View
23
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
gangguan tidur pada pasien dengan cidera korda spinalis
Citation preview
Bagian Ilmu Rehabilitasi Medik
Fakultas Kedokteran Referat
Universitas Mulawarman
GANGGUAN TIDUR PADA CEDERA KORDA SPINALIS
Disusun oleh
Dewi Ayu Puspitasari 0808015014
M. Azhadi Rahmadani 0808015018
Rina Zubaidah 0808015020
Pembimbing
dr. Myrna Rita, Sp. KFR
Bagian Ilmu Rehabilitasi Medik
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2012
GANGGUAN TIDUR PADA CEDERA KORDA SPINALIS
Lawrence J. Epstein, M. D.
Robert Brown, M. D
Tidur, waktu untuk beristirahat bagi kebanyakan orang, berhubungan dengan pengurangan
aktivitas kardiovaskular dan neuromuskular dan resolusi dari rasa mengantuk. Mereka yang
memiliki gangguan tidur tidak mendapatkan manfaat restorasi dari tidur. Waktu tidur mereka
mungkin lebih pendek atau tidurnya terfragmentasi, dan dapat timbul rasa mengantuk seperti
ketika ingin tidur. Beberapa studi tentang tidur pada pasien cedera korda spinalis (SCI)
menunjukkan tingginya kejadian gangguan tidur. Pada salah satu kuesioner studi tentang masalah
kesehatan pada SCI kami menemukan bahwa 34 % dari 353 individu dilaporkan mengalami
gangguan tidur selama seminggu sebelum survei dan 30 % mengeluhkan kelelahan (1). Karena
survei ini tidak dilakukan pada kelompok orang sehat, studi ini tidak memungkinkan untuk
membuat perbandingan langsung dengan SCI. Bagaimanapun juga, perbedaan jelas bisa
digambarkan dari survei via telepon yang menemukan hanya 20 % dari orang dewasa Amerika
yang dipilih secara acak dilaporkan mengalami rasa kantuk yang berat sehingga mengganggu
kegiatan mereka sehari-hari dalam seminggu sebelum survei (2). Dalam satu studi mengenai
individu yang hidup bermasyarakat, 312 laki-laki dengan SCI ternyata menghabiskan lebih
banyak waktu mereka untuk tidur daripada kelompok pembanding dari 3,617 kelompok laki-laki
sehat (3). Data menunjukkan bahwa tingginya prevalensi kelelahan pada SCI disebabkan oleh
gangguan tidur. Hal ini juga didukung oleh studi lain yang menggunakan Nordic Sleep
Questionnare, di mana ditemukan bahwa masalah dengan tidur lebih banyak dilaporkan pada SCI
daripada kelompok kontrol sehat (4). Pada bagian ini, kami menggambarkan informasi yang
tersedia tentang gangguan tidur pada SCI dan bagaimana cedera berkontribusi terhadap
perkembangan dari gangguan tidur tersebut.
TIDUR NORMAL
Untuk memahami gangguan yang terjadi selama tidur, sangat penting untuk memahami
bagaimana tidur yang normal. Di samping penampakan luarnya, tidur adalah keadaan yang
dinamis, yang terus berlanjut melalui berbagai tahapan yang relatif dapat diprediksi. Selama tidur
1
ada dua keadaan yang berbeda dari keadaan terjaga. Mimpi terjadi selama tidur rapid eye
movement (REM) dan digambarkan oleh pola aktivasi dari elektroensefalografi (EEG) (voltase
rendah, aktivitas gelombang frekuensi tinggi), atonia otot, dan gerakan cepat mata episodik (5).
Tidur non-rapid eye movement (NREM) mempunyai EEG dengan voltase yang lebih tinggi,
frekuensi yang lebih rendah yang menggambarkan sinkronisitas dari aktivitas korteks. NREM
dibagi secara khusus ke dalam empat tahap, mewakili rangkaian dari kedalaman tidur secara
kasar. Tahap 1 dan 2 menunjukkan tidur yang lebih ringan. Tahap 3 dan 4 dikenal sebagai
gelombang tidur lambat karena karakteristik EEG-nya berfrekuensi rendah, voltase tinggi (5).
Walaupun tahap 2 memulihkan, gelombang tidur lambat terlebih lagi, menjadi pengganti pertama
setelah tidur dihentikan (6).
Ada perkembangan khas dari tahapan tidur sepanjang malam. Orang dewasa normal
menghabiskan waktu yang singkat dalam tahap 1 dan 2 sebelum berlanjut ke gelombang lambat
(lihat Gambar 12.1). Sepertiga malam pertama didominasi oleh gelombang tidur lambat. Dalam
periode tidur ada siklus NREM/REM yang terjadi setiap 90 sampai 110 menit. Periode REM
pertama biasanya singkat. Periode REM berikutnya menjadi lebih lama dan mendominasi
sepertiga periode tidur berikutnya. Secara keseluruhan, orang dewasa menghabiskan 45-60 %
waktu tidur di tidur NREM tahap 1 dan 2, 13-24 % tidur di tahap 3 dan 4 (gelombang lambat),
dan 20- 25 % di tidur REM (7).
Gambar 12.1
2
Hypnogram ideal ini menggambarkan perkembangan lazim tahapan tidur pada dewasa muda yang normal. Hal ini adalah proses yang dinamis, dengan kemajuan melalui beberapa tahapan sepanjang malam. Tidur awalnya dimulai melalui tidur non-rapid eye movement (NREM), sepertiga malam pertama didominasi oleh gelombang lambat (tahap 3 dan 4). Tidur rapid eye movement (REM) terjadi setelah sekitar 90 menit, kemudian berulang dengan periode 90 sampai 110 menit. Episode pertama REM biasanya singkat. Dengan periode siklus REM berikutnya lebih panjang dan gelombang tidur lambat cenderung tidak terjadi. Dicetak ulang dengan izin dari Strollo PJ. Sleep Disorder in primary care. Dalam : Poceta JS, Mitler MM (eds.), Sleep Disorders : Diagnosis and Treatment. Ottowa: Humana Press. 1998.
Kemungkinan tertidur pada waktu tertentu adalah fungsi dari dua proses: dorongan untuk
tidur dan fase irama sirkadian (8). Dorongan untuk tertidur meningkat selama terjaga dan
kemungkinan tidur meningkat seiring waktu sejak periode tidur terakhir. Dorongan akan hilang
dengan tidur, yang merupakan proses homeostatik. Regulator irama sirkadian manusia, berada di
nucleus suprakiasmatik (SCN) hipotalamus (9), mengontrol siklus tidur-bangun dan
mempengaruhi banyak proses fisiologis, termasuk pusat suhu tubuh, sekresi hormon, tekanan
darah, dan fungsi ginjal (10). Fase irama sirkadian mempengaruhi kemungkinan tertidur serta
distribusi tahap tidur. Gambar 12.2 menunjukkan satu bentuk dari interaksi antara homeostatik
dan irama sirkadian dalam kecenderungan untuk tidur. Tidur kemungkinan besar terjadi ketika
pengontrol kecenderungan sirkadian untuk tertidur bertepatan dengan perpanjangan waktu sejak
periode tidur terakhir. Hal ini biasanya terjadi saat malam (8).
Gambar 12.2
Pola tidur yang lazim dapat terganggu karena berbagai alasan, seperti penuaan, kerja shift,
masalah kesehatan, pengobatan, faktor lingkungan seperti kebisingan dan suhu (11-13). Keluhan
kesulitan tidur, tidur terfragmentasi, atau tidur siang atau kantuk berlebihan memerlukan evaluasi
menyeluruh mengenai pola tidur-bangun pasien, situasi tidur, kebiasaan tidur, riwayat medis, dan
penggunaan obat (14).
3
Ini adalah gambaran grafik dari dua bentuk proses pengaturan tidur. S mewakili dorongan homeostatik tidur, yang meningkat selama bangun dan menurun selama tidur. Jika S meningkat, kemungkinan untuk tidur juga meningkat. C menggambarkan siklus irama sirkadian yang diukur dengan suhu tubuh. Kecenderungan terbesar untuk tidur terjadi selama penurunan suhu tubuh. Waktu yang optimal untuk tidur berlangsung saat S berada di puncak dan C berada di dasar, yang bertepatan dengan periode tidur malam yang normal. Bangun tidur biasanya terjadi di mana C dan S berpotongan. Dicetak ulang dengan izin dari Borbely AA, Sleep homeostatis and models of sleep regulation. Dalam : Kryger MH, Roth T, Dement WC, (eds), Principles and Practice of Sleep Medicine (2nd ed). Philadelphia : WB Saunders Co., 1994:316.
POLA TIDUR PADA SCI
Pola tidur pada SCI dapat terganggu baik oleh cedera sendiri maupun oleh konsekuensi
dan tatalaksana cedera. Fragmentasi tidur menyebabkan kurang tidur serta gejala kelelahan dan
hipersomnolen. Pada SCI, perawatan standar dapat menghasilkan tidur yang terfragmentasi.
Pencegahan dan penatalaksanaan dari beratnya penyakit memerlukan pengulangan rutin mengenai
hal yang mengganggu tidur (15). Kateterisasi buli dan program manajemen usus sering
mengganggu pola tidur normal (16). Untuk pasien rawat inap, lingkungan tidur yang tidak
kondusif yang ditimbulkan oleh waktu pengukuran tanda-tanda vital, administrasi pengobatan,
kunjungan dokter, makanan, serta kebisingan dan pencahayaan dari lingkungan rumah sakit.
Apakah SCI sendiri mengganggu pola tidur masih tidak jelas. Adey dkk (17) memeriksa
pola EEG tidur malam hari pada tujuh belas individu dengan SCI (empat belas dengan lesi
servikal tinggi, dua dengan lesi thorakal atas, dan satu dengan lesi thorakal bawah). Individu
dengan cedera servikal tinggi mengalami peningkatan angka tidur singkat yang signifikan dan
penurunan jumlah tidur nyenyak dan tidur REM. Perubahan lebih ditekankan pada mereka dengan
waktu yang lebih lama sejak terjadinya cedera. Subjek dengan lesi thorakal memiliki proporsi
tahap tidur yang sama dengan orang sehat. Studi ini terbatas dalam banyak hal. Jumlah sampel
sedikit. Tidak ada kontrol untuk pengobatan tersebut, yang umumnya digunakan pada SCI, yang
dapat mengubah presentasi tahap tidur. REM ditekan oleh antidepresan (18) dan gelombang tidur
lambat dikurangi oleh benzodiazepine (19). Pasien juga tidak dievaluasi mengenai adanya
gangguan tidur yang lain, yang bisa mengubah distribusi tahap tidur. Terakhir, studi tidak
dilaksanakan di lingkungan yang dikendalikan dengan baik yang diperlukan untuk menentukan
apakah SCI itu sendiri atau faktor lain yang mempengaruhi distribusi tahap tidur. Lingkungan
seperti itu sudah dicontohkan pada studi oleh Zeitzer dkk. (20). Pada subjek mereka, distribusi
tahap tidur adalah normal (komunikasi perorangan).
Pada studi lebih lanjut, bagaimanapun, telah jelas dampak dari SCI pada irama sirkadian.
Panjangnya siklus irama sirkadian sesuai dengan periode 24 jam siang-malam. Pemeliharaan
kesesuaian waktu dari jam sirkadian, disebut entrainment, dikendalikan oleh beberapa faktor,
yang paling kuat adalah paparan cahaya (21). Alur dari bagaimana SCN mengontrol sekresi dari
hormon endokrin ditunjukkan pada Gambar 12.3. Pada sirkuit ini, khususnya jalur yang
mengontrol produksi melatonin, dapat diubah oleh SCI. Melatonin diproduksi di satu episode
setiap malam oleh kelenjar pineal, dengan onset terjadi tepat sebelum tidur dan segera berakhir
setelah bangun. Cahaya memediasi aktivitas SCN, dan kemudian sekresi melatonin, melalui jalur
4
retinohipotalamik. Melatonin tidak dihasilkan selama siang hari dan dapat ditekan pada malam
hari oleh paparan terhadap cahaya terang (22). Tidak seperti hormon pituitary, SCN dianggap
untuk mengontrol sekresi melatonin melalui jalur saraf efferen yang berjuntai sepanjang korda
spinalis servikal dan menginervasi kelenjar pineal via ganglia servikal superior (23). Jalur ini, dan
karena itu sekresi melatonin, beresiko pada SCI di atas akar saraf yang mempersarafi ganglia
servikalis superior. Melatonin mungkin terlibat dalam regulasi pola sirkadian (24), yang mana,
pada gilirannya mempengaruhi kendali tidur dan bangun. Dengan demikian, apakah ada
keabnormalan sekresi melatonin itu penting untuk studi tidur pada SCI.
Gambar 12.3
Ada beberapa studi yang mengevaluasi sekresi melatonin pada SCI. Kneisley dkk (25)
mengukur ekskresi melatonin urin berulang kali dalam 24-jam pada enam pasien tetraplegi dan
satu pasien paraplegi. Mereka menemukan bahwa pasien tetraplegi tidak menunjukkan variasi
normal harian pada level melatonin bila dibandingkan dengan kontrol orang sehat atau pada
pasien paraplegi. Sebagai catatan, level melatonin basal selama periode 24-jam telah dinaikkan.
Namun, dibandingkan dengan uji saat ini, uji melatonin yang tersedia pada saat itu tidak sensitif.
Li dkk (26) meneliti level serum melatonin lebih dari 12 jam pada delapan subyek dengan SCI
5
Diagram jalur yang diduga terlibat dalam generasi irama sirkadian pada TSH, kortisol, dan melatonin. Jalur yang akan terganggu oleh cedera neurologis komplit pada vertebra servikal yang lebih rendah (tetraplegi) dan vertebra thorakal atas (paraplegi) juga ditampilkan. Pada tetraplegia, persarafan simpatik perifer dari kelenjar pineal dihilangkan, sedangkan pada paraplegia, persarafan simpatik perifer dari kelenjar pineal tetap utuh. Pada paraplegia dan tetraplegia, informasi aferen somatik sensorik tidak mencapai otak. (Adr, korteks adrenal; APit, Pituitari anterior ; Pin, Pineal; PTA area Pretectal; PVH, nukleus paraventrikular dari hipotalamus; SCG, ganglion servikal superior.) Dicetak ulang dengan ijin dari Zeitzer JM, Ayas NT, Shea SA, Bown R, Czeisler CA. . J Clin Endocrinol metab 2000;85:2 189-2 196
servikal, tiga dengan SCI thorakal atas, dan sembilan dengan SCI thorakal bawah atau lumbar.
Lagi-lagi, tidak ada irama melatonin diurnal (siang hari) yang muncul pada subyek dengan SCI
servikal, sedangkan irama sekresi dipertahankan pada subyek dengan lesi yang lebih rendah.
Tetapi, mereka menemukan bahwa level melatonin basal rendah pada penderita dengan lesi
servikal.
Untuk mengatasi pertentangan hasil dari kedua studi, Zeitzer dkk (20) meneliti level
melatonin, kortisol, dan thyrotropin (TSH) pada tiga pasien yang secara neurologis dipastikan
tetraplegi dan dua pasien yang secara neurologis dipastikan paraplegi dalam suatu protokol yang
rutin, teliti, dan konstan. Hasil yang didapat dari sistem waktu sirkadian dapat dipengaruhi oleh
banyak variabel, termasuk aktivitas, posisi tubuh, asupan makanan, suhu, dan tingkat cahaya.
Protokol rutin konstan berpegangan pada variabel-variabel konstan tersebut (21). Subjek
berpartisipasi dalam penelitian selama 4 hari di ruangan yang bebas dari isyarat waktu, dengan
suhu konstan dan lampu remang-remang. Setelah periode tidur selama 8 jam, subyek memulai
periode terjaga yang disengaja selama 46-jam dalam posisi semirecumbent (setengah berbaring)
dengan cairan dan makanan diberikan dalam Aliquot per jam. Sampel serum diambil sebanyak
tiga kali dalam waktu satu jam melalui kateter menetap. Pada pasien dengan tetraplegi level
melatonin basal tidak terdeteksi dan menunjukkan tidak adanya ritmisitas sekresi melatonin.
Kedua subjek paraplegi menunjukkan ritmisitas melatonin normal (lihat Gambar 12.4).
Sebaliknya, produksi ritmik kortisol dan TSH cenderung tetap dalam semua subjek pada level
apapun. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa kelenjar pineal manusia harus dirangsang untuk
memproduksi melatonin oleh sistem saraf simpatik melalui jalur saraf sepanjang korda spinalis
servikal. Namun, studi ini tidak menjelaskan dampak yang terjadi yaitu gangguan irama sirkadian
melatonin mungkin terdapat pada pola tidur dan bangun dari individu dengan SCI.
6
Gambar 12.4
GANGGUAN TIDUR PADA SCI
Gangguan Bernapas Saat Tidur
Obstructive sleep apnea (OSA), adalah gangguan pernapasan saat tidur, ditandai dengan
kolapsnya saluran napas bagian atas yang berulang. OSA umumnya pada populasi berbadan sehat
dan memiliki konsekuensi kesehatan yang signifikan. Faktor risiko OSA pada orang berbadan
sehat meliputi pertambahan usia, obesitas, peningkatan lingkar leher, penggunaan sedatif atau
alkohol, dan riwayat OSA dalam keluarga (27-31). Beberapa studi menunjukkan bahwa populasi
SCI kemungkinan berisiko lebih besar untuk mengalami OSA daripada populasi umum.
Selama inhalasi, tekanan di saluran napas faring menurun karena kombinasi kontraksi
otot-otot inhalasi dan aliran-bersifat tahanan pada jalan napas. Tekanan negatif ini cenderung
membuat jalan napas kolaps. Karena individu dengan OSA biasanya memiliki saluran napas
faring lebih kecil dari normal (32), tekanan aliran-hambatan masuk menjadi lebih besar dan,
7
Bentukan gelombang melatonin pada kelompok subjek kontrol orang sehat (rata-rata ± SEM, n = 24; kiri atas) dan pada pasien T4A paraplegi (kiri bawah), T5A paraplegi (tengah kiri), C6/7A tetraplegi (kanan atas), C6A tetraplegi (tengah kanan), dan C4A tetraplegi (kanan bawah) selama 46 jam terus menerus. Disertakan pula dalam gambar adalah waktu maksimum melatonin (segitiga terbuka), waktu tidur sesuai kebiasaan (garis utuh) dan waktu bangun (garis putus-putus), dan waktu episode 2 jam cahaya terang (kotak terbuka). Dicetak ulang dengan ijin dari Zeitzer JM, Ayas NT, Shea SA, Bown R, Czeisler CA. Absence of detectable melatonin and preservation of cortisol and thyrotropin rhythms in tetraplegia. J Clin Endocrinol Metab 2000;85:2 189-2 196
karena itu, saluran udara faring mereka sangat rentan kolaps. Selama terjaga, mekanisme refleks
dan perilaku mengaktifkan otot dilator dan mempertahankan patensi dari saluran napas bagian
atas (33). Selama tidur, mekanisme ini berkurang dan, pada OSA, tidaklah memadai, sehingga
mengarah ke penyempitan atau bahkan kolaps total dari saluran napas bagian atas. Kolaps total
menyebabkan apnea, yaitu, penghentian total aliran udara (lihat Gambar 12.5). Kejadian berakhir
dengan penghentian sejenak dari tidur dan pembentukan kembali kompensasi neuromuskuler
untuk membuka jalan napas. Hypopnea adalah istilah untuk kolapsnya saluran napas yang
signifikan tetapi tidak sepenuhnya, yang secara substansial mengurangi aliran udara dan memicu
stimulasi terkait dan hipoksemia.
Konsekuensi klinis OSA adalah dampak langsung dari ketidaknormalan yang terjadi
selama tidur. Stimulasi berulang menyebabkan fragmentasi tidur dan hilangnya fungsi restoratif,
dan juga terkait dengan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik. Hipoksemia, hiperkapnia,
acidemia, ditandai dengan perubahan tekanan darah pulmoner dan sistemik, dan disritmia jantung
terjadi selama dan segera setelah episode apnea. Hasil akhirnya adalah kantuk yang berlebihan,
kinerja yang menurun, hipertensi sistemik dan pulmoner, dan angka penyakit kardiovaskular yang
lebih banyak dari dugaan seperti stroke dan infark miokard (34).
Prevalensi OSA pada laki-laki berbadan sehat yang berusia 30 - 60 tahun, ditetapkan
dengan suatu indeks apnea + Hypopnea (AHI) ≥ 15 kejadian per jam tidur, adalah 9 % (27).
Upaya awal untuk meneliti hal ini pada SCI tidak memadai karena hanya menggunakan pulse
oximetry (35-37). Studi tersebut tidak memberikan informasi apapun tentang sifat atau arsitektur
dari tidur atau penyebab desaturasi tersebut.
Studi tentang prevalensi OSA pada SCI telah menemukan kisaran angka antara 15-45 %
(38-44), angka ini jauh lebih tinggi dari yang ditemukan pada populasi berbadan sehat. Sebagian
dari variasi tersebut disebabkan oleh perbedaan definisi OSA dan penggunaan metode yang
berbeda untuk meneliti tidur dan pernapasan (lihat Tabel 12.1). Tiga studi menggunakan
polysomnography sepanjang malam, metode yang paling sensitif dan akurat untuk memantau
tidur dan pernapasan, dan AHI ≥ 15 sebagai suatu definisi OSA (40,42,44). Angka yang
ditemukan berturut-turut adalah 27, 28, dan 31 %, yang nyata lebih tinggi daripada perkiraan 9 %
pada populasi berbadan sehat secara umum.
8
Gambar 12.5
Ada banyak alasan yang mungkin untuk peningkatan angka OSA pada SCI. Pada orang
yang berbadan sehat, prediktor independen terbaik dari OSA adalah peningkatan BMI dan lingkar
leher (27, 28). Gaya hidup kurang gerak dapat mengakibatkan peningkatan lemak tubuh setelah
cedera. Peningkatan ukuran leher, penambahan berat badan bebas, telah dibuktikan pada
tetraplegi (45). Level dan kekomplitan cedera dapat mempengaruhi kemungkinan dari OSA. Hal
ini dikarenakan cedera pada level yang lebih tinggi menyebabkan pengurangan volume paru-paru.
Pada volume paru-paru yang lebih rendah, diameter saluran napas bagian atas berkurang,
sehingga menjadi predisposisi kolapsnya saluran napas (46). Obat yang umumnya digunakan
pada SCI dapat berkontribusi terhadap tingginya angka OSA. Misalnya, benzodiazepine membuat
9
Penelusuran polysomnographic dari pasien SCI dengan obstructive sleep apnea. Bagian paling atas dari penelusuran selama 60 detik ini adalah lead electroencephalogram sentral (C3-A2). Bersamaan dengan onset tidur, saluran napas bagian atas kolaps dan aliran udara berhenti. Upaya ventilasi terus berlangsung dalam upaya untuk mengatasi obstruksi, ditunjukkan oleh gerakan terus menerus pada channel usaha (THOR RES = gerakan dinding dada, ABDO RES = gerakan dinding perut). Apnea berlanjut sampai stimulasi dari tidur terjadi (RESP ARO), pada saat jalan napas terbuka dan pernapasan berlanjut. Kurangnya aliran udara menyebabkan hipoksemia, yang ditunjukkan oleh penurunan saturasi oksihemoglobin (SaO2). (LOC-A2 = lead mata kiri, ROC-A1 = lead mata kanan, EMG1 = electromyogram dagu, ECG = elektrokardiogram, SNORE = mikrofon snoring).
kolapsnya saluran napas melalui penurunan selektif terhadap aktivitas otot dilator saluran napas
atas (47).
Dikarenakan gejala utama dari OSA adalah mengorok, yaitu yang disebabkan oleh
kolapsnya sebagian saluran napas bagian atas, maka Ayas dkk (48) melakukan studi kohort
tentang prevalensi dan prediktor mengorok pada SCI. Subyek menjawab kuesioner mengenai
fungsi pernafasan pada SCI yaitu tentang kejadian dan frekuensi mengorok. Dalam studi kohort
tersebut, dari 197 laki-laki dengan SCI kronis yang stabil, 43 % dilaporkan mengorok. Obesitas,
ditetapkan sebagai kuartil tertinggi dari indeks massa tubuh (IMT), menikah, dan penggunaan
obat antispastisitas adalah prediktor kebiasaan mengorok. Risiko tertinggi untuk mengorok (odds
ratio 7.0, 95 % C.I. 2.71-18.09, p = 0.001) terjadi pada orang-orang yang kelebihan berat badan
(IMT ≥ 25,3) dan penggunaan obat antispastisitas, khususnya baclofen, diazepam, atau
kombinasi.
TABEL 12.1
Penelitian Mengenai Prevalensi Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada SCI
Pengarang
(Referensi)
Jenis Penelitian Kriteria OSA N Prevalensi
OSA
Short dkk (40) PSG SaO2 turun ≥ 4% pada kecepatan > 15/hr
> 5/hr
22
22
6 (27%)
10 (45%)
Flavell dkk (36) Oksimetri 10% subyek memiliki SaO2 < 90% 10 3 (30%)
Cahan dkk (37) Oksimetri pada seluruh
subyek, PSG pada 7/16
Profil SaO2 di bawah nilai normal
AHI ≥ 10
7
16
6 (38%)
3 (43%)
Klefbeck dkk
(41)
Oksimetri + monitoring
pergerakan respirasi
ODI ≥ 6 + 45% waktu respirasi periodik 33 5 (15%)
McEvoy dkk
(42)
PSG AHI ≥ 15
AHI ≥ 5
40
40
11 (28%)
12 (30%)
Burns dkk (43) Oksimetri + monitoring
respirasi
AHI ≥ 15
AHI ≥ 15 + gejala mengantuk abnormal
20
20
9 (45%)
8 (40%)
Ayas dkk (44) PSG AHI ≥ 15 40 13 (31%)
PSG : polisomnografi
SaO2 : saturasi oksihemoglobin
AHI : indeks apnea/hipopnea
ODI : indeks desaturasi oksigen = rata-rata jumlah SaO2 yang turun >4%/jam saat tidur
10
Untuk menguji hipotesis bahwa obat antispastisitas menjadi salah satu yang bertanggung
jawab atas OSA pada SCI, suatu studi kohort pada empat puluh dua subyek yang memiliki SCI
kronis yang stabil menjalani polisomnografi semalam untuk mencari prevalensi dan prediktor
OSA (44). Subyek studi adalah pasien rawat inap tanpa masalah medis akut (yaitu, perawatan
yang cukup atau perawatan ulkus dekubitus) dan tidak dipilih berdasarkan adanya gejala yang
berhubungan dengan tidur. Tiga puluh satu persen dari subyek memiliki AHI ≥ 15/jam. Usia yang
lebih tua adalah prediktor yang paling kuat dari OSA. Di dalam kelompok usia yang lebih tua (>
usia pertengahan 52 tahun), obesitas adalah prediktor signifikan dari OSA. Hasil ini sesuai dengan
hasil pada orang yang berbadan sehat (27). Pada subyek yang lebih muda (< usia pertengahan 52
tahun), hanya penggunaan baclofen yang menjadi prediktor dari OSA. Subjek orang muda yang
tidak menggunakan obat antispastisitas, kemungkinan tidak mengalami OSA. Baclofen adalah
agonis GABA yang digunakan untuk mengobati spastisitas, tetapi juga dapat menurunkan tonus
otot saluran napas atas. Data tersebut sesuai dengan Finimore dkk (49), yang menemukan bahwa
dosis pada malam hari dari Baclofen meningkatkan keparahan dari OSA pada sepuluh subyek
berbadan sehat, dan Burns dkk (43) yang menemukan bahwa terjadinya OSA berhubungan
dengan penggunaan obat antispastisitas.
Tingkat cedera, waktu sejak cedera terjadi dan laporan subjektif mengenai rasa kantuk
tidak diprediksikan sebagai OSA dalam penelitian ini, seperti pada penelitian lain (38-44).
Diperlukan penelitian yang lebih besar untuk mengetahui prevalensi OSA pada SCI yang
sebenarnya dan untuk menjelaskan kelompok resiko. Bagaimanapun, berdasarkan data yang ada
saat ini, terdapat kecenderungan peningkatan resiko terjadinya OSA pada orang dengan SCI.
Tidak tersedia informasi mengenai apakah efek klinis jangka panjang pada OSA mirip dengan
SCI dan tubuh yang sehat/tidak cacat. Hal ini juga memerlukan penelitian lebih lanjut.
Continuous positive airway pressure (CPAP) adalah terapi pilihan untuk OSA (50). CPAP
diberikan pada saluran napas atas via masker yang menutupi hidung atau hidung dan mulut.
Tekanan berperan sebagai pneumatic stent untuk mencegah penyempitan dan penutupan saluran
napas atas (Gambar 12.6). Alat ini sangat efektif, tapi terbatas oleh toleransi dan pemenuhan.
Pada suatu penelitian, hanya 46% pasien yang mendapat pemenuhan jangka panjang (51). Pada
tetraplegi, penggunaan CPAP bisa dibatasi oleh ketidakmampuan untuk memasang masker
dengan baik, dan bisa jadi diperlukan bantuan. Di sisi lain, SCI tidak menghambat penggunaan
alat ini. Pilihan terapi yang lain meliputi alat-alat oral yang menggerakkan lidah atau mandibula
11
ke depan untuk membuka saluran napas posterior, atau pembedahan saluran napas atas. Tidak
tersedia informasi terbaru mengenai efikasi dari macam-macam terapi OSA pada penderita SCI.
Gambar 12.6
CPAP nasal mencegah kolapsnya saluran napas atas. Sumbatan saluran napas atas selama apnu obstruktif
ditunjukkan gambar sebelah kiri, dengan kolaps terjadi di belakang palatum mole dan dasar lidah. CPAP
menyediakan pneumatic stent yang menjaga saluran napas atas tetap terbuka(gambar kanan). (disadur dari slide set
berjudul “Sleep Apnea : Diagnosis and Treatment,” digunakan dengan izin dari American Academy of Sleep
Medicine.)
Gangguan Pergerakan Nokturnal
Spastisitas sering terjadi setelah SCI dan dapat muncul sebagai hiperaktifitas hentakan
tendon, klonus, peningkatan tonus otot, dan spasme otot spontan. Gerakan ini dapat menyebabkan
tidur tidak nyenyak. Dalam suatu survei, 65% dari responden mengatakan bahwa spasme, paling
banyak spasme ekstensor, mengganggu tidur mereka (52). Tatalaksana yang diberikan biasanya
adalah pengobatan antispastisitas seperti baclofen dan/atau diazepam. Pada penelitian
menggunakan baclofen intratekal untuk mengurangi spasme tungkai, terjadi penurunan kerja otot
setelah pasien terbangun. Hal ini meningkatkan kontinuitas tidur melalui peningkatan
kemungkinan untuk kembali tidur setelah pasien terbangun sesaat (53). Kurang jelas mengenai
seberapa besar manfaat ini yang disebabkan efek antispastisitas ataukah murni oleh pemberian
sedatif.
Periodic limb movements of sleep (PLMS) adalah pergerakan repetitif stereotipik yang
terjadi selama tidur. Disebut juga sebagai mioklonus nokturnal (walaupun secara definisi mereka
lebih dari sekedar gerakan mioklonik), biasanya terjadi dalam kumpulan gerakan yang
berlangsung 0,5-5 detik, dengan periode 5-90 detik, dan berulang dalam beberapa menit sampai
12
jam (lihat Gambar 12.7). Gerakan ini dapat terjadi pada salah satu atau kedua ekstremitas inferior
dan biasanya lebih sering terjadi selama separuh malam pertama. Jarak amplitudo gerakan dapat
dilihat, dari dorsofleksi kaki sederhana sampai respon tripel fleksi. PLMS paling sering terjadi
pada tahap tidur ke-1 dan ke-2 dan jarang pada REM (54). Gerakan-gerakan tersebut dapat
menyebabkan pasien terbangun dan mendorong timbulnya tidur yang terputus, tidur yang tidak
nyenyak, dan rasa ngantuk pada siang hari. Pada orang sehat, faktor resiko untuk PLMS meliptui
diabetes mellitus, anemia, uremia, neuropati perifer, dan defisiensi zat besi. PLMS bisa
diperburuk oleh antidepressan dan lithium, sama halnya seperti penghentian pengobatan supresif
seperti benzodiazepin dan antikonvulsan (55). Patofisiologi PLMS tidak diketahui; bagaimanapun
juga, terdapat bukti bahwa gerakan-gerakan tungkai dihasilkan oleh defisiensi dopamin pada
sistem saraf pusat. Obat yang meningkatkan dopamin, seperti levodopa, menurunkan PLMS
sedangkan yang memblok pelepasan dopamin, seperti gamma-hidroksibutirat, meningkatkan
pergerakan (56). Opioid juga inhibitor paten untuk PLMS (57).
PLMS juga telah dilaporkan dalam SCI. Yokota dkk (58) pertama kali mencatat
pergerakan tungkai pada 10 pasien dengan myelopati, 2 di antaranya mengalami SCI. Pergerakan
yang timbul adalah gerakan tungkai repetitif stereotipik yang terdiri atas fleksi ankle, lutut, dan
pinggul (tripel fleksi), dengan durasi 0,5-5 detik. Pada pasien SCI, gerakan tetap terjadi selama
bangun maupun tidur, termasuk saat REM. Gambaran klinis dan polisomnografi mirip dengan
PLMS pada orang yang sehat dan tidak cacat. Karena gerakan tersebut terjadi pada pasien dengan
SCI neurologikal komplit, data terkesan menyatakan PLMS dihasilkan pada korda spinalis.
Dicket dkk (59) menemukan gerakan sterotipik yang identik dengan PLMS pada 3
penderita SCI yang mengalami PLMS berkelanjutan pada REM yang bahkan lebih teratur
daripada NREM. PLMS juga menyebabkan pasien terbangun dari tidur. Mereka merumuskan
bahwa PLMS dihasilkan pada korda spinalis dan biasanya di bawah kendali SSP yang melibatkan
inhibisi motorik yang terjadi selama fase REM. Data mereka menunjukkan bahwa SCI
melepaskan generator spinal dari kontrol inhibisi, memungkinkan terjadinya gerakan. Yang lain
menemukan bahwa pada SCI, jumlah PLMS berkurang dengan aktifitas fisik (60, 61). Mereka
merumuskan bahwa endorfin yang dihasilkan melalui gerak badan menyebabkan penurunan
gerakan yang cara kerjanya mirip dengan penurunan gerakan pada penggunaan opioid.
Keluhan tidur yang terputus, rasa kantuk di siang hari, dan spasme repetitif perlu
dipertimbangkan pemeriksaan yang mengarah pada PLMS. Literatur terbaru tidak menunjuk apa
tatalaksana standar pada orang yang sehat dan tidak cacat, seperti agonis dopamin,
13
sedatif/hipnotik, dan opioid, yang efektif pada penderita SCI. Hal ini juga memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Gambar 12.7
Gambaran polisomnografi pada pasien SCI dengan PLMS. Bagian paling atas dari rekaman selama 2 menit ini adalah
central electroencephalogram lead (C3-A2). PLMS dapat diilihat pada bagian EMG tungkai (LEGS L+R), yang
memantau pergerakan kedua tungkai. Catat bahwa rangkaian gerakan repetitif terjadi selama fase NREM. Tidak
terbukti adanya gangguan pernapasan saat tidur. (LOC-A2 = lead mata kiri; ROC-A1 = lead mata kanan; EMG1 =
EMG dagu; ECG = elektrokardiogram; THOR RES = pergerakan dinding dada; SaO2 = saturasi oksihemoglobin)
Kelainan Tidur Lainnya
Insomnia, gangguan tidur paling umum pada orang sehat, diperkirakan terjadi secara kronik pada
60 juta orang Amerika (62). Pada SCI, faktor yang meningkatkan insomnia meliputi gangguan
pola tidur normal, nyeri/rasa tidak nyaman kronis, depresi atau gangguan penyesuaian diri,
disregulasi suhu, dan penggunaan obat jangka panjang. Faktor tambahan, mungkin berhubungan
dengan gangguan ritmisitas melatonin normal pada cervical penderita SCI, mungkin kelainan
irama sirkadian (20). Bagaimanapun juga, tida ada informasi mengenai prevalensi atau presentasi
kelainan ini pada SCI.
14
Kesimpulan
Pada SCI, gangguan tidur terjadi sebagai akibat dari cedera dan tatalaksananya. Dengan terjaga,
membuat seseorang dapat menerima perawatan khusus seperti pencegahan ulkus dekubitus,
gangguan tidur. Cedera sendiri mengganggu fungsi sistem irama sirkadian, muncul sehingga
menimbulkan PLMS, dan bisa berkembang menjadi OSA. Tatalaksana dengan antispastisitas atau
sedatif menimbulkan OSA. Data yang ditampilkan dalam bab ini menunjukkan bahwa penilaian
tidur harus dimasukkan dalam evaluasi pada orang dengan SCI.
15
Recommended