View
233
Download
6
Category
Preview:
Citation preview
Fisika, Kimia dan Dinamika Atmosfer di Indonesia
ISBN: 978-979-1458-94-8
©2015 Andira
Diterbitkan oleh CV. Andira
Anggota IKAPI
Penyunting isi:
Suaydhi, M.Sc
Prof. DR. Eddy Hermawan
DR. Ninong Komala
Prof. DR. Chunaeni Latief
DR. Muhayatun
Penyunting Naskah: Gammamerdianti, S.Si, Asri Indrawati, S.Si, M.T,
Candra Nur Ihsan, S.Kom
Disain Isi dan Kulit Muka: Gammamerdianti, S.Si
Dicetak oleh CV Andira
Cetakan Pertama, 2015
Penerbit Andira
Istana Pasteur Regency Blok CRB 70, Sukaraja Bandung.
Telp/Fax: (022) 86065361
E-mail: andiraputra90@yahoo.com
Buku ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk
apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Judul/Penyunting Isi: Fisika, Kimia dan Dinamika Atmosfer di
Indonesia/Suaydhi, M.Sc, Prof. DR. Eddy Hermawan, DR. Ninong
Komala, Prof. DR. Chunaeni Latief, DR. Muhayatun.
- Cetakan pertama - Bandung: CV. Andira, 2015.
v + 120 hal. ; 18 x 25 cm
ISBN:
Dari Penerbit
iii
DARI PENERBIT
Sebagai salah satu dari dua kepusatan dibawah Kedeputian Bidang
Sains Antariksa dan Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN), Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) mempunyai
visi untuk menjadi pusat keunggulan sains atmosfer. Visi ini dicapai
dengan misi membangun kompetensi dan kapasitas di bidang pemodelan
atmosfer, komposisi atmosfer dan teknologi atmosfer.
Dalam rangka mencapai misi tersebut, salah satunya adalah
dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas media publikasi ilmiah.
Selain penyelenggaraan seminar dan publikasi hasil penelitian dalam
bentuk prosiding dan jurnal, PSTA juga melakukan publikasi buku ilmiah
Buku ilmiah dengan judul Fisika, Kimia dan Dinamika Atmosfer di
Indonesia memuat hasil-hasil penelitian yang dilakukan di PSTA, yang
diharapkan dapat menjadi sarana meningkatkan kemampuan dalam
menyampaikan hasil penelitian bagi para penulis, dan dapat memberikan
pemahaman akan topik-topik seputar sains atmosfer bagi para pembaca.
Masukan dan saran untuk penyempurnaan buku ini sangat kami
harapkan.
Penerbit Andira
Email: andiraputra90@yahoo.com
iv
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, Buku Ilmiah Pusat Sains dan Teknologi
Atmosfer (Buku PSTA) tahun 2015 dengan judul “Fisika, Kimia dan
Dinamika Atmosfer di Indonesia” telah dapat diterbitkan. Semua makalah
dalam buku ini telah menjalani tahapan review dan penyuntingan.
Makalah yang terdapat dalam buku ini berjumlah 8 makalah yang
membahas tentang proses fisika, kimia dan dinamika atmosfer yang
terjadi di Indonesia. Makalah–makalah tersebut membahas berbagai
permasalahan, mulai dari evaluasi kebeningan atmosfer pada saat langit
cerah, pengembangan metoda pengolahan data profil vertical atmosfer
berbasis satelit, penelitian tentang ozon di lapisan stratosfer atas,
sensitifitas model numerik dalam memprediksi fase aktif Madden-Julian
Oscillation, pengembangan metode identifikasi awal musim berdasarkan
data satelit, variasi musiman berbagai jenis awan di Indonesia, serta
prediksi dan validasi beberapa parameter meteorologi diurnal yang
berdasarkan luaran model. Keberadaan data satelit yang semakin tinggi
resolusinya baik dalam ruang maupun waktu dan kualitas model numeric
yang makin membaik sangat membantu dalam penelitian fisika, kimia dan
dinamika atmosfer di Indonesia. Kedua sumber data tersebut sangat
bermanfaat bagi kajian-kajian sains atmosfer selanjutnya.
Demikian gambaran sekilas dari artikel dalam buku ini. Terima
kasih kepada para penulis yang telah berpartisipasi dalam penulisan buku
“Fisika, Kimia dan Dinamika Atmosfer di Indonesia”, para penyunting yang
telah mengoreksi dan melengkapi tulisan, serta para penyunting naskah
yang telah memperbaiki tampilan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat
dalam pengembangan penelitian sains atmosfer selanjutnya serta dapat
memberikan pencerahan kepada masyarakat umum dalam memahami
fisika, kimia dan dinamika atmosfer. “Tiada gading yang tak retak” adalah
ungkapan terakhir dari penyusun buku ini untuk segala kekurangan dan
kesalahan yang terdapat dalam buku ini.
Bandung, November 2015
Dewan Redaksi
v
DAFTAR ISI
Dari Penerbit iii
Kata Pengantar iv
Daftar isi v
1. BILANGAN KEBENINGAN ATMOSFER DI ATAS KOTA
BANDUNG DAN MAKASSAR PADA SAAT LANGIT CERAH 1
Saipul Hamdi
2. PENGEMBANGAN METODE PENGOLAHAN DATA PROFIL
VERTIKAL ATMOSFER BERBASIS SATELIT 15
Sinta Berliana S, Risyanto, Krismianto dan Edy M
3. PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP OZON DI LAPISAN
STRATOSFER ATAS HASIL OBSERVASI MLS-AURA 31
Novita Ambarsari dan Ninong Komala
4. IDENTIFIKASI FASE AKTIF MJO DI BENUA MARITIM
INDONESIA DALAM MODEL CCAM 43
Erma Yulihastin, Nurzaman Adikusumah dan Eddy H
5. INTERAKSI EL-NINO, MONSUN DAN TOPOGRAFI LOKAL
TERHADAP ANOMALI CURAH HUJAN DI PULAU JAWA 59
Haries Satyawardhana dan Erma Yulihastin
6. IDENTIFIKASI AWAL MUSIM DI PULAU JAWA BERBASIS
DATA SATELIT TRMM 75
Krismianto
7. VARIASI MUSIMAN BERBAGAI JENIS AWAN DI INDONESIA 87
Suaydhi, Farid Lasmono dan Aisya Nafiisyanti
8. PREDIKSI DAN VALIDASI BEBERAPA PARAMETER
METEOROLOGI DIURNAL LUARAN MODEL 105
CCAM-NWP DI KOTOTABANG
Iis Sofiati
Saipul Hamdi, dkk Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota
Bandung dan Makassar pada saat langit cerah
1
BILANGAN KEBENINGAN ATMOSFER DI ATAS KOTA
BANDUNG DAN MAKASSAR PADA SAAT LANGIT CERAH
Saipul Hamdi, Sumaryati, Sri Kaloka
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia
e-mail: saipulh@yahoo.com
ABSTRAK
Insolasi di Kota Bandung (06⁰54’LS, 107º37'BT) dan Makassar
(05º08’LS, 119º27’BT) telah dianalisa untuk menentukan
bilangan kebeningan atmosfer pada periode waktu 5 tahun di
Bandung dan 3 tahun di Makassar. Dengan mempelajari karakter
insolasi harian secara berhati-hati untuk menentukan kriteria
langit cerah maka hanya tersisa beberapa hari cerah dalam tiap-
tiap tahunnya. Perbandingan antara insolasi dan radiasi puncak
atmosfer pada hari cerah, hasilnya menunjukkan bahwa bilangan
kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung berkisar 0,46-0,78
dengan kebeningan rata-rata sebesar 0,61 atau atmosfer di atas
Kota Bandung dikategorikan sebagai keruh. Terjadi peningkatan
bilangan kebeningan atmosfer minimum di atas Kota Bandung
dalam sepuluh tahun terakhir. Sementara itu, bilangan
kebeningan atmosfer di atas Kota Makassar berkisar 0,59-0,72
dengan rata-rata sebesar 0,66 dan dikategorikan juga sebagai
keruh.
Kata kunci : bilangan kebeningan, insolasi, radiasi puncak
atmosfer
ABSTRACT
Incoming solar radiation over Bandung (06⁰54’S and 107º37'E)
and Makassar (05º08’S and 119º27’E) Indonesia has been
analyzed in order to calculate clearness number in 5 and 3 years
of data measurement respectively. Daily characteristics of
insolation has been studied carefully in order to determine clear
sky criteria, and it is found several days only in a year. By
comparing insolation and solar radiaton at top of atmosphere
under clear sky condition, it is found clearness number over
Saipul Hamdi, dkk
2
Bandung in range 0.46-0.78 with average value 0.61, or in turbid
atmosphere category. The increasing of minimum clearness
number over Bandung has been observed in last 10 years. The
clearness number over Makassar is in range 0.59-0.72, average is
0.66, and categoried as turbid atmosphere.
Keywords : clearness number, insolation, radiation top of
atmosphere
1. PENDAHULUAN
Sinar matahari sebagai sumber energy utama di bumi
memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga
kelangsungan kehidupan. Dalam perjalanannya memasuki
atmosfer menuju permukaan bumi, sinar matahari mengalami
banyak peristiwa fisika dan kimia, diantaranya adalah
penghamburan, pemantulan, serta penyerapan sebagian
energinya untuk menggerakkan beberapa proses fotokimia.
Persitiwa-peristiwa tersebut menyebabkan melemahnya insolasi
dibandingkan dengan besaran konstanta matahari (solar
constant). Penurunan tersebut dapat menjadi indikator yang
menunjukkan kebeningan atmosfer. Bilangan kebeningan
atmosfer atau clearness number merupakan sebuah bilangan
yang menunjukkan penyimpangan atmosfer dari atmosfer
standarnya dan dirumuskan dengan perbandingan radiasi surya
yang diukur secara langsung di permukaan bumi terhadap
radiasi surya pada kondisi standar yang diperoleh dari
perhitungan matematis. Semakin tinggi bilangan kebeningan
atmosfer (~1) maka atmosfer semakin bening, demikian juga
sebaliknya. Bilangan kebeningan atmosfer yang kecil
menunjukkan tingkat kebeningan atmosfer yang rendah. Nilai-
nilai kebeningan atmosfer yang telah diklasifikasikan
disampaikan pada Tabel 2.
Atmosfer bumi tersusun atas banyak senyawa kimia yang
berbentuk gas dan partikulat padat maupun cair. Senyawa kimia
yang menyusun atmosfer bumi dan berperan dalam pelemahan
insolasi diantaranya adalah senyawa ozon, oksigen, uap air, dan
aerosol. Pada beberapa bagian dunia, aerosol memiliki dampak
yang sangat penting namun sayangnya belum diketahui dengan
Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah
3
baik, meskipun beberapa peneliti telah menghasilkan beberapa
metode empiris untuk menghitung pengaruh aerosol (Davies dan
Hay, 1980; Sehrry dan Justus, 1983). Ozon menyerap radiasi
matahari di dalam spektrum yang sempit yaitu spektrum
ultraviolet, khususnya ultraviolet B dan C. Ketika memasuki
atmosfer bumi maka 90% dari sinar ultraviolet B (λ : 280-315 nm)
dan seluruh sinar ultraviolet C (λ: 100-280 nm) diserap oleh ozon,
uap air, oksigen, dan karbondioksida, sementara hanya sebagian
kecil ultraviolet A (λ: 315-400 nm) saja yang dipengaruhi oleh
atmosfer bumi (WHO, 2002). Secara umum, kontribusi ozon
terhadap pelemahan sinar matahari adalah sebesar 2-3%, dan
bisa mencapai 9-10 % di daerah lintang tinggi pada musim dingin
(Santamouris, et. al, 1983). Bagian terpenting lapisan ozon yang
menyerap sinar matahari adalah lapisan ozon stratosfer yang
dapat terurai dan terbentuk kembali secara alami dengan
bantuan sinar matahari. Adanya senyawa BPO (bahan perusak
ozon) yang mencapai lapisan stratosfer menyebabkan ozon terurai
secara berlebihan dalam waktu yang lama sehingga lapisan ozon
berkurang dan berpotensi meningkatkan insolasi.
Uap air memiliki pita penyerapan energi matahari yang
sangat lebar pada spektrum inframerah, sedangkan penyerapan
energi matahari oleh oksigen terjadi pada pita yang sangat sempit
di dalam spektrum infra merah. Pada saat langit cerah dan
matahari berada di zenith-nya maka jumlah sinar matahari yang
diserap oleh uap air dan gas karbondioksida adalah berkisar 6-8
% dari konstanta matahari (Fowle, 1915) dan kekuatan
penyerapannya lebih besar daripada penyerapan sinar ultraviolet
oleh ozon. Ketika sudut zenith matahari membesar maka
kekuatan penyerapannya juga membesar karena sudut yang
dibentuk oleh datangnya sinar matahari terhadap bidang normal
juga membesar.
Schuepp dalam Robinson (1996) mendefinisikan atmosfer
yang bening sebagai atmosfer yang memiliki ketebalan ozon
(O3)=0,34 cm, precipitable water (w)=2,0 cm, turbidity (B)=0 dan
tekanan (p)=1000 mbar pada jarak bumi-matahari yang
sebenarnya. Secara umum, atmosfer memiliki besaran-besaran
parameter tersebut yang berubah menurut waktu dan tempat
sehingga hasil perhitungannya pun menjadi tidak sama. Untuk
mendapatkan sebuah nilai pokok (=acuan) maka dihitunglah
Saipul Hamdi, dkk
4
clearness number mengikuti besaran yang telah distandarisasikan
tersebut. Bilangan kebeningan atmosfer (clearness number) untuk
Bandung adalah 0,3-0,7 yang menunjukkan bahwa kondisi
atmosfer Bandung cukup keruh dalam kategori berawan – keruh
– biru buram (Utomo dan Haen, 2004). Tulisan ini disusun untuk
menghitung bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung
pada periode pengamatan 2010-2014 sekaligus mengoreksi
bilangan kebeningan atmosfer yang pernah dihitung sebelumnya
oleh Utomo dan Haen (2004). Penghitungan bilangan kebeningan
atmosfer dilakukan dengan memanfaatkan insolasi yang diukur
menggunakan pyranometer global yang menjadi kelengkapan dari
weather station, dan membandingkan hasil-hasil yang diperoleh
di Bandung dengan hasil-hasil yag diperoleh di Kota Makassar
pada periode pengamatan 2012-2014.
2. DATA DAN METODOLOGI
2.1 DATA
Pengukuran intensitas radiasi global matahari (insolasi)
dilakukan menggunakan sensor radiasi global matahari yang
menjadi bagian dari automatic weather station (AWS). Weather
station ini merupakan produk Davis Instrument bertipe Vantage
Pro II Plus dan dilengkapi dengan catu daya yang berasal dari
sinar matahari melalui solar cell system. Di Gedung LAPAN
Bandung, AWS dioperasikan pada atap gedung berlantai 4
dengan ketinggian kurang lebih 40 meter dari permukaan tanah,
dan Kota Bandung terletak pada ketinggian 720 m dpl. AWS
dioperasikan secara otomatis untuk melakukan perekaman data
setiap 15 menit. Di dalam rentang waktu 15 menit tersebut dipilih
intensitas tertinggi (hi solar rad) untuk digunakan dalam
penghitungan bilangan kebeningan atmosfer.
Di Kampus Universitas Hasanuddin Makassar, AWS
dioperasikan di Fakultas Teknik pada ketinggian kira-kira 15 m
dari permukaan tanah. AWS ini memiliki tipe yang sama dengan
AWS yang dioperasikan di Bandung, namun melakukan
perekaman data setiap 10 menit. AWS ini juga dilengkapi dengan
catu daya yang berasal dari sinar matahari untuk mengatasi
terjadinya gangguan kelistrikan. Pengukuran insolasi dilakukan
secara terus menerus selama 24 jam setiap harinya, dan 365 hari
dalam setahun. Pada pengukuran di Makassar, dijumpai kendala
Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah
5
teknis pada bulan Desember (2012 dan 2013) sehingga AWS tidak
menyimpan data sama sekali.
Intensitas radiasi matahari yang diukur adalah insolasi
pada pukul 12:00 setiap harinya, sehingga intensitas radiasi
matahari terhitung harus dikoreksi lagi dengan sudut zenith
matahari. Periode waktu yang akan digunakan adalah 2010-2014
(Kota Bandung) dan 2012-2014 (Kota Makassar). Kota Makassar
dan Bandung memiliki topografi dan kekhasan yang berbeda satu
dengan lainnya. Kota Bandung (06º57' LS 107º37' BT) terletak
pada ketinggian 720 m dpl dan dikelilingi oleh beberapa gunung
sehingga membentuk semacam wadah atau basin. Kota Makassar
(05º08’ LS, 119º27’ BT) terletak persis di pinggir laut sehingga
angin laut dapat dengan leluasa membawa polutan keluar dari
daratan, ditambah lagi melimpahnya uap air akibat pemanasan
laut oleh matahari pada siang hari.
2.2 METODOLOGI
Beberapa besaran dan persamaan matematis yang akan
digunakan untuk menghitung radiasi matahari adalah sebagai
berikut.
a. Konstanta matahari yang digunakan adalah I0 = 1,367
W/m2 (Li, et. Al, 2011)
b. Menghitung intensitas matahari di TOA berdasarkan
koreksi jarak bumi-matahari menggunakan factor koreksi
F, seperti disampaikan oleh Exell (2000) melalui
persamaan (1).
F = 1 – 0,0335 sin 360(nd-94)/365 .................. (1)
Dalam hal ini nd adalah urutan hari dalam tahun (Julian
day). Ketika matahari berada pada jarak terdekatnya maka
insolasi pada cuaca cerah adalah 3% lebih besar dari intensitas
rata-ratanya; dan ketika pada jarak terjauhnya maka insolasi 3%
lebih kecil. Dengan demikian maka intensitas matahari di TOA
adalah
I0’=I0 ◦ F
I0’ = 1,367 ◦ [1 – 0,0335 sin 360(nd-94)/365]..... (2)
Data-data yang dipergunakan di dalam tulisan ini adalah
data insolasi (incoming solar radiation) yang diperoleh pada saat
langit cerah tak berawan (clear sky). Dengan mempelajari
karakter data harian lalu disusun kriteria hari cerah yang
Saipul Hamdi, dkk
6
memenuhi syarat dalam menghitung bilangan kebeningan
atmosfer, yaitu sebagai berikut.
a) Tidak memiliki nilai pencilan ekstrim setelah kulminasi
matahari
b) Insolasi maksimum terjadi pada saat matahari
mencapai kulminasi
c) Grafik insolasi bersifat smooth
d) Insolasi maksimum >75% maksimum rata-rata
bulanan
Gambar 1. Jumlah data yang digunakan di Kota Bandung dan
Makassar.
Dengan menggunakan keempat kriteria tersebut maka
diperoleh sekumpulan data untuk dipergunakan dalam
penghitungan bilangan kebeningan atmosfer. Insolasi yang
digunakan adalah insolasi pada pukul 12:00±30 menit atau 11:30
s.d. 12:30, kemudian ditentukan nilai rata-ratanya (In). Bilangan
kebeningan atmosfer diperoleh dengan cara menghitung
perbandingan antara radiasi global matahari yang diukur di
permukaan In dengan radiasi total matahari yang dihitung di
puncak atmosfer Io’ (top of atmosphere, TOA) (Ideriah dan
Sulaeman, 1989; Kuya dan Jagtap, 1992; Okogbue dan
Adedokun, 2002) pada waktu dan lokasi yang sama, seperti
ditunjukkan pada persamaan (3). Jumlah data yang terkumpul
untuk menghitung bilangan kebeningan di Bandung dan
Makassar ditampilkan pada Gambar 1. Pada Gambar 1 sumbu
mendatar adalah tahun pengamatan, dan ketinggian kolom
adalah jumlah data yang digunakan.
CN =In
I0′ ................................................ (3
2332 36
40 4746
21
84
2010 2011 2012 2013 2014
Jumlah Data
BandungMakassar
Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah
7
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 HASIL
Variasi harian bilangan kebeningan atmosfer di Kota
Bandung menggunakan kriteria hari cerah pada tanggal 11
Oktober 2010 ditunjukkan pada Gambar 2. Sumbu mendatar
adalah waktu pengamatan dimulai pada pukul 06:00 dan
berakhir pada pukul 18:00, dan sumbu vertikal adalah bilangan
kebeningan. Daerah yang dibatasi oleh persegi empat berwarna
merah adalah daerah waktu yang diamati.
Gambar 2. Bilangan kebeningan atomosfer tanggal 11 Oktober
2010 di Bandung.
Gambar 3 adalah grafik bilangan kebeningan atmosfer di
atas Kota Bandung pada periode pengamatan 2010-2014, dan
Gambar 4 adalah pengamatan di Kampus Universitas Hasanudin
Makassar pada periode 2012-2014. Sumbu mendatar adalah
bilangan hari atau Julian Day (nd) yang menyatakan hari ke-
dalam satu tahun. Sumbu vertikal di sebelah kiri adalah bilangan
kebeningan atmosfer sedangkan sumbu vertikal sebelah kanan
adalah intensitas matahari puncak atmosfer (TOA) dan
berhubungan dengan grafik garis berwarna hitam yang dihitung
menggunakan persamaan (2). Pada kurun waktu 2010-2014
bilangan kebeningan atmosfer di Kota Bandung berkisar antara
0,46 dan 0,78 sedangkan di Kota Makassar berkisar antara 0,59
dan 0,72. Bilangan kebeningan atmosfer rata-rata selama lima
tahun di Kota Bandung (dari 178 hari cerah) adalah sebesar 0,61
dengan standar deviasi rata-ratanya sebesar 0,07 atau 11% dari
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
06:0
0
07:0
0
08:0
0
09:0
0
10:0
0
11:0
0
12:0
0
13:0
0
14:0
0
15:0
0
16:0
0
17:0
0
18:0
0
Bil
an
gan
keben
ingan
Jam Pengamatan
Bilangan Kebeningan, 11 Oktober 2010
Saipul Hamdi, dkk
8
nilai rata-ratanya, sedangkan bilangan kebeningan atmosfer rata-
rata di Kota Makassar (dari 151 hari cerah) adalah sebesar 0,66.
Statistika pengamatan ditampilkan pada Tabel 1. Klasifikasi hari
cerah menurut Utomo dan Haen (2004) ditampilkan pada Tabel 2.
Gambar 3. Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung
periode pengamatan 2010-2014 dilengkapi dengan radiasi matahari puncak atmosfer (TOA).
Gambar 4. Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Makassar periode pengamatan 2012-2014 dilengkapi dengan radiasi matahari puncak atmosfer (TOA).
1300
1350
1400
1450
1500
0,4
0,6
0,8
1
1 31 61 91 121 151 181 211 241 271 301 331 361
Bil
angan K
ebenin
gan 2014
2013
2012
2011
2010
TOA
Inte
nsit
as
Bilangan hari (Julian Day)
1300
1350
1400
1450
1500
0,4
0,6
0,8
1
1 31 61 91 121 151 181 211 241 271 301 331 361
Bil
angan K
ebenin
gan
2014
2013
2012
TOAInte
nsit
as (W
/m
2)
Bilangan hari (Julian day)
Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah
9
Tabel 1. Statistik bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar.
Bandung (1993-2002)
Bandung (2010-2014)
Makassar
Rata-rata 0,49 0,61 0,66
stdev 0,10 0,07 0,03
maks 0,7 0,78 0,72
min 0,3 0,46 0,59
Tabel 2. Klasifikasi kebeningan atmosfer (Utomo dan Haen, 2004).
CN Keadaan Atmosfer
0,0 – 0,5 Berawan atau mendung
0,5 – 0,7 Keruh
0,7 – 0,9 Biru buram
0,9 – 1,1 Biru
1,1 – 1,3 Biru sekali
>1,3 Amat biru sekali (jarang dijumpai)
3.2 PEMBAHASAN
Gambar 2 menjelaskan variasi bilangan kebeningan. Pada
saat matahari terbit, bilangan kebeningan atmosfer bernilai
sangatlah kecil, kemudian berangsur-angsur meningkat hingga
matahari mencapai kulminasi pada tengah hari (mid day), dan
kembali mengecil bahkan menjadi nol saat matahari terbenam.
Ketika matahari baru saja terbit dan sesaat akan terbenam, sudut
yang ditempuh oleh sinar matahari terhadap bidang permukaan
adalah relatif besar sehingga sinar matahari harus melewati
atmosfer yang memiliki jumlah partikel penyusun yang sangat
banyak sehingga menyebabkan penghamburan dan pemantulan
yang cukup kuat (Akogbue, 2007). Namun demikian, bilangan
kebeningan atmosfer pada sekitar kulminasi matahari adalah
relatif sama/stabil (Gambar 2) dan memiliki nilai rata-rata 0,958
pada pukul 11:30-12:30. Hal ini menjadi alasan yang kuat untuk
menghitung bilangan kebeningan atmosfer dengan cara
menghitung rata-rata di sekitar titik kulminasi matahari.
Pada Gambar 2 jumlah data yang digunakan adalah rata-
rata 40 data per tahun (data = hari saat langit cerah) atau kira-
kira 10% dari jumlah hari dalam satu tahun. Tentu saja jumlah
ini terlalu sedikit jika digunakan untuk melihat
Saipul Hamdi, dkk
10
perubahan/dinamika bilangan kebeningan dalam satu tahun,
apalagi data tersebut tidak tersebar secara merata. Namun
demikian, secara umum terlihat bahwa atmosfer di atas Kota
Bandung lebih jernih pada bulan-bulan basah dibandingkan
dengan bulan-bulan kering. Hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut. Ketika bumi mencapai jarak terjauh terhadap matahari
(pada saat ini insolasi mengalami intensitas terlemah dalam satu
tahun), dan bertepatan juga dengan musim kering, kebeningan di
atas Kota Bandung juga mengalami tingkat yang terendah seolah-
olah berfluktuasi mengikuti jarak bumi-matahari. Transmitansi
atmosfer untuk cahaya matahari merupakan hasil interaksi
dengan empat komponen yaitu (1) penyerapan oleh uap air, (2)
penghamburan oleh uap air, (3) penyerapan dan penghamburan
oleh debu, dan (4) penghamburan oleh udara kering dan bebas
debu (Houghton, 1954). Secara umum dapat disimpulkan bahwa
komponen utama yang berperan dalam kebeningan atmosfer
adalah debu dan uap air. Di dalam tulisan ini, pengaruh uap air
dalam bentuk awan telah diminimalisir secara optimum dengan
cara memilih hari-hari yang memenuhi empat kriteria langit
bersih.
Gambar 5. IWV (Integrated Water Vapor) di atas Arjeplog,
Sweden 66⁰03’N and 17⁰53’E (Nilson, 2008).
Jumlah uap air yang terkandung di dalam atmosfer
biasanya dihitung dalam satu kolom vertikal dan dinyatakan
sebagai perhitungan dari integrated water vapor atau IWV.
Gambar 5 adalah IWV pada tahun 1997-2006 di daerah Arjeplog
- Sweden, dan menunjukkan bahwa IWV secara umum mengikuti
siklus tahunan. Jumlah uap air pada musim panas adalah lebih
Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah
11
banyak dibandingkan pada musim dingin, dan bumi belahan
utara pun memiliki jumlah uap air yang relatif lebih banyak
dibandingkan dengan bumi belahan selatan (Nilson, 2008).
Jumlah uap air yang lebih banyak akan berakibat pada
penyerapan sinar matahari yang lebih banyak juga dan
menyisakan lebih sedikit sinar matahari yang mencapai
permukaan bumi sehingga menyebabkan bilangan kebeningan
menjadi menurun, seperti ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4.
Secara geografi, Arjeplog dan Bandung ataupun Makassar
memiliki keadaan yang sangat berbeda karena Arjeplog terletak
pada lintang tinggi belahan bumi utara sedangkan Bandung dan
Makassar terletak pada lintang rendah belahan bumi selatan.
Jumlah pengamatan pada saat hari cerah di dalam
Gambar 4 adalah sebanyak 151 hari cerah dalam periode
pengamatan selama 3 tahun. Bilangan kebeningan rata-rata
terhitung adalah sebesar 0,66 dengan standar deviasi sebesar
0,03 atau 4%. Statistika bilangan kebeningan atmosfer di atas
Kota Bandung dan Makassar ditunjukkan pada Tabel 1. Pola
kebeningan atmosfer di Kota Makassar sedikit berbeda dengan
pola kebeningan atmosfer di Kota Bandung, meskipun sama-
sama memiliki nilai terendah pada saat matahari mencapai jarak
terjauh dengan bumi (Agustus). Nilai terendah ini dapat
dihubungkan dengan jumlah uap air di atmosfer yang lebih
banyak pada musim kemarau dibandingkan dengan musim
penghujan sehingga lebih berpotensi menahan laju radiasi
matahari. Akibatnya, persentase pelemahan insolasi pada musim
kemarau adalah lebih besar dibandingkan dengan musim
penghujan. Selain itu kejadian hujan juga membantu mengurangi
uap air di udara dan jatuh sebagai hujan. Di daerah tropis, trend
dan variabilitas IWV juga dipengaruhi oleh curah hujan, dan
sebaliknya diasosiasikan secara dekat dengan aliran rata-rata dan
konvergensi uap air oleh angin (Trenberth, et.al, 2005).
Di daerah tropis, IWV dipengaruhi oleh perubahan curah
hujan, dan dapat diasosiasikan juga dengan konvergensi dan
aliran rata-rata uap lembap yang mengikuti angin (Trenberth,
et.al, 2005). Selain itu, ditemukan juga kenaikan jumlah uap air
yang dikaitkan dengan kejadian El Niňo, dan kenaikan tersebut
terutama terjadi pada lokasi 10⁰LU hingga 20⁰LS, dan dapat
dikaitkan dengan akibat dari mengeringnya daerah 20⁰LU.
Saipul Hamdi, dkk
12
Kenaikan jumlah uap air di atmosfer dapat dikaitkan dengan
penurunan tingkat kebeningan atmosfer dan berakibat pada
menurunnya intensitas radiasi matahari tingkat permukaan.
Gambar 6. Curah hujan harian di Kota Makassar tahun 2014
diunduh dari https://weatherspark.com/history/33999/ 2014/Makassar-Ujung-Pandang-Sulawesi-Selatan-Indonesia. 17 Sumbu vertikal adalah jumlah jam dalam satu hari yang menunjukkan lamanya kejadian hujan, sedangkan bar di bagian atas berwarna hijau menunjukkan terjadinya hujan pada hari tersebut sedangkan warna putih adalah tidak adanya hujan.
Tingkat kebeningan atmosfer pada lima tahun pengamatan
di Bandung (2010-2014) yang ditunjukkan pada Tabel 3.1 adalah
0,46 – 0,78 dengan kebeningan rata-ratanya sebesar 0,62 dan
standar deviasinya 0,07. Hasil yang diperoleh tersebut
menunjukkan adanya peningkatan bilangan kebeningan dengan
yang dilaporkan oleh Utomo dan Haen (2004), menyatakan bahwa
bilangan kebeningan atmosfer Bandung untuk kurun waktu
1993-2002 berkisar 0,3–0,7 dan memasukkannya ke dalam
kategori berawan-keruh-biru buram. Bilangan kebeningan rata-
rata sebesar 0,61 dapat dikategorikan ke dalam atmosfer keruh.
Klasifikasi kebeningan atmosfer ditunjukkan pada Tabel 2.
4. KESIMPULAN
Hasil penghitungan bilangan kebeningan atmosfer
menggunakan kriteria langit bersih menunjukkan bahwa
Bilangan kebeningan atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar pada saat langit cerah
13
atmosfer di atas Kota Bandung dan Makassar dikategorikan ke
dalam keruh dengan bilangan kebeningan rata-rata sebesar 0,61
(Bandung) dan 0,66 (Makassar). Tidak ditemukan adanya pola
khusus bilangan kebeningan atmosfer terhadap waktu meskipun
dapat dikatakan bahwa kebeningan atmosfer minimum terjadi
saat bumi mencapai jarak terjauh dalam satu tahun yang
bertepatan dengan musim panas. Bilangan kebeningan atmosfer
minimum di atas Kota Bandung mengalami peningkatan dalam
sepuluh tahun terakhir, demikian juga dengan bilangan
kebeningan atmosfer maksimumnya.
Ucapan terima kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Jurusan Teknik
Lingkungan dan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas
Hasanudin Makassar atas bantuan operasional weather station,
dan kepada Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer LAPAN sebagai
penyedia data.
DAFTAR RUJUKAN
Davies, J.A., and Hay, J.E., 1980: Calculation of the solar
radiation incident on a horizontal surface. Proc. First Solar
Radiation Data Workshop, 32-58.
Exell, R.H.B., 2000: King Mongkut’s University of Technology
Thonburi.
Fowle, F.E., 1915: The transparency of aqueous water
vapor.Astrophys. J., 54, 394.
Houghton, H.G., 1954: On the annual heat balance of the
Northern Hemisphere. J. Meteor., 11, 1-9.
https://weatherspark.com/history/33999/2014/Makassar-
Ujung-Pandang-Sulawesi-Selatan-Indonesia.
Ideriah FJK, Sulaeman SO., 1989: Sky condition at Ibadan during
1975-1980.Solar Energy43(6), 325-330.
Kuye, A., Jagtap, S.S., 1992: Analysis of solar radiation data for
Port Harcourt, Nigeria. Solar Energy, 49(2), pp.139-145.
Li, H., Lian, Y., Wang, X., Ma, W., Zhao, L., 2011: Solar constant
values for estimating solar radiation. Energy,
doi:10.1016/j.energy.2010.12.050.
Saipul Hamdi, dkk
14
Nilson T., G. Elgered., 2008: Long-term trends in the atmospheric
water vapor content estimated from ground based GPS
data. J. Of Geophys. Res., Vol 113.
Okogbue, E.C., Adedokun, J.A., 2002b: Characterization of sky
conditions over Ile-Ife, Nigeria based on 1992-1998 solar
radiations observations.Meteorogische Zeitschrift,
Germany, vol 11 no 6, pp.419-423.
Okogbue, E.C., 2007: Broad-band solar irradiance and
photometric illuminance at the tropical station, Ile-ife,
Nigeria. Unpublished PhD Thesis, Obafemi Awolowo
University, Ile-ife, Nigeria, 223.
Robinson, N., 1966: Solar Radiation. Elsevier Publishing Co,
Amsterdam.
Santamouris, M.J., R. Rigopoulos, Y. Caouris., 1983: Estimating
the Atmospheric Ozone Transmission for Solar Radiation
Models.Pageoph, Vol 12, No 4, pp.633.
Sherry, J.E., and Justus, C.G., 1983: A simple hourly clear-sky
solar radiation model based on meteorological
parameters. Solar Energy, 32, pp.195-204.
Trenberth, K.E., J. Fasullo, L. Smith., 2005: Trends and variability
in column-integrated atmospheric water vapor. Climate
Dynamics, 24, 741-758.
Utomo, Y.S., I. Haen, H. Hoesin., 2004: Pemodelan matematis
untuk analisis radiasi surya di permukaan bumi daerah
khatulistiwa (15⁰LS-15⁰LU). Prosiding seminar nasional
rekayasa kimia dan proses, Universitas Diponegoro
Semarang.
WHO, 2002 : Global Solar UV Index: a practical guide. ISBN 92 4
159007 6.
Sinta dkk Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil
Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit
15
PENGEMBANGAN METODE PENGOLAHAN DATA PROFIL
VERTIKAL ATMOSFER BERBASIS SATELIT
Sinta Berliana Sipayung, Risyanto, Krismianto dan Edy Maryadi
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia
e-mail: s_berlianasipayung@yahoo.com
ABSTRAK
MODIS (MODerate resolution Imaging Spectroradiometer) adalah
merupakan bagian dari beberapa sensor yang ada pada satelit
Terra dan Aqua yang dirancang oleh NASA (National Aeronautics
and Space Administration) untuk meningkatkan pemahaman
tentang dinamika global dan proses terjadinya fenomena-
fenomena yang ada di darat, laut maupun atmosfer. Untuk
memahami fenomena atmosfer wilayah Indonesia dikembangkan
metode pengolah data profil vertikal atmosfer (temperatur,
moisture, water vapor dan ozon) dari MOD07/MYD07 level dua
swath format HDF4 menjadi data ASCII (format .dat dan txt)
dengan menggunakan visual basic, phyton dan GrADS. Data
MODIS swath dengan format HDF4 diambil lintang/bujur,
parameter atmosfer dan ketinggian yang sesuai, diproyeksikan
dan disimpan dalam bentuk tabulator 3 kolom, kemudian di plot
ke dalam Gambar dua dimensi dan data txt. Tujuan dari
pengolahan data ini adalah untuk membuat skrip pengolahan
data, mengidentifikasi file data swath format hdf4 menjadi data
parameter atmosfer dalam ASCII. Kelebihan dari aplikasi ini
adalah mudah digunakan mempunyai koordinat lintang, bujur,
resolusi spasial dan titik dapat ditentukan dengan mudah dan
terintegrasi dengan data base yang ada di BISMA. Adapun output
datanya adalah data siap pakai dengan file ASCII (format *.txt, file
binary format *.bin beserta file ctl-nya dan image), dan
menampilkan data baik spasial maupun titik digunakan untuk
analisis parameter atmosfer. Data MODIS profil vertikal atmosfer
telah di validasi dengan menggunakan data pengukuran in-situ
(radiosonde) di beberapa titik wilayah Indonesia dan diperoleh
koefisien korelasi rata-rata r=0.99.
Sinta dkk
16
Kata Kunci: Metoda, profil vertikal atmosfir dan MODIS
ABSTRACT
MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) is a part
of some of the existing sensor on the Terra/Aqua satellites were
designed by NASA (National Aeronautics and Space
Administration) to improve understanding of the global dynamics
and the occurrence of phenomena that exist on land, sea and
atmosphere. To understand the atmospheric phenomenon around
Indonesia has developed a data processing method of atmospheric
vertical profile (temperature, moisture, water vapor and ozone)
level two (L-2) from MOD07 / MYD07 swath HDF4 format into the
ASCII data (such format, .dat and .txt) by using visual basic,
python and GrADS programs. MODIS data with HDF4 format
taken latitude/longitude and the appropriate altitude atmospheric
parameters, projected and stored in the form tabulator 3 colum,
and then plot into two-dimensional images and txt data. The
purpose of this processing data is to create a script of data
processing and identifying data file swath hdf4 format into data
atmospheric parameters. The advantages of the applicationa is
easy to use, have the latitude/longitude coordinate, spatial and
point resolution can be integrates with the existing of the base
data BISMA. As the output of processed MODIS data is ready to
use with data ASCII file format (* .txt format, binary file format *
bin its ctl file and image), displaying spatial and point data and
can be used for analysis of atmospheric parameters. The MODIS
atmospheric vertical profiles data and in-situ measurement data
(radiosonde) has been validated at some point in Indonesia and
the results with an average correlation coefficient r = 0.99.
Keywords: Method, profiles atmospheric vertical and MODIS
1. PENDAHULUAN
Dalam mengkaji fenomena-fenomena tentang sains
atmosfer untuk wilayah Indonesia, memerlukan data pengukuran
yang space base terutama untuk parameter atmosfer dalam
resolusi spasial dan titik, maka diperlukan metode untuk
ekstraksi data satelit mulai dari swath format HDF4 (Hierarchical
Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit
17
Data Format-4) level nol (L-0),level satu (L-1) dan level dua (L-2)
berdasarkan ketinggian hingga data siap pakai dalam format
American Standard Code of Information Interchange (ASCII). Namun data pengukuran profil vertikal atmosfer berbasis
observasi radiosonde sangatlah terbatas. Untuk mengatasi
keterbatasan ini dilakukan ekstraksi data atmosfer dari data
satelit Terra/Aqua dengan sensor MODIS (Moderate Resolution
Imaging Spectroradiometer) yang terdiri dari 36 band spektral
antara 0,405 µm dan 14,385 µm (King, et.al., 1992), resolusi
spektral dari 250 m (bands 1 – 2), 500 m (bands 3 - 7) dan 1000
m (bands 8 - 36). Produk data MODIS adalah data kalibrasi yang
terdapat pada MOD 01 - Level-1A Radiance Counts, MOD 02,
Level-1B Calibrated Geolocated Radiances dan MOD 03 -
Geolocation Data Set. Data atmosfernya adalah MOD 04 - Aerosol,
MOD 05 - Total Precipitable Water (Water Vapor), MOD 06 - Cloud,
MOD 07 - Atmospheric Profiles, MOD 08 - Gridded Atmospheric
dan MOD 35 - Cloud Mask (http://modis-atmos.gsfc.nasa.gov),
data atmospheric Profiles berada pada MOD 07.
Data MODIS untuk darat adalah MOD 09 - Surface
Reflectance, MOD 11 - Land Surface Temperature & Emissivity,
MOD 12 - Land Cover/Land Cover Change, MOD 13 - Gridded
Vegetation Indices (Max NDVI & Integrated MVI), MOD 14 -
Thermal Anomalies, Fires and Biomass Burning, MOD 15 - Leaf
Area Index & FPAR, MOD 16 – Evapotranspiration, MOD 17 - Net
Photosynthesis and Primary Productivity, MOD 43 - Surface
Reflectance MOD 44 - Vegetation Cover Conversion
(http://edcdaac.usgs.gov/dataproducts.asp and http://modis-
land.gsfc.nasa.gov/). Sedangkan untuk laut adalah Angstrom
Exponent, Aerosol Optical Thickness, Chlorophyll, Downwelling
diffuse attenuation coefficient at 490 nm, Level 2 Flags,
Photosynthetically Available Radiation, Particulate Inorganic
Carbon, Particulate Organic Carbon, Sea Surface Temperature
Quality, Sea Surface Temperature Quality - 4um, Remote Sensing
Reflectance, (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/) dan untuk
Cryosphere MOD 10 - Snow Cover, MOD 29 - Sea Ice Cover
(http://nsidc.org/daac/modis/index.html.
Pengolahan data MOD07 level dua (L-2) menjadi parameter
profil vertikal atmosfer diantaranya adalah temperatur,
kelembaban, uap air dan ozon. Dalam pengolahan data satelit ini
Sinta dkk
18
telah banyak dilakukan dengan menggunakan algoritma yang
berbeda-beda untuk beberapa wilayah dari MOD07, seperti
Seemann, et.al, (2002, 2003, 2006 dan 2008), Menzel, et.al,
(2002) dan Wu, et.al., (2005) pada ketinggian 850mb. Dari
pengolahan-pengolahan metode algoritma tersebut diperoleh
kofisien korelasi sangat signifikan, dengan read mean square error
(RMSE) yang sangat kecil, serta resolusi tinggi dapat memberikan
banyak informasi tentang profil vertikal atmosfer seperti
temperatur dan kelembaban. Hasil tersebut dibandingkan dengan
data radiosonde dan diperoleh koefisien korelasi 0.99 dan 0,89.
Dengan konsep yang sama menggunakan profil dari National
Centers Environmental Prediction (NCEP) dan MODIS MOD07
menunjukkan hasil yang baik dengan akurasi sedikit lebih tinggi
Hua, et.al, (2013).
Ada kelamahannya pada sistem data aktual MODIS jika
dihubungkan dengan data observasi radiosonde yaitu tidak
mungkin mendapatkan banyak data dalam waktu dan ruang yang
bersamaan. Untuk menentukan temperatur, kelembaban, uap air
dan ozon profil dari satelit mengunakan hubungan regresi
statistik antara yang diamati dari radiances yang sesuai profil
atmosfer dan data radiosonde. Metode ini sering digunakan untuk
menghasilkan algoritma pencarian fisis, seperti yang dilakukan
dalam International TOVS Processing Package (ITPP, Smith, et.al,
(1993). Secara rinci telah dilakukan oleh Smith, et.al, (1970)
dalam algoritma yang sama dalam cuaca bebas awan, radiasi
yang diterima di bagian atas atmosfer pada frekuensi ν adalah
jumlah kontribusi cahaya dari permukaan bumi dan dari semua
tingkatan di atmosfer yang diungkapkan pada persamaan untuk
masing-masing parameter atmosfer.
R(��) = ∑ ����� [��, T(��)]w (��, ��) …....……. (1)
dimana :
w(��, ��) = € (��, ��) Γ (��,0 ��).
B[��, �(��)] = adalah radiasi Plank untuk level tekanan i pada
temperatur T.
€ (��, ��) = emisi spektrum sedang pada level tekanan ke-i.
à (��,0 ��) = transmisi spektrum diatas atmosfer pada
level tekanan ke-i.
Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit
19
Berbeda dengan (Li, et al., 2000) setelah dibandingkan
dengan profil vertikal atmosfer dengan algoritma teknik regresi
fisis dengan menerapkan pada Radiative Transfer Equation (RTE)
didasarkan pada metode regularisasi dengan meminimalkan
fungsi utamanya.
Data satelit Terra/Aqua diperoleh dari Stasiun Bumi Pare-
Pare dan Stasiun Bumi Rumpin LAPAN, hasil transfer melalui
jaringan Fiber Optic (FO) berupa raw data record (RDR) sehingga
perlu dengan menggunakan Software Real-time Software
Telemetry Processing System (RT-STPS) dan International MODIS
/AIRS Processing Package (IMAPP) mulai dari data raw level nol
(L-0) hingga data Environmental Data Record (EDR) level dua (L-2)
yaitu data atmosfer, darat dan laut dengan resolusi spasial 1 km,
namun resolusi temporal rendah. Data yang dikirim melalui
receiver berupa data raw yang didistribusikan melalui internet
disimpan dalam storage, diolah menggunakan data tambahan
Ancillary data yang diperoleh dari situs NASA dengan Data
Processing Computing menggunakan software RT-STPS dan
IMAPP, http://cimss.ssec.wisc.edu/;gumley/IMAPP/IMAPP.html).
Kelemahan data MODIS ini adalah bahwa data level dua masih
dalam swath (sapuan) format HDF4, belum menjadi data .dat, data
txt dan belum tervalidasi, sehingga perlu dikembangkan metoda
untuk pengolahan data swath HDF4, menjadi data ASCII dari data
MOD07/MYD07. Hingga saat ini pemanfaatan data satelit
Terra/Aqua masih terbatas di Indonesia khususnya terkait
dengan informasi atmosfer, dikarenakan resolusi temporalnya
masih rendah dibandingkan dengan satelit yang lain.
Untuk meningkatkan kualitas data temperatur dan
kelembapan khususnya dari satelit Terra/Aqua peneliti
sebelumnya menggunakan algoritma regresi statistik antara data
RAOBs, AIRS, MODIS dan radiosonde, hasilnya menunjukkan
signifikan berdasarkan koefisien korelasi Wu, et.al, (2005) dan
Seemann, et.al, (2005). Begitupun Kim, et.al, (2004), mengatakan
bahwa hubungan antara temperatur vertikal dari MODIS dan
radiosonde memiliki kesesuaian pada nilai dan pola yang cukup
baik.
Penggunaan hasil pengolahan (ekstraksi) data MODIS,
selama ini telah banyak diaplikasikan terkait dengan informasi
baik di darat maupun di laut yaitu informasi kebakaran hutan
Sinta dkk
20
dari MODIS/Aqua Near Real Time (NRT) Thermal Anomalies/Fire
5-Min level dua swath 1km dan informasi penangkapan ikan,
sedangkan informasi atmosfer masih terbatas khususnya wilayah
Indonesia. Tujuan dari kegiatan ini adalah menggunakan
perangkat lunak untuk pengolahan (ekstraksi) data,
mengidentifikasi data profil parameter atmosfer dari data sensor
MODIS swath format HDF4 View menjadi data ASCII dengan
menggunakan program visual basic, phyton dan grADS. Telah
dibagun sistem otomatisasi trasfer data dalam bentuk Gambar
dan ASCII agar data tersebut menjadi data siap olah atau siap
pakai yang akan di simpan dalam data base atmosfer Indonesia
(BISMA).
Permasalahannya adalah bagaimana meng-ekstrak
(mengolah) data satelit Terra/Aqua dengan sensor MODIS dari
format HDF4 level dua menjadi data ASCII, agar data tersebut
menjadi data siap pakai oleh pengguna terutama untuk
parameter fisis dan kimia atmosfer khususnya wilayah Indonesia,
yang selama ini belum banyak informasi diperoleh terutama yang
berkaitan dengan data atmosfer. Sipayung, S B., et.al, (2014)
telah mengekstraksi MODIS yaitu data temperatur dan
kelembaban di beberapa lokasi Indonesia dengan menggunakan
band-band yang ada dari level satu (L-1) menjadi level dua (L-2)
dengan menggunakan metode Artificial Neural Network (ANN),
setelah divalidasi dengan menggunakan data pengukuran in-situ
(radiosonde) yang tersedia di University of Wyoming
(http://weather.uwyo.edu/cgi-bin/(sounding) diperoleh hasilnya
bahwa nilai dan polanya bersesuaian. Pengolahan data satelit ini
masih terbatas sehingga perlu dilakukan pengolahan data satelit
ini untuk kebutuhan dan informasi baik untuk peneliti maupun
pengguna terkait dengan fenomena-fenomena baik di darat, laut
maupun dan atmosfer khususnya wilayah Indonesia, namun
pada kesempatan ini difokuskan pada parameter profil vertikal
atmosfer.
2. DATA DAN METODOLOGI
2.1 DATA
Data yang digunakan adalah MOD 07/MYD07 (Atmosphere
Profile) harian sesuai dengan tanggal yang tersedia dalam
pengukuran radiosonde (in-situ) yang terdiri dari 20 level
Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit
21
ketinggian yaitu 5, 10, 20, 30, 50, 70, 100, 150, 200, 250, 300,
400, 500, 620, 700, 780, 850, 920, 950, 1000 mb. Pengolahan
(ekstraksi) data berbasis satelit Terra/Aqua dengan sensor MODIS
menggunakan program Python dan GrADS beserta modul
librarynya seperti GDAL (Geospatial Data Abstraction Library),
Pyproj, Pyparsing dan Six berbasis Windows (XP/7/Vista/8).
Sedangkan pengolahan geolokasi data dari level nol menjadi level
satu 1B digunakan software Direct Broadcast Virtual Machine
(DBVM) dalam format HDF4. Pengolahan data MODIS dari level 1B
menjadi level dua dapat juga diekstrak profil vertikal atmosfer
dengan menggunakan band-band 33, 34, 35, 36, dan
kelembapan menggunakan band 27, 28 dan 29 berdasarkan
konsep Lambrigsen, (2003).
2.2 METODOLOGI
Langkah awal adalah menginstal aplikasi Python kemudian
mengaktifkan modul-modul library yang diperlukan, list data set
kemudian dapat kita temukan informasi yang terkait dengan
parameter atmosfer serta informasi koordinatnya. Hasil ekstraksi
khususnya data profil vertikal temperatur (Kelvin), profil
kelembaban (g/kgx10^3), uap air (cm) dan ozon (g/kg) yang
merupakan produk MODIS Profile (MOD 07/MYD07). Data yang
dihasilkan dari pengolahan MODIS ini telah dibagun suatu sistem
otomatisasi pengolahan data yaitu aplikasi antar muka dalam
bentuk Gambar dan juga dalam format ASCII. Dalam MODIS 07
swath dengan format HDF4 diproyeksikan dan disimpan dalam
bentuk tabulator 3 kolom dalam bentuk ASCII kemudian di plot
ke dalam Gambar dua dimensi divalidasi dengan data observasi
radiosonde dan diaplikasikan ke display yang nantinya dapat
diinformasikan ke pengguna seperti pada Gambar 1.
Sinta dkk
22
Gambar 1. Alur ekstraksi data MODIS swath HDF4 menjadi
data ASCII dan validasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mempermudah pemanfaatan data satelit
Terra/Aqua MODIS/MOD07 dikembangkan aplikasi antar muka
dari swath HDF4 menjadi file ASCII ditampilkan dan dapat
disimpan dalam file (format *.txt, binary format *.bin beserta ctl-
nya dan image). Aplikasi ini menampilkan data spasial, titik dan
profil vertikal atmosfer dikembangkan menggunakan metoda
visual basic 6.0, Python dan GrADS, yang terhubung langsung
dengan data Terra/Aqua MOD07 di BISMA
http://bisma.sains.lapan.go.id/list. Dengan memilih data satelit
Terra/Aqua MOD07 pengguna dapat menentukan lokasi yang
diinginkan, menginput lintang dan bujur yang terdiri dari 20 level
Data MODIS swath dalam
HDF4
Ambil data lintang, bujur dan nilai data
MODIS
dataset = gdal.Open ('..:/Python32/Data/t1.14045.0329.mod07.hdf') list_dataset = dataset.GetMetadata ('SUBDATASETS') latData = gdalnumeric.LoadFile(list_dataset["SUBDATASET_1_NAME"]) lonData = dalnumeric.LoadFile(list_dataset["SUBDATASET_2_NAME"]) aero = gdalnumeric.LoadFile(list_dataset ["SUBDATASET_7_NAME"]) index Level=16, data = aero[indexLevel,:]*1., slope=0.01, offset=-15000 fillValue=-32768, m.drawmeridians (meridians, labels=[0,0,0,1],fontsize=10) clev=pylab.arange(clevbatasbawah,clevbatasatas,clevincrement) cs = m.contourf(x,y,sstUniform2,clev) cbar = m.colorbar (cs,location='bottom',pad='10%',size='5%') plt.close()
Hasil plot 2 dimensi, Gambar dan data
MODIS format ASCII
Validasi data antara MODIS dan data
observasi radiosonde
Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit
23
ketinggian, dan sistem akan memproses secara otomatis. Data
yang digunakan adalah data Modis Terra/Aqua level dua MOD07
bulan Agustus dan Oktober 2013, dengan nama file
"t1.13223.0210.mod07.hdf" dan “a1.13286.0601.mod07.hdf”
Gambar 2. Fitur sistem pengolah data Terra/Aqua MOD07 profil
vertikal atmosfer dalam format image dan ASCII.
Satelit Terra/Aqua sensor MODIS merupakan cross-track
scanning radiometer orbit polar selatan-utara dan utara-selatan.
Lebar cakupan swath (sapuan) level nol, level satu (L-1) dan level
dua (L-2), dengan format HDF4. Pemanfaatannya masih terbatas
untuk wilayah Indonesia sehingga memerlukan ekstraksi data
menjadi parameter profil vertikal atmosfer yang terdiri dari
temperatur, moisture, water vapor dan ozon dengan mengunakan
metoda visual basic 6.0, Python dan GrADS seperti Gambar 2.
Pada pengembangan metoda untuk masing-masing parameter
Sinta dkk
24
atmosfer berbeda-beda, tergantung dengan faktor skala, fill value
dan satuan (units). Untuk temperatur, water vapor dan ozon
faktor skala yang digunakan adalah 0,01 sedangkan fill value
yang digunakan adalah -32768 begitu juga satuannya untuk
masing-masing parameter atmosfer. Penentuan dalam pengolahan
parameter temperatur, moisture dan ozon menggunakan set data
seperti fill value = -32768, scale_factor=0.01, add_offset=0, scale
value=scale_factor*(stored integer-add_offset), units='g/kg',
valid_range antara -32500 dan 32500, pressure_levels antara 5,
10, 20, 30, 50, 70, 100, 150, 200, 250, 300, 400, 500, 620, 700,
780, 850, 920, 950, 1000 hPa, terdiri dari 20 level ketinggian
dimulai dari permukaan hingga pada lapisan stratosfer. Begitu
pula untuk water vapor faktor skala yang digunakan 0.001, fill
value yang digunakan adalah -9999. Penentuan metode untuk
ekstraksi menggunakan set data fill value = -9999, scale_factor=
0.001, add_offset=0, scale value=scale_factor*(stored integer -
add_offset), units= 'cm', valid_range antara 0 dan 20000,
pressure_levels tidak mempunyai level ketinggian atau terdiri dari
satu layer yaitu hanya terdiri dari jumlah point latitude dan
jumlah point longitude untuk wilayah Indonesia.
Untuk menganalisis data yang sudah diolah tergantung
pada waktu data satelit Terra/Aqua MOD07, karena mengikuti
waktu Indonesia (WIB) terutama pada bulan Juni, Agustus dan
Oktober 2013. Sedangkan data yang diolah menggunakan
UTC/GMT sehingga perlu menambahkan 7 jam waktu wilayah
Indonesia dengan parameter atmosfer yaitu temperatur, moisture,
water vapor dan ozon orbit polar Selatan-Utara di pagi hari dan
orbit polar Utara–Selatan di sore hari seperti pada Gambar 3.
Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit
25
Gambar 3. Temperatur, moisture, water vapor dan ozon satelit
Terra bulan Juni dan Agustus 2013 (orbit polar
Selatan-Utara di pagi hari) dan satelit Aqua bulan
Oktober 2013 (orbit polar Utara–Selatan di sore hari)
Dalam menguji hasil pengembangan metode visual basic
6.0, Python dan GrADS data MODIS tersebut, maka perlu
divalidasi dengan data obsersevasi radiosode untuk parameter
atmosfer di wilayah Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4. Dari perbandingan hasil tersebut menunjukkan bahwa
profil vertikal temperatur dan kelembaban atmosfer tampak
memiliki pola vertikal profil yang sama. Koefisien korelasi (r)
antara data MODIS dan radiosonde parameter temperatur dan
kelembaban menunjukkan hampir sama yakni 0.99 pada Tabel 1.
Sinta dkk
26
Gambar 4. Hasil pengembangan metode berupa data titik profil
temperatur MODIS untuk lokasi Jakarta, Manado,
dan mixing ratio lokasi Surabaya
Hal yang sama penurunan temperatur vertikal dari data
MODIS swath telah dikembangkan dari MOD07/MYD07 level dua
dan divalidasi dengan menggunakan regresi statistik, hasil
pengkuran radiosonde dan ekstraksi data MODIS diperoleh
koefisien korelasi rata-rata dari lima lokasi sebesar 0.99. Terdapat
perbedaan (error) dari suhu yang dihasilkan data MODIS
terhadap radiosonde pada ketinggian 1000mb (RMSE = 9.5) dan
100 mb (RMSE = 10.9), dilakukan oleh Risyanto dkk (2014)15.
Terdapatnya perbedaan RMSE pada kedua ketinggian tersebut,
kemungkinan karena adanya antenuasi gelombang. Perbedaan
terbesar lainnya terjadi pada ketinggian 100 mb, yang merupakan
Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit
27
titik balik profil lapse rate menjadi inversi. Diluar dari dua
ketinggian tersebut, rata-rata nilai temperatur yang diberikan
data MODIS tidak jauh perbedaannya dengan data pengukuran
radiosonde. Sedangkan lapisan permukaan (1000 mb) banyak
faktor yang mempengaruhi temperatur dengan adanya mixing
layer.
Tabel 1. Korelasi antara data MODIS dan Radiosonde parameter
temperatur dan kelembaban
______________________________________________________________
Temperatur Kelembapan
_________________________________________________________________
r RMSE Lokasi r RMSE
_________________________________________________________________
0.99 2.05 Jakarta Data MODIS tidak tersedia
0.99 2.42 Makasar Data MODIS tidak tersedia
0.99 2.51 Manado 0.97 3.58
0.97 8.77 Surabaya 0.92 2.30
0.99 3.2 Padang Data MODIS tidak tersedia
Hasil pengembangannya adalah berupa perangkat lunak
pengolahan (ekstraksi) data, untuk mengidentifikasi data profil
parameter atmosfer dari data sensor MODIS swath format HDF4
View menjadi data ASCII dengan menggunakan visual basic,
phyton dan GrADS.
4. KESIMPULAN
Dalam sistem pengolahan data satelit Terra/Aqua MOD07
yang diunduh dari BISMA (Basis Data Atmosfer Indonesia) dari
data swath format HDF4 level dua (L-2) menjadi data ASCII, telah
dikembangkan metode pengolah data MODIS profil vertikal
atmosfer seperti temperatur, moisture, water vapor dan ozon,
dalam bentuk aplikasi antar muka. Untuk memperoleh data profil
vertikal atmosfer dalam format *.txt, file binary *.bin beserta file
Sinta dkk
28
ctl-nya dan image (ASCII) menggunakan perangkat lunak Visual
Basic, Phyton dan GrADS program untuk pengolahan (ekstraksi)
data, dan mengidentifikasi data profil parameter atmosfer. Untuk
meningkatkan luaran data dari hasil metoda tersebut digunakan
data observasi radiosonde sebagai data pembanding di beberapa
titik wilayah Indonesia dan mempunyai koefisien korelasi hampir
sama r=0.99. Hasil yang telah diperoleh belum mencakup
Indonesia seluruhnya karena hanya satu kali sapuan (swath)
yaitu orbit polar selatan-utara di pagi hari (satelit Terra) dan orbit
polar utara–selatan di sore hari (satelit Aqua). Parameter atmosfer
yang lain telah tersedia di BISMA, namun belum semua
tervalidasi karena ketersediaan data pengukuran in-situ sangatlah
terbatas. Masih diperlukan data tambahan yaitu data observasi
radiosonde sebagai data pembanding untuk mendapatkan
informasi atmosfer wilayah Indonesia yang lebih akurat.
Ucapan terimakasih
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kepala Pusat Sain dan
Teknologi Atmosfer yang telah mendistribusikan data raw satelit
yang ada di BISMA LAPAN Bandung yang diperoleh dari LAPAN
Pare-Pare dan Rumpin, hasil transfer melalui jaringan Fiber Optic
(FO).
DAFTAR RUJUKAN
Hua Li., Qinhuo Liu., Yongming Du., Jinxiong Jiang and Heshun
Wang., 2013. Evaluation of the NCEP and MODIS
Atmospheric Products for Single Channel Land Surface
Temperature Retrieval With Ground Measurements: A
Case Study of HJ-1B IRS Data. Ieee Journal Of Selected
Topics In Applied Earth Observations And Remote
Sensing, VOL. 6, NO. 3.
Kim Y. S., B. H. Kwon and K. M. Hong., 2004. Vertical
Temperature And Moisture Structure In Lower Atmosphere
Retrived From Terra/Modis. Gayana 68(2) supl. t.I. Proc. :
319-323, 2004 ISSN 0717-652X.
King, M. D., Y. J. Kaufman, W. P. Menzel and D. Tanre., 1992.
Remote sensing of cloud, aerosol, and water vapor
properties from the Moderate Resolution Imaging
Pengembangan Metode Pengolahan Data Profil Vertikal Atmosfer Berbasis Satelit
29
Spectrometer (MODIS). IEEE Trans. Geosci. Remote Sens.,
30, 2–27.
Lambrigsen, B. H., Calheiros, R. V., 2003. The Humidity Sounder
for Brazil – An international partnership. IEEE Trans.
Geosc. Remote Sensing, no. 41, p. 352-361.
Li, J., W. Wolf, W. P. Menzel, W. Zhang, H.L. Huang, and T. H.
Achtor., 2000. Global soundings of the atmosphere from
ATOVS measurements: The algorithm and validation, J.
Appl. Meteorol., 39: 1248 – 1268.
Menzel, W. P., Seemann, S.W., Li, J and Gumley, L.E., 2002.
“MODIS Atmospheric Profile Retrieval Algorithm
Theoretical Basis Document.”.Available through NASA
MODIS Web site http://modis-
atmos.gsfc.nasa.gov/reference_atbd.html.
Seemann, S. W., J. Li, L. E. Gumley,, K. I. Strabala, and W. P.
Menzel., 2002. One Year of Global Atmospheric Total
Column Precipitable Water Vapor Retrievals from
MODIS Infrared Radiances. Remote Sensing of the Earth’s
Environment from Terra – Lectures at the International
Summer School on Atmospheric and Oceanic Sciences
(ISSAOS 2002) from 25 – 30 August 2002 in L’Aquila,
Italy. A Springer publication.
Seemann, S. W., Jun Li,, W. Paul Menzel and Liam E. Gumley,
August., 2003. Operational Retrieval of Atmospheric
Temperature, Moisture, and Ozone from MODIS Infrared
Radiances. Journal of Applied Meteorology: VOL. 42, Page
1072-1092.
Seemann SW, Borbas EE, Li J, Menzel WP, Gumley LE., 2006.
Modis Atmospheric Profile Retrieval Algorithm Theoretical
Basis. Document. MOD07/MYD07 ATBD C005, Version 6.
Seemann, S. W., J. Li, W. P. Menzel, and L. E. Gumley, Borbas,
E.E., Knuteson, R.O., Stephenson, G.R., and Huang, H-L.,
2008. Development of a global infrared emissivity
database for application to clear sky sounding retrievals
from multi-spectral satellite radiances measurements. J.
Appl. Meteorol. and Clim. 47, 108-123.
Smith, W. L., Woolf, H. M., Nieman, S. J and T. H. Achtor., 1993.
ITPP-5 - The use of AVHRR and TIGR in TOVS Data
Processing. Technical Proceedings of the Seventh
Sinta dkk
30
International TOVS Study Conference held in Igls, Austria
10 to 16 February 1993, J. R. Eyre Ed., 443-453.
Smith, W. L., Woolf, H. M and W. J. Jacob., 1970. A regression
method for obtaining real-time temperature and
geopotential height profiles from satellite spectrometer
measurements and its application to Nimbus 3 “SIRS”
observations. Mon. Wea. Rev.., 8, 582-603.
Sipayung, S. B., Risyanto, dan E. Maryadi., 2014. Aplikasi
Artificial Neural Network (ANN) untuk Estimasi Profil
Vertikal Temperatur dan Kelembapan dari Data MODIS.
Prosiding Nasional, Simposium Fisika Nasional (SFN
XXVII) ), Bali, 2014 “Fisika Dalam Kehidupan Sehari-hari”.
Universitas Udayana, Bali-Indonesia, 16-17 Oktober,
2014. ISSN: 1411-4771.
Risyanto, S. B. Sipayung, dan E. Maryadi., 2014. Analisis Profil
Suhu Vertikal Atmosfer dari Data MODIS Terra/Aqua di
Wilayah Indonesia, Prosiding Seminar Sains Atmosfer,
LAPAN Bandung, 2014, 24 Juni 2014. ISBN: 978-979-
1458-84-9.
Wu Xuebao, LI Jun, Zhang Wenjian, and Wang Fang., 2005.
Atmospheric Profile Retrieval with AIRS Data and
Validation at the ARM CART Site. Advances In
Atmospheric Sciences, VOL. 22, NO. 5, 647–654.
Novita dkk Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di
Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-
AURA
31
PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP OZON DI LAPISAN
STRATOSFER ATAS HASIL OBSERVASI MLS-AURA
Novita Ambarsari dan Ninong Komala
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia e-mail: novitaambar@yahoo.com, novita.ambarsari@lapan.go.id
ABSTRAK
Temperatur dan ozon di stratosfer diperkirakan memiliki
hubungan anti-korelasi. Temperatur berperan dalam reaksi kimia
penguraian ozon di stratosfer. Saat temperatur di stratosfer tinggi,
konsentrasi ozon menurun karena reaksi penguraian ozon oleh
senyawa perusak ozon menjadi lebih cepat. Sebaliknya perubahan
konsentrasi ozon juga diperkirakan akan memberikan umpan
balik terhadap variasi temperatur. Pada penelitian ini dikaji
hubungan ozon dan temperatur di stratosfer atas (tekanan 1 hPa)
dengan menggunakan data-data hasil pengukuran instrument
Microwave Limb Sounder (MLS) pada satelit AURA tahun 2005-
2013. Analisis variasi ozon dan temperatur dalam bentuk
bulanan, musiman, profil vertikal, dan trend serta penentuan
nilai koefisien ozon temperatur (B) melalui grafik nilai log normal
ozon terhadap temperatur telah dilakukan. Hasil analisis pada
penelitian ini menunjukkan hubungan anti korelasi antara ozon
dan temperatur pada variasi bulanan serta trend dan scatter plot
ozon terhadap temperatur. Nilai koefisien ozon-temperatur pada
tekanan 1 hPa di Indonesia adalah sebesar 0,692 K. Dari hasil
perhitungan diketahui bahwa saat temperatur meningkat terjadi
penurunan konsentrasi ozon yang nilainya sebesar ln(O3) atau
sama dengan nilai eksponensial (0,692/T).
Kata Kunci : ozon, temperatur, sratosfer atas
ABSTRACT
Temperature and ozone in the stratosphere is expected to have an
anti-correlation relationship. Temperature plays a role in chemical
reactions of decomposition of ozone in the stratosphere. When the
Novita dkk
32
temperature in the stratosphere is high, the ozone concentration
decreases due to decomposition reaction of ozone by ozone-
depleting substances faster. Instead of ozone concentration
changes are also expected to provide feedback to temperature
variation. In this study examined the relationship of ozone and
temperature in the upper stratosphere (pressure 1 hPa) by using
data of the measurement results instrument of Microwave Limb
Sounder (MLS) on satellite AURA years 2005-2013. Analysis of
ozone and temperature variations in the form of monthly,
seasonal, vertical profiles, and trends as well as the determination
of ozone temperature coefficient (B) through the graph the value of
the log normal ozone to temperature has been carried out. The
analysis of this study showed an anti-correlation of relationship
between ozone and temperature on monthly variations and trends
and scatter plots ozone to temperature. Ozone-temperature
coefficient value at a pressure of 1 hPa in Indonesia amounted to
0,692 K. From the calculation is known that any increase in
temperature, causing a reduction in the ozone concentration as
much as ln(O3) or same value as exponential (0,692/T).
Keywords: ozone, temperature, upper sratosphere
1. PENDAHULUAN
Ozon dan temperatur di stratosfer atas memiliki
keterkaitan yang menunjukkan adanya ketergantungan reaksi-
reaksi kimia terhadap temperatur yang melibatkan proses
penguraian ozon. Temperatur mempengaruhi laju reaksi
penguraian ozon. Ozon dan temperatur yang memiliki sifat anti
korelasi yaitu saat temperatur di stratosfer tinggi, konsentrasi
ozon menurun karena reaksi penguraian ozon oleh senyawa
perusak ozon menjadi lebih cepat. Selanjutnya penurunan
konsentrasi ozon akan memberi respon terhadap perubahan
temperatur yang mengakibatkan temperatur meningkat
[Stolarski, et.al, 2012]. Temperatur merupakan kunci utama
dalam kesetimbangan radiatif di atmosfer. Temperatur pada
tekanan tertentu menentukan kerapatan dan dinamika di seluruh
skala juga menentukan kecepatan reaksi kimia dan proses
transfer radiatif di atmosfer [Schwartz, 2010]. Profil temperatur
Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-AURA
33
vertikal di atmosfer bumi secara global berkaitan dengan radiasi,
konveksi, dan proses pemanasan dinamika antara permukaan
bumi dengan sistem atmosfer [Ramaswamy, et.al, 2006].
Menurut Chandra et al, (1995) dan Douglas et al, (2012)
disebutkan bahwa siklus tahunan ozon pada tekanan 1-2 hPa
lebih kuat didominasi oleh pengaruh dari temperatur terhadap
reaksi penguraian ozon. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan
dikaji hubungan ozon dengan temperatur pada tekanan 1 hPa.
Tekanan tersebut dipilih untuk mengeliminasi pengaruh
parameter yang lain terhadap temperatur dan ozon, terutama
GRK (Gas Rumah Kaca) yang memberikan efek pendinginan
stratosfer sehingga memperlambat laju reaksi penguraian ozon.
Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan analisis musiman
ozon dan temperatur serta karakteristiknya pada tekanan 1 hPa.
Kemudian dilakukan juga penentuan nilai koefisien ozon-
temperatur yang dinyatakan sebagai B dari data hasil
pengukuran instrument Microwave Limb Sounder (MLS) satelit
AURA tahun 2005-2013.
Hasil penelitian Stolarski et al, (2012) menunjukkan
scatter plot rasio campuran ozon terhadap temperatur pada
tekanan 1 hPa (Gambar 1 kiri) dan nilai koefisien ozon-temperatur
(B) di lokasi lintang 45-50 Lintang Selatan (Gambar 1 kanan).
Gambar 1. (kiri) Scatter plot rasio campuran ozon terhadap
temperatur pada tekanan 1 hPa di wilayah 45 LS
Novita dkk
34
hingga 50LS menggunakan data MLS AURA
(tanda silang warna hitam) tahun 2005-2008 dan
data LIMS (tanda silang warna biru) tahun 2007-
2008. Data kemudian di plot kembali dalam
bentuk logaritma normal ozon terhadap nilai 1/T
untuk memperoleh nilai koefisien B yang
tercantum pada persamaan garis untuk masing-
masing data [Stolarski et al, 2012].
Hasil penelitian Stolarski et.al, (2012) menggunakan data
hasil observasi MLS AURA pada tahun 2005-2008 diperoleh nilai
B adalah sebesar (1120/1000) K atau sebesar 1,120 K dan
(1275/1000) K atau 1,275 K dari hasil perhitungan menggunakan
data dari instrument LIMS satelit Nimbus 7 pada tahun 1978-
1979. Pada penelitian ini akan ditentukan korelasi ozon dengan
temperatur serta nilai B untuk wilayah Indonesia menggunakan
data ozon dan temperatur hasil observasi MLS AURA tahun 2005-
2013.
2. DATA DAN METODOLOGI
2.1 DATA
Data yang digunakan adalah data profil vertikal harian
ozon dan temperatur dari MLS AURA tahun 2005 sampai dengan
2013 untuk rata-rata wilayah Indonesia (area average) dengan
batas lintang dan bujur adalah 6 LU – 11 LS dan 95 BT – 145 BT.
2.2 METODOLOGI
Profil vertikal musiman dipilih pada rentang tekanan 3,1
hPa hingga 0,31 hPa sedangkan untuk pengolahan variasi
bulanan (dari Juli hingga Juni), time series, dan scater plot ozon
terhadap temperatur serta logaritma normal ozon terhadap nilai
1/T dipilih pada tekanan 1 hPa. Seperti yang telah dijelaskan
pada bagian pendahuluan, tekanan 1 hPa dipilih untuk
mengeliminasi pengaruh parameter lain selain temperatur
terhadap ozon, terutama GRK yang menyebabkan pendinginan
stratosfer dan menurunkan laju reaksi penguraian ozon.
Pembuatan scatter plot hubungan logaritma normal ozon
terhadap nilai 1/T atau 1000/T digunakan untuk menentukan
nilai koefisien ozon-temperatur yang dinyatakan sebagai B.
Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-AURA
35
Salah satu cara untuk menentukan pengaruh temperature
terhadap ozon di stratosfer atas adalah dengan menentukan
keofisien ozon-temperatur, yang dinyatakan dalam B dan dihitung
berdasarkan persamaan (Barnett et al., 1975., Stolarski et al.,
2012):
O3 = O3oexp(B/T) …………………………… (1)
Dari persamaan tersebut, dapat dibuat grafik logaritma normal
ozon terhadap nilai 1/T untuk mendapatkan nilai B.
Instrumen Microwave Limb Sounder (MLS) yang
ditempatkan pada satelit AURA memiliki kemampuan untuk
melakukan pengukuran profil vertikal komposisi kimia atmosfer
yang meliputi O3, HCl, ClO, HOCl, BrO, OH, H2O, HO2, HNO3,
N2O, CO, HCN, CH3CN, vulkanik SO2, serta parameter lainnya
seperti awan es dan temperatur atmosfer. MLS/AURA memiliki
resolusi vertikal mendekati 3 km di stratosfer dengan resolusi
horisontal 200 km (http://mls.jpl.nasa.gov/eos/instrument.php).
Resolusi horisontal ini menghasilkan cakupan wilayah observasi
MLS meliputi 82 derajat lintang selatan dan 82 derajat lintang
utara. MLS mengukur profil vertikal pada 3500 lokasi di dunia
setiap 24 jam [Ahmad, et.al, 2006].
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil vertikal ozon dan temperatur di stratosfer atas dari
tekanan 3,2 hPa hingga 0,3 hPa ditunjukkan pada Gambar 2.
Profil vertikal ozon menurun dengan konsentrasi lebih tinggi pada
tekanan 3,2 hPa dan minimum pada tekanan 0,3 hPa. Hal ini
disebabkan konsentrasi ozon yang dominan berada di stratosfer
tengah (10 hPa hingga 1 hPa) karena pada lapisan ini terjadi
proses pembentukan ozon yang berasal dari pemutusan molekul
oksigen oleh radiasi UV dengan energi tinggi membentuk atom
oksigen yang bereaksi sangat cepat membentuk ozon. Kemudian
ozon menurun di stratosfer atas akibat reaksi pembentukan ozon
yang berjalan lebih lambat (Manins et al., 2001).
Novita dkk
36
Gambar 2. Profil vertikal rata-rata musiman ozon dan (b)
temperatur di stratosfer atas (tekanan 3 s.d 0,3 hPa)
di Indonesia tahun 2005-2013 untuk bulan DJF
(Desember-Januari-Februari), MAM (Maret-April-
Mei), JJA (Juni-Juli-Agustus), dan SON (September-
Oktober-November).
Profil vertikal temperatur menunjukkan nilai temperatur
maksimum pada tekanan 1 hPa atau pada lapisan stratopause
mencapai 268 K. Temperatur maksimum di straopause
disebabkan radiasi UV dengan panjang gelombang menengah
diserap oleh molekul ozon. Sifat ozon sebagai gas rumah kaca
yang dapat memancarkan sinar infra merah menyebabkan
stratopause menjadi lebih hangat (Haefele et al., 2009). Variasi
musiman menunjukkan profil vertikal ozon pada tekanan 3,2 hPa
a
b
Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-AURA
37
lebih tinggi di bulan-bulan Desember-Januari-Februari (DJF) atau
pada saat musim penghujan di Indonesia. Variasi musiman profil
vertikal temperatur menunjukkan temperatur pada tekanan 1
hPa lebih besar pada bulan-bulan Maret-April-Mei (MAM)
dibandingkan dengan bulan lainnya.
Profil vertikal temperatur pada Gambar 2 (b) menunjukkan
variasi temperatur yang maksimum pada tekanan 1 hPa atau
pada lapisan stratopause dengan nilai antara 265 hingga 268 K.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ambarsari, N (2010) yang
mengkaji mengenai profil vertikal temperatur di wilayah Bandung
dan Watukosek juga menunjukkan maksimum temperatur pada
tekanan 1 hPa.
Variasi bulanan ozon dan temperatur pada tekanan 1 hPa
tahun 2005-2013 ditunjukkan pada Gambar 3. Pada gambar
terlihat adanya pola yang berkebalikan antara ozon dengan
temperatur terutama pada bulan Februari,-Maret ozon minimum,
sedangkan temperatur maksimum. Sebaliknya pada bulan-bulan
Desember-Januari terlihat ozon mencapai maksimum sedangkan
temperatur mengalami titik minimum.
Variasi bulanan temperatur di stratosfer atas dominan
dipengaruhi oleh variasi sudut zenith matahari. Oleh karena itu
pada bulan Februari-Maret dan September-Oktober, temperatur
mencapai maksimum karena posisi matahari yang berada dekat
dengan ekuator [Ambarsari dan Yulihastin, 2011]. Hal ini
menyebabkan ozon memberikan respon dengan menurunnya
konsentrasi akibat meningkatnya laju reaksi penguraian ozon di
stratosfer atas saat temperatur meningkat. Sebaliknya, ozon
mencapai maksimum saat temperatur rendah karena laju reaksi
penguraian ozon berkurang [Stolarski et al, 2012].
Novita dkk
38
Gambar 3. Variasi bulanan ozon (a) dan temperatur (b) dimulai
dari bulan Juli hingga Januari di Indonesia tahun
2005-2013.
Grafik time series ozon dan temperatur pada tekanan 1
hPa dari tahun 2005-2013 ditunjukkan pada Gambar 4. Tampak
pada gambar terlihat juga adanya pola yang berkebalikan saat
ozon maksimum dan temperatur minimum.
Scatter plot korelasi ozon dengan temperatur serta log
normal ozon terhadap nilai 1000/T yang dilengkapi dengan nilai
B sebagai koefisien ozon-temperatur ditunjukkan pada Gambar 5.
Hubungan ozon dan temperatur pada tekanan 1 hPa
menunjukkan korelasi berkebalikan dengan nilai koefisien
korelasi sebesar 0,641. Begitu pula korelasi log normal ozon
terhadap nilai 1000/T dengan nilai koefisien korelasi sebesar
a
b
Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-AURA
39
0,611. Adapun nilai koefisien ozon-temperatur atau disebut
sebagai B yang diperoleh dari persamaan garis eksponensial
(Pers.1) di Indonesia didapatkan sebesar 692/1000 K atau 0,692
K.
Gambar 4. Time series ozon dan temperatur pada 1 hPa di
Indonesia tahun 2005-2013.
Bila dihitung menggunakan persamaan (1), bila
diasumsikan nilai temperatur 1 K maka dapat dihitung
konsentrasi ozon saat T = 1 K adalah sebesar 0,167 ppmv.
Kemudian bila diasumsikan terjadi kenaikan temperatur menjadi
2 K maka dapat dihitung konsentrasi ozon pada saat T = 2 K yang
diperoleh nilai konsentrasi ozon sebesar 0,118 ppmv. Bila
dihitung nilai perubahan ozon (O3 = O3,2K – O3,1K) akan diperoleh
hasil sebesar -0,049. Begitu seterusnya, saat temperatur
meningkat terjadi penurunan konsentrasi ozon yang nilainya
sebesar ln(O3) atau sama dengan nilai eksponensial (0,692/T).
Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Stolarski et al
(2012) yang dilakukan di lintang 45 LS hingga 50 LS terdapat
perbedaan nilai B yang cukup signifikan. Nilai B yang diperoleh
Stolarski et al (2012) adalah 1,120 K dan 1,275 K sedangkan hasil
penelitian ini menghasilkan nilai B sebesar 0,692 K. Perbedaan
lokasi penelitian dan panjangnya data diperkirakan menjadi
faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut. Selain itu,
konsentrasi ozon di wilayah Indonesia yang lebih rendah
dibandingkan wilayah lainnya juga diperkirakan menyebabkan
nilai B berbeda. Untuk mengetahui adanya perubahan nilai B dari
Novita dkk
40
tahun-tahun sebelumnya sebelum periode penelitian ini
diperlukan data-data tambahan yang berasal dari instrumen lain.
Akan tetapi kesulitan memperoleh data di waktu-waktu
sebelumnya menjadi kendala untuk dapat membandingkan nilai
B saat ini dengan di masa lalu.
Gambar 5. Scatter plot konsentrasi ozon terhadap temperatur (a)
di Indonesia bulan Januari-Desember tahun 2005-
2013 dan logaritma normal ozon terhadap nilai
1000/T (b) serta nilai B sebagai koefisien persamaan
garis antara logaritma normal ozon dengan nilai
1000/T.
O3 = O3oexp(692/T)
a
b
Pengaruh Temperatur Terhadap Ozon di Lapisan Stratosfer Atas Hasil Observasi MLS-AURA
41
4. KESIMPULAN
Variasi ozon dan temperatur pada ketinggian 1 hPa
menunjukkan hubungan berkebalikan yang terlihat dari variasi
bulanan, trend, maupun scatter plot dengan koefisien korelasi
sebesar 0,611. Nilai koefisien ozon-temperatur (B) di Indonesia
untuk tahun 2005-2013 diperoleh sebesar 0,692 K. Dari hasil
perhitungan diketahui bahwa saat temperatur meningkat terjadi
penurunan konsentrasi ozon yang nilainya sebesar ln(O3) atau
sama dengan nilai eksponensial (0,692/T). Pengaruh ozon
terhadap temperatur di stratosfer atas di Indonesia dapat
dituliskan dalam persamaan O3 = O3oexp(0,692/T).
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada penyedia data
komposisi kimia atmosfer hasil pengukuran satelit Aura milik
NASA yang dapat diakses dengan mudah melalui fasilitas website
MIRADOR NASA.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, S. P., Waters, J. W., Johnson, J. E., Gerasimov, I. V.,
Leptoukh, G. G., & Kempler, S. J., 2006: Atmospheric
composition data products from the EOS Aura MLS. Proc.
Amer. Meteorological Soc. Eighth Conf. on Atmospheric
Chemistry,Atlanta, Georgia, 2006 Jan 28 - Feb 3.
Ambarsari N dan Komala N., 2010: Profil Vertikal Ozon, ClO, dan
Temperatur di Bandung dan Watukosek Berbasis
Observasi Sensor MLS Satelit AURA, Prosiding Seminar
Sains Atmosfer I 2010, ISBN : 978-9779-1458-38-2, hal.
363-374.
Ambarsari N., Yulihastin E., 2011: Pengaruh Osilasi Tahunan dan
ENSO Terhadap Variabilitas Ozon Total Indonesia, Jurnal
Teknologi Indonesia, LIPI volume 34 edisi khusus, Agustus
2011. ISSN : 0126-1533.
Barnett, J. J., J. T. Houghton, and J. A. Pyle., 1975: The
temperature dependence of the ozone concentration near
the stratopause, Q. J. R. Meteorol. Soc, 101, 245–257,
doi:10.1002/qj.49710142808.
Chandra, S., C. H. Jackman, and E. L. Fleming., 1995: Recent
Novita dkk
42
trends in ozone in the upper stratosphere: Implications for
chlorine chemistry, Geophys. Res. Lett., 22(7), 843–846.
Douglass A.R., Stolarski S.R., Strahan S.E., dan Oman L.D.,
2012: Understanding Differences in Stratospheric Ozone
Response to Changes in Chlorine and Temperature as
Computed Using CCMVal-2 Models, Journal of Geophysical
Research, Vol. 117, D16306, 1-14.
Haefele, A. E., De Wachter., K. Hocke., 2009. Validation of ground-
based microwave radiometers at 22 GHz for stratospheric
and mesospheric water vapor, JOURNAL OF GEOPHYSICAL
RESEARCH, VOL. 114, D23305.
Manins Peter, 2001. Atmosphere Theme Report, CSIRO Australia,
www.environment.gov.au tanggal akses 20 Oktober 2015.
MLS instrument, http://mls.jpl.nasa.gov/index-eos-mls.php
Stolarski S. R., Douglass A. R., Remsberg E. E., Livesey J. N., and
Gille C. J., 2012: Ozone-Temperature Correlation in The
Upper Stratosphere as a Measure of Chlorine Content,
Journal of Geophysical Research, Vol. 117, D10305, 1-8.
Schwartz M., The MLS Temperatur Product,
http://mls.jpl.nasa.gov/products/temp_product.php,
tanggal akses 25 Juli 2015.
V. Ramaswamy et.al., 2006: Chapter 1. Temperatur Trends in The
Lower Atmosphere, The US. Climate Change Science
Program.
Erma Yulihastin dkk Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim
Indonesia Dalam Model CCAM
43
IDENTIFIKASI FASE AKTIF MJO DI BENUA MARITIM
INDONESIA DALAM MODEL CCAM
Erma Yulihastin, Nurzaman Adikusumah, Eddy Hermawan
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN
Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia
e-mail: erma.yulihastin@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan model
CCAM (Conformal Cubic Atmospheric Model) dalam menangkap
sinyal MJO aktif di BMI (Benua Maritim Indonesia) yang
direpresentasikan terjadi pada fase 4 dan 5. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data pentad curah hujan hasil
prediksi model CCAM periode 1999-2005, curah hujan pentad
GPCP (Global Precipitation Climatology Project), indeks MJO
(Madden Julian Oscillation) yang berasal dari NOAA (National
Oceanic and Atmospheric Administration), serta data pentad OLR
(Outgoing Longwave Radiation) dan angin dari reanalisis
NCEP/NCAR (National Centers for Environmental
Prediction/National Center for Atmospheric Research) pada 1999-
2005. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
diagram hovmöller untuk menggambarkan penjalaran gelombang
MJO di wilayah BMI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model
CCAM dapat mengidentifikasi aktivitas MJO di BMI. Hal ini
dibuktikan dengan kemampuan model CCAM dalam
menggambarkan 7 kasus penjalaran gelombang MJO di BMI yaitu
pada 1999, 2002, 2003, 2005. Sinyal MJO bahkan dapat
ditangkap oleh model CCAM dengan baik meskipun terjadi 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎
kuat sepanjang tahun 1999.
Kata-kata kunci: MJO, CCAM, BMI
ABSTRACT
This study aims to evaluate the ability of the CCAM (Conformal
Cubic Atmospheric Model) in capturing the active of MJO signal in
IMC (Indonesian Maritime Continent) which represented occur in
Erma Yulihastin dkk
44
phases 4 and 5. The data used in this research is pentad data of
rainfall prediction models results of CCAM the period 1999-2005,
rainfall data of GPCP (Global Precipitation Climatology Project),
the MJO (Madden Julian Oscillation) index derived from NOAA
(National Oceanic and Atmospheric Administration), as well as
pentad data of OLR (Outgoing Longwave Radiation) and wind from
NCEP/NCAR (National Centers for Environmental
Prediction/National Center for Atmospheric Research) reanalysis
in 1999-2005. The method used in this research is the analysis of
hovmöller diagram to describe MJO wave propagation in the IMC.
The results showed that the CCAM model sensitive to MJO activity
in IMC. This is evidenced by the ability of CCAM models in
describing 7 cases MJO wave propagation in BMI, namely in 1999,
2002, 2003, 2005. MJO signal can even be captured by the CCAM
model as well despite strong 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 throughout in 1999.
Key words: MJO, CCAM, IMC
1. PENDAHULUAN
MJO merupakan fenomena unik di atmosfer tropis ekuator
yang diidentifikasi sebagai gelombang yang menjalar dari barat
(Samudera Hindia) ke timur (Samudera Pasifik) selama periode
30-60 hari. Sejak ditemukan pada 1971, MJO telah dipercaya
mampu mempengaruhi sistem cuaca dan iklim global. Hal ini
karena aktivitas MJO sangat berkaitan dengan peningkatan
konveksi di wilayah tropis yang dapat berinteraksi dengan
atmosfer dalam skala global (Zhang et al., 2012; Zhang et al.,
2013). Selain itu, MJO juga memberikan efek signifikan terhadap
monsun, seperti mempengaruhi waktu onset monsun, juga
mengganggu fase aktif dan fase jeda (break) monsun (Gottschalck
et al., 2010).
Lebih dari satu dekade, sejak indeks MJO mulai
diperkenalkan (Wheeler dan Hendon, 2004), memodelkan
penjalaran gelombang ini secara tepat dan akurat menggunakan
model atmosfer yang operasional masih menjadi tantangan
terbesar saat ini. Penelitian sebelumnya berupaya memecahkan
persoalan ini dengan melakukan pendekatan dengan cara
mengubah parameterisasi cumulus yang digunakan oleh model
Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM
45
atmosfer global (AGCM) (Jia dkk., 2009; Gottschalck et al., 2010;
Deng and Wu, 2010; Fu et al., 2013). Dari tiga macam skema
prameterisasi cumulus, skema MCA (Moist Convective Adjusment)
menunjukkan hasil yang terbaik dalam merepresentasikan hasil
observasi. Meskipun begitu, hasil simulasi gelombang MJO yang
diperoleh memiliki amplitudo yang terlampau besar, kecepatan
penjalaran gelombang yang terlalu cepat, serta anomali presipitasi
yang kurang realistis dibandingkan dengan observasi (Jia dkk.,
2009).
Prediksi beberapa model global menunjukkan hasil yang
relatif cukup baik (>0,6) jika digunakan untuk simulasi maksimal
25 hari. Sementara untuk simulasi antara 25 hingga 40 hari
menunjukkan hasil yang semakin rendah (<0,6) (Miyakawa et al.,
2012; Miyakawa et al., 2014).
Secara umum, hasil simulasi model tersebut cukup sesuai
dengan observasi, di mana pergerakan gelombang MJO terlihat
secara jelas dari Samudera Hindia menuju Samudera Pasifik
melewati kawasan BMI. Namun demikian, hasil simulasi setiap
fase menunjukkan nilai anomali presipitasi yang over-estimated
terjadi pada formasi ITCZ di Samudera Pasifik. Sebaliknya, hasil
model tampak under-estimated di kawasan BMI. Selain itu, hasil
model juga memperlihatkan secara jelas bahwa bias terbesar
muncul pada formasi ITCZ di Samudera Pasifik pada fase 5, di
mana MJO saat itu berada di atas kawasan BMI. Hal ini
membuktikan bahwa kawasan Indo-Pasifik memegang peranan
utama yang mempengaruhi aktivitas MJO sehingga bias yang
terjadi di dalam model menjadi sangat besar. Sejumlah model
global juga mengalami persoalan ketika menyimulasikan fase aktif
MJO di atas BMI karena wilayah ini bertindak sebagai penghalang
sehingga sinyal MJO pun pecah (Fu et al., 2013). Ditambah lagi,
di BMI variasi diurnal sangat dominan sehingga model gagal
memperlihatkan penjalaran MJO di wilayah ini (Holloway et al.
2013). Selain itu, belum ada penelitian yang berupaya
menjelaskan performansi model CCAM (Conformal Cubic
Atmospheric Model) dalam menyimulasikan MJO.
Oleh karena itu, analisis hasil model CCAM dalam
menyimulasikan MJO yang difokuskan pada kawasan Benua
Maritim Indonesia (fase 4 dan fase 5) menjadi menarik sekaligus
penting. Penelitian ini bertujuan meneliti kemampuan model
Erma Yulihastin dkk
46
CCAM dalam menyimulasikan fase aktif MJO di kawasan BMI.
Investigasi terhadap data hasil model CCAM akan dilakukan
terhadap kecepatan penjalaran gelombang MJO dan distribusi
spasial fitur MJO melalui anomali presipitasi, OLR, dan angin.
2. DATA DAN METODOLOGI
2.1 DATA
Penelitian mengenai MJO di BMI ini menggunakan data
utama yaitu indeks RMM1 dan RMM2 MJO yang diperoleh dari
NOAA dengan resolusi data pentad pada periode 1999-2011. Data
ini dipilih untuk mengidentifikasi periode di mana MJO aktif di
BMI yaitu pada fase 4 dan 5. Dari data indeks MJO tersebut,
ditemukan 7 kasus MJO aktif di BMI yang terjadi pada periode
tahun 1999, 2002, 2003, 2005. Tahun tersebut selanjutnya
dipilih merepresentasikan kasus 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 kuat (1999), 𝐸𝑙𝑁𝑖𝑛𝑜 lemah
(2002), dan kondisi normal (2003, 2005).
Data utama yang kedua adalah data prediksi hasil model
CCAM dengan resolusi spasial 60 km, di wilayah penelitian BMI
(95 − 145°BT, 12°LS − 10°LU) periode 1999-2011. Adapun parameter
data model CCAM yang digunakan untuk mengidentifikasi
aktivitas MJO adalah curah hujan dan angin. Kedua jenis
parameter tersebut memiliki resolusi waktu harian. Selanjutnya,
data rujukan utama yang mengonfirmasi terjadinya MJO adalah
data curah hujan harian GPCP yang berasal dari satelit TRMM
dan data harian OLR yang berasal dari data reanalisis
NCEP/NCAR. Data rujukan kedua adalah data angin zonal dan
meridional reanalisis NCEP/NCAR.
2.2 METODOLOGI
Metodologi yang dipilih dalam penelitian ini terdiri atas
beberapa analisis, yaitu analisis komposit untuk menghitung nilai
rata-rata dan anomali pentad di wilayah BMI. Kedua, analisis
hovmöller untuk mengidentifikasi penjalaran gelombang MJO dari
Samudera Hindia menuju kawasan BMI.
Kemudian, untuk mengidentifikasi MJO, digunakan data
harian model CCAM berupa anomali curah hujan terhadap curah
hujan rata-rata 1999-2005. Untuk menghilangkan karakteristik
diurnal, maka data harian ini selanjutnya dirata-ratakan menjadi
5-harian atau pentad. Selanjutnya, sebagai data pembanding,
Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM
47
digunakan data OLR dari reanalisis NCEP/NCAR dan data hujan
dari GPCP. Sementara untuk mengidentifikasi penjalaran
gelombang MJO dari Samudera Hindia menuju kawasan BMI,
dilakukan analisis hovmöller baik terhadap data model CCAM
maupun data reanalisis NCEP/NCAR.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 MJO UNTUK KASUS LANINA KUAT
Gambar 1 menunjukkan MJO aktif pada fase 4 dan 5
selama periode Mei-Juli 1999, April-Mei 2002, Mei-Juni 2002.
Terlihat pada Mei-Juli 1999, hasil prediksi curah hujan model
CCAM dapat menunjukkan penjalaran gelombang MJO dengan
kecepatan penjalaran sekitar 4,7 m/det. Hal ini cukup
membuktikan bahwa hasil model tersebut cukup realistis dalam
memprediksi kecepatan MJO yaitu 5 m/det (Deng and Wu, 2009).
Namun, penjalaran MJO ini tidak tampak melalui data
komparasi berupa anomali curah hujan GPCP. Selain itu,
perbedaan antara data curah hujan model CCAM dan GPCP
terlihat pada sebaran konsentrasi hujan secara zonal. Pada curah
hujan CCAM, hujan maksimum terkonsentrasi di kawasan BMI
bagian barat dan tengah (105 − 130°𝐵𝑇). Sedangkan curah hujan
GPCP terkonsentrasi di Indonesia bagian timur (120 − 140°𝐵𝑇).
Hal ini sekaligus memperlihatkan hasil model CCAM over-
estimated di bagian barat dan tengah BMI dan sebaliknya under-
estimated di timur BMI dan Pasifik barat. Begitu pun dengan data
OLR NCEP yang kurang dapat menunjukkan sinyal MJO tersebut.
Hal ini terjadi karena pada periode tersebut anomali negatif OLR
tersebar secara homogen di semua wilayah Hal ini berkaitan
dengan kejadian 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 kuat yang terjadi sepanjang tahun 1999.
Dengan demikian ini menunjukkan bahwa model CCAM kurang
dapat menangkap sinyal 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 kuat yang berdampak pada
peningkatan aktivitas konveksi di seluruh kawasan BMI.
Gambar 2 memperlihatkan pola spasial anomali hujan di
kawasan BMI dari perata-rataan data selama periode MJO aktif
pada fase 4 dan 5 tahun 1999. Perbandingan dengan observasi
GPCP tampak bahwa secara umum anomali hujan hasil model
CCAM under-estimated baik di daratan dan lautan. Curah hujan
dengan nilai lebih rendah dari observasi terlihat di Sumatra,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Sebaliknya, nilai over-
Erma Yulihastin dkk
48
estimated terlihat di kawasan tenggara Indonesia.
Gambar 3 merupakan angin pada ketinggian 850 mb
antara model dan data reanalisis. Terlihat bahwa pola angin
secara umum yaitu angin timuran bertiup di utara ekuator dan
berubah menjadi angin baratan di selatan ekuator dan ini dapat
direpresentasikan dengan baik oleh model CCAM. Namun, hasil
model juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari data
reanalisis untuk kawasan tenggara BMI.
Gambar 1. Diagram hovmöller rata-rata global 5°LU − 5°LS dari
anomali hujan pentad tahun 1999 berdasarkan
hasil prediksi model CCAM (a); GPCP (b); NCEP (c)
dan tahun 2002 berdasarkan hasil prediksi model
CCAM (d); GPCP (e); NCEP (f).
(a) MJO CCAM 1999 (b) MJO GPCP 1999
(d) MJO CCAM 2002
MJO NCEP 1999 (c)
MJO NCEP 2002 MJO GPCP 2002 (e) (f)
Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM
49
Gambar 2. Anomali presipitasi dari data pentad GPCP (atas) dan
CCAM (bawah) selama periode MJO aktif di BMI
tahun 1999.
Selain itu, fitur angin timuran kuat di kawasan Pasifik
barat yang menjadi ciri terjadinya LaNina kuat (indeks>1) juga
terlihat melalui data reanalisis. Sedangkan sirkulasi anti-siklonik
yang terbentuk di Samudra Hindia (0 − 10°𝐿𝑈) dan angin baratan
kuat di atas kawasan barat Indonesia mendukung terjadinya MJO
fase 4 dan 5 (Rui dan Wang, 1990).
Gambar 3. Angin 850 mb dari data pentad NCEP/NCAR (atas)
dan CCAM (bawah) selama periode MJO aktif di BMI
tahun 1999.
Erma Yulihastin dkk
50
Gambar 4 menjelaskan pola angin pada ketinggian 200 mb. Secara umum dari pola arahnya, angin yang dihasilkan oleh model CCAM sesuai dengan data reanalisis. Namun, secara intensitas, magnitudo angin timuran di atas ekuator BMI hasil model memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan data reanalisis.
Gambar 4. Sama seperti Gambar 3, tetapi untuk angin 200 mb
selama periode MJO aktif di BMI tahun 1999.
3.2 MJO UNTUK KASUS ELNINO LEMAH
Sementara itu pada periode April-Mei 2002 dan 16 Juni-1
Juli, hasil prediksi model CCAM memperlihatkan penjalaran MJO
(Gambar 1). Namun hal ini kurang sesuai dengan data hujan
GPCP. Sedangkan data reanalisis OLR NCEP/NCAR dapat
menangkap sinyal MJO. Namun, pada 16 Juni-1 Juli 2002
tampak terdapat anomali OLR positif sehingga sinyal MJO pada
Juni 2002 kurang dapat digambarkan oleh data tersebut.
Pada kejadian 2002, terlihat jelas bahwa secara global,
sinyal MJO cukup dapat dikonfirmasi oleh data reanalisis OLR
dari NCEP/NCAR. Meskipun demikian, gelombang MJO hasil
prediksi model CCAM menjalar terlalu cepat (~7,95 m/det)
dibandingkan kecepatan MJO secara umum (Deng and Wu,
2009). Hal ini memperlihatkan bahwa model CCAM memiliki
persoalan yang secara umum dihadapi oleh model global yaitu
penjalaran sinyal dari barat ke timur lebih cepat dari hasil
observasi karena posisi Benua Maritim Indonesia yang menjadi
Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM
51
faktor penghalang (barrier) sehingga sinyal MJO menjalar lebih
cepat dari Samudra Hindia menuju Indonesia dan menahannya di
wilayah ini (Fu et. al, 2013).
Selain itu, selama rentang Mei-Juli 2002 telah terjadi
𝐸𝑙𝑁𝑖𝑛𝑜 lemah. Inilah yang mengakibatkan anomali negatif hujan
berdasarkan GPCP terjadi di kawasan BMI (Gambar 1). Namun
kondisi ini, lagi-lagi tidak dapat ditangkap oleh hasil hujan dari
model CCAM. Sama seperti kasus 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 kuat pada 1999,
tampaknya hasil CCAM juga kurang dapat merepresentasikan
pengaruh gangguan yang terjadi di Samudra Pasifik tersebut.
Gambar 5. Sama seperti Gambar 4, tetapi untuk anomali
presipitasi selama periode MJO aktif di BMI tahun
2002.
Gambar 5 memperlihatkan perbandingan spasial anomali
hujan antara data CCAM dan GPCP selama kasus ElNino lemah
pada 2002. Secara umum, pola anomali hujan hasil CCAM dapat
mengikuti hasil yang ditunjukkan GPCP. Namun demikian,
tampak ada nilai yang over-estimated di wilayah perairan sebelah
selatan Filiphina.
Gambar 6 dan 7 memperlihatkan perbandingan spasial
pola angin monsun pada ketinggian 850 mb dan 200 mb antara
CCAM dan NCEP/NCAR. Tampak bahwa secara umum, pola arah
dan intensitas angin pada level 850 mb dari CCAM dapat
mengikuti NCEP/NCAR. Selain itu, pengaruh 𝐸𝑙𝑁𝑖𝑛𝑜 lemah
Erma Yulihastin dkk
52
tampak pada angin baratan di level 850 mb yang terjadi di
kawasan sebagian Pasifik barat. Sementara itu pada level 200 mb,
magnitudo angin hasil CCAM untuk wilayah utara ekuator
memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan
NCEP/NCAR.
Gambar 6. Sama seperti Gambar 3, tetapi untuk kasus tahun
2002.
Gambar 7. Sama seperti Gambar 4, tetapi untuk kasus tahun
2002.
Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM
53
3.3 MJO UNTUK KASUS NORMAL
Gambar 8 menunjukkan MJO aktif pada fase 4 dan 5 pada
Mei 2003, April-Mei 2005 dan Oktober-Desember 2005. Untuk
periode Mei 2003, terlihat bahwa sinyal MJO sangat jelas dapat
diamati dari data anomali positif hujan hasil prediksi model
CCAM. Kondisi ini dikonfirmasi dengan sangat baik oleh data
anomali positif hujan GPCP dan anomali negatif OLR dari
reanalisis NCEP/NCAR. Demikian juga ketika terjadi fase kering
pada 16 Mei-1 Juni 2003. Baik model CCAM, GPCP, maupun
NCEP/NCAR dapat merepresentasikan ini dengan sangat baik.
Pada periode 2005, dua kali penjalaran gelombang MJO
yaitu pada April dan Mei 2005, juga terlihat dapat ditunjukkan
dengan sangat baik oleh ketiga data (CCAM, GPCP, dan
NCEP/NCAR). Hal yang bersesuaian antara ketiganya juga
diperlihatkan pada periode Oktober-Desember 2005.
Gambar 8. Sama seperti Gambar 1, tetapi untuk kejadian MJO
aktif pada fase 4 dan 5 tahun 2005.
Gambar 9 juga memperlihatkan bahwa pada periode 2003,
secara distribusi spasial hujan, hasil CCAM dapat dikonfirmasi
dengan cukup baik oleh GPCP dengan perbedaan nilai intensitas
hujan (over atau under estimated) tidak sebesar ketika pada kasus
LaNina kuat dan ElNino lemah sebelumnya.
(a) MJO CCAM 2003 (b) MJO GPCP 2003
(d) MJO CCAM 2005 (e) MJO GPCP 2005
MJO NCEP 2003
MJO NCEP 2005
(c)
(f)
Erma Yulihastin dkk
54
Gambar 9. Sama seperti Gambar 5, tetapi untuk kasus tahun
2003.
Gambar 10. Sama seperti Gambar 6, tetapi untuk kasus tahun
2003.
Gambar 10 dan 11 menunjukkan angin pada ketinggian
850mb dan 200mb juga bersesuaian dengan hasil GPCP dan
NCEP/NCAR. Nilai angin yang lebih besar pada ketinggian 200
mb dari hasil CCAM hanya ditunjukkan di atas Sumatra.
Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM
55
Gambar 11. Sama seperti Gambar 7, tetapi untuk kasus tahun
2003.
Gambar 12. Sama seperti Gambar 9, tetapi untuk kasus tahun
2005.
Gambar 12 menunjukkan bahwa pada kasus normal
periode 2005, hasil model CCAM memiliki nilai yang lebih besar di
wilayah perairan (Laut Jawa dan Maluku), dibandingkan dengan
data hujan GPCP. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan
pembentukan siklon tropis di Samudra Pasifik sebelah timur laut
Erma Yulihastin dkk
56
Filiphina, yang ditandai dengan sirkulasi angin antisiklonik
(Gambar . Keberadaan siklon tropis tersebut telah menimbulkan
gangguan berupa penguatan pada angin monsunal. Selain itu,
siklon tropis tersebut diperlihatkan oleh hasil model CCAM
dengan curah hujan maksimum di kawasan perairan Maluku.
Sedangkan Gambar 14 yang menunjukkan pola spasial angin
pada ketinggian 200 mb terdapat kesesuaian yang sangat baik
antara hasil CCAM dan data reanalysis NCEP/NCAR.
Gambar 13. Sama seperti Gambar 10, tetapi untuk kasus 2005.
Gambar 14. Sama seperti Gambar 11, tetapi untuk kasus tahun
2005.
Identifikasi Fase Aktif MJO di Benua Maritim Indonesia Dalam Model CCAM
57
4. KESIMPULAN
Hasil model CCAM memperlihatkan bahwa aktivitas MJO
di BMI pada fase 4 dan 5 dapat teridentifikasi dengan cukup baik.
Hal ini tampak pada 7 kasus MJO aktif di BMI yaitu pada periode
tahun 1999, 2002, 2003, 2005. Hasil prediksi curah hujan CCAM
menunjukkan secara konsisten terjadinya anomali curah hujan
positif sepanjang penjalaran gelombang MJO di wilayah BMI. Hal
ini dikonfirmasi oleh data anomali positif hujan GPCP dan
anomali negatif OLR dari data reanalisis NCEP/NCAR. Meskipun
demikian, tampak bahwa pada kasus 𝐿𝑎𝑁𝑖𝑛𝑎 kuat tahun 1999
dan 𝐸𝑙𝑁𝑖𝑛𝑜 lemah 2002, model CCAM tidak dapat menangkap
fenomena tersebut sehingga terjadi perbedaan distribusi anomali
hujan yang cukup besar dengan hasil GPCP. Sementara pada
kasus normal, yang direpresentasikan pada tahun 2003 dan
2005, penjalaran gelombang MJO hasil model CCAM tampak
sangat sesuai dengan data GPCP dan reanalisis NCEP/NCAR.
Ucapan terima kasih
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi disampaikan
kepada Kepala Bidang Pemodelan Atmosfer Dr. Didi Satiadi yang
telah berkenan memberikan arahan dan masukan untuk
perbaikan makalah ini. Terima kasih pula untuk Kepala Pusat
Sains dan Teknologi Atmosfer, Ir. Halimurrahman, MT. atas
pengarahan terhadap penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN
Deng, L., and X. Wu., 2010: Effects of Convective Processes on
GCM Simulations of the Madden–Julian Oscillation. J.
Climate, 23, 352–377.
Fu, X., J-Y Lee, P-C Hsu, H. Tanigushi, B. Wang, W. Wang, and S.
Weaver et al., 2013: Multi-model MJO forecasting during
DYNAMO/CINDY period. Clim. Dyn., 41, 1067–1081.
Gottschalck, J., M. Wheeler, K. Weickmann, F. Vitart, N. Savage,
H. Lin, H. Hendon, D. Waliser, K. Sperber, M. Nakagawa,
C. Prestrelo, M. Flatau, and W. Higgins., 2010: A
Framework for Assessing Operational Madden–Julian
Oscillation Forecasts: A CLIVAR MJO Working Group
Erma Yulihastin dkk
58
Project. Bull. Amer. Meteor. Soc., 91, 1247–1258.
Holloway, C.E., S.J. Woolnough, Lister, and G.M.S. Lister., 2013:
The effects of explicit versus parameterized convection on
the MJO in a large-domain high-resolution tropical case
study. Part I: characterization of large-scale organization
and propagation. J. Atmos. Sci. 70, 1342–1369.
Jia, X., C. Li, N. Zhou, and J. Ling., 2010: The MJO in an AGCM
With Three Different Cumulus Parameterization Schemes,
Dyn. Of Atm. and Oceans, 49, 141-163.
Miyakawa, T., M. Satoh, H. Miura, H. Tomita, H. Yashiro, A.T.
Noda, Y. Yamada, C. Kodama, M. Kimoto, andK.
Yoneyama., 2014: Madden–Julian Oscillation prediction skill of
a new-generation global model demonstrated using a
supercomputer. Nature Communications, 5, 3769.
Miyakawa, T., Y.N. Takayabu, T. Nasuno, H. Miura, M. Satoh, and
M.W. Moncrieff., 2012: Convective Momentum Transport
by Rainbands within a Madden–Julian Oscillation in a
Global Nonhydrostatic Model with Explicit Deep Convective
Processes. Part I: Methodology and General Results. J.
Atmos. Sci., 69, 1317–1338.
Rui, H. and B. Wang., 1990: Development Characteristics and
Dynamic Structure of Tropical Intraseasonal Convection
Anomalies. J. Atmos. Sci., 47, 357–377.
Wheeler, M.C., and H. H. Hendon., 2004: An All-Season Real Time
Multivariate MJO Index: Developiment of an Index for
Monitoring and Prediction. Mon.Weather Rev., 132,1917-
1931.
Zhang, C. and J. Ling., 2012: Potential Vorticity of the Madden–
Julian Oscillation. J. Atmos. Sci., 69, 65–78.
Zhang, C.,J. Gottschalck,E.D. Maloney,M.W. Moncrieff,F.
Vitart,D.E. Waliser,B. Wang, andM.C. Wheeler., 2013:
Cracking the MJO nut. Geoph. Res. Lett. 40, 1223–1230.
Haries Satyawardhana, dkk Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal
terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa
59
INTERAKSI EL-NINO, MONSUN DAN TOPOGRAFI LOKAL
TERHADAP ANOMALI CURAH HUJAN DI PULAU JAWA
Haries Satyawardhana and Erma Yulihastin
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia Email: hariessatha@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan data curah hujan TRMM
(Tropical Rainfall Measuring Mission) dan angin NNRP
(NCEP/NCAR Reanalysis Project) untuk melakukan satu
diheterogenitas spasial dari variabilitas iklim di Pulau Jawa.
Kajian mengenai anomali curah hujan pada saat El Nino telah
banyak dilakukan, El Nino membawa pengaruh kering di Pulau
Jawa. Namun, dalam penelitian ini kajian El Nino dihubungkan
dengan monsun Australia dan topografi lokal di Pulau Jawa. Hasil
dari penelitian ini adalah adanya anomali positi fcurah hujan di
Pulau Jawa pada saat El Nino terjadi pada bulan DJF (Desember,
Januari, Februari). Hal ini disebabkan adanya anomali angin
monsun selama El Nino. Pengaruh El Nino pada saat musim
peralihan (SON – September, Oktober, November) adalah adanya
penguatan angin monsun tenggara di Pulau Jawa. Sebaliknya
pada saat DJF, terjadi pelemahan angin monsun barat laut yang
menyebabkan kuatnya siklus diurnal baik angin darat-laut
maupun angin lembah-gunung sehingga meningkatkan curah
hujan di daerah pegunungan yang lebih dekat ke pantai selatan
dibandingkan dengan pantai Utara Jawa. Oleh karena itu,
variabilitas siklus diurnal berhubungan dengan ketidak-
simetrisan topografi lokal yang menyebabkan adanya
kecenderungan pola: basah untuk daerah selatan dan kering
untuk daerah utara.
Keywords: curahhujan TRMM, AUSMI, SOI
ABSTRACT
This research using rainfall data from TRMM (Tropical Rainfall
Measuring Mission) and wind from NNRP (NCEP / NCAR
Haries Satyawardhana, dkk
60
reanalysis Project) to study the spatial heterogeneity of climate
variability in Java. The study of the precipitation anomalies during
El Nino have been carried out, in which the influence of El Nino
actually givea dry condition over Java. However, in this research
study of the El Nino is associated with the Australianmonsoon
and the local topography in Java. The result isEl Ninogive a
positive rainfall anomalies would occur in southern part of Java
during DJF (December, January, and February). This due to the
monsoon winds anomalies during El Nino, at which time the
transitional seasons (SON - September, October, and November)
has been strengthening of the southeast monsoon winds on the
island of Java. In contrast,inDJF the northwest monsoon winds is
weakening, which cause strong diurnal cycle both land-sea breeze
or wind-mountain valleys thus increasing rainfall in mountainous
areas, which are closer to the south coast compared to the
northern coast of Java. Therefore, the variability of the diurnal
cycle associated with non-symmetrical local topography that
causes the tendency of patterns: wet to dry to the south and the
north.
Keywords: TRMM rainfall, AUSMI, SOI
1 PENDAHULUAN
Iklim di Indonesia terutama yang berkaitan dengan variasi
curah hujan dipengaruhi oleh sistem monsun Asia-Australia dan
interaksi laut-atmosfer pada skala luas seperti El Nino Southern
Oscillation (ENSO). Aldrian et.al, (2007) menyatakan bahwa
monsun dan ENSO lebih banyak menjadi pendorong variasi
musim dan variasi interannual dari hujan dan kejadian ekstrem di
Indonesia.ElNino berpengaruh terhadap penurunan curah hujan
di Benua Maritim Indonesia (BMI), namun tidak berlaku untuk
semua wilayah, antara lain di selatan Jawa Barat (Qian, et.al,
2010). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respons
curah hujan terhadap kejadian El Nino di setiap daerah di BMI,
khususnya di Pulau Jawa. Pengecualian yang terjadi selatan Jawa
tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut,apalagi mengingat
Pulau Jawa merupakan sentra pertanian (Malian, et.al, 2004).
Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa
61
Fenomena El Nino merupakan salah satu penyebab
terjadinya perubahan intensitas curah hujan di Indonesia di
mana pengaruh kering (basah) yang ditimbulkan oleh El Nino (La
Nina) memegang peranan penting dalam prediksi onset monsun
untuk penentuan kalender tanam di Indonesia. Selain itu, ENSO
juga berpengaruh terhadap lama musim hujan maupun kemarau
di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Boer dan Subiah (2005) yang
mengemukakan bahwa awal musim hujan pada tahun El Nino
dapat mundur sampai 4-6 dasarian dan maju pada tahun La
Nina.
Selain ENSO, fenomena monsun juga mempengaruhi pola
musim hujan dan kemarau di BMI.Monsun merujuk pada siklus
tahunan yang membedakan secara tegas keadaan atmosfer
selama fase kering dan fase basah. Siklus tahunan ini membagi
fase kering dan fase basah menjadi dua periode. Fase kering
dipengaruhi oleh musim dingin yang terjadi di berbagai benua
dengan massa udara di atmosfer yang bersifat dingin dan kering
(Webster, et.al, 1998). Sebaliknya, fase basah dipengaruhi oleh
musim panas dengan udara yang bersifat lembap. Monsun
dibangkitkan oleh perbedaan pemanasan antara lautan dan
daratan disebabkan oleh pergerakan semu matahari, bentuk dan
topografi benua, baik Benua Asia, Eropa, Afrika, Maritim,
Amerika dan Australia (Li dan Yanai, 1996; Hung, et.al, 2004;
Chang, et.al, 2005). Adapun letak strategis geografis BMI yaitu
berada di antara area perlintasan monsun regional yakni monsun
Asia-Australia.
Angin monsun dan daerah curah hujan maksimum
selanjutnya sangat terkait dengan migrasi Inter-Tropical
Convegence Zone (ITCZ) di atas Jawa setiap tahun. Hal ini
mengakibatkan musim hujan selama musim dingin BBU (belahan
bumi utara) dan musim kering selama musim panas BBU, dengan
musim peralihan diantaranya. Apabila terjadi fenomena El Nino,
maka akan terdapat gangguan terhadap ITCZ tersebut, sehingga
terjadi inkonsistensi terhadap curah hujan di Pulau Jawa.
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji variasi curah hujan
terhadap kondisi topografi di Pulau Jawa akibat adanya
pelemahan monsun yang diakibatkan fenomena El Nino.
Pemahaman mengenai interaksi antara monsun dan El Nino ini
penting mengingat fenomena ENSO dan monsun Asia-Australia
Haries Satyawardhana, dkk
62
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kondisi iklim di
Indonesia. Selain itu penelitian ini juga mengkaji pengaruh
topografi terhadap curah hujan dari pelemahan monsun akibat El
Nino.
Gambar 1. Topografi Pulau Jawa, garis putus-putus (107.5° dan
110.5° BT) adala hgaris yang digunakan untuk
analisis cross section yang digunakan di Bab 4.
2 DATA DAN METODOLOGI
2.1 DATA
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data
curah hujan bulanan dari satelit TRMM (Tropical Rainfall
Measuring Mission)3B43 dan data SOI yang didapatkan dari
http://www.bom.gov.au/. Indeks AUSMI didapatkan dengan
menghitung rata-rata area angin zonal level 850 mb dari area
110°-130°BT, 15°LS-5°LU. Data curah hujan bulanan dari satelit
berbentuk data grid dengan periode 1998-2011, dengan resolusi
spasial 0.25°. Batas Wilayah Indonesia dalam penelitian ini
adalah 5ºLU-11ºLS dan 95º-141ºBT. Data angin berasal
dariNCEP/NCAR Reanalysis Project (NNRP) II yang mempunyai
resolusi spasial 2.5° dan Data Era Interim dengan resolusi spasial
0.25° dan kedua data angin tersebut mempunyai temporal
bulanan.
Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GrADS
untuk pengolahan spasial data TRMM dan penghitungan
koefisien korelasi curah hujan dengan AUSMI,
sedangkanperangkat lunak lain digunakan untuk pemrosesan
data deret waktu untuk melihat koefisien korelasi AUSMI dan
Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa
63
SOI, serta untuk mengeplot cross section dari kedua daerah yang
berbeda topografinya.
2.2 METODOLOGI
Metode penelitian dijelaskan sebagai berikut:
1) Penghitungan indeks untuk monsun Australia menggunakan
data angin zonal NNRP level 850 mb, lalu dilakukan perata-ratan
per musim untuk tiap tahun.
2) Analisis yang pertama dilakukan adalah mengkaji daerah yang
curah hujannya dipengaruhi oleh monsun musim panas
Australia, dengan melakukan korelasi secara spasial antara curah
hujan TRMM dan AUSMI.
3) Setelah itu dilakukan analisis pengaruh ENSO terhadap
monsun yang diwakili oleh SOI dan AUSMI (baik berupa deret
waktu, deviasi maupun koefisien korelasinya). Hal ini penting
untuk menentukan waktu dan tahun-tahun El Nino yang
melemahkan monsun musim panas Australia (ditemukan korelasi
yang tinggi pada bulan DJF).
4) Perata-rataan dilakukan secara klimatologis untuk tahun El
Nino, selanjutnyadiamati anomalinya berupa pengurangan atau
penambahan curah hujan serta kecepatan angin monsun.
5) Analisis penampang melintang dilakukan untuk melihat
pengaruh topografi terhadap anomali curah hujan yang terjadi
selama DJF dan SON pada saat El Nino terjadi (garis putus-putus
pada Gambar 1).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Interaksi Monsun Australia-ENSO
Korelasi AUSMI dengan curah hujan untuk di wilayah
Indonesia, mendapatkan daerah yang berkorelasi tinggi adalah di
bagian selatan Indonesia, termasuk Pulau Jawa dan sekitarnya,
baik di daratan maupun perairan. Hal ini menandakan bahwa
Indonesia bagian selatan dipengaruhi oleh monsun Australia
dimana onset monsun Australia berdasarkan penelitian Kajikawa,
et.al, (2009) menggunakan AUSMI terjadi pada bulan Desember-
Februari. Hal ini mempunyai kesamaan dengan Indonesia bagian
selatan yang sebagian besar mempunyai curah hujan maksimum
pada bulan DJF.
Haries Satyawardhana, dkk
64
Gambar 2. Korelasi spasial antara AUSMI dan curah hujan
(TRMM), menggunakan data periode Januari 1998 –
Februari 2011.
Gambar 2 menunjukkan korelasi spasial antara AUSMI
dan curah hujan TRMM dengan periode data Januari 1998 –
Februari 2011. Terlihat bahwa korelasi di Pulau Jawa antara 0.5-
0.6.
Gambar 3 menunjukkan nilai SOI dan AUSMI yang
menandakan adanya pelemahan monsun pada saat El Nino. El
Nino ditandai dengan nilai SOI negatif pada tahun 1998, 02/03,
04/05, 06/07 dan 09/10, secara bersamaan nilai AUSMI pada
bulan DJF pun menurun. Kajikawa, et.al, (2009) menyatakan
bahwa El Nino memberikan efek negatif pada monsun musim
panas Australia (DJF), dimana pada saat El Nino kuat, monsun
musim panas Australia (yang merupakan periode basah di
Australia) melemah. Dengan melemahnya angin monsun maka
Australia mengalami penurunan curah hujan dibandingkan pada
saat normal. Sebaliknya monsun musim panas Australia menguat
apabila terjadi La Nina.
Analisis lebih lanjut digunakan standar deviasi untuk
melihat besarnya penyimpangan yang disebabkan El Nino dan La
Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa
65
-7.0
-5.0
-3.0
-1.0
1.0
3.0
5.0
7.0
DJF
19
98
SO
N 1
99
8
DJF
19
99
SO
N 1
99
9
DJF
20
00
SO
N 2
00
0
DJF
20
01
SO
N 2
00
1
DJF
20
02
SO
N 2
00
2
DJF
20
03
SO
N 2
00
3
DJF
20
04
SO
N 2
00
4
DJF
20
05
SO
N 2
00
5
DJF
20
06
SO
N 2
00
6
DJF
20
07
SO
N 2
00
7
DJF
20
08
SO
N 2
00
8
DJF
20
09
SO
N 2
00
9
DJF
20
10
SO
N 2
01
0
Tahun
AU
SM
I
-25.0
-20.0
-15.0
-10.0
-5.0
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
SO
I
AUSMI SOI
Nina (Gambar 4-a), serta digunakan scatter plot untuk melihat
korelasi antara kedua indeks (Gambar 4-b).
Gambar 4-a menunjukkan bahwa deviasi terbesar pada
AUSMI terjadi pada Bulan Februari. Deviasi yang besar di bulan
DJF ini ditengarai merupakan pengaruh dari ENSO. Fenomena
ENSO yang ditunjukkan oleh SOI, mempunyai korelasi yang besar
pada saat monsun musim panas Australia (4-b), di mana AUSMI
dan SOI mempunyai koefisien korelasi (r) 0.8 (r2=0.675),
sedangkan pada bulan lain deviasi tidak terlalu besar dan nilai
korelasi tidak tinggi (tidak disertakan/digambarkan dalam
makalah ini).
Gambar 3. Time series untuk AUSMI dan SOI, untuk tahun El
Nino yang digunakan ditandai oleh lingkaran (DJF),
dan kotak (SON).
Gambar 4. a) Rata-rata dan standar deviasi AUSMI selama
periode 1998 – 2011; b) Scatter plot antara kedua
indeks: SOI dan AUSMI pada DJF.
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
AU
SM
I
R2 = 0.6753
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
-30.0 -20.0 -10.0 0.0 10.0 20.0
SOI
AU
SM
I
a b
Haries Satyawardhana, dkk
66
3.2 Dampak Interaksi Monsun-ENSO pada Skala Luas
Untuk menganalisis proses yang multiskala, dilakukan
analisis skala luas untuk mengamati pola spasial El Nino dan
Monsun Australia. Skala yang lebih kecil dijelaskan di bagian
selanjutnya.Gambar 4 memperlihatkan komposit antara data
curah hujan TRMM, angin dan divergensi selama SON (5-a) dan
DJF (5-b). Perpindahan curah hujan monsunal di Asia-Australia
disebabkan oleh perbedaan pemanasan yang dipengaruhi oleh
dua faktor utama, yaitu: adanya pergerakan semu matahari pada
arah utara-selatan, dan perbedaan kontras panas skala besar
(planetary scale) antara daratan-lautan pada arah barat-timur
(benua Eurasia dan Samudera Pasifik), yang keduanya
mempunyai kapasitas panas yang berbeda. Hasilnya adalah
curah hujan maksimum yang bergerak tahunan secara kontinyu
di antara barat laut dan tenggara. Hal ini menyebabkan curah
hujan maksimum terjadi di selatan dan timur dataran tinggi Tibet
pada saat musim panas BBU (JJA), lalu berpindah ke arah
tenggara pada musim gugur BBU (SON), sampai ke Indonesia dan
Australia pada musim dingin BBU (DJF), dan kembali ke arah
barat laut pada saat musim semi BBU (MAM).
Gambar 5. Komposit rata-rata curah hujan TRMM (mm; warna),
angin NNRP (m/s; vektor) dan divergensi (interval
5x10-6 s-1; kontur), untuk a) SON dan b) DJF, periode
tahun 1998 – 2011.
Namun karena panas inersia di lautan lebih besar
dibandingkan daratan, maka terdapat lag (terlambat) panas ± 1 –
2 bulan terhadap pergerakan semu matahari tersebut sehingga
a b
Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa
67
menyebabkan angin monsun di Indonesia pada saat SON masih
sama arahnya dengan JJA, yaitu dari Australia (tenggara) menuju
Asia (barat laut) (Qian, et.al, 2010). Pada musim peralihan SON
(Gambar 5-a) tampak bahwa angin monsun di Pulau Jawa
mempunyai arah dari tenggara, sedangkan pada DJF (Gambar 5-
b) berlawanan arah dengan SON yaitu angin monsun barat laut.
Sementara itu, curah hujan maksimun sangat berkaitan
dengan ITCZ (Inter-tropical Convergence Zone), dimana area
konvergensi di Indonesia lebih banyak terlihat di periode DJF
dibandingkan SON. Pada saat SON, konvergensi terlihat di utara
dan barat Indonesia, mencakup Laut China Selatan dan barat
Pulau Sumatra dengan konvergensi -3x10-6 s-1(kontur pada
Gambar 5). Sedangkan konvergensi di Pulau Jawa hanya terlihat
sedikit. Sementara pada DJF, hampir di semua daerah di Pulau
Jawa terjadi konvergensi yang kuat sehingga menyebabkan
sebagian besar daerah mempunyai curah hujan yang tinggi.
Gambar 6 menunjukkan anomali curah hujan dan angin
pada tahun El Nino pada SON dan DJF, dimana pengaruh El Nino
berkurang secara bertahap dari pra-monsun (SON) sampai masuk
ke monsun basah (DJF). El Nino menguatkan angin monsun dari
Australia pada SON, sehingga memberikan pengaruh yang lebih
kering dibandingkan klimatologisnya. Hal ini dapat terlihat pada
gambar 6-a, dimana terdapat anomali negatif dari curah hujan
sehingga di seluruh daerah di Jawa mengalami penurunan curah
hujan pada saat El Nino terjadi. Anomali angin pada Gambar 6,
Gambar 7 (c), (d) dan (e) bukan menunjukkan arah angin, namun
menunjukkan pengurangan vektor angin antara El Nino dan
klimatologis. Pada Gambar 6-a pada SON di tahun El Nino,
anomali arah angin masih terlihat timuran, yang menandakan
bahwa angin monsun pada saat El Nino terjadi lebih kuat
dibandingkan klimatologisnya. Hal ini yang menyebabkan
pengurangan curah hujan SON pada saat El Nino. Sedangkan
pada DJF (Gambar6-b) arah dan kecepatan angin pada saat El
Nino sama dengan klimatologis nya, hanya angin baratan pada
DJF di tahun El Nino melemah jika dibandingkan dengan
klimatologisnya, hal ini menyebabkan pengurangan curah hujan
di Jawa juga terjadi pada saat DJF. Halini sama dengan
penelitian sebelumnya dimana pada saat El Nino terjadi anomali
angin kearah timuran, yang sama arahnya dengan angin monsun
Haries Satyawardhana, dkk
68
pada saat SON, namun berlawanan dengan monsun pada DJF
(Hamada, et.al, 2002).Pada DJF, pelemahan monsun Asia pada
saat El Nino terjadi sehingga mempengaruhi penurunan curah
hujan di selatan Indonesia. Menariknya, anomali curah hujan
yang positif justru terjadi di selatan Jawa Barat pada saat El Nino
dan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Qian, et.al, 2010),
yang akan dibahas di bagian selanjutnya.
Gambar 6. Komposit anomali curah hujan TRMM (mm; warna)
dan angin NNRP (m/s; vektor) pada saat El Nino
untuk a) SON, dan b) DJF. Kotak merah adalah
daerah yang terdapat anomali positif dari
pelemahan monsun akibat El Nino. Tahun El Nino
yang digunakan adalah 98, 02/03, 04/05, 06/07
dan 09/10.
3.3 Respons Interaksi Monsun-El Ninoterhadap Topografi di
Jawa
Gambar 7 memperlihatkan data curah hujan TRMM dan
angin selama SON (a) dan DJF (b), sedangkan komposit pada (c)
dan (d) adalah anomali curah hujan selama El Nino dalam dua
musim yang berbeda. Curah hujan meningkat secara bertahap
dari pra-monsun (SON) sampai masuk ke monsun basah (DJF).
Curah hujan yang tinggi terdapat di daratan jika dibandingkan
dengan lautan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Qian
(2008) bahwa curah hujan terkonsentrasi di pulau (daratan)
dikarenakan adanya konvergensi angin laut ke daratan dan
a
) b)
Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa
69
konvergensi angin lembah ke pegunungan, sehingga
menyebabkan penguatan proses konvektif. Hal ini menghasilkan
curah hujan yang lebih tinggi pada DJF dibandingkan dengan
bulan-bulan lainnya.
Curah hujan yang tinggi pada saat DJF, terdapat di Jawa
tengah dengan lebih tinggi di sebelah utara dibandingkan selatan.
Ini disebabkan oleh adanya angin monsun dari Asia yang
melewati Laut China Selatan dan dibelokkan Pulau Sumatera dan
sampai di utara Pulau Jawa. Namun pada saat El Nino, anomali
curah hujan positif justru terjadi di bagian selatan Pulau
Jawa.Pada Gambar 7 (e) menunjukkan bahwa pada DJF terlihat
angin baratan di atas Pulau Jawa lebih kuat terjadi pada saaat El
Nino jika dibandingkan dengan klimatologis-nya. Hal ini
ditunjukkan oleh magnitudo yang bernilai positif di semua lokasi
penelitian. Hal ini diakibatkan pelemahan Monsun Asia
sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Pelemahan angin monsun pada saat DJF mengakibatkan
pengurangan curah hujan di Pulau Jawa dan sekitarnya, namun
dapat menguatkan siklus diurnal baik angin darat-laut maupun
angin gunung-lembah (Qian, et.al, 2010). Hal ini dijelaskan oleh
penelitian sebelumnya dengan menggunakan simulasi model
RegCM3 yang mempunyai resolusi tinggi dengan menggunakan
input data NNRP. Dimana Qian, et.al,(2010) menunjukkan bahwa
pada pagi hari yaitu pada 01.00 - 13.00 WIB anomali angin
menunjukkan karakter angin darat yang menyebar dari pulau
Jawa menuju lautan di sekitarnya. Selama sore dan malam
13.00-01.00 WIB, anomali angin dan hujan menunjukkan pola
angin laut, memusat dari arah laut utara dan selatan menuju ke
tengah pulau, lebih dominan di pegunungan dekat pantai selatan
Jawa. Anomali siklus diurnal dari angin dan curah hujan
mempunyai fase yang sama dengan klimatologisnya (Hamada,
et.al, 2002). Oleh karena itu siklus diurnal pada DJF di tahun El
Nino menguat, dengan konvergensi yang intensif pada komponen
angin lembah yang menuju ke arah gunung sehingga dapat
meningkatkan curah hujan di atas pegunungan. Hasil pemodelan
menunjukkan bahwa angin monsun yang lebih lemah pada DJF
selama El Nino mengurangi pengaruh dari panas lokal yang
menggerakkan siklus diurnal angin, dan kemudian memperkuat
angin darat-laut, angin lembah-gunung, sehingga membentuk
Haries Satyawardhana, dkk
70
distribusi hujan di atas normal di wilayah pegunungan dalam
skala lokal.
Gambar 7. Komposit rata-rata curah hujan TRMM (mm; warna)
dan angin NNRP (m/s; vektor) pada a) SON, dan b)
DJF, serta anomali curah hujan TRMM dan angin
NNRP pada saat El Nino untuk c) SON, d) DJF dan
e) Komposit magnitudo dan vektor selisih angin DJF
(EN-Clim) dari Data Era Interim resolusi 0.25. Kotak
merah adalah daerah yang terdapat anomali positif
dari pelemahan monsun akibat El Nino.
a)
b
c)
d
e)
Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa
71
Analisis lebih lanjut mengenai pengaruh topografi
pegunungan selama kejadian El Nino yang berkaitan dengan pola
anomali positif curah hujan di Jawa, akan dijelaskan pada
Gambar 8. Curah hujan SON pada saat El Nino lebih kecil dari
klimatologinya, ini ditunjukkan oleh anomali curah hujan yang
bernilai negatif dari pantai utara sampai dengan selatan. Hal ini
disebabkan oleh adanya sirkulasi skala besar yaitu kenaikan
massa udara (konvergensi) yang tertekan selama El Nino akibat
perpindahan Sirkulasi Walker. Anomali curah hujan mulai tinggi
di area pegunungan yaitu di lintang 7° LS (Gambar 8-a).
Sedangkan anomali negatif juga terdapat di area perairan sekitar
Pulau Jawa yang konsisten dengan anomali divergensi level
rendah (akibat pergeseran sirkulasi Walker) yang menurunkan
curah hujan di BMI (diindikasikan oleh Gambar 4-a). Penguatan
angin monsun tenggara selama SON pada tahun El Nino
cenderung mengganggu panas lokal dan siklus diurnal angin
sehingga kurang dapat mempengaruhi pengurangan hujan. Selain
itu, penguatan angin monsun tenggara yang melewati gurun di
Australia Utara telah menambah pengaruh kering di wilayah BMI,
khususnya di Pulau Jawa dan sekitarnya.
Pada saat awal musim basah (wet season), di Pulau Jawa
terjadi pembalikan arah angin monsun dari timuran menjadi
baratan (lihat Gambar 5-b dan Gambar 7-b). Dalam hal ini,
terjadi anomali curah hujan positif ( Gambar 6-b dan 7-d) di
selatan sebagian Jawa Barat (daerah pegunungan), namun
anomali negatif terjadi di sebagian utara Jawa (daerah pantai)
yang mengindikasikan kuatnya angin lembah yang memusat di
puncak pegunungan sehingga menghasilkan curah hujan di atas
normal. Jika dibandingkan dengan daerah yang datar (flat),
terdapat pola deret waktu yang sama pada dua musim (SON dan
DJF), di mana anomali curah hujan dari utara sampai selatan
mempunyai nilai negatif. Hal ini berarti bahwa curah hujan pada
saat El Nino selalu di bawah klimatologinya, hanya magnitudo
curah hujan untuk DJF lebih tinggi daripada SON.
Haries Satyawardhana, dkk
72
Gambar 8. Potongan melintang (cross section) utara-selatan
untuk curah hujan TRMM (mm), dengan kondisi
klimatologi (garis putus-putus), El Nino (solid) dan
El-Nino dikurangi klimatologis (silang) di bujur
107,5° BT dan 110,5° BT dimana penggambaran
pulau ditunjukkan oleh garis tebal di sumbu x.
Curah hujan yang ditunjukkan adalah a) dan c)
untuk bulan SON dan b) dan d) untuk bulan DJF,
sedangkan a) dan b) menggambarkan kondisi
pegunungan dan c) dan d) menggambarkan daerah
yang datar.
S-O-N Daerah datar
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
-6.125
-6.325
-6.525
-6.725
-6.925
-7.125
-7.325
-7.525
-7.725
-7.925
-8.125
-8.325
-8.525
-8.725
Lintang
CH
(m
m)
Clim
EN
EN-Clim
D-J-F Pegunungan
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
-6.125
-6.325
-6.525
-6.725
-6.925
-7.125
-7.325
-7.525
-7.725
-7.925
-8.125
-8.325
-8.525
-8.725
Lintang
CH
(m
m)
Clim
ENEN-Clim
d) D-J-F Daerah datar
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
-6.125
-6.325
-6.525
-6.725
-6.925
-7.125
-7.325
-7.525
-7.725
-7.925
-8.125
-8.325
-8.525
-8.725
Lintang
CH
(m
m)
Clim
ENEN-Clim
a)
c)
b)
d)
Interaksi El – Nino, Monsun dan Topografi Lokal terhadap Anomali Curah Hujan di Pulau Jawa
73
4. KESIMPULAN
Pada periode SON selama tahun El Nino, terjadi pergeseran
Sirkulasi Walker menyebabkan penguatan angin monsun
tenggara di Pulau Jawa. Hal ini mengurangi intensitas siklus
diurnal sehingga menyebabkan adanya anomali curah hujan
negatif hampir di seluruh Pulau Jawa. Sedangkan kejadian El
Nino pada saat DJF, hampir di semua daerah terjadi penurunan
curah hujan, namun di daerah selatan Jawa Barat justru
terdapat anomali curah hujan positif. Pelemahan monsun barat
pada DJF akibat El Nino menyebabkanadanya anomali curah
hujan negatif di pantai utara Jawa, namun meningkatkan curah
hujan di pegunungan sebelah selatan Jawa.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Didi Satiadi selaku
Kepala Bidang Pemodelan Atmosfer yang telah mendukung dan
memberikan masukan konstruktif kepada Penulis demi perbaikan
substansif terhadap makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN
Aldrian E., Gates, L.D. and Widodo, F.H., 2007: Seasonal
variability of Indonesian rainfall in ECHAM4 simulations
and in the reanalyses: The role of ENSO, Theoretical and
Applied Climatology, 87, 41–59.
Boer, R., and A. R. Subbiah., 2005: Agriculture drought in
Indonesia. Monitoring and Predicting Agricultural Drought:
A Global Study, V. S. Boken, A. P. Cracknell, and R. L.
Heathcote, Eds., Oxford University Press, 330–344.
Chang, C. P., Z. Wang, J. McBride, and C.-H. Liu., 2005: Annual
cycle of Southeast Asia–Maritime Continent Rainfall and
Asymmetric Monsoon Transition. Journal of Climate, 18,
287–301.
Hamada, J. I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A.
Winarso, and T. Sribimawati., 2002: Spatial and temporal
variations of the rainy season over Indonesia and their link
to ENSO. J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285–310.
Haries Satyawardhana, dkk
74
Hung, C.-W., X. Liu, and M. Yanai., 2004: Symmetry and
asymmetry of the Asian and Australian summer monsoons.
Journal of Climate, 17, 2413–2426.
Kajikawa, Y., B. Wang, J. Yang., 2009: A Multi-time scale
Australian Monsoon Index. InternationalJournal of
Climatology, DOI: 10.1002/joc.1955.
Li, C., and M. Yanai., 1996:The onset and interannual variability
of the Asian summer monsoon in relation to land–sea
thermal contrast. Journal Climate, 9, 358–375.
Malian, AH. Mardianto S., Ariani M., 2004: Faktor-faktor yang
mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan Harga Beras serta
Inflasi Bahan Makanan. Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 22 no 2,
Oktober 2004: 119 – 146.
Qian, J. H., 2008: Why precipitation is mostly concentrated over
islands in the Maritime Continent. Journal of Atmospheric
Science, 65, 1428–1441.
Qian, J. H., A.W. Robertson and V. Moron., 2010: Interactions
among ENSO, the Monsoon, and Diurnal Cycle in Rainfall
Variability over Java, Indonesia. Journal of Atmospheric
Science, 67, 3509-3524.
Webster P. J., V. O. Magaña, T. N. Palmer, J. Shukla, R. A. Tomas,
M. Yanai and T. Yasunari., 1998: Monsoons: processes,
predictability, and the prospects for prediction. Journal of
Geophysical Research 103(C7): 14 451–14 510.
Krismianto Identifikasi Awal Musim Di Pulau Jawa Berbasis
Data Satelit TRMM
75
IDENTIFIKASI AWAL MUSIM DI PULAU JAWA
BERBASIS DATA SATELIT TRMM
Krismianto
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia e-mail:krismianto@lapan.go.id
ABSTRAK
Awal musim di pulau Jawa dapat diidentifikasi menggunakan
metode kriteria 3 dasarian dengan nilai threshold 50 mm. Data
yang biasa digunakan untuk identifikasi awal musim
menggunakan metode tersebut adalah data curah hujan dasarian
hasil observasi permukaan. Data tersebut memiliki kelemahan
wilayah observasinya yang sangat terbatas. Kelemahan tersebut
dapat diatasi dengan mengganti data curah hujan observasi
permukaan menggunakan data curah hujan observasi satelit.
Salah satu data hasil observasi satelit yang dapat digunakan
untuk identifikasi awal musim adalah data curah hujan dasarian
TRMM3B42. Data tersebut memiliki bias terhadap data observasi
permukaan sehingga nilai threshold awal musim 50 mm sudah
tidak representatif lagi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari
nilai threshold awal musim yang paling representatif berbasis data
curah hujan dasarian TRMM3B42. Metode yang digunakan untuk
mencari nilai threshold tersebut adalah metode misfit terkecil.
Hasilnya adalah nilai threshold awal musim yang paling
representatif untuk identifikasi awal musim menggunakan data
curah hujan dasarian TRMM3B42 adalah 62 mm untuk
identifikasi awal musim hujan dan 90 mm untuk identifikasi awal
musim kemarau.
Kata kunci: threshold, awal musim, curah hujan, TRMM3B42,
misfit.
ABSTRACT
Onset season in Java’s island can be identified using criteria of 3
10-daily’s rainfall method with 50 mm threshold value. The
Krismianto
76
rainfall data is used based on surface observation. These data
have very limited observations coverage. The weakness can be
overcome by replacing the data using satellite observations of
rainfall data. One of rainfall data based on satellite observations
that can be used to identify the onset season is 10-daily’s rainfall
TRMM3B42 data. The data will have a bias towards the surface
observation data so that the value of threshold 50 mm to identify
onset season is no longer representative. This study aims to find
the most representative of threshold value to identify onset season
using 10-daily’s rainfall TRMM3B42 data. The method used to
find the threshold value is the smallest misfit method. The result
is show that the most representative of threshold value to identify
the onset season using 10-daily’s rainfall TRMM3B42 data is 62
mm for identification of onset rainy season and 90 mm for the
identification of onset dry season.
Key words: threshold, onset season, rainfall, TRMM3B42, misfit.
1 PENDAHULUAN
Awal musim dapat dijelaskan oleh jumlah curah hujan
yang terjadi pada suatu tempat dalam waktu tertentu. Ketentuan
definisi awal musim di satu wilayah dapat berbeda dengan tempat
lainnya karena ketentuan tersebut sangat bergantung dengan
kondisi klimatologisnya. Kondisi klimatologis akan memberikan
indikator tertentu ketika awal musim terjadi sehingga dapat
ditetapkan definisi yang tepat (Pai dan Rajeevan, 2009; Marteu,
et.al., 2009).
Sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap
informasi terkait cuaca dan iklim di Indonesia, Badan
Meteorologi, Klimatlogi, dan Geofisika (BMKG) telah melakukan
identifikasi awal musim menggunakan data curah hujan
dasarian. Jika terjadi 3 kali data curah hujan dasarian yang
memiliki nilai kurang dari 50 mm secara berturut-turut, maka hal
tersebut diartikan bahwa awal musim kemarau telah datang dan
jika terjadi 3 kali data curah hujan dasarian yang memiliki nilai
lebih dari atau sama dengan 50 mm secara berturut-turut maka
hal tersebut diartikan bahwa awal musim penghujan telah datang
(Fadholi, 2012).
Pengembangan Metode Identifikasi Awal Musim Berbasis Data Satelit TRMM
77
Data curah hujan yang digunakan oleh BMKG untuk
identifikasi awal musim adalah data curah hujan hasil observasi
permukaaan. Data tersebut memiliki cakupan wilayah observasi
yang sangat terbatas karena datanya diperoleh dengan cara
pemantauan curah hujan yang jatuh di permukaan bumi secara
langsung di titik-titik tertentu (Subarna, 2006). Dengan semakin
berkembangnya teknologi satelit saat ini, kelemahan data curah
hujan observasi permukaan terkait dengan cakupan wilayah
observasinya yang sangat terbatas dapat diatasi dengan
mengganti data curah hujan tersebut menggunakan data curah
hujan hasil observasi satelit (Krismianto, 2015). Salah satu satelit
yang mampu mengobservasi curah hujan adalah satelit TRMM
(Tropical Rainfall Measuring Mission) yang merupakan satelit hasil
kerja sama antara pemerintah Amerika Serikat melalui NASA
(National Aeronautics and Space Administration) dan pemerintah
Jepang melalui NASDA (National Space Development of Japan)
yang sekarang menjadi JAXA (Japan Aerospace Exploration
Agency) yang didedikasikan untuk mengobservasi curah hujan di
wilayah tropis dan subtropis (NASDA, 2001). Produk data curah
hujan hasil observasi satelit TRMM ada berbagai macam dimana
salah satunya yang dapat digunakan untuk identifikasi awal
musim adalah data curah hujan TRMM3B42 dasarian.
Data curah hujan dasarian TRMM3B42 memiliki bias yang
cukup tinggi jika dibandingkan dengan data observasi permukaan
(Worqlul, et.al., 2014). Bias data tersebut disebabkan karena
masing-masing wilayah memiliki karakteristik curah hujan
tersendiri dan satelit TRMM belum mampu melihat karakteristik
lokal tersebut (Hong, et.al., 2010; Zhang, et.al., 2013). Data curah
hujan dasarian TRMM3B42 cenderung overestimate terhadap
data curah hujan dasarian observasi permukaan meskipun
polanya sama (Chen, et.al., 2013). Untuk wilayah-wilayah
tertentu, data curah hujan dari satelit TRMM cenderung
underestimate terhadap data curah hujan observasi permukaan
(Immerzeel, 2010). Terkait dengan hal tersebut maka ketika data
curah hujan dasarian TRMM3B42 digunakan untuk identifikasi
awal musim, maka nilai threshold awal musimnya masih harus
ditentukan terlebih dahulu karena nilai 50 mm sudah tidak
representatif lagi karena datanya yang overestimate atau
underestimate terhadap data curah hujan observasi permukaan.
Krismianto
78
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai threshold
awal musim yang paling representatif berbasis data curah hujan
TRMM3B42 dasarian. Metode yang digunakan untuk mencari
nilai thresholdtersebut adalah metode misfit terkecil, yaitu sebuah
metode iteratif berbagai nilai parameter model untuk mencari
nilai parameter model terbaik berdasarkan nilai kesalahan
terkecil (Grandis, 2009).
2 DATA DAN METODOLOGI
2.1 DATA
Cakupan wilayah kajian dalam penelitian ini adalah pulau
Jawa yang memiliki lokasi geografis 1050 BT sampai 1150 BT dan
90 LS sampai 5.50 LU. Pulau Jawa dipilih sebagai wilayah kajian
karena memiliki perbedaan musim yang sangat jelas antara
musim hujan dan musim kemarau. Periode data yang digunakan
dalam penelitian ini data tahun 1998 hingga tahun 2009.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
curah hujan dasarian TRMM3B42. Data curah hujan dasarian
TRMM3B42 adalah data curah hujan/presipitasi TRMM yang
digabung dengan data presipitasi infrared high quality dalam grid
yang mempunyai resolusi temporal 10 harian dan resolusi spasial
0,25° x 0,25° dalam cakupan global 50° LS sampai 50° LU.
Algoritma curah hujan dasarian TRMM3B42 terdiri dari 4 tahap
(Juaeni, et.al., 2010): (1) estimasi presipitasi berbasis microwave,
(2) estimasi presipitasi infrared (IR), (3) estimasi gabungan
microwave dan IR, dan (4) pen-skala-an ulang (rescaling) untuk
data dasarian.
Selain data satelit TRMM, dalam penelitian ini juga
digunakan data curah hujan observasi permukaan dasarian.Data
curah hujan observasi permukaan yang digunakan adalah data
curah hujan dari beberapa stasiun cuaca BMKG yang ada di
pulau Jawa seperti yang terlihat dalam Tabel 1.
Pengembangan Metode Identifikasi Awal Musim Berbasis Data Satelit TRMM
79
Tabel 1. Beberapa lokasi stasiun cuaca BMKG di pulau Jawa.
ID Stasiun Koordinat Stasiun Cuaca Nama Lokasi
96745 60 11’ LS dan 1060 49’ BT Jakarta
96783 60 52’ LS dan 1070 36’ BT Bandung
96835 60 59’ LS dan 1100 22’ BT Semarang
96933 70 10’ LS dan 1120 45’ BT Surabaya
2.2 METODOLOGI
Metode yang digunakan untuk memperoleh nilai threshold
awal musim berbasis data curah hujan dasarian TRMM3B42
adalah metode misfit terkecil yang merupakan sebuah metode
memodifikasi model secara iteratif untuk mencapai sebuah
konvergensi menuju model optimum. Model optimum ditentukan
dengan nilai misfit terkecil yang ditentukan oleh kesesuaian
antara data pengamatan dengan data perhitungan. Salah satu
cara untuk mengetahui nilai misfit adalah dengan menghitung
nilai Root Mean Square Error (RMSE) yang dinyatakan dalam
Persamaan 1 berikut:
���� = ��
�(����� − ������)� ............................... (1)
dimana ������ adalah data awal musim referensi yang
merupakan data awal musim hasil identifikasi menggunakan data
curah hujan dasarian observasi permukaan dan ������ adalah
data awal musim hasil identifikasi menggunakan data curah
hujan dasarian TRMM3B42.
Pulau Jawa merupakan wilayah yang memiliki pola curah
hujan monsunal (Aldrian dan Susanto, 2003) sehingga dalam
pendefinisian awal musim akan digunakan kriteria bahwa musim
hujan hanya terjadi pada bulan September, Oktober, Nopember,
Desember, Januari, Februari (SON DJF) dan musim kemarau
hanya terjadi pada bulan Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus
(MAM JJA). Penggunaan kriteria tersebut dimaksudkan untuk
mengatasi kejadian ekstrim yang dapat mengakibatkan terjadinya
awal musim palsu (Benjamin dan Pierre 2006).
Krismianto
80
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 HASIL
Data curah hujan observasi permukaan yang digunakan
untuk referensi dalam penentuan threshold awal musim berbasis
data curah hujan TRMM3B42 dasarian adalah data curah hujan
observasi permukaan dari beberapa lokasi satasiun cuaca BMKG,
yaitu Jakarta (JKT), Bandung (BDG), Semarang (SMG), dan
Surabaya (SBY). Dalam Gambar 1 terlihat perbandingan data
curah hujan dasarian TRMM3B42 dengan data curah hujan
dasarian observasi permukaan dari beberapa stasiun cuaca yang
dijadikan referensi. Dalam Gambar tersebut terlihat bahwa data
curah hujan dasarian TRMM3B42 memiliki pola yang sama
dengan data dasarian observasi permukaan yaitu pola monsunal.
Gambar 1. Perbandingan curah hujan TRMM3B42 dengan
observasi permukaan (OBS), polanya sama.
Data curah hujan dasarian TRMM3B42 cenderung
overestimate terhadap data curah hujan dasarian observasi
permukaan kecuali untuk wilayah Surabaya (SBY) yang
underestimate seperti yang terlihat dalam Gambar 2 meskipun
Pengembangan Metode Identifikasi Awal Musim Berbasis Data Satelit TRMM
81
memiliki pola yang sama. Terkait dengan hal tersebut maka
ketika melakukan identifikasi awal musim berbasis data curah
hujan dasarian TRM3B42, nilai threshold 50 mm harus dikoreksi
terlebih dahulu karena sudah ditak representatif lagi.
Gambar 2. Scatter plot data curah hujan TRMM3B42 (TRMM) vs
Observasi permukaan (OBS).
Data curah hujan TRMM3B42 dasarian diambil untuk
koordinat yang sama dengan beberapa lokasi stasiun cuaca yang
dijadikan titik referensi dan selanjutnya dilakukan metode misfit
terkecil untuk mengetahui nilai threshold awal musim berbasis
data curah hujan dasarian TRMM3B42. Dalam Tabel 2 dapat
dilihat nilai threshold awal musim terbaiknya adalah62 mm
untuk identifikasi awal musim hujan (AMH) dan 90 mm untuk
identifikasi awal musim kemarau (AMK). Dengan menggunakan
nilai threshold tersebut terlihat bahwa untuk identifikasi AMH
akurasinya meningkat yaitu menjadi sekitar 82,8% dengan Root
Mean Square Error (RMSE)-nya sebesar 3,3 sedangkan untuk
identifikasi AMK meskipun hasilnya lebih baik daripada
menggunakan threshold 50 mm, namun akurasinya masih
kurang baik yaitu hanya sekitar 60,4% dengan RMSE-nya sebesar
4,1. Dalam Tabel 2 terlihat juga bahwa khusus untuk identifikasi
Krismianto
82
AMH tidak dapat teridentifikasi 100% yang berarti identifikasi
AMH menggunakan kriteria 3 dasarian memiliki kelemahan dapat
gagal dalam mendeteksi datangnya AMH.
Tabel 2. Threshold awal musim berbasis data TRMM3B42
dasarian.
Threshold
(mm) RMSE
*Akurasi
(%)
AM teridentifikasi
(%)
AMH 50,0 4,0 68,6 73,0
AMK 50,0 4,3 57,4 98,0
AMH 62,0 3,3 82,8 73,0
AMK 90,0 4,1 60,4 100,0
* Rentang kesalahan ± 3 dasarian
3.2 PEMBAHASAN
Data curah hujan dasarian TRMM3B42 mampu
menunjukkan pola yang sama dengan data curah hujan dasarian
observasi permukaan. Terkait dengan hal tersebut maka sangat
memungkinkan awal musim hujan dan kemaru di pulau Jawa
diidentifikasi menggunakan data curah hujan dasarian
TRMM3B42. Pola monsunal dari curah hujan di pulau Jawa
disebabkan karena wilayah tersebut sangat didominasi oleh
fenomena monsun Asia dan Australia.
Berbeda dengan wilayah JKT, BDG, dan SMG yang
cenderung overestimate, curah hujan dasarian TRMM3B42 untuk
wilayah SBY cenderung underestimateterhadap data curah hujan
dasarian observasi permukaan. Hal tersebut disebabkan karena
wilayah SBY terletak di pulau Jawa bagian Timur yang memiliki
nilai rata-rata curah hujan relatif lebih rendah
dibandingkandengan wilayah pulau Jawa bagian Tengah dan
Barat seperti ditunjukkan dalam Gambar 3. Tampaknya
karakteristik nilai rata-rata curah hujan yang relatif lebih rendah
di wilayah tersebut mengakibatkan data curah hujan dasarian
TRMM3B42 juga terestimasi lebih rendah sehingga ketika
dibandingkan dengan data observasi permukaan akan cenderung
underestimate.
Pengembangan Metode Identifikasi Awal Musim Berbasis Data Satelit TRMM
83
Gambar 3. Rata-rata curah hujan dalam 1 tahun.
Perbedaan karakteristik nilai rata-rata curah hujan antara
wilayah pulau Jawa bagian Barat, Tengah, dan Timur tersebut
disebabkan karena kekuatan pengaruh monsun untuk masing-
masing wilayah tersebut berbeda-beda. Pulau Jawa didominasi
oleh pengaruh monsun Asia (angin baratan) dan Australia (angin
timuran) seperti yang terlihat dalam Gambar 4. Monsun Asia
mengakibatkan angin baratan yang banyak membawa massauap
air dari Samudera Hindia. Angin baratan tersebut bergerak
menuju pulau Jawa bagian Barat dan terus bergerak ke arah
Timur sehingga pulau Jawa bagian Baratakan memiliki
karakteristik yang lebih basah karena pengaruh angin
baratannya lebih kuat. Monsun Australia mengakibatkan angin
timuran yang bergerak menuju pulau Jawa bagian Timur dan
terus bergerak ke arah Barat. Angin timuran tersebut hanya
sedikit membawa massa uap air sehinga meskipun pengaruhnya
lebih kuat untuk wilayah pulau Jawa bagian Timur namun tidak
akan membuat wilayah tersebut menjadi lebih basah dari wilayah
lainnya. Terbatasnya massa uap air yang dibawa angin timuran
tersebut disebabkan karena angin timuran berasal dari Australia
yang berupa daratan dan hanya melewati perairan antara
Australia dan Indonesia yang relatif kecil.
JKT
BDG SMG SBY
Krismianto
84
Gambar 4. Angin baratan (a) dan angin timuran (b).
Akurasi hasil identifikasi awal musim berbasis data curah
hujan dasarian TRMM3B42 menggunakan nilai threshold yang
baru sudah cukup baik untuk identifikasi AMH namun masih
belum cukup baik untuk identifikasi AMK. Penyebab dari tinggi
rendahnya akurasi tersebut adalah besar kecilnya nilai bias data
ketika dibandingkan dengan data observasi permukaan.
4. KESIMPULAN
Karakteristik data curah hujan dasarian TRMM3B42 ada
yang overestimate dan ada yang underestimate terhadap data
observasi permukaan. Hal tersebut sangat sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa data hasil
observasi satelit memiliki bias data yang menyebabkan data
tersebut overestimate ataupun underestimate terhadap data
observasi permukaan, bergantung dengan karakteristik masing-
a
b
Pengembangan Metode Identifikasi Awal Musim Berbasis Data Satelit TRMM
85
masing wilayahnya. Terkait dengan hal tersebut maka ketika data
curah hujan dasarian TRMM3B42 akan digunakan untuk
identifikasi awal musim menggunakan metode kriteria 3 dasarian
maka nilai threshold-nya perlu dikoreksi. Hasil identifikasi awal
musim berbasis data curah hujan dasarian TRMM3B42
menggunakan nilai threshold yang sudah dikoreksi menunjukkan
akurasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil
identifikasi awal musim menggunakan nilai threshold yang belum
dikoreksi (50 mm). Hal tersebut membuktikan bahwa telah terjadi
peningkatan akurasi hasil identifikasi awal musim dengan
threshold yang sudah dikoreksi.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terimkasih kepada Dr. Tri Wahyu Hadi, Dr.
Nurjanna Djoko Trilaksono, dan Dr. Rusmawan terkait dengan
saran-sarannya tentang perlunya melakukan koreksai nilai
threshold awal musim jika diidentifikasi menggunakan data satelit
TRMM.
DAFTAR RUJUKAN
Aldrian, E., dan Susanto, R., D., 2003: Identification Of Three
Dominant Rainfall Regions Within Indonesia And Their
relationship to Sea Surface Temperature. Int. J. Climatol. 23,
1435-1452.
Benjamin, P., dan Pierre, C., 2006: Influence of Madden Julian
Oscillation on East African Rainfall, I: Intraseasonal
Variability and Regional Dependency. Q.J.R.Meteorol.Soc.
132, 2521-2539.
Chen, Y., Ebert, E.E., Walsh, K.J.E., Davidson, N.E., 2013:
Evaluation of TRMM 3B42 precipitation estimates of tropical
cyclonerainfall using PACRAIN data. J.G.R. Atm. 118, 1-13.
Fadholi, 2012: Hujan dan Kemarau Menurut BMKG.
http://www.ift.or.id. Diakses 21 Oktober 2015.
Grandis, H., 2009: Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika.
Himpunan Ahli Geofisika Indonesia. Jakarta.
Hong, Y., Kuo-lin, H., Soroosh, S., 2010: Cloud Patch-Based
Rainfall Estimation Using A Satellite Image Classification
Aproach. 2nd Workshop of The International Precipitation
Working Group.
Krismianto
86
Immerzel, W.,W., 2010: Bias Correction for Satellite Precipitation
Estimation used by the MRC Mekong Flood Forecasting
System. Mission Report.Mekong River Commision.
Juaeni, I., Harjana, T., Nurzaman, Suryantoro, A., Martono,
Noersomadi, 2010: Pengembangan Pemanfaatan Data
TRMM Untuk Menunjang Ketahanan Pangan. Laporan Akhir
Program Insentif Riset Dikti. Pusfatsatklim-LAPAN.
Krismianto, 2015: Identifikasi Awal Musim Berbasis Suhu Puncak
Awan Untuk Pengembangan Sistem Informasi Awal Musim
Wilayah Pulau Jawa. Tesis. Institut Teknologi Bandung,
Bandung.
Marteau, R., Moron, V., Nathalie, P., 2009: Spatial coherence of
monsoon onset Western and Central Sahel (1950-2000). J.
Climate. 22, 1313-1324.
NASDA, 2001: TRMM Data Users Handbook.Earth Observation
Center.National Space Development Agency of Japan.
Pai, D.S., dan Rajeevan, M.N., 2009: Summer monsoon onset over
Kerala: New definition and prediction. J. Earth Syst. Sci.
118, 123-135.
Subarna, D., 2006: Telekoneksi Antara Hujan Monsun di India dan
curah Hujan di Indonesia Dari Data TRMM.
ProsidingSeminar Nasional Perubahan Iklim dan
Lingkungan di Indonesia. Pusfatsatklim-LAPAN, Bandung,
83-93.
Worqlul, A.W., Maathuis, B., Adem, A.A., Demissie, S.S., Langan,
S., Steenhuis, T.S., 2014: Comparison of rainfall
estimations by TRMM 3B42, MPEG andCFSR with ground-
observed data for the Lake Tana basin inEthiopia. Hydrol.
Earth Syst. Sci., 18, 4871-4881.
Zhang, M., Chen, S., Qi, Y.C., Yang, Y., 2013: Evaluation of TRMM
Summer Precipitation over Huai-River Basin in China.
Advanced Materials Research, pp., 726-731.
Suaydhi, dkk Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia
87
Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia
Suaydhi, Farid Lasmono, Aisya Nafiisyanti
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN
Jl. Djunjunan 133, Bandung, Jawa Barat, Indonesia
e-mail: suaydhi@yahoo.com
ABSTRAK
Awan mempunyai pengaruh yang sangat penting baik pada cuaca
maupun iklim di permukaan bumi. Pengaruh tersebut berbeda
untuk jenis awan yang berbeda. Penelitian tentang distribusi
berbagai jenis awan di Indonesia belum banyak dilakukan.
Klasifikasi jenis awan ini diturunkan dari data kecerahan dua
kanal inframerah pertama dan kedua satelit MTSAT
menggunakan Metode two-dimensional threshold diagram. Data
awan per jam dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014
digunakan untuk analisis variasi bulanan dari tiap jenis awan.
Data reanalisis ERA Interim dipergunakan untuk menghitung
moist static energy (MSE) sebagai indikator ketidakstabilan
atmosfer dan kecepatan vertikalnya yang berkaitan dengan proses
konveksi pada pembentukan awan Cumulonimbus. Enam daerah
dengan distribusi spasial fasa awan Cbyang berbeda dipilih untuk
melihat pengaruh kondisi atmosfer pada distribusi awan Cb.
Tutupan awan Cb di enam daerah ini mencapai nilai maksimum
di atas 80%. Pulau Jawa mempunyai siklus tutupan awan Cb
yang sangat kontras, dengan nilai maksimum mencapai 85% dan
minimum hanya 10%. Kombinasi dari MSE dan kecepatan
vertikal atmosfer menentukan puncak fasa awan Cb di suatu
daerah. Distribusi spasial dari fasa awan rendah mempunyai
puncak pada bulan-bulan musim dingin. Variasi bulanan awan
menengah tidak mempunyai pola tertentu dalam distribusi
spasialnya. Distribusi spasial fasa awan cirrus lebih mirip dengan
distribusi spasial fasa awan mature Cumulonimbus, karena awan
cirrus terbentuk dari peluruhan sistem konveksi.
Kata-kata kunci: jenis awan, bulanan, Indonesia, fasa, distribusi
spasial.
Suaydhi, dkk
88
ABSTRACT
Clouds have great influence both on weather and climate of the
Earth. Each cloud has different role. There is still very few
research conducted on the distribution of different cloud types
over Indonesia. Classification of the cloud types is derived from
brightness data of the first and second canal of MTSAT satellite
usinga method of two-dimensional threshold diagram. Hourly
cloud data from 2010 until 2014 have been used to analyze the
monthly variation of each cloud type. Reanalysis data from ERA
Interim are used to compute the moist static energy (MSE) as an
indicator of atmospheric instabilityand the vertical velocity in
relation to the convection processon the formation of
Cumulonimbus cloud. Six regions with different spatial
distribution of the phase of Cb clouds have been selected to
analyze the influence of atmospheric condition on the distribution
of Cb clouds.Cb cloud cover over these six regions reaches
maximum value above 80%. Java Island has a very contrast cycle
of Cb cloud cover, with a maximum value reaching 85% and
minimum value of only 10%. The combinationof
MSEandatmospheric vertical velocity determines the phase of Cb
clouds over a region. The spatial distributionof the phase of low
level clouds peaks on winter months. Monthly variation of the
middle level clouds does not show any specific spatial pattern. The
phase of spatial distribution of cirrus clouds resembles that of
mature Cumulonimbus, because cirrus clouds are formed from
the decay of a convective system.
Keywords: cloud types, monthly, Indonesia, phase, spatial
distribution.
1 PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu dari tiga pusat konveksi
utama di dunia. Dengan suhu permukaan lautnya yang hangat,
wilayah Indonesia banyak menghasilkan uap air di atmosfernya.
Uap air ini merupakan komponen utama pembentukan awan.
Selain dari penguapan lokal, awan juga bisa berasal dari adveksi
uap air dari luar wilayah Indonesia. Ada berbagai tipe awan yang
dapat diamati di atmosfer. Secara umum, awan dibedakan
Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia
89
menurut ketinggian dan bentuknya. Ketinggian dasar awan
biasanya menjadi patokan klasifikasi awan.
Awan cumulonimbus (Cb) biasanya berkaitan dengan
hujan konvektif dengan intensitas tinggi (Gray and Jacobson Jr,
1977). Namun tidak semua awan menghasilkan hujan.
Identifikasi awan dan korelasinya dengan hujan yang teramati
dapat memberikan gambaran tipe awan yang berpotensi
menghasilkan hujan. Altostratus juga berpotensi menghasilkan
hujan, yaitu hujan stratiform (Field, 1999; Heymsfield, et.al.,
2002). Hal ini dapat menjadi petunjuk mengenai proses terjadinya
hujan, karena awan-awan tersebut mempunyai karakter yang
berlainan. Awan cirrus yang biasa ditemukan di troposfer atas
dan stratosfer bawah merupakan awan yang terdistribusi secara
global. Awan cirrus adalah salah satu jenis awan yang sangat
penting dalam komponen sistem iklim, namun yang paling
kurang dimengerti (Liou, 1986). Karena pengaruhnya terhadap
cuaca dan iklim di bumi,dinamika dan sifat radiatif dari awan
cirrus terus diperbaiki dalam pengembangan model atmosfer (Fu,
et.al., 1998; De Leon and Haigh, 2007; Gu, et.al., 2011).
Wilayah Indonesia mempunyai orografi yang kompleks dan
kondisi atmosfernya dipengaruhi banyak faktor, antara lain angin
darat-laut, monsun, ENSO (El Nino Southern Oscillation), dan
MJO (Madden-Julian Oscillation). Faktor-faktor tersebut
membuat kondisi atmosfer Indonesia bervariasi secara diurnal,
musiman, dan antar tahunan. Pemahaman tentang variasi
diurnal penting untuk perbaikan prediksi cuaca, dan pemahaman
tentang variasi musiman penting untuk prediksi musim.
Sedangkan variasi antar tahunan dapat mempengaruhi sifat
musim. Penelitian tentang variasi diurnal berbagai jenis awan di
Indonesia telah dilakukan oleh Lasmono, et.al., (2015), sementara
sebuah studi kasus tentang pengaruh El Nino, La Nina, dan MJO
pada distribusi awan di Indonesia telah dilakukan oleh Suaydhi
and Gammamerdianti (submitted).
Monsun merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada
musim di Indonesia. Kalau distribusi curah hujan di Indonesia
bervariasisecara bulanan atau musiman (Hamada, et.al., 2002;
Aldrian dan Susanto, 2003), maka distribusi tipe awan-awan
penghasil hujan diharapkan mempunyai variasi serupa. Namun
bagaimana variasi dari distribusi tipe-tipe awan lain yang bukan
Suaydhi, dkk
90
penghasil hujan? Makalah ini akan membahas variasi
bulanan/musiman berbagai jenis awan di Indonesia, dengan titik
berat pada pembahasan distribusi awan Cb.
2 DATA DAN METODOLOGI
2.1 DATA
Data dari Multi-functional Transport Satellite (MTSAT)
versi 2, data curah hujan dari Global Satellite Mapping of
Precipitation (GSMaP),dan data reanalisis dari European Centre
for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) digunakan dalam
makalah ini. Data MTSAT2 digunakan untuk identifikasi tipe
awan. Data reanalisis digunakan untuk menggambarkan kondisi
meteorologis. Data satelit mempunyai resolusi waktu satu jam
dan resolusi spasial 5 km. Data reanalisis mempunyai resolusi
waktu 6 jam dan resolusi spasial 0.125 derajat (atau 13,75 km).
MTSAT2 adalah sebuah satelit geostasioner, yang artinya
satelit tersebut lokasinya tetap pada posisi yang sama di atas
permukaan bumi. MTSAT2 terletak sekitar 35.800 km di atas
ekuator pada garis bujur 145⁰BT. Satelit ini difungsikan untuk
meningkatkan pelayanan meteorologi, seperti prediksi cuaca,
penanggulangan bencana alam, dan keamanan transportasi, yang
mencakup wilayah Asia Timur dan Pasifik bagian barat. Satelit ini
mempunyai lima kanal, empat dalam spektrum inframerah dan
satu dalam cahaya tampak. Pada makalah ini, data dari kanal
inframerah pertama dan kanal kedua (IR1 and IR2) digunakan
untuk menurunkan jenis awan.
Data curah hujan GSMaP diturunkan dari data radiometer
microwave pasif dan data radiometer infra merah hasil
pengamatan dari bermacam-macam satelit, seperti TRMM/TMI,
Aqua/AMSR-E, ADEOS-II/AMSR, DMSP/SSMI(F13, 14, 15),
GOES-8/10, METEOSAT-7/5 dan GMS. Tehnik filter Kalman
digunakan untuk membuat estimasi laju curah hujan permukaan
pada tiap piksel 0,1 derajat suhu kecerahan infra merah
menggunakan satelit-satelit GEO-IR (Ushio, et.al., 2009). Filter ini
memprediksi laju curah hujan dari radiometer microwave dan
hasil morphing dari data tersebut diperoleh dengan cara mirip
yang digunakan oleh Joyce, et.al, (2004). Kemudian data prediksi
ini diperbaiki berdasarkan hubungan antara suhu kecerahan
infra merah dan laju curah hujan permukaan. Data GSMaP
Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia
91
tersedia dalam resolusi waktu 1 jam. Rentang waktu data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dari Maret 2014 sampai
Februari 2015, karena data GSMaP bulan Januari dan Februari
2014 belum tersedia.
Data reanalisis yang digunakan dalam makalah ini adalah
ECMWF Reanalysis (ERA) Interim, yang merupakan generasi
reanalisis terbaru dari ECMWF. ERA Interim adalah produk
perantara yang menjembatani antara ERA-40 (1957-2002)
dangenerasi reanalisis lengkap selanjutnya. Perbaikan data
ERAInterim atas pendahulunya adalah melalui berbagai
perbaikan dalam model yang digunakan, penggunaan analisis
variasional 4 dimensi, analisis kelembapan yang diperbaiki,
penggunaan koreksi bias variasional untuk data satelit, dan
perbaikan-perbaikan lainnya dalam penanganan bias (Dee, et.al.,
2011).
2.2 METODOLOGI
Sebuah metode two-dimensional threshold diagram (2D-
THR) from Suseno and Yamada, (2012) digunakan untuk
mengklasifikasikan tipe awan. Dengan metode ini ada tipe awan
yang diidentifikasi, yaitu cumulonimbus (Cb), mature
cumulonimbus (MCb), awan rendah, awan menengah, awan
cirrus tipis, dan awan cirrus tebal. Metode ini menggabungkan
nilai ambang (threshold) dari suhu kecerahan kanal infra merah 1
(TIR1) dan nilai ambang dari perbedaan suhu kecerahan antara
kanal infra merah 1 dan kanal infra merah 2 (∆TIR1-IR2). Jika
dalam Suseno dan Yamada, (2012) nilai ambang minimum TIR1
untuk awan Cb yang dipakai adalah 200 K, maka dalam makalah
ini yang dipakai adalah 180 K.Dengan nilai ambang minimum
TIR1 180K, hasil perbandingan awan Cb dan curah hujan lebih
menunjukkan kesesuaian dengan intensitas curah hujan,
terutama di pusat awan Cb [Suaydhi dan Gammamerdianti,
(submitted)]. Pemakaian nilai 180 K ini didasarkan pada hasil
penelitian Chen dan Houze Jr, (1997) bahwa suhu puncak awan
Cb bisa lebih rendah dari 200 K, yakni bisa mencapai 180 K.
Suaydhi, dkk
92
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Distribusi Spasial Awan Cb dan MCb
Gambar 1 menunjukkan fase bulanan awan
Cumulonimbus (Cb), awan MatureCumulonimbus (MCb) dan
hujan dari GSMap pada tahun 2014. Awan Cb (Gambar 1a)
mendominasi wilayah Indonesia terutama di bulan-bulan
Desember dan Januari. Namun demikian wilayah pantai barat
Sumatra dan di atas Sumatra Barat, Jambi, dan pantai selatan
Jawa Barat, awan Cb lebih dominan pada bulan Nopember. Di
atas sebagian Jawa Barat bagian selatan, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Selatan bagian timur dan sebagian Papua, awan Cb
lebih banyak teramati di bulan Maret. Beberapa wilayah, seperti
pantai barat Sulawesi Barat dan Tengah Maluku dan Papua,
awan Cb paling banyak teramati pada bulan Mei. Awan Cb di
ujung Sumatra bagian utara lebih banyak terlihat pada bulan
September. Awan MCb (Gambar 1b) juga mempunyai pola
penyebaran yang mirip dengan awan Cb, namun tidak
mempunyai batas yang tegas seperti pada awan Cb.
Distribusi fase bulanan awan Cb dan MCb (Gambar 1a dan
b) kemudian dibandingkan dengan data fase curah hujan dari
GSMaP. Gambar 1cmenunjukkan fase bulanan curah hujan
GSMaP untuk rentang waktu Maret 2014 sampai dengan Februari
2015. Data Januari dan Februari 2015 digunakan untuk
mengganti data Januari dan Februari 2014 yang belum tersedia.
Hal ini bertujuan untuk melengkapi 12 bulan dalam melihat fase
bulanan curah hujan. Secara umum perbandingan fase bulanan
antara kombinasi awan Cb dan MCb dengan curah hujan
menunjukkan kemiripan pada distribusi spasialnya.
Gambar 2 menunjukkan fase bulanan awan Cb dan MCb
rata-rata selama lima tahun (2010-2014). Gambar tersebut
menunjukkan pada bulan apa awan Cb dan MCb mendominasi
suatu wilayah. Karena awan Cb adalah awan yang menghasilkan
hujan dengan intensitas tinggi, maka Gambar 2a memetakan
puncak curah hujan di suatu wilayah. Sumatra umumnya
mempunyai puncak curah hujan pada bulan Nopember, Jawa
pada bulan Desember, pantai utara Jawa pada bulan Januari,
kepulauan Maluku pada bulan Mei, dan sebagainya. Gambar 2b
menunjukkan bahwa awan MCb dominan di wilayah Indonesia
pada bulan-bulan Nopember sampai Februari, kecuali di daerah
Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia
93
Maluku dan sekitarnya yang umumnya terjadi pada bulan Mei
sampai Agustus. Distribusi awan Cb dan MCb ini jelas
disebabkan oleh pengaruh monsun.
Monsun merupakan proses konvergensi sirkulasi udara.
Pada bulan-bulan Desember sampai Februari, monsun Asia
banyak membawa uap air ke wilayah Indonesia yang berakibat
pada sangat tingginya tingkat kelembapan udara di wilayah
Indonesia. Kelembapan udara yang tinggi meningkatkan
pembentukan awan-awan Cb dari proses konveksi. Oleh karena
itu fasa puncak awan Cb bersesuaian dengan puncak musim
hujan di suatu wilayah.
Untuk melihat bagaimana pengaruh monsun terhadap
distribusi kedua awan tersebut di beberapa wilayah Indonesia,
maka pada Gambar 2a telah dibuat kotak-kotak di sebagian
wilayah Aceh (3.5º LU - 5º LU, 96.5º - 98.5º BT), SumatraBarat (3º
LS - 1º LU, 99º - 103º BT), Jawa (8º - 6.5º LS, 107º - 113º BT),
KalimatanBarat (2º LS - 1º LU, 109º - 113º BT), Maluku (4.5º -
3.5º LS, 127º - 130.5º BT), dan Papua (5º - 2º LS, 136º - 140º
BT). Wilayah-wilayah tersebut dipilih untuk mewakili variasi
spasial dari distribusi awan Cb. Aceh mewakili wilayah di sebelah
utara ekuator dengan puncak awan Cb pada bulan
Mei/September. Sumatra Barat dan Kalimantan Barat mewakili
wilayah di ekuator. Maluku dan Papua mewakili wilayah di
sebelah selatan ekuator. Pulau Jawa mewakili wilayah di sebelah
selatan, namun relatif jauh dari ekuator.
Suaydhi, dkk
94
Gambar 1. Fase bulanan awan Cumulonimbus (a), awan
Mature Cumulonimbus (b), dan hujan dari GSMap
(c), pada tahun 2014. Warna putih (jika ada)
mengindikasikan tidak awan atau hujan yang
teramati.
Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia
95
Gambar 2. Fase bulanan awan Cb dan MCb rata-rata 5 tahun
(2010-2014). Pada panel atas, enam daerah yang
ditandai dengan kotak akan dianalisis lebih lanjut.
3.2 Siklus Tahunan Awan Cb dan Kondisi Atmosfer
Siklus tahunan rata-rata 5 tahun (2010-2014) tutupan
awan Cb dan total precipitable water (TPW) untuk masing-masing
daerah di atas dapat dilihat pada Gambar 3. Pada siklus tahunan,
puncak fasa awan Cb di Aceh terjadi pada bulan September dan
tutupan awan Cb sangat tinggi dari bulan Juli sampai Desember
dengan persentasi tutupan awan mencapai 95% (Gambar 3a).
Secara spasial, tutupan awan di Aceh mempunyai puncak fasa
awan Cb pada bulan Mei dan September yang dikelilingi oleh
daerah dengan puncak fasa awan Cb pada bulan Nopember dan
Desember (Gambar 2). Sedangkan puncak TPW sendiri terlihat
pada bulan Mei dan Nopember (mendekati 50 kg/m2).
Sumatra Barat dan Kalimantan Barat yang wilayahnya
dilintasi garis ekuator mempunyai dua puncak siklus awan Cb
yang jelas, yaitu pada bulan April dan Nopember (Gambar 3b dan
d). Persentasi tutupan awan Cb pada kedua wilayah ini bisa
Suaydhi, dkk
96
mencapai 90% pada bulan Nopember dan paling rendah sekitar
65%. Papua juga mempunyai puncak tutupan awan Cb pada
bulan April dan Nopember, dengan persentasi maksimumnya
hanya sekitar 80% dan minimum 70% (Gambar 3f). TPW di ketiga
wilayah ini cukup stabil sepanjang tahun, antara 45 dan 55
kg/m2.
Wilayah kepulauan Maluku di sebelah selatan pulau
Seram dan pulau Buru mempunyai dua siklus puncak awan di
bulan Mei dan Desember/Januari (Gambar 3e). Namun
prosentase tutupan awan Cb tertinggi terlihat pada bulan Mei
yang mencapai 90%. Hal ini juga terlihat pada distribusi spasial
yang dominan pada bulan Mei (Gambar 2a). Siklus tahunan
tutupan awan Cb di Maluku sangat kontras dengan nilai
minimum di bawah 35% pada bulan Oktober. Siklus TPW juga
mempunyai maksimum pada bulan Mei dan minimum pada
bulan Oktober.
Pulau Jawa yang relatif cukup jauh dari garis ekuator
mempunyai satu nilai maksimum pada bulan Desember/Januari
dan minimum pada bulan Agustus. Siklus tutupan awan Cb di
bulau Jawa sangat mencolok, saat maksimum bisa mencapai 85%
dan saat minimum hanya sekitar 10%. Siklus TPW di pulau Jawa
juga terlihat sangat jelas, nilai maksimum pada
Desember/Januari mencapai 55% dan nilai minimum pada
Agustus di bawah 40%.
Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia
97
Gambar 3. Siklus tahunan tutupan awan Cb dan precipitable
water (TPW) di atas Aceh, Sumatra Barat, Jawa,
Kalimantan Barat, Maluku, dan Papua, rata-rata
2010 - 2014.
Awan Cb terbentuk dari proses konveksi. Proses ini berasal
dari kondisi ketidak-stabilan atmosfer. Moist Static Energy (MSE)
dapat dipakai untuk mengukur kekuatan konveksi di suatu
daerah (Raymond, et.al., 2009). Oleh karena itu untuk melihat
variasi bulanan/musiman awan Cb, MSE akan digunakan
sebagai indikator kondisi ketidak-stabilan atmosfer. Makin tinggi
nilai MSE, makin tidak stabil kondisi atmosfer. MSE didefinisikan
sebagai berikut (Maloney, 2009):
𝑀𝑆𝐸 = 𝑐𝑝𝑇 + 𝑔𝑧 + 𝐿𝑞𝑣 …………………………….. (1)
di mana cp adalah kapasitas panas pada tekanan yang sama, T
temperatur, g percepatan gravitasi, z ketinggian, L panas laten
penguapan pada 0ºC, dan qv nisbah campuran uap air.
Gambar 4 menunjukkan siklus tahunan MSE rata-rata
lima tahun (2010-2014) pada enam wilayah di Indonesia. Aceh
Suaydhi, dkk
98
mempunyai dua siklus MSE, dengan nilai MSE rendah terdeteksi
pada bulan Februari dan Juli dan nilai MSE tertinggi pada bulan
Mei dan Nopember (Gambar 4a). Nilai rendah pada bulan Februari
disebabkan oleh posisi matahari berada jauh dari wilayah Aceh.
Ketika matahari telah melewati wilayah Aceh, nilai MSE mencapai
puncak pada bulan Mei. Penjelasan serupa juga berlaku untuk
nilai MSE rendah pada bulan Juli dan nilai agak tinggi pada
bulan Nopember. Nilai minimum pada bulan Februari lebih
rendah dari pada bulan Juli, karena Aceh terletak di utara garis
ekuator dan matahari berada di belahan bumi selatan pada bulan
Februari dan di belahan bumi utara pada bulan Juli. Namun
kecepatan vertikal tertinggi terjadi pada bulan September.
Kecepatan vertikal yang tinggi sebenarnya terdeteksi dari Juli
hingga Desember. Pada bulan-bulan inilah Aceh mempunyai
tutupan awan Cb yang tinggi (lihat Gambar 3a). Nilai MSE dan
kecepatan vertikal paling rendah terdeteksi di Aceh pada bulan
Februari, sehingga menyebabkan tutupan awan Cb paling rendah
pada bulan tersebut.
Sumatra Barat dan Kalimantan Barat mempunyai dua
nilai minimum MSE yang hampir sama, karena dua wilayah ini
dilintasi garis ekuator (Gambar 4b dan d). Kedua nilai minimum
ini terjadi pada waktu yang simetris, yaitu bulan Februari dan
Agustus. Tutupan awan Cb minimum di Sumatra Barat terjadi
pada bulan Februari dan Agustus, namun di Kalimantan Barat
tutupan awan Cb minimum terjadi di bulan Juni dan Juli.
Kecepatan vertikal minimum di Kalimantan Barat yang terjadi
pada bulan Juni dan Juli lebih sesuai dengan siklus tutupan
awan Cb di wilayah ini.
Pulau Jawa hanya mempunyai satu nilai minimum MSE,
yaitu di bulan Agustus dan September (Gambar 4c). Hal ini
bersesuaian dengan prosentase tutupan awan di Pulau Jawa yang
mencapai level paling rendah (di bawah 20%) pada bulan yang
sama. Sangat rendahnya tutupan awan Cb di Jawa pada bulan
tersebut dipengaruhi oleh nilai MSE yang sangat kecil (di bawah
327 kJ/kg), TPW yang sangat rendah (< 40 kg/m2) dan kecepatan
angin vertikal yang rendah. Namun penurunan prosentase awan
Cb yang rendah sudah terjadi sejak Mei dan berlangsung sampai
Oktober (Gambar 3c), bersamaan dengan menurunnya kecepatan
vertikal dan MSE pada periode yang sama.
Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia
99
Maluku dan Papua juga memiliki dua pusat minimum
MSE seperti yang terlihat di Aceh, Sumatra Barat dan Kalimantan
Barat. Di Maluku dan Papua, nilai MSE paling rendah terdeteksi
di bulan Agustus sampai Oktober (Gambar 4e dan f). Ini berbeda
dengan Aceh yang mengalami nilai MSE paling rendah pada bulan
Februari. Fenomena ini menunjukkan bahwa kestabilan atmosfer
dipengaruhi oleh posisi matahari. Aceh yang berada di utara garis
ekuator mempunyai nilai MSE paling rendah di bulan Februari
ketika matahari berada di selatan ekuator, sedangkan Maluku
dan Papua yang berada di selatan garis ekuator mempunyai MSE
paling rendah di bulan Agustus sampai Oktober.
Gambar 4. Seperti Gambar 3, namun untuk siklus tahunan
profil vertikal moist static energy (MSE) beserta
angin vertikal.
3.3 Jenis-jenis Awan Lainnya
Gambar 5 menunjukkan fase bulanan awan menengah
(mid-level cloud) dan awan rendah (low-level cloud) rata-rata 5
tahun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Distribusi
spasial awan menengah tidak mempunyaia pola tertentu (Gambar
5a).Sedangkan distribusi awan level rendah (Gambar 5b)
Suaydhi, dkk
100
menunjukkan pola yang hampir simetris antara belahan bumi
utara (BBU) dan belahan bumi selatan (BBS). Di BBU awan level
rendah terlihat dominan dari bulan Desember hingga Maret,
sementara di BBS awan ini dominan dari bulan Mei hingga
Nopember. Hal ini menunjukkan bahwa awan level rendah yang
mencakup kabut terbentuk di bulan-bulan musim dingin.
Gambar 5. Fase bulanan awan level menengah (a) dan awan level
rendah (b) rata-rata 5 tahun (2010-2014).
Gambar 6 menunjukkan fase bulanan awan cirrus di
Indonesia rata-rata lima tahun dari tahun 2010 sampai dengan
tahun 2014. Secara umum wilayah Indonesia mempunyai puncak
fase awan cirrus, baik cirrus tebal (Gambar 6a) dan cirrus tipis
(Gambar 6b), pada bulan Januari dan Desember. Khusus untuk
Sumatra dan sebagian Jawa, puncak awan cirrus tipis terjadi
pada bulan Mei. Sementara untuk wilayah di sebelah utara
Indonesia, puncak fase awan cirrus terjadi antara bulan Juli dan
Nopember.
Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia
101
Cirrus tebal berasal dari anvil awan cumulonimbus,
sedangkan cirrus tipis diperkirakan terbentuk melalui
penyebaran dan peluruhan aliran yang keluar dari sistem
konveksi dan melalui pendinginan yang terkait dengan gerakan
mengapung skala besar (Boehm and Verlinde 2000). Distribusi
spasial fase bulanan awan cirrus sekilas mirip dengan distribusi
awan Mature Cumulonimbus (Gambar 2b), karena awan cirrus
terbentuk dari peluruhan awan MCb. Khusus untuk Sumatra dan
Jawa yang mempunyai fase puncak awan cirrus pada bulan Mei
mungkin mempunyai proses pembentukan yang berbeda.
Gambar 6. Fase bulanan awan cirrus tebal (a) dan cirrus tipis (b)
rata-rata 5 tahun (2010-2014).
4 KESIMPULAN
Distribusi spasial berbagai jenis awan di Indonesia dan
sekitarnya menunjukkan variasi secara musiman. Awan-awan Cb
dan MCb yang merupakan sumber utama curah hujan
memperlihatkan bahwa puncak fasa kedua jenis awan ini
Suaydhi, dkk
102
bersesuaian dengan puncak musim hujan di Indonesia, seperti
Jawa pada bulan Desember dan Januari, di Sumatra Barat pada
bulan Nopember, dan Ambon dan sekitarnya pada bulan Mei.
Kedua jenis awan ini terbentuk dari proses konveksi di
lingkungan atmosfer yang tidak stabil. Analisis MSE sebagai
indikator ketidakstabilan atmosfer menunjukkan bahwa nilai
MSE yang tinggi bersesuaian dengan puncak fasa awan Cb. Nilai
MSE minimum bersesuaian dengan rendahnya tutupan awan Cb
di suatu daerah. Namun demikian kecepatan vertikal atmosfer
juga berpengaruh terhadap distribusi awan Cb. Kombinasi nilai
MSE dan kecepatan vertikal atmosfer menentukan puncak fasa
awan Cb di suatu daerah.
Jenis-jenis awan lainnya, yaitu awan rendah (stratus,
cumulus, nimbostratus), awan menengah (altostratus,
altocumulus), dan awan tinggi (awan cirrus) mempunyai
distribusi puncak fasa yang bervariasi. Awan level rendah
mempunyai puncak fasa di bulan-bulan musim dingin. Awan level
menengah tidak menunjukkan distribusi spasial yang jelas.
Awan-awan cirrus mempunyai penyebaran mirip dengan awan
MCb, karena awan cirrus diperkirakan terbentuk dari peluruhan
sistem konveksi.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada para reviewer yang
telah membantu memperbaiki kualitas makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN
Aldrian, E., and R. D. Susanto, 2003: Identification of three
dominant rainfall regions within Indonesia and their
relationship to sea surface temperature. International
Journal of Climatology, 23, 1435-1452, 10.1002/joc.950.
Boehm, M. T., and J. Verlinde, 2000: Stratospheric influence on
upper tropospheric tropical cirrus. Geophys. Res. Lett., 27,
3209-3212
Chen, S. S., and R. A. Houze Jr., 1997: Diurnal Variation and Life
Cycle of Deep Convective Systems over the Tropical Pacific
Warm Pool. Q. J. Roy. Meteor. Soc., 123, 357-388
Variasi Musiman Berbagai Jenis Awan di Indonesia
103
De Leon, R. R., and J. D. Haigh, 2007: Infrared properties of
cirrus clouds in climate models. Q. J. Roy. Meteor. Soc.,
133, 273-282
Dee, D. P., and Coauthors, 2011: The ERA-Interim reanalysis:
configuration and performance of the data assimilation
system. Q. J. Roy. Meteor. Soc., 137, 553-597,
10.1002/qj.828.
Field, P. R., 1999: Aircraft observations of ice crystal evolution in
an altostratus cloud. J. Atmos.Sci., 56, 1925-1941
Fu, Q., P. Yang, and W. B. Sun, 1998: An accurate
parameterization of the infrared radiative properties of
cirrus clouds for climate models. J. Climate, 11, 2223-2237
Gray, W. M., and R. W. Jacobson Jr. , 1977: Diurnal Variation of
Deep Cumulus Convection. Mon. Wea. Rev., 105, 1171-
1188
Gu, Y., K. N. Liou, S. C. Ou, and R. Fovell, 2011: Cirrus cloud
simuations using WRF with improved radiation
parameterization and increased vertical resolution. J.
Geophys. Res., 116, D06119, doi:10.1029/2010JD014574.
Hamada, J.-I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A.
Winarso, and T. Sribimawati, 2002: Spatial and temporal
variations of the rainy season over Indonesia and their link
to ENSO. J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285-310
Heymsfield, A. J., and Coauthors, 2002: Observations and
parameterizations of particle size distributions in deep
tropical cirrus and stratiform precipitating clouds: Results
from in situ observations in TRMM field campaigns. J.
Atmos.Sci., 59, 3457-3491
Joyce, R. J., J. E. Janowiak, P. A. Arkin, and P. Xie, 2004: A
method that produces global precipitation estimates from
passive microwave and infrared data at high spatial and
temporal resolution. J. Hydrometeor., 5, 487-503
Lasmono, F., Suaydhi, and A. Nafiisyanti, 2015: Variasi diurnal
awan di atas Indonesia tahun 2014. Seminar Nasional
Sains Atmosfer 2015, (dalam proses penerbitan).
Liou, K.-N., 1986: Influence of cirrus clouds on weather and
climate processes: A global perspective. Mon. Wea. Rev.,
114, 1167-1199
Suaydhi, dkk
104
Maloney, E. D., 2009: The moist static energy budget of a
composite tropical intraseasonal oscillation in a climate
model. J. Climate, 22, 711-729
Raymond, D. J., S. L. Sessions, A. H. Sobel, and Z. Fuchs, 2009:
The mechanics of gross moist stability. Journal of
Advances in Modeling Earth Systems, 1, 1-20
Suaydhi, and Gammamerdianti, submitted: Distribusi jenis awan
di Indonesia pada saat El Nino, La Nina, dan MJO: Sebuah
studi kasus.
Suseno, D. P. Y., and T. J. Yamada, 2012: Two-dimensional,
threshold-based cloud type classification using MTSAT
data. Remote Sensing Letters, 3, 737-746
Ushio, T., and Coauthors, 2009: A Kalman filter approach to the
Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) from
combined passive microwave and infrared radiometric data.
J. Meteor. Soc. Japan, 87A, 137-151
Iis Sofiati Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter
Meteorologi Diurnal Luaran Model CCAM-
NWP di Kototabang
105
PREDIKSI DAN VALIDASI BEBERAPA PARAMETER
METEOROLOGI DIURNAL LUARAN MODEL CCAM-NWP
DI KOTOTABANG
PREDICTION AND VALIDATION OF SOME
METEOROLOGICAL PARAMETERS DIURNAL FROM
CCAM-NWP OUTPUT IN KOTOTABANG
Iis Sofiati
Bidang Pemodelan Atmosfer
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN
Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173
Email: sofiati07@gmail.com
Abstrak Dalam pemodelan prediksi cuaca diperlukan fase dan waktu yang tepat, tidak hanya untuk integrasi waktu singkat tetapi juga untuk simulasi iklim jangka panjang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa data luaran CCAM-NWP dan observasi permukaan di Kototabang dengan metode uji-T dan uji-F. Dalam penelitian ini digunakan data beberapa parameter meteorologi (suhu, curah hujan, kelembapan relatif, dan tekanan) jam-an luaran CCAM-NWP dan data dari AWS di stasiun pengamatan Loka-Kototabang. Dari hasil uji-T dan uji-F secara keseluruhan didapat bahwa hasil luaran CCAM-NWP dan observasi permukaan terdapat perbedaan yang signifikan. Kata kunci: Parameter meteorologi, CCAM-NWP, observasi permukaan, uji-T.
Abstract In modeling weather prediction required phase and right time, not just for a short time integration but also for long-term climate simulations. The purpose of this study was to analyze the CCAM-NWP output data and surface observations in Kototabang with method of T-test and F-test. This study used the data of meteorological parameters (temperature, precipitation, relative humidity, and pressure) hourly of CCAM-NWP output and from AWS data in Loka-Kototabang observation stations. Overall from the T-test and F-test
Iis Sofiati
106
results found that the CCAM-NWP output and surface observations there are significant differences.
Keywords: Meterological parameters, CCAM-NWP, surface observation, T-test.
1. PENDAHULUAN
Siklus diurnal merupakan sinyal paling dominan di
antara berbagai variasi skala dan waktu dalam sistem iklim.
Energi dan pertukaran air antara atmosfer dan lapisan
permukaan dibawahnya diatur terutama oleh siklus diurnal.
Oleh karena itu fase dan waktu yang tepat dalam siklus
diurnal ini merupakan suatu keharusan untuk pemodelan,
tidak hanya untuk integrasi waktu singkat tetapi juga untuk
simulasi iklim jangka panjang (Wang, 2012; Andi, 2010).
Penelitian dengan menggunakan model Cubic
Conformal Atmospheric Model (CCAM) resolusi 60 km untuk
simulasi atmosfer global telah dilakukan sebelumnya dalam
mempelajari skenario iklim masa depan untuk negara-negara
di sekitar Pasifik (Mc Gregor et al., 2012) dan di Indonesia
sendiri. Nguyen, et al., 2011 yang mempelajari skenario iklim
masa depan untuk negara-negara di sekitar Pasifik. Luaran
model tersebut sangat baik pada penentuan pola curah
hujan untuk musim transisi Maret-April-Mei dan September-
Oktober-November, dan perbaikan cukup baik untuk DJF
dan JJA (Nguyen, et al., 2014). CCAM juga mensimulasikan
perbaikan pola curah hujan di atas South Pacific Convergence
Zone (SPCZ) dan evaluasi kinerja fenomena tropis lainnya,
seperti El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan sirkulasi
Walker. CCAM juga digunakan oleh (Juaeni, I., dkk., 2013)
Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran
Model CCAM-NWP di Kototabang
107
yang menganalisa curah hujan bulanan dan harian untuk
wilayah Indonesia dengan model dinamik CCAM. Komparasi
secara visual dilakukan juga oleh peneliti lain (Kurniawan R.,
dkk., 2010) dengan membandingkan hasil luaran model
prakiraan cuaca antara CCAM dengan Action de Recherche
Petite Echelle Grande Echelle (ARPEGE) dan Tropical Limited
Area Prediction System (TLAPS) dimana dari penelitian
tersebut diperoleh hasil bahwa luaran ketiga model yang
disebutkan diatas memiliki pola yang hampir sama,
meskipun ARPEGE dan TLAPS menunjukkan hasil yang
sedikit lebih baik dari CCAM. Dalam penelitian tersebut
dinyatakan bahwa hasil yang berbeda diduga dikarenakan
penggunaan data analisis ARPEGE dan TLAPS sebagai
representasi data observasi.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam
penelitian ini akan dianalisis prediksi curah hujan dan suhu
luaran model dinamik Cubic Conformal Atmospheric Model-
Numerical Weather Prediction (CCAM-NWP) di wilayah
Kototabang Sumatera Barat dengan input model yang
digunakan adalah data dari Global Forecast System (GFS)-
NOAA (Marcus, 2010; Katzfey and Mohar, 2011). Dengan
mengembangkan model yang tervalidasi, dari penelitian ini
diharapkan dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat
dalam pengembangan luaran model untuk simulasi dan
prediksi cuaca.
2. DATA DAN METODOLOGI
2.1 DATA
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
beberapa parameter meteorologi (suhu, curah hujan,
Iis Sofiati
108
kelembapan relatif, dan tekanan) jam-an luaran CCAM-NWP,
dan data dari Automatic Weather Station (AWS) di stasiun
pengamatan Loka-Kototabang. CCAM merupakan model
variabel resolusi global, dan dengan menggunakan
transformasi Schmidt, didapat resolusi yang baik untuk
diaplikasikan di beberapa bagian belahan dunia (Mc Gregor
J. L., et al., 2008, Thatcher and Mc Gregor J. L., 2009).
Tabel 1. Konfigurasi simulasi CCAM-NWP.
Parameter Global
Model Cubic Conformal Atmospheric Model- Numerical Weather Prediction (CCAM-NWP)
Domain Indonesia
Resolusi 60 km, 8 km, 4 km
Time step Jam-an
Kendali - Topografi, albedo, roughness, rsmin, soil, vegetasi.
- Meteorologi dari Global Forecast System (GFS)-NOAA.
Kondisi awal Restart untuk jam-an
Skema konveksi CSIRO Mass-flux scheme
Waktu simulasi Tanggal 2-4 Januari, 2015
2.2 METODOLOGI
Metode yang dipakai dalam penelitian ini dengan
melakukan proses running dan menganalisis data parameter
meteorologi, dan konfigurasi simulasi pada Tabel 1.
Kemudian data parameter meteorologi luaran model CCAM-
NWP divalidasi secara statistik dengan metode Uji-T dan Uji-
F dengan data jam-an dari AWS untuk setiap hari selama
periode pengamatan. Sebagai kelengkapan analisa, dalam
Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran
Model CCAM-NWP di Kototabang
109
penelitian ini dilakukan uji statistik dan penjelasannya
adalah sebagai berikut: Uji-T merupakan Independent sample
t-test adalah jenis uji statistika yang bertujuan untuk
membandingkan rata-rata dua grup yang tidak saling
berpasangan yang dapat diartikan bahwa penelitian
dilakukan untuk dua subjek sampel yang berbeda. Prinsip
pengujian uji ini adalah melihat perbedaan variasi kedua
kelompok data, sehingga sebelum dilakukan pengujian,
terlebih dahulu harus diketahui apakah variannya sama
(equal variance) atau variannya berbeda (unequal variance)
(Thaisir, M., 2014). Kemudian uji-F digunakan untuk
mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama
(simultan) terhadap variabel terikat. Apabila hasil yang
diperoleh signifikan, hubungan yang terjadi dapat berlaku
untuk populasi. Penggunaan tingkat signifikansi yang
digunakan adalah P=0,05. Data dinyatakan memiliki varian
yang sama (equal variance) bila F-Hitung < F-Tabel, dan
sebaliknya, varian data dinyatakan tidak sama (unequal
variance) bila F-Hitung > F-Tabel. Bentuk varian kedua
kelompok data akan berpengaruh pada nilai standard error
yang akhirnya akan membedakan rumus pengujiannya.
Persamaan yang digunakan untuk uji varian adalah:
.... .... (1)
dengan : X1 = rata-rata data 1, X2= rata-rata data 2, n1 =
jumlah data 1, n1 = jumlah data 2, S1 = simpangan data 1, S1
= jumlah data 2, df = derajat kebebasan = n1 + n2 -2 .... (2)
Sedangkan persamaan yang digunakan untuk uji-F adalah:
Iis Sofiati
110
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
00Z 2 Jan
12Z 00Z 3 Jan
12Z 00Z 4 Jan
12Z
Temperatur Kotatabang2-4 Januari 2015
Obs
CCAM-NWP
F = 𝑆22
𝑆22 .......................... (3)
dengan S1 = simpangan data 1, S1 = jumlah data 2.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1 menunjukkan distribusi temporal
parameter meteorologi temperatur (suhu) luaran CCAM-NWP
dan observasi permukaan (AWS) pada tanggal 2 sampai 4
Januari 2015 di Kototabang.
Gambar 1. Distribusi temporal suhu luaran CCAM-NWP dan observasi permukaan (AWS) pada tanggal 2 sampai 4 Januari 2015 di Kototabang.
Berdasarkan hasil terlihat adanya perbedaan antara
suhu yang ditunjukkan oleh data luaran CCAM-NWP dan
AWS. Untuk luaran CCAM-NWP suhu rata-rata tertinggi (19-
25)oC terjadi pada pkl (14-17) WIB, dan suhu terendah (14-
19) oC terjadi pada pkl (24-06) WIB. Sedangkan dari data
AWS suhu rata-rata tertinggi (24-26)oC terjadi pada pkl (11-
15) WIB, dan suhu terendah (17,0-17,8) oC terjadi pada pkl 7
WIB. Pola distribusi temporal suhu tertinggi untuk model
terjadi lebih cepat dibandingkan dengan observasi.
Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran
Model CCAM-NWP di Kototabang
111
0.010.020.030.040.0
00Z 2 Jan
12Z 00Z 3 Jan
12Z 00Z 4 Jan
12Z
Curah Hujan CCAM-NWP Kotatabang2-4 Januari 2015
0.000.010.020.03
00Z 2 Jan
12Z 00Z 3 Jan
12Z 00Z 4 Jan
12Z
Curah Hujan Observasi Kotatabang2-4 Januari 2015
Intensitas curah hujan maksimum yang terjadi pada
tanggal 2 Januari dari luaran CCAM-NWP sebesar 33,4 mm
pada pkl 01 WIB (Gambar 2 a), terlihat lebih besar
dibandingkan dengan observasi yang hanya sebesar 0,02 mm
pada pkl 23 WIB (Gambar 2 b).
Gambar 2. Distribusi temporal curah hujan luaran CCAM-NWP (a) dan observasi permukaan (b) pada tanggal 2 sampai 4 Januari 2015 di Kototabang.
Sedangkan pada tanggal 3 Januari dari luaran model
curah hujan maksimum sebesar 15,7 pada pkl 11 WIB,
sementara dari observasi tidak terjadi hujan. Untuk tanggal
4 Januari curah hujan maksimum luaran model sebesar 3,5
pada pkl 15 WIB, dan dari observasi sebesar 0,02 pada pkl
20 WIB. Dari hasil tersebut terlihat adanya perbedaan
intensitas curah hujan dan waktu terjadinya yang cukup
signifikan.
(b)
(a)
Iis Sofiati
112
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
00Z 2 Jan
12Z 00Z 3 Jan
12Z 00Z 4 Jan
12Z
RH Kotatabang2-4 Januari 2015
Obs
CCAM-NWP
Selanjutnya dianalisa kelembapan relatif luaran
CCAM-NWP dan observasi permukaan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil terlihat
bahwa pola distribusi kelembapan relatif luaran model
berbanding terbalik dengan observasi permukaan.
Kelembapan relatif untuk luaran CCAM-NWP rata-rata
tertinggi sebesar 91% terjadi pada pkl 8 WIB, dan terendah
sebesar 42% terjadi pada pkl 12 WIB. Sedangkan dari data
AWS kelembapan relatif rata-rata tertinggi (91-95)% terjadi
pada pkl (3-6) WIB, dan terendah (66-77) % terjadi pada pkl
(8-11) WIB.
Gambar 3. Distribusi temporal kelembapan relatif luaran
CCAM-NWP dan observasi permukaan (AWS) pada tanggal 2 sampai 4 Januari 2015 di Kototabang.
Gambar 4 menunjukkan distribusi temporal
parameter meteorologi tekanan dari luaran CCAM-NWP dan
observasi permukaan (AWS) pada tanggal 2 sampai 4 Januari
2015 di Kototabang. Berdasarkan hasil terlihat adanya
perbedaan antara tekanan yang ditunjukkan oleh luaran
CCAM-NWP dan AWS. Untuk luaran CCAM-NWP tekanan
rata-rata tertinggi (904-919) hPa terjadi pada pkl (11-20)
Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran
Model CCAM-NWP di Kototabang
113
880.00
890.00
900.00
910.00
920.00
930.00
00Z 2 Jan
12Z 00Z 3 Jan
12Z 00Z 4 Jan
12Z
Tekanan Kotatabang
2-4 Januari 2015
Obs
CCAM-NWP
WIB, dan tekanan terendah (884-888) hpa terjadi pada pkl
(13-16) WIB. Sedangkan dari data AWS tekanan rata-rata
tertinggi (920-921) hPa terjadi pada pkl (13-17) WIB, dan
terendah rata-rata sebesar 918 hpa terjadi pada pkl 23 WIB.
Gambar 4. Distribusi temporal tekanan luaran CCAM-NWP
dan observasi permukaan (AWS) pada tanggal 2 sampai 4 Januari 2015 di Kototabang.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan uji-T dan uji-
F terhadap data yang dihasilkan oleh CCAM-NWP dan AWS.
Dengan uji-T independen yang pertama dilakukan adalah
melakukan uji homogenitas varian dengan kriteria pengujian
adalah: Jika F hitung ≥ F tabel maka Ho (homogenitas)
ditolak (varian beda), dan F hitung < F tabel maka Ho gagal
ditolak (varian sama). Setelah itu dilakukan uji-T dengan
perumusan hipotesa berdasarkan kriteria pengujian Ho
diterima jika T-tabel<T-hitung<T-tabel. Sementara Ho ditolak
jika T-hitung<T-tabel atau T-hitung>T-tabel, dan T-tabel
dapat dilihat pada lampiran. Dengan menggunakan
persamaan (2) dan (3), didapat nilai dF dan F untuk Suhu
(T), Curah hujan (Ch), kelembapan relatif (Rh), dan tekanan
(P), seperti yang tertulis pada Tabel 2.
Iis Sofiati
114
Tabel 2. Nilai uji varian (F) untuk beberapa parameter meteorologi
T
(Model)
T
(AWS)
Ch
(Model)
Ch
(AWS)
Rh
(Model)
Rh
(AWS)
P
(Model)
P
(AWS)
Mean 19,41 21,41 2,16 0,002 55,81 83,25 899,66 920,05
Varian 7,29 9.68 32,35 2,59 417,69 34,66 62,44 0,90
Jumlah data 72 72 72 72 72 72 72 72
df 71 71 71 71 71 71 71 71
F-hitung 1,33 8,0002E-07 0,08 0,014
F-tabel 1,48 0,67 0,68 0,68
Berdasarkan perhitungan uji-F, didapat bahwa untuk T, Ch, Rh, dan P, karena F-hitung < F-tabel,
maka data model dan data observasi memiliki varian yang sama. Selanjutnya dilakukan uji-T dengan
menggunakan persamaan (1), dan hasilnya seperti yang tertulis pada Tabel 3.
Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran
Model CCAM-NWP di Kototabang
115
Tabel 3. Nilai uji-T independen untuk beberapa parameter meteorologi
T
(Model)
T
(AWS)
Ch
(Model)
Ch
(AWS)
Rh
(Model)
Rh
(AWS)
P
(Model)
P
(AWS)
Mean 21,41 19,41 2,16 0,002 55,82 83,25 920,05 899,67
Varian 9,68 7,29 32,36 2,6E-05 417,69 34,66 0,9008 62,44
Jumlah data 72 72 72 72 72 72 72 72
df 142 142 142 142 142 142 142 142
P 6,52E-05 0,002 1,35E-20 5,1E-47
T-hitung 4,12 3,22 10,94 21,74
T-tabel 9,18 1,98 1,98 1,98
Kemudian dari perhitungan uji-T didapat bahwa untuk T, Ch, Rh, dan P, karena T-hitung > T-
tabel, dan P<0,05, maka homogenitas (Ho) ditolak, yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna
antara T, Ch, Rh, dan P yang dihasilkan dari model dengan observasi permukaan. Hasil penelitian lain
yang menyatakan bahwa luaran model kurang mendekati nilai observasi dinyatakan oleh Hutchinson and
Kesteven (2013).
Iis Sofiati
116
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil keseluruhan didapat bahwa hasil
luaran CCAM-NWP dan observasi permukaan untuk tanggal
2-4 Januari 2015 yang dianalisa dengan uji-T dan uji-F
untuk empat parameter meteorologi (suhu, curah hujan,
kelembapan relatif, dan tekanan) terdapat perbedaan yang
signifikan. Artinya hasil luaran CCAM-NWP pada data
pengamatan penelitian ini tidak mendekati nilai observasi.
Ucapan Terima Kasih
Terimakasih saya ucapkan kepada Bapak Drs. Nurzaman
Adikusumah, M.Si dan Bapak Drs. Bambang Siswanto, M.Si
untuk bantuannya dalam masalah running CCAM. Juga
kepada Sdr. Noviana Dewani M.Si, alumni Fakultas Ilmu dan
Teknologi Kebumian, Jurusan Sains Kebumian, Institut
Teknologi Bandung (ITB) atas bantuannya dalam
penggambaran output CCM-NWP.
DAFTAR RUJUKAN
Andi I., 2010: Pemodelan Curah Hujan Bulanan Berdasarkan
Metode Least Square-Non Linier, Spektra Vol.10, No. 2.
Hutchinson M., and Kesteven J., 2013: Assessing daily
rainfall extremes using a simple physicall-based
statistical model, 19th Annual National Conference of
the Australian Meteorological and Oceanographic
Society (AMOS).
Juaeni, I., Bambang S., Nurzaman A., Sofiati I., 2013:
Downscalling dan Uji Kinerja Model Atmosfer Indonesia
Resolusi Tinggi.. Prosiding Laporan Penelitian Inhouse
Triwulan ke-2, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-
LAPAN, Bandung.
Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran
Model CCAM-NWP di Kototabang
117
Katzfey J., and Chattopadhyay., 2011: Evaluation of high
resolution regional climate simulations over the islands
in the South Pacific, The Fifth International Verification
Methods Workshop, Melbourne Australia.
Kurniawan R., Sukma D.P., Anggraeni R., Kurnia E, K., 2010:
Perbandingan Hasil Luaran Model Prakiraan Cuaca Cubic
Conformal Atmospheric Model (CCAM) Terhadap ARPEGE
dan TLAP.
Marcus T., 2010: CCAM-Numerical Weather Prediction.
CSIRO Marine and Atmospheric Research- Australia.
McGregor J. L., Nguyen, Kim C., Thatcher M., 2008: Regional
Climate simulation at 20 km using CCAM with a scale
selective digital filter,. CSIRO Marine and Atmospheric
Research, The Australian Goverment Department of
Environment, http://www/wrcp-
climate.org/WGNE/Bluebook/2008/individual-
articles/07_McGregor_Johnwgne08.pdf#page=1&zoom=1
50,0,655 (diakses 2 Agustus 2013).
-------, Katzfey J., Nguyen K. C., Thatcher M., 2012: Regional
Climate Modelling Using CCAM: Simulations for
CORDEX, CSIRO Marine and Atmospheric Research-
Australia.
Nguyen, K. C., Katzfey, Jack J., Mc Gregor, John L., 2011:
Global 60 km simulations with CCAM: evaluation over
the tropics, Climate Dynamics, 39, Issue 3-4, pp. 637-
654.
--------. Katzfey J., Mc Gregor J. L., 2014: Downscalling over
Vietnam using the stretched-grid CCAM: verification of
mean and interannual variability of rainfall, Climate
Dynamic Vol. 43: 861-879. DOI 10.1007/s00382-013-
1976-5.
Thaisir M., 2014: Pendugaan Ketinggian Planetary Boundary
Layer (PBL) di Beberapa Lokasi di Wilayah Indonesia
Menggunakan Metode Empiris, Skripsi, Departemen
Geofisika dan Meteorologi FMIPA, Institut Pertanian
Bogor.
Iis Sofiati
118
Thatcher M., McGregor J.L., 2009: Using a scale-selective
filter for dynamical downscaling with the conformal cubic
atmospheric models (CCAM). Mon. Weather Rev.
137:1742–1752.
Wang Z, Chang C. P., 2012: A numerical study of the
interaction between the large-scale monsoon circulation
and orographic precipitation over South and Southeast
Asia. Journal of Clim. doi:10. 1175/JCLI-D-11-00136.1.
Prediksi dan Validasi Beberapa Parameter Meteorologi Diurnal Luaran
Model CCAM-NWP di Kototabang
119
Lampiran
Tingkat Signifikansi untuk tes satu sisi
0,40 0,25 0,10 0,05 0,025 0,01 0,005 0,0025 0,001 0,0005
Tingkat Signifikansi untuk tes dua sisi
df 0,80 0,50 0,20 0,10 0,05 0,02 0,01 0,005 0,002 0,001
1 0,325 1,000 3,078 6,314 12,706 31,821 63,657 127,32 318,31 636,62
2 0,289 0,816 1,886 2,920 4,303 6,965 9,925 14,089 22,327 31,598
3 0,277 0,765 1,638 2,353 3,182 4,541 5,841 7,453 10,214 12,924
4 0,271 0,741 1,533 2,132 2,776 3,747 4,604 5,598 7,173 8,610
5 0,267 0,727 1,476 2,015 2,571 3,365 4,032 4,773 5,893 6,869
6 0,265 0,718 1,440 1,943 2,447 3,143 3,707 4,317 5,208 5,959
7 0,263 0,711 1,415 1,895 2,365 2,998 3,499 4,029 4,785 5,408
8 0,262 0,706 1,397 1,860 2,306 2,896 3,355 3,833 4,501 5,041
9 0,261 0,703 1,383 1,833 2,262 2,821 3,250 3,690 4,297 4,781
10 0,260 0,700 1,372 1,812 2,228 2,764 3,169 3,581 4,144 4,587
11 0,260 0,697 1,363 1,796 2,201 2,718 3,106 3,497 4,025 4,437
12 0,259 0,695 1,356 1,782 2,179 2,681 3,055 3,428 3,930 4,318
13 0,259 0,694 1,350 1,771 2,160 2,650 3,012 3,372 3,852 4,221
14 0,258 0,692 1,345 1,761 2,145 2,624 2,977 3,326 3,787 4,140
15 0,258 0,691 1,341 1,753 2,131 2,602 2,947 3,286 3,733 4,073
Iis Sofiati
120
16 0,258 0,690 1,337 1,746 2,120 2,583 2,921 3,252 3,686 4,015
17 0,257 0,689 1,333 1,740 2,110 2,567 2,898 3,222 3,646 3,965
18 0,257 0,688 1,330 1,734 2,101 2,552 2,878 3,197 3,610 3,922
19 0,257 0,688 1,328 1,729 2,093 2,539 2,861 3,174 3,579 3,883
20 0,257 0,687 1,325 1,725 2,086 2,528 2,845 3,153 3,552 3,850
21 0,257 0,686 1,323 1,721 2,080 2,518 2,831 3,135 3,527 3,819
22 0,256 0,686 1,321 1,717 2,074 2,508 2,819 3,119 3,505 3,792
23 0,256 0,685 1,319 1,714 2,069 2,500 2,807 3,104 3,485 3,767
24 0,256 0,685 1,318 1,711 2,064 2,492 2,797 3,091 3,467 3,745
25 0,256 0,684 1,316 1,708 2,060 2,485 2,787 3,078 3,450 3,725
26 0,256 0,684 1,315 1,706 2,056 2,479 2,779 3,067 3,435 3,707
27 0,256 0,684 1,314 1,703 2,052 2,473 2,771 3,057 3,421 3,690
28 0,256 0,683 1,313 1,701 2,048 2,467 2,763 3,047 3,408 3,674
29 0,256 0,683 1,311 1,699 2,045 2,462 2,756 3,038 3,396 3,659
30 0,256 0,683 1,310 1,697 2,042 2,457 2,750 3,030 3,385 3,646
40 0,255 0,681 1,303 1,684 2,021 2,423 2,704 2,971 3,307 3,551
60 0,254 0,679 1,296 1,671 2,000 2,390 2,660 2,915 3,232 3,460
120 0,254 0,677 1,289 1,658 1,980 2,358 2,617 2,860 3,160 3,373
0,253 0,674 1,282 1,645 1,960 2,326 2,576 2,807 3,090 3,291
Recommended