View
10
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara dengan kondisi masyarakat yang
sangat heterogen dengan kurang lebih 300 suku bangsa (etnik).
Heteroginitas masyarakat yang sangat besar ini memiliki sistem nilai dan
norma budaya masing-masing. Keunikan kebudayaan, yang kebudayaan
itu biasanya menjadi acuan berpikir dan pegangan bertindak, sangat
berpengaruh pada sikap hidup dan pola perilaku dalam masyarakat.
Kebudayaan memiliki arti yang sangat luas dan pemaknaannya sangat
beragam, serta merupakan sistem simbol yang dipakai manusia untuk
memaknai kehidupan. Sistem simbol berisi orientasi nilai, sudut
pandangan tentang dunia, maupun sistem pengetahuan dan pengalaman
kehidupan. Sistem simbol terekam dalam pikiran yang dapat
teraktualisasikan ke dalam bahasa tutur, tulisan, lukisan, sikap, gerak, dan
tingkah laku manusia.
Pemahaman kebudayaan yang sangat beragam tersebut terjadi karena
adanya varian budaya yang disebut dengan kebudayaan lokal. Kebudayaan
local yg dibahas dalam penulisan ini adalah kebudayaan Sunda, Jawa dan
Bali, yang merupakan suatu tata nilai yang secara ekslusif dimiliki oleh
masyarakat etnik Bali itu sendiri, bahkan sampai pada tingkat subetnik.
Adanya variasi dan keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola
perilaku masyarakat tersebut berlaku. Dalam konteks tersebut, perilaku
individu dalam organisasi juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh varian
lokalitas budaya yang berkembang. Birokrasi, sebagaimana organisasi
lainnya yang tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan budaya, dalam
aktivitasnya juga terlibat secara intensif melalui pola-pola interaksi yang
terbentuk di dalamnya dengan sistem nilai dan budaya lokal. Budaya
1
birokrasi yang berkembang di suatu daerah tertentu, misalnya, tidak dapat
dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang melingkupinya.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pola perilaku masyarakat sunda, jawa dan bali?
2. Bagaimana Karakteristik Kebudayaan masyarakat sunda, jawa dan
bali?
3. Bagaimana stratifikasi sosial masyarakat sunda, jawa dan bali?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pola perilaku masyarakat sunda, jawa dan bal
2. Mengetahui Karakteristik Kebudayaan masyarakat sunda, jawa dan
bali
3. Mengetahui stratifikasi sosial masyarakat sunda, jawa dan bali
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. POLA PERILAKU MASYARAKAT SUNDA
2.1.1. Pengertian Budaya Sunda
Budaya Sunda adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam
masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda dikenal dengan masyarakat
yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya
karakter masyarakat Sunda adalah periang, ramah-tamah (someah),
murah senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orangtua.
Itulah cermin budaya masyarakat Sunda. Di dalam bahasa Sunda
diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk berbicara
dengan orang yang lebih tua.
2.1.2. Kebudayaan Sunda
Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang
menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam
perkembangannya perlu dilestarikan.
Berikut ini kebudayaan-kebudayaannya
1. Sistem Kepercayaan
Hampir semua masyarakat sunda beragama Islam namun
ada beberapa yang bukan beragama islam. Namu pada proses
perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda
menerima sepenuhnya, contoh nya di baduy.
Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda
Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis,
penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan
kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha
Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa),
Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang
Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana
3
Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan
kepada pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat
mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti,
Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang
dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka
Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang Baduy berkaitan
dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan.
2. Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Sunda bersifat parental atau
bilateral yaitu hak dan kedudukan anggota keluarga dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu sama. Dilihat dari ego, orang
Sunda mengenal istilah :
- Tujuh generasi ke atas : bapa–indung (ayah–ibu), aki–nini
(kakek–nenek), buyut (cicit), bao, janggawareng, udeg-
udeg dan gantung siwur.
- Tujuh generasi ke bawah: anak, incu/putu (cucu), buyut
(cicit), bao, janggawaeng, udeg-udeg dan gantung siwur.
3. Sistem Kesenian
Kesenian Suku Sunda banyak ragamnya. Nyanyian Sunda
dibagi dalam jenis tembang dan kawih, tembang dibentuk
melalui ikatan puisi berbentuk pupuh dan guguratan. Kawih
adalah nyanyian yang bentuknya bebas, kecapi, reog, suling,
angklung dan degung adalah alat musik tradisional yang masih
banyak dipergunakan. Tarian berupa pencak silat, ketuk tilu,
longser, tayuban, tari merak, serimpi, tari kejang, tari topeng
dan jaipongan yang sangat populer baik dikalangan masyarakat
sunda sendiri maupun nasional
Wayang golek yang dibuat seperti boneka, dimainkan oleh
dalang dan banyak digemari oleh masyarakat. Sekarang ini,
wayang dimodifikasi menjadi wayang modern, seperti bisa
mengeluarkan darah, muntah dan sebagainya.
4
Seni sastra yang tertua adalah pantun carita. Isi ceritanya antara
lain dongeng kepahlawanan, seperti Lutung Kasarung, Ciubg
Wanara, Munding Laya, Nyi Pohaci Sang Hyang Sri, Babad
Siliwangi dansebagainya.
Seni sastra lainnya yaitu cerita rakyat Sunda yaitu Si
Kabayan, suatu contoh sastra yang dilukiskan sebagai seorang
yang malas dan bodoh akan tetapi sering tampak
kecerdikannya.
Dalam bidang seni banunan, rumah adat joglo seperti
keratin kasepuhan Cirebon yang memiliki 4 ruangan yaitu :
Jinem atau pendopo adalah tempat untuk para punggawa atau
penjaga keselamaan sultan, pringgondani adalah tempat sultan
member perintah kepada adipati, prabaya adalah tempat sultan
menerima tamu istimewa, panembahan adalah ruang kerja dan
istirahat sultan.
4. Sistem Politik
Istilah kepala desa di beberapa tempat di sunda ini sangat
berbeda-beda, namun paling dikenal disebut dengan kuwu.
Kuwu dipilih oleh rakyat. Dalam pemilihannya kuwu dipilih
oleh rakyat itu sendiri. Tugas kuwu tersebut adalah mengurus
warga desa. Dalam mengerjakan tugas nya itu, kuwu di bantu
oleh :
1. Seorang juru tulis, bertugas mengurus pajak dan
memelihara arsip,
2. Tiga orang kokolot, bertugas menjalankan
perintah/menyampaikan pengaduan rakyat kepada pamong
desa,
3. Seorang kulisi, bertugas menjaga keamanan desa,
4. Seorang ulu-ulu, bertugas mengatur pembagian air irigasi,
5. Seorang amil, bertugas mengurausi kematian, kelahiran,
rujuk, dan nikah,
5
6. Tiga pembina desa yang terdiri atas satu orang kepolisian
dan dua orang angakatan darat.
7. Mata pencaharian
Mata pencaharian pokok masyarakat Sunda adalah
- Bidang perkebunan, seperti tumbuhan teh, kelapa sawit,
karet, dan kina.
- Bidang pertanian, seperti padi, palawija, dan sayur-
sayuran.
- Bidang perikanan, seperti tambak udang, dan perikanan
ikan payau.
Selain bertani, berkebun dan mengelola perikanan, ada juga
yang bermata pencaharian sebagai pedagang, pengrajin, dan
peternak. Tergantung dengan keadaan ekonominya.
2.1.3. Stratifikasi Suku Sunda
Masyarakat Jawa Barat, yaitu masyarakat Sunda, mempunyai
ikatan keluarga yang sangat erat. Nilai individu sangat tergantung
pada penilaian masyarakat. Dengan demikian, dalam pengambilan
keputusan, seperti terhadap perkawinan, pekerjaan, dll., seseorang
tidak dapat lepas dari keputusan yang ditentukan oleh kaum
keluarganya. Dalam masyarakat yang lebih luas, misalnya dalam
suatu desa, kehidupan masyarakatnya sangat banyak dikontrol oleh
pamong desa. Pak Lurah dalam suatu desa merupakan “top leader”
yang mengelola pemerintahan setempat, berikut perkara-perkara
adat dan keagamaan. Selain pamong desa ini, masih ada golongan
lain yang dapat dikatakan sebagai kelompok elite, yaitu tokoh-
tokoh agama. Mereka ini turut selalu di dalam proses pengambilan
keputusan-keputusan bagi kepentingan kehidupan dan
perkembangan desa yang bersangkutan. Paul Hiebert dan Eugene
Nida, menggambarkan struktur masyarakat yang demikian sebagai
masyarakat suku atau agraris.
6
Perbedaan status di antara kelompok elite dengan masyarakat
umum dapat terjadi berdasarkan status kedudukan, pendidikan,
ekonomi, prestige sosial dan kuasa. Robert Wessing, yang telah
meneliti masyarakat Jawa Barat mengatakan bahwa ada kelompok
“in group” dan “out group” dalam struktur masyarakat. Kaum
memandang sesamanya sebagai “in group” sedang di luar status
mereka dipandang sebagai “out group.
W.M.F. Hofsteede, dalam disertasinya Decision-making
Process in Four West Java Villages (1971) juga menyimpulkan
bahwa ada stratifikasi masyarakat ke dalam kelompok elite dan
massa. Elite setempat terdiri dari lurah, pegawai-pegawai daerah
dan pusat, guru, tokoh-tokoh politik, agama dan petani-petani kaya.
Selanjutnya, petani menengah, buruh tani, serta pedagang kecil
termasuk pada kelompok massa. Informal leaders, yaitu mereka
yang tidak mempunyai jabatan resmi di desanya sangat
berpengaruh di desa tersebut, dan diakui sebagai pemimpin
kelompok khusus atau seluruh desa.
Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan
kerabat atau keluarga dalam masyarakat Sunda menempati
kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan hanya tercermin dari
adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat hubungan itu yang
langsung dan vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun
yang tidak langsung dan horisontal (dulur, dulur misan, besan),
melainkan juga berdampak kepada masalah ketertiban dan
kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati
kedudukan lebih tinggi dalam struktur hubungan kekerabatan
(pancakaki) daripada anak, incu, alo, suan. Begitu pula lanceuk
(kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih tinggi dari paman/bibi.
Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan
menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan
keluarga besarnya, menentukan bentuk hormat menghormati, harga
7
menghargai, kerjasama, dan saling menolong di antara sesamanya,
serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya pernikahan di
antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru.
Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media pendekatan
oleh seseorang untuk mengatasi kesulitan yang sedang
dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih tinggi derajat
pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh yang lebih rendah,
melebihi dari yang sama dan lebih rendah derajat pancakaki-nya.
2.2. POLA PERILAKU MASYARAKAT JAWA
2.2.1. Pengertian Budaya Jawa
Budaya Jawa merupakan budaya dari jawa yang di jalankan
oleh orang jawa khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI
Yogyakarta. Dilihat dari luas wilayah dan banyaknya populasi suku
jawa sehingga memepengaruhi budaya yang dianutnya, dengan
kata lain budaya jawa ini di bedakan denga 3 garis besar, yakni
budaya jawa timur, Jawa tengah – DI Yogyakarta dan
Banyumasan.
Kebudayaan jawa ini tidak hanya menampilkan nilai-nilai
estetika, namun budaya ini mengedepankan nilai-nilai toleransi,
keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-
hari, tidak hanya itu budaya jawa mengankat tinggi nilai
kesederhanaan dan kesopanan. Dari sekian banyak budaya yang
ada di Indonesia, budaya jawa merupkan salah satu budaya yang
digemari oleh orang luar negeri. Budaya tersebut diantanya Tari-
tarian, Wayang Kulit, gamelan, sastra, Batik dan Keris, bahkan
gamelan jawa dimasukan dalam kurikulum pembelajaran
Singapura, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Amerika Serikat
dan Eropa secara rutin mengadakan pergelaran gamelan jawa serta
satu satunya sastra indonesia yang mendapat pengakuan dari
UNESCO sebagai memori dunia yaitu sastra jawa Negara
Kretagama. Tidak hanya di pulau jawa atau di 3 propinsi di jawa
8
saja, budaya jawa terus berkembang dan di lestarikan oleh suku
jawa yang berada di luar pulau jawa. Semoga budaya Jawa tetap
lestari dan dapat dinikmati oleh anak cucu di masa yang aka
datang.
2.2.2. Kebudayaan Jawa
Kebudayaan jawa tidak hanya menampilkan nilai-nilai
estetika, namun budaya ini mengedepankan nilai-nilai toleransi,
keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-
hari, tidak hanya itu budaya jawa mengankat tinggi nilai
kesederhanaan dan kesopanan. Berikut ini kebudayaan-
kebudayaannya
1. Sistem Kepercayaan
Agama mayoritas dalam suku bangsa Jawa adalah Islam.
Selain itu juga terdapat penganut agama Kristen, Katolik,
Hindu, dan Buddha. Masyarakat Jawa percaya bahwa hidup
diatur oleh alam, maka ia bersikap nrimo (pasrah). Masyarakat
Jawa percaya keberadaan arwah/ roh leluhur dan makhluk halus
seperti lelembut, tuyul, demit, dan jin.
Selamatan adalah upacara makan bersama yang telah diberi
doa sebelumnya. Ada empat selamatan di Jawa sebagai berikut.
- Selamatan lingkaran hidup manusia, meliputi: hamil tujuh
bulan, potong rambut pertama, kematian, dan kelahiran.
- Selamatan bersih desa, upacara sebelum, dan sesudah
panen.
- Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari/bulan-bulan
besar Islam.
- Selamatan yang berhubungan dengan peristiwa khusus,
perjalanan jauh, ngruwat, dan menempati rumah baru. Jenis
selamatan kematian, meliputi: nelung dina (tiga hari),
mitung dina (tujuh hari), matang puluh dina (empat puluh
hari), nyatus (seratus hari), dan nyewu (seribu hari).
9
2. Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan suku bangsa Jawa adalah bilateral
(garis keturunan ayah dan ibu). Dalam sistem kekerabatan
masyarakat Jawa, digunakan istilah-istilah sebagai berikut.
- Ego menyebut orang tua laki-laki adalah bapak/rama.
- Ego menyebut orang tua perempuan adalah simbok/ biyung.
- Ego menyebut kakak laki-laki adalah kang mas, kakang
mas.
- Ego menyebut kakak perempuan adalah mbakyu.
- Ego menyebut adik laki-laki adalah adhi, dhimas, dik, atau
le.
- Ego menyebut adik perempuan adalah ndhuk, denok, atau
di.
Dalam masyarakat Jawa, istilah-istilah di atas merupakan tata
cara sopan santun pergaulan yang harus diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Apabila melanggar nasihat orang tua
akan sengsara atau disebut kuwalat.
3. Sistem Kesenian
A. Seni Bangunan
Rumah adat di Jawa Timur disebut rumah Situbondo,
sedangkan rumah adat di Jawa Tengah disebut Istana
Mangkunegaran. Istana Mangkunegaran merupakan rumah
adat Jawa asli.
B. Seni Tari
Tarian-tarian di Jawa beraneka ragam di antaranya sebagai
berikut.
- Tari tayuban adalah tari untuk meramaikan suasana
acara, seperti: khitanan dan perkawinan. Penari tayuban
terdiri atas beberapa perempuan.
- Tari reog dari Ponorogo. Penari utamanya
menggunakan topeng.
10
- Tari serimpi adalah tari yang bersifat sakral dengan
irama lembut.
- Tari gambyong.
- Tari bedoyo.
C. Seni Musik
Gamelan merupakan seni musik Jawa yang terkenal.
Gamelan terdiri atas gambang, bonang, gender, saron,
rebab, seruling, kenong, dan kempul.
D. Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan yang terkenal adalah wayang, selain itu
juga kethoprak, ludruk, dan kentrung.
8. Sistem Politik
Desa di Jawa disebut kelurahan yang dikepalai oleh lurah.
Dalam pekerjaannya lurah dan pembantu-pembantunya
mempunyai tugas pokok memelihara keamanan desa.
Pembantu-pembantu lurah, meliputi:
- carik: pembantu umum/sekretaris desa,
- sosial: memelihara kesejahteraan penduduk,
- kaum: mengurusi soal nikah, rujuk, talak, dan kematian.
9. Mata pencaharian
Sistem perekonomian masyarakat Jawa mencakup
- Pertanian
Yang dimaksud pertanian disini terdiri atas pesawahan dan
perladangan (tegalan), tanaman utama adalah padi.
Tanaman lainnya jagung, ubi jalar, kacang tanah, kacang
hijau dan sayur mayor, yang umumnya ditanam di tegalan.
Sawah juga ditanami tanaman perdagangan, seperti
tembakau, tebu dan rosella.
- Perikanan
Adapun usaha yang dilakukan cukup banyak baik perikanan
darat dan perikanan laut. Perikanan laut diusahakan di
11
pantai utara laut jawa. Peralatannya berupa kail, perahu, jala
dan jarring
- Peternakan
Binatang ternak berupa kerbau, sapi, kambing, ayam dan
itik dan lain-lain.
- Kerajinan
Kerajinan sangat maju terutama menghasilkan batik, ukir-
ukiran, peralatan rumah tangga, dan peralatan pertanian.
Adapun mata pencaharian dalam suku Jawa atau masyaraakat
Jawa biasanya bermata pencaharian bertani, baik bertani di
sawah maupun tegalan, juga Beternak pada umumnya bersipat
sambilan, selain itu juga masyarakat Jawa bermata pencaharian
Nelayan yang biasanya dilakukan masyarakat pantai.
.
2.2.3. Stratifikasi Suku Jawa
Di Jawa terdapat stratifikasi sosial berdasarkan kepemilikan
tanah sebagai berikut.
1. Golongan wong baku (cikal bakal), yaitu orang-
orang keturunan para pendiri desa. Mereka mempunyai hak
pakai atas tanah pertanian dan berkewajiban memikul beban
anak keturunan paracikal bakal tersebut. Kewajiban seperti itu
disebut dengan gogol atau sikep.
2. Golongan kuli gandok (lindung), yaitu orang-orang yang
mempunyai rumah sendiri, tetapi tidak mempunyai hak pakai
atas tanah desa.
3. Golongan mondok emplok, yaitu orang-orang yang mempunyai
rumah sendiri pada tanah pekarangan orang lain.
4. Golongan rangkepan, yaitu orang-orang yang sudah berumah
tangga, tetapi belum mempunyai rumah dan pekarangan
sendiri.
12
5. Golongan sinoman, yaitu orang-orang muda yang
belum menikah dan masih tinggal bersama-sama dengan
orang tuanya.
Selain itu, stratifikasi sosial pada masyarakat Jawa didasarkan pula
atas pekerjaan atau keturunan, yaitu golongan priayi dan golongan wong
cilik. Golongan priayi adalah orang-orang keturunan bangsawan dan para
pegawai pemerintah serta kaum cendekiawan yang menempati lapisan
atas. Sedangkan golongan wong cilik antara lain para petani, tukang,
pedagang kecil, dan buruh yang menempati lapisan kelas bawah. Pada
tahun 1960-an, Clifford Geertz seorang pakar antropolog Amerika
membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok, yaitu santri, abangan,
dan priayi. Menurutnya, kaum santri adalah penganut agama Islam yang
taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau menganut
Kejawen, sedangkan kaum priayi adalah kaum bangsawan.
2.3. POLA PERILAKU MASYARAKAT BALI
2.3.1. Pengertian Budaya Bali
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai
yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali
mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering
ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil
di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan
kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan
mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah
menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan
Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat
khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru
dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni
lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh
budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa
memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi
tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel
13
dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu
bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai
keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia
dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia
(pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan
( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga
penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga
hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek
tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam
kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni
persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu
(athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang
( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt
dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini
ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini
juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam
ajaran hukum karma phaladisebutkan tentang sebab-akibat dari
suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang
baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya
juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
2.3.2. Kebudayaan Bali
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai
keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia
dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia
(pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan
( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga
penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga
hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek
14
tersebut maka kesejahteraan akan terwujud. Berikut ini
kebudayaan-kebudayaannya
1. Sistem Kepercayaan
Agama yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama
Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan
sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik,
Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah
untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir
dan batin.orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk
konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud
Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa
(sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-
tempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci agama
Hindu adalah weda yang berasal dari India.
Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan
upacara Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk
membebaskan arwah orang yang telah meninggal dunia dari
ikatan-ikatan duniawinya menuju surga. Ngaben itu sendiri
adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat agama
hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun
baru saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada
juga hari raya galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep,
tumpek uduh, dan siwa ratri.
Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni : (1).tattwa
(filsafat agama), (2). Etika (susila), (3).Upacara (yadnya).
Dibali ada 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu (1). Manusia
Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai masa dewasa.
(2). Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh
leluhur. (3).Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di
pura / kuil keluarga.(4).Rsi yadnya yaituupacara dalam rangka
pelantikan seorang pendeta. (5). Bhuta yadnya yaitu upacara
15
untuk roh-roh halus disekitar manusia yang mengganggu
manusia.
2. Sistem kekerabatan
Adat menetap di Bali sesudah menikah mempengaruhi
pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2
adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal
adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap
disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal
adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri
ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen
utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara,
Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya
Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.
Dulu perkawinan di Bali ditentukan oleh kasta. Wanita dari
kasta tinggi tidak boleh kawin dengan laki-laki kasta rendah,
tetapi sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Perkawinan yang
dianggap pantang adalah perkawinan saudara perempuan suami
dengan saudara laki-laki istri (mak dengan ngad). Hal itu akan
menimbulkan bencana (panes). Cara memperoleh istri
berdasarkan adat ada dua, yaitu :
1. memadik, ngindih: dengan cara meminang keluarga gadis;
2. mrangkat, ngrorod: dengan cara melarikan seorang gadis.
3. Sistem Kesenian
A. Seni Tari
Sesungguhnya seni taridapat digolongkan ke dalam seni
teater. Teater mengandung tiga unsur, yakni penonton,
tempat, pemain. Karena itu, teater meliputi seluruh seni
pertunjukan yang terdiri dari seni pentas (drama), seni tari,
seni music (karawitan) dan seni gerak lainnya. Salah satu
definisi tari adalah “tari adalah ekspresi jiwa manusia yang
16
diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah”
(Soedarsono, tanpa tahun :17).
Terdapat beberapa jenis tari yang mempunyai fungsi
tertentu, yaitu sebagai berikut ;
1. Pendet : berfungsi sebagai tari penyambutan yang
ditunjukan kepada bhatara-bhatari yang turun
ke mrcapada (dunia) dalam suatu upacara atau
manyembrama (menerima) kedatangan-Nya
dari Melasti (menyucikan pralingga).
2. Rejang : berfungsi sebagai symbol bidadari yang turun
ke dunia menuntun bhatara waktu melasti atau tedun ke
peselang (turun ke temapat upacara), oleh karena itu
maka penari-penari-nya terdiri dari gadis-gadis yang
belum kawin (Putra, tanpa tahun : 9 ). Di Bali Utara
desa Bungkulan, rejang-renteng (bergandengan dengan
benang) berfungsi sebagai tari penyambutan terhadap
dewi Cri sebagai pernyataan bersyukur karena
berhasilnya panen padi.
B. Seni Karawitan
Di Bali terdapat berbagai jenis perangkat/ansambel
gamelan yang bila ditilik dari segi umurnya ada yang sudah
berusia ratusan tahun yang merupakan peninggalan dari
zaman kerajaan Bali dan ada pula buatan akhir-akhir ini
pada abad ke-20.
Ada gambelan yang hanya mengiringi upacara sajaa,
tentu ada ansambel-ansambel yang berfungsi sebagai
pengiring tarian-tarian, baik tari lepas, tari lakon, maupun
sendratari. Sampai sekarang secara tradisi dapat diikuti
bahwa beberapa jenis gambelan mempunyai fungsi sebagai
berikut.
17
1. Gong Gede disamping ditabuh secara instrumental
sebagai pengiring suatu upacara agama, berfungsi pula
sebagao pengirinh berbagai jenis ari baris gede yang
digolongkan tari wali (dewayadnya),
2. Angklung untuk pengiring upacara pitrayadnya (orang
meninggal, ngaben, mukur, dan sebagainya),
3. Gambang pada umumnya untuk mengiringi Upacara
ngaben, kecuali di daerah Karangasem yang berfungsi
pula di dalam Dewayadnya,
4. Gender Wayang dan Semara Pegulingan pada
umumnya berfungsi mengiringi upacara
Manusiayadnya (ualang tahun, Potong gigi,
perkawinan),
5. Balaganjur/Paleganjur di samping berfungsi sebagai
pengiring upacara mecaru (buthayadnya) juga untuk
Dewayadnya.
Melihat fungsi-fungsi diatas, karena adanya desa, kala,
patra belum dapat diambil kesimpulan yang mana
sesungguhnya yang dianggap fungsi paling tepat.
Mengingat banyaknya jenis ansambel yang ada yang
hingga kini tercatat sampai 26, maka secara hipotesis
kiranya pada zaman lampau masing-masing ansambel itu
mempunyai tugas atau fungsi tertentu. Tetapi didalam
sejarah perkembangannya mengalami berbagai perubahan,
mungkin disebabkan oleh langka atau punahnya suatu jenis
gambelan di suatu daerah, ehingga perlu dialih-fungsikan
kepada gambelan yang ada pada kurun waktu itu.
C. Tempat Pemujaan dan Fungsi-fungsi Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan lahir dari fungsi yang
diembanya dari bentuk penampilannya jelas diketahui
fungsi bangunannya. Meru untuk tempat pemujaan, bale
18
mten untuk tempat tinggal, wantilan untuk tempat
pertemuan. Demikian pula bangunan-bangunan yang lain,
masing-masing identitas yang disandangnya
menginformasikan fungsinya. Bangunan-bangunan
tradisional dikelompokan dalam fungsi-fungsi sebagai
tempat pemujaan, tempat tinggal, dan tempat umum.
Unit terkecil adalah tempat pemujaan keluarga, di
masing-masing rumah tangga disebut sanggah atau
pamerajan. Bangunannya kemulan dan taksu dilengkapi
dengan beberapa bangunan yang dipandang perlu.
Untuk tempat pemujaan keluarga besar disebut dadia
(satu keturunan) dan kawitan (satu warga) dengan
bangunan pokok pajenengan dan paibon dilengkapi dengan
bangunan-bangungan pelinggih lainnya sesuai dengan
pemujaan yang dilakukan dan beberapa bangunan
pelengkap yan diperlukan.
Untuk unit-unit banjar ada tugu banjar dan untuk
tingkat desa adat ada kahyangan tiga (pura desa, puseh, dan
dalem) yang disiwi oleh seluruh warga desanya. Pura
penunggu, dibangun di tempat-tempat yang dipandang
angker, ada penunggunya seperti goa, sungai, mata air, dan
tempat-tempat yang sering terjadi kecelakaan. Pura
pengulu, untuk tempat-tempat pemujaan kelompok
seprofesi pura Ulun Subak (petani), pura Ulun Segara
(nelayan) pura Ulun Pasar (pedagang, dan pura untuk
kelompok-kelompok kerja lainnya).
Pura Siwi, sebagai tempat pemujaan di tempat-tempat
tertentu sehubungan dengan pembinaan dan perjalanan suci
para tokoh agama pada awal penyebarannya. Pura Siwi
merupakan tempat pemujaan umum, diemong masyarakat
sekitarnya dan diempon penguasa wilayah (raja pada masa
19
kerajaan) dan umumnya memiliki tanah untuk sumber
biaya.
Pura Khayangan Jagat, tempat pemujaan yang bersifat
umum bagi semua desa, semua warga, semua profesi dapat
melakukan pemujaan di pura khayangan jagat yang upacara
pemujaann umumnya sekali dalam setahun. Pengempon
pura, desa terdekat dan pengempongnya raja atau penguasa
wilayah dengan dana punia dapat dari tanah pelaba milik
pura atau umat penyiwi.
Bangunan-bangunan tempat pemujaan dibangun
dengan tipe-tipe tugu (kecil) dan candi (besar) dari susunan
pasangan batu, batur-badan dan kepala atau atap dengan
proporsi tertentu. Padmasana dari tipe terkecil
(padmacapah), tipe sedang (padmasari), tipe besar
(padmasana) yang lengkap dengan bedawangnala, juga
dibangun dengan susunan pasangan batu, batur, badan dan
kepala tanpa atap hanya dalam bentuk stana di bagian atas.
Gedong dengan berbagai tipe, jumlah tiang dan susunan
ruang tergantung pada fungsi pemujaan dibangun dari
kerangka kayu dan bebaturan pasangan batu. Meru dengan
atap tumpang ganjil dari tumpang tiga sampai tumpang
sebelas sesuai fungsi pemujaan, dibangun dari rangka
batang kayu untuk parhyangan dan bebaturan pasangan
batu. Untuk bahngunan tempat pemujaan atapnya dari ijuk
atau alang-alang.
4. Sistem Politik
Desa-desa di Bali dibuat berdasarkan kesatuan tempat. Desa-
desa di daerah pegunungan mempunyai pola perkampungan
memusat (banjar) yang dikepalai oleh khan boncor (khong).
Selain itu di Bali juga dikenal kuil desa yang disebut kayangan
tiga. Kesatuan organisasi lain yaitu subak dan seka. Subak
20
merupakan organisasi irigasi yang mempunyai kepala sendiri.
Seka merupakan suatu organisasi yang bergerak dalam lapangan
kehidupan khusus. Seka berfungsi menyelenggarakan upacara-
upacara desa seperti: seka baris, seka truna, dan seka gong.
5. Mata pencaharian
Sebagian besar masyarakat Bali memiliki mata pencaharian
sebagai petani. Selain padi, pertanian yang lain yaitu palawija,
kopi, dan kelapa. Peternakan di Bali juga maju, yaitu ternak babi
dan sapi. Selain itu juga dikembangkan peternakan kambing,
kerbau, dan kuda.
1. Perikanan: dikembangkan perikanan darat dan laut,
perikanan laut terdapat di pinggir pantai. Para nelayan
menggunakan jangkung (perahu penangkap ikan) untuk
mencari ikan tongkol, udang, dan cumi-cumi.
2. Di Bali juga banyak terdapat industri kerajinan, kerajinan
yang dibuat meliputi: benda-benda anyaman, kain tenun,
pabrik rokok, dan tekstil. Selain itu juga banyak perusahaan
yang menjual jasa, seperti biro perjalanan, hotel, rumah
makan, taksi, dan toko kesenian. Tempat usaha terbesar
terdapat di Gianyar, Denpasar, dan Tabanan.
2.3.3. Stratifikasi Suku Bali
Riwayat Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan
kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik
pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari
ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung,
yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-
pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat
rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi kesalahan pahaman
kasta dibali dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan
warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama
21
Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab
suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab
Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalahCatur
Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi)
masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam
kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem
kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak
menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti
ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun
demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga
masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa
yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk
merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan
penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak
diperdebatkan lagi.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di
masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur
Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu
semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk
gelarnya.
Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun,
diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu
menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna
atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar Cokorde,
jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis
diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak
Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru
lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun,
bahkan berganti abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur
Warna ini menjadi kacau.
22
Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta
sudra (Jaba) berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang
yang berasal dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih
Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.
Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis keturunan
Patrinial, diantaranya:
1. Sudra (Sanskerta: śūdra) adalah sebuah golongan profesi
(golongan karya) atau warna dalam agama Hindu di India.
Warna ini merupakan warna yang paling rendah. Warna lainnya
adalahbrahmana, ksatria, dan waisya. Sudra adalah golongan
karya seseorang yang bila hendak melaksanakan profesinya
sepenuhnya mengandalkan kekuatan jasmaniah, ketaatan,
kepolosan, keluguan, serta bakat ketekunannya. Tugas utamanya
adalah berkaitan langsung dengan tugas-tugas memakmurkan
masyarakat negara dan umat manusia atas petunjuk-petunjuk
golongan karya di atasnya, seperti menjadi buruh, tukang,
pekerja kasar, petani, pelayan, nelayan, penjaga, dll. mereka
hanya dberi nama menurut urutan kelahiran seperti; Wayan
(anak pertama), Made (kedua), Nyoman (ketiga) dan Ketut
(keempat). Jika ada yg mempunyai lebih dari 4 orang anak
namanya akan kembali lagi keurutan pertama (wayan),
begitupun seterusnya.
2. Waisya adalah golongan karya atau warna dalam tata
masyarakat menurut agama Hindu. Bersama-sama dengan
Brahmana dan Ksatria, mereka disebut Tri Wangsa, tiga
kelompok golongan keraya atau profesi yang menjadi pilar
penciptaan kemakmuran masyarakat. Bakat dasar golongan
Waisya adalah penuh perhitungan, tekun, trampil, hemat,
cermat, kemampuan pengelolaan asset (kepemilikan) sehingga
kaum Wasya hampir identik dengan kaum pedagang atau
pebisnis. Kaum Waisya adalah kelompok yang mendapat
23
tanggungjawab untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi dan
bisnis agar terjadi proses distribusi dan redistribusi pendapatan
dan penghasilan, sehingga kemakmuran masyarakat, negara dan
kemanusiaan tercapai. Mereka diberi gelar Gusti Bagus (laki-
laki) dan Gusti Ayu (perempuan).
3. Kesatria atau ksatria, adalah kasta atau warna dalam
agama Hindu. Kasta ksatria ini merupakan bangsawan dan
merupakan tokoh masyarakat bertugas sebagai penegak
keamanan, penegak keadilan, pemimpin masyarakat, pembela
kaum tertindas atau lemah karena ketidak-adilan dan ketidak-
benaran. Tugas utama seorang ksatria adalah menegakkan
kebenaran, bertanggung jawab, lugas, cekatan, prilaku pelopor,
memperhatikan keselamatan dan keamanan, adil, dan selalu siap
berkorban untuk tegaknya kebenaran dan keadilan. Di zaman
dahulu ksatria merujuk pada klas masyarakat kasta bangsawan
atau tentara, hingga raja.
Zaman sekarang, ksatria merujuk pada profesi seorang yang
mengabdi pada penegakan hukum, kebenaran dan keadilan
prajurit, bisa pula berarti perwira yang gagah berani atau
pemberani. Kelompok ini termasuk pemimpin negara, pimpinan
lembaga atau tokoh masyarakat karena tugasnya untuk
menjamin terciptanya kebenaran, kebaikan, keadilan dan
keamanan di masyarakat, bangsa dan negara. yg diberi gelar
Anak Agung.
4. Brahmana adalah salah satu golongan karya
atau warna dalam agama Hindu. Mereka adalah golongan
cendekiawan yang mampu menguasai ajaran, pengetahuan, adat,
adab hingga keagamaan. Di zaman dahulu, golongan ini
umumnya adalah kaum pendeta, agamawan atau brahmin.
Mereka juga disebut golongan paderi atau sami. Kaum
Brahmana tidak suka kekerasan yang disimbolisasi dengan tidak
24
memakan dari makluk berdarah (bernyawa). Sehingga seorang
Brahmana sering menjadi seorang Vegetarian. Brahmana adalah
golongan karya yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu
pengetahuan baik pengetahuan suci maupun pengetahuan ilmiah
secara umum. Dahulu kita bertanya tentang ilmu pengetahuan
dan gejala alam kepada para brahmana. Bakat kelahiran adalah
mampu mengendalikan pikiran dan prilaku, menulis dan
berbicara yang benar, baik, indah, menyejukkan dan
menyenangkan. Kemampuan itu menjadi landasan untuk
mensejahterakan masyarakat, negara dan umat manusia dengan
jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya, menjadi manggala
(yang dituakan dan diposisikan secara terhormat), atau dalam
keagamaan menjadi pemimpin upacara keagamaan. Dimana
sampai sekarang mereka diberi gelar/title Ida Bagus (laki-laki)
dan Ida Ayu (perempuan).
Pada zaman dahulu masyarakat di Bali tidak boleh menikah
dengan kasta yg berbeda. Seiring perkembangan zaman, aturan
itu tidak berlaku lagi untuk saat ini. Mereka boleh menikah
dengan kasta yg berbeda dengan syarat kasta yg perempuan
harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg
tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta si
perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga
sebaliknya, Karena di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris
dari generasi sebelumnya.
25
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
1. Budaya Sunda adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam
masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda dikenal dengan masyarakat
yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter
masyarakat Sunda adalah periang, ramah-tamah (someah), murah
senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orangtua. Itulah
cermin budaya masyarakat Sunda. Di dalam bahasa Sunda diajarkan
bagaimana menggunakan bahasa halus untuk berbicara dengan orang
yang lebih tua.
2. Budaya Jawa merupakan budaya dari jawa yang di jalankan oleh
orang jawa khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI
Yogyakarta. Dilihat dari luas wilayah dan banyaknya populasi suku
jawa sehingga memepengaruhi budaya yang dianutnya, dengan kata
lain budaya jawa ini di bedakan denga 3 garis besar, yakni budaya
jawa timur, Jawa tengah – DI Yogyakarta dan Banyumasan.
Kebudayaan jawa ini tidak hanya menampilkan nilai-nilai estetika,
namun budaya ini mengedepankan nilai-nilai toleransi, keselarasan,
keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari, tidak
hanya itu budaya jawa mengankat tinggi nilai kesederhanaan dan
kesopanan. Dari sekian banyak budaya yang ada di Indonesia, budaya
jawa merupkan salah satu budaya yang digemari oleh orang luar
negeri. Budaya tersebut diantanya Tari-tarian, Wayang Kulit,
gamelan, sastra, Batik dan Keris, bahkan gamelan jawa dimasukan
dalam kurikulum pembelajaran Singapura, Selandia Baru dan
Amerika Serikat. Amerika Serikat dan Eropa secara rutin mengadakan
pergelaran gamelan jawa serta satu satunya sastra indonesia yang
mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai memori dunia yaitu
26
sastra jawa Negara Kretagama. Tidak hanya di pulau jawa atau di 3
propinsi di jawa saja, budaya jawa terus berkembang dan di lestarikan
oleh suku jawa yang berada di luar pulau jawa. Semoga budaya Jawa
tetap lestari dan dapat dinikmati oleh anak cucu di masa yang aka
datang.
3. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang
bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui
adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor
ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ).
Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat
fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh
kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa
komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar
seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian
telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni
pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni
pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula
budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni
di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan
Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga
tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri
27
Recommended