View
232
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Foto Cover : Taufi k Rinaldi
Diterbitkan:
Justice for The Poor
World Bank - Sub Offi ce
Jalan Kusuma Atmadja No. 36
Menteng, Jakarta 10310
Ph. 62 -21 310 7158, 391 1908/09
Fax. 62 -21 392 4640
Website: www.justiceforthepoor.or.id
Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Mei 2009
ii Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Prakata
Prakata
Reformasi di sektor hukum dan peradilan menjadi hal yang esensial untuk pembangunan berkelanjutan,
pemerintahan yang efektif dan pengurangan kemiskinan – jantung dari misi utama Bank Dunia.
Pemerintah Indonesia, dengan dukungan dari masyarakat internasional, sedang menjalankan serangkaian
program pembaharuan untuk meningkatkan penegakan keadilan melalui institusi-institusi negara - Mahkamah
Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. Pembaharuan penting kelembagaan telah dijalankan dalam beberapa
tahun terakhir melalui prestasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembentukan Mahkamah Konstitusi, dan
implementasi cetak biru reformasi Mahkamah Agung yang tengah berlanjut.
Akan tetapi, dalam suatu negeri seperti Indonesia, yang kaya dengan berbagai macam kebudayaan dan pluralisme
hukum, hukum tidak hanya menjadi tanggungjawab negara. Mayoritas permasalahan hukum pada kenyataannya
dipecahkan di luar pengadilan melalui mekanisme yang berlaku di masyarakat. Satu-satunya pengalaman
“keadilan” yang dialami oleh sebagian besar warga negara justru tidak didapat dari gedung pengadilan, dari
balai desa, majelis adat, atau melalui mediasi oleh pemimpin agama dan kepala desa. Perselisihan sehari-hari
yang kerap muncul pada tingkatan ini - tanah, tenaga kerja, warisan, pernikahan, dan perceraian - mempunyai
dampak sosial ekonomi yang berarti dalam kehidupan warga Indonesia. Jika perselisihan seperti itu tidak bisa
dipecahkan secara efi sien dan adil, maka bisa mengakibatkan konfl ik kekerasan sosial.
Oleh karena itu, kebijakan yang berfokus kepada sistem keadilan non-negara adalah elemen yang penting
dalam strategi reformasi hukum dan peradilan. Laporan ini merupakan salah satu keluaran dari program
Justice for the Poor-Bank Dunia, diluncurkan untuk mengembangkan kerangka kebijakan dan operasional guna
meningkatkan efektivitas dan inklusifi tas sosial peradilan non-negara di Indonesia. Berdasarkan riset lapangan
yang dilakukan selama delapan belas bulan di lima provinsi dan data kuantitatif mengenai keadilan dan konfl ik
Survei Pemerintahan dan Desentralisasi, laporan ini mendokumentasikan proses, preferensi, dan praktik dalam
upaya penyelesaian masalah melalui sistem peradilan non-negara di Indonesia dan mengidentifi kasi inovasi
lokal serta regional untuk meningkatkan kinerjanya.
Bekerjasama dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA), laporan ini diharapkan bisa menjadi masukan
dalam pengembangan cetak biru pembaruan MA pada tahap berikutnya. Ini juga kontribusi kepada Strategi
Nasional Akses terhadap Keadilan yang sedang dikembangkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas).
Kita berharap bahwa studi ini akan memperluas pemahaman mengenai proses penyelesaian sengketa non-
negara yang bervariasi dan kompleks. Dengan demikian membantu pembuat kebijakan menemukan jalan yang
baru untuk membangun membangun sistem hukum dan peradilan yang efektif dan mudah diakses oleh semua
warga Indonesia.
Joachim von Amsberg
Country Director, Indonesia
iiiMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ucapan Terima Kasih
Ucapan Terima Kasih
Laporan ini adalah produk Unit Pembangunan Sosial, Bank Dunia di Indonesia, dengan dukungan dari Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Ini merupakan hasil kerja tim Justice for the Poor (disingkat Tim Justice) sebagai bagian
dari program “Otonomi Peradilan Desa” (Village Judicial Autonomy). Penelitian ini didasarkan pada sejumlah
studi kasus dari sengketa yang dipecahkan melalui kelembagaan di desa di Indonesia, dilengkapi dengan data
kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi (Governance and Decentralization Survey atau GDS).
Penelitian lapangan dilakukan oleh anggota Tim Justice bersama fasilitator lokal di lima provinsi. Fasilitator
tersebut adalah Fitriyanti dan Rifai Lubis dari LSM Limpapeh di Sumatera Barat; Agus Hadi dan L. Prima Wira
Putra dari Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan di Nusa Tenggara Barat; Yuanita Oktavania dari
Universitas Palangkaraya di Kalimantan Tengah; aktivis LSM Bata Peillouw dan Bai Tualeka di Maluku; dan peneliti
Zuyyinah dan Novia Cici Anggraini di Jawa Timur.
Tim Justice mengucapkan terima kasih kepada seluruh penduduk desa, tokoh masyarakat, pejabat lokal,
para pengacara bantuan hukum, wartawan, akademisi, aktivis masyarakat sipil, polisi, jaksa dan hakim yang
berpartisipasi pada riset, baik sebagai responden maupun peserta pada lokakarya dan diskusi lanjutan. Ucapan
terima kasih secara khusus juga ditujukan kepada Hakim Agung H. Abdurrahman SH. MH., Profesor Rehngena
Purba SH MS. dan Prof. Dr. Valerine J.L.K, SH. MA untuk bimbingan dan dukungan di sepanjang studi.
Penulis utama laporan ini adalah Matt Stephens dan Samuel Clark. Anggota Tim Justice ikut memberikan
kontribusi dan masukan secara tertulis dan lisan serta komentar atas naskah laporan. Lene Ostergaard dan Pieter
Evers berkontribusi terhadap keseluruhan kerangka dan pengembangan panduan penelitian lapangan. Laporan
dari lima provinsi ditulis oleh Peri Umar Farouk (Nusa Tenggara Barat), Dewi Novirianti (Maluku), Lene Ostergaard
(Sumatera Barat), Samuel Clark (Jawa Timur), dan Matt Stephens (Kalimantan Tengah ).
Taufi k Rinaldi, Bambang Soetono, Megadianty Adam, Matt Zurstrassen, dan Philippa Venning turut memberi
komentar dan masukan. Terima kasih juga tertuju kepada Arya Gaduh dan Daan Pattinasarany atas bantuan
mereka dengan analisa data GDS.
Dr. Sinclair Dinnen dari Australian National University, Professor Julio Faundez dari Universitas Warwick, Steven
Golub dari Universitas California di Berkeley, dan Dr. Jaap Timmer dari Leiden University bertindak sebagai reviewer
atas naskah laporan. Alexandre Marc ikut mereview dari internal Bank Dunia. Erica Harper dari International
Development Law Organization, Patrick Barron, Andrea Woodhouse, dan Pamela Dale juga ikut memberikan
komentar. Juliana Wilson, Teguh Nugroho, dan Agni Paramita juga memberi masukan editoral yang berharga.
Seluruh tim mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Joel Hellman, Susan Wong, dan Scott
Guggenheim untuk dukungan intelektual serta bimbingan untuk menyusun laporan ini dan kepada Program
Justice for the Poor. Kami juga menyampaikan penghargaan kepada Bank Dunia-DFID Poverty Reduction
Partnership Trust Fund dan Kedutaan Besar Belanda atas dukungan fi nansialnya.
Pertanyaan seputar laporan bisa dialamatkan kepada Matt Stephens (mstephens@worldbank.org/ mjkstephens@
gmail.com) dan Samuel Clark (sclark@worldbank.org/samueltclark@gmail.com).
iv Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Isi
Daftar Isi
Prakata ii
Ucapan Terima Kasih iii
Daftar Isi iv
Daftar Istilah vi
Ringkasan Eksekutif vii
Pengantar xiv
Bagian I: Pendahuluan 1
A. Pentingnya Peradilan Non-Negara di Indonesia 2
B. Pendekatan Kebijakan Pemerintah Terhadap Non-State Justice di Indonesia 4
C. Menemukan Titik Keseimbangan 6
D. Metodologi 8
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa 11
A. Peradilan Non-Negara dalam Praktek: Tipologi Sengketa, Pelaku, dan Institusi 12
B. Prosedur, Norma, Sanksi dan Pendorong Penyelesaian Sengketa 19
C. Persinggungan antara Peradilan Formal dan Informal 30
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara 37
A. Kekuatan: Mengapa Orang-orang Lebih Memilih Peradilan Non-negara? 38
B. Kelemahan: Ketika Mekanisme Peradilan Informal Gagal 41
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran 57
A. Kesimpulan 57
B. Saran-saran 63
Lampiran 71
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi 82
vMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Isi
GambarGambar 1: Sengketa yang dilaporkan terjadi di desa responden selama dua tahun terakhir 13
Gambar 2: Pengalaman responden dengan pengadilan, pemahaman soal hak hukum,
dan kepercayaan terhadap pengadilan 14
Gambar 3: Pelaku Peradilan Informal dan formal yang biasa menyelesaikan sengketa 15
Gambar 4: Struktur Organisasil Majelis Adat di Desa Pelau, Kabupaten Maluku Tengah 18
Gambar 5: Penyelesaian kasus perkelahian di pasar 20
Gambar 6: Kepuasan dengan pelaku formal dan informal 39
Gambar 7: Kepercayaan terhadap tetangga dekat dan desa-desa sekitar 48
Tabel Tabel 1: Konfl ik regional berdasarkan jenis konfl ik viii
Tabel 2: Konfl ik regional berdasarkan jenis konfl ik 13
Tabel 3: Sanksi bagi tindak pidana menurut hukum negara dan hukum adat di lokasi riset terpilih 27
Tabel 4: Kerangka kerja 65
BoksBoks 1: Contoh hukum adat dari Bentek, Nusa Tenggara Barat 24
Boks 2: Contoh perubahan I: Menghadapi kurangnya keterwakilan perempuan dan bias
gender melalui pemberdayaan hukum 45
Boks 3: Contoh Perubahan II: Memperjelas norma dan struktur resolusi perselisihan di NTB 51
Boks 4: Contoh-contoh Perubahan III: Meningkatkan kesesuaian antara peradilan formal
dan informal dan membangun kapasitas – Unit Perantara Peradilan Komunitas Papua Nugini 54
Boks 5: Contoh Perubahan IV: Mendefi nisikan Persinggungan–Sistem Peradilan Barangay di Filipina. 54
Studi KasusStudi Kasus 1: Perkelahian di pasar dalam bayangan konfl ik etnis xiv
Studi Kasus 2: Perselisihan antara sepupu di panangguan, Jawa Timur 16
Studi Kasus 3: Perbatasan yang tidak jelas di Desa Souhoku, Pulau Seram, Maluku 17
Studi Kasus 4: Warisan membawa petaka 22
Studi Kasus 5: Penghinaan ketua adat 25
Studi Kasus 6: Reaksi cepat raja dan polisi mencegah kerusuhan meluas di Ruhua 28
Studi Kasus 7: Perkosaan yang diabaikan di Desa Sepa 29
Studi Kasus 8: Gugatan terhadap denda adat yang berat 32
Studi Kasus 9: Perkelahian jalanan di Madura 34
Studi kasus 10 : Perkelahian (baku hantam) diselesaikan dengan cepat 40
Studi Kasus 11: Lahan Bu Marnis dijual saudara laki-lakinya: Sumpur, Sumatera Barat 43
Studi Kasus 12: ’Itu cuma kelebihan nafsu’ 44
Studi Kasus 13: Konfl ik antara Etnis Batak dan Minang di Kinali 46
Studi Kasus 14: Tembok berlinnya Lombok: Karang Genteng vs Patemon 49
Studi Kasus 15: Pertambangan Sari Gunung menciptakan Kekacauan 50
Studi Kasus 16: Penusukan di Kota – Resolusi Dua Jalur 52
vi Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Istilah
Daftar Istilah
Awig-awig Aturan hukum adat (Lombok, Nusa Tenggara Barat)
BJS Barangay Justice System - Sistem Peradilan Barangay (di Filipina)
Bundo Kanduang Dewan adat perempuan, tidak termasuk dalam KAN (Sumatera Barat)
Carok Pertarungan kekerasan fi sik sampai mati (Madura, Jawa Timur)
Damang Pemimpin adat (Kalimantan Tengah)
Datuk Gelar adat turun-temurun yang diwariskan melalui garis matrimonial (garis ibu),
namun hanya untuk pria (Sumatera Barat)
GDS Governance and Decentralization Survey - Survei Pemerintahan dan Desentralisasi
Grosok Endapan lumpur atau kepingan sisa-sisa pertambangan kapur
KAN Kerapatan Adat Nagari -- Dewan Adat Nagari (Sumatera Barat)
KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kyai Tokoh agama (Islam) di Jawa Timur dan Jawa Tengah, di Jawa Barat disebut Ajengan,
di Sumatera Barat disebut Buya, di Nusa Tenggara Barat disebut Tuan Guru
LAN Lembaga Adat Nagari -- Dewan Adat Nagari. Sama seperti KAN, namun penggunaan
istilah ini tergantung pada masing-masing Nagari
Let Adat Perangkat Adat (Kalimantan Tengah)
Mamak Paman dari garis keturunan ibu (Sumatera Barat)
Marga Kelompok kaum/keturunan/keluarga (Maluku)
Nagari Kelompok kecil adat berdasarkan wilayah atau desa (Sumatera Barat)
Negeri Unit pemerintahan terendah setingkat dengan desa (Maluku)
Ninik Mamak Garis keturunan tertua yang memegang gelar keturunan (Sumatera Barat)
Raja Di Maluku berarti pemimpin desa/pemimpin adat
Saniri Negeri Perangkat dewan adat (di Maluku)
Santet Ilmu hitam
Sasi Sanksi-sanksi berdasar adat, terkait upaya pemeliharaan lingkungan (Maluku)
Soa Kelompok suku/marga/kaum di Maluku
Tua Biroko Pengurus adat yang menyediakan informasi kepada masyarakat (Maluku)
Tuan Guru Tokoh/pimpinan agama Islam, biasanya mengasuh pesantren (NTB)
viiMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Ringkasan Eksekutif
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan proses peradilan non-negara (non-state justice) di tingkat desa, dengan fokus utama pada inklusifi tas sosial dan perspektif dari pihak-pihak
yang terpinggirkan. Laporan ini juga dimaksudkan untuk memahami dinamika perubahan di masyarakat dan
bagaimana menerjemahkannya dalam sebuah kerangka kerja yang mempertahankan kekuatan dan mengatasi
kelemahan peradilan non-negara. Laporan ini terdiri dari 34 kajian kasus etnografi yang dikumpulkan dari lima
provinsi di Indonesia selama lebih dari 18 bulan, serta data kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi
2006.
Hal ini merupakan masalah krusial bagi agenda pembangunan Indonesia. Sistem peradilan yang berjalan
baik merupakan faktor penting dalam menjaga ketertiban sosial dan untuk menjamin kepastian hukum yang
mendasari pertumbuhan ekonomi, serta memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia
dan dunia peradilan telah juga berupaya melakukan pembaharuan meskipun belum seluruh persoalan
terselesaikan, khususnya penegakan keadilan untuk masyarakat miskin.
Kesimpulan utama
Bentuk utama penyelesaian sengketa; penting bagi kesejahteraan orang miskin. • Peradilan informal
merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Bagaimana perselisihan itu dipecahkan memiliki dampak
sosio-ekonomi yang berarti bagi masyarakat miskin.
Mekanisme peradilan informal memiliki beberapa kekuatan yang nyata. • Hasil penelitian menunjukkan
bahwa untuk kasus kecil di tingkat komunitas, peradilan non-negara berjalan cepat dan efektif. Keberhasilan
tersebut tercermin pada tingkat kepuasan yang tinggi.
Namun juga memiliki kelemahan yang signifi kan. • Ketika kasus menjadi lebih besar dan kompleks, dan ada
keterlibatan relasi kuasa, tidak adanya standar peradilan yang jelas, tidak adanya pertanggungjawaban ke pihak
di atas dan di bawahnya, persinggungan yang kabur terhadap sistem hukum formal, serta dikombinasikan
dengan tingkat keterwakilan yang rendah dari perempuan dan kelompok minoritas, bisa menciptakan
kesewenang-wenangan. Dalam kondisi demikian, relasi kekuasa di tingkat lokal dan norma sosial yang
menentukan proses dan hasilnya, yang seringkali merugikan bagi pihak lemah dan tidak berkuasa.
Terdapat contoh perubahan yang positif, meskipuan hanya sedikit dan jarang. • Sistem politik dan
demokrasi yang makin terbuka menciptakan dinamika yang progresif yang dimanfaatkan oleh berbabagai
pihak di tingkat lokal untuk mengeksploitasi terbentuknya berbagai model penyelesaian sengketa yang lebih
inovatif dan inklusif. Kelompok masyarakat pro-reformis ini layak didukung.
Kenyataan keadilan di Indonesia dijalankan bukan di ruang sidang di kota-kota besar, tapi di balai desa
di penjuru nusantara. Temuan paling penting dalam penelitian ini adalah peradilan non-negara merupakan
bentuk utama dalam penyelesaian sengketa. Dalam konteks Indonesia, “peradilan non-negara” atau “peradilan
informal” pada dasarnya adalah “penyelesaian sengketa di-tingkat lokal” – arbitrase dan mediasi yang dilakukan
oleh kepala desa, para pemuka adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama – kadang-kadang didasarkan pada
tradisi, namun sering pula hanya berdasarkan pertimbangan subyektif para pemimpin warga tanpa dasar yang
jelas atau mengacu kepada hukum negara maupun hukum adat.
viii Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Pesan penting kedua adalah bagaimana berjalannya non-state justice akan sangat berdampak pada
stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat miskin. Sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini,
jenis sengketa yang paling sering dihadapi oleh masyarakat Indonesia adalah tindak pidana, sengketa tanah,
kekerasan dalam rumah tangga, warisan, perkawinan, dan perceraian. Individu dan komunitas yang tidak
mampu menyelesaikan sengketa tersebut mengalami dampak sosio-ekonomi yang besar. Efektivitas peradilan
informal menentukan apakah suatu konfl ik bisa diselesaikan secara damai atau justru berkembang mengarah
pada kekerasan. Konfl ik lahan seringkali tercatat sebagai masalah yang paling sulit dipecahkan dan yang paling
mungkin memicu kekerasan.
Tabel 1: Konfl ik regional berdasarkan jenis konfl ik
Tipe Konfl ik Indonesia Sumatera Jawa/Bali Kalimantan Sulawesi NTB/NTT Maluku
Pidana Umum 16.4% 15.6% 16.0% 10.9% 16.9% 24.2% 18.6%
Sengketa
Tanah/Gedung13.3% 9.6% 9.2% 14.2% 17.5% 23.3% 19.5%
Perselisihan Keluarga 10.9% 8.3% 11.0% 8.0% 9.8% 17.3% 15.3%
Penyalahgunaan
Wewenang 2.8% 1.7% 3.0% 2.4% 2.3% 4.0% 4.8%
KDRT 7.6% 5.1% 6.2% 5.2% 4.1% 13.8% 19.8%
Sengketa Pemilu 3.2% 1.3% 4.2% 1.8% 2.0% 2.6% 8.8%
SARA 2.0% 1.2% 1.7% 1.2% 3.4% 1.9% 3.9%
Secara keseluruhan, penyelesaian perselisihan informal bukan merupakan suatu sistem yang
menyeluruh dan koheren, namun merupakan serangkaian proses yang dijalankan oleh pihak yang
berpengaruh. Di beberapa lokasi penelitian, majelis adat setempat dengan struktur dan norma yang jelas
sudah terbentuk. Akan tetapi, secara umum lebih sering dijumpai proses tersebut yang dijalankan oleh para
kepala desa atau para pemimpin agama setempat yang berpengaruh. Mereka biasanya menyelesaikan sengketa
berdasarkan konsep keadilan lokal, atau pemikiran subyektif atas apa yang dianggap pantas, tanpa mengacu
kepada hukum negara, agama atau adat.
Pada kenyataannya, norma sosial dan kekuasaan yang biasanya menentukan hasil penyelesaian
perselisihan di tingkat lokal. Jadi, pada umumnya peradilan non-negara merupakan suatu lingkungan tanpa
hukum (“delegalized environment”). Hal tersebut dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fl eksibel.
Tetapi tanpa ada struktur atau norma yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa informal memiliki wewenang
yang sangat luas. Dimana norma sosial yang dominan, hubungan sosial dan relasi kuasa akan menjadi faktor
penentu. Akibatnya, jalan menuju keadilan tidak setara bagi semua orang. Pihak yang berkuasa melewati jalan
yang lancar; pihak yang lemah harus menghadapi jalan yang penuh hambatan.
Pemulihan harmoni masyarakat merupakan tujuan utama yang melandasi penyelesaian sengketa oleh
peradilan non-negara. Akan tetapi, tujuan untuk mempertahankan kerukunan sering disalahgunakan, menjadi
diartikan sama dengan upaya untuk menjaga status quo. Pencapaian keharmonisan lebih mengutamakan
hubungan komunal, dengan mengorbankan hak asasi dan keadilan individu. Sebaliknya, sistem peradilan formal
sering mengutamakan keadilan pribadi diatas kepentingan bersama. Keadaan ini menciptakan kondisi dimana
ketika mencari keadilan baik kepentingan individu ataupun kelompok, sama-sama tidak terlayani dengan baik.
Tujuan untuk mempertahankan harmoni juga melandasi sanksi yang dikenakan oleh sistem non-state
justice. Sanksi untuk sengketa pidana maupun perdata biasanya diukur dengan uang, menggabungkan unsur
hukuman dengan ganti rugi atas kerugian materiil. Penelitian di lapangan juga menemukan beberapa kejadian
hukuman fi sik, termasuk cambukan dan pemukulan, yang secara hukum di luar wewenang para pelaku non-
state justice .
ixMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Kekuatan dan Kelemahan
Untuk sebagian besar kasus kecil dan ringan, peradilan informal merupakan proses yang tepat dan
efektif. Dari empat belas kasus kecil yang tercatat dalam penelitian ini, sebelas kasus diselesaikan tanpa
kesulitan.
Secara keseluruhan, peradilan non-negara populer, mencerminkan kekuatannya. Para pelaku non-state
justice memiliki legitimasi dan otoritas lokal, yang tidak selalu dimiliki oleh para hakim dan polisi. Masyarakat
mencari bantuan dari para aktor non-state justice justru karena mereka memiliki legitimasi sosial di lingkungan
kampung. Lagipula, prosedur dan substansinya sesuai dengan pendapat umum yang mengutamakan
kerukunan. Tujuannya bersifat menghindari konfl ik dan bersifat restoratif; dan prosesnya bersifat cepat dan
sangat murah. Sifat-sifat tersebut sangat penting bagi masyarakat pedesaan yang saling bergantung satu sama
lain secara ekonomi dan sosial.
Akibatnya masyarakat puas dengan para pelaku peradilan informal – 69 persen responden menyatakan
kepuasannya pada aktor non-state justice dibandingkan dengan 58 persen responden puas dengan pelaku
peradilan formal.
Akan tetapi, penelitian ini menemukan beberapa kekurangan yang signifi kan dalam sistem peradilan
non-negara. Ketika kasus yang dihadapi semakin rumit, pihak dari luar desa turut campur tangan atau ketika
kepentingan perempuan yang dipertaruhkan, peradilan informal mulai terpecah.
Tidak adanya norma dan struktur yang jelas dan tidak adanya pertanggungjawaban keatas maupun
kebawah mengakibatkan terjadinya kesewenang-wenangan. Hal yang mendasari kekuatan peradilan
informal adalah otoritas sosial, namun pelaksanaannya tanpa kontrol sekaligus merupakan kelemahan
terbesarnya. Kelemahan tersebut biasanya dieksploitasi oleh pihak yang kuat sehingga merugikan pihak yang
lemah.
Perempuan kurang terwakili dalam lembaga penyelesaian sengketa di pedesaan. Dari dua pelaku peradilan
informal yang paling populer – kepala desa dan kepala dusun – hanya 3 persen dan 1 persen perempuan. Oleh
karena itu, masalah hukum yang menyangkut kepentingan perempuan sering diabaikan atau tidak ditanggapi
secara serius.
Persengketaan antar etnis sulit untuk dipecahkan. Khususnya dalam mekanisme tradisional berbasis adat,
pelaku penyelesaian sengketa hampir selalu merupakan kaum elit dari suku asli setempat. Kelompok minoritas,
terutama di daerah pasca konfl ik, secara konsisten cenderung memilih pengadilan formal, karena dinilai relatif
netral dan tidak mengandung prasangka.
Sengketa antar kelompok masyarakat juga merupakan masalah yang berat.. Para aktor non-state justice
jarang mampu menerapkan kewenganan mereka melampaui batas wilayah atau sosial. Dalam kasus yang
diteliti, lembaga desa tidak mampu memecahkan sengketa dimana perusahaan swasta – yang sering didukung
oleh pemerintah – turut terlibat. Kasus-kasus ini biasanya mengenai hak atas tanah dan kekayaan di dalamnya,
yang terbukti secara konsisten paling sulit dipecahkan. Ketidakberdayaan ini dapat memicu konfl ik horizontal di
tingkat desa.
Tidak adanya persinggungan yang jelas antara peradilan formal dan informal, khususnya berkaitan
dengan kewenangan yurisdiksi, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka kemungkinan
penyalahgunaan dan manipulasi. Polisi menentukan dan memilih apakah akan melakukan mediasi atau
penuntutan atas suatu kasus, tanpa prosedur resmi. Pengadilan wajib mempertimbangkan hasil penyelesaian
x Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
sengketa informal, akan tetapi hakim sering mengabaikan kewajiban ini atau bingung tentang yang mana yang
merupakan proses hukum lokal yang sah dan yang tidak. Ketidakpastian tersebut membuat pihak yang lemah
dan tidak berpendidikan, yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami atau bergerak di antara beberapa
sistem rentan dieksploitasi.
Kegagalan dalam mendefi nisikan persinggungan tersebut juga berarti bahwa para pelaku non-state justice seringkali memediasikan tindak pidana berat, seperti perkosaan dan pelecehan seksual. Hal ini sering
dilakukan dengan persetujuan atau dukungan dari pihak kepolisian setempat.
Kesenjangan Kebijakan
Meskipun pentingnya untuk menjaga stabilitas sosial dan kesejahteraan ekonomi serta kepopulerannya
di tingkat lokal, peradilan non-negara sangat diabaikan oleh pembuat kebijakan. Program reformasi
hukum dan peradilan dari pemerintah dan donor hampir selalu hanya memperhatikan lembaga negara. Cetak
Biru Mahkamah Agung dan program reformasi Kejaksaan Agung, berbagai macam komisi tingkat nasional yang
baru dibentuk, dan upaya reformasi hukum nasional didukung oleh bantuan donor sebesar lebih dari $60 juta
untuk meningkatkan kualitas keadilan di Indonesia.
Prakarsa tersebut penting, akan tetapi mengingat bahwa sebagian besar orang Indonesia tergantung
pada peradilan informal, kebijakan dan upaya reformasi hukum harus memberikan fokus yang
seimbang terhadap sistem tersebut. Sebuah strategi reformasi hukum yang menyeluruh harus menyoroti
peradilan informal apabila strategi tersebut ingin mencakup sistem yang merupakan satu-satunya pengalaman
keadilan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Pemerintah saat ini kurang memperhatikan masalah ini. Kebijakan dan peraturan perundang-undangan
pemerintah pusat penuh dengan pernyataan umum tentang pentingnya mengakui dan mendukung kewenangan
lembaga desa untuk menyelesaikan sengketa. Namun, pernyataan tersebut memerlukan penjelasan tambahan
agar menjadi berarti.
Pemerintah kota/kabupaten memiliki peluang dengan adanya otonomi daerah. Proses desentralisasi
telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur bentuk dan struktur pemerintahan
desa, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa. Hal tersebut memungkinkan terbentuknya struktur baru
untuk mengatasi konfl ik antar etnis, meningkatkan keterwakilan perempuan, dan mengatasi sengketa antar
masyarakat. Akan tetapi, tidak ditemukan contoh pengaturan kembali atas lembaga tersebut selama penelitian
lapangan.
Faktanya, di Sumatera Barat, Maluku, dan Kalimantan Tengah, kewenangan tersebut telah digunakan
untuk menghidupkan kembali struktur pemerintahan berdasarkan hukum adat. Upaya untuk kembali
ke “cara lama” dimaknai untuk menegaskan kembali identitas budaya asli. Penelitian ini menunjukkan bahwa
pengaktifan kembali lembaga adat kemungkinan tidak akan dapat mengatasi masalah utama yang telah
diidentifi kasi terkait kebutuhan akan perlakuan yang lebih setara terhadap perempuan dan kaum minoritas.
Beberapa unsur masyarakat madani mendesak diadakannya pengakuan menyeluruh atas mekanisme
peradilan informal. Akan tetapi, desakan tersebut mengabaikan tidak adanya standar minimum, tidak adanya
pengawasan dan kelemahan mendasar dalam pelaksanaan peradilan informal yang telah diidentifi kasi dalam
peneilitian ini.
xiMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Peluang untuk Perubahan
Otonomi daerah merupakan sebuah peluang untuk perubahan. Meskipun tidak ditemukan contoh
reformasi yang substantif di tingkat daerah, perbincangan dengan ratusan pejabat pemerintah, anggota
parlemen, aktivis, pemuka desa dan anggota masyarakat biasa selama pelaksanaan penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat pihak-pihak yang mendukung perubahan. Pihak-pihak tersebut dapat dan harus didukung
untuk mengadvokasikan peraturan daerah yang mendukung sistem peradilan informal yang lebih inklusif dan
akuntabel.
Perubahan yang inovatif di tingkat akar rumput telah teridentifi kasi. Kelompok perempuan di Sumatera
Barat telah memanfaatkan potensi emansipasi dalam meningkatkan kesadaran hukum dan mobilisasi masyarakat
untuk mengubah prosedur dan struktur adat. Persatuan desa Perekat Ombara di Lombok Barat memiliki
pandangan yang progresif tentang adat yang mengakui bahwa adat istiadat setempat perlu beradaptasi
dengan realitas modern, termasuk keterwakilan perempuan. Kesadaran hukum dan pendidikan hukum telah
terbukti membuka berbagai pilihan dan membuat sistem formal lebih mudah diakses oleh semua pihak. Dengan
mengurangi monopoli para pelaku peradilan non-negara, kesadaran akan hak dapat memberdayakan pihak
yang terpinggirkan untuk mendapatkan keadilan yang lebih baik. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa
prakarsa pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput juga dapat mendorong upaya reformasi institusional
yang sistematik.
Rekomendasi
Pentingnya peradilan informal berarti bahwa strategi yang menyeluruh untuk mendukung penegakan
hukum di Indonesia harus mempertimbangkan hal-hal di luar pengadilan. Strategi reformasi hukum dan
peradilan yang berbasis pada pengacara, litigasi dan institusi formal semata tidak menjangkau masyarakat miskin
di pedesaan. Namun demikian, merancang suatu strategi menyeluruh terhambat oleh banyaknya ragam pelaku,
lembaga dan proses yang terlibat. Upaya pembaharuan tersebut kemungkinan betentangan dengan norma
sosial dan struktur kekuasaan yang telah baku – dan norma tersebut tidak dapat dengan mudah dihapuskan
dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan atau pernyataan kebijakan baru.
Memang dapat dikatakan bahwa begitu rumitnya peradilan informal sehingga seolah-olah tidak ada
yang dapat dilakukan. Terdapat dua alasan pembenar untuk menerapkan pendekatan “tidak melakukan apa-
apa”. Pertama, memberikan dukungan kepada peradilan non-negara akan hanya memberikan “peradilan yang
buruk” bagi masyarakat miskin. Dengan demikian, sumberdaya harus diarahkan untuk menjadikan sistem formal
berjalan lebih efektif. Alasan kedua adalah bahwa peradilan informal terlalu rumit dan melekat secara sosial dan
oleh karena itu bukan sasaran yang tepat untuk kegiatan intervensi dari pihak luar.
Pihak lainnya memiliki sikap yang berbeda, dengan beranggapan bahwa praktik lokal merupakan
hal yang ideal dan mendesak adanya pengakuan menyeluruh dari negara atas mekanisme peradilan
informal. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, karena mengabaikan tidak adanya standar minimum dan
tidak adanya pengawasan efektif, yang diidentifi kasikan sebagai suatu kelemahan dalam studi ini.
Di tengah-tengah, terdapat sudut pandang yang lebih realistis; sebuah titik keseimbangan. Peradilan
informal merupakan cara utama untuk menyelesaikan sengketa. Peradilan informal telah terbukti sangat andal.
Oleh karena itu, sistem informal seharusnya menjadi unsur penting yang dipertimbangkan dalam setiap program
yang mendukung penegakan hukum. Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa
masalah yang serius terkait dengan peradilan informal yang perlu ditangani oleh pemerintah dan masyarakat
madani.
xii Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Laporan ini mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk membangun “titik keseimbangan” antara praktik
peradilan non-negara yang berlaku saat ini dan sistem peradilan formal. Pendekatan ini berupaya untuk
mengawinkan aksesibilitas sosial, kewenangan dan legitimasi proses hukum informal dengan akuntabilitas
kepada masyarakat dan negara. Titik keseimbangan ini berupaya untuk mengakomodasikan berbagai konteks
sosial budaya, adat istiadat dan kebiasaan namun secara bersamaan menetapkan prinsip umum untuk
melindungi pihak yang terpinggirkan. Dengan berdasar pada UUD 1945, prinsip tersebut antara lain adalah: (i)
keterwakilan dengan basis yang luas; (ii) pertanggungjawaban publik dan transparansi; (iii) anti-diskriminasi; (iv)
kesetaraan di depan hukum; dan (v) kebebasan dari penyiksaan.
Rekomendasi tersebut tidak bertujuan untuk menciptakan peradilan informal yang ideal atau sempurna,
tetapi untuk mengatasi dua kelemahan utama: (i) mengatasi kesewenang-wenangan dan menyeimbangkan
otoritas sosial dengan akuntabilitas sosial; dan (ii) meningkatkan kinerja peradilan non-negara dalam melayani
perempuan dan kelompok minoritas.
Pembentukan titik keseimbangan tersebut memerlukan gabungan perubahan di tingkat kebijakan,
peraturan perundang-undangan dan akar rumput. Perubahan tersebut harus memberdayakan pihak yang
lemah dan terpinggirkan, meningkatkan kualitas pelaksanaan peradilan dan menetapkan standar minimum yang
jelas melalui reformasi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tindakan yang direkomendasikan
terdiri atas empat tingkatan.
Pertama, lakukan kegiatan di tingkat 1. akar rumput untuk mendukung pertanggungjawaban ke bawah
dan memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut layanan dengan kualitas
yang lebih baik dari peradilan informal. Hal tersebut merupakan prioritas yang paling penting karena
kegiatan tersebut mengatasi kelemahan utama yang dihadapi.
Prioritas kedua adalah untuk melakukan kegiatan di 2. tingkat menengah untuk mengembangkan
kapasitas dan keterampilan teknis dari lembaga dan pelaku peradilan informal.
Prioritas ketiga 3. di luar desa untuk meningkatkan akses terhadap sistem peradilan formal guna membuka
pilihan dan memperluas ”bayangan” hukum.
Untuk mendasari kegiatan di tingkat akar rumput, prioritas terakhir adalah 4. perubahan kebijakan
pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pertanggungjawaban ke atas dengan membuat (i)
pedoman tingkat nasional yang memperkuat persinggungan dengan sektor formal; dan (ii) peraturan
daerah untuk melembagakan serangkaian prinsip untuk peradilan non-negara yang adil dan inklusif
sehingga sesuai dengan standar konstitusi.
xiiiMenemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Prioritas tersebut dituangkan dalam tabel di bawah ini.
Tingkat Tindakan Prioritas
Akar Rumput/ Masyarakat Memberdayakan perempuan dan kelompok minoritas melalui peningkatan kesadaran akan hak
Membuat agar para pelaku peradilan non-negara bertanggung jawab ke bawah dengan menjadikan posisi mereka sebagai posisi yang harus dipilih oleh
masyarakat
Membuka akses terhadap sistem formal melalui program pendidikan hukum dan pengadilan keliling
Mendukung mobilisasi dan organisasi sosial untuk mengatasi sengketa antara masyarakat dan pihak luar
Lembaga Desa dan Pelaku
Peradilan informal
Mengembangkan keterampilan dan kemampuan para pelaku peradilan non- negara untuk menyelesaikan sengketa secara profesional
Mendukung klarifi kasi berbagai struktur dan norma yang berlaku di dalam sistem peradilan informal
Mendukung keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas di lembaga desa Tingkat Kabupaten/Kota Membuat suatu kerangka peraturan daerah yang menjunjung tinggi standar
konstitusi yang menjamin hak banding, sanksi yang manusiawi dan keterwakilan
perempuan dan kelompok minoritas
Mengembangkan pertanggungjawaban ke atas dengan mendukung pemantauan dan pengawasan atas peradilan informal oleh masyarakat madani dan pemerintah
Tingkat Nasional Mengeluarkan Surat Edaran pengadilan yang mengklarifi kasikan yurisdiksi peradilan non-negara vis-a vis pengadilan
Membentuk Community Justice Liaison Unit (Unit Penghubung Peradilan Komunitas)
di Departemen Hukum dan HAM untuk mendorong keselarasan dan konsistensi
antara peradilan negara dan non-negara (seperti model di Papua Nugini).
Rekomendasi dalam laporan ini mengkerangkakan sebuah kerangka kerja yang pragmatis untuk mencapai
perubahan mendasar yang dapat secara bertahap meningkatkan keadilan bagi pihak yang terpinggirkan.
Berbagai elemen dari kerangka kerja tersebut akan dapat diberlakukan hanya di beberapa lokasi saja, sehingga
tindakan harus disesuaikan dengan kondisi setempat dan didasarkan pada kenyataan yang ada.
Rekomendasi yang luas yang telah diidentifi kasi disini dapat melengkapi reformasi tingkat nasional dengan
cara memfokuskan bantuan pada tingkat yang paling membutuhkannya, sehingga memungkinkan masyarakat
miskin dan terpinggirkan untuk menyelesaikan sengketa mereka dan mendukung upaya reformasi Indonesia.
xiv Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Pengantar
Pengantar
Studi Kasus 1: Perkelahian di pasar dalam bayangan konfl ik etnis
Marhat adalah seorang penjual ikan yang sukses di Pasar Induk Kuala Kapuas, di tepi sungai Kapuas, Kalimantan Tengah. Dia
besar di daerah tersebut, tapi berasal dari suku Banjar. Kombit adalah seorang petugas di pasar dan berasal dari suku Dayak.
Upah dari pekerjaannya rendah dan dia hidup bersama keluarganya di komplek perumahan sederhana di daerah pinggiran
kota.
Kombit dan Marhat memiliki hubungan yang tidak baik. Dalam beberapa kesempatan, Kombit telah memperingatkan
Marhat untuk berhenti berdagang di wilayah terlarang di pasar tersebut. Kesal dengan peringatan tersebut, suatu hari Marhat
membentak dan mendorong jatuh Kombit. Mereka berkelahi dan melukai lengan Kombit. Kombit melaporkan kejadian itu ke
atasannya, Ramses, yang kemudian melaporkan kejadian tersebut ke polisi.
Ramses khawatir bahwa peristiwa itu diantara dua pihak yang berbeda suku. Dia tahu beberapa stafnya terlibat dalam konfl ik
etnis di Kalimantan Tengah yang memakan ribuan korban di tahun 2001 dan oleh karena itu, penting menangani kekerasan
antaretnis di pasar dengan tegas. Dia mengamati bahwa kejadian di tahun 2001 itu merupakan akibat serangkaian sengketa
kecil yang tidak terselesaikan; yang perlahan-lahan “meledak”. Ramses dan Kombit memilih untuk menyelesaikan masalah
dengan mendatangi polisi, karena seperti kata Ramses, ‘hukum polisi lebih dikenal disini...damang [tokoh adat] tidak terlalu
berwibawa di daerah ini.’
Segera setelah kasus tersebut dilaporkan, Kombit dan Marhat dipanggil polisi untuk memberikan kesaksian. Penyelidikan
berjalan berbulan-bulan, karena Marhat menyuap polisi untuk menutup kasus. Setelah beberapa waktu, Marhat melihat
Kombit tetap berupaya menyelesaikan kasus dan dia minta kasus ditarik dan diserahkan kepada damang.
Akhirnya Marhat berhasil meyakinkan Kombit dan Ramses akan penyesalannya yang dalam dan keinginannya untuk
menyelesaikan masalah secara kekeluargaan di luar pengadilan. Beberapa teman Marhat dari PERKEBAN (Asosiasi
Masyarakat Suku Banjar) juga mengancam Kombit dengan kekerasan jika dia tidak menarik tuntutan di polisi. Karena faktor
tersebut dan ditambah dengan frustasi terhadap lamanya proses hukum, Kombit dan Ramses setuju untuk menyerahkan
kasus tersebut pada damang. Ramses secara khusus merasa tidak mempunyai pilihan lain. ‘Secara hukum nasional, saya
tidak puas,’ katanya.
Setelah proses pengumpulan data dan pertimbangan yang dalam dengan Dewan Adat, Damang memutuskan total
kompensasi dan denda sebesar Rp. 6 juta, termasuk biaya kasus Rp.600.000. Kedua pihak menandatangani persetujuan ini,
tapi Marhat hanya membayar Rp.1,5 juta. Tidak ada tindak lanjut untuk memenuhi persetujuan. Damang hanya bersikap
pasif. ‘Bagaimana bisa saya menyelesaikannya?’ ujarnya. Kombit tidak puas, tapi seperti kata Ramses, ‘dianggap lunas saja.’
Kasus ini menunjukkan masalah yang biasa dihadapi rakyat Indonesia ketika berupaya menyelesaikan masalah
hukum. Sekilas masalah ini terlihat sederhana, tapi penyelidikan mendalam membuktikan adanya penyuapan,
intimidasi, kelambanan polisi dan bayangan kekerasan suku. Proses resolusi bolak-balik antara pelaku keadilan
formal dan informal, dan ketika penyelesaian telah didapat, pelaku penyelesaian sengketa tidak memiliki
keinginan atau kemampuan untuk menegakkan perjanjian perdamaian. Terpaksa mengikuti proses yang tidak
diinginkan, resolusi hanya menyebabkan pihak yang lemah kecewa, sehingga sangat memungkinkan masalah
ini akan terjadi lagi.
Ketika akses terhadap keadilan menjadi sangat penting untuk kerukunan sosial dan kesejahteraan masyarakat,
tindakan apa yang harus dilakukan untuk menangani kelemahan dan mengatasi ketidaksamaan yang
ada? Melalui penyelidikan konteks sosial dan politik, studi kasus dan pengumpulan data survei, laporan ini
mempertimbangkan masalah tersebut dan berusaha mengajukan beberapa solusi.
1Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
Bagian I:
Pendahuluan
“[ Negara ] adalah korup…terpisah dan jauh dari masyarakat, yang melihat, tanpa adanya alternatif yang dapat
berjalan, ke cara lama yang menjamin keberlangsungan. Namun cara lama bukan seperti dahulu lagi, dilemahkan
oleh migrasi tenaga kerja, industrialisasi parsial, urbanisasi dan lebih umum lagi oleh kapitalisme.”
H. Patrick Glenn, Legal Traditions of the World1
“Jika kita mengetahui bagaimana memanfaatkan aspek positif dari keadilan tradisional dan mengidentifi kasi
kelemahannya sebagai mekanisme dengan nilai-nilainya, keadilan tradisional (dengan kata lain, keadilan yang
diterapkan masyarakat) akan memainkan peranan penting dalam mencegah masalah kecil berkembang menjadi
konfl ik besar, termasuk konfl ik dalam keluarga atau didalam dusun diantara satu dengan yang lain”
Xanana Gusmao, Perdana Menteri Timor Leste2
1 2
Berfungsinya sistem peradilan dengan baik sangat penting dalam memelihara ketertiban sosial, menjamin
kepastian hukum yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan untuk memajukan dan memberikan
perlindungan hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia dan dunia peradilan telah juga berupaya melakukan
pembaharuan meskipun belum seluruh persoalan terselesaikan, khususnya penegakan keadilan untuk masyarakat
1 H. Patrick Glenn ( 2000) Legal Traditions of the World, Oxford: Oxford University Press, hal.77.
2 Jose ‘Kay Rala Xanana’ Gusmao, ’Pidato Pembukaan Presiden’, yang disampaikan pada saat Konferensi Internasional Penyelesaian Konfl ik
Tradisional dan Keadilan Tradisional di Timor-Leste, Dili, 27 Juni 2003.
Foto : Taufi k Rinaldi
2 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
miskin. Warga negara merasa sektor keadilan berjalan lambat, korup dan berjarak.3 Pemerintah sendiri mengakui
adanya kelemahan tersistem.4 Upaya pembaharuan hukum untuk mengatasi kelemahan tersebut sudah cukup
kuat dalam mendiagnosa tetapi lamban dalam perkembangannya.
Tetapi penciptaan keadilan tidak hanya menjadi tanggung jawab negara secara eksklusif. Kebanyakan orang
Indonesia mencari penyelesaian masalah hukum mereka melalui sektor informal atau sistem keadilan non-
negara. Keadilan non-negara sering dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa, tapi dalam kenyataannya
merupakan media utama bagi sebagian besar warga miskin. Barangkali sebanyak 90 persen dari perselisihan
ditangani oleh insititusi non-negara.5
Dalam konteks Indonesia, “peradilan non-negara” adalah “penyelesaian perselisihan di tingkat lokal” – arbitrasi
dan mediasi yang dilakukan oleh kepala desa, pemimpin adat, tokoh masyarakat dan pemuka agama, terkadang
berdasarkan tradisi, namun tidak jarang perselisihan ini diselesaikan secara subyektif oleh pemimpin komunitas
tanpa mengacu kepada hukum negara atau hukum adat.
Untuk kepentingan laporan ini, “peradilan non-negara” atau “peradilan informal” didefi nisikan sebagai semua
bentuk penyelesaian sengketa di luar proses ajudikasi pengadilan formal.6 Ini termasuk sistem hukum adat
sebagai salah satu bagiannya.
A. Pentingnya Peradilan Non-Negara di Indonesia Seperti digambarkan di kasus yang di atas, peradilan informal penting untuk beberapa alasan. Sebagai alat utama
untuk menyelesaikan perselisihan, efektivitasnya menentukan apakah konfl ik dapat dipecahkan dengan damai
atau meledak menjadi kekerasan. Ketika sistem formal lemah dan rentan penyuapan, apabila sistem peradilan
non-negara tidak berfungsi, alternatif penyelesaian lain adalah kekerasan atau pengabaian konfl ik. Hal ini juga
bisa mengarah menjadi kekerasan di kemudian hari.7 Ketidakadilan dan pengabaian konfl ik atas akses terhadap
sumber daya alam selama era Orde Baru merupakan dua diantara beberapa penyebab kekerasan sosial yang
3 Asia Foundation (2001) Citizens’ Perceptions of the Indonesian Justice Sector, Jakarta: Asia Foundation. Bagan mengenai sistem hukum
formal adalah di Lampiran 3.
4 Sebagai contoh, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan yang disampaikan dalam pertemuan
Consultative Group on Indonesia pada tanggal 14 Juni 2006, ”Orang-orang belum melihat keadilan nyata dikarenakan oleh persepsi
bahwa lembaga yudikatif yang korup telah merasuk kedalam sistem dan menyebar keseluruh sektor.”
5 Lihat Stephen Golub (2003) ‘Beyond Rule of Law Orthodoxy: the Legal Empowerment Alternative’, Working Paper No. 14, Carnegie
Endowment for International Peace: Washington DC dan Chidi Anselm Odinkalu (2005) ‘Poor Justice or Justice for the Poor? A View from
Africa,’ yang dipresentasikan pada World Bank Legal Development Forum, Washington DC, Desember 2005. Menurut Asia Foundation
(2001), di atas n.3, dari orang Indonesia yang telah benar-benar mengalami sebuah persengketaan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir,
57 persen mengejar penyelesaian di luar sistem formal, 18 persen menggunakan sistem formal dan 32 persen tidak melakukan apapun.
Keseganan terhadap litigasi juga merupakan hal yang umum di negara-negara maju. Di Australia, sebagai contoh, hanya 6 persen dari
sengketa komersiil yang sampai di pengadilan: Australian Law Reform Commission (1998), Issues Paper 25, Review of the Adversarial
System of Litigation, Canberra: Commonwealth of Australia. Michelson mengutip riset [yang] menyatakan sekitar 15 persen sengketa
di Amerika Serikat, Wales dan Inggris masuk kedalam sistem hukum formal: Ethan Michelson ( 2007) ‘Climbing the Dispute Pagoda:
Grievances and Appeals to the Offi cial Justice System in Rural China.’ 72 American Sociological Review 459, 461.
6 Ini tidak menunjukkan bahwa ada perbedaan yang jelas antara sistem negara dan peradilan non-negara atau formal dan informal.
Beberapa proses “informal” juga mengikuti proses formal dan dapat melibatkan anggota-anggota aparat negara (terutama polisi dan
pegawai pemerintah daerah). Lagipula, penyelesaian sengketa informal kadang-kadang mempergunakan peraturan dan sumber yang
lain dari sistem hukum formal.
7 Pengabaian konfl ik ‘di permukaan tampak tenang dan damai, namun ada gunung berapi yang tersembunyi dibawah permukaan.’
Thomas Zitelmann (2005) “The Cambodian Confl ict Structure. Confl ict about land in a wider perspective.” GTZ: Phnom Penh.
3Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
terjadi di Maluku, Kalimantan, Sulawesi dan wilayah lain di Indonesia pada masa setelah reformasi.8
Penyelesaian masalah yang efektif juga sangat krusial bagi kesejahteraan masyarakat miskin. Laporan ini meneliti
sejumlah kasus yang menggarisbawahi hubungan antara keadilan dengan kemiskinan – keluarga di pedesaan
secara melanggar hukum diambil lahannya oleh perusahaan perkebunan di Sumatera Barat; anak yang diadopsi
yang tidak diberikan warisan di Jawa Timur; perempuan yang bercerai tidak bisa mendapatkan haknya atas harta
gono-gini di Kalimantan Tengah. Semuanya tergantung pada sistem keadilan informal untuk menjamin hak
ekonominya. Kegagalan yang terjadi pada kasus-kasus tersebut membuat mereka harus menghadapi kenyataan
terpinggirkan secara ekonomi dan sosial.
Popularitas keadilan non-negara adalah respon alami atas ketidakmampuan negara memenuhi permintaan
masyarakat untuk mendapatkan keadilan.9 Tapi itu juga merefl eksikan karakteristik di dalamnya yang justru cocok
dengan kondisi lokal. Peradilan non-negara melekat dalam realitas politik dan sosial di tingkat lokal. Pelaksana
keadilan di luar negara mempunyai legitimasi dan otoritas yang tidak selalu dimiliki oleh polisi atau hakim.
Prosedur dan substansi sesuai dengan pendapat umum yang mengutamakan pentingnya harmoni. Tujuannya
bersifat menghindari konfl ik dan restoratif; dan prosesnya bersifat cepat dan sangat murah. Sifat-sifat tersebut
sangat penting bagi masyarakat pedesaan yang saling bergantung satu sama lain secara ekonomi dan sosial.
Tetapi ada masalah dengan praktik non-state justice pada saat ini. Yang paling mendasar, peradilan informal
mengabaikan kepentingan kelompok minoritas dan perempuan. Banyak pelaku peradilan non-negara di tingkat
desa kurang mampu menyelesaikan masalah. Ketidakseimbangan kekuasaan menghalangi perlakuan yang
sama dan mengakibatkan pihak yang lemah sering terpaksa menerima penyelesaian yang tidak diinginkan
atau tidak mampu menerapkan putusan yang telah disepakati. Hal ini menyebabkan banyak konfl ik yang
hanya diselesaikan secara parsial, dengan kemungkinan bisa muncul lagi dalam bentuk kekerasan. Lagipula,
persinggungan yang kurang jelas antara peradilan formal dan informal, khususnya berkaitan dengan yurisdiksi
kewenangan masing-masing, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka peluang terjadinya manipulasi
dalam menyelesaikan konfl ik. Oleh karena itu, terlihat adalah, meskipun diluar kewenangannya kasus pidana
berat dapat dimediasikannya pada tingkat lokal, bahkan seringkali justru memperkuat struktur kekuasaan yang
ada diatas tercapainya keadilan untuk para korban.
Namun, meski non-state justice sangat penting untuk stabilitas, keamanan dan kesejahteraan warga miskin,
sangat mengagetkan ketika tidak banyak dokumentasi mengenai bagaimana masyarakat menggunakan sistem
peradilan informal untuk mencari keadilan di Indonesia. Bahkan sedikit kebijakan pemerintah yang ada yang
dimaksudkan untuk membuat sistem ini lebih adil dan inklusif secara sosial.
Hal ini apabila dibandingkan dengan program reformasi hukum dan peradilan pemerintah dan lembaga donor
yang lebih terfokus pada institusi negara. Ini terjadi karena pengadilan, kejaksaan dan kepolisian lebih mudah
dilihat, dijangkau dan dimengerti. Paling tidak untuk organisasi donor, lembaga ini juga jauh lebih dikenal. Ini juga
disebabkan cara kerja peradilan non-negara kurang dipahami. Perumusan kebijakan yang tepat untuk keadilan
informal sangat kompleks karena diversitas institusi, norma dan proses dalam ”sistem” tersebut. Sehingga,
strategi komprehensif untuk reformasi hukum dan peradilan harus mengangkat peradilan non-negara apabila
8 Pada puncaknya, konfl ik sosial mempengaruhi 7 dari [pada masa itu] 32 propinsi di Indonesia. Menurut pengamatan Jakarta Post, ‘Konfl ik
antar suku di Maluku berakar dari pemerintahan yang lemah, kesenjangan antara rakyat kaya dan miskin yang semakin merenggang, dan
ketidakadilan.’ Jakarta Post, ‘Maluku, Kalimantan Strife “Lingering”’, 1 May 2006. Untuk informasi tambahan, lihat International Crisis Group
(2001) Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan, Asia Report No 19; dan International Crisis Group (2000) Indonesia’s
Maluku Crisis: the Issues, Indonesia Briefi ng Paper, 19 July.
9 Hal ini yang oleh Faundez disebut sebagai “pemerintahan yang belum mampu” (governance defi cit). Lihat Julio Faundez (2006) ‘Should
Justice Reform Projects Take Non-State Justice Seriously? Perspectives from Latin America.’ Makalah dipaparkan di World Bank Legal
Development Forum, Washington DC, Desember 2005.
4 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
bercita-cita menjangkau sistem yang menjadi satu-satunya pengalaman keadilan untuk sebagian besar warga
Indonesia.
Laporan ini bertujuan untuk memberikan kontribusi kecil dalam membantu mengisi kesenjangan informasi dan
kebijakan ini. Penelitian ini dilakukan secara eksplisit untuk mengidentifi kasi kerangka kerja untuk memperkuat
inklusivitas sosial dan efektifi tas kerja sistem peradilan non-negara. Secara spesifi k, tujuan dari laporan ini
adalah:
Mendokumentasikan proses, preferensi dan praktik sistem peradilan non-negara di Indonesia, • dengan perhatian khusus pada inklusifi tas sosial dari proses ini dengan fokus pada pengalaman
kelompok minoritas dan perempuan
Meneliti prakarsa dan inovasi lokal untuk pembaharuan peradilan non-negara • Mengembangkan sebuah kerangka kerja yang memadukan sistem peradilan non-negara yang • menghormati tradisi lokal tetapi didasarkan pada standar Undang Undang Dasar Republik
Indonesia
Fokus pada inklusifi tas sosial berdasarkan asumsi bahwa bias gender merupakan salah satu penyebab utama
kemiskinan;10 dan bahwa diskriminasi etnis adalah inti dari konfl ik sosial yang melanda Indonesia sejak jatuhnya
rezim Soeharto. Memahami bagaimana peradilan informal mempertahankan bias gender dan diskriminasi
etnis dan pada saat yang sama bagaimana bisa menjadi bagian dari solusi adalah salah satu hasil utama yang
diharapkan dari studi ini.
B. Pendekatan Kebijakan Pemerintah Terhadap Non-State Justice di Indonesia
Sebagaimana yang berlaku di hampir sebagian besar negara berkembang, sistem hukum di Indonesia adalah
pluralistik. Yaitu bahwa aturan dan institusi hukum berasal dari dua atau lebih tradisi hukum. Tantangan kebijakan
untuk memadukan non-state justice dalam kerangka kerja hukum nasional bukanlah suatu hal yang baru. Bahkan,
sepanjang sejarah kolonialisme dan setelah kemerdekaan, pemerintah terus bergulat dengan pertanyaan
bagaimana mendekati peradilan informal dan mengakomodasi sistem hukum yang beragam.
Ada empat pendekatan umum untuk menjangkau non-state justice.11 Abolisi adalah ketika negara bersikeras
terhadap keseragaman atau penyatuan hukum dan menghapuskan sistem peradilan non-negara. Pendekatan
ini sering didasarkan kecenderungan peradilan non-negara bertentangan dengan hak asasi manusia. Pada
sisi ekstrim yang lain, penyatuan penuh (full incorporation) adalah pendekatan dimana peradilan non-negara
secara penuh terintegrasi dengan sistem hukum negara, dengan peran masing-masing yang jelas. Di bawah
pendekatan kemandirian (non-incorporation), komunitas lokal diberikan wewenang untuk menerapkan dan
mengikuti nilai, norma dan kebiasaan lokal. Pada pendekatan ini, peradilan formal dan informal berdampingan/
hidup bersama tapi beroperasi secara mandiri, dengan batasan yurisdiksi yang ketat diantara keduanya.
Pendekatan ini sering digunakan untuk mengakomodasi hukum tradisional di dalam komunitas masyarakat
asli. Terakhir, usaha pendekatan penyatuan parsial (partial incorporation) berusaha untuk menggabungkan
keuntungan dan kekurangan dari peradilan formal dan informal. Kedua sistem bekerja secara independen, tetapi
sistem keadilan informal mendapat pengakuan, dampingan dan pengawasan dari negara. Model terakhir ini
merupakan kompromi antara penyatuan penuh dan kemandirian.
10 Sebagai contoh, diperkirakan bahwa Indonesia mengalami kerugian sebesar $2.4 milyar per tahun, dikarenakan oleh ketidaksetaraan di
tempat kerja: lihat Bappenas/World Bank/AusAID/ADB/DFID (2007) Gender in CDD Projects: Implications for PNPM.
11 Connolly, B. (2005) ‘Non-State Justice Systems and the State: Proposals for a Recognition Typology’, 38 Connecticut Law Review 239.
5Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
Di Indonesia terjadi fl uktuasi antara penyatuan penuh (minimal secara retorika), abolisi dan kemandirian.
Pendekatan Historis
Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, warisan sistem hukum terdiri dari kombinasi pengaruh hukum
tradisi, kolonial dan Islam. Pemerintah kolonial Belanda menghadapi keadaan ini dengan menerapkan hukum
secara berbeda berdasarkan kelompok etnis. Artinya, orang Eropa mengikuti hukum Belanda, sedangkan orang
Indonesia menjadi subyek hukum adat. Hukum adat sendiri sangat beragam–ada sekitar 300 kelompok etnis
yang masing-masing memiliki hukum adat sendiri.12
Secara kelembagaan, status mekanisme peradilan desa juga bermacam-macam, merefl eksikan ketegangan antara,
pada satu sisi pengakuan keberagaman, dan pada sisi lain keinginan untuk kesatuan hukum dan “modernitas”.
Hingga 1874, yang disebut Pengadilan Pribumi beroperasi sesuai dengan hukum dan prosedur adat. Pada 1874-
1935, pengakuan terhadap pengadilan ini dibatalkan, meski dalam praktiknya tetap berlangsung. Pada 1935,
pemerintah kolonial menghidupkan kembali peradilan desa dengan mewajibkan hakim mempertimbangan
hasil Dewan Adat di pengadilan negeri.13
Ketika Republik baru dibentuk pada tahun 1945, kebijakan nasional mengajukan keseragaman sistem hukum.
Secara institusional, pluralisme hukum dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kedudukan
sebagai negara merdeka dan modernitas.14 Namun demikian, konstitusi beserta dengan amandemennya
kemudian telah memberikan pengakuan bersyarat terhadap hukum adat.15 Pengakuan ini sangat terbatas.
Hakim ‘wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat’.16 Dukungan untuk peradilan non-negara juga direfl eksikan dalam dokumen kebijakan nasional
pemerintah seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, dimana dinyatakan bahwa hukum
adat perlu dihormati dan diperkuat.17 Disamping pernyataan dan retorika di atas, sebagaimana dinyatakan
oleh Lindsey, ‘Adat adalah sumber hukum cadangan yang hanya diterapkan secara informal atau jika tidak ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur.’18 Hukum negara tertulis selalu diutamakan dibandingkan
hukum adat.
Dan walaupun hakim wajib mempertimbangkan hasil dari peradilan non-negara, pada kenyataannya mereka
bebas untuk mengabaikannya, dan banyak berlaku seperti itu.
Pendekatan Kontemporer: Dampak Desentralisasi
Kebijakan pemerintah mengenai kebutuhan untuk menghormati dan memperkuat pengakuan terhadap
peradilan non-negara hanya retorika saja. Akan tetapi, walaupun peradilan tetap menjadi fungsi pemerintah
12 Szczepanski, K (2002) ‘Land Policy & Adat Law in Indonesia’s Forests’, 11 Pacifi c Rim Law & Policy Journal 231.
13 Sebastiaan Pompe (2002) Court Corruption in Indonesia. Mimeo belum diterbitkan: Jakarta.
14 Daniel Fitzpatrick (1999) ‘Beyond Dualism: Land Acquisition and Law in Indonesia’, di T Lindsey (ed) Indonesia: Law and Society. Sydney:
Federation Press, hal.74.
15 Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa: ‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indoneisa, yang diatur dalam undang-undang.’ (Pasal 18(2)); dan bahwa ‘Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.’ ( Pasal 28I(3)).
16 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28(1).
17 Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, Bab 9.
18 Timothy Lindsey (2006) ‘Inheritance and Guardianship and Women: Islamic Laws in Aceh, a Year After the Tsunami.’ Makalah dipersiapkan
untuk International Development Law Organization.
6 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
pusat, proses otonomi daerah yang diterapkan pada 1999 telah membuka kesempatan untuk memperkuat atau
mengubah penyelesaian sengketa informal. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan pemerintah daerah mempunyai otoritas untuk mengkonfi gurasi ulang struktur pemerintahan desa
– termasuk mekanisme penyelesaian masalah – sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan.
Seiring dengan semangat otonomi, UU No. 22 Tahun 1999 juga membentuk Badan Perwakilan Desa yang dipilih
langsung oleh masyarakat dan membagi kekuasaan eksekutif pada tingkat desa. Pada sisi “yudisial”, pasal 101
ayat (e) memberikan otoritas kepada kepala desa, bersama dengan Dewan Adat untuk menyelesaikan konfl ik.
UU No. 32 Tahun 2004, yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 menghapus yurisdiksi ini, tapi kemudian
dikembalikan lagi dengan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Hakim Agung Rehngena Purba telah menyoroti manfaat mendukung “otonomi peradilan desa” ini. Menurut dia,
‘proses membawa kasus ke pengadilan dapat dihindari [dan] harmonisasi kehidupan yang damai ...bisa semakin
ditingkatkan’.19
Akan tetapi, kalau pemerintah daerah telah mengeksploitasi peluang ini, perubahan yang dilakukan bukan
demokratis atau inklusif, melainkan penghidupan kembali “cara lama” (Lampiran 1 meringkas perubahan peraturan
pada lima provinsi yang diteliti). Di Maluku, provinsi itu berusaha untuk kembali ke struktur desa tradisional yang
dikenal dengan nama “negeri” dan di Sumatera Barat dikenal dengan “nagari”. Di Kalimantan Tengah, inisiatif
diambil untuk memperkuat pengakuan terhadap pemimpin adat, dikenal dengan nama “damang”. Perubahan
tersebut menempatkan etnis setempat dan elit laki-laki sebagai pemegang kendali. Konsep keadilan lokal yang
sempit bisa diajukan – apa yang digambarkan oleh Benda-Beckmann sebagai, ‘sering berlaku sebagai hukum
laki-laki senior’ yang ‘dipertahankan sebagai alasan untuk membenarkan hubungan dominasi dan penindasan.’20
Didorong oleh “regionalisme dan nasionalisme lokal” (semangat kedaerahan), resiko ini mencegah tuntutan
dari kelompok yang terpinggirkan seperti perempuan dan etnis minoritas untuk keterwakilan dan pengakuan
di dalam institusi lokal yang mengatur hidup mereka. Proses marginalisasi terhadap kelompok terpinggirkan
dapat menimbulkan perpecahan sosial yang bisa memicu konfl ik kekerasan, dan menyebabkan kemiskinan.
Kebijakan pemerintah harus merespon secara tepat untuk mencegah munculnya perpecahan sosial. Peradilan
non-negara mempunyai peranan penting dalam hal ini.
Jadi, otonomi daerah meciptakan resiko maupun peluang. Dan perpaduan dinamika sosial dan politik ini telah
mengacaukan proses ini sekali lagi dengan menimbulkan pertanyaan: sistem peradilan seperti apa yang ingin
dimiliki Indonesia dalam masyarakat yang sangat beragam dan pluralistik.
C. Menemukan Titik KeseimbanganJika negara lemah dan “cara lama” patut dipertanyakan relevansinya, memicu munculnya pertanyaan, “Apa lagi?”
Menurut Glenn kejahatan dan kekerasan adalah dampak yang tidak bisa dielakan.21 Ini memang mungkin bisa
menjelaskan terjadinya konfl ik di sejumlah wilayah di Indonesia pada pasca reformasi. Dia juga mengacu pada
middle ground atau “titik keseimbangan” yang memadukan kekuatan keadilan formal dan informal. Konsep ini
mengakui kenyataan bahwa komunitas harus diberdayakan sehingga bertanggungjawab atas manajemen
konfl ik, tapi pada saat yang sama merefl eksikan kepentingan seluruh unsur masyarakat, tidak hanya elit etnis asli.
Konsep ini juga dapat mengakomodir tradisi hukum pluralistik yang beragam, tetapi sekaligus menghormati
19 Rehngena Purba (2004) ‘Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Alternatif Kajian Pada Masyarakat Karo’, makalah dipaparkkan di Universitas
Karo, 1 July 2004, di hal. 15.
20 Franz von Benda-Beckmann (1990) ‘Ambonese Adat as Jurisprudence of Insurgency and Oppression,’ 5 Law & Anthropology 25 di hal 39.
21 Glenn n.1 diatas, hal.77.
7Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
supremasi Undang-Undang Dasar dan kerangka hukum negara. Secara retorika, inilah pendekatan yang
diterapkan oleh Republik Indonesia dalam era otonomi daerah, tapi dalam kenyataan, hasil konkrit di lapangan
dari arah kebijakan ini belum kelihatan.
Sebenarnya, “menemukan titik keseimbangan” merupakan hal yang kompleks, karena cenderung berlawanan
dengan tradisi dan kepentingan yang berkuasa. Respon secara hukum dan teknokratis tidak tepat. Membuat
kebijakan mengenai peradilan non-negara sangat rumit, mengingat keberagaman dan jumlah institusi, pelaku
dan norma yang merupakan “sistem” informal ini. Reformasi peradilan ternyata menjadi tugas yang berat dalam
pengadilan di Indonesia, yang hanya menjangkau pada tingkat kabupaten di seluruh 450 kabupaten di Indonesia.
Tapi peradilan informal berada di lebih dari 70.000 desa. Akan tetapi, sangatlah jelas bahwa penegakan hukum
mensyaratkan baik lembaga sosial maupun negara kuat dimana semua warga negara diperlakukan sama dan
kepentingan serta nilai-nilai kehidupan mereka dihormati.
Seiring dengan semakin diakuinya dominasi regionalisme, para pakar juga mengobservasi bahwa
‘kecenderungan mengarah ke kepentingan lokal dan etnisitas tidak diterima oleh semua pihak.’22 Pendukung
model pemerintahan desa dan penyelesaian sengketa yang inklusif dan contoh perubahan telah ada di berbagai
kalangan masyarakat.
Studi ini diluncurkan untuk meletakkan titik keseimbangan mendasar peradilan lokal, bukan keadilan tradisional,
yang dilandasi tindakan pendukung reformasi di tingkat lokal di luar elit tradisional. Pendekatan ini berusaha
mengawinkan aksesibilitas sosial, otoritas dan legitimasi proses peradilan informal dengan akuntabilitas terhadap
komunitas dan negara. Pendekatan ini mengakui kenyataan pluralisme hukum di Indonesia dan bahwa satu
model yang seragam untuk peradilan non-negara tidak menjadi pilihan dan tidak bisa diterapkan. Oleh karena
itu, titik keseimbangan ini seharusnya mengakomodasi konteks perbedaan sosio-kultural, kebiasaan dan sifat
yang berbeda tetapi pada saat yang bersamaan juga menghormati perlindungan hukum dalam konstitusi untuk
melindungi pihak yang terpinggirkan.23
Membangun kerangka kerja untuk memadukan harus didasarkan pada pemahaman yang paripurna terhadap
pelaksanaan peradilan non-negara saat sekarang ini. Sehingga, bagian IIA dan B, tubuh utama dari tulisan ini,
menggambarkan tipologi dan proses sengketa, berdasarkan studi kasus kualitatif dan data kuantitatif survei.
Bagian ini menjelaskan preferensi, persepsi dan pengalaman komunitas, dengan fokus khusus pada kelompok
minoritas etnis dan agama, serta perempuan. Bagian IIC menguji persinggungan antara peradilan informal dan
formal sebagai hal yang krusial untuk meningkatkan kualitas keduanya dan menuju kearah kepastian hukum.
Bagian III menganalisa kekuatan dan kelemahan keadilan non-negara, mencatat bagaimana aksesibilitas dan
legitimasi sosial terkadang dikalahkan oleh ketidakseimbangan kekuasaan dan penekanan pada menjaga
keteraturan sosial diatas rasa keadilan. Bagian IV menyimpulkan temuan-temuan utama sebelum menampilkan
sejumlah rekomendasi yang konkrit.
22 Franz & Keebet von Benda-Beckmann (2001), “Recreating the nagari: Decentralisation in West Sumatera”, makalah dipaparkan di
konferensi ke-3 European Association for SE Asian Studies, London, 6-8 September 2001.
23 Serangkaian prinsip ini mencakup representasi berbasis luas, akuntabilitas dan transparansi publik. Termasuk didalamnya, di antaranya,
hak untuk melawan diskriminasi, (Undang-Undang Dasar pasal 28B2 & 28I2), kesetaraan dimuka hukum (28D1) dan kebebasan dari
penyiksaan (28G2). Pemerintah juga baru-baru ini memasukkan Pernyataan Hak Asasi Manusia Internasional kedalam perundangan
nasional melalui Undang-undang No. 11 dan No. 12 Tahun 2005, termasuk didalamnya proses perlindungan (due process) yang
lengkap.
8 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
D. Metodologi Metode analisa yang digunakan untuk mengidentifi kasi bagaimana menemukan tititik keseimbangan adalah
pendekatan metode campuran (mixed-methods) yang mengkombinasikan data kualitatif dan kuantitatif untuk
mendapatkan analisis yang mendalam dan luas. Sumber data utama termasuk:
1. Konsultasi dengan institusi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM) dan lembaga donor di tingkat
nasional. Kerjasama dengan Mahkamah Agung dibangun pada tahap ini.
2. Riset lapangan di Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat selama
2004 dan 2005.24
3. Data kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi [Governance and Decentralization Survey (GDS)]
2006.
4. Studi konteks hukum untuk peradilan non-negara di Indonesia. .
5. Studi literatur mengenai sistem peradilan non-negara yang diterapkan di luar Indonesia.
6. Studi banding untuk meneliti peradilan informal di Bangladesh dan Filipina.
Sensitivitas, kompleksitas dan ambiguitas berbagai isu yang dikaji mengarah bahwa metode utama dari penelitian
ini adalah kualitatif. Karena itu, sebagian besar temuan dan analisa di dalam laporan ini berdasarkan pada studi
kasus, wawancara informan kunci dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussions) di tingkat desa.
Sumber Data
Sumber data utama adalah 34 studi kasus yang dikumpulkan dari lokasi penelitian oleh tim Justice for the Poor
bekerjasama dengan peneliti dari LSM atau universitas setempat.25
Kasusnya bervariasi dari yang bersifat perselisihan kecil seperti perbedaan pendapat antar penduduk di dalam
satu desa, perselisihan antar-desa yang berjalan lama dan mengarah ke kekerasan, hingga konfl ik antara
penduduk desa dengan pihak luar. Ada tujuh belas kasus tanah, sumber daya alam dan kerusakan lingkungan;
tujuh kasus pidana ringan atau penganiayaan; empat pembunuhan; tiga perkosaan, pelecehan seksual dan
kekerasan dalam rumah tangga; dua berhubungan dengan pernikahan; dan satu “penghinaan adat”. Pola-pola
ini konsisten dengan data lain mengenai tipologi perselisihan lokal.26 Ringkasan dari setiap kasus terdapat di
Matriks Kasus pada Lampiran 2.
Penelitian kualitatif dilengkapi dengan data dari Survei Desentralisasi dan Pemerintahan (GDS) 2006 yang
dilakukan oleh Pusat Studi Kebijakan Publik-Universitas Gadjah Mada (PSKP-UGM), dan didukung oleh Bank
Dunia. Pada tahun 2006, GDS mengumpulkan informasi dari 32.000 responden termasuk kepala keluarga, kepala
desa, pekerja di bidang pendidikan dan kesehatan serta pejabat pemerintah. Survei dilakukan di 133 dari 450
kabupaten di Indonesia, mencakupi seluruh 33 provinsi.
24 Laporan terpisah ditulis dari kelima lokasi dan tersedia online di www.justiceforthepoor.or.id. Laporan ini didiskusikan dalam lokakarya
verifi kasi dan konsultasi secara berseri dengan pemangku kepentingan setempat selama tahun 2005 dan 2006 di semua lokasi penelitian
kecuali Jawa Timur. Peserta lokakarnya termasuk pegawai pemerintahan, anggota DPRD, akademisi, LSM, tokoh adat dan pejabat desa,
pelajar dan anggota masyarakat.
25 Ada lebih banyak kasus yang terdokumentasi, namun 34 kasus di dalam makalah ini adalah kasus-kasus yang memiliki data yang lengkap
dari pihak yang bersengketa, mediator, dan dokumentasi (berkas kasus setempat, laporan polisi dan pengadilan) untuk mengecek
informasinya. Salah satu kasus diambil dari kunjungan lapangan di Lampung tahun 2007.
26 Bahkan kasus-kasus yang sampai ke polisi mengikuti pola yang serupa. Pada survei di Jawa Timur, polisi melaporkan bahwa tiga bentuk
kasus yang paling umum yang mereka tangani adalah penganiayaan (33 persen), kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan (31
persen) dan sengketa tanah (10 persen): lihat Anton Baare (2004), ‘Policing and Local Level Confl ict Management in Resource Constrained
Environments’ Mimeo, Jakarta: World Bank. Lihat juga World Bank (2004), Village Justice in Indonesia; World Bank: Jakarta dan UNDP et al
(2006) Access to Justice in Aceh: Making the Transition to Sustainable Peace and Development, UNDP: Jakarta.
9Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
Selain studi kasus dan data survei, wawancara informan kunci dilakukan dengan LSM, akademisi, hakim,
jaksa, polisi dan pengacara serta pejabat pemerintah dan anggota parlemen di tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten untuk meningkatkan pemahaman terhadap konteks lokal dan arah kebijakan lokal. Pada tingkat
daerah ke bawah, wawancara selalu dilakukan dengan pihak yang bersengketa dan saksi, kepala desa dan
dusun, pemimpin agama, pemuka adat dan tokoh masyarakat. Diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan
perempuan dan etnis minoritas. Secara keseluruhan, 452 orang diwawancara dan 343 menghadiri lokakarya
verifi kasi yang diselenggarakan di lima provinsi.
Pemilihan Lokasi Penelitian
Provinsi lokasi penelitian dipilih berdasarkan empat kriteria. Pertama, mewakili konstelasi etnis dan agama.
Kedua, merupakan kombinasi lokasi paska-konflik dan wilayah dimana hukum adat masih berlaku secara
kuat atau sudah hampir tidak ada lagi. Ketiga, mewakili cakupan geografis di Barat, Tengah dan Timur
dari wilayah Indonesia. Pertimbangan terakhir adalah sejauhmana pemerintah lokal di setiap lokasi telah
berinisiatif mengeluarkan peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah di tingkat pedesaan.
Lokasi desa di setiap provinsi dipilih berdasarkan masukan dari responden di tingkat lokal.
Keterbatasan Data
Data kualitatif dan kuantitatif sama-sama memiliki keterbatasan. Ada resiko bahwa penelitian kualitatif terlalu
fokus pada kasus yang sensasional atau luar biasa. Survei kuantitatif dapat menggenalisir dan menyaring
pengalaman nyata yang sebaiknya ditangkap melalui pengamatan dan interaksi langsung. Kami sudah berupaya
mengatasi keterbatasan ini dengan mengintegrasikan kedua sumber utama dan memverifi kasi temuan melalui
lokakarya dengan berbagai kelompok yang berkepentingan (multi-stakeholder) dan mendiskusikannya dengan
cakupan responden yang luas. Dari diskusi kelompok terfokus dan wawancara informal di tingkat pedesaan kami
telah dikumpulkan data baik dari pihak yang berselisih maupun penduduk biasa untuk memperoleh perpaduan
pengalaman langsung beserta pendapat umum mengenai proses peradilan non-negara.
10 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
11Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II:
Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Untuk memperdalam pemahaman mengenai non-state justice di Indonesia, bagian ini menguraikan secara
terperinci tipologi dan proses sengketa. Bagian ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama memaparkan
tipologi, para pelaku dan preferensi dalam penyelesaian sengketa. Bagian ini menggarisbawahi pentingnya
non-state justice dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia dan keterkaitan erat antara keadilan, konfl ik dan
kemiskinan. Bagian kedua menguraikan proses penyelesaian sengketa informal - prosedur, norma-norma
dan pendorong resolusi. Bagian ketiga menguji persinggungan antara sistem peradilan formal dan informal,
mengeksplorasi kapan dan mengapa kedua sistem berinteraksi, beserta dampaknya.
Foto : Taufi k Rinaldi
12 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
A. Peradilan Non-Negara dalam Praktek: Tipologi Sengketa, Pelaku, dan Institusi
Temuan Utama & Implikasi Kebijakan
Tipologi Sengketa. Kriminalitas, konfl ik tanah, kawin/cerai dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah
jenis perselisihan yang paling sering terjadi. Kasus tanah merupakan yang paling sukar untuk dipecahkan dan
paling rentan memicu kekerasan.
Peradilan non-negara adalah forum penyelesaian sengketa utama. Kepala dan perangkat desa, tokoh
masyarakat, pemuka adat dan polisi adalah pelaku yang paling sering diminta bantuan dalam hal penyelesaian
sengketa. Persidangan di pengadilan dan pengacara hampir tidak libat sama sekali, bahkan untuk kasus
pidana.
Perempuan dan Minoritas kurang terwakili. Pelaku penyelesaian sengketa biasanya laki-laki yang berumur
setengah baya atau sudah tua. Hampir tidak ada perempuan yang berperan sebagai pengambil keputusan
dalam lembaga desa dan etnis minoritas juga nyaris tidak terwakilkan.
Kesadaran hukum. Orang yang memahami hak mereka lebih cenderung percaya pada dan menggunakan
sistem hukum formal. Ini berarti kesadaran hukum membuka pilihan dan megalihkan ketidakseimbangan
kekuasaan sesuai dengan kehendak mereka.
Variasi regional. Jenis sengketa dan pola resolusi berbeda-beda di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, suatu
strategi untuk menjangkau dan memperkuat peradilan non-negara perlu disesuaikan dengan kondisi lokal.
Tipologi Perselisihan
‘Sembilan puluh persen kasus yang masuk adalah kasus tanah.’
Kepala Desa, Tamilou, Pulau Seram, Maluku.
Seperti ditunjukkan di Gambar 1, kriminalitas, konfl ik tanah, masalah hukum perdata (kawin, cerai dan warisan)
dan KDRT secara konsisten dilaporkan oleh anggota masyarakat sebagai jenis sengketa yang paling sering terjadi
pada tingkat desa selama dua tahun terakhir.
Tanpa perkecualian di semua lokasi penelitian, sengketa tanah dilaporkan sebagai masalah yang paling rumit
diselesaikan dan paling mungkin memicu kekerasan.
Perempuan biasanya melaporkan permasalahan hukum pribadi (pernikahan, perceraian dan warisan) sebagai
permasalahan hukum utama mereka. Pola umum sengketa ini dan sengketa tanah adalah persaingan atas
penguasaan sumber daya yang sangat penting terhadap kesejahteraan dan ekonomi. Banyak kasus warisan
dan perceraian berkaitan dengan tanah dan pembagian harta kekayaan.
13Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Gambar 1: Sengketa yang dilaporkan terjadi di desa responden selama dua tahun terakhir
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Persentase
Sumber: Survei GDS
Walaupun tindak pidana menjadi sengketa yang paling sering terjadi secara nasional, kejadian sengketa tanah
meningkat menjadi 19 persen di luar Pulau Jawa, dimana masyarakat pedesaan lebih sering berhadapan dengan
perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan, sebuah sumber utama ketegangan. Tabel di bawah
membandingkan angka di tingkat nasional dengan hasil di tingkat regional.
Tabel 2: Konfl ik regional berdasarkan jenis konfl ik
Tipe Konfl ik Indonesia Sumatera Jawa/Bali Kalimantan Sulawesi NTB/NTT Maluku/Papua
Tindak Pidana 16,4% 15,6% 16,0% 10,9% 16,9% 24,2% 18,6%
Sengketa Tanah/Gedung 13,3% 9,6% 9,2% 14,2% 17,5% 23,3% 19,5%
Perselisihan Keluarga 10,9% 8,3% 11,0% 8,0% 9,8% 17,3% 15,3%
Penyalahgunaan
Wewenang2,8% 1,7% 3,0% 2,4% 2,3% 4,0% 4,8%
KDRT 7,6% 5,1% 6,2% 5,2% 4,1% 13,8% 19,8%
Sengketa Pemilu 3,2% 1,3% 4,2% 1,8% 2,0% 2,6% 8,8%
SARA 2,0% 1,2% 1,7% 1,2% 3,4% 1,9% 3,9%
Sumber: Survei GDS
Siapa Menyelesaikan Perselisihan? Formal Melawan Informal
Masyarakat pedesaan mempunyai banyak pilihan atau “jalan menuju keadilan.” Sistem hukum formal adalah
salah satunya, terutama di kawasan perkotaan. Namun pada umumnya pilihan ini dipandang korup, mahal,
lamban, dan berjarak. Gambar 2 menunjukkan hanya 2.1 persen dari responden pernah berhubungan dengan
pengadilan dalam dua tahun terakhir. Lebih lanjut, hanya 34.2 persen percaya pada keadilan formal; mayoritas
tidak percaya (24.3 persen) atau tidak beropini (41.5 persen). Jadi, masyarakat menyatakan preferensi yang kuat
pada penyelesaian sengketa secara informal, berdasarkan mediasi dan konsiliasi.27 Menariknya, orang yang sadar
27 Hal ini sesuai dengan temuan dari penelitian yang sebelumnya, lihat Asia Foundation (2001) diatas n.3 dan World Bank (2004) diatas n.26.
UNDP (2007) Justice for All? An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia Jakarta: UNDP menggatakan bahwa 58 persen
masyarakat merasa puas dengan keadilan informal, berbanding dengan 28 persen untuk keadilan formal.
14 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
akan hak hukum mereka cenderung lebih sering menggunakan hukum formal dan mempercayainya.
Gambar 2: Pengalaman responden dengan pengadilan, pemahaman soal hak hukum, dan
kepercayaan terhadap pengadilan
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Percaya kepadaPengadilan
Memahami Hak-hakyang benar
Pengalaman denganPeradilan
Yes No Don't know
Sumber: Survei GDS
Kepada Siapa Orang-orang Meminta Bantuan?
‘Rakyat pergi ke yang dekat dan yang mereka kenal dulu’
Penduduk desa, Kalimantan Tengah.
Kepala desa dan Kepala dusun merupakan pilihan yang paling dituju oleh kebanyakan penduduk desa. Seperti
ditunjukkan di Gambar 3, 41.1 persen dari responden mengatakan bahwa perangkat desa yang biasanya
menyelesaikan masalah. Pelaku penyelesaian sengketa utama yang lain adalah pemuka agama; tokoh masyarakat
dan pemimpin adat (semuanya 34,8 persen); dan polisi serta militer (27,6 persen).
Sebagian besar tindak pidana berat diserahkan kepada polisi, walaupun seperti terlihat dalam Studi Kasus nomor
10 di bawah, hal itu tidak mencegah penyelesaian secara adat pada saat yang bersamaan. Pelaku lain lebih jauh
dan cenderung hanya dipanggil ketika ada perselisihan yang serius, yang melintasi batas wilayah desa atau
ketika perselisihan gagal diselesaikan di tingkat bawah. Untuk kasus yang melibatkan pihak luar, seperti sengketa
antara masyarkat desa dan perusahaan kelapa sawit, pejabat kecamatan dan kabupaten bisa terlibat.
Dominasi Laki-laki Setengah Baya
Aparat desa, para pemimpin adat dan agama serta tokoh masyarakat adalah pelaku penyelesaian perselisihan
yang paling populer. Kecuali kepala desa, semua biasanya ditunjuk dan tidak dipilih secara langsung oleh rakyat.
Hampir semuanya laki-laki setengah baya atau sudah tua. Secara keseluruhan, 97 persen kepala desa dan 99
persen kepala dusun adalah laki-laki. Rata-rata umur kepala desa 45 tahun, dan kepala dusun 48 tahun.28
Selama penelitian, kami hanya menemukan seorang kepala desa perempuan di Maluku, satu di Nusa Tenggara
Barat, diberitahu bahwa ada seorang damang yang perempuan di Kalimantan Tengah tetapi tidak bertemu
28 Data survei GDS.
15Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
dan tidak seorangpun di Jawa Timur. Perempuan dilarang menjadi anggota lembaga adat di Sumatera Barat,
jadi mereka tidak terwakili dalam Kerapatan Adat.29 Organisasi perempuan berperan sedikit sebagai mediator,
khususnya untuk sengketa yang melibatkan perempuan, tetapi mereka jarang mempunyai otoritas pengambilan
keputusan.
Terutama untuk sistem peradilan berbasis adat, pelaku yang menyelesaikan perselisihan hampir selalu berasal dari
suku asli atau pribumi. Ini tidak berarti bahwa kelompok etnis lain selalu dilarang – di Sumatera Barat, misalnya,
pendatang dapat diakui menjadi anggota suku. Di beberapa wilayah di Maluku, suku non-asli membentuk
marga sendiri dan mengintegrasikan diri ke dalam struktur adat setempat. Tetapi pada dasarnya peradilan adat
itu bersifat eksklusif berdasarkan asal etnis. Implikasi dari ini akan diuji lebih lanjut di bagian III di bawah.
Gambar 3: Pelaku Peradilan Informal dan formal yang biasa menyelesaikan sengketa
0 5 10 15 20 25 30 35
LSM
Pengacara
Pemerintah Kabupaten
Paralegal
Jaksa
Kurang tahu
Pemerintah Kecamatan
Keluarga/Teman
Polisi
Tokoh Adat/ Masyarakat
Pemerintah Desa
persentase
Sumber: Survei GDS
Tidak Terlihatnya Sektor Formal
Sektor formal hampir tidak kelihatan. Pertanahan, kriminalitas dan masalah hukum keluarga adalah hal
fundamental bagi keamanan dan kesejahteraan masyarakat biasa, tetapi para pengacara, jaksa dan pengadilan
hampir tidak relevan dalam penyelesaian sengketa mereka.30 Kepolisian aktif, seperti yang diharapkan terhadap
kasus kriminal, tapi hampir sebagian besar keluhan yang dilaporkan ke polisi pada kenyataannya dimediasikan
atau dikembalikan ke desa ketimbang diproses pada sistem formal.31 Jadi, walaupun pasal 6 ayat (2) UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa hanya pengadilan yang boleh memberikan
sanksi atas tindak pidana, pelaku peradilan non-negara juga melakukan hal yang sama untuk menangani tindak
pidana.
29 Perempuan diwakili melalui lembaga Bundo Kanduang, namun tidak punya peran yang nyata dalam proses mengambil putusan.
30 Sektor formal terlibat dalam 16 dari 34 kasus yang dipelajari untuk laporan ini, dengan 4 kasus berlanjut ke pengadilan. Pengacara
terlibat dalam negosiasi informal di dua studi kasus – dalam salah satunya untuk mengintimidasi pihak yang lebih lemah. Namun di
kasus lainnya pengacara tidak memiliki peran langsung.
31 Lihat Baare, diatas n.26, hal 9.
16 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
LSM Juga Tidak Menonjol
Minimnya pengakuan peran LSM, walaupun ada banyak yang aktif dalam menyelesaikan perselisihan dan
advokasi di bidang seperti pertanahan, hak buruh dan perlindungan lingkungan. Hasil survei membuktikan
minimnya kapasitas LSM untuk menjangkau wilayah pedesaan.
Bagaimana Orang-orang Memilih Pelaku Penyelesaian Sengketa?
Pilihan tentang ke mana masyarakat membawa kasus mereka umumnya bergantung pada kebiasaan pembagian
tugas di antara pemimpin mereka, dan pada kapasitas dari individu-individu yang terlibat.
Masalah pidana ringan yang dapat didamaikan biasanya dirujuk kepada kepala RT/RW, kepala dusun, pemuka
adat atau kepala desa. Kasus perceraian atau masalah rumah tangga juga biasanya ditujukan kepada pelaku
yang sama, walau terkadang pemuka agama juga mempunyai peranan. Masalah yang terkait pemerintahan
desa biasanya langsung ditangani oleh kepala desa. Dalam beberapa kasus, orang melaporkan langsung ke
polisi setempat. Konfl ik tanah biasanya dilaporkan ke kepala desa atau pemimpin adat dimana mereka sangat
berpengaruh. Perselisihan besar yang melibatkan kepentingan pihak luar selalu menjadi lebih kompleks. Kasus
tersebut terkadang ditangani LSM, atau dilaporkan langsung ke Camat, pemerintah kabupaten atau Badan
Pertanahan Nasional.
Pilihan-pilihan itu sering tergantung tidak hanya pada pembagian tugas antara pelaku, tetapi pada kemampuan
masing-masing untuk memediasikan suatu masalah. Kepala desa di desa Sembuluh I di Kalimantan Tengah,
sebagai contoh, tidak terlalu disukai masyarakat sehingga jarang dilibatkan dalam penyelesaian perselisihan.
Di desa lainnya, polisi setempat mempunyai reputasi yang buruk. ‘Apa yang dilakukan polisi disini?’ kata salah
seorang penduduk. ‘Tidak ada.’ Dikenal sebagai penerima uang pelicin dari pengusaha, polisi itu secara praktis
bukan merupakan penengah antara masyarakat dan sistem hukum formal. Dengan demikian, satu “jalan menuju
keadilan” sudah tertutup.
Warga desa tidak berharap adanya netralitas dari mediator dalam kasus yang melibatkan keluarga atau sahabat
dekat. ‘Jelas, Pak RT lebih bersimpati kepada keluarganya,’ kata seorang warga desa Henda di Kalimantan Tengah.
Ini adalah salah satu fakta yang mempengaruhi pilihan pelaku penyelesaian sengketa.
Jadi, pihak yang bersengketa biasanya memilih pelaku penyelesaian sengketa berdasarkan kapasitas mereka
untuk memecahkan sebuah perselisihan secara kasus per kasus. Kapasitas ditentukan oleh kombinasi hubungan
pribadi dan kelembagaan dengan status dan keterampilan individu.
Berikut ini dua contoh kasus, selain menggambarkan proses penyelesaian sengketa, juga menggambarkan
bagaimana cara pemilihan pelaku untuk menyelesaikan sengketa dapat dinegosiasikan atau bisa langsung
turun ke kepala desa.
Studi Kasus 2: Perselisihan antara sepupu di panangguan, Jawa Timur
Sengketa tanah ini antara Halim (kepala dusun) dan Amir (sepupunya Halim) terjadi pada 2001 di desa Panangguan,
Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Perselisihan berawal ketika Amir kembali ke Panangguan setelah pergi beberapa
lama. Ketika kembali, ia mendengar bahwa seseorang telah menawarkan Halim uang Rp. 8 juta untuk tanah yg menurut
dia masih kepunyaan bapaknya.
Kakak Halim, Ali, menawarkan bantuan untuk menjadi penengah dalam perselisihan ini. Tiga pertemuan dilakukan di rumah
Ali untuk mengklarifi kasi pemilikan atas tanah tersebut. Pada pertemuan itu, tidak ada titik temu untuk menyelesaikan
masalah, jadi Halim melaporkan kasus ini kepada kepala desa. Seminggu kemudian, kepala desa mengadakan rapat yang
dihadiri Halim, Amir dan para saksi masing-masing.
17Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Kepala desa kemudian menjelaskan bagaimana prosesnya berlangsung:
‘Karena (masalah) nggak selesai pada tingkat bawah jadi dibawa ke tingkat desa. Guna menyelesaikan masalah ini, saya
mengacu pada dokumen yang saya punya yang tertera nama ayah Halim. Penjelasan saksi agak membingungkan. Mereka
nggak sepakat. Rupanya (tanah itu) tidak dibeli secara transparan di masa lalu. Sepertinya tanah itu dijual ketika si pemilik
membutuhkan uang secara mendadak, dan akan membeli kembali kalau sudah punya uang. Harga jualnya juga murah.
Pihak Amir sudah mengakui hal ini. Menurut versi Halim, tanah itu benar-benar terjual. Suasana pada pertemuan itu tegang.
Amir mengancam akan melakukan kekerasan. Lalu, tanah itu kemudian saya bagikan. Saya mengembalikan sebagian
kepada Amir. Saya menekan mereka juga. Apabila dia tidak menerima resolusi itu, tanah itu akan menjadi milik desa. Mereka
takut. Rakyat desa mendukung proses ini. Masalah berhasil selesai’.
Dokumen yang dipegang kepala desa adalah dokumen tanah yang lama (Petok C) yang digunakan pada masa
penjajahan Belanda. Seperti yang sering terjadi, buku itu ketinggalan zaman dan tidak bisa menentukan pemilikan.
Pada akhirnya, kepala desa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk membagi tanah, didukung oleh tekanan
dari masyarakat serta diwarnai ancaman kekerasan.
Kasus berikutnya juga mengenai peselisihan tentang batas dan kepemilikan tanah yang diselesaikan oleh kepala
desa sebagai pemegang otoritas sosial dan bukan menjalankan penerapan hukum.
Studi Kasus 3: Perbatasan yang tidak jelas di Desa Souhoku, Pulau Seram, Maluku
Udin dan Haryadi membeli tanah dari Among Pieters. Tanah itu terdaftar, tetapi Among tidak memberikan sertifi kat
ketika menjual tanah itu. Tanah itu berdekatan dengan tanah milik Minggus Tamaela. Beberapa waktu kemudian,
Among meminta Udin dan Haryadi untuk menebang pohon di tanah tersebut. Setelah hal itu dilakukan, Minggus
protes dan mengatakan bahwa pohon itu ada di wilayah tanah miliknya. Dia mengancam Udin dan Haryadi dengan
akan mengambil tindakan kekerasan apabila tidak mengembalikan pohon yang sudah ditebang itu.
Udin dan Haryadi melaporkan kasus ini kepada kepala desa (Raja). Raja dan stafnya memanggil pihak yang berselisih itu
untuk bertemu di kantornya. Dia meminta Among dan Minggus untuk membayar sehingga Badan Pertanahan Nasional
bisa turun dan menentukan batas dari tanah milik mereka. Keputusan ini langsung menyelesaikan masalah.
Enam tahun kemudian, Udin bertengkar dengan tetangganya, Lahamaku, seputar masalah perbatasan tanah. Udin
melaporkan masalah ini kepada Raja yang kemudian mengirimkan “tim tanah” untuk mengukur perbatasan tanah
milik Udin dan Lahamaku. Tim itu menentukan bahwa tanah yang diperebutkan itu menjadi milik Udin, tapi karena
Lahamaku sudah menggunakan tanah itu sejak lama, dia juga punya hak untuk membelinya. Udin tidak puas dengan
keputusan itu tapi akhirnya menerima, sadar bahwa hanya sedikit alternatif bagi warga desa biasa selain menerima
keputusan Raja.
Dalam dua kasus di atas ini, pelaku penyelesaian sengketa menggunakan kombinasi antara pengetahuan umum,
pengetahuan sejarah, tekanan komunitas dan kompromi untuk mencari penyelesaian secara damai sehingga
bisa menghindari terjadinya kekerasan.
Ada implikasi positif dan negatif dari pluralitas pilihan yang tersedia bagi warga desa dalam menyelesakan
perselisihan. Kebebasan yang luas memberikan anggota masyakarat kemampuan untuk memilih pelaku
yang mempunyai legitimasi sosial yang tepat untuk setiap tipe perselisihan. Di sisi lain, pihak yang berselisih
kemungkinan tidak setuju mengenai siapa yang mempunyai otoritas untuk menyelesaiakan sebuah kasus -
kalau ini terjadi sangat susah mencari konsensus.
Apa yang dimaksud dengan Dewan Adat?
Seperti ditulis di atas, “sistem” non-state justice sering merupakan mediasi secara kekeluargaan di antara keluarga
dan komunitas. Akan tetapi, di beberapa lokasi, Dewan Adat berkerja dengan struktur kelembagaan dan
18 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
norma – biasanya secara lisan tapi terkadang tertulis. Sistem hukum adat biasanya terorganisir, dengan struktur
institusional yang menerapkan peraturan dan prosedur tertulis serta menghasilkan putusan tertulis.
Berdasarkan defi nisinya, proses dan struktur adat adalah bervariasi dan fl eksibel, tapi diagram di bawah ini
disajikan sebagai contoh salah satu struktur adat di Desa Pelau, Provinsi Maluku.
Gambar 4: Struktur Organisasil Majelis Adat di Desa Pelau, Kabupaten Maluku Tengah
RajaOtoritas Tertinggi di Desa
Saniri NegeriPemimpin masing-masing Soa
dan perangkat adat
Penghulu MesjidPemuka Agama Islam
Wakil PemudaLaki-laki
Wakil pemudaPerempuan
Juru CatatMenulis hasil Majelis
Adat
Soa
Marga
TuabirokoMenyediakan Informasi ke
publik
Struktur Adat ini mencakup unsur utama di komunitas – Raja atau kepala desa sebagai sumber otoritas tertinggi,
penghulu Islam mewakili otoritas agama dan pemimpin masing-masing Soa (suku) mewakili masyarakat secara
keseluruhan. Wakil pemuda merupakan jalur komunikasi dari Raja ke pemuda di desa. Kadang-kadang mereka
berperan dalam menyelesaikan perselisihan kecil yang melibatkan pemuda.
Untuk peselisihan di dalam suatu keluarga atau marga, kepala marga yang bertanggungjawab atas proses
penyelesaian. Ketika perselisihan lebih serius atau antar[a] marga, otoritas Raja biasanya diperlukan. Raja boleh
pilih untuk bertindak sendirian atau di dewan dengan kepala soa, yang juga merupakan pengurus adat (dikenal
dengan nama saniri negeri). Ketika sudah dicapai kesepakatan untuk menyelesaikan masalah, saniri negeri
bertanggung jawab atas mengatur penyelenggaraan.
Variasi Regional
Bercermin dari keanekaragaman norma sosial di setiap lokasi yang diteliti, variasi regional yang signifi kan telah
ditemukan dalam hal pelaku dan lembaga penyelesaian sengketa yang digunakan oleh masyakarat, norma
yang diterapkan serta kekuatan struktur institusi hukum adat dan pelaku. Pemuka agama, misalnya, memainkan
peranan yang terbatas di Kalimantan Tengah, tapi justru menjadi pelaku kunci di Jawa Timur dan sebagian wilayah
Lombok, dimana Kyai dan Tuan Guru sangat dihormati dan diakui sebagai tokoh pimpinan penting bagi umat
Islam. Di Sumatera Barat, para pemimpin agama tergabung dalam struktur adat, seperti di Lombok, di bawah
19Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
“trias politica”, yaitu gabungan antara negara, adat dan agama sebagai elemen penting dalam pemerintahan
desa.
Kekuatan hukum adat dan tingkat intensitas masyarakat dalam pengakuan adat juga sangat bervariasi. Di Jawa
Timur, lembaga dan hukum “adat” bukan merupakan wacana yang mengemuka, sedangkan di Sumatera Barat,
NTB dan Maluku, para pemimpin adat sangat penting dalam penyelesaian sengketa. Di Kalimantan Tengah,
kebangkitan “adat” sejak otonomi daerah hanya kuat di atas kertas saja tapi belum terealisasi di lapangan.
Implikasi
Dari sisi kebijakan, variasi ini memiliki dua implikasi penting. Pertama, berbagai kebijakan pemerintah nasional
maupun peraturan daerah dalam memperkuat peradilan informal (non-state justice) akhir-akhir ini tidak
mencakup seluruh preferensi dan pengalaman keadilan di tingkat lokal. Dengan memfokuskan pada Dewan
Adat dan pemulihan struktur tradisional, mereka melewatkan, misalnya, peran sentral kyai di Jawa Timur. Mereka
mengabaikan fakta bahwa perangkat adat seringkali memiliki tingkat penerimaan terbatas dari masyarakat di
wilayah urban. Implikasi kedua adalah, kerangka kerja untuk menjangkau peradilan non-negara harus cukup
fl eksibel untuk mengakomodasi variasi regional. Juga harus cukup luas untuk menangkap keinginan masyarakat
secara keseluruhan dibandingkan kelompok masyarakat tertentu saja.
B. Prosedur, Norma, Sanksi dan Pendorong Penyelesaian Sengketa
Apa yang kita tuju adalah suatu situasi yang win-win, sehingga semua pihak merasa seolah-olah mereka tidak
dihukum atau kena sanksi melalui mediasi tersebut. Yang mereka rasakan adalah kewajiban untuk berbagi dan untuk
mencapai keadilan. Tak ada yang kalah.’
Hasanain, Tuan Guru Muda, Lombok Barat, NTB.
Temuan Utama
• Prosedur penyelesaian sengketa bersifat fl eksibel dan cair, tapi biasanya terdiri dari proses pencarian fakta,
pertimbangan secara mendalam, dan mediasi atau arbitrase “ringan”.
• Sukarela tapi seringkali tidak ada alternatif lain. Peradilan informal secara teori sifatnya sukarela, tetapi
tanpa adanya alternatif lain, seringkali orang miskin terpaksa menerima keputusan yang tidak memuaskan.
Pihak yang lemah juga sering dipaksa menerima proses atau hasil penyelesaian sengketa karena intimidasi
atau karena takut akan kemungkinan balas dendam.
• Norma sosial mengalahkan norma hukum. Norma yang diterapkan kadang-kadang jelas, tetapi yang
lebih sering diterapkan justru adalah norma sosial yang berdasarkan rasa keadilan setempat atau apa yang
layak menurut pertimbangan pimpinan desa. Dengan demikian, hubungan sosial dan kekuasaan biasanya
menentukan hasil penyelesaian sengketa informal.
• Sanksi-sanksi bervariasi, tapi biasanya berupa uang denda. Jumlahnya biasanya mempertimbangkan
kemampuan fi nansial tertuduh untuk membayar. Hukuman fi sik pernah terjadi, meskipun jarang.
• Pentingnya harmoni bisa menghasilkan impunitas. Tujuan utama penyelesaian sengketa adalah untuk
memulihkan harmoni dan ketertiban sosial, tetapi faktor ini dapat mengorbankan keadilan dan hak asasi. Ini
terutama terjadi pada perempuan, dimana haknya kadang-kadang dikorbankan demi menjaga kestabilan
sosial dan status quo.
20 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Bagaimana Sengketa Diselesaikan?
Prosedur penyelesaian sengketa informal secara inheren bersifat fl eksibel dan bervariasi. Tapi dalam banyak
studi kasus yang terdokumentasi, sebuah prosedur umumnya sudah jelas, sebagaimananya digambarkan
dalam diagram di bawah.
Gambar 5: Penyelesaian kasus perkelahian di pasar 32
Keluhan Diterima: Kombit dan Ramses Melapor ke Polisi dan Damang
Setelah tidak mendapat tanggapan efektif dari polisi, Kombit dan Ramses melapor ke damang secara lisan.
Pencarian Fakta: Perangkat Adat, Saksi-saksi dan Pihak yang Bersengketa
Setelah terima laporan, damang memanggil pengurus adat (yang dikenal dengan let adat) untuk diberi penjelasan
mengenai insiden yang terjadi. Setelah itu dia memanggil kedua belah pihak dan para saksi secara terpisah ke
rumahnya untuk menggali fakta kasus.
Pengambilan keputusan/Mediasi/Arbitrase “Ringan”
Damang memanggil perangkat adat untuk “persidangan” Dewan Adat. Dalam mengkaji fakta kasus, mereka
mengacu pada buku hukum adat dan menentukan sanksi bagi Marhat. Sanksi ini disampaikan secara tertulis
dalam bentuk surat perdamaian. Marhat dan Kombit kemudian dipanggil kembali oleh damang dan kedua
pihak menyetujui tawaran penyelesaian yang diajukan Dewan Adat dan menandatangani surat tersebut.
Penerimaan/Pemulihan/Upacara Adat
Menurut adat dayak, setelah penyelesaian tercapai maka kedua pihak yang bertikai diakui sebagai anggota
baru keluarga masing-masing. Ini kemudian disahkan melalui upacara adat dengan mengorbankan seekor
ayam (diperlukan bila dalam perkelahian sengketa menyebabkan kucuran darah), selanjutnya dua pihak
makan bersama.
Penerapan
Surat Perdamaian yang ditandatangani
itu memperkuat penerapan penyelesaian
sengketa, didukung oleh sanksi sosial. Damang
tidak memiliki kekuasaan untuk menegakkan
pelaksanaan sanksi, jadi, seperti dalam banyak
kasus, Marhat sebagai pihak yang lebih kaya
dan berkuasa hanya membayar 25 persen
dari denda yang dijatuhkan. Damang tidak
bertindak untuk menerapkan sanksi.
Melaporkan ke Otoritas yang Lebih Tinggi/
Mediator lain atau Menghindari Konfl ik
Dalam kasus ini, pihak yang bertikai menerima
“arbitrase ringan” dari damang. Bila mereka
menolak, bagaimanapun, pilihan Kombit
adalah melaporkan ke mediator lain, otoritas
yang lebih tinggi, atau sekali lagi melapor ke
polisi. Alternatif terakhir adalah menyingkir
- menghentikan kasus-atau meningkatkan
konfl ik.
PENOLAKAN
32 Kasus Perkelahian di Pasar ditampilkan di Pengantar. Diagram ini mempergunakan Bagan 8 dalam UNDP (2007), diatas n.27, hal. 225.
21Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Proses penyelesaian kasus Perkelahian di Pasar secara umum menggambarkan proses resolusi sengketa yang
sering digunakan:
Keluhan/keberatan diterima1. dalam bentuk tertulis atau, lebih sering, lisan.
Pencarian fakta2. : mediator mendiskusikan kasus secara terpisah dengan pihak yang bersengketa, saksi
mata, dan tokoh masyarakat dari wilayah tinggal mereka.
Pertimbangan fakta kasus: 3. bisa dilakukan sendirian, bersama dengan dewan adat, atau dalam
musyawarah. Untuk kasus rumit, proses ini bisa memerlukan beberapa kali pertemuan.
Mediasi atau Arbitrase “Ringan”: 4. Mediator mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk mencoba
menengahi, atau menyampaikan saran penyelesaian dan/atau sanksi. Ini bisa didasarkan pada hukum
adat baik tertulis maupun lisan, hukum agama atau justru pandangan subyektif dari mediator.
Kesepakatan atau Penolakan: 5. Pihak yang bertikai bisa menerima atau menolak penyelesaian yang
ditawarkan. Kesepakatan kadang disertai dengan intimidasi/ancaman, keinginan untuk menghindari
sistem hukum formal atau ketakutan terhadap kemungkinan balas dendam. Jika kesepakatan
penyelesaian sengketa tidak tercapai, mereka beralih ke mediator lain, membawah kasus ke hukum
formal atau menghentikan tuntutannya.
Penerapan: 6. Kesepakatan seringkali dalam bentuk tertulis dan ditandatangani justru untuk memperkuat
tekanan dalam penerapannya. Keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa bisa
menjadi faktor tambahan sebagai sanksi sosial. Ketakutan akan balas dendam atau proses hukum
formal juga mendukung penegakkan kesepakatan itu. Pada akhirnya, bagaimanapun juga, pelaksanaan
kesepakatan ini tergantung pada kemauan orang yang bersengketa. Pihak yang berkuasa sering
mengabaikan hasil mediasi.
Meski prosedur ini sering diikuti dalam penyelesaian sengketa informal, tidak selalu persis seperti di atas.
Sebagaimana jelas ditunjukkan dalam Studi Kasus 4 di bawah, beberapa proses penyelesaian bisa berjalan
sekaligus dengan melibatkan beberapa mediator berbeda. Dan seperti ditunjukkan dalam kasus Perkelahian di
Pasar, sengketa maju-mundur antara sistem formal dan informal. Kadang-kadang proses penyelesaian berjalan
pada jalur yang paralel atau sejajar. Ancaman melimpahkan kasus ke kepolisian atau ancaman balas dendam
sering digunakan untuk mendorong penyelesaian yang cepat.
Tentu saja ada variasi setempat terkait standar prosesnya. Di Madura, Jawa Timur, umum terjadi pembalasan
dendam, vigilantisme dan “membunuh untuk harga diri”. Perkelahian berdarah satu lawan satu hingga meninggal
– yang dikenal di tempat itu sebagai carok – diterima baik secara sosial dan kultural sebagai cara memecahkan
perselisihan, terutama sekali jika harga diri dan kedudukan sosial laki-laki ditantang. Secara paradoks, ketakutan
akan carok merupakan pendorong kuat untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Hak untuk Mendengar dan Didengarkan
Pihak yang bersengketa boleh menghadirkan diri, menyampaikan argumentasi mereka dan berpartisipasi secara
aktif dalam proses penyelesaian sengketa informal. Tetapi ada pengecualian di Sumatera Barat, dimana mereka
yang bersengketa hanya bisa menghadap Dewan Adat, sementara proses pengambilan keputusan menjadi
hak eksklusif dari para pemimpin garis keturunan suku laki-laki, atau disebut mamak. Kaum perempuan tidak
terwakili dalam proses ini – akibatnya kepentingan mereka sering diabaikan.
Proses-proses Sengketa
Proses penyelesaian sengketa informal biasanya berbentuk mediasi dan konsiliasi, dan pada dasarnya bersifat
sukarela. Seperti kata salah seorang pemimpin adat di Kalimantan, ‘Masyarakat melihat damang sebagai salah
22 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
satu pemimpin lokal. Kalau mereka ingin terima kami, mereka terima. Kalau nggak mau, nggak.’
Walaupun bersifat sukarela dan berdasarkan pada konsensus, mekanisme ini sering menggunakan apa yang
bisa disebut “arbitrase ringan”, dimana para pelaku atau institusi penyelesaian sengketa mengeluarkan “putusan”,
namun persetujuan tetap berada di pihak yang bersengketa. Seperti kata Raja dari Desa Asilulu di Maluku,
‘Raja tidak bertindak seperti pengadilan, kita pakai pendekatan kekeluargaan. Jika para pihak tidak puas, mereka
bisa membawa kasusnya ke polisi atau pengadilan. Namun himbauan saya jarang tidak dipatuhi oleh para pihak
yang bersengketa.’
Akan tetapi, sifat sukarela itu bersifat relatif. Membawa kasus ke pengadilan sebetulnya mustahil bagi sebagian
besar masyarakat miskin. Demikian juga, menentang kekuasan Raja bisa berdampak buruk. Demikianlah, bagi
pihak lemah khususnya, bila mereka menolak atau gagal menerapkan hasil penyelesaian sengketa informal,
hampir bisa dipastikan mereka tidak akan membawa kasus itu ke pengadilan atau penguasa yang lebih tinggi,
melainkan lebih untuk menghindari konfl ik.
Kasus di bawah ini menggambarkan pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa dan tipe kasus
yang sering terjadi.
Studi Kasus 4: Warisan membawa petaka33
Sengketa warisan antar-kampung ini melibatkan dua saudara sepupu. Sammat tinggal di Desa Palengaan Daja dan Sadirman
adalah warga Desa Poreh, keduanya ada di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Sengketa ini mengenai lahan yang digarap
Sardiman, tapi lahan itu berada di desa tempat tinggal Sammat.
Sardiman menerima lahan itu sebagai warisan dari ayahnya, yang sebelumnya menikah dengan perempuan asal Desa
Palengaan Daja. Istri ayahnya terdahulu meninggal---sebelum melahirkan anak---dan meninggalkan warisan lahan, dan
selanjutnya ayah Sadirman menikah lagi, dan lahirlah Sardiman. Perempuan yang dinikahi ayah Sadirman dari Desa Palengaan
Daja itu rupanya bibi dari Sammat, dan karena itu, ketika ayah Sadirman meninggal, Sammat mengklaim lahan itu menjadi
haknya.
Pada awalnya, Sammat mencoba mengklaim secara sepihak lahan yang disengketakan itu dengan memberi tanda berupa
patok-patok. Tapi Sardiman menolak tindakan itu, sehingga Sammat melapor ke kepala desa wilayah sengketa, Desa
Palengaan Daja – desa tempat tinggal Sammat. Kepala desa mengundang kedua pihak ke rumahnya, tapi Sardiman menolak
hadir. Salah satu saksi, Rahmat, menjelaskan apa yang terjadi:
‘Dalam penyelesaian kasus ini semuanya ada lima kali pertemuan. Yang pertama dilakukan dirumah pak Klebun (kepala desa)
tetapi tidak ada kesepakatan, kemudian pertemuan kedua dilakukan di lokasi karena Pak Klebun langsung turun ke lokasi,
tetapi juga tidak diperoleh penyelesaian.’
Pertemuan ketiga dilakukan di Dusun Tenggina Dua. Pertemuan dilakukan di dusun ini agar dua pihak dapat hadir dalam
musyawarah karena lokasi ini merupakan lokasi tengah-tengah antara pihak Palengaan Daja dan pihak Poreh. Pertemuan
bertempat di rumah seorang tokoh masyarakat yang juga dulu sebagai kepala dusun.
Ketika Sardiman dan para pendukungnya dari Desa Poreh datang di dusun itu, tiba-tiba mereka bersorak ‘Carok...carok...
carok...!’ Kedua pihak yang bersengketa ini sama-sama membawa pendukung, dan hampir semuanya membawa clurit.
Kepala dusun maupun kepala desa mampu menenangkan massa, dan meyakinkan mereka agar menyerahkan senjata tajam
itu. Bagaimanapun, mereka tidak mampu memfasilitasi kesepakatan.
Sampai sekarang belum ada penyelesaian. Untuk waktu yang cukup lama, tanah yang disengketakan dibiarkan dan tidak
terpakai. Kepala desa dua kali lagi mencoba mengadakan pertemuan, tapi dua pihak menolak hadir. Selanjutnya, Sadirman
dari Desa Poreh kembali menggarap lahan itu. Saat ini status lahan tidak ditentang tapi juga belum terselesaikan.’
33 Untuk kasus yang selengkapnya lihat Mohammad Said (2004), “Inheritance brings Misfortune” di Samuel Clark (ed.), (2004) ‘More than
just Ownership: Ten Land and Natural Resource Confl ict Case Studies from East Java and Flores’, Indonesian Social Development Paper No.
4, Jakarta: World Bank.
23Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Yang agak mengejutkan, meskipun kasus warisan ini melibatkan warga beragama Islam, pemimpin agama
tidak terlibat. Ini menunjukkan bahwa pihak yang bersengketa bisa memilih mediator yang paling tepat
menurut mereka. Kasus ini juga menggambarkan sulitnya mencapai konsensus dan peranan kekerasan atau
ancaman kekerasan dalam penyelesaian konfl ik. Tanpa ada penyelesaian berdasarkan dasar hukum yang jelas,
kemungkinan besar perselisihan ini akan muncul kembali.
Norma-norma Apa yang Diterapkan?
Sistem peradilan non-negara terdiri dari beberapa sumber hukum dan norma, yang tersedia dengan tingkat
yang berbeda dan dengan kekuatan berbeda pada wilayah-wilayah penelitian ini. Sumber hukum itu termasuk:
(i) hukum adat; (ii) hukum keagamaan; dan (iii) hukum negara dan peraturan daerah. Di beberapa area penelitian,
dua atau bahkan tiga dari sistem normatif ini sudah terintegrasi, tetapi persaingan juga muncul ketika hukum
negara, agama dan adat dan prosesnya tidak konsisten.
Kodifi kasi Hukum Adat Makin Sering Dilakukan...
Hukum adat biasanya disampaikan melalui tradisi lisan, tapi di sebagian lokasi penelitian sudah ada upaya
mengkodifi kasi atau membukukan hukum adat yang dilakukan pemerintah, LSM dan/atau tokoh adat setempat.
Di Kalimantan Tengah, misalnya, pada tahun 1996 sekelompok LSM dan cendekiawan dari suku Dayak, bersama-
sama dengan Pemerintah Provinsi, mengeluarkan buku hukum adat. Buku tersebut mencakup prosedur dan
sanksi untuk berbagai pelanggaran, termasuk perselingkuhan; hubungan seksual/kehamilan sebelum nikah;
pembunuhan; pencurian dan perampokan; dan fi tnah.34
Seluruh damang yang berjumlah delapan orang yang kami ajak bicara selama penelitian ini mengetahui adanya
buku tersebut dan mengatakan bahwa kitab itu menjadi sebagai rujukan dalam hal penyelesaian sengketa, tapi
hanya seorang yang memilikinya. Seorang damang yang lain di Kalimantan Tengah juga mencoba melakukan
kodifi kasi hukum adat di kecamatannya dan diterbitkan tahun 2004.35 Beberapa kabupaten di Kalimantan Barat
juga sedang menyusun buku hukum adat setempat.36
Di Sumatera Barat, hukum adat mencakupi berbagai aspek dalam kehidupan sosial, terutama berkaitan dengan
hak kepemilikan dan penggunaan tanah. Baru-baru ini beberapa nagari sudah mulai menyusun kodifi kasi
hukum adat melalui Peraturan Nagari.37 Di Lombok, ada perbedaan pandangan mengenai sisi baik dan buruknya
mengkodifi kasi hukum adat, tetapi ada kecenderungan terhadap upaya kodifi kasi adat lokal dalam bentuk
peraturan desa, yang disana dikenal sebagai awig-awig.38
34 Setwilda Tingkat I Kalimantan Tengah (1996) Lembaga Kedamangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Propinsi Kalimantan Tengah;
Palangkaraya: Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah.
35 Y. Nathan Ilun (2004) ‘Mengenal Hukum Adat’ Makalah tidak diterbitkan, 2004.
36 Lihat http://www.sanggau.go.id/bappeda/index.php?option=com_content&task=view&id=53 &Itemid=9, pemberitaan media dari
Kabupaten Sanggau, Kalimantan Selatan tertanggal 23 Mei 2007, diakses 20 November 2007.
37 Contohnya, Nagari Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar telah mengeluarkan Peraturan Nagari No. 1 Tahun 2002, tentang
Pemberantasan Penyakit Sosial, No. 2 Tahun 2003 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan, serta No. 3 Tahun 2002 tentang
Gotong Royong.
38 Di Desa Bentek misalnya, awig-awig dikeluarkan pada tahun 2001 meliputi pengelolaan lingkungan, kewajiban keagamaan dan
kerjasama antar desa dalam pengelolaan sumber air.
24 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Boks 1: Contoh hukum adat dari Bentek, Nusa Tenggara Barat
Bentek berada di bawah kepemimpinan kepala desa yang terkenal, Kamardi. Dia seorang aktivis dan pengacara yang
sering menghadiri dialog nasional mengenai masalah pemerintahan desa, adat maupun soal penyelesaian sengketa.
Pada tahun 2001, Majelis Adat Bentek mengeluarkan Kitab Awig-Awig tertulis. Berisi 28 pasal, aturan itu mengatur
kewajiban keagamaan, hubungan seksual pra-nikah, dan perlindungan lingkungan. Contoh pasal yang mencakup
prinsip umum hingga persyaratan khusus, yang didukung dengan sanksi-sanksi, diantaranya:
Pasal 3 (c): Setiap orang wajib mentaati ajaran agamanya masing-masing• Pasal 6 (a): Pergaulan muda-mudi hendaknya didasarkan atas norma-norma yang berlaku baik yang tertuang • dalam ajaran agama maupun adat istiadat dengan menjaga kehormatan masing-masing
Pasal 9 (a): Setiap manusia berkewajiban menjaga, melestarikan keutuhan dan memanfaatkan alam secara • selaras, serasi dan seimbang
Pasal 10 (b): Setiap orang atau kelompok maupun badan usaha yang diberikan izin pemanfaatan • Gumi paer
dilarang melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan.
Pasal 10 (c): Setiap orang dilarang: membuka merambah kawasan hutan secara tidak syah; melakukan • penebangan atau mengambil hasil hutan secara besar-besaran (bisnis); melakukan penebangan pohon
dengan radius/jarah 500 meter dari tepi waduk, embung, dam, dll; 200 meter dari mata air sungai atau anak
sungai.
Pasal 10 (f ): Setiap orang dilarang menangkap ikan dengan menggunakan zat kimia (racun).• Pasal 10 (h): Setiap orang dilarang membakar hutan.•
Banyak responden dari seluruh lima lokasi penelitian menyatakan pandangan bahwa dalam konteks modern,
kodifi kasi merupakan hal yang penting untuk legitimasi dan pengakuan dari luar terhadap hukum adat.
Sementara, beberapa responden lainnya menolak kodifi kasi, karena bertentangan dengan sifat hukum adat
yang dinamis. Mereka juga khawatir, kodifi kasi hukum adat bisa membatasi penafsiran hanya pada perorangan
atau kelompok tertentu tentang isi norma-norma yang diatur, sedangkan hal itu sering diperdebatkan. Ada juga
kekhawatiran yang cukup beralasan, bahwa mendefi nisikan kebiasan atau tradisi – termasuk proses penyelesaian
sengketa – dengan meniru prosedur resmi pemerintah, bisa mengurangi fl eksibilitas mekanisme peradilan non-
negara.
...tetapi norma-norma sosial yang tidak tertulis masih dominan
Akan tetapi, yang lebih sering ditemukan dari pada hukum adat tertulis adalah proses penyelesaian sengketa
tanpa ada aturan atau norma yang berlaku. Perselisihan sering diselesaikan berdasarkan konsep keadilan
setempat atau bahkan apa yang secara subyektif dipikirkan oleh para pemimpin lokal, tanpa mengacu pada
hukum negara, agama atau adat. Pihak yang mampu mengumpulkan sebagian besar yang berwenang biasanya
yang menentukan lokasi dan proses dan kemudian juga hasilnya.
Jadi, walaupun ada banyak “jalan menuju keadilan,” secara keseluruhan proses penyelesaian sengketa informal
bukan merupakan sistem yang komprehensif dan jelas, melainkan seperangkat proses yang dijalankan dan
dikuasai oleh individu yang berpengaruh. Mereka menentukan struktur, proses dan norma-norma yang akan
diterapkan.
Apakah norma dalam bentuk tertulis atau lisan atau semata-mata didasarkan pada akal sehat, pada kenyataannya
norma sosial dan kekuasaan yang biasanya menentukan hasil penyelesaian sengketa di tingkat lokal.39 Kasus
Souhoku dan Panangguan di atas adalah dua contoh dimana kepala desa berhasil mencapai kompromi untuk
39 Sebagaimana dinyatakan oleh Narayan, ‘Interaksi warga miskin dengan tuan tanah, pengusaha, rentenir,[...] lebih diatur oleh norma-
norma sosial, yang mengarahkan siapa yang memiliki nilai apa dalam setiap hubungan timbal balik daripada diatur melalui hukum
negara.’, Deepa Narayan et al (2000), Voices of the Poor, Can Anyone Hear Us?, New York: OUP, hal. 278.
25Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
memecahkan sengketa tanah antara teman dan saudara sepupu. Hasil yang dicapai tidak mengacu pada
hukum negara atau adat atau kebenaran obyektif. Hal itu tidak relevan. Sebagaimana kata seorang Kepala
Desa di Lombok, Kamardi, ‘Yang kita upayakan adalah solusinya.’ Hasil penyelesaian sengketa tersebut mampu
menenangkan ketegangan – memberikan suatu solusi – paling tidak dalam jangka pendek.
Jadi, pada umumnya peradilan non-negara merupakan suatu lingkungan tanpa hukum (‘delegalized environment’).
Hal tersebut dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fl eksibel. Tetapi tanpa ada struktur atau norma
yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa informal memiliki wewenang yang sangat luas. Apabila norma
sosial yang dominan, hubungan sosial dan kekuasaan akan menjadi faktor penentu. Kenetralan sulit ditemukan
di tingkat desa dan akibatnya, jalan menuju keadilan tidak setara bagi semua orang. Pihak yang berkuasa
melewati jalan yang lancar; pihak yang lemah harus menghadapi jalan yang penuh hambatan.
Bahkan kalau norma dan prosedur penyelesaian sengketa sudah jelas dan dipahami dengan baik, belum tentu
bisa diterapkan dengan konsisten. Penyalahgunaan dan eksploitasi sangat biasa, sebagaimana diterangkan
dalam kasus berikut dari Sumatera Barat. Dalam kasus ini, lemahnya status sosial perempuan dan keinginan
kepala adat untuk “memberi pelajaran”, mendorong tindakan pemaksaan sanksi terhadap perempuan, padahal
hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya dalam kasus yang sama. Norma sosial, bukan undang-undang, memang
menentukan hasil yang dicapai.
Studi Kasus 5: Penghinaan ketua adat
Kedua pihak hidup bertetangga di nagari Sumpur, Sumatera Barat. Salah satunya bergelar Datuk, menunujukkan bahwa
dia ketua adat. Pihak lain adalah seorang perempuan yang menikah dengan marga lain di nagari itu. Konfl ik meletus
di antara mereka, ketika terjadi perkelahian antara anak-anak mereka, dan kemudian menyebabkan tindakan saling
mengejek antar keluarga. Pada saat mengejek itu, ketua adat dipanggil dengan “wa’ang”, (kamu) bukannya dipanggil
“Datuk” sebagaimana mestinya. Beberapa anggota keluarga dari ketua adat itu mendengar dan kemudian melaporkan
ke lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN), bahwa mamak mereka dihina menurut adat.
Anggota KAN adalah semua ketua adat/mamak dan oleh karena itu kaum laki-laki. Selanjutnya KAN mengundang
dua pihak untuk menjelaskan apa yang terjadi, kemudian membentuk tim untuk merumuskan sanksi yang tepat. Pada
akhirnya perempuan itu kena denda Rp 300.000,- untuk dibayarkan kepada KAN. Denda itu justru dibayarkan pada KAN
daripada kepada “korban”, karena dianggap sebagai penghinaan terhadap nagari secara keseluruhan.
Pihak perempuan menganggap keputusan itu tidak wajar, karena dia juga menerima penghinaan dari pihak lain, ‘Ini
bukan kali pertama Datuk dipanggil dengan sebutan “wa’ang” oleh seseorang. Bahkan kemenakannya juga melakukannya.
Tetapi sebelumnya tidak ada sanksi.’
Kepala Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga menyadari kedua pihak sama-sama bersalah. ‘Tetapi ninik mamak ingin
memberi pelajaran. Pada masa ini banyak orang muda yang tidak menghormati mamak mereka.’ Dia juga mengakui ada
kecemburuan sosial karena perempuan itu sukses dalam berbisnis dan bisa membangun rumah di nagari, sedangkan
ketua adat itu masih tinggal di gubuk bambu dan penghasilannya juga tidak pasti.
Pihak perempuan belum secara formal diangkat dalam kelompok suku atau marga (dalam istilah Minangkabau belum
“bermamak”), dan dengan begitu tidak ada mamak yang bisa mewakilinya. Secara adat dia masih orang luar atau orang
asing. Jika perempuan ada mamak yang bisa mewakili dia, maka kasusnya akan langsung diselesaikan oleh para tokoh
suku itu, daripada diangkat ke KAN. Berdasarkan pengalaman itu, perempuan kemudian diangkat dalam kelompok suku
Datuk Basa Nan Tinggi, yang nantinya akan mewakilinya dalam kasus-kasus adat mendatang.
Pada adat Sumatera Barat, tidak ada kemungkinan “naik banding”. Hanya perselisihan yang belum terpecahkan
yang bisa “naik tangga-batanggo naik”, dengan begitu hanya sedikit proses “check and balance” dalam model
peradilan ini. Tanpa akuntabilitas ke atas, perempuan ini tidak memiliki alternatif, kecuali menerima keputusan
yang menurut ia tidak adil.
26 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Sanksi-sanksi
Pertautan dengan sistem-sistem peradilan non-negara seharusnya didasarkan pada konsep supremasi konstitusi.
Karena itu, sanksi harus konsisten dengan hak kebebasan dari siksaan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
28G ayat 2 UUD 1945. Walaupun menurut hukum nasional, pengadilan memiliki wewenang eksklusif untuk
mengadili kasus pidana dan kasus perdata yang mencakup hak yang dilindungi oleh perundang-undangan
nasional, dalam kenyataannya para pelaku peradilan informal juga menangani dua jenis kasus itu.
Penerapan sanksi melalui peradilan informal, pada dasarnya tidak membedakan antara pelanggaran pidana
(kepentingan publik) dan perdata (kepentingan pribadi). Pembedaan semacam ini jarang terjadi, terutama di
lingkungan masyarakat adat, dimana masalah pribadi seringkali dipahami melalui kacamata suku atau keluarga.
Pemulihan kerukunan antar suku atau keluarga menjadi pendorong penyelesaian, bukan hak individu. Bentuk
sanksi yang diterapkan juga ditentukan oleh kepentingan kerukunan atau harmoni komunal.
Untuk perselisihan sederhana, kata maaf seringkali bisa diterima. Dalam kasus lain, pembayaran denda atau ganti
rugi merupakan bentuk sanksi utama – seringkali sanksi berbentuk uang ini mengandung unsur hukuman dan
pembayaran kompensasi atas luka fi sik atau kerusakan barang. Bila terdapat hukum adat tertulis, biasanya juga
mencantumkan jumlah denda untuk setiap pelanggaran. Pada kenyataannya, ketika menentukan sanksi yang
dianggap sesuai, pengurus adat biasanya bersikap fl eksibel dan mempertimbangkan kemampuan keuangan
dari pihak yang dianggap bersalah. Di Kalimantan Tengah, pasal 37 dari Buku Hukum Adat mencantumkan, bila
pelaku yang bersalah tidak bisa membayar denda, maka dibebankan pada keluarganya.
Hukuman Badan Pernah Terjadi, Tapi Jarang
Hukuman fi sik atau badan memang jarang, tapi masih dipraktikkan di beberapa wilayah. Di Desa Amahai, Pulau
Seram, Maluku, seorang pemuda pernah dicambuk karena melempari kantor kepala desa dengan batu (Studi
Kasus 21). Di Nagari Paninggahan dan Gantung Ciri, Sumatera Barat, Wali Nagari kadang-kadang mendelegasikan
proses penyelesaian sengketa kecil ke organisasi pemuda, yang nanti akan memberikan sanksi berupa pukulan
bagi siapa yang melanggar. Sanksi lain meliputi nasihat, atau dikeluarkan dari acara-acara adat, sampai sanksi
diusir dari desa-dibuang secara adat.
Tabel dibawah berisi perbandingan sanksi untuk kasus-kasus pidana tertentu berdasarkan undang-undang
negara, contoh hukum adat tertulis dari Kalimantan Tengah, dan dari sebuah desa di Nusa Tenggara Barat, serta
sanksi yang diterapkan dalam kasus-kasus yang dikaji dalam laporan ini.
27Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Tabel 3: Sanksi bagi tindak pidana menurut hukum negara dan hukum adat di lokasi riset terpilih
Pidana/
Norma
KUHP Adat Dayak,
Kalimantan Tengah
Adat Desa Bentek,
NTB
Contoh Sanksi dari
kasus yang diteliti.
Pembunuhan Maksimal 15 tahun 375-750 kati ramu ** Dirujuk ke polisi Rp 36 juta: Kasus 16
Pemerkosaan Maksimal 12 tahun
4 – 15 tahun/Rp 12 juta – 300
juta jika terjadi dalam rumah
tangga (UU PKDRT)
45 – 90 kati ramu
90 – 150 kati ramu, jika
korban belum dewasa.
49,000 –
100,000 UB *
Tidak ada sanksi.
Kasus 7 & 28.
Bukan tindak kriminal jika atas
kesepakatan bersama.
7 – 9 tahun jika disertai
kekerasan.
Dakwaan alternatif adalah
pelanggaran moralitas publik.
Maksimal 32 bulan atau Rp
450,-
Denda bervariasi
antara 30 – 300 kati
ramu.
Rp 5 juta untuk si pria.
Kasus 24
Penganiayaan Maksimal 32 bulan/
denda Rp 4500,-
1 – 15 kati ramu 49,000 –
100,000 UB
Rp 6 juta: Kasus 1
Permintaan Maaf: Kasus 9
Tiada sanksi: Kasus 12
Pencurian/
Perampokan
Pencurian: Maksimal 5 tahun;
9 tahun jika disertai kekerasan
atau Rp 900,-
Perampokan: 12 tahun,
20 tahun jika disertai
kekerasan; hukuman mati jika
menyebabkan korban tewas
atau Rp 900,-
15 – 45 kati ramu 49,000 –
100,000 UB
Tidak ada contoh kasus
Fitnah 9 bulan – 4 tahun 30 – 45 kati ramu 5,450 – 49,000 UB Permintaan maaf, Rp
300,000 dan makanan
untuk seluruh penghuni
desa. Kasus 5
*UB atau “Uang bolong” merupakan bentuk mata uang atau alat tukar menukar yang sah yang berlaku pada zaman dahulu di pulau Lombok,
NTB. Sekarang dipakai sebagai ukuran sanksi adat. Pada 2006, 1000 UB = 1 ekor ayam, 1 botol minyak kelapa, satu kotak buah-buahan, kayu,
atau Rp 12,000,-.
** Kati ramu adalah ukuran/takaran barang, biasanya 1 kati ramu setara dengan 6 ons. Barang bisa berupa emas atau uang. Dalam kasus
pembunuhan terkenal di Palangkaraya, sanksi denda sebesar Rp 12 juta. Tapi lebih dari itu, ada hewan yang harus dikorbankan, upacara adat
serta biaya penguburan yang layak. Pokoknya, sanksi bersifat luas dan fl eksibel.
Sebagian sanksi yang didokumentasikan dalam riset ini, termasuk mencambuk dan memukul pelanggar,
berlawanan dengan perlindungan UUD terhadap larangan penyiksaan. Namun, dengan tidak adanya
pengawasan yang efektif atas peradilan non-negara, sanksi seperti itu diberikan dengan impunitas.
28 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Pendorong Resolusi: Menjaga Harmoni
Yang kita upayakan adalah solusinya. Kalau mencari yang benar, tidak pernah akan selesai.’
Kepala Desa, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Prinsip utama peradilan informal adalah pemulihan kerukunan. Ketertiban sosial sangat penting di masyarakat
pedesaan, dimana saling ketergantungan sosial dan ekonomi sangat tinggi. Jadi, dengan sifat tidak saling
berhadapan dan mengutamakan kompromi dan fl eksibilitas, maka peradilan nonformal memiliki beberapa
kelebihan dibanding keputusan hakim pengadilan. Di Palangkaraya, pada kasus pembunuhan (Studi Kasus 16),
keluarga pelaku dan keluarga korban sudah dua kali bertemu dan berbagi makanan sejak peristiwa terjadi, dan
mereka memiliki hubungan baik. Dalam Studi Kasus 4, resolusi tidak tercapai tetapi kekerasan bisa dihindari.
Sebuah kasus di Desa Tanah Awu, Lombok Tengah, diselesaikan melalui adat, sedangkan keputusan Mahkamah
Agung untuk kasus yang sama diabaikan masyarakat. Pada kasus Ruhua di Seram, Maluku (yang digambarkan
di bawah ini), kepala desa bisa memulihkan kembali hubungan baik antara kelompok yang bertikai yang sudah
melewati perbatasan desa. Tindakan yang cepat, yang didasarkan pada realitas sosial bisa mencegah meluasnya
kekerasan.
Studi Kasus 6: Reaksi cepat raja dan polisi mencegah kerusuhan meluas di Ruhua
Halue Sunawe, seorang pemuda dari Ruhua di Pulau Seram, Maluku, pergi memetik cengkeh ke desa sebelah, Haya.
Desa Haya sejak lama bermusuhan dengan desa tetangga, Tehoru. Beberapa orang dari Desa Haya mencurigai Halue
berasal dari Tehoru, sehingga kemudian mereka memukuli Halue saat memetik cengkeh.
Halue kemudian mengumpulkan teman-temannya dan berencana membalas dendam. Mereka menghentikan
angkutan umum dari desa Haya, dan melemparinya dengan batu hingga semua kaca jendela pecah.
Pemilik kendaraan melaporkan insiden itu ke kepolisian. Polisi kemudian memanggil Raja dan Sekretaris Desa, serta pihak-
pihak yang bertikai. Difasilitasi oleh Raja, kedua pihak itu setuju untuk saling memaafkan dan menandatangani perjanjian
‘damai’. Halue didenda Rp 500,000,- untuk mengganti kerusakan kendaraan. Dia puas dengan hasil kesepakatan, karena
diproses cepat dan tanpa melalui proses pengadilan.
Harmoni dan Impunitas
Akan tetapi, mengutamakan kerukunan bisa mengorbankan hak asasi manusia dan keadilan perorangan.
Khususnya pada komunitas yang berbasis suku, dasarnya pemulihan harmoni adalah keseimbangan hubungan
komunal. Inilah yang menjadi alasan sesungguhnya, misalnya, Dewan Adat di Maluku dan Sumatera Barat terdiri
atas para kepala suku. Keberadaan mereka mewakili komunitas secara keseluruhan dan mereka melihat masalah
melalui kacamata komunal. Kepentingan komunal mengalahkan individu, karena harmoni antar suku menjaga
stabilitas dan keamanan desa secara keseluruhan.
29Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Studi Kasus 7: Perkosaan yang diabaikan di Desa Sepa
Pada tahun 2003, perempuan berinisial P berusia 17 tahun diperkosa oleh adik suaminya sendiri di Desa Sepa, Pulau
Seram, Maluku. Ketika P mengadukan kasus yang dialaminya, P malah dipukuli oleh suaminya.
Perempuan itu lantas menceritakan kepada orang tuanya apa yang terjadi, kemudian hubungan antara keluarga P dan
suami memanas. Muncullah ancaman-ancaman dan penghinaan. Karena merasa diancam, maka orangtua suami P
mengadukan kasus ancaman ini kepada kepala desa. Namun kepala desa memutuskan untuk mengembalikan kasusnya
kepada pihak ketua Adat, karena para pihak yang bersengketa merupakan anggota suku Naulu dan suku Naulu telah
mempunyai mekanisme sendiri untuk menyelesaikan kasus/sengketa.
Ketua adat akhirnya menggelar musyawarah. Pertemuan dihadiri kedua keluarga, saniri negeri dan kepala dusun masing-
masing. Tetapi yang diselesaikan oleh mekanisme adat bukan persoalan perkosaan, melainkan peristiwa ancaman yang
justru dialami oleh keluarga suami P. Oleh sebab itu, pelaku perkosaan tidak ikut dipanggil dalam musyawarah.
Musyawarah diakhiri dengan penentuan denda. Kedua belah pihak baik keluarga korban maupun pelaku diwajibkan
membayar denda berupa piring dan kain berang. Kasus perkosaannya diabaikan. Ketika ditanya tanggapannya atas
penyelesaian kasus itu, P menjawab dengan marah, ‘Puas? Tidak. Saya tidak puas.’
Kasus ini menunjukkan bahwa subyektifi tas konsep harmoni itu bisa disalahgunakan dan dimanipulasi
untuk mendiamkan pengaduan dari kaum lemah. Pihak atau kelompok yang terpinggirkan juga rentan
“dimusyawarahkan” atau dipaksa untuk menerima keputusan yang tidak memuaskan.40
“Kerukunan atau ketentraman” seringkali diartikan dengan mempertahankan status quo atau sikap jangan
melawan pihak yang punya kekuasaan. Dalam kasus di atas, kebutuhan untuk mementingkan keharmonisan
membuat hak-hak korban diturunkan ke posisi sekunder, atau bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.
Ini juga terlihat jelas pada Studi Kasus 5 (kasus “Penghinaan Ketua Adat”), dimana perempuan tanpa status sosial
di desa dipaksa untuk menerima denda yang menurut ia tidak adil. Bandingkan juga dengan Studi Kasus 8 di
bawah, dimana seorang anggota DPRD sanggup mengabaikan sanksi adat. Baginya, harmoni itu tidak terlalu
penting. Kekuasaan dan status memberinya kebebasan untuk mengabaikan kepentingan komunal.
Pola-pola Penyelesaian Sengketa
Kasus-kasus Kecil Diselesaikan Secara Cepat...
Kasus-kasus kecil di dalam satu desa, seperti pencurian kecil-kecilan, perkelahian antara pemuda, atau sengketa
atas batas tanah atau sumber daya alam, pada umumnya mudah ditangani melalui penyelesaian secara
informal. Dari empat belas kasus semacam itu yang terdokumentasi di dalam laporan ini, sebelas diantaranya
bisa dipecahkan di tingkat lokal. Otoritas dan legitimasi sosial yang dimiliki pelaku penyelesaian sengketa cukup
untuk mencapai resolusi.
... tetapi ketika kasus yang dihadapi semakin rumit atau pihak dari luar desa turut campur
tangan, peradilan informal mulai terpecah.
Sebaliknya, kategori kasus lain secara konsisten sulit dipecahkan. Dari sembilan kasus perselisihan antar desa,
40 Seperti apa yang Merry telah simpulkan, ‘Umumnya keadilan populer (popular justice) cenderung mendorong dan menguatkan
kekuasaan setempat daripada merubahnya,’ lihat Sally Engle Merry, ‘Sorting Out Popular Justice,’ dalam Sally Engle Merry & Neal Milner
(ed)(1993) The Possibility of Popular Justice, Ann Arbor, Michigan: University of Michigan Press.
30 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
hanya tiga kasus yang bisa diselesaikan. Hanya satu dari tiga kasus yang melibatkan pihak luar dapat dipecahkan,
dan dalam kasus ini hasil resolusi belum bisa sepenuhnya diterapkan. Ini biasanya terkait masalah tanah atau
kepentingan ekonomi lain yang cukup signifi kan. Kasus yang melibatkan perempuan atau kelompok etnis
minoritas biasanya juga sulit dipecahkan (lihat Bab III). Dan perlu diperhatikan juga bahwa semata-mata kasus
saja tidak menceritakan keseluruhan cerita – banyak masalah hukum yang dialami oleh perempuan khususnya
ditekan, sampai mereka diam saja dan masalahnya sama sekali diabaikan.
C. Persinggungan antara Peradilan Formal dan Informal
Temuan utama:
Interaksi antara peradilan formal dan non-formal sering terjadi. 1. Dari 34 kasus yang dikaji, 16 kasus melibatkan
pelaku sektor hukum formal dan empat kasus dibawa ke pengadilan. Interaksi ini biasanya terpicu bila kasusnya
mengarah pada kekerasan, kasusnya ada kaitan dengan kepentingan ekonomi atau melibatkan kepentingan di
luar desa.
Kepolisian menengahi hampir semua keluhan. 2. Diskresi polisi untuk memediasikan sengketa sangat luas dan
tidak terbatas; kadang-kadang akibatnya ketidakadilan dan korupsi.
Persinggungan kurang terdefi nisikan. 3. Pengadilan wajib mempertimbangkan hasil peradilan informal. Tapi
hakim seringkali kurang memahami kebiasaan dan tradisi lokal. Wewenang peradilan informal tidak terdefi nisikan,
dengan konsekuensi kejahatan serius dimediasi padahal seharusnya diadili melalui jalur formal.
Norma-norma yang bertentangan. 4. Norma-norma sering bertentangan. Hasil proses peradilan formal dan
informal bisa berbeda untuk kasus yang sama, yang menimbulkan inkonsistensi dan ambiguitas hukum.
Interaksi Antara Sistem Hukum Formal dan Informal Sering Terjadi
Walaupun kebanyakan perselisihan ditangani melalui mekanisme informal, interaksi antara upaya penyelesaian
formal dan informal biasa terjadi dan sungguh tidak bisa dielakkan di negara dengan sistem hukum yang bersifat
pluralistis. Dari 34 kasus yang dimuat dalam laporan ini, 16 melewati mekanisme informal dan melibatkan pelaku
peradilan formal. Empat kasus dibawa ke pengadilan. Oleh karena itu, kasus-kasus ini menjadi contoh yang
tepat untuk mendokumentasikan dan menganalisa persinggungan antara peradilan formal dan informal.
Temuan riset ini menunjukkan bahwa interaksi antara formal dan informal nampaknya muncul oleh tiga faktor
utama. Pertama, kasus itu diwarnai kekerasan serius. Data konfl ik yang diperoleh dari surat kabar menunjukkan
ketika kasus melibatkan kekerasan, keterlibatan polisi dalam penyelesaian kasus meningkat dari 27 persen ke
86 persen. Kedua, kasus yang melibatkan “pihak luar”, termasuk kepentingan sektor swasta atau etnis minoritas.
Beberapa kasus dari Sumatera Barat menggambarkan situasi ini (lihat Kasus 13, 29, 30 dan 33). Faktor terakhir,
kasus yang terkait dengan kepentingan ekonomi yang besar mungkin akan diselesaikan lewat “naik banding”
melalui sistem formal.
Kebanyakan kasus yang sudah melewati sistem informal akan masuk sistem formal melalui polisi. Data GDS
(Survei Pemerintahan dan Desentralisasi) yang ditampilkan di atas menunjukkan polisi terlibat dalam 26,7 persen
perselisihan, sedangkan jaksa maupun pengacara hanya 1,4 persen dan 2,4 persen masing-masing.41
41 Serupa dengan hal ini, rangkaian data berbasis laporan surat kabar mengenai konfl ik di Jawa Timur menunjukkan 37,4 persen dari
semua persengketaan melibatkan polisi, tapi hanya 7,3 persen yang sampai ke pengadilan. Lihat Patrick Barron and Joanne Sharpe
(2005) ‘Counting Confl icts: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia’, Confl ict Prevention and Reconstruction Paper
No. 25. Washington, DC: World Bank.
31Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Akan tetapi, keterlibatan polisi tidak berarti perselisihan itu pasti akan menuju ke tuntutan hukum. Polisi memiliki
wewenang yang luas untuk memutuskan kasus mana yang cukup serius untuk diserahkan kepada jaksa dan
pengadilan. Di Jawa Timur, misalnya, polisi mengklaim bahwa mereka menyelesaikan 80 persen kasus secara
informal, baik melalui mediasi, atau diserahkan kembali kepada mekanisme peradilan non-negara.42 Wewenang
itu tidak didasarkan pada peraturan atau pedoman operasi.43
Persinggungan antara formal dan informal ini penting untuk beberapa alasan. Pertama, kepastian hukum.
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 memberikan mandat kepada kepala desa, bekerja sama dengan
lembaga adat, untuk ‘mendamaikan perselisihan masyarakat’ (Pasal 15 Ayat 1(k)). Defi nisi hubungan antara
peradilan formal dan informal sangat tidak terinci. Kondisi ini menimbulkan hasil yang berbeda-beda untuk
keluhan yang sama, sehingga menyebabkan ketidakpastian, ambiguitas dan kebingungan.
Kedua, pengawasan. Jika pengadilan cukup kuat, maka negosiasi di tingkat lokal bisa dijalankan mengatasi
maslah ketidakpastian hukum. Keputusan yang tidak adil melalui sistem peradilan informal bisa diperbaiki di
tingkat yang lebih tinggi, yang membuka pilihan lebih bagi kelompok lemah dan terpinggirkan.
Bagaimana Pengadilan Formal dan Informal Berinteraksi?
Studi kasus yang diteliti menunjukkan bahwa sistem formal dan informal saling berhubungan melalui dua cara
– interaksi langsung atau pun tidak langsung.
Interaksi langsung terjadi (i) ketika sistem pengadilan formal dilibatkan secara langsung dalam menangani
kasus yang sudah melalui sistem informal, melalui proses ‘naik banding’; (ii) atau ketika suatu perselisihan secara
simultan diselesaikan melalui mekanisme formal dan informal.
Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan bahwa sekalipun sistem formal tidak secara langsung menangani suatu
kasus, secara tidak langsung tetap memainkan peran penting dalam proses penyelesaian sengketa. Ini terjadi
ketika (i) pelaku sistem formal bertindak secara informal; atau (ii) ketika para pelaku informal atau pihak yang
berselisih menggunakan sistem keadilan formal sebagai acuan atau sumber norma dalam proses penyelesaian
sengketa informal.
Interaksi Langsung: Pengawasan dan Naik Banding
Sama halnya dengan kasus yang bisa naik melalui jalur formal hingga Mahkamah Agung, sengketa juga bisa
“naik banding” dari penyelesaian informal ke formal. Ini bentuk pengawasan pasif, yang hanya muncul ketika
kasus yang sudah ditangani melalui mekanisme informal dirujuk ke sistem hukum formal. Pada Studi Kasus 8 di
bawah ini, seorang yang mengalami masalah terkait siapa yang dinikahi anak perempuannya tidak puas dengan
sanksi adat yang dijatuhkan padanya dan mengajukan “banding” terhadap putusan adat berupa gugatan ke
Pengadilan Negeri.
42 Baare, di atas n.27, hal. 9.
43 Wawancara dengan Profesor Adrianus Meliala, Universitas Indonesia, 7 Desember 2007. Dengan perbandingan polisi di negara lain, Polisi
Federal Australia contohnya, memiliki pedoman yang rinci berdasarkan kekuatan barang bukti, sifat dasar kejahatan, mempertimbangkan
kepentingan umum, usia dan intelegansia dari pelaku kejahatan, sikap daripada korban, dan sebagainya.
32 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Studi Kasus 8: Gugatan terhadap denda adat yang berat44
Haji Anggeng merupakan seorang tokoh terkenal dan anggota DPRD di Lombok Barat. Ia berasal dari Kecamatan
Tanjung di Lombok Barat, tapi karena aktivitas politiknya ia tinggal di ibukota provinsi di Mataram.
Pada bulan Februari 2002, putrinya Linda “diculik” Sahrudin, pemuda dari desa tetangga.44 Sehari kemudian, keluarga
Sahrudin meminta kepala dusun memberitahu secara resmi kepada Anggeng mengenai niat Sahruddin menikahi Linda.
Menurut seorang saksi mata yang hadir dalam salah satu pertemuan, Anggeng menyetujui niat ini tetapi meminta uang
Rp 5 juta sebagai “ganti rugi” atas penculikan itu.
Akan tetapi, dua hari kemudian, Anggeng mengunjungi Linda di rumah Sahruddin, untuk meminta penjelasan mengenai
keinginannya menikah. Ia juga mempertanyakan apakah keluarga Sahruddin mampu menanggung hidupnya. Hari
berikutnya, Linda meninggalkan rumah Sahruddin, dan setelah penyelidikan dari pihak desa, Linda ternyata ada di
rumah ayahnya di Mataram. Ini kemudian ditafsirkan sebagai pelanggaran prosedur perkawinan adat.
Sore itu, kepala dusun, pemimpin agama dan tokoh masyarakat menggelar musyawarah, untuk membahas masalah itu.
Pertemuan itu memutuskan Anggeng melanggar adat. Ia didenda cukup berat, mencakup pembayaran satu kambing
putih, satu kambing hitam, makanan dan uang yang harus dibagikan kepada orang miskin. Anggeng menolak denda
itu dan membawa kasus itu ke pengadilan negeri.
Di pengadilan, Anggeng keberatan atas prosedur, keputusan dan sanksi yang dikeluarkan lembaga adat. Pengadilan
kemudian memutuskan denda itu tidak sah, bukan karena menganggap dewan adat tidak berhak bertindak di luar
kewenangannya hingga menjatuhkan sanksi yang keras seperti itu, tapi karena sanksi itu tidak konsisten dengan hukum
adat setempat. Dalam pertimbangan pengadilan, jika sanksi itu sesuai dengan hukum adat lokal, maka pengadilan akan
mendukungnya.
Menanggapi keputusan pengadilan itu, dewan adat justru meningkatkan sanksi, termasuk mengusir Anggeng dari desa
selama tiga tahun dan membekukan hak-hak perdatanya dan perannya dalam acara adat. Bagaimanapun, sanksi ini
tidak diterapkan, dan tidak berdampak atas kehidupan Anggeng di desa.
Dalam kasus ini, sistem formal bertindak sebagai mekanisme pengawasan proses adat. Seperti dicatat
diatas, pengadilan wajib mempertimbangkan proses peradilan informal dan nilai dan tradisi lokal. Tentu
saja “mempertimbangkan” tidak berarti “mengikat secara hukum”, dan dalam kasus ini keputusan pengadilan
membatalkan keputusan adat.
Jika memenuhi perannya yang sesuai, pengadilan seharusnya memutuskan apakah sanksi adat yang dijatuhkan
atas Anggeng sudah melanggar hak asasi atau hak sipil Anggeng; atau apakah prosedur adat itu cacat menurut
proses hukum yang adil (mungkin, karena tidak seorang pun – bahkan pimpinan adat - bisa mengharuskan
orang lain membayar denda untuk alasan yang tidak jelas). Jika pengadilan memutuskan perkara atas dasar
ini, seharusnya ada keputusan pengadilan bahwa sanksi yang membebankan Anggeng tidak sah dan tidak bisa
dilaksanakan, karena sanksi itu melanggar hukum perdata nasional, dan bukan karena sanksi itu tidak konsisten
dengan adat setempat.
Reaksi dari para pelaku peradilan informal menunjukkan, bahwa pengawasan dari pihak luar tidak selalu disambut
baik. Status Anggeng berarti bahwa dia bisa mengabaikan denda dan sanksi sosial. Tapi pilihan ini tidak tersedia
bagi masyarakat desa yang lebih bergantung pada hubungan sosial yang harmonis dan tunduk pada hubungan
kekuasaan lokal.
44 Di Lombok ada tradisi, yang dikenal sebagai merariq atau memulang, dimana mempelai pria secara simbolis menculik calon mempelai
perempuan dan membawanya ke rumah keluarga si pria, sebagai cara untuk menyampaikan niatnya menikah. Meskipun tidak selalu
begitu, tetapi diasumsikan perempuan setuju.
33Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Interaksi langsung antara proses penyelesaian perselisihan formal dan informal sering memerlukan kompromi
dan negosiasi antara kedua sistem itu, yang seringkali memiliki tujuan yang berbeda. Kasus penikaman di
Kalimantan (Studi Kasus 16 di bawah) memberi contoh bagaimana sistem formal dan informal bisa bekerjasama
dengan baik untuk menyeimbangkan tujuan dari keduanya.
Akan tetapi, seringkali interaksi menjadi berlawanan, terutama bila sistem formal dan informal berada di sisi
berbeda dalam suatu kasus perselisihan. Memang, dalam beberapa peristiwa, sistem formal enggan menerima
upaya banding dari kasus yang sudah diselesaikan secara informal.45 Dalam Studi Kasus 32 yang berasal dari
Sumatera Barat, pengadilan nampaknya diintimidasi dengan ruwetnya aturan kepemilikan tanah adat dan
karenanya menghindari inti masalah perselisihan. Sebagai konsekuensinya, kasus tetap tidak terpecahkan.
Dalam banyak contoh, masyarakat desa tidak mempunyai akses terhadap proses upaya banding ini. Pada kasus
KDRT di Kalimantan Tengah (Studi Kasus 12), upaya korban menyerahkan kembali kasusnya ke polisi dihalangi
oleh ancaman dari pengacara pelaku maupun minimnya kesadaran korban atas hukum. Butuh usaha tambahan
yaitu meningkatkan aksesibilitas pengadilan, bila ingin memperkuat peran “pengawasan” pengadilan terhadap
hukum adat. Dengan demikian, akses terhadap sistem pengadilan formal merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam kerangka memperkuat sistem peradilan informal.
Interaksi Tidak Langsung: Membentuk “Bayangan Hukum”
Bukanlah merupakan hal yang layak dan bukan juga menjadi kepentingan publik bahwa semua masalah
diselesaikan melalui sistem hukum formal. Kita sudah melihat sebelumnya, di negara majupun, hanya sedikit
kasus yang diselesaikan melalui keputusan pengadilan.46 Salah satu fungsi utama dari pengadilan, disamping
memproses sengketa, adalah untuk menetapkan satu standard dari kepastian hukum formal, yang bawahnya
bisa menjalankan penyelesaian perselisihan informal. Inilah yang sering disebut “bayangan hukum” (“shadow of
the law”) dimana ancaman sanksi hukum mengikuti setiap proses.
Beresikonya tindakan hukum dan biaya serta perasaan malu yang terkait bisa menjadi insentif atau pendorong
yang kuat untuk menyelesaikan sebuah kasus secara informal – untuk menghindari proses hukum formal. Itu
juga berarti bahwa akses terhadap sistem pengadilan formal bisa membantu mengatasi ketidakseimbangan
yang bisa menimbulkan ketidakadilan melalui sistem peradilan informal.
Dengan demikian, keterlibatan institusi formal dalam penerapan hasil penyelesaian sengketa informal tidak
hanya terjadi secara langsung melalui upaya banding. Dalam beberapa peristiwa, keterlibatan polisi dengan
ancaman sanksi hukumnya, “membayangi” hasil dan prosedur peradilan informal. Dalam kasus di bawah ini,
polisi terlibat dalam upaya mencari solusi atas perkelahian jalanan di Madura, Jawa Timur, pertama-tama dengan
melindungi korban, kemudian ambil bagian dalam negosiasi dan akhirnya dengan menjamin terselenggaranya
proses penyelesaian sengketa.
45 Ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 (1), ‘Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas.’
46 Lihat diatas, n. 5.
34 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Studi Kasus 9: Perkelahian jalanan di Madura
Perkelahian ini bermula dari peristiwa kecil yang kemudian meledak menjadi ruwet, ketika pihak yang bermasalah dan
para pendukungnya tidak setuju soal bagaimana menyelesaikan masalah. Perselisihan ini terjadi di Desa Blumbungan,
Pamekasan, tetapi salah satu pihak yang bersengketa berasal dari desa tetangga.
Perkelahian itu terjadi tiba-tiba, ketika ada kecelakaan sepeda motor di dekat acara penyambutan jamaah haji yang baru
pulang. Seorang pengendara sepeda motor menyalip mobil di dekat lampu lalu lintas, tapi mobil itu langsung belok
kanan tanpa sadar dan menabrak jatuh pengendara motor itu. Wardi, yang tengah menyaksikan proses penyambutan
jamaah haji itu bergegas menolong pengendara motor, dan meneriaki si pengendara mobil, Paidi. ‘Kalau bawa mobil
hati-hati, jangan ugal-ugalan. Ini yang terjadi kalau kamu ngebut.’ Merasa dipermalukan di depan orang banyak, Paidi
turun dari mobil dan menonjok Wardi. Perkelahiannya tidak berjalan lama, karena beberapa orang berhasil memisahkan
mereka. Paidi pulang, sementara Wardi tetap menyaksikan prosesi itu.
Tapi Paidi menganggap itu belum selesai. Merasa marah karena dijadikan bahan hinaan, ia kembali ke lokasi sambil
membawa pisau dapur. Ia lantas menyerang Wardi, dibantu ayahnya, Djoko, yang memukul Wardi menggunakan kursi.
Orang-orang yang lewat segera menghentikan perkelahian dan mereka dipisahkan lagi. Djoko tetap mengancam Wardi,
dan berteriak ia akan membunuh Wardi kalau melihatnya di jalan.
Merasa terancam, Wardi segera melapor ke kepolisian setempat. Setelah mengumpulkan bukti dari saksi, polisi segera
menahan Paidi di kantor kepolisian. Mereka kemudian mengundang kyai untuk mendamaikan persoalan perselisihan itu,
tanpa harus melalui proses formal kepolisian. Tapi, Wardi menolak upaya kyai menyelesaikan kasus itu.
Beberapa hari kemudian Djoko dan Paidi melaporkan kasusnya ke kepala desa. Kepala desa kemudian mengusulkan
musyawarah desa untuk memecahkan masalah. Wardi setuju hadir. Kemudian, kepala desa mengundang tokoh
masyarakat, babinsa, anggota preman dan sejumlah tokoh desa, semuanya dari desa Djoko dan Paidi. Mereka membawa
rancangan surat perdamaian yang isinya Wardi setuju untuk mencabut laporan ke polisi.
Wardi merasa diintimidasi, khususnya atas kehadiran preman dan babinsa. Awalnya ia menolak bekerjasama. Akhirnya,
setelah diskusi yang lama, Wardi setuju kasus itu diselesaikan secara informal, asalkan surat perdamaian itu disaksikan dan
ditandatangani di kantor polisi.
Mekanisme peradilan non-negara umumnya gagal menyeimbangkan hubungan kekuasaan selama negosiasi
terjadi atau penerapan hasil penyelesaian47 Pada kasus KDRT di Kalimantan Tengah (Studi Kasus 12), Perkelahian
di Pasar (Studi Kasus 1) dan pada hampir semua sengketa yang menghadapkan komunitas dengan pihak luar
yang berkuasa, pihak lemah tidak bisa menerapkan hasil resolusi. Hal ini sejalan dengan hasilnya temuan pada
penelitian Village Justice in Indonesia –dimana dari seluruh lima kasus yang dikaji dimana pejabat yang berkuasa
menggelapkan dana pembangunan, perjanjian tertulis melalui mekanisme peradilan informal untuk membayar
kembali uang yang digelapkan diabaikan.48
Penerapan atau penegakkan hasil mekanisme informal tergantung pada tekanan sosial, rasa malu dan
ketergantungan ekonomi. Sama halnya, status hubungan antara pihak-pihak yang bersengketa mempengaruhi
posisi tawar dalam negosiasi. Dengan demikian, pelaku sistem penyelesaian sengketa informal harus pintar
memahami dan menyeimbangkan insentif dan hubungan sosial pihak yang bersengketa agar hasil yang keluar
dapat diterapkan. Ketika elit desa atau orang kuat dari luar dilibatkan, maka akan sulit mencapai keseimbangan
itu.
Kadang-kadang, memanfaatkan kekuasaan negara bisa membantu membuat keseimbangan itu. Dalam kasus
di atas, partisipasi kepolisian berhasil menyeimbangkan hubungan kekuasaan yang tidak setara antara dua pihak
47 Lihat Matthew Stephens (2003) ‘Local-level Dispute Resolution in Post-Reformasi Indonesia: Lessons from the Philippines’ Australian
Journal of Asian Law 5(3), hal. 229.
48 Lihat World Bank (2004) di atas, n.26.
35Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
yang bertikai. Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) dari kasus itu menguraikan bagaimana partisipasi polisi dan
ancaman tindakan hukum bisa memudahkan proses negosiasi:
Kami (polisi) siap menengahi sengketa, inilah yang awalnya kami lakukan dalam kasus ini, agar setiap kasus tidak
perlu dibawa ke pengadilan...Dalam kasus ini kedua belah pihak setuju berdamai asal jika kasus ini terjadi lagi
maka akan dibawa ke pengadilan.
Akan tetapi, pelimpahan kewenangan untuk menengahi atau menuntut pelaku kejahatan rentan disalahgunakan
atau dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan. Dalam kasus perkelahian di pasar, polisi menahan proses
kasusnya sampai uang suapnya habis dan kemudian serta merta terlibatannya dihentikan. Dalam kasus
kekerasan dalam rumah tangga, polisi menyerahkan kembali laporan kasus ke damang, tanpa ada tindak lanjut
atau pengawasan terhadap proses selanjutnya, yang ternyata merugikan bagai pihak lemah. Jadi, kewenangan
ini bisa memudahkan maupun menghalangi tercapainya penyelesaian yang baik.
Persinggungan – Ringkasan Singkat
Sistem peradilan negara (formal) maupun non-negara (informal) seringkali digambarkan berada pada posisi
bertentangan (“opposite ends of a continuum”). Istilah yang seringkali digunakan untuk menggambarkan masing-
masing sistem mengindikasikan adanya dikotomi: adversarial vs. restoratif; menang-kalah vs. sama-sama menang,
lepas secara sosial vs melekat secara sosial; netral dan tidak berpihak vs. berpihak dan diskriminatif; sistem yang
berdasarkan aturan vs. sistem yang berdasarkan kekuasaan.
Akan tetapi, kasus-kasus yang diuraikan dalam bagian ini telah menunjukkan kemungkinan kerjasama yang
saling menguntungkan. Pertama, kemampuan bagi mereka yang bersengketa untuk “mengugat” keputusan
peradilan informal melalui sistem formal, bekerja sebagai bentuk akuntabilitas pada suatu sistem yang “lebih
tinggi” dari nilai dan kebiasaan lokal. Kedua, kemampuan negara untuk bekerjasama dengan pelaku informal
sempat memperluas “bayangan hukum” - ini membawa otoritas dan kekuasaan negara turun ke tingkat desa.
Ini bisa mempermudah penerapan hasil penyelesaian sengketa informal karena memperkuat legitimasi sosial
dengan kekuatan negara. Ketiga, pengakuan yang lebih besar oleh pengadilan terhadap peradilan non-negara
bisa sekaligus meningkatkan legitimasi dan relevansi pengadilan karena menjadi lebih sesuai dengan tradisi
lokal.
Tapi bagaimanapun, tanpa adanya pendekatan atau kerangka kerja yang jelas dan konsisten, persinggungan
antara dua sistem itu akan tetap rentan disalahgunakan. Dalam kasus penikaman di Kalimantan (Studi Kasus 16),
hasil peradilan non-negara dinilai sah oleh pengadilan. Sedangkan pada kasus “penculikan putri Anggeng” hasil
penyelesaian informal ditolak. Dalam kedua kasus tersebut, tidak ada satupun penjelasan mengenai bagaimana
keputusan itu dicapai. Yurisdiksi masing-masing dari sistem formal dan informal tidak tentu; akibatnya kejahatan
serius dapat dimediasi pada tingkat desa. Standar dan perlindungan prosedural tidak dinyatakan.
Atas dasar apa proses pengambilan keputusan dinyatakan cacat pada satu kasus tapi pada kasus lain dinyatakan
sah? Senada dengan itu, panduan apa yang dipakai oleh polisi untuk memutuskan menengahi secara informal
atau menuntut secara formal?
Persinggungan antara sistem formal dan informal justru tidak didefi nisikan dan, seperti terlihat dari kasus KDRT
di Kalimantan dan kasus penculikan di Lombok, kadang-kadang hasilnya ambiguitas dan ketidakpastian hukum,
yang justru menguntungkan orang kaya dan berkuasa.
Ini kelemahan yang sangat jelas, dan ini akan dibahas lebih jauh pada bagian berikutnya.
36 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
37Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:
Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Penelitian yang dipaparkan sejauh ini menunjukkan bahwa ada kekuatan dan kelemahan yang jelas pada praktik
peradilan non-negara saat ini di Indonesia. Beberapa kasus menunjukkan peradilan informal sering gagal untuk
menyatu dengan standar dasar konstitusional. Para perempuan kurang terwakili, kaum minoritas merasakan
didiskriminasi dan norma-norma tidak selalu jelas. Beberapa sanksi sifatnya sangat keras dan pelaksanaannya
menimbulkan masalah .
Bahkan, masyarakat desa tidak hanya lebih sering menggunakan aktor informal daripada yang formal, tapi
mereka juga menyampaikan tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Sebagaimana ditunjukkan di Gambar 6
dihalaman bawah, survei GDS menunjukkan bahwa 69 persen mereka puas dengan para pelaku peradilan
informal dibandingkan dengan 58 persen aktor peradilan formal.49
Untuk mengembangkan sebuah strategi yang melibatkan peradilan non-negara membutuhkan pemahaman
terhadap kekuatan dan kelemahannya. Bagian III ini menganalisa dan membahas hal tersebut secara terperinci.
Bagian ini juga disertai dengan serangkaian “contoh perubahan” dari kondisi lapangan dan negara-negara
tetangga. Langkah-langkah kecil ini memberikan beberapa pandangan yang sederhana menjadi langkah-
langkah yang berbeda tentang bagaimana kelemahan dapat diatasi, dan kekuatan dapat dipertahankan.
49 Yang dianggap formal adalah polisi, pengacara dan jaksa. Sisanya dianggap informal. Asia Foundation (2001), diatas n.3 mencatat
bahwa 86 persen orang menunjukkan kepuasannya terhadap peradilan non-negara.
Foto : Taufi k Rinaldi
38 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
A. Kekuatan: Mengapa Orang-orang Lebih Memilih Peradilan Non-negara?
‘Pilihan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa informal bukan hanya disebabkan mekanisme ini
murah, cepat dan mudah. Tetapi aspek yang lebih penting adalah kepatuhan warga terhadap suatu pendekatan
yang memberikan rasa tertib dan tenteram dalam diri dan komunitasnya’
Tokoh Agama dari Ambon, Provinsi Maluku
Temuan utama
• Mudah diakses, cepat dan murah. Peradilan non-negara lebih dapat diakses, cepat dan lebih murah dibandingkan
pengadilan. Ini benar-benar berjalan baik untuk kasus-kasus ringan.
• Menjaga keharmonisan sosial. Menjaga kerukunan sosial sangat dihargai dalam kehidupan pedesaan, dan para
pelaku informal mengutamakan pemulihan hubungan sosial ketika terjadi masalah.
• Fleksibel. Struktur-struktur dan norma-norma bersifat longgar, dalam arti untuk menyesuaikan dengan perubahan
sosial.
• Berdasarkan otoritas dan legitimasi lokal. Masyarakat lebih memilih peradilan non-negara utamanya karena
otoritas para pelakunya di lingkungan pedesaan untuk memecahkan masalah dan melaksanakan putusan.
Mudah Diakses, Cepat dan Murah
Beberapa kekuatan dari peradilan informal sederhana dan ternyata. Kemudahan diakses secara nyata adalah salah
satu keuntungan yang jelas. Ketua rukun warga (ketua RT/RW), kepala desa, pemimpin adat dan tokoh agama
tinggal di desa, dikenal oleh masyarakat dan gampang ditemui. Sebaliknya, polisi dan pengadilan seringkali
berada di ibu kota kabupaten/kota yang terletak jauh.
Kekuatan berikutnya adalah kecepatan. Terutama ketika terkait dengan hak-hak ekonomi, proses penyelesaian
yang lama dapat mempengaruhi kehidupan kaum miskin. Pada saat terjadi kekerasan akan muncul – seperti
pada beberapa kasus di Jawa Timur – tindakan yang cepat sangat diperlukan. Dalam kasus yang berhasil
diselesaikan, prosesnya biasanya berjalan dengan cepat. Kasus pembunuhan di Palangkaraya diselesaikan
dalam tiga minggu, dan perkelahian di Kuala Kapuas dalam dua minggu. Kebanyakan kasus di Jawa Timur dan
Maluku juga ditangani dalam dua-tiga minggu atau kurang.
Sebaliknya, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menunggu antara proses pengarsipan dan pembacaan
kasus berkisar antara 4-6 bulan di Pengadilan Negeri, 12 bulan di Pengadilan Tinggi dan 2-3 tahun di Mahkamah
Agung.50 Data terbaru menunjukan rata-rata waktu yang diperlukan untuk penyelesaian kasus hukum dari
kejadian awal sampai kasasi yaitu 7-12 tahun.51
50 Bappenas/World Bank (1996) Law Reform in Indonesia, Cyber Consult: Jakarta, hal. 130.
51 Mahkamah Agung RI (2003), Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung: Jakarta, hal 161.
39Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Biaya merupakan pertimbangan penting lainnya. Sengketa kecil pada umumnya diselesaikan tanpa biaya bagi
pihak yang bertikai.52 Pada sebagian besar kasus yang diteliti tidak ada biaya untuk proses pengarsipan atau
pembacaan kasus (sidang).53
Gambar 6: Kepuasan dengan pelaku formal dan informal
0 10 20 30 40 50 60 70 80
LSM
Pemerintah Kabupaten
Pemerintah Kecamatan
Polisi
Jaksa
Pengacara
Pemerintah Desa
Keluarga/Teman
Paralegal
Tokoh Adat/ Masyarakat
Formal
Informal
Sumber: Survei GDS
Data pada Gambar 6, menggambarkan para responden menyatakan kepuasannya yang sangat besar terhadap
pihak-pihak yang sudah mereka kenal – tokoh masyarakat dan tokoh adat, pendamping hukum (paralegal),
anggota keluarga dan teman, dan pemerintah desa. Temuan ini menunjukkan dua implikasi. Pertama, strategi
untuk memperbaiki penyelesaian sengketa sebaiknya berfokus pada tingkat desa dan komunitas, tidak hanya
institusi-institusi negara. Kedua, hal itu juga mendukung usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
dengan para pelaku dari tingkat kecamatan dan kabupaten (LSM, para jaksa, pejabat pemerintah, dll), dapat
membantu meningkatkan tingkat kepuasaan dan kepercayaan pada mereka juga.
Kasus Ringan Diselesaikan Secara Cepat dan Damai
Sebagian besar sengketa yang muncul di tingkat desa biasanya ringan – perkelahian antar tetangga atau anak-
anak muda, pencurian kecil dan hujatan atau fi tnah. Dimana resikonya kecil, mekanisme peradilan non-negara
biasanya berjalan efektif. Karena kasus-kasus semacam ini adalah yang paling umum terjadi, kepuasan yang
tinggi sangat diharapkan.
52 Sehubungan dengan keuntungan ekonomis atas peradilan non-negara, penelitian di Colombia menyimpulkan bahwa dengan
menggunakan sistem peradilan non-negara untuk menyelesaikan sengketa tanah dan warisan, pendapatan yang didapatkan lebih besar
dari pada menggunakan pengadilan (formal): lihat Edgardo Buscaglia (2001) ‘Justice and the Poor. Formal vs. Informal Dispute Resolution
Mechanisms’ Makalah dipaparkan di Empowerment, Opportunity and Security through Law and Justice Conference, St. Petersburg, July
2001, hal. 9 & 10.
53 Penyelesaian sengketa adat di Kalimantan Tengah adalah pengecualian. Biaya pencatatan kasus dalam kasus pekelahian pasar adalah
Rp 600,000. Dalam kasus pembunuhan (tidak terencana), Dewan Adat membebankan biaya Rp 6 juta.
40 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Studi kasus 10 : Perkelahian (baku hantam) diselesaikan dengan cepat54
Pak Nuri adalah seorang petani dari sebuah desa di provinsi Lampung. Suatu hari, anaknya terlibat perkelahian dengan
teman sekolahnya. Ayah anak (laki-laki) itu ikut campur dan memukul anak laki-lakinya.
Bukannya melaporkan kasus tersebut ke polisi, Pak Nuri mendekati Pak Parmin dan Pak Bejo, kepala dusunnya dan
seorang pendamping hukum (paralegal) dibawah program yang dijalankan oleh LSM bantuan hukum setempat. Seperti
yang Pak Nuri katakan, mereka dikenal sebagai orang-orang, ’Yang dapat memecahkan masalah.’
Parmin dan Bejo bersama memanggil pihak-pihak yang bertikai ke rumah Parmin, membicarakan masalah tersebut
dan mampu memecahkan masalah tersebut dengan cepat dan damai. Pak Nuri berkata blak-blakan bahwa masalah-
masalah yang dibawa ke polisi tidak akan berhasil diselesaikan dengan baik. ‘Jika dibawa ke polisi,’ kata dia, ‘mereka suka
memukulmu dan mengurungmu. Tidak ada yang mengontrol.’
Kewenangan dan Legitimasi Lokal
Faktor penting dan terkait lainnya adalah kemampuan peradilan non-negara untuk menjaga keselarasan
hubungan. Menurut survei Asia Foundation tahun 2001, kebanyakan responden yang memilih peradilan
informal menyatakan bawa motivasi utama mereka adalah harapan mempertahankan kerukunan bersama.55
Para pelaku peradilan informal mampu mencapai hal ini dengan kearifan kewenangan lokal mereka. Warga
mencari bantuan dari kepala desa, pemimpin keagamaan dan tradisional karena mereka memiliki legitimasi
sosial di lingkungan desa. Mereka bukanlah pelaku yang netral dan independen (sebagaimana yang diharapkan
dari para hakim). Mereka secara langsung terlibat dengan perkembangan desa dari hari ke hari dan terbiasa
dengan latar belakang sosial dan politik sengketa. Membedakan antara fungsi penyelesaian sengketa dan fungsi
pemerintahan desa, hubungan politik dan sosial merupakan suatu usaha yang lebih teoritis. Usaha seperti ini
jarang diikuti di tingkat lokal.
Ini terbukti dalam kasus-kasus tanah di desa Panangguan dan Souhoku yang digambarkan diatas (Studi kasus
2 & 3). Dalam kejadian-kejadian ini, kepala desa dan Raja mampu mencapai sebuah jalan keluar yang disetujui
bersama. Bukan menentukan kebenaran yang obyektif atau merujuk kepada norma hukum apapun, tapi
hasilnya diterima oleh pihak-pihak yang bertikai. Kewenangan satu-satunya kepala desa sudah mencukupi
untuk menyelesaikan sengketa dan menjamin penyelenggaraannya.
Mengacu Norma-norma yang Lebih Tinggi
Di banyak tempat di Indonesia, para pelaku peradilan non-negara dianggap memiliki kekuatan supernatural –
faktor ini meningkatkan kapasitas mereka untuk menyelesaikan sengketa lokal dan menjamin pelaksanaannya.
Banyak masyarakat perdesaan di Maluku, contohnya, percaya melanggar sanksi adat yang berhubungan dengan
perlindungan lingkungan, dikenal sebagai sasi, dapat menyebabkan sakit atau bahkan kematian. Di Jawa Timur
dan Lombok, Kyai dan Tuan Guru sering mendapatkan penghargaan kesetiaan yang tinggi dari para pengikutnya,
karena berdasarkan kemampuan mereka untuk mengacu norma “yang lebih tinggi”. Dalam sebuah kasus di
Jawa Timur, seorang kyai mampu mencegah gerombolan orang yang ingin membunuh seorang penduduk
desa yang dituduh melakukan praktik ilmu hitam. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Tokoh masyarakat,
Desa Paengaan Daja, Pamekasan, Jawa Timur:
54 Kasus ini diambil dari catatan lapangan oleh Alpian, Pieter Evers dan Cathy McWilliam dari perjalanan lapangan ke Lampung tahun 2007
untuk mengevaluasi salah satu program dari Justice for the Poor, Bantuan Hukum Berbasis Masyarakat.
55 The Asia Foundation (2001), diatas n.3
41Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Hamzah dituduh melakukan praktik santet, dan sebuah rencana dibuat untuk membunuhnya. Akan tetapi, seorang kyai
mendengar tentang rencana itu, dan berdiri di depan jamaah Jum’at di Mesjid dan bersumpah bahwa Hamzah tidak akan
melakukan praktik santet lagi.
Dalam kasus di atas ini, kewenangan dan legitimasi pribadi dari para aktor peradilan non-negara terbukti berperan
efektif. Pengadilan resmi dan sistem formal tidak selalu memiliki legitimasi ini. Kasus Tanah Ayu dari Lombok yang
disebutkan di atas merupakan salah satu dari banyak contoh dimana keputusan pengadilan resmi diabaikan.56
Ketika Anggeng (Studi Kasus 8), menolak sanksi adat di pengadilan, Dewan Adat menambah hukumannya.
Fleksibilitas
‘Jika sungai penuh karena hujan, pencucian piring berpindah. Dengan adanya pergantian raja maka adat juga berubah’
Pepatah adat Minangkabau57
Peradilan non-negara bersifat longgar (fl eksibel). Karena norma, proses dan sanksinya biasanya tidak tertulis,
para aktor dapat menemukan solusi dan menyediakan pendekatan yang cocok secara sosial, dan dibuat khusus
untuk konteks masing-masing kasus.
Sebagaimana diperlihatkan melalui contoh-contoh perubahan yang dicatat nanti di bagian ini, peradilan
informal bisa menjadi longgar dan terbuka terhadap perubahan dinamika dan kenyataan sosial. Contoh-contoh
perubahan tersebut memang sederhana – para perempuan mendapat suaranya di Sumatera Barat; klarifi kasi
atas norma dan proses di Nusa Tenggara Barat; kekuatan kesadaran hukum untuk membuka pilihan. Meskipun
sederhana, contoh-contoh tersebut memberi kesan adanya potensi untuk menjalankan reformasi di tingkat
lokal - dan peluang seperti itu saat ini mungkin tidak ada di pengadilan dan institusi keadilan formal lainnya.
B. Kelemahan: Ketika Mekanisme Peradilan Informal Gagal
‘Sulit hadapi orang yang kuat, pandai dan kaya,’
Penduduk desa perempuan, Palangkaraya, Kalimantan Timur.
Temuan utama
• Kesewenang-wenangan dan kurangnya pengawasan. Walaupun otoritas sosial menjadi kekuatan inti atas
peradilan non-negara, pelaksanaannya yang tidak dikontrol, menjadi kelemahan utama. Kurangnya prosedur dan
norma yang jelas dan tidak adanya akuntabilitas akan membuat pihak yang lemah dan terpinggirkan kurang dilayani,
tanpa alternatif lain.
56 Seorang hakim Pengadilan Negeri di Ambon, menyampaikan kepada tim peneliti setidaknya satu sengketa tanah di wilayah tersebut,
dimana orang-orang mengabaikan keputusan Mahkamah Agung.
57 Pepatah yang menyatakan bahwa adat Minangkabau pada dasarnya dinamis. Disebutkan dalam makalah Timothy Lindsey (1998)
‘Square Pegs & Round Holes: Fitting Modern Title into Traditional Societies in Indonesia’ 7 Pacifi c Rim Law and Policy Journal, 699.
42 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
• Bias terhadap perempuan. Perempuan memiliki modal politik yang terbatas di tingkat desa, sehingga hanya sedikit
manfaat untuk melindungi kepentingan mereka. Masalah-masalah hukum yang dihadapi perempuan (seperti isu-
isu hukum keluarga, kekerasan dalam rumah tangga), seringkali tidak ditanggapi secara serius atau diabaikan demi
menjaga kerukunan komunal.
• Eksklusivitas Etnis. Terutama sekali untuk sistem adat, banyak institusi-institusi peradilan non-negara didominasi
oleh kaum elit etnis asli. Hal ini dapat bertentangan dengan penyelesaian efektif untuk sengketa antar etnis.
• Sengketa antar kelompok (trans-communal). Mekanisme peradilan non-negara tidak dapat menunjukkan
otoritas di luar batas desa. Akibatnya, sengketa antar desa dan yang melibatkan pihak-pihak ketiga yang berkuasa
akan sulit untuk diselesaikan.
• Pertentangan antara sistem formal dan informal. Mekanisme informal hancur ketika bertentangan, daripada
bekerjasama, dengan sistem formal
Penelitian ini diluncurkan dengan fokus pada pengalaman dan pandangan kaum perempuan dan kelompok
minoritas. Hal ini didasari pemikiran bahwa bias gender adalah salah satu penyebab utama kemiskinan, dan
diskriminasi antara kelompok identitas memicu kekerasan dan ini menjadi inti persoalan konfl ik sosial yang telah
melanda Indonesia di jaman pasca Soeharto. Memahami bagaimana peradilan non-negara mempertahankan
masalah-masalah ini, dan pada saat yang sama, bagaimana bisa menjadi bagian dari solusi adalah salah satu hasil
utama yang diharaplan dari studi ini.
Ketidakseimbangan kekuasaan yang melekat pada peradilan non-negara mendiskriminasi pihak yang lemah
telah dicatat dengan baik.58 Otoritas sosial mungkin menjadi kekuatan kunci dari peradilan informal, tapi
pelaksanaannya yang tanpa pengawasan sekaligus menjadi kelemahan pokoknya. Akibatnya, peradilan informal
menghadapi kelemahan baik internal dan terkait dengan pihak luar. Di bagian ini kita mengemukakan tiga dari
kelemahan-kelemahannya. Ketiga hal tersebut adalah: menyediakan akses terhadap keadilan bagi perempuan;
memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaum minoritas etnis; dan akhirnya sengketa antar desa dan pihak ketiga
yang berasal dari luar.
Akses Perempuan Terhadap Keadilan
‘Sangat sulit memikirkan bahwa perempuan akan memutuskan nasib kita.’
Tokoh adat laki-laki di Sumatera Barat.
Secara keseluruhan mekanisme peradilan informal tidak melindungi dan melayani kepentingan perempuan
dengan baik.59 Peradilan informal cenderung untuk mempertahankan keberadaan norma sosial dan hubungan
baik. Perempuan dipisahkan dari struktur kewenangan lokal; kepentingan mereka sering diabaikan. Melindungi
hak perempuan tidak begitu bermanfaat secara politik atau sosial. Hal ini disebabkan dan dicerminkan dengan
kurangnya keterwakilan perempuan dalam mekanisme penyelesaian lokal dan sebuah paradigma yang
mengobyektifi kasi hak-hak perempuan. Akibatnya, banyak permasalahan hukum perempuan yang diabaikan
atau tidak ditangani dengan serius.
58 ‘Pernyataan yang tegas bahwa laki-laki yang kuat memperoleh perlakuan yang lebih baik dalam penerapan hukum adat sangat jelas.’
Odinkalu ( 2005) diatas n.5 dan World bank (2005) n.26. Lihat juga Sinclair Dinnen (2001) “Building Bridges - Law and Justice Reform in
Papua New Guinea” State, Society & Governance in Melanesia Project Working Paper 01/3; Australian National University: Canberra. Tentu
saja banyak penelitian mengindikasikan bahwa sistem hukum formal tidak jauh berbeda. Lihat, contohnya, artikel seminal oleh Mark
Galanter “Why the ‘Haves’ Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change” (1974) 9 Law & Society Review 95.
59 Untuk mendapatkan lebih banyak infomasi tentang topik ini, lihat juga Julia Suryakusuma (2004) Sex Power and Nation, Metafor: Jakarta.
Pengacara dari LBH - APIK (LSM Bantuan Hukum untuk perempuan) di Lombok juga mengatakan perempuan lebih baik dilayani dengan
peradilan formal. Penemuan serupa muncul dalam penelitian tentang akses perempuan terhadap keadilan yang dilaksanakan oleh Bank
Dunia di tiga provinsi selama 2007, Yohanna M.L. Gultom Hardiyanto et al (2008), Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia: Studi
Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok, Jakarta: World Bank.
43Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Kita perhatikan di atas, wakil perempuan dalam kepemimpinan desa hampir tidak ada dan biasanya tidak ada
peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembuatan keputusan dalam struktur adat. Di Sumatera
Barat, contohnya, meskipun masyarakat Minangkabau menganut paham matrilineal, keanggotaan Dewan Adat
terbatas untuk laki-laki. Para perempuan tergantung pada paman dari pihak ibu untuk mewakili kepentingan
mereka dalam Dewan Adat, seringkali membawa akibat sosial ekonomi yang signifi kan.
Studi Kasus 11: Lahan Bu Marnis dijual saudara laki-lakinya: Sumpur, Sumatera Barat
Ibu Marnis dan saudara-saudara perempuan di keluarganya menemukan bawa paman dari pihak ibu (mamak) berencana
untuk menjual tanah warisan tanpa ijin dari para perempuan untuk membayar hutang yang dibuat oleh anak laki-lakinya.
Ketika mereka menolak, mamak mengancam mereka secara lisan (langsung) dan fi sik. Mereka memohon kepada empat
keturunan tetua (ninik mamak) untuk mendesak mamak untuk tidak menjual tanahnya.
Tapi ninik mamak mendukung si mamak dan terjadilah penjualan. Mereka lebih memikirkan kemungkinan si mamak
mendapat malu jika keluarganya tidak dapat membayar hutang daripada akibat yang harus ditanggung pihak perempuan
sebagai pemilik tanah. Pihak perempuan ditekan untuk menandatangai perjanjian dan pada akhirnya dilakukan juga,
tapi hanya dengan syarat bahwa tidak ada tanah warisan yang lainnya yang disita. Namun si mamak terus menjual tanah
warisan lagi di tahun berikutnya. Si mamak sekarang sudah meninggal, tapi sudah lebih dari 20 tahun Ibu Marnis masih
menggunakan tabungannya untuk membeli kembali tanah yang dijual si mamak.
Kurangnya keterwakilan belum tentu sama dengan kurangnya akses terhadap keadilan untuk perempuan.
Berbeda dengan Studi Kasus 7 diatas dari desa Sepa, perkosaan dan pelecehan seksual pada umumnya dianggap
sangat serius dan diserahkan langsung kepada polisi. Contohnya, dalam sebuah kasus di Kabupaten Sampang,
Jawa Timur, pemimpin keagamaan dan LSM sukses mendorong dibelakang si korban untuk memaksa polisi
menahan dan menghukum si pelaku.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak dipandang sama. Menurut survei Asia Foundation, hanya 12 persen
responden menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai masalah hukum. Stigma yang melekat
terhadap kekerasan dalam rumah tangga bahwa pihak perempuan tidak melaporkan kasus. Seorang perempuan
di Jawa Timur menyatakan ‘Saya malu melapor, karena orang akan bertanya apa yang telah saya lakukan sampai
dipukuli.’60
Perempuan tidak mungkin mengorbankan perkawinannya karena ketergantungan ekonomi. Dalam diskusi
kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) di Jawa Timur, seorang peneliti lokal dari STAIN (Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri) menyatakan, penelitian kuantitatif tentang Pengadilan Agama setempat menunjukkan
bahwa para perempuan di perdesaan dari kelas bawah lebih sering meminta cerai dibanding perempuan
perkotaan dan kelas menengah atas. Penjelasannya adalah para perempuan ini sering mengerjakan tanah dan
memberikan proporsi besar terhadap pendapatan rumah tangga, alias kurang bergantung secara ekonomi pada
suaminya. Observasi ini ditolak secara cepat oleh kebanyakan (pria di perkotaaan) partisipan FGD. Kata mereka
fenomena ini terjadi karena para perempuan itu tidak berpendidikan dan tidak mengerti posisi mereka dalam
Islam.
Cara lain, menghindari konfl ik merupakan “strategi” umum bagi para perempuan.61 Seperti dikatakan oleh
seorang pemimpin komunitas di desa Henda, Kalimantan Tengah:
Memang terjadi disini (kekerasan dalam rumah tangga). Sering juga. Yang dipukul diam aja. Yang mukul diam aja. Tunggu
aja sampai semuanya tenang, dan masalahnya selesai.
60 Wawancara, 26 Februari 2005, Pamekasan, Jawa Timur.
61 Juga lihat Stephens (2003), diatas n.47 mendiskusikan kasus-kasus dari Flores, propinsi NTT: ‘Seringkali para perempuan tidak mengadukan
ke siapa-siapa dan tetap diam mengenai masalah mereka,’ hal. 231.
44 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Bahkan ketika kekerasan dalam rumah tangga memang dilaporkan, belum pasti bahwa peradilan formal atau
informal akan merespon dengan baik.
Studi Kasus 12: ’Itu cuma kelebihan nafsu’
Sri tinggal di sebuah rumah sederhana dengan suaminya di salah satu jalan utama di Kecamatan Pahandut, dekat pusat
Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Menurut saudara perempuan Sri, Eka, ketika terlibat hubungan seksual, suami
Sri bisa menjadi sangat kasar, memukul dan mengigitnya. Tidak sanggup menerimanya lagi, Sri pergi meninggalkan
suaminya dan memberitahu ayahnya apa yang terjadi. Mereka melaporkannya kepada polisi. Setelah dua minggu tanpa
ada tindakan, polisi menyarankan masalah tersebut diselesaikan melalui damang, pemimpin adat tradisional.
Dalam adat Dayak, jika seorang istri meninggalkan suaminya, anggapan dasar adalah dia sedang meminta
(mengusahakan) perceraian. Jadi, ketika keluarga-keluarga itu bertemu dihadapan damang, suami Sri meminta
perceraian. Adat Dayak juga memerintahkan bahwa dalam perceraian, harta kekayaan dan barang-barang harus
diserahkan kepada istri, sesuai dengan perjanjian pra-pernikahan yang tertulis. Sri tidak ingin bercerai hanya ingin
kekerasan dihentikan. Bagaimanapun perceraian akhirnya diteken. Suaminya menandatangani dan dia merasa terpaksa
untuk menandatanganinya juga. Ini antara lain karena ada ancaman dari pengacara si suami bahwa dia akan didenda
Rp 100 juta karena melarikan diri. Sri, tidak mengerti hukum dan tidak mampu membayar penasehat hukum, tidak tahu
apa-apa lagi. Eka, saudara perpempuannya, menilai, ‘Sulit hadapi orang yang kuat, pandai dan kaya.’
Si Damang tidak menanggapi aspek kekerasan dalam rumah tangga, merasa hal ini ditangani oleh polisi. Si Polisi,
bagaimanapun juga, telah menyerahkan masalah ini kepada si damang. Jadi, berantakanlah semua. Si suami tidak
menghargai (melaksanakan) pembagian harta kekayaan yang disetujui. ‘Mereka tidak peduli,’ kata Eka. Meskipun si
damang tinggal benar-benar di seberang jalan, dia tidak mengambil tindakan apapapun untuk mendorong pelaksanaan
perjanjian. Tidak ada sanksi sosial yang diterapkan terhadap suaminya juga – dia masih diundang ke acara sekitar
lingkungan rumah dan adat. Sungguh, kekerasan dalam rumah tangga tidak dianggap sebagai masalah serius. Ketika
ditanya mengenai kasus tersebut, Sekretaris damang tertawa dan bekata ’Itu cuma kelebihan nafsu.’
Ketidakmampuan Sri untuk mendapatkan hak atas harta kekayaannya setelah perceraian, terjadi juga di beberapa
provinsi penelitian lainnya. Survei awal untuk program “Pemberdayaan Hukum Perempuan” Bank Dunia juga
menunjukkan bahwa perempuan tidak menuntut harta kekayaan mereka atau hak tunjangan atas perceraian.
Ini terkait stigma sosial dan kurangnya pengetahuan akan hak-hak dan prosedur hukum.62 Hal ini menimbulkan
akibat sosial dan ekonomi yang signifi kan buat si istri. Sri sendiri sekarang tinggal kembali dengan orang tuanya,
bekerja dengan gaji rendah.
Paradigma Perlindungan dan Dominasi Laki-Laki
Kebanyakan hukum adat biasanya dimaksudkan melindungi perempuan dari pelanggaran “moral”, seperti
kehamilan diluar nikah dan pelecehan seksual. Seorang kepala desa di Lombok mengatakan bahwa perempuan
adalah “pembawa hukum”. Dengan kata lain, melindungi kesucian perempuan adalah salah satu prinsip dasar
utama dalam sistem hukum adat. Meskipun hal ini dapat melindungi hak-hak perempuan di keadaan tertentu,
hal tersebut juga mencerminkan sebuah paradigma dimana perempuan dinilai sebagai obyek bukan subyek
aktif terhadap hak mereka sendiri.
Bagaimanapun, mengatasi bias jender adalah mungkin. Boks 2 memberikan dua contoh perubahan yang dicatat
selama penelitian lapangan. Contoh-contoh ini menunjukkan pentingnya memahami dan berkerja dalam
sistem, begitu juga dengan kemampuan kepemimpinan masyarakat dan mobilisasi sosial untuk mengubahnya.
Contoh-contoh itu juga menitikberatkan pentingnya anggota komunitas terpinggirkan untuk meraih kesadaran
tentang bagaimana sistem berjalan dan norma-norma diterapkan dan dapat dimanipulasi.
62 Untuk laporan lebih rinci tentang metodologi dan temuan survei baseline, lihat www. www.justiceforthepoor.or.id.
45Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Boks 2: Contoh perubahan I: Menghadapi kurangnya keterwakilan perempuan dan bias gender
melalui pemberdayaan hukum
Kasus Afrida: Menangatasi bias jender di Sumatera Barat dengan memahami hukum adat.
Afrida, seorang perempuan yang tidak berpendidikan dan miskin, lelah karena melihat tanah leluhurnya (warisan/
pusaka) dijual oleh kepala sukunya (ninik mamak). Pada suatu kesempatan, Afrida mendapati para pejabat dari kantor
pemerintahan (petugas BPN) mengukur tanah ibunya dan, mengantisipasi kalau-kalau akan ada penjualan berikutnya,
dia memanggil kepala desa untuk meminta agar pengukuran tanah itu dihentikan. Ketika si ninik mamak mendengar
hal itu dia datang dan, membawa pisau, dengan marah mengancam Afrida, bertanya kenapa pengukuran tanah-tanah
itu dihentikan. Meskipun ada protes, tanah ibunya tetap dijual.
Meskipun Afrida merasa sistem peradilan formal lebih adil ketimbang mekanisme informal, karena terkait kepentingan
keluarganya (si mamak adalah saudara laki-laki ibunya) dan takut akan ada pembalasan dari sekitarnya maka dia merespon
dengan mengembangkan pengertian tentang norma dan proses adat serta mencoba untuk mengubahnya.
Afrida bergabung dan berpartisipasi secara aktif dalam musyawarah kepala suku. Bukan hanya sekedar menyediakan
minuman dan makanan kecil, peran yang biasanya disediakan untuk perempuan, dia secara berani menyampaikan
kepentingan perempuan dan mendesak adanya partisipasi yang lebih besar untuk perempuan dalam penjualan tanah.
Afrida sukses mendesak agar semua kepala suku mesti menyetujui kalau ada tanah yang ingin dijual. Hal ini efektif
menghilangkan monopoli satu pihak (kaum laki-laki) atas penjualan tanah dan menyebarkan hak dalam membuat
keputusan diantara kelompok pemimpin keturunan, meskipun laki-laki. Usaha Afrida telah berhasil mencegah penjualan
tanah yang tidak adil dan telah mengangkat statusnya. Dia sekarang dipercaya untuk menjaga dokumen silsilah yang
berharga. Kemampuannya dalam mempelajari “permainan” adat dan berbicara dalam musyawarah, membuatnya dia
sekarang diajak berunding mengenai isu-isu mengenai harta kekayaan dan silsilah.
Perempuan Mengorganisasi dan Melobi untuk Aksi
Di Batu Gadang, Sumatera Barat, sebuah kelompok perempuan, yang awalnya dibentuk karena aktivitas bisnis kecil-
kecilan, menjadi aktif dalam menengahi perselisihan masyarakat. Pada tahun 2002 mereka adalah bagian dari koalisi
yang menyelesaikan perikaian lingkungan antara komunitas dan perusahaan besar, Semen Padang. Di tingkat yang
lebih kecil, kelompok itu juga telah berhasil menengahi perselisihan mengenai pencurian listrik dan melobi untuk
mendapatkan sebuah jalan desa. Mereka berhasil menjamin alokasi kursi di parlemen desa dan juga sedang meminta
perwakilan perempuan dalam Dewan Adat.
Kesuksesan mereka didasari tiga faktor. Pertama, kelompok tersebut mempunyai hubungan dengan sebuah institusi
para perempuan yang berbasis tradisional di Sumatera Barat, Bundo Kanduang. Hal ini memberikan keabsahan
sehingga perempuan dinilai bisa memperbaiki majelis yang sudah ada daripada memperkenalkan struktur baru. Yang
kedua, dengan mengembangkan ekonomi mandiri, para perempuan memperoleh penghargaan dan meningkatkan
pengaruh dalam desa. Terakhir, hubungan dengan LSM lokal membantu para perempuan dalam mempelajari strategi
untuk mengatur bersama- sama dan meningkatkan kesadaran hukum. Hal ini telah membuat mereka siap bergerak
lebih aktif tidak hanya untuk memecahkan masalah tetapi juga untuk mendapatkan kedudukan desa.
Ekslusivitas Etnis
‘Kenapa kok lewat adat sih? Lebih baik hukum Indonesia’
Warga etnis minoritas Madura yang baru kembali ke Kalimantan Tengah
46 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Proses penyelesaian sengketa yang berdasarkan adat biasanya tidak cocok untuk sengketa antar etnis.63 Provinsi-
provinsi yang dipelajari bermacam-macam dalam komposisi etnis dan hubungan antar etnis. Kalimantan Tengah
mengalami konfl ik berdarah berskala besar antara orang Dayak dan Madura. Karena kebangkitan kembali adat
setempat sangat terkati dengan kekuasaan etnis Dayak, warga etnis minoritas menganggap penyelesaian
sengketa adat tidak adil buat mereka. Sama halnya di Maluku, para pendatang tidak selalu mengakui Raja, jadi
adat tidak selalu merupakan sebuah jalan keluar untuk menyelesaikan pertikaian yang melibatkan pendatang.64
Di Jawa Timur, homogenitas etnis berarti masalah jarang muncul.65
Kasus di Sumatera Barat
Di Sumatera Barat, adat Minangkabau bisa disebut eksklusif, dalam hal semua warga nagari diharuskan untuk
tunduk pada adat tersebut. Ini memberi akibat khusus bagi pedagang etnis Cina yang telah hidup dari beberapa
generasi di Sumatera Barat, dan juga pada transmigran orang Jawa dan anggota kelompok etnis lainnya,
terutama Batak dari Sumatera Utara. Anggota-anggota kelompok ini disyaratkan untuk ‘diangkat’ oleh marga
sehingga mereka bisa diakui oleh seorang mamak yang dapat mewakili mereka di nagari. Hal ini dikenal dengan
‘bermamak’. Meskipun diangkat ke dalam suku lokal, penduduk non-Minang dihalangi untuk mendapatkan
posisi kepemimpinan. Hukum adat itu asing dan sering kurang dipahami oleh warga pendatang. Hal ini dapat
menimbulkan diskriminasi dan berakibat pada kekerasan, sebagaimana yang terlihat dalam kasus di bawah ini.
Studi Kasus 13: Konfl ik antara Etnis Batak dan Minang di Kinali
Di desa yang berpenduduk 13.000, sekitar 2.000 diantaranya merupakan etnis Batak dari Sumatera Utara. Kasus ini
muncul di pasar Tempurung di akhir tahun 2000, sebagai sengketa pribadi antara orang Batak dan Minang, yang sedang
berjudi. Perkelahian terjadi antara mereka dan kemudian berkembang menjadi konfl ik besar antara komunitas dua
etnis. 94 rumah yang dimiliki oleh orang Batak dibakar dan penduduk Batak melarikan diri atau dievakuasi dari nagari.
Selama tiga bulan, pasar itu ditutup, tidak ada anak-anak yang pergi ke sekolah dan para orang tua tidak pergi kerja.
Sebelumnya, ada sekitar 400 keluarga Batak yang berada di komunitas tersebut. Sekarang sisa 56. Menurut pemimpin
dusun Minang di wilayah tersebut, latar belakang sosial atas konfl ik tersebut adalah perlakuan yang tidak adil terhadap
orang Batak oleh pemimpin suku.
Upaya penyelesaian dilakukan oleh kepala adat dan pejabat pemerintah kecamatan. Perwakilan dari penduduk Batak dan
Minang, termasuk 32 kepala suku, bertemu dengan pejabat pemerintah senior dan kesepakatan ditanda-tangani oleh
dua pihak di kantor kecamatan. Pemerintah daerah memberi ganti rugi kepada pemilik rumah yang telah kehilangan
harta benda dengan Rp 2 juta per-rumah, terlalu sedikit untuk membangun kembali rumah tersebut. Orang-orang
Batak diberikan dusun mereka sendiri dan dapat menggunakan adat mereka. Mereka hanya perlu melaporkan kepada
pemimpin adat Minang untuk pernikahan. Menurut orang-orang Batak, interaksi antara dua komunitas masih terbatas.
Kasus Kalimantan Tengah
Perselisihan hukum dan norma, diperparah dengan tidak adanya kerangka kerja penyelesaian sengketa yang
efektif untuk mempertemukan perbedaannya, akan meningkatkan resiko yang justru memungkinkan sengketa
meledak menjadi kekerasan. Sebagaimana pengamatan Kane et al, ‘masalah ini lebih gawat di daerah paska
konfl ik...dimana ada kebutuhan yang mendesak untuk mencari cara yang tepat untuk menyelesaikan konfl ik
63 Seperti pengamatan Benda Beckman, ‘Hukum adat lokal ... jarang mewakili nilai dan aspirasi dari semua anggota penduduk desa.’ Franz
von Benda Beckman (2000) “Legal Plurarism and Social Justice in Economic and Political Development”, Makalah dipresentasikan dalam
IDS Internasional Woorkshop on Rule of Law and Development, 1-3 Jun1 2000.
64 Untuk pandangan yang bersifat kesejarahan tentang Maluku dan dampak ketertutupan hukum adat atas penduduk tidak asli lihat Franz
von Benda Beckmann (1990) diatas n.20 dan Beckmann, ibid —’seringkali para pendatang memiliki status politik dan ekonomi kelas
kedua dibawah hukum adat tuan rumahnya’, hal.11.
65 78 persen penduduk adalah suku Jawa dan 20 persen suku Madura .
47Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
antara anggota komunitas yang berbeda.’66
Meskipun demikian, di beberapa daerah paska konfl ik di seluruh Indonesia, daripada membuat mekanisme lokal
yang mewakili semua anggota masyarakat, pemerintah daerah berinisiatif untuk memperkuat penyelesaian
sengketa dengan mengembalikan ke struktur dan proses adat. Kembalinya ke “cara lama”, yang didorong oleh
kebijakan politik, menegaskan kembali berlakukanya identitas regional dan etnis. Hal itu justru mempertegas
perbedaan, bukannya persamaan.
Di Kalimantan Tengah, contohnya, salah satu dari dampak yang paling terlihat dari konfl ik etnis pada 2001
merupakan sebuah penegasan kembali atas identitas kebudayaan Dayak. Seperti dinyatakan oleh seorang
pejabat pemerintah di Kabupaten Kuala Kapuas, ‘Rasa bangga Dayak udah bangkit sejak konfl ik.’ Banyak yang
lainnya menyampaikan pandangan seperti disampaikan seorang pejabat Pemerintah Provinsi, yaitu ’Kalau orang
luar menghormati adat kita, mungkin konfl ik tidak akan terjadi’.
Respon politik untuk membangkitkan peran pemimpin adat belum begitu berdampak di daerah tersebut.
Sebagaimana yang dikatakan oleh anggota DPRD provinsi, ‘Hukum adat itu belum begitu dominan. Apa yang
ada di dalam peraturan belum merefl eksikan apa yang ada di bawah.’ Para damang tidak memiliki sumber
daya, kurang keahlian dan ilmu, dan dapat dipengaruhi dan dimanipulasi oleh kepentingan pemerintah dan/
atau perusahan swasta. Damang di Pondok Demar di Kabupaten Seruyan, contohnya, menerima upah bulanan
Rp 750,000 dari perkebunan kelapa sawit yang terlibat dalam sejumlah sengketa tanah di daerah tersebut. Dia
menyebutnya sebagai biaya penghubung antara perusahaan dengan masyarakat, tapi LSM lokal dan masyarakat
desa menyebutnya sebagai uang sogok.
Namun, dari sisi politik, usaha untuk membangkitkan kembali peran adat tidak berjalan dengan tanpa diketahui
oleh orang yang non-Dayak. Sebelum konfl ik, adat dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan sejumlah masalah
yang meningkat antara orang Madura dan Dayak. Di saat yang bersamaan, banyak orang Dayak percaya bahwa
sistem peradilan formal dikuasai oleh orang Madura.67 Orang Madura yang diwawancarai untuk penelitian ini
mengungkapkan bahwa lebih menyukai penyelasaian oleh pemerintah lokal atau sistem hukum formal. Mereka
melihat adat benar-benar milik suku Dayak. Jadi, perubahan-perubahan aturan yang disahkan sejak otonomi
daerah telah memperkuat posisi orang Dayak, tapi tidak merupakan sebuah jalan untuk penyelesaian masalah
lintas etnis.
Kondisi ini merupakan permasalahan besar di Kalimantan Tengah paska-konfl ik. Orang-orang Madura kembali
lagi dalam jumlah yang banyak.68 Banyak yang kembali dengan kondisi yang sulit. Peraturan Daerah di Kabupaten
Kotawaringin Timur, salah satu dari pusat konfl ik utama, membuat kriteria untuk orang Madura untuk dapat
kembali dan tinggal.69 Orang Madura yang dapat diterima oleh masyarakat lokal mungkin mendapati dirinya
sebagai gelandangan, akibat banyak lingkungan orang-orang Madura yang dihancurkan selama konfl ik. Rumah-
rumah mereka yang masih berdiri mungkin sekarang ditempati oleh keluarga lain. Dalam kasus lainnya, barang-
barang milik orang Madura telah dicuri atau dijual. Dalam kasus seperti itu, orang-orang Madura yang meminta
untuk kembali ke rumah mereka menghadapi negosiasi yang sulit dengan orang-orang yang menghuni tempat
tinggal mereka. Banyak yang sudah menghabiskan atau kehilangan segala-galanya ketika melarikan diri dari
Kalimantan setelah kerusuhan, jadi untuk kembali kepada kehidupan biasa tergantung kepada penjaminan
terhadap hak atas harta kekayaan mereka.
66 M.Kane, J.Oola-Onyango & A. Tejan-Cole ( 2005) ‘Reassessing Customary Law Systems as a Vehicle for Providing Equitable Access to
Justice for the Poor.’ Makalah dipaparkan dalam konferensi Arusha, New Frontiers of Social Policy, Desember 12-15, 2005.
67 Dalam sebuah wawancara pada tahun 2003, mantan Kapolda Provinsi Kalimantan Tengah memberitahu kami bahwa polisi pada
kenyataannya tidak berpihak (berat sebelah) atas dasar etnis tapi hanya sekedar mendukung kepada siapapun yang membayar mereka
paling banyak. Hal ini umumnya terjadi pada orang Madura.
68 Sampai dengan Desember 2004, ada 9.000 yang terdaftar telah kembali dari 120.000 orang Madura yang telah mengungsi.
69 Peraturan Daerah Kotawaringin Timur Tahun 2004 tentang Pengawasan Kependudukan di Kotawaringin Timur.
48 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Tentu saja mereka pada dasarnya merasa bahwa posisi tawar mereka masih sangat lemah. Kapanpun mereka
dapat dikembalikan ke Madura. Ancaman-ancaman masih sangat umum terjadi. Sebagai orang Madura
kelahiran Kalimantan, Ova, bercerita kepada kami, ‘Sebelum konfl ik, orang Madura keras. Sekarang kami harus
merendahkan diri… posisi kami sangat lemah.’ Hal ini disebabkan rasa takut akan adanya balas dendam dan
terulangnya kembali kekerasan pada February 2001. ‘Pokoknya kami takut,’ dia menambahkan. Ova menceritakan
kembali bagaimana rumah salah satu temannya ditempati oleh orang Dayak setelah mereka melarikan diri ke
Madura akibat konfl ik tersebut. Keluarga Dayak tersebut kemudian menjual rumahnya ke sebuah keluarga etnis
Cina. Teman Ova itu sekarang harus membeli kembali rumah mereka sendiri, bahkan tanpa uang, tanpa kekuatan
yang nyata untuk menjamin hak-hak atas harta kekayaan mereka.
Meskipun beberapa orang damang memberitahu tim peneliti bahwa mereka berpikir adanya sebuah lembaga
multi-etnis untuk menyelesaikan sengketa akan berguna, belum ada tindakan sama sekali untuk memperbaiki
proses penyelesaian sengketa untuk menangani masalah-masalah seperti itu. ‘Tidak ada lembaga yang dapat
melindungi kami,’ Ova menilai.
Sikap yang sama ditunjukan di Pulau Buru, Maluku oleh para transmigran yang menghadapi sengketa pertanahan
yang besar, yang bermula sejak tahun 1954 (Studi kasus 22). Kepala desa yang orang Jawa dan sekretarisnya
tidak ingin menyelesaikannya berdasarkan hukum adat, karena mereka tidak mengerti dan merasa hukum itu
mendiskriminasi pendatang baru. Hal ini menciptakan ketegangan di wilayah tersebut. Sekretaris desa dari desa
transmigran tersebut dengan merujuk kepada konfl ik etnis di Sambas, Kalimantan Barat, tahun 1999 menyatakan,
‘Ini bisa menjadi Sambas kedua’. Raja dari desa tetangga setempat mengakui, ‘Muncul ketegangan disana.’
Sengketa Antar Kelompok Masyarakat
Kekuasaan pelaku peradilan non-negara jarang melampaui batas lingkungan pengaruh mereka, apakah itu
berdasarkan batas wilayah (kepala desa dan lingkungan rumah), berdasarkan marga (tokoh adat) atau sosial
(tokoh agama). Lebih jauh lagi, kepercayaan dan sanksi sosial penting bagi keberlangsungan perjanjian yang
dimediasikan. Sebagaimana dalam Gambar 7 di bawah, responden GDS dilaporkan memiliki tingkat kepercayaan
sosial yang lebih rendah secara drastis terhadap orang-orang dari desa yang bersebelahan dibandingkan dengan
lingkungan tempat tinggal mereka sendiri.
Gambar 7: Kepercayaan terhadap tetangga dekat dan desa-desa sekitar
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Kepercayaan terhadapdesa-desa sekitar
Kepercayaan terhadaptetangga
Semua Orang Beberapa Sedikit Tak Satu Pun Kurang Tahu
Sumber: Survei GDS
Dua faktor tersebut, yaitu ketidakmampuan untuk mempunyai kewenangan sosial dan kurangnya kepercayaan
sosial – dengan ketidakhati-hatian mengkompromikan kemampuan para pelaku desa untuk menyelesaikan
sengketa antar masyarakat. Kasus di bawah ini merupakan contoh yang luar biasa atas masalah tersebut, dari
pulau wisata Lombok, Nusa Tenggara Barat.
49Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Studi Kasus 14: Tembok berlinnya Lombok: Karang Genteng vs Patemon70
Konfl ik dimulai pada pertengahan tahun 1999 ketika seorang penduduk Patemon memperoleh hak milik tanah atas sebuah
kuburan yang berlokasi diantara desanya dan desa sebelah, Karang Genteng. Masyarakat Karang Genteng memperselisihkan
sertifi kat, merasa tanah itu berada dalam wilayah mereka. Tidak seorangpun yakin saat ini apa yang memicu kekerasan, tapi
perkelahian yang memanas pecah di bulan Juli 1999 ketika penduduk Karang Genteng menyerang Patemon. Konfl ik tersebut
memanas sepanjang sisa tahun 1999, memuncak pada bulan Januari 2000, menyebabkan banyak luka-luka dan kematian.71
Sengketa itu sekarang telah berkembang tidak hanya sekedar soal ketidaksetujuan atas tanah dan terjadi saling balas dendam.
Sebagaimana yang diamati oleh Sibawai, pemimpin keagamaan di Karang Geteng, ‘Yang penduduk tahu, bahwa ada anggota
keluarga mereka yang telah dibunuh si anu atau si anu...yang tinggalnya di Kampung Patemon.’
Berlusin-lusin peperangan terjadi selama lebih dari 10 tahun terakhir. ‘Sampai kapanpun kita akan melawan mereka,’ kata
kepala desa Patemon. ‘Bahkan saya sudah perintahkan kepada laki-laki di atas 16 tahun sampai 50 tahun untuk harus selalu
siap sedia berperang melawan Kampung Karang Geteng, … bilamana tidak bersedia lebih baik tidak menjadi warga Kampung
Patemon!’ Penduduk di Patemon menyiapkan persediaan senjata seperti batu, botol, tombak, dan bahkan senjata tangan
buatan. ‘Kalau sudah ada isyarat akan terjadi penyerangan,’ lanjut kepala desa Patemon, didukung oleh kepala organisasi
pemuda setempat, ‘kami memesan batu atau botol beberapa truk untuk menyerang dan bertahan.’
Respon pemerintah setempat luar biasa. Benteng setinggi 3 meter dibangun sepanjang jalan membatasi dua desa. Sekolah dan
fasilitas kesehatan terpisah juga telah dibangun sehingga para penduduk tidak perlu berinteraksi. ‘Coba perhatikan saja,’ kata
Sibawai, ‘melerai pertikaian antar warga, kok yang dilakukan pemerintah malah membuat benteng! apa menurut pemerintah
konfl ik ini sekedar masalah fi sik? Tentunya kan yang harus dilakukan adalah pembenahan secara sosial kemasyarakatan.’
Pengaruh ekonomi yang timbul atas tembok tersebut benar-benar signifi kan. ‘Masyarakat mungkin mulai berfi kir,’ kata kepala
desa Patemon. ‘Yang semula perputaran roda bisnis sekitar Rp 35 juta perhari, menjadi sampai Rp 100 ribu pun tidak dapat.
Konfl ik ini tidak lebih hanya mengorbankan segalanya sampai nyawa.’
LSM lokal telah mencoba untuk mendamaikan dua desa, tapi upaya hanya pada tingkat permulaan. Belum ada upaya untuk
mempertemukan pihak-pihak yang berbeda secara bersama. Sementara itu, dinding setinggi tiga meter diantara dua desa
berdiri sebagai sebuah simbol pemisahan.
Tidak adanya forum yang diakui sebagai wadah komunikasi dan pertemuan perdamaian yang melewati
batas wilayah dapat menyebabkan pertentangan atas nilai dan membuat perselisihan kecil berubah menjadi
konfl ik kekerasan masal. Lebih jauh lagi, ketidakmampuan pelaku peradilan di luar lembaga Negara untuk
memproyeksikan kewenangan di luar batas pengaruh mereka, yang dianggap bisa meningkatkan pengakuan
sosial lewat tindakan ”nasionalisme lokal” di mana mereka berperan sebagai pendukung atau pendamping desa
mereka dan bukan sebagai fasilitator netral yang bertindak sebagai penengah dalam sengketa
Sengketa Melibatkan Pihak Ketiga
Sengketa yang melibatkan warga desa dan pihak ketiga, khususnya perusahaan-perusahaan kehutanan dan
perkebunan kelapa sawit, menjadi hal yang semakin biasa terjadi di lokasi-lokasi penelitian. Sistem informal
biasanya tidak mampu menangani pertikaian-pertikaian seperti itu, ketika sengketa tersebut melibatkan pihak-
pihak di luar kontrol sosial desa. Di Kalimantan Tengah, perselisihan seperti ini makin sering terjadi seiring
dengan kebijakan otonomi daerah yang mendorong perluasan perkebunan kelapa sawit ke dalam tanah adat.71
Didukung oleh pemerintah, perkebunan sering mendapatkan tanah dengan cara tidak adil atau dengan memberi
ganti rugi yang tidak mencukupi. Warga desa di seluruh Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin, contohnya,
melaporkan bahwa mereka secara rutin menerima rata-rata Rp 400,000 per hektar sebagai kompensasi atas
70 Kami tidak memiliki angka (jumlah) yang pasti, karena masyarakat satu desa tidak terbuka memberi data yang konkrit dan polisi tidak
bisa memastikan datanya.
71 Lihat John F McCarthy (2004) “Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-legal Confi gurations in Central
Kalimantan, Indonesia.” World Development. 32(7) hal. 1199-1223, Juli 2004.
50 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
tanah mereka yang jatuh ke pihak perkebunan. Kepala Divisi Ekonomi Pemerintah Kabupaten Kotawaringin
Timur, menginformasikan, bahwa kompensasi minimum diharapkan sekitar Rp 600.000,- sampai Rp 1 juta.
Kasus pertambangan batu kapur Sari Gunung di Sampang, Jawa Timur, yang digambarkan dibawah merupakan
contoh bagaimana kewenangan para aktor lokal tidak cukup untuk mencegah kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh pertambangan baru kapur.
Studi Kasus 15: Pertambangan Sari Gunung menciptakan Kekacauan72
Batu kapur telah ditambang di dekat desa Sampang di Jawa Timur sejak masa penjajahan Belanda. Sejak kemerdekaan,
pengoperasiannya dimiliki oleh pemerintah setempat tapi ditangani oleh perusahaan swasta, PT. Sari Gunung.
Selama lebih dari 20 tahun masyarakat setempat telah menyampaikan keluhan kepada perusahaan dan Pemerintah
Kabupaten tentang kerusakan lingkungan hidup dan kerusakan terhadap infrastruktur desa. Pertambangan itu
memproduksi cukup banyak grosok, sebuah produk tidak berguna campuran dari kepingan-kepingan dan lumpur keras.
Karena pertambangan tersebut berada di atas bukit di atas perdesaan, selama musim hujan grosok tersebut jatuh ke
bawah, dari pertambangan tersebut ke perdesaan. Selama hujan deras grosok menyebabkan kerusakan yang parah pada
jalan-jalan dan beberapa rumah warga.
Di tahun 1980-an, Sekretaris Desa mengirimkan surat keluhan kepada Bupati, ditandatangani Camat, Kepala Dusun
dan Kepala Desa. Mereka berpikir karena itu merupakan perusahaan milik pemerintah maka Bupati akan mengambil
tanggung jawab. Namun demikian, Bupati menyatakan bahwa masalah grosok itu bukanlah prioritas.
Tiba-tiba pada tahun 1997 Pemerintah Kabupaten membangun saluran air sehingga air hujan dan grosok akan dialirkan
menjauh dari perdesaan. Akan tetapi, langkah ini mengalihkan masalah itu dari dusun di sebelah barat ke dusun yang
di sebelah timur. Hujan deras yang terjadi pada tahun itu menyebabkan rumah-rumah di bagian timur juga sawah yang
berada jauh di hilir dibanjiri dengan air bercampur grosok.
Surat lainnya dikirimkan, kali ini ke DPRD dan Badan Perencanaan Daerah, tapi lagi-lagi tidak ada respon. Mengalihkan
masalah dari dusun yang di sebelah barat ke yang ke di sebelah timur mulai memicu ketegangan antar kelompok
masyarakat. Pada tahun 2003, sekelompok anak muda dan petani yang lelah membersihkan grosok setelah hujan deras
dan melihat sawah tercemar air kotor, menyumbat saluran yang mengalihkan air. Menanggapi aksi protes ini Kepala Desa
memanggil anak-anak muda ke rumahnya untuk sebuah pertemuan. Masyarakat di dusun sebelah timur mengartikan hal
ini sebagai gerakan permusuhan oleh Kepala Desa, dan sekitar 20 orang warga desa dari dusun bagian timur mendatangi
Kepala Desa. Tidak ingin memanaskan ketegangan, Kepala Desa menerima aksi protes mereka dan saluran tersebut tetap
disumbat.
Hujan berlanjut dan air grosok membanjiri jalan utama dan sejumlah toko serta rumah-rumah. Tidak seorangpun
berani untuk membuka saluran atau bahkan membersihkan air grosok. Dwi Pertiwi, anggota Badan Perwakilan Desa,
menyatakan, ‘Tidak seorangpun di komunitas lainnya berani membersihkannya, bisa timbul keributan jika seseorang
membersihkannya.’ Sudah banyak kecelakaan motor terjadi di jalan utama, menjadi licin karena grosok itu.
Aksi mereka tidak pernah dianggap apalagi dipertimbangkan oleh Pemerintah Desa. Direktur pertambangan
tersebut menjelaskan jika setiap tahun dia memberikan keuntungan perusahaan kepada Pemerintah Kabupaten, jadi,
menurutnya terserah mereka apakah mereka akan menyelesaikan masalah grosok tersebut atau tidak. Karena perusahan
mempekerjakan orang-orang desa, Kepala Desa dan Kecamatan merasa segan untuk menghujat perusahaan tersebut.
Pada saat laporan ini ditulis, sengketa tersebut tetap tidak terselesaikan. Ketegangan sosial tetap tinggi, khususnya antara
dusun di sebelah timur dan barat akibat penyumbatan saluran tersebut.
72 Kasus ini dari Patrick Baron, Rachel Diprose dan Michael Woolclock (2006) Local Confl ict and Community Development in Indonesia:
Assessing the Impact of the Kecamatan Development Program, Kertas Kerja 10, Social Development, World Bank, Jakarta.
51Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Warga desa takut menentang kepentingan yang berkuasa dalam kasus penyalahgunaan hak tanah atau
kerusakan lingkungan. Penduduk desa Sembuluh II di Kalimantan Tengah mengeluhkan penyakit kulit dari
polusi air yang mereka yakini disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit setempat. Bahkan, seorang perempuan
mengatakan, ‘Kami bergantung kepada mereka untuk pekerjaan dan duit. Kami sih takut melaporkan masalah
ini.’ Kondisi ini dapat menyebabkan ketegangan horisontal antara warga desa yang pro dan kontra terhadap
masuknya investasi dari luar.
Komunitas lokal, didukung LSM advokasi mulai belajar mengorganisir diri sendiri dan belajar menghadapi
kepentingan-kepentingan yang melanggar atas hak-hak tanah mereka. Keterbukaan politik dan demokrasi
mendukung gerakan-gerakan seperti itu. Tapi secara umum, mekanisme peradilan non-negara tidak dapat
menghadapi kekuatan yang tidak berimbang tersebut.
Seperti pada pengalaman orang-orang Madura di Kalimantan Tengah, salah satu tantangan paling mendasar
bagi masyarakat yang bukan penduduk asli dalam memahami dan menjalankan sistem norma adat adalah
kenyataan bahwa prosedur dan substansi tidak tertulis dan tidak jelas buat mereka. Salah satu cara yang telah
diusahakan masyarakat untuk mengatasinya adalah kodifi kasi norma dan struktur penyelesaian sengketa. Boks
3 dibawah ini menggambarkan sebuah contoh serupa dari Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Boks 3: Contoh Perubahan II: Memperjelas norma dan struktur resolusi perselisihan di NTB
‘Desa Bentek, dan desa-desa lain yang bergabung dalam Perekat Ombara merasa perlu memformalkan lembaga yudikatif
di tingkat desa. Disamping fungsinya yang positif di masyarakat, juga secara legal, Kepala Desa sebagaimana ditetapkan
Undang-undang Otonomi Daerah (Pasal 101e UU No. 22/99, penulis) wajib dan berwenang menyelesaikan permasalahan
atau sengketa di wilayah pemerintahannya. Jadi dengan pembentukan secara formal Mahkamah Adat Desa yang menjadi
salah satu bagian dari aparat pemerintahan desa, kami bukan sedang melakukan percobaan yang mengada-ada. Dan ini
pembelajaran berharga bagi masyarakat, karena bermasyarakat juga tidak lepas dari konfl ik, yang juga harus ada saluran
untuk penyelesaiannya.
- Kamardi, Kepala Desa dan Pendiri Perekat Ombara, Lombok, NTB.
Di Kabupaten Lombok Barat, dua puluh lima desa bergabung bersama di tahun 2000 untuk membentuk Persekutuan
Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara). Aliansi tersebut awalnya dibentuk untuk merespon kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan kehutanan di wilayah tersebut. Sejak itu, Perekat Ombara
telah meluas ke 32 desa di seluruh kecamatan dan menjadi sebuah pergerakan untuk memperbaharui institusi desa,
termasuk dalam penyelesaian sengketa.
Masing-masing desa anggota telah mengkaji proses penyelenggaran penyelesaian sengketa dengan membentuk
pengadilan desa, yang dikenal sebagai Mahkamah Adat atau Majelis Krama Adat yang terdiri dari tiga pihak yang
berwenang yaitu pemerintah, adat dan pemimpin keagamaan. Beberapa memilih untuk menyusun hukum adat untuk
diterapkan di dalam desa mereka. Desa-desa tersebut memiliki badan eksekutif (kepala desa), legislatif (BPD) dan yudikatif
(dewan adat). Aliansi tersebut juga telah mendirikan sebuah dewan untuk mendengarkan sengketa-sengketa di tingkat
antar desa, memperkenalkan sistem pengawasan untuk tingkat di bawahnya, melalui hak untuk banding.
Tidak seperti kebangkitan adat yang bersifat dari atas-ke-bawah di lokasi-lokasi penelitian lainnya, Perekat Ombara
merupakan gerakan alami. Dengan dukungan dari luar, organisasi tersebut sekarang bergerak untuk memperkuat
posisi perempuan dan kaum minoritas di institusi-institusi setempat. Hal ini termasuk partisipasi dalam pembukuan
adat setempat, diikuti oleh analisa hukum adat yang memiliki perspektif gender dan hak asasi manusia. Karena
berbasis tradisional, kepemimpinan Perekat Ombara memiliki pengertian yang luas tentang “adat” sebagai hal yang
dinamis, perubahan yang bertahap, sejalan dengan fakta sosial modern. Kepemimpinan tersebut menganggap bahwa
mengulurkan tangan kepada kaum perempuan sebagai bagian penting untuk pengakuan sosial.
52 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Benturan Antara Sistem Formal dan Informal
Pluralisme hukum mengandung maksud bahwa norma dan sistem hukum yang berbeda kadang-kadang akan
berbenturan. Kasus yang dipelajari menunjukkan bahwa persinggungan diartikan secara luas dalam arti yang
khusus—jika ketentuan perpaduan keduanya tidak ditegaskan, dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan
dan kekacauan. Studi kasus dibawah ini menggambarkan bagaimana perselisihan norma-norma dan sanksi-
sanksi antara yang formal dan informal yang berasal dari ketentuan mereka yang berbeda.
Studi Kasus 16: Penusukan di Kota – Resolusi Dua Jalur73
Empat orang laki-laki pergi minum-minum bersama di pusat Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah di malam hari tanggal 31
Agustus 2003. Dua dari mereka salah paham dan terjadilah perkelahian. Setelah saling pukul, Ranno Jonfrid Siae yang berusia
18 tahun menodongkan pisau dan menusuk temannya Syahmanto. Rano melarikan diri dari tempat kejadian, sementara
teman-temannya membawa Syahmanto ke rumah sakit terdekat. Dia meninggal, tidak lama setelah itu.
Rano ditangkap dan ditahan oleh polisi selama dua bulan selama mereka melakukan penyelidikan. Di saat yang bersamaan
proses penyelesaian secara adat dijalankan secara berbarengan. Kedua pelaku dan korban adalah orang Dayak dan tidak
lama setelah kejadian tersebut keluarga mereka bertemu di rumah Ketua RT dari korban untuk mengusahakan penyelesaian
cara adat. Dua pandangan berbeda muncul di antara dua keluarga, yang dimediasi oleh Ketua RT. Ketika persetujuan dicapai,
kemudian itu dibawa ke damang untuk mendapat pengakuan resmi.
Selanjutnya daftar barang-barang yang diminta untuk dibayar oleh keluarga Ranno disusun, jumlah keseluruhannya Rp
36 juta. 75 Ayah Ranno, Jonfrid, dan pengacaranya merasa kalau harga beberapa barang tertentu nilainya berlebihan, tapi
posisi tawar Jonfrid sangat lemah dalam situasi tersebut dan dia mengakui, ‘Sulit bernegosiasi dengan mereka, karena bisa
membuat mereka sangat emosional.’ Dia memutuskan untuk tetap mengikuti proses adat meskipun beberapa teman dan
keluarga mendesaknya mundur... ‘Saya dapat saja membatalkan proses adat, tetapi secara pribadi rasanya nggak benar. Yang
anak saya lakukan nggak benar...menyentuh perasaan dan emosi.’ Jonfrid menerangkan.
Hanya 18 hari setelah kejadian tersebut, persetujuan ditanda-tangani dan Jonfrid membayar denda. Motivasi utamanya
adalah mengurangi ketegangan dan menjamin kerukunan dengan keluarga si korban. ‘Ini mengurangi balas dendam dan
ketakutan... dan itu sudah terbukti.’ Dia juga tahu jalan tengah atau mediasi akan diterima dengan baik di pengadilan dan
diharapkan dapat mengurangi hukuman untuk Ranno. Memang, pengacaranya sudah memberitahu contoh-contoh yang
pernah terjadi sebelumnya. Sekretaris damang juga menjelaskan, tujuan dari resolusi adat adalah membantu ’mengurangi
hukuman penjara.’ Dia menambahkan, bagaimanapun, pelaku membutuhkan ’pengampunan ilahi’ untuk mengurangi
beratnya dosa. ‘ Di penjara hal seperti itu tidak ada’ dia mengatakan dengan muka masam.
Untuk kasus-kasus seserius ini, penyelesaian adat jarang yang menjadi akhir dari penyelesaian masalah. Tuntutan pidana
berlanjut. Sadar akan proses adat dan permohonan keluarga korban yang sudah ditujukkan ke pengadilan untuk meminta
keringanan hukuman yang paling rendah, Pengadilan Negeri Kota Palangkaraya menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara.
Keputusan Pengadilan menyatakan:
…karena antara pihak keluarga korban dan pihak keluarga terdakwa telah mengadakan perdamaian adat, perdamaian
mana pihak terdakwa telah memenuhi semua tuntutan menurut Hukum Adat Dayak, sehingga nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat tersebut, patut diperhatikan dan dihormati, oleh karena mana disamping memperhatikan aspek yuridis dan
aspek fi lisofi s Majelis Hakim juga memperhatikan aspek sosiologis...
Hukuman tersebut kemudian diperkuat oleh banding ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Ranno sekarang sudah
keluar dari penjara dan bekerja di kabupaten lain. Kedua keluarga telah bertemu dua kali dan menyatakan bahwa hubungan
antara mereka baik.
74
73 Studi kasus ini berdasarkan wawancara dengan ayah pelaku dan pengacara, keluarga korban, jaksa penuntut umum dan salah satu
hakim dalam kasus tersebut dan diskusi dengan si-Damang yang membantu menyelesaikannya. Studi kasus ini juga mempergunakan
Keputusan Pengadilan Negeri Kota Palangkaraya279/Pid.B/2003 & Keputusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah 14/Pid/2004/PT.PR
16 Feruari 2004. Kutipan ini berasal dari keputusan Pengadilan Negeri.
74 Daftar tersebut meliputi barang-barang untuk upacara adat, dua babi, satu kerbau, satu sapi, 15 ayam, 500kg beras dan 100kg gula dan
piring dan mangkok khusus. Jumlah ini juga termasuk Rp 6 juta untuk biaya kasus kepada damang dan perangkat adatnya.
53Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Kasus tersebut membedakan dasar pikir kedua sistem peradilan. Bagi keluarga tersebut dan damang, hal yang
utama adalah mempercepat penyelesaian dan ”mengurangi balas dendam dan ketakutan.” Sebaliknya tujuan
utama pengadilan formal yaitu untuk menyelenggarakan keadilan untuk kepentingan umum dan untuk
memberikan aspek jera.
Kasus tersebut juga mencerminkan bagaimana sistem tersebut saling mendekati satu sama lain. Keinginan untuk
menghindari resiko dimana pelaku bisa saja “disidang” dan dihukum dua kali untuk pelanggaran yang sama,
membawa pengadilan termasuk Mahkamah Agung, untuk mengetahui sanksi adat. Sama halnya si damang
dan pengacara Ranno mengerti sanksi adat sehingga dapat mengurangi besarnya hukuman penjara. Dalam
kasus tersebut, “benturan” antara norma dan ketentuan yang berlaku berhasil dinegosiasikan untuk memberikan
kepuasan bagi semua pihak.
Sebaliknya, pembunuhan karena “ilmu hitam” yang tercatat di Jawa Timur (Studi Kasus 18 & 19) menggambarkan
adanya kesulitan-kesulitan pada persidangan pengadilan untuk menentukan aturan yang tepat atas apa
yang dimaksud sebagai, “adat-istiadat dan nilai lokal” dan sejauh mana hal ini harus digunakan sebagai bahan
pertimbangan. Di Jawa Timur, praktik santet dianggap tindak pidana. Pada saat yang bersamaan, juga
dipraktikkan secara luas. Dalam banyak kasus, polisi melindungi anggota masyarakat yang dituduh melakukan
santet. Bagi sebagian besar masyarakat menerima keterlibatan polisi. Akan tetapi, jika masyarakat memutuskan
untuk menangani sendiri kasus ini dan meminta keadilan bagi orang yang dituduh melakukan santet, polisi
jarang bertindak untuk menyelidiki pembunuhan tersebut.
Singkatnya, sistem formal tidak menentukan, secara konsisten dan dapat diprediksi, nilai pantas terhadap adat-
istiadat dan tidak menjelaskan tindakan apa yang tidak mencapai nilainya. Dalam kasus penusukan di atas,
pengadilan memandang hasil dari proses peradilan non-negara sebagai hal yang absah dibandingkan dalam
kasus “penculikan” anak Haji Anggeng (Studi Kasus 8), dimana penyelesaian informal ditolak. Tapi tidak ada satu
catatan penjelasan tentang bagaimana keputusan-keputusan ini dicapai. Batas yurisdiksi antara sistem formal
dan informal tidak ditegaskan, artinya meskipun diluar kewenangannya, kasus pidana berat kadang kadang
masih dapat dimediasi di tingkat desa. Standar dan perlindungan prosedural tidak disebutkan. Atas dasar apa
proses tersebut dinyatakan tidak sah dalam salah satu kasus dan sah di kasus lainnya? Demikian juga, apa yang
menjadi pedoman kebijakan polisi untuk menengahi atau menuntut? Persinggungan tersebut tidak diperjelas
dan, sebagaimana yang digambarkan dalam kasus kekerasan rumah tangga di Kalimantan dan kasus Anggeng,
kadang-kadang menghasilkan ambiguitas dan ketidakpastian hukum yang menguntungkan pihak yang kaya
dan berkuasa.
Memperjelas Persinggungan - Contoh-contoh dari Beberapa Negara Tetangga.
Negara-negara sekitar menghadapi tantangan pluralism hukum yang sama dan mengadopsi pendekatan-
pendekatan praktis untuk menghadapi hubungan formal-informal. Negara tetangga Papua Nugini, contohnya,
mengakui pentingnya peran peradilan tradisional, dengan membuat sebuah mekanisme pemerintah untuk
menyelaraskan sistem formal dan informal.
54 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Boks 4: Contoh-contoh Perubahan III: Meningkatkan kesesuaian antara peradilan formal dan
informal dan membangun kapasitas – Unit Perantara Peradilan Komunitas Papua Nugini
Seperti Indonesia, sistem informal merupakan bentuk peradilan yang dominan di negara tetangga Papua Nugini. Dengan
tujuan meningkatkan kesesuaian dan konsistensi antara sistem formal dan informal; untuk meningkatkan kapasitas
pelaku peradilan di luar negara; untuk mendokumentasikan dan menyebarkan inovasi lokal yang bersifat progresif; untuk
mendukung keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam sektor peradilan dan untuk mendorong peradilan yang saling
menguatkan, Pemerintah Papua Nugini telah mendirikan sebuah Unit Perantara Peradilan Komunitas (Community Justice
Liaison Unit atau CJLU) sebagai bagian resmi dari Sektor Hukum dan Peradilan.
Melalui pelatihan reguler, pengawasan, peningkatan kesadaran dan program khusus untuk perempuan dan kelompok
yang rentan, CJLU merupakan ekspresi kebijakan yang nyata atas peradilan non-negara. Tapi pada saat yang bersamaan
sebuah praktik untuk menemukan titik keseimbangan antara dua wilayah peradilan.
Sumber: Pemerintah Papua Nugini (2007)
Beberapa ketidakpastian, ambiguitas dan potensi benturan norma-norma dapat dikurangi, dengan
mendefi nisikan secara jelas yurisdiksi antara putusan pengadilan dan penyelesaian sengketa di desa. Hal ini
secara tepat menjadi pendekatan yang diadopsi di negara tetangga dekat Indonesia, Filipina.75
Boks 5: Contoh Perubahan IV: Mendefi nisikan Persinggungan–Sistem Peradilan Barangay di Filipina.
Sistem Peradilan Barangay di Filipina (BJS) merupakan program konsiliasi dan mediasi wajib di tingkat barangay atau
desa, dilaksanakan di semua 42,000 barangay di Filipina. Didirikan di tahun 1978, BJS merupakan perpaduan antara
penyelesaian sengketa formal dan informal. Sistem ini mencoba untuk memperoleh kekuatan mediasi di masyarakat,
dengan pelaksanaan kekuasaan negara.
Filosofi dasar dari BJS bahwa tidak ada sengketa yang boleh ditangani oleh pengadilan sebelum ada usaha awal untuk
menengahinya di tingkat barangay. Mediasi dengan sistem ini dilaksanakan secara informal tanpa pilihan untuk
pembuktian alat bukti. Hal tersebut pada pokoknya merupakan lingkungan yang “tidak resmi”.
BJS tersebut terdiri atas sebuah badan mediasi di masing-masing desa. Kepala desa, atau pemimpin Barangay, mengetuai
badan tersebut yang terdiri dari 10-20 anggota tergantung pada ukuran desa. Kasus-kasus tersebut awalnya dibawa ke
pemimpin barangay untuk mendapatkan usaha perdamaian. Jika penyelesaian sudah didapat, lalu ditulis dan ditanda-
tangani oleh kedua belah pihak. Penyelesaian tersebut kemudian mendapat status sama dengan keputusan pengadilan.
Jika pemimpinnya gagal menghasilkan penyelesaian yang memuaskan, kasus tersebut ditingkatkan ke 3 orang dewan
majelis yang dipilih oleh pihak yang bertikai. Jika gagal, maka kemudian kasus tersebut dapat dibawa untuk diselesaikan
melalui proses peradilan di pengadilan.
Yuridiksi BJS meliputi semua tipe sengketa dengan pengecualian dibawah ini:
• salah satu pihak adalah pejabat pemerintah
• pelaku tindak pidana dapat diberi hukuman penjara melebihi satu tahun atau denda lebih dari 5000 peso.
• ketika sengketa melibatkan pengembang perumahan yang berlokasi di kota-kota yang berbeda; dan
• sengketa lainnya yang oleh Kepala Barangay dianggap lebih tepat diselesaikan pengadilan demi kepentingan keadilan.
(Undang-undang Pemerintah Daerah 1991 Pasal 408)
Walaupun jauh dari sempurna, Sistem Peradilan Barangay secara konsisten memberikan tingkat kepuasan yang tinggi
dan menangani banyak kasus.
75 Untuk informasi lebih lengkap mengenai Sistem Peradilan Barangay, lihat Gerry Roxas Foundation (2000a), Report on the Effi cacy of
the Katarungang Pambarangay Justice System in the National Capital Region, Manila: Gerry Roxas Foundation; Gerry Roxas Foundation
(2000b), The Panay and Guimaras Experience in Barangay Justice. Manila: Gerry Roxas Foundation; GC Sosmena Jr. (1996), ‘Barangay Justice:
a Delegalisation Mechanism’ 20 Hiroshima Law Journal 404; & G. Sidney Silliman (1985), ‘A Political Analysis of the Philippines Katarungang
Pambarangay System of Informal Justice Through Mediation’ 19 Law & Society Review 279.
55Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III:Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Menegaskan batas yurisdiksi antara sistem formal dan informal melalui perundang-undangan nasional, seperti
contoh Filipina di atas, memperjelas batas-batas kewenangan polisi dan membatasi kapasitas mekanisme
informal untuk menengahi kasus-kasus tindak pidana berat serius, misalnya perkosaan dan kekerasan seksual.
Tentu saja sekedar mengatur hal ini tidak lantas mewujudkannya menjadi kenyataan di lapangan. Di Filipina,
tindak pidana serius terus dimediasi di tingkat barangay walaupun bertentangan dengan hukum negara.
Tetapi mengklarifi kasi isu ini membantu mengurangi kebingungan dan memberi pedoman untuk pelaksanaan
kebijakan.76
Contoh-contoh dari negara tetangga ini dapat memberikan beberapa inspirasi bagi pembuat kebijakan di
Indonesia.
76 Alfredo Tadiar (1988) ‘Institutionalising Traditional Dispute Resolution: the Philippine Experience’ di Asia-Pacifi c Organization for Mediation
(APOM), Transcultural Mediation in the Asia-Pacifi c, Manila.
56 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
57Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV:
Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
A. KesimpulanTujuan dari penelitian ini adalah mendokumentasikan proses peradilan non-negara di tingkat desa terutama dari
segi inklusifi tas sosial dan perspektif pihak-pihak yang terpinggirkan. Tulisan ini juga mencoba untuk memahami
dinamika perubahan peradilan non-negara dan menerapkannya ke dalam strategi yang memanfaatkan kelebihan
maupun mengatasi kelemahan penyelesaian sengketa informal.
Kesimpulan Utama
Bentuk utama penyelesaian sengketa; penting bagi kesejahteraan orang miskin. • Peradilan informal
merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Bagaimana perselisihan itu dipecahkan memiliki dampak
sosio-ekonomi yang berarti bagi masyarakat miskin.
Mekanisme peradilan informal memiliki beberapa kekuatan yang nyata. • Hasil penelitian menunjukkan
bahwa untuk kasus kecil di tingkat komunitas, peradilan non-negara berjalan cepat dan efektif. Keberhasilan
tersebut tercermin pada tingkat kepuasan yang tinggi.
Namun juga memiliki kelemahan yang signifi kan. • Ketika kasus menjadi lebih besar dan kompleks dan ada
keterlibatan relasi kuasa, tidak adanya standar peradilan yang jelas, tidak adanya pertanggungjawaban ke pihak di
atas dan di bawahnya, persinggungan yang kabur terhadap sistem hukum formal serta dikombinasikan dengan
tingkat keterwakilan yang rendah dari perempuan dan kelompok minoritas bisa menciptakan kesewenang-
wenangan. Dalam kondisi demikian, relasi kekuasa di tingkat lokal dan norma sosial yang menentukan proses
dan hasilnya, yang seringkali merugikan bagi pihak lemah dan tidak berkuasa. Kasus-kasus mengenai hak atas
tanah dan kekayaan didalamnya, adalah kasus yang paling rumit dan sulit dipecahkan.
Terdapat contoh perubahan yang positif, meskipuan hanya sedikit dan jarang. • Sistem politik dan
demokrasi yang makin terbuka menciptakan dinamika yang progresif yang dimanfaatkan oleh berbabagi pihak
di tingkat lokal untuk mengeksploitasi terbentuknya berbagai model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif
dan inklusif.
Foto : Taufi k Rinaldi
58 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Temuan paling penting dalam penelitian ini adalah bahwa peradilan non-negara merupakan bentuk utama
penyelesaian sengketa. Perpaduan antara kemudahan diakses dan kewenangan sosial berarti bahwa sistem
peradilan informal –mediasi dan negosiasi melalui kepala desa, pemimpin agama, hukum adat dan pemimpin
masyarakat–merupakan pengalaman keadilan satu-satunya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Akibatnya, dalam mengadakan pembaharuan sektor peradilan di Indonesia, pendekatan yang terfokus terhadap
sistem negara menjadi tidak cukup karena sebagian besar masyarakat mencari keadilan di tingkat desa dan
bukan di pengadilan negara.
Temuan penting kedua adalah bahwa cara berjalannya peradilan non-negara akan sangat berdampak pada
stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat miskin. Kasus yang diteliti mencakup akses terhadap tanah dan
sumber daya alam, sengketa kekeluargaan, perceraian dan warisan, tindak pidana berat dan konfl ik kekerasan
antar suku. Ketidakberhasilan penyelesaian sengketa menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi bagi
perseorangan dan masyarakat.
Untuk sebagian besar kasus ringan, peradilan informal merupakan proses yang tepat dan efektif. Masyarakat
lebih puas dengan kinerja mekanisme peradilan non-negara daripada pengadilan, kejaksaan dan kepolisian.
Legitimasi dan kewenangan sosial merupakan sumber kepuasan masyarakat terhadap peradilan non-negara,
namun di lain sisi pelaksanaan kewenangan sosial yang tidak terpantau justru menjadi kelemahan utamanya.
Tanpa pengawasan, kelompok terpinggirkan sering tidak diikutsertakan, pembuatan putusan berjalan sewenang-
wenang dan penyelesaian sengketa lebih ditentukan oleh relasi kuasa daripada negara hukum. Peradilan non-
negara cenderung mencerminkan dan dipengaruhi oleh kedekatan hubungan sehingga merugikan perempuan
dan kelompok terpinggirkan. Padahal jelas bahwa ketidakadilan seperti inilah yang memicu meluasnya konfl ik
kekerasan. Konfl ik lahan—yang mempunyai nilai ekonomi yang jelas—adalah hal yang paling sering memicu
konfl ik dan sulit untuk diselesaikan.
Karena itu, hal ini terlalu penting untuk diabaikan. Kegagalan dalam mendukung peradilan non-negara berarti
berlanjutnya ketidaksamarataan, hilangnya hak atas ekonomi dan meningkatnya peluang terjadinya konfl ik.
Tetapi mencari solusi bukanlah hal yang mudah. Perbedaan prosedur dan substansi peradilan non-negara di
masing-masing daerah mempersulit proses untuk membuat kerangka kerja yang berkaitan dengan sistem
peradilan non-negara. Karena itu tidak mengherankan bahwa penelitian ini tidak menemukan contoh
perubahan atau pembaharuan yang menyeluruh yang membuka kesempatan bagi perempuan dan kelompok
terpinggirkan.
Namun, keterbukaan politik dan demokrasi menciptakan dinamika progresif dimana beberapa kelompok
lokal menggali pembentukan model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif dan tepat sasaran. Munculnya
gerakan yang mendesak perubahan dan adanya perubahan yang didorong dari bawah – baik berasal dari
pemerintah maupun masyarakat madani – merupakan pertanda bahwa sudah mulai ada perubahan. Hal ini
perlu didukung.
Pemahaman Peradilan Non-Negara di Indonesia: Temuan-temuan Utama
Peradilan Non-Negara telah menjadi Mekanisme Utama dalam Penyelesaian Sengketa
Meskipun sering dipandang sebagai cara penyelesaian alternatif seringkali peradilan non-negara merupakan
satu-satunya pengalaman di bidang keadilan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Kepala desa, petugas
pemerintahan desa dan agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat diakui oleh sebagian besar rakyat desa
sebagai pelaku utama dalam penyelesaian sengketa. Sebagai perbandingan, hanya dua persen dari masyarakat
59Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
pernah berhubungan dengan pengadilan formal. Berhubungan dengan jaksa dan pengacara juga hampir tidak
dilakukan.
Adanya Kaitan antara Keadilan, Stabilitas dan Kemiskinan
Peradilan non-negara menangani persengketaan secara luas, termasuk kasus-kasus yang berkaitan erat dengan
stabilitas dan kehidupan sosial. Kejahatan, konfl ik tanah, warisan, perkawinan dan perceraian, dan kekerasan
dalam rumah tangga adalah bentuk-bentuk masalah hukum yang paling umum. Penyelesaian adil dari
sengketa-sengketa tersebut membantu pihak perempuan mendapatkan harta gono-gini dalam perceraian dan
memastikan bahwa anak mereka memiliki status hukum untuk mendapatkan akses atas pelayanan kesehatan
dan pendidikan. Dan pastinya tidak ada yang lebih penting bagi keamanan dan kesejahteraan mereka selain
kepastian hak penguasaan tanah.
Mekanisme Peradilan Non-Negara didominasi oleh Norma-norma Sosial
Penyelesaian sengketa informal secara keseluruhan tidak memiliki sistem jelas yang menyeluruh, melainkan
merupakan serangkaian proses yang dijalankan oleh pihak yang berpengaruh.
Di beberapa wilayah, misalnya Sumatera Barat, dimana dewan adat setempat telah terbentuk, peradilan non-
negara ditegakkan dengan baik dan memiliki struktur serta hukum dan prosedur tertulis. Namun di kebanyakan
wilayah proses berjalan serupa dengan yang terjadi di Kalimantan dan Maluku, dimana kepala desa atau
pemimpin agama menyelesaikan sengketa berdasarkan pandangan lokal terhadap keadilan ataupun pendapat
subyektif. Keputusan sering tidak ditunjuk kepada hukum negara, agama atau adat. Norma sosial dan relasi
kekuasan menentukan keputusan.
Ketidakjelasan prosedur peradilan non-negara memberi pelaku peradilan non-negara keleluasan dalam
menentukan penyelesaian dan sanksi yang sesuai dengan budaya lokal. Tapi hal ini juga dapat mengakibatkan
ketidakadilan dan diskriminasi bagi kaum lemah.
Menjaga Kerukunan dapat Menghasilkan Kebebasan dari Hukuman (Impunitas)
Kemampuan mengembalikan kerukunan antar pihak adalah salah satu kekuatan utama dari peradilan non-
negara. Namun kepentingan kerukunan dapat juga disalahgunakan untuk mempertahankan status quo. Selain
itu, pada masyarakat yang memiliki marga atau suku, upaya mencapai kerukunan umumnya mengutamakan
menjaga keseimbangan hubungan antar-marga. Seringkali tercapainya kerukunan berarti hilangnya hak asasi
manusia dan keadilan secara individu.
Hal ini sangat jelas terlihat pada kasus Sepa, dimana keluarga dari korban perkosaan yang berusia tujuh belas
tahun dipaksa untuk meminta maaf pada pelaku. Kasus ini merupakan contoh dimana dorongan untuk
mengembalikan kerukunan digunakan untuk menekan keluhan yang sah dan berdasar dari kaum lemah. Tidak
adanya proses pengawasan berarti kaum lemah tidak mempunyai saluran untuk banding ataupun menolak
keputusan yang tercapai.
Upaya menjaga kerukunan juga berpengaruh terhadap penentuan sanksi dalam sistem peradilan non-negara.
Sanksi terhadap sengketa perdata dan pidana biasanya berupa kompensasi berbentuk uang, sehingga tampak
menyamakan unsur hukuman dengan ganti rugi kerusakan material. Penelitian ini juga mencatat adanya
hukuman fi sik, termasuk cambuk dan pukulan, yang secara hukum berada diluar wewenang pelaku peradilan
non-negara. Tanpa adanya kerangka pengawasan yang efektif, pemberian sanksi secara berlebihan dapat terjadi
dan begitu juga pembebasan dari hukuman.
60 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Kekuatan: Kemudahan Akses dan Legitimasi Sosial
Kombinasi dari fl exibilitas dan legitimasi serta kewenangan sosial di tingkat lokal memberi banyak keuntungan.
Peradilan non-negara, selain lebih populer daripada peradilan formal, kinerjanya juga dilaporankan memberikan
tingkat kepuasan kepada warga masyarakat yang lebih tinggi, yaitu sekitar 69 persen untuk peradilan non-negara
dan 59 persen untuk peradilan negara.
Sengketa sederhana dan ringan di dalam masyarakat umumnya terselesaikan dengan cepat. Dari empat belas
kasus yang tercatat dalam studi ini, sebelas diantaranya dapat diselesaikan tanpa kesulitan berarti.
Pada kasus sederhana, kemudahan akses, kelonggaran, biaya ringan dan kecepatan kinerja dari peradilan non-
negara membawa keuntungan yang lebih signifi kan daripada peradilan formal. Kasus-kasus yang diteliti rata-rata
terselesaikan dalam dua sampai tiga minggu, bahkan kurang. Biaya untuk administrasi kasus biasanya ringan.
Kesukarelaan dan dasar mufakat juga memungkinkan kembalinya hubungan harmonis yang tidak dapat
dilakukan dengan keputusan dari pengadilan. Dalam kasus penikaman di Kalimantan, tercapai penyelesaian
yang memenangkan keduabelah pihak melalui penyelesaian adat yang memungkinkan keluarga pelaku dan
korban tetap menjalin hubungan yang baik.
Kekuatan utama dari peradilan non-negara berada pada wewenang dan legitimasi sosial yang dimilik para
pelakunya. Legitimasi yang melekat pada kepala desa, pemimpin agama dan tokoh masyarakat mampu
meyakinkan pihak yang bersengketa untuk mencari jalan keluar secara bersama dan juga memungkinkan
penegakkan putusan yang dihasilkan dari proses mediasi tersebut.
Kelemahan: Ketidakseimbangan Kekuasaan dan Kurangnya Pertanggungjawaban
Meskipun legitimasi sosial adalah kekuatan hukum adat, pelaksanaannya yang tidak diawasi dapat
mengarahkannya pada ketidakadilan.
Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak yang lebih berkuasa untuk menggunakan pengaruh mereka untuk
mengatur norma-norma dan proses penyelesaian sengketa. Hal ini sangat jelas pada kasus penghinaan
adat di Sumatera Barat dimana norma-norma diterapkan secara selektif sesuai wewenang orang-orang yang
bersengketa. Kasus perkelahian di pasar dan Anggeng juga menunjukkan bahwa kekuasaan orang-orang yang
bersengketa dapat membuat mereka kebal dari kewajiban pelaksanaan putusan.
Kurangnya Keterwakilan Perempuan
Perempuan dan minoritas kurang terwakili dalam institusi penyelesaian sengketa di desa. Kepala desa dan
kepada dusun adalah pelaku utama penyelesaian sengketa, tetapi hanya 3 persen dan 1 persen dari keduanya
adalah perempuan.
Hal ini tidak mengakibatkan tertutupnya sama akses terhadap keadilan, sebagaimana tetap banyaknya
perempuan yang menyetujui pendapat seorang penduduk desa perempuan di desa Sembuluh II di Kalimantan
Selatan bahwa, ‘Akan lebih mudah (untuk melaporkan masalah) dengan perempuan. Terkadang kami malu
dengan pria’.
Kasus perceraian di Kalimantan dan beberapa kasus lahan dari Sumatera Barat menunjukkan bahwa kurangnya
perwakilan perempuan di institusi peradilan informal membuat mereka mudah dimanfaatkan dan dirugikan. Ini
61Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
juga berarti bahwa masalah hukum perempuan sering diabaikan atau tidak ditanggapi secara serius. Lebih serius
lagi, untuk kasus peka seperti kekerasan dalam rumah tangga, banyak perempuan yang tidak melapor karena
khawatir akan dampak sosialnya.
Sengketa Antar Suku, Antar Desa dan “Pihak Ketiga” Sulit untuk Diselesaikan
Sengketa lintas suku atau agama sulit untuk diselesaikan. Terutama karena dalam mekanisme yang berdasarkan
adat pelaku penyelesaian sengketa hampir selalu berasal dari golongan elit dari suku setempat. Suku minoritas
dan transmigran sering diberi status kelas dua oleh hukum adat. Konfl ik antara suku Batak dan kelompok Minang
lokal di Kinali, Sumatera Barat, dan kembalinya orang Madura ke Kalimantan Tengah memunculkan keraguan
atas kemampuan sistem peradilan yang berdasarkan hukum adat tradisional untuk menjawab kebutuhan
keadilan dengan tetap tanggap menghadapi kebutuhan modernitas keberagaman Indonesia. Kelompok
minoritas, terutama di daerah yang pernah berkonfl ik, secara konsisten lebih memilih sektor peradilan formal
karena menganggap sistem formal cenderung lebih netral, tidak melihat perbedaan suku, dan lebih bebas dari
pengaruh politik.
Sengketa lintas wilayah perbatasan juga sulit diselesaikan. Jarang ada pelaku hukum adat yang dapat membangun
wewenangnya di luar batas wilayah atau sosial mereka. Kenyataan ini diperburuk dengan rendahnya tingkat
kepercayaan sosial antar desa yang berbatasan. 58 persen penduduk desa menyatakan bahwa orang-orang
yang berada di lingkungan mereka dapat dipercaya, tapi hanya 36 persen mengatakan bahwa orang-orang dari
desa-desa tetangga dapat dipercaya.
Kasus “Tembok Berlin” di Lombok adalah contoh yang luar biasa. Pada sebuah pulau tempat pesiar yang indah,
perselisihan dan bentrokan antar kampung mengakibatkan didirikannya tembok pemisah antar kampung
setinggi tiga meter. Pemimpin lokal tidak memiliki wewenang untuk menghentikan kekerasan.
Pentingnya Sengketa Tanah
Sengketa kecil dalam desa tentang batas-batas tanah umumnya dapat diselesaikan tanpa kesulitan melalui
sistem hukum adat. Namun, seperti yang jelas terlihat pada kasus pertambangan Gunung Sari dan sengketa
antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, masalah menjadi lebih rumit
ketika melibatkan kepentingan kelompok luar yang berkuasa. Aparat desa biasanya tidak memiliki kewenangan
maupun pengaruh yang cukup untuk mencegah timbulnya masalah-masalah lingkungan dan sengketa lahan
dimana pihak perusahaan swasta – yang biasanya didukung oleh pemerintah – mulai terlibat. Lemahnya aparat
desa dalam kondisi seperti ini dapat berakibat munculnya konfl ik horizontal di tingkat lokal, seperti di Sampang
di pertambangan Sari Gunung dan lokasi penelitian lain di Kalimantan Tengah.
Program pemerintah pusat dan daerah untuk mengembangkan perkebunaan kelapa sawit secara besar-
besaran ikut memperumit pokok permasalahan. Sistem peradilan formal maupun informal belum mampu
bekerja secara efektif untuk menyelesaikan sengketa semacam ini. Sistem peradilan non-negara gagal karena
ketidakseimbangan kekuasaan dan pengaruh seperti yang telah disebutkan diatas. Pengadilan formal gagal
dengan alasan yang sama, dan juga karena persengketaan tersebut seringkali mencakup lebih dari permasalahan
hukum murni. Masyarakat sering juga menginginkan kerja sama dengan perusahaan swasta melalui persetujuan
hak guna tanah bersama. Namun sering juga inti sengketa tidak terletak pada hak dan kewajiban hukum dan
lebih terletak pada penegakan prinsip kewajaran dan keadilan sosial – misalnya berkaitan dengan para penghuni
liar jangka lama di tanah milik negara; ataupun komunitas penghuni yang mendapat ijin tinggal tidak resmi
namun tetap dipaksa untuk pindah ke tempat yang baru. Masalah-masalah ini membutuhkan hasil mediasi
yang lentur berdasarkan kepentingan publik.
62 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Mekanisme peradilan informal tidak berfungsi sebagai forum mediasi yang efektif untuk sengketa-sengketa ini.
Maka dibutuhkan sebuah mekanisme alternatif. Mekanisme alternatif ini harus berdasarkan mediasi dan dapat
mewakili semua pihak yang berkepentingan – pemerintah, sektor swasta, kelompok masyarakat madani dan
masyarakat itu sendiri.
Ketidakjelasan Persinggungan antara Sistem Formal dan Informal
Tidak adanya persinggungan yang jelas antara peradilan informal dan formal, khususnya mengenai kewenangan,
menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka kesempatan untuk mencari keuntungan dan manipulasi
sengketa. Seperti yang terjadi pada kasus perceraian di Kalimantan, polisi menentukan kasus apa akan
dimediasikan atau diteruskan secara sepihak dan tanpa mengikuti prosedur resmi.
Seperti pada kasus Anggeng dan carok, pengadilan juga memutuskan secara sepihak untuk menerima atau
menolak adat istiadat lokal tanpa mengunakan kriteria yang jelas. Ketidakpastian seperti ini membuat masyarakat
lemah dan tidak berpendidikan menjadi mudah dieksploitasi.
Tidak adanya kejelasan hak untuk mengajukan banding terhadap hasil peradilan non-negara di pengadilan
negara juga mengurangi pertanggungjawaban fungsi aparat hukum negara.
Otonomi Daerah Merupakan Awal dari Perubahan
Otonomi daerah memberi kesempatan untuk mengatasi beberapa kelemahan-kelemahan ini. Peraturan
perundang-undangan di bidang desentralisasi memberi wewenang pada pemerintah daerah untuk mengatur
bentuk dan struktur pemerintahan desa, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini memungkinkan
lahirnya stuktur dan mekanisme baru untuk mengatasi konfl ik antar suku, menambah perwakilan perempuan
dan mengatasi sengketa antar desa yang rumit. Namun demikian, penelitian lapangan ini tidak menemukan
adanya contoh pembentukan struktur ataupun mekanisme baru seperti yang diharapkan.
Bahkan di Sumatera Barat, Maluku dan Kalimantan Tengah, wewenang ini justru digunakan untuk menghidupkan
kembali struktur pemerintahan tradisional yang berdasarkan adat. Kembalinya ke “cara lama” tidak hanya
menegaskan kembali identitas budaya suku lokal, tapi juga melambangkan idealisme yang dibawa dari masa
lalu. Seperti yang diungkapkan oleh Benda-Beckmann pada Sumatera Barat, ‘adat telah diberikan kepentingan
simbolis dan retorik… dan dianggap sebagai jimat yang dapat membawa masa depan yang lebih baik.’77
Temuan penelitian ini juga memperlihatkan bahwa kembalinya hukum adat tidak dapat mengatasi kelemahan-
kelemahan peradilan non-formal, seperti kebutuhan akan perlakuan yang lebih setara terhadap perempuan dan
kaum minoritas.
Namun Contoh Perubahan yang Baik Juga Ada
Penelitian menemukan beberapa contoh pembaharuan di tingkat masyarakat. Kelompok perempuan di
Sumatera Barat telah memanfaatkan potensi emansipasi yang muncul dari kesadaran hukum dan mobilisasi
masyarakat. Setelah membekali diri dengan pengetahuan mendalam mengenai hukum adat, kini mereka
diterima secara baik oleh masyarakat dan mendapatkan hak suara dalam proses penyelesaian sengketa.
Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara) di Lombok Barat menganut pandangan yang
progresif terhadap adat yang mengakui perlunya budaya lokal untuk beradaptasi dengan realita modern,
77 Benda Beckmann (2001), diatas n.22, hal.33.
63Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
termasuk berkaitan dengan perwakilan perempuan. Desa-desa di dalam persekutuan ini telah membangun
struktur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas. dengan norma-norma dan prosedur tertulis serta hak
untuk mengajukan permohonan banding.
Kesadaran hukum dan pendidikan hukum telah membuat sistem formal menjadi lebih mudah diakses semua
kalangan. Dengan mengurangi monopoli pelaku sistem peradilan non-negara, peningkatan kesadaran hak
dapat memberdayakan kelompok terpinggirkan untuk mendapat hasil pengadilan yang lebih baik.
Contoh dari Negara tetangga seperti Sistem Pengadilan Barangay di Filipina dan Unit Perantara Peradilan
Komunitas di Papua Nugini juga dapat memberi inspirasi bagi pembuat kebijakan dalam memperkuat
kemampuan, keberhasilan dan keterbukaan mekanisme peradilan informal.
Walaupun contoh perubahan positif masih terbatas, diskusi dengan ratusan pegawai pemerintah, anggota DPRD,
aktivis, pemimpin desa, dan masyarakat umum memperlihatkan bahwa banyak pihak yang ingin menuntut
ataupun mendorong perubahan. Pihak pro-perubahan seperti ini dapat dan harus didukung.
B. Saran-saran
Saran-saran Utama
• Menggabungkan perubahan di tingkat masyarakat dan perubahan kebijakan. Menemukan titik keseimbangan
yang bermakna yang mensyaratkan gabungan antara perubahan kebijakan, peraturan dan tindakan di tingkat
lokal.
• Memperkuat pertanggungjawaban kepada pencari keadilan. Memberdayakan kelompok yang lemah dan
terpinggirkan untuk menuntut kualitas pelayanan yang lebih baik dari peradilan non-negara.
• Meningkatkan kualitas peradilan non-negara. Meningkatkan kapasitas dan keahlian teknis dari institusi dan
pelaku peradilan non-negara.
• Memperluas ”bayangan” hukum (“Shadow of the law”). Meningkatkan akses ke sistem peradilan formal untuk
menambah pilihan dalam memproses sengketa tingkat lokal.
• Meningkatkan pertanggungjawaban kepada negara dan pengadilan formal. Membentuk pedoman nasional
untuk memperkuat persinggungan dengan peradilan formal dan peraturan daerah supaya prinsip-prinsip utama
yang memajukan kesetaraan dan sejalan dengan standar Undang-Undang Dasar dapat dilembagakan.
Pentingnya peradilan non-negara menunjukkan bahwa sebuah strategi yang menyeluruh dalam mendukung
penegakan hukum di Indonesia harus melihat jauh hingga ke luar pengadilan. Strategi yang hanya meliputi
pengacara, proses litigasi dan pengadilan formal tidak akan menjangkau masyarakat miskin, khususnya di daerah
perdesaan.
Namun perencanaan strategi seperti ini dipersulit dengan besarnya keragaman pelaku, institusi dan proses. Hal
ini tidak dapat dihindari mengingat adanya norma sosial dan struktur kekuasaan yang tidak dapat ditiadakan
oleh peraturan dan kebijakan negara. Rekomendasi untuk memperbaharui institusi lokal dengan mudah dapat
diabaikan karena dianggap terlalu sulit ataupun karena ketidaklayakannya atau diartikan sebagai upaya sentris
untuk merekayasa dan mengubah struktur sosial di tingkat lokal.
Ada anggapan bahwa kerumitan peradilan non-negara sedemikian rupa hingga tidak ada yang dapat dilakukan
untuk memperbaikinya. Berdasarkan pandangan ini, masalah-masalah yang telah dikemukakan tidak bisa
dipecahkan sama sekali. Mendukung peradilan non-negara hanya akan mempertahankan “keadilan yang lemah”
64 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
bagi orang miskin. Sehingga sumber daya yang ada lebih baik diarahkan untuk upaya meningkatkan efektivitas
pengadilan formal.78
Namun pandangan lain menganggap peradilan non-negara dan adat lebih ideal sehingga layak diakui secara
luas oleh negara.79 Sama halnya dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini juga memiliki cacat, karena
seakan-akan meremehkan permasalahan yang timbul dari tidak adanya standar minimum dan pengawasan
yang efektif.
Diantara keduanya adalah pandangan yang lebih realistis. Peradilan non-negara adalah mekanisme utama
dalam penyelesaian sengketa. Daya tahannya telah terbukti. Karena itu, pelibatan sistem informal harus menjadi
elemen inti dalam setiap program yang bertujuan mendukung penegakan hukum di Indonesia. Seperti kata
Xanana Gusmao, yang terpenting adalah memupuk bagian yang baik dan membuang bagian yang jelek.
Dapat dikatakan dengan adanya desentralisasi yang efektif pemerintah memberi ruang untuk menerapkan
pendekatan “penyatuan parsial” (partial incorporation) sistem peradilan non-negara. Bagaimanapun, pendekatan
ini belum diterjemahkan dalam tindakan nyata. Di daerah dimana telah ada tindakan, seringkali hasilnya justru
kembali ke “cara lama”, yang cenderung tertutup dan melawan arus kemajuan sosial.
Tulisan ini mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk membentuk “titik keseimbangan” antara sistem peradilan
non-negara dan pengadilan formal. Pendekatan ini mencoba untuk menggabungkan akses sosial, wewenang
dan legitimasi dari proses non-negara dengan mekanisme pertanggungjawaban, baik terhadap masyarakat
dan negara. Pendekatan ini menyadari realita pluralisme hukum di Indonesia dan juga bahwa penetapan
satu model untuk seluruh bentuk peradilan non-negara tidak diinginkan ataupun dimungkinkan. Karena itu
titik keseimbangan tersebut harus mengakomodir perbedaan sosial budaya dan adat istiadat dengan tetap
memperkenalkan prinsip-prinsip umum guna melindungi masyarakat terpinggirkan.
Jadi di bagian akhir ini, kami memberi beberapa saran dalam membentuk titik keseimbangan tersebut. Tujuannya
bukan untuk membuat peradilan non-negara yang ideal atau sempurna, tetapi lebih ditujukan pada dua
kelemahan (i) mengatasi ketidakadilan dan menyeimbangkan wewenang sosial dengan pertanggungjawaban
sosial; dan (ii) untuk meningkatkan kinerja peradildan non-negara dalam melayani perempuan dan kelompok
minoritas.
Saran-saran ini ditujukan pada pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, organisasi masyarakat yang aktif di
bidang ini dan pihak donor yang mendukung mereka.
Menggabungkan Aksi Masyarakat di Tingkat Akar Rumput dengan Perubahan Kebijakan
Studi kasus, analisa dan contoh-contoh perubahan menunjukkan bahwa pembentukan titik keseimbangan
membutuhkan gabungan dari perubahan kebijakan, peraturan dan tindakan di tingkat lokal. Perubahan ini
harus memberdayakan kaum lemah dan terpinggirkan, meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan melalui
mekanisme peradilan informal dan menetapkan standar minimum yang jelas melalui perubahan peraturan.
Jadi, ada empat tingkatan dari tindakan yang disarankan.
78 Hohe dan Nixon membedakan antara “idealis’, yang berpegang pada sistem pengadilan yang sempurna, dan “realis”, yang lebih
cenderung untuk bekerjasama dengan apa yang ada. Lihat Tania Hohe & Rod Nixon (2003) ‘Reconciling Justice: “Traditional” Law and
State Judiciary in East Timor’ (Laporan Kerja yang disiapkan untuk United States Institute of Peace, January 2003), 38. Untuk “pendirian”
tipologi umum, Negara dapat menggunakan kepada mekanisme hukum adat, lihat Connolly (2005), diatas n.11.
79 Studi baru LP3ES mengenai mediasi desa menggembarkan beberapa elemen terkait dengan pendekatan ini: Widodo S. Dwi Saputro,
Burhanuddin, Adnan Anwar & Badrus Sholeh (2007). Balai Mediasi Desa: Perluasan akses hukum dan keadilan untuk rakyat, Jakarta: LP3ES
& NZAID.
65Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
1. Pertama, lakukan kegiatan di tingkat akar rumput untuk mendukung pertanggungjawaban ke bawah
dan memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut layanan dengan kualitas
yang lebih baik dari peradilan informal. Hal tersebut merupakan prioritas yang paling penting karena
kegiatan tersebut mengatasi kelemahan utama yang dihadapi.
2. Prioritas kedua adalah untuk melakukan kegiatan di tingkat menengah untuk mengembangkan
kapasitas dan keterampilan teknis dari lembaga dan pelaku peradilan informal.
3. Prioritas ketiga di luar desa untuk meningkatkan akses terhadap sistem peradilan formal guna membuka
pilihan dan memperluas ”bayangan” hukum.
4. Untuk mendasari kegiatan di tingkat akar rumput, prioritas terakhir adalah perubahan kebijakan
pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pertanggungjawaban ke atas dengan membuat (i)
pedoman tingkat nasional yang memperkuat persinggungan dengan sektor formal; dan (ii) peraturan
daerah untuk melembagakan serangkaian prinsip untuk peradilan non-negara yang adil dan inklusif
sehingga sesuai dengan standar konstitusi.
Tabel 4: Kerangka kerja
Tingkat Tindakan Prioritas
Akar Rumput/ Masyarakat Memberdayakan perempuan dan kelompok minoritas melalui peningkatan kesadaran akan hak
Membuat agar para pelaku peradilan non-negara bertanggung jawab ke bawah dengan menjadikan posisi mereka sebagai posisi yang harus dipilih oleh
masyarakat
Membuka akses terhadap sistem formal melalui program pendidikan hukum dan pengadilan keliling
Mendukung mobilisasi dan organisasi sosial untuk mengatasi sengketa antara masyarakat dan pihak luar
Lembaga desa dan Pelaku
Peradilan Informal
Mengembangkan keterampilan dan kemampuan para pelaku peradilan non-negara untuk menyelesaikan sengketa secara profesional
Mendukung klarifi kasi berbagai struktur dan norma yang berlaku di dalam sistem peradilan informal
Mendukung keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas di lembaga desa
Tingkat Kabupaten/Kota Membuat suatu kerangka peraturan daerah yang menjunjung tinggi standar konstitusi yang menjamin hak banding, sanksi yang manusiawi dan keterwakilan
perempuan dan kelompok minoritas
Mengembangkan pertanggungjawaban ke atas dengan mendukung pemantauan dan pengawasan atas peradilan informal oleh masyarakat madani dan pemerintah
Tingkat Nasional Mengeluarkan Surat Edaran pengadilan yang mengklarifi kasikan yurisdiksi peradilan non-negara vis-a-vis pengadilan
Membentuk Community Justice Liaison Unit (Unit Penghubung Peradilan Komunitas)
di Kementerian Hukum dan HAM untuk mendorong keselarasan dan konsistensi
antara peradilan negara dan non-negara (seperti model di Papua Nugini).
66 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
1. Mendukung Pertanggungjawaban ke bawah: Memberdayakan Masyarakat terpinggirkan untuk Menuntut Keadilan yang Lebih Baik
Contoh-contoh perubahan menunjukkan bahwa cara yang paling efektif untuk membawa perubahan adalah
melalui tindakan di tingkat masyarakat yang memberdayakan kelompok lemah dan terpinggirkan untuk
menuntut pelayanan pengadilan yang lebih baik. Kasus Afrida di atas menunjukkan bagaimana kekuatan
informasi hukum dapat mendorong keterwakilan perempuan di dewan adat.
Termasuk dalam saran khusus adalah:
• Kesadaran akan hak-hak hukum: program penyuluhan hukum yang berfokus pada jenis-jenis sengketa
utama yang telah diidentifi kasi dalam penelitian ini (yaitu sengketa tanah, kekerasan dalam rumah
tangga, dan hukum keluarga) akan membantu masyarakat untuk memamahi hak-hak mereka dan
juga cara mempertahankannya. Hal ini juga melindungi kelompok lemah dan terpinggirkan agar tidak
dimanipulasi dan ditipu oleh pihak yang berkuasa.
• Mobilisasi sosial: khususnya untuk sengketa yang melibatkan kepentingan pihak luar, masyarakat harus
belajar bagaimana cara mengambil tindakan bersama. Pendampingan hendaknya disediakan untuk
dan oleh LSM demi meningkatkan kemampuan lokal dalam mengorganisir dan melakukan pembelaan
agar dapat menandingi kekuatan dari sektor swasta dan kepentingan pihak luar yang berkuasa.
• Pemilihan pelaksana peradilan non-negara pada tingkat desa: dimana memungkinkan dan mendapat
dukungan lokal, pelaksana peradilan non-negara hendaknya dipilih untuk menjamin adanya
pertanggungjawaban kepada pencari keadilan. Hal ini bisa dimuat dalam peraturan daerah atau
desa. Namun saran ini tidak akan berlaku untuk beberapa daerah tertentu dimana norma-norma dan
praktek lokal dalam menentukan pelaksana peradilan non-negara sudah berjalan dengan baik, seperti
di Sumatera Barat.
2. Peningkatan Kualitas: Mengembangkan Kapasitas dan Mendorong Perubahan Struktural
Di beberapa daerah di Indonesia mekanisme informal tidak lagi cukup berfungsi secara memadai. Hal ini
khususnya ditemui di lokasi penelitian di Kalimantan Tengah, dimana banyak damang merasa kekurangan
sumber daya dan keahlian teknis dalam menyelesaikan sengketa secara efektif. Kerjasama dengan institusi
tingkat lokal untuk memenuhi kebutuhan ini hendaknya dipusatkan pada:
• Pengembangan pelatihan dan keahlian: Program pelatihan yang dikhususkan pada mediasi, jender
dan dokumentasi kasus akan sangat berguna. Pelatihan dan pengembangan keahlian hendaknya
mengutamakan pihak yang paling sering terlibat dalam proses penyelesaian sengketa informal—yaitu
pemimpin masyarakat, pemimpin adat, kepala desa dan polisi. Pelatihan dan pengembangan keahlian
hendaknya diutamakan pada penyelesaian dari bentuk sengketa yang paling sering terjadi—tindakan
pidana, sengketa tanah, warisan dan perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
• Pengadaan program akreditasi untuk pelaksana peradilan non-negara: Pengembangan pelatihan dan
keahlian hendaknya diupayakan agar mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung. Pelatihan harus
meliputi prosedur dan substansi dasar dari sistem pengadilan formal dan juga memberi keahlian dalam
mediasi dan penyelesaian sengketa. Program seperti ini akan meningkatkan legitimasi mekanisme
informal dimata pelaksana formal dan sebaliknya.
67Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
• Pengupayaan perwakilan dengan terus melibatkan kelompok terpinggirkan tertentu: Mendorong
keterwakilan membutuhkan dua pendekatan. Pertama, sarana perwakilan perempuan dan kelompok
terpinggirkan harus disediakan. Contoh dari Sumatera Barat dan juga seorang kepala desa perempuan
di Maluku menunjukkan bahwa lobi dan keterwakilan dapat membuat perbedaan. Namun penetapan
aturan yang menentukan batas minimum perwakilan tidak akan menjamin hasil di lapangan.
Keterwakilan harus berjalan sesungguhnya. Untuk memastikan partisipasi kelompok terpinggirkan
– seperti perempuan, suku dan agama minoritas – dibutuhkan pemberdayaan dan pengembangan
kapasitas. Kelompok perempuan di Sumatera Barat telah menunjukkan bagaimana hal ini dapat
dilakukan.
• Mendukung prakarsa pembukuan/kodifi kasi sistem peradilan non-negara: Memperjelas prosedur dan
struktur mekanisme informal memberi beberapa kelebihan. Mekanisme yang lebih transparan dan
mudah dimengerti masyarakat lokal dapat memberdayakan masyarakat. Hal ini juga dapat memperjelas
hubungan dengan sistem pengadilan formal. Bagaimanapun, ada juga resiko yang signifi kan. Upaya
kodifi kasi dapat menjadi penghalang bagi kelenturan mekanisme informal. Selain itu, upaya kodifi kasi
juga dapat dimanfaatkan untuk mengukuhkan pendapat kelompok elit tentang mekanisme informal
dan struktur kekuasaan yang ada. Meskipun demikian, penelitian ini menemukan bahwa kodifi kasi
peradilan non-negara semakin umum dilakukan. Dimana ada permintaan akan kodifi kasi maka
masyarakat sipil dan donor harus memberi dukungan agar dapat mengurangi akibat-akibat yang
negatif. Jelasnya, dukungan ini dapat berbentuk: (a) mendukung proses partisipasif yang melibatkan
semua pemegang kepentingan, khususnya perempuan dan kelompok minoritas; dan (b) mengadakan
analisa jender dan hak asasi manusia atas norma-norma yang terdapat pada langkah dan substansi
peradilan non-negara setempat.
• Pengembangan kapasitas forum antar desa: Kapasitas mekanisme peradilan non-negara pada tingkat
desa untuk menyelesaikan sengketa antar desa dan sengketa yang melibatkan pihak luar sangat kurang.
Forum antar desa yang telah ada harus didukung dengan upaya pengembangan kapasitas mereka,.
• Pendirian Unit Perantara Peradilan Komunitas di Kementerian Hukum dan HAM di tingkat pusat dan daerah.
Unit ini dapat berfungsi sebagai badan pengawas, menjalankan program peningkatan kapasitas pelaku
peradilan non-negara, menjalankan program peningkatan kepedulian bagi kelompok terpinggirkan,
serta pendokumentasian dan penyebaran informasi mengenai prakarsa lokal di tingkat internasional,
nasional dan daerah. Unit ini dapat mengembangkan kerjasama dan kesesuaian antara sistem peradilan
non negara dan negara—yaitu menjadi agen aktif dalam membentuk “titik keseimbangan” antara kedua
sistem peradilan tersebut.
3. Memperlebar “Bayangan Hukum”: Membuat Sistem Pengadilan Formal Menjadi Lebih Mudah Diakses
Keunggulan yang dimiliki peradilan non-negara tidak dapat meniadakan kebutuhan untuk mempermudah akses
terhadap peradilan negara dan meningkatkan kemandirian pengadilan. Meski jarang digunakan, pengadilan
bertindak sebagai mekanisme pertanggungjawaban. Jika salah satu pihak tidak puas dengan hasil dari
proses informal—apakah karena alasan teknis, politik, korupsi atau normatif—keputusan itu dapat “dibanding”
atau ditinjau kembali oleh sistem formal. Banyak perempuan dan etnis minoritas yang lebih memilih sistem
formal untuk menyelesaikan kasus yang serius. Meningkatkan akses terhadap pengadilan akan memperkuat
pengawasan terhadap peradilan non-negara.
• Pendidikan hukum: Data dari GDS menunjukkan bahwa orang yang sadar akan hak-haknya lebih
cenderung menggunakan dan mempercayai sistem hukum formal. Karena itu, pendidikan formal
merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam mempermudah akses terhadap sistem
68 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
pengadilan. Program kesadaran hukum masyarakat hendaknya bertujuan untuk membuat sistem
pengadilan formal menjadi lebih jelas dan mudah dimengerti, menyampaikan ruang lingkup dan
wewenangnya, dan menunjukkannya sebagai alternatif yang baik.
• Meningkatkan program paralegal sebagai perantara informal-formal: Kesadaran akan hak tidak akan
berarti tanpa adanya sumber daya untuk menegakkannya. Paralegal adalah anggota masyarakat, yang
telah diberikan pelatihan di bidang hukum, yang dapat dijadikan sumber pertama dalam pencarian
bantuan hukum. Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa walaupun jumlah paralegal hanya sedikit,
tingkat kepuasan kepada paralelal sangat tinggi. Mereka bisa menyediakan keahlian di bidang organisasi
dan membuka akses ke sistem formal.
• Mendukung program bantuan hukum yang aktif dan berkesinambungan, khususnya untuk kelompok rentan:
Agar akses ke sistem formal menjadi berarti, paralegal dan orang yang bersengketa membutuhkan
jaringan dimana mereka bisa mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum ini lebih diperlukan untuk
beberapa jenis sengketa, seperti tindak pidana berat, pelanggaran berulang, sengketa yang melibatkan
tokoh setempat yang berpengaruh, dan sengketa yang secara luas melibatkan sumber daya ekonomi.
Dukungan ini juga khususnya penting untuk perempuan, yang sering dihambat oleh tekanan sosial
dalam mencari bantuan hukum.
• Mendukung program pengadilan keliling: pengadilan keliling, dimana hakim melakukan perjalanan ke
tingkat daerah dan desa untuk menerima kasus perdata dan pidana ringan, memberi dan membuka
kemungkinan untuk mengajukan banding dari hukum adat ke pengadilan negara.
4. Memperkuatkan Pertanggungjawaban ke Atas: Sebuah Kerangka Kerja Kebijakan dan Peraturan
Sebuah kerangka kerja kebijakan dan peraturan akan menampilkan sejumlah prinsip dan standar minimum
untuk meningkatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan dari peradilan non-negara.
Perbaikan kerangka kerja kebijakan dan peraturan tidak akan secara langsung menghasilkan perubahan tindakan.
Indonesia, seperti umumnya negara berkembang, marak dengan contoh hukum, peraturan dan kebijakan yang
tidak diterapkan. Tapi adanya peraturan tetap merupakan pernyataan niat yang kuat. Hal ini menjadi titik awal
dalam pedoman kerja pemerintah, LSM dan donor untuk mengadakan peningkatan kapasitas, pelatihan dan
intervensi lainnya dalam meningkatkan kualitas peradilan lokal.
• Pedoman Kebijakan Nasional: Bappenas dalam proses menyusun Strategi Nasional untuk Akses Keadilan
untuk dimasukkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun
2010-2014. RPJMN 2004-2009 saat ini mengadung retorika standar mengenai pentingnya peradilan
non-negara, tanpa memberi pedoman mengenai cara membentuk hubungan dengan pengadilan
formal ataupun cara mendukung pertanggunjawaban terhadap pencari keadilan dan terhadap
negara. Rencana 2010-2014 seharusnya mencakup kerangka kerja menuju perubahan sambil juga
memberdayakan pemerintah daerah untuk mengatur agar mendapat hasil yang diinginkan.
• Peraturan Mahkamah Agung untuk Memfasilitasi Interaksi Formal-Informal: Kewenangan di bidang
peradilan masih merupakan fungsi utama dari pemerintahan pusat. Jadi, meski pemerintah daerah
mempunyai wewenang untuk mengatur struktur mekanisme peradilan non-negara, Mahkamah Agung
tetap memiliki yurisdiksi untuk menetapkan peraturan dan kebijakan yang memfasilitasi hubungan
formal-informal. Hal ini bisa dicapai dengan: (a) memberi defi nisi yang jelas tentang yurisdiksi mekanisme
peradilan non-negara; (b) mengembangkan program mediasi di pengadilan oleh Mahkamah Agung
untuk memperluas akreditasi mediator tingkat desa; (c) memfasilitasi keterlibatan Pengadilan Negeri
69Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
dan Pengadilan Tinggi dalam pengembangan peraturan regional yang berkaitan dengan peradilan
non-negara; dan (d) membuat mekanisme dan pedoman yang jelas untuk mengajukan upaya banding
dari peradilan informal ke pengadilan formal.
• Membuat Kerangka Kerja Peraturan Daerah: Peraturan tidak akan lansung tercermin pada tindakan
namun tetap diperlukan untuk kemudian dapat menerjemahkan kebijakan nasional menjadi standar
mininum dan kerangka pertanggungjawaban yang tepat di tingkat lokal. Laporan ini menyarankan
ditetapkannya peraturan daerah yang memuat prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan
secara luas namun tetap memberi ruang untuk diadaptasi sesuai kebiasaan dan keadaan setempat.
Pemerintah daerah disarankan untuk menerbitkan peraturan daerah tentang sistem peradilan informal
yang mencakup hal-hal berikut:
Yurisdiksi:o menjelaskan yurisdiksi antara sistem pengadilan formal dan sistem peradilan non-
negara.
Perwakilan:o Memberi jaminan keterwakilan bagi semua anggota masyarakat untuk mekanisme
peradilan non-negara, termasuk perempuan dan kelompok minoritas.
Pemilihan Pelaku:o Kerangka kerja harus menciptakan pertanggungjawab terhadap pencari
keadilan dengan membuat prosedur jelas tentang cara memilih pelaku peradilan non-negara.
Prosedur Dasar:o Kerangka kerja harus memuat pedoman umum berkaitan dengan langkah-
langkah dalam proses mediasi dan penyelesaian sengketa. Pedoman ini hanya mengatur
jaminan terhadap prinsip kesukarelaan, serta hak untuk mendengar dan didengar.
Sengketa antar-komunitas:o Mekanisme khusus harus dibentuk mengatasi sengketa antar-desa,
sengketa antar-komunitas, dan sengketa antara masyarakat dan pihak luar.
Hak Pengajuan banding:o Kerangka kerja harus membuat jalur dan kriteria yang jelas untuk
mengajukan banding dari sistem informal ke sistem formal.
Sanksi:o Memastikan sanksi yang dijatuhkan oleh sistem peradilan non-negara tidak memberatkan
dan tidak bertentangan dengan UUD.
• Membuat forum antar pihak/mediasi sengketa tanah: Untuk meningkatkan komunikasi dan pengawasan
terhadap peradilan desa, forum antar pihak yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi dan pelaku peradilan
informal harus dibentuk di tingkat daerah. Dengan pertemuan teratur, forum dapat memberi ruang
untuk membahas dan mengatasi sengketa khusus, membangun sikap saling mengerti, memfasilitasi
dialog mengenai perubahan peraturan dan hukum, serta melakukan pengawasan terhadap peradilan
non-negara. Forum ini juga dapat membentuk mekanisme baru dalam mengatasi sengketa tanah dan
sengketa antar etnis yang rumit, dimana mediasi cenderung lebih efektif daripada putusan pengadilan
karena sifat sengketa yang peka dan rentan kekerasan.
Saran-saran diatas mencoba untuk meningkatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan pengadilan informal.
Saran-saran tersebut didasarkan pada harapan, yang cukup masuk akal, bahwa perubahan secara bertahap
dapat meningkatkan keadilan bagi kelompok terpinggirkan.
Program Justice for the Poor sedang menindak lanjuti studi ini dengan dua cara. Pertama, berkaitan dengan
kebijakan, melalui masukan temuan-temuan dan saran-saran penelitian kepada Strategi Nasional Akses terhadap
Keadilan (Stranas) yang sedang dikembangkan oleh Bappenas.
Cara kedua lebih berupa operasional, dengan mengupayakan penerapan saran-saran dalam kerjasama dengan
beragam pihak di propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Selama pengamatan dalam penelitian ini,
kedua propinsi tersebut telah terbentuk kelompok-kelompok kerja yang beranggotakan pejabat pemerintah
propinsi dan kabupaten/kota, anggota DPRD, hakim, jaksa dan polisi, organisasi masyarakat, kepala desa, kepala
adat dan organisasi keagamaan.
70 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Bersama kelompok-kelompok kerja ini, Justice for the Poor telah mengembangkan program-program
peningkatan kualitas peradilan non-negara di beberapa desa percontohan, dengan menerapkan saran-
saran yang dikemukakan di tulisan ini. Pendekatan ini sengaja bekerja secara bertahap dengan tujuan yang
tidak muluk-muluk tetapi bersifat mendasar,dengan menanfaatkan institusi yang telah ada. Pendekatan ini
juga dipastikan akan disesuaikan dengan keadaan setempat, dengan mengakui bahwa kesempatan dan
ruang mengadakan perubahan akan berbeda di setiap lokasi. Di Sumatera Barat, advokasi kebijakan sedang
diutamakan karena peraturan daerah tentang hukum adat sedang diujikembali dan diperbaiki. Di NTB, program
mengutamakan pendefi nisian proses, norma dan strukur penyelesaian sengketa, karena pada sisi-sisi inilah
pemangku kepentingan setempat mengidamkan perubahan.
Maka, kerangka kerja yang dibuat diatas menawarkan berbagai pilihan-pilihan yang dapat diterapkan pada
tingkat yang berbeda di lokasi yang berbeda. Karena itu, kerangka kerja tersebut harus disesuaikan dengan
keadaan yang sesungguhnya. Pemerintah Indonesia juga menerapkan beberapa saran-saran dalam tulisan
ini dengan membentuk komponen pemberdayaan hukum masyarakat yang berdiri sendiri dibawah proyek
Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.80
Laporan ini telah menekankan pentingnya keterkaitan peradilan non-negara dengan stabilitas sosial dan
kehidupan ekonomi di tingkat lokal. Strategi menyeluruh yang mendukung penegakan hukum perlu
disesuaikan dengan kenyataan dan mencakup mekanisme peradilan non-negara di tingkat desa. Saran-saran
yang telah dikemukakan di tulisan ini dapat membantu mendukung perbaikan dan perubahan di tingkat
nasional dengan memusatkan bantuan pada tingkatan yang paling dibutukan, memberdayakan kelompok
miskin dan terpinggirkan untuk dapat menyelesaikan sengketa, dan mendukung Indonesia dalam menjalankan
pembaharuan.
80 Lihat http://p2dtk.bappenas.go.id/ .
71Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
Lampiran
Lampiran 1: Perubahan peraturan yang berhubungan dengan pemerintahan desa dan peradilan non-
negara di lokasi penelitian sejak adanya Otonomi Daerah
Provinsi Tindakan Provinsi dan Kabupaten Penerapan di Desa
Sumatera Barat Provinsi: Peraturan Daerah No. 9 tahun 2000 tentang
Pokok-pokok Pemerintah Nagari. Provinsi kembali
menggunakan nagari sebagai bentuk terendah
pemerintahan local, berdasarkan Undang-Undang No. 5
tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
Administrasi tradisional nagari yang
berbasis klan sebagian besar telah
terbentuk kembali di Sumatera Barat
Kabupaten: Dari 12 Kabupaten, delapan di antaranya telah
melaksanakan Peraturan Daerah No. 9 tahun 2000; tiga
kabupaten di antaranya baru terbentuk dan kini mengikuti
kabupaten lamanya. Yang lainnya berada di Kepulauan
Mentawai yang secara etnis sangat berbeda, yang memiliki
sistem mereka sendiri.
Lembaga Adat Nagari (LAN) memiliki
tanggung jawab resmi dalam
penyelesaian sengketa, namun dalam
praktiknya terbagi dengan kepala desa
(wali nagari)
Kalimantan
Tengah
Provinsi: membuat Peraturan Daerah No. 25 tahun 2000
tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah dan
Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonomi.
Memberi kepercayaan lebih pada ketua
adat (damang) dan peranan hukum adat
dalam penyelesaian sengketa.
Kabupaten: sejumlah kabupaten telah membuat
peraturan dengan topik yang sama, termasuk Peraturan
Daerah Pulang Pisau No. 11 tahun 2003 tentang Formasi
dan Pemberdayaan Lembaga Adat Dayak dan Peraturan
Daerah Kotawaringin Timur No. 15 tahun 2001 tentang
Lembaga Adat di Kotawaringin Timur.
Kenyataannya, kembalinya adat hanya
setengah hati dan tidak didukung oleh
tindakan nyata. Tidak merubah stuktur
pemerintahan, tapi memperkuat status
hukum adat dan ketua adat (damang).
Jawa Timur Tidak ada perubahan. Pemimpin lokal telah lebih politis
dengan perubahan demokratis. Identitas
Islam juga diperkuat.
Nusa Tenggara
Barat
Provinsi: Membuat peraturan yang menjelaskan peranan
dan struktur pemerintah desa, namun tidak banyak
berbeda dengan pengaturan sebelumnya. Tidak ada
perubahan berarti pada penyelesaian sengketa.
Kabupaten: Beberapa kabupaten mempertimbangkan
untuk membuat peraturan yang mengakui lembaga adat
dan hukum adat.
Beberapa inisiatif yang dipimpin oleh
masyarakat telah menggambarkan
semangat dari otonomi daerah untuk
membuat pengadilan adat desa yang
berdiri sendiri, dengan struktur dan
susunan prosedur dan hukum adat yang
jelas.
Maluku Provinsi: Peraturan Daerah Provinsi Maluku No. 14 tahun
2005 tentang Kembali ke Negeri menetapkan untuk
kembali ke struktur pemerintahan tradisional, yang dikenal
sebagai ‘negeri’, dipimpin seorang raja. Peraturan ini
juga meningkatkan wewenang raja dalam penyelesaian
sengketa.
Kabupaten: Hanya Maluku Tengah yang telah
menerapkan peraturan daerah tersebut. Kota Ambon telah
mempersiapkan rancangan dan empat kabupaten lainnya
melakukan hal yang sama.
Hanya sedikit pengaruhnya pada tingkat
desa. Seperti sebelum situasi tahun 1999,
raja mendapatkan tingkat penerimaan
yang cukup tinggi di beberapa daerah,
terutama di pedalaman, namun memiliki
kewenangan yang berbeda di kota.
72 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
La
mp
ira
n 2
: M
atr
iks
Ka
sus
L
ok
asi
/
W
ak
tu
Pih
ak
ya
ng
be
rse
ng
ke
ta
De
skri
psi
se
ng
ke
ta d
an
pro
ses
pe
ny
ele
saia
nn
ya
Pih
ak
ya
ng
me
nd
uk
un
g
pe
ny
ele
saia
n
Ha
sil
da
n U
pa
ya
ya
ng
dil
ak
uk
an
1K
ua
la K
ap
ua
s,
Ka
lima
nta
n
Ten
ga
h, 2
00
3
Pe
nu
ntu
t: K
om
bit
,
pe
tug
as
pa
sar
da
ri s
uku
Day
ak
Re
spo
nd
en
: Ma
rha
t,
pe
da
ga
ng
su
kse
s ya
ng
rasi
on
al.
Su
ku B
an
jar
Po
sisi
taw
ar
Ma
rha
t ya
ng
leb
ih k
ua
t m
en
yeb
ab
kan
ia m
en
ola
k p
en
yele
saia
n
sen
gke
ta y
an
g t
ida
k
diin
gin
kan
nya
.
Ma
rha
t te
lah
dip
eri
ng
ati
be
rka
li-ka
li o
leh
Ko
mb
it u
ntu
k ti
da
k
be
rda
ga
ng
di w
ilaya
h y
an
g d
ilara
ng
dip
asa
r. P
ad
a a
khir
nya
Ma
rha
t m
en
en
tan
g p
eri
ng
ata
n-p
eri
ng
ata
n t
ers
eb
ut
da
n
me
mu
kul K
om
bit
hin
gg
a c
ed
era
.
Ko
mb
it d
an
ata
san
nya
me
lap
ork
an
ke
jad
ian
ini p
ad
a p
olis
i.
Tid
ak
ad
a t
ind
aka
n a
pa
pu
n y
an
g k
are
na
Ma
rha
t m
en
cob
a
un
tuk
me
nyu
ap
se
ba
ga
i ca
ra k
elu
ar
da
ri p
erm
asa
lah
an
.
Tem
an
-te
ma
n M
arh
at
me
ng
inti
mid
asi
Ko
mb
it a
ga
r m
eru
juk
ma
sala
h in
i ke
Da
ma
ng
da
n m
en
ari
k la
po
ran
po
lisi.
Da
ma
ng
tid
ak
me
nya
da
ri k
ala
u K
om
bit
dip
aks
a u
ntu
k m
en
eri
ma
pe
nye
lesa
ian
ma
sala
h s
eca
ra a
da
t.
Fo
rma
l: P
olis
i da
n a
tasa
n
Ko
mb
it d
i pa
sar
Info
rma
l: D
am
an
g, d
ew
an
ad
at
da
n a
tasa
n K
om
bit
Fo
rma
l: P
en
yid
ika
n
be
rla
ng
sun
g s
ela
ma
em
pa
t
bu
lan
leb
ih t
an
pa
ad
a h
asi
l.
Info
rma
l: P
en
yele
saia
n
sen
gke
ta d
ica
pa
i da
lam
du
a
min
gg
u. M
arh
at
me
min
ta
ma
af
da
n s
etu
ju m
em
bay
ar
ua
ng
pe
ng
ga
nti
se
be
sar
6
juta
ru
pia
h d
an
ua
ng
pe
rka
ra
60
0 r
ibu
ru
pia
h. M
arh
at
ha
nya
me
mb
aya
r 1
,5 ju
ta r
up
iah
.
Da
ma
ng
tid
ak
me
ng
am
bil
tin
da
kan
me
ma
ksa
ap
ap
un
.
2P
en
an
gg
ua
n,
Pa
me
kasa
n,
Jaw
a T
imu
r, 2
00
1
Pe
nu
ntu
t: A
mir
Re
spo
nd
en
:
Ha
lim
Day
a t
awa
r d
ua
pih
ak
yan
g
be
rse
ng
keta
se
imb
an
g.
Ke
pa
la d
esa
me
nd
oro
ng
ke a
rah
ko
mp
rom
i
Ha
lim, s
ep
up
u A
mir
me
nju
al t
an
ah
ya
ng
dik
laim
ole
h A
mir
seh
arg
a 8
juta
ru
pia
h. U
pay
a p
en
yele
saia
n s
en
gke
ta y
an
g
dila
kuka
n o
leh
sa
ud
ara
Ha
lim g
ag
al.
Ka
sus
ini d
ilap
ork
an
ke
kep
ala
de
sa.
Ke
pa
la d
esa
me
ruju
k p
ad
a s
ura
t-su
rat
kep
em
ilika
n t
an
ah
.
Un
tuk
me
nye
lesa
ika
n k
ete
ga
ng
an
, ia
me
mb
ag
i du
a t
an
ah
.
Am
ir d
imin
ta m
en
eri
ma
ke
pu
tusa
n it
u d
en
ga
n a
nca
ma
n
selu
ruh
ta
na
h y
an
g d
ise
ng
keta
kan
aka
n d
iam
bil
ole
h
pe
me
rin
tah
de
sa.
Info
rma
l: p
iha
k ke
lua
rga
,
kep
ala
de
sa
1-2
min
gg
u
Me
skip
un
tid
ak
ad
a
pe
nye
lesa
ian
ya
ng
ide
al d
an
seca
ra h
uku
m, t
ap
i ke
pa
la
de
sa t
ela
h m
en
ga
mb
il
kep
utu
san
ya
ng
ma
suk
aka
l
un
tuk
me
red
aka
n k
ete
ga
ng
an
.
Ku
ran
gn
ya k
ep
ast
ian
hu
kum
da
pa
t m
en
ga
kib
atk
an
se
ng
keta
teru
lan
g k
em
ba
li.
3S
ou
ho
ku,
Pu
lau
Se
ram
,
Ma
luku
Te
ng
ah
19
97
da
n 2
00
3
Ka
sus
I: U
din
da
n H
ary
ad
i
me
law
an
Min
gg
us
Tam
ae
la
Ka
sus
2:
Ud
in m
ela
wa
n
Lah
am
aku
Ka
sus
1: U
din
da
n H
ary
ad
i me
mb
eli
tan
ah
Am
on
g P
iete
rs.
Tan
ah
te
rse
bu
t te
lah
be
rse
rtifi
ka
t, n
am
un
Am
on
g t
ida
k
me
mb
eri
kan
se
rtifi
ka
t sa
at
pe
nju
ala
n. T
an
ah
te
rse
bu
t
be
rba
tasa
n d
en
ga
n b
ida
ng
ta
na
h m
ilik
Min
gg
us
Tam
ae
la.
Se
lan
jutn
ya, A
mo
ng
me
min
ta U
din
da
n H
ary
ad
i un
tuk
me
ne
ba
ng
po
ho
n y
an
g a
da
di l
ah
an
nya
. Se
tela
h p
oh
on
dip
oto
ng
, Min
gg
us
me
mp
rote
s d
an
me
ng
kla
im p
oh
on
itu
ad
a d
i ta
na
hn
ya. M
ing
gu
s m
en
ga
nca
m U
din
da
n H
ary
ad
i jik
a
tid
ak
seg
era
me
ng
em
ba
lika
n p
oh
on
nya
. Ud
in d
an
Ha
rya
di
me
lap
ork
an
ka
sus
ini k
e R
aja
.
Ka
sus
2:
Ud
in b
erk
ela
hi d
en
ga
n L
ah
am
aku
me
ng
en
ai b
ata
s
tan
ah
me
reka
. Ud
in m
ela
po
rka
n k
asu
s in
i ke
Ra
ja. K
ali
ini R
aja
me
ng
irim
kan
tim
nya
da
ri N
eger
i Sa
nir
i un
tuk
me
ma
stik
an
ba
tas
tan
ah
da
n m
em
utu
ska
n h
asi
lnya
.
Info
rma
l: R
aja
da
n s
taff
nya
Ka
sus
1:
Ra
ja m
em
inta
Am
on
g
da
n M
ing
gu
s u
ntu
k m
em
bay
ar
gu
na
me
nd
ap
atk
an
ke
pa
stia
n
ba
tas
tan
ah
.
Ka
sus
2:
Ud
in b
en
ar
da
lam
kasu
s in
i, ja
di L
ah
am
aku
ha
rus
me
mb
aya
r u
ntu
k se
jum
lah
tan
ah
. Ka
sus
ini d
itu
tup
Ud
in t
ida
k p
ua
s d
en
ga
n
pu
tusa
n R
aja
, ta
pi t
erp
aks
a
me
ne
rim
a k
are
na
ku
ran
gn
ya
alt
ern
ati
f p
en
yele
saia
n
sen
gke
ta.
73Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
4P
ale
ng
an
,
Da
ja d
an
Po
reh
,
Ka
bu
pa
ten
Pa
me
kasa
n,
Jaw
a T
imu
r
19
96
Pih
ak
-pih
ak
:
Sa
mm
at
da
n S
ard
ima
n
Po
sisi
day
a t
awa
r h
am
pir
seim
ba
ng
Se
ng
keta
ta
na
h w
ari
san
ya
ng
me
linta
si b
ata
s d
esa
. Ta
na
h
yan
g d
ipe
rma
sala
hka
n b
erl
oka
si d
i de
sa y
an
g d
itin
gg
ali
Sa
mm
at.
Na
mu
n t
an
ah
itu
dig
un
aka
n S
ard
ima
n. S
ete
lah
me
ne
lusu
ri ik
ata
n k
eke
lua
rga
an
da
n is
u p
ew
ari
san
ya
ng
rum
it, S
am
ma
t m
era
sa t
an
ah
te
rse
bu
t m
ilikn
ya. S
am
ma
t
me
nco
ba
me
mp
ert
eg
as
kla
im t
an
ah
te
rse
bu
t d
en
ga
n
me
ma
san
g p
ato
k ka
yu d
iba
tas
tan
ah
. Sa
rdim
an
me
law
an
da
n m
en
gkl
aim
ta
na
h t
ers
eb
ut
mili
knya
. Up
aya
pe
nye
lesa
ian
yan
g d
ilaku
kan
ole
h k
ep
ala
de
san
nya
Sa
mm
at
tid
ak
dit
eri
ma
ole
h S
ard
ima
n. U
pay
a p
en
yele
saia
n o
leh
pih
ak
ne
tra
l ju
ga
ga
ga
l da
n h
am
pir
me
nye
ba
bka
n k
eke
rasa
n m
asa
l an
tara
pe
nd
uku
ng
da
ri k
ed
ua
ke
lom
po
k.
Info
rma
l:
Ke
pa
la d
esa
, to
koh
-to
koh
ma
sya
raka
t, k
elo
mp
ok
be
rse
nja
ta y
an
g m
en
du
kun
g
ma
sin
g-m
asi
ng
pih
ak
Ha
sil:
pe
nye
lesa
ian
se
ng
keta
yan
g g
ag
al.
Ke
pa
la d
esa
da
n
toko
h m
asy
ara
kat
me
nce
ga
h
terj
ad
inya
ke
kera
san
5S
um
pu
r,
Su
ma
tera
Ba
rat,
20
03
Pih
ak
-pih
ak
:
Gu
s, w
arg
a b
aru
di d
esa
,
Da
tuk
Ra
ng
kayo
Ba
sa, t
etu
a
ad
at
sete
mp
at.
Po
sisi
taw
ar
yan
g t
ida
k
seta
ra
Ma
sala
h t
imb
ul s
ete
lah
an
ak
Gu
s d
an
Da
tuk
Ra
ng
kayo
be
rke
lah
i di j
ala
na
n. G
us
san
ga
t ke
cew
a. S
aa
t m
en
ga
du
ke
Da
tuk
Ra
ng
kayo
, ia
leb
ih m
en
gg
un
aka
n k
ata
ga
nti
‘an
da’
,
keti
mb
an
g m
em
an
gg
ilnya
de
ng
an
se
bu
tan
te
rho
rma
t
Da
tuk.
Insi
de
n in
i dila
po
rka
n k
e K
AN
. Se
bu
ah
pe
rte
mu
an
dila
ng
sun
gka
n. G
us
diw
aki
li o
leh
su
am
inya
, ma
ma
k. G
us
dip
eri
nta
hka
n u
ntu
k m
em
bay
ar “
ua
ng
em
as”
seb
esa
r 3
00
rib
u
rup
iah
, me
nye
dia
kan
be
ras
un
tuk
selu
ruh
de
sa, d
an
me
min
ta
ma
af
seca
ra t
erb
uka
.
Info
rma
l:
De
wa
n a
da
t
Ha
sil:
Ma
sala
h t
ers
ele
saik
an
. Da
tuk
Ra
ng
kayo
pu
as,
na
mu
n G
us
tid
ak.
Ia m
era
sa t
ela
h d
ihin
a.
6R
uh
ua
,
Pu
lau
Se
ram
,
Ma
luku
Te
ng
ah
,
De
sem
be
r 2
00
3
Pih
ak
-pih
ak
:
Ha
lue
Su
naw
e d
an
de
sa
Hay
a.
Ha
lue
Su
naw
e, p
em
ud
a d
ari
Ru
hu
a, p
erg
i ke
de
sa t
erd
eka
t
Hay
a u
ntu
k m
em
be
li ce
ng
keh
. De
sa H
aya
te
lah
lam
a
be
rmu
suh
an
de
ng
an
de
sa T
eh
oru
. Be
be
rap
a o
ran
g d
ari
Hay
a m
en
du
ga
Ha
lue
be
rasa
l da
ri T
eh
oru
da
n m
em
uku
linya
.
Ha
lue
ke
mu
dia
n m
em
baw
a t
em
an
-te
ma
nya
da
n m
ele
mp
ari
an
gku
tan
um
um
ya
ng
dim
iliki
ole
h o
ran
g H
aya
de
ng
an
ba
tu.
Pe
mili
k a
ng
kuta
n u
mu
m m
ela
po
rka
n k
asu
s in
i ke
po
lisi.
Info
rma
l:
Po
lisi,
Ra
ja, S
ekr
eta
ris
de
sa
Ke
du
a p
iha
k m
em
inta
ma
af
da
n m
en
an
da
tan
ga
ni s
ura
t
pe
rnya
taa
n. H
alu
e d
ide
nd
a
50
0 r
ibu
ru
pia
h u
ntu
k
me
ng
ga
nti
ke
rusa
kan
mo
bil.
Ia m
en
eri
ma
nya
, ka
ren
a
pro
sesn
ya c
ep
at
da
n t
erh
ind
ar
da
ri p
en
ga
dila
n.
7S
ep
a,
Pu
lau
Se
ram
,
Ma
luku
Te
ng
ah
,
20
03
Ko
rba
n:
P, p
ere
mp
ua
n 1
7
tah
un
.
Pe
lak
u :
kaka
k ip
ar
P
P a
da
lah
re
ma
ja p
utr
i
me
law
an
ke
lua
rga
ya
ng
be
rku
asa
P d
ipe
rko
sa o
leh
ka
kak
ipa
rnya
. Sa
at
ia m
ela
po
rka
n in
i ke
sua
min
ya, i
a d
ipu
kuli.
Ora
ng
tu
a P
me
mp
erm
asa
lah
kan
ini,
me
nye
ba
bka
n k
ete
ga
ng
an
de
ng
an
ke
lua
rga
su
am
i P. S
alin
g
ma
ki d
an
me
ng
an
cam
da
tan
g b
erg
an
tia
n. K
elu
arg
a s
ua
mi P
me
lap
ork
an
ha
l in
i ke
ke
pa
la d
esa
. Na
mu
n o
leh
ke
pa
la d
esa
,
kasu
s in
i dis
era
hka
n k
e k
etu
a a
da
t. A
lasa
nya
, ke
du
a p
iha
k
be
rasa
l da
ri k
lan
ya
ng
sa
ma
.
Sa
at
mu
syaw
ara
h d
ilaku
kan
se
cara
te
rbu
ka, k
etu
a a
da
t
me
ng
esa
mp
ing
kan
ka
sus
pe
me
rko
saa
n. I
a m
em
foku
ska
n
ma
sala
h p
ad
a a
nca
ma
n y
an
g d
ilon
tark
an
ke
lua
rga
P k
ep
ad
a
sua
mi P
. Pe
me
rko
sa t
ida
k d
ipa
ng
gil.
Se
cara
ke
be
tula
n, k
etu
a
ad
at
ad
ala
h k
aka
k ip
ar
P la
inn
ya.
Info
rma
l: k
ep
ala
de
sa, k
etu
a
ad
at
Ha
sil:
Ke
du
a k
elu
arg
a d
ide
nd
a
kare
na
sa
ling
me
ng
an
cam
.
Ka
sus
pe
me
rko
saa
n h
an
ya
diu
mu
mka
n k
e p
ub
lik, t
ida
k
dila
po
rka
n k
e p
olis
i.
Ko
rba
n s
an
ga
t ke
cew
a,
kare
na
ka
sus
pe
rko
saa
nn
ya
diu
mu
mka
n k
e m
asy
ara
kat,
sete
lah
itu
did
iam
kan
.
74 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
8D
esa
Je
ng
ga
la,
Lom
bo
k B
ara
t,
NT
B, 2
00
2
Pih
ak
-pih
ak
: H
. An
gg
en
g
Asw
ad
i, a
ng
go
ta D
PR
D
da
n d
ew
an
ad
at
An
gg
en
g, a
ng
go
ta
ma
sya
raka
t ya
ng
pu
nya
ked
ud
uka
n k
ua
t, m
am
pu
me
ng
ab
aik
an
ke
pu
tusa
n
un
tuk
ha
rmo
nis
de
ng
an
wa
rga
lain
An
ak
pe
rem
pu
an
An
gg
en
g “d
icu
lik” a
ga
r b
isa
din
ika
hi o
leh
Sa
hru
din
, te
rka
it d
en
ga
n a
tura
n a
da
t. A
ng
ge
ng
se
tuju
,
da
n a
kan
me
nd
ap
atk
an
pe
mb
aya
ran
se
be
sar
5 ju
ta r
up
iah
seb
ag
ai d
en
da
ad
at
un
tuk
“pe
ncu
lika
n”.
An
gg
en
g m
en
an
yaka
n k
ep
ad
a p
utr
inya
, ap
aka
h ia
me
ma
ng
me
min
ta d
inik
ah
i ole
h S
ah
rud
in. P
utr
i An
gg
en
g k
em
ud
ian
dit
em
uka
n k
em
ba
li ke
ru
ma
h o
ran
g t
ua
nya
. Wa
rga
me
liha
t
itu
be
rte
nta
ng
an
de
ng
an
ad
at.
Aki
ba
tnya
, An
gg
en
g d
ide
nd
a
ole
h d
ew
an
ad
at.
An
gg
en
g m
en
ola
k p
utu
san
itu
da
n
me
ng
aju
kan
ka
sus
ini k
e p
en
ga
dila
n s
ete
mp
at.
Pe
ng
ad
ilan
me
mu
tusk
an
sa
nks
i ad
at
kep
ad
a A
ng
ge
ng
tid
ak
be
rla
ku.
Me
na
ng
ga
pi i
tu, d
ew
an
ad
at
me
mp
erb
era
t sa
nks
i ya
ng
tela
h m
ere
ka ja
tuh
kan
ke
An
gg
en
g. A
ng
ge
ng
dik
uci
lka
n
da
ri d
esa
nya
se
lam
a t
iga
ta
hu
n d
an
ha
k-h
ak
sip
ilnya
(se
pe
rti
pe
mb
ua
tan
KT
P, p
era
yaa
n a
da
t d
an
lain
-la
in)
tid
ak
dia
kui.
Info
rma
l: K
ep
ala
du
sun
,
ketu
a R
T/R
W, k
ep
ala
ad
ap
t d
i
du
sun
da
n d
esa
Fo
rma
l: p
en
ga
dila
n t
ing
kat
kab
up
ate
n
Ha
sil:
An
gg
en
g t
eta
p t
ing
ga
l
di d
esa
da
n m
en
jad
i ba
gia
n d
ari
ma
sya
raka
t. w
ala
up
un
sa
nks
i
tela
h d
ibe
rika
n k
ep
ad
an
ya.
9B
um
bu
ng
an
,
Pa
me
kasa
n, J
awa
Tim
ur,
Jan
ua
ri 2
00
5
Pe
lak
u:
Pa
idi
Ko
rba
n: W
ard
i.
P h
aru
s m
en
gh
ab
iska
n
wa
ktu
nya
di p
en
jara
,
da
n k
asu
s sa
ling
eje
knya
de
ng
an
W
jug
a d
ise
lesa
ika
n le
wa
t
pe
rja
njia
n b
ers
am
a
Du
a o
ran
g t
ida
k sa
ling
ke
na
l, P
da
n W
, sa
ling
me
ng
eje
k,
sete
lah
ke
nd
ara
an
ke
du
an
ya b
ert
ab
raka
n. P
da
n a
yah
nya
me
ng
an
cam
W d
en
ga
n p
isa
u. W
me
lap
ork
an
ka
sus
ini k
e
Po
lisi d
an
me
no
lak
pe
nye
lesa
ian
da
ma
i ya
ng
dig
ag
as
ole
h
seo
ran
g k
yai.
Po
lisi m
en
ah
an
P. K
asu
s in
i la
lu d
ilap
ork
an
ke
kep
ala
de
sa. M
usy
awa
rah
ke
mu
dia
n d
ige
lar.
Be
be
rap
a h
ari
kem
ud
ian
, ke
pa
la d
esa
, pe
jab
at
mili
ter
sete
mp
at,
an
gg
ota
ge
ng
, da
n s
eju
mla
h t
oko
h m
asy
ara
kat,
se
mu
an
ya b
era
sal
da
ri d
esa
P, b
erk
um
pu
l di r
um
ah
ke
pa
la d
esa
. Me
reka
te
lah
me
nyi
ap
kan
se
bu
ah
pe
rnya
taa
n t
ert
ulis
, di m
an
a W
ard
i
be
rse
dia
se
tuju
me
nca
bu
t la
po
ran
nya
ke
po
lisi.
Me
rasa
tert
eka
n, i
a m
en
ola
knya
. Pa
da
akh
irn
ya, p
ara
an
gg
ota
ge
ng
me
nya
kin
kan
du
a p
iha
k u
ntu
k m
en
yetu
jui p
ern
yata
an
ters
eb
ut.
Fo
rma
l: P
olis
i me
na
ha
n P
aid
i
Info
rma
l: P
olis
i, lu
rah
,
an
gg
ota
ga
ng
, kya
i, w
arg
a
da
n t
oko
h m
asy
ara
kat,
ba
bin
sa
Terl
iba
t d
ala
m p
en
yele
saia
n
ma
sala
h in
i
Ha
sil:
pe
nye
lesa
ian
dit
eri
ma
,
dim
an
a P
da
n a
yah
nya
me
min
ta m
aa
f ke
W. P
dib
eb
ask
an
da
ri p
en
jara
, ka
sus
sele
sai.
Ga
bu
ng
an
an
tara
sa
nks
i
sosi
al d
an
inti
mid
asi
fi s
ik
dip
erg
un
aka
n u
ntu
k
pe
nye
lesa
ian
se
ng
keta
.
10
Lam
pu
ng
, 20
07
Pih
ak
-pih
ak
:
Ka
um
mu
da
du
a d
esa
Po
sisi
taw
ar
yan
g
seim
ba
ng
, de
ng
an
bo
bo
t
kasu
s ya
ng
rin
ga
n
Pa
k N
uri
ad
ala
h p
eta
ni d
esa
te
rpe
nci
l di L
am
pu
ng
. Sa
tu h
ari
,
an
akn
ya b
erk
ela
hi d
en
ga
n t
em
an
se
kela
snya
dis
eko
lah
.
Ora
ng
tu
a t
em
an
se
kela
s a
na
k P
ak
Nu
ri t
uru
t ca
mp
ur
da
n
me
mu
kulin
ya. P
ak
Nu
ri t
ida
k m
ela
po
rka
n k
asu
s in
i ke
po
lisi,
tap
i me
lap
ork
an
nya
ke
Pa
k P
am
in d
an
Pa
k B
ejo
, ke
pa
la
du
sun
nya
da
n p
ara
leg
al d
ari
se
bu
ah
LS
M b
an
tua
n h
uku
m.
Pa
k N
uri
me
ng
ata
kan
ba
hw
a m
ere
ka in
i dik
en
al
seb
ag
ai
“Ora
ng
-ora
ng
ya
ng
bis
a m
en
yele
saik
an
ma
sala
h“.
Info
rma
l: P
arm
in d
an
Be
jo, p
ara
leg
al d
i baw
ah
da
ri s
eb
ua
h p
rog
ram
LS
M
ba
ntu
an
hu
kum
did
usu
nn
ya
Ha
sil:
Pe
nye
lesa
ian
se
ng
keta
be
rha
sil.
11
Su
mp
ur,
Su
ma
tera
Ba
rat,
19
83
Pe
nu
ntu
t: Ib
u M
arn
is d
an
Su
am
i
Re
spo
nd
en
: Ib
u D
es
Ke
terw
aki
lan
pe
rem
pu
an
da
lam
inst
itu
si a
da
t sa
ng
at
kura
ng
. Ha
l in
i me
rug
ika
n
me
reka
.
Di t
ah
un
19
83
, ma
ma
k b
ere
nca
na
me
ng
ga
da
ika
n b
eb
era
pa
pe
tak
saw
ah
ya
ng
dim
iliki
Ma
rnis
, un
tuk
me
mb
aya
r h
uta
ng
an
akn
ya. S
eca
ra a
da
t, m
am
ak
ha
rus
me
min
ta ij
in M
arn
is
terl
eb
ih d
ulu
, na
mu
n h
al t
ers
eb
ut
tid
ak
Ma
ma
k la
kuka
n.
Ma
rnis
me
mb
awa
ka
sus
ini k
ep
ad
a e
mp
at
nin
ik m
am
ak
da
lam
ga
ris
ketu
run
an
nya
. Ma
rnis
be
rha
rap
nin
ik m
am
akn
ya
bis
a m
elin
du
ng
i ta
na
hn
ya. U
ntu
k m
en
gh
ind
ari
ma
ma
k d
an
pu
tra
nya
dip
erm
alu
kan
, nin
ik m
am
ak
me
nd
esa
k M
arn
is u
ntu
k
setu
ju d
en
ga
n p
utu
san
nya
. Ma
rnis
se
tuju
, wa
lau
pu
n d
ia
me
rasa
tid
ak
rela
,de
ng
an
sya
rat
ma
ma
k h
aru
s m
em
be
rika
n
pe
rnya
taa
n t
ert
ulis
ba
hw
a ia
tid
ak
aka
n m
en
jua
l ta
na
h
wa
risa
nn
ya la
gi.
In
form
al:
ke
tua
ad
at
Ha
sil:
Ma
rnis
ke
cew
a d
en
ga
n
kep
utu
san
itu
. Sa
ud
ara
laki
-
laki
nya
te
lah
me
nin
gg
al,
na
mu
n ia
te
tap
ma
sih
ha
rus
me
mb
aya
r h
uta
ng
ya
ng
dit
an
gg
un
gn
ya k
eti
ka m
em
be
li
kem
ba
li ta
na
h y
an
g d
ijua
l
tan
pa
se
pe
ng
eta
hu
an
Ma
rnis
.
75Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
12
Pa
lan
gka
raya
,
Ka
lima
nta
n
Ten
ga
h, 2
00
4
Ko
rba
n:
Sit
i
Pe
lak
u: S
ua
min
ya
Ke
tid
aks
eim
ba
ng
an
keku
asa
an
Se
ora
ng
pe
rem
pu
an
me
ng
ad
uka
n k
eke
rasa
n y
an
g d
ilaku
kan
sua
min
ya k
ep
ad
a k
elu
arg
an
ya. K
elu
arg
a m
ela
po
rka
n k
asu
s
ini k
e p
olis
i da
n p
olis
i me
ng
em
ba
lika
n k
asu
s in
i ke
pa
da
tetu
a a
da
t, d
am
an
g. S
ua
mi y
an
g b
ers
an
gku
tan
ke
mu
dia
n
me
nce
raik
an
Sit
i da
n m
en
ola
k m
em
ba
gi h
art
an
ya. K
are
na
diin
tim
ida
si o
leh
pe
ng
aca
ra s
an
g s
ua
mi,
Sit
i akh
irn
ya
me
ne
rim
a p
utu
san
ka
susn
ya t
ers
eb
ut.
Form
al:
Po
lisi
Info
rma
l:
Tetu
a a
da
t
Fo
rma
l: K
asu
s d
ike
mb
alik
an
ke d
esa
Info
rma
l: K
asu
s ke
kera
san
dia
ba
ika
n d
an
da
ma
ng
tid
ak
me
nd
oro
ng
pe
mb
ag
ian
ha
rta
be
rsa
ma
se
sua
i de
ng
an
pe
rja
njia
n p
ran
ika
h.
13
Tem
pu
ran
g,
Su
ma
tera
Ba
rat,
20
00
Pih
ak
ya
ng
be
rse
ng
ke
ta:
kon
fl ik
da
lam
sa
tu d
esa
,
an
tara
su
ku B
ata
k d
an
Min
an
g
Ke
kera
san
be
rla
tar
etn
is a
nta
ra B
ata
k d
an
Min
an
g m
ele
tus
sete
lah
te
rja
di p
ers
elis
iha
n k
eci
l sa
at
be
rju
di.
Se
bu
ah
pa
sar
da
n 9
4 r
um
ah
te
rba
kar.
Ba
nya
k w
arg
a B
ata
k ke
lua
r d
ari
na
ga
ri
(se
be
lum
ke
rusu
ha
n a
da
40
0 k
ep
ala
ke
lua
rga
, se
kara
ng
tin
gg
al 5
6).
Ke
teg
an
ga
n t
erj
ad
i se
be
lum
ke
rusu
ha
n. S
eju
mla
h
kelu
arg
a B
ata
k m
en
ola
k u
ntu
k m
ele
bu
r d
en
ga
n w
arg
a a
sli
da
n b
ers
ike
ras
un
tuk
teta
p t
erp
isa
h. M
ere
ka y
an
g t
ela
h
be
rba
ur
de
ng
an
ad
at
Min
an
g, t
ida
k m
en
eri
ma
ha
k ya
ng
sa
ma
de
ng
an
wa
rga
asl
i Min
an
g.
Info
rma
l: K
ep
ala
de
sa,
pe
mim
pin
ad
at,
po
lisi
Ha
sil:
ra
sa t
aku
t te
tap
ad
a d
i
an
tara
ke
lua
rga
Ba
tak
yan
g
be
rta
ha
n. S
en
gke
ta t
an
ah
be
rla
nju
t d
i an
tara
ke
du
a
kelo
mp
ok
ma
sya
raka
t it
u.
14
Ge
nte
ng
&
Pa
tem
on
,
Ma
tara
m,
NT
B (
tah
un
?)
Pih
ak
ya
ng
be
rse
ng
ke
ta:
Wa
rga
Ge
nte
ng
da
n
Pa
tem
on
Wa
rga
di P
ate
mo
n m
en
ga
ma
nka
n s
ert
ifi k
at
tan
ah
dip
erb
ata
san
du
a d
esa
. Wa
rga
Ge
nte
ng
me
rasa
, ta
na
h
yan
g d
ise
ng
keta
kan
se
ba
ga
i mili
k m
ere
ka. W
arg
a G
en
ten
g
me
nye
ran
g w
arg
a P
ate
mo
n.
Aks
i sa
ling
se
ran
g t
eru
s b
erl
an
gsu
ng
sa
mp
ai h
ari
ini,
ba
hka
n
keke
rasa
n k
era
p t
erj
ad
i ta
np
a a
da
hu
bu
ng
an
de
ng
an
se
ba
b
awa
l se
ng
keta
. Be
be
rap
a o
ran
g t
ew
as
da
lam
se
ng
keta
be
rke
pa
nja
ng
an
ini.
Ke
du
a w
arg
a d
esa
me
nyi
ap
kan
se
nja
ta,
sep
ert
i ba
tu, b
oto
l, to
mb
ak,
ba
hka
n p
isto
l. P
olis
i da
n
pe
me
rin
tah
loka
l te
rbu
kti t
ak
be
rday
a m
en
an
ga
ni k
asu
s
ini.
Me
reka
me
mb
an
gu
n t
em
bo
k se
tin
gg
i tig
a m
ete
r u
ntu
k
me
mis
ah
kan
ke
du
a k
elo
mp
ok.
Po
lisi,
Pe
me
rin
tah
loka
lH
asi
l: k
eg
ag
ala
n d
ala
m
me
nye
lesa
ika
n s
um
be
r
ma
sala
h m
en
yeb
ab
kan
ko
nfl
ik
be
rke
lan
juta
n. A
kib
at
sen
gke
ta,
eko
no
mi d
i Pa
tem
on
me
roso
t.
15
De
sa S
am
pu
ng
,
Po
no
rog
o, J
awa
Tim
ur,
20
03
Pe
nu
ntu
t: W
arg
a d
esa
Sa
mp
un
g,
Re
spo
nd
en
:
Pe
rta
mb
an
ga
n S
ari
Gu
nu
ng
. Pe
rta
mb
an
ga
n
ini d
imili
ki p
em
eri
nta
h
tap
i dija
lan
kan
ole
h
pe
rusa
ha
an
sw
ast
a.
Ke
pe
nti
ng
an
pih
ak
lua
r
da
n k
eti
da
kse
imb
an
ga
n
keku
ata
n
Lum
pu
r d
ari
pe
rta
mb
an
ga
n s
eca
ra t
eru
s-m
en
eru
s
me
mb
an
jiri s
eb
ag
ian
wila
yah
de
sa, m
eru
sak
jala
n, r
um
ah
da
n
saw
ah
. Sa
lura
n a
ir y
an
g d
iba
ng
un
pe
me
rin
tah
ka
bu
pa
ten
me
nye
ba
bka
n s
eb
ag
ian
lum
pu
r te
ralih
kan
ke
ba
gia
n la
in
de
sa .
Ini m
en
yeb
aka
n k
ete
ga
ng
an
di a
nta
ra p
en
du
du
k d
esa
ters
eb
ut.
Ke
pa
la d
esa
me
ng
irim
kan
su
rat
kep
ad
a p
em
eri
nta
h
kab
up
ate
n d
an
DP
RD
, na
mu
n t
ida
k a
da
ta
ng
ga
pa
n.
Pe
rusa
ha
an
da
n p
em
eri
nta
h k
ab
up
ate
n s
am
a-s
am
a m
en
ola
k
be
rta
ng
gu
ng
jaw
ab
. Tid
ak
ad
a p
iha
k ya
ng
me
ng
am
bil
lan
gka
h h
uku
m. W
arg
a d
esa
da
n p
em
eri
nta
h k
eca
ma
tan
me
rasa
tid
ak
san
gg
up
me
law
an
pe
rusa
ha
an
pe
rta
mb
an
ga
n,
kare
na
se
ba
gia
n b
esa
r p
en
du
du
k d
esa
jug
a b
eke
rja
dip
ert
am
ba
ng
an
itu
.
Info
rma
l: K
ep
ala
de
sa,
sekr
eta
ris
de
sa, d
ew
an
kelu
rah
an
, da
n c
am
at
Fo
rma
l: t
ida
k a
da
sa
tup
un
yan
g t
erl
iba
t
Ha
sil:
ma
sala
h t
ida
k
ters
ele
saik
an
, ke
teg
an
ga
n
di a
nta
ra m
asy
ara
kat
de
sa
sete
mp
at
teta
p b
era
ng
sur
kare
na
lum
pu
r te
rus
me
ng
ge
na
ng
i se
ba
gia
n d
esa
.
76 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
16
Pa
lan
gka
raya
,
Ka
lima
nta
n
Ten
ga
h, A
gu
stu
s
20
03
Pe
nu
ntu
t: k
elu
arg
a
Sya
hm
an
to, a
na
k m
ud
a
yan
g d
itu
suk
hin
gg
a t
ew
as
di P
ala
ng
kara
ya
Re
spo
nd
en
:
Ke
lua
rga
Jo
nfr
id, p
ela
ku
pe
nu
suka
n
Pe
rke
lah
ian
an
tar
du
a t
em
an
te
rja
di u
sai m
em
inu
m m
inu
ma
n
kera
s. R
an
no
Jo
nfr
id S
iae
me
nu
suk
tem
an
nya
Sya
hm
an
to.
Sya
hm
an
to a
khir
nya
te
wa
s ka
ren
a lu
ka t
usu
kan
ya
ng
did
eri
tan
ya. S
ela
ma
pro
ses
pe
me
riks
aa
n, J
on
frid
dip
en
jara
po
lisi s
ela
ma
du
a b
ula
n. P
en
yele
saia
n s
eca
ra a
da
t d
ilaku
kan
seca
ra b
ers
am
aa
n. K
etu
a R
T m
en
jad
i me
dia
tor
ked
ua
kelu
arg
a. S
eb
ag
ai p
en
yele
saia
n s
eca
ra a
da
t, k
elu
arg
a k
orb
an
me
nu
lis s
ura
t ke
pa
da
jaks
a a
ga
r m
en
jatu
hka
n h
uku
ma
n
seri
ng
an
mu
ng
kin
ke
pa
da
Jo
nfr
id.
Pe
ng
ad
ilan
me
mp
ert
imb
an
gka
n p
en
yele
saia
n s
eca
ra a
da
t
yan
g t
ela
h d
ite
mp
uh
da
n h
an
ya m
en
jatu
hka
n h
uku
ma
n
seta
hu
n p
en
jara
.
Info
rma
l: K
etu
a R
T
me
mfa
silit
asi
pe
nye
lesa
ian
kon
fl ik
ya
ng
ke
mu
dia
n
did
oro
ng
ole
h d
am
an
g
Fo
rma
l:
Po
lisi,
jaks
a d
istr
ik, p
rov
insi
,
da
n M
ah
kam
ah
Ag
un
g
Info
rma
l: k
elu
arg
a J
on
frid
me
min
ta m
aa
f d
an
me
mb
aya
r
de
nd
a 3
6 ju
ta r
up
iah
. De
nd
a
dib
aya
r d
ala
m b
en
tuk
he
wa
n
da
n m
aka
na
n, s
ert
a u
an
g t
un
ai
6 ju
ta r
up
iah
un
tuk
Da
ma
ng
.
Se
bu
ah
up
aca
ra d
ilan
gsu
ng
kan
,
da
n k
ed
ua
ke
lua
rga
kin
i
kem
ba
li b
erk
om
un
ika
si.
Fo
rma
l: J
on
frid
dip
en
jara
seta
hu
n d
an
dija
lan
kan
pe
nu
h
ole
h J
on
frid
.
17
De
sa S
em
bu
luh
II,
Ka
lima
nta
n
Ten
ga
h, 2
00
2
Pe
lak
u:
Ba
tun
i da
n
Bu
nta
ng
, du
a n
ela
yan
sete
mp
at
Ko
rba
n:
selu
ruh
wa
rga
de
sa
Hu
bu
ng
an
de
kat
pa
ra
pe
laku
de
ng
an
ke
pa
la d
esa
me
nye
ba
bka
n m
ere
ka
terl
ind
un
gi
Ba
tun
i da
n B
un
tan
g m
en
gg
un
aka
n ja
rin
g ik
an
ya
ng
me
nyi
mp
an
g, s
eh
ing
ga
me
reka
me
nd
ap
atk
an
ika
n d
ala
m
jum
lah
be
sar.
Na
mu
n, h
al t
ers
eb
ut
me
nye
ba
bka
n p
era
lata
n
me
ma
nci
ng
mili
k w
arg
a d
esa
lain
nya
ru
sak.
Pe
rmin
taa
n
wa
rga
ag
ar
me
reka
tid
ak
me
ng
gu
na
kan
jari
ng
te
rse
bu
t ti
da
k
did
en
ga
rka
n. W
arg
a a
khir
nya
me
ng
ad
uka
n m
asa
lah
ini k
e
kep
ala
de
sa d
an
po
lisi.
Na
mu
n u
pay
a m
ere
ka g
ag
al.
Wa
rga
me
ng
elu
ark
an
an
cam
an
ke
kera
san
ke
pa
da
Ba
ntu
ni
da
n B
un
tan
g. I
ni m
em
aks
a k
ep
ala
de
sa m
en
en
ga
hi m
asa
lah
da
n m
ela
ran
g p
en
gg
un
aa
n ja
rin
g y
an
g m
en
yim
pa
ng
.
Lara
ng
an
ini k
em
ud
ian
dia
tur
da
lam
pe
ratu
ran
de
sa.
Info
rma
l: w
arg
a d
esa
, po
lisi
de
sa, k
ep
ala
de
sa.
Se
cara
ke
selu
ruh
an
pro
ses
ini m
em
aka
n w
akt
u h
am
pir
seta
hu
n
Pa
ra n
ela
yan
be
rhe
nti
me
ng
an
cam
da
n a
da
tin
da
kan
da
ri k
ep
ala
de
sa.
Me
na
rikn
ya, t
ah
un
20
03
da
n 2
00
4 d
esa
-de
sa la
in
seca
ra s
po
rad
is m
en
era
pka
n
pe
nye
lesa
ian
se
pe
rti i
ni.
18
Pa
len
ga
an
Lao
k, P
am
eka
san
,
Jaw
a T
imu
r, 2
00
1
Ko
rba
n:
Pe
ncu
ri p
om
pa
air
Pe
lak
u:
seke
lom
po
k
wa
rga
de
sa
Wa
rga
be
rha
sil m
en
gg
ag
alk
an
pe
ncu
ria
n p
om
pa
air
. Pe
laku
kem
ud
ian
dit
an
gka
p d
an
dib
un
uh
se
kelo
mp
ok
wa
rga
. Po
lisi
tid
ak
me
ng
am
bil
tin
da
kan
ap
ap
un
. Wa
rga
de
sa t
aku
t a
da
pe
mb
ala
san
. Ke
taku
tan
te
rse
bu
t te
rbu
kti d
en
ga
n t
ew
asn
ya
du
a w
arg
a d
esa
.
Ke
terl
iba
tan
Kya
i be
rha
sil m
en
ceg
ah
te
rus
be
rla
nju
tnya
aks
i
ba
las
de
nd
am
.
Info
rma
l: K
yai
Fo
rma
l: P
olis
i te
rlib
at
da
lam
kasu
s p
em
bu
nu
ha
n y
an
g
ked
ua
Ha
sil:
un
tuk
sem
en
tara
ran
gka
ian
ke
kera
san
te
rhe
nti
.
Tid
ak
ad
a t
un
tuta
n a
tas
pe
mb
un
uh
an
ya
ng
te
rja
di.
19
Pa
len
ga
an
Da
ja, P
am
eka
san
,
Jaw
a T
imu
r, 2
00
1
Ko
rba
n:
Bru
din
, Wa
rga
de
sa y
an
g d
ike
tah
ui
me
mp
rakt
ikka
n il
mu
hit
am
Pe
lak
u:
pe
mb
un
uh
ya
ng
dis
ew
a w
arg
a d
esa
Bru
din
, ya
ng
dit
ud
uh
me
mp
rakt
ikka
n il
mu
hit
am
, dib
un
uh
ole
h p
rem
an
ya
ng
dis
ew
a w
arg
a y
an
g d
en
da
m t
erh
ad
ap
nya
.
Ke
pa
la d
esa
ta
kut
terl
iba
t d
ala
m m
asa
lah
ini.
Tid
ak
ad
a y
an
g
dit
un
tut
ata
s p
em
bu
nu
ha
n.
Se
tah
un
ke
mu
dia
n, i
stri
Bru
din
jug
a d
itu
du
h m
em
pra
kte
kka
n
ilmu
hit
am
. Ia
jug
a d
ibu
nu
h o
leh
pre
ma
n b
aya
ran
.
Info
rma
l: k
ep
ala
de
sa d
an
kya
i ta
hu
ap
a y
an
g t
erj
ad
i,
tap
i tid
ak
me
ng
am
bil
lan
gka
h
pe
nce
ga
ha
n. T
ida
k a
da
tin
da
k
lan
jut
da
ri p
olis
i
Ha
sil:
Bru
din
te
rbu
nu
h d
an
tid
ak
ad
a t
ind
aka
n y
an
g
dia
mb
il.
20
Ka
bu
pa
ten
Po
no
rog
o d
an
Wo
no
gir
i, Ja
wa
Tim
ur,
20
01
Pe
mu
da
da
ri k
elo
mp
ok
be
lad
iri y
an
g b
ers
ete
ru
Ke
kura
ng
pe
rcay
aa
n
an
tara
du
a k
elo
mp
ok
me
nim
bu
lka
n k
on
fl ik
Pe
mu
da
da
ri W
on
og
iri m
em
uku
l ke
lom
po
k p
em
ud
a
pe
rgu
rua
n b
ela
dir
i Ju
jitsu
da
ri P
on
oro
go
. Mu
ncu
l an
cam
an
ba
lasa
n, s
eh
ing
ga
ga
ng
pe
mu
da
Wo
no
gir
i me
ren
can
aka
n
sera
ng
an
leb
ih d
ulu
.
Po
lisi m
en
ciu
m g
ela
ga
t ke
rib
uta
n t
ers
eb
ut
da
n m
en
uru
nka
n
ap
ara
tnya
. Se
lain
me
mis
ah
kan
ke
du
a k
elo
mp
ok,
po
lisi j
ug
a
me
ng
un
da
ng
pe
mim
pin
ke
du
a k
elo
mp
ok
un
tuk
be
rdia
log
di
pe
rba
tasa
n.
Info
rma
l: P
olis
i da
n
pe
mim
pin
ma
sya
raka
t
me
nce
ga
h b
ert
am
ba
hn
ya
keke
rasa
n
Fo
rma
l: p
em
imp
in u
tam
a
pe
laku
pe
mu
kula
n d
ita
ha
n
da
n d
ipro
ses
seca
ra h
uku
m
Ha
sil:
ke
kera
san
ta
mb
ah
an
be
rha
sil d
ihin
da
ri d
an
pe
mim
pin
ke
lom
po
k d
ihu
kum
.
77Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
21
Am
ah
ai,
Pu
lau
Se
ram
,
Ma
luku
Te
ng
ah
,
20
03
Pe
lak
u:
Bu
ce S
alis
i,
pe
mu
da
de
sa
Se
tela
h m
en
un
gg
ak
min
um
an
ke
ras,
Bu
ce m
ele
mp
ar
ba
tu k
e k
an
tor
kep
ala
de
sa. K
aca
jen
de
la p
eca
h. D
ew
an
ad
at
me
ma
ng
gil
Bu
ce, s
eb
elu
m r
ap
at
de
sa m
en
dis
kusi
kan
ma
sala
h in
i. H
asi
l ra
pa
t m
en
yetu
jui h
uku
ma
n y
an
g d
ike
na
kan
be
rup
a h
uku
ma
n c
am
bu
k d
i de
pa
n p
ub
lik d
en
ga
n r
ota
n
seb
an
yak
se
mb
ilan
ka
li.
In
form
al:
De
wa
n a
da
tH
asi
l: S
ete
lah
hu
kum
an
cam
bu
k d
ilaks
an
aka
n, B
uce
me
nin
gg
alk
an
de
sa d
an
tid
ak
pe
rna
h k
em
ba
li.
22
De
sa S
ava
na
Jay
a
da
n J
iku
me
rasa
,
Pu
lau
Bu
ru,
Ma
luku
Pih
ak
-pih
ak
: Wa
rga
de
sa
Sav
an
a J
aya
(tr
an
smig
ran
)
da
n J
iku
me
rasa
(p
en
du
du
k
asl
i)
Tah
un
19
54
, pe
me
rin
tah
me
nye
dia
kan
ta
na
h d
ua
he
kta
r
un
tuk
seti
ap
ke
lua
rga
tra
nsm
igra
n a
sal J
awa
di P
ula
u B
uru
.
Ha
mp
ir s
em
ua
tra
nsm
igra
n a
da
lah
ta
ha
na
n p
olit
ik d
i pu
lau
Bu
ru y
an
g t
ela
h d
ibe
ba
ska
n. S
ete
lah
ke
lua
rga
tra
nsm
igra
n
tin
gg
al d
isa
na
da
n b
erk
em
ba
ng
, la
ha
n d
ua
he
kta
r m
ula
i
dir
asa
ku
ran
g. M
ere
ka p
ind
ah
ke
ta
na
h y
an
g d
imili
ki
pe
nd
ud
uk
loka
l di d
esa
Jik
um
era
sa. K
om
pe
nsa
si t
ak
pe
rna
h
dib
aya
r. B
an
yak
pa
ra t
ran
smig
ran
ya
ng
bis
a m
en
da
pa
tka
n
sert
ifi k
at
tan
ah
ata
s d
asa
r p
ers
etu
jua
n 1
95
4.
Se
tela
h p
em
eri
nta
ha
n S
oe
ha
rto
tu
mb
an
g, b
an
yak
pe
nd
ud
uk
loca
l ya
ng
me
mp
erm
asa
lah
kan
ka
sus
ini.
Tid
ak
ad
a p
iha
k
yan
g d
ipe
rsa
lah
kan
da
lam
ha
l in
i, n
am
un
se
sua
tu h
aru
s
dila
kuka
n u
ntu
k m
en
ceg
ah
be
ralih
nya
ke
teg
an
ga
n m
en
jad
i
kon
fl ik
ka
ren
a p
rov
insi
te
rse
bu
t p
ern
ah
te
rje
ba
k d
ala
m k
on
fl ik
an
tar
etn
is s
ela
ma
6 t
ah
un
.
Info
rma
l: K
ep
ala
de
sa S
ava
na
Jaya
te
lah
me
lap
ork
an
ka
sus
ini k
ep
ad
a c
am
at,
bu
pa
ti,p
olis
i
da
n p
em
eri
nta
ha
n s
ete
mp
at.
Se
bu
ah
LS
M d
ari
Am
bo
n ju
ga
dili
ba
tka
n.
Tid
ak
ad
a u
sah
a u
ntu
k
me
mp
ert
em
uka
n k
ed
ua
kelo
mp
ok
seca
ra la
ng
sun
g
Ha
sil:
Ka
sus
tid
ak
ters
ele
saik
an
.
Ke
du
a k
elo
mp
ok
be
rha
rap
bu
pa
ti y
an
g b
aru
te
rta
rik
me
nye
lesa
ika
n m
asa
lah
ini.
Ko
nfl
ik h
uku
m k
lasi
k
yan
g d
ipe
rpa
rah
de
ng
an
keti
da
efe
ktif
an
bir
okr
asi
da
n s
yste
m h
uku
m s
ert
a
me
kan
ism
e d
ialo
g a
nta
rde
sa.
23
De
sa S
ei,
Ke
cam
ata
n L
eih
itu
,
Ma
luku
, 20
04
-20
05
Pih
ak
-pih
ak
: A
bid
in
da
n Y
ed
ad
e, k
ed
ua
nya
me
ng
kla
im m
asa
lah
wa
risa
n s
ete
lah
aya
h
me
reka
me
nin
gg
al
Ma
hm
ou
d d
an
Jo
hra
te
lah
me
nik
ah
, ta
pi t
ida
k m
em
pu
nya
i
an
ak.
Me
reka
me
ng
ad
op
si a
na
k, Y
ed
ad
e. M
ah
mo
ud
me
nik
ah
lag
i da
n m
em
pu
nya
i se
jum
lah
an
ak,
te
rma
suk
Ab
idin
.
Tak
lam
a k
em
ud
ian
Jo
hra
me
nin
gg
al,
da
n b
eb
era
pa
ta
hu
n
kem
ud
ia M
ah
mo
ud
jug
a m
en
ing
ga
l. Ye
da
de
da
n A
bid
in
me
rasa
me
mili
ki h
ak
ata
s ta
na
h M
ah
mo
ud
da
n J
oh
ra.
Se
ba
ga
i an
ak
kan
du
ng
, Ab
idin
me
rasa
me
mili
ki h
ak
pe
nu
h
ata
s w
ari
san
. Se
me
nta
ra J
oh
ra, s
esu
ai d
en
ga
n h
uku
m Is
lam
tid
ak
me
mili
ki h
ak
sam
a s
eka
li. A
bid
in k
em
ud
ian
me
nju
al
seb
ag
ian
lah
an
ta
np
a m
em
pe
rdu
lika
n u
pay
a Y
ed
ad
e u
ntu
k
me
ng
he
nti
kan
nya
. Ta
hu
n 2
00
5, A
bid
in m
ela
po
rka
n m
asa
lah
ini k
e Im
am
se
tem
pa
t. S
eb
ua
h m
usy
awa
rah
dila
kuka
n u
ntu
k
me
mb
ah
as
ma
sala
h in
i.
Info
rma
l: Im
am
Ha
sil
: d
ipu
tusk
an
ke
du
a p
iha
k
pu
nya
ha
k a
tas
lah
an
. Ta
pi s
aa
t
pe
ne
litia
n d
ilaku
kan
, tid
ak
ad
a
kep
utu
san
akh
ir t
en
tan
g d
asa
r
hu
kum
ata
s p
em
ba
gia
n t
an
ah
.
24
Ke
lian
g, L
om
bo
k,
NT
B (
tah
un
?)
Pih
ak
-pih
ak
: Ra
tni d
an
Ud
in
Ra
tni h
am
il se
tela
h li
ma
ta
hu
n d
itin
gg
alk
an
su
am
inya
.
Ke
pa
la d
esa
me
mp
ert
em
uka
n k
ed
ua
nya
be
sert
a k
elu
arg
a.
Ra
tni m
inta
Ud
in m
en
ika
hin
ya, d
an
Ud
in t
ida
k ke
be
rata
n.
Na
mu
n p
erk
awin
an
tid
ak
bis
a d
ilaku
kan
ka
ren
a R
atn
i se
cara
resm
i ma
sih
da
lam
sta
tus
me
nik
ah
. Me
ng
gu
na
kan
hu
kum
ad
at
sete
mp
at,
Ud
in d
ike
na
kan
de
nd
a 5
juta
ru
pia
h k
are
na
me
ng
am
bil
istr
i ora
ng
. Pe
mb
aya
ran
de
nd
a m
em
un
gki
nka
n
Ud
in u
ntu
k m
en
ika
hi R
atn
i.
Ud
in t
ida
k m
am
pu
me
mb
aya
r d
en
da
. Ke
du
a p
iha
k
me
mb
awa
ka
sus
ini k
e p
olis
i, la
lu d
ita
ha
n s
ela
ma
be
be
rap
a
ha
ri k
are
na
pe
rzin
ah
an
. Se
tela
h m
em
bay
ar
sua
p, m
ere
ka
dib
eb
ask
an
da
n k
asu
s d
ihe
nti
kan
. Du
a b
ula
n k
em
ud
ian
, Ud
in
me
nik
ah
i wa
nit
a la
in, m
en
gh
ind
ar
da
ri t
an
gg
un
gja
wa
bn
ya
ata
s R
atn
i.
Info
rma
l: K
ep
ala
du
sun
me
rup
aka
n m
ed
iato
r u
tam
a
Ha
sil:
Ra
tni d
itin
gg
alk
an
tan
pa
du
kun
ga
n u
ntu
k a
na
k
ked
ua
nya
. Tid
ak
ad
a c
ara
me
nd
esa
k ke
pu
tusa
n a
da
t
un
tuk
me
ma
ksa
Ud
in.
78 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
25
Ca
kra
ne
ga
ra B
ara
t,
Ma
tara
m,
NT
B, 2
00
4
Pih
ak
-pih
ak
: G
ato
t, a
na
k
an
gka
t ya
ng
te
lah
be
rusi
a
40
ta
hu
n, d
an
Ga
nd
hi,
rem
aja
da
ri a
yah
ya
ng
sam
a
Terb
eb
an
i ole
h u
tan
g, G
ato
t m
en
de
sak
ad
ik t
irin
ya u
ntu
k
me
nd
aft
ark
an
pe
tak
tan
ah
ya
ng
me
reka
mili
ki a
tas
na
ma
me
reka
be
rdu
a. A
wa
lnya
, Ga
nd
hi s
etu
ju. C
uri
ga
de
ng
an
ala
san
Ga
tot,
bib
i Ga
nd
hi m
em
inta
Ga
nd
hi u
ntu
k m
en
gu
ba
h
kep
utu
san
nya
. Ga
nd
hi m
en
yew
a p
en
ga
cara
da
n p
erm
inta
an
pe
rub
ah
an
se
rtifi
ka
t d
iba
talk
an
.
Ga
tot
me
min
jam
ua
ng
ke
pa
da
ke
tua
RTy
an
g ju
ga
me
nd
esa
k
Ga
nd
hi u
ntu
k m
em
bu
at
sert
ifi k
at
ata
s ta
na
h t
ers
eb
ut
da
n
me
nju
aln
ya p
ad
a G
ato
t.
Info
rma
l: K
ep
ala
de
saH
asi
l: D
ibaw
ah
te
kan
an
un
tuk
me
mp
ert
ah
an
kan
re
lasi
keke
lua
rga
an
/te
tan
gg
a, G
an
dh
i
akh
irn
ya s
etu
ju p
ad
a s
aa
t
me
dia
si y
an
g d
ifa
silit
asi
ole
h
kep
ala
de
sa. u
ntu
k m
em
be
rika
n
seb
ag
ian
lah
an
nya
un
tuk
me
mb
aya
r u
tan
g G
ato
t.
26
Su
mp
ur
da
n
Bu
ng
o T
an
jun
g,
Su
ma
tera
Ba
rat,
19
87
-se
kara
ng
Pih
ak
-pih
ak
: Te
tua
ma
sya
raka
t S
um
pu
r d
an
pe
nd
ud
uk
Bu
ng
o T
an
jun
g
Ka
sus
ini m
em
iliki
se
jara
h y
an
g s
ud
ah
be
rla
ng
sun
g la
ma
da
n r
um
it. M
elib
atk
an
ha
mp
ir 1
00
he
kta
r la
ha
n p
ert
an
ian
dis
ep
an
jan
g p
erb
ata
san
ke
du
a n
ag
ari
. Ke
du
a p
en
du
du
k
na
ga
ri b
erc
oco
k ta
na
m d
i ta
na
h t
ers
eb
ut.
Na
ga
ri S
um
pu
r
me
ng
kla
im it
u m
eru
pa
kan
ta
na
h a
da
t m
ere
ka. S
em
en
tara
pe
nd
ud
uk
Bu
ng
o T
an
jun
g m
en
gkl
aim
me
reka
te
lah
me
nd
aft
ark
an
ta
na
h t
ers
eb
ut.
Ke
pa
la d
esa
Su
mp
ur
me
liha
t ka
sus
ini s
eb
ag
ai k
on
fl ik
an
tar
du
a n
ag
ari
. Wa
kil K
etu
a D
ew
an
Ad
at
Su
mp
ur
pe
rcay
a in
i
ad
ala
h k
on
fi k
inte
rna
l wa
rga
Su
mp
ur.
Ha
l in
i te
rka
it d
ug
aa
n
ad
an
ya t
etu
a m
asy
ara
kat
Su
mp
ur
yan
g m
en
jua
l ata
u
me
ng
ga
da
ika
n t
an
ah
se
cara
ille
ga
l ke
pa
da
Bu
ng
o T
an
jun
g.
Ke
lom
po
k p
ere
mp
ua
n ju
ga
pe
rcay
a, k
on
fl ik
te
rja
di a
kib
at
pe
nju
ala
n t
an
ah
ad
at
seca
ra il
leg
al d
an
te
tua
ma
sya
raka
t
tid
ak
ma
u m
en
ga
kui k
esa
lah
an
nya
.
Se
me
nta
ra, m
asy
ara
kat
lain
nya
me
nye
bu
t in
i ad
ala
h k
asu
s
sen
gke
ta b
ata
s w
ilaya
h d
ua
na
ga
ri .
Info
rma
l: S
taf
keca
ma
tan
,
De
wa
n A
da
t, d
ew
an
kelu
rah
an
, da
n k
ep
ala
de
sa
Ha
sil:
ko
nfl
ik t
ida
k te
rse
lesa
ika
n
kare
na
an
gg
ota
ga
ris
ketu
run
an
wa
rga
Su
mp
ur
me
ng
ha
lan
gi
kasu
s in
i sa
mp
ai k
e d
ew
an
ad
at.
Pe
mim
pin
ad
at
en
gg
an
me
nye
lesa
ika
n k
asu
s in
i ke
pe
ng
ad
ilan
de
ng
an
ala
san
aka
n
me
ng
ura
ng
i pe
ng
aru
h in
stit
usi
ad
at.
27
Gu
nu
ng
Sya
rik,
Ke
cam
ata
n
Ku
ran
ji, S
um
ate
ra
Ba
rat,
19
90
-20
00
Pe
nu
ntu
t: A
frid
a, a
ktiv
is
pe
rem
pu
an
se
tem
pa
t
Re
spo
nd
en
: N
inik
Ma
ma
k
Afr
ida
be
rha
sil m
en
ga
tasi
keti
da
kse
imb
an
ga
n
keku
asa
an
lew
at
kesa
da
ran
ata
s h
ak-
ha
knya
da
n
mo
bili
sasi
Nin
ik M
am
ak
da
ri A
frid
a t
ela
h m
en
jua
l ta
na
h a
da
tnya
se
jak
19
87
. Su
atu
ha
ri, A
frid
a m
elih
at
pe
tug
as
kelu
rah
an
me
ng
uku
r
tan
ah
ibu
nya
. Afr
ida
ke
mu
dia
n m
em
inta
ke
pa
la d
esa
un
tuk
me
ng
he
nti
kan
pe
tug
asn
ya. S
aa
t m
en
de
ng
ar
ha
l in
i, N
inik
Ma
ma
k A
frid
a d
ata
ng
da
n m
en
ga
nca
m A
frid
a d
en
ga
n p
isa
u.
Pa
da
akh
irn
ya, t
an
ah
te
rse
bu
t te
rju
al.
Afr
ida
ke
mu
dia
n m
em
pe
laja
ri p
rose
du
r a
da
t d
an
be
rarg
um
en
da
lam
ra
ng
ka m
ela
wa
n b
alik
. Ta
hu
n 2
00
0, A
frid
a
me
ng
org
an
isir
pe
tisi
, me
min
ta a
ga
r w
an
ita
ha
rus
dim
inta
i
pe
rse
tuju
an
da
lam
se
tia
p p
en
jua
lan
ta
na
h. A
frid
a b
erh
asi
l
me
ng
go
lka
n t
un
tuta
nn
ya d
an
dim
asu
kka
n d
ala
m h
uku
m
ad
at.
Info
rma
l: k
ep
ala
de
sa, N
inik
Ma
ma
k
Ha
sil:
Afr
ida
ke
hila
ng
an
tan
ah
nya
, ta
pi d
ia b
isa
be
rka
mp
an
ye u
ntu
k p
eru
ba
ha
n
pro
sed
ur
ad
at
un
tuk
me
ng
am
an
kan
ha
k-h
ak
wa
nit
a.
79Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
28
Pa
ria
ma
n,
Su
ma
tera
Ba
rat,
20
04
Ko
rba
n:
ga
dis
lim
a t
ah
un
Pe
lak
u:
pe
mu
da
22
ta
hu
n
Me
skip
un
du
a-d
ua
nya
ora
ng
Min
an
g, t
ap
i bu
kan
asl
i Min
an
g. K
ed
ua
nya
dia
ng
kat
da
lam
sis
tem
keke
lua
rga
an
Min
an
g
Ga
dis
be
rusi
a li
ma
ta
hu
n d
ipe
rko
sa o
leh
pe
mu
da
be
rusi
a
22
ta
hu
n y
an
g m
eru
pa
kan
te
tan
gg
an
ya. S
eb
ag
ai p
en
du
du
k
ba
ru d
i de
sa, i
bu
ko
rba
n m
asi
h s
un
gka
n u
ntu
k m
ela
po
rka
n k
e
kep
ala
de
sa d
an
nin
ik m
am
ak.
Ora
ng
tu
a k
orb
an
da
n p
ela
ku m
en
cob
a u
ntu
k m
en
yele
saik
an
kon
fl ik
ini s
en
dir
i. P
ad
a p
ert
em
ua
n p
en
da
hu
lua
n, o
ran
g t
ua
pe
laku
me
ng
aku
be
rsa
lah
, na
mu
n t
ida
k m
au
me
mb
aya
r
ua
ng
pe
ng
ga
nti
. Ora
ng
tu
a p
ela
ku ju
ga
me
no
lak
me
ng
ha
dir
i
pe
rte
mu
an
ya
ng
dis
ele
ng
ga
raka
n o
leh
pe
jab
at
pe
me
rin
tah
an
kab
up
ate
n. I
a m
inta
ka
sus
ini d
ita
ng
an
i ole
h n
inik
ma
ma
k
Du
a b
ula
n k
em
ud
ian
, se
bu
ah
LS
M d
i Pa
da
ng
me
ng
an
jurk
an
ibu
ko
rba
n u
ntu
k m
em
eri
ksa
kan
an
akn
ya k
e d
okt
er.
Aki
ba
t
pe
me
riks
aa
n y
an
g y
an
g t
ert
un
da
, tid
ak
dit
em
uka
n b
ukt
i
ad
an
ya p
erk
osa
an
.
Info
rma
l: A
nta
r ke
lua
rga
,
Po
lisi,
pe
jab
at
pe
me
rin
tah
kab
up
ate
n, d
an
LS
M
Ha
sil:
Tid
ak
ad
a p
en
yele
saia
n,
ked
ua
ke
lua
rga
te
rus
hid
up
be
rte
tan
gg
a. I
bu
ko
rba
n s
an
ga
t
kece
wa
, ap
ala
gi p
ela
ku t
eta
p
tin
gg
al d
ise
be
lah
ru
ma
hn
ya.
Po
lisi m
en
gkl
aim
ibu
ko
rba
n
ha
nya
me
nca
ri k
eu
ntu
ng
an
da
lam
ka
sus
ini.
29
Su
ng
ai K
am
uya
ng
,
Ke
cam
ata
n
Luh
ak,
Su
ma
tera
Ba
rat,
19
68
-
seka
ran
g
Pih
ak
-pih
ak
:Wa
rga
Su
ng
ai
Ka
mu
yan
g d
an
pe
tern
aka
n
PT
Je
nyt
a
Ke
pe
nti
ng
an
lua
r ya
ng
san
ga
t ku
at
Se
ng
keta
ta
na
h y
an
g r
um
it, m
elib
atk
an
se
bu
ah
pe
rusa
ha
an
pe
tern
aka
n P
T J
en
yta
. Se
ng
keta
ta
na
h b
erl
an
gsu
ng
se
lam
a
30
ta
hu
n (
19
68
-19
98
). S
en
gke
ta d
i ata
s la
ha
n 6
6 h
ekt
ar,
PT
Je
nyt
a m
em
iliki
ijin
ha
k g
un
a u
sah
a, s
em
en
tara
wa
rga
me
ng
kla
im it
u a
da
lah
ta
na
h a
da
t. P
imp
ina
n p
eru
sah
aa
n
pe
tern
aka
n P
T J
en
yta
ad
ala
h s
eo
ran
g p
erw
ira
mili
ter.
Tah
un
19
98
, wa
rga
me
no
lak
pe
rpa
nja
ng
an
ha
k g
un
a u
sah
a.
Se
tela
h b
eru
nju
k ra
sa d
an
be
ntr
ok
de
ng
an
po
lisi d
an
pe
tug
as
kea
ma
na
n p
eru
sah
aa
n, w
arg
a m
en
du
du
ki la
ha
n t
ers
eb
ut.
Na
mu
n p
em
eri
nta
h m
asi
h t
eta
p m
em
pe
rpa
nja
ng
ha
k g
un
a
usa
ha
.
Tah
un
20
03
, pe
me
rin
tah
de
sa m
en
ge
lua
rka
n s
eb
ua
h
atu
ran
ya
ng
me
nca
ntu
mka
n k
laim
me
reka
ata
s la
ha
n y
an
g
dip
ers
en
gke
taka
n. K
eb
an
yaka
n w
arg
a d
esa
me
ng
an
gg
ap
atu
ran
te
rse
bu
t te
lah
me
nye
lesa
ika
n m
asa
lah
, me
skip
un
pe
me
rin
tah
de
sa t
ida
k b
erh
ak
me
ng
elu
ark
an
atu
ran
sem
aca
m it
u.
Info
rma
l: D
ew
an
ad
at,
ke
pa
la
de
sa
Ha
sil:
Wa
rga
me
nd
ud
uki
lah
an
,
me
skip
un
pe
tern
aka
n P
T J
en
yta
ma
sih
me
me
ga
ng
ijin
ha
k g
un
a
usa
ha
.
Po
ten
si k
eke
rasa
n m
asi
h a
da
jika
pe
rusa
ha
an
me
mu
tusk
an
me
ng
gu
na
kan
ke
mb
ali
ha
k
gu
na
un
tuk
me
ne
nta
ng
wa
rga
de
sa.
30
Ba
tug
ad
an
g,
Su
ma
tera
Ba
rat,
19
83
da
n 2
00
3
Pih
ak
-pih
ak
: Wa
rga
de
sa,
diw
aki
li P
uti
, se
ora
ng
akt
ivis
pe
rem
pu
an
.
PT
Se
me
n P
ad
an
g,
pe
rusa
ha
an
se
me
n
terk
em
uka
Lum
pu
r d
an
lim
ba
h y
an
g d
iha
silk
an
PT
Se
me
n P
ad
an
g t
ela
h
me
rusa
k la
ha
n p
ert
an
ian
di B
atu
ga
da
ng
. Se
tela
h d
ew
an
ad
at
me
no
lak
me
na
ng
an
i ka
sus
ini,
Pu
ti d
an
19
ke
lua
rga
de
sa b
eru
nju
k ra
sa k
e P
T S
em
en
Pa
da
ng
. Dis
ep
aka
ti a
da
nya
pe
mb
aya
ran
ga
nti
ru
gi t
ap
i ja
uh
da
ri y
an
g d
iha
rap
kan
. 10
pe
rse
n d
ari
ga
nti
ru
gi b
ah
kan
dia
mb
il d
ew
an
ad
at.
Ha
l in
i
me
ng
ece
wa
kan
Pu
ti d
an
ke
lua
rga
lain
nya
. Ha
nya
se
dik
it
wa
rga
de
sa y
an
g m
en
du
kun
g m
ere
kaD
ika
ren
aka
n o
leh
PT
Se
me
n P
ad
an
g t
ela
h m
em
bay
ar
ba
nya
k p
iha
k ya
ng
du
du
k
dia
dm
inis
tra
si d
esa
.
Info
rma
l: d
ew
an
ad
at,
ka
um
wa
nit
a d
i de
sa
Ha
sil:
se
ng
keta
dis
ele
saik
an
lew
at
ne
go
isa
si, n
am
un
pe
laks
an
aa
nya
tid
ak
me
mu
ask
an
.
31
Sa
rin
an
g B
aka
da
n M
ua
ra P
ing
ai
Na
ga
ri,
Su
ma
tera
Ba
rat,
De
sem
be
r 2
00
3
Pih
ak
ya
ng
be
rse
ng
ke
ta:
Pe
tan
i da
n k
elo
mp
ok
pe
mu
da
da
ri d
ua
na
ga
ri
yan
g b
ert
eta
ng
ga
Ko
nfl
ik t
erj
ad
i sa
at
du
a p
eta
ni d
ari
du
a n
ag
ari
ya
ng
be
rbe
da
be
rad
u m
ulu
t d
i saw
ah
. Ke
du
a p
eta
ni i
tu m
em
pe
rma
sala
hka
n
ha
k u
ntu
k m
en
go
lah
lah
an
te
rse
bu
t. D
ua
ke
lom
po
k p
em
ud
a
iku
t ca
mp
ur
da
lam
ma
sala
h i
tu. P
erk
ela
hia
n t
erj
ad
i da
n
me
nye
ba
bka
n s
atu
ora
ng
te
wa
s. P
imp
ina
n d
ew
an
ad
at
da
ri
na
ga
ri t
eta
ng
ga
da
n n
ag
ari
ya
ng
tid
ak
terl
iba
t m
ela
kuka
n
pe
nd
eka
tan
ke
pa
da
ke
du
a k
elo
mp
ok
un
tuk
me
ng
he
nti
kan
keke
rasa
n. D
ua
pe
rte
mu
an
pe
rda
ma
ian
dia
da
kan
ole
h b
up
ati
da
n p
olis
i ke
cam
ata
n.
Info
rma
l: K
etu
a K
AN
, bu
pa
ti,
cam
at,
da
n k
ep
ala
de
sa.
Fo
rma
l: P
olis
i
Ha
sil:
ke
kera
san
ya
ng
be
rke
lan
juta
n b
erh
asi
l
dih
ind
ark
an
. Ke
sep
aka
tan
da
ma
i dib
ua
t d
i ma
sjid
ya
ng
dih
ad
iri o
leh
ma
sya
raka
t
um
um
. Ka
sus
tan
ah
da
n p
em
bu
nu
ha
n t
ida
k
ters
ele
saik
an
.
80 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
32
Dila
m, S
olo
k,
Su
ma
tera
Ba
rat,
20
04
Pih
ak
ya
ng
be
rse
ng
ke
ta:
Ko
nfl
ik a
nta
r w
arg
a d
esa
, me
liba
tka
n k
lan
Me
layu
da
n T
an
jun
g
Tah
un
19
64
, Kla
n M
ela
yu d
i Dila
m m
em
be
li ta
na
h w
ari
san
kla
n T
an
jun
g. P
erj
an
jian
te
rtu
lis d
ibic
ara
kan
be
rsa
ma
da
n
pe
nju
ala
n d
ise
tuju
i ole
h t
etu
a k
lan
. Na
mu
n d
em
ikia
n
seju
mla
h o
ran
g d
ari
Kla
n T
an
jun
g t
ida
k m
en
du
kun
g p
rose
s
pe
nju
ala
n t
ers
eb
ut
da
n t
eru
s m
en
gg
an
gg
u k
lan
Me
layu
ya
ng
me
ng
gu
na
kan
lah
an
te
rse
bu
t d
an
me
rusa
k ta
na
ma
n.
Lela
h d
en
ga
n g
an
gg
ua
n y
an
g t
eru
s m
en
eru
s, K
lan
Me
layu
be
rnia
t m
en
jua
l ke
mb
ali
tan
ah
te
rse
bu
t ke
pa
da
Kla
n T
an
jun
g,
jika
ad
a g
an
ti r
ug
i ata
s p
eru
saka
n t
an
am
an
. Kla
n T
an
jun
g
me
no
lakn
ya d
an
me
mb
eri
kan
tu
ntu
tan
ba
lik a
tas
sew
a t
an
ah
ters
eb
ut
seja
k 1
96
4. K
lan
Me
layu
me
lap
ork
an
ka
sus
ini k
e
po
lisi,
na
mu
n t
ida
k b
erh
asi
l da
n a
khir
nya
me
nye
rah
.
Ag
ust
us
20
04
, Kla
n M
ela
yu m
em
baw
a k
asu
s in
i ke
pe
ng
ad
ilan
ne
ge
ri d
i Ka
bu
pa
ten
So
lok.
Me
reka
me
nu
ntu
t
ga
nti
ru
gi a
tas
pe
rusa
kan
ta
na
ma
n d
an
ke
pa
stia
n
kep
em
ilika
n. S
eca
ra im
plis
it, p
utu
san
pe
ng
ad
ilan
me
ng
aku
i
kep
em
ilika
n k
lan
Me
layu
, na
mu
n p
ad
a a
khir
nya
pe
ng
ad
ilan
me
ng
hin
da
ri p
ert
an
yaa
n u
tam
an
ya.
Info
rma
l: P
olis
i, p
em
uka
ad
at
Fo
rma
l: P
olis
i da
n p
en
ga
dila
n
ne
ge
ri
Ha
sil:
Se
mu
a f
oru
m m
en
ga
kui
kep
em
ilika
n t
an
ah
ata
s n
am
a
Kla
n M
ela
yu, t
ap
i pu
tusa
n
ters
eb
ut
tid
ak
dila
ksa
na
kan
.
Tan
ah
ya
ng
dis
en
gke
taka
n
teta
p t
ida
k d
igu
na
kan
da
n
po
ten
si t
imb
uln
ya k
on
fl ik
te
tap
tin
gg
i.
33
Ba
tu S
an
gka
r,
Su
ma
tera
Ba
rat
20
00
Pe
nu
ntu
t: S
un
ard
i (o
ran
g
Jaw
a)
Re
spo
nd
en
: D
atu
k R
ajo
Inta
n
Pe
ng
ad
ilan
me
ng
ata
si m
asa
lah
keti
da
kse
imb
an
ga
n
keku
asa
an
ata
s S
un
ard
i
seb
ag
ai o
ran
g J
awa
Tah
un
20
00
, Su
na
rdi m
em
be
li la
ha
n w
ari
san
ke
lua
rga
da
ri
Da
tuk
Ra
jo In
tan
, nin
ik m
am
ak
sete
mp
at.
Tig
a b
ula
n s
ete
lah
jua
l be
li, S
un
ard
i mu
lai m
em
an
faa
tka
n la
ha
n, n
am
un
up
aya
nya
dit
en
tan
g m
asy
ara
kat
seki
tar.
An
cam
an
ke
kera
san
dit
eri
ma
Su
na
rdi j
ika
ia t
eta
p m
ela
nju
tka
n m
en
go
lah
lah
an
ters
eb
ut.
Mu
syaw
ara
h d
esa
dis
ele
ng
ga
raka
n n
am
un
tid
ak
me
mb
ua
hka
n h
asi
l. K
ed
ua
pih
ak
me
nye
wa
pe
ng
aca
ra d
an
me
mb
awa
ka
sus
ini k
e p
en
ga
dila
n.
Ha
kim
be
rha
sil m
em
ed
iasi
pe
rso
ala
n in
i. S
un
ard
i be
rse
dia
me
ng
em
ba
lika
n la
ha
n, s
ela
ma
ia m
en
da
pa
t g
an
ti r
ug
i
ata
s ke
rusa
kan
ta
na
ma
nn
ya d
an
ua
ng
pe
mb
elia
n t
an
ah
dik
em
ba
lika
n.
Info
rma
l: M
usy
awa
rah
da
n
Po
lisi
Fo
rma
l: P
en
ga
dila
n
Ha
sil
: M
asy
ara
kat
da
n R
ajo
Inta
n m
en
ge
mb
alik
an
ua
ng
pe
nju
ala
n t
an
ah
da
n m
em
bay
ar
ua
ng
ga
nti
ru
gi k
eru
saka
n
tan
am
an
ke
pa
da
Su
na
rdi.
34
Ba
tu G
ad
an
g,
Su
ma
tera
Ba
rat,
20
03
Pe
nu
ntu
t: P
en
yew
a
rum
ah
Re
spo
nd
en
: p
em
ilik
rum
ah
Pe
nye
wa
ru
ma
h s
ala
h m
em
bay
ar
tag
iha
n li
stri
k. P
en
yew
a
me
mb
aya
r ta
gih
an
list
rik
pe
mili
k ru
ma
h b
uka
n t
ag
iha
n li
stri
k
rum
ah
ya
ng
dis
ew
an
ya.
Se
ng
keta
te
rja
di k
eti
ka p
em
ilik
rum
ah
me
nya
da
ri b
ah
wa
tag
iha
n li
stri
k ru
ma
h y
an
g d
ise
wa
kan
tid
ak
pe
rna
h d
ibay
ar.
Ke
tua
RT
be
rusa
ha
me
nye
lesa
ika
n m
asa
lah
ini t
ap
i ga
ga
l.
Se
bu
ah
ke
lom
po
k p
ere
mp
ua
n m
en
de
ng
ar
kasu
s in
i da
n
me
naw
ark
an
ba
ntu
an
un
tuk
me
nye
lesa
ika
n m
asa
lah
ters
eb
ut.
Be
rsa
ma
de
ng
an
Ke
tua
RT,
me
reka
be
rha
sil
me
nye
lesa
ika
n m
asa
lah
lew
at
mu
syaw
ara
h.
Info
rma
l: K
etu
a R
T d
an
Ke
lom
po
k P
ere
mp
ua
n
Ha
sil:
Me
dia
si y
an
g b
erh
asi
l
da
n k
ep
ua
san
dik
ed
ua
pih
ak.
81Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
La
mp
ira
n 3
: S
tru
ktu
r si
ste
m h
uk
um
fo
rma
l In
do
ne
sia
Ke
ha
kim
an
Ke
jak
saa
nK
ep
oli
sia
n
Ad
dit
ion
al C
ou
rts
of
Sp
eci
al J
uri
sdic
tio
n
Su
pre
me
Co
urt
Ma
hka
ma
h A
gu
ng
Hig
h M
ilita
ry
Co
urt
Pe
ng
ad
ilan
Tin
gg
i
Mili
ter
Hig
h A
dm
inis
tra
tiv
e
Co
urt
Pe
ng
ad
ilan
Tin
gg
i
Ta
ta U
sah
a N
eg
ara
Hig
h R
eli
gio
us
Co
urt
Pe
ng
ad
ilan
Tin
gg
i
Ag
am
a
Hig
h C
ou
rt
Pe
ng
ad
ilan
Tin
gg
i
Dis
tric
t C
ou
rt
Pe
ng
ad
ilan
Ne
ge
ri
Re
ligio
us
Co
urt
Pe
ng
ad
ilan
Ag
am
a
Ad
min
istr
ati
ve
Co
urt
Pe
ng
ad
ilan
Ta
ta
Usa
ha
Ne
ga
ra
Mili
tary
Co
urt
Pe
ng
ad
ilan
Mili
ter
Co
nst
itu
tio
na
l Co
urt
Ma
hka
ma
h K
on
stit
usi
Ind
on
esi
an
Na
tio
na
l Po
lice
PO
LRI
Pro
vin
cia
l Po
lice
PO
LDA
Dis
tric
t /
Mu
nic
ipa
l Po
lice
PO
LRE
S
Vill
ag
e P
olic
e P
ost
PO
SP
OL
Su
b-D
istr
ict
Po
lice
PO
LSE
K
82 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
Peraturan Perundang-Undangan Tingkat Nasional
UUD 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
UU No. 22 tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
(Kovenan Internsational tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004 -2009
Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa
Peraturan Daerah (Perda) Tingkat Provinsi
Perda Sumatera Barat No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari
Perda Kalimantan Tengah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
Sebagai Daerah Otonom
Perda Pemerintah Provinsi Maluku No. 14 tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku
Peraturan Daerah (Perda) Tingkat Kabupaten
Perda Pesisir Selatan No. 17 tahun 2001 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari
Perda Pesisir Selatan No. 18 tahun 2001 tentang Susunan Dewan Perwakilan Nagari
Perda Kotawaringin Timur No. 15 tahun 2001 tentang Kedamangan
Perda Kotawaringin Timur No. 2 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran dan Pengendalian Penduduk
di Kabupaten Kotawaringin Timur
Perda Pulang Pisau No. 11 tahun 2003 tentang Pembentukan Kelembagaan dan Pemberdayaan Adat Dayak
Peraturan Desa
Kitab Awig-Awig Adat Desa Bentek 2000/2001 (Peraturan Desa Bentek 2000/2001)
Peraturan Nagari Minangkabau No. 1 tahun 2002 tentang Pembasmian Penyakit Sosial
Peraturan Nagari Minangkabau No. 2 tahun 2002 tentang Perintah Kebersihan dan Keindahan
Peraturan Nagari Minangkabau No. 3 tahun 2002 tentang Gotong Royong
83Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
Artikel, Buku dan Laporan
Abaya, A. (1999) “A Comparative Assessment of Community Justice Systems in the Philippines, Sri Lanka and
Bangladesh.” Nasakah yang belum dipublikasikan, disusun oleh Gerry Roxas Foundation, Manila.
Abel, RL (ed.) (1982) The Politics of Informal Justice. New York: Academic Press.
Anderson, M.R. (1999) ‘Access to Justice and Legal Process: Making Legal Institutions Responsive to Poor People in
LDCs.’ Naskah dibacakan pada World Development Report Meeting, 16-17 Agustus 1999.
Antlöv, H (2003) ‘Village Government and Rural Development in Indonesia: the New Democratic Framework.’
Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 39, no.2.
Arnaldo, AT, Zapa, DB, & Zuniga, MM (1980) ‘The Katarungang Pambarangay: an Appraisal of its Eff ectivity (sic)’
55 Philippines Law Journal 464.
Asia Foundation (2001), Citizens’ Perceptions of the Indonesian Justice Sector. Jakarta: Asia Foundation.
Asian Development Bank (2001a) Law and Policy Reform at the Asian Development Bank. Manila: Asian Development
Bank.
Asia-Pacifi c Organization for Mediation (APOM) (1988) Transcultural Mediation in the Asia-Pacifi c, Manila: Asia-
Pacifi c Organization for Mediation.
Australian Law Reform Commission (1998) Issues Paper 25: Review of the Adversarial System of Litigation, Canberra:
Commonwealth of Australia.
Baare, Anton (2004) ‘Policing and Local Level Confl ict Management in Resource Constrained Environments’ Mimeo,
Jakarta: World Bank.
Bappenas/World Bank (1997) Law Reform in Indonesia. Jakarta: Cyberconsult.
Bappenas/World Bank/AusAID/ADB/DFID (2007) Gender in CDD Projects: Implications for PNPM. Jakarta:
Bappenas.
Barron, P. & Sharpe, J. (2005) ‘Counting Confl icts: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia’,
Confl ict Prevention and Reconstruction Paper No. 25. Washington DC: World Bank.
Barron, P. Diprose, R. & Woolcock, M, (2006) Local Confl ict and Community Development in Indonesia: Assessing
the Impact of the Kecamatan Development Program, Working Paper 10, Social Development, Jakarta: World
Bank.
Benda-Beckmann, K von (1981) ‘Forum Shopping and Shopping Forums: Dispute Processing in a Minangkabau
Village in West Sumatra’ 19 Journal of Legal Pluralism: 117-59
84 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
Benda-Beckmann, K von (1984) The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State Courts in Minangkabau.
Dordrecht: Foris Publications.
Benda-Beckmann, F (1990) ‘Ambonese Adat as Jurisprudence of Insurgency and Oppression’ 5 Law and
Anthropology 25.
Benda-Beckmann, F (2000) ‘Legal pluralism and social justice in economic and political development,’ naskah
dipresentasikan pada IDS International Workshop on Rule of Law and Development, 1-3 Juni 2000.
Benda-Beckmann, F & K von (2001) ‘Recreating the Nagari: Decentralization in West Sumatra,’ versi ter-update paper
yang dipresentasikan pada 3rd Conference of the European Association for Southeast Asian Studies, London, 6-8
September 2001.
Buscaglia, E. (2001) ‘Justice and the Poor. Formal vs. Informal Dispute Resolution Mechanisms: A Governance-Based
Approach,’ naskah dipresentasikan pada Empowerment, Opportunity and Security through Law and Justice
Conference, St. Petersburg, Juli 2001
Butt, S., David, N. and Laws, N. (2004) Looking Forward: Local Dispute Resolution Mechanisms in Timor Leste, Sydney:
Australian Legal Resources International.
Clark, S. (ed.) (2004) ‘More than just Ownership: Ten Land and Natural Resource Confl ict Case Studies from East Java
and Flores,’ Indonesia Social Development Paper No. 4, Jakarta: World Bank.
Connolly, B. (2005) ‘Non-State Justice Systems and the State: Proposals for a Recognition Typology.’ 38 Connecticut Law
Review 239.
Dinnen, S. (2001) ‘Building Bridges – Law and Justice Reform in Papua New Guinea’ State, Society & Governance in
Melanesia Project Working Paper 01/3; Canberra: Australian National University.
Evers, P. J. (2002) ‘The Indonesian Rural Judiciary’, Mimeo yang tidak dipublikasikan, Jakarta: World Bank.
Faundez, J. (2006) ‘Should Justice Reform Programs Take Non-State Justice Seriously? Perspectives from Latin America,’
naskah dipresentasikan pada World Bank Legal Development Forum, Washington DC, Desember 2005.
Galanter, M. (1974) ‘Why the ‘Haves’ Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change’ 9 Law & Society
Review 95-160.
Galanter, M. & Krishnan, J. (2004) ‘Bread for the Poor: Access to Justice and the Right of the Needy in India,’
Hastings Law Journal 55(4) 789.
Gerry Roxas Foundation (2000a) Report on the Effi cacy of the Katarungang Pambarangay Justice System in the National
Capital Region. Manila: Gerry Roxas Foundation.
Gerry Roxas Foundation (2000b) The Panay and Guimaras Experience in Barangay Justice. Manila: Gerry Roxas
85Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
Foundation.
Glenn, H. Patrick (2001) Legal Traditions of the World; Oxford: Oxford University Press.
Golub, S. (2003) ‘Beyond Rule of Law Orthodoxy: the Legal Empowerment Alternative’. Working Paper No. 14,
Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace.
Golub, S. (2003) ‘Non-state Justice Systems in Bangladesh and the Philippines,’ naskah dipersiapkan untuk Dfi D, Januari
2003.
Griffi th, J. (1986). ‘What is Legal Pluralism?’ 24 Journal of Legal Pluralism 1-50.
Gusmao, Jose Kay Rala Xanana ‘President’s Opening Speech’, naskah disampaikan pada International Conference
Traditional Confl ict Resolution and Traditional Justice di Dili, Timor Leste, 27 Juni 2003.
Haverfi eld, R. (1999) ‘Hak Ulayat and the State: Land Reform in Indonesia’, in Lindsey (ed) Indonesia: Law and Society,
Sydney: Federation Press.
Hohe, T. & Nixon, R. (2003) Reconciling Justice: “Traditional” Law and State Judiciary in East Timor, Kertas kerja dipersiapkan
untuk US Institute of Peace, Januari 2003.
Hooker, MB. (1978) Adat Law in Modern Indonesia. New York: Oxford University Press.
Ilun, Y. Nathan (2004) Introducing Adat Law. Naskah yang tidak dipublikasikan, 2004.
International Crisis Group (2001) Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan. Jakarta/Brussels:
International Crisis Group.
International Crisis Group (2000) Indonesia’s Maluku Crisis: the Issues, Indonesia Briefi ng Paper 19 Juli 2000.
Jakarta Post, ‘Maluku, Kalimantan Strife “Lingering”’, 1 Mei 2006
Kane, M, Oloka-Onyango, J. & Tejan-Cole, A. (2005) ‘Reassessing Customary Law Systems as a Vehicle for Providing
Equitable Access to Justice for the Poor.’ Naskah dipresentasikan pada Arusha Conference, New Frontiers of Social
Policy, 12-15 Desember 2005.
Lindsey, T. (1998) ‘Square Pegs and Round Holes: Fitting Modern Title into Traditional Societies in Indonesia?’ 7 Pacifi c
Rim Law and Policy Journal 699.
Lindsey, T. (ed.) (1999) Indonesia: Law and Society, Sydney: Federation Press.
Lindsey, T. (2006) ‘Inheritance and Guardianship and Women: Islamic Laws in Aceh, a Year After the Tsunami,’
naskah dipersiapkan untuk the International Development Law Organization.
Mangahas, M. (1999) ‘Social Climate – A Bright Spot: Barangay Justice.’ 24 January 1999 at www.sws.org.ph/
86 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
jan00.htm.
Mahkamah Agung Republik Indonesia (2003) Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI. Jakarta: Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
McCarthy, John F (2004) ‘Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-legal Confi gurations
in Central Kalimantan, Indonesia.’ World Development. 32(7) p. 1199-1223, Juli 2004.
Menkel-Meadow, C. (1999) ‘Do the “Haves” Come Out Ahead in Alternative Judicial Systems?’ 15 Ohio State Journal on
Dispute Resolution 19.
Merry, S.E. (1982) ‘The Social Organization of Mediation in Non-industrial Societies: Implications for Informal
Community Justice in America’, dalam Abel, R.L. (ed), The Politics of Informal Justice, New York: Academic Press.
Merry, S.E. (1988) ‘Legal Pluralism’ 22(5) Law and Society Review 869.
Merry, S.E. (1993) ‘Sorting Out Popular Justice,’ pada Merry, S.E. & Milner, N. (eds) (1993) The Possibility of Popular Justice,
Ann Arbor, Michigan: University of Michigan Press.
Messick, R. (1999) ‘Judicial Reform and Economic Development: A Survey of the Issues’ World Bank Research Observer 14
(1): 117-136.
Messick, R & Beardsley, L (eds) (2002) Sourcebook on Access to Justice. Koleksi paper yang tidak dipublikasikan yang
dipersiapkan oleh World Bank Legal Institutions Thematic Group, World Bank Empowerment Retreat, 7-8 Mei
2002.
Michelson , E. (2007) ‘Climbing the Dispute Pagoda: Grievances and Appeals to the Offi cial Justice System in Rural
China.’ 72 American Sociological Review 459.
Moore, S.F. (1973) ‘Law & Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study’ 7(4)
Law and Society Review 719.
Narayan, DC. (2000), Voices of the Poor: Can Anyone Hear Us? New York: Oxford University Press.
Nyamu-Musembi, C. (2003) ‘Review of Engaging with Non-State Justice Systems in East Africa’. Naskah dibuat
oleh DfID, Februari 2003.
Odinkalu, C. (2005) ‘Poor Justice or Justice for the Poor? A View from Africa.’ Naskah dipresentasikan pada World Bank
Legal Development Forum, Desember 2005.
Pompe, S. (2003), Court Corruption in Indonesia: An anatomy of institutional degradation and strategy for recovery. Naskah
yang tidak dipublikasikan dibuat oleh penulis.
Purba, R. (2004) ‘Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Alternatif Kajian Pada Masyarakat Karo.’ Naskah dipaparkan di
Universitas Karo, 1 Juli 2004.
87Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
Rinaldi, T, Purnomo, M. & Damayanti, D. (2007) Combating Corruption in a Decentralized Indonesia, Jakarta: World
Bank.
Saputro, Widodo. S, Burhanuddin, Anwar, A. & Sholeh, B. (2007), Balai Mediasi Desa: Perluasan akses hukum dan
keadilan untuk rakyat, Jakarta: LP3ES dan NZAID.
Setwilda Tingkat I Kalimantan Tengah (1996) Lembaga Kedamangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Provinsi
Kalimantan Tengah; Palangkaraya: Provincial Government of Central Kalimantan.
Silliman, G. Sidney (1985), ‘A Political Analysis of the Philippines Katarungang Pambarangay System of Informal
Justice Through Mediation’ 19 Law & Society Review 279.
Soerodibroto, S.H. (2001), Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Jakarta: PT Raja Grafi ndo Persada.
Sosmena Jr., G.C. (1996) ‘Barangay Justice: a Delegalisation Mechanism.’ 20 Hiroshima Law Journal 384-404.
Stephens, M. (2003) ‘Local-level Dispute Resolution in Post-reformasi Indonesia: Lessons from the Philippines.’ 5(3)
Australian Journal of Asian Law 213.
Suryakusuma, J. (2004) Sex, Power and Nation, Jakarta: Metafor.
Szczepanski, K (2002) ‘Land Policy and Adat Law in Indonesia’s Forests.’ 11 Pacifi c Rim Law & Policy Journal 231.
Tadiar, A (1988) ‘Institutionalising Traditional Dispute Resolution: the Philippine Experience’ pada Asia-
Pacifi c Organization for Mediation (APOM), Transcultural Mediation in the Asia-Pacifi c, Manila: Asia-Pacifi c
Organization for Mediation.
Tamanaha, B.Z. (1993) “The Folly of Legal Pluralism” 20 Journal of Law and Society 192.
Tan, BK & Pulido, MG (1981), ‘Katarungang Pambarangay Law: its goals, processes and impact on the right
against self-incrimination’, 56 Philippine Law Journal 425.
UNDP, Bappenas, Syiah Kuala University, World Bank, IDLO & BRR (2006) Access to Justice in Aceh: Making the Transition to
Sustainable Peace and Development, Jakarta: UNDP.
UNDP (2007) Justice for All? An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia; Jakarta: UNDP.
World Bank (2004), Village Justice in Indonesia: Case Studies on Access to Justice, Village Democracy and
Governance, Jakarta: World Bank.
Zitelmann, T. (2005) ‘The Cambodian Confl ict Structure: Confl ict About Land in a Wider Perspective’, Phnom Penh: GTZ.
88 Menemukan Titik Keseimbangan:Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
Recommended