View
11
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2310
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
HAMBATAN-HAMBATAN PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN
KONSELING DI SEKOLAH
Oleh:
Mondang Munthe
Dosen Tetap YAPERTI Nias pada IKIP Gunungsitoli
Abstract
Implementing guidance and counseling in schools is aimed to optimally develop the
personality of students themselves. Through counseling guidance, it is expected that the
potential of each student can be explored and developed appropriately, so that students
can plan their future according to the potential that exists in themselves. This research was
aimed to reveal the obstacles encountered in the implementation of Guidance and
Counseling in SMP Negeri 3 Alasa and SMP Negeri 1 Gunungsitoli Idanoi with data
sources; principal, subject teacher, and guidance and counseling teacher. Data collection
techniques are interviews with interview guidelines, and also documentation. The results of
the study revealed that, the obstacles in implementing Guidance and Counseling
encountered in the field were related: (1) The realization of the four principles of guidance
and counseling according to the direction of the 2013 curriculum maximally, (2)
Fulfillment of special funds or budgets for the implementation of guidance and counseling
that have not yet been realized.
Key words : Implementation of Guidance and Counseling, obstacles encountered
PENDAHULUAN
Bimbingan dan Konseling
merupakan bagian dari upaya pendidikan
yang bertujuan untuk membentuk
perkembangan kepribadian diri siswa
secara optimal, melalui Bimbingan dan
Konseling diharapkan potensi dari setiap
peserta didik dapat digali dan
dikembangkan secara tepat agar peserta
didik dapat mempunyai gambaran
tentang bagaimana ia merencanakan
masa depannya sesuai dengan potensi
yang ada pada dirinya. Sebagimana
tertuang dalam Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional (UU SPN) Tahun
2003, yaitu terwujudnya manusia
Indonesia seutuhnya yang cerdas, yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian mantap dan mandiri
serta bertanggungjawab kemasyarakatan
dan kebangsaan (UU No. 20 Tahun
2003).
Bedasarkan pengertian Bimbingan
dan Konseling sebagai suatu upaya
membentuk perkembangan kepribadian
siswa secara optimal, maka pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling di
SMP/SMA/SMK haruslah dikaitkan
dengan pengembangan SDM. Dalam
rangka menjawab tantangan kehidupan
masa depan, yaitu adanya relevansi
program pendidikan dengan tuntutan
dunia kerja atau adannya “link and
match” (kaitan dan padanan), maka
secara umum layanan Bimbingan dan
Konseling adalah membantu siswa
mengenal bakat, minat dan
kemampuannya serta memilih dan
menyesuaikan diri dengan kesempatan
pendidikan untuk merencanakan karir
yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja.
Dalam Permendikbud No:11 Tahun
2014 dinyatakan bahwa Bimbingan dan
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2311
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
Konseling dilakukan untuk membantu
peserta didik agar dapat mencapai
kematangan dan kemandirian dalam
kehidupannya serta menjalankan tugas-
tugas perkembangannya yang mencakup
aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir
secara utuh dan optimal.
Selanjutnya dalam kurikulum 2013,
layanan Bimbingan dan Konseling
mempunyai tugas penting yakni
membantu peserta didik memilih dan
menentukan arah peminatan kelompok
pelajaran, arah pengembangan karir dan
menyiapkan diri memilih pendidikan
lanjutan sesuai dengan potensi yang
dimiliki peserta didik dan kecenderungan
pilihan masing-masing peserta didik.
Peminatan yang dimaksud adalah
sebagai upaya advokasi dan fasilitasi
perkembangan peserta didik agar peserta
didik secara efektif mengembangkan
potensi dirinya (arahan pasal 1 ayat 1 UU
No.20/2003) sehingga mencapai
perkembangan optimum. Perkembangan
optimum bukan sebatas tercapainya
prestasi sesuai dengan kapasitas
intelektual dan minat yang dimiliki,
melainkan sebagai sebuah kondisi
perkembangan yang memungkinkan
peserta didik mampu mengambil pilihan
dan keputusan secara sehat dan
bertanggungjawab serta memiliki daya
adaptasi tinggi terhadap dinamika
kehidupan yang dihadapinya.
Pengembangan potensi peserta
didik sebagaimana arahan UU yang
diuraikan di atas ditumbuhkan secara
komplementer oleh guru bimbingan dan
konseling/konselor dan oleh guru mata
pelajaran dalam setting pendidikan
khususnya dalam jalur pendidikan
formal, dan sebaliknya tidak merupakan
hasil upaya yang dilakukan sendirian oleh
konselor atau yang dilakukan sendirian
oleh guru. Dalam konteks ini Bimbingan
dan Konseling berperan dan berfungsi
secara kolaborasi dalam berbagai hal,
antara lain:
1. Menguatkan pembelajaran yang
mendidik
2. Memfasilitasi Advokasi dan
Aksebilitas
3. Menyelenggarakan fungsi outrearch
(penguatan daya dukung lingkungan
perkembangan sebagai lingkungan
belajar).
Berdasarkan hasil studi awal di
lapangan, fakta-fakta yang diamati di
beberapa sekolah bahwa pelaksanaan
Layanan Bimbingan dan Konseling
belum dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Ada sejumlah hambatan yang
dialami oleh guru pembimbing, oleh guru
mata pelajaran dan sekolah secara umum
terkait dengan peran dan fungsi
Bimbingan dan Konseling dalam
implementasi kurikulum 2013.
Hambatan-hambatan dimaksud antara
lain:
a. Implementasi penguatan pembelajaran
yang mendidik
b. Implementasi peran Bimbingan dan
Konseling dalam Advokasi dan
Aksebilitas
c. Implementasi fungsi-fungsi
Bimbingan dan Konseling.
RUMUSAN MASALAH
Masalah yang dirumuskan
berdasarkan uraian di atas adalah;
1. Hambatan-hambatan apa sajakah yang
ditemui dalam pelaksanaan Bimbingan
dan Konseling terkait dengan peran
dan fungsi Bimbingan dan Konseling
dalam implementasi kurikulum 2013?
2. Hambatan apakah yang lebih
menonjol di dalam pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling di sekolah?
TINJAUAN PUSTAKA
Bimbingan dan Konseling
merupakan bagian integral dari upaya
pendidikan, maka pelaksanaan bimbingan
dan konseling tersebut merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari tujuan
Pendidikan Nasional yaitu menghasilkan
manusia yang berkualitas yang
dideskripsikan dengan jelas dalam UU
No.20 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Bab 1 Pasal 1 Ayat 1.
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2312
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
Bertolak dari rumusan Tujuan
Pendidikan Nasional ini, maka
dirumuskan seperangkat tugas-tugas
perkembangan yang seyogianya dicapai
oleh siswa sekolah dasar ataupun siswa
sekolah menengah pertama. Secara
operasional tugas-tugas perkembangan
siswa SMP adalah pencapaian perilaku
yang seyogianya ditampilkan siswa SMP
yang meliputi: (1) Landasan Kehidupan
Religius, (2) Landasan Perilaku Etis, (3)
Kematangan Emosional, (4) Kematangan
Berpikir, (5) Kesadaran Tanggung Jawab,
(6) Peran Sosial sebagai Pria atau Wanita,
(7) Penerimaan Diri dan
Pengembangannya, (8) Kemandirian
Perilaku Ekonomi, (9) Wawasan dan
Persiapan Karir, dan (10) Kematangan
Hubungan dengan Teman Sebaya.
Secara khusus layanan bimbingan
di SMP bertujuan untuk membantu siswa
agar dapat memenuhi tugas-tugas
perkembangan yang berkaitan dengan
aspek pribadi sosial, pendidikan, dan
karir sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Dalam aspek perkembangan pribadi
sosial layanan bimbingan membantu
siswa agar: (a)Memiliki pemahaman diri;
(b)Mengembangkan sikap positif;
(c)Membuat pilihan kegiatan secara
sehat; (d)Mampu menghargai orang lain;
(e)Memiliki rasa tanggung jawab;
(f)Mengembangkan keterampilan
hubungan antar pribadi; (g)Dapat
menyelesaikan masalah; (h)Dapat
membuat keputusan secara baik.
Dalam aspek perkembangan
pendidikan, layanan bimbingan
membantu siswa agar dapat: a)
Melaksanakan cara-cara belajar yang
benar; b) Menetapkan tujuan dan rencana
pendidikan; c) Mencapai prestasi belajar
secara optimal sesuai bakat dan
kemampuannya; d). Memiliki
keterampilan untuk menghadapi ujian.
Dalam aspek perkembangan karir,
layanan bimbingan membantu siswa agar
dapat: a) Mengenali macam-macam dan
ciri-ciri dari berbagai jenis pekerjaan;
b)Menentukan cita-cita dan
merencanakan masa depan; c)
Mengeksplorasi arah pekerjaan;d)
Menyesuaikan keterampilan,
kemampuan, dan minat dengan jenis
pekerjaan.
Berkaitan dengan hal tersebut,
bimbingan dan konseling mempunyai
peluang yang sangat strategis dalam
keseluruhan Sistem Pendidikan Nasional
dan berperan penting dalam memajukan
pendidikan yang lebih baik, karena dalam
Bimbingan dan Konseling memiliki
empat bidang layanan yang dapat
membantu siswa untuk dapat
mengoptimalkan potensi yang ada dalam
diri siswa. Yusuf (Permana, 2009: 144)
terdapat empat bidang layanan bimbingan
dan konseling yaitu: Bimbingan dan
Konseling akademik (belajar), bimbingan
dan konseling pribadi, bimbingan dan
konseling sosial, bimbingan dan
konseling karir. Bimbingan dan konseling
berperan penting dalam mensukseskan
dunia pendidikan yang lebih baik, untuk
menciptakan semua hal itu tentu dalam
pelaksanaan layanan tersebut harus
memiliki sistem manajemen yang baik.
Dalam pelaksanaan layanan
bimbingan dan konseling di sekolah perlu
dioptimalkan dengan baik, terkait dengan
empat bidang layanan tersebut. Menurut
Sukardi (Permana, 2009: 144) terdapat
tujuh jenis layanan yang terdiri dari
layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan dan penyaluran,
layanan pembelajaran, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan
kelompok, layanan konseling kelompok.
Sejalan dengan hal tersebut Sukardi
(Permana, 2009: 144) juga
mengemukakan bahwa terdapat lima
rencana kegiatan pendukung bimbingan
dan konseling yang terdiri dari aplikasi
instrumen, himpunan data, konfrensi
kasus, kunjungan rumah, alih tangan
kasus.
Idealnya setiap sekolah
melaksanakan semua bidang layanan,
jenis, beserta layanan pendukungnya,
karena dengan keterlaksanaan semua
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2313
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
program layanan bimbingan dan
konseling mampu membantu siswa dalam
menyelesaikan masalah juga dapat
mengembangkan potensi yang dimiliki
siswa tersebut. Namun tidak jarang masih
ada sekolah yang belum menjalankan
keseluruhan dari semua jenis layanan
Bimbingan dan Konseling. Hal ini bisa
dikarenakan oleh beberapa hal yaitu
keterbatasan waktu, dan kurangnya
sarana prasarana yang ada disekolah,
selain itu keberhasilan dari pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling juga
dapat dilihat dari besarnya intensitas
pelaksanaan tiap jenis layanan di tiap
sekolah.
Guru Bimbingan dan Konseling
memiliki tanggung jawab guna
memfasilitasi siswa untuk mencapai
tugas perkembangannya secara optimal.
selain itu pelaksanaan layanan bimbingan
dan konseling dalam suatu sekolah
berperan penting, hal ini dikarenakan
dalam pelaksanaan layanan tersebut
mampu membantu siswa dalam proses
memahami diri, serta dapat
mengembangkan pontensi yang ada
dalam diri siswa.
Bimbingan dan Konseling adalah
upaya pendidikan dan merupakan bagian
integral dari pendidikan yang secara
sadar memposisikan “... kemampuan
peserta didik untuk mengeksplorasi,
memilih, berjuang meraih, serta
mempertahankan karier itu ditumbuhkan
secara isi-mengisi atau komplementer
oleh guru bimbingan dan konseling/
konselor dan oleh guru mata pelajaran
dalam setting pendidikan khususnya
dalam jalur pendidikan formal, dan
sebaliknya tidak merupakan hasil upaya
yang dilakukan sendirian oleh Konselor,
atau yang dilakukan sendirian oleh
Guru.” (ABKIN: 2007). Ini berarti bahwa
proses peminatan, yang difasilitasi oleh
layanan bimbingan dan konseling, tidak
berakhir pada penetapan pilihan dan
keputusan bidang atau rumpun keilmuan
yang dipilih peserta didik di dalam
mengembangkan potensinya, yang akan
menjadi dasar bagi perjalanan hidup dan
karir selanjutnya, melainkan harus diikuti
dengan layanan pembelajaran yang
mendidik, aksesibilitas perkembangan
yang luas dan terdiferensiasi, dan
penyiapan lingkungan
perkembangan/belajar yang mendukung.
Dalam konteks ini bimbingan dan
konseling berperan dan berfungsi, secara
kolaboratif, dalam hal-hal berikut;
1. Penguatan Pembelajaran yang
Mendidik
2. Memfasilitasi Advokasi dan
Aksesibilitas
3. Menyelenggarakan Fungsi Outreach.
Keberadaan Bimbingan dan
konseling dalam pendidikan di Indonesia,
sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun
1964, yang disebut “Bimbingan dan
Penyuluhan” ketika diberlakukan
“Kurikulum Gaya Baru.”Bimbingan dan
Penyuluhan pada waktu itu dipandang
sebagai unsur pembaharuan dalam
penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia. Sejak diberlakukan Kurikulum
Tahun 1975, pelayanan bimbingan dan
penyuluhan telah dijadikan sebagai
bagian integral dari keseluruhan upaya
pendidikan. Petugas yang secara khusus
melaksanakan pelayanan bimbingan dan
konseling pada saat itu disebut Guru
Bimbingan dan Penyuluhan (Guru BP).
Sejak diberlakukannya kurikulum
1994, sebutan untuk Guru BP berubah
menjadi Guru Pembimbing, sebutan
resmi ini diperkuat dengan Surat
Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1995
tentang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya, serta Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No.025/0/1995 tentang Petunjuk Teknis
Ketentuan Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Guru dan Angka Kreditnya
antara lain mengandung arahan dan
ketentuan pelaksanaan pelayanan
bimbingan dan konseling di
Sekolah/Madrasah oleh guru kelas di SD
dan guru pembimbing di SLTP dan
SLTA. Walaupun kedua aturan tersebut
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2314
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
mengandung hal-hal yang berkenaan
dengan pelayanan bimbingan dan
konseling, tetapi tugas itu dinyatakan
sebagai tugas guru (dengan sebutan guru
pembimbing) dan tidak secara eksplisit
dinyatakan sebagai tugas konselor. Hal
ini dapat dipahami karena sebutan
konselor belum ada dalam perundangan.
Penggunaan sebutan guru, sangat
merancukan konteks tugas guru yang
mengajar dan konteks tugas konselor
sebagai penyelenggara pelayanan ahli
bimbingan dan konseling. Guru
pembimbing yang pada saat ini ada di
lapangan pada hakikatnya melaksanakan
tugas sebagai konselor, tetapi sering
diperlakukan dan diberi tugas layaknya
guru mata pelajaran. Bimbingan dan
konseling bukanlah kegiatan
pembelajaran dalam konteks adegan
belajar mengajar di kelas yang layaknya
dilakukan guru sebagai pembelajaran
bidang studi, melainkan pelayanan ahli
dalam konteks memandirikan peserta
didik. (ABKIN: 2007).
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP 2006), posisi dan arah
layanan bimbingan dan konseling di
sekolah sesungguhnya mengalami
kemunduran, karena adanya pemahaman
tentang konteks tugas dan ekspektasi
kinerja konselor yang tidak menggunakan
materi pelajaran sebagai konteks layanan
keahliannya, dengan ekspektasi kinerja
guru yang menggunakan materi pelajaran
sebagai konteks layanan keahliannya.
Bimbingan dan konseling dibawa ke
wilayah pembelajaran yang berpayung
pada standar isi, bimbingan dan
konseling menjadi bagian dari standar isi
yang dituangkan menjadi pengembangan
diri dan menjadi salah satu komponen
kurikulum. Sebagaimana telah
dinyatakan bahwa layanan bimbingan
dan konseling di sekolah merupakan
bagian integral dari keseluruhan upaya
pendidikan dalam jalur pendidikan
formal dan layanan ini meskipun
dilakukan oleh pendidik yang disebut
sebagai konselor, tetapi ekspektasi
kinerja profesionalnya berbeda dengan
ekspektasi kinerja profesional yang
dilakukan oleh guru. Jika ekspektasi
kinerja guru menggunakan materi
pelajaran sebagai konteks layanan
keahliannya, maka ekspektasi kinerja
konselor tidak demikian.
Ekspektasi kinerja konselor tidak
meggunakan materi pelajaran dalam
konteks layanan keahliannya (bimbingan
dan konseling), melainkan menggunakan
proses pengenalan diri peserta didik
(konseli) dengan memahami kekuatan
dan kelemahannya dengan peluang dan
tantangan yang terdapat dalam
ligkungannya, untuk
menumbuhkembangkan kemandirian
dalam mengambil berbagai keputusan
penting dalam perjalanan hidupnya,
sehingga mampu memilih, meraih serta
mempertahankan karir (kemajuan hidup)
untuk mencapai hidup yang efektif,
produktif, dan sejahtera dalam konteks
kemaslahatan umum.
Bimbingan dan konseling
merupakan upaya proaktif dan sistematik
dalam memfasilitasi peserta didik
mencapai tingkat perkembangan yang
optimal, pengembangan perilaku efektif,
pengembangan lingkungan
perkembangan, dan peningkatan
keberfungsian individu di dalam
lingkungannya. Semua perubahan
perilaku tersebut merupakan proses
perkembangan, yakni proses interaksi
antara individu dengan lingkungan
perkembangan melalui interaksi yang
sehat dan produktif. Bimbingan dan
konseling memegang tugas dan tanggung
jawab untuk mengembangkan lingkungan
perkembangan, membangun interaksi
dinamis antara individu dengan
lingkungannya, membelajarkan individu
untuk mengembangkan, memperbaiki,
dan memperhalus perilaku.
Posisi bimbingan dan konseling
dalam jalur pendidikan formal seperti
tertera pada Gambar 1, mengindikasikan
bahwa pelayanan bimbingan dan
konseling merupakan bagian integral dari
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2315
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
program pendidikan. Dengan demikian,
posisi guru bimbingan dan konseling
(dalam Pasal 1 ayat 6 UU RI No. 20/2003
disebut konselor) sejajar dengan guru
bidang studi/mata pelajaran dan
administrator Sekolah/Madrasah.
Demikian pula dalam Permendiknas No.
22/2006 menempatkan pelayanan
bimbingan dan konseling sebagai bagian
integral dari standar isi satuan pendidikan
dasar dan menengah.
Gambar 1.2
Posisi Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan
Merujuk pada UU RI No. 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional,
sebutan untuk guru pembimbing
dinyatakan dalam sebutan ‟Konselor.”
Keberadaan konselor dalam sistem
pendidikan nasional dinyatakan sebagai
salah satu kualifikasi pendidik, sejajar
dengan kualifikasi guru, dosen, pamong
belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan
instruktur (UU RI No. 20/2003, pasal 1
ayat 6).
Pengakuan secara eksplisit dan
kesejajaran posisi antara tenaga pendidik
satu dengan yang lainnya tidak
menghilangkan arti bahwa setiap tenaga
pendidik, termasuk konselor, memiliki
konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan
setting pelayanan spesifik yang
mengandung keunikan dan perbedaan.
Di manapun proses pendidikan
harus dipandang sebagai suatu proses
perkembangan, karena setiap peserta
didik adalah seorang individu yang
sedang berada dalam proses berkembang
atau menjadi (on-becoming), yaitu
berkembang ke arah kematangan atau
kemandirian. Alasan lain adalah adanya
perbedaan individual pada peserta didik
dan keniscayaan bahwa proses
perkembangan peserta didik tidak selalu
berlangsung secara mulus, dalam alur
yang lurus, searah dengan potensi,
harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan peserta didik tidak
lepas dari pengaruh lingkungan, baik
fisik, psikis maupun sosial yang selalu
berubah dan mempengruhi gaya hidup
(life style). Sifat yang melekat pada
lingkungan adalah perubahan.
Pertumbuhan jumlah penduduk yang
cepat, kesenjangan tingkat sosial
ekonomi masyarakat, revolusi teknologi
informasi, pergeseran fungsi atau struktur
keluarga, dan perubahan struktur
masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang
kurang sehat, seperti : maraknya
tayangan pornografi di televisi dan VCD;
penyalahgunaan alat kontrasepsi,
minuman keras, dan obat-obat
terlarang/narkoba yang tak terkontrol;
ketidak harmonisan dalam kehidupan
keluarga; dan dekadensi moral orang
dewasa sangat mempengaruhi pola
perilaku atau gaya hidup peserta didik
(terutama pada usia remaja) yang
cenderung menyimpang dari kaidah-
kaidah moral (akhlak yang mulia),
seperti: pelanggaran tata tertib
Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2316
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
minuman keras, menjadi pecandu
Narkoba atau NAPZA (Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya,
seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau,
dan sabu-sabu), kriminalitas, dan
pergaulan bebas (free sex). Penampilan
perilaku remaja seperti di atas sangat
tidak diharapkan, karena tidak sesuai
dengan sosok pribadi manusia Indonesia
yang dicita-citakan. Tujuan tersebut
mempunyai implikasi imperatif (yang
mengharuskan) bagi semua tingkat satuan
pendidikan untuk senantiasa
memantapkan proses pendidikannya
secara bermutu ke arah pencapaian tujuan
pendidikan tersebut.
Untuk mengembangkan kompetensi
hidup seperti ini, maka sistem pelayanan
pendidikan di sekolah yang efektif tidak
cukup hanya dengan mengandalkan
pelayanan manajemen dan pembelajaran
mata pelajaran saja, melainkan perlu
disertai dengan pelayanan bantuan
khusus yang lebih bersifat psiko-
pedagogis berbasis kepakaran. Layanan
bantuan khusus (berbasis kepakaran)
membantu peserta didik agar mampu
menghindari perilaku negatif dan pada
saat yang sama mampu mengembangkan
perilaku normatif dan efektif untuk
mewujudkan kehidupan yang produktif
dan bermanfaat bagi dirinya dan orang
lain.
Upaya menangkal dan mencegah
perilaku-perilaku yang tidak diharapkan
seperti disebutkan di atas, adalah dengan
mengembangkan potensi peserta didik
dan memfasilitasi mereka secara
sistematik, terprogram dan kolaboratif
untuk mampu mencapai standar
kompetensi nilai perkembangan/perilaku
atau karakter yang diharapkan. Upaya ini
merupakan wilayah garapan bimbingan
dan konseling yang harus dilakukan
secara proaktif, intensional dan
kolaboratif yang diselenggarakan dengan
berbasis data perkembangan peserta didik
secara komprehensif dalam berbagai
aspek kehidupannya.
Dengan demikian, pendidikan yang
bermutu, efektif atau ideal adalah yang
mengintegrasikan tiga bidang kegiatan
utamanya secara sinergi, yaitu bidang
administratif dan kepemimpinan, bidang
instruksional atau kurikuler, dan bidang
bimbingan dan konseling. Pendidikan
yang hanya melaksanakan bidang
administratif dan instruksional dengan
mengabaikan bidang bimbingan dan
konseling, hanya akan menghasilkan
peserta didik yang pintar dan terampil
dalam aspek akademik, tetapi kurang
memiliki kemampuan atau kematangan
dalam aspek kepribadian.
Pelayanan bimbingan dan
konseling didasarkan kepada upaya
pencapaian tugas perkembangan,
pengembangan potensi, dan pengentasan
masalah-masalah peserta didik sebagai
suatu keutuhan yang diselenggarakan
secara intensif dan kolaboratif. Tugas-
tugas perkembangan dirumuskan sebagai
standar kompetensi belajar, pribadi,
sosial dan moral-spiritual, serta karir
yang harus dicapai tiap peserta didik
sesuai usia kronologisnya, sehingga
pendekatan ini disebut juga sebagai
bimbingan dan konseling berbasis nilai-
nilai inti karakter. Standar dimaksud
adalah standar kompetensi kemandirian
yang telah dirumuskan berdasarkan hasil
penelitian selama 5 tahun dan telah
diimplementasikan di berbagai jenjang
dan jalur pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan
ini menekankan kolaborasi antara guru
bimbingan dan konseling/ konselor
dengan para personal Sekolah/Madrasah
lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah,
guru-guru, dan staf administrasi), orang
tua peserta didik, dan pihak-pihak terkait
lainnya. Pendekatan ini terintegrasi
dengan proses pendidikan di
Sekolah/Madrasah secara keseluruhan
dalam upaya membantu para peserta
didik agar dapat mengembangkan atau
mewujudkan potensi dirinya secara utuh,
baik menyangkut aspek pribadi, sosial,
belajar, maupun karir.
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2317
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
Atas dasar itu, maka implementasi
bimbingan dan konseling di
Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada
upaya memfasilitasi perkembangan
potensi peserta didik, yang meliputi
aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir;
atau terkait dengan pengembangan
pribadi peserta didik sebagai makhluk
yang berdimensi biopsikososiospiritual
(biologis, psikis, sosial, dan spiritual).
Pelayanan bimbingan dan
konseling diharapkan membantu peserta
didik dalam pengenalan diri, pengenalan
lingkungan dan pengambilan keputusan,
serta memberikan arahan terhadap
perkembangan peserta didik; dan tidak
hanya untuk peserta didik bermasalah
tetapi menyangkut seluruh peserta didik.
Pelayanan bimbingan dan konseling tidak
terbatas pada peserta didik tertentu atau
yang perlu „dipanggil‟ saja”, melainkan
untuk seluruh peserta didik (Guidance
and counseling for all).
Di dalam Permendiknas No. 23
tahun 2006 dirumuskan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus
dicapai peserta didik melalui proses
pembelajaran bidang studi, maka
kompetensi peserta didik yang harus
dikembangkan melalui pelayanan
bimbingan dan konseling adalah Standar
Kompetensi Kemandirian (SKK) untuk
mewujudkan diri (self actualization) dan
pengembangan kapasitasnya (capacity
development) yang dapat mendukung
pencapaian kompetensi lulusan.
Sebaliknya, kesuksesan peserta didik
dalam mencapai SKL akan secara
signifikan menunjang terwujudnya
pengembangan kemandirian. Dalam hal
ini kerjasama antara guru bimbingan dan
konseling/konselor dengan guru mata
pelajaran merupakan suatu keharusan.
Persamaan, keunikan, dan keterkaitan
wilayah pelayanan guru mata pelajaran
dan guru bimbingan dan konseling/
konselor dalam konteks pencapaian
standar kompetensi peserta didik
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2.2
Hubungan Kolaboratif Wilayah Kerja Guru bimbingan dan konseling/
Konselor dan Guru Matapelajaran
Tugas-tugas pendidik untuk
mengembangkan peserta didik secara
utuh dan optimal sesungguhnya
merupakan tugas bersama yang harus
dilaksanakan oleh guru mata pelajaran,
guru bimbingan dan konseling/konselor,
dan tenaga pendidik lainnya sebagai
mitra kerja. Sementara itu, masing-
masing pihak tetap memiliki wilayah
pelayanan khusus dalam mendukung
PERKEMBANGAN OPTIMUM PESERTA DIDIK: BELAJAR, PRIBADI, SOSIAL DAN KARIR
Misi bersama guru dan konselor dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik seutuhnya dan pencapaian tujuan pendidikan nasional
Standar Kompetensi Lulusan mata pelajaran (Pembelajaran bidang studi)
Standar Kompetensi Kemandirian utk mewujudkan diri (belajar, karir, sosial, pribadi) (Bimbingan dan Konseling)
WILAYAH KONSELOR KOLABORASI KONSELOR
DENGAN GURU/PIHAK LAIN WILAYAH GURU
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2318
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
realisasi diri dan pencapaian kompetensi
peserta didik. Dalam hubungan
fungsional kemitraan (kolaboratif) antara
guru bimbingan dan konseling/konselor
dengan guru mata pelajaran, antara lain
dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan
(referal). Masalah-masalah perkembang-
an peserta didik yang dihadapi guru mata
pelajaran pada saat pembelajaran dirujuk
kepada guru bimbingan dan
konseling/konselor untuk penanganan-
nya. Demikian pula masalah yang
ditangani guru bimbingan dan
konseling/konselor dirujuk kepada guru
mata pelajaran untuk menindaklanjutinya
apabila itu terkait dengan proses
pembelajaran mata pelajaran. Masalah
kesulitan belajar peserta didik
sesungguhnya akan lebih banyak
bersumber dari proses pembelajaran itu
sendiri. Ini berarti bahwa di dalam
pengembangan dan proses pembelajaran
bermutu, fungsi-fungsi bimbingan dan
konseling perlu mendapat perhatian guru
mata pelajaran, dan sebaliknya, fungsi-
fungsi pembelajaran mata pelajaran perlu
mendapat perhatian guru bimbingan dan
konseling/konselor. Layanan bimbingan dan konseling
diperuntukan bagi semua (guidance and counseling for all), dan oleh karena itu tidaklah tepat jika orientasinya hanya kepada pemecahan masalah, melainkan mencakup orientasi pengembangan (developmental) dan pemeliharaan (maintanance) serta pencegahan (preventive) secara menyeluruh. Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya memfasilitasi perkembangan individu (dalam aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir) ke arah kemandirian (dalam hal menetapkan pilihan, mengambil keputusan, dan tanggung jawab atas pilihan dan keputusan sendiri) untuk mewujudkan diri (self-realization) dan mengembangkan kapasitas (capacity development).
Prinsip bimbingan dan konseling untuk semua mengandung arti bahwa target populasi layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal
termasuk para peserta didik yang berbakat dan berkebutuhan khusus, terutama yang memiliki kecakapan intelektual normal. Layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus akan amat erat kaitannya dengan kegiatan hidup sehari-hari (daily living activities) yang tidak terisolasi dari konteks. Oleh karena itu, layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus merupakan layanan intervensi tidak langsung yang akan lebih terfokus pada upaya mengembangkan lingkungan perkembangan (inreach maupun outreach) bagi kepentingan dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik, yang akan melibatkan banyak pihak di dalamnya terutama guru pendidikan khusus dan orang tua.
Demikian pula bimbingan dan konseling bagi anak berbakat, tidak diperlakukan dan dipandang sebagai upaya yang luar biasa, melainkan dilihat sebagai bagian dari upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional, baik di tingkat satuan pendidikan maupun individual. Oleh karena itu, pencapaian prestasi luar biasa misalnya prestasi dalam olimpiade fisika, olimpiade matematika dan dalam berbagai mata pelajaran lain, sejajar dengan keberbakatan bidang olah raga, misalnya bulutangkis, tinju, catur, yang memang memerlukan takaran latihan lebih dari yang diperlukan oleh peserta didik pada umumnya. Di bidang pendidikan pada umumnya, sebagai hasil pendidikan nasional, diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki karakter kuat dan dituntun keimanan, yang menghargai keragaman dalam ragam kehidupan berbangsa (bhineka), akrab dan fasih iptek serta menguasai softskills, serta bugar scara fisik di samping memiliki kebiasaan hidup sehat.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui hambatan yang ditemui
dalam pelaksanaan bimbingan dan
konseling di 3 lokasi SMP Negeri
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2319
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
Gunungsitoli Idanoi, Gunungsitoli
Utara dan Kabupaten Nias Utara.
2. Mengetahui hambatan yang paling
dominan dalam pelaksanaan
bimbingan dan konseling di sekolah
lokasi penelitian.
MANFAAT PENELITIAN
Melalui penelitian ini diharapkan
dapat memberi manfaat teoritis bagi
peneliti dan manfaat praktis bagi sekolah.
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
dipakai sebagai bahan kajian dan
pengembangan ilmu bagi peneliti dan
praktisi dalam bidang bimbingan dan
konseling
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah wawasan dan pengalaman
dalam pelaksanaan Bimbingan dan
Konseling di sekolah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi sumbangan pemikiran bagi
sekolah pada umumnya dan khususnya
bagi guru pembimbing/konselor
sekolah dalam pengembangan
pelaksanaan Bimbingan dan
Konseling yang lebih baik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di SMP
Negeri 2 Alasa Tahun Pelajaran
2018/2019 dan SMP Negeri 1
Gunungsitoli Utara. Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif
sumber data penelitian secara purposive
sampling yaitu orang yang dianggap
mengetahui tentang pelaksanaan
Pelayanan Bimbingan dan Konseling di
SMP Negeri 2 Alasa Tahun Pelajaran
2018/2019. Data yang ingin diperoleh
adalah Data Primer, Data Sekunder.
Objek penelitian yaitu pelaksanaan
Pelayanan Bimbingan dan Konseling di
SMP Negeri 2 Alasa dan SMP Negeri 1
Gunungsitoli Utara Tahun Pelajaran
2018/2019 serta subjeknya Kepala
Sekolah, Guru Bimbingan dan Konseling
, Guru mata pelajaran dengan teknik
pengumpulan data : Observasi non
partisipan (non participant observation);
Interview mendalam; Dokumentasi.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
PENELITIAN
Berdasarkan interview kepada guru
bimbingan dan konseling, guru mata
pelajaran (2 orang dari setiap lokasi
penelitian), dan kepala sekolah di 2 lokasi
penelitian yaitu di SMP Negeri 1
Gunungsitoli Utara, SMP Negeri 2 Alasa.
Diperoleh hasil bahwaterdapat
hambatan-hambatan yang ditemui dalam
pelaksanaan bimbingan dan konseling,
serta terdapat hambatan yang paling
dominan dalam pelaksanaan bimbingan
dan konseling di sekolah lokasi
penelitian.
Hambatan-hambatan dimaksud
adalah sebagai berikut :
a. Hambatan yang berkenaan dengan
Implementasi penguatan
pembelajaran yang mendidik.
Untuk mewujudkan arahan pasal 1
(1), 1 (2), pasal 3 dan pasal 4 (3) UU No.
20 tahun 2003 secara utuh kaidah-kaidah
implementasi kurikulum 2013 harus
bermuara pada perwujudan suasana dan
proses pembelajaran yang mendididik (
yang memfasilitasi perkembangan
potensi peserta didik).
Pengertian memfasilitasi perkembangan
peserta didik adalah menghadirkan,
menciptakan suasana belajar dan proses
Pembelajaran yang memerlukan
penerapan prinsip-prinsip Bimbingan dan
Konseling seperti :
1) Memahami kesiapan belajar peserta
didik dan penerapan prinsip
Bimbingan dan Konseling dalam
pembelajaran.
2) Melakukan assesmen potensi peserta
didik.
3) Melakukan diagnostic kesulitan
belajar dan perkembangan peserta
didik.
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2320
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
4) Mendorong terjadinya internalisasi
nilai sebagai proses individualisasi
peserta didik.
Perwujudan keempat prinsip ini
dikembangkan melalui kolaborasi
pembelajaran dengan Bimbingan dan
Konseling.
b. Hambatan yang berkenaan dengan
peran Bimbingan dan konseling
dalam Advokasi dan Aksebilitas
Peran Bimbingan dan Konseling
dalam Advokasi dan Aksebilitas telah
tertuang dalam kurikulum 2013 yang
menghendaki adanya diversifikasi
layanan yaitu layanan peminatan.
Layanan peminatan sebagaimana arahan
kurikulum 2013 membutuhkan
kolaborasi guru Bimbingan dan
Konseling/ konselor dengan guru mata
pelajaran dalam :
1. Memahami potensi dan
pengembangan kesiapan belajar
peserta didik.
2. Merancang ragam program
pembelajaran dan melayani
kekhususan kebutuhan peserta didik.
3. Membimbing perkembangan pribadi ,
sosial, belajar dengan karir
Didua lokasi penelitian,
berdasarkan hasil interview kepada guru
bimbingan dan konseling serta guru mata
pelajaran, ketiga tugas kolaboratif
sebagaimana diuraikan diatas, tidak dapat
dijalankan dengan baik, dikarenakan dana
yang direncanakan untuk pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling yang utuh
belum di cadangkan oleh kepala sekolah.
Selain dari pada dana yang tidak
dicadangkan untuk pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling yang
komprehensif (utuh), jadwal untuk
pelaksanaan layanan bimbingan dan
Konseling sangat sedikit.
c. Hambatan Yang Berkenaan Dengan
Implementasi Fungsi-fungsi
Bimbingan dan Konseling
Implementasi fungsi-fungsi
Bimbingan dan Konseling pasal 4 (3) UU
No. 20 tahun 2003, kurikulum 2013
menekankan pembelajaran sebagai proses
pemberdayaan dan pembudayaan. Untuk
mewujudkan prinsip ini (arahan UU
tersebut) bimbingan dan Konseling tidak
cukup menyelenggarakan fungsi-fungsi
Inreach tetapi juga melaksanakan fungsi
Outreach yang berorientasi pada
penguatan daya dukung lingkungan
pemkembangan sebagai lingkungan
belajar. Dalam konteks ini kolaborasi
guru Bimbingan dan Konseling/Konselor
dengan guru mata pelajaran hendaknya
terjadi dalam konteks kolaborasi yang
lebih luas antara lain :
1. Kolaborasi dengan orang tua/keluarga.
2. Kolaborasi dengan dunia kerja dan
lembaga pendidikan.
3. Intervensi terhadap institusi terkait
lainnya dengan tujuan membantu
perkembangan peserta didik.
Temuan dilokasi penelitian, bahwa
kolaborasi dengan orang tua dilakukan
apabila siswa/ peserta didik melakukan
perbuatan yang melanggar tata aturan
sekolah yang tergolong berat , misalnya ;
• Siswa mencelakai temannya, siswa
kedapatan membawa barang/alat yang
dapat mencederai sesama peserta
didik,
• Siswa terbukti sebagai pelaku/pemakai
narkoba,
• Siswa terbukti hamil diluar nikah
Kolaborasi dengan dunia kerja
belum dapat dilaksanakan dikarenakan
berbagai kendala/ kekurangan dari pihak
sekolah, termasuk keterbatasan yang
dimiliki guru Bimbingan dan Konseling.
Intervensi terhadap institusi terkait
dengan tujuan membantu perkembangan
peserta didik, berdasarkan hasil interview
kepada kepala sekolah juga informasi
dari guru Bimbingan dan Konseling
bahwa intervensi terhadap institusi
terkait, pada saat-saat ada ditemukan
perilaku siswa yang terkait dengan
instansi lain misalnya, pihak gereja,
BNN, Kepolisisan dan juga tokoh
masyarakat.
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2321
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
1. Deskripsi Verifikasi Data
Verifikasi data dimaksud adalah
memeriksa semua kelengkapan data yang
telah diisi dalam pedoman interview.
Data dalam pedoman interview yaitu data
berupa pertanyaan yang berkaitan dengan
hambatan-hambatan yang ditemui dalam
pelaksanaan bimbingan dan konseling di
sekolah dan telah dinyatakan dengan
benar sesuai keadaan di lokasi penelitian.
a. Pembahasan Temuan Penelitian
Secara Umum
1. Pokok Masalah Penelitian
Pokok permasalahan penelitian ini
adalah hambatan-hambatan yang ditemui
dalam pelaksanaan bimbingan dan
konseling di sekolah. Pokok-pokok
masalah penelitian ini telah dijabarkan
menjadi variabel penelitian dan dibuat
menjadi pertanyaan penelitian yaitu (1)
Hambatan-hambatan apa sajakah yang
ditemui dalam pelaksanaan Bimbingan
dan Konseling terkait dengan peran dan
fungsi Bimbingan dan Konseling dalam
implementasi kurikulum 2013? dan (2)
Hambatan apakah yang lebih menonjol di
dalam pelaksanaan Bimbingan dan
Konseling di sekolah?
2. Jawaban Umum Atas Permasalahan
Pokok Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelaksanaan
bimbingan dan konseling di sekolah
mengalami hambatan khususnya di SMP
Negeri 1 Tuhemberua. Di 2 lokasi
penelitian lainnya, pelaksanaan
bimbingan dan konseling telah
dilaksanakan dengan baik walaupun tidak
sempurna sesuai dengan tuntutan
kurikulum 2013 karena mempunyai
keterbatasan tertentu dalam
pelaksanaannya.
3. Analisis Temuan Penelitian
Berdasarkan jawaban umum
penelitian di atas yang mengemukakan
bahwa pelaksanaan bimbingan dan
konseling disalah satu sekolah lokasi
penelitian mengalami hambatan, namun
dikedua lokasi penelitian lainnya tidak
memiliki hambatan yang menonjol
karena pelaksanaan bimbingan dan
konseling telah terlaksana dengan baik.
Hambatan-hambatan yang ditemui dalam
pelaksanaan bimbingan dan konseling
adalah tidak adanya upaya yang
dilakukan kepala sekolah dalam
pengadaan tenaga layanan BK sehingga
tugas guru BK di sekolah tidak berperan
sebagai guru BK tetapi bertugas sebagai
guru matapelajaran pada umumnya dan
tidak sesuai tuntutan kurikulum 2013.
4. Perbandingan Temuan Penelitian
ini dengan Temuan Penelitian Lain
Hasil penelitian ini belum bisa
dibandingkan dengan hasil penelitian
lain, karena penelitian yang relevan
dengan ini belum ada. Namun, penelitian
tentang hambatan-hambatan yang ditemui
dalam pelaksanaan bimbingan dan
konseling di sekolah memberikan
informasi bahwa pelaksanaan BK di
sekolah tidak sesuai dengan tuntutan
kurikulum 2013.
5. Temuan Penelitian Dikontraskan
dengan Teori yang ada
Hasil penelitian yang telah
diperoleh sangat kontras dengan teori dari
ABKIN dalam jurnal Masukan Pemikiran
tentang Peran Bimbingan dan Konseling
dalam Kurikulum 2013 (2007) yang
mengatakan bahwa ada sejumlah
hambatan yang dialami oleh guru
pembimbing, oleh guru mata pelajaran
dan sekolah secara umum terkait dengan
peran dan fungsi Bimbingan dan
Konseling dalam implementasi
kurikulum 2013. Hambatan-hambatan
dimaksud antara lain:
a. Implementasi penguatan pembelajaran
yang mendidik
b Implementasi peran Bimbingan dan
Konseling dalam Advokasi dan
Aksebilitas, dan
a. Implementasi fungsi-fungsi
Bimbingan dan Konseling.
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2322
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
Selanjutnya (ABKIN: 2007) juga
menjelaskan bahwa guru pembimbing
yang pada saat ini ada di lapangan pada
hakikatnya melaksanakan tugas sebagai
konselor, tetapi sering diperlakukan dan
diberi tugas layaknya guru mata
pelajaran. Bimbingan dan konseling
bukanlah kegiatan pembelajaran dalam
konteks adegan belajar mengajar di kelas
yang layaknya dilakukan guru sebagai
pembelajaran bidang studi, melainkan
pelayanan ahli dalam konteks
memandirikan peserta didik.
6. Implikasi Temuan Penelitian
Berdasarkan teori yang telah
dikemukakan dan hasil penelitian yang
telah diperoleh maka dikemukakan
implikasi dari penelitian ini. Pelaksanaan
BK di sekolah merupakan bagian dari
upaya pendidikan yang bertujuan untuk
membentuk perkembangan kepribadian
diri siswa secara optimal sehingga
memerlukan pengakuan, dukungan dari
stake holder di sekolah. Kepala sekolah
juga seharusnya mengetahui tentang
ruang lingkup pelaksanaan program BK
di sekolah, adanya kolaborasi antara guru
Bimbingan dan Konseling/Konselor,
Guru Matapelajaran dan Orang Tua
dalam pengembangan kemandirian siswa
sebagai nilai inti karakter sehingga
pelaksanaan program BK di sekolah
dapat sesuai dengan tuntutan kurikulum
2013.
7. Keterbatasan Temuan Penelitian
Keterbatasan-keterbatasan yang
dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
a) Pedoman interview yang digunakan
sebagai landasan dalam interview
terhadap kepala sekolah, guru mata
pelajaran dan guru BK adalah terbatas,
dan subyek penelitian tidak
sepenuhnya memberikan informasi
yang sesuai dengan keadaan
sebenarnya di lapangan.
b) Hasil penelitian yang telah ditemukan
adalah terbatas hanya untuk
mengetahui hambatan-hambatan yang
ditemui dalam pelaksanaan bimbingan
dan konseling di sekolah.
c) Data-data penelitian yang telah
ditemukan adalah hanya data-data
tentang hambatan-hambatan yang
ditemui dalam pelaksanaan bimbingan
dan konseling di sekolah.
b. Uraian Temuan Penelitian secara
Khusus Tentang Hambatan-
hambatan yang ditemui dalam
Pelaksanaan Bimbingan dan
Konseling di Sekolah
1. Uraian Temuan Penelitian
mengenai hambatan-hambatan
yang ditemui dalam pelaksanaan
bimbingan dan konseling di
sekolah
Dari hasil interview yang
berpedoman dari pedoman interview,
ditemukan hambatan-hambatan yang
terjadi dalam pelaksanaan bimbingan
dan konseling di sekolah lokasi
penelitian. Adapun hambatan-
hambatan yang ditemui adalah tidak
adanya pengakuan dan dukungan dari
stake holder tentang pengadaan
kegiatan BK di sekolah, kepala
sekolah tidak memiliki pemahaman
mengenai ruang lingkup program BK
sehingga tidak adanya penjelasan
khusus tentang peran staf BK kepada
seluruh personil sekolah, tidak adanya
tugas dan jadwal khusus guru BK
dalam layanan BK di sekolah, tidak
adanya dana dalam melengkapi sarana
dan prasarana BK, guru BK yang ada
di sekolah tidak membuat program BK
(seperti program tahunan, semesteran
dan bulan), tidak adanya tanggapan
positif dari guru mata pelajaran), dan
guru BK bekerja sebagai guru mata
pelajaran.
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2323
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
2. Uraian Temuan Penelitian
mengenai Hambatan yang lebih
menonjol di dalam pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling di
sekolah
Temuan dan pembahasan
penelitian mengenai hambatan yang
lebih menonjol di dalam pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling di sekolah
adalah tidak adanya pengakuan dan
dukungan dari stake holder dan kepala
sekolah tidak memahami ruang
lingkup tugas guru BK di sekolah.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa
guru BK tidak dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik tetapi beralih
bekerja sebagai guru mata pelajaran di
sekolah. Untuk mengatasi hambatan
ini, maka stake holder memberi
pengakuan, dukungan terhadap
pelaksanaan program BK di sekolah.
Kepala sekolah juga seharusnya
mengetahui tentang ruang lingkup
pelaksanaan program BK, adanya
kolaborasi antara guru Bimbingan dan
Konseling/Konselor, Guru
Matapelajaran dan Orang Tua dalam
pengembangan kemandirian siswa
sebagai nilai inti karakter sehingga
pelaksanaan program BK di sekolah
dapat sesuai dengan tuntutan
kurikulum 2013.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan
penelitian, maka berikut ini disampaikan
kesimpulan:
1. Hambatan-hambatan yang ditemui
dalam pelaksanaan bimbingan dan
konseling di sekolah adalah tidak
adanya pengakuan dan dukungan dari
stake holder tentang pengadaan
kegiatan BK di sekolah, kepala
sekolah tidak memiliki pemahaman
mengenai ruang lingkup program BK
sehingga tidak adanya penjelasan
khusus tentang peran staf BK kepada
seluruh personil sekolah, tidak adanya
tugas dan jadwal khusus guru BK
dalam layanan BK di sekolah, tidak
adanya dana dalam melengkapi sarana
dan prasarana BK, guru BK yang ada
di sekolah tidak membuat program BK
(seperti program tahunan, semesteran
dan bulan), tidak adanya tanggapan
positif dari guru mata pelajaran), dan
guru BK bekerja sebagai guru mata
pelajaran.
2. Hambatan yang lebih menonjol dalam
pelaksanaan Bimbingan dan
Konseling di sekolah adalah tidak
adanya pengakuan dan dukungan dari
stake holder dan kepala sekolah tidak
memahami ruang lingkup tugas guru
BK di sekolah. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa guru BK tidak
dapat melaksanakan tugasnya dengan
baik tetapi beralih bekerja sebagai
guru mata pelajaran di sekolah.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas
maka saran yang diajukan adalah sebagai
berikut:
1. Disarankan kepada stake holder
supaya memberi pengakuan, dan
dukungan terhadap pelaksanaan
program BK di sekolah karena
bimbingan dan konseling merupakan
bagian integral dari pendidikan.
2. Disarankan kepada kepala sekolah
untuk mengetahui tentang ruang
lingkup pelaksanaan program BK di
sekolah sehingga guru BK dapat
melaksanakan tugas dan perannya
sebagai guru BK.
3. Guru BK mampu mengetahui peran
dan tugasnya dalam pendidikan dan
tetap berkolaborasi terhadap kepala
sekolah, guru mata pelajaran dan
orang tua dalam pengembangan
kemandirian siswa sehingga
pelaksanaan program BK di sekolah
dapat sesuai dengan tuntutan
kurikulum 2013.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sukardi, Dewa Ketut. 2008.
Pengantar Pelaksanaan Program
Didaktik Volume 13, Nomor 2, Oktober 2019 Mondang Munthe : Hambatan-hambatan
2324
Diterbitkan TIM Jurnal Ilmiah DIDAKTIK IKIP Gunungsitoli
Bimbingan dan Konseling Disekolah.
Jakarta : Rineka Cipta.
2. Sukardi, Kusmawati. 2008. Proses
Bimbingan dan Konseling Di
Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta.
3. Supriatna, Mamat. 2011. Bimbingan
dan Konseling Berbasis Kompetensi.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
4. Permana, Eko Jati. 2015. Pelaksanaan
Layanan Bimbingan dan Konseling di
Madrasah Aliyah Negeri 2
Banjarnegara Jurnal.
Vol.4.No.2.(online),
(journal.uad.ac.id/index.php/PSIKOP
EDAGOGIA/article/download/4493/
2522, diakses pada 29 April 2019).
5. Masyarakat Profesi Bimbingan dan
Konseling Indonesia. Masukan
pemikiran tentang peran bimbingan
dan konseling dalam kurikulum 2013.
(https://akhmadsudrajat.files.wordpre
ss.com/2013/02/26-januari-ke-2-BK-
dalam-kurikulum-2013.pdf diakses
pada 29 April 2019).
Recommended