View
227
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
EVALUASI IMPLEMENTASI PERATURANDAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9TAHUN 2014 TENTANG KAWASAN TANPAROKOK (KTR) DI WILAYAH KECAMATAN
CIRUAS
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh:
Muhammad Rafli MaulidNIM. 6661121598
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG, Mei 2017
ABSTRAK
Muhammad Rafli Maulid. NIM. 6661120857. SKRIPSI. 2017. PeraturanDaerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan TanpaRokok di Kecamatan Ciruas. Konsentrasi Kebijakan Publik, Program StudiIlmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I: Dr. Dirlanudin, M.Si.,Pembimbing II: Kandung Sapto Nugroho, S.Sos, M.Si
Perda Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan TanpaRokok menjelaskan bahwa Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruang atau areayang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Tujuan dariPerda ini yaitu untuk memberikan jaminan perolehan lingkungan udara yangbersih dan melindungi hak asasi manusia dalam mencapai derajat kesehatanmelalui pengendalian terhadap bahaya asap rokok. Adapun permasalahannyayakni tidak adanya ruang khusus merokok, tidak adanya pengawasan dankurangnya koordinasi antara pihak terkait dengan Satpol PP, sosialisasi tentangperda kawasan tanpa rokok belum maksimal, sanksi yang kurang dipertegas dalampenerapan Perda, dan masih ada yang menjual rokok di area kawasan tanpa rokok.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Evaluasi implementasi PeraturanDaerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokokdi Kecamatan Ciruas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatifdengan pendekatan deskriptif. Peneliti menggunakan teori ImplementasiKebijakan menurut Charles O. Jones. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PerdaKabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok diKecamatan Ciruas belum diterapkan dengan baik. Hal tersebut dikarenakanberdasarkan hasil uji hipotesis, peneliti memperoleh angka 19 persen dari angkayang telah peneliti hipotesiskan yaitu lebih besar dari 60 persen. Saran daripeneliti yaitu seharusnya pemerintah memberikan tanda-tanda peringatan padasetiap ruang lingkup yang dilarang merokok, meningkatkan pengawasan di setiapruang lingkup kawasan tanpa rokok, pemerintah harus melakukan sosialisasisecara merata, dan memberikan sanksi denda yang telah diatur dalam PerdaKawasan Tanpa Rokok secara tegas.
Kata Kunci: Kebijakan, Evaluasi Implementasi, Kawasan Tanpa Rokok
ABSTRACT
Muhammad Rafli Maulid. NIM. 6661120857. Thesis. 2017. The EvaluationImplementation Of Serang Regency Regulation Number 9 Year 2014 AboutRegion Without Cigarette In Ciruas. Concentration in Public Policy, StateAdministration Major, Faculty of Social and Political Sciences, University ofSultan Ageng Tirtayasa. Advisor I: Dr. Dirlanudin, M.Si., Pembimbing II:Kandung Sapto Nugroho, S.Sos, M.Si
Serang Regency Regulation Number 9 year 2014 about region without cigaretteexplain that was the room or area in declared prohibited for smoking activity oractivities of producing, selling, advertising, and / or promote tobacco products.The initial goal of this law is to guarantee for clean air environment and protecthuman rights in achieving the level of health through the control of the dangers ofcigarette smoke. Problem identified of the research in this study is no smokingroom, there is no supervision and lack of coordination between the parties relatedto Satpol PP, the socialization of the regulation of the region without cigarettes isnot maximized, the sanctions are less emphasized in implementing a law, andthere are those who sell cigarettes in the area smoking area. This study aims todetermine the evaluation implementation of Serang Regency Regulation Number 9year 2014 About region without cigarette in Ciruas. This research uses aquantitative method with descriptive approach. Researchers used the theory ofPolicy Implementation by Charles O. Jones. The results showed Serang RegencyRegulation Number 9 year 2014 about region without cigarette is not optimally.It’s because based on the results of hypothesis testing, researchers obtained 19percent of the number that has researchers hypothesized that greater than 60percent. Suggestions of researchers that the government should provide warningsigns on each scope is forbidden to smoke, improve oversight of every scope of theregion without cigarettes, the government should socialize evenly, and penaltiesthat have been covered by regulations without cigarette expressly.
Keywords: Policy, Evaluation of the Implementation, No Smoking
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas berkah, rahmat dan
inayah-Nya, Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah Kecamatan Ciruas tanpa menemukan hambatan
dan kesulitan yang berarti.
Dalam skripsi ini penulis berusaha menyampaikan beberapa hal mengenai
deskripsi beberapa permasalahan yang menjadi latar belakang penelitian, landasan
teori, dan metode penelitian yang tertuang dalam Skripsi ini. Ucapan terimakasih juga
peneliti sampaikan kepada pihak yang telah memberikan arahan, bimbingan, pelajaran,
serta motivasi dan dukungan dalam upaya penyusunan Skripsi ini. Untuk itu peneliti
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
2. DR. Agus Sjafari S.Sos M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Rahmawati, S.Sos., M.Si selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan Dosen Pembimbing Akademik
yang membimbing peneliti dari awal hingga akhir.
4. Iman Mukhroman, S.Ikom., M.Ikom selaku Wakil Dekan II Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
ii
5. Kandung Sapto Nugroho, S.Sos., M.Si selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan Dosen
Pembimbing II Skripsi yang telah memberikan ilmunya serta membimbing
peneliti dalam menyelesaikan Skripsi ini
6. Listyaningsih, M.Si selaku Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
7. Dr. Dirlanudin, M.Si selaku Dosen Pembimbing I Skripsi yang selalu
membimbing, memberikan ilmunya, serta memotivasi penulis dalam
menyelesaikan Skripsi ini. Terimakasih atas segala ilmu dan bantuannya.
8. Semua Dosen dan Staff Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang membekali penulis
dengan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.
9. Dinas Kesehatan Kabupaten Serang yang telah memberikan informasi kepada
peneliti.
10. Dinas Pendidikan Kabupaten Serang yang telah memberikan informasi kepada
peneliti.
11. Dinas Pemuda, Olaraga dan Pariwisata Kabupaten Serang yang telah
memberikan informasi kepada peneliti.
12. Kedua orang tua yang selalu membimbing, mendoakan dan mengantarkan
anaknya sampai ke dalam tahap perguruan tinggi. Terimakasih banyak pa, ma.
13. Saudara-saudariku, Rifki, Mulqi, Hana, Hani dan keluarga besar yang telah
mendukung dan mendoakan.
iii
14. Silvia Romanova yang selalu memberikan semangat dan selalu menemani
sehingga penulis dapat termotivasi untuk cepat menyelesaikan Skripsi ini
dengan baik. Terimakasih banyak atas waktunya dan sukses selalu.
15. Sahabat-sahabatku, dan teman-teman seperjuangan kelas C Administrasi
Negara angkatan 2012.
16. Sahabat Futsal Fisip Untirta yang banyak memberikan pengalaman selama di
kampus.
Peneliti menyadari bahwa Skripsi ini terdapat kekurangan. Oleh karena itu peneliti
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis meminta
maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam Skripsi ini terjadi kesalahpahaman yang
kurang berkenan selama penulis melakukan penelitian. Terimakasih.
Serang, Mei 2017
Muhammad Rafli Maulid
iv
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi
DAFTAR DIAGRAM .......................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah .................................................................................. 14
1.3 Batasan Masalah ........................................................................................ 14
1.4 Rumusan Masalah ..................................................................................... 14
1.5 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 15
1.6 Manfaat Penelitian .................................................................................... 15
BAB II DESKRIPSI TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Deskripsu Teori ......................................................................................... 16
2.1.1 Pengertian Kebijakan ....................................................................... 16
2.1.2 Pengertian Publik ............................................................................. 18
2.1.3 Pengertian Kebijakan Publik ........................................................... 19
v
2.1.4 Evaluasi Kebijakan Publik .............................................................. 21
2.1.5 Implementasi Kebijakan Publik ....................................................... 32
2.1.6 Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik ........................................ 44
2.1.7 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok ...................................................47
2.2 Penelitian Terdahulu ................................................................................. 48
2.3 Kerangka Berfikir ..................................................................................... 51
2.4 Hipotesis Penelitian .................................................................................. 53
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ...................................................................................... 55
3.2 Intrumen Penelitian ................................................................................... 55
3.2.1 Teknik pengumpulan Data .............................................................. 58
3.3 Populasi dan sampel .................................................................................. 59
3.3.1 Populasi ........................................................................................... 59
3.3.2 Sampel ............................................................................................. 62
3.4 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data ............................................... 66
3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen .................................................... 67
3.5.1 Uji Validitas Instrumen .................................................................... 67
3.5.2 Uji Reliabilitas Instrumen ................................................................ 68
3.6 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 69
vi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian ....................................................................... 71
4.1.1 Keadaan Geografis ...................................................................... 71
4.1.2 Pemenrintahan ............................................................................ 71
4.1.3 Penduduk .................................................................................... 72
4.1.4 Sosial dan Budaya ...................................................................... 73
4.1.5 Kesehatan .................................................................................... 73
4.2 Penguji Persyaratan Statistik .................................................................... 74
4.2.1 Hasil Uji Validitas ....................................................................... 74
4.2.2 Hasil Uji Reliabilitas ................................................................... 77
4.3 Deskripsi Data ......................................................................................... 78
4.3.1 Identitas Responden...................................................................... 78
4.4 Analisis Data ............................................................................................. 81
4.4.1 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 1 ......................................... 82
4.4.2 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 2 ......................................... 83
4.4.3 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 3 ......................................... 84
4.4.4 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 4 ......................................... 85
4.4.5 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 5 ......................................... 86
4.4.6 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 6 ......................................... 88
4.4.7 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 7 ......................................... 89
4.4.8 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 8 ......................................... 90
4.4.9 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 9 ......................................... 91
4.4.10 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 10 ....................................... 92
vii
4.4.11 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 11 ....................................... 93
4.4.12 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 12 ....................................... 94
4.4.13 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 13 ....................................... 95
4.4.14 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 14 ....................................... 96
4.4.15 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 15 ....................................... 97
4.4.16 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 16 ....................................... 98
4.4.17 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 17 dan Ke 35 ..................... 100
4.4.18 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 18 dan Ke 36 .................... 101
4.4.19 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 19 dan Ke 43 .................... 102
4.4.20 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 20 ..................................... 103
4.4.21 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 21 dan Ke 37 ..................... 104
4.4.22 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 22 ..................................... 105
4.4.23 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 23 dan Ke 44 ..................... 106
4.4.24 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 24 dan Ke 45 ..................... 108
4.4.25 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 25 ..................................... 109
4.4.26 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 26 ..................................... 110
4.4.27 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 27 dan Ke 46 ..................... 111
4.4.28 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 28 dan Ke 47 .................... 112
4.4.29 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 29 ..................................... 113
4.4.30 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 30 ..................................... 115
4.4.31 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 31 dan Ke 42 .................... 116
4.4.32 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 32 ..................................... 117
4.4.33 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 33 dan Ke 48 ................... 118
viii
4.4.34 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 34 dan Ke 49 .................... 119
4.4.35 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 38 ..................................... 120
4.4.36 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 39 ..................................... 121
4.4.37 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 40 ..................................... 122
4.4.38 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 41 ..................................... 123
4.4.39 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 50 dan Ke 67 ................... 125
4.4.40 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 51 dan Ke 68 ................... 126
4.4.41 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 52 dan Ke 69 .................... 127
4.4.42 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 53 dan Ke 70 .................... 128
4.4.43 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 54 dan Ke 71 .................... 129
4.4.44 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 55 dan Ke 72 .................... 130
4.4.45 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 56 dan Ke 73 .................... 131
4.4.46 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 57 dan Ke 74 .................... 132
4.4.47 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 58 dan Ke 75 .................... 133
4.4.48 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 59 dan Ke 76 .................... 134
4.4.49 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 60 dan Ke 77 .................... 135
4.4.50 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 61 dan Ke 78 .................... 136
4.4.51 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 62 dan Ke 79 .................... 137
4.4.52 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 63 dan Ke 80 .................... 138
4.4.53 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 64 dan Ke 81 .................... 139
4.4.54 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 65 dan Ke 82 .................... 140
4.4.55 Jawaban Responden Pertanyaan Ke 66 dan Ke 83 ..................... 141
4.5 Pengujian Hipotesis .................................................................................. 142
ix
4.6 INTERPRETASI HASIL PENELITIAN ................................................. 145
4.7 PEMBAHASAN ...................................................................................... 146
4.7.1 Bagaimana Hasil Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang
Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Di Kecamatan
Ciruas? ................................................................... 146
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 153
5.2 Saran ........................................................................................................ 155
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jumlah Ruang Lingkup KTR ................................................................. 8
Tabel 2.1 Dunn (2000: 612) Tiga Pendekatan Evaluasi ........................................ 26
Tabel 2.1 Dunn (2000: 610) Kriteria-Kriteria KP.................................................. 30
Tabel 3.1 Skoring Item Instrumen ........................................................................ 56
Tabel 3.2 Instrumen Penelitian .............................................................................. 56
Tabel 3.3 Jumlah Populasi Penelitian .................................................................. 59
Tabel 3.4 Jumlah Sampel Penelitian ...................................................................... 63
Tabel 3.5 Waktu Penelitian ................................................................................... 69
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Analisis Butir Validitas Intrumen ........................... 75
Tabel 4.2 Reliability Statistics .............................................................................. 78
Tabel 4.3 Indikator Skor Hasil Penelitian ............................................................ 148
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kantor Kecamatan Ciruas .................................................................... 8
Gambar 1.2 Angkutan Umum Ciruas ..................................................................... 9
Gambar 1.3 Dalam Ruangan Kantor Kec. Ciruas ................................................. 10
Gambar 1.4 Warung Kantor Kecamatan Ciruas ................................................... 12
Gambar 1.5 Isi Warung Kantor Kecamatan Ciruas .............................................. 12
Gambar 2.1 Alur Kerangka Berfikir Penelitian .................................................... 45
Gambar 4.1 Kurva Penerimaan dan Penolakan Hipotesis ................................... 153
xii
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 4.1 Identitas Responden Berdaarkan Jenis Kelamin.............................. 79
Diagram 4.2 Identitas Responden Berdaarkan Usia............................................. 79
Diagram 4.3 Identitas Responden Berdaarkan Jenis Pekerjaan............................ 80
Diagram 4.4 Koordinasi Instansi.......................................................................... 82
Diagram 4.5 Koordinasi dengan Elemen Organisasi............................................ 83
Diagram 4.6 Koordinasi dengan kalangan pendidikan......................................... 84
Diagram 4.7 Koordinasi dengan tokoh masyarakat.............................................. 86
Diagram 4.8 Koordinasi dengan tokoh agama...................................................... 87
Diagram 4.9 Koordinasi dari Sekertaris Daerah................................................... 88
Diagram 4.10 Adanya satuan Tugas Penegak...................................................... 89
Diagram 4.11 Struktur Organisasi ...................................................................... 90
Diagram 4.12 Bidang khusus pelaksanaan.......................................................... 91
Diagram 4.13 Petugas khusus pelaksanaan......................................................... 92
Diagram 4.14 SDM yang berkompeten............................................................... 93
Diagram 4.15 Penerapan berlandaskan perbup.................................................... 94
Diagram 4.16 Interaksi dengan masyarakat......................................................... 96
Diagram 4.17 Kalimat yang mudah dimengerti................................................... 97
Diagram 4.18 Peralatan yang mendukung sosialisasi.......................................... 98
Diagram 4.19 Materi yang di mengerti masyarakat............................................. 99
Diagram 4.20 Melihat petugas menyebarluaskan informasi melalui media
cetak............................................................................................... 100
Diagram 4.21 Melihat petugas menyebarluaskan informasi melalui media
elektronik........................................................................................ 101
Diagram 4.22 Melihat petugas kunjungan ke lokasi KTR untuk sosialisasi...... 102
Diagram 4.23 Melihat petugas melakukan sosialisasi dengan efektif............... 103
Diagram 4.24 Melihat petugas menegur atau mengawasi.................................. 104
Diagram 4.25 Pengendalian perokok................................................................. 106
Diagram 4.26 Operasi tipiring........................................................................... 107
Diagram 4.27 Sanksi administrasi terhadap pelanggar...................................... 108
Diagram 4.28 Sosialisasi yang dilakukan petugas............................................. 109
Diagram 4.29 Melapor atau menegur yang melanggar perda KTR................... 110
Diagram 4.30 Sanksi administratif teguran lisan............................................... 111
Diagram 4.31 Sanksi administratif teguran tertulis............................................ 112
Diagram 4.32 Sosialisasi petugas menarik untuk mengikuti kebijakan............ 114
Diagram 4.33 Narasumber sudah cukup kompeten........................................... 115
Diagram 4.34 Melihat petugas merokok............................................................ 116
Diagram 4.35 Petugas mengganti stiker/ spanduk............................................. 117
Diagram 4.36 Petugas melakukan pidana kurungan 3 hari atau denda Rp.
50000.............................................................................................. 118
Diagram 4.37 Petugas melakukan pidana kurungan 7 hari atau denda
Rp.5000.000................................................................................... 119
Diagram 4.38 Program khusus dalam menerapkan perda KTR......................... 120
Diagram 4.39 Anggaran khusus untuk menjalankan perda KTR...................... 121
Diagram 4.40 Program kerja untuk mengganti stiker/ spanduk........................ 122
xiii
Diagram 4.41 Menerapkan perda KTR sesuai petunjuk teknis......................... 124
Diagram 4.42 Melihat pengumuman “Anda Memasuki Kawasan Tanpa Rokok”
........................................................................................................ 125
Diagram 4.43 Melihat pengumumam “ Dilarang Merokok” ............................. 126
Diagram 4.44 Pengumuman larangan merokok berupa suara........................... 127
Diagram 4.45 Pengumuman dasar hukum atau sanksi yang dikenakan............. 128
Diagram 4.46 Pengumuman di tempatkan dipintu utama, ruang rapat, dan setiap pintu
masuk bangunan bertingkat................................................... 129
Diagram 4.47 Sudah tidak adanya asbak........................................................... 130
Diagram 4.48 Sudah tidak adanya iklan, promosi dan sponsor......................... 131
Diagram 4.49 Masih melihat menjual produk rokok......................................... 132
Diagram 4.50 Masih melihat orang yang merokok............................................ 133
Diagram 4.51 Melihat tanda “ dilarang merokok diangkutan umum berukuran 11cm x
17cm................................................................................... 134
Diagram 4.52 Melihat sudah adanya tempat fasilitas khusus merokok .............. 135
Diagram 4.53 Melihat tempat khusus merokok memiliki luas 2M x 1,5M ....... 136
Diagram 4.54 Sudah ada petunjuk bahwa Smoking Area.................................. 137
Diagram 4.55 Sudah dilengkapi data atau informasi bahaya merokok.............. 138
Diagram 4.56 Tempat khusus merokok terpisah dari gedung/ruangan............. 139
Diagram 4.57 Tempat khusus merkok jauh dari pintu masuk .......................... 140
Diagram 4.58 Tempat khusus merokok jauh dari tempat orang berlalu-
lalang.............................................................................................. 141
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang diperhitungkan saat ini. Hal ini
dikarenakan selain letak negara Indonesia yang strategis, Indonesia juga
merupakan negara yang sedang giat melakukan pembangunan di berbagai sektor
seperti pembangunan ekonomi, infrastruktur, pariwisata, kesehatan, dan
pendidikan. Hal ini sekiranya dilakukan sebagai upaya agar Indonesia menjadi
negara yang lebih baik lagi dari sebelumnya dan mampu bersaing dengan negara-
negara lainnya.
Pembagunan disektor ekonomi dan infrastrukur merupakan pembangunan
yang selalu menjadi prioritas bagi pemerintah Indonesia setiap tahunnya. Namun
pembangunan di sektor pendidikan dan kesehatan merupakan pembangunan yang
tak kalah pentingnya. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan akar untuk
mencipatakan manusia yang berkualitas. Sedangkan kesehatan merupakan syarat
utama bagi manusia untuk mampu beraktifitas sehari-hari baik bekerja maupun
belajar.
Berbicara mengenai pembangunan kesehatan, pemerintah Indonesia saat ini
telah serius melalukan perubahan di sektor kesehatan. Hal ini bertujuan agar
mencipatakan masyarakat yang sehat melalui layanan kesehatan yang baik dan
gratis untuk setiap orang. Bahkan hampir setiap daerah di Indonesia mempunyai
2
program tersendiri seperti Kartu Sehat yang mana kegunaannya memberikan
layanan kesehatan gratis khususnya bagi masyarakat miskin.
Kesehatan merupakan syarat wajib yang harus dipenuhi oleh setiap orang.
Dengan tubuh yang sehat maka seseorang akan lebih maksimal dalam melakukan
aktivitas. Contohnya dengan tubuh yang sehat seorang buruh akan lebih produktif
dalam bekerja. Dengan tubuh yang sehat pelajar akan mampu mengikuti pelajaran
dengan baik. Menciptakan masyarakat yang sehat tidaklah hanya bergantung pada
pelayanan kesehatan yang baik saja. Namun lingkungan yang sehat serta gaya
hidup yang sehat merupakan faktor lain dari terciptanya masyarakat yang sehat.
Lingkungan yang sehat terutama udara yang bersih yang bebas dari asap rokok
misalnya. Rokok sendiri bukan hal yang baru lagi bagi mayarakat Indonesia.
Dahulu rokok mungkin hanya dinikmati oleh kalangan kelas atas atau bahkan
syarat khusus dalam upacara-upacara adat. Namun untuk saat ini hampir semua
kalangan dapat menikmati rokok dengan bebas. Bahkan merokok sudah menjadi
budaya oleh sebagian orang.
Rokok pada dasarnya sangatlah berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia.
Berdasarkan website resmi dari Departemen Kesehatan, Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian
Kesehatan RI, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama. SpP(K), MARS, DTM&H,
DTCE, menyatakan bahwa dampak buruk asap rokok yang ada di dalam sebatang
rokok yaitu mengandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun yang berbahaya
untuk tubuh dimana 43 diantaranya bersifat karsinogenik. Dengan komponen
utama adalah Nikotin suatu zat berbahaya penyebab kecanduan, Tar yang bersifat
3
karsinogenik, dan CO yang dapat menurunkan kandungan oksigen dalam darah.
Dari penyataan tersebut sangatlah jelas betapa bahanyanya rokok bagi kesehatan
tubuh manusia.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Departemen Kesehatan, jumlah perokok
dari tahun 2001 dengan 2010 mengalami peningkatan di kategori pemula remaja
10-14 tahun, dari 9.5% (Susenas, 2001) menjadi 17.5% (Riskesdas, 2010). Dan
menurut data hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2011
menyebutkan bahwa 85.4% orang dewasa terpapar asap rokok ditempat umum, di
rumah (78.4%) dan di tempat bekerja (51.3%). Sedangkan untuk prevelensi
perokok aktif untuk pria dan wanita berdasarkan hasil GATS dengan Riset
Kesehatan Dasar perbandingan 2011 dengan 2013, ialah sebesar 67,4 % menjadi
64,9 % untuk pria dan 4,5 % menjadi 6,9 % untuk wanita.
Dari data tersebut dapat terlihat bahwa di usia 10-14 tahun yang mana
tegolong anak SMP sudah menghisap rokok yang mana seharusnya di usia seperti
itu mereka haruslah berfokus kepada pendidikan daripada menghisap rokok yang
notabennya dapat merusak kesahatan mereka dimasa yang akan datang. Terlebih
lagi dari hasil survei GATS dapat kita simpulkan bahwa orang dewasa yang
terpapar asap rokok yang mana resikonya dua kali berbahaya dari rokok itu
sendiri sangatlah tinggi presentasenya khusunya di tempat umum, diikuti tempat
berikutnya yaitu di rumah dan di tempat kerja. Adapun untuk perbandingan
perokok aktif pria dan wanita berdasarkan data tersebut, untuk perokok aktif pria
mengalami penurunan sebesar 3,5% sedangkan untuk wanita mengalami
peningkatan sebesar 2,4% persen.
4
Pada dasarnya rokok maupun tembakau lebih memberikan dampak buruk
kepada kesahatan tubuh manusia dan berujung pada kematian, hal tersebut
diperkuat dengan hasil kajian yang dilakukan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI tahun 2013 dimana hasil kajian
menunjukkan telah terjadi kenaikan kematian prematur akibat penyakit terkait
tembakau dari 1162.260 (2010) menjadi 240.618 kematian (2013), serta kenaikan
penderita penyakit akibat konsumsi tembakau dari 384.058 orang (2010) menjadi
962.403 orang (2013).
Rokok tidak hanya berdampak buruk bagi perokok sendiri (perokok aktif),
namun asapnya itu sendiri pun menimbulkan dampak yang lebih berbahaya
kepada orang lain (perokok pasif) yang berada didekatnya lalu menghirupnya.
Adapun dampak asap rokok pada orang lain (perokok pasif) menurut British
Medical Association (BMA), bagi orang dewasa dampak asap rokok ialah kanker
paru-paru, penyakit jantung coroner, penyakit hati, asma, bronchitis, stroke,
terganggunya pertumbuhan janin dan bayi lahir prematur.
Menurut website Healthy Articles Adapun dampak asap rokok bagi anak
ialah, sindrom kematian mendadak pada bayi atau Cot Death (Sudden Infant
Death Syndrome), infeksi/peradangan telinga, infeksi/peradangan pernapasan,
asma atau "bibit" asma yang akan diderita setelah dewasa nanti, pneumonia, dan
bronchitis. Dan dampak buruk lainnya seperti pemendekan nafas, Nusea, Sakit
kepala, batuk, dan iritasi mata.
Merokok pada dasarnya merupakan hak setiap orang, namun orang lain pun
mempunyai hak untuk menghirup udara yang bersih. Berdasarkan dampak rokok
5
dan asap rokok bagi lingkungan orang sekitar perokok dan dalam upaya
menciptakan udara yang bersih yang terbebas dari rokok serta menjaga generasi
mendatang, maka pemerintah mengambil langkah dengan mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Dalam
Peraturan Pemerintah ini Pasal 8 Ayat 1 Bagian D menjelasakan bahwa :
“…..penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif
berupa Produk Tembakau bagi kesehatan meliputi Kawasan Tanpa Rokok.”
Kawasan Tanpa Rokok menurut Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun
2012 ialah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok
atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan
produk tembakau. Dalam peraturan ini pun juga dijelaskan bahwa pemerintah
daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok hal itu tertuang dalam Pasal 52
yang berbunyi:
“Pemerintah Daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di
wilayahnya dengan Peraturan Daerah..”
Bersadarkan pasal tersebut semua wilayah pemerintahan daerah yang ada di
Indonesia diwajibkan menetapkan Kawasan Tanpa Rokok diwilayahnya melalui
Peraturan Daerah, tak terkecuali Pemerintah Kabupaten Serang.
Kabupaten Serang merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi
Banten yang memiliki 29 Kecamatan dan 330 Desa, ibu kotanya adalah Ciruas,
namun saat ini pusat pemerintahannya masih berada di Kota Serang. Kabupaten
Serang ini berada di ujung barat laut pulau jawa, berbatasan dengan laut jawa, dan
6
Kota Serang di utara, Kabupaten Tanggerang di timur, Kabupaten Lebak di
Selatan, serta Kota Cilegon di Barat.
Menjawab respon pemerintah yang menetapkan Peraturan Pemerintah
Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang tujuannya melindungi
masyarakat dari bahaya asap rokok dan setiap pemerintah daerah wajib
menetapkan Kawasan Tanpa Rokok maka pemerintah mengeluarkan kebijakan
melalui Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Kawasan Tanpa Rokok. Maksud dalam perda ini yaitu ada pada pasal 2 bahwa :
“KTR dimaksudkan untuk memberikan jaminan perolehan lingkungan udara
yang bersih dan melindungi hak asasi manusia dalam mencapai derajat
kesehatan melalui pengendalian terhadap bahaya asap rokok.
Sehingga bisa dikatakan maksud perda KTR ini menjauhkan bahaya asap
rokok di lingkungan masyarakat. Dalam perda ini terdapat 9 area tempat yang di
larang untuk merokok, yaitu fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar
mengajar, tempat anak bermain, angkutan umum, fasilitas olahraga, tempat kerja,
tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Apabila masyarakat meroko pada
tempat yang sudah di tentukan, maka akan di beri sanksi yang sudah tercantum
dalam perda KTR. Untuk petunjuk pelaksanaan perda KTR ini merujuk kepada
Peraturan Bupati Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan
Tanpa Rokok. Dalam perbup KTR ini berisikan hal-hal yang musti dilakukan
pemerintah agar pelaksanaan perda KTR ini berjalan dengan baik. Di perbup KTR
7
terdapat bentuk persyaratan tanda-tanda dilarang merokok, kewajiban dan
larangan pemeerintah dalam menjalankan perda KTR, mekanisme peneguran,
teknis pembuatan ruangan tempat khusus merokok dan teknis-teknis pelaksanaan
lainnya. Sehingga merujuk pada perbup KTR ini perda KTR akan lebih mudah
untuk dilaksanakan, karena sudah tersusun penjelasan teknis-teknisnya. Dengan
adanya Perda ini maka seluruh wilayah Kabupaten Serang haruslah mentaati apa
yang tercantum dalam Peraturan Daerah tersebut, terutama Kecamatan Ciruas.
Kecamatan Ciruas merupakan salah satu Kecamatan yang berada di
Kabupaten Serang, yang merupakan juga ibu kota Kabupaten Serang. Kecamatan
Ciruas letaknya berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten Serang yang
berada di Kota Serang. Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Ciruas berjumlah
37.735 dan jumlah penduduk perempuannya 36.517.
Karena Kecamatan Ciruas merupakan salah satu kecamatan yang ada di
Kabupaten Serang, maka segala jenis kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
Kabupaten Serang harus diikuti maupun dilaksanakan dengan baik. Khususnya
Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan
Tanpa Rokok. Dalam Peraturan daerah ini bahwa maksud dibuatnya Peraturan ini
adalah untuk memberikan jaminan perolehan lingkungan udara yang bersih dan
melindungi hak asasi manusia dalam mencapai derajat kesehatan melalui
pengendalian terhadap bahaya asap rokok. Jelas bahwa dilihat dari maksud
dibuatnya perda ini sudah baik, karena belakangan ini semakin meningkatnya
angka perokok, yang berdampak semakin berkurangnya angka kesehatan. Tetapi
8
dengan sekarang meningkatnya produksi rokok dengan berbagai macam jenisnya
memungkinkan sulitnya menciptakan lingkungan udara yang bersih.
Berkaitan dengan tempat yang dilarang untuk merokok yang sudah
dijelaskan diatas, berikut adalah jumlah tempat dilarang untuk merokok yang ada
di Kecamatan Ciruas :
Tabel 1.1
Jumlah Ruang Lingkup KTR
No Ruang Lingkup KTR Jumlah
1 Fasilitas Pelayanan Kesehatan 27
2 Tempat Proses Belajar Mengajar 102
3 Tempat Anak Bermain -
4 Tempat Ibadah 61
5 Angkutan Umum 59
6 Fasilitas Olahraga 5
7 Tempat Kerja 15
8 Tempat Umum 3
9 Tempat Lain Yang Ditetapkan -
Sumber : Peneliti, 2016
Dilihat dari tabel tersebut jumlah tempat kawasan tanpa rokok memanglah
banyak tetapi perda ini belumlah berjalan dengan baik, karena masih banyak
persoalan masalah dalam penerapannya.
Pertama, berdasarkan hasil observasi awal penelitian di lapangan masih
banyak tempat kawasan tanpa rokok yang tidak adanya ruang khusus merokok,
hanya kantor pemerintahan Kabupaten Serang yang letaknya di Kota Serang, dari
hasil observasi di lingkungan tempat belajar mengajar, kantor Kecamatan Ciruas
dan kantor desa juga masih tidak adanya ruang khusus merokok. Dalam perda
KTR di bab 4 pasal 8 ini menjelaskan bagaimana harusnya ruang khusus merokok
ada dalam lingkungan kawasan tanpa rokok yaitu “ (1) merupakan ruang terbuka
9
atau ruang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga udara dapat
bersirkulasi dengan baik. (2) terpisah dari gedung/tempat/ ruangan lain yang
digunakan untuk beraktifitas. (3) jauh dari pintu masuk dan pintu keluar. (4) jauh
dari tempat orang berlalu-lalang.”. Berikut gambar situasi di Kantor Kecamatan
Ciruas:
Gambar 1.1
Kantor Kecamatan Ciruas
Gambar menunjukan dimana tidak ada ruang khusus merokok di Kantor
Kecamatan Ciruas, hal ini yang menyebabkan masih adanya yang merokok
diruang kantor Kecamatan Ciruas.
Kedua, dari observasi awal di lapangan kurangnya pengawasan yang
dilakukan pemerintah Kabupaten Serang. Masih tidak adanya pengawasan
ditempat kawasan tanpa rokok, yang berdampak masih banyaknya masyarakat
yang merokok di area kawasan tanpa rokok. Dari hasil observasi wawancara
Satpol PP Kabupaten Serang, menyatakan bahwa masih tidak adanya koordinasi
antara dinas kesehatan sebagai pelaksana perda dengan Satpol PP untuk
mengawasi yang merokok di sekitar kawasan tanpa rokok. Perda ini menjelaskan
10
bahwa pengawasan dilakukan oleh SKPD terkait yaitu Dinas Kesehatan yang
berkoordinasi dengan masyarakat, badan atau lembaga dan/atau organisasi
kemasyarakatan. Berikut adalah gambarnya :
Gambar 1.2
Angkutan Umum Ciruas
Gambar 1.3
Dalam Ruangan Kantor Kec. Ciruas
Gambar 1.2 dan 1.3 menunjukan bahwa masih adanya perokok diruang
lingkup KTR, yaitu diangkutan umum dan kantor Kecamatan Ciruas. sehingga
11
permasalahan dalam perda ini dapat dibilang kurangnya pengawasan yang
dilakukan pemerintah Kabupaten Serang.
Ketiga, dari hasil obervasi awal di lapangan masih kurangnya sosialisasi di
sekitar wilayah Kecamatan Ciruas, sehingga masih ada yang tidak tahu lokasi
mana saja yang dilarang untuk merokok. Tidak adanya spanduk peringatan di
sekitar lokasi kawasan yang dilarang untuk merokok juga membuktikan masih
kurangnya sosialisasi yang dilakukan dinas terkait, kurangnya sosialisasi juga ini
berdampak masih banyaknnya perokok di sekitaran wilayah Kecamatan Ciruas
yang merokok di tempat bebas asap rokok atau tempat yang dilarang untuk
merokok. Buktinya kita bisa lihat digambar 1.1 dimana tidak adanya spanduk
tentang perda KTR atau larangan untuk merokok. Dalam gambar 1.2 dan 1.3 pun
dampak masih kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah Kabupaten
Serang.
Keempat, dari hasil observasi awal di lapangan Sanksi yang kurang
dipertegas dalam menjalankan perda kawasan tanpa rokok. Didalam perda XI
mengenai sanksi pidana pasal 20 ayat 1 sudah dijelaskan bahwa adanya sanksi
yang diberikan kepada masyarakat apabila merokok dalam kawasan tanpa rokok
yaitu denda paling banyak Rp.50.000, sanksi ini tidak membuat jera masyarakat,
karena kita ketahui masyarakat kita sulit untuk mematuhi peraturan. Sanksi ini
juga dari hasil observasi awal tidak berlaku karena tidak adanya rajia yang
dilakukan dinas terkait dari awalnya diberlakukannya perda ini. Dalam hal ini
juga Satpol PP sebagai pengawas perda tidak tegas, karena masih banyak anggota
yang merokok dalam ruangan kerjanya sendiri, sehingga sanksi ini hanya
12
tercantum dalam perdanya tetapi tidak berjalan. Bukan hanya Satpol PP tetapi
dinas lainnya yang seharusnya dijadikan sebagai contoh masyarakat juga masih
banyak pegawainya merokok dalam area tempat kerja.
Kelima, dari hasil observasi awal dilapangan masih ada yang menjual rokok
dikawasan tanpa rokok. Banyaknya penjual rokok berdampak akan tidak
efektifnya kebijakan ini dijalankan, apalagi di lingkungan kawasan tanpa rokok,
seperti dilingkungan tempat kerja, padahal dalam perda pasal 1 ayat 14
menjelaskan bahwa Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR
adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau
kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/ atau mempromosikan
produk tembakau. Jelas dalam perda ini bahwa area kawasan tanpa rokok dilarang
untuk menjual bahkan memasang iklan dilarang dalam perda ini. Seperti gambar
dibawah ini:
Gambar 1.4
Warung Kantor Kecamatan Ciruas
13
Gambar 1.5
Isi Warung Kantor Kecamatan Ciruas
Gambar 1.4 dan 1.5 menunjukan warung yang berada di lingkungan kantor
Kecamatan Ciruas, dimana dalam warung tersebut menjual rokok, yang didalam
perda menyatakan bahwa KTR dilarang untuk menjual produk tembakau.
Dari pemaparan masalah yang ada di Kabupaten Serang wilayah Kecamatan
Ciruas, membuat peneliti tertarik untuk mengkaji apakah yang menyebabkan
masyarakat Kecamatan Ciruas masih merokok dalam ruang lingkup KTR, sesuai
atau tidak fasilitas pendukung perda dengan apa yang telah dilaksanakan
pemerintah dalam penerapan Perda Kabupaten Serang No 9 Tahun 2014 tentang
Kawasan Tanpa Rokok. Sehingga berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti
akan mencoba melakukan penelitian dengan judul “Evaluasi Implementasi
Peraturan Daerah Kabupaten Serang No 9 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa
Rokok di Wilayah Kecamatan Ciruas “. Peneliti nantinya hasil penelitian ini dapat
menjadi acuan bagi Pemerintah Kabupaten Serang dalam mengomptimalkan
14
implementasi dari pelaksanaan perda ini yang akhirnya nanti dapat menjadi
contoh dari daerah-daerah lainnya.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah di atas, maka peneliti
dapat mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan yang ada sebagai berikut:
1. Tidak adanya ruang khusus merokok di lokasi tempat kawasan tanpa
rokok.
2. Tidak adanya pengawasan dalam menjalankan perda kawasan tanpa
rokok ini karena kurangnya koordinasi antara pihak terkait dengan Satpol
PP sebagai petugas pengawasan.
3. Kurang maksimalnya sosialisasi kepada masyarakat tentang perda
kawasan tanpa rokok.
4. Sanksi yang kurang dipertegas dalam menjalankan perda kawasan tanpa
rokok.
5. Masih ada yang menjual rokok di area kawasan tanpa rokok.
1.3 Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini. Peneliti hanya memfokuskan penelitiannya pada
Evaluasi implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014
Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah Kecamatan Ciruas.
1.4 Rumusan Masalah
15
Dengan mengacu pada batasan masalah diatas, maka rumusan masalahnya
adalah Bagaimana Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang
Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kecamatan Ciruas
1.5 Tujuan Peneliti
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Evaluasi implementasi Peraturan
Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok
di Kecamatan Ciruas.
1.6 Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Dalam Penelitian ini diharapkan peneliti dalam mengaplikasikan materi-
materi pengajaran mengenai kebijakan publik khususnya implementasi kebijakan
publik serta dapat memberikan sumbangan pemikiran guna melakukan
pengembangan teori-teori kebijakan publik.
2. Secara praktis
Penelitian tentang Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang
Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah Kecamatan
Ciruas diharapkan dapat memberikan umpan balik (feedback) kepada Dinas
Kesehatan mengenai pelakasanaan Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Serang
dalam rangka menciptakan lingkungan bebas asap rokok.
16
BAB II
DESKRIPSI TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori
Deskripsi teori merupakan kajian berbagai teori dan konsep-konsep yang
relevan dengan permasalahan penelitian yang disusun secara sistematis dengan
mengkaji berbagai teori dan konsep-konsep maka peneliti akan memiliki konsep
penelitian yang jelas.
Penggunaan teori dalam penelitian akan memberikan acuan bagi peneliti
dalam melakukan analisis terhadap masalah sehingga dapat menyusun pertanyaan
dengan rinci untuk penyelidikan sehingga memperoleh temuan lapangan yang
menjadi jawaban atas masalah yang telah dirumuskan.oleh karena itu, pada bab ini
peneliti akan menjelaskan beberapa teori yang berkaitandengan permasalahan
penelitian, antara lain:
2.1.1 Pengertian Kebijakan
Kebijakan adalah terjemahan dari bahasa Inggris policy yang berarti
kebijakan. Kebijakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata kebijaksanaan
(wisdom dalam bahasa Inggris) kebijakan berbeda dengan kebijaksanaan,
kebijaksanaan menyangkut karakter pribadi seseorang sedangkan kebijakan
mencangkup aturan-aturan yang ada didalamnya. Lebih-lebih lagi kita tidak dapat
memisahkan kata policy itu dalam konteksnya dengan politik, karena pada
hakikatnya proses pembuatan kebijakan itu adalah proses politik.
17
Sedangkan menurut James Anderson yang selama ini banyak dikutip dalam
buku-buku teks kebijakan publik menyatakan bahwa kebijakan adalah “purposive
course of action or inaction undertaken by an actor or set of actors in dealing
with a problem or matter of concern” (langkah tindakan yang secara sengaja
dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya
masalah atau persoalan tentu yang dihadapi). (Wahab 2012 : 8).
Sementara Knoepfrl dkk dikutip solihin Abdul Wahab (2012 : 10).
Mengartikan kebijakan sebagai :
“a series of decisions or activities resulting from structured and recurrent
interactions between different ways in the emergence, identification and
resolution of a problem defined politically as a public one”. (serangkaian
keputusan atau tindakan-tindakan sebagai actor, baik publik/pemerintah
maupun privat/swasta yang terlibat berbagai cara dalam merespons,
mengidentifikasikan, dan memecahkan suatu masalah yang secara politis
didefinisikan sebagai masalah publik).
Pengertian lain mengenai kebijakan dikemukakan oleh Carl Friedrech
(Agustino 2006 : 7) yang menyatakan bahwa :
“Kebijakan adalah serangkaian tindakan kegiatan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
dimana terdapat hambatan-hambatan dan kemungkinan-kemungkinan
dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatisnya
untuk mencapai tujuan yang dimaksud”
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan maka dapat diambil
kesimpulan bahwa kebijakan iasal pedoman untuk bertindak. Pedoman itu bisa
saja sangat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau
sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, berisifat kualitatif atau
kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin
berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah
18
tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu, atau suatu
rencana.
2.1.2 Pengertian Publik
Menurut Syafiie (2006: 18) Publik adalah sejumlah manusia yang
memiliki kesamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap, tindakan yang benar dan
baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.
Selain itu Syafiie (2010: 17) juga mendefinisikan publik sebagai berikut:
“istilah publik berasal dari bahasa Inggris public yang berarti umum,
masyarakat atau negara. Yang didefinisikan sebagai “umum” misalnya
public offering (penawaran umum), public ownership (milik umum),
public service corporation (perseroan jasa umum), public switched
network (jaringan telepon umum), public utility (perusahaan umum) dan
lain-lain. Yang didefinisikan sebagai “masyarakat” misalnya public
relation (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat),
publik opinion (pendapat masyarakat), public interest (kepentingan
masyarakat), dan lain-lain. Yang didefinisikan sebagai negara misalnya
public authorities (otoritas negara), public building (gedung negara),
public finance (keuangan negara).”
Adapun pendapat dari Frederickson dalam Syafiie (2006: 17) menjelaskan
lima model formal yang berkaitan dengan kedudukan konsep publik yang umum
digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk dikaji dalam rangka revitalisasi konsep
tersebut, sehingga diharapkan muncul suatu perspektif baru yang menjadi esensi
administrasi publik modern. Kelima perspektif untuk memahami konsep publik
tersebut memuat:
1. Perspektif pluralis. Dalam perspektif ini publik dipandang sebagai
konfigurasi dari berbagai kelompok kepentingan. Pendukung perspektif ini
berpendapat bahwa setiap orang punya kepentingan yang sama akan
bergabung satu sama lain dan membentuk suatu kelompok yang pada
nantinya kelompok-kelompok tersebutberinteraksi dan berkompetisi untuk
19
memperjuangkan kepentingan-kepentingan individu yang mereka wakili,
khususnya dalam konteks pemerintahan.
2. Perspektif pilihan publik. Perspektif ini berakar pada tradisi pemikiran
utilitarian yang sangat menekan pada awal kebahagiaan dan kepentingan
individu,. Pandangan utilitarian berpendapat bahwa publik sebagai
konsumen dan pasar. Dengan kata lain perspektif ini mencoba
mengaplikasikan prinsip-prinsip ekonomi pasar ke dalam sektor publik,
sehingga asumsi metedologis utama dari pandangan ini adalah bahwa
tindakan publik harus dimengerti sebagai tindakan individual yang
termotivasi oleh kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda satu sama
lainnya.
3. Perspektif legislative. Sifat pemerintahan yang demokrasi tidak selalu
menggunakan sisrtem perwakilan secara langsung. Pada kenyatannya,
banyak pemerintah yang demokratis akan tetapi menggunakan sistem
perwakilan secara tidak langsung. Asumsi perspektif ini adalah bahwa
setiap pejabat yang diangkat untuk mewakili kepentingan publik, sehingga
mereka melegitimasi mewujudkan perspektif publik dalam administrasi
publik. Pejabat-pejabat yang di anggap sebagai menifestasi tunggal dari
perspektif publik. Jelasnya, perspektif ini tidak bisa untuk mengakomodasi
kepentingan-kepentingan publik, baik dalam teori maupun praktik
admnistrasi di lapangan.
4. Perspektif penyedia lapangan. Apabila konsep pelayanan orima, maka
individu diposisikan sebagai pelanggan. Oleh karenanya perspektif ini
memandang bahwa publik sebagai pelanggan yang harus dilayani. Selain
itu, aparatur pemerintah yang berada paling dekat dengan publik dengan
segala keahlian, pendidikan dan pengetahuan diharapkan memberikan
yang terbaik untuk publik. Mempunyai tugas untuk melayani publik yang
terdiri atas individu-individu dan kelompok-kelompok.
5. Perspektif kewarganegaraan. Reformasi administrasi publik khususnya di
Indonesia dan umumnya di berbagai dunia, ditandai dua tuntutan penting.
Pertama, tuntutan adanya pelayanan publik yang lebih terdidik dan
terseleksi dengan berdasar pada meritokrasi. Kedua, tuntutan agar setiap
warga negara diberi informasi yang cukup agar dapat aktif dalam berbagai
kegiatan publik dan memahami konstitusi secara baik.
2.1.3 Pengertian Kebijakan Publik
Banyak sekali definisi mengenai kebijakan publik. Sebagaian besar ahli
memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitanya dengan keputusan atau
ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan
membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Bahkan dalam pengertian yang
20
lebih luas, kebijakan publik sering diartikan sebagai „apa saja yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tindak dilakukan‟. Seperti kata Dye, dalam
Parson Policy, ( 2005 : xi ), kebijakan publik adalah study tentang “apa yang
dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut,
dan apa akibat dari tindakan tersebut.”
Definisi lain diutarakan oleh James E Anderson. Menurut James E
Anderson dalam Subarsono (2005 : 2) “kebijakan publik sebagai kebijakan yang
ditetapkan oleh badan-badan pemerintah dan aparat pemerintah”. Berdasarkan
pengertian yang di ungkapkan oleh James E Anderson ini kebijakan publik
dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan
pemerintah dalam bidang teretentu seperti bidang pendidikan, politik,ekonomi,
pertanian, industri, dan pertahanan.
Adapun pengertian lain mengenai kebijakan publik ditawarkan oleh seorang
pakar dari Perancis, Limeux. Menurut Limeux dalam Wahab (2012:15) kebijakan
publik ialah :
“Produk aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah
publik yang dilakukakan oleh aktor-aktor politik yang sehubungannya
terstruktur. Keseluruhan proses aktivitas itu berlangsung sepanjang waktu”
Berdasarkan pengertian tersebut menjelaskan kebijakan publik itu
serangkaian aktivitaas guna memecahkan masalah publik yang dilakukan oleh
aktor-aktor politik yaitu pejabat negara.
Seorang pakar dari Nigeria Chief J.O. Udoji memberikan pengertian
mengenai kebijakan publik. Menurut Chief J.O Udoji dalam Wahab (2012:15)
21
mengatakan bahwa kebijakan publik ialah “suatu tindakan bersanksi yang
mengarah pada suatu tujuan tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi
sebagian besar warga masyarakat”.
Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan sementara bahwa kebijakan
publik ialah serangkaian tindakan kegiatan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah orang banyak.
Pengertian lain diutarakan oleh ahli seperti Thomas R Dye mengenai
kebijakan publik. Menurut Thomas R Dye dalam Agustino (2006:7) “kebijakan
publik adalah apa yang dipilih pemerintah untuk di kerjakan atau tidak
dikerjakan”. Berdasarkan pengertian Thomas R Dye ini, baik apapun yang dipilih
pemerintah untuk dikerjakan maupun tidak dikerjakan itu adalah suatu kebijakan
publik..
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik
adalah suatu tindakan yang diputuskan oleh pemerintah maupun badan-badan
pemerintah yang berisi sanksi dan bertujuan untuk memecahkan masalah publik
serta mempengaruhi sebagaian besar masyarakat.
2.1.4 Evaluasi Kebijakan Publik
Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. Kebijakan harus
diawasi, dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut dengan “evaluasi
kebijakan”. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan
kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh
mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara
22
“harapan” dengan “kenyataan”. Tujuan pokok dari evaluasi bukanlah untuk
menyalah-nyalahkan melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara
pencapaian dan harapan dari suatu kebijakan publik. Evaluasi bertujuan untuk
mencari kekurangan dan menutup kekurangan. Winarni (dalam Nugroho 2003:
184) berpendapat bahwa:
“Evaluasi kebijakan publik acapkali hanya dipahami sebagai evaluasi atas
implementasi kebijakan saja. Sesungguhnya evaluasi kebijakan publik
mempunyai tiga lingkup makna, yaitu evaluasi perumusan kebijakan,
evaluasi implementasi kebijakan, dan evaluasi lingkungan kebijakan. Oleh
karena ketiga komponen tersebutlah yang menentukan apakah kebijakan
akan berhasilguna atau tidak.”
Adapun definisi evaluasi kebijakan menurut Anderson (dalam Soenarko
2003: 212) yaitu:
“Evaluasi kebijakan, sebagai suatu kegiatan fungsional adalah suatu
kebijakan itu sendiri. pengambil-pengambil kebijakan dan administrator-
administrator senantiasa membuat penilaian terhadap keberhasilan atau
terhadap dampak-dampak kebijakan-kebijakan khusus, program-program
dan proyek-proyek yang dilaksanakan itu.”
Evaluasi kebijakan menurut Mustopadidjaja (2002: 45) yaitu:
“Kegiatan untuk menilai atau melihat keberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan dari suatu kebijakam poblik. Oleh karena itu, evaluasi
merupakan kegiatan pemberian nilai atau suatu “fenomena” yang
didalamnya terkandung pertimbangan nilai (value judgement) tertentu.
Fenomena yang dinilai tergantung kepada konteksnya. Manakala
konteksnya kebijakan publik, maka fenomena yang dinilai adalah
berkaitan dengan “tujuan, sasaran kebijakan, kinerja yang dicapai, dampak
yang terjadi, dan sebagainya.”
23
Selain itu, definisi evaluasi kebijakan lainnya menurut Muhajir (dalam
Widodo 2007: 112) yaitu:
“Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk menilai
seberapa jauh suatu kebijakan dapat “membuahkan hasil”, yaitu dengan
membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target
kebijakan publik yang ditentukan.”
Dunn (dalam Nugroho 2003: 185) istilah evaluasi dapat disamakan dengan
penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment).
Berdasarkan beberapa pengertian dan definisi-definisi mengenai evaluasi
kebijakan publik diatas dapat disimpulkan bahwa, evaluasi kebijakan publik yaitu
salah satu tingkatan di dalam proses kebijakan publik, evaluasi adalah suatu cara
untuk menilai apakah suatu kebijakan atau program itu berjalan dengan baik atau
tidak. Evaluasi kebijakan merupakan hasil kebijakan dimana pada kenyataannya
mempunyai nilai dari hasil tujuan atau sasaran kebijakan dan merupakan bagian
akhir dari suatu proses kebijakan adalah evaluasi kebijakan.
Selain itu Daryanto (1999: 4-6) menjelaskan bahwa dalam mengadakan
evaluasi meliputi kegiatan mengukur dan menilai. Kegiatan pengukuran dilakukan
terlebih dahulu sebelum mengadakan penilaian. Perbedaan antara pengukuran dan
penilaian selanjutnya didefinisikan sebagai berikut:
1. Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran.
24
2. Menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan
ukuran baik buruk.
Dunn (2000: 608-609), evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang
membedakan dari metode-metode analisis kebijakan lainnya:
1. Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipustkan pada
penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan
program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan
manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan
sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi
kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Karena ketepatan
tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi
mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu
sendiri.
2. Interpendensi fakta-nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta”
maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program
tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah)
diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi
sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk
menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil
kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang
dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu,
pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
3. Orientasi masa kini dan masa lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda
dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan
masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat
retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi
yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan
dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante)
4. Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi
mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan
dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh
berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya, kesehatan) dapat
dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstrinsik
(diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan
lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang
merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar
tujuan dan sasaran.
25
Wibawa (dalam Nugroho 2003: 187), evaluasi kebijakan publik memiliki
empat fungsi, yaitu:
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan
program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola
hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari
evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan
actor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya
sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar
sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada
kebocoran atau penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi
dari kebijakan tersebut.
Menurut Finance (dalam Nurcholis 2007: 276) terdapat empat tipe evaluasi yaitu:
1. Evaluasi kecocokan, yaitu menilai apakah kebijakan yang ditetapkan
memang cocok untuk di pertahankan, perlukah diganti dengan
kebijakan lain, dan apakah kebijakan ini cocok dilakukan oleh
pemerintah daerah dan bukan oleh swasta.
2. Evaluasi efektivitas, yaitu melakukan penilaian apakah kebijakan yang
dilaksanakan tersebut telah menghasilkan hasil dan dampak sesuai
dengan tujuan yang diharapkan.
3. Evaluasi efisiensi, yaitu melakukan penilaian berdasarkan tolok ukur
ekonomis yaitu seberapa jauh tingkat manfaat dibandingkan dengan
biaya dan sumber daya yang dikeluarkan. Dengan kata lain apakah
input yang digunakan sebanding dengan output yang diharpkan,
apakah cukup efisien penggunaan keuangan politik dalam mencapai
dampak kebijakan.
4. Evaluasi meta, yaitu melakukan penilaian terhadap proses evaluasi itu
sendiri. Apakah evaluasi yang dilakukan oleh pihak yang berwenang
sudah professional? Apakah evaluasi yang dilakukan tersebut sensiif
terhadap kondisi sosial, kultural, dan lingkungan? Apakah evaluasi
tersebut menghasilkan laporan yang memperngaruhi pilihan-pilihan
manajerial.
26
Adapun beberapa pendekatan-pendekatan mengenai Evaluasi Kebijakan
versi Dunn (2000: 612) yang dibagi menjadi tiga pendekatan evaluasi sebagai
berikut:
Tabel 2.1
Dunn (2000: 612)
Tiga Pendekatan Evaluasi
Pendeka-
tan
Tujuan Asumsi Bentuk-Bentuk
Utama
Evaluasi
Semu
Menggunakan metode
deksriptif untuk
menghasilkan informasi
valid tentang hasil
kebijakan
Ukuran menfaat atau
nilai terbukti dengan
sendirinya atau tidak
controversial
Eksperimentasi
sosial
Akuntansi sistem
sosial
Pemeriksaan
sosial
Sintesis riset dan
praktek
Evaluasi
Formal
Menggunakan metode
desktiptif untuk
menghasilkan informasi
yang terpercaya dan
valid mengenai hasil
kebijakan secara formal
diumumkan sebagai
tujuan program-
kebijakan
Tujuan dan sasaran
dari pengambil
kebijakan dan
administrator yang
secara resmi
diumumkan
merupakan ukuran
yang tepat dari
manfaat suatu nilai
Evaluasi
perkembangan
Evaluasi
Eksperimental
Evaluasi proses
retrospektif (ex
post)
Evaluasi hasil
retrospektif
Evaluasi
Keputusan
Teoritis
Menggunakan metode
deskriptif untuk
menghasilkan informasi
yang terpercaya dan
valid menganai hasil
kebijakan yang secara
eksplisit diinginkan oleh
berbagai pelaku
Tujuan dan sasaran
dari bergbagai pelaku
yang diumumkan
secara formal ataupun
diam-diam merupakan
ukuran yang tepat dari
manfaat atau nilai
Penilaian tentang
dapat-tidaknya
dievaluasi
Analisis utilitas
multi-atribut
27
kebijakan
Kaufman dan Thomas (dalam Subarsono 2006: 189) membedakan model
evaluasi menjadi beberapa model yaitu:
1. Goal Oriental Evaluation Model
Merupakan model yang muncul paling awal. Yang menjadi objek
pengamatan pada model ini adalah tujuan dari program yang sudah
ditentukan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan, terus-menerus mencek sejauh mana tujuan
tersebut sudah terlaksanan di dalam proses pelaksanaan program.
2. Goal Free Evaluation Model
Model ini dapat dikatakan berbeda dengan Goal Oriental Evaluation
Model karena dalam melakukan evaluasi, evaluator tidak perlu
memperhatikan apa yang menjadi tujuan program akan tetapi
bagaimana kerjanya orogram dengan jalan mengidentifikasi
penampilan-penampilan yang terjadi, baik hal-hal yang positif (yaitu
hal yang diharapkan) maupun hal-hal yang negatif (yang sebetulnya
tidak diharapkan). Alasan mengapa tujuan program tidak perlu
diperhatikan karena ada kemungkinan evaluator terlalu rinci
mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Jika masing-masing tujuan khusus
tercapai, artinya terpenuhi dengan penampilan, tetapi evaluator lupa
memperhatikan sejauh mana masing-masing penampilan tersebut
mendukung penampilan akhir yang diharapkan oleh tujuan umum,
maka akibatnya jumlah penampilan khusus itu tidak banyak
manfaatnya.
3. Formatif-Sumatif Evaluation Model
Model ini menunjuk pada adanya tahapan dan lingkup objek yang
dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih
berjalan (evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai tau
ebrakhir (evaluasi sumatif)
House (dalam Nugroho 2003: 197) membuat taksonomi evaluasi cukup
berbeda, yang membagi model evaluasi menjadi:
28
1. Model sistem, dengan indikator utama adalah efesiensi,
2. Model perilaku, dengan indikator utama adalah produktifikas dan
akuntabilitas,
3. Model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah
keefektifan dan keterjagaan kualitas,
4. Model tujuan-bebas (goal free), dengan indikator utama adalah pilihan
pengguna dan manfaat sosial,
5. Model kekritisan seni (art criticism), dengan indikator utama adalah
standar yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat,
6. Model review professional, dengan indikator utama adalah
penerimaan professional,
7. Model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah
resolusi, dan,
8. Model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas
diversitas.
Anderson (dalam Nugroho 2003: 198) membagi evaluasi (implementasi)
kebijakan publik menjadi tiga yaitu:
“Tipe pertama, evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan
fungsional. Kedua, evaluasi yang memfokuskan kepada bekerjanya
kebijakan. Ketiga, evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara
obyektif program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur
dampaknya bagi masyarakat dan sejauh mana tujuan-tujuan yang ada telah
dinyatakan telah dicapai.”
Suchman (dalam Nugroho 2003: 199) di sisi lain lebih masuk ke sisi
praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi,
2. Analisis terhadap masalah,
3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan,
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi,
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari
kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain.
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.
29
Adapun kendala dalam melakukan evaluasi kebijakam menurut Subarsono
(2012 :130) yaitu:
1. Kendala psikologis. Banyak aparat pemerintah masih alergi terhadap
kegiatan evaluasi, karena dipandang berkaitan dengan prestasi kerja.
Apabila hasil evaluasi menunjukkan kurang baik, bisa jadi akan
menghambat karier mereka.
2. Kendala ekonomis. Kegiatan evaluasi membutuhkan biaya yang tidak
sedikit seperti biaya untuk pengumpulan dan pengolahan data, biaya
untuk para staff administrasi, dan biaya untuk para evaluator.
3. Kendala teknis. Evaluator sering dihadapkan pada masalah tidak
tersedianya cukup data dan informasi yang up to date.
4. Kendala politis. Masing-masing kelompok bisa jadi saling menutupi
kelemahan dari implementasi suatu program dikarenakan deal atau
bargaining politik tertentu.
5. Kurang tersedianya evaluator. Pada berbagai lembaga pemerintah,
kurang tersedianya sumberdaya menusia yang memiliki kompetensi
melakukan evaluasi.
Untuk dapat menilai suatu kebijakan publik dapat berhasil atau tidak
dalam pelaksanaannya, terdapat para ahli yang mengemukakan pendapatnya
dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam hal itu untuk menghasilkan
informasi mengenai pelaksanaan kebijakan, maka digunakan beberapa indikator-
indikator yang berbeda-beda untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut.
Menurut Dunn (dalam Nugroho 2003: 186) terdapat enam kriteria yang dapat
digunakan untuk menilai sebuah kinerja berhasil atau tidak berhasil, yaitu:
1. Effectiveness atau keefektifan
Yaitu berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil
(akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakanya
tindakan. Efektifitas selalu diukur dari kualitas hasil sebuah kebijakan.
2. Efficiency atau efisiensi
Yaitu berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efektivitas dan usaha, dan pada akhirnya diukur
berdasarkan biaya yang dikeluarkan per-unit kebijakan. Kebijakan
yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan
efisien.
3. Adequacy atau kecukupan
30
Yaitu yang berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas
memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan
adanya masalah atau dengan kata lain apakah tingkat pencapaian hasil
tepat menyelesaikan masalah yang dimaksud.
4. Equity atau kesamaan
Yaitu erat berhubungan dengan rasinoalitas legal dan sosial dan
menunjukan pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-
kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang dirancang
untuk mendistribusikan pendapatan, kesejahteraan, kesempatan
pendidikan, atau pelayanan publik kadan-kadang direkomendasikan
atas dasar kriteria ini.
5. Responsiveness atau ketanggapan
Yaitu berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat
memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai masyarakat. Pentingnya
kriteria ini adalah karena analisis yang dapat memuaskan semua
kriteria lainnya masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual
dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu
kebijakan.
6. Appropriatness atau ketepatgunaan.
Yaitu yang berhubungan dengan rasionalitas substantif, karena
pertanyaan tentang hal ini tidak berkenaan dengan satuan kriteria
individu tetapi dua atau lebih kriteria secara bersama-sama. Kriteria
ini merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan kepada
kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut atau dengan
kata lain adalah apakah hasil yang diinginkan benar-benar layak atau
berharga.
Tabel 2.2
Dunn (2000: 610)
Kriteria-Kriteria Evaluasi Kebijakan Publik
Tipe kriteria Pertanyaan Ilustrasi
Efektifitas Apakah hasil yang di inginkan telah
dicapai
Unit pelayanan
Efisiensi Seberapa banyak usaha yang diperlukan
untuk mencapai hasil yang diinginkan
Unit biaya,
Manfaat bersih,
Rasio cost-benefit
31
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang
diinginkan memecahkan masalah
Biaya tetap
Efektifitas tetap
Perataan Apakah biaya manfaat didistribusikan
dengan merata kepada kelompok-
kelompok yang berbeda
Kriteria Pareto,
Kriteria Kaldor-
Hicks, Kriteria
Rawls
Responsivita
s
Apakah hasil kebijakan memuaskan
kebutuhan, preferensi, atau nilai
kelompok-kelompok tertentu
Kensistensi dengan
survei warganegara
Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan
benar-benar berguna atau bernilai
Program publik
harus merata dan
efisien
Berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Dunn. Suchman
(dalam Wholey et al 1975: 94) mengusulkan lima kriteria evaluasi yang dapat
menilai kegagalan ataupun kesuksesan dari suatu program. Teori ini lah yang akan
dipakai peneliti dalam penelitian ini. Lima kriteria evaluasi menurut Suchman
(dalam Wholey et al 1975: 94) yaitu:
1. Effort
Kriteria yang diukur adalah kualitas dan kuantitas aktivitas dari
program, berkaitan dengan penilaian input (workload) tanpa melihat
output.
2. Effectiveness
Kriteria ini digunakan untuk mengukur hasil dari proses tanpa
memandang proses itu sendiri.
3. Impact
Kriteria kesuksesan berdasarkan derajat keefektifan yang sebanding
dengan jumlah kebutuhan yang ada (apakah program dapat memenuhi
kebutuhan).
4. Cost Effectivenes
Kriteria ini berkaitan dengan evaluasi dari metode alternatif yang
berhubungan dengan biaya yang mewakili rasio antara proses dan
dampak.
5. Process.
32
Kriteria ini bukan merupakan bagian yang melekat dari penelitian
evaluasi, tetapi lebih kepada sebuah analisis bagaimana proses
menghasilkan hasil yang diinginkan.
2.1.5 Implementasi Kebijakan Publik
Salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan publik adalah
implementasi kebijakan publik. Implementasi sering dianggap hanya merupakan
pelaksanaan dari apa yang telah di putuskan oleh legislatif atau para pengambil
keputusan, seolah-olah tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam
kenyataan, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan
tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
Dengan kata lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan
dilaksanakan secara maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.
Implementasi merupakan proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam
praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks
bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai
kepentingan.
Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar,
yaitu tujuan yang jelas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut.
Komponen yang ketiga biasanya belum dijelaskan secara rinci dan birokrasi yang
harus menerjemahkannya sebagai program aksi proyek. Komponen cara berkaitan
siapa pelaksananya berapa besar dan dari mana dan di peroleh, siapa kelompok
sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem
33
manajemennya dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur.
Komponen inilah yang disebut implementasi. Implementasi kebijakan,
sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-
saluran birokrasi, melainkan lebih dari pada itu, ia menyangkut masalah konflik,
keputusan dan siapa yang memperoeh apa dari suatu kebijakan bahwa
implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses
kebijakan. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan
merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan.
Menurut seorang ahli studi kebijakan Van Meter dan Van Horn (Parson
2006: 463), mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai :
“sebuah deretan keputusan dan interaksi sehari-hari yang tidak terlalu perlu
mendapat perhatian dari para sarjana yang mempelajari politik dan juga
dianggap sederhana meski anggapan ini menyesatkan”.
Sementara menurut Eugene Bardach (Agustino 2012: 138) mengemukakan
bahwa definisi dari implementasi kebijakan adalah
“cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang
kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam
kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya. Dan lebih sulit lagi untuk
melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang
termasuk mereka anggap klien”.
Adapun menurut Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam
Implementation and Public Policy (Agustino 2012: 138) mengemukakan bahwa
implemtasi kebijakan adalah :
“pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-
undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-
keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.
Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin
34
diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai,
dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses
implementasinya”.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam
keseluruhan struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini proses kebijakan
secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya
pencapaian tujuan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekedar berupa impian atau
rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalu tidak diimplementasikan.
Adapun juga pendapat Merrile Grindle (Agustino 2012: 138) sebagai
berikut
“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya dengan
mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan dengan yang
telah ditentukan yaitu melihat pada aktor program dari individual projects
dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai”.
Hakikat utama implementasi kebijakan adalah memahami apa yang
seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan.
Pemahaman tersebut mencakup usaha-usaha untuk mengadministrasikannya dan
menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha yang
dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil
yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.
Dalam literatur ilmu kebijakan terdapat beberapa model implementasi
kebijakan publik yang lazim dipergunakan. Pada prinsipnya terdapat dua
pemilihan jenis teknik atau model implementasi kebijakan. Pemilihan pertama
adalah implementasi kebijakan yang berpola “dari atas ke bawah” (top-bottomer)
35
versus “dari bawah ke atas” (bottom-topper), dan pemilihan implementasi yang
berpola paksa (command-and-control), dan mekanisme pasar (economic
incentive) (Nugroho; 2003: 165). Namun secara umum model implementasi
kebijakan yang dikemukakan para ahli lebih dipandang pemilihan yang pertama,
yang lazim disebut model top-down dan bottom-up.
Model top-down berupa pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat,
dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Sebaliknya bottom-up bermakna
meski kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat. Di
antara keduanya ada interaksi pelaksanaan antara pemerintah dengan masyarakat.
(Nugroho 2003: 167)..
Sedangkan Menurut Mazmanian dan Paul Sabatier (Agustino 2008: 145)
terdapat tiga variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dari implementasi
kebijakan publik, yaitu:
1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi:
a. Kesukaran-kesukaran Teknis.
Tercapai atau tidaknya tujuan suatu kebijakan akan
tergantung pada sejumlah pernyataan teknis, termasuk
diantaranya: kemampuan untuk mengembangkan indikator-
indikator pengukur prestasi kerja yang tidak terlalu mahal serta
pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausual yang
mempengaruhi masalah. Disamping itu, tingkat keberhasilan
suatu kebijakan dipengaruhi juga oleh tersedianya atau telah
dikembangkannya teknik-teknik tertentu.
b. Keberagaman Perilaku yang Diatur.
Semakin beragam perilaku yang diatur, maka asumsinya
semakin beragam pelayanan yang diberikan, sehingga semakin
sulit untuk membuat peraturan yang tegas dan jelas. Dengan
demikian semakin besar kebebasan bertindak yang harus
dikontrol oleh para pejabat dan pelaksana (administratur atau
birokrat) di lapangan.
c. Persentase Totalitas Penduduk yang Tercangkup dalam
Kelompok Sasaran.
36
Semakin kecil dan semakin jelas kelompok sasaran yang
perilakunya akan diubah (melalui implementasi kebijakan),
maka akan semakin besar peluang untuk memobilisasikan
dukungan politik terhadap sebuah kebijakan dan dengannya
akan lebih terbuka peluang bagi pencapaian tujuan kebijakan.
d. Tingkat dan Ruang Lingkup Perubahan Perilaku yang
Dikehendaki.
Semakin besar jumlah perubahan perilaku yang dikehendaki
oleh kebijakan, maka semakin sukar/sulit para pelaksana
memperoleh implementasi yang berhasil. Artinya ada sejumlah
masalah yang jauh lebih dapat kita kendalikan bila tingkat dan
ruang lingkup perubahan yang dikehendaki tidaklah terlalu
besar.
2. Kemampuan Kebijakan Menstruktur Proses Implementasi Secara Tepat.
Para pembuat kebijakan mendayagunakan wewenang yang
dimilikinya untuk menstruktur proses implementasi secara tepat melalui
beberapa cara:
a. Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi
yang akan dicapai.
Semakin mampu suatu peraturan memberikan petunjuk-
petunjuk secara cermat dan disusun secara jelas skala
prioritas/urutan kepentingan bagi para pejabat-pejabat
pelaksana dan aktor lainnya. Maka semakin besar pula
kemungkinan bahwa output kebijakan dari badan-badan
pelaksana akan sejalan dengan petunjuk tersebut.
b. Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan.
Memuat suatu teori kausalitas yang menjelaskan
bagaimana kira-kira tujuan usaha pembaharuan yang akan
dicapai melalui implementasi kebijakan.
c. Ketetapan alokasi sumber dana.
Tersedianya dana pada tingkat batas ambang tertentu
sangat diperlukan agar terbuka peluang untuk mencapai
tujuan-tujuan formal.
d. Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara
lembaga-lembaga atau instansi-instansi pelaksana.
Salah satu ciri penting yang perlu dimiliki oleh peraturan
perundang yang baik ialah kemampuannya untuk
menyatupadukan dinas, badan, dan lembaga dapat
dilaksanakan, maka koordinasi antara instansi yang bertujuan
mempermudah jalannya implementasi kebijakan justru akan
membuyarkan tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan.
e. Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana.
37
Selain dapat memberikan kejelasan dan konsistensi tujuan,
memperkecil jumlah titik-titik veto dan intensif yang memadai
bagi kepatuhan kelompok sasaran, suatu undang-undang harus
pula dapat mempengaruhi lebih lanjut proses implementasi
kebijakan dengan cara menggariskan secara formal aturan-
aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana.
f. Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termasuk
dalam undang-undang.
Para pejabat pelaksana memiliki kesepakatan yang
diisyaratkan demi tercapainya tujuan. Hal ini sangat signifikan
halnya, oleh karena itu, top down policy bukanlah perkara yang
mudah untuk diimplementasikan pada para pejabat pelaksana
di level lokal.
g. Akses formal pihak-pihak luar.
Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi implementasi
kebijakan adalah sejauhmana peluang-peluang yang terbuka
bagi partisipasi para aktor di luar badan pelaksana dapat
mendukung tujuan resmi. Ini maksudnya agar kontrol pada
para pejabat pelaksana yang ditunjuk oleh pemerintah pusat
dapat berjalan sebagaimana mestinya.
3. Variabel-variabel diluar Undang-undang yang Mempengaruhi
Implementasi.
a. Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi.
Perbedaan waktu dan perbedaan diantara wilayah-wilayah
hukum pemerintah dalam hal kondisi sosial, ekonomi, dan
teknologi sangat signifikan berpengaruh terhadap upaya
pencapaian tujuan yang digariskan dalam suatu undang-
undang. Karena itu, eksternal faktor juga menjadi hal penting
untuk diperhatikan guna keberhasilan suatu upaya
pengejawantahan suatu kebijakan publik.
b. Dukungan publik.
Hakekat perhatian publik yang bersifat sesaat menimbulkan
kesukaran-kesukaran tertentu, karena untuk mendorong tingkat
keberhasilan suatu implementasi kebijakan sangat dibutuhkan
adanya sentuhakn dukungan dari warga. Karena itu,
mekanisme partisipasi publik sangat penting artinya dalam
proses pelaksanaan kebijakan publik di lapangan.
c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat.
Perubahan-perubahan yang hendak dicapai oleh suatu
kebijakan publik akan sangat berhasil apabila di tingkat
masyarakat, warga memiliki sumber-sumber dan sikap-sikap
masyarakat yang kondusif terhadap kebijakan yang ditawarkan
pada mereka. Ada semacam local genius (kearifan lokal) yang
dimiliki oleh warga yang dapat mempengaruhi keberhasilan
atau ketidakberhasilan implementasi kebijakn publik. Dan, hal
38
tersebut sangat dipengaruhi oleh sikap dan sumber yang
dimiliki oleh warga masyarakat.
d. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat
pelaksana.
Kesepakatan para pejabat instansi merupakan fungsi dari
kemampuan undang-undang untuk melembagakan
pengaruhnya pada badan-badan pelaksana melalui
penyeleksian institusi-institusi dan pejabat-pejabat terasnya.
Selain itu pula, kemampuan berinteraksi antarlembaga dan
individu di dalam lembaga untuk menyukseskan implementasi
kinerja kebijakan publik.
Adapun menurut Model Implementasi Kebijakan yang diberikan oleh George
C. Edward III (Agustino 2006:149) terdapat 4 variabel yang mempengaruhi
kinerja implementasi kebijakan publik, yaitu ;
1. Komunikasi
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
suatu kebijakan menurut George C. Eward III, adalah komunikasi.
Komunikasi menurutnya lebih lanjut sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang
efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang
akan mereka kerjakan. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau
digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di
atas, yaitu:
a. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat
menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali
yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah
pengertian (miskomunikasi), hal tersebut disebagiankan karena
komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi,
sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
b. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana
kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak
membingungkan (tidak ambigu/mendua). Ketidakjelasan pesan
kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran
tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam
melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal
tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak
dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.
c. Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu
komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau
dijalankan). Karena jika perintah yang diberikan sering
39
berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi
pelaksana di lapangan.
2. Sumberdaya
Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan
implementasisuatu kebijakan adalah sumberdaya. Indikator sumber-
sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
a. Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah
staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi
kebijakan salah satunya disebagiankan oleh karena staf yang
tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten
dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja
tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan
keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan
kapabel) dalam meng-implementasikan kebijakan atau
melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
b. Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi
mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang
berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.
Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan
disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan.
Kedua informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana
terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah
ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain
yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh
terhadap hukum.
c. Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal
agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan
otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor dimata
publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan
proses implementasi kebijakan. Tetapi, dalam konteks yang
lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi
kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu
pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan
implementasi kebijakan tetapi di sisi lain, efektivitas akan
menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para
pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan
ke-lompoknya.
d. Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam
implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf
yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan
memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi
40
tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3. Disposisi
Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting
ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika
pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan
tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus
memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya
tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel
disposisi ini ialah :
a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para pelaksana
akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap
implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh
pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan
personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang
memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; lebih
khusus lagi pada kepentingan warga.
b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang
disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para
pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena
itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan
mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat
kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan.
Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu
mungkin akan menjadi faktor pendukung yang membuat para
pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal
ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi
(self interest) atau organisasi.
4. Struktur Birokrasi
Variabel keempat yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Kebijakan yang
begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur
birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan
menyebagiankan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan
menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah
kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara
politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.
Dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur
birokrasi/organisasi ke arah yang lebih baik, adalah: melakukan Standar
41
Operating Prosedures (SOPs) dan melaksanakan Fragmentasi. SOPs adalah
suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana
kebijakan/administratur/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya
pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (atau standar
minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan pelaksanaan fragmentasi
adalah upaya peyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-
aktiuvitas pegawai diantara beberapa unit kerja.
Dan yang terakhir terdapat model implementasi kebijakan yang
dikemukakan oleh Marilee S. Grindle (Agustino 2006:154) terdapat 2 varibel
besar yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik. Keberhasilan
implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil
akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Menurut
Grindle (Agustino 2008: 154) pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan
tersebut dapat dilihat dari dua hal, yaitu:
1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakahpelaksanaan
kebijakan sesuai dengan yang yang ditentukan (design) dengan merujuk
pada aksi kebijakannya.
2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini dikukur dengan melihat
dua faktor, yaitu:
a. Efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok.
b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok
sasaran dan perubahan yang terjadi.
Keberhasilan implementasi kebijakan juga sangat di tentukan oleh tingkat
implementability kebijakan itu sendiri, yaitu yang terdiri dari Content of policy
dan Context of policy (Agustino 2006:154).
1. Content of policy menurut Grindle adalah:
a. Interesy affected (kepentingan-kepentingan yang
mempengaruhi).
Berkaitan dengan berbagai kepentingan yang
mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini
bergumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti
melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-
42
kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap
implementasinya.
b. Type of Benefit (tipe manfaat)
Pada poin ini content of policy berupaya untuk menujukan
atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat
beberapa jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang
dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak
dilaksanakan.
c. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin
dicapai).
Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin
dicapai. Adapun yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah
bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin
dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus
mempunyai skala yang jelas.
d. Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan).
Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan mempunyai
peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka
pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan
keputusan dari suatu kebijakan yang hendak di
implementasikan.
e. Program Implementer (pelaksana program)
Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus di
dukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten
dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Hal ini terdata
atau terpapar dengan baik pada bagian ini.
f. Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan)
Pelaksana kebijakan juga harus didukung oleh sumber-
sumber daya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan
dengan baik.
2. Context of Policy menurut Grindle adalah:
a. Power, Interest and Strategy of Actor Involved (kekuasaan,
kepentingan-kepentingan dan strategi dari actor yang terlibat).
Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan
atau kekuasaan, kepentingan-kepentingan serta strategi yang
digunakan oleh para actor guna memperlancar jalannya
pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak
diperhitungkan dengan matang, besar kemungkinan program
yang hendak diimplementasikan akan jauh, seperti panggang
jauh dari api.
b. Institution and Regime’Characteristic (karakteristik lembaga
dan rezin yang berkuasa).
Lingkungan dimana suatu kebijakan dilaksanakan juga
berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini
ingin dijelaskan karakteristik dari lembaga yang akan turut
mempengaruhi suatu kebijakan.
43
c. Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan
adanya respon dari pelaksana).
Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan
suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para
pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah
sejauh mana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam
menanggapi suatu kebijakan.
Setelah pelaksana kebijakan yang dipengaruhi oleh isi atau konten dan
lingkungan atau konteks yang diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para
pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang
diharapkan, juga dapat diketahui apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh suatu
lingkungan, sehingga tingkat perubahan yang diharapkan terjadi.
Menurut Smith (Tachjan 2006: 37), dalam proses implementasi ada empat
variabel yang perlu diperhatikan. Keempat variabel dalam implementasi kebijakan
publik tersebut, yaitu :
1. Kebijakan yang diidealkan (idealised policy), yakni pola-pola interaksi
ideal yang telah mereka definisikan dalam kebijakan yang berusaha
untuk diinduksikan;
2. Kelompok sasaran (target groups), yaitu mereka (orang-orang) yang
paling langsung dipengaruhi oleh kebijakan dan yang harus mengadopsi
pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus
kebijakan;
3. Implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit
birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi
kebijakan;
4. Environmental factor, yakni unsur-unsur dalam lingkungan yang
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh implementasi kebijakan, seperti
aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik.
Keempat variabel tersebut tidak berdiri sendiri melainkan merupakan satu
kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh
karena itu terjadi ketegangan-ketegangan (tensions) yang bisa menyebabkan
timbulnya proses-proses, bahkan aksi fisik, dimana hal ini menghendaki
44
penegakan institusi-institusi baru untuk mewujudkan sasaran kebijakan tersebut.
Ketegangan-ketegangan itu bisa menyebabkan perubahan-perubahan dalam
institusi-institusi lini.
Jadi pola-pola interaksi dari keempat variabel dalam implementasi
kebijakan memunculkan ketidaksesuaian, ketegangan dan tekanan-tekanan. Pola-
pola interkasi tersebut mugnkin menghasilkan pembentukan lembaga-lembaga
tertentu, sekaligus dijadikan umpan balik untuk mengurangi ketegangan dan
dikembalikan ke dalam matriks dari pola-pola transaksi dan lembaga.
2.1.6 Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik
Sebagian besar pemahaman evaluasi kebijakan publik berada pada bagian
ini. Hal ini dapat dipahami karena memang implementasi merupakan faktor
penting kebijakan yang harus dilihat secara benar-benar. Kesuksesan suatu
kebijakan dapat dinilai hasilnya setelah diimplementasikannya kebijakan tersebut.
Karena itu proses implementasi kebijakan harus di amati dengan seksama.
Meskipun begitu menurut Lester dan Steward dalam Nugroho (2008:476)
membagi evaluasi implementasi kebijakan menjadi dua. Pertama, evaluasi proses
yaitu evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi. Kedua, evaluasi
impak yaitu evaluasi berkenaan dengan hasil dan/atau pengaruh dari implementasi
kebijakan atau apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan yag
dikehendaki.
45
Mengikuti Effendi dalam Nugroho (2008:484-485), tujuan evaluasi
implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-
indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu :
a. Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Jawabannya
berkenaan dengan kinerja implementasi kebijakan publik (variasi dari
outcome) terhadap variable independen tertentu.
b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu? Jawasabnnya
berkenaan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organiasi implementasi
kebijakan, dan lingkugan implementasi kebijakan yang mempengaruhi
variasi outcome implementasi kebijakan.
c. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan
publik? Pertanyaan ini berkenaan dengan “tugas” pengevaluasi untuk
memilih variabel-variabel yang dapat diubah, atau actionable variable-
variable yang bersifat natural atau variabel lain yang tidak bisa diubah
tidak dapat dimasukan sebagai variabel evaluasi.
Ketiga pertanyaan tersebut berkaitan dengan penggunaan metode evauasi
pada proses implementasi kebijakan. Karena berkaitan dengan hal-hal secara
faktual dan hal-hal tekhnis lainnya yang terjadi dilapangan pada saat kebijakan itu
diimplementasikan. Petunjuk praktis evaluasi implementasi kebijakan publik
dapat diringkas sebagai berikut :
Gambar 2.1
Model Sederhana Evaluasi Implementasi
Kesesuaian dengan
metode implementasi
Keseuaian dengan
tujuan evaluasi
Kesesuaian dengan
kompetensi Evaluator
Kesesuaian dengan
sumber daya yang ada
Implementasi
kebijakan
46
Sumber : Nugroho, 2008:486
Seorang evaluator perlu memperhatikan metode implementasi yang
dipakai pada saat kebijakan tersebut di implementasikan dengan pada saat
kebijakan tersebut diformulasikan, apakah sudah sesuai dengan rencana awal atau
tidak. Selain itu evaluasi juga sudah direncanakan pada saat formulasi kebijakan
karena perlu dibuat secara jelas mengenai tujuan dari diadakannya evaluasi
tersebut. Hal lainnya adalah perlu memperhatikan kemampuan dari para
implementor kebijakan khususnya bagi mereka yang secara tekhnis menjalankan
kebijakan tersebut. Poin lain yang tidak kalah pentingnya adalah seorang
evaluator perlu memperhatikan kesesuaian antara sumber daya atau keperluan-
keperluan tekhnis yang diperlukan pada saat di implementasikan dengan sumber
daya yang direncanakan pada tahap formulasi kebijakan. Hal terakhir yang perlu
diperhatikan seorang evaluator untuk mengevaluasi implementasi kebijakan
adalah dengan memperhatikan lingkungan dimana kebijakan tersebut di
implementasikan.
Berdasarkan permasalahan dan teori pendukung yang sudah dipaparkan
diatas, maka peneliti menggambarkan teori utama untuk menjelaskan berbagai
fenomena yang berkembang di lapangan. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teori Charles O. Jones (1994: 296), tentang aktivitas implementasi
yaitu:
Kesesuaian dengan
lingkungan evaluasi
47
1. Organisasi : Pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit
serta metode untuk menjadikan program berjalan.
2. Interpretasi : Menafsirkan agar program (seringkali dalam hal status)
menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta
dilaksanakan
3. Penerapan : Ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya yang
di sesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.
Berdasarkan teori tersebut maka dalam implementasi kebijakan publik
terdapat tiga aktifitas utama yang sangat penting. Aktifitas yang pertama adalah
organisasi pelaksana kebijakan, yang mencakup pembentukan atau penataan
kembali sumber daya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan.
Kemudia aktivitas kedua adalah interpretasi para pelaksana kebijakan yaitu
aktifitas pelaksana kebijakan yang menafsirkan agar program (seringkali dalam
hal status) menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta
dilaksanakan. Terakhir, aktifitas yang ketiga adalah penerapan oleh para
pelaksana kebijakan mencangkup ketentuan rutin pelayanan, pembayaran, atau
lainnya yang disesuaikan dengan tujuan dan perlengkapan program dari kebijakan
yang telah ditentukan. Oleh karena itu peneliti pada judul ini membahas proses
evaluasi implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014
Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kecamatan Ciruas, yang mana menurut
peneliti masalah-masalah yang terjadi dilapangan sesuai apabila dikaji dengan
teori Charles O. Jones dengan 3 aktivitas implementasi.
2.1.7 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok
Kawasan Tanpa Rokok menurut Peraturan Daerah Kabupaten Serang
Nomor 9 Tahun 2014 ialah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk
48
kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/ atau
mempromosikan produk tembakau. Peraturan daerah Kabupaten Serang ini
berlandaskan kepada Undang-Undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (pasal 115 dan 116), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zak Adiktif
Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan pasal 49-52, dan Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri dengan Menteri Kesehatan No 7 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.
Adapun tujuan dari penetapan Kawasan Tanpa Rokok berdasarkan
peraturan daerah kabupten Serang Nomor 9 Tahun 2014 ini ialah :
a. memberikan perlindungan dari bahaya asap rokok bagi perokok aktif
dan/atau perokok pasif;
b. memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat;
c. melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk
merokok baik langsung maupun tidak langsung;
d. mencipatakan lingkungan yang bersih dan sehat bebas dari asap rokok;
e. meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk tidak merokok;
dan
f. menekan angka pertumbuhan perokok pemula
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Serang Ruang Lingkup Kawasan
Tanpa Rokok meliputi :
a. fasilitas pelayanan kesehatan
49
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. fasilitas olahraga;
g. tempat kerja;
h. tempat umum ; dan
i. tempat lain yang ditetapkan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Untuk bahan pertimbangan dalam penelitian ini, peneliti mencantumkan
hasil penelitian terdahulu yang pernah penulis baca. Penelitian terdahulu ini
bermanfaat dalam mengolah atau memecahkan masalah yang timbul dalam
implementasi Perda KTR Kabupaten Serang pada lingkungan Kecamatan Ciruas.
Walaupun fokus dan lokusnya tidak sama persis tetapi sangat membantu peneliti
menemukan sumber-sumber pemecahan masalah dalam ranah implementasi Perda
KTR Kabupaten Serang. Dibawah ini adalah hasil penelitian yang peneliti baca:
Penelitian yang dilakukan John Zakarias Efraldo NIM. E01110013.
Implementasi Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 10 Tahun 2010 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok Di Kecamatan Pontianak Tenggara. Program Studi Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Tanjungpura
Pontianak. Pemerintahan Kota Pontianak menentapkan Perda Nomor 10 Tahun
2010 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dengan tujuan mengatur perilaku merokok
50
utamanya di sarana atau tempat-tempat umum. Namun dalam penerapannya masih
ada sarana atau tempat umum yang belum menerapkannya. Dalam upaya
menemukan factor-faktor yang menyebabkan implementasi Perda Kawasan Tanpa
Rokok di kampus FISIP Untan belom berhasil, peneliti menggunakan model teori
Thomas B.Smith dengan menganalisis 4 faktor yang berpengaruh dalam proses
implementasi kebijakan. Metode dan pendekatan yang digunakan adalah metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil Penelitian menunjukan dalam
proses implementasi Perda Kawasan Tanpa Kawasan Tanpa Rokok terlohat
bahwa kelompok sasaran secara khusus Pimpinan (Dekan) kampus FISIP Untan
masih belum mengetahui mengenai tanggung jawab yang harus dikerjakannya
karena belum pernah ada pembinaan ataupun sosialisasi secara langsung dari
instansi terkait. Organinasi Pelaksana, yakni Dinas Kesehatan Kota Pontianak
sebagai instansi Pembina juga belum pernah melakukan monitoring dan survei
kepatuhan secara khusus di universitas Tanjungpura Pontianak (Untan),
pengawasan dan penegak Perda belum pernah memberikan sanksi kepada perokok
yang merokok di kawasan Tanpa Rokok. Di dalam lingkungan kampus juga
belum banyak tempat serta ruangan yang dipasang tanda peringatan dilarang
merokok sehingga masih banyak yang merokok dilingkungan kampus karena
tidak mengetahui adanya larangan tersebut. Kemudian itu didalam kampus kantin-
kantin masih menjual rokok. Sehingga haasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa implementasi Perda Kota Pontianak tentang Kawasan Tanpa Rokok belum
berjalan dengan baik.
51
Penelitian yang dilakukan Nuraini NIM. E201108058. Efektivitas
Implementasi KTR Terhadap Pengujung Rumah Sakit. Program Studi
Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Tanjung Pura
Pontianak. Fokus penelitian ini diarahkan pada implementasi kebijakan KTR di
RSUD dr. Soedarso Pontianak yang meliputi tiga hal, yaitu kelompok sasaran
(target group), unsur pelaksana (Implementing organization) dan factor
lingkungan (environmental factor). Penelitian ini menggunakan model penelitian
deskriptif dengan teknik pengolahan data analisis kualitatif. Penelitian yang
beralokasi di RSUD dr. Soedarsi Pontianak ini menggunakan teknik pengumpulan
data seperti observasi, wawancara dan sokumentasi dengan alat pengumpulan
datanya check list, pedoman wawancara dan dokumen. Hasil analisis data
menunjukan bahwa partisipasi kelompok sasaran belum optimal. Untuk itu,
diperlukan peningkatan partisipasi kelompok sasaran dan maksimalisasi upaya
pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan KTR.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti saat ini memiliki beberapa kelebihan yaitu tujuan yang dilakukan peneliti
ini yaitu untuk mengetahui Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten
Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Di Wilayah
Kecamatan Ciruas. Perda KTR ini direalisasikan Dinas Kesehatan dengan
berkoordinasi dengan dinas terkait lainnya. Pada observasi awal peneliti
menemukan tidak adanya ruang khusus merokok di lokasi tempat kawasan tanpa
rokok, tidak adanya pengawasan dalam menjalankan perda kawasan tanpa rokok
ini karena kurangnya koordinasi antara pihak terkait dengan Satpol PP sebagai
52
petugas pengawasan, kurang maksimalnya sosialisasi kepada masyarakat tentang
perda kawasan tanpa rokok, sanksi yang kurang dipertegas dalam menjalankan
perda kawasan tanpa rokok, masih ada yang menjual rokok di area kawasan tanpa
rokok. Pada penelitian ini peneliti menggunakan teori implementasi Charles
O.Jones yang mengemukakan keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat
diukur dari 3 hal, yaitu: Organisasi, Interpretasi dan Penerapan.
2.3 Kerangka Berfikir
Rokok merupakan salah satu pokok yang harus diperhatikan. Karena asap
rokok berbahaya bagi manusia, bahkan dapat menyebabkan kematian. Dengan
semakin banyaknya angka perokok di Indonesia termasuk di Kabupaten Serang,
sehingga pemerintah daerah membuat Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa
Rokok, dengan tujuan menciptakan lingkungan bebas asap rokok. Oleh karena itu
, penelitian tentang Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang
Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok ini mengemukakan model
implementasi kebijakan yang diungkapkan oleh Charles O. Jones yang
menurutnya ada 3 variabel yang perlu di perhatikan dalam Implementasi
kebijakan publik. Berikut adalah alur berpikir peneliti dalam melakukan
penelitian:
Gambar 2.2
Alur Kerangka Berfikir Penelitian
1. Tidak adanya ruang khusus merokok di lokasi tempat kawasan tanpa
rokok.
2. Tidak adanya pengawasan dalam menjalankan perda kawasan tanpa rokok
ini karena kurangnya koordinasi antara pihak terkait dengan Satpol PP
sebagai petugas pengawasan.
3. Kurang maksimalnya sosialisasi kepada masyarakat tentang perda
kawasan tanpa rokok.
4. Sanksi yang kurang dipertegas dalam menjalankan perda kawasan tanpa
rokok.
53
Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun
2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah Kecamatan Ciruas
Berdasarkan teori implementasi kebijakan (policy implementation) menurut
Charles O. Jones
Sumber, Penelitian 2017
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat
pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikanbaru didasarkan
1. Organisasi
2. Interpretasi
3. Penerapan
Hasil yang diharapkan (Output)
Menciptakan lingkungan udara yang bersih dari asap rokok dan menekan angka
pertumbuhan perokok pemula
54
pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Hipotesis juga
dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian,
belum menjadi jawaban yang empiris. (Sugiyono: 2009: 64)
Hipotesis merupakah hasil dari refleksi penelitian berdasarkan pengkajian
pustaka dan landasan teori yang digunakan sebagai dasar argumentasi. Pada
penelitian ini hipotesis digunakan peneliti adalah hipotesis deskriptif yaitu dugaan
sementara terhadap nilai satu variabel mandiri.
Berdasarkan hasil observasi pendahuluan yang peneliti lakukan serta
merujuk kepada konsep kerangka berfikir di atas, maka peneliti menjabarkan
sebuah hipotesis sebagai berikut.
H0 : Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun
2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dikatakan optimal apabila mencapai
60%.
Sedangkan, penjabaran hipotesis dalam penelitian ini secara lebih jelas
dirumuskan sebagai berikut:
1. Ha : µ ≥ 60%
Ha : Evaluasi implementasi Peraturan Daerah
Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014
Tentang Kawasan Tanpa Rokok dikatakan optimal
apabila mencapai 60%.
2. Ho : µ < 60%
55
Ho : Jika Ha ditolak maka Ho diterima. Ha ditolak
apabila evaluasi implementasi kurang dari 60%.
56
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. (Sugiyono; 2010: 2). Sedangkan
pengertian Metodologi Penelitian adalah totalitas cara yang dipakai peneliti untuk
menemukan kebenaran ilmiah. (Irawan; 2005:4). Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif sebagai
metode primer dan kualitatif sebagai metode penunjang. Hal ini dikarenakan
untuk menjaga nilai keobjektifan hasil. Penelitian deskriptif dilakukan untuk
mengetahui nilai variabel secara mandiri antara data sampel dan data populasi
tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan anatara variabel satu dengan
variabel yang lainnya.
3.2 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena
alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono; 2010: 102). Oleh karena itu, dalam
melakukan pengukuran maka memerlukan alat ukur yang baik. Alat ukur dalam
penelitian biasanya dinamakan instrumen penelitian. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini berbentuk kuesioner, dengan jumlah variabel sebanyak satu
variabel mandiri. Sedangkan skala pengukuran instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Skala Guttman. Skala ini mempunyai ciri penting , yaitu
57
merupakan skala kumulatif dan mengukur satu dimensi saja dari satu variabel
yang multi dimensi sehingga skala ini termasuk mempunyai sifat undimensional.
Skala Guttman yang disebut juga metode scalogram atau analisa skala (scale
analysis) sangat baik untuk menyakinkan peneliti tentang kesatuan dimensi dari
sikap atau sifat yang diteliti, yang sering disebut isi universal (universe of content)
atau atribut universal (universe attribute) (Nasir :1999).
Jawaban setiap item instrumen diberi skor sebagai berikut:
Tabel 3.1
Skoring Item Instrumen
NO Jawaban Skor
(+)
Skor
(-)
1 Ya 1 0
2 Tidak 0 1
Tabel 3.2
Instrumen Penelitian
NO Indikator Sub Indikator No Item
1 Organisasi
- Koordinasi 1,2,3,4,5,6
- Struktur
Organisasi
7,8,9,10
- Sumber Daya
Manusia
11,12,13,14
2 Interprestasi
- Metode dalam
Sosialisasi 15,16,17,18,19,20,
35,36
- Pelaksana
kebijakan
melaksanakan
21,22,23,24,25,26
27,28,29,30,31,32
33,34,37,38,39,40
58
sesuai dengan
petunjuk
pelaksanaan
41,42,43,44,45,46
47,48,49
3
Penerapan
- Penerapan
petunjuk
pelaksanaan
50,51,52,53,54,55
56,57,58,59
- Fasilitas
pelaksanaan
kebijakan
60,61,62,63,64,65
66,67,68,69,70
71,72,73,74,75,76,78
79,80,81,82,83
Sumber: Penelitian 2017
Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan oleh peneliti yaitu
berdasarkan teknik pengumpulan sumber data sebagai berikut:
a. Jenis Data
Dilihat dari jenis datanya, penelitian ini menggunakan jenis data sebagai
berikut:
1. Data Primer, yaitu data yang diambil langsung dari lokus penelitian,
tanpa perantara. Sumber ini bisa berbentuk benda, situs, atau manusia
(Irawan 2006: 5.5).
2. Data Sekunder, yaitu data yang diambil secara tidak langsung dari
sumbernya. Data sekunder biasanya diambil dari uraian para ahli dan
dokumen-dokumen pendukung seperti laporan, karya ilmiah, karya tulis
orang lain, Koran, majalah. Atau, seseorang yang mendapat informasi
dari orang lain (Irawan 2006: 5.5).
b. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
59
1. Responden, yaitu seluruh pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
yang dilibatkan langsung dalam kegiatan penelitian ini, untuk
memperoleh gambaran atas materi yang dijadikan objek penelitian.
2. Literatur, yaitu data kepustakaan yang dimiliki hubungan dengan
penelitian ini.
3.2.1 Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti yaitu:
1. Observasi
Observasi adalah serangkaian pengumpulan data yang dilakukan secara
langsung terhadap subjek atau objek penelitian melalui mata, telinga dan
perasaan dengan melihat fakta-fakta fisik dari objek yang diteliti.
2. Kuisioner (Angket)
Kuisioner atau angket yaitu mengumpulkan data dan informasi yang
dilakukan dengan memberi seperangkat pertanyaan kepada responden
untuk dijawab. Dalam hal ini kuisioner diberikan kepada Dinas terkait
dalam penerapan perda ini dan masyarakat Kecamatan Ciruas yang
dilibatkan dalam penelitian ini dan dijadikan sampel oleh peneliti.
3. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan yaitu studi atau teknik pengumpulan data dengan
cara memperoleh atau mengumpulkan data dari berbagai referensi yang
relevan maupun jurnal-jurnal ilmiah. Metode kepustakaan uraian yang
benar dari beberapa ahli, yakni dengan mempelajari dan membaca buku-
60
buku, literature serta karya ilmiah yang pernah dibuat dan
dipublikasikan sebagai bahan referensi yang ada hubungan dengan
penulisan penelitian ini.
4. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mengumpulkan data-data yang dianggap bernilai
historis berkaitan dengan penelitian ini.
3.3 Populasi dan sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono 2009:80).
Populasi dalam peneitian ini, sesuai dengan data dan jumlah objek yang akan
diteliti atau akan diselidiki, maka peneliti mengambil populasi yaitu seluruh
tempat di Kecamatan Ciruas yang didalam perda dilarang untuk merokok dan
SKPD yang terkait dalam jalannya perda KTR . Berikut adalah tabel penyebaran
populasi dalam penelitian ini.
Tabel 3.3
Jumlah Populasi Penelitian
No Ruang Lingkup KTR Jumlah Populasi
1 Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Puskesmas/ Public Health Center 1
61
apotik pharmacy 11
Klinik 8
Pengobatan Tradisional 3
Rumah sakit 1
Toko Obat 3
2 Tempat Proses Belajar Mengajar
PAUD 47
SD Negeri 31
SD Swasta 2
SLTP Negeri 2
SLTP Swasta 4
SMU Negeri 1
SMU Swasta 3
SMK Negeri 1
SMK Swasta 4
Madrasah Ibtidaiyah Negeri -
Madrasah Ibtidaiyah Swasta 2
Madrasah Tsanawiyah Negeri 1
Madrasah Tsanawiyah Swasta 3
Madrasah Aliyah Negeri -
Madrasah Aliyah Swasta 1
Perguruan Tinggi -
3 Tempat Anak Bemain
Kelompok Bermain -
4 Tempat Ibadah
Masjid 61
62
Gereja -
Wihara -
Pura -
5 Angkutan Umum
Angkutan Umum 59
6 Fasilitas Olahraga
bola volley -
sepak bola 2
bola basket 1
sepak takraw -
Panahan -
tenis meja -
Bulutangkis 1
tenis lapangana -
Atletik -
Renang -
pencak silat -
Gulat -
Karate -
Taekwondo -
Futsal 1
7 Tempat Kerja
Kantor Kecamatan 1
Kantor Desa 14
8 Tempat Umum
Pariwisata 1
Pasar 1
Hotel -
Restoran 1
9 Tempat Lain yang di tetapkan
Jumlah 272
10 SKPD 14
63
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Pengambilan jumlah sampel mengacu pada tabel Slovin dengan
berdasarkan tingkat kesalahan 5% maka jumlah jumlah sampel yang digunakan
dalam penelitian ini sebanyak 162 dari jumlah populasi 272 (Sugiyono :2010: 87).
Adapun teknik sampling yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah
Probability sampling. Teknik sampling ini yang memberikan peluang yang sama
bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan rumus Slovin berikut adalah
rumusnya:
n = Sampel
N = Populasi
d = Sampling Erorr (5% dan 10%)
Sampel pada penelitian ini menggunakan 5% dari jumlah populasi yang ada
di Kecamatan Ciruas yaitu sebesar 272, sehingga peneliti mengambil sampel 162
dari jumlah populasi setelah itu peneliti menggunakan teknik sampel
Proportionate Random Sampling (PRS) untuk menentukan sampel karena
populasi yang ada dalam penelitian ini mempunyai anggota/ unsur yang homogen
tidak berstrata tetapi proporsional. Sehingga cara penghitungan peneliti pertama
peneliti menentukan sampel dari populasi dan setelah itu peneliti menentukan
sampel menggunakan teknik PRS, berikut adalah cara penghitungannya :
64
n = N/1+ Ne2
n = 272/1+272(5%)2
n = 161,9(162)
Setelah mendapatkan hasil sampel 162 dari populasi 272 peneliti
menggunakan teknik sampling PRS dengan menggunakan rumus dari Sugiyono
(2007: 75)
Keterangan :
n1 = jumlah menurut tempat bebas asap rokok
n = jumlah sampel seluruh
N1 = jumlah populasi menurut tempat bebas asap rokok
N = jumlah populasi seluruh
Berikut tabel perhitungan dan hasil sampel yang di dapat dengan teknik PRS
menggunakan rumus di atas:
Tabel 3.4
Jumlah Sampel Penelitian
No Ruang Lingkup KTR Jumlah
Populasi
Rincian
Perhitungan
Sampel
1 Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Puskesmas/ Public Health Center 1
1
Apotik pharmacy 11
6
Klinik 8
4
Pengobatan Tradisional 3
2
65
Rumah sakit 1
1
Toko Obat 3
2
2 Tempat Proses Belajar Mengajar
PAUD 47
28
SD Negeri 31
18
SD Swasta 2
1
SLTP Negeri 2
1
SLTP Swasta 4
2
SMU Negeri 1
1
SMU Swasta 3
2
SMK Negeri 1
1
SMK Swasta 4
2
Madrasah Ibtidaiyah Negeri - -
Madrasah Ibtidaiyah Swasta 2
1
Madrasah Tsanawiyah Negeri 1
1
Madrasah Tsanawiyah Swasta 3
2
Madrasah Aliyah Negeri - -
Madrasah Aliyah Swasta 1
1
Perguruan Tinggi - -
3 Tempat Anak Bemain
Kelompok Bermain - -
4 Tempat Ibadah
Masjid 61
37
66
Gereja - -
Wihara -
Pura - -
5 Angkutan Umum
Angkutan Umum 59
35
6 Fasilitas Olahraga
bola volley - -
sepak bola 2
1
bola basket 1
1
sepak takraw - -
Panahan - -
tenis meja - -
Bulutangkis 1
1
tenis lapangana - -
Atletik - -
Renang - -
pencak silat - -
Gulat - -
Karate - -
Taekwondo - -
Futsal 1
1
7 Tempat Kerja
Kantor Kecamatan 1
1
Kantor Desa 14
8
8 Tempat Umum
Pariwisata 1
1
67
Pasar 1
1
Hotel - -
Restoran 1
1
9 Tempat Lain yang di tetapkan - -
JUMLAH KESELURUHAN 272 165
10 SKPD 14 14
Dilihat dari tabel diatas jumlah sampel akhir pada penelitian ini 165 karena
peneliti ingin semua tempat kawasan tanpa rokok yang memiliki hasil hitungan
yang kecil dapat diambil sampel dan peneliti juga berfikir apabila sampel lebih
banyak maka akan lebih baik hasilnya. Peneliti mengambil sampel setiap tempat
yang dilarang untuk merokok, setiap tempat tersebut peneliti ambil satu
masyarakat untuk mengisi kuesioner yang peneliti berikan, dan pada penelitian ini
peneliti mengambil seluruh SKPD untuk jadi alat ukur dan analisis dalam evaluasi
implementasi perda KTR.
3.4 Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
Teknik pengolahan dan analisis data digunakan peneliti untuk
menyederhanakan dan menyajikan data dengan mengelompokan dalam suatu
bentuk yang berarti sehingga mudah dipahami dan diinterpretasi oleh pembaca
atau penguji. Dalam hal ini peneliti dalalam penganalisa data menggunakan
metode analisis data kuantitatif deskriptif, dimana peneliti mencoba menganalisis
data dengan cara mendeskripsikan data yang telah terkumpul sebagai mana
adanya tanpa bermaksud membuat sebuah kesimpulan yang berlaku untuk umum
atau generalisasi.
68
Untuk menganalisa Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten
Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah
Kecamatan Ciruas, maka dalam menguji hipotesis deskripsi ini menggunakan uji
t-test sampel dengan rumus sebagai berikut (Sugiyono; 2010: 178) :
Di mana :
t = nilai t yang terhitung
= nilai rata-rata
= nilai yang dihipotesiskan
s = simpangan baku sampel
n = jumlah anggota sampel
3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
3.5.1 Uji Validitas Instrumen
Uji validitas atau kesahihan digunakan untuk mengetahui seberapa tepat
suatu alat ukut untuk mampu melakukan fungsi. Alat ukur yang dapat digunakan
dalam pengujian validitas suatu kuesioner adalah hasil skor pertanyaan dan skor
keseluruhan pertanyaan responden terhadap informasi dalam kuesioner.
Uji validitas digunakan untuk sah atau valid tidaknya suatu kuesioner.
Kevaliditasan instrumen menggambarkan bahwa suatu instrumen benar-benar
mampu mengukur variabel-variabel yang akan diukur dalam penelitia serta
mampu menunjukan tingkat kesesuaian antara konsep dan hasil pengukuran.
Dalam menentukan apakah setiap butir dalam intrumen itu valid atau tidak, dapat
diketahui dengan cara mengkorelasikan antara skor butir dengan skor total (Y).
69
Bila harga korelasi dibawah 0,30, maka dapat disimpulkan bahwa butir intrumen
tersebut tidak valid, sehingga harus diperbaiki atau dibuang.
Rumus Korelasi rank spearman:
rs = Koefesien Korelasi Rank Spearman
di = Selisih Setiap Rank
n = Banyaknya Pasangan Data
3.5.2 Uji Reliabilitas Instrumen
Realiabilitas berasal dari kata dalam bahasa inggris rely, yang berarti
percaya, dan reliable yang artinya dapat dipercaya. Dengan demikian reliabilitas
dapat diartikan sebagai kepercayaan. Mengenai reliabilitas yang dimaksud pada
prinsipnya menunjukan sejauh mana pengukuran itu dapat memberikan hasil yang
relatif tidak berbeda bila dilakukan kembali untuk mengukur subjek yang sama.
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung reliabilitas, salah satunya
dengan menggunakan rumus Cronbach Alpha, rumusnya yaitu:
(
) (
)
Keterangan :
n = jumlah butir
Si2 = variansi butir
St2 = variansi total
70
3.6 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciruas Kabupaten Serang, karena
letaknya tidak jauh dengan pusat pemerintahan Kabupaten Serang dan Kecamatan
Ciruas merupakan ibukota Kabupaten Serang, sehingga peneliti mengambil
tempat penelitian di Kecamatan Ciruas.
Adapun jadwal penelitian berisi aktivitas yang dilakukan dan kapan akan
dilakukan proses penelitian ( Sugiyono 2009: 286). Berikut ini merupakan jadwal
penelitian Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9
Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah Kecamatan Ciruas:
No Nama
Kegiata
n
S
e
p
O
k
t
N
o
v
D
e
s
J
a
n
F
e
b
M
a
r
A
p
r
M
e
i
J
u
n
J
u
l
A
g
s
S
e
p
O
k
t
N
o
v
D
e
s
J
a
n
F
e
b
M
a
r
A
p
r
M
e
i
J
u
n
J
u
l
1. Pengajua
n judul
2. Perizinan
dan
Observas
i awal
3. Penyusu
nan
proposal
skripsi
Pelaksanaan Kegiatan
Oktober 2015 – November 2016
71
Tabel 3.5
Waktu Penelitian
4. Seminar
Proposal
Skripsi
5. Revisi
Seminar
Proposal
6. Acc
Lapanga
n
7. Penyusu
nan BAB
IV -V
8. Acc
Sidang
9. Sidang
Skripsi
10. Revisi
71
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian
4.1.1 Keadaan Geografis
Kecamatan Ciruas secara geografis terletak antara 60 07’ – 60 06’Lintang
Selatan dan 1060 13’ – 1060 16’ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya :
sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Pontang, sebelah timur, berbatasan
dengan Kecamatan Kragilan, sebelah selatan, berbatasan dengan Kota Serang dan
sebelah barat, berbatasan dengan Kota Serang.
4.1.2 Pemerintahan
Berdasarkan hirarki pemerintahan yang berlaku di Indonesia, setiap
kecamatan dipimpin oleh seorang Camat, yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Walikota/Bupati melalui Sekretaris Kota/Kabupaten.
Wilayah kerja kecamtan terbagi habis menjadi desa/kelurahan yang masing-
masing dipimpin oleh seorang Lurah/Kepala Desa. Kecamatan Ciruas sendiri
terbagi menjadi tujuh belas desa, yaitu Desa Citerep, Ranjeng, Ciruas, Kadikaran,
Singamerta, Pulo, Kebon Ratu, Gosara, Kepandean, Pamong, Cigelam,
Penggalang, Bumi Jaya, Tirem, Keserangan, Beberan dan Pelawad.
Pada tahun 2010 di Kecamatan Ciruas terdapat 78 Kampung, 66 rukun
warga dan 197 rukun tetangga dengan jumlah penduduk 79.195 orang. Desa
72
Ranjeng memiliki jumlah RT, RW terbanyak yaitu 5 RW dan 35 RT. Sedangkan
untuk penduduk terbanyak menurut sensus penduduk tahun 2010 terdapat di Desa
Pelawad, yaitu sebanyak 11.785 orang penduduk.
4.1.3 Penduduk
Berdasarkan hasil Sensus setiap sepuluh tahun sekali, pada tahun
1980,1990,2000 dan 2010, Penduduk Kecamatan Ciruas pada urutan tahun
tersebut masing-masing berjumlah 38.446, 47.842, 62.597 dan 79.195. hal
tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Ciruas mengalami
peningkatan dengan laju pertumbuhan antara tahun masing-masing sebesar:
1. Laju Pertumbuhan Penduduk 1980-1990 = 2,21%
2. Laju Pertumbuhan Penduduk 1990-2000 = 2,72%
3. Laju Pertumbuhan Penduduk 2000-2010 = 2,38%
4. Laju Pertumbuhan Penduduk 1980-2010 = 2,44%
73
4.1.4 Sosial dan Budaya
Salah satu Faktor Utama Keberhasilan pembangunan di suatu negara
adalah cukup tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Merujuk pada
amanat UUD 1945 beserta amandemennya (pasal 31 ayat 2), maka melalui jalur
pendidikan pemerintah secara konsisten berupaya meningkatkan SDM penduduk
Indonesia. Peningkatan SDM ini lebih difokuskan pada pemberian kesempatan
seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengecap pendidikan, terutama kelompok
usia sekolah umur (7-24 tahun).
Pada tahun 2016 jumlah sekolah PAUD di Kecamatan Ciruas berjumlah
47 unit, sekolah SD sederajat sebanyak 33 unit, SMP sederajat berjumlah 10 unit
dan SMA sederajat 10 unit. Rasio murid-guru pada tahun 2016 untuk PAUD
sebesar 7,9 yang berarti setiap seorang guru PAUD menangani 7-8 siswa.
Sedangkan rasio murid-guru untuk SD 41,9, sekolah SMP/MTs sederajat 14,9 dan
sekolah SMA/MA/SMK sederajat sebesar 11,9.
4.1.5 Kesehatan
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan mendasar manusia. Oleh karena itu
ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kesehatan sangatlah penting. Di
Kecamatan Ciruas berbagai fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, posyandu,
praktek dokter dan lainnya telah tersedia.
Rasio posyandu-penduduk sebesar 989,94. Untuk rasio praktek dokter-
penduduk sebesar 15.939,00 dan rasio bidan-penduduk sebesar 5279,67. Selain
fasilitas fisik kesehatan, hal lain yang juga sangat penting adalah ketersediaan
74
tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang tinggal di Kecamatan Ciruas adalah
dokter praktek, bidan, dan perawat termasuk dukun bayi/tradisional berjumlah
147 orang.
4.2 Penguji Persyaratan Statistik
4.2.1 Hasil Uji Validitas
Pada penelitian ini, tahap awal proses analisis data adalah melakukan uji
validitas instrumen terlebih dahulu. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga
ketetapan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Uji Validitas
digunakan untuk mengetahui valid atau tidaknya suatu kuesioner yang menjadi
alat ukur dalam penelitian ini. Instrumen yang valid menggambarkan bahwa suatu
instrumen benar-benar mampu dalam mengukur variabel yang akan diukur dalam
penelitian, serta mampu menunjukan tingkat kesesuaian antara konsep penelitian
dengan hasil penelitian.
Pada uji validitas, peneliti mengambil sampel sebanyak 30 responden,
penelitian ini menggunakan skala guttman yang dimana jawaban responden hanya
YA atau TIDAK, sehingga setiap butir-butir pernyataan berguna walaupun tidak
valid, tetapi bisa digunakan sebagai alat untuk menganalisis evaluasi
implementasi perda kawasan tanpa rokok.
Adapun rumus yang digunakan oleh peneliti dalam uji validitas ini adalah
dengan menggunakan statistic korelasi pruduct moment dengan menggunakan
SPSS versi 16.
75
Tabel 4.1
Hasil Perhitungan Analisis Butir Validitas Instrumen
Pernyataan rhitung rtabel N Keterangan
Pernyataan 1 0,760 0,306 30 VALID
Pernyataan 2 0,787 0,306 30 VALID
Pernyataan 3 0,790 0,306 30 VALID
Pernyataan 4 0,639 0,306 30 VALID
Pernyataan 5 0,681 0,306 30 VALID
Pernyataan 6 0,793 0,306 30 VALID
Pernyataan 7 0,764 0,306 30 VALID
Pernyataan 8 0,764 0,306 30 VALID
Pernyataan 9 0,707 0,306 30 VALID
Pernyataan 10 0,666 0,306 30 VALID
Pernyataan 11 0,551 0,306 30 VALID
Pernyataan 12 0,673 0,306 30 VALID
Pernyataan 13 0,793 0,306 30 VALID
Pernyataan 14 0,732 0,306 30 VALID
Pernyataan 15 0,021 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 16 0,021 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 17 0,236 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 18 0,101 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 19 0,034 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 20 0,034 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 21 0,103 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 22 0,150 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 23 0,000 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 24 0,150 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 25 0,100 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 26 0,021 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 27 0,103 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 28 0,000 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 29 0,021 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 30 0,021 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 31 0,567 0,306 30 VALID
Pernyataan 32 0,000 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 33 0,000 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 34 0,000 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 35 0,716 0,306 30 VALID
Pernyataan 36 0,764 0,306 30 VALID
Pernyataan 37 0,637 0,306 30 VALID
Pernyataan 38 0,666 0,306 30 VALID
Pernyataan 39 0,790 0,306 30 VALID
Pernyataan 40 0,790 0,306 30 VALID
Pernyataan 41 0,764 0,306 30 VALID
Pernyataan 42 0,752 0,306 30 VALID
76
Sumber: Data diolah tahun 2017
Pernyataan 43 0,671 0,306 30 VALID
Pernyataan 44 0,585 0,306 30 VALID
Pernyataan 45 0,685 0,306 30 VALID
Pernyataan 46 0,692 0,306 30 VALID
Pernyataan 47 0,575 0,306 30 VALID
Pernyataan 48 0,433 0,306 30 VALID
Pernyataan 49 0,433 0,306 30 VALID
Pernyataan 50 0,039 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 51 0,185 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 52 0,011 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 53 0,151 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 54 0,103 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 55 0,320 0,306 30 VALID
Pernyataan 56 0,270 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 57 0,256 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 58 0,269 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 59 0,000 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 60 0,150 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 61 0,150 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 62 0,150 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 63 0,150 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 64 0,000 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 65 0,150 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 66 0,150 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 67 0,502 0,306 30 VALID
Pernyataan 68 0,807 0,306 30 VALID
Pernyataan 69 0,567 0,306 30 VALID
Pernyataan 70 0,673 0,306 30 VALID
Pernyataan 71 0,653 0,306 30 VALID
Pernyataan 72 0,736 0,306 30 VALID
Pernyataan 73 0,732 0,306 30 VALID
Pernyataan 74 0,651 0,306 30 VALID
Pernyataan 75 0,471 0,306 30 VALID
Pernyataan 76 0,068 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 77 0,506 0,306 30 VALID
Pernyataan 78 0,489 0,306 30 VALID
Pernyataan 79 0,506 0,306 30 VALID
Pernyataan 80 0,000 0,306 30 TIDAK VALID
Pernyataan 81 0,506 0,306 30 VALID
Pernyataan 82 0,506 0,306 30 VALID
Pernyataan 83 0,506 0,306 30 VALID
77
Kriteria item/butir instrumen yang digunakan adalah apabila lebih besar atau
sama dengan r tabel (rhitung ≥ rtabel), berarti item/butir instrumen dinyatakan valid.
Jika rhitung < rtabel, berarti item/butir instrumen dinyatakan tidak valid. Perolehan
nilai dari rhitung diperoleh dari perhitungan statistik korelasi rank spearman dengan
bantuan SPSS statistik versi 16. Sementara, perolehan nilai 0,128 dari rtabel
merupakan perolehan dari korelasi rank spearman dengan tingkat kesalahan 5%
dengan jumlah responden 30. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa
terdapat enam butir instrumen yang dinyatakan tidak valid yaitu 37 pernyataan
dari 83 pernyataan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan rhitung < rtabel.
4.2.2 Hasil Uji Reliabilitas
Guna menjaga kehandalan dari sebuah instrumen atau alat ukur maka peneliti
melakukan uji reliabilitas, dimana instrumen yang dilakukan uji reliabilitas adalah
instrumen yang dinyatakan valid, sedangkan instrumen yang dinyatakan tidak
valid maka tidak bisa dilakukan uji reliabilitas. Dalam pengukuran reliabilitas
menggunakan Alpha Cronbach dengan bantuan SPSS 16. Adapun hasil dari uji
reliabilitas yang telah dilakukan dalam penelitian ini adalah nilai Alpha Cronbach
sebesar 0,975. Suatu variabel dikatakan reliabel jika nilai alphanya lebih dari 0,30
(Sugiyono 2008:126). Maka hal ini dapat diartikan bahwa 0,975 > dari 0,30
sehingga instrumen yang diuji bisa reliabel. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
78
Tabel 4.2
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.975 46
Sumber: Data Primer, 2017
4.3 Deskripsi Data
4.3.1 Identitas Reponden
Dalam penelitian ini yang berjudul Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah
Kabupaten Serang tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kecamatan Ciruas. Maka
yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat
Kecamatan Ciruas yang berada di ruang lingkup yang diatur dalam perda KTR
sehingga populasi yang peneliti ambil yaitu tempat-tempat yang dilarang untuk
merokok dan SKPD yang terkait dalam menjalankan Perda KTR. Dengan
mengacu pada tabel Iccac dan Michael dengan berdasarkan tingkat kesalahan 5%
maka jumlah jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 165
dari jumlah populasi 272 populasi di tambah jumlah tiap SKPD terkait berjumlah
14 guna menjadi alat ukur dan analisis, sehingga dalam penelitian ini keseluruhan
sampel yang peneliti ambil sebesar 179. Kemudian teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini dilakukan proporsional random sampling, dengan cara setiap
tempat-tempat yang yang dilarang untuk merokok diberi nomor terlebih dahulu
sesuai dengan jumlah tempat populasi. Dalam mengisi kuesioner, responden
diminta untuk memberikan identitas diri sebagai penunjang data. Dimana identitas
diri meliputi jenis kelamin, usia, dan pekerjaan.
79
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan gambar diagram di atas dapat diketahui bahwa identitas
responden berdasarkan jenis kelamin laki-laki dalam hitungan perorangan
berjumlah 120 orang dan yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 59 orang.
Dapat dilihat dari diagram di atas bahwa dalam penelitian ini responden yang
paling banyak yaitu responden yang berjenis kelamin laki-laki yang berjumlah
120 orang.
120, 67%
59, 33%
Diagram 4.1 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
L
P
80
Sumber : Data Primer 2017
Dari diagram di atas diketahui bahwa rentan usia para responden dari usia
17- 60 tahun. Adapun rinciannya dalam hitungan perorangan adalah 17-25 tahun
berjumlah 30 orang, usia 25-35 tahun berjumlah 86 dan usia 36-60 tahun
berjumlah 63 orang. Dapat dilihat bahwa kebanyakan responden ada di kisaran
usia 25-35 tahun yang berjumlah 86 orang.
Sumber : Data Primer, 2017
17%
48%
35%
Diagram 4.2 Identitas Responden Berdasarkan Usia
17-25
26-35
36-60
44%
10% 10%
6%
30%
Diagram 4.3 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Honorer
PNS
Buruh
IRT
Lainnya
81
Dari diagram di atas diketahui bahwa jenis pekerjaan para responden dalam
hitungan persentase. Adapun rincian diagram dalam hitungan perorangan adalah
honorer berjumlah 79 orang, PNS berjumlah 18 orang, buruh berjumlah 18 orang,
IRT (Ibu Rumah Tangga) berjumlah 11 orang, dan lainnya berjumlah 53 orang.
Dapat dilihat dari diagram di atas dalam penelitian ini responden lebih banyak
berkerja sebagai Honorer dengan jumlah responden 79 orang, sedangkan
pekerjaan responden yang memiliki angka paling kecil yaitu responden yang
berkerja sebagai Ibu Rumah Tangga dengan jumlah responden 11 orang.
4.4 Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses analisis yang dilakukan peneliti
dengan cara mendeskripsikan data hasil penyebaran kuesioner yang ditujukann
kepada seluruh masyarakat Kecamatan Ciruas yang menjadi anggota sampel. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui seberapa efektifkah Perda Kabupaten Serang
tentang kawasan tanpa rokok di Kecamatan Ciruas.
Adapun lebih detailnya, peneliti menjelaskannya dalam bentuk tabel dan
diagram disertai pemaparan dan kesimpulan dari hasil jawaban responden
berdasarkan butir-butir pernyataan yang telah penelitiannya buat sebelumnya.
Dimana butir-butir pernyataan tersebut dituangkan dalam bentuk kuesioner.
Uraian kuesioner-kuesioner diuraikan oleh peneliti dalam bentuk penjelasan butir-
butir pernyataan secara sistematis. Kuesioner tersebut ajukan kepada 165
masyarakat dan 14 instansi yang menjadi sampel penelitian yang telah ditentukan
sebelumnya.
82
Pemaparan mengenai butir-butir pernyataan ditafsirkan sesuai dengan
indikator pernyataan, sehingga akan terlihat beberapa penafsiran dalam
menguraikan jawaban Ya atau Tidak responden yang berbeda tergantung dari
indikator pernyataan.
Dalam analisis data pada penelitian ini, peneliti menggabungkan butir-butir
pernyataan SKPD dan Masyarakat yang memiliki pengertian yang sama, sehingga
masalah yang terjadi di lapangan apakah pemerintah sudah benar-benar
menjalankan sesuai dengan Perda KTR dan Perbup KTR.
4.4.1 Jawaban Responden Pernyataan Ke-1
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai koordinasi dengan
instansi terkait (UPTD Ciruas). Dimana harus dalam menjalankan perda ini harus
adanya koordinasi dengan UPTD yang ada ciruas.
Sumber : Data Primer, 2017
86%
14%
Diagram 4.4 Koordinasi Instansi
Ya Tidak
83
Diagram di atas menjelaskan dalam bentuk presentase. Responden di atas
merupakan responden SKPD yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan perda
KTR, dilihat dari diagram di atas apabila dilihat dari perorangan yang menjawab
ya sebesar 12 orang dari 14 responden, dan yang menjawab tidak terdapat 2 orang
dari 14 responden, sehingga dalam hal koordinasi dengan instansi terkait SKPD
sudah berkoordinasi dengan instansi atau UPTD yang ada di Kecamatan Ciruas
untuk menjalankan perda KTR, hanya terdapat 2 orang yang menjawab belum
berkoordinasi dengan instansi atau UPTD di Kecamatan Ciruas. Sehingga dapat
disimpulkan koordinasi pemerintah terhadap instansi yang ada dapat dikatakan
sudah melakukan, tetapi fakta dilapangan instansi-instansi yang berada dilapangan
masih saja terdapat asbak rokok dan masih saja ada yang merokok di ruang kerja.
4.4.2 Jawaban Responden Pernyataan Ke-2
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai koordinasi dengan
Elemen Organisasi. Karena dalam perda KTR SKPD diharuskan berkoordinasi
dengan Elemen Organisasi agar berjalannya perda KTR ini berjalan dengan
optimal.
84
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.5 yang disajikan dalam bentuk presentase tentang
Koordinasi dengan Elemen Organisasi, dilihat dari jumlah perorangan angka yang
menjawab Ya terdapat 13 dan yang menjawab Tidak 1 dari responden 14 orang,
sehingga dalam hal ini sudah 13 orang instansi yang menjawab bahwa sudah
melakukan koordinasi dengan organisasi-organisasi yang ada di Kecamatan
Ciruas dan 1 orang instansi yang menjawab belum melakukan koordinasi dengan
SKPD. Koordinasi dengan organisasi memanglah sangat penting karena bisa
membantu dalam pengawasan jalannya perda atau bahkan membantu dalam
melakukan sosialisasi, sehingga jalannya perda KTR ini berjalan ke seluruh
wilayah Kabupaten Serang terutama di Kecamatan Ciruas. Sehingga apabila
pemerintah sudah berkoordinasi dengan elemen organisasi, kenapa masih saja ada
yang merokok di ruang lingkup KTR di Kecamatan Ciruas dan masih banyak
yang belum mengetahui jalannya perda KTR ini.
93%
7%
Diagram 4.5 Koordinasi dengan Elemen Organisasi
Ya Tidak
85
4.4.3 Jawaban Responden Pernyataan Ke-3
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai koordinasi dengan
Kalangan Pendidikan.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram di atas dalam bentuk presentase tentang Koordinasi
dengan Kalangan Pendidikan, hasil yang diperoleh apabila dilihat dari angka
perorangan bahwa responden yang menjawab Ya terdapat 10 orang dan yang
menjawab Tidak berjumlah 4 orang, artinya ada 10 orang yang menjawab sudah
berkoordinasi dengan kalangan pendidikan. Koordinasi dengan kalangan
pendidikan diatur dalam perda KTR, bahwa SKPD diwajibkan melakukan
koordinasi dengan kalangan pendidikan, karena dengan berkoordinasi dengan
kalangan pendidikan, membantu selama jalannya perda dalam bidang
pengawasan, atau lainnya. Dari hasil jawaban di atas dapat disimpulkan bahwa
pemerintah sudah baik dalam menjalankan koordinasi dengan kalangan
71%
29%
Diagram 4.6 Koordinasi dengan Kalangan Pendidikan
Ya Tidak
86
pendidikan namun tidak ada hasil yang membuat jalannya perda menjadi lebih
baik.
4.4.4 Jawaban Responden Pernyataan Ke-4
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai koordinasi dengan
Tokoh Masyarakat.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.7 yang terdapat di atas, terkait koordinasi dengan
tokoh masyarakat. Berikut penjelasnya dalam bentuk perorangan, dilihat di atas
bahwa 10 orang instansi menjawab sudah berkoordinasi dengan tokoh masyarakat
dan yang menjawab tidak ada 4 orang. Koordinasi dengan tokoh masyarakat
dalam jalannya perda memang penting, karena agar mempermudah SKPD
menyebarluaskan informasi mengenai perda KTR. Hasil yang diperoleh dari
kuesioner yang peneliti sebar menggambarkan bahwa pemerintah sudah
71%
29%
Diagram 4.7 Koordinasi dengan Tokoh Masyarakat
Ya Tidak
87
melakukan koordinasi dengan masyarakat, namun dalam hal ini juga tidak ada
dampak perkembangan jalannya perda KTR di Kecamatan Ciruas.
4.4.5 Jawaban Responden Pernyataan Ke-5
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai koordinasi dengan
Tokoh Agama.
Sumber : Data Primer,2017
Berdasarkan diagram 4.8 dalam bentuk presentase mengenai koordinasi
dengan tokoh agama dalam menjalankan perda KTR, dapat dilihat apabila dalam
angka perorangan bahwa yang menjawab Ya berjumlah 8 orang dan yang
menjawab Tidak berjumlah 6 orang dari 14 responden dari SKPD. Agar perda
KTR ini berjalan dengan optimal, pemerintah atau SKPD memang harus adanya
korinstansii dengan tokoh agama yang ada di Kecamatan Ciruas, karena dalam
perda tempat ibadah termasuk dalam ruang lingkup KTR, sehingga tempat ibadah
57%
43%
Diagram 4.8 Koordinasi dengan Tokoh Agama
Ya Tidak
88
yang ada di Kecamatan Ciruas dilarang untuk orang merokok. Di dalam perda
dijelaskan bahwa pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh instansi SKPD yang
mempunyai tugas pokok dimasing-masing lokasi dilarang merokok, sehingga
instansi terkait didalam perda melakukan pembinaan dengan melakukan
koordinasi dengan salah satunya yaitu tokoh agama, karena tokoh agama agar
mengetahui bahwa tempat ibadah merupakan kawasan yang dilarang untuk
merokok dan mengetahui pemberlakuan perda KTR.
4.4.6 Jawaban Responden Pernyataan Ke-6
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai Koordinasi dari
Sekertaris Daerah.
Sumber : Data Primer,2017
Berdasarkan diagram 4.9 di atas terkait Koordinasi dari Sekda, apabila
dilihat dari angka perorangan yang menjawab Ya berjumlah 14 orang dan yang
100%
0%
Diagram 4.9 Koordinasi dari Sekertaris Daerah
Ya Tidak
89
menjawab Tidak 0, sehingga dapat dikatakan, sudah adanya Koordinasi dari
Sekda Kabupaten Serang untuk SKPD Kabupten Serang agar menjalankan apa
yang sudah diatur dalam Perda KTR. Sekda merupakan badan yang melakukan
pengawasan dan pengendalian untuk setiap SKPD terkait, dan memerintahkan
SKPD melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap lingkungan yang
mencangkup tugas pokoknya. Sekda juga di sini menampung laporan-laporan
yang SKPD sudah buat dari hasil pengawasan dan pengendalian sehingga Sekda
dalam hal ini berperan penting untuk memberikan koordinasi kepada SKPD
terkait agar perda ini berjalan dengan baik.
4.4.7 Jawaban Responden Pernyataan Ke-7
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai adanya Satuan Tugas
Penegak KTR.
Sumber : Data Primer,2017
57%
43%
Diagram 4.10 Adanya Satuan Tugas Penegak
Ya Tidak
90
Berdasarkan diagram 4.10 yang disajikan dalam bentuk presentase, berikut
uraian bentuk hitungan terlihat bahwa 8 responden menjawab Ya dan 6 responden
menjawab Tidak, sehingga menurut 8 orang tersebut menjawab bahwa SKPD
sudah adanya Satuan Tugas Penegak KTR, yang berfungsi mengawasi jalannya
perda KTR. Dalam hal ini setiap SKPD yang memiliki tugas pokok berfungsi
sebagai pengawasan dan pengendalian harus memiliki anggota Satuan Tugas
Penegak yang dimana untuk mengawasi instansi terkait dan ruang lingkup di
masyarakat agar tidak adanya pelanggaran terhadap perda KTR. Oleh karena itu
respon yang didapat dari instansi bahwa lebih dari setengah jawaban menyatakan
sudah adanya Satuan Tugas Penegak. Tetapi hasil dilapangan banyak sekali
masyarakat yag melanggar perda KTR, merokok maupun masih ada yang
berjualan diruang lingkup.
4.4.8 Jawaban Responden Pernyataan Ke-8
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai Struktur Organisasi
dalam pelaksanaan Perda KTR.
91
Sumber : Data Primer,2017
Diagram 4.11 disajikan dalam bentuk presentase. Berikut uraian dalam
bentuk hitungan perorangan tentang sudah adakah Struktur Organisasi dalam
pelaksanaan perda KTR. Dapat dilihat dari diagram di atas bahwa yang menjawab
Ya berjumlah 8 orang dan yang menjawab Tidak berjumlah 6 orang, sehingga
dapat diartikan 8 orang menjawab bahwa SKPD sudah mempunyai struktur
organisasi dalam menjalankan Perda KTR, dan 6 orang menjawab belum adanya
struktur organisasi. Struktur organisasi sangat penting dalam menjalankan suatu
program atau suatu kebijakan, sehingga mempermudah dalam melakukan
koordinasi, sosialisasi, anggaran-anggaran dan lain sebagainya. Dilihat di atas
hasil yang di dapat menjelaskan bahwa 56% instansi menjawab sudah adanya
Struktur organisasi dalam menjalankan perda KTR.
4.4.9 Jawaban Responden Pernyataan Ke-9
57%
43%
Diagram 4.11 Struktur Organisasi
Ya
Tidak
92
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai Bidang khusus dalam
pelaksanaan Perda KTR
Sumber : Data Primer,2017
Dilihat dari diagram di atas, pernyataan tentang apakah dalam setiap SKPD
yang bertanggung jawab dalam jalannya perda sudah ada bidang khusus dalam
pelaksanaan, memperoleh angka yang menjawab Ya berjumlah 7 orang dan yang
menjawab tidak berjumlah 7 orang, sehingga hanya 50% yang menjawab sudah
adanya bidang khusus. Bidang khusus dalam menjalankan perda KTR biasanya
ada disaat adanya program atau kebijakan. Bidang khusus ini befungsi hanya
menjalankan pelaksanaan suatu program atau kebijakan yang ada. Dalam hal ini
instansi terkait menjawab 50% sudah mempunyai bidang khusus pelaksanaan.
Sehingga diikatakan bahwa instansi terkait belum seluruhnya mempunyai bidang
khusus. Yang akan berdampak jalannya perda KTR berjalan tidak baik.
50% 50%
Diagram 4.12 Bidang Khusus Pelaksanaan
Ya Tidak
93
4.4.10 Jawaban Responden Pernyataan Ke-10
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai Petugas khusus dalam
pelaksanaan Perda KTR
Sumber : Data Primer,2017
Dalam menjalankan perda biasanya sudah ada petugas khusus untuk
mensosialisasikan ataupun untuk pengawasan dan pengendalian, apabila dilihat
dari diagram di atas tentang petugas khusus pelaksanaan dalam menjalankan
perda KTR apabila dilihat dari angka perorangan, yang menjawab ya berjumlah 6
orang dan yang menjawab tidak terdapat 8 orang dari jumlah responden 14 orang.
Jalannya perda KTR ini perlu adanya petugas khusus untuk sosialisasikan, agar
masyarakat mengetahui dampak-dampak dari bahaya asap rokok, dan
menjalankan perda. Di simpulkan bahwa angka yang menjawab ya hanya 46%
dapat dikatakan instansi masih ada yang belum mempunyai petugas khusus.
43%
57%
Diagram 4.13 Petugas Khusus Pelaksanaan
Ya Tidak
94
4.4.11 Jawaban Responden Pernyataan Ke-11
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai SDM yang berkompeten
dalam pelaksanaan Perda KTR
Sumber : Data Primer,2017
Berdasarkan diagram 4.14 dalam hitungan presentase, apabila dijelaskan
dalam hitungan perorangan jumlah orang yang menjawab ya berjumlah 4 orang
dan yang menjawab tidak berjumlah 10 orang. SDM yang berkompeten dalam
pelaksanaan perda KTR penting, karena apabila tidak adanya SDM yang
berkompeten maka akan sulit untuk menjalankan perda KTR, sulit menyampaikan
informasi dalam melakukan sosialisasi atau salah mengerti tentang perda yang
akan dijalankan oleh masyarakat.
4.4.12 Jawaban Responden Pernyataan Ke-12
29%
71%
Diagram 4.14 SDM yang berkompeten
Ya Tidak
95
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai berlandaskan Perbup
dalam pelaksanaan Perda KTR
Sumber : Data Primer,2017
Berdasarkan diagram 4.15 di atas adalah dalam hitungan presentase.
Apabila dijelaskan dalam angka perorangan, yang menjawab ya berjumlah 12
orang dan yang menjawab tidak berjumlah 2 orang. Dalam hal ini berarti 12
responden sudah menjalankan perda KTR ini berdasarkan Perbup tentang
petunjuk teknis penerapan perda KTR, dan yang 2 bependapat bahwa belum
menerapkan perda berdasarkan perbup. Peraturan Bupati merupakan petunjuk
teknis pelaksanaan perda KTR, sehingga segala yang diatur dalam Perbup
merupakan kewajiban bagi instansi terkait untuk dilaksanakan. Dilihat di atas
instansi sudah menjalankan perda KTR berdasarkan Perbup tetapi fakta
dilapangan banyak teknis-teknis pelaksanaan yang tidak pemerintah jalankan,
seperti tanda-tanda peringatan dilarang merokok yang seharusnya diletakan di
setiap pintu masuk bangunan. Pemerintah seharusnya benar-benar harus
86%
14%
Diagram 4.15 Penerapan Berlandaskan Perbub
Ya Tidak
96
melakukan pelaksanaan sesuai dengan petunjuk teknis agar masyarakat tahu
bahwa adanya perda KTR dan tahu bahwa tempat ini dilarang untuk merokok.
4.4.13 Jawaban Responden Pernyataan Ke-13
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai Interaksi dengan
masyarakat dalam pelaksanaan Perda KTR
Sumber : Data Primer,2017
Dilihat dari diagram 4.16 di atas dalam hitungan presentase. Apabila
dijelaskan dalam angka perorangan bahwa yang menjawab ya berjumlah 14 orang
dan yang menjawab tidak berjumlah 0, sehingga bisa disimpulkan bahwa semua
responden menjawab sudah melakukan interaksi yang baik dengan masyarakat.
Kita ketahui bahwa interaksi sangat penting dalam menerapkan perda, karena
interaksi awal membentuk masyarakat agar menjalankan perda sesuai dengan
100%
0
Diagram 4.16 Interaksi dengan masyarakat
Ya Tidak
97
yang di atur dalam perda KTR. Tetapi hasil pernyataan tidak sesuai dengan apa
yang terjadi dilapangan karena masih terlihat pelanggaran.
4.4.14 Jawaban Responden Pernyataan Ke-14
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab dalam jalannya perda KTR mengenai kalimat yang mudah
dimengerti dalam sosialisasi pelaksanaan Perda KTR
Sumber : Data Primer,2017
Berdasarkan diagram 4.17 di atas dalam hitungan presentase. Apabila
dijelaskan dalam angka perorangan dari jumlah responden keseluruhan 14, yang
menjawab Ya berjumlah 13 dan yang menjawab tidak 1 orang. Kalimat yang
mudah dimengerti dalam sosialisasi sangat penting karena agar masyarakat
mengerti isi perda yang sedang di sosialisasikan. Tidak menggunakan bahasa-
bahasa ilmiah yang mungkin masyarakat tidak mengerti. Oleh karena itu dalam
sosialisasi pemerintah harus mengerti kondisi sosial dan budaya daerah yang akan
93%
7%
Diagram 4.17 Kalimat yang mudah di mengerti
Ya Tidak
98
di sosialisasi dan setelah itu mencari SDM yang baik dan paham akan kondisi
sosial dan budaya daerah sekitar.
4.4.15 Jawaban Responden Pernyataan Ke-15
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat di
Kecamatan Ciruas mengenai Peralatan yang mendukung dalam pelaksanaan
sosialisasi Perda KTR di Kecamatan Ciruas.
Sumber : Data Primer,2017
Berdasarkan diagram 4.18 di atas dalam hitungan presentase tentang
peralatan yang mendukung sosialisasi yang dimana responden yang peneliti sebar
adalah masyarakat di Kecamatan Ciruas. Dapat dilihat bahwa angka presentase
menunjukan bahwa yang menjawab ya berjumlah 31% dan yang menjawab tidak
berjumlah 69%, sehingga dapat dikatakan pemerintah tidak menggunakan
peralatan yang mendukung untuk sosialisasi, atau bisa juga karena masyarakat di
Kecamatan Ciruas tidak mengikuti sosialisasi yang dilakukan pemerintah.
31%
69%
Diagram 4.18 Peralatan yang mendukung sosialisasi
Ya
Tidak
99
4.4.16 Jawaban Responden Pernyataan Ke-16
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat di
Kecamatan Ciruas mengenai meteri yang dimengerti masyarakat dalam
pelaksanaan sosialisasi Perda KTR di Kecamatan Ciruas.
Sumber : Data Primer,2017
Dilihat dari diagram 4.19 yang menjelaskan presentase tentang materi yang
dimengerti masyarakat, bahwa masyarakat ciruas yang mengerti materi sosialisasi
tentang KTR hanya 31% sedangkan yang tidak mengerti apa yang disampaikan
pemerintah sebesar 69% sehingga dapat dikatakan belum baiknya dalam
mensosialisasikan atau kurang mengajak masyarakat dalam mengikuti sosialisasi.
Hasil dilapangan banyak sekali masyarakat yang tidak mengikuti sosialisasi
sehingga pernyataan- pernyataan yang peneliti buat banyak yang menjawab tidak,
termasuk pernyataan ini dimana masyarakat apakah mengerti sosialisasi yang
dilakukan petugas. Namun ada juga masyarakat yang menyatakan bahwa
31%
69%
Diagram 4.19 Materi yang dimengerti masyarakat
Ya
Tidak
100
mengikuti sosialisasi tetapi tidak mengerti apa yang disampaikan. Sehingga angka
yang diperoleh dari besar angka yang menjawab Tidak dibandingkan menjawab
Ya.
4.4.17 Jawaban Responden Pernyataan Ke-17 dan Ke-35
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai apakah sudah melakukan penyebarluasan
informasi melalui media cetak.
Sumber : Data Primer,2017
Berdasarkan diagram 4.20 di atas, yang menjelaskan apakah masyarakat
melihat petugas menyebarluaskan informasi melalui media cetak. Hasil presentase
dari hasil pernyataan diatas bahwa 53% menjawab Ya dan 47% menjawab Tidak
.Sehingga bisa dikatakan pemerintah belum maksimalnya menyebarluaskan
53%
47%
Diagram 4.20 melihat petugas menyebarluaskan informasi
melalui media cetak
Ya Tidak
101
informasi tentang perda KTR melalui media cetak. Sehingga dapat dikatakan
pemerintah masih kurang optimal dalam menyebarluaskan informasi melalui
media cetak. Seharusnya pemerintah lebih menyebarluaskan informasi melalui
media cetak secara keseluruhan, tidak hanya tempat yang banyak orang atau
tempat umum.
4.4.18 Jawaban Responden Pernyataan Ke-18 dan Ke-36
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai apakah sudah melakukan penyebarluasan
informasi melalui media elektronik.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.21 di atas, yang menjelaskan apakah masyarakat
melihat petugas menyebarluaskan informasi melalui media elektronik. Dalam hal
ini peneliti menanyakan juga kepada instansi terkait, agar menjadi alat untuk
menganalisis. Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya
12%
88%
Diagram 4.21 melihat petugas menyebarluaskan informasi melalui
media elektronik
Ya Tidak
102
mendapatkan presentase 12% sedangkan yang menjawab tidak 88%. Sehingga
kesimpulan yang didapat instansi belum sepenuhnya menyebarluaskan informasi
melalui media cetak. Menyebarluaskan informasi melalui media cetak adalah cara
alternatif dari pemerintah untuk menyebarluaskan informasi, karena dengan media
cetak angka mudah tersebar informasi mengenai perda KTR tersebut. Sehingga
dalam sosialisasi nanti masyarakat tinggal memahami bahaya asap rokok dan
detail-detail perda KTR saja. Didalam perda dikatakan bahwa instansi harus
menyebarluaskan informasi melalui media elektronik, agar masyarakat lebih
mudah mengetahui perda KTR berlaku di Kabupaten Serang termasuk Kecamatan
Ciruas.
4.4.19 Jawaban Responden Pernyataan Ke-19 dan Ke-43
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai menjelaskan sudahkah masyarakat
melihat petugas kunjungan ke lokasi KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
35%
65%
Diagram 4.22 Melihat petugas kunjungan ke lokasi KTR untuk sosialisasi
Ya Tidak
103
Berdasarkan diagram 4.22 di atas, yang menjelaskan sudahkah masyarakat
melihat petugas kunjungan ke lokasi KTR untuk sosialisasi . Dalam hal ini
peneliti menanyakan juga kepada instansi terkait, agar menjadi alat untuk
menganalisis. Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya mendapat
presentase 35% dan yang menjawab tidak mendapat 65%. Peran serta petugas
dalam menerapkan perda KTR memang sangat penting, karena awal berjalannya
perda KTR perlu tenaga atau sumber daya manusia yang baik untuk melakukan
seperti sosialisasi dan membuat rencana-rencana lainnya. dilihat dari presentase
yang diperoleh disimpulkan banyak yang tidak melihat bahwa ada petugas yang
mengunjungi lokasi.
4.4.20 Jawaban Responden Pernyataan Ke-20
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat di
Kecamatan Ciruas mengenai sudahkah melihat petugas melakukan sosialisasi
dengan efektif tentang Perda KTR.
104
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.23 di atas dalam hitungan presentase menjelaskan
sudahkah masyarakat di Kecamatan Ciruas melihat petugas melakukan sosialisasi
dengan efektif. Apabila dihitung presentase angka yang diperoleh yang menjawab
ya berjumlah 32% dan yang menjawab tidak berjumlah 68%. sedangkan apabila
perorangan angka yang menjawab ya berjumlah 53 dan yang menjawab tidak
berjumlah 112. Dari deskripsi diagram dapat di simpulkan bahwa masyarakat
menilai sosialisasi yang dilakukan pemerintah belum efektif. Efektif dalam
sosialisasi dapat dilihat apakah masyarakat mengetahui perda KTR, apakah
masyarakat memahami perda KTR dan pemerintah cepat dalam mensosialisasikan
perda KTR, tetapi masyarakat banyak yang menilai belum efektif. Seharusnya
pemerintah lebih menyeluruh dan bisa menarik minat masyarakat dalam
menjalankan perda KTR.
4.4.21 Jawaban Responden Pernyataan Ke-21 dan Ke-37
32%
68%
Diagram 4.23 Melihat Petugas melakukan sosialisasi dengan
efektif
Ya
Tidak
105
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai sudah melihat petugas menegur atau
mengawasi di ruang lingkup KTR..
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.24 di atas, yang menjelaskan sudah melihat petugas
menegur atau mengawasi di ruang lingkup KTR . Dilihat di atas angka yang
diperoleh yang menjawab Ya memperoleh angka 16% dan yang yang menjawab
Tidak berjumlah 84%. Dalam peraturan di pemerintah harus diwajibkan
mengawasi jalannya perda KTR ini, berkoordinasi dengan satpol PP, lembaga
ataupun organisasi kemasyarakatan. Dilihat dari deskripsi dapat disimpulkan
bahwa masyarakat menilai masih kurangnya pengawasan dalam menjalankan
perda KTR, pemerintah banyak yg menjawab bahwa pemerintah sudah melakukan
pengawasan. Tetapi memang kurangnya pengawasan karena masih banyak
pelanggaran yang terjadi bahkan dalam ruang lingkup pemerintah masih terdapat
pelanggaran.
16%
84%
Diagram 4.24 Melihat petugas menegur atau mengawasi
Ya Tidak
106
4.4.22 Jawaban Responden Pernyataan Ke-22
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat di
Kecamatan Ciruas mengenai sudahkah melihat petugas melakukan pengendalian
Perda KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.25 di atas dalam hitungan presentase yang
menjelaskan sudahkah melihat petugas melakukan pengendalian dilokasi KTR.
Dapat dilihat angka yang diperoleh bahwa hanya 6% yang menjawab sudah
melakukan pengendalian, sehingga dapat dikatakan masih belum adanya
pengendalian yang dilakukan petugas. Didalam perda dimana instansi yang
melakukan pengawasan dan pengendalian adalah instansi yang memiliki tugas
pokok sesuai dengan ruang lingkup KTR. Disini masyarakat ciruas mengatakan
6%
94%
Diagram 4.25 Pengendalian Perokok
Ya
Tidak
107
hanya 6% yang menjawab bahwa pemerintah sudah melakukan pengendalian dari
100% sampel yang peneliti ambil.
4.4.23 Jawaban Responden Pernyataan Ke-23 dan Ke-44
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai sudah melihat petugas melakukan operasi
Tipiring (Tindak Pidana Ringan) di ruang lingkup KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.26 di atas, yang menjelaskan sudah melihat petugas
melakukan operasi Tipiring (Tindak Pidana Ringan) di ruang lingkup KTR .
Dalam hal ini peneliti menanyakan juga kepada instansi terkait, agar menjadi alat
untuk menganalisis. Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya
memperoleh angka 7% dan yang yang menjawab Tidak berjumlah 93%.. Dalam
perda KTR adanya operasi yaitu operasi TIPIRING (Tindak Pidana Ringan)
dimana orang yang melanggar perda KTR akan dikenakan tindakan pidana ringan.
7%
93%
Diagram 4.26 Operasi Tipiring
Ya Tidak
108
Tetapi dalam implementasinya Operasi Tipiring ini hanya berjalan 7% dari 100%
sehingga angka kecil, dan dapat disimpulkan bahwa pemerintah kurang
melakukannya Operasi Tipiring yang telah di atur dalam perda.
4.4.24 Jawaban Responden Pernyataan Ke-24 dan Ke-45
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai sudah melihat petugas melakukan sanksi
administratif di ruang lingkup KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.27 di atas, yang menjelaskan sudah melihat petugas
melakukan sanksi administratif di ruang lingkup KTR . Dalam hal ini peneliti
menanyakan juga kepada instansi terkait, agar menjadi alat untuk menganalisis.
10%
90%
Diagram 4.27 Sanksi Administratif terhadap Pelanggaran
Ya Tidak
109
Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh angka 10%
dan yang yang menjawab Tidak berjumlah 90%. Sanksi administratif diberikan
apabila ada anggota pemerintahan atau pegawai negeri yang melanggar perda
KTR ini, sanksi yang bisa berupa pemotongan gaji ataupun lainnya. Dilihat
diagram di atas bahwa presentase angka dari pernyataan ini, menggambarkan
masih belum diterapkannya sanksi-sanksi yang harusnya diberikan kepada yang
melanggar.
4.4.25 Jawaban Responden Pernyataan Ke-25
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat di
Kecamatan Ciruas mengenai sudahkah mengikuti sosialisasi yang dilakukan
petugas.
Sumber : Data Primer, 2017
31%
69%
Diagram 4.28 Sosialisasi yang dilakukan petugas
Ya Tidak
110
Berdasarkan diagram 4.28 di atas dalam hitungan presentase mengenai
apakah masyarakat mengikuti sosialisasi yang dilakukan petugas. Dalam hal ini
angka yang diperoleh dari jawaban Ya berjumlah 31% dan yang menjawab Tidak
hanya 69%. Sehingga bisa dikatakan, masyarakat di Kecamatan Ciruas masih
kurang berpartisipasi dalam menjalankan perda KTR, karena masih banyak yang
belum mengikuti sosialisasi tentang perda KTR ini. Kesimpulan dari deskripsi
diagram di atas bahwa banyak masyarakat Kecamatan Ciruas yang tidak
mengikuti sosialisasi tentang perda KTR, pemerintah seharusnya lebih dekat
kepada masyarakat dan lebih menyeluruh dalam sosialisasi agar masyarakat dapat
mengikuti sosialisasi dan mengetahui perda KTR.
4.4.26 Jawaban Responden Pernyataan Ke-26
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat di
Kecamatan Ciruas mengenai melapor atau masyarakat yang melanggar perda
KTR.
111
Sumber : Data Primer, 2017
Dilihat dari diagram 4.29 di atas mengenai apakah masyarakat pernah
melapor atau menegur orang yang melanggar perda KTR. Dalam hitungan
presentase di atas yang menjawab ya berjumlah 47% dan yang menjawab tidak
berjumlah 53%. Sehingga masyarakat yang berpartisipasi dalam jalannya perda
KTR hanya mencapai 47% sehingga dikatakan masih belum optimal. Kurangnya
partisipasi masyarakat juga dapat dilihat dari diagram di atas, karena angka yang
kurang dari 60%. Peran seta masyarakat disini juga memang sangat penting,
masyarakat apabila berpartisipasi dalam jalannya perda KTR di Kecamatan Ciruas
ini pasti akan berjalan baik, membantu petugas dalam melakukan pengawasan dan
melapor pelanggar-pelanggar perda KTR. Pemerintah harus memang benar-benar
bisa menarik partisipasi masyarakat agar kedepan perda KTR ini berjalan dengan
optimal.
4.4.27 Jawaban Responden Pernyataan Ke-27 dan Ke-46
47%
53%
Diagram 4.29 Melapor atau menegur yang melanggar perda
KTR
Ya
Tidak
112
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai sudah melihat petugas melakukan sanksi
administratif di ruang lingkup KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.30 di atas, yang menjelaskan sudah melihat petugas
melakukan sanksi administratif teguran lisan di ruang lingkup KTR. Dilihat di
atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh angka 15% dan yang
yang menjawab Tidak berjumlah 85%. Dalam perda KTR ada pasal yang
berbunyi apabila ada melanggar, akan di berikan sanksi administratif berupa
teguran lisan dan teguran tertulis, diagram di atas merupakan diagram yang
menjawab apakah petugas sudah melakukan sanksi administratif berupa teguran
lisan. Hasil penyebaran kuesioner disini banyak masyarakat yang belum meliihat
petugas melakukan sanksi administratif dapat dilihat dengan angka yang hanya
mencapai 15%.
15%
85%
Diagram 4.30 Sanksi Administratif teguran lisan
Ya Tidak
113
4.4.28 Jawaban Responden Pernyataan Ke-28 dan Ke-47
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai sudah melihat petugas melakukan sanksi
administratif di ruang lingkup KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.31 di atas, yang menjelaskan sudah melihat petugas
melakukan sanksi administratif teguran tertulis di ruang lingkup KTR . Dilihat di
atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh angka 7% dan yang
menjawab Tidak 93%.. Diagram ini menjelaskan bagaimana instansi memberikan
sanksi administratif berupa teguran tertulis. Sanksi administratif berupa teguran
tertulis diberikan kepada pegawai negeri atau honorer yang melanggar perda
KTR. Dimana apabila pegawai melanggar perda KTR pertama petugas melakukan
sanksi administratif berupa teguran lisan terlebih dahulu, apabila masih melanggar
akan diberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis, teguran tertulis ini
akan dikumpulkan instansi terkait yang dimana akan diberikan kepada Sekda
7%
93%
Diagram 4.31 Sanksi Administratif teguran tertulis
Ya Tidak
114
setiap 3 bulan sekali. Sehingga dari deskripsi diatas menyatakan jawaban yang
diberikan pemerintah, tidak sesuai sama hasil yang ada dilapangan, yang ternyata
masih banyak yang belum mendengar sudah ada yang diberikan sanksi
administratif berupa teguran tertulis.
4.4.29 Jawaban Responden Pernyataan Ke-29
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat di
Kecamatan Ciruas mengenai sosialisasi yang dilakukan petugas apakah menarik
minat masyarakat untuk menjalankan perda KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.32 di atas yang menjelaskan mengenai sosialisasi
yang dilakukan petugas apakah menarik minat masyarakat untuk menjalankan
perda KTR. Dalam hitungan presentase di atas jumlah yang diperoleh dari
jawaban Ya berjumlah 32% dan yang menjawab tidak berjumlah 68% sehingga
32%
68%
Diagram 4.32 Sosialisasi petugas menarik untuk mengikuti
Kebijakan
Ya Tidak
115
kesimpulan dari pernyataan ini bahwa sosialisasi yang dilakukan petugas masih
belum menarik minat masyarakat untuk menjalankan perda KTR. Masyarakat
sulit menerima perda KTR ini karena rata-rata penduduk Kecamatan Ciruas
kondisi perekonomiannya menengah kebawah, tingkat pendidikannya juga
rendah, dan kebanyakan masyarakatnya perokok. Sulit untuk melepas kebiasaan
merokok, pemerintah seharusnya memberi cara agar masyarakat tidak merokok
lagi, agar perda KTR ini juga berjalan dengan optimal.
4.4.30 Jawaban Responden Pernyataan Ke-30
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat di
Kecamatan Ciruas mengenai sosialisasi yang dilakukan petugas apakah menarik
minat masyarakat untuk menjalankan perda KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
30%
70%
Diagram 4.33 Narasumber sudah cukup kompeten
Ya Tidak
116
Berdasarkan diagram 4.33 di atas yang menjelaskan mengenai narasumber
dalam melakukan sosialisasi sudah cukup kompeten. Dalam hitungan presentase
angka yang diperoleh menjawab Ya berjumlah 30% dan yang menjawab Tidak
berjumlah 70%. Diagram ini bagaimana penilaian masyarakat terhadap sosiaisasi
yang dilakukan petugas mengenai narasumber yang berkompeten saat melakukan
sosialisasi. Sehingga dikatakan masyarakat menilai bahwa narasumber belum
berkompeten dalam melakukan sosialisasi atau bisa mungkin karena masyarakat
tidak mengikuti sosialisasi yang dilakukan petugas.
4.4.31 Jawaban Responden Pernyataan Ke-31 dan Ke-42
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai sudah melihat petugas merokok di ruang
lingkup KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
87%
13%
Diagram 4.34 Melihat petugas Merokok
Ya Tidak
117
Berdasarkan diagram 4.34 di atas, yang menjelaskan sudah melihat petugas
melakukan sanksi administratif teguran tertulis di ruang lingkup KTR . Dilihat di
atas angka yang diperoleh yang menjawab Tidak dari masyarakat dan instansi
memperoleh angka 87% dan yang menjawab Ya 13%.. Diagram ini menjelaskan
apakah dengan adanya perda KTR ini tidak hanya masyarakat yang diwajibkan
untuk menjalankan perda KTR ini tetapi pemerintah juga diwajibkan. Kesimpulan
yang dapat diambil dimana banyak masyarakat dan instansi menjawab tidak
melihat petugas yang merokok diruang lingkup KTR, sehingga pada penyataan ini
pemerintah sudah baik ikut menjalankan perda KTR.
4.4.32 Jawaban Responden Pernyataan Ke-32
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat di
Kecamatan Ciruas mengenai pernah melihatkah petugas mengganti stiker/
sepanduk yang rusak.
Sumber : Data Primer, 2017
0%
100%
Diagram 4.35 Petugas mengganti stiker/spanduk
Ya Tidak
118
Dilihat dari diagram 4.35 di atas dalam hitungan presentase mengenai
apakah masyarakat pernah melihat petugas mengganti stiker/spanduk yang rusak,
menunjukan bahwa dari responden 165 masyarakat menyatakan bahwa tidak
pernah melihat petugas mengganti stiker/ spanduk mengenai perda KTR. Dapat
dilihat 100% masyarakat menjawab tidak. Dalam perda KTR tempat yang
dilarang untuk merokok harus diberi tanda-tanda bahwa kawasan ini tanpa asap
rokok dan ada stiker-stiker larangan untuk merokok. Dalam hal ini peneliti ingin
tahu, apabila ada stiker/spanduk yang rusak pemerintah menggantinya. Setelah
peneliti sebar pernyataan dimana masyarakat tidak pernah melihat petugas
mengganti stiker, bahkan tidak pernah memasang tanda-tanda larangan merokok.
4.4.33 Jawaban Responden Pernyataan Ke-33 dan Ke-48
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai petugas melakukan pidana kurungan 3
hari atau denda Rp.50.000
119
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.36 di atas, yang menjelaskan sudah melihat petugas
melakukan pidana kurungan 3 hari atau denda Rp.50.000 terhadap orang yang
melanggar perda KTR. Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya
memperoleh angka 1% dan yang menjawab Tidak 99%. Perda KTR merupakan
peraturan yang mengatur untuk tidak merokok di tempat yang sudah ditentukan,
oleh karena orang yang melanggar akan dikenakan pidana kurungan selama 3 hari
atau denda Rp.50.000. Pada diagram ini berisi pernah melihatkan masyarakat
melihat petugas yang melakukan denda kepada masyarakat yang melanggar.
Dapat dilihat bahwa jawaban masyarakat tidak pernah melihat petugas menindak
orang yang melanggar dengan denda sebesar Rp. 50.000. dan instansi yang terkait
hanya 2 orang yang menjawab bahwa instansi pernah melihat orang diberi denda
akibat melanggar.
4.4.34 Jawaban Responden Pernyataan Ke-34 dan Ke-49
1%
99%
Diagram 4.36 Petugas melakukan pidana kurungan 3 hari atau denda
Rp.50000
Ya Tidak
120
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai petugas melakukan pidana kurungan 7
hari atau denda Rp.5.000.000.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.37 di atas, yang menjelaskan sudah melihat petugas
melakukan pidana kurungan 3 hari atau denda Rp.5.000.000 terhadap orang/
badan yang melanggar perda KTR. Dilihat di atas angka yang diperoleh yang
menjawab Ya memperoleh angka 1% dan yang menjawab Tidak 99%. Diagram
ini dimana menjelaskan apabila badan yang melanggar perda KTR
mempromosikan rokok atau berjualan di ruang lingkup KTR akan diberi denda
pidana 7 hari dan denda sebesar Rp.5.000.000. Dapat disimpulkan instansi dan
masyarakat belum melihat ada yang diberika pidana tersebut.
4.4.35 Jawaban Responden Pernyataan Ke-38
1%
99%
Diagram 4.37 Petugas melakukan pidana kurungan 7 hari dan dendan
Rp.5.000.000
Ya Tidak
121
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab atas jalannya perda KTR mengenai program khusus dalam
menerapkan perda KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.38 di atas dalam hitungan presentase mengenai
adakah program khusus dalam menerapkan perda KTR. Dalam hitungan
presentase bahwa hasil dari kuesioner dari pernyataan ini menunjukan bahwa
yang menjawab ya berjumlah 43% dan yang menjawab tidak berjumlah 57%.
Sehingga dapat disimpulkan SKPD terkait belum mengadakan program khusus
dalam jalannya perda KTR. Program khusus biasanya ada dalam menjalankan
perda, kuesioner pernyataan nomor 38 ini ingin tahu bagaimana instansi
menjalankan perda KTR, apakah ada program khusus dalam menjalankannya,
misalnya seperti mengadakan program jalan santai dengan mengarah kepada
perda KTR.
43%
57%
Diagram 4.38 Program khusus dalam menerapkan perda KTR
Ya Tidak
122
4.4.36 Jawaban Responden Pernyataan Ke-39
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab atas jalannya perda KTR mengenai anggaran khusus untuk
menjalankan perda KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.39 di atas dalam hitungan presentase mengenai
adakah anggaran khusus untuk menjalankan perda KTR. Dalam hitungan
presentase bahwa hasil dari kuesioner dari pernyataan ini menunjukan bahwa
yang menjawab ya berjumlah 71% dan yang menjawab tidak berjumlah 29%.
Sehingga dapat disimpulkan SKPD terkait sudah adanya anggaran khusus dalam
menjalankan perda KTR. Suatu kebijakan pasti adanya anggaran khusus dalam
menjalankannya tidak asal menggunakan anggaran yang sudah dipakai untuk
menjalankan hal lain. Oleh karena itu pernyataan nomor 39 menjawab sudah
71%
29%
Diagram 4.39 Anggaran khusus untuk menjalankan perda KTR
Ya Tidak
123
adakah anggaran khusus di setiap instansi terkait dalam melakukan penerapan,
termasuk pengawasan dan pengendalian.
4.4.37 Jawaban Responden Pernyataan Ke-40
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab atas jalannya perda KTR mengenai program kerja untuk
mengganti stiker atau spanduk yang rusak.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.40 di atas dalam hitungan presentase mengenai
adakah program kerja untuk mengganti stiker atau spanduk yang rusak. Dalam
hitungan presentase bahwa hasil dari kuesioner dari pernyataan ini menunjukan
bahwa yang menjawab ya berjumlah 71% dan yang menjawab tidak berjumlah
29%. Sehingga dapat disimpulkan SKPD terkait sudah adanya program kerja
untuk mengganti stiker/ spanduk yang rusak. Agar penerapan perda KTR berjalan
dengan optimal, pastinya sosialisasi atau penyebaran informasi mengenai KTR
71%
29%
Diagram 4.40 Program kerja untuk mengganti stiker/ spanduk
Ya Tidak
124
harus selalu ada, karena agar semua masyarakat mengetahui bahwa adanya perda
KTR di Kabupaten Serang termasuk Kecamatan Ciruas. Dengan cara
menyebarluaskan informasi ke seluruh tempat dengan spanduk maupun stiker-
stiker tanda larangan merokok akan mampu perda KTR diketahui masyarakat
tidak hanya melalui sosialisasi langsung. Oleh karena itu pernyataan nomor 40
menjawab adakah program khusus untuk mengganti stiker/ spanduk yang rusak.
4.4.38 Jawaban Responden Pernyataan Ke-41
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden SKPD yang
bertanggung jawab atas jalannya perda KTR mengenai menerapkan perda KTR
sesuai Petunjuk Teknis.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.41 di atas dalam hitungan presentase mengenai
menerapkan perda KTR sesuai Petunjuk Teknis. Dalam hitungan presentase
86%
14%
Diagram 4.41 Menerapkan perda KTR sesuai Petunjuk Teknis
Ya Tidak
125
bahwa hasil dari kuesioner dari pernyataan ini menunjukan bahwa yang menjawab
ya berjumlah 86% dan yang menjawab tidak berjumlah 14%. Setiap perda yang
ada rata-rata memiliki petunjuk teknis yang biasanya diatur dalam Perbup.
Petunjuk teknis ini berisi bagaimana pemerintah harus menjalankan perda sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perbup. Misalnya, dalam Perbup
KTR pemerintah diwajibkan memasang tanda-tanda larangan merokok di setiap
tempat yang dilarang untuk merokok yang sesuai ukuran yang sudah diatur.
Diagram diatas menjawab apakah instansi sudah menerapkan perda sesuai dengan
petunjuk teknis, jawabannya 86% menjawab sudah, tetapi dilihat hasil dilapangan
masih banyak sekali permasalahan yang tidak sesuai dengan petunjuk teknis.
Sehingga dapat disimpulkan SKPD terkait sudah menerapkan perda KTR sesuai
dengan petunjuk teknis tetapi tidak sesuai dengan kondisi dilapangan.
4.4.39 Jawaban Responden Pernyataan Ke-50 dan Ke-67
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat pengumuman “Anda Memasuki
Kawasan Tanpa Rokok”.
126
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.42 di atas, yang menjelaskan sudah melihat
pengumuman “Anda Memasuki Kawasan Tanpa Rokok” di ruang lingkup KTR.
Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh angka 8%
dan yang menjawab Tidak 92%. Dalam perbup yang mengatur petunjuk teknis
pelaksanaan perda KTR, dimana pasal 2 ayat 2 berisi setiap tempat yang dilarang
untuk merokok harus ada tanda “ANDA MEMASUKI KAWASAN TANPA
ROKOK”, hasil penelitian dilapangan hanya 8% yang terdapat tempat yang ada
tanda larangan tersebut, sehingga dapat dikatakan implementasi perda KTR di
Kecamatan Ciruas yang dilakukan pemerintah belum berjalan dengan baik.
4.4.40 Jawaban Responden Pernyataan Ke-51 dan Ke-68
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat pengumuman “Dilarang
merokok”.
8%
92%
Diagram 4.42 Melihat pengumuman "ANDA MEMASUKI KAWASAN TANPA
ROKOK
Ya Tidak
127
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.43 di atas, yang menjelaskan menjelaskan sudah
melihat pengumuman “Anda Memasuki Kawasan Tanpa Rokok” di ruang lingkup
KTR. Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh
jumlah 46% dan yang menjawab Tidak 54%. Tanda bahwa tempat dilarang
merokok terdapat dalam petunjuk teknis penerapan perda KTR. Pernyataan ini
menjawab apakah tempat-tempat yang dilarang untuk merokok di Kecamatan
Ciruas sudah ada tanda-tanda “Dilarang Merokok” disetiap pintu masuk maupun
di ruang-ruang. Dapat dilihat dari deskripsi diagram diatas bahwa 46% dari
sampel 179 menjawab bahwa setiap tempat yang dilarang merokok sudah ada
tanda-tanda dilarang merokok, sehinga kesimpulannya masih banyak tempat yang
dilarang untuk merokok belum ada tanda dilarang untuk merokok.
4.4.41 Jawaban Responden Pernyataan Ke-52 dan Ke-69
46%
54%
Diagram 4.43 melihat pengumuman "Dilarang merokok"
Ya Tidak
128
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai mendengar pengumuman larangan
merokok berupa suara.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.44 di atas, yang menjelaskan menjelaskan sudah
mendengar pengumuman larangan merokok berupa suara di ruang lingkup KTR.
Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh jumlah 5%
dan yang menjawab Tidak 95%. Didalam perda KTR tidak hanya berupa
pengumuman yang berbentuk stiker/ spanduk maupun tulisan lainnya, ada juga
pengumuman yang berupa suara, suara peringatan bahwa tempat ini dilarang
untuk merokok. Pernyataan ini ditujukan kepada instansi dan tempat yang
dilarang untuk merokok di Kecamatan Ciruas, dimana hanya 5% yang menjawab
sudah ada tanda peringatan berupa suara.
4.4.42 Jawaban Responden Pernyataan Ke-53 dan Ke-70
5%
95%
Diagram 4.44 Pengumuman Larangan Merokok berupa suara
Ya Tidak
129
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat pengumuman dasar hukum atau
sanksi yang dikenakan.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.45 di atas, yang menjelaskan menjelaskan sudah
melihat pengumuman dasar hukum atau sanksi yang dikenakan di ruang lingkup
KTR. Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh
jumlah 39% dan yang menjawab Tidak 61%. Disini peneliti ingin tahu apakah
masyarakat pernah melihat dasar hukum pemberlakuan perda KTR dan sanksi
apabila melanggar perda KTR, dimana hasil di jawaban pernyataan ini dapat
disimpulkan masih banyak masyarakat yang belum melihat pengumuman dasar
hukum dan sanksi mengenai perda KTR, karena memang sedikit spanduk-
spanduk pengumuman bahwa diberlakukannya perda KTR.
4.4.43 Jawaban Responden Pernyataan Ke-54 dan Ke-71
39%
61%
Diagram 4.45 Pengumuman dasar hukum atau sanksi yang dikenakan
Ya Tidak
130
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat pengumuman ditempatkan
disemua pintu utama, setiap pintu rapat dan setiap pintu masuk bangunan
bertingkat.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.46 di atas, yang menjelaskan menjelaskan sudah
melihat pengumuman ditempatkan disemua pintu utama, setiap pintu rapat dan
setiap pintu masuk bangunan bertingkat. di ruang lingkup KTR.. Dilihat di atas
angka yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh jumlah 14% dan yang
menjawab Tidak 86%. Dalam perda KTR setiap bangunan yang dilarang untuk
merokok wajib memberi tanda-tanda dilarang merokok disetiap pintu masuk pintu
utama, ruang rapat dan setiap pintu masuk bangunan bertingkat. Pada pernyataan
ini menjawab apakah masyarakat melihat tanda-tanda larangan merokok di
tempatkan di tempat yang sudah ditentukan, hanya 15% yang menjawab ya,
15%
85%
Diagram 4.46 Pengumuman ditempatkan dipintu utama, ruang rapat, dan
setiap pintu masuk bangunan bertingkat
Ya Tidak
131
sehingga kesimpulannya banyak masyarakat yang tidak melihat adanya tanda-
tanda larangan merokok, karena memang tidak ada.
4.4.44 Jawaban Responden Pernyataan Ke-55 dan Ke-72
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat sudah tidak adanya asbak di
ruang lingkup KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.47 di atas, yang menjelaskan menjelaskan sudah
melihat sudah tidak adanya asbak di ruang lingkup KTR. Dilihat di atas angka
yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh jumlah 53% dan yang menjawab
Tidak 47%. Pada pernyataan ini menjawab apakah disuatu ruangan yang dilarang
merokok sudah tidak ada lagi asbak. Karena dalam Perbup petunjuk teknis
pelaksanaan diatur bahwa diruangan tempat dilarang merokok adanya asbak.
Sehingga pada hasil jawaban pernyataan diatas, bahwa hasil pernyataan
53%
47%
Diagram 4.47 sudah tidak adanya asbak
Ya Tidak
132
menyatakan 53% menjawab tidak adanya asbak dalam ruangan kawasan tanpa
rokok. Masih dikatakan kurang dari angka yang sudah di hipotesiskan.
4.4.45 Jawaban Responden Pernyataan Ke-56 dan Ke-73
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat sudah tidak adanya iklan,
promosi, dan sponsor.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.48 di atas, yang menjelaskan menjelaskan sudah
tidak adanya iklan, promosi, dan sponsor di ruang lingkup KTR. Dilihat di atas
angka yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh jumlah 56% dan yang
menjawab Tidak 44%. Dalam perda KTR ada pasal yang mengatur dimana setiap
tempat yang dilarang untuk merokok tidak boleh adanya spanduk iklan, sponsor
dan promosi rokok. Peeliti disini menjawab dari beberapa tempat yang dilarang
untuk merokok yang sudah ditentukan sebelumnya, dimana hasilnya 56% dari
56%
44%
Diagram 4.48 Sudah tidak adanya iklan,promosi, dan sponsor
Ya Tidak
133
hasil 179 sampel menyatakan bahwa sudah tidak ada iklan, sponsor dan promosi
rokok.
4.4.46 Jawaban Responden Pernyataan Ke-57 dan Ke-74
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai masih melihat yang menjual produk
rokok.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.49 di atas, yang menjelaskan sudah masih melihat
yang menjual produk rokok di ruang lingkup KTR . Dilihat di atas angka yang
diperoleh yang menjawab Tidak dari masyarakat dan instansi memperoleh angka
47% dan yang menjawab Ya 53%. Dalam perda KTR diatur dimana tempat yang
dilarang untuk merokok tidak boleh menjual rokok. Yang tujuannya ruang
lingkup yang dilarang merokok jauh dari berbagai bentuk rokok, bebas dari asap
rokok atau bahan tembakau lainnya. Diagram di atas ini menjawab apakah masih
46%
54%
Diagram 4.49 Masih melihat yang menjual produk rokok
Ya Tidak
134
ada yang menjual rokok di ruang lingkup KTR, hasilnya 77 dari 179 tempat yang
sudah ditentukan peneliti mengatakan tidak adanya yang menjual rokok. Sehingga
instansi seharusnya bisa benar-benar menjalankan perda KTR dengan lebih baik
lagi, mengawasi lingkungan dan bertanggung jawab kepada tempat-tempat yang
dilarang untuk merokok.
4.4.47 Jawaban Responden Pernyataan Ke-58 dan Ke-75
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai masih melihat orang yang merokok.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.50 di atas, yang menjelaskan sudah masih melihat
orang yang merokok dalam ruang lingkup KTR. Dilihat di atas angka yang
diperoleh yang menjawab Tidak memperoleh angka 26% dan yang menjawab Ya
74%. Pada pernyataan ini bersifat negatif sehingga yang menjawab Ya
memperoleh nilai (nol) dan yang menjawab tidak memperoleh angka 1 (satu).
26%
74%
Diagram 4.50 masih melihat orang yang merokok
Tidak Ya
135
Pada diagram ini dapat disimpulkan ternyata masih banyak yang melihat orang
yang merokok di ruang lingkup KTR.
4.4.48 Jawaban Responden Pernyataan Ke-59 dan Ke-76
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat tanda-tanda dilarang merokok
diangkutan umum berukuran 11cm x 17cm.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.51 di atas, yang menjelaskan menjelaskan sudah
melihat tanda-tanda dilarang merokok diangkutan umum berukuran 11cm x 17cm.
Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya da memperoleh jumlah
5% dan yang menjawab Tidak 95%. Tempat yang dilarang merokok terdapat 9
salah satunya yaitu angkutan umum, pada diagram ini menjawab apakah
masyarakat sudah melihat tanda larangan merokok yang khusus pada angkutan
5%
95%
Diagram 4.51 melihat tanda" dilarang merokok diangkutan umum berukuran
11cm x 17cm
Ya Tidak
136
umum yang berukuran 11cm x 17cm. Hasilnya banyak masyarakat yang belum
melihat, dan hanya 5% yang melihat.
4.4.49 Jawaban Responden Pernyataan Ke-60 dan Ke-77
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat sudah adanya tempat fasilitas
khusus merokok di ruang lingkup KTR.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.52 di atas, yang menjelaskan menjelaskan sudah
melihat sudah adanya tempat fasilitas khusus merokok di ruang lingkup KTR.
Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya d memperoleh jumlah 4%
dan yang menjawab Tidak 96%. Perda kawasan tanpa tanpa rokok dalam
aturannya menyediakan tempat khusus merokok yang ditempatkan ditempat kerja
maupun tempat umum yang sesuai ketentuan pada Perbup. Diagram diatas adalah
hasil pernyataan dimana apakah masyarakat melihat sudah adanya tempat khusus
4%
96%
Diagram 4.52 melihat sudah adanya tempat fasilitas khusus merokok
Ya Tidak
137
merokok di tempat umum dan tempat kerja. Namun hanya 4% masyarakat yang
melihat sudah adanya ruang khusus merokok.
4.4.50 Jawaban Responden Pernyataan Ke-61 dan Ke-78
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat tempat khusus merokok memiliki
luas 2M x 1.5M.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.53 di atas, yang menjelaskan melihat tempat khusus
merokok memiliki luas 2M x 1.5M.. Dilihat di atas angka yang diperoleh yang
menjawab Ya memperoleh jumlah 2% dan yang menjawab Tidak 98%.
Kesimpulan dari hasil pernyataan apakah ruang khusus merokok memiliki ukuran
2M x 1,5M, ternyata hanya 2% sehingga dapat dikatakan kurang implementasi
perda KTR mengenai ruang khusus merokok.
2%
98%
Diagram 4.53 melihat tempat khusus merokok memiliki luas
2M x 1,5M
Ya Tidak
138
4.4.51 Jawaban Responden Pernyataan Ke-62 dan Ke-79
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat tempat khusus merokok sudah
ada tanda petunjuk bahwa tempat khusus meroko (smoking area).
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.54 di atas, yang menjelaskan melihat tempat khusus
merokok sudah ada tanda petunjuk bahwa tempat khusus meroko (smoking area).
Dilihat di atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh jumlah 4%
dan yang menjawab Tidak 96%. Tempat khusus merokok merupakan tempat
dimana orang khusus perokok, yang dalam peraturan daerah tempat khusus
merokok di beri tanda “Smoking Area”. Diagram ini menjawab apakah di ruang
khusus merokok sudah adanya tanda tersebut. Hasil jawaban responden
menyatakan hanya 4%. Sehingga dikatakan masyarakat belum melihat banyaknya
tempat khusus merokok di Kecamatan Ciruas.
4%
96%
Diagram 4.54 Sudah ada petunjuk bahwa Smoking Area
Ya Tidak
139
4.4.52 Jawaban Responden Pernyataan Ke-63 dan Ke-80
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat tempat khusus merokok sudah
dilengkapi data atau informasi bahaya merokok.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.55 di atas, yang menjelaskan sudah melihat tempat
khusus merokok sudah dilengkapi data atau informasi bahaya merokok. Dilihat di
atas angka yang diperoleh yang menjawab Ya memperoleh jumlah 0% dan yang
menjawab Tidak 100%. Didalam perda KTR dinyatakan bahwa dalam tempat
khusus merokok wajib di isi informasi dan data tentang bahaya asap rokok.
Mungkin akan bisa menyadarkan masyarakat agar tidak baiknya merokok.
Kesimpulan dari diagram diatas bahwa responden menyatakan masyarakat tidak
ada yang melihat bahwa dalam ruang khusus merokok terdapat informasi dan data
mengenai hal tersebut.
1%
99%
Diagram 4.55 Sudah dilengkapi data atau informasi bahaya
merokok
Ya Tidak
140
4.4.53 Jawaban Responden Pernyataan Ke-64 dan Ke-81
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat tempat khusus merokok terpisah
dari gedung/ruangan utama.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.56 di atas, yang menjelaskan sudah melihat tempat
khusus merokok terpisah dari gedung/ruangan utama. Dilihat di atas angka yang
diperoleh yang menjawab Ya memperoleh jumlah 3% dan yang menjawab Tidak
97%. Apabila kita melihat dari angka perorangan, angka yang menjawab Ya dari
masyarakat 0 dan yang Tidak ada 165 dari 165 responden, sedangkan instansi
yang menjawab Ya berjumlah 6 orang sedangkan yang Tidak 8 orang dari 14
responden. Dalam menempatkan ruang khusus merokok tidak asal saja, sudah ada
yang mengatur bagaimana penempatan ruang khusus merokok harus terpisah
gedung yang digunakan. Dalam penelitian ini hanya instansi terkaitlah yang
3%
97%
Diagram 4.56 tempat khusus merokok terpisah dari gedung/ruangan
Ya Tidak
141
memiliki ruang khusus meroko yang jauh dari gedung sedangkan di Kecamatan
Ciruas tidak adanya ruang khusus merokok.
4.4.54 Jawaban Responden Pernyataan Ke-65 dan Ke-82
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat tempat khusus merokok jauh dari
pintu masuk keluar.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.57 di atas, yang menjelaskan sudah melihat tempat
khusus merokok jauh dari pintu masuk keluar. Dilihat di atas angka yang
diperoleh yang menjawab Ya memperoleh jumlah 4% dan yang menjawab Tidak
96%. Ketentuan lainnya ini adalah ruang khusus merokok harus jauh dari pintu
masuk ruangan, sehingga udara yang keluar dari ruang khusus merokok tidak
terhisap oleh orang yang hendak masuk gedung. Kesimpulan dari diagram di atas
4%
96%
Diagram 4.57 Ruang khusus merokok jauh dari pintu masuk
keluar.
Ya Tidak
142
bahwa hanya 4% yang menyatakan bahwa ruang khusus merokok tidak ada dekat
pintu masuk, sehingga dikatakan masih kurang.
4.4.55 Jawaban Responden Pernyataan Ke-66 dan Ke-83
Berikut merupakan gambaran atas jawaban responden masyarakat
Kecamatan Ciruas dan SKPD mengenai melihat tempat khusus merokok jauh dari
tempat orang berlalu-lalang.
Sumber : Data Primer, 2017
Berdasarkan diagram 4.58 di atas, yang menjelaskan sudah melihat tempat
khusus merokok jauh dari tempat orang berlalu-lalang. Dilihat di atas angka yang
diperoleh yang menjawab Ya memperoleh jumlah 4% dan yang menjawab Tidak
96%. Dilihat diagram diatas adalah ketentuan akhir dari ruang khusus merokok
yang telah di atur dalam perda KTR yang dimana ruang khusus merokok harus
jauh dari orang berlalu lalang. Hasil data responden mengatakan bahwa hanya 4%
4%
96%
Diagram 4.58 Tempat khusus merokok jauh dari tempat orang
berlalu-lalang.
Ya Tidak
143
yang menyatakan bahwa ruang khusus merokok jauh dari tempat orang berlalu-
lalang, dan dapat dikatakan masih kurang berjalan dengan optimal.
4.5 Pengujian Hipotesis
Penelitian mengenai Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten
Serang tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah Kecamatan Ciruas, memiliki
hipotesis sebagai berikut :
Ho : µ < 60%
“Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah Kecamatan Ciruas yang sesuai dengan Perda
dan Perbub tentang petunjuk teknik pelaksanaan tercapai lebih rendah sama
dengan 60%”
Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat
signifikasi dari hipotesis yang diajukan. Berdasarkan metode penelitian, maka
pada tahap pengujian hipotesis peneliti ini, peneliti menggunakan rumus t-test
satu sampel. Adapun penghitungan pengujian hipotesis tersebut, yaitu sebagai
berikut.
Berdasarkan data penelitian yang diperoleh, maka skor ideal yang diperoleh
adalah 1 x 179 x 46 = 8.234, karena dalam penelitian ini peneliti menggunakan
skala guttman (Ya memperoleh 1 dan Tidak memperoleh 0). (179 = jumlah
anggota sampel yang dijadikan responden). (46 = jumlah pernyataan yang
ditanyakan kepada setiap responden). Sedangkan untuk skor penelitian (dilihat
dari tabel distribusi data) adalah 1585 dengan demikian skor “Evaluasi
144
Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang tentang Kawasan Tanpa Rokok
di Wilayah Kecamatan Ciruas adalah 1.585 : 8.234 = 0,19 maka dalam persentase
menjadi 19%.
Selanjutnya untuk uji hipotesis menggunakan rumus uji t-test satu sampel.
Skor ideal untuk Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang
tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah Kecamatan Ciruas adalah 1 x 179 x 46
= 8.234 (1 = nilai tertinggi dari setiap jawaban yang dinyatakan pada responden
masyarakat Kecamatan Ciruas yang termasuk kriteria skor berdasarkan pada skala
Guttman). 179 = jumlah sampel yang dijadikan responden. 46 = jumlah
pernyataan yang ditanyakan kepada responden). Dan nilai mean/ nilai rata-rata
adalah 8.234 : 179 = 46. Sehingga untuk Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah
Kabupaten Serang tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah Kecamatan Ciruas
maksimal mencapai 60% nilai yang dihipotesiskan 0,60 x 46 = 27,6. Sedangkan
untuk perhitungan hipotesis statistiknya adalah sebagai berikut : Ho untuk
memprediksi µ lebih kecil atau sama dengan 60% dari skor maksimal.
Ho = µ ≤ 60% ≤ 0,60
Ha = µ > 60% > 0,60
Pengujian Hipotesis menggunakan rumus t-test satu sampel dengan uji pihak kiri
adalah sebagai berikut :
Diketahui :
µ0 = 27,6
S = 6,10 (dilihat dari std.deviation di spss)
145
n = 179
Ditanya : t?
Jawab :
√
√
Harga t hitung tersebut selanjutnya dibandingkan dengan harga t tabel
dengan derajat kebebasan (dk) = n – 1 = 179 – 1 = 178 dan taraf kesalahan α =
5% untuk uji satu pihak (one tail test) maka harga t tabelnya yaitu = 1,653.
Karena harga t hitung lebih kecil dari pada t tabel (-91 < 1,653) dan jatuh pada
penerimaan (H0, maka hipotesis nol (H0) diterima dan hipotesis alternatif (Ha)
ditolak. Harga ini dapat ditunjukan pada gambar 4,2 harga -91 terletak pada
daerah penerimaan H0 berikut adalah gambar kurva daerah penerimaan.
146
-41,6 1,653
Gambar 4.1 Kurva Penerimaan dan Penolakan Hipotesis
4.6 INTERPRETASI HASIL PENELITIAN
Interpretasi dari penelitian yang berjudul Evaluasi Implementasi Peraturan
Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok
di Wilayah Kecamatan Ciruas memiliki hal yang sangat utama, yaitu menjawab
rumusan masalah penelitian sebagai hipotesis penelitian. Rumusan masalah untuk
responden masyarakat Kecamatan Ciruas pada penelitian adalah “Bagaimana
Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014
Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kecamatan Ciruas?”
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah tersebut,
berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus t test satu sampel dengan
uji satu pihak (one tail test) bahwa harga rhitung lebih besar (≤) dari harga ttabel
untuk responden masyarakat Kecamatan Ciruas maka hal ini dapat diartikan
bahwa Ho diterima dan Ha ditolak.
Daerah
Penerima
Daerah
Penerimaan H0
147
Berdasarkan data yang diperoleh, maka skor maksimal yang diperoleh
adalah 1 x 179 x 46 = 8.234 (1= nilai tertinggi dari setiap jawaban yang
dinyatakan pada responden yang termasuk kriteria skor berdasarkan pada skala
Guttman). 179 = jumlah sampel yang dijadikan responden dari masyarakat
Kecamatan Ciruas. 46= jumlah pernyataan yang ditanyakan kepada responden).
Sedangkan untuk skor penelitian (dilihat dilampiran tabel distribusi data) adalah
sebesar 1.585. Dengan demikian skor “Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah
Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok di
Wilayah Kecamatan Ciruas” adalah 1.585 : 8.234 = 0,19 maka dalam presentase
menjadi 19%. Interpretasi yang tepat untuk menjawab rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang
Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah Kecamatan
Ciruas hanya mencapai angka 19%. Hal ini berarti Perda kawasan tanpa rokok
tersebut belum berjalan dengan baik. Karena pada pelaksanaan masih banyak
masyarakat yang merokok di ruang lingkup kawasan tanpa rokok dan masih
banyak tempat yang dilarang merokok tidak ada peringatan bahwa tempat tersebut
dilarang untuk merokok.
4.7 PEMBAHASAN
4.7.1 Bagaimana Hasil Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah
Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok Di Kecamatan Ciruas?
148
Pembahasan mengenai uji hipotesis dimana dalam pengujian tersebut
didapat hipotesis nol (H0) diterima dan hipotesis alternatif (Ha) di tolak. Hasil ini
memberikan arti bahwa Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten
Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Di Kecamatan
Ciruas dengan responden masyarakat Kecamatan Ciruas baru mencapai 19%. Hal
ini menandakan bahwa ternyata pelaksanaan program tersebut di Kecamatan
Ciruas hingga tahun 2017 belum berjalan dengan baik. Hasil ini diperkuat
berdasarkan hasil wawancara dengan responden dari masyarakat Kecamatan
Ciruas ternyata masih banyak masyarakat yang belum mengetahui Perda Nomor 9
Tahun 2014 dan juga memahami isi Perda tersebut. Sehingga isi maupun makna
dari Perda Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok belum terserap
dengan baik oleh masyarakat Kecamatan Ciruas.
Hasil perolehan skor tersebut didapat berdasarkan perhitungan yang telah
dilakukan dengan menggunakan data yang diperoleh dari masyarakat, skor
maksimal instrumen adalah 1 x 179 x 46 = 8.234 (1= nilai tertinggi dari setiap
jawaban yang dinyatakan pada responden yang termasuk kriteria skor berdasarkan
pada skala Guttman). 179 = jumlah sampel yang dijadikan responden dari
masyarakat Kecamatan Ciruas. 46 = jumlah pernyataan yang ditanyakan kepada
responden). Sedangkan untuk skor penelitian (dilihat dilampiran tabel distribusi
data) adalah sebesar 1585. Dengan demikian skor “Evaluasi Implementasi
Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan
Tanpa Rokok di Kecamatan Ciruas” adalah 1585:14.857 = 0,19 maka dalam
149
presentase menjadi 19%. Dimana presentase skor hasil penelitian dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel 4.3
Indikator Skor Hasil Penelitian
No. Nilai Penjelasan
1 1% - 20% Tidak Baik
2 21% - 40% Kurang Baik
3 41% - 60% Cukup
4 61% - 80% Baik
5 81% - 100% Sangat Baik
Pada pembahasan ini menjawab rumusan masalah berdasarkan hasil
pengamatan yang sudah dibahas sebelumnya, ialah Evaluasi Perda Kabupaten
Serang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok, dimana berdasarkan
pengamatan secara kuantitatif evaluasi implementasi perda KTR tersebut sehingga
dinyatakan tidak baik. Berikut penjelasan perindikator penelitian berdasarkan
teori yang dipakai peneliti yaitu Charles O. Jones:
Pada indikator pertama , yakni indikator Organisasi (Organization) terdapat
14 butir pernyataan yang disebarkan kepada SKPD yang memiliki tanggung
jawab atas fasilitas-fasilitas yang dilarang untuk merokok. Dalam indikator ini
presentase keberhasilannya mencapai 70%, presentase tersebut menunjukan
bahwa indikator tersebut tingkat keberhasilannya tidak terlalu signifikan, karena
dari hasil jawaban yang di dapat masih menunjukan berbagai macam
permasalahan. Atau bisa dikatakan presentase yang dihasilkan dari kuesioner
SKPD, tidak sesuai dengan apa yang terjadi dilapangan, karena masih banyaknya
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan masyarakat. Pemerintah seharusnya
150
bertanggung jawab atas jalannya perda KTR ini, dengan mengacu pada perda dan
perbup KTR, pemerintah seharusnya melakukan pengendalian dan pengawasan,
menempel tanda-tanda dilarang merokok, menyebarluaskan informasi tentang
perda KTR melalui media cetak/elektronik dan lainnya. Sehingga dalam segi
organisasi pemerintah harus membuat struktur yang jelas, dan SDM yang baik,
agar tanggung jawab pemerintah sebagai pelaksana jalannya perda KTR dapat
terlaksanakan dengan baik.
Indikator kedua, yakni indikator Interpretasi (Interpretation) yang
didalamnya terdapat 20 butir pernyataan untuk masyarakat dan 15 butir
pernyataan untuk SKPD. Pada indikator ini presentase tingkat keberhasilan 13%,
yang berarti hasil pada indikator ini apabila melihat tabel indikator di atas, dapat
dibilang indikator interpretasi tidak baik. Maksud dari indikator interpretasi ini
dimana para pelaksana kebijakan yaitu aktifitas pelaksana kebijakan yang
menafsirkan agar program (seringkali dalam hal status) menjadi rencana dan
pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan. Pemerintah dalam
hal ini harus merencanakan apa yang harus dilakukan kedepannya dan harus
mengarahkan, agar sudah ada rencana dengan pengarahan yang baik yang
dilakukan pemerintah kepada masyarakat di Kecamatan Ciruas agar masyarakat
menerima dan menjalankan perda KTR ini sesuai dengan tujuan. Sehingga dari
hasil dari indikator ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah belum menafsirkan
program menjadi rencana kedepannya, dan belum mengarahkan masyarakat agar
Perda KTR ini dapat berjalan dan diterima oleh masyarakat di Kecamatan Ciruas.
151
Ketiga, yakni indikator Penerapan yang didalamnya terdapat 17 butir
pernyataan untuk masyarakat dan 17 butir pernyataan untuk SKPD. Pada
indikator ini tingkat keberhasilan masyarakat mencapai 11%. Yang artinya pada
indikator ini apabila melihat dari tabel indikator diatas dapat dinyatakan aplikasi
dalam menerapkan perda KTR masih tidak baik. Pada indikator ini berisi
bagaimana pemerintah memfasilitasi, dengan mengacu pada perda atau bahkan
melalui perbup tentang petunjuk teknis pelaksanaan, bagaimana pemerintah
menyediakan tempat khusus merokok ditempat yang dilarang untuk merokok,
memberi tanda peringatan dilarang merokok dan lainnya yang berkaitan dengan
adanya perda KTR ini. Sehingga kesimpulan dari indikator ini pemerintah belum
menerapkan teknis-teknis penerapan perda KTR ini, terutama dalam hal fasilitas
dan pelayanan masyarakat untuk mendukung jalanya perda KTR masih tidak baik.
Sehingga dapat disimpulkan dari teori yang peneliti gunakan yaitu Charles
O.Jones bahwa evaluasi implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Serang
Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah Kecamatan
Ciruas belum berjalan dengan baik. Karena masih banyak masalah dalam segi
pelaksanaannya, tanggung jawab pemerintah, fasilitas dan kesiapan masyarakat
dalam menerapkan perda KTR.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, untuk menjawab identifikasi
masalah yang peneliti buat pada saat observasi awal penelitian, dijelaskan berikut
ini:
Pertama, kurangnya rambu-rambu dilarang merokok yang pemerintah
pasang di tempat-tempat yang dilarang untuk merokok. Hasil penelitian di
152
lapangan banyak sekali tempat-tempat yang dilarang untuk merokok tidak adanya
rambu-rambu bahwa kawasan ini dilarang untuk merokok, tidak adanya rambu-
rambu larangan merokok di tempatkan di setiap pintu masuk, sehingga hasil
dilapangan banyak sekali pelanggaran yang terjadi, banyaknya masyarakat yang
merokok pada tempat yang dilarang merokok. Seharusnya pemerintah memasang
rambu-rambu dilarang merokok di tempat yang dilarang merokok, agar
masyarakat tahu bahwa tempat ini kawasan dilarang untuk merokok.
Kedua, tidak adanya ruang khusus merokok di tempat-tempat umum atau
tempat-tempat yang dilarang untuk merokok. Ruang khusus merokok memang
harus ada dalam penerapan ini agar asap rokok tidak terhirup langsung, dalam
perda KTR juga menjelaskan bahwa setiap tempat umum dan kantor-kantor
diwajibkan untuk membuat ruang khusus merokok yang jauh dari orang ramai dan
orang berlalu-lalang. Pemerintah seharusnya membuatkan tempat khusus merokok
di tempat-tempat umum agar tidak ada lagi orang yang merokok asal, dan
merokok di tempat yang dilarang merokok.
Ketiga, kurangnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Dari hasil
penelitian dilapangan tempat-tempat yang dilarang merokok kurang adanya
pengawasan, yang berdampak tidak optimalnya jalannya perda KTR ini,
pemerintah sebagai pelaksana kebijakan seharusnya lebih giat melakukan
pengawasan dengan berkoordinasi dengan saptpol pp atau dipantau lewat
organisasi kemasyarakatan, operasi-operasi tipiring dijalankan, atau tindakan
lainnya, agar masyarakat mematuhi dan tahu bahwa perda KTR ini benar-benar
berlaku, sehingga perda KTR ini berjalan sesuai dengan tujuan awal perda dibuat.
153
Keempat, kurang tegasnya pemerintah dalam menerapkan sanksi kepada
masyarakat Kecamatan Ciruas yang melanggar. Tidak adanya sanksi yang
diberikan pemerintah membuat masyarakat berpikir bahwa perda KTR belumlah
diterapkan atau belum berlaku. Sehingga masyarakat tidak takut atas sanksi
apabila merokok dalam tempat yang dilarang merokok. Pemerintah dalam hal ini
harus tegas dalam menerapkan perda KTR ini, agar masyarakat memang benar-
benar merasa bahwa sanksi apabila merokok dalam tempat dilarang merokok
memang ada.
Kelima, Pemerintah kurang menyebarluaskan informasi Perda KTR kepada
masyarakat di Kecamatan Ciruas. Sosialisasi memang sangat penting dalam
menjalankan perda KTR ini tetapi harusnya pemerintah mempunyai alternatif
agar bagaimana informasi mengenai perda KTR ini dapat diketahui masyarakat
secara merata, disini pemerintah harus membuat spanduk-spanduk mengenai
pemberlakuan perda KTR atau informasi-informasi mengenai perda KTR dan
menyebarluaskan ke tempat-tempat yang ramai pengujung dan tempat-tempat
terpencil, sehingga semua masyarakat di Kecamatan Ciruas bahkan seluruh
masyarakat Kabupaten Serang tahu bahwa perda KTR sudah berlaku dan
dijalankan sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Perda KTR.
Dari Kelima masalah tersebut tentu akan menghambat proses implementasi
Perda KTR di Kecamatan Ciruas, untuk itu perlu adanya evaluasi dan peningkatan
di berbagai elemen yang terkait baik itu dari masyarakat Kecamatan Ciruas agar
lebih patuh menjalankan Perda KTR dan Pemerintah yang bertanggung jawab
dalam menjalankan perda KTR lebih menerapkan apa yang harus di terapkan
154
dalam perda dan perbup KTR, sehingga agar proses implementasi perda KTR di
Kecamatan Ciruas berjalan dengan optimal.
153
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok merupakan Perda turunan dari Peraturan Pemerintah
Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang di bermaksud untuk
memberikan jaminan perolehan lingkungan udara yang bersih dan melindungi hak
asasi manusia dalam mencapai derajat kesehatan melalui pengendalian terhadap
bahaya asap rokok.
Evaluasi kebijakan pada dasarnya untuk menilai hasil dari suatu kebijakan.
Sedangkan evaluasi implementasi kebijakan merupakan untuk menilai jalannya
suatu kebijakan. Semestinya kebijakan hendaknya dilaksanakan sesuai dengan
aturan yang telah di tetapkan sebelumnya lewat petunjuk teknis. Agar hasilnya
sesuai dengan tujuan awal diterapkannya.
Untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan, disini peneliti mencoba
membandingkan antara kenyataan dilapangan dengan apa yang diatur dalam Perda
KTR dan Perbup KTR. Meskipun begitu pada tahap analisis peneliti
menggunakan teori implementasi kebijakan menurut Charless O. Jones yang
terdapat 3 indikator keberhasilan implementasi yaitu Organisasi, Interpretasi dan
Aplikasi. Peneliti menganggap teori implementasi ini cocok untuk dijadikan alat
analisis evaluasi pelaksanaan kebijakan. Sehingga dari 3 indikator tersebut
154
peneliti mendapatkan kesimpulan mengenai evaluasi implementasi Perda KTR ini
adalah sebagai berikut:
a. Organisasi dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Serang
Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah
Kecamatan Ciruas dalam sisi pembentukan atau penataan sumberdaya
pemerintah sudah baik, semua instansi terkait rata-rata sudah memiliki
struktur organisasi dan bidang khusus dalam pelaksanaan kebijakan.
Hanya saja di Kecamatan Ciruas masih banyak tempat yang belum
sesuai apa yang udah diatur dalam perda dan perbup dan juga masih
banyak permasalahan lainnya seperti masih banyak yang merokok
dalam ruang lingkup kawasan tanpa rokok.
b. Interpretasi merupakan aktifitas pelaksana kebijakan yang menafsirkan
agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat
diterima serta dilaksanakan. Dalam hal ini hasil penyebaran kuisioner
yang peneliti olah dari lapangan mendapat jawaban bagaimana evaluasi
implementasi perda KTR dilihat dari indikator interpretasi, ternyata
pemerintah dalam hal sosialisasi masih belum mensosialisasikan secara
merata perda KTR di Kecamatan Ciruas, masih tidak adanya
pengawasan yang dilakukan pemerintah, kurang tegasnya pemerintah
dalam memberi denda kepada masyarakat yang melanggar.
c. Penerapan oleh pelaksana kebijakan merupakan ketentuan rutin
pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan
dan perlengkapan program kebijakan yang telah ditentukan. Dari data
155
hasil lapangan yang peneliti olah mengenai indikator penerapan
mendapatkan jawabannya, bahwa dalam penerapan perda KTR ini
pemerintah belum menerapkan apa yang harusnya diterapkan dalam
perda KTR, hasilnya di Kecamatan Ciruas banyak tempat yang dilarang
untuk merokok tidak memiliki ruang khusus merokok, banyak tempat
yang tidak ada rambu-rambu larangan dilarang merokok dan banyak
tempat yang tidak ada pengumuman bahwa perda KTR sudah berlaku.
Sehingga berdasarkan hasil penelitian dilapangan dan teori yang peneliti
gunakan, dapat disimpulkan bahwa Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah
Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok di
Wilayah Kecamatan Ciruas belum berjalan dengan baik. Karena berdasarkan hasil
uji Hipotesis sebesar 19 persen dari angka yang telah peneliti hipotesiskan yaitu
lebih kecil 60 persen.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dipaparkan oleh
peneliti diatas dengan judul “Evaluasi Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten
Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Wilayah
Kecamatan Ciruas” belum berjalan dengan baik yaitu mencapai 19 persen dari
hipotesis yang telah dibuat oleh peneliti sebelumnya, yaitu lebih besar dari 60
persen.
Sehingga berdasarkan masalah yang didapat pada saat penelitian, maka
peneliti mencoba memberikan saran agar pelaksanaan Perda Kawasan Tanpa
156
Rokok dapat berjalan lebih baik lagi sebagaimana mestinya. Pertama, yaitu
memberikan tanda-tanda peringatan pada setiap ruang lingkup yang dilarang
merokok. Karena masih ditemukannya orang yang merokok di ruang lingkup
kawasan tanpa rokok sehingga pemerintah seharusnya berkoordinasi dengan
masyarakat atau organisasi-organisasi agar membantu pemasangan tanda-tanda
peringatan bahwa ruang lingkup ini dilarang untuk merokok.
Kedua, meningkatkan pengawasan di setiap ruang lingkup kawasan tanpa
rokok, karena ini juga menyebabkan masih adanya orang yang merokok dalam
ruang lingkup KTR bahkan masih ada yang berjualan rokok. Dalam hal ini
pemerintah harus meningkatkan pengawasan, lebih tegas menyampaikan kepada
setiap SKPD yang memiliki tugas pokok di masing-masing bidang untuk
mengawasi setiap tempat yang dilarang merokok.
Ketiga, pemerintah harus sosialisasi secara merata, karena saat dilapangan
masih banyak masyarakat yang belum mengetahui Perda Kawasan Tanpa Rokok.
Pemerintah disini harus melakukan sosialisasi merata atau pemerintah bisa
memasang spanduk-spanduk pemberlakuan perda Kawasan Tanpa Rokok disetiap
desa dan di setiap tempat umum yang biasa masyarakat ramai untuk datang,
sehingga masyarakat tau akan perda kawasan tanpa rokok dan tidak ada lagi yang
merokok yang sudah ditetapkan.
Keempat, denda yang kurang dipertegas dan denda yang kurang besar,
karena hasil dilapangan, bahwa masyarakat belum mendengar bahwa sudah
adanya masyarakat yang melanggar dan terkena denda sebesar Rp.50.000,
157
masyarakat juga sepertinya tidak takut dengan besaran denda apabila melanggar
perda Kawasan Tanpa Rokok tersebut. Seharusnya pemerintah melakukan
pengawasan dan operasi-operasi dilapangan, dan memberikan denda yang telah
diatur dalam perda Kawasan Tanpa Rokok atau merubah denda yang sudah
ditetapkan dengan angka nominal yang lebih besar dari sebelumnya, agar
masyarakat tidak melanggar perda Kawasan Tanpa Rokok ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
___________. 2012. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta,
Irawan, Prasetya. 2005. Metodologi Penelitian Administrasi. Jakarta: UniversitasTerbuka
Jones, Charles O. 1994. Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada
Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik “Formulasi, Implementasi dan Evaluasi”.Jakarta: Gramedia.
Pasolong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
Parsons, Wayne. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik AnalisisKebijakan. Jakarta: Kencana.
Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:Alfabeta
________. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitati dan R & D. Bandung:Alfabeta
________. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:Alfabeta
________. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:Alfabeta
Subarsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi.Yogyakarta: Pustaka pelajar
Syafiie, Inu Kencana. 2006. Sistem Administrasi publik Republik Indonesia(SANKRI). Jakarta : PT. Bumi Aksara
Wahab, Solichin Abdul. 2012. analisis Kebijakan dari Formulasi ke PenyusunanModel-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara.
Widya Wicaksono, Kristian. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemeritah.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dokumen:Kabupaten Serang Dalam Angka Tahun 2015
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan YangMengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Kawasan TanpaRokok.
Sumber lain:
http://www.depkes.go.id/article/view/2316/generasi-muda-sehat-generasi-tanpa-rokok.html
http://www.smallcrab.com/kesehatan/522-bahaya-asap-rokok-bagi-orang-lain
http://referensi.data.kemdikbud.go.id
http://direktori.kemenag.go.id
LAMPIRAN
Recommended