bisa 6-12 ekor anak.
Berdasarkan bobot tubuh kelinci, Sarwono (2009) menggolongkan kelinci
menjadi tiga tipe yaitu:
1. Kelinci tipe kecil: berbobot antara 0,9-2,0 kg, umur 4-6 bulan sudah siap
kawin, umumnya dipelihara untuk ternak hias dan ternak kesayangan seperti
varietas Dutch, Lop Dwarf, Nederland Dwarf, Polish, dan Siamese.
2. Kelinci tipe sedang : berbobot antara 2,0-4,0 kg, umur 7-8 bulan baru bisa
dikawinkan, dipelihara terutama untuk ternak penghasil daging sekaligus
kulit bulu seperti varietas Californian, Carolina, Champagne d’Argent,
English Spot, New Zealand, Rex, dan Simonoire.
4
3. Kelinci tipe berat: berbobot 5,0-8,0 kg, umur 10-12 bulan baru bisa
dikawinkan, dipelihara untuk ternak penghasil daging sekaligus bulu seperti
varietas Checkered Giant, Flemish Giant alias Vlaamsereus, dan Giant
Chinchilla.
Potensi biologis yang paling signifikan dari kelinci adalah kemampuan
reproduksi yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang biak dari hijauan, limbah
sayuran, dan hasil produk pakan yang mudah tersedia dan murah di sebagian besar
daerah pedesaan di Indonesia (Raharjo, 2008). Suhu dan kelembapan lingkungan
ideal untuk kelinci yaitu suhu 16˚C-22˚C (Rajeshwari dan Guruprasad, 2008) dan
kelembapan 60%-65% (Lebas et al.,1997). Lebas et al. (1997) menyatakan bahwa
suhu yang panas dengan kelembapan mendekati 100% dapat menyebabkan masalah
serius pada kelinci.
Saluran Percernaan Kelinci
Makanan dikunyah dalam mulut menggunakan gigi atas (4 buah) dan gigi
bawah (2 buah) yang disebut gigi incisors. Makanan kemudian menuju bagian
belakang mulut dan dikunyah lebih lanjut oleh gigi bagian belakang (gigi molar)
menjadi berukuran semakin kecil dan kemudian ditelan dan menuju esofagus.
Esofagus mengalirkan makanan dari faring turun ke lambung. Pada lambung terjadi
pemecahan kimiawi makanan dengan adanya HCl dan pemecahan enzimatis dengan
adanya pepsin. Setelah mengalami pencernaan kimiawi dan enzimatis makanan
menuju usus halus melalu pylorus yaitu batas antara lambung dan usus halus. Usus
halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Penyerapan nutrien makanan terjadi
paling besar di usus halus. Di duodenum terjadi penetralan bolus yang asam oleh
getah empedu dan pemecahan sari makanan oleh sekresi pankreas (lipase dan
amylase) dan pada duodenum penyerapan belum maksimal. Pada jejenum terjadi
penyerapan sari makanan secara intensif oleh villi usus dan pada ileum terjadi
penyerapan lanjutan. Selanjutnya digesta menuju ke sekum melewati ileo-cecal
valve yaitu katup antara usus halus dan sekum. Sekum berfungsi sebagai tempat
fermentasi. Bakteri dan protozoa yang terdapat di dalamnya, membantu proses
pencernaan sellulosa. Gerakan peristaltik akan mendorong digesta ke arah kolon dan
di kolon terjadi penyerapan air sebelum ke anus. Pada saat yang sama, gerakan anti
peristaltik memisahkan partikel yang berserat dan tidak berserat serta mendorong
5
kembali partikel berserat ke arah ileo-cecal valve menuju sekum. Partikel berserat
mengalami fermentasi atau pencernaan alloenzimatis oleh mikroba di sekum. Terjadi
absorpsi air dan zat anorganik di kolon sehingga terbentuk feses setengah keras.
Rektum merupakan bagian akhir dari usus besar dan fungsinya sebagai tempat
menahan feses sebelum dikeluarkan melalui anus (Murwani, 2009). Bagian-bagian
sistem pencernaan kelinci dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Sistem Saluran Pencernaan Kelinci Sumber: Lebas et al., 1997
Hindgut fermenters yang terjadi di usus besar (sekum dan kolon) memiliki
populasi mikroba yang melakukan banyak fungsi pencernaan yang sama seperti pada
rumen. Kelemahan hindgut fermenters adalah nutrisi larut seperti gula, asam amino,
vitamin, dan mineral diserap di usus kecil sehingga komposisi bahan yang masuk ke
hindgut kurang menguntungkan bagi pertumbuhan maksimal mikroba daripada yang
terjadi di rumen dimana mikroba memiliki semua nutrisi pakan yang dicerna sebagai
substrat yang tersedia. Mikroba dalam hindgut tidak dikenakan proses pencernaan
kecuali dari feses yang dikonsumsi. Perjalanan melalui hindgut lebih cepat daripada
melalui rumen, yang mengarah pada efisiensi pencernaan serat yang lebih rendah
(Cheeke dan Dierenfeld, 2010).
Hindgut dari kelinci berfungsi secara selektif mengeluarkan serat dan
mempertahankan komponen non serat pakan untuk difermentasi di sekum.
6
Pemisahan dilakukan oleh aktifitas otot dari proximal colon. Partikel serat lebih luas
dan kurang padat daripada komponen non serat yang cenderung terpusat di lumen
kolon. Cairan dan material yang berukuran kecil cenderung terpusat pada pinggiran
kolon. Setelah colon dikosongkan dari kotoran keras (hard faecal pellet) yang
terutama terdiri dari serat, caecum berkontraksi dan isi caecal dimampatkan ke
dalam proximal colon. Mucin disekresikan oleh sel goblet, memproduksi material
caecal yang ditutupi dengan membran mucilaginous. Material ini dikenal dengan
caecotropes “feses lunak” yang dikonsumsi langsung dari anus (Cheeke dan
Dierenfeld, 2010).
Menurut Anggorodi (1979), mikroorganisme yang terdapat dalam sekum
kuda dan kelinci mampu mensintesa selulase yang dapat mencerna dan merombak
selulosa menjadi disaccharida yaitu selobiosa.
Kelinci menghasilkan dua jenis kotoran yaitu kotoran keras (fecal pellets) dan
kotoran lunak (cecotropes). Kotoran keras sebagian besar terdiri dari serat yang tidak
dapat dicerna, sedangkan kotoran lunak terdiri dari isi caecal dan dikonsumsi oleh
kelinci secara langsung dari anus, menyediakan protein bakteri dan sintesis vitamin
di sekum. Hal ini dapat menjadi strategi pencernaan kelinci untuk mengkonsumsi
pakan rendah energi tanpa kerugian karena harus mengangkut dalam jumlah besar
serat tidak tercerna dalam usus. Kelinci menghilangkan serat secara cepat dan lebih
berkonsentrasi pada aktivitas pencernaan pada komponen bukan serat (nonfiber)
yang lebih bergizi (Cheeke, 2005). Perbedaan kandungan nutrisi dalam feses lunak
dan feses keras dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Kandungan Nutrisi Feses Lunak dan Feses Keras pada Kelinci
Nutrisi (%)
Jenis Feses
Cecotropes Feses normal
Protein kasar (PK) 38,0 15,0
Abu 14,0 15,0
Lemak 1,5 1,8
Serat 14,3 27,8
Sumber: McNamara, 2006
7
Pakan Kelinci
Kelinci yang masih hidup liar lebih banyak makan hijauan atau biji-bijian
yang ada di lingkungan, tetapi kelinci yang sudah diternakan secara intensif dapat
diberikan pakan berupa hijauan, biji-bijian, umbi-umbian, limbah pangan, limbah
pertanian, konsentrat dll. Jenis pakan hijauan sebaiknya dilayukan terlebih dahulu
sebelum diberikan pada kelinci. Beberapa jenis hijauan yang sebaiknya tidak
diberikan pada kelinci yaitu berupa rumput-rumputan yang berbulu seperti alang-
alang dan rumput gajah yang sudah tua (Sudaryanto, 2007).
Terdapat dua bahan pakan yang umum diberikan pada kelinci yaitu pakan
komersil yang kandungan nutrisinya sudah seimbang yang biasa dalam bentuk pellet
dan pakan hijauan yang berupa hay dan rumput segar (Damron, 2003). Kelinci tidak
menyukai pakan dalam bentuk mash dan variasi dalam pakan lebih baik daripada
pemberian pakan dengan komposisi tunggal. Perubahan pola makan secara tiba-tiba
pada kelinci dapat menyebabkan diare. Palatabilitas dari kelinci dapat dipertahankan
dengan pellet yang mempunyai komponen pakan yang lengkap yang hanya
diperlukan tambahan hay dan air minum segar dalam pemberiannya (Lowe, 1998).
Ketidak tepatan pemberian pakan juga dapat menyebabkan dehidrasi dan kematian
(Lowe, 2010).
Menurut Cheeke (2005), kelinci merupakan hewan yang cukup rentan
terhadap penyakit enteric (enteritis dan diare) yang mengarah pada pakan utamanya.
Kelinci sangat sensitif terhadap faktor palatabilitas dan sering menolak untuk
mengkonsumsi sejumlah pakan meskipun memiliki spesifikasi bahan yang sama
dengan bahan pakan yang pernah dikonsumsi.
Konsumsi Pakan
Konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar hidup dan
menentukan produksi. Dari pengetahuan tingkat konsumsi dapat ditentukan kadar
suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan
produksi. Hewan yang mempunyai konsumsi yang lebih tinggi, produksinya relatif
akan lebih tinggi dibanding dengan hewan (yang sejenis) dengan konsumsi yang
rendah (Parakkasi, 1999).
Lowe (2010) menyatakan bahwa kebutuhan hidup pokok kelinci dewasa
memerlukan bahan kering sekitar 3,0%-3,5% dari bobot badan sedangkan untuk
8
hidup pokok dan pertumbuhan diperlukan bahan kering sebanyak 5%-8% dari bobot
badan (NRC, 1977). Hasil penelitian Lestari (2004) yang menggunakan kelinci lokal
jantan umur 3 bulan dengan bobot badan awal 1.369 gram yang diberikan pakan 0%-
15% kulit biji kedelai (KBK), menghasilkan konsumsi bahan kering yaitu sebesar
49,14-58,19 g/ekor/hari atau rata-rata 53,89 g/ekor/hari.
Cheeke dan Dierenfeld (2010) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi konsumsi pakan yaitu : (1) palatabilitas dan pilihan pakan, (2)
keberadaan zat-zat antinutrisi, strategi pemberian pakan, dan palatability, (3) level
energi dalam pakan, (4) protein dan konsentrasi asam amino, (5) Mineral, (6)
komposisi pakan, (7) temperatur lingkungan, (8) bunting dan laktasi.
Pada umumnya air dianggap bukan sebagai zat makanan, akan tetapi
sesungguhnya air merupakan zat yang esensial untuk berbagai proses fisiologis
dalam tubuh. Saat air dibatasi, konsumsi pakan akan berkurang. Parakkasi (1999)
menyatakan bahwa ada empat fungsi air yang terintegrasi dalam sistem pertumbuhan
yaitu: (1) komponen jaringan, (2) merupakan media fisik atau mekanik dalam arti
mengantar zat makanan dari saluran pencernaan ke dalam jaringan tertentu untuk
sintesis komponen tertentu guna pertumbuhan atau hidup pokok sel tertentu, (3)
mengatur fungsi osmosis dalam sel, dan (4) air sebagai pereaksi. Temperatur yang
tinggi akan menurunkan tingkat konsumsi. Konsumsi air cenderung merupakan
fungsi dari konsumsi bahan kering dan temperatur lingkungan (Parakkasi, 1999).
Menurut Rianto et al. (2006), semakin tinggi tingkat konsumsi menyebabkan laju
digesta dalam saluran pencernaan semakin tinggi, sehingga waktu yang tersedia bagi
enzim untuk mengurai zat makanan menjadi terbatas.
Kebutuhan Nutrisi Kelinci
Nutrisi yang baik adalah dasar kesehatan dan produksi yang baik (Damron,
2003). Kebutuhan nutrisi kelinci dipengaruhi oleh fisiologi saluran pencernaannya.
Kelinci memiliki fermentasi mikroba dalam sekum dan mengkonsumsi isi cecal
(cecotrophy). Cecotrophy biasanya terjadi sekali atau dua kali setiap periode 24 jam,
umumnya pada malam hari dan biasanya disebut sebagai “kotoran malam” untuk
cecotropes. Konsumsi cecotropes menyediakan sumber protein mikroba serta
pasokan yang cukup dari semua vitamin B (Cheeke, 2005).
9
Rasyaf (1990) menyebutkan bahwa energi merupakan unsur yang penting
bagi ternak. Kekurangan energi akan menyebabkan protein akan diubah menjadi
energi dan energi mempunyai cadangan dalam bentuk lemak. Energi berkaitan erat
dengan konsumsi protein, dengan kebutuhan protein berbeda sesuai dengan umur,
tipe dan macam ternak serta produksi ternak tersebut. Kebutuhan nutisi pada pakan
kelinci disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi pada Pakan Kelinci
Nutrisi Satuan Pertumbuhan Laktasi Bunting
Energi Kkal/kg 2.500 2.500 2.500
Protein Kasar % 16 17 15
TDN % 65 55 58
Serat Kasar % 10-12 10-12 10-12
NDF* % 21 21 21
ADF* % 21 21 21
Lemak % 2 2 2
Kalsium % 0,40 0,75 0,45
Pospor % 0,22 0,5 0,37
Lisin % 0,65 - -
Vitamin E mg 40 40 40
Sumber: National Reseach Council (1977) (*) McNamara (2006)
Cheeke (2005) menyatakan bahwa tingkat energi dalam pakan kelinci cukup
rendah, biasanya berada pada kisaran 2.400-2.800 DE/kg pakan kkal. Energi pada
pakan yang lebih tinggi cenderung untuk meningkatkan pertumbuhan berlebih
mikroba dalam sekum dan menyebabkan penyakit enteric (diare).
Jumlah dan jenis serat pakan adalah pertimbangan utama dalam nutrisi
kelinci. Serat tidak tercerna seperti selulosa dan lignin yang merupakan fraksi ADF
yang memiliki peran penting dalam mempertahankan pergerakan usus dan
mencegah enteritis (radang usus). Serat tercerna seperti hemiselulosa dan pektin
mempunyai fungsi dalam memberikan energi dan meningkatkan populasi mikroba
sekum secara optimal. Optimal penggunaan serat pakan adalah 15-20% ADF, 14-
18% serat kasar (Cheeke, 2005).
10
Kebutuhan protein adalah 16% untuk pertumbuhan maksimum dan 18%
untuk menyusui. Kualitas protein pakan adalah penting meskipun protein mikroba
dari fermentasi cecal tidak memberikan kontribusi yang signifikan (Cheeke, 2005).
Limbah Tauge
Pulau Jawa merupakan penghasil utama kacang hijau (P. Radiatus L.) di
Indonesia karena memberikan kontribusi 61% terhadap produksi kacang hijau
nasional (Kasno, 2007). Kacang hijau adalah tanaman daerah tropis dengan iklim
panas, namun dapat tumbuh di semua daerah di Indonesia. Kacang hijau mempunyai
zat anti nutrisi seperti anti tripsin 11,16 Tiu/100 g dan hemaglutinin 246,60 Hu/100 g
sedangkan setelah menjadi tauge anti tripsin 8,37 Tiu/100 g dan hemaglutinin 209,70
Hu/100g (Okoronkwo et al.,2010). Ekawati dan Lidartawan (1996) menyatakan
bahwa anti tripsin adalah jenis protein yang menghambat kerja enzim tripsin di
dalam tubuh sedangkan hemaglutinin dapat menurunkan kemampuan dinding usus
dalam penyerapan zat makanan sehingga penyerapan protein terganggu.
Pembuatan tauge atau kecambah dapat mengurangi anti nutrisi yang ada
dalam kacang hijau. Selama perkecambahan, biji-bijian akan mengalami perubahan
fisik dan kimiawi yaitu terjadi hidrolisa protein, karbohidrat dan lemak sehingga
mudah dicerna. Protein-protein dari sel-sel penyimpanan dirombak oleh sekumpulan
enzim proteolitik yang menghasilkan suatu campuran asam amino bebas, bersama
dengan amida dari asam glutamat dan aspartat. Pati dirombak oleh enzim α-amilase
menjadi dekstrin, sedangkan oleh β-amilase, dekstrin dipecah menjadi maltose.
Selama perkecambahan, kandungan gula mengalami perubahan, kadar glukosa dan
fruktosa meningkat 10 kali bila dibandingkan pada sebelum perkecambahan
(Agustina, 2002).
Cara pembuatan tauge yaitu kacang hijau dituang dalam tahang berisi air.
Kacang hijau dicuci dengan ayakan di dalam air. Kacang hijau tersebut direndam 6
jam dan ditiriskan dalam keranjang pendek (boboko) serta abu dituangkan dalam
keranjang. Keranjang ditutup dengan goni (3 hari) untuk menghasilkan kecambah
pendek. Kecambah pendek dipindahkan ke keranjang tinggi yang sudah dilapisi daun
pisang (siram air 5 kali/hari). Tauge dipanen setelah 5 hari. Untuk mendapatkan
limbah tauge dilakukan pengayakan. Limbah tauge dapat diperoleh dari 10%-15%
bagian tauge segar (Ifafah, 2012).
11
Limbah tauge adalah sisa produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau
dan pecahan-pecahan tauge yang dibawa dalam cucian akhir pembuatan tauge segar
yang tidak mempunyai nilai ekonomi dan dapat mencemari lingkungan (Agustina,
2002).
Saenab (2010) menyatakan bahwa pengeringan limbah tauge dengan
menggunakan sinar matahari hanya membutuhkan waktu rata-rata 2 hari, dengan
kadar air 65%-70%. Tepung kulit tauge dapat menjadi salah satu pakan sumber
energi, dengan kandungan energi metabolis sebesar 3.737 Kkal/kg. Limbah tauge
segar dan limbah tauge kering dapat dilihat pada Gambar 2.
(a) (b)
Gambar 2. (a) Limbah Tauge Segar, (b) Limbah Tauge Kering
Hasil survey Rahayu et al. (2010) menginformasikan bahwa total produksi
tauge di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari dan berpeluang menghasilkan limbah
tauge sebesar 1,5 ton/hari. Limbah tauge juga memiliki nilai nutrisi yang cukup baik,
yaitu kandungan air 63,35%, abu 7,35%, lemak 1,17%, protein 13,62%, dan serat
kasar 49,44%. Ifafah (2012) melaporkan bahwa penambahan limbah tauge pada
konsentrat domba juga meningkatkan palatabilitas pakan domba.
Pellet
Cheeke (2005) menyatakan bahwa pakan pellet mempunyai beberapa
keuntungan diantaranya meningkatkan kepadatan pakan, mengurangi debu pada
pakan, mengurangi volume saat penyimpanan dan transportasi, serta meningkatkan
konsumsi pakan dan mencegah hewan memilih bahan pakan yang disukai sehingga
hewan tersebut dapat mengkonsumsi pakan campuran secara keseluruhan. Cheeke
(2003) juga menyatakan bahwa pakan dalam bentuk pellet dapat memperbaiki
performa hewan dan efisiensi konversi pakan, sedangkan kerugian dari pellet adalah
12
menambah biaya cukup besar (sekitar 10%) untuk menjadi pakan. Endosperm
protein, pati, dan serat terlarut mempunyai sifat bebas dan additive dalam
meningkatkan stabilitas pellet. Tingginya kadar lemak pada lapisan partikel pakan
akan mengganggu pembentukan keterikatan hidrofilik antara bahan sehingga
mengurangi kualitas pellet. Tambahan lemak lebih dari 5% cenderung menyebabkan
pellet hancur.
McNitt et al. (2000) menyatakan bahwa kelinci lebih menyukai pakan dalam
bentuk pellet daripada pakan dalam bentuk mash. Kelinci yang sudah disapih akan
membuang sejumlah besar pakan pellet jika ukurannya terlalu besar, mereka akan
mengambil satu gigitan pellet dan membiarkan sisanya jatuh melalui kandang.
Serat Kasar
Serat kasar adalah bagian dari total karbohidrat pada pakan yang tahan
terhadap perlakuan asam dan alkali serta dianggap mewakili bagian tidak tercerna
dari pakan. Komponen terbesar serat kasar adalah selulosa (Crampton dan Harris,
1969).
Daya cerna serat pada kelinci sangat rendah. Ukuran dan kepadatan partikel
serat yang rendah cenderung berkumpul di lumen dalam kolon. Material bukan serat
yang lebih padat dan cairan cenderung memusatkan pada pinggiran kolon. Kontraksi
peristaltik pada kolon menggerakkan serat secara cepat untuk dikeluarkan melalui
feses. Sementara itu antiperistaltik menggerakkan komponen nonserat seperti pati,
protein, dan cairan ke dalam sekum untuk difermentasi. Kelinci memiliki strategi
pencernaan yang memungkinkan untuk memisahkan dan mengeluarkan serat tidak
tercerna sementara itu tetap mempertahankan komponen non serat yang mudah
dicerna untuk difermentasi di sekum (Cheeke, 2005).
Cheeke (2003) menyatakan bahwa serat dalam pakan memiliki peran yang
penting dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan yang normal dan motilitas.
Kecernaan serat kasar pada kelinci yang diberi pakan jerami dengan kandungan serat
kasar 42% menurut Lebas et al. (1997) adalah 10%-30%.
Komponen Dinding Sel
Menurut Van Soest (1994), sampel hijauan yang didihkan dalam larutan
detergen akan melarutkan protein, gula, mineral, pati, dan pektin. Senyawa yang
13
larut dalam detergen ini disebut dengan isi sel. Senyawa ini sangat mudah dicerna di
rumen. Fraksi yang tidak larut detergen disebut dinding sel. Skema dinding sel dan
isi sel tanaman dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema Dinding Sel Tanaman dan Isi Sel Tanaman Sumber: Gidenne, 2002
Isi sel adalah bagian yang aktif secara metabolik dari sel tumbuhan dan terdiri
dari sitosol dan vakuola. Sitosol berisi inti, mitokondria dan protoplasma seluler
mengandung enzim yang terlibat dalam sintesis karbohidrat dan protein, dan
kloroplas serta merupakan bagian sel untuk melakukan fotosintesis.Vakuola
merupakan tempat penyimpanan limbah sel, cadangan makanan, dan zat beracun
seperti alkaloid, tannin, dan glikosida. Nilai gizi suatu hijauan tergantung pada
proporsi relatif dari isi sel dan unsur pokok dinding sel, serta derajat lignifikasi dari
dinding sel (Cheeke, 2005).
Dinding sel terdiri dari bahan metabolik inert dan sangat berserat. Komponen
dinding sel meliputi selulosa, lignin, hemiselulosa, dan silika. Selulosa adalah
komponen utama dari dinding sel tanaman dan serat tanaman. Lignin dan silika
memberikan struktur yang kuat pada dinding sel. Polisakarida (komplek karbohidrat)
dari dinding sel terjadi salah satu kristalin (mikrofibril) dan bentuk nonkristalin
(matrik). Mikrofibril-mikrofibril terdiri dari molekul selulosa yang membentuk
bundle serat. Mereka membentuk pola kristal tiga dimensi. Matrik dibuat dari
hemiselulosa dan pektin (Cheeke, 2005). Hemiselulosa adalah karbohidrat kompleks
yang mengandung campuran dari monosakarida, jenis utama adalah xylans,
mannans, dan galactans yang berisi gula sederhana masing-masing xilosa, manosa,
dan galactosa. Pektin adalah NSP (non-starch polysaccharides) yang kaya asam
galacturonic dan terjadi di dinding sel tumbuhan (Cheeke dan Dierenfeld, 2010).
14
ADF dan NDF digunakan untuk mengestimasi secara langsung penampilan
ternak dan oleh karena itu lebih bermanfaat dibandingkan serat kasar (SK). Parakkasi
(1999) menyatakan bahwa kenaikan tingkat serat akan menurunkan tingkat
kecernaan, hewan akan mengkonsumsi lebih banyak agar dapat memenuhi
kebutuhan energinya. Van Soest (1994) menyatakan bahwa kecernaan serat kasar
erat hubungannya dengan kemampuan ternak untuk menghasilkan sumber energi.
Skema pembagian hijauan menurut Van Soest dapat dilihat pada Gambar 4.
Air
Bahan Isi sel (NDS)
Makanan
Bahan Hemiselulosa
Kering
Dinding Sel Silika (SiO2)
(NDF)
Lignoselullosa
Lignin
Detergen Asam (ADL)
Gambar 4. Skema Pembagian Hijauan Menurut Van Soest Sumber: Arsadi, 2006
Neutral Detergent Fiber (NDF)
Komponen NDF adalah lignin, hemiselulosa, selulosa dan kandungan abu
tidak larut serta digunakan sebagai indikator dari konsumsi hijauan Cunningham et
al. (2005). Sejak fase awal dari pertumbuhan setelah disapih sampai dengan hewan-
hewan dikembangbiakan (breeding herd) dilaporkan bahwa dinding sel (Neutral
Detergent Fiber atau NDF) adalah faktor utama yang mempengaruhi tingkat
konsumsi. NDF erat hubungannya dengan konsumsi dan tersedianya Net Energy
(NE) dan Digestible Energi (Parakkasi, 1999).
Asupan pakan diatur oleh konsumsi dari NDF tidak tercerna (lignin, silika)
dan ketika diberi pilihan ternak cenderung memaksimalkan mengkonsumsi bahan
organik yang mudah dicerna. Kulit biji kapas dan kulit ari kedelai mempunyai
kandungan NDF yang tinggi (Cheeke dan Dierenfeld, 2010). Semakin voluminous
suatu bahan makanan (erat hubungannya dengan kadar NDF) semakin cepat hewan
15
itu merasa kenyang, oleh karena distensi lambung semakin cepat mencapai tingkat
yang menyebabkan hewan merasa kenyang (Parakkasi, 1999).
Acid Detergent Fiber (ADF)
ADF merupakan serat yang tidak larut dalam detergent asam. ADF digunakan
untuk mengisolasi selulosa dan lignin pada suatu hijauan (McNitt et al., 2000).
Pelarut yang digunakan dalam analisa ADF adalah Acid Detergent Solution (ADS)
yang juga melarutkan hemiselulosa dan residunya ini yang disebut Acid Detergent
Fiber (ADF). Fraksi ADF sebagian besar terdiri dari selulosa, lignin, silica, dan
cutin. Cutin adalah bahan lilin pada permukaan daun. Fraksi ADF dapat
dikategorikan lebih lanjut dengan mendidihkan pada H2SO4 konsentrasi 72% yang
akan melarutkan selulosa dan meninggalkan residu lignin, silica, dan cutin (Cheeke,
2005). Kandungan Acid Detergen Fiber (ADF) hijauan pakan erat hubungannya
dengan manfaat bahan makanan bagi ternak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa
ADF berhubungan dengan kecernaan. Bila bahan makanan sukar dicerna, misalnya
karena banyak mengandung lignin dan silika, maka relatif lebih banyak energi bahan
makanan yang keluar melalui feses. Arsadi (2006) menyatakan semakin tinggi
kandungan ADF dalam bahan makanan maka tingkat kecernaan dari bahan makanan
tersebut semakin rendah. Keberadaan lignin dapat mengurangi kecernaan nutrisi
lainnya, terutama selulosa. Lignin tidak dikenal kandungan nutrisinya kecuali
sebagai bulk factor ( Perry et al., 2004). Tomaszewska et al. (1993) menyatakan
bahwa ikatan lignin dengan komponen selulosa dan hemiselulosa menjadi
penghalang dari kerja enzim yang dikeluarkan oleh mikroba dalam saluran
pencernaan.
Cheeke dan Dierenfeld (2010) menyatakan bahwa selulosa adalah senyawa
organik yang paling melimpah di alam, tetapi tidak dapat dicerna oleh autoenzymatic
digesters seperti babi, unggas, dan manusia karena tidak memproduksi enzim
selulase yang memecah ikatan gabungan β-D- glucoses. Selulosa menyediakan
sumber energi yang sangat baik ketika terdapat enzim selulase, seperti yang
ditemukan dalam sistem pencernaan dari semua ternak ruminansia. Selulosa dapat
tercerna karena adanya enzim selulase yang diproduksi oleh mikroba dalam rumen,
sekum,dan kolon Cunningham et al. (2005).
16
Rumen mikroba mensekresikan selulase yang memecah ikatan kimia yang
menghubungkan unit glukosa dalam molekul selulosa. Dengan demikian ruminansia
dapat memanfaatkan hijauan dan pakan berserat lainnya, berbeda dengan non
ruminan sederhana yang tidak bisa (Cheeke, 2005).
Kemampuan kelinci mencerna serat kasar (ADF = Acid Detergent Fiber ) dan
lemak makin bertambah setelah kelinci berumur 5-12 minggu (Sarwono, 2009). Nilai
kecernaan ADF pada kelinci yang diberi pakan dengan kandungan ADF 15,8%
menurut Gidenne et al. (2000) yaitu sebesar 33,6%.
Pertambahan Bobot Badan
Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan
peningkatan ukuran tubuh. Terdapat tiga fase pertumbuhan yaitu : (1) pertumbuhan
parental yang merupakan peningkatan bobot badan dari kehamilan sampai
melahirkan, (2) preweaning merupakan pertumbuhan yang terjadi dari lahir sampai
masa sapih, (3) postweaning merupakan pertumbuhan dari lepas sapih sampai
penyembelihan. Parakkasi (1995) menyatakan bahwa setelah hewan menjadi tua,
bobot badan hidup bertambah dan menjadi gemuk.
Pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan
adalah potensi genetik, jenis kelamin hewan, pemberian nutrisi dalam pakan,
penyakit, adanya pakan aditif, dan faktor lingkungan (Cunningham et al., 2005).
Hasil penelitian Lestari (2004) yang menggunakan kelinci lokal jantan umur 3 bulan
dengan bobot badan awal 1.369 gram yang diberikan pakan 0%-15% kulit biji
kedelai (KBK), menghasilkan pertambahan bobot badan harian yaitu sebesar 5,30-
8,01 g/ekor/hari. Lukefahr dan Cheeke (1990) menyatakan bahwa pertambahan
bobot badan harian kelinci lokal bisa mencapai 10-20 gram.
Efisiensi Pakan
Perbedaan efisiensi penggunaan makanan pada setiap individu disebabkan
oleh : (1) kapasitas retensi protein atau pertumbuhan urat daging, (2) komposisi
pertambahan bobot badan, (3) distribusi konsumsi energi antara untuk hidup pokok
dan untuk produksi (Parakkasi, 1995). Temperatur lingkungan juga mempengaruhi
efisiensi penggunaan pakan. Pada temperatur di bawah optimum, efisiensi menurun
karena hewan lebih banyak makan guna mempertahankan temperatur tubuh yang
17
normal. Sebaliknya, pada temperatur di atas optimum, hewan akan menurunkan
tingkat konsumsinya guna mengurangi temperatur tubuh dan kesemuanya akan
menurunkan produktivitas dan efisiensi penggunaan pakan (Parakkasi, 1999). Lestari
(2004) yang menggunakan kelinci lokal jantan umur 3 bulan dengan bobot badan
awal 1.369 gram yang diberikan pakan 0%-15% kulit biji kedelai (KBK), yaitu
sebesar 0,10-0,14.
18
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Pelaksanaan penelitian mulai bulan Februari 2012 sampai dengan bulan April
2012. Pembuatan pakan dilaksanakan di CV. Indofeed. Analisis Laboratorium
dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, sedangkan pemeliharaan kelinci dilaksanakan di Laboratorium
Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Materi
Ternak
Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 12 ekor kelinci
dengan bobot badan 972,08±156,10 gram. Jenis kelinci yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu kelinci lokal jantan dengan umur 3 bulan.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang individu yang terbuat dari bambu
dan kayu. Kandang yang dipakai sebanyak 12 buah dengan ukuran panjang 50 cm,
lebar 50 cm dan tinggi 50 cm. Setiap kandang terdapat tempat pakan dan tempat
minum. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan digital untuk mengukur
bobot badan kelinci dan pakan, alat kebersihan, termohygrometer ruangan, kamera
digital, label, jaring dipasang di bagian bawah kandang.
Pakan dan Air Minum
Selama penelitan, kelinci diberi pellet ransum komersil dengan penambahan
limbah tauge dengan taraf 0%, 15%, 30%, dan 45%. Pakan dan air minum diberikan
ad libitum. Komposisi ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Ransum Penelitian
Bahan Perlakuan
P0 P1 P2 P3
Ransum komplit (%) 100 85 70 55
Limbah tauge (%) 0 15 30 45
19
Ransum komplit terdiri dari jagung kuning, dedak padi, dedak gandum, bungkil
kedelai, bungkil kelapa, molasses, rumput, antimold, antioxidant, vitamin dan
mineral.
Kandungan zat makanan limbah tauge dan ransum perlakuan yang digunakan
dalam penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Limbah Tauge dan Ransum Perlakuan (% BK)
Zat makanan (%) Limbah Tauge P0 P1 P2 P3
Kadar Air 77,91 11,88 14,18 14,17 15,24
Abu 3,09 9,66 9,02 7,92 7,03
Protein Kasar 14,73 19,13 17,94 16,54 15,95
Serat Kasar 42,27 20,09 25,08 26,89 30,49
Lemak Kasar 0,11 3,37 2,71 2,81 1,13
Beta-N 39,80 47,75 45,25 45,83 45,40
Total Digestible Nutrient - 59,81 57,70 51,30 50,19
Neutral Detergent Fiber 91,64 50,98 59,04 63,05 68,06
Acid Detergent Fiber 87,20 27,28 31,36 43,68 50,38
Hemiselulosa 4,44 23,69 27,69 19,38 17,69
Selulosa 46,13 12,34 16,08 20,88 29,42
Lignin 39,80 12,62 13,02 21,40 19,03
Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor (2012). P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum
komersil + 15% limbah tauge, P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 =
55% ransum komersil + 45% limbah tauge.
Prosedur
Pembuatan Ransum Perlakuan
Limbah tauge yang diperoleh dari Pasar Bogor tersebut dikumpulkan dan
dimasukkan dalam karung. Limbah tauge yang sudah dikumpulkan kemudian
dikeringkan dibawah sinar matahari (± 2-3 hari). Setelah kering, limbah tauge
tersebut digiling untuk dijadikan tepung limbah tauge.
Tepung Limbah tauge dicampurkan dengan ransum komplit yang terdiri dari
jagung kuning, dedak padi, dedak gandum, bungkil kedelai, bungkil kelapa,
molasses, rumput, antimold, antioxidant, vitamin dan mineral. Campuran tersebut
20
dimasukkan dalam mesin pellet. Pellet yang sudah jadi didiamkan dalam ruang
terbuka untuk pendinginan setelah proses pelleting lalu disimpan dalam karung.
Skema proses pembuatan pellet ransum perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.
Keterangan: a. Limbah tauge segar, b. limbah tauge kering udara, c. Tepung limbah tauge,
d. Ransum komplit, e Pellet pakan perlakuan
Gambar 5. Proses Pembuatan Ransum Perlakuan
Persiapan Kandang
Ruangan kandang dibersihkan mulai dari pembersihan lantai kandang sampai
dengan memperbaiki kandang-kandang yang akan digunakan. Kandang-kandang
yang sudah diperbaiki disikat dan dicuci dengan detergen lalu dibilas menggunakan
air serta dijemur dibawah sinar matahari untuk pengeringan. Setelah kering kandang
tersebut diberi desinfektan.
(a) (b) ( c)
(d)
(e)
21
Pemeliharaan
Pemeliharaan dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap
adaptasi dan tahap perlakuan. Tahap adaptasi dilakukan selama 2 minggu pertama
dengan kelinci ditempatkan dalam kandang individu dan juga diadaptasikan dengan
pakan pellet yang akan digunakan selama penelitian dengan pemberian sedikit
hijauan. Pemberian hijauan dikurangi sedikit demi sedikit sampai tidak diberikan
lagi. Pada 6 minggu berikutnya dilakukan tahap perlakuan. Ketika masuk pada tahap
perlakuan pakan, kelinci ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui bobot badan
awal penelitian. Selanjutnya penimbangan bobot badan dilakukan setiap satu minggu
sekali. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Pakan diberikan dua kali dalam
sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan sore hari pada pukul 16.00.
Pemberian pakan pada sore hari lebih banyak daripada pagi hari. Pembersihan
tempat pakan dan minum dilakukan setiap hari. Pengukuran konsumsi pakan
dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari selama 6 minggu pengamatan.
Pengumpulan Sampel
Selama lima hari pada minggu terakhir, feses setiap kelompok pada masing-
masing perlakuan ditampung dalam plastik trashbag dan kemudian ditimbang
sebagai berat segar feses. Untuk menghindari feses bercampur dengan urin, feses
dikumpulkan dan dijaga setiap hari. Feses yang sudah terkumpul kemudian
dikeringkan dibawah sinar matahari dan ditimbang sebagai berat kering udara feses.
Setelah selesai lima hari pengumpulan dan penimbangan, feses dikomposit dan
diambil sampel 2%-3% dari total keseluruhan feses setiap kelompok pada masing-
masing perlakuan. Feses yang sudah diambil sebagai sampel kemudian digiling
untuk dilakukan analisa serat kasar, Neutral Detergent Fiber (NDF), dan Acid
Detergent Fiber (ADF).
Analisa Bahan Kering (AOAC, 1997)
Cawan porselen dikeringkan dalam oven 105˚C selama ±1 jam dan kemudian
didinginkan dalam eksikator ±10 menit lalu ditimbang beratnya (X). Sampel
sebanyak ±3gram dimasukkan ke dalam cawan porselen tersebut dan ditimbang
beratnya (Y). Cawan dimasukkan dalam oven 105˚C selama 24 jam lalu diangkat dan
didinginkan dalam eksikator serta ditimbang beratnya (Z). Persentase kadar air
22
dihitung terlebih dahulu sebelum menghitung persentase bahan kering. Persentase
kadar air dapat dihitung dengan rumus :
X+Y-Z
% KA = x 100% % BK = 100%-%KA
Y
Analisa Serat Kasar (AOAC, 1997)
Sampel ditimbang ± 0,5 gram (X) lalu dimasukkan ke dalam gelas piala dan
ditambahkan H2SO4 0,3N sebanyak 50 ml kemudian dipanaskan selama 35 menit lalu
ditambahkan NaOH 1,5N sebanyak 25 ml kemudian dipanaskan lagi selama 35
menit. Kertas saring Whatman 41 yang telah dipanaskan di dalam oven 105°C
selama 1 jam, kemudian ditimbang (A). Sampel yang sudah dipanaskan tadi disaring
dengan kertas saring Whatman 41 yang sudah ditimbang dan disedot dengan Vacum
pulp. Dicuci berturut-turut dengan 100 ml aquades panas, 50 ml H2SO4 0,3 N dan 25
ml aceton. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam cawan poselen dan
dikeringkan dalam oven 105°C serta didinginkan dalam eksikator, kemudian
ditimbang (Y). Cawan porselen tersebut lalu dimasukkan ke dalam tanur, kemudian
ditimbang berat akhir (Z). Kadar serat kasar dihitung dengan rumus:
Y-Z-A
% SK = x 100%
X
Analisa NDF (Van Soest, 1994)
Sampel ditimbang 0,3 gram (X) lalu masing-masing dimasukkan ke dalam
gelas piala. Ditambahkan 50 ml larutan NDS (Neutral Detergent Solution). Gelas
piala tersebut ditutup dengan cawan petri dan dipanaskan di atas hot plate selama 60
menit. Cawan masir ditimbang (Y). Aquades panas dan Vacum pulp disiapkan.
Larutan dituangkan dengan posisi miring sehingga terdapat rongga udara. Gelas piala
dibilas dengan aquades panas sampai tidak terdapat busa. Dikeringkan dengan
aceton. Cawan masir dikeringkan pada oven 105°C selama 8 jam dan didinginkan
dalam eksikator, kemudian ditimbang (Z). Kadar NDF dihitung dengan rumus:
Z-Y
% NDF = x 100%
X
23
Analisa ADF (Van Soest, 1994)
Sampel ditimbang 0,8 gram (X) lalu masing-masing dimasukkan ke dalam
gelas piala. Ditambahkan 50 ml larutan ADS (Acid Detergent Solution). Gelas piala
tersebut ditutup dengan cawan petri dan dipanaskan di atas hot plate selama 60
menit. Cawan masir ditimbang (Y). Aquades panas dan Vacum pulp disiapkan.
Larutan dituangkan dengan posisi miring sehingga terdapat rongga udara. Gelas piala
dibilas dengan aquades panas sampai tidak terdapat busa. Dikeringkan dengan
aceton. Cawan masir dikeringkan pada oven 105°C selama 8 jam dan didinginkan
dalam eksikator, kemudian ditimbang (Z). Kadar ADF dihitung dengan rumus:
Z-Y
% ADF = x 100%
X
Analisa Selulosa (Van Soest, 1994)
Sampel ditimbang 0,8 gram (X) lalu masing-masing dimasukkan ke dalam
gelas piala. Ditambahkan 50 ml larutan ADS (Acid Detergent Solution). Gelas piala
tersebut ditutup dengan cawan petri dan dipanaskan di atas hot plate selama 60
menit. Cawan masir ditimbang (Y). Aquades panas dan Vacum pulp disiapkan.
Larutan dituangkan dengan posisi miring sehingga terdapat rongga udara. Gelas piala
dibilas dengan aquades panas sampai tidak terdapat busa. Dikeringkan dengan
aceton. Cawan masir dikeringkan pada oven 105°C selama 8 jam dan didinginkan
dalam eksikator, kemudian ditimbang (Z). Sampel dalam cawan masir tersebut
ditambahkan H2SO4 72% sampai sampel tersebut terendam dan terus ditambahkan
selama 3 jam. Setelah 3 jam, sampel dibilas dengan aquades panas lalu dimasukkan
dalam oven 105°C selama 2 jam dan didinginkan dalam eksikator, kemudian
ditimbang (A). Kadar selulosa dihitung dengan rumus:
Z-A
% Selulosa = x 100%
X
Analisa Lignin (Van Soest, 1994)
Sampel ditimbang 0,8 gram (X) lalu masing-masing dimasukkan ke dalam
gelas piala. Ditambahkan 50 ml larutan ADS (Acid Detergent Solution). Gelas piala
tersebut ditutup dengan cawan petri dan dipanaskan di atas hot plate selama 60
24
menit. Cawan masir ditimbang (Y). Aquades panas dan Vacum pulp disiapkan.
Larutan dituangkan dengan posisi miring sehingga terdapat rongga udara. Gelas piala
dibilas dengan aquades panas sampai tidak terdapat busa. Dikeringkan dengan
aceton. Cawan masir dikeringkan pada oven 105°C selama 8 jam dan didinginkan
dalam eksikator, kemudian ditimbang (Z). Sampel dalam cawan masir tersebut
ditambahkan H2SO4 72% sampai sampel tersebut terendam dan terus ditambahkan
selama 3 jam. Setelah 3 jam, sampel dibilas dengan aquades panas lalu dimasukkan
dalam oven 105°C selama 2 jam dan didinginkan dalam eksikator, kemudian
ditimbang (A). Sampel dimasukkan tanur dengan suhu 650°C selama ±1jam dan
didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang (B). Kadar lignin dihitung dengan
rumus:
A-B
% Lignin = x 100%
X
Rancangan Percobaan dan Analisa Data
Perlakuan
Dua belas ekor kelinci lokal jantan dibagi menjadi empat perlakuan dengan
tiga kelompok yaitu:
P1 = 100% pellet komersil (kontrol)
P2 = 85% konsentrat + 15% limbah tauge
P3 = 70% konsentrat + 30% limbah tauge
P4 = 55% konsentrat + 45% limbah tauge
Rancangan
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
empat perlakuan dari tiga kelompok. Kelompok dibuat berdasarkan bobot badan
ternak kelinci yaitu bobot badan besar, sedang, dan kecil. Model matematik dari
rancangan percobaan adalah :
25
Yij = + i + j + ij
Keterangan :
Yij : pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
: nilai rataan umm dari pengamatan
i : pengaruh perlakuan ke-i
j : pengaruh pengelompokan ke-j
ij : pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j (Steel dan Torrie, 1993).
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan menggunakan analysis
of variance (ANOVA). Jika diperoleh hasil yang berbeda nyata akan dilakukan uji
Duncan untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan (Steel dan Torrie, 1993).
Peubah yang Diukur
Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari). Konsumsi pakan dihitung setiap hari
dengan pengurangan antara pakan yang diberikan dengan sisa pakan, sedangkan
perhitungan konsumsi bahan kering dengan rumus sebagai berikut :
Konsumsi Bahan Kering = Konsumsi pakan (g/ekor/hari) x % Bahan Kering
Pertambahan Bobot Badan Harian (g/ekor/hari). Pertumbuhan adalah proses
peningkatan bobot badan dengan bertambahnya jaringan yang sudah ada (Damron,
2006). Bobot badan ditimbang setiap seminggu sekali. Pertambahan bobot badan
diperoleh dengan pengurangan antara bobot badan akhir pemeliharaan dengan bobot
badan awal pemeliharaan, sedangakan perhitungan pertambahan bobot badan harian
dengan rumus sebagai berikut :
Bobot badan akhir pemeliharaan- bobot badan awal pemeliharaan
PBBH =
Jumlah hari pemeliharaan
Efisiensi Pakan. Efisiensi pakan dihitung dari pertambahan bobot badan selama
penelitian dibagi dengan konsumsi pakan selama penelitian. Efisiensi pakan dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Pertambahan bobot badan (gram/ekor/hari)
Efisiensi pakan =
Konsumsi pakan (gram/ekor/hari)
26
Kecernaan Serat Kasar (SK). Kecernaan serat kasar (SK) dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
Jumlah SK yang dikonsumsi – Jumlah SK feses
Kecernaan SK (%) = x 100
Jumlah SK yang dikonsumsi
Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF). Kecernaan Neutral Detergent Fiber
(NDF) dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Jumlah NDF yang dikonsumsi – Jumlah NDF feses
Kecernaan NDF (%) = x 100
Jumlah NDF yang dikonsumsi
Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF). Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF)
dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Jumlah ADF yang dikonsumsi – Jumlah ADF feses
Kecernaan ADF (%) = x 100
Jumlah ADF yang dikonsumsi
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Performa kelinci lokal jantan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Peubah konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot badan harian memberikan
hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan efisiensi pakan memberikan
hasil yang berbeda nyata (P<0,05).
Tabel 5. Rataan Konsumsi, PBBH, dan Efisiensi Pakan pada Kelinci Lokal Jantan
Perlakuan
Parameter
Konsumsi BK
(g/ekor/hari)
PBBH
(g/ekor/hari)
Efisiensi Pakan
P0 69,13±15,38 17,14±1,45 0,26±0,05a
P1 72,82±18,48 12,14±5,16 0,16±0,04b
P2 104,41±3,15 17,40±0,70 0,17±0,01b
P3 95,26±32,13 14,21±4,62 0,15±0,02b
Rata-Rata 85,40±17,14 15,22±2,51 0,18±0,05
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). P0
= 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil +15% limbah tauge, P2
= 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil+ 45% limbah
tauge. PBBH= Pertambahan Bobot Badan Harian, BK= Bahan Kering
Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi merupakan aspek yang penting untuk menentukan nilai nutrisi
bahan pakan. Hewan yang mempunyai sifat dan konsumsi yang lebih tinggi,
produksinya relatif akan lebih tinggi dibanding dengan hewan (yang sejenis) dengan
sifat konsumsi rendah (Parakkasi, 1999). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
perbedaan kelompok tidak mempengaruhi kansumsi bahan kering (P>0,05).
Perlakuan limbah tauge pada kelinci lokal jantan tidak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap rata-rata konsumsi bahan kering (P>0,05) akan tetapi pada
(P<0,20) menunjukkan bahwa ransum dengan penambahan limbah tauge cenderung
meningkatkan konsumsi bahan kering dibandingkan dengan ransum komersil.
Kecenderungan meningkatnya konsumsi bahan kering pada ransum yang
ditambahkan limbah tauge menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge
cenderung meningkatkan palatabilitas pakan kelinci. Meningkatnya palatabilitas
pakan ini disebabkan karena limbah tauge ini termasuk dalam hijaun yang dapat
28
dimanfaatkan kelinci sebagai salah satu sumber serat yaitu kelinci merupakan hewan
pseudoruminan yang memerlukan hijauan dalam pakannya. Sesuai dengan
pernyataan Damron (2003) terdapat dua bahan pakan yang umum diberikan pada
kelinci yaitu hijauan dan konsentrat.
Cheeke dan Dierenfeld (2010) menyatakan bahwa konsumsi pakan selain
dipengaruhi oleh palatabilitas pakan juga dipengaruhi oleh kandungan energi pakan.
Pakan dengan 100% ransum komersil mengandung energi dan protein yang lebih
banyak dibandingkan dengan pakan yang ditambahkan limbah tauge. Semakin
rendah kandungan energi dalam pakan menyebabkan konsumsi pakan semakin
meningkat karena kelinci mengkonsumsi lebih banyak agar kebutuhan energi dalam
tubuh kelinci tercapai. Kandungan serat yang tinggi pada pakan yang ditambahkan
limbah tauge juga akan menyebabkan laju pergerakan zat makanan lebih cepat
sehingga kesempatan mikroba dalam saluran pencernaan untuk mendegradasi zat
makanan tersebut lebih sedikit. Cepatnya laju zat makanan juga menyebabkan
pengosongan lambung lebih cepat dan minimumnya penyerapan zat makanan oleh
tubuh sehingga kelinci akan lebih cepat lapar. Sesuai dengan pernyataan Rianto et al.
(2006) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi menyebabkan laju
digesta dalam saluran pencernaan semakin tinggi, sehingga waktu yang tersedia bagi
enzim untuk mengurai zat makanan menjadi terbatas.
Rataan konsumsi bahan kering hasil penelitian sebesar 85,40 g/ekor/hari
sedangkan rataan konsumsi bahan kering hasil penelitian Lestari (2004) yang
menggunakan kelinci lokal jantan umur 3 bulan dengan bobot badan awal 1.369 g
yang diberi ransum komplit dengan penambahan kulit biji kedelai (KBK) yaitu
sebesar 53,89 g/ekor/hari. Konsumsi bahan kering penelitian ini lebih besar
dibandingkan penelitian Lestari (2004). Perbedaan hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini dengan penelitian Lestari (2004) disebabkan karena kandungan lemak
kasar dalam penelitian Lestari lebih tinggi yaitu rata-rata 5,42% sedangkan lemak
kasar ransum penelitian ini sebesar 2,40%. kandungan lemak yang tinggi
menyebabkan produksi energi dalam tubuh juga akan lebih banyak karena lemak
menghasilkan energi lebih tinggi daripada karbohidrat. Energi yang tinggi
menyebabkan kelinci lebih cepat kenyang sehingga akan mengkonsumsi lebih
sedikit. Konsumsi bahan kering kelinci penelitian sudah berada pada kisaran yang
29
telah direkomendasikan oleh NRC (1977) yaitu konsumsi bahan kering kelinci untuk
hidup pokok dan pertumbuhan berkisar antara 5%-8% dari bobot badan.
Pertambahan Bobot Badan Harian
Pertumbuhan merupakan peningkatan ukuran tubuh (Cunningham et al.
2005). Pertumbuhan juga akan mempengaruhi pertambahan bobot badan. Menurut
Cunningham et al. (2005), pemberian nutrisi dalam pakan merupakan faktor yang
mempengaruhi pertambahan bobot badan.
Hasil uji sidik ragam menunjukkan perbedaan kelompok tidak
mempengaruhi pertambahan bobot badan harian kelinci (P>0,05). Pertambahan
bobot badan harian memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada masing-
masing perlakuan (P>0,05), sehingga pemberian limbah tauge sampai taraf 45%
tidak akan mempengaruhi pertambahan bobot badan harian kelinci. Hal tersebut
dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan limbah tauge dapat memberikan pertambahan
bobot badan harian yang sama dengan penggunaan ransum komersil saja.
Berdasarkan konsumsi pakan seperti yang terlihat pada Tabel 5 menunjukkan
bahwa ransum komersil yang ditambahkan limbah tauge cenderung meningkatkan
konsumsi daripada 100% ransum komersil. Tingginya konsumsi pakan seharusnya
dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian yang lebih tinggi, namun dari
hasil penelitian diperoleh pertambahan bobot badan harian yang tidak berbeda nyata
antar perlakuan. Hal tersebut diduga karena ransum komersil yang ditambahkan
limbah tauge mempunyai kandungan energi yang lebih rendah dibandingkan 100%
ransum komersil. Kandungan energi yang rendah pada pakan menyebabkan kelinci
cenderung mengkonsumsi pakan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan energi
dalam tubuhnya.
Energi diperoleh salah satunya dari fermentasi serat, dimana sebagian besar
serat tersebut merupakan selulosa. Ketersediaan selulosa juga dipengaruhi oleh
keberadaan lignin dalam dinding sel. Sesuai dengan pernyataan Perry et al. (2004),
keberadaan lignin dapat mengurangi kecernaan nutrisi, terutama selulosa. Kecernaan
selulosa yang rendah akan menyebabkan produksi energi juga rendah. Energi yang
belum terpenuhi tersebut menyebabkan kelinci cenderung mengkonsumsi pakan
lebih banyak tetapi tidak dikonversi dengan baik ke dalam pertambahan bobot badan
harian. Kandungan anti nutrisi seperti anti tripsin dan hemaglutinin dalam limbah
30
tauge juga dapat menghambat proses pertumbuhan. Menurut Okoronkwo et al.
(2010) anti tripsin yang ada dalam tauge sebesar 8,37 Tiu/100 g sedangkan
hemaglutinin sebesar 209,70 Hu/100 g.
Pankreas mensekresikan enzim pencerna protein (tripsinogen) dalam bentuk
inaktif ke dalam lumen duodenum. Tripsinogen yang masih bersifat inaktif akan
diubah oleh enzim enteropeptidase yang terikat dengan epitelium usus halus menjadi
bentuk yang aktif yaitu tripsin. Tripsin sangat berpengaruh terhadap pencernaan
protein karena tripsin akan mengaktifkan prokarboksipeptidase dan kimotripsinogen.
Tripsin akan mengaktifkan prokarboksipeptidase menjadi karboksipeptidase dan
kimotripsinogen menjadi kimotripsin. Kimotripsin akan memutuskan polipeptida
besar menjadi rantai yang lebih pendek sedangkan karboksipeptidase akan memecah
asam amino yang dimulai dari gugus karboksil yang bebas. Keberadaan anti tripsin
menyebabkan enteropeptidase tidak mampu mengubah tripsinogen menjadi tripsin
sehingga hal ini dapat mempengaruhi pencernaan protein. Sesuai dengan pernyataan
Ekawati dan Lidartawan (1996) bahwa anti tripsin adalah jenis protein yang
menghambat kerja enzim tripsin di dalam tubuh. Anti tripsin menyebabkan enzim
tripsin tidak mampu menghidrolisa protein dengan sempurna sehingga ketersediaan
asam amino esensial menjadi rendah dan terjadi penurunan absorbsi oleh usus halus
yang dapat menyebabkan daya cernanya menjadi rendah. Hal ini disebabkan adanya
anti tripsin pada tauge dapat menghambat pertumbuhan.
Hemaglutinin dapat menyebabkan penggumpalan sel darah merah.
Penggumpalan sel darah merah disebabkan karena hemaglutinin berikatan dengan
gugus gula yang ada dalam sel darah merah. Dalam usus halus hemaglutinin akan
mengikat sisi reseptor spesifik dari permukaan sel epitel yang menyebabkan sel-sel
mukosa usus berikatan dengan hemaglutinin. Mukosa usus tertutup oleh
hemaglutinin sehingga zat makanan akan sulit untuk diserap. Sesuai dengan
pernyataan Ekawati dan Lidartawan (1996) bahwa hemaglutinin dapat menurunkan
kemampuan dinding usus dalam penyerapan zat makanan sehingga penyerapan
protein terganggu dan menurunkan daya cerna protein sehingga dapat menghambat
pertumbuhan.
Kecenderungan meningkatnya konsumsi pakan pada perlakuan ransum yang
ditambahkan limbah tauge tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan harian
31
menjadi lebih tinggi jika dibandingkan perlakuan pemberian 100% ransum komersil
yang tingkat konsusmsinya cenderung lebih rendah. Harga yang jauh lebih mahal
pada pemberian 100% ransum komersil dibandingkan dengan ransum yang
ditambahkan limbah tauge dengan menghasilkan pertambahan bobot badan harian
yang tidak berbeda nyata antar perlakuan dapat dikatakan bahwa penggunaan limbah
tauge dapat memberikan keuntungan bagi peternak kelinci dan dapat menurunkan
biaya pakan.
Rataan pertambahan bobot badan harian dari keempat perlakuan sebesar
15,22 g/ekor/hari lebih tinggi dari hasil penelitian Lestari (2004) yaitu sebesar 6,32
g/ekor/hari. Perbedaan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dengan penelitian
Lestari (2004) disebabkan karena rendahnya konsumsi pakan pada penelitian Lestari
(2004) yaitu sebesar 53,89 g/ekor/hari dibandingkan dengan penelitian ini sebesar
85,40 g/ekor/hari.
Rataan pertambahan bobot badan harian kelinci penelitian ini adalah 15,22
g/ekor/hari sesuai dengan pertambahan bobot badan harian kelinci lokal menurut
Lukefahr dan Cheeke (1990) sebesar 10-20 gram. Hal ini menunjukkan bahwa
pertambahan bobot badan harian kelinci penelitian termasuk baik karena berada pada
kisaran tersebut.
Efisiensi Pakan
Perbedaan kelompok tidak mempengaruhi efisiensi pakan (P>0,05).
Perlakuan limbah tauge memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai
rataan efisiensi pakan (P<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, pemberian
100% ransum komersil memiliki efisiensi pakan yang lebih tinggi dari ransum
perlakuan yang ditambahkan limbah tauge 15%-45%. Ransum dengan penambahan
limbah tauge 15%-45% memiliki efisiensi pakan yang sama (Tabel.5). Perlakuan
100% ransum komersil memiliki nilai rataan efisiensi pakan yang paling bagus
daripada perlakuan ransum dengan penambahan limbah tauge 15%, 30%, dan 45%
yang masing-masing nilai rataan efisiensi pakannya sebesar 0,26±0,05, 0,16±0,04,
0,17±0,01, dan 0,15±0,02. Hal ini disebabkan karena kandungan serat yang berbeda
dalam pakan perlakuan.
Kandungan serat yang tinggi pada perlakuan penambahan limbah tauge 15%,
30% dan 45% akan mengurangi efisiensi penggunaan pakan walaupun kelinci
32
mampu mencerna serat dalam sekumnya tetapi tidak mampu terabsorpsi sempurna
dalam tubuh. Kandungan serat kasar yang tinggi pada pakan dapat menyebabkan
nutrient yang lain akan terbuang bersama feses. Konsumsi yang cenderung lebih
rendah pada perlakuan 100% ransum komersil namun menghasilkan pertambahan
bobot badan yang sama juga diduga karena pakan pada perlakuan 100% ransum
komersil mempunyai kualitas nutrisi yang lebih baik, dengan konsumsi pakan yang
lebih sedikit, kelinci tersebut sudah mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dalam
tubuhnya. Pakan yang lebih rendah kualitasnya seperti pada perlakuan penambahan
limbah tauge 15%, 30% dan 45% untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam
tubuhnya kelinci akan cenderung mengkonsumsi pakan lebih banyak. Adanya anti
nutrisi seperti anti tripsin dan hemaglutinin dalam limbah tauge juga akan
menurunkan efisiensi pakan.
Efisiensi pakan yang tinggi menunjukkan performa yang baik. Hal ini
disebabkan karena semakin tinggi nilai efisiensi pakan, maka pakan yang dikonsumsi
oleh kelinci tersebut lebih sedikit untuk menghasilkan pertambahan bobot badan
harian yang tinggi. Konsumsi bahan kering pada kelinci yang diberi perlakuan 100%
ransum komersil (P0) cenderung lebih rendah diantara perlakuan yang lain, namun
kelinci tersebut mempunyai pertambahan bobot badan harian yang sama dengan
kelinci yang diberi perlakuan ransum komersil dengan penambahan limbah tauge
15% (P1), 30% (P2) dan 45% (P3) sehingga memiliki nilai efisiensi pakan yang
paling tinggi diantara perlakuan yang lainnya.
Kecernaan Serat Kasar
Pemberian limbah tauge untuk kelinci diharapkan selain untuk menambah
kebutuhan zat makanan pada kelinci juga difungsikan sebagai sumber serat. Rataan
kecernaan serat kasar pada kelinci lokal jantan dapat dilihat pada Tabel 6.
Berdasarkan hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan kelompok tidak
mempengaruhi kecernaan serat kasar (P>0,05). Perlakuan limbah tauge tidak
memberikan pengaruh yang nyata pada kecernaan serat kasar kelinci perlakuan
(P>0,05). Hal ini disebabkan karena kelinci merupakan hindgut fermenter yang
mempunyai sekum besar dan terdapat mikroba yang dapat mencerna serat kasar
sehingga makanan berserat mampu dicerna oleh mikroba.
33
Tabel 6. Kecernaan Serat Kasar pada Kelinci Lokal jantan
Perlakuan Kecernaan (%)
P0 30,04±9,57
P1 44,00±13,46
P2 33,39±16,01
P3 33,23±6,85
Keterangan: P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil +15% limbah tauge,
P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil+ 45%
limbah tauge.
Serat kasar yang sebagian besar terdiri dari selulosa akan dihidrolisis oleh
enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroba dalam sekum. Enzim selulase akan
menghidrolisis ikatan β-1,4-glukosida pada selulosa. Hidrolisis selulosa ini dapat
dilakukan dengan pemutusan ikatan silang β-1,4-glukosida antara rantai satu dengan
rantai yang lainnya sehingga akan terbentuk rantai selulosa yang lebih pendek.
Hidrolisis sempurna dari enzim selulase akan menghasilkan glukosa dan hidrolisis
tidak sempurna menjadi selobiosa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi
(1979) bahwa mikroorganisme yang terdapat dalam sekum kelinci mampu
mensintesa enzim selulase yang dapat mencerna dan merombak selulosa menjadi
disakarida yaitu selobiosa.
Daya cerna serat pada kelinci sangat rendah jika dibandingkan dengan hewan
ruminansia, kelinci akan lebih cepat mengeluarkan serat yang tidak dapat dicerna
dalam bentuk feses keras sedangkan strategi pencernaan lain dari kelinci yaitu
mengkonsumsi feses lunak yang dapat dikonsumsi langsung oleh kelinci
(caecotrophy) untuk menyediakan protein bakteri dan sintesis vitamin B di sekum.
Kecernaan serat kasar pada kelinci menurut Lebas et al. (1997) adalah 10%-30%,
hasil tersebut lebih rendah daripada kecernaan serat kasar yang didapat pada
penelitian ini yang nilai rataannya 35,16%. Perbedaan hasil yang diperoleh pada
penelitian ini dengan penelitian Lebas et al. (1997) kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan pakan yang diberikan yaitu pakan yang diberikan pada penelitian Lebas et
al. (1997) berupa jerami yang memiliki kandungan serat kasar lebih tinggi yaitu
42%. Kandungan serat kasar yang yang tinggi akan menyebabkan kecernaan lebih
rendah.
34
Menurut Cheeke (2003), serat dalam pakan memiliki peran yang penting
dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan yang normal dan motilitas. Kandungan
serat kasar pakan perlakuan berkisar 20-30%. Angka ini lebih besar dari NRC (1977)
yaitu berkisar 10-12 untuk kelinci masa pertumbuhan. Kandungan serat kasar yang
lebih tinggi pada pakan perlakuan, kelinci lokal jantan masih mampu mentolerir serat
kasar dalam pakan sampai 30% dan belum menimbulkan gangguan yang nyata pada
kelinci tersebut serta tidak mempengaruhi kecernaan seratnya. Hal ini disebabkan
karena kelinci akan lebih cepat mengeluarkan serat yang tidak dapat dicerna dalam
bentuk feses keras sehingga walaupun kelinci mengkonsumsi serat dalam jumlah
yang lebih tinggi namun serat tersebut tidak termanfaatkan secara sempurna karena
pergerakan dalam saluran pencernaan lebih cepat.
Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF)
Komponen utama NDF adalah lignin, hemiselulosa, selulosa, dan kandungan
abu yang tidak larut (Cunningham et al.,2005). Hasil uji sidik ragam menunjukkan
bahwa perbedaan kelompok tidak mempengaruhi kecernaan NDF (P>0,05).
Perlakuan limbah tauge tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kecernaan NDF
kelinci perlakuan (P>0,05), sehingga dikatakan bahwa limbah tauge memberikan
pengaruh kecernaan NDF yang sama untuk semua perlakuan. Pemberian limbah
tauge sampai taraf 45% tidak akan mempengaruhi kecernaan NDF. Hal ini
disebabkan karena kelinci kurang efisien dalam memanfaatkan serat dibandingkan
dengan ternak ruminansia sehingga dengan kadar NDF yang lebih tinggi dalam
pakan tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kecernaan namun akan berpengaruh
tehadap konsumsinya. Rataan kecernaan NDF pada kelinci lokal jantan penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 7.
Kandungan NDF pada pakan perlakuan yaitu berkisar 50,98%- 68,06% lebih
tinggi dari standar kebutuhan NDF untuk kelinci masa pertumbuhan menurut
McNamara (2006) yaitu sebesar 21%. Kandungan NDF yang tinggi dalam ransum
penelitian disebabkan karena limbah tauge yang ditambahkan dalam ransum
komersil mempunyai kandungan NDF yang tinggi. Limbah tauge yang digunakan
sebagian besar terdiri dari kulit ari kacang hijau. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Cheeke dan Dierenfeld (2010) yang menyatakan bahwa kulit kacang hijau
35
mempunyai kandungan NDF yang tinggi. Kandungan NDF pakan penelitian yang
tinggi tidak mempengaruhi tingkat kecernaan pada masing-masing perlakuan.
Tabel 7. Kecernaan NDF pada Kelinci Lokal jantan
Perlakuan Kecernaan (%)
P0 41,46±5,04
P1 43,91±10,58
P2 38,86±6,22
P3 41,36±3,65
Keterangan: P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil +15% limbah tauge,
P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil+ 45%
limbah tauge.
Sejak fase awal dari pertumbuhan setelah disapih sampai dengan hewan-
hewan dikembangbiakan (breeding herd) dilaporkan bahwa dinding sel (Neutral
Deterrgent Fiber atau NDF) adalah faktor utama yang mempengaruhi tingkat
konsumsi (Parakkasi, 1999). Semakin banyak bahan pakan mengandung NDF dalam
ransum maka tingkat konsumsi akan semakin rendah, hal ini karena tingginya
kandungan NDF dalam pakan yang bersifat bulky dan kaku akan membutuhkan
ruang yang lebih banyak di dalam lambung. Apabila lambung sudah terisi sesuai
kapasitasnya maka ternak tersebut akan cepat merasa kenyang dan konsumsinya
menurun.
Pernyataan diatas tidak sesuai dengan hasil yang didapat dalam penelitian ini.
Ketika kandungan NDF tinggi pada pakan penelitian justru konsumsinya akan
cenderung meningkat (Tabel. 5). Konsumsi BK yang cenderung meningkat seiring
meningkatnya kandungan NDF dalam pakan mengikuti pola linear dengan
persamaan y= 1,896x – 28,893 dan R2= 0,6377 (Gambar 6).
Gambar 6. Grafik Regresi Konsumsi BK dan NDF
36
Hal ini kemungkinan disebabkan daya cerna serat pada kelinci sangat rendah,
kelinci akan lebih cepat mengeluarkan serat yang tidak dapat dicerna dalam bentuk
feses keras. Serat yang tidak dapat dicerna ini terdiri dari lignin dan silika yang
merupakan komponen dari dinding sel (NDF). Cepat keluarnya serat yang tidak
dapat dicerna menyebabkan semakin cepat pengosongan dalam lambung sehingga
meningkatkan konsumsi dari kelinci tersebut karena kelinci akan mudah lapar.
Sesuai dengan pernyataan Ckeeke (2005) yang menyatakan bahwa kelinci
mengeluarkan serat secara cepat dan lebih berkonsentrasi pada aktivitas pencernaan
pada komponen bukan serat (nonfiber) yang lebih bergizi. Pada Gambar 6 tampak
bahwa kelinci mampu mentolelir NDF dalam limbah tauge sampai taraf 30%
pemberian limbah tauge dan diatas taraf 30% tampak konsumsi BK akan menurun.
Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF)
ADF merupakan serat yang tidak larut dalam detergent asam (McNitt et al.,
2000). Fraksi ADF sebagian besar terdiri dari selulosa, lignin, silica, dan cutin
(Cheeke, 2005). Nilai rataan kecernaan ADF kelinci lokal jantan dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kecernaan ADF pada Kelinci Lokal jantan
Perlakuan Kecernaan (%)
P0 20,30±3,71
P1 31,03±15,26
P2 27,38±11,66
P3 43,36±6,12
Keterangan: P0 = 100% ransum komersil (kontrol), P1 = 85% ransum komersil +15% limbah tauge,
P2 = 70% ransum komersil + 30% limbah tauge, P3 = 55% ransum komersil+ 45%
limbah tauge.
Perbedaan kelompok tidak mempengaruhi kecernaan ADF (P>0,05).
Perlakuan limbah tauge tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai
kecernaan ADF (P>0,05). Pemberian limbah tauge sampai taraf 45% dalam pakan
memberikan pengaruh kecernaan ADF yang sama untuk semua perlakuan (Tabel 8).
Nilai rataan kecernaan ADF kelinci lokal jantan penelitian ini yaitu 30,52% lebih
rendah daripada nilai kecernaan ADF pada kelinci menurut Gidenne et al. (2000)
37
yaitu sebesar 33,6%. Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dengan
penelitian Gidenne et al. (2000) kemungkinan disebabkan oleh rendahnya kandungan
ADF dalam pakan yang diberikan pada penelitian Gidenne et al. (2000) yaitu sebesar
15,8% sehingga menyebabkan peningkatan kecernaannya.
Kandungan ADF dalam pakan perlakuan yaitu berkisar 27,28%-50,38% lebih
tinggi dari standar yang dinyatakan oleh McNamara (2006) yang menyatakan bahwa
kebutuhan ADF pada kelinci masa pertumbuhan yang berbobot badan 1-2 kg adalah
21%. Pada penelitian ini, kandungan ADF yang tinggi dalam pakan tidak
menurunkan kecernaan. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Arsadi (2006) yang
menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan ADF pakan maka pakan yang dapat
dicerna akan semakin rendah dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh maka
ternak tersebut akan meningkatkan konsumsinya.
Konsumsi BK yang cenderung meningkat seiring meningkatnya kandungan
ADF dalam pakan mengikuti pola linear dengan persamaan y= 1,417x – 31,311 dan
R2= 0,7845 (Gambar 7).
Gambar 7. Grafik Regresi Konsumsi BK dan ADF
Kelinci mampu mentolelir ADF dalam limbah tauge sampai taraf 30% penambahan
limbah tauge dalam pakan dan diatas taraf 30% tampak konsumsi BK akan menurun.
Kandungan ADF yang tinggi dalam pakan menyebabkan kandungan lignin
dan silika mempengaruhi produksi energi metabolis karena lignin dan silika tersebut
sulit dicerna menyebabkan energi dalam pakan tersebut lebih banyak keluar melalui
feses. Hal ini disebabkan karena selulosa dan hemiselulosa terikat pada lignin dan
silika sehingga akan lebih sulit untuk dicerna. Sesuai dengan pernyataan
38
Tomaszewska et al. (1993) yang menyatakan bahwa ikatan lignin dengan komponen
selulosa dan hemiselulosa menjadi penghalang dari kerja enzim yang dikeluarkan
oleh mikroba dalam saluran pencernaan. Aktivitas mikroba terhambat karena dinding
sel yang terlignifikasi dapat menyebabkan enzim seperti selulase hanya mampu
menyerang permukaan dinding sel. Proses lignifikasi ini menyebabkan permukaan
dinding sel lebih kuat dan tidak cukup berpori untuk difusi enzim.
Tingkat konsumsi yang cenderung berbeda namun menghasilkan kecernaan
ADF yang tidak berbeda nyata kemungkinan dipengaruhi oleh kemampuan absorpsi
dalam usus halus, limbah tauge juga mengandung zat anti nutrisi seperti anti tripsin
dan hemaglutinin yang dapat mempengaruhi absorpsi nutrisi dalam usus. Absorpsi
yang rendah pada ransum yang lebih banyak mengandung limbah tauge
menyebabkan peningkatkan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan zat makanan
dalam tubuh. Menurut Sarwono (2009), kemampuan kelinci mencerna serat kasar
(ADF = Acid Detergent Fiber) semakin bertambah setelah kelinci berumur 5-12
minggu.
39
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian limbah tauge sampai taraf 45% tidak mempengaruhi pertambahan
bobot badan harian, kecernaan serat kasar, kecernaan NDF dan kecernaan ADF.
Penambahan limbah tauge pada ransum komersil dapat meningkatkan palatabilitas
pakan dan cenderung meningkatkan konsumsi bahan kering namun menghasilkan
pertambahana bobot badan harian yang tidak berbeda nyata.
Saran
Perlu dilakukan pengukuran konsumsi limbah tauge dengan cara pemberian
limbah tauge tidak dicampur dengan bahan lain. Menggunakan hewan ternak yang
lebih homogen. Perlu dilakukan pengamatan secara in vitro. Perlu dilakukan
percobaan mengawetkan limbah tauge dengan cara silase.
40
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillaahiraabbil’aalamin. Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang
telah memberikan lindungan, bimbingan, kasih sayang-NYA dan limpahan rahmat
serta hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Didid Diapari,
M.Si. sebagai dosen pembimbing utama dan Dr. Ir. Jajat Jachja Fahmi Arief, M.Agr.
sebagai dosen pembimbing anggota sekaligus dosen pembimbing akademik atas
segala kesabarannya dalam memberikan semangat, motivasi, bimbingan, nasihat, dan
sarannya selama penelitian hingga penulisan skripsi. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Ir. Lilis Khotijah, M.Si, Ir. Kukuh Budi Satoto MS, Dr. Ir. Sri
Darwati, M.Si dan Ir. Widya Hermana, M.Si sebagai dosen penguji seminar, dosen
penguji sidang, dan panitia sidang atas saran yang telah diberikan.
Ucapan terimakasih yang tak terkira dan setulus-tulusnya kepada Bapak dan
Ibu tercinta Kasruni, SP. dan Hartatik yang selalu memberikan doa, motivasi moril
dan materil, nasihat dan kasih sayangnya kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman satu tim penelitian
yaitu Mutia Meta J, Huda, dan Yogi atas bantuan, dukungan selama penelitian dan
penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Opick,
Bu Wely, Bu Eneh, Bapak Sofyan, Mas Endar dan Mas Dadang selaku staf
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan atas bantuannya selama analisa sampel.
Ucapan terima kasih kepada Mbak Denik, Mas Sabto, Mbah Kakung, Mbah Putri,
Om Agus, Dek Reka, Dek Nadya, dan Dek Alvinza (Alm) sebagai keluarga penulis
yang sangat mendukung dan memberikan semangat dan doannya. Terima kasih
kepada Keluarga Cempaka 13 Bapak Syarif Murtadi (Alm), Mbak Lina, Mbak Dani,
Mbak Agus, Bibi. Keluarga Cempaka 29 Mbak Rista, Kak Data, A’Tedy, A’Keke,
Mbak Rezi, Bang Awen. Teman yang senantiasa membantu Adya Rahmi, Diah,
Indri. Penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman Genetic 45, HIMASITER,
CUA, IMPATA dan pihak-pihak yang sudah banyak membantu penulis yang tidak
dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, September 2012
Penulis
41
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, R. 2002. Pengaruh pemberian limbah tauge kacang hijau (Vigna radiata
(L). Wilczek) terhadap pertumbuhan dan kandungan zat gizi ikan mas
(Cyprinus carpio L.). Skripsi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.
AOAC. 1997. Official Method of Analysis of the Association. Association Official
Analysis Chemist. Washington DC, USA.
Arsadi, S. 2006. Studi perbandingan metabolism energi dan kecernaan serat pada
kambing dan domba lokal. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Cheeke, P. R. 2003. Contemporary Issues in Animal Agriculture. 3nd
Ed. Pearson
Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Cheeke, P. R. 2005. Applied Animal Nutrition Feed and Feeding.3nd
Ed. Pearson
Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Cheeke, P. R. & E. S. Dierenfeld. 2010. Comparative Animal Nutrition and
Metabolism. CABI Publishing, Wallingford, U.K.
Crampton, E. W. & L. E. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition the Use of
Feedstuffs in the Formulation of Livestock Rations. 2nd
Ed. W. H. Freeman
and Company, San Francisco.
Cunningham, M., M. A. Latour, & D. Acker. 2005. Animal Science and Industry. 7th
Ed. Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Damron, W. S. 2003. Introduction to Animal Science: Global, Biological, Social, and
Industry Perspectives. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey.
Damron, W. S. 2006. Introduction to Animal Science: Global, Biological, Social, and
Industry Perspectives. 3nd
. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey.
Ekawati, I. G. A. & I. D. A. G. Lidartawan. 1996. Penetapan aktivitas anti-nutrisi
kedelai mentah. Majalah Ilmiah Teknologi Pertanian 2 (2) : 28-32.
Gidenne, T., V. Pinheiro, & L. Falcao. 2000. A comprehensive approach of the rabbit
digestion: consequences of a reduction in dietary fibre supply. J. Livestock
Production Science 64: 225-237.
Gidenne, T. 2002. Fibres in rabbit for digestive troubles prevention: respective role
of low-digested and digestible fibre. J. Livestock Production Science 81: 105-
117.
Ifafah, W. W. 2012. Kondisi fisiologis domba ekor gemuk jantan dan palatabilitas
limbah tauge sebagai ransum selama penggemukan. Skripsi. Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Kasno, A. 2007. Kacang hijau alternatif yang menguntungkan ditanam di lahan
kering. Artikel. Tabloid Sinar Tani. 23 Mei 2007.
42
Lebas, F., P. Coudert, D. de Rochambeau, & R. G. Thebault. 1997. The Rabbit
Husbandry, Health and Production. Food and Agriculture Organization of
The United Nations, Rome.
Lestari, C. M. S. 2004. Penampilan produksi kelinci lokal menggunakan pakan pellet
dengan berbagai aras kulit biji kedelai. Prosiding: Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner “Iptek sebagai Motor Penggerak
Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan”. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian, Bogor.
Lowe, J. A. 1998. Pet Rabbit Feeding and Nutrition. Di dalam: de Blas C and
Wiseman J, Editor. The Nutrition of the Rabbit. CABI Publishing.
Wallingford, U.K. Page: (17) 309-331.
Lowe, J. A. 2010. Pet Rabbit Feeding and Nutrition. Di dalam: de Blas C and
Wiseman J, editor. Nutrition of the Rabbit. 2nd
Ed. CABI Publishing.
Wallingford, U.K. Page: (17) 294-313.
Lukefahr, S. D. & P. R. Cheeke. 1990. Rabbit project planning strategies for
developing countries. J. Livestock Research for Rural Development 2:2.
McNamara, J. P. 2006. Principles of Companion Animal Nutrition Pearson Prentice
Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
McNitt, J. I., N.M Patton, S.D. Lukefahr,& P. R. Cheeke. 2000. Rabbit Production:
8th
Ed. Interstate Publishers, Inc. Danville, Illinois.
Murwani, R. 2009. Sistem pencernaan dan metabolisme nutrien pada monogastrik.
Modul perkuliahan. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas
Peternakan. Universitas Diponegoro, Semarang.
National Research Council. 1977. Nutrient Requirements of Rabbits. National
Academy of Sciences, Washington, DC.
Okoronkwo, E.O.,P.N. Okafor, & B. A. C. Aguguo. 2010. Protein and antinutrient
constituents of sprouted and unsprouted mung beans (Phaseolus aureus). J.
Biochemistry and Molecular Biology 25 (1): 55-58.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI-Press, Jakarta.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI-Press, Jakarta.
Perry, T. W., A. E. Cullison, & R. S. Lowrey. 2004. Feed and Feeding. 6th
Ed.
Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey.
Raharjo, Y. C. 2008. Potential and prospect of small and medium scale rabbit
industry in Indonesia. Proceedings: International Conference on Rabbit
Production 24-25th
July 2007. Indonesian Centre for Animal Research and
Development Agency of Agricultural Research and Development Department
of Agriculture. Bogor. Page:116-124.
Rahayu, S., D. S. Wandito, & W. W. Ifafah. 2010. Survei potensi limbah tauge di
Kota Madya Bogor. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
43
Rajeshwari, Y. B. & R. Guruprasad. 2008. Environment-It’s Role in Rabbit
Management. Proceedings: International Conference on Rabbit Production 24-
25th
July 2007. Indonesian Centre for Animal Research and Development
Agency of Agricultural Research and Development Department of
Agriculture. Bogor. Page:116-124.
Rasyaf, M. 1990. Metode Kuantitatip Industri Ransum Ternak Program Linear.
Kanisius, Yogyakarta.
Rianto, E., E. Haryono, & C. M. S. Lestari. 2006. Produktivitas domba ekor tipis
jantan yang diberi pollard dengan aras berbeda. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro,
Semarang.
Saenab, A. 2010. Evaluasi pemanfaatan limbah sayuran pasar sebagai pakan ternak
ruminansia di DKI Jakarta. Artikel. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta.
Sarwono, B. 2009. Kelinci Potong dan Hias. AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Steel, R. G. D & J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan
Biometri. Terjemahan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudaryanto, B. 2007. Budidaya Ternak Kelinci di Perkotaan. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Yogyakarta, Yogyakarta.
Tomaszewska, M. W., I. M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner, & T. R.
Wiradarna. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Terjemahan: I.
M. Mastika, K. G. Suaryana, I. G. L. Oka, & I. B. Sutrisna. Sebelas Maret
University Press, Solo.
Van Soest, P.J.1994. Nutritional Ecology of the Ruminant. 2nd
Ed. Comell University
Press, New York.
Whendrato, I.& I. M. Madyana. 1986. Beternak Kelinci secara Popular. Eka Offset.
Semarang.
44
LAMPIRAN
45
Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian
Persiapan Kandang Kandang Kelinci Penelitian Pembuatan Pakan
Tempat Pakan dan Minum Pemeliharaan Penimbangan Bobot Badan
Penimbangan Pakan Kolekting Feses Sampel Feses
Penggilingan Sampel Analisa Serat Kasar Analisa NDF dan ADF
46
Lampiran 2. Analisis Ragam Konsumsi Bahan Kering
Sumber
Keragaman
(SK)
Derajat
Bebas
(db)
Jenis
Keragaman
(JK)
Kuadrat
Tengah
(KT)
Fhit F 0,05 F 0,01
Total 11 5885,1679 535,0153
Perlakuan 3 2644,6716 881,5572 2,3548 4,7571 9,7795
Kelompok 2 994,2859 497,1429 1,3280 5,1433 10,9248
Eror 6 2246,2104 374,3684
Lampiran 3. Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Harian
Sumber
Keragaman
(SK)
Derajat
Bebas
(db)
Jenis
Keragaman
(JK)
Kuadrat
Tengah
(KT)
Fhit F 0,05 F 0,01
Total 11 157,8893 14,3536
Perlakuan 3 56,7488 18,9163 1,1497 4,7571 9,7795
Kelompok 2 2,4252 1,2126 0,0737 5,1433 10,9248
Eror 6 98,7152 16,4525
Lampiran 4. Analisis Ragam Efisiensi Pakan
Sumber
Keragaman
(SK)
Derajat
Bebas
(db)
Jenis
Keragaman
(JK)
Kuadrat
Tengah
(KT)
Fhit F 0,05 F 0,01
Total 11 0,0291 0,0026
Perlakuan 3 0,0190 0,0063 8,1571 4,7571 9,7795
Kelompok 2 0,0054 0,0027 3,4714 5,1433 10,9248
Eror 6 0,0047 0,0008
Uji Lanjut Duncan Efisiensi Pakan
SSR 2 3 4
0,05 0,0564 0,0583 0,0593
0,01 0,0853 0,0897 0,0920
Rata-rata diurutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar
P2 P3 P1 P0
0,15193 0,16667 0,16671 0,25583
47
P3 P1 P0 Superscrip
P2 0,01474 0,01478 0,10390 b
P3 0,00004 0,08916 b
P1 0,08912 b
P0 a
Lampiran 5. Analisis Ragam Kecernaan Serat Kasar
Sumber
Keragaman
(SK)
Derajat
Bebas
(db)
Jenis
Keragaman
(JK)
Kuadrat
Tengah
(KT)
Fhit F 0,05 F 0,01
Total 11 1485,8649 135,0786
Perlakuan 3 333,7556 111,2519 0,6424 4,7571 9,7795
Kelompok 2 112,9858 56,4929 0,3262 5,1433 10,9248
Eror 6 1039,1235 173,1872
Lampiran 6. Analisis Ragam Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF)
Sumber
Keragaman
(SK)
Derajat
Bebas
(db)
Jenis
Keragaman
(JK)
Kuadrat
Tengah
(KT)
Fhit F 0,05 F 0,01
Total 11 417,3342 37,9395
Perlakuan 3 38,2698 12,7566 0,2199 4,7571 9,7795
Kelompok 2 30,9858 15,4929 0,2671 5,1433 10,9248
Eror 6 348,0786 58,0131
Lampiran 7. Analisis Ragam Kecernaan Acid Detergent Fiber (ADF)
Sumber Keragaman
(SK)
Derajat
Bebas
(db)
Jenis
Keragaman
(JK)
Kuadrat
Tengah
(KT)
Fhit F 0,05 F 0,01
Kelompok
(comp.val)
2 99,9380 49,9690
Perlakuan
(terkoreksi)
3 698,9818 232,9939 0,27 6,94 18,00
Eror (comp.val) 4 739,8144 184,9536 1,26 6,59 16,69
Total (comp.val) 9
Recommended