View
17
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
FITRAH MANUSIA
MENURUT AL-QUR’AN
Di Susun Oleh :
DR. H. TAUFIK ABDILLAH SYUKUR, MA
HJ. SITI RAFIQOH RACHMAN, M.AG
i
KATA PENGANTAR
Yang akan diangkat dalam buku ini adalah konsep fitrah dari
Sayyid Qutb, seorang penyeru kebangkitan Islam paling
berpengaruh di abad dua puluh. Secara umum, karena kondisi
sosio-politis yang menghendaki, konsep-konsep keislaman yang
dirangkai Sayyid Qutb adalah konsep yang mengarah kepada
kebangkitan dan pembebasan Islam dari hegemoni Barat.
Demikian pula yang terjadi dengan konsep fitrah. Baginya, dasar
pembebasan diri dari “orang lain” adalah pembebasan dari
belenggu diri sendiri.
Dalam mengembangkan konsep fitrah-nya, Qutb memulai
dengan gagasannya tentang individu. Menurut Sayyid Qutb,
manusia secara potensial mempunyai kemampuan untuk mencapai
kedamaian dalam diri mereka sendiri serta punya kemampuan
untuk menyeimbangkan instink terdalam dengan kebutuhan-
kebutuhan yang secara fundamental asing bagi mereka, baik
sifatnya biologis, maupun sosial.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada segenap pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan buku ini. Penulis hanya
dapat berdo’a semoga pengorbanan segenap pihak dibalas dengan
pahala yang berlipat ganda oleh Allah Swt.
Depok, 10 Agustus 2018
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
BAB II SAYYID QUTB DAN TAFSIR FI ZILAL AL-QUR’AN....... 11
A. Riwayat Hidup........................................................................ 11
B. Tafsir fi Zilal al-Qur’an........................................................... 17
BAB III PEMAHAMAN ULAMA TENTANG FITRAH
A.Definisi Fitrah Secara Umum.................................................. 24
B. Pemahaman Ulama Tentang Fitrah......................................... 35
1. Pandangan Klasik Tentang Fitrah...................................... 36
2. Pandangan Neo-Klasik Tentang Fitrah.............................. 42
3. Pandangan Modern Tentang Fitrah.................................... 43
iii
BAB IV KONSEP FITRAH MANUSIA DALAM AL-QUR’AN
A. Manusia Sebagai Makhluk Merdeka...................................... 44
B. Konsep Fitrah Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an... 52
BAB V PENUTUP................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia modern saat ini telah memasuki gerbang
kemakmuran, kenyamanan, kemudahan, dan kecanggihan teknologi.
Suatu kondisi yang tentunya bernilai sangat posotif. Namun di balik
itu, sadar atau tidak, kecanggihan teknologi itu sekaligus menjadi
sembahan baru manusia selain Tuhan. Efek minimalnya, menggiring
manusia jauh dari Tuhannya, tradisi yang melingkupinya, dari dirinya
sendiri, serta institusi moralnya yang merupakan sifat dasar
spiritualnya atau fitrahnya. Keadaan ini adalah dampak dari
kecenderungan-kecenderungan anti religius yang menjadi salah satu
inti dari modernitas sekular. Penghambaan diri pada hal-hal material
dan melupakan sudut-sudut spiritual berakibat terjeblosnya manusia ke
dalam surga semu materialisme. Kebahagiaan dan keindahan yang
disuguhkan oleh materialisme terbukti tidak mampu memberikan
kenyamaan yang sesungguhnya. Semakin manusia mengejarnya,
semakin gersang batin manusia dari nilai-nilai kebahagiaan itu.
Keyakinan manusia terhadap institusi agama mulai dikaburkan
oleh dominasi pemikiran-pemikiran Barat modern yang materialistis.
Pemikiran-pemikiran yang mereka lontarkan telah meringsek institusi
agama ke pojok-pojok sepi, sekedar ritualitas rumah-rumah ibadah,
sekedar pelampiasan di kala nestapa, tidak lagi mempunyai peran
signifikan dalam arena profan, seperti politik, ekonomi, pendidikan,
moralitas, sosial dan budaya. Lebih dari pada itu, agama justru
dianggap menjadi pengganggu dinamika kehidupan duniawi.
2
Hanya saja, segencar apapun sekularisme dan modernitas
mengancam eksistens institusi keagamaan, ternyata tidak benar-benar
membumihanguskan instink beragama manusia. Di Barat sendiri, asal
materialisme, fenomena keberagamaan baik formal maupun informal
masih dapat diamati. Nilai-nilai keagamaan masih membentuk
kerangka refensi moral bagi kebanyakan orang-orang Barat1. Kondisi
sedemikian bisa dijelaskan melalui gagasan tentang fitrah.
Kecenderungan religius merupakan gejala alamiah nan suci pada
manusia. Ia menyatu pada sifat dasar manusia, pada fitrah. Sebabnya
adalah karena dalam diri manusia ada kecenderungan untuk kembali
ke ‘asal’ (dalam bahasa Arab, asl). Ada keyakinan bahwa dengan
kembali ke asal, manusia kembali ke keadaan yang lebih baik dari
sekarang karena saat ini manusia telah melangkah sangat jauh
meninggalkan relnya.
Lalu apa dan bagaimanakah sebenarnya fitrah itu? Bagaimana
para penafsir mengungkapkan ide-ide mereka tentang fitrah? Secara
umum, Yasien Muhamed dalam bukunya menyebutkan klasifikasi
pandangan penafsir tentang fitrah menjadi tiga; a). Pandangan klasik,
b). Pandangan neo-klasik, dan c). Pandangan modern.
Pandangan klasik mengenai fitrah salah satunya diwakili oleh
al-Ragib al-Isfhani. Ia melihat bahwa jiwa manusia (an-nafs al-
insaniyah) adalah tempat bagi fitrah dan merupakan khazanah hikmah
dan ilmu pengetahuan. Sejak lahir, bagi manusia sudah dipersiapkan
fitrah sebagai potensi tauhid di dalam hait. Karena fitrah Allah adalah
tauhid (keesaan) dan manusia lahir dari fitrah ini, maka manusia
1 Yasien Mohammed, Insan Yang Suci; Konsep Fithrah dalam Islam,
(Bandung: Mizan. 1997), hal.9
3
terlahir dengan pengetahuan dan keimanan bawaan. Hal ini terungkap
dalam al-Qur’an:
قم رتفأ ينحنيفافط هكللد ٱوج لي هالاعلن اسٱفطرل تيٱلل
لخل ق ٱتب ديل لل لك ين ٱذ ل قي م ٱلد ثر ك أ لالن اسٱولكن
ون لم ٠٣يع “Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah
itu. Tidak ada perubahaan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. ar-
Rum [30] :30)
ئككتبف ول أ ٢٢ل إيمنٱيق ل وبهم
“Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan
keimanan dalam hati mereka.” (al-mujadalah [58]: 22)
Sabda Rasulullah SAW:
دانه و كل مولود يولد على الفطرة، حتى يعرب عنه لسانه، فأبواه يه
سانه رانه أو يمج أو ينص
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, atau Majusi”.
(Riwayat Al-Bukhari).2
2 Imam al-Bukhari, Hadits al-bukhari, Dr al –Fikr; Bairut, 1992, juz II, hal.138
4
Untuk mendeteksi keberadaan fitrah itu, Allah mengadakan
dialog pra-eksistensial dengan manusia sebagaimana digambarkan
dalam al-Qur’an.
وإذ م ي ته ذ ر ورهم ه ظ من ءادم بني من رب ك خذأ
نأ نا شهد بلي قال وا م برب ك ت لس
أ سهم نف
أ علي م هده ش
وأ
ول وايو فلينل قيمةٱمتق هذاغ ن اعن ٢٧٢إن اك “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku Tuhanmu?”
mereka menjawab: “Benar, (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat
nanti kamu tidak menyatakan: “Sesungguhnya kami (bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)”. (al-A’raf [7]: 172)
Karena itu, tidak mungkin bagi manusia untuk menghapus
memori tauhid dari jiwanya karena telah menyatu dengan sifat dasar
manusia yang terdalam.3
Pandangan neo-klasik tentang fitrah diwakili oleh al-Attas,
juga dengan sandaran ayat al-Qur’an surat al-A’raf (7):172. Ia
mengatakan bahwa fitrah adalah sifat dasar manusia. Ketundukan
sadar dan kehendak bebas menampakkan harmonisasi. Sementara
3 Yasien Mohamed dari kitab al-Dzari’ah ila Makarim al-Syari’ah, kaya al-
Isfahani. Lihat ibid, hal 53-55.
5
penolakan dan pembangkangan untuk tunduk mengakibatkan
ketimpangan dan kekacauan. Ketundukan itu sendiri adalah suatu yang
wajar dan alami, sama dengan makna al-Quran surat (30):32. Analogi
ketundukan adalah utang kepada Allah yang cara membayarnya
dengan mengabdi kepada-Nya.4
Pandangan terakhir mengenai fitrah adalah pandangan modern.
Golongan ini diwakili oleh Ali Syari’ati dan Sayyid Qutb. Mereka
disebut juga dengan penafsir dualis, karena, sebagaimana banyak
pemikir Barat maupun Islam modern, mereka meyakini manusia
mempunyai dua dimensi. Satu dimensi menghubungkan manusia
dengan spesies binatang, dimensi lain menjembatani pertalian antara
manusia dengan Tuhan. Sisi kebinatangan memunculkan kebutuhan-
kebutuhan yang sifatnya jasadi semisal, makan, minum, tidur, seks,
dan lain-lain. Sementara dimensi ilahiyah senantiasa mencari
hakekat.5
Penafsiran seperti ini berkembang pesat selama abad ke-20 dan
sebagian besar diusung oleh pemikir muslim modern yang secara aktif
terlibat di dalam kecenderungan revolusioner di antara gerakan Islam
kontemporer yang menentang penindasan dan ketidakadilan.
Pandangan modern ini secara ketat bukanlah merupakan suatu konsep
intelektual akedemis dengan rumusan-rumusan teoritis, namun lebih
sebagai konsep praktis sebagai akibat dari realitas sosio-politis
kontemporer pada negara-negara bangsa muslim. Ia adalah sebuah
konsep pembebasan.
4 Dikutip oleh Yasin Mohamed dari Muhammad Naquib al-Attas, Islam The
Secularism and The Philosiphy of Future. Lihat ibid hal.58 5 Robet D. Lee, Mencari Islam Authentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Sampai
Nalar Kritis Arkoun, (Bandung, Mizan, 2000), hal.101
6
Yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah konsep fitrah dari
Sayyid Qutb, seorang penyeru kebangkitan Islam paling berpengaruh
di abad dua puluh. Secara umum, karena kondisi sosio-politis yang
menghendaki, konsep-konsep keislaman yang dirangkai Sayyid Qutb
adalah konsep yang mengarah kepada kebangkitan dan pembebasan
Islam dari hegemoni Barat. Demikian pula yang terjadi dengan konsep
fitrah. Baginya, dasar pembebasan diri dari “orang lain” adalah
pembebasan dari belenggu diri sendiri.
Dalam mengembangkan konsep fitrah-nya, Qutb memulai
dengan gagasannya tentang individu. Menurut Sayyid Qutb, manusia
secara potensial mempunyai kemampuan untuk mencapai kedamaian
dalam diri mereka sendiri serta punya kemampuan untuk
menyeimbangkan instink terdalam dengan kebutuhan-kebutuhan yang
secara fundamental asing bagi mereka, baik sifatnya biologis, maupun
sosial.6
Dalam bukunya, Inilah Islam, terjemahan dari Hadza al-Dzn,
Sayyid Qutb menulis “Ketika pribadi seseorang sesuai dengan fitrah-
nya sehingga segalanya dapat disalurkan secara wajar, ia akan mendaki
mengikuti fitrah-nya untuk mencapai derajat yang setinggi-tingginya.
Kemudian didapatinya segala yang menyenangkan dan menentramkan
hati”.7
6 Ada persamaan dengan ulasan Erich Fromm yang menguraikan bahwa
para nabi terdahulu diutus ke bumi untuk membebaskan manusia dari keterasingan dirinya oleh karena penghambaan kepada berhala-hala yang tidak bisa berbuat apa-apa. Keberadaan mereka, bahkan mencekal potensi-potensi yang dimiliki manusia. Namun Fromm melanjutkan analisisnya dengan kritikan bahwa ternyata agama-agama berhasil memusnahkan berhala-berhala, namun menghidangkan sesembahan baru yang bernama “Tuhan”. Lihat Erich Fromm, Masyarakat Yang Sehat. (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985) hal.60
7 Sayyid Qutb, Inilah Islam (Kuala Lumpur, IIFSO, 1985), hal 33-34
7
Potensi kemanusiaan, lanjut Qutb, akan menemukan jalur
aktualisasinya jika manusia mampu mnyeimbangkan antara kebutuhan
diri dan kebutuhan sosialnya. Sebagai individu, manusia
membutuhkan kebebasan dari dominasi manusia lain. Selain Allah
swt, manusia tidak boleh mencipta atau menghamba kepada siapapun
atau apapun. Salah satu format perbudakan adalah manusia
menjadikan manusia lain sebagai pembuat aturan bagi dirinya. Salah
satu firman Allah yang sangat mencela hal tersebut adalah:
ٱ ا و ت خذ د ون ن م بابا ر أ م بنه ور ه م باره ح
ٱأ ب نٱل مسيحٱولل
و مر أ يموما ب حنه مر وس هإل اه إل ل ا هاوحدا اإل و ب د اۥاإل اليع عم
ون رك ٠٢ي ش “Mereka menjadikan orang-orang alim mereka dan rahib-rahib
mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka
mempertuahankan) al-Masih, putera Maryam padahal mereka
hanya diseru menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutuan”. (al-Taubah[9]: 31)
Sebagai makhluk biologis, manusia tidak bisa lepas dari
tuntutan kebutuhan biologisnya. Kebebasan sejati tidak menghendaki
pembunuhan terhadap keinginan biologis, tapi menghendaki
penyaluran yang wajar.
Pada paparan di atas terlihat adanya tawaran yang unik dari
Sayyid Qutb mengenai fitrah. Keunikan itu ada pada tawarannya
8
bahwa fitrah tidak sekedar sebuah konsep teologis yang lekat pada
manusia sejak zaman pra-eksistensial, bersifat nostalgic belaka, namun
ia adalah sebuah konsep praktis yang dapat dijadikan landasan guna
mencapai insan kamil demi kesejahteraan manusia di masa datang.
Konsep dimaksudkan sebagai sebuah hasil pencerapan secara
intens seorang manusia terhadap apa saja yang ada di luar dirinya.
Sayyid Qutb merangkai banyak konsep sebagai hasil dari
pergumulannya dengan wacana keagamaan dan sosial-politik di saat
dia hidup. Salah satunya adalah fitrah. Fitrah banyak dibahas oleh pra
ulama, baik tafsir maupu pemikir Islam. Masing-masing memiliki
sudut pandang yang berbeda, tergantung pada kecenderungan dan
masa di saat pemikir itu hidup, Sayyid Qutb dalam hal ini berdiri di
jajaran pemikir-penafsir modern yang dualistis.
Sedangkan Sayyid Qutb dimaksudkan sebagai tokoh yang
pernah hadir apa abad 20 dan mempunyai sebuah karya yang menjadi
magnum opus-nya yaitu Fi Dhilal al-Qur’an. Dari dalam tafsir inilah
konsep fitrah akan digali.
Adapun permasalahan yang akan menjadi bahasan didalam
skripsi ini adalah: Bagaimana Sayyid Qutb menjelaskan konsep fitrah
dalam al-Qur’an sebagaimana tertuang dalam Tafsir Fi Zilal Al-
Qur’an.
Penelitian ini pada dasarnya bersifat literer library research,
maka sumber data penelitian ini sepenuhnya berdasarkan kepada riset
keperpustakaan, mengandalkan tulisan-tulisan Sayyid Qutb dan tulisan
lain yang ada relevansinya, 8dengan menggunakan tiga metode
8 Seperti; Yasien Mohammed, Insan Yang Suci: Konsep Fithrah dalam Islam,
Bandung: Mizan, 1997, Muhammad Chizrin, Jihad Menurut Sayid Qutb dalam Tafsir Zhilal, Intermedia; Solo, 2001, dan Abdul Mujib, Fithrah dan Kepribadian Islam; Sebuah pendekatan Psikologis, Darul Falah: Jakarta, 1999
9
pembahasan; deskriptif, comparative, dan analistis. Ketiganya secara
bersamaan membentuk isi skripsi.
Metode deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan
objek semata-mata apa adanya. Langkah ini diambil sebagai awalan
yang sangat penting karena ia adalah dasar bagi penelitian selanjutnya.
Sebagai orang yang pemikirannya sangat berpengaruh pada
kebangkitan Islam, Sayyid Qutb tentunya tidak lepas dari lingkungan
sosial politik yang melingkupinya. Makanya, penulisan biografi
menjadi sangat perlu.
Metode perbandingan diketengahkan melihat kehadiran Sayyid
Qutb di panggung dunia pemikiran. Kehadiaran Sayyid Qutb tidak
berdiri sendiri. Secara dialektis ia mempunyai hubungan dengan
pemikir-pemikir sezamannya, sebelum, bahkan mungkin pengaruh
terhadap pemikir-pemikir sesudahnya.
Metode analistis dianggap perlu karena menghasilkan
penelitian yang bersifat kritis. Dengan memakai metode ini,
diharapkan tersingkap keterlibatan Sayyid Qutb dengan persoalan-
persoalan kehidupan sekitarnya, sikap dan tanggapannya didalam
menatap nilai-nilai yang berlaku di zamannya.
Sedangkan metode penulisan mengacu pada buku “pedoman
penulisan skripsi, tesis, dan disertasi” yang diterbitkan oleh IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, pada bulan agustus tahun 2000 Masehi.
Mengacu pada metode penelitian diatas, pembahasan dalam
penelitian ini disistematisikan sebagai berikut. Pembahasan diawali
dengan pendahuluan yang menguraikan argumentasi seputar
signifikansi studi ini. Selain itu, pendahuluan diisi pula dengan latar
belakang masalah, perumusan masalah, metodologi penelitian, dan
sistsematika pembahasan.
10
Selanjutnya pembahasan diarahkan kepada seputar biografi
perjuangan Sayyid Qutb yang berisikan riwayat hidup dan seputar Fi
Zilal al-Qur’an.
Pada bab tiga akan dibahas definisi fitrah secara umum,
pembahasan ini dimulai dengan menyajikan ayat-ayat yang berkaitan
dengan fitrah dalam al-Qur’an, dan pemahaman beberapa ulama
tentang fitrah.
Pada bab empat akan dibahas konsep fitrah Sayyid Qutb dalam
Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, didahului dengan pembahasan manusia
sebagai makhluk merdeka, dan dilanjuti dengan pembahasan konsep
fitrah menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an.
Bab terakhir penutup berisi kesimpulan dan saran-saran.
11
BAB II
SAYYID QUTB DAN TAFSIR FI ZILAL AL-QUR’AN
A. Riwayat Hidup
Sayyid Qutb dilahirkan pada bulan September 1906, tepatnya
di desa Musya, termasuk wilayah propinsi Asyut, Qutb terlahir dengan
nama lengkap Sayyid Ibnu al-Haj Qutb Ibrahim Husein Syazaly.
Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim seorang nasionalis
yang memiliki kemampuan berfikir yang kuat dan kesadaran bernegara
yang hebat. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari beliau hanyalah
seorang petani yang saleh, tapi tidak sedikit aktivitas yang digelutinya
pada masa itu. Hal inilah yang secara tidak langsung telah
memperkenalkan kepada anak-anaknya tentang dunia perpolitikan
khususnya bagi Sayyid Qutb.
Qutb dibesarkan di tengah keluarga yang agamis. Lingkungan
keluarga, pendidikan, dan bakat alam telah mendukungnya menjadi
sosok manusia yagng “nyaris sempurna” dalam bidang sastra, politik,
dan agama. Aktivitas ayahnya telah banyak membuka jalan untuk
menjadikannnya seorang politikus ternama.9
Dalam hal pendidikan agama beliau mendapatkan perhatian
yang cukup baik di rumah ataupun di sekolah. Terutama sang ibu,
perhatiannya sangat tinggi terhadap praktek-praktek keagamaan di
rumahnya. Dengan penuh cinta kasih, beliau yang memiliki nama
Fatimah, telah mampu melahirkan dan menciptakan anak-nakanya
9 Syahdan, pada waktu itu ayahnya menjabat sebagai pengurus partai
Watani di desanya, bahkan rumahnya dijadikan pusat kegitan pendidikan dan latihan kader Watani dari desa tersebut.
12
menjadi “manusia”.10 Karenanya tak mengherankan jika Sayyid Qutb
mampu menerobos ke dalam aspek tradisional bangsa Arab pada
waktu itu. Beliau mampu menghafal al-Qur’an dalam usia yang relatif
sangat dini (10 tahun). Pengetahuannya yang mendalam dan luas
tentang agama tampaknya mempunyai pengaruh yang sangat melekat
pada dirinya. Ini merupakan pangkal tolak pada eksistensinya, dan
berfungsi sebagai parameter bagi kecerdasannya,11 terutama pada
tahun 1950 ketika ia berpalling kepada Islam yang telah memberikan
arti dan arah pada hidupnya.
Sayyid Qutb memulai pendidikannya pada usia enam tahun. Ia
masuk ke sekolah dasar (madrasah) dekat rumahnya. Pada waktu yang
sama pula ia belajar di sekolah keagamaan (kutab). Dua jalur
pendidikan yang berbeda inilah yang banyak memberikan warna pada
perkembangan pola fikir beliau selanjutnya.
Pada usia tiga belas tahun, Qutb melanjutkan pendidikannya di
Cairo dan masuk ke Dar al-Ulum, yang akhirnya menjadi Universitas
Cairo. Sejak itu, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh mentor-
mentornya, semisal Abbas Mahmud al-Aqqad yang cenderung pada
10 Sayyid Qutb termasuk salah satu dari lima bersaudara dari keturunan
isteri Qutb yang kedua yaitu Nafisah, Sayyid, Aminah, Muhammad, dan Nafisah. Uniknya dari lima bersaudara ini, bahwa kelimanya pernah dijebloskan ke penjara. Sayyid Qutblah yang paling tragis, karena beliau menghabiskan riwayat hidupnya di tiang gantungan. Lihat Mkram-Ibid, M. Gerakan-Gerakan Oposisi di Mesir, PrismaVol II No.3, 1982, hal 1
11 Sayyid Qutb mempersembahan sebuah karya tulis kepada ibunya al-Taswir al-Fanni fi al Qur’an. Pada kata pengantarnya diceritakan bahwa pandangannya tak kunjung hilang tentang ibunya yang tampak duduk dengan senang hati mendengarkan pengajian al-Quran di radio. Karyanya Mashahad al-Qiyamah Fi al-Qur’an diberikan kepada ayahnya. Tulisnya tentang dia:”Engkau tanamkan ketika kecil dalam kesadasranku tentang ketakutan pada Hari Kiamat. Ayah tidak menasehati aku, tidak pula menegurku, tapi menghidupkan kesadaran tentang hari kiamat”. Lih. John I. Esposito (ed). Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses dan Tantangan (CV. Rajawawli, Jakarta:1980) hal. 68
13
pendekatan Barat. Qutb menjadi sangat tertarik dengan sastra Inggris,
bahkan keranjingan untuk membaca apa saja yang berkaitan dengan
hal tersebut.
Setelah lulus, ia diangkat menjadi Inspektur Kementrian
Pendidikan, posisi yang akhirnya membuat Qutb mengabdikan dirinya
secara khusus pada penulisan. Dia banyak membuat puisi, cerita, dan
artikel,diantaranya kritik sastra.12 Qutb hidup di Mesir ketika
perbedaan pikiran dan debat di lingkungan kerajaan, tunduk kepada
pemikiran Nasserisme.13
Pada sekitar tahun 1930 dan 1940, ia terlibat dalam debat
mengenai upaya perbaikan kondisi masyarakat Mesir. Ia sangat
berhati-hati dalam menganalisa apa yang diyakininya menjadi
penyakit kaum muslim, yang berusaha menyesuaikan pola-pola asing,
dengan berupaya menirunya di negeri sendiri. Baginya, mereka
terjebak oleh impian dan harapan untuk mengadakan perubahan,
meningkatkan tatanan sosial, dan memberikan pembagian kekayaan
12 Bakat Sayyid di bidang sastra sebenarnya sudah mulai tampak pada
masa yang relatif muda. Terbukti pada usia 16 tahun dia sudah banyak membuat syair ciptaannya. Meskipun demikian. Qutb memasuki dunia tulis menulis – dibidang sastra- secara intensif pada umur 23 tahun. Sebagai kritikus sastra ia banyak menghasilkan karya, yang secara kronologis dapat dilihat sebagai berikut: a) Pada tahun 1932, ia berbicara mengenai arti pentingnya syair dan penyair dan diterbitkan dalam sebuah buku. b) Menerbitkan sebuah buku sebagai kritik terhadap karya Taha Husain Mustaqbal as-Saqafah Fi Misr. Tetapi tulisannya baru dapat diterbitkan setelah Qutb meninggal dunia. c). Pada tahun 1946 buku kritik yang berjudul Kutub wa Syakhsiyat telah terbit. Ini adalah kumpulan dari beberapa tulisannya tentang kritik sastra yang sebelumnya telah terbit. Ini adalah kumpulan dari beberapa tulisannya tentang kritik sastra yang sebelumnya telah terbit di berbagai surat kabar dan majalah sastra di Mesir, terutama dalam ar-Risalah pada dekade empat puluhan. d). Buku Kritik sastra an-Nqd al-Adabi: Ushuluhy wa manhijuhu, diterbitkan pada tahun 1948, yang isinya adalah upaya untuk meletakkan dasar-dasar dan pendekatan yang seharusnya dilakukan oleh para kritikus dalam praktek kritik sastra. Lihat Makram-Ebeid, M.,op.cit., hal 2-3.
13 Lihat Muhammad Chirzin, Mag., Jihad Menurut Sayid Qutub dalam Tafsir Zhilal (Intermedia: Solo 2001), hal.29
14
dan kekuasaan secara adil dalam masyarakat. Qutb mengerahkan
segala kemampuannya untuk mengobati “penyakit” yang sedang
diderita oleh masyarakat Mesir pada waktu itu. Ternyata, beliau
kecewa dengan semua pemecahan yang pernah dicobanya. Sampai
akhirnya Qutb merumuskan sebuah pemecahan yang didasarkan pada
pandangan al-Qur’an namun tetap relevan dengan kehidupan sehari-
hari kaum Muslimin di Dunia Arab.14
Sebagai seorang intelektual, Qutb aktif dalam mengikuti
berbagai seminar dan diskusi yang berkaitan dengan kondisi
masyarakat dan perpolitikan di Mesir pada waktu itu. Siapapun akan
menyadari bahwa untuk merubah keadaan diperlukan pergolakan
politik atau revolusi. Qutb datang sebagai seorang revolusioner yang
membawa bendera moralitas. Ia mencela kemerosotan moral orang-
orang di sekitarnya, dan memahami sebab kemerosotan ini. Ia
mendesak agar semua orang memperhatikan sikap moral dalam
kehidupan sehari-hari, moralitas yang berdasarkan pada konsel al-
Qur’an. Sebagai orang Mesir yang negerinya telah lama dikendalikan
oleh Inggris, Qutb tidak terlalu mendapatkan kesulitan dalam
mengenali musuhnya. Pengalaman hidupnya di negeri Paman Sam
sebagai utusan Kementrian Pendidikan pada tahun 1948-1950,
membuat ia lebih terbuka dalam melihat musuhnya. Ternyata menurut
Qutb musuh Islam tidak hanya orang Inggris melainkan begitu
komplek lagi, yaitu Barat Sekuler, materialis individualis serta
kapitalis.
Qutb tetap optimis bahwa ideologi Islam akan mengemukakan
suatu argumen yang potensial terhadap kapitalisme dan maupun
memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi dan
14 John L. Esposito (ed), op.cit. hal.67
15
kesenjangan sosial. Tambahnya lagi, ideologi Islam tidak hanya
mampu memecahkan masalah-masalah seputar ekonomi dan sosial
saja, tetapi juga memberikan rasa aman dan harga diri pada kaum
muslimin.
Sekembalinya Qutb ke Mesir, ia bergabung dengan Ikhwanul
Muslimin sebagai jalur pergerakan yang diyakininya dapat
menampung dan merealisasikan semua keinginannya dalam
memperbaiki moral umat Islam. Qutb melihat Ikhwanul Muslimin
sebagai organisasi yang bertujuan mewujudkan kembali dan
melindungi masyarakat politik Islam, dan sebagai kelompok yang
ingin membuktikan keyakinan mereka.15 Antara Ikhwan dan Qutb ada
keselarasan, serentak menjadikan Islam sebagai alternatif bagi
penyakit yang menjangkiti Mesir saat itu. Keterpihakan Qutb kepada
Islam, bukanlah hal yang terjadi secara kebetulan, tetapi setelah
melalui proses intelektual yang kompleks. Hubungannya dengan
sejumlah figur terkemuka dalam Ikhwan saat itu, maupun tulisannya,
membuat orang menduga kapan sebenarnya ia masuk organisasi itu.
Meski demikian, kelihatannya Qutb resmi sebagai anggota pada tahun
1952.16
Antara Qutb, Ikhwan, dengan pemerintah terdapat kesamaan
visi dalam soal perlunya keadilan sosial yang besar dan perlunya
pembaruan. Karenanya, p ada tahun pertama masuknya Qutb sebagai
anggota Ikhwan, tercipta hubungan dekat dengan pemerintahaan
sebagai dampak dari kerja sama yang berhasil dalam kudeta militer,
15 Charles Tripp, Sayyid Qutb: Visi Politik, dalam Ali Rahnema(ed0, Para
Perintis Zaman Baru Islam. (Bandung: Mizan, 1996) cet III, 1998, hal 4. 16 Ibid
16
Juli 1952. Bahkan Qutb sempat ditawari oleh nasser untuk menduduki
jabatan pada Liberation Rally.17
Hubungan yang terjalin tadi tidak berlanjut lama, karena
adanya perselisihan antara tokoh revolusi dan Ikhwan. Sebenarnya
Qutb telah berusaha untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi,
namun gagal dan keputusan yang diambilnya adalah berpisah dari para
tokoh revolusi.
Pada tahun 1954-lah kllimaks dari perselisihan yang terjadi.
Qutb dan beberapa temannya di Ikhwan dijebloskan ke dalam penjara,
dengan tuduhan upaya pembunuhan terhadap Nasser. Sayyid Qutb
ditahan pada November 1954, sebagai bagian penangkapan besar-
besaran terhadap tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin.18 Pada 1955, Qutb
dituduh melakukan aktivitas subversif, berbentuk kegiatan agitasi anti-
pemerintah, dan dijatuhi hukuman selama 15 tahun “kerja keras”.
Selama dalam tahanan Qutb menjalani penyiksaan yang berpengaruh
kepada kondisi kesehatannya. Diceritakan, bahwa selama menjalani
hukuman Qutb menderita penyakit yang begitu kronis terutama pada
paru-parunya. Pada bulan mei 1964, Qutb dibebaskan dari penjara
karena kesehatannya semakin memburuk. Pada musim panas 1965,
Qutb dan kerabat Ikhwannya kembali ditangkap, dengan tuduhan
perencanaan kematian Nasser sekalilgus menumbangkan rezimnya,
membuat kekacauan yang akhirnya akan merebut kekuasaan. Qutb
diadili oleh pengadilan militer, yang dimulai pada 12 April 1966.
Sebagian besar tuduhan atas nama tulisan-tulisannya disamping atas
tuduhan yang sama sebelumnya. Akhirnya pada 21 Agustus 1966,
Qutb bersama Abdul Fatah Isma’il dan Muhammad Yusuf Hawwasy,
17 Ibid, Hal.159 18 Ibid, hal.164
17
dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Tepat pada 29
Agustus 1966, Qutb seorang revolusioner besar mengakhiri hayatnya
di tiang gantungan sebagai Syahid.
B. Tafsir Fi Zilal al-Qur’an
Qutb sebagai seorang intelektual pada abad 20-an, tergolong
sangat produktif dalam melahirkan karya tulis. Pemikirannya yang
dituangkan dalam tulisan-tulisan banyak mempengaruhi masyarakat
Islam, khususnya mahasiswa. Tidak jarang dalam kurun waktu satu
tahun ia dapat menyelesaikan dua sampai tiga buku sekaligus.19
Qutb menulis karya-karyanya dengan mengerahkan segala
pikiran dan perasaannya. Kecakapannya dalam mengungkapkan
pemikirannya dalam bidang agama sama baiknya dengan
kecakapannya dalam sastra. Selama hidupnya, ia telah menghasilkan
karya lebih dari dua puluh buku selain artikel-artikel yang tersebar di
berbagai media cetak.20 Tafsir Fi Zilal al-Qur-an yang menjadi sasaran
pembahasan pada skripsi ini diterbitkan di Beirut oleh Darusy-Syuruq
dalam rentang waktu antara tahun 1952 sampai tahun 1965.21
19 Pada tahun 1946 ia menghasilkan al –Madinah al-Mahsurat, Kutub wa Syaksiyat, dan Tifl min Qaryat. Disusul pada tahun 1947 dengan terbitnya Asywak Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur’an. 20 Diantara karya-karyanya : At-Taswirul Fanniy fil-Qur’an, Masyahid al-Qiyamah fil-Qur’an, al-Adalah al-Ijtima’iyyah fil Islam, Fi Zhilal al-Qur’an, as-Salamul-‘Alamiy wal-islam, al-Mustagbal li-Hadzad-Din, Hadza ad-Din, al-Islam wa Musykilat, al-Hadharah, khasha ‘ishul-Tashawwuril-Islamy wa Muqawwimatuhu, M’alim fih-Thariq, Ma’arakatuna Ma’al Yahud, Dirasat Islamiyyah, nahwa Mujitama Islamiy, an-Naqdul Adabiy:Ushuluhu wa Manahijuhu, Ma’arakah al-Islam war’Ra ‘Samaliyah, fit-Thariq F: Fikrah wa manahij, Muhimmta asy-syair fil-hayah, Naqdul Kitab al-Mustyaqbal ats-Tsaqofah fi Misr, Tifl min qaryah, dan al-Asywak. Lihat Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag, jihad menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir fi Zhilal, op.cit. hal.53-54
21 Lihat Charles Tripp, dalam Ali Rahnema, op.cot., hal 160
18
Sebelum membahasa karya monumentalnya, Tafsir Fi Zilal al-
Qur’an, alangkah baiknya, jika penulis sedikit menyinggung tentang
latar belakang penulisannya sebagai pertimbangan dalam memahami
karya besarnya tersebut. Qutb yang hidup pada masa Nasser melihat
bahwa sebagian masyarakat Mesir berada jauh dari ajaran al-Qur’an.
Baginya, sekarang saat yang tepat untuk menyadarkan mereka dari
kekeliruan selama ini. Buat Qutb, Islam adalah pedoman hidup yang
diciptakan Allah untuk manusia. Sepanjang manusia ini masih
mengalami perkembangan dan perubahan, maka Islam pasti cocok
untuk segala waktu dan tempat. Karenanya, Qutb sangat terobsesi
untuk menghadirkan al-Qur’an secara baru, persis seperti orang Arab
menerimanya pertama kali, saat mereka semua “tersihir”, baik yang
kafir ataupun yang beriman. Baginya, al-Qur’an adalah alternatif yang
tepat, ia dapat mengeluarkan mereka dari keterpurukan akhlak.
Penelaahan yang dilakukan Qutb terus-menerus, memberikan
pengalaman spiritual yang dirasakannya demikian indah. Hidup di
bawah naungan al-Qur’an baginya adalah sebuah kenikmatan.
Masyarakat yang tunduk kepada sesuatu selain Tuhan, ataupun berada
di bawah kekuasaan lain yang tidak sesuai dengan ajaran Islam disebut
dengan manusia jahiliyah. Qutb sama sekali tidak menolak perubahan
dan pembaharuan. Tetapi yang ia inginkan adalah bahwa perubahan
dan pembaharuan tersebut hendaknya dilandaskan pada ajaran Islam.
Walhasil, Qutb menulis sebuah kitab tafsir dengan harapan agar pesan
orisinal Islam yang disampaikan al-Qur’an dapat menjadi pondasi
suatu ideologi yang sempurna. Qutb sampai kepada kesimpulan bahwa
tidak ada kedamaian di muka bumi, tidak ada ketenangan dalam hidup,
tidak ada ketentraman atas jiwa manusia, tidak ada keberkahan dalam
hidup, kecuali kepada Allah. Dengan mengembalikan seluruh hidup
19
dan kehidupan ini kepada satu jalan yang telah digariskan allah dalam
kitab sucinya. Karenanya, siapapun yang tidak mengindahkan segala
aturan yang ada di dalamnya, niscaya takkan pernah mendapatkan
kebahagiaan. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang tidak dapat
menyembuhkan penyakitnya sendiri, melainkan dengan obat yang
datang dari kekuasaan-Nya. Hanya Allah yang mampu memberikan
“resep” dan sekaligus segala macam penyakit. Al-Qur’an kitab yang
terjamin keasliannya, merupakan penawar sekaligus rahmat bagi kita
yang beriman, sesuai firman-Nya.
ل ون نز ر ءانٱمن ل ق يزيد ولا منين ؤ ل ل م مة ورح ء شفا و ه ما
لمينٱ ٢٢إل اخسارالظ “Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang beriman; dan al-Qu’ran itu tidaklah
menambah kepada orang-orang zalim selain kerugian” (QS. Al-
Isra:82).
Al-Qur’an berisikan pesan yang ditujukan untuk seluruh umat
manusia, Karenanya, bagi Qutb, setiap individu dari manusia itu harus
mengimplementasikan pesan-pesan yang terkandung didalamnya itu
dalam setiap gerak kehidupan.
Fi Zilal al-Qur;an ini sempat direvisi oleh Qutb selama
penahanannya, sebanyak tiga belas jus Zilal juz pertama diterbitkan
pada bulan Oktober 1952, dengan penuh motivasi Qutb mampu
menulis tafsir Zilal sebanyak enam belas juz terhitung mulai antara
periode Oktober 1952- Januari 1954. Untuk juz ke tujuh belas dan ke
20
delapan belas diselesaikannya semasa ia menjalani hukuman penjara
pada bulan November 1954, dan berhenti sampai juz itu saja karena
hukuman yang harus dijalaninya Qutb mendapat vonis “kerja paksa”
selama 15 tahun, yang mengakibatkan kondisi tubuhnya melemah.
Karena kondisinya yang seperti itu, akhirnya segala macam tekanan-
tekanan terhadapnya dihentikan. Pada waktu terbebasnya Qutb dari
tekanan-tekanan tersebut, Qutb mulai melanjutkan menulis tafsirnya
sampai rampung dengan sempurna.
Menurut Charles Tripp, Zilal adalah sebuah tafsir yang tidak
menggunakan metode tafsir tradisional; metode yang selalu merujuk
keulasan sebelumnya yang sudah diterima Qutb seringkali
mengemukakan tanggapan pribadi dan spontanitasnya terhadap ayat-
ayat al-Quran. Gagasannya diperkuat dengan merujut ke penulis-
penulis Islam lain pada abad ke-20. 22Hal tersebut menunjukkan
perkembangan pemikiran Sayyid Qutb mengenai Islam. Tafsirnya ini
lebih menekankan kepada pendekatan iman secara intuitif, artinya,
secara langsung tanpa perlu dirasionalisasikan atau dijelaskan dengna
merujuk kepda metode filsafat. Iman itu harus diterapkan langsung
dalam tindakan sehari-hari.23
Qutb menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat, surat demi surat,
dari juz pertama sampai juz terakhir. Di mulai dengan menafsirkan
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Tafsir yang disusun
dengan gaya seperti itu lazim dikenal dengan metode tafsir tahlili. Zilal
sebagai sebuah buku tafsir memiliki metode dan corak yang berbeda
dengan tafsir-tafsir lainnya. Ia adalah tafsir tematis yang memunculkan
22 Seperdi: Abul A’la Maududi, Abul Hasan Ali an-Nadawi, Abbas mahmud
al-Aqqad, atau Abdul Qadir Audah. Lis. Charles Tripp dalam Ali Rahnema, op.cit., hal.60
23 Ibid, hal.161
21
konsep universal Islam, dunia manusia dan sistem sosial. Dalam Zilal
, Qutb tidak hanya menjelaskan segi sastranya, tetapi lebih dari itu, ia
ingin menyampaikan bahwa al-Qur’an seharusnya menjadi sumber
kekuatan dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia. Karenanya
Qutb menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara terperinci demi
tercapainya tujuan tersebut.
Kelebihan Zilal adalah sebagai berikut: a. Memberikan
gambaran ringkas tentang kandungan surat yang akan di kaji.24 b.
Mengelompokkan ayat-ayat sesuai dengan pesan yang terkandung
pada ayat tersebut.25 c. Menggunakan ayat-ayat al-Qur’an,26 hadits27,
perkataan sahabat28, serta pendapat ulama29 dalam menafsirkan ayat-
24 Seperti pada permulaan surat al-Fatihah, Qutb mengemukakan bahwa
dalam surat ini terkandung prinsip-prinsip akidah Islam, Konsepsi-konsepsi Islam, dan pengarahan-pengarahannya yang mengidentifikasikan hikmah. Lihat, Sayyid Qutb Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, op.cit., juz I, hal.21
25 Dalam menafsirkan surat al-Baqarah, beliau menetapkan ayat pertama sampai dengan ayat 29 sebagai bagian pertama pembahasan. Selanjutnya beliau menafsirkan ayat 30 sampai dengan ayat 39, ayat 40 sampai dengna ayat 74, ayat 75 sampai dengan ayat 103, dan seterusnya. Lihat. Sayyid Qutb, Ibid, hal.
26 Ketika menafsirkan ayat “maliki yaumiddin” Qutb mengutip surat Luqman 25 yang artinya, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’ Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah: ‘tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui”, dan surat:Qaf 2-3 yang artinya,”Mereka tidak menerimanya, bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri, maka berkatalah orang-orang kafi, ‘Ini adalah suatu yang amat ajaib’ Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah (kami akan hidup kembali)? Itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin”.
27 Terkadang Qutb menyebutkan rangkaian sanad haditsnya secara lengkap, tapi tidak jarang pula Qutb hanya menyebutkan rawi terakhirnya saja. Seperti dalam menyebutkan sebuah hadits tentang keharusan membaca al-Fatihah yang diriwayatkan oleh bukhari dan Muslim. Lihat Sayyid Qutb, Op.cit. hal.21
28 Seperti dalam mengulas surat al-Baqarah:22 tentang syirk, beliau melengkapi tafsirnya dengan perkataannya Ibnu Abbas. Lihat Sayyid Qutb, Ibid, hal.48
29 Dalam menafsirkan surat at-Taubah yang berkenaan dengan peristiwa Bai’ah Aqabah, Qutb mengutip Tafsir Ibnu Katsir dalam pendahuluan tafsirannya. Lihat, Ibid, Juz III, hal.
22
ayat al-Qur’an. Selanjutnya, Qutb lebih banyak mengambil sikap
tawaquf dalam menakwilkan ayat-ayat tertentu. Seperti tentang kisah
para nabi, Qutb menilai bahwa yang terpenting dari kisah tersebut
bagaimana kita dapat mengambil pelajaran darinya.30 Zilal sebagai
sebuah kitab tafsir karya seorang anak manusia biasa yang tak terlepas
dari salah, secara otomatis kekuranganpun terdapat di dalamnya,
meskipun mungkin kelebihan dan keistimewaannya jauh lebih banyak
bahkan mampu untuk menutupi kekurangan yang ada padanya. Penulis
bukanlah seorang penelilti yang handal dalam hal ini, karenanya
dengan segala keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki, sedikit
ingin menulis beberapa point yang menurut hemat penulis menjadi
kekurangan Zilal, lagi-lagi mungkin penilaian ini sifatnya terlalu
subyektif.
Kekurangan yang ada dalam Zilal: a. Qutb seringkali berhenti
atau tidak membahas lebih lanjut tentang hal-hal ghaib.31 b. Banyak
mengambil sikap tawaqquf dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu. c.
Tidak mengartikan (menafsirkan) kata per kata.32 d. Pengelompokkan
yang terlalu banyak, yang berakibat pada penafsiran yang kurang
maksimal pada beberapa ayat. Menurut Mahdi Fadlullah, Zilal
merupakan usaha terobosan penafsiran yang sederhana dan jelas.33
Sedangkan Subhi ash-Shalih menilai bahwa dalam Zilal ada
pandangan yang serasi dalam memahami metode al-Qur’an dalam hal
30Lihat, Ibid, juz XV, hal 2277-2278 31 Qutb tidak lebih jauh berspekulasi mengenai hal-hal yang dinilainya
ghaib, seperti ayat mengenai surga tempat tinggal Adam sebelum turun ke bumi. Lihat, Sayyid Qutb, Ibid, juz 1, hal 59.
32 Seperti dalam pembahasan masalah Fitrah, Qutb tidak mengartikan kata Fitrah secara estimologi bahkan terminologi. Tetapi Qutb menafsirkannya secara keseluruhan apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan Fitrah khususnya pada ayat yang terdapat pada surat al-Rum:30. Lihat, Ibid., juz V hal.2767
33 Lihat, Muhammad Chirzin, op.cit. hal.135
23
pengungkapan serta penggambaran masalah. Tujuan pokok
penulisannya ialah menyederhanakan prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an
demi pembangunan kembali umat Islam. Dengan demikian, tafsir ini
lebih banyak bersifat pengarahan dari pada pengajaran34. Ada juga
mengatakan bahwa Zilal bukanlah sebuah kitab tafsir dalam pengertian
yang ketat, tetapi lebih merupakan kumpulan besar khutbah-khutbah
keagamaan. 35Pemikiran Qutb yang tertuang dalam Zilal terasa begitu
radikal. Hal tersebut dikarenakan kondisi pollitik pada saat penulisan
dilakukan. Setiap kata dalam Zilal digoresnya ditengah deraan siksa,
penderitaan, keterasingan, serta kondisi fisik yang sangat lemah dan
semakin rapuh.
34 Ibid 35 Ibid
24
BAB III
DEFINISI DAN PEMAHAMAN ULAMA TENTANG FITRAH
A. Definisi Fihtrah Secara Umum
Di dalam al-Qur’an dan Sunah Rasul, Persoalan Fitrah
memperoleh perhatian sangat besar. Sebab kedua sumber tersebut
memiliki perspektif tersendiri tentang manusia ketika keduanya
mengatakan bahwa manusia mempunyai Fitrah.
Fitrah adalah kata yang cukup dikenal dan sering diucapkan.
Bahkan kata ini sering dipakai untuk nama perempuan, yaitu Fitri atau
Fitriyah. Begitu juga kata ini banyak diucapkan, terutama di akhir
bulan puasa. Pada waktu itu, sebelum menjalankan salat ‘Id kaum
muslim melaksanakan kewajiban membayar zakat Fitri, biasanya
dilakukan pada malam hari, menyongsong Hari Raya Idul Fitri. Zakat
Fitri adalah simbol yang menandakan seorang telah kembali kepada
Fitrah-nya. Itulah kajian secara ringkas tentang kata Fitrah ditinjau
dari sisi kegunaannya. Adapun definisi serta penjelasannya secara
terperinci akan dibahas lebih lanjut.
Fitrah dalam al-Qur’an disebut sebanyak 20 kali yang tergelar
di dalam 17 surat.36 Semua surat yang di dalamnya memuat kata Fitrah
(dengan segala perubahan bentuknya) diturunkan di Makkah, sehingga
surat ini sangat lazim disebut dengan surat makkiyah.37
36 Surat yang memuatnya adalah al-An’am:14, 79, al-Rum:30(dua kali), al-
Syira:5,11, Hud:51, Yasin, 22, al-Zukhruf:27, Thaha:72, Isra:51, al-Anbiya-56, Maryam: 90, al-Infithar:1, Ibrahim: 10, Fathir:1, yusuf:101, al-Zumar:46, al-Mulk:3, dan al-Muzzamil:18.
37 Ciri surat makkiyah adalah objeknya ditujukan kepada al-nas, bukan kepada orang-orang yang beriman. Konsep al-nas mencakup semua manusia, baik yang mukmin, musyrik, maupun kafir. Kata Fitrah yang dikaitkan dengan term al-nas secara langsung terdapat pada Q.S.al-rum: 30, terkait dengan objek orang mukmin atau muslim terdapat pada Q.S.al-anbiya:56, al-Zumar:46, al-An’am:14,
25
Selanjutnya, untuk lebih memudahkan menarik definisi Fitrah,
penulis akan berusaha menyajikan beberapa ayat dan beberapa hadis
yang berkaitan dengan Fitrah tersebut dengan berbagai bentuk dan
makna. Di dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
رت ٱفط علي هالن اسٱفطرل تيٱلل 1. “Tetaplah atas) Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut Fitrah itu” (Q.S. ar-Rum:30)
رب م ب ك تٱبلر مو رضٱولس ل ذيٱل أ ن فطره
2. “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang
telah menciptakan”. (Q.S.al-Anbiya:56)
هيلل ذيفطرإن ي وج ت ه تٱوج مو رضٱولس ل أ حنيفا
3. “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan
yang menciptakan langit dan bumi” (Q.S. al-An’am:79)
Yusuf:101, Hud :5, Yasin:22, al-Zukhruf:27, dan Thaha:72, terkait dengan objek orang musyrik terdapat pada Q.S.al-Isra:51, bahkan dalam Q.S.al-An’am:79 menggunakan kalimat “Aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik” tidak langsung menggunakan kalimat “Aku termasuk orang-orang Muslim”. Hal ini menunjukkan bahwa konsep mencakup penciptaan manusia, baik mukmin maupun kafir. Itu adalah ciri yang pertama, adapun ciri yang kedua bahwa isi pokok surat makkiyah adalah berisikan masalah-masalah keimanan dan penyembahan, bukan masalah iteraksi sosial (mu’ammalah). Kata Fitrah yang memuat masalah keimanan terdapat terdapat pada Q.S.al-Rum:30, al-Anbiya:56,, al-zumar:46, al-An’am:14, Yusuf:101, Hud:5, Yasin:22, al-Zukhruf:27, Thaha:72. Kata Fitrah yang digunakan untuk makna “penciptaan” selalu dikaitkan dengan potensi keimanan. Kesimpulan ini di dukung oleh kategori kata Fitrah yang tergolong surat makkiah. Dikutip dari Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Darul Falah, Jakarta, 1999), hal.11.
26
ء ٱإذا ما ٱلس ٢نفطرت 4. “Apabila langit terbelah”. (Q.S. al-Infithar:1)
ء ٱ ما بهلس نفطر م ه ۦ د ولاۥكانوع ع ٢٢مف 5. “Langit (pun) menjadi pecah-belah pada hari itu karena Allah.
Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana”. (Q.S. al-Muzammil:18).
Ayat-ayat yang berkaitan dengan Fitrah, keseluruhannya
bersubjekkan Allah SWT, karena hanya Dia Zat al-Fathir (pencipta).
Adapun Objek Fitrah terbagi menjadi tiga kategori.38
1. Dikhususkan untuk manusia (al-nas), digambarkan dalam surat
ar-Rum, ayat:30.
2. Langit dan bumi (samawat wa al-ardh), seperti tertera dalam
surat al-An’am:79 dan al-Anbiya:56.
3. Langit belaka (samawat). Seperti surat al-Infithar:1, dan al-
Muzammil ayat:18.
Kata Fitrah berasal dari akar bahasa Arab fathara, mashdar-nya
adalah fahrum. Akar kata tersebut berarti, dia memegang dengan erat,
memecah, membelah, mengoyak-koyak atau meretakannya,
terbukanya sesuatu dan melahirkannya, dan menciptakan.39 Hanya
saja, yang menyebutkan dalam bentuk Fitrah, yakni yang mengikuti
pola fi’lah, hanya satu ayat saja, yaitu surat ar-Rum:30. Dalam bahasa
38 Abdul Mujib, op.cit., hal.11 39 Lihat Ibn. Mandzur, Lisan al-Arab, (Dar Shadir: Beirut, 1990), Hal.56. Kata
Fitrah yang mengandung arti penciptaan terdapat sebanyak 14 dari 20 ayat.
27
Arab, bentuk fi’lah menunjuk pada mashdar yang menunjukkan arti
“keadaan atau jenis perbuatan”. Jika kita mengucapkan kata “jalsah”,
maka lafal ini menunjuk pada arti “duduk satu kali”. Tetapi jika kita
katakan “jilsah”, maka artinya adalah keadaan duduk. Karena itu,
ucapan kita yang berbunyi, jalastu jilsata Zaidin, berarti: “Aku duduk
seperti duduknya Zaid”. Yakni, duduk seperti keadaan duduk yang
dilakukan Zaid. Berdasarkan itu, maka lafal Fitrah yang berkaitan
dengan keadaan manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan
agama, yakni yang disebutkan dalam ayat.
رت ٱفط علي هالن اسٱفطرل تيٱلل
“Fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut Fitrah itu”
(Q.S.ar-Rum[30]: 30)
Mengandung arti keadaan yang dengan itu manusia diciptakan.
Artinya, Allah telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu,
yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang ditempatkan
Allah dalam dirinya saat dia diciptakan, dan keadaan itulah yang
menjadi Fitrah-nya.
Tetapi Fitrah manusia tidak hanya terbatas pada Fitrah
keagamaan. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak adalam bentuk
pembatasan tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang
membicarakan tentang penciptaaan potensi manusia, walaupun tidak
menggunakan kata Fitrah, seperti misalnya dalam surat ali
‘Imran[3]:14:
28
ي ن ز ب ح تٱللن اس هو لش ءٱمن ل قنطيرٱول بنينٱولن سا
قنطرةٱ هبٱمنل م ةٱولذ سو مةٱل خي لٱول فض ن عمٱول م ل حر ث ٱول أ
لكمتع ةٱذ ٱل حيو يا ن ٱولد ۥعنده لل ن س ٢١ابل مٱح “Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati kepada
perempuan (atau lelaki), anak lelaki (dan perempuan), serta harta
yang banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak,
dan sawah ladang”. (Surat Alli ‘Imran[3]: 14).
Makna Fitrah di dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi
dua kategori, yaitu:
1. Al-Syaqq atau al-inkisar yang berartikan pecah atau belah,
yang ditunjukan pada objek langit belaka, seperti terdapat
pada surat al-Muzammil:18.40
2. Al-Khilqah (penciptaan) yang ditunjukan pada objek
manusia, seperti terdapat pada surat ar-Rum:30,41 dan pada
40 Begitu juga terdapat di Q.S.Maryam:90, al-Syura:5, al-Infithar:1, dan al-
Mulk:3. Makna Fitrah sebagaimana dalam kategori “pecah atau belah” apabila objenya langit saja. Pemaknaan ini didukung oleh teori Big Bang (ledakan besar) sebagaimana yang diteorikan oleh John Gribbin , semawat (al-kawn atau alam semesta) pada mulanya satu, lalu dengna dentuman yang besar ia menjadi serpihan banyak, sehingga berwujud planet-planet yang terdapat di kawasan Bima Sakti. Lihat Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan Al-Qur’an, (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1994) hal 144-145.
41 Begitu juga terdapat di Q.S. Hud:51, Yasin:22, a;-zukhruf:27, Thaha:72, dan al-Isra:51.
29
objek langit dan bumi, misalnya terdapat dalam surat al-
Anbiya:56.42
Fitrah yang berarti penciptaan merupakan makna yang lazim
dipakai dalam penciptaan manusia, baik penciptaan pisik (al-jism)
maupun psikis (al-nafs). Pemaknaan “penciptaan” pada kata Fitrah ini
biasanya disejajarkan dengan kata al-ja’l, al-khalq, al-shun’u, al-‘amr,
al-bad’, al-nasya’a.43 Semua term tersebut secara umum memiliki
makna yang sama, yaitu penciptaan. Walaupun masing-masing
memiliki spesifikasi makna tersendiri. Kendatipun semua term
tersebut memiliki makna yang sama, tetapi untuk mengeneralilsasi
proses penciptaan manusia lebih tepat digunakan kata Fitrah.
Disamping cakupannya luas, mencakup makna semua term di atas.
Fitrah juga menunjukkan kekhasan proses penciptaan manusia, baik
penciptaan pisik, psikis, maupun psikopisi.
Di dalam Lisan al-Arab terdapat riwayat dari Ibn Abbas, yang
menurut hemat penulis merupakan bukti bahwa al-Qur’an-lah yang
pertama kali menggunakan lafal Fatir. Ibn Abbas adalah putra paman
Nabi SAW. Dia adalah tokoh Quraisy dan seorang alim. Jadi, dia
bukan orang non-Arab sehingga bisa dikatakan tidak paham tentang
bahasa Arab. Ibn Abbas diriwayatkan berkata bahwa dia mengetahui
arti lafal Fatir yang tercantum dalam al-Qur’an ketika lafal tersebut
diucapkan oleh seorang Arab desa yang menggunakan lafal tersebut
sekaligus dengan menjelaskan artinya. Ibn Abbas mengatakan,
“Selama ini aku tidak tahu arti ‘Fathir al-samawat wa al-ardh’, sampai
42 Begitu juga terdapat di Q.S. al-An-‘am:14,79, al-Sura:11, Ibrahim:10,
Fathir:1, Yusuf:101, dan al-Zumar:46 43 Kata al-ja’l terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 346 kali dalam 66 surat.
Kata al-khalaq terulang 261 kali dalam 75 surat. Kata al-shun’u terulang 20 kali dalam 14 surat. Kata al-‘amr terulang sebanyak 11 kali dalam 10 surat. Kata al-bad’ terulang sebanyak 11 kali dalam 11 surat.
30
suatu saat aku diminta memutuskan persengketaan dua orang Arab
yang memperebutkan sebuah sumur. Salah seorang di antara dua orang
Arab itu berkata, “ana fathartuha aiy ibtada tuha”. Artinya “Akulah
yang menggali sumur itu untuk pertama kalinya”.44 Sebagimana kita
ketahui, bahwa ketika seseorang menggali sumur, memancarlah
sedikit air, yang kemudian mengalir. Kemudian sumur itu digali lagi
untuk kesekian kali dengan lebih dalam. Laki-laki arab itu ingin
mengatakan bahwa dialah orang yang pertama menggali sumur itu, dan
karena itu dialah pemiliknya.
Begitu juga ketika kita mengungkap kata Fitrah dari hadis
dengan berbagai bentuk dan makna. Masing-masing hadits memiliki
topik dan latar belakang yang berbeda-beda. Penulis di sini hanya
menampilkan delapan hadis. Walaupun kuantitasnya relatif minim,
namun diperkirakan mampu mengcover keseluruhan kata-kata Fitrah
dalam hadits. Adapun hadits yang dimaksud adalah:
1. “Bersabda rasulullah SAW: “Sepuluh macam yang termasuk
dalam kategori Fithrah, yaitu: a. Mencukur kumis, b.
Membiarkan jenggot panjang dan lebat, c. bersikat
gigi/bersiwak, d. Menghiurp air untuk membersihkan hidung,
e.menggunting kuku, f. Membersihkan jari-jemari, g.
Mencabut bulu ketiak, h. Mencukur bulu kelamin, i.
Membersihkan kencing dengan air, dan j. Berkumur-kumur”.
(H.R. Muslim dan Abu Dawud dari Aisyah).45
44 Ibn Mandzur, Lisan al’Arab, (Dar Shodir: Beirut, 1990) hal.56 45 Imam Muslim, shahih Muslim bi Syarh Imam al-Nawawi, (Dar al-Fikr:
Beirut, 19810, juz XVI, hal.207
31
Konsep Fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan kondisi
kesucian pisik manusia.46
2. “Bersabda Rasulullah: “Puasa itu pada hari engkau sama-
sama berpuasa. Fithr (tidak puasa) itu pada hari engkau sama-
sama tidak berpuasa. Dan menyembelih kurban itu pada hari
engkau sama-sana menyembelih”. (H.R. al-Turmudzi dari
Abu Hurairah).47
Konsep Fitrah disini lebih dekat diartikan dengan hari-hari
manusia yang bebas dari kewajiban melakukan puasa, yaitu hari-hari
selain dalam bulan Ramadhan.
3. Allah berfirman dalam hadits Qudsi:”Hamba-hamba-Ku yang
paling kucintai adalah hamba-hamba yang paling segera fithr
(berbuka puasa). (H.R. al-Turmudzi dari Abu Hurairah).48
Konsep Fitrah di sini lebih dekat di artikan dengan “berbuka
puasa”.
4. Bersabda Rasulullah SAW: “Zakat fitrah itu diwajibkan
sebanyak segantang kurma atau segantang gandum bagi
46 Fitrah disini diartikan dengan sunah Nabi Muhammad SAW dan adapula
yang mengartikan dengan sunah-sunah para nabi. Selain hadits di atas, ada juga yang berbunyi: “khams min al-fitrah (lima yang termasuk Fitrah), yaitu: berkhitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak”. (Hadits Abu hurairah ini terdapat dalam kitab Sahih Muslim) Imam Nawawi berpendapat bahwa Fitrah itu tidak terbatas jumlahnya karena dalam hadits disebutkan kata depan “min” (diantara) sebalum kata Fitrah. Dikutip dari Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, (Ikhtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, 1994).
47Imam al-Turmuzhi, al-Jami’ al-Shahih Saman al-Turmuzhi, (Dar al-Kutub Al-ilmiah:Beirut, 1987), juz III, hal.80
48 Ibid., hal.87
32
setiap orang Muslim merdeka maupun budak, laki-laki
maupun wanita. (H.R.al-Bukhari dari Ibn Umar).49
Konsep fitrah disini lebih dekat diartikan dengan jenis zakat
yang diwajibkan untuk setiap individu Muslim agar jiwanya menjadi
fithri (suci).
5. Bersabda Rasulullah SAW: “Salat Idul Adha itu sebanyak dua
rakaat. Shalat Idul Fithri itu sebanyak dua rakaat. Salat orang
yang bepergian itu sebanyak dua rakaat. Salat Jum’at itu
sebanyak dua raka’at”. (HR. Al-Nasa’i dari Umar Ibn al-
Khattab).50
Konsep fitrah disini lebih dekat diartikan dengan jenis salah sunnat
yang dilakukan setiap tanggal satu bulan Syawal.
6. “(Nabi Muhammad) mengeluarkan kambing-kambing betina
ketika hari raya fithri dan hari raya Adha, dan beliau mengikat
kemudian beliau salat.” (H.R.al-Nasa’i dari Ibn Umar)”51
Konsep fithrah disini lebih dekat diartikan dengan salah satu
nama hari yang dimuliakan oleh ummat Islam, yaitu hari raya Fitri.
“Ya, Allah yang menciptakan langit dan bumi, yang mengetahui
yang gaib dan yang nampak, Tuhan segala sesuatu dan sesuatu
itu menjadi milik-Nya. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah,
aku minta perlindungan-Mu dari keburukan hawa nafsu dan
49 Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Thoha Putra: Semarang, tt), juz II,
hal.138 50 Imam al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’iy, (Dar al-Fikr: Beirut, 1930), juz III,
hal.182 51 Ibid, Juz III, hal.183
33
setan serta kroni-kroninya”. (H.R. al-Darimiy dari Abu
Hurairah).52
Konsep Fitrah disini lebih dekat diartikan dengan “Penciptaan”.
Penulis sengaja tidak menggunakan pendekatan tematis
(maudhu’i) dalam memahami hadits tentang Fitrah di atas. Hal itu
disebabkan oleh karakteristik hadits sendiri yang sulit didekati dengan
pendekatan tematis. Sebagian hadits bersifat lafzhi, sedang sebagian
yang lain bersifat ma’nawi. Sebagiannya ada yang berkualitas shahih,
sementara yang lain berkualitas hasan atau dhaif (lemah). Terlebih lagi
setiap hadits dilatarbelakangi oleh asbab al-wurud yang berbeda-beda.
Karena itu, pendekatan yang dipergunakan sebatas pada pendekatan
analisis (tahlili). Akan tetapi penulis di sini akan mengangkat satu
buah hadits pokok yang mengandung kata Fitrah yang sangat erat
kaitannya dengan ayat yang difirmankan oleh Allah SWT.
قم ينحنفأ هكللد رتوج ٱيفافط لي هالاعلن اسٱفطرل تيٱلل
لخل ق ٱتب ديل لل لك ين ٱذ ل قي م ٱلد ثر ك أ لالن اسٱولكن
ون لم ٠٣يع “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama(Allah); (tetaplah atas) Fitrah Allah yang menciptakan
manusia atas Fitrah itu. Tidak ada perubahan pada Fitrah Allah.
52 Ibn. Muhammad ‘abd Allah al-Darimiy, Sunan al-Darimiy (Dar al-
Fikr:Beirut, tt), juz UUU, hal. 292
34
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (Q.S. Al-Rum:30).
Adapun bunyi hadits tersebut sebagai berikut. Bersabda
Rasulullah SAW:
“Seseorang tidak dilahirkan kecuali dalam keadaan Fihtrah.
Maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi,
Nashrani, dan Majusi, --dalam riwayat lain ‘musyrik’--. (H.R. al-
Bukhari).53
Konsep Fitrah disini lebih dekat diartikan dengan kondisi
psikis manusia yang berpotensi untuk ber-Islam, tetapi orang tua
(lingkungannya) yang mengalihkannya dari Fitrah tersebut.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan penafsiran Al-Qur’an
surat Ar-Rum:30, di dalam penafsirannya bahwa Allah menciptakan
potensi ma’rifah al-iman (potensi untuk beriman) pada diri manusia,
atau dipahami oleh para ulama sebagai tauhid, berbarengan dengan
waktu penciptaannya.54
Setelah menyelusuri arti atau makna yang tersirat dari beberapa
kata Fitrah di atas lebih tepatnya penulis mengambil kesimpulan
tentang definisi Fitrah secara umum dari Muhammad bin Asyur dalam
tafsirnya tentang surat ar-Rum(30): 30, yang menyatakan
bahwa,”Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada
setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa
53 Imam al-Bukhari, op.cit.,juz II, hal.138 54 Quraish Shihab et.al, Ensiklopedi al-Qur’an, (Intermasa:Jakarta:1997),
hal 101
35
yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani
dan akalnya (serta ruhnya)”.
Seumpama manusia berjalan dengan kakinya, itu adalah Fitrah
jasadiahnya. Sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis
adalah Fitrah akliahnya. Senang menerima nikmat dan sedih bila
ditimpa musibah juga adalah Fitrah-nya.55
Makna Fitrah surat ar-rum ayat:30 lah yang dimaksudkan
penulis untuk disajikan, guna memahami makna Fitrah yang lebih luas
lagi, ditinjau dari sudut pandangnya ulama-ulama muslim baik itu yang
klasik, neo-klasik maupun pandangan-pandangan ulama modern yang
dalam pembahasan skripsi ini akan diwakili oleh Sayyid Qutb di dalam
tafsirnya Fi Zilal al-Qur’an.
B. Pemahaman Ulama Tentang Fitrah
Istilah Fitrah yang merujuk kepada suatu konsep, tidak bisa
ditetapkan dan dibatasi secara jelas dan singkat; tidak ada satu pun
makna yang pas untuk kata ini dalam bahasa Inggris. Setiap upaya
untuk menguraikannya secara pasti akan melibatkan penafsiran
subjektif tertentu meskipun analisis semacam ini bersumber dari
keilmuan Islam klasik yang autentik dan didasarkan kepada al-Qur’an
dan Hadits. Hasilnya adalah suatu pengujian perspektif yang berbeda
dari konsep ini. Untuk melakukan hal itu, adalah penting untuk
memaparkan pandangan-pandangan beberapa ulama dan
menggambarkan perbedaan penafirannya mengenai Fitrah tersebut.
Dalam hal ini, Yasien Muhamed dalam bukunya “Insan Yang Suci”
menyebutkan klasifikasi pandangan tentang fitrah menjadi tiga: a).
55 Quraish Shihab, M.A., Waasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. (Mizan:Bandung, 1998), hal 285.
36
Pandangan kalsik, b). Pandangan neoklasik, dan c). Pandangan
modern.
1. Pandangan Klasik Tentang Fitrah
Fitrah menurut Jahm bin Safwan56 didasari oleh doktrin takdir.
Maksudnya, hal-hal yang terjadi di dunia, secara umum tidak ada
bedanya dengan perbuatan manusia; semuanya secara
berkesinambungan dan langsung diciptakan oleh Allah SWT. Para
ulama ini dikenal sebagai penganut Jabariyyah, yang merupakan
mazhabnya Ibn Mubarak (meninggal 181 H). 57Kelompok ini sangat
problematik sebab mereka menjadikan pernyataan-pernyataan al-
Qur’an tentang kehendak bebas dan tanggung jawab tidak bermakna.
Mereka menganggap determinisme sebab dan akibat juga bisa
diterapkan kepada perbuatan-perbuatan manusia. Dengan demikian,
baik tindakan yang benar maupun yang salah merupakan bagian dari
ciptaan-Nya. 58Oleh karena itu, seorang pendosa akan masuk surga jika
hal itu menjadi nasibnya yang telah ditentukan sebelumnya. Sebab,
meskipun kesalahannya besar dan banyak melalui ketetapan Allah, dia
akan melakukan perbuatan baik yang cukup untuk menjaminnya
memperoleh satu tempat di surga.
Implikasi dari pandangan semacam ini sangat menentukan
setiap individu melalui ketetapan Tuhan bahwa seorang anak terlahir
dalam keadaan baik atau jahat. Dengan demikian, tanpa memandang
faktor-faktor eksternal dari petunjuk dan kesalahan petunjuk, seorang
56 Beliau berasal dari khurasan beliaulah yang mendirikan golongan al-
Jahmiah dalam aliran Jabariyah. Disamping itu beliau turut melakukan gerakan melawan kekuasan Bani Umayah. Dalam perlawanan itu Jahm bin Safwan sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh pada tahun 131 H.
57 Yasien Mohamed, op.cit., hal.41 58 Ibid, hal.42
37
individu terikat oleh kehendak Allah untuk menjalani “cetak-biru”
kehidupannya yang telah ditetapkan baginya sebelum keberadaannya.
Pandangan netral tentang sifat dasar manusia muncul sebagai
jawaban dari pandangan fatalisme kelompok Jabariyyah tentang nasib
manusia, ulama yang paling represensatif yang menganut pandangan
netral ini adlaah Ibn ‘Abd al-Barr (meninggal 362 H) yang
memberikan jaawaban terhadap Ibn Mubarak. 59Beliau penganut
paham kebebasan yang beranggapan bahwa Fitrah bukanlah suatu
keadaan iman secara asal, maupun keadaan kufur secara asal. Anak
terlahir dalam suatu keadaan suci, suatu keadaan kosong sebagaimana
adanya, tanpa pengetahuan atau kesadaran tentang iman atau kufur.
Iman atau kufur hanya mewujud ketika anak tersebut mencapai
kedewasaan (taklif). Pendapat ini didukung oleh Firman Allah SWT
dalam surat an-Nahl[16]:78.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun”.
Keadaan tidak mengetahui sesuatu pun pada saat kelahiran ini
suatu kondisi “kosong” yang suci, suatu keadaan sempurna atau utuh,
tetapi kosong dari suatu esensi yang baik atau jahat. Dia akan
memperoleh pengetahuan tentang yang benar dan yang salah hanya
dari lingkungna eksternal, dan dia membuat pilihan-pilihan sadar atas
dorongan yang akan dia terima serta dorongan yang akan dia tolak
dalam rangka meraih keridhaan Allah. Dalam al-Qur’an surat Al-
Mudatstsir[74]: 38 disebutkan:
59 Ibid, hal.43
38
رهينة سبماكسبت نف ل ٠٢ك “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yagn telah
diperbuatnya”. (Surat Al-Mudatstsir[74]:38).
Kemudian ditegaskan lagi didalam surat Al-Isra’[17]:15:
نب عثر بينحت ي عذ ن ام ولاوماك ٢١س “Kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang
rasul”.
Dengan mempertimbangkan bahwa tidak terdapat kekuatan-
kekuatan bawaan di dalam diri manusia untuk membimbingnya, maka
petunjuk eksternal menjadi menentukan secara mutlak dalam
hubungannya dengan perspektif netral.
Implikasi dari pandangan ini secara esesndial menjadikan
manusia tidak terkait dengan din, dan setiap asosiasi secara murni
benar-benar merupakan persepsi objektif dan rangsangan lingkungan.
Kesadaran tidak ada pada saat kelahiran dan hanya diperoleh individu
pada masa berikutnya dalam kehidupannya. Manusia netral terbimbing
hanya karena dia memilih suatu kecenderungan untuk terbimbing.
Petunjuk yang dia terima berasal dari luar dirinya. Tidak ada suatu pun
dalam dirinya yang bisa mendorongnya untuk melakukan kebaikan.
Ukuran kebebasan dalam pandangan ini adalah untuk membebaskan
manusia dari belenggu-belenggu fatalisme. Tetapi implikasinya
menghilangkan ikatan antara manusia dengan Tuhannya.
39
Implikasi yang lebih jauh dari pandangan ini adalah bahwa
mereka yang tidak menerima petunjuk tidak memiliki jalan untuk
mengenal Allah. Apakah mereka akan dikutuk karena terlahir bodoh
atau apakah mereka akan dimaafkan karena telah hidup dalam
kebodohan? Penekanan yang tidak semestinya terhadap kebebasan
bersama-sama dengan pandangan tentang kebodohan ontologis (yaitu
suatu keadaan bodoh secara asal) menjadikan pandangan ini
menimbulkan kesulitan-kesulitan ekstrem.
Ibn Taymiyyah memberikan tanggapan bahwa Fitrah bukan
semata-mata suatu potensi pasif, tetapi lebih merupakan
kecenderungan aktif yang mampu membangkitkan dirinya sendiri
yang ada di dalam individu terebut untuk beriman kepada Allah dan
bertindak sesuai dengan kehendak-Nya. Beliau percaya bahwa selain
rangsangan lingkungan, yang mencakup sumber petunjuk dan
kesehatan eksternal, juga terdapat suatu kecenderungan ke arah yang
tunggal dalam diri manusia yang selalu mendorongnya untuk berbuat
kebaikan.
Menurut-nya Fitrah itu adalah suatu keadaan kebajikan
bawaan, dan lingkungan sosial itulah yang menyebabkan seorang
individu menyimpang dari keadaan ini. Terdapat suatu kesesuaian
alamiah antara sifat dasar manusia dan Islam. Manusia disesuaikan
untuk Din al-Islam dan dia merespon secara spontan kepada ajaran-
ajarannya. Din al-Islam menyediakan kondisi ideal untuk
mempertahankan dan mengembangkan sifat-sifat bawaan manusia.60
Sifat dasar manusia memiliki lebih sekedar pengetahuan tentang Allah
yang ada secara inheren di dalamnya, tetapi juga suatu cinta kepada-
60 Dikutip oleh Yasien Mohamed dari kitab dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wa Al-
Nql, karya Ibn Taymiyyah
40
Nya dan keinginan untuk melaksanakan agama secara tulus sebagai
seorang hanif sejati.
Pandangan ini mengacu kepada unsur kehendak individu, suatu
dorongan proaktif yang secara sadar berusaha untuk mewujudkan
keimanan dan praktik Islam. Lingkungan sosial mungkin juga
membimbing individu kepada iman dan akhlak yang baik sehingga
menjadi motivasi untuk melakukan yang baik dalam dirinya bisa
terwujud, dibantu oleh sumber-sumber petunjuk eksternal.
Pandangan ini disebut dengan pandangan positif dari
pandangan-pandangan klasik sebelumnya, karena memandang
manusia sebagai esensial baik, dan kejahatan secara ekslusif suatu
agen eksternal kesesatan. Begitu juga Ar-Ragib al-Isfaani melihat
bahwa jiba manusia (al-nafs al-insaniyah) adalah tempat bagi Fitrah
dan merupakan khazanah hikmah dan ilmu pengetahuan. Sejak lahir,
bagi manusia sudah dipersiapkan Fitrah sebagai potensi tauhid di
dalam hati. Karena Fitrah Allah adalah tauhid (keesaan) dan manusia
lahir dari Fitrah ini, maka manusia terlahir dengan pengetahuan dan
keimanan bawaan.61 Hal ini terungkap dalam al-Qur’an:
ئككتبفيق ل وبهم ول ٢٢ل إيمنٱأ
“Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan
keimanan dalam hati mereka”. (al-Mujadilah[58]:22).
Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam al-
Bukhari:
61 Dikutip oleh Yasien Mohamed dari kitab Al-Dzari’ah ila Makarim Al-Syari
‘ah karya al-Isfahani. Lihat Ibid, hal.53-55
41
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan Fitrah. Kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasharani, atau
Majusi”.
Untuk mendeteksi keberadaan Fitrah itu, Allah menagadakan
dialog pra-eksistensial dengan manusia sebagaimana digambarkan
dalam al-Qur’an:
ذ وإ م ي ته ذ ر ورهم ه ظ من ءادم بني من رب ك خذأ
نأ نا شهد بلي قال وا م برب ك ت لس
أ سهم نف
أ علي م هده ش
وأ
ول وايو م فلينل قيمةٱتق هذاغ ن اعن ٢٧٢إن اك “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Tuhanmu?
“mereka menjawab: “Benar, (Engkau Tunhan kami), kami
menjadi saksi,” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari
Kiamat nanti kamu tidak menyatakan: Sesungguhnya kami (bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)”. (al-A’Raf [7]:172)62
62 Manusia setelah itu mendapat dua golongan. Pertama, mereka yang
lupa akan kesaksian tersebut, tetapi mengingatkannya setelah itu, dan menyadari kebenarannya. Kedua, mereka yang lalai dan tidak mengacuhkan kesaksian yang mereka emban. “Dan apabila mereka diperingatkan mereka tidak mengingatnya” (Q.S. Ash-Shaffat[37]:13). “Mereka dalam keadaan kebodohan meraba-raba dalam kegelapan Allah menyatakan. “Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu (Q.S.Al-Maidah[5]:7). “Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengingatnya?” (Q.S.Al-Qamar[54]:17). Al-Qur’an telah dibuat
42
Makanya, tidak mungkin bagi manusia untuk menghapus
memori tauhid dari jiwanya, karena itu telah menyatu dengan sifat
dasar manusia yang terdalam.
2. Pandangan Neo-klasik tentang Fitrah
Penafsiran ulama neo-klasik mungkin sama penafsirannya
tentang Fitrah dengan para ulam aklasik yang berpikiran positif seperti
Ibn Taimiyyah dan al-Isfahani misalnya, akan tetapi mereka berbeda
dalam persoalan tentang kekekalan Fitrah.
Para ulama neo-klasik berpendapat bahwa kebaikan menyatu
pada manusia sementara kejahatan bersifat aksidental. Manusia secara
alamiah cenderung kepada kebaikan dan kesucian. Akan tetapi
lingkungan-lingkungan sosial, khususnya orangtua bisa memiliki
pengaruh merusak terhadap diri (nafs), akan dan Fitrah anak. Dari situ
bisa disimpulkan, bahwa Fitrah adalah sifat bawaan akan tetapi bisa
rusak. Tanpa pengaruh-pengaruh negatif anak akan tumbuh dengan
tetap membenarkan Fitrah-nya dan mengakui keesaan Allah.63
Syed Muhammad Naquib al-Attas juga dengan sandaran ayat
al-Qur’an surat al-A’raf (7): 172, mengatakan bahwa Fitrah adalah
sifat dasar manusia. Ketundukan sadar dan kehendak bebas menandai
harmonisasi. Sementara penolakan dan pembangkangan untuk tunduk
mengakibatkan ketimpangan dan kekacauan. Ketundukan itu sendiri
adalah suatu yang wajar dan alami, sama dengan makna al-Qur’an
mudah bagi pemahaman manusia dan membantu seseorang mengingat perjanjian pra –eksistensialnya.
63 Tanthawi jauhari, Tafsir al-Jawahir, (Mesir; Musthafa Al-Bab Al-Halafi, 1350 H), vo;.15, hal.75
43
surat (30):32. Analogi ketundukan adalah utang kepada Allah yang
cara membayarnya dengan mengabdi kepada-Nya.64
3. Pandangan Modern
Penafsiran ini dikembangkan oleh sebagian besar orang-orang
Muslim modern yang secara aktif terlibat dalam kecenderungan
revolusioner di antara gerakan-gerakan Islam kontemporer. Konsep
dinamika kehidupan, sebagai suatu perjuangan menentang
ketidakadilan dan penindasan, menyediakan suatu landasan kerja bagi
pandangan tentang sifat dasar manusia ini.
Pandangan modern ini secara ketat bukanlah merupakan suatu
konsep intelektual akademis dengan rumusan-rumusan teoritis, namun
lebih sebagai konsep praktis sebagai akibat dari realitas sosio-politis
kontemporer pada negara-negara Bangsa Muslim. Ia adalah sebuah
konsep pembebasan.
Yang akan diangkat dalam skripsi ini, guna mewakili
pandangan modern adalah konsep Fitrah kepunyaan Sayyid Qutb,
seorang penyeru kebangkitan Islam paling berpengaruh di abad dua
pulu ini. Untuk lebih jelasnya penulis akan mengembangkan konsep
fitrah-nya di bab khusus berikut ini.
64 Dikutip oleh Yasin Mohamed dari Muhammad Naquib al-Attas, Islam
The Secularism and The Philosophy of Future. Lihat. Ibid. Hal.58
44
BAB IV
PEMAHAMAN SAYYID QUTB TENTANG FITRAH
A. Manusia Sebagai Makhluk Merdeka
Manusia memiliki suatu kemampuan sadar yang
memungkinkannya untuk membedakan mana yang baik dan yang
jahat, tegas Qutb.65 Karena telah dikaruniai akal dan kehendak serta
diserukan untuk memenuhi perannya sebagai khalifah di muka bumi
ini. Kemampuan ini juga menentukan tindakan-tindakannya dan
menyebabkannya bertanggung jawab bagi tindakan-tindakan tersebut.
Seorang yang mempergunakan kemampuannya untuk mengikuti
kecenderungan bawaannya kepada yagn baik, untuk mensucikan
dirinya dan mengendalikan dorongan jahat yang ada dalam dirinya
akan beruntung, sementara orang yang mempergunakannya untuk
mengikuti nafsu jahatnya akan merugi.
Manusia adalah makhluk merdeka, mampu membuat pilihan
dan berinisiatif. Akibatnya adalahh bahwa dia juga makhluk yang
bertanggung jawab. Islam mengajarkan bahwa manusia bertanggung
jawab kepada Allah SWT atas setiap tindakannya. Kebebasan manusia
bukan miliknya sendiri yang bisa dia gunakan semaunya. Meskipun
dia bebas utnuk menolak Allah, Sang pencipta dan pemberi kebebasan
tetapi semua perbuatannya diperhitungkan oleh Allah. Kebebasan
manusia mengandung makna tanggung jawab. Petunjuk yang jelas
tentang tanggung jawab terdapat pada ayat berikut:
65 Sayyid Qutb, Di Zilal al-Qur’an, Darul-Syuruq: Beirut, 1992. Vol:
2,hal.1139
45
إن ا نا مانةٱعرض ل أ تٱعلي مو رضٱولس
نل جبالٱول أ
أ بي ن
فأ
نمن هاوحملها فق ش مل نهاوأ ٱيح ولاۥإن ه ل إنسن ٧٢كانظل وماجه
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanah kepada
langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanah itu dan mereka khawatir, dan dipikullah
amanah itu oleh manusia”. (Q.S. Al-Ahzab [33]:72)66
Sayyid Qutb berpendapat bahwa amanah merujuk kepada
kehendak bebas manusia67, dan memandang tanggung jawab dan
kekhilafan manusia sebagai hal yang esensial bagi amanah. Karena
unsur-unsur akal dan kehendak yang dikaruniakan secara ilahiah itulah
maka manusia dibuat untuk bertanggung jawab terhadap tindakan-
tindakannya. Firman Allah SWT:
ةخي رايره فمن مث قالذر مل ة٧ۥيع مث قالذر مل ومنيع
ايره ٢ۥشر “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barang siapa yang
mengerjakan kejahatan seberat dzarah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)-nya”. (Q.S. Al-Zalzalah [99]: 7-8)
66 Yasien Mohamed, Insan Yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam, Bandung:
Mizan, 1997,hal 123-124. 67 Sayyid Qutb, op.cit, Vol.5, hal.2284-2285
46
Apabila ditinjau dari sudut amanah Allah, manusia ditugaskan
untuk memakmurkan bumi-Nya (al-Hud:61) dalam rangka
pemeliharaan alam semesta, dan karena itu, pembaruan menjadi
sebuah keniscayaan. Disamping itu, manusia diamanatkan pula untuk
memahami agama (at-Taubah:122), dimana reaktualisasi adalah
kemestian yang harus dilakukan untuk membumikan pemahaman
agama itu di tengah-tengah komunitas muslim.68
Pentingnya akal adalah untuk membangun pengetahuan
keagamaan dan menegakkan keadilan. Naql tanpa akan menjadi
semata pandangan, karena akal adalah basis naql.69
Kalau ulama terdahulu berjuang membela kesucian dan
orisinalitas naql dari serangan agama-agama lain yang mendasarkan
argumennya di atas akal dan indera, maka tugas kita sekarang adalah
membela akal, sebab ia sudah sangat lemah, sedang posisi naql sudah
sangat kuat.70
Realitas kita dewasa ini sangat menuntut untuk dihilangkan
kebiasan hidup dalam kesia-siaan, spontanitas, ketidakmatangan
dalam perencanaan serta ketidak teraturan. Pada saat yang sama,
sangat membutuhkan tampilnya akal dan penggunaan metodologinya
dalam menganalisis berbagai fenomena yang berkembang dengan
analisa yang objektif.
Kita berdecak kagum dengna ilmu pengetahan dan teknologi,
seolah-olah keduanya merupakan kunci ajaib yang dapat membukakan
kita memasuki dunia lain dimana mimpi-mimpi menjadi kenyataan.
68 Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, PT. Tiara
Wacana: Yogya, cet. I, hal.29 69 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara Modernisme dan Posmedernisme,
telaah kritis Pemikiran Hasan hanafi, yogyakarta, LkiS, cet. III, 1997, h.70 70 Hasan Hanafi, al-harokah al-Diniyah al-Mu’ashirah, dalam al-Din wa al-
Tsaurah fi Mishr 1952-1971, Vol 5, Kairo. Maktabah Madbuli, t.th.318
47
Namun kita lupa bahwa ilmu adalah langkah berikut setelah akal, dan
akal berdiri diatas kebebasan dari segala macam selainnya.71
Menurut Muhammad Abduh, akal adalah suatu daya yang
hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang membedakan
manusia dengan makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan
manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan daya akal
merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang
menjadi dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-
bangsa.72
Bahkan Abduh menegaskan lagi, bahwa ajaran Islam
sebenarnya menghancurkan penguasaan taklid atas jiwa manusia dan
mencabut akarnya yang tertanam dalam pikirannya, melepaskan akal
dari segala apa yang mengikatnya, membebaskannya dari taqlid yang
membuatnya menjadi hamba dan mengendalikannya menjadi raja di
daerah kekuasaannya.73 Dan beliau percaya betul pendapat bahwa
alam ini diatur hukum alam tidak berubah-ubah yang diciptakan
Tuhan. Hukum dan ciptaan Tuhan ini ia sebut sunnah Allah. Sunnah
Allah, dalam pendapatnya mencakup semua makhluk. Segala yang ada
di alam ini diciptakan sesuai dengan hukum alam atau sifat dasarnya.
Manusia tidak terkecuali dari ketentuan universal ini. Manusia
diciptakan sesuai dengan sifat-sifat dasar yang khusus baginya dan dua
di antaranya, menurut Muhammad Abduh, adalah berfikir dan memilih
perbuatan sesuai dengan pemikirannya.74
71 Ibid 72 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah,
penerbit Universitas Indonesia (UI-Pers); Jakarta, 1987, cet I, hal.44 73 Ibid, hal.47 74 Ibid, hal.65
48
Kemampuan sadar pada diri manusia, dimaksudkan untuk
memahami sumber-sumber petunjuk dan kesalahan bimbingan
eksternal yang melengkapi kecenderungan-kecenderungan yang baik
dan jahat tersebut. kebaikan yang ada dalam diri manusia dilengkapi
dengan pengaruh-pengaruh eksternal seperti kenabian dan wahyu
Tuhan, sementara kejahatan dalam diri manusia dilengkapi oleh semua
bentuk godaan dan kesesatan.75
Meskipun demikian, fungsi kecenderungan-kecenderungan
bawaan adalah menentukan pengaruh-pengaruh ekssternal hanya
membantu melengkapi kecenderungan-kecenderungan bawaan,
sementara kemampuan sadar tersebut memungkinkannya untuk
memilih jalan tertentu. sifat dasar manusia begitu lengkap karena dia
bukan saja dikaruniai suatu sifat dasar ganda dan telah diperlihatkan
“dua jalan” sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Sayyid Qutb
dalam komentarnya terhadap ayat yang dikutip diatas. Akan tetapi,
selaras dengan hal ini, dia telah diberi kebebasan untuk memilih di
antara dua jalan tersebut. Allah SWT berfirman di dalam surat Al-
Insan [76]:3;
إن ا بيلٱهدي نه ورالس اكف اشاكراوإم ٠إم “Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada
yang bersyukur dan ada pula yang kufur.”76
Bagi Qutb, ada persamaan mendasar antara kondisi masyarakat
di zaman Rasulullah SAW, dengan kondisi masyarakat di masa
Qutb—khususnya masyarakat mesir dan umumnya masyarakat dunia.
75 Yasien Mohamed, op.cit., hal.63 76 Sayyid Qutb, op.cit, Vol.6. hal.3918
49
Persamaan tersebut terlihat pada kondisi keterasingan dan
kejahiliyahan yang menjangkiti masyarakat Mesir khususnya, dan
masyarakat dunia umumnya, bahkan dari beberapa segi disinyalir Qutb
lebih parah. “Awan kelam yang menutupi Fitrah manusia sekarang
lebih pekat dan tebal dari pada sebelumnya. Ketidakpedulian pada
Tuhan (dimensi spiritual) pada masa lalu lebih didasari kebodohan,
kesederhanaan, dan keprimitifan. Keangkuhan pada masa kini
didasarkan pada kepintaran, kompleksitas, dan ksembronoan”, kata
Qutb77. Tentu ini lebih buruk dan lebih sulit memalingkan orang yang
sudah tahu kebenarannya namun mengabaikannya dari pada mengajak
mereka yang belum tahu apa-apa, berarti mereka belum punya pilihan.
Situasi seperti ini adalah fenomena umum yang dialami seluruh
manusia, entah di Timur maupun di Barat, bahkan di negara-negara
yang menyebut dirinya Muslim.
Disadari atau tidak, masyarakat muslim, apalagi non-muslim
telah menjadikan diri mereka budak bagi manusia lain melalui
penetapan hukum oleh sebagian mereka atas sebagian yang lain
melalui penetapan hukum oleh sebagian mereka atas sebagian yang
lain menurut cara-cara yang tidak diridhai Allah SWT. Apa dan
bagaimanaun modelnya. Sedangkan disisi lain Islam ialah
penghambaan dan penyembahan manusia hanya kepada Allah semata-
mata. Makanya, Islam memerangi sistem/ manhaj diluar Islam dengan
alasan diatas.78
Secara individual dan komunal, keadaan penghambaan
terhadap manusia lain itu membuat mereka terkungkung dan tidak
bebas. Pada tataran lain inilah Qutb disebut radikal. Jadi radikalisme
77 Sayyid Qutb, Inilah Islam, Malaysia,: Polygraphic Press, 1982, hal.112 78 Sayyid Qutb, op.cit. Vl.2. hal.891
50
Qutb bukan karena ia berada di posisi oposan terhadap semua
pemerintahan muslim yang ada, tetapi karena ia berbicara mengenai
pembebasan umat manusia dari semua yang dapat menghalangi
realisasi potensi yang telah diciptakan oleh Tuhan bagi mereka.79
Ada dua, bagi Qutb, macam manusia yang terbengkalai potensi
kemanusiaannya. Pertama, mereka mengabaikan potensi rohaniahnya,
dan yang kedua, mereka yang membiarkan dirinya berada dalam
penguasaan manusia lain. Mengenai hal pertama, Qutb
mengedepankan beberapa ayat al-Qur’an untuk menerangkan
konsepnya: al-Hijr [15]: 28-2980, al-Syam[91]:7-1081, dan al-Balad
[90]:1082. Dalam ayat-ayat itu, Qutb ingin menandaskan bahwa
penciptaan manusia dibekali dengan suatu sifat dasar dan potensi
ganda. Karena pembentuk esensial dari struktur manusia adlah ruh dan
tanah, maka kebaikan dan kejahatan adalah dua kecenderungan yang
setara pada dirinya. Oerang yang mempergunakan kemampuannya
untuk mengikuti kecenderungan bawaannya kepada yang baik utntuk
mensucikan dirinya dan mengendalikan dorongan jahat yang ada
dalam dirinya, akan beruntung, dan sebaliknya mereka yang
memperturutkan nafsu jahatnya akan merugi. Kebebasan sejati adalah
kebebasan dari dominasi sisi hawa nafsu yang akan menggiring
manusia kelembah kebinasaan.83
Fitrah termasuk ke dalam alam yang tidak nampak.
Pertumbuhan fitrah lebih memiliki daya kebebasan dari dimensi
hukum, dan prinsip hukum evolusi benda lain. Suatu ketika Fitrah
79 Robert D.Lee, Mencari Islam Authentik, Bandung: Mizan, 2000, h.100 80 Sayyid Qutb, op.cit.Vol.4. hal.2140 81 Ibid, Hal.3915-3921 82 Ibid, hal.3908-3914 83 Yasien Muhamed, op.cit., hal.61-64
51
mampu mengerti sesuatu tanpa harus belajar karena sesuai dengan
fitrah ciptaan Allah, atau karena datangnya Ilham atau wahyu yang
khusus bagi para Nabi-nabi.
Terbebasnya manusia dari sisi kebinatangnnya tidaklah
memadai untuk menyatakan bahwa manusia sudah benar-benar bebas
secara mutlak. Selain itu, manusia harus pula lepas dari belenggu
manusia lain. Belenggu yang menghalangi perwujudan seluruh potensi
diri dalam tatanan sosial yang dijalankan menurut aturan orang lain.
Umat manusia akan dapat mencapai kebebasannya secara sempurna
juka ia berada dalam masyarakat yang bukan hanya mengijinkan patuh
kepada Tuhan, melainkan untuk patuh hanya kepada Tuhan saja,
masyarakat yang dibimbing oleh pengawasan Ilahi.
Islam adalah agama pembebasan, sejak kelahirannya, ia datang
untuk membebaskan orang-orang terlindas, terlemahkan dan didzalimi
oleh sitem sosial yang tidak adil. Islam adalah agama pembebasa,
dalam arti bahwa keseluruhan ajaran yang dimuatnya ditetapkan untuk
melahirkan sebuah pembebasan oleh dan untuk pribadi-pribadi yang
memeluknya.84
Peranan agama dalam masyarakat amat ditentukan oleh
pandangan masyarakat itu tentang agama. Pandangna inilah yang akan
menentukan peranan agama didalam masyarakat. Dalam pandangan
Islam, agama seharusnya memegang peranan penting. Islam datang
untuk mengubah masyarakat menuju kualitas hidup yang lebih baik,
seperti dicerminkan dengan tingkat ketaatan kepada Allah SWT,
pengetahuan tentang syariat dan terlepasnya umat dari beban
84Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuh Belas Jalan Kebebasan,
Bumi aksara; Jakarta, cet.I, 1992, hal.129
52
kemiskinan, kebodohan dan sebagainya, serta berbagai macam
belenggu yang memasung kebebasan mereka.
Islam memandang bahwa pembangunan harus dimulai dengan
perubahan individual yang disusul dengan perubahan institusional.
Tugas membangun dalam Islam adalah tugas yang mulia, tidak jarang
melebihi tugas keagamaan yang bersifat ritual.85
Sayyid Qutb mencita-citakan suatu sosok manusia seutuhnya,
yaitu mereka yang dapat mengatasi instink berdosa demi kualitas
spiritualnya dalam dunia yang dipenuhi keserakahan, kepentingan
pribadi, dan materialisme. Namun, bangunan spiritual yang diinginkan
Qutb bukanlah bangunan yang mengisolir diri dari masyarakat dunia,
monastisisme. Bahkan, sebuah masyarakat yang tentram, bebas dari
dominasi masyarakat lain. Jadi konsep pembebasan Qutb tidak
mengalienasi antara Fitrah manusia dengan kebutuhan masyarakat
madani.86
B. Konsep Fitrah Sayyid Qutb Dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an
Dalam menafsirkan ayat-ayat Fitrah, Sayyid Qutb seringkali
mengaitkan realitas-realitas sosio-politis yang dijadikan sebagai suatu
konsep perjuangan demi menentang ketidakadilan dan penindasan,
dengan menyediakan suatu landasan dasar melalui penafsirannya
tentang sifat dasar manusia ini.
Sayyid Qutb digolongkan sebagai penafsir dualis karena,
sebagimana pemikir Barat maupun Islam modern, beliau meyakini
manusia mempunyai dua dimensi. Satu dimensi menghubungkan
85 Jalaluddien Rachmat, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, cet II, 1991, h.43-
44
53
manusia dengan spesies binatang, dimensi lain menjembati pertalian
manusia dengan Tuhan. Sisi kebinatangan memunculkan kebutuhan-
kebutuhan yang sifatnya jasadi, semisal; makan, minum, tidur, seks,
dan lain-lain. Sementara dimensi Ilahiyah senantiasa mencari hakekat
yang sifatnya rohani.87
Menurut Sayyid Qutb di dalam tafsir Zilal-nya, manusia
sebagai makhluk merdeka dan pembuat keputusan, berada di antara
hakekat yang tersusun dari tanah dan ruh.88 Seperti yang difirmankan
Allah SWT dalam QS. Al-Hijr:28-29. Yang berbunyi:
وإذ ن نصل صلم بشرام إن يخلق ئكة قالرب كلل مل
ن ون س ي ت ه فإذا٢٢حمإم له ونفۥسو وا فقع وحي ر من فيه ت ۥخ
٢٢سجدين“Dan (ingatlah), ketika Tuhan berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari
tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya,
dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-ku, Maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”.
Sayyid Qutb memandang ayat ini sebagai bukti jelas yang
menyimpulkan penciptaan manusia membawa suatu sifat dasar dan
87 Robert D.Lee, Mencari Islam Authentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Sampai
Nalar Kritis Arkoun. (Bandung, Mizan, 2000)., Hal.101 88 Sayyid Qutb, op.cit. Vol.6. Hal.3917. Juga lihat. Vol.3. hal. 1392-1394
54
potensi ganda. Dua pembentuk esensial dari struktur manusia secara
menyeluruh tersebut, yaitu ruh dan tanah89. Beliau menafsirkan lagi
bahwa kebaikan dan kejahatan sebagai dua kecenderungan yang setara
pada manusia, kecenderungan untuk mengikuti petunjuk Tuhan atau
kecenderungan untuk tersesat.
Qutb memperkuat tafsirannya ini dengan mengambil dalil dari
firman Allah SWT dalam Surat al-Syams: 7-10,
ها ى سوماسو ل همها٧ونف هافأ وى ورهاوتق ف لح٢ف ج
أ قد
ها ى هاوقد ٢منزك ى ٢٣خابمندس “Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamikan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.”90
Begitu juga ditegaskan dalam Surat al-Balad:10,
دي نٱوهدي نه ٢٣لن ج “Dan kami telah menunjukkan dua jalan”.91
89 Ibid, vol. 6, hal.391 90 Sayyid Qutb menentang faham netralisme tentang Fitrah yang
beranggapan bahwa manusia lahir dalam kebodohan tanpa pengetahuan benar dan salah, beliau merujuk dari ayat ini tentang pengetahuan jiwa tentang kedurhakaan dan ketakwaan kepada Allah dan merujuk kepada nasib dari mereka yang memeliharanya dengan benar dan mereka yang merusaknya. Lihat Sayyid Qutb dalam tafsirnya, hal.3917
91 Kedua ayat ini sangat berkaitan erat ditinjau dari pandangan Isalam tentang manusia, dengan ayat-ayat sebagai berikut: “Sesungguhnya kami telah
55
Ayat 28-29 dari Surah al-Hijr tersebut, menggambarkan
struktur yang menyeluruh dan lengkap dari manusia secara fisik dan
spiritual: benda adalah salah satu pembentuk (bahan) manusia dan
diambil dari “tanah-liat”, sementara ruh merupakan pembentuk kedua,
berasal dari ruh Allah itu sendiri. Bagian benda atau tanah liat dari
manusia bersifat sementara (fana) dan tujuannya adalah semata-mata
untuk memberikan mentalitas atau kualitas-kualitas khusus yang
bersifat sensual kepada manusia yang dengan wahana ini manusia bisa
memenuhi perannya sebagai khalifah.
Manusia merupakan entitas yang tercipta “netral” yang disebut
tanah liat. Kualitas-kualitas sensual (nafs) manusia secara alamiah
sangat peka terhadap rangsangan yang berasal dari lingkungan dan
mudah terjatuh kepada kesesatan. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa
nafsu itu sendiri secara alamiah adalah jahat; kejahatan terpisah dan
independen dari nafsu manusia. Fakultas kesadaran manusia bisa
mengendalikan nafsu dan mengimbanginya kepada kebenaran. Kita
harus menerima bahwa Fitrah sama sekali tidak tinggal pada nafsu;
secara tegas tanah liat adalah bagian material dari bentuk manusia dan
sama sekali tidak memiliki andil dalam Fitrah.
Bentuk tertinggi dari nafs adalah pikiran dan bentuk
terendahnya adalah benda, keduanya akan musnah. Ruh tidak akan
musnah, tetapi kembali kepada asal-usulnya yaitu Allah (QS. Al-Alaq
[96]:8). Fitrah, dalam keutuhannya, ditetapkan pada ruh manusia dan
karena Allah telah meniupkan Ruh-Nya ke dalam tanah liat untuk
menunjukinya jalan yang lurus, ada yagn bersyukur dan ada pula yang kafir. “QS. Al-Insan:3: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat”. Q.S Al-Muddatstsir:38. “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
56
menggerakan ruh manusia, maka Fitrah itu sendiri adalah baik, sebab
Allah adalah kebaikan sumber dari segala kebaikan.
Dengan menyebutukan peran dan arti penting yang
sesungguhnya dari nafsu dan ruh, maka kebodohan laten dari
kegandaan dalam sifat dasar manusia menjadi jelas. Sebagaimana
pandangan netral, pandangan ini akan berbenturan dengan sifat-sifat
adil dan kasih Tuhan jika Allah telah menjadikan bagian dari sifat
dasar manusia adalah jahat, selalu condong untuk merusak yang baik.
Tujuan manusia adalah menyembah Allah dan Allah sendiri yang akan
membimbing manusia kepada tujuan tersebut; kejahatan bawaan
secara menyeluruh menyimpang dari rencana ketuhanan ini.
Kemampuan sadar pada diri manusia, dimaksudkan untuk
memahami sumber-sumber petunjuk dan kesalahan bimbingan
eksternal yang melengkapi kecenderungan-kecenderungan yang baik
dan jahat tersebut. kebaikan yang ada dalam diri manusia dilengkapi
dengan pengaruh-pengaruh eksternal seperti kenabian dan wahyu
Tuhan, sementara kejahatan dalam diri manusia dilengkapi oleh semua
bentuk godaan dan kesesatan.
Meskipun demikian, fungsi kecenderungan-kecenderungan
bawaan adalah menentukan pengaruh-pengaruh eksternal hanya
membantu melengkapi kecenderungan-kecenderungan bawaan
sementara kemampuan sadar tersebut memungkinkan untuk memilih
jalan tertentu. sifat dasar manusia begitu lengkap karena dia bukan saja
dikaruniai suatu sifat dasar ganda dan telah diperlihatkan “dua-jalan”
sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Sayyid Qutb dalam
komentarnya terhadap ayat yang dikutip di atas. Akan tetapi, selaras
57
dengan hal ini, dia telah diberi kebebasan untuk memilih di antara dua
jalan tersebut92. Allah SWT berfirman di dalam surat Al-Insan [76]:3:
إن ا بيلٱهدي نه ورالس اكف اشاكراوإم ٠إم “Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada
yang bersyukur dan ada pula yang kufur.”
Kemudian Qutb menjelaskan secara spesifik lagi bahwa
hakikat yang tersusun dari tanah cenderung ke arah nizam jahili
(tatanan jahiliyyah pra Islam) dan bagian yang tersusun dari ruh (yang
berasal) dari Allah, cenderung kepada nizam Islami (tatanan Islam
yang sesungguhnya). Qutb menggunakan istilah teoretis dalam
memandang kebaikan dan kejahatan ini untuk dikaitkan dengan
peranan masyarakat kontemporer dalam mengambil suatu nizam atau
prinsip. Lebih tegasnya, Qutb menjelaskan bahwa kejahatan dalam
dunia nyata diwakili oleh syirk dan nizam jahili, sementara kebaikan
di dunia nyata ini diwakili oleh tauhid dan nizam Islami.93
Qutb memandang kejahatan pada diri manusia adalah sebagai
suatu kekuatan yang harus dimbangi oleh kebajikan bawaan manusia.
Yang beliau maksudkan di sini adalah jihad dan tujuannya adalah
menaklukkan kekuasaan despotik pada masa itu. Qutb memandang
manusia sebagai makhluk, yang terletak di antara kekuatan Ilahiah dan
setan, dengan bantuan sumber-sumber petunjuk eksternal yang
seharusnya berupaya keras bagi perwujudan al-Nidzam al-Islami dan
penaklukkan an-nizam al-jahili. Inilah sebagain dari konsep
92 Yasien Mohamed. Op.cit. hal.63 93 Sayyid Qutb, op.cit. Vol.6 . hal.3918
58
perjuangan Sayyid Qutb dalam tafsir dualisnya, sebab beliau
memusatkan perhatiannya pada realitas politik pada masa itu.94
Dengan demikian, beliau merasa perlu untuk melihat manusia
sebagai orang yang berada dalam keadaan berjuang secara terus
menerus. Walaupun pada akhirnya pandangan Qutb ini menghadirkan
beberapa problem: pertama, jika sifat dasr manusia dipahami sebagai
suatu akibat lanjut dan suatu manifestasi setara dari sifat dasr realitas
objektif, maka hal ini menjadikan penciptaan manusia pra eksistensial
dengan kecenderungan-kecenderungan bawaannya tidak memiliki
makna. Asumsinya adalah bahwa manusia itu baik dan jahat menyatu
dengan realitas. Yang kedua, kebaikan dan kejahatan, karena
ditempatkan secara berhadap-hadapan pada diri manusia,
mengisyaratkan bahwa posisi yang salaing berhadapan secara pararel
dari kebaikan dan kejahatan di dunia nyata menggambarkan Tuhan
(kebaikan) sebagai tesis; dan iblis (kejahatan), sebagai antitesis.
Sementara syirik dan tauhid mungkin bisa digambarkan sebagai kutub-
kutub yang saling berlawanan di dunia nyata, iblis tidak akan pernah
bisa dilihat sebagai antitesis Allah SWT. Dia makhluk Allah SWT.
Yang sama sekali tidak bisa dikaitkan, dibandingkan, atau
disepadankan dengan Allah SWT. Setiap pandangan yang menetapkan
iblis sebagai saingan Allah SWT, secara jelas merupakan syirik yang
nyata – atau mungkin syirik yang samar – dan pandangan Qutb secara
implisit menunjukkan hal ini. Ketiga, menurut Sayyid Qutb, manusia
akan menyadari sifat dasarnya melalui wahana din al-Islam. Dalam
hubungannya dengan pandangan duaisnya ini berarti bahwa Din
94 Oleh karena itu, Qutb memandang sosialisme, kapitalisme, dan
komunisme sebagai hasil sampingan yang salah dari pemikiran jahiliyyah yang seharusnya tidak pernah dikaitkan dengan cita-cita ideologis Islam. Dikutip oleh Yasien Mohamed dari Sayyid Qutb, Ma’alim fi al-Thariq, (Darul Syuruq, 1980). Hal46
59
alIslam merupakan suatu wahana untuk memproyeksikan sifat dasar
bawaan manusia, yaitu baik kebaikan maupun kejahatan bawaannya.
Dengan membawa argumen ini selangkah lebih jauh, seorang mungkin
akan menyimpulkan bahwa Islam mendorong manusia untuk menjadi
baik sekaligus jahat; dan ini jelas absurd.
Al-Qur’an Ayat 7-10 dari Surat asy-Syams [91]:
ها ى سوماسو ل همها٧ونف هافأ وى ورهاوتق ف لح٢ف ج
أ قد
ها ى هاوقد ٢منزك ى ٢٣خابمندس “Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya”.95
Ayat ini menjelaskan tentang pengetahuan jiwa tentang
kedurhakaan dan ketakwaan kepada Allah dan menjelaskan nasib dari
mereka yang memeliharanya dengan benar dan mereka yang
merusaknya.
Sayyid Qutb mengambil ayat ini untuk mendukung pandangan
dualisnya, tetapi penafsirannya terhadap ayat tersebut bisa
dipertanyakan sebab dia mengabaikan arti pentingnya kata “sawwa”—
“menyempurnakan/membentuk” dan menghasilkan terjemahan yang
tidak tepat dari kata “alhama” – adalah “mengilhami”. Sawwa adalah
kata kerja yang memiliki makna membuat sesuatu menjadi seragam
95 Yasien Mohamed, op.cit., hal.70-71
60
dan dalam proporsi yang seimbang. Oleh karena itulah kata benda
sawiy merujuk kepada seorang yang lurus.
Dalam konteks al-Qur’an (91:7-10) ini berarti bahwa jiwa
manusia telah diciptakan dalam keadaan lurus dan seimbang, Allah
kemudian menjadikan manusia sadar, atau dikaruniai pengetahuan
tentang yang benar dan yang salah.96 Pengetahuan ini secara jelas,
adalah bawaan, bukan karena diupayakan, sebab Allah bersumpah
demi jiwa yang memiliki pengetahuan dalam Surat asy-Syams tadi,
dan persoalan tersebut secara konsisten bersifat metafisis. Sayyid Qutb
tampaknya sependapat dengan hal ini ketika menyebutkan hal ini
dengan kondisi “alamiah”. Pengetahuan bawaan tentang yang benar
dan yang salah. Kecenderungan yang imbang dan lurus yang
diisyaratkan oleh kata sawwa dan pengetahuan tentang yang benar dan
yang salah dinyatakan oleh kata alhama hanyalah keadaan-keadaan
independen secasra sebutan, sebab yang terakhir (yaitu pengetahuan
bawaan tentang yang benar dan yang salah) melengkapi
kecenderungan bawaan kepada yang benar pada diri manusia.97
Dalam menafsirkan surat al-Rum [30]:30, Sayyid Qutb
menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan Fitrah
manusia. Karena Islam dan Fitrah kedua-duanya adalah ciptaan Allah
SWT. Oleh karena itu biasa disebut dengan agama Fitrah. Hukum dan
ajarannya benar-benar selaras dengan kecenderungan normal dan
alamiah dari Fitrah manusia untuk beriman dan tunduk kepada Sang
Pencipta. 98Hal ini merupakan kepercayaan kaum muslimin,
berdasarkan keterangan al-Qur’an, bahwa manusia setelah diciptakan,
96 Sayyid Qutb. Op.cit. Vol.6.hal.3917 97 Yasien Mohamed, op.cit. hal.72 98 Sayyid Qutb,op.cit. Vol.6. hal.2763
61
membuat suatu pernyataan atau ikatan primordial dengan Tuhan,
sebagaimana digambarkan di dalam al-Qur’an, surat al-A’raf:172:
وإذ م ي ته ذ ر ورهم ه ظ من ءادم بني من رب ك خذأ
نأ نا شهد بلي قال وا م برب ك ت لس
أ سهم نف
أ علي م هده ش
وأ
ول وايو م فلينل قيمةٱتق هذاغ ن اعن ٢٧٢إن اك “Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan dari putra-putra
Adam, dari sulbi mereka, dan membuat persaksian atas diri
mereka sendiri; “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka
menjawab, “benar. Kami bersaksi”.
Makanya, tidak mungkin bagi manusia untuk menghapus
memori tauhid dari jiwanya, karena itu telah menyatu dengan sifat
dasar manusia yang terdalam.
Di dalam surat Luqman:25, juga ditegaskan:
خلقولئن ن مم ل ته تٱسأ مو رضٱولس
ل أ ول ن ٱليق ٢١لل
“Dan sesungguhnya kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah
yang menciptakan langit dan bumi?”. Tentu mereka akan
menjawab, “Allah”.
Di dalam tafsirnya, Sayyid Qutb menceritakan tentang
perjalanan fikir dan zikir Nabi Ibrahim as. Tatkala ia mencari
Tuhannya. Hal ini menandakan bahwa manusia cenderung untuk
menyembah Tuhan yang satu. Dengan mengamati bintang-bintang
62
yang bertaburan di langit, bulan, serta matahari yang terbit secara
bergantian Nabi Ibrahim menarik kesimpulan bahwa itu semua bukan
tuhan, Tuhan yang sebenar-benarnya adalah dzat yang menciptakan
langit dan bumi.99
Menurut Sayyid Qutb, manusia secara potensial mempunyai
kemampuan untuk mencapai kedamaian dalam diri mereka sendiri
serta punya kemampuan untuk menyeimbangkan instink terdalam
dengan kebutuhan-kebutuhan yang secara fundamental asing bagi
mereka, baik yang bersifat biologis, maupun sosial. Dalam bukunya,
Inilah Islam, Sayyid Qutb menulis: “Ketika pribadi seseorang sesuai
dengan Fitrah-nya, sehingga segalanya dapat disalurkan secara wajar,
ia akan mendaki mengikuti Fitrah-nya untuk mencapai derajat
setinggi-tingginya. Kemudiaan didapatinya segala yang
menyenangkan dan menentramkan hati.
Potensi kemanusiaan, lanjut Qutb, akan menemukan jalur
aktualisasinya jika manusia mampu menyeimbangkan antara
kebutuhan diri dan kebutuhan sosialnya. Sebagai individu, manusia
tidak boleh menghamba kepada siapapun dan apapun. Salah satu
format perbudakan manusia adalah manusia menjadikan manusia lain
sebagai pembuat aturan bagi dirinya. Salah satu firman Allah yang
sangat mencela hal tersebut adalah:
“Mereka menjadikan orang-orang alim mereka dan rahib-rahib
mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka
mempertuhankan) al-masih, putera Maryam padahal mereka hanya
99 Mereka yang mengikuti agama (millah) Ibrahim biasa disebut dengan
hanif, yaitu seseorang yang secara alamiah menolak politeisme dan penyembahan berhala dan selalu cenderung untuk menerima tauhid. Zaid bin ‘Amr bin Nufayl, Qais bin Sa’da dan Waraqa bin Nawfal, sepupu Khadijah istri Nabi Muhammad adalah contoh orang-orang hanif pada masa pra-Islam. Ibid,.Vol.2. hal. 1139
63
diseru menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan”. (al-Taubah [9]:31)100
Ada sebuah misi besar yang dibawa Sayyid Qutb dalam
menafsirkan ayat-ayat Fitrah ini. Ia memang sangat mengagung-
agungkan Nabi, zamannya, sahabatnya, namun bukan dengan harapan
membangkitkan masa lalu, melainkan menjanjikan masa depan yang
berujung terbuka.
Pada paparan di atas terlihat adanya tawaran yang unik dari
Sayyid Qutb mengenai Fitrah. Keunikan itu ada pada tawarannya
bahwa Fitrah tidak sekedar sebuah konsep teologis yang lekat pada
manusia sejak zaman pra-eksistensial, bersifat nostalgic belaka, namun
ia adalah sebuah konsep praktis yang dapat dijadikan landasan guna
mencapai insan kamil demi kesejahteraan manusia di masa datang.
100 Sayyid Qutb, Inilah Islam, (Kuala Lumpur, IIFSO, 1985), hal.33-34
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian bab-bab terdahulu kiranya kita dapat memahami
dan ketiga golongan masing-masing diwakili oleh ulama penganut
pandangan tersebut yang mempunyai pandangan tersendiri tentang
konsep fitrah. Pandangan netral, positif, dan dualis masing-masing
mempunyai komentar tentang fitrah sebagai sifat bawaan manusia atau
bukan. Bagi netralisme, manusia terlahir dalam keadaan “kosong”,
artinya manusia bagi golongan ini tidak sama sekali membawa
kecenderungan terhadap yang benar atau jahat. Kejahatan adalah
faktor eksternal yang memberikan kesesatan bagi manusia. Begitupun
kenabian dan wahyu sebagai faktor eksternal untuk mencapai
kebahagiaan. Positifisme memandang bahwa manusia terlahir dengan
keadaan iman dan berpotensi untuk menerima kekufuran. Karenanya
bagi pandangan ini, manusia berkecenderungan untuk bertauhid.
Kejahatan adalah faktor yang berada di luar sifat bawaan manusia.
Sedangkan kenabian dan wahyu adalah petunjuk yang melengkapi
kecenderungan bertauhidnya mausia itu. Artinya, kecenderungan
manusia untuk ber-Tuhan ada dan kekal. Sedangkan Qutb sendiri
dalam memahami konsep tersebut termasuk kepada pemahaman
dualis. Baginya, potensi baik dan buruk yang ada pada setiap manusia
mempunyai kuantitas dan kualitas yang sama. Bagaimana manusia
tersebut mengarahkan dua potensi tersebut yang saling mendominasi.
Manusia yang ingin mendapat ketentraman dalam hidup, ia harus
berjihad melawan nizam jahili dan mengikuti nizam islami. Bagi Qutb,
faktor eksternal dapat mempengaruhi sifat bawaan manusia meskipun
65
tidak terlalu besar. Tetapi kesadaran yagn ada, lebih dapat memilih
mana yang akan berkembang pada diri manusia itu, baikkah atau
burukkah? Dari pandangan ketiga golongan tersebut dapat kita ambil
benang merah bahwa faktor eksternal sangat berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan potensi yang ada pada manusia
tersebut. meskipun faktor eksternal itupun bagi ketiga golongan
tersebut. Meskipn faktor eksternal itupun bagi ketiga golongan
tersebut masing-masing mempunyai prosentase yang berbeda.
Secara lahiriyah, pandangan Qutb tentang fitrah terlihat lebih
“lentur” dari dua pandangan yang lainnya. Karena Qutb melihat
manusia sebagai makhluk merdeka yang memiliki kebebasan untuk
berkehendak dan bertanggungjawab atas status yang disandangnya,
yaitu sebagai khalifah di muka bumi ini.
B. Saran-Saran
Apa yang menjadi pandangan Sayyid Qutb terhadap konsep
fitrah masih perlu dikritisi dengan tetap memperhatikan aturan “main”
akademisi. Terlepas dari benar salahnya, konsep fitrah Qutb telah
memberikan banyak warna dalam perbincangan tafsir khususnya, dan
dunia pemikiran umumnya.
Selanjutnya, Qutb sebagai seorang pemikir kontemporer, yang
banyak menghasilkan karya besar sangat layak diberikan perhatian dan
kajian yang lebih terhadap pemikiran.
66
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Syakir, “Sayyid Quthb; Sastrawan, Politikus, Ulama,” dalam
Jurnal al-Jami’ah, Yogyakarta, Vol.50, 1992
Al-Bukhori, Imam, Shahih Bukhari, Darul Fikr; Bairul, 1992
Chizrin, Muhammad, Jihad Menurut Sayid Qutub dalam Tafsir Zhilal,
Intermedia; Solo, 2001
Al-Darimiy, Ibn Muhammad ‘Abd Allah, Sunan al-Darimiy, Dar al-
Fikr; Beirut,tt
Dhakiri, Muh.Hanif, Paulo Freire, Islam Pembebasan, Djambatan
dan Pena; Jakarta, 2000
Esposito, John L., Dinamika Kebangunan Islam; Watak, Prosee, dan
tantangan, CV.Rajawali; Jakarta
------------, al–Harakah al-Diniyah al-Mu’ashirah, dalam al-Din wa
al-Tsaurah fi Mishr 1952-1971, Vol.5, Kairo; Maktabah
madbuli, t.t.
Ibn mandzur, Lisan al-Arab, Dar Sodir, Beirut, 1990
Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam, Jakarta; Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 1994
67
Jauhari, Tanthawi, Tafsir al-Jawahir, Mesir; Musthafa al-Bab al-
Halafi, 1350 H
Lee, Robert D, Mencari Islam Authentik: Dari Nalar Puitis Iqbal
sampai Nalar Kritis Arkoun, Bandung; Mizan, 2000
Mandzur, Ibn, Lisan al-Arab, Dar Sodir, Beirut, 1990
Mohammed, Yasien, Insan Yang Suci; Konsep Fithrah dalam Islam,
Bandung; Mizan, 1997
Mujib, Abdul, Fithrah dan Kepribadian Islam; Sebuah pendekatan
Psikologis, Darul Falah: Jakarta, 1999
Mulkhan, Abdul Munir, Mencari Tuhan dan Tujuh Belas Jalan
Kebebasan (Sebuah Esai Pemikiran Imam al-Ghazali), Bumi
aksara; Jakarta, cet.I, 1992
Muslim, Imam, Shahih Muslim bi Syarh Imam al-Nawawi, Dar al-Fikr;
Beirut, 1981
Al-Nasa’i, Imam, Sunan al-Nasa’iy, Dar al-Fikr; Beirut, 1930
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, penerbit Universitas Indonesia (UI-Press); Jakarta,
1987, cet.I, h.44.
Qutbh, Sayyid, Fi Zhilal al-Qur’an, Darul-Syuruq; Beirut, 1992
68
--------, Inilah Islam, Malaysia; Polygrapchic Press, 1982
--------, 1983, al-Salam al-Alami wa al-Islam, terjemahan: Tim
Penerjemah Pustaka Firdaus, Islam dan Perdamaian Dunia,
Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987
--------, t.t., Ma’alim fi al-Thariq, terjemahan: Rahman Zainuddin,
Petunjuk Jalan, Jakarta: Media Dakwah, 1980
--------, t.t., al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam, terjemahan: Afif
Mohammad,, Keadilan Sosial Dalam Islam, Bandung; Pustaka,
1994
--------, 1965, al-Mustaqbal li Hadza al-Din, terjemahan: I.I.F.S.O.,
Masa Depan Agama Islam, Malaysia; Polygraphic Press, 1982
Rachmat, Jalaluddien, Islam Alternatif, Bandung; Mizan, cet Ii, 1991,
h. 43-44
Romas, Chumaidi Syarif, Wacana Teologi Islam Kontemporer, PT.
Tiara Wacana; Yogya, cet.I, 1999
Shihab, Quraish et.al, Ensiklopedi al-Qur’an, Intermasa; Jakarta, 1997
---------, Wawasan al-Qur’an, Tafsir:Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Mizan; Bandung, 1998
69
Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam antara Modernisme dan
Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi,
Yogyakarta; LkiS, cet.III, 1997
Tripp, Charles, Sayyid Quthb; Visi Politik, dalam Ali Rahnema (ed.),
Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung; Mizan, cet. III, 1998
Turmuzhi, Iman, al-Jami’ al-Shahih Sunan al-turmuzhi, Dar al-Kutub
al-Ilmiah; Beirut, 1987
70
BIODATA PENULIS
Dr. H. TAUFIK ABDILLAH SYUKUR Lc,
MA, lahir di Jakarta, 28 Maret 1978. Putra ketiga
dari DR. (HC). Dr. KH. Manarul Hidayat, M.Pd
dan Dra. Hj. Mahyanah MH.
Menyelesaikan S1 di Universitas Yarmouk Jordania (2001), S2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2004) dan S3 Universitas Ibnu
Khaldun Bogor program studi Pendidikan Islam (2013) dengan
predikat cumlaude (A) dan merupakan wisudawan terbaik pada wisuda
ke-55 tahun akademik 2012-2013.
Sebelumnya pernah menimba ilmu di beberapa pesantren antara
lain; PP. Darul Ulum Jombang, Majlis Al-Ihya Bogor, Ribat Al-Jufri
Madinah Munawwaroh Saudi Arabia.
Pernah aktif di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jordan, Forum
Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji Kota Depok, Forum
Komunikasi Pondok Pesantren Kota Depok. Pernah menjabat sebagai
kepala Sekolah TK, SD, SMP, SMA, dan Madrasah Diniyah.
Saat ini aktif sebagai Direktur Azhari Islamic School Cilandak,
Pengasuh Santri Al-Manar Azhari Islamic Boarding School Depok,
Pembimbing manasik haji dan umroh serta Dosen di Sekolah Tinggi
Agama Islam Al-Hikmah Jeruk Purut Cilandak Jakarta.
SITI RAFIQOH, lahir di Jakarta, 29
September 1979, merupakan putri ketujuh dari
Bapak H. Abdurrahman Djanan dan Ibu Hj.
Royanih.
71
Menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Islam Teladan 01
Pagi Jakarta (1991), MTs Al-Wathoniyah 05 Jakarta (1994), MA Daar
El-Qolam Tangerang (1997), IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta
(2001), dan selanjutnya tahun 2002 melanjutkan studi di S2
Universitas Negeri Jakarta, tahun 2009 melanjutkan studi S2 jurusan
Ilmu Tafsir di PTIQ dan berhasil diselesaikan pada tahun 2012.
Sejak tahun 2003 mulai bekerja sebagai Penyuluh Agama
Islam Fungsional dilingkungan Kantor Departemen Agama Kodya
Jakarta Selatan, tahun 2011 pindah tugas menjadi Guru PAI di Azhari
Islamic School Cilandak. Sejak tahun 2001 sampai sekarang tercatat
sebagai guru di Al-Manar Azhari Islamic Boarding School di Limo-
Cinere Depok.
v
Recommended