View
231
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
1/44
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRES,DUKUNGAN KELUARGA, DUKUNGAN TEMAN DAN DUKUNGAN
IKLAN DENGAN PERILAKU REMAJA TERHADAP ROKOK
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
2/44
BAB I
PENDAHULUAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan proposal mengenaiHubungan Antara Tingkat Stres,Dukungan
Keluarga,Dukungan Teman Dan Dukungan Iklan Dengan Perilaku Remaja Terhadap Rokok.
Pada proposal ini, penulis dapat sampaikan sebuah kajian permasalahan yang ada di
kehidupan saat ini, yang mampu memberikan inspirasi untuk mengkaji aspek kehidupan yang
berdampak dan terjadi pada keseimbangan ekologi.
Penulisan proposal ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak dan kami tidak
lupa mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak S. Heariyanto, SKp., MKes., sebagai dosen pembimbing2. Serta teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan proposal ini.
Walaupun penulis telah mengusahakan kesempurnaan dalam penulisan proposal ini,
kami sangat menyadari, bahwa masih banyak kekurangan baik isi maupun teknik penulisan.
Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan.
Jakarta, 20 Juni 2012
Penulis
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
3/44
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang
Masalah rokok saat ini menjadi topik yang sedang hangat dibicarakan. Telah banyak artikel dalam
media cetak dan pertemuan ilmiah, ceramah, wawancara baik di radio maupun televisi serta
penyuluhan mengenai bahaya merokok dan kerugian yang ditimbulkan akibat rokok. Berbagai
kebijakan dan aturan yang memuat sanksi bagi para perokok dipublikasikan secara terus-menerus.
Bahkan setiap tanggal 31 Mei, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan sebagai Hari Tanpa
Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day). Melalui peringatan hari tanpa rokok sedunia ini,
diharapkan menjadi kesempatan bagi kita untuk berfikir kembali dan menyadari akan bahaya dandampak rokok baik bagi perokok itu sendiri maupun lingkungan disekitarnya.
1Rokok merupakan zat aditif yang mengancam kesehatan karena didalamnya mengandung zat-zat
yang membahayakan tubuh. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan beberapa artikel ilmiah
menerangkan bahwa dalam setiap kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya
dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Beberapa zat yang
berbahaya tersebut diantaranya tar, karbonmonoksida (CO) dan nikotin (Abadi, 2005).
Melalui zat yang dihisap dalam rokok, hampir sekitar 90 % kanker paru-paru tidak dapat
diselamatkan. (Basyir, 2005). Selain itu rokok dapat menyebabkan kanker mulut, bibir, kerongkongan,
penyakit jantung, bahkan disinyalir dapat memperpendek usia. Menurut perhitungan Fakultas
kedokteran di Inggris, rata-rata setiap perokok kehilangan 5 menit umurnya setiap menghisap
sebatang rokok (Nainggolan, 2000).
Dalam sebuah study yang dilakukan di Jepang, seperti yang diberitakan The Asahi Shimbun terbitan
23 April 2004, didapatkan hasil bahwa 29 % (80.000 orang) pada pria dan 4 persen (5000 orang)
pada wanita penderita kanker di jepang disebabkan oleh rokok (Basyir, 2005).
Di Indonesia sendiri angka kejadian penyakit akibat rokok menurut mantan menteri kesehatanAchmad Sujudi, tercatat sebanyak 6,5 juta jiwa menderita penyakit akut akibat merokok. Antara lain
berupa kanker paru-paru, jantung, dan gangguan peredaran darah. Achmad sujudi menambahkan
bahwa ''Bayi yang lahir dari ibu yang merokok juga memiliki berat badan yang rendah serta bisa
menimbulkan sindroma bayi meninggal mendadak (Sudden Death).'' (www.republikaonline.com,
2003) .
Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 1,2 miliar penduduk dunia merupakan perokok, dan 800 juta di
antaranya terdapat di negara berkembang. Besarnya jumlah perokok tersebut menyebabkan angka
kematian akibat merokok saat ini adalah 4 juta jiwa setiap tahun, yang berarti terdapat sekitar satu
kematian dalam setiap 8 menit (Burhan, 2004).
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
4/44
Melihat dari data akibat yang disebabkan oleh bahaya merokok tersebut, tidak heran bahwa di
negara maju aktivitas merokok mulai dibatasi, dan jumlah perokok semakin berkurang. Menurut
badan kesehatan WHO dinegara maju prevalensi jumlah perokok menurun 1,1% setiap tahunnya,
akan tetapi dinegara berkembang seperti Indonesia jumlah perokok ini 2,1% meningkat setiap
tahunnya (A.F Muchtar, 2005). Aktivitas merokok dianggap sebagai suatu trend di Indonesia. Riset
WHO 1998 menunjukan, kelompok perokok aktif usia 10 tahun ke atas di Indonesia tercatat 59,04%
untuk pria dan 4,85%untuk wanita. Dari kelompok usia tersebut 12,8%-27,7% pria berusia muda
(young males) dan 0,64%-1% adalah wanita muda (young females) (Syahrir, 2003).
Jumlah perokok di Indonesia menempati urutan terbesar keempat dunia dengan kekerapannya
sekitar 60% pada laki-laki dan 4% pada perempuan yang berumur lebih dari 15 tahun (Burhan, 2004).
Sedangkan di Asia Indonesia menempati urutan kedua terbesar setelah Kamboja dengan prosentasi
perokok pria; Kamboja 54%, Indonesia 53%, Vietnam 50%, Malaysia 49% dan Thailand 39% (Basyir,
2005).
Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, bahwa kebiasaan merokok justru dimulai pada usia yang
sangat muda. Psikolog A Kasandra Oemarjoedi (2004) mengatakan, jika dua puluh tahun yang lalu
umur rata-rata seseorang mulai merokok adalah pada usia 16 tahun (remaja tingkat SLTA), estimasi
sekarang seseorang mulai merokok pada usia remaja 12-14 tahun (remaja tingkat SLTP). Oemarjoedi
menambahkan, berdasarkan data Survei Yayasan Pelita Ilmu lebih dari tiga juta remaja
menggunakan rokok tembakau, dan dari keseluruhan jumlah tersebut, hampir 20 persen adalah
siswa SLTP. Bahkan data dari tiga tahun terakhir, 30 persen dari jumlah anak SLTP adalah perokok
aktif. Satu dari tiga siswa menjadi perokok permanen sampai dia dewasa dan meninggal pada usia
yang sangat muda yang diakibatkan oleh penyakit yang disebabkan karena merokok (Daryanto,2004).
Secara psikologis remaja SLTP (usia 12-16 tahun) berada pada tahapan perkembangan remaja awal.
Periode masa remaja awal dikatakan sebagai masa transisi dimana jiwa anak masih labil. Hal ini
disebabkan karena anak belum menemukan pegangan hidup yang mantap. Akibat labilnya jiwa anak,
menjadikan mereka sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, baik yang bersifat positif
maupun negatif (Kartono, 1995). Hurlock (1993) mengungkapkan bahwa masa remaja awal memiliki
beberapa ciri tahapan perkembangan yaitu tahap periode peralihan, periode perubahan, periode
bermasalah dan periode pencarian identitas. Pada periode pencarian identitas, remaja cenderung
meniru tingkah laku orang dewasa yang dianggap menunjukan kematangan dan kemapanan dalam
hal identitas diri. Proses identifikasi remaja terhadap orang dewasa menyebabkan mereka
mengadopsi perilaku yang ada pada orang dewasa, salah satunya adalah perilaku merokok. Merokok
menjadi perilaku negatif yang umum dan bersifat legal bagi para remaja.
Merokok pada remaja perlu mendapatkan perhatian besar. Penurunan sumber-daya manusia
dimasa yang akan datang menjadi sesuatu hal yang tidak mustahil terjadi yang disebabkan karena
remaja terbiasa dengan perilaku yang tidak sehat. Taylor (Syahrir 2003) menyatakan bahwa perilaku
merokok pada remaja dapat menjadi bagian dari serangkaian sindrom perilaku bermasalah secara
umum, misalnya: penggunaan obat-obatan terlarang, alkoholik dan perilaku sex bebas.
berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang siswa kelas III didapatkan data bahwa semua siswa
tersebut merokok, bahkan mereka mengatakan, hampir seluruh anak laki-laki di kelasnya sudah
pernah merokok. Adapun untuk kelas II mereka mengatakan hanya sekitar (30-35%) yang merokok,
dan kelas I (10%). Kebanyakan siswa di SLTP KP merokok diluar lingkungan sekolah, mereka
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
5/44
bergerombol disuatu tempat yang memang memudahkan mereka mendapatkan rokok. Munculnya
perilaku bermasalah terutama merokok terjadi pada sekolah-sekolah dengan kriteria sebagai berikut:
1) sekolah yang menerima siswa tanpa testing, 2) sekolah yang berada di daerah pinggiran kota, 3)
sekolah yang kurang komitmen terhadap penerapan disiplin, dan 4) sekolah yang berada dekat
keramaian.
Banyak hal yang dapat menjadi resiko timbulnya perilaku merokok pada anak usia remaja. Subanada
(Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa faktor resiko munculnya perilaku merokok pada remaja
dipengaruhi oleh berberapa faktor diantaranya: 1). Faktor psikologis/kepribadian yang terdiri dari
faktor psikososial yang meliputi stress, rasa bosan, rasa ingin tahu, ingin terlihat gagah, rendah diri
dan perilaku yang menunjukan pemberontakan menjadi hal yang mengkontribusi remaja untuk
mulai merokok. Selain itu, secara psikologis perilaku merokok pada remaja diasosiasikan juga dengan
gangguan psikiatrik. 2). Faktor biologis, meliputi fungsi kognisi, etnik, genetik dan jenis kelamin. 3).
Faktor lingkungan, yakni orangtua, saudara kandung, teman sebaya dan reklame atau iklan
menampilkan sang idola remaja, 4). Faktor regulatori yakni adanya pajak atau bea cukai yang tinggi
terhadap rokok dengan maksud untuk menurunkan daya beli masyarakat terhadap rokok, dan
pembatasan fasilitas / lokasi untuk merokok.
Faktor psikologis dapat dilihat dari kajian perkembangan remaja lingkungan, artinya perilaku
merokok selain disebabkan oleh faktor dalam di, Erikson mengatakan bahwa setiap remaja akan
mengalami fase krisis dalam proses pencarian jati dirinya yang disebabkan karena adanya perubahan
fisik dan psikososial. Ketidaksesuaian antara perkembangan fisik, psikis dan sosial menyebabkan
remaja berada dalam kondisi dibawah tekanan atau stress. Merokok menjadi alternatif yang mereka
pilih karena dianggap dapat mengurangi ketegangan dan membantu relaksasi terhadap stress (Helmi
& Komalasari, 2006).
Selain itu, perilaku merokok merupakan perilaku yang dipelajari, sehingga perlu ada agen sosialisasi
dalam proses munculnya perilaku tersebut, dan lingkungan merupakan faktor penting yang pertama
kali memperkenalkan remaja terhadap perilaku merokok. Aktivitas merokok yang ada di lingkungan
menstimulasi remaja untuk mencoba hal yang sama agar dapat diterima sebagai anggota dari
lingkungan tersebut (A.F Muchtar 2005). Orangtua, saudara kandung, teman sebaya dan iklan
merupakan faktor lingkungan yang mendorong remaja untuk merokok.
Berdasarkan faktor biologi, merokok merupakan perilaku yang diturunkan secara genetik, dan
perilaku ini lebih banyak terjadi pada mereka keturunan ras kulit putih. Sedangkan berdasarkan
faktor regulatori, perilaku merokok berkaitan dengan daya beli masyarakat terhadap rokok yang
akan terpengaruh oleh kebijakan pemerintah melalui pajak atau bea cukai rokok. Selain itu adanya
kebijakan penentuan daerah bebas rokok, menjadi upaya yang diharapkan dapat mengurangi
konsumsi mayarakat akan rokok dan sekolah menjadi salah satu tempat yang ditetapkan sebagai
kawasan bebas rokok (Soetjiningsih, 2004).
Melihat dari faktor-faktor tersebut, dalam kesempatan ini penulis hanya memfokuskan penelitian
pada dua faktor yakni psikologis (stress) dan faktor lingkungan yang meliputi dukungan keluarga,
dukungan teman, dan dukungan iklan. Adapun faktor biologi dan regulatori tidak menjadi lingkup
penelitian dengan pertimbangan; faktor biologis akan sangat sulit untuk diteliti, sedangkan berkaitan
dengan faktor regulatori, SLTP KP sendiri telah memiliki aturan mengenai larangan membawa
maupun melakukan aktivitas merokok baik di dalam maupun di luar lingkungan pendidikan.
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
6/44
1. 2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut:
Apakah Terdapat Hubungan Antara Tingkat Stress, Dukungan Keluarga, Dukungan Teman dan
Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja Terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10
Bandung.
I. 3 Tujuan
I.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah diketahuinya hubungan antara tingkat stress, dukungan
keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya
Pembangunan (KP) 10 Bandung.
I.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi gambaran perilaku merokok pada remaja SLTP KP 10 Bandung.
2. Untuk mengidentifikasi gambaran tingkat stres pada remaja di SLTP KP 10 Bandung.
3. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan keluarga untuk merokok pada remaja di SLTP KP 10
Bandung.
4. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan teman untuk merokok pada remaja di SLTP KP 10
Bandung.
5. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan iklan untuk merokok pada remaja di SLTP KP 10
Bandung.
6. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Stress dengan perilaku remaja terhadap
rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
7. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan keluarga dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
8. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan teman dengan perilakuremaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
9. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan Iklan di media dengan
perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
7/44
I. 4. Manfaat Penulisan
Melalui identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP
Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung., diharapkan dapat berguna bagi ;
I.4.1 Instansi Pendidikan (SLTP KP 10 Bandung)
1. Sebagai gambaran bagi instansi mengenai perilaku merokok yang terjadi pada siswa.
2. Sebagai bahan acuan untuk penegakan disiplin bagi siswa selanjutnya
3. Sebagai bahan pemikiran untuk evaluasi kebijakan yang telah diterapkan sekolah bagi para siswa.
4. Sebagai landasan untuk pelaksanaan program incidental/ program extra yang membahas
mengenai masalah yang berhubungan dengan perilaku remaja.
I.4.2 Petugas Kesehatan (Instansi Puskesmas)
Menjadi masukan penting bagi instansi puskesmas setempat sebagai bahan pokok untuk melakukan
penyuluhan tentang bahaya merokok sesuai dengan program UKS di SLTP Karya Pembangunan 10.
I.4.3 Peneliti dan Penelitian selanjutnya
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian atau data awal untuk melakukan penelitian lebih
lanjut terhadap permasalahan perilaku merokok pada anak remaja SLTP.
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
8/44
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rokok bukan lagi menjadi barang aneh untuk saat ini, ketika disebut kata rokok, yang terbayang
adalah sebuah komoditi terlaris yang paling gampang di undang untuk menjadi sponsor pada
berbagai event olahraga ataupun pertunjunkan besar. Sampai saat ini jarang sekali toko atau warung
yang tidak menjual rokok, bahkan dalam setiap toko grosir makanan rokok bisa mengisi 4050 %
barang yang laris terjual setiap harinya. Melihat fenomena ini sepertinya rokok telah menjelma
menjadi kebutuhan pokok layaknya sembako. Seandainya rokok itu sarat manfaat, mengandung
unsur gizi yang dibutuhkan tubuh, tentunya tidak masalah. Tetapi rokok sudah diakui sebagaikomoditi yang berbahaya bagi kesehatan (Basyir 2005).
2.1. Rokok dan Masalahnya
2.1.1 Sejarah rokok
Rokok merupakan hasil olahan tembakau terbungkus, termasuk cerutu atau bentuk lainnya, yang
dihasilkan dari tanaman nicotina tabaccum, nicotina rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang
mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Nikotin merupakan zat ataubahan senyawa pirolidin yang terdapat dalam nicotina tabaccum, nicotina rustica dan spesies lainnya
atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat menyebabkan ketergantungan. Sedangkan tar adalah
senyawa polinuklir hidrokarbon aromatis yang bersifat karsinogenik (PP No. 19 tahun 2003).
Tembakau itu sendiri, yang merupakan bahan utama untuk rokok ini telah dikenal lama sebelum
tahun 1492. Pada saat itu, pelaut Eropa yang menemukan benua Amerika Colombus melihat
orang-orang Indian menghisap tembakau dengan menggunakan pipa dalam sebuah upacara tertentu
sebagai lambang tata cara ramah tamah. Penggunaan pipa berbentuk Y yang disebut tobacco
yang digunakan untuk menghisap tanaman yang cukup banyak mengandung racun ini menjadi dasar
mengapa tanaman tersebut dinamakan tembakau (Basyir 2005).
Istilah botanical tembakau itu sendiri, berasal dari kata nicotiana, istilah ini diberikan dalam
menghormati Duta Besar Perancis untuk Portugal yakni Jean Nicot yang telah mengirim bibit
tembakau kepada permaisuri Prancis, Catherine de Medici. Penyebaran tembakau sendiri mulai
diperkenalkan ke seluruh Asia dan Afrika pada abad ke-17 oleh para ahli perdagangan Eropa
(Nainggolan, 2000).
2.1.2 Zat yang Terkandung dalam Rokok
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
9/44
Seperti yang telah di ulas diatas, terdapat dua bahan utama zat yang terkandung dalam setiap
batang rokok yakni nikotin dan tar. Nikotin, didalam tubuh menyebabkan perangsangan sistem saraf
simpatis. Perangsangan saraf simpatis (pelepasan adrenalin), berdampak pada peningkatan denyut
jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama jantung.
Selain itu nikotin mengaktifkan trombosit yang beresiko pada timbulnya adhesi trombosit
(penggumpalan) ke dinding pembuluh darah termasuk pembuluh darah jantung. Adapun tar, disebut
sebagai zat karsinogenik, karena ampas tar yang tersimpan terutama dalam saluran nafas akan
mengubah struktur dan fungsi saluran nafas dan jaringan paru. Pada saluran napas besar, sel
mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mucus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran
napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan
lendir. Sedangkan pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan
alveoli. Hal ini yang memungkinkan terjadinya pembentukan sel kanker.
Selain kedua zat tersebut, masih terdapat zat-zat lain yang terkandung dalam rokok dan berakibat
buruk terhadap sistem tubuh. Nainggolan (2000) mengungkapkan zat lain tersebut diantaranya :
Karbonmonoksida : merupakan sejenis gas yang tidak berbau yang dihasilkan dari pembakaran zat
arang atau karbon yang tidak sempurna. Gas ini memiliki sifat racun yang dapat mengurangi
kemampuan darah membawa oksigen. Hal ini disebabkan karena unsur ini memiliki kemampuan
yang cepat untuk bersenyawa dengan haemoglobin, sehingga menggangu ikatan oksigen dengan
haemoglobin, yang pada akhirnya menyebabkan suplai oksigen ke seluruh organ tubuh berkurang.
Arsenic : sejenis unsur kimia yang digunakan untuk membunuh serangga.
Nitrogen oksida : Unsur kimia ini dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan merangsang
kerusakan dan perubahan kulit tubuh.
Ammonium karbonat : zat ini membentuk plak kuning pada permukaan lidah dan menggangu
kelenjar makanan dan perasa yang terdapat dipermukaan lidah.
Ammonia : merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan hidrogen. Zat ini
sangat tajam baunya dan sangat merangsang. Ammonia ini sangat mudah memasuki sel-sel tubuh.
Begitu kerasnya racun yang terdapat dalam zat ini sehingga jika disuntikan sedikit saja kedalam
tubuh bisa menyebabkan seseorang pingsan.
Formic acid : jenis cairan yang tidak berwarna yang bergerak bebas dan dapat mengakibatkan lepuh.
Cairan ini sangat tajam dan baunya menusuk. Zat ini dapat menyebabkan seseorang seperti merasa
digigit semut. Bertambahnya zat ini dalam peredaran darah akan mengakibatkan pernafasan
menjadi cepat.
Acrolein : sejenis zat tidak berwarna, seperti aldehid. Zat ini diperoleh dengan mengambil cairan dari
gliserol dengan metode pengeringan. Zat ini seduikit banyak mengandung kadar alkohol. Cairan ini
sangat menganggu bagi kesehatan.
Hydrogen cyanide : sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak memiliki rasa. Zat ini
merupakan zat yang paling ringan, mudah terbakar dan sangat efisien untuk menghalangi
pernapasan. Cyanide adalah salah satu zat yang mengandung racun yang sangat berbahaya. Sedikitsaja cyanide dimasukkan langsung ke dalam tubuh dapat mengakibatkan kematian.
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
10/44
Nitrous oksida : sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terisap dapat menyebabkan hilangnya
pertimbangan dan mengakibatkan rasa sakit.
Formaldehyde : zat yang banyak digunakan sebagai pengawet dalam laboratorium (formalin).
Phenol : merupakan campuran yang terdiri dari kristal yang dihasilkan dari destilasi beberapa zatorganic seperti kayu dan arang, selain diperoleh dari ter arang. Phenol terikat dengan protein dan
menghalangi aktivitas enzim.
Acetol : hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat yang tidak berwarna yang bebas bergerak) dan
mudah menguap dengan alkohol.
Hydrogen sulfide : sejenis gas yang beracun yang gampang terbakar dengan bau yang keras. Zat ini
menghalangi oxidasi enxym (zat besi yang berisi pigmen).
Pyridine : cairan tidak berwarna dengan bau yang tajam. Zat ini dapat digunakan untuk mengubah
sifat alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.
Methyl chloride : adalah campuran dari zat-zat bervalensi satu dimana hidrogen dan karbon
merupakan unsurnya yang utama. Zat ini adalah merupakan compound organic yang dapat beracun.
Methanol : sejenis cairan ringan yang gampang menguap dan mudah terbakar. Meminum atau
mengisap methanol dapat mengakibatkan kebutaan dan bahkan kematian.
2.1.3 Masalah yang Ditimbulkan Akibat Merokok
Melihat dari kandungan bahan-bahan kimia yang terdapat dalam rokok tersebut, sangat jelas bahwa
rokok merupakan bahan yang sangat berbahaya bagi tubuh dan dapat menimbulkan berbagai
macam gangguan pada sistem yang ada dalam tubuh manusia. Bahkan WHO mencatat, zat-zat yang
diuraikan diatas hanya merupakan sebagian kecil zat yang terkandung dalam setiap batang rokok,
yang sebenarnya mengandung 4000 racun kima berbahaya. Hal ini menjelaskan bahwa rokok
benar-benar sangat berbahaya bagi tubuh. Berbagai penyakit mulai dari rusaknya selaput lendir
sampai penyakit keganasan seperti kanker dapat ditimbulkan bari perilaku merokok. Beberapa
penyakit tersebut antara lain :
a. Penyakit paru
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru.
Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mukus bertambah banyak
(hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat
bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan jumlah sel
radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul
perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini menjadi dasar
utama terjadinya penyakit paru obstruksi menahun (PPOM) (Sianturi 2003). Bahkan kanker paru
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
11/44
merupakan jenis penyakit paling banyak yang diderita perokok. Sekitar 90% kematian karena kanker
paru terjadi pada perokok (Basyir 2005)
b. Penyakit jantung koroner
Seperti yang telah diuraikan diatas mengenai zat-zta yang terkandung dalam rorok. Pengaruh utamapada penyakit jantung terutama disebakan oleh dua bahan kimia penting yang ada dalam rokok,
yakni nikotin dan karbonmonoksida. Dimana nikotin dapat mengganggu irama jantung dan
menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah jantung, sedangkan CO menyebabkan supply oksigen
untuk jantung berkurang karena berikatan dengan Hb darah. Hal inilah yang menyebabkan gangguan
pada jantung, termasuk timbulnya penyakit jantung koroner.
c. Impotensi
Tjokronegoro, seorang dokter spesialis andrologi universitas Indonesia mengungkapkan bahwa,
nikotin yang beredar melalui darah akan dibawa keseluruh tubuh termasuk organ reproduksi. Zat ini
akan menggangu proses spermatogenesis sehingga kualitas sperma menjadi buruk. Sedangkan Taher
menambahkan, selain merusak kualitas sperma, rokok juga menjadi faktor resiko gangguan fungsi
seksual terutama gangguan disfungsi ereksi (DE). Dalam penelitiannya, sekitar seperlima dari
penderita DE disebabkan oleh karena kebiasaan merokok.
d. Kanker kulit, mulut, bibir dan kerongkongan
Tar yang terkandung dalam rokok dapat mengikis selaput lendir dimulut, bibir dan kerongkongan.
Ampas tar yang tertimbun merubah sifat sel-sel normal menjadi sel ganas yang menyebakan kanker.
Selain itu, kanker mulut dan bibir ini juga dapat disebabkan karena panas dari asap. Sedangkan
untuk kanker kerongkongan, didapatkan data bahwa pada perokok kemungkinan terjadinya kankerkerongkongan dan usus adalah 5-10 kali lebih banyak daripada bukan perokok (Basyir 2005).
e. Merusak otak dan indera
Sama halnya dengan jantung, dampak rokok terhadap otak juga disebabkan karena penyempitan
pembuluh darah otak yang diakibatkan karena efek nikotin terhadap pembuluh darah dan supply
oksigen yang menurun terhadap organ termasuk otak dan organ tubuh lainnya. Sehingga sebetulnya
nikotin ini dapat mengganggu seluruh system tubuh.
f. Mengancam kehamilan.
Hal ini terutama ditujukan pada wanita perokok. Banyak hasil penelitian yang menggungkapkan
bahwa wanita hamil yang merokok meiliki resiko melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah,
kecacatan, keguguran bahkan bayi meninggal saat dilahirkan.
2.1.4 Perilaku terhadap Rokok
Merokok merupakan istilah yang digunakan untuk aktivitas menghisap rokok atau tembakau dalam
berbagai cara. Merokok itu sendiri ditujukan untuk perbuatan menyalakan api pada rokok sigaret
atau cerutu, atau tembakau dalam pipa rokok yang kemudian dihisap untuk mendapatkan efek dari
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
12/44
zat yang ada dalam rokok tersebut (Basyir, 2005). Menurut Leventhal dan Clearly terdapat 4 tahap
seseorang menjadi perokok, diantaranya :
Tahap preparatory : seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai merokok
dengan cara mendengar, melihat atau dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbulkan minat untuk
merokok.
Tahap initiation : tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan meneruskan ataukah
tidak terhadap perilaku merokok.
Tahap becoming a smoker : apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang perhari
maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok.
Tahap maintenance of smoking : tahap ini perokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara
pengaturan diri (self-regulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang
menyenangkan.
Medical Research Council on Respiratory Symptoms 1986 dalam Kurniawati (2000), mengungkapkan
bahwa:
Seseorang dikatakan sebagai perokok adalah mereka yang merokok sedikitnya 1 batang perhari
sekurang-kurangnya selama 1 tahun. Sedangkan bukan perokok merupakan orang yang tidak pernah
merokok paling banyak 1 batang perhari selama 1 tahun.
2.1.5 Tipe Perokok
Secara umum tipe perokok di bagi menjadi beberapa kategori yakni tipe perokok yang berhubungan
dengan udara atau asap yang dihirup, tipe perokok berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi
dalam 1 hari, dan tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan diri.
Berdasarkan udara atau asap yang dihirup, perokok dikategorikan menjadi: Perokok pasif yakni
mereka yang tidak merokok, tetapi berada di sekeliling perokok dan menghirup asap rokok yang
dihembuskan oleh perokok. Perokok aktif, yakni mereka yang menghisap rokok secara langsung
(www.kppk.com). Adapun berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi, tipe perokok dikategorikan
menjadi ; Perokok sangat berat, adalah jika mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari,
Perokok berat yakni mereka yang merokok sekitar 21-30 batang perhari, Perokok sedang adalahperokok yang menghabiskan rokok 11-21 batang perhari, dan Perokok ringan yang merokok sekitar
10 batang/hari (Basyir 2005).
Sedangkan berdasarkan pengaruh perasaan diri, Tomkins mengkategorikan perokok menjadi ;
Pertama, perokok yang dipengaruhi perasaan positif, dimana dengan merokok seseorang merasakan
bertambahnya rasa positif. Green dalam psychological factor in smoking (1978) menambahkan, ada
tiga sub pada tipe perokok ini : pleasure relaxation, yakni perilaku merokok hanya untuk menambah
atau meningkatkan kenikmatan yang sudah diperoleh, misalnya merokok setelah minum kopi atau
makan. Stimulant to pick them up, yakni perilaku merokok dilakukan hanya sekedarnya untuk
menyenangkan perasaan. Pleasure of handling the cigarette, yakni kenikmatan yang diperolehdengan memegang rokok, khususnya pada perokok pipa. Kedua, perokok yang dipengaruhi oleh
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
13/44
perasaan negatif, dimana merokok dilakukan seseorang untuk mengurangi perasaan negatif seperti
stress, marah, gelisah dan cemas. Maka rokok dianggap sebagai penenang, mereka menggunakan
rokok untuk mengurangi perasaan tidak enak yang dirasakan. Ketiga, perilaku merokok yang adiktif
(kecanduan), dimana mereka yang akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah
efek dari rokok yang dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan mencari rokok kapan pun
mereka inginkan. Keempat, perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka merokok sama
sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka. Tapi karena benar-benar sudah menjadi
kebiasaan rutinnya. Merokok menjadi perilaku yang bersifat otomatis tanpa disadari (Basyir 2005).
2.2. Remaja dan Rokok
2.2.1 Batasan Remaja
Istilah remaja atau adolesccene berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti tumbuh atau
tumbuh dewasa. Istilah adolescene yang digunakan sampai sekarang ini mempunyai arti luas
mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1993)
Santoso, (1993) mendefinisikan remaja sebagai individu yang sedang mengalami perkembangan
menuju kedewasaan. Mereka adalah anak-anak yang telah meninggalkan usia 11 tahun dan akan
menuju usia 21 tahun. Usia remaja merupakan usia dimana individu mulai berinteraksi dengan
masyarakat dan merasa berada sama dalam satu tingkat dengan orang yang lebih tua darinya
termasuk dalam hal intelektualnya.
Secara umum masa remaja dibagi kedalam 3 tahap yang dilihat dari rentang usia. Sampai saat ini
masih banyak perbedaan mengenai klasifikasi remaja tersebut. Gunarsa (2001) membagi tahapanmasa remaja tersebut menjadi : remaja awal (12-14 tahun), remaja pertengahan (15-17 tahun) dan
remaja akhir (18-21 tahun).
2.2.2 Karakteristik Remaja
Masa remaja mempunyai karakteristik yang khas, dimana semua tugas pekembangan pada masa ini
dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan
persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Oleh sebab itu, masa remaja disebut juga sebagai
periode peralihan, periode perubahan, periode bermasalah, periode pencarian identitas, dan
periode tidak realistik. Pada periode pencarian identitas, remaja yang tidak ingin lagi disebut sebagaianak-anak, berusaha menampilkan atau mengidentifikasi perilaku yang menjadi simbol status
kedewasaan. Salah satu perilaku yang muncul adalah perilaku merokok yang mereka anggap sebagai
simbol kematangan, dimana perilaku ini seringkali dimulai pada usia sekolah menengah pertama
(Hurlock 1993).
Handayani (2006) mengungkapkan bahwa secara umum, remaja memiliki tugas perkembangan yang
harus dilaluinya dengan baik. tugas perkembangan tersebut antara lain :
1. Remaja dapat menerima keadaan fisiknya dan dapat memanfaatkannya secara efektif
Sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya. Hal tersebut terlihat dari penampilanremaja yang cenderung meniru penampilan orang lain atau tokoh tertentu.
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
14/44
2. Remaja dapat memperoleh kebebasan emosional dari orangtua
Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku "pemberontakan"
dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan
dalam keluarga dan tidak dapat diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan
ketenangan di luar rumah. Hal tersebut tentunya akan membuat remaja memiliki kebebasanemosional dari luar orangtua sehingga remaja justru lebih percaya pada teman-temannya yang
senasib dengannya.
3. Remaja mampu bergaul lebih matang dengan kedua jenis kelamin
Pada masa remaja, remaja sudah seharusnya menyadari akan pentingnya pergaulan. Remaja yang
menyadari akan tugas perkembangan yang harus dilaluinya adalah mampu bergaul dengan kedua
jenis kelamin maka termasuk remaja yang sukses memasuki tahap perkembangan ini.
4. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri
Banyak remaja yang belum mengetahui kemampuannya. Bila remaja ditanya mengenai kelebihan
dan kekurangannya pasti mereka akan lebih cepat menjawab tentang kekurangan yang dimilikinya
dibandingkan dengan kelebihan yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja tersebut
belum mengenal kemampuan dirinya sendiri. Bila hal tersebut tidak diselesaikan pada masa remaja
ini tentu saja akan menjadi masalah untuk tugas perkembangan selanjutnya (masa dewasa atau
bahkan sampai tua sekalipun).
5. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma
Skala nilai dan norma biasanya diperoleh remaja melalui proses identifikasi dengan orang yangdikaguminya terutama dari tokoh masyarakat maupun dari bintang-bintang yang dikaguminya. Dari
skala nilai dan norma yang diperolehnya akan membentuk suatu konsep mengenai harus menjadi
seperti siapakah aku"?, sehingga hal tersebut dijadikan pegangan dalam mengendalikan gejolak
dalam dirinya.
Secara psikososial, remaja mulai memisahkan diri dari orangtua. Kebutuhan mereka akan kebebasan
menyebabkan remaja lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan mulai memperluas
hubungan dengan teman sebaya, sehingga keterikatan mereka dengan orangtua berkurang. Pada
umumnya remaja menjadi anggota kelompok sebaya (peer group). Kelompok sebaya menjadi sangat
berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja. Melalui kelompok sebaya, remajabisa melatih kecakapan sosial, karena melalui kelompok sebaya, remaja dapat mengambil berbagai
peran (Mahreni dalam Soetjiningsih 2004).
Sangat besarnya pengaruh teman sebaya, maka dapat dimengerti bahwa teman sebaya sangat
berpengaruh pada pembentukan sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku dibandingkan
dengan keluarga (Hurlock, 1993).
Sedangkan secara emosional, telah diketahui bahwa masa remaja dianggap sebagai masa badai dan
topan, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan
hormonal. Hal ini dikuatkan dengan tekanan sosial yang menuntut remaja menampilkan pola
kehidupan sosial yang baru. Untuk menghadapi hal tersebut sebagian besar remaja akan mengalami
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
15/44
ketidakstabilan demi penyesuaian. Kondisi tersebut menurut Erikson (Edelman, 1990) diistilahkan
sebagai kondisi stress pada remaja yang disebabkan perubahan fisik dan psikologis yang terjadi
secara bersamaan.
2.3. Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok
Sama halnya dengan penggunaan zat-zat (substance) lainnya, terdapat beberapa faktor resiko yang
berpengaruh terhadap penggunaan rokok atau perilaku merokok pada remaja.
Subanada (Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa terdapat empat faktor resiko bagi remaja
sehingga mereka menjadi perokok. Keempat faktor tersebut antara lain :
1. Faktor Psikologik
a. Faktor Psikososial
Aspek perkembangan sosial remaja antara lain: menetapkan kebebasab dan otonomi, membentukidentitas diri dan penyesuaian perubahan psikososial berhubungan dengan maturasi fisik. Merokok
menjadi sebuah cara agar mereka tampak bebas dan dewasa saat mereka menyesuaikan diri dengan
teman sebayanya. Istirahat, santai dan kesenangan, penampilan diri rasa ingin tahu rasa bosan, sikap
menentang dan stress mengkontribusi remaja untuk mulai merokok. Selain itu rasa rendah diri,
hubungan interpersonal yang kurang baik, putus sekolah sosial ekonomi yang rendah dan tingkat
pendidikan orangtua yang rendah serta tahun-tahun pertama transisi antara sekolah dasar dan
sekolah menengah juga menjadi faktor resiko lain yang mendorong remaja mulai merokok.
b. Faktor psikiatrik
Studi epidemiologi pada dewasa mendapatkan asosiasi antara merokok dengan gangguan psikiatrik
seperti skizofrenia, depresi, cemas dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Pada remaja, didapatkan
asosiasi antara merokok dengan depresi dan cemas. Gejala depresi lebih sering pada remaja perokok
daripada bukan perokok. Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi mayor dan
penyalahgunaan zat-zat tertentu. Remaja yang menperlihatkan gejala depresi dan cemas
mempunyai resiko lebih besar untuk merokok dari pada remaja yang asimtomatik. Remaja dengan
gangguan cemas menggunakan rokok untuk menghilangkan kecemasan yang mereka alami.
2. Faktor Biologik
a. Faktor Kognitif
Kesulitan untuk menghentikan kebiasaan merokok akibat dari kecanduan nikotin disebabkan karena
perokok merasakan efek bermanfaat dari nikotin. Beberapa perokok dewasa mengungkapkan bahwa
merokok memperbaiki konsentarsi. Telah dibuktikan bahwa deprivasi nikotin menganggu perhatian
dan kemampuan kognitif, tetapi hal ini akan berkurang bila mereka diberi nikotin atau rokok. Studi
yang dilakukan pada dewasa perokok dan bukan perokok, memperlihatkan bahwa nikotin dapat
meningkatkan finger-tapping rate, respon motorik dalam tes fokus perhatian, dan pengenalan
memori.
b. Jenis kelamin
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
16/44
Pada saat ini, peningkatan kejadian merokok tidak hanya terjadi pada remaja laki-laki. Begitupun
dengan wanita, wanita yang merokok dilaporkan menjadi percaya diri, suka menentang dan secara
social cakap.
c. Faktor Etnik
Kejadian merokok di Amerika Serikat cenderung lebih tinggi terjadi pada orang-orang kulit putih dan
penduduk asli Amerika, serta terendah pada orang Amerika keturunan Afrika dan Asia. Laporan
tersebut memberi kesan bahwa perbedaan asupan nikotin dan tembakau serta waktu paruh kotinin
antara perokok dewasa Amerika keturunan Afrika dengan orang kulit putih adalah substansial. Hal
ini dapat menjelaskan mengapa ada perbedaan resiko pada beberapa etnik dalam hal penyakit yang
berhubungan dengan merokok.
d. Faktor genetik
Variasi genetik mempengaruhi fungsi reseptor dopamin dan enzim hati yang memetabolisme nikotin.
Kensekuensinya adalah meningkatnya resiko kecanduan nikotin pada beberapa individu. Variasi efek
nikotin dapat diperantarai oleh polimorfisme gen dopamin yang mengakibatkan lebih besar atau
lebih kecilnya reward dan mudah kecanduan obat. Pada studi genetik molekular beberapa tahun
terakhir, individu dengan alela TaqIA (A1 dan A2) dan TaqIB (B1 dan B2) dari reseptor dopamin D2
lebih mungkin merokok 100 kali atau lebih dalam hidupnya dan mereka lebih awal memulai
merokok dan lebih sedikit meninggalkannya.
3. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain orangtua,
saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok. Selain itu juga karena paparan iklan rokokdimedia. Orangtua sepertinya memegang peranan penting, dalam pembentukan perilaku merokok
remaja. Sebuah studi kohort terhadap siswa SMU didapatkan bahwa prediktor bermakna dalam
peralihan dari kadang-kadang merokok menjadi merokok secara teratur adalah orangtua perokok
dan konflik keluarga.
4. Faktor Regulatori
Peningkatan harga jual atau diberlakukannya cukai yang tinggi, diharapkan dapat menurunkan daya
beli masyarakat terhadap rokok. Selain itu pembatasan fasilitas merokok dengan menetapkan ruang
atau daerah bebas rokok diharapkan dapat mengurangi konsumsi. Akan tetapi kenyataannya masihterdapat peningkatan kejadian mulainya merokok pada remaja, walaupun telah banyak dibuat
usaha-usaha untuk mencegahnya.
Hasil konsensus FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) tahun 2000 tentang opiat, masalah
media dan penatalaksanaannya, menyatakan terdapat dua hal yang menjadi faktor pendukung bagi
seseorang untuk menggunakan zat aditif termasuk rokok yaitu faktor individu dan lingkungan
(Oktariani, 2006).
Faktor individu, merupakan faktor yang muncul dari dalam diri remaja. Berkaitan dengan faktor
individu, perilaku merokok remaja selalu diasosiasikan dengan ciri perkembangan mereka yakni rasa
ingin tahu, proses identifikasi agar telihat seperti dewasa dan ingin terlihat gagah (Hurlock 1993).
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
17/44
Sedangkan Erikson (Helmi&Komalasari 2006) mengungkapkan bahwa remaja mulai merokok karena
adanya krisis aspek psikososial yang dialami dalam masa proses mencari jati diri. Ketidaksesuaian
antara perkembangan psikis dan sosial menyebabkan remaja berada dalam kondisi dibawah tekanan
atau stress. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Mutadin (2002) yang mengatakan
bahwa masa remaja dikenal sebagai masa storm and stress (masa badai dan penuh stress) dimana
terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan
secara psikis yang bervariasi. Merokok menjadi alternatif pilihan mereka karena dianggap dapat
mengurangi ketegangan dan membantu relaksasi terhadap stress. Aktivitas merokok disaat stress
menjadi upaya kompensatoris dari kecemasan yang dialihkan, yang pada akhirnya merokok menjadi
aktivitas yang dapat memberikan kepuasan psikologis dan bukan semata-mata untuk mewujudkan
simbolisasi kejantanan atau kedewasaan (A.F Muchtar 2005).
Adapun faktor lingkungan, merupakan faktor eksternal yang berasal dari perilaku merokok
seseorang, terutama perilaku merokok yang ada di keluarga keluarga (orangtua atau saudara
kandung yang merokok), dan perilaku merokok teman sebaya. Selain itu, berbagai upaya dilakukan
oleh para produsen rokok untuk mempengaruhi persepsi remaja terhadap rokok yang ditampilkan
melalui iklan baik di media cetak maupun elektronik.
Berdasarkan teori-teori yang berhubungan dengan perilaku remaja terhadap rokok tersebut,
bahasan akan dipersempit dengan hanya memfokuskan pada faktor stress, dukungan keluarga,
dukungan teman dan iklan.
2.3.1 Stress
Stress merupakan respon individu dimana terjadi ketidaksesuaian antara harapan dan pencapaian
yang ditampilkan melalui perasaan secara emosional. Banyak hal yang dapat menyebabkan stress,terlambat dalam perjalanan, kecemasan akan kondisi keluarga, ataupun tugas yang sudah ditunggu
pada batas waktu akhir. Ketidakmampuan mengatasi hal tersebut dengan baik akan direfleksikan
melalui perasaan emosional seperti marah, tegang, cemas bahkan agresi. Padahal Earle
mengungkapkan bahwa stress ini merupakan pergerakan energi mobilized energy yang diperlukan
agar seseorang dapat berfikir lebih baik, sehingga dari ketidaksesuaian yang ada, seseorang dapat
menganalisa masalah dan memperbaikinya (Groenewald 2006).
Kesulitan mencari alternatif pemecahan masalah dengan baik menjadi kendala yang sering dihadapi
remaja. Kompensasi dari ketidakmampuan menyelesaikan masalah tersebut dialihkan dengan
melakukan aktivitas yang mereka anggap dapat mengurangi ketegangan yang terjadi. Merokokmenjadi pilihan karena efek relaksasi yang mereka dapatkan dari rokok, yang pada akhirnya
berdampak pada kepuasan psikologis remaja (A.F Muchtar 2005). Kepuasan psikologis yang mereka
dapatkan mendorong untuk mengulangi perilaku merokok tersebut setiap kali remaja berada dalam
tekanan (stress). Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Atkinson (1991) dalam bukunya
Psikologi Perkembangan bahwa dalam kondisi stress remaja akan cenderung untuk mengulangi
perilakuknya.
Seseorang yang berada dalam tekanan (stress) mempunyai kemungkinan 2 kali lebih besar untuk
menjadi perokok dan akan sulit untuk berhenti bahkan untuk mengatakan ingin berhenti dari
aktivitas merokok tersebut. (Brandon 2000). Brandon menambahkan bahwa terdapat beberapa caramanajemen stress yang dapat diterapkan pada remaja sehingga dapat mengurangi kemungkinan
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
18/44
remaja untuk merokok yang disebabkan demi mendapatkan ketenangan akibat dalam mengahdapi
stres. Beberapa cara tersebut diantaranya, a). Remaja tidak menghindar dari permasalahan yang
sedang dihadapi. b). Remaja lebih memperbanyak aktivitas yang positif. c) Membicarakan masalah
dengan orang yang bisa membantu dalam penyelesaian. d) Menyadari bahwa stress merupakan
bagian dari kehidupan.
2.3.2 Dukungan Keluarga
Anak-anak dengan orangtua perokok cenderung akan merokok dikemudian hari, hal ini terjadi paling
sedikit disebabkan oleh karena dua hal: Pertama, karena anak tersebut ingin seperti bapaknya yang
kelihatan gagah dan dewasa saat merokok. Kedua, ialah karena anak sudah terbiasa dengan asap
rokok dirumah, dengan kata lain disaat kecil mereka telah menjadi perokok pasif dan sesudah
remaja anak gampang saja beralih menjadi perokok aktif (Nainggolan, 2000). Bahkan dalam sebuah
studi, dari para remaja perokok ditemukan bahwa 75% salah satu atau kedua orangtua mereka
merupakan perokok (Soetjiningsih 2004).
Aditama mengungkapkan bahwa jumlah remaja perokok lima kali lebih banyak pada mereka yang
orangtuanya merokok dibandingkan dengan orangtua yang tidak merokok (Basyir, 2005). Resiko
munculnya perilaku merokok remaja didukung pula oleh perilaku merokok saudara kandung meraka.
Remaja dengan orangtua dan saudara kandung perokok memiliki kemungkinan 4 kali lipat untuk
menjadi perokok, apalagi jika mereka bersikap tidak melarang remaja untuk merokok (A.F Muchtar
2005).
Hasil penelitian Kurniawati (2003) mengenai perilaku merokok remaja di Cimahi, menerangkan
bahwa keluarga menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok remaja.
Faktor keluarga memberikan kontribusi terhadap perilaku merokok pada remaja sebesar 96,6%.Menurutnya perilaku merokok yang ditampilkan keluarga menjadikan remaja meniru perilaku
tersebut, terlebih bila merokok sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga.
2.3.3 Dukungan Teman
Pada masa remaja, pola interaksi mereka lebih banyak dihabiskan dengan teman-teman sebayanya.
Teman sebaya mempunyai peran yang sangat berarti karena pada masa tersebut remaja mulai
memisahkan diri dari orangtua dan mulai bergabung dengan teman sebaya. Kebutuhan untuk dapat
diterima sering kali membuat remaja berbuat apa saja agar dapat diterima oleh kelompoknya.
Sehingga dapatlah dimengerti bahwa remaja harus dapat menjalankan peran dan tingkah lakunya
sesuai dengan harapan kelompok agar dapat tetap bergabung menjadi anggota kelompok. Mulai
dari sikap, pembicaraan, minat dan penampilan remaja dituntut untuk sesuai dengan kelompoknya.
Demikian pula jika mayoritas kelompok memiliki kebiasaan merokok, maka setiap anggotanya mau
tidak mau akan dan harus mengikuti aktivitas tersebut tanpa memperdulikan perasaan mereka
sendiri (Hurlock 1993).
Friedman dkk dalam hurlock 1993 mengungkapkan :
Kekuasaan yang mempengaruhi anggota kelompok hampir menuntut pengawasan mutlak dari
anggota kelompok terhadap perilaku seseorang. Hanya diperlukan sedikit contoh untuk meyakinkan
setiap anggota kelompok bahwa mereka harus mengikuti keputusan kelompok, atau kalau tidak,
mereka harus menghadapi akibat yang lebih parah.
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
19/44
Berbagai fakta mengungkapkan semakin banyak remaja merokok, maka akan semakin besar
kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga. Fakta tersebut menyatakan 2 kemungkinan,
yakni remaja yang terpengaruh oleh teman-temannya, atau teman-teman remaja tersebut
dipengaruhi olehnya. Diantara remaja baik perokok maupun yang tidak merokok, 87 % memiliki satu
atau lebih sahabat yang merokok (Basyir, 2005).
Kurniawati (2003) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa lingkungan teman sebaya
memberikan sumbangan efektif sebesar 93,8% terhadap munculnya perilaku merokok pada remaja.
Dalam penelitiannya dikatakan bahwa semakin banyak dukungan teman untuk merokok dapat
mendorong seseorang untuk semakin menjadi perokok.
2.3.4 Dukungan Iklan
Untuk menjaring konsumen yang lebih banyak, para produsen rokok mempunyai cara yang handal.
Berbagai iklan baik dalam bentuk reklame, poster maupun iklan dalam media elektronik ditampilkan
dengan maksud untuk merangsang para konsumen mencoba produk yang mereka iklankan.
Berbagai istilah seperti low, light, mild pun digunakan produsen sehingga seolah-olah rokok itu aman
dan jumlah kandungan zatnya lebih rendah. Akibatnya, para perokok merasa boleh merokok bahkan
kemungkinan akan mengkonsumsi lebih banyak karena mereka menganggap rokok yang
dikonsumsinya hanya mengandung sedikit zat. Padahal sebuah studi dalam Journal of The National
Cancer Institute menyebutkan bahwa kandungan zat dalam rokok tersebut tidak berkurang
sedikitpun. Bahkan jumlah tar dan nikotin yang dihisap dalam rokok tersebut ternyata 8 kali lebih
tinggi daripada yang diiklankan (Basyir 2005).
Gambaran bahwa perokok merupakan lambang kejantanan dan glamour dengan diperankan oleh
sosok idola remaja, menarik remaja untuk menjadi seperti idolanya dan diharapkan dapat
mempengaruhi persepsi remaja tentang rokok (Kompas 2001). Bahkan Subanada (Soetjiningsih,
2004) memperkuat pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa reklame atau iklan tembakau
diperkirakan mempunyai pengaruh lebih kuat daripada pengaruh orangtua dan teman.
Selain berperan terhadap perubahan persepsi, iklan menjadi media penting bagi remaja dalam
memperolah informasi seputar rokok. Syahrir (2004) dalam penelitiannya menegaskan bahwa
sekitar 52,6% remaja mendapatkan informasi tentang rokok dari iklan terutama iklan di media
elektronik.. syahrir gi adap perubahan persepsi, iklan menjadi media remaja dalam memperolah
informasi tentang rokok yang kurang komitmen
2.4. Peran Perawat
Berdasarkan hasil konsesus keperawatan tahun 1983 dalam gafar (2000).
Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-
psiko-sosio-spiritual yang komprehensif serta ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat,
baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus manusia. Keperawatan berupa bantuan yang
diberikan karena adanya kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan pengetahuan serta
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
20/44
kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Bantuan yang diberikan
ditujukan kepada penyediaan pelayanan kesehatan utama (primary health care) dalam upaya
mengadakan perbaikan pelayanan kesehatan sehingga memungkinkan setiap orang mencapai
kemampuan hidup sehat dan produktif.
Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa perawat memiliki peran yang sangat luas dalam
menjalankan prakteknya. Dalam hal perilaku merokok, peran perawat berkaitan dengan upaya
pencegahan perilaku merokok yang sedang bergulir dewasa ini. Program pencegahan tersebut
didasarkan pada pendekatan psikososial yaitu; 1). Pendekatan pengaruh sosial dan 2). Pendekatan
melatih cara menghadapi kehidupan.Pendekatan pengaruh sosial didasarkan pada asumsi bahwa
model tersebut adalah faktor utama dalam memulai perilaku merokok dan bahwa anak-anak dan
remaja perlu diajarkan cara menahan tekanan sosial terhadap merokok.program yang didasarkan
pada pendekatan ini memfokuskan pada; a). Membantu individu menjadi waspada terhadap
pengaruh social yang mepromosikan penggunaan tembakau, dan b). Mengajarkan tehnik khusus
agar tahan terhadap pengaruh tersebut seperi peran bermain, perilaku latihan dan peer leader.
Sedangkan pedekatan melatih cara menghadapi kehidupan didasarkan pada asumsi bahwa yang
menyebabkan merokok dan penggunaan zat-zat tertentu adalah kurangnya intelegensi personal dan
sosial. Beberapa deficit personal yang bisa membuat seseorang menjadi peka terhadap penggunaan
zat-zat tertentu adalah rasa rendah diri, kurang komunikasi dan sosialisasi, kurangnya motivasi untuk
berprestasi dan kurangnya strategi untuk menghadapi stress. Program berdasarkan pedekatan ini
memberikan pelatihan pada bidang; peningkatan rasa percaya diri, ketegasan, cara bekomunikasi,
interaksi sosial, santai dalam menghadapi stress, pemecahan masalah dan membuat keputusan.
Dengan bertumpu pada program tersebut perawat dapat menjalankan peran dan fungsinya baik
sebagai health educator, provider, conselor dan fungsi lainnya.
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
21/44
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI
OPERASIONAL
A. Kerangka teori.
TingkatStres Dukungan
Keluarga,
DukunganTeman
DukunganIklan
Faktor internal:
Pendidikan
Pengalaman Usia
Faktor eksternal:
Lingkungan Sosial ekonomi Kebudayaan informasi
Perilaku remaja
terhadap rokok
PERAN
PERAWAT :
EDUKATOR
Body ImagePraktik SosialStatus EkonomiPengetahuanBudayaKebiasaanKondisi Fisik
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
22/44
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi yakni jenis penelitian yang bertujuan
untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada, seberapa eratnya hubungan tersebut,serta berarti atau tidaknya hubungan itu (Arikunto,2002). Adapun tehnik pengambilan data
dilakukan melalui pendekatan cross sectional melalui instrumen kuisioner.
3.2 Variabel
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan
oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2002). Dibagi
menjadi dua yaitu variabel dependen (yang terpengaruh) dan variabel independen (variabel bebas /
yang mempengaruhi).
Variabel independen (X) dalam penelitian ini adalah stress pada remaja, dukungan keluarga,dukungan teman dan dukungan iklan di mana kesemua item tersebut merupakan faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku remaja terhadap rokok sebagai variabel dependen (Y) dalam
penelitian ini.
47
3.3 Populasi dan Sample
3.3.1 Populasi
Populasi adalah sekumpulan objek yang menjadi pusat perhatian/ penelitian, yang daripadanya
terkandung informasi yang ingin diketahui (Gulo, 2002). Perilaku merokok dikalangan remaja
terutama terjadi pada remaja pria, sehingga penulis menetapkan bahwa populasi dalam penelitian
ini adalah siswa laki-laki di SLTP KP 10 yang berjumlah 488 orang siswa.
3.3.2 Sample
Sample adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Menurut Soekidjo
Notoatmodjo, untuk populasi yang berjumlah kurang dari 10.000, maka besar jumlah sample dapat
ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
n : besar sample N : jumlah populasi d : tingkat kekeliruan (5 %)
Jadi besar sample adalah :
= 219,8 dibulatkan menjadi 220 orang.
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
23/44
47 Adapun tehnik sampling yang digunakan adalah proportionate stratified random sampling yaitu
tehnik yang digunakan untuk menyempurnakan tehnik sampling berstrata dengan pengambilan
sampelnya seimbang atau sebanding dengan jumlah subjek masing-masing strata, dengan
menggunakan rumus menurut Notoatmodjo 2002 sebagai berikut:
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas didapatkan sample untuk tiap angkatan sebanyak :
Sample kelas I : 75 orang
Sample kelas II : 79 orang
Sample kelas III : 66 orang
Setelah didapatkan jumlah sample masing-masing angkatan, pengambilan sample dilakukan secara
acak (random) melalui sistem pengundian.
3.4 Tehnik Pengumpulan Data
3.4.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan
data (Arikunto, 2005). Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan kuisioner.
Langkah awal dalam proses pengumpulan data adalah menentukan responden atau subjek yang
akan diteliti. Berdasarkan tehnik sampling yang digunakan, subjek penelitian diambil dengan caraacak (random), yakni dengan mengundi responden berdasarkan data absensi siswa yang dikeluarkan
instansi sekolah (SMP Karya Pembangunan). Setelah di undi dan diperoleh data siswa sesuai dengan
jumlah sampel yang diperlukan tiap angkatan, siswa yang telah terpilih tersebut dikumpulkan dalam
suatu tempat terpisah untuk kemudian menjadi responden dalam penelitian.
3.4.2 Instrumen penelitian
Instrument penelitian, merupakan alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam
kegiatannya mengumpulkan data (Arikunto, 2005). Untuk variable stress instrument pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan instrument berbentuk skala, yakni sebuah pengumpul data
yang berbentuk seperti daftar cocok dengan alternative jawaban yang disediakan merupakan
sesuatu yang berjenjang. Pengkajian stress dilakukan dengan membuat pertanyaan dengan jawaban
berbentuk gradasi dari satu jenis kualitas (tingkat kualitas keseringan), dari mulai selalu, sering,
jarang dan tidak pernah. Instrument untuk mengkaji variable stress yang digunakan dalam penelitian
ini, merupakan instrument baku yang dikembangkan oleh Andrea Groenwald, yang telah di alih
bahasakan kedalam bahasa Indonesia.
Sedangkan untuk variabel dukungan keluarga, dukungan teman dukungan iklan dan perilaku remaja
terhadap rokok, instrument yang digunakan adalah angket tertutup dalam bentuk checklist, yakni
angket yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden tinggal memberikan tanda
centang / checklist () pada kolom jawaban yang sesuai (Arikunto 2005).
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
24/44
3.5 Rancangan Analisis Hasil Data Penelitian
Analisa data dilakukan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan serta untuk menguji secara statistik kebenaran dari hipotesis yang telah ditetapkan.
Adapun untuk melakukan analisis data diperlukan suatu proses yang terdiri dari beberapa tahap
antara lain :
1. Pengkodean Data (data coding)
Pengkodean dapat merupakan suatu penyusunan data mentah (yang ada dalam kuisioner) kedalam
bentuk yang mudah dibaca oleh komputer.
2. Pemindahan Data ke Komputer (data entering)
Data entering adalah memindahkan data yang telah diubah menjadi kode kedalam mesin pengolah
data. Caranya adalah dengan membuat coding sheet (lembar kode), direct entry ataupun optical
scan sheet.
3. Pembersihan Data (data cleaning)
Data cleaning adalah memastikan bahwa data yang telah masuk sesuai dengan yang sebenarnya.
Prosesnya dilakukan dengan cara possible code cleaning (melakukan perbaikan kesalahan pada kode
yang tidak jelas/ tidak munghkin ada akibat salah memasukan kode, contingency cleaning dan
modifikasi (melakukan pengkodean kembali / recode data yang asli.
4. Penyajian Data (data output)
Data output merupakan data hasil pengolahan, yang disajikan baik dalam bentuk numeric maupungrafik.
5. Penganalisisan Data (data analyzing)
Langkah selanjutnya adalah analisis data, yakni proses pengolahan data untuk melihat bagaimana
menginterpretasikan data, kemudian menganalisis data dari hasil yang sudah ada pada tahap hasil
pengolahan data. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
3.5.1 Analisa Univariat
Untuk variable stress, pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala likert, yakni denganmenganalisa seberapa sering remaja mengalami situasi / gejala yang menunjukan stress, dengan
point penilaian (3) selalu (2) sering (1) kadang-kadang (0) tidak pernah. Kemudian setelah
ditabulasikan, hasil dikategorikan berdasarkan kategori stress menurut Groenewald (2006) menjadi :
Skor antara 0 20 : stress ringan
Skor antara 20 40 : stress sedang
Skor antara 40 60 : stress berat
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
25/44
Sedangkan angket yang digunakan untuk mengukur tentang dukungan keluarga, dukungan teman
dan dukungan iklan setiap jawaban Ya diberi nilai 1 (satu), dan jawaban Tidak diberi nilai 0 (nol). Tiap
responden akan memperoleh nilai sesuai pedoman penilaian tersebut.
Analisa data untuk variable dukungan keluarga, dukungan teman dan iklan, dimana hasil ukur
dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu ada dan tidak ada, dilakukan dengan menggunakan rumus T
skor median. Adapun rumus tersebut adalah sebagai berikut :
Keterangan :
X = Skor responden pada varibel yang hendak diubah menjadi skor T
X = Mean skor kelompok
S = Deviasi standar skor kelompok
Kemudian hasil perhitungan di tafsirkan dengan kriteria :
Apabila : T 50 skor T = ada dukungan
T < 50 skor T = tidak ada dukungan
3.5.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variable yaitu variabel independent
dan dependen. Sesuai dengan tujuan penelitian maka analisa bivariat ini meliputi hubungan antara
stress pada remaja, dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung. Dalam hal ini analisa datamasing-masing variabel menggunakan uji chi square, adapun rumus uji ini adalah :
Keterangan : X Chi Square
f = Frekuensi Observasi
f = Frekuensi Harapan
Kemudian hasil X2 hitungan dibandingkan dengan X2 tabel dengan tarap signifikan 5 % dan dk = 1
dan 2 (X2 tabel = 3,481 dan 5,591). Bila hasil X2 hitungan lebih besar dari X2 tabel berarti didapatkan
hubungan signifikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa H1 diterima (berarti ada hubungan antara stresspada remaja, dukungan keluarga, dukungan teman dan iklan dengan perilaku merokok pada siswa).
Selain itu bisa juga dengan menggunakan cara probabilistic, yakni dengan menggunakan SPSS for
windows 13,0 dapat dihitung nilai P (P value), dengan taraf kesalahan 5% ( = 0.05). Jika P value 2tabel, yang berarti Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdapat Hubungan antara tingkat
stres dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP. Selain itu, untuk menolak Ho, dapat pula
dilihat dari hasil perhitungan P value, dimana P value (0,000) < (0,05). Adapun untuk melihat
tingkat keeratan hubungan tersebut, dapat dilihat dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,27
yang berarti hubungan tidak erat tapi pasti.
Data perhitungan chi-square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.
4.2.2 Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10
Bandung Tahun 2006.
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
35/44
Hasil analisis mengenai hubungan dukungan keluarga, dengan perilaku remaja terhadap rokok di
SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.2 Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP
KP 10 Bandung Tahun 2006.
Kategori Dukungan Keluarga
Perilaku Remaja Terhadap Rokok
Total
X2
P value
CC
Merokok
Tidak Merokok
F
%
f
%
F
%
2,467
0,124
0,15
Ada
49
22,27
114
51,82
163
74,09
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
36/44
Tidak Ada
11
5,00
46
20,91
57
25,91
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan tabel tabulasi silang mengenai hubungan dukungan keluarga dengan perilaku remaja
terhadap rokok di atas dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square (2 hitung) sebesar 2,467. Adapun
nilai 2 tabel dengan db 1 dan = 0,05 adalah 3,841. Hal ini menunjukan bahwa 2 hitung < 2 tabel,
yang berarti Tidak Terdapat Hubungan yang Signifikan antara dukungan keluarga dengan perilaku
remaja terhadap rokok. Nilai chi-square tersebut diperkuat dengan hasil perhitungan P value
(0,124 ) > (0,05).
Data perhitungan chi-square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.
4.2.3 Analisis Hubungan Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10
Bandung Tahun 2006.
Hasil analisis mengenai hubungan dukungan teman, dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP
KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.3 Analisis Hubungan Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP
10 Bandung Tahun 2006.
Kategori Dukungan Teman
Perilaku Remaja Terhadap Rokok
Total
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
37/44
X2
P value
CC
Merokok
Tidak Merokok
f
%
f
%
f
%
39,19
0,000
0,55
Ada
43
19,55
41
18,64
84
38,18
Tidak Ada
17
7,73
119
54,09
136
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
38/44
61,82
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan data tabulasi silang mengenai hubungan dukungan teman dengan perilaku remaja
terhadap rokok di atas dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square (2 hitung) sebesar 39,19. Adapun
nilai 2 tabel dengan db = 1 dan (0,05) adalah 3,841. Hal ini menunjukan bahwa 2 hitung > 2
tabel, yang berarti Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdapat Hubungan yang
Signifikan antara dukungan teman dengan perilaku remaja terhadap rokok. Nilai chi square tersebut
diperkuat dengan hasil perhitungan P value (0,000 ) < (0,05). Adapun untuk melihat kuatnya
hubungan tersebut, dapat dilihat dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,55 yang berarti
hubungan sedang.
Data perhitungan chi square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.
4.2.4 Analisis Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10
Bandung Tahun 2006.
Hasil analisis mengenai hubungan dukungan iklan, dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP
KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.4 Analisis Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10
Bandung Tahun 2006.
Kategori Dukungan Iklan
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
39/44
Perilaku Remaja Terhadap Rokok
Total
X2
P value
CC
Merokok
Tidak Merokok
f
%
f
%
f
%
31,538
0,000
0,50
Ada
20
9,09
8
3,64
28
12,73
Tidak Ada
40
18,18
152
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
40/44
69,09
192
87,27
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan tabulasi silang di atas mengenai hubungan dukungan iklan dengan perilaku remaja
terhadap rokok dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square (2 hitung) sebesar 31, 583. Adapun 2
tabel dengan db = 1 dan = 0,05 yakni sebesar 3,841. Dengan demikian terlihat bahwa nilai 2
hitung > 2 tabel, yang berarti Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdapat Hubungan
antara dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok. Selain itu, untuk menolak Ho, dapat
pula dilihat dari hasil perhitungan P value, dimana P value (0,000) < (0,05). Adapun untuk melihat
kuatnya hubungan tersebut, dapat dilihat dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,55 yang
berarti hubungan sedang.
Data perhitungan chi square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Pembahasan Hubungan Tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10
Bandung.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai stres, diperoleh hasil bahwa, Terdapat hubungan antara
tingkat stres dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung. Hal ini sejalan dengan
apa yang diungkapkan oleh Brandon (2000), bahwa seseorang yang berada dalam kondisi stress
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menjadi perokok, bahkan akan mengalami kesulitan
untuk berhenti dari perilakunya tersebut. Dikatakan A.F Muchtar (2005) dalam bukunya bahwa
aktivitas merokok disaat stress menjadi upaya kompensatoris dari kecemasan yang dialihkan, yang
pada akhirnya merokok menjadi aktivitas yang dapat memberikan kepuasan psikologis dan bukan
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
41/44
semata-mata untuk mewujudkan simbolisasi kejantanan atau kedewasaan. Aktivitas merokok
menjadi penyeimbang mereka dalam kondisi stress. Dengan kata lain berdasarkan pandangan
Leventhal dan Clearly (Helmi & Komalasari, 2006), kemungkinan remaja telah masuk kedalam tahap
bukan saja sebagai become a smoker tetapi telah masuk pada tahap maintenance of smoking,
dimana merokok sudah menjadi salah satu cara dalam pengaturan hidup. Seorang ahli (Brandon,
2000) mengatakan terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan remaja untuk bisa mengalihkan
kebiasaan merokok disaat stres diantaranya, a). Remaja tidak menghindar dari permasalahan yang
sedang dihadapi. b). Memperbanyak aktivitas yang positif. c) Membicarakan masalah dengan orang
yang bisa membantu dalam penyelesaian. d) Menyadari bahwa stress merupakan bagian dari
kehidupan.
4.3.2 Pembahasan Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP
KP 10 Bandung.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dukungan keluarga, didapatkan hasil bahwa Tidak Terdapat
Hubungan yang Signifikan antara Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di
SLTP Karya Pembangunan 10 Bandung. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya
yang mengungkapkan bahwa keluarga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
perilaku merokok pada remaja. Dalam penelitian ini walaupun didapatkan bahwa sebagian besar
remaja mendapatkan dukungan keluarga untuk merokok, akan tetapi tidak terdapat hubungan
antara dukungan keluarga denga perilaku remaja terhadap rokok. Begitu pula dengan apa yang
diungkapkan oleh A.F Muchtar (2005) yang mengatakan bahwa perilaku merokok remaja berkaitan
dengan dukungan dari keluarga, dimana keluarga perokok akan menyebabkan anak memiliki
kemungkinan lebih besar untuk menjadi perokok pula.
Dalam hal ini kemungkinan yang terjadi adalah terdapat faktor lain yang lebih penting yang
mendukung remaja untuk merokok. Karena, secara psikososial Mahreni (Soetjiningsih, 2004)
mengungkapkan bahwa pada periode masa remaja keterikatan remaja dengan keluarga terutama
orangtua mulai melemah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemungkinan keluarga bukan lagi menjadi role model yang
utama bagi remaja. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di luar lingkungan rumah, dan
nilai-nilai yang mereka anut lebih tertuju pada nilai yang mereka anggap ideal yang sesuai dengan
lingkungan dimana mereka biasa berkumpul.
4.3.3 Pembahasan Hubungan Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP10 Bandung.
Berdasarkan penelitian mengenai dukungan teman didapatkan bahwa Terdapat Hubungan yang
Signifikant antara Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya
Pembangunan 10 Bandung. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa
dukungan teman memberikan sumbangan efektif terhadap munculnya perilaku merokok pada
remaja sebesar (93,8%) (Kurniawati, 2003). Teman sebaya menjadi sesuatu yang sangat penting bagi
remaja. Adanya kebutuhan untuk dapat diterima dan diakui sebagai anggota kelompok menjadi
alasan mereka untuk mengikuti perilaku yang ada pada kelompok, termasuk perilaku merokok.
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
42/44
Friedman dalam Hurlock (1993) mengatakan bahwa Kekuasaan yang mempengaruhi anggota
kelompok hampir menuntut pengawasan mutlak dari anggota kelompok terhadap perilaku
seseorang. Hanya diperlukan sedikit contoh untuk meyakinkan setiap anggota kelompok bahwa
mereka harus mengikuti keputusan kelompok, atau kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat
yang lebih parah.
Dengan kata lain dapat digambarkan bahwa adaptasi atau penyesuaian perilaku remaja dengan
perilaku yang umum ada pada kelompok merupakan suatu cara agar remaja tidak berada dalam
tekanan. Karena adanya penyimpakan nilai antara remaja dengan nilai yang dianut kelompok bisa
menyebabkan remaja tidak lagi mendapatkan pengakuan sebagia anggota kelompok.
4.3.4 Pembahasan Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10
Bandung.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dukungan iklan diketahui bahwa Terdapat hubungan antara
dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan 10 Bandung.Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Subanada (Soetjiningsih, 2004) yang menjelaskan
bahwa iklan rokok mempengaruhi persepsi siswa tentang rokok. Gambaran glamour, lambang
kejantanan yang ditampilkan oleh sosok idola remaja merangsang remaja untuk mengikuti perilaku
yang diperankan sosok idola remaja tersebut yakni perilaku merokok. Handayani (2000) menjelaskan
bahwa salah satu tugas perkembangan remaja adalah memperkuat penguasaan diri atas dasar skala
nilai, dimana skala nilai tersebut diperoleh remaja melalui indentifikasi dari orang yang diidolakan
olehnya. Sehingga perilaku sang idola sangat mudah diadopsi oleh remaja, salah satunya adalah
perilaku merokok yang ditampilkan sang idola dalam iklan.
Selain itu, iklan merupakan media informasi yang baik bagi remaja. Akan tetapi, tidak semuainformasi yang remaja dapatkan memiliki nilai yang positif. sala satunya adalah istilah yang
digunakan dalam iklan ataupun kemasan rokok yang mengambarkan seolah-olah rokok merupakan
produk yang aman karena kandungan zat yang terdapat dalam rokok tersebut lebih rendah.
Sehingga pada akhirnya remaja merasa boleh untuk merokok bahkan kemungkinan mengkonsumsi
lebih banyak yang akan berdampak pada ketergantungan.
4.4 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memiliki beberapa keterbatasan antara lain;
Instrumen dalam peneltian berupa kuisioner, sehingga terdapat kemungkinan anak akan menjawab
tidak berdasarakan apa yang terjadi sesungguhnya, karena anak akan merasa takut apa yang mereka
isi diketahui pihak sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, peneliti sudah melakukan antisipasi
dengan melakukan pendekatan pada siswa dan melakukan informed concent untuk meyakinkan
siswa bahwa identitas mereka dirahasiakan.
Tidak ada instrumen yang khusus untuk mengungkap variabel yang akan diteliti. Penulis hanya
mengembangkan teori yang ada. Untuk mengantisipasi adanya instrumen yang kurang baik, penulis
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
43/44
mencoba membuat kisi-kisi instrumen terlebih dahulu, dan melakukan pengujian terhadap
instrumen yang dibuat, untuk melihat layak tidaknya istrumen digunakan dalam penelitian.
Untuk instrumen stres, dimana instrumen diadopsi dari instrumen yang dikembangkan oleh
Groenewald (dalam bentuk bahasa inggris), idealnya instrumen tersebut dikonsultasikan dengan ahli
bahasa. Sedangkan penulis hanya melakukan proses translasi sendiri oleh penulis. Akan tetapi untukmengurangi kemungkinan adanya ketidak cocokan penggunaan instrumen tersebut, penulis
mencoba mengantisipasi hal tersebut dengan melakukan uji instrumen dan mengkonsultasikan
instrumen tersebut kepada pembimbing. akan menjawab tidak berdasarakan apa yang terjadi
sesungguinstru
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 14 16 Agustus 2006 mengenai Hubungan
antara Tingkat Stress Dukungan Keluarga, Dukungan Teman dan Iklan dengan Perilaku Remaja
terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, dapat ditarik kesimpulan;
1. Hanya sebagian kecil remaja SLTP KP 10 Bandung yang teridentifikasi sebagai perokok.
2. Sebagian besar remaja SLTP KP 10 Bandung berada pada kategori stres tingkat berat.
3. Sebagian besar remaja SLTP KP 10 Bandung mendapatkan dukungan dari keluarga untuk merokok.
4. Hampir setengahnya remaja SLTP KP 10 Bandung mendapatkan dukungan dari teman untuk
merokok.
5. Hanya sebagian kecil dari remaja SLTP KP 10 Bandung yang mendapatkan dukungan iklan untuk
merokok
6. Tidak terdapat Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di
SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung. Akan tetapi sebagian besar keluarga mendukung remaja
untuk merokok.
7.
73Terdapat Hubungan yang signifikan (positif) antara Stress dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok
di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, dengan keeratan hubungan tidak erat tetapi pasti.
8. Terdapat Hubungan yang signifikan (positif) antara Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja
terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, dengan keeratan hubungan atau
cukup berarti,
7/31/2019 Hubungan Antara Tingkat Stres
44/44
9. Terdapat Hubungan yang signifikan (positif) antara Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja
terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, dengan keeratan hubungan atau
cukup berarti.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, agen sosialisasi perilaku merokok dalam penelitian ini adalah
lingkungan teman sebaya dan iklan. Selain itu perilaku merokok berkaitan juga dengan aspek
emosional yakni stress. Untuk itu saran dari penelitian ini :
5.2.1 Untuk Instansi Pendidikan (SLTP KP 10 Bandung)
Sekolah sebagai tempat remaja menghabiskan sebagian besar waktunya menjadi tempat yang baik
untuk proses transfer perilaku dari masing-masing anggota masyarakat didalamnya termasuk remaja
sebagai bagian dari masyarakat sekolah. Untuk mengantisipasi transfer perilaku negatif termasukperilaku merokok, salah satunya diperlukan kegiatan positif yang bersifat kelompok yang dapat
mengalihkan remaja dari perilaku merokok, misalnya dengan mengadakan kegiatan ekstrakulikuler
olahraga. Selain itu diperlukan peran dari dewan guru, terutama bagian bimbingan konseling untuk
memberikan bimbingan agar remaja bisa lebih disiplin dalam bergaul dan memilih teman.
Adapun dilihat dari segi emosional, remaja merokok berkaitan dengan stres, untuk itu diperlukan
adanya pembinaan suatu hubungan yang baik antara guru dan remaja, dengan harapan remaja bisa
lebih terbuka akan masalah yang dihadapinya dan guru bisa membantu remaja dalam mencari
penyelesaian dari masalah yang menimbulkan stres pada remaja. .
5.2.2 Untuk Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi maupun pelayanan
kesehatan yang komprehensif baik bio-psiko-sosial dan spiritual. Berdasarkan hasil penelitian,
didapatkan suatu kondisi dimana terdapat kecenderungan remaja mengalami stres, yang pada
akhirnya dapat berujung pada upaya kompensatoris remaja menanangi stres tersebut dengan
merokok. Sehingga, itu diperlukan upaya preventif maupun kuratif yang lebih menekankan pada
pendekatan emosional / afeksional, dengan memberikan penyuluhan maupun pelatihan mengenai
manajemen stres pada remaja, selain pendekatan kognitif berupa pemberian informasi akan bahaya
atau dampak negatif dari merokok.
5.2.3 Untuk Peneliti dan Penelitian Selanjutnya
Dalam penelitian ini tidak didapatkan faktor mana yang paling dominan yang berhubungan dengan
perilaku remaja, untuk itu diperlukan penelitian lanjutan yang mengkaji hal tersebut. Selain itu,
ditemukan bahwa tingkat stres pada remaja di SLTP KP 10 sebagian besar berada pada tingkat stres
yang berat, untuk itu diperlukan penelitian lanjutan mengenai faktor apa yang menyebabkan
tingginya tingkat stres pada remaja tersebut
Recommended