View
18
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
HUBUNGAN KONSENTRASI PM10 DAN FAKTOR LINGKUNGAN
DALAM RUMAH DENGAN KELUHAN INFEKSI SALURAN
PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI PUSKESMAS
RAWA TERATE KECAMATAN CAKUNG TAHUN 2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
RIZKI ZAHROTUL HAYATI
1113101000059
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
HUBUNGAN KONSENTRASI PM10 DAN FAKTOR LINGKUNGAN
DALAM RUMAH DENGAN KELUHAN INFEKSI SALURAN
PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI PUSKESMAS
RAWA TERATE KECAMATAN CAKUNG TAHUN 2017
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Sidang
Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh:
Rizki Zahrotul Hayati
NIM. 1113101000059
Tangerang Selatan, Januari 2017
Mengetahui,
Pembimbing
Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D
NIP. 19750316 200710 2 001
iii
PANITIA SIDANG SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Tangerang Selatan, 28 Desember 2017
Mengetahui,
Penguji I
Dr. Ela Laelasari, S.KM, M.Kes
NIP. 19721002 200604 2 001
Penguji II
dr. Yuli Prapanca Satar, MARS
NIP. 19530730 198011 1 001
Penguji III
Dr. dr. Satria Pratama, Sp.P
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan sebagai salah
satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S-1) Program Studi
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan tiruan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tangerang Selatan, Desember 2017
Rizki Zahrotul Hayati
v
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Desember 2017
RIZKI ZAHROTUL HAYATI, NIM: 1113101000059
Hubungan Konsentrasi PM10 dan Faktor Lingkungan Dalam Rumah Dengan
Keluhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Kecamatan Cakung Tahun 2017
(xix +120 halaman, 2 bagan, 27 Tabel, 8 Gambar, 3 Lampiran)
ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan
bagi negara berkembang, terutama di Indonesia. Balita merupakan kelompok
dengan kejadian ISPA tertinggi di Indonesia. Provinsi DKI Jakarta merupakan
salah satu provinsi yang angka period prevalence nya lebih tinggi dari angka
period prevalence Nasional. Kelurahan Rawa Terate merupakan daerah dimana
terdapat area perindustrian tertua di Jakarta yang bernama Kawasan Industri
Pulogadung. Keluhan ISPA dapat terjadi akibat pencemaran udara baik di dalam
ataupun di luar rumah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi
PM10 dan faktor lingkungan dalam rumah dengan keluhan ISPA pada balita di
Puskesmas Rawa Terate. Desain studi yang digunakan adalah cross sectional
dengan pendekatan kuantitatif dan dilakukan pada bulan Juli sampai September
2017. Besar sampel dalam penelitian ini yaitu 115 balita.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita yang mengalami
keluhan ISPA sebesar 79,1%. Konsentrasi PM10 berhubungan makna dengan
keluhan ISPA pada balita (p-value <0,05). PM10 merupakan partikel yang
respirable sehingga dapat memicu terjadinya ISPA. Sedangkan, beberapa variabel
lainnya tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan keluhan ISPA pada
balita (p-value >0,05). Beberapa variabel dalam penelitian ini tidak memenuhi
syarat seperti PM10, ventilasi, suhu, pencahayaan, kepadatan hunian, dan anggota
keluarga yang merokok.
Disarankan kepada masyarakat untuk meningkatkan kualitas udara dalam
rumah dengan cara sistem cross ventilation atau membuka jendela saat pagi hari
(jam 08.00 WIB) dan menutup jendela pada siang dan sore hari, memelihara
tanaman di teras dan area dapur sebagai barrier terhadap polutan, dan masyarakat
disarankan untuk tidak merokok. Untuk mengurangi paparan terhadap PM10,
masyarakat disarankan untuk menggunakan masker seperti masker biasa (face
mask/surgical mask) atau masker respirator N95 jika melakukan kegiatan di luar
rumah.
Kata Kunci: PM10, faktor lingkungan dalam rumah, keluhan ISPA, balita
Daftar Bacaan: 100 (1994-2017)
vi
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Under Graduated Thesis, December 2017
RIZKI ZAHROTUL HAYATI, NIM: 1113101000059
Relationship between Particulate Matter (PM10) Concentration and House
Environmental Factor with Acute Respiratory Infection (ARI) complaints on
Children Under Five in Rawa Terate Health Centre, Cakung Sub-district in
2017
(xix +120 pages, 2 charts, 27 tables, 8 pictures, 3 attachments )
ABSTRACT
Acute Respiratory Infection (ARI) still become health problem for
developing countries, especially in Indonesia. Children under five are the group
with the highest incidence of ARI in Indonesia. DKI Jakarta Province is one of the
provinces that have higher period prevalence of ARI than the national period
prevalence. Rawa Terate village is an area where the oldest industrial area in
Jakarta called Pulogadung Industrial Estate is located. ARI complaints can occur
due to air pollution both inside and outside the home.
This study aims to determine the relationship between PM10 concentration
and house environmental factors with ARI complaints on children under five in
Rawa Terate Health Center. The design is cross sectional with quantitative
approach and conducted from July to September 2017. The number of sample in
this research is 115 children under five.
The results showed that the proportion of ARI symptoms in children under
five was 79,1%. PM10 concentration has significant relationship with ARI
complaints on children under five relatively (p <0,05). PM10 is a respirable
particle so it can trigger the occurrence of ARI. While other variables did not
show a significant relationship with ARI complaints on children under five (p
>0.05). Some of variables in this research did not meet the legal requirements
such as PM10, ventilation, temperature, lighting, occupancy density and smoking
family members.
It is suggested to the community to improve indoor air quality by cross
ventilation system or opening windows in the morning (at 08.00 WIB) and closing
the windows during the day and evening, keep the plants on terrace and kitchen
area as a barrier to against pollutants, and people are advised not to smoke. To
reduce exposure of PM10, people are encouraged to use masks such as face
mask/surgical mask or N95 respiratory mask, when doing outdoor activities.
Keywords: PM10, house environmental factor, ARI complaints, children under
five
References: 100 (1994-2017)
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama Lengkap : Rizki Zahrotul Hayati
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 7 Mei 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Komplek Departemen Agama Jl Walisongo III
Blok D No. 105 Rt 07/15 Kel. Pabuaran Kec.
Bojonggede, Kab. Bogor 16921
Email : rizkizahrotul@gmail.com
No. Hp : 082297292187
Riwayat Pendidikan
1. TK Nurul Fajar, lulus pada tahun 2001
2. SD Negeri 04 Citayam, lulus pada tahun 2007
3. SMP Negeri 1 Depok, lulus pada tahun 2010
4. SMA Negeri 5 Depok, lulus pada tahun 2013
5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, tahun 2013-sekarang
Pengalaman Organisasi
2009-2010 Wakil Ketua Divisi Komunikasi dan Media ROHIS
SMA Negeri 5 Depok
2015-2016 Staff Pengabdian Masyarakat Ikatan Senat
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia
Daerah Jakarta Raya
2015-2016 Wakil Sekretaris ENVIHSA (Environmental Health
Student Association) UIN Jakarta
2015-2016 Volunteer Greenpeace Indonesia
2016-2017 Sekretaris ENVIHSA (Environmental Health
Student Association) UIN Jakarta
viii
Pengalaman Praktek Kerja
1. Pengalaman Belajar Lapangan di Puskesmas Kecamatan Rajeg,
Kabupaten Tangerang tahun 2016
2. Kerja Praktek di bagian Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan
BBTKLPP Jakarta tahun 2017
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Hubungan Konsentrasi PM10 dan Faktor Lingkungan
Dalam Rumah dengan Keluhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada
Balita di Puskesmas Rawa Terate Kecamatan Cakung Tahun 2017” dengan baik.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Kedua orang tua tercinta Bapak Zainuddin S.PdI dan Ibu Dra.
Sumiyati, adik Rizaldi Aziz Zain yang selalu ada dan siap membantu
serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril dan
materil, motivasi serta do’a yang tiada henti.
2. Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing skripsi yang
telah banyak memberikan arahan dan bimbingannya dalam
penyusunan skripsi ini sehingga terselesaikan dengan baik.
3. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan persetujuan
dalam permohonan izin penelitian di tempat penelitian.
4. Ibu Fajar Ariyanti M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat sekaligus Pembimbing Akademik yang telah
memberikan saran, arahan selama penyusunan skripsi.
5. Pihak Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur, Puskesmas Kecamatan
Cakung, Puskesmas Kelurahan Rawa Terate serta ibu-ibu kader yang
telah memberikan izin dan membantu dalam proses pengambilan data
penelitian.
6. Innes Alpionika, S.Si, Arin Erma Sari, Nadiah Mahmudah, Dzul
Faridah AH, S.KM, Mega Saraswati, Zidti Imaroh S.Kep yang selalu
x
memberikan do’a, dukungan, serta semangat selama penyusunan
skripsi ini.
7. Annisa Ayu SL, S.KM, Rai Syifa Fauziah, Finni Rizki Putri,
Sofiyullah, S.KM, Darmawan Abiyanto, Muhammad Farhan, Aftah
Naufal RL, dan Sani Rizky F yang telah memberikan do’a, dukungan,
serta semangat kepada penulis.
8. Seluruh teman-teman Kesehatan Masyarakat UIN angkatan 2013 dan
peminatan Kesehatan Lingkungan 2013 yang telah banyak
memberikan bantuan, semangat dan do’a dalam penyusunan skripsi
ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
dapat dijadikan sebagai bahan masukan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Aamiin.
Tangerang Selatan, Desember 2017
Rizki Zahrotul Hayati
xi
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
ABSTRACT ............................................................................................................... vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ix
DAFTAR ISI .............................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xvii
DAFTAR BAGAN ………………………………………………………………xviii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xix
DAFTAR ISTILAH ................................................................................................. xx
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 5
1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................................... 6
1.4 Tujuan .............................................................................................................. 7
1.4.1 Tujuan Umum ........................................................................................... 7
1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................................... 7
1.5 Manfaat ............................................................................................................ 8
1.5.1 Bagi Peneliti ............................................................................................. 8
1.5.2 Bagi Masyarakat ....................................................................................... 8
1.5.3 Bagi Instansi Pemerintah .......................................................................... 8
1.6 Ruang Lingkup ................................................................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 11
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ....................................................... 11
2.1.1 Pengertian ISPA ..................................................................................... 11
2.1.2 Penyebab ISPA ....................................................................................... 12
2.1.3 Klasifikasi ISPA pada Balita .................................................................. 13
2.1.4 Mekanisme Terjadinya ISPA ................................................................. 14
2.1.5 Tanda dan Gejala ISPA .......................................................................... 15
xii
2.2 Faktor Risiko ISPA ........................................................................................ 16
2.2.1 Faktor Agen ............................................................................................ 16
2.2.1.1 Agen Biologi ................................................................................. 16
2.2.1.2 Agen Fisik ..................................................................................... 16
2.2.1.2.1 Particulate Matter (PM10) ...................................................... 16
2.2.1.2.1.1 Definisi, Karakteristik, dan Sumber .................................. 16
2.2.1.2.1.2 Mekanisme Pajanan PM10 ke Tubuh Manusia .................. 17
2.2.1.2.1.3 Nilai Ambang Batas PM10 ................................................. 18
2.2.1.3 Agen Kimia ................................................................................... 18
2.2.2 Faktor Pejamu ......................................................................................... 19
2.2.2.1 Usia ............................................................................................... 19
2.2.2.2 Jenis Kelamin................................................................................ 20
2.2.2.3 Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) ................................................ 20
2.2.2.4 Status Gizi ..................................................................................... 21
2.2.2.5 Status Imunisasi ............................................................................ 22
2.2.3 Faktor Lingkungan ................................................................................. 23
2.2.3.1 Lingkungan Dalam Rumah ........................................................... 23
2.2.3.1.1 Kondisi Fisik Rumah ............................................................ 24
2.2.3.1.2 Kepadatan Hunian ................................................................. 30
2.2.3.1.3 Kegiatan Rumah .................................................................... 31
2.3 Kerangka Teori .............................................................................................. 35
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN
HIPOTESIS .............................................................................................. 37
3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 37
3.2 Definisi Operasional ...................................................................................... 39
3.3 Hipotesis ........................................................................................................ 43
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 44
4.1 Desain Penelitian ........................................................................................... 44
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................ 44
4.2.1 Tempat Penelitian ................................................................................... 44
4.2.2 Waktu Penelitian .................................................................................... 44
4.3 Populasi dan Sampel ...................................................................................... 44
4.3.1 Populasi .................................................................................................. 44
4.3.2 Sampel .................................................................................................... 45
4.3.3 Besar Sampel .......................................................................................... 45
xiii
4.3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel ........................................................ 47
4.4 Pengumpulan Data ......................................................................................... 48
4.5 Instrumen Penelitian ...................................................................................... 49
4.6 Pengolahan Data ............................................................................................ 62
4.7 Validitas Data ................................................................................................. 63
4.8 Analisis Data .................................................................................................. 63
4.8.1 Analisis Univariat ................................................................................... 63
4.8.2 Analisis Bivariat ..................................................................................... 63
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 65
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian ........................................................... 65
5.1.1 Letak Geografis ...................................................................................... 65
5.1.2 Kependudukan ........................................................................................ 66
5.2 Analisis Univariat .......................................................................................... 66
5.2.1 Gambaran Keluhan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
pada Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ............................... 66
5.2.2 Gambaran Karakteristik Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun
2017 ........................................................................................................ 67
5.2.2.1 Usia Balita .................................................................................... 67
5.2.2.2 Jenis Kelamin................................................................................ 67
5.2.2.3 Status Gizi ..................................................................................... 68
5.2.2.4 Status Imunisasi ............................................................................ 68
5.2.2.5 Status BBLR ................................................................................. 68
5.2.3 Gambaran Konsentrasi PM10 dalam Rumah di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017 .................................................................................. 69
5.2.4 Gambaran Faktor Lingkungan Dalam Rumah di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017 .................................................................................. 70
5.2.4.1 Ventilasi ........................................................................................ 70
5.2.4.2 Suhu .............................................................................................. 70
5.2.4.2 Kelembaban .................................................................................. 71
5.2.4.3 Pencahayaan ................................................................................. 71
5.2.4.4 Letak Dapur .................................................................................. 72
5.2.4.5 Lubang Asap Dapur ...................................................................... 72
5.2.4.6 Kepadatan Hunian ........................................................................ 73
5.3.4.8 Anggota Keluarga yang Merokok ................................................. 73
5.3 Analisis Bivariat ............................................................................................. 74
5.3.1 Hubungan Konsentrasi PM10 dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .............................. 74
xiv
5.3.2 Hubungan Faktor Lingkungan Dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .............................. 75
5.3.2.1 Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita .............. 75
5.3.2.2 Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA ........................................ 76
5.3.2.3 Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA ............................ 77
5.3.2.4 Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA ........................... 78
5.3.2.5 Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA ............................ 79
5.3.2.6 Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA ............... 80
5.3.2.7 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA .................. 81
5.3.2.8 Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan
ISPA ............................................................................................. 82
BAB VI PEMBAHASAN ....................................................................................... 84
6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 84
6.2 Keluhan ISPA pada Balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate .................... 84
6.3 Analisis Hubungan Konsentrasi PM10 Dalam Rumah dengan Keluhan
ISPA pada Balita ............................................................................................ 86
6.4 Analisis Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita ................. 91
6.5 Analisis Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA pada Balita ........................ 94
6.6 Analisis Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA pada Balita ............ 96
6.7 Analisis Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA pada Balita ........... 98
6.8 Analisis Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita .......... 100
6.9 Analisis Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita101
6.10 Analisis Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA pada Balita 103
6.11 Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan
ISPA pada Balita .......................................................................................... 105
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 108
7.1 Simpulan ...................................................................................................... 108
7.2 Saran ............................................................................................................ 110
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 112
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks ... 22
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian ........................................................... 39
Tabel 4.1 Besar Sampel dalam Penelitian Sebelumnya berdasarkan Faktor Risiko
Terjadinya Keluhan ISPA ..................................................................... 46
Tabel 5.1 Distribusi Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ...................................... 66
Tabel 5.2 Distribusi Usia Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ............ 67
Tabel 5.3 Distribusi Jenis Kelamin di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ....... 67
Tabel 5.4 Distribusi Status Gizi di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ............ 68
Tabel 5.5 Distribusi Status Imunisasi di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 .... 68
Tabel 5.6 Distribusi Status BBLR di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017 ......... 69
Tabel 5.7 Distribusi Konsentrasi PM10 dalam Rumah Balita di Puskemas Rawa
Terate Tahun 2017 ................................................................................ 69
Tabel 5.8 Distribusi Ventilasi di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .............. 70
Tabel 5.9 Distribusi Suhu di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 .................... 70
Tabel 5.10 Distribusi Kelembaban di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ...... 71
Tabel 5.11 Distribusi Pencahayaan di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ...... 71
Tabel 5.12 Distribusi Letak Dapur di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ...... 72
Tabel 5.13 Distribusi Keberadaan Lubang Asap Dapur di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017 ............................................................................. 72
Tabel 5.14 Distribusi Kepadatan Hunian di Puskesmas Rawa Terate Tahun
2017 ................................................................................................... 73
Tabel 5.15 Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017 ............................................................................. 73
Tabel 5.16 Hubungan Konsentrasi PM10 dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ......................... 74
Tabel 5.17 Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Tahun 2017................................................................... 75
Tabel 5.18 Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Tahun 2017................................................................... 76
xvi
Tabel 5.19 Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 77
Tabel 5.20 Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 78
Tabel 5.21 Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 79
Tabel 5.22 Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 80
Tabel 5.23 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ................................................ 81
Tabel 5.24 Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017 ......................... 82
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Penentuan titik pengukuran penerangan umum dengan luas kurang dari
10m2 ........................................................................................................ 58
Gambar 4.2 Penentuan titik pengukuran penerangan umum dengan luas antara 10 m2
sampai 100 m2 ........................................................................................ 59
Gambar 4.3 Penentuan titik pengukuran penerangan umum dengan luas lebih dari
100 m2 ..................................................................................................... 59
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kelurahan Rawa Terate Kecamatan Cakung ................... 65
Gambar 6.1 Masker biasa (face mask atau surgical mask) ........................................ 91
Gambar 6.2 Masker respirator N95 ............................................................................ 91
Gambar 6.3 Cross ventilation saat kondisi tidak memungkinkan untuk menempatkan
jendela pada dinding berhadapan ........................................................... 93
Gambar 6.4 Cross ventilation saat kondisi hanya memungkinkan penempatan jendela
pada satu dinding saja ............................................................................. 94
xviii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian ........................................................................ 36
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ..................................................................... 38
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Studi Pendahuluan dan Pengambilan Data
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Output Hasil Penelitian
xx
DAFTAR ISTILAH
AC : Air Conditioner
BB/TB : Berat Badan menurut Tinggi Badan
BB/U : Berat Badan menurut Umur
BBLR : Berat Bayi Lahir Rendah
BCG : Bacillus Calmette Guerin
CFR : Case Fatality Rate
DPT : Difteri, Pertusis, dan Tetanus
EPAM : Environmental Particulate Air Monitor
ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut
KMS : Kartu Menuju Sehat
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit
OR : Odds Ratio
PM : Particulate Matter
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
SIRS : Sistem Informasi Rumah Sakit
Susenas : Survei Kesehatan Nasional
TB/U : Tinggi Badan menurut Umur
TBC : Tuberculosis
TSP : Total Suspended Particulate
US EPA : United State Environmental Protection Agency
WHO : World Health Organization
1
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi penyebab
utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Berdasarkan data WHO
tahun 2011, ISPA menyumbang 15% penyebab kematian anak usia dibawah lima
tahun di seluruh dunia. Diperkirakan 40% dari total kematian tersebut berada di
negara berkembang yaitu Bangladesh, India, Indonesia, dan Nepal (Mathew dkk.,
2011). Di Asia Tenggara tahun 2013, ISPA menyumbang 17% penyebab kematian
anak usia dibawah lima (WHO, 2015). Sedangkan di Indonesia tahun 2013, ISPA
menyumbang 16% penyebab kematian balita akibat ISPA. Pada Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013, period prevalence ISPA di Indonesia sebesar 25%
tidak jauh berbeda dengan data Riskesdas tahun 2007 yaitu sebesar 25,5%. Selain itu,
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 kelompok umur 1-4 tahun merupakan
kelompok dengan kejadian ISPA tertinggi sebesar 25,8% (Kementerian Kesehatan
RI, 2013a).
Seseorang dikatakan mengalami ISPA bukan pneumonia apabila terdapat satu
atau lebih gejala yaitu pilek, batuk, demam, nyeri tenggorok, suara serak
(Kementerian Kesehatan RI, 2002; WHO, 2007). Keluhan ISPA yang sering muncul
yaitu batuk dan pilek. Episode batuk dan pilek pada balita di Indonesia diperkirakan
2 sampai 3 kali per tahun (Rudan dkk., 2008). Berdasarkan data Survei Kesehatan
Nasional (Susenas) tahun 2014, keluhan kesehatan yang sering dialami balita di
2
Indonesia adalah pilek (58,32%), batuk (57,62%), dan panas (53,90%) (KPPPA,
2015).
Kejadian ISPA bisa terjadi karena pencemaran kualitas udara baik di luar
ruangan maupun di dalam ruangan. Pencemaran kualitas udara memberikan dampak
yang kurang baik bagi kesehatan manusia. Pencemaran udara yang terjadi di luar
ruangan dapat pula terjadi di dalam ruangan, dikarenakan partikel polutan luar
ruangan dapat masuk ke lingkungan dalam rumah. Partikel polutan tersebut dapat
menjadi salah satu faktor risiko terhadap perkembangan penyakit pernapasan seperti
asma, bronkitis, pneumonia, dan penyakit paru obstruktif kronik (Jang dkk., 2016).
Studi United State Environmental Protection Agency (US EPA) tentang peluang
manusia terpapar polusi mengindikasikan bahwa derajat polusi udara dalam ruang
bisa dua sampai lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan polusi luar ruangan
(Kementerian Sosial, 2005).
Balita merupakan salah satu kelompok umur yang rentan terhadap masalah
kesehatan terutama ISPA. Sebagian besar (80%-90%) waktu balita setiap harinya
berada di dalam rumah, dimana terdapat pajanan polusi udara dalam rumah
diantaranya adalah PM10. Maka risiko balita tersebut terkena ISPA juga cukup tinggi.
Hal ini sejalan dengan data dari World Health Statistic (2016) bahwa polusi udara
dalam rumah dapat meningkatkan risiko terkena ISPA pada balita. Hasil penelitian
Farieda (2009), disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara PM10
dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita dengan p-value 0,000. Selain itu dari
hasil analisis diperoleh nilai OR 56,536, yang artinya PM10 diatas nilai ambang batas
(>70 µg/m3) mempunyai risiko 56,536 kali untuk terjadi ISPA pada balita
dibandingkan PM10 dibawah nilai ambang batas (≤70 µg/m3).
3
Faktor risiko lain yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada balita yaitu
faktor lingkungan dalam rumah seperti kondisi fisik rumah (ventilasi, suhu,
kelembaban, pencahayaan, letak dapur, konstruksi dinding, jenis lantai, dan lubang
asap dapur), kepadatan hunian, dan kegiatan dalam rumah (jenis bahan bakar
memasak, penggunaan obat nyamuk bakar, anggota keluarga yang terkena ISPA, dan
keberadaan hewan peliharaan dalam rumah). Berdasarkan penelitian kejadian ISPA
pada balita di Kabupaten Wonosobo, faktor lingkungan fisik rumah seperti ventilasi,
kelembaban, dinding rumah, cerobong asap, kepadatan hunian, jenis bahan bakar
masak, anggota keluarga yang merokok, anggota keluarga yang terkena ISPA, serta
adanya hewan peliharaan dirumah menunjukkan adanya hubungan bermakna dengan
kejadian ISPA pada balita (Afandi, 2012).
Angka prevalensi ISPA dalam sebulan terakhir atau period prevalence di
Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2013 adalah 25,2% dan melewati prevalensi
nasional (Kementerian Kesehatan RI, 2013b). Berdasarkan data period prevalence
ISPA menurut kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, Kota Jakarta Timur pada
tahun 2013 angka period prevalence ISPA di Kota Jakarta Timur meningkat dari
26,6% menjadi 26,9% (Kementerian Kesehatan RI, 2013b). Data hasil rekapan
tahunan di Puskesmas Kelurahan Rawa Terate menunjukkan bahwa gejala penyakit
yang paling banyak terjadi adalah ISPA dan Asma (Putri, 2012). Berdasarkan data
penyakit bulan Januari hingga Mei tahun 2017 di Puskesmas Rawa Terate, jumlah
kasus ISPA pada balita mencapai 686 kasus, dengan angka prevalens sebesar 382 per
1000 penduduk balita. Kelurahan Rawa Terate merupakan daerah dimana terdapat
area perindustrian tertua di Jakarta yaitu Kawasan Industri Pulogadung. Selain itu,
jalan raya disekitar Kelurahan Rawa Terate merupakan jalan raya yang sering
4
dilewati oleh transportasi dikarenakan jalur utama menuju kawasan industri
Pulogadung.
Semakin banyaknya industri, transportasi dan jalan raya maka akan
meningkatkan konsentrasi polutan seperti partikulat dan Total Suspended Particulate
(TSP). TSP merupakan indikator pertama yang digunakan untuk mewakili partikel
tersuspensi yang ada di udara ambien. TSP merupakan partikel yang berukuran
sampai sekitar 50 µm. Namun, di dalam TSP juga terkandung PM10 dan PM2,5 yang
dapat masuk ke paru-paru (Araújo dkk., 2014) dan diperkirakan di dalam konsentrasi
TSP terdapat 60% kandungan PM10 (Dockery dan Pope III, 1994). Berdasarkan data
pengukuran yang dilakukan oleh BPLHD Jakarta, konsentrasi TSP tertinggi pada
tahun 2015 mencapai 315 µg/m3. Sedangkan baku mutu untuk konsentrasi TSP yang
telah ditentukan oleh PP No. 41 Tahun 1999, yaitu sebesar 230 µg/m3 dan baku mutu
PM10 adalah sebesar 150 µg/m3. Jika dilihat dari konsentrasi TSP di Kelurahan Rawa
Terate pada tahun 2015 mencapai angka 315 µg/m3, dan 60% nya adalah konsentrasi
PM10 sebesar 189 µg/m3. Hal tersebut membuktikan bahwa konsentrasi TSP dan
PM10 di Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung telah melebihi baku mutu yang
telah ditetapkan dan menjadi masalah serius.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan kepada 30 responden
yang ada di Kelurahan Rawa Terate, menunjukkan bahwa sebanyak 23 responden
(76,7%) mengalami keluhan ISPA pada balita, dengan keluhan terbanyak adalah
pilek (46,7%), batuk (40%), dan demam (33,3%). Sebagian besar responden
mengalami keluhan tersebut selama 3 hari. Sedangkan, hasil studi pendahuluan untuk
lingkungan dalam rumah seperti suhu dan kelembaban rumah tidak memenuhi syarat
yang telah ditetapkan. Selain itu, sebanyak 63,3% atau 19 responden memiliki
5
hunian yang padat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anthony (2008),
variabel suhu mempunyai hubungan yang signifikan dengan gangguan ISPA pada
balita dengan nilai OR 4,49 artinya, balita yang tinggal di dalam rumah dengan suhu
tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 4,49 kali untuk terkena gangguan ISPA
dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan suhu yang memenuhi
syarat. Selain itu, hasil penelitian Anthony (2008) juga menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara variabel kepadatan hunian dengan gangguan ISPA.
Hasil analisis tersebut didapatkan nilai OR sebesar 4,57 artinya risiko menderita
gangguan ISPA pada balita yang tinggal dalam rumah yang padat huni sebesar 4,57
kali dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan kepadatan hunian
yang memenuhi syarat yaitu lebih dari 10 m2 per jiwa.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan
antara konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan dalam rumah dengan keluhan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di wilayah Puskesmas Kelurahan Rawa
Terate tahun 2017.
1.2 Rumusan Masalah
Penyakit ISPA masih menjadi masalah kesehatan bagi negara berkembang,
terutama di Indonesia. Balita merupakan kelompok umur yang banyak mengalami
gejala penyakit tersebut. Keluhan ISPA yang sering muncul adalah batuk, pilek, dan
demam. Salah satu provinsi yang masih cukup tinggi kejadian ISPA nya adalah
Provinsi DKI Jakarta, dilihat dari angka period prevalence ISPA nya yang masih
melewati period prevalence Nasional yaitu 25,2%. Kota Jakarta Timur merupakan
salah satu kota administratif di Provinsi DKI Jakarta yang mengalami peningkatan
angka period prevalence. Pada tahun 2007, period prevalence kota Jakarta Timur
6
sebesar 26,6% mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi 26,9%. Kelurahan
Rawa Terate merupakan salah satu kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan
Cakung, Jakarta Timur. Jumlah kasus ISPA pada balita di bulan Januari hingga Mei
tahun 2017 di Puskesmas Rawa Terate mencapai 686 kasus, dengan angka prevalens
sebesar 382 per 1000 penduduk balita. Kejadian ISPA di daerah Kelurahan Rawa
Terate dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu agen, host atau pejamu, dan
lingkungan. Faktor agen fisik berupa konsentrasi PM10 dapat menjadi faktor risiko
terjadinya ISPA pada balita, dikarenakan lokasi Kelurahan Rawa Terate berada dekat
dengan area perindustrian Pulogadung dan jalan raya yang dapat meningkatkan
risiko warga disekitar kawasan tersebut untuk mengalami masalah kesehatan
pernapasan. Selain itu faktor lingkungan dalam rumah seperti ventilasi, suhu,
kelembaban, pencahayaan, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian, dan
anggota keluarga yang merokok juga dapat mempengaruhi peningkatan kejadian
ISPA pada balita.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keluhan ISPA pada balita di Puskesmas Rawa Terate
tahun 2017?
2. Bagaimana gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, status gizi,
status imunisasi, dan BBLR) di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017?
3. Bagaimana gambaran konsentrasi PM10 dalam rumah balita di Puskesmas
Rawa Terate tahun 2017?
4. Bagaimana gambaran faktor lingkungan dalam rumah (suhu, kelembaban,
pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian,
dan anggota keluarga yang merokok) di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017?
7
5. Bagaimana hubungan antara konsentrasi PM10 dalam rumah dengan keluhan
ISPA pada balita di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017?
6. Bagaimana hubungan faktor lingkungan dalam rumah (suhu, kelembaban,
pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian,
dan anggota keluarga yang merokok) dengan keluhan ISPA pada balita di
Puskesmas Rawa Terate tahun 2017?
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara konsentrasi PM10 dalam rumah dan faktor
lingkungan dalam rumah dengan keluhan ISPA pada balita di Puskesmas Rawa
Terate tahun 2017.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran keluhan ISPA pada balita di Puskesmas Rawa Terate
tahun 2017.
2. Diketahuinya gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, status gizi,
riwayat imunisasi, dan BBLR) di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017.
3. Diketahuinya konsentrasi PM10 dalam rumah balita di Puskesmas Rawa
Terate tahun 2017.
4. Diketahuinya gambaran faktor lingkungan dalam rumah (suhu, kelembaban,
pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian,
dan anggota keluarga yang merokok) di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017.
5. Diketahuinya hubungan antara konsentrasi PM10 dalam rumah dengan
keluhan ISPA pada balita di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017.
8
6. Diketahuinya hubungan faktor lingkungan dalam rumah (suhu, kelembaban,
pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian,
dan anggota keluarga yang merokok) dengan keluhan ISPA pada balita di
Puskesmas Rawa Terate tahun 2017.
1.5 Manfaat
1.5.1 Bagi Peneliti
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat menambah
wawasan dan pengalaman bagi penulis mengenai PM10, faktor lingkungan dalam
rumah, dan penyakit ISPA pada balita.
1.5.2 Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat dan
keluarga balita melalui penyuluhan kesehatan tentang efek kesehatan akibat paparan
PM10, faktor lingkungan dalam rumah dan pengaruhnya terhadap kejadian ISPA pada
balita.
1.5.3 Bagi Instansi Pemerintah
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang paparan PM10 dalam rumah dan kondisi lingkungan dalam rumah sebagai
faktor risiko kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Rawa Terate, serta informasi
tentang proporsi ISPA di wilayah Puskesmas Rawa Terate sehingga informasi
tersebut dapat menjadi bahan masukan kepada pengelola program di Puskesmas
Kelurahan Rawa Terate dalam merencanakan dan mengembangkan program
pencegahan dan penanggulangan ISPA terutama pada balita.
9
1.6 Ruang Lingkup
Berdasarkan judul penelitian ini, maka ruang lingkup penelitian hanya sebatas
pada hubungan antara konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan dalam rumah dengan
keluhan ISPA pada balita di Kelurahan Rawa Terate, Kecamatan Cakung. Kejadian
ISPA pada anak balita dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam penelitian ini faktor
risiko kejadian ISPA pada balita yang diteliti adalah konsentrasi PM10 dalam rumah
dan variabel lain yang berhubungan dengan keluhan ISPA pada balita seperti
ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan
hunian, dan anggota keluarga yang merokok. Variabel lain seperti konstruksi
dinding, jenis lantai, jenis bahan bakar memasak, penggunaan obat nyamuk bakar,
dan keberadaan hewan peliharaan tidak diteliti, karena berdasarkan hasil studi
pendahuluan data tersebut homogen.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai September tahun 2017 dengan
daerah penelitian dibatasi hanya di wilayah kerja Puskesmas Rawa Terate,
Kecamatan Cakung. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional untuk mengetahui hubungan konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan dalam
rumah (suhu, kelembaban, pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur,
kepadatan hunian, dan anggota keluarga yang merokok) dengan keluhan ISPA pada
balita. Pengukuran parameter PM10, suhu, kelembaban dan pencahayaan dalam
rumah hanya dilakukan satu kali yaitu pada saat kunjungan dan dilakukan di ruangan
tempat balita sering tidur. Pengukuran PM10 dilakukan selama satu jam dengan
menggunakan alat Haz-Dust EPAM 5000, pengukuran suhu dan kelembaban
dilakukan selama 10 menit menggunakan thermohygrometer, dan untuk pengukuran
pencahayaan menggunakan lux meter. Faktor lingkungan dalam rumah lainnya
10
dilakukan dengan wawancara dan diobservasi melalui daftar pertanyaan, meliputi
pencahayaan, ventilasi, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian, dan
keberadaan anggota keluarga yang merokok. Pengukuran ventilasi serta luas lantai
rumah ataupun kamar balita saat tidur menggunakan Roll meter. Variabel faktor
pejamu dilakukan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan meliputi
umur, jenis kelamin, berat bayi saat lahir untuk mengetahui apakah bayi tersebut
BBLR, status imunisasi balita yang bersangkutan dengan melihat Kartu Menuju
Sehat (KMS), serta penentuan status gizi balita dilakukan berdasarkan antropometri
yaitu indeks BB/U dengan melihat riwayat penimbangan yang ada dalam KMS balita
tersebut.
11
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
2.1.1 Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan
atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum
penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit
yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor
lingkungan, dan faktor pejamu. Namun di dalam pedoman interim WHO tahun 2007,
ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh
agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia (WHO, 2007).
Berdasarkan Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut tahun
2011, ISPA adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran
napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga
tengah, pleura) (Kementerian Kesehatan RI, 2011a). Pada umumnya penyakit ISPA
banyak terjadi pada anak-anak, terutama balita. Balita di Indonesia rata-rata
mengalami sakit batuk dan pilek 3 sampai 6 kali pertahun (Endah dan Daroham,
2009).
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan yang bersifat akut, dan menyerang salah
satu bagian atau lebih dari saluran pernapasan mulai dari hidung (bagian atas) dan
alveoli (bagian bawah) termasuk jaringan adneksanya, biasanya menular dan dapat
12
mematikan tergantung dari patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor
pejamu.
2.1.2 Penyebab ISPA
Penyebab ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Korinebakterium. Virus penyebab
ISPA antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus,
Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain (Kementerian Kesehatan RI, 2002).
Menurut Corwin, sebagian besar ISPA disebabkan virus, meskipun bakteri
juga dapat terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi virus.
Semua jenis infeksi mengaktifkan respons imun dan inflamasi sehingga terjadi
pembengkakan dan edema jaringan yang terinfeksi. Reaksi inflamasi menyebabkan
peningkatan produksi mukus yang berperan menimbulkan ISPA, yaitu kongesti atau
hidung tersumbat, sputum berlebihan, dan pilek. Sakit kepala, demam ringan, dan
malaise juga dapat terjadi akibat reaksi inflamasi (Corwin, 2009).
Untuk menegakan etiologi ISPA pada balita sulit dilakukan karena untuk
memperoleh sediaan dahak sebagai bahan pemeriksaan sukar diperoleh. Hanya
biakan aspirat untuk membantu penetapan etiologi ISPA. Pemeriksaan spesimen
aspirat paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan
bakteri penyebab ISPA pada balita. Oleh karena itu penetapan etiologi ISPA balita di
Indonesia mengacu pada hasil penelitian di luar negeri (Depkes RI, 2002 dalam
Afandi, 2012). Menurut Lederberg dkk., bakteri adalah penyebab utama infeksi
saluran pernapasan bawah, dan Streptococcus pneumoniae di banyak negara
merupakan penyebab paling umum pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit
13
yang disebabkan oleh bakteri. Namun demikian, patogen yang paling sering
menyebabkan ISPA adalah virus, atau infeksi gabungan virus-bakteri (WHO, 2007).
2.1.3 Klasifikasi ISPA pada Balita
Dalam penentuan klasifikasi penyakit, Kementerian Kesehatan RI
membaginya berdasarkan atas dua kelompok usia, yaitu: (Kementerian Kesehatan
RI, 2002)
1. Untuk kelompok usia 2 bulan sampai <5 tahun, dibedakan dalam 3
klasifikasi, antara lain:
a. Pneumonia berat, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar
bernapas, disertai napas sesak atau adanya tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam (chest indrawing).
b. Pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas,
napas cepat sebanyak 50 kali per menit atau lebih untuk usia 2 bulan
sampai < 1 tahun, 40 kali per menit atau lebih untuk usia 1 sampai < 5
tahun.
c. Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk yang tidak
menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak
menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
2. Untuk kelompok spesimen <2 bulan, klasifikasi dibagi atas:
a. Pneumonia berat, ditandai dengan adanya napas cepat (fast
breathing), yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit
atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian
bawah ke dalam (severe chest drawing).
14
b. Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk yang tidak
menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak
menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
Dengan demikian, klasifikasi bukan pneumonia pada klasifikasi diatas
mencakup penyakit-penyakit ISPA diluar pneumonia seperti batuk, pilek bukan
pneumonia (common cold, pharyngitis, tonsillitis, otitis). Selain itu, dalam
pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) klasifikasi pada kelompok
spesimen <2 bulan adalah infeksi bakteri yang serius dan infeksi bakteri lokal
(Kementerian Kesehatan RI, 2002).
2.1.4 Mekanisme Terjadinya ISPA
Dalam proses kejadian penyakit, terutama penyakit menular seperti ISPA,
disebabkan adanya interaksi antara agen atau faktor penyebab penyakit, manusia
sebagai pejamu atau host, dan faktor lingkungan yang mendukung. Proses interaksi
ini disebabkan adanya agen penyebab penyakit kontak dengan manusia sebagai
pejamu yang rentan dan didukung oleh keadaan lingkungan (Budiarto dan
Anggraeni, 2002).
Sumber agen penyebab sakit pada ISPA adalah bakteri, virus, dan polutan
udara. Bakteri dan virus dapat berasal dari lingkungan rumah yang kurang sehat
seperti kelembaban dan ventilasi yang buruk ataupun adanya penderita ISPA
serumah. Sedangkan untuk polutan udara berasal dari polusi udara di dalam ataupun
di lingkungan sekelilingnya (WHO, 2008).
ISPA dapat ditularkan melalui transmisi kontak dan transmisi droplet.
Transmisi kontak melibatkan kontak langsung antar permukaan badan dan
perpindahan fisik mikroorganisme antara orang yang terinfeksi atau terkolonisasi dan
15
pejamu yang rentan, maupun kontak tak langsung yang melibatkan kontak antara
pejamu rentan dengan benda perantara yang terkontaminasi (misalnya, tangan yang
terkontaminasi), yang membawa dan memindahkan organisme tersebut (WHO,
2007).
Transmisi droplet ditimbulkan dari orang (sumber) yang terinfeksi terutama
selama terjadinya batuk, bersin, dan berbicara. Penularan terjadi bila droplet yang
mengandung mikroorganisme ini tersembur dalam jarak dekat (biasanya < 1m)
melalui udara dan terdeposit di mukosa mata, mulut, hidung, tenggorokan, atau
faring orang lain (WHO, 2007).
Setelah agen penyakit terdeposit maka sudah masuk ke dalam tubuh. Agen
tersebut akan menimbulkan infeksi yang mengaktifkan respons imun dan inflamasi.
Reaksi inflamasi tersebut menyebabkan peningkatan produksi mukus dan
menimbulkan batuk, pilek, dan hidung tersumbat. Apabila agen telah memasuki
saluran pernapasan bawah, maka agen dapat menimbulkan infeksi pada saluran
tersebut dan menyerang paru-paru (WHO, 2007).
2.1.5 Tanda dan Gejala ISPA
Tanda dan gejala yang biasanya muncul pada penderita ISPA bukan
pneumonia diawali dengan batuk, dan sering juga nyeri tenggorokan, pilek, demam
tidak lebih dari 7 hari, tanpa disertai gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak
menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Kementerian
Kesehatan RI, 2002, 2015; WHO, 2007). Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu
dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari (WHO, 2007).
16
2.2 Faktor Risiko ISPA
Terjadinya ISPA dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari faktor agen,
pejamu, dan lingkungan (Tosepu, 2016).
2.2.1 Faktor Agen
2.2.1.1 Agen Biologi
ISPA disebabkan oleh berbagai agen infeksius yang terdiri dari 300 lebih
jenis virus, bakteri dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA meliputi genus
Streptococcus, Pneumococcus, Haemophilus, Bordetella, dan Corynebacterium.
Virus penyebab ISPA meliputi golongan Paramixovirus (virus influenza,
parainfluenza, virus campak, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, dan virus
herpes). Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang,
penyebab tersering pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenza. Sementara itu, di negara maju, pneumonia pada anak umumnya
disebabkan oleh virus (Kementerian Kesehatan RI, 2002; Tosepu, 2016).
2.2.1.2 Agen Fisik
Selain agen biologis diatas, agen fisik seperti pencemar udara juga dapat
memicu terjadinya gangguan pernapasan. PM10 merupakan salah satu pencemar
udara yang memberikan dampak yang besar terhadap kesehatan manusia karena
bersifat respirable sehingga memicu terjadinya infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) (Pujiastuti dkk., 2013).
2.2.1.2.1 Particulate Matter (PM10)
2.2.1.2.1.1 Definisi, Karakteristik, dan Sumber
Particulate Matter (PM10) adalah polutan partikel padat yang ada di udara.
Fokus penting untuk kesehatan masyarakat adalah partikel cukup kecil yang dapat
17
terhirup sampai bagian terdalam paru-paru. Partikel ini berukuran kurang dari 10
mikron dengan tebal sekitar se per tujuh ketebalan rambut manusia dan dikenal
sebagai PM10. PM10 adalah komponen utama pencemaran udara yang mengancam
kesehatan dan lingkungan (Californian Environmental Protection Agency, 2009).
Partikulat ukuran kurang dari 10 mikron mempunyai nama lain yaitu,
PM10 sebagai inhalable particles, respirable particulates, respirable dust, dan
inhalable dust. PM10 merupakan kelompok partikulat yang mudah terhirup, karena
ukurannya maka PM10 lebih spesifik dijadikan partikulat yang respirable dan
prediktor kesehatan yang baik (Koren, 2003).
Sumber utama PM10 baik di kota maupun di desa antara lain kendaraan
bermotor, debu dari konstruksi, industri, dan debu dari tanah terbuka. PM10 adalah
campuran dari unsur-unsur yang mencakup asap, jelaga, debu, dan logam
(Californian Environmental Protection Agency, 2009). Sumber dari dalam rumah
antara lain dapat berasal dari perilaku merokok, penggunaan energi masak dari bahan
bakar biomassa, dan penggunaan obat nyamuk bakar (Kementerian Kesehatan RI,
2011b).
2.2.1.2.1.2 Mekanisme Pajanan PM10 ke Tubuh Manusia
PM10 merupakan salah satu polutan yang berbahaya. Ketika dihirup
partikel ini menembus pertahanan dari sistem pernapasan dan masuk ke dalam tubuh
dan mengendap di paru-paru. Sistem pernapasan manusia mempunyai beberapa
sistem pertahanan yang dapat mencegah masuknya partikulat ke dalam paru-paru.
Bulu-bulu hidung akan mencegah masuknya partikulat berukuran besar, sedangkan
partikulat yang berukuran lebih kecil akan dicegah masuk oleh membran mukosa
18
yang terdapat di sepanjang sistem pernapasan dan merupakan permukaan tempat
partikulat menempel (Gestrudis, 2010).
Masalah kesehatan dimulai saat tubuh mulai bereaksi dengan partikel
asing. Partikel-partikel udara yang menyebabkan iritasi mengawali terjadinya
penyakit saluran pernapasan. Tidak ada debu yang benar-benar inert (tidak merusak
paru-paru), dan pada konsentrasi tinggi semua debu bersifat merangsang dan
menimbulkan reaksi produksi lendir yang berlebihan (Gestrudis, 2010). PM10 dapat
meningkatkan jumlah dan tingkat keparahan serangan asma, menyebabkan atau
memperburuk bronkitis dan penyakit paru-paru lainnya, dan mengurangi kemampuan
tubuh untuk melawan infeksi. Meskipun PM10 dapat menyebabkan masalah
kesehatan untuk semua orang, orang-orang tertentu sangat rentan terhadap efek
merugikan dari PM10 ini. Pejamu rentan tersebut termasuk balita, anak-anak, orang
tua, dan orang yang menderita asma atau bronkitis. Studi terbaru menyebutkan
bahwa hubungan paparan PM10 dengan kematian dini pada orang yang telah
memiliki penyakit hati dan penyakit paru-paru, terutama orang tua (Californian
Environmental Protection Agency, 2009)
2.2.1.2.1.3 Nilai Ambang Batas PM10
Nilai ambang batas (NAB) PM10 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan
Udara Dalam Ruang Rumah adalah sebesar ≤70 µg/m3 (Kementerian Kesehatan RI,
2011b).
2.2.1.3 Agen Kimia
Agen kimia merupakan unsur dalam bentuk senyawa kimia yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan atau penyakit tertentu. Unsur-unsur ini pada
19
umumnya berasal dari luar tubuh. Bentuk agen kimia dapat berupa padat, cair, dan
gas (Noor, 2008). Beberapa contoh agen kimia yang dapat masuk ke dalam tubuh
dengan cara inhalasi antara lain zat kimia dalam bentuk gas (COX, SOX), uap (uap
bensin), debu mineral (asbestos), dan partikel di udara (zat-zat alergen) (Nuning
dkk., 2006).
Agen kimia seperti gas COX jika terhirup akan dapat terikat dengan
hemoglobin darah, lebih kuat dibandingkan dari oksigen membentuk
karboksihemoglobin (COHb), sehingga menyebabkan terhambatnya pasokan oksigen
ke jaringan tubuh. Pajanan CO diketahui dapat mempengaruhi kerja jantung (sistem
kardiovaskuler), sistem syaraf pusat, juga janin, dan semua organ tubuh yang peka
terhadap kekurangan oksigen. Pengaruh CO terhadap sistem kardiovaskuler cukup
nyata teramati walaupun dalam kadar rendah. Penderita penyakit jantung dan
penyakit paru merupakan kelompok yang paling peka terhadap pajanan CO
(Tugaswati, 2008).
2.2.2 Faktor Pejamu
2.2.2.1 Usia
Balita mempunyai risiko lebih besar untuk terkena ISPA. Faktor risiko
balita terkena ISPA terutama pneumonia, jika dilihat berdasarkan usia yaitu usia
balita <2 bulan memiliki risiko lebih tinggi terkena ISPA dibandingkan dengan balita
dengan usia 2 bulan sampai dengan 5 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2002).
Hasil analisis faktor risiko membuktikan bahwa usia merupakan salah satu faktor
risiko penyebab terjadinya kematian pada balita yang sedang menderita pneumonia.
Semakin tua usia balita yang menderita pneumonia, semakin kecil risiko meninggal
20
akibat pneumonia dibanding balita dengan usia muda (Djaja, 1999 dalam Afandi,
2012).
Dalam 6 bulan pertama kehidupan, antibodi ibu yang ditularkan ke bayi
berfungsi sebagai sumber perlindungan terhadap beberapa virus, salah satunya virus
ISPA. Penyapihan akan mempengaruhi terjadinya defisiensi nutrisi dan kerentanan
terhadap infeksi, termasuk ISPA. Angka insidens ISPA tertinggi juga ditemukan
pada anak usia 2-3 tahun, dan kemungkinan karena paparan dari faktor lingkungan
(Ramani dkk., 2016).
2.2.2.2 Jenis Kelamin
Dalam pedoman pemberantasan penyakit ISPA tahun 2002, laki-laki
mempunyai faktor risiko lebih tinggi terkena ISPA dibandingkan perempuan
(Kementerian Kesehatan RI, 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian Ramani dkk
(2016), laki-laki (OR=2,41) lebih rentan terkena ISPA dibandingkan dengan
perempuan (OR=0,41). Kemungkinan alasannya adalah karena anak laki-laki lebih
banyak menghabiskan waktu di luar rumah dibandingkan anak perempuan, sehingga
memungkinkan mereka lebih rentan terhadap tertularnya partikel yang ada di udara
(Ramani dkk., 2016). Selain itu, diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih
kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dari daya tahan
tubuh anak laki-laki dan perempuan (Sunyataningkamto dkk., 2004)
2.2.2.3 Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
BBLR menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada
masa balita. Bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko
kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama
pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang
21
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama sakit saluran
pernapasan lainnya (Farieda, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Husin dan Suratini (2014) di
Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta menunjukkan bahwa terdapat hubungan berat
badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita dengan p-value sebesar 0,024.
2.2.2.4 Status Gizi
Status gizi anak usia bawah lima tahun merupakan indikator kesehatan publik
yang secara internasional dikenal untuk memonitor kesehatan dan status gizi
penduduk. Ada tiga indikator status gizi anak balita antara lain berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badat badan menurut
tinggi badan (BB/TB). Berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB dan baku antropometri
WHO tahun 2006, ditetapkan sebagai status gizi anak (LPEM FEUI, 2009).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menetapkan kategori dan ambang batas
yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi anak berdasarkan indeks,
sebagai berikut: (Kementerian Kesehatan RI, 2010)
22
Status gizi berpengaruh pada kesehatan balita. Apabila balita mengalami
gizi buruk, maka dia akan lebih rentan terkena penyakit. Hal ini dikarenakan
menurunnya daya tahan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal,
sampai pada kematian yang akan menurunkan kualitas generasi muda mendatang
(Krisnansari, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Ramani dkk., menyebutkan
bahwa Case Fatality Rate (CFR) ISPA pada anak dengan gizi buruk 27 kali lebih
tinggi (14,5%) dibandingkan dengan anak normal (0,6%) (Ramani dkk., 2016).
2.2.2.5 Status Imunisasi
Imunisasi adalah usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan
memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah
terhadap penyakit tertentu (Hidayat, 2008). Imunisasi juga penting untuk
menurunkan angka kematian anak usia bawah lima tahun. Imunisasi dasar lengkap
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak
Berdasarkan Indeks
Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2010
23
meliputi BCG, tiga kali polio, tiga kali DPT, tiga kali hepatitis B, dan campak
(LPEM FEUI, 2009).
Bayi telah mendapatkan imunisasi campak diharapkan dapat terhindar dari
penyakit campak dan pneumonia. Pneumonia merupakan komplikasi yang paling
sering terjadi pada anak yang mengalami penyakit campak. Selain imunisasi campak,
imunisasi DPT mencegah terjadi penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Menurut
UNICEF-WHO, pemberian imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat
menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi penyakit pertusis. Pertusis dapat
diderita oleh semua orang tetapi penyakit ini lebih serius bila terjadi pada bayi
(Hartati dkk., 2012).
2.2.3 Faktor Lingkungan
2.2.3.1 Lingkungan Dalam Rumah
Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal
yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya, serta aset bagi pemiliknya (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Pada
umumnya, rumah merupakan tempat tersering seseorang menghabiskan waktu untuk
melakukan kegiatan di dalam rumah sehingga rumah menjadi sangat penting sebagai
lingkungan mikro yang berkaitan dengan risiko dari pencemaran udara. Pencemaran
udara akan mengakibatkan kualitas udara menjadi buruk dalam ruang rumah dan
dapat menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain ISPA (Kementerian Kesehatan
RI, 2011b). Lingkungan dalam rumah dapat menjadi faktor risiko terjadinya suatu
penyakit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Penyakit Menular
dalam Cermin Dunia Kedokteran Nomor 70 Tahun 1991 tentang pengaruh
lingkungan terhadap penyakit ISPA menyatakan bahwa faktor polusi yang
24
berpengaruh antara lain jumlah orang yang merokok, jumlah rokok yang dihisap,
masuknya asap dapur ke dalam ruangan keluarga, ventilasi rumah yang tidak baik,
jarak antara rumah dengan bengkel las/tempat sampah. Keadaan lingkungan dapat
mempengaruhi episode kejadian ISPA pada anak (Endah dan Daroham, 2009).
2.2.3.1.1 Kondisi Fisik Rumah
a. Ventilasi
Ventilasi adalah tempat pertukaran udara dari dalam ke luar ataupun
sebaliknya. Ventilasi rumah berfungsi menjaga agar aliran udara di dalam
tetap segar berarti keseimbangan O2 yang diperlukan penghuni akan terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan O2 rendah, dan CO2 tinggi di dalam
rumah (ventilasi berbanding lurus dengan kelembaban). Fungsi ventilasi
yang lain adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri patogen,
dan agar ruangan rumah selalu dalam kelembaban yang optimum
(Notoatmodjo, 2007).
Pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikroorganisme, yang mengakibatkan gangguan
terhadap kesehatan manusia, seperti gangguan pernapasan. Untuk mengatur
pertukaran udara agar udara dalam rumah tetap segar, maka ventilasi harus
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam
Ruang Rumah antara lain: (Kementerian Kesehatan RI, 2011b)
1. Ventilasi minimal 10% luas lantai dengan sistem ventilasi silang.
25
2. Jika rumah ber-AC (Air Conditioner), pemeliharaan AC dilakukan
secara berkala, serta harus melakukan pergantian udara dengan
membuka jendela minimal pada pagi hari secara rutin.
3. Mengatur tata letak ruang dan ventilasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Suryani dkk (2015), menunjukkan
adanya hubungan lemah antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada
balita dengan nilai p<0,05 (0,000) dan nilai Cc=0,359. Penelitian tersebut
sesuai dengan teori Notoatmodjo tentang rumah yang ventilasinya tidak
memenuhi syarat kesehatan akan mempengaruhi kesehatan penghuni
rumah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian ISPA lebih tinggi
terjadi pada rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan
(84.7%) dibandingkan rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan (48.9%) (Suryani dkk, 2015).
b. Suhu
Suhu optimum ruang berkisar 18oC sampai 30 oC (Kementerian
Kesehatan RI, 2011b). Kondisi suhu yang terlalu rendah atau terlampau
tinggi akan bisa mempengaruhi kondisi udara dalam ruangan akibat dari
pergerakan atau pertukaran udara yang tidak berjalan dengan baik (Afandi,
2012). Suhu yang rendah pada musim dingin dapat meningkatkan viskositas
lapisan mukosa pada saluran napas dan mengurangi gerakan silia, sehingga
meningkatkan penyebaran virus influenza di saluran napas (Sinaga, 2012)
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anthony (2008) dan
Anggraeni (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara suhu dalam
ruang dengan kejadian ISPA pada balita. Sebaliknya, penelitian Farieda
26
(2009) menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara suhu dalam ruang
dengan kejadian ISPA pada balita. Dengan nilai OR < 1, sehingga dapat
dikatakan suhu dalam ruang merupakan faktor pengurang risiko dalam
hubungannya dengan kejadian ISPA pada balita.
c. Kelembaban
Kelembaban adalah persentase jumlah air di udara atau uap air dalam
udara. Kelembaban yang dipersyaratkan berdasarkan Permenkes No. 1077
tahun 2011 dalam Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang adalah 40% -
60% Rh. Kelembaban yang tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikroorganisme (Kementerian Kesehatan RI,
2011b). Dalam buku Current Air Quality Issue, peningkatan kelembaban
akan meningkatkan pertumbuhan jamur dan paparannya dapat
menyebabkan asma dan kondisi pernapasan lainnya. Selain itu, peningkatan
kelembaban relatif diatas 70% juga cenderung meningkatkan kelangsungan
hidup virus yang menginfeksi saluran pernapasan (Ana dan Morakinyo,
2015).
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anggraeni (2006) dan Afandi
(2012) menunjukkan adanya hubungan antara kelembaban dalam ruang
dengan kejadian ISPA pada balita. Sedangkan, pada penelitian yang
dilakukan oleh Anthony (2008) di Kabupaten Karimun menunjukkan tidak
adanya hubungan antara kelembaban udara dalam ruang dengan kejadian
ISPA pada balita. Namun, hasil nilai OR > 1 (2,45) menunjukkan bahwa
kelembaban udara merupakan faktor risiko terjadinya ISPA pada balita.
d. Pencahayaan
27
Pencahayaan dalam ruang rumah diusahakan agar sesuai dengan
kebutuhan untuk melihat benda sekitar dan membaca berdasarkan
persyaratan minimal 60 Lux. Cahaya yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan (Kementerian Kesehatan RI,
2011b).
Pencahayaan alami adalah penerangan rumah secara alami oleh sinar
matahari melalui jendela, lubang angin dan pintu dari arah timur di pagi hari
dan barat di sore hari. Pencahayaan alami sangat penting dalam menerangi
rumah untuk mengurangi kelembaban. Rumah yang sehat harus mempunyai
jalan masuk cahaya matahari dari arah barat dan timur sekurang-kurangnya
15%-20% dari luas lantai yang terdapat di dalam rumah (Wattimena, 2004
dalam Suryani dkk., 2015).
Cahaya matahari mempunyai sinar ultraviolet pada panjang gelombang
253,7 nm bisa membunuh kuman, bakteri, virus, serta jamur yang dapat
menyebabkan infeksi, alergi, asma maupun penyakit lainnya. Sinar
ultraviolet akan merusak DNA mikroba (kuman, bakteri, virus maupun
jamur) sehingga DNA mikroba menjadi steril. Jika mikroba terkena sinar
ultraviolet, maka mikroba tidak mampu bereproduksi dan akhirnya mati
(Sari dkk., 2014)
e. Letak Dapur
Dapur berfungsi sebagai tempat untuk memasak. Kegiatan pada proses
memasak berhubungan dengan panas, asap, dan debu, sehingga dapur
mempunyai peran penting dalam memengaruhi kualitas udara dalam ruang
(Afandi, 2012; Pramayu, 2012).
28
Dalam area penelitian yang dilakukan oleh Ramani dkk., (2006),
58,25% rumah tangga memiliki status rumah yang tidak memadai. Tidak
adanya pemisah dapur atau sekat di rumah, dan kurang memadainya dapur
dan kamar mandi sehingga asap menumpuk di dalam ruangan. Hal ini
mempengaruhi daerah pertahanan dari sistem pernapasan anak-anak, karena
mereka tinggal lebih lama di dalam ruangan dan meningkatkan kerentanan
terhadap ISPA.
Dalam penataan ruangan di dalam rumah yang paling utama adalah
jumlah ruangan sesuai dengan kebutuhan dan bagaimana meletakkan posisi
dapur sehingga tidak menyebabkan asap dari dapur masuk ke ruangan lain
dalam rumah. Asap dapur sapat menyebabkan terjadinya gangguan saluran
pernapasan dan gangguan penglihatan (Farieda, 2009).
f. Konstruksi Dinding
Dinding rumah masyarakat di Indonesia terdiri dari berbagai jenis, ada
yang terbuat dari anyaman bambu, papan kayu, dan bersifat permanen
(plester). Untuk dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu atau
papan kayu masih dapat ditembus oleh udara, secara penghawaan akan
bagus namun dapat meningkatkan kelembaban ruang dan tidak menjamin
dari segi kebersihan. Debu yang terbawa menjadi media yang baik untuk
mikroorganisme menempel dan berkembang, sehingga berpotensi
menimbulkan gangguan pada kesehatan terutama pernapasan (Anthony,
2008; Sinaga, 2012). Konstruksi dinding yang baik adalah dinding rumah
yang kedap air serta mudah dibersihkan, konstruksi kuat, serta tidak
berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan.
29
g. Jenis Lantai
Beberapa ketentuan jenis lantai diantaranya bahan bangunan tidak boleh
terbuat dari bahan-bahan yang mudah terlepas, zat-zat yang membahayakan
kesehatan serta tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh
kembangnya mikroorganisme patogen serta lantai harus kedap air dan
mudah dibersihkan serta bersifat permanen (plester) (Afandi, 2012). Rumah
yang memiliki jenis lantai keramik atau ubin cenderung lebih baik karena
mudah dibersihkan dan tidak lembab. Sebaliknya lantai yang hanya di cor,
cenderung lembab, tidak kedap air, dan bisa menjadi tempat berkembang
biaknya bakteri atau virus penyebab ISPA (Pangemanan dkk., 2016).
Lantai yang berdebu dan basah dapat menjadi sarang penyakit serta
menyebabkan gangguan kesehatan. Debu yang dihasilkan dari lantai bisa
terhirup dan menempel pada saluran pernapasan yang apabila terakumulasi
dapat menyebabkan elastisitas paru menurun dan kesulitan dalam bernapas.
Selain itu, lantai tanah diketahui dapat menyebabkan kelembaban udara
dalam rumah menjadi meningkat dan dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme patogen (Halim, 2012).
h. Lubang asap dapur
Survei lingkungan oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 2003 di 6
desa, ditemukan proporsi responden yang menggunakan kayu bakar masih
banyak (>50%). Sedangkan data Riskesdas 2010 menunjukan 64,2%
masyarakat di pedesaan masih menggunakan kayu bakar, arang, dan
lainnya sebagai bahan bakar untuk memasak. Dengan kondisi tersebut
30
sudah semestinya ventilasi atau cerobong pembuangan asap mutlak harus
ada untuk menjaga kebersihan udara dalam ruang (Afandi, 2012).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, dapur
yang sehat harus memiliki lubang asap dapur. Di perkotaan, dapur sudah
dilengkapi dengan penghisap asap. Lubang asap dapur menjadi sangat
penting artinya karena asap dapat mempunyai dampak terhadap kesehatan
manusia terutama penghuni di dalam rumah. Lubang asap rumah yang tidak
memenuhi persyaratan menyebabkan gangguan terhadap pernapasan dan
mungkin dapat merusak alat-alat pernapasan, lingkungan rumah menjadi
kotor dan gangguan terhadap penglihatan/mata menjadi pedih.
2.2.3.1.2 Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Notoatmodjo, (2003) dalam
Farieda, 2009). Persyaratan kepadatan hunian dalam rumah menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan
Kesehatan Rumah, yaitu satu orang minimal menempati luas rumah 8 m2.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi
dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna
antara kepadatan hunian rumah dengan kematian oleh karena bronkopneumonia
pada bayi tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan
memberikan korelasi yang tinggi pada faktor ini (Gestrudis, 2010). Banyak rumah
yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi apabila penggunaannya
tidak sesuai dengan peruntukannya maka akan terjadi gangguan. Penularan
31
penyakit khususnya melalui udara akan semakin cepat jika kepadatan semakin
tinggi (Achmadi, 2008 dalam Sinaga, 2012).
2.2.3.1.3 Kegiatan Rumah
a. Jenis Bahan Bakar Memasak
Penggunaan bahan bakar padat sebagai energi untuk memasak dengan
tungku sederhana/kompor tradisional, khususnya di daerah pedesaan pada
negara-negara berkembang akan menimbulkan pencemaran udara dalam
ruang. Bahan bakar tersebut menghasilkan polutan dalam konsentrasi tinggi
dikarenakan terjadi proses pembakaran yang tidak sempurna. Keadaan
tersebut akan memperburuk kualitas udara dalam ruang rumah apabila
kondisi rumah tidak memenuhi syarat fisik, seperti ventilasi yang kurang
memadai, serta tidak adanya cerobong asap di dapur. Gangguan kesehatan
akibat pencemaran udara dalam ruang rumah sebagian besar terjadi di
perumahan yang cenderung menggunakan energi untuk memasak dengan
energi biomasa (Kementerian Kesehatan RI, 2011b).
b. Penggunaan Obat Nyamuk
Obat nyamuk terdiri dari berbagai macam jenis, yaitu bakar, semprot,
elektrik, dan oles. Adapun obat nyamuk yang dapat menimbulkan risiko
terbesar terhadap saluran pernapasan adalah obat nyamuk bakar. Untuk obat
nyamuk semprot, cairan insektisida tersebut berubah menjadi gas setelah
dilepaskan sehingga tidak menimbulkan asap yang berlebihan yang dapat
menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan (Halim, 2012).
Sedangkan, obat nyamuk elektrik lebih kecil lagi menimbulkan asap, karena
bekerja dengan cara mengeluarkan asap tapi dengan daya elektrik. Sehingga
32
makin kecil dosis bahan zat aktif, makin kecil pula bau yang ditimbulkan
dan makin minim pula kemungkinan mengganggu kenyamanan manusia
(Sinaga, 2012).
Komponen yang ada dalam kumparan obat nyamuk bakar adalah
organic filler, bahan pengikat, zat pewarna dan material tambahan yang
dapat terbakar. Pembakaran dari material tersebut akan menghasilkan
partikel submikrometer dalam jumlah besar dan polutan gas. Partikel
submikrometer bisa mencapai saluran pernapasan bagian bawah dan dapat
terlapis oleh berbagai senyawa organik, beberapa diantara senyawa itu pun
bersifat karsinogen dan diduga karsinogen, seperti Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAHs) dihasilkan melalui pembakaran tidak sempurna dari
biomassa (material dari kumparan obat nyamuk bakar) (Liu dkk., 2003).
c. Anggota Keluarga yang Merokok
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang 70 hingga 120 mm
(bervariasi) dengan diameter sekitar 10 mm, di dalamnya berisi tembakau
yang telah dicacah (Andriyani, 2011). Rokok mengandung zat berbahaya
bernama nikotin, yaitu zat yang berasal dari daun tembakau. Nikotin
merupakan zat yang dapat membuat seseorang perokok kecanduan. Di
dalam tubuh nikotin dengan dosis rendah berdampak pada gangguan saluran
pernapasan (Sukmana, 2009). Tidak hanya nikotin, di dalam rokok juga
terkandung berbagai jenis racun lain yang berdampak pada kesehatan
seperti tar dan karbon monoksida. Tar dapat mengiritasi saluran pernapasan.
Karbon monoksida dapat menempel pada sel darah merah sehingga
mengurangi kemampuan darah dalam membawa oksigen (Ayudhitya dan
33
Tjuatja, 2014). Akibat merokok yang parah adalah flek hitam di paru-paru
(Sukmana, 2009). Selain itu, merokok memiliki efek samping besar pada
sistem kekebalan tubuh, baik lokal (seperti di saluran pernapasan dan
jaringan lunak di paru-paru) dan di seluruh tubuh (Bellew dkk., 2015).
Perokok aktif adalah orang yang merokok, sedangkan perokok pasif
adalah sebutan bagi orang yang menghirup asap rokok atau tembakau dari
orang lain. Perokok aktif maupun pasif yang terpapar asap rokok akan
meningkatkan risiko terjadinya infeksi (Arcavi dan Benowitz, 2017). Asap
rokok yang dihirup oleh perokok pasif, sama bahayanya dengan rokok dan
asap yang dihirup oleh perokok aktif. Karenanya, penyakit perokok pasif
hampir sama dengan penyakit yang diderita oleh perokok aktif. Di rumah,
risiko perokok pasif seperti anak-anak dan wanita hamil juga besar.
Penyakit perokok pasif yang mungkin dapat terjadi pada mereka adalah
infeksi telinga dan gangguan pernapasan (asma, bronkitis, dan pneumonia
pada anak), gangguan kehamilan dan janin (lahir prematur, cacat fisik, serta
gangguan fungsi jantung dan sistem pernapasan bayi), serta ancaman
penyakit jantung koroner (Thayyarah dan Semesta, 2013).
d. Anggota Keluarga yang mengalami ISPA
ISPA dapat ditularkan melalui kontak langsung ataupun tidak langsung
dan droplet. Kontak langsung melibatkan kontak antar permukaan badan
dan perpindahan fisik mikroorganisme antara orang yang terinfeksi dan
pejamu yang rentan, maupun kontak tak langsung yang melibatkan kontak
antara pejamu rentan dengan benda perantara yang terkontaminasi
(misalnya, tangan yang terkontaminasi), yang membawa dan memindahkan
34
organisme tersebut (WHO, 2007). Penularan melalui droplet terjadi bila
droplet yang mengandung mikroorganisme ini tersembur dalam jarak dekat
(biasanya <1m) melalui udara dan terdeposit di mukosa mata, mulut,
hidung, tenggorokan, atau faring orang lain (WHO, 2007).
Setelah agen penyakit terdeposit maka sudah masuk ke dalam tubuh.
Agen tersebut akan menimbulkan infeksi yang mengaktifkan respons imun
dan inflamasi. Reaksi inflamasi tersebut menyebabkan peningkatan
produksi mukus dan menimbulkan batuk, pilek, dan hidung tersumbat.
Apabila agen telah memasuki saluran pernapasan bawah, maka agen dapat
menimbulkan infeksi pada saluran tersebut dan menyerang paru-paru
(WHO, 2007).
Penelitian tentang hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian
ISPA pada balita di Kabupaten Wonosobo tahun 2012 menunjukkan bahwa
hubungan antara anggota keluarga yang sakit ISPA dengan kejadian ISPA
secara statistik bermakna dengan nilai p 0,0019 (95% CI: 1,179-1,708) dan
memiliki nilai OR 1,42 yang berarti adanya anggota keluarga lain yang
menderita ISPA berisiko menyebabkan kejadian ISPA pada Balita 1,42 kali
dibandingkan dengan yang tidak terdapat anggota keluarga lain yang
menderita ISPA (Afandi, 2012).
e. Keberadaan Hewan Ternak/Peliharaan
Keberadaan hewan peliharaan di lingkungan rumah memungkinkan
tersebarnya spora mikroorganisme yang berasal dari permukaan atau bulu-
bulu hewan dan kotoran hewan tersebut mencemari udara dalam rumah
(Afandi, 2012). Hasil penelitian Ramani dkk., (2016) menunjukkan bahwa
35
kejadian ISPA tinggi pada rumah yang memiliki hewan peliharaan.
Hubungan ini terkait dengan reaksi alergi dari sistem pernapasan terhadap
bulu dari hewan peliharaan.
2.3 Kerangka Teori
Kerangka teori dibuat berdasarkan hasil kajian teori, studi kepustakaan dan
hasil penelitian terdahulu, Californian Environmental Protection Agency (2009),
Tosepu (2016), Pujiastuti, Soemirat dan Dirgawati (2013), Kementerian
Kesehatan RI (2011), dan Nuning dkk., (2006) menjelaskan bahwa faktor risiko
ISPA dari faktor agen terdiri dari agen biologis, fisik, dan kimia serta sumber
dari agen tersebut dapat menimbulkan risiko keluhan ISPA. Untuk faktor pejamu
antara lain usia (Afandi, 2012; Ramani dkk., 2016), jenis kelamin (Ramani dkk.,
2016), status gizi (Krisnansari, 2010), status imunisasi (Hidayat, 2008; LPEM
FEUI, 2009), dan BBLR (Farieda, 2009) dapat memengaruhi terjadinya keluhan
ISPA pada balita.
Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap terjadinya keluhan ISPA pada
balita adalah lingkungan dalam rumah yang terdiri dari kondisi fisik rumah
(ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, letak dapur, konstruksi dinding, jenis
lantai, dan lubang asap dapur), kepadatan hunian, dan kegiatan dalam rumah
(jenis bahan bakar memasak, penggunaan obat nyamuk bakar, anggota keluarga
yang merokok, anggota keluarga yang mengalami ISPA, dan keberadaan hewan
peliharaan). Maka dapat dirumuskan suatu kerangka teori dari penelitian ini.
Kerangka teori tersebut adalah sebagai berikut:
36
Sumber: (Californian Environmental Protection Agency, 2009), (Tosepu, 2016), (Pujiastuti dkk., 2013), (Kementerian Kesehatan RI,
2011b), (Nuning dkk., 2006), (Afandi, 2012), (Ramani dkk., 2016), (Krisnansari, 2010), (LPEM FEUI, 2009), dan (Farieda,
2009)
Agen Kimia Gas COX dan SOX,
uap bensin,
asbestos, dan zat
alergen
Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Agen Biologi Bakteri, virus
Agen Fisik Partikulat debu
(PM10)
Keluhan
Infeksi
Saluran
Pernapasan
Akut (ISPA)
pada Balita
Kegiatan Dalam
Rumah
Keberadaan hewan
peliharaan
Anggota keluarga
yang mengalami
ISPA
Faktor Pejamu
Usia
Jenis kelamin
Status gizi
Status Imunisasi
BBLR
Faktor Lingkungan
Dalam Rumah
Kondisi Fisik Rumah
Ventilasi
Suhu
Kelembaban
Pencahayaan
Letak dapur
Konstruksi dinding
Jenis lantai
Lubang asap dapur
Kepadatan Hunian
Kegiatan Dalam
Rumah
Jenis bahan bakar
memasak
Penggunaan obat
nyamuk bakar
Anggota Keluarga
yang Merokok
Sumber luar rumah
Kendaraan bermotor
Debu konstruksi
Industri
Debu dari tanah
terbuka
37
3 BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini mengacu kepada kerangka teori pada pembahasan
sebelumnya dimana terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan keluhan ISPA
pada balita, yaitu faktor agen, pejamu, dan lingkungan dalam rumah. Faktor agen
berupa agen biologi, agen fisik, dan agen kimia. Faktor pejamu terdiri dari usia, jenis
kelamin, status gizi, status imunisasi, dan BBLR; kemudian faktor lingkungan dalam
rumah yang terdiri dari jenis lantai, kontruksi dinding, kepadatan hunian rumah,
ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, lubang asap dapur, jenis bahan bakar
masak, penggunaan obat nyamuk bakar, anggota keluarga yang merokok, anggota
keluarga yang mengalami ISPA, dan keberadaan hewan ternak/peliharaan.
Namun, peneliti tidak mengambil seluruh faktor untuk diteliti. Peneliti hanya
ingin mengetahui bagaimana hubungan konsentrasi PM10 dalam rumah dan faktor
lingkungan dalam rumah dengan keluhan ISPA pada balita. Faktor agen biologi tidak
diteliti dikarenakan peneliti hanya fokus pada kategori ISPA bukan pneumonia,
selain itu dengan melakukan pemeriksaan biologi terkait angka kuman yang
terkandung dalam rumah akan merujuk kepada ISPA pneumonia. Sehingga untuk
faktor lingkungan dalam rumah yaitu anggota keluarga yang mengalami ISPA tidak
diteliti karena berkaitan dengan keberadaan agen biologi. Untuk agen kimia tidak
diteliti karena keterbatasan alat.
Faktor pejamu tidak dilakukan analisis lebih lanjut hanya berupa gambaran
saja. Hal ini dikarenakan peneliti ingin lebih fokus pada tujuan penelitian yaitu
38
Agen Fisik
PM10 dalam rumah
mengetahui hubungan antara konsentrasi PM10 dan faktor lingkungan dalam rumah
dengan keluhan ISPA pada balita. Serta berdasarkan hasil studi pendahuluan variabel
status gizi, status imunisasi, dan BBLR datanya bersifat homogen. Selain itu, ada
beberapa faktor lingkungan dalam rumah yang tidak diambil oleh peneliti
dikarenakan data yang didapat saat studi pendahuluan menunjukkan data yang
homogen. Data tersebut adalah konstruksi dinding, jenis lantai, jenis bahan bakar
memasak, penggunaan obat nyamuk bakar, dan keberadaan hewan peliharaan.
Peneliti hanya mengambil variabel PM10, dan faktor lingkungan dalam rumah seperti
ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan
hunian, dan anggota keluarga yang merokok sebagai variabel independen penelitian
ini. Sedangkan, keluhan ISPA pada balita sebagai variabel dependen.
Faktor Lingkungan Dalam
Rumah
Ventilasi
Suhu
Kelembaban
Pencahayaan
Letak dapur
Lubang asap dapur
Kepadatan Hunian
Anggota keluarga yang
merokok
Variabel Independen Variabel Dependen
Keluhan ISPA pada
Balita
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
39
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Keluhan ISPA
pada Balita
Anak balita umur 1-59 bulan yang
menderita gangguan saluran pernapasan
yang berhubungan dengan keluhan
ISPA dalam kurun waktu 2 minggu
terakhir meliputi batuk, pilek,
demam/panas tidak lebih dari 7 hari,
nyeri tenggorokan, tanpa tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam
atau peningkatan frekuensi bernapas
(WHO, 2007; Ditjen PP & PL, 2013;
Kementerian Kesehatan RI, 2015)
Wawancara Kuesioner 0. Ya
1. Tidak
Ordinal
2. PM10 dalam
rumah
Konsentrasi partikulat berukuran
maksimum 10 mikron dalam satuan
µg/m3 di ruangan tidur balita sewaktu
pengukuran.
Hasil pengukuran dibandingkan dengan
konsentrasi maksimal PM10 sebesar ≤70
µg/m3.
Pengukuran Haz-Dust
EPAM 5000
0. Tidak memenuhi syarat
(TMS)
(PM10 > 70 µg/m3).
1. Memenuhi syarat (MS)
(PM10 ≤70 µg/m3)
(Kementerian Kesehatan RI,
2011b)
Ordinal
40
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
3. Ventilasi Perbandingan luas jendela atau lubang
angin sebagai sarana pertukaran udara
dengan luas lantai kamar balita sering
tidur.
Wawancara
dan
Pengukuran
Roll meter,
Kuesioner
0. Tidak memenuhi syarat
(TMS) (Ventilasi <10%
luas lantai dan ventilasi
tidak dibuka minimal saat
pagi hari).
1. Memenuhi syarat (MS)
(Ventilasi ≥10% luas lantai
dan ventilasi dibuka
minimal saat pagi hari)
(Kementerian Kesehatan RI,
2011b)
Ordinal
4. Suhu Temperatur udara dalam ruangan balita
dengan rentang berkisar 18oC-30oC
Pengukuran Thermohygro
meter
0. Tidak memenuhi syarat
(TMS)
(Suhu <18oC atau >30oC).
1. Memenuhi syarat (MS)
(Suhu 18oC-30oC).
(Kementerian Kesehatan RI,
2011b)
Ordinal
5. Kelembaban Kadar uap air di udara dalam ruangan
balita dan dinyatakan dalam persen,
Pengukuran Thermohygro
meter
0. Tidak memenuhi syarat
(TMS) (Kelembaban <40%
Ordinal
41
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
dengan kelembaban berkisar antara 40-
60% Rh
Rh atau >60% Rh).
1. Memenuhi syarat (MS)
(Kelembaban 40%-60% Rh)
(Kementerian Kesehatan RI,
2011b).
6. Pencahayaan Nilai pencahayaan (lux) di dalam
ruangan balita dengan persyaratan
minimal 60 lux
Pengukuran Lux meter 0. Tidak memenuhi syarat
(TMS)
(Nilai pencahayaan < 60
lux).
1. Memenuhi syarat (MS)
(Nilai pencahayaan ≥ 60
lux)
(Kementerian Kesehatan RI,
2011b)
Ordinal
7. Letak dapur Tempat/kondisi sebuah ruangan yang
diperuntukkan sebagai kegiatan
memasak sehari-hari. Letak dapur
sebaiknya terpisah atau adanya dinding
antara dapur dengan ruangan lainnya
Wawancara
dan
Observasi
Kuesioner
dan Lembar
observasi
0. Tidak ada dinding pemisah.
1. Ada dinding pemisah
(Kementerian Kesehatan RI,
2011b).
Ordinal
8. Lubang asap
dapur
Keberadaan lubang asap di dapur
berupa ventilasi (jendela), dinilai dari
Wawancara
dan
Kuesioner
dan Lembar
0. Tidak memenuhi syarat
(TMS)
Ordinal
42
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
ada atau tidaknya lubang pengeluaran
asap dapur sehingga tidak terjadi
pengumpulan asap di dapur (Anthony,
2008)
Observasi Observasi (tidak ada lubang asap
seperti ventilasi (jendela)
yang mengeluarkan asap
dapur).
1. Memenuhi syarat (MS)
(ada lubang asap seperti
ventilasi (jendela) yang
mengeluarkan asap dapur).
(Kementerian Kesehatan RI,
2011b)
9. Kepadatan
hunian
Tingkat kepadatan penghuni dalam
rumah dinilai dari rasio luas lantai
dengan jumlah penghuni tetap yang
tinggal bersama balita.
Pengukuran
dan
Wawancara
Roll meter
dan
Kuesioner
0. Padat
(rasio <8 m2/orang dari luas
lantai rumah)
1. Tidak Padat
(rasio ≥8 m2/orang dari luas
lantai rumah)
(Kementerian Kesehatan RI,
1999)
Ordinal
10. Anggota
keluarga yang
merokok
Ada tidaknya anggota keluarga yang
merokok
Wawancara Kuesioner 0. Ada
1. Tidak Ada
(Kementerian Kesehatan RI,
2011b)
Ordinal
43
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara konsentrasi PM10 dalam rumah dengan keluhan
ISPA pada balita di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017.
2. Ada hubungan antara faktor lingkungan dalam rumah (ventilasi, suhu,
kelembaban, pencahayaan, letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan
hunian, dan anggota keluarga yang merokok) dengan keluhan ISPA pada
balita di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017.
44
4 BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan studi cross-sectional, dimana
data dikumpulkan secara bersamaan antara konsentrasi PM10 dalam rumah,
faktor lingkungan dalam rumah dan keluhan ISPA pada Balita. Alasan
pemilihan desain cross-sectional dalam penelitian ini adalah karena penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi PM10 udara
dalam rumah dan faktor lingkungan dalam rumah dengan keluhan ISPA pada
balita pada satu kurun waktu tertentu.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
4.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Puskesmas Rawa Terate, Kecamatan
Cakung, Jakarta Timur. Kelurahan Rawa Terate terdiri dari 6 RW dan 60 RT.
4.2.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai September tahun 2017.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang memiliki balita
yang berumur 1 sampai 59 bulan, yang ada di wilayah Puskesmas Rawa Terate,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.
45
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah bagian dari rumah tangga yang
memiliki balita berumur 1 sampai 59 bulan, yang ada di wilayah Puskesmas Rawa
Terate, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Rumah tangga yang terpilih menjadi
responden akan diwawancarai secara langsung dengan kunjungan rumah.
1. Kriteria Inklusi
a. Ibu rumah tangga yang memiliki anak balita yang berumur 1
sampai 59 bulan, atau orang yang bertanggungjawab penuh dalam
pengasuhan sehari-hari terhadap balita di rumah tangga yang
tingga di wilayah Puskesmas Rawa Terate.
b. Responden memiliki KMS atau buku KIA dan rutin mengunjungi
posyandu atau RS/klinik
2. Kriteria Eksklusi
a. Terdapat 2 anak balita dalam satu rumah.
b. Balita yang menderita batuk rejan, TBC, dan Asma.
Untuk mengetahui apakah balita menderita beberapa penyakit
diatas, telah dikonfirmasi kepada responden sebelum turun
lapangan terkait riwayat penyakit sebelumnya ataupun apakah
balita pernah didiagnosis menderita penyakit diatas, serta dapat
pula melihat dari buku KIA terkait diagnosis penyakit yang pernah
diderita balita.
4.3.3 Besar Sampel
Besar sampel minimal yang diambil dari populasi untuk pendugaan
prevalensi ISPA pada balita di Kelurahan Rawa Terate, berdasarkan perbedaan
46
dua proporsi populasi untuk melihat perbedaan risiko antara dua kelompok
dengan mengacu penelitian sebelumnya menggunakan rumus sampel:
Keterangan:
n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P1 : Proporsi kejadian ISPA pada balita yang tidak terpapar faktor
risiko.
P2 : Proporsi kejadian ISPA pada balita yang terpapar faktor risiko.
P : Rata-rata proporsi pada populasi (P1+P2 /2)
Z1-a/2 : Derajat kemaknaan (95% = 1,96)
Z1-B : Kekuatan uji (80% = 0,84)
Besar proporsi yang akan dipakai pada penelitian ini, diperoleh dari
penelitian-penelitian sebelumnya yang memiliki hubungan dengan ISPA.
Tabel 4.1 Besar Sampel dalam Penelitian Sebelumnya berdasarkan Faktor Risiko
Terjadinya Keluhan ISPA
No Variabel Peneliti P1 P2 n nx2 n
total
1 PM10 Anthony
(2008)
0,733 0,406 35 70 77
2 Ventilasi Anthony
(2008)
0,818 0,473 29 58 64
3 Kelembaban Gestrudis
(2010)
0,933 0,556 20 40 44
4 Suhu Anthony
(2008)
0,627 0,273 30 60 66
5 Letak dapur Azhar dkk.,
(2015)
0,258 0,742 16 32 36
47
No Variabel Peneliti P1 P2 n nx2 n
total
6 Pencahayaan Suryani dkk.,
(2015)
0,423 0,775 30 60 66
7 Anggota
keluarga yang
merokok
Yuwono
(2008)
0,796 0,204 10 20 22
8 Kepadatan
Hunian
Afandi (2012) 0,5183 0,7791 52 104 115
9 Lubang asap
dapur
Farieda (2009) 0,85 0,586 45 90 99
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui besar sampel yang akan diambil terdapat
pada poin 9, besar sampel sebanyak 52 responden, dikarenakan menggunakan uji
beda dua proporsi maka jumlah sampel dikali 2. Sehingga besar sampel menjadi
52 x 2 = 104 responden. Lalu untuk mencegah terjadinya drop out maka
dilakukan penambahan sampel sebanyak 10% (Tayie, 2005) yaitu sekitar 10,4
atau 11 sampel. Jadi besar sampel seluruhnya menjadi 115 responden.
4.3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel wilayah dalam penelitian ini menggunakan purposive
sampling. Kriteria wilayah yang dipilih oleh peneliti adalah 3 RW dengan jumlah
kasus ISPA pada balita tertinggi bulan Januari-Mei tahun 2017. Wilayah kerja
Puskesmas Kelurahan Rawa Terate terdiri dari 6 RW. Dari 6 RW yang ada di
Kelurahan Rawa Terate diambil 3 RW dengan kasus ISPA pada balita tertinggi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemegang program MTBS (Manajemen
Terpadu Balita Sakit), 3 RW dengan kasus ISPA tertinggi adalah RW 4 sebanyak
185 kasus, RW 5 sebanyak 276 kasus, dan RW 6 sebanyak 102 kasus.
Jumlah populasi balita yang ada di 3 RW tersebut sampai bulan Mei tahun
2017 adalah 1055 balita. Jumlah balita pada masing-masing RW terpilih yaitu RW
48
4 sebesar 453 balita, RW 5 sebesar 328 balita, dan RW 6 sebesar 274 balita.
Jumlah sampel yang akan diambil dalam penelitian ini sebanyak 115 sampel.
Sehingga dari 3 RW yang dipilih, jumlah sampel yang diambil pada masing-
masing RW sebagai berikut:
a. RW 4 : = 50 responden
b. RW 5 : = 35 responden
c. RW 6 : = 30 responden
Pengambilan sampel responden selanjutnya menggunakan systematic
random sampling. Kerangka sampel yang digunakan mengacu pada data balita
yang ada di Posyandu masing-masing RW terpilih.
4.4 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer yang
dilakukan dengan melakukan wawancara, observasi dan pengukuran.
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan kunjungan ke rumah responden.
Sebelum melakukan pengukuran, wawancara, dan observasi, peneliti meminta
persetujuan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan mengisi
informed consent yang telah disediakan. Bukti persetujuan informed consent
berupa penandatanganan informed consent pada kolom yang telah disediakan.
Pengukuran langsung dilakukan untuk mengetahui konsentrasi PM10 dalam
rumah, ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan, luas lantai rumah dan luas
lantai tempat balita sering tidur. Pengukuran langsung dilakukan oleh peneliti.
Alat yang digunakan untuk pengukuran langsung telah valid, karena digunakan
sesuai dengan maksud penggunaan alat ukur tersebut. Misalnya penggunaan
49
thermohygrometer diperuntukkan mengukur suhu dan kelembaban, dan EPAM
5000 digunakan unutk mengukur PM10.
Wawancara dengan responden dilakukan dengan menggunakan kuesioner
untuk memperoleh informasi terkait faktor pejamu seperti status imunisasi dan
berat badan dengan melihat dari Kartu Menuju Sehat (KMS) atau buku KIA, dan
untuk menentukan status gizi dengan membandingkan berat badan terhadap umur
dan dikonvensikan dengan standar antropometri penilaian status gizi anak
Kepmenkes Nomor 1995/Menkes/SK/XII/2010. Selain itu, beberapa faktor
lingkungan seperti letak dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian, dan anggota
keluarga yang merokok, juga dilakukan dengan wawancara.
Metode pengumpulan data ketiga adalah observasi. Observasi untuk
memastikan jawaban dengan kondisi yang ada di lapangan. Observasi dilakukan
pada beberapa variabel diantaranya letak dapur, lubang asap dapur, serta ventilasi.
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Kuesioner dan lembar observasi
Pertanyaan dan lembar observasi mengenai suhu, kelembaban,
PM10, ventilasi, letak dapur, anggota keluarga yang merokok, lubang
asap dapur mengacu pada Kepmenkes Nomor 1077 tahun 2011 tentang
Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah, sedangkan untuk
kepadatan hunian mengadopsi dari kuesioner penelitian Anthony
(2008) dan Kepmenkes Nomor 829/Menkes/SK/VII tahun 1999
tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.
50
2. Haz-Dust EPAM 5000
Haz-Dust EPAM 5000 digunakan untuk mengukur konsentrasi
PM10 di dalam rumah. Pengambilan sampel udara dilakukan di dalam
ruangan tempat balita sering tidur dengan lama pengukuran selama 1
jam. Pengukuran PM10 dilakukan sewaktu atau disebut juga metode
spot sampling yang dipakai untuk memeriksa secara acak keadaan
sewaktu zat pencemar udara pada tempat-tempat pemeriksaan. Melalui
pengukuran sewaktu, peneliti dapat memperoleh gambaran potensial
tingkat kadar PM10 dalam tiap rumah anak balita. Cara ini adalah cara
tidak langsung untuk menilai pemajanan PM10 (Lindawaty, 2010).
Berdasarkan User’s Guide Haz-Dust EPAM 5000, kalibrasi dari
alat Haz-Dust EPAM 5000 dilakukan selama satu kali dalam sebulan
dalam batas normal penggunaan (dua kali dalam seminggu), atau jika
terjadi benturan pada alat (SKC Incorporated, 2006). Pengukuran PM10
dalam penelitian ini dilakukan setiap hari selama tiga minggu dalam
waktu 1 jam untuk masing-masing rumah, untuk menghindari
kesalahan sistematik (kesalahan yang menyebabkan semua hasil data
salah dengan suatu kemiripan) (Tahir, 2008) sehingga kalibrasi pada
penelitian ini dilakukan setiap hari selama tiga minggu. Sebelum
kalibrasi dilakukan, Haz-Dust EPAM 5000 dilakukan pengecekan
baterai dan flow rate. Setelah itu, kalibrasi dilakukan melalui menu
“system function” kemudian pilih “calibration”, setelah itu tunggu
selama 100 detik.
51
Berikut ini merupakan cara dalam menggunakan EPAM 5000:
1. Cek baterai. Sebelum digunakan, baterai EPAM 5000 harus
dalam keadaan terisi penuh. Gunakan EDC EPAM untuk
mengisi daya baterai. Waktu pengisisian baterai adalah
sekitar 22 jam untuk pengggunaan selama 24 jam.
2. Tekan ON/OFF untuk menyalakan monitor EPAM 5000.
3. Tekan Enter untuk masuk ke menu utama.
4. Untuk melihat setting-an (pengaturan alat), pilih Special
Functions dari menu utama, kemudian pilih Date/Time,
kemudian pilih View Date/Time, kemudian masukkan data
tanggal dan waktu sesuai dengan tanggal dan waktu data
pengukuran diambil dengan menggunakan tanda panah ke
atas atau ke bawah. Tekan Enter jika sudah selesai
melakukan pengaturan tanggal dan waktu pengukuran.
5. Untuk pengaturan alarm, pilih Special Functions dari menu
utama, kemudian pilih Set Alarm, atur alarm sesuai
kebutuhan, dan tekan Enter jika sudah selesai melakukan
pengaturan alarm.
6. Untuk menghapus data, pilih Special Functions dari menu
utama, kemudian pilih System Options, kemudian pilih
Erase Memory dan tekan Yes untuk menghapus data.
7. Sebelum melakukan pengukuran, lakukan terlebih dahulu
tes laju alir udara dengan menggunakan Flow Audit Meter
atau tes laju alir udara, dengan cara memasang alat laju alir
52
udara dikepala sensor EPAM 5000, kemudian Run, dan
pilih Continue atau Overwrite data. Kemudian lihat angka
di alat laju alir udara, jika bola kecil menunjukkan angka 4
Lpm maka laju alir udara alat masih sesuai, namun jika
tidak menunjukkan angka 4 Lpm maka lakukan
penyesuaian angka dengan menggeser laju alir udara
dengan jenis ukuran partikel debu yang akan diambil.
8. Pengukuran dengan menggunakan EPAM 5000 dapat
mengukur partikel dengan ukuran partikel debu 1,0 mikron,
2,5 mikron, dan 10 mikron. Dalam penelitian ini ukuran
partikel debu yang diukur berukuran 10 mikron. Berikut
adalah cara pemasangan dan penggunaan alat untuk ukuran
partikel debu 10 mikron (10 µm):
1) Pilih Special functions dari menu utama
2) Pilih System options
3) Pilih Extended options
4) Pilih Size select
5) Pilih 10 µm – M
6) Masukkan inlet sampling ke dalam kepala sensor
dari EPAM 5000
7) Pasang penahan filter cassette ke dalam sensor
EPAM 5000
8) Lakukan Manual Zero
53
Auto Zero berfungsi untuk membersihkan fitur
yang secara otomatis menyesuaikan ke awal
drift akibat adanya perubahan suhu ambien
yang cukup signifikan. Fitur ini merupakan
pengaturan default yang ada di EPAM 5000
yang melakukan pembersihan optik sensor
dengan udara bersih dan menetapkan kembali
pengaturan awal tiap 30 menit. Untuk
mengaktifkan dan menonaktifkan Auto zero
data dilakukan dengan cara berikut:
1) Pilih Special functions dari menu utama
2) Pilih System options
3) Pilih Extended options
4) Pilih Calibration options
5) Pilih Auto zero
Manual Zero (Manual Nol) merupakan
menetapkan dasar pengukuran EPAM 5000
menjadi nol mg/m3. Pemeriksaan manual zero
harus dilakukan sebelum memulai satu set baru
pengukuran, yang jika menggunakan setting
Auto zero (default) EPAM 5000 secara
otomatis kembali lagi ke nol awal setiap 30
menit sekali. Pastikan saluran masuk untuk
sampling yang akan diukur sudah terpasang
54
pada saluran masuk sensor dari EPAM 5000.
Jika sampling partikel PM10 maka masukkan 10
impactor jet. Berikut adalah cara melakukan
manual zero:
1) Pilih Special functions dari menu utama
2) Pilih System options
3) Pilih Extended options
4) Pilih Calibration options
5) Pilih Manual zero
6) Pilih lagi Manual zero, tunggu hingga 99
detik. Kemudian menu utama akan
muncul jika proses manual zero telah
selesai.
9) Memilih Sample rate:
a. Pilih Special functions dari menu utama
b. Pilih System options
c. Pilih Sample rate. Pilih 1 second untuk
pengambilan sampel selama 6 jam, pilih 10
second untuk maksimal pengambilan sampel
selama 60 jam. Pilih 1 menit untuk maksimal
pengambilan selama 15 hari. Dan pilih 30
menit untuk maksimal pengambilan sampel
selama 15 bulan.
10) Sampling (pengukuran):
55
a. Nyalakan alat dan tekan Enter
b. Pilih Run, dan pilih continue atau overwrite
data
c. Untuk menghapus semua data sebelumnya
yang telah terekam dalam alat, pilih overwrite,
kemudian pilih Yes untuk mengonfirmasi. Jika
pilih No, akan membatalkan proses sampling
tanpa menghapus memori data
d. Untuk menambahkan data poin untuk ke
lokasi penyimpanan data pada pengukuran
yang berturut-turut pilih Continuation
e. Untuk pengambilan sampel tanpa fitur alarm
tekan Run, untuk pengambilan sampel dengan
fitur alarm tekan Alarm-continue
f. Internal pump akan aktif dan memulai proses
pengukuran. Dan kemudian pada layar akan
muncul data Run.
g. Tekan enter untuk stop (menghentikan)
pengukuran data dan kembali ke Menu Utama
11) Sampel yang ada akan diambil setiap detik dan akan
dirata-ratakan sesuai dengan interval waktu yang
telah ditentukan.
12) Melihat hasil data yang tersimpan:
a. Pilih Review data
56
b. Pilih Statistics
c. Jika memori menahan data poin dilokasi lain,
maka layar akan menampilkan Scanning data
memori, lanjutkan ke step 12-g. Tetapi jika
memori telah dibersihkan dari semua data poin
yang ada maka tidak ada data yang tersimpan.
d. Untuk memilih lokasi jika ingin melihat lokasi
yang berbeda, pilih New Tag XXX dan
lanjutkan ke step 12-g.
e. Tekan Enter untuk lokasi yang datanya ingin
dilihat. Untuk melihat nilai lokasi yang lebih
kecil tekan panah bawah, jika ingin melihat
lokasi data yang lebih besar tekan panah atas.
Pilih digit atau ruang selanjutnya dengan
menekan enter.
f. Tekan Enter ketika lokasi data yang
diinginkan ingin dilihat
g. Data pertama yang akan terlihat adalah lima
layar statistik ketika data dihitung. Pilih layar
statistik dengan menekan panah bawah atau
panah atas
3. Thermohygrometer
Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan
menggunakan alat thermohygrometer digital. Pengukuran suhu dan
57
kelembaban dilakukan selama 10 menit dan diletakkan di ruangan
tempat balita sering tidur. Peletakan alat thermohygrometer yaitu
dengan digantung di dinding ataupun diletakkan di lantai dengan posisi
berdiri. Adapun cara pengukuran suhu dan kelembaban udara adalah
sebagai berikut:
a. Masukkan baterai dan alat akan hidup secara otomatis
b. Letakkan alat pada lokasi pengukuran dengan keadaan berdiri
c. Alat akan otomatis mengukur suhu dan kelembaban udara di
lokasi pengukuran
d. Tunggu kurang lebih 10 menit hingga pengukuran konstan
e. Hasil pengukuran dapat dilihat di monitor.
4. Lux meter
Pengukuran pencahayaan menggunakan alat Custom LX-204
Digital Lux Meter yang hasilnya dapat langsung dibaca. Alat ini
merupakan alat yang dapat digunakan utnuk mengukur kuat atau
lemahnya cahaya yang terdapat pada suatu ruangan atau tempat
tertentu. Pada prinsipnya, alat ini mengubah energi cahaya menjadi
energi listrik, kemudian energi listrik diubah menjadi angka yang dapat
dibaca pada layar monitor. Kalibrasi dari alat ini dilakukan tiap saat
lux meter akan digunakan untuk mengukur intensitas pencahayaan,
dimana jika pada layar monitor tertera angka 0.00 dalam keadaan
penutup sensor cahaya terpasang, hal itu menunjukkan bahwa alat
sudah dapat digunakan.
58
Berdasarkan SNI 16-7062-2004, penentuan titik pengukuran
terbagi menjadi dua, yaitu untuk penerangan setempat dan penerangan
umum. Penerangan setempat dilakukan pada objek kerja, berupa meja
kerja maupun peralatan. Sementara penerangan umum dilakukan pada
titik potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan pada setiap
jarak tertentu setinggi satu meter dari lantai. Pengukuran yang
dilakukan pada penelitian ini adalah pengukuran penerangan umum,
karena pada ruangan balita sering tidur bukan termasuk objek kerja.
Jarak tertentu tersebut dibedakan berdasarkan luas ruangan sebagai
berikut: (Badan Standardisasi Nasional, 2004)
1) Luas ruangan kurang dari 10 m2: titik potong garis horizontal
panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 1 (satu)
meter. Berikut contoh denah pengukuran intensitas penerangan
umum untuk luas ruangan kurang dari 10 m2 seperti pada
gambar 4.1
2) Luas ruangan antara 10 m2 sampai 100 m2: titik potong garis
horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 3
(tiga) meter. Berikut contoh denah pengukuran intensitas
Gambar 4.1 Penentuan titik pengukuran penerangan
umum dengan luas kurang dari 10m2
59
penerangan umum untuk luas ruangan antara 10 m2 sampai 100
m2 seperti pada gambar 4.2
3) Luas ruangan lebih dari 100 m2: titik potong horizontal panjang
dan lebar ruangan adalah pada jarak 6 m. Berikut contoh denah
pengukuran intensitas penerangan umum untuk ruangan dengan
luas lebih dari 100 m2 seperti pada gambar 4.3
Setelah dilakukan pengukuran, evaluasi pencahayaan harus
dilakukan untuk menentukan apakah cahaya yang diterima masih
termasuk ke dalam tingkat pencahayaan yang disyaratkan, yaitu
Gambar 4.3 Penentuan titik pengukuran
penerangan umum dengan luas
lebih dari 100 m2
Gambar 4.2 Penentuan titik pengukuran
penerangan umum dengan luas
antara 10 m2 sampai 100 m2
60
minimal 60 lux. Cara pengukuran dengan menggunakan lux meter
yaitu sebagai berikut:
1. Menghitung luas area pengukuran.
2. Menentukan titik pengukuran.
3. Memasang baterai pada alatnya.
4. Menekan tombol ON/OFF, lalu pada layar akan muncul
angka 0.00 yang berarti alat sudah dapat digunakan.
5. Memilih satuan pengukuran menjadi Lux dengan menekan
tombol Lux/Fc.
6. Membuka penutup sensor cahaya, kemudian meletakkan
sensor cahaya di tempat yang akan dilakukan pengukuran
pencahayaan dengan tinggi 100 cm atau 1 meter dari lantai.
7. Jika muncul tanda “OL” pada layar hal itu berarti cahaya di
tempat pengukuran saat itu overload lalu pilih ke range
yang lebih tinggi dan sesuai di sisi kiri bawah dengan
menekan tombol R. Range yang tersedia yaitu 200, 2000,
20000 atau 200000.
8. Arahkan sensor cahaya pada permukaan daerah yang akan
diukur kuat penerangannya.
9. Melihat hasil pengukuran dan tunggu hingga angka pada
layar stabil, jika angka sudah stabil tekan tombol D/H.
10. Mencatat hasil pengukuran tersebut ke lembar pencatatan.
11. Menekan tombol M/H untuk melihat nilai maksimum atau
nilai minimum dari pengukuran yang telah dilakukan.
61
12. Jika sudah selesai melakukan pengukuran pertama, lakukan
kembali pengukuran kedua dan ketiga di titik pengukuran
yang sama.
13. Jika sudah selesai melakukan pengukuran, lalu menutup
kembali sensor cahaya.
14. Mematikan alat dengan menekan tombol ON/OFF.
15. Mengulang langkah-langkah tersebut di atas di titik-titik
pengukuran yang lainnya.
5. Roll meter
Pengukuran luas lantai rumah, luas lantai kamar balita sering tidur,
serta luas jendela kamar balita menggunakan alat roll meter. Adapun
cara menggunakan alat roll meter adalah sebagai berikut:
a. Rentangkan roll meter dari ujung yang satu ke ujung yang
berbeda atau sesuai dengan objek yang akan diukur.
b. Untuk hasil yang lebih akurat, dilakukan dengan dua orang.
Orang pertama memegang ujung awal roll meter dititik yang
pertama dan meletakkannya tepat di angka nol. Selanjutnya
orang kedua memegang roll meter menuju ke titik pengukuran
lainnya, lalu tarik roll meter selurus mungkin dan letakkan
meteran di titik yang dituju dan baca angka pada roll meter
yang tepat di titik yang dituju.
62
4.6 Pengolahan Data
Sebelum melakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan pengolahan
data karena data yang terkumpul merupakan data mentah yang berguna sebagai
bahan informasi untuk menjawab tujuan penelitian.
a. Data Coding
Pemberian kode dapat dilakukan sebelum atau sesudah pengumpulan
data dilaksanakan (Budiarto, 2001). Tujuan coding adalah melakukan
pengelompokkan data dan/atau mengubah data dan menjadi bentuk angka
sehingga memudahkan analisis (Supranto, 2007).
b. Data Editing
Proses editing adalah memeriksa data yang telah dikumpulkan baik
berupa daftar pertanyaan, kartu atau buku register (Budiarto, 2001). Data
yang telah dikumpulkan dan dikodekan melalui kuesioner diperiksa
kembali kelengkapannya dan kebenarannya terlebih dahulu seperti
kelengkapan pengisian, dan kesalahan pengisian.
c. Data Entry
Setelah semua kelengkapan data telah sesuai, selanjutnya melakukan
proses entry data atau proses memasukkan data menggunakan komputer
yang menggunakan software entry data sesuai dengan pengkodean yang
telah ditetapkan sebelumnya.
d. Data Cleaning
Hasil yang sudah dimasukkan ke dalam program komputer diperiksa
kembali ada kesalahan atau tidak. Setelah diperiksa kembali, data yang
sudah didapatkan kemudian di analisis.
63
4.7 Validitas Data
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah ketepatan atau kesesuaian
instrumen dalam mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2012). Uji
validitas dilakukan kepada 30 orang responden yang tinggal di Kelurahan Rawa
Terate. Uji validitas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji validitas
konsep dan uji validitas muka. Uji validitas konsep adalah uji validitas yang
dilakukan dengan menilai kuesioner berdasarkan konsep atau teori dari variabel
yang diteliti (Suryani dan Hendryadi, 2016). Uji validitas konsep dilakukan untuk
variabel keluhan ISPA pada balita karena keluhan ISPA yang ditanyakan kepada
responden harus sesuai dengan teori.
Uji validitas muka atau face validity didasarkan kajian secara subjektif.
Apabila pertanyaan dalam kuesioner dianggap relevan; masuk akal; tidak ambigu;
dan jelas maka kuesioner tersebut dikatakan telah valid (Suwarjana, 2016).
4.8 Analisis Data
4.8.1 Analisis Univariat
Analisis data secara univariat dilakukan untuk menggambarkan
karakteristik masing-masing variabel independen dan dependen. Mengingat
pada penelitian ini menggunakan data kategorik maka hasil analisis tersebut
disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
4.8.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji chi-
square, penggunaan uji tersebut dikarenakan variabel yang digunakan baik
dependen maupun independen adalah variabel kategorik. Uji chi square
dilakukan untuk melihat adanya hubungan antara faktor-faktor risiko dengan
64
keluhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Rawa Terate tahun
2017. Sedangkan, untuk mengetahui kekuatan/besarnya hubungan dua variabel
tersebut dilakukan dengan melihat nilai Odds Ratio (OR) (Noor, 2008).
Apabila diperoleh nilai p-value < α (0,05) berarti ada hubungan dan
bila nilai p-value > α (0,05) berarti tidak ada hubungan. Untuk melihat
kekuatan hubungan maka yang dilihat adalah nilai OR. Apabila nilai OR = 1
berarti tidak ada hubungan antara faktor risiko dengan penyakit, OR > 1
berarti ada hubungan positif antara faktor risiko dengan penyakit (variabel
menjadi faktor risiko), dan apabila OR < 1 berarti ada hubungan negatif antara
faktor risiko dengan penyakit (variabel dapat mengurangi risiko) (Lusiana
dkk., 2015).
65
5 BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian
5.1.1 Letak Geografis
Kelurahan Rawa Terate merupakan salah satu dari 7 kelurahan yang ada di
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Wilayah Kelurahan Rawa Terate memiliki
luas 3,30 km2 dan terdapat salah satu area perindustrian tertua di Jakarta yaitu
Kawasan Industri Pulo Gadung. Batas-batas wilayah Kelurahan Rawa Terate
adalah sebagai berikut
• Utara : Kelurahan Tugu Kelapa Gading, Jakarta Utara
• Selatan : Kelurahan Jatinegara Cakung, Jakarta Timur
• Barat : Kelurahan Penggilingan dan Cakung Barat, Jakarta Timur
• Timur : Kelurahan Pegangsaan Kelapa Gading, Jakarta Utara
Gambar 5.1 Peta Wilayah Kelurahan Rawa Terate Kecamatan
Cakung
66
5.1.2 Kependudukan
Kelurahan Rawa Terate mempunyai 6 RW dan 60 RT dengan jumlah
penduduk sebanyak 30.506 jiwa yang terdiri dari 16.974 penduduk laki-laki dan
13.532 penduduk perempuan. Fasilitas kesehatan yang ada di Kelurahan Rawa
Terate antara lain 2 (dua) Rumah Sakit Bersalin, 1 (satu) Puskesmas, 11
Posyandu, 3 (tiga) Klinik, 6 (enam) Praktek Bidan, 6 (enam) Praktek Dokter
Umum, dan 35 Praktek Dokter Gigi (BPS Kota Administrasi Jakarta Timur,
2016).
5.2 Analisis Univariat
5.2.1 Gambaran Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Keluhan ISPA pada balita yang ada di Puskesmas Rawa Terate tahun 2017
masih cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 91 dari 115 balita
(79,1%) mengalami keluhan ISPA.
Tabel 5.1 Distribusi Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Keluhan ISPA Frekuensi (n) Persentase (%)
Ya 91 79,1
Tidak 24 20,9
Jumlah 115 100
Keluhan ISPA yang sering dialami balita adalah pilek (61,7%), batuk
(53%), demam (34,8%), dan nyeri tenggorokan (12,2%). Lama keluhan ISPA
yang dialami oleh balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate yaitu 2-3 hari.
67
5.2.2 Gambaran Karakteristik Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun
2017
Karakteristik balita di Puskesmas Rawa Terate dilakukan analisis
univariat. Distribusi dari masing-masing karakteristik dapat dilihat sebagai
berikut:
5.2.2.1 Usia Balita
Sebaran data usia balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate sebagai
berikut:
Tabel 5.2 Distribusi Usia Balita di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Variabel Mean SD Min-Max
Usia (bulan) 27,97 15,329 1-56
Berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa rata-rata usia balita yaitu 27,97
bulan dengan usia balita terendah yaitu 1 bulan dan tertinggi yaitu 56 bulan.
5.2.2.2 Jenis Kelamin
Sebaran data jenis kelamin balita di wilayah Puskesmas Kelurahan Rawa
Terate sebagai berikut:
Tabel 5.3 Distribusi Jenis Kelamin di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
Laki-laki 63 54,8
Perempuan 52 45,2
Jumlah 115 100
Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa 54,8% responden penelitian
berjenis kelamin laki-laki.
68
5.2.2.3 Status Gizi
Sebaran data status gizi balita di wilayah Puskesmas Kelurahan Rawa
Terate sebagai berikut:
Tabel 5.4 Distribusi Status Gizi di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Status Gizi Frekuensi (n) Persentase (%)
Gizi buruk 1 0,9
Gizi kurang 20 17,4
Gizi baik 93 80,9
Gizi lebih 1 0,9
Jumlah 115 100
Berdasarkan tabel 5.4, diketahui bahwa sebagian besar balita berstatus gizi
baik yaitu sebesar 80,9%.
5.2.2.4 Status Imunisasi
Sebaran data status imunisasi balita di wilayah Puskesmas Kelurahan
Rawa Terate sebagai berikut:
Tabel 5.5 Distribusi Status Imunisasi di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Status Imunisasi Frekuensi (n) Persentase (%)
Lengkap 99 86,1
Tidak Lengkap 16 13,9
Jumlah 115 100
Berdasarkan tabel 5.5, diketahui bahwa 86,1% balita telah melakukan
imunisasi dasar secara lengkap.
5.2.2.5 Status BBLR
Sebaran data status BBLR balita di wilayah Puskesmas Kelurahan Rawa
Terate sebagai berikut:
69
Tabel 5.6 Distribusi Status BBLR di Puskemas Rawa Terate Tahun 2017
Status BBLR Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak 108 93,9
Iya 7 6,1
Jumlah 115 100
Berdasarkan tabel 5.6, diketahui bahwa sebagian besar balita tidak
mengalami BBLR dengan persentase sebesar 93,9%.
5.2.3 Gambaran Konsentrasi PM10 dalam Rumah di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017
Konsentrasi PM10 dalam rumah balita diukur pada tempat dimana balita
sering tidur. Berdasarkan hasil analisis univariat, konsentrasi PM10 dalam rumah
balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate sekitar 89 rumah balita (77,4%) masih
melampaui batas yang telah ditetapkan.
Tabel 5.7 Distribusi Konsentrasi PM10 dalam Rumah Balita di Puskemas Rawa
Terate Tahun 2017
Konsentrasi PM10 Frekuensi (n) Persentase (%)
Memenuhi Syarat 26 22,6
Tidak Memenuhi Syarat 89 77,4
Jumlah 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = ≤70 µg/m3
Tidak memenuhi syarat = >70 µg/m3
Rata-rata konsentrasi PM10 di ruang balita sering tidur yaitu 106,65 µg/m3.
Selain itu, konsentrasi terendah PM10 diruang balita sering yaitu 59 µg/m3 dan
tertinggi yaitu 808 µg/m3.
70
5.2.4 Gambaran Faktor Lingkungan Dalam Rumah di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017
5.2.4.1 Ventilasi
Berdasarkan tabel 5.8, menunjukkan bahwa dari 115 rumah balita yang
diteliti, hanya 25 rumah balita (21,7%) yang memenuhi syarat yaitu luas ventilasi
≥10% luas lantai dan ventilasi dibuka tiap pagi hari.
Tabel 5.8 Distribusi Ventilasi di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Ventilasi Frekuensi (n) Persentase (%)
Memenuhi syarat 25 21,7
Tidak Memenuhi Syarat 90 78,3
Jumlah 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = ≥10% luas lantai dan dibuka tiap pagi hari
Tidak memenuhi syarat = <10% luas lantai dan tidak dibuka tiap pagi hari
5.2.4.2 Suhu
Sebaran data suhu ruangan balita sering tidur di wilayah Puskesmas Rawa
Terate sebagai berikut:
Tabel 5.9 Distribusi Suhu di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Suhu Frekuensi (n) Persentase (%)
Memenuhi syarat 6 5,2
Tidak Memenuhi Syarat 109 94,8
Jumlah 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = Suhu 18oC-30 oC
Tidak memenuhi syarat = Suhu <18oC atau >30 oC
Berdasarkan tabel 5.9, menunjukkan bahwa sebagian besar suhu ruangan
tempat balita sering tidur tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan yaitu
sebanyak 94,8% atau 109 rumah balita. Selain itu, suhu rata-rata ruangan tempat
71
balita sering tidur adalah 32,84oC, dengan suhu terendah 27,6oC dan suhu
tertinggi 35,3oC.
5.2.4.2 Kelembaban
Sebaran data kelembaban ruangan balita sering tidur di wilayah
Puskesmas Rawa Terate sebagai berikut:
Tabel 5.10 Distribusi Kelembaban di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Kelembaban Frekuensi Persentase (%)
Memenuhi syarat 67 58,3
Tidak Memenuhi Syarat 48 41,7
Jumlah 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = Kelembaban 40-60% Rh
Tidak memenuhi syarat = Kelembaban <40% Rh atau >60% Rh
Berdasarkan tabel 5.10, diketahui bahwa 58,3% rumah balita memiliki
kelembaban ruangan yang memenuhi syarat dalam rentang 40-60% Rh. Selain itu,
kelembaban rata-rata ruangan tempat balita sering tidur adalah 56,71% Rh,
dengan kelembaban terendah 37,4% Rh dan kelembaban tertinggi 71,9% Rh.
5.2.4.3 Pencahayaan
Sebaran data pencahayaan dalam ruangan tempat balita sering tidur di
wilayah Puskesmas Rawa Terate sebagai berikut:
Tabel 5.11 Distribusi Pencahayaan di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Pencahayaan Frekuensi Persentase (%)
Memenuhi syarat 18 15,7
Tidak Memenuhi Syarat 97 84,3
Jumlah 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = Nilai pencahayaan ≥60 lux
Tidak memenuhi syarat = Nilai pencahayaan <60 lux
72
Berdasarkan tabel 5.11, menunjukkan bahwa sebagian besar pencahayaan
dalam ruangan tempat balita sering tidur masih belum memenuhi syarat dengan
persentase sebesar 84,3%. Selain itu, rata-rata pencahayaan dalam ruangan tempat
balita sering tidur sebesar 45,15 lux.
5.2.4.4 Letak Dapur
Sebaran data letak dapur dalam rumah balita di wilayah Puskesmas Rawa
Terate sebagai berikut:
Tabel 5.12 Distribusi Letak Dapur di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Letak Dapur Frekuensi (n) Persentase (%)
Ada dinding pemisah 96 83,5
Tidak ada dinding pemisah 19 16,5
Jumlah 115 100
Berdasarkan tabel 5.12, diketahui bahwa sebanyak 96 rumah (83,5%)
sudah memiliki dapur yang terpisah dengan ruangan lain. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar rumah balita di wilayah Puskesmas Rawa
Terate memiliki letak dapur yang terpisah dengan ruangan lainnya.
5.2.4.5 Lubang Asap Dapur
Sebaran data keberadaan lubang asap dapur dalam rumah balita di wilayah
Puskesmas Rawa Terate sebagai berikut:
Tabel 5.13 Distribusi Keberadaan Lubang Asap Dapur di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017
Lubang Asap Dapur Frekuensi (n) Persentase (%)
Memenuhi syarat 61 53
Tidak Memenuhi Syarat 54 47
Jumlah 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = ada lubang asap seperti jendela yang mengeluarkan
asap dapur
Tidak memenuhi syarat = tidak ada lubang asap seperti jendela yang
mengeluarkan asap dapur
73
Berdasarkan tabel 5.13, menunjukkan bahwa sebanyak 61 rumah (53%)
memiliki lubang untuk mengeluarkan asap di dapurnya.
5.2.4.6 Kepadatan Hunian
Sebaran data kepadatan hunian di wilayah Puskesmas Rawa Terate
sebagai berikut:
Tabel 5.14 Distribusi Kepadatan Hunian di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Kepadatan Hunian Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak padat 49 42,6
Padat 66 57,4
Jumlah 115 100
Keterangan: Tidak padat = rasio ≥8 m2/orang dari luas lantai rumah
Padat = rasio <8 m2/orang dari luas lantai rumah
Berdasarkan tabel 5.14, menunjukkan bahwa sebanyak 66 dari 115 rumah
memiliki hunian padat dengan persentase sebesar 57,4%.
5.3.4.8 Anggota Keluarga yang Merokok
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sebaran data anggota
keluarga yang merokok di wilayah Puskesmas Rawa Terate sebagai berikut:
Tabel 5.15 Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok di Puskesmas Rawa
Terate Tahun 2017
Anggota Keluarga yang
merokok Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak 26 22,6
Ada 89 77,4
Jumlah 115 100
Pada tabel 5.15, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki
anggota keluarga yang merokok yaitu sebesar 77,4%.
74
5.3 Analisis Bivariat
5.3.1 Hubungan Konsentrasi PM10 dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Hasil analisis hubungan antara konsentrasi PM10 dalam ruamh dengan
keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat
dilihat pada tabel 5.16.
Tabel 5.16 Hubungan Konsentrasi PM10 dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Variabel
Keluhan ISPA
Total OR (95% CI) P-value
Ya Tidak
PM10 N % N % N %
Tidak
Memenuhi
Syarat
75 84,3 14 15,7 89 100
3,348 (1,263-8,873) 0,025
Memenuhi
Syarat 16 61,5 10 38,5 26 100
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = ≤70 µg/m3
Tidak memenuhi syarat = >70 µg/m3
Pada tabel 5.16 menunjukkan bahwa responden yang memiliki rumah
dengan konsentrasi PM10 dalam ruangan balita tidak memenuhi syarat lebih
banyak mengalami keluhan ISPA yaitu sebesar 75 balita (84,3%) dibandingkan
dengan konsentrasi PM10 dalam ruangan balita yang memenuhi syarat yaitu
sebesar 16 balita (61,5%).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,025 (p-value
<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi PM10
dalam rumah dengan keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa
Terate tahun 2017. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 3,348 (95%
75
CI: 1,263-8,873) yang berarti bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan
konsentrasi PM10 tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3,348 kali untuk
mengalami keluhan ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah
dengan konsentrasi PM10 memenuhi syarat.
5.3.2 Hubungan Faktor Lingkungan Dalam Rumah dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
5.3.2.1 Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan ventilasi dengan keluhan ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 sebagai berikut:
Tabel 5.17 Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Tahun 2017
Variabel
Keluhan ISPA
Total OR (95% CI) P-value
Ya Tidak
Ventilasi N % N % N %
Tidak
Memenuhi
Syarat
71 78,9 19 21,1 90 100
0,934 (0,310-2,815) 1,000 Memenuhi
Syarat 20 80 5 20 25 100
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = ≥10% luas lantai dan dibuka tiap pagi hari
Tidak memenuhi syarat = <10% luas lantai dan tidak dibuka tiap pagi hari
Pada tabel 5.17 menunjukkan bahwa responden yang memiliki ventilasi
tidak memenuhi syarat dan memiliki balita dengan keluhan ISPA yaitu sebesar 71
balita (78,9%). Sedangkan, responden yang memiliki ventilasi memenuhi syarat
namun balitanya mengalami keluhan ISPA sebanyak 20 balita (80%).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 1,000 (p-value >0,05)
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ventilasi dengan
76
keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari
hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 0,934 (95% CI: 0,310-2,815) yang
berarti bahwa ventilasi merupakan faktor protektif yaitu faktor yang dapat
mengurangi risiko terjadinya keluhan ISPA pada balita.
5.3.2.2 Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA
Hasil analisis hubungan suhu dengan keluhan ISPA pada balita di wilayah
Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 5.18.
Tabel 5.18 Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA pada Balita di Puskesmas
Rawa Terate Tahun 2017
Variabel
Keluhan ISPA
Total OR (95% CI) P-value
Ya Tidak
Suhu N % N % N %
Tidak
Memenuhi
Syarat
87 79,8 22 20,2 109 100
1,977 (0,340-11,500) 0,603 Memenuhi
Syarat 4 66,7 2 33,3 6 100
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = Suhu 18oC-30oC
Tidak memenuhi syarat = Suhu <18oC atau >30oC
Pada tabel 5.18 menunjukkan bahwa responden yang memiliki ruangan
dengan suhu tidak memenuhi syarat lebih banyak mengalami keluhan ISPA yaitu
sebesar 87 balita (79,8%), dibandingkan dengan responden yang memiliki
ruangan dengan suhu yang memenuhi syarat sebesar 4 balita (66,7%).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,603 (p-value>0,05)
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara suhu dengan keluhan
ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari hasil
analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 1,977 (95% CI: 0,340-11,500) yang
77
berarti bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan suhu tidak memenuhi
syarat mempunyai risiko 1,977 kali untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan
dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan suhu memenuhi syarat.
5.3.2.3 Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA
Hasil analisis hubungan kelembaban dengan keluhan ISPA pada balita di
Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 5.19.
Tabel 5.19 Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Variabel
Keluhan ISPA
Total OR (95% CI) P-value
Ya Tidak
Kelembaban N % N % N %
Tidak
Memenuhi
Syarat
40 83,3 8 23,9 48 100
1,569 (0,610-4,033) 0,480 Memenuhi
Syarat 51 76,1 16 16,7 67 100
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = Kelembaban 40-60% Rh
Tidak memenuhi syarat = Kelembaban <40% Rh atau >60% Rh
Pada tabel 5.19 menunjukkan bahwa responden yang memiliki ruangan
dengan kelembaban yang tidak memenuhi syarat dan balitanya mengalami
keluhan ISPA sebanyak 40 balita (83,3%). Sedangkan, responden yang memiliki
ruangan dengan kelembaban yang memenuhi syarat namun balita mengalami
keluhan ISPA sebanyak 51 balita (76,1%). Selain itu, berdasarkan hasil uji chi
square diperoleh p-value sebesar 0,480 (p-value>0,05) maka dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban dengan keluhan ISPA pada balita
di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari hasil analisis diperoleh pula
nilai OR sebesar 1,569 (95% CI: 0,610-4,033) yang berarti bahwa balita yang
78
tinggal dalam rumah dengan kelembaban tidak memenuhi syarat mempunyai
risiko 1,569 kali untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan dengan balita
yang tinggal dalam rumah dengan kelembaban yang memenuhi syarat.
5.3.2.4 Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA
Hasil analisis hubungan pencahayaan dengan keluhan ISPA pada balita di
wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 5.20.
Tabel 5.20 Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Variabel
Keluhan ISPA
Total OR (95% CI) P-value
Ya Tidak
Pencahayaan N % N % N %
Tidak
Memenuhi
Syarat
78 80,4 19 19,6 97 100
1,579 (0,502-4,971) 0,527 Memenuhi
Syarat 13 72,2 5 27,8 18 100
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = Nilai pencahayaan ≥60 lux
Tidak memenuhi syarat = Nilai pencahayaan <60 lux
Pada tabel 5.20 diketahui bahwa responden yang memiliki ruangan dengan
pencahayaan yang tidak memenuhi syarat lebih banyak balita yang mengalami
keluhan ISPA yaitu sebesar 78 balita (80,4%), dibandingkan dengan ruangan
dengan pencahayaan yang memenuhi syarat yaitu sebesar 13 balita (72,2%).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,527 (p-value >0,05)
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan
keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari
hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 1,579 (95% CI: 0,502-4,971) yang
berarti bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan pencahayaan tidak
79
memenuhi syarat mempunyai risiko 1,579 kali untuk mengalami keluhan ISPA
dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan pencahayaan yang
memenuhi syarat.
5.3.2.5 Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA
Hasil analisis hubungan letak dapur dengan keluhan ISPA pada balita di
wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 5.21.
Tabel 5.21 Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Variabel
Keluhan ISPA
Total
OR (95% CI) P-value Tidak Iya
Letak
Dapur N % N % N %
Tidak ada
dinding
pemisah
18 94,7 1 5,3 19 100
5,671 (0,717-44,831) 0,118 Ada dinding
pemisah 73 76 23 24 96 100
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Pada tabel 5.21 menunjukkan bahwa responden dengan rumah yang letak
dapur tidak terpisah dengan ruangan lain dan balita mengalami keluhan ISPA
yaitu sebesar 18 balita (94,7%). Sedangkan, rumah dengan letak dapur terpisah
namun balitanya mengalami keluhan ISPA sebanyak 73 balita (76%).
Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,118 (p-value >0,05)
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara letak dapur dengan
keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari
hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 5,671 (95% CI: 0,717-44,831) yang
berarti bahwa balita yang tinggal dalam rumah dengan letak dapur tidak terpisah
80
dengan ruangan lain mempunyai risiko 5,671 kali untuk mengalami keluhan ISPA
dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan letak dapur terpisah
dengan ruangan lain.
5.3.2.6 Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA
Hasil analisis hubungan lubang asap dapur dengan keluhan ISPA pada
balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel
5.22.
Tabel 5.22 Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Variabel
Keluhan ISPA
Total
OR (95% CI) P-value Ya Tidak
Lubang
Asap
Dapur
N % N % N %
Tidak
Memenuhi
Syarat
41 75,9 13 24,1 54 100
0,694 (0,281-1,712) 0,572 Memenuhi
Syarat 50 82 11 18 61 100
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Memenuhi syarat = ada lubang asap seperti jendela yang mengeluarkan asap
dapur
Tidak memenuhi syarat = tidak ada lubang asap seperti jendela yang
mengeluarkan asap dapur
Pada tabel 5.22 menunjukkan hasil hubungan antara lubang asap dapur
dengan keluhan ISPA pada balita yaitu sebanyak 41 balita (75,9%) dengan lubang
asap dapur tidak memenuhi syarat mengalami keluhan ISPA. Sedangkan diantara
balita dengan lubang asap dapur memenuhi syarat terdapat 50 balita (82%) yang
mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar
0,572 (p-value>0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
81
lubang asap dapur dengan keluhan ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa
Terate tahun 2017. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 0,694 (95%
CI: 0,281-1,712) yang berarti bahwa lubang asap dapur merupakan faktor
protektif yaitu faktor yang dapat mengurangi resiko terjadinya keluhan ISPA pada
balita.
5.3.2.7 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA
Hasil analisis hubungan kepadatan hunian dengan keluhan ISPA pada
balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat pada tabel
5.23.
Tabel 5.23 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA pada Balita di
Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Variabel
Keluhan ISPA
Total
OR (95% CI) P-value Ya Tidak
Kepadatan
Hunian N % N % N %
Padat 55 83,3 11 16,7 66 100
1,806 (0,730-4,469) 0,291 Tidak Padat 36 73,5 13 26,5 49 100
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Keterangan: Tidak padat = rasio ≥8 m2/orang dari luas lantai rumah
Padat = rasio <8 m2/orang dari luas lantai rumah
Pada tabel 5.23 menunjukkan hasil hubungan antara kepadatan hunian
dengan keluhan ISPA pada balita yaitu sebanyak 55 balita (83,3%) dengan hunian
yang padat mengalami keluhan ISPA. Sedangkan diantara balita dengan hunian
yang tidak padat terdapat 36 balita (73,5%) yang mengalami ISPA. Berdasarkan
hasil uji chi square diperoleh p-value sebesar 0,291 (p-value >0,05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan keluhan
ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari hasil
82
analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 1,806 (95% CI: 0,730-4,469) yang berarti
bahwa balita yang tinggal dalam hunian yang padat mempunyai risiko 1,806 kali
untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam
hunian yang tidak padat (memenuhi syarat).
5.3.2.8 Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan ISPA
Hasil analisis hubungan anggota keluarga yang merokok dengan keluhan
ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017 dapat dilihat
pada tabel 5.24.
Tabel 5.24 Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan ISPA
pada Balita di Puskesmas Rawa Terate Tahun 2017
Variabel
Keluhan ISPA
Total
OR (95% CI) P-value Ya Tidak
Anggota
Keluarga
yang
Merokok
N % N % N %
Ada 72 80,9 17 19,1 89 100
1,560 (0,565-4,306) 0,556 Tidak Ada 19 73,1 7 26,9 26 100
Total 91 79,1 24 20,9 115 100
Pada tabel 5.24 menunjukkan hasil hubungan antara anggota keluarga
yang merokok dengan keluhan ISPA pada balita yaitu sebanyak 72 balita (80,9%)
yang memiliki anggota keluarga yang merokok mengalami keluhan ISPA.
Sedangkan diantara balita yang tidak memiliki anggota keluarga yang merokok
terdapat 19 balita (73,1%) yang mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi
square diperoleh p-value sebesar 0,556 (p-value>0,05) maka dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan antara perokok dalam rumah dengan keluhan ISPA
pada balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate tahun 2017. Dari hasil analisis
83
diperoleh pula nilai OR sebesar 1,560 (95% CI: 0,565-4,306) yang berarti bahwa
balita yang tinggal dengan anggota keluarga yang merokok dalam rumah
mempunyai risiko 1,560 kali untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan
dengan balita yang tidak mempunyai anggota keluarga yang merokok dalam
rumah.
84
6 BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Beberapa hal yang menjadi keterbatasan selama dilakukannya penelitian ini,
yaitu:
1. Bias informasi juga dapat terjadi pada hasil pengukuran. Pengukuran
pada suhu, kelembaban, pencahayaan, dan PM10 dilakukan pada pukul
08.00-16.00. Pada rentang tersebut cuaca, intensitas matahari, serta
aktivitas industri di sekitar lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-
waktu sehingga hasil pengukuran antara satu rumah dengan rumah
lainnya berbeda. Hasil pengukuran pun dapat berbeda tergantung dari
kondisi tiap rumah yang diteliti.
2. Pengukuran PM10 hanya dilakukan dalam waktu sesaat dan di dalam
rumah, tidak ada pengukuran pada udara ambien sehingga tidak dapat
diketahui apakah sumber pencemaran PM10 berasal dari luar rumah
atau dalam rumah.
3. Pada variabel anggota keluarga yang merokok dapat terjadi bias
informasi karena tergantung dari kejujuran responden.
6.2 Keluhan ISPA pada Balita di wilayah Puskesmas Rawa Terate
ISPA adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari
saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga
85
telinga tengah, pleura) (Kementerian Kesehatan RI, 2011a). Klasifikasi ISPA pada
balita terdiri dari pneumonia berat, pneumonia, dan bukan pneumonia
(Kementerian Kesehatan RI, 2002). Pada penelitian ini, ISPA pada balita yang
dijadikan sebagai variabel dependen adalah ISPA bukan pneumonia dengan
keluhan ISPA berupa batuk, nyeri tenggorokan, pilek, demam tidak lebih dari 7
hari, tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam atau
tanpa disertai gejala peningkatan frekuensi napas dalam kurun waktu 2 minggu
terakhir (WHO, 2007; Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 115 responden, terdapat 79,1% balita
mengalami keluhan ISPA dan 20,9% balita yang tidak mengalami keluhan ISPA.
Dilihat dari proporsi tersebut dapat dikatakan bahwa sebagian besar balita
mengalami keluhan ISPA. Selain itu, diketahui pula keluhan ISPA yang paling
banyak dialami oleh balita di daerah Kelurahan Rawa Terate yaitu pilek (61,7%),
batuk (53%), demam (34,8%), dan nyeri tenggorokan (12,2%). Sama halnya
dengan data Survei Kesehatan Nasional (Susenas) tahun 2014, bahwa keluhan
kesehatan yang sering dialami balita di Indonesia adalah pilek (58,32%), batuk
(57,62%), dan panas (53,90%) (KPPPA, 2015).
Kelurahan Rawa Terate merupakan kelurahan yang mempunyai kawasan
industri di dalamnya yaitu Kawasan Industri Pulogadung, dan beberapa industri
lain di sekitarnya. Selain itu, akses jalan raya yang menghubungkan antara Bekasi
dengan Jakarta Timur membuat banyaknya transportasi publik maupun pribadi
yang melintas dan menimbulkan kemacetan pada jam-jam tertentu. Emisi dari
kendaraan bermotor serta kegiatan industri mengandung berbagai bahan pencemar
yang berbahaya bagi kesehatan manusia, terutama bagian pernapasan seperti
86
gejala ISPA. Salah satu bahan pencemar yang mengganggu saluran pernapasan
adalah partikulat (Tugaswati, 2008). Selain bahan pencemar tersebut, faktor
lingkungan dalam rumah seperti suhu, kelembaban, pencahayaan, ventilasi, letak
dapur, lubang asap dapur, kepadatan hunian, dan anggota keluarga yang merokok
juga dapat mempengaruhi terjadinya keluhan ISPA pada balita (Californian
Environmental Protection Agency, 2009; Kementerian Kesehatan RI, 2011a;
Ramani dkk., 2016).
Beberapa studi yang dilakukan di sekitar kawasan industri menunjukkan
bahwa lingkungan sekitar industri dapat berisiko menyebabkan terjadinya
gangguan pernapasan seperti ISPA. Studi yang dilakukan oleh Halim (2012) di
sekitar lokasi industri mebel Kabupaten Jepara menunjukkan bahwa masyarakat
sekitar industri tersebut berisiko tinggi terkena ISPA. Hal tersebut dikarenakan
kondisi iklim yang kering di sekitar lokasi menyebabkan debu atau partikel
bergabung dengan udara kemudian terbawa oleh pergerakan angin dan terhirup
oleh masyarakat. Studi lain yang dilakukan oleh Anthony (2008) menunjukkan
tingginya balita yang terserang gangguan ISPA di pemukiman sekitar kawasan
pertambangan granit diduga berkaitan dengan keadaan sanitasi perumahan
penduduk serta kondisi lingkungan yang tidak memenuhi syarat.
6.3 Analisis Hubungan Konsentrasi PM10 Dalam Rumah dengan Keluhan
ISPA pada Balita
Pada penelitian ini, pengukuran konsentrasi PM10 dalam rumah dilakukan
sewaktu dimulai pukul 08.00-16.00 WIB. Pengukuran PM10 sewaktu atau disebut
juga metode spot sampling dipakai untuk memeriksa secara acak keadaan sewaktu
zat pencemar udara pada tempat-tempat pemeriksaan (Lindawaty, 2010). Melalui
87
pengukuran sewaktu, peneliti dapat memperoleh gambaran potensial tingkat kadar
PM10 dalam tiap rumah anak balita. Cara ini adalah cara tidak langsung untuk
menilai pemajanan PM10 (Lindawaty, 2010). Konsentrasi PM10 diukur
menggunakan EPAM 5000 selama 1 jam di ruangan tempat balita sering tidur.
Peletakan diruangan balita sering tidur dikarenakan balita lebih sering melakukan
aktivitas di dalam rumah dan sebagian besar waktunya (12-14 jam) dilakukan
untuk tidur (Dwienda dkk., 2015; Thompson, 2003).
Hasil pengukuran konsentrasi PM10 dalam ruang dikategorikan menjadi
konsentrasi PM10 yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat sesuai dengan
Permenkes No. 1077 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam
Ruang Rumah. Konsentrasi PM10 dalam ruang yang memenuhi syarat adalah ≤70
µg/m3 sedangkan yang tidak memenuhi syarat adalah >70 µg/m3 (Kementerian
Kesehatan RI, 2011b).
Dari hasil analisis univariat konsentrasi PM10 dalam rumah di lokasi
penelitian, kualitas udara dari tiap ruangan balita tergambar dengan ditemukannya
sebagian besar konsentrasi PM10 dalam rumah yang tidak memenuhi syarat (PM10
>70 µg/m3) sebanyak 77,4%. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, dapat
dikatakan bahwa kualitas udara di tiap ruangan tempat balita tidur di wilayah
Puskesmas Rawa Terate masih buruk. Hasil analisis bivariat menghasilkan p-
value 0,025, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara konsentrasi
PM10 dalam ruangan balita dengan keluhan ISPA pada balita di wilayah
Puskesmas Rawa Terate. Dari analisis diperoleh pula nilai OR 3,348, artinya
balita yang tinggal dalam ruangan dengan konsentrasi PM10 tidak memenuhi
syarat (PM10 > 70 µg/m3) mempunyai risiko 3,348 kali untuk mengalami keluhan
88
ISPA dibanding balita yang tinggal dalam ruangan dengan kadar PM10 memenuhi
syarat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Farieda
(2009) di Kota Cilegon yang menyatakan bahwa balita yang tinggal dalam rumah
dengan kadar PM10 tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 56,538 kali untuk
mengalami ISPA dibanding balita yang tinggal dalam rumah dengan kadar PM10
memenuhi syarat. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa PM10
dapat memberikan dampak yang besar terhadap kesehatan manusia karena
sifatnya yang respirable sehingga memicu terjadinya ISPA (Pujiastuti dkk.,
2013). PM10 dapat meningkatkan jumlah dan tingkat keparahan serangan asma,
menyebabkan atau memperburuk bronkitis dan penyakit paru paru lainnya, dan
mengurangi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Sehingga saat partikel
tersebut masuk ke dalam tubuh maka masalah kesehatan pun dimulai. Partikel-
partikel yang masuk ke dalam tubuh menyebabkan iritasi yang mengawali
terjadinya penyakit saluran pernapasan. Tidak ada debu yang benar-benar inert
(tidak merusak paru-paru), sehingga pada konsentrasi tinggi semua debu akan
langsung merangsang dan menimbulkan reaksi produksi lendir yang berlebihan
(Gestrudis, 2010).
Secara umum PM10 dapat bersumber dari pengaruh udara luar yaitu
kegiatan manusia (akibat pembakaran bahan bakar, debu dari proses kontruksi,
dan aktivitas industri) dan pengaruh udara dalam rumah seperti perilaku merokok,
penggunaan energi masak dari bahan bakar biomassa, dan penggunaan obat
nyamuk bakar (Californian Environmental Protection Agency, 2009; Kementerian
Kesehatan RI, 2011b). Kondisi lingkungan di daerah Kelurahan Rawa Terate
89
dapat dikatakan mendukung keberadaan PM10. Kelurahan Rawa Terate dikelilingi
berbagai jenis industri mulai dari industri zat kimia, industri peleburan besi,
hingga industri manufaktur. Selain itu, akses jalan raya padat lalu lintas yang
menghubungkan 2 daerah pun dapat membuat tingginya konsentrasi PM10 di
daerah tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi partikulat
lebih tinggi pada pemukiman di sekitar kawasan industri sehingga resiko
terjadinya keluhan ISPA pada pemukiman sekitar industri lebih tinggi dibanding
dengan pemukiman yang bukan di daerah industri. Penelitian yang dilakukan di
pemukiman sekitar pabrik semen PT. Indocement Citeureup menunjukkan bahwa
secara keseluruhan hasil pengukuran konsentrasi partikel debu PM10 dan PM2,5 di
rumah-rumah sekitar pabrik semen, di dalam pabrik semen, dan di pinggir jalan
melebihi baku mutu udara ambien nasional yang ditetapkan oleh PP No. 41/1999
(Suhariyono, 2002). Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Gestrudis
(2010) di daerah pabrik Indocement pada tahun 2010, menunjukkan bahwa balita
yang tinggal di dalam rumah dengan kadar PM10 tidak memenuhi syarat berisiko
3,1 kali mengalami ISPA dibanding dengan kadar PM10 memenuhi syarat.
Dalam penelitian ini, peneliti tidak melakukan pengukuran udara ambien
sehingga peneliti tidak dapat mengetahui apakah konsentrasi PM10 dalam rumah
tinggi akibat pencemaran yang berada dalam rumah atau akibat keadaan
lingkungan luar rumah yang mendukung keberadaan PM10. Namun, partikulat
dapat masuk ke dalam rumah melalui ventilasi/jendela dan pintu yang terbuka.
Selain itu, tingginya konsentrasi PM10 dalam rumah yang tinggi dapat terjadi oleh
karena ventilasi yang kurang memadai, kepadatan hunian, suhu dan kelembaban
yang tidak memenuhi syarat serta anggota keluarga yang merokok (Gestrudis,
90
2010). Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk dapat mengendalikan
tingginya konsentrasi PM10 dalam rumah.
Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengontrol pertukaran udara di
dalam rumah seperti membuka jendela tiap pagi hari pada pukul 08.00 dan
menutup jendela pada siang dan sore hari, serta menanam tanaman Bromelia dan
Sanseveira (Lidah Mertua) untuk mengurangi konsentrasi pencemar di dalam
rumah. Untuk melakukan hal tersebut, masyarakat terlebih dahulu diberi
penjelasan terkait dampak PM10 terhadap kesehatan, jadwal aktivitas industri yang
mengeluarkan emisi ke lingkungan serta jam saat lalu lintas menjadi padat.
Tanaman Bromelia merupakan tanaman dari suku nanas-nanasan ini biasanya
memiliki warna cerah yang menarik. Bromelia merupakan penyerap terbaik
benzena, senyawa beracun yang berasal dari asap kendaraan dan asap rokok
(Satrio, 2017). Selain tanaman tersebut, tanaman Sanseveira (Lidah Mertua) yang
digunakan sebagai tanaman hias juga dapat menyerap udara yang kotor akibat
polusi yang berada di dalam rumah (Trubus, 2008).
Penggunaan masker saat melakukan aktivitas di luar rumah dapat
mengurangi paparan PM10 masuk ke dalam tubuh. Jenis masker yang dapat
digunakan untuk melindungi penggunanya dari kontaminasi cairan atau partikel
udara yang tercemar yaitu masker biasa (face mask atau surgical mask), dan
masker respirator N95 (Mardani, 2015). Berikut ini contoh gambar masing-
masing jenis masker:
91
a. Masker biasa (face mask atau surgical mask)
b. Masker respirator N95
6.4 Analisis Hubungan Ventilasi dengan Keluhan ISPA pada Balita
Ventilasi merupakan tempat pertukaran udara dari dalam ke luar ataupun
sebaliknya. Ventilasi rumah berfungsi menjaga agar aliran udara di dalam tetap
segar berarti keseimbangan O2 yang diperlukan penghuni akan terjaga. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan O2 rendah, dan CO2 tinggi di dalam rumah
(Notoatmodjo, 2007). Pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat dapat
menyebabkan suburnya pertumbuhan mikroorganisme, yang mengakibatkan
gangguan terhadap kesehatan manusia, seperti gangguan pernapasan
(Kementerian Kesehatan RI, 2011b).
Dari hasil analisis univariat terkait ventilasi di lokasi penelitian,
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mempunyai ventilasi yang tidak
memenuhi syarat (< 10% luas lantai dan dibuka tiap pagi hari) yaitu 78,3%. Hal
Gambar 6.1 Masker biasa (face mask atau surgical mask)
Gambar 6.2 Masker respirator N95
92
ini dikarenakan lokasi rumah penduduk yang berada di sekitar kawasan industri
Pulo Gadung dan industri peleburan besi Kelurahan Rawa Terate menyebabkan
buruknya kualitas udara disekitar daerah tersebut akibat emisi yang dikeluarkan
oleh industri. Salah satu industri peleburan besi dan baja yang ada di Desa
Palahlar, keberadaan industri tersebut memberikan dampak negatif bagi
masyarakat berupa pencemaran udara yang dikeluarkan dari sisa produksi.
Pencemaran udara tersebut menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang
menghirup udara dalam jangka panjang. Penyakit yang ditimbulkan berupa
penyakit batuk, pusing, flu, dan sesak napas (Paramitha, 2013). Hal tersebut
membuat kondisi ventilasi rumah yang dibuat oleh masyarakat di daerah
Kelurahan Rawa Terate hanya berupa kaca yang berfungsi untuk pencahayaan,
dikarenakan masyarakat ingin mengurangi masuknya debu yang masuk ke dalam
rumah, sehingga hanya beberapa rumah saja yang mempunyai ventilasi yang baik
dan memenuhi syarat.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
ventilasi dengan keluhan ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Afandi (2012) pada penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Perbedaan
hasil dapat terjadi karena lokasi penelitian yang berbeda serta kondisi rumah dari
masing-masing responden. Namun dilihat dari nilai OR = 0,934 menunjukkan
bahwa ventilasi merupakan faktor protektif yaitu faktor yang dapat mengurangi
risiko terjadinya keluhan ISPA pada balita. Hal tersebut sesuai dengan pedoman
penyehatan udara dalam rumah yang ada dalam Permenkes No. 1077 tahun 2011
yaitu rumah harus dilengkapi dengan ventilasi (minimal 10% luas lantai) dan
93
membuka jendela minimal pada pagi hari. Kurangnya ventilasi akan menimbulkan
pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat sehingga dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikroorganisme yang dapat mengakibatkan gangguan
terhadap kesehatan manusia. Sehingga dengan adanya ventilasi maka pertukaran
udara dan kualitas udara dalam rumah menjadi baik sehingga tidak menimbulkan
gangguan kesehatan.
Agar diperoleh kesegaran dalam ruangan dengan cara penghawaan alami
maka dapat dilakukan dengan memberikan atau mengadakan ventilasi silang atau
cross ventilation. Sistem ventilasi yang dimaksud adalah peletakkan bukaan yang
berfungsi memasukkan udara atau yang menghadap angin datang (inlet)
diletakkan berhadapan dengan bukaan yang berfungsi mengeluarkan udara
(outlet) (Wicaksono, 2009). Berikut beberapa siasat cross ventilation pada dinding
rumah:
a. Siasat cross ventilation saat kondisi tidak memungkinkan untuk
menempatkan jendela pada dinding berhadapan.
Gambar 6.3 Cross ventilation saat kondisi tidak
memungkinkan untuk menempatkan jendela
pada dinding berhadapan
94
b. Siasat cross ventilation saat kondisi hanya memungkinkan penempatan
jendela pada satu dinding saja.
6.5 Analisis Hubungan Suhu dengan Keluhan ISPA pada Balita
Pada penelitian ini, suhu udara dalam ruang diukur menggunakan
thermohygrometer yang diletakkan di ruangan tempat balita sering tidur selama
10 menit. Hasil pengukuran suhu dalam ruangan balita dikategorikan menjadi
memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat sesuai dengan Permenkes No. 1077
Tahun 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. Suhu
memenuhi syarat berada dalam rentang 18oC -30oC sedangkan suhu yang tidak
memenuhi syarat berada di bawah dan di atas rentang tersebut (Kementerian
Kesehatan RI, 2011b).
Berdasarkan hasil analisis tabel silang menunjukkan bahwa keluhan ISPA
pada balita banyak terjadi pada ruangan balita dengan suhu yang tidak memenuhi
syarat. Namun, hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara suhu udara dalam ruang dengan keluhan ISPA pada balita
dengan p-value sebesar 0,603. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rudianto (2013) pada balita di Desa Tamansari Karawang. Tidak
adanya hubungan antara suhu dalam ruang dengan kejadian ISPA dalam
Gambar 6.4 Cross ventilation saat kondisi hanya memungkinkan
penempatan jendela pada satu dinding saja
95
penelitian Rudianto dikarenakan pengukuran suhu ruangan kamar balita dilakukan
saat hujan sehingga kemungkinan dipengaruhi oleh intensitas hujan.
Meskipun secara statistik tidak ditemukan adanya hubungan, namun hasil
nilai OR sebesar 1,977 menunjukkan bahwa suhu yang tidak memenuhi syarat
mempunyai risiko 1,977 kali untuk mengalami keluhan ISPA dibandingkan
dengan suhu memenuhi syarat. Hal itu berarti suhu dalam ruang dapat
berpengaruh terhadap kesehatan penghuni terutama balita. Suhu dalam ruang
dipengaruhi oleh suhu udara luar dan kepadatan hunian (Chandra, 2005;
Wicaksono, 2009). Suhu udara luar yang tinggi akan meningkatkan suhu dalam
ruang, sehingga akan terasa panas di dalam ruangan. Meningkatnya suhu dalam
ruang juga dapat terjadi akibat pengeluaran panas tubuh jika jumlah penghuni
dalam rumah terlalu padat (Ningrum, 2015). Suhu ruangan yang tinggi akan
membuat sirkulasi udara menjadi stagnan (tidak berpindah), sehingga
menyebabkan polutan atau debu terperangkap di udara dan dapat mengakibatkan
gangguan pada pernapasan (Canadian Lung Association, 2016).
Suhu udara dalam ruangan juga dapat dipengaruhi oleh sirkulasi udara dan
kelembaban. Sirkulasi udara yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan
ruangan terasa pengap dan akan menimbulkan kelembaban yang tinggi
(Kementerian Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2002). Suhu ruangan yang
rendah dengan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri di dalam ruangan (Broaddus dkk., 2015). Untuk
mengatur suhu dalam ruangan tetap stabil sebaiknya penghuni rumah menjaga
keseimbangan sirkulasi udara dengan cara membuka serta menutup jendela dan
pintu.
96
6.6 Analisis Hubungan Kelembaban dengan Keluhan ISPA pada Balita
Kelembaban udara dalam ruang pada penelitian ini diukur dengan
menggunakan thermohygrometer selama 10 menit di ruangan tempat balita sering
tidur. Hasil analisis tabel silang menunjukkan bahwa responden yang memiliki
kelembaban dalam ruang tidak memenuhi syarat dan balitanya mengalami
keluhan ISPA sebesar 83,3% (40 rumah). Hasil analisis bivariat menunjukkan
tidak ada hubungan antara kelembaban udara dalam ruang dengan keluhan ISPA
pada balita. Namun, nilai OR = 1,569 menunjukkan bahwa kelembaban udara
merupakan faktor risiko terjadinya keluhan ISPA pada balita.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Farieda
(2009) di Kecamatan Ciwandan, Cilegon bahwa tidak terdapat hubungan antara
kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita. Berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Afandi (2012) di Kabupaten Wonosobo menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita.
Kelembaban udara merupakan persentase jumlah air di udara atau uap air
dalam udara. Mengacu pada Permenkes No. 1077 tahun 2011, kelembaban udara
yang baik adalah 40% - 60% Rh. Kelembaban udara yang rendah dapat membuat
membran mukosa dihidung dan tenggorakan mengering, meningkatkan
ketidaknyamanan dan kerentanan terhadap penyakit pernapasan (Minnegasco,
2004). Kelembaban udara yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
pertumbuhan mikroorganisme. Tempat dengan kelembaban yang rendah dapat
membuat virus influenza dapat bertahan hidup lebih lama (Higienis, 2016). Jika
kelembaban udara di dalam ruangan tinggi, maka virus, jamur, tungau, lumut, dan
97
bakteri yang menjadi pemicu alergi akan bertumbuh pesat (Fahimah dkk., 2014;
Higienis, 2016).
Kelembaban udara diluar rumah secara alami dapat mempengaruhi
kelembaban di dalam rumah. Ruang yang lembab memungkinkan tumbuhnya
mikroorganisme patogen (Pramudiyani dan Prameswari, 2011). Ventilasi rumah
berkaitan dengan kelembaban rumah, yang mendukung daya hidup virus maupun
bakteri (Yuwono, 2008). Sinar matahari sanggup membunuh bakteri penyakit,
virus, dan jamur (Sinaga, 2012). Sehingga untuk mendapatkan tingkat
kelembaban yang baik hendaknya mengatur agar pertukaran udara selalu lancar
serta sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah.
Kondisi sebagian besar rumah di wilayah Kelurahan Rawa Terate yang
saling berhimpitan membuat sinar matahari susah untuk masuk melalui jendela
rumah, selain itu sebagian besar responden hanya mempunyai jendela kaca
tertutup tanpa bisa dibuka sehingga pertukaran udara hanya terjadi melalui pintu.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat disekitar, alasan mereka hanya
mempunyai jendela kaca tertutup karena untuk mengurangi masuknya debu
pabrik atau debu jalanan ke dalam rumah sehingga tidak mengotori rumah. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan kelembaban yang baik di daerah Rawa Terate
dapat diusahakan membuka jendela atau pintu minimal tiap pagi hari atau disaat
aktivitas pabrik dan jalan raya belum terlalu padat agar dapat meminimalisir debu
jalanan atau debu pabrik yang masuk sehingga pertukaran udara dapat terjadi di
dalam rumah serta memasang genting kaca atau fiber glass agar sinar matahari
dapat masuk ke dalam rumah.
98
6.7 Analisis Hubungan Pencahayaan dengan Keluhan ISPA pada Balita
Pencahayaan dalam ruang diukur menggunakan luxmeter. Pencahayaan
dikategorikan menjadi memenuhi syarat bila intensitas ≥ 60 lux dan tidak
memenuhi syarat bila intensitas < 60 lux. Pencahayaan yang diukur dalam
penelitian ini adalah pencahayaan alami. Pencahayaan alami adalah penerangan
rumah secara alami oleh sinar matahari melalui jendela, lubang angin dan pintu
dari arah timur di pagi hari dan barat di sore hari (Wattimena, 2004 dalam Suryani
dkk., 2015). Cahaya matahari yang masuk ke dalam ruang dapat membunuh
kuman penyakit (Sinaga, 2012)
Hasil analisis tabel silang antara pencahayaan dan keluhan ISPA pada balita
menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan pencahayaan tidak
memenuhi syarat mengalami keluhan ISPA pada balita sebesar 80,4% (78 rumah).
Kurangnya pencahayaan di daerah Kelurahan Rawa Terate dipengaruhi oleh
kondisi rumah penduduk yang terlalu rapat, dan tidak adanya genting kaca atau
fiber glass, sehingga berdampak pada sedikitnya cahaya matahari yang masuk ke
dalam rumah. Sementara, hasil analisis bivariat menunjukkan nilai p-value =
0,527, secara statistik berarti tidak ada hubungan antara pencahayaan dalam ruang
dengan keluhan ISPA pada balita. Namun, nilai OR = 1,579 menunjukkan bahwa
pencahayaan dalam ruang merupakan faktor risiko terjadinya keluhan ISPA pada
balita.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fahimah dkk (2014) dan
Sinaga (2012) bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian
penyakit ISPA pada balita. Namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Dewi (2012) dan Pangemanan dkk (2016) bahwa terdapat hubungan antara
99
pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita. Kemungkinan perbedaan hasil
penelitian dapat dipengaruhi oleh kondisi atau letak rumah di lokasi penelitian
masing-masing, serta pengaruh cuaca ataupun intensitas sinar matahari saat
penelitian.
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, khususnya cahaya
alami berupa cahaya matahari. Cahaya matahari mempunyai sinar ultraviolet pada
panjang gelombang 253,7 nm yang bisa membunuh kuman, bakteri, virus, serta
jamur yang dapat menyebabkan infeksi, alergi, asma maupun penyakit lainnya.
Sinar ultraviolet akan merusak DNA mikroba (kuman, bakteri, virus maupun
jamur) sehingga DNA mikroba menjadi steril. Jika mikroba terkena sinar
ultraviolet, maka mikroba tidak mampu bereproduksi dan akhirnya mati (Sari
dkk., 2014) Menurut Robert Koch, semua jenis cahaya dapat mematikan kuman,
hanya berbeda satu sama lain dari segi lamanya proses mematikan kuman. Cahaya
yang sama apabila melalui kaca yang tidak berwarna dapat membunuh kuman
dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwarna (Soesanto
dkk., 2000).
Kondisi rumah di sekitar lokasi penelitian yang lebih sering tertutup dan
padat, menyebabkan sinar matahari susah masuk ke dalam rumah. Sehingga
sebagian besar pencahayaan di lokasi penelitian tidak memenuhi syarat (batas
minimal < 60 lux). Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pencahayaan dengan
kondisi rumah tersebut responden dapat membuka jendela atau pintu pada pagi
hingga sore hari atau saat aktivitas industri dan lalu lintas belum padat. Selain itu,
penggunaan genting kaca atau fiber glass juga disarankan untuk kondisi rumah
yang padat atau berhimpitan satu sama lain.
100
6.8 Analisis Hubungan Letak Dapur dengan Keluhan ISPA pada Balita
Pada penelitian ini untuk mengetahui keberadaan letak dapur di rumah
responden dilakukan dengan cara menanyakan langsung kepada responden serta
observasi lingkungan dalam rumah responden untuk memastikan keberadaannya.
Hasil analisis bivariat menunjukkan p-value = 0,118, secara statistik berarti tidak
ada hubungan antara letak dapur dengan keluhan ISPA pada balita di daerah
Kelurahan Rawa Terate. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Azhar
dkk (2015) di Kelurahan Kayuringin menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara letak dapur dengan gejala ISPA pada balita. Sedangkan, dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Anthony (2008) dan Farieda (2009) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara letak dapur dengan kejadian ISPA pada balita.
Hal tersebut dikarenakan pada penelitian Anthony (2008) dan Farieda (2009)
masyarakat masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak.
Dalam sebuah rumah idealnya dapur mempunyai ruangan tersendiri, karena
asap dari pembakaran dapat memberikan dampak terhadap kesehatan. Ruangan
dapur hendaknya terdapat ventilasi yang baik agar asap atau udara dari dapur
dapat teralirkan ke udara bebas (Afandi, 2012). Berdasarkan hasil tabel silang
ditemukan bahwa keluhan ISPA lebih banyak dialami pada keberadaan letak
dapur yang terpisah dengan ruangan lain. Selain itu, sebagian besar responden
yang mempunyai letak dapur terpisah dengan ruangan lain telah mempunyai
lubang asap dapur di rumahnya. Lubang asap dapur yang dapat membantu
mengeluarkan asap ke udara luar juga berfungsi sebagai ventilasi di area dapur.
Sehingga menurut asumsi peneliti, kondisi lingkungan luar rumah berpengaruh
terhadap keluhan ISPA dan memungkinkan terjadinya perpindahan mikro partikel
101
atau polutan yang ada di udara luar masuk ke dalam area dapur melalui lubang
asap dapur. Oleh karena itu, walaupun letak dapur telah terpisah namun karena
kondisi kualitas udara luar rumah buruk dapat berpengaruh terhadap keadaan di
dalam rumah terutama area dapur. Particulate matter atau debu partikulat adalah
mikro partikel yang terbentuk dari cair maupun padat dan tersuspensi di udara.
Partikulat tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
manusia, karena dapat masuk ke dalam paru-paru bahkan peredaran darah
manusia (Rinkesh, 2016).
Penggunaan tanaman Bromelia dan Sanseveira (Lidah Mertua) dapat
dijadikan sebagai barrier terhadap polutan. Tanaman Bromelia dan Sanseveira
dapat menyerap senyawa polutan dari kendaraan dan asap rokok serta udara kotor
akibat polusi yang berada di dalam rumah. Selain itu, sebaiknya responden selalu
membersihkan dapur ataupun rumah setelah digunakan untuk mengurangi debu
yang ada di dalam rumah serta menutup lubang asap dapur saat tidak melakukan
aktivitas di dapur agar debu atau mikropartikel tidak masuk ke area dapur atau
dalam rumah.
6.9 Analisis Hubungan Lubang Asap Dapur dengan Keluhan ISPA pada
Balita
Lubang asap dapur menjadi sangat penting artinya karena asap dapat
mempunyai dampak terhadap kesehatan manusia terutama penghuni di dalam
rumah. Lubang asap yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan gangguan
terhadap pernapasan dan mungkin dapat merusak alat-alat pernapasan, lingkungan
rumah menjadi kotor dan gangguan terhadap penglihatan atau mata menjadi pedih
(Farieda, 2009).
102
Pada penelitian ini untuk mengetahui keberadaan lubang asap dapur di
rumah responden dilakukan dengan cara menanyakan langsung kepada responden
serta observasi lingkungan dalam rumah responden untuk memastikan
keberadaannya. Hasil analisis bivariat menunjukkan p-value = 0,572, secara
statistik berarti tidak ada hubungan antara lubang asap dapur dengan keluhan
ISPA pada balita di wilayah Kelurahan Rawa Terate. Hal ini disebabkan bahan
bakar memasak yang digunakan oleh sebagian besar responden adalah gas/LPG,
jadi ada atau tidaknya lubang asap dapur tidak begitu berpengaruh karena polusi
asap yang disebabkan oleh gas/LPG lebih sedikit dibandingkan polusi asap yang
dikeluarkan oleh bahan bakar padat seperti kayu bakar (Yabei dkk., 2013).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) di
Kota Semarang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara keberadaan
lubang asap dapur dengan kejadian ISPA pada balita. Namun, pada penelitian
yang dilakukan oleh Afandi (2012) dan Farieda (2009) menunjukkan hasil yang
berbeda, yaitu terdapat hubungan antara keberadaan lubang asap dapur dengan
kejadian ISPA pada balita.
Berdasarkan nilai OR = 0,694 menunjukkan bahwa lubang asap dapur
merupakan faktor protektif yaitu faktor yang dapat mengurangi risiko terjadinya
keluhan ISPA pada balita. Hal tersebut sesuai dengan persyaratan kesehatan
perumahan yang ada dalam Kepmenkes No. 829 tahun 1999 yaitu dapur yang
sehat harus memiliki lubang asap dapur. Dapur yang tidak memiliki lubang asap
dapur akan menimbulkan banyak polusi asap ke dalam rumah dan kondisi ini akan
berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita karena asap akan dapat
103
mengiritasi saluran pernapasan. Sehingga sangat dianjurkan untuk mempunyai
lubang asap dapur di rumahnya untuk mengurangi polusi asap.
Namun berdasarkan hasil analisis tabel silang menunjukkan bahwa dari 61
balita terdapat 50 balita yang rumahnya memiliki lubang asap dapur tetapi balita
tersebut mengalami keluhan ISPA. Hal ini terjadi karena lubang asap dapur bukan
satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya gejala ISPA pada balita.
Kondisi sekitar lokasi penelitian yang dikelilingi oleh industri membuat kualitas
udara disekitarnya menjadi kurang baik. Polusi udara yang dihasilkan oleh
aktivitas industri dan lalu lintas yang padat dapat menghasilkan berbagai macam
polutan dan debu yang dapat membahayakan kesehatan manusia (Jang dkk.,
2016). Berdasarkan asumsi peneliti, keberadaan lubang asap dapur di daerah
sekitar industri perlu diperhatikan bentuknya karena lubang asap dapur dapat
berfungsi seperti hal nya ventilasi, yaitu sebagai sirkulasi udara yang ada di dapur.
Oleh karena itu, keberadaan lubang asap dapur seperti jendela dapat berpengaruh
terhadap masuknya polutan dan debu ke dalam rumah karena terjadi pertukaran
udara. Lubang asap dapur yang berbentuk jendela dapat mengontrol masuknya
polutan udara tersebut ke dalam rumah, dengan menutup jendela di dapur saat
aktivitas sekitar industri dan lalu lintas sedang padat dan membukanya kembali
saat aktivitas industri dan lalu lintas tidak padat.
6.10 Analisis Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan ISPA pada
Balita
Pengukuran kepadatan hunian dalam penelitian ini yaitu rasio antara luas
rumah dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah.
Kepadatan hunian dikategorikan menjadi memenuhi syarat bila ≥ 8 m2/orang dan
104
tidak memenuhi syarat bila < 8 m2/orang sesuai dengan Kepmenkes No. 829
tahun 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Rumah. Hasil analisis tabel silang
menunjukkan bahwa dari 66 balita terdapat 55 balita (83,3%) yang mempunyai
hunian yang padat mengalami keluhan ISPA. Namun, hasil analisis bivariat
menunjukkan p-value = 0,291, secara statistik berarti tidak ada hubungan antara
kepadatan hunian dengan keluhan ISPA pada balita.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningrum
(2015) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan
hunian dengan kejadian ISPA non pneumonia pada balita. Sedangkan, pada
penelitian yang dilakukan oleh Noviya (2012) di Kota Makassar dan Fillacano
(2013) di Ciputat menunjukkan adanya hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian ISPA pada balita. Walaupun dalam penelitian yang dilakukan di
Kelurahan Rawa Terate tidak mempunyai hubungan dengan keluhan ISPA, nilai
OR = 1,806 menunjukkan bahwa kepadatan hunian merupakan faktor risiko
terjadinya keluhan ISPA pada balita yang berarti balita yang tinggal di dalam
hunian yang padat memiliki risiko 1,806 kali untuk mengalami keluhan ISPA
dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam hunian yang tidak padat.
Kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat, akan menyebabkan
kelembaban ruangan tinggi sehingga bibit penyakit dapat berkembang biak
dengan baik dan mempermudah terjadinya penularan penyakit baik secara
langsung maupun tidak langsung. Selain dari itu, jumlah penghuni rumah yang
padat menyebabkan berkurangnya ruang bagi setiap penghuni, sehingga kontak
antar penghuni lebih sering dan lebih lama. Akibatnya bila ada penderita ISPA di
dalam rumah maka akan lebih muda terjadi penularan ke penghuni lainnya. Hal
105
ini kemungkinan menyebabkan infeksi silang kepada penghuni lainnya (Noviya,
2012).
Kepadatan hunian rumah yang tinggi akan meningkatkan suhu ruangan
yang disebabkan oleh pengeluaran panas tubuh. Jumlah penghuni rumah yang
padat juga dapat menurunkan kadar O2 dalam ruangan dan meningkatkan kadar
CO2 dalam ruangan. Dampak dari peningkatan CO2 dalam ruangan adalah
penurunan kualitas udara dalam rumah yang memungkinkan kuman penyakit
berkembangbiak lebih cepat, sehingga ukuran rumah yang kecil dengan jumlah
penghuni yang padat akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit melalui
droplet dan kontak langsung (Sari dkk., 2014). Maka semakin banyak jumlah
penghuni rumah maka akan semakin cepat udara dalam ruangan mengalami
pencemaran, baik pencemaran gas maupun pencemaran bakteri atau kuman
penyakit (Sinaga, 2012).
6.11 Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Merokok dengan Keluhan
ISPA pada Balita
Hasil analisis tabel silang menunjukkan bahwa dari 89 balita terdapat 72
balita (80,9%) yang mempunyai anggota keluarga perokok dan balita tersebut
mengalami keluhan ISPA. Namun, hasil analisis bivariat menunjukkan p-value =
0,556, secara statistik tidak ada hubungan antara anggota keluarga yang merokok
dengan keluhan ISPA pada balita. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sinaga (2012) dan Farieda (2009) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
merokok dengan kejadian ISPA pada balita. berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Afandi (2012) dan Noviya (2012) menunjukkan adanya hubungan
antara merokok dengan kejadian ISPA pada balita.
106
Walaupun hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan, nilai OR =
1,560 menunjukkan bahwa anggota keluarga yang merokok merupakan faktor
risiko terjadinya keluhan ISPA pada balita di wilayah Kelurahan Rawa Terate.
Hasil tersebut didukung oleh teori yang menyatakan bahwa orang tua yang
merokok menyebabkan anaknya rentan terhadap pneumonia (Rahajoe dkk., 2008).
Asap rokok bukan menjadi penyebab langsung kejadian pneumonia pada balita,
tetapi menjadi faktor tidak langsung yang diantaranya dapat menimbulkan
penyakit paru-paru yang akan melemahkan daya tahan tubuh balita (Yuwono,
2008). Asap rokok banyak mengandung bahan-bahan berbahaya seperti karbon
monoksida (CO2), timbal (Pb), tar dan nikotin yang berwarna coklat kekuningan-
kuningan dan bersifat melekat.
Asap rokok (Environmental Tobacco Smoke) yaitu campuran asap yang
berasal dari pembakaran rokok, pipa atau cerutu dan asap yang diisap dari
merokok. Campuran asap tersebut lebih dari 40 senyawa diantaranya
menyebabkan kanker pada manusia dan hewan dan sebagian besarnya adalah
bahan iritan yang kuat. Manusia yang menghisap ETS disebut perokok pasif.
Semakin banyaknya anggota keluarga yang merokok dan jumlah batang yang
dihisap anggota keluarga maka akan semakin meningkatkan jumlah paparan asap
rokok yang dihasilkan ke lingkungan. Paparan asap rokok yang dihirup perokok
aktif hanya 15 persen. Sementara 85 persen lain dilepaskan dan dihirup oleh
perokok pasif (Kusumawati, 2010). Balita yang tinggal dalam rumah dengan
anggota keluarga yang merokok akan menjadi perokok pasif. Dampak yang
ditimbulkan pada balita adalah gangguan pernapasan dengan gejala sesak napas,
batuk dan lender berlebihan (Farieda, 2009).
107
Oleh karena itu, upaya untuk menghindari pajanan asap rokok perlu
dilakukan. Solusi terbaik yang harus dilakukan adalah setiap anggota keluarga
tidak boleh ada yang merokok. Namun, jika ada anggota keluarga yang merokok,
maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan cara tidak merokok di dalam
rumah dan setelah selesai merokok sebaiknya mencuci tangan dan mengganti
pakaian yang digunakan. Hal tersebut untuk menghindari residu dari rokok
terhirup oleh balita saat orang tuanya menggendong atau bermain bersama balita.
108
7 BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Distribusi keluhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Kelurahan Rawa Terate sebesar 79,1% dari total 115 responden.
2. Berdasarkan hasil analisis univariat dapat disimpulkan bahwa:
a. Rata-rata usia balita yaitu 27,97 bulan dengan usia balita terendah
yaitu 1 bulan dan tertinggi yaitu 56 bulan.
b. Balita yang diteliti lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dengan
persentase sebesar 54,8%.
c. Sebagian besar balita berstatus gizi baik dengan persentase sebesar
80,9%.
d. Sebagian besar balita telah melakukan imunisasi dasar secara
lengkap dengan persentase sebesar 86,1%.
e. Sebagian besar balita tidak mengalami BBLR dengan persentase
sebesar 93,9%.
f. Sebagian besar konsentrasi PM10 dalam rumah responden tidak
memenuhi syarat dengan persentase sebesar 77,4% (89 rumah).
g. Sebagian besar ventilasi rumah responden tidak memenuhi syarat
dengan persentase sebesar 78,3% (90 rumah).
109
h. Sebagian besar suhu dalam ruangan balita tidak memenuhi syarat
dengan persentase sebesar 94,8% (109 rumah).
i. Sebagian besar kelembaban dalam ruangan balita telah memenuhi
syarat dengan persentase sebesar 58,3% (67 rumah).
j. Sebagian besar pencahayaan di dalam ruangan balita tidak
memenuhi syarat dengan persentase sebesar 84,3% (97 rumah).
k. Hanya sebagian responden yang masih memiliki letak dapur yang
tidak terpisah dengan ruangan lain dengan persentase sebesar
16,55% (19 rumah).
l. Sebagian besar responden telah memiliki lubang asap dapur
dengan persentase sebesar 53% (61 rumah).
m. Sebagian besar responden memiliki hunian yang padat dengan
persentase sebesar 57,4% (66 rumah).
n. Sebagian besar responden memiliki anggota keluarga yang
merokok dengan persentase sebesar 77,4% (89 rumah).
3. Berdasarkan hasil analisis bivariat dapat disimpulkan bahwa:
a. Terdapat hubungan antara konsentrasi PM10 dalam rumah dengan
keluhan ISPA pada balita dengan p-value sebesar 0,025.
b. Tidak terdapat hubungan antara ventilasi dengan keluhan ISPA
pada balita dengan p-value sebesar 1,000.
c. Tidak terdapat hubungan antara suhu dengan keluhan ISPA pada
balita dengan p-value sebesar 0,603.
d. Tidak terdapat hubungan antara kelembaban dengan keluhan ISPA
pada balita dengan p-value sebesar 0,480.
110
e. Tidak terdapat hubungan antara pencahayaan dengan keluhan
ISPA pada balita dengan p-value sebesar 0,527.
f. Tidak terdapat hubungan antara letak dapur dengan keluhan ISPA
pada balita dengan p-value sebesar 0,118.
g. Tidak terdapat hubungan antara lubang asap dapur dengan keluhan
ISPA pada balita dengan p-value sebesar 0,572.
h. Tidak terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan keluhan
ISPA pada balita dengan p-value sebesar 0,291.
i. Tidak terdapat hubungan antara anggota keluarga yang merokok
dengan keluhan ISPA pada balita dengan p-value sebesar 0,556.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka saran yang
dapat diberikan sebagai berikut:
1. Masyarakat di wilayah Kelurahan Rawa Terate
a. Masyarakat disarankan untuk menjaga keseimbangan sirkulasi
udara dengan cara selalu membuka jendela atau pintu saat pagi hari
(pukul 08.00 WIB) dan menutup jendela atau pintu saat aktivitas
industri dan lalu lintas padat (siang hingga sore hari) agar
pertukaran udara dapat berjalan baik dan meminimalisir polutan
masuk ke dalam tubuh. Selain itu, dapat menggunakan sistem cross
ventilation.
b. Masyarakat disarankan untuk memelihara tanaman di teras serta
area dapur sebagai barrier terhadap polutan.
c. Masyarakat disarankan untuk tidak merokok.
111
d. Masyarakat disarankan untuk menggunakan masker biasa (face
mask/surgical mask) atau masker respirator N95 saat melakukan
kegiatan di luar rumah untuk mengurangi paparan PM10 dari luar
rumah masuk ke dalam tubuh.
2. Pihak Puskesmas Rawa Terate
c. Bekerja sama dengan masyarakat serta pihak industri untuk
melaksanakan program yang berkaitan dengan kelestarian
lingkungan seperti menanam pohon untuk mengurangi polusi
udara.
d. Disarankan untuk memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada
masyarakat mengenai dampak paparan PM10 terhadap kesehatan,
pentingnya rumah sehat, serta bahaya dan kebiasaan merokok.
3. Peneliti Selanjutnya
a. Sebaiknya dilakukan pengukuran udara di luar rumah untuk
mengetahui apakah kualitas udara luar rumah dapat berpengaruh
terhadap ISPA pada balita.
112
8 DAFTAR PUSTAKA
Afandi, A. I. (2012) Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Anak Balita di Kabupaten Wonosobo
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. Universitas Indonesia.
Ana, G. R. and Morakinyo, O. M. (2015) ‘Chapter 24 : Indoor Air Quality and
Risk Factors Associated with Respiratory Conditions in Nigeria’, in Current
Air Quality Issue. Intech. Available at: http://dx.doi.org/10.5772/59864.
Andriyani, R. (2011) Bahaya Merokok: 1st edn. Edited by B. Wijanarko. Jakarta:
PT. Sarana Bangun Pustaka. Available at:
https://books.google.co.id/books?id=HYY2DwAAQBAJ.
Anggraeni, W. (2006) Particulate matter ( PM10 ) dan faktor lingkungan rumah
yang mempengaruhi kejadian infeksi saluran pernapasan akut ( ISPA ) balita
di Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang tahun 2006.
Anthony, F. (2008) Partikulat Debu (PM10) Dalam Rumah Dengan Gangguan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita. Universitas Indonesia.
Araújo, I. P. S., Costa, D. B. and Moraes, R. J. B. De (2014) ‘Identification and
Characterization of Particulate Matter Concentrations at Construction
Jobsites’, Sustainability, pp. 7666–7688. doi: 10.3390/su6117666.
Arcavi, L. and Benowitz, N. L. (2017) ‘Cigarette Smoking and Infection’, Arch
Intern Med, 164, pp. 2206–2216.
Ayudhitya, D. and Tjuatja, I. (2014) Health is Easy. Jakarta: Penebar PLUS+.
Available at: https://books.google.co.id/books?id=2l5hCAAAQBAJ.
Azhar, K., Dharmayanti, I. and Mufida, I. (2015) Kadar Debu Partikulat ( PM 2,5
) dalam Rumah dan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Kayuringin
Jaya , Kota Bekasi Tahun 2014.
Badan Standardisasi Nasional (2004) ‘SNI 16-7062-2004 : Pengukuran intensitas
penerangan di tempat kerja’. Indonesia.
Bellew, B., Greenhalgh, E. and Winstanley, M. (2015) 3.9 Increased susceptibility
to infection in smokers, Melbourne: Cancer Council Victoria. Available at:
http://www.tobaccoinaustralia.org.au/3-9-increased-susceptibility-to-
infection-in-smoke (Accessed: 8 January 2017).
BPLHD DKI Jakarta (2015) BUKU II SLHD DKI JAKARTA. Jakarta.
BPS Kota Administrasi Jakarta Timur (2016) Statistik Daerah Kecamatan
Cakung 2016. Jakarta . doi: 31720.1620.
Broaddus, V. C., Mason, R. C., Ernst, J. D., King, T. E., Lazarus, S. C., Murray, J.
F., Nadel, J. A., Slutsky, A. and Gotway, M. (2015) Murray & Nadel’s
Textbook of Respiratory Medicine E-Book. Elsevier Health Sciences.
113
Available at: https://books.google.co.id/books?id=Hux1BwAAQBAJ.
Budiarto, E. (2001) Biostatistika. Edited by P. Widyastuti. Jakarta: Egc.
Budiarto, E. and Anggraeni, D. (2002) Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Egc.
Available at: https://books.google.co.id/books?id=JxappBBDlJgC.
Californian Environmental Protection Agency (2009) Air Pollution - Particulate
Matter Brochure, Air Resources Board. Available at:
https://www.arb.ca.gov/html/brochure/pm10.htm (Accessed: 1 January 2016).
Canadian Lung Association (2016) Heat and Humidity. Available at:
https://www.lung.ca/news/expert-opinions/pollution/heat-and-humidity
(Accessed: 12 November 2017).
Chandra, B. (2005) Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.
Corwin, E. J. (2009) Buku Saku Patofisiologi. 3rd edn. Edited by Egi Kumara
Yudha, Esty Wahyuningsih, Devi Yulianti, and Pamilih Eko Karyuni.
Translated by N. B. Subekti. Jakarta: EGC.
Dewi, A. C. (2012) ‘Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah dengan
Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gayamsari Kota
Semarang’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(2), pp. 852–860. Available at:
http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm (Accessed: 13 November 2017).
Ditjen PP & PL (2013) Informasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Dockery, D. W. and Pope III, C. A. (1994) ‘Acute Respiratory Effect of
Particulate Air Pollution’, Annu. Rev. Public Health, 15, pp. 107–32.
Available at:
http://www.annualreviews.org/doi/pdf/10.1146/annurev.pu.15.050194.000543
(Accessed: 14 July 2017).
Dwienda, O., Maita, L., Saputri, E. M. and Yulviana, R. (2015) Buku Ajar Asuhan
Kebidanan Neonatus, Bayi/ Balita dan Anak Prasekolah untuk Para Bidan.
Yogyakarta: Deepublish. Available at:
https://books.google.co.id/books?id=dKzpCAAAQBAJ.
Endah, N. and Daroham, P. (2009) ‘Penyakit ISPA Hasil RISKESDAS Di
Indonesia’, Balai Penelitian Kesehatan, pp. 50–55.
Fahimah, R., Kusumowardani, E., Susanna, D., Lingkungan, K., Masyarakat, F.
K. and Indonesia, U. (2014) ‘Kualitas Udara Rumah dengan Kejadian
Pneumonia Anak Bawah Lima Tahun ( di Puskesmas Cimahi Selatan dan
Leuwi Gajah Kota Cimahi )’, 18(1), pp. 25–33. doi: 10.7454/msk.v18i1.3090.
Farieda, A. (2009) Pengaruh Particulate Matter (PM10) Dalam Rumah Terhadap
ISPA Pada Balita (Studi Pada Pemukiman Sekitar Kawasan Industri di
Kecamatan Ciwandan Kota Cilegon Provinsi Banten Tahun 2009).
Universitas Indonesia.
114
Fillacano, R. (2013) Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA Pada
Balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan Tahun 2013. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Available at:
http://www.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24284/1/RAH
MAYATUL FILLACANO-fkik.pdf (Accessed: 16 November 2017).
Gestrudis (2010) Hubungan antara Kadar Partikulat (PM10) Udara Rumah
Tinggal dengan Kejadian ISPA pada Balita di Sekitar Pabrik Semen PT
Indocement, Citeureup, Tahun 2010. Universitas Indonesia.
Halim, F. (2012) Hubungan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Pekerja Industri Mebel Dukuh
Tukrejo, Desa Bondo, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa
Tengah 2012. Universitas Indonesia.
Hartati, S., Nurhaeni, N. and Gayatri, D. (2012) ‘Faktor Risiko Terjadinya
Pneumonia Pada Anak Balita’, Jurnal Keperawatan Indonesia, 15, pp. 13–20.
Available at:
http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/40181173/jurnal_pnemoni
a.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1494344
099&Signature=z3mb7C0LEzMsycjt4LfYxn7pmS4%3D&response-content-
disposition=inline%3B filename%3DJurnal_pnemonia.pdf (Accessed: 9 May
2017).
Hidayat, A. A. A. (2008) Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Edited by R. Angriani. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Available at: https://books.google.co.id/books?id=mmxAfqKkaNQC.
Higienis (2016) ‘Humidity Guide’, Higienis Indonesia. Available at:
http://higienis.com/beta/wp-content/uploads/2016/12/Humidity-Guide.pdf
(Accessed: 13 November 2017).
Husin, A. and Suratini (2014) Hubungan Berat Badan Lahir dan Status Imunisasi
dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di
Puskesmas Wirobrajan Yogyakarta. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ’Aisyiyah
Yogyakarta.
Jang, A.-S., Jun, Y. J. and Park, M. K. (2016) ‘Effects of air pollutants on upper
airway disease’, Current Opinion in Allergy and Clinical Immunology, 16(1).
Available at: http://journals.lww.com/co-
allergy/Fulltext/2016/02000/Effects_of_air_pollutants_on_upper_airway_dise
ase.4.aspx.
Kementerian Kesehatan RI (1999) Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
829/Menkes/SK/Vii/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Rumah.
Kementerian Kesehatan RI (2002) Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1537.A/Menkes/SK/XII/2002 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia Pada
Balita. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
115
Kementerian Kesehatan RI (2010) Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak.
Kementerian Kesehatan RI (2011a) Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran
Pernafasan Akut. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
Kementerian Kesehatan RI (2011b) Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan
Udara Dalam Ruang Rumah.
Kementerian Kesehatan RI (2013a) Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI (2013b) Riskesdas dalam Angka Provinsi DKI Jakarta
2013. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI (2015) Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2002) ‘Keputusan Menteri
Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat’. Available at:
http://ciptakarya.pu.go.id/dok/hukum/kepmen/kepmen_403_2002.pdf
(Accessed: 12 November 2017).
Kementerian Sosial (2005) ‘Waspada Terhadap Polusi Dalam Ruangan’.
Available at:
http://www.kemsos.go.id//modules.php?name=News&file=article&sid=133.
Koren, H. (2003) Handbook of Environmental Health. Vol.1: Bio. London: Lewis
Publisher.
KPPPA (2015) Profil Anak Indonesia 2015, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak serta Badan Pusat Statistik.
Krisnansari, D. (2010) ‘Nutrisi dan Gizi Buruk’, Mandala of Health, 4, pp. 60–68.
Kusumawati, I. (2010) Hubungan antara Status Merokok Anggota Keluarga
dengan Lama Pengobatan ISPA Balita di Kecamatan Jenawi. Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Lindawaty (2010) Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal Yang Mempengaruhi
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita (Penelitian di
Puskesmas Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 2009-
2010). Universitas Indonesia.
Liu, W., Zhang, J., Hashim, J. H., Jalaludin, J., Hashim, Z. and Goldstein, B. D.
(2003) ‘Mosquito coil emissions and health implications’, Environmental
Health Perspectives, 111(12), pp. 1454–1460. doi: 10.1289/ehp.6286.
LPEM FEUI (2009) Indonesia economic outlook 2010: ekonomi makro,
116
demografi, ekonomi syariah. Gramedia Widiasarana Indonesia. Available at:
https://books.google.co.id/books?id=X3_EmXG9d70C.
Lusiana, N., Andriyani, R. and Megasari, M. (2015) Buku Ajar Metodologi
Kebidanan. Deepublish. Available at:
https://books.google.co.id/books?id=IEPoCAAAQBAJ.
Mardani, S. (2015) Jenis Masker yang Tepat dan Cara Penggunaan yang Benar
Untuk Pencegahan Dampak Kabut Asap, Dinas Kesehatan Kab. Indragiri
Hulu. Available at: http://dinkes.inhukab.go.id/?p=2736 (Accessed: 29
December 2017).
Mathew, J. L., Patwari, A. K., Gupta, P., Shah, D., Gera, T., Gogia, S., Mohan, P.,
Panda, R. and Menon, S. (2011) ‘Acute respiratory infection and pneumonia
in India: a systematic review of literature for advocacy and action: UNICEF-
PHFI series on newborn and child health, India.’, Indian pediatrics, 48(3), pp.
191–218. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21478555
(Accessed: 14 July 2017).
Minnegasco (2004) ‘Humidity and the Indoor Environment’, Minnesota Blue
Flame Gas Association. Available at: http://www.hwindow.com/wp-
content/uploads/2014/01/Humidity-and-the-Indoor-Environment.pdf
(Accessed: 13 November 2017).
Ningrum, E. K. (2015) ‘Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Kepadatan Hunian
dengan Kejadian ISPA Non Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Sungai Pinang’, Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat
Indonesia, 2(2). Available at: file:///C:/Users/Asus/Downloads/2714-5401-1-
SM.pdf (Accessed: 12 November 2017).
Noor, N. N. (2008) Epidemiologi. Edisi Revi. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2007) Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni.
Noviya, V. (2012) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA
pada Balita di Sekitar Wilayah Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS)
Tamangapa Kota Makassar Tahun 2012. UIN Alauddin Makassar. Available
at: http://repositori.uin-alauddin.ac.id/3196/1/full.pdf (Accessed: 16
November 2017).
Nuning, Nisa, H. and Pawitan, J. A. (2006) Modul Dasar-Dasar Epidemiologi.
Jakarta: UIN Jakarta Press.
Pangemanan, J. I., Sumampouw, O. J. and Akili, R. H. (2016) ‘Hubungan Antara
Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Melonguane Kabupaten Kepulauan Talaud’, Jurnal IKMAS, 8(3).
Available at: file:///C:/Users/Asus/Downloads/45-89-1-SM.pdf (Accessed: 13
November 2017).
Paramitha, C. (2013) Dampak Keberadaan Industri Peleburan Besi dan Baja
Terhadap Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat di Dusun Palahlar
117
Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang. Institut Pertanian Bogor.
Pramayu, A. P. (2012) Hubungan Konsentrasi PM 10 Dalam Ruang Kelas
Dengan Gangguan ISPA Siswa SD Kecamatan Cipayung Kota Depok Tahun
2012. Universitas Indonesia.
Pramudiyani, N. A. and Prameswari, G. N. (2011) ‘Hubungan Antara Sanitasi
Rumah dan Perilaku dengan Kejadian Pneumonia Balita’, Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 2, pp. 71–78. Available at:
file:///C:/Users/Asus/Downloads/1755-4257-1-SM.pdf (Accessed: 13
November 2017).
Pujiastuti, P., Soemirat, J. and Dirgawati, M. (2013) ‘Karakteristik Anorganik
PM10 Di Udara Ambien Terhadap Mortalitas Dan Morbiditas Pada Kawasan
Industri di Kota Bandung’, Reka Lingkungan, 1(1), pp. 1–11.
Putri, E. P. D. (2012) Konsentrasi Pm2.5 Di Udara Dalam Ruang Dan Penurunan
Fungsi Paru Pada Orang Dewasa Di Sekitar Kawasan Industri Pulo Gadung
Jakarta Timur Tahun 2012. Universitas Indonesia.
Rahajoe, N. N., Supriyatno, B. and Setyanto, D. B. (2008) Buku Ajar Respirologi
Anak. 1st edn. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Ramani, V. K., Pattankar, J. and Puttahonnappa, S. K. (2016) ‘Acute Respiratory
Infections among Under-Five Age Group Children at Urban Slums of
Gulbarga City: A Longitudinal Study’, Journal of Clinical and Diagnostic
Research : JCDR. Delhi, India: JCDR Research and Publications (P) Limited,
10(5), p. LC08-LC13. doi: 10.7860/JCDR/2016/15509.7779.
Rinkesh (2016) Causes and Effects of Particulate Matter (Particle Pollution),
Conserve Energy Future. Available at: https://www.converse-energy-
future.com/causes-and-effect-of-particulate matter.php (Accessed: 22
November 2017).
Rudan, I., Boschi-Pinto, C., Biloglav, Z., Mulholland, K. and Campbell, H. (2008)
‘Epidemiology and etiology of childhood pneumonia’, Bulletin of the World
Health Organization, 86(5), pp. 408–416. doi: 10.2471/BLT.07.048769.
Rudianto (2013) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di 5 Posyandu Desa Tamansari
Kecamatan Pangkalan Karawang. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sari, E. L., Suhartono and Joko, T. (2014) ‘Hubungan Antara Kondisi Lingkungan
Fisik Rumah Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pati I Kabupaten Pati’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(1).
Available at: file:///C:/Users/Asus/Downloads/6375-12118-1-SM.pdf
(Accessed: 13 November 2017).
Satrio, F. A. (2017) 9 Tanaman Pembersih Polusi dalam Ruangan, TIMES
INDONESIA. Available at:
http://m.bangkalan.timesindonesia.co.id/read/14905/20170423/071816/9-
118
tanaman-pembersih-polusi-dalam-ruangan/ (Accessed: 7 December 2017).
Sinaga, E. R. K. (2012) Kualitas Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA ) Pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok. Universitas
Indonesia.
SKC Incorporated (2006) User’s Guide SKC Environmental Particulate Air
Monitor.
Soesanto, S. S., Lubis, A. and Atmosukarto, K. (2000) ‘Hubungan Kondisi
Perumahan dengan Penularan Penyakit ISPA dan TB Paru’, Media Litbang
Kesehatan, X(2). Available at:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/viewFile/979/791
(Accessed: 13 November 2017).
Sugiyono, P. dr. (2012) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Suhariyono, G. (2002) Korelasi Karakteristik Partikel Debu PM10/PM2,5 dan
Resiko Kesehatan Masyarakat di Rumah-Rumah Sekitar Industri Semen (Studi
Kasus Pencemaran Udara di Pabrik Semen, Citeureup-Bogor). Institut
Pertanian Bogor. Available at:
file:///C:/Users/Asus/Downloads/Tesisfulltext2002.pdf (Accessed: 7
November 2017).
Sukmana, T. (2009) MENGENAL ROKOK DAN BAHAYANYA: Jakarta: Be
Champion. Available at:
https://books.google.co.id/books?id=9AdrCwAAQBAJ.
Sunyataningkamto, Z, I., RT, A., I, B., Surjono, A., Wibowo, T., Lestari, E. D.
and Wastoro, D. (2004) ‘The Role of Indoor Air Pollution and Other Factors
in The Incidence of Pneumonia in Under-Five Children’, Paediatrica
Indonesiana, 44(1), pp. 25–29.
Supranto, J. (2007) Statistik untuk Pemimpin Berwawasan Global. ed. 2. Jakarta:
Penerbit Salemba.
Suryani, I., Edison and Nazar, J. (2015) ‘Hubungan Lingkungan Fisik dan
Tindakan Penduduk dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Lubuk Buaya’, Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), pp. 157–167.
Available at: http://jurnal.fk.unand.ac.id.
Suryani and Hendryadi (2016) Metode Riset Kuantitatif: Teori dan Aplikasi pada
Penelitian Bidang Manajemen dan Ekonomi Islam. 1st edn. Jakarta: Kencana.
Available at: https://books.google.co.id/books?id=YHA-DwAAQBAJ.
Suwarjana, I. K. (2016) Statistik Kesehatan. Edited by A. Ari. Yogyakarta: ANDI.
Available at: https://books.google.co.id/books?id=sRcXDQAAQBAJ.
Tahir, I. (2008) ‘Arti Penting Kalibrasi pada Proses Pengukuran Analitik: Aplikasi
pada Penggunaan pHmeter dan Spektrofotometer UV-VIS’, Yogyakarta:
119
Universitas Gajah Mada, (September). Available at:
https://www.researchgate.net/profile/Iqmal_Tahir/publication/237627554_AR
TI_PENTING_KALIBRASI_PADA_PROSES_PENGUKURAN_ANALITI
K_APLIKASI_PADA_PENGGUNAAN_pHMETER_DAN_SPEKTROFOT
OMETER_UV-Vis/links/5472deb80cf216f8cfae8d2c.pdf.
Tayie, P. D. S. (2005) Research Methods and Writing Research Proposals. Cairo:
Pathways to Higher Education. Available at:
https://books.google.co.id/books?id=OiZ7DPuXL6AC.
Thayyarah, N. and Semesta, S. I. (2013) Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’an: .
Available at: https://books.google.co.id/books?id=a1KLCwAAQBAJ.
Thompson, J. (2003) Toddlercare : Pedoman Merawat Balita. Edited by N.
Jonathan, D. Ruci, and D. K. Wardhani. Jakarta: Esensi. Available at:
https://books.google.co.id/books?id=5wC7yXCwndgC.
Tosepu, R. (2016) Epidemiologi Lingkungan: teori dan aplikasi. Edited by U.
Rahmawatu and N. Syamsiah. Jakarta: Bumi Medika.
Trubus, R. (2008) Sansevieria, 200 Jenis Spektakuler. Niaga Swadaya. Available
at: https://books.google.co.id/books?id=1VQmMtiUrsQC.
Tugaswati, A. T. (2008) ‘Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor’, Komisi
Penghapusan Bensin Bertimbel, pp. 1–11. Available at:
www.kbpp.org/makalah-Ind/emisi.
WHO (2007) Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, Pedoman Interim WHO. Available at:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/69707/14/WHO_CDS_EPR_2007.6_i
nd.pdf.
WHO (2008) Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan Anak. Bahasa Ind.
Edited by E. A. Hardiyanti. Jakarta: EGC.
WHO (2011) Children aged <5 years with ARI symptoms taken to a health
facility (%).
WHO (2015) World Health Statistics 2015. Available at:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/170250/1/9789240694439_eng.pdf
(Accessed: 14 July 2017).
Wicaksono, A. (2009) Menciptakan Rumah Sehat. Jakarta: Niaga Swadaya.
Available at: https://books.google.co.id/books?id=AS-N9zVz8EsC.
World Health Statistic (2016) ‘Mortality Due To Air Pollution’, Monitoring
Health For SDGs.
Yabei, Zhang and Wu, Y. (2013) Dampak Polusi Udara Dalam Ruang Pada
Kesehatan | Aliansi Tungku Indonesia, Aliansi Tungku Indonesia. Available
at: http://www.tungkuindonesia.org/id/articles/2013/05/20/Dampak-Polusi-
120
Udara-Dalam-Ruang-Pada-Kesehatan.html#.WgzXE2i0PIU (Accessed: 16
November 2017).
Yuwono, T. A. (2008) Faktor - Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang
Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap. Universitas Diponegoro.
Available at: http://eprints.undip.ac.id/18058/1/Tulus_Aji_Yuwono.pdf
(Accessed: 10 May 2017).
121
Lampiran 1 Surat Izin Studi Pendahuluan dan Pengambilan Data
122
123
124
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
KONSENTRASI PM10 DAN FAKTOR LINGKUNGAN DALAM RUMAH DENGAN
KELUHAN GEJALA INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA
BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWA TERATE
KECAMATAN CAKUNG TAHUN 2017
LEMBAR KESEDIAAN RESPONDEN
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Saya Rizki Zahrotul Hayati, Mahasiswa Peminatan Kesehatan Lingkungan Program
Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian
untuk tugas akhir tentang “Konsentrasi PM10 dan Faktor Lingkungan Dalam Rumah
Dengan Keluhan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Puskesmas
Rawa Terate Kecamatan Cakung Tahun 2017”.
Pada penelitian ini saya mengharapkan Bapak/Ibu bersedia menjadi responden, dan
bersedia untuk diwawancarai dengan menjawab semua pertanyaan yang ada dalam kuesioner
ini. Penelitian yang saya lakukan tidak akan membahayakan bagi Bapak/Ibu serta informasi
yang diberikan oleh Bapak/Ibu akan dijaga kerahasiaannya. Jika Bapak/Ibu bersedia atau
setuju, saya mohon untuk menandatangani lembar persetujuan yang telah disediakan.
Atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu menjadi responden, saya ucapkan terima
kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Data Responden
1. Nama Responden : ___________________________
2. No. Hp : ___________________________
Cakung, 2017
Responden
( _____________________ )
Kuesioner Penelitian
No. Kuesioner (diisi oleh peneliti) : _______
A. Identitas Responden
No Pertanyaan Diisi oleh Peneliti Diisi Oleh
Peneliti
A1 Nama Responden [ ] A1
A2 Umur _______ tahun [ ] A2
A3 Hubungan dengan
Balita
0. Ibu
1. Bapak
2. Nenek
3. Kakek
[ ] A3
B. Karakteristik Balita
No Pertanyaan Diisi oleh Peneliti Diisi Oleh
Peneliti
B1 Nama Balita [ ] B1
B2 Tanggal lahir/Umur ______________ / _______ bulan [ ] B2
B3 Jenis Kelamin 0. Laki-laki
1. Perempuan
[ ] B3
B4 Status Gizi balita
(BB/U)
BB = ________ kg
0. Gizi buruk
1. Gizi kurang
2. Gizi baik
3. Gizi lebih
[ ] B4
B5 Status Imunisasi
(lihat KMS)
0. Tidak Lengkap
1. Lengkap
[ ] B5
B6 Berat bayi saat lahir ________ gram [ ] B6
C. Keluhan ISPA pada Balita
No Pertanyaan Diisi oleh Peneliti Diisi Oleh
Peneliti
C1 Apakah dalam 2 minggu terakhir balita mengalami keluhan
berikut:
a. Batuk
b. Pilek
1. Ya 2. Tidak
1. Ya 2. Tidak
[ ] C1a
[ ] C1b
No Pertanyaan Diisi oleh Peneliti Diisi Oleh
Peneliti
c. Demam/Panas
(tidak lebih dari 7
hari)
d. Nyeri
tenggorokan
e. Tarikan dinding
dada bagian
bawah ke dalam
1. Ya 2. Tidak
1. Ya 2. Tidak
1. Ya 2. Tidak
[ ] C1c
[ ] C1d
[ ] C1e
C2 Berapa lama balita
mengalami keluhan
tersebut?
___________ hari [ ] C2
D. Lingkungan Dalam Rumah
No Pertanyaan Diisi oleh Peneliti Diisi Oleh
Peneliti
D1 Konsentrasi PM10 dalam rumah _______ µg/m3
0. TMS (> 70 µg/m3)
1. MS (≤70 µg/m3)
[ ] D1
D2 Luas lantai kamar balita _________ m2 [ ] D2
D3 Apakah terdapat ventilasi
ditempat balita sering tidur?
0. Tidak (Langsung
ke D6)
1. Ya
[ ] D3
D4 Apakah ventilasi dikamar
balita rutin dibuka minimal
saat pagi hari?
0. Tidak
1. Ya
[ ] D4
D5 Luas ventilasi _________ m2
0. TMS (<10% luas
lantai)
1. MS (≥10% luas
lantai)
[ ] D5
D6 Suhu ______ oC
0. TMS (<18oC atau
>30oC)
1. MS (18oC-30oC)
[ ] D6
D7 Kelembaban ______ Rh
0. TMS (<40% Rh
[ ] D7
No Pertanyaan Diisi oleh Peneliti Diisi Oleh
Peneliti
atau >60% Rh)
1. MS (40-60% Rh)
D8 Pencahayaan _______ lux
0. TMS (< 60 lux)
1. MS (≥ 60 lux)
[ ] D8
D9 Apakah letak dapur dengan
ruangan lain dipisahkan
dengan dinding pemisah?
0. Tidak
1. Ya
[ ] D9
D10 Apakah terdapat lubang untuk
asap dapur/ventilasi?
0. Tidak
1. Ya
[ ] D10
D11 Luas lantai rumah ___________ m2 [ ] D11
D12 Berapa orang yang tinggal di
dalam rumah ini?
_____ orang [ ] D12
D13 Kepadatan hunian _______ m2
0. TMS (<8 m2/orang
dari luas lantai
rumah)
1. MS (≥8% m2/orang
dari luas lantai
rumah)
[ ] D13
D14 Apakah dalam 2 minggu terakhir ada anggota keluarga lainnya di dalam
rumah ini yang mengalami keluhan ISPA berikut:
a. Batuk
b. Pilek
c. Demam/Panas (tidak
lebih dari 7 hari)
d. Nyeri tenggorokan
e. Tarikan dinding dada
bagian atas ke dalam
1. Ya 2. Tidak
1. Ya 2. Tidak
1. Ya 2. Tidak
1. Ya 2. Tidak
1. Ya 2. Tidak
[ ] D14a
[ ] D14b
[ ] D14c
[ ] D14d
[ ] D14e
D15 Apakah ada anggota keluarga
yang merokok?
0. Ya
1. Tidak (Langsung
ke E1)
[ ] D15
E. Observasi Lingkungan Dalam Rumah
No Pertanyaan Diisi oleh Peneliti Diisi Oleh
Peneliti
E1 Letak dapur 0. Tidak ada dinding pemisah
1. Ada dinding pemisah
[ ] E1
E2 Lubang asap dapur 0. Tidak ada
1. Ada
[ ] E2
E3 Ventilasi 0. Tidak Ada
1. Ada
[ ] E3
Lampiran 3 Output Hasil Penelitian
Usia berdasarkan bulan
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Usia_bulan 115 1 56 27.97 15.329
Valid N (listwise) 115
jenis kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-laki 63 54.8 54.8 54.8
Perempuan 52 45.2 45.2 100.0
Total 115 100.0 100.0
status gizi balita
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Gizi buruk 1 .9 .9 .9
Gizi kurang 20 17.4 17.4 18.3
Gizi baik 93 80.9 80.9 99.1
Gizi lebih 1 .9 .9 100.0
Total 115 100.0 100.0
status imunisasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lengkap 16 13.9 13.9 13.9
Lengkap 99 86.1 86.1 100.0
Total 115 100.0 100.0
status_BBLR
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Tidak 108 93.9 93.9 93.9
Ya 7 6.1 6.1 100.0
Total 115 100.0 100.0
keluhan ISPA batuk
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 61 53.0 53.0 53.0
Tidak 54 47.0 47.0 100.0
Total 115 100.0 100.0
keluhan ISPA pilek
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 71 61.7 61.7 61.7
Tidak 44 38.3 38.3 100.0
Total 115 100.0 100.0
keluhan ISPA demam
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 40 34.8 34.8 34.8
Tidak 75 65.2 65.2 100.0
Total 115 100.0 100.0
keluhan ISPA nyeri tenggorok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 14 12.2 12.2 12.2
Tidak 101 87.8 87.8 100.0
Total 115 100.0 100.0
keluhan_ISPA
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 24 20.9 20.9 20.9
Ya 91 79.1 79.1 100.0
Total 115 100.0 100.0
lama balita mengalami gejala ispa
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 0 24 20.9 20.9 20.9
1 8 7.0 7.0 27.8
2 29 25.2 25.2 53.0
3 33 28.7 28.7 81.7
4 5 4.3 4.3 86.1
5 3 2.6 2.6 88.7
6 2 1.7 1.7 90.4
7 11 9.6 9.6 100.0
Total 115 100.0 100.0
konsentrasi_pm10
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid MS 26 22.6 22.6 22.6
TMS 89 77.4 77.4 100.0
Total 115 100.0 100.0
konsentrasi pm10 dalam rumah
N Valid 115
Missing 0
Mean 109.9739
Median 79.0000
Mode 70.00
Std. Deviation 103.28478
Range 749.00
Minimum 59.00
Maximum 808.00
ventilasi_fix
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid MS 25 21.7 21.7 21.7
TMS 90 78.3 78.3 100.0
Total 115 100.0 100.0
suhu_fix
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid MS 6 5.2 5.2 5.2
TMS 109 94.8 94.8 100.0
Total 115 100.0 100.0
Suhu
C
N Valid 115
Missing 0
Mean 32.8365
Std. Error of Mean .12058
Median 33.0000
Std. Deviation 1.29305
Skewness -1.220
Std. Error of Skewness .226
Minimum 27.60
Maximum 35.30
lembab_fix
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid MS 67 58.3 58.3 58.3
TMS 48 41.7 41.7 100.0
Total 115 100.0 100.0
Statistics
%
N Valid 115
Missing 0
Mean 56.7104
Std. Error of Mean .75270
Median 56.8000
Std. Deviation 8.07177
Skewness -.213
Std. Error of Skewness .226
Minimum 37.40
Maximum 71.90
cahaya_fix
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid MS 18 15.7 15.7 15.7
TMS 97 84.3 84.3 100.0
Total 115 100.0 100.0
Statistics
lux
N Valid 115
Missing 0
Mean 45.1487
Std. Error of Mean 8.76241
Median 20.6000
Std. Deviation 93.96639
Skewness 5.080
Std. Error of Skewness .226
Minimum 1.20
Maximum 723.80
letak dapur dipisah dengan ruangan lain
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 96 83.5 83.5 83.5
Tidak 19 16.5 16.5 100.0
Total 115 100.0 100.0
ada/tidaknya lubang asap dapur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 61 53.0 53.0 53.0
Tidak 54 47.0 47.0 100.0
Total 115 100.0 100.0
padat_fix
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak padat 49 42.6 42.6 42.6
Padat 66 57.4 57.4 100.0
Total 115 100.0 100.0
ada/tidaknya anggota keluarga yang merokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak 26 22.6 22.6 22.6
Ya 89 77.4 77.4 100.0
Total 115 100.0 100.0
kadar_pm10 * keluhan_ISPA Crosstabulation
keluhan_ISPA
Total Tidak Ya
kadar_pm10 MS Count 10 16 26
% within kadar_pm10 38.5% 61.5% 100.0%
TMS Count 14 75 89
% within kadar_pm10 15.7% 84.3% 100.0%
Total Count 24 91 115
% within kadar_pm10 20.9% 79.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.296a 1 .012
Continuity Correctionb 4.995 1 .025
Likelihood Ratio 5.704 1 .017
Fisher's Exact Test .025 .016
Linear-by-Linear Association 6.241 1 .012
N of Valid Cases 115
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.43.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for kadar_pm10
(MS / TMS) 3.348 1.263 8.873
For cohort keluhan_ISPA =
Tidak 2.445 1.234 4.845
For cohort keluhan_ISPA =
Ya .730 .532 1.003
N of Valid Cases 115
ventilasi_fix * keluhan_ISPA Crosstabulation
keluhan_ISPA
Total Tidak Ya
ventilasi_fix MS Count 5 20 25
% within ventilasi_fix 20.0% 80.0% 100.0%
TMS Count 19 71 90
% within ventilasi_fix 21.1% 78.9% 100.0%
Total Count 24 91 115
% within ventilasi_fix 20.9% 79.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .015a 1 .904
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .015 1 .903
Fisher's Exact Test 1.000 .574
Linear-by-Linear Association .014 1 .904
N of Valid Cases 115
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.22.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for ventilasi_fix
(MS / TMS) .934 .310 2.815
For cohort keluhan_ISPA =
Tidak .947 .393 2.284
For cohort keluhan_ISPA =
Ya 1.014 .811 1.268
N of Valid Cases 115
suhu_fix * keluhan_ISPA Crosstabulation
keluhan_ISPA
Total Tidak Ya
suhu_fix MS Count 2 4 6
% within suhu_fix 33.3% 66.7% 100.0%
TMS Count 22 87 109
% within suhu_fix 20.2% 79.8% 100.0%
Total Count 24 91 115
% within suhu_fix 20.9% 79.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .595a 1 .440
Continuity Correctionb .065 1 .798
Likelihood Ratio .533 1 .465
Fisher's Exact Test .603 .366
Linear-by-Linear Association .590 1 .442
N of Valid Cases 115
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.25.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for suhu_fix (MS
/ TMS) 1.977 .340 11.500
For cohort keluhan_ISPA =
Tidak 1.652 .502 5.437
For cohort keluhan_ISPA =
Ya .835 .471 1.482
N of Valid Cases 115
lembab_fix * keluhan_ISPA Crosstabulation
keluhan_ISPA
Total Tidak Ya
lembab_fix MS Count 16 51 67
% within lembab_fix 23.9% 76.1% 100.0%
TMS Count 8 40 48
% within lembab_fix 16.7% 83.3% 100.0%
Total Count 24 91 115
% within lembab_fix 20.9% 79.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .881a 1 .348
Continuity Correctionb .499 1 .480
Likelihood Ratio .898 1 .343
Fisher's Exact Test .486 .242
Linear-by-Linear Association .874 1 .350
N of Valid Cases 115
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.02.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for lembab_fix
(MS / TMS) 1.569 .610 4.033
For cohort keluhan_ISPA =
Tidak 1.433 .668 3.074
For cohort keluhan_ISPA =
Ya .913 .760 1.098
N of Valid Cases 115
cahaya_fix * keluhan_ISPA Crosstabulation
keluhan_ISPA
Total Tidak Ya
cahaya_fix MS Count 5 13 18
% within cahaya_fix 27.8% 72.2% 100.0%
TMS Count 19 78 97
% within cahaya_fix 19.6% 80.4% 100.0%
Total Count 24 91 115
% within cahaya_fix 20.9% 79.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .617a 1 .432
Continuity Correctionb .220 1 .639
Likelihood Ratio .582 1 .445
Fisher's Exact Test .527 .308
Linear-by-Linear Association .611 1 .434
N of Valid Cases 115
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.76.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for cahaya_fix
(MS / TMS) 1.579 .502 4.971
For cohort keluhan_ISPA =
Tidak 1.418 .608 3.308
For cohort keluhan_ISPA =
Ya .898 .663 1.216
N of Valid Cases 115
letak dapur dipisah dengan ruangan lain * keluhan_ISPA Crosstabulation
keluhan_ISPA
Total Tidak Ya
letak dapur dipisah dengan
ruangan lain
Ya Count 23 73 96
% within letak dapur dipisah
dengan ruangan lain 24.0% 76.0% 100.0%
Tidak Count 1 18 19
% within letak dapur dipisah
dengan ruangan lain 5.3% 94.7% 100.0%
Total Count 24 91 115
% within letak dapur dipisah
dengan ruangan lain 20.9% 79.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 3.357a 1 .067
Continuity Correctionb 2.320 1 .128
Likelihood Ratio 4.261 1 .039
Fisher's Exact Test .118 .054
Linear-by-Linear Association 3.328 1 .068
N of Valid Cases 115
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.97.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for letak dapur
dipisah dengan ruangan lain
(Ya / Tidak)
5.671 .717 44.831
For cohort keluhan_ISPA =
Tidak 4.552 .654 31.699
For cohort keluhan_ISPA =
Ya .803 .688 .937
N of Valid Cases 115
ada/tidaknya lubang asap dapur * keluhan_ISPA Crosstabulation
keluhan_ISPA
Total Tidak Ya
ada/tidaknya lubang asap
dapur
Ya Count 11 50 61
% within ada/tidaknya
lubang asap dapur 18.0% 82.0% 100.0%
Tidak Count 13 41 54
% within ada/tidaknya
lubang asap dapur 24.1% 75.9% 100.0%
Total Count 24 91 115
% within ada/tidaknya
lubang asap dapur 20.9% 79.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .633a 1 .426
Continuity Correctionb .320 1 .572
Likelihood Ratio .632 1 .427
Fisher's Exact Test .494 .285
Linear-by-Linear Association .628 1 .428
N of Valid Cases 115
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.27.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for ada/tidaknya
lubang asap dapur (Ya /
Tidak)
.694 .281 1.712
For cohort keluhan_ISPA =
Tidak .749 .367 1.531
For cohort keluhan_ISPA =
Ya 1.080 .892 1.307
N of Valid Cases 115
padat_fix * keluhan_ISPA Crosstabulation
keluhan_ISPA
Total Tidak Ya
padat_fix Tidak padat Count 13 36 49
% within padat_fix 26.5% 73.5% 100.0%
Padat Count 11 55 66
% within padat_fix 16.7% 83.3% 100.0%
Total Count 24 91 115
% within padat_fix 20.9% 79.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1.657a 1 .198
Continuity Correctionb 1.113 1 .291
Likelihood Ratio 1.641 1 .200
Fisher's Exact Test .248 .146
Linear-by-Linear Association 1.642 1 .200
N of Valid Cases 115
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.23.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for padat_fix
(Tidak padat / Padat) 1.806 .730 4.469
For cohort keluhan_ISPA =
Tidak 1.592 .780 3.247
For cohort keluhan_ISPA =
Ya .882 .722 1.077
N of Valid Cases 115
ada/tidaknya anggota keluarga yang merokok * keluhan_ISPA Crosstabulation
keluhan_ISPA
Total Tidak Ya
ada/tidaknya anggota
keluarga yang merokok
Tidak Count 7 19 26
% within ada/tidaknya
anggota keluarga yang
merokok
26.9% 73.1% 100.0%
Ya Count 17 72 89
% within ada/tidaknya
anggota keluarga yang
merokok
19.1% 80.9% 100.0%
Total Count 24 91 115
% within ada/tidaknya
anggota keluarga yang
merokok
20.9% 79.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .745a 1 .388
Continuity Correctionb .347 1 .556
Likelihood Ratio .714 1 .398
Fisher's Exact Test .416 .272
Linear-by-Linear Association .739 1 .390
N of Valid Cases 115
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.43.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for ada/tidaknya
anggota keluarga yang
merokok (Tidak / Ya)
1.560 .565 4.306
For cohort keluhan_ISPA =
Tidak 1.410 .656 3.026
For cohort keluhan_ISPA =
Ya .903 .701 1.165
N of Valid Cases 115
Recommended