View
15
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
i
PENGARUH pH YANG BERBEDA TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN LARVA IKAN BAUNG (Mystus nemurus)
SKRIPSI PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Oleh :
IGA PUSPA WARDANI NIM. 135080501111070
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
ii
PENGARUH pH YANG BERBEDA TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN LARVA IKAN BAUNG (Mystus nemurus)
SKRIPSI PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh :
IGA PUSPA WARDANI NIM. 135080501111070
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
iii
iv
JUDUL : PENGARUH pH YANG BERBEDA TERHADAP
PERKEMBANGAN EMBRIO DAN LARVA IKAN BAUNG (Mystus
nemurus)
NAMA MAHASISWA : IGA PUSPA WARDANI
NIM : 135080501111070
PROGRAM STUDI : BUDIDAYA PERAIRAN
PENGUJI PEMBIMBING
PEMBIMBING 1 : Dr. Ir. Maheno Sri Widodo, MS
PEMBIMBING 2 : Dr. Ir. Agoes Soeprijanto, MS
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING
PENGUJI 1 : Prof. Ir. Marsoedi, Ph.D
PENGUJI 2 : Soko Nuswantoro, S.Pi., M.Si
TANGGAL UJIAN : 13 NOVEMBER 2017
v
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, November 2017
Mahasiswa,
IGA PUSPA WARDANI
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan
moril dan materil dari semua pihak. Melalui kesempatan ini, dengan kerendahan
hati penulis mengucapkan terimakasih kepada :
Tuhan Yang Maha Esa karena kasih karunia-Nya, sehingga terlaksana
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Bapak Dr. Ir. Maheno Sri Widodo, MS dan Dr. Ir. Agoes Soeprijanto, MS selaku
dosen pembimbing yang telah sabar dan banyak memberikan masukan,
bimbingan, serta saran yang membangun kepada penulis.
Bapak Prof. Ir. Marsoedi, Ph.D dan Bapak Soko Nuswantoro, S.Pi., M.Si. selaku
dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji, memberi
saran dan masukan kepada penulis.
Bapak Fidil Rakhmat dan Tim di Balai BBI Sawangan, serta Arman dan Samsir
yang telah sabar memberikan arahan dan ilmu selama melakukan penelitian.
Bapak Didik Puji W. dan Ibu Marhaeni, serta kakak Fonda Daniswara, S.Pi dan
Rizki Rachmaddianto, S.AP serta seluruh keluarga yang telah mendukung,
mendo’akan dan mendampingi penulis sampai sekarang.
Teman seperjuangan “Tim Bafin” Yeni Angela Silalahi, Debora P. Sinaga, Ilen
Inalya, Jhon Purba, Andi Kacaribu, A.Alya Yusriyyah, Annisa Nurvitasari dan
Vida Kurnia yang telah menjadi partner terbaik, memberikan motivasi, berbagi
ilmu serta mendampingi penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.
Teman – teman AQUA-GT 2013 Universitas Brawijaya dan seluruh pihak yang
turut membantu penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Malang, November 2017
Iga Puspa Wardani
vii
RINGKASAN
IGA PUSPA WARDANI. Pengaruh pH yang Berbeda terhadap Perkembangan
Embrio dan Larva Ikan Baung (Mystus nemurus) di bawah bimbingan Dr. Ir.
Maheno Sri Widodo, MS dan Dr. Ir. Agoes Soeprijanto, MS
Produksi ikan baung (Mystus nemurus) dalam memenuhi permintaan pasar dan konsumen sampai dengan saat ini diperoleh dari hasil tangkapan di alam, baik untuk ukuran benih maupun ikan ukuran konsumsi. Hasil tangkapan sangat tergantung oleh beberapa faktor seperti kondisi perairan dan persediaan stok yang ada di alam. Semakin intensifnya penangkapan ikan di perairan umum akan berdampak pada penurunan hasil perikanan tangkap sehingga dapat mengganggu keadaan persediaan dan populasi ikan. Usaha budidaya merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi ikan baung. Keberhasilan budidaya ditentukan oleh tersedianya benih, baik dalam jumlah maupun mutu. Khususnya dalam pembenihan tentunya selalu memperhatikan proses penetasan telur dimana mulai dari telur hingga menetas. Dalam pembenihan perlu diperhatikan kualitas air yang cocok untuk perkembangan telur, perbedaan kondisi lingkungan tiap daerah berbeda-beda. Untuk perkembangan telur dalam berbagai keadaan kualitas air terutama pada pH tertentu perlu diperhatikan agar dapat diketahui pada pH terbaik untuk perkembangan embrio ikan baung. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pH yang berbeda terhadap embriologi dan larva ikan baung. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pH yang berbeda terhadap perkembangan embrio dan larva ikan baung. Selain itu untuk mengetahui larva normal dan abnormal serta kelangsungan hidup larva ikan baung. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorim UPT Balai Benih Ikan Sawangan, Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli sampai 3 Agusutus 2017. Metode penelitian yang digunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan pH (6,7,8,9) dan 3 kali ulangan. Data hasil penelitian dilakukan uji normalitas data, kemudian dihitung analisa disik ragam, dilanjutkan uji BNT dan terakhir uji polynomial orthogonal. Parameter utama penelitian ini adalah perkembangan embrio, kecepatan menetas, daya tetas telur, abnormalitas serta kelangsungan hidup larva ikan baung. Parameter penunjang yaitu pengamatan kualitas air yaitu suhu dan oksigen terlarut.
Pengamatan embriogenesis ikan baung dilakukan selama ±24 jam atau 1 hari setelah pembuahan sampai telur menetas. Pada hasil kecepatan menetas dengan nilai rata rata waktu tercepat pada perlakuan C (pH 8) dengan durasi 29 jam 47 menit, selanjutnya pada perlakuan D (pH 9) dengan durasi 30 jam 38 menit, perlakuan B (pH 7) dengan durasi 30 jam 44 menit, selanjutnya pada perlakuan A (pH 6) dengan durasi 31 jam 22 menit. Sehingga didapatkan perlakuan terbaik yaitu pada perlakuan C (pH 8) dengan persamaan y = 56,268 – 6,698x + 0,4233x2
dengan koefisien determinasi sebesar R² = 0,8515 dan x maksimum 7,9 serta y maksimum sebesar 29,77 yaitu 29 jam 47 menit Hasil rerata nilai daya tetas telur ikan baung yaitu untuk perlakuan A sebesar 62,96%, perlakuan B sebesar 75,55%, perlakuan C sebesar 81,48% dan perlakuan D sebesar 82,22%. Perlakuan D menghasilkan nilai daya tetas telur ikan baung tertinggi. Dengan persamaan y = 27,782 + 6,3697x dan koefisien determinasi sebesar R2 = 0,8004 Nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,8004 yang berarti bahwa perlakuan pH yang berbeda mampu memberikan pengaruh
viii
terhadap persentase daya tetas telur sebesar 80,04% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Adapun hasil rerata abnormalitas larva ikan baung yaitu untuk perlakuan A sebesar 9,37%, perlakuan B sebesar 6,84%, perlakuan C sebesar 6,35% dan perlakuan D nilai abnormalitas terendah sebesar 4,48%. Hasil rerata nilai kelangsungan hidup larva ikan baung tertinggi diperoleh pada perlakuan D yaitu sebesar 79,36%, sedngkan pada perlakuan A sebesar 58,54%, pada perlakuan B sebesar 69,64%, dan pada perlakuan C sebesar 78,12%. Dengan persamaan sebesar nilai y = 18,202 + 7,0953x dan nilai koefisiensi determinasi (R2) sebesar 0,7604. Nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,7604 yang berarti bahwa perlakuan pH yang berbeda mampu memberikan pengaruh terhadap persentase kelangsungan hidup larva sebesar 76,04% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil pengamatan kualitas air selama penelitian yaitu suhu berkisar antara 24oC – 25,5oC dan oksigen terlarut berkisar antara 6,3 – 7,0 ppm.
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini yaitu bahwa pH yang berbeda memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kecepatan menetas telur, daya tetas telur serta kelangsungan hidup larva. Serta berpengaruh berbeda nyata terhadap abnormalitas. Waktu penetasan telur tercepat diperoleh pada pH 8 dengan waktu penetasan 29 jam 47 menit. Persentase daya tetas tertinggi diperoleh pada pH 9 sebesar 82,22% dan nilai abnormalitas larva terendah diperoleh pada pH 9 sebesar 4,48%, sedangkan persentase kelangsungan hidup tertinggi pada pH 9 sebesar 79,36%.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas
kasih karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan Skripsi yang berjudul
“Pengaruh pH yang Berbeda terhadap Perkembangan Embrio dan Larva Ikan
Baung (Mystus nemurus)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
meraih gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Brawijaya Malang.
Penulis menyadari pada penulisan skripsi masih banyak kekurangan dan
keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh sebab itu kritik dan saran
yang membangun sangat dibutuhkan agar tulisan ini bisa lebih bermanfaat bagi
yang membutuhkan.
Malang, November 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
IDENTITAS TIM PENGUJI ......................................................................... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................... iii
UCAPAN TERIMAKASIH .......................................................................... iv
RINGKASAN .............................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................ vii
DAFTAR ISI ............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiii
1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 3
1.4 Kegunaan ....................................................................................... 3
1.5 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4 2.1 Biologi Ikan Baung (Mystus nemurus) ............................................. 4
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ............................................................... 4 2.1.2 Habitat ............................................................................................. 5 2.1.3 Kebiasaan Makan .......................................................................... 6 2.1.4 Reproduksi ...................................................................................... 7 2.1.5 Pemijhan Buatan ................................................................... 8
2.2 Fertilisasi ......................................................................................... 9
2.3 Perkembangan Telur Ikan ............................................................. 10
2.4 Embriogenesis .............................................................................. 11
2.4.1 Cleavage .............................................................................. 12
2.4.2 Stadia Morula ....................................................................... 13
2.4.3 Stadia Blastula ..................................................................... 14
2.4.4 Stadia Gastrula..................................................................... 15
2.4.5 Organogenesis ..................................................................... 16
2.5 Penetasan Telur ............................................................................ 17
2.6 Pengaruh pH terhadap Perkembangan ......................................... 18
2.7 Kualitas Air .................................................................................... 20
xi
3. MATERI DAN METODE ..................................................................... 21
3.1 Materi Penelitian ........................................................................... 21
3.1.1 Ikan Uji ................................................................................. 21
3.1.2 Alat – Alat Penelitian ............................................................ 21
3.1.3 Bahan – Bahan Penelitian .................................................... 22
3.2 Rancangan Penelitian ................................................................... 22
3.3 Metode Kerja ................................................................................. 24
3.3.1 Alur Penilitian ....................................................................... 24
3.3.2 Kegunaan ............................................................................. 24
3.3.3 Seleksi Induk ........................................................................ 26
3.3.4 Pemijahan ............................................................................ 27
3.3.4 Penetasan Telur dan Perlakuan ........................................... 28
3.4 Parameter Uji ................................................................................ 28
3.4.1 Parameter Utama ................................................................. 28
3.4.2 Parameter Penunjang........................................................... 30
3.5 Analisa Data.................................................................................. 31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 32
4.1 Perkembangan Embrio ................................................................. 32
4.1.1 Telur Fertil ............................................................................ 33
4.1.2 Pembelahan Pertama (2 Sel) ............................................... 33
4.1.3 Pembelahan Kedua (4 Sel) .................................................. 34
4.1.4 Pembelahan Ketiga (8 Sel) ................................................... 35
4.1.5 Pembelahan Keempat (16 Sel) ............................................. 36
4.1.6 Pembelahan Kelima (32 Sel) ................................................ 35
4.1.7 Morula .................................................................................. 37
4.1.8 Blastula ................................................................................ 38
4.1.9 Gastrula ............................................................................... 38
4.1.10 Organogenesis ................................................................... 39
4.1.11 Menetas ............................................................................. 40
4.2 Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio .............................. 41
4.3 Hubungan pH dengan Kecepatan Menetas ................................... 44
4.4 Hubungan pH dengan Daya Tetas Telur ....................................... 47
4.5 Hubungan pH dengan Abnormalitas Larva .................................... 50
4.6 Hubungan pH dengan Kelangsungan Hidup Larva........................ 53
4.7 Kualitas Air .................................................................................... 56
5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 58
5.1 Kesimpulan ................................................................................... 58
5.2 Saran ............................................................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 59
LAMPIRAN ............................................................................................... 62
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Ikan Baung (Mystus nemurus) ........................................................................ 4
2. (a) Telur Fertil, (b) Pembelahan I, (c) Pembelahan II, (d) Pembelahan III, (e) Pembelahan IV. ........................................................................................... 13
3. Fase morula .................................................................................................. 14
4. Fase blastula ................................................................................................ 15
5. Fase gastrula ................................................................................................ 16
6. Fase Organogenesis ..................................................................................... 17
7. Denah Percobaan ......................................................................................... 23
8. Alur Penelitian............................................................................................... 24
9. Telur Fertil .................................................................................................... 33
10. Pembelahan 2 sel ........................................................................................ 34
11. Pembelahan 4 Sel ....................................................................................... 35
12. Pembelahan 4 Sel ....................................................................................... 35
13. Pembelahan 16 Sel...................................................................................... 36
14. Pembelahan 32 sel ...................................................................................... 37
15. Stadia Morula............................................................................................... 37
16. Stadia Blastula ............................................................................................. 38
17. Stadia Gastrula ............................................................................................ 39
18. Stadia Organogenesis ................................................................................. 40
19. Larva Ikan Baung. ........................................................................................ 41
20. Hubungan Antara pH Media Penetasan dengan Perkembangan Embrio Telur Ikan Baung ........................................................................................ 42
21. Rata-Rata Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung ........................................ 44
22. Grafik Regresi Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung .................................. 46
23. Rata-Rata Daya Tetas Telur Ikan Baung ..................................................... 48
xiii
24. Grafik Regresi Nilai Daya Tetas Telur (HR) Ikan Baung ............................... 50
25. Rata-Rata Abnormalitas Telur Ikan Baung ................................................... 51
26. Grafik Regresi Abnormalitas Ikan Baung ..................................................... 53
27. Rata-Rata Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung. ..................................... 54
28. Grafik Regresi Nilai Kelangsungan Hidup Larva .......................................... 56
xi
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Waktu Perkembangan Embrio Ikan Baung pada Perlakuan pH 6, pH 7, pH 8 dan pH 9. ....................................................................................... 32
2. Data Pengamatan Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio .......... 42
3. Rerata Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung ........................................ 44
4. Sidik Ragam Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung. .............................. 45
5. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung .... 45
6. Rerata Nilai Perhitungan Daya Tetas Telur Ikan Baung. ......................... 47
7. Sidik Ragam Daya Tetas Telur Ikan Baung ............................................ 49
8. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Daya Tetas Telur Ikan Baung ................. 49
10. Sidik Ragam Abnormalitas Larva Ikan Baung ......................................... 52
11. Uji Beda Nyata Terkecil Abnormalitas Ikan Baung. ................................. 52
12. Rerata Nilai Perhitungan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung .......... 54
13. Sidik Ragam Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung. ............................ 55
14. Uji Beda Nyata Terkecil Kelangsungan Hidup Ikan Baung. .................... 55
15. Parameter Kualitas Air ............................................................................ 57
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Glosarium .................................................................................................. 62
2. Penyuntikan Ikan Baung ............................................................................ 65
3. Pengamatan Embriogenesis Telur Ikan Baung .......................................... 66
4. Data Pengamatan Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio ............. 67
5. Dosis Pemberian Hormon (Ovaprim) Perhitungan Fekunditas, Fertilization Rate (FR) dan Hatching Rate (HR) ............................................................ 68
6. Proses Perkembangan Embriogenesis Telur Ikan Baung. Error! Bookmark
not defined.69
7. Perhitungan Kecepatan Menetas ............................................................... 72
8. Perhitungan Uji BNT Hatching Rate ........................................................... 79
9. Perhitungan Uji BNT Survival Rate ............................................................ 84
10. Perhitungan Uji BNT Abnormalitas ..............Error! Bookmark not defined.
11. Alat dan Bahan Penelitian………………………………………………….….
89
94
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mempunyai pontensi perikanan yang
cukup luas baik laut maupun tawar. Pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan harus mengacu pada prinsip pembangunan berkelanjutan guna
meningkatkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya secara
seimbang. Salah satu komoditas andalan lokal yang menjadi target peningkatan
produksi adalah ikan baung (Huwoyon et al., 2011).
Masyarakat Indonesia cukup gemar mengkonsumsi ikan baik dari hasil
tangkap maupun hasil budidaya. Namun jika para masyarakat hanya
mengandalkan ikan hasil tangkapan dari ikan muara atau sungai, tidak dapat
dipastikan untuk penghasilan yang tetap. Hal ini sesuai oleh Muflikah et al.(2006),
bahwa produksi ikan baung (Mystus nemurus) dalam memenuhi permintaan pasar
dan konsumen sampai dengan saat ini diperoleh dari hasil tangkapan di alam, baik
untuk ukuran benih maupun ikan ukuran konsumsi. Hasil tangkapan sangat
tergantung oleh beberapa faktor seperti kondisi perairan dan persediaan stok yang
ada di alam. Selain itu, adanya kemungkinan perubahan lingkungan perairan
sebagai akibat aktivitas manusia di sepanjang daerah aliran sungai seperti
pemukiman, pertanian, transportasi, perindustrian, pembangkit tenaga listrik, dan
rekreasi akan dapat mempengaruhi keberadaan, pola tingkah laku dan struktur
populasi ikan. Oleh sebab itu diperlukan budidaya untuk memperoleh hasil yang
lebih baik.
Penyebaran ikan baung di Indonesia meliputi pulau Sumatera, Jawa dan
Kalimantan. Ikan baung merupakan ikan yang dikenal masyarakat karena memiliki
daging yang putih, tebal tanpa duri halus di dalam dagingnya. Semakin intensifnya
penangkapan ikan di perairan umum akan berdampak pada penurunan
2
persediaan dan populasi ikan baung. Ikan baung cukup memiliki prospek untuk
kedepannya (Hadid et al., 2014).
Ikan baung merupakan salah satu komoditas perairan umum yang
mempunyai prospek untuk dibudidayakan baik di kolam maupun keramba jaring
apung dan jenis ikan ini dapat cepat menyesuaikan diri terhadap pakan buatan. Di
Jawa Barat, ikan baung digemari masyarakat dan harganya tinggi dibandingkan
dengan harga ikan mas. Untuk memperoleh ikan baung sendiri masih
mengandalkan sumberdaya dari alam (Huwoyon et al., 2011).
Dalam pembenihan kualitas air yang dapat mempengaruhi penetasan telur
antara lain faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam adalah hormon dan volume
kuning telur. Hormon yang dihasilkan oleh hipofisa dan tyroid berperan dalam
proses metamorfosa, dan volume kuning telur berhubungan dengan
perkembangan embrio sedangkan faktor luar yang mempengaruhi penetasan
adalah suhu, pH, salinitas. Jika faktor luar kurang mendukung atau kualitas air
dalam kondisi ekstrem maka dapat menghambat penetasan telur bahkan dapat
terjadi kematian pada larva ikan (Hadid et al., 2014).
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan dalam budidaya ikan baung saat ini ialah dalam
pembenihan. Mengingat dalam penetasan ikan baung memiliki nilai SR yang
rendah. Khususnya dalam pembenihan tentunya selalu memperhatikan proses
penetasan telur dimana mulai dari telur sampai dengan penetasan. Dalam
pembenihan tentunya diperhatikan kualitas air yang cocok untuk perkembangan
telur, perbedaan kondisi lingkungan tiap daerah berbeda-beda. Untuk
perkembangan telur dalam berbagai keadaan kualitas air terutama pada pH
tertentu perlu diperhatikan agar dapat diketahui pada pH terbaik untuk
perkembangan embrio ikan baung. Menurut Susanto (2015), menyatakan bahwa
3
dalam pembenihan ikan harus memperhatikan beberapa metode maupun faktor -
faktor yang dapat mempengaruhi penetasan salah satunya ialah kualitas air.
Kualitas air untuk kegiatan pembenihan ikan baung berperan penting agar
perkembangan telur tidak terganggu, kualitas air yang baik dengan suhu berkisar
24 - 29 oC , dengan pH berkisar 6,5 – 8 serta kelarutan oksigen 4 ppm.
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh pH yang berbeda terhadap perkembangan embrio
pada ikan baung?
2. Bagaimana larva normal dan abnormal serta kelangsungan hidup pada
larva ikan baung dengan media pH yang berbeda?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui perkembangan embrio pada ikan baung pada pengaruh pH
yang berbeda.
2. Mengetahui larva normal dan abnormal serta kelangsungan hidup larva
ikan baung pada pH yang berbeda.
1.4 Kegunaan
Dari penelitian ini diharapkan mampu mengetahui pada pH perairan yang
optimal untuk perkembangan embrio dan penetasan telur pada ikan baung
sehingga dapat diterapkan kepada masyarakat yang membudidayakan ikan
baung.
1.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3 Juli sampai 3 Agusutus 2017, di
Laboratorim UPT Balai Benih Ikan Sawangan, Magelang, Jawa Tengah.
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Ikan Baung (Mystus nemurus)
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi
Menurut Muflikhah et al. (2006), klasifikasi ikan baung adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Ordo : Siluriformes
Famili : Bagridae
Genus : Mystus
Species : Mystus nemurus
Nama lokal : Ikan Baung
Nama umum : Baung Putih, Baung Sungai, Baung Tikus, Baung Murai
Gambar 1. Ikan Baung (Mystus nemurus)
Ikan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut, bentuk badan panjang dan tidak
bersisik, pada sirip dada terdapat tulang yang tajam dan bersengat, memiliki sirip
lemak yang panjangnya kira-kira sama dengan panjang sirip dubur. Panjang total
5 x tinggi atau 3 sampai dengan 3,5 kali panjang kepala. Selain sirip dada, sirip
5
punggung berjari-jari keras dan berbisa, tulang rahang atas bergigi, warna bagian
punggung agak kehitaman dan bagian dada putih. Ciri khas pada spesies ini
adalah panjang dasar sirip lemak sama dengan panjang dasar sirip dubur, sungut
hidung mencapai mata dan sungut rahang atas yang panjangnya mencapai sirip
dubur (Muflikah et al., 2006).
Mystus nemurus memiliki nama lokal ikan Baung dan bentuk tubuhnya
kombinasi dengan letak mulut subterminal. Ikan ini memiliki empat pasang sungut,
panjang sungut rahang atas mencapai belakang sirip perut, sedangkan panjang
sungut hidung mencapai mata, garis rusuk lurus, sirip lemak berukuran sama
panjang dengan sirip dubur dan ujung sirip lemak berwarna hitam, jari - jari terakhir
pada sirip punggung dan sirip dada bergerigi dan pada bagian atas kepala kasar,
bentuk sirip ekor bercagak (Bhagawati et al., 2013).
2.1.2 Habitat
Ikan baung hidup di perairan yang memiliki tekstur pasir. Hubungan
parameter fisika kimia berupa jenis terkstur substrat dasar pada setiap stasiun
penelitian dapat dikaitkan dengan ikan dan makrozobenthos yang didapat sebagai
pakan alami untuk ikan baung. Ikan baung yang hidup didasar perairan menyukai
tekstur substrat yang berpasir, ini diduga mempermudah ikan baung untuk
membuat liang untuk bersembunyi dalam menangkap mangsanya. Terkstur pada
setiap stasiun cocok untuk spesies tersebut karena spesies tersebut memiliki
cangkang yang tebal akan tahan pada presentase pasir yang cukup tinggi. Hal ini
sesuai dengan kelimpahan benthos yang cukup tinggi karena sesuai dengan
tekstur yang berpasir sebagai substrat dasar hidup molluska (Windy et al.,2014).
Ikan baung banyak ditemukan pada perairan sungai atau danau namun
habitat untuk ikan baung dapat dikatakan luas yang meliputi sungai-sungai besar,
anak sungai, lubuk-lubuk sungai sampai dengan ke danau, terutama danau yang
berada di dataran rendah, danau oxbow seperti danau teluk di Jambi, danau-
6
danau rawa, rawa lebak (flood plain), hutan rawa, dan lain-lain. Pada musim hujan
penyebaran ikan sampai dengan ke rawa lebak yang berhubungan langsung
dengan sungai, sehingga kualitas air di lebak atau rawa kurang lebih sama dengan
kualitas air sungai. pH air lebak atau rawa berkisar 5 sampai dengan 5,5,
sedangkan pH air sungai berkisar 5,5 sampai dengan 6,5. Di musim hujan hutan
rawa banyak ditemukan mulai dari tingkat benih sampai dengan baung dewasa
yang sudah matang gonad, karena di tempat ini banyak didapat mikroorganisme
dan makroorganisme lain yang menjadi pakan alami bagi ikan baung. Pakan alami
tersebut dapat membantu kematangan gonad dengan cepat (Muflikah et al., 2006).
Menurut Kordi (2009), menyebutkan bahwa habitat ikan baung diantaranya
ialah sungai, muara, danau, serta terdapat di perairan payau muara sungai dan
biasanya dapat ditemukan di daerah yang terkena banjir. Di Jawa Barat ikan baung
dapat ditemukan di sungai Cidurian dan Jasinga Bogor yang airnya cukup dangkal
dengan kedalaman kurang lebih 45 cm dengan kecerahan 100%. Baung suka
bergerombol dan hidup di perairan tenang. Merupakan hewan nokturnal, menyukai
lokasi lokasi yang tersembunyi, setelah gelap ikan baung akan cepat keluar untuk
mencari mangsa setelah itu cepat kembali ke sarangnya.
2.1.3 Kebiasaan Makan
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ikan baung tergolong karnivor
dengan susunan makanan terdiri atas ikan, insekta, udang, annelida, nematode,
detritus, sisa tumbuhan atau organik lainya. Perbedaan informasi yang didapat
disebabkan oleh lingkungan yang berbeda, namun dari informasi yang didapat
dapat diketahui ikan baung tergolong ikan omnivora dengan kencederungan
sebagai karnivora. Ikan baung mencari mangsa pada malam hari atau disebut
nokturnal. Untuk mangsa ikan baung kebanyakan memiliki kecenderungan yang
dapat diketahui dengan kandungan makanan yang mempunyai kadar protein
cukup tinggi (Kordi, 2009).
7
Hasil penelitian di India makanan marga Mystus pada umumnya terdiri atas
ikan krustacea, insekta, sisa-sisa tumbuhan, dan detritus. Terdapat susunan
makanan anak ikan baung berbeda dengan ikan baung dewasa. Kelompok insekta
merupakan bagian utama bagi anak ikan. Tetapi di bulan Januari ikan betina dan
jantan dewasa mengalami perubahan susunan makanan yaitu ikan betina dewasa
bagian terbesar pakan utama adalah ikan, sedangkan ikan jantan dewasa pakan
utamanya kelompok insekta. Ketika udang banyak ditemukan yaitu pada bulan
Oktober udang merupakan pakan utama, tetapi di bulan berikutnya sejalan dengan
menurunnya populasi udang, maka ikan baung kembali ke pakan utamanya yaitu
ikan atau insekta (Muflikah et al., 2006).
2.1.4 Reproduksi
Ikan baung mulai mengalami perkembangan gonad ketika sudah
berukuran 200 mm dengan berat 90 g sehingga pada 100 g ikan baung tersebut
sudah matang gonad. Di danau Sipin dan Kenali, baung betina dengan tingkat
kematangan gonad IV (matang) didapat bulan pada Oktober – Maret sedangkan
untuk ikan baung jantan dengan tingkat kematangan gonad IV hanya didapat pada
bulan Oktober – Desember. Ikan baung yang ditemukan di Waduk Juanda
diketahui dengan tingkat kematangan gonad IV yang ditemukan pada bulan
Oktober – Maret (Kordi, 2009).
Di alam ikan baung memijah pada awal musim penghujan. Ukuran ikan
baung jantan yang mulai matang kelamin adalah berkisar dari panjang 25 sampai
dengan 30 cm dengan bobot antara 200 sampai dengan 250 g. Sperma ikan baung
berbentuk rumbai - rumbai. Menurut pengalaman dan pengamatan, sperma ikan
baung yang matang kelamin (dengan melihat papillanya yang merah) yang berasal
dari daerah aliran Sungai Musi ketika dibedah hanya 1/3 sampai dengan 1/2
bagian yang matang, ini nampak jelas dari warnanya yang berbeda yaitu, bagian
yang mengarah ke saluran sperma berwarna putih susu, sedangkan bagian yang
8
lain berwarna bening dan jernih. Berbeda dengan ikan baung yang diperoleh dari
daerah aliran Sungai Batanghari, Jambi yaitu di Muara Bungo. Induk jantan
dengan penampakan yang sama papillanya setelah dibedah nampak sperma ikan
baung secara keseluruhan semua berwarna putih susu tidak ada yang berwarna
bening atau jernih. Pemijahan di alam terjadi pada saat air meluap, ikan bermigrasi
dari sungai ke genangan-genangan baru, di mana di lahan tersebut banyak
persediaan pakan alami baik untuk larva, benih sampai dengan ke induk, terutama
di hutan rawa, banyak ditemukan larva benih bahkan ikan remaja dan induk ikan
baung dengan segala ukuran (Muflikah et al., 2006).
2.1.5 Pemijahan Buatan
Percobaan pemijahan secara buatan telah dilakukan dengan teknik
pemberian rangsangan dengan suntik hormon. Dapat juga dengan menggunakan
ovaprim dosis 0,5 cc per kg induk. Pembuahan dilakukan dalam baskom dengan
menampung telur hasil stripping induk betina dan mencampur dengan sperma dari
induk jantan, kemudian telur yang telah dibuahi di inkubasi dalam hapa yang
diletakkan dalam bak fiber atau bak kayu yang dilapisi plastik, air yang digunakan
adalah air perusahaan air minum yang telah diinapkan dan diaerasi. Penetasan
telur terjadi 32 sampai dengan 36 jam kemudian, dan telur yang menetas
mencapai 90% (Muflikhah et al., 2006).
Induk ikan yang disuntik dengan ovaprim dapat menyebabkan peningkatan
konsentrasi hormon gonadotropin didalam darah sehingga dapat merangsang
perkembangan telur dan mempercepat proses pemijahan. Sedangkan induk ikan
yang tidak diberikan dosis ovaprim akan terjadi kelambatan dalam proses
pemijahan, hal ini dikarenakan kandungan gonadotropin dalam tubuh belum cukup
untuk terjadinya ovulasi, dan tidak adanya rangsangan hormonal dari luar yang
dapat meningkatkan kandungan gonadotropin dalam tubuh ikan yang dapat
mengakibatkan ikan sulit untuk memijah secara alami (Manatung et al., 2013).
9
Adapun tahap dalam proses pemijahan mulai dari pemeliharaan induk,
setelah induk dalam pemeliharaan, dilakukan penimbangan induk untuk
menentukan dosis ovaprim. Penyuntikkan dilakukan secara intramuscular
sebanyak satu kali dengan dosis 0,5 ml/kg bobot tubuh induk betina. Pembuahan
dilakukan dengan cara mencampurkan telur dengan sperma yang telah
diencerkan pada masing-masing wadah pengencer sperma, kemudian diaduk
menggunakan bulu ayam selama 2 menit sampai tercampur merata. Selanjutnya,
larutan pengenceran sperma dibuang sampai tersisa telur saja, lalu telur-telur
dibilas dengan air bersih. Selanjutnya telur-telur tersebut dituangkan kedalam
ayakan yang terendam air di dalam loyang yang telah diberi aerasi untuk dilakukan
pengamatan selanjutnya. Selanjutnya larva yang menetas dipelihara dalam loyang
yang sudah dibersikan (Mambrasar et al., 2015).
2.2 Fertilisasi
Telur-telur hasil pemijahan yang dibuahi selanjutnya berkembang menjadi
embrio dan akhirnya menetas menjadi larva, sedangkan telur yang tidak dibuahi
akan mati dan membusuk. Lama waktu perkembangan hingga telur menetas
menjadi larva tergantung pada spesies ikan dan kualitas air. Untuk keperluan
perkembangan digunakan energi yang berasal dari kuning telur dan butiran
minyak. Oleh karena itu, kuning telur terus menyusut sejalan dengan
perkembangan embrio, energi yang terdapat dalam kuning telur berpindah ke
organ tubuh embrio. Embrio terus berkembang dan membesar sehingga rongga
telur menjadi penuh dan tidak sanggup untuk mewadahinya, maka dengan
kekuatan pukulan dari dalam oleh sirip pangkal ekor, cangkang telur pecah dan
embrio lepas dari kungkungan menjadi larva, pada saat itulah telur menetas
menjadi larva. Telur membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya.
Oksigen masuk kedalam telur secara difusi melalui lapisan permukaan cangkang
10
telur, oleh karena itu media penetasan telur harus memiliki kandungan oksigen
yang melimpah yaitu > 5 mg/ liter (Manatung et al., 2013).
Pembuahan atau disebut juga dengan fertilisasi adalah proses
bergabungnya inti sperma dengan inti sel telur dalam sitoplasma sehingga
membentuk zigot. Pada dasarnya fertilisasi adalah penyatuan atau fusi sel gamet
jantan dan sel gamet betina untuk membentuk satu sel (zigot). Dalam proses
pembuahan, spermatozoa masuk ke dalam telur melalui lubang micropyle yang
terdapat pada chorion. Tiap spermatozoa mempunyai kesempatan yang sama
untuk membuahi satu telur. Akan tetapi karena ruang tempat terjadinya
pembuahan yaitu pertemuan telur dengan spermatozoa pada ikan ovipar sangat
besar, maka kesempatan spermatozoa itu untuk bertemu dengan telur sebenarnya
sangat kecil (Setyono, 2009).
2.3 Perkembangan Telur Ikan
Secara umum pada perkembangan telur ikan di dalam ovarium meliputi
empat tahap diantaranya ialah awal pertumbuhan, tahap pembentukan kantung
kuning telur, tahap vitelogenesis dan tahap pematangan. Setelah itu telur terjadi
ovulasi dan dipijahkan. Kuning telur yang dibentuk didalam sel telur bertujuan
sebagai makanan – makanan bagi embrio ikan, kemudian saat kuning telur pada
larva tersebut sudah habis maka perlu ditambahkan makanan tambahan dari luar.
Makanan tambahan dari luar tersebut dapat berupa makanan alami yang memiliki
kandungan gizi yang tercukupi. Makanan alami dapat digantikan dengan plankton
atau cacing sutera (Fujaya, 2008).
Dalam tahap awal dari daur hidup ikan terutama dalam stadia larva
terdapat masa kritis yang terletak pada saat sebelum dan sesudah penghisapan
kuning telur dan masa transisi mulai mengambil makanan dari luar. Sehubungan
dengan hal ini, pergerakan larva atau tingkah laku larva untuk mendapatkan
11
makanan, juga kepadatan persediaan makanan yang baik merupakan faktor yang
mempengaruhi keberhasilan hidup. Pada saat kuning telur belum habis dihisap
larva melakukan pergerakan yang memerlukan energi (Setyono, 2009).
Selama pemeliharaan larva tidak diberi pakan karena kuning telur masih
ada. Telur yang tidak menetas dibuang dengan menggunakan pipet tetes agar
kualitas air tetap baik. Perkembangan telur yang tidak sempurna dapat
menghasilkan larva yang abnormal dengan ciri-ciri terjadi pembengkokan pada
tulang ekor, tubuhnya kerdil, ukuran kuning telur terlalu besar dibandingkan larva
lain, dan gerakannya selalu berputar. Larva ikan baung yang baru menetas tampak
transparan, sirip dada dan sirip ekor sudah ada tetapi hanya berbentuk tonjolan
dan belum memiliki jari-jari, mata sudah berpigmen, sungut mulai terbentuk
meskipun belum jelas betul bentuknya dan panjang larva yang baru menetas
berkisar antara 5,79-6,20 mm (Hadid et al., 2014).
2.4 Embriogenesis
Pembuahan merupakan bersatunya oosit (telur) dengan sperma yang
membentuk zigot. Menurut Yulianti et al.(2012), menyatakan bahwa telur
umumnya mengalami proses embriogenesis, yaitu proses perkembangan telur
hingga menjadi larva, embriogenesis akan berlangsung pada saat inkubasi dimulai
dari proses pembelahan sel telur (cleavage), morulasi, blastulasi, gastrulasi, dan
dilanjutkan dengan organogenesis yang selanjutnya menetas. Telur mengalami
balstulasi dimana proses perkembangan embrio yang menghasilkan pembentukan
blastula. Setelah itu fase gastrula dimana terjadi perkembangan sel bakal organ
yang telah terbentuk pada fase blastula. Kemudian sel telur akan mengalami
perkembangan fase organogenesis, dimana proses pembentukan organ tubuh,
pembentukan organ tubuh ini meliputi otak, mata, bagian alat pencernaan
makanan dan kelenjarnya, dan sebagian kelenjar endokrin.
12
2.4.1 Cleavage
Pada pembelahan pertama merupakan tahap perkembangan 2 sel, yang
ditandai dengan terjadinya pembelahan mitosis sel tunggal menghasilkan dua
buah sel yang berukuran lebih kecil dan sama. Pembelahan selanjutnya adalah
tahap perkembangan 4 sel, ditandai dengan terjadinya pembelahan mitosis dari
kedua sel menghasilkan empat buah sel. Tahap 8 sel ditandai dengan terjadinya
pembelahan keempat sel menghasilkan delapan buah sel. Tahap-tahap
perkembangan selanjutnya terjadi pembelahan-pembelahan sel secara mitosis
menghasilkan sel-sel (blastomer) dengan jumlah dua kali lipat (duplikasi),
sehingga terbentuk banyak sel berukuran kecil-kecil dan dalam bentuk susunan
yang bergerombol (morula) yang tampak lebih padat dibandingkan pada bagian
kuning telur (Iswanto dan Tahapari, 2011).
Pada saat pembelahan I terjadi, lapisan korion mengeras yang berfungsi
untuk melindungi proses pembelahan sel selanjutnya agar tidak rusak.
Pembelahan II diawali dengan dua buah blastomer yang membelah tegak lurus
dan menghasilkan terbentuknya empat sel atau blastomer turunan kedua dengan
bentuk dan ukuran yang sama besar, tetapi ukurannya lebih kecil dari blastomer
turunan pertama. Pembelahan III menghasilkan delapan blastomer turunan ketiga
yang berukuran sama besar, namun ukurannya lebih kecil dari blastomer turunan
kedua. Pembelahan menjadi delapan sel adalah akibat pembelahan empat sel
atau blastomer menjadi delapan blastomer yang tersusun dalam dua baris yang
sejajar, dimana setiap baris terdiri dari empat blstomer yang berukuran sama
besar. Pembelahan ke IV menghasilkan 16 blastomer. Pada pembelahan V,
blastomer yang terbentuk sama besar dan ukurannya lebih kecil dari pembelahan
IV, blastomer-blastomer yang terbentuk susunannya sudah tidak beraturan lagi
dan membentuk seperti bola kecil. Selain itu, pada ruang perivetilin sudah tidak
terlihat lagi (Pattipeilohy, 2013).
13
(a) (b) (c)
(d) (e)
Gambar 2. (a) Telur Fertil, (b) Pembelahan I, (c) Pembelahan II, (d) Pembelahan III, (e) Pembelahan IV (Kimmel et al., 1995).
2.4.2 Stadia Morula
Perkembangan selanjutnya adalah tahap-tahap pembelahan sel
(morulasi). Tahap-tahap perkembangan selanjutnya terjadi pembelahan-
pembelahan sel secara mitosis menghasilkan sel-sel (blastomer) dengan jumlah
dua kali lipat (duplikasi), sehingga terbentuk banyak sel berukuran kecil-kecil dan
dalam bentuk susunan yang bergerombol (morula) yang tampak lebih padat
dibandingkan pada bagian kuning telur (Iswanto dan Tahapari, 2011).
Menurut Renita et al.(2016), menyatakan bahwa fase morula dimulai
ketika telah mencapai 32 sel. Sel membelah secara melintang dan mulai terbentuk
formasi lapisan kedua secara samar pada kutub anima. Fase morula berakhir
apabila pembelahan sel sudah menghasilkan blastomer yang ukuran sama tetapi
lebih kecil. Kemudian sel tersebut memadat untuk menjadi blastodisk kecil
membentuk dua lapis sel.
14
Gambar 3. Fase Morula (Kimmel et al., 1995) 2.4.3 Stadia Blastula
Stadia blastula terbentuk setelah stadia morula berakhir, dimana pada
stadia blastula, blastomer membelah beberapa kali membentuk blastomer-
blastomer dengan ukuran yang makin kecil, sehingga tempat pada stadia morula
blastomer semula padat akan terbentuk ruangan kosong yang disebut blastosul
yang ditutupi oleh blastoderm dan pada sisi luar terdapat epiblast. Antara blastosul
dan blastoderm dipisahkan oleh hypoblast primer (Pattipeilohy, 2013).
Fase blastula awal merupakan stadia blastula dimana sel-selnya terus
mengadakan pembelahan dengan aktif sehingga ukuran sel selnya semakin kecil.
Pada stadia blastula terdapat dua macam sel yakni sel formatif dan non formatif.
Sel formatif termasuk ke dalam komposisi tubuh embrionik sedangkan sel
nonformatif sebagai tropoblast yang ada hubungannya dengan nutrisi embrio.
Pada stadia blastula ini terdapat daerah sel yang dapat diperkirakan menjadi 3
lapisan yakni ektoderm, entoderm dan mesoderm (Effendie, 2002).
Telur selanjutnya akan mengalami blastulasi, blastulasi ialah proses
perkembangan embrio yang menghasilkan pembentukan blastula. Setelah itu sel
mengalami proses gastrula. Saat telur berada pada fase gastrula, terjadi
perkembangan sel bakal organ yang telah terbentuk pada fase blastula. Setelah
fase blastula kemudian sel telur akan mengalami perkembangan fase
organogenesis, organogenesis merupakan proses pembentukan organ tubuh,
Blastomer
Kuning Telur
15
pembentukan organ tubuh ini meliputi otak, mata, bagian alat pencernaan
makanan dan kelenjarnya, dan sebagian kelenjar endokrin (Yulianti et al., 2012).
Gambar 4. Fase Blastula (Kimmel et al., 1995)
2.4.4 Stadia Gastrula
Pada stadia gastrula ialah proses kelanjutan dari staium blastula yang
lapisannya berkembang dari satu menjadi dua lapis sel. Awal dari gastrula ini
terjadi begitu proses pada stadia blastula selesai. Proses pembelahan sel dengan
pergerakkannya berjalan lebih cepat dari pada dalam stadia blastula. Proses
pergerakkan sel dalam stadia grastula pada telur ada dua yakni epiboly dan
emboly (Effendie, 2002).
Pada stadia gastrula, perkembangan telur ikan ditandai dengan terjadinya
proses perluasan dan penutupan kuning telur oleh blastoderm ke arah blastopora
(blastopore closure, epiboly) hingga seluruh bagian kuning telur telah tertutupi oleh
blastoderm yang pada telur ikan biasanya terjadi dalam periode 210 - 420 menit
setelah proses fertilisasi (Iswanto dan Tahapari, 2011).
Setelah fase blastula berakhir, dilanjutkan dengan fase gastrula dimana
blastomer menunjukan gerakan invaginasi dan membentuk rongga yang
dinamakan gastrocoel. Blastomer kemudian menutupi 50% dari kuning telur yang
menunjukkan berlangsungnya perisai embrio. Gastrula akhir nampak apabila
epiboly telah menutupi 80–90% dari kuning telur (Cindelaras et al., 2015).
Blastoderm
Kuning Telur
Periblast
16
Berdasarkan pengamatan secara deskriptif, perkembangan embrio ikan
baung sampai menetas memerlukan waktu antara 25-26 jam. Morula merupakan
perkembangan embrio yang dimulai sejak pembelahan mencapai 32 sel, dan pada
stadia ini ukuran sel mulai beragam. Stadia blastula dicirikan dengan terbentuknya
blastocoel dan blastodisk berada di lubang vegetal berpindah menutupi sebagian
besar kuning telur. Dalam proses embriogenesis perkembangan embrio
merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus sehingga
embrio selalu mengalami perubahan dari menit ke menit atau dari jam ke jam di
mana perkembangan antara satu fase dengan fase lainnya hampir tidak jelas
(Suhenda et al., 2009).
Gambar 5. Fase Gastrula (Kimmel et al., 1995).
2.4.5 Organogenesis
Pada fase organogenesis mengalami proses pembentukan organ tubuh
hampir sempurna ketika telur akan menetas. Dalam stadia organogenesis larva
sudah mulai aktif bergerak. Pergerakan embrio ini diakibatkan oleh bertambah
panjangnya bagian ekor embrio dan mulai terlepas dari kuning telurnya serta
terdeteksi jantung sudah mulai aktif. Notokorda dan somit makin jelas serta
lekukan pada kepala sudah mulai nampak. Selama pembentukan organ yaitu
semenjak telur terbuahi chorion (cangkang telur) mengalami pengerasan. Hal ini
bertujuan agar terjaga dari gangguan luar selama proses pembentukan organ-
organ sedang berjalan (Effendie, 2002).
Epiboly
Kuning Telur
Blastoderm
17
Pada tahap akhir, kantung kuning telur, mulut dan usus dibentuk. Mata
menjadi berpigmen dan organ utama penting untuk menangkap mangsa, menjadi
fungsional. Pada telur ikan baung ukuran diameter telur yang lebih besar dan
tersimpannya nutrisi pada kuning telur dalam jumlah yeng lebih banyak maka akan
tersedia energi yang lebih tinggi untuk awal kehidupan embrio, sehingga akan
menghasilkan derajat penetasan dan sintasan larva yang lebih tinggi. Pada saat
larva masih belum mendapatkan pakan dari luar, larva masih mengandalkan
kandungan kuning telur (terutama lemak) sebagai sumber energinya, sehingga
keberadaan lemak di dalam telur penting untuk perkembangan selanjutnya.
Penyebab kematian larva yang tinggi pada awal pemeliharaan adalah masa kritis
yang terjadi pada saat kuning telur habis dan larva harus mengambil makanan dari
luar (Suhenda et al., 2009).
Gambar 6. Fase Organogenesis (Kimmel et al., 1995).
2.5 Penetasan Telur
Penetasan merupakann tahap terakhir pada masa pengeraman sebagai
hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Penetasan
terjadi karena kerja mekanik dan kerja enzimatik. Kerja mekanik, diakibatkan
karena embrio sering mengubah posisinya karena kekurangan ruang dalam
cangkangnya, atau karena embrio telah lebih panjang dari lingkungan dalam
cangkangnya. Dengan pergerakan - pergerakan tersebut bagian telur lembek dan
tipis akan pecah sehingga embrio akan keluar dari cangkangnya. Sedangkan kerja
Kuning Telur
Notokorda
Somit
Perpanjangan
Kuning Telur
Kepala
Mata
Ekor
18
enzimatik, yaitu enzim dan zat kimia lainnya yang dikeluarkan oleh kelenjar
endodermal di daerah pharink embrio. Enzim ini disebut chorionase yang kerjanya
bersifat mereduksi chorion yang terdiri dari pseudokeratine menjadi lembek.
Sehingga pada bagian cangkang yang tipis dan terkena chorionase akan retak dan
pecah dan ekor embrio dapat keluar dari cangkang kemudian diikuti tubuh dan
kepalanya (Gusrina, 2008).
Menurut Diana et al.(2010), menyatakan bahwa daya tetas telur selain
dipengaruhi oleh faktor dalam antara lain hormon dan volume kuning telur juga
dapat dipengaruhi oleh faktor luar yaitu kualitas air. Kualitas air yang dapat
mempengaruhi antara lain salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut dan intensitas
cahaya. Kualitas air dalam media penetasan. Kualitas air yang terukur untuk
penetasan telur yaitu suhu air yang berkisar antara 27- 31ºC, oksigen terlarut
optimal minimal 3 mg/l dan pH optimal berkisar antara 6-9.
2.6 Pengaruh pH terhadap Perkembangan Embrio
Derajat keasaman (pH) dalam suatu perairan merupakan salah satu
parameter kimia yang sangat penting dalam memantau kestabilan suatu perairan.
Perubahan pH dapat mempengaruhi struktur insang serta aktifitas enzim pada
organ insang sehingga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen.
Perubahan struktur insang ikan membuat sistem osmoregulasi dan ekskresi pada
tubuh akan terganggu yang dapat membuat tekanan osmotik cairan tubuh tidak
ideal dan akan menyebabkan laju biosintesis akan terhambat dan akhirnya akan
mengganggu tingkatsintasan dan pertumbuhan ikan. Sintasan adalah persentasi
ikan yang hidup diakhir pemeliharaan (Suhenda et al., 2009).
Perlakuan tingkat derajat pH yang berbeda pada media dapat memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap panjang, sintasan serta peyerapan kuning
telur dan perkembangan mulut ikan. pH dalam perairan untuk penetasan telur
19
jangan sampai terlalu asam atau terlalu basa. Pada saat perairan memiliki pH yang
tidak cocok untuk perkembangan telur dan penetasan telur, hal ini dapat
menghambat penetasan sehingga mengakibatkan larva tidak dapat beradaptasi
dengan baik dengan lingkungan perairan itu sendiri dan dapat mempengaruhi laju
pertumbuhannya. Kandungan pH yang kurang dari batas optimum akan
menyebabkan ikan stress dan mengalami gangguan fisiologis bahkan dapat
menyebabkan kematian (Surbakti, 2015).
Kualitas air pada penetasan telur dapat mempengaruhi keadaan larva
nantinya. Dalam pemeliharaan larva ikan baung tentunya diperhatikan kualitas air
terutama pH, untuk larva ikan baung pH air 7 - 8,5. Untuk mencegah terjadinya
penurunan kualitas air maka memasuki hari ke 7 selama proses penetasan perlu
dilakukan pergantian air sebanyak 10 – 20 %, dan ditingkatkan pada minggu ke
tiga sebanyak 20 – 30 %. Dikarenakan jika pada pH yang tidak sesuai, telur tidak
akan menetas dengan sempurna (Kordi, 2008).
Berdasarkan nilai pH perairan yang didapat selama penelitian pada
perairan sungai Bingai, Sumatera Utara masih dinyatakan mendukung untuk
kehidupan ikan baung dengan nilai pH perairan sungai berkisar antara 6,5 sampai
7,4. Adanya penurunan populasi ikan baung di perairan daerah sungai tersebut
dapat dipengaruhi dengan perubahan kualitas air di kawasan aliran Sungai Bingai
yang dapat diakibatkan oleh adanya limbah yang memenuhi badan sungai
sehingga habitat ikan dapat terganggu. Dari kondisi perairan Sungai Bingai sendiri,
dapat diketahui bahwa perairan tersebut sesuai dengan habitat ikan baung yang
hidup diperairan berarus lambat dengan kisaran kualitas air yang masih dapat
ditolerir oleh ikan baung (Manurung et al.,2013).
2.7 Kualitas Air
Kualitas air yang diukur adalah oksigen terlarut (DO), pH dan amoniak.
Pengukuran pH, oksigen terlarut dan amonia dilakukan setiap hari. Secara umum
20
kisaran kualitas air masih dalam kisaran toleransi untuk penetasan telur dan
pemeliharaan larva ikan baung. Nilai suhu berkisar antara 27,5 oC - 28 oC, dimana
kisaran ini merupakan kisaran optimal untuk penetasan telur, perawatan larva dan
pertumbuhan ikan baung. Nilai pH berkisar antara 7,00 - 7,12, dimana kisaran ini
masih dalam batas toleransi untuk penetasan dan pemeliharaan larva ikan baung.
Kandungan oksigen terlarut berkisar antara 6,0 - 6,5 mg/l, dalam hal ini kadar
osigen kisaran 6,0 - 6,5 mg/l mendukung perkembangan embrio dan pemeliharaan
larva (Hadid et al., 2008).
Ikan baung merupakan ikan air tawar yang tidak menyukai air deras. Ikan
baung biasanya hidup di perairan yang tenang oleh karenanya banyak ditemukan
didaerah air tenang diantaranya sungai dengan arus yang tenang, danau atau
waduk. Ikan baung memerlukan oksigen terlarut untuk kehidupannya. Ikan baung
dapat hidup pada ketinggian air sampai 1.000m dpl. Dengan suhu 24 - 29 oC ,
dengan pH 6,5 – 8 serta kelarutan oksigen 4 ppm (Susanto, 2015).
21
3. MATERI DAN METODE
3.1 Materi Penelitian
3.1.1 Ikan Uji
Ikan uji yang digunakan adalah induk ikan baung (Mystus nemurus) jantan
dan betina yang telah matang gonad untuk mendapatkan telur.
3.1.2 Alat-Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a) Akuarium sebagai wadah penetasan telur dan larva ikan baung berukuran
60 cm x 60 cm x 40 cm
b) Perlengkapan aerasi (aerator, selang aerasi dan batu aerasi) untuk
penyediaan aerasi selama perlakuan.
c) Seser untuk memindahkan ikan
d) Pipet untuk mengambil telur pada saat pemanenan telur.
e) Baskom untuk wadah telur yang telah distriping
f) Mikroskop untuk mengamati perkembangan embrio ikan baung selama
perlakuan.
g) Kateter sebagai alat untuk melihat tingkat kematangan gonad induk betina
h) Bulu ayam sebagai alat untuk mengaduk telur dan sperma pada saat
fertilisasi.
i) Objek glass sebagai alas telur saat mengamati telur di bawah mikroskop.
j) Termometer untuk mengukur suhu air.
k) pH pen untuk mengukur pH air.
l) DO meter untuk mengukur oksigen terlarut dalam air.
m) Kamera Digital untuk mendokumentasikan kegiatan selama penelitian.
n) Timbangan analitik untuk menimbang berat induk ikan.
22
o) Lap basah untuk mengkondisikan ikan agar tidak stress saat penyuntikan
p) Waring sebagai substrat untuk menempelnya telur ikan baung
3.1.3 Bahan-Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a) Telur ikan baung sebagai objek yang diamati embrionya.
b) Ovaprim sebagai ovaprim untuk mempercepat ovulasi.
c) Spuit sebagai alat bantu menyuntikkan ovaprim ke induk ikan baung.
d) Na-Fis sebagai bahan pengencer saat penyuntikan.
e) Air sebagai media penetasan telur ikan baung.
f) Kertas label untuk memberi tanda pada akuarium.
g) Tisu untuk membersihkan alat-alat.
h) Kuning telur sebagai pakan larva ikan baung.
i) Cacing sutra (Tubifex sp.) sebagai pakan larva ikan baung.
j) Larutan KOH untuk menaikkan pH air.
k) Larutan Asam Sitrat untuk menurunkan pH air.
l) Aquades sebagai pelarut
m) Sabun untuk membersihkan akuarium
3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4
perlakuan masing-masing 3 ulangan. Menurut Renita et al. (2016), model
rancangan acak lengkap (RAL) yang dipergunakan yaitu dengan rumus:
Keterangan: Yij : nilai pengamatan dari perlakuanke-i dan ulangan ke-j Μ : nilai rata-rata harapan Τi : pengaruh perlakuanke-i Εij : pengaruh galat dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Yij = μ + τi + εij
23
Ikan baung dapat ditemukan diperairan yang tenang dengan kadar kualitas
air yang baik. Ikan baung juga memerlukan kadar oksigen yang tinggi diperairan.
Hal ini sesuai dengan Susanto (2015), meyatakan bahwa ikan baung merupakan
ikan air tawar yang tidak menyukai air deras. Ikan baung biasanya dapat hidup di
perairan yang tenang oleh karenanya banyak ditemukan didaerah air tenang
dengan nilai pH berkisar 6,5 – 8. Menurut Kordi (2008), menyatakan bahwa dalam
penetasan telur dan pemeliharaan larva ikan baung kualitas air terutama pada pH
diketahui 7 – 8,5. Sehingga pada penelitian ini dilakukan dengan perlakuan pH
pada masing-masing akuarium adalah :
A = Penetasan telur pada pH 6
B = Penetasan telur pada pH 7
C = Penetasan telur pada pH 8
D = Penetasan telur pada pH 9
Dalam penelitian ini masing-masing perlakuan diberi ulangan sebanyak 3
kali yang ditempatkan secara acak. Dengan membutuhkan akuarium sebanyak 12
akuarium dengan peralatan yang dipasang lengkap meliputi selang aerasi, aerator,
blower dan batu aerasi dengan akuarium yang dipasang rapi menggunakan rak
dengan sebaris rak diisi dengan akuarium berukuran 60 cm x 40 cm x 40 cm.
Denah percobaan dapat dilihat pada Gambar 7:
Gambar 1. Denah Percobaan
Keterangan: A, B, C, D : Perlakuan 1,2,3 : Ulangan
B1 D1 A2 C2
C3 A1 B2 D3
D2 B3 C1 A3
24
3.3 Metode Kerja
3.3.1 Alur Penelitian
Alur yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 2. Alur Penelitian
3.3.2 Persiapan Alat dan Media Penetasan
Sebelum penelitian disiapkan terlebih dahulu akuarium, heater,
termometer dan peralatan aerasi. Akuarium dibersihkan dan dibilas sampai bersih
dan diisi air. Air yang digunakan untuk penetasan telur adalah air tawar dari air
sumber Sawangan. Dua belas buah akuarium untuk perlakuan pH dan diletakkan
di dalam ruangan. pH diperoleh dengan cara mencampurkan asam sitrat untuk
Persiapan Alat dan Bahan
Persiapan induk dan adaptasi Akuarium
Seleksi Induk
Pemberian perlakuan (asam
sitrat dan KOH) pada masing
masing akuarium
Pemijahan Buatan
Penebaran Telur
Perhitungan Hatching Rate
Pengamatan Embriogenesis pada mikroskop
Perhitungan Survival Rate
Pengamatan Kualitas air
25
menurunkan pH dan KOH untuk menaikkan pH ke dalam akuarium hingga didapat
pH yang diinginkan, kemudian dipasang heater, termometer dan aerasi.
Penyesuaian perlakuan pH pada media dengan dilakukan melarutkan 2 gram
asam sitrat dengan 100 ml aquades kemudian di tambahkan pada media sampai
penyesuaian pH yang diingikan tercapai. Untuk menaikkan pH sesuai yang
diinginkan menambahkan larutan KOH dengan cara mencampurkan 2 gram KOH
dengan 100 ml aquades kemudian ditambahkan pada akuarium sedikit demi
sedikit, hal ini dilakukan sampai pH yang diinginkan tercapai.
Menurut Purba (2006), menyatakan bahwa asam merupakan zat yang
dalam air melepaskan ion H+. Dengan kata lain, pembawa sifat asam adalah ion
H+. Asam Arrhenius dapat dirumuskan sebagai HxZ dan dalam air mengalami
ionisasi sebagai berikut:
HxZ(aq) → x H+(aq) + Zx-
(aq)
Basa merupakan senyawa dalam air dapat menghasilkan ion hidroksida
(OH-). Basa Arrhenius merupakan hidroksida logam, dapat dirumuskan sebagai
M(OH)x, dan dalam air mengion sebgai berikut:
M(OH)x(aq) → Mx+ (aq) + xOH-
(aq)
Konsep pH untuk menyatakan konsentrasi ion H+, yaitu sama dengan
negative logaritma konsentrasi ion H+. secara metematika diungkapkan dengan
persamaan sebagai berikut:
Jika [H+] = 1 x 10-n, maka pH = n
Jika [H+] = a x 10-n, maka pH = a – log a
Sebaliknya jika pH = n, maka [H+] = 10-n
pH = - log [H+]
pOH = - log [OH-]
pH = pKw – pOH
pH = 14 - pOH
26
Sehingga dapat diasumsikan bahwa suatu larutan KOH pada 100 ml
aquades dengan 0,01M diperoleh pH:
[OH-] = 0,01
= 10-2 M
pOH = 2
pH = 14 - pOH
= 14 – 2 = 12
Jadi, dapat diketahui pH larutan KOH memiliki pH 12, kemudian larutan
tersebut di teteskan pada masing masing perlakuan sampai pH yang diinginkan
tercapai.
3.3.3 Seleksi Induk
Seleksi induk dilakukan pada sore hari dilakukan penjaringan di kolam
induk kemudian setelah diseleksi ditampung terlebih dahuli di kolam
penampungan induk. Induk betina ditandai dengan perutnya yang buncit dan
lembut, bila diurut telur ynag keluar bentuknya bulat utuh berwarna kecoklatan,
tubuhnya agak kusam gerakan lambat. Induk jantan ditandai dengan warna tubuh
dan alat kelaminnya agak kemerahan, gerakan licah. Setelah induk diseleksi
diletakkan di bak penampungan kemudian dipuasakan selama 24 jam. Bobot induk
ikan baung yang sudah dapat dipijahkan berkisar 0,8 kg sampai 1 kg.
Menurut Kordi (2008), menyatakan bahwa calon induk ikan baung pada
induk betina dan janta memiliki berat minimial 300 gram, umur induk minimal 1
tahun, kondisi sehat dan tidak cacat. Induk betina saat matang telur perut bagian
belakang mengembung dan permukaan kulit sangat lembut, jika perut dipijat
mengeluarkan telur berwarna kecoklatan, gerakan lambat, alat genital bulat dan
kemerahan. Sedangkan pada induk jantan lubang genital memanjang dan
27
meruncing kearah caudal dan bagian ujungnya berwarna merah, bentuk badan
agak langsing, induk menjadi galak dan lincah.
3.3.4 Pemijahan
Percobaan pemijahan secara buatan telah dilakukan dengan teknik
pemberian rangsangan dengan suntik hormon. Induk betina disuntik dengan
ovaprim sebanyak 0,6 ml/kg dan jantan dengan ovaprim 0,5 ml/kg. Penyuntikan
pada ikan betina dilakukan dua kali dengan selang waktu 6 jam dengan
perbandingan 60% dan 40%. Penyuntikan dilakukan pada bagian punggung dan
induk ditutup lap basah.
Setelah penyuntikan dilakukan, untuk pengurutan akan dilakukan 6 s/d 8
jam setelah penyuntikan kedua. Langkah pertama adalah menyiapkan sperma :
ambil kantong sperma dari induk jantan dengan membedah bagian perutnya,
gunting kantong sperma dan keluarkan. Cairan sperma ditampung dalam
mangkok dicampur Nafis secukupnya. Aduk hingga rata. Bila terlalu pekat,
tambahkan larutan pengencer sampai larutan berwarna putih susu agak encer.
Selanjutnya, induk betina yang dikeluarkan telurnya. Pijit bagian perut kearah
lubang kelamin sampai telurnya keluar. Telur ditampung dalam mangkok plastik
yang bersih dan kering. Masukkan larutan sperma sedikit demi sedikit dan aduk
sampai merata. Agar terjadi pembuahan, tambahkan air bersih dan aduklah
sampai merata sehingga pembuahan dapat berlangsung dengan baik, untuk
mencuci telur dari darah dan kotoran lainnya, tambahkan lagi air bersih kemudian
dibuang. Lakukan pembilasan 2 s/d 3 kali agar bersih. Ditebar kedalam hapa yang
sudah disediakan waring untuk perlakuan hingga permukaan sampai merata dan
digunting sesuai ukuran dan segera dipindahkan ke akuarium perlakuan.
Selanjutnya melakukan pengamatan dibawah mikroskop perbesaran 400x
pengamatan dilakukan dengan waktu yang telah ditentukan mengacu pada
literatur hingga telur menetas dan menjadi larva. Setelah berumur dua hari, larva
28
diberi makan kuning telur dan sehari kemudian diberi cacing sutra (Tubifex) yang
telah dicincang sampai larva berukuran 2 minggu.
3.3.5 Penetasan Telur dan Perlakuan
Telur ditebar ke dalam akuarium yang telah disiapkan, pada sebelumnya
telur yang sudah distripping dan sperma yang sudah disiapkan diaduk dengan bulu
ayam. Selama proses penetasan, telur ditebar di dalam akuarium berukuran 40
cm x 60 cm x 40 cm dan dilengkapi dengan sistem aerasi. Telur dimasukkan ke
dalam akuarium pada masing – masing perlakuan sebanyak 45 butir. Telur yang
telah mati dibuang dengan cara diambil menggunakan pipet tetes.
Menurut Hadit et al.(2014), menyatakan bahwa penetasan ikan baung
berkisar 29 jam sampai 32 jam. Pada perkembangan telur diamati dengan
menggunakan mikroskop mikroskop mulai dari perkembangan embrio telur ikan
hingga menetas. Frekuensi pengamatan yang pertama dilakukan yaitu 15 menit
sekali, kemudian 30 menit selama 3 jam setelah selesai pengamatan telur segera
dimasukkan ke dalam akuarium. Setelah itu, pengamatan dilakukan 60 menit
sekali. Pengamatan semua perlakuan dilakukan secara bersamaan pada waktu
yang sudah ditentukan. Waktu perubahan tiap fase perkembangan embrio dicatat
dan didokumentasikan. Pengamatan embrio pada telur mengacu pada literatur
yang sudah ada sebelumnya. Setiap 30 menit juga dilakukan pengecekan telur
dan mengambil telur yang mati pada akuarium agar tidak merusak telur lain yang
masih hidup.
3.4 Parameter Uji
3.4.1 Parameter Utama
Parameter utama dalam penelitian ini adalah perkembangan embrio pada
ikan baung, Hatching rate daya tetas, abnormalitas dan kelangsungan hidup larva.
Selama perkembangan embrio, dilakukan pengamatan pada perlakuan yang
29
sudah ditentukan secara bersama dan didokumentasikan. Dilakukan pencatatan
waktu pada setiap perkembangan berlangsung.
a) Perkembangan Embrio
Perkembangan embrio pada ikan baung dimulai setelah telur dibuahi oleh
inti spermatozoon yang semua haploid, menjadi inti zigot yang diploid. Zigot inilah
yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pembelahan segmentasi melalui
proses mitosis yang cepat. Zigot yang tersegmen - segmen menjadi bagian yang
kecil (cleavage), bermula dari satu sel kemudian membelah menjadi 2 sel, 4 sel, 8
sel, 16 sel, hingga 32 sel yang disebut fase morula. Kemudian berkembang
menjadi blastula dan seterusnya sampai menetas. Perkembangan embrio pada
awal diamati dengan mikroskop dimulai dari telur terbuahi sampai menetas.
b) Hatching Rate
Menurut Marbun et al.(2013), menyatakan bahwa hatching rate (daya
tetas) adalah daya tetas telur atau jumlah telur yang menetas menjadi larva dari
telur yang telah dibuahi. Pada pH yang berbeda, daya tetas telur dapat dilakukan
perhitungan seluruh telur yang menetas setelah dibuahi dalam bentuk persentase.
HR dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Menurut Wahyuningtias (2016), menyatakan bahwa pengamatan
abnormalitas pada penelitian meliputi bentuk tubuh dan bentuk ekor dan pada
perhitungan dalam penelitian untuk mengetahui besar nilai abnormalitas seperti
berikut:
𝑎𝑏𝑛𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 = Jumlah larva abnormal
Jumlahlarva normal X 100%
30
Menurut Kordi (2008), menyatakan bahwa waktu penetasan telur diketahui
dengan cara mencatat waktu telur menetas menjadi larva paling awal hingga telur
menetas seluruhnya. Telur ikan baung akan menetas selama selama 30 – 36 jam
setelah ovulasi. Setelah menetas, kuning telur ikan baung akan habis setelah 2 –
3 hari. Larva dipelihara 4 – 7 hari dalam akuarium.
c) Survival Rate (SR)
Survival rate merupakan indeks tingkat kelangsungan hidup suatu jenis
ikan dalam suatu proses budidaya dari mulai awal ikan ditebar hingga ikan di
panen. Menurut Rudiyanti dan Ekasari (2009), bahwa nilai SR dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan: SR = Kelangsungan hidup hewan Uji (%). Nt = Jumlah ikan uji pada akhir penelitian (ekor). No = Jumlah ikan uji pada awal penelitian (ekor).
Telur yang menetas menjadi larva selanjutnya dipelihara selama 10 hari.
Selama pemeliharaan, kualitas air dan pakan harus diperhatikan untuk menjaga
kehidupan larva. Setelah memasuki masa pemeliharaan 10 hari, dilakukan
perhitungan jumlah larva yang masih hidup.
3.4.2 Parameter Penunjang
Parameter penunjang dalam penelitian ini adalah kualitas air pada
akuarium yang berisi telur. Pengukuran kualitas air yang dilakukan ialah suhu dan
DO (Dissolved Oksygen )
a) Suhu
Pengontrolan Suhu air tetap dilakukan selama penetasan telur sampai
menjadi larva. Suhu pada akuarium diukur pada pukul 04.00 WIB, 08.00 WIB,
12.00 WIB dan 16.00 WIB, 19.00 WIB.
31
b) Dissolved Oksygen (DO)
Pengontrolan DO dilakukan selama penetasan telur sampai menjadi larva.
DO pada akuarium diukur pada pukul 04.00 WIB, 08.00 WIB, 12.00 WIB dan 16.00
WIB dan 19.00 WIB.
3.5 Analisa Data
Data hasil penelitian yang diperoleh untuk daya tetas telur dianalisis secara
manual dengan menggunakan analisis keragaman sesuai dengan rancangan
yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3
kali ulangan untuk masing-masing perlakuan. Untuk mengetahui pengaruh
perlakuan digunakan analisis keragaman atau uji F, apabila nilai F terjadi berbeda
nyata atau berbeda sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil
(BNT) untuk menentukan perlakuan yang memberi respon terbaik. Dari uji ini
dilanjutkan dengan analisis regresi.
32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perkembangan Embrio
Telur umumnya mengalami proses embriogenesis, yaitu proses
perkembangan telur hingga menjadi larva, embriogenesis akan berlangsung pada
saat inkubasi dimulai dari proses pembelahan sel telur (cleavage), morulasi,
blastulasi, gastrulasi, dan dilanjutkan dengan organogenesis yang selanjutnya
menetas Pengamatan perkembangan telur dilakukan dengan menggunakan
mikroskop dengan mengamati setiap fase perkembangan embrio mulai dari
fertilisasi hingga menetas (Yuliyanti, 2016). Lama waktu yang dibutuhkan untuk
setiap tahap perkembangan pada ikan baung yang dipelihara dalam media pH
yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Waktu Perkembangan Embrio Ikan Baung pada Perlakuan pH 6, pH 7, pH 8 dan pH 9.
Embriogenesis
pH 6,0 pH 7,0 pH 8,0 pH 9,0
Jam Menit Jam Menit Jam Menit Jam Menit
Telur Fertil 0 0 0 0 0 0 0 0
Cleavage 3 32 3 29 3 29 3 30
Morula 3 34 3 32 3 31 3 32
Blastula 5 59 5 55 5 43 5 48
Gastrula 9 03 8 59 8 52 9 00
Organogenesis 19 20 19 15 19 0 19 07
Menetas 31 22 30 44 29 47 30 38
Perkembangan embrio ikan baung ini diawali dengan telur fertil dimana
telah terjadi pembuahan setelah proses stripping atau pemijahan buatan terjadi.
Pembuahan telur ini terjadi saat sel telur dibuahi sel sperma yang membentuk
zigot. Telur ikan baung memilika sifat adhesive dan transparan yang biasanya
melekat pada subtrat.
33
4.1.1 Telur Fertil
Hasil pengamatan menunjukan proses awal perkembangan embrio ikan
baung yang dimulai saat terjadinya pembuahan (fertilisasi) pada saat sel telur dan
sel sperma yang membentuk zigot. Proses pemijahan ini dilakukan saat pagi hari
dan dilanjutkan perkembangan embrio ikan baung terjadi pada pagi hari. Menurut
Putri et al.(2013), menyatakan bahwa ikan memijah setelah penyuntikan kedua.
Telur yang terbuahi akan berwarna transparan, jika berwarna putih susu berarti
telur tidak dibuahi dan harus segera dipisahkan agar air tidak keruh atau berbau.
(a) (b)
Gambar 9. Telur Fertil (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).
4.1.2 Pembelahan Pertama (2 Sel)
Fase pembelahan dimulai pada saat blastodisk telah terbentuk dan
membelah menjadi dua sampai sekitar 32–64 sel. Pada fase pembelahan,
blastodisk membelah sesuai bidang pembelahan dan membelah menjadi dua
dengan bentuk yang sama, proses tersebut berlanjut seterusnya sampai dengan
fase morula (Cindelaras et al., 2015).
Pada proses tahapan pembelahan pertama atau dapat dikenal dengan
tahap perkembangan 2 sel, ditandai dengan terjadinya pembelahan mitosis sel
tunggal yang menghasilkan dua buah sel yang berukuran lebih kecil dan
bentuknya yang sama. Proses pembelahan pertama terjadi setelah telur
Korion
34
mengalami fertilisasi kemudian terjadi perkembangan embrio dengan munculnya
sel yang kemudian membelah secara mengganda sampai membentuk 32 sel dan
kemudian akan dilanjutkan pada fase morula (Iswanto dan Tahapari, 2011).
Pada pengamatan embrio ikan baung pembelahan pertama atau
pembentukan 2 sel pada pH 6 selama 1 jam 20 menit, pada pH 7 selama 1 jam 17
menit, pH 8 selama 1 jam 14 menit dan pH 9 selama 1 jam 16 menit. Pembelahan
2 sel dapat dilihat pada Gambar 10.
(a) (b)
Gambar 10. Pembelahan 2 Sel (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).
4.1.3 Pembelahan Kedua (4 Sel)
Pada saat pembelahan pertama terjadi, lapisan korion mengeras sehingga
berfungsi untuk melindungi untuk proses pembelahan sel selanjutnya agar proses
selanjutnya tidak terhambat atau mengalami kerusakan (Pattipeilohy, 2013). Pada
perkembangan embrio tahap perkembangan 4 sel, ditandai dengan terjadinya
pembelahan mitosis dari kedua sel yang menghasilkan empat buah sel (Iswanto
dan Tahapari, 2011). Pada pengamatan embrio ikan baung pembelahan kedua
atau pembentukan 2 sel pada pH 6 selama 1 jam 37 menit, pada pH 7 selama 1
jam 34 menit, pH 8 selama 1 jam 31 menit dan pH 9 selama 1 jam 33 menit.
Pembelahan 4 sel dapat dilihat pada Gambar 11.
2 blastomer
Ruang
Perivitelin
Kuning Telur
Korion
35
(a) (b)
Gambar 11. Pembelahan 4 Sel (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).
4.1.4 Pembelahan Ketiga (8 Sel)
Tahap 8 sel ditandai dengan terjadinya pembelahan keempat sel
menghasilkan delapan buah sel (Iswanto dan Tahapari, 2011). Pada pengamatan
embrio ikan baung pembelahan ketiga atau pembentukan 8 sel pada pH 6 selama
1 jam 58 menit, pada pH 7 selama 1 jam 54 menit, pH 8 selama 1 jam 51 menit
dan pH 9 selama 1 jam 53 menit. Pembelahan 8 sel dapat dilihat pada gambar 12.
(a) (b)
Gambar 12. Pembelahan 4 Sel (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).
Ruang
Perivitelin
4 Blastomer
Kuning Telur
Korion
Ruang
Perivitelin
8 Blastomer
Kuning Telur
Korion
36
4.1.5 Pembelahan Keempat (16 Sel)
Pembelahan ke empat pada pengamatan perkembangan embrio
menghasilkan 16 blastomer. Pembelahan ini dihasilkan karena adanya
pembelahan secara duplikat pada sel yang sebelumnya (Pattipeilohy, 2013). Pada
pengamatan embrio ikan baung pembelahan keempat atau pembentukan 16 sel
pada pH 6 selama 2 jam 12 menit, pada pH 7 selama 2 jam 08 menit, pH 8 selama
2 jam 05 menit dan pH 9 selama 2 jam 07 menit. Pembelahan 16 sel dapat dilihat
pada Gambar 13.
(a) (b)
Gambar 13. Pembelahan 16 sel (a) Gambar Literatur ( Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).
4.1.6 Pembelahan Kelima ( 32 Sel)
Pada pembelahan V, blastomer yang terbentuk sama besar dan ukurannya
lebih kecil dari pembelahan IV, blastomer-blastomer yang terbentuk susunannya
tidak beraturan lagi dan membentuk seperti bola kecil. Selain itu, ruang perivetilin
sudah tidak terlihat lagi (Pattipeilohy, 2013). Pada pengamatan embrio ikan baung
pembelahan kelima atau pembentukan 32 sel pada pH 6 selama 2 jam 30 menit,
pada pH 7 selama 2 jam 26 menit, pH 8 selama 2 jam 20 menit dan pH 9 selama
2 jam 24 menit. Pembelahan 32 sel dapat dilihat pada Gambar 14.
Ruang
Perivitelin
16 Blastomer
Kuning Telur
Korion
37
(a) (b)
Gambar 14. Pembelahan Kelima (32 sel) (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).
4.1.7 Morula
Morula merupakan pembelahan sel yang terjadi setelah sel berjumlah 32
sel dan berakhir bila sel sudah menghasilkan sejumlah blastomer yang berukuran
sama akan tetapi ukurannya lebih kecil. Hasil pengamatan menunjukan stadia
morula pada telur ikan baung pada pH 6 pembelahan terjadi pada durasi waktu 3
jam 34 menit dan pada pH 7 terjadi pada durasi waktu 3 jam 32 menit, pH 8 pada
durasi waktu 3 jam 31 menit, pH 9 3 jam 32 menit. Menurut (Pattipeilohy et al.
(2013), menyatakan bahwa awal terbentuknya stadia morula adalah terbentuknya
32 sel yang merupakan turunan blastomer ke lima. Stadia morula adalah stadia
dimana blastomer-blastomer yang terbentuk akan memadat sehingga menjadi
blastodisk pada kutub anima yang membentuk dua lapisan sel.
(a) (b)
Gambar 15. Stadia Morula (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).
Blastomer
Korion
Ruang
Perivitelin
Ruang
Perivitelin
32 Blastomer
Kuning Telur
Korion
Kuning
Telur
38
4.1.8 Blastula
Proses pembentukan blastula disebut blastulasi dimana kelompok sel-sel
anak hasil pembelahan berbentuk benda yang relatif bulat ditengahnya terdapat
rongga yang kosong disebut suloblastula (coeloblastula) sedangkan yang
berongga massif disebut steroblastula. Hasil pengamatan menunjukan stadia
Blastula pada telur ikan baung pada pH 6 pembelahan terjadi pada durasi waktu 5
jam 59 menit dan pada pH 7 terjadi pada durasi waktu 5 jam 55 menit, pH 8 pada
durasi waktu 5 jam 43 menit, pH 9 selama 5 jam 48 menit. Telur selanjutnya akan
mengalami blastulasi, blastulasi ialah proses perkembangan embrio yang
menghasilkan pembentukan blastula (Yulianti et al, 2013).
(a) (b)
Gambar 16. Stadia Blastula (a) Gambar Literatur (Kimmel et al.,1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).
4.1.9 Gastrula
Proses awal terbentuk stadia gastrula dimana kutub anima terbentuknya
blastodisk akan berusaha membungkus kutub vegetatif dengan bergerak dan
melakukan invaginasi, sebagai proses gastrulasi. Pada fase ini terjadi penebalan
pada satu sisi pada bidang lateral ekuator kuning telur yang membentuk germ ring
(cincin germinal). Pada penelitian ini fase perisai embrio setelah pembuahan pada
pH 6 berlangsung pada 9 jam 3 menit, pada pH 7 selama 8 jam 59 menit, pada pH
8 selama 8 jam 52 menit, pada pH 9 selama 9 jam 00 menit.
Korion
Perivitelin
Kuning telur
Blastomer
Periblast
39
Menurut Cindelaras et al. (2015), menyatakan bahwa setelah fase blastula
berakhir, dilanjutkan dengan fase gastrula dimana blastomer menunjukan gerakan
invaginasi dan membentuk rongga yang dinamakan gastrocoel. Blastomer
kemudian menutupi 50% dari kuning telur yang menunjukkan berlangsungnya
perisai embrio (embryo shield). Setelah fase ini berakhir kemudian dilanjutkan
dengan fase pembentukan organ.
(a) (b)
Gambar 17. Stadia Gastrula (a) Gambar Literatur (Kimmel et al .,1995) dan Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).
4.1.10 Organogenesis
Setelah pembentukan perisai, maka pada saat delapan jam empat puluh
sembilan menit setelah pembuahan, terjadi organogenesis. Organogenesis
dengan terbentuknya bagian-bagian seperti notokorda dari embrio yang
memanjang disisi kuning telur, bagian kepala terletak di kutub anima, bagian ekor
di bagian kutub vegetatif dan somit yang belum jelas, sehingga bentuk tubuh
embrio melengkung hampir di seluruh kuning telur dan semua ini masih
transparan. Pada pnelitian ini diketahui bahwa ikan baung mulai terbentuk organ
dimulai pada pH 6 selama 19 jam 20 menit, pada pH 7 selama 19 jam 15 menit,
pada pH 8 selama 19 jam 0 menit, pada pH 9 selama 19 jam 7 menit .
Menurut Iswanto dan Tahapari (2011), menyatakan bahwa sebelumnya
pada tahap gastrulasi, ditandai dengan terjadinya proses perluasan dan
penutupan kuning telur oleh blastoderm ke arah blastopora (blastopore closure,
Bakal kepala
Gastrosol
Korion
Kuning Telur
Bakal ekor
40
epiboly) hingga seluruh bagian kuning telur telah tertutupi oleh blastoderm.
Kemudia dilanjutkan pada tahap organogenesis. Dimana pada tahap
organogenesis diawali dengan terbentuknya bakal kepala dan ekor pembentukan
kepala, ekor, ruas - ruas tulang belakang, bakal mata, otolith, jantung, dan organ-
organ lainnya sudah mulai terlihat serta pigmentasi kantung kuning telur dan
penetasan larva.
(a) (b)
Gambar 18. Stadia Organogenesis (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).
4.1.11 Menetas
Pada penelitian ini diketahui hasil waktu penetasan pada masing masing
perlakuan pH, penetasan ikan baung pada pH 6 mulai menetas selama 31 jam 22
menit, pada pH 7 selama 30 jam 44 menit, pada pH 8 selama 29 jam 47 menit,
pada pH 9 selama 30 jam 38 menit. Masing – masing larva tetap dipelihara dalam
akuarium, stelah kuning telur larva habis larva ikan baung diberikan makanan
tambahan berupa kuning telur dan selanjutnya diberikan cacing sutera yang telah
dicacah terlebih dahulu. Menurut Kordi (2008), menyatakan bahwa penetasan ikan
baung yang dilakukan di corong penetasan yang telah mengalami perkembangan
hingga menetas menjadi larva membutuhkan waktu antara 30 – 36 jam setelah
ovulasi. Setelah menetas, larva tersebut tetap dipelihara di dalam corong
penetasan selama 2 – 3 hari sampai kuning telurnya habis.
Kepala
Notokorda
Ruang
perivitelin
Korion
Ekor
41
Untuk memenuhi kebutuhan energinya pasca-penetasan, larva ikan
menggunakan kuning telur (yolk egg) atau bisa disebut masa endogenous feeding.
Masa ini berakhir saat kuning telur habis dan digantikan dengan exogenous
feeding dimana larva harus bisa menerima pakan dari luar untuk bertahan hidup.
Masa peralihan dari endogenous menjadi endogenous merupakan fase yang
sangat kritis bagi larva. Oleh karena itu informasi mengenai waktu terserapnya
kuning telur sangat diperlukan agar larva tidak mengalami kematian akibat
terlambat dalam pemberian pakan (Cindelaras et al., 2015). Pada larva ikan baung
yang telah menetas dapat dilihat pada gambar 19.
(a) (b)
Gambar 19. Larva Ikan Baung (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan Larva Ikan Baung (Perbesaran 400x).
4.2 Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio
Derajat keasaman (pH) dalam suatu perairan merupakan salah satu
parameter kimia yang dapat mempengaruhi penetasan dan larva ikan baung.
Perubahan pH dapat mempengaruhi struktur insang serta aktifitas enzim pada
organ insang sehingga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen. pH yang
terlalu asam atau terlalu basa akan mengganggu saat penetasan telur ikan baung.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Sapkale et al.(2011), menyatakan bahwa
Penetasan ikan dapat dipengaruhi oleh pH air. Dampak dari pH berkaitan dengan
Mulut
Mata
Kuning
Telur
Ekor
42
umur dan tahap perkembangan dan tahap larva yang diamati dan larva sangat
sensitif terhadap perubahan pH. Rendahnya kelangsungan hidup dan
pertumbuhan yang buruk pada pH yang asam antara pH 5,5 mungkin disebabkan
oleh stres asam karena larva yang baru menetas pada umumnya lebih sensitif
terhadap pH asam daripada spesies ikan lainnya.
Data Pengamatan hubungan pH dengan perkembangan embrio dapa
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Pengamatan Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio
No Perkembangan Perlakuan
A (menit)
B (menit)
C (menit)
D (menit)
1 Stadia 1 (Cleavage) 212 209 209 210
2 Stadia 2 (Morula) 214 212 211 212
3 Stadia 3 (Blastula) 359 355 343 348
4 Stadia 4 (Gastrula) 543 539 532 540
5 Stadia 5 (Orgaogenesis) 1160 1155 1140 1147
6 Stadia 6 (menetas) 1882 1844 1787 1838
Pda hasil penelitian, grafik hubungan pH dengan perkembangan embrio
ikan baung dapat dilihat pada Gambar 20.
.
Gambar 20. Hubungan Antara pH Media Menetasan dengan Perkembangan Embrio Telur Ikan Baung, dengan Stadia 1: Zigot-Pembelahan 32 Sel (Cleavage); Stadia 2: Morula; Stadia 3: Blastula; Stadia 4: Gastrula; Stadia 5: Organogenesis; Stadia 6: Menetas.
0200400600800
100012001400160018002000
Stadia 1 Stadia 2 Stadia 3 Stadia 4 Stadia 5 Stadia 6
Wak
tu P
erke
mb
anga
n E
mb
rio
(M
enit
)
Perlakuan pH
6 7 8 9
43
Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa perkembangan embrio
pada stadia 1 (cleavage) hingga stadia 3 (blastula) masih dalam waktu
perkembangan yang hampir sama dan pada stadia 4 (gastrula) sampai 6
(menetas), waktu perkembangan embrio sudah mulai berbeda. Proses
embriogenesis dimulai dari stadia pembelahan sel telur, morula, blastula, gastrula,
dan organogenesis yang selanjutnya menetas. Waktu yang diperlukan untuk
pembelahan zigot lebih cepat dibanding pada stadia morula hingga organogenesis
dan kemudian menetas. Pada perkembangan embrio dengan selisih waktu cukup
lama dari stadia gastrula ke organogenesis. pH yang berbeda pada media
memberikan pengaruh terhadap kecepatan perkembangan embrio, yaitu semakin
tinggi pH, maka perkembangan embrio juga semakin cepat. Namun pada pH yang
cenderung asam dapat menghambatnya proses perkembangan hingga menetas.
Menurut Suhenda et al.(2009), menyatakan bahwa pada stadia morula
merupakan perkembangan embrio yang dimulai sejak pembelahan mencapai 32
sel, dan pada stadia ini ukuran sel mulai beragam. Stadia blastula dicirikan dengan
terbentuknya blastocoel dan blastodisk berada di lubang vegetal berpindah
menutupi sebagian besar kuning telur. Dalam proses embriogenesis
perkembangan embrio merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus -
menerus sehingga embrio selalu mengalami perubahan dari menit ke menit atau
dari jam ke jam di mana perkembangan antara satu fase dengan fase lainnya
hampir tidak jelas. Menurut Westernhagen (1988), menyatakan bahwa pada
kondisi perairan untuk penetasan telur ikan memiliki kandungan asam, akan
cenderung merugikan pada saat perkembamgan embrio dimana terjadi aktivitas
osmotik yang dapat mengakibatkan berkurangnya penyerapan air pada ruang
perivitelline sehingga dapat mengakibatkan kadar air menurun dan dapat
menurunkan resisten terhadap deformasi.
44
4.3 Hubungan pH dengan Kecepatan Menetas
Penetasan terjadi dengan cara penghancuran khorion oleh enzim yang
dilakukan oleh kelenjar ektoderm dan oleh gerakan-gerakan embrio akibat dari
factor luar maupun dalam. Dari hasil pengamatan telah diperoleh bahwa
kecepatan menetas terbaik pada pH 8 kemudian berurutan pH 9 , pH 7 kemudian
pH 6. Menurut Effendie (2002), menyatakan bahwa penetasan terjadi dimana saat
terakhir pada masa pengeraman sebagai hasil dari proses sehingga embryo keluar
dan cangkangnya. Pada saat akan terjadi penetasan kekerasan korion akan
menurun. Hal ini bisa disebabkan oleh substansi enzim dan unsur kimia lainnya
yang dikeluarkan oleh kelenjar endodermal di daerah pharynx. Dalam proses ini
pH berperan dengang kadar yang optimum yakni 7,9 – 9,6.
Tabel 3. Rerata Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung
Perlakuan Ulangan
Total Rerata (jam) 1 2 3
A (pH 6) 31,32 31,15 31,18 93,65 31,22
B (pH 7) 30,45 30,42 30,44 91,31 30,44
C (pH 8) 29,35 29,50 29,55 88,40 29,47
D (pH 9) 30,37 30,32 30,45 91,14 30,38
Hasil penelitian mengenai hubungan pH dengan kecepatan menetas pada
masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Rata-Rata Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung
27.5028.0028.5029.0029.5030.0030.5031.0031.5032.00
6 7 8 9
waktu
Kecepata
n M
eneta
s
(jam
)
Perlakuan pH
45
Berdasarkan gambar diketahui bahwa waktu rata-rata telur ikan baung
menetas pada perlakuan A selama 31 jam 22 menit, perlakuan B selama 30 jam
44 menit, perlakuan C selama 29 jam 47 menit perlakuan D selama 30 jam 38
menit. Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh pH yang berbeda terhadap waktu
penetasan telur ikan baung dilakukan uji sidik ragam pada Tabel 4.
Tabel 4. Sidik Ragam Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung.
SK Db JK KT FH F5% F1%
Perlakuan 3,00 4,61 1,54 260,56** 4,07 7,59
Acak 8,00 0,047 0,006
Total 11,00 4,66
Keterangan: ** berbeda sangat nyata
Hasil uji analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai F Hitung > F5% dan
F1% yang berarti bahwa pH media yang berbeda memberikan pengaruh nyata
terhadap kecepatan menetas ikan baung. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh
terkecil dari setiap perlakuan, maka dilakukan dengan uji beda nyata terkecil (BNT)
yang disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung
Notasi C D B A
Notasi
29,47 30,38 30,44 31,22
C 29,47 0 a
D 30,38 0,91** 0 b
B 30,44 0,97** 0,06ns 0 b
A 31,22 1,75** 0,84** 0,78** 0 c
Keterangan: ns : tidak berbeda nyata ** : berbeda nyata
* : berbeda sangat nyata Selanjutnya, untuk mengetahui hubungan antara perlakuan pH yang
berbeda terhadap kecepatan waktu menetas ikan baung dilakukan perhitungan
polynomial orthogonal dapat dilihat pada Gambar 22.
46
Gambar 22. Grafik Regresi Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung
Berdasarkan grafik diatas maka dapat disimpulkan bahwa persamaan
tersebut didapatkan hasil kecepatan menetas dengan persamaan y = 56,268 –
6,698x + 0,4233x2 dengan koefisien determinasi sebesar R² = 0,8515 dan x
maksimum 7,9 serta y maksimum sebesar 29,77 yaitu 29 jam 47 menit. Menurut
Tataje et al.(2015), menyatakan bahwa salah satu faktor penting yang membatasi
pemeliharaan organisme air adalah pH. Oleh karena itu, nilai pH air memiliki peran
penting dalam komposisi komunitas biotik. Beberapa penelitian telah
mengidentifikasi bahwa inkubasi yang dilakukan di perairan asam, dengan pH di
bawah 5,5, dapat menyebabkan kematian tinggi selama proses penetasan. Efek
berbahaya dari pH asam dapat dengan mudah diamati pada membran telur yang
ditandai munculnya gelembung yang menempel pada larva. Hal ini membuat telur
mengambang di permukaan incubator. Dapat terjadi kerusakan aktivitas osmotik
koloid perivitelline sehingga dapat mengurangi penyerapan kuning telur pada
media air yang dibudidayakan dengan nilai pH rendah. Bersama dengan serapan
air yang lebih rendah, kemampuan untuk melawan deformasi oleh tindakan
mekanis menurun. Empat jam setelah pembuahan, sebagian besar telur diinkubasi
pada pH rendah mengalami mati dan terjadi pembusukan. Dalam penelitian yang
y = 56,268 - 6,698x + 0,4233x2
R² = 0,8515
28
29
30
31
32
5 6 7 8 9 1 0
Kecepata
n M
eneta
s (
%)
Perlakuan pH
47
diamati, diameter telur yang lebih kecil diinkubasi pada pH 6.0 dan diamati hidrasi
yang lebih rendah dari ruang perivitelline dibandingkan dengan telur yang
diinkubasi di perairan dengan nilai pH netral.
4.4 Hubungan pH dengan Daya Tetas Telur
Pada hasil pengamatan daya tetas telur ikan baung dengan perlakuan pH
yang berbeda telah diperoleh hasil bahwa berbanding lurus dengan peningkatan
daya tetas telur hingga mencapai pH optimal. Untuk daya tetas ikan baung media
air harus dalam kisaran pH yang baik agar tidak menghambat perkembangan telur
atau menghambat proses penyerapan kuning telur. Menurut Suhenda et al.(2009),
menyatakan bahwa penetasan dapat terjadi karena kerja mekanik dan kerja
enzimatik. Kerja mekanik disebabkan pada saat embrio sering mengubah
posisinya karena kekurangan ruang dalam cangkangnya atau karena embrio lebih
panjang dari lingkungannya dalam cangkang. Penetasan terjadi akibat dari
pergerakan embrio di dalam telur, aktivitas enzim, dan unsur kimia lain yang
dikeluarkan kelenjar endodermal di daerah pharynx embrio. Proses ini dapat
dipengaruhi oleh faktor internal antara lain kerja hormon dan volume kuning telur
sedangkan faktor eksternal salah satunya ialah pH air. Data rerata nilai
perhitungan daya tetas telur ikan baung pada masing-masing perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rerata Persentase Nilai Perhitungan Daya Tetas Telur Ikan Baung.
Perlakuan Ulangan
Total Rerata (%) 1 2 3
pH 6 60,00 66,67 62,22 188,89 62,96
pH 7 75,55 77,78 73,33 226,66 75,55
pH 8 82,22 80,00 82,22 244,44 81,48
pH 9 84,44 82,22 80,00 246,66 82,22
48
Dari tabel terlihat bahwa setiap perlakuan menunjukkan daya tetas telur
yang berbeda. Pada saat akan terjadi penetasan, kekerasan chorion semakin
menurun. Hal ini disebabkan oleh substansi enzim dan unsur kimia lainnya yang
dikeluarkan oleh kelenjar endodermal (Effendie, 2002). Hasil penelitian mengenai
hubungan pH dengan daya tetas telur ikan baung pada masing-masing perlakuan
dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Rata-Rata Daya Tetas Telur Ikan Baung
Berdasarkan grafik diketahui bahwa persentase rata-rata jumlah telur
menetas yang didapatkan dari masing-masing perlakuan yakni perlakuan A (pH 6)
daya tetas sebesar 62,96%, perlakuan B (pH 7) sebesar 75,55% dan perlakuan C
(pH 8) sebesar 81,48%, perlakuan D (pH 9) sebesar 82,22%. pH memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap penetasan telur ikan baung. Menurut
Sapkale et al (2011), menyatakan bahwa ditemukan persentase penetasan telur
94% hingga 99% pada pH 7,5. Tingkat daya tetas ini dapat dipengaruhi oleh
kualitas pH perairan. Tingkat daya tetas pada perairan yang terlalu asam maupun
basa akan cenderung menurun. Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh pH yang
berbeda terhadap daya tetas telur ikan baung dilakukan uji sidik ragam seperti
terlihat pada Tabel 7.
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
A (6) B (7) C (8) D (9)
Day
a Te
tas
Telu
r (%
)
Perlakuan pH
49
Tabel 7. Sidik Ragam Daya Tetas Telur Ikan Baung
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK KT F
hitung
F 5%
F 1%
Perlakuan 3 714,23 238,08 41,30** 4,07 7,59
Acak 8 46,12 5,76
Total 11 760,35
Keterangan: ** berbeda sangat nyata
Data di atas menunjukkan hasil F hitung > F 5% dan F 1%, sehingga dapat
dikatakan bahwa perlakuan pH yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap
daya tetas telur ikan baung. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh terkecil dari
setiap perlakuan, dilakukan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) yang disajikan
pada Tabel 8.
Tabel 8. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Daya Tetas Telur Ikan Baung
Perlakuan
A B C D Notasi
62,96 75,55 81,48 82,22
A 62,96 0,0 a
B 75,55 12,59 ** 0,0 b
C 81,48 18,52 ** 5,93 * 0,0 c
D 82,22 19,26 ** 6,67 ** 0.74ns 0,0 c
Keterangan: ns : tidak berbeda nyata * : Berbeda nyata
** : berbeda sangat nyata Dari hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa perlakuan pH yang
berbeda, berpengaruh sangat nyata terhadap daya tetas telur ikan baung. Untuk
mengetahui lebih lanjut hubungan antara perlakuan pH yang berbeda terhadap
daya tetas ikan baung, dilakukan perhitungan polynomial orthogonal yang
disajikan pada Gambar 24.
50
Gambar 24. Grafik Regresi Nilai Daya Tetas Telur (HR) Ikan Baung
Berdasarkan grafik diatas maka dapat disimpulkan bahwa persamaan
tersebut didapatkan hasil kecepatan menetas dengan persamaan y = 27,782 +
6,3697x dengan koefisien determinasi sebesar R² = 0,8004. Menurut Oyen et al.
(1991), menyatakan bahwa nilai pH 7,9 – 8,6 merupakan kondisi yang optimum
bagi penetasan telur ikan, terjadi terhambatnya penetasan telur sangat
dipengaruhi oleh berkurangnya sekresi enzim chorionase yang disebabkan oleh
rendahnya pH. Padahal enzim chorionase ini bekerja secara optimum pada
perairan pH 8,5. Maka dari itu perlu dihindari nilai pH dibawah netral atau asam
agar tidak mengganggu perkembangan embrio hingga menetasnya telur ikan.
4.5 Hubungan pH dengan Abnormalitas Larva
Abnormalitas larva adalah keadaan larva yang tidak normal. Abnormalitas
larva dapat diketahui dengan melihat secara langsung yang biasanya dicirikan
dengam badan dan ekor yang bengkok dan tidak tumbuh dengan normal serta
terdapat telur yang menetas dengan kantung telur saling menempel. Menurut
Arsianingtyas (2009), menyatakan bahwa pada saat proses penetasan
berlangsung terjadinya abnormalitas yang terjadi akibat terganggunya aktivitas
enzim penetasan pada telur sehingga mengakibatkan pengerasan pada chorion,
sehingga menghambat proses penetasan telur dan dapat mengakibatkan
y = 27,782 + 6,3697xR² = 0,8004
0102030405060708090
100
5 6 7 8 9 1 0
Hatc
hin
g R
ate
(%
)
Perlakuan pH
51
terjadinya keabnormalitasan (cacat) pada larva ikan yang dihasilkan. Selain itu,
larva ikan yang cacat dapat disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (chorion)
yang mengalami pengerasan, sehingga embrio akan sulit untuk keluar. Setelah
chorion dapat dipecahkan, maka embrio akan keluar dalam keadaan tubuh cacat.
Abnormalitas pada larva yang dihasilkan dapat dilihat pada pada Tabel 9.
Tabel 9. Rerata Nilai Perhitungan Abnormalitas Larva Ikan Baung
Perlakuan Ulangan
Total Rerata (%) 1 2 3
pH 6 7,40 10,00 10,71 28,11 9,37
pH 7 5,88 8,57 6,06 20,51 6,84
pH 8 8,10 5,55 5,40 19,05 6,35
pH 9 5,26 5,40 2,78 13,44 4,48
Total 81,11
Hasil penelitian mengenai hubungan pH dengan abnormalitas larva pada
masing-masing perlakuan dapat dilihat Gambar 25.
Gambar 25. Rata-Rata Abnormalitas Telur Ikan Baung Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa rata-rata abnormalitas
larva ikan baung pada perlakuan A (pH 6) sebesar 9,37%; perlakuan B (pH 7)
sebesar 6,84% dan perlakuan C (pH 8) sebesar 6,35%, perlakuan D (pH 9)
sebesar 4,48%. Nilai tersebut tergolong rendah karena jumlah larva abnormal
hanya berkisar antara satu sampai tiga larva yang abnormal pada setiap akuarium.
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
A (pH 6) B (pH 7) C (pH 8) D (Ph 9)
Ab
no
rma
lita
s (
%)
Perlakuan pH
52
Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh pH yang berbeda terhadap abnormalitas
larva ikan baung dilakukan uji sidik ragam yang disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Sidik Ragam Abnormalitas Larva Ikan Baung
Sumber Keragaman
db JK KT FH F5% F1%
Perlakuan 3,00 36,55 12,18 4,99* 4,07 7,59
Acak 8,00 19,55 2,44
Total 11,00 56,10
Keterangan : * berbeda nyata
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa hasil F hitung > F 5% dan < F 1%
yang menunjukkan bahwa pH media inkubasi yang berbeda memberikan
pengaruh terhadap nilai abnormalitas ikan baung. Selanjutnya dilakukan uji BNT
yang disajikan pada Tabel 11 .
Tabel 11. Uji Beda Nyata Terkecil Abnormalitas Ikan Baung.
Perlakuan A B C D Notasi
9,37 6,84 6,35 4,48
A 9,37
0 a
B 6,84 2,53ns 0
a
C 6,35 3,02* 0,49 ns 0
b
D 4,48 4,89** 2,36 ns 1,87 ns
0 b
Keterangan ns = tidak berbeda nyata * = berbeda nyata
** = sangat berbeda nyata
Pada abnormalitas perlakuan pada pH 9 diperoleh tingkat abnormalitas
rendah. Dari hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa perlakuan pH yang
berbeda, berpengaruh terhadap nilai abnormal. Untuk mengetahui hubungan
antara perlakuan pH yang berbeda terhadap abnormalitas ikan baung, dilakukan
perhitungan polynomial orthogonal pada Gambar 26.
53
Gambar 26. Grafik Regresi Abnormalitas Ikan Baung
Dari grafik regresi diatas dapat diperoleh persamaan y= 18,127 – 1,5157x
dengan nilai R2 = 0,6142. Menurut Wahyuningtias (2016), menyatakan bahwa
pengamatan abnormalitas pada penelitian meliputi bentuk tubuh dan bentuk ekor.
Abnormalitas disebabkan karena faktor eksternal yaitu karena kualitas air yang
tidak sesuai dan faktor internal yaitu kualitas telur telur yang buruk antara lain
sangat ditentukan oleh kandungan nutrisi dalam pakan yang diberikan pada induk
sehingga ikan mengalami ketidak normalan dan pertumbuhannya tidak
berkembang dengan baik.
4.6 Hubungan pH dengan Kelangsungan Hidup Larva (Survival Rate)
Kelangsungan hidup ikan adalah persentase ikan yang hidup dari seluruh
ikan yang dipelihara setelah melewati masa pemeliharaan. pH air yang berbeda
pada media pemeliharaan larva ikan baung dapat menyebabkan tingkat
kelangsungan hidup yang berbeda. Menurut Nisa et al. (2013), menyatakan bahwa
perubahan pH pada media larva ikan berpengaruh sangat nyata terhadap
kelangsungan hidup ikan itu sendiri. Pada pH yang cenderung asam dapat
merendahkan nilai kelangsungan hidup larva ikan. Rerata nilai perhitungan
kelangsungan hidup larva ikan baung dapat dilihat pada Tabel 12.
y = 18,127 - 1,5157xR² = 0,6142
0
2
4
6
8
10
12
5 6 7 8 9 10
AB
NO
RM
ALI
TAS
(%)
PERLAKUAN PH
54
Tabel 12. Rerata Persentase Nilai Perhitungan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung
Perlakuan Ulangan
Total Rerata (%) 1 2 3
pH 6 55,55 60,0 60,07 175,62 58,54
pH 7 73,52 65,71 69,69 208,92 69,64
pH 8 83,78 72,22 78,37 234,37 78,12
pH 9 73,68 81,08 83,33 238,09 79,36
Total 857,00
Hasil penelitian mengenai hubungan pH dengan kelangsungan hidup larva
pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Rata-Rata Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung.
Berdasarkan grafik diatas menunjukkan rata-rata jumlah kelangsungan
hidup larva pada perlakuan A (pH 6) sebesar 58,54%; perlakuan B (pH 7) sebesar
69,64% dan perlakuan C (pH 8) sebesar 78,12%, perlakuan D (pH 9) sebesar
79,36%. Kelangsungan hidup larva ikan baung berbeda pada setiap perlakuan
media penetasan yang berbeda. Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh pH
yang berbeda terhadap kelangsungan hidup larva ikan baung dilakukan uji sidik
ragam yang disajikan pada Tabel 13.
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
6 7 8 9
Ke
lang
su
ng
an H
idup
La
rva
(%
)
Perlakuan pH
55
Tabel 13. Sidik Ragam Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung.
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK KT F hitung F 5% F 1%
Perlakuan 3 831,28 277,09 13,70 3,84 7,59
Acak 8 161,80 20,23 **
Total 11 993,09
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata
Hasil perhitungan sidik ragam menunjukkan bahwa F hitung > F 5% dan F
1%, sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan pH pada media penetasan yang
berbeda memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap
kelangsungan hidup ikan baung. Untuk mengetahui pengaruh terkecil dari
perlakuan, dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) yang disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Uji Beda Nyata Terkecil Kelangsungan Hidup Ikan Baung.
Perlakuan A B C D Notasi
58,54 69,58 78,53 79,98
A 58,54
0 a
B 69,58 11,10*
0 b
C 78,53 19,58** 8,48** 0
c
D 79,98 20,82** 9,72** 1,24ns
0 c
Keterangan: ns = tidak berbeda nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata Dari uji BNT menunjukkan bahwa perlakuan pH media penetasan yang
berbeda memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap
kelangsungan hidup larva ikan baung. Pada pH 8 dan 9 memperoleh hasil tidak
terlalu berbeda. Selanjutnya, untuk mengetahui hubungan antara perlakuan pH
media penetasan yang berbeda terhadap kelangsungan hidup larva ikan baung
dilakukan perhitungan polynomial orthogonal dapat dilihat pada Gambar 28.
56
Gambar 18. Grafik Regresi Nilai Kelangsungan Hidup Larva Berdasarkan grafik di atas menunjukkan hasil bahwa nilai rerata
persentase kelangsungan hidup larva didapatkan persamaan y = 18,202 +
7,0953x dengan R² = 0,7604. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,76 yang berarti
bahwa perlakuan pH yang berbeda mampu memberikan pengaruh terhadap
persentase daya tetas telur sebesar 76 % dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.
Menurut Sapkale et al. (2011), menyatakan bahwa dalam tingkat kelulusan hidup
larva ikan dapat dipengaruhi oleh pH dalam perairan. Pengaruh pH sangat
berhubungan dengan umur dan tahap perkembangan larva. Rendahnya
kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang buruk pada pH 5,5 dapat disebabkan
oleh stres yang diakibatkan oleh kondisi asam sehingga dapat menyebabkan
kematian.
4.7 Kualitas Air
Faktor kualitas air sangat menentukan terhadap baik atau tidaknya dalam
penetasan telur dan kelangsungan hidup larva ikan. Kualitas air yang terkontrol
dengan baik akan membantu dalam penetasan telur dan kelangsungan hidup larva
ikan baung. Pengukuran kualitas air dilakukan selama penelitian. Kualitas air yang
y = 18,202 + 7,0953xR² = 0,7604
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
5 6 7 8 9 1 0
Su
rviv
al R
ate
(%
)
Perlakuan pH
57
diamati yaitu oksigen terlarut dan derajat keasaman. Kisaran nilai pengamatan
kualitas air selama penelitian disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Parameter Kualitas Air
Parameter Hasil pengamatan Literatur
Suhu 24 – 25,5 oC 20 – 30 C (Setiawan, 2013)
DO 6,3 – 7,0 >4 ppm (Kordi, 2008)
Hasil diatas menunjukkan bahwa suhu dalam pengamatan diperoleh
berkisar 24 -25,5 oC. Hal ini sesua dengan pernyataan Kordi (2009), bahwa kisaran
suhu perairan tropis berkisar 28 -32 oC, sedangkan pada suhu 18 – 25 oC ikan
masih bertahan hidup, namun nafsu makan berkurang. suhu 12 – 18 oC mulai
berbahaya bagi ikan.
Kandungan oksigen terlarut di dalam media pemeliharaan menunjukkan
bahwa nilai DO yang diperoleh berkisar antara 6,3 – 7,0. Dari hasil pengamatan
tersebut kandungan DO dikatakan baik untuk kegiatan biota air. Menurut Tang
(2002), menyatakan bahwa sifat fisika kimia air mempengaruhi kehidupan ikan
baung, seperti suhu air sebaiknya berkisar antara 26 - 30°C, pH berkisar antara 4
- 9, kandungan oksigen terlarut minimal 1 mg/liter dan optimal adalah 5-6 ppm.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pH yang berbeda terhadap
penetasan telur dan larva ikan baung, dapat disimpulkan bahwa:
pH berpengaruh terhadap perkembangan embrio ikan baung, kecepatan
waktu menetas, daya tetas telur dan kelangsungan hidup larva. Namun,
perbedaan pH tidak berpengaruh terhadap abnormalitas larva ikan baung.
Waktu penetasan telur tercepat diperoleh pada pH 8 dengan waktu
penetasan 29 jam 47 menit. Persentase daya tetas tertinggi diperoleh pada
pH 9 sebesar 82,22% dan nilai abnormalitas larva tertinggi diperoleh pada
pH 6 sebesar 9,37%, sedangkan persentase kelangsungan hidup tertinggi
pada pH 9 sebesar 79,36%.
5.2 Saran
Sebaiknya para pembudidaya ikan baung dapat memanfaatkan pH untuk
penetasan dan kelangsungan hidup larva ikan baung menghindari pH dibawah
nilai 7.
59
DAFTAR PUSTAKA
Arsiningtyas, H. 2009. Pengaruh Kejutan Suhu Panas Dan Lama Waktu Setelah Pembuahan Terhadap Daya Tetas Dan Abnormalitas Larva Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Artikel Ilmiah Skripsi. UNAIR.
Bhagawati, D., M.N Abulias, dan A. Amurwanto . 2013. Fauna Ikan Siluriformes
dari Sungai Serayu, Banjaran, dan Tajum di Kabupaten Banyumas. Jurnal MIPA. 36 (2): 112 – 122.
Cindelaras, S., Anjang Bangun Prasetio, dan Eni Kusrini. 2015. Embryonic and
Early Larvae Development of Wildbetta (Betta imbellis LADIGES 1975). Widyariset. 1 (1) : 1–10.
Diana, A. N., E. D. Masithah., A. T. Mukti dan J. Triastuti. 2010. Embriogenesis
dan Daya Tetas Telur Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada Salinitas Berbeda. FPIK UNAIR.
Effendie, M. Ichsan. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Nusantara:Yogyakarta. 163 Hlm. Fujaya, Y. 2008. Fisiologi Ikan. Jakarta: Rineka Cipta. 179 Hlm. Gusrina. 2008. Budidaya Ikan: Buku SMK Jilid 1. Departemen Pedndidikan
Nasional: Jakarta. 212 Hlm. Hadid, Y., M. Syaifudin dan Mohamad Amin. 2014. Pengaruh Salinitas Terhadap
Daya Tetas Telur Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr.). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 2 (1) :78-92.
Huwoyon, G. H., N. Suhenda dan A. Nugraha. 2011. Pembesaran Ikan Baung
(Hemibragus nemurus) yang Diberi Pakan Berbeda Dikolam Tanah. Berita Biologi. 10 (4).
Iswanto, B. dan E. Tahapari. 2011. Embriogenesis dan Perkembangan Larva Patin
Hasil Hibridisasi Antara Betina Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus sauvage, 1878) dengan Jantan Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal bleeker, 1846) dan Jantan Patin nasutus (Pangasius nasutus Bleeker, 1863). Jurnal Riset Akuakultur. 6 (2): 169 – 186.
Kimmel, C. B., W. W. Ballard, S. T. Kimmel, B. Ullman dan T. F. Schilling. 1995.
Stages of Embryonic Development of Zebrafish. Developmental Dynamics. 203: 253-310.
Kordi K., M. Ghufran H. 2008. Budi Daya Perairan Buku Pertama. PT. Citra Adiya
Bakti: Bandung. 444 Hlm. Kordi K., M. Ghufran H. 2009. Budi Daya Perairan Buku Kedua. PT. Citra Adiya
Bakti: Bandung. 520 Hlm.
60
Marbun. T. P., D. Bakti dan Nurmatias. 2013. Pembenihan Ikan Maskoki (Carrasius auratus) Dengan Menggunakan Berbagai Substrat. Universitas Sumatera Utara.
Mambrasar, P., R. Monijung., O. Kalesaran, J. Ch. Watung. 2015. Sintasan dan
Pertumbuhan Larva Ikan Ikan Lele (Clarias sp) Hasil Penetasan Telur Melalui Penambahan Madu dalam Pengenceran Sperma. (Survival and Growth of Catfish Larvae Clarias sp Hatched from Eggs Using honey in Sperm Dilution). Jurnal Budidaya Perairan. 3 (1): 101-107.
Manantung, V. O., Hengky J. Sinjal, Revol Monijung. 2013. Evaluasi Kualitas,
Kuantitas Telur Dan Larva Ikan Patin Siam (Pangasianodon hiphopthalmus) dengan Penambahan Ovaprim Dosis Berbeda. Budidaya Perairan. 1 (3): 14 - 23
Manurung, V. R., Yunasfi., dan Desrita. 2013. Studi Aspek Reproduksi Ikan Baung
(Mystus nemurus Cuvier Valenciennes) Di Sungai Bingai Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara. Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Muflikhah, N., S. Nurdawati, dan S. Nurul Aida. 2006. Prospek Pengembangan
Plasma Nutfah Ikan Baung (Mystus nemurus C.V.). BAWAL 1 (1). Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang
Nisa, K., Marsi dan M. Fitrani. 2013. Pengaruh pH pada Media Rawa Terhadap
Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Gabus (Chana satriata). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1(1): 57-65.
Oyen,F.G.F., L.E.C.M.M. Camps and S.E. Wendelaar Bonga. 1991. Effect of acid
stress on the embryonic development of the common carp (Cyprinus carpio). Elsevier. Aquatic Toxicology. 19 : 1-12.
Pattipeilohy I. G., A. Gani, H. Tahang. 2013. Perkembangan Embriogenesis Ikan
Mandarin (Synchiropus splendidus). Purba. M. 2006. Kimia untuk SMA Kelas XI. Erlangga: Jakarta. 325 hlmn. Putri, D. A., Muslim dan M. Fitrani. 2013. The Hatching Of Climbing Perch Eggs
(Anabas testudineus) With Different Incubation. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1 (2): 2303-2960.
Renita, R., E. I. Raharjo. 2016. Pengaruh Suhu Terhadap Waktu Penetasan, Daya
Tetas Telur dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Cupang (Betta Splendens). Artikel. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Muhammadiyah Pontianak.
Rudiyanti. S. dan A. D. Ekasari. Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan Mas
(Cyprinus carpio Linn) Sapkale ,P.H., R.K. Singh dan A.S. Desai. 2011. Optimal water temperature and
pH for development of eggs and growth of spawn of common carp (Cyprinus carpio). Journal of Applied Animal Research. 39 (4) : 339 – 345.
61
Setiawan, F. 2013. Budidaya Ikan Koan di Kolam Karamba. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Surabaya. Setyono, B. 2009. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Bahan Pada Pengencer
Sperma Ikan “ Skim Kuning Telur “ Terhadap Laju Fertilisasi, Laju Penetasan Dan Sintasan Ikan Mas (Cyprinus Carpio L.). Gamma. 5 (1) : 01 – 12.
Suhenda, N., R. Samsudin, dan A. H. Kristanto. 2009. Peranan Lemak Pakan
dalam Mendukung Perkembangan Embrio, Derajat Penetasan Telur, dan Sintasan Larva Ikan Baung (Mystus nemurus). Akuakultur. 4 (2) : 201-211.
Surbakti, T. 2015. Performa Sintasan Dan Pertumbuhan Larva Ikan Gabus
Channa Striata Pada Perlakuan pH Yang Berbeda. Skripsi. IPB.: Bogor. Susanto, H. 2015. Budi Daya 25 Ikan di Pekarangan. Penebar Swadaya : Jakarta
Timur. 226 Hlm. Tang, U. M. 2002. Teknik Budidaya Ikan Baung. Kanisius. 64 Hlm. Tataje, D. A. R., B. Baldisserotto dan E. Z. Filho. 2015. The effect of water pH on
the incubation and larviculture of curimbatá Prochilodus lineatus(Valenciennes, 1837) (Characiformes: Prochilodontidae). Neotrop. ichthyol. 13 (1) : 1679-6225.
Wahyuningtias, I. 2016. Pengaruh suhu terhadap larva ikan tambakan ( Helostoma
temminchii). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Westernhagen, H. V. 1988. Effects of pollutants on fish eggs and larvae. Fish
Physiology. Boston, Academic Press.
Windy., H. W., dan Ani Suryanti. 2014. Kebiasaan Makanan Ikan Baung (Mystus nemurus C.V) di Sungai Bingai Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara. Universitas Sumatera Barat. Medan.
Yulianti, S., P. Hari C.S. Dan T.Winanto 2012. Proses Embriogenesis dan
Perkembagan Stadia Awal Larva Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus) Pada Suhu dan Salinitas Berbeda. Jurnal Hasil Riset e-jurnal. Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik. Universitas Jenderal Soedirman.
Yuliyanti, B. E. 2016. Pengaruh Suhu Terhadap Perkembangan Telur Dan Larva
Ikan Tor (Tor Tambroides). Skripsi. Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung: Bandar Lampung.
Recommended