View
42
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke merupakan penyakit sistem persyarafan yang paling sering dijumpai. Kira-
kira 200 ribu kematian dan 200 ribu orang dengan gejala sisa akibat stroke pada setiap
tingkat umur.1
Berbagai kelainan dan penyakit diantaranya dikenal sebagai faktor risiko stroke
menyertai penderita pada saat serangan, salah satunya ialah hipertensi. Sekitar 50 persen
penderita stroke iskemik dan 60 persen stroke perdarahan mempunyai latar belakang
hipertensi.1
Hipertensi menyerang sekitar 43 juta laki-laki dan perempuan penduduk Amerika
Serikat, tetapi hanya sekitar 30% penderita hipertensi yang diobati yang tekanan
darahnya di bawah 140/90 mmHg (Burt,1995). Di Indonesia, pernah dilakukan penelitian
epidemiologi hipertensi dan status terkendali atau tidak terkendali (Darmoyo,1977).
Dilaporkan angka prevalensi hipertensi adalah 9,3 %. Penderita hipertensi yang tidak
mengetahui bahwa mereka menderita hipertensi adalah 43,9%. Penderita hipertensi yang
diobati dan tidak terkendali adalah 34,1%. Penderita hipertensi yang diobati dan
terkendali (tekanan darahnya di bawah 140/90mmHg) adalah 95,5%.2
Lamsudin (1996) telah melaporkan bahwa hipertensi yang tidak terkendali
sebagai faktor resiko yang dominan untuk terjadi stroke. Klungel et al (2000) melaporkan
bahwa hipertensi yang tidak terkendali adalah 78% pada penderita sroke iskemik akut
dan 83% pada penderita stroke hemoragik. Hipertensi yang tidak terkendali sangat erat
kaitannya dengan kejadian stroke akut seperti yang dilaporkan oleh Lamsudin (1996).
1
Penelitian yang dilakukan oleh Third National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES III) melaporkan hipertensi terjadi pada 60%-71% pada individu-individu umur
60 tahun atau umur lebih 60 tahun (Burt,1995).2
Hipertensi sering ditemukan pada penderita-penderita stroke pada waktu datang
ke rumah sakit. Pengobatan hipertensi pada saat serangan stroke masih kontroversial.
Pengobatan hipertensi pada saat serangan stroke mempunyai risiko kurang baik pada
prognosis stroke.2
Ada bukti bahwa penurunan tekanan darah pada keadaan stroke iskemik
menurunkan tekanan perfusi disekitar ischemic border zone. Sebaliknya dilaporkan
bahwa apabila hipertensi tidak diturunkan pada waktu serangan stroke akut akan
meningkatkan udem otak (Spence & Delmaestro 1985). Tekanan darah pada stroke
iskemik akut sering turun spontan pada minggu pertama setelah serangan.2
Penanganan hipertensi pada penderita stroke akut harus mempertimbangkan alirah
darah otak dan alirah darah regional. Fungsi serebral harus tetap dipelihara semaksimal
mungkin untuk memulihkan lesi yang terjadi.3
BAB II
2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Autoregulasi
Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap
aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi / dilatasi pembuluh darah.
Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan tekanan darah secara mendadak
dimaksudkan untuk melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemi. Autoregulasi otak
telah cukup luas diteliti dan diterangkan. Bila tekanan darah turun, terjadi vasodilatasi,
jika tekanan darah naik timbul vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah
otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure ( MAP ) 60 – 70 mmHg. Bila
MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih
banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang. Bila mekanisme
ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi klinik seperti mual,
menguap, pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh
mekanisme miogenic yang disebabkan oleh stretch receptors pada otot polos arteriol otak,
walaupun oleh Kontos dkk. Mengganggap bahwa hipoksia mempunyai peranan dalam
perubahan metabolisme di otak.4
Pada serebrovaskuler yang normal penurunan tekanan darah yang cepat sampai
batas hipertensi masih dapat ditolerir. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit
serebrovaskuler dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke
kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah terjadi pada tekanan darah yang
lebih tinggi. Stragard pada penelitiannya mendapatkan mendapatkan MAP rata-rata 113
mmHg pada 13 penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan dengan 73 mmHg
pada orang normotensi.4
3
Penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara group
normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan dan dianggap bahwa TD terkontrol
cenderung menggeser autoregulasi kearah normal. Dari penelitian didapatkan bahwa baik
orang yang normotensi maupun hipertensi, ditaksir bahwa batas terendah dari
autoregulasi otak adalah kira-kira 25% dibawah resting MAP.4,5
2.2 Pemberian antihipertensi pada Stroke Akut
Stroke adalah komplikasi dari hipertensi, dimana kebanyakan dihubungkan secara
langsung dengan tingkat tekanan darah. Pemberian obat hipertensi sesungguhnya adalah
suatu masalah, karena penurunan tekanan darah diperlukan untuk mencegah terjadinya
kerusakan organ lebih lanjut, namun dilain pihak, pemberian obat antihipertensi juga
beresiko terjadinya penurunan tekanan darah secara cepat, yang sangat berbahaya
terhadap perfusi (aliran darah) ke otak. Oleh karena itu, obat antihipertensi tidak
diberikan untuk menormalkan tekanan darah, tetapi hanya mengurangi tekanan darah
sampai batas tertentu sesuai protocol pengobatan.1
Tekanan darah seringkali meningkat pada periode post stroke dan merupakan
beberapa kompensasi respon fisiologi untuk mengubah perfusi serebral menjadi iskemik
pada lapisan otak. Hasilnya terapi tekanan darah mengurangi atau menghalangi
kerusakan otak akut hingga kondisi klinis stabil.1
Tekanan darah pada fase akut diturunkan perlahan-lahan sebab hipertensi tersebut
timbulnya secara reaktif dan sebagian besar akan turun sendiri pada hari ke 3 hingga 7.1
Hipertensi sering ditemukan pada penderita –penderita stroke pada waktu datang
ke rumah sakit. Pengobatan hipertensi pada saat serangan stroke masih controversial.6
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Basuki, dkk, untuk menguji
hipotesis “penderita stroke yang dating ke RS kurang dari 24 jam dari saat onset yang
disertai hipertensi, tekanan darahnya akan turun secara spontan dalam waktu 5 hari”,
diperoleh hasil penelitian bahwa pada stroke infark terjadi penurunan tekanan darah yang
bermakna, sedangkan pada stroke perdarahan tidak terjadi penurunan yang bermakna.7
4
Walaupun belum ada uji klinik randomisasi pemberian obat antihipertensi pada
penderita stroke akut dengan hipertensi, Borderick mengajukan Guidelines for Medical
Care and Treatment of Blood Pressure in Patient with Acute Stroke dalam National
Symposium on Rapid Identification and Treatment of Acute Stroke pada tahun 1996.
Pedoman pengobatan hipertensi pada stroke akut tersebut terdiri dari:6
1. Pengobatan hipertensi pada stroke iskemik akut
2. Pengobatan hipertensi pada stroke perdarahan
3. Pengobatan hipertensi pada stroke perdarahan subarachnoidalis.
2.2.1 Pemberian antihipertensi pada Stroke Iskemik Akut
Pengobatan hipertensi pada saat serangan stroke mempunyai resiko kurang baik
pada prognosis stroke. Ada bukti bahwa penurunan tekanan darah pada keadaan stroke
iskemik menurunkan tekanan perfusi di sekitar ischemic border zone. Sebaliknya
dilaporkan bahwa apabila hipertensi tidak diturunkan pada waktu serangan stroke akut
akan meningkatkan udem otak. Tekanan darah pada stroke iskemik akut sering turun
spontan pada minggu pertama setelah serangan.6
Broderick, dkk, melaporkan penurunan tekanan darah spontan selama beberapa
menit dan beberapa jam setelah serangan stroke iskemik akut. Mereka melakukan
penilaian tekanan darah beberapa kali pada stroke iskemik akut dalam waktu 90 menit
setelah serangan. Dua puluh empat penderita dari 69 penderita streke iskemik akut
mempunyai tekanan darah sistolik sekurang-kurangnya 160 mmHg. Dua puluh tiga dari
24 penderita tersebut menunjukkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolic dalam
waktu 90 menit setelah serangan stroke. Penderita tersebut tidak diberi obat antihipertensi
selama pengamatan tekanan darah berlangsung.6
Harper, dkk, melaporkan hasil penelitian prospektif penurunan tekanan darah
pada 292 penderita stroke iskemik akut dalam waktu 24 jam, 1 minggu, dan 4 minggu
setelah serangan stroke. Hasilnya menunjukkan penurunan tekanan darah yang signifikan
sampai pada hari ke-7 setelah serangan stroke.6
5
Lamsudin, dkk, melaporkan hasil penurunan tekanan darah spontan pada minggu
ke-1, minggu ke-2, dan minggu ke-3 setelah serangan stroke iskemik akut pada penelitian
uji klinik randomisasi nimodipine dibandingkan dengan placebo. Terlihat penurunan
tekanan darah yang signifikan pada minggu ke-1, minggu ke-2, dan minggu ke-3 baik
pada kelompok nimodipine maupun kelompok plsebo. Tidak ada perbedaan yang
signifikan penurunan tekanan darah pada kelompok nimodipine dibandingkan dengan
kelompok placebo.6
Penurunan tekanan darah pada stroke iskemik dapat dipertimbangkan bila tekanan
darah sistolik >220 mmHg atau diastolik >120 mmHg, penurunan tekanan darah
sebaiknya sekitar 10-15% dengan monitoring tekanan darah tersebut (Adams et al, 2003),
sedangkan pada stroke perdarahan boleh diturunkan apabila tekanan darah sistolik pasien
≥180mmHg dan atau tekanan darah diastolic >130mmHg.3
Jika tekanan diastolik adalah lebih dari 140 mmHg pada penderita stroke iskemik
akut, pada pengukuran 2 kali selang waktu 5 menit, segera diberi sodium nitroprusside
(0,5 mg-1 mg/kkBB/menit) intravena. Jika tekanan darah sistolik lebih dari 220 mmHg
atau tekanan diastolic antara 121 mmHg dan 140 mmHg atau mean arterial blood
pressure lebih dari 130 mmHg pada pengukuran 2 kali selang waktu 20 menit, segara
diberi 10 mg labetolol intravena selama 1-2 menit. Dosis labetolol dapat diulang atau
digandakan setiap 10-20 menit sampai mencapai dosis kumulatif 300 mg dan diberikan
lewat teknik mini-bolus. Setelah jadwal pemberian dosis awal, dosis labetolol dapat
diberikan setiap 6 jam-8 jam sesuai dengan kebutuhan. Labetolol tidak boleh diberikan
pada penderata asma bronkhiale, gagal jantung atau penderita dengan severe cardiac
conduction abnormalities. Enalapril (1,25 mg di atas 5 menit dan diulang setiap 6 jam
atau selama dibutuhkan) dapat dipakai ada penderita stroke dengan hipertensi dan dengan
payah jantung.6
Jika tekanan darah sistolik 185 mmHg-220 mmHg atau diastolic 105 mmHg-120
mmHg pada penderita stroke iskemik akut dengan gagal jantung (left ventricular failure),
6
aortic dissection atau dengan iskemik miokard akut, pengobatan kegawatan hipertensi
dengan antihipertensi harus dilakukan.6
Jika tekanan darah sistolik dibawah 185 mmHg atau tekanan diastolic dibawah
105 mmHg pada penderita stroke iskemik akut, obat-obat antihipertensi tidak perlu
diberikan.6
Pemberian obat antihipertensi kelompok angiotensin II receptor antagonist,
seperti Candesartan cilexetil dapat diajukan untuk penelitian efikasi dan keamanannya
sebagai obat antihipertensi pada stroke iskemik akut, karena tidak mengganggu
otoregulasi aliran darah otak local atau tidak ada efek pada tekanan intracranial.6
Peneliti lain menyatakan penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik adalah
dengan obat-obat antihipertensi golongan penyekat alfa beta (labetalol), penghambat
ACE (kaptopril atau sejenisnya) atau antagonis kalsium yang bekerja perifer (nifedipin
atau sejenisnya) penurunan tekanan darah pada stroke iskemik akut hanya boleh
maksimal 20% dari tekanan darah sebelumnya. Nifedipin sublingual harus diberikan
dengan hati-hati dan dengan pemantauan tekanan darah ketat setiap 15 menit atau dengan
alat monitor kontinyu sebab dapat terjadi penurunan darah yang drastis, oleh sebab itu
sebaiknya dimulai dengan dosis 5mg sublingual dan dapat dinaikkan menjadi 10mg
tergantung respon sebelumnya. Tekanan darah yang sulit diturunkan dengan obat diatas
atau bila diastolik >140mmHg secara persisten maka harus diberikan natrium nitroprusid
intravena 50mg/250ml dekstrosa 5% dalam air (200mg/ml) dengan kecepatan 3ml/jam
(10mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang diinginkan.3
Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drips 10-20μg/menit. Tekanan darah
yang rendah pada stroke akut adalah tidak lazim. Bila dijumpai maka tekanan darah harus
dinaikkan dengan dopamin atau dobutamin drips serta mengobati penyebab yang
mendasarinya.3
Tekanan darah yang tinggi pada stroke iskemik tidak boleh terlalu cepat
diturunkan.Akibat penurunan tekanan darah yang terlalu agresif pada stroke iskemik akut
dapat memperluas infark dan perburukan neurologis. Aliran darah yang meningkat akibat
7
tekanan perfusi otak yang meningkat ‘bermanfaat bagi daerah otak yang mendapat perfusi
marginal (Penumbra iskemik). Tetapi tekanan darah yang terlalu tinggi, dapat
menimbulkan infark hemoragik dan memperhebat edema serebri. Oleh sebab itu,
pedoman untuk penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik akut adalah bila terdapat
salah satu hal berikut ;4
Hipertensi diobati jika terdapat kegawatdaruratan hipertensi non neurologis :
1. Iskemia miokard akut
2. Edema paru kardiogenik
3. Hipertensi maligna (retinopati)
4. Neuropati hipertensif
5. Diseksi aorta
Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada 3 kali pengukuran selang 15
menit :
1. Sistolik > 220 mmHg
2. Distolik > 120 mmHg
3. Tekanan arteri rata-rata > 140 mmHg
Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan darah
sistolik > 180 mmHg dan diastolik > 110 mmHg.
Table 2.1 Rekomendasi AHA/ASA untuk Manajemen Tekanan Darah pada Stroke Iskemik Akut.8
1. Pasien memenuhi syarat untuk pengobatan dengan trombolitik intravena
atau intervensi reperfusi akut lainnya dan tekanan sistolik >185 mmHg atau
tekanan diastolic >110 mmHg harus mempunyai tekanan darah yang lebih
rendah sebelum intervensi. Tekanan sistolik >185 mmHg dan diastolic >110
mmHg yang persisten menjadi kontraindikasi terapi trombolitik intravena.
Setelah terapi reperfusi, jaga tekanan sistolik <180 mmHg dan diastolic
<105 mmHg selama 24 jam.
8
2. Pasien yang mempunyai indikasi medis lain untuk pengobatan agresif dari
tekanan darah harus diterapi.
3. Untuk yang tidak mendapatkan terapi trombolitik, tekanan darah bisa
diturunkan jika sangat meningkat (tekanan sistolik >220 MMhg atau
diastolic >120 mmHg). Sangat layak untuk menurunkan tekanan darah
sekitar 15 % selama 24 jam pertama setelah onset stroke.
2.2.2 Pemberian antihipertensi pada Stroke Perdarahan Akut
Hipertensi pada stroke perdarah harus diturunkan dengan obat-obat antihipertensi
yang dapat menurunkan tekanan darah dengan cepat, tetapi tidak mengganggu
otoregulasi aliran darah otak local, seperti kelompok angiotensin II receptor antagonist,
atau labetolol intravena.6
Penatalaksanaan hipertensi pada stroke hemoragik berlawanan dengan infark
serebri akut, pendekatan pengendalian tekanan darah yang lebih agresif pada pasien
dengan perdarahan intraserebral akut, karena tekanan yang tinggi dapat menyebabkan
perburukan edema perihematom serta meningkatkan kemungkinan perdarahan ulang.3
Tekanan darah >180mmHg harus diturunkan sampai 150-180mmHg dengan
labetalol (20mg intravena dalam menit), di ulangi pemberian labetalol 40-80mg intravena
dalam interval 10 menit sampai tekanan yang diinginkan, kemudian infus 2 mg/menit
(120 ml/menit) dan dititrasi atau penghambat ACE (misalnya kaptopril 12,5-25mg, 2- 3
kali sehari) atau antagonis kalsium (misalnya nifedipin oral 3 kali 10mg).3
Tekanan darah optimal pada pasien stroke perdarahan intraserebral bersifat
individual dan berhubungan dengan apakah pasien sebelumnya menderita hipertensi
kronik, tekanan intrakranial, umur, etiologi perdarahan, dan jendela terapi. Secara umum
direkomendasikan agar tekanan darah yang meningkat diturunkan secara lebih progresif
9
dengan terapi antihipertensi yang berefek cepat dibandingkan dengan pada stroke
iskemik.9
Secara teoritis tekanan darah yang lebih rendah menurunkan risiko ruptur arteri
kecil dan arteriola. Suatu penelitian observasional prospektif tentang bertambahnya
volume perdarahan intraserebral memperlihatkan tidak ada hubungan antara tekanan
darah sebelum serangan stroke dengan bertambahnya volume darah setelah serangan,
tetapi berhubungan dengan saat pemberian antihipertensi. Sebaliknya pemberian
antihipertensi yang sangat cepat menurunkan tekanan darah dapat menurunkan perfusi
serebral dan secara teoritis akan memperparah cedera otak, terutama dalam keadaan
tekanan intrakranial tinggi.9
Untuk menengahi kedua teori tersebut, Broderick et al., (1999)
merekomendasikan bahwa tekanan darah harus diturunkan jika mean arterial
bukti klinik yang mendukungnya sangat lemah (level of evidence V, grade C
recommendation). Pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial yang terpantau
dengan monitor tekanan intrakranial, tekanan perfusi serebral (MAP–ICP) harus
dipertahankan sebesar >70 mmHg (LoE V, grade C). Obat-obat antihipertensi yang
direkomendasikan untuk terapi hipertensi pada stroke perdarahan intraserebral dapat
dilihat pada tabel 2.2.9
Nitroprusid secara umum sering digunakan untuk hipertensi maligna, obat
tersebut merupakan vasodilator; teoritis dapat meningkatkan aliran darah otak sehingga
dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Hal tersebut mungkin tidak menguntungkan,
tetapi belum ada laporan penelitian yang mendukung teori tersebut.9
Tabel 2.2 Manajemen Tekanan Darah pada Stroke Perdarahan Intraserebral.9
Jika pasien hipertensi
Labetalol 5–100 mg/jam secara intermiten dengan bolus dosis 10–
10
40 mg
atau drip (2–8 mg/menit)
Esmolol 500 μg/kg sebagai awal, dosis maintenan 50–200 μg.
kg-1. min-1
Nitroprusid 0.5–10 μg. kg-1. min-1
Hidralazin 10–20 mg diberikan 4–6 jam
Enalapril 0.625–1.2 mg diberikan tiap 6 jam jika diperlukan.
Algoritma pemberian antihipertensi pada pasien dengan stroke perdarahan
intraserebral yang sudah dimodifikasi :9
1. Jika tekanan darah sistolik >230 mmHg atau diastolik >140 mmHg dalam
dua kali pemeriksaan selama selang waktu 5 menit maka diberi terapi
nitroprusid.
2. Jika tekanan darah sistolik antara 180-230 mmHg dan diastolic antara 105-
140 mmHg, atau MAP >130 mmHg dalam dua kali pemeriksaan selama
selang waktu 20 menit, maka diberi terapi labetalol intravena, esmolol,
enalapril, atau diltiazem intravena, lisinopril, atau verapamil.
3. Jika tekanan darah sistolik <180 mmHg dan diastolik <105 mmHg,
pemberian obat antihipertensi harus ditunda. Pilihan obat antihipertensi
tergantung kondisi pasien, misalnya hindari pemberian labetalol pada
pasien asma bronkial.
4. Jika monitor tekanan intrakranial tersedia, maka tekanan perfusi serebral
harus dipertahankan pada >70 mmHg.
Table 2.3 Rekomendasi AHA/ASA untuk manajemen TD pada Acute Cerebral Hemorrhage.8
11
1. Jika tekanan sistolik >200 mmHg atau MAP >150 mmHg, dipertinbangkan
penurunan agresif tekanan darah.
2. Jika tekanan sistolik >180 mmHg atau MAP >130 mmHg dan TIK mungkin
meningkat, dipertimbangkan monitoring TIK dan penurunan TD untuk menjaga
tekanan perfusi serebral antara 60-80 mmHg.
3. Jika tekanan sistolik >180 mmHg atau MAP >130 mmHg dan tidak ada bukti atau
kecurigaan peningkatan TIK, dipertimbangkan penurunan tekanan darah yang
sedang. (contoh, MAP 110 mmHg atau target TD 160/90 mmHg).
Menurut Aiyagari, untuk terapi hipertensi obat antihipertensi intravena short dan
rapid acting lebih baik. Di United States, labetolol, hydralazin, esmolol, nicardipine,
enalapril, nitroglycerin, dan nitroprusside direkomendasikan. Uralapril intravena juga
digunakan di Eropa. Sodium nitroprusid dan nitroglycerin harus digunakan dengan hati-
hati karena obat tersebut dapat meningkatkan TIK.8
2.2.3 PemberianAntihipertensi pada Stroke Perdarahan Subarachnoidalis
Penurunan tekanan darah pada penderita stroke perdarahan subarachnoidalis
dengan hipertensi masih controversial.6
2.2.4 Kelompok Obat Hipertensi yang Lazim Digunakan
Diuretik
(1) Mekanisme
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah
jantung dan tekanan darah. Selain itu beberapa diuretik juga menurunkan resistensi
perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium
di ruang intertisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya
menghambat influks kalsium.3
12
(2) Manfaat
Diuretik terutama golongan tiazid adalah obat lini pertama untuk kebanyakan
pasien dengan hipertensi. Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan
darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan (Anonimb, 2006). Berbagai
penelitian besar membuktikan bahwa diuretik terbukti paling efektif dalam menurunkan
risiko kardiovaskular.3
ACE Inhibitor
(1) Mekanisme
ACE inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II
sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi
bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan
dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan
tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan
natrium dan retensi kalium. Dalam JNC VII, ACE-Inhibitor diindikasikan untuk
hipertensi dengan penyakit ginjal kronik.3
(2) Manfaat
ACE inhibitor dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada
kebanyakan pasien dengan hipertensi. Studi ALLHAT menunjukkan kejadian gagal
jantung dan stroke lebih sedikit dengan klortalidon dibanding dengan lisinopril. Pada
studi dengan lansia, ACE inhibitor sama efektifnya dengan diuretik dan penyekat beta
dan pada studi yang lain ACE inhibitor menunjukkan lebih efektif. Data dari PROGRESS
menunjukkan berkurangnya risiko stroke yang kedua kali dengan kombinasi ACE
inhibitor dan diuretik tiazid.3
Angiotensin Reseptor Blocker
(1) Mekanisme
13
Dengan mencegah efek angiotensin II, senyawa-senyawa ini merelaksasi otot
polos sehingga mendorong vasodilatasi, meningkatkan ekskresi garam dan air di ginjal,
menurunkan volume plasma, dan mengurangi hipertrofi sel. Antagonis reseptor
angiotensin II secara teoritis juga mengatasi beberapa kelemahan ACE
inhibitor.3
(2) Manfaat
Angiotensin Reseptor Blocker sangat efektif menurunkan tekanan darah pada
pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan
hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah.
Pemberian Angiotensin Reseptor Blocker menurunkan tekanan darah tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi
lipid dan glukosa darah.3
Calcium Channel Blocker
(1) Mekanisme
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot pembuluh darah
dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan relaksasi
arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering
diikuti oleh refleks takikardia dan vasokonstriksi, terutama bila menggunakan golongan
dihidropiridin kerja pendek (nifedipin). Sedangkan diltiazem dan verapamil tidak
menimbulkan takikardia karena efek kronotopik negatif langsung pada jantung.3
(2) Manfaat
Calcium Channel Blocker bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat
antihipertensi yang efektif, terutama pada ras kulit hitam. Calcium Channel Blocker
mempunyai indikasi khusus untuk yang beresiko tinggi penyakit koroner dan diabetes,
tetapi sebagai obat tambahanatau pengganti. Penelitian NORDIL
menemukan diltiazem ekuivalen dengan diuretik dan penyekat beta dalam menurunkan
kejadian kardiovaskular.3
14
Penyekat Reseptor Beta Adrenergic (Beta Blocker)
(1) Mekanisme
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian beta bloker
dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain penurunan frekuensi denyut
jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung, hambatan sekresi
renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II,
dan efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas
baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergic perifer dan peningkatan biosintesis
prostasiklin.3
(2) Manfaat
Penyekat beta telah digunakan pada banyak studi besar untuk hipertensi. Ada
perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik diantara penyekat beta yang ada, tetapi
menurunkan tekanan darah hampir sama. Manfaat beta blocker pada stroke dari beberapa
penelitian menunjukkan bahwa efektivitasnya paling rendah disbanding antihipertensi
yang lain.3
BAB III
KESIMPULAN
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat,
berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau
langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak non traumatic.
Tekanan darah seringkali meningkat pada periode post stroke dan merupakan
beberapa kompensasi respon fisiologi untuk mengubah perfusi serebral menjadi iskemik
15
pada lapisan otak. Hasilnya terapi tekanan darah mengurangi atau menghalangi
kerusakan otak akut hingga kondisi klinis stabil.
Tekanan darah pada fase akut diturunkan perlahan-lahan sebab hipertensi tersebut
timbulnya secara reaktif dan sebagian besar akan turun sendiri pada hari ke 3 hingga 7.
Hipertensi sering ditemukan pada penderita-penderita stroke pada waktu datang
ke rumah sakit. Pengobatan hipertensi pada saat serangan stroke masih kontroversial.
Pengobatan hipertensi pada saat serangan stroke mempunyai risiko kurang baik pada
prognosis stroke.
Penanganan hipertensi pada penderita stroke akut harus mempertimbangkan alirah
darah otak dan alirah darah regional. Fungsi serebral harus tetap dipelihara semaksimal
mungkin untuk memulihkan lesi yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sari, I.M. Rasionalitas Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Penderita Stroke
Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umu Daerah Dr. M. Ashari Pemalang
Tahun 2008. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah. Surakarta. 2009
2. Lamsudin, R. Pengendalian Hipertensi Sebagai Faktor Risiko Stroke Dan
Manajemen Hipertensi pada Penderita Stroke Akut. Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta. 2000
3. Wibowo, S. Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit Salemba Medika.
Yogyakarta. 2001
16
4. Omara, W. Stroke Non Hemoraghik. 2010.
http://wadheomara.blogspot.com/2010/04/stroke-non-hemoragik.html
5. Setyopranoto, I. Manajemen Stroke Akut. Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UGM.
Yogyakarta. 2011
6. Ghofir, A. Manajemen 60 Menit Pertama Kegawatan Stroke dan Evaluasinya.
Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UGM/ Unit Stroke RS
Dr.Sardjto. Yogyakarta . 2011.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/35608321327.pdf
7. Sutantoro, B., dkk. Pengamatan Tekanan Darah pada Stroke Akut. Bagian Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta. 2000
8. Aiyagari, V., Phillip B. Gorelick. Management of Blood Pressure for Acute and
Recurrent Stroke. American Heart Association. 2009.
http://stroke.ahajournals.org/cgi/reprint/40/6/2251g
9. Setyopranoto, I. Pendekatan Evidence-Based Medicine pada Manajemen Stroke
Perdarahan Intraserebral. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran UGM.
Yogyakarta. 2008. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_165_Neurologi.pdf
17
Recommended