View
237
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
Jangan Salah Pilih Lagi Catatan Politik dan Pemilu Legislatif 2014
Yusradi Usman al-Gayoni
Mahara Publishing
2012
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
TentangHakCipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratusjuta rupiah).
Yusradi Usman al-Gayoni
Jangan Salah Pilih Lagi: Catatan Politik dan Pemilu Legislatif
2014
Editor/Proofreader: Rina Wahyuni
Layout: Rahmadaini Usman
Design Cover: Rudi Hartono
@2013 Yusradi Usman al-Gayoni
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Diterbitkan:
Mahara Publishing
Alamat: Jalan Garuda III B 33 F Pinang Griya Permai
Tangerang, Banten – 15145
Email: maharapublishing@yahoo.co.id
Telp. 02197718090, 081361220435
Cetakan Pertama: 2014
ISBN: 978-602-18245-4-?
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menterjemahkan
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit
Isi diluar tanggung jawab percetakan
PRAKATA
Jakarta, Januari 2013
Penulis,
Yusradi Usman al-Gayoni
DAFTAR ISI
Halaman
Prakata ………………………………………………….…...v-vi
Sambutan
Daftar Isi……………………………….………………..……..x
1. Dapil Aceh yang Berkeadilan? ……….………………
2. Mengawasi Penggunaan ABPK Aceh Tengah ……….
3. Lelang Jabatan Pemkab Aceh Tengah ….……………
4. Apatisme Pemilu Legislatif 2014…….……………….
5. Apatisme Politik ……………………….……………..
6. Politik Uang Masih Berkuasa ………….……………..
7. Intropeksi Diri ……………………….……………….
8. Pembatasan Alat Peraga: Kontrol dan Sanksi? ………. 9. Caleg Keluarga Vs Caleg Ideal dan Egaliterisme di
Gayo …….……………………….…………………....
10. Menurunnya Partisipasi Politik Rakyat .………………
11. Pemilu Legislatif: Partai atau Sosok? .………………..
12. Hamal Tidur Nipi Jege Pemilu Legislatif .……………
13. Memaknai Apatisme ……………….…………………
14. Memberatkan Syarat Nyaleg ……………….…………
15. Ruang Publik Bebas Alat Peraga Kampaye …………..
16. Orang Gayo Berpikir dengan Otak dan Sertakan Hati
Nurani …….……………………….…………………..
17. Anggota Dewan D-4……………….…………………..
18. Cara Orang Gayo Memilih Pemimpin .………………..
Tentang Penulis …………………………………………………
Dapil Aceh yang Berkeadilan? Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Salah satu masalah Pemilihan Umum (Pemilu)
Legislatif di Aceh yang diabaikan selama ini adalah persoalan
Daerah Pemilihan (Dapil). Untuk kursi Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI, misalnya, Dapil Aceh dibagi jadi dua, yaitu
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) I dan Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) II. NAD I terdiri atas Kota Sabang, Kota
Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh
Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Gayo Lues, Aceh Barat Daya,
Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, Aceh
Singkil, dan Kabupaten Simelue dengan jatah 7 kursi.
Sementara itu, NAD II terdiri dari Kabupaten Bireuen, Kota
Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh
Tengah, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh
Tamiang dengan total 6 kursi. Dalam hal ini, termasuk Dapil
untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Persoalannya, apakah komposisi tersebut sudah
mereflesikan Dapil Aceh yang berkeadilan? Kalau dilihat
sepintas, Dapil itu ―sudah adil.‖ Bahkan, tidak menimbulkan
persoalan. Namun, bila diselami, ternyata banyak menyisakan
persoalan. Masalah Dapil pastinya bukan sebatas
menggabungkan kota satu dengan kota lainnya atau kabupaten
satu dengan kabupaten yang lain, melainkan banyak hal yang
mesti dipertimbangkan. Terutama, soal integritas wilayah,
kohesivitas sosio-kultural (persamaan suku, bahasa, dan
budaya), sejarah, dan kesamaan sejarah administratif masa lalu
yang sama.
Pertimbangan itulah yang masih jauh dari penetapan
Dapil yang ada (NAD I dan NAD II). Tanoh Gayo (Aceh
Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah),
katakanlah, semestinya digabungkan ke dalam satu Dapil yang
sama. Kenyataannya, tanoh Gayo dipisahkan ke dalam dua
Dapil yang berbeda. Dampaknya, daerah tersebut tidak memiliki
keterwakilan penuh di Senayan. Juga, di DPRA. Pada akhirnya,
persoalan dan aspirasi dari daerah ini tidak terakomodir dengan
baik. Soalnya, wakil-wakil mereka sudah dikalahkan sebelum
bertanding.
Padahal, keempat daerah tersebut (tanoh Gayo)
memiliki sejarah yang sama baik secara integritas wilayah,
sosio-kultural, sejarah, maupun secara administratif. Pada
awalnya, keempat daerah ini (Aceh Tengah, Aceh Tenggara,
Gayo Lues, dan Bener Meriah) tergabung dalam satu kabupaten
yang sama, yaitu Kabupaten Aceh Tengah (sebelum
pemekaran). Demikian halnya soal integritas wilayah, daerah ini
dikenal dengan tanoh Gayo. Sudah barang tentu, saling
berdekatan satu sama lain. Di sisi lain, secara sosio-kultural dan
sejarah; daerah ini didiami mayoritas oleh orang Gayo. Dengan
begitu, dari sisi sejarah, bahasa, adat istiadat, dan budaya sangat
berbeda dengan masyarakat yang mendiami pesisir Aceh.
Babak Baru
Oleh karena itu, pelbagai elemen sipil terutama dari
daerah pedalaman Aceh mencoba memperjuangkan perubahan
Dapil tersebut. Sebetulnya, upaya ini sudah dimulai dari tahun
2010. Kemudian, Forum Masyarakat Tengah dan Tenggara
Aceh yang didampingi Senator Indonesia asal Aceh sempat
merekomendasikan perubahan Dapil ke Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Termasuk, ke Komisi II DPR (20/10/2011). Hal
yang sama dilakukan pula oleh Forum Masyarakat Tengah-
Tenggara dan Barat Selatan Aceh di Jakarta (13/3/2012) usai
Diskusi Publik “Menyoal Daerah Pemilihan (Dapil) Aceh” di
Gedung Parlemen Senayan. Namun, belum menunjukkan hasil
yang berarti.
Pada akhirnya, sembilan penduduk Aceh Tengah,
Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues (Ir Mursyid,
Anwar, Nazri Adlani, Erry Sofyan, Selamat, Ali Muammar,
Kasmawati, Syaddam Natuah, dan Mulyadi) melakukan uji
materi terhadap pasal 22 ayat (5) dan lampiran Undang-Undang
No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD Terhadap Undang-Undang Dasar 1945ke MK.
Lebih khusus, terkait Dapil. Alhasil, tanggal 28 Januari 2013
lalu, Dapil Aceh ini pun mulai disidangkan. Kalau uji materi ini
berhasil, KPU dan KIP Aceh otomatis mesti menjalankan
ketetapan MK tersebut.
Dapil Ideal?
Melihat jumlah penduduk dan kuota kursi ke DPR RI,
seperti yang sudah diusulkan, idealnya Aceh terdiri dari tiga
Dapil, yaitu NAD I (Kota Sabang, Kota Banda Aceh,
Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, dan kabupaten Pidie
Jaya), NAD II (Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo
Lues, Aceh Tenggara, Simelue, Aceh Singkil, Kota
Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya,
Aceh Barat, dan Kabupaten Aceh Jaya), dan NAD III
(Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh
Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh
Tamiang)
Kalaupun tidak memungkinkan tiga Dapil dan tetap dua
Dapil, misalnya, dengan memperhatikan aspek integritas
wilayah, sosio-kultural, sejarah, dan secara administratif, Dapil
yang ada mesti diformulasi ulang, menjadi NAD I yang terdiri
dari Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh
Tenggara, Simelue, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Selatan,
Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh
Jaya). Sebaliknya, NAD II yang terdiri atas Kota Sabang, Kota
Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Kota
Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, dan
Kabupaten Aceh Tamiang.
Dengan formulasi itu, Dapil Aceh lebih merefleksikan
keadilan. Disamping itu, menunjukkan proporsionalitas dari
masing-masing wilayah, suku, dan budaya yang ada di Aceh.
Pada akhirnya, akan ada keterwakilan penuh yang mewakili
masing-masing daerah baik di DPRA maupun di Senayan.
*Koordinator Forum Masyarakat Tengah Tenggara dan Barat
Daya Selatan Aceh-Jakarta
Sumber: Media Online Lintas Gayo, 17/2/2013
Mengawasi Penggunaan APBK Aceh Tengah Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni
Beberapa waktu yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah telah menyetujui dan
mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten
(APBK) Tahun Anggaran 2013, sebesar Rp. 740.486.105.127,-
(Lintas Gayo, 28 Januari 2013). Di sini, masyarakat Takengon
harus mengawasi penggunaan anggaran tersebut: apakah
peruntukannya benar-benar untuk kepentingan rakyat
keseluruhan? Atau, ―rakyat sebagian?‖ Dalam arti, hanya
dinikmati oleh pembuat/pelaksana serta orang-orang yang
memiliki akses terhadap kebijakan dan kekuasaan. Kalau itu
yang terjadi, cukup disayangkan.
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah juga
mesti transfaran. Misalnya, dengan membuat dan membagi-
bagikan Poster APBK, sampai ke kantor-kantor kepala
kampung, seperti yang sudah dilakukan Pemerintah Propinsi
DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi-Ahok. Dengan
kata lain, ungkapan transfaran tersebut bukan sekedar wacana
(cerak pelin), melainkan nyata dalam tindakan. Dengan
demikian, masyarakat bisa melihat, mengkritisi, dan
mengevaluasi penyusunan anggaran yang telah ditetapkan. Pada
akhirnya, penyusunan program pembangunan dan anggaran
tahun berikutnya bisa lebih baik. Pastinya, dengan
mengedepankan kepentingan masyarakat banyak, sesuai
kebutuhan ril di lapangan, dan berkeadilan.
Kemudian, masyarakat harus mendorong dan ikut
mengawasi wakil-wakil mereka yang duduk di DPRK
(mengawasi pengawas). Sejauh mana wakil-wakil rakyat
tersebut mampu memperjuangkan anggaran yang prorakyat.
Dengan kata lain, anggaran yang menyejahterakan; bukan
mengayakan segelingir orang. Disamping itu, jangan sampai
mereka pun ikut bermain, karena kurangnya keterlibatan dan
pengawasan masyarakat. Apalagi, saat sekarang (2013) yang
merupakan tahun politik. Bisa saja, terjadi politisasi anggaran
untuk kepentingan 2014 (mengamankan posisi mereka)
Partisipatif
Yang jauh lebih penting lagi, bagaimana pemerintah
kabupaten melibatkan masyarakat dan pelbagai stakeholder di
awal penyusunan program pembangunan dan anggaran. Alhasil,
program dan anggaran yang disusun pun sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Bukan program titipan, yang ujung-
ujungnya ‗proyek.‘ Tujuannya, untuk mengembalikan modal.
Lalu, bisa saving (mungemas) untuk persiapan pemilu kada atau
pemilu legislatif selanjutnya. Bahkan, balas budi kepada tim
sukses-tim sukses atau pemodal yang telah ikut berjuang
sebelumnya, yang dieksekusi melalui program-program dan
anggaran-anggaran yang sudah disusun ―di belakang layar.‖
Terlepas kurangnya willing ―angan kasat ejet ni niet”
dari eksekutif dan legislatif, misalnya, masyarakat lah yang
mesti lebih aktif, cerdas, dan kritis. Khususnya, dalam
penyusunan program dan anggaran sampai
pengimplementasiannya. Pada akhirnya, masyarakat akan betul-
betul dilayani dan diposisikan sebagai penikmat pembangunan.
Genap si mulo; agih si belem.
Sumber http://www.lintasgayo.com/36884/mengawasi-
penggunaan-apbk-aceh-tengah.html
Lelang Jabatan Pemkab Aceh Tengah?
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo, mengingatkan, proses lelang
jabatan di Provinsi DKI Jakarta agar tidak melenceng dari
ketentuan yang berlaku. Lelang itu harus berjalan transparan
dan independen. Ketentuan lelang jabatan juga mesti mengacu
pada Surat Edaran Menteri PAN Nomor 16 Tahun 2012 tentang
Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong secara
Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah. Sesuai ketentuan
itu, peserta harus lulus seleksi administrasi, wawancara,
penguasaan wilayah kerja, dan mengikuti uji publik. Adapun
panitia seleksi terdiri lima orang yang berasal dari unsur pejabat
di instansi terkait, pejabat dari instansi lain yang kompetensi
jabatannya sesuai dengan jabatan yang akan diisi, dan pakar
atau akademisi. Selain DKI, lelang jabatan serupa akan
dilakukan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah,
Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif (Kompas, 22 Maret 2013)
Sebagai masyarakat, kita menyambut baik rencana
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tengah untuk
melakukan lelang jabatan di lingkungan pemerintahan di
Takengon. Namun, kita masih belum tahu; apakah lelang
jabatan ini berlaku mulai dari asisten, sekretaris daerah, kepala
dinas, camat, sampai kepala kampung? Lalu, sumber dan besar
anggaran yang digunakan. Belum lagi, panitia seleksi yang akan
menyeleksi pejabat-pejabat tersebut.
Kita berharap, Bupati Nasaruddin dan Wakil Bupati
Khairul Armara dapat menggunakan hak preogatifnya dengan
benar, baik, dan sesuai aturan. Sebagai akibatnya, pejabat yang
dihasilkan pun betul-betul jujur, amanah, berkualitas, mampu,
serta punya track record kinerja yang mumpuni. Juga, sejalan
dengan prinsip the right man on the right place; bukan the
wrong man on the wrong place.
Pasalnya, di banyak tempat, penempatan jabatan ini
seringkali tidak didasarkan pada kriteria di atas, tetapi lebih
karena kedekatan (sahan rap urum rara—yang dekat dengan
kekuasaan). Dalam hal ini, pastinya, siapa yang dekat dengan
bupati atau wakil bupati. Bisa karena hubungan keluarga
(pemili) atau besanan (ume berume). Dalam kaitan itu, akan
terjadi avoidance relationship (hubungan segan) dalam birokrasi
yang berjalan; sama halnya seperti hubungan segan dalam tutur
(istilah kekerabatan dalam masyarakat Gayo). Karena, diisi
keluarga, kerabat dekat, dan ―tim sukses.‖ Misalnya, ume
(besan), ama (bapak), anak (anak), kumpu (cucu), engi (adik),
dan lain-lain. Sapaannya pun bukan lagi ―bapak‖ atau ―ibu‖
seperti yang lazim dalam tuturan pemerintahan/profesional,
melainkan sudah berganti jadi ume, ama, pun, abang, aka, dan
lain-lain. Dampak lain, bisa terbangun politik dinasti baik di
lingkungan pemerintahan maupun di luar pemerintahan (partai
politik serta jabatan-jabatan strategis yang ada di daerah).
Selain itu, karena faktor ―tim sukses‖ saat Pemilihan
Umum Kepada Daerah (Pemilu Kada) berlangsung. Yang
terjadi kemudian adalah politik balas budi. Apalagi, pejabat
yang mendukung telah berinvestasi besar, terutama prihal
pendanaan dalam menyukseskan keterpilihan bupati dan wakil
bupati. Akibatnya, bupati dan wakil bupati mesti membayar cek,
yaitu menempatkan jabatan sesuai dengan pesanan dan
kehendak tim sukses tadi—di internal dan eksternal
pemerintahan. Jika itu terjadi; bupati hanya lah simbol, selalu
galau dan ragu, serta tidak punya kuasa dalam menempatkan
pembantu-pembantunya. Karena, sudah disetir oleh orang-orang
terdekatnya.
Kita berharap agar wacana tersebut dapat berjalan
secepatnya. Dengan begitu, pejabat yang dihasilkan akan sesuai
dengan harapan publik—jujur, amanah, berkualitas, mampu,
dan punya track record kinerja yang mumpuni. Pada akhirnya,
akan berdampat baik dan sehat bagi birokrat/birokrasi yang ada
dan daerah. Dengan kata lain, birokrat yang berjalan akan
senantiasa melayani, transparan (apalagi soal anggaran),
memudahkan, singkat, cepat, dan bisa menyejahterakan. Bukan
sebaliknya, birokrasi yang ingin selalu dilayani, tertutup,
mempersulit, panjang, lambat (lelet), dan tidak berdampat sama
sekali pada perbaikan serta kesejahteraan masyarakat Takengon
secara keseluruhan.
*Direktur Research Center for Gayo
Sumber: Suara Leueser Antara April 9, 2013
http://suaraleuserantara.com/2013/04/09/lelang-jabatan-
pemkab-aceh-tengah/
Apatisme Pemilu Legislatif 2014
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Apatis, skeptis, dan kemungkinan golput. Begitulah
gambaran sikap masyarakat di Takengon menghadapi Pemilu
Legislatif 2014. Lebih khusus lagi, di Daerah Pemilihan (Dapil)
4, yaitu Kecamatan Bebesen, Bies, dan Kecamatan Kute
Panang. Apalagi, di Kecamatan Bebesen.
Barangkali, terlalu dini menilai sikap tersebut. Karena,
Pemilu Legislatif masih berlangsung sebelas bulan lagi.
Sementara, daerah yang dinilai tidak mewakili keseluruhan
daerah pemilihan—empat belas kecamatan di Kabupaten Aceh
Tengah. Namun, kondisi itu tetap merupakan gambaran sikap
masyarakat. Selebihnya, tinggal dipetakan secara wilayah dan
keangkaaan (kuantitatif).
Dari amatan dan wawancara yang dilakukan—sejak 14
April-16 Mei 2013, dapat disimpulkan bahwa sikap itu
disebabkan karena tindakan partai dan anggota legislatif sendiri.
Partai politik tidak mampu memberikan pendidikan,
pembelajaran, dan pencerahan politik kepada masyarakat.
Sebaliknya, partai politik sebatas alat untuk meraih kekuasan.
Selain itu, tidak mampu ―menyejahterakan‖ masyarakat melalui
wakil-wakil mereka di parlemen, yaitu dengan memperjuangkan
apirasi dan anggaran yang pro masyarakat akar rumput (grass
root). Kebalikannya, lebih memperjuangkan kepentingan partai,
pribadi, keluarga, golongan, dan penguasa.
Di lain pihak, anggota legislatif tidak mampu
menunaikan janji-janji politiknya. Juga, kebanyakan anggota
dewan tidak menjalankan tugas kedewananannya. Dengan
demikian, masyarakat semakin tidak percaya pada keberadaan
parlemen dan anggota legislatif. Dengan kata lain, ada-tidaknya
dewan tidak memberikan dampak signifikan kepada
masyarakat. Apalagi, masyarakat akar rumput. Hal tersebut
berdampak negatif pada calon legislatif yang maju sekarang.
Termasuk, wajah-wajah baru. Hal itu makin memperburuk citra
parlemen dan situasi di tengah-tengah masyarakat.
Pindah Dapil
Akibat kurangnya kepercayaan masyarakat, terutama
dari daerah pemilihan sebelumnya, banyak anggota legislatif
yang pindah ke dapil yang berbeda pada pemilu legislatif 2014
mendatang. Misalnya, dari Dapil 1 (Kec Bintang, Kebayakan,
dan Kec Lut Tawar) ke Dapil 4 (Kec Bebesen, Bies, dan Kec
Kute Panang), Dapil 4 ke Dapil 1, dan sebagainya. Dengan
harapan, mereka mendapat tempat di hati masyarakat Dapil
yang baru. Soalnya, mareka sudah kehilangan kepercayaan di
Dapil sebelumnya.
Dalam kaitan itu, masyarakat, terutama yang memiliki
hak pilih mesti benar-benar melihat, menilai, dan selektif dalam
memilih wakil rakyatnya. Lebih khusus lagi, yang pindah Dapil.
Dengan begitu, masyarakat tidak akan salah pilih. Dengan
begitu, mereka tidak akan menyesal setelah melakukan
pencoblosan. Sebab, wakil yang telah dipilih tidak
memperhatikan dan tidak memperjuangkan mereka ―lupa diri.‖
Pencerdasan Bersama
Melihat keapatisan sikap masyarakat, upaya
pencerdasan politik oleh semua pihak mesti terus dilakukan.
Terutama, dari partai politik, akademisi, mahasiswa, pers,
elemen sipil, dan masyarakat Gayo di luar Takengon (tanoh
Gayo). Termasuk, dari bakal calon anggota legislatif. Sebagai
contoh, mengkampayekan anti politik uang (sen) dan anti politik
barang (penosah); sebelum, saat serangan fajar, dan waktu
pemilu legislatif berlangsung baik dari calon anggota legislatif
maupun dari partai politik.
Lebih tegas lagi, menolak dan bahkan sampai tidak
memilih calon yang berpolitik uang dan berpolitik barang.
Lebih-lebih, calon yang tidak tahu tugas dewan sama sekali.
Bukan rahasia umum lagi, anggota dewan seringkali hanya
datang, duduk, diam, dan tidur. Selain itu, sebatas
mengharapkan proyek, fee, dan dana aspirasi. Praktik tersebut
pastinya telah merusakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat,
memperburuk demokrasi, dan ―meruntuhkan akidah
masyarakat.‖
Kemudian, menyampaikan prihal calon anggota
legislatif yang benar-benar berjuang untuk masyarakat.
Pasalnya, keberadaan anggota legislatif dan parlemen sangat
berpengaruh terhadap penetapan anggaran, pengawasan
pembangunan, dan pembuatan perundang-undangan (qanun)
yang berpihak pada perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Sebagai akibatnya, akan berdampak luas pada masyarakat
Takengon, tanoh Gayo, dan Aceh secara keseluruhan.
Sumber: Suara Leuser Antara (Rabu, 22 Mei 2013)
Apatisme Politik? Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Dalam amatan penulis—sejak 14 April-16 Mei 2013,
masyarakat Takengon, Aceh Tengah masih apatis, skeptis, dan
adanya kemungkinan untuk golput pada Pemilu Legislatif 2014
mendatang. Khususnya, di Daerah Pemilihan (Dapil) 4, yaitu
Kecamatan Bebesen, Bies, dan Kecamatan Kute Panang.
Terlebih lagi, di Kecamatan Bebesen. Sikap tersebut merupakan
hak masyarakat. Persoalannya, apakah sikap tersebut akan
menyelesaikan masalah?
Jawabannya, pasti tidak. Malah, akan merugikan
masyarakat. Khususnya, yang memiliki hak pilih (suara). Pada
akhirnya, akan berdampak pada masyarakat Takengon secara
keseluruhan. Sebab, keapatisan mereka, dan apalagi sampai
golput akan menguntungkan partai politik, (calon) anggota
legislatif, dan pihak-pihak tertentu. Terutama, yang suka
bermain uang (money politics) dan politik barang (penosah—
kerudung, kain sarung, sajadah, piring, payung, dan lain-lain)
dalam meraih simpati masyarakat.
Bisa saja, suara yang golput tadi ―dimainkan‖ oleh
yang berduit dan punya kekuasaan. Dalam prosesnya; yang
mestinya terpilih jadi tidak terpilih. Kebalikannya, yang
awalnya tidak terpilih jadi terpilih dan duduk di dewan (DPRK).
Pada akhirnya, dewan akan dikuasai orang-orang yang bermodal
dan punya kekuasan. Karena, sudah melakukan ―jual-beli‖
suara. Sebagai akibatnya, apa pun kebijakan yang diajukan
kepala daerah (eksekutif), serta merta akan diamini dewan.
Di pihak lain, sepertinya ada upaya pembiaran
(―pembodohan‖) oleh pihak-pihak tertentu. Ironisnya, mereka
menyenangi kondisi demikian. Masyarakat dibiarkan tidak
cerdas. Termasuk, cerdas dalam berpolitik. Utamanya, cerdas
dalam memilih calon anggota dewan yang ideal. Dengan
pengertian lain, yang amanah, mampu, berkualitas, punya rekam
jejak yang baik (pendidikan, kinerja, moral, dan hukum),
tanggung jawab, dan betul-betul berjuang mewakili rakyat.
Masyarakat juga seolah-olah ―tidak memiliki akses‖ terhadap
kebijakan dan anggaran.
Balik Modal
Bila praktik politik uang dan politik barang masih
menghiasi Pemilu Legislatif 2014, dapat dipastikan bahwa
prosesnya sudah tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tidak
ada lagi etika dan moral dalam berpolitik. Niat, cara, dan tujuan
calon anggota legislatif yang maju pun sudah tidak benar.
Mereka tidak lagi memperjuangkan rakyat yang mereka wakili.
Namun, lebih mengurusi kepentingan pribadi, keluarga (pemili)
baik dari pihak pedih (dari keturunan bapak) maupun ralik
(pihak keturunan ibu) serta ume berume (besanan), golongan,
penguasa, dan partai politik. Lebih spesifik, mengembalikan
uang yang sudah keluar. Juga, barang-barang yang sudah
dibagi-bagikan ke masyarakat.
Misalnya, dengan meminta fee dari setiap kebijakan
yang digulirkan pemerintah (eksekutif), mengurusi proyek, dan
menunggu dana aspirasi keluar. Dengan demikian, kebijakan
(program) dan anggaran yang ada ―sudah dibajak‖ dari awal.
Tujuannya, untuk mengembalikan uang (modal) yang sudah
keluar tadi.
“DPRKemeh”
Lagi-lagi, masyarakat kembali menelan pil pahit
kekecewaan. Tidak diurus dan tidak adanya tempat mengadu.
Pasalnya, wakil mereka asyik mengurusi kepentingannya.
Walhasil, sumpah serapah dari masyarakat pun keluar, ―DPR
Kemeh‖ (DPR kurang ajar/tidak amanah/tidak tahu untung/tidak
tanggung jawab/tidak ada gunanya). Padahal, keterpilihan
mereka tidak terlepas pula dari pilihan masyarakat. Siapakah
yang salah?
Oleh sebab itu, masyarakat mesti punya harga diri.
Jangan sampai merendahkan sebaligus menghinakan diri dengan
uang seratus/dua ratus/dua ratus lima puluh/tiga ratus/lima ratus
ribu atau barang tertentu. Padahal, dampak yang dirasakan bisa
lima tahun, dan bahkan lebih. Jika nilai yang diterima
masyarakat seratus ribu/suara, maka yang didapat cuma Rp. 54
(Rp. 100.000/365 hari x 5 tahun). Nilai tersebut bahkan lebih
rendah dari harga depik (rasbora tawarensis—ikan endemik di
Danau Laut Tawar) yang dijajakan di Pasar Inpres Takengon.
Yang mesti diingat, tidak ada yang gratis. Setiap pemberian
(uang atau barang), pasti akan ada pengembaliannya.
Selanjutnya, pengawasan dan pengawalan mesti terus
dilakukan oleh semua pihak. Tanpa pengawalan, suara yang
sudah dicoblos dan yang golput pun bisa ―lari kemana-mana.‖
Dampaknya, yang tidak duduk pun bisa jadi duduk. Lalu,
pendidikan dan pencerdasan politik tetap harus dilakukan.
Targetnya, bagi yang punya hak pilih dan termasuk pemilih
pemula (muda). Upaya itu bisa dilakukan pihak-pihak yang
independen baik dari penyeleggara (KIP), akademisi,
mahasiswa, pers, LSM, maupun elemen sipil lainnya. Dengan
demikian, masih ada harapan untuk mewujudkan pemilu
legislatif 2014 yang jujur, bersih, independen, dan antipolitik
uang.
http://www.wartadki.com/berita-703-apatisme-politik.html (24
Mei 2013)
Politik Uang Masih Berkuasa Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni
“Seni, beret ke gere ber sen” (sekarang, sulit kalau tidak pakai
uang)
Begitulah tanggapan sebagian masyarakat menghadapi
Pemilu Legislatif 2014. Khususnya, di Takengon, Kabupaten
Aceh Tengah. Ada dua hal yang bisa dimaknai dari pernyataan
di atas. Pertama, terkait biaya politik. Biaya ini memang mesti
dikeluarkan calon yang bersangkutan. Namun, tidak berlebihan.
Sampai-sampai, membeli suara pemilih dengan uang. Walhasil,
berdampak negatif kepada masyarakat. Juga, terhadap
pelaksanaan demokrasi di tanah air.
Kedua, mengarah kepada politik uang (money politics).
Politik uang ini makin membudaya dalam praktik perpolitikan
di Indonesia. Buktinya, dari pernyataan masyarakat tadi.
Walaupun tidak semuanya menerima politik uang. Namun,
secara umum masih demikian. Ada rasa pesimisme, sepertinya
praktik politik uang sulit untuk dihapuskan.
Praktik seperti itu kerap dilakukan politisi baik saat
Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif maupun Pemilu Kepada
Daerah. Tujuannya, untuk menarik hati dan membuaikan
masyarakat secara instan. Akibatnya, masyarakat tidak lagi
berpikir jangka panjang—dampak lima tahun setelahnya—tapi
lebih ke pemberian tadi. Singkatnya, ada uang ada suara.
Kemungkinan, politik uang tadi bertujuan untuk juga
―mengkondisikan‖ penyelenggara sekaligus pengawas pemilu.
Jika sudah dibiasakan seperti itu, maka jangan salahkan
masyarakat kemudian. Karena, memang sudah dididik dari dari
awal
Di lain pihak, praktik tadi masih terjadi karena
lemahnya penegakan undang-undang dan peraturan-peraturan
terkait. Selain itu, masih kurangnya pengawasan dari Panitia
Pengawas Pemilu. Lalu, terbatasnya sanksi-sanksi terhadap
setiap pelanggaran. Sayangnya, peraturan-peraturan yang ada
seringkali dilanggar. Sebab, sifatnya ―sebatas formalitas.‖
Padahal, ada norma, nilai, dan kekuatan hukum yang
dimilikinya. Namun, tidak mampu menghukumi karena
lemahnya penegakan hukum tadi.
Di luar itu, sampai saat ini, masih belum ada undang-
undang yang membatasi dana kampaye partai politik yang
digodok pemerintah dan DPR RI. Mestinya, undang-undang ini
harus segera dirumuskan. Ketiadaan undang-undang ini
menjadikan politik berbiaya tinggi. Pada akhirnya, mendorong
legislator atau kepala daerah untuk korupsi. Soalnya, harus
mengembalikan modal dan hutang (uang) yang sudah
dikeluarkan, selain saving (mungemas) untuk keperluan dana
maju berikutnya. Pada akhirnya, kerjanya bukan lagi mengurusi
rakyat, melainkan memikirkan pengembalian modal serta
mengurusi proyek, fee, atau dana aspirasi.
Pemilih Cerdas
Terlepas dari masalah tersebut, masyarakat (pemilih)
mesti cerdas dalam memilih wakil-wakil mereka. Dasar
pilihannya tidak didasarkan pada besaran uang atau jumlah
barang yang diberikan, tapi lebih pada rekam jejak (track
record) calon yang bersangkutan. Misalnya, dengan mengetahui
pengetahuan, tingkat pendidikan, pengalaman, kemampuan
teknis, penguasaan undang-udang dan peraturan, program
kedewanan, dan lain-lain.
Nanti, jangan sampai masyarakat menuntut kinerja
dewan. Soalnya, tidak ada yang dikerjakannya buat masyarakat.
Sebaliknya, kerjanya hanya datang, duduk, dengar, diam,
pulang, dan mengambil gaji bulanan. Karena, tidak paham sama
sekali soal pekerjaannya.
Sementara itu, masyarakat sudah diuangi (dibeli) dari
awal. Satu suara, misalnya, dibeli seratus ribu rupiah. Tinggal
dibagi 365 hari (satu tahun) dan dikalikan selama 5 tahun.
Artinya, selama mereka duduk di parlemen, suara pemilih
(masyarakat) hanya dihargai Rp. 54. Itulah nilai dan harga
pemilih sesungguhnya.
Kalau pemilih sudah cerdas dalam memilih, maka
besar kemungkinan legislator yang terpilih pun adalah orang-
orang yang cerdas. Dalam arti, jujur, amanah, mampu,
berkualitas, punya rekam jejak yang baik, dan paham akan tugas
kedewanan. Termasuk, dalam memperjuangkan aspirasi
konstituennya (masyarakat).
Oleh karena itu, masyarakat khususnya yang punya hak
pilih mesti terus dicerdaskan, yaitu dengan memberikan
pendidikan politik. Khususnya, membuka kesadaran untuk
berpartisifasi dalam pemilu 2014 mendatang. Yang lebih
penting lagi, tidak sampai salah memilih sehingga tidak
mengecewakan masyarakat itu sendiri.
Sumber http://frontroll.com/berita-2295-politik-uang-masih-
berkuasa-.html (5/6/2013)
Intropeksi Diri Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Secara keseluruhan, ada 450 calon anggota legislatif
yang akan bertarung menuju Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah pada Pemilu Legislatif 2014
mendatang. Ke 450 calon ini berasal dari 12 partai nasional—
Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN,
PPP, Hanura, PBB, dan PKPI—serta 3 partai lokal—PA, PNA,
dan PDA. Daerah Pemilihan atau Dapil I (Kec Bintang, Kec
Kebayakan, dan Kec Lut Tawar) dan Dapil III (Kec Celala, Kec
Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec Silih Nara) masing-masing 7
kursi. Sementara, Dapil II (Kec Atu Lintang, Kec Jagong Jeget,
Kec Linge, dan Kec Pegasing) dan Dapil Dapil IV (Kec
Bebesen, Kec Bies, dan Kec Kute Panang) masing-masing ada 8
kursi yang diperebutkan.
Terlepas dari kekurangan dan motivasinya, niat baik
dari keseluruhan calon mesti tetap dihargai. Pasalnya, image
lembaga ini sangat buruk, dewasa ini. Di lain pihak, Demokrasi
dibangun pun masih di tataran prosedural, bukan substantif.
Politik transaksional sebagai imbas tingginya biaya politik
makit menguat. Ditambah lagi, tambah berkembangnya politik
keturunan (politik dinasti). Namun, masih ada mau masuk ke
kubangan sistem tersebut. Harapannya, wakil-wakil yang
terpilih nantinya bisa memperbaiki kondisi tersebut. Disamping
itu, maksimal dalam menjalankan tugas kedewanannnya.
Dalam masyarakat Gayo, ada peri mestike
kepemimpinan yang cukup populer, yaitu reje mu suket sipet;
imem mu perlu sunet; petue mu sidik sasat; dan rayat genap
mupakat. Kata reje atau raja dimaknai sebagai ‗pemimpin‘
secara luas. Termasuk, calon anggota legislatif yang akan maju.
Secara khusus, terminologi anggota dewan dalam bahasa Gayo
dikenal dengan istilah ulu rintah.
Suket dan Sipet
Lantas, apakah makna reje mu suket sipet tadi? Ada tiga
kata kunci di sini; reje (raja—pemimpin), suket (menakar), dan
sipet (mengukur). Dalam banyak literatur Gayo, reje mu suket
sipet diartikan ‗adil.‘ Memang, seorang pemimpin baik formal
maupun informal harus adil. Dalam hal ini, bupati yang ada di
Gayo: Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues,
dan Kabupaten Bener Meriah. Mereka mesti adil kepada Tuhan,
diri sendiri, keluarga, golongan, masyarakat luas, dan
lingkungan alam. Demikian halnya calon legislator, mesti adil.
Karena, mereka akan mewakili daerah pemilihan dan
konstituennya. Amanah, beban, tanggung jawab, dan resiko
yang diemban pun pasti berat.
Sesungguhnya, makna reje mu suket sipet tadi cukup
luas. Hakikat pemaknaanya ada pada kata suket (menakar) dan
sipet (mengukur). Indikator suket ini pun jelas sekali, antara lain
kal, are, tem, dan seterusnya. Sebaliknya, sipet—untuk
mengukur jarak—biasanya menggunakan jari tangan. Di sini,
ada unsur relativitas. Panjang jari seseorang pasti berbeda.
Dengan demikian, yang diukur pun akan berbeda hasilnya.
Secara denotatif bisa dimaknai demikian. Namun, ada pula
makna konotatifnya.
Dalam konteks pemimpin dan kememimpinan tersebut,
suket merujuk kepada pemimpin (yang sedang maju) yang
bersangkutan. Dengan kata lain, suket merujuk kepada hal-hal
yang konkrit (i panang sareh, i amat nyata): fisik, tempat
tinggal, masa-masa kecil, sekolah, kampus, tempat berkarir, dan
lain-lain . Kebalikannya, sipet merujuk kepada hal-hal yang
abstrak. Misalnya, jujur, amanah, umur, memiliki popularitas,
elektabilitas serta akseptabilitas yang tinggi, punya keagungan
sifat dan karakter, kedalaman ilmu, pengalaman yang luas,
bekal pendidikan yang memadai, menguasai agama, punya
rekam jejak dan kinerja yang baik, tidak cacat moral dan tidak
cacat hukum, dan lain-lain. Alhasil, pemimpin-pemimpin formal
dan informal tadi—termasuk anggota/calon anggota dewan—
bisa menuntun dan membawa masyarakat dan daerah yang
dipimpinnya ke arah yang benar, baik, maju, dan bermartabat.
Sebab, didasari dengan bekal yang cukup dan mumpuni.
Persoalannya, sudahkah ke 450 calon anggota legislatif
yang maju dan pemimpin-pemimpin formal dan informal yang
ada munyuket dan munyipet (intropeksi) dirinya masing-masing?
Sumber www.suaragayo.com (20/6/2013)
Pembatasan Alat Peraga: Kontrol dan Sanksi? Yusradi Usman al-Gayoni*
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membatasi pemasangan
alat peraga oleh peserta Pemilu 2014. Komisioner KPU Ida
Budhiati mengatakan, pembatasan ini akan ditegaskan dalam
sebuah peraturan. Ia mengungkapkan, peserta pemilu akan
dibatasi hanya boleh memasang dua baliho di satu kecamatan.
Ia memaparkan, pembatasan ini bertujuan untuk mewujudkan
asas keadilan bagi setiap peserta pemilu. Dengan adanya
pembatasan, baliho tidak lagi didominasi oleh peserta pemilu
yang memiliki modal besar.
Selain pembatasan jumlah alat peraga, KPU juga mengatur
tentang tempat-tempat pemasangan alat peraga. Alat peraga
tidak boleh ditempatkan pada fasilitas dan sarana publik seperti
tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, taman, pepohonan, dsb.
Hal tersebut bertujuan untuk menjaga estetika dan keindahan
kota (Kompas, 31 Juli 2013).
Kontrol dan Sanksi?
Kita menyambut baik terobosan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) tersebut. Harapannya, peraturan itu bisa berjalan efektif
di lapangan. Dengan demikian, akan tercipta pemilu legislatif
yang berkeadilan dan tidak didominasi kalangan punya punya
modal besar serta kekuasaan. Di Takengon, Kabupaten Aceh
Tengah, misalnya, ada 450 caleg yang maju dari 15 partai
politik. Sementara itu, di Dapil 4 (Kec Bebesen, Kec Bies, dan
Kec Kute Panang) ada 120 kontestan.
Kalau satu kecamatan saja ada 2 baliho, maka akan ada 720
baliho di tiga kecamatan (Dapil 4). Rata-rata per kecamatan ada
240 baliho. Itu baru di Dapil 4. Belum lagi, Dapil 1 (Kec
Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec Lut Tawar), Dapil 2 (Kec
Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec Linge, dan Kec Pegasing),
dan Dapil 3 (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec
Silih Nara). Tentu, jumlahnya makin besar.
Bisa dibayangkan, baliho ada dimana-mana. Kota jadi kurang
berestetika, indah, dan ―menyesakkan‖ warganya. Bahkan, bisa-
bisa masyarakat tambah muak dan ―ingin muntah‖ melihatnya.
Karenanya, peraturan penempatan baliho ini pun dipandang
tepat. Nantinya, tidak akan ada caleg-caleg yang memaksakan
kehendak, memasang di sembarang tempat, dan bertindak
seenaknya. Apalagi, caleg-caleg yang punya kekuasaan dan
punya banyak modal (uang).
Masalah kedua ialah pengontrolannya. Bukan perkara mudah
mengontrol atribut kampaye ini sampai ke desa-desa. Juga,
memastikan cuma dua baliho di setiap satu kecamatan. Akan
tetapi, peraturan tersebut mesti tetap dijalankan. Terlebih lagi,
KPU punya jejaring dan SDM sampai ke desa-desa, sebagai
penyelenggara Pemilu. Segala kekurangannya, bisa dievaluasi
dan disempurkan. Dengan begitu, penyelenggaraan pemilu-
pemilu berikutnya jadi tambah baik dan makin berkualitas.
Dalam kaitan itu, Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) mesti
benar-benar berfungsi. Banwaslu jangan menunggu pelbagai
laporan pelanggaran terlebih dahulu. Sebaliknya, ikut melihat
dan mengontrol langsung terjadinya pelanggaran-pelanggaran.
Alhasil, proses penyelenggaran pemilu legislatif 2014 bisa
berjalan dengan mudah, baik, dan efektif. Utamanya, prihal
pengontrolan pembatasan alat peraga tadi.
Disamping penguatan pengontrolan, perlu adanya sanksi yang
tegas dari KPU terhadap caleg-caleg yang melanggar. Bila
perlu, sanksi pemberhentian jadi caleg. Selanjutnya,
mengumumkan ke masyarakat bahwa yang bersangkutan
pelanggar peraturan. Jadi, masyarakat juga ikut menghukum
caleg bersangkutan (sanksi sosial). Dengan kata lain, mereka
tidak layak untuk dipilih dan menjadi wakil mereka di parlemen.
Karena, dari awal sudah tidak disiplin, bertindak sesuka hati,
dan melanggar peraturan.
Yang tidak kalah penting adalah sosialisasi peraturan ini.
Sasarannya, bukan hanya kepada partai politik, caleg, elemen
sipil lainnya, melainkan langsung ke masyarakat. Di sini, ada
upaya pelibatan masyarakat dalam segala kegiatan KPU.
Termasuk, dalam memberikan laporan pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan caleg dan langsung ditindaklanjuti KPU.
Demikian halnya dalam pemberian sanksi-sanksi dimaksud.
Hasilnya, peraturan tadi bisa berjalan dengan efektif, terukur,
dan maksimal.
*Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas
Sumber: www.lintasgayo.com (2/8/2013)
Caleg Keluarga Vs Caleg Ideal dan Egaliterisme di Gayo
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Pemilu legislatif 2014 tinggal delapan bulan lagi. Kamis
(22/8/2013), Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah
mengumumkan daftar calon tetap (DCT). Dengan demikian,
mereka telah resmi bertarung memperebutkan kursi legislator
baik di tingkat kabupaten, propinsi maupun ke Senayan.
Secara keseluruhan, ada 450 calon anggota legislatif
yang bertarung dan memperebutkan 30 kursi di Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah. Ke 450
calon ini berasal dari 12 partai nasional—Nasdem, PKB, PKS,
PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, PBB,
dan PKPI—serta 3 partai lokal—PA, PNA, dan PDA. Daerah
Pemilihan atau Dapil I (Kec Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec
Lut Tawar) dan Dapil III (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip
Antara, dan Kec Silih Nara) masing-masing 7 kursi.
Sementara, Dapil II (Kec Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec
Linge, dan Kec Pegasing) dan Dapil Dapil IV (Kec Bebesen,
Kec Bies, dan Kec Kute Panang) masing-masing ada 8 kursi
yang diperebutkan.
Banyaknya calon anggota legislatif yang maju di
Takengon, karena ketentuan KPU (KIP Aceh Tengah) yang
mengharuskan demikian. Kelima belas partai politik mesti
mendaftarkan 7-8 calonnya di Dapil-dapil di Takengon. Dapil I
dan III, 7 calon. Dapil II dan IV 8 calon, karena jumlah
penduduk yang lebih besar.
Dari keseluruhan Caleg yang maju, pastinya ada yang
berasal dari satu keluarga, satu kampung (desa), dan satu
kecamatan. Dapil IV (Kec Bebesen, Kec Bies, dan Kec Kute
Panang), misalnya, dalam satu kampung ada yang maju sampai
10, bahkan 15 calon. Alhasil, potensi ―pecah suara‖ semakin
besar. Dengan begitu, peluang keterpilihan dan keterwakilan
dari kampung yang bersangkutan pun makin kecil. Namun, tidak
ada yang tidak mungkin dalam politik. Perubahan bisa terjadi
setiap saat. Bisa saja, yang terpilih malah dari kampung yang
banyak nyaleg. Sebaliknya, bisa dari kampung yang
kontestannya kurang.
Dampak lain, makin menguatkan disharmoni
antarcaleg, keluarga, kampung, dan antarkecamatan. Lebih luas,
―kerenggangan sosial‖ dalam masyarakat. Karena, masih belum
adanya kedewasan berpolitik dari partai politik, calon, elite
politik, politisi, dan masyarakat. Lebih khusus lagi, dalam
menyikapi perbedaan pilihan. Di sisi lain, pendidikan dan
pembangunan kesadaran berpolitik yang bermartabat dan
bermoral masih kurang. Masih sebatas lip service politik.
Akibatnya, muncul rasa curiga yang berlebihan, saling tidak
percaya, saling tidak menyapa, saling menjelekkan, dan sampai-
sampai tidak saling bersilaturrahim. Bahkan, bisa sampai
konflik. Karena, lebih mengedepankan pendekatan Machiavelli
dibandingkan Ibnu Khaldun dalam berpolitik, utamanya
dalam meraih kekuasaan.
„Track Record‟
Dewasa ini, ada kecenderungan bahwa masing-masing
keluarga tetap memilih caleg yang berasal dari keluarganya,
meski kualitasnya kurang (wawasan, keilmuan, dan kemampuan
dalam menjalankan tugas kedewanannya minim, kurangnya
dukungan pendidikan, dan punya rekam jejak yang buruk:
kejujuran, tanggung jawab serta punya catatan moral dan hukum
yang buruk). Apalagi, yang bersangkutan punya modal yang
lebih. Meski tidak semuanya demikian, tapi rata-rata.
Sayangnya, masih belum terpetakan secara kuantitatif. Karena,
masih kurangnya kajian, penelitian, dan dokumentasi terkait
politik, kepemiluan, dan pelaksanaan demokrasi di Takengon.
Termasuk, publikasi secara terbuka oleh Komisi Independen
Pemilihan (KIP) Aceh Tengah, selaku penyelenggara.
Di lain pihak, masyarakat Gayo sendiri berkarakter
terbuka, toleran, akomodatif terhadap perubahan, dan egaliter.
Mereka memandang sama setiap orang. Antara rakyat biasa,
ulama, anggota dewan, dan bupati/wakil bupati sekalipun, tetap
sama. Soal kepemimpinan, ada yang diembani amanah, ada
yang tidak. Namun, yang tidak mengemban amanah tetap
mengawasi dan mengevaluasi kepemimpinan yang berjalan
(bahasa Gayo= besitegahen—saling mengingatkan). Jadi, kalau
ada anggota masyarakat yang mengkritik pemimpinannya baik
bupati maupun dewan, itu sudah biasa di Takengon, tanoh
(tanah) Gayo. Sebab, sistem nilai yang berlaku demikian.
Dalam memilih pemimpin pun, seperti itu. Mereka lebih
mengutamakan rekam jejak calon yang bersangkutan baik calon
anggota dewan, bupati dan wakil bupati maupun pemimpin
informal. Jadi, ―betul-betul dipertimbangkan.‖ Dalam kearifan
lokal setempat dikenal anak ni Reje mujadi kude, anak ni
Tengku mujadi asu (anak Raja bisa jadi kuda, anak Tengku
bisa jadi anjing). Maksudnya, keagungan nama, keluhuran sifat,
kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan pengalaman,
kerendahhatian, dan keberhasilan orang tua (perekomendasi)
belum tentu diwarisi anaknya (calon yang maju—yang
direkomendasikan).
Dengan demikian, rekomendasi dan garis komando
―tidak berlaku‖ di Gayo. Kalau ada tokoh, partai politik atau
organisasi yang memfatwakan memilih calon tertentu, dalam
kenyataannya, belum tentu dipilih. Termasuk, dalam keluarga
dan dalam satu kampung. Tidak semuanya memilih calon yang
sama.
Harapannya, masyarakat Gayo tetap memelihara sifat
dan karakter keegaliterannya meski ada pergeseran nilai sejak
tiga pemilu demokratis sebelumnya (sejak masa reformasi).
Lebih dari itu, memelihara akal sehat dan nuratinya, terutama
dalam menghadapi dan melakukan pencoblosan pada pemilu
legislatif 2014. Hasilnya, wakil-wakil rakyat yang terpilih
nantinya betul-betul berkualitas, punya rekam jejak yang
mumpuni, serta ada dan berjuang untuk memperjuangkan
kepentingan masyarakat. Pada akhirnya, bisa memberikan
dampak perbaikan dan kemajuan di Takengon, Gayo, dan Aceh
pada umumnya.
*Direktur Research Center for Gayo/Jaringan Masyarakat
Pemilih Cerdas
Sumber: http://www.kabargayo.com/2013/08/caleg-keluarga-vs-
caleg-ideal-dan.html (29 Agustus 2013)
Menurunnya Partisipasi Politik Rakyat
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Partisipasi pemilih dalam pemilu—presiden dan
legislatif—terus menurun. Misalnya, angka 92 peserta tahun
1999, pileg DPR 2004 (84, 07 persen), pilpres 2004 putaran
pertama (78,23 persen), pilpres 2004 putaran kedua (76,63
persen), dan pileg 2009 (70 persen). Pemilih 2014 akan diikuti
190 juta pemilih terdaftar (Kompas, 27/8/2013)
Penurunan partisipasi tersebut karena kekecewaan
masyarakat. Masyarakat sebetulnya menaruh harapan besar
akan adanya perubahan. Terutama, perbaikan ekonomi dan
tingkat kesejahteraanya. Karenanya, mereka menggunakan hak
politiknya. Sayangnya, mereka terlalu banyak berharap. Pada
akhirnya, masyarakat makin skeptis, apatis, dan berujung putus
asa. Sebab, seringkali ditinggalkan dan serta merta dilupakan
pemimpin dan wakil-wakilnya yang terpilih.
Disamping itu, masyarakat melihat tidak adanya calon
alternatif. Masyarakat enggan menggunakan hak politiknya.
Karena, sudah tahu track record (rekam jejak) calon yang
bersangkutan. Juga, adanya ―ketidakpercayaan‖ terhadap
penyelenggara pemilu, karena kuatnya kepentingan (conflict of
interest). Hasilnya, terjadi keberpihakan, ketidakadilan,
ketidakfairan, ketidakterbukaan, ketidakjujuran,
ketidakbersihan, dan ketidakprofesionalan dalam
penyelenggaraan pemilu.
Saat sudah terpilih, wakil-wakil rakyat yang ada lebih
berorientasi pada pengembalian modal. Karena, jorjoran saat
mencalonkan. Tak hanya itu, mereka seperti ―berjudi‖ dengan
menghalalkan segala cara. Yang penting, bisa terpilih dan
mendapatkan kekuasaan. Dalam kaitan itu, pendekatan
Machiavelli digunakan daripada pendekatan Ibnu Khaldun
dalam berpolitik. Setelah itu, bisa saving untuk modal maju
pada pemilu berikutnya, mengayakan diri, ―menyejahteraan‖
keluarga dan tim suksesnya, serta mengutamakan partai
politiknya melalui pelbagai proyek, fee, atau mengharapkan
dana aspirasi.
Atas dasar itu—gaji, fasilitas penunjang, proyek, fee,
dan dana aspirasi—barangkali, banyak yang ikut nyaleg.
Walaupun, tidak menutup kemungkinan, banyak pula yang tidak
tahu kedudukan, fungsi, dan tugas kedewanannya. Alhasil,
wakil-wakil seperti ini sebatas datang, duduk, dengar, dan diam
(―legislator D4.‖) Legislator model ini baru kelihatan lagi saat
mendekati pemilu. Saat seperti itu, mereka biasanya jadi orang
yang paling dermawan, santun, dekat dengan rakyat, dan paling
saleh dari biasanya. Tak jarang, ada yang sampai
mempolitisisasi agama, yaitu dengan ―menjual‖ ayat-ayat Tuhan
dan hadist rasul-Nya serta simbol-simbol keagamaan.
Tingginya biaya politik dan banyaknya tuntutan dari
konstituen ―pemenuhan janji-janji politik,‖ tak jarang, membuat
wakil rakyat sampai terjerat korupsi. Di saat yang sama, proses
demokrasi yang berjalan pun lebih bersifat prosedural, bukan
substantif. Baik presiden dan wakil presiden, kepala daerah,
legislator maupun senator kurang peka melihat pelbagai
persoalan yang dihadapi masyarakat. Mereka baru peka dan
reaktif saat bersentuhan langsung dan menguntungkan diri atau
partai pengusungnya.
Pemilu Jujur dan Bersih
Penurunan partisipasi pemilih pastinya jadi ujian
sekaligus tantangan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu), dan Badan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (BKPP), selaku penyelenggara pemilu.
Dengan demikian, salah satu barometer keberhasilan pemilu
2014 nanti adalah meningkatnya partisifasi pemilih dari pemilu-
pemilu sebelumnya.
Namun, kesuksesan pelaksanaan pemilu 2014 yang
menghabiskan dana Rp. 17 triliun anggaran negara ini jadi
tanggung jawab semua pihak, mulai dari pemerintah, DPR,
penyelenggara pemilu, partai politik, elite politik, politisi, calon
legislator/senator, akademisi, pers, mahasiswa, dan elemen sipil
lainnya. Pasalnya, keberhasilan tersebut akan menentukan
perbaikan, perkembangan, kemajuan, dan kelangsungan
kehidupaan berdemokrasi dan Indonesia pada masa-masa
mendatang. Oleh karena itu, KPU mesti menyakinkan semua
kalangan bahwa pemilu 2014 nanti akan berlangsung dengan
jujur, bersih, independen, adil, fair, terbuka, profesional, dan
demokratis.
Masyarakat sendiri, khususnya yang memiliki hak pilih
harus hati-hati dalam menyalurkan hak pilihnya. Jangan lagi
mau ―dibeli‖ dengan uang atau barang. Tolak money politics
dan politik barang. Alhasil, politik yang benar, baik, dan sehat
mulai dapat berjalan. Kondisi ini akan ikut memengaruhi sistem
nilai dan budaya yang ada dalam masyarakat. Kebalikannya,
lihat rekam jejaknya. Apalagi, soal integritas, kualitas, dan
kapabilitas. Dengan demikian, wakil-wakil rakyat yang duduk
tahun 2014 nanti betul-betul yang tahu pekerjaan, peka, dan
responsif terhadap pelbagai persoalan. Juga, ada dan berjuang
untuk masyarakat.
*Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas
http://frontroll.com/berita-3591-menurunnya-partisipasi-politik-
rakyat.html (30 Agustus 2013)
Pemilu Legislatif: Partai atau Sosok?
Yusradi Usman al-Gayoni*
Keberadaan sosok sejauh ini masih menjadi kekuatan
terbesar dalam peningkatan ataupun penurunan popularitas
partai politik. Kuat atau lemahnya peran sosok tersebut
mengubah konfigurasi penguasaan parpol saat ini. Indikasi
semacam itu tampak dari perbandingan dua hasil survei opini
publik Kompas, yang menghimpun 1.400 responden calon
pemilih dalam Pemilu 2014 di 33 provinsi.
Hasil kedua survei tersebut menunjukkan ada perubahan
konfigurasi penguasaan calon pemilih oleh parpol. Perubahan
konfigurasi popularitas parpol itu sangat terkait erat dengan
keberadaan dan kiprah sosok-sosok yang ada dalam parpol.
Dalam hal ini, parpol yang memiliki sosok populer dan positif
dipandang publik akan menuai dukungan. Sebaliknya, jika tidak
memiliki sosok yang diandalkan atau memiliki sosok yang
kurang berkenan di mata publik, parpol cenderung tidak
bergerak atau justru makin resistan (Kompas, 27 Agustus 2013)
Di Takengon?
Hasil itu tak jauh berbeda dengan kondisi di Takengon,
khususnya di Kecamatan Bebesen. Hal tersebut terlihat dari
amatan yang dilakukan pada tanggal 14 April-16 Mei 2013. Pun
tidak mewakili, hasil itu menggambarkan sikap pemilih di
Takengon yang terdiri atas empat Dapil, yaitu Dapil I (Kec
Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec Lut Tawar), Dapil II (Kec
Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec Linge, dan Kec Pegasing),
Dapil III (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec
Silih Nara), dan Dapil Dapil IV (Kec Bebesen, Kec Bies, dan
Kec Kute Panang)
Sejauh ini, keberadaan sosok sangat berperan penting
dalam partai politik. Termasuk, calon legislatif (caleg) yang
diusung partai. Dengan begitu, tingkat popularitas,
akseptabilitas, dan elektabilitas berpengaruh signifikan terhadap
persepsi, sikap, dan keputusan politik pemilih. Calon yang
populer, belum tentu diterima masyarakat. Alhasil,
kemungkinan keterpilihannya pun semakin kecil. Sebaliknya,
calon yang diterima masyarakat—meski tingkat kepopulerannya
kurang—kemungkinan besar akan dipilih. Namun, persoalan
memilih tidak sampai di situ. Masih banyak pertimbangan lain
dari pemilih.
Selanjutnya, masyarakat lebih melihat sosok ketimbang
partai pengusungnya baik yang maju dalam pemilu kepala
daerah (pemilu kada) maupun pemilu legislatif. Dalam
masyarakat Gayo, dikenal istilah ‗perau‘ yang merujuk kepada
partai politik. Dengan pengertian lain, partai politik sebatas
kendararan atau instrumen untuk maju (meraih kekuasaan).
Memang, pemilu legislatif sedikit berbeda dengan pemilu kada.
Dalam pemilukada, calon kepala daerah bisa maju melalui jalur
independen. Tapi, tidak untuk nyaleg. Calon anggota legislatif
harus melalui partai politik, kalau tetap ingin maju ke parlemen.
Di lain pihak, masih belum ada undang-undang, peraturan atau
ketentuan yang membolehkan calon anggota legislatif maju
melalui jalur independen, sampai sekarang.
Untuk jangka pendek, peran sosok dan kesosokannya
bisa berkontribusi terhadap kemenangan partai politik. Akan
tetapi, ketergantungan terhadap sosok itu bisa berdampak
negatif bagi partai politik. Akibatnya, bisa mematikan proses
kaderisasi dan regenerasi di tubuh partai. Karena, besarnya
ketergantungan tadi.
Sebagai tambahan, masalah ini—kaderisasi dan
regenerasi—merupakan salah satu kelemahan orang Gayo baik
dalam partai politik maupun nonpartai politik, mulai dari tingkat
kabupaten, propinsi sampai tingkat nasional. Karena, masih
belum ada upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif
untuk membenahinya dari semua pihak di Gayo dan di luar
Gayo.
Rekam Jejak
Selain kepopuleran, masyarakat, khususnya yang
memiliki hak pilih juga melihat rekam jejak calon. Dengan kata
lain, bukan sembarang calon (sah kenak). Sebaliknya, lebih
melihat kemampuan, kualitas, pendidikan, wawasan,
pengalaman, kesalehan personal, dan dedikasinya selama ini.
Namun, ada pergeseran nilai yang terjadi dalam sistem
perpolitikan di Takengon dan umumnya di tanoh Gayo.
Terutama, paskareformasi. Sebagian masyarakat ―ikut
terpengaruh‖ oleh adanya politik uang (money politics) yang
dimanfaatkan calon-calon yang bermodal dan punya kekuasaan.
Barangkali, itulah memang cara satu-satunya dari yang
bersangkutan untuk bisa terpilih, yaitu dengan ―menyogok‖
pemilih (bermain politik uang). Tak menutup kemungkinan
juga, pihak penyelenggara.
Dalam kaitan itu, pendidikan politik mesti terus
dikuatkan. Akibatnya, masyarakat tidak salah memilih. Kalah
salah memilih, dampak yang dirasakan masyarakat bukan cuma
lima tahun, melainkan lebih. Bisa-bisa, masyarakat lagi yang
―jadi korban.‖
*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah/Direktur
Research Center for Gayo
Sumber: www.lintasgayo.co (5 September 2013)
Hamal Tidur Nipi Jege Pemilu Legislatif
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Ada dua puluh empat urutan dalam upacara adat
perkawinan Gayo, yaitu risik kono, munginte, sesuk pantang,
turun caram, munos benten, segenap (pakat sara ine), begenap
(pakat sudere), beguru, muniri, tongkoh, jege uce, jege kul,
belulut, bekune, munalo, mah bei, semah, luah pantang, mujule
gule, mujule wih, mah kero, munenes, mangan kero karih, dan
mangan kero opat ingi.
Berkenaan dengan munginte (meminang), tidak
langsung dilakukan orang tua mempelai laki-laki kepada orang
tua atau keluarga mempelai perempuan. Tapi, ditunjuk orang
tertentu sebagai penghubung yang disebut telangke. Telangke
juga berfungsi sebagai diplomator. Anggota telangke biasanya
berjumlah tiga sampai lima pasang suami isteri dari kerabat
dekat keluarga pengantin laki-laki. Lamaran tersebut tidak
langsung diterima atau ditolak keluarga mempelai perempuan.
Perlu waktu untuk berpikir, dua sampai tiga hari (meski lamaran
diterima, misalnya). Istilah yang menggambarkan proses
berpikir ―masa tenang‖ itu sendiri disebut “berhamal tidur
bernipi jege.” Artinya, lihat dulu hasil mimpi. Kalau mimpinya
bagus, maka lamaran pun diterima. Kalau kurang, maka akan
ditolak. Teknisnya, cukup mengatakan, ‗mimpi kurang bagus.
Lantas, apa hubungannya dengan pemilu legislatif atau
pileg? Seperti munginte, pileg tak ubahnya seperti prosesi
lamaran tadi. Partai politik yang merumahi pengurus dan
anggota serta calon legislatif (caleg) yang diusung adalah ibarat
orang tua pengantin; calon anggota legislatif seperti ―calon
pengantin laki-laki;‖ dan telangke adalah tim sukses,
pendukung, simpatisan atau relawan caleg. Sementara itu,
masyarakat, khususnya yang memiliki hak pilik diposisikan
sebagai pihak yang dilamar atau ―calon pengantin perempuan.‖
“Masa Tenang”
Seperti disebutkan, ada masa berpikir atau ―masa
tenang‖ bagi pihak yang dilamar sebelum memutuskan atau
memilih. Seperti itu pula posisi masyarakat dalam pileg. Dengan
kata lain, masih ada waktu tujuh bulan lagi bagi pemilih untuk
mencermati, menilai, mengkritisi, dan ―menguliti‖ para caleg
yang maju. Pertanyaannya, apakah yang mesti dikritisi pemilih?
Dalam UU No 8/ 2012, BAB VII, Bagian Kesatu
tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 51 menulis syarat
bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang
memenuhi persyaratan, diantaranya (1) Telah berumur 21 (dua
puluh satu) tahun atau lebih; (2) Bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa; (3) Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia; (4) Cakap berbicara, membaca, dan
menulis dalam bahasa Indonesia; (5) Berpendidikan paling
rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah
menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan
lain yang sederajat; (6) Setia kepada Pancasila sebagai dasar
negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; (7)
Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih; (8) Sehat jasmani dan rohani; (9)
Terdaftar sebagai pemilih; (10) Bersedia bekerja penuh waktu;
(11) Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala
daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan
usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau
badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara,
yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat
ditarik kembali; (12) Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai
akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat
akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia
barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara
serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; (13) Bersedia untuk
tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi,
komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha
milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain
yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; (14)
Menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; (15) Dicalonkan
hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; (16) Dicalonkan hanya di
1 (satu) daerah pemilihan; dan (17) Mampu membaca al-Quran
bagi caleg-caleg yang maju di Propinsi Aceh.
Syarat-syarat itulah yang harus dikritisi lagi oleh
pemilih. Misalnya, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
apakah yang bersangkutan bertakwa dengan menjalankan
kewajiban agamanya atau tidak? Bagaimana moralnya selama
ini? Juga, catatan hukumnya. Hal ini penting. Sebab, mereka
(caleg dan yang tepilih nantinya) bakal jadi tokoh publik yang
ditauladani lisan, laku, dan perbuatannya. Dengan demikian,
mereka mesti lebih dari yang lain.
Kemudian, cakap berbicara, membaca, dan menulis
dalam bahasa Indonesia. Kalau bicara saja tidak bisa, apa yang
maju disuarakannya di parlemen? Jika kemampuan
membacanya kurang, tambah wawasan, pergaulan, dan
pengalamannya pun terbatas; bagaimana calon wakil rakyat itu
menjalankan tugas dan fungsi kedewanannya. Terutama, dalam
melakukan pengawasan atau menyusun qanun (legislasi)? Soal
kecakapan menulis, ukurannya apa? Apakah terpublikasi di
media cetak atau online? Atau, di prosiding atau jurnal ilmiah
berskala nasional atau internasional?
Masih banyak lagi yang mesti dipertanyakan dan
dikritisi pemilih pada masa hamal tidur nipi jege tadi.
Khususnya, dalam waktu tujuh bulan yang tersisa. Apalagi, soal
track record (rekam jejak) caleg. Jangan sampai karena
kepentingan pragmatis (sesaat), yaitu dengan menerima uang
atau barang (money politics), masyarakat sampai salah memilih.
Akibatnya, hanya menghasilkan anggota dewan D4 (datang,
duduk, dengar, dan diam) dan ―jadi belalu APBK.‖ Akhir bulan,
mengambil gaji dengan menikmati fasilitas yang ada. Selain itu,
berorientasi ke proyek atau minimal fee. Tujuannya, untuk
mengembalikan modal—karena money politics tadi,
memperkaya diri, dan menyejahterakan kerabat, parpol, dan
kelompoknya. Juga, mengharapkan dana aspirasi yang
peruntukannya bisa jadi melanggar aturan.
Pada akhirnya, masyarakat lagi yang ―jadi korban.‖
Masyarakat bertambah apatis (jejeren), putus asa, dan bisa-bisa
sampai berbuat anarkis. Karena, tidak merasakan keberadaan,
peran, dan fungsi bupati/wakil bupati (eksekutif) serta anggota
dewan terpilih (legislatif). Disamping itu, pemilu—presiden,
kepala daerah, dan legislatif—yang digelar pun lebih berupa
rutinitas lima tahunan, bersifat prosedural, dan menghabiskan
anggaran.
*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah
http://www.lintasgayo.com/41647/hamal-tidur-nipi-jege-
pemilu-legislatif.html (13 September 2013)
Memaknai Apatisme
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Tujuh bulan lagi, pemilu legislatif (pileg) digelar.
Namun, masyarakat sepertinya makin apatis menghadapi pileg.
Indikatornya, bisa dilihat dari tingkat partisipasi pemilih yang
terus menurun. Misalnya, angka 92 peserta tahun 1999, pileg
DPR 2004 (84, 07 persen), pilpres 2004 putaran pertama (78,23
persen), pilpres 2004 putaran kedua (76,63 persen), dan pileg
2009 (70 persen). Pemilih 2014 akan diikuti 190 juta pemilih
terdaftar (Kompas, 27/8/2013).
Kekecewaan dan rasa frustasi dari masyarakat, jadi
alasan pertama dan utama terkait penurunan partisipasi tersebut.
Khususnya, kepada presiden dan wakil presiden, kepala daerah
(gubernur dan wakil gubernur; bupati dan wakil bupati, walikota
dan wakil walikota), serta anggota dewan yang terpilih. Mereka
dinilai ―tidak peka‖ dalam menyikapi pelbagai persoalan yang
meliliti masyarakat. Sebaliknya, pemerintahan dan parlemen
yang berjalan lebih pada perkara rutinitas, prosedural, birokratis,
dan pencitraan.
Baik eksekutif maupun legislatif seperti absen dalam
menyikapi persoalan-persoalan di tengah-tengah masyarakat.
Padahal, keberadaan mereka di ―istana‖ dan parlemen tidak
terlepas dari suara yang diberikan masyarakat. Namun, seolah-
olah mereka bisa melegetimasi apa pun. Dengan raihan suara
tertinggi (dasar legitimasi), mereka bisa ―berbuat sesuka hati.‖
Bahkan, melupakan sekaligus meninggalkan rakyat, pemilihnya.
Tak salah kalau kemudian muncul anggapan, ―ada atau tidaknya
dewan dan pemerintah, nasib masyarakat di tataran grass root
tidak akan pernah berubah banyak. Selain itu, pelaksanaan
pemilu juga tidak berdampak langsung dan sistemik pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat.‖
Di luar alasan itu, penurunan partisipasi tersebut
disebabkan karena tidak adanya calon alternatif. Yang maju, itu
itu saja (oya pelin, gere mu jema len—bahasa Gayo). Ada
kemuakkan yang dirasakan masyarakat. Masyarakat sudah tahu
betul rekam jejak (track record) yang bersangkutan. Pada
akhirnya, masyarakat lebih memilih golput alias tidak memilih.
Sebab, tidak ada calon yang terbaik dari yang baik. Minimal,
calon yang lebih baik dari yang terburuk.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, istilah apatis
diartikan acuh tak acuh; tidak peduli; masa bodoh’ (Pusat
Bahasa, 2008: 83). Di sini, apatisme dimaknai sebagai gejala
acuh tak acuh, tidak peduli, atau gejala masa bodoh. Akan
tetapi, kalau apatis dipahami sebatas pergi ke tempat
pemungutan suara (TPS) dan mencoblos, maka pengertiannya
sangat sempit. Sebaliknya, dalam kaitan pemilu—presiden,
legislatif, dan kepala daerah, ada tiga makna kata apatis ini,
yaitu prapencoblosan, saat pencoblosan, dan paskapencoblosan.
Sejauh ini, penulis belum mendapatkan angka tingkat
partisipasi pemilu legislatif di Takengon (1999-2004, 2004-
2009, dan 2009-2014). Pasalnya, dokumentasi tertulis tentang
perpolitikan dan kepemiluan masih kurang. Termasuk, release
secara terbuka dari penyelenggara, Komisi Independen
Pemilihan (KIP) Aceh Tengah. Seperti disebutkan, partisipasi
pemilih dari pemilu ke pemilu terus menurun.
Pemilih Aktif
Dalam amatan penulis, partisipasi prapencoblosan dan
paskapencoblosan yang masih kurang di tanoh Gayo, khususnya
di Takengon. Sebelum mengumumkan daftar caleg tetap (DCT),
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk memberikan sanggahan terkait seluruh
caleg yang maju baik ke DPRK Aceh Tengah, DPRA maupun
ke DPR RI. Di situlah kesempatan masyarakat untuk
menyanggah caleg-caleg yang bermasalah secara administratif.
Melalui sanggahan masyarakat, caleg-caleg yang maju bisa saja
tidak maju. Karena, kendala administratif dimaksud. Misalnya,
menggunakan ijazah palsu, dan lain-lain.
Pada masa ini (prapencoblosan), masyarakat juga mesti
mengetahui rekam jejak caleg-caleg yang maju. Lihat, nilai,
cermati, kritisi, dan ―kuliti‖ seluruh caleg yang mencalonkan.
Dengan demikian, pemilih akan tahu kejujuran, kebersihan,
keterbukaan, tanggung jawab, pendidikan, wawasan,
kemampuan, kualitas, pengalaman, dan keterampilan mereka.
Pada akhirnya, masyarakat tidak salah pilih. Lebih dari itu, tidak
mudah terbius oleh janji-janji semu yang tidak terukur dan
keluar dari tugas, kedudukan, dan fungsi DPR. Juga, saat
diiming-imingi kepentingan pragmatis (sesaat) melalui politik
uang, barang, dan praktik pembodohan politik lainnya. Lagi-
lagi, masyarakat yang jadi penilai dan pemutus. Jangan sampai
salah pilih lagi.
Lalu, apakah setelah pencoblosan kewajiban masyarakat
selesai? Masih ada satu tahapan lagi, yaitu paskapencoblosan
(pemilu). Masyarakat sebaiknya terus memantau dan mengawal
suara yang sudah dicobloskan. Tidak menutup kemungkinan,
suara yang diberikan lari kemana-mana. Karena, besarnya
kepentingan. Tak menutup kemungkinan pula, terjadi
kecurangan dan ketidakindependenan dalam penyelenggaraan
pemilu mendatang. Karenanya, semua pihak mesti terus
mengawasi pelaksanaan pemilu legislatif tersebut.
Setelah penetapan dan pelantikan, masyarakat beserta
akademisi, mahasiswa, pers, LSM, dan elemen sipil lainnya
harus tetap dan terus mengontrol sekaligus mengevaluasi kinerja
wakil-wakil mereka di parlemen. Kalau kinerjanya kurang,
harus diingatkan. Bila perlu, minta untuk diganti. Sayangnya,
aturan yang masih berlaku sekarang party recall, bukan
constituent recall. Maksudnya, hanya partai yang bisa mem-
PAW-kan, memecat atau mengganti anggotanya di parlemen,
bukan konstituen. Tidak mustahil, dalam proses perbaikan
kepemiluan di Indonesia, nantinya pelaksanaan constituent
recall bisa terwujud. Pun demikian, mesti didorong oleh semua
pihak. Saat bersamaan, kekurangan-kekurangan praktik
berdemokrasi yang ada mesti terus dibenahi. Dengan begitu,
selain jadi pemilih aktif, masyarakat bakal jadi pemilih yang
berdaulat, bermartabat, dan punya harga diri.
Sebaliknya, anggota dewan harus pula (tetap)
memperhatikan dan menyuarakan aspirasi dan kepentingan
masyarakat di atas kepentingan pribadi, keluarga, partai, dan
kelompoknya. Dengan demikian, masyarakat akan merasakan
keberadaan dan kemanfaatan anggota dewan. Apalagi, yang
berhubungan dengan kedudukan, fungsi, dan kewajiban
kedewanannya. Termasuk, ketauladanannya. Disamping itu,
kepercayaan publik dapat memulih, pelan-pelan. Dengan
demikian, ―kecintaan‖ kepada anggota dewan dan lembaga ini
pun dapat tumbuh dan ―mekar.‖
*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah
Sumber: Rumah Baca Taqwa
http://rumahbacataqwa.com/2013/09/19/memaknai-apatisme/
(20/9/2013)
Memberatkan Syarat Nyaleg
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
6-15 April 2013 lalu, Anggota DPR-RI, DPD-RI, dan
DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan pelbagai latar
profesi dan keilmuan mulai mendaftar ke Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, tercatat
450 calon anggota legislatif (caleg) yang maju di empat Dapil
berbeda. Jumlah tersebut pastinya lebih banyak. Karena, di luar
pendaftaran dan penyeleksian awal di internal partai politik.
Alhasil, ada yang diusung dan sebaliknya. Termasuk, pada masa
verifikasi, 16 April-30 Juni 2013. Juga, saat uji baca al-Quran—
syarat khusus caleg di Propinsi Aceh—dimana ada 80 caleg
yang tidak lulus, karena dianggap tidak mampu membaca al-
Quran. Dengan demikian, mesti dilakukan penggantian.
Otomatis, jumlahnya lebih dari catatan tersebut.
Pertanyaannya, kenapa begitu banyak yang
mendaftarkan diri jadi calon anggota legislatif? Seolah, seperti
―eufuria‖ atau ―ajang pencarian bakat.‖. Terlepas dari berbagai
niat, motivasi, maksud, dan tujuan, tulisan ini khusus membedah
syarat nyaleg dari kacamata undang-undang. Dalam UU No
8/2012, BAB VII, bagian kesatu tentang Persyaratan Bakal
Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, pasal 51 disebutkan bahwa syarat bakal calon
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi
persyaratan, diantaranya: (1) Telah berumur 21 (dua puluh satu)
tahun atau lebih; (2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
(3) Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia; (4) Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam
bahasa Indonesia; (5) Berpendidikan paling rendah tamat
sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah
kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang
sederajat; (6) Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; (7) Tidak pernah
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih; (8) Sehat jasmani dan rohani; (9) Terdaftar
sebagai pemilih; (10) Bersedia bekerja penuh waktu; (11)
Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah,
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia,
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi,
komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha
milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain
yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang
dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat
ditarik kembali; (12) Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai
akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat
akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia
barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara
serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; (13) Bersedia untuk
tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi,
komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha
milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain
yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; (14)
Menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; (15) Dicalonkan
hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; (16) Dicalonkan hanya di
1 (satu) daerah pemilihan; dan (17) Mampu membaca al-Quran
bagi caleg-caleg yang maju di Propinsi Aceh.
Caleg Berkualitas
Di sinilah akar persoalannya. Penulis, menilai, syarat
nyaleg tersebut terlalu ringan. Walhasil, siapapun bisa nyaleg.
Persoalan nyaleg memang hak personal seseorang. Dalam arti,
siapa pun bisa mencalonkan dan dicalonkan. Melihat syarat
demikian, akan sangat sulit menghasilkan caleg yang
berintegritas, kompeten, dan berkualitas. Cakap berbicara,
membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia, misalnya, tidak
ada parameternya sama sekali. Kalau dalam bahasa Inggris, ada
tes Test of English as a Foreign Language (TOEFL). Nilai
TOEFL ini yang kemudian dijadikan rujukan saat seseorang
melamar beasiswa S-2 dan S-3 atau melamar suatu pekerjaan.
Sementara, dalam pencalegan ini, tidak ada sama sekali.
Sebalinya, hanya bersifat normatif-formalitas.
Kalau parameter tadi disertakan, bisa jadi, bakal
banyak yang terganjal pencalegannya. Sebagai contoh, cakap
menulis. Tulisan-tulisan caleg di media cetak atau online, jurnal
ilmiah, makalah, atau dalam bentuk buku turut disertakan dalam
berkas pencalegan. Kalau seperti itu—perkiraan penulis, kurang
dari 10% caleg-caleg di Aceh Tengah yang bisa mendaftar.
Artinya, hanya 45 orang. Bahkan, kurang. Karena, tidak cakap
menulis. Belum lagi, kalau syarat menulis tersebut diberatkan
lagi. Kemungkinan, lebih sedikit lagi yang bisa nyaleg. Di lain
pihak, kalau syarat itu dipenuhi—tak menutup kemungkinan,
bakal lahir makelar-makelar tulisan. Ujung-ujungnya, duit yang
bermain (transaksional). Di situ, uang yang dikedepankan.
Dengan (kekuatan) uang, seolah ―apa saja bisa dibeli‖ dan
―dikondisikan.‖
Di syarat lainnya, berpendidikan paling rendah tamat
sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah
kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang
sederajat. Selayaknya, kalau lembaga ini (parlemen) ingin
berwibawa dan anggotanya pun berkualitas, pendidikan minimal
caleg harus S-1. Pendidikan memang bukan ukuran. Namun,
pendidikan ikut menentukan kualitas seseorang. Apalagi,
seorang wakil rakyat. Mereka harus lebih dari konstituennya.
Pasalnya, mereka adalah pejabat publik. Lisan, laku, dan
perbuatannya akan ditauladani banyak pihak. Lebih-lebih,
konstituennya.
Kalau wawasan, keilmuan, kemampuan, dan
kualitasnya di bawah rata-rata, termasuk di bawah eksekutif—
yang berpendidikan rata-rata S-1, dan mulai S-2 serta S-3,
bagaimana mungkin mereka mampu menjalakan fungsinya
dengan baik? Apalagi, tidak cakap dalam menyampaikan
pelbagai persoalan dan aspirasi dari masyarakat (tidak cakap
berbicara—tidak memiliki language skill sama sekali). Apa
yang mau disampaikannya di gedung dewan tersebut? Akhirnya,
mereka sekedar datang, duduk, dengar, dan diam atau jadi
anggota dewan D-4. Akhir bulan, mengambil gaji. Mereka
ibarat ―benalu‖ yang menggerogoti APBK. Lagi-lagi,
masyarakat yang korban. Saat yang sama, mereka kemungkinan
bermain proyek sebelum, saat, dan setelah pengesahan APBK.
Minimal, mengharapkan fee atau dana aspirasi. Tujuannya,
untuk mengembalikan biaya ―hutang‖ politik dan memperkaya
diri. Pasalnya, pendekatan money politics—bagi-bagi uang dan
barang—yang dipakai dalam meraih kursi dewan.
Sebetulnya, masih ada upaya untuk menghasilkan caleg
yang berintegritas, mampu, dan berkualitas, yaitu melalui partai
politik. Partai politik yang harus betul-betul menyeleksi calon-
calon anggota legislatif yang ideal. Terutama, saat rekrutmen
awal pencalegan. Sayangnya, rekrutmen ideal itu tidak
sepenuhnya berjalan di internal partai. Tak jarang, partai politik
lebih mengedepankan pemodal dan yang berkuasa. Di internal
partai pun, saling sikut-sikutan dan saling menjatuhkan
(―kanibalisasi‖). Lagi-lagi, uang ―yang bicara.‖ Politik
transaksional dikedepankan. Jadi, jangan berharap banyak kalau
caleg-caleg yang diusung punya kemampuan, kualitas, dan
standar ideal lainnya. Karena, ringannya undang-undang,
peraturan, ketentuan, dan kurangnya itikad memperbaiki dan
memajukan proses kepemiluan dan demokrasi di tataran lokal
dari (pengurus) partai politik itu sendiri.
Lagi-lagi, masyarakatlah yang jadi penentu.
Masyarakatlah yang mesti mengakhiri caleg-caleg demikian.
Jangan salah pilih lagi. Lihat, nilai, cermati, kritisi, dan ―kuliti‖
seluruh caleg yang mencalonkan (―kebersihan,‖ kejujuran,
keterbukaan, keamanahan, tanggung jawab, ilmu, wawasan,
kualitas, kemampuan, dan keterampilannya) . Pada akhirnya,
yang terpilih betul-betul caleg, bukan caleg-calegan.
*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah/Jaringan
Masyarakat Pemilih Cerdas
Sumber: Tabloid Gayo Post, 27 September 2013
Ruang Publik Bebas Alat Peraga Kampaye
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan
Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan KPU Nomor 01 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kampaye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD, tanggal 22 Agustus 2013 lalu. Melalui penetapan
ini, diharapkan akan ada fairness dan keadilan. Pastinya, tidak
didominasi calon-calon petahana, calon bermodal atau yang
berafiliasi dengan para bosisme lokal (meminjam istilah Boni
Hargens). Tak hanya itu, pemberlakuan peraturan ini akan
mengurangi pengotoran ruang publik. Bahkan, ikut
menyelamatkan pengguna jalan dan tidak menganggu pengguna
tempat-tempat publik lainnya.
Pasal 17 ayat 1 tentang pemasangan alat peraga di
tempat umum, huruf (a), misalnya, disebutkan, alat peraga
kampaye tidak ditempatkan pada tempat ibadah, rumah
sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung
milih pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan
sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan,
sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan.
Sementara itu, ketentuan prihal pemasangan alat peraga
diatur dalam huruf (b), yaitu: (1). baleho atau papan reklame
(billboard) hanya diperuntukan bagi Partai Politik 1 (satu) unit
untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya memuat
informasi nomor dan tanda gambar Partai Politik dan/atau visi,
misi, program, jargon, foto pengurus Partai Politik yang bukan
Calon Anggota DPR dan DPRD; (2) Calon Anggota DPD
dapat memasang baleho atau papan reklame (billboard) 1 (satu)
unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya; (3).
Bendera dan umbul-umbul hanya dapat dipasang oleh
Partai Politik dan calong Anggota DPD pada zona atau
wilayah yang ditetapkan KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau
KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah;
(4). Spanduk dapat dipasang oleh Partai Politik dan Calon
Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ukuran maksimal 1,5
x 7 meter hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona atau
wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan
atau KPU/KIP Kabupaten/Kota.
Yang jadi permasalahan, apakah peraturan ini dapat
berjalan dengan baik, benar, dan sesuai seperti yang
diundangkan (mulai berlaku sejak tanggal 27 September 2013)?
Bukan rahasia umum lagi, di Indonesia, pelbagai undang-
undang, peraturan, dan ketentuan seringkali dibuat untuk
dilanggar. Namun, willing dan upaya perbaikan pelaksanaan
pemilu dari KPU mesti dihargai. Disamping itu, kita mesti tetap
optimis terkait pelaksanaan peraturan ini.
Berkenaan dengan pelaksanaan peraturan ini, khususnya
di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, pertama: Komisi
Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tengah harus segera
mensosialisasikan peraturan itu kepada partai politik, caleg,
seluruh jajarannya, dan semua pihak terkait. Alhasil, semua
pihak bisa tahu dan terlibat langsung dalam pengawasannya.
Sebagai akibatnya, kalau ada pelanggaran, serta merta bisa
dilaporkan dan segera diselesaikan.
Kedua, KIP Aceh Tengah, Panitia Pemilih Kecamatan
(PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus segera
berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah,
pemerintah kecamatan, dan pemerintah kampung
(desa)/kelurahan untuk menetapkan lokasi pemasangan alat
peraga tersebut. Walhasil, pelaksanaannya bisa berjalan dengan
cepat. Apalagi, sudah mulai diberlakukan. Di pihak lain, caleg
pun bisa sesegera mungkin memasang alat peraganya—
walaupun jauh hari ada yang sudah memasangnya. Meski bukan
satu-satu sarana pengenalan diri, masyarakat diharapkan dapat
mengenal calon wakil-wakil rakyatnya dengan baik. Terutama,
rekam jejak (track record) yang bersangkutan. Lebih khusus
lagi, program yang akan dijalankannya saat duduk di kursi
parlemen.
Peran Panwaslu?
Di lain pihak, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)
Aceh Tengah harus benar-benar mengawasi keberjalanan
peraturan ini. Oleh karena itu, diperlukan willing yang kuat,
inisiatif, keaktifan, dan progresivitas kerja Panwaslu di
lapangan. Panwaslu diharapkan tidak menunggu pelbagai
laporan pelanggaran terlebih dahulu. Sebaliknya, langsung turun
dan menindak caleg-caleg pelanggar ―menjembut bola.‖
Lebih khusus lagi, secepatnya merekomendasikan
Pemkab Aceh Tengah dan aparat keamanan untuk segera
membersihkan ruang publik dan seluruh kampung di Takengon
dari alat peraga ini (spanduk dan baleho). Pasalnya—seperti
disinggung, peraturan ini sudah mulai diberlakukan. Hasilnya,
bisa berjalan efektif dan maksimal.
Selain Panwaslu, pengawasan dari semua pihak menjadi
keharusan. Apalagi, dari media, akademisi, tokoh
agama/masyarakat, mahasiswa, LSM, dan elemen sipil lainnya.
Dengan begitu, proses pileg di Takengon dapat berjalan dengan
baik, benar, lancar, dan sesuai aturan
Yang tidak kalah penting adalah penegakan sanksi,
yaitu berupa pencabutan atau pemindahan atribut caleg.
Mestinya, pemberian sanksi ini ―lebih keras‖ lagi. Dengan
begitu, caleg—calon presiden/wakil presiden dan calon kepala
daerah—―tidak sesuka hati,‖ bisa disipin, dan menunjukkan suri
tauladan yang baik.
Karena sudah diberlakukan, Pemerintah Kabupaten
Aceh Tengah dan aparat keamanan—dengan rekomendasi
Panwaslu—dapat dengan segara mencabut alat peraga yang
bertebaran di perbagai tempat di Takengon. Bahkan, upaya
pembersihan itu bisa langsung dilakukan masyarakat itu sendiri.
Seperti disebutkan, spanduk dan baleho itu bukan hanya
mengotori ruang publik, merusak lingkungan, melainkan
mengganggu kenyamaman dan keselamatan pengguna jalan dan
penikmat ruang publik di Takengon. Lagi-lagi, terlepas dari
kekurangan peraturan tersebut dan lemahnya sanksi yang
diberikan, diperlukan willing serta upaya nyata dan sungguh-
sungguh dari semua pihak, khususnya pihak-pihak terkait.
*Penggagas Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas
Sumber: www.lintasgayo.co (27 September 2013)
Orang Gayo Berpikir dengan Otak dan Sertakan Hati Nurani
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
"Orang Gayo punya cara berfikir berbeda dengan
kosakata secara umum. Urang Gayo berfikir dengan hati," kata
Penyusun silsilah Gayo, Kurnia Item Teganing atau biasa
disapa Aman Peteri Punce kepada ATJEHPOSTcom di Banda
Aceh, Rabu 4 September 2013 (Atjeh Post, 4/9/2013).
Pada dasarnya, orang (masyarakat) Gayo tetap
menggunakan otak atau logika dalam berpikir, seperti suku lain
kebanyakan. Hanya saja, mereka ikut menyertakan rasa atau hati
nurani. Karenanya, muncul pelbagai ungkap berbahasa yang
merujuk pada rasa (rasa) atau ate (hati). Misalnya, sok nate
(dugaan), anger nate (kegelisahan), kene ate (kata hati), deme
ku ate (rasakan dengan hati), uwes nate (sedih hati), pes nate
(tega), simehate (pilihan hati), man ate (makan hati), pikir
natemu (pikiran hatimu), dan lain-lain.
Dalam konteks berpikir (berlogika atau ―berfilsafat‖)
tadi, sehingga muncul istilah kurasa ‗saya rasa‘ (bukan “ku
pikir” atau “ku ate”). Kenapa kata rasa yang digunakan?
Kenapa bukan pikir atau ate? Di sini—seperti disebutkan,
bukan berarti orang Gayo tidak memiliki otak atau tidak
menggunakan logika (akal sehat) dalam berpikir, tetap memakai
otak.
Seperti istilah rasa, pikir, dan ate tersebut; dalam
bahasa Aceh dikenal istilah teurimenggeunaseh atau
teurimenggaseh. Kata ini merupakan serapan dari bahasa
Indonesia, yang berarti ‗terima kasih.‘ Dan, tidak istilah khusus
yang merujuk kepada kata terima kasih dalam bahasa Aceh.
Dalam hal ini, tidak berarti orang (suku) Aceh tidak tahu
berterima kasih, tapi pengungkapannya, lain. Biasanya,
diungkapkan melalui kata alhamdulillah. Kebalikannya, orang
Gayo tahu diri dan tahu terima kasih. Sebab, ada ungkapan
berijin (terima kasih) dalam bahasa Gayo.
Pengaruh geografis pegunungan dengan pesona
keindahan alamnya ikut memengaruhi cara dan konstruksi
berbahasa orang Gayo. Alhasil, mereka cenderung lebih halus,
lembut, ―indah,‖ dan tidak langsung (memakai tamsil ibarat)
dalam berbahasa. Sebaliknya, masyarakat pesisir di Aceh ―lebih
kasar‖ dalam penyampaiannya. Karena, mereka tinggal di
pesisir pantai. Penggunaan bahasa demikian—halus, lembut,
―indah,‖ dan tidak langsung—juga turut memengaruhi aktivitas
kebudayaan mereka. Salah satunya, dalam tradisi lisan.
Masyarakat Gayo memiliki sepuluh sastra lisan, yaitu didong,
kekeberen, kekitiken, melengkan, pantun, peribahasa, saer,
sebuku, tep onem, dan ure-ure (al-Gayoni, 2010: 2). Model atau
konstruksi berbahasa seperti tadi terkandung dalam keselupuh
sastra lisan tersebut. Karenanya, daerah ini (Gayo) dikenal
sebagai ladang ―sumber‖ seni, budaya, dan sejarah di Aceh.
Meski menggunakan bahasa yang halus, lembut,
―indah,‖ dan tidak langsung dengan puitis-estetis, tapi orang
Gayo bukanlah ―masyarakat penghayal.‖ Dalam arti, asyik
berpuisi atau bersastra lisan, pasif, dan pasrah menerima hidup.
Sebaliknya, mereka tife masyarakat pekerja keras, tidak suka
mengeluh, dan apalagi sampai meminta-minta. Hal itu
dibuktikan dari konstruksi berbahasa mereka yang banyak
mengandung verba. Verba dimaknai sebagai upaya, aksi, kerja
keras, lebih, berprestasi, dan jadi yang terbaik (kemel dan
besikelemen).
Akan tetapi, mereka tetap bersyukur dan melihat sisi
lain ―positif‖ dari setiap kejadian dan ujian yang menimpanya.
Sebagai contoh, gempa tektonik 6,2 SR, 2 Juli 2013 lalu. Ada
banyak pelajaran dan hikmah di balik gempa masif dan
desktruktif sepanjang sejarah Gayo itu. Misalnya, adanya upaya
penguatan pendidikan gempa, manajemen bencana yang baik
dan benar, pembangunan perumahan dan infrastruktur tahan
gempa, blue print pembangunan daerah Gayo secara
keseluruhan yang disertakan dengan peta kerawanan bencana di
Aceh, dan lain-lain.
Dalam politik juga demikian. Pun tetap menggunakan
rasa atau hati nurani ―ruang Tuhan dalam hati,‖ namun mereka
(orang Gayo) tetap menggunakan logika atau akal sehat dalam
memilih presiden/wakil presiden, bupati/wakil bupati, calon
anggota legislatif (caleg), dan calon anggota DPD ―senator.‖
Termasuk, dalam menilai, mencermati sekaligus mengkritisi visi
misi dan program yang diajukan. Apakah benar atau tidak;
masuk akal atau tidak (terukur dan tidak terukur)?; selain
pertimbangan rekam jejak (track record). Oleh sebab itu, di
Gayo, tidak berlaku fatwa atau garis komando dari tokoh atau
partai tertentu. Saat direkomendasikan untuk memilih calon A;
kenyataannya, belum tentu dipilih. Karena, mereka tetap
menggunakan akal sehat dan pertimbangan hati nurani tadi.
Tetapi, harus diakui pula bahwa terjadi pergeseran nilai
dalam memilih pemimpin, caleg, dan senator dalam masyarakat
Gayo. Terutama, sejak pemilu langsung digelar. Politik uang
mulai merusak tatanan nilai yang ada dalam masyarakat
tersebut, namun masih perlu dikuantitatifkan secara keangkaan.
Di sisi lain, memang pendidikan politik di tengah-tengah
masyarakat masih lemah.
*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah (Pengkaji
Bahasa/Ekolinguistik)
Sumber: www.atjehtoday.com (29 September 2013)
http://www.atjehtoday.com/article.php?art_id=710
Kampaye (Politik) Ramah Lingkungan Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Pemilu legislatif (pileg) tinggal tujuh bulan lagi.
Namun, ―eufuria‖ pileg kian terasa. Terutama, dari partai
politik, elite politik, dan caleg yang maju. Meskipun belum
dimulai secara resmi, tapi para calon wakil rakyat itu sudah
mulai berkampaye dini. Khususnya, paskapendaptaran ke KPU,
April lalu. Salah satunya, melalui pemasangan alat peraga
kampaye: spanduk, baleho atau billboard. Alat peraga itu
memenuhi ruang-ruang publik. Utamanya, di badan-badan jalan.
Tujuannya, agar bisa terlihat dan menarik perhatian masyarakat.
Lebih khusus lagi, pengguna jalan.
Dalam Pasal 1 ayat (1) huruf (a) Peraturan KPU
Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU
Nomor 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampaye
Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPDRD disebutkan bahwa
alat peraga kampaye tidak ditempatkan pada tempat ibadah,
rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung
milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah),
jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana
publik, taman dan pepohonan.
Merujuk pada aturan tersebut, apa yang dilakukan
caleg—memasang alat peraga sudah melanggar aturan.
Sayangnnya, saat pendaftaran, aturan ini belum ditetapkan.
Bahkan, baru diundangkan pada tanggal 27 Agustus 2013. Dan,
baru berlakukan sebulan setelahnya, 27 September 2013. Para
caleg pun kemudian memainkan celah tersebut. Pada akhirnya,
mereka memasang alat peraganya di ruang-ruang publik.
Penempatan alat peraga di jalan-jalan trotoar dan jalan
bebas hambatan, misalnya, selain mengganggu kenyamanan
serta keselamatan pengguna jalan, ikut menyampahi ruang
visual publik. Apalagi, baleho atau billboard yang berukuran
besar. Sewaktu-waktu, bisa membahayakan pengguna jalan.
Termasuk, memacetkan jalan saat jatuh di badan jalan. Dengan
demikian, ikut merugikan pengendara mobil dan sepeda motor,
secara ekonomi.
Oleh sebab itu, caleg (termasuk calon senator)
diharapkan ikut menjaga kebersihan ruang visual publik.
Termasuk, menjaga kenyamanan dan keamanan pengguna jalan.
Di sisi lain, mereka sudah semestinya menggunakan alat-alat
peraga kampaye yang ramah lingkungan. Dan, tidak merusak
lingkungan. Misalnya, dengan tidak memotong kayu dan
merusak tumbuhan lainnya sembarangan. Pasalnya, tumbuhan
itu juga punya hak untuk hidup. Kalau sampai mati, perlu waktu
lama lagi untuk untuk menumbuhkembangkannya.
Contoh lainnya, tidak sesuka hati ―ugal-ugalan‖ dalam
menggunakan jalan raya. Apalagi, saat kampaye terbuka dengan
pengerahan massa. Lebih-lebih, sampai bertindak anarkis
dengan merusak fasilitas-fasilitas publik dan mengancam
nyanya seseorang. Seperti disebutkan, dampak alat peraga itu
tidak hanya membuat ketidaknyamanan, tapi ikut membayakan
keselamatan pengguna jalan atau pengguna fasilitas publik
lainnya. Bahkan, berdampak pada ekonomi. Kemungkinan yang
lebih buruk, bisa menyulut konflik horizontal dan bahkan
konflik vertikal.
Di situ, perlu kesadaran dan ketaudaladan penjagaan
lingkungan dari para caleg. Sebagai calon tokoh publik yang
lisan, laku, dan tindakan mereka bakal dicontoh, sudah
sepatutnya mereka (caleg) memberikan contoh-contoh yang
baik, beretika, bermoral, benar, dan sesuai aturan. Jangan karena
syahwat pribadi untuk mendapatkan kekuasaan, sampai-sampai
merugikan orang lain. Sebaliknya, saling memahami dan
menghargai satu sama lain. Selain itu, sudah saatnya caleg
memulai kampaye yang cerdas, santun, beretika, dan
mencerdaskan. Tak hanya itu, mengajak masyarakat berdilog.
Saat yang bersamaan, menyampaikan program-program
kedewanan, visi-misi, dan menguatkan pendidikan politik
lainnya.
Di lain pihak, masyarakatlah—termasuk penggiat
lingkungan—yang jadi penilai. Apakah caleg-caleg seperti itu
pantas untuk dipilih? Kalau tidak, masyarat yang mesti
mengakhirinya (dengan tidak memilihnya). Juga, ikut
membersihkan atribut kampaye yang sudah menyampahi ruang-
ruang publik.
Menegakkan aturan
Berkenaan dengan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun
2013 tersebut, pertama: Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus
segera mensosialisasikan peraturan itu kepada partai politik,
caleg, seluruh jajarannya, dan semua pihak terkait. Terutama, di
tingkatan daerah. Hasilnya, semua pihak bisa tahu, terlibat, dan
ikut langsung dalam pengawasannya. Pun ada pelanggaran, bisa
dengan segera ditindaklanjuti dan diselesaikan.
Kedua, KPU, Panitia Pemilih Kecamatan (PPK), dan
Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus berkoordinasi
secepatnya dengan pemerintah daerah sampai pemerintah
desa/kelurahan untuk menetapkan lokasi pemasangan alat
peraga tersebut. Apalagi, peraturan ini sudah mulai
diberlakukan. Dengan begitu, mesti cepat dilaksanakan. Pada
akhirnya, caleg-caleg pun bisa dengan leluasa memasang alat
peraganya, tidak menyampahi ruang visual publik, dan tidak
melanggar peraturan.
Ketiga, Badan/Panitia Pengawas Pemilu harus benar-
benar mengawasi pelaksanaan dan keberjalanan peraturan ini.
Karenanya, diperlukan willing yang kuat, inisiatif, keaktifan,
progresivitas, kerja cerdas, dan kerja keras lembaga ini di
lapangan. Dalam hal ini, mereka diharapkan tidak menunggu
bola. Dengan kata lain, tidak menunggu pelbagai laporan
pelanggaran terlebih dahulu. Sebaliknya, harus ―menjemput
bola,‖ yaitu dengan turun langsung dan menindak caleg-caleg
pelanggar.‖ Juga, secepatnya merekomendasikan pemerintah
daerah dan aparat keamanan untuk membersihkan ruang publik
dari alat peraga ini (spanduk dan baleho).
Karena aturan ini sudah mulai diberlakukan, sudah jadi
keharusan pihak-pihak terkait untuk melaksanakannya. Jangan
sampai aturan ini hanya formalitas, menghabiskan anggaran,
tidak berdampak perbaikan dan perubahan terhadap proses
pelaksanaan pileg dan demokrasi, berefek jera terhadap caleg-
caleg pelanggar, serta ―memang dibuat untuk dilanggar.‖
Pengawasan semua pihak
Selain Panwaslu, sangat diperkulan pengawasan dari
semua pihak. Lebih-lebih, dari media, akademisi, tokoh
agama/masyarakat, mahasiswa, LSM, dan elemen sipil lainnya.
Sebagai akibatnya, pelaksanaan pileg bisa berjalan dengan baik,
benar, lancar, dan sesuai aturan
Yang tidak kalah penting adalah penegakan sanksi,
yaitu berupa pencabutan atau pemindahan atribut caleg.
Mestinya, pemberian sanksi ini ―lebih keras‖ lagi. Diharapkan
ada efek jera bagi caleg-caleg pelanggar. Jadi, caleg—tambah
calon presiden/wakil presiden dan calon kepala daerah— pun
―tidak sesuka hati,‖ bisa disipin, dan menunjukkan suri tauladan
yang baik kepada publik. Pada akhirnya, ada pembenahan,
progress, dan kualitas pelaksanaan pemilu serta demokrasi kita
pun semakin sehat dan baik.
Selanjutnya, pemerintah daerah—propinsi dan
kabupaten/kota—dengan rekomendasi ban/panwaslu—
diharapkan bisa dengan segera mencabut alat peraga yang
bertebaran di ruang-ruang publik. Dengan kata lain, yang
melanggar aturan dimaksud. Kalau ternyata penyelenggara dan
aturan ini tidak berjalan, maka kembali lagi ke masyarakat.
Masyarakat sebagai penilai dan ―pembersih terakhir‖ alat peraga
tersebut. Masyarakatlah yang mesti mengakhirnya. Sebab,
masyarakatlah sesungguhnya yang punya kedaulatan.
*Penggagas/Direktur Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas
Sumber http://lintasgayo.co/2013/10/07/kampanye-politik-
ramah-lingkungan (7 Oktober 2013)
Orang Gayo Berpikir dengan Otak dan Sertakan Hati
Nurani Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
"Orang Gayo punya cara berfikir berbeda dengan
kosakata secara umum. Urang Gayo berfikir dengan hati," kata
Penyusun silsilah Gayo, Kurnia Item Teganing atau biasa
disapa Aman Peteri Punce kepada ATJEHPOSTcom di Banda
Aceh, Rabu 4 September 2013 (Atjeh Post, 4/9/2013).
Pada dasarnya, orang (masyarakat) Gayo tetap
menggunakan otak atau logika dalam berpikir, seperti suku lain
kebanyakan. Hanya saja, mereka ikut menyertakan rasa atau hati
nurani. Karenanya, muncul pelbagai ungkap berbahasa yang
merujuk pada rasa (rasa) atau ate (hati). Misalnya, sok nate
(dugaan), anger nate (kegelisahan), kene ate (kata hati), deme
ku ate (rasakan dengan hati), uwes nate (sedih hati), pes nate
(tega), simehate (pilihan hati), man ate (makan hati), pikir
natemu (pikiran hatimu), dan lain-lain.
Dalam konteks berpikir (berlogika atau ―berfilsafat‖)
tadi, sehingga muncul istilah kurasa ‗saya rasa‘ (bukan “ku
pikir” atau “ku ate”). Kenapa kata rasa yang digunakan?
Kenapa bukan pikir atau ate? Di sini—seperti disebutkan,
bukan berarti orang Gayo tidak memiliki otak atau tidak
menggunakan logika (akal sehat) dalam berpikir, tetap memakai
otak.
Seperti istilah rasa, pikir, dan ate tersebut; dalam
bahasa Aceh dikenal istilah teurimenggeunaseh atau
teurimenggaseh. Kata ini merupakan serapan dari bahasa
Indonesia, yang berarti ‗terima kasih.‘ Dan, tidak istilah khusus
yang merujuk kepada kata terima kasih dalam bahasa Aceh.
Dalam hal ini, tidak berarti orang (suku) Aceh tidak tahu
berterima kasih, tapi pengungkapannya, lain. Biasanya,
diungkapkan melalui kata alhamdulillah. Kebalikannya, orang
Gayo tahu diri dan tahu terima kasih. Sebab, ada ungkapan
berijin (terima kasih) dalam bahasa Gayo.
Pengaruh geografis pegunungan dengan pesona
keindahan alamnya ikut memengaruhi cara dan konstruksi
berbahasa orang Gayo. Alhasil, mereka cenderung lebih halus,
lembut, ―indah,‖ dan tidak langsung (memakai tamsil ibarat)
dalam berbahasa. Sebaliknya, masyarakat pesisir di Aceh ―lebih
kasar‖ dalam penyampaiannya. Karena, mereka tinggal di
pesisir pantai. Penggunaan bahasa demikian—halus, lembut,
―indah,‖ dan tidak langsung—juga turut memengaruhi aktivitas
kebudayaan mereka. Salah satunya, dalam tradisi lisan.
Masyarakat Gayo memiliki sepuluh sastra lisan, yaitu didong,
kekeberen, kekitiken, melengkan, pantun, peribahasa, saer,
sebuku, tep onem, dan ure-ure (al-Gayoni, 2010: 2). Model atau
konstruksi berbahasa seperti tadi terkandung dalam keselupuh
sastra lisan tersebut. Karenanya, daerah ini (Gayo) dikenal
sebagai ladang ―sumber‖ seni, budaya, dan sejarah di Aceh.
Meski menggunakan bahasa yang halus, lembut,
―indah,‖ dan tidak langsung dengan puitis-estetis, tapi orang
Gayo bukanlah ―masyarakat penghayal.‖ Dalam arti, asyik
berpuisi atau bersastra lisan, pasif, dan pasrah menerima hidup.
Sebaliknya, mereka tife masyarakat pekerja keras, tidak suka
mengeluh, dan apalagi sampai meminta-minta. Hal itu
dibuktikan dari konstruksi berbahasa mereka yang banyak
mengandung verba. Verba dimaknai sebagai upaya, aksi, kerja
keras, lebih, berprestasi, dan jadi yang terbaik (kemel dan
besikelemen).
Akan tetapi, mereka tetap bersyukur dan melihat sisi
lain ―positif‖ dari setiap kejadian dan ujian yang menimpanya.
Sebagai contoh, gempa tektonik 6,2 SR, 2 Juli 2013 lalu. Ada
banyak pelajaran dan hikmah di balik gempa masif dan
desktruktif sepanjang sejarah Gayo itu. Misalnya, adanya upaya
penguatan pendidikan gempa, manajemen bencana yang baik
dan benar, pembangunan perumahan dan infrastruktur tahan
gempa, blue print pembangunan daerah Gayo secara
keseluruhan yang disertakan dengan peta kerawanan bencana di
Aceh, dan lain-lain.
Dalam politik juga demikian. Pun tetap menggunakan
rasa atau hati nurani ―ruang Tuhan dalam hati,‖ namun mereka
(orang Gayo) tetap menggunakan logika atau akal sehat dalam
memilih presiden/wakil presiden, bupati/wakil bupati, calon
anggota legislatif (caleg), dan calon anggota DPD ―senator.‖
Termasuk, dalam menilai, mencermati sekaligus mengkritisi visi
misi dan program yang diajukan. Apakah benar atau tidak;
masuk akal atau tidak (terukur dan tidak terukur)?; selain
pertimbangan rekam jejak (track record). Oleh sebab itu, di
Gayo, tidak berlaku fatwa atau garis komando dari tokoh atau
partai tertentu. Saat direkomendasikan untuk memilih calon A;
kenyataannya, belum tentu dipilih. Karena, mereka tetap
menggunakan akal sehat dan pertimbangan hati nurani tadi.
Tetapi, harus diakui pula bahwa terjadi pergeseran nilai
dalam memilih pemimpin, caleg, dan senator dalam masyarakat
Gayo. Terutama, sejak pemilu langsung digelar. Politik uang
mulai merusak tatanan nilai yang ada dalam masyarakat
tersebut, namun masih perlu dikuantitatifkan secara keangkaan.
Di sisi lain, memang pendidikan politik di tengah-tengah
masyarakat masih lemah.
*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah (Pengkaji
Bahasa/Ekolinguistik)
“Anggota Dewan D4” Yusradi Usman al-Gayoni*
Lemahnya kapasitas personal dan kinerja kolektif
anggota dewan selalu saja dikeluhkan masyarakat. Indikatornya,
misalnya, bisa dilihat ari kurangnya produk legislasi yang
dihasilkan, pengawasan terhadap roda pemerintahan, dan fostur
anggaran yang berorientasi pada perkembangan serta kemajuan
masyarakat. Bahkan, ada anggota dewan yang sebatas datang,
duduk, dengar, dan diam atau ―Anggota Dewan D4.‖ Akhirnya,
image lembaga ini pun makin buruk di mata publik.
Akan tetapi, saat berinteraksi dengan masyarakat atau
konstituen mereka, seolah-olah mereka paham betul fungsi,
tugas, dan kedudukan. Dengan menjaga wibawa dan image,
mereka seakan-seakan sudah menjalankan tugas kedewanannya
dengan baik, benar, dan maksimal. Padahal, kinerja mereka
―tidak lebih‖ dari D4 tadi. Pada awal bulan, mereka mengambil
gaji sebagai kompensasi terhadap keberadaan mereka di
parlemen. Di luar itu, mereka kemungkinan berproyek.
Minimal, mengharapkan fee, dana aspirasi. Juga, mengupayakan
uang masuk lainnya melalui kegiatan pengawasan, penyusunan
legislasi (perda—qanun), dan melalui pengesahan anggaran.
Tujuannya, untuk mengembalikan biaya politik yang sudah
keluar saat pencalegan. Lebih dari itu, memperkaya
―mensejahterakan‖ diri, keluarga, partai, dan kelompoknya.
Selanjutnya, menyiapkan modal untuk kembali nyaleg pada
periode berikutnya.
Sementara itu, uang rakyat ―terbuang percuma,‖ untuk
menggaji mereka. Ironisnya, tidak ada keterbukaan dan
pertanggungjawaban yang dibangun. Rakyat tak ubahnya seperti
anak yatim piatu. Pemimpin dan wakil mereka seringkali absen.
Suara yang diberikan jadi legitimasi untuk berbuat ―sesuka
hati.‖ Termasuk, melupakan masyarakat yang notabene telah
mengantarkan mereka ke kursi dewan dan istana ―pendopo.‖
Hal itu makin meningkatkan kekecewaan, ketidakpercayaan,
dan keapatisan masyarakat.
Mereka baru hadir kembali dekat-dekat pemilu. Pada
tahap ini, anggota dewan dan caleg-caleg—pun tidak
semuanya—seperti orang yang paling saleh, dermawan, dekat
dengan rakyat, dan tahu ―menguasai‖ banyak hal. Semestinya,
dengan gaji dan fasilitas pendukung yang diterimanya, kinerja
mereka tambah baik dan terjadi peningkatan. Ternyata, tidak.
Malah, kemungkinan, bertambah buruk. Saat yang bersamaan,
hingga Agustus 2013, utang pemerintah Indonesia naik menjadi
Rp 2.177,95 triliun. Utang ini naik Rp 75,39 triliun
dibandingkan dengan posisi Juli 2013 (fimadani.com,
3/10/2013). Lagi-lagi, masyarakat ―rakyat‖ lah yang mesti
menanggung beban tersebut.
Ringannya Syarat Nyaleg
Dimanakah letak persoalannya, sehingga anggota
dewan seperti itu bisa terpilih dan duduk di parlemen? Akar
masalahnya, tidak terlepas UU No 8/2012 tentang Pemilihan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) atau Senator, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Beberapa persyaratan dalam BAB VII bagian
kesatu, misalnya, disebutkan: telah berumur 21 (dua puluh satu)
tahun atau lebih; cakap berbicara, membaca, dan menulis
dalam bahasa Indonesia; berpendidikan paling rendah tamat
sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah
kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang
sederajat; sehat jasmani dan rohani;
Persoalan umur, sebagai contoh, rasanya perlu dikaji-
ulang. Idealnya, calon legislator atau senator minimal berumur
24 atau 25 tahun. Setelah tamat SMA (sederajat), mereka sudah
kuliah atau kerja pada bidang tertentu. Pengalaman ―jam
terbang‖ itulah—salah satunya—yang digunakan sebagai modal
untuk duduk di dewan. Selanjutnya, cakap berbicara, membaca,
dan menulis dalam bahasa Indonesia. Tetapi, tidak ada
indikator yang jelas dan tegas terkait kecapakan itu. Sebagai
contoh, menulis. Seharusnya, bukti-bukti tulisan calon anggota
dewan dan senator di pebagai media cetak atau online, makalah,
hasil penelitian, jurnal atau buku turut dilampirkan saat
mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Demikian
halnya tentang kecakapan berbicara dan membaca, harus jelas
indikator dan buktinya.
Kalau peraturan ini dipenuhi, diundangkan, dan paling
kurang diatur dalam satu peraturan, maka akan banyak calon
anggota legislatif yang tidak maju. Mereka akan berpikir seibu
kali untuk nyaleg. Karena, tidak memenuhi persyaratan
administratif dan tidak memiliki skill sama sekali. Salah
satunya, keterampilan berbicara, membaca, dan menulis
tersebut. Akibat tidak diundangkan atau dikuatkan dalam bentuk
peraturan, sehingga ―siapa saja‖ bisa nyaleg. Lebih-lebih, yang
bermodal lebih. Termasuk, yang punya dan dekat dengan
kekuasaan berafiliasi dengan penguasa.
Sebagai akibatnya, caleg atau anggota dewan terpilih
tidak memiliki kualitas dan kapasitas personal yang lebih.
Terlebih lagi, suri tauladan yang baik dan bisa ditauladani.
Kondisi itu kemudian berpengaruh pada minusnya kinerja
dewan secara keseluruhan. Pada akhirnya, lahirlah ―Anggota
Dewan D4.‖ Di lain pihak—seperti disebutkan, masyarakat pun
makin kecewa, apatis, dan ―prustasi‖ melihat kinerja wakil
mereka. Pasalnya, baik kepala daerah maupun legislator sebatas
prosedural, administratif, birokratis, dan tak lepas dari urusan
pencitraan.
Membenahi Rekrutmen Caleg
Sebenarnya, masih ada celah untuk menghasilkan caleg
yang bersih, jujur, terbuka, amanah, tanggung jawab, merakyat,
mampu, dan berkualitas, yaitu melalui partai politik. Dalam
kaitan itu, partai politik harus membenahi pola rekrutmen caleg.
Yang diutamakan adalah caleg-caleg yang bersih, jujur, terbuka,
amanah, tanggung jawab, merakyat, mampu, dan berkualitas,
disamping pertimbangan popularitas, akseptabilitas, dan
elektabilitas calon. Bila perlu, diadakan uji administratif,
kelayakan (fit and proper test), dan tes baca al-Quran (khusus
caleg di Aceh) terlebih dahulu. Termasuk, mengukur
popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas calon yang
bersangkutan di tengah-tengah masyarakat.
Hasilnya, caleg-caleg yang terpilih baik dari kader
internal maupun kader eksternal partai betul-betul mumpuni.
Sebab, sudah melalui rangkaian tes yang panjang dan berat di
internal partai. Saat bersamaan, ada semacam penilaian objektif
dari masyarakat, terutama dari daerah pemilihan (caleg)
bersangkutan.
Namun, dalam praktiknya, partai politik pun lebih
mengutamakan caleg yang bermodal dan yang dekat sekaligus
―berafiliasi‖ dengan kekuasaan. Tak jarang, terjadi politik
transaksional dalam proses pencalegan. Khususnya, dalam
seleksi caleg di internal partai. Ujung-ujungnya, uanglah yang
bermain. Soal etika, moral, dan standar ideal lainnya, urusan
belakangan. Yang terpenting, dengan kekuatan uang, caleg dan
wakil partai tersebut bisa duduk di parlemen. Prihal wakil rakyat
yang minus kinerja, moral, etika, dan minus ketauladanan, yang
kemudian berimbas pada kekecewaan masyarakat, tak jadi
urusan. Keterwakilan partai di parlemen—dengan anggota
dewan abal-abal ―dewan-dewanan‖—jauh lebih penting dari
standar ideal tersebut.
Wasit Terakhir?
Kalau sudah demikian, masyarakatlah yang bertindak
sebagai wasit dan penentu. Keputusan terakhir ada di tangan
masyarakat. Apakah memilih caleg-caleg yang bersih, jujur,
terbuka, amanah, tanggung jawab, merakyat, mampu, dan
berkualitas? Atau, menuruti kepentingan pragmatis (sesaat),
yaitu memilih caleg-caleg yang ber-money politics ―menyogok
atau membeli masyarakat‖ dan melakukan praktik pembodohan
politik lainnya?
Kalau sudah terpilih dan duduk pun, seperti yang sudah-
sudah, caleg-caleg yang ber-money politics itu bakal
meninggalkan dan melupakan masyarakat. Khususnya,
pemilihnya. Karena, mereka asyik fokus dengan pengambalian
modal, memperkaya diri, dan menyiapkan modal untuk
pencalegan berikutnya. Tak menutup kemungkinan, bakal
menyelewengkan jabatan dan melakukan korupsi. Tujuannya,
untuk mengembalikan modal politik yang sudah keluar. Karena,
tingginya modal yang dikeluarkan. Termasuk—tak menutup
kemungkinan, ikut ―membeli‖ penyelenggara pemilu, yaitu
KPU/KIP dan panitia pengawas pemilu.
Di sisi lain, kita mengharapkan keindependenan
penyelenggara pemilu. Dengan demikian, penyelenggaraan
pemilu ―kedaulatan rakyat‖ yang dilaksanakan dengan
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil bisa terlaksana
dengan baik. Pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih pun
benar-benar ada dan memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Pada akhirnya, demokrasi yang substantif, sehat, bermodal, dan
beretika bisa terwujud. Terutama, menghadirkan kesejahteraan
masyarakat melalui pemimpin (presiden/wakil presiden,
gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota), wakil rakyat, dan senator di istana,
parlemen serta ―senat‖ (berkorelasi signifikan).
*Penggagas/Direktur Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas
Sumber Lintas Gayo.com (15 Oktober 2013)
http://www.lintasgayo.com/42575/anggota-dewan-d4.html
Cara Orang Gayo Memilih Pemimpin Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Lima bulan lagi, tepatnya 9 April 2014, pemilu
legislatif akan berlangsung. Tahun yang sama (2014), akan
diselenggarakan pula pemilihan presiden Indonesia.
Sebelumnya (2012), masyarakat Gayo, terutama yang mendiami
Takengon sudah memilih kepala daerah ―bupati dan wakil
bupati‖ atau ―reje‖ dalam istilah lokal. Bagaimana sebetulnya
orang (masyarakat) Gayo memilih pemimpin? Di sini,
terminologi Gayo merujuk kepada tiga hal, yaitu urang ―orang
atau masyarakat‖ Gayo, daerah yang mereka diami yang dikenal
dengan Gayo atau tanoh ―tanah‖ Gayo, serta basa ―bahasa‖
Gayo (al-Gayoni, 2010: 1; 2012:1)
Secara normatif-formal-prosedural, proses pemilihan
pemimpin di Gayo sama dengan masyarakat yang lain. Mereka
punya hak pilih, terdaftar di panitia pemilihan atau
penyelenggara pemilu. Lalu, melakukan pencoblosan di bilik
suara. Akan tetapi, ada kearifan masyarakat Gayo dalam
memilih pemimpin baik formal maupun informal. Mereka selalu
melihat rekam jejak calon (track record). Dalam pemilihan
kepala kampung atau kepala desa, calon legislatif (caleg), dan
bupati/wakil bupati, misalnya, tak lepas dari penilaian rekam
jejak. Bahkan, keturunannya ke atas—ama, awan, datu, empu,
munyang, entah, rekel, dan keleng—pun ikut ―dikaji.‖
Tujuannya, untuk memastikan; apakah darah kepemimpinan
mengalir pada calon tersebut.
Dalam kearifan verbal di sana, ada istilah reje mu suket
sipet. Kata reje atau raja dimaknai sebagai ‗pemimpin‘ secara
luas. Termasuk, calon anggota legislatif (caleg) yang akan maju.
Namun, terminologi khusus yang merujuk kepada anggota
dewan dalam bahasa Gayo disebut dengan ulu rintah.
Suket dan Sipet
Lantas, apakah makna reje mu suket sipet tadi? Ada tiga
kata kunci di sini; reje (raja—pemimpin), suket (menakar), dan
sipet (mengukur). Dalam banyak literatur Gayo, reje mu suket
sipet diartikan ‗adil.‘ Memang, seorang pemimpin baik formal
maupun informal harus adil. Dalam hal ini, bupati yang ada di
Gayo: Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues,
dan Kabupaten Bener Meriah. Mereka mesti adil kepada Tuhan,
diri sendiri, keluarga, golongan, masyarakat luas, dan
lingkungan alam. Sejatinya, mereka bupati/wakil merupakan
pemimpin masyarakat secara keseluruhan. Bukan pemimpin
yang mewakili tim sukses, partai politik, keluarga, golongan,
dan paruh masyarakat (belah) tertentu. Begitu pula anggota
dewan, mesti adil. Sebab, mereka akan mewakili daerah
pemilihan dan konstituennya. Dengan demikian, amanah, beban,
tanggung jawab, dan resiko yang diemban pun pasti berat.
Hakikat makna reje mu suket sipet tadi terdapat pada
kata suket (menakar) dan sipet (mengukur). Indikator suket ini
pun jelas sekali, antara lain kal, are, tem, dan seterusnya (alat
penakar). Sebaliknya, sipet biasanya menggunakan jari tangan
(mengukur jarak). Di sini, ada unsur relativitas. Panjang jari
seseorang pasti berbeda satu sama lain. Hasilnya, pasti akan
berbeda. Secara denotatif bermakna demikian. Namun, makna
konotatifnya lebih dalam. Pemaknaan itu menggambarkan
konsep, nilai, kearifan, norma, moral, dan etika masyarakat
Gayo dalam memilih pemimpin.
Dalam relasi pemimpin dan kememimpinan, suket
merujuk kepada pemimpin (yang sedang maju) yang
bersangkutan. Dengan kata lain, suket merujuk kepada hal-hal
yang konkrit (i panang sareh, i amat nyata): fisik, tempat
tinggal, tempat masa-masa kecil, sekolah, kampus, tempat
berkarir, dan lain-lain . Kebalikannya, sipet merujuk kepada hal-
hal yang abstrak. Misalnya, soal kejujuran; amanah tidak
amanah; umur; tingkat popularitas, elektabilitas serta
akseptabilitas yang tinggi; keagungan sifat dan karakter;
kedalaman ilmu; keluasan pengalaman; keluwesan pergaulan;
bekal pendidikan yang memadai; ketaatan beragama; dukungan
rekam jejak dan kinerja yang mumpuni; dan tidak cacat moral
dan tidak cacat hukum ―bersih.‖ Alhasil, pemimpin-pemimpin
formal dan informal terpilih bisa menuntun dan membawa
masyarakat serta daerah yang dipimpinnya ke arah yang benar,
baik, maju, dan bermartabat. Karena, didasari dengan bekal
pengalaman, ilmu, wawasan, dan moral yang baik (the right
man on the right place, bukan the wrong man on the wrong
place).
Selain pertimbangan rekam rejak, masyarakat Gayo
selalu menggunakan akal sehat dan menyertakan hati nurani
dalam memilih. Kalaupun ada yang merekomendasikan calon
tertentu, tidak diterima mentah-mentah. Di Gayo, tidak berlaku
garis komando atau fatwa dari tokoh tertentu. Dalam satu
keluarga inti (nuclear family) atau keluarga besar (extended
family), bahkan suami-istri pun bisa berbeda pilihan. Karena,
pertimbangan akal sehatdan hati nurani tadi. Lebih dari itu,
mereka ikut meminta petunjuk Tuhan melalui salat istikharah.
Tuntunan-tuntunan seperti itulah yang dipakai masyarakat Gayo
dalam memilih pemimpin.
Pergeseran Nilai
Akan tetapi, sejak era reformasi 1998 dan
dilangsungkannya pemilihan langsung pemilihan presiden
(pilplres), kepala daerah (pemilukada), dan pemilu legislatif
(pileg), kearifan lokal tadi mulai berubah. Masyarakat Gayo—
meski tidak semua—mulai ―menikmati‖ politik uang (money
politics). Buat penulis, money politics merupakan kejahatan
luar biasa, disamping korupsi, narkoba, pembunuhan
berencana, dan kejahatan terorisme. Melalui money politics
inilah eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjarah uang
rakyat “korupsi.” Akibatnya, muncul istilah trias
koruptika: eksekuthief, legislathief, dan yudikathief.
Siapakah yang salah? Dalam hal ini, masyarakat tidak
salah. Calon kepala daerah dan calon legislatif lah yang salah.
Lagi-lagi, pun tidak semuanya. Mereka yang memulai,
mengajarkan, dan menyuburkan money politics. Tak hanya itu,
mereka telah merendahkan, menghinakan, dan membodoh-
bodohi masyarakat.
Di sisi lain, masyarakat pun tidak merasakan manfaat
keberadaan bupati/wakil bupati dan dewan. Kecuali, buat
segelintir orang, yaitu bosisme lokal (meminjam istilah Boni
Hargens). Masyarakat menganggap, tidak ada korelasi
signifikan penyelenggaraan pemilu dengan keterpilihan kepala
daerah dan anggota dewan dengan perbaikan ekonomi
―kesejahteraan‖ mereka. Setelah pemilukada dan pemilu
legislatif berlangsung, masyarakat serta merta dilupakan.
Selanjutnya, mereka yang terpilih fokus pada pengembalian
modal dan hutang, memperkaya diri, dan membangun politik
dinasti (istilah lain dinasti politik dan politik kekerabatan).
Sebagai akibatnya, sebagian masyarakat menjadikan pemilu
―pesta demokrasi‖ sebagai ajang untuk meraup uang atau barang
sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain, menjadikan calon
presiden/wakil presiden, calon kepala daerah, dan caleg jadi
―ATM berjalan.‖ Dengan harapan, ada efek jera. Namun, bukan
efek jera yang didapat. Tapi, politik uang malah makin
―menggila.‖
Namun, mereka—calon presiden/wakil presiden, calon
kepala daerah, dan caleg—pun berbuat demikian pastinya tidak
terlepas dari partai politik. Karena, buruknya sistem rekrukmen
di internal partai politik. Partai politik yang mestinya
menghasilkan pemimpin jujur, bersih, amanah, tanggung jawab,
kredibel, tahu malu, dan berkualitas; malah menghasilkan
pemimpin korup. Pasalnya, dari awal, telah terjadi politik
transaksional (setoran ke partai atau ketua partai). Siapa yang
punya modal besar, bisa maju. Soal kredibilitas dan kualitas,
belakangan. Karenanya, yang tidak pantas pun (sah kenak—
bahasa Gayo) berbondong-bondong maju. Karena, tidak ada lagi
rasa ―terputusnya sel syaraf‖ malu.
Tolak Money Politics
Dalam menghadapi pemilu 2014, masyarakat Gayo
mesti kembali kepada kearifan lokal mereka, yaitu dengan
menolak politik uang. Jangan terima uangnya, dan jangan pilih
caleg-caleg yang ber-money politics. Yang lebih prinsip, tetap
memelihara akal sehat dan menghidupkan hati nurani. Pada
akhirnya, masyarakat tidak salah pilih. Sebab, caleg-caleg yang
jujur-tidak jujur, bersih-kotor, amanah-tidak amanah, mampu-
tidak mampu, berkualitas-tidak berkualitas, punya kesempatan
yang sama. Oleh karena itu, masyarakat harus hati-hati, untuk
tidak salah memilih.
Selanjutnya, ikut mengawasi dan mengawal
penyelenggaran pemilu legislatif oleh penyelenggara, yaitu KIP
Aceh Tengah, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia
Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu) Aceh Tengah. Saat yang sama, memastikan, tidak
ada permainan politik uang; mengingat kepentingan masyarakat
dan daerah secara keseluruhan-jangka panjang. Juga,
memastikan tidak ada invervensi dari pihak mana pun.
Termasuk, dari bupati/wakil bupati, pejabat, pengusaha
(kontraktor), dan anggota dewan yang duduk sekarang
(petahana). Dengan demikian, anggota dewan yang terpilih
nantinya betul-betul jujur, mampu, bersih, amanah, tanggung
jawab, mampu, dan berkualitas. Akhirnya, daerah ini—
Takengon, Gayo, dan Aceh—bisa berkah, terbenahi,
berkembang, dan maju.
*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah
Sumber : Media Online LintasGayo.co (1/11/2013)
http://lintasgayo.co/2013/11/01/cara-orang-gayo-memilih-pemimpin
Recommended