View
10
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
i
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PEDIATRIK
DEMAM TIFOID DENGAN METODE GYSSENS DI RSUD KOTA
YOGYAKARTA TAHUN 2016-2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Alberta Widya Kristyasari
NIM : 158114063
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PEDIATRIK
DEMAM TIFOID DENGAN METODE GYSSENS DI RSUD KOTA
YOGYAKARTA TAHUN 2016-2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Alberta Widya Kristyasari
NIM : 158114063
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
Kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu memberkati, membimbing,
dan menyertai setiap langkahku
Bapak, Ibu, Mbak Widya, Hugo sebagai penyemangatku
Sahabat dan teman-teman tercinta
Almamater Tercinta Universitas Sanata Dharma
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat, penyertaan dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada
Pasien Pediatrik Demam Tifoid dengan Metode Gyssens di RSUD Kota
Yogyakarta Tahun 2016-2017” ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk
memperroleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) di Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Dr. Yustina Sri Hartini, Apt. selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Dr. Rita Suhadi, M. Si., Apt. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah memberikan dukungan, waktu dan saran selama proses penyusunan
skripsi.
3. Bapak Septimawanto Dwi Prasetyo, M. Si., Apt. selaku dosen pembimbing
skripsi yang dengan sabar membimbing dan menyediakan waktu, tenaga, dan
pikiran kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Yosef Wijoyo, M. Si., Apt. dan Ibu Aris Widayati, M. Si., Ph. D.,
Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, waktu, kritikan
dan saran yang membangun selama proses penyelesaian skripsi ini.
5. Direktur, Staf Diklat, Staf Instalasi Rekam Medik, dan Apoteker RSUD Kota
Yogyakarta yang telah memberikan izin dan kepercayaan kepada penulis
untuk melakukan penelitian.
6. Tim Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana yang
telah memberikan arahan dan izin terkait pembuatan Ethical Clearance
kepada penulis.
7. Kedua orang tuaku Bapak Chrisantus Yohanes Budiyoko dan Ibu Lusia
Kristiana, serta Kakakku Anastasia Widya Kristyarani atas doa, kasih sayang,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
semangat, dan dukungan selama menjalani perkuliahan hingga
terselesaikannya skripsi ini.
8. Sahabatku “Partner Cabs” Claresta Sartika dan Paulina Dewi Rosari yang
selalu memberikan motivasi, semangat, dukungan, doa, bantuan dan
menghibur selama menjalani perkuliahan, terutama dalam proses penyusunan
proposal hingga skripsi ini.
9. Kekasihku Hugo Christ Prasetyo yang selalu menemani dalam suka dan duka
dari awal perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini.
10. Sahabatku SMA Tyas Nurlita dan Mellisa Kirana yang selalu memberikan
dukungan dan semangat selama menjalani kuliah hingga terselesaikannya
skripsi ini.
11. Sahabat “Anak Soto Gentong” Santi, Aza, Morita, Ida, Evi yang selalu
membantu penulis dalam proses perkuliahan di kelas.
12. Rekan-rekan skripsi “Geng Pak Wawan” Claresta, Indian, Cella, Kak Ni,
Misty, Marju yang memberikan dukungan dan semangat satu sama lain saat
proses penyusunan proposal hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
13. Sahabat menariku “Jolali Squad” Yostin, Lana, Saras, Gangga, Mbak Maya,
dan Mbak Anin yang bersama-sama telah memberikan pengalaman yang
indah dan mendukung penulis hingga skripsi ini dapat selesai.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhir kata, penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Kuasa
memberikan berkat kepada seluruh pihak yang berperan penting dalam
penyelesaian skripsi ini. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, [enulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak agar skripsi ini menjadi
lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 10 Desember 2018
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .......................... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... vii
PRAKATA ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii
INTISARI ........................................................................................................ xiv
ABSTRACT ..................................................................................................... xv
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
METODE PENELITIAN ................................................................................. 2
Desain dan Subjek Penelitian ................................................................... 2
Pengambilan Data ..................................................................................... 3
Analisis Data ............................................................................................ 3
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 5
KESIMPULAN ................................................................................................ 13
SARAN ............................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 15
LAMPIRAN ..................................................................................................... 17
BIOGRAFI PENULIS ..................................................................................... 42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
DAFTAR TABEL
Tabel I. Distribusi Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Berdasarkan
Kategori Gyssens di RSUD Kota Yogyakarta Tahun
2016-2017 ..................................................................................... 6
Tabel II. Distribusi Hasil Evaluasi Penggunaan Tiap Antibiotik
Berdasarkan Kategori Gyssens di RSUD Kota Yogyakarta
Tahun 2016-2017.......................................................................... 12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan Sampel Penelitian Pasien Pediatrik Demam Tifoid
di RSUD Kota Yogyakarta Tahun 2016-2017 ............................. 2
Gambar 2. Diagram Alur Gyssens ................................................................ 4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Ethical Clearence ...................................................................... 17
Lampiran 2. Surat Perizinan Penelitian RSUD Kota Yogyakarta .................. 18
Lampiran 3. Surat Perizinan Penelitian Dinas Penanaman Modal dan
Perizinan .................................................................................... 19
Lampiran 4. Definisi Operasional .................................................................. 20
Lampiran 5. Kasus Kategori 0 ....................................................................... 21
Lampiran 6. Kasus Kategori IIA .................................................................... 26
Lampiran 7. Kasus Kategori IIIA ................................................................... 34
Lampiran 8. Kasus Kategori IIIB ................................................................... 38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
ABSTRAK
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang menyerang saluran
pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Demam tifoid berada
pada peringkat 9 dalam pola 10 besar penyakit rawat inap di Rumah Sakit Umum
Daerah Yogyakarta tahun 2014. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien anak demam tifoid
berdasarkan kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta
periode Januari-Desember tahun 2016-2017.
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang menggunakan
desain metode deskriptif evaluatif dan pengambilan data bersifat retrospektif.
Data yang diambil berasal dari data rekam medis pasien demam tifoid kelompok
pediatrik di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Yogyakarta periode tahun 2016-
2017. Dari data rekam medis tersebut dievaluasi menggunakan diagram alur
Gyssens yang memuat kriteria untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik.
Hasil yang diperoleh terhadap 42 peresepan antibiotik yang termasuk
dalam kategori 0 (rasional) pada kategori Gyssens sebesar 35,7% dan sebesar
64,3% untuk penggunaan antibiotik yang tidak rasional dengan rincian sebesar
28,6% termasuk kategori IIA (penggunaan antibiotik tidak tepat dosis), 33,3%
termasuk kategori IIIB (penggunaan antibiotik terlalu singkat), dan 2,4%
termasuk kategori IIIA (penggunaan antibiotik terlalu lama).
Kata kunci: Demam tifoid, antibiotik, gyssens
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
ABSTRACT
Typhoid fever is an infectious disease that attacks the digestive tract
caused by the bacteria Salmonella typhi. Typhoid fever is ranked 9th in the
pattern of the top 10 inpatient diseases at the RSUD Kota Yogyakarta in 2014.
The purpose of this study was to determine the rationality of antibiotic use in
patients with typhoid fever based on Gyssens criteria in the Inpatient Installation
of RSUD Kota Yogyakarta in 2016-2017.
This study is a non-experimental research that uses a descriptive
evaluative method design and retrospective data collection. The data taken comes
from the medical record data of typhoid fever patients in the pediatric group at
the Inpatient Installation of RSUD Kota Yogyakarta in the period of 2016-2017.
From the medical record data, it was evaluated using the Gyssens flow diagram
containing criteria for evaluating antibiotic use.
The results of the 42 antibiotic prescriptions that included in category 0
(rational) in the Gyssens category were 35,7% and 64,3% for irrational use of
antibiotics with details of 28,6% including the category IIA (antibiotic use was
not appropriate dose), 33,3% including the category IIIB (antibiotic use too
short), and 2,4% including the category IIIA (too long antibiotic use).
Keywords: Typhoid fever, antibiotic, gyssens
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi yang terjadi karena
adanya infeksi bakteri Salmonella typhi. Bakteri Salmonella typhi ini dapat
mengontaminasi makanan dan minuman, bahkan apabila seseorang telah
terinfeksi bakteri S. typhi dapat menularkan ke orang lain karena demam tifoid
merupakan penyakit infeksi menular (David, 2015). Menurut World Health
Organization, kejadian demam tifoid paling banyak terjadi pada anak-anak usia 5-
15 tahun (WHO, 2018). Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Yogyakarta tahun
2014, demam tifoid berada pada peringkat 9 dalam pola 10 besar penyakit rawat
inap di Rumah Sakit Umum Daerah Yogyakarta tahun 2014 yaitu terdapat 49
kasus (Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, 2014).
Terapi antibiotik diperlukan dalam pengobatan demam tifoid. Penggunaan
antibiotik harus rasional agar tidak terjadi resistensi antibiotik maupun infeksi
berulang. Monitoring dan evaluasi penggunaan antibiotik diperlukan bagi pasien
demam tifoid agar penggunaan antibiotik dapat optimal. Berdasarkan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Ajum (2015) di Instalasi Rawat Inap RSUD
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari-Desember 2013
didapatkan hasil penggunaan antibiotika menurut Gyssens: kategori 0 (47,3%),
kategori IIA (21,6%), kategori IIB (17,6%), kategori IVA (6,8%) dan kategori
IVB (4%). Penelitian sebelumnya yang lain yang dilakukan oleh Rufaldi (2011) di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta periode 2010 didapatkan hasil
penggunaan antibiotika menurut Gyssens: kategori 0 (16,13%), kategori IIA
(70,98%), kategori IIB (48,39%), kategori IIIB (25,81%), dan kategori IVA
(1,61%). Penelitian lain dilakukan juga oleh Santoso (2009) dengan total 137
terapi antibiotik dan yang termasuk kategori VI ada 14 terapi, kategori V ada 1
terapi, kategori IVA ada 15 terapi, kategori IVC ada 92 terapi, dan kategori IVD
ada 4 terapi, serta yang memenuhi konsep rasional hanya ada 11 terapi. Hasil dari
tiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa masih ada penggunaan antibiotik
yang kurang rasional pada pasien pediatrik dengan demam tifoid.
Penelitian ini dilakukan di RSUD Kota Yogyakarta karena selain ingin
mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotik di rumah sakit tersebut juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
karena belum pernah dilakukan penelitian mengenai evaluasi antibiotik pada
pasien pediatrik demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens, serta demam tifoid di
RSUD Kota Yogyakarta termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap tahun 2014
(Dinkes Kota Yogyakarta, 2014). Berdasarkan permasalahan yang telah
dipaparkan dan penelitian mengenai penggunaan antibiotik pada pasien pediatrik
demam tifoid berdasarkan kriteria Gyssens belum banyak dilakukan khususnya di
Indonesia, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan
mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien pediatrik demam
tifoid.
METODE PENELITIAN
Desain dan Subjek Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif evaluatif dengan data
retrospektif. Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan data rekam
medis pasien pediatrik demam tifoid yang memenuhi kriteria inklusi di RSUD
Kota Yogyakarta. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien demam tifoid
kelompok pediatrik (0-11 tahun) yang menjalani rawat inap dengan periode
perawatan bulan Januari-Desember tahun 2016-2017, pasien yang terdiagnosis
demam tifoid dan mendapatkan terapi antibiotik selama menjalani rawat inap, dan
pasien yang tidak memiliki penyakit penyerta infeksi lain. Kriteria eksklusi
penelitian ini adalah pasien dengan data rekam medis yang hilang atau tidak
lengkap dan pasien yang melanjutkan pengobatan di tempat lain. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Oktober 2018 di RSUD Kota Yogyakarta. Bahan penelitian
yang digunakan yaitu data rekam medis pasien pediatrik demam tifoid periode
tahun 2016-2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Gambar 1. Bagan Populasi Penelitian Pasien Pediatrik Demam Tifoid di RSUD
Kota Yogyakarta Tahun 2016-2017
Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan mengambil seluruh populasi pasien
pediatrik demam tifoid yang menjalani rawat inap di RSUD Kota Yogyakarta
periode tahun 2016-2017. Pengambilan data rekam medis di Instalasi Rekam
Medis RSUD Kota Yogyakarta dan dilakukan pengisian data pada formulir
pengambilan data. Data yang diambil terdiri dari nomor rekam medis, jenis
kelamin, usia, tanggal masuk dan pulang, status pulang, anamnesa, diagnosa
utama, tanda vital, pemeriksaan hematologi, tes tubex TF/tes widal dan obat yang
diberikan selama rawat inap. Penelitian ini telah mendapat izin dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
dengan nomor surat 841/C.16/FK/2018 dan dari Dinas Penanaman Modal dan
Perizinan dengan nomor surat 070/2033-5068/34 serta dari RSUD Kota
Yogyakarta dengan nomor surat 007/4936.
Analisis Data
Data yang didapat dievaluasi penggunaan antibiotik tiap peresepan
menggunakan metode gyssens yang dibagi menjadi kategori 0-VI dengan bantuan
diagram alur gyssens (Gambar 2) yang disesuaikan dengan literatur “Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter” oleh Ikatan Dokter Indonesia tahun 2015 yang
digunakan di RSUD Kota Yogyakarta sebagai acuan praktek klinis. Evaluasi
penggunaan antibiotik dengan diagram alur Gyssens dimulai dari kotak yang
paling atas, yaitu dengan melihat apakah data lengkap atau tidak untuk
Jumlah pasien demam tifoid
periode 2016-2017 sebanyak
153 pasien
Rekam medis yang ditemukan dan sesuai
kriteria inklusi
sebanyak 32
Eksklusi = 0
Jumlah rekam medis
yang digunakan
dalam penelitian
sebanyak 32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
mengkategorikan penggunaan antibiotik. Apabila data tidak lengkap, berhenti di
kategori VI, namun bila data lengkap maka dilanjutkan dengan kotak pertanyaan
dibawahnya. Begitu seterusnya hingga kotak paling akhir. Terapi antibiotik dapat
dikatakan rasional apabila lolos semua kategori dalam metode Gyssens. Hasil
analisis data disajikan dalam bentuk persentase dalam tabel. Dalam proses evaluasi
menggunakan metode Gyssens juga dilakukan wawancara dengan apoteker
dengan tujuan untuk mengetahui faktor dalam pemberian atau pemilihan
antibiotik untuk pasien.
Gambar 2. Diagram Alur Gyssens
(Gyssens, 2005).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Hasil evaluasi menggunakan kriteria Gyssens dapat dikategorikan menjadi:
Kategori 0 = penggunaan antibiotik tepat/bijak
Kategori I = penggunaan antibiotik tidak tepat waktu
Kategori IIA = penggunaan antibiotik tidak tepat dosis
Kategori IIB = penggunaan antibiotik tidak tepat interval
Kategori IIC = penggunaan antibiotik tidak tepat cara/rute pemberian
Kategori IIIA = penggunaan antibiotik terlalu lama
Kategori IIIB = penggunaan antibiotik terlalu singkat
Kategori IVA = ada antibiotik lain yang lebih efektif
Kategori IVB = ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman
Kategori IVC = ada antibiotik lain yang lebih murah
Kategori IVD = ada antibiotik lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit
Kategori V = tidak ada indikasi penggunaan antibiotik
Kategori VI = data rekam medis tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini terdapat 32 kasus dengan total 42 peresepan antibiotik
yang sesuai dengan kriteria inklusi untuk penyakit demam tifoid pada pasien
pediatrik selama tahun 2016-2017 di RSUD Kota Yogyakarta. Empat puluh dua
peresepan antibiotik ini dievaluasi dengan metode Gyssens (diagram alir Gyssens)
yang kemudian digolongkan berdasarkan kategori pada metode Gyssens (kategori
0-VI).
Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Metode Gyssens
Penggunaan antibiotik dievaluasi dengan menggunakan alur Gyssens
(Gyssens, 2005).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Tabel I. Distribusi Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Kategori
Gyssens di RSUD Kota Yogyakarta Tahun 2016-2017
Kategori Gyssens Jumlah Persentase (%)
0 15 35,7
I - -
IIC - -
IIB - -
IIA 12 28,6
IIIB 14 33,3
IIIA 1 2,4
IVD - -
IVC - -
IVB - -
IVA - -
V - -
VI - -
TOTAL 42 100
Keterangan: 0 : tepat bijak (rasional)
IIA : penggunaan antibiotik tidak tepat dosis
IIIB : penggunaan antibiotik terlalu singkat
IIIA : penggunaan antibiotik terlalu lama
1. Penggunaan antibiotik tepat/bijak (kategori 0)
Penggunaan antibiotik yang tepat/bijak (rasional) ditunjukkan dengan
lolosnya antibiotik pada semua kategori Gyssens. Berdasarkan hasil evaluasi
ditemukan 15 peresepan penggunaan antibiotik yang rasional yang terdiri dari
14 peresepan (ceftriaxone) dan 1 kasus (cefixime). Salah satu contoh contoh
penggunaan antibiotik yang rasional yaitu penggunaan ceftriaxone pada kasus
15 (lampiran 5).
Pada kasus 15, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid.
Keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit yaitu demam sudah satu
minggu. Hasil tes Tubex TF menunjukkan angka 6 (nilai rujukan: <3 negatif;
3 borderline; >3 positif) yang artinya pasien tersebut mengalami demam tifoid
(ada infeksi Salmonella typhi). Selama rawat inap, pasien menerima
ceftriaxone karena diindikasikan mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi
sehingga lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Ceftriaxone
merupakan salah satu antibiotik yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Indonesia (2015) untuk penatalaksanaan demam tifoid, namun sebenarnya
ceftriaxone bukan lini pertama untuk demam tifoid melainkan kloramfenikol.
Berdasarkan hasil wawancara dengan apoteker terkait penyebab ceftriaxone
lebih banyak digunakan untuk demam tifoid karena berdasarkan pengalaman
dan penilaian klinis dari dokter di RSUD Kota Yogyakarta serta kondisi
pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotik lain
yang lebih efektif) dan lolos kategori IVD (tidak ada antibiotik lain yang
spektrum antibakterinya lebih sempit). Ceftriaxone cukup aman apabila
diberikan pada pasien anak (Ikatan Dokter Indonesia, 2015) dan tidak
ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang diresepkan untuk pasien ini
(Medscape, 2018) sehingga lolos kategori IVB (tidak ada antibiotik lain yang
kurang toksik). Ceftriaxone merupakan antibiotik generik dan harganya lebih
murah dibandingkan dengan brand name ceftriaxone yang ada di Instalasi
Farmasi RSUD Kota Yogyakarta, serta ceftriaxone termasuk dalam
Formularium Nasional sehingga lolos kategori IVC (tidak ada antibiotik lain
yang lebih murah). Lama penggunaan ceftriaxone pada pasien selama 7 hari,
dan penggunaan ceftriaxone ini sudah sesuai dengan literatur yaitu selama 5-
14 hari (Lacy et al., 2009) sehingga lolos kategori IIIA (penggunaan antibiotik
tidak terlalu lama) dan kategori IIIB (penggunaan antibiotik tidak terlalu
singkat). Dosis ceftriaxone berdasarkan Lacy et al. (2009) adalah 75-80
mg/kgBB/hari dan dapat diberikan 1-2 kali sehari (Sidabutar dan Satari, 2010)
dan diberikan secara i.m/i.v (Ikatan Dokter Indonesia, 2015). Pasien ini
berumur 4 tahun dengan berat badan 25 kg (1875-2000 mg/hari), menerima
obat 2x1000 mg/hari (2000 mg/hari) secara intravena. Dosis yang digunakan
sudah sesuai dengan literatur, tepat interval, dan rute pemberian sehingga lolos
kategori IIA, IIB, dan IIC. Berdasarkan keseluruhan evaluasi tersebut,
penggunaan ceftriaxone termasuk kategori 0 yang artinya rasional.
2. Penggunaan antibiotik tidak tepat waktu pemberian (kategori I)
Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus penggunaan
antibiotik yang tidak tepat waktu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
3. Penggunaan antibiotik tidak tepat rute pemberian (kategori IIC)
Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus penggunaan
antibiotik yang tidak tepat rute pemberiannya.
4. Penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian (kategori IIB)
Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus penggunaan
antibiotik tidak tepat interval pemberian.
5. Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis (kategori IIA)
Pemberian dosis antibiotik yang terlalu rendah atau terlalu tinggi
menunjukkan ketidaktepatan dosis. Dosis yang terlalu rendah dapat
menyebabkan kadar obat dalam darah berada dibawah kisaran terapi sehingga
tidak dapat memberikan respon yang diharapkan, sedangkan dosis yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan kadar obat dalam darah melebihi kisaran terapi
sehingga dapat muncul efek samping dan kemungkinan efek toksisitas lainnya
(Untari, Agilina, dan Susanti, 2018).
Berdasarkan hasil evaluasi terdapat 12 peresepan yang termasuk dalam
kategori ini yaitu 4 peresepan (ceftriaxone), 6 peresepan (cefixime), dan 2
peresepan (kloramfenikol). Salah satu contoh penggunaan antibiotik tidak
tepat dosis yaitu kasus 6 (lampiran 6).
Pada kasus 6, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid.
Keluhan pasien saat datang ke rumah sakit adalah demam selama lima hari.
Hasil tes Tubex TF pasien menunjukkan angka 10 (nilai rujukan: <3 negatif; 3
borderline; >3 positif) yang artinya pasien tersebut mengalami demam tifoid
(ada infeksi Salmonella typhi). Selama rawat inap, pasien menerima
ceftriaxone dan cefixime. Namun yang diambil contoh kategori IIA (tidak
tepat dosis) adalah cefixime. Cefixime diberikan karena diindikasikan
mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi sehingga lolos kategori V (ada
indikasi penyakit infeksi). Cefixime merupakan salah satu antibiotik yang
direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Indonesia (2015) untuk penatalaksanaan
demam tifoid dan kondisi pasien terbukti membaik sehingga lolos kategori
IVA (tidak ada antibiotik lain yang lebih efektif) dan lolos kategori IVD (tidak
ada antibiotik lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit). Cefixime aman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
apabila diberikan pada pasien anak (Ikatan Dokter Indonesia, 2015) dan tidak
ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang diresepkan untuk pasien ini
(Medscape, 2018) sehingga lolos kategori IVB (tidak ada antibiotik lain yang
kurang toksik). Cefixime merupakan antibiotik generik dan harganya lebih
murah dibandingkan dengan brand name cefixime yang ada di Instalasi
Farmasi RSUD Kota Yogyakarta, serta cefixime termasuk dalam Formularium
Nasional sehingga lolos kategori IVC (tidak ada antibiotik lain yang lebih
murah). Lama penggunaan cefixime berdasarkan WHO (2011) adalah selama
7-14 hari. Pasien menerima cefixime selama 4 hari, dan penggunaan cefixime
ini tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat karena cefixime merupakan
antibiotik pengganti/lanjutan dari ceftriaxone dan juga diberikan untuk obat
pulang pasien untuk 5 hari kedepan sehingga lolos kategori IIIA (penggunaan
antibiotik tidak terlalu lama) dan kategori IIIB (penggunaan antibiotik tidak
terlalu singkat). Dosis cefixime berdasarkan Ikatan Dokter Indonesia (2015)
adalah 20 mg/kgBB/hari. Pasien ini berumur 3 tahun dengan berat badan 13
kg (260 mg/hari) dan pasien diberikan dosis 2x60 mg/hari (120 mg/hari)
sehingga dosis yang diberikan tidak sesuai (underdose). Berdasarkan
keseluruhan evaluasi tersebut, penggunaan cefixime termasuk kategori IIA
yang artinya penggunaan antibiotik tidak tepat dosis.
6. Penggunaan antibiotik terlalu singkat (kategori IIIB)
Lama pemberian antibiotik tiap jenis antibiotik tergantung dari tingkat
keparahan dari suatu penyakit. Berdasarkan evaluasi terdapat 14 peresepan
antibiotik yang 9 peresepan (ceftriaxone), 3 peresepan (cefixime), dan 2
peresepan (kloramfenikol). Salah satu contoh penggunaan antibiotik yang
terlalu singkat yaitu kasus 12 (lampiran 7).
Pada kasus 12, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid.
Keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit yaitu demam sudah satu
minggu. Hasil tes Tubex TF menunjukkan angka 4 (nilai rujukan: <3 negatif;
3 borderline; >3 positif) yang artinya pasien tersebut mengalami demam tifoid
(ada infeksi Salmonella typhi). Selama rawat inap, pasien menerima
ceftriaxone karena diindikasikan mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
sehingga lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Ceftriaxone
merupakan salah satu antibiotik yang direkomendasikan oleh Ikatan Dokter
Indonesia (2015) untuk penatalaksanaan demam tifoid dan kondisi pasien
terbukti membaik sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotik lain yang
lebih efektif) dan lolos kategori IVD (tidak ada antibiotik lain yang spektrum
antibakterinya lebih sempit). Ceftriaxone cukup aman apabila diberikan pada
pasien anak (Ikatan Dokter Indonesia, 2015) dan tidak ditemukan adanya
interaksi dengan obat lain yang diresepkan untuk pasien ini (Medscape, 2018)
sehingga lolos kategori IVB (tidak ada antibiotik lain yang kurang toksik).
Ceftriaxone merupakan antibiotik generik dan harganya lebih murah
dibandingkan dengan brand name ceftriaxone seperti yang ada di Instalasi
Farmasi RSUD Kota Yogyakarta, serta ceftriaxone termasuk dalam
Formularium Nasional sehingga lolos kategori IVC (tidak ada antibiotik lain
yang lebih murah). Lama penggunaan ceftriaxone pada pasien selama 3 hari,
dan penggunaan ceftriaxone ini terlalu singkat karena lama penggunaan
ceftriaxone untuk demam tifoid selama 5-14 hari (Lacy et al., 2009). Dari data
yang diperoleh, pasien tidak menerima obat antibiotik lanjutan/pengganti
tetapi hanya dirawat selama 3 hari kemudian pulang dengan keadaan
membaik. Namun tetap berdasarkan keseluruhan evaluasi tersebut,
penggunaan ceftriaxone termasuk kategori IIIB yang artinya penggunaan
antibiotik terlalu singkat.
7. Penggunaan antibiotik terlalu lama (kategori IIIA)
Lama pemberian antibiotik tiap jenis antibiotik tergantung dari tingkat
keparahan dari suatu penyakit. Berdasarkan evaluasi, terdapat satu peresepan
antibiotik yang termasuk kategori ini yaitu kasus 11 (cefotaxime) (lampiran
8).
Pada kasus 11, pasien anak dengan diagnosis utama demam tifoid.
Keluhan pasien saat pertama kali masuk rumah sakit yaitu demam sudah satu
minggu. Hasil tes Tubex TF menunjukkan angka 4 (nilai rujukan: <3 negatif;
3 borderline; >3 positif) yang artinya pasien tersebut mengalami demam tifoid
(ada infeksi Salmonella typhi). Selama rawat inap, pasien menerima
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
cefotaxime karena diindikasikan mengalami infeksi bakteri Salmonella typhi
sehingga lolos kategori V (ada indikasi penyakit infeksi). Cefotaxime
merupakan salah satu antibiotik yang direkomendasikan oleh WHO (2011)
untuk penatalaksanaan demam tifoid dan kondisi pasien terbukti membaik
sehingga lolos kategori IVA (tidak ada antibiotik lain yang lebih efektif) dan
lolos kategori IVD (tidak ada antibiotik lain yang spektrum antibakterinya
lebih sempit). Cefotaxime cukup aman apabila diberikan pada pasien anak dan
tidak ditemukan adanya interaksi dengan obat lain yang diresepkan untuk
pasien ini (Medscape, 2018) sehingga lolos kategori IVB (tidak ada antibiotik
lain yang kurang toksik). Cefotaxime merupakan antibiotik generik dan
harganya lebih murah dibandingkan dengan brand name cefotaxime yang ada
di Instalasi Farmasi RSUD Kota Yogyakarta, serta cefotaxime termasuk dalam
Formularium Nasional sehingga lolos kategori IVC (tidak ada antibiotik lain
yang lebih murah). Lama penggunaan cefotaxime pada pasien yaitu selama 4
hari, dan penggunaan cefotaxime ini terlalu lama karena lama penggunaan
cefotaxime berdasarkan literatur untuk demam tifoid yaitu selama 2-3 hari
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Dari hasil wawancara
dengan apoteker, penggunaan cefotaxime selama 4 hari bisa terjadi karena
kondisi pasien yang belum terlalu membaik sehingga dokter tetap meneruskan
pemberian cefotaxime. Namun tetap berdasarkan keseluruhan evaluasi
tersebut, penggunaan cefotaxime termasuk kategori IIIA yang artinya
penggunaan antibiotik terlalu lama.
8. Ada antibiotik lain yang spektrum antibakterinya lebih sempit (kategori IVD)
Pada penelitian ini semua antibiotik yang digunakan untuk
penatalaksanaan demam tifoid pada pediatrik yaitu berdasarkan “Panduan
Praktek Klinis Bagi Dokter Tahun 2015” oleh Ikatan Dokter Indonesia dan
acuan tersebut digunakan juga oleh RSUD Kota Yogyakarta sebagai standar
terapi sehingga tidak ada kasus yang masuk dalam kategori ini.
9. Ada antibiotik lain yang lebih murah (kategori IVC)
Pada kategori ini dievaluasi dengan membandingkan setiap antibiotika
yang digunakan dengan brand name dari tiap antibiotik berdasarkan buku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
acuan MIMS serta yang ada di Instalasi Farmasi RSUD Kota Yogyakarta.
Semua antibiotik yang digunakan di RSUD Kota Yogyakarta merupakan obat
generik dan termasuk dalam Formularium Nasional serta harganya lebih
murah dibandingkan dengan brand name sehingga tidak ada kasus yang
masuk dalam kategori ini.
10. Ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman (kategori IVB)
Penggunaan antibiotik menjadi tidak aman misalnya jika muncul
reaksi alergi, adanya interaksi dengan obat lain, maupun antibiotik yang
diterima kontraindikasi dengan kondisi pasien. Berdasarkan hasil evaluasi
tidak ditemukan kasus yang masuk dalam kategori ini.
11. Ada antibiotik lain yang lebih efektif (kategori IVA)
Apabila ada pilihan antibiotik lain yang lebih direkomendasikan
karena dinilai akan memberikan terapi yang optimal maka antibiotik yang
dievaluasi akan masuk dalam kategori ini. Berdasarkan hasil evaluasi tidak
ditemukan adanya antibiotik lain yang lebih efektif dari antibiotik yang
dievaluasi.
12. Tidak ada indikasi penggunaan antibiotik (kategori V)
Apabila antibiotik diresepkan namun tidak sesuai dengan hasil
laboratorium yang menunjukkan adanya infeksi diartikan sebagai antibiotik
tanpa indikasi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Berdasarkan hasil evaluasi tidak ditemukan kasus yang masuk dalam kategori
ini, karena semua kasus terdiagnosis demam tifoid sehingga ada infeksi
bakteri Salmonella typhi.
13. Data rekam medis tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi (kategori VI)
Apabila terdapat data rekam medis yang tidak lengkap maka tidak bisa
dievaluasi. Dari semua data rekam medis tidak ada yang masuk dalam
kategori ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Tabel II. Distribusi Hasil Evaluasi Penggunaan Tiap Antibiotik
Berdasarkan Kategori Gyssens di RSUD Kota Yogyakarta Tahun 2016-2017
No Antibiotik Kategori Gyssens
Total Persentase
(%) 0 IIA IIIA IIIB
1 Ceftriaxone 14 4 - 9 27 64,3
2 Cefixime 1 6 - 3 10 23,8
3 Kloramfenikol - 2 - 2 4 9,5
4 Cefotaxime - - 1 - 1 2,4
Jumlah 15 12 1 14 42 100
Keterangan: 0 : tepat bijak (rasional)
IIA : penggunaan antibiotik tidak tepat dosis
IIIB : penggunaan antibiotik terlalu singkat
IIIA : penggunaan antibiotik terlalu lama
Berdasarkan Tabel II dapat dilihat bahwa jenis antibiotik yang paling
banyak digunakan untuk pengobatan demam tifoid adalah ceftriaxone kemudian
diikuti oleh cefixime. Dari 27 peresepan ceftriaxone dan dari 10 peresepan
cefixime yang termasuk dalam kategori 0 hanya 14 peresepan dan 1 peresepan
dan tetap masih ada sejumlah 13 peresepan ceftriaxone bahkan 9 peresepan
cefixime yang tidak rasional padahal ceftriaxone dan cefixime merupakan
antibiotik yang sering digunakan untuk demam tifoid di RSUD Kota Yogyakarta.
Dari hasil wawancara dengan apoteker, mengapa ceftriaxone dan cefixime masih
bisa termasuk dalam kategori IIA, hal ini bisa terjadi karena dokter anak di RSUD
Kota Yogyakarta lebih dari satu dan cara dokter memberikan dosis antibiotik pada
resep berbeda, ada yang berdasarkan berat badan dan berdasarkan usia
(pengalaman klinis dokter). Dan juga dari hasil wawancara dengan apoteker,
mengapa ceftriaxone dan cefixime juga masih ada yang termasuk kategori IIIB,
hal ini bisa terjadi karena dilihat dari kondisi pasien. Apabila kondisi pasien telah
membaik dan akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter, maka penggunaan
ceftriaxone dan cefixime akan diberhentikan. Begitu pula apabila kondisi pasien
tidak membaik dan dokter pada beberapa peresepan langsung memutuskan untuk
penggantian terapi antibiotik padahal waktu pemberian antibiotik belum sesuai
dengan standar terapi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu peneliti hanya bisa melakukan
wawancara dengan apoteker dan tidak dapat melakukan wawancara dengan dokter
penulis resep terkait alasan pemilihan terapi untuk pasien, selain itu jumlah
sampel yang didapatkan masih terlalu sedikit.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai evaluasi kerasionalan penggunaan
antibiotik pada pasien pediatrik demam tifoid di RSUD Kota Yogyakarta Tahun
2016-2017 dapat disimpulkan bahwa yang termasuk kategori 0 (rasional) pada
kategori Gyssens sebesar 35,7% dan sebesar 64,3% untuk penggunaan antibiotik
yang tidak rasional dengan rincian 28,6% termasuk kategori penggunaan
antibiotik tidak tepat dosis (IIA), 33,3% termasuk kategori penggunaan antibiotik
terlalu singkat (IIIB), dan 2,4% termasuk kategori penggunaan antibiotik terlalu
lama (IIIA).
Semua peresepan lolos untuk kategori tidak ditemukan antibiotik yang
termasuk dalam kategori tidak tepat waktu pemberian antibiotik (I); kategori tidak
tepat interval pemberian antibiotik (IIB); kategori tidak tepat rute pemberian
antibiotik (IIC); kategori terdapat alternatif antibiotik lain yang lebih efektif
(IVA); kategori ada antibiotik lain yang lebih aman (IVB); kategori terdapat
alternatif antibiotik lain yang lebih murah (IVC); kategori ada antibiotik lain
dengan spektrum yang lebih sempit (IVD); kategori tidak ada indikasi pemberian
antibiotik (V); dan kategori data rekam medis tidak lengkap untuk dievaluasi (VI).
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan perlu dilakukan tahap
wawancara dengan dokter untuk mengetahui pertimbangan dan alasan pemilihan
antibiotik yang digunakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
DAFTAR PUSTAKA
Ajum, H. A., 2015. Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika Pada Pasien
Anak dengan Demam Tifoid Berdasarkan Kriteria Gyssens di Instalasi
Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode
Januari-Desember 2013. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
David, S., 2015. Clinical Infectious Disease. United Kingdom: Cambridge
University Press.
Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, 2014. Profil Kesehatan Kota Yogyakarta.
Yogyakarta: Dinas Kesehatan Yogyakarta.
Gyssens, I. C., 2005. Audits for Monitoring the Quality of Antimicrobial
Prescriptions. In: Gould, I. M., Van der Meer, J. W. M., eds. Antibiotik
Policies. Boston: Springer, 197-219.
Ikatan Dokter Indonesia, 2015. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter. Jakarta:
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2406/Menkes/Per/XII/2011.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017. Formularium Nasional.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/659/2017.
Lacy, C. F., Armstrong, L. L., and Goldman, M. P., 2009. Drug Information
Handbook: A Comprehensive Resource fir All Clinicians and Healthcare
Professionals. New York: American Pharmacists Association.
MIMS, 2014. MIMS Petunjuk Konslutasi Edisi 14. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer.
Medscape, 2018. Drug Interaction Checker. Medscape (Online).
https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker accessed 5
December 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Rufaldi, C. D., 2011. Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam
Tifoid Kelompok Pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti
Rapih Yogyakarta Periode Januari-Desember 2010. Skripsi. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
Santoso, H., 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus
Demam Tifoid yang Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP dr.
Kariadi Semarang Tahun 2008. Skripsi. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Sidabutar, S., dan Satari, H. I., 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada
Anak: Kloramfenikol atau Seftriakson?. Sari Pediatri. 11 (6).
Untari, E. K., Agilina, A. R., dan Susanti, R., 2018. Evaluasi Rasionalitas
Penggunaan Obat Antihipertensi di Puskesmas Siantan Hilir Kota
Pontianak Tahun 2015. Pharmaceutical Science and Research. 5 (1).
World Health Organization, 2018. Weekly Epidemiological Record. No 13.
World Health Organization, 2011. Guideline for the Management of Typhoid
Fever. Switzerland: World Healh Organization.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Lampiran 1. Ethical Clearence
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Lampiran 2. Surat Perizinan Penelitian RSUD Kota Yogyakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Lampiran 3. Surat Perizinan Penelitian Dinas Penanaman Modal dan Perizinan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Lampiran 4. Definisi Operasional Penelitian
1. Pasien pediatrik demam tifoid merupakan pasien di Instalasi Rawat Inap
RSUD Kota Yogyakarta yang terdiagnosis demam tifoid dengan kode ICD 10:
A01 yang memenuhi kriteria inklusi.
2. Kelompok pediatrik menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia
adalah prematur (sebelum berusia 37 minggu), neonatus (1 hari - 1 bulan),
bayi (1 bulan - 1 tahun), dan anak (1-11 tahun).
3. Data penelitian menggunakan data rekam medis yang didapatkan dari bagian
rekam medis RSUD Kota Yogyakarta yang berkaitan dengan data pasien
pediatrik demam tifoid yang mencantumkan data pengobatan dan perawatan
pasien seperti nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, berat badan, tanggal
masuk dan keluar rumah sakit, keadaan pasien saat pulang, keluhan utama,
diagnosa, pemeriksaan fisik (suhu tubuh, kecepatan denyut nadi, dan
kecepatan nafas), pemeriksaan laboratorium, riwayat alergi dan catatan
penggunaan obat pasien.
4. Evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien pediatrik demam
tifoid dievaluasi secara kualitatif berdasarkan kategori 0-VI pada kriteria
Gyssens yaitu tepat indikasi, tepat dosis, tepat interval waktu pemberian, tepat
lama pemberian antibiotik yang disesuaikan dengan literatur “Panduan Praktik
Klinis Bagi Dokter” oleh Ikatan Dokter Indonesia tahun 2015 yang digunakan
di RSUD Kota Yogyakarta sebagai acuan praktek klinis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Lampiran 5. Kasus Kategori 0
Nomor RM : 662206
Tanggal Masuk : 20 September 2016
Tanggal Pulang : 26 September 2016
Informasi Pasien:
An. TSA, perempuan, umur 4 tahun 3 bulan, BB 25 kg, dengan keluhan sudah
demam selama seminggu. Suhu tubuh 36,5°C, nadi 115x, nafas 20x.
Diagnosis utama: demam tifoid
Status pulang: sembuh
Hasil Tes Laboratorium
20 September 2016
Parameter Nilai Nilai Normal Satuan
Hematologi
Hemoglobin 12,4 11,0-16,0 g/dL
Eritrosit 5,24 4,00-5,50 106/uL
Leukosit 6,8 4,0-10,6 103/uL
Trombosit 190 150-450 103/uL
Hematocrit 37,4 32,0-44,0 %
Hitung Jenis
Basofil 0,6 0-1 %
Eusinofil 0,8 0,5-5,0 %
Limfosit 27,8 20-40 %
Monosit 10,8 3-12 %
Netrofil batang 60,0 50-70 %
Netrofil segmen 4,10 2,7 103/uL
Tubex TF
6 <3 neg; 3
borderline; >3
positif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Terapi yang Diberikan saat Rawat Inap
Nama Obat Dosis Waktu Pemberian
(September)
Praxion Forte syr 3x1 cth 20
Meptin mini 2x25 mcg 21,22,23,24
Ceftriaxone inj. 2x1000 mg 20,21,22,23,24,25,26
(tiap jam 04.00 dan
16.00)
Terapi yang dibawa pulang
Nama Obat Dosis
Cefixime 2x125 mg
Zamel 1x1 cth
Lacto Bio 2x1 sachet
Terapi Antibiotik Yang Diterima Pasien Selama Menjalani Rawat Inap
No Nama
Antibiotik
Jenis/
golongan
Dosis dan
frekuensi
pemberian
Dosis
Guideline
Interval
Waktu
pemberian
Durasi
pemberian
1 Ceftriaxone Sefalosporin 2x1000
mg
75-80
mg/kgBB/hari
selama 5-14
hari
12 jam 7 hari
Assessment dengan Metode Gyssens (Lolos atau Tidak Lolos Per-Kategori)
No Nama
Antibiotik
Kategori
Gyssens
Hasil Assessment (Lolos atau Tidak Lolos Per-
Kategori)
1 Ceftriaxone Kategori VI Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien
lengkap)
Assessment: data rekam medis lengkap karena
telah mencantumkan hasil diagnosis utama,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
keluhan, tanggal masuk dan keluar rumah sakit,
hasil laboratorium, dan data pengobatan pasien.
Kategori V Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian
antibiotik).
Assessment: adanya indikasi pemberian
antibiotik untuk infeksi bakteri Salmonella typhi
yang ditandai dengan hasil diagnosa dokter
Kategori IV A Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotik lain
yang lebih efektif).
Assessment: pemberian ceftriaxone sudah tepat
dan ceftriaxone merupakan salah satu antibiotik
yang efektif dan direkomendasikan Ikatan Dokter
Indonesia (2015) untuk penatalaksanaan demam
tifoid. Ceftriaxone terbukti efektif yang
ditunjukkan dengan kondisi pasien yang
membaik.
Kategori IV B Lolos kategori IVB (tidak ada antibiotik lain
yang kurang toksik).
Assessment: berdasarkan Ikatan Dokter Indonesia
(2015), ceftriaxone cukup aman untuk anak dan
tidak ditemukan interaksi dengan obat lain yang
diberikan ke pasien (Medscape, 2018).
Kategori IV C Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotik lain
yang lebih murah)
Assessment: antibiotik ini merupakan antibiotik
generik dan harganya lebih murah jika
dibandingkan brand name dari ceftriaxone seperti
elpicef, faricef, racef, starxon, trijec, zeftrix,
cefim, dan brospec yang ada di Instalasi Farmasi
RSUD Kota Yogyakarta, serta ceftriaxone
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
termasuk dalam Formularium Nasional.
Kategori IV D Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotik lain
yang spektrum antibakterinya lebih sempit).
Assessment: ceftriaxone merupakan salah satu
antibiotik yang direkomendasikan Ikatan Dokter
Indonesia (2015) untuk penatalaksanaan demam
tifoid.
Kategori III A Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotik tidak
terlalu lama).
Assessment: pasien menerima ceftriaxone selama
7 hari sehingga penggunaan ceftriaxone tidak
terlalu lama karena penggunaan ceftriaxone
untuk demam tifoid adalah selama 5-14 hari
(Lacy et al., 2009).
Kategori III B Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotik tidak
terlalu singkat).
Assessment: pasien menerima ceftriaxone selama
7 hari dan berdasarkan Lacy et al. (2009), lama
penggunaan ceftriaxone untuk demam tifoid
adalah 5-14 hari.
Kategori II A Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotik tepat
dosis).
Assessment: berdasarkan literatur dosis untuk
anak-anak adalah 75-80 mg/kgBB/hari (Lacy et
al., 2009). Pasien dengan berat badan 25 kg
(1875-2000 mg/hari) diberikan dosis 2x1000
mg/hari (2000 mg/hari) sehingga dosis yang
diberikan sudah sesuai.
Kategori II B Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotik tepat
interval pemberian).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Assessment: interval pemberian ceftriaxone
sebanyak 2 kali sehari sudah sesuai literatur yaitu
1-2 kali sehari (Sidabutar dan Satari, 2010).
Kategori II C Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotik tepat
rute pemberian).
Assessment: rute pemberian sudah tepat yaitu
secara i.v (Ikatan Dokter Indonesia, 2015).
Kategori I Lolos kategori I (Penggunaan antibiotik tepat
waktu pemberian).
Assessment: waktu pemberian antibiotik sudah
tepat yaitu setiap jam 04.00 dan 16.00.
Kategori 0 Lolos kategori 0
Assessment: pemberian ceftriaxone pada pasien
sudah rasional karena lolos pada semua kategori
Gyssens.
Kesimpulan Penggunaan antibiotik tepat/bijak (kategori 0)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Lampiran 6. Kasus Kategori IIA
Nomor RM : 641822
Tanggal Masuk : 29 Februari 2016
Tanggal Pulang : 11 Maret 2016
Informasi Pasien:
An. KZO, perempuan, umur 3 tahun 4 bulan, BB 13 kg, dengan keluhan sudah
demam selama 5 hari. Suhu tubuh 38,3°C, nadi 108x, nafas 20x.
Diagnosis utama: demam tifoid
Status pulang: membaik
Hasil Tes Laboratorium
29 Februari 2016
Parameter Nilai Nilai Normal Satuan
Hematologi
Hemoglobin 10,3 11,0-16,0 g/dL
Eritrosit 3,70 4,00-5,50 106/uL
Leukosit 4,1 4,0-10,6 103/uL
Trombosit 204 150-450 103/uL
Hematocrit 28,7 32,0-44,0 %
Hitung Jenis
Basofil 0,2 0-1 %
Eusinofil 1,5 0,5-5,0 %
Limfosit 23,7 20-40 %
Monosit 4,7 3-12 %
Netrofil batang 69,9 50-70 %
Netrofil segmen 2,88 2,7 103/uL
Tubex TF
10 <3 neg; 3
borderline; >3
positif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Terapi yang Diberikan saat Rawat Inap
Nama Obat Dosis Waktu Pemberian
(Februari-Maret)
Parasetamol 140 mg 29
Ceftriaxone inj. 2x450 mg 29, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7
(pagi) (tiap jam 06.00 dan
18.00)
Cefixime p.o 2x60 mg 7 (sore), 8, 9, 10 (tiap jam
06.00 dan 18.00)
Terapi yang dibawa pulang
Nama Obat Dosis
Cefixime 2x60 (5 hari)
Terapi Antibiotik Yang Diterima Pasien Selama Menjalani Rawat Inap
No Nama
Antibiotik
Jenis/
golongan
Dosis dan
frekuensi
pemberian
Dosis
Guideline
Interval
Waktu
pemberian
Durasi
pemberian
1 Ceftriaxone Sefalosporin 2x450 mg 75-80
mg/kgBB/hari
selama 5-14
hari
12 jam 8 hari
2 Cefixime Sefalosporin 2x60 mg 20
mg/kgBB/hari
dalam dua
dosis terbagi
selama 7-14
hari
12 jam 4 hari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Assessment dengan Metode Gyssens (Lolos atau Tidak Lolos Per-Kategori)
No Nama
Antibiotik
Kategori
Gyssens
Hasil Assessment (Lolos atau Tidak Lolos Per-
Kategori)
1 Ceftriaxone Kategori VI Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien
lengkap)
Assessment: data rekam medis lengkap karena
telah mencantumkan hasil diagnosis utama,
keluhan, tanggal masuk dan keluar rumah sakit,
hasil laboratorium, dan data pengobatan pasien.
Kategori V Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian
antibiotik).
Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotik
untuk infeksi bakteri Salmonella typhi yang
ditandai dengan hasil diagnosa dokter
Kategori IV A Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotik lain
yang lebih efektif).
Assessment: pemberian ceftriaxone sudah tepat
dan ceftriaxone merupakan salah satu antibiotik
yang efektif dan direkomendasikan Ikatan Dokter
Indonesia (2015) untuk penatalaksanaan demam
tifoid. Ceftriaxone terbukti efektif yang
ditunjukkan dengan kondisi pasien yang
membaik.
Kategori IV B Lolos kategori IVB (tidak ada antibiotik lain yang
kurang toksik).
Assessment: berdasarkan Ikatan Dokter Indonesia
(2015), ceftriaxone cukup aman untuk anak dan
tidak ditemukan interaksi dengan obat lain yang
diberikan ke pasien (Medscape, 2018).
Kategori IV C Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotik lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
yang lebih murah)
Assessment: antibiotik ini merupakan antibiotik
generik dan harganya lebih murah jika
dibandingkan brand name dari ceftriaxone seperti
elpicef, faricef, racef, starxon, trijec, zeftrix,
cefim, dan brospec yang ada di Instalasi Farmasi
RSUD Kota Yogyakarta, serta ceftriaxone
termasuk dalam Formularium Nasional.
Kategori IV D Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotik lain
yang spektrum antibakterinya lebih sempit).
Assessment: ceftriaxone merupakan satu
antibiotik yang direkomendasikan Ikatan Dokter
Indonesia (2015) untuk penatalaksanaan demam
tifoid.
Kategori III A Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotik tidak
terlalu lama).
Assessment: pasien menerima ceftriaxone selama
8 hari sehingga penggunaan ceftriaxone tidak
terlalu lama karena penggunaan ceftriaxone untuk
demam tifoid adalah selama 5-14 hari (Lacy et al,
2009).
Kategori III B Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotik tidak
terlalu singkat).
Assessment: pasien menerima ceftriaxone selama
8 hari dan berdasarkan Lacy et al. (2009), lama
penggunaan ceftriaxone untuk demam tifoid
adalah 5-14 hari.
Kategori II A Lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotik tepat
dosis).
Assessment: berdasarkan literatur dosis untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
anak-anak adalah 75-80 mg/kgBB/hari (Lacy et
al, 2009). Pasien dengan berat badan 13 kg (975-
1040 mg/hari) diberikan dosis 2x450 mg/hari
(900 mg/hari) sehingga dosis yang diberikan
sudah sesuai karena masih masuk dalam ±10%
dari dosis.
Kategori II B Lolos kategori IIB (Penggunaan antibiotik tepat
interval pemberian).
Assessment: interval pemberian ceftriaxone
sebanyak 2 kali sehari sudah sesuai literatur yaitu
1-2 kali sehari (Sidabutar dan Satari, 2010).
Kategori II C Lolos kategori IIC (Penggunaan antibiotik tepat
rute pemberian).
Assessment: rute pemberian sudah tepat yaitu
secara i.v (Ikatan Dokter Indonesia, 2015).
Kategori I Lolos kategori I (Penggunaan antibiotik tepat
waktu pemberian).
Assessment: waktu pemberian antibiotik sudah
tepat yaitu setiap jam 06.00 dan 18.00
Kategori 0 Lolos kategori 0
Assessment: pemberian ceftriaxone pada pasien
sudah rasional karena lolos pada semua kategori
Gyssens.
Kesimpulan Penggunaan antibiotik tepat/bijak (kategori 0)
1 Cefixime Kategori VI Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien
lengkap)
Assessment: data rekam medis lengkap karena
telah mencantumkan hasil diagnosis utama,
keluhan, tanggal masuk dan keluar rumah sakit,
hasil laboratorium, dan data pengobatan pasien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Kategori V Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian
antibiotik).
Assessment: adanya indikasi pemberian antibiotik
untuk infeksi bakteri Salmonella typhi yang
ditandai dengan hasil diagnosa dokter
Kategori IV A Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotik lain
yang lebih efektif).
Assessment: pemberian cefixime sudah tepat dan
cefixime merupakan salah satu antibiotik yang
efektif dan direkomendasikan Ikatan Dokter
Indonesia (2015) untuk penatalaksanaan demam
tifoid. Cefixime terbukti efektif yang ditunjukkan
dengan kondisi pasien yang membaik.
Kategori IV B Lolos kategori IVB (tidak ada antibiotik lain yang
kurang toksik).
Assessment: berdasarkan Ikatan Dokter Indonesia
(2015), cefixime aman untuk anak dan tidak
ditemukan interaksi dengan obat lain yang
diberikan ke pasien (Medscape, 2018).
Kategori IV C Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotik lain
yang lebih murah)
Assessment: antibiotik ini merupakan antibiotik
generik dan harganya lebih murah jika
dibandingkan brand name dari cefixime seperti
cefilia, opixime, pyxime, maxpro, seprax, dan
sporetik yang ada di Instalasi Farmasi RSUD
Kota Yogyakarta, serta cefixime termasuk dalam
Formularium Nasional.
Kategori IV D Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotik lain
yang spektrum antibakterinya lebih sempit).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Assessment: cefixime merupakan salah satu
antibiotik yang direkomendasikan Ikatan Dokter
Indonesia (2015) untuk penatalaksanaan demam
tifoid.
Kategori III A Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotik tidak
terlalu lama).
Assessment: pasien menerima cefixime selama 4
hari sehingga penggunaan cefixime tidak terlalu
lama karena penggunaan cefixime untuk demam
tifoid adalah selama 7-14 hari (WHO, 2011).
Kategori III B Lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotik tidak
terlalu singkat).
Assessment: pasien menerima cefixime selama 4
hari dan berdasarkan WHO (2011), lama
penggunaan cefixime untuk demam tifoid adalah
7-14 hari. Penggunaan cefixime tidak terlalu
singkat karena cefixime merupakan antibiotik
pengganti/lanjutan dari ceftriaxone dan juga
diberikan untuk obat pulang pasien untuk 5 hari
kedepan.
Kategori II A Tidak lolos kategori IIA (Penggunaan antibiotik
tidak tepat dosis).
Assessment: berdasarkan literatur dosis untuk
anak-anak adalah 20 mg/kgBB/hari dalam dua
dosis terbagi (Ikatan Dokter Indonesia, 2015) dan
dosis maksimal 400 mg/kgBB/hari (Lacy et al.,
2009). Pasien dengan berat badan 13 kg (260
mg/hari) diberikan dosis 2x60 mg/hari (120
mg/hari) sehingga dosis yang diberikan tidak
sesuai (underdose).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Kategori II B -
Kategori II C -
Kategori I -
Kategori 0 -
Kesimpulan Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis (kategori IIA)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Lampiran 7. Kasus Kategori IIIB
Nomor RM : 695504
Tanggal Masuk : 14 Desember 2016
Tanggal Pulang : 17 Desember 2016
Informasi Pasien:
An. TFA, laki-laki, umur 8 bulan 6 hari, BB 8 kg, TB 71 cm dengan keluhan sudah
demam selama seminggu. Suhu tubuh 38°C, nadi 110x, nafas 24x.
Diagnosis utama: demam tifoid
Status pulang: membaik
Hasil Tes Laboratorium
14 Desember 2016
Parameter Nilai Nilai Normal Satuan
Hematologi
Hemoglobin 9,5 11,0-16,0 g/dL
Eritrosit 4,51 4,00-5,50 106/uL
Leukosit 6,9 4,0-10,6 103/uL
Trombosit 274 150-450 103/uL
Hematocrit 31,1 32,0-44,0 %
Hitung Jenis
Basofil 1,0 0-1 %
Eusinofil 0,3 0,5-5,0 %
Limfosit 34,2 20-40 %
Monosit 22,1 3-12 %
Netrofil batang 42,4 50-70 %
Netrofil segmen 2,93 2,7 103/uL
Tubex TF
4 <3 neg; 3
borderline; >3
positif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Terapi yang Diberikan saat Rawat Inap
Nama Obat Dosis Waktu Pemberian
(Desember)
Parasetamol drop 3x0,8 cc 14
Ceftriaxone inj. 1x640 mg 14, 15, 16 (tiap jam
18.00)
Terapi yang dibawa pulang
Nama Obat Dosis
Cefixime 2x40 mg
Terapi Antibiotik Yang Diterima Pasien Selama Menjalani Rawat Inap
No Nama
Antibiotik
Jenis/
golongan
Dosis dan
frekuensi
pemberian
Dosis
Guideline
Interval
Waktu
pemberian
Durasi
pemberian
1 Ceftriaxone Sefalosporin 1x640 mg 75-80
mg/kgBB/hari
selama 5-14
hari
24 jam 3 hari
Assessment dengan Metode Gyssens (Lolos atau Tidak Lolos Per-Kategori)
No Nama
Antibiotik
Kategori
Gyssens
Hasil Assessment (Lolos atau Tidak Lolos Per-
Kategori)
1 Ceftriaxone Kategori VI Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien
lengkap)
Assessment: data rekam medis lengkap karena
telah mencantumkan hasil diagnosis utama,
keluhan, tanggal masuk dan keluar rumah sakit,
hasil laboratorium, dan data pengobatan pasien.
Kategori V Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian
antibiotik).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Assessment: adanya indikasi pemberian
antibiotik untuk infeksi bakteri Salmonella typhi
yang ditandai dengan hasil diagnosa dokter
Kategori IV A Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotik lain
yang lebih efektif).
Assessment: pemberian ceftriaxone sudah tepat
dan ceftriaxone merupakan salah satu antibiotik
yang efektif dan direkomendasikan Ikatan Dokter
Indonesia (2015) untuk penatalaksanaan demam
tifoid. Ceftriaxone terbukti efektif yang
ditunjukkan dengan kondisi pasien yang
membaik.
Kategori IV B Lolos kategori IVB (tidak ada antibiotik lain
yang kurang toksik).
Assessment: berdasarkan Ikatan Dokter Indonesia
(2015), ceftriaxone cukup aman untuk anak dan
tidak ditemukan interaksi dengan obat lain yang
diberikan ke pasien (Medscape, 2018).
Kategori IV C Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotik lain
yang lebih murah)
Assessment: antibiotik ini merupakan antibiotik
generik dan harganya lebih murah jika
dibandingkan brand name dari ceftriaxone seperti
elpicef, faricef, racef, starxon, trijec, zeftrix,
cefim, dan brospec yang ada di Instalasi Farmasi
RSUD Kota Yogyakarta, serta ceftriaxone
termasuk dalam Formularium Nasional.
Kategori IV D Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotik lain
yang spektrum antibakterinya lebih sempit).
Assessment: ceftriaxone merupakan salah satu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
antibiotik yang direkomendasikan Ikatan Dokter
Indonesia (2015) untuk penatalaksanaan demam
tifoid.
Kategori III A Lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotik tidak
terlalu lama).
Assessment: pasien menerima ceftriaxone selama
3 hari sehingga penggunaan ceftriaxone tidak
terlalu lama karena penggunaan ceftriaxone
untuk demam tifoid adalah selama 5-14 hari
(Lacy et al, 2009).
Kategori III B Tidak lolos kategori IIIB (Penggunaan antibiotik
terlalu singkat).
Assessment: pasien menerima ceftriaxone selama
3 hari dan berdasarkan Lacy et al. (2009), lama
penggunaan ceftriaxone untuk demam tifoid
adalah 5-14 hari.
Kategori II A -
Kategori II B -
Kategori II C -
Kategori I -
Kategori 0 -
Kesimpulan Penggunaan antibiotik terlalu singkat (kategori IIIB).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Lampiran 8. Kasus Kategori IIIA
Nomor RM : 569568
Tanggal Masuk : 5 Januari 2016
Tanggal Pulang : 9 Januari 2016
Informasi Pasien:
An. AZP, laki-laki, umur 4 tahun 9 bulan, BB 18 kg, TB 115 cm dengan keluhan
sudah demam selama seminggu. Suhu tubuh 36°C, nadi 88x, nafas 20x, TD 110/70.
Diagnosis utama: demam tifoid
Status pulang: membaik
Hasil Tes Laboratorium
5 Januari 2016
Parameter Nilai Nilai Normal Satuan
Hematologi
Hemoglobin 12,7 11,0-16,0 g/dL
Eritrosit 4,81 4,00-5,50 106/uL
Leukosit 7,4 4,0-10,6 103/uL
Trombosit 208 150-450 103/uL
Hematocrit 38,3 32,0-44,0 %
Hitung Jenis
Basofil 0,5 0-1 %
Eusinofil 2,2 0,5-5,0 %
Limfosit 28,7 20-40 %
Monosit 2,3 3-12 %
Netrofil batang 66,3 50-70 %
Netrofil segmen 4,92 2,7 103/uL
Tubex TF
4 <3 neg; 3
borderline; >3
positif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Terapi yang Diberikan saat Rawat Inap
Nama Obat Dosis Waktu Pemberian
(Januari)
Cefotaxime inj. 3x650 mg 6,7 (tiap jam 04.00,
12.00, 24.00)
Cefotaxime inj. 3x625 mg 8, (tiap jam 04.00, 12.00,
24.00), 9 (jam 04.00 dan
12.00)
L Bio 1x1 sachet 7,8
Terapi yang dibawa pulang
Nama Obat Dosis
Cefspan syr 2x100 mg
L Bio 1x1 sachet
Terapi Antibiotik Yang Diterima Pasien Selama Menjalani Rawat Inap
No Nama
Antibiotik
Jenis/
golongan
Dosis dan
frekuensi
pemberian
Dosis
Guideline
Interval
Waktu
pemberian
Durasi
pemberian
1 Cefotaxime Sefalosporin 3x650mg
3x625 mg
150-200
mg/kgBB/hari
dalam 3-4
dosis terbagi
selama 2-3
hari
8 jam 2 hari
2 hari
Assessment dengan Metode Gyssens (Lolos atau Tidak Lolos Per-Kategori)
No Nama
Antibiotik
Kategori
Gyssens
Hasil Assessment (Lolos atau Tidak Lolos Per-
Kategori)
1 Cefotaxime Kategori VI Lolos kategori VI (Data rekam medis pasien
lengkap)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Assessment: data rekam medis lengkap karena
telah mencantumkan hasil diagnosis utama,
keluhan, tanggal masuk dan keluar rumah sakit,
hasil laboratorium, dan data pengobatan pasien.
Kategori V Lolos kategori V (Ada indikasi pemberian
antibiotik).
Assessment: adanya indikasi pemberian
antibiotik untuk infeksi bakteri Salmonella typhi
yang ditandai dengan hasil diagnosa dokter
Kategori IV A Lolos kategori IVA (Tidak ada antibiotik lain
yang lebih efektif).
Assessment: pemberian cefotaxime sudah tepat
dan cefotaxime merupakan salah satu antibiotik
yang efektif dan direkomendasikan WHO (2011)
untuk penatalaksanaan demam tifoid. Cefotaxime
terbukti efektif yang ditunjukkan dengan kondisi
pasien yang membaik.
Kategori IV B Lolos kategori IVB (tidak ada antibiotik lain
yang kurang toksik).
Assessment: cefotaxime cukup aman untuk anak
dan tidak ditemukan interaksi dengan obat lain
yang diberikan ke pasien (Medscape, 2018).
Kategori IV C Lolos kategori IVC (Tidak ada antibiotik lain
yang lebih murah).
Assessment: antibiotik ini merupakan antibiotik
generik dan harganya lebih murah jika
dibandingkan dengan brand name dari
sefotaksim seperti claforan, clatax, clacef,
clafexim, cefarin, dan cefor yang ada di Instalasi
Farmasi RSUD Kota Yogyakarta serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
cefotaxime termasuk dalam Formularium
Nasional.
Kategori IV D Lolos kategori IVD (Tidak ada antibiotik lain yag
spektrum antibakterinya lebih sempit).
Assessment: sefotaksim merupakan salah satu
antibiotik yang direkomendasikan WHO (2011)
untuk mengobati demam tifoid.
Kategori III A Tidak lolos kategori IIIA (Penggunaan antibiotik
terlalu lama).
Assessment: pasien menerima cefotaxime selama
4 hari sedangkan menurut literatur pemberian
cefotaxime selama 2-3 hari (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Kategori III B -
Kategori II A -
Kategori II B -
Kategori II C -
Kategori I -
Kategori 0 -
Kesimpulan Penggunaan antibiotik terlalu lama (kategori IIIA)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama lengkap Alberta Widya Kristyasari lahir
di Kendal pada tanggal 12 November 1996. Penulis
merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan
Bapak Chrisantus Yohanes Budiyoko dan Ibu Lusia
Kristiana. Penulis telah menempuh pendidikan di TK
Kemala Bhayangkari (2000-2003), SD N 2 Patukangan
(2003-2009), di SMP N 1 Kendal (2009-2012), di SMA
Stella Duce 1 Yogyakarta (2012-2015), dan penulis melanjutkan pendidikan
sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2015).
Semasa menempuh pendidikan sarjana, penulis aktif dalam kegiatan di luar
perkuliahan yaitu menjadi anggota divisi Liaison Officer di Pharmacy
Performance Road to School (2015) dan di Pharmacy Performance (2017) serta
aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Group Tari Sanata Dharma (Grisadha)
(2015-sekarang). Penulis juga telah menorehkan prestasi sebagai Juara II Pekan
Seni Mahasiswa Daerah (PEKSIMIDA) 2016 tangkai lomba tari. Penulis juga
aktif dalam kegiatan di perkuliahan yaitu menjadi Asisten Dosen Praktikum
Komunikasi Farmasi pada semester ganjil tahun ajaran 2018/2019.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Recommended