View
305
Download
46
Category
Preview:
DESCRIPTION
HUKUM NIKAH, KRITERIA CALON SUAMI ISTRI DAN KHITBAH
Citation preview
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berpasang-pasangan adalah salah satu sunatullah atas seluruh ciptaan-Nya, tidak
terkecuali manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Allah SWT berfirman,
ل� و�م�ن� ء� ك ي� �ا ش� �ق�ن ل �ن� خ� ي و�ج� م� ز� �ك �ع�ل ون� ل �ر �ذ�ك (٤٩) ت
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat : 49)
Kemudian Allah SWT berfirman dalam surat Yasin pada ayat ke-36 :
�ح�ان� ب �ذ�ي س �ق� ال و�اج� خ�ل �ه�ا األز� ل �ت م�م�ا ك �ب ن ه�م� و�م�ن� األر�ض ت �فس� �ن ون� ال و�م�م�ا أ �م77 �ع�ل ) ي
٣٦ )
“Maha suci Allah yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa
yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka, maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui.” (Yasin : 36)
Berpasang-pasangan merupakan pola hidup yang telah Allah tetapkan untuk umat-
Nya sebagai sarana untuk memperbanyak keturunan dan mempertahankan hidup setelah
masing-masing pasangan cukup mampu membekali dan mempersiapkan diri mereka baik
dari segi jasmani dan rohani agar mereka dapat menjalankan peran dan tujuan hidup
mereka di dunia ini sebaik-baiknya. Allah SWT berfirman,
�ا >ه�ا ي ي� �اس أ �قوا الن م ات �ك ب ذ�ي ر� م� ال�77 �ق�ك �ف�س� م�ن� خ�ل د�ة� ن ق� و�اح�77 ا و�خ�ل�77 �ه�77 ا م�ن و�ج�ه�77 �ث� ز� و�ب
�هم�ا ا ر�ج�اال م�ن Dير� �ث اءD ك �س� (١)….. و�ن
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri (Adam), dan dari padanya Allah menciptakan isterinya (Hawa) ; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”
(An-Nisa :1)
Allah SWT tidak menghendaki manusia untuk berperilaku seperti mahluk-Nya
yang lain, yang mengumbar dan melampiaskan hawa nafsunya secara bebas, berhubungan
3
antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan. Tetapi Allah telah menetapkan suatu
aturan yang sesuai dengan fitrah mulia manusia sehingga dengannya terjagalah harga diri
dan kehormatan manusia. Oleh sebab itu Allah menjadikan hubungan laki-laki dan
perempuan tercakup dalam sebuah ikatan sakral pernikahan yang terjalin berdasarkan ridha
dari keduanya, yaitu terucapnya ijab-kabul sebagai bentuk keridhaan masing-masing pihak.
Maka dengan pernikahan pula, manusia dapat menjalankan fitrahnya dengan baik,
mereka dapat membangun rumah tangga yang baik, dengan kelembutan hati seorang ibu
dan rengkuhan kasih sayang seorang ayah, sehingga dapat menghasilkan keturunan-
keturunan yang sholeh dan baik. Pernikahan inilah yang diridhai dan disyariatkan oleh
agama Islam.
1.2. Rumusan Masalah
Pembahasan tentang masalah pernikahan ini sangatlah luas, tapi dalam makalah ini,
penulis hanya menjelaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Hukum Nikah
b. Kriteria calon suami dan istri
c. Khitbah
1.3. Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum nikah,
kriteria calon suami ataupun calon istri yang baik menurut islam, kemudian penjelasan
tentang khitbah (peminangan) yang sesuai dengan syari’at Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
4
2.1. Hukum Nikah
Kaum muslimin sepakat bahwa menikah adalah hal yang disyari’atkan oleh Allah
SWT. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Berikut pendapat
para ulama tentang hukum menikah.
Pendapat pertama , menikah hukumnya wajib bagi orang yang sudah mampu
secara fisik maupun ekonomi. Ini adalah pendapat mazhab Daud azh-Zhahiri dan Ibnu
Hazm. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ahmad dan Abu Awanah al-Isfaraini, salah satu
sahabat Imam Syafi’i dan juga merupakan pendapat para ulama salaf.
Kemudian mereka berpendapat bahwa tidak menikah itu merupakan bentuk
penyerupaan terhadap orang-orang Nashara / Nasrani, sedang menyerupai mereka di dalam
masalah ibadah adalah haram. Berkata Syekh al-Utsaimin : “ …dan karena dengan
meninggalkan nikah padahal ia mampu, itu merupakan bentuk penyerupaan dengan
orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka.
Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram”. Karena menyerupai
mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah,
sehingga menurut mereka menikah hukumnya wajib.
Pendapat kedua , menikah hukumnya mustahabb (dianjurkan). Ini adalah mazhab
jumhur ulama, keempat imam mazhab, dan yang lainnya. Menurut mereka, perintah yang
terkandung didalam teks-teks dalil hanyalah berkonotasi anjuran. Berkata Imam Nawawi :
“Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah
menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang
mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut
Dhahiriyah, dan riwayat dari Imam Ahmad.” Dalil yang mereka gunakan untuk
menguatkan pendapat mereka adalah pada surat An-Nisa ayat ke-3,
�ن� م� و�إ �ال خ�ف�ت ق�س�طوا أ �ام�ى ف�ي ت �ت �ي �ك�حوا ال اب� م�ا ف�ان م� ط�77 �ك اء� م�ن� ل �س�77 �ن�ى الن الث� م�ث و�ث�اع� ب �ن� و�ر م� ف�إ �ال خ�ف�ت وا أ �ع�د�ل و� ف�و�اح�د�ةD ت
� �ت� م�ا أ �ك م� م�ل ك �م�ان ي� �ك� أ �ى ذ�ل �د�ن �ال أ وا أ �عول (٣) ت
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
5
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (An-Nisa : 3)
Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa
menikah hukumnya sunnah), karena Allah SWT memberikan pilihan antara menikah atau
mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah
memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul
fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan
menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang
meninggalkan kewajiban tidak berdosa.
Jadi menikah disini maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya
terutama yang berhubungan dengan pelampiasan syahwatnya secara halal, sehingga
dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.
Pendapat ketiga , hukum menikah berbeda-beda, tergantung kepada kondisi
masing-masing individu. Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki, juga
pendapat yang beredar dikalangan ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali. Mereka
memaparkan sebagai berikut :
1. Wajib
Menikah hukumnya menjadi wajib, yaitu pernikahan diwajibkan bagi mereka yang
mempunyai hasrat seksual yang tinggi, dan ia takut terjerumus kedalam perzinahan,
kemudian secara ekonomi dan fisik ia sudah mampu untuk menikah. Maka dalam hal ini,
menjaga diri dan kehormatan dari hal-hal yang diharamkan adalah suatu kewajiban.
Sehingga penjagaan tersebut hanya bisa terpenuhi dengan pernikahan.
Qurthubi mengatakan, “Orang yang mampu adalah orang yang takut dengan
bahaya membujang atas diri dan agamanya dan bahaya itu hanya dapat terjaga dengan cara
menikah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban menikah atas
mereka.”
Jika ia takut terjerumus, tapi belum mampu untuk memberi nafkah, maka Allah SWT
berfirman,
�ع�ف�ف� ت �س� �ي �ذ�ين� و�ل �ج�دون� ال ال �احDا ي �ك �هم ح�ت�ى ن �ي غ�ن �ه ي �ه� م�ن� الل (٣٣)...... ف�ض�ل
6
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (An-Nur : 33)
Dan ia juga dianjurkan untuk memperbanyak puasanya. Ibnu Mas’ud r.a.
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
ا ر� ي�77 �اب� م�ع�ش�77 ب �ط�اع� م�ن� ! الش�77 ت م اس�77 �ك اء�ة� م�ن �ب�77 �ل و�ج� ا ز� �ت�77 �ي ه ف�ل �ن�77 �غ�ض> , ف�إ ر� أ �ص�77 �ب �ل , ل�ح�ص�ن ج� و�أ �ف�ر� �ل �م� و�م�ن�, ل �ط�ع� ل ت �س� �ه� ي �ي � ف�ع�ل �الص�و�م �ه ب �ن �ه ; ف�إ اءg ل و�ج�
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan
(secara fisik dan harta untuk memberikan nafkah), hendaknya ia menikah, karena
sesungguhnya menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan
barangsiapa diantara kalian belum mampu, maka hendaknya berpuasa, sebab ia dapat
meredam (syahwat) .” (H.R. Bukhari)
2. Sunnah
Menikah hukumnya menjadi Sunnah, yaitu bagi orang yang memiliki nafsu dan
telah mampu melaksanakan pernikahan, namun ia masih sanggup menjaga dirinya dari
praktik perzinaan. Maka dalam kondisi ini, menikah baginya lebih utama dari pada segala
bentuk peribadahan sunnah yang terus menerus. Karena telah ditegaskan bahwa praktik
hidup membujang (menjadi rahib) bukanlah ajaran Islam.
Dari An-nas bin Malik radhiyallahu ta’ala :
�س� ع�ن� �ن �ن� أ ا أ Dف�ر� ص�ح�اب� م�ن� ن� �ي� أ �ب �ه ص�ل�ى الن �ه� الل �ي �م� ع�ل ل وا و�س� �ل أ و�اج� س� �ز� �ي� أ �ب الن
�ه ص�ل�ى �ه� الل �ي �م� ع�ل ل �ه� ع�ن� و�س� ر� ف�ي ع�م�ل �ع�ضهم� ف�ق�ال� الس� و�ج ال� ب �ز� �ت اء� أ �س� و�ق�ال� الن�ع�ضهم� ل ال� ب �ح�م� آك �ع�ضهم� و�ق�ال� الل �ام ال� ب �ن اش� ع�ل�ى أ �ه� ف�ح�م�د� ف�ر� �ن�ى الل �ث �ه� و�أ �ي ف�ق�ال� ع�ل
�ال م�ا � ب �ق�و�ام وا أ �ذ�ا ق�ال �ذ�ا ك �ك�ن�ي و�ك ص�ل�ي ل �ام أ �ن صوم و�أ
� ف�ط�ر و�أ و�ج و�أ �ز� �ت اء� و�أ �س� ف�م�ن� النغ�ب� �ت�ي ع�ن� ر� ن �س� س �ي م�ن�ي ف�ل
“ Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bertanya kepada istri-istri Nabi mengenai amalan beliau yang tersembunyi.
Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian
lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak
akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa
dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga
7
tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja
yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Umamah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Menikahlah,
karena aku membanggakan kalian kepada umat yang lain, karena banyaknya jumlah
kalian. Dan janganlah kalian bertindak seperti para pendeta Nasrani yang tidak menikah”
Ibnu Abbas r.a. berkata, “Tidak akan sempurna ibadah seseorang hingga ia
menikah”.
3. Haram
Menikah hukumnya menjadi haram, yaitu bagi seseorang yang dipastikan bahwa
apabila ia melakukan pernikahan maka akan diduga kuat tidak mampu memberikan nafkah
dan memenuhi hak istri, baik lahir maupun bathin, atau ia ingin menikah dengan niat untuk
menyakiti isterinya atau menyia-nyiakan isterinya.
Thabrani berkata, “Ketika seseorang mengetahui secara pasti bahwa ia tidak akan
mampu untuk memberi nafkah kepada istrinya, membayar maharnya, maupun
menjalankan konsekuensi pernikahan, maka haram baginya untuk menikah hingga ia
benar-benar merasa mampu.”
Pernikahan juga diharamkan jika ada penyakit yang menghalanginya untuk
bersenggama/berjima, seperti gila, kusta, dan penyakit kelamin. Begitu pula seorang laki-
laki, ia tidak boleh membohongi istrinya dalam hal nasab maupun kekayaan. Hal-hal
tersebut harus dipaparkan sejujur-jujurnya terlebih dahulu sebelum pernikahan dilakukan.
Diibaratkan seperti halnya seorang pedagang untuk jujur dalam memaparkan kekurangan
dagangannya kepada si pembeli. Kejujuran ini tidak hanya berlaku bagi pihak laki-laki,
tetapi berlaku juga bagi pihak perempuan.
Ketika seseorang menikah, kemudian mendapatkan kekurangan yang tidak ia sukai
dari pasangannya (karena tidak jujur sebelumnya), maka ia diperbolehkan untuk
membatalkan pernikahannya dan mengambil kembali mahar yang telah diberikannya.
4. Makruh
8
Menikah hukumnya menjadi makruh, apabila seseorang tidak akan mampu untuk
menafkahi istrinya secara lahir maupun bathin dan tidak ada keinginan untuk menikah
(lemah syahwat).
Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi,
namun dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan
oleh istrinya, dikarenakan keadaan istri yang sudah kaya, atau tidak terlalu membutuhkan
terjadinya hubungan suami-istri antara keduanya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Dan kemungkinan seorang istri
tidak akan mendapatkan nafkah bathin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya
tidak membutuhkannya, dan tidak terlalu tertarik dengan wanita.
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah, tetapi tidak
punya harta yang cukup, maka baginya menikah adalah makruh. Adapun seseorang yang
mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama
berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya
untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan mayoritas ulama
Syafi’iyah.
Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah
dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Karena
barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti
memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya,
menemaninya ngobrol atau berdiskusi dan lain-lainnya. Karena menikah tidak mesti
“melulu” melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang
suami-istri selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin
hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.
5. Mubah
9
Menikah hukumnya menjadi mubah, apabila faktor-faktor yang mengharuskan
maupun menghalangi dilaksanakannya pernikahan tidak ada pada diri seseorang.
Maksudnya adalah jika seseorang berada dalam keadaan stabil, sekiranya ia tidak khawatir
terjerumus ke dalam perzinaan jika tidak menikah, dan juga tidak khawatir akan berbuat
zalim kepada istrinya jika menikah.
2.2. Kriteria Calon Suami Istri
Islam dengan syariat dan sistemnya yang komprehensif telah menetapkan kaidah-
kaidah dan kriteria bagi para calon suami istri. Bila kaidah dan kriteria tersebut dipegang
teguh oleh manusia, niscaya pernikahannya akan diwarnai dengan kasih sayang, saling
memahami, saling toleransi, dan saling mencintai. Dan keluarga akan berada dipuncak
keimanan yang kokoh, akhlak yang lurus, tubuh dan jiwa yang tenang.
Seorang istri merupakan komponen paling penting didalam sebuah keluarga, ibarat
tempat tinggal dan kebun bagi suami, ia adalah kekasih dalam mengarungi kehidupan, dan
pelabuhan hati. Karena dari rahimnya anak-anak dilahirkan kemudian mereka mewarisi
berbagai macam sifat dan keistimewaan. Dan dalam rengkuhan seorang istri, maka naluri
dan akhlak seorang anak dapat terbina dengan baik. Begitu pula dengan agama dan jiwa
sosialnya. Oleh karena itu, Islam selalu menekankan pentingnya suami memilih istri yang
sholehah, dan menjadikannya sebaik-baik perhiasan dunia, begitu pula sebaliknya.
Berikut ini adalah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon
istri atau suami :
2.2.1. Kriteria memilih calon Istri
a. Taat beragama dan berakhlak baik
Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena
wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai seorang istri
dan ibu. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menikahi perempuan atas dasar
kecantikannya bisa jadi akan menjerumuskannya kepada kehancuran, dan jangan pula
kalian menikahi perempuan atas dasar kekayaannya semata, karena harta hanya akan
mengarahkanmu kepada keburukan dan aniaya. Akan tetapi, nikahilah perempuan atas
10
dasar agamanya. Sesungguhnya budak yang buruk rupa, tapi agamanya lebih baik maka
itu lebih utama untuk dinikahi.” (HR. Ibnu Majah)
Kemudian dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau
bersabda, “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah perempuan yang memiliki
pemahaman agama yang baik, niscaya kamu beruntung.” (HR.Bukhari)
Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan,
bahkan kecantikan sekalipun. Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan
berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, begitu juga ia akan taat kepada suaminya.
b. Berasal dari lingkungan (keluarga) yang baik.
Biasanya seseorang yang berasal dari lingkungan (keluarga) yang baik, akan
memiliki sifat emosional yang stabil, tidak temperamental, serta tidak berperilaku aneh
sehingga ia layak untuk menjalankan perannya dalam mengasihi dan menyayangi anak-
anaknya dan memenuhi hak suaminya. Pada dasarnya, seseorang yang memiliki perilaku
yang baik maka ia akan menerapkan perilaku itu dimanapun ia berada.
Rasulullah saw bersabda, “Manusia ibarat tambang, sebagaimana tambang emas
dan perak, yaitu standar kebaikan seseorang yang berlaku pada masa jahiliah sama
seperti kebaikan yang diterapkan pada masa Islam, jika mereka mengerti (tentang
Islam).” (HR. Bukhari)
c. Subur secara reproduksi (tidak mandul)
Salah satu tujuan utama pernikahan adalah memperbanyak keturunan. Oleh karena
itu, dianjurkan bagi suami untuk mencari istri yang dapat melahirkan (subur). Hal ini dapat
diketahui dari kesehatan reproduksinya, yang biasa dianalogikan kepada kesehatan
reproduksi keluarganya, baik saudara maupun kerabat perempuannya yang lain.
11
Suatu ketika, seorang laki-laki melamar perempuan mandul. Ia pun berkata kepada
Rasulullah saw, “Aku telah melamar seorang perempuan yang cantik dan terhormat, tapi ia
mandul.” Maka Rasulullah saw, melarangnya untuk melanjutkan lamaran tersebut. Lalu
Beliau bersabda, “Nikahilah perempuan yang lemah lembut dan subur karena pada hari
Kiamat kelak, aku akan membanggakan kepada para nabi atas banyaknya jumlah kalian.”
d. Cantik parasnya
Salah satu fitrah manusia adalah mencintai keindahan atau kecantikan. Manusia
akan merasa ada sesuatu yang tercabut dari diri mereka jika mereka harus berjauhan
dengan segala bentuk keindahan. Bagi manusia, kecantikan dapat menghadirkan perasaan
tenang dan bahagia. Karena itu, Islam tidak menafikan kecantikan sebagai salah satu
kriteria yang perlu diperhatikan dalam memilih istri. Disamping itu wanita yang
dianugerahi Allah kecantikan luar dan dalam tentu lebih menyenangkan sang suami, agar
suami nanti tidak tergoda dengan wanita yang lain
Didalam sebuah hadits sahih, Rasulullah saw bersabda, “Allah itu indah dan
menyukai keindahan.”
Mugirah bin Syu’bah r.a. bermaksud melamar seorang perempuan. Ia
mengungkapkan keinginannya tersebut kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah
bersabda, “Pergilah untuk melihat parasnya lebih dulu, sesungguhnya hal ini lebih
berpotensi untuk dapat melanggengkan (kasih sayang) diantara kalian berdua.”
e. Perawan
Laki-laki yang hendak menikah sebaiknya memilih istri yang masih perawan
karena ia cenderung masih polos dan belum pernah menjalin hubungan dengan laki-laki
lain, sehingga ikatan pernikahan menjadi kuat dan cinta yang ia berikan kepada suaminya
lebih tulus. Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, ”Hendaklah kalian
menikahi wanita yang masih gadis karena ia lebih manis tutur-katanya, lebih banyak
keturunan nya , lebih kecil kemungkinan berkhianat dan lebih bisa menerima pemberian
yang sedikit '” ( HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi)
12
Ketika Jabir bin Abdullah r.a. menikahi seorang janda, Rasulullah SAW bersabda,
“Mengapa bukan perawan sehingga kamu dapat bercumbu (lebih mesra) dengannya;
begitu pula sebaliknya.” (HR. Bukhari)
f. Usia yang tidak terpaut jauh
Satu hal yang harus diperhatikan laki-laki terhadap calon istrinya adalah kedekatan
dalam hal umur, kedudukan sosial, jenjang keilmuan, dan ekonomi. Kedekatan dalam
beberapa hal itu dapat membantu kelanggengan rumah tangga.
Ketika Abu Bakar dan Umar bin Khattab r.a. melamar Fathimah binti Rasulullah
SAW, beliau menolaknya seraya bersabda, “Ia masih terlalu kecil.” Dan ketika Ali
melamarnya, Rasulullah langsung menikahkan mereka.
g. Murah Mas-kawinnya
Maskawin atau mahar adalah suatu kewajiban yang akan diberikan sang suami
kepada sang istri, agar menjadi sah untuk melakukan hubungan badan, namun dalam
memberikan mahar atau maskawin hendaknya memilih yang ringan-ringan saja dan itu
merupakan ciri-ciri wanita yang baik, seperti dikatakan Rasulullah SAW : “salah satu
keberkahan wanita ialah cepat perkawinanya, cepat pula mengandungnya (yakni
melahirkan anaknya) dan ringan maharnya”.
Begitulah tuntunan Islam kepada laki-laki yang akan menikah dalam memilih istri
sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dan petunjuk menjalankan roda kehidupan.
Jika saja setiap orang memerhatikan dan melaksanakan tuntunan dalam memilih
istri sebagaimana telah disebutkan diatas, maka sangat memungkinkan baginya untuk
membina keluarga surgawi, dimana anak-anak dan suami-istri dapat merasakan
kesenangan dan kebahagiaan. Dari itu, lahirlah generasi-generasi shaleh dengan kehidupan
yang lebih baik dan penuh kemuliaan.
13
2.2.2. Kriteria memilih calon Suami
a. Islam dan taat beragama
Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih
calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia
dan akhirat kelak.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
�ك�حوا و�ال �ن �ات� ت ر�ك �مش� ؤ�م�ن� ح�ت�ى ال �ةg و�ألم�ةg ي �رg مؤ�م�ن ي �ة� م�ن� خ� ر�ك �و� مش� م� و�ل �ك �ت ب �ع�ج� و�ال أ�ك�حوا ن �ين� ت ر�ك �مش� وا ح�ت�ى ال ؤ�م�ن �دg ي �ع�ب �رg مؤ�م�نg و�ل ي ر�ك� م�ن� خ� و� مش� م� و�ل�77 �ك ب �ع�ج� ك� أ �ئ�77 ول أ�د�عون� �ل�ى ي �ار� إ �ه الن �د�عو و�الل �ل�ى ي �ة� إ ن �ج� ة� ال �م�غ�ف�ر� ه� و�ال �ذ�ن�7 �إ �ن ب �ي ب ه� و�ي �ات�7 اس� آي �لن�7 �هم� ل �ع�ل ل
ون� �ر �ذ�ك �ت (٢٢١) ي
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
(Al-Baqarah : 221)
b. Berilmu dan berakhlak baik
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka
Islam memberi anjuran agar memilih suami yang berakhlak yang baik, shalih, dan taat
beragama dan juga berilmu. Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang
mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah
tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan
dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan
kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban-
kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin
kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah.
Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan
ketakwaannya, seorang laki-laki datang kepada Hasan bin Ali r.a. dan bertanya, “Aku
14
memiliki seorang anak perempuan. Dengan siapa sebaiknya aku menikahkannya?” Hasan
bin Ali r.a. menjawab, “Nikahkanlah ia dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah
SWT, karena jika ia mencintainya, maka ia akan memuliakannya. Dan jika ia
membencinya, maka ia tidak akan pernah menzaliminya.”
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang menikahkan anak perempuannya
dengan seorang yang fasik, maka ia telah memutuskan silaturahminya (dengan anak
perempuannya itu).”
Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati
kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya,
misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya. Demikianlah ajaran Islam dalam
memilih calon pasangan hidup. Betapa sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap
langkah amalannya dengan tuntunan yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan
akhiratnya.
2.3. Khitbah (Peminangan)
1. Pengertian Khitbah
Khitbah atau pinangan secara bahasa berasal dari kata خطب- يخطب- خطبا yang berarti permintaan atau peminangan, Sedangkan menurut istilah khitbah didefinisikan
dengan beberapapengertian antara lain:
a. Sayyid Sabiq, mengartikan bahwa khitbah adalah memintanya untuk dapat dikawini
dengan perantaraan yang dikenal baik di antara manusia.
b. Abu Zahrah, mendefinisikan khitbah dengan permintaan seorang laki-laki kepada wali
atau seorang perempuan dengan maksud untuk mengawini perempuan itu.
c. Zakaria al-Anshari, mengatakan bahwa khitbah adalah permintaan pelamar untuk
menikah kepada pihak tunangan.
Para ulama fiqh, medefinisikan khitbah sebagai keinginan pihak perempuan
menyebarluaskan pertunangan tersebut. Dari beberapa pengertian khitbah di atas, maka
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa khitbah adalah permintaan yang mengandung akad
(perjanjian) dari seorang laki-laki terhadap seorang perempuan untuk melangsungkan akad
15
nikah, baik secara langsung maupun melalui walinya, dengan cara-cara yang sudah umum
berlaku dalam masyarakat setempat. Dari situ nampak jelas bahwa khitbah atau tunangan
selalu datang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, baik dilakukan secara langsung
oleh si peminang maupun diwakilkan kepada walinya.
Khitbah hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan
pengantar kesana. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh
karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang
telah ditentukan oleh syariat.
2. Dasar Hukum Peminangan (Khitbah)
Adapun yang menjadi landasan dilaksanakannya khitbah adalah Surat al-Baqarah ayat 235 :
�اح� و�ال ن م� ج �ك �ي م� ف�يم�ا ع�ل ض�ت �ه� ع�ر� �ة� م�ن� ب اء� خ�ط�ب �س� و� الن� م� أ �ت �ن �ن �ك م� ف�ي أ ك �فس� �ن �م� أ ه ع�ل الل�77
م� �ك �ن �هن� أ ون ر �ذ�ك ت �ك�ن� س� و�اع�دوهن� ال و�ل ا ت ر} (٢٣٥).... س�
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut mereka secara rahasia....”
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan
ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang
harmonis. Tunangan hanya langkah awal menuju tali pernikahan. Namun sebagian ulama
cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah, dengan alasan akad nikah adalah akad
luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain, sehingga sebelumnya disunahkan khitbah
sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju rumah
tangga yang lebih mantap.
3. Syarat-Syarat Khitbah
Meskipun sebagian besar ulama tidak menghukumi wajib terhadap khitbah, akan
tetapi di dalam khitbah mengandung suatu akad (perjanjian) antara pihak laki-laki dan
pihak perempuan, sehingga dalam melakukankhitbah harus melalui syarat-syarat yang
16
telah ditetapkan oleh syari’at. Fiqh Islam telah menjelaskan mengenai syarat-syarat sahnya
khitbah, yaitu:
a. Syarat Lazimiah
1. Perempuan yang akan dipinang tidak termasuk mahram dari laki-laki yang
meminangnya, baik mahram nasab, mahram mushaharah, maupun mahram radla’ah
(sepersusuan).
2. Perempuan yang akan dipinang belum dipinang oleh laki-laki lain, kecuali laki-laki
yang telah meminangnya telah melepaskan hak pinangannya atau memberikan izin
untuk dipinang oleh orang lain.
3. Perempuan yang akan dipinang tidak dalam keadaan ‘iddah.
Selain syarat yang ketiga ini masih ada beberapa ketentuan yang berkaitan dengan
keadaan iddah seorang wanita, yaitu:
a) Perempuan yang dalam keadaan iddah raj’i (talak satu), tidak boleh dipinang
karena yang berhak merujuknya adalah bekas suaminya.
b) Perempuan yang berada dalam masa iddah wafat (ditinggal mati suaminya) boleh
dipinang tetapi dengan sindiran.
c) Perempuan dalam masa iddah bain sugra boleh dipinang oleh bekas suaminya.
d) Perempuan dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang oleh bekas suaminya,
setelah perempuan itu kawin dengan laki-laki lain, didukhul dan diceraikan.
Kesimpulan dari beberapa keadaan iddah seorang wanita, maka khitbah secara
“terang-terangan” kepada perempuan yang sedang berada pada masa iddah adalah haram,
sedangkan khitbah dengan “sindiran” diperbolehkan untuk wanita yang berada pada masa
iddah wafat dan iddah bain kubra, tetapi haram ditujukkan kepada perempuan dalam masa
iddah raji’ dan iddah bain sugra
b. Syarat Mustahsinah
17
Maksud dari syarat mustahsinah disini adalah syarat tambahan yang apabila
dipenuhi akan mendapat kebaikan dari perbuatan yang disyaratkan. Syarat mustahsinah
tidak harus dipenuhi dalam khitbah, tetapi lebih bersifat anjuran kepada seorang laki-laki
yang akan meminang seorang perempuan, agar rumah tangga yang akan dibangunnya
berjalan dengan sebaik-baiknya. Termasuk dalam syarat-syarat mustahsinah antara lain :
1. Sejodoh (kafa’ah)
2. Subur dan mempunyai kasih sayang
3. Masing-masing pihak hendaknya mengetahui keadaan jasmani dan budi pekerti dari
keduanya, sehingga tidak timbul penyesalan di kemudian hari.
Demikianlah syarat-syarat yang terdapat dalam khitbah (peminangan), baik syarat yang
bersifat umum maupun yang berupa anjuran.
3. Akibat-akibat sesudah terjadiya Khitbah
Khitbah atau peminangan merupakan langkah awal dalam proses pernikahan.
Dimana melalui khitbah ini seorang yang meminang dan yang dipinang dapat mengenal
lebih dalam, sehingga kelak setelah menjadi suami isteri tidak menimbulkan penyesalan
serta kekecewaan di kedua belah pihak.
Secara prinsip khitbah (peminangan) seorang laki-laki terhadap seorang perempuan
belum berakibat hukum, sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Bab III, pasal 13 tentang Peminangan, sebagai berikut, “ Pinangan belum menimbulkan
akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan. Kebebasan
memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan
tuntutan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling
menghargai”
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa khitbah atau peminangan tidak
mempunyai akibat hukum. Akan tetapi ketika khitbah telah dilakukan, maka timbul
konsekuensi dari khitbah tersebut, yaitu:
18
a. Meskipun khitbah tidak berakibat hukum, tetapi perempuan yang telah dipinang
oleh seorang laki-laki dan telah diterimanya, maka tidak boleh dipinang oleh laki-
laki lain, karena khitbah yang pertama menutup hak khitbah orang lain, kecuali jika
diizinkan oleh laki-laki pertama. Bahkan jumhur ulama mengharamkan meminang
perempuan yang telah dipinang oleh orang lain.
b. Setelah terjadi khitbah maka laki-laki yang meminang boleh melihat muka dan
tangan perempuan yang dipinangnya serta saling mengenali antara keduanya.
Dalam istilah Arab disebut nadhar dan ta’aruf,. Pernikahan dalam Islam didasarkan
pada kerelaan, kesukaan, serta persetujuan dari kedua belah pihak. Maka dari itulah
diperlukan bagi masing-masing pihak untuk melakukan nadhar dan ta’aruf,
sehingga setelah menikah terhindar dari kemungkinan terjadinya kekecewaan.
Dari Mu’adz bin Jabir, Rosulullah saw bersabda: “……Bila seseorang
diantara kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan
mendorong untuk menikahinya, maka lakukanlah…….” Meskipun hadis Nabi
menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batas-batas yang
boleh dilihat, pendapat yang paling masyhur adalah melihat muka dan telapak
tangan saja, karena dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya dan
dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui kehalusan tangannya.
c. Akad khitbah tidak berarti akad nikah sehingga laki-laki dan perempuan yang
melakukan khitbah tidak boleh bergaul seperti layaknya suami istri.
d. Kedua belah pihak juga tidak boleh ber-khalwat di tempat-tempat yang sepi,
kecuali ditemani oleh mahramnya sehingga tidak ditakutkan akan terjadi sesuatu
yang tidak diperbolehkan.
Jabir r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
منها محرم ذو معها ليست بامرأة يخلون فال اآلخر واليوم بالله يؤمن كان منالشيطان ثالثهما فإن
19
“Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan
perempuan, kecuali ditemani oleh mahramperempuan itu, jika tidak maka pihak yang ketiga
adalah setan” (HR.Bukhari)
Recommended