Citation preview
FUNGSI REKAM MEDIK SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DOKTER
YANG MELAKUKAN TINDAKAN MEDIK
TESIS
OLEH:
FAKULTAS HUKUM
Universitas Sumatera Utara
Fungsi Rekam Medik Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Dokter
yang Melakukan Tindakan Medik
TESIS
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
FAKULTAS HUKUM
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Fungsi Rekam Medik Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Dokter
yang Melakukan Tindakan Medik
Oleh
ABSTRAK
Hubungan hukum antara pasien dengan dokter dapat terjadi antara
lain karena pasien sendiri mendatangi dokter untuk meminta
pertolongan mengobati sakit yang dideritanya, dalam keadaan seperti
ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, dan
terjadi hubungan hukum yang bersumber terhadap proses pengobatan
dan nasihat yang diberikan oleh dokter akan tercapai bila dokter
dapat mengadakan komunikasi timbal balik yang baik terhadap
pasiennya. Dokter yang bersedia mendengarkan pendapat dan keluhan
pasien, akan menyebabkan pasien lebih bersedia mematuhi proses
upaya penyembuhan sehingga tujuan perjanjian yaitu kesembuhan dapat
tercapai.
Pengaturan tentang standar profesi kedokteran dan standar pelayanan
kesehatan serta pengaturan rekam medik di Indonesia. Seorang dokter
dapat disebut telah melakukan kesalahan tindakan medik yaitu tidak
membuat rekam medik ketika dokter tersebut tidak melaksanakan
proses pengobatan sesuai dengan Standar Prosedural Operasional
(SPO) yang telah diatur dalam Pendidikan kedokteran, dan apabila
dokter tersebut tidak menjalankan profesinya sesuai dengan KODEKI,
UUK, UUPK, UURS, PERMENKES.
Dengan pemahaman yang relatif minimal, masyarakat awam sulit
membedakan antara resiko medik dengan malpraktik. Hal ini
berdasarkan bahwa suatu kesembuhan penyakit tidak semata
berdasarkan tindakan petugas kesehatan, namun juga dipengaruhi
faktor-faktor lain seperti kemungkinan adanya komplikasi, daya
tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan dalam penatalaksanaan
regiment therapeutic1
* Mahmud Mulyadi Ketua Komisi Pembimbing Program Magister Ilmu
HukumUniversitas Sumatera Utara
** Ekaputra Anggota Komisi Pembimbing Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara *** Mahmul Siregar Komisi Pembimbing
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
The function of Medical Record As legal protection For doctors who
Perform Medical Actions
By
ABSTRACT
The legal relationship between patients with doctors can occur
among other things because the patient himself went to the doctor
to help treat the pain he suffered, in circumstances such as this
happens the approval of will between the parties, and going legal
relationship sourced against the treatment process and the advice
given by a physician will be achieved when doctors can hold a
reciprocal communication to the patients. A doctor who is willing
to listen to the opinions and complaints of the patient, the
patient will cause more willing to comply with the process of
healing effort so that the aim of the agreement, namely the healing
can be achieved.
Setting the standard of the medical profession and the standards of
health services as well as medical record setting in Indonesia. A
doctor can be called have done wrong medical actions, namely does
not make medical record when the doctor does not carry out the
treatment process in accordance with the standard Procedural
Operations (SPO) which has been set up in the education medicine,
and when the doctor does not exercise his profession in accordance
with KODEKI, UUK, UUPK, UURS, PERMENKES.
With relatively minimal understanding of lay society, it is
difficult to differentiate between medical risks with malpractice.
It is based on that of a cure for the disease is not only based on
the actions of health workers, but is also influenced by other
factors such as the possibility of complications, durability of the
body that are not the same, the compliance in treatment the
therapeutic Regimen
* Mahmud Mulyadi Chairman of the Supervisory Committee of Law
Master Program of University of North Sumatera ** Ekaputra Member
of the Advisory Committee of Magister Law Program of University of
North Sumatera *** Mahmul Siregar Member of the Advisory Committee
of Magister Law Program of University of North Sumatera
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kuasa atas
berkat
dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang
berjudul
“Fungsi Rekam Medik Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi
Dokter
yang Melakukan Tindakan Medik” .
memperoleh gelar Magister Hukum (S-2) pada Sekolah Pasca Sarjana
Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan tesis
ini, penulis
memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik bersifat material
maupun spiritual,
sehingga tesis ini dapa diselesaikan secara baik. Oleh karena itu,
pada kesempatan
ini dengan segala kerendahan hati dan hormat penulis menyampaikan
ucapan
terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Kedua orang tua penulis
ayahanda
Prof. Dr. Madiasa Ablisar S.H. M.S. dan ibunda Dra. Syarifah M.S.
tercinta
yang telah banyak memberikan dukungan dalam doa dan cinta yang
sangat
berarti kepada penulis dan telah mencyrahkan segenap kasih
sayangnya,
dorongan spiritual dan materi yang tak terhingga, serta dukungan
dan motivasi
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan mendapat gelar
Magister
Hukum (S-2) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung
Sitepu, S.H.
M.Hum dan para Pembantu Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga
atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan Program Magister (S-2).
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan
Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum selaku ketua Program Studi
dan
Bapak Dr. Mahmul Siregar S.H., M.Hum selaku Sekretaris Program
Studi
pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H. M.Hum selaku ketua komisi
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk
membimbing
penulis dan selalu memberikan arahan dalam memperluas wawasan
penulis dengan sangat aktif dan bijaksana, sehingga menjadi
pengalaman
tersendiri yang tentunya sulit untuk dilupakan.
5. Bapak Dr. Ekaputra, S.H. M.Hum dan Bapak Dr. Mahmul Siregar,
S.H.
M.Hum selaku anggota komisi pembimbing, disela-sela
kesibukannya
masih bersedia untuk meluangkan waktunya untuk membimbing,
mendorong dan memberikan masukan serta arahan yang sangat
berharga
hingga rampungnya penulisan Tesis ini.
Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H. M.H dan Bapak Dr. Edy Yunara,
S.H.
M.Hum selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan
dan
kritikan yang konstruktif dalam penyempurnaan Tesis ini.
7. Kepada adik penulis Aqib Asyraf Ablisar yang telah membantu
dan
memberikan dukungan kepada motivasi kepada penulis selama
pembuatan
tesis ini, penulis ucapkan terimakasih.
8. Teman-teman angkatan 2016 Pasca Sarjana Ilmu Hukum Fakultas
Hukum
Sumatera Utara terimakasih buat kebersamaannya.
9. Buat teman-teman sebaya yang telah memberikan dukungan dan
memberikan motivasi kepada penulis selama pembuatan tesis
ini.
10. Buat adik-adik S-1 yang telah memberikan dukungan dan
memberikan
motivasi kepada penulis selama pembuatan tesis ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah
banyak membantu, terimakasih atas semua kebaikan yang telah penulis
terima,
semoga Tuhan melimpahkan berkahnya kepada kita.
Medan, 19 Agustus 2018
Jenis Kelamin : Laki-laki
Permai
Nama Ibu : Dra. Syarifah M.S.
Nama Saudara : Aqib Asyraf Ablisar
2. PENDIDIKAN
4. S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : 2012-2016
5. S2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : 2016-2018
Universitas Sumatera Utara
A. LatarBelakang
...........................................................................................
1 B. RumusanMasalah
....................................................................................
10 C. TinjauanPenulisan
..................................................................................
10 D. ManfaatPenulisan
...................................................................................
11 E. KeaslianPenulisan
...................................................................................
11 F. KerangkaTeori dan Konsepsi
.................................................................
13
1. KerangkaTeori
..................................................................................
13 2. Konsepsi
...........................................................................................
20
G. MetodePenelitian
....................................................................................
21 1. Jenis dan SifatPenelitian
...................................................................
22 2. SumberBahanHukum
........................................................................
22 3. Teknik Pengumpulan Data
............................................................... 24
4. Analisis Data
.....................................................................................
24
BAB II FUNGSI REKAM MEDIS DALAM UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MEDIK DARI TUNTUTAN PIDANA
..................................................... 27
A. HubunganDokterdenganPasien
............................................................. 27 B.
PengaturanRekamMedik
.......................................................................
42 C. Hak-HakPasienTerhadapRekamMedik
................................................. 52 D.
FungsiRekamMedikuntukPerlindunganHukumTerhadapDokter yang
MelakukanTindakanMedik
...................................................................
68
BAB III KEKUATAN HUKUM REKAMAN MEDIK DALAM PEMBUKTIAN MALPRAKTIK
BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
................................. 76
A. MalpraktikMedis
...................................................................................
76 B. HukumPembuktian
................................................................................
85 C. ProsedurPenyelesaianSengketaMedis oleh
MajelisKehormatanDisiplinKedokteran Indonesia (MKDKI)
.............. 91 D.
KekuatanHukumRekamanMedikDalamPembuktianMalpraktikBerda
sarkan KUHAP
.....................................................................................
95
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
.............................................................................................
102
Universitas Sumatera Utara
Sejak permulaan sejarah yang tersurat mengenai umat manusia, sudah
dikenal
hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu sang pengobat dan
penderita. Dalam
dunia modern hubungan ini disebut hubungan kesepakatan terapeutik
antara
dokter dan penderita (pasien) yang dilakukan dalam suasana saling
mempercayai
serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan
kekhawatiran mahluk
insani.2
Hubungan dokter-pasien pada umumnya tidak setara, ada kesenjangan
diantara
keduanya dalam berbagai aspek. Biasanya pasien berada di pihak yang
lemah,
yang oleh karena itu ia perlu mendapat perlindungan. Karena
posisinya sebagai
pihak yang lebih kuat dalam berbagai hal, dokter perlu diberi
rambu-rambu agar ia
tidak tergoda untuk melakukan tindakan yang merugikan pasien
dan
menguntungkan diri sendiri. Perlindungan bagi pasien dan
rambu-rambu untuk
Dokter mempunyai keahlian dibidang kedokteran, sedangkan
pasien
adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk
penyembuhkan
penyakit yang dideritanya. Pada kedudukan ini dokter adalah orang
sehat yang
juga pakar dalam bidang penyakit, sementara pasien adalah orang
sakit yang
awam mengenai penyakitnya. Pasien karena ketidak tahuannya,
pasien
menyerahkan masalah atau penyakit yang dideritanya kepada dokter
demi
kesembuhannya.
2Heru Budiarto, Panduan Praktis Etika Profesi Dokter, (Jakarta: CV
Sagung Seto, 2009). Hal. 14-15
Universitas Sumatera Utara
dokter dibina antara lain oleh: (1) hati nurani dan moral; (2)
etika medis; (3)
disiplin profesi dan (4) hukum.3
Sebenarnya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama
berdasarkan sosial
budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola hubungan
yaitu:
Dalam hubungan dokter-pasien, seringkali pasien menurunkan derajat
dirinya
sebagai objek bagi suatu yang seharusnya diputuskan berdasarkan
alasan-alasan
yang kuat tanpa menyadari apa motif dan konsekuensi dari keputusan
itu, atau
bahkan tanpa ada kesempatan baginya untuk memikirkan alternatif dan
resiko
yang akan dihadapi. Pasien seharusnya mendapat informasi yang cukup
untuk
dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dan kemudian
memutuskan
sesuatu yang menyangkut kepentingannya.
Jadi hubungan dokter yang semula yang bersifat patemalistik akan
bergeser
menjadi hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan
saling
ketergantungan antara kedua belah pihak yang ditandai dengan suatu
kegiatan
aktif yang saling mempengaruhi. Dokter dan pasien akan berhubungan
lebih
sempurna sebagai “partner”.
1. Activity-passivity
Pola hubungan antara orangtua dan anak seperti ini merupakan pola
klasik
sejak profesi kedokteran sejak mulai kode etik kedokteran, abad ke
5 S.M.
3 Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktek Medik Tinjauan dan
Perspektif Medikolegal, (Yogyakarta : Andi, 2010), hal.14
4Ibid, Hal 16-20
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien.
2. Guidance - Cooperation
Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat
misalnya,
penyakit infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit,
pasien
tetap sadar dan memiliki perasaan serta kemauan sendiri. Ia
berusaha
mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerjasama.
Walaupun
mengetahui lebih banyak, ia tidak semata-mata menjalankan
kekuasaan,
namun mengharapkan kerjasama pasien yang diwujudkan dengan
menuruti nasehat atau anjuran dokter.
3. Mutual participation
Filosofi pola ini bedasarkan pemikiran bahwa manusia memiliki hak
dan
martabat manusia. Pola ini terjadi pada mereka yang
memelihara
kesehatannya seperti medical check up atau pada pasien penyakit
kronis.
Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap
dirinya.
Hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien dengan latar belakang
dan
sosial yang rendah, juga pada anak atau pasien dengan gangguan
mental
tertentu.
Hubungan dokter dan pasien, secara hukum umumnya terjadi melalui
perjanjian
atau kontrak. Dimulai dengan tanya jawab (anarnnesis) antara dokter
dan pasien,
kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik, akhirnya menegakkan
suatu
diagnosis. Diagnosis ini merupakan suatu working diagnosis , bisa
juga
Universitas Sumatera Utara
merupakan diagnosis yang definitif. Setelah itu dokter biasanya
merencanakan
suatu terapi dengan memberikan resep atau suntikan atau operasi
atau tindakan
lain dan disertai nasihat-nasihat yang perlu diikuti agar
kesembuhannya lebih
segera dicapai oleh pasien. Dalam proses pelaksanaan hubungan
dokter pasien
tersebut sejak tanya jawab sampai dengan perencanaan terapi, dokter
melakukan
pencatatan dalam suatu medical record (rekam medis). Pembuatan
rekam medis
ini merupakan kewajiban dokter sesuai dengan dipenuhinya standar
profesi medis.
Dalam upaya menegakkan diagnosis atau melaksanakan terapi, dokter
biasanya
melakukan suatu tindakan medik. Tindakan medik tersebut adakalanya
atau sering
dirasa menyakitkan atau menimbulkan rasa tidak menyenangkan. Secara
material,
suatu tindakan medis itu sifatnya tidak bertentangan dengan hukum
apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:5
1. Mempunyai indikasi medis, untuk mencapai suatu tujuan yang
konkrit.
2. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu
kedokteran,
kedua syarat ini dapat juga disebut bertindak secara lege
artis.
3. Harus mendapat persetujuan dahulu dari pasien.
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran,
menentukan bahwa; Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktek
kedokteran mempunyai kewajiban: (a) memberikan pelayanan medis
sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis
pasien: (b) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang
mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu
5https://budi399.wordpress.com/2009/10/24/hubungan-dokter-pasien/diakses
pada 25 April 2018
Universitas Sumatera Utara
tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal; (d)
melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan (e) menambah
ilmu
pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
Pasal 51 ini menuntut dokter atau dokter gigi sebagi profesi luhur
untuk memiliki
etika, moral dan keahlian dalam melaksanakan praktek kedokteran
yang
merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Dokter dalam menangani seorang pasien adalah antara kemungkinan
dan
ketidakpastian karena tubuh manusia bersifat komplek dan tidak
dapat dimengerti
sepenuhnya. Belum diperhitungkan variasi yang terdapat pada setiap
pasien: usia,
tingkat penyakit, sifat penyakit, komplikasi, dan hal-hal lain yang
bisa
mempengaruhi hasil yang bisa diberikan oleh dokter.6
6 J. Guwandi, Pengantar Ilmu Hukum dan Bio-etika, (Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009).Hal.3
Upaya penyembuhan yang
pasien, diharapkan dokter lebih berhati-hati dalam melaksanakan
tindakan medik
sehingga kepercayaan yang diberikan pasien dapat terjaga. Apabila
si pasien
merasa dirugikan oleh tindakan medik yang dilakukan dokter, sesuai
dengan Pasal
66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004: Setiap orang
yang
mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi
dalam menjalankan praktek kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada
Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Kesalahan yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesi yang
timbul sebagai
akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter
mengakibatkan
si pasien merasa dirugikan mempunyai hak untuk menuntut baik pidana
maupun
perdata. Malpraktek medis adalah tindakan yang salah/kelalaian
seorang dokter
dalam melaksanakan kewajiban profesinya dengan tidak berhati-hati
dan tidak
mengikuti standar profesi, standar pelayanan medis, standar
operasional prosedur
sehingga menyebabkan pasien mengalami cacat, luka bahkan kematian.
7
J. Guwandi menyatakan bahwa kasus-kasus Malpraktek medik yang
terungkap
lewat media massa tetapi tidak sampai ke tingkat pengadilan adalah
(1) Kasus
Uzah pada tahun 1981 masalah operasi; (2) Kasus Ny. Samsiah pada
tahun 1982
mengenai kain kasa yang tertinggal pasca operasi; (3) Kasus Ny.
Masaulina pada
tahu 1983 mengenai kuret; (4) Kasus Ny. Ngatemi pada tahun 1983
mengenai
kuret; (5) Kasus Cagyadi pada tahun 1984 mengenai anestesi; (6)
Kasus Buchari
pada tahun 1984 mengenai laser; (7) Kasus Ny. Indah pada tahun 1985
mengenai
anestesi; (8) Kasus Ny. Endang pada tahun 1985 mengenai anestesi
dan Vigetative
state (keadaan vegetatif); (9) Kasus dokter gigi pada tahun 1988
mengenai operasi
usus buntu; (10) kasus yang terjadi di Lampung pada tahun 1988
mengenai tabug
yang meledak; (11) Kasus Prof. Irwanto dari Fakultas Psikologi
Universitas
Atmajaya mengalami kelumpuhan karena dokter yang menanganinya
memberi
obat yang salah.
7 Veronika Komalasari, dalam Syahrul Mahmud, Penegakan Hukum dan
Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang diduga Melakukan Medikal
Malpraktek, (Bandung: KDP, 2012), Hal.18,23.
8J.Guwandi, Op. Cit.,Hal. 10
Kasus Malpraktek medik terbaru adalah kasus di RSUP Kandau
Malalayang
Manado. Pada kasus RSUP Kandau, dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani,
dokter
Hendry Simanjuntak dan dokter Hendry Siagian tidak terbukti secara
sah dan
menyakinkan melakukan malpraktek dalam melaksanakan operasi
terhadap
korban almarhum Siska Makatey seperti yang didakwakan oleh Jaksa
Penuntut
Umum di Pengadilan Negeri Manado, namun di tingkat Kasasi, ketiga
dokter
tersebut dinyatakan bersalah dan divonis 10 (sepuluh) bulan
penjara.J. Guwandi
menyatakan sampai saat ini belum ada keputusan hakim yang
memuat
pertimbangannya dan dapat dikumpulkan dan dijadikan yurisprudensi
tetap bagi
perkara malpraktek.9
Dokter dalam melakukan tindakan medik mempunyai kewajiban untuk
membuat
rekaman medis yang berisi catatan dan dokumen antar lain indentitas
pasien,
pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan lain
yang diberikan
kepada pasien. Catatan merupakan tulisan-tulisan yang dibuat oleh
dokter atau
Pasal 50 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tetang
Praktek
Kedokteran, dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek
kedokteran
mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melasanakan
tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
Apabila seorang
dokter atau dokter gigi telah melaksanakan pelayanan medik atau
praktek
kedokteran telah sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional,
maka dokter atau dokter gigi tersebut tidak dapat dituntut, baik
secara
administrasi, perdata, maupun pidana.
gigi, dan atau tenaga kesehatan tertentu, laporan hasil pemeriksaan
penunjang,
catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman baik
berupa foto
radiologi, gambar pencitraan (image), dan rekaman elekto
diagnosik.10
Rekam medis memiliki banyak kegunaan yang terbagi kedalam tujuh
aspek.
Berikut ini ketujuh aspek tersebut yaitu:
11
1. Dari segi aspek administrasi; Isi dari rekam medis enyangkut
tindakan
bedasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis
dan
perawat dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan.
2. Dari segi aspek medis catatan; rekam medis dipergunakan
sebagai
dasar untuk merencanakan, pengobatan/perawatan yang harus
diberikan kepada pasien, karena rekam medis ini berisi
catatan
riwayat penyakit pasien.
3. Dari segi aspek hukum; rekaman medis berhubungan dengan
adanya
jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan, dalam rangka
usaha
menegakkan hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk
menegakkan keadilan.
4. Dari segi aspek keuangan; Isi rekam medis dapat dijadikan
sebagai
bahan untuk menetapkan biaya pembayaran pelayanan. Tanpa
adanya
bukti catatan tindakan/pelayanan, maka pembayaran tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
10 Lihat Permenkes No. 269/Menkes/Per/III/2008. 11 Nusye K I.
Jayanti, Penyelesaian Hukum Dalam Malpraktek Kedokteran,
(Jakarta:
Pustaka Yustisia, 2009), hal.85
5. Dari segi aspek penelitian; Berkas rekam medis memiliki
nilai
penelitian, karena isinya menyangkut data/informasi yang
dapat
digunakan sebagai aspek penelitian.
pendidikan, karena isinya menyangkut data/informasi tentang
kronologis dari pelayanan medis yang diberikan pada pasien.
7. Dari aspek dokumentasi; Isi rekam medis menjadi sumber
ingatan
yang harus didokumentasikan dan dipakai bahan
pertanggunngjawaban dan laporan sarana kesehatan.
Dengan melihat aspek tersebut diatas, rekam medik mempunyai
kegunaan yang
sangat luas karena tidak hanya menyangkut antara pasien dengan
pemberi
pelayanan kesehatan saja. Kegunaan rekam medis secara umum adalah
:12
12
Sebagai alat komunikasi antara dokter dengan tenaga ahli lainnya
yang ikut ambil bagian dalam proses pemberian pelayanan,
pengobatan, dan perawatan kepada pasien; (1) Sebagai dasar untuk
melaksanakan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
pasien; (2) Sebagai bukti tertulis maupun terekam atas segala
tindakan pelayanan, pengobatan, dan perkembangan penyakit selama
pasien berkunjung/dirawat dirumah sakit; (3) Sebagai bahan yang
berguna untuk analisa, penelitian, dan evaluasi terhadap kualitas
pelayanan yang telah diberikan oleh pasien; (4) Melindungi
kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit, ataupun dokter dan
tenaga kerja lainnya ; (4) Menyediakan data-data khusus yang sangat
berguna untuk keperluan penelitian dan pendidikan; (5) Sebagai
dasar didalam perhitungan biaya pebayaran pelayanan medis yang
diterima oleh pasien; (6) Menjadi sumber ingatan yang harus
didokumentasikan, serta sebagai bahan pertanggung jawaban dan
laporan.
https://rekamkesehatan.com/tujuan-dan-kegunaan-rekam-medis/#.WpUe0GrFLIU
diakses pada tanggal 27 Februari 2018
judul: “Fungsi Rekam Medis Sebagai Upaya Perlindungan Hukum
Bagi
Dokter Yang Melakukan Tindakan Medik”
B. Perumusan Masalah
bagi dokter yang melakukan tindakan medik dari tuntutan pidana
?
2. Bagaimana kekuatan hukum rekaman medik dalam pembuktian
malpraktek bedasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan menganalisis peran rekaman medik sebagai
upaya
perlindungan hukum bagi dokter yang melakukan tindakan medik
dari
tuntutan pidana.
dalam pembuktian malpraktek berdasarkan KUHP.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
pengetahuan dan dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk
mendalami pengetahuan tentang pentingnya rekam medis dan
hubungan antara dokter dengan pasien, fungsi dari rekam medis
setelah dokter melakukan tindakan medis kepada pasien.
Universitas Sumatera Utara
penelitian.
penanganan pasien, fungsi rekam medis rumah sakit dan praktik
kedokteran sebelum melakukan tindakan medis. sebagai usaha
mengetahui kelayakan rumah sakit.
lingkup yang dibahas dalam penelitian ini.
E. Keaslian Penelitian
Untuk menjamin keaslian penelitian dalam tesis ini, maka dilakukan
penelusuran
di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program
Magister
Ilmu Hukum. Hasil penelusuran yang telah dilakukan tidak ditemukan
judul:
Peran Rekaman Medik Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Dokter
Yang
melakukan Tindakan Medik belum pernah dilakukan. Adapun penelitian
yang
berkaitan dengan judul penelitian ini adalah:
1. Desy Siringoringo, tahun 2012,dengan judul: Kedudukan
Rekaman
Medik dalam Pembuktian Tindak Pidana Malpraktik , dengan
rumusan
masalah:
a. Bagaimana Malpraktik Medis ditinjau dari aspek hukum pidana
di
Indonesia
perkara malpraktik medis di Indonesia
2. Paian Tua Dolok Matio Sinaga, NIM: 157005074 dengan judul:
Pertanggungjawaban Pidana Dokter yang tidak melakukan Rekaman
Medik, dengan rumusan masalah:
kedokteran
studi putusan perkara Nomor 86/Pid.B/2009/ PN.LGS
Penulisan penelitian ini memiliki judul, rumusan masalah dan tujuan
penelitian
yang berbeda dengan tesis yang sebelumnya. Penelitian Desy
Siringoringo
menitik beratkan pada masalah Malpraktek Medis dan aspek hukum
pidana dan
kedudukan rekaman medik dalam pembuktian tindak pidana,
sedangkan
penelitian Tua Dolok Matio Sinaga, menitik beratkan pada Rekaman
medik
dilakukan dokter dan pertanggungjawaban pidana dokter yang tidak
melakukan
Rekaman Medik. Penelitian ini menitik beratkan pada pelindungan
dokter yang
melakukan rekaman medik dan kekuatan hukum Rekaman Medik
dalam
pembuktian Malpraktek berdasarkan KUHAP.
1. Kerangka Teori
Kata teori berasal dari kata theory yang antinya pandangan atau
wawasan.13
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk
membuat jelas
nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan
filosofisnya yang
tertinggi14. Kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka
pemikiran atau butir-
butir pendapat, teori tesis mengenai sesuatu kasus atau
permasalahan (problem)
yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui
atau tidak
disetujui yang merupakan masukan bersifat eksternal dalam
penelitian.15
Tesis ini menggunakan teori Perlindungan Hukum dan teori
Pembuktian.
Perlindungan hukum menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto
Raharjo,
awal mula munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari
teori hukum
alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato,
Aristoteles dan
Zeno. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu
bersumber dari
tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan
moral tidak
dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan
moral adalah
dalam dalam dalam dan aturan secara internal dan eksternal dari
kehidupan
manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.
16
13 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2012), Hal.4
14 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1999), Hal. 254 15 M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian,
(Bandung: CV Mandar Maju, 1994),
Hal. 80 16SatjiptoRahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2000), Hal.53
Universitas Sumatera Utara
Dalam teori perlindungan hukum terdapat teori lagi yaitu teori
tujuan hukum,
dalam teori tujuan hukum dibagi atas 3 yaitu :17
A. Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa
yang
menjadi hak atau jatahnya. Jatah ini tidak sama untuk setiap
orangnya
tergantung pada kekayaan, kelahiran, pendidikan kemampuan dan
sebagainya yang sifatnya proporsional. Di sini bukan kesamaan
yang
dituntut, tetapi perimbangan.
1. Teori etis
Geny. Teori ini sudah dikenal sejak zaman Aristoteles. Menurut
Aristoteles,
keadilan dibedakan menjadi dua yaitu:
B. Justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama
banyaknya.
Disini yang dituntut adalah kesamaan. Yang adil adalah setiap
orang
diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.
1. Teori Utilitas (Utiliteits Theory)
Menurut teori ini hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar
bagi
manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of
the
greates number). Pada hakikatnya menurut teori ini tujuan hukum
adalah
manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang
terbesar
bagi jumlah orang yang terbanyak. Penganut teori ini antara lain
adalah
Jeremy Bentham.
Menurut teori ini tujuan hukum bukan hanya keadilan tetapi juga
kemanfaatan.
Penganut teori ini di antaranya adalah J. Scharasset. Mereka
berpendapat bahwa
bilamana element atau unsur keadilan saja yang diperhatikan, maka
hasilnya
hanyalah ketentuan-ketentuan yang memenuhi keadilan mutlak yang
tidak dapat
memenuhi tuntutan-tuntutan dalah pergaulan sehari-hari.
Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk
melindungi
indevidu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau
kaedah-kaedah yang
menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya
ketertiban dalam
pergaulan hidup antara sesama manusia.18Perlindungan hukum
merupakan suatu
hal yang melindungi subjek-subjek hukum melalui peraturan
perundang-undangan
yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
Perlindungan
hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:19
2. Perlindungan Hukum Represif
1. Perlindungan Hukum Preventif
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah
suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan
dalam
melakukan suatu kewajiban.
18 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di
Indonesia, (Surakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas
Maret, 2003), Hal. 14
19Ibid., Hal.20.
serta denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila
sudah
terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Adami Chazawi menyatakan bahwa dari pemahaman tentang arti
pembuktian di
sidang pengadilan, sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan
menjadi 2
bagian, yaitu bagian kegiatan pengungkapan fakta, dan pekerjaan
penganalisisan
fakta yang sekaligus penganalisisan hukum.20
A. Sistem atau Teori Pembuktian Bedasar Keyakinan Hakim
Melulu
Menurut D. Simons, sistem atau teori
pembuktian bedasarkan undang-undang secara positif ( positief
wettelijk ) ini
berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim
dan
mengikat hakim secara ketat menurut peraturan – peraturan
pembuktian yang
keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (
inquisatoir ) dalam
acara pidana. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut
lagi. Teori
ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut
oleh undang-
undang. Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro
untuk dianut di
Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan
kebenaran itu,
lagipula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman
mungkin sekali
adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut
undang-
undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan
hakim melulu.
Teori ini disebut juga conviction intime.
20http://www.referensimakalah.com/2012/05/teori-pembuktian-dalam-hukum-pidana_4293.html
diakses pada tanggal 23 Maret 2018
Universitas Sumatera Utara
Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun
tidak selalu
membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak
menjamin
terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.
Oleh karena
itu diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian demikian pernah
dianut di
Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten.
Sistem ini
katanya memungkinkan hakim menyebut apasaja yang menjadi
dasar
keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.
Pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan pengambilan sumpah
saksi,
pembacaan berkas perkara terdapat pada semua perundang-undangan
acara
pidana, termasuk sisten keyakinan hakim melulu (conviction
intime).21
B. Sistem atau Teori Pembuktian Bedasar Keyakinan Hakim Atas
Alasan yang Logis (La Conviction Rais onnee)
Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas
karena hakim
bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije
bewijstheorie).
Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang bedasar
keyakinan hakim
sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang
tersebut di
atas yaitu pembuktian bedasar keyakinan hakim atas alasan yang
logis (conviction
raisonnee) dan yang kedua ialah teori pembuktian bedasar
undang-undang secara
negatif (negatief wettelijke bewijstheorie).22
21 Andi Hamzah Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia Hlm 230 22
Andi Hamzah Op. Cit. , Hal. 232
Universitas Sumatera Utara
Teori pembuktian hukum ini terdapat sistem pembuktian ini memiliki
4 macam
sistem pembuktian yaitu :23
a. Conviction In Time
Ajaran pembuktian Conviction In Time adalah suatu ajaran pembuktian
yang
menyandarkan pada keyakinan hakim semata. Hakim di dalam
menentukan
putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim
menyimpulkan
putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dan
alat bukti
yang ada di dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada
di
persidangan. Akibatnya dalam memutuskan perkara menjadi subjektif
sekali,
hakim tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar
putusannya.
Seseorang bisa dinyatakan bersalah engan tanpa bukti yang
mendukungnya.
b. Conviction In Raisone
Ajaran pembuktian ini juga masih menyandarkan pula kepada keyakinan
hakim.
Hakim tetap tidak terikat pada alat-alat yang telah ditetapkan
dalam undang-
undang. Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh
undang-undang, tetapi
hakim bisa mempergunakan alat-alat bukti di luar yang ditentukan
undang-
undang. Namun demikian di dalam mengambil keputusan tentang atau
tidaknya
seorang terdakwa haruslah didasarkan alasan-alasan yang jelas. Jadi
hakim harus
mendasarkan putusan-putusannya terhadap seorang terdakwa haruslah
didasarkan
alasan-alasan yang jelas. Jadi hakim harus mendasarkan
putusan-putusannya
terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan (reasoning). Oleh
karena itu
putusan tersebut juga bedasarkan alasan yang dapat diterima oleh
akal
23https://www.google.com/amp/s/www.radarhukum.com/teori-pembuktian-dalam-
hukum-pidana.html/amp diakses pada tanggal 19 Agustus 2018
dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan
keyakinan yang
tanpa batas. Sisten pembuktia ini sering disebut dengan sistem
pembuktian bebas.
a. Sistem Pembuktian Positif
Sistem pembuktian positif (positief wetelijk) adalah sistem
pembuktian yang
menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah
ditentukan oleh
undang-undang. Seorang terdakwa dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana
hanya didasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang
ditetapkan oleh
undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali
diabaikan. Pada
pokoknya apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara
pembuktian dan
alat bukti yang sah yakni yang ditentukan oleh undang-undang maka
terdakwa
tersebut dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Seorang hakim
laksana robot
yang menjalankan undang-undang. Namun demikian ada kebaikan dalam
sistem
pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan
terdakwa
tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar objektif.
Yaitu menurut
cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
b. Sistem Pembuktian Negatif
pembuktian conviction in raisone. Hakim di dalam mengambil
keputusan tetang
salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang
ditentukan oleh
undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri. jadi didalam
sistem negatif
Universitas Sumatera Utara
ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan
terdakwa,
yakni :24
Untuk lebih memahami penulisan penelitian ini, maka diperlukan
pembatasan dari
konsep-konsep dalam penelitian ini :
Wettelijk : Adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
Negatief : Adanya keyakinan (nurani) dan hakim, yakni berdasarkan
bukti-bukti
tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.
Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah
dengan alat
bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di
persidangan seperti yang
ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim
menyatakan
terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang
didakwakan.
2. Landasan Konsepsional
c. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya
untuk memperoleh pelayanan yang dilakukan baik secara langsung
maupun tidak
langsung kepada dokter
bukti itu dugunakan, diajukan atau dipertahankan sesuai dengan
Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
b. Dokter adalah dokter, dokter spesialis lulusan pendidikan
kedokteran di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik
Indonesia.
24https://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/12/22/sistem-pembuktian-dalam-hukum-pidana/
diakses pada tanggal 30 April 2018
identitas pasien, pengobatan yang telah diberikan, serta tindakan
dan pelayanan
lain yang diberikan kepada pasien.
e. Tindakan medik adalah tindakan profesional oleh dokter terhadap
pasien
dengan tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan,
atau
menghilangkan atau mengurangi penderitaan.
f. Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan
pemberian
bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban,
perlindungan
hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat,
dan dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti pemberian restitusi,
kompensasi,
pelayanan medis dan bantuan hukum.
G. Metode Penelitian
atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala
bersangkutan.26
26 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif.
Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang
dilakukan
dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder27. Penelitian ini
dilakukan
untuk mengindetifikasi asas-asas atau prinsip-prinsip hukum yaitu
sesuatu yang
sangat mendasar dalam hukum yang harus dipedomani. Sedangkan sifat
penelitian
ini adalah preskriptif. Sifat penelitian preskriptif adalah
menganalisis
permasalahan dengan memberikan argumentasi-argumantasi didalam
penelitian
dengan tujuan untuk memberikan penilaian mengenai benar atau salah
atau
bagaimana yang seharusnya menurut hukum terhadap fakta atau
peristiwa hukum
dari hasil penelitian.28
undangan yang mengikat dan terdiri dari:
2. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan penelitian yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah
sumber
bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan sumber bahan
hukum
tersier :
29
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
27Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1981), Hal. 33
28Mukti Fajar N.D dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal.
183-184.
29 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,(Bandung, PT
Citra Aditya Bakti, 2004), Hal. 82
Universitas Sumatera Utara
Kedokteran
5. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
6. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor
269/MENKES/PER/III/ 2008 Tentang Rekaman Medik
7. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor
1419/MENKES/PER/X/ 2005 Tentang Penyelenggaraan
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum
yang merupakan dokumen yang resmi, seperti buku, kamus,
jurnal,
dan komentar atas putusan hakim.30
c. Bahan hukum tertier berupa bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan lebih mendalam terhadap bahan-bahan primer
dan sekunder tersebut. Bahan hukum tertier yang digunakan
seperti
Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan ensiklopedia.
Bahan hukum sekunder yang
dan internet yang berkaitan dengan rekaman medik.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan
di
perpustakaan, berupa dokumen-dokumen maupun peraturan
perundang-undangan
yang berkaitan dengan Rekaman Medik. Bahan hukum yang didapat
dari
30 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), Hal. 47
Universitas Sumatera Utara
acuan dalam melakukan analisis.
4. Analisis Bahan Hukum
Metode kualitatif yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat
postpositivisme, digunakan untuk menelitu pada kondisi obyek yang
alamiah,
dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan
data
dilakukan secara terintergrasi (gabungan).31
berupa penarikan kesimpulan yang umum atau dasar pengetahuan
tentang hal-hal
yang khusus. Artinya, dari fakta-fakta yang dapat ditarik suatu
kesimpulan.
Kesimpulan yang umum dapat diperoleh memperoleh suatu penelaran
induktif ini
bukan merupakan bukti. Hal tersebut dikarenakan aturan umum yang
diperoleh
dari pemeriksaan beberapa contoh kasus yang benar, belum tentu
berlaku untuk
semua kasus. Aspek dari penalaran induktif adalah analogi dan
generalisasi.
Penarikan kesimpulan dengan
uraian yang sistimatik dengan menjelaskan hubungan antara berbagai
bahan
hukum dan selanjutnya bahan hukum diseleksi dan diolah kemudian
dianalisis
secara diskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan
jawaban
terhadap permasalahan yang dikemukakan diharapkan juga memberi
solusi atas
permasalahan dalam penelitian ini.
31 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif & Empiris, (Pustaka Pelajar, 2015), Hal. 183
Universitas Sumatera Utara
Menurut Jacobs, hal ini berdasarkan bahwa penalaran induktif
terbagi dua macam
yaitu analogi dan generalisasi.
yang diberikan atau yang ada.
2. Analogi.
Analogi dapat dikatakan sebagai proses membandingkan dari dua hal
yang
berlainan berdasarkan kesamaannya, kemudian berdasarkan kesamaan
itu
ditarik kesimpulan.32
Metode deduktif , penalaran deduktif merupakan prosedur yang
berpangkal pada
suatu peristiwa umum, dan kebenarannya telah diakui atau diyakini,
berakhir pada
suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.
Metode ini
berawal dari pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional,
instrumen dan
operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala
terlebih dahulu
harus memliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan
melakukan penelitian
di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut,
konsep dan
teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala. Penalaran
deduktif
tergantung pada premisnya. Artinya, premis yang salah mungkin akan
membawa
kita kepada hasil yang salah, dan premis yang tidak tepat juga akan
menghasilkan
kesimpulan yang tidak tepat. Penarikan secara langsung ditarik 1
premis.
32https://bazz75catur.wordpress.com/tag/metode-induktif-deduktif/
diakses pada tanggal 9 Agustus 2018
Universitas Sumatera Utara
umum sedangkan premis kedua bersifat khusus.
Jenis penalaran deduktif yang menarik kesimpulan secara tidak
langsung yaitu:33
1. Silogisme kategorial
2. Silogisme hipotesis
3. Silogisme alternatif
HUKUM BAGI DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MEDIK
DARI TUNTUTAN PIDANA
Komunikasi antara dokter dan pasien merupakan hal yang penting
dalam
menyelesaikan permasalahan kesehatan pasien itu sendiri. Kemampuan
atau
kompetensi kemunikasi dokter dan pasien merupakan hal yang harus
dikuasi oleh
seorang dokter atau dokter gigi. Pada Undang-Undang Praktik
kedokteran No. 29
Tahun 2004, komunikasi disebutkan dalam Pasal 35 tentang kompetensi
yang
harus dimiliki seorang dokter yang salah satunya berupa
mewawancarai pasien.
Komunikasi tersebut dapat terjalin dengan baik jika dokter dan
pasien sama-
sama memiliki kedudukan yang setara. Kenyataannya di Indonesia kita
bisa
merasakan bahwa pasien selalu berpikiran mereka lebih rendah
kedudukannya
daripada seorang dokter, padahal tidaklah seperti itu. Pasien
manapun dari
kalangan apapun haruslah mendapatkan perasaan dan keyakinan
tentang
kedudukan yang setara tersebut. Pasien harus jujur dalam
menerangkan yang
setara tersebut. Pasien harus jujur dalam menerangkan keluhan yang
ia derita dan
mengkomunikasikannya dengan baik kepada dokter.
Dokter harus pandai-pandai menempatkan diri dalam berkomunikasi
kepada
pasien yang berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang.
Pasien di daerah
kadang sering tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik,
maka
Universitas Sumatera Utara
dokter harus dapat menjelaskan tentang penyakit pasien dengan
bahasa yang
mereka mengerti, entah menggunakan bahasa daerah atau bahasa
Indonesia yang
sederhana.34
dokter, kepada siapa pasien menyerahkan nasibnya. Pasin merasa
beruntung dan
tenteram, apabla dokter berusaha sungguh-sungguh untuk
menyembuhkan
penyakitnya. Keadaan demikian, pada umumnya didasarkan pada
kerahasiaan
profesi kedokteran dan keawaman warga masyarakat yang menjadi
pasien.
Namun, keadaan demikian lama kelamaan mengalami perubahan,
sehubungan
dengan perkembangan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan
semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap
tanggung
jawab atas kesehatannya sendiri, maka kepercayaan yang semula
tertuju pada
kemampuan dokter secara pribadi, sekarang bergeser kearah kemampuan
ilmunya.
Timbul kesadaran warga masyarakat untuk menuntut suatu hubungan
yang
seimbang dan tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada dokter.
35
yang menghendaki aanya kesepakatan antara para pihak yang saling
memberikan
prestasi atau jasa. Masing-masing pihak dianggap mempunyai
pengetahuan yang
sama tentang penyakit dan cara-cara penyembuhannya, sehingga
apabila salah
satu pihak merasa tidak sesuai dengan apa yang diketahuinya atau
tidak puas
terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut, masing-masing pihak
mempunyai hak
34Darda Syahrizal & Senja Nilasari, Undang-Undang Praktik
Kedokteran & Aplikasinya, Dunia Cerdas, Jakarta Hal 81-82 35
Veronica Komalawati,1999, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi
Terapeutik Suatu Tinjauan Yuridis, P.T. Citra Adiya Bakti Hal
39
Universitas Sumatera Utara
untuk membatalkan perjanjian tersebut. Hubungan hukum antara pasien
dengan
dokter dapat terjadi antara lain karena pasien sendiri yang
mendatangi dokter
untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya, dalam
keadaan
seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak,
dan terjadi
hubungan hukum yang bersumber terhadap proses pengobatan dan
nasihat yang
diberikan oleh dokter akan tercapai bila komunikasi timbal balik
yang baik
terhadap pasiennya. Dokter yang bersedia mendengarkan pendapat dan
keluhan
pasien, akan menyebabkan pasien lebih bersedia mematuhi proses
upaya
penyembuhan sehingga tujuan perjanjian yaitu kesembuhan dapat
tercapai.36
Menurut Dassen hubungan dokter dan pasien mengalami
perkembangan,
sebagai berikut:
37
1. Pasien pergi ke dokter karena merasa ada sesuatu yang
membahayakan
kesehatannya. Segi psiko-biologinya memberikan suatu
peringatan
bahwa dirinya menderita sakit. Dalam hal ini, dokter dianggap
sebagai
pribadi yang akan menolongnya karena kemampuannya secara
ilmiah.
Dokter mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan peranan yang
lebih dari pada pasien (sudut pandang pasien).
2. Pasien pergi ke dokter, karena mengetahui dirinya sakit dan
dokter
akan mampu untuk menyembuhkannya. Dalam hal ini, pasien
menganggap kedudukannya sama dengan dokter, tetapi peranan
dokter
lebih penting dari dirinya.
intensif dan mengobati penyakit yang ditemukan. Hal ini
mungkin
diperintahkan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini terjaDi
pemeriksaan
yang bersifat preventif.
Akan tetapi, menurut Dassen jika hubungan antara dokter dan pasien
itu
didasarkan pada asuransi sosial, maka hubungan itu tidak dapat
dilihat terlepas
dari keseluruhan hubungan antara pelayanan kesehatan masyarakat.
Dengan kata
lain, jika asuransi itu oleh pemerintah dijadikan sebagai salah
satu usaha untuk
memberkan jaminan social (social insurance) kepada masyarakat, maka
hubungan
antara dokter dan pasien merupakan hubungan individual yang tidak
terlepas dari
masyarakat. Demikian pula apabila dokter yang bersangkutan
merupakan pegawai
sebuah rumah sakit, maka tindakannya juga terkait pada hubungan
dengan rumah
sakit yang bersangkutan dan peraturan yang lain.
Dihubungkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun
1992, hal ini erat kaitannya dengan tugas pemerintah untuk
memberikan
perlindungan kesehatan terhadap masyarakat. Salah satu cara yang
dilakuan
adalah melalui jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM)
yang
dibiayai secara praupaya, berasaskan usaha bersama atas
gotong-royong dan
kekeluargaan. Kegiatan ini telah berkembang di masyarakat dan
berada dalam
pembinaan serta pengawasan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal
66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, dalam banyak hal para dokter dan pasin itu terkait
di
dalam suatu system pelayanan kesehatan, yang merupakan bagia dari
kehidupan
bersama. Akibat pengaruh perkembangan kehidupan bersama
terjadilah
pergeseran mengenai hubungan antara dokter dan pasien yang
menimbukan
ketegangan, bahkan dapat mengakibatkan dokter sebagaimana
pemberi
pertolongan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karena
itu,
sekalipun pemberian pertolongan sudah merupakan tugasnya sebagai
dokter.
Sehubungan dengan hal diatas, oleh Leenen dikemukakan sejumlah
gejala
yang telah berperan sehingga terjadi perubahan mengenai hubungan
dokter dan
pasien, antara lain:38
1. Posisi tidak bebas dari seorang pasien yang karena terpaksa
harus mencari
pertolongan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ketidakbebasan
ini
mengakibatkan semakin meningkatnya pasien rumah sakit, karena
adanya
perubahan lingkungan hidup dan sifat lamanya proses penyakit
kronis,
sehingga pasien jauh dari para dokter.
2. Sifat professional para dokter terhadap pasiennya. Sifat
professional itu
didasarkan pada pengetahuannya, cara berpikirnya dan dengan
metodenya
sendiri. Dalam rangka pemberian pertolongan, para dokter itu
menerjemahkan problema dari seorang pasien ke dalam Bahasa
professional ini, karena tindakan yang sifatnya tidak professional
tidak
boleh dilakukannya. Kerugiannya adalah proses pemberian bantuan
itu
telah tidak diketahui oleh pasien. Dengan demikian, sifat
sebagai
38Ibid,hal 40-42
dan pasien.
3. Faktor lain yang menjauhkan hubungan antara dokter dan pasien
adalah
kenyataan, bahwa permintaan untuk mendapatkan pertolongan itu
telah
dating secara besar-besaran, sehingga dikerahkan apparat
pemberi
pertolongan. Dengan apparat seperti itu, hubungan menjadi tidak
teratur
dan telah menjauhkan hubungan antara satu dengan lainnya. Naik
pasien
maupun para pemberi pertolongan menjadi tidak senang dengan
aparat
semacam itu.
dalam organisasi. Birokrasi itu mempunyai pengaruh yang
merenggangkan
hubungan antara dokter dan pasien.
5. Pelayanan kesehatan dari hari ke hari telah diatur sesuai dengan
keahlian.
Kepentingan pribadi telah memberikan tempat bagi suatu
lembaga
pemberi pertolongan disusun secara rasional dan objektif.Oleh
karena
pengkhususan seperti itu maka pelayanan kesehatan memperoleh
sifat
sebagai suatu industri, sehingga meniadakan hubungan pribadi
antara
dokter dan pasien.
6. Pertumbuhan system registrasi, antara lain dibuat secara
otomatis di dalam
bank data. Registrasi itu seringkali perngaruh terhadap
pemberian
pertolongan, antara lain karena pemberi pertolongan itu sendiri
telah
menentukan syarat, norma, dan menggariskan prosedur. Perilaku
yang
bersifat pribadi itu adalah tidak sesuai di dalam suatu registrasi.
Registrasi
Universitas Sumatera Utara
itu juga dapat memberikan gambaran yang salah mengenai seorang
pasien
dapat menimbulkan pengaruh negative pada hubungan antara dokter
dan
pasien.
7. Hubungan antara dokter dan pasien tidak bersifat pribadi lagi,
karena
pengkhususan di dalam pelayanan kesehatan. Problematik seorang
pasien
dipotong-potong dalam bagian yang kecil demikian juga
hubungannya
dengan para pemberi pertolongan. Problema yang dihadapi pasien
hanya
dilihat sebagian saja, sehingga tidak dapat diselesaikan
seluruhnya. Para
pemberi pertolongan jumlahnya sedemikian besar, sehingga
mempengaruhi hubungan yang bersifat pribadi antara dokter dan
pasien.
8. Perkembangan masyarakat dan pelayanan kesehatan memaksa
dokter
menghadapi problema, yakin untuk membuat pertimbangan antara
kepentingan pasien dengan kepentingan lainnya, bahwa antara para
dokter
sendiri dapat berhadapan dengan suatu konflik antar kepentingan
dalam
menghadapi pasiennya.
profesionalnya.
komunikasi yang penting peranannya dalam hubungan antara dokter dan
pasien,
juga merupakan gejala yang mempengaruhi perubahan hubungan
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
merupakan karena pasien kurang terbuka atau kurang
memahaminya.
Selanjutnya, untuk mendapat gambaran yang lebih jelas
mengenai
perkembangan yang terjadi pada hubungan antara dokter dan pasien,
komunikasi
antara dokter dan pasien, serta informasi dalam hubungan antara
dokter dan
pasien.39
Dokter dan pasien yang melakukan komunikasi dengan baik akan
menguntungkan kedua belah pihak. Salah satu hal yang penting dalam
komunikai
tersebut adalah empati. Definisi empati antara lain:
Menurut Hardjana, komunikasi dapat efektif apabila pasien diterima
dan
dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan
ditindaklanjuti
dengan sebuah perbuatan oleh penerima pesan dan tidak ada hambatan
untuk hal
itu.
40
2. Menunjukkan safektivitas/sensitivitas dokter terhadap perasaan
pasien
3. Kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan empatinya
kepada
pasien.
Tujuan dari komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien antara
lain:
1. Memfasilitasi terciptanya pencapaian tujuan dokter dan
pasien
39Ibid Hal 39-43 40Ibid, Hal 83-84
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan kepentingan dan kemampuan pasien, termasuk
finansial.
3. Membantu memberikan pilihan atau alternatif dalam masalah
kesehatan
pasien.
5. Membantu mengendalikan kinerja dokter sesuai dengan hal-hal yang
telah
disetujui oleh pasien.
Sedangkan manfaat dari komunikasi yang efektif antara dokter dan
pasien
antara lain:41
dokter atau institusi pelayanan medis.
2. Meningkatkan kepercayaan pasien kepada dokter yang merupakan
dasar
hubungan dokter dan pasien yang baik.
3. Meningkatkan kepercayaan diri dan dan ketegaran pada pasien
fase
terminal dalam menghadapi penyakitnya.
Komunikasi yang efektif juga terjadi jika dokter dan pasien
masing-masing
jug tahu tentang hak dan kewajibannya. Dalam Undang-Undang
Praktik
Kedokteran telah diatur tentang hak dan kewajiban dokter dan juga
pasien.
Di Indonesia masih sering kita jumpai yang enggan memberikan
waktunya
dengan memberikan informasi yang cukup kepada pasien sekaligus juga
tersedia
mendengarkan keluhan pasien secara lengkap.
41Ibid, Hal 84
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan pasien merupakan hal yang penting dan merupakan
informasi yang
dibutuhkan seorang dokter untuk melakukan tindakan medis
selanjutnya. Dokter
juga berkewajiban memberikan informasi kepada pasien yang tidak
perlu
mendapatkan informasi secara lengkap, antara lain:42
1. Pasien yang diberi pengobatan dengan placebo yaitu merupakan
senyawa
farmakologis tidak aktif yang digunakan obat untuk pembanding
atau
suggest (suggestif-therapeuticum).
2. Pasien yang akan dirugiakan jika mendengar informasi tersebut,
misalnya
karena kondisinya tidak memungkinkan untuk mendengarkan
informasi
yang dikhawatirkan dapat membahayakan kesehatannya.
3. Pasien yang sakit jiwa dengan tingkat gangguan yang sudah
tidak
memungkinkan untuk berkomunikasi.
4. Pasien yang belum dewasa. Seseorang dikatakan cakap hukum
apabila I
pria atau wanita telah berumur 21 tahun, atau bagi pria apabila
belum
berumur 21 tahun tetapi telah menikah.
Keberhasilan dalam proses praktik kedokteran memang harus diiringi
dengan
kepatuhan pasien terhadap instruksi yang diberikan oleh dokter.
Isntruksi yang
dokter berikan juga akan tepat jika pasien memberikan informasi
yang benar dan
lengkap.
dengan hukum memenuhi syarat-syarat berikut ini:43
1. Memiliki indikasi medis untuk mencapai tujuan yang
konkret.
2. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku menurut ilmu
kedokteran.
3. Harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pasien.
Pada hakikatnya, hubungan antarmanusia tidak terjadi tanpa
melalui
komunikasi, termasuk juga hubungan antara dokter dan pasien dalam
pelayanan
medis. Komunikasi berasal dari kata kerja bahasa Latin communicare,
artinya
menjadikan sesuatu milik mereka.adapun yang dimaksud dengan sesuatu
adalah
isi atau tujuan milik bersama. Adapun yang dimaksud dengan sesuatu
adalah isi
atau tujuan suatu pesan, sehingga terjadi saling pengertian anatara
para pihak
dalam suatu kegiatan. Dari berbagai definisi tentang komunikasi
dapat ditarik
intinya yaitu, bahwa komunikasi merupakan kegiatan pengoperan
lambing yang
mengandung makna. Komunikasi dimulai sebagai suatu kegiatan
pra-integrasi.
Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa komunikasi
ditujukan untuk
memberikan informasi, tetapi tidak semua komunikasi ditujukan
untuk
menyampaikan informasi dan membentuk pengertian, bahkan komunikasi
disebut
sebagai proses mempengaruhi orang lain. Komunikasi itu merupakan
penerimaan,
pengolahan, penyimpanan informasi, dan menghasilkan informasi
kembali.44
43Ibid, Hal 83-86 44Ibid, Hal 47
Universitas Sumatera Utara
dalam otak manusia dan setelah mengalami pengolahan dalam otak
akhirnya
menggunakan mulut untuk mengeluarkan lambing komunikasi yang
diperlukan.
Dengan demikian, pangkal komunikasi yang harmonis adalah berpikir
secara
analitis, logis, dan kreatif. Oleh karena itu, pada setiap
penggunaan proses
komunikasi, setiap komunikan dan komunikator (karena dalam proses
komunikasi
peranan saling bertukar) harus mendengar dengan teliti, menyelidiki
dengan
mendalam, menganalisis hubungan dan sangkut apa yang telah
dikatakan dan apa
yang telah dialami oleh pembicara. Selain itu, untuk dapat
berbicara dengan baik,
maka komunikator juga harus mengadakan analisis bukan hanya
terhadap
komunikannya, tetapi jugaterhadap hal-hal yang akan dikatakan
kepada
komunikannya. Komunikator harus mengatur hal-hal yang dianggap
terpenting,
mana yang kurang penting, mana yang lebih dikatakan, dan dimana
yang harus
dikatakan kembali demi jelasnya pesan.45
Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan
hubungan
interpersonal, maka adanya komunikasi atau yang lebih dikenal
dengan istilah
wawancara pengobatan itu sangat penting. Hasil penelitian King
membuktikan
bahwa essesnsial hubungan antara dokter dan pasien terletak dalam
wawancara
pengobatan. Hal ini ditunjukan dalam penelitiannya, bahwa pasien
yang diperiksa
oleh dokter bukan makhluk pasif, bukan pula perantara (host) yang
tidak
bertenaga, tempat mikro-organisme tumbuh, bukan pula mesin yang
bagiannya
gagal berfungsi sebagai atau telah aus. Pasien adalah makhluk yang
aktif, dengan
45Ibid, Hal 48
Universitas Sumatera Utara
siapa dan untuk siapa dokter bekerja menatasi penyakit. Reaksi
emosional pasien
terhadap penyakit atau lukanya yang dilandasi berbagai norma, nilai
dan harapan
terjalin erat dengan disfungsi biologis. Pengobatan suatu penyakit
adalah suatu
proses interaksi sosial.46
Akan tetapi, komunikasi verbal yang lancar, juga tahu tidak selalu
penting
bagi berhasilnya suatu pengobatan. Hal ini disebabkan pengetahuan
pasien
mengenai sika yang diinginkan dokter dari pasiennya di daalam ruang
praktik,
dapat memperlancar suatu proses pengobatan, seperti dibuktikan
dalam kasus
seseorang anak Amerika yang hanya dapat berbahasa Inggris diperiksa
oleh
seorang dokter Denmark kemudian diberi isyarat melalui stetoskop
agar anak itu
menarik nafas dalam. Ternyata, anak itu menarik nafas dalam pada
setiap kali
pengulangan perintah dokter yang tidak dipahaminya.
47
Padahal, salah satu hal yang paling dicemaskan pasien adalah
ketidaktahuan
terhadap proses penyebab penyakit berikut dasar fisiologis dalam
pengobatan.
Seseorang dating berkunjung ke tempat praktik dokter dengan
maksud
menyerahkan pengawasan atau pemeriksaan dirinya kepada seseorang
lain
(dokter) yang dianggap mampu mengobatinya. Dengan demikian,
superordinasi
kedudukan dokter atas ketidakberdayaan pasien yang menimbulkan
kemungkinan
terjadinya pengeksploitasian terhadap pasien, sebenarnya berseumber
pada adanya
jurang kompetensi dalam hubungan antara dokter dengan pasien.
Akibatnya,
jurang kompetensi seperti dalam hubungan antara dokter dan
pasien.itu ditafsirkan
46Ibid, Hal 48 47Ibid, Hal 49
Universitas Sumatera Utara
sebagai sifat utama dari hubungan professional dan kliennya, atau
sebagai
pertanda adanya dominasi kaum professional.48
Oleh karena itu, jika seseorang tidak mnerima, tidak empatis, dan
tidak jujur
akan bersikap defenitif dalam komunikasi. Orang yang bersikap
defensif akan
lebih melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi
komunikasi
daripada memahami pesan orang lain. Hal ini dapat terjadi, baik
karena faktor
personal (seperti: ketakutan,kecemasan harga diri yang rendah,
pengalaman dan
sebagainya), ataupun faktor situasional.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa komunikasi antara
dokter dan
pasien sudah seharusnya didasarkan atas sikap saling percaya, baik
selama proses
pemeriksaan dan perawatan maupun selama proses penyembuhan pasien,
guna
menumbuhkan interpersonal yang baik. Akan tetapi, kenyataan
menunjukkan
bahwa penyembunyin infornasi meruoakan suatu hal yang umum
dilakukan dalam
dunia kedokteran, dan selalu dikaitkan dengan ketidakpastian efek
pengobatan
dan ketidakberdayaan pasien. Contoh yang paling nyata, tampak
pada
penyembunyian informasi tentang yang membahayakan jiwa pasiennya.
Hal ini,
dianggap sebagai suatu ciri yang membedakan pelayanan kesehatan
dengan
pelayanan jasa lainnya, bahkan dalam situasi tertentu dapat terjadi
penghindaran
informasi medis dalam hubungan antara dokter dan pasien.
50
Keadaan pasien yang demikian secara limitatif telah mengalami
pengurangan, hal
ini diakibatkan dengan perkembangan arus informasi dan komunikasi
yang
48Ibid, Hal 50 49Ibid, Hal 53 50Ibid, Hal 54
Universitas Sumatera Utara
dokter dengan pasien. Dengan demikian, baik dokter maupun pasien
mempunyai
hak dan kewajiban yang dilindungi oleh Undang-Undng sehingga
kedudukannya
seimbang dan sederajat.
Kesehatan :51
2. Pasal 12 : Setiap orng berkewajiban menjaga dan meningkatkan
derajat
kesehatan.
yang menghendaki adanya kesepakatan antara para pihak yang saling
memberikan
prestasi atau jasa. Masing-masing pihak dianggap mempunyai
pengetahuan yang
sama tentang penyakit dan cara-cara penyembuhannya, sehingga
apabila salah
satu pihak merasa tidak sesuai dengan apa yang diketahuinya atau
tidak puas
terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut, masing-masing pihak
mempunyai hak
untuk membatalkan perjanjian tersebut.
Hubungan hukum antara pasien dengan dokter dapat terjadi antara
lain karena
pasien sendiri mendatangi dokter untuk meminta pertolongan
mengobati sakit
yang dideritanya, dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan
kehendak antara
kedua belah pihak, dan terjadi hubungan hukum yang bersumber
terhadap proses
51http://www.landasanteori.com/2015/10/hubungan-hukum-antara-dokter-dan-
pasien.html?m=1 diakses pada tanggal 5 Agustus 2018
mengadakan komunikasi timbal balik yang baik terhadap pasiennya.
Dokter yang
bersedia mendengarkan pendapat dan keluhan pasien, akan menyebabkan
pasien
lebih bersedia mematuhi proses upaya penyembuhan sehingga tujuan
perjanjian
yaitu kesembuhan dapat tercapai.
B. Pengaturan Rekaman Medik
Kedokteran
Tindakan Kedokteran, Rekam Medik, Rahasia Kedokteran dan Kendali
mutu dan
Kendali Biaya. Sebagian besar ketentuan hukum tersebut adalah
ketentuan yang
telah diterbitkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:
a. Pasal 46 ayat (1) UUPK
Pasal ini berkaitan dengan wajib membuat rekam medik. Pasal 46 ayat
(1)
UUPK menentukan bahwa “Setiap dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medik” Jika
dokter
atau dokter gigi tidak mengindahkan ketentuan yang tersebut dalam
Pasal
46 ayat (1) diatas dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu
tahun
atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah, hal ini
sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 79 huruf b menentukan bahwa dipidana
dengan
Universitas Sumatera Utara
pidana kurungan paling lama satu (1) tahun atau denda paling banyak
Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setiap dokter dan dokter
gigi,
sebagaimana dimaksudkan pada ayat (b) dengan sengaja tidak
membuat
rekam medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) yaitu
“Setiap
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran
wajib
membuat rekam medik. Rekam medik sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) harus segara dilengkapi setelah pasien selesai menerima
pelanayan
kesehatan. Setiap catatan rekam medik harus membubuhi nama, dan
tanda
tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Catatan
rekam
medik dipergunakan sebagai dasar untuk merencanakan,
pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada pasien, karena
rekam
medik ini berisi catatan riwayat penyakit pasien.
b. Pasal 46 ayat (2) UUPK
Berkaitan dengan wajib membuat rekam kedik dan harus segera
dilengkapi. Pasal 46 ayat (2) UUPK menentukan bahwa “Rekam
medik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi
setelah
menerima pasien selesai menerima pelayanan kesehatan” setelah
pasien
menerima pelayanan kesehatan catatan rekam medik harus dibubuhi
nama,
waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan
atau
tindakan. Pasal ini menghendaki agar pasien berhak menerima
rekam
medik atas pengobatan diri pasien. Dokter diwajibkan harus
melengkapi
rekam medik atas pemeriksaan atau pengobatan terhadap diri
pasien.
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan identitas dari pemberi layanan kesehatan. Pasal 46
ayat
(3) UUPK menentukan bahwa “Setiap catatan rekam medik harus
dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan
pelayanan langsung kepada pasien. Kriteria catatan rekam
medik
menggunakan teknologi teknologi informasi elektronik,
kewajiban
membubuhi tanda tangan dapat diganti dengan menggunakan Nomor
identitas pribadi (Personal Identification Number). Maksud dari
rekam
medik harus membubuh nama, waktu, dan tanda tangan petugas
yang
memberikan pelayanan atau tindakan, agar memberi data yang
lengkap
dan konkrit dari setiap tindakan yang dilangsungkan sehingga tidak
terjadi
kekeliruan atau kesalahan dari identitas pasien dan identitas
petugas,
riwayat penyakit dan tindakan pengobatan yang direncanakan yang
sesuai
dengan standar prosedur operasional dari pemberian pelayanan
kesehatan
yaitu dokter yang menangani pasien.
d. Pasal 47 ayat (2) UUPK
Berkaitan dengan dijaga kerahasiaannya. Pasal 47 ayat (2)
UUPK
menentukan bahwa “Rekam medik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter
gigi dan
pimpinan sarana pelayanan pelayanan kesehatan”. Dokumen rekam
medik
yang sebagaimana yang dijalankan dalam praktik kedokteran
wajib
membuat rekam medik merupakan milik dokter atau dokter gigi
atau
sarana pelayanan kesehatan sedangkan isinya merupakan milik
pasien
Universitas Sumatera Utara
yang harus disimpan dijaga kerahasaiaannya oleh dokter atau dokter
gigi
atau sarana pelayanan kesehatan. Rekam medik merupakan bagaian
dari
rahasia kedokteran yang kerahasiaannya harus tetap dijaga bahkan
sampai
pasien tersebut meninggal. Pengungkapan rahasia medik saat ini
menjadi
isu yang cukup kontroversial di kalangan masyarakat bahkan
didalam
lingkup medik itu sendiri. Padahal dokter memiliki kewajiban
untuk
menyimpan rahasia kedokteran sehingga tidak boleh disebarkan
tanpa
seijin pasien yang bersangkutan. Sering kali baik secara sengaja
maupun
tidak disengaja, rahasia medik tersebut diketahui oleh pihak yang
tidak
berkepentingan bahkan sampai ke media massa. Melihat fungsi
media
massa, terlihat jelas bagaimana sebuah media massa dapat
memberikan
pengaruh dan menciptakan suatu opini publik, sehingga hal-hal yang
harus
dirahasiakan tersebut kemudian menjadi konsumsi publik. Hal ini
tentu
saja sangat merugikan pasien yang bersangkutan karena media massa
pada
hakikatnya merupakan alat atau sarana komunikasi massa yang
bertugas
untuk menyampaikan pesan kapada masyarakat. Sudah
sepatutnyadisadari
bahwa apabila rahasia medikpasien sampai ke media massa, maka
hal
tersebut akan menjadi konsumsi publik dan ini sangat bertentangan
dengan
Pasal 47 ayat (2) UUPK. Rahasia medik sebagaimana tercantum di
atas
dalam hal ini adalah mengenai rekam medik. Rekam medik adalah
berkas
yang berisikan satatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan
kepada
pasien. Rekam medik harus dijaga kerahasiaannya, ini tetuang
dalam
Universitas Sumatera Utara
sumpah hiprcrates pada butir ke-9 yang berisikan yaitu “Apapun yang
saya
dengar atau lihat tentang kehidupan seseorang yang tidak
patut
disebarluaskan, tidak akan saya ungkapkan karena saya harus
merahasiakannya” dan juga ketentuan hukum formil. Berkas rekam
medik
adalah milik rumah sakit dan isi rekam medik tersebut milik
pasien.
Pembeberan informasi dalam rekam medik tanpa seijin pasien
merupakan
pengungkapan rahasia kedokteran dan melanggar Pasal 47 ayat (2)
UUPK
yang menentukan bahwa rekam medik sebagaimana yang dimaksud
pada
ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau
dokter
gigi dan pimpinan sarana kesehatan. Permasalahan yang lebih
kompleks
timbul ketika menyangkut pasien dengan status HIV, yaitu
pasien
pengidap virus HIV. Adanya kewajiban untuk melaporkan pasien
dengan
penyakit menular seusai dengan yang tertuang dalam Instruksi
PERMENKES RI Nomor 21/MenKes/II/2013 tentang Penanggulangan
HIV dan AIDS, tidak berarti mengabaikan hak-hak pribadi pasien
yang
bersangkutan. Karena di dalam petunjuk pelaksanaan instruksi
tersebut
yang dituangkan dalam keputusan DirJen Pemberantasn Penyakit
Menular
dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Nomor 286-1/PPO304
tentang
petunjuk pelaksanaan kewajiban melaporkan penderita dengan
gejala
AIDS, menekankan pada seluruh petugas kesehatan yang mengetahui
dan
menemukan pasien yang dimaksud, untuk tetap memperhatikan
kerahasiaan pribadi penderitanya. HIV merupakan virus yang
sangat
berbahaya dan dapat mengancam kepentingan umum, tetap tidak
Universitas Sumatera Utara
dibenarkan untuk mengungkapkan identitas pasien yang
bersangkutan
terlebih sampai pada media massa. Bedasarkan ketentuan Pasal 48
ayat (2)
UUPK, menentukan bahwaa rahasia kedokteran dapat dibuka hanya
untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi aparatur penegak hukum
dalam
rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau
bedasarkan
ketentuan perundang-undangan. Namun apabila kemudian terbukti
bahwa
dokter/dokter gigi membuka rahasia kedokteran diluar alasan yang
telah
ditetapkan menurut undang-undang, dapat dikenakan ancaman pidana
satu
(1) tahun kurungan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00
(lima
puluh juta rupiah) bedasarkan Pasal 79 butir c UUPK.
e. Pasal 49 ayat (2) UUPK
Berkaitan dengan audit medik. Pasal 49 ayat (2) UUPK
menentukan
bahwa “Dalam rangka pelaksaan kegiatan sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) dapat diselenggarakan audit medik”, dalam melaksanakan
praktik
kedokteran atau dokter gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu
dan
kendali biaya. Kendali mutu adalah suatu system pemberian
pelayanan
yang efisien, efektif yang berkualitas yang memenuhi kebutuhan
pasien.
Kendali biaya adalah pembiayaan pelayanan kesehatan yang
dubebeankan
kepada pasien benar-benar sesuai dengan kebutuhan medis
pasien
didasarkan pada tarif yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-
undangan. Penjelasan bahwa “yang dimaksud dengan audit medik
adalah
evaluasi secara professional terhadap mutu pelayanan medik
yang
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan oleh profesi medik”.
f. Pasal 79 UUPK
Berkaitan dengan ketentuan pidana. Pasal 79 UUPK menentukan
bahwa
“Dipidana dengan pidana kurungan paing lama 1 (satu) tahun denda
paling
banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setiap dokter
dan
dokter gigi, sebagaimana dimaksud pda ayat (b) dengan sengaja
tidak
membuat rekam medik sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat
(1)
yaitu “Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan
praktik
kedokteran wajib membuat rekam medik”. Mengatur ketentuan
pidana
yang dimana apabila dokter atau dokter gigi dalam menjalankan
praktik
kedokteran wajib membuat rekam medik. Kesalahan dalam
kelangsungan
tindakan medik pada paien yaitu dengan sengaja tidak membuat
rekam
medik maka dapat diancam dengan ketentuan pidana.
2. Pengaturan Rekam Medik di Indonesia berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medik
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam medik, selanjutnya
disebut
Permenkes. Rekam medik adalah berkas yang berisikan catatan dan
dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain
yang telah diberikan kepada pasien. Pasal 1 ayat (3) Permenkes yang
dimaksud
dengan sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan
upaya
Universitas Sumatera Utara
pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran
dan
kedokteran gigi. Pasal 5 ayat (1) Permenkes menentukan bahwa setiap
dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medik.
Rekam medik sebagaimmana pada ayat (1) harus dibuat segera dan
dilengkapi
setelah pasien menerima pelayanan, sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 5 ayat
(2). Pasal 5 ayat (3) menentukan bahwa pembuatan rekam medik
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui pencatatan dan
pendokumentasian
hasil pemeriksaan pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang
telah diberikan
kepada pasien.
medik semakin penting kegunaannya. Rekam medik besar pengaruhnya
terhadap
kualitas pelayanan suatu sarana kesehatan kepada pasiennya. Menurut
Pasal 13
ayat (1) Permenkes, pemanfaatan rekam medik dapat dipakai
sebagai:
1. Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien.
2. alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran,
dan
kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan etika
kedokteran
gigi.
4. Dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan.
5. Data statistik kesehatan.
sekurang-kurangnya harus berisi yaitu identitas pasien, anamnesis,
riwayat
Universitas Sumatera Utara
lainnya, seperti foto rontgen, hasil ultra sonografi, dan
sebagainya, diagnosis
penyakit, persetujuan tindakan medik, tindakan/pengobatan telah
dilakukan,
catatan, perawat, catatan observasi dan hasil pengobatan, resume
akhir, dan
evaluasi pengobatan. Rekam medik diorganisir dan dikelola oleh
institusi
pelayanan kesehatan untuk mendukung pelayanan medik yang efektif.
Pada
rumah sakit yang besar, diperlukan suatu unit kerja tersendiri
untuk mengelola
rekam medik, yang ditunjuk dan yang bertanggung jawab kepada
pimpinan rumah
sakit.52
kesehatan serta pengaturan rekam medik di Indonesia. Seorang dokter
dapat
disebut telah melakukan kesalahan tindakan medik yaitu tidak
membuat rekam
medik ketika dokter tersebut tidak melaksanakan proses pengobatan
sesuai
dengan Standar Prosedural Operasional (SPO) yang telah diatur dalam
Pendidikan
kedokteran, dan apabila dokter tersebut tidak menjalankan
profesinya sesuai
dengan KODEKI, UUK, UUPK, UURS, PERMENKES.
Kesalahan tindakan medik yaitu tidak membuat rekam medik, pasien
dapat
melakukan tuntutan kepada dokter yang bersangkutan, karena dokter
tersebut
sudah memiliki izin dan sudah memiliki kompetensi sesuai dengan
bidangnya dan
dokter tidak dapat diintervensi. Seorang dokter dapat
dimintakan
pertanggungjawaban pidana, dengan alasan dokter melakukan dengan
sengaja
52H. Sutarno, Hukum Kesehatan Euthanasia, Keadilan dan Hukum
Positif di Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014) Hal 64
Universitas Sumatera Utara
tidak membuat rekam medik berawal dari kelalaian yang dimana
kelalaian
tersebut kadangkala mengakibatkan seorang pasien yang ditanganinya
menjadi
cacat/meninggal dunia, sehingga harus dipertanggunngjawabkan secara
pidana.
Sejalan dengan pendapat Moeljatno yang menyatakan perbuatan pidana
dapat
diberi arti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
barang siapa
melanggar tersebut.53larangan di tujukan padaperbuatannya,
sedangkan anaman
ditujukan pada orangnya, yaitu barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan erat. Menyatakan
hubungan
erat tersebut, maka dipakai istilah perbuatan pidana. Perbuatan
adalah suatu
pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret, yaitu
pertama,
adanya kejadian yang tertentu dan kedua, danya orang yang berbuat
yang
menimbulkan kejadian itu.54
Dahulu hubungan tenaga kesehatan di rumah sakit dengan pasien
bersifat
komando, di mana pasien selalu menuruti apa yang dikatakan petugas
tanpa
mempertanyakan alasannya.sekarang kedudukan tenaga kesehatan dengan
pasien
adalah sejajar dan sama secara hukum. Pasien memiliki hak dan
kewajiban
tertentu, demikian sebaliknya.
54Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Rineka Cipta, Edisi
Revisi) Hal 59-60
Universitas Sumatera Utara
yang antara lain adalah :55
1. Hak atas informasi dan atau memberikan persetujuan, hal ini
biasa dikenal
dengan informed consent.
2. Hak memilih petugas (dokter, perawat, bidan) dan sarana
pelayanan
kesehatan, hak ini menjadi relatif pada kondisi tertentu. Misalnya,
anggota
TNI atau peruahaan tertentu atau pemegang polis asuransi
kesehatan.
Karena suatu aturan tertentu (lex specalis) memungkinkan
terjadinya
pengaturan yang lebih spesifik dengan berbagai pertimbangan.
3. Hak atas rahasia penyakitnya. Dalam beberapa iterator
disebutkan
perumusan dari rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang oleh
pasien
secara sadar atau tidak disadari disampaikan kepada dokter/perawat
dan
pula segala sesuatu yang oleh dokter/perawat diketahui sewaktu
mengobati
dan merawat dokter. Pasien memiliki hak dan petugas wajib
menghormatinya. Namun hak pasien ini dapat dikesampingkan
jika
memenuhi salah satu dari unsur di bawah ini:
a. Ada undang-undang yang mengatur (mis : undang-undang
wabah).
b. Keadaan pasien dapat membahayakan kepentingan umum.
c. Pasien memperoleh hak sosial.
d. Secara jelas dan atau kesan diberikan izin oleh pasien.
e. Ada hal untuk kepentingan yang lebih tinggi.
55Ns. Ta’adi, Hukum Kesehatan Pengantar menuju Perawat Profesional,
(Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2009) Hal: 28-30
Universitas Sumatera Utara
dilematis. Apalagi terkait dengan maraknya tuntutan HAM (Hak
Asasi
Manusia). Misalnya pada institusi TNI, seorang petugas karena
perintah
atasan harus memberikan penjelasan dan keterangan perihal
penyakit
pasiennya. Satu sisi petugas harus menjaga kerahasiaan penyakit
pasien,
sisi lain petugas harus mematuhi perintah atasan. Dalam kondisi
seperti ini
Pasal 51 KUHP dapat dijadikan rujukan, menyatakan bahwa “orang
yang
melakukan tindak pidana untuk menjalankan perintah jabatan
yang
diberikan pembesar yang berhak akan itu, tidak dapat dipidana atau
ada
istilah presume consent. Misalnya, seseorang yang telah
memutuskan
menjadi anggota TNI karenaa segala data diri harus diketahui
oleh
atasan/instansinya.
4. Hak menolak tindakan pengobatan dan atau perawatan. Oleh
karena
memeluk kepercayaan tertentu, seorang pasien tidak mau menerima
tidak
mau menerima transfusi darah dari orang lain. Dalam kejadian
seperti ini
petugas tidak dapat memaksa, tetapi pasien harus menandatangani
surat
penolakan dan yang lebih penting petugas harus sudah
menjelaskan
tentang alasan tindakan dan resiko jika dilakukan tindakan
tersebut.
5. Hak atas pendapat kedua (second opinion). Kadang pasien merasa
tidak
nyaman dengan petugas pertama, kemudian pasien mencari petugas
kedua
secara mandiri. Sesungguhnya hal ini dapat dilakukan atas saran
petugas
itu sendiri, tidak ada masalah ketersinggungan pada petugas satu
dengan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan adalah hak pasien.
6. Hak atas rekam medis. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004
tentang Praktik Kedokteran, Pasal 47 ayat (1) menyatakan tentang
hakatas
kepemilikan rekam medik. Bahwa rekam medik adalah milik
sarana
pelayanan kesehatan sedangkan isi rekam medik adalah tentang
pasien.
Bagi dokter dan petugas kesehatan lain (perawat, bidan), rekam
medik ini
merupakan kekuatan yang membuktikan bahwa petugas berusaha
dengan
teliti dan hati-hati dalam merawat pasien. Semakin lengkap suatu
rekam
medik semakin baik iktikad seorang petugas dalam merawat pasien
dan
semakin kuat dalam kedudukan hukum dari petugas itu sendiri.
Rekam
medik merupakan tanggung jawab petugas kesehatan atau
pelayanan
kesehatan, sehingga berkas rekam medik tidak dapat diberikan pada
pasien
atau pihak lain yang tidak memenuhi unsur hukum. Pasien dapat
memiliki
rekam medik tetapi hanya berupa Salinan/turunannya setelah
melalui
proses pengajuan tertulis pada pihak pelayann kesehatan.
Pengajuan
tertulis tidak ditafsirkan sebagai hal yang harus ditempuh sebagai
bukti
kelak bahwa telah terjadi transaksi atas kepemilikan rekam medik
dengan
segala konsekuensinya termasuk kerahasiaan medik sudah tidak
menjadi
tanggung jawab sepenuhnya petugas dan atau sarana pelayanan
kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
merupakan Undang-undang yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan bagi
pasien. Hak-hak pasien diatur dalam pasal 52 UU No. 29/2004 adalah
:56
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan
medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3).
b. Meminta pendapat dokter atau dokter lain.
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medik.
d. Menolak tindakan medik.
e. Mendapatkan isi rekam medik.
Salah satu hak pasien dalam menerima pelayanan dokter dan rumah
sakit
adalah mendapatkan isi rekam medis atas pelayanan dan tindakan
pengobatan
yang dilakukan dokter tersebut. Isi rekam medis tesebut nantinya
diberikan oleh
dokter dan rumah sakit dalam bentuk ringksan rekam medis atau
sering juga
disebut resume medis.
diketahui bahwa yang berhak untuk mendapatkan ringkasan rekam medis
atau
resume medis yaitu:57
56http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl2431/hak-pasien-atas-pelayanan-kesehatan-di-
rumah-sakit diakses pada tanggal 2 Agustus 2018
57https://artikel.kantorhukum-lhs.com/hak-pasien-atas-isi-rekam-medis-kedokteran/
diakses pada tanggal 5 Agustus 2018
Sehingga diluar kategori tersebut rumah sakit bisa dituntut
jika
memberikan data rekam medis pasiennya kepada orang lain yang
tidak
berkepentingan.
1. Hak atas informasi
Hak pasien untuk mendapatkan keterangan lengkap tentang