View
221
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 205
IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN
MATEMATIKA REALISTIK DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Utami Murwaningsih, Erika Laras Astutiningtyas
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
E-mail: utamimurwaningsih@yahoo.co.id
ABSTRAK
Tujuan penelitian: (1) Terlaksananya pengujian teoretis perangkat pembelajaran dengan
pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama, (2) Melakukan
penilaian ahli terhadap perangkat pembelajaran, (3) Melakukan uji terbatas keterbacaan dan
simulasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu, (4) Melakukan uji coba terbatas perangkat
pembelajaran dan instrumen penelitian, dan (5) Menghasilkan perangkat pembelajaran di Sekolah
Menengah Pertama.Metode penelitian adalah pengembangan model 4-D (four D model) . Subjek
uji coba terbatas perangkat pembelajaran adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Sukoharjo tahun
pelajaran 2012/ 2013. Hasil penelitian: (1) Perangkat pembelajaran dengan pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama telah teruji secara teoretis, (2)
Perangkat pembelajaran telah dinilai ahli dengan nilai tiga atau dapat digunakan dengan sedikit
revisi, (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu telah diuji terbatas keterbacaan dan
disimulasikan, (4) Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian telah diuji coba terbatas,dan
(5) Dihasilkan pengembangan perangkat pembelajaran pada materi Aljabar di kelas VII SMP.
Kata kunci:perangkat pembelajaran, pendekatan pembelajaran matematika realistik
PENDAHULUAN
Salah satu ciri penting matematika adalah memiliki objek abstrak, sehingga kebanyakan
siswa menganggap bahwa matematika itu sulit. Menurut Soedjadi (1999: 41), sifat abstrak
tersebut merupakan salah satu penyebab sulitnya seorang guru mengajarkan matematika sekolah.
Namun sebagai seorang guru, harus berusaha mengurangi sifat abstrak tersebut sehingga
memudahkan siswa menangkap materi yang diberikan. Sebagai guru perlu memahami cara-cara
penyampaian materi pelajaran. Di samping penguasaan materi, cara menyajikan atau
menyampaikan materi matematika merupakan syarat mutlak yang harus dikuasai seorang guru
matematika. Standar proses pembelajaran yang ditetapkan pemerintah melalui Permendiknas No.
41 tahun 2007 yaitu, mendorong siswa dan guru melakukan aktivitas eksplorasi, elaborasi, dan
konfirmasi.
Kenyataan yang ada di SMP Negeri 2 Sukoharjo, pembelajaran matematika masih
menggunakan pembelajaran secara konvensional, yaitu pembelajaran yang dimulai dari definisi
atau teorema, contoh soal dan dilanjutkan dengan latihan soal penerapan dalam masalah yang
menyangkut kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan pembelajaran berpusat pada guru (guru aktif
dan siswa pasif). Guru aktif menyampaikan informasi dan siswa pasif menerima. Kesempatan
bagi siswa untuk melakukan refleksi dan negosiasi melalui interaksi antara siswa dengan siswa,
dan siswa dengan guru kurang dikembangkan. Pembelajaran tersebut tidak memberi kedempatan
kepada siswa untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan menemukan berbagai alternatif
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
206 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
pemecahan masalah. Pada akhirnya siswa menghafalkan saja semua rumus atau konsep tanpa
memahami maknanya dan tidak mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang
menggunakan masalah-masalah kontekstual (contextual problems) sebagai langkah awal dalam
proses pembelajaran. Siswa diminta mengorganisasikan dan mengidentifikasikan aspek-aspek
matematika yang terdapat pada masalah tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mendeskripsikan,
menyederhanakan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual tersebut menurut
cara mereka sendiri baik secara individu maupun kelompok, berdasarkan pengalaman atau
pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Kemudian dengan atau tanpa bantuan guru, para
siswa diharapkan dapat menggunakan masalah kontekstual tersebut sebagai sumber munculnya
konsep atau pengertian-pengertian matematika yang meningkat abstrak (Soedjadi, 2001:3).
Menurut Marpaung (2001: 4 – 5), PMR ini memiliki prospek lebih berhasil untuk
diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, seperti pendekatan
strukturalistik, empiristik dan mekanistik. Karena pendekatan strukturalistik, bagi siswa terlalu
abstrak, sehingga sangat sedikit siswa yang mampu memahami struktur itu. Pendekatan
empiristik, lebih mudah diterima siswa, tetapi kurang berarti dalam kemampuan matematis, sebab
kurang memuat komponen matematika vertikal. Pendekatan mekanistik boleh dikatakan tidak ada
maknanya dilihat dari sudut matematika, karena kurang menanamkan pengertian. Sedangkan
PMR bertolak dari masalah-masalah yang kontekstual, siswa aktif, guru berperan sebagai
fasilitator, anak bebas mengeluarkan idenya, siswa sharing ide-idenya, artinya mereka bebas
mengkomunikasikan ide-idenya. Guru membantu membandingkan ide-ide dan membimbing
untuk mengambil keputusan tentang ide mana yang lebih baik. Sehingga, dalam PMR
pembelajaran tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat kemudian dilanjutkan dengan
contoh-contoh, seperti yang selama ini dilaksanakan di berbagai sekolah. Namun sifat-sifat,
definisi dan teorema itu diharapkan seolah-olah ditemukan kembali oleh siswa melalui
penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran. PMR mendorong
siswa untuk aktif bekerja, bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang
diperolehnya.
De Lange (1987: 72), mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses “conceptual
mathematizing” atau matematisasi konseptual, yang dapat digambarkan seperti pada Gambar 1
berikut.
Gambar 1Matematisasi Konseptual (Conceptual Mathematizing)
(a)
(b) (c)
(d) Real World
Mathematizing and Reflection Mathematizing in Aplication
Abtraction and Formalization
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 207
Berdasar uraian di atas, pembelajaran matematika perlu diarahkan pada aktivitas-aktivitas
yang mendorong siswa untuk belajar secara aktif baik mental, fisik maupun sosial. Salah satu
upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengaitkan konsep-konsep matematika dengan
pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pendekatan pembelajaran yang
berorientasi pada pembelajaran siswa aktif dan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-
hari adalah pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
Penelitian pengembangan perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran
Matematika Realistik yang telah dilaksanakan peneliti pada tahun pertama, telah menghasilkan:
(1) Penetapan dan pendefinisian segala sesuatu yang diperlukan dalam pembelajaran, dengan
menganalisis tujuan dan batasan materi pelajaran; (2) Perancangan perangkat pembelajaran
sehingga diperoleh prototipe perangkat pembelajaran contoh yang meliputi (a) penyusunan tes
beracuan patokan, (b) pemilihan media, (c) pemilihan format dan (d) perancangan awal bahan ajar
matematika dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik yang meliputi: (1) Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran, (2) Buku Siswa, (3) Lembar Kerja Siswa, (4) Buku Petunjuk Guru dan
(5) Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa, pada materi Aljabar di kelas VII SMP.
Peneliti perlu melanjutkan penelitian tahun kedua yang akan melakukan uji terbatas
terhadap perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan pada tahun pertama. Penelitian tahun
kedua ini didasarkan atas dua pertimbangan. Pertimbangan pertama, bahwa pengembangan
perangkat pembelajaran yang dilakukan pada tahun pertama belum dilakukan expert judgement
yang menilai kualitas perangkat pembelajaran yang telah dihasilkan, sehingga ada perbaikan
sebelum diuji cobakan. Pertimbangan kedua, bahwa pengembangan perangkat pembelajaran yang
dilakukan pada tahun pertama baru pada tahap pendefinisian dan perancangan perangkat
pembelajaran, belum di uji cobakan, sehingga perlu penelitian tahun kedua yaitu tahap
pengembangan.
Berdasar latar belakang masalah, dirumuskan tujuan khusus penelitian tahun kedua sebagai
berikut: (1) Terlaksana pengujian teoretis perangkat pembelajaran dengan pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama, (2) melakukan penilaian ahli
terhadap perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di
Sekolah Menengah Pertama, (3) melakukan uji terbatas keterbacaan dan simulasi Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran tertentu, (4) melakukan uji coba terbatas perangkat pembelajaran dan
instrumen penelitian, dan (5) menghasilkan perangkat pembelajaran dengan pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama.
METODE PENELITIAN
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini tergolong penelitian pengembangan,
yaitu pengembangan perangkat pembelajaran matematika realistik, meliputi: (1) Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran, (2) Buku Siswa, (3) Lembar Kerja Siswa, (4) Buku Petunjuk Guru dan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
208 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
(5) Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa, pada materi Aljabar di kelas VII SMP. Bersamaan
denganitu dikembangkan pula instrumen penelitian berupa: (1) Lembar Penilaian Validator
Terhadap Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian, (2) Lembar Observasi Kemampuan
Guru Mengelola Pembelajaran,(3) Lembar Observasi Aktivitas Siswa Selama Mengikuti Proses
Pembelajaran,(4)Lembar Angket Respon Guru Terhadap Perangkat dan Pelaksanaan
Pembelajaran dan (5) Lembar Angket Respon Siswa Terhadap Perangkat dan Pelaksanaan
Pembelajaran.
Model pengembangan yang digunakan adalah dengan memodifikasi model 4-D (Four D
model) dari Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974: 5-9). Prosedur pengembangan perangkat
pembelajaran terdiri dari tiga tahap, yaitu:a) pendefinisian (define),b) perancangan (design), c)
pengembangan (develop), dan (d) penyebaran (desseminate), sebagaimana terlihat pada Gambar 2
berikut.
Keterangan: : garis pelaksanaan
: garis siklus yang mungkin dilaksanakan
: garis hasil kegiatan
: kegiatan
: hasil kegiatan
Tahun II : (draf IV/ draf I yang telah direvisi) perangkat pembelajaran dengan pendekatan
pembelajaran matematika realistik di Sekolah Menengah Pertama yang telah di uji
coba terbatas
Gambar 2. Modifikasi Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran dari Model 4-D (Four D
Model)
Pen
gem
ba
nga
n (
dev
elo
p)
Ta
hu
n I
I
Validasi Ahli
Revisi
Uji Terbatas Keterbacaan
& Simulasi RPP Tertentu
Revisi
Uji Coba Terbatas Perangkat
Pembelajaran
Analisis
Analisis
Revisi
Draft I
Draft II
Draft III
Draft IV
Analisis
Hasil Penilaian, ko-
reksi dan saran per-
baikan dari Ahli
Data hasil Uji Terbatas Keter-
bacaan & Simulasi RPP Tertentu
Data hasil Uji Coba Terbatas
Perangkat Pembelajaran
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 209
HASIL DAN PEMBAHASAN
Semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian yang telah disusun dalam bentuk
draft I (hasil penelitian tahun I), selanjutnya dilakukan penilaian oleh ahli (validator). Hasil
validasi yang sudah dilakukan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel1 Daftar Nama Validator Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian
No Nama Validator Pekerjaan Keterangan
1. Dr. Herry Agus
Susanto, M.Pd.
Dosen Pend. Matematika
Univet Bantara Sukoharjo
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Penelitian
2.
Joko Sungkono,
S.Si.M.Sc.
Dosen Pend. Matematika
Universitas Widya Dharma
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Penelitian
3.
Dra. Dewi
Susilowati, M.Pd.
Dosen Pend. Matematika
Univet Bantara Sukoharjo
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Penelitian
4.
Sri Hutomo,
S.Pd.M.Pd.
Guru Matematika Kelas VIII
SMP Negeri 2 Sukoharjo
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Tes Hasil Belajar
5.
Sumaryani, S.Pd.
Guru Matematika Kelas IX
SMP Negeri 2 Sukoharjo
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Tes Hasil Belajar
6. Dwi Agus Sri
Kuncoro, S.Pd.
Guru Matematika Kelas VII
SMP Negeri 2 Sukoharjo
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Tes Hasil Belajar
7.
Kenang Tri
Hatmo, S.
Pd.M.Pd.
Guru Bahasa Indonesia Kelas
IX SMP Negeri 2 Sukoharjo
Validator Khusus Bahasa pada
Perangkat Pembelajaran dan
Instrumen Penelitian
Tabel 2 Hasil Penilaian Umum Validator terhadap Perangkat Pembelajaran
No Perangkat Yang Dinilai
Banyak Validator
Memberi Nilai
1 2 3 4
1. Buku Siswa (BS) 0 0 5 1
2. Lembar Kerja Siswa (LKS) 0 0 0 6
3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 0 0 6 0
4. Buku Petunjuk Guru (BPG) 0 0 3 3
5. Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa (Kisi-kisi, Lembaran
Soal, Alternatif Jawaban dan Pedoman Pemberian Skor)
0 0 6 0
Keterangan nilai:
1 : Sangat tidak baik, sehingga belum dapat dipakai, masih memerlukan konsultasi
2 : Tidak baik, tetapi dapat dipakai dengan banyak revisi
3 : Baik, sehingga dapat dipakai tetapi dengan sedikit revisi
4 : Sangat baik, sehingga dapat dipakai tanpa revisi
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
210 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Tabel 3Hasil Penilaian Umum Validator terhadap Instrumen Penelitian
No Instrumen Yang Dinilai
Banyak Validator
Memberi Nilai
1 2 3 4
1. Lembar Observasi Kemampuan Guru Mengelola
Pembelajaran
0 0 5 1
2. Lembar Observasi Aktivitas Siswa 0 0 4 2
3. Lembar Angket Respon Guru Terhadap Perangkat dan
Pelaksanaan Pembelajaran
0 0 2 4
4. Lembar Angket Respon Siswa Terhadap Perangkat
dan Pelaksanaan Pembelajaran
0 0 2 4
5. Lembar Penilaian Validator Terhadap Perangkat dan
Instrumen Penelitian
0 0 1 5
Keterangan nilai:
1:Sangat tidak baik, sehingga belum dapat dipakai, masih memerlukan konsultasi
2:Tidak baik, tetapi dapat dipakai dengan banyak revisi
3:Baik, sehingga dapat dipakai tetapi dengan sedikit revisi
4:Sangat baik, sehingga dapat dipakai tanpa revisi
Pada umumnya para validator memberikan catatan dan saran perbaikan RPP ini pada
komponen: (a) alokasi waktu, (b) apersepsi dan motivasi, (c) pengkodean SK, KD, dan indikator
(d) perkiraan waktu untuk setiap kegiatan, dan (e) beberapa kesalahan penulisan/ejaan. Namun
demikian revisi terhadap RPP pada tahap ini hanya peneliti lakukan terhadap: apersepsi dan
motivasi, pengkodean SK, KD, dan indikator dan kesalahan penulisan/ejaan. Untuk revisi
terhadap alokasi waktu dan perkiraan waktu akan peneliti lakukan setelah pelaksanaan uji
keterbacaan dan simulasi RPP tertentu.
Saran perbaikan Buku Siswa ini pada komponen: (a) Penomoran (b) Beberapa kesalahan
hitung dan (c) kesalahan penulisan/ejaan. Secara umum LKS dinilai baik dan sangat baik oleh
validator, sehingga bisa digunakan tanpa revisi. Validator menilai penampilan LKS menarik,
mudah dipahami, dan telah sesuai dengan langkah-langkah pendekatan pembelajaran matematika
realistik. Tetapi ada sedikit revisi di penulisan tanda seru (!) pada perintah soal. Sesuai saran
validator, tanda seru (!) tersebut dihilangkan, sehingga tidak rancu antara tanda seru atau simbol
faktorial (!) yang ada di matematika. Pada LKS ini sebagian besar soal untuk kegiatan siswa telah
diberikan petunjuk yang sangat detail, hal ini membuat siswa malas dalam berpikir dan cenderung
membatasi kreativitasnya. Sebaiknya proporsi soal yang diberi petunjuk langkah demi langkah
dikurangi, sedangkan soal yang tanpa ditertai petunjuk langkah-langkah pengerjaan ditambah. Hal
ini akan menuntut siswa berpikir secara kritis.
Koreksi, saran dan masukan para validator terhadap buku petunjuk guru umumnya berupa:
(a) pencantuman alokasi waktu dan tujuan, dan (b) materi dan perintah soal diperjelas. Saran
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 211
validator terhadap perangkat tes hasil belajar umumnya berupa: (a) kesesuaian penulisan butir
soal dengan indikatornya, (b) pengurutan soal, dan (c) koreksi terhadap kesalahan penulisan pada
beberapa soal, alternatif jawaban dan pedoman pemberian skor
Revisi terhadap instrumen penelitian pada tahap ini hanya peneliti lakukan dengan
membetulkan beberapa kesalahan penulisan/ pengetikan/ ejaan pada beberapa instrumen
penelitian sesuai dengan koreksi, saran dan masukan dari beberapa validator.
Setelah semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian draft I tersebut direvisi
menjadi dratf II, selanjutnya dilakukan uji keterbacaan dan simulasi RPP tertentu. Tujuan
kegiatan uji keterbacaan dan simulasi RPP tertentu ini adalah untuk memperoleh masukan apakah
semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian dapat jelas dibaca dan dipahami serta
dapat dilaksanakan di lapangan. Idealnya semua RPP dapat diujicobakan pada kegiatan ini.
Namun karena keterbatasan waktu, sehingga hanya dua RPP, yaitu RPP I dan RP II yang sempat
diujicobakan. Kegiatan ini telah dilaksanakan selama tiga hari dengan jadwal kegiatan
sebagaimana tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4 Jadwal Kegiatan Uji Keterbacaan dan Simulasi RPP Tertentu
No. Hari/Tanggal Jam Jenis Kegiatan Keterangan
1.
2.
3.
Selasa,
12 Maret
2013
Sabtu,
16 Maret
2013
Senin,
18 Maret
2013.
09.15-
10.35
07.30-
09.45
09.45-
11.15
Uji keterbacaan
Simulasi RPP I
Simulasi RPP II
a. Semua siswa yang menjadi subjek
uji keterbacaan diminta membaca
semua kalimat yang terdapat pada:
Buku Siswa, LKS, Lembar Soal Tes
dan Lembar Angket Respon Siswa,
kemudian menanyakan kalimat-
kalimat yang kurang dipahami.
b. Calon pengamat dan guru mitra
diminta membaca semua kalimat
pada perangkat pembelajaran dan
instrumen penelitian, kemudian
menanyakan kalimat-kalimat yang
kurang mereka pahami.
Selama pelaksanaan simulasi pe-neliti
bertindak sebagai guru (pengajar),
calon guru mitra dan calon pengamat
mengamati dan mengecek kesesuaian
perkiraan waktu yang tercantum pada
RPP dan LKS dengan pelaksanaan
simulasi.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
212 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Berdasarkan paparan hasil uji keterbacaan di atas, maka peneliti memutuskan untuk tidak
melakukan revisi terhadap semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian draft II, tetapi
langsung menggunakannya pada kegiatan simulasi RPP tertentu pada hari berikutnya.
Semua data hasil pelaksanaan simulasi RPP I dan RPP II tersebut peneliti gunakan sebagai
bahan diskusi dengan calon pengamat dan guru mitra untuk merevisi perangkat pembelajaran dan
instrumen penelitian draft II menjadi draft III. Dari hasil diskusi itu diperoleh masukan (data)
sebagai berikut. (1) Berdasarkan jadwal pelajaran yang berlaku di sekolah itu (SMP Negeri 2
Sukoharjo) dan juga di beberapa SMP di Sukoharjo, mata pelajaran matematika untuk satu kali
tatap muka adalah dua jam pelajaran (2 x 40 menit). (2) Berdasarkan program semester dan
kebiasaan guru mitra dan calon pengamat bahwa materi itu diajarkan dengan alokasi waktu 15
jam pelajaran dan untuk setiap KD diajarkan selama tiga jam pelajaran.
Berdasarkan paparan data hasil uji keterbacaan dan simulasi RPP I, RPP II serta hasil
diskusi dengan calon pengamat dan guru mitra di atas, peneliti memutuskan untuk melakukan
revisi terhadap semua perkiraan waktu untuk beberapa kegiatan pada semua RPP, perkiraan
waktu pada semua LKS, Buku Siswa halaman 2, Revisi terhadap instrumen Lembar Observasi
Aktivitas Siswa.
Uji coba perangkat pembelajaran di lapangan bertujuan untuk memperoleh data atau
masukan dari guru, siswa dan para pengamat (observer) terhadap semua perangkat pembelajaran
serta untuk mengetahui reliabelitas instrumen lembar observasi, sebagai dasar untuk melakukan
revisi (penyempurnaan) draft III menjadi draft IV (draft final). Berikut ini dipaparkan secara
singkat pelaksanaan dan hasil uji coba perangkat pembelajaran dan hasil analisisnya masing-
masing serta revisi perangkat pembelajaran berdasarkan hasil uji coba di lapangan dengan jadwal
kegiatan sebagaimana tercantum pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Jadwal Kegiatan Uji Coba Perangkat Pembelajaran
No. Hari/Tanggal Jam Jenis Kegiatan Jml Siswa
Hadir
1.
2.
3.
Selasa, 19 Maret 2013
Senin, 8 April 2013
Selasa, 9 April 2013
07.00-08.20
07.40-09.00
08.20-09.40
Uji Coba Perangkat I
(Himpunan)
Postes LTHB Himpunan
36siswa
36 siswa
36 siswa
4.
5.
6.
Selasa, 9 April 2013
Rabu, 10 April 2013
Selasa, 23 April 2013
09.55-11.25
07.00-08.20
08.20-09.40
Uji Coba Perangkat II
(Perbandingan)
Postes LTHB
Perbandingan
36siswa
36 siswa
36 siswa
7.
8.
9.
Selasa, 30 April 2013
Selasa, 7 Mei 2013
Selasa, 4 Mei 2013
07.00-08.20
07.00-08.20
07.00-08.20
Uji Coba Perangkat III
(Aritmatika Sosial)
Postes LTHB Aritmatika
Sosial
36siswa
36 siswa
36 siswa
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 213
Siswa yang menjadi subjek uji coba perangkat ini adalah siswa kelas VII G SMP Negeri 2
Sukoharjo, sebanyak 36 siswa dengan kemampuan akademik yang beragam, ada siswa yang
berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Sebagai guru mitra dan pengamat pada kegiatan ini
dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6 Nama Guru Mitra dan Pengamat pada Kegiatan Uji Coba Perangkat Pembelajaran
No. Nama Pekerjaan Pendidikan
Terakhir Sebagai
1. Dwi Agus Sri
Kuncoro,
S.Pd.
Guru Matematika Kelas
VII SMP Negeri 2
Sukoharjo
S1 Pendidikan
Matematika
Guru Mitra
2. Sumaryani,
S.Pd.
Guru Matematika Kelas
IX SMP Negeri 2
Sukoharjo
S1 Pend.
Matematika
Peneliti/Pengamat
kemampuan guru
3. Januar Budi
Asmari, S.Pd.
Dosen Pendidikan
Matematika Univet
Bantara Sukoharjo
Mhs. S2 Pend.
Matematika PPs
UNS
Pengamat
kemampuan guru
Rancangan yang akan digunakan dalam uji coba perangkat pembelajaran adalah two-group
design. Sampel pertama sebagai kelas eksperimen yang dikenai perangkat pembelajaran dengan
pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik,yaitu kelas VII G, sedangkan sampel kedua
sebagai kelas kontrol yang menggunakan perangkat pembelajaran konvensional, yaitu kelas VII
H. Sebelum dikenai perlakuan, dilakukan uji keseimbangan dengan rumus t-test independent.
Setelah diketahui data tersebut homogenitas dan normal, maka langkah selanjutnya adalah
menghitung data dengan rumus t-test sebagaimana hasil pada Tabel 7.
Berdasarkan tabel 7, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan rerata yang signifikan
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol pada materi aritmatika sosial. Rerata untuk kelas
eksperimen adalah 78,056 sedangkan rerata kelas kontrol adalah 68,778, sehingga prestasi belajar
matematika siswa pada kelas eksperimen lebih baik daripada prestasi belajar siswa pada kelas
kontol. Dengan kata lain, prestasi belajar matematika siswa yang dikenai pembelajaran dengan
pendekatan matematika realistik lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang
dikenai pembelajaran konvensional bagi siswa kelas VII SMP Negeri 02 Sukoharjo pada materi
aritmatika sosial. Demikian juga untuk materi Perbandingan dan Himpunan.
.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
214 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Tabel 7 Hasil Uji Coba Perangkat Pembelajaran dengan Pendekatan PembelajaranMatematika
Realistik terhadap Prestasi Belajar
N
o
Materi Normalitas Homogenitas t-test Keputusa
n
1. Aritmatika
Sosial
a. Eksperimen
b. Kontrol
L= 0,126<
0,148
L= 0,136<
0,148
𝝌𝟐= 1,845 <
3,841
t =3,105 >
1,987
Ho
ditolak
2. Perbandingan
a. Eksperimen
b. Kontrol
L= 0,126<
0,148
L= 0,136<
0,148
𝝌𝟐= 1,845 <
3,841
t =6,247 >
1,987
Ho
ditolak
3. Himpunan
a. Eksperimen
b. Kontrol
L= 0,126<
0,148
L= 0,136<
0,148
𝝌𝟐= 1,845 <
3,841
t =2,045 >
1,987
Ho
ditolak
Tabel 8 Hasil Analisis Reliabilitas Lembar Observasi Kemampuan Guru Mengelola
Pembelajaran
Pertemuan (RP) I II III Rata-rata
Frekuensi kecocokan (A) dan A D A D A D A D
ketidakcocokan (D) 15 3 14 4 15 3 14,67 3,33
Percentace of agreement
(R) 83,33 % 77,78 % 83,33 % 81,48 %
Reliabilitas Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
Tabel 9 Hasil Analisis Reliabilitas Lembar Observasi Aktivitas Siswa
Pertemuan (RPP) I II III Rata-rata
Frekuensi kecocokan (A) dan A D A D A D A D
ketidakcocokan (D) 158 4 159 3 157 4 158 3,7
Percentace of agreement (R) 97,53 % 98,15 % 96,91 % 97,53 %
Reliabilitas Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 215
Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 diperoleh informasi bahwa percentasce of agreement(R)
lembar observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran maupun lembar observasi aktivitas
siswa, baik untuk setiap pertemuan maupun secara keseluruhan 75 %, berarti lembar observasi
kemampuan guru mengelola pembelajaran dan lembar observasi aktivitas siswa ini reliabel
(Grinnel, 1998:160), sehingga dapat digunakan sebagai instrumen lembar observasi draft IV (draft
final) tanpa revisi. Hal itu berarti pula bahwa data kemampuan guru mengelola pembelajaran dan
data aktivitas siswa yang dikumpulkan menggunakan kedua lembar observasi dalam pelaksanaan
uji coba perangkat pembelajaran ini valid.
Revisi perangkat pembelajaran selain perangkat tes hasil belajar siswa dari draft III menjadi
draft IV didasarkan atas hasil analisis efektivitas pembelajaran dengan menggunakan lima
indikator, yaitu: (a) kemampuan guru mengelola pembelajaran, (b) aktivitas siswa, (c) respon
guru, (d) respon dan minat siswa dan (e) kesesuaian antara perkiraan waktu perencanaan dengan
pelaksanaan di kelas, maka berikut ini dipaparkan kelima data hasil uji coba perangkat
pembelajaran beserta hasil analisisnya masing-masing.
Hasil penilaian kemampuan guru mengelola pembelajaran untuk setiap pertemuan, tampak
bahwa pada pertemuan pertama dan kedua beberapa kemampuan guru baru mencapai cukup baik,
yaitu kemampuan guru dalam hal: (1) memotivasi siswa/mengkomunasikan tujuan pembelajaran,
(2) menghubungkan pelajaran saat itu dengan sebelumnya, (3) menginformasikan langkah-
langkah pembelajaran/membahas PR, (4) menjelaskan soal/masalah kontekstual, (5) mengarahkan
siswa untuk menemukan jawaban dan cara menjawab soal, (6) mengoptimalkan interaksi siswa
dalam bekerja, (7) memimpin diskusi kelas/menguasi kelas, (8) mengarahkan siswa untuk
menemukan sendiri dan menarik kesimpulan, (9) mengarahkan siswa untuk
membuat/menegaskan rangkuman materi pelajaran dan (10) kemampuan mengelola waktu.
Namun demikian pada pertemuan berikutnya terdapat peningkatan menuju baik, bahkan sangat
baik. Hal itu wajar mengingat pembelajaran itu masih relatif baru bagi guru mitra maupun bagi
siswa. Sedangkan bila ditinjau secara keseluruhan rata-rata kemampuan guru mengelola
pembelajaran matematika realistik dan antusias siswa adalah baik, kecuali kemampuan dalam hal
menginformasikan langkah-langkah pembelajaran/membahas PR, memimpin diskusi kelas/
menguasi kelas, dan mengelola waktu baru mencapai cukup. Berarti dari 17 komponen yang
dinilai 14 komponen (82,35%) baik dan tiga komponen (17,65%) cukup.
Pembelajaran ini efektif ditinjau dari kemampuan guru mengelola pembelajaran. Namun
demikian beberapa kegiatan yang masih kurang baik atau cukup itu akan dipertimbangkan untuk
merevisi perangkat pembelajaran yang dikembangkan, yaitu dengan memperjelas beberapa
kegiatan pada RPP, khususnya pada beberapa kegiatan yang masih kurang baik atau cukup baik
dilakukan guru tersebut.
Hasil pengamatan aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran ditinjau dari
aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran secara keseluruhan dan untuk setiap
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
216 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
pertemuan dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Pada pertemuan I, semua aktivitas siswa berada
pada batas toleransi waktu ideal yang ditentukan. Pada pertemuan II dan IV terdapat satu aktivitas
yang berada di bawah batas toleransi waktu ideal dan dua jenis aktivitas yang berada di atas batas
toleransi waktu ideal yang ditetapkan. (2) Aktivitas yang kurang dari batas toleransi waktu ideal
adalah mendengarkan/ memperhatikan guru dengan aktif, yaitu: 10,88 % (pertemuan II) dan 11,19
% (pertemuan IV) dengan batas toleransi waktu ideal 15 % - 25 %. (3) Aktivitas yang melebihi
batas toleransi waktu ideal adalah membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar.
Aktivitas membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar ini sebesar 15,2%
(pertemuan II), 13,96% (pertemuan III) dan 12,11% (pertemuan IV) dengan batas toleransi waktu
ideal 2 % - 12%. Berdasarkan paparan di atas, maka pembelajaran ini efektif ditinjau dari aktivitas
siswa. Namun demikian tiga jenis aktivitas mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru dan
membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar perlu digunakan sebagai
pertimbangan untuk melakukan revisi terhadap RPP dan LKS. Revisi tersebut adalah dengan
mengurangi beban pertanyaan pada LKS/ Buku Siswa dan merubah perkiraan waktu beberapa
kegiatan pada RPP.
Angket respon guru terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran diberikan kepada
tiga orang guru matematika masing-masing satu orang guru kelas VII, kelas VIII dan kelas IX di
SMP Negeri 2 Sukoharjo. Hasil angket menunjukkan bahwa semua guru memberikan respon
yang positif atau sangat positif, terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran matematika
realistik pada materi Aljabar ini. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan, berarti pembelajaran ini
efektif, ditinjau dari respon guru.
Hasil angket respon siswa terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran menunjukkan
bahwa dari 24 komponen perangkat dan pelaksanaan pembelajaran sebanyak 22 komponen (91,67
%) direspon positif oleh lebih dari 60 % siswa dan dua komponen (8,33 %) direspon positif oleh
kurang dari 60 %. Sehingga berdasarkan kriteria yang ditentukan di bab IV, menunjukkan bahwa
pembelajaran tersebut efektif ditinjau dari respon siswa. Komponen yang direspon positif oleh
kurang dari 60 % siswa adalah suasana pembelajaran. Dalam hal itu justru mayoritas siswa, yakni
59,46 % menyatakan tidak senang dan hanya 40,54 % siswa yang menyatakan senang. Di
samping itu siswa yang menyatakan suasana pembelajaran itu baru hanya 54,05 % dan yang
menyatakan tidak baru 45,95%. Hal yang menyebabkan banyak siswa menyatakan tidak senang
dengan suasana pembelajaran itu mungkin disebabkan dalam PMR ini dituntut siswa lebih aktif
dalam belajar sejak awal pembelajaran dan guru tidak banyak memberi cara menyelesaikan
masalah. Suasana pembelajaran seperti itu sangat berbeda dari kebiasaan mereka yang banyak
pasif sebagai pendengar dan selalu dijelaskan serta diberi contoh pembahasan soal. Atau karena
biasanya kebanyakan siswa kurang suka bila disuruh maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal
atau mempresentasikan jawaban, sedangkan dalam PMR kegiatan ini merupakan kegitan inti
pembelajaran. Sedangkan hal yang menyebabkan banyak siswa menyatakan bahwa suasana
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 217
pembelajaran di kelas itu tidak baru, kemungkinannya adalah karena PMR ini masih relatif baru
bagi guru mitra, sehingga masih agak sulit untuk menciptakan suasana pembelajaran yang benar-
benar sesuai dengan tuntutan PMR yang tampak jelas berbeda dari biasanya.
Berdasarkan pengamatan selama uji coba perangkat pembelajaran tentang kesesuian antara
perkiraan waktu pada RPP dan LKS dengan pelaksanaan di lapangan, ternyata terdapat perkiraan
waktu pada RPP yang masih kurang tepat dengan pelaksanaan dan terdapat satu kegiatan pada
RPP yang sulit dilaksanakan. Beberapa kegiatan yang kurang tepat antara perkiraan waktu pada
RPP dengan pelaksanaan antara lain kegiatan: (1) memotivasi siswa, (2) mengingatkan materi
prasyarat, (3) menyelesaikan masalah dan (4) membandingkan jawaban masing-masing kegiatan
terdapat selisih antara dua sampai tiga menit. Sedangkan satu kegiatan yang sulit dilaksanakan di
lapangan adalah penilaian proses, meskipun hanya dilakukan secara tidak formal. Hal itu
mengingat terlalu banyaknya siswa di kelas dan guru lebih memfokuskan pemberian bimbingan
terbatas secara individual pada saat siswa mengerjakan LKS dan soal latihan.
Berdasarkan analisis deskreptif terhadap: (1) kemampuan guru mengelola pembelajaran, (2)
aktivitas siswa, (3) respon guru, (4) respon dan minat siswa dan (5) kesesuaian antara perkiraan
waktu perencanaan dengan pelaksanaan di kelas menunjukkan bahwa pembelajaran selama uji
coba di kelas VIIG SMP Negeri 2 Sukoharjo menggunakan perangkat PMR pada materi Aljabar
efektif. RPP, Buku Siswa, LKS dan Buku Petunjuk Guru draft III baik atau valid, meskipun untuk
menjadikannya sebagai draft IV (draft final) masih diperlukan beberapa revisi.
Beberapa revisi tersebut secara garis besar dilakukan dengan: (1) Menyesuaikan perkiraan
waktu beberapa kegiatan pada RPP dengan pelaksanaan di lapangan, (2) Memperjelas beberapa
kegiatan pada RPP, (3) Menyesuaikan halaman buku siswa, petunjuk dan alternatif jawaban pada
Buku Petunjuk Guru, dengan revisi pada Buku Siswa dan LKS serta dengan menambahkan
alternatif penyelesaian yang dilakukan siswa di lapangan. Revisi perangkat tes hasil belajar siswa
dari draft III menjadi draft IV (draft final) dalam penelitian ini adalah didasarkan dari hasil
analisis validitas dan reliabilitas perangkat tes. Berdasarkan hasil anates, secara keseluruhan
perangkat tes ini cukup dapat mengukur dengan tepat tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Hasil
analisis reliabilitas perangkat tes, ternyata memiliki reliabilitas sangat tinggi, berarti perangkat tes
ini memiliki keajegan sangat tinggi untuk digunakan sebagai alat penilaian hasil belajar siswa.
Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti memutuskan bahwa perangkat tes hasil belajar
siswa draft III untuk dijadikan draft IV (draft final), masih memerlukan revisi. Revisi tersebut
secara garis besar dilakukan dengan cara: (1) Mengurangi banyak butir soal yang berfungsi untuk
mengukur KD yang sama, (2) Merevisi kisi-kisi tes, alternatif jawaban siswa dan pedoman
pemberian skor sesuai dengan revisi pada butir soal tes.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
218 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan diskusi hasil penelitian, melalui prosedur pengembangan
perangkat pembelajaran Model 4-D (Four D-Model) yang dimodifikasi hanya sampai pada tahap
pengembangan (develope), dapat disimpulkan bahwa: (1) Perangkat pembelajaran dengan
pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama telah teruji secara
teoretis, (2) Perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di
Sekolah Menengah Pertama telah dinilai ahli dengan nilai 3 atau dapat digunakan dengan sedikit
revisi, (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu telah diuji terbatas keterbacaan dan
disimulasikan, (4) Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian telah diuji coba terbatas, dan
(5) Dihasilkan pengembangan perangkat pembelajaran pada materi Aljabar di kelas VII SMP.
DAFTAR PUSTAKA
Marpaung, Y. 2001. “Pedekatan Realistik dalam Pembelajaran Matematika”. Makalah disajikan
pada Seminar Nasional “Pendidikan Matematika realistik” di Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Tanggal, 14 - 15 Nopember 2001.
Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
--------------. 2001. “Pemanfaatan Realitas dan lingkungan dalam Pembelajaran Matematika”.
Makalah disajikan pada Seminar Nasional Realistics Mathematic Education (RME) di
UNESA Surabaya, 24 Pebruari 2001.
Thiagarajan, S. , Semmel, D. S. dan Semmel, M. I. 1974. Instructional Development for Teacher
of Exceptional Children.Bloomington: Indiana University.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 219
PENGGUNAAN MODEL Connecting, Organizing, Reflecting and Extending
(CORE) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIS SISWA SMP
Grifin Ryandi Egeten1)
, Louise M. Saija2)
1) Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Advent Indonesia
Jl. Kolonel Masturi no. 288 Parongpong Bandung Barat, e-mail: 15juni1992@gmail.com
2) Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Advent Indonesia
Jl. Kolonel Masturi no. 288 Parongpong Bandung Barat, e-mail: louise_saija@yahoo.com
Abstrak
Dilaporkan bahwa saat ini 70% siswa SMP memiliki kemampuan pemecahan masalah
matematis yang rendah. Ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah pada
siswa SMP merupakan masalah yang besar yang harus diatasi. Untuk itu diperlukan suatu
solusi sehingga siswa SMP memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis yang
baik. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah menggunakan model pembelajaran
connecting, organizing, reflecting and extending (CORE). CORE memacu siswa lebih
kritis dalam mengumpulkan data dari suatu masalah, mempersiapakan rencana
penyelesaian masalah, menyelesaikan masalah dan juga lebih teliti dalam memecahkan
suatu masalah. Oleh karena itu pada penelitian ini model CORE digunakan untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa SMP. Siswa SMP Negeri 1
Parongpong Bandung Barat digunakan sebagai sampel. Sampel dibagi ke dalam dua
kelompok, yaitu: kelompok kontrol, yang diberi perlakuan pengajaran konvensional dan
kelompok eksperimem yang diberi perlakuan pengajaran model CORE. Dari hasil analisis
data dengan menggunakan statistik uji-𝑡 pada tingkat signifikansi 𝛼 = 0.05 diperoleh
bahwa model pembelajaran CORE menghasilkan peningkatan kemampuan pemecahan
masalah lebih baik dibanding dengan pembelajaran konvensional. Didasarkan pada hasil
ini, model pembelajaran CORE dapat digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP.
Keywords: Model CORE, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, Siswa SMP.
PENDAHULUAN
Kemampuan pemecahan masalah dianggap sebagai jantung pembelajaran matematika
karena memberikan keuntungan bukan hanya pada saat belajar tetapi memberikan kesanggupan
untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah
termasuk masalah sehari – hari (Pimta et al., 2009). Klegeris et al., (2012) juga memaparkan hal
yang selaras bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah akar dari segala bentuk pendidikan
karena menyanggupkan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir.
Kemampuan pemecahan masalah yang baik adalah kunci untuk mendapat solusi yang
berguna dalam pembelajaran matematika. Tindakan untuk berpikir terhadap konsep matematika
merupakan hal yang sulit bagi siswa (Huang et al., 2012). Kemampuan pemecahan masalah itu
melibatkan kesanggupan untuk melakukan pertimbangan yang baik, menganalisis, memberikan
pendapat yang membangun, dan pengembangan akan strategi maupun ide – ide yang baru. Hal
tersebut didapati dalam pembelajaran matematika, dan semuannya itu berdampak pada
pencapaian kemampuan pemecahan masalah siswa (Woodward et al., 2012). Sajadi et al., (2013)
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
220 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
melaporkan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah kesulitan bagi banyak siswa karena
proses mencari solusi dari masalah tersebut kompleks.
Sebagian kecil siswa sering mencoba untuk mendorong dirinya sendiri untuk dapat
memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika, untuk menjadi lebih tekun, mampu
membuat suatu pendekatan yang berbeda, dan dapat membuat solusi (Kennedy & Stoyonova,
2012). Itu sebabnya pencapaian pembelajaran matematika anak SMP hanya kecil yaitu 6 %.
Didapati bahwa 1 % siswa yang akan belajar matematika, 29 % siswa yang akan menggunakan
matematika dalam kehidupan mendatang, dan 70 % siswa yang tidak akan pernah mau
membutuhkan matematika (Huang et al., 2012).
Model pembelajaran dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan untuk
menyelesaikan masalah dan menolong siswa menjadi lebih efektif dalam belajar (Sajadi et al.,
2013). Untuk menolong pencapaian yang rendah tersebut, kemampuan pemecahan masalah harus
dipertajam dengan menggunakan model pembelajaran CORE (Connecting, Organizing,
Reflecting, and Extending). Model CORE berlandaskan pada teori konstruktivisme yang mampu
membuat siswa menjadi lebih aktif, kreatif, kritis, dan membangun sendiri pengetahuan yang
mendalam tentang matematika melalui sarana yang ada (Azizah et al., 2012). CORE ialah
connecting: Dalam belajar matematika siswa perlu dihubungkan pengetahuan yang sudah
dipelajari dan yang akan dipelajari karena setiap pengetahuan yang diperoleh berguna untuk
menyelesaikan masalah. Pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah bukan berasal
dari guru, melainkan diperoleh dengan menghubungkan berbagai sumber pengetahuan sehingga
membangun pengetahuan yang mendalam akan matematika dan ini dapat digunakan untuk
memecahkan masalah (Marais & Nalize, 2011), organizing: mengorganisir pengetahuan tersebut
sehingga membuat suatu keterkaitan antara pengetahuan yang dimiliki siswa dan pengetahuan
yang akan diperoleh. Untuk mempermudahnya siswa dapat bekerja sama dalam kelompok melalui
diskusi. Dengan berdiskusi terjadi interaksi sesama siswa dalam kelompok, hal ini membantu
siswa mengerti mengkaitkan semua informasi pengetahuan yang ada menjadi suatu rencana
pemecahan yang baik (Ase & Hansson, 2012), reflecting: siswa harus meningkatkan proses
berpikir dengan cara membuat suatu kesimpulan dari materi yang diajarkan, menyelesaikan soal
yang diberikan, dan merenung untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut, bila terdapat
kesalahan dalam menyelesaikan soal siswa dituntun untuk berpikir menemukan jawaban yang
benar dan tepat dan ini semua dilakukan di dalam kelompok masing - masing (Clark & Marie,
2009), extending: diberikan soal secara individu kepada siswa, untuk melatih siswa untuk
mengerti materi yang diajarkan. Pemberian soal yang lebih tinggi tingkat kesulitannya
memberikan sebuah kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan apa yang telah dipelajari
dan soal tersebut harus dikerjakan sendiri (Kaur & Berinderjeet, 2011).
Dengan adanya kemampuan connecting (menghubungkan ilmu pengetahuan dulu dengan
sekarang), organizing (mengorganisir informasi dalam diskusi kelompok), reflecting (membuat
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 221
kesimpulan), dan extending (memperluas pengetahuan akan materi)mampu melatih siswa
memecahkan suatu masalah (Azizah et al., 2012). Dengan demikian model CORE dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Berdasarkan uraian diatas perlu untuk diteliti suatu penelitian ilmiah tentang penerapan
model connecting, organizing, reflecting, and extending (CORE) untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP sebagai salah satu alternatif model
pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas.
METODE PENELITIAN
Dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dapat diterapkan
model pembelajaran connecting, organizing, reflecting, and extending (CORE). CORE
merupakan model pembelajaran yang membantu siswa untuk belajar mandiri dengan
menggunakan teknik connecting (menghubungkan ilmu pengetahuan yang sudah ada dengan yang
akan dipelajari), organizing (mengorganisir informasi dalam diskusi kelompok), reflecting
(membuat kesimpulan), dan extending (memperluas pengetahuan akan materi). Metode penelitian
dalam penelitian ini sebagai berikut:
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif karena dari awal penelitian sampai
pada tahap akhir penelitian ini menuntut penggunaan angka yang diolah dengan menggunakan
statistik.
Waktu dan Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini berlokasi di Parongpong Bandung Barat. Waktu untuk penelitian
adalah empat minggu, mulai dari tanggal 12 November 2013 sampai tanggal 04 Desember 2013.
Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMP Kelas VIII di Bandung. Yang menjadi
sampel pada penelitian ini adalah sekolah SMP Negeri 1 Parongpong. Pemilihan sampel akan
dilakukan dengan teknik simple random sampling sehingga diperoleh dua kelompok yang berbeda
yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen berjumlah 37 orang
dan kelompok kontrol berjumlah 36 orang.
Prosedur
Langkah – langkah yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Langkah Pertama:
Dalam melakukan penelitian ini terdapat alat dan bahan yang diperlukan untuk
menjalankan penelitian ini, bahan penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
222 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
No. Nama Bahan Peruntukan
1 Buku Paket Diperlukan untuk mengajar materi ajar.
2 Kertas (A4) Diperlukan untuk print out soal, LKK, dan LKM.
3 Spidol Untuk menulis di papan tulis
4 Tinta Printer Untuk mencetak dokumen penelitian
Sementara peralatan utama yang diperlukan dan diperuntukkan diuraikan pada tabel berikut:
No. Nama Alat Peruntukan
1 Lap Top Diperlukan guru untuk membuat soal, LKK, LKM, dan
instrument penelitian termasuk bahan ajar diluar buku paket.
2 Printer Diperlukan untuk mencetak semua soal, LKK, dan LKM.
3 LCD Menampilkan bahan ajar yang berasal dari lap top.
Langkah Kedua:
a. Memilih bahan ajar
Bahan ajar yang dipilih harus disesuaikan dengan waktu dan silabus yang ada. Bahan ajar
yang ditetapkan pada penelitian ini adalah sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Bahan
ajar ini untuk SMP kelas VIII dan tepat dengan waktu yang diharapkan yaitu pada bulan
November 2013.
b. Membuat RPP, LKK, LKM
Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja kelompok (LKK), dan
lembar kerja mandiri (LKM) yang sesuai dengan materi ajar yaitu SPLDV. LKK dan LKM yang
dibuat harus menuntun siswa kearah soal – soal pemecahan masalah agar dapat melatih
kemampuan pemecahan masalah siswa. Hal ini diperlukan agar mempersiapkan pengajar dalam
mengajar dengan baik pada setiap pertemuan.
c. Menyusun Instrument
Instrument yang dibuat digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa.
Jumlah soal dalam instrument yaitu lima soal. Soal – soal ini dibuat sesuai dengan materi, standar
kompetensi, kompetensi dasar sesuai dengan silabus dan soal – soal ini dibuat dengan bimbingan
dari dosen.
Langkah Ketiga:
a. Melakukan uji coba instrumen pada sampel uji coba instrument
Instrument yang telah dibuat akan diuji cobakan pada siswa SMP kelas VIII diluar dari
sampel penelitian.
b. Menghitung uji validitas dan uji reliabilitas
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 223
Data dari hasil uji coba instrument dikumpulkan untuk dihitung validitas dan reliabilitas
instrument tersebut. Tujuan untuk mengetahui soal yang valid dan tidak valid. Soal yang valid
akan dilakukan pada pretes dan postes.
Langkah Keempat:
a. Menentapkan sampel penelitian
Pada penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah siswa SMP Negeri 1 kelas VIII
Parongpong Bandung Barat.
b. Mengelompokkan sampel penelitian
Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 73 siswa yang akan dibagi menjadi dua
kelompok yaitu 37 siswa kelompok eksperimen dan 36 siswa kelompok kontrol. Pembagian
kelompok ini dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling.
Langkah Kelima:
a. Pretes
Soal yang telah selelah diuji cobakan dan sudah dilihat kevalidannya akan digunakan
menjadi pretest. Pretest ini diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
sebelum mulai proses belajar mengajar untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah
matematis siwa.
b. Perlakuan
Selama penelitian ini berlangsung akan diberikan perlakuan yang berbeda terhadap
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen akan mendapat perlakuan
model pembelajaran CORE dan kelompok kontrol mendapat perlakuan pembelajaran
konvensional. Perlakuan akan dilakukan selama delapan pertemuan sesuai dengan RPP yang
dibuat.
c. Postes
Soal yang diberikan pada pretest akan diberikan juga pada pertemuan terakhir pada
penelitian ini dengan kompetensi dasar yang sama bentuk soal yang sama namun berbeda
kandungan angka pada setiap soal. Postes juga menjadi bagian untuk mengukur kemampuan
pemecahan masalah matematis.
Langkah Keenam:
Data dikumpulkan dengan menggunakan instrument (soal pretest postest) untuk
mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dari kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Data dari kedua kelompok dianalisis dengan menggunakan statistic uji-t
namun sebelumnya normalitas distribusi data setiap kelompok terlebih dahulu diuji melalui uji
normalitas. Selanjutnya kehomogenan varians kedua data juga diuji melalui uji homogenitas. Dari
hasil statistik uji-t akan didapat informasi perbedaan tingkat kemampuan pemecahan masalah dari
kedua kelompok. Mengacu pada hasil uji-t maka dapat ditarik suatu kesimpulan.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
224 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Langkah Ketujuh:
Menarik kesimpulan yang menunjukkan bahwa model CORE mampu meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswap SMP dan model CORE ini pantas digunakan
sebagai model pembelajaran matematika dalam proses belajar – mengajar.
Data, Instrument, dan Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan langkah – langkah diatas, data akan diperoleh dari hasil tes kemampuan
pemecahan masalah pretes dan postes dengan menggunakan instrumen penelitian yang ada.
Instrumen penelitian ini terdiri dari lima soal mewakili semua kompetensi dan valid. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner, lembar observasi dan data dari hasil pretes –
postes. Kuesioner tentang sikap siswa terhadap model pembelajaran yaitu model CORE, soal –
soal pemecahan masalah, serta pelajaran matematika.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis validitas butir soal, analisis
reliabilitas, uji normalitas, dan uji beda dua rata – rata (uji – t). Analisis validitas butir soal
digunakan untuk melihat kevalidan dari instrument yang dibuat, analisis reliabilitas untuk melihat
soal yang diandalkan, uji normalitas untuk melihat data merupakan sebaran secara normal
sehingga dapat dilakukan perhitungan statistik, dan uji beda dua rata – rata digunakan untuk
melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah dengan model CORE dibanding dengan
konvensional.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini belum selesai dilakukan, masih dalam proses. Penelitian dengan model
CORE untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah sudah pernah diteliti oleh Wijayanti
tahun 2012 dengan judul “penerapan model connecting, organizing, reflecting, and extending
(CORE) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP” yang
dilakukan di Bandung menarik kesimpulan bahwa: 1) Siswa yang mendapatkan pembelajaran
dengan model CORE terbukti mengalami peningkatan kemampuan pemecahan masalah. 2)
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran
dengan model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model
konvensional. 3) Siswa memberi respon positif terhadap pembelajaran matematika dengan model
CORE. Wijayanti menerapkan model CORE pada kelas VIII dengan materi bangun ruang sisi
datar dan membuat kelompok. Ada juga penelitian yang dibuat oleh Kumalasari dengan judul
“peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP melalui pembelajaran
matematika model CORE” menarik kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematis kelompok eksperimen siswa yang belajar dengan model CORE lebih baik
daipada kelompok kontrol yang belajar melalui pembelajaran konvensional. Pada penelitian ini,
terdapat beberapa nilai baru yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu penggunaan model
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 225
CORE dengan materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Cara membuat kelompok
pada model CORE menggunakan rangking pertemanan, tidak hanya dari hasil pretes dan postes.
Dengan perbedaan tersebut akan diteliti apakah model CORE dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa SMP?
SIMPULAN DAN SARAN
Salah satu alternatif pembelajaran matematika yang disajikan pada penelitian ini adalah
pembelajaran matematika dengan menggunakan model connecting, organizing, reflecting, and
extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP.
DAFTAR PUSTAKA
Ase dan Hansson. (2012). The Meaning of Mathematics Instruction in Multilingual Classroom:
Analyzing the Importance of Responsibility for Learning. Education Study
Mathematics, 81: 103 – 125.
Azizah L, Mariani S, dan Rochmad. (2012). Development of Devices The CORE Model
Constructivism Mathematic Connection. Unnes Journal of Mathematics Education
Research, 2 (1), 101.
Clark dan Marie A. (2009). When Privilege Meets Poverty: Using Poetry in The Process of
Reflection. Journal on Excellence in College Teaching, v20 n2 p125 – 142.
Huang T H, Liu Y C, dan Chang H C. (2012). Learning Achievement in Solving Word-Based
Mathematical Questions through a Computer-Assisted Learning System. Educational
Technology & Society, 15 (1), 248 – 259.
Kennedy dan Stoyonova N. (2012). What are You Assuming?. Mathematics Teaching in Middle
School, v18 n2, 86 – 91.
Kaur dan Berinderjeet. (2011). Mathematics Homework: A Study of Three Grade Eight
Classrooms in Singapore. International Journal of Science and Mathematics Education,
v9 n1 p187 – 206.
Klegeris A, Bahniwai M, dan Hurren H. (2013). Improvement in Generic Problem-Solving
Abilities of Students by Use of Tutor-less Problem-Based Learning in Large Classroom
Setting. Life Sciences Education, Vol. 12, 73 – 79.
Marais, dan Nalize. (2011). Connectivism as Learning Theory: The Force Behind Changed
Teaching Practice in Higher Education. Journal for Education and Social Enterprise,
v4 n3 p173 – 182.
McDonald B. (2013). Evaluation instruments used in Problem-Based Learning. University of
Trinidad and Tobago.
Pimta S, Tayruakham S, dan Nuangchalerm P. (2009). Factors Influencing Mathematic Problem-
Solving Ability of Sixth Grade Students. Journal of Social Sciences, 5(4), 381 – 385.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
226 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Polya. G. (2008). How to Solve It. United States of America: Princeton University Press.
Sajadi M, Amiripour P, dan Malkhalifeh M R. (2013). The Examining Mathematical Word
Problems Solving Ability under Efficient Representation Aspect. Mathematics
Education Trends and Research, 1 – 11.
Woodward J, Beckmann S, Driscoll M, Franke M, Herzig P, Jitendra A, Koedinger K R, dan
Ogbuehi P. (2012). Improving Mathematical Problem Solving in Grades 4 Through 8.
Institute of Education Sciences, p6.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 227
STUDI LITERATUR: PENGGUNAAN STRATEGI SCAFFOLDING DALAM
MENINGKATKAN KEMAMPUAN HIGHER ORDER THINKING SISWA
Nur Wahidin Ashari
Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI
Jl. Dr. Setiabudi 229 Bandung 40154,
email: arhie_bilingual@yahoo.co.id
Abstrak
Peningkatan kemampuan Mathematical Higher Order Thinking sudah menjadi
tujuan utama dari pendidikan pada saat ini. Namun kenyataanya beberapa hasil studi
memperlihatkan bahwa kemampuan Mathematical Higher Order Thinking siswa di
Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini diakibatkan karena masalah matematika
yang diberikan disekolah masih tergolong dalam Lower Order Thinking yang
sifatnya rutin. Selain itu beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa
startegi pembelajaran yang digunakan guru masih monoton dan berpusat pada guru.
Sesuai dengan Taksonomi Bloom yang telah direvisi Lower Order Thinking
mencakup mengingat, mengetahui, dan mengaplikasikan sedangkan Higher Order
Thinking mencakup menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Studi literatur ini
mengkaji tentang pengaruh strategi scaffolding terhadap kemampuan Higher Order
Thinking siswa.
Kata kunci: Higher Order Thinking, Taksonomi Bloom, Strategi Scaffolding
PENDAHULUAN
Berpikir adalah sebuah proses yang melibatkan operasi-operasi mental, seperti induksi,
deduksi, klasifikasi dan penalaran, selain itu berpikir adalah sebuah proses representasi secara
simbolis (melalui bahasa) berbagai objek dan kejadian riil dan menggunakan representasi itu
untuk menemukan prinsip-prinsip esensial objek dan kejadian tersebut, berpikir diartikan pula
sebaai kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan
inferensi atau judgment yang baik. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa berpikir merupakan
suatu proses mengolah informasi yang melibatkan operasi mental dan menghasilkan suatu
representasi secara simbolis dari informasi tersebut (Arends, 2008, 43).
Sesuai dengan kedalaman dan kompleksitas kegiatannya, pemikiran matematis
diklasifikasikan menjadi dua tingkat berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi.
Melakukan operasi aritmetika sederhana, menerapkan aturan secara langsung, mengerjakan tugas,
digolongkan dalam berpikir tingkat rendah. Di sisi lain, dugaan, pemahaman bermakna,
kompilasi, analogi dan membuat koneksi diklasifikasikan sebagai berpikir tingkat tinggi
matematis (Webb dan Coxford dalam Sumarmo dan Nishitami, 2010, 11).
Peningkatan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi sudah selayaknya menjadi
tujuan utama dari pendidikan pada saat ini. Kemampuan bepikir khususnya berpikir tingkat tinggi
perlu mendapat perhatian yang serius karena sejumlah hasil studi menunjukkan bahwa
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
228 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
pembelajaran matematika masih berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah
yang bersifat prosedural (Suryadi, 2012, 2).
Higher Order Thinking berarti memberi tantangan dan mengembangkan penggunaan
pikiran, sedangkang lower thinking berarti, rutin, penerapan mekanistis dan tidak berpikir secara
luas. Tantangan disini berarti memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
penggunaan pikiran. Hal ini akan muncul ketika siswa harus menginterpretasi, analisis, atau
memanipulasi informasi. Masalah disini tidak akan terpecahkan melalui penerapan pengetahuan
sebelumnya secara rutin (Newmann, 1988).
Higher order thinking juga dapat dilihat dari Taxonomy of Educational Objective dari
Bloom, yang dikenal sebagai Taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom membagi dua tingkat
pemikiran kognitif yaitu Lower Order Thinking dan Higher Order Thinking, seperti yang di
jelaskan oleh (Thompson, 2008) yaitu
“The thinking skills in Bloom Taxonomy considered LOT include knowledge and
comprehension, while the thinking skills of analysis, synthesis and evaluation are
considered HOT. Application often falls into both categories”.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi belum bisa didefinisikan dengan baik, namun higher
order thinking dengan mudah dapat dikenali apabila fitur – fitur utama dari kemampuan berpikir
tingkat tingkat itu muncul atau pada saat proses berpikir itu terjadi. Adapun fitur – fitur tersebut
yang dikemukakan oleh (Lauren Resnick, 1987) yaitu: (1) non algorithmic, (2) komplex, (3)
multiple solutions (banyak solusi), (4) melibatkan nuance judgment dan interpretasi, (5) multiple
criteria (banyak kriteria), (6) uncertainty (ketidakpastian), (7) melibatkan self-regulation proses –
proses berpikir, (8) melibatkan imposing meaning (menentukan makna), (9) bersifat effortful
(membutuhkan banyak usaha).
Berkaitan dengan masalah yang membutuhkan Higher order thinking, siswa Indonesia pada
umumnya belum bisa menyelesaikannya. Hal ini juga diperjelas oleh hasil TIMSS untuk kelas
dua SLTP (eight grade), memperlihatkan bukti lebih jelas bahwa soal–soal matematika tidak rutin
yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak berhasil dijawab
dengan benar oleh sampel siswa Indonesia (Suryadi, 2012,2). Hal ini dikarenakan berpikir tingkat
tinggi berbeda dari perilaku yang lebih konkret, sifatnya kompleks dan tidak dapat diturunkan
menjadi rutinitas rutinitas yang lebih pasti (Arends, 2008,43).
Kebanyakan siswa sudah mampu mencapai lower thinking namun sebagian kecil siswa
yang mampu higher order thinking. Bahkan menurut penilaian 3 tahunan “PISA at Galance
2009” (OECD, 2010) tidak lebih dari 10% siswa di Indonesia yang bisa mencapai higher order
thinking dan berada pada peringkat 63 dari 65 negara.
Menanggapi masalah siswa yang pada umumnya tidak mampu menyelesaikan masalah
yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, telah banyak berkembang model – model
pembelajaran untuk mengatasi masalah ini. Namun, dilain pihak ketarampilan berpikir tingkat
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 229
tinggi tidak dapat diajarkan dengan menggunakan pendekatan – pendekatan yang dirancang untuk
mengajarkan ide – ide dan ketarmpilan konkret (Arends, 2008, 44).
PEMBAHASAN
Higher Order Thinking
Solso, (1995) menyatakan bahwa berpikir adalah proses dimana representasi mental baru
dibentuk melalui transformasi informasi oleh interaksi yang kompleks dari sifat mental dari
penilaian, abstraksi, penalaran, membayangkan dan pemecahan masalah.
Mayer (Solso, 1995) menyatakan bahwa terdapat tiga ide dasar tentang berpikir yaitu:
(1) Berpikir bersifat kognitif yaitu, menghasilkan “secara internal” dalam akal namun
disimpulkan dari perilaku.
(2) Berpikir adalah suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam
sistem kognitif.
(3) Berpikirdiarahkan untukdanmenghasilkanperilaku"memecahkan" masalahataudiarahkan
padasolusi.
Sedangkan menurut (Arends, 2008) definisi berpikir adalah:
(1) Sebuah proses yang melibatkan operasi – operasi mental, seperti induksi, deduksi,
klarifikasi, dan penalaran.
(2) Sebuah proses representasi secara simbolis (melalui bahasa) berbagai objek dan kejadian
riil dan menggunakan representasi simbolis itu untuk menemukan prinsip – prinsip esensial
objek dan kejadian tersebut. Representasi simbolis (abstrak) itu biasanya diperbandingkan
dengan operasi – operasi mental yang didasarkan pada fakta dan kasus – kasus tertentu di
tingkat konkret.
(3) Kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan
inferensi atau judgement yang baik.
Sebaiknya sekolah lebih memberikan pembekalan pada siswa untuk berpikir. Siswa harus
dilatih untuk mempertanyakan isi, misalnya membedakan antara fakta dan opini, kesimpulan
sementara dan kesimpulan tetap, faktor yang relevan dan yang tidak relevan; generalisasi yang
yang benar, mengadakan klasifikasi dan sebagainya (Harsanto, 2011).
Sesuai dengan kedalaman dan kompleksitas kegiatannya, pemikiran matematis
diklasifikasikan menjadi dua tingkat, berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi.
Melakukan operasi aritmetika sederhana, menerapkan aturan secara langsung, mengerjakan tugas,
digolongkan dalam berpikir tingkat rendah. Di sisi lain, dugaan, pemahaman bermakna,
kompilasi, analogi dan membuat koneksi diklasifikasikan sebagai berpikir tingkat tinggi
matematis (Webb dan Coxford dalam Sumarmo dan Nishitami, 2010, 11).
Kemampuan berpikir tingkat tinggi belum bisa didefinisikan dengan baik, namun higher
order thinking dengan mudah dapat dikenali apabila fitur – fitur utama dari kemampuan berpikir
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
230 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
tingkat tingkat itu muncul atau pada saat proses berpikir itu terjadi. Adapun fitur – fitur tersebut
yang dikemukakan oleh (Lauren Resnick, 1987) yaitu:
(a) Higher order thinking bersifat non algorithmic, artinya, jalur tindakan tidak ditetapkan
sebelumnya.
(b) Higher order thinking cenderung bersifat komplex. Jalur totalnya tidak “visibel” (secara
mental) dilihat dari sudut manapun.
(c) Higher order thinking sering mendapatkan multiple solutions (banyak solusi), masing –
masing dengan kerugian dan keuntungannya masing – masing, dan bukan sebuah solusi
tunggal.
(d) Higher order thinking melibatkan nuance judgment and interpretasi.
(e) Higher order thinking melibatkan penerapan multiple criteria (banyak kriteria), yang
kadang – kadang bertentangan satu sama lain..
(f) Higher order thinking sering melibatkan uncertainty (ketidakpastian). Tidak semua yang
berhubungan dengan tugas yang harus ditangani telah diketahui.
(g) Higher order thinking melibatkan self-regulation proses – proses berpikir. Kita tidak dapat
menengarai higher – order thinking dalam individu bila orang lainlah yang menentukan
setiap langkahnya.
(h) Higher order thinking melibatkan imposing meaning (menentukan makna), menemukan
struktur dalam sesuatu yang tampak tidak beraturan.
(i) Higher order thinking bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha). Ada banyak
pekerjaan mental yang terlibat dalam elaborasi dan judgement yang dituntut di dalamnya.
Tahun 1956 Bloom menyampaikan gagasan dalam bentuk taksonomi yang dikenal dengan
“Taksonomi bloom” yang disajikan dalam bentuk hirarki. Taksonominya bloom memberikan
pemetaan ranah kognitif dalam kategori berpikir. Bloom membagi tingkat berpikir menjadi enam
tingkatan yakni pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintetis, dan berpikir evaluative atau
berpikir kreatif (evaluation).
Tahun 1990-an Lorin Anderson, murid dari Bloom membuat revisi dari taxonomy gurunya.
Revisi yang dilakukan oleh Anderson ini menggunakan kata kerja dari setiap kategori dan
penyusunan kembali tahapan-tahapan yang ada di dalam taxonomy sebelumnya.
Menurut (Thompson, 2008, 98) Kemampuan berpikir pada taksonomi Bloom
mempertimabangkan LOT mencakup pengetahuan dan pemahaman, sementara kemampuan
berpikir seperti analisis, sintesis, dan evaluasi dikategorikan sebagai HOT. Aplikasi berada
dianatara baik HOT maupun LOT.
a. Menganalisis
Tujuandomain menganalisismencakup belajaruntuk menentukanbagianyang relevan
ataupenting dari sebuahpesan (membedakan),cara-caradi manabagian -
bagianpesaninidiatur(mengorganisir)dan tujuandasar daripesan(menghubungkan)
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 231
5 17
3 11
10 25
9 15
31
(a) Membedakan melibatkan membandingkan bagian-bagian dari seluruh struktur dalam hal
relevansi atau pentingnya. Membedakan terjadi ketika seorang siswa mendiskriminasikan
informasi relevan dari informasi yang tidak relevan, atau informasi penting dari informasi
yang tidak penting, dan kemudian berada pada informasi yang relevan atau penting.
(b) Mengorganisirmelibatkan identifikasiunsur-unsurkomunikasiatau situasidan
mengenalibagaimana mereka cocok bersamake dalam strukturyang jelas. Dalam
mengorganisir, mahasiswamembangun koneksisistematis dan
koherenantarabagianinformasi yang disajikan.Pengorganisasianbiasanya
terjadiinconjuctiondengan membedakan. Istilahalternatif untukpengorganisasian
adalahmenyusun, mengintegrasikan, menemukankoherensi,menguraikan, dan melakukan
pengecekan.
(c) Menghubungkanterjadi ketikasiswamampumemastikansudut pandang, prasangka, nilai-
nilai, atau tujuan komunikasidasar. Menghubungkanmelibatkanprosesdekonstruksi, di mana
siswamenentukanmaksuddaripenulismateri yang disajikan. Sebuahistilahalternatif
adalahmendekonstruksi. Menghubungkandapat dinilaidengan menyajikanbeberapa
materitertulis atau lisandan kemudianmemintasiswa untukmembangun
ataumemilihdeskripsi daripenulisatau titikpandangpembicara, niat, dan sejenisnya.
Dalam Taksonomi Bloom, tingkat analisis adalah di mana siswa menggunakan
pertimbangan sendiri untuk mulai menganalisis pengetahuan yang telah mereka pelajari. Pada
poin ini, mereka mulai memahami struktur yang mendasari untuk pengetahuan dan juga mampu
membedakan antara fakta dan opini (Kelly, 2002).
Salah satu jalan untuk melihat kemampuan siswa dalam menganalisis masalah adalah guru
mengajukan pertanyaan “bagaimana jika?” (what if …?). Harta, (2008) menyatakan bahwa
pertanyaan ini membuat siswa memeriksa kembali soal dan melihat apakah pengaruh perubahan
ini terhadap proses penyelesaian dan juga jawabannya. Dengan jalan ini siswa akan menganalisa
apa yang terjadi sehingga akan meningkatkan berfikir kritisnya. Berikut contohnya.
Yani mengambil empat kartu bilangan bernilai 31, 5, 9 dan
10. Berapakah total nilai kartu-kartu bilangan
tersebut?
Dengan proses penjumlahan sederhana diperoleh
jawaban 55. Sekarang ajukan pertanyaan:
Bagaimana jika…?
Bagaimana jika Yani mengambil empat kartu dengan total nilai 55? Kartu bilangan manakah
yang diambilnya?
Banyak jawaban terhadap pertanyaan ini. Artinya, terdapat banyak jawaban benar. Soal
terakhir ini lebih memerlukan analisa, bukan sekedar latihan penjumlahan.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
232 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
b. Mengevaluasi
Evaluasi didefinisikan sebagai membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar. Kriteria
yang paling sering digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi. Itu dapat
ditentukan oleh siswa atau diberikan kepada siswa oleh orang lain. Kategori
mengevaluasitermasukproseskognitifpemeriksaan(penilaian tentang konsistensi internal) dan
mengkritisi(penilaian berdasarkan kriteriaeksternal)
(a) Memeriksamelibatkan pengujianuntukketidakkonsistenaninternal ataukesalahandalam
operasiatau hasil.Sebagai contoh, memeriksaterjadi jikates siswaapakahkesimpulanmuncul
daripremisnya,apakah datamendukung atautidak mendukunghipotesis.Alternatifistilahuntuk
memeriksamenguji,mendeteksi,memonitor,dan mengkoordinasi.Dalam
memeriksa,siswamelihatketidakkonsistenaninternal.
(b) Mengkritisimelibatkanmenilaisuatu produkatau operasiberdasarkan kriteriaeksternalyang
dikenakandan standar. Dalammengkritisi, siswamencatatfiturpositif dannegatif dariproduk
danmembuatpenilaian berdasarkansetidaknya sebagianpada fiturtersebut.
Istilahalternatifmenilai. Dalammengkritisi, seorang siswa dapatdiminta
untukkritikhipotesisnyasendiri ataupenciptaan atauyang dihasilkan olehorang lain.
Kritikdapat didasarkan padajenispositif, negatif, atau keduanyakriteriadan
hasilbaikkonsekuensi positifdan negatif.
Dalam taksonomi Bloom, tingkat evaluasi adalah tingkat dimana siswa membuat penilaian
tentang nilai gagasan, sesuatu, bahan, dan banyak lagi. Pada tingkat ini, siswa diharapkan
membawa semua yang telah mereka pelajari untuk melakukan evaluasi materi yang
diinformasikan dan diperdengarkan (Kelly, 2002).
Salah satu cara untuk melihat keterampilan siswa dalam menganalisis adalah menanyakan
pertanyaan seperti (apakah yang akan kamu lakukan?). Harta (2008) menyatakan bahwa
pertanyaan ini diajukan untuk merangsang keterampilan berfikir kritis. Setelah menjawab
pertanyaan, siswa dihadapkan pada situasi untuk mengambil keputusan. Keputusan ini dapat
didasarkan pada ide pribadi, pengalaman pribadi, atau apa saja sesuai keinginan siswa. Akan
tetapi siswa harus menjelaskan konsep matematika yang mendasari keputusan tersebut.
Penjelasan ini bisa dalam bentuk kalimat tertulis sehingga memberi siswa kesempatan untuk
melatih keterampilan komunikasinya. Berikut contohnya, di suatu kota terdapat dua system tarif
taksi, tarif lama dan tarif baru. Biaya tarif lama adalah Rp 4000 + Rp250/km, sedangkan tarf
baru Rp5000 + Rp200/km. Apabila anda memerlukan taksi, taksi manakah yang akan dipilih?
mengapa?
c. Mencipta (C6)
Menciptakanmelibatkanpenempatan unsur-unsursecara
bersamauntukmembentukkeseluruhanyang koherenataufungsional, yaitu, menata
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 233
kembalielemenke dalampolabaruatau struktur. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong
dalam kategori ini, yaitu: membuat, merencanakan, dan memproduksi.
(a) Membuat: menguraikan suatu masalah sehingga dapat dirumuskan berbagai kemungkinan
hipotesis yang mengarah pada pemecahan masalah tersebut. Contoh: merumuskan hipotesis
untuk memecahkan permasalahan yang terjadi berdasarkan pengamatan di lapangan.
(b) Merencanakan: merancang suatu metode atau strategi untuk memecahkan masalah. Contoh:
merancang serangkaian percobaan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan.
Memproduksi: membuat suatu rancangan atau menjalankan suatu rencana untuk
memecahkan masalah. Contoh: mendesain (atau juga membuat) suatu alat yang akan digunakan
untuk melakukan percobaan.
Srategi Scaffolding
Strategi khususnya dalam pembelajaran matematika merupakan suatu hal yang wajib
dilakukan. Hal ini dilakukan agar pelaksanaan pembelajaran yang berlangsung di kelas berjalan
dengan lancar, sesuai dengan apa yang diinginkan dan mencapai hasil yang memuaskan
sebagaimana semua guru menginginkannya
Strategi dalam kaitannya pembelajaran (matematika) adalah siasat atau kiat yang
sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar
pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil belajar bisa
tercapai secara optimal (Suherman dkk, 2003.) Tentunya semua guru berharap pembelajaran
yang dilaksanakannya akan berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pembelajaran scaffolding merupakan praktik yang didasarkan pada konsep Vygotsky
tentang assisted learning. Teknik ini dimulai dengan pemberian dukungan belajar secara lebih
terstruktur berupa motivasi, bimbingan serta bantuan kemudian secara berjenjang menuntun
siswa ke arah kemandirian belajar.
Menurut Hogan dan Pressley (dalam Lagne, 2002) terdapat lima teknik pembelajaran
scaffolding, yaitu :
(1) Pemberian model perilaku yang diharapkan
Modeling umumnya langkah pertama dalam pembelajaran scaffolding. Hal ini didefinisikan
sebagai "perilaku mengajar yang menunjukkan bagaimana orang harus merasa, berpikir atau
bertindak dalam situasi tertentu.
(2) Pemberian penjelasan
Selain model, sangat penting bagi guru untuk memberikan penjelasan, yang seharusnya
"pernyataan eksplisit disesuaikan agar sesuai dengan pemahaman peserta didik 'muncul tentang
apa yang sedang dipelajari (pengetahuan deklaratif atau preposisi), mengapa dan kapan digunakan
(pengetahuan bersyarat atau situasional), dan bagaimana digunakan (pengetahuan prosedural) "
(3) Mengundang siswa berpartisipasi
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
234 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Terutama pada tahap awal scaffolding, seorang instruktur harus mengundang partisipasi
siswa dalam bekerja. Praktek ini melibatkan siswa dalam belajar dan menyediakan dengan
kepemilikan pengalaman belajar. Siswa mungkin diajak untuk berpartisipasi secara lisan atau
dia mungkin akan diminta untuk datang ke depan kelas dan menyumbangkan ide atau
strateginya secara tertulis. Ketika siswa menyumbangkan ide – ide mereka tentang suatu topik
atau keterampilan, guru bisa menambahkan ide sendiri untuk memandu diskusi. Jika pemahaman
siswa tidak benar atau hanya sebagian benar, guru dapat memperbaiki mereka dan memperbaiki
penjelasannya.
(4) Menjelaskan dan mengklarifikasi pemahaman siswa
Sebagai hasil dari pengalaman siswa terhadap materi baru, penting bagi guru untuk
terus menilai pemahaman mereka dan menawarkan umpan balik. "Memeriksa pemahaman siswa
dan mengklarifikasi" pada dasarnya adalah menawarkan umpan balik afirmatif untuk pemahaman
masuk akal, atauumpan balik perbaikan untuk pemahaman tidak masuk akal.
(5) Mengundang siswa untuk mengemukakan pendapat.
Sedangkang Vygotsky mengidentifikasi empat tahap pembelajaran scaffolding Byrnes
(Lagne, 2002) yaitu:
(1) Tahap pertama adalah pemodelan, dengan penjelasan verbal.
(2) Tahap kedua adalah peniruan siswa dari keterampilan yang telah mereka lihat atau
dimodelkan oleh guru mereka, termasuk penjelasan. Selama fase ini, guru harus terus-
menerus menilai pemahaman siswa dan sering menawarkan bantuan dan umpan balik.
(3) Tahap ketiga adalah periode ketika instruktur mulai menghapus bimbingannya atau
scaffolding-nya. Guru mengurangi untuk menawarkan bantuan dan umpan balik kepada
murid-muridnya ketika murid – murid mereka mulai menguasai konten.
(4) Pada tahap empat, para siswa telah mencapai tingkat ahli penguasaan. Mereka dapat
melakukan tugas baru tanpa bantuan dari guru mereka.
Secara operasional (Syamsiah, 2008), strategi pembelajaran scaffolding dapat ditempuh
melalui tahapan-tahapan berikut:
(1) Mengecek hasil belajar sebelumnya
(a) Assesmen keterampilan atau pengetahuan sebelumnya yang dimiliki oleh siswa berkaitan
dengan tugas belajar baru yang akan diberikan. Assesmen hendaknya dilakukan secara
perseorangan melalui interaksi langsung dengan masing-masing siswa.
(b) Menentukan the Zone of Proximal Development (ZPD) untuk masing-masing siswa. Siswa
kemudian dapat dikelompokkan menurut level perkembangan awal yang dimiliki dan atau
yang membutuhkan ZPD yang relatif sama. Siswa dengan ZPD yang jauh berbeda dengan
kemajuan rata-rata kelas dapat diberi perhatian khusus.
(2) Merancang tugas-tugas belajar (aktivitas belajar scaffolding)
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 235
(a) Menjabarkan tugas pemecahan masalah ke dalam tahap-tahap yang rinci sehingga dapat
membantu siswa melihat sasaran tugas yang diharapkan akan mereka lakukan.
(b) Menyajikan tugas belajar secara berjenjang sesuai taraf perkembangan siswa. Ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui penjelasan, peringatan, dorongan
(motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan dan pemberian contoh.
(3) Memantau dan memediasi aktifitas dalam belajar
(a) Mendorong siswa untuk bekerja dan belajar diikuti dengan pemberian dukungan
seperlunya. Kemudian secara bertahap guru mengurangi dukungan langsungnya dan
membiarkan siswa menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.
(b) Memberikan dukungan kepada siswa dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci,
dorongan, contoh, atau hal lain yang dapat memancing siswa bergerak ke arah kemandirian
belajar dan pengarahan diri.
(4) Mengecek dan mengevaluasi belajar
(a) Hasil belajar yang dicapai, bagaimana kemajuan belajar setiap siswa.
(b) Proses belajar yang digunakan, apakah siswa bergerak ke arah kemandirian dan pengaturan
diri dalam belajar.
(c) Tentang diri siswa, hambatan-hambatan internal apa yang dihadapi siswa dalam belajar dan
mencapai kemandirian dalam belajar.
Kaitan Higher Order Thinking dengan Strategi Scaffolding
Interaksi sosial anak dengan orang yang lebih pakar dan dengan lingkungannya secara
signifikan sangat mempengaruhi cara berpikir siswa dan caranya menginterpretasi situasi. Ia
mengembangkan intelektualnya melalui internalisasi konsep berdasarkan interpretasinya sendiri
yang terjadi dalam sosial setting. Komunikasi yang terjadi dengan orang yang lebih pakar
membantu siswa mengkonstruk suatu pemahaman konsep (Nusu,2010).
Stuyf (Nusu, 2010) menyatakan bahwa peran guru atau pakar menjadi kunci teori ini
melalui bimbingan yang diberikan kepada anak, sehingga anak sanggup mencapai sesuatu yang
tidak berada pada level kemampuannya sendiri. Mereka beralih dari level aktual ke level
potensialnya. Anak tidak dianggap sebagai saintis yang mencoba penyelesaian, akan tetapi aktif
belajar dibimbing oleh orang yang lebih pakar. Dipercaya bahwa anak dapat diajar secara efektif
menggunakan teknik scaffolding pada daerah ZPD. Guru mengaktifkan daerah ini saat
mengajarkan konsep di atas tingkat keterampilan dan pengetahuan yang ada pada siswa yang
mendorong mereka untuk melampaui tingkat keterampilan terakhir mereka. Siswa diarahkan dan
dibimbing melalui aktivitas belajar yang berfungsi sebagai jembatan interaktif untuk membawa
mereka ke tingkat berikutnya. Dengan demikian siswa mengembangkan dan mengkonstruk
pengetahuan baru melalui elaborasi pengetahuan sebelumnya dengan support yang disiapkan oleh
pakar. Tanpa pengalaman belajar terbimbing dan interaksi sosial, maka pengembangan belajar
akan terhambat.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
236 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Saat pemberian masalah (matematika) yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa, tidak menuntut kemungkinan banyak siswa yang membutuhkan bantuan dari guru. Hal ini
dimungkinkan karena kebanyakan siswa masih belum terbiasa dalam menyelesaikan masalah
yang demikian. Olehnya itu bantuan yang intensif dari seorang guru pada tahap awal sangat
dibutuhkan. Tahap awal ini merupakan tahap awal dalam strategi pembelajaran scaffolding.
Bantuan yang intensif pada tahap awal dalam menyelesaikan permasalahan matematika yang
menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa berupa bantuan secara individu ataupun
kelompok oleh guru. Bantuan ini akan membentuk cara berpikir siswa dalam menyelesaikan soal.
Pada saat siswa mendapat kesulitan dalam mengerjakan suatu soal cerita, bantuan intensif
yang diberikan oleh guru baik secara kelompok maupun individu bisa berupa petunjuk mengubah
bentuk kalimat menjadi suatu kalimat matematika. Dengan bantuan ini, cara berpikir siswa pada
saat akan mengerjakan suatu soal cerita adalah mengubah kalimat menjadi kalimat matematika.
Bantuan intensif yang diberikan oleh seorang guru harus lengkap dan tertanam dengan baik
dipikiran siswa. Informasi yang lengkap ini akan digunakan siswa pada saat guru sudah mulai
mengurangi bantuannya. Khususnya soal matematika yang menuntut kemampuan berpikir tingkat
tinggi, bantuan – bantuan intensif yang sebaiknya diberikan adalah pemahaman konsep,
mengaplikasikan konsep, pembentukan kalimat matematika, menghubungkan antar suatu konsep
dengan konsep lain biasanya rumus yang satu dengan rumus yang lain, serta mengajarkan secara
langsung kepada siswa yang mengalami kesulitan.
Setelah pemberian bantuan intensif kepada siswa, guru secara bertahap mengurangi
bantuannya. Jadi pada tahap scaffolding ini, guru masih memberikan bantuan-bantuan terhadap
siswa yang mengalami kesulitan namun tidak sama pada tahap awal scaffolding sebelumnya.
Pada tahap ini bantuan yang diberikan oleh guru hanya pada mengulangi atau mengingatkan
siswa tentang sesuatu yang telah diberikan pada tahap awal. Jadi pada saat siswa mendapatkan
kesulitan pada saat mengerjakan soal yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, guru
memberikan bantuan berupa mengingatkan siswa tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah
bukan secara langsung membantu siswa menyelesaikan masalah tersebut.
Setelah siswa diberi informasi lengkap tentang konsep, arahan dalam mengerjakan
permasalahan matematika, maka tahap terakhir dalam strategi ini adalah memberi kesempatan
kepada siswa untuk bekerja menyelesaikan soal matematika secara mandiri. Siswa yang bekerja
secara mandiri diharapkan bisa memanfaatkan semua bantuan dari guru saat proses scaffolding
sebelumnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Sebagai simpulan dari artikel ini, penulis berhipotesis bahwa startegi scaffolding dapat
meningkatkan kemampuan Higher Order Thinking Siswa. Bantuan – bantuan yang bermakna dari
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 237
guru maupun dari teman sebaya sebaiknya tersimpan dalam pemikiran siswa guna untuk
dimanfaatkan kembali sebagai modal untuk memecahkan masalah yang lain yang berkaitan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Lorin & David Kratwohl. 2002. A taxonomy for Learning, Teaching and Assesing (a
revision of Bloom Taxonomy of Educational objectives). New York: Longman
Arends, Richard I. 2008. Lerning To Teach, Belajar Untuk Mengajar Edisi-7. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Harsanto, Ratno. 2011. Pengelolaan Kelas yang Dinamis: Paradigma Baru Pembelajaran
Kompetensi Siswa. Yogyakarta: Kanisius
Harta, Idris. 2008. Pertanyaan-Pertanyaan Inovatif untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir
Tingkat Tinggi. Surakarta: Prodi Pend Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Kelly, Melissa. 2002. Bloom's Taxonomy - Analyze Category. Prepared at. http:// 712 educators
.about .com/ od/ testconstruction/p/ blooms_analyze. htm. Akses November 2013
Kelly, Melissa. 2002. Bloom's Taxonomy - Evaluation Category. Prepared at. http:// 712 educators
.about .com/ od/ testconstruction/p/ blooms_evaluation. htm. Akses November 2013
Lange, Verna Leigh. 2002. Instructional Scaffolding. Prepared at
http://condor.admin.ccny.cuny.Edu/~group4/Lange/lange%20paper.doc. Akses November 2013
Newmann, F. M. 1988. Higher Order Thinking in the High School Curriculum. NASSP Bulletin,
72, 58-64
Nusu, Abdullatif. 2010. Dissertasi tidak dipublikasikan: Scaffolding dalam Pengajaran Mikro
Kimia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
OECD, 2010, PISA 2009 at Glance. OECD Publishing
Resnick, L.B. 1987. Education and Learning To Think. Washington, D.C.: National Academy
Press
Solso, Robert L. 1995. Cognitive Psychology. United States of America: Allyn and Bacon
Sumarmo, Utari & Nishitami,Izumi. 2010. High Level Mathematical Thinking: Experiment With
High School and Under Graduate Students Using Various Approaches and Strategie, 58, 9-
22.
Suryadi, Didi. 2012. Membangun Budaya Baru dalam Berpikir Matematika. Bandung: RIZQI
Press
Suherman, Erman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung:Universitas Pendidikan Indonesia
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
238 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Syamsiah, Sitti. 2008. Skripsi Tidak Diterbitkan: Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui
Pembelajaran Kooperatif Dengan Mengintensifkan Scaffolding Di Kelas IX/H SMP Negeri 2
Takalar. Makassar: Universitas Negeri Makassar
Thompson, Tony. 2008. Mathematics Teacher’s Interpretation of Higher Order Thinking In
Bloom’s Taxonomy. International Electronic Journal of Mathematics Education, 3, 96-109
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 239
PENGEMBANGAN INSTRUMEN EVALUASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF
Sintha Sih Dewanti Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jalan Marsda Adisucipto No 1 Yogyakarta 55281, e-mail: sintha_pmat@yahoo.com
Abstrak
Matematika merupakan ilmu yang membutuhkan penalaran dan pemikiran kreatif
dalam pemecahan masalahnya. Melalui berpikir kreatif, seseorang dapat membangun
hubungan di antara hal-hal yang berbeda dan dapat mengembangkan kebiasaan
menghubungkan berbagai hal dengan bebas. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kreatif
menjadi salah satu fokus dalam pembelajaran matematika. Sebagai calon pendidik,
mahasiswa program studi pendidikan matematika dituntut untuk dapat mengembangkan
instrumen evaluasi pembelajaran matematika untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif.
Pengukuran kemampuan berpikir kreatif dapat dilakukan dengan memberikan soal atau
masalah terbuka dan pembelajaran menggunakan pendekatan problem possing. Pertanyaan
terbuka mengajak siswa untuk berpikir tingkat tinggi sehingga membantu siswa untuk
membangun dan memahami konsep matematika dengan sendirinya. Siswa dituntut secara
kreatif untuk menyelesaikan permasalahan dengan banyak cara maupun banyak jawaban,
sehingga dapat membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir kreatif.
Pembelajaran menggunakan pendekatan problem possing memungkinkan siswa lebih
leluasa untuk menyampaikan ide-ide matematika. Pendekatan ini memberikan kesempatan
kepada siswa untuk merumuskan suatu soal matematika yang lebih sederhana dalam rangka
menyelesaikan suatu soal yang kompleks, sehingga kreativitas siswa dapat berkembang
dengan baik. Pemberian masalah terbuka dan pembelajaran menggunakan pendekatan
problem possing dapat menumbuhkan kreativitas sebagai proses dalam memahami sebuah
masalah, mencari solusi-solusi yang mungkin, menarik hipotesis, menguji dan
mengevaluasi, serta mengkomunikasikan hasilnya. Hasil kreativitas ini meliputi ide-ide
yang baru, cara pandang berbeda, memecahkan rantai permasalahan, mengkombinasikan
kembali gagasan-gagasan atau melihat hubungan baru di antara gagasan-gagasan tersebut.
Aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif matematis, yaitu: kelancaran, keluwesan,
keaslian, dan elaborasi.
Keywords: instrumen evaluasi pembelajaran matematika, kemampuan berpikir kreatif,
masalah terbuka, problem possing, aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif
matematis
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan kepada semua peserta
didik mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi untuk membekali peserta didik dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerjasama.
Dengan kemampuan itu diharapkan siswa dapat bertahan hidup pada kondisi yang selalu berubah,
tidak pasti dan kompetitif. Hal ini sesuai dengan perubahan pola pikir pada kurikulum 2013 yaitu
standar kompetensi lulusan diturunkan dari kebutuhan. Oleh karena itu, siswa harus dididik untuk
kreatif agar tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan tetapi juga mampu menghasilkan
pengetahuan baru.
Kurikulum 2013 dikembangkan berbasis pada kompetensi ini sangat diperlukan sebagai
instrumen untuk mengarahkan siswa menjadi: 1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
240 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; dan (2) manusia terdidik yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri;
dan (3) warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Kurikulum 2013 dirancang
dengan tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai
pribadi dan warganegara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu
berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia. Oleh
karena itu, ada perubahan dalam proses pembelajaran dan penilaiannya. Pembelajaran
menggunakan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba, dan menalar,
sehingga peserta didik lebih banyak mencari tahu (discovery learning). Penilaian ditujukan untuk
mengukur tingkat berpikir peserta didik mulai dari rendah sampai tinggi dan mengukur proses
kerja siswa, bukan hanya hasil kerja siswa. Penilaian dapat menggunakan portfolio dan lebih
menekankan pada pertanyaan yang membutuhkan pemikiran mendalam (bukan sekedar hafalan).
Akan tetapi pada kenyataan di lapangan yang selama ini muncul dan banyak diajarkan di
sekolah adalah masalah-masalah matematika yang tertutup. Dalam menyelesaikan masalah-
masalah matematika tertutup ini, prosedur yang digunakannya sudah hampir dapat dikatakan
standar. Akibatnya timbul persepsi yang agak keliru terhadap matematika. Matematika dianggap
sebagai pengetahuan yang pasti, terurut dan prosedural.
Selama ini, soal-soal pada tes formatif diberikan dalam bentuk tes essay dengan prosedur
rutin yang jawabannya tunggal dan pada tes sumatif diberikan dalam bentuk objektif. Dominasi
tes objektif ini terlihat dari soal-soal Ujian Akhir Nasional (UAN) dan Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB). Penggunaan tes objektif dalam soal-soal tersebut mendorong guru
memberikan latihan-latihan pada siswa untuk menjawab soal-soal bentuk ini. Sementara itu,
masalah-masalah matematika terbuka (open problems) sendiri hampir tidak tersentuh, hampir
tidak pernah muncul dan disajikan dalam proses pembelajaran matematika di sekolah. Akibatnya
bila ada soal atau permasalahan itu dianggap salah soal atau soal yang tidak lengkap. Padahal,
soal seperti itu menuntut kreativitas siswa dalam menjawabnya karena dituntut berpikir lebih
daripada hanya mengingat prosedur baku dalam menyelesaikan suatu masalah. Untuk
menyelesaikan masalah ini, siswa tak dapat langsung begitu saja menjawabnya. Soal ini menuntut
cara berpikir yang lebih cerdas dengan melakukan perencanaan sebelum mendapat jawaban,
sehingga dapat menggali munculnya berpikir divergen.
Pemikiran dan gagasan yang kreatif akan muncul dan berkembang pada siswa jika
didukung oleh pembelajaran yang diciptakan oleh guru. Oleh karena itu, peran guru dituntut
untuk menyiapkan materi, mengolah proses pembelajaran dan menilai kompetensi yang dimiliki
siswa sesuai tuntutan kurikulum 2013. Begitu pula mahasiswa program studi pendidikan
matematika harus menggali potensinya untuk mempersiapkan diri sebagai pendidik bidang studi
pendidikan matematika melalui matakuliah matematika maupun kependidikan. Salah satu
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 241
kegiatan mahasiswa pada matakuliah Evaluasi Pembelajaran Matematika adalah belajar
mengembangkan instrumen penilaian untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif.
BERPIKIR KREATIF MATEMATIS
Berpikir merupakan suatu proses aktivitas mental suatu individu untuk memperoleh
pengetahuan (Costa, 1985). Proses yang dimaksud merupakan aktivitas kognitif yang disadari dan
diupayakan sehingga terjadi perolehan pengetahuan bermakna. Ruggiero (Siswono, 2009)
mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau
memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan
(fulfill a desire to understand). Pendapat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merumuskan
suatu masalah, memecahkan masalah, ataupun ingin memahami sesuatu, maka ia melakukan
suatu aktivitas berpikir.
Ketika seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu praktek pemecahan masalah,
pemikiran divergen menghasilkan banyak ide yang berguna dalam menyelesaikan masalah.
Berpikir kreatif adalah kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman
baru. Berpikir kreatif memungkinkan siswa untuk mempelajari masalah secara sistematis,
menghadapi berjuta tantangan dengan cara yang terorganisasi, merumuskan pernyataan inovatif,
dan merancang solusi orisinal.
Guilford (Munandar,2009) mengemukakan bahwa berpikir kreatif sebagai kemampuan
untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan
bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapatkan perhatian dalam pendidikan
formal. Oleh karenanya pemecahan masalah harus dipandang secara utuh sebagai „proses‟, dan
melibatkannya ke dalam tahapan-tahapan proses berpikir kreatif. Berpikir kreatif dapat juga
dipandang sebagai suatu proses yang digunakan ketika seorang individu mendatangkan atau
memunculkan suatu ide baru. Ide baru tersebut merupakan gabungan ide-ide sebelumnya yang
belum pernah diwujudkan (Infinite Innovation Ltd, 2001). Pengertian ini lebih memfokuskan pada
proses individu untuk memunculkan ide baru yang merupakan gabungan ide-ide sebelumnya yang
belum diwujudkan atau masih dalam pemikiran.
Dalam berpikir kreatif tersebut, kedua belahan otak digunakan bersama-sama secara
optimal. Pehkonen (1997) menyatakan bahwa berpikir kreatif sebagai kombinasi dari berpikir
logis dan berpikir divergen yang berdasarkan pada intuisi dalam kesadaran. Oleh karena itu,
berpikir kreatif melibatkan logika dan intuisi secara bersama-sama. Secara khusus dapat dikatakan
berpikir kreatif sebagai satu kesatuan atau kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen
guna menghasilkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru tersebut merupakan salah satu indikasi
berpikir kreatif dalam matematika, sedangkan indikasi yang lain berkaitan dengan berpikir logis
dan berpikir divergen.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
242 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Sejalan dengan hal tersebut, Krulik dan Rudnik menyebutkan bahwa berpikir kreatif
merupakan salah tingkat tertinggi seseorang dalam berpikir, yaitu dimulai ingatan (recall),
berpikir dasar (basic thinking), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative
thinking). Berpikir yang tingkatnya di atas ingatan (recall) dinamakan penalaran (reasoning).
Sementara berpikir yang tingkatnya di atas berpikir dasar dinamakan berpikir tingkat tinggi (high
order thinking). Secara hirarkis, tingkat berpikir tersebut disajikan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Tingkatan Berpikir
Dalam berpikir kreatif, seseorang akan melalui tahapan mensintesis ide-ide, membangun ide-ide,
merencanakan penerapan ide-ide, dan menerapkan ide-ide tersebut sehingga menghasilkan
sesuatu atau produk yang baru yaitu kreativitas.
Berpikir kreatif membutuhkan ketekunan, disiplin diri, dan perhatian penuh, meliputi
aktivitas mental yaitu: 1) mengajukan pertanyaan; 2) mempertimbangkan informasi baru dan ide
dengan pikiran terbuka; 3) membangun keterkaitan, khususnya di antara hal-hal yang berbeda;
4) menghubung-hubungkan berbagai hal dengan bebas; 5) menerapkan imajinasi pada setiap
situasi untuk menghasilkan hal baru dan berbeda; dan 6) mendengarkan intuisi. Intuisi dapat
mendorong seseorang dalam memunculkan ide penyelesaian masalah, meskipun strategi dan hasil
penyelesainnya sama tetapi idenya bisa berbeda.
Berdasarkan penjelasan tersebut disimpulkan bahwa berpikir kreatif merupakan sebuah
proses untuk menjadi lebih sensitif terhadap masalah, kekurangan dan kelemahan dalam
pengetahuan serta ketidakharmonisan; mengidentifikasi kesulitan; mencari solusi, membuat
dugaan atau merangkai hipotesis mengenai kelemahan tersebut; menguji dan menguji kembali
hipotesis yang dibuat dan kemungkinan untuk memodifikasi hipotesis tersebut kemudian
mengujinya kembali; dan akhirnya mengkomunikasikan hasil yang diperoleh.
KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF
Seseorang yang mempunyai kemampuan berpikir kreatif tidak hanya mampu memecahkan
masalah-masalah matematika non rutin, tetapi juga mampu melihat berbagai alternatif dan cara
dari pemecahan masalah itu, kemampuan berpikir kreatif merupakan bagian yang sangat penting
untuk kesuksesan dalam pemecahan masalah matematika. Tidak semua masalah yang dihadapi
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 243
siswa hanya dapat diselesaikan dengan satu atau dua cara, namun masih ada beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk menyelesaikannya, ini tidak terlepas dari daya kreativitas yang ada pada
diri siswa itu sendiri. Menurut Learning and Teaching Scotland (LTS, 2004), jika kemampuan
berpikir kreatif berkembang pada seseorang, maka akan menghasilkan banyak ide, membuat
banyak kaitan, mempunyai banyak perspektif terhadap suatu hal, membuat dan melakukan
imajinasi, dan peduli akan hasil.
Silver (1997) menyatakan ada dua pandangan tentang kreativitas. Pandangan pertama
disebut pandangan kreativitas jenius. Menurut pandangan ini tindakan kreatif dipandang sebagai
ciri-ciri mental yang langka, yang dihasilkan oleh individu luar biasa berbakat melalui
penggunaan proses pemikiran yang luar biasa, cepat, dan spontan. Pandangan ini mengatakan
bahwa kreativitas tidak dapat dipengaruhi oleh pembelajaran dan kerja kreatif lebih merupakan
suatu kejadian tiba-tiba daripada suatu proses panjang sampai selesai seperti yang dilakukan
dalam sekolah.
Torrance (1969) mendefinisikan secara umum kreativitas sebagai proses dalam memahami
sebuah masalah, mencari solusi-solusi yang mungkin, menarik hipotesis, menguji dan
mengevaluasi, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada orang lain. Dalam prosesnya, hasil
kreativitas meliputi ide-ide yang baru, cara pandang berbeda, memecahkan rantai permasalahan,
mengkombinasikan kembali gagasan-gagasan atau melihat hubungan baru di antara gagasan-
gagasan tersebut.
Secara umum, Campbell (1986) mendefinisikan kreativitas sebagai kegiatan yang
menghasilkan sesuatu yang bersifat baru (novel), berguna, dan dapat dimengerti (understandable).
Sementara menurut Munandar (2009), kreativitas adalah kemampuan menemukan banyak
kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, di mana penekanannya pada kuantitas,
ketepatgunaan, dan keberagaman jawaban. Selanjutnya Ali dan Asrori (2009) menyatakan bahwa
kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu yang sama sekali baru
atau kombinasi dari karya-karya yang telah ada sebelumnya menjadi suatu karya baru yang
dilakukan melalui interaksi dengan lingkungannya untuk menghadapi permasalahan dan mencari
alternatif pemecahannya melalui cara-cara berpikir divergen. Dengan kata lain, berbagai pendapat
tersebut menyatakan bahwa kreativitas merupakan produk kemampuan (berpikir kreatif) untuk
menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru dalam menghadapi suatu masalah atau situasi.
Secara khusus, kreativitas matematika menurut Krutetskii (1976) merupakan suatu
penguasaan kreatif mandiri matematika dalam pembelajaran matematika, perumusan mandiri
masalah-masalah matematis yang tidak rumit, penemuan cara-cara atau sarana dari penyelesaian
masalah, penemuan bukti-bukti teorema, pendeduksian mandiri rumus-rumus, dan penemuan
metode-metode penyelesaian masalah non-standar.
Ciri-ciri afektif dalam menentukan prestasi kreatif seseorang ialah rasa ingin tahu, tertarik
terhadap tugas-tugas majemuk yang dirasakan sebagai tantangan, berani mengambil risiko untuk
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
244 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
membuat kesalahan atau untuk dikritik oleh orang lain, tidak mudah putus asa, menghargai
keindahan, mempunyai rasa humor, ingin mencari pengalaman-pengalaman baru, dapat
menghargai baik diri sendiri maupun orang lain, dan sebagainya.
Ciri-ciri kepribadian yang mencerminkan pribadi yang kreatif yaitu: 1) mempunyai daya
imajinasi yang kuat; 2) mempunyai inisiatif; 3) mempunyai minat yang luas; 4) bebas dalam
berpikir (tidak kaku atau terhambat); 5) bersifat ingin tahu; 6) selalu ingin mendapat pengalaman-
pengalaman baru; 7) percaya pada diri sendiri; 8) penuh semangat (energetic); 9) berani
mengambil resiko (tidak takut membuat kesalahan); dan 10) berani dalam pendapat dan
keyakinan (tidak ragu-ragu dalam menyatakan pendapat meskipun mendapat kritik dan berani
mempertahankan pendapat yang menjadi keyakinannya).
PENGEMBANGAN INSTRUMEN ASESMEN BERPIKIR KREATIF
Secara umum yang dimaksud dengan instrumen adalah suatu alat yang memenuhi
persyaratan akademis, sehingga dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengukur suatu objek
ukur atau mengumpulkan data mengenai suatu variabel (Djaali dan Pudji Mulyono, 2004),
sedangkan asesmen adalah serangkaian proses yang didalamnya terdapat aktivitas tes dan evaluasi
(Imandala, 2009). Instrumen asesmen meliputi tes dan sistem penilaian. Instrumen asesmen
dirancang untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta didik setelah mempelajari suatu
kompetensi. Oleh karena itu, instrumen asesmen yang dirancang dengan baik dan sesuai dengan
tingkatan kemampuan berpikir dapat meningkatkan daya berpikir siswa.
Berkaitan dengan pentingnya keterampilan berpikir khususnya berpikir kreatif,
pengembangan instrumen asesmen digunakan sebagai alat untuk mengungkap kemampuan
berpikir kreatif siswa. Instrumen asesmen berpikir kreatif merupakan suatu alat penilaian yang
digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa yang diwujudkan dalam bentuk tes
uraian yang memperhatikan tingkatan keterampilan berpikir kreatif.
Menurut Worthington (2006), mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dapat dilakukan
dengan cara mengeksplorasi hasil kerja siswa yang merepresentasikan proses berpikir kreatifnya.
Sementara menurut McGregor (2007), mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dapat pula
dilakukan dengan mendasarkan pada apa yang dikomunikasikan siswa, secara verbal maupun
tertulis. Apa yang dikomunikasikan siswa tersebut dapat berupa hasil kerja siswa terkait tugas,
penyelesaian masalah, atau jawaban lisan siswa terhadap pertanyaan guru.
Beberapa ahli telah mengembangkan instrumen untuk mengukur kemampuan berpikir
kreatif matematis, seperti Balka dan Torrance (Silver, 1997). Balka mengembangkan instrumen
Creative Ability Mathematical Test (CAMT) dan Torrance mengembangkan instrumen Torrance
Tests of Creative Thinking (TTCT). Jensen (Park, 2004) mengukur kemampuan berpikir kreatif
matematis dengan memberikan tugas membuat sejumlah pertanyaan atau pernyataan berdasarkan
informasi pada soal-soal yang diberikan. Soal-soal yang diberikan tersebut disajikan dalam bentuk
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 245
narasi, grafik, atau diagram. Cara atau metode pengukuran kemampuan berpikir kreatif matematis
yang digunakan Balka, Torrance, dan Jensen di atas sering disebut tugas problem posing.
Pengajuan masalah bermanfaat untuk membantu siswa dalam mengembangkan kenyakinan dan
kesukaan terhadap matematika, sebab ide-ide matematika mereka dicobakan untuk memahami
masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan kinerjanya dalam pemecahan masalah.
Komponen berpikir kreatif dalam pemecahan masalah matematika tersebut meliputi:
1. Kefasihan (fluency) merupakan banyaknya ide-ide yang dibuat dalam merespon sebuah
perintah. Dalam hal pemecahan masalah matematika siswa menyelesaikan masalah dengan
bermacam-macam solusi dan jawaban.
2. Fleksibilitas (flexibility) merupakan perubahan-perubahan pendekatan ketika merespon
perintah. Siswa menyelesaikan (menyatakan) dalam satu cara kemudian dalam cara lain.
Siswa mendiskusikan berbagai metode penyelesaian.
3. Kebaruan (novelty) merupakan keaslian ide yang dibuat dalam merespon perintah. Siswa
memeriksa jawaban dengan berbagai metode penyelesaian dan kemudian membuat metode
yang baru yang berbeda.
Getzles dan Jackson (Silver, 1997) mengemukakan cara lain untuk mengukur kemampuan
berpikir kreatif matematis, yakni dengan soal terbuka (open-ended problem). Menurut Becker dan
Shimada (Livne, 2008), soal terbuka (open-ended problem) adalah soal yang memiliki beragam
jawaban. Menggunakan masalah terbuka dapat memberi siswa banyak sumber pengalaman dalam
menafsirkan masalah, dan mungkin pembangkitan solusi berbeda dihubungkan dengan penafsiran
yang berbeda. Siswa tidak hanya dapat menjadi fasih dalam membangkitkan banyak masalah dari
sebuah situasi, tetapi mereka dapat juga mengembangkan fleksibilitas dengan mereka
membangkitkan banyak solusi pada sebuah masalah.
Menurut Munandar (2009) ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif (aptitude), yaitu:
1. Keterampilan berpikir luwes: dapat menilai satu masalah dari sudut pandang yang berbeda-
beda, mampu merubah cara pendekatan atau cara pemikiran, menghasilkan gagasan, jawaban,
atau pertanyaan yang bervariasi.
2. Keterampilan berpikir orisinal: mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik,
memikirkan cara dan mampu membuat kombinasi-kombinasi baru dari bagian-bagian yang
ada.
3. Keterampilan memperinci (mengelaborasi): mampu memperkaya atau mengembangkan suatu
gagasan atau produk, memperinci detail-detail dari suatu obyek, gagasan, atau situasi
sehingga menjadi lebih menarik.
4. Keterampilan menilai (mengevaluasi): mampu mengambil keputusan terhadap situasi yang
terbuka, menentukan patokan penilaian sendiri.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
246 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
HASIL PENGEMBANGAN INSTRUMEN
Salah satu produk yang dihasilkan dalam perkuliahan Evaluasi Pembelajaran Matematika
adalah instrumen penilaian yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif. Berikut
ini adalah contoh instrumen penilaian yang dikembangkan oleh mahasiswa.
Tabel 1. Kisi-kisi Soal untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa
Standar Kompetensi : Memahami konsep segitiga dan segiempat serta menentukan ukurannya.
Kompetensi Dasar : Menghitung keliling dan luas bangun segitiga dan segiempat serta
menggunakannya dalam pemecahan masalah.
Indikator Kompetensi
Indikator
Kemampuan
Berpikir kreatif
Pencapaian Siswa
No
butir
soal
Menghitung dan menentukan
keliling dan luas segitiga jika
diketahui panjang sisi-sisinya.
Berpikir luwes
(fleksibel)
Siswa mampu menentukan
luas ubin hitam dengan
beragam cara.
1
Menghitung dan menentukan
keliling dan luas persegi dan
persegipanjang jika diketahui
panjang sisi-sisinya.
Menilai
(mengevaluasi)
Siswa mampu menentukan
dan menghitung luas daerah
persegi dan persegipanjang
dengan beragam cara.
2
Menerapkan keliling dan luas
daerah jajargenjang dalam
permasalahan sehari-hari.
Berpikir lancar
(kefasehan)
Siswa mampu menentukan
ukuran jajargenjang jika
diketahui kelilingnya dengan
beragam cara.
3
Menerapkan konsep keliling
dan luas belah ketupat dan
layang-layang dalam
permasalahan sehari-hari.
Memperinci
(mengelaborasi)
Siswa mampu menentukan
ukuran layang-layang dan
menyelesaikan permasalahan
berkaitan dengan keliling dan
luas layang-layang dengan
beragam cara.
4
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 247
Soal untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa
1.
Sebuah lantai teras terdiri dari susunan ubin segitiga sama
kaki seperti gambar di samping. Carilah luas ubin hitam di
lantai teras tersebut! Tuliskan cara yang lain!
2.
Ilham akan membuat bangun menggunakan kertas
karton yang berbentuk seperti gambar di atas. Ia
ingin mengetahui luas karton, setelah dihitung yaitu
dengan cara L1= 12 cm2,L2= 21 cm
2,L3=20 cm
2,
L4=20 cm2,jadi luas totalnya yaitu 73 cm
2.
Menurut kamu benarkah luas karton yang dihitung oleh Ilham? Jelaskan alasanmu!
(Tentukan luas bangun tersebut dengan sketsa gambar dan caramu sendiri)
3. Pak John memiliki kebun yang berbentuk jajargenjang. Kebun itu diberi pagar dari kawat.
Panjang kawat yang dihabiskan adalah 400 meter. Berapa ukuran kebun Pak John yang
memenuhi panjang kawat tersebut?
4. Danu ingin berjualan layang-layang, dia membuat kerangka layang-layang dari bambu. Ia
membeli bambu yang panjangnya 5 meter dengan harga Rp. 5.000,00 dan membeli kertas
yang berbentuk persegipanjang berukuran 100 x 150 cm dengan harga Rp. 1.500,00. Ia ingin
membuat layang-layang dan menjualnya kepada teman-temannya.
a. Tentukan berapa kerangka layang-layang yang dapat dibuat Danu dari 5 meter bambu
yang ia beli! (layang-layang yang dibuat berukuran sama dan lebih dari satu layang-
layang)
b. Tentukan berapa sisa panjang bambu dan kertas yang Danu beli! (jika ada sisa)
c. Berapa harga satu layang-layang jika Danu ingin mendapatkan keuntungan?
d. Berapa keuntungan yang Danu peroleh?
*Petunjuk no.4
Membuat layang-layang dibutuhkan kerangka layang-layang yang dalam persoalan ini
adalah permisalan dari diagonal-diagonal layang-layang. Kertas untuk membuat layang-
layang dalam masalah ini adalah permisalan dari luas dari layang-layang.
Untuk dapat mengukur kemampuan berpikir kreatif, penilai perlu menggunakan panduan
penilaian yang menggambarkan kriteria yang diinginkan guru dalam menilai atau memberi
tingkatan dari hasil pekerjaan siswa. Berikut ini contoh pedoman penskoran untuk mengukur
kemampuan berpikir kreatif.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
248 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Tabel 2.
Pedoman Penskoran Untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa
No.
Soal
Indikator
Kemampuan
Berpikir Kreatif
Skor Keterangan
1. Berpikir luwes
(fleksibel)
0 Siswa tidak dapat menentukan dan menghitung luas
daerah dengan strategi dan cara yang tepat.
2 Siswa dapat menentukan dan menghitung luas daerah
dengan satu strategi dan cara yang kurang tepat.
3 Siswa dapat menentukan dan menghitung luas daerah
dengan satu strategi dan cara yang tepat.
5 Siswa dapat menentukan dan menghitung luas daerah
lebih dari satu strategi dan cara yang tepat.
2. Menilai
(mengevaluasi)
0 Siswa tidak dapat memberi penjelasan dan tidak memberi
gagasan yang memperkuat penyelesaian.
2 Siswa memberikan penjelasannya tetapi tidak memberi
gagasan yang memperkuat penyelesaian.
3 Siswa memberikan penjelasan dan memberi gagasan yang
memperkuat penyelesaian tetapi kurang tepat.
4 Siswa memberikan penjelasan dan memberi gagasan yang
memperkuat penyelesaian dengan tepat.
5 Siswa dapat membuat bangun persegipanjang lebih dari
satu dan dapat menentukan keliling atau luas daerah
persegipanjang.
3. Berpikir lancar
(kefasehan)
0 Siswa tidak dapat menentukan panjang dan lebar kebun
dengan benar dan tidak dapat menggunakan metode atau
strategi yang tepat.
2 Siswa dapat menentukan panjang dan lebar kebun dengan
benar tetapi tidak dapat menggunakan metode atau
strategi dengan tepat.
3 Siswa dapat menentukan panjang dan lebar kebun dengan
benar dan menggunakan metode atau strategi dengan tepat
5 Siswa dapat menentukan panjang dan lebar kebun lebih
dari satu dan dapat menggunakan metode atau strategi
dengan tepat
4. Memperinci 0 Siswa tidak dapat menentukan ukuran layang-layang dan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 249
No.
Soal
Indikator
Kemampuan
Berpikir Kreatif
Skor Keterangan
(mengelaborasi) a menentukan banyaknya layang-layang yang dibuat dengan
metode atau strategi yang tepat.
2 Siswa dapat menentukan lebih dari satu ukuran layang-
layang dan dapat menentukan banyaknya layang-layang
yang dibuat dengan metode atau strategi yang tepat.
b 0 Siswa tidak dapat menjelaskan sisa bambu dan sisa kertas
dengan metode atau strategi yang tepat.
1 Siswa dapat menjelaskan sisa bambu dan sisa kertas
dengan metode atau strategi yang tepat.
c 0 Siswa tidak dapat menentukan dan menjelaskan harga
layang-layang dengan metode atau strategi yang tepat.
1 Siswa dapat menentukan dan menjelaskan harga layang-
layang dengan metode atau strategi yang tepat.
d 0 Siswa tidak dapat menjelaskan keuntungan yang didapat
dengan matode atau strategi yang tepat.
1 Siswa dapat menjelaskan keuntungan yang didapat dengan
metode atau strategi yang tepat.
Selain menyiapkan pedoman penskoran, penilai juga harus menyiapkan beberapa alternatif
jawaban yang mungkin menjadi salah satu jawaban dari siswa. Berdasarkan soal maka dapat
disusun alternatif jawaban sebagai berikut.
Tabel 3.
Alternatif Jawaban untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa
No Alternatif Jawaban
1 Siswa mampu menuliskan hal-hal yang diketahui dalam permasalahan
Contoh:
Diketahui: Ubin terbentuk dari segitiga sama kaki seperti gambar.
240 cm
Ditanya: Luas ubin hitam = L ?
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
250 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
No Alternatif Jawaban
Jawab:
Siswa mampu menyelesaikan dengan cara lebih dari satu
Contoh:
Dari gambar teras, di dapat ukuran satu ubin
30 cm
30 cm
Cara I :
Luas
Menghitung jumlah ubin hitam dan mengalikan dengan luas satu ubin
Luas 1 ubin =1
2× 𝑎𝑙𝑎𝑠 × 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖
=1
2× 30 × 30 = 450 𝑐𝑚2
Ada 16 ubin hitam, jadi luas keseluruhan luas ubin hitam = 16 × 450 𝑐𝑚2 = 7200 𝑐𝑚2
Cara II :
Luas
Menempelkan ubin hitam di sebelah kiri garis tinggi segitiga ke ubin putih di sebelah
kanan segitiga.
garis tinggi 120 cm
Jadi luas ubin hitam =1
2× 𝑎𝑙𝑎𝑠 × 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖
=1
2× 120 × 120 = 7200 𝑐𝑚2
Cara III :
Mengurangkan keseluruhan luas teras dengan luas keseluruhan ubin putih
A
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 251
No Alternatif Jawaban
B D C
Luas ubin hitam = Luas △ ABC – L △ ABD
= 1
2× 𝑎𝑙𝑎𝑠 × 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 −
1
2× 𝑎𝑙𝑎𝑠 × 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖
= 1
2× 𝐵𝐶 × 𝐴𝐷 −
1
2× 𝐵𝐷 × 𝐴𝐷
= 1
2× 240 × 120 −
1
2× 120 × 120
= 14400 – 7200
= 7200 𝑐𝑚2
Siswa mampu menyimpulkan dengan benar
Jadi luas ubin hitam adalah 7200 𝑐𝑚2
(*kemungkinan lain dengan jawaban yang sama)
2 Siswa mampu menuliskan hal-hal yang diketahui dalam permasalahan
Contoh:
Diketahui 2 cm
3 cm
3 cm
3 cm 4 cm
3 cm
4 cm 5 cm
12 cm
Ditanyakan luas daerah?
Jawab
Siswa mampu memberikan penjelasan
Contoh
Luas karton yang dibutuhkan Ilham adalah 73 cm2
Cara penyelesaian:
Kemungkinan sketsa gambar untuk mencari luas
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
252 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
No Alternatif Jawaban
Siswa mampu memberikan penjelasan dengan alasan yang tepat.
Contoh
Kemungkinan
Misal bentuk bangun seperti berikut
2
3
3
3 4
3
4 L1 L2 L3 L4 5
12
Luas bangun = L1 +L2 +L3 +L4
= (4 x 3)+(3 x 7)+(10 x 2)+(5 x 4)
= 12 + 21 + 20 + 20
= 73 cm2
*kemungkinan lain dengan cara yang sama
Siswa mampu menyimpulkan dengan benar
Contoh
Jadi, benar bahwa luas bangun yang dibutuhkan Ina adalah 73 𝑐𝑚2.
*kesimpulan disesuaikan dengan jawaban siswa.
3 Siswa mampu menuliskan hal-hal yang diketahui dalam permasalahan
Contoh:
Diketahui: Kebun berbentuk jajar genjang
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 253
No Alternatif Jawaban
Kawat yang digunakan untuk pagar = 400 m
Ditanyakan: ukuran kebun yang memenuhi
Jawab:
Siswa mampu menyelesaikan permasalahan dengan jawaban yang bervariasi
Contoh:
Kemungkinan
Siswa mampu menyelesaikan permasalah dengan cara
Misal:
x = 190 m
K = 2 (x+y)
400 = 2 (190+y)
400/2 = 190 + y
200 = 190 + y
y = 10 m
x = 190 m dan y = 10 m
*kemungkinan lain yaitu:
x = 180 m dan y = 20 m
x = 170 m dan y = 30 m
x = 160 m dan y = 40 m
x = 150 m dan y = 50 m
dll yang memenuhi ukuran kebun tersebut
Siswa mampu menyimpulkan dengan benar.
Jadi, kemungkinan ukuran dari kebun yang memenuhi adalah
x = 190 m dan y = 10 m
x = 180 m dan y = 20 m
x = 170 m dan y = 30 m
x = 160 m dan y = 40 m
x = 150 m dan y = 50 m
dll yang memenuhi panjang dan lebar kebun tersebut
4 Siswa mampu menuliskan hal-hal yang diketahui dalam permasalahan.
Contoh:
Diketahui: Panjang bambu = 5 m = 500 cm
Ukuran kertas = 100 x 150 = 15000 cm2
Harga bambu = Rp. 5000,00
Harga kertas = Rp. 1500,00
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
254 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
No Alternatif Jawaban
Modal awal = Rp. 6500,00
Kerangka layang-layang
Ditanya:a. Kerangka layang-layang yang dapat dibuat.
b. Sisa bambu
c. Harga satu layang-layang jika ingin keuntungan
d. Keuntungan yang diperoleh
Jawab:
Siswa mampu menyelesaikan permasalahan dengan langkah-langkah yang detail
Contoh
Membuat layang-layang dibutuhkan kerangka layang-layang yang dalam persoalan ini
adalah permisalan dari diagonal-diagonal layang-layang. Kertas untuk membuat layang-
layang dalam masalah ini adalah permisalan dari luas dari layang-layang.
Kemungkinan I
a. Kerangkad1= 24 cm dan d2 = 40
panjang bambu yang dibutuhkan untuksatu layang-layang = 24 + 40 = 64 cm
maka banyaknya kerangka layang-layang yang dapat dibuat adalah 500/64 = 7 buah
Kertas yang dibutuhkan untuk memuat layang-layang:
Luas satu layang-layang = 1
2× 𝑑1 × 𝑑2
= 1
2× 24 × 40 = 480𝑐𝑚2
Luas kertas yang dibutuhkan untuk 7 layang-layang= 7 x 480 = 3360cm2
b. Sisa bambu = 500 – (7x64)
= 500 – 448= 52 cm
Sisa kertas = 15000 – 3360 = 11640 𝑐𝑚2
Jadi sisa panjang bambu 52 cm dan sisa kertas 11640 𝑐𝑚2
c. Harga satu layang-layang dijual Rp 1.500,00
d. Keuntungan = (7x1500) – 6500
= Rp. 4.000,00
Jadi, keuntungan yang diperoleh apabila Dino membuat 7 layang-layang dengan harga
Rp. 1.500/satu layang-layang adalah Rp. 4.000,00
Kemungkinan II
a. Kerangkad1= 30 cm dan d2 = 65
panjang bambu yang dibutuhkan untuksatu layang-layang = 30 + 65 = 95 cm
maka banyaknya kerangka layang-layangyang dapat dibuat adalah 500/95 = 5 buah
Kertas yang dibutuhkan untuk memuat layang-layang:
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 255
No Alternatif Jawaban
Luas satu layang-layang = 1
2× 𝑑1 × 𝑑2
= 1
2× 30 × 65 = 975𝑐𝑚2
Luas kertas yang dibutuhkan untuk 5 layang-layang= 5 x 975 = 4875 𝑐𝑚2
b. Sisa bambu= 500 – (5x95)
= 500 – 475= 25 cm
Sisa kertas = 15000 – 4875 = 10125 𝑐𝑚2
Jadi sisa panjang bambu 25 cm dan sisa kertas 10125 𝑐𝑚2
c. Harga satu layang-layang dijual Rp 2.200,00
d. Keuntungan = (5x2200) – 6.500
= Rp. 4.500,00
Jadi, keuntungan yang diperoleh apabila Dino membuat 5 layang-layang dengan harga
Rp. 2.200/satu layang-layang adalah Rp. 4.500,00
Kemungkinan III
a. Kerangkad1= 40 cm dan d2 = 70
panjang bambu yang dibutuhkan untuksatu layang-layang = 40 + 70 = 110 cm
maka banyaknya kerangka layang-layangyang dapat dibuat adalah 500/110 = 4 buah
Kertas yang dibutuhkan untuk memuat layang-layang:
Luas satu layang-layang = 1
2× 𝑑1 × 𝑑2
= 1
2× 40 × 70 = 1400𝑐𝑚2
Luas kertas yang dibutuhkan untuk 4 layang-layang= 4 x 1400 = 5600 𝑐𝑚2
b. Sisa bambu = 500 – (4x110)
= 500 – 440= 60 cm
Sisa kertas = 15000 – 5600 = 9400 𝑐𝑚2
Jadi sisa panjang bambu 60 cm dan sisa kertas 9400 𝑐𝑚2
c. Harga satu layang-layang dijual Rp 3.000,00
d. Keuntungan = (5x3000) – 6500
= Rp. 8.500,00
Jadi, keuntungan yang diperoleh apabila Dino membuat 5 layang-layang dengan harga
Rp. 3.000/satu layang-layang adalah Rp. 8.500,00
(*kemungkinan lain dengan cara yang sama)
PENUTUP
Kemampuan berpikir kreatif dapat diukur dengan menggunakan: 1) soal terbuka, yaitu soal
yang memiliki beragam solusi atau strategi penyelesaian; dan 2) metode problem posing, yaitu
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
256 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
pembuatan soal, pertanyaan, atau pernyataan terkait soal atau situasi matematis tertentu. Kedua
cara tersebut digunakan untuk mengukur aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif matematis,
yaitu 1) memahami informasi masalah, yaitu menunjukkan apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan; 2) kefasihan, yaitu menyelesaiakan masalah dengan bermacam-macam jawaban; 3)
fleksibilitas, yaitu menyelesaikan masalah dengan satu cara lain dan siswa memberikan
penjelasan tentang berbagai metode penyelesaian itu; dan 4) kebaruan, yaitu memeriksa jawaban
dengan berbagai metode penyelesaian dan kemudian membuat metode yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell. (1986). Mengembangkan Kreativitas, disadur oleh A. M. Mangunhardja. Yogyakarta:
Pustaka Kaum Muda.
Costa, A.L. (1985). Teacher Behaviors that Enable Student Thinking (in) Costa, A.L (Eds),
Developing Mind: A Resource book for teaching thinking. Alexandria ASDC
Djaali dan Puji Mulyono. (2004). Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Program Pasca
Sarjana Universitas Negeri Jakarta.
Imandala, Iim. (2009). Konsep Dasar Asesmen. [Online].
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Kurikulum 2013.
Krulik, Stephen, dan Rudnick, Jesse A. (1995). The New Sourcebook for Teaching Reasoning and
Problem Solving in Elementary School. Massachusetts: Allyn & Bacon.
Krutetskii, V.A. (1976). The Psychology of Mathematical Abilities in Schoolchildren. Chicago:
The University of Chicago Press.
Livne, N.L. (2008). Enhanching Mathematical Creativity through Multiple Solution to Open-
Ended Problems. [Online].
LTS. (2004). Learning Thinking. Scotland: Learning and Teaching Scotland.
McGregor, D. (2007). Developing Thinking Developing Learning. Poland: Open University Press.
Muhammad Ali dan Muhammad Asrori. (2009). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: Bumi Aksara.
Park, H. (2004). The Effects of Divergent Production Activities with Math Inquiry and Think
Aloud of Students With Math Difficulty. Disertasi. [Online].
Pehkonen, Erkki. (1997). The State of Art in Mathematical Creativity. Volume 29, Juni 1997, No.
3, Electronic Edition ISSN 1615-679X.
Silver, Edward A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical
Problem Solving and Thinking in Problem Posing. Volume 29, Juni 1997, No. 3, Electronic
Edition ISSN 1615-679X.
Siswono, T.Y.E. (2009). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa. [Online].
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 257
Torrance, E.P. (1969). Creativity What Research Says to the Teacher. Washington DC: National
Education Association.
Utami Munandar. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Worthington, M. (2006). Creativity Meets Mathematics. [Online].
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
258 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN OPEN ENDED BERBASIS PROBLEM
SOLVING SEBAGAI STRATEGI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR MATEMATIKA SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL
CERITA PERMUTASI KOMBINASI DITINJAU DARI KREATIVITAS
BELAJAR MATEMATIKA SISWA RSMABI SUKOHARJO 1)
Ira Kurniawati, Yemi Kuswardi, Henny Ekana Chrisnawati
Dosen Prodi P. Matematika PMIPA FKIP UNS
ABSTRACT
The purpose of this research is to determine: (1) the effectivenessof open-ended
learning based problem solving approach on material Permutations and Combinations
classXIRSMABIthat have been testedempirically, (2) which category among the students
with high learning creativity, creativity learning medium, low learning and creativity in
the learning of mathematics that has the ability to think mathematically better in
Permutation and Combination, (3) which of the learning with open-ended learning based
problem solving approach and learning with the conventional approach that gives a
better ability in mathematical thinking in students higher learning creativity, (4) which of
the learning with open-ended learning based problem solving approach with the
conventional approach that gives a better ability in mathematical thinking in students
with medium learning creativity, (5) which of the learning with open-ended learning
based problem solving approach and learning with the conventional approach that gives
a better ability in mathematical thinking in students low learning creativity.
This research is a quasi experimental. The population in this study were all
students of class XI IPA SMA Negeri 1 Sukoharjo and SMA Assalaam Sukoharjo
academic year 2013/2014 which consists of 8 classes. Samples were taken at random
cluster sampling technique. The sample was XI IPA1 class SMA Negeri 1 Sukoharjo and
XI IPA2 class SMA Assalaam Sukoharjo as experimental class, whereas XI IPA2 class
SMA Negeri 1 Sukoharjo and XI IPA1 class SMA Assalaam as control class. Data
collection method used is the method of documentation, methods of test and questionnaire
method. Documentation methods used to obtain data on the ability of the early students,
the test methods used to collect data about students' mathematical thinking ability by
Shafer & Foster, and the questionnaire method used to obtain data on creativity students'
mathematics learning. The data analysis technique which is used in this research is the
two-way analysis of variance with unequal cells. This research, used experimental test
conditions, the balance test using t-test. And the test requirements analysis is test for
normality with Lilliefors method and homogeneity test with F test and Bartlett methods.
Key Words : Open-Ended Approach Learning, Problem Solving, mathematicalthinking
ability
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Materi pelajaran Matematika SMA kelas XI IPA Semester I, memuat materi pokok
peluang. Pada materi pokok tersebut memuat tentang permutasi dan kombinasi. Inti masalah
pada materi tersebut adalah bagaimana siswa menyelesaikan soal cerita yang berkaitan dengan
permutasi dan kombinasi. Berdasarkan pengalaman peneliti, kenyataan menunjukkan bahwa
masih banyak siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita tentang penerapan
permutasi dan kombinasi. Mereka belum bisa membedakan apakah suatu soal termasuk
masalah permutasi atau kombinasi. Hal ini ditandai dengan capaian nilai KKM siswa yang
masih rendah pada materi pokok tersebut. Dari hasil ulangan 205 siswa kelas XI IPA RSBI
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 259
SMA Negeri 1 Sukoharjo tahun pelajaran 2010/2011, pada materi permutasi dan kombinasi
diperoleh data nilai sebagai berikut jika batas nilai KKM untuk Kompetensi Dasar Permutasi
dan Kombinasi adalah 70, maka dari data tersebut tampak bahwa hanya 34,1% siswa yang
mencapai nilai KKM dan 65,9% siswa belum mencapai KKM. Sedangkan berdasarkan data
hasil ulangan siswa kelas XI IPA pada materi permutasi dan kombinasi tahun pelajaran
2011/2012, diperoleh data bahwa sebanyak 44,9% siswa SMA Negeri 1 Sukoharjo dan 52%
siswa SMA Assalaam belum mencapai KKM, dengan batas nilai KKM 75.
Hal ini dimungkinkan karena penyajian materi yang masih cenderung standar dan kurang
inovatif dalam menyelesaikan soal-soal pada materi permutasi dan kombinasi. Sebagai
gambaran jika diberikan soal cerita berikut: Empat pasang suami istri membeli tiket untuk
suatu pertunjukan. Mereka ingin mengambil nomor duduk secara berjajar. Jika mereka
harus duduk dengan aturan dua orang akan berdekatan hanya jika keduanya adalah
pasangan suami istri atau berjenis kelamin sama , ada berapa banyak susunan tempat duduk
yang mungkin dibentuk? Masalah tersebut merupakan masalah terbuka, artinya cara
pemecahan masalah tersebut dapat dipecahkan melalui berbagai cara. Siswa diberikan
kebebasan dalam menemukan ide dalam menyelesaikannya, sehingga kegiatan kreatif dan pola
pikir siswa dapat berkembang dengan maksimal.
Untuk menyelesaikan soal-soal cerita seperti itu biasanya siswa kurang bersemangat dan
tidak mau berusaha keras untuk memahami soal itu, padahal memahami masalah merupakan
langkah awal dalam memecahkan masalah tersebut. Selanjutnya siswa akan dapat
menyelesaikan soal cerita tersebut dengan benar, jika siswa telah dapat membedakan masalah
tersebut tergolong masalah permutasi atau kombinasi. Jika siswa salah dalam menggolongkan
masalah yang ada, maka langkah penyelesaiannya dipastikan akan salah.
Untuk permasalahan soal cerita di atas sebagian besar siswa salah dalam
menyelesaikannya, sebagian siswa ada yang menyelesaikannya dengan menggunakan rumus
akhir permutasi 4 unsur dari 4 unsur yaitu P(4,4), sebagian lagi menyelesaikannya dengan
rumus P(4,4) x P(4,4), sebagian lagi menyelesaikannya dengan rumus 8! dan sebagian lagi
menyelesaikannya dengan rumus 2 x P(4,4). Kesalahan-kesalahan di atas terjadi di antaranya
karena : siswa tidak memahami masalah dengan benar, siswa tidak bisa mengklasifikasikan
masalah dengan tepat, siswa tidak bisa mengkombinasikan beberapa kejadian yang muncul, dan
juga karena siswa tidak bisa mengaitkan beberapa konsep secara simultan dalam memecahkan
masalah tersebut.
Soal cerita permutasi dan kombinasi bersifat terbuka. Siswa seringkali salah dalam
mengerjakannya karena salah dalam menafsirkan soal. Oleh karena itu, perlu adanya suatu
pembelajaran yang tepat yaitu pembelajaran terbuka yang memberikan kesempatan dan
kebebasan bagi siswa untuk menggunakan caranya masing-masing dalam menyelesaikan soal
tersebut.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
260 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu pendekatan atau strategi pembelajaran yang
akan memberikan kesempatan siswa menemukan idenya untuk memecahkan masalah dengan
benar. Dalam pembelajaran matematika tugas seorang guru sebagai pendidik adalah
menciptakan kondisi dan situasi pembelajaran yang dapat membangkitkansemangat belajar
siswa, sehingga siswa mencintai matematika. Penekanan pembelajaran matematika di sekolah
harus relevan dengan kehidupan sehari-hari, agar pelajaran matematika yang diperoleh akan
terasa manfaatnya. Dengan demikian siswa dapat mengaplikasikan matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini akan berdampak positif dalam menciptakan sumber daya manusia
yang bermutu.
Selain itu, untuk dapat memecahkan masalah di atas, diharapkan guru sebagai pendidik
berusaha untuk dapat memilih model, pendekatan atau pun strategi pembelajaran yang dapat
meningkatkan motivasi belajar dan keaktifan siswa, serta pendidik harus berusaha menanamkan
kepada siswa bahwa pelajaran matematika dapat meningkatkan penalaran, membentuk
kepribadian serta dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai siswa pada
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), tentu memiliki karakteristik yang berbeda
dengan siswa pada sekolah-sekolah biasa. Untuk itu pendidik pada RSBI perlu mengembangkan
pembelajaran yang memberikan ruang bagi siswa untuk dapat lebih mengembangkan ide-idenya
sehingga proses berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal. Meskipun
tertanggal 8 Januari 2013 Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk menghapus RSBI/
SBI namun Mendiknas Muhamad Nuh menegaskan bahwa sekolah yang berlabel RSBI tidak
bubar, karena yang dilarang adalah label RSBI-nya. Untuk itu, nilai positif dari sekolah RSBI
akan terus dilanjutkan. Peran guru dalam mempersiapkan berbagai perangkat pembelajaran
merupakan bagian penting dalam keberhasilan siswa mencapai tujuan yang direncanakan. Jadi
untuk dapat mengajar lebih efektif dan membuat anak didik merasa senang dan tidak bosan
dalam belajar, pendidik harus selalu berusaha untuk memvariasikan model, pendekatan atau pun
strategi dalam proses pembelajaran sehingga dapat membangkitkan motivasi belajar siswa.
Pembelajaran open-ended berbasis problem solving adalah salah satu alternatif
pembelajaran matematika dalam rangka mengoptimalkan kemampuan berpikir matematis siswa
dalam menyelesaikan soal cerita melalui kegiatan aktif, kreatif dan proses berpikir yang
sistematis serta terorganisir. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya pendekatan Open-ended
bertujuan untuk mengangkat kegiatan kreatif siswa dan berpikir matematika secara simultan,
sedangkan pembelajaran problem solving membentuk siswa untuk berpikir secara terstruktur.
Jawaban akhir bukanlah tujuan utama dalam pembelajaran open-ended, tetapi lebih menekankan
pada bagaimana sampai pada suatu jawaban, sehingga pembelajaran open-ended memberikan
kebebasan dalam menggunakan strategi dan cara dalam memecahkan suatu masalah tetapi tetap
berpijak pada problem solving agar pola pikir siswa lebih sistematis. Pembelajaran ini
memberikan kebebasan pada siswa untuk mengekspresikan ide-idenya sehingga kegiatan kreatif
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 261
dan proses berpikir siswa dapat berkembang dengan maksimal. Jika proses berpikir matematika
siswa dapat maksimal maka kemampuan siswa dalam memecahkan masalah akan meningkat
sehingga muaranya adalah prestasi belajar matematika siswa pun dapat meningkat.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas XI IPA semester I SMA Negeri 1 Sukoharjo dan SMA
Assalaam Sukoharjo tahun pelajaran 2013/2014, sebagai sekolah eks RSBI. Dari masing-masing
sekolah tersebut diambil dua kelas yang dikenai penelitian, yaitu kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Pada kelas eksperimen diterapkan pendekatan pembelajaran open ended berbasis
problem solving, sedangkan pada kelas kontrol diterapkan pendekatan pembelajaran
konvensional.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian tahun kedua adalah tim peneliti mencoba menerapkan pendekatan
pembelajaran open ended berbasis problem solving dalam pembelajaran permutasi kombinasi,
dengan perangkat pembelajaran dan desain instrumen penelitian yang telah diperoleh pada
tahun pertama. Hal ini untuk melihat apakah hasil belajar siswa yang mengikuti kegiatan
pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran open ended berbasis problem solving pada
materi permutasi kombinasi lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional.
Adapun tujuan khusus penelitian tahun kedua adalah : 1) untuk mengetahui efektifitas
pendekatan pembelajaran open ended berbasis problem solving pada materi permutasi
kombinasi di kelas XI RSMABI yang telah teruji secara empiris, 2) untuk mengetahui manakah
di antara siswa-siswa dengan kreativitas belajar tinggi, kreativitas belajar sedang, dan kreativitas
belajar rendah dalam pembelajaran matematika yang mempunyai kemampuan berpikir
matematika lebih baik pada materi permutasi kombinasi, 3) untuk mengetahui manakah di
antara pembelajaran dengan pendekatan open-ended dan pembelajaran dengan pendekatan
konvensional yang menghasilkan kemampuan berpikir matematika lebih baik pada siswa
dengan kreativitas belajar tinggi, 4) untuk mengetahui manakah di antara pembelajaran dengan
pendekatan open-ended dan pembelajaran dengan pendekatan konvensional yang menghasilkan
kemampuan berpikir matematika lebih baik pada siswa dengan kreativitas belajar sedang, 5)
untuk mengetahui manakah di antara pembelajaran dengan pendekatan open-ended dan
pembelajaran dengan pendekatan konvensional yang menghasilkan kemampuan berpikir
matematika lebih baik pada siswa dengan kreativitas belajar rendah.
D. Manfaat Penelitian
Hasil Manfaat penelitian tahun kedua yang diharapkan adalah bahwa dengan penelitian
eksperimentasi pembelajaran ini dapat :
1. Bagi guru bidang studi : a) Memberi masukan kepada guru matematika bahwa pendekatan
pembelajaran open-endedberbasis problem solving dapat digunakan sebagai alternatif selain
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
262 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
pendekatan pembelajaran yang biasa digunakan dalam pembelajaran matematika, b)
Memberi gambaran kepada guru tentang pendekatan pembelajaran yang dapat menjadi
salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematika siswa, c)
Memberi informasi kepada guru bahwa proses pembelajaran matematika yang
menyenangkan akan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kreativitas
belajar sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematika.
2. Bagi siswa : a) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
kreativitasnya dalam proses pembelajaran karena bersifat student centered learning, b)
Dengan penerapan pendekatan pembelajaran open-ended berbasis problem solving
diharapkan dapat membantu siswa untuk mengembangkan kegiatan kreatif dan kemampuan
berpikir matematika.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendekatan Pembelajaran Open Ended
Shimada (1997:1) yang menyatakan bahwa pendekatan open-ended adalah pendekatan
pembelajaran yang menyajikan suatu permasalahan yang memiliki metode atau penyelesaian
yang benar lebih dari satu, sehingga dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk
memperoleh pengetahuan/pengalaman menemukan, mengenali, dan memecahkan masalah
dengan beberapa teknik. Menurut Suherman dkk. (2003:95) problem yang diformulasikan
memiliki multijawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau disebut juga Open-ended
problem atau soal terbuka. Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended diawali dengan
memberikan masalah terbuka kepada siswa. Kegiatan pembelajaran harus mengarah dan
mengantarkan siswa dalam menjawab masalah dengan banyak cara serta mungkin juga dengan
banyak jawaban yang benar, sehingga merangsang kemampuan intelektual dan pengalaman
siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru.
Tujuan dari pembelajaran Open-ended problem menurut Nohda (Suherman, dkk,
2003:124) ialah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematika
siswa melalui problem posing secara simultan. Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan pola pikir
matematika siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki setiap siswa.
B. Pembelajaran Problem Solving
Membelajarkan penyelesaian soal cerita matematika dengan menggunakan metode
pemecahan masalah akan memungkinkan siswa lebih kritis dan analitis, yang aplikasinya akan
menjadi lebih baik dalam pembelajaran matematika, pelajaran lain atau permasalahan di dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk memecahkan masalah matematika, George Polya (1973 : 1)
mengemukakan empat tahap, yaitu : (1) memahami masalah, (2) merencanakan penyelesaian,
(3) melaksanakan rencana penyelesaian & (4) memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 263
Strategi pembelajaran heuristikdalam Problem Solving adalah salah satu alternatif
pembelajaran matematika dalam rangka mengoptimalkan kemampuan siswa dalam
menyelesaikan soal cerita melalui tahapan-tahapan yang urut. Tahapan-tahapan tersebut adalah :
(1) bagaimana siswa memahami masalah dengan benar (understanding the problem), (2)
bagaimana siswa merencanakan penyelesaian (device a plan), (3) bagaimana siswa
melaksanakan penyelesaian (carry out the plan), (4) bagaimana siswa memeriksa kembali
langkah-langkah penyelesaian yang telah dilakukan (lookback). Dengan melalui tahapan-
tahapan tersebut pembelajaran akan lebih bermakna karena lebih menekankan pada prosesnya
sehingga dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang soal cerita pada materi permutasi
kombinasi.
C. Kemampuan Berpikir Matematika
Kemampuan berpikir matematika adalah proses dinamis yang menuntut lahirnya beragam
ide yang kompleks sehingga terjadi peningkatan pemahaman. Dalam pembelajaran matematika,
guru diharapkan dapat mengangkat pemahaman siswa, bagaimana memecahkan permasalahan
dan perluasan serta pendalaman dalam berpikir matematika sesuai dengan kemampuan individu
siswa. Kegiatan berpikir matematika antara lain memahami suatu konsep matematika,
memecahkan permasalahan matematika, mengkonstruksi suatu teori atau permasalahan dengan
menerapkan matematika (Suherman, 2001:115).
Kemampuan berpikir matematika adalah kemampuan memahami ide matematika secara
lebih mendalam, mengamati data dan menggali ide yang tersirat, menyusun konjektur, analogi
dan generalisasi, menalar secara logis, menyelesaikan masalah, komunikasi secara matematis
dan mengaitkan ide matematika dengan kegiatan intelektual lainnya (Sapos, 2009: 14). Shafer
dan Foster (1997: 2) mengidentifikasikan perkembangan kemampuan berpikir matematis siswa
ke dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat reproduksi, koneksi, dan analisis. Tingkat reproduksi
merupakan tingkat berpikir paling rendah, tingkat koneksi adalah tingkatan berpikir yang
sedang, dan tingkat analisis adalah tingkatan berpikir yang paling tinggi. Tingkat reproduksi
meliputi kemampuan mengetahui fakta dasar, menerapkan algoritma standar, dan
mengembangkan keterampilan teknis. Tingkat koneksi meliputi kemampuan mengintegrasikan
informasi, membuat koneksi dalam dan antar materi matematika, menetapkan rumus (tools)
yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah, dan memecahkan masalah tidak rutin.
Sedangkan tingkat analisis meliputi kemampuan mematematisasi situasi, melakukan analisis,
melakukan interpretasi, mengembangkan model dan strategi sendiri, mengembangkan argumen
matematik, dan membuat generalisasi.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
264 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
METODE PENELITIAN
A. Prosedur Penelitian
Tahun atau tahap kedua (Tahun 2013) adalah penelitian penerapan atau implementasi
pembelajaran pendekatan open ended berbasis problem solving dengan berpijak pada instrumen
dan perangkat pembelajaran yang dirancang pada penelitian tahun pertama. Pada tahun kedua
ini dilakukan tahap disseminate yang merupakan bagian dari prosedur Thiagarajan tahap
terakhir.Tahap disseminate atau tahap penyebaran terbatas bertujuan untuk melakukan validasi
terhadap perangkat pembelajaran berdasarkan langkah-langkah pada tahap pengembangan
perangkat pembelajaran tahun pertama, yaitu dengan cara menyebarkan perangkat pembelajaran
ke sekolah-sekolah.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental semu (quasi experimental research),
dengan menggunakan ini menggunakan rancangan faktorial 2x3 dengan maksud untuk
mengetahui pengaruh dua variabel bebas terhadap satu variabel terikat. Variabel bebas pada
penelitian ini yaitu pendekatan pembelajaran dan kreativitas belajar siswa. Pendekatan
pembelajaran terdiri dari pendekatan pembelajaran open-ended berbasis problem solving untuk
kelas eksperimen dan pendekatan pembelajaran konvensional untuk kelas kontrol. Sedangkan
variabel terikatnya adalah kemampuan berpikir matematika siswa dengan tingkatan menurut
Shafer dan Foster, yaitu tingkat reproduksi, koneksi, dan analisis.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Sukoharjo
dan SMA Assalaam Sukoharjo tahun pelajaran 2013/ 2014 sebagai eks sekolah RSBI di
Kabupaten Sukoharjo. Adapun rinciannya, SMA Negeri 1 Sukoharjo terdiri dari 5 kelas XI IPA
dan SMA Assalam Sukoharjo yang terdiri dari 3 kelas XI IPA. Sampel diambil dengan teknik
cluster random samplingdengan cara memandang populasi sebagai kelompok-kelompok. Dalam
hal ini, seluruh kelas pada kelas XI IPA SMA Negeri 1 Sukoharjo dan SMA Assalaam
Sukoharjo dipandang sebagai cluster kemudian secara acak dipilih empat dari seluruh kelas
tersebut untuk mendapatkan empat kelas dengan kemampuan siswa yang seimbang yaitu kelas
XI IPA 1 dan XI IPA 2 untuk SMA Negeri 1 Sukoharjo dan XI IPA 1 dan XI IPA 2 untuk SMA
Assalaam Sukoharjo. Setelah itu dilakukan pemilihan secara acak lagi untuk menentukan kelas
manakah yang akan dijadikan kelas kontrol dan kelas eksperimen. Sedemikian sehingga
diperoleh kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Sukoharjo dan kelas XI IPA 2 SMA Assalaam
Sukoharjo sebagai kelas eksperimen, dan kelas XI IPA 2 SMA Negeri 1 Sukoharjo dan XI
IPA 1 SMA Assalaam Sukoharjo sebagai kelas kontrol.
C. Teknik Pengumpul Data Penelitian
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi, metode tes dan
metode angket. Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 265
awal siswa dari nilai rapor untuk mata pelajaran matematika pada kelas X semester II tahun
pelajaran 2012/2013.
Data kemampuan awal ini digunakan untuk menguji keseimbangan antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Metode tes digunakan untuk mengumpulkan data mengenai
kemampuan berpikir matematis siswa. Nilai tes kemampuan berpikir matematis pada materi
Permutasi dan Kombinasi ini didasarkan pada penilaian tingkat berpikir matematika yang
mengacu pada taksonomi Shafer dan Foster. Adapun tes yang diberikan berbentuk essay atau
uraian terstruktur, berisi soal-soal cerita yang berkaitan dengan materi permutasi, kombinasi
dan penerapan permutasi & kombinasi didesain sesuai dengan pendekatan pembelajaran open-
ended berbasis problem solving. Instrumen perangkat dan instrument pembelajaran ini telah
dikembangkan pada penelitian tahun pertama. Sedangkan metode angket digunakan untuk
memperoleh data mengenai kreativitas belajar matematika siswa.Dalam penelitian ini digunakan
angket yang memuat pertanyaan - pertanyaan mengenai kreativitas belajar siswa yang terdiri
dari 27soal pilihan ganda dengan 4 alternatif jawaban.
D. Teknik Analisa Data
Untuk menganalisis data hasil belajar siswa setelah dilaksanakan eksperimen digunakan
analisis statistik inferensial dengan anava dua jalan dengan sel tak sama.Faktor yang
digunakan untuk mengetahui perbedaan interaksi efek baris, efek kolom, dan kombinasi efek
baris dan kolom terhadap kemampuan berpikir matematika siswa adalah faktor A (pemberian
pendekatan pembelajaran) dan faktor B (kreativitas belajar siswa). Namun sebelumnya
dilakukan uji keseimbangan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan uji t, untuk
melihat apakah kedua kelas ini berasal dari dua kelompok populasi yang mempunyai
kemampuan awal sama. Asumsi penggunaan uji t adalah sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal dan dua kelompok yang dibandingkan adalah homogen. Sehingga sebelum
digunakan uji t terlebih dahulu dilaksanakan uji asumsi yaitu uji normalitas dengan metode
Lilliefors dan Uji homogenitas dengan menggunakan uji Chi Kuadrat. Selain itu sebelum
melakukan analisis statistik inferensial dengan anava dua jalan pada data hasil belajar
matematika siswa materi permutasi kombinasi, maka terlebih dahulu harus dilakukan uji
prasyarat anava yaitu uji normalitas dengan metode Lilliefors dan uji homogenitas dengan
menggunakan uji Chi Kuadrat. Apabila hipotesis nol ditolak maka dilakukan uji komparasi
ganda yaitu tindak lanjut dari analisis variansi. Untuk uji lanjut anava digunakan metode
Scheffe.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pembahasan Hasil Analisis
1. Hipotesis Pertama
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
266 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Dari perhitungan anava dua jalan dengan sel tak samadiperoleh
tabela F 3,9200 7,5254 F , sehingga H0A ditolak. Hal ini berarti ada perbedaan
kemampuan berpikir matematika siswa antara pendekatan pembelajaran open-endedberbasis
problem solving dan pendekatan pembelajaran konvensional pada materi permutasi dan
kombinasi. Diperoleh rataan marginal kelas dengan pendekatan open-ended berbasis
problem solving sama dengan 75,33 dan rataan marginal kelas dengan pendekatan
konvensional sama dengan 66,49. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan
pendekatan open-ended berbasis problem solving lebih baik daripada pembelajaran dengan
pendekatan konvensional terhadap kemampuan berpikir matematika pada materi permutasi
dan kombinasi.
2. Hipotesis Kedua
Dari hasil perhitungan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama diperoleh Fb =
3,5078 > 3,090 = Ftabel, maka H0B ditolak. Hal ini berarti terdapat perbedaaan kemampuan
berpikir matematika siswa ditinjau dari kreativitas belajar matematika siswa pada materi
permutasi dan kombinasi.
Berdasarkan uji pasca anava diperoleh F1-2 = 1,0558; F1-3 = 6,2196; F2-3 = 4,6703;
DK = { 6.18FF }, sehingga dapat disimpulkan bahwa:
a. Siswa yang mempunyai kreativitas belajar matematika tinggi dengan siswa yang
mempunyai kreativitas belajar matematika sedang memiliki kemampuan berpikir
matematika yang sama. Karakteristik perbedaan tersebut sesuai dengan karakteristik
perbedaan rataan marginalnya. Rataan marginal kreativitas belajar matematika siswa
kelompok kreativitas belajar matematika tinggi sama dengan 75,63dan rataan
kemampuan berpikir matematika siswa kelompok kreativitas belajar matematika
sedang sama dengan 71,48. Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki
kreativitas belajar matematika tinggi mempunyai kemampuan berpikir matematika
yang sama baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki kreativitas belajar
matematika sedang.
b. Siswa yang mempunyai kreativitas belajar matematika tinggi dengan siswa yang
mempunyai kreativitas belajar matematika rendah secara signifikan memiliki
kemampuan berpikir matematika yang berbeda. Karakteristik perbedaan tersebut
sesuai dengan karakteristik perbedaan rataan marginalnya. Rataan marginal kreativitas
belajar matematika siswa kelompok kreativitas belajar matematika tinggi sama dengan
77,31 dan rataan kemampuan berpikir matematika siswa kelompok kreativitas belajar
matematika rendah sama dengan 62,98.Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa yang
memiliki kreativitas belajar matematika tinggi mempunyai kemampuan berpikir
matematika yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki kreativitas
belajar matematika rendah.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 267
c. Siswa yang mempunyai kreativitas belajar matematika sedang dengan siswa yang
mempunyai kreativitas belajar matematika rendah memiliki kemampuan berpikir
matematika yang sama. Karakteristik perbedaan tersebut sesuai dengan karakteristik
perbedaan rataan marginalnya. Rataan marginal kreativitas belajar matematika siswa
kelompok kreativitas belajar matematika sedang sama dengan 71,48dan rataan
kemampuan berpikir matematika siswa kelompok kreativitas belajar matematika
rendah sama dengan 62,98.Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki
kreativitas belajar matematika sedang mempunyai kemampuan berpikir matematika
yang sama baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki kreativitas belajar
matematika rendah.
3. Hipotesis Ketiga, Keempat dan Kelima
Dari hasil perhitungan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama diperoleh Fab =
0,1233 < 3,090 = Ftab, maka H0AB tidak ditolak sehingga tidak perlu dilakukan uji pasca
anava. Dengan tidak ditolaknya H0AB berarti tidak terdapat interaksi antara pendekatan
pembelajaran dan kreativitas belajar matematika siswa terhadap kemampuan berpikir
matematika siswa pada materi permutasi dan kombinasi. Dengan tidak adanya interaksi
mengakibatkan:
a. Pada siswa dengan kreativitas belajar tinggi, pembelajaran dengan pendekatan open-
ended berbasis problem solving akan menghasilkan kemampuan berpikir matematika
yang lebih baik daripada pendekatan konvensional.
b. Pada siswa dengan kreativitas belajar sedang, pembelajaran dengan pendekatan open-
ended berbasis problem solving akan menghasilkan kemampuan berpikir matematika
yang lebih baik daripada pendekatan konvensional.
c. Pada siswa dengan kreativitas belajar rendah, pembelajaran dengan pendekatan open-
ended berbasis problem solving akan menghasilkan kemampuan berpikir matematika
yang lebih baik daripada pendekatan konvensional.
Hasil kesimpulan tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang kelima yang menyatakan
bahwa pada siswa dengan kreativitas belajar rendah, pembelajaran dengan pendekatan
open-ended akan menghasilkan kemampuan berpikir matematika yang sama baiknya
dengan pendekatan konvensional.
Tidak terpenuhinya hipotesis kelima mungkin dikarenakan:
a) Pada siswa dengan kreativitas belajar rendah, pembelajaran dengan pendekatan open-
ended berbasisproblem solving akan menuntut siswa untuk dapat berpikir kreatif dalam
menemukan ide-ide dalam menyelesaikan permasalahan terbuka. Sehingga dengan
pendekatan ini, siswa akanterus termotivasi dan terlatih untuk mencari penyelesaian
dari masalah yang bersifat terbuka. Akibatnya untuk siswa dengan kreativitas belajar
rendah, pendekatan pembelajaran open-ended berbasis problem solving akan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
268 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
menghasilkan kemampuan berpikir matematika yang lebih baik dibanding pembelajaran
konvensional.
b) Faktor yang ada dalam diri siswa pada saat pengisian angket kreativitas belajara turut
mempengaruhi nilai skor angket, misalnya pengisian jawaban tidak sesuai dengan
kondisi sebenarnya yang dialami siswa.
4. Persentase Tingkatan Kemampuan Berpikir Matematika
a. Persentase Tingkatan Kemampuan Berpikir Matematika Berdasarkan
Pendekatan Pembelajaran
b.
Tabel 1.Tingkat Kemampuan Berpikir Matematika Siswa Berdasarkan Pendekatan
Pembelajaran
Tingkat Berpikir
Matematis yang
Dicapai Oleh Siswa
Persentase (%)
Kelas Eksperimen
(Kelas dengan pendekatan
Open-EndedBerbasis Problem
Solving)
Kelas Kontrol
(Kelas dengan pendekatan
Konvensional)
No.1 No. 2 No. 3 No. 1 No.2 No.3
Reproduksi 3,33 15 0 1,61 1,61 0
Koneksi 62,9 88,71 48,39 40 43,3 43,33
Analisis 56,67 41,67 55 35,48 9,68 51,61
Berdasarkan Tabel tersebut di atas diperoleh kesimpulan bahwa :
1) Pencapaian tingkat Reproduksi untuk kelas Eksperimen lebih banyak daripada kelas
Kontrol.
2) Pencapaian tingkat Koneksi siswa untuk kelas Eksperimen lebih banyak daripada kelas
Kontrol.
3) Pencapaian tingkat Analisis siswa untuk kelas Eksperimen lebih banyak daripada kelas
Kontrol.
Hal ini berarti bahwa pembelajaran dengan pendekatan open-ended berbasis problem
solving dapat lebih meningkatkan kemampuan berpikir matematika siswa daripada
pendekatan konvensional pada materi permutasi dan kombinasi.
c. Persentase Tingkatan Kemampuan Berpikir Matematika Berdasarkan
Kreativitas Belajar Siswa
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 269
Tabel 2. Persentase Tingkat Kemampuan Berpikir Matematika Berdasarkan Kreativitas Belajar
Siswa
Tingkat
Berpikir
Matematika
Persentase (%)
Kreativitas Tinggi Kreativitas Sedang Kreativitas Rendah
No.1 No.2 No.3 No.1 No.2 No.3 No.1 No.2 No.3
Reproduksi 0,00 6,25 0,00 1,12 10,11 0,00 5,88 0,00 0,00
Koneksi 43,75 62,5 56,25 51,68 62,92 42,70 64,70 88,23 52,94
Analisis 56,25 31,25 43,75 47,19 26,97 56,18 29,41 11,76 47,06
Berdasarkan Tabel tersebut di atas diperoleh kesimpulan bahwa:
1) Pencapaian Tingkat Reproduksi Pada Masing-masing Butir Soal
Untuk kategori kreativitas belajar sedang lebih banyak daripada kategori
kreativitas belajar tinggi dan untuk kategori kreativitas belajar rendah. Hal ini karena
meskipun pencapaian masih di bawah 50 %, tetapi persentase pencapaian untuk kategori
kreativitas belajar sedang per tipe butir soal lebih banyak daripada kategori kreativitas
belajar tinggi dan rendah.
2) Pencapaian Tingkat Koneksi Pada Masing-masing Butir Soal
Untuk kategori kreativitas belajar tinggi lebih banyak daripada kategori kreativitas
belajar sedang dan kategori kreativitas belajar rendah. Hal ini karena pencapaian
mendekati atau di atas 50%, tetapi persentase pencapaian untuk kategori kreativitas
belajar tinggi per tipe butir soal lebih banyak daripada kategori kreativitas belajar
sedang dan rendah.
3) Pencapaian tingkat Analisis pada masing-masing butir soal
Pencapaian tingkat analisis untuk kategori kreativitas belajar tinggi lebih banyak
daripada kategori kreativitas belajar sedang dan rendah. Hal ini disebabkan karena
pencapaian mendekati atau di atas 50%. Akan tetapi persentase pencapaian pada
kategori kreativitas belajar tinggi per tipe butir soal lebih banyak daripada persentase
untuk kategori kreativitas belajar sedang dan rendah.
Berdasarkan kategori kreativitas belajar siswa pada tingkat reproduksi, koneksi,
dan analisis untuk masing-masing soal diperoleh kesimpulan bahwa : siswa dengan
kreativitas belajar tinggi mempunyai kemampuan berpikir matematika yang lebih baik
daripada siswa dengan kreativitas belajar sedang, sedangkan siswa dengan kreativitas
belajar tinggi mempunyai kemampuan berpikir matematika yang lebih baik daripada
siswa dengan kreativitas belajar rendah, dan siswa dengan kreativitas belajar sedang
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
270 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
mempunyai kemampuan berpikir matematika yang lebih baik daripada siswa dengan
kreativitas belajar rendah.
Berdasarkan kreativitas belajar siswa pada tingkat reproduksi, dan koneksi
diperoleh kesimpulan bahwa siswa dengan kreativitas belajar sedang mempunyai
kemampuan berpikir matematika yang lebih baik daripada siswa dengan kreativitas
tinggi. Sedangkan siswa dengan kreativitas belajar tinggi mempunyai kemampuan
berpikir matematika yang lebih baik daripada siswa dengan kreativitas belajar rendah,
dan siswa dengan kreativitas belajar sedang mempunyai kemampuan berpikir
matematika yang lebih baik daripada siswa dengan kreativitas belajar rendah.
Tingkat analisis adalah faktor penentu pencapaian kemampuan berpikir
matematika, hal ini karena pada tingkat analisis ini kemampuan berpikir matematika
bisa terlihat dengan jelas, meliputi kemampuan matematisasi situasi, analisis,
interpretasi, mengembangkan model hingga generalisasi. Pada tingkat analisis diperoleh
kesimpulan bahwa : siswa dengan kreativitas belajar tinggi mempunyai kemampuan
berpikir matematika yang lebih baik daripada siswa dengan kreativitas sedang,
sedangkan siswa dengan kreativitas belajar tinggi mempunyai kemampuan berpikir
matematika yang lebih baik daripada siswa dengan kreativitas belajar rendah, dan siswa
dengan kreativitas belajar sedang mempunyai kemampuan berpikir matematika yang
lebih baik daripada siswa dengan kreativitas belajar rendah. Oleh karena itu kesimpulan
akhir yang dipakai adalah kesimpulan pada tingkat analisis.
Jadi, berdasarkan kreativitas belajar siswa untuk masing-masing soal diperoleh
kesimpulan bahwa siswa dengan kreativitas belajar tinggi mempunyai kemampuan
berpikir matematika yang lebih baik daripada siswa dengan kreativitas sedang.
Sedangkan siswa dengan kreativitas belajar tinggi mempunyai kemampuan berpikir
matematika yang lebih baik daripada siswa dengan kreativitas belajar rendah, dan siswa
dengan kreativitas belajar sedang mempunyai kemampuan berpikir matematika yang
lebih baik daripada siswa dengan kreativitas belajar rendah.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian&pembahasan, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Pembelajaran matematika dengan pendekatan open-ended berbasis problem solving
menghasilkan kemampuan berpikir matematika yang lebih baik daripada pendekatan
konvensional pada materi permutasi dan kombinasi
2. Siswa dengan kreativitas belajar tinggi menghasilkan kemampuan berpikir matematika
yang lebih baik daripada siswa dengan kreativitas belajar matematika sedang dan
rendah. Sedangkan siswa dengan kreativitas belajar matematika sedang menghasilkan
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 271
kemampuan berpikir matematika yang lebih baik daripada siswa dengan kreativitas
belajar matematika rendah pada materi permutasi dan kombinasi
3. Pada siswa dengan kreativitas belajar matematika tinggi, pembelajaran dengan
pendekatan open-ended berbasis problem solving menghasilkan kemampuan berpikir
matematika yang lebih baik daripada pembelajaran dengan pendekatan konvensional
pada materi permutasi dan kombinasi
4. Pada siswa dengan kreativitas belajar matematika sedang, pembelajaran dengan
pendekatan open-ended berbasis problem solving menghasilkan kemampuan berpikir
matematika yang lebih baik daripada pembelajaran dengan pendekatan konvensional
pada materi permutasi dan kombinasi.
5. Pada siswa dengan kreativitas belajar rendah, pembelajaran dengan pendekatan open-
ended berbasis problem solving menghasilkan kemampuan berpikir matematika yang
lebih baik daripada pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka ada beberapa saran yang ditujukan pada guru dan
siswa sebagai berikut : 1) guru matematika tingkat SMA dapat menerapkan pendekatan open
ended berbasis problem solving sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika khususnya
materi permutasi kombinasi, dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir matematika
siswa, yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan prestasi belajar matematika siswa, 2)
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kreativitasnya dalam proses
pembelajaran matematika karena pendekatan open ended berbasis problem solvingbersifat
student centered learningsehingga pembelajaran lebih bermakna karena menekankan pada
proses belajar siswa, 3) Siswa hendaknya aktif dalam proses pembelajaran dan memecahkan
permasalahan sehingga kreativitas belajar dan kemampuan berpikir matematika siswa dapat
berkembang secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Eggen, P.D. dan Kauchak, D.P. 1997. Strategies For Teacher Teaching Content And Thingking
Skills. Boston: Allyn & Bacon.
Ira Kurniawati, Henny Ekana Chrisnawati. (2011). Upaya Peningkatan Kemampuan Berpikir
Matematis Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita Permutasi Kombinasimelalui
Pembelajaran Open Ended di RSMABI. Laporan Penelitian Research Grant PGMIPA
BI (Tidak dipublikasikan), FKIP UNS.
Ira Kurniawati, Yemi Kuswardi, Henny Ekana Chrisnawati. (2012). Pembelajaran Open Ended
Berbasis Problem Solving Sebagai Strategi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Matematika Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita Permutasi Kombinasi di RSMABI
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
272 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Sukoharjo. Laporan Penelitian Hibah Sarjana Tahun Pertama (Tidak dipublikasikan),
Dana BLU FKIP UNS.
Polya, George. 1973. How to Solve It. New Jersey : Princeton.
Sawada, T. 1997. Developing Lesson Plan. Dalam J. P. Becker & S. Shimada (Ed.). The Open-
Ended Approach: A New Proposal for Teaching Mathematics. Virginia: National
Council of Teachers of Mathematics.
Sapos. (2009). Kemampuan Berpikir Matematis. Diperoleh 10 Februari 2012, dari
http://www.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=178%3kem
ampuan-berpikir-matematis&catid=40%3Amacs-and-ipod&Itemid=27.
Shafer, M.C & Foster, S. (1996). The Changing Face of Assessment. Principled Practice, 1(2),
1-12. Diperoleh 25 Februari 2012, dari http://www.wcer.wisc.edu/ncisla.
Shimada, S. 1997. The Significance of an Open-Ended Approach. Dalam J. P. Becker & S.
Shimada (Ed.). The Open-Ended Approach: A New Proposal for Teaching
Mathematics. Virginia: National Council of Teachers of Mathematics.
Suherman, E. dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Triagarajan, S & Semmel, D. S & Semmel, M. I. 1974. Instructional Development for Training
Teacher of Expentional Children. Bloomington : Indiana University.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif : Konsep, Landasan dan
Implementasinya pada KTSP. Jakarta: Kencana.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 273
Keefektifan Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pendidikan
Karater di Sekolah Dasar
Riyadi, Mardiyana, Rukayah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menemukan model pembelajaran matematika
dengan pendekatan pendidikan karakter yang tepat/cocok untuk diimplementasikan di
Sekolah Dasar; (2) Menemukan hasil uji keefektifan prototype model pembelajaran
matematika dengan pendekatan pendidikan karakter di Sekolah Dasar yang telah
dikembangkan.
Penelitian ini dibatasi pada “pembelajaran matematika di sekolah dasar” yang
dilakukan dalam jangka waktu 2 tahun. Penelitian yang sudah dilakukan pada tahun
pertama mencakup tahap studi pendahuluan/eksplorasi dan tahap pengembangan model.
Penelitian yang dilakukan pada tahun kedua mencakup tahap pengujian model dan
tahap diseminasi. Lokasi penelitian mencakup 18 SD di Surakarta, Karanganyar, dan
Klaten. Sumber datanya meliputi hasil observasi, hasil tes, pelaksanaan pembelajaran,
dokumen, dan siswa serta guru kelas V SD. Penentuan sampel penelitian dilakukan
dengan stratified cluster random sampling. Teknik pengumpulan data yaitu metode tes,
dan catatan lapangan. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara,
analisis dokumen dan tes. Analisis data dengan model analisis interaktif, sedangkan
analisis hasil eksperimen dilakukan dengan teknik t-test.
Hasil penelitian ini adalah (1) model pembelajaran matematika dengan
pendekatan pendidikan karakter di sekolah dasar lebih efektif daripada model
pembelajaran konvensional; (2) model pembelajaran matematika dengan pendekatan
pendidikan karakter di sekolah dasar dan buku “Pedoman Pelaksanaan Model
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar”
dapat diterima oleh stakeholders secara baik.
Kesimpulan penelitian ini adalah model pembelajaran matematika dengan
pendekatan pendidikan karakter dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar
matematika siswa sekolah dasar, baik dari aspek pengetahuan, sikap maupun
keterampilannya.
Kata kunci: model pembelajaran, matematika, pendidikan karakter
PENDAHULUAN
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Naional menegaskan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun upaya pendidikan
yang dilakukan oleh lembaga pendidikan belum sepenuhnya mengarahkan perhatian secara
komprehensif pada upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Dekadensi moral di kalangan pelajar dan mahasiswa akhir-akhir ini sangat
memprihatinkan. Tayangan media massa sering menayangkan perilaku anarkis, menghujat,
sampai pada pemaksaan kehendak. Tawuran antarpelajar di berbagai wilayah di Indonesia
sering dapat dilihat di televisi. Perilaku mereka tidak lagi mencerminkan sebagai seorang yang
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
274 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
terpelajar, berbudaya, dan berakhlak, mereka hanya mengikuti emosi sesaat akibat provokasi
orang lain. Mereka seolah-olah tidak pernah mendapatkan pendidikan karakter (budi pekerti).
Padahal, saat duduk di bangku sekolah mereka mendapatkan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), dan agama. Maraknya tawuran antarpelajar tentu merupakan
tamparan keras bagi dunia pendidikan di Indonesia. Sekolah sebagai lembaga formal dalam
mencetak manusia yang berkarakter, bermoral, berpengetahuan, dan berketerampilan, seakan
gagal dalam menjalankan peran dan fungsinya. Tak bisa dipungkiri, munculnya tindakan brutal
saat tawuran akibat merosotnya moral dan budi pekerti para pelajar.
Terpuruknya bangsa dan negara Indonesia dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh krisis
ekonomi melainkan juga oleh krisis akhlak. Krisis akhlak disebabkan oleh tidak efektifnya
pelaksanaan pendidikan nilai di keluarga, sekolah maupun masyarakat. Salah satu penyebab
krisis itu adalah kekurangberdayaan dunia pendidikan, dalam merespon bermacam kebutuhan
belajar warga masyarakat yang terus meningkat dengan latar belakang sosio-ekonomi yang
berbeda-beda. Dengan memperhatikan kondisi ini, pendidikan nilai dianggap belum mampu
menyiapkan generasi muda menjadi warga negara yang bermoral.
Dampak globalisasi dapat membawa perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak
masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama kalangan generasi muda yang cenderung mudah
terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan strategi yang tepat agar bangsa
Indonesia dapat tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa serta generasi mudanya
tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia.
Menurut Doni Koessoema dalam IGK Tribana (2010), pendidikan karakter pada peserta
didik semakin lemah dan terus mengalami kemunduran. Pendidikan karakter pelan-pelan makin
hilang dan tampaknya kurang begitu mendapatkan perhatian yang serius dari para pendidik.
Pendidikan karakter belum menjadi gerakan bersama, hanya dilakukan oleh beberapa pendidik
yang masih mempunyai idealisme. Lebih lanjut, Doni Koessoema menyatakan bahwa meskipun
sudah sering digembar-gemborkan sebagai suatu kepentingan dan kemendesakan dalam
pendidikan di Indonesia, implementasi pendidikan karakter di lapangan belum sehebat
pewacanaannya.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Pendidikan
karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi
pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu
dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 275
Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter
bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang
berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya
diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Pendidikan karakter berfungsi (1) membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural;
(2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi
terhadap pengembangan kehidupan ummat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati
baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap
warganegara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan
bangsa lain dalam suatu harmoni.
Kemdiknas (2010: 11) menyebutkan ada empat prinsip yang digunakan dalam
pengembangan pendidikan karakter, yaitu 1) berkelanjutan, 2) melalui semua mata pelajaran, 3)
nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui proses belajar, dan 4) Proses pendidikan
dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.
Menurut Masnur Muslich (2011: 86), pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam
pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma
atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dan dikaitkan
dengan konteks kehidupan sehari-hari. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran nilai-nilai
karakter tidak hanya pada tataran kognitif saja, tetapi menyentuh pada internalisasi dan
pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Dharma Kesuma, dkk. (2011: 12),
nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari yang dapat diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran
antara lain: jujur, kerja keras, sabar, ulet, terbuka, mandiri, disiplin, tanggung jawa, kerjasama,
adil dan peduli. Berdasarkan pemaparan tersebut jelas bahwa pendidikan karakter juga dapat
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika. Berdasarkan Permendiknas Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan disebutkan bahwa salah satu kompetensi yang
dituntut harus dikuasai siswa pada mata pelajaran matematika Sekolah Daasar yaitu memiliki
kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif. Oleh karena itu, walupun objek matematika
bersifat abstrak dan penalarannya deduktif, norma atau nilai-nilai seperti jujur, kerja keras,
sabar, ulet, terbuka, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerjasama, adil dan peduli tetap dapat
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran matematika.
Pembelajaran matematika adalah suatu cara untuk membuat siswa belajar matematika.
Mengingat bahwa matematika merupakan ilmu yang deduktif aksiomatik dan objek
penelaahannya abstrak, sedangkan matematika sudah harus diajarkan mulai anak-anak, maka
kegiatan pembelajaran matematika harus direncanakan sesuai dengan kemampuan intelektual
siswa. Oleh karena itu cara membelajarkan matematika kepada anak-anak dan orang dewasa
harus berbeda, karena kemampuan intelektualnya berbeda. Menurut Doman, seperti yang
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
276 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
dikutip oleh Herman Hudojo, menyatakan bahwa apabila fakta-fakta matematika diberikan
kepada anak-anak balita sesuai dengan kemampuannya, mereka akan dapat menemukan sendiri
aturan-aturan yang ada di dalamnya (Herman Hudojo, 1988: 95). Hal ini berarti bahwa
matematika dapat diajarkan kepada siapa saja tanpa memandang usia, asal disesuaikan dengan
kemampuan intelektualnya.
Keberhasilan guru dalam membelajarkan siswa dipengaruhi oleh banyak hal, salah
satunya adalah model pembelajaran yang digunakan guru. Oleh karena itu pemilihan model
pembelajaran merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian. Model pembelajaran adalah
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas
pembelajaran. Berkaitan dengan pemilihan model pembelajaran, Nieveen dalam Trianto (2009:
24-25) mengemukakan tiga kriteria untuk menentukan kualitas model pembelajaran, yaitu
validitas, kepraktisan dan keefektifan, yang masing-masing diuraikan dengan aspek-aspek
sebagai berikut. 1) Aspek validitas (validity) dikaitkan dengan dua hal, yaitu: a) model
pembelajaran dikembangkan berdasarkan pada rasional teoritik yang kuat, dan b) model
pembelajaran mempunyai konsistensi internal. 2) Aspek kepraktisan (practicality), maksudnya
yaitu model pembelajaran yang dikembangkan dapat diterapkan. 2) Aspek keefektifan
(effectiveness), yaitu model pembelajaran dikatakan efektif jika ahli dan praktisi berdasarkan
pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut praktis dan secara operasional model
tersebut memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter adalah model
pembelajaran yang merupakan perpaduan dari model pembelajaran berbasis masalah dan
pendekatan kontekstual. Langkah-langkah model pembelajaran matematika dengan pendekatan
pendidikan karakter terdiri dari tujuh fase, yaitu 1) Orientasi siswa pada masalah, 2)
Mengorganisasikan siswa untuk belajar, 3) Membantu penyelidikan individu maupun
kelompok, 4) Pemodelan (modelling), yaitu model yang menggambarkan situasi nyata terkait
materi yang dipelajari dan siswa melibatkan diri dan berupaya mengaplikasikan pengetahuan
yang dimiliki dan digunakan untuk memecahkan masalah dalam situasi tersebut, 5) Berbagi
(sharing), yaitu kelompok siswa atau perwakilannya berbagi dengan keseluruhan siswa dalam
kelas tentang hasil kinerja dan hasil diskusi dalam kelompoknya, 6) Refleksi (reflection), yaitu
dan 7) Penilaian nyata (authentic assesment) yaitu penilaian secara obyektif dengan berbagai
cara yang merepresentasikan kemampuan siswa yang sebenarnya.
Berdasarkan uraian di muka dirumuskan permasalah sebagai berikut: Permasalahan
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah hasil pengembangan
prototype menjadi suatu model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan
karakter di Sekolah Dasar?, dan 2) Bagaimanakah keefektifan prototype model pembelajaran
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 277
matematika dengan pendekatan pendidikan karakter di Sekolah Dasar yang telah
dikembangkan?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu model pembelajaran matematika
yang mengintegrasikan pendidikan karakter di Sekolah Dasar. Oleh karena itu model yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan (Research and Development).
Penelitian pengembangan ini dilakukan dengan menempuh prosedur penelitian pengembangan
seperti diuraikan oleh Sugiyono (2010: 409), yang meliputi sepuluh langkah. Dalam
pelaksanaan penelitian pengembangan ini, dari sepuluh langkah dirampatkan menjadi empat
tahap yang akan dilaksanakan dalam waktu dua tahun. Penelitian yang telah dilakukan Tahun
Pertama, meliputi langkah-langkah (1) studi pendahuluan atau tahap eksplorasi, dan (2) tahap
pengembangan model. Penelitian yang dilakukan pada Tahun kedua, meliputi langkah-langkah
(1) tahap pengujian model, dan (2) tahap diseminasi. Tahap pengujian model, yaitu suatu tahap
yang dilakukan untuk mengetahui kelayakan dan keunggulan suatu produk pendidikan maka
diperlukan pengujian produk akhir. Sedangkan tahap diseminasi hasil penelitian ini dilakukan
dengan 1) Penerbitan buku ajar matematika dengan pendekatan pendidikan karakter di Sekolah
Dasar, 2) Penerbitan buku pedoman pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan
karakter di Sekolah Dasar, 3) Penulisan artikel di jurnal nasional, dan 4) Dipresentasikan di
forum seminar tingkat nasional.
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas V SD di kota Surakarta dan sampel diambil
dengan teknik statified cluster random sampling yakni pengambilan sampel dengan stratifikasi
dan popopasinya dianggap sebagai kelompok-kelompok. Berdasarkan teknik pengambilan
sampel tersebut, diperoleh sampel untuk kelas eksperimen adalah siswa kelas VE SD Negeri
Cemara Dua Surakarta, SD Negeri Mangkubumen Kulon Surakarta dan SD Negeri Sekip II
Surakarta dengan jumlah total 102 siswa. Sedangkan sampel untuk kelas kontrol adalah siswa
kelas VC SD Negeri Cemara Dua Surakarta, SD Negeri Dukuhan Kerten Surakarta dan SD
Negeri Kleco II Surakarta dengan jumlah total 109 siswa.
Teknik pengumpulan data tahap ini adalah (1) observasi, (2) wawancara, (3) catatan
lapangan, dan (4) analisis dokumen. Teknik analisis data yang digunakan pada tahap ini adalah
teknik t-test. Sebelum dilakukan pengujian dengan uji t, dilakukan terlebih dahulu pengujian
prasyarat analisis yaitu uji kenormalan distribusi dengan metode Lilliefors dan uji kehomogenan
variansi populasi dengan metode Bartlett.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji Keefektifan Model
Data yang digunakan untuk uji kemampuan awal matematika siswa adalah nilai hasil
pretest.Berdasarkan hasil uji keseimbangan terhadap data kemampuan awal hasil belajar
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
278 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
matematika siswa, diperoleh nilai 209;05,0t sebesar 1,98dengan 98,1ttDK sehingga
obst tidak terletak pada daerah kritik. Hal ini berarti bahwa pada taraf signifikansi 0,05,
keputusan uji keseimbangan terhadap data kemampuan awal matematika siswa adalah
H0diterima.Dengan demikian, diperoleh kesimpulan bahwa populasi pada kelas eksperimen dan
populasi padakelas kontrolmempunyai kemampuan awal yang sama.
Berikut ini disajikan deskripsi data hasil belajar matematika siswa pada masing-masing
sampel.
Tabel 1 Deskripsi Data Hasil Belajar Matematika Siswa
Pada Masing-masing Sampel
Sampel n Nilai Min Nilai Maks 𝑋 s
Eksperimen 102 35 95 68,3333 14,7644
Kontrol 109 35 95 60,0459 13,6845
Sebelum uji hipotesis dengan menggunakan uji-t, dilakukan terlebih dilakukan uji
persyaratan analis, yang meliputi: (a) uji kenormalan distribusi populasi, dan (b) uji
kehomogenan variansi populasi.
Berdasarkan hasil uji kenormalan distribusi terhadap data hasil belajar diperoleh bahwa
sampel pada kelas eksperimen maupun sampel pada kelas kontrol mempunyai nilai Lobskurang
dari nilai L0,05; n. Hal ini berarti pada taraf signifikansi 0,05, keputusan uji kenormalan distribusi
populasi untuk setiap sampel adalah H0diterima. Dengan demikian, diperoleh kesimpulan bahwa
sampel pada kelas eksperimen maupun sampel pada kelas kontrol masing-masing berasal dari
populasi yang berdistribusi normal.
Berdasarkan hasil uji homogenitas variansi populasi terhadap data kemampuan awal
hasil belajar matematika siswa, diperoleh nilai 𝜒𝑜𝑏𝑠2 sebesar 0,2617 kurang dari
nilai𝜒0,05; 𝑘−12 sebesar3,84. Hal ini berarti pada taraf signifikansi 0,05, keputusan uji
homogenitas variansi populasi adalah H0diterima. Dengan demikian, diperoleh kesimpulan
bahwa populasi-populasi yang dibandingkan, yakni populasi pada kelas eksperimen dan
populasi pada kelas kontrol mempunyai variansi yang sama (homogen).
Uji hipótesis dilakukan untuk mengetahui apakah populasi pada kelas eksperimen dan
populasi pada kelas kontrol mempunyai perbedaan hasil belajar setelah masing-masing
mendapat perlakuan. Rangkuman hasil analisisnya dinyatakan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2 Rangkuman Uji Uji Hipotesis Hasi Belajar Matematika
Hipotesis obst 209;05,0t Keputusan Kesimpulan
21 4,2315 1,98 H0ditolak Ada perbedaan hasil belajar
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 279
Berdasarkan hasil uji hipotesis terhadap data hasil belajar matematika siswa, diperoleh
nilai 209;05,0t sebesar 1,98 dengan 98,1ttDK sehingga obst terletak pada daerah
kritik. Hal ini berarti bahwa pada taraf signifikansi 0,05, keputusan uji hipotesis terhadap hasil
belajar matematika siswa adalah H0ditolak.
Dengan demikian, diperoleh kesimpulan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara
hasil belajar matematika pada kelompok siswa yang dikenai model pembelajaran matematika
dengan pendekatan pendidikan karakter dan kelompok siswa yang dikenai model pembelajaran
konvensional.
Di lain pihak diperoleh bahwa rata-rata hasil belajar siswa yang dikenai model
pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter adalah 68,3333 dan rata-rata
hasil belajar siswa yang dikenai model pembelajaran konvensional adalah 60,0459. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran matematika dengan pendekatan
pendidikan karakter memberikan hasil belajar matematika yang lebih baik daripada model
konvensional. Lebih baiknya hasil belajar matematika siswa yang dikenai model pembelajaran
matematika dengan pendekatan pendidikan karakter disebabkan karena model pembelajaran ini
mengedepankan permasalahan kontekstual. Dengan kata lain, permasalahan yang disajikan pada
pembelajaran tersebut adalah permasalahan nyata yang telah dialami siswa dalam kehidupannya
sehari-hari. Hal ini membuat siswa mudah memahami materi geometri dan pembelajaran materi
geometri menjadi lebih bermakna. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sumardi (2006) yang menyimpulkan bahwa, hasil belajar geometri datar siswa yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual lebih baik dari siswa yang
menggunakan pendekatan konvensional. Berdasarkan semua hal tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter
lebih efektif daripada model pembelajaran konvensional.
Keberterimaan Model
Pengembangan model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakter
di Sekolah Dasar yang telah dilaksanakan mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak,
termasuk dari stakeholders. Tanggapan stakeholders perlu diperoleh peneliti untuk mengetahui
keberterimaan model. Tanggapan tersebut di antaranya diberikan oleh Kepala Sekolah Dasar,
dan guru Sekolah Dasar. Tanggapan-tanggapan tersebut berdasarkan pada pelaksanaan uji coba
dan eksperimen, serta buku Pedoman Pelaksanaan Model Pembelajaran Matematika di Sekolah
Dasar.
Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Dasar menyatakan bahwa baik ditinaju dari segi
substansi maupun ditinjau segi sintaksisnya, model pembelajaran matematika dengan
pendekatan pendidikan karaktercukup baik karena dikembangkan berdasarkan filsafat
konstruktivisme dan pembelajarannya berpusat pada siswa. Secara umum pendapat kepala
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
280 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
sekolah dan guru sekolah dasar dirangkum sebagai berikut: 1). Kepala Sekolah dan Guru
Sekolah Dasar menyatakan bahwa model pembelajaran matematika dengan pendekatan
pendidikan karaktermerupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diimplementasikan di
sekolah dasar, 2). Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Dasar menyatakan bahwa mereka merasa
mendapat pencerahan bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran
matematika di sekolah dasar, 3). Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Dasar menyatakan bahwa
mereka merasa mendapat pencerahan bagaimana cara melakukan pengukuran (penilaian) nilai-
nilai karakter dalam mata pelajaran matematika di sekolah dasar, 4). Guru tidak mengalami
kesulitan dalam mengimplementasikan model tersebut, dan 5). Model pembelajaran yang
dikembangkan memungkinkan siswa untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh beberapa
kesimpulan, sebagai berikut: 1) Model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan
karakter memberikan hasil belajar matematika yang lebih baik daripada model konvensional.
Hal ini berarti model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karakterlebih
efektif daripada model konvensional, 2) Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Dasar menyatakan
bahwa model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan karaktermerupakan
salah satu model pembelajaran yang dapat diimplementasikan dengan baik di sekolah dasar, dan
3) Buku “Pedoman Pelaksanaan Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan
Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar”, dapat memudahkan guru dalam membelajarkan
matematika dan dapat diimplementasikan dengan baik di sekolah dasar.
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, disarankan kepada para guru sekolah dasar sebagai
berikut: 1) Guru perlu mengembangkan nilai-nilai karakter yang diintegrasikan pada mata
pelajaran matematika, dan 2) Model pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan
karakter merupakan salah satu model pembelajaran yang menganut filsafat konstruktivisme dan
dapat mengaktifkan siswa dalam pembelajaran. Oleh karena itu, sesekali guru perlu menerapkan
model tersebut dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar yang mengitegrasikan nilai-
nilai karakter.
DAFTAR PUSTAKA
Dharma Kesuma, dkk. 2011. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah.
Bandung. Remaja Rosdakarya.
Herman Hudojo. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : Depdikbud.
Kemendiknas.2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah
Menengah Pertama. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 281
Masnur Muslich. 2008. Hubungan Buku Teks dan Komponen Pembelajaran. Diakses dari
http://masnur-muslich.blogspot.com/2008/10/hubungan-buku-teks-dan-komponen.html
pada tanggal 21 Juni 2010.
Masnur Muslich. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.
Jakarta: Bumi Aksara.
Nyimas Aisyah, dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Ditjen Dikti
Depdiknas.
Ruseffendi, E.T. 1980. Pengajaran Matematika Modern. Bandung: Trasito.
Rusman. 2012. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Sudjana. 1996. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan
Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
282 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
<< Halaman ini sengaja dikosongkan >>
Recommended