View
222
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
HIBAH DAN WASIAT DALAM ANALISIS PERBANDINGAN
ANTARA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
Muhammad Abduh NIM 03210079
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSYIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG
2008
2
MOTTO
ÉΟ ó¡Î0 «! $# Ç≈uΗ÷q §�9 $# ÉΟŠ Ïm §�9 $#
� ا������ ص �� �ل. � أ�� ه���ة ر�� ا� ��ء ا�'()'�ت،$ #"!�ن� :م )+ ��
) ا��9�ريروا7 (.5�رة 3��ر2#�، و0�/�.� -�ة
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a: Nabi SAW. Pernah bersabda,
“Wahai kaum muslimat, jangan memandang rendah hadiah yang diberikan
tetanggamu meskipun sekadar telapak kaki kambing.”(H.R. Bukhari) 1
1 Al- Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Az-Zabidi, "Al- Tajrîd Al-Shahîh li Ahâdîts Al-Jâmî’ Al-Shahîh", diterjemahkan Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis, Ringkasan Shahîh Al-Bukhârî (Cet.VI; Bandung: Mizan, 2002), 462.
ii
3
HALAMAN PERSEMBAHAN
Bismillahirrohmanirrohiim…
Dengan iringan do'a & ketulusan hati
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Ibu & Bapak Tercinta
(Hj. Zainab Lailah & H. Subuki AR) yang telah percikkan kasih dan do'anya
selalu mengalir tulus tiada henti-hentinya
Ade'q Tersayang
(Amalia suroiah, Ahmad Mudzakkir Kamil & Rofikotus Sa’adah) yang selalu
menghiburku dan membuatku tersenyum
Teman2ku Syari’ah ankatan “03
(Anshori, Mus’id, Prof/Arif, Badrun, Soni) yang tak pernah surut memberikan
sumbangan dorongan & motivasi yang telah membuatku mengerti akan makna
persahabatan
Sedulur-sedulurku HIMMABA
Thank's
iii
4
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis
menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
HIBAH DAN WASIAT DALAM ANALISIS PERBANDINGAN
ANTARA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka
skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum.
Malang, November 2008
Penulis,
Muhammad Abduh
NIM 03210079
iv
5
HALAMAN PERSETUJUAN
HIBAH DAN WASIAT DALAM ANALISIS PERBANDINGAN
ANTARA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
SKRIPSI
oleh:
Muhammad Abduh NIM: 03210079
Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan, Oleh Dosen Pembimbing:
Dr. Saifullah, S.H, M.Hum
NIP : 150 303 048
Mengetahui, Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425
v
6
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Muhammad Abduh, NIM 03210079, mahasiswa
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca, mengamati
kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi yang
bersangkutan dengan judul:
HIBAH DAN WASIAT DALAM ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada majelis
dewan penguji.
Malang, November 2008
Pembimbing,
Dr. Saifullah, S.H, M.Hum
NIP : 150 303 048
vi
7
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudara Muhammad Abduh, NIM 03210079, mahasiswa Fakultas
Syari’ah angkatan tahun 2003, dengan judul
HIBAH DAN WASIAT DALAM ANALISIS PERBANDINGAN
ANTARA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
Telah dinyatakan LULUS dan berhak menyandang Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Dengan Penguji:
1. Dr. Umi Sumbulah, M.Ag (..................................... )
NIP. 150 289 266 Penguji Utama
2. Drs. M. Fauzan Zenrif, M. Ag (...............………………..) NIP. 150 303 047 Ketua Penguji
3. Dr. Saifullah, S.H.,M.Hum (........................................) NIP : 150 303 048 Sekretaris
Malang, November 2008
Dekan,
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag NIP : 150 216 425
vii
8
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil'alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT., yang telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW. beserta keluarga serta sahabatnya. Semoga kita termasuk umat yang
mendapatkan syafa'at beliau di akhirat kelak. Amiin.
Skripsi yang membahas tentang "Hibah dan Wasiat Dalam Analisis Perbandingan
Antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)" ini
tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, dengan mencurahkan segala usaha
yang ada serta dengan dukungan dari berbagai pihak skripsi ini akhirnya dapat
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, ungkapan terima kasih yang sedalam-
dalamnya penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang.
2. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang.
3. Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag., selaku dosen wali penulis selama kuliah di Fakultas
Syari’ah UIN Malang.
4. Dr. Saifullah, S.H, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa
meluangkan waktu dan tidak pernah lelah dalam memberikan arahan serta
bimbingan demi kebaikan penulisan skripsi ini.
5. Kedua orang tua tercinta (Bapak H. Subuki AR dan Ibu Hj. Zainab Lailah) yang
telah banyak memberikan motivasi dan juga doanya yang selalu mengiringi dalam
setiap aktifitasku, sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.
6. Segenap dosen Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang yang telah
membimbing dan mencurahkan ilmunya kepada kami.
viii
9
7. Semua keluargaku terutama adikku tercinta (Amalia, Mudzakkir, Rofiko) yang telah
memberikan motifasi pada penulis.
8. Seorang teman dekatku, yang selalu senantiasa menemani dan membantu penulis.
9. Kepada bibik dan pak lek aku tercinta (Robi’ah dan Mashudi) yang telah
memberikan semangatnya selalu.
10. Teman-teman Fakultas Syari'ah angkatan 2003 (Anshori, Mus’id, Arif Prof, Badrun,
Sony & Umana yang selalu memberi semangat dan motifasi dalam mengerjakan
skripsi)
11. Teman-teman PKLI tahun 2006 Fakultas Syari'ah khususnya PKLI Pasuruan.
12. Sedulur-sedulurku HIMMABA, yang selalu menjaga baik almamater.
13. Sahabat-sahabatiku PMII khususnya Rayon Al Faruq.
Semoga bantuan dan jerih payah tersebut dapat menjadi tabungan amal saleh, dan
hanya Allah SWT. sajalah yang dapat membalas kebaikan semuanya.
Akhirnya semoga skripsi ini, dapat bermanfaat bagi kami khususnya serta
memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi para pembaca budiman umumnya.
Malang, November 2008
Penulis
ix
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................... i
HALAMAN MOTTO ............................................................................................... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................ iv
HALAMAN PERSETUJUAN...................................................................................v
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... vi
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................viii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. x
ABSTRAK ..............................................................................................................xiii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian............................................................................................. 7
D. Kegunaan Penelitian........................................................................................ 7
E. Penelitian Terdahulu ....................................................................................... 8
F. Metode Penelitian ......................................................................................... 10
G. Sistematika Pembahasan .............................................................................. 15
BAB II : HIBAH DAN WASIAT DALAM KUH PERDATA
A. Hibah Dalam KUH Perdata ......................................................................... 17
1. Pengertian Hibah Menurut KUH Perdata .............................................. 17
2. Dasar Hukum Hibah Dalam KUH Perdata ............................................ 20
3. Syarat-syarat Hibah Dalam KUH Perdata ............................................. 21
x
11
B. Wasiat Dalam KUH Perdata ........................................................................ 27
1. Pengertian Wasiat Dalam KUH Perdata ................................................ 27
2. Dasar Hukum Wasiat Dalam KUH Perdata........................................... 28
3. Syarat Wasiat Dalam KUH Perdata ....................................................... 29
4. Bentuk Wasiat Dalam KUH Perdata .................................................... 30
BAB III : HIBAH DAN WASIAT DALAM KOMPILASI HUKUM IS LAM
A. Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ........................................... 34
1. Pengertian Hibah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) .................. 34
2. Dasar Hukum Hibah .............................................................................. 37
3. Syarat-syarat Hibah Dalam KHI ........................................................... 41
B. Wasiat Dalam Kompilasi Hukum Islam........................................................ 45
1. Pengertian Wasiat Dalam KHI .............................................................. 45
2. Dasar Hukum Wasiat Dalam KHI ......................................................... 46
3. Rukun dan Syarat Wasiat Dalam KHI ................................................... 51
BAB IV : HIBAH DAN WASIAT MENURUT KUH PERDATA DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
A. Persamaan dan Perbedaan Hibah dan Wasiat Menurut KUH Perdata
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ............................................................ 54
1. Persamaan Hibah dan Wasiat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ......................................... 54
2. Perbedaan Hibah dan Wasiat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ......................................... 57
a. Perbedaan Hibah Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ................................................. 57
b. Perbedaan Wasiat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ................................................. 59
xi
12
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 65
B. Saran-saran ................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA
xii
13
ABSTRAK Abduh, Muhammad, 03210079, 2008, Hibah dan Wasiat Dalam Analisis Perbandingan Antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) , Skripsi, Jurusan Al-Ahwal As-Syakhsiyah, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen Pembimbing: Dr. Saifullah, S.H, M.Hum. Kata Kunci: Hibah, Wasiat, KHI, KUH Perdata
Hibah merupakan akad yang masih sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia.Hal ini mungkin disebabkan hibah termasuk perbuatan yang dianjurkan atau di syari'atkan oleh agama. Di Indonesia, aturan atau Undang-undang yang mengatur persoalan hibah di antaranya terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Maksud dan tujuan hibah itu sendiri adalah agar antara penghibah dan penerima hibah itu timbul rasa saling mencintai dan menyayangi.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, a) persamaan dan perbedaan hibah dan wasiat antara KUH Perdata dan KHI. b) akibat hukum hibah dan wasiat menurut KUH Perdata dan KHI. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah menggunakan penelitian kepustakaan yaitu suatu penelitian yang berusaha mencari teori-teori yang telah berkembang yang diperoleh dari buku-buku atau bahan pustaka yang ada hubungannya dengan permasalahan. Adapun data penelitian ini dikumpulkan melalui studi dokumen. Sedangkan analisis datanya menggunakan deskriptif kualitatif.
Hasil dari penelitian ini ialah KUH Perdata dan KHI mempunyai persamaan dan perbedaan yang mengatur tentang hibah dan wasiat. KUH Perdata dan KHI dalam hal ini lebih rinci dalam mengatur masalah hibah dan wasiat. Adapun persamaan hibah dan wasiat menurut KUH Perdata dan KHI yaitu: (1) Dalam melaksanakan hibah baik menurut KUH Perdata maupun KHI tersebut harus ada bukti autentik. (2). Dalam melaksanakan hibah harus dilakukan sebelum si penghibah meninggal dunia. Sedangkan perbedaan hibah menurut KUH Perdata dan KHI yaitu: (1). Pasal 1666-1693, Pasal 210-214 KHI (2). Dalam melaksanakan hibah orang tersebut bukan orang muslim saja, akan tetapi orang non muslim bisa melaksanakan hibah. (3). Dalam melaksanakan hibah bukan harta pusaka saja, tetapi bisa harta yang lainnya. (4). Di dalam KUH Perdata tidak di jelaskan tentang bentuk hibah. Perbedaan wasiat menurut KUH Perdata dan KHI yaitu: (1). Pasal 874-912 dan 930-932, Pasal 194-209 KHI. (2). Orang yang hendak melaksanakan wasiat bukan orang muslim saja, tetapi bisa orang non muslim, orang yang akan melaksanakan wasiat hanya orang muslim saja (KHI). (3). Barang yang di wasiatkan maksimal 1/3 dari harta tersebut. (4). Lisan, tertulis.
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menjadikan manusia saling berinteraksi antara satu dengan
yang lain. Mereka saling tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala
urusan hidup. Ada beberapa bentuk tolong-menolong untuk menjalin tali
silaturrahmi, di antaranya adalah memberikan harta kepada orang lain tanpa
mengharapkan imbalan, yang dikenal dengan nama hibah.
Hibah merupakan akad yang masih sering di lakukan oleh masyarakat
Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan hibah termasuk perbuatan yang dianjurkan
atau di syari'atkan oleh agama. Akan tetapi oleh kebanyakan orang, hibah hanya
dipahami sebagai bentuk pemberian saja, tanpa menyadari apa yang dimaksud
dengan hibah itu sendiri. Oleh karena itu, harus ada Undang-Undang yang mengatur
1
2
tentang hibah di Indonesia. Dengan demikian, maka di harapkan masyarakat dapat
mengerti apa yang dimaksud dengan hibah, tujuan hibah, cara melaksanakan hibah,
menghindari larangan-larangan di dalamnya, menghindari hal-hal yang merusak akad
hibah, menghindari persengketaan, dan sebagainya.
Wasiat apabila dikaitkan dengan suatu perbuatan hukum, maka wasiat tersebut
pada dasarnya juga bermakna transaksi pemberian sesuatu kepada pihak lain.
Pemberian itu bisa berbentuk penghibahan harta atau pembebanan/pengurangan
utang ataupun pemberian manfaat dari milik pemberi wasiat kepada pihak yang
menerima wasiat. Oleh karena itu, harus ada Undang-Undang yang mengatur tentang
wasiat di Indonesia.
Di Indonesia, aturan atau Undang-Undang yang mengatur persoalan hibah di
antaranya terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hibah juga merupakan suatu pemberian yang tidak ada kaitannya dengan
kehidupan keagamaan. Tetapi yang menjadi pokok pengertian dari hibah ini selain
unsur keikhlasan dan kesukarelaan seseorang dalam memberikan sesuatu kepada
orang lain adalah pemindahan hak dan hak miliknya. Di dalam Hukum Islam yang
dimaksud dengan hibah adalah pemindahan hak dan hak milik dari sejumlah
kekayaan.1
Perkataan hibah atau memberikan sesuatu kepada orang lain sebagai perbuatan
hukum itu dikenal, baik di dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Burgerlijk
Wetboek (BW). Pada dasarnya peraturan tentang hibah dalam KUH Perdata secara
1Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2002), 180.
3
umum bersumber dari gabungan hukum kebiasaan/hukum kuno Belanda dan code
civil Prancis. Berdasarkan atas gabungan berbagai ketentuan tersebut, maka pada
tahun 1838, kodifikasi hukum perdata barat Belanda ditetapkan dengan Stb. 1838.
sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1848, kodifikasi hukum perdata barat
Belanda diberlakukan di Indonesia dengan Stb. 1848.2 Jadi, KUH Perdata yang
berlaku di Indonesia adalah kutipan dari KUH Perdata yang berlaku di Belanda yang
setelah disesuaikan dengan keadaan masyarakat di Indonesia yang menggunakan
asas konkordansi.
Hibah itu sendiri harus ada suatu persetujuan. Dilakukan sewaktu pemberi
hibah masih hidup, dan harus diberikan secara cuma-cuma. Hal ini sudah dirumuskan
dalam Pasal 1666 KUH Perdata (BW) .3
Biasanya pemberian-pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh sanak
keluarga yang tidak menerima pemberian itu, oleh karena pada dasarnya seorang
pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada
siapapun. Hibah ini termasuk materi hukum perikatan yang diatur di dalam Buku
Ketiga Bab kesepuluh Burgerlijk Wetboek (BW). Berbeda dengan hukum waris salah
satu syarat dalam hukum waris untuk adanya proses pewarisan adalah adanya orang
yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan. Sedangkan
dalam hibah, seorang pemberi hibah itu masih hidup pada waktu pelaksaan
pemberian. Berkaitan dengan hibah ini, dalam KUH Perdata terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu:4
2Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 12. 3Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 89. 4Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), 81.
4
1. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah ketika
hidupnya untuk memberikan sesuatu barang dengan cuma-cuma kepada
penerima hibah.
2. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris, apabila tidak dengan akta notaris,
maka hibah batal.
3. Hibah antara suami-isteri selama dalam perkawinan dilarang, kecuali jika yang
dihibahkan itu benda-benda bergerak yang harganya tidak terlampau mahal.5
Hibah baru dianggap telah terjadi apabila barang yang dihibahkan itu telah
diterima. Hibah yang dilakukan orang tua kepada anaknya kelak dapat
diperhitungkan sebagai harta warisan apabila orang tuanya meninggal dunia. Hibah
tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hibah yang
diberikan pada saat orang yang memberikan hibah dalam keadaan sakit yang
membawa kematiannya, maka hibah yang demikian itu haruslah mendapat
persetujuan dari ahli warisnya, sebab yang merugikan para ahli waris dapat diajukan
pembatalannya ke Pengadilan Agama agar hibah yang diberikan itu supaya
dibatalkan.6
Perumusan hukum hibah yang diatur dalam KHI mengalami modifikasi dan
ketegasan hukum demi terciptanya persepsi yang sama, baik bagi aparat penegak
hukum maupun bagi anggota masyarakat.7
Hibah dalam KHI dapat dilakukan baik secara tertulis maupun secara lisan,
bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam KHI, pemberian berupa harta
5Ibid., 81-82. 6 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 144 7Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 71.
5
tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen
tertulis.8
Selain hibah dalam masyarakat dan peraturan juga mengenal yang namanya
wasiat. Sedangkan wasiat itu sendiri terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Wasiat dalam hukum perdata dikenal dengan nama testamen yang diatur
dalam buku kedua bab ketiga belas terdapat pada pasal 875.
Pernyataan kehendak yang berupa amanat terakhir orang yang menyatakan
wasiat itu dikemukakan secara lisan dihadapan notaris dan dua orang saksi. Wasiat
dalam hukum perdata harus dibuat dalam bentuk surat wasiat (testamen) dan
pembuatan surat wasiat itu merupakan perbuatan hukum yang sangat pribadi. BW
mengenal tiga macam bentuk surat wasiat, yaitu: wasiat olografis, wasiat umum,
wasiat rahasia. Surat wasiat model ini harus disegel, kemudian diserahkan kepada
notaris dengan dihadiri empat orang saksi, penyegelan dilakukan dihadapan notaris.
Sebaiknya pembuat wasiat harus membuat keterangan di hadapan notaris dan saksi-
saksi bahwa yang termuat dalam segel itu adalah surat wasiatnya yang ia tulis sendiri
atau yang ditulis orang lain dan ia menandatanganinya, kemudian notaris membuat
keterangan yang isinya membenarkan keterangan tersebut.9
Dalam Kompilasi Hukum Islam sudah disebutkan pada pasal 171 huruf (f).
Ketentuan tentang wasiat ini terdapat dalam pasal 194-209 yang mengatur secara
keseluruan prosedur tentang wasiat.
Orang yang hendak melakukan wasiat harus sudah berusia sekurang-kurangnya
21 tahun dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau
8 Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djmbatan, 2005), 296 9 Abdul Manan, Op. Cit, 150-151
6
lembaga. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
Pemilikan terhadap harta benda ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat
meninggal dunia (pasal 194 KHI). Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun
pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu (pasal 198 KHI).
Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di
hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris. Wasiat kepada ahli waris hanya
berlaku apabila disetujui oleh semua ahli warisnya (pasal 195 KHI). Dalam wasiat,
baik secara lisan maupun tertulis, harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau
siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang
diwasiatkan (pasal 196 KHI).
Mengkaji uraian tersebut, maka timbullah pertanyaan tentang masalah yang
perlu atau menarik untuk dibahas dan diteliti. Adapun masalah yang muncul adalah
tentang persamaan dan perbedaan hibah dan wasiat menurut KUH Perdata dan KHI.
Seperti yang kita pahami banyak persamaan dan perbedaan hibah dan wasiat
tersebut, masyarakat masih belum mengetahui apa persamaan dan perbedaan hibah
dan wasiat tersebut. Selain hal tersebut jika terjadi sengketa bagaimana akibat hukum
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dengan melihat permasalahan maka peneliti terdorong untuk mengadakan
penelitian ilmiah dengan mengkaji dan menyusun skripsi dengan judul: “Hibah dan
Wasiat dalam Analisis Perbandingan antara KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA dan KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)”
7
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana persamaan dan perbedaan hibah dan wasiat antara Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Hal-hal yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah ingin menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah tersebut yang telah
dipaparkan diatas. Dengan demikian, maka tujuan penelitian ini antara lain:
1. Untuk membandingkan perbedaan antara hibah dan wasiat menurut KUH
Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian adalah sebagai berikut
1. Aspek Teoritis
Untuk memperkaya wacana keislaman dalam bidang hukum yang berkaitan
antara hibah dan wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam yang dibandingkan
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Aspek Praktis
Sebagai pengetahuan sekaligus pengalaman dan kontribusi bagi penulis
dalam penyusunan karya ilmiah yang berhubungan dengan hibah dan wasiat
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum
Islam.
8
E. Penelitian Terdahulu
Untuk mengetahui lebih jelas tentang penelitian yang akan diteliti, maka disini
penting untuk mengkaji terlebih dahulu hasil penelitian terdahulu yang terkait
dengan penelitian ini baik secara teori maupun kontribusi keilmuan. Ada beberapa
judul skripsi yang tidak jauh berbeda dengan judul yang peneliti angkat antara lain
yaitu:
1. Hibah Sebagai Cara Untuk Menyiasati Pembagian Harta Waris (Studi
Hukum Islam Di Desa Randuagung Kec. Singosari Malang). Penelitian dari
Moh. Nafik menjelaskan tentang pelaksanaan hibah orang tua pada anak wanita
tidak banyak menimbulkan sengketa. Hal yang demikian itu disebabkan karena
semua anak menerima apa yang telah menjadi ketentuan orang tua sebagai rasa
hormat mereka terhadap orang tua. Kendatipun ada yang menjadi sengketa,
namun tidak sampai ke meja hijau dan diselesaikan secara kekeluargaan.10
Penelitian tersebut hampir sama dengan penelitian yang penulis angkat, yang
sama-sama membahas tentang hibah dan wasiat. Akan tetapi, penelitian tersebut
lebih banyak membahas tentang pelaksanaan hibah orang tuan pada anak wanita.
2. Wasiat Wajibah bagi anak angkat (kajian terhadap pasal 209 KHI).
Penelitian dari Sahirul Alim menjelaskan tentang wasiat wajibah bagi anak
angkat di KHI dirumuskan dalam asal 209 ayat (2) yang menyatakan bahwa
terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 warisan.11 Penelitian tersebut hampir
sama dengan penelitian yang penulis angkat, yang sama-sama membahas hibah
10 Nafik, Moh, Hibah Sebagai Cara Untuk Menyiasati Pembagian Harta Waris (Studi Hukum Islam Di Desa Randuagung Kec. Singosari Malang), (Malang: Universitas Islam Negeri, 2003) 11 Sahirul Alim, Wasiat Wajibah bagi anak angkat (kajian terhadap pasal 209 KHI). (Malang : Universitas Islam Negeri, 2003)
9
dan wasiat. Akan tetapi penelitian tersebut lebih banyak membahas tentang
wasiat wajibah bagi anak angkat dan tidak membahas secara detail tentang hibah
wasiat.
3. Wasiat Wajibah Bagi Non Muslim (Kajian Terhadap Putusan Mahkamah
Agung No. 368 K/AG/1995). Penelitian dari M. Arif Arwani menjelaskan
tentang wasiat wajibah dalam putusan Mahkamah Agung No. 368 K/AG/1995
dilandasi oleh pendapat sebagian fuqaha’ yang berpendapat bahwa surat Al-
Baqarah ayat 180 masih berlaku dan tidak pernah dinasakh oleh ayat-ayat
mawaris. Menurut fuqaha’ golongan ini bagi ahli waris yang tidak mendapatkan
harta pusaka karena adanya ahli waris yang lebih utama atau karena adanya
halangan mewaris diberikan wasiat wajibah dengan ketentuan tidak boleh
melebihi 1/3. Dalam putusan Mahkamah Agung No. 368 K/AG/1995, disebutkan
bahwa bagi orang non Muslim karena merupakan halangan mewaris masih
berhak mendapatkan bagian dari harta pusaka melalui wasiat wajibah sebesar
bagian pokoknya. Wasiat wajibah adalah wasiat yang wajib berlakunya tanpa
harus adanya persetujuan dari pewaris maupun dari ahli waris yang lain.12
Penelitian tersebut hampir sama dengan penelitian yang penulis angkat, yang
sama-sama membahas hibah dan wasiat. Akan tetapi penelitian tersebut lebih
banyak membahas tentang wasiat wajibah bagi non Muslim.
12 Arwani, M. Arif, Wasiat Wajibah Bagi Non Muslim (Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 368 K/AG/1995), (Malang : Universitas Islam Negeri, 2004)
10
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara yang dapat digunakan dalam
mengumpulkan data penelitian dan dibandingkan dengan standar ukuran yang telah
ditentukan.13 Seorang peneliti yang akan melakukan proyek penelitian, sebelumnya
dituntut untuk mengetahui dan memahami metode serta sistematika penelitian, jika
peneliti tersebut hendak mengungkapkan kebenaran melalui suatu kegiatan ilmiah.
Adapun dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik atau metode penelitian yang
meliputi:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif.
Karena pendekatan kualitatif digunakan apabila data-data yang dibutuhkan berupa
sebaran-sebaran informasi yang tidak perlu di kuantifikasi.14 Menurut Bogdan dan
Taylor mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata ataupun tulisan.15
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian pustaka atau literatur yaitu suatu data
yang dieroleh dari buku-buku atau bahan pustaka yang ada hubungannya dengan
permasalahan yang dipilih serta menghindarkan terjadinya duplikasi yang tidak di
inginkan dengan mengarah pada pengembangan konsep dan fakta yang ada.16
Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah yang diambil, maka
penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian yuridis normatif. Penelitian Hukum
13 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta.
2002),126-127. 14 Tim Dosen Fak. Syari’ah, Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. (Malang: Fakultas Syari’ah UIN, 2005),11. 15 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 3. 16 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), 111
11
Normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Pada penelitian hukum normatif,
bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan
sebagai data sekunder.17 Penelitian yang akan dibahas ini dapat dimasukkan ke
dalam kategori penelitian hukum normatif, karena penelitian ini membahas tentang
pasal-pasal yang berkaitan dengan hibah wasiat yang terdapat dalam KUH Perdata
selain itu penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka sehingga penelitian ini dinamakan dengan penelitian hukum
normatif. Selain itu pada penelitian hukum normatif ini, tidak diperlukan penyusunan
atau perumusan hipotesa.
3. Sumber Data
Sumber data adalah sumber dari mana data itu diperoleh. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan sumber data sekunder. Yang mana sumber data sekunder ini
dibagi menjadi:18
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam hal
ini meliputi Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan bahan hukum dari zaman
penjajahan yang hingga kini masih berlaku yaitu Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW).
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, antara lain:
1) Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata karya
Anisitus Amanat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2001.
17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 23-24. 18Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), 52
12
2) Beberapa Permasalahan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat
karya Mohd Idris Ramulyo. Jakarta: Sinar Grafindo. 1993.
3) Fiqih Lima Madzhab karya Muhammad Jawad Mughniyah Jakarta: PT
Lentera Basritama. 2001.
4) Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah) karya A. Rahman I.
Doi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
5) Fiqih Muamalah karya Helmi Karim. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
1993
6) Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia karya Simanjuntak Jakarta:
Djambatan. 1999.
c. Bahan Hukum Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Ensiklopedi
Hukum Islam, maupun kamus.
4. Metode Pengumpulan Data
Keputusan alat pengumpul data mana yang akan dipergunakan tergantung pada
permasalahan yang akan diamati. Karena jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif maka peneliti memilih untuk menggunakan studi dokumen atau
dokumentasi untuk alat pengumpul datanya. Studi dokumen merupakan langkah awal
dari setiap penelitian hukum. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi
bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier.19 Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-
19Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 68.
13
hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan
sebagainya.20
Adapun data yang diperoleh sebagai pendukung guna tersusunnya penulisan
skripsi dengan menggunakan teknik atau metode sebagai berikut:
a. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan
sebagainya.21
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang ditujukan pada subyek
penelitian. Dokumentasi merupakan sumber data pasif artinya penulis dapat melihat
secara langsung data yang sudah dicatat dengan baik dalam berbagai dokumentasi
yang dianggap penting, seperti KUH Perdata dan dokumentasi-dokumentasi yang
dianggap penting. Dokumen juga berguna sebagai bukti suatu pengujian.22
Dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang menggunakan
dokumentasi, maka diharapkan agar penelitian ini lebih terperinci karena sumber
yang akan dicari dalam suatu dokumentasi merupakan sumber penting yang
menyangkut hibah dan wasiat menurut KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
Keputusan alat pengumpul data mana yang akan dipergunakan tergantung pada
permasalahan yang akan diamati. Karena jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif maka peneliti memilih untuk menggunakan studi dokumen atau
dokumentasi untuk alat pengumpul datanya. Studi dokumen merupakan langkah awal
20Suharsimi Arikunto, Op. Cit, 206. 21 Suharsini Arikunto, Op. Cit, 206 22 Lexi. J. Moleong, Op. Cit, 161
14
dari setiap penelitian hukum. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi
bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier.23 Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-
hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan
sebagainya.24
5. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah,
karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam
memecahkan masalah penelitian.25
Dalam hal ini peneliti menggunakan metode analisis data Content Analysis atau
analisis isi buku. Content analysis yaitu analisis data yang mendasarkan pada isi dari
data deskriptif.26 Setelah melihat dan mempelajari aturan hibah dan wasiat yang ada
dalam Kompilasi Hukum Islam dan KUH Perdata maka data tersebut dianalisis
dengan cara memaparkan kedua aturan tersebut.
Proses analisis data dimulai,27 dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, yakni dari hasil sumber tertulis berupa data dokumentasi tentang
hibah dan wasiat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi
Hukum Islam. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah berikutnya
adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.
23Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 68. 24Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. (Jakarta: PT. Rineka Cipta,. 2002), 206. 25 Moh Nazir. Op. Cit, 405 26Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), 65. 27Ibid., 190.
15
Langkah selanjutnya ialah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu
kemudian dikategorisasikan pada langkah berikutnya.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan skripsi ini, dijelaskan dalam lima bab, yaitu:
Bab I : Pada bab ini diuraikan tentang pendahuluan yang menjelaskan gambaran
umum yang memuat pola dasar penelitian skripsi ini, yaitu mencakup latar
belakang masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian
terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II : Pada bab ini merupakan pembahasan mengenai kajian pustaka yang
berhubungan dengan materi yang akan di bahas. Pada bab ini dijelaskan
tentang hibah dan wasiat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Adapun sub bab dalam bab kedua ini berisikan tentang pengertian hibah dan
wasiat, dasar hukum hibah dan wasiat, syarat hibah dan wasiat, bentuk wasiat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Bab III : Pada bab ini merupakan pembahasan mengenai kajian pustaka yang
berhubungan dengan materi yang dibahas. Pada bab ini juga dijelaskan
tentang hibah dan wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun
sub bab dalam bab ketiga ini menjelaskan tentang definisi hibah dan wasiat,
dasar hukum hibah dan wasiat, syarat hibah dan wasiat dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
Bab IV : Pada bab ini akan dijelaskan tentang pembahasan dan analisis serta
interpretasi terhadap data. Hasil pengkajian teoritis yang telah disebutkan
pada bab II dan bab III dijadikan bahan diskusi terhadap data yang sudah
disebutkan. Adapun sub bab pada bagian ini adalah analisis persamaan dan
16
perbedaan hibah dan wasiat antara KUH Perdata dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Bab V : Pada bab ini mengemukakan kesimpulan dan saran dari jawaban atas
permasalahan penelitian
17
BAB II
HIBAH DAN WASIAT DALAM KUH PERDATA
A. Hibah Dalam KUH Perdata
1. Pengertian Hibah Menurut KUH Perdata
Hibah dalam KUH Perdata terdapat dalam Pasal 1666, penghibahan (bahasa
Belanda: schenking, bahasa Inggris: danation). Dalam Pasal 1666 KUH Perdata
tersebut dapat dipahami bahwa:
Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya,
dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu
benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
17
18
Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah diantara
orang-orang yang masih hidup.28
Dari rumusan tersebut di atas, dapat diketahui unsur-unsur hibah, sebagai
berikut:
a. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan cuma-cuma.
Artinya, tidak ada kontra prestasi dari pihak penerima hibah.
b. Dalam hibah selalu disyaratkan bahwa penghibah mempunyai maksud untuk
menguntungkan pihak yang diberi hibah.
c. Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala macam harta milik
penghibah, baik berada berwujud maupun tidak berwujud, benda tetap
maupun benda bergerak, termasuk juga segala macam piutang penghibah.
d. Hibah tidak dapat ditarik kembali.
e. Penghibahan harus dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.
f. Pelaksanaan dari penghibahan dapat juga dilakukan setelah penghibah
meninggal dunia.
g. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris.29
Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan: perjanjian "dengan
cuma-cuma" (bahasa Belanda: "om niet"), dimana perkataan "dengan cuma-cuma"
itu ditujukan hanya pada adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang
lainnya tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan. Perjanjian yang
demikian itu juga dinamakan perjanjian "sepihak" (unilateral) sebagai lawan dari
perjanjian "timbal balik" (bilateral). Perjanjian yang banyak tentunya adalah
28 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit, 436 29 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), 86
19
bertimbal balik, karena yang lazim adalah bahwa orang menyanggupi suatu prestasi
karena ia akan menerima suatu kontra-prestasi.
Meskipun hibah sebagai perjanjian sepihak yang menurut rumusannya dalam
pasal 1666 BW tidak dapat ditarik kembali, melainkan atas persetujuan pihak
penerima hibah. Akan tetapi dalam pasal 1688 BW dimungkinkan bahwa hibah dapat
ditarik kembali atau bahkan dihapuskan oleh penghibah, yaitu:
a. Karena syarat-syarat resmi untuk penghibahan tidak dipenuhi.
b. Jika orang yang diberi hibah telah bersalah melakukan atau membantu
melakukan kejahatan lain terhadap penghibah.
c. Apabila penerima hibah menolak memberi nafkah atau tunjangan kepada
penghibah, setelah penghibah jatuh miskin.30
Perkataan "diwaktu hidupnya" si penghibah, adalah untuk membedakan
penghibahan ini dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testamen
(surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah si pemberi
meninggal dan setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat dirubah atau
ditarik kembali olehnya. Pemberian dalam testament itu dalam B.W. dinamakan
"legaat" (hibah wasiat) yang diatur dalam hukum waris, sedangkan penghibahan ini
adalah suatu perjanjian. Karena penghibahan menurut B.W. itu adalah suatu
perjanjian, maka sudah dengan sendirinya ia tidak boleh ditarik kembali secara
sepihak oleh si penghibah.
Perkataan penghibahan atau (pemberian) ini mempunyai dua pengertian,
yaitu:31
30 Ibid, 86-87 31 Ibid., 99.
20
a. Penghibahan dalam arti yang sempit, adalah perbuatan-perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal ini. Misalnya syarat
"dengan cuma-cuma" yaitu tidak memakai pembayaran. Dalam hal ini orang
lazim mengatakan "formale schenking" yaitu suatu penghibahan formal.
b. Penghibahan dalam arti yang luas, adalah penghibahan menurut hakekat atau
"materiele schenking", misalnya seorang yang menjual rumahnya dengan harga
yang sangat murah atau membebaskan debitur dari hutangnya. Maka menurut
pasal 1666 KUH Perdata ia tidak melakukan suatu penghibahan atau pemberian,
tetapi menurut pengertian yang luas ia dapat dikatakan menghibahkan atau
memberikan.
2. Dasar Hukum Hibah dalam KUH Perdata
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
1). Bab tentang Hibah dalam pasal 1666-1693. Pada pasal 1666 berbunyi: Hibah
adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya,
dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan
sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan
itu.
Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah di antara
orang-orang yang masih hidup.
2) Pasal 1667 berbunyi: Hibah hanyalah dapat mengenai benda-banda yang
sudah ada.
Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari,
maka sekadar mengenai itu hibahnya adalah batal.
21
3) Pasal 1676 berbunyi: Setiap orang diperbolehkan memberi sesuatu sebagai
hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tak cakap untuk
itu.
4) Pasal 1677 berbunyi: Orang-orang belum dewasa tidak diperbolehkan
memberi hibah, kecuali dalam hal yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari
buku.32
3. Syarat-syarat Hibah Dalam KUH Perdata
Dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara tegas mengenai syarat-syarat
hibah. Akan tetapi, dengan melihat pasal 1666 KUH Perdata maka dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa syarat-syarat hibah dalam KUH Perdata, diantaranya
adalah:
a. Adanya Perjanjian
b. Penghibah
c. Penerima Hibah
d. Barang Hibah
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai syarat-syarat hibah dalam KUH Perdata yang
telah disebutkan diatas.
a. Adanya Perjanjian
Di dalam pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa yang dinamakan dengan
suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
32 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit, 436-438
22
Subekti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian oleh Buku III
B.W adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua
orang, yang memberi hak pada satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang
lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.33
Suatu perjanjian dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu perjanjian
dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu
manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian
yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu. Penghibahan, dalam hal ini dapat dikategorikan perjanjian
dengan cuma-cuma atau biasa dinamakan dengan perjanjian sepihak (unilateral).
Untuk dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu rumusan Rutten
adalah sebagai berikut:34
Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-
formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian
pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk
timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak
lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal
balik.
Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk
yaitu perjanjian yang dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang dilakukan cukup
secara lisan.
33 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1996), 122-123. 34 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: CV Mandar Maju, 1994), 46-47
23
Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya
untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan
tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi
persengketaan
Bila secara lisan sampai terjadi perselisihan, maka sebagai alat pembuktian
akan lebih sulit, disamping harus dapat menunjukkan sanksi-sanksi, juga I’tikad baik
pihak-pihak diharapkan dalam perjanjian itu.
Perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum, perbuatan hukum adalah
perbuatan-perbuatan dimana untuk terjadinya atau lenyapnya hukum atau hubungan
hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang itu.
Untuk suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat, yaitu:35
1) Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri.
Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang
bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan
dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam.36
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.37
Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri.
Sebagaimana telah diterangkan dalam KUH Perdata, beberapa golongan
orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan
sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, seperti orang di bawah
umur, orang di bawah pengawasan dan perempuan yang telah kawin.38
Menurut yurisprudensi sekarang ini, perempuan yang sudah kawin cakap
35 Ibid., 134-135. 36 Ibid., 135 37 Ibid, 134 38 Ibid, 136
24
untuk membuat persetujuan atau dapat melakukan perbuatan-perbuatan
hukum sendiri.
3) Suatu hal tertentu yang diperjanjikan.39
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu
barang yang cukup jelas atau tertentu. 40
4) Suatu sebab yang halal.41
Hibah dibuat di hadapan notaris (merupakan suatu keharusan), tetapi hal ini
tentu akan menimbulkan kesukaran pada tempat-tempat yang jauh sekali letaknya
dengan tempat adanya kantor notaris. Maka dapat dimengerti bahwa kadang-kadang
hibah ini dibuat di hadapan pejabat pemerintahan setempat. Akta hibah itu
ditandatangani oleh pemberi hibah dan penerima hibah. Namun demikian, suatu
hibah terhadap barang-barang yang bergerak tidak memerlukan suatu akta dan adalah
sah dengan penyerahan belaka kepada penerima hibah atau kepada seorang pihak
ketiga yang menerima pemberian itu atas nama penerima hibah. Seperti: seorang
pemberi hibah memberikan sebuah arloji kepada penerima hibah, maka hal tersebut
tidak memerlukan suatu akta otentik yang dibuat di hadapan seorang notaris.42
b. Penghibah
Untuk menghibahkan seseorang harus sehat pikirannya, harus sudah dewasa.
Diadakan kekecualian dalam halnya seorang yang belum mencapai usia genap 21
tahun, menikah dan pada kesempatan itu memberikan sesuatu dalam suatu perjanjian
perkawinan (pasal 1677). Orang yang belum mencapai usia 21 tahun itu
39 Ibid, 134 40 Ibid, 136 41 Ibid, 134 42 Elise T. Sulistini dan Rudy T. Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-perkara Perdata (Jakarta: Bina Aksara, 1987), 58-59.
25
diperkenankan membuat perjanjian perkawinan asal ia dibantu oleh orang tuanya
atau orang yang harus memberikan izin kepadanya untuk melangsungkan
perkawinan.43
Tentang kecakapan untuk memberikan sesuatu sebagai hibah setiap orang
diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah, kecuali mereka yang
oleh undang-undang dinyatakan tak cakap untuk itu, seperti anak-anak di bawah
umur, orang gila, atau orang yang berada di bawah pengampuan. 44
Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk
menjual atau memberikan kepada orang lain suatu barang yang termasuk dalam
penghibahan. Penghibahan yang semacam ini, sekedar mengenai barang tersebut,
dianggap sebagai batal (pasal 1668). Janji yang diminta oleh si penghibah bahwa ia
tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain, berarti
bahwa hak milik atas barang tersebut tetap ada padanya karena hanya seorang
pemilik dapat menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain, hal itu dengan
sendirinya bertentangan dengan sifat dan hakikat penghibahan.45
c. Penerima Hibah
Untuk menerima suatu hibah, dibolehkan orang itu belum dewasa, tetapi ia
harus diwakili oleh orang tua atau wali. Undang-undang hanya memberikan
pembatasan dalam pasal 1679, yaitu menetapkan bahwa orang yang menerima hibah
itu harus sudah ada (artinya: sudah dilahirkan) pada saat dilakukannya penghibahan,
dengan pula mengindahkan ketentuan pasal 2 B.W. yang berbunyi: anak yang ada
43 Subekti, Op. Cit., 100. 44 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 90. 45 Subekti, Aneka Perjanjian (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), 95-96.
26
dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan manakala kepentingan si anak
itu menghendakinya.46
Ada beberapa orang tertentu yang sama sekali dilarang menerima penghibahan
dari penghibah, yaitu:47
1) Orang yang menjadi wali atau pengampun si penghibah;
2) Dokter yang merawat penghibah ketika sakit;
3) Notaris yang membuat surat wasiat milik si penghibah.
d. Barang Hibah
Penghibahan hanyalah dapat mengenai barang-barang yang sudah ada. Jika ia
meliputi barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekedar
mengenai itu hibahnya adalah batal (pasal 1667). Berdasarkan ketentuan ini maka
jika dihibahkan suatu barang yang sudah ada, bersama-sama dengan suatu barang
lain yang baru akan ada di kemudian hari, penghibahan yang mengenai barang yang
pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah. Namun
demikian, padi yang belum menguning disawah seluas satu hektar dapat dihibahkan.
Karena padi itu merupakan barang yang ada dan merupakan sebagian harta benda
milik pemberi hibah.
Setiap bagian dari harta benda milik pemberi hibah dapat dihibahkan.
Sebaliknya berbuat sesuatu dengan cuma-cuma, seperti: mengetik naskah dengan
disediakan kertas dan mesin tik oleh penulis naskah tanpa diberi hadiah atau imbalan,
berbuat dan tidak berbuat itu tidak merupakan bagian dari harta benda.48
46 Subekti, Op. Cit. 47 Eman Suparman, Hukum Waris Islam dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), 86. 48 Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian (Bandung: Tarsito, 1978), 74.
27
B. Wasiat Dalam KUH Perdata
1. Pengertian Wasiat Dalam KUH Perdata
Wasiat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat pada pasal 874,
wasiat disebut juga dengan testamen, dalam pasal 874 dapat dipahami bahwa wasiat,
yaitu:
Suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia
meninggal.49
Pasa asasnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak
saja (eenzildig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya.
Dengan sendirinya, dapat dimengerti bahwa tidak segala yang dikehendaki oleh
seseorang, sebagaimana diletakkan dalam wasiatnya itu, juga diperbolehkan atau
dapat dilaksanakan.
Pasal 874 BW yang menerangkan tentang arti wasiat atau testamen, memang
sudah mengandung suatu syarat, bahwa isi pernyataan itu tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang.50
Isi suatu testamen, tidak usah terbatas pada hal-hal yang mengenai kekayaan
harta benda saja. Dalam suatu testamen dapat juga dengan sah dilakukan, penunjukan
seorang wali untuk anak-anak si meninggal, pengakuan seorang anak yang lahir di
luar perkawinan, atau pengangkatan seorang executeurtestamentair, yaitu seorang
yang dikuasakan mengawasi dan mengatur pelaksanaan testamen.51
49 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op, Cit, 50 Subekti, Op, Cit, 106-107 51 Ibid, 108
28
Menurut isinya,maka ada 2 jenis wasiat:52
1. Wasiat yang berisi “erfstelling” atau wasiat pengangkatan waris. Seperti
disebut dalam pasal 954 wasiat pengangkatan waris, adalah wasiat dengan mana
orang yang mewasiatkan, memberikan kepada seorang atau lebih dari seorang,
seluruh atau sebagian (setengah, sepertiga) dari harta kekayaannya, kalau ia
meninggal dunia. Orang-orang yang mendapat harta kekayaan menurut pasal itu
adalah waris di bawah titel umum.
2. Wasiat yang berisi hibah (hibah wasiat) atau legaat.
Selain pembagian menurut isi, masih ada lagi beberapa jenis wasiat dibagi
menurut bentuknya.
2. Dasar Hukum Wasiat dalam KUH Perdata
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
1). Bab tentang Wasiat dalam pasal 874-912 dan pasal 930-953. Pada pasal 874
berbunyi: Segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia, adalah
kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekadar terhadap
itu dengan surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah.53
2) Pasal 875 berbunyi: Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testamen ialah
suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya
dapat dicabut kembali lagi.
52 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1983), 16 53 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit, 231-232
29
3) Pasal 896 berbunyi: setiap orang dapat membuat atau menikmati keuntungan
dari sesuatu surat wasiat, kecuali mereka yang menurut ketentuan-ketentuan
dalam bagian ini, dinyatakan tak cakap untuk itu.
4) Pasal 897 berbunyi: Para belum dewasa yang belum mencapai umur genap
delapan belas tahun, tak diperbolehkan membuat surat wasiat
3. Syarat-syarat Wasiat Dalam KUH Perdata
Menurut pasal 895 dan 897 terdapat syarat-syarat wasiat, yaitu:
a. Pembuat testamen harus mempunyai budi akalnya, artinya tidak boleh
membuat testamen ialah orang sakit ingatan dan orang yang sakitnya begitu
berat, sehingga ia tidak dapat berfikir secara teratur.
b. Orang yang belum dewasa dan yang belum berusia 18 tahun tidak dapat
membuat testamen.
Adapun mengenai sahnya ketentuan dalam testamen ada peraturan sebagai
berikut:
Pasal 888: Jika testamen memuat syarat-syarat yang tidak dapat dimengerti atau tak
mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan, maka
hal yang demikian itu harus dianggap tak tertulis.
Pasal 890: Jika di dalam testamen disebut sebab yang palsu, dan isi dari testamen itu
menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia
tahu akan kepalsuannya maka testamen tidaklah sah.
30
Pasal 893: Suatu testamen adalah batal, jika dibuat karena paksa, tipu atau
muslihat.54
4. Bentuk Wasiat Dalam KUH Perdata
Menurut pasal 931 ada 3 rupa wasiat menurut bentuk, yaitu:
a). Wasiat olografis, atau wasiat yang ditulis sendiri.
b). Wasiat umum (openbaar testamen).
c). Wasiat rahasia atau wasiat tertutup.
Tentang wasiat olografis pasal 932 memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1). Harus seluruhnya ditulis dan ditanda tangani oleh pewaris.
2). Harus disimpankan kepada seorang notaris.
Tentang peristiwa ini harus dibuat suatu akta yang disebut akta penyimpanan
(acte van depot).
Adapun akta ini harus ditanda tangani oleh:
a). Yang membuat testamen itu sendiri.
b). Notaris yang menyimpan wasiat itu.
c). Dua orang saksi yang menghadiri peristiwa itu.
3). Jika wasiat ada di dalam keadaan tertutup (masuk dalam sampul), maka akta
itu harus dibuat di atas kertas tersendiri, dan di atas sampul yang berisi
testamen itu haru ada catatan bahwa sampul itu berisi surat wasiatnya dan
catatan itu harus diberi tanda tangannya.
54 Ibid, 15
31
Kalau testamen berada di dalam keadaan terbuka maka akta dapat ditulis di
bawah surat wasiat itu sendiri. Segala sesuatu itu harus dilakukan di muka
notaris dan saksi-saksi.
Jika timbul keadaan bahwa pewaris setelah menanda tangani wasiat tidak
dapat hadir untuk menanda tangani akta, maka hal itu dan sebab musababnya
harus dinyatakan oleh notaris dalam akta itu.
4). Jika keterangan pewaris dinyatakan di luar hadir para saksi dan dari wasiat
telah dibuat oleh notaris, maka pewaris harus menerangkan sekali lagi di
muka para saksi apa maksudnya. Kemudian konsep dibaca dengan kehadiran
saksi-saksi. Pewaris lalu ditanya, apakah sudah betul isinya.
Jika sudah betul, maka testamen harus diberi tanda tangan oleh peawaris,
notaris dan saksi-saksi.
5). Jika pewaris berhalangan hadir, maka hal ini harus disebut dalam wasiat, juga
sebabnya berhalangan hadir.
6). Surat wasiat harus menyebut pula bahwa segala acara selengkapnya telah
dipenuhi.55
Suatu “openbaar testamen” dibuat oleh seorang notaris. Orang yang akan
meninggalkan warisan menghadap pada notaris dan menyatakan kehendaknya.
Notaris itu membuat suatu akte dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Bentuk ini paling banyak dipakai dan juga memang yang paling baik, karena
notaris dapat mengawasi isi surat wasiat itu, sehingga ia dapat memberikan nasehat-
nasehat supaya isi testamen tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang.56
55 Ibid, 17-19 56 Subekti, Op. Cit, 109-110
32
Pembuat surat wasiat harus menyampaikan sendiri kehendaknya itu di hadapan
saksi-saksi. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan perantaraan orang lain, baik
anggota keluarganya maupun notaries yang bersangkutan. Surat wasiat harus dibuat
dalam bahasa yang dipergunakan oleh pewaris ketika menyampaikan kehendaknya,
dengan syarat bahwa notaris dan saksi-saksi juga mengerti bahasa tersebut. Syarat
untuk saksi-saksi dalam surat wasiat umum antara lain harus sudah berumur 21 tahun
atau sudah menikah. Mereka harus warga Negara Indonesia dan juga mengerti
bahasa yang dipakai dalam surat wasiat tersebut. Terdapat beberapa orang yang tidak
boleh menjadi saksi dalam pembuatan surat wasiat umum ini, yaitu:
a). Para ahli waris atau orang yang menerima wasiat atau sanak keluarga mereka
sampai derajat ke empat.
b). Anak-anak, cucu-cucu, dan anak-anak menantu, dan anak atau cucu notaris.
c). Pelayan-pelayan notaris yang bersangkutan.57
Suatu testamen rahasia, juga dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan
warisan, tetapi tidak diharuskan ia menulis dengan tangannya sendiri. Suatu testamen
rahasia harus selalu tertutup atau disegel. Penyerahannya kepada notaris harus
dihadiri oleh empat orang saksi. Jadi lebih dari biasa yang hanya dibutuhkan dua
orang saksi. Orang yang menjadi saksi pada pembuatan atau penyerahan suatu
testamen kepada seorang notaris, harus orang yang sudah dewasa, penduduk
Indonesia dan mengerti benar bahasa yang digunakan dalam testamen atau akte
penyerahan itu.58
57 Eman Suparman, Op. Cit, 99-100 58 Subekti, Op. Cit, 109-110
33
Setelah semua formalitas dipenuhi, surat wasiat itu selanjutnya harus disimpan
pada notaris dan selanjutnya merupakan kewajiban notaris untuk memberitahukan
adanya surat wasiat tersebut kepada orang-orang yang berkepentingan, apabila
pembuat surat wasiat/peninggal warisan meninggal dunia.59
59 Eman Suparman, Op. Cit, 100
34
BAB III
HIBAH DAN WASIAT DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
A. Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
1. Pengertian Hibah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa
Indonesia. Kata ini berasal dari kata kerja �وه–� � yang berarti memberikan.60
Secara terminologi hibah berarti pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam
mendekatkan diri kepada Allah SWT. tanpa mengharapkan balasan apapun.61
Apabila seseorang memberikan harta miliknya kepada orang lain maka berarti si
pemberi itu menghibahkan miliknya itu. Sebab itulah, kata hibah sama artinya
dengan istilah pemberian.
60 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1584. 61 Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 540.
34
35
Hibah menurut terminologi syariat Islam adalah:
� .���# "�ة� ا� �ل �ض� �� ����� ا����� �
Artinya:
“Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan
dilakukan secara sukarela”.62
Hibah berarti pemberian dari orang yang hidup kepada orang lain tanpa
merampas atau mengabaikan hak-hak keturunan dan sanak kerabat dekat dan mesti
harus langsung dan tanpa syarat untuk memindahkan hak seluruh harta tanpa adanya
penggantian (‘iwadh). Dengan kata lain hibah adalah suatu pemindahan harta tertentu
tanpa pertukaran tertentu atas sebagian orang yang memberi pemberian dan
penerimaan atas bagian orang yang diberi harta.
Bila pemberian itu membawa orang yang menerima memperlihatkan rasa
menyukainya, disebut hibah atau pemberian tanpa pamrih tanpa ada unsur apa-apa.
Oleh karena itu, pemberian yang disebut hibah itu tidak ada syarat apa-apa bagi harta
yang menentukan tujuan yang dilakukan di masa hidup tanpa mengharapkan balasan
sedikitpun.
Pemberian dan penerimaan hibah itu direkomendasikan oleh Nabi dengan
sangat kuat. Hibah itu sempurna pada saat penerima hibah itu telah menerimanya dan
memiliki pemberian yang diterimanya. Hibah itu mesti dilakukan tanpa adanya unjuk
kekuatan atau dipaksa. Penting bagi penghibah mengetahui akibat perbuatannya.
Kenyataannya, orang yang sedang sekarat di akhir hidupnya tidak dapat melakukan
pemberian dengan benar, baik dalam bentuk hibah maupun wasiat.
62 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 242
36
Hibah itu dapat dilakukan demi kesejahteraan hidup orang yang mampu
menguasai harta bendanya. Hibah juga dapat dilakukan kepada seorang anak yang
masih berada di dalam kandungan ibunya, sebuah bangunan masjid, sekolah atau
pranata kebajikan yang lainnya.63
Hibah menurut ajaran Islam dimaksudkan untuk menjalin kerja sama sosial
yang lebih baik dan untuk lebih mengakrabkan hubungan sesama manusia.
Walaupun hibah merupakan suatu akad yang sifatnya untuk mempererat silaturahmi
antara sesama manusia, namun sebagai suatu tindakan hukum hibah tersebut
mempunyai rukun dan syarat yang harus di penuhi, baik oleh yang menyerahkan
hibah maupun bagi orang yang menerima hibah tersebut. Akibatnya jika salah satu
rukun atau syarat hibah itu tidak terpenuhi, maka hibah menjadi tidak sah.
Sesuai dengan definisi diatas, bahwa hibah itu dilakukan penyerahannya
semasa penghibah hidup, maka muncul persoalan seandainya penghibah tersebut
dalam keadaan sakit yang sangat parah sehingga kecil kemungkinannya untuk
bertahan hidup. Dalam hal ini para ulama’ mengatakan bahwa hibahnya tersebut di
hukumkan sebagai wasiat. Akibatnya, harta yang dihibahkan itu baru bisa berpindah
tangan kepada orang yang dihibahkan setelah penghibah meninggal dunia.
Kata hibah juga dipakai oleh Al-Qur’an dalam arti pemberian. Apabila
ditelusuri secara mendalam, istilah hibah itu berkonotasi memberikan hak milik oleh
seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan dan jasa. Menghibahkan
tidak sama artinya dengan menjual atau menyewakan. Suatu catatan lain yang perlu
diketahui ialah bahwa hibah itu mestilah dilakukan oleh pemilik harta (pemberi
63 A. Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 424-428
37
hibah) kepada pihak penerima di kala ia masih hidup. Jadi, transaksi hibah bersifat
tunai dan langsung serta tidak boleh dilakukan atau disyaratkan bahwa perpindahan
itu berlaku setelah pemberi hibah meninggal dunia.64
Sedangkan pengertian hibah dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam
Pasal 171 huruf (g) yang berbunyi, hibah adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimilikinya.65
2. Dasar Hukum Hibah dalam KHI
a. Kompilasi Hukum Islam
1). Bab tentang Hibah dalam pasal 171 huruf (g) dan pasal 210-214. Pada pasal
171 huruf (g) berbunyi: “ Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki”. 66
b. Hibah disyari'atkan dan dihukumi mandhub (sunnah) dalam Islam, berdasarkan
firman Allah SWT.
Surat Al Baqarah ayat 177:
)١٧٧: ا�( /ة .....( ��& �(23 ذوي ا� /�& وا����.& وا��+�آ�, وا�, ا�+*(�)وأ"& ا���ل.....
Artinya: "…Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan)…."(Q.S Al Baqarah: 177)67
64 Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 73-74. 65 Lihat INPRES No. 1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI) , (Jakarta: DEPAG R.I) 66 Ibid, 80 67 Raja Fahd Ibn ‘Abd al-Aziz Al-Sa’ud. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Saudi Arabia, 43
38
Menurut tafsir al-Misbah menjelaskan surat al-baqarah ayat 177 yaitu:
Setelah menyebutkan sisi keimanan yang hakikatnya tidak nampak, ayat ini
melanjutkan penjelasan tentang contoh-contoh kebajikan sempurna dari sisi yang
lahir kepermukaan. Contoh-contoh itu antara lain berupa kesediaan mengorbankan
kepentingan pribadi demi orang lain, sehingga bukan hanya memberi harta yang
sudah tidak di senangi atau di butuhkan walaupun ini tidak terlarang.
Tetapi memberikan harta yang dicintai secara tulus dan demi meraih cinta-Nya
kepada kerabat anak-anak yatim, orang miskin, musafir yang memerlukan
pertolongan, dan orang-orang yang meminta-minta.68
Surat Al Munaafiqun ayat 10:
�ا ., .*� رز>?<= ., >() أن :"9 أ �Bوأ (C9 إ�& أ?"/*Eأ F�� 3�ل رب �H �آ= ا���ت�
,� ��*Jق وأآ, ., ا�*�*L:H �/<) ن� H�?١٠ :ا��(
Artinya: "Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah kami berikan
kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara
kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, Mengapa Engkau tidak
menangguhkan (kematianku) sampai waktu yang dekat, yang
menyebabkan Aku dapat bersedekah dan Aku termasuk orang-orang
yang saleh?" (Q.S Al Munafiqun: 10)
Menurut tafsir al-Misbah menjelaskan surat al-Munaafiqun ayat 10 yaitu:
Setelah ayat yang lalu mengingatkan agar kaum beriman tidak dilengahkan
oleh harta benda yakni dalam upaya perolehannya, maka ayat diatas menekankan
perlunya berinfak, menyalahi saran kaum munafiqin yang disinggung pada ayat 7
yang lalu. Di sini Allah berfirman: dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah 68 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol: 1, (Jakarta: Lentera Hati. 2002), 391
39
Kami rezekikan anugerahkan kepada kaum, baik harta benda, pengetahuan, kekuatan
dan sebagainya sebelum datang dalam waktu singkat ini kepada salah seorang dari
kamu tanda-tanda terakhir dan sekarat kematian, lalu ketika itu dia berkata:
“Tuhanku, hendaklah kiranya Engkau tangguhkan kehadiran kematian aku ini ke
waktu yang dekat sekadar guna menggantikan waktu yang dihabiskan oleh
kelengahanku, supaya aku bersedekah, dan aku menjadi yakni termasuk dalam
kelompok orang-orang saleh yang mantap kesalehannya”.
Kata rezeki pada firman-Nya: (=آ �رز>? ��.) mimma razaqnakum/dari apa yang
telah Kami rezekikan kepada kamu, mencakup semua anugerah Allah swt, baik harta,
ilmu, kesehatan, udara yang menghirup, air yang diminum dan sebagainya. Ayat di
atas memerintahkan untuk menafkahkan sebagian dari rezeki itu, karena rezeki
kalaupun seseorang menafkahkan seluruh hartanya, bukanlah masih ada rezeki Allah
kepadanya selain harta? Katakanlah kesehatan yang dinikmatinya, atau udara yang
dihirupnya. Kata sebagian juga dapat mengisyaratkan perlunya bekerja keras mencari
nafkah, agar di samping dapat berinfak, juga dapat menabung sebagian yang tidak
diinfakkan itu.
Kata (ان) an pada firman-Nya: (9"� ان) an ya’tiya mengandung isyarat dekatnya
kedatangan apa yang diuraikan itu. Dalam hal ini adalah kematian. Penggunaan
redaksi itu agaknya bertujuan untuk mengingatkan setiap orang agar selalu siap,
karena kehadiran maut telah dekat.
Kata (F��) laula digunakan sebagai kata pendorong terhadap mitra bicara untuk
mengabulkan apa yang diuraikan oleh pembicara. Ia digunakan juga untuk
mengecam, menunjukkan penyesalan dan perandaian. Kata laula pada ayat ini dapat
berarti permohonan yang sangat, atau bisa kata laula dipahami dalam arti (��) lau
40
yakni seandainya. Pendapat pertama lebih sesuai dengan lanjutan ayat yang
menegakkan tidak adanya penangguhan ajal.
Kata ((Cا) ajal adalah batas akhir dari waktu sesuatu. Batas akhir dari masa
kontrak kerja dinamai ajal. Batas akhir dari waktu keberadaan dipentas bumi ini juga
dinamai ajal.
Kata (�/<) qariib/dekat. Ajal yang qarib dalam arti batas waktu yang tidak
lama. Si pemohon tidak meminta penundaan yang lama, walau sebentar saja. Ini,
karena biasanya permohonan meraih sesuatu yang sedikit dinilai oleh menusia lebih
mudah dikabulkan daripada permohonan yang banyak. Demikian juga halnya dengan
pemohon pada ayat di atas.69
Dalam As-Sunnah juga disebutkan mengenai dasar hukum hibah, antara lain
adalah:
ة�ر Cن* / "� B+�ء ا��+���ت،F : >�لم.ص �, ا�?*(39 2? � اN9O رة// ه�9أ ,�
)ا�(X�ريرواW ( .�ة H/U,V�� وT��ر"��،
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a: Nabi SAW. Pernah bersabda,
“Wahai kaum muslimat, jangan memandang rendah hadiah yang
diberikan tetanggamu meskipun sekadar telapak kaki kambing.”(H.R.
Bukhari) 70
2?� O9 اN/ة رأ�9 ه/ ,�L �لU*/�ل ا� *�*�U2�� و� Oدوا" : =& ا��"��2 (�ا C/Eأ
9 ) ا�(X�ري وا�(��
69 M. Quraish Shihab, Op. Cit, 254-256 70 Al- Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Az-Zabidi, "Al- Tajrîd Al-Shahîh li Ahâdîts Al-Jâmî’ Al-Shahîh", diterjemahkan Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis, Ringkasan Shahîh Al-Bukhârî (Cet.VI; Bandung: Mizan, 2002), 462.
41
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. Rasululloh SAW. Bersabda:”saling memberilah
kamu, niscaya kamu sekalian kasih mengasihi”. (HR. Bukhori &
Baihaqy).
3. Syarat-syarat Hibah Dalam KHI
Ada 3 syarat yang harus dipenuhi dalam hal melakukan hibah menurut Hukum
Islam, yaitu:
a. Ijab, yaitu pernyataan tentang pemberian tersebut dari pihak yang
memberikan.
b. Qabul, yaitu pernyataan dari pihak yang menerima pemberian itu.
c. Qabdlah, yaitu penyerahan milik sendiri.
Seseorang yang hendak menghibahkan sebagian atau seluruh harta peninggalan
semasa hidupnya dalam pasal 210 Kompilasi Hukum Islam (KHI) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:71
a. Orang tersebut telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun.
b. Harus berakal sehat.
c. Tidak adanya paksaan.
d. Menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga.
e. Hibah diberikan di hadapan dua orang saksi.
Ada 4 rukun yang harus dipenuhi dalam hal melakukan hibah menurut Hukum
Islam, yaitu:
1. Ada pihak penghibah.
71 Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1999), 295-296.
42
2. Ada pihak yang menerima hibah.
3. Ada benda yang dihibahkan.
4. Ada ijab qabul.
a. Pihak penghibah adalah orang yang memberikan hibah atau orang yang
menghibahkan hartanya kepada pihak lain. Pemberi hibah sebagai salah satu
pihak pelaku dalam transaksi hibah disyaratkan:
1. Ia mestilah pemilik sempurna atas sesuatu benda yang dihibahkan. Karena
hibah mempunyai akibat perindahan hak milik, otomatis pihak penghibah
dituntut sebagai pemilik yang mempunyai hak penuh atas benda yang
dihibahkan itu.
2. Pihak penghibah mestilah seorang yang cakap bertindak secara sempurna
(kamilah), yaitu baligh dan berakal. Orang yang sudah cakap bertindaklah
yang bisa dinilai bahwa perbuatan yang dilakukannya sah, sebab ia sudah
mempunyai pertimbangan yang sempurna. Dalam kerangka ini, anak-anak
yang belum dewasa, kendatipun sudah mumayyiz, dipandang tidak berhak
melakukan hibah.
3. Pihak penghibah hendaklah melakukan perbuatannya itu atas kemauan sendiri
dengan penuh kerelaan, dan bukan dalam keadaan terpaksa. Kerelaan adalah
salah satu prinsip utama dalam transaksi di bidang keharta-bendaan. Orang
yang dipaksa menghibahkan sesuatu miliknya, bukan dengan ikhtiarnya,
sudah pasti perbuatannya itu tidak sah.
b. Adanya pihak penerima hibah. Karena hibah itu merupakan transaksi
langsung, maka penerima hibah disyaratkan sudah wujud dalam artinya yang
sesungguhnya ketika akad hibah dilakukan. Oleh sebab itu, hibah tidak boleh
43
diberikan kepada anak yang masih dalam kandungan, sebab ia belum wujud
dalam arti yang sebenarnya. Dalam persoalan ini, pihak penerima hibah tidak
disyaratkan supaya baligh dan berakal. Kalau sekiranya penerima hibah
belum cakap bertindak ketika pelaksanaan transaksi, ia diwakili oleh walinya.
c. Obyek yang dijadikan hibah atau benda yang dihibahkan. Tidak ada hibah bila
sekiranya tidak ada sesuatu yang dihibahkan. Adapun syarat-syarat yang
harus dipunyai oleh sesuatu yang dihibahkan sehingga ia bisa menjadi barang
hibah, dan syarat yang harus dipenuhi, yakni:
1. Benda yang dihibahkan tersebut mestilah milik yang sempurna dari pihak
penghibah. Ini berarti bahwa hibah tidak sah bila sesuatu yang dihibahkan itu
bukan milik sempurna dari pihak penghibah.
2. Barang yang dihibahkan itu sudah ada dalam arti yang sesungguhnya ketika
transaksi hibah dilaksanakan.
3. Obyek yang dihibahkan itu mestilah sesuatu yang boleh dimiliki oleh agama.
Tidaklah dibenarkan menghibahkan sesuatu yang tidak boleh dimiliki, seperti
menghibahkan minuman yang memabukkan.
4. Harta yang dihibahkan tersebut mestilah telah terpisah secara jelas dari harta
milik penghibah.
d. Ijab qabul. Dalam hubungan ini, penekanan yang menjadi sasaran ialah kepada
sighat dalam transaksi hibah tersebut sehingga perbuatan itu sungguh
mencerminkan terjadinya perpindahan hak milik melalui hibah. Ini berarti
bahwa walaupun tiga rukun pertama sudah terpenuhi dengan segala
44
persyaratannya, hibah tetap dinilai tidak ada bila transaksi hibah tidak
dilakukan.72
Shighat hibah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab qabul, seperti
dengan lafadz hibah, athiyah (pemberian), dan sebagainya. Ijab dapat dilakukan
secara sharih, seperti seseorang berkata, “Saya hibahkan benda ini kepadamu”., atau
tidak jelas, yang tidak akan lepas dari syarat, waktu, atau manfaat.
1. Ijab disertai waktu (umuri)
Seperti pernyataan, “Saya berikan rumah ini selama saya masih hidup atau
selama kamu hidup”. Pemberian itu sah, sedangkan syarat waktu tersebut batal.
Rasulullah SAW, bersabda:
رواW) . W/�� أ,� B2��� V�[H/�� ., أن�� Hهو/F Z�"=<ا��. ا=<��ا ��<+.ا
\Zر�Fب ا�+?, ا� Lوا ��� )ا�(X�ري و.+�= وا
Artinya: “Peganglah di tanganmu harta-hartamu, jamgamlah mensyaratkan
dengan umurmu (jika memberi), sebab yang memberi dengan
mensyaratkan umur harta tersebut adalah bagi yang diberi”.
(HR. Bukhari. Muslim, dan Ahmad, serta pengarang kitab Sunan yang empat)
2. Ijab disertai syarat (penguasaan)
Seperti seseorang berkata, “Rumah ini untukmu, secara raqabi (saling
menunggu kematian, jika pemberi meninggal dunia terlebih dahulu, maka
barang miliknyalah yang diberi. Sebaliknya, jika penerima meninggal dunia
dahulu barang kembali pada pemiliknya)”. Ijab seperti ini hakikatnya adalah
pinjaman. Dengan demikian, hibahnya batal, tetapi dipandang sebagai pinjaman.
72 Rachmat Syafe’i, Op. Cit, 76-78
45
3. Ijab disertai syarat kemanfaatan
Seperti pernyataan, “Rumah ini untuk kamu dan tempat tinggal saya”.
Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa pernyataan itu bukan hibah tetapi
pinjaman.73
Suatu catatan lain yang perlu diketahui ialah bahwa hibah itu mestilah
dilakukan oleh pemilik harta (pemberi hibah) kepada pihak penerima di kala ia masih
hidup. Jadi, transaksi hibah bersifat tunai dan langsung serta tidak boleh dilakukan
atau disyaratkan bahwa perpindahan itu berlaku setelah pemberi hibah meninggal
dunia.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dengan sederhana dapat dikatakan
bahwa hibah adalah suatu akad pemberian hak milik oleh seseorang kepada orang
lain di kala ia masih hidup tanpa mengharapkan imbalan dan balas jasa. Oleh sebab
itu, hibah merupakan pemberian yang murni, bukan karena mengharapkan pahala
dari Allah, serta tidak pula terbatas berapa jumlahnya.
B. Wasiat Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
1. Pengertian Wasiat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Wasiat berakar kata dari bahasa Arab Washa yang berarti menyampaikan,
dengan kata lain wasiat adalah harta yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang
lain ketika si pemberi telah meninggal dunia.74Petunjuk Al-Qur’an (QS: 2: 180-182)
bahwa ini adalah kewajiban orang saleh, jika ia telah meninggal untuk berwasiat.
73 Ibid, 244-246 74 A. Rahman I. Doi, Op. Cit, 416
46
Seorang muslim yang mempunyai harta boleh memberikan wasiatnya karena
kasih sayang kepada seseorang kecuali ahli waris yang sah. Pemberian ini disebut
Washiyyah, berwasiat ini direkomendasikan secara khusus. Al-Qur’an menyatakan
bahwa wasiat itu sebagai kewajiban atas seorang muslim yang harus dilaksanakan
ketika orang ini meninggalkan harta yang cukup bagi ahli warisnya. Nabi SAW,
telah bersabda: “Tidak berhak bagi seorang muslim yang mempunyai harta untuk
berwasiat, karena dia harus melewati dua hari tanpa memiliki pesan tertulis dengan
wasiatnya”.75
Menurut pasal 171 huruf (f) yang dimaksud wasiat adalah pemberian suatu
benda dari Pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia. Ada klausula penting dalam wasiat, yakni “baru akan
berlaku (mempunyai kekuatan hukum) apabila yang mewasiatkan telah meninggal
dunia”. Dengan demikian wasiat merupakan pemberian yang digantungkan pada
kejadian tertentu, baik pemberian itu dengan atau tanpa persetujuan dari yang
diberi.76
2. Dasar Hukum Wasiat dalam KHI
a. Kompilasi Hukum Islam
1). Bab tentang Wasiat dalam pasal 171 huruf (f) dan pasal 194-209. Pada pasal
171 huruf (f) berbunyi: “ Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris
75 Ibid, hal 418 76 Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Idonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), 173
47
kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal
dunia”.77
b. Ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berhubungan dengan wasiat, yaitu:
1). Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180-182:
,��/اF> و,���� �\L�ا ا��/� Eك/ "ن ات��� ا=آ�� ا/[ا �ذ ا=<�� ���آ
����Z/فو� )180:ا�( /ة. (,� 9� ا���� �
Artinya:“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban
atas orang-orang yang bertakwa”.78
Menurut tafsir al-Misbah menjelaskan surat al-Baqarah ayat 180 yaitu:
Ayat diatas mewajibkan kepada orang-orang yang menyadari kedatangan tanda-
tanda kematian agar memberi wasiat kepada yang ditinggalkan berkaitan dengan
hartanya, bila harta tersebut banyak.
Wasiat adalah “Pesan baik yang disampaikan kepada orang lain untuk di
kerjakan, baik saat hidup maupun setelah kematian yang berpesan”. Tetapi kata ini
biasa digunakan untuk pesan-pesan yang disampaikan untuk dilaksanakan setelah
kematian yang memberi wasiat. Makna inilah yang dimaksud oleh ayat diatas, yang
dikuatkan oleh pengaitan perintah itu dengan kematian.
Tanda-tanda hadirnya kematian cukup banyak, seperti rambut yang memutih,
gigi yang rontok, kesehatan yang menurun, usia senja dan lain-lain. Selanjutnya,
77 Lihat INPRES No. 1 tahun 1991, Op. Cit, 80 78 Sakdiyah, Jurnal Mimbar Hukum, Vol 38, (Jakarta: Al Hikmah & DITBINBAPERA, 1998), 11
48
harta yang banyak sangat relatif. Al-Qur’an dan Sunnah tidak menjelaskan berapa
jumlahnya.
Ulama’ yang menganut paham ini berpendapat bahwa ada ayat-ayat Al-Qur’an
yang dibatalkan hukumnya sehingga tidak berlaku lagi karena adanya hukum baru
yang bertentangan dengannya. Ada juga ulama’ yang menolak ide adanya
pembatalan ayat-ayat hukum Al-Qur’an. Mereka tetap berpegang kepada ayat ini
dalam arti wajib, tetapi mereka memahami pemberian wasiat kepada kedua orang tua
adalah bila orang tua dimaksud tidak berhak mendapat warisan oleh satu dan lain hal,
seperti bila mereka bukan pemeluk agama Islam, atau mereka hamba sahaya.79
H�,� ��2� Z�. U ��Z2H �B�ا �c�2� ��9 اd, )���B2ن إOا U ��e� ��= .
)181:ا�( /ة(
Artinya: “Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia
mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang
yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”.80
Di dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa barang siapa yang mengubah
wasiat itu, dengan menambah, mengurangi atau menyembunyikan wasiat atau
kandungannya setelah ia mendengarnya, dan setelah kandungannya jelas baginya,
maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar segala sesuatu, termasuk bisikan-bisikan
79 M. Quraish Shihab, Vol:1, Op. Cit, 397-398 80 Sakdiyah, Jurnal Mimbar Hukum, Op. Cit. Hal. 11
49
dalam hal perubahan wasiat, dan Allah lagi Maha Mengetahui langkah-langkah yang
diambil, termasuk langkah mereka yang berusaha mengubahnya.81
H�,E ف�ص� ., .C ?�ا �او c�H ��L�f� �?�=H �ا c=� ��2ن إOا g ��ر
�ر�=.
)182: ا�( /ة (
Artinya:“(Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu
berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara
mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.82
Di dalam tafsir al-Misbah dijelaskan yaitu, memang bila yang memberi wasiat
diduga akan keliru atau berlaku tidak adil dalam menetapkan wasiatnya, lalu
menasihati yang memberi wasiat untuk mengubah niatnya menyangkut apa yang
akan di wasiatkannya, maka perubahan yang demikian dapat ditoleransi. Dapat juga
ditoleransi pengubahan wasiat oleh yang diwasiati, bila wasiat yang dipesankan tidak
sejalan dengan ketetapan agama maka Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.83
Adapun Hadits yang berhubungan dengan wasiat antara lain adalah sebagai
berikut:
81 M. Quraish Shihab, Vol: 1 Op. Cit, 399 82 Sakdiyah, Jurnal Mimbar Hukum, Op. Cit, 11 83 M. Quraish Shihab, Vol: 1 Op. Cit, 399
50
�,� )�O, �ا�ر/� N9Oا �ا��? �رن U�لOا L �O9 ا�و2�� U�=< ل� :
.� �i.2 �=�+ .ئ/ اV k �LH 9�2 )�l� ����,ا Fو وL��2. >���\� ?�W) . Wروا
)ا�(X�ري و.+�= وا�� داود وا��/.dي وا�?+�ئ وا��ر.9
Artinya:“Dari Abdullah Ibn Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda;
“Tidak ada seorang muslim pun yang memiliki sesuatu yang (pantas
untuk) diwasiatkan dan ia masih mempunyai kesempatan hidup selama
dua malam, melainkan (hendaklah) ia mempunyai wasiat yang ditulis”.
(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’iy dan Ad-
Darimiy)
�,m � \� ,. J/ل >ف�U ��l� )�Oو9 ا� ا, � اH9 رN9Oا �ه��? �(
F ,H: �ل ؟ Hصو ا=U� و2�� �9 اL 9�O(�? ا�نآ�l :�آp�� آ�س9 ا�?� �
)�ري وا��/.dيرواW ا�(X. ( اO�ب�<L� 9وا: �ل؟ >\L����ا �و/.او ا\L�ا��
Artinya:“Dari Talhah Ibn Musarrif ia (pernah) berkata, “Saya pernah bertanya
kepada Abdullah Ibn Abi Awfa r.a.”, “Adakah Nabi SAW dahulu
berwasiat? “(Abdullah) berkata, “Tidak”. Saya bertanya (lagi),
“Bagaimana orang diwajibkan berwasiat atau diperintahkan berwasiat
(padahal beliau sendiri tidak?”(Abdullah) berkata, “Beliau
memerintahkan wasiat atas dasar Kitabullah”.
(HR. Bukhari dan At-Turmudzi)84
84 Sakdiyah, Jurnal Mimbar Hukum, Op. Cit, 12
51
3. RUKUN DAN SYARAT WASIAT DALAM KHI
Wasiat menurut Hukum Islam baru dianggap sah dan bisa terlaksana bila
terpenuhi semua unsurnya dan cukup pula syarat-syarat unsurnya. Unsur (rukun)
wasiat itu ada 4,yaitu:
1. Pihak yang berwasiat.
2. Pihak yang menerima wasiat.
3. Obyek yang diwasiatkan.
4. Sighat ijab qobul.
a. Pihak yang berwasiat
Ada dua syarat kumulatif agar seseorang dapat mewasiatkan sebagian harta
bendanya. Dua syarat tersebut adalah:
1. Telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun.
2. Berakal sehat.
Syarat tambahan adalah bahwa wasiat tersebut harus dibuat tanpa paksaan. Hal
ini dinyatakan dalam pasal 194 ayat (1). Rupanya, Kompilasi Hukum Islam tidak lagi
menggunakan ukuran-ukuran yang tidak mengandung kepastian hukum untuk
menentukan apakah seseorang itu cakap atau tidak cakap melakukan perbuatan
hukum, melainkan mempergunakan batasan umur, yakni sekurang-kurangnya
berumur 21 tahun. Angka ini pula yang dipergunakan oleh KHI.
b. Penerima wasiat
Kompilasi Hukum Islam tidak mengatu secara khusus mengenai penerima
wasiat. Meskipun demikian, dari pasal 171 huruf (f) dapat diketahui bahwa penerima
wasiat adalah:
1. Orang.
52
2. Lembaga.
Hal ini tersimpul dari adanya frase: “kepada orang lain atau lembaga”. Di
samping itu, dari pasal 196 juga dapat disimpulkan mengenai hal itu. Pasal 196
menegaskan bahwa dalam wasiat, baik secara tertulis maupun secara lisan harus
disebutkan dengan tegas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan
menerima harta benda yang diwasiatkan.
Pada dasarnya setiap orang, kecuali pewasiat sendiri, dapat menjadi subjek
penerima wasiat. Ada beberapa perkecualian mengenai hal ini, sebagaimana
tercantum dalam pasal 195 ayat (3), pasal 207, dan pasal 208. orang-orang yang tidak
dapat diberi wasiat adalah:
1. Ahli waris; kecuali wasiat tersebut disetujui oleh semua ahli waris lainnya.
2. Orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan orang yang
memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia (pewasiat) menderita sakit hingga
meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.
3. Notaris dan saksi-saksi yang berkaitan dengan pembuatan akta wasiat.
Kompilasi Hukum Islam telah mengambil jalan tengah dari perselisihan apakah
ahli waris dapat menerima wasiat atau tidak. Barangkali ketentuan sebagaimana
tercantum dalam pasal 207 itu dilatarbelakangi oleh konsep bahwa tidak tepat untuk
mengatakan perasaan si sakit yang demikian itu sebagai “tidak berakal sehat”, tetapi
sesungguhnya memang “tidak sehat”. Akan tetapi, yang agaknya mengaburkan
penafsiran itu adalah klausula yang tercantum dalam pasal tersebut, yaitu: “kecuali
ditentukan dengan jelas dan tegas untuk membalas jasa”.
53
c. Objek yang diwasiatkan
Pasal 171 huruf (f) menyebutkan “suatu benda” sebagai sesuatu yang dapat
diwasiatkan. Tidak ada keterangan lebih lanjut tentang pengertian benda dalam
Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu perkataan benda dalam pasal tersebut harus
ditafsirkan sebagai benda dalam arti yang lazim, yaitu sebagai barang yang berwujud
yang dapat ditangkap dengan panca-indera dan juga barang yang tidak berwujud.
Dengan perkataan lain, benda adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak
milik. Di samping itu, meskipun hanya tersirat, Kompilasi Hukum Islam
membedakan benda yang dapat diwasiatkan ke dalam benda bergerak dan benda
tidak bergerak. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 200.
Apapun jenis benda yang diwasiatkan tetapi ada syarat yang harus melekat
pada hubungan hukum antara pewasiat dengan benda yang diwasiatkan, yaitu “harus
merupakan hak dari pewasiat”. Syarat ini logis, karena pada dasarnya suatu wasiat
berisi pemindahan hak. Oleh karena itu, yang berhak memindahkan hak itu harus
orang yang memiliki hak untuk itu.85
85 Rahmad Budiono, Op. Cit,173-177
54
BAB IV
HIBAH DAN WASIAT MENURUT KUH PERDATA
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
A. Persamaan dan Perbedaan Hibah dan Wasiat Menurut KUH Perdata dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
1. Persamaan Hibah dan Wasiat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam suatu hibah dan wasiat berdasar pada dua hukum, yaitu Hukum Perdata
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Hukum Perdata hibah dan wasiat
terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari kedua dasar tersebut
terdapat hal-hal yang bertentangan maupun persamaan antara kedua dasar tersebut
terutama mengenai hibah dan wasiat.
54
55
Persamaan dalam hibah dan wasiat terdapat dalam aspek dasar hukum yaitu
keduanya mempunyai dasar hukum yang kuat dalam menetapkan hibah dan wasiat,
hibah menurut KUH Perdata terdapat pada pasal 1666-1693 dan wasiat menurut
KUH Perdata terdapat pada pasal 874-912 dan pasal 930-953. Sedangkan hibah
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat pada pasal 210-214, dan wasiat
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat pada pasal 194-209. Persamaan
kedua dasar tersebut mengenai ketentuan dalam mengadakan suatu hibah dan wasiat.
Adapun persamaan hibah menurut KUH Perdata dan KHI, yaitu:
1. Dalam melaksanakan hibah baik menurut KUH Perdata maupun KHI tersebut
harus ada bukti autentik.
2. Dalam melaksanakan hibah harus dilakukan sebelum si penghibah meninggal
dunia.
Sedangkan persamaan wasiat menurut KUH Perdata dan KHI, yaitu:
1. Dalam melaksanakan wasiat harus dilaksanakan setelah si pemberi wasiat
meninggal dunia.
2. Dalam melaksanakan wasiat baik menurut KUH Perdata maupun KHI tersebut
harus ada bukti autentik.
Hibah menurut ajaran Islam dimaksudkan untuk menjalin kerja sama sosial
yang lebih baik dan untuk lebih mengakrabkan hubungan sesama manusia.
Walaupun hibah merupakan suatu akad yang sifatnya untuk mempererat silaturahmi
antara sesama manusia, namun sebagai suatu tindakan hukum hibah tersebut
56
mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, baik oleh yang menyerahkan
hibah maupun orang yang menerima hibah tersebut.86
Maksud hibah yang dilakukan oleh seseorang itu harus ada bukti autentik
ketika orang tersebut hendak melakukan hibah baik menurut KUH Perdata maupun
KHI.
Persamaan lain antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi
Hukum Islam adalah dalam melaksanakan hibah itu harus dilakukan sebelum si
penghibah meninggal dunia, tidak diperbolehkan melakukan atau melaksanakan
hibah setelah si pemberi hibah tersebut meninggal dunia.
Perkataan diwaktu hidupnya si penghibah, adalah untuk membedakan
penghibahan ini dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testamen,
yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah si pemberi meninggal dan
setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat dirubah atau ditarik kembali
olehnya. Kalau dilakukan setelah orang yang memberi hibah tersebut meninggal
dunia maka itu bukan dinamakan hibah akan tetapi wasiat
Sedangkan persamaan wasiat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan Kompilasi Hukum Islam yaitu ketika seseorang melaksanakan wasiat harus
dilaksanakan setelah si pemberi wasiat telah meninggal dunia. Apabila dilakukan
sebelum orang tersebut meninggal maka bukan wasiat akan tetapi hibah.
Melakukan wasiat itu harus sudah ada bukti yang autentik apabila orang
tersebut hendak melakukan wasiat, baik menurut KUH Perdata maupun KHI.
86 Helmi, Karim, Op. Cit, 73
57
2. Perbedaan Hibah dan Wasiat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
a. Perbedaan Hibah Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dasar hukum yang dipakai dalam melaksanakan hibah menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata terdapat pada pasal 1666-1693 yang membahas tentang
masalah hibah secara umum baik hibah mengenai tanah, harta pusaka dan lain-lain.
Prosedur dalam melaksanakan suatu hibah menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata itu orang yang hendak melakukan hibah bukan orang muslim saja,
akan tetapi bisa orang non muslim.
Penghibahan dalam KUH Perdata tidak ada penjelasan mengenai hibah
maksimal 1/3 harta tersebut, akan tetapi hanyalah dapat mengenai barang-barang
yang sudah ada. Jika ia meliputi barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari,
maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal (pasal 1667). Berdasarkan
ketentuan ini maka jika dihibahkan suatu barang yang sudah ada, bersama-sama
dengan suatu barang lain yang baru akan ada di kemudian hari, penghibahan yang
mengenai barang yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua
adalah tidak sah. Namun demikian, padi yang belum menguning di sawah seluas satu
hektar dapat dihibahkan. Karena padi itu merupakan barang yang ada dan merupakan
sebagian harta benda milik pemberi hibah.87
Sedangkan hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut
bukan menyangkut harta pusaka saja akan tetapi bisa menghibahkan berupa tanah
dan sebagainya.
87 Suryodiningrat, Op. Cit, 74
58
Kemudian hibah di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu masih ada
unsur jual beli yang terdapat dalam pasal 1668.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan tentang
bentuk hibah secara detail dan tidak diatur dalam undang-undang. Juga tidak
disebutkan pula pasal yang membahas bentuk hibah itu sendiri.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam melaksanakan hibah juga
terdapat di dalam pasal 210-214 yang membahas masalah hibah terhadap harta
pusaka.
Sedangkan orang yang hendak melaksanakan hibah tersebut hanya tertuju pada
orang muslim saja.
Kompilasi Hukum Islam menganut prinsip bahwa melaksanakan hibah
maksimal 1/3 dari harta yang dimilikinya, hibah orang tua kepada anaknya dapat di
perhitungkan sebagai waris. Apabila hibah akan dilaksanakan menyimpang dari
ketentuan tersebut, diharapkan agar tidak terjadi perpecahan di antara keluarga.
Benda yang dihibahkan tersebut mestilah milik yang sempurna dari pihak
penghibah. Barang yang dihibahkan itu sudah ada dalam arti yang sesungguhnya
ketika transaksi hibah dilaksanakan.88
Adapun bentuk hibah menurut Kompilasi Hukum Islam itu bisa secara lisan
maupun tertulis. Kalau secara lisan itu tanpa adanya surat yang menjelaskan tentang
hibah, sedangkan secara tertulis harus disertai surat dan harus ada tanda tangan dari
si penghibah.
88 Rachmat, Syafe’i, Op. Cit, 77
59
b. Perbedaan Wasiat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dasar hukum dalam melakukan wasiat menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata juga terdapat pada pasal 874-912 dan pasal 930-932.
Adapun orang yang hendak melaksanakan wasiat kepada orang yang diwasiati
maka orang tersebut bukan orangmuslim saja, akan tetapi bisa orang non muslim.
Ketika orang yang melaksanakan wasiat kepada orang lain, maka barang yang
hendak diwasiatkan bisa berupa barang benda atau benda yang lainnya.
Mengenai wasiat yang ditulis sendiri (wasiat olografis), undang-undang
menjelaskan dalam pasal 932, yakni: suatu wasiat tertulis sendiri harus seluruhnya
ditulis dan ditanda tangani oleh si yang mewariskan sendiri, surat wasiat yang
demikian oleh si yang mewariskan harus disimpan kepada seorang notaris.
Ada beberapa ketentuan tentang wasiat olografis,89 yakni:
- Adanya keharusan bahwa wasiat tersebut harus ditulis dan ditanda tangani
oleh pembuat wasiat.
- Wasiat tersebut disimpan kepada seorang notaris dengan dibebani keharusan
untuk dibuatkan akte penyimpanan (akte van depot).
- Apabila wasiat tersebut dalam keadaan tertulis atau untuk dalam sampul,
maka akta penyimpanan tersebut dibuat di atas kertas sendiri.90
Menurut undang-undang ada beberapa unsur yang harus diperhatikan mengenai
wasiat umum, yakni:
- Testamen umum dibuat di depan notaris.
89 Olografis adalah surat wasiat tersebut harus diserahkan untuk disimpan pada seorang Notaris dan penyerahan itu bisa dalam keadaan terbuka atau bisa juga dalam keadaan tertutup. 90 Sudarsono, Hukum Waris Dan Sistem Bilateral, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), 42-43
60
- Pembuatan testamen tersebut harus dihadiri oleh dua orang saksi.
- Didepan notaris dan para saksi, pewaris menjelaskan kehendaknya.
- Dengan kata-kata yang jelas notaris menulis atau menyuruh menulis segala
kehendak yang disampaikan oleh pewaris.
Demikian wasiat tertutup dan disegel, kertas itu harus ditunjukkan kepada
notaris di depan empat orang saksi, atau di depan saksi-saksi itu si yang mewariskan
harus minta supaya kertas di tutup dan disegel, dan menerangkan bahwa kertas itu
memuat wasiatnya, dengan penegasan bahwa dia sendiri yang menulis dan
menandatangani surat itu, atau orang lain yang menulis, namun dia yang
menandatanganinya.91
Orang yang belum dewasa dan yang belum berusia 18 tahun terhadap
pembuatan testamen tidak diperbolehkan melakukan wasiat sebelum usianya
mencapai 18 tahun. Apabila orang tersebut melakukan wasiat maka tidak sah
wasiatnya.92
Dasar hukum dalam melakukan wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam juga
terdapat pada pasal 194-209 yang membahas tentang wasiat.
Sedangkan orang yang hendak melaksanakan wasiat tersebut harus orang yang
muslim bahwasanya menganut kepada KHI.
Kompilasi Hukum Islam menganut prinsip bahwa wasiat hanya boleh
dilakukan maksimal 1/3 dari harta yang dimilikinya, apabila wasiat yang akan
dilaksanakan kemudian menyimpang dari ketentuan tersebut, diharapkan agar tidak
terjadi perpecahan di antara keluarga.
91 Ibid, 46-47 92 Ibid, 15
61
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 198 disebutkan bahwa wasiat yang
berupa hasil dari suatu benda atau pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka
waktu tertentu. Pembatasan seperti ini dimaksudkan untuk memudahkan tertib
administrasi, karena melihat substansi wasiat sesungguhnya adalah untuk jangka
waktu yang lama.93
Wasiat dapat dilakukan dengan cara lisan dan tertulis. Bahwa wasiat tertulis
dapat dengan akta di bawah tangan dan akta otentik. Suatu wasiat yang dilakukan
secara lisan maupun akta di bawah tangan harus dilakukan di hadapan dua orang
saksi.
Kompilasi Hukum Islam tidak lagi menggunakan ukuran-ukuran yang tidak
mengandung kepastian hukum untuk menentukan apakah seseorang itu cakap atau
tidak cakap melakukan perbuatan hukum, melainkan mempergunakan batasan umur,
yakni sekurang-kurangnya berumur 21 tahun. Akan tetapi, sesungguhnya pasal 194
ayat (1) yang menegaskan bahwa batasan umur tersebut harus diikuti pengecualian,
yaitu kecuali orang-orang yang telah melangsungkan perkawinan.
Supaya seseorang dapat menyatakan kehendaknya, maka ia harus berakal sehat.
Syarat ini logis, dan harus disertakan, sebab jika tidak, maka akan sulit diketahui
apakah seseorang tersebut benar-benar ingin mewasiatkan harta bendanya atau tidak,
yang sulit adalah mencari ukuran berakal sehat itu.94
93 Abdul, Manan, Op. Cit, 160-161 94 Rahmat Budiono, Op. Cit, 173-174
62
3. Tabel Perbedaan Hibah dan Wasiat Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Tabel I
Perbedaan Hibah Menurut KUH Perdata dan KHI
No Aspek Kompilasi Hukum Islam
(KHI)
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata
(KUH Perdata)
1 Dasar Hukum Pasal 210-214 Pasal 1666-1693
2 Prosedur dalam
melaksanakan hibah
Orang yang
melaksanakan hibah
hanya orang muslim saja
Orang yang
melaksanakan hibah
bukan orang muslim
saja, akan tetapi bisa
orang non muslim
3 Barang yang di
hibahkan
-Barang yang di
hibahkan maksimal 1/3
dari hartanya
- Barang yang di
hibahkan berupa harta
pusaka
-Dalam KUH Perdata
tidak ada ketentuan
maksimal 1/3, akan
tetapi barang yang di
hibahkan harus berupa
barang yang sudah ada
- Barang yang di
hibahkan bukan harta
pusaka saja, akan tetapi
63
bisa yang lainnya
- ada unsur jual beli
4 Bentuk hibah - Lisan
- Tertulis
Dalam KUH Perdata
tidak di jelaskan
Tabel II
Perbedaan Wasiat Menurut KUH Perdata dan KHI
No Aspek Kompilasi Hukum Islam
(KHI)
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata
(KUH Perdata)
1 Dasar hukum Pasal 194-209 Pasal 874-912
Pasal 930-932
2 Prosedur dalam
melaksanakan wasiat
Orang yang
melaksanakan hibah
hanya orang muslim saja
Orang yang
melaksanakan hibah
bukan orang muslim
saja, akan tetapi bisa
orang non muslim
3 Barang yang di
wasiatkan
Barang yang di
wasiatkan maksimal 1/3
dari harta tersebut
Dalam KUH Perdata
tidak di jelaskan, akan
tetapi barang yang di
wasiatkan bisa berupa
64
barang benda
4 Bentuk wasiat - Lisan
- Tertulis
- Wasiat olografis
- Wasiat umum
- Wasiat rahasia
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan secara sistematis sesuai dengan
tujuan penelitian ini. Pertama adalah tentang persamaan dan perbedaan hibah dan
wasiat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam,
sebagai berikut:
1. Dalam melaksanakan hibah menurut KUH Perdata maupun KHI harus ada
bukti autentik.
2.Dalam melaksanakan hibah harus dilakukan sebelum si penghibah meninggal
dunia.
65
66
Sedangkan persamaan wasiat menurut KUH Perdata dan KHI, yaitu:
1. Dalam melaksanakan wasiat harus dilaksanakan setelah si pemberi wasiat
meninggal dunia.
2. Dalam melaksanakan wasiat harus ada bukti autentik baik menurut KUH
Perdata maupun KHI.
Adapun perbedaan hibah dan wasiat menurut Kitab Undang-Undang Hukum
perdata dan Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:
a. KUH Perdata
1. Pasal 1666-1693
2. Dalam melaksanakan hibah orang tersebut bukan orang muslim saja, akan
tetapi orang non muslim bisa melaksanakan hibah.
3. - Dalam KUH Perdata tidak di jelaskan, tetapi barang yang di hibahkan
berupa barang yang sudah ada.
- Dalam melaksanakan hibah bukan harta pusaka saja, tetap bisa berupa
harta yang lainnya.
- Ada unsur jual beli.
4. Di dalam KUH Perdata tidak di jelaskan tentang bentuk hibah.
b. KHI
1. Pasal 210-214
2. Dalam melaksanakan hibah orang tersebut hanya orang muslim saja.
3. Barang yang di hibahkan maksimal 1/3 harta si penghibah.
4. - Lisan.
- Tertulis.
67
Sedangkan perbedaan wasiat menurut KUH Perdata dan KHI
a. KUH Perdata
1. Pasal 874-912 dan 930-932.
2. Dalam melaksanakan hibah orang tersebut bukan orang muslim saja, akan
tetapi orang non muslim bisa melaksanakan hibah.
3. Di dalam KUH Perdata tidak di jelaskan, tetapi barang yang di wasiatkan
bisa berupa benda.
4. - Wasiat olografis.
- Wasiat umum.
- Wasiat rahasia.
b. KHI
1. Pasal 194-209
2. Dalam melaksanakan hibah orang tersebut hanya orang muslim saja.
3. Barang yang di wasiatkan maksimal 1/3 dari harta tersebut.
4. - Lisan.
- Tertulis.
B. Saran-saran
Dalam mengakhiri penulisan skripsi ini, peneliti dapat memberikan beberapa
saran yang dapat dijadikan pertimbangan baik bagi lembaga Pengadilan Agama
maupun Pengadilan Negeri dan masyarakat.
1. Hendaknya Pengadilan Agama, dalam menangani masalah hibah kepada
orang lain harus adil dalam mengeluarkan atau mengambil putusan. Hibah
merupakan suatu bentuk pemberian cuma-cuma, dan merupakan ajaran
68
yang disyari'atkan oleh agama Islam. Karena di dalamnya terkandung nilai
yang positif.
2. Bagi permohonan hibah dan wasiat yang dilakukan sebagai bukti dalam
menyelesaikan masalah hibah dan wasiat, maka lembaga pengadilan
maupun masyarakat harus tahu bagaimana cara melaksanakannya dan yang
lainnya apakah sudah benar dan jelas.
69
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo,
2004) Abu Achmadi, dan Cholid Narbuko, Metodologi Penelitian. (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2005) Afandi, Ali, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1983) Alim, Sahirul, Wasiat Wajibah bagi anak angkat (kajian terhadap pasal 209 KHI).
(Malang : Universitas Islam Negeri, 2003) Al- Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Az-Zabidi, "Al- Tajrîd Al-Shahîh li
Ahâdîts Al-Jâmî’ Al-Shahîh", diterjemahkan Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis, Ringkasan Shahîh Al-Bukhârî (Cet.VI; Bandung: Mizan, 2002)
Amanat, Anisitus, Membagi Warisan Berdasarkan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum
Perdata/BW,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004) Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT.
Rieneka Cipta,2002) Arwani, M. Arif, Wasiat Wajibah Bagi Non Muslim (Kajian Terhadap Putusan
Mahkamah Agung No. 368 K/AG/1995), (Malang : Universitas Islam Negeri, 2004)
Ash Shiddiqy, Hasbi, Fiqhul Mawaris (Hukum-Hukum Kewarisan dalam Syari’at
Islam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1967) Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999) Budiono, Rahmad, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Idonesia, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1999) Djamali, Abdul, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu
Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2002) Doi, A. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002)
70
Erwin, Rudy T, dan Elise T. Sulistini, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-perkara Perdata (Jakarta: Bina Aksara, 1987)
Harahap, Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: PT Alumni, 1986) INPRES No. 1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI), DEPAG R.I Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997) Mamudji, Sri dan Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006) Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002) Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: PT Lentera
Basritama, 2001) Munawwir, Ahmad Warson Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997) Nafik, Moh, Hibah Sebagai Cara Untuk Menyiasati Pembagian Harta Waris (Studi
Hukum Islam Di Desa Randuagung Kec. Singosari Malang), (Malang: Universitas Islam Negeri, 2003)
Nazir, Moh, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998) Patrik,Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: CV Mandar Maju,
1994) Raja Fahd Ibn ‘Abd al-Aziz Al-Sa’ud. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Saudi Arabia Ramulyo, Mohd Idris, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata
Barat (Burgelijk Wetboek),(Jakarta: Sinar Grafika, 1993) Sakdiyah, Jurnal Mimbar Hukum, Vol 38, (Jakarta: Al-Hikmah &
DITBINBAPERA,1999) Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah, Vol I, (Jakarta: Lentera Hati. 2002) Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1999)
71
Sirojuddin, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986) Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) Subekti, Aneka Perjanjian (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995) ______, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1996) Sudarsono, Hukum Waris Dan Sistem Bilateral, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) ________, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992) Suparman, Eman, Hukum Waris Islam dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2005) ______________, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005) Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian (Bandung: Tarsito, 1978) Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) Tim Dosen Fak. Syari’ah, Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. (Malang:
Fakultas Syari’ah UIN, 2005) Tjitrosudibio, R, dan R. Subekti Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Cet. 34;
Jakarta: Pradnya Paramita, 2004)
72
Recommended