View
6
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
HUBUNGAN SPIRITUALITAS TERHADAP HARGA DIRI ORANG TUA
YANG MEMILIKI ANAK DENGAN SINDROM DOWN DI POTADS
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Disusun Oleh:
ASHRI NABILAH PUTRIE
NIM 1113104000005
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/2017
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan dengan keterangan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah
Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
Jakarta, Mei 2017
Ashri Nabilah Putrie
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
iv
PERNYATAAN PENGESAHAN
v
LEMBAR PENGESAHAN
vi
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
NURSING SCIENCE STUDY PROGRAM
ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKATA
Undergraduated Thesis, Juni 2017
Ashri Nabilah Putrie, NIM: 1113104000005
THE RELATIONSHIP SPIRITUALITY TOWARD SELF-ESTEEM OF
PARENTS WHO HAVE A CHILD WITH DOWN SYNDROME IN
POTADS
xx + 98 pages + 18 tables + 2 pictures + 5 attachments
ABSTRACT
Many parents should accept the fact that their childhas special needs compared to
other children, in example is if their child has suffered from Down syndrome. Not
a few parents rejected the fact that their child diagnosed has Down syndrome. The
disruption of self concept the parents who have a child with Down syndrome can
affected to all aspects including parents self-esteem. To maintain a positive aspect
then it is important for parents to maintain spiritual aspect that is owned by the
parent. It consists of religious spirituality, faith, hope, transcendence, and
forgiveness. The purpose of this research is to know the relationship between
spirituality with the parents’ self-esteem who have a child with Down syndrome
in POTADS. This research was conducted from March until April, 2017. This
research uses cross-sectional study with descriptive type. The sample is selected
use total sampling method with 83 respondents. The method of data collection
uses a questionnaire with Likert scale form consists of 28 questions. The method
of data analysis uses the statistic chi-square test. The research results that there is
a relationship between spirituality (p-value 0.00) and parents’ self-esteem who
have a child with Down syndrome in POTADS. From this research obtained there
is a relationship between spirituality concept; religious spirituality (p-value 0.00),
spirituality of faith (p-value 0.001), spirituality of hope (p-value 0.00), spirituality
transcendence (p-value 0.00), forgiveness and spirituality (p-value of 0,005) with
pride of a parent who has a child with Down syndrome. Furthermore, it can be
expected for healthcare providers, families and communities can provide spiritual
support to maintain and increase parents’ self-esteem who have a child with Down
syndrome.
Key Word: Spirituality, Self-Esteem, Down Syndrome
Reference: 29 books + 9 journals (1995-2016)
vii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, Juni 2017
Ashri Nabilah Putrie, NIM: 1113104000005
HUBUNGAN SPIRITUALITAS TERHADAP HARGA DIRI ORANG TUA YANG
MEMILIKI ANAK DENGAN SINDROM DOWN DI POTADS
xx + 98 halaman + 18 tabel + 2 gambar + 5 lampiran
ABSTRAK
Banyak diantara orang tua yang harus menerima kenyataan bahwa anaknya
memiliki kebutuhan khusus dibanding dengan anak lainnya, salah satunya adalah
anak yang menderita sindrom Down. Tidak sedikit orang tua yang menolak
kenyataan dan malu bahwa anaknya mengalami sindrom Down. Terganggunya
konsep diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down dapat
mempengaruhi segala aspek dalam diri orang tua termasuk harga diri. Cara
mempertahankan aspek positif pada diri, maka penting bagi orangtua untuk
mempertahankan aspek spritual yang dimiliki oleh orangtua. Spiritualitas tersebut
terdiri dari agama, iman, harapan, transendensi, dan pengampunan. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui hubungan spiritualitas terhadap harga diri orang
tua yang memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS. Penelitian ini
dilakukan bulan Maret sampai April 2017. Jenis penelitian adalah deskriptif
korelasional dan desain cross sectional study. Teknik pengambilan sampel dengan
total sampling sebanyak 83 responden. Teknik pengumpulan data dengan
kuesioner dalam bentuk skala Likert yang terdiri dari 28 pertanyaan. Metode
analisis data dengan menggunakan uji statistik chi-square. Hasil penelitian
didapatkan bahwa ada hubungan antara spiritualitas (p-value 0.00) dengan harga
diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS. Adanya
hubungan antara konsep spiritualitas; spiritualitas agama (p-value 0.00),
spiritualitas iman (p-value 0.001), spiritualitas harapan (p-value 0.00), spiritualitas
transendensi (p-value 0.00), dan spiritualitas pengampunan (p-value 0.005)
dengan harga diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down.
Diharapkan pada penyedia pelayanan kesehatan, keluarga serta masyarakat agar
memberikan dukungan spiritual untuk mempertahankan dan meningkatkan harga
diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down.
Kata kunci: Spiritualitas, harga diri, sindrom Down
Referensi: buku 29 buah + jurnal 9 buah (1995-2016)
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ashri Nabilah Putrie
Tempat, Tanggal lahir : Jakarta, 14 November 1995
Status Pernikahan : Belum menikah
Alamat : Jl. Gandaria GG. Cemara No. 74 Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan
Telepon : +62 85862823102
E-mail : ashrinabilah@gmail.com
Riwayat Pendidikan
1. SMA Al-Ma’soem Jatinangor (2010-2013)
2. SMPN 22 Bandung (2007-2010)
3. SDN Partakomala 4 Bandung (2001-2007)
4. TK Pertiwi Muara Enim (2000-2001)
Riwayat Organisasi
1. Ketua Himpunan Program Studi Ilmu Keperawatan. UIN Jakarta (2016)
2. Ketua Pelaksana Seminar Research Training. Departemen Pendidikan dan
Penelitian. HMPSIK UIN Jakarta (2015)
3. Wakil Ketua Departemen Pendidikan dan Penelitian. HMPSIK UIN
Jakarta (2015)
4. Ketua Pelaksana acara MAKRAB (Malam Keakraban). PSIK UIN Jakarta
(2014)
ix
5. Anggota Paskibra OPAK. UIN Jakarta (2013)
6. Sekretaris DESAN (Dewan Santri). SMAS Al-Ma’soem (2012)
7. Anggota Bidang Kesenian DESAN (Dewan Santri). SMAS Al-Ma’soem
(2011)
8. Ketua Departemen Kesehatan Paskibra. SMPN 22 Bandung (2008)
x
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamiin, tiada kata yang indah untuk diucapkan, selain
pujian ke hadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul
“Hubungan Spiritualitas Terhadap Harga Diri Orang Tua Yang Memiliki
Anak Dengan Sindrom Down di POTADS”. Salawat serta salam penulis
haturkan kepada junjungan Muhammad SAW yang telah membawa cahaya islam
yang penuh kedamaian dan ketentraman kepada seluruh umat manusia. Begitu
pula bagi keluarga, shabat dan pengikut beliau.
Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbaga pihak. Karena
itu penulis menyampaikan terimasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Arief Sumantri, S.KM., M.Kes., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Maulina Handayani, S.Kp., M.Sc, selaku Ketua Program Studi dan Ibu
Ernawati, S.Kp., M.Kep., Sp. KMB, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Maulina Handayani, S.Kp., M.Sc dan Ibu Ernawati, S.Kp., M.Kep.,Sp.
KMB. selaku Dosen Pembimbing, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau
xi
yang telah meluangkan waktu serta memberi arahan dan bimbingan dengan
sabar kepada saya selama proses pembuatan skripsi ini.
4. Ibu Yenita Agus, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat., PhD, selaku Dosen Pembimbing
Akademik, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah
membimbing, menjadi tempat curhat, dan memberi motivasi selama hampir 4
tahun duduk di bangku kuliah.
5. Orang tua, Bapak Drs. Sutandri Munawi dan Ibu Kustinah Antuniah, S.E yang
telah mendidik, mencurahkan semua kasih sayang tiada tara, mendo’akan
keberhasilan, serta memberikan bantuan baik moril maupun materil tak
terhingga kepada saya. Tak lupa, Adik saya, Muthia Salsabilah Putrie dan
Muhammad Dewa Sampurna Putra Siliwangi dan seluruh keluarga yang selalu
memberikan semangat tanpa henti dan putus asa.
6. Teman - teman angkatan PSIK 2013 dan HMPSIK periode 2016 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta serta orang-orang terbaik Riska Dwi Septia, Santi
Puspitasari, Jessi Adirachman, Dyah Anggraeni, dan Veni Vidiantina Dinata
yang tak pernah bosan mengingatkan dan memberikan support serta berbagi
ilmu dalam proses penyelesaian skripsi.
7. Serta seluruh pihak yang telah mendukung kelancaran skripsi ini hingga
selesai.
Atas bantuan serta segala dukungan yang telah diberikan, semoga Allah
SWT. senantiasa membalas dengan pahala yang berlimpah. Sangat besar harapan
saya skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca. Semoga kita
xii
semua senantiasa diberikan petunjuk, limpahan rahmat, hidayah, serta inayah
yang tak terhingga oleh Allah SWT.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, Mei 2017
Ashri Nabilah Putrie
xiii
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan.................................................................................................. ii
Pernyataan Persetujuan .......................................................................................... iii
Pernyataan Pengesahan .......................................................................................... iv
Lembar Pengesahan ................................................................................................ v
Abstract .................................................................................................................. vi
Abstrak .................................................................................................................. vii
Daftar Riwayat Hidup .......................................................................................... viii
Kata Pengantar ........................................................................................................ x
Daftar Isi............................................................................................................... xiii
Daftar Tabel ......................................................................................................... xvi
Daftar Singkatan................................................................................................. xviii
Daftar Gambar ...................................................................................................... xix
Daftar Lampiran .................................................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 12
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 13
E. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................... 14
xiv
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 15
A. Konsep dasar .............................................................................................. 15
1. Sindrom Down........................................................................................ 15
B. Dampak Bagi Orang Tua ........................................................................... 20
C. Konsep Spiritualitas ................................................................................... 21
1. Definisi ................................................................................................... 21
2. Karakterisrik Spiritual ............................................................................ 23
3. Perkembangan Spiritual.......................................................................... 24
4. Konsep Terkait Spiritualitas ................................................................... 26
5. Masalah spiritual .................................................................................... 30
6. Faktor yang memperngaruhi spiritualitas ............................................... 34
7. Penilaian Spiritualitas ............................................................................. 38
D. Konsep Diri ................................................................................................ 38
1. Definisi ................................................................................................... 38
2. Komponen konsep diri ........................................................................... 39
E. Kerangka Teori........................................................................................... 45
BAB III KERANGKA KONSEP,HIPOTESIS,DEFINISI OPERASIONAL 46
A. Kerangka konsep ........................................................................................ 46
B. Hipotesa...................................................................................................... 48
C. Definisi Operasional................................................................................... 48
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN.......................................................... 52
A. Desain Penelitian ........................................................................................ 52
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 52
C. Populasi dan Sampel .................................................................................. 53
D. Instrumen Pengumpulan Data .................................................................... 54
E. Uji Instrumen ............................................................................................. 57
xv
F. Pengumpulan Data ..................................................................................... 58
G. Pengolahan Data......................................................................................... 59
H. Analisa Data ............................................................................................... 60
I. Etika Penelitian .......................................................................................... 61
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 64
A. Gambaran Umum POTADS ...................................................................... 64
1. Tujuan ..................................................................................................... 64
2. Visi ......................................................................................................... 65
3. Misi ......................................................................................................... 65
4. Motto ...................................................................................................... 66
5. Program POTADS ................................................................................. 66
B. Hasil Penelitian .......................................................................................... 66
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................... 80
A. Analisa Univariat ....................................................................................... 80
B. Analisa Bivariat .......................................................................................... 84
C. Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 94
BAB VIIKESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 96
A. Kesimpulan ................................................................................................ 96
B. Saran ........................................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 99
xvi
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
2.1. Perbedaan spiritualitas dan Religi………………………………………..19
2.2. Karakteristik Spiritualitas………………………………………………...19
3.1. Definisi Operasional…………………………………………………...…45
5.1. Distribusi frekuensi data demografi orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down……………………………………………………….........63
5.2. Distribusi Frekuensi Usia Anak dengan sindrom down…………………..64
5.3. Distribusi Frekuensi Tingkat Harga Diri Orang Tua yang memiliki anak
dengan sindrom down……………………………………………….........65
5.4. Distribusi frekuensi spiritualitas orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom down……………………………………………………………..65
5.5. Distribusi frekuensi spiritualitas agama orang tua yang memiliki anak
dengan sindrom down……………………………………………………..66
5.6. Distribusi frekuensi spiritualitas iman orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom down………………………………………………………..........67
5.7. Distribusi frekuensi spiritualitas harapan orang tua yang memiliki anak
dengan sindrom down……………………………………………………..67
5.8. Distribusi frekuensi spiritualitas transendensi orang tua yang memiliki anak
dengan sindrom down……………………………………………………..68
5.9. Distribusi frekuensi spiritualitas pengampunan orang tua yang memiliki
anak dengan sindrom down……………………………………………….69
xvii
5.10. Hubungan spiritualitas terhadap harga diri orang tua yang memiliki anak
dengan sindrom Down di POTADS………………………………………70
5.11. Hubungan spiritualitas agama terhadap harga diri orang tua yang memiliki
anak dengan sindrom Down di POTADS………………………………...71
5.12. Hubungan spiritualitas iman terhadap harga diri orang tua yang memiliki
anak dengan sindrom Down di POTADS………………………………...72
5.13. Hubungan spiritualitas harapan terhadap harga diri orang tua yang memiliki
anak dengan sindrom Down di POTADS………………………………...73
5.14. Hubungan spiritualitas transensensi terhadap harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS………………………74
5.15. Hubungan spiritualitas pengampunan terhadap harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS………………………75
xviii
DAFTAR SINGKATAN
ABK : Anak Berkebutuhan Khusus
ADHD : Attention Difecit Hyperactive Disorders
AKPK : Anak dengan Kebutuhan Pendidikan Khusus
FSH : Follicular Stimulating Hormon
KDT : Katalog Dalam Terbitan
KHPD : Konvensi Hak Penyandang Disabilitas
LH : Luteinizing Hormon
POTADS : Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
UIN : Universitas Islam Negeri
UUD : Undang-Undang Dasar
WHO : World Health Organization
xix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
2.1. Kerangka teori ……………………………………………………………44
3.1. Kerangka Konsep………………………………………………………...45
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Permohonan Izin Studi Penduluan
Lampiran 2 Permohonan Izin Uji Validitas dan Reliabilitas
Lampiran 3 Permohonan Izin Penelitian dan Pengambilan Data
Lampiran 4 Surat Keterangan SLBN 01 Jakarta
Lampiran 5 Informed Consent
Lampiran 6 Kuesioner
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memiliki seorang anak merupakan suatu kebanggaan tersendiri
bagi sepasang suami istri dari hasil pernikahannya, anak yang dapat
dibanggakan bagi orang tua, bangsa dan Negara. “Anak adalah amanah
Tuhan kepada orang tua” demikian pernyataan Al-Ghazali dalam kitab
Ihya Ulumudin. Anak adalah karunia yang tidak dapat dinilai dengan apa
pun. Ia menjadi tempat curahan kasih sayang orang tua. Anak adalah
karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa dan Negara. Hak asasi
anak dilindungi di dalam Pasal 28 B UUD 1945 yang berbunyi setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (perpustakaan Nasional
KDT, 2007). Orang tua akan memiliki suatu harapan yang besar terhadap
anak yang akan dilahirkan nanti adalah anak yang baik secara fisik
maupun mental. Namun rasa kecewa segera datang apabila mengetahui
anak yang didambakannya memiliki kecacatan secara mental maupun
fisik.
Banyak diantara orang tua yang harus menerima kenyataan bahwa
anaknya memiliki kebutuhan khusus dibanding dengan anak lainnya,
seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, gangguan
perilaku, sindrom Down, anak dengan gangguan kesehatan, autis dan
Attention Difecit Hyperactive Disorders (ADHD). Anak Berkebutuhan
2
Khusus (ABK), sekarang disebut Anak dengan Kebutuhan Pendidikan
Khusus (AKPK) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda
dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada
ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Anak yang termasuk kelompok
ini adalah tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras,
kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan
gangguan kesehatan. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah
anak luar biasa dan anak cacat (Kementrian Kesehtan RI, 2010)
Anak-anak berkebutuhan khusus berpotensi untuk menjalani
kehidupan secara penuh dan berkontribusi pada vitalitas sosial, budaya,
dan ekonomi dari masyarakat mereka. Namun untuk tumbuh dan
berkembang bisa jadi sulit bagi anak-anak penyandang disabilitas. Mereka
menghadapi risiko yang lebih besar dibandingkan dengan rekan-rekan
mereka yang tanpa disabilitas. Anak-anak berkebutuhan khusus
menghadapi berbagai bentuk pengucilan dan itu mempengaruhi mereka
dalam berbagai tingkatan tergantung dari jenis disabilitas yang mereka
alami, di mana mereka tinggal dan budaya serta kelas sosial mereka.
Gender juga merupakan sebuah faktor penting. Anak-anak perempuan
berkebutuhan khusus juga kecil kemungkinan untuk mendapatkan pen-
didikan, mendapatkan pelatihan kerja atau mendapatkan pekerjaan
dibandingkan dengan anak laki-laki dengan disabilitas atau anak
perempuan tanpa disabilitas. (UNICEF, 2013).
3
Hasil analisis dari Global Burden of Disease tahun 2004
didapatkan bahwa 15,3% populasi dunia (sekitar 978 juta orang dari 6,4
milyar estimasi jumlah penduduk tahun 2004) mengalami disabilitas
sedang atau parah, dan 2,9% atau sekitar 185 juta mengalami disabilitas
parah. Pada populasi usia 0-14 tahun prevalensinya berturut-turut adalah
5,1% (93 juta orang) dan 0,7% (13 juta orang). Sedangkan pada populasi
usia 15 tahun atau lebih, sebesar 19,4% (892 juta orang) dan 3,8% (175
juta orang).
Keberadaan anak berkebutuhan khusus di Indonesia bukan hal
sembarang untuk di abaikan. Menurut RISKESDAS 2007, sekitar 4 persen
dari anak usia 15 sampai 19 tahun mengalami kesulitan yang signifikan
pada setidaknya satu domain fungsional (penglihatan, pendengaran,
berjalan, berkonsentrasi dan memahami orang lain serta perawatan diri)
dan oleh karena itu dianggap sebagai hidup dengan disabilitas. Persentase
penyandang disabilitas di Indonesia berdasarkan hasil Susenas tahun 2012
adalah sebesar 2,45%. Provinsi dengan persentase penyandang disabilitas
tertinggi adalah Bengkulu (3,96%) dan terendah adalah Papua (1,05%).
Sedangkan untuk provinsi Jawa Barat (2,22%) masih cukup tinggi
dibandingkan dengan DKI Jakarta (1,32%).
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang beresiko tinggi
mengalami kondisi fisik, perkembangan, perilaku maupun emosional
kronis dan memerlukan layanan kesehatan serta layanan terkait dengan
jenis atau jumlah lebih dari yang dibutuhkan anak lain pada umumnya
4
(Wong, 2008). Seperti yang dijelaskan sebelumya bahwa anak
berkebutuhan khusus sangat beragam, salah satunya adalah anak yang
menderita sindrom Down. Salah satu penyebab sindrom Down adalah
suatu kelainan genetik yang dapat terjadi pada pria dan wanita. Kelainan
ini merupakan hasil dari kelainan kromosom yang tidak selalu diturunkan
kepada keturunan berikutnya. Kelainan kromosom yang sering ditemukan
adalah kelebihan kromosom 21 yang dinamakan trisomy 21. Insidennya 1
dalam 600 sampai 1 dalam 700 kelahiran, lebih dari separuh bayi yang
terkena mengalami abortus spontan selama kehamilan dini. Di Indonesia
ditemukan 1 dalam 600 kelahiran hidup (Sudiono, 2009).
Kejadian anak lahir dengan sindrom Down ini meningkat dengan
bertambahnya usia ibu. Data Riskesdas menunjukkan adanya peningkatan
jumlah penyandang sindrom Down pada tahun 2010 prevalensi kecacatan
ini hanya 0.12% namun pada tahun 2013 meningkat menjadi 0.13%.
Angka kejadian sindrom Down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan.
Rasio kejadian untuk ibu muda di bawah 20 tahun adalah 1 berbanding
2000 setiap kelahiran. Frekuensi ini akan meningkat menjadi 1 berbanding
100 pada usia ibu diatas 45 tahun. Meningkatnya usia ibu saat kehamilan
sampai di atas 45 tahun akan meningkatnya risiko melahirkan anak dengan
sindrom Down sebesar 1 berbanding 50. Tidak ada prediksi ras, sosial,
ekonomi, atau seks (Sudiono, 2009).
Penderita sindrom Down secara umum sangat mudah dikenali
dengan penampilan fisik yang menonjol berupa kepala yang agak kecil,
5
yaitu wajah khas dengan mata sipit yang menyudut keatas, jarak antara
kedua amata atau fundus mata berjauhan dengan tampak sela hidung yang
rata, hidup kecil, mulut kecil dengan lidah yang besar sehingga menjulur
keluar, lalu dengan penampilan gambar telapak tangan yang tidak normal
yaitu terdapat satu garis besar melintang (simian crease) (Hull dan
Jhonston, 2008).
Gambaran fisik seperti itu membuat anak sangat membutuhkan
perhatian yang khusus dari orang tua dibandingkan dengan anak pada
normalnya. Orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down merasa
bahwa dirinya mencapai kegagalan dan enggan untuk melanjutkan hidup
apalagi membesarkan sang buah hati seperti kehidupan anak lainnya. Anak
sindrom Down sangat mempengaruhi kemampuan orang tua untuk
melanjutkan hidup seperti layaknya orang normal karena rasa ketakutan,
ansietas dan kesedihan yang menyeluruh dapat menimbulkan perasaan
tidak berdaya. Orang tua banyak yang menyembunyikan anak mereka
karena malu, inilah yang menyebabkan orang tua mengalami penurunan
harga diri mereka. Tidak sedikit orang tua yang menolak kenyataan bahwa
anaknya mengalami sindrom Down, banyak juga dari mereka yang
menjadi terlalu melindungi anaknya (Ahmad, 1997).
Terganggunya konsep diri orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down dapat mempengaruhi segala aspek dalam diri orang tua
termasuk harga diri. Harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil
yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal
6
diri (Stuart & Sundeen, 1995). Frekuensi pencapaian tujuan akan
menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Harga
diri dapat dipengaruhi sejumlah kontrol yang mereka miliki terdapat tujuan
dan keberhasilan dalam hidup. Keluarga dan masyarakat membentuk
standar dimana melalui standar tersebut individu mengevaluasi diri mereka
(Potter & Perry, 2005). Seorang anak yang terlahir dengan kebutuhan
khusus maka orang tuanya akan mempengaruhi standar keluarga sehingga
harga dirinya menurun.
Perasaan malu dan kecewa dirasakan orangtua, karena mereka
malu mempunyai anak yang tidak sempurnya, mereka malu orang lain
mencemooh mereka. Pernyatan penelitian yang dilakukan oleh Vani, dkk
(2014) masih banyak orangtua yang tidak menerima anak dengan
disabilitas, orangtua menganggap anak mereka tidak dapat berbuat apa-
apa, tidak sanggup, dan hanya bisa mengandalkan bantuan orang lain.
Selain itu orangtua biasanya kecewa dengan keadaan anak yang tidak bisa
sesempurna anak lainnya. Ini sangat mempengaruhi harga diri orang tua
yang memiliki anak disabitilias dan dapat mengganggu kehidupan mereka.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Listiyaningsih & Dewayani
(2010) menemukan bahwa semua orangtua yang memiliki anak
tunagrahita diwawancarai merasa bingung dan malu karena keadaan
anaknya, hal ini menyebabkan orangtua anak tunagrahita seringkali merasa
rendah diri ketika berkomunikasi dengan orangtua yang lain, apalagi
ketika sedang bersama anaknya yang menderita tunagrahita. Orangtua
7
anak tunagrahita merasa beban mengasuh anak tunagrahita sangat berat,
dan tidak meyakini apakah dirinya sebagai orangtua mampu membesarkan
anaknya yang menderita tunagrahita dengan baik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arjunawadi, (2015)
tentang gambaran mekanisme koping orang tua yang memiliki anak
sindrom Down setelah dilakukan penelitian terhadap 33 responden
hasilnya sebanyak kategori maladaptif yaitu sebanyak 14 orang (42,4%)
dan kategori adaptif yaitu sebanyak 19 orang (57,6%). Hal ini terjadi
karena sebagian orang tua mendapatkan informasi yang kurang mengenai
penyebab dari kejadian tersebut sehingga pengontrolan diri mereka
cenderung kearah negatif dan mempengaruhi konsep diri menjadi
maladaptif. Sebagian dari orang tua juga menganggap dapat
mengendalikan emosi mereka karena mereka merasa bahwa semua yang
diberikan oleh Tuhan adalah yang terbaik bagi mereke sehingga mereka
dapat menerima keadaan tersebut.
Cara mempertahankan aspek yang positif maka penting bagi
orangtua untuk mempertahankan aspek spritual yang dimiliki oleh
orangtua, hal ini terlihat dari penelitian Suri & Daulay (2012) bahwa
orangtua yang memiliki anak sindrom Down di SDLB Negeri 107708
Lubuk Pakam selalu mendekatkan diri pada Tuhan sebanyak 62 orang
(98,4%). Angka ini cukup tinggi, sebagian besar orangtua mendekatkan
diri pada Tuhan ketika terjadi masalah hal inilah yang mendukung para
orang tua memilki koping yang adaptif dalam menghadapi masalah.
8
Dengan meningkatkan spiritualitas para orangtua lebih mampu
menghadapi masalah dengan pikiran positif, hal ini diajarkan dalam agama
apapun.
Keterkaitan antara spiritualitas dengan suatu aspek positif dalam
kehidupan sehari–hari karena spiritualitas yaitu bagian dari menjadi
manusia yang berusaha memaknakan hubungan melalui intapersonal,
interpersonal dan transpersonal (Reed, 1992 dalam (Berman dkk, 2008).
Kemampuan untuk mengasihi orang lain dan diri sendiri secara bermakna
adalah bukti dari sehatnya spiritual seseorang. Sejalan dengan makin
dewasanya seseorang, mereka sering introspeksi diri untuk memperkaya
nilai dan konsep ketuhanan yang telah dianutnya. Kekuatan spiritualitas
pada orang tua yang memiliki anak sindrom Down menjadi faktor penting
untuk menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh suatu penyakit yang
dialami oleh anak mereka. Keberhasilan dalam mengatasi perubahan
tersebut dapat memperkuat seseorang secara spiritual dengan cara
mengevaluasi ulang untuk membentuk kembali identitas diri dan hidup
yang jauh lebih bermakna (Potter & Perry, 2005).
Biswan (2012) menyebutkan bahwa spiritualisme agama
memperkuat tingkat optimisme kehidupan manusia, terlihat dari hasil
penelitian tersebut menunjukan bahwa aktivitas spiritual lebih
meningkatkan semangat hidup di komunitas penyandang disabilitas
paraplegi di Wisma Cheshire Depok. Selain itu yang membangkitkan
semangat hidup para penyandang disabilitas paraplegia ini adalah
9
dukungan dari lingkungan sekitar termasuk orang tua. Dari hasil penelitian
juga ternyata penyandang disabilitas tidak selalu menjadi seseorang yang
lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa, melainkan dapat menjadikan hidup
mereka lebih bermakna.
Gosztyla & Kazimierz (2015), menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara religious (keimanan) terhadap kualitas pernikahan orang
tua yang memiliki anak autis. Dalam pengumpulan data dari 53 pasangan
suami istri terdapat 84% (46 ibu dan 43 ayah) yang percaya dengan
keyakinan yang mereka anut, lalu 12% (6 ibu dan 7 ayah) tidak percaya
dengan keyakinan yang mereka anut, dan sisanya 4% (1 ibu dan 3 ayah)
tidak bisa berkata apapun soal keyakinannya. Hasil tersebut sangat
berpengaruh terhadap cara mereka memandang suatu pemberian Tuhan
yaitu anak mereka sendiri. Dari hasil penelitian tersebut juga menilai ayah
cenderung menyalahkan ibu yang telah melahirkan anak autis, padahal
keyakinan mereka tidak mengajarkan untuk saling menyalahkan
melainkan bersyukur. Namun selain itu ayah sangat berperan penting
dalam memberi dukungan kepada ibu ataupun anaknya demi kelangsungan
hidup mereka. Pengalaman spiritual mengajarkan mereka betapa
berharganya untuk saling mendukung satu sama lain terutama bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak mereka.
Aktivitas yang terkait dengan spiritual terbukti mempengaruhi
kesehatan individu dan perasaan sejahtera yang meningkatkan harga diri
(Stolley & Koening, 1997 dalam Videbeck, 2008). Hal ini diperkuat
10
dengan model spiritualitas Farran et. al (1989 dalam Potter & Perry, 2005)
yang menyatakan bahwa dimensi spiritual secara tradisional yaitu fisik,
psikologis, kultural, perkembangan, social dan spiritual semua itu adalah
sesuatu yang terintegrasi. Hal ini pun selaras dengan konsep yang
dikemukaan Berman dkk (2008) bahwa spiritualitas mencakup agama,
iman, harapan, transendensi, dan pengampunan yang merefleksikan diri
sebagai suatu pengalaman batin yang akan diwujudkan dalam bentuk
ekspresi individual itu sendiri.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di POTADS Bandung
pada Bulan Januari 2017 dengan menanyakan langsung kepada 3
responden dengan cara melakukan wawancara. Didapatkan hasil sebesar
67% dari responden menyatakan bahwa mereka menganggapkan anak
dengan sindrom adalah anugerah dari Tuhan dan tetap menjadi anak yang
akan mereka jaga serta merawat anak mereka seperti layaknya anak
normal tanpa merasa malu dengan lingkungan sekitar. Sedangkan 33%
dari responden yang memiliki anak dengan sindrom Down awalnya
merasa malu dan tertutup, menganggap itu adalah aib keluarga dan
berpikir hal tersebut adalah ujian dari Tuhan. Di POTADS Bandung
sendiri masih banyak orang tua yang enggan mengikuti aktivitas
komunitas tersebut karena merasa asing dan malu untuk membawa
anaknya berpergian jauh dari rumah, mereka beranggapan memiliki anak
dengan sindrom Down menyusahkan karena perlu dibina dengan ketat.
Maka berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan
11
penelitian tentang “Hubungan spiritualitas terhadap harga diri orang tua
yang memilki anak dengan sindrom Down”. Dimana penelitian ini
bermaksud untuk mengetahui hubungan spiritualitas terhadap harga diri
orang tua yang memiliki anak sindrom Down.
B. Rumusan Masalah
Mempunyai anak berkebutuhan khusus seperti anak dengan
sindrom Down merupakan suatu hal yang berat bagi para orang tua.
Penerimaan orang tua sangat berpengaruh terlebih dengan orang tua yang
memiliki harga diri rendah karena memiliki anak yang tidak sesuai dengan
harapannya. Pendekatan spiritual orang tua dapat berpengaruh terhadap
harga diri sehingga penerimaan orang tua terhadap anaknya lebih menjurus
kearah yang lebih positif. Dari hasil studi pendahuluan di POTADS
Bandug didapatkan beberapa orang tua yang menerima keadaan bahwa
anaknya sindrom Down karena anugerah dari Tuhan, namun ada yang
menganggap itu adalah sebuah aib keluarga sehingga orang tua tidak
mampu bersosialisasi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan spiritualitas
terhadap harga diri orang tua yang memilki anak dengan sindrom Down di
POTADS”.
12
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
spiritualitas dan harga diri orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya karakteristik (usia, jenis kelamin, status perkawinan,
pendidikan terakhir, pekerjaan, dan penghasilan) orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down
b. Diketahuinya spiritualitas orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down
c. Diketahuinya harga diri orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down
d. Diketahuinya hubungan spiritualitas terhadap harga diri orang tua
yang memiliki anak dengan sindrom Down
e. Diketahuinya konsep spiritualitas (agama, iman, harapan,
transendensi, dan pengampunan) orang tua yang memiliki anak
dengan sindrom Down.
f. Diketahuinya hubungan konsep spiritualitas (agama, iman,
harapan, transendensi, dan pengampunan) terhadap harga diri
orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down.
13
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Profesi Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan
pengetahuan dan informasi kesehatan pada keluarga dengan pada anak
dengan kebutuhan khusus sebagai upaya peningkatan pelayanan
kesehatan yang komprehensif.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan ilmu
pengetahuan mahasiswa keperawatan terkait dengan pemberian asuhan
keperawatan sebagai ragam informasi mengenai spiritualitas dan harga
diri orang tua yang memilki anak dengan kebutuhan khusus yang dapat
menjadi sumber referensi tambahan dalam konsep keperawatan anak.
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana
untuk menambah informasi masyarakat dalam memberi dukungan
terhadap orang tua dan anak dengan sindrom Down. Serta membantu
memberikan motivasi pada keluarga agar dapat menggunakan koping
yang tepat dalam merawat anak dengan sindrom Down.
4. Bagi Peneliti
Mendapatkan pengalaman langsung dalam melakukan
penelitian, lalu memanfaatkan hasil penelitian untuk meningatkan
mutu pelayanan kesehatan di masyarakat, dan memeperkaya
pengetahuan tentang peran perawat sebagai peneliti.
14
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan metode desain peelitian kuantitatif
dengan rumusan masalah korelasi yang dapat memandu peneliti untuk
mencari masalah dan hubungan yang akan diteliti terkait dengan
spiritualitas terhadap orang tua yang memiliki anak sindrom Down.
Sampel pada penelitian ini adalah orang tua yang memilki anak dengan
sindrom Down di POTADS (Persatuan Orang Tua Anak dengan Down
Syndrome). Pengumpulan data dilakukan dengan metode kuesioner pada
orang tua yang memiliki anak sindrom Down.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini, teori dan konsep-konsep yang digunakan sebagai
acuan adalah: sindrom Down, konsep spiritualitas, dan konsep harga diri. Bab ini
bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai anak yang menderita sindrom
Down, spiritualitas dan harga diri. Teori dan konsep yang akan diuraikan sebagi
berikut:
A. Konsep dasar
1. Sindrom Down
a. Definisi
Penemu sindrom Down adalah John Langdon Down adalah
seorang dokter dari Inggris yang pertama kali menggambarkan
kumpulan gejala dari sindrom Down pada tahun 1866. Tetapi
sebelumnya Esquirol pada tahun 1838 dan Seguin pada tahun 1846
telah melaporkan seorang anak yang mempunyai anda-tanda mirip
dengan sindrom Down. Sumbangan Down yang terbesar adalah
kemampuannya untuk mengenali karakteristik fisik yang spesifik dan
deskripsinya yang jelas tentang keadaan penyakit sindrom Down yang
secara keseluruhan berbeda dengan anak pada normalnya. Matanya
yang khas seperti bangsa Mongol maka dulu disebut juga
“Mongoloid”, tetapi sekarang istilahnya sudah diganti karena akan
menyinggung suatu bangsa (Soetjiningsih, 1995).
16
Sindrom Down bukan merupakan suatu penyakit, tetapi
merupakan suatu kelainan genetic yang dapat terjadi pada pria dan
wanita. Kelainan in merupakan hasil dari kelainan kromosom yang
tidak selalu diturunkan kepada keturunan berikutnya. Kelainan
kromosom yang sering ditemukan adalah kelebihan kromosom 21
yang dinamakan trisomy 21 (Sudiono, 2009).
Trimosi 21, disebut juga sindrom Down, terjadi pada 1 dari 800
hingga 1000 neonatus. Malformasi mayor mencakup cacat jantung (30
hingga 40 persen) dan atresia saluran cerna. Penderita uga berisiko
besar mengalami leukemia anak dan penyakit tiroid. Tingkat
kecerdasan (intelligence quotient, IQ) berkisaran dari 25 hingga 50,
dan hanya sedikit yang lebih besar dari rentang tersebut. Sebagian
besar anak yang terkena memiliki keterampilan sosial rata-rata hingga
4 tahun melebihi usia mentalnya (Leveno, 2012).
b. Angka Kejadian
Hampir 95 persen kasus sindrom Down terjadi akibat
nondisjunction kromosom 21 ibu, dengan risiki kekambuhan pada
wanita tersebur adalah 1 persen sampai risiko terkait usianya melebihi
angka ini; kemungkinan risiko terkait sepertiga dari anak mereka yang
mengidap sindrom Down. Pria dengan sindrom Down hampir selalu
steril (Leveno, 2012).
Penyakit ini terjadi pada sekitar 1 dari 600 kelahiran: lebih
jarang terjadi pada wanita yang lebih muda dan lebih sering terjadi
17
pada wanita diatas usia 35 tahun. Kebanyakan anak dengan sindrom
Down memiliki ekstra kromosom 21 sebagai hasil dari gagalnya
pemisahan saat pembentukan gamet. Sebagian kecil merupakan hasil
dari translokasi atau abnormalitas lain yang melibatkan kromosom 21.
Para orang tua yang merupakan karier translokasi berada pada risiko
yang cukup besar untuk memiliki anak dengan sindrom ini (Meadow
& Newell, 2005).
c. Etiologi
Menurut Soetjiningsih (1995) penyebabnya, yaitu:
1. Genetik
Terdapat predisposisi genetik terhadap non-disjuctional.
Bukti yang mendukung teori yaitu berdasarkan atas hasil
penelitian epidemologi yang menyatakan adanya peningkatan
resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan
sindrom Down.
2. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab terjadinya non-
disjunctional, sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan
sindrom Down, pernah mengalami radiasi di daerah perut
sebelum terjadinya konsepsi.
3. Autoimun
18
Faktor lain penyebab terjadinya sindrom Down adalah
autoimun, autoimun ini terjadi karena adanya penyakit yang
berkaitan dengan tiroid.
4. Umur ibu
Faktor usia sangat berpengaruh, apabila umur ibu diatas
35 tahun, maka diperkirakan perubahan hormonal yang dapat
menyebabkan non-disjunction pada kromosom. Dengan adanya
perubahan hormon, makan akan terjadi perubahan pada
endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya
kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol
sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan
peningkatan secara tajam kadar Luteinizing Hormon (LH) dan
Follicular Stimulating Hormon (FSH) hal ini yang akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya “non-disjunction”.
5. Umur Ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down,
umur ayah juga dilaporkan adanya pengruh terhadap kejadian
sindrom Down yang berdasarkan atas penelitian sitogenik pada
orang tua dari anak dengan sindrom Down mendapatkan bahwa
20-30% kasus ekstra kromosom yang bersumber dari ayah,
akan tetapi korelasinya tidak setinggi umur ibu.
19
d. Manifestasi klinis
Walaupun tidak ada ciri-ciri sindrom Down yang
patognomonik, dan dapat timbul pada anak normal, gabungan dari
beberapa ciri seringkali memastikan diagnosis klinis. Pengenalan pada
bayi preterm yang sangat kecil lebih sulut dan kondisi in mudah
terlihat pada janin yang mengalami aborsi. Ciri ciri anak dengan
sindrom Down (Meadow & Newell, 2005):
1. Tengkorak brakisefalik; wajah dan oksiput datar. Saat kelahiran
dapat timbul ubun-ubun ketiga, terletak tepat di depan ubun-ubun
belakang.
2. Hipotonisitas dan hiperekstensibilitas. Semua neonatus dengan
sindrom Down terkulai.
3. Fisura palpebral sedikit miring dengan lipatan epikantus yang
menonjol (sering disebut mongol). Bintik-bintik pucat kecil (bintik
Brushfield) terlihat pada iris seiring dengan semakin terpigmentasi,
membentuk cincin konsentris di sekirat pupil. Bulu mata
jarang/tipis. Juling, katarak, dan nistagmus sering terjadi.
4. Mulut kecil dan kendor. Setelah masa bayi, lidah menjadi besar
dan menjulur keluar.
5. Leher pendek dan lebar dengan kulit tebal di bagian posterior.
6. Tangan dan jari jari pendek. Sering terdapat suatu lipatan
transversa pada telapak tangan (simian Crease), juga jari yang kecil
dan pendek yang tidak melengkung (klinodaktili). Sering memiliki
20
jarak yang lebar antara jari kaki pertama dan kedua, dengan lipatan
plantar longitudinal, menjalar dari antara kedua jari kaki tersebut.
7. Perawakan pendek.
8. Perkembangan terlambat pada segala aspek.
9. Sering terdapat kelainan kongenital yang berhubungan khususnya
penyakit jantung kongenital (seperti pada VSD dan anal AV) dan
atresia atau stenosis duodenal.
B. Dampak Bagi Orang Tua
Saat diagnosis sindrom Down ditegakkan. Para dokter harus
menyampaikan hal ini secara bijaksana dan jujur. Penjelasan pertama sangat
menentukan adaptasi dan sikap orang tua selanjutnya. Dokter harus menyadari
bahwa pada waktu memberi penjelasan yang pertama kali, reaksi orang tua
sangat bervariasi. Penjalasan pertama sebaiknya singkat, oleh karena pada
waktu itu mungkin orang tua masih belum mampu berpikir secara nalar.
Mungkin pada waktu itu mereka masih dikuasai oleh perasaan kecewa, sedih
ataupun sebagai mekanisme pembelaan dapat saja mereka bereaksi berupa
harapan, tidak mau menerima atau menolak. Dokter hendaknya memberi
cukup waktu, sehingga orang tua telah lebih beradaptasi dengan kenyataan
yang dihadapi. Akan lebih baik apabila kedua orang tua hadir pada waktu kita
memberikan penjelasan yang pertama kali, agar mereka saling memberikan
dukungan. Dokter harus menjelaskan bahwa anak dengan sindrom Down
adalah individu yang mempunyai hak yang sama dengan anak yang normal,
21
serta pentingnya makna kasih sayang dan pengasuhan orang tua
(Soetjiningsih, 1995).
Pertemuan selanjutnya diperlukan untuk memberikan penjelasan yang
lebih lengkap penjelsan mengenai apa itu sindrom Down, karakteristik fisik
yang ditemukan dan antisipasi masalah tumbuh kembangnya. Orang tua harus
diberi tahu bahwa fungsi motorik, Perkembangan mental dan bahasa biasanya
terlambat pada sindrom Down. Informasi juga menyangkut tentang risiko
terhadap kehamilan berikutnya. Hal yang penting lainnya adalah menekankan
bahwa bukan ibu maupun ayah yag dapat dipersalahkan tentang hal ini. Akibat
terhadap kehidupan keluarga ataupun dampak pada saudara-saudaranya
mungkin pula akan muncul dalam diskusi. Mungkin orang tua tidak mau
untuk menceritakan keadaan anaknya ini pada anggota keluarga yang lain
(Soetjiningsih, 1995).
C. Konsep Spiritualitas
1. Definisi
Kata spiritual berasal dari bahasa Latin yaitu Spiritus, yang
memiliki arti “meniup” atau “bernapas” dan memiliki arti yang
memberikan kehidupan atau intisari menjadi manusia. Spiritualitas
mengacu pada bagian dari menjadi manusia yang berusaha memaknakan
hubungan melalui intapersonal, interpersonal dan transpersonal (Reed,
1992 dalam (Berman et al., 2008). Spiritualitas secara umum melibatkan
keyakinan dalam hubungan dengan sesuatu yang lebih tinggi, berkuasa,
memiliki kekuatan mencipta dan bersifat ketuhanan, atau memiliki energi
22
yang tidak terbatas. Misalnya sesorang mungkin percaya dengan “Tuhan”,
“Allah”, “Roh”, atau “kekuatan yang lebih tinggi”. (Martsolf & Mickley,
1998 dalam (Berman et al., 2008) mencakup aspek berikut: 1) Makna
(memiliki tujuan, membuat rasa hidup); 2) nilai (memiliki keyakinan dan
standar untuk dihargai); 3) transendensi (menghargai sebuah dimensi yang
berada di luar diri); 4) menghubungkan (terkait dengan orang lain, alam,
dan lainya); 5) menjadi (yang melibatkan refleksi, memungkinkan hidup
terbuka, dan mengetahui sesuatu).
Spiritualitas menunjukkan kemaknaannya, terdapat dua
karakteristik penting tentang spiritualitas yang disetujui oleh sebagian
penulis: (1) spiritualitas adalah kesatuan tema dalam kehidupan kita (2)
spiritualitas merupakan keadaan hidup. Farran et al. (1989) menggunakan
definisi fungsional spiritualitas “komitmen tertinggi individu, yang
merupakan prinsip yang paling komprehensif dari perintah, atau nilai final
yaitu argument yang sangat kuat yang diberikan untuk pilihan yang dibuat
dalam hidup kita” (Potter & Perry, 2005).
Spiritualitas mencakup esensi keberadaan individu dan keyakinan
tentang makna hidup dan tujuan hidup. Spiritualitas dapat mencakup
keyakinan kepada keyakinan kepada Tuhan atau kekuatan yang lebih
tinggi, praktik keagamaan, keyakinan dan praktik budaya dan hubungan
dengan lingkungan. Studi telah menunjukan bahwa spiritualitas
merupakan bantuan yang tulus bagi banyak individu dewasa yang
mengalami masalah kejiwaan, yang berperan sebagai media koping utama
23
dan merupakan sumber makna dan koherensi dalam hidup mereka atau
membantu menyediakan jaringan sosial (Sullivan, 1993 dalam (Videbeck,
2008).
Spiritualitas tidak sama dengan religi, yang mengacu pada
seperangkat keyakinan dan praktek-praktek yang terkait dengan sebuah
gereja, sinagoga, masjid, atau kelompok terorganisir formal lainnya.
Spiritualitas adalah pribadi, seperangkat keyakinan individual dan praktek-
praktek yang tidak bergabung dengan lembaga atau mazhab (DeLaune &
Ladner, 2011).
Religi Spiritualitas
Bagian dari spiritualitas Menyeluruh
Golongan agama tertentu Umum
Perilaku ritual Spontan tanpa diminta
Teori Afektif
Public Pribadi
Tabel 2.1. Perbedaan spiritualitas dan Religi (DeLaune & Ladner, 2011)
2. Karakterisrik Spiritual
Karakteristik Deskripsi
Hubungan dengan diri sendiri Pengetahuan dan kemampuan diri
Hubungan dengan orang lain Peduli dengan orang lain saat mereka
membutuhkan bantuan
Berbagi dengan orang lain
Hubungan dengan alam harmonis Pengetahuan tentang tanaman dan hewan
Melestarikan alam
Berkomunikasi dengan alam
Hubungan dengan kekuatan yang
lebih tinggi
Meditadi/beribah
Berpartisipasi dalam keagamaan
Melakukan ritual keagamaan
Tabel 2.2 Karakteristik Spiritualitas (DeLaune & Ladner, 2011)
24
3. Perkembangan Spiritual
Menurut (Hamid, 2008) perkembangan spiritual manusia sesuai
dengan tahap perkembangan pada umumnya, yaitu:
a. Bayi dan toddler (0-2 tahun)
Tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya
kepada yang mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa
aman dan dalam hubungan interpersonal, karena sejak awal
kehidupan manusia mengenal dunia melalui hubungannya dengan
lingkungan, khususnya orang tua. Bayi dan toddler belum memiliki
rasa salah dan benar, serta keakinan spiritual. Mereka mulai meniru
kegiatan ritual tanpa mengerti arti kegiatan tersebut serta ikut ke
tempat ibadah yang memengaruhi citra diri mereka.
b. Presekolah
Sikap orang tua tentang kode moral dan agama
mengajarkan kepada anak tentang apa yang dianggap baik dan
buruk. Anak prasekolah meniru apa yang mereka lihat bukan yang
dikatakan orang lain. Permasalahan akan timbul apabila tidak ada
kesesuaian atau bertolak belakang antara apa yang dilihat dan yang
dikatakan kepada mereka. Anak prasekolah sering bertanya tentang
moralitas dan agama, seperti perkataan atau tindakan tertentu
dianggap salah.
Menurut Kozier dkk (2008), pada usia ini metode
pendidikan spiritual yang paling efektif adalah memberi
25
indoktrinasi dan memberi kesempatan kepada mereka untuk
memilih caranya. Agama merupakan bagian dari kehidupan sehari-
hari. Mereka percaya bahwa Tuhan yang membuat hujan dan
angin; hujan dianggap sebagai air mata Tuhan.
c. Usia Sekolah
Anak usia sekolah mengharapkan Tuhan menjawab doanya,
yang salah akan dihukum dan yang baik akan diberi hadiah. Pada
masa prapubertas, anak sering mengalami kekecewaan karena
mereka mulai menyadari bahwa doanya tidak selalu dijawab
menggunakan cara mereka dan mulai mencari alas an tanpa mau
menerima keyakinan begitu saja.
Pada usia ini, anak mulai mengambil keputusan akan
melepaskan atau meneruskan agama yang dianutnya karena
ketergantungannya kepada orang tua. Pada masa remaja, mereka
membandingkan standard orang tua mereka dengan orang tua lain
dan menetap standard apa yang akan diintegrasikan dalam
perilakunya. Remaja juga membandingkan panndangan ilmiah
dengan pandangan agama serta memcoba untuk menyatukannya.
Pada masa ini, remaja yang mempunyai orang tua berbeda agama,
akan memutuskan pilihan agama yang akan dianutnya atau tidak
memilih satupun dari kedua agama orang tuanya.
d. Dewasa
26
Kelompok usia dewasa muda yang dihadapkan pada
pertanyaan bersifat keagamaan dari anaknya akan menyadari apa
yang pernah diajarkan kepadanya pada masa kanak-kanak dahulu,
lebih dapat diterima pada masa dewasa daripada waktu remaja dan
masukan dari orang tua tersebut dipakai untuk mendidik anaknya.
e. Usia Pertengahan
Kelompok usia pertengah dan lansia mempunyai lebih
banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti
nilai agama yang diyakini oleh generasi muda. Perasaan kehilangan
karena pension dan tidak aktif serta menghadap kematian orang
lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri.
Perkembangan filosofis agama yang lebih matang umumnya
membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif
dalam kehidupan dan merasa berharga, serta lebih dapat menerima
kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindari.
4. Konsep Terkait Spiritualitas
Spiritualitas adalah refleksi dari pengalaman batin yang
dinyatakan secara individual, Konsep-konsep yang berkaitan dengan
spiritualitas termasuk agama, iman, harapan, transendensi, dan
pengampunan (Berman et al., 2008).
a. Agama
Agama adalah sistem yang sangat terorganisir tentang
kepercayaan dan praktek. Menurut Vardey (1996), agama
27
terorganisir meliputi (a) rasa terikat oleh keyakinan secara umum;
(b) belajar Kitab (Taurat, Alkitab, Qur'an, atau orang lain); (c)
pelaksanaan ibadah; (d) penggunaan disiplin dan praktek, perintah,
dan ibadah; dan (e) cara merawat batin (seperti puasa, doa dan
meditasi). Banyak praktek-praktek keagamaan tradisional dan ritual
yang berhubungan dengan acara-acara kehidupan seperti kelahiran,
peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa, perkawinan, penyakit,
dan kematian. Agama aturan perilaku, biasanya secara bersamaan
dipengaruhi budaya, mungkin juga berlaku untuk masalah-masalah
kehidupan sehari-hari seperti pakaian, makanan, interaksi sosial, dan
lain-lain (Berman et al., 2008).
Agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup
kekal. Dalam praktik sehari-hari mendengar kata agama, dibenak
banyak orang pasti muncul gambaran yeang berbeda-beda. Ada yang
menganggap agama sebagai jalan dan cara hidup; agama adalah
kepercayaan pada hal atau realitas yang lebih luhur daripada
manusia; agama adalah rangkaian tindakan khas seperti doa, ibadah
dan upacara yang dilaksanakan dengan lapang dada atau tanpa
keterpaksaan; dan ada lagi yang menganggap agama adalah perasaan
tergantung secara mutlak pada suatu realitas yang mengatasi dirinya.
Dengan demikian, menjalani agama ini akan mendapatkan hikmah
dari Allah berupa suatu perlindungan dan kedamaian bagi yang
melaksanakan kegiatan keagamaan (Hardjana, 2005).
28
b. Iman
Iman adalah untuk percaya atau berkomitmen untuk sesuatu
atau seseorang. Fowler (1981) iman dijelaskan sebagai hadir pada
orang-orang religius dan nonreligious. Iman memberikan makna
kehidupan, menyediakan individu dengan kekuatan di saat-saat
kesulitan. Untuk klien yang sakit, iman dalam kekuasaan lebih tinggi
(misalnya, Allah, Allah, Jehovah), diri sendiri, dalam tim perawatan
kesehatan, atau kombinasi dari semua menyediakan kekuatan dan
harapan (Berman et al., 2008).
Dalam islam setiap islam haruslah memiliki iman. Beriman
kepada ketentuan rukun iman, seperti diterangkan dalam jawaban
Rasulullah SWT terhadap pertanyaan malaikat Jibril AS ketika
ditanya tentang makna iman. Beliau menjawab: Rukun iman itu
adalah beriman kepada Allah SWT, malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-
Nya, hari akhir sebagai takdir dan beriman kepada ketentuan Allah,
baik dan buruknya.” (HR.Muslim, no.8) (Bahammam, 2015).
c. Harapan
Harapan adalah sebuah konsep yang menggabungkan
spiritualitas. Stephenson (1991) mengusulkan definisi harapan
adalah "proses antisipasi yang melibatkan interaksi berpikir,
bertindak, perasaan, dan berhubungan, dan diarahkan kepada
kepuasan masa depan yang bermakna secara pribadi". Dalam
29
ketiadaan harapan, klien menyerah, dan kehilangan semangat dan
penyakit kemungkinan semakin cepat memburuk.
d. Transendensi
Istilah transendensi adalah sering tertukar dengan
transendensi-diri. Coward (1990) mendefinisikan sebagai
"kemampuan untuk menjangkau melampaui diri sendiri, untuk
melampaui diri dan mengambil perspektif hidup yang lebih luas,
kegiatan dan tujuan". Transendensi juga diduga melibatkan
seseorang pengakuan bahwa ada sesuatu yang lain atau lebih besar
daripada diri dan mencari dan menilai lebih besar lainnya.
e. Pengampunan
Konsep pengampunan semakin diperhatikan oleh tenaga
kesehatan professional. Bagi banyak pasien, penyakit atau
ketidakberdayaan menimulkan rasa malu atau rasa bersalah. Masalah
kesehatan diinterpretasikan sebagai hukuman atau dosa yang
dilakukan dimasa lalu. Pasien yang menghadapai ketamian yang
sudah dekat dapat meminta maaf kepada orang lain juga kepada
Tuhan. Penelitian Mickley dan Cowls (2001) menyataan bahwa
perawat dapat berperan penting dalam membantu pasien memahami
proses pengampunan dan untuk tetap dapat mempertahankannya.
Pengampunan mampu menghilangkan reaksi-reaksi aneh dan
berakibat buruk yang dapat dipicu oleh pengalaman pahit masa
lampau. Pengampunan adalah tanda dan landasan adanya harga diri
30
yang positif. Pengampunan muncul dari harga diri yang positif dan
selanjutnya membuatnya semakin kokoh. Pengampunana mampu
membuat kita mencintai diri sendiri bukan karena perintah Tuhan
tetapi karena keyakinan bahwa sebagai anugerah Tuhan, diri kita
memang pantas dicintai (Meninger, 1999).
5. Masalah spiritual
Ketika penyakit, kehilangan atau nyeri menyerang seorang
individu, kekuatan spiritual dapat membantu seseorang ke rah
penyembuhan atau pada perkembangan kebutuhan dan perhatian
spiritual. Distress emosional dapat berkembang sejalan dengan
seseorang mencari makna tentang apa yang sedang terjadi, yang
mungkin dapat mengakibatkan seseorang merasa sendiri dan terisolasi
dari orang lain. Individu mengkin mempertanyakan nilai spiritual
mereka, mengajukan pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan
hidup, dan sumber dari makna hidup (Potter & Perry, 2005).
a. Penyakit akut
Perubahan sehat ke sakit yang muncul secara mendadak,
tidak diperkirakan yang menghadapkan baik ancaman langsung atau
jangka panjang terhadap kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan
pasien, dapat menimbulkan distress yang bermakna. Penyakit atau
cedera yang dialami dapat dipandang sebagai hukuman, sehingga
pasien menyalahkan diri sendiri karena mempunyai kebiasaan
kesehatan yang buruk, gagal untuk mematuhi kewaspadaan
31
keselamatan atau menghindari pemeriksaan kesehatan secara rutin.
Individu akan merasa kesulitan memandang masa depan dan dapat
terpuruk tidak berdaya oleh dukanya (Potter & Perry, 2005).
Individu dengan penyakit akut akan mengekspresikan rasa
ketkautan, menyangkal bahwa masalah tersebut benar terjadi,
menolak bekerja sama atau menerima perawatan yang ditawarkan
oleh petugas medis, menarik diri, dan curiga terhadap motif dan
metode yang dipakai oleh orang lain untuk menolongnya, dan
ketergantungan yang meningkat diikuti dengan masalah yang
dihadapi (Potter & Perry, 2005).
b. Penyakit kronis
Seorang individu dengan penyakit kronis sering menderita
gejala yang melumpuhkan dan menggaggu kemampuan untuk
melanjutkan aktivitas normal mereka. Kemandirian dapat sangat
terancam, yang menyebabkan ketakutan, ansietas, kesedihan yang
menyeluruh. Ketergantungan pada orang lain untuk mendapatkan
perawata diri rutin dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya dan
persepsi tentang penurunan kekuatan batiniah (Potter & Perry,
2005).
Seorang individu mungkin merasa kehilangan tujuan dalam
hidup yang memperngaruhi kekuatan dari dalam yang diperlukan
untuk menghadapi perubahan fungsi yang dialami. Kekuatan tentang
spiritualitas pada pasien diabetes mellitus dapat menjadi faktor
32
penting dalam cara menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh
penyakit yang dialami individu tersebut. Keberhasilan dalam
mengatasi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis dapat
menguatkan seorang individu secara spiritual. Mengevauasi diri
tentang kehidupan sebelumnya mungkin terjadi. Mereka yang kuat
secara spiritual akan membentuk kembali identitas diri dan hidup
dalam potensi mereka (Potter & Perry, 2005).
c. Penyakit terminal
Penyakit terminal umumnya menyebabkan ketakutan
terhadap nyeri fisik, ketidaktahuan, kematian, dan anacaman
terhadap integritas (Tuener et al, 1995). Pasien mungkin mempunyai
ketidakpastian tentang makna kematian dan dengan demikian
mereka menjadi sangat rentan terhadap distress spiritual (Potter &
Perry, 2005).
Individu yang mengalami penyakit terminal sering
menemukan diri mereka menelaah kembali kehidupan mereka dan
mempertanyakan maknanya. Pertanyaan - pertanyaan umum yang di
ajukan dapat mencakup: “mengapa hal ini terjadi?” atau “apa yang
telah saya lakukan sehingga hal ini terjadi pada saya?” keluarga dan
teman-teman dapat terpengaruh sama halnya dengan yang pasien
alami. Penyakit terminal dapat menyebabkan anggota keluarga
mengajukan pertanyaan penting tentang maknanya dan bagaimana
33
penyakitnya tersebut akan mereka dengan mempengaruhi hubungan
dengan pasien (Potter & Perry, 2005).
d. Individuasi
Individuasi adalah pengalaman manusia yang umum, ditandai
oleh kebingungan, konflik, keputusasaan, dan perasaan hampa.
Individuasi mungkin didahulukan oleh rasa kekosongan dalam hidup
atau kurang kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Spiritualitas
seorang individu harus dipertahankan, karena individuasi tampaknya
mendorong sesorang untuk mempertahankan aspek positif. Kejadian
seperti stress, keberhasilan atau kurang berhasil dalam perkerjaa,
konflik perwakinan, atau penurunan kesehatan dapat menyebabkan
seorang individu mencari pemahaman diri yang lebih besar (Potter &
Perry, 2005).
e. Pengalaman mendekati kematian
Pasien dengan pengalaman mendekati kematian (NDE/Near-
Death Experience) kebanyakan enggan untuk mendiskusikan
pengalaman yang mereka rasakan, mereka berfikir bahwa keluarga
atau pemberi perawatan kesehatan tidak dapat memahami apa yang
mereka rasakan. Isolasi dan depresi dapat terjadi sebagai akibat tidak
menceritakan pengalaman atau menerima penghakiman dari orang
lain ketika mereka menceritakannya (Potter & Perry, 2005).
34
f. Distress spiritual
Distress spiritual merupakan suatu respon akibat suatu
kejadian yang traumatis baik fisik maupun emosional yang tidak
sesuai dengan keyakinan atau kepercayaan dalam menerima
kenyataan yang terjadi. Distress spiritual adalah suatu gangguan
yang berhubungan dengan prinsip kehidupan, keyakinan,
kepercayaan atau keagamaan yang menyebabkan gangguan pada
aktivitas spiritual akibat masalah-masalah fisik atau psikososial yang
dialami (Potter & Perry, 2005).
6. Faktor yang memperngaruhi spiritualitas
Menurut Taylor, Lilis & Le Mone (1997) dan Craven & Himle
(1996), faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang
adalah pertimbangan tahap perkembangan, keluarga, latar belakang
etnik dan budaya, pengalaman hidup sebelumnya, krisis, terpisah dari
ikatan spiritual, isu moral terkait dengan terapi, serta asuhan
keperawatan yang kurang tepat. Faktor-faktor penting tersebut (Hamid,
2008).
1. Tahap perkembangan
Berdasarkan hasil penelitian terrhadap anak-anak dengan empat
agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi
tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia,
jenis kelamin, agama, dan kepribadian anak. Tema utama yang
35
diuraikan oleh semua anak tentang Tuhan, mencakup hal-hal berikut
(Hamid, 2008).
a. Gambaran tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan
dengan manusia dan saling keterikatan dengan kehidupan.
b. Memercayai bahwa Tuhan terlibat dalam perubahan dan
pertumbuhan diri serta transformasi yang membuat dunia tetap
segar, penuh kehidupan, dan berarti.
c. Meyakini Tuhan mempunyai kekutan dan selanjutnya merasa
takut menghadapi kekuasaan Tuhan.
d. Gambaran cahaya/sinar.
2. Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan perkembangan spiritualitas
anak. Yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua kepada
anaknya tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai
Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri dari perilaku orang tua mereka.
Oleh karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan
pengalaman pertama anak dalam mempresepsikankehidupan di
dunia, pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman
mereka dalam berhubungan dengan orang tua dan saudaranya
(Hamid, 2008).
3. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik
dan sosial budaya. Pada umumnya, seseorang akan mengikuti tradisi
36
agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan
kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan keluarga dan
peran serta dalam segala bentuk kegiatan keagamaan (Hamid, 2008).
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup, baik yang positif maupun pengalaman negatif
dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya, juga
dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual
kejadian atau pengalaman tersebut. Sebagai contoh, jika dua orang
ibu yang percaya bahwa Tuhan mencintai umatnya, kehilangan anak
mereka karena kecelakaan. Salah satu dari mereka akan bereaksi
dengan mempertanyakan keberadaan Tuhan dan tidak mau
sembahyang lagi. Begitu pula pengalaman hidup yang
menyenangkan, seperti pernikahan, pengumuman kelulusan,
kenaikan jabatan dapat menimbulkan perasaan bersyukur kepada
Tuhan (Hamid, 2008).
5. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual
seseorang (Toth, 1992) dan Crvaen & Hirnle (1996). Krisis sering
dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses
penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian, khususnya pada pasien
dengan penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk.
Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut
37
merupakan pengalaman spiritualitas selain juga pengalaman yang
bersifat fisik dan emosinal (Hamid, 2008).
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut ataupun kronis,
sering kali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan
kebebsan pribadi dan sistem dukungan sosial. Pasien yang dirawat
maerasa terisolasi dalam ruangan yang asing baginya dan merasa
tidak aman. Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, antara lain,
tidak dapat menghadiri acara resmi, mengikuti kegiatan keagamaan
atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang
biasa memberi dukungan setiap saat diinginkan (Hamid, 2008).
7. Isu moral terkait dengan terapi
Dalam agama proses penyembuhan dianggap sebgai cara Tuhan
untuk menunjukkan keberasan-Nya walaupun ada juga yang
menolak intervensi pengobatan. Prosedur medik sering kali dapat
dipengaruhi oleh pengajaran agama, misalnya sirkumsisi,
transplantasi organ, pencegahan kehamilan, dan sterilisasi. Konflik
antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh
pasien dan tenaga kesehatan (Hamid, 2008).
8. Asuhan keperawatan yang kurang tepat
Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat
diharapkan peka terhadap kebutuhan spiritual pasien, tetapi dengan
38
berbagai alasan ada kemungkinan perawat justru menghindar untuk
memberi asuhan spiritual (Hamid, 2008).
7. Penilaian Spiritualitas
Penilaian spiritual dapat dinilai dengan melakukan pengkajian
untuk mendapatkan data subjektif dan data objektif. Menurut Hamid
(2008) dijelaskan bahwa pengkajian spiritualitas untuk mengetahui nilai
spiritualitas seseorang dapat menggunakan proses keperawatan berupa
pertanyaan kepada pasien seperti konsep tentang Tuhan atau Ketuhanan,
sumber harapan dan kekuatan, praktik agama dan ritual, hubungan
antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan.
Selain itu terdapat juga dalam penelitian yang dilakukan oleh
Linda (2014) kepada pasien yang mengidap ulkus diabetik melakukan
penilaian spiritualitas dengan menggunakan kuesioner yang diaposi dari
konsep spiritualitas Berman et al., (2008) yaitu mencakup agama, iman,
harapan, transendensi, dan pengampunan. Total pertanyaan terkait
dengan spiritualitas yaitu 30 dengan masing-masing 5 pertanyaan setiap
subnya. Hasilnya dari 62 responden 33 diantaranya atau 53,2% memiliki
spiritualitas yang baik.
D. Konsep Diri
1. Definisi
Konsep diri menurut Sunaryo (2013) adalah cara individu
memandang dirinya secara utuh, menyangkut fisik, emoosi, intelektual,
sisoal, dan spiritual. Beberapa hal yang termasuk dalam konsep diri adalah
39
persepsi individu tentng sifat dan potensi yang dimilikinya, interaksi
individu dengan orang lain dan lingkungannya, nilai – nilai yang berlaku
dan berkaitan dengan pengalaman, serta tujuan, harapan, dan
keinginannya. Beberapa hal penting yang terdapat dalam konsep diri
meliputi:
a. Aspek utama dalam perkembanga identitas diri adalah nm dan
panggilan.
b. Pandangan individu tentang dirinya dipengurhi oleh bagimana
individu mengartikan pandangan orang lain terhadap dirinya.
c. Suasana keluarga yang serasi atau harmonis dan berpandangan
positif akan memicu kreativitas sehingga dapat menimbulkan
perasaan positif.
d. Penerimaan keluarga terhadap kemampuan yang sesuai dengan
perkembangan sangat memicu terjadinya aktualisasi diri dan
kesadaran terhadap potensi dirinya.
2. Komponen konsep diri
Adapun komponen konsep diri tersebut meliputi:
a. Gambaran diri
Gambaran diri adalah sikap individu terhadap tubuhnya, baik
secara sadar mapun tidak sadar, meliputi penampilan, potensi tubuh,
fungsi tubuh, serta persepsi, dan perasaan tentang ukuran dan bentuk
tubuh (Sunaryo, 2013).
40
Gangguan gambaran diri adalah persepsi negatif tentang tubuh
yang diakubatkan oleh perubahan ukuran, bentuk, struktur, fungsi,
keterbatasan, makna dan objek yang sering berhubunga dengan tubuh
(Purwanto, 2015).
b. Ideal diri
Persepsi individu terhapa perilakunya, disesuaikan dengan
standar pribadi yang terkait dengan cita-cita, harapan, keinginan, tipe
orang yang diidamankan, dan nilai yang ingin dicapai. Gangguan
ideal diri terjadi karena ideal diri terlalu tinggi, sukar dicapai dan
tidak realistis (Purwanto, 2015)
c. Peran Diri
Peran diri adalah pola perilaku, sikap, nilai, aspirasi yang
diharapkan individu berdasarkan posisinya di masyarakat. Posisi
individu di masyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran
karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, atau tuntutan
posisi yang tidak mungkin dilaksanakan. Stres peran terdiri dari
konflik peran, peran yang tidak jelas, peran yang tidak sesuai dan
peran yang berlebihan (Purwanto, 2015).
d. Identitas Diri
Identitas diri adalah kesadarana akan diri sendiri yang
bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebgai sintesis dari semua
aspek kondep diri dan menjadi satu kesatuan yang utuh (Sunaryo,
41
2013). Individu yang memiliki perasan identitas diri ang tinggi akan
memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan tidak ada
duanya.
e. Harga Diri
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal
yang diperoleh dengan menganalisis seberapa baik perilaku seseorang
sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang
berasal dari penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun
melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, tetap merasa
menjadi seorang yang penting dan berharga (Stuart & Sundeen,
2007). Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri
yang rendah atau harga diri tinggi. Jika individu sering mengalami
kegagalan, maka cenderung memiliki harga diri rendah. Harga diri
diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai
dan menerima penghargaan dari orang lain (Keliat, 1994). Biasanya
harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut.
Dari hasil riset ditemukan masalah kesehatan fisik mengakibatkan
harga diri rendah. Harga diri tinggi terkait dengan ansietas rendah,
efektif dalam kelompok, dan diterima oleh orang lain. Sedangkan
harga diri rendah terkait dengan hubungan interpersonal yang buruk
dan risiko terjadi depresi dan skizofrenia. Gangguan harga diri dapat
digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk
hilangnya kepercayaan diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat
42
terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluasi
yang telah berlangsung lama) dan dapat diekspresikan secara langsng
atau tidak langsung (Keliat, 2012).
Harga diri adalah rasa dihormati, diterima, kompeten, dan
bernilai. Orang dengan harga diri rendah diri sering merasa tidak
dicintai dan sering mengalami depresi dan ansietas. Harga diri
berfluktuasi sesuai dengan kondisi sekitarnya, meskipun inti dasarnya
dari perasaan negatif dan positif di pertahankan (Potter & Perry,
2005).
Faktor Yang Memepengaruhi Gangguan Harga Diri
a. Perkembangan individu
Faktor predisposisi dapat dimulai sejak measih bayi,
seperti penolakan orang tua menyebabkan anak merasa tidak
dicintai dan mengakibatkan anak gagal mencintai dirinya sendiri
dan akan gagal untuk mencintai orang lain. Pada saat anak
berkembang lebih besar, anak mengalami kurangnya pengakuan
dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat atau penting
baginya. Ia merasa tidak adekuat karena selalu tidak dipercaya
untuk mandiri dan memutuskan sendiri akan bertanggung jawab
terhadap perilakunya.
b. Sikap orang tua yang terlalu mengatur
Sikap oarang tua yang terlalu mengatur dan mengontrol,
membuat anak merasa tidak berguna.
43
c. Ideal diri tidak realistis
Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa
tidak puna hak untuk gagal dan berbuat kesalahan. Ia membuat
standar yang tidak apat dicapai, seperti cita-cita terlalu tinggi dan
tidak realistis yang pada kenyataannya tidak dapat dicapai
membuat individu menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya
diri akan menghilang.
Gangguan harga diri rendah
a. Situasional
Terjadinya trauma tiba-tiba, misalnya harus dioperasi,
kecelakaan, diceraikan, putus sekolah, dan lain lain. Pada pasien
yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah, karena:
1. Privacy yang kurang diperhatikan.
2. Harapan akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh yang tidak
tercapai karena dirawat/sakit/penyakit.
Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai dan
berbagai tindakan tanda persetujuan.
b. Kronik
Perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama
sebelum penyakit dirawat. Pasien ini mempunyai cara berpikir
yang negatif, sehingga kejadian sakit dan dirawat akan menambah
persepsi negatif pada dirinya. Kondisi ini dapat ditemukan pada
pasien gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa.
44
Tanda dan gejala yang dapat dikaji
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat
tindakan.
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri, misalnya ini tidak akan
terjadi jika saya ke rumah sakit, menyalahkan diri sendiri.
3) Merendahkan martabat sehingga merasa tidak bisa melakukan
apapun.
4) Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri.
Penilaian Harga Diri
Harga diri rendah adalah perasaan tidak dihargai oleh orang
lain, tidak berarti, dan rendah diri yang berkeppanjangan akibat
evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (Keliat,
2012).
Harga diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah
satunya adalah spiritualitas seorang individu. Penelitian yang
dilakukan Linda (2014) mengajukan 8 pertanyaan terkait dengan harga
diri kepada 62 responden yang mengidap ulkus diabetik memiliki
hubungan antara spiritualitas dengan harga diri. Orang yang memiliki
spiritualitas baik maka harga dirinya pun akan baik sesuai dengan
penelitiannya sebanyak 33 responden terdapat 26 responden (78,8%)
memiliki spiritualitas yang baik dan harga diri yang baik, sedangkan
dari 29 responden, terdapat 19 responden (65,5%) memiliki spiritual
yang kurang dan harga diri negatif.
45
E. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijabarkan sebelumnnya,
penulis membuat skema kerangka teori yang merupakan gabungan dari teori
(Berman et al., 2008), (Stuart & Sundeen, 2007), dan (Hamid, 2008).
Gambar 2.1. Kerangka Konsep
Sumber: teori (Berman et al., 2008), (Stuart & Sundeen, 2007), dan (Hamid,
2008).
Orang tua yang
memiliki anak
dengan sindrom
Down
Spiritualitas:
Agama
Iman
Harapan
Transendensi
Pengampunan
Pengaruh dengan
harga diri orang tua
yang memiliki anak
sindrom Down
Masalah konsep diri
Harga Diri Rendah
Malu
Kecewa
Menolak
46
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka konsep
Kerangka konsep (conseptual framework) adalah mode
pendahuluan dari sebuah masalah penelitian dan merupakan refleksi dari
hubungan variabel-variabel yang diteliti. Kerangka konsep dibuat
berdasarkan literatur dan teori yang sudah ada. Tujuannya yaitu untuk
mensintesa dan membimbing atau mengarahkan penelitian, serta panduan
untuk analisis dan intervensi. Fungsi kritis dari kerangka konsep adalah
menggambarkan hubungan-hubungan antara variabel-variabel dan konsep-
konsep yang diteliti (Swarjana, 2015).
Variabel independen dalam penelitian ini diambil dari konsep
(Berman et al., 2008) yang menyebutkan bahwah konsep spiritualitas
terdiri dari agama, iman, harapan, transendensi dan pengampunan.
Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah harga diri orang
tua yang memiliki anak dengan sindrom Down yang diambil dari sumber
(Stuart & Sundeen, 2007).
47
Bab III ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka konsep
pada penelitian yang akan dilakukan. Kerangka konsep dituangkan dalam
skema sebagi berikut.
Gambar 3.1. Sumber (Berman et al., 2008) dan (Stuart & Sundeen, 2007)
Konsep Spiritualitas:
a. Agama
b. Iman
c. Harapan
d. Transendensi
e. Pengampunan
Harga Diri Orang
Tua yang Memiliki
Anak dengan
Sindrom Down
48
B. Hipotesa
Ho: Tidak terdapat hubungan antara spiritualitas terhadap harga
diri orang tua yang memilki anak dengan sindrom down
Ho: Tidak terdapat hubungan antara agama terhadap harga diri
orang tua yang memilki anak dengan sindrom down
Ho: Tidak terdapat hubungan antara iman terhadap harga diri orang
tua yang memilki anak dengan sindrom down
Ho: Tidak terdapat hubungan antara harapan terhadap harga diri
orang tua yang memilki anak dengan sindrom down
Ho: Tidak terdapat hubungan antara transendensi terhadap harga
diri orang tua yang memilki anak dengan sindrom down
Ho: Tidak terdapat hubungan antara pengampunan terhadap harga
diri orang tua yang memilki anak dengan sindrom down
C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu defisini ketika variabel-variabel
penelitian menjadi bersifat operasional menjadikan konsep yang masih
bersifat abstrak menjadi operasional yang memudahkan pengukuran
variabel tersebut (Wasis, 2008).
49
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1 Karakteristik Orang
Tua
terdiri dari usia, peran orang
tua, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan
Kuesioner
a. Usia Lama hidup seseorang
dihitung dari tahun kelahiran
sampai ulang tahun terakhir
Kuesioner Usia (Hurlock, 2005)
1 = Masa Dewasa Dini, usia 18 – 40
tahun
2 = Masa Dewasa Tengah, usia 41 – 60
tahun
3 = Masa Lanjut Usia, usia > 61 tahun
Ordinal
b. Peran Orang
Tua
Peran responden dalam
keluarga
Kuesioner 1 = ayah
2 = ibu
Nominal
c. Status
Perkawinan
Status hubungan perkawinan
responden
Kuesioner 1 = menikah
2 = bercerai
Nominal
d. Pendidikan Tingkatan sekolah formal
responden
Kuesioner Pendidikan (UU No. 20 Th. 2003):
1. Sekolah Dasar
2. Pendidikan menengah
Pertama
3. Pendidikan Menengah
Atas/Kejuruan
4. Akademi/Perguruan Tinggi
Ordinal
e. Pekerjaan Kegiatan rutin yang
dilakukan dalam upaya
mendapatkan penghasilan
Kuesioner 1 = Bekerja
2 = Tidak bekerja
Nominal
50
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
untuk pemenuhan kebutuhan
hidup keluarga
f. Penghasilan Keputusan Gubernur Jawa
Barat Nomor: 561 tentang
upah minimum
Kabupaten/Kota di daerah
Provinsi Jawa Barat tahun
2017
Kuesioner 1 = ≥ UMR
2 = < UMR
Ordinal
2 Spiritualitas seperangkat keyakinan
individual dan praktek-
praktek yang tidak
bergabung dengan lembaga
atau mazhab
Kuesioner terdiri dari
20 pertanyaan dalam
bentuk skala Likert
mencakup (4) agama,
(4) iman, (4)
harapan, (4)
transendensi, dan (4)
pengampunan
Baik x ≥ 54.78
Kurang x < 54.77
Mean data berdistribusi normal
Ordinal
a. Agama Sistem yang sangat
terorganisir tentang
kepercayaan dan praktek
Kuesioner terdiri dari
4 pertanyaan dalam
bentuk skala Likert
Baik x ≥ 10.76
Kurang x < 10.75
Mean data berdistribusi normal
Ordinal
b. Iman Iman adalah untuk percaya
atau berkomitmen untuk
sesuatu atau seseorang.
Kuesioner terdiri dari
4 pertanyaan dalam
bentuk skala Likert
Baik x ≥ 11.00
Kurang x < 10.59
Median data tidak terdistribusi normal
Ordinal
c. Harapan Sebuah konsep harapan
pada pencipta atau pada
manusia.
Kuesioner terdiri dari
4 pertanyaan dalam
bentuk skala Likert
Baik x ≥ 10.48
Kurang x < 10.47
Mean data berdistribusi normal
Ordinal
51
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
d. Transendensi Keyakinan bahwa ada suatu
kekuatan yang melebihi
kekuatan manusia.
Kuesioner terdiri dari
4 pertanyaan dalam
bentuk skala Likert
Baik x ≥ 12.00
Kurang x < 11.59
Median data tidak terdistribusi normal
Ordinal
e. Pengampunan Suatu bentuk keinginan
positif seseorang karena
telah melakukan kesalahan.
Kuesioner terdiri dari
4 pertanyaan dalam
bentuk skala Likert
Baik x ≥ 11.00
Kurang x < 10.59
Median data tidak terdistribusi normal
Ordinal
3 Harga Diri Penilaian individu tentang
nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisis
seberapa baik perilaku
seseorang sesuai dengan
ideal diri.
Kuesioner terdiri dari
8 pertanyaan dalam
bentuk skala Likert
Tinggi x ≥ 24.00
Rendah x < 23.59
Median data tidak terdistribusi normal
Ordinal
52
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan rencana menyeluruh peneliti untuk
memperoleh jawaban dari pertanyaan penelitian dan untuk menguji
hipotesis penelitian (Polit & Beck., 2006). Desain penelitian yang
digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan
menggunakan rancangan deskriptif metode penelitian korelasional.
Penelitian korelasional adalah suatu penelitian untuk mengetahui
hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih tanpa ada
upaya untuk mempengaruhi variabel tersebut sehingga tidak terdapat
manipulasi variabel (Fraenkel & Wallen, 2008). Desain yang digunakan
dalam penelitian ini adalah cross sectional study yaitu penelitian yang
dilakukan dalam satu periode tertentu dan setiap subjek studi hanya
dilakukan dalam satu periode tertentu dan setiap subjek studi hanya
dilakukan satu kali penilaian selama pengamatan (Lapau, 2013). Dalam
penelitian ini penulis ingin mengetahui hubungan spiritualitas terhadap
harga diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Persatuan Orang Tua Anak dengan
Down Syndrome (POTADS).
53
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Maret sampai April tahun
2017.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi penelitian adalah keseluruhan individu, objek, subjek,
dan peristiwa yang dapat dikenali generalisasi hasil penelitian
(Praptomo, 2016). Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini
adalah anggota komunitas Persatuan Orang Tua Anak dengan Down
Syndrome (POTADS) berjumlah 95 anggota aktif terdiri dari 50
anggota POTADS Bandung dan 45 anggota POTADS Jakarta.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi perwakilan
dari populasi tersebut (Praptomo, 2016). Menurut Nursalam (2008)
ada dua syarat yang harus dipenuhi saat menetapkan sampel, yaitu
representatif adalah sampel yang dapat mewakili populasi yang ada
dan sampel harus cuku banyak, semakin banyak sampel maka hasil
penelitian mungkin akan lebih representatif. Teknik pengambilan
sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total sampling, yaitu
teknik pengambilan sampel dengan mengambil seluruh anggota
populasi sebagai responden atau sampel (Sugiyono, 2009). Dengan
demikian, maka peneliti mengambil sampel dari seluruh anggota
komunitas Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome
54
(POTADS) dengan jumlah sampel sebanyak 95 sampel. Adapun
kriteria inklusi untuk sampel yang digunakan dalam penelitian adalah
sebagai berikut:
1) Anggota aktif POTADS
2) Anggota yang bersedia mengikuti penelitian ini yang
dibuktikan dengan menandatangani lembar persetujuan
menjadi responden.
D. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen penelitian merupakan alat bantu yang digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data penelitian dengan cara melakukan
pengukuran (Widoyoko, 2013). Alat pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah kuesioner yang ngacu pada teori yang sesuai dengan dasar
penelitian. Skala yang digunakan dalam kuesioner penelitian ini dengan
menggunakan Skala Likert. Skala pengukuran dengan tipe ini akan
didapatkan jawaban yang tegas dan konsisten Selalu (SLL), Jarang (JRG),
Tidak Pernah (TP) (Hamdi & Bahruddin, 2014).
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas
beberapa bagian yaitu:
a. Karakter Responden
1. Usia, pertanyaan mengenai usia responden dikelompokkan dalam 3
kategori menurut Hurlock (2005) yaitu 1 = dewasa dini (18-40
tahun), 2 = dewasa menengah ( 41-60 tahun), 3 = lanjut usia (>61
tahun)
55
2. Peran sebagai orang tua, untuk mengetahui hubungan responden
dengan anak. Menggunakan skala nominal 1 = ayah dan 2 = ibu
3. Status perkawinan, pertanyaan mengenai status perkawinan dengan
skala 1 = menikah 2 = bercerai. Hal ini untuk mengetahui
bagaimana status pernikahan responden di dalam keluarga
4. Pendidikan, pertanyaan ini terkait tingkat pendidikan terakhir
responden. Pendidikan diklasifikasi menjadi 0 = tidak sekolah, 1 =
SD/MI, 2 = SMP/MTs, 3 = SMA/SMK/MA, dan 4 = PT/Akademi
5. Status pekerjaan, pertanyaan mengenai status pekerjaan terkait
dengan apakah responden bekerja atau tidak. Penilaiannya dengan
1 = Bekerja, dan 2 = Tidak bekerja
6. Penghasilan, pertanyaan mengenai penghasilan terkait dengan upah
yang diterima setiap bulannya. Penilaian dengan 1 = ≥ UMR, dan 2
= < UMR
b. Spiritualitas
Bagian kedua kuesioner untuk menilai tingkat spiritualitas
responden dengan jumlah 25 pertanyaan berdasarkan konsep yang
dikemukaan oleh Berman et al., (2008) dan diadopsi dari penelitian
Linda (2014) sebagai berikut:
56
1. Agama
Pertanyaan tentang agama terdapat pada nomor P1, P2, P3,
P4. Pertanyaan positif nomor P1, P2, P3, sedangkan pertanyaan
negatif nomor P4.
2. Iman
Pertanyaan tentang iman terdapat pada nomor P5, P6, P7,
P8. Pertanyaan positif nomor P5, P6, P7, sedangkan pertanyaan
negatif nomor P8.
3. Harapan
Pertanyaan tentang harapan terdapat pada nomor P9, P10,
P11, P12. Pertanyaan positif nomor P9, P11, sedangkan
pertanyaan negatif nomor P10, P12.
4. Transendensi
Pertanyaan tentang transendensi terdapat pada nomor P13,
P14, P15, P16. Pertanyaan positif nomor P13, P14, P15, P16.
5. Pengampunan
Pertanyaan tentang pengampunan terdapat pada nomor P17,
P18, P19, P20. Pertanyaan positif nomor P17, P18, P19, P20.
c. Harga Diri
Bagian ketiga kuesioner untuk menilai tingkat harga diri
responden dengan jumlah 8 pertanyaan sesuai dengan konsep Berman
et al., (2008) dan diadopsi dari penelitian Linda (2014). Pertanyaan
tentang harga diri terdapat pada nomor P21, P22, P23, P24, P25, P26,
57
P27, P28. Pertanyaan positif nomor P21, P22, P23, P24, P26,
sedangkan pertanyaan negatif nomor P25, P27, P28.
E. Uji Instrumen
Dalam sebuah penelitian, alat pengumpulan data atau instrumen
penelitian sebaiknya memenuhi aspek validitas dan reliabilitas.
1. Uji Validitas
Validitas adalah kemampuan sebuah tes untuk mengukur apa
yang seharusnya diukur. Bruce (2008) menyebutkan bahwa
validitas merupakan kapasitas sebuah tes, instrumen atau
pertanyaan untuk memberikan hasil yang benar. Uji validitas pada
penelitian ini menggunakan uji validitas instrumen untuk menguji
validitas. Instrumen tersebut dicoba pada sampel darimana
populasi diambil. Setelah data ditabulasi, maka pengujian validitas
konstruksi dilakukan dengan analisis faktor, yaitu dengan
mengkorelasikan antara skor faktor dengan skor total (Sugiyono,
2016). Teknik korelasi yang digunakan yaitu korelasi Pearson
Product Moment dimana keputusan uji bila r hitung lebih dari r
tabel makan Ho ditolak, artinya variabel valid (Hastono, 2006).
Uji validitas dilakukan di POTADS Jakarta dengan 30
responden didapatkan hasil 26 pertanyaan valid dari 33 pertanyaan,
terdapat 7 pertanyaan yang tidak valid lalu 5 pertanyaan
dieliminasi karena sudah diwaliki oleh pertanyaan yang lain
sedangkan 2 pertanyaan ( I7 dan P23) dilakukan uji konten dan
58
tidak dieliminasi karena pertanyaan tersebut dianggap penting
untuk penelitian.
2. Reliabilitas
Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau
pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup diukur atau diamati
berkali-kali dalam waktu yang berlainan. Alat dan cara mengukur
atau mengamati sama-sama memegang peranan yang penting
dalam waktu bersamaan (Nursalam, 2008). Menurut Shi (2008)
menyatakan bahwa terdapat beberapa metode untuk menguji
reliabilitas instrumen atau kuesioner di antaranya melalui test-
retest reliability, parallel forms reliability, internal consistency
reliability, dan interrater reliability (Swarnaja, 2016). Cara
mengetahui reabilitas suatu kuesioner adalah dengan
membandingkan nilai r hasil dengan r tabel. r hasil adalah nilai
atau Cronbach’s alpha. Sedangkan r tabel adalah nilai alpha per
item kuesioner. Jika r hasil > r tabel, makan penyataan dalam
instrumen tersebut adalah reliabel (Hartono, 2006). Hasil uji
kuesioner menyebutkan bahwa cronbach’s alpha pada kuesioner
peneliti adalah 0.746.
F. Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek
dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu
penelitian. Langkah-langka pengumpulan data bergantung pada rancangan
59
penelitian dan teknik instrumen yang digunakan (Nursalam, 2008).
Pengumpulan data seharusnya direncanakan supaya mendapat: 1)
gambaran yang jelas tentang tugas apa yang harus dilaksanakan, siapa
yang melaksanakan, dan berapa lama pelaksanaannya; 2) mengorganisasi
sumber daya manusia dan material untuk pengumpulan data dengan cara
efektif; 3) mengurangi kesalahan dan keterlambatan yang mungkin karena
kekurangan dalam perencanaan (Lapau, 2013).
Tahap melakukan pengumpulan data
1. Peneliti melakukan perizinan di dua tempat berbeda yaitu di
POTADS Bandung dan POTADS Jakarta.
2. Pengumpunan data dimulai pada bulan Maret di POTADS
Jakarta dilakukan selama 3 minggu penyebaran kuesioner.
3. Pengumpunan data kedua di POTADS Bandung dilakukan
selama 1 minggu penyebaran kuesioner.
G. Pengolahan Data
Proses pengolahan data penelitian adalah mengubah data menjadi
informasi. Dalam proses pengolahan data terdapaat langkah-langkah
sebagai berikut (Hidayat, 2012):
1. Editing
Peneliti melakukan pemeriksaan kembali akan kebenaran data
yaitu dengan memeriksa terlebih dahulu kuesioner yang diserahkan
oleh responden.
60
2. Coding
Peneliti melakukan pengkodean berupa angka nmerik pada data
yang sesuai dengan kategori yang telah peneliti tetapkan. Pengkodean
ini sangat penting terutama karena pengolahan data yang peneliti
lakukan menggunakan software statistik komputer.
3. Entri Data
Peneliti melakukan data entri yairu memasukkan data penelitian
yang selanjutnya peneliti tampilkan dalam tabel distribusi frekuensi.
4. Cleaning Data
Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data
yang sudah dimasukkan ke dalam komputer untuk memastikan data
telah bersih dari kesalahan sehingga data siap dianalisa.
H. Analisa Data
Analisa data dibantu mengunakan perangkat lunak dengan analisa
yang digunakan adalah:
1. Analisa Univariat
Analisa univariat merupakan analisis tiap variabel yang
dinyatakan dengan menggambarkan dan meringkas data dengan cara
ilmiah dalam bentuk tabel atau grafik (Setiadi, 2007). Variabel pada
penelitian ini meliputi variabel independen yaitu spiritualitas dan
variabel dependennya adalah harga diri, serta data demografi
responden dengan hasil distribusi frekuensi dari setiap data.
61
2. Analisa Bivariat
Analisa ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variabel independen dan dependen yaitu spiritualitas terhadap harga
diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down. Peneliti
menggunakan uji chi-square karena data untuk melihat hubungan
sangat erat kaitannya dengan kualitas data variabel dependen dengan
variabel independen atau nilai skala pengukuran data apakah datanya
dengan skala nominal, ordinal, interval, atau rasio (Budiharto, 2008).
Rumus chi-square:
𝑋2 = ∑(0 − 𝐸)2
𝐸
Untuk mengetahui hubungan spiritualitas terhdap hagra diri
orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down, maka dilakukan
analisa silang dengan menggunakan tabel kontingensi 2x2 dengan
derajat kebebasan yang sesuai dan tingkat kemaknaan 5% (α=0.05).
I. Etika Penelitian
1. Prinsip-prinsip etika
Secara umum menjelaskan prinsip atika penelitian
pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Prinsip Manfaat
1) Penelitian ini dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan
subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.
62
2) Subjek diyakinkan bahwa partisipasinya dalam penelitian atau
informasi yang telah diberikan, tidak akan dipergunakan dalam
hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk apapun.
b. Prinsip menghargai hak asasi manusia
1) Subjek mempunyai hak memutuskan kesediannya menjadi
subjek ataupun tidak, tanpa adanya sanksi apapun.
2) Memberikan penjelasan secara rinci serta tanggungjawab jika
sesuatu terjadi kepada subjek.
3) Subjek harus diberikan informasi secara lengkap tentang tujuan
penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk
bebas berpartisipasi atau menolak menjadi responden.
c. Prinsip keadilan
1) Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama,
dan sesudah keikursertaan dalam penelitian tanpa adanya
diskriminasi.
2) Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang
diberikan harus dirahasiakan.
2. Masalah Etika Penelitian
a. Informed Consent
Peneliti melakukan informed consent sebelum pengambilan
data. Informed consent yang peneiti lakukan yaitu secara tertulis
maupun tidak tertulis dengan memberi tahu tujuan dan dampak
63
penelitian ini pada responden. Hal ini penting untuk dilakukan agar
tidak ada keterpaksaan dalam penelitian ini.
b. Anonimity (Tanpa Nama)
Anonimity, artinya tidak perlu mencantumkn nama pada
lembar pengumpulan data (kuesioner). Peneliti hanya menuliskan
kode pada lembar kuesioner tersebut. Hal ini bertujuan untuk
menjaga privasi responden.
c. Confidentially (Kerahasiaan)
Peneliti menjamin kerahasiaan dari responden, sehingga
informasi yang diperoleh dari responden hanya berupa kelompok
data tersusun yang peneliti paparkan dalam hasil penelitian.
64
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum POTADS
Persatuan Orang Tua Anak Dengan Down Syndrome atau lebih
dikenal sebagai POTADS didirikan pada tahun 2003. Berawal dari orang
tua yang memiliki anak dengan Sindroma Down berdiskusi saat menunggu
anak mereka yang mengikuti terapi di Klinik Khusus Tumbuh Kembang
Anak (KKTK) Rumah Sakit Harapan Kita. Kemudian berlanjut
mengadakan pertemuan-pertemuan dengan mendatangkan pembicara dari
lingkup RS Harapan Kita. Kemudian perkumpulan ini di sahkan menjadi
Yayasan POTADS oleh Notaris pada tanggal 28 Juli 2003. POTADS
tahun 2017 berdomisili di Tangerang. Atas kesadaran, kesediaan,
ketebukaan dan merasakan harus membantu dan mensosialisaskan tentang
Sindroma Down, para sahabat POTADS di daerah bersedia menjadi
pengurus dan membuka cabang di daerah seperti Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, Medan, Surabaya, Samarinda, Bali, dan Padang dengan nama
Pusat Informasi dan Kegiatan POTADS (PIK POTADS).
1. Tujuan
Tujuan utama POTADS adalah memberdayakan orang tua anak
dengan Sindroma Down agar selalu bersemangat untuk membantu
tumbuh kembang anak spesialnya secara maksimal, sehingga mereka
mampu menjadi pribadi yang mandiri, bahkan bisa berprestasi
65
sehingga dapat diterima masyarakat luas; karena anak dengan
Sindroma Down memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya.
2. Visi
Visi Yayasan POTADS adalah menjadi pusat informasi dan
konsultasi terlengkap tentang Sindroma Down di Indonesia.
3. Misi
a. Memiliki pusat informasi yang bisa diakses 24 jam baik melalui
surat, telepon, internet atau media komunikasi lainnya.
b. Menyediakan informasi terkini tentang perkembangan Sindroma
Down baik secara ilmiah maupun dari pengalaman orang lain.
c. Menyebarluaskan informasi mengenai Sindroma Down kepada
anggota yang membutuhkan dan tempat-tempat yang akan diakses
oleh para orangtua yang memiliki anak dengan Sindroma Down,
seperti Rumah Sakit, Klinik, Puskesmas sampai ke Posyandu.
d. Memberikan konsultasi secara kelompok maupun individu sesuai
dengan kebutuhan.
e. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mendukung
penyebarluasan informasi tentang Sindroma Down kepada
masyarakat luas.
f. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang akan mendorong
masyarakat untuk lebih peduli dan menghargai; sehingga mereka
dapat memberi kesempatan yang sama untuk berkembang dalam
berbagai bidang (pendidikan, seni & budaya, dan lain-lain).
66
4. Motto
Motto Yayasan POTADS adalah AKU ADA AKU BISA, yang
merupakan kalimat pembangkit semangat orang tua dan anak sehingga
akan selalu berusaha mencapai yang terbaik; yang berarti bahwa
manusia dengan Sindroma Down itu merupakan ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa dengan segala kelebihan dan kekurangannya tetapi tetap
BISA dan MAMPU berbuat seperti manusia lainnya.
5. Program POTADS
a. Mendirikan Pusat Informasi dan Kegiatan (PIK) POTADS di
seluruh Indonesia. Saat ini PIK POTADS sudah ada di Medan,
Bandung, Jogjakarta, Surabaya dab Bali.
b. Menyelenggarakan pertemuan dengan para orang tua anak
Sindroma Down bekerjasama dengan para ahli yang terkait dengan
tumbuh kembang anak dengan Sindroma Down (dokter, psikolog,
terapis, dan lain-lain).
B. Hasil Penelitian
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan mulai tanggal 18
Maret sampai dengan 21 April 2017 di POTADS, pada 83 responden
dengan menggunakan alat ukur berbentuk kuesioner. Hasil penelitian yang
didapatkan adalah sebagai berikut:
67
1. Data Demografi
Data demografi responden pada penelitian ini meliputi: usia,
jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, dan
penghasilan.
Tabel 5.1
Distribusi frekuensi data demografi orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down (n=83)
Data demografi Frekuensi Persentase
Usia
a. Dewasa dini (18-40 tahun)
b. Dewasa tengah (41-60
tahun)
c. Lanjut Usia (>61 tahun)
Total
33 39.8
49 59.0
1 1.2
83 100
Jenis Kelamin
a. Laki – laki
b. Perempuan
Total
7 8.4
76 91.6
83 100
Status Permikahan
a. Menikah
b. Bercerai
Total
80 96.4
3 3.6
83 100
Pendidikan
a. SD
b. SMP
c. SMA/SMK
d. Akademi/PT
Total
2 2.4
5 6.0
27 32.5
49 59.0
83 100
Pekerjaan
a. Bekerja
b. Tidak Bekerja
Total
33 39.8
50 60.2
83 100
Penghasilan
a. ≥UMR 33 39.8
b. <UMR 50 60.2
Total 83 100
Berdasarkan data pada tabel dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar responden dewasa tengah yaitu 49 orang (59.0%),
68
jenis kelamin perempuan 76 orang (91.6%), status perkawinan
menikah 80 orang (96.4%), pendidikan terakhir akademi/PT 49
orang (59.0%), pekerjaan tidak bekerja 50 orang (60.2%), dan
penghasilan ≥UMR 50 orang (60.2%).
2. Data anak dengan sindrom Down
Berikut adalah data usia anak dengan sindrom Down sebagai
berikut:
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Usia Anak dengan sindrom down (n=83)
Kategori
Usia Frekuensi Persentase
Balita 26 33.3
Kanak-kanak 29 37.2
Remaja awal 17 21.8
Remaja akhir 6 7.7
Total 78 100
Berdasarkan data pada tabel dapat disimpulkan bahwadari
83 responden, 78 responden mengisi kolom usia anak dan 5
sisanya tidak mengisi kolom tersebut. Sebagian besar responden
memiliki anak 5-10 tahun (kategori kanak-kanak) yaitu 29 orang
(31.3%).
3. Analisa univariat
Pada analisa univariat akan dibahas mengenai harga diri orang tua
yang memiliki anak dengan sindrom Down dan spiritualitas orang tua
yang memiliki anak dengan sindrom Down. Spiritualitas dibagi
menjadi beberapa bagian antara lain agama, iman, harapan,
69
transendensi, dan pengampunan. Hasil analisa statistik dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
a. Harga diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom
Down
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Tingkat Harga Diri Orang Tua yang
memiliki anak dengan sindrom down (n=83)
Kategori Frekuensi Persentase
Positif 43 51.8
Negatif 40 48.2
Total 83 100
Berdasarkan tabel diketahui bahwa responden orang tua
yang memiliki anak dengan sindrom Down memiliki harga diri
yang positif yaitu berjumlah 43 orang (51.8%). Harga diri
positif didapatkan melalui perhitungan dengan menggunakan
nilai tengah yaitu 24.00.
b. Spiritualitas Orang Tua yang Memiliki anak Dengan sindrom
Down
Tabel 5.4
Distribusi frekuensi spiritualitas orang tua yang memiliki
anak dengan sindrom down (n=83)
Spiritualitas Frekuensi Persentase
Baik 44 53
Kurang 39 47
Total 83 100
70
Berdasarkan tabel terlihat bahwa spiritualitas pada
orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down berada
pada kategori baik dengan ditunjukkan oleh frekuensi 44 orang
(53%). Spiritualitas kategori baik melalui perhitungan dengan
menggunakan nilai rata-rata yaitu 54.78.
c. Spiritualitas Agama orang tua Yang memiliki anak dengan
sindrom Down
Tabel 5.5
Distribusi frekuensi spiritualitas agama orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom down (n=83)
Agama Frekuensi Persentase
Baik 47 56.6
Kurang 36 43.4
Total 83 100
Berdasarkan tabel terlihat bahwa spiritualitas agama
pada orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down
berada pada kategori baik dengan ditunjukkan oleh frekuensi
47 orang (56.6%). Spiritualitas agama pada kategori baik
didapatkan melalui penghitungan dengan menggunakan nilai
rata-rata yaitu 10.76, sehingga diatas nilai atau sama dengan
nilai tersebut berada pada kategoti baik.
d. Spiritualitas iman orang tua Yang memiliki anak dengan
sindrom Down
71
Tabel 5.6
Distribusi frekuensi spiritualitas iman orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom down (n=83)
Iman Frekuensi Persentase
Baik 56 67.5
Kurang 27 32.5
Total 83 100
Berdasarkan tabel terlihat bahwa spiritualitas iman pada
orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down berada
pada kategori baik dengan ditunjukkan oleh frekuensi 56 orang
(67.5%). Spiritualitas iman pada kategori baik didapatkan
melalui penghitungan dengan menggunakan nilai tengah yaitu
11.00, sehingga diatas nilai atau sama dengan nilai tersebut
berada pada kategoti baik.
e. Spiritualitas harapan orang tua Yang memiliki anak dengan
sindrom Down
Tabel 5.7
Distribusi frekuensi spiritualitas harapan orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom down (n=83)
Harapan Frekuensi Persentase
Baik 38 45.8
Kurang 45 54.2
Total 83 100
Berdasarkan tabel terlihat bahwa spiritualitas harapan
pada orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down
berada pada kategori kurang dengan ditunjukkan oleh frekuensi
72
45 orang (54.2%). Spiritualitas harapan pada kategori baik
didapatkan melalui penghitungan dengan menggunakan nilai
rata-rata yaitu 10.48, sehingga diatas nilai atau sama dengan
nilai tersebut berada pada kategoti baik.
f. Spiritualitas transendensi orang tua Yang memiliki anak
dengan sindrom Down
Tabel 5.8
Distribusi frekuensi spiritualitas transendensi orang tua
yang memiliki anak dengan sindrom down (n=83)
Transendensi Frekuensi Persentase
Baik 56 67.5
Kurang 27 32.5
Total 83 100
Berdasarkan tabel terlihat bahwa spiritualitas
transendensi pada orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down berada pada kategori baik dengan ditunjukkan
oleh frekuensi 56 orang (67.5%). Spiritualitas agama pada
kategori baik didapatkan melalui penghitungan dengan
menggunakan nilai tengah yaitu 12.00, sehingga diatas nilai
atau sama dengan nilai tersebut berada pada kategoti baik.
73
g. Spiritualitas pengampunan orang tua Yang memiliki anak
dengan sindrom Down
Tabel 5.9
Distribusi frekuensi spiritualitas pengampunan orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom down (n=83)
Pengampunan Frekuensi Persentase
Baik 56 67.5
Kurang 27 32.5
Total 83 100
Berdasarkan tabel terlihat bahwa spiritualitas
pengampunan pada orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down berada pada kategori kurang dengan
ditunjukkan oleh frekuensi 56 orang (67.5%). Spiritualitas
agama pada kategori baik didapatkan melalui penghitungan
dengan menggunakan nilai tengah yaitu 11.00, sehingga
diatas nilai atau sama dengan nilai tersebut berada pada
kategoti baik.
4. Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan
spiritualitas dengan harga diri orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down di POTADS. Analisa dilakukan berdasarkan hasil
penelitian tabel 5.10 sampai tabel 5.15 dengan cara memasukkan hasil
kategori-kategori responden ke dalam tabel contigency 2x2 melalui
komputerisasi serta menggunakan derajat tingkat kemaknaan 95% atau
74
nilai α = 0.05. keputusan statistik diambil berdasarkan p-value. Jika p-
value < 0.05 maka Ho ditolak dan Ha diterima sedangkan jika p-value
≥ 0.05 maka Ho diterima dan Ha ditolak. Hasil analisa statistik dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5.10
Hubungan spiritualitas terhadap harga diri orang tua yang memiliki
anak dengan sindrom Down di POTADS (n=83)
Harga Diri Total
OR p-
value Spiritualitas Positif Negatif 95% CI
f % f % F %
Baik 41 93.2 3 6.8 44 100 252.8
Kurang 2 5.1 37 94.9 39 100 (40.01 -
1597.6)
0.000
Total 43 51.8 40 48.2 83 100
Berdasarkan pada tabel dapat diketahui bahwa dari 44
responden terdapat 41 responden (93.2%) memiliki spiritualitas baik
dan harga diri positif, sedangkan 39 responden terdapat 37 responden
(94.9%) memiliki spiritualitas kurang dan harga diri negatif. Dari hasil
analisis diperoleh pula nilai OR= 252.8, artinya spiritualitas baik
mempunyai peluang 252.8 kali untuk memiliki harga diri positif
dibandingkan spirituaitas yang kurang. Melalui uji statistic dengan
continuity correction, didapatkan bahwa nilai p-value = 0.000. berarti
p-value < 0.05 sehingga hipotesa null (Ho) ditolak dan Ha diterima. Ini
menunjukkan bahwa adanya hubungan antara spiritualitas dengan
harga diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down di
POTADS.
75
Tabel 5.11
Hubungan spiritualitas agama terhadap harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS (n=83)
Harga Diri Total
OR
95% CI p-value
Agama Positif Negatif
f % F % F %
Baik 34 72.3 13 27.7 47 100 7.84
Kurang 9 25 27 75 36 100 (2.91 –
21.08)
0.000
Total 43 51.8 40 48.2 83 100
Berdasarkan pada tabel dapat diketahui bahwa dari 47
responden terdapat 34 responden (72.3%) memiliki spiritualitas agama
baik dan harga diri positif, sedangkan 36 responden terdapat 27
responden (75%) memiliki spiritualitas agama kurang dan harga diri
negatif. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR= 7.84, artinya
spiritualitas agama yang baik mempunyai peluang 7.84 kali untuk
memiliki harga diri positif dibandingkan spirituaitas agama yang
kurang. Melalui uji statistik dengan continuity correction, didapatkan
bahwa nilai p-value = 0.000. berarti p-value < 0.05 sehingga hipotesa
null (Ho) ditolak dan Ha diterima. Ini menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara spiritualitas dengan harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS.
76
Tabel 5.12
Hubungan spiritualitas iman terhadap harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS (n=83)
Iman
Harga Diri Total
OR
95% CI
p-
value Positif Negatif
f % F % F %
Baik 36 64.3 20 35.7 56 100 5.14
Kurang 7 25.9 20 74.1 27 100 (1.85-
14.25)
0.001
Total 43 51.8 40 48.2 83 100
Berdasarkan pada tabel dapat diketahui bahwa dari 56
responden terdapat 36 responden (64.3%) memiliki spiritualitas iman
baik dan harga diri positif, sedangkan 36 responden terdapat 20
responden (74.1%) memiliki spiritualitas iman kurang dan harga diri
negatif. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR= 5.14, artinya
spiritualitas iman baik mempunyai peluang 5.14 kali untuk memiliki
harga diri positif dibandingkan spirituaitas iman yang kurang. Melalui
uji statistik dengan continuity correction, didapatkan bahwa nilai p-
value = 0.001. berarti p-value < 0.05 sehingga hipotesa null (Ho)
ditolak dan Ha diterima. Ini menunjukkan bahwa adanya hubungan
antara spiritualitas dengan harga diri orang tua yang memiliki anak
dengan sindrom Down di POTADS.
77
Tabel 5.13
Hubungan spiritualitas harapan terhadap harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS (n=83)
Harga Diri Total
OR
95% CI
p-
value Harapan
Positif Negatif
f % f % F %
Baik 34 72.3 13 27.7 47 100 23.1
Kurang 9 25 27 75 36 100 (7.14-
74.73)
0.000
Total 43 51.8 40 48.2 83 100
Berdasarkan pada tabel dapat diketahui bahwa dari 47
responden terdapat 34 responden (72.3%) memiliki spiritualitas
harapan baik dan harga diri positif, sedangkan 36 responden terdapat
27 responden (75%) memiliki spiritualitas harapan kurang dan harga
diri negatif. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR= 23.1, artinya
spiritualitas harapan baik mempunyai peluang 23.1 kali untuk
memiliki harga diri positif dibandingkan spirituaitas harapan yang
kurang. Melalui uji statistik dengan continuity correction, didapatkan
bahwa nilai p-value = 0.000. berarti p-value < 0.05 sehingga hipotesa
null (Ho) ditolak dan Ha diterima. Ini menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara spiritualitas dengan harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS.
78
Tabel 5.14
Hubungan spiritualitas transensensi terhadap harga diri orang tua
yang memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS (n=83)
Harga Diri Total
OR
95% CI
p-
value Transendensi
Positif Negatif
f % F % F %
Baik 38 67.9 28 32.1 56 100 9.28
Kurang 5 18.5 22 81.5 27 100 (3.02-28.5) 0.000
Total 43 51.8 40 48.2 83 100
Berdasarkan pada tabel dapat diketahui bahwa dari 56
responden terdapat 38 responden (67.9%) memiliki spiritualitas
transendensi baik dan harga diri positif, sedangkan 36 responden
terdapat 22 responden (81.5%) memiliki spiritualitas harapan kurang
dan harga diri negatif. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=
9.28, artinya spiritualitas transendensi baik mempunyai peluang 9.28
kali untuk memiliki harga diri positif dibandingkan spirituaitas
transendensi yang kurang. Melalui uji statistik dengan continuity
correction, didapatkan bahwa nilai p-value = 0.000. berarti p-value <
0.05 sehingga hipotesa null (Ho) ditolak dan Ha diterima. Ini
menunjukkan bahwa adanya hubungan antara spiritualitas dengan
harga diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down di
POTADS.
79
Tabel 5.15
Hubungan spiritualitas pengampunan terhadap harga diri orang tua
yang memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS (n=83)
Harga Diri Total
OR
95% CI p-value
Pengampunan Positif Negatif
f % F % F %
Baik 35 62.5 21 37.5 56 100 3.95
Kurang 8 29.5 19 70.4 27 100 (1.47-
1.630) 0.005
Total 43 51.8 40 48.2 83 100
Berdasarkan pada tabel dapat diketahui bahwa dari 56 responden
terdapat 35 responden (62.5%) memiliki spiritualitas pengampunan baik
dan harga diri positif, sedangkan 36 responden terdapat 19 responden
(19%) memiliki spiritualitas pengampuan kurang dan harga diri negatif.
Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR= 3.95, artinya spiritualitas
pengampunan baik mempunyai peluang 3.95 kali untuk memiliki harga
diri positif dibandingkan spirituaitas pengampunan yang kurang. Melalui
uji statistik dengan continuity correction, didapatkan bahwa nilai p-value =
0.005. berarti p-value < 0.05 sehingga hipotesa null (Ho) ditolak dan Ha
diterima. Ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara spiritualitas
dengan harga diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down di
POTADS.
80
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Analisa Univariat
1. Harga diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down
Terganggunya konsep diri orang tua yang memiliki anak
dengan sindrom Down dapat mempengaruhi segala aspek dalam diri
orang tua termasuk harga diri. Harga diri adalah penilaian individu
terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku
memenuhi ideal diri (Stuart & Sundeen, 1995). Frekuensi pencapaian
tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang
tinggi. Harga diri dapat dipengaruhi sejumlah kontrol yang mereka
miliki terdapat tujuan dan keberhasilan dalam hidup. Keluarga dan
masyarakat membentuk standar dimana melalui standar tersebut
individu mengevaluasi diri mereka (Potter & Perry, 2005).
Listiyaningsih & Dewayani (2010) melakukan penelitian
menemukan bahwa semua orangtua yang memiliki anak tunagrahita
diwawancarai merasa bingung dan malu karena keadaan anaknya, hal
ini menyebabkan orangtua anak tunagrahita seringkali merasa rendah
diri ketika berkomunikasi dengan orangtua yang lain, apalagi ketika
sedang bersama anaknya yang menderita tunagrahita. Sebaliknya
penelitian yang dilakukan oleh Arjunawadi, (2015) tentang gambaran
mekanisme koping orang tua yang memiliki anak sindrom Down
setelah dilakukan penelitian terhadap 33 responden hasilnya orang tua
81
dalam kategori adaptif yaitu sebanyak 19 orang (57,6%). Hal ini terjadi
karena sebagian dari orang tua dapat mengendalikan emosi mereka
karena mereka merasa bahwa semua yang diberikan oleh Tuhan adalah
yang terbaik bagi mereka sehingga mereka dapat menerima keadaan
tersebut.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ghoniyah & Savira (2015)
proses penerimaan orang tua saat mengetahui anaknya sindrom Down
memiliki pengalaman yang sulit dan mungkin sangat berat. Butuh
banyak waktu untuk bisa melalui proses yang panjang. Masa
penerimaan terhadap teterbatasan anak pada awalnya yaitu panik,
cemas, menyesal, dan malu terhadap keadaan anaknya tapi lambat laun
persaan itu hilang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan
sang anak.
Hasil penelitian ini, yang dilakukan di POTADS menunjukkan
bahwa lebih banyak orang tua yang memiliki harga diri positif
dibandingkan dengan harga diri negatif. Dukungan sosial salah satu
faktor utama dalam kestabilan konsep diri orang tua, dalam data pun
menunjukkan orang tua di POTADS lebih banyak memiliki anak pada
usia 5-10 tahun ini menunjukkan seberapa lama pengalaman merawat
anak dalam asuhan orang tua mereka. POTADS melakukan beberapa
program terkait dengan penyuluhan sindrom Down, berbagi
pengalaman mengenai terapi antar sesama anggota membuat orang tua
tidak merasa sendirian.
82
2. Spiritualitas orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down
Keterkaitan antara spiritualitas dengan suatu aspek positif
dalam kehidupan sehari – hari karena spiritualitas yaitu bagian dari
menjadi manusia yang berusaha memaknakan hubungan melalui
intapersonal, interpersonal dan transpersonal (Reed, 1992 dalam
(Berman dkk, 2008). Hal ini pun selaras dengan konsep yang
dikemukaan Berman dkk (2008) bahwa spiritualitas mencakup agama,
iman, harapan, transendensi, dan pengampunan yang merefleksikan
diri sebagai suatu pengalaman batin yang akan diwujudkan dalam
bentuk ekspresi individual itu sendiri.
Lestari & Mariyati (2015) melakukan penelitian terhadap orang
tua yang memiliki anak sindrom Down mengenai resiliensi mereka,
dalam kesabaran dan ikhlasan setelah dilakukan wawancara orang tua
mengaku bahwa berbekal usaha dan doa serta menerima keadaan dan
tidak putus asa adalah kunci untuk tetap bertahan dalam keadaan
dimana anak mereka salah satu penyandang sindom Down, seluruh
responden memiliki nilai-nilai spiritual yang tertanam dalam dirinya
sehingga mereka mampu bertahan dan menerima keadaan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Suri & Daulay (2012)
didapati bahwa orangtua yang memiliki anak sindrom Down di SDLB
Negeri 107708 Lubuk Pakam lebih mendekatkan diri pada Tuhan
sebanyak 62 orang (98,4%). Angka ini cukup tinggi, sebagian besar
83
orangtua mendekatkan diri pada Tuhan ketika terjadi masalah hal
inilah yang mendukung para orang tua memilki koping yang adaptif
dalam menghadapi masalah.
Selain itu sebuah penelitian mengungkapkan bahwa respon
menganggap bahwa semua yang telah terjadi di dalam hidupnya
merupakan takdir dan kehendak dari Yang Maha Kuasa. Penelitian
yang dilakukan oleh (Ghoniyah & Savira, 2015) tentang gambaran
psychological well being pada perempuan yang memiliki anak down
syndrome menunjukkan bahwa penerimaan adalah kunci awal untuk
kehidupan selanjutnya.
Hal ini pun dibuktikan dalam hasil penelitian ini, yang
dilakukan di POTADS menunjukkan spiritualitas orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down sebagian besar terdapat pada
kategori baik, lalu konsep spiritualitas terbagi menjadi beberapa bagian
yaitu; agama, iman, harapan, transendensi, dan pengampunan. Pada
poin harapan, orang tua lebih banyak memiliki spiritualitas harapan
kurang, hal ini dikarenakan masih banyak orang tua yang merasa putus
asa dengan kondisi anak mereka yang menyandang sindrom Down.
Orang tua percaya dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa
namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa saat mengetahui hal
tersebut bahkan sampai menyerah.
84
B. Analisa Bivariat
1. Hubungan Spiritualitas Terhadap Harga Diri Orang Tua yang Memiliki
Anak dengan Sindrom Down
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara spiritualitas terhadap harga diri pada orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS. Spiritualitas
mencakup esensi keberadaan individu dan keyakinan tentang makna
hidup dan tujuan hidup. Spiritualitas dapat mencakup keyakinan
kepada keyakinan kepada Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi,
praktik keagamaan, keyakinan dan praktik budaya dan hubungan
dengan lingkungan. Studi telah menunjukan bahwa spiritualitas
merupakan bantuan yang tulus bagi banyak individu dewasa yang
mengalami masalah kejiwaan, yang berperan sebagai media koping
utama dan merupakan sumber makna dan koherensi dalam hidup
mereka atau membantu menyediakan jaringan sosial (Sullivan, 1993
dalam (Videbeck, 2008). Spiritualitas secara umum melibatkan
keyakinan dalam hubungan dengan sesuatu yang lebih tinggi,
berkuasa, memiliki kekuatan mencipta dan bersifat ketuhanan, atau
memiliki energi yang tidak terbatas. Misalnya sesorang mungkin
percaya dengan “Tuhan”, “Allah”, “Roh”, atau “kekuatan yang lebih
tinggi”. (Martsolf & Mickley, 1998 dalam (Berman et al., 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Suri & Daulay (2012) didapati
bahwa orangtua yang memiliki anak sindrom Down di SDLB Negeri
85
107708 Lubuk Pakam selalu mendekatkan diri pada Tuhan sebanyak
62 orang (98,4%). Angka ini cukup tinggi, sebagian besar orangtua
mendekatkan diri pada Tuhan ketika terjadi masalah hal inilah yang
mendukung para orang tua memilki koping yang adaptif dalam
menghadapi masalah.
Adapun penelitian yang dilakukan Gosztyla & Kazimierz
(2015), menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara religious
(keimanan) terhadap kualitas pernikahan orang tua yang memiliki anak
autis. Dari hasil penelitian tersebut juga menilai ayah cenderung
menyalahkan ibu yang telah melahirkan anak autis, padahal keyakinan
mereka tidak mengajarkan untuk saling menyalahkan melainkan
bersyukur. Namun selain itu ayah sangat berperan penting dalam
memberi dukungan kepada ibu ataupun anaknya demi kelangsungan
hidup mereka. Pengalaman spiritual mengajarkan mereka betapa
berharganya untuk saling mendukung satu sama lain terutama bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak mereka.
Responden yang diwawancarai oleh Lestari & Mariyat (2015)
mengemukakan bahwa berbekal usaha dan doa serta lapang dada
adalah salah satu bentuk resiliensi orang tua saat mereka ingin
bertahan dan menerima kenyataan bahwa anak mereka memiliki hal
yang istimewa dibanding anak-anak lainnya yaitu sindrom Down.
Dalam penelitian ini, yang dilakukan di POTADS spiritualitas
mempengaruhi harga diri orang tua yang memiliki anak dengan
86
sindrom Down karena kepercayaan orang tua yang umumnya
mempercayai adanya Tuhan, orang tua mengungkapkan bahwa apa
yang diberikan Tuhan kepada anaknya merupakan ujian dan cobaan
yang diberikan oleh Tuhan. Tuhan yang memberikan penyakit, maka
Tuhan pula yang memberikan jalan keluar, manusia hanya dapat
berusaha, berdoa dan tidak perlu merasa malu dengan hal tersebut.
2. Hubungan Spiritualitas Agama Terhadap Harga Diri Orang Tua yang
Memiliki Anak dengan Sindrom Down
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara spiritualitas agama terhadap harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS. Lestari & Mariyati
(2015) melakukan penelitian terhadap orang tua yang memiliki anak
sindrom Down mengenai resiliensi mereka, dalam kesabaran dan
ikhlasan setelah dilakukan wawancara orang tua mengaku bahwa
berbekal usaha dan doa serta menerima keadaan dan tidak putus asa
adalah kunci untuk tetap bertahan dalam keadaan dimana anak mereka
salah satu penyandang sindom Down, seluruh responden memiliki
nilai-nilai spiritual yang tertanam dalam dirinya sehingga mereka
mampu bertahan dan menerima keadaan.
Agama adalah sistem yang sangat terorganisir tentang
kepercayaan dan praktek. Menurut Vardey (1996), agama
terorganisir meliputi (a) rasa terikat oleh keyakinan secara umum;
(b) belajar Kitab (Taurat, Alkitab, Qur'an, atau orang lain); (c)
87
pelaksanaan ibadah; (d) penggunaan disiplin dan praktek, perintah,
dan ibadah; dan (e) cara merawat batin (seperti puasa, doa dan
meditasi). Agama aturan perilaku, biasanya secara bersamaan
dipengaruhi budaya, mungkin juga berlaku untuk masalah-masalah
kehidupan sehari-hari seperti pakaian, makanan, interaksi sosial, dan
lain-lain (Berman et al., 2008).
Biswan (2012) menyebutkan bahwa spiritualisme agama
memperkuat tingkat optimisme kehidupan manusia, terlihat dari hasil
penelitian tersebut menunjukan bahwa aktivitas spiritual lebih
meningkatkan semangat hidup di komunitas penyandang disabilitas
paraplegi di Wisma Cheshire Depok. Selain itu yang membangkitkan
semangat hidup para penyandang disabilitas paraplegia ini adalah
dukungan dari lingkungan sekitar termasuk orang tua. Dari hasil
penelitian juga ternyata penyandang disabilitas tidak selalu menjadi
seseorang yang lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa, melainkan
dapat menjadikan hidup mereka lebih bermakna.
Wijayanti (2015) melakukan penelitian kepada 4 subjek yang
berbeda mengenai penerimaan diri ibu yang memiliki anak down
syndrome hasilnya keempat subjek memiliki spiritualitas yang baik
ditandai dengan mereka mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa,
selalu menikmati segala yang terjadi di dalam hidupnya karena
semuanya merupakan rezeki yang diberikan Allah dan menjalani apa
yang diberikan Allah kepada keluarganya.
88
Dalam penelitian ini, didapatkan hasil bahwa adanya
hubungn antara spiritualitas agama dengan harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down, dimana orang tua yang
memiliki spiritualitas agama yang baik maka harga dirinya juga
positif dan orang tua yang memiliki spiritualitas agama kurang maka
harga dirinya juga negatif. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai
agama yang dianut oleh orang tua membuat mereka merasa bahwa
kondisi anaknya merupakan pemberian dari sang Maha Kuasa
sebagai cobaan untuk melatih kesabaran dan menghapus dosa
sehingga dapat membuat seseorang lebih kuat menghadapi kondisi
yang dialaminya.
3. Hubungan Spiritualitas Iman Terhadap Harga Diri Orang Tua yang
Memiliki Anak dengan Sindrom Down
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara spiritualitas iman dengan harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS. Wijayanti (2015)
melakukan penelitian kepada 4 subjek yang berbeda mengenai
penerimaan diri ibu yang memiliki anak down syndrome hasilnya
keempat subjek memiliki spiritualitas yang baik ditandai dengan
mereka mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, selalu menikmati
segala yang terjadi di dalam hidupnya karena semuanya merupakan
89
rezeki yang diberikan Allah dan menjalani apa yang diberikan Allah
kepada keluarganya.
Iman adalah untuk percaya atau berkomitmen untuk sesuatu
atau seseorang. Fowler (1981) iman dijelaskan sebagai hadir pada
orang-orang religius dan nonreligious. Iman memberikan makna
kehidupan, menyediakan individu dengan kekuatan di saat-saat
kesulitan. Untuk klien yang sakit, iman dalam kekuasaan lebih tinggi
(misalnya, Allah, Allah, Jehovah), diri sendiri, dalam tim perawatan
kesehatan, atau kombinasi dari semua menyediakan kekuatan dan
harapan (Berman et al., 2008).
Gosztyla & Kazimierz (2015), menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara religious (keimanan) terhadap kualitas pernikahan
orang tua yang memiliki anak autis. Dalam pengumpulan data dari 53
pasangan suami istri terdapat 84% (46 ibu dan 43 ayah) yang percaya
dengan keyakinan yang mereka anut, lalu 12% (6 ibu dan 7 ayah) tidak
percaya dengan keyakinan yang mereka anut, dan sisanya 4% (1 ibu
dan 3 ayah) tidak bisa berkata apapun soal keyakinannya. Hasil
tersebut sangat berpengaruh terhadap cara mereka memandang suatu
pemberian Tuhan yaitu anak mereka sendiri. Dari hasil penelitian
tersebut juga menilai ayah cenderung menyalahkan ibu yang telah
melahirkan anak autis, padahal keyakinan mereka tidak mengajarkan
untuk saling menyalahkan melainkan bersyukur. Namun selain itu
ayah sangat berperan penting dalam memberi dukungan kepada ibu
90
ataupun anaknya demi kelangsungan hidup mereka. Pengalaman
spiritual mengajarkan mereka betapa berharganya untuk saling
mendukung satu sama lain terutama bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak mereka.
Ghoniyah & Savira (2015) melakukan penelitian kepada 3
partisipan dengan metode wawancara hasilnya ketiga partisipan
merasa bahwa apa yang menimpa kehidupan mereka sudah
merupakan takdir dari Allah yang harus diterima dengan ikhlas.
“[…] semua adalah titipan dari Allah kepada kita. Kalau memang
Allah menghendaki seperti itu ya kita terima dengan ikhlas, yaa kita
rawat anak ini dengan semampu kami selaku orangtua”.
Dalam penelitian ini, iman yang dimiliki oleh orang tua dapat
mempengaruhi harga diri mereka, dikarenakan iman dapat
meberikan makna kehidupan, kekuatan pada masa masa sulit. Dalam
islam setiap islam haruslah memiliki iman. Beriman kepada
ketentuan rukun iman, seperti diterangkan dalam jawaban Rasulullah
SWT terhadap pertanyaan malaikat Jibril AS ketika ditanya tentang
makna iman. Beliau menjawab: Rukun iman itu adalah beriman
kepada Allah SWT, malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir
sebagai takdir dan beriman kepada ketentuan Allah, baik dan
buruknya.” (HR.Muslim, no.8) (Bahammam, 2015).
91
4. Hubungan Spiritualitas Harapan Terhadap Harga Diri Orang Tua yang
Memiliki Anak dengan Sindrom Down
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara spiritualitas harapan dengan harga diri orang tua
yang memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS. Harapan
adalah sebuah konsep yang menggabungkan spiritualitas.
Stephenson (1991) mengusulkan definisi harapan adalah "proses
antisipasi yang melibatkan interaksi berpikir, bertindak, perasaan,
dan berhubungan, dan diarahkan kepada kepuasan masa depan yang
bermakna secara pribadi". Dalam ketiadaan harapan, klien
menyerah, dan kehilangan semangat dan penyakit kemungkinan
semakin cepat memburuk.
Lestari & Mariyati (2015) melakukan penelitian terhadap orang
tua yang memiliki anak sindrom Down mengenai resiliensi mereka,
dalam kesabaran dan ikhlasan setelah dilakukan wawancara orang tua
mengaku bahwa berbekal usaha dan doa serta menerima keadaan dan
tidak putus asa adalah kunci untuk tetap bertahan dalam keadaan
dimana anak mereka salah satu penyandang sindom Down, seluruh
responden memiliki nilai-nilai spiritual yang tertanam dalam dirinya
sehingga mereka mampu bertahan dan menerima keadaan.
Dalam penelitian ini, menyebutkan bahwa terdapat hungan
antara spiritualitas harapan dengan harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down. Hal ini dapat dlihat dari hasil
92
penelitian yang menunjukkan bahwa oarang tua yang memiliki anak
dengan sindrom Down tidak menyerah dengan hal tersebut, orang
tua tidak kehilangan semangat, dan memiliki keinginan untuk
bertahan dan tidak merasa putus asa. Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa apabila harapan orang tua baik maka harga diri
orang tua juga positif.
5. Hubungan Spiritualitas Transendensi Terhadap Harga Diri Orang Tua
yang Memiliki Anak dengan Sindrom Down
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara spiritualitas transendensi dengan harga diri orang
tua yang memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS.
Transendensi menurut Coward (1990) mendefinisikan sebagai
"kemampuan untuk menjangkau melampaui diri sendiri, untuk
melampaui diri dan mengambil perspektif hidup yang lebih luas,
kegiatan dan tujuan". Transendensi juga diduga melibatkan
seseorang pengakuan bahwa ada sesuatu yang lain atau lebih besar
daripada diri dan mencari dan menilai lebih besar lainnya.
Sebuah penelitian tentang gambaran psychological well being
pada perempuan yang memiliki anak down syndrome oleh Ghoniyah &
Savira (2015) para partisipan menganggap bahwa semua yang terjadi
di dalam hidupnya merupakan takdir dan kehendak dari Yang Maha
Kuasa dan sebuah kekuatan melebihi mereka yaitu Allah SWT. Ryff &
93
Singer (2008), mengatakan bahwa individu yang memiliki penerimaan
diri menuunjukkan katakteristik memiliki sikap positif terhadap
dirinya, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam
dirinya yang bersifat baik maupun buruk.
Dalam penelitian ini, menyebutkan bahwa terdapat hubungan
anatara spiritualitas transendensi dengan harga diri orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down. Hal ini terjadi karena pada
umumnya orang tua sadar bahwa ada yang lebih hebat dari pada
dirinya, orang tua percaya akan kekuatan Tuhan yang sangat hebat,
orang tua percaya kekuatan Tuhan, dan percaya bahwa Tuhan yang
mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu, orang tua memiliki
harga diri yang positif, orang tua menerima keadaan apa adanya, dan
tidak merasa malu.
6. Hubungan Spiritualitas Pengampunan Terhadap Harga Diri Orang Tua
yang Memiliki Anak dengan Sindrom Down
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara spiritualitas pengampunan dengan harga diri orang
tua yang memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS. Lestari
& Mariyati (2015) melakukan penelitian terhadap orang tua yang
memiliki anak sindrom Down mengenai resiliensi mereka, dalam
kesabaran dan ikhlasan setelah dilakukan wawancara orang tua
mengaku bahwa berbekal usaha dan doa serta menerima keadaan dan
94
tidak putus asa adalah kunci untuk tetap bertahan dalam keadaan
dimana anak mereka salah satu penyandang sindom Down, seluruh
responden memiliki nilai-nilai spiritual yang tertanam dalam dirinya
sehingga mereka mampu bertahan dan menerima keadaan.
Pengampunan mampu menghilangkan reaksi-reaksi aneh dan
berakibat buruk yang dapat dipicu oleh pengalaman pahit masa
lampau. Pengampunan adalah tanda dan landasan adanya harga diri
yang positif. Pengampunan muncul dari harga diri yang positif dan
selanjutnya membuatnya semakin kokoh. Pengampunana mampu
membuat kita mencintai diri sendiri bukan karena perintah Tuhan
tetapi karena keyakinan bahwa sebagai anugerah Tuhan, diri kita
memang pantas dicintai (Meninger, 1999).
Dalam penelitian ini, spiritualitas pengampunan orang tua
yang memiliki anak dengan sindrom Down berada pada kategori
baik dikarenakan dari hasil menunjukkan sikap saling memaafkan
membuat harga diri orang tua menjadi positif. Pengampunan dapat
meningkatkan harapan, harga diri dan kekuatan diri. Pengampunan
juga dapat melepaskan emosi buruk dengan cara memaafkan,
selanjutnya menjaga diri agar tidak terjebak dalam emosi negatif.
C. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari keterbatasan yang
dimiliki peneliti sebagai berikut:
95
1. Sampel penelitian
Sampel penelitian tidak mencakup keseluruhan anggota
POTADS yang telah terdaftar aktif dalam yayasan. Ini dikarenakan
ada beberapa anggota yang beralasan berhalangan hadir dalam
kegiatan rutin yang diadakan yayasan tersebut dan peneliti tidak
mampu untuk memenuhi total responden dikarenakan jangkauan
responden yang terlalu jauh. Target semula total anggota POTADS
sebanyak 95 orang, namun pada pelaksanaannya hanya 83 orang
(87.37%).
2. Data Responden
Data responden yang terdapat pada data demografi usia anak
tidak terisi penuh sesuai dengan jumlah responden, sehingga hanya
78 responden yang mengisi dari total 83 responden. Hal ini
disebabkan karena kelalaian peneliti tidak mengecek ulang lembaran
kuesioner.
96
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian untuk mengehubungkan spiritualitas
dan harga diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down,
didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Karakteristik responden mayoritas pada kategori usia dewasa tengah
terdapat 49 orang (59%), jenis kelamin perempuan terdapat 76 orang
(91.6%), status perkawinan menikah terdapat 80 orang (96.4%),
pendidikan akademi/PT terdapat 49 orang (59%), pekerjaan tidak
bekerja 50 orang (60.2%), penghasilan <UMR terdapat 50 orang
(60.2%), dan usia anak 5-10 tahun terdapat 29 anak (24.9%).
2. Spiritualitas orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down
baik 44 orang (53%).
3. Tingkat harga diri orang tua yang memiliki anak dengan sindrom
Down positif 43 orang (51.8%).
4. Adanya hubungan antara spiritualitas terhadap harga diri orang tua
yang memiliki anak dengan sindrom Down di POTADS (p-value =
0.000).
5. Konsep spiritualitas agama orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down baik 47 orang (56.6%), iman orang tua yang memiliki
anak dengan sindrom Down baik 56 orang (67.5%), harapan orang
tua yang memiliki anak dengan sindrom Down baik 38 orang
97
(45.8%), transendensi orang tua yang memiliki anak dengan sindrom
Down baik 56 orang (67.5%), pengampunan orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down baik 56 orang (67.5%)
6. Adanya hubungan antara konsep spiritulitas agama dengan harga diri
orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down (p-value =
0.000), iman dengan harga diri orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down (p-value = 0.001), harapan dengan harga diri orang
tua yang memiliki anak dengan sindrom Down (p-value = 0.000),
transendensi dengan harga diri orang tua yang memiliki anak dengan
sindrom Down (p-value = 0.000), pengampunan dengan harga diri
orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down (p-value =
0.005).
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diajukan:
1. Ilmu Keperawatan
Hendaknya hasil penelitian ini dapat lebih meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan mahasiswa mengenai pemenuhan
kebutuhan spiritualitas dan konsep diri khususnya harga diri pasien
dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada orang tua yang
memiliki anak dengan sindrom Down ataupun disabilitas lainnya
baik di rumah sakit maupun di rumah.
98
2. POTADS
Lebih meningkatkan pengetahuan orang tua yang memiliki
anak dengan sindrom Down baik dalam aspek spiritualitas, harga
diri maupun aspek kesehatan terkait dengan sindrom Down itu
sendiri dengan mengadakan kegiatan seminar maupun talkshow
terkait dengan keluhan anggota POTADS itu sendiri.
3. Orang Tua
Diharapkan dapat lebih memberikan dukungan sosial,
spiritualitas antar sesama orang tua dilingkungan POTADS untuk
meningkatkan harga diri.
4. Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini menjadi masukan bagi penelitian berikutnya
diantaranya:
a. Mengenai karakteristik faktor-faktor yang mempengaruhi
spiritualitas seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan, dan
latar belakang budaya.
b. Mengenai caregiver burden pada keluarga yang memiliki anak
dengan sindrom Down
c. Tingkat stres, dukungan sosial terhadap spiritualitas yang
dialami orang tua yang memiliki anak dengan sindrom Down
DAFTAR PUSTAKA
Arjunawadi, M. (2015). Gambaran Mekanisme Koping Orang Tua Yang Memiliki
Anak Down Syndrome Di Slb Negeri Ungaran Kabupaten Semarang.
Bahammam, F. S. (2015). Keimanan: Penjelasan tentang enam rukun iman dan
makna Laa ilaaha illallah (tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah).
Jakarta: Modern Guide.
Berman, A., Snyder, S. J., Kozier, B., & Erb, G. (2008). FUNDAMENTALS OF
NURSING: Concepts, Process, and Practice (8th ed.). United States of
America: PEARSON Prentice Hall.
Budiharto. (2008). Metodology Penelitian Kesehatan. Jakarta: EGC.
DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2011). Fundamentals of Nursing: Standards and
Practice (4th ed.). United States of America: DELMAR Cengange Learning.
Fraenkel, J. R., & Wallen, N. E. (2008). How to Design and Evaluate research in
Education. New York: McGraw-Hill.
Ghoniyah, Z., & Savira, S. I. (2015). Gambaran Psychological Well Being pada
Perempuan yang Memiliki Anak Down Syndrome. UNESA, 3.
Hamdi, A. S., & Bahruddin, E. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi
Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Deepublish.
Hamid, A. Y. S. (2008). Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: EGC.
Hardjana, A. M. (2005). Religioditas, Agama, dan Spiritualitas. Yogyakarta:
Kanisus.
Hidayat, A. A. A. (2012). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis
Data. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, B. A. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.
Lapau, B. (2013). Metode Penelitian Kesehatan: Metode Ilmiah Penulisan
Skripsi, Tesis, dan Disertasi. (2, Ed.). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Lestari, F. A., & Mariyati, L. I. (2015). Resiliensi Ibu Yang Memiliki Anak Down
Syndrome Di Sidoarjo, (1), 141–155.
Leveno, K. J. (2012). Obstetric Williams. Jakarta: EGC.
Linda, C. N. (2014). Hubungan Spiritualitas Dengan Harga Diri Pasien Ukus
Diabetik di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainul
Abidin Banda Aceh. Banda Aceh.
Listiyaningsih, R., & Dewayani, T. N. E. (2010). Kepercayaan diri pada orangtua
yang memiliki anak tunagrahita.
Meadow, S. R., & Newell, simon J. (2005). Lecture Notes: Pediatrika (7th ed.).
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Kesehatan:
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Polit, D. F., & Beck., C. T. (2006). Essential Nursing Research Methods
Appraisal Utilization. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik (4th ed.). Jakarta: EGC.
Praptomo, A. J. (2016). Metodologi Riset Kesehatan Teknologi Laboratorium
Medik dan Bidang Kesehatan Lainna. Yogyakarta: Deepublish.
Purwanto, T. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. (I. N. G. Ranuh, Ed.). Jakarta:
EGC.
Stuart, G. ., & Sundeen, S. J. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa (4th ed.).
Jakarta: EGC.
Sudiono, J. (2009). Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial. Jakarta:
EGC.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatis dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R & D.
Bandung: Alfabeta.
Sunaryo. (2013). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Suri, D. P., & Daulay, W. (2012). Mekanisme Koping Pada Orang Tua Yang
Memiliki Anak Down Syndrome Di Sdlb Negeri 107708 Lubuk Pakam
Kabupaten Deli Serdang. Jurnal Keperawatan Holistik, 1, 52–56.
Swarjana, I. K. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan (II). Yogyakarta: ANDI.
Swarnaja, I. K. (2016). Statistik Kesehatan. Yogyakarta: ANDI.
Vani, G. C., Raharjo, S. T., Hidayat, E. N., Humaedi, S., & Grahita, T. (2014).
Pengasuhan ( Good Parenting ) Bagi Anak Dengan Disabilitas, Vol 4, No,
122–128.
Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Wasis. (2008). Pedoman Riset Praktis Untuk Profesi Perawat. Jakarta: EGC.
Widoyoko, E. P. (2013). Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Jakarta:
Salemba Medika.
Wijayanti, D. (2015). Subjective Well-Being Dan Peneriman Diri Ibu Yang
Memiliki Anak Down Syndrome, 4(1), 120–130.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
INFORMED CONSENT
(LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN)
Identitas Penelitian
Nama : Ashri Nabilah Putrie
Jurusan : S1 Ilmu Keperawatan
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Saya bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui “Hubungan Spiritualitas
Terhadap Harga Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Dengan Sindrom Down” pada tahun
2017.
Untuk kepentingan pengumpulan data penelitian ini, kami mengharapkan kesediaan
anda untuk berpartisipasi dalam mengisi kuesioner mengenai spiritualitas dan harga diri ini.
Semua yang dicantumkan atau dituliskan dalam penelitian ini dijamin kerahasiaannya dan
tidak akan berdampak negatif terhadap siapapun. Bila selama berpartisipasi dalam penelitian
ini responden merasakan ketidaknyamanan, maka responden mempunyai hak untuk berhenti.
Responden menyatakan bahwa “saya telah membaca pernyataan diatas dan menyetujui
untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan sukarela”.
Jakarta, ………………….. 2017
Peneliti Responden
Ashri Nabilah Putrie (………………………….)
Lampiran 6
A. Data Demografi
Petunjuk I: isilah jawaban pada pertanyaan ini dengan memberi tanda (X) pada
kolom jawaban yang saudara/i pilih.
1. Kode Responden : (Diisi oleh peneliti)
2. Tanggal Pengisian : ……………………..
3. Usia : …………. Tahun
4. Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
5. Status Perkawinan : 1. Menikah
2. Bercerai
6. Pendidikan Terakhir : 1. Tidak Sekolah
2. SD/MI/Sederajat
3. SMP/MTs/Sederajat
4. SMA/MA/Sederajat
5. Akademi/Perguruan Tinggi
7. Pekerjaan : 1. Bekerja
2. Tidak Bekerja
8. Penghasilan : 1. ≥ UMR
2. < UMR
9. Umur anak dengan sindrom down: ………… Bulan/Tahun
B. Penilaian Spiritualitas
Petunjuk II:
1. Bacalah setiap pertanyaan dengan teliti
2. Isilah jawaban pada pertanyaan berikut dengan memberikan tanda check list (√)
pada kolom jawaban yang saudara/i pilih. Selalu (SLL), Jarang (JRG), Tidak
Pernah (TP)
No Pertanyaan Penilaian
SLL JRG TP
Agama
1. Saya ikhlas beribadah dalam menjalani hidup
2. Saya mengambil hikmah dari setiap ujian yang diberikan Tuhan
3. Saya mengerjakan ibadah walaupun dalam keadaan sakit
4. Karena sakit, saya tidak mampu menjalankan perintah agama
dengan sempurna
Iman
5. Walaupun dalam keadaan sulit, saya tetap mengingat Tuhan
6. Saya meyakini bahwa Tuhan akan memberikan kekuatan kepada
saya
7. Saya percaya bahwa Tuhan akan mempermudah segalanya
8. Saya tidak percaya bahwa kesulitan yang saya alami adalah takdir
dari Tuhan
No Pertanyaan Penilaian
SLL JRG TP
Harapan
9. Saya mengahasilkan sesuatu yang bermakna dalam hidup
10. Saya menyerah dengan kesulitan yang saya alami
11. Saya tidak kehilangan semangat walaupun saya dalam keadaan sulit
12. Saya putus asa dengan kesulitan yang saya alami
Transendensi
13. Saya percaya bahwa ada yang lebih mempunyai kekuatan diluar
kemampuan saya
14. Saya merasakan akan kekuatan Tuhan yang sangat hebat
15. Saya percaya bahwa kekuatan bathin dapat menguatkan saya
16. Saya percaya bahwa dengan mengingat Tuhan dapat mengurangi
kesulitan yang saya alami
Pengampunan
17. Saya merasa kesulitan yang saya alami merupakan cobaan dari Tuhan
18. Ketika saya melakukan kesalahan kepada orang lain, saya meminta
maaf
19. Saya memaafkan diri sendiri jika melakukan kesalahan
20. Saya memaafkan orang yang berbuat kesalahan kepada saya
C. Penilaian Harga Diri
1. Bacalah setiap pertanyaan dengan teliti
2. Isilah jawaban pada pertanyaan berikut dengan memberikan tanda check list (√)
pada kolom jawaban yang saudara/i pilih. Selalu (SLL), Jarang (JRG), Tidak
Pernah (TP)
No Pertanyaan
Penilaian
SLL JRG TP
Harga Diri
1. Saya bisa menerima keadaan diri saya apa adanya
2. Walaupun dalam keadaan anak saya di diagnosa sindrom Down, saya
masih ditemani oleh orang-orang terdekat
3. Walaupun dalam keadaan anak saya di diagnosa sindrom Down, saya
masih diajak dalam kegiatan sosial kemasyarakatan
4. Saya dihargai oleh orang lain walaupun keadaan anak saya dengan
sindrom down
5. Ketika anak saya di diagnosa sindrom down, saya merasa sulit
berkomunikasi dengan banyak orang
6. Saya dihargai oleh orang lain walaupun anak saya mengidap sindrom
down
7. Saya merasa tidak berharga karena kondisi anak saya yang mengidap
sindrom down
8. Saya merasa malu/rendah diri dengan kondisi anak saya yang
mengidap sindrom down
Lampiran 7
Validitas
A. Agama
B. Iman
C. Harapan
D. Transendensi
E. Pengampunan
F. Harga Diri
Reliabilitas Setelah Item Dihapus
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance
if Item Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
a1 156.77 278.806 .727 .732
a2 156.73 283.857 .551 .737
a3 156.70 284.838 .574 .738
a5 156.60 286.317 .545 .739
i6 156.53 287.982 .497 .741
i8 156.70 287.734 .366 .741
i10 156.77 278.116 .759 .731
h11 156.67 284.782 .527 .738
h12 156.97 279.757 .585 .733
h13 156.47 291.361 .469 .744
h14 156.70 286.976 .404 .740
t16 156.77 282.323 .566 .735
t17 156.73 286.133 .490 .739
t19 156.77 278.806 .727 .732
t20 156.60 286.317 .545 .739
p22 156.67 283.885 .573 .737
p23 156.77 278.116 .759 .731
p24 156.53 289.085 .421 .742
p25 156.70 279.941 .694 .733
d1 156.60 285.421 .601 .738
d2 156.80 286.303 .418 .740
d4 156.60 284.248 .674 .737
d5 156.70 284.838 .574 .738
d6 156.47 291.361 .469 .744
d7 156.60 287.972 .532 .740
d8 156.70 279.941 .694 .733
TOTAL 70.80 75.131 .971 .925
UNIVARIAT
BIVARIAT
Statistics
total agama total iman total harapan total transen total pengam
N Valid 83 83 83 83 83
Missing 0 0 0 0 0
Mean 10.76 11.11 10.48 11.53 10.90
Median 11.00 11.00 10.00 12.00 11.00
Mode 10 12 12 12 11
Skewness -.256 -.597 -.083 -1.414 -1.256
Std. Error of Skewness .264 .264 .264 .264 .264
Statistics
total spiritual total harga TOTAL
N Valid 83 83 83
Missing 0 0 0
Mean 54.78 22.90 99.37
Median 55.00 24.00 100.00
Mode 56a 24 104
Skewness -.514 -1.910 -.716
Std. Error of Skewness .264 .264 .264
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
total agama .211 83 .000 .869 83 .000
total iman .308 83 .000 .781 83 .000
total harapan .219 83 .000 .853 83 .000
total transen .408 83 .000 .654 83 .000
total pengam .212 83 .000 .814 83 .000
total spiritual .110 83 .015 .946 83 .002
total harga .268 83 .000 .708 83 .000
TOTAL .128 83 .002 .953 83 .004
a. Lilliefors Significance Correction
Statistics
katiman katharapan katagama kattransen katpengam katspirit katharga
N Valid 83 83 83 83 83 83 83
Missing 0 0 0 0 0 0 0
Katagama
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 47 56.6 56.6 56.6
buruk 36 43.4 43.4 100.0
Total 83 100.0 100.0
Katiman
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 56 67.5 67.5 67.5
buruk 27 32.5 32.5 100.0
Total 83 100.0 100.0
Katharapan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 38 45.8 45.8 45.8
buruk 45 54.2 54.2 100.0
Total 83 100.0 100.0
Kattransen
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 56 67.5 67.5 67.5
buruk 27 32.5 32.5 100.0
Total 83 100.0 100.0
Katpengam
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 56 67.5 67.5 67.5
buruk 27 32.5 32.5 100.0
Total 83 100.0 100.0
katspirit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 44 53.0 53.0 53.0
buruk 39 47.0 47.0 100.0
Total 83 100.0 100.0
katharga
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid positif 43 51.8 51.8 51.8
negatif 40 48.2 48.2 100.0
Total 83 100.0 100.0
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
katiman * katharga 83 100.0% 0 0.0% 83 100.0%
katharapan * katharga 83 100.0% 0 0.0% 83 100.0%
katagama * katharga 83 100.0% 0 0.0% 83 100.0%
kattransen * katharga 83 100.0% 0 0.0% 83 100.0%
katpengam * katharga 83 100.0% 0 0.0% 83 100.0%
katspirit * katharga 83 100.0% 0 0.0% 83 100.0%
katiman * katharga
Crosstab
katharga
Total positif negatif
katiman Baik Count 36 20 56
Expected Count 29.0 27.0 56.0
% within katiman 64.3% 35.7% 100.0%
Buruk Count 7 20 27
Expected Count 14.0 13.0 27.0
% within katiman 25.9% 74.1% 100.0%
Total Count 43 40 83
Expected Count 43.0 40.0 83.0
% within katiman 51.8% 48.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 10.736a 1 .001
Continuity Correctionb 9.255 1 .002
Likelihood Ratio 11.054 1 .001
Fisher's Exact Test .002 .001
Linear-by-Linear
Association 10.607 1 .001
N of Valid Cases 83
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.01.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for katiman
(baik / buruk) 5.143 1.855 14.257
For cohort katharga =
positif 2.480 1.273 4.830
For cohort katharga =
negative .482 .318 .731
N of Valid Cases 83
katharapan * katharga
Crosstab
katharga
Total positif negatif
katharapan baik Count 33 5 38
Expected Count 19.7 18.3 38.0
% within katharapan 86.8% 13.2% 100.0%
buruk Count 10 35 45
Expected Count 23.3 21.7 45.0
% within katharapan 22.2% 77.8% 100.0%
Total Count 43 40 83
Expected Count 43.0 40.0 83.0
% within katharapan 51.8% 48.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 34.457a 1 .000
Continuity Correctionb 31.917 1 .000
Likelihood Ratio 37.688 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
Association 34.042 1 .000
N of Valid Cases 83
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.31.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for katharapan
(baik / buruk) 23.100 7.140 74.737
For cohort katharga =
positif 3.908 2.231 6.844
For cohort katharga =
negative .169 .074 .389
N of Valid Cases 83
katagama * katharga
Crosstab
katharga
Total positif negatif
Katagama Baik Count 34 13 47
Expected Count 24.3 22.7 47.0
% within katagama 72.3% 27.7% 100.0%
Buruk Count 9 27 36
Expected Count 18.7 17.3 36.0
% within katagama 25.0% 75.0% 100.0%
Total Count 43 40 83
Expected Count 43.0 40.0 83.0
% within katagama 51.8% 48.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 18.298a 1 .000
Continuity Correctionb 16.451 1 .000
Likelihood Ratio 19.033 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
Association 18.078 1 .000
N of Valid Cases 83
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.35.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for katagama
(baik / buruk) 7.846 2.919 21.089
For cohort katharga =
positif 2.894 1.600 5.235
For cohort katharga =
negative .369 .224 .608
N of Valid Cases 83
kattransen * katharga
Crosstab
katharga
Total positif negatif
Kattransen baik Count 38 18 56
Expected Count 29.0 27.0 56.0
% within kattransen 67.9% 32.1% 100.0%
buruk Count 5 22 27
Expected Count 14.0 13.0 27.0
% within kattransen 18.5% 81.5% 100.0%
Total Count 43 40 83
Expected Count 43.0 40.0 83.0
% within kattransen 51.8% 48.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 17.761a 1 .000
Continuity Correctionb 15.840 1 .000
Likelihood Ratio 18.750 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
Association 17.547 1 .000
N of Valid Cases 83
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.01.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for kattransen
(baik / buruk) 9.289 3.027 28.507
For cohort katharga =
positif 3.664 1.628 8.249
For cohort katharga =
negative .394 .259 .601
N of Valid Cases 83
katpengam * katharga
Crosstab
katharga
Total positif negatif
katpengam baik Count 35 21 56
Expected Count 29.0 27.0 56.0
% within katpengam 62.5% 37.5% 100.0%
buruk Count 8 19 27
Expected Count 14.0 13.0 27.0
% within katpengam 29.6% 70.4% 100.0%
Total Count 43 40 83
Expected Count 43.0 40.0 83.0
% within katpengam 51.8% 48.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 7.883a 1 .005
Continuity Correctionb 6.622 1 .010
Likelihood Ratio 8.043 1 .005
Fisher's Exact Test .009 .005
Linear-by-Linear
Association 7.788 1 .005
N of Valid Cases 83
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.01.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for katpengam
(baik / buruk) 3.958 1.475 10.626
For cohort katharga =
positif 2.109 1.140 3.904
For cohort katharga =
negative .533 .351 .809
N of Valid Cases 83
katspirit * katharga
Crosstab
katharga
Total positif negatif
katspirit baik Count 41 3 44
Expected Count 22.8 21.2 44.0
% within katspirit 93.2% 6.8% 100.0%
buruk Count 2 37 39
Expected Count 20.2 18.8 39.0
% within katspirit 5.1% 94.9% 100.0%
Total Count 43 40 83
Expected Count 43.0 40.0 83.0
% within katspirit 51.8% 48.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 64.204a 1 .000
Continuity Correctionb 60.726 1 .000
Likelihood Ratio 77.273 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
Association 63.430 1 .000
N of Valid Cases 83
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.80.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for katspirit
(baik / buruk) 252.833 40.011 1597.661
For cohort katharga =
positif 18.170 4.700 70.250
For cohort katharga =
negative .072 .024 .215
N of Valid Cases 83
Recommended