View
8.697
Download
7
Category
Preview:
DESCRIPTION
Citation preview
Pembelajaran Kolaborasi dengan Strategi Pesta Pertanyaan untuk Meningkatkan Partisipasi
Siswa, Keterampilan Sosial, dan Prestasi Belajar
Syaiful KhafidEmail: syaiful.khafid@yahoo.co.id
Jln. Perempatan RT 03/RW 03 Weru Paciran, Lamongan 62264
ABSTRACT: Purpose of this class action research is for knowing collaboration learning application with strategy of question party can increase: (1) student paticipation in learning geography, (2) student social skill learning geography; (3) geography learning achievement, and (4) student positive response toward collaboration learning application with question party strategy. Prosedure of this class action research include three cycles, and every cycle consists of planning, implementation, observation, and replection.This action research is done in SMA Negeri 1 Sidayu, with the subject is students class X-1 amoumt 32 people who consist of 9 boys and 23 girls. The research result shows that collaboration learning application with question party strategy can increase: (1) student participation in learning geography, (2) student social skill in learning geography; (3) geography learning achievement, and (4) student has positive response toward question party strategy application.
Kata kunci: pembelajaran kolaborasi, strategi pesta pertanyaan, partisipasi siswa, keterampilan sosial, prestasi belajar
Sebagian besar siswa beranggapan bahwa
belajar adalah aktivitas yang tidak
menyenangkan, duduk berjam-jam dengan
mencurahkan perhatian dan pikiran pada suatu
pokok bahasan atau kompetensi dasar, baik yang
sedang disampaikan guru maupun yang sedang
dihadapi di meja belajar. Kegiatan itu hampir
selalu dirasakan sebagai beban daripada upaya
aktif untuk memperdalam ilmu. Mereka tidak
menemukan kesadaran untuk mengerjakan
seluruh tugas-tugas sekolah. Sebagian besar
siswa yang mengganggap, mengikuti pelajaran
tidak lebih sekedar rutinitas untuk mengisi daftar
absensi, mencari nilai, melewati jalan yang harus
ditempuh, dan tanpa disertai kesadaran untuk
menambah wawasan ataupun mengasah
keterampilan.
Semangat belajar siswa menurun, selain
disebabkan oleh ketidaktepatan metodologis
pembelajaran yang diterapkan oleh guru, juga
berakar pada paradigma pendidikan konvensional
yang selalu menggunakan metode pengajaran
klasikal dan metode ceramah, tanpa pernah
diselingi berbagai metode yang menantang untuk
berusaha, termasuk adanya penyekat ruang
1
struktural yang begitu tinggi antara guru dan
siswa. Peristiwa yang menonjol ialah siswa kurang
berpartisipasi, kurang terlibat, dan tidak memiliki
inisiatif, serta kontributif baik secara intelektual
maupun emosional. Pertanyaan dari siswa,
gagasan, ataupun pendapat jarang muncul.
Kalaupun ada pendapat yang muncul jarang
diikuti oleh gagasan lain sebagai respon (Khafid,
2008: 19).
Ada tiga faktor penyebab rendahnya
pertisipasi siswa dan keterampilan sosial dalam
proses belajar mengajar, yaitu: (1) siswa kurang
memiliki kemamuan untuk merumuskan gagasan
sendiri, (2) siswa kurang memiliki keberanian
untuk menyampaikan pendapat kepada orang
lain, dan (3) siswa belum terbiasa bersaing
menyampaikan pendapat dengan teman yang lain
(Abimanyu, 1995:8). Kesalahan tersebut, tidak
dapat hanya dibebankan kepada siswa saja,
tetapi yang pertama bertanggung jawab
hendaknya guru. Guru kadang-kadang secara
sadar atau tidak menerapkan sifat otoriter,
menghindari pertanyaan dari siswa,
menyampaikan ilmu pengetahuan secara searah,
menganggap siswa sebagai penerima, pencatat,
dan pengingat. Karena itu, guru Geografi
hendaknya memiliki pemahaman yang memadai
tentang siswa yang menjadi sasaran tugasnya.
Pemahaman ini menyangkut kesiapan,
kemampuan, ketidakmampuan, dan latar
belakang siswa yang semua itu akan membantu
gutu dalam melaksanakan tugasnyanya.
Kewajiban guru dalam pembelajaran bukan
hanya menyampaikan konsep-konsep materi agar
dapat dimengerti oleh siswa, melainkan juga
perlu memberikan pengalaman kepada siswa
untuk berlatih bekerja sama misanya membuat
pertanyaan, dan partisipasi dalam mengikuti
kegiatan belajar mengajar Geografi di kelas. Pada
pembelajaran Geografi di kelas X-1 SMA Negeri 1
Sidayu dijumpai banyak kesulitan, permasalahan
itu berasal dari asumsi: 1) kegiatan pembelajaran
kurang menekankan aktivitas belajar siswa, 2)
upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa
bekerja sama dalam memecahkan masalah
menggunakan model pembelajaran kolaborasi
dengan strategi pesta pertanyaan belum
mendapat perhatian guru, 3) penyelesaian
masalah kegeografian tidak cukup hanya
menghafal konsep-konsep saja, dan 4) guru
2
belum mencoba aneka metode pembelajaran
yang diintegrasikan ke dalam penelitian tindakan.
Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan pada siswa kelas X-1 ketika diberikan
soal-soal yang berkaitan dengan materi pokok:
konsep Geografi, pendekatan Geografi, prinsip
Geografi, dan aspek Geografi pada semester gasal
dengan nilai rata-rata yang diperoleh 62,5 dan
46% dari siswa tidak tuntas belajar. Hal itu
menunjukkan masih belum maksimal penguasaan
materi pelajaran Geografi. Penelitian ini
memberikan solusi memperbaiki sekaligus
meningkatkan mutu proses belajar mengajar
melalui pembelajaran kolaborasi dengan strategi
pesta pertanyaan diharapkan dapat
meningkatkan aktivitas siswa, partisipasi dalam
berdiskusi, keterampilan sosial, prestasi belajar
Geografi, dan respon positif siswa terhadap
model pembelajaraan kolaborasi dengan strategi
pesta pertanyaan.
Beberapa kelebihan pembelajaran kolaborasi
dengan strategi pesta pertanyaan, yaitu adanya
kerja sama dalam kelompok dan untuk
menentukan keberhasilan kelompok bergantung
pada keberhasilan individu sehingga setiap
anggota kelompok tidak bisa menggantungkan
pada anggota yang lain. Setiap siswa mendapat
kesempatan sama untuk menunjang timnya
mendapat nilai yang maksimal, sehingga
termotivasi untuk belajar. Dengan demikian,
setiap individu merasa mendapat tugas dan
tanggung jawab sendiri-sendiri, sehingga tujuan
pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta
pertanyaan dapat berjalan bermakna dan tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara maksimal
sesuai dengan harapan tujuan pendidikan
nasional.
Dalam konteks di atas, tugas guru adalah
mempermudah siswa untuk belajar, memberikan
kondisi yang kondusif yang mampu menciptakan
pembelajaran bermakna secara signifikan bagi
diri siswa secara holistik, tujuannya untuk
kepentingan kelompok meliputi guru,
komunitasnya termasuk siswa. Keingintahuan
siswa secara bebas, keterbukaan, dan segala
sesuatunya dapat digali dan dipertanyakan. Pada
akhirnya, tuntutan mutu pendidikan untuk
mampu menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas dapat dicapai sesuai dengan harapan
kita.
3
Pengertian kolaborasi sering disamakan
dengan kooperasi. Kerja sama yang disebut
kooperasi ini adalah sebuah struktur kerja sama
dalam bentuk kerja kelompok. Di dalam struktur
kerja kooperasi ini terjadi proses-proses interaksi
antaranggota kelompok, yang disebut kolaborasi.
Kolaborasi merupakan suatu landasan interaksi
dan cara hidup seseorang di mana individu
bertanggung jawab atas tindakannya, yang
mencakup kemampuan belajar dan menghargai
serta memberikan dukungan terhadap
kelompoknya. Melalui aktivitas itu, kita dapat
mengidentifikasi perilaku-perilaku kolaborasi,
menempatkan perilaku tersebut dalam urutan
yang sesuai, dan pebelajar
mendemonstrasikannya. Inti keterampilan
kolaborasi adalah kemampuan untuk melakukan
tukar pikiran dan perasaan antara pebelajar yang
satu sama lainnya pada tingkatan yang sama
(Setyosari, 2009).
Pembelajaran kolaborasi menekankan
pentingnya pengembangan belajar secara
bermakna dan pemecahan masalah secara
intelektual serta pengembangan aspek sosial.
Dengan demikian, di antara pebelajar bergantung
satu sama lain dan mereka bekerja sama saling
menguntungkan. Dalam praktik atau
penerapannya, pembelajaran kolaborasi yang
dilakukan di sekolah lebih berkenaan dengan
kerja kelompok biasa yang antaranggotanya tidak
bergantung satu sama lain.
Pembelajaran kolaborasi merupakan sistem
pembelajaran yang memberi kesempatan kepada
pebelajar untuk bekerja sama dengan yang lain
dalam tugas-tugas yang terstruktur. Lebih jauh
dikatakan, pembelajaran kolaborasi hanya
berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok
atau suatu tim yang di dalamnya siswa bekerja
sama secara terarah untuk mencapai tujuan yang
sudah ditentukan dengan jumlah anggota
kelompok pada umumnya terdiri atas 4-6 orang
(Lie, 2002; Khafid, 2010).
Pembelajaran kolaborasi merupakan suatu
model pembelajaran yang saat ini banyak
digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar
mengajar yang berpusat pada siswa, terutama
untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan
guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat
bekerja sama dengan orang lain, siswa yang
agresif dan tidak peduli pada yang lain. Model
4
pembelajaran ini telah terbukti dapat
dipergunakan dalam berbagai mata pelajaran dan
berbagai usia.
Djajadisastra (dalam Isjoni, 2007: 19-20)
mengemukakan, metode belajar kelompok atau
lazim disebut dengan metode kolaborasi
merupakan suatu metode mengajar di mana
siswa disusun dalam kelompok-kelompok pada
waktu menerima pelajaran atau mengerjakan
soal-soal dan tugas-tugas. Pendapat Nasution
dikutip Isjoni (2007: 20) belajar kelompok itu
efektif kalau setiap individu merasa bertanggung
jawab terhadap kelompok, siswa turut
berpartisipasi dan bekerja sama dengan individu
lain secara efektif, menimbulkan perubahan yang
konstruktif pada kelakuan seseorang dan setiap
anggota aman dan puas di dalam kelas.
Suryosubroto (dalam Isjoni, 2007: 20)
menyebutkan, belajar kelompok dibentuk dengan
harapan para siswa dapat berpartisipasi aktif
dalam pembelajaran.
Beberapa ciri pembelajaran kolaborasi
adalah: 1) setiap anggota memiliki peran, 2)
terjadi hubungan interaksi langsung di antara
siswa, 3) setiap anggota kelompok bertanggung
jawab atas belajarnya dan juga teman-teman
sekelompoknya, 4) guru membantu
mengembangkan keterampilan-keterampilan
interpersonal kelompok, dan 5) guru hanya
berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan
(Isjoni, 2007: 20)
Strategi pesta pertanyaan adalah suatu
strategi pembelajaran yang digunakan untuk
melatih siswa aktif membuat pertanyaan
kemudian dijawab teman-temannya (Sulistyo,
2007: 9). Strategi pesta pertanyaan yang
diterapkan dalam pembelajaran ini bertujuan
agar informasi yang diterima siswa dapat
disimpan dalam memori jangka panjang sehingga
tidak menjadi pengetahuan sesaat. Otak kita
perlu mempertanyakan informasi, merumuskan,
dan menjelaskannya pada orang lain agar dapat
menyimpannya dalam memori.
Di samping itu, strategi pesta pertanyaan ini
dapat melatih siswa untuk belajar meneliti
asumsi, mengakui sudut pandang yang berbeda,
dan mempertimbangkan makna kata. Dengan
menggunakan pertanyaan-pertanyaan secara
rutin, siswa belajar meneliti asumsi, menghadapi
5
Dijaw
ab oleh kelompok lain
Dij
awab
ole
h ke
lom
pok
lain
Setiap sisw
a bekerja sama m
embuat pertanyaan
Set
iap
sisw
a be
kerj
a sa
ma
mem
buat
per
tany
aan
Setiap siswa bekerja sam
a mem
buat pertanyaan
Dijawab oleh kelompok lain
Dijaw
ab oleh kelompok lain
Dija
wab
ole
h ke
lom
pok
lain
Dijaw
ab oleh kelompok lain
Dija
wab
ole
h ke
lom
pok
lain
Setiap siswa bekerja sam
a mem
buat pertanyaan
Setia
p si
swa
beke
rja s
ama
mem
buat
per
tany
aan
Setia
p si
swa
beke
rja s
ama
mem
buat
per
tany
aan
Set
iap
sisw
a be
kerj
a sa
ma
mem
buat
per
tany
aan
prasangka, mengakui sudut pandang yang
beragam, dan mempertimbangkan makna kata.
Pendapat Mulyasa sebagaimana dikutip
Sulistyo (2007) bahwa tanya jawab yang
berlangsung selama pembelajaran didorong oleh
inkuiri siswa. Dengan demikian, rasa ingin tahu
siswa dapat disalurkan melalui kegiatan pesta
pertanyaan yang dibimbing oleh guru sebagai
pembimbing dengan peran selaku motivator,
fasilitator, dan konsultan. Kegiatan bertanya
antara siswa dan siswa, atau siswa dan guru
dapat mendorong siswa untuk aktif berpikir dan
belajar sepanjang hayat. Pertanyaan dalam
interaksi belajar mengajar adalah penting, karena
dapat menjadi perangsang yang memotivasi
siswa untuk aktif, kreatif, dan bersemangat dalam
berpikir dan belajar sehingga dapat
membangkitkan pengertian baru.
Langkah-langkah yang ditempuh untuk
menerapkan strategi pesta pertanyaan dalam
memahami ‘uniflying geography’ supaya siswa
memiliki keterampilan Geografi, sebagai berikut:
1) guru menyajikan materi pelajaran Geografi
melalui lembar kegiatan siswa; 2) setiap siswa
dalam kelompok bekerja sama membuat
pertanyaan berkaitan dengan materi yang
sedang dibahas; 3) pertanyaan dari suatu
kelompok dikumpulkann untuk diberikan kepada
kelompok lain yang terdekat; (4) setiap kelompok
menjawab pertanyaan; dan 5) kegiatan
presentasi membahas pertanyaan dan jawaban
dari kelompok-kelompok.
Lebih jelasnya, skenario model pembelajaran
kolaborasi dengan strategi pesta pertanyaan pada
mata pelajaran Geografi untuk memahami
konsep ‘uniflying geography’ supaya siswa
memiliki penguasaan Geografi yang benar dan
berwawasan mondial, dapat digambarkan
sebagai berikut.
6
Gambar 1. Skenario Strategi Pesta Pertanyaan
Partisipasi berarti prakarsa, peran aktif dan
keterlibatan semua pelaku siswa dalam
mempelajari Geografi (Adisasmita, 2008: 2;
Sukidin dkk. 2002: 159) mengemukakan bahwa
partisipasi siswa merupakan suatu tingkat
sejauhmana peran siswa melibatkan diri di dalam
kegiatan dan menyumbangkan tenaga dan
pikirannya dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.
Partisipasi siswa dalam belajar diartikan kegiatan
atau keadaan mengambil bagian dalam suatu
aktivitas pembelajaran Geografi untuk mencapai
suatu kemanfaatan secara optimal.
Pembelajaran kolaborasi dengan strategi
pesta pertanyaan dilakukan oleh guru akan
mampu membawa siswa dalam situasi yang lebih
kondusif, karena siswa lebih berperan serta,
terjadi keraja sama kooperatif, lebih terbuka, dan
sensitif dalam proses pembelajaran. Siswa
dituntut berani mengemukakan ide-ide, kerja
sama atau keterampilan sosial, melontarkan
permasalahan, dan mencari solusinya. Menurut
Supriatna (2005) pembelajaran kolaborasi dapatt
membangun keterampilan sosial dalam diri siswa.
Pendapat Budimansyah (2002: 1) supaya aktif
terlibat belajar siswa harus memiliki kemampuan
untuk berbuat sesuatu dengan menggunakan
konsep dan prinsip keilmuan yang telah dikuasai.
Prestasi belajar Geografi adalah kemampuan
menuntaskan dalam arti memahami atau
menguasai materi minimal pada mata pelajaran
Geografi yang ditunjukkan dari hasil ulangan
harian siswa dengan standar ketuntasan belajar
minimal yang ditentukan guru. Prestasi belajar
siswa setelah mengikuti kegiatan belajar
mengajar dengan kriteria ketuntasan minimal
pada mata pelajaran Geografi.
Pengertian prestasi adalah rumusan hasil
yang telah dicapai oleh seseorang setelah
melakukan atau menyelesaikan suatu pekerjaan.
Prestasi belajar ini tampak dalam tingkah laku
7
individu, baik dari segi kognitif, afektif maupun
psikomotorik. Slameto (2003: 45), menyatakan
“prestasi belajar adalah suatu kemajuan yang
merupakan kesimpulan konsep atau nilai yang
dapat diterapkan dalam hidup, situasi atau
pengalaman baru, pergaulan dengan teman,
perilaku di sekolah, di rumah ataupun di dalam
lingkungan tetangga”. Dengan demikian
pengertian prestasi belajar dapat disimpulkan
sebagai hasil yang dicapai siswa dalam proses
belajar di sekolah yang berupa penguasaan
pengetahuan, kecakapan hidup, dan sikap yang
umumnya dinyatakan dalam bentuk angka.
Prestasi belajar semakin terasa penting
karena mempunyai beberapa tujuan, yaitu: 1)
prestasi belajar menunjukkan indikator kualitas
dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai
siswa, 2) prestasi belajar sebagai lambang
pemuasan hasrat ingin tahu. Hal ini didasarkan
asumsi bahwa hal ini sebagai tendensi
keingintahuan dan merupakan kebutuhan umum
pada manusia, 3) prestasi belajar sebagai bahan
informasi dalam inovasi pendidikan. Asumsinya
bahwa prestasi belajar dapat dijadikan
pendorong bagi siswa untuk meningkatkan ilmu
dan berperan sebagai umpan balik dalam
meningkatkan mutu pendidikan, 4)
prestasi belajar sebagai indikator internal dari
suatu lembaga pendidikan, indikator
internal dalam artian bahwa prestasi belajar
dapat dijadikan indikator tingkat
produktivitas suatu lembaga pendidikan, dan 5)
prestasi belajar dapat dijadikan
indikator terhadap daya serap atau
kecerdasan siswa. Dalam proses belajar
mengajar, siswa merupakan masalah yang
pertama dan utama, karena siswalah
yang diharapkan dapat menyerap seluruh
materi pelajaran yang diprogramkan
dalam kurikulum.
Berdasarkan uraian di atas maka
permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut: 1) bagaimanakah partisipasi siswa dalam
mempelajari Geografi, ketika diimplementasikan
pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta
pertanyaan?; 2) apakah implementasi
pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta
pertanyaan dapat meningkatkan keterampilan
sosial siswa?; 3) apakah implementasi
pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta
8
pertanyaan dapat meningkatkan prestasi belajar
Geografi?; dan 4) bagaimanakah respon siswa
terhadap pembelajaran kolaborasi dengan
strategi pesta pertanyaan?
METODE
Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Sidayu,
Gresik pada semester gasal tahun pelajaran
2010/2011. Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas X-1 dengan jumlah siswa sebanyak 32 siswa.
jumlah siswa laki-laki sebanyak 9 siswa,
sedangkan siswa perempuan berjumlah 23 siswa.
Dipilihnya kelas X-1 sebagai subjek penelitian
tindakan ini dengan alasan bahwa sebagian siswa
di kelas ini kurang bergairah belajar, motivasi
belajar rendah, aktivitas belajar siswa pasif, dan
rendahnya prestasi belajar kalau dibandingan
dengan kelas-kelas lainnya. Peneliti adalah guru
Geografi yang mendapat tugas tambahan sebagai
kepala SMA Negeri 1 Sidayu.
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan
penelitian tindakan kelas, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri
melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk
memperbaiki kinerjanya sebagai pendidik
sehingga kualitas proses dan hasil belajar siswa
menjadi meningkat (Wardhani, 2007: 15).
Penelitian tindakan kelas merupakan suatu
proses investigasi terkendali yang berdaur ulang
dan reflektif mandiri yang dilakukan oleh guru
bertujuan untuk memperbaiki sistem, cara kerja,
proses, isi, kompetensi, atau situasi
pembelajaran.
Status guru dalam penelitian tindakan kelas
ini adalah sebagai pengamat atau peneliti
sekaligus sebagai pelaksana tindakan. Secara
umum pelaksanaan akan dilakukan selama tiga
siklus yang pada siklusnya diterapkan tindakan
tertentu. Dalam setiap siklus aktivitas penelitian
dilakukan melalui prosedur penelitian yang
berupa: 1) perencanaan tindakan, 2) pelaksanaan
tindakan, 3) pengamatan tindakan, dan 4)
refleksi.
Penelitian tindakan kelas ini menggunakan
teknik pengumpulan data antara lain: 1) metode
observasi yaitu dilakukan untuk memperoleh
data dari siswa yang sedang melakukan
tindakan pembelajaran materi pokok: konsep
Geografi, pendekatan Geografi, prinsip Geografi,
dan aspek Geografi melalui pembelajaran
kolaborasi dengan strategi pesta pertanyaan, 2)
9
metode angket, yaitu digunakan untuk
mengukur respon siswa. Daftar pertanyaan
diberikan kepada siswa untuk mengetahui
gambaran permasalahan yang dihadapi, dan 3)
metode tes, yaitu dilakukan untuk mengetahui
ketuntasan belajar setelah siswa mengikuti
serangkaian kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan pengamatan kondisi awal kelas
X-1 nilai rata-rata ulangan harian di bawah kelas
X lainnya. Dari data-data yang diperoleh yaitu
data prestasi belajar Geografi, partisipasi siswa,
dan keterampilan sosial siswa merupakan data
utama dalam penelitian ini, sedangkan data
respon siswa adalah data pendukung. Data
tersebut dianalisis dengan teknik deskripsi dan
persentase.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Keadaan awal sebelum implementasi
pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta
pertanyaan pada mata pelajaran Geografi yang
membahas materi pokok pengantar Geografi
(konsep. pendekatan, prinsip, dan aspek
Geografi) menggunakan metode pembelajaran
konvensional yaitu ceramah, penugasan dan
tanya jawab. Hasil tes ulangan harian adalah rata-
rata nilai 68,5 ketuntasan secara klasikal 62,5%,
dua belas siswa yang tidak tuntas.
Penelitian tindakan kelas pada siklus I ini
siswa mengkaji materi pokok: konsep Geografi.
Perangkat pembelajaran yang disiapkan meliputi,
desain pembelajaran, bahan ajar Geografi, dan
soal evaluasi. Dalam RPP dirancang dengan
kegiatan pendahuluan yang meliputi menjelaskan
tujuan pembelajaran memberikan motivasi, dan
apersepsi kepada siswa. Kegiatan inti yang
direncanakan antara lain: menjelaskan materi
konsep Geografi, membentuk kelompok, setiap
kelompok menyusun soal, setiap berdiskusi
menjawab pertanyaan, dan setiap kelompok
secara bergilir melakukan presentasi. Sebelum
kegiatan pembelajaran ditutup pada siklus I ini
dilakukan apresiasi terhadap setiap kelompok
yang sudah melakukan presentasi.
Kegiatan yang dilakukan guru pada saat
pembelajaran antara lain menyampaikan
informasi tentang materi konsep Geografi siswa
membentuk kelompok, kegiatan strategi pesta
pertanyaan diarahkan untuk melatih siswa
bekerja sama dalam membuat dan menjawab
pertanyaan dari materi Geografi yang ditentukan.
10
Guru membimbing siswa dalam mempelajari
beragam sumber, membuat soal, berdiskusi,
menjawab soal, dan mengawasi kegiatan siswa.
Guru memberikan penghargaan kepada
kelompok yang memperoleh skor atau nilai
tertinggi. Selanjutnya ditutup dengan
menyimpulkan bersama dan memberi tugas
rumah untuk minggu depan.
Memperhatikan hasil observasi terlihat
adanya kenaikan jumlah siswa yang tuntas hasil
belajarnya. Nilai rata-rata yang dicapai pada
ulangan harian awal sebesar 68,5 sedangkan
pada siklus I mencapai 75,94. Ketuntasan klasikal
pada ulangan harian awal hanya mencapai 62,5%,
pada siklus I ini meningkat menjadi 88%, tetapi
ada tiga siswa belum tuntas. Partisipasi siswa
dalam PBM rata-ratanya mencapai 75%. Dari data
partisipasi siswa tersebut kegiatan yang paling
menonjol yang dilakukan sebagian besar siswa
adalah kegiatan membaca dan mencatat materi
penting mencapai 94% dan kegiatan melakukan
kerja sama kooperatif sebesar 100%.
Keterampilan sosial siswa dalam melaksanakan
strategi pesta petanyaan pada siklus I yaitu
kemampuan siswa untuk bekerja sama sedikit,
mendengarkan dengan aktif banyak, merespon
pendapat teman sedang, mengambil giliran
beride sedang, mempresentasikan hasil kerja
kelompok sedang.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah
dilakukan dapat dievaluasi dan direfleksi dengan
ditemukan hambatan yaitu: 1) sebagian siswa
ada yang terlalu mendominasi dalam kerja
sama, sehingga kesempatan teman untuk ikut
kerja sama masih belum maksimal, 2) penjelasan
guru pada materi pelajaran dianggap cukup
menyita waktu sehingga perlu dikurangi pada
siklus berikutnya, dan 3) ada tiga siswa yang
belum tuntas.
Pada siklus II materi yang dibahas adalah
pendekatan dan prinsip Geografi. Perangkat yang
disiapkan meliputi desain pembelajaran, bahan
ajar Geografi, dan lembar kegiatan siswa.
Berdasarkan refleksi pada siklus I maka perlu ada
dua tindakan, yaitu waktu untuk memberikan
penjelasan kepada siswa perlu dikurangi dan
kesempatan untuk memberikan giliran kepada
siswa lain dalam melakukan kerja sama masih
dapat dimaksimalkan.
11
Tindakan guru pada siklus II ini telah sesuai
dengan yang direncanakan pada desain
pembelajaran sehingga tidak banyak memakan
waktu. Sebelum kegiatan pembelajaran selesai
diadakan apresiasi terhadap setiap kelompok
berhasil melakukan presentasi, dan pemberian
penghargaan kepada kelompok yang
memperoleh nilai terbaik.
Berdasarkan observasi pada siklus II
ditemukan adanya kenaikan jumlah siswa yang
tuntas belajarnya. Pada siklus I ketuntasan belajar
secara klasikal 88 %, siklus II naik menjadi 96,8%
dan nilai rata-rata siklus I sebesar 75,94, siklus II
menjadi 82,66. Siswa yang tidak tuntas pada
siklus II ada dua anak. partisipasi siswa pada
siklus I mencapai 75%, pada siklus II meningkat
menjadi 79%. Keterampilan siswa dalam
melaksanakan strategi pesta pertanyaan meliputi:
kemampuan siswa untuk bekerja sama banyak,
mendengarkan dengan aktif banyak, merespon
pendapat teman sedang, mengambil giliran
mengemukakan pendapat banyak,
mempresentasikan hasil kerja sama banyak.
Refleksi pada siklus II ini ditemukan
permasalahan yaitu: (1) penyediaan buku paket
Geografi bagi siswa diperlukan kerana banyak
siswa yang belum memiliki buku paket, karena itu
siswa yang tidak memiliki buku paket dianjurkan
untuk pinjam di perpustakaan sekolah, dan (2)
masih ada dua siswa yang belum tuntas
belajarnya. Bimbingan pada siswa yang belum
tuntas pada saat proses belajar mengajar
Geografi dimaksimalkan.
Pada siklus III ini materi yang diajarkan adalah
aspelk Geografi. Perangkat pembelajaran yang
disiapkan meliputi desain pembelajaran, bahan
ajar, dan lembar kegiatan siswa. Rencana
pembelajaran dan pelaksanaan pesta pertanyaan,
secara garis besar masih sama dengan siklus I dan
II. Namun berdasarkan refleksi siklus II terdapat
dua siswa yang belum tuntas, pada siklus III ini
siswa tersebut diberikan bimbingan yang lebih
baik secara khusus. Penyediaan buku paket
Geografi dilengkapi dari pinjaman perpustakaan
setiap siswa satu buku.
Hasil observasi pada siklus III menunjukkan
ada peningkatan. Nilai rata-rata pada siklus II
sebesar 82,66, pada siklus III naik menjadi 91,25.
Persentase ketuntasan klasikal naik dari 94%
menjadi 100%. Partisipasi siswa dalam proses
12
belajar mengajar meningkat dari 79% pada siklus
II menjadi 86% pada siklus III. Keterampilan siswa
dalam melaksanakan strategi pesta pertanyaan
mencapai 100%. Data respon siswa terhadap
proses belajar mengajar Geografi rata-rata
mencapai 93,77%. Hasil ulangan harian siswa
pada ulangan harian awal 68,5, sedangkan
ulangan harian akhir mencapai nilai 82,5 dengan
ketuntasan belajar klasikal 100%.
Pada siklus III ini menunjukkan adanya
peningkatan dari berbagai hal, tetapi berdasarkan
refleksi siklus III ini masih ditemukan
permasalahan yaitu: (1) buku referensi siswa dan
guru kurang. Oleh karena itu, pengadaan buku
referensi lain selain buku paket sangat
diperlukan, dan (2) saat presentasi hasil diskusi
kurang tersedianya waktu yang cukup. Untuk
ketercapaian tujuan maka perlu adanya
manajemen waktu atau penembahan waktu agar
kegiatan pembelajaran dapat berlangsung lebih
maksimal.
Implementasi pembelajaran kolabosi dengan
strategi pesta pertanyaan mampu meningkatkan
prestasi belajar siswa. Peningkatan penguasaan
materi pengantar Geografi (konsep, pendekatan,
prinsip, dan aspek Geografi) dapat dilihat dari
hasil kuis dari siklus I, siklus II dan siklus III bahkan
dapat dilihat dari hasil ulangan harian. Hal ini
didukung keunggulan pembelajaran kolaborasi, di
antaranya: 1) prestasi belajar lebih tinggi; 2)
pemahaman lebih mendalam; 3) belajar lebih
menyenangkan; 4) mengembangkan
keterampilan kepemimpinan; 5) mening-katkan
sikap positif; 6) meningkatkan harga diri; 7)
belajar secara inklusif; 8) merasa saling memiliki;
dan 9) mengembangkan keterampilan masa
depan (Isjoni, 2007; Setyosari, 2009:)
Dengan strategi pesta pertanyaan dapat
membuat kemajuan besar para siswa ke arah
pengembangan sikap, nilai, dan berpartisipasi
dalam komunitas mereka dengan cara-cara yang
sesuai dengan tujuan pembelajaran Geografi. Hal
ini dapat tercapai karena tujuan utama
pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta
pertanyaan adalah untuk memperoleh
pengetahuan dari sesama temannya.
Pengetahuan itu tidak lagi diperoleh dari gurunya,
tetapi dari belajar kelompok. Seorang teman
haruslah memberikan kesempatan kepada teman
yang lain untuk mengemukakan pendapatnya
13
dengan cara menghargai pendapat orang lain,
saling mengoreksi kesalahan, dan saling
membetulkan sama lainnya (Lie, 2002: 12).
Dengan strategi pesta pertanyaan dapat
meningkatkan partisipasi siswa dan keterampilan
sosial dalam mempelajari atau mengakaji materi
esensial dan sulit Geografi. Di samping itu,
strategi ini memotivasi atau membuat kemajuan
besar para siswa ke arah pengembangan sikap,
nilai, dan berpartisipasi dalam komunitas mereka
dengan cara-cara yang sesuai dengan tujuan
pembelajaran Geografi. Hal ini dapat tercapai
karena tujuan utama pembelajaran kolaborasi
dengan strategi pesta pertanyaan adalah untuk
memperoleh pengetahuan dari sesama
temannya. Pengetahuan itu tidak lagi diperoleh
dari gurunya, tetapi dari belajar kelompok.
Seorang teman haruslah memberikan
kesempatan kepada teman yang lain untuk
mengemukakan pendapatnya dengan cara
menghargai pendapat orang lain, saling
mengoreksi kesalahan, dan saling membetulkan
sama lainnya. Dengan demikian, prestasi belajar
siswa pada mata pelajaran Geografi dapat
meningkat secara signifikan.
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini menghasilkan empat butir
pernyataan sebagai simpulan yaitu: 1) partisipasi
siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran
Geografi meningkat, karena sudah poses belajar
mengajar menjadi lebih berpusat kepada siswa,
2) keterampilan sosial siswa mengalami
peningkatan, 3) prestasi belajar Geografi
mengalami peningkatan secara signifikan, dan 4)
respon positif siswa terhadap pembelajaran
kolaborasi dengan strategi pesta pertanyaan.
Berkaitan dengan simpulan di atas, guru
Geografi dan sekolah disarankan: 1) menerapkan
pembelajaran kolaborasi dengan strategi pesta
pertanyaan, dan 2) menyediakan sarana
pendukung kegiatan pembelajaran yang berupa
sumber belajar, misalnya buku paket Geografi
dan media pembelajaran berupa peta dan atlas
bahkan menggunakan laboratorium Geografi.
DAFTAR RUJUKAN
Adisasmita, R. 2008. Membangun Desa Partisipatif. Yogayakarta: Graha Ilmu.Abimanyu. 1995. Upaya Meningkatkan Partisipasi Siswa dalam Proses Pembelajaran. Jakarta: Alumni.Budimansyah, D. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung: Genesindo.
14
Isjoni. 2007. Cooperative Learning. Bandung: Alfabeta.Khafid, S. 2008. Peningkatan Pemahaman Konsep Geografi melalui Implementasi Ayat-Ayat Pembelajaran Kontekstual Siswa SMAN 1 Sidayu. Ilmu Pendidikan Jurnal Kajian Teori dan Praktik Kependidikan, 35 (1): 17-28.Khafid, S. 2010. Pembelajaran Kooperatif Model Investigasi Kelompok, Gaya Kognitif, dan Hasil Belajar Geografi. Jurnal Ilmu Pendidikan, 17 (1):73-78.Lie, A. 2002. Cooperative Learning. Jakarta: Gramedia.Setyosari, P. 2009. Pembelajaran Kolaborasi: Lndasan untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial, Rasa Saling Menghargai, dan Tanggung Jawab. Pidato jabatan guru besar bidang ilmu teknologi pembelajaran pada Fakultas Ilmu Pendidikan disampaikan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang.Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempenmgaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.Sulistyo, S. 2007. Peningkatan Prestasi Belajar IPS melalui Pendekatan Kooperatif dengan Strategi Pesta Pertanyaan di SMPN 1 Kraton Kabupaten Pasuruan. Pasuruan: SMP Negeri 1 Pasuruan Press.Sukidin dkk. 2002. Penelitian Tindakan Kelas.
Surabaya: Insan Cendekia.Supriatna, N. 2005 Mengajarkan Keterampilan
Sosial yang Diperlukan Siswa di Era Global. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, I (19):12-20.
Syah, M. 2001. Psikologi Belajar. Jakarta: Bumi Aksara.Wardhani, IGAK. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka.
Supervisi Pengajaran sebagai Pembinaan
Profesionalisme Guru
Oleh
Rochmanu Fauzi
NIP.195901101981032015 .
15
Supervisi Pengajaran sebagai Pembinaan
Profesionalisme Guru
Rochmanu Fauzi
Abstrak: supervisi pengajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari yaitu mengajar. Ada tiga pendekatan dalam supervisi pengajaran, yaitu (1) pendekatan langsung, (2) pendekatan tidak langsung, dan (3) kolaboratif. Teknik-teknik supervisi pengajaran yang paling bermanfaat adalah kunjungan kelas, pembicaraan individual, Diskusi kelompok, demonstrasi mengajar, dan sebagainya. Para guru lebih menghargai supervisor yang hangat dan menghargai guru. Dalam praktiknya supervisi pengajaran masih berorientasi pada aspek administratif saja. Berdasarkan uraian tersebut disarankan para supervisor perlu ada penyegaran secara rutin, dalam pelaksanaan supervisi pengajaran para supervisor sebaiknya menggunakan pendekatan supervisi klinis, perlu ada pertemuan seusai supervisi yang telah dilakukan oleh Kepala Sekolah atau Pengawas Sekolah, sebagai upaya untuk tindak lanjut setelah pelaksanaan supervisi dilaksanakan.
Kata kunci: mutu pendidikan, supervisi
pengajaran.
16
Cara hidup suatu bangsa sangal erat
kaitannya dengan tingkat pendidikannya,
Pendidikan bukan hanya sekedar
melestaiikan kebudayaan dan meneruskan
dari generasi ke generasi. Akan tetapi juga
diharapkan akan dapat mengubah dan
mengembangkan pengetahuan.
Sementara itu, salah satu fenomena di
bidang pendidikan yang banyak disoroti oleh
para pemerhati, cendekiawan maupun
masyarakat pada umumnya adalah masalah
mutu pendidikan. Membahas masalah mutu
pendidikan, sebenarnya membahas masalah
yang sangat kompleks. Oleh karena masalah
mutu pendidikan selalu kait-mengkait dengan
indikator-indikator lainnya. Salah satu
instrumen yang dianggap cukup efektif untuk
meningkatkan mutu pendidikan adalah
dengan supervisi pengajaran oleh Kepala
Sekolah maupun Pengawas.
Untuk itu perlu adanya pergeseran
dari paradigma lama menuju ke paradigma
yang baru. Paradigma baru manajemen
pendidikan tinggi, terdiri dari akreditasi,
akuntabilitas, evaluasi, otonomi dan mutu.
Kelima paradigma baru pendidikan tersebut
saling terkait satu sama lain dan seyogyanya
ini dijadikan acuan dalam proses
peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena
itu, mutu sebagai salah satu paradigma yang
harus ditata secara terus menerus dan
berkelanjutan. Menurut Mastuhu (2003)
dalam pengelolaan suatu unit pendidikan,
mutu dapat dilihat dari "masukan", "proses",
dan "hasil".
Permasalahan pendidikan yang
diidentifikasi (Depdikbud, 1983), sampai saat
ini, formulasinya tetap sama, yaitu masalah
(1) masalah kuantitatif, (2) masalah
kualitatif, (3) masalah relevansi, (4) masalah
efisiensi, (5) masalah efektivitas, dan (6)
masalah khusus.
Uraian secara singkat masalah-
masalah tersebut adalah sebagai berikut ini.
1. Masalah Kuantitatif
Masalah kuantitatif adalah masalah
yang timbul sebagai akibat hubungan antara
pertumbuhan sistem pendidikan pada satu
pihak dan pertumbuhan penduduk Indonesia
pada pihak lain. Untuk mengatasi masalah ini
perlu adanya suatu sistem pendidikan
nasional yang memungkinkan setiap warga
ncgara Indonesia memperoleh pendidikan
yang layak sebagai bekal dasar kehidupannya
sebagai warga negara. Dalam rangka
pemerataan pendidikan ini, perlu
dilaksanakan kewajiban belajar dengan
segala konsekuensinya dalam bidang
pembiayaan, ketenagaan, dan peralatan.
2. Masalah kualitatif
Masalah kualitatif adalah masalah
bagaimana peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia gara bangsa Indonesia
dapat meinpertahankan eksistcnsinya. Dalam
17
masalah ini tercakup pula masalah
ketinggalan bangsa Indonesia dan
perkembangan modern. Ditinjau dari latar
bclakang ini, masalah kualitas pendidikan
merupakan masalah yang memprihatinkan
dalam rangka kelangsungan hidup bangsa
dan negara. Dalam sistem pendidikan ini
sendiri, masalah kualitas menyangkut
banyak hal, antara lain kualitas calon
anak didik, guru dan tenaga kependidikan
lainnya, prasarana, dan sarana. Penanganan
aspek kualitatif ini berhubungan erat dengan
penanganan aspek kuantitatif sehingga perlu
sekali adanya keseimbangan yang dinamis
dalam proses pengembangan pendidikan
nasional, sehingga peningkatan kualitas tidak
sampai menghambat peningkatan kuantitas
dan sebaliknya.
3. Masalah relevansi
Masalah relevansi adalah masalah
yang timbul dari hubungan antara sistem
pendidikan dan pembangunan nasional serta
antara kepentingan perorangan, keluarga,
dan masyarakat, baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang. Hal ini
meminta adanya keterpaduan di dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
nasional agar pendidikan merupakan wahana
penunjang yang efektif bagi proses
pembangunan dan ketahanan nasional.
Masalah ini dengan sendirinya mempunyai
kaitan pula dengan masalah pokok di dalam
pembangunan nasional, seperti masalah tata
nilai, industri. pembangunan pertanian,
perencanaan tenaga kerja, dan pertumbuhan
wilayah.
4. Masalah efisiensi
Masalah efisiensi pada hakikatnya
adalah masalah pengelolaan pendidikan
nasional. Adanya keterbalasan dana dan daya
manusia sungguh-sungguh memerlukan
adanya sistem pengelolaan efisien dan
terpadu. Keterpaduan pengelolaan tidak
hanya tercermin di dalam hubungan antara
negeri dan swasta, antara pendidikan
sekolah dan pendidikan luar sekolah, antara
departemen yang satu dan departemen yang
lain, di dalam lingkungan jajaran Departemen
Pendidikan Nasional sendiri, tetapi juga di
antara semua unsur dan unit lersebut.
5. Masalah efektif itas
Masalah efektifitas adalah masalah
yang menyangkut keampuhan pelaksanaan
pendidikan nasional. Dalam hubungan
dengan permasalahan keseimbangan yang
dinamis antara kualitas dan kuantitas, di
samping keterbalasan sumber dana dan
tenaga, efektivitas proses pendidikan amat
penting. Hal ini berkaitan dengan kurikulum,
termasuk aspek metodologi dan evaluasi,
serta masalah guru, pengawas, dan masukan
instrumental lainnya.
6. Masalah khusus
Di samping masalah-masalah umum
yang telah dibicarakan di atas, perlu
18
dibicarakan pula beberapa masalah khusus
sebagai berikut. Guru sebagai pelaksana
pendidikan faktor kunci di dalam
pelaksanaan sistem pendidikan nasional.
Masalah guru menyangkut soal pengadaan di
lembaga-lembaga pendidikan guru,
pembinaan sistem karir dan prestasi kerja,
pengangkatan, pemerataan dan penyebaran
menurut wilayah dan bidang studi,
pembinaan karir dan prestasi, status, dan
kesejahteraan. Masalah yang kompleks ini
menyangkut banyak lembaga dan unit serta
koordinasi dan kerjasama antara lembaga
dan unit tersebut.
Esensi dari permasalahan-
permasalahan pendidikan pada hakekatnya
adalah bermuara pada satu istilah yaitu
kualitas pendidikan atau mutu pendidikan.
Mastuhu (2003) mengemukakan bahwa kata
kunci untuk menggambarkan Sistem
Pendidikan Nasional yang bagaimana yang
diperlukan dalam abad-abad mendatang
ialah pendidikan yang bermutu. Selanjutnya,
Mastuhu mengatakan bahwa mutu (quality)
merupakan suatu istilah yang dinamis yang
turus bergerak; jika bergerak maju dikatakan
mutunya bertambah baik, sebaliknya jika
bergerak mundur dikatakan mutunya
merosot. Mutu dapat berarti superiority
atau excellence yaitu melebihi standar
umum yang berlaku. Sedangkan sesuatu
dikatakan bermutu jika terdapat kecocokan
antara syarat-syarat yang dimiliki oleh benda
yang dikehendaki dengan maksud dari
orang yang menghendakinya (Idrus, dkk.,
2002).
Dalam pengelolaan suatu unit
pendidikan, mutu dapat dilihat dari: "ma-
sukan", "proses", dan "hasil". 'Masukan"
meliputi: siswa. Tenaga pengajar,
administrator, dana, sarana, prasarana,
kurikulum, buku-buku perpustakaan,
laboratorium, dan alat-alat pembelajaran,
baik perangkat keras maupun perangkat
lunak. "Proses" meliputi, pengelolaan
lembaga, pengelolaan program studi,
pengelolaan program studi. pengelolaan
kegiatan belajar-mengajar, interaksi
akademik antara civitas akademika, seminar
dialog, penelitian, wisata ilmiah, evaluasi dan
akreditasi. Sedangkan "hasil": meliputi
lulusan. penerbitan-penerbitan, temuan-
temuan ilmiah, dan hasil-hasil kinerja
lainnya.
Ketiga unsur di atas (input, proses,
dan output) terus berproses atau berubah-
ubah. Oleh karena itu, pengelola unit
pendidikan atau sekolah perlu menetapkan
patokan atau benchmark, yaitu standar
target yang harus dicapai dalam suatu
periode waktu tertentu dan terus berusaha
melampuinya. Seperti dikemukakan oleh
Watson (dalam Taroeratjeka, 2000) bahwa
suatu upaya pencarian mutu secara terus-
menerus demi mendapatkan cara kerja yang
19
lebih baik agar mampu tampil bersaing
melampui standar umum.
Menurut Supriadi (2000) kita tidak
perlu dipusingkan oleh pertanyaan-
pertanyaan mengenai validitas
metodologisnya atau berusaha mencari
excuse apabila ternyata ada hasil-hasil studi
yang tidak sesuai dengan harapan kita. Sikap
optimis perlu untuk dikembangkan bagi
pendidikan di Indonesia, walaupun hasil
surveinya tidak menyenangkan sesuai dengan
yang diharapkan. langkah selanjutnya
membuat visi ke depan untuk meningkatkan
kualitas manajemen pendidikan.
Suatu saran yang dikemukakan oleh
Supriadi dalam menghadapi permasalahan
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia
adalah memiliki visi global dan kehendak
untuk bersaing secara internasional, maka
insan pendidikan mulai para pengajar dan
peneliti di lembaga pendidikan tenaga
kependidikan di perguruan tinggi dan
pengambil keputusan dituntut untuk
membuka wacana terhadap studi-studi
internasional.
KONSEP DASAK SUPERVISI PENGAJARAIN DI
SEKOLAH
Di antara masalah-masalah pendidikan
yang sedang mendapat pcrhatian pemerintuh
salah salunya adalah puningkatan mutu
pendidikan (Benly, IW2). Dalam PROPENAS
(2002) dijelaskan bahwa sampai dengan awal
abad ke-21 pembangunan pendidikan masih
menghadapi krisis ekonomi berbagai
bidang kcliidupan. Walaupun sejak tahun
2000, ekonomi Indonesia telah mulai tumbuh
positif (4,8 persen), akibat krisis dalam
kehidupan sosial, politik dan kepercayaan
dikawatirkan masih akan memberi yang
kurang menguntungkan terutama bagi upaya
peningkatan kualitas SDM. Program
peningkatan mutu pendidikan di sekolah
dasar dapat dicapai manakala proses belajar
mengajar dapat berlangsung dengan baik.
berdayaguna dan berhasil guna.
Dalam mengkaji risalah mutu
pendidikan, tidak dapat lepas dari
penyelenggaraan sistem pendidikan. Dari
berbagai faktor penyebab rendahnya mutu
pendidikan, ditinjau dari aspek manajemen
pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam
tiga faktor, yaitu: (a) faktor instrumental
sistem pendidikan, (b) faktor sistem
manajemen pendidikan, termasuk di
dalamnya sistem pembinaan profesional
guru, dan (c) faktor substansi manajemen
pendidikan (Mantja, 1998). Untuk dapat
melaksanakan pembinaan terhadap guru agar
lebih profesional, maka instrumen yang
sangat relevan dan tepat adalah dengan
melalui supervisi pengajaran. Oleh karena
supervisi pengajaran pada hakikatnya adalah
untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan guru dalam melaksanakan
tugas pokoknya sehari-hari yaitu mengajar
para peserta didik di kelas.
20
Dari berbagai kajian mengenai
rumusan definisi mengenai supervisi, Mantja
(1998) menuliskan formulasi tentang
supervisi pengajaran adalah semua usaha
yang sifatnya membantu guru atau melayani
guru agar ia dapat memperbaiki,
mengembangkan, dan bahkan meningkatkan
pengajarannya, serta dapat pula
menyediakan kondisi belajar murid yang
efek'if dan efisien demi pertumbuhan
jabatannya untuk mencapai tujuan
pendidikan dan meningkatkan mutu
pendidikan. Definisi yang dirumuskan oleh
Mantja ini sudah mewakili konsep supervisi
pengajaran.
Apabila dikaji dari tujuannya supervisi
pada hakikatnya adalah untuk membantu
guru untuk meningkatkan kualitas proses
belajar mengajarnya. Harsosandjojo (1999)
mengemukakan tujuan supervisi yaitu
membantu guru dalam hal (1) membimbing
pengalaman belajar sisvva, (2) menggunakan
sumber-sumber pengalaman belajar, (3)
menggunakan metode-metode yang baru dan
alat-alal pelajaran modern, (4) memenuhi
kebutuhan belajar para siswa, (5) menilai
proses pembelajaran dan hasil belajar siswa,
(6) mcmbina reaksi mental atau moral kerja
guru-guru dalam rangka pertumbuhan
pribadi dan jabatan mereka, (7) melihat
dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan, dan
(8) mengguaakan waktu dan tenaga mereka
dalam pembinaan sekolah. Tujuan supervisi
ini pada akhirnya adalah ditujukan untuk
meningkatkan kualitas para siswa. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Sergiovanni
(1983) bahwa tujuan supervisi ialah (1)
tujuan akhir adalah untuk mencapai
pertumbuhan dan perkembangan para siswa
(yang bersifat total). Dengan demikian
sekaligus akan dapat memperbaiki
masyarakat, (2) tujuan kedua ialah
membantu kepala sekolah dalam
menyesuaikan program pendidikan dari
waktu ke waktu secara kontinyu (dalam
rangka menghadapi tantangan perubahan
zaman), (3) tujuan dekat ialah bekerjasama
mengembangkan proses belajar mengajar
yang tepat. Tujuan tersebut ditambah
dengan (4) tujuan perantara ialah membina
guru-guru agar dapat mendidik para siswa
dengan baik, atau menegakkan disiplin kerja
secara manusiawi.
Dalam kaitannya dengan tugas-tugas
supervisor, secara lebih khusus Nurtain
(1989) membagi 10 (sepuluh) bidang tugas
supervisor yang dirinci sebagai berikut ini.
Tugas I , pengembangan kurikulum. Tugas 2,
pengorganisasian pengajaran. Tujuan 3,
pengadaan staf. Tugas 4, penyediaan
fasilitas. Tugas 5, pcnycdiaan bahan-bahan.
Tugas 6, penyusunan penataran pendidikan.
Tugas 7, pemberian orientasi anggota-
anggota staf. Tugas 8, berkaitan dengan
pelayanan murid khusus. Tugas 9,
pengembangan hubungan masyarakat. Dan
21
yang terakhir tugas 10, penilaian
pengajaran.
Mengkaji tugas-tugas supervisi
pengajaran tersebut di atas, dapat ditelaah
dari tujuan supervisi pengajaran itu sendiri.
Sesuai dengan fungsi pokok supervisi, yaitu
memperbaiki dan mengembangkan situasi
belajar mengajar dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan nasional, maka tujuan
supervisi pendidikan mencakup tujuan dasar,
tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan dasar supervisi pendidikan,
adalah membantu tercapainya tujuan
pendidikan nasional dan tujuan pendidikan
institusional. Tujuan pendidikan nasional
secara rinci dan jelas dirumuskan dalam
GBHN. Sedangkan tujuan institusional dapat
dilihat di dalam kurikulum yang memuat
landasan, program dan pengembangan.
Tujuan umum supervisi pendidikan,
adalah membantu memperbaiki dan
mengembangkan administrasi pendidikan.
Administrasi yang dimaksud adalah meliputi
baik administrasi sebagai substansi maupun
administrasi sebagai proses.
Administrasi sebagai substansi
meliputi hal-hal sebagai berikut: (1)
administrasi kesiswaan, (2) administrasi
ketenagaan, (3) administrasi kurikulum, (4)
administrasi keuangan, (5) administrasi
sarana/prasarana, dan (6) administrasi
hubungan masyarakat. Sedangkan
administrasi sebagai proses meliputi hal-hal
terkait dengan unsur-unsur manajemen,
antara lain (1) kegiatan perencanaan
(planning), (2) kegiatan pengorganisasian
(organizing), (3) kegiatan pengarahan
(actuating) yang meliputi kegiatan
pengarahan (directing) dan kegiatan
pengkoordinasian (coordinating), dan (4)
kegiatan pengawasan (controlling).
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
dapat dikemukakan bahwa untuk
meningkatkan kualitas belajar mengajar,
guru adalah faktor sentral yang perlu
mendapatkan perhatian secara optimal.
Media untuk meningkatkan profesionalisme
guru adalah melalui supervisi pengajaran.
Supervisi pengajaran pada hakikatnya adalah
ditujukan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran yang dilakukan oleh guru di
kelas, sehingga tujuan akhirnya adalah
kualitas hash belajar siswa dapat
ditingkatkan secara optimal.
SUPERVISI PENGAJARAN
Dalam pemakaiannya secara umum
supervisi diberi arti sama dengan director,
manager. Dalam bahasa umum ini ada
kecenderungan untuk membatasi pemakaian
istilah supervisor kepada orang-orang yang
berada dalam kedudukan yang lebih bawah
dalam hicrarkhi manajemen.
Dalam sistem sekolah, khususnya
dalam sistem sckolah yang ialah berkembang,
situasinya agak lain. Dalam Good (1976)
22
supervisi didefinisikan sebagai segala usaha
dari para pejabat sekolah yang diangkat yang
diarahkan kepada penyediaan kepemimpinan
bagi para guru dan tenaga kependidikan lain
dalam perbaikan pengajaran, melihat
stimulasi pertumbuhan professional dan
perkembangan dari para guru, seleksi dan
revisi tujuan-tujuan peudidikan, bahan
pengajaran, dan metoda-metoda mengajar,
dan evaluasi pengajaran.
Wiles (1982) menjelaskan bahwa supervisi
sebagai bantuan dalam pengembangan
situasi belajar-mengajar yang lebih baik; ia
adalah suatu kegiatan pelajaran yang
disediakan untuk membantu para guru
menjalankan pekerjaan mereka dengan lebih
baik. Peranan supervisor adalah mendukung,
membantu, dan membagi, bukan menyuruh.
Wiles (1982) selanjutnya mengatakan bahwa
supervisi yang baik hendaknya
mengembangkan kepemimpinan di dalam
kelompok, membangun program latihan
dalam jabatan untuk meningkatkan
keterampilan guru, dan membantu guru
meningkatkan kemampuannya dalam menilai
hasil pekerjaannya.
SUPERVISI PENGAJARAN SEBAGAI
PEMBINAAN PROFESIONAL GURU
Memperhatikan penting dan
peranannya pendidikan dasar dan menengah
yang demikian besar, maka pendidikan dasar
dan menengah harus dipersiapkan dengan
sebaik-baiknya. Oleh karena itu,
pembinaan terhadap para guru di sekolah
dasar merupakan suatu kebutuhan yang tidak
dapat ditunda-tunda lagi. Pembinaan
terhadap guru sekolah dasar, terutama
diarahkan pada pembinaan proses belajar
mengajar. Pembinaan proses belajar
mengajar adalah usaha memberi bantuan
pada guru untuk memperluas pengetahuan,
meningkatkan keterampilan mengajar dan
menumbuhkan sikap profesional, schingga
guru menjadi lebih ahli dalam mengelola
KBM untuk membclajarkan anak didik dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran dan
tujuan pendidikan di SD (Depdikbud,
1999/2000).
Supervisi pendidikan di sekolah dasar
lebih diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan guru sekolah dasar dalam
rangka peningkatan kualitas proses belajar
mengajar. Supervisi ini dapat dilakukan oleh
siapa saja, baik Kepala Sekolah maupun
Pengawas Sekolah yang bertugas sebagai
supervisor melalui pemberian bantuan yang
bercorak pelayanan dan bimbingan
profesional, sehingga guru dapat
melaksanakan tugasnya dalam proses belajar
mengajar dengan lebih baik dari prestasi
sebelumnya.
Supervisi pendidikan di sekolah pada
hakekatnya adalah dalam rangka
pembinaan terhadap para guru. Adapun
sasaran pembinaannya, antara lain (1)
23
merencanakan kegiatan belajar mengajar
sesuai dengan strategi belajar aktif, (2)
mengelola kegiatan belajar mengajar
yang menantang dan menarik, (3) menilai
kemajuan anak belajar, (4) memberikan
umpan balik yang bermakna, (5)
memanfaatkan l ingkungan sebagai
sumber dan media pengajaran, (6)
membimbing dan melayani siswa yang
mengalami kesulitan belajar, terutama
bagi anak lamban dan anak pandai, (7)
mengelola kelas sehingga tercipta
l ingkungan belajar yang menyenangkan,
dan (8) menyusun dan mengelola catatan
kemajuan anak (record keeping)
(Depdikbud, 1999/2000).
Menurut Mantja (1990) supervisi
atau pembinaan profesional adalah
bantuan atau layanan yang diberikan
kepada guru, agar ia belajar bagaimana
mengembangkan kemampuannya untuk
meningkatkan proses belajar-mengajar di
kelas. Supervisor atau pembina, yaitu
Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, atau
semua pejabat yang terl ibat dalam
layanan supervisi , adalah pihak yang
selama ini dipandang berwewenang, dan
karena itu pula dianggap paling
bertanggung jawab dalam kegiatan
supervisi.
Ki las balik kaji historis supervisi
pengajaran, pada awalnya isti lah yang
dimunculkan adalah supervisi pendidikan
(Kurikulum 1975). Kemudian. pada
Kurikulum 1984 dan 1994 digunakan
isti lah pembinaan profesional guiu atau
pembinaan guru untuk jenjang sekolah
dasar. Walaupun demikian isti lah
supervisi pendidikan dalam Kurikulum
SMU 1994 masih tetap digunakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kegiatan supervisi pendidikan
maupun pembinaan profesional
merupakan nama layanan yang digunakan
secara bergantian dalam praktik
pendidikan pada sekolah-sekolah di
Indonesia.
Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa supervisi
(pembinaan profesional guru )
dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan guru dalam
melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari
yaitu mengelola proses belajar-mengajar
dengan segala aspek pendukungnya
sehingga berjalan dengan baik khususnya
dalam kegiatan belajar mengajar,
sehingga tujuan pendidikan dasar dapat
tercapai secara optimal.
Pada hakikatnya kegiatan
pembinaan menyangkut dua belah pihak
yaitu pihak yang dilayani atau pihak yang
dibina dan pihak yang melayani atau yang
membina (Ekosusilo, 2003). Baik yang
dibina maupun pembina harus sama-sama
memiliki kemampuan yang berkembang
24
secara serasi sesuai dengan kedudukan
dan peran masing-masing. Oleh sebab itu,
sasaran pembinaan profesional ini adalah
kedua belah pihak yaitu guru sebagai
pihak yang dibina dan kepala sekolah
atau pengawas sekolah sebagai pihak
yang membina.
BEBERAPA PENDEKATAN DALAM SUPERVISI
PENDIDIKAN
Secara garis besar ada tiga
pendekatan dalam supervisi pendidikan,
yaitu (1) pendekatan langsung (directive
approach), (2) pendekatan tidak langsung
(non directive approach), dan (3)
pendekatan kolaboratif (collaborative
approach). Pendekatan langsung adalah
sebuah pendekatan supervisi , di mana
dalam upaya peningkatan kemampuan
guru peran kepala sekolah dasar,
pengawas TK/SD, dan pembina lainnya
lebih besar dari pada peran guru yang
bersangkutan. Pendekatan tidak langsung
adalah sebuah pendekatan supervisi , di
mana dalam upaya peningkatan
kemampuan guru peran kepala sekolah,
pengawas TK/SD, dan Pembina lainnya
lebih kecil daripada peran guru yang
bersangkutan. Pendekatan kolaboratif
adalah sebuah pendekatan supervisi , di
mana dalam upaya peningkatan
kemampuan guru peran kepala sekolah,
pengawas TK/SD, dan pembina lainnya
sama besarnya dengan peran guru yang
bersangkutan.
Penggunaan pendekatan tersebut
disesuaikan dengan dua karakteristik
guru yang akan diberi supervisi , yaitu
tingkat abstraksi guru (level of teacher
abstraction) dan tingkat komitmen guru
(level of teacher commitment). Daya
abstraksi guru bisa tinggi, sedang, dan
bisa juga rendah. Demikian pula dengan
komitmen guru bisa tinggi, sedang, dan
rendah. Pendekatan supervisi yang
digunakan harus disesuaikan dengan
tinggi-rendahnya daya abstraksi dan
komitmen guru yang disupervisi .
1. Guru yang memiliki daya abstraksi dan
komitmm yang rendah sebaiknya
disupervisi dengan pendekatan
langsung.
2. Guru yang memiliki daya abstraksi
yang rendah, tetapi komitmennya
tinggi, sebaiknya disupervisi dengan
pendekatan kolaboiatif.
3. Guru yang memiliki daya abstraksi
yang tinggi tetapi komitmennya
rendah, sebaiknya disupervisi dengan
pendekatan kolaboratif.
4. Guru yang memiliki daya abstraksi dan
komitmen yang tinggi sebaiknya
disupervisi dengan pendekatan tidak
langsung (Bafadal, 2003).
TEKNIK-TEKNIK SUPERVISI
25
Bagaimana Kepala Sekolah dalam
mensupervisi para guru ?. Dalam konteks
ini, maka Kepala Sekolah perlu mengenal
dan mempraktekkan teknik-teknik
supervisi pendidikan yang lazim
digunakan dalam pelaksanaan supervisi
pengajaran. Ada tersedia sejumlah teknik
supervisi yang dipandang bermanlaat
untuk merangsang dan mengarahkan
perhatian guru-guru terhadap kurikulum
dan pengajaran, untuk mengidentif ikasi
masalah-masalah yang bertalian dengan
mengajar dan belajar, dan untuk
menganalisis kondisi-kondisi yang
mengeli l ingi mengajar dan belajar. Yang
berikut ini pada umumnya dipandang
teknik yang paling bermanfaat bagi
supervisi.
1. Kunjungan kolas.
Kunjungan kelas (sering disebut
kunjungan supervisi) yang dilakukan
kepala sekolah (atau pengawas/penil ik)
adalah teknik paling efektif untuk
mengamati guru bekerja, alat, metode,
dan teknik mengajar tertentu yang
dipakainya, dan untuk mem-pelajari
situasi belajar secara keseluruhan dengan
memperhatikan semua faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan murid.
Dengan menggunakan hasil analisis
observasinya, ia bersama dengan guru
dapat menyusun suatu program yang baik
untuk memperbaiki kondisi yang
melingkari mengajar-belajar d i kelas
tertentu. Sudan tentu, kunjungan kelas,
agar efektif, hendaknya dipersiapkan
dengan telit i dan dilaksanakan dengan
sangat berhati-hati dengan disertai budi
bahasa yang baik pula.
Pada umumnya kunjungan kelas hendaknya
diikuti oleh pembicaraan individual antara
kepada sekolah dengan guru.
2. Pembicaraan individual
Pembicaraan individual merupakan
teknik supervisi yang sangat penting karena
kesempatan yang diciptakannya bagi kepala
sekolah (pengawas/penilik) untuk bekerja
secara individual dengan guru sehubungan
dengan masalah-masalah profesional
pribadinya. Masalah-masalah yang mungkin
dipecahkan melalui pembicaraan individual
bisa macam-macam: masalah-masalah yang
bertalian dengan mengajar, dengan
kebutuhan yang dirasakan oleh guru, dengan
pilihan dan pemakaian alat pengajaran,
teknik dan prosedur, atau bahkan masalah-
masalah yang oleh kepala sekolah dipandang
perlu untuk dimintakan pendapat guru.
Apapun yang dijadikan pokok pembicaraan,
ia mewakili teknik yang sangat baik untuk
membantu guru mengembangkan arah diri
dan tumbuh dalam pekerjaan.
3. Diskusi Kclompok
26
Dengan diskusi kelompok (atau sering
pula disebut pertemuan kelompok) dimaksud
sualu kegiatan dimana sekelompok orang
berkumpul dalam situasi bcrlatap muka dan
melalui interaksi lisan bertukar informasi
atau berusaha untuk mencapai suatu
keputusan tentang masalah-masalah
bersama. Kegiatan diskusi ini dapal
mengambil beberapa bentuk pertemuan staf
pengajar, seperti: diskusi panel, seminar,
lokakarya, konperensi, kelompok studi,
pekerjaan komisi, dan kegiatan lain yang
bertujuan untuk bersama-sama
membicarakan dan menilai masalah-masalah
tentang pendidikan dan pengajaran.
Pertemuan-pertemuan serupa ini dipadang
suatu kegiatan yang begitu penting dalam
program supervisi modern, sehingga guru
sebenarnya hidup dalam suasana pelbagai
jenis pertemuan kelompok.
4. Demonstrasi mengajar
Demonstrasi mengajar merupakan
teknik yang berharga pula. Rencana
demonstrasi yang telah disusun dengan teliti
dan dicetak lebih dulu, dengan menekankan
pada hal-hal yang dianggap penting atau
pada nilai teknik mengajar
tertentu, akan sangat membantu.
Pembicaraan sehabis demonstrasi bisa
menjelaskan banyak aspek. Suatu analisis
observasi adalah perlu.
5. Kunjungan kelas antar guru
Sejumlah studi telah mengungkapkan
bahwa kunjungan kelas yang dilakukan guru-
guru di antara mereka sendiri adalah efektif
dan disukai. Kunjungan ini biasanya
direncanakan atas permintaan guru-guru.
Teknik ini akan lebih efektif lagi jika tiap
observasi diikuti oleh suatu analisis yang
berhati-hati.
6. Pengembangan kurikulum
Perencanaan penyesuaian dan
pengembangan kurikulum menyediakan
kesempatan yang sangat baik bagi partisipasi
guru. Pentingnya relevansi kurikulum dengan
kebutuhan murid dan masyarakat bagi
pemeliharaan dan peningkatan kualitas
pendidikan di negara kita diakui. Tetapi
dalam prakteknya, sekolah-sekolah secara
individual tidak banyak melakukan usaha
untuk menyesuaikan dan mengembangkan
kurikulum standar itu dengan kebutuhan
murid dan masyarakat terus berubah.
Terserah kepada kepala sekolah untuk
menciptakan perhatian dan keinginan bagi
pekerjaan penting dan terus-menerus itu.
Penyesuaian dan pengembangan kurikulum
dilakukan di sekolah dengan
mengembangkan materi muatan lokal.
Muatan lokal ini sesuai dengan potensi
lingkungan sekitar sekolah.
6. Buletin supervisi
Buletin supervisi merupakan alat
komunikasi yang efektif. Ia bisa berisi
27
pengumuman-pengumuman, ikhtisar tentang
penelitian-penelitian, analisis presentasi
dalam pertemuan-pertemuan organisasi
professional, dan perkembangan dalam
berbagai bidang studi.
7. Perpustakaan Profesional
Perpustakaan professional sekolah
merupakan sumber informasi yang sangat
membantu kepada peitumbuhan professional
personil pengajar di sekolah. Perpustakaan
professional menyediakan tidak saja suatu
sumber informasi, tapi ia juga suatu
rangsangan bagi kepuasan pribadi. Buku-
buku tentang pandangan professional,
bacaan suplementer yang lebih baru, dan
majalah professional yang banyak jumlah-nya
itu hendaknya tersedia bagi semua guru. Juga
sumbangan-sumbangan dari guru dapat
menjadi bagian dari "gudang" informasi ini.
8. Lokakarya
Lokakarya menyediakan kesempatan
untuk Kerjasama, untuk memperteukan ide-
ide, untuk mendiskusikan masalah-masalah
bersama alau khuais, dan untuk
pertumbuhan pribadi dan professional dalam
berbagai bidang studi. Ada banyak jenis
lokakarya itu. Dalam lokakarya seni,
barangkali sebagian bcsar waktu akan diisi
dengan partisipasi sungguh dengan
mempelajari keterampilan dan teknik-teknik
kegiatan scni. Dalam lokakarya matematika
lebih banyak tckanan mungkin diberikan
kepada menganalisis dan memilih
pengalaman belajar yang sesuai, menemukan
bahan teknologi pengajaran dan metode-
metode presentasi ini, dan menilai program-
program baru.
9. Survey sekolah-masyarakat
Suatu studi yang komprehensif
tentang masyarakat akan membantu guru
dan kepala sekolah untuk memahami dengan
lebih jelas program sekolah yang akan
memenuhi kebutuhan dan kepentingan
murid.
Sebenarnya ada teknik-teknik lain,
tetapi yang diterapkan di atas dengan singkat
adalah teknik-teknik yang dalam sejumlah
penelitian dipandang telah menunjukkan
manfaatnya bagi supervisi. Untuk
pembahasan yang lebih terurai pembaca
disarankan untuk membaca sumber-sumber
lain.
Pada hakekatnya tidak ada satu teknik
tunggal yang bisa memenuhi segala ke-
butuhan; dan bahwa sualu teknik tidaklah
baik alau buruk pada umumnya, melainkan
dalam kondisi tertentu. Masalah yang utama
adalah menetapkan kebutuhan. Beberapa
teknik hubungan antara sekolah dengan
masyarakat yang diperkenalkan oleh
Sahertian (1989) antara lain adalah seperti:
(1) laporan kepada orang tua murid, (2)
majalah sekolah, (3) surat kabar sekolah, (4)
pameran sekolah, (5) open house, (6)
28
kunjungan ke sekolah, (7) kunjungan ke
rumah murid, (8) melalui penjelasan yang
diberikan oleh personil sekolah, (9)
gambaran keadaan sekolah melalui
murid-murid, (10) melalui radio dan
televisi , (11) laporan tahunan, (12)
organisasi perkumpulan alumni sekolah,
(13) melalui kegiatan ekstra kurikulum,
dan (14) pendekatan secara akrab.
RESPON DAN SIKAP GURU TERHADAP
SUPERVISI PENGAJARAN
Kajian tentang sikap guru terhadap
supervisi menjadi perhatian Neagley &
Evans (dalam Mantja, 1998) dengan
merujuk sejumlah hasil penelit ian
beberapa pakar supervisi pengajaran.
Temuan-temuan yang dilaporkan, antara
lain (1) supervisi yang efektif harus
didasarkan atas prinsip-prinsip yang
sesuai dengan perubahan sosial dan
dinamika kelompok, (2) para guru
menghendaki supervisi dari kepala
sekolah, sebagaimana yang seharusnya
dikerjakan oleh tenaga personel yang
berjabatan supervisor, (3) kepala sekolah
tidak melakukan supervisi dengan baik,
(4) semua guru membutuhkan supervisi
dan mengharapkan untuk disupervisi , (5)
para guru lebih menghargai dan menilai
secara positif peri laku supervisi yang
"hangat", sal ing mempercayai,
bersahabat, dan menghargai guru, (6)
supervisi dianggap bermanfaat bi la
direncanakan dengan baik, supervisor
menunjukkan sifat membantu dan
menyediakan model-model pengajaran
yang efektif, (7) supervisor memberikan
peran serta yang cukup tinggi kepada
guru untuk pengambilan keputusan dalam
wawancara supervisi , (8) supervisor
mengutamakan pengembangan
keterampilan hubungan insani, seperti
halnya dengan keterampilan teknis dan
(9) supervisor seharusnya menciptakan
ikl im organisasional yang terbuka, yang
memungkinkan pemantapan hubungan
yang saling menunjang (supportive).
Dalam praktiknya supervisi
pengajaran yang dilaksanakan selama ini
masih cenderung berorientasi pada
administratif saja. Walaupun sudah
dirumuskan dalam kegiatan supervisi
bahwa aspek yang disupervisi adalah
administratif dan edukatif, namun pada
kenyataannya masih cenderung lebih
dominan aspek administratif. Fenomena
ini dikaji secara khusus dalam Konferensi
Pendidikan di Indonesia: Mengatasi Krisis
Menuju Pembaruan, yang diikuti para
pakar yang kompclen. Salal i satu
rekomendasi dari konferensi ini, khusu'snya
yang berkaitan langsung dengan masalah
supervisi dikemukakan sebagai berikut ini.
Rekomendasi 23
29
Fungsi-fungsi pengawasan pada semua
jenjang pendidikan dioptimalkan seba-
gai sarana untuk memacu mutu
pendidikan. Pengawasan dimaksud
dengan mengutamakan aspek-aspek
akademik daripada administratif
sebagaimana berlaku selama ini (Jalal
& Supriadi, 2001).
Keefektifan penerapan orientasi dan
pendekptan supervisi di atas, tidak hanya
tergangung pada supervisor saja, melainkan
juga sangat dipengaruhi oleh persepsi,
respon, dan sikap guru terhadap orientasi
dan supervisi yang dilakukan oleh supervisor.
Penelitian mengenai sikap guru terhadap
supervisi dikemukakan oleh Ekosusilo (2003)
bahwa guru tidak terlalu positif terhadap
supervisi yang dilakukan supervisor.
Selanjutnya dikemukakan oleh Ekosusilo
dalam simpulan penelitiannya bahwa
supervisi yang dilakukan supervisor dianggap
biasa-biasa saja dan monoton itu-itu saja,
bahkan nampak diacuhkan. Namun guru
tidak menampakkan ketidak-setujuannya di
hadapan supervisor, karena dilandasi rasa
hormat sekaligus tidak ingin menimbulkan
konflik. Penelitian yang dilakukan Mantja
(1989) juga menyimpulkan bahwa respon dan
sikap guru terhadap supervisi ditentukan
oleh kemanfaatan, data pengamatan yang
obyektif, kesempatan menanggapi balikan,
perhatian supervisor terhadap gagasan guru.
Supervisi yang teratur dan hubungan yang
diciptakan dapal mengurangi ketegangan
emosional guru. Guru lebih menyukai
pendekatan supervisi kolaboratif atau non
direktif.
KENDALA-KENDALA PELAKSANAAN SUPERVISI
PENGAJARAN
Dalam pelaksanaannya, supervisi
pengajaran di sekolah banyak menghadapi
kendala. Mantja (1990) dalam temuan
disertasinya meuyalakan bahwa kendala-
kendala yang kurang menunjang keefektifan
supervisi, antara lain: sikap personil sekolah
yang kurang positif terhadap supervisi
pengelola teknis edukatif; kurangnya
keterampilan supervisi kepala sekolah;
pengendalian emosional supervisor dalam
menerima respons guru; kepala sekolah yang
karena kurangnya tenaga guru haras
memegang kelas atau bidang studi tertentu,
sehingga supervisi menjadi kurang efektif;
dan adanya guru yang tingkat pendidikannya
lebih tinggi dari kepala sekolahnya. Temuan
Mantja ini, nampaknya mempunyai kadar
transferabilitas yang cukup tinggi, karena
kendala-kendala di jenjang pendidikan dasar
berkisar pada permasalahan-permasalahan
temuan tersebut di atas. Isvanto (1999)
mengemukakan bahwa permasalahan
pendidikan, antara lain adalah manajemen
sekolah yang tidak efektif, dan kemampuan
manajemen kepala sekolah pada umumnya
rendah terutama di sekolah negeri dan
30
pembinaan karier dan kesejahteraan guru
yang tidak konsisten.
Mengkaji perihal kendala-kendala
dalam pelaksanaan supervisi, temuan
Ekosusilo (2003) menarik untuk dikemukakan
di sink Temuan penelitian Ekosusilo tentang
pelaksanaan supervisi antara lain: (1)
supervisor tidak mengkomunikasikan
rencana/program supervisinya kepada para
guru sebagai subyek supervisi, (2) fokus
supervisi hanya terarah pada aspek
administrasi, kurang menyentuh pada
pengembangan kemampuan guru dalam
mengelola proses belajar mengajar, (3)
supervisor tidak melaksanakan kunjungan
kelas secara serius, (4) supervisor
mendominasi pembicaraan dan berjalan satu
arah, (5) tidak ada penilaian umpan balik,
dan (6) supervisor tidak pernah meminta
pada guru untuk meminta pada guru untuk
memberikan komentar maupun penilaian
terhadap supervisi yang telah dilaksanakan.
Kendala-kendala inilah yang mengakibatkan
supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh
Pengawas Sekolah di sekolah dasar tidak
dapat optimal, sehingga tujuan pokok
pelaksanaan supervisi untuk meningkatkan
kualitas kegiatan belajar mengajar tidak
dapat tercapai. Temuan Ekosusilo (2003) ini
memberikan gambaran bahwa pembinaan
profesional guru masih perlu ditingkatkan
lebih lanjut.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan uraian tentang
peningkatan mutu pendidikan melalui
supervisi pengajaran di atas, maka dapatlah
disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1)
masalah-masalah dalam bidang pendidikan
adalah (a) masalah kuantitatif, (b) masalah
kualitatif, (e) masalah relevansi, (d) masalah
efisiensi, (e) masalah efektivitas, dan (f)
masalah khusus; (2) supervisi pengajaran
pada hakikatnya adalah untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan guru dalam
melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari
yaitu mengajar para peserta didik di kelas;
(3) supervisor atau pembina, yaitu Pengawas
Sekolah, Kepala Sekolah, atau semua pejabat
yang terlibat dalam layanan supervisi, adalah
pihak yang dianggap paling bertanggung
jawab dalam kegiatan supervisi; (4) ada tiga
pendekatan dalam supervisi pengajaran,
yaitu (a) pendekatan langsung, (b)
pendekatan tidak langsung, dan (c)
pendekatan kolaboratif; (5) teknik-teknik
supervisi pendidikan yang paling bermanfaat
bagi supervisi antara lain adalah: (a)
kunjungan kelas, (b) pembicaraan individual,
(c) diskusi kelompok, (d) demonstrasi
mengajar, (e) kunjungan kelas antar guru, (1)
pengembangan kurikulum, (g) bulletin
supervisi, (h) perpustakaan profcsioml, (i)
lokakarya, (j) survey sekolah-masyarakat; (6)
para guru lebih menghargai dan menilai
31
secara positif perilaku supervisi yang
"hangat", saling mempercayai, bersahabat,
dan menghargai guru; dan (7) dalam
praktiknya supervisi pengajaran yang
dilaksanakan selama ini masih cenderung
berorientasi pada administratif saja.
Saran-saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka
dapatlah dikemukakan saran-saran sebagai
berikut: (1) untuk meningkatkan kemampuan
supervisor, maka perlu secara rutin ada
program penyegaran bagi para supervisor,
sehingga dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tujuau supervisi dan sesuai
dengan keinginan para guru; (2) arah
supervisi perlu difokuskan/ditekankan
kepada aspek akademik tanpa mengabaikan
faktor administratif sebagai pelengkap
pelaksanaan supervisi tcrhadap para guru di
sekolah; (3) dalam pelaksanaan supervisi di
sekolah, para supervisor perlu membekali
format dokumen yang dapat merekam dan
mencatat kegiatan guru dalam melaksanakan
tugas-tugasnya di sekolah; (4) dalam
melaksanakan supervisi pengajaran
disarankan untuk menggunakan prosedur
supervisi klinis, dan (5) perlu ada pertemuan
sesuai supervisi untuk mendiskusikan hasil
supervisi yang telah dilakukan oleh Kepala
Sekolah atau Pengawas Sekolah, sebagai
upaya tindak lanjut setelah pelaksanaan
supervisi dilaksanakan.
32
DAFTAR RUJUKAN
Bafadal, I. 2003. Seri Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar, Dalam Kerangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Benty, D.D.N. 1992. Kemampuan Kepi' la Sekolah Dasar Membantu Guru dalam Mengembangkan Pengajaran Menurut Persepsi Guru-Guru SD Negeri di Kecamatan Lowokwaru Kodya Malnng. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasa Sarjana, Institut Keguruan dan Ilmu pendidikan Malang.
Depdikbud. 1976. Kurikulum Sekolah Dasar 1975, Garis-Garis Besar Program Pengajaran Buku II I D Pedoman Administrasi dan Supervisi . Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdikbud. 1994/1995. Pedoman Kerja Pelaksanaan Supervisi . Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SD, TK dan SLB, Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menenga,'., Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdikbud. 1995. Pedoman Pembinaan Profesional Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Ekosusilo, M. 2003. I iasi l Penelit ian Kualitatif, Supervisi Pengajaran Dalam Latar Budaya Jawa, Studi Kasus Pembinaan Guru SD di Kralon Surakarta. Sukoharjo: Penerbit Uvitet Bantara Press.
Indrafachrudi, S.(Koordinator). 1989. Administrasi Pendidikan. Malang: Penerbit IKIP Malang.
Idrus, N., dkk. 2000. Quality Assurance, Handbook. 3-Edition. Jakarta: Engineering Education Development Project, Du Malcomlm Jones (ed)., Director General of Higher Education.
Iswanto, B. 1999. Olonomi Daerah: Implikasi bagi Pengelolaan Pendidikan. Makalah disajikan dalam seminar nasional Formula Manajemen Pendidikan dalam Kerangka Otonomi Daerah di Bidang Pendidikan pada tanggal 23 Aeustus 1999 di Universitas Neseri Malane.
Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi Penclidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa.
Mantja, W. 1998. Manajemen Pembinaan Profesional Guru Berwawasan Pengembangan Sumber Daya Manusia: Suatu Kajian Ko.tseptual-historik dan Empirik. Pidalo Pengukuhan Guru Besar [KIP Malang. Making: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (The New Mind Set of National Education in the 21 s' Century). Yogyakarta: Safiria Insania Press bekerjasama dengan Magister
33
Studi Islam Universitas Islam Indonesia (MSI UII).
Sahertian, P.A. & Mataheru, F. 1982. Prinsip & Tehnik Supervisi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Supriadi, D. 2004. Satuan Biaya Pendidikan, Dasar dan Menengah: Rujukan Bagi Penetapan Kebijakan Pendidikan Pada Era Otonomi dan Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Lemadja Rosdakarya.
TELAAH KRITIS PENDIDIKAN UNTUK SEMUA(EDUCATION FOR ALL)
DALAM KONTEKS MANAJEMEN PENDIDIKAN
Soesetijo *)
ata-kata kunci: telaah kritis, pendidikan untuk semua, manajemen pendidikan.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat
mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui
oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan
bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan,
dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerin-tah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
Abstrak: pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pengajaran. Indonesia juga merupakan salah satu Negara yang menan-datangani “Education for All”. Oleh karena itu, Indonesia mencanang-kan Wajib Belajar 6 tahun pada tahun 1984 dan Wajib Belajar 9 tahun pada tahun 1994. Hakikat dari “Pendidikan untuk Semua dan Semua un-tuk Pendidikan” adalah mengupayakan agar setiap warga Negara dapat memenuhi haknya. Untuk mewujudkan program PUS (Pendidikan Untuk Semua) tersebut, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warganegara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk barpartisipasi aktif dalam menyukseskan pendidikan untuk semua. Agar program PUS
34
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-
undang. Untuk itu, seluruh komponen
*) Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.
bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa
yang merupakan salah satu tujuan negara
Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu Negara
yang menandatangi deklarasi “Education for All”.
Berkaitan dengan deklarasi ini dan sekaligus juga
sebagai wujud keseriusan Indonesia
mensukseskannya, maka Indonesia telah
mencanangkan Wajib Belajar 6 Tahun pada tahun
1984 dan 10 tahun berikutnya, yaitu pada tahun
1994, Indonesia mencanangkan Wajib Belajar 9
Tahun. Melalui Wajib Belajar 6 Tahun diharapkan
anak-anak usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat
menikmati layanan pendidikan Sekolah Dasar
(SD). Artinya, anak-anak usia SD dapat
menyelesaikan pendidikan SD. Demikian juga
halnya melalui pencanangan Wajib Belajar 9
Tahun diharapkan anak-anak usia SMP (13-15
tahun) dapat menyelesaikan pendidikan SMP.
Dalam lingkungan masyarakat Indonesia
yang pluralistis di mana setiap anak yang
mengalami berbagai jenis kebudayaan
diharapkan belajar beradaptasi terhadap
kebudayaan utama Indonesia (mainstream
culture), upaya pendekatan belajar bagi setiap
anak harus lebih banyak dikaji secara mendalam
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan
zaman dan sesuai dengan kebutuhan
perkembangan anak (Developmentally
Appropriate Practice, DAP). Sejak kemerdekaan
bangsa ini maka telah disebutkan dalam UUD
1945 pasal 31 ayat 1 bahwa setiap anak Indonesia
berhak untuk belajar. UUD ini dilandasi oleh
filsafat yang serasi dengan hak asasi manusia
yang menjaga kedaulatan manusia yang memiliki
hak untuk belajar.
Berbagai program yang diarahkan untuk
mendukung keberhasilan pelaksanaan Wajib
Belajar 6 Tahun dan 9 Tahun telah dilaksanakan
secara terencana dan bertahap. Berkaitan dengan
hal ini, satu hal yang menjadi keprihatinan di
berbagai Negara adalah mengenai anak-anak
yang karena satu dan lain hal terpaksa tidak
dapat menyelesaikan pendidikan SD, sehingga
mereka ini menjadi warga Negara yang buta
aksara. Demikian juga dengan anak-anak yang
terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan
SMP, maka mereka akan cenderung masuk ke
dalam kelompok tenaga kerja kasar.
Konsep Pendidikan untuk Semua (PUS)
Hakekat dari “Pendidikan untuk Semua
dan Semua untuk Pendidikan” adalah
mengupayakan agar setiap warga Negara dapat
memenuhi haknya, yaitu setidak-tidaknya untuk
mendapatkan layanan pendidikan dasar (Wajib
Belajar 9 Tahun). Untuk dapat mewujudkan
“Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk
Pendidikan”, semua komponen bangsa, baik
35
pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial
kemasyarakatan, maupun warga Negara secara
individual, secara bersama-sama atau sendiri-
sendiri, berkomitmen untuk berpartisipasi aktif
dalam menyukseskan “Pendidikan untuk Semua
dan Semua untuk Pendidikan” sesuai dengan
potensi dan kapasitas masing-masing.
Sebagai unit organisasi terkecil, orang tua
dari setiap keluarga tergugah dan ter-panggil
untuk setidak-tidaknya membimbing dan
membelajarkan anak-anaknya, baik melalui
pendidikan formal persekolahan, lembaga
pendidikan non-formal, maupun melalui lembaga
pendidikan informal. Mengirimkan anak untuk
belajar melalui lembaga pendidikan sekolah
sudah jelas yaitu mulai dari Taman Kanak-Kanak
(TK) sampai dengan pendidikan tinggi.
Apabila karena satu dan lain hal, seorang
anak tidak memungkinkan untuk mengikuti
pendidikan persekolahan, maka orang tua dapat
mengirimkan anaknya untuk mengikuti kegiatan
pembelajaran pada pendidikan non-formal,
seperti Paket A setara SD, Paket B setara SMP,
dan Paket C setara SMA. Seandainya seorang
anak tidak memungkinkan juga mengikuti
pendidikan melalui pendidikan formal dan non-
formal, maka masih ada model pendidikan
alternatif yang dapat ditempuh, yaitu “Sekolah di
Rumah” (Home Schooling). Dalam kaitan ini,
orang tua dapat mengidentifikasi lembaga-
lembaga sosial kemasyarakatan atau unit-unit
pendidikan prakarsa anggota masyarakat yang
menyelenggarakan Sekolah di Rumah” dan
kemudian mengirimkan anaknya untuk
mengikuti pendidikan di lembaga atau unit
pendidikan tersebut. Atau, orang tua sendiri
dengan latar belakang pendidikan dan
pengetahuan yang dimiliki, dapat membimbing
dan membelajarkan anak-anaknya sehingga pada
akhirnya sang anak dapat mengikuti ujian
persamaan (Upers), baik pada satuan pendidikan
SD, SMP atau SMA.
Pendidikan untuk Semua (PUS)
Pada tanggal 5-9 Maret 1990 di Jomtien,
Thailand , 115 negara dam 150 organi-sasi saling
bertemu dan mengadakan Konferensi Dunia
membahas Education for All (EFA) atau
Pendidikan Untuk Semua (PUS). Dalam rangka
mewujudkan tujuan terse-but, perlu koalisi yang
luas dari pemerintah nasional, masyarakat sipil
kelompok, dan lembaga pembangunan seperti
UNESCO dan Bank Dunia. Mereka berkomitmen
untuk mencapai enam tujuan pendidikan yaitu :
1. Memperluas dan meningkatkan
perawatan anak usia dini yang
komprehensif dan pendidikan, terutama
bagi yang paling rentan dan anak-anak
yang kurang beruntung.
2. Memastikan bahwa pada 2015 semua
anak, khususnya anak perempuan, yang
dalam keadaan sulit, dan mereka yang
termasuk etnik minoritas, memiliki akses
lengkap dan bebas ke wajib pendidikan
dasar yang berkualitas baik.
36
3. Memastikan bahwa kebutuhan belajar
semua pemuda dan dewasa dipenuhi me-
lalui akses adil untuk pembelajaran yang
tepat dan program keterampilan hidup.
4. Mencapai 50% peningkatan dalam
keaksaraan orang dewasa pada tahun
2015, khususnya bagi perempuan, dan
akses ke pendidikan dasar dan pendidikan
ber-kelanjutan bagi semua orang dewasa
secara adil.
5. Menghilangkan perbedaan gender pada
pendidikan dasar dan menengah pada
tahun 2005, dan mencapai kesetaraan
gender dalam pendidikan dengan 2015,
dengan fokus pada perempuan bahwa
mereka dipastikan mendapat akses penuh
dan sama ke dalam pendidikan dasar
dengan kualitas yang baik.
6. Meningkatkan semua aspek kualitas
pendidikan dan menjamin semua,
sehingga diakui dan diukur hasil
pembelajaran yang dicapai oleh semua,
khususnya dalam keaksaraan, berhitung
dan kecakapan hidup yang esensial.
Setelah satu dekade, karena lambatnya
kemajuan dan banyaknya Negara yang jauh dari
keharusan untuk mencapai tujuan tersebut,
masyarakat internasonal menegas-kan kembali
komitmennya terhadap Pendidikan Untuk Semua
di Dakar, Senegal, pada 26-28 April 2000 dan
sekali lagi pada bulan September tahun itu. Pada
pertemuan terakhir, 189 negara dan mitra
mereka mengadopsi dua dari delapan tujuan
Pendidikan Untuk Semua yang dikenal dengan
nama Millenium Development Goals (MDG) yaitu
MDG 2 mengenai pendidikan dasar dan universal
serta MDG 3 mengenai kesetaraan jender dalam
pendidikan pada tahun 2015.
Indonesia, sebagai anggota Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) turut menyepa-kati
komitmen dunia untuk menyelenggarakan
program Education for All (EFA) atau Pendidikan
untuk Semua (PUS). Komitmen dunia itu telah
dikumandangkan pada kon-ferensi dunia di
Jomtien, Thailand, pada tahun 1990. Namun baru
dideklarasikan seba-gai sebuah gerakan dunia
pada pertemuan di Dakar, Senegal, pada 26-28
April 2000. The Dakar Framework for Action
berisikan enam tujuan utama: 1) memperluas
pendi-dikan untuk anak usia dini; 2) menuntaskan
wajib belajar untuk semu (2015); 3)
mengembangkan proses pembelajaran/keahlian
untuk orang muda dan dewasa; 4) me-ningkatnya
50% orang dewasa yang melek huruf (2015)
khususnya perempuan; 5) me-ningkatkan mutu
pendidikan; dan (6) menghapuskan kesenjangan
gender.
Target pencapaian EFA pada 2015 itu
kemudian disepakati untuk dipercepat. Komitmen
mempercepat target EFA digaungkan E-9
Ministerial Review Meeting on Educationfor All
atau para menteri pendidikan dari Sembilan
Negara berpenduduk terbesar dunia, pada
pertemuan di Denpasar, Bali, 12 Maret 2008.
Anggota E-9 adalah Negara dengan jumlah
penduduk sekitar 60% populasi dunia. Selain
37
Indonesia, anggota E-9 adalah Bangladesh, Brazil,
Cina, Mesir, India, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan.
Indonesia merasa berkepentingan
menandatangani konvensi tersebut untuk
memperkuat komitmen bersama sebagai bangsa
dalam memenuhi hak-hak setiap anak
memperoleh pendidikan. Upaya mencapai target
EFA merupakan bagian dari upaya pembangunan
pendidikan nasional secara keseluruhan. Sudah
banyak yang dapat dica-pai dalam pembangunan
pendidikan sejak kemerdekaan. Tapi juga besar
pekerjaan ru-mah dan tantagan era sekarang
dalam rangka menghasilkan sumber daya
manusia yang unggul untuk pembangunan.
Kaitannya dengan Kerangka Aksi Dakar
Pendidikan untuk Semua, seluruh war-ga yang
menandatangani deklarasi termasuk Indonesia,
berupaya memegang komitmen memperluas dan
memperbaiki pendidikan. Indonesia telah
menyusun Rencana Aksi Nasional Pendidikan
Untuk Semua (RAN-PUS), yang dijabarkan ke
dalam Rancangan Aksi Daerah Pendidikan Untuk
Semua (RAD-PUS) pada semua provinsi dan
sebagian besar kabupaten/kota.
Sebagian dari komitmen menjalankan
Pendidikan untuk Semua, pemerintah
mencanangkan penuntasan program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Wajar Dikdas 9
Tahun mencakup jenjang pendidikan
SD/MI/pendidikan setara dan SMP/MTs/
pendidikan setara. Program ini secara resmi
dicanangkan Presiden Soeharto pada tanggal 2
Mei 1994. Saat itu, Presiden Soeharto
menargetkan program tersebut tuntas pada
tahun 2004, dengan indikator utama berupa
angka partisipasi kasar (APK) SMP/
MTs/pendidikan setara minimal 95%. Pada tahun
2004, Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI
sebesar 94,12% dan Angka Partisipasi Kasar (APK)
SMP/MTs 81,22%. Han-taman krisis ekonomi
yang merangsek sejak akhir tahun 1997 itu,
membuat target dire-visi menjadi akhir tahun
2008. Keputusan menjadwal ulang itu dilakukan
pada tahun 2000, saat Abdurrahman Wahib
menjadi Presiden RI.
Landasan Pendidikan Untuk Semua di Indonesia
Landasan yuridis pelaksanaan pendidikan
untuk semua atau education for all di Indonesia
didasari oleh beberapa hal, diantaranya adalah:
1. UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat 1 :
“setiap warga Negara berhak mendapat
pendidikan.”
2. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) :
a) Kewajiban bagi orangtua untuk
memberikan pendidikan dasar bagi
anaknya (pasal 7 ayat 2)
b) Kewajiban bagi masyarakat memberikan
dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan (pasal 9)
c) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung
jawab bersama pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1).
Kebijakan Pendidikan di Indonesia
38
Bangsa yang maju adalah bangsa yang
memperlihatkan pendidikan dalam
pembangunannya. Karena pendidikan
merupakan proses
Proses pendidikan merupakan upaya
sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya.
Sebab, jika manusia berhenti melakukan
pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan
terjadi pada sistem peradaban dan budaya
(Suyanto, 2006) manusia. Dengan ilustrasi ini,
maka baik pemerintah maupun masyarakat
berupaya untuk melakukan pendidikan dengan
standar kualitas yang diinginkan untuk
memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan
yang dibangun harus disesuaikan dengan
tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat
menghasilkan outcome yang relevan dengan
tuntutan zaman (Suyanto, 2006).
Indonesia, telah memiliki sebuah sistem
pendidikan dan telah dikokohkan dengan UU
No. 20 tahun 2003. Pembangunan pendidikan di
Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan
empat strategi dasar, yakni; pertama,
pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga,
peningkatan kualiutas pendidikan, dan keempat,
efesiensi pendidikan. Secara umum strategi itu
dapat dibagi menjadi dua dimensi yakni
peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
Pembangunan peningkatan mutu diharapkan
dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan
produktivitas pendidikan. Sedangkan kebijkan
pemerataan pendidikan diharapkan dapat
memberikan kesempatan yang sama dalam
memperoleh pendidikan bagi semua usia
sekolah (Nana Fatah Natsir, dalam Hujair AH.
Sanaky, 2003). Dari sini, pendidikan dipandang
sebagai katalisator yang dapat menunjang
faktor-faktor lain. Artinya, pendidikan sebagai
upaya pengembangan sumberdaya manusia
(SDM) menjadi semakin penting dalam
pembangunan suatu bangsa.
Untuk menjamin kesempatan memperoleh
pendidikan yang merata disemua kelompok
strata dan wilayah tanah air sesuai dengan
kebutuhan dan tingkat perkembangannya perlu
strategi dan kebijakan pendidikan, yaitu : (a)
menyelenggarakan pendidikan yang relevan dan
bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Indonesia dalam menghadapi tantangan global,
(b) menyelenggarakan pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan (accountasle) kepada
masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana
serta pengguna hasil pendidikan, (c)
menyelenggarakan proses pendidikan yang
demokratis secara profesional sehingga tidak
mengorbankan mutu pendidikan, (d)
meningkatkan efisiensi internal dan eksternal
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan,
(e) memberi peluang yang luas dan meningkatkan
kemampuan masyarakat, sehingga terjadi
diversifikasi program pendidikan sesuai dengan
sifat multikultural bangsa Indonesia, (f) secara
bertahap mengurangi peran pemerintah menuju
ke peran fasilitator dalam implementasi sistem
pendidikan, (g) Merampingkan birokrasi
39
pendidikan sehingga lebih lentur (fleksibel) untuk
melakukan penyesuaian terhadap dinamika
perkembangan masyarakat dalam lingkungan
global (Kelompok Kerja Pengkajian, dalam Hujair
AH. Sanaky, 2003).
Empat strategi dasar kebijakan pendidikan
yang dikemukakan di atas cukup ideal. Tetapi
Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan
Indonesia, menilai bahwa kebijakan pendidikan
kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya
melanjutkan pendidikan yang elite dengan
kurikulum yang elitis yang hanya dapat
ditangkap oleh 30 % anak didik”, sedangkan 70%
lainnya tidak bisa mengikuti (Kompas, 4
September 2004). Dengan demikian, tuntutan
peningkatan kualitas pendidikan, relevansi
pendidikan, efesiensi pendidikan, dan
pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan, belum terjawab dalam kebijakan
pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit
mewujudkan pendidikan yang egalitarian dan
SDM yang semakin merata di berbagai daerah.
Proses menuju perubahan sistem
pendidikan nasional banyak menuai kendala
serius. Apalagi ketika membicarakan konteks
pendidikan nasional sebagai bagian dari
pergumulan ideologi dan politik penguasa.
Problem-problem yang dihadapi seringkali
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan (policies)
yang sangat strategis. Maka, dalam konteks
kebijakan pendidikan nasional, menurut
Suyanto, banyak pakar dan praktisi pendidikan
mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki
komitmen yang kuat untuk membenahi sistem
pendidikan nasional”.(Suyanto,2006). Artinya,
kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang
menggambarkan rumusan-rumusan
permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai
dalam jangka waktu tertentu. Hal ini, “terutama
berkaitan dengan anggaran pendidikan nasional
yang semestinya sebesar minimal 20%, daimbil
dari APBN dan APBD (pasal 31 ayat 4 UUD
Amandemen keempat). Tetapi, sampai sekarang
kebijakan strategi belum dapat diwujudkan
sepenuhnya, pendidikan nasional masih
menyisihkan kegetiran-kegetiran bagi rakyat
kecil yang tidak mampu mengecap pendidikan di
sekolah” (Suyanto, 2006).
Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada
perubahan fundamental dalam sistem
pendidikan nasional. Perubahan sistem
pendidikan tersebut mengikuti perubahan
sistem pemerintah yang sentralistik menuju
desentralistik atau yang lebih dikenal dengan
otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi
nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan
kita (Suyanto, 2006). Sistem pendidikan kita pun
menyesuaikan dengan model otonomi.
Kebijakan otonomi di bidang pendidikan
(otonomi pendidikan) kemudian banyak
membawa harapan akan perbaikan sistem
pendidikan kita. Kebijakan tersebut masih
sangat baru, maka sudah barang tertentu
banyak kendala yang masih belum terselesaikan.
Otonomi yang didasarkan pada UU No. 22
tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan
40
dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi
sangat erat kaitanya dengan desentralisasi.
Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal
dapat tumbuh dalam suasana bebas,
demokratis, rasional dan sudah barang tentu
dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”.
Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi
dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional,
yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah
dirumuskan misi pendidikan nasional kita, yaitu
mewujudkan sistem dan iklim pendidikan
nasional yang demokratis dan bermutu, guna
memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif,
berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat,
berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan
serta menguasai iptek dalam rangka
mengembangkan kualitas manusia Indonesia.
(Soedjiarto,1999).
Untuk mewujudkan misi tersebut mesti
diterapkan arah kebijakan sebagai berikut,
yaitu : (1) perluasan dan pemerataan
pendidikan, (2) meningkatkan kemampuan
akademik dan profesionalitas serta
kesejahteraan tenaga kependidikan, (3)
melakukan pembaharuan dalam sistem
pendidikan nasional termasuk dalam bidang
kurikulum, (4) memberdayakan lembaga
pendidikan formal dan PLS secara luas, (5) dalam
realisasi pembaharuan pendidikan nasional
mesti berdasarkan prinsip desentralisasi,
otonomi keilmuan, dan manajemen, (6)
meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang
dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif
dan efisien terutama dalam pengembangan
iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan
semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu
reaktif dalam seluruh komponen bangsa.
(Soedjiarto, 1999).
Beberapa kalangan pakar dan praktisi
pendidikan, mencermati kebijakan otonomi
pendidikan sering dipahami sebagai indikasi
kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi
dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi
pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto, semakin
dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum
Pendidikan (BHP) yang oleh beberapa pengamat
dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem
yang mengarah pada “liberalisasi pendidikan”
(Suyanto, 2006).
Persoalan sekarang, apakah sistem
pendidikan yang ada saat ini telah efektif untuk
mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
modern, memiliki kemampuan daya saing yang
tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya
tentu belum. Menurut Suyanto, berbicara
kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya
belum sepenuhnya siap benar menghadapi
tantangan persaingan (Suyanto, 2006).
Sementara, disatu sisi, bidang pendidikan kita
menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.
Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih
melahirkan mismatch terhadap tuntutan dunia
kerja, baik secara nasional maupun regional.
(Suyanto, 2006).
41
Berbagai problem fundamental yang
dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang
tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita
jalan. Seperti persoalan anggaran pendidikan,
kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan
output pendidikan kita yang masih sangat
rendah kualitasnya. Problem-problem
pendidikan yang bersifat metodik dan strategik
yang membuahkan output yang sangat
memprihatinkan. Output, pendidikan kita
memiliki mental yang selalu tergantung kepada
orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki
mental yang bersifat mandiri, karena memang
tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang
pernah mengenyam pendidikan, malah menjadi
“pengangguran terselubung”. Ini artinya, setiap
tahunnya, pendidikan nasional kita
memproduksi pengangguran terselubung.
Mereka itu, adalah korban dari ketidakberesan
sistem pendidikan kita yang masing sedang
merangka berbenah. Mungkin saja, kita sebagai
insan yang berpendidikan, tentu saja terus atau
banyakan berharap akan datangnya perubahan
“fundamental” terhadap sistem pendidikan
(Suyanto, 2006) di Indonesia.
Posisi Indonesia dalam PUS
Indonesia merupakan salah satu Negara
yang menandatangani deklarasi “Education for
All.” Berkaitan dengan deklarasi ini dan sekaligus
juga sebagai wujud keseriusan Indonesia
mensukseskannya, maka Indonesia telah
mencnangkan Wajib Belajar 9 Tahun pada tahun
1984 dan 10 tahun berikutnya, yaitu pada
tahun 1994, Indonesia mencanangkan Sekolah
Dasar (7-12 tahun) dapat menikmati layanan
pendidikan Sekolah Dasar (SD). Artinya, anak-
anak usia SD dapat menyelesaikan pendidikan SD.
Demikian juga halnya melalui pencanangan Wajib
Belajar 9 Tahun diharapkan anak-anak usia SMP
(13-15 Tahun) dapat menyelesaikan penddikan
SMP.
Jalal dan Supriadi (2001) mengemukakan
meskipun strategi perluasan dan pemerataan
kesempatan pendidikan terfokus kepada program
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun,
jenis dan jenjang pendidikan lainnya yang
tercakup. Indikator-indikator keberhasilannya
adalah: (a) mayoritas penduduk berpendidikan
minimal SMP dan partisipasi pendidikan
meningkat yang ditunjukkan dengan APK-SD 15%,
APK SMP mencapai 80%, APK SLTA mencapai
47%, dan APK PT sebesar 12% dengan perluasan
terkendali untuk bidang-bidang unggulan dan
teknologi, (b) meningkatnya budaya belajar di
kalangan masyarakat yang ditunjukkan antara
lain dengan meningkatnya peserta program
pendidikan berkelanjutan seperti kursus-kursus,
program pendidikan masyarakat, meningkatnya
penduduk melek huruf hingga mencapai 88%
pada tahun 2005; (c) meningkatnya proporsi
penduduk kurang beruntung yang memperoleh
kesempatan pendidikan.
Kebijakan program yang harus dilakukan
adalah:
42
1. Memperluas kesempatan pendidikan dengan
prioritas pada pendidikan dasar;
2. Meningkatkan layanan pendidikan kepada
kelompok yang kurang beruntng, termasuk
kaum perempuan;
3. Mengembangkan layanan pendidikan
alternatif tanpa mengorbankan mutu
program;
4. Menetapkan standar kompetensi minimal
keluaran pendidikan;
5. Melanjutkan program PMTAS secara
terseleksi dan terkendali bagi yang benar-
benar memerlukan;
6. Melanjutkan program beasiswa bagi kalangan
anak-anak miskin;
7. Meningkatkan anggaran pemerintah untuk
pendidikan secara bertahap dan terencana;
dan
8. Meningkatkan partisipasi keluarga dan
masyarakat dalam membiayai pendidikan.
Sebagai wujud komitmen pemerintah
terhadap pentingnya program Pendidikan Untuk
Semua (Education for All/EFA), Kementerian
Pendidikan Nasional menggelar sejumlah
kegiatan melalui Pekan Aksi Global Pendidikan
Untuk Semua 2010. Tema aksi tahun ini adalah
“Pembiayaan Pendidikan Bermutu Hak untuk
Semua”. Aksi ini yang dipusatkan di tiga kota,
yaitu di Jakarta, Bandung, dan Makasar pada 19-
25 April 2010.
Menurut Ela Yulaciawati (2010), aspek
pembiayaan dalam program Pendidikan untuk
Semua cukup problematik. Sejumlah pertanyaan
muncul menyangkut aspek pembiaya-annya,
terutama mengenai standar biaya pendidikan
bermutu untuk semua orang. Berapa biaya untuk
pendidikan anak-anak yang terpinggirkan
(marjinal). Kemudian, apakah pembiayaan itu
akan bermanfaat atau malah mubazir? Untuk
mendidik anak-anak yang marjinal, pemerintah
tidak cukup hanya memikirkan aspek
pendidikannya saja, melainkan juga memikirkan
aspek kebutuhan dasar mereka.
Dikemukakan lebih lanjut oleh Ela (2010)
tidak semua program pendidikan yang diberikan
bagi kelompok marjinal dapat menghasilkan
produk pendidikan seperti yang diharapkan.
Kegiatan lain dari pecan aksiglobal program
Pendidikan untuk Semua adalah workshop
layanan pendidikan bagi para orang lanjut usia.
Masih menurut Ela (2010) orang berusia lanjut
umumnya tidak bisia mandiri, oleh karena itu
perlu ada materi pendidikan kecakapan hidup.
Pendidikan ini bertujuan mempersiapkan orang-
orang menjelang usia lanjut agar bisa hidup
mandiri dan sehat pada saat mereka telah berusia
lanjut. Jika mereka bisa mandiri dan sehat di usia
senja, maka biaya hidup me-reka akan bisa lebih
ditekan. Jadi arahnya untuk efisiensi bagi Negara.
Dalam waktu yang bersamaan juga
diselenggarakan kegiatan workshop layanan
pendidikan bagi anak-anak terpinggirkan, yaitu
keluarga korban eksploitasi seksual anak (ESA),
anak perempuan jalanan, dan anak dari para
pekerja rumah tangga. Seluruh rangkaian acara
tersebut merupakan bagian dari kampanye
43
tahunan dunia yang dise-lenggarakan Kampanye
Global Campaign for Education, sebuah koalisi
internasional organisasi nonpemerintah dan
serikat guru.(http://bataviase.co.id, diakses
tanggal 16 September 2010).
Identifikasi Kendala-kendala Implementasi
Progeram PUS
Dalam implementasi PUS di Indonesia
tidak berjalan mulus, banyak kendala yang
ditemui di lapangan. Dari sisi structural birokrasi
di Kementerian Pendidikan Nasional (2007) masih
dirasa perlu dioptimalkan masalah peningkatan
kinerja, peningkatan kerjasama, koordinasi dan
komunikasi dengan berbagai instansi dan unit
kerja terkait, baik di pusat maupun di daerah.
Disamping itu masalah lainnya adalah
menyesuaikan jadwal sesuai target,
memberdayakan dan mengoptimalkan tenaga
yang tersedia melalui pembentukan tim kerja
sebagai wujud koordinasi fungsional, dan
mengoptimakan sarana dan fasilitas yang ada.
Temuan lainnya, dapat diidentifikasi dari
riset yang dilakukan oleh Choiri (2006) dalam
penelitiannya yang berjudul ‘Akuntabilitas Kinerja
Dinas Pendidikan Kabupaten Malang (Studi Kasus
tentang Akuntabilitas Adminitrasi Pelaksana
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun di Kecamatan Bululawang
Kabupaten Malang). Berdasarkan penelitiannya,
Choiri (2006) memaparkan hasil penelitiannya
sebagai berikut: alasan perlunya dilakukan
akuntabilitas administrasi oleh Dinas Pendidikan
adalah untuk mempertanggungjawabkan suatu
program/kebijakan baik proses maupun hasilnya,
serta untuk memenuhi standar criteria yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah. Namun dalam
pelaksanaan program wajib belajar sembilan
tahun di kabupaten Malang terlihat bahwa
instansi (sekolah-sekolah) tidak melaksanakan
akuntabilitas administrasinya. Untuk mengatasi
permasalahan ini Dinas Pendidikan berupaya
untuk mengembangkan berbagai kebijakan
terkait dengan implementasi Program Wajib
Belajar Sembilan tahun. Namun hal inipun
ternyata tidak membawa perubahan yang
signifikan, sebab dalam pelaksanaannya masih
terdapat berbagai penyimpangan. Adapun faktor
pendukungnya adalah: tersusunnya kurikulum
dengan baik, koordinasi yang baik diantara pihak-
pihak yang terlibat, serta partisipasi masyarakat.
Sedangkan faktor-faktor yang menghambat
diantaranya: kapasitas dan kemampuan tenaga
pelaksana rendah, kemampuan dan motivasi
tenaga pelaksana rendah, dukungan dana
operasional rendah, respon orang tua yang belum
maksimal, sikap moral masyarakat serta
lingkungan sosial yang tidak sehat.
Hasil analisis terhadap Pelaksanaan
Akuntabilitas Administrasi adalah sebagai berikut:
dalam pelaksanaan program wajib belajar
Sembilan tahun di kabupaten Malang terlihat
bahwa instansi (sekolah-sekolah) tidak
melaksanakan akuntabilitas administrasinya. Hal
ini terlihat misalnya tidak ada laporan pemberian
beasiswa diberikan. Sekolah-sekolah tidak merasa
44
perlu memberikan laporan kepada instansi
diatasnya yakni Dinas Pendidikan Kabupaten
Malang. Mereka justru hampir semua membuat
kebijakan sendiri terkait dengan penyaluran dana
beasiswa yang tidak sesuai dengan pedoman
yang diberikan oleh Dinas Pendidiikan. Dilihat
dari perspektif empat jenis Akuntabilitas, belum
satupun jenis akuntabilitas yang dapat dipenuhi
sesuai standar oleh Dinas Pendidikan Kabupaten
Malang, sehingga hal ini perlu mendapatkan
perhatian dari berbagai pihak yang terlibat.
Sedangkan faktor pendukung maupun
penghambat lebih merupakan faktor-faktor yang
memberikan penekanan. Semuanya justru berada
di tangan pada penyelenggara akuntabilitas
sendiri, bagaimana mereka-mereka bisa
mengelola potensi maupun tantangan yang
dihadapinya.
Sementara itu, diprediksikan pendidikan
untuk semua (PUS) yang telah dicanangkan oleh
pemerintah (Kementerian Pendidikan Nasional).
Sebagaimana diekspos dalam harian Kompas,
Rabu, 7 Juli 2010 bahwa target Pendidikan Untuk
Semua ataupun Education for All, terutama
pendidikan dasar universal, dikhawatirkan tidak
tercapai pada tahun 2015 saat tenggat Tujuan
Pendidikan Milenium. Krisis ekonomi global
menjadi sala satu hambatan besar pencapaian
target tersebut. Hal ini terungkap dalam
pembukaan 1st General Assembly Forum of Asia
Pasific Parliamentarians for Education (FASPED)
atau Forum Parlemen untuk Pendidikan Asia
Pasifik, Selasa (6 Juli 2010). Sidang pertama yang
diikuti oleh 26 parlemen dan dua parlemen
diwakili oleh perwakilannya di Jakarta. Dalam
sambutannya, Presiden FASPED Marzuki Alie
mengatakan, krisis keuangan global pada 2008
merupakan rintangan terbesar untuk pencapaian
tujuan Education for All (EFA).
Dampak krisis finansial global telah
mengancam akses pendidikan bagi jutaan anak di
seluruh dunia. Saat ini sekitar 72 juta anak usia
sekolah dasar belum mendapatkan pendidikan
dasar. Kombinasi kemiskinan, lambatnya
pembangunan ekonomi, dan krisis finansial global
akan menggerogoti pencapaian Negara-negara
pada dekade sebelumnya. Hal tersebut berarti
turut mengganggu target pencapaian Tujuan
Pembangunan Milineum nomor dua, yang
indikatornya antara lain angka partisipasi dasar
angka melek huruf umur 15-25 tahun.
Ancaman tentang melesetnya pencapaian
target terutama terjadi di Negara berkembang
yang sebagian besar di kawasan Asia Pasifik.
Menurut Education for All Global Monitoring
Report 2010, target EFA tercancam gagal tercapai
di Negara berkembang. Resesi ekonomi yang
terjadi pada tahun 2008 diperkirakan telah
menjerumuskan sekitar 90 juta orang ke dalam
kemiskinan ekstrem. Saat ini sebagian Negara
yang terkena dampak sangat besar masih dalam
proses pemulihan dari tingginya harga pangan
yang telah mengakibatkan 175 juta kasus
malnutrisi tahun 2007 dan 2008. Pendidikan juga
tidak kebal dari pengaruh-pengaruh tersebut
45
karena hal-hal itu kemudian rentan
dikebelakangan.
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan
Director of UNESCO Bangkok Office, Regional
Bureau for Education in The Asia Pasific, Gwang-
Jo Kim. “Kita tetap belum on the track (dalam
jalur) untuk memenuhi target EFA pada tahun
2015. Akan nada 56 juta anak di luar sekolah jika
kita tidak melipatgandakan upaya kita, yang
sebagiannya di wilayah Asia Pasifik.” Ujarnya. Dia
mencontohkan, pada tahun 1999 kawasan Asia
Timur dan Pasifik merupakan tempat tinggal 6
juta anak usia pendidikan dasar yang tidak
bersekolah. Tahun 2007, jumlahnya meningkat
menjadi 9 juta anak. Sementara sejumlah Negara,
terutama India, mencapai kemajuan sangat baik.
“Waktu yang tersisa tinggal lima tahun lagi,“
katanya.
Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli
Jalal mengatakan, Indonesia masih dalam jalur
pencapaian target EFA. Di tengah krisis ekonomi
dunia, Indonesia tetap memprioritaskan anggaran
pendidikan, bantuan operasional sekolah guna
mengurangi hambatan biaya anak ke sekolah,
buku pelajaran online, program pendidikan
kesetaraan, dan peningkatan kualifikasi guru. Ini
merupakan beberapa upaya pemerintah yang
terus dilakukan. Sementara itu anggaran untuk
fungsi pendidikan dalam APBN tahun 2010 telah
mencapai sekitar Rp 209,5 triliun.
Marzuki Alie mengatakan, perlu peran
aktif anggota parlemen untuk ikut aktif dalam
proses pembangunan pendidikan. Di tengah
sulitnya ekonomi dunia dan berbagai tekanan,
pemerintah telah menghadapi berbagai pilihan
kebijakan yang sulit. Parlemen berkewajiban
meminta pemerintah mengalokasikan dana yang
cukup untuk pendidikan dan memonitor
pemerintah dalam mengimplementasikan tujuan
pembangunan nasional pendidikan.(KOMPAS,
Rabu, 7 Juli 2010).
Kontribusi Pemerintah cq Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia dalam Program PUS
Dalam upayanya mencapai tujuan
“Pendidikan untuk Semua” pada 2015, peme-
rintah Indonesia saat ini menekankan
pelaksanaan program wajib belajar sembilan
tahun bagi seluruh anak Indonesia usia 6 sampai
15 tahun. Dalam hal ini, UNICEF dan UNESCO
member dukungan teknis dan dana.
Bersama dengan pemerintah daerah,
masyarakat dan anak-anak di delapan propinsi di
Indonesia, UNICEF mendukung program
Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak
(CLCC). Proyek ini berkembang pesat dari 1.326
sekolah pada tahun 2004 menjadi 1.496 pada
tahun 2005. Kondisi ini membantu 45.454 guru
dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih
menantang bagi sekitar 275.078 siswa.
Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah
mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar.
Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang
bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun
demikian, negeri ini masih menghadapi masalah
pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang
46
tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti,
misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan
masih ada dua juta anak. Indonesia tetap belum
berhasil memberikan jaminan hak atas
pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih
banyak masalah yang harus dihadapi, seperti
misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran
yang efektif, manajemen sekolah dan
keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak
usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses
aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia
dini terutama anak-anak yang tinggal di
pedalaman dan pedesaan. Anak-anak Indonesia
yang berada di daerah tertinggal dan terkena
konflik sering harus belajar di bangunan sekolah
yang rusak karena alokasi anggaran dari
pemerintah daerah dan pusat yang tidak
memadai. Metode pengajaran masih berorientasi
pada guru dan anak tidak diberi kesempatan
memahami sendiri. Metode ini masih
mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia.
Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi
lemah tidak termotivasi dari pengalaman
belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan
sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.(UNICEF,
2010).
Indonesia telah mengalami kemajuan di
bidang pendidikan dasar dalam 20 tahun terakhir
ini. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun
yang bersekolah mencapai 94 persen. Tetapi
Indonesia tetap belum berhasil memberikan
jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak.
Apalagi, masih banyak masalah yang harus
dihadapi, masalah tersebut antara lain :
- Anak putus sekolah diperkirakan masih ada
dua juta anak.
- Kualifikasi guru yang masih kurang.
- Metode pengajaran yang tidak efektif. Yaitu
masih beroientasi kepada guru dan anak didik
tidak diberi kesempatan memahami sendiri.
- Manajemen sekolah yang buruk.
- Kurangnya keterlibatan masyarakat.
- Kurangnya akses pengembangan dan
pembelajaran usia dini bagi sebagian besar
anak usia 3 sampai 6 tahun terutama anak-
anak yang tinggal di pedalaman dan
pedesaan.
- Alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan
pusat yang tidak memadai.
- Biaya pendidikan yang tinggi.
Untuk mencapai Pendidikan Untuk
Semua, pemerintah Indonesia dibantu oleh
UNICEF dan UNESCO melakukan kegiatan-
kegiatan antara lain :
1. Sistem Informasi Pendidikan Berbasis
Masyarakat
UNICEF mendukung langkah-langkah
pemerintah Indonesia untuk meningkatkan
akses pendidikan dasar melalui Sistem
Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat.
Dengan system ini memungkinkan
penelusuran semua anak usia dibawah 18
tahun yang tidak bersekolah.
2. Program Wajib Belajar 9 Tahun
47
Dalam upaya mencapai tujuan “Pendidikan
untuk Semua” pada 2015, pemerintah
Indonesia saat ini menekankan pelaksanaan
program wajib belajar Sembilan tahun bagi
seluruh anak Indonesia usia 6 sampai 15
tahun. Dalam hal ini, UNICEF dan UNESCO
member dukungan teknis dan dana.
3. Program Menciptakan Masyarakat Peduli
Pendidikan Anak (CLCC)
Bersama dengan pemerintah daerah,
masyarakat dan anak-anak di delapan
propinsi di Indonesia, UNICEF mendukung
program Menciptakan Masyarakat Peduli
Pendidikan Anak (CLCC). Proyek ini
berkembang pesat dari 1.326 sekolah pada
2004 menjadi 1.496 pada 2005. Kondisi ini
membantu 45.454 guru dan menciptakan
lingkungan belajar yang lebih menantang bagi
sekitar 275.078 siswa.
Di samping itu, yang tidak kalah
pentingnya adalah peran Kepala Sekolah dan
Pengawas Sekolah dalam menyukseskan program
PUS yang dicanangkan pemerintah. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Direktur Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan tenaga
Kependidikan, Kementerian Pendidikan Nasional
(Dirjen PMPTK Kemendiknas) Baedhowi yang
mengatakan bahwa peran Kepala Sekolah dan
Pengawas Sekolah juga sangat penting guna
meningkatkan kualitas dan pelayanan pendidikan
saat ini. Apabila kompetensi Kepala Sekolah baik,
maka hubungan yang signifikan terhadap
peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Apabila
Kepala Sekolahnya baik dan memiliki
kompetensi bagus, maka kepala sekolah itu
diyakini bisa melakukan pengelolaan sekolah
dengan baik pula.(http://bataviase.co.id, diakses
tanggal 16 September 2010).
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasar pemaparan tersebut di atas,
maka dapatlah disimpulkan sebagai berikut: (1)
hakekat dari “Pendidikan untuk Semua dan
Semua untuk Pendidikan” adalah mengupayakan
agar setiap warga Negara dapat memenuhi
haknya, yaitu setidak-tidaknya untuk
mendapatkan layanan pendidikan dasar (Wajib
Belajar 9 Tahun); (2) masalah yang harus dihadapi
dalam program PUS, antara lain: (a) anak putus
sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak, (b)
kualifikasi guru yang masih kurang, (c) metode
pengajaran yang tidak efektif itu masih
beroientasi kepada guru dan anak didik tidak
diberi kesempatan memahami sendiri, (d)
manajemen sekolah yang buruk, (e) kurangnya
keterlibatan masyarakat, (f) kurangnya akses
pengembangan dan pembelajaran usia dini bagi
sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun
terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman
dan pedesaan, (g) alokasi anggaran dari
pemerintah daerah dan pusat yang tidak
memadai, dan (h) biaya pendidikan yang tinggi;
(3) untuk mencapai Pendidikan Untuk Semua,
pemerintah Indonesia dibantu oleh UNICEF dan
UNESCO melakukan kegiatan-kegiatan antara
48
lain: (a) Sistem Informasi Pendidikan Berbasis
Masyarakat, (b) Program Wajib Belajar 9 Tahun,
dan (c) Program Menciptakan Masyarakat Peduli
Pendidikan Anak (CLCC); (4) dalam 20 tahun
terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di
bidang pendidikan dasar, terbukti rasio bersih
anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai
94 persen; (5) pembangunan pendidikan di
Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan
empat strategi dasar, yakni; pertama,
pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga,
peningkatan kualiutas pendidikan, dan keempat,
efesiensi pendidikan, (6) Indonesia tetap belum
berhasil memberikan jaminan hak atas
pendidikan bagi semua anak; apalagi, masih
banyak masalah yang harus dihadapi, seperti
misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran
yang efektif, manajemen sekolah dan
keterlibatan masyarakat, dan (7) peran Kepala
Sekolah dan Pengawas Sekolah sangat penting
guna meningkatkan kualitas dan pelayanan
pendidikan.
Saran
Berdasarkan butir-butir simpulan di atas,
maka dapatlah dikemukakan saran-saran sebagai
berikut: (1) dari sisi struktural birokrasi di
Kementerian Pendidikan Nasional masih dirasa
perlu dioptimalkan masalah peningkatan kinerja,
peningkatan kerjasama, koordinasi dan
komunikasi dengan berbagai instansi dan unit
kerja terkait, baik di pusat maupun di daerah, (2)
untuk dapat mewujudkan program PUS, semua
komponen bangsa, baik pemerintah, swasta,
lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan,
maupun warga Negara secara individual, secara
bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen
untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan
“Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk
Pendidikan” sesuai dengan potensi dan kapasitas
masing-masing; (3) pembangunan pendidikan
makin disadari sebagai sektor yang strategis
untuk menunjang pembangunan sektor secara
keseluruhan, oleh karena itu pembangunan
pendidikan harus sensitif dan tanggap terhadap
dinamika pembangunan sektor-sektor lainnya; (4)
perlu peran aktif anggota parlemen untuk ikut
aktif dalam proses pembangunan pendidikan,
parlemen berkewajiban meminta pemerintah
mengalokasikan dana yang cukup untuk
pendidikan dan memonitor pemerintah dalam
mengimplementasikan tujuan pembangunan
nasional pendidikan, dan (5) pemerintah (Negara)
harus menyiapkan seluruh sarana dan prasarana
dalam rangka menuntaskan pendidikan Sembilan
tahun.
PENDIDIKAN KARAKTER:WACANA KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA
Soesetijo *)
Abstrak: pendidikan karakter menjadi perhatian serius untuk diimplementa-sikan di sekolah. Fenomena menunjukkan bahwa banyak keluhan masyarakat tentang menurunnya tata krama, etika dan kreativitas siswa, karena melemah-nya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sebagai langkah awal pendidikan karakter harus dimulai sejak dini, yakni pada jenjang pendidikan sekolah da-sar. Pada jenjang sekolah dasar, ini porsinya mencapai 60 persen dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Menurut Wamendiknas telah terdapat 5 dari 8 potensi
49
Kata-kata kunci: pendidikan karakter, wacana konsep, implementasi.
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam
jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung
utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi
sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran
yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
karakter serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan Nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
*)Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.\Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang
pendidikan selalu mengacu pada tujuan
pendidikan nasional tersebut di atas. Hal
tersebut berkaitan dengan pembentukan
karakter peserta didik sehingga mampu bersaing,
beretika, bermoral, sopan santun dan
berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan
penelitian di Harvard University Amerika Serikat
(Ali Ibrahim Akbar, 2000 dalam Mendiknas, 2010)
ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh kemampuan mengelola diri
dan orang lain (soft skills). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan
sekitar 20 persen oleh hard skills dan sisanya 80
persen soft skills. Bahkan orang-orang tersukses
di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak
didukung kemampuan soft skills daripada hard
skills. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu
pendidikan karakter peserta didik sangat penting
untuk ditingkatkan. Oleh karena itu, Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemendiknas) telah
menyusun grand design pendidikan karakter
bangsa. Ditargetkan, seluruh satuan pendidikan
telah mengembangkannya pada tahun 2014.
(Media Indonesia.com, 15-9-2010).
Data dan fakta menunjukkan, bahwa dari
hasil penelitian psikologi sosial menun-jukkan
bahwa orang yang sukses di dunia ditentukan
oleh peranan ilmu sebesar 18%. Sisanya, 82%
dijelaskan oleh keterampilan emosional, soft skills
dan sejenisnya.(Elfindri, 2010). Ini menunjukkan
bahwa soft skills memberikan kontribusi bagi
keberhasilan karir seseorang.
Wacana pendidikan karakter pada akhir-
akhir ini memperoleh perhatian yang cukup
Abstrak: pendidikan karakter menjadi perhatian serius untuk diimplementa-sikan di sekolah. Fenomena menunjukkan bahwa banyak keluhan masyarakat tentang menurunnya tata krama, etika dan kreativitas siswa, karena melemah-nya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sebagai langkah awal pendidikan karakter harus dimulai sejak dini, yakni pada jenjang pendidikan sekolah da-sar. Pada jenjang sekolah dasar, ini porsinya mencapai 60 persen dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Menurut Wamendiknas telah terdapat 5 dari 8 potensi
50
intens dari pemerhati pendidikan. Pemerintah
menyatakan, bahwa pendidikan budaya dan
karakter bangsa selama ini telah diterapkan dan
menjadi kesatuan dengan kurikulum pendidikan
yang sesungguhnya telah dipraktekkan dalam
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Menurut
Direktur Pembinanan SMP, Ditjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Didik Suhardi
(KOMPAS.Com, Jumat, 15 Januari 2010)
pendidikan budaya dan karakter bangsa ini
memang harus dipraktekkan, titik beratnya bukan
pada teori. Pendidikan budaya dan karakter
bangsa seperti kurikulum yang tersembunyi.
Konsep Pendidikan Karakter
Karakter adalah “cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu
untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan
Negara.(Suparlan, 2010).
Pendidikan karakter meliputi 9 (sembilan)
pilar yang saling kait mengkait, yaitu: (1)
responsibility (tanggung jawab), (2) respect (rasa
hormat), (3) fairness (keadilan), (4) courage
(keberanian), (5) honesty (kejujuran), (6)
citizenship (kewarganegaraan), (7) self-discipline
(disiplin diri), (8) caring (peduli), dan (9)
perseverance (ketekunan).
Penyelenggaraan pendidikan nasional
tidak semata mentransfer ilmu dan pengetahuan
serta teknologi kepada peserta didik. Lebih dari
itu, pendidikan harus bisa menumbuhkan
semangat kebangsaan sebagai warga bangsa
dengan karakter ke-Indonesia-an.(Rumapea,
2010).
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdsarkan norma-norma agama,
hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap
Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga
menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan
karakter di sekolah, semua komponen
(stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri,
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau
pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-
kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam
praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat
dari standar nasional pendidikan yang menjadi
acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan
implementasi pembelajaran dan penilaian di
51
sekolah, tujuan di lembaga pendidikan
sebenarnya dapat dicapai dengan baik.
Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi
yang harus diajarkan dan dikuasai serta
direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Dr. Anita Lie (2010) syarat
menghadirkan pendidikan karakter dan budaya di
sekolah harus dilakukan secara holistik.
Sebagai upaya untuk meningkatkan
kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kementerian Pendidikan Nasional
mengembangkan grand design pendidikan
karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis
satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan
konseptual dan operasional pengembangan,
pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan
jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam
konteks totalitas proses psikologis dan social-
kultural tersebut dikelompokkan dalam: Olah Hati
(Spiritual and emotional development), Olah Pikir
(intellectual development), Olah Raga dan
Kinestetik (Physical and kinestetic development),
dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development). Pengembangan danimplementasi
pendidikan karakter perlu dilakukan dengan
mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada 13 ayat 1
menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri dari
atas pendidikan formal, nonformal, dan informal
yang saling melengkapi dan memperkaya.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal
sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi
yang sangat besar dalam keberhasilan
pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di
sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang
dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada
dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika
dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di
sekolah berkontribusi hanya sebesar 30%
terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama
dalam lingkungan keluarga belum memberikan
kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian
kompetensi dan pembentukan karakter peserta
didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua
yang relative tinggi, kurangnya pemahaman
orang tua dalam mendidik anak di lingkungan
keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan
sekitar dan pengaruh media elektronik ditengarai
bisa berpengaruh negatif terhadap
perkembangan dan pencapaian hasil belajar
peserta didik. Salah satu alternatif untuk
mengatasai permasalahan tersebut adalah
melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu
memadukan dan mengoptimalkan kegiatan
pendidikan informal lingkungan keluarga dengan
pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini,
waktu belajar peserta didik di sekolah perlu
dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar
dapat dicapai, terutama dalam pembentukan
karakter peserta didik.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan
dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.
Materi pembelajaran yang berkaitan dengan
52
norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran
perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan
dengan konteks kehidupan sehati-hari. Dengan
demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak
hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh
pada internalisasi, dan pengalaman nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di
masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini
diselenggarakan sekolah merupakan salah satu
media yang potensial untuk pembinaan karakter
dan peningkatan mutu akademik peserta didik.
Kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan
pendidikan di luar mata pelajaran untuk
membantu pengembangan peserta didik sesuai
dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat
mereka melalui kegiatan yang secara khusus
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat
terkait dengan manajemen atau pengelolaan
sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah
bagaimana pendidikan karakter direncanakan,
dilaksanaan dan dikendalikan dalam kegiatan-
kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai.
Pengelolaan tersebut antara lain mengikuti, nilai-
nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum,
pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga
kependidikan, dan komponen terkait lainnya.
Dengan demikian, manajemen sekolah
merupakan salah satu media yang efektif dalam
pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan Karakter yang Efektif
Menurut Lickona, dkk. (2007) terdapat
11 pinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan
efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan
nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi
karakter yang baik, (2) definisikan ‘karakter’
secara komprehensif yang mencakup pikiran,
perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan
yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam
pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas
sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa
kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6)
buat kurikulum akademik yang bermakna dan
menantang yang menghormati semua peserta
didik, mengembangkan karakter, dan membantu
siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong
motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah
sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang
berbagi tanggung jawab dalam pendidikan
karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti
yang sama yang membimbing pendidikan siswa,
(9) tumbuhkan kebersamaan dalam
kepemimpinan moral dan dukungan jangka
panjangbagi inisiatif pendidikan karakter, (10)
libatkan keluarga dan anggota masyarakat
sebagai mitra dalam upaya pembangunan
karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi
staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan
sejauh mana siswa memanifestasikan karakter
yang baik.
Dalam pendidikan karakter penting sekal
dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti
kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab,
dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain
53
bersama dengan nilai-nilai kerja pendukungnya
seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan
kegigihan—sebagai basis karakter yang baik.
Sekolah harus berkomitmen untuk
mengembangkan karakter peserta didik
berdasarkan nilai-nilai dimaksud mendefinisikan-
nya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati
dalam kehidupan sekolah sehari-hari, men-
contohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan
mendiskusikannya, menggunakannya sebagai
dasar dalam hubungan antarmanusia, dan
mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di
sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua
komponen sekolah bertanggung jawab terhadap
standar-standar perilaku yang konsisten sesuai
dengan nilai-nilai inti.
Karakter yang baik mencakup pengertian,
kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai
etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam
pendidikan karakter berupaya untuk
mengembangkan keseluruhan aspek kognitif,
emosional, dan perilaku dari kehidupan moral.
Siswa memahami nilai-nilai inti dengan
mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati
perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan
masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar
peduli terhadap nilai-nilai inti dengan
mengembangkan keteram-pilan empati,
membentuk hubungan yang penuh perhatian,
membantu menciptakan komunitas bermoral,
mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan
merefleksikan pengalaman hidup.
Sekolah yang telah berkomitmen untuk
mengembangkan karakter melihat diri mereka
sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah
segala sesuatu yang berlangsung di sekolah
mempengaruhi perkembangan karakter siswa.
Pendekatan yang komprehensif menggunakan
semua aspek persekolahan sebagai peluang
untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa
yang sering disebut dengan istilah kurikulum
tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan
prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan
siswa dengan guru, staf sekola lainnya, dan
sesama mereka sendiri; proses pengajaran;
keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran;
pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan
disiplin); kurikulum akademik, academic
curriculum (mata pelajaran inti, termasuk
kurikulum kesehatan jasmani), dan program-
program ekstrakurikuler, extracurricular
programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan,
dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).
Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu
meningkatkan efektivitas kemitraan dengan
merekrut bantuan dan komunitas yang lebih luas
(bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan,
pemerintah, dan media) dalam mempromosikan
pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang
tua ini dalam banyak hal seringkali tidak dapat
berjalan dengan baik karena terlalu banyak
menekankan pada penggalangan dukungan
financial, bukan pada dukungan program.
Berbagai pertemuan yang dilakukan tidak jarang
terjebak kepada tawar menawar sumbangan,
54
bukan bagaimana sebaiknya pendidikan karakter
dilakukan bersama antara keluarga dan sekolah.
Pendidikan karakter yang efektif harus
menyertakan usaha untuk menilai kemajuan.
Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat
perhatian: (1) karakter sekolah: sampai sejauh
mana sekolah menjadi komunitas yang lebih
peduli dan saling menghargai?, (2) pertumbuhan
staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai
sejauh mana staf sekolah mengembangkan
pemahaman tentang apa yang dapat mereka
lakukan untuk mendorong pengembangan
karakter?, (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa
memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan
tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu
dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan
karakter untuk mendapatkan baseline dan
diulang lagi di kemudian hari untuk menilai
kemajuan.(http://www.mediaindonesia.com,
diakses tanggal 14 September 2010).
Menurut Doni Koesoemo A (2010)
pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh
mesti menyertakan tiga basis desain dalam
pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program
pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi
wacana semata.
Pertama, desain pendidikan karakter
berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi
guru sebagai pendidik dan siswa sebagai
pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan
karakter adalah proses relasional komunitas kelas
dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-
pembelajar bukan monolog, melainkan dialog
dengan banyak arah sebab komunitas kelas
terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama
berinteraksi dengan materi. Memberikan
pemahaman dan pengertian akan keutamaan
yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini,
termasuk di dalamnya pula adalah ranah
noninstruksional, seperti manajemen kelas,
konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu
terciptanya suasana belajar yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter
berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba
membangun kultur sekolah yang mampu
membentuk karakter anak didik dengan bantuan
pranata sosial sekolah agar nilai tertentu
terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa.
Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup
hanya dengan memberikan pesan-pesan modal
kepada anak didik. Pesan moral ini mesti
diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran
melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang
tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku
ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan karakter
berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas
sekolah tidak hanya berjuang sendirian.
Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti
keluarga, masyarakat umum, dan Negara, juga
memiliki tanggung jawab moral untuk
mengintegrasikan pembentukan karakter dalam
konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga
Negara lemah dalam penegakan hukum, ketika
mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan
sanksi yang setimpal, Negara telah mendidik
55
masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak
menghargai makna tatanan sosial bersama.
Pendidikan karakter hanya akan bisa
efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini
dilaksanakan secara simultan dan sinergis.
Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat
parsial, inkonsisten dan tidak efektif.
Implementasi Pendidikan Karakter di Lembaga
Pendidikan
Pendidikan karakter yang bakal diterapkan
di sekolah-sekolah tidak diajarkan dalam mata
pelajaran khusus. Namun, pendidikan karakter
tersebut akan diintegrasikan dengan mata
pelajaran yang sudah ada serta melalui
keseharian pembelajaran di sekolah. Menurut
Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal,
dikemukakan bahwa pendidikan karakter yang
didorong pemerintah untuk dilaksanakan di
sekolah-sekolah tidak akan membebani guru dan
siswa. Sebab, hal-hal yang terkandung dalam
pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam
kurikulum, tetapi selama ini tidak dikedepankan
dan diajarkan secara tersurat.
(http://bukuohbuku.wordpress.com, 1
September 2010).
Beberapa Upaya Pencarian Soft Skills di Beberapa
Negara
Upaya di berbagai Negara mengenai
pentingnya solft skills juga beragam. Dari
berbagai liteatur yang disarikan dalam modul
bahan ajar oleh suatu Tim di Dirjen Dikti (2008)
telah diupayakan di berbagai negara seperti
Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan
Indonesia.
1. Pengalaman di Taiwan
Taiwan sebagai salah satu Negara yang
memandang kemajuan pembangunan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi hasilnya dirasakan
tanpa meningkatkan harkat dan martabat dari
manusia. Moral menjadi salah satu tuntutan yang
ingin dilengkapi seiring dengan kemajuan dari
ranah pengetahuan.
Upaya ini dilakukan melalui berbagai
pendekatan, diantaranya adalah dengan
membentuk komite disiplin dan moral di bawah
Kementerian Pendidikan. Komite disiplin
kemudian mencoba menetapkan berbagai
standar etika yang mesti diterapkan di masing-
masing satuan pendidikan, termasuk memonitor
implementasinya.
Kemudian mengembangkan kurikukum
moral dan etika yang nantinya diterapkan dalam
system pembelajaran. Tahap selanjutnya adalah
dengan mengimplementasikan aturan di sekolah
sebagai cara meningkatkan nilai-nilai moral dan
etika. Taiwan menyadari bahwa berpikir kritis
adalah penting maka arah pengembangan
ditujukan pada ranah ini, termasuk
kewarganegaraan, dan nilai-nilai sosial.
2. Pengalaman di Korea Selatan
Di Korea Selatan, sebagai salah satu
Negara yang juga mengalami kemajuan kemajuan
56
yang pesat pendidikannya, juga sadar akan
pentingnya soft skills. Ini dikembangkan dengan
seperangkat upaya. Secara makro, meningkatkan
anggaran pendidikan dan mempertahankan
kebijakan komitmen yang tinggi semenjak tahun
1945. Semangat dan komitmen ini dilahirkan
sebagai akibat dari Korea Selatan juga ingin me-
nyaingi perkembangan kemajuan ilmu dan
teknologi yang dihasilkan oleh Jepang, sebagai
sebuah Negara tetangga yang lebih dulu berhasil.
Diantaranya adalah dengan
mengupayakan perbaikan metode pengajaran
dan pe-nyampaian materi ajar, misalnya dengan
menekankan kesadaran guru akan pentingnya ka-
rakter; mulai dari suasana, kemampuan, dan
fasilitas yang mengarah kepada pembentukan
karakter.
Hasil dari upaya ini telah menyebabkan
Korea Selatan tampil sebagai salah satu Negara
yang memiliki karakter khas, untuk tampil
menyaingi Jepang. Dengan karakter kerja keras,
salah satunya, telah pula menghasilkan produk
manufaktur yang mampu masuk ke kancah
internasional.
Sebagai catatan tambahan, Korea Selatan
tercatat sebagai salah satu Negara dimana tingkat
akses masyarakat mudanya terhadap pendidikan
tinggi termasuk tertinggi di dunia. Memulai kerja
kerasnya semenjak tahun 1945. Sekarang
komitmen anggaran dan dukungan masyarakat
adalah sangat besar dalam memajukan
pendidikan.
3. Pengalaman di Jepang
Merespons akan tuntutan pentingnya
membangun karakter anak, maka di Jepang
menurut Scribner (2007) dalam Tim Dikti (2008)
untuk memenuhi aspek soft skills, dimasukkan ke
dalam kegiatan-kegiatan ko-kurikuler di sekolah
dan di rumah.
Anak-anak Jepang diberi rasa
tanggungjawab yang tinggi dalam
mengembangkan fungsinya kepada adik-adik
sewilayahnya, dimulai dengan proses datang ke
sekolah, metode belajar di sekolah sampai pada
menanamkan rasa kemandirian yang tinggi dan
semangat untuk menang. Kemudian terbiasa
untuk mengembangkan kreativitas di dalam
kelas, Sudah menjadi motto bagi anak didik
Jepang, bahwa kerja kelompok menjadi salah satu
yang perlu dibiasakan.
Karakter kerja keras dan mandiri yang
dibangun dalam prinsip bushido, menyebabkan
bangsa Jepang menghasilkan generasi yang
sanggup menguasai berbagai iptek untuk
berbagai bidang dan proses industrialisasi.
Sayang sekali, Jepang dalam membangun
karakter bangsa masih dibatasi oleh berbagai
kendala. Dimana kendala utama dari proses
pembangunan manusia di Jepang masih belum
sanggup mengkikis kebiasaan “bunuh diri” dari
sebagian dari mereka yang frustasi.
4. Pengalaman di Australia
Sementara di Australia, pengembangan
soft skills dilakukan semenjak usia dini, melalui
57
system penyampaian dan desain pemebelajaran.
Desain pembelajaran yang menyebabkan unsur-
unsur soft skills terintegrasi dalam setiap proses
pembelajaran.
Di Australia pembentukan kepercayaan
diri anak-anak mulai pada pra sekolah.
Pembiasaan anak-anak untuk mengisi masa akhir
minggu dengan orang tua, baik untuk
kepentingan olah raga dan rekreasi.
Anak-anak Australia terbiasa percaya diri.
Karena setiap minggu mereka didorong untuk
sanggup menyampaikan pengalaman kepada
teman se kelasnya. Dan model seperti ini
dilaksanakan secara terus menerus.
Guru sangat berperan dalam
mengkomunikasikan soft skills di sekolah. Anak-
anak diajarkan akan hak dan tanggungjawabnya.
Termasuk share bekerja dan hidup berkelompok.
Itulah pemandangan pada sekolah-sekolah dasar
sampai menengah yang dikembangkan.
5. Pengalaman di Indonesia
Kesadaran akan soft kills juga berkembang
di Indonesia, namun dalam waktu yang terlalu
lama dan metode yang tidak tepat. Upaya
menekankan pentingnya pendidikan P-4 sewaktu
zaman Presiden Suharto telah didesain kegiatan-
kegiatan yang lebih terpusat. Oleh karena
penekanan hanya kepada civic education, atau
pendidikan civic, maka hasil dari usaha P-4 hanya
sebatas bagaimana hidup bermasyarakat dan
bernegara saja.
Kelemahan utama yang dirasakan
bahwa pengembangan soft skills lebih bersifat
indoktrinasi. Dengan kata lain upaya Indonesia
dalam mendorong soft skills selama berpuluh-
puluh tahun melalui penataran P-4 dianggap
gagal, mengingat model itu saat sekarang sudah
tidak dipakai lagi. Bahkan dianggap kegiatan P-4
dapat saja menyimpang dari yang dipahami oleh
kebanyakan para ilmuwan. Diantaranya bahkan
yang diberikan lebih kepada ilmuwan, bukanlah
bagaimana membentuk keterampilan perangkat
lunak warga Negara. Selain dari itu para
instruktur banyak yang tidak terbekali dengan
baik. Sehingga kegatan soft skills semacam itu
lebih diartikan kepada proyek-proyek kegiatan
oleh mereka yang berkuasa.
Akselerasi adat juga merupakan upaya-
upaya untuk mempertahankan soft skills,
mengingat kandungan budaya lokal adalah
menuntun soft skills. Misalnya bagaimana budaya
dalam bertutur kata sepantasnya. Maka proses
tutur kata masyarakat adat mesti dipertahankan.
Upaya ini dilakukan oleh kaum adat. Namun hal
ini belum terlalu baik diupayakan dalam
mendiseminasikan soft skills.
Demikian juga, bagaimana kehidupan
bergotong-royong diupayakan masih eksis.
Sayang sekali kehidupan yang semacam itu
semakin sirna. Singkat kata soft skills belum
secara konsisten untuk digarap dan dipelajari.
Apa yang dapat dimaknai dari segala
upaya untuk mencari solf skills di berbagai Negara
? Negara maju Asia Timur serta Indonesia ? Maka
58
upaya untuk mengembangkan karakter masih
dalam batas keterbasan. Keterbatasan terutama
masih menganggap bahwa taksonomi ranah
keilmuan menjadi menonjol.
Sekalipun ada upaya untuk meningkatkan
ranah soft skills, namun juga kelihatannya sangat
beragam dalam melihat komponen-
komponennya. Diantaranya, masih luputnya
memasukkan unsur bagaimana anak didik kita
semakin berilmu dia sadar semakin sadar akan
eksistensinya, posisinya dengan Sang Pencipta.
Hal inilah yang menyebabkan bahwa dimensi
trancedental skills menjadi bahan yang mesti
disadari penting masuk sebagai salah satu
taksonomi soft skills.(Elfindri, dkk, 2010).
Penerapan Pendidikan Karakter Dimulai SD
Pendidikan karakter yang dicanangkan
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
akan diterapkan pada semua jenjang pendidikan,
namun porsinya akan lebih besar diberikan pada
Sekolah Dasar (SD). Menurut Menteri Pendidikan
Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh,
mengatakan pendidikan karakter harus dimulai
sejak dini yakni dari jenjang pendidikan sekolah
dasar SD). Pada jenjang SD ini porsinya mencapai
60 persen dibandingkan dengan jenjang
pendidikan lainnya. Hal ini agar lebih mudah
diajarkan dan melekat di jiwa anak-anak itu
hingga kelak ia dewasa. Pendidikan karakter
harus dimulai dari SD karena jika karakter tidak
terbentuk sejak dini maka akan susah untuk
merubah karakter seseorang. Pendidikan karakter
tidak mendapatkan porsi yang besar pada tingkat
Taman Kanak-Kanak (TK) atau sejenisnya
karena TK bukan merupakan sekolah tetapi
taman bermain. TK itu taman bermain untuk
merangsang kreativitas anak, bukan tempat
belajar. Oleh karena itu, jika ada guru yang
memberikan tugas atau PR maka guru tersebut
tidak memahami tugasnya. Sedangkan dalam
menanamkan karakter pada seseorang yang
paling penting adalah kejujuran, karena kejujuran
bersifat universal.
Pertimbangan yang rasional tentang
mengapa penerapan pendidikan karakter harus
dimulai pada siswa SD, karena siswa SD masih
belum terkontaminasi dengan sifat yang kurang
baik sangat memungkinkan untuk ditanamkan
sifat-sifat atau karakter untuk membangun
bangsa. Oleh karena itu, selain orang tua, guru SD
juga mempunyai peranan yang sangat vital untuk
menempuh karakter siswa. Pembinaan karakter
yang termudah di-lakukan adalah ketika anak-
anak masih di bangku SD. Itulah sebabnya kita
memprioritas-kan pendidikan karakter di tingkat
SD. Bukan berarti pada jenjang pendidikan
lainnya tidak mendapat perhatian namun
porsinya saja yang berbeda.
Dengan demikian maka diharapkan dunia
pendidikan dapat sebagai motor pengge-rak
untuk memfasilitasi peserta didik menjadi cerdas,
juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun
sehingga keberadaannya sebagai anggota
masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya
maupun orang lain. Esensinya pembinaan
karakter harus dilakukan pada semua tingkat
59
pendidikan hinga Perguruan Tinggi (PT) karena PT
harus mampu berperan sebagai mesin informasi
yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang
cerdas, sejahtera dan bermanfaat serta mampu
bersaing dengan bangsa manapun.
Model Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama (SMP)
Menurut Mochtar Buchori (2007) dalam
Kemendiknas (2010) “Pembinaan Karakter di
Sekolah Menengah Pertama”, bahwa pendidikan
karakter seharusnya membawa peserta didik ke
pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan
nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan
nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan
karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera
lebih operasional sehingga mudah
diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter bertujuan untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada
pencapaian pembentukan katakter dan akhlak
mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan
seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta
didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan
dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji
dan menginternalisasi serta mempersonalisasi
nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga
terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter pada tingkatan
institusi mengarah pada pembentukan budaya
sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku,
tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-
simbol yang dipratikkan oleh semua warga
sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya
sekolah merupakan ciri khas, karakter atau
watak, dan citra sekolah tersebut di mata
masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah
seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga
sekolah, meliputi para peserta didik, guru,
karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah
menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah
yang selama ini telah berhasil melaksanakan
pendidikan karakter dengan baik dijadikan
sebagai best practices, yang menjadi contoh
untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Memalui program ini diharapkan lulusan
SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
berkarakter mulia, kompetensi akademik yang
utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian
yang baik sesuai norma-norma dan budaya
Indonesia. Pada tataran yang lebih luas,
pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi
budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter
dapat diketahui melalui pencapaian indicator
oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam
Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara
lain meliputi sebagai berikut :
1. Mengamalkan ajaran agama yang
dianut sesuai dengan tahap
perkembangan remaja;
60
2. Memahami kekurangan dan kelebihan
diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap percaya diri;
4. Mematuhi aturan-aturan social yang
berlaku dalam lingkungan yang lebih
luas;
5. Menghargai keragaman agama,
budaya, suku, ras, dan golongan social
ekonomi dalam lingkup nasional;
6. Mencari dan menerapkan informasi
dari lingkungan sekitar dan sumber-
sumber lain secara logis, kritis dan
kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan belajar
secara mandiri sesuai dengan potensi
yang dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan
menganalisis dan memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan
social;
11. Memanfaatkan lingkungan secara
bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan
dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara demi
terwujudnya persatuan dalam Negara
kesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan budaya
nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan
memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih, sehat,
bugar, aman, dan memanfaatkan
waktu luang dengan baik;
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara
efektif dan santun;
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan
orang lain dalam pergaulan di
masyarakat; menghargai adanya
perbedaan pendapat;
18. Menunjukkan kegemaran membaca
dan menulis naskah pendek
sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan
menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan yang
diperlukan untuk mengikuti
pendidikan menengah;
21. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian
pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya
sekolah yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan
keseharian, dan simbol-simbol yang dipratikkan
oleh semua warga sekolah, dan masyarakat
sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai
tersebut.(Kemendiknas, 2010).
Penyelenggaraan pendidikan nasional
tidak semata mentransfer ilmu dan pengetahuan
serta teknologi kepada peserta didik. Lebih dari
itu, pendidikan harus bisa menumbuhkan
61
semangat kebangsaan sebagai warga bangsa
dengan karakter ke-Indonesia-an. Bangsa ini
harus kembali kepada bangsa yang berbudi.
Mampu memiliki budi pekerti yang luhur yang
diajarkan oleh para leluhur bangsa. Caranya,
dengan mengajarkan pendidikan karakter kepada
anak-anak mulai dari bangku sekolah.
Memberikan mereka pemahaman yang jelas
tentang karakter yang harus dimiliki manusia
Indonesia di masa depan.
Dengan olah raga, olah raga, dan olah jiwa
sekolah kami terus menerus menanamkan nilai-
nilai luhur yang harus dimiliki manusia Indonesia.
Oleh karena itu, kami mengemasnya dalam
berbagai bentuk kegiatan kesiswaan yang dimulai
dari saat siswa pertama kali masuk sekolah
sampai keluar (lulus) dari sekolah.
Pembangunan karakter dan pendidikan
karakter menjadi suatu keharusan, karena
pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik
menjadi cerdas, tetapi juga mempunyai budi
pekerti dan sopan santun, sehingga
keberadaannya sebagai anggota masyarakat
menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun
orang lain. Menanamkan karaker pada seseorang
yang paling penting adalah kejujuran, karena
kejujuran bersifat universal. (Mahatma, 2010).
Pendidikan Karakter Integral
Pendidikan karakter hanya akan menjadi
sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih
utuh dan menyeluruh dalam konteks pendidikan
nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter yang
dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran
justru malah bersifat kontraproduktif bagi
pembentukan karakter anak didik.
Pendekatan parsial yang tidak didasari
pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih
menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri
anak, malah menjerumuskan mereka pada
perilaku kurang bermoral. Selama ini, jika kita
berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita
bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses
penanaman nilai yang seringkali dipahami secara
sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan
seringkali pendekatan ini tidak didasari prinsip
pedagogi pendidikan yang kokoh.
Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai
kejujuran, banyak skolah beramai-ramai
membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak
untuk jujur dalam membeli dan membayar
barang yang dibeli tanpa ada yang
mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan
anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran
dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan
yang tampaknya relevan dalam mengembangkan
nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar
pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial
yang mampu mengarahkan dan membentuk
pribadi anak didik.
Alih-alih mendidik anak menjadi jujur,
dibanyak tempat anak yang baik malah tergoda
menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah
bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang
ingin dibentuk tidak disertai dengan pemangunan
perangkat sosial yang dibutuhkan dalam
62
kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda
menjadi pencuri jika ada kesempatan.
Masifnya perilaku ketidakjujuran itu telah
menyerambah dalam diri para pendidik, siswa
dan anggota komunitas sekolah lain. Untuk itu,
pendekatan yang lebih utuh dan integrallah yang
dibutuhkan untuk melawan budaya tidak jujur ini.
Pendidikan karakter semestinya terarah
pada pengembangan kultur edukatif yang
mengarahkan anak didik untuk menjadi pribadi
yang integral. Adanya bantuan sosial untuk
mengembangkan keutamaan merupakan ciri
sebuah lembaga pendidikan.
Dalam konteks kantin kejujuran, bantuan
sosial ini tidak berfungsi, sebab anak malah
tergoda menjadi pencuri. Kegagalan kantin
kejujuran adalah sebuah indikasi, bahwa para
pendidik memiliki kesalahan pemahaman tentang
makna kejujuran dalam konteks pendidikan.
Mereka tidak mampu melihat persoalan yang
lebih mendalam yang menggerogoti sendi
pendidikan kita.(Doni Koesoema A, 2010).
Sementara itu, untuk mengembangkan
pendidikan karakter di sekolah, Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemendiknas) memberikan
bantuan kepada sekolah-sekolah yang ditunjuk
sebagai percontohan. Sebagai contoh sebanyak
10 sekolah di semua jenjang pendidikan di Nusa
Tenggara Barat mendapatkan bantuan dari
Kementerian Pendidikan Nasional untuk
mengembangkan pendidikan karakter. Setiap
sekolah yang mendapatkan percontohan
menerima bantuan sebesar Rp. 10.000.000,00
untuk menerapkan dan membina
pengembangan pendidikan karakter.
(http://www.antaranews.com, diakses tanggal 7
September 2010).
Sementara itu, Mendiknas, Muhammad
Nuh mengemukakan bahwa intinya pembinaan
karakter harus dilakukan pada semua tingkat
pendidikan hingga Perguruan Tinggi (PT) karena
PT harus mampu berperan sebagai mesin
informasi yang membawa bangsa ini menjadi
bangsa yang cerdas, santun, sejahtera dan
bermartabat serta mampu bersaing dengan
bangsa manapun.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas,
maka dapatlah dikemukakan beberapa simpulan
sebagai berikut: (1) karakter adalah cara berpikir
dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap
individu untuk hidup dan bekerjasama, baik
dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat,
bangsa dan Negara; (2) Pendidikan karakter
meliputi 9 (sembilan) pilar yang saling kait
mengkait, yaitu: (a) responsibility (tanggung
jawab), (b) respect (rasa hormat), (c) fairness
(keadilan), (d) courage (keberanian), (e) honesty
(kejujuran), (f) citizenship (kewarganegaraan), (g)
self-discipline (disiplin diri), (h) caring (peduli),
dan (i) perseverance (ketekunan); (3) pembinaan
karakter harus dilaksanakan pada semua tingkat
pendidikan hingga Perguruan Tinggi (PT), (4)
pembangunan karakter dan pendidikan karakter
63
menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak
hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas,
juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun,
sehingga keberadaannya sebagai anggota
masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya
maupun orang lain, (5) pendidikan karakter yang
didalamnya ada akhlak mulia akan menjadi jati
diri bangsa untuk mencapai kejayaan dan
kemajuan di dunia internasional, (6) pendidikan
budaya dan karakter bangsa harus dipraktekkan,
titik beratnya bukan teori, (7) menghadirkan
pendidikan karakter dan budaya di sekolah harus
dilakukan secara holistik, karena tidak bisa
terpisah dengan pendidikan sifatnya kognitif atau
akademik, (8) permasalahannya, mayoritas guru
belum punya kemauan untuk melaksanakan
pendidikan karakter, kesadaran sudah ada hanya
saja belum menjadi sebuah aksi nyata, (9) grand
design tentang pendidikan karakter sudah
tersusun, hanya belum disosialisasikan ke seluruh
pelosok nusantara, terutama ke lembaga-
lembaga pendidikan, dan (10) program
pendidikan karakter tidak hanya dilakukan satu
sampai dua tahun, namun secara
berkesinambungan hingga 2025.
Saran
Berdasarkan butir-butir simpulan di atasa,
maka untuk mengimplemetasikan pendidikan
karakter di lembaga pendidikan dikemukakan
saran sebagai berikut : (1) untuk implementasikan
pendidikan karakter di sekolah dasar (SD),
sebagai porsi yang cukup besar (60%), maka perlu
disusun buku petunjuk pelaksanaan (juklak)
yang dapat digunakan sebagai acuan para tenaga
kependidikan pada jenjang pendidikan dasar, (2)
sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa
penerapan pendidikan karakter dapat
diimplementasikan mulai pada jenjang
pendidikan dasar sampai dengan pendidikan
tinggi. Oleh karena itu, untuk mempersiapkan
semuanya secara cermat, perlu diterbitkan buku
pinter yang memberikan acuan kepada guru dan
dosen agar pendidikan karakter dapat diterapkan
sesuai dengan yang diharapkan, (3) dalam
konteks pembelajaran di kelas atau ruang kuliah,
pendidikan karakter dapat diintegrasikan pada
mata pelajaran atau mata kuliah yang relevan, (4)
agar tenaga kependidikan (guru dan dosen)
mempunyai acuan yang baku tentang penerapan
pendidikan karakter, maka perlu segera
disosialisasikan grand design tentang pendidikan
karakter, (5) pendidikan karakter harus
diwujudkan untuk kepentingan anak-anak
Indonesia dalam konteks kehidupan social dan
buaya masyarakat, (6) perlu diadakan TOT
(Training of Trainer) untuk pendidikan karakter
bagi seluruh tenaga tenaga kependidikan, baik
guru maupun dosen, (7) pelaksanaan pendidikan
karakter di sekolah jangan hanya bersifat instan,
karena pemerintah saat ini sedang intens dengan
soal ini, tantangannya justru bagaimana
pendidikan di sekolah itu berjalan seimbang
antara penguasaan pengetahuan dan
pembentukan karakter siswa, dan (8) perlu
segera disosialisiasikannya grand design
64
pendidikan karakter di lembaga pendidikan mulai
jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai
dengan perguruan tinggi.
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN GEOGRAFI SEKOLAHDALAM PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME
Syaiful Khafid E-mail: syaiful.khafid@yahoo.co.id
ABSTRAK: Filsafat pendidikan konstruktivisme bertujuan menjadikan siswa yang memiliki kualitas dan maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru. Konstruktivisme memandang belajar ialah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaborasi, refleksi, dan interpretasi, sedangkan mengajar adalah proses membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Tugas guru ialah memfasilitasi, membimbing, dan mengonsultani terutama dalam memahami materi sulit. Guru geografi harus menguasai bahan secara luas dan mendalam dengan dilandasi pemahaman konsep kunci, sehingga dapat lebih fleksibel menerima gagasan siswa yang berbeda. Kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan belajar dan evalusi belajar yang otentik. Kendala yang dihadapi dalam implementasi pendidikan geografi di antaranya kesalahan cara pandang terhadap belajar dan pembelajaran, rendahnya budaya belajar di kalangan guru dan siswa. Solusi untuk mengatasi kendala tersebut adalah mengaktifkan kegiatan MGMP Geografi dan seminar pendidikan geografi, guru geografi yang sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi dituntut untuk meningkatkan kompetensi profesional, siswa
diberikan pencerahan pentingnya belajar mandiri dan membudayakan budaya mem-baca, guru mengembangkan bahan pembelajaran geografi, serta sekolah dan keluarga menyediakan sumber belajar yang beragam.
Kata kunci: pendidikan geografi, perspektif konstruktivisme
Permasalahan pendidikan geografi yang terjadi
sekarang ini disebabkan krisis paradigma, yaitu
adanya kesenjangan atau ketidaksesuaian antara
tujuan yang ingin dicapai dan paradigma yang
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Menurut Ardhana (2001: 1) paradigma diartikan
sebagai pola pikir atau cara kerja. Sebagai contoh,
kalau kehidupan masa depan menuntut
kemampuan memecahkan masalah baru secara
inovasi maka apa yang diajarkan kepada siswa di
sekolah adalah menghafal atau memecahkan
masalah lama secara lebih baik. Kalau masa
depan menuntut pola perilaku yang unik dan
divergen maka apa yang ditanamkan kepada
siswa sekarang ialah perilaku yang konformistis
dan seragam. Begitu juga, kalau masa depan
menuntut kemampuan bekerja sama dengan
sesama teman maka apa yang diajarkan kepada
siswa sekarang adalah persaingan.
65
Persoalan praktik pembelajaran geografi di
sekolah tersebut antara lain dapat diselesaikan
dengan merefleksi filsafat pendidikan yang
digunakan. Filsafat pen-didikan, yang menyeliki
hakikat pelaksanaan pendidikan yang berkaitan
dengan tujuan, latar belakang, cara, hasilnya, dan
hakikat ilmu pendidikan yang berhu-bungan
analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya
(Mudyahardjo, 2004: 5). Filsafat ilmu pendidikan
dapat dibataskan sebagai analisis kritis
komprehensif tentang pendidikan sebagai salah
satu bentuk teori pendidikan yang dihasilkan
melalui riset, baik kuantitatif maupun kualitatif.
Praktik pembelajaran yang terjadi sekarang
ini sebagian besar masih meru-pakan paradigma
behavioristik yang banyak dijumpai pada abad
industri, terma-suk dalam hal pengembangan
desain pembelajaran khususnya pendidikan geo-
grafi. Pendapat Wayan Ardhana sebagaimana
dikutip oleh Mustaji dan Sugiarso (2005:2),
bahwa kualitas proses dan produk pembelajaran
belum memadai, lebih-lebih kalau dikaitkan
dengan usaha mempersiapkan manusia Indonesia
di masa depan. Hasil yang kurang memuaskan ini
mungkin sebagian terjadi karena keku-
rangmampuan guru dalam melaksanakan
pembelajaran yang memenuhi tuntutan
perkembangan, sebagian lagi mungkin terjadi
karena kesalahan cara pandang guru terhadap
pembelajaran geografi.
Pembelajaran geografi yang terjadi sekarang
ini sebagian besar menggunakan desain
pembelajaran dengan pendekatan behavioristik.
Strategi pembelajarannya memakai format
penyampaian informasi, karena teori ini
menganggap bahwa belajar ialah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar ialah
memindahkan pengetahuan kepada siswa, belum
menekankan aktivitas siswa mengonstruksi atau
membangun sendiri pengetahuannya. Di sekolah
guru masih tetap sebagai sumber belajar yang
paling dominan, belum memanfaatkan sumber
belajar yang beragam. Pembelajaran geografi
sebagian berpusat pada kegiatan mendengar dan
mengha-fal, belum mengarah pada kegiatan
belajar aktif dan kreatif, artinya siswa memba-
ngun sendiri pengetahuannya.
Suatu kesalahan besar yang masih terdapat
dalam pembelajaran geografi di sekolah adalah
kurangnya penjabaran secara kontekstual dan
66
operasional terhadap konsep-konsep esensial dan
materi sulit dengan perspektif konstruktivisme
dan spasial, yang dikemukakan dalam buku teks
ketika melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Sebagai akibat, tujuan pembelajaran geografi
tersebut belum pernah tercapai. Keluhan dan
kenyataan bahwa pembelajaran geografi tidak
menarik dan membosankan masih sering
terdengar dan sangat dirasakan. Hal ini
disebabkan guru belum mampu bagaimana
membelajarkan geografi kepada siswa dengan
perspektif konstruktivisme.
Suatu sudut pandang baru dalam pendidikan
dan pembelajaran pada mata pelajaran geografi
yang memberikan peluang terjadinya proses aktif
siswa mem-bangun sendiri pengetahuannya,
memanfaatkan sumber belajar yang beragam,
adanya peluang siswa berkolaborasi, dan berpikir
divergen dengan menekankan studi lapangan
yang sesuai karakter geografi (ruang, tempat,
lingkungan, dan peta) dikenal dengan perspektif
konstruktivisme spasial.
Tujuan pembelajaran dalam perspektif
konstruktivisme menekankan belajar bagaimana
belajar, menciptakan pemahaman baru, yang
menuntut aktivitas kreatif produktif dalam
konteks nyata, yang mendorong siswa untuk
berpikir ulang dan mendemonstrasikannya.
Menurut Degeng (1998: 8), belajar adalah
penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkret, aktivitas kolaboratif, reflektif, dan inter-
pretatif. Sebaliknya, mengajar ialah menata
lingkungan supaya siswa termotivasi dalam
menggali makna dan menghargai ketidakpastian.
Konstruktivisme sebenarnya sudah lama
walaupun dianggap masih relatif baru dan belum
banyak diimplementasikan ke dalam proses
pembelajaran pada mata pelalajaran geografi di
sekolah, termasuk dalam hal pengembangan
desain pembelajaran geografi. Sisi lain, sekarang
ini pendekatan konstruktivistik menjadi wacana
yang menarik di kalangan akademisi, pendidik,
dan masyarakat belajar sebagai upaya
memperbaiki dan meningkatkan kualitas
implementasi pembela-jaran geografi di sekolah.
Beradasarkan latar belakang tersebut maka
permasalahan implementasi pen-didikan geografi
sekolah dalam perspektif konstruktivisme dapat
dirumuskan yaitu: (1) apakah sumbangan
konstruktivisme terhadap pendidikan geografi
67
sekolah?; (2) apa sajakah kendala implementasi
pembelajaran geografi di sekolah dengan
perspektif konstruktivisme?: dan (3)
bagaimanakah solusi implementasi
pembelajaran geografi di sekolah dengan
perspektif knstruktivisme?
SUMBANGAN KONSTRUKTIVISME TERHADAP
PENDIDIKAN GEOGRAFI SEKOLAH
Perubahan Cara Pandang terhadap Makna Belajar
Menurut pandangan konstruktivisme, belajar
merupakan proses aktif siswa mengonstruksi
pengetahuan secara mandiri dan sosial. Belajar
juga merupakan proses mengasimilasikan dan
menghubungkan pengalaman atau bahan yang
dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai
seseorang sehingga penger-tiannya
dikembangkan. Proses tersebut antara lain
dicirikan sebagai berikut.
a. Belajar berarti membentuk makna. Makna
diciptakan oleh siswa dari apa yang
mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami.
Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh
pengertian yang telah mereka miliki.
b. Konstruksi arti itu adalah proses yang terus
menerus. Setiap kali berhadapan
dengan fenomena atau persoalan yang baru,
diadakan rekonstruksi, baik secara
kuat maupun lemah.
c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan
fakta, melainkan lebih suatu peng-
embangan pemikiran dengan membuat
pengertian yang baru. Belajar bukanlah
hasil perkembangan, melainkan perkembangan
itu sendiri, suatu perkembangan
yang menuntut penemuan dan pengaturan
kembali pemikiran seseorang.
d. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada
waktu skema seseorang dalam
keraguan yang merancang pemikiran lebih
lanjut. Situasi ketidakseimbangan
(disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk
membaca belajar.
e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman
siswa dengan dunia fisik dan ling-
kungannya.
f. Hasil belajar seseorang bergantung pada apa
yang telah diketahui si pelajar:
68
konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang
mempengaruhi interaksi dengan
bahan yang dipelajari.
Perubahan Peran Siswa Menjadi Aktif, Kreatif,
dan Mandiri
Filsafat konstruktivisme menekankan bahwa
belajar ialah kegiatan yang aktif, siswa
membangun sendiri pengetahuannya. Siswa
mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini
merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-
ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada
dalam pikiran mereka. Menurut kons-truktivisme,
siswa sindirilah yang bertanggung jawab atas
hasil belajarnya. Mere-ka membawa
pengertiannya yang lama dalam situasi belajar
yang baru. Mereka sendiri yang membuat
penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan
cara mencari makna, membandingkannya dengan
apa telah ia ketahui dan menyelesaikan kete-
gangan antara apa yang telah ia ketahui dan apa
yang ia perlukan dalam penga-laman yang baru
(Suparno, 1997; Gandhi HW, 2011).
Konstruktivisme memandang, belajar adalah
suatu proses organik untuk menemukan sesuatu,
bukan suatu proses mekanik untuk
mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu
perkembangan pemikiran dengan membuat
kerangka pengertian yang berbeda. Siswa harus
memiliki pengalaman dengan membuat hipotesis,
mengetes hipotesis, memanipulasi objek,
memecahkan persoalan, mencari solusi,
menggambarkan, meneliti, berdialog,
mengadakan refleksi, mempertanyakan,
mengekspresikan gagasan, dan sejenisnya untuk
membentuk konstruksi baru. Siswa harus
membentuk pengetahuan mereka sendiri dan
guru membantu sebagai mediator dalam proses
pembentukan itu. Belajar yang berarti terjadi
melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian,
dan dalam proses selalu memperbarui tingkat
pemikiran yang tidak lengkap.
Setiap siswa mempunyai cara sendiri untuk
mengerti maka penting bahwa setiap siswa
mengerti kekhasannya juga keunggulan dan
kelemahannya dalam mengerti sesuatu. Mereka
perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi
mereka sendiri. Siswa mempunyai cara yang
cocok untuk membangun pengetahuannya yang
kadang sangat berbeda dengan teman-teman
yang lain. Karena itu, mengerti kekhususannya
69
sendiri sangat penting dalam memajukan belajar
seseorang. Dalam konteks ini, sangat perlu bahwa
siswa dimungkinkan untuk mencoba bermacam-
macam cara belajar yang cocok dan guru
menciptakan dan/atau mengujicobakan aneka
model pembelajaran inovatif melalui penelitian
tindakan.
Ketika pertama datang ke kelas, siswa sudah
membawa makna tertentu ten-tang dunianya.
Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat
mengembangkan pengetahuan yang baru.
Mereka juga membawa perbedaan tingkat
intelektual, personal, sosial, emosional, dan
kultural. Ini semua mempengaruhi pemahaman
mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang
dibawa siswa tersebut sangat penting dimengerti
oleh guru agar dapat membantu memajukan dan
memperkem-
bangkannya sesuai dengan pengetahuan yang
lebih ilmiah.
Menuju Pola Belajar Kolaborasi yang lebih
Bermakna dan Menyenangkan
Pengetahuan dapat dibentuk baik secara
individual maupun sosial, kelompok belajar dapat
dikembangkan. Suparno (1997: 9) menjelaskan
bagaimana pengaruh progresivisme terhadap
belajar dalam kelompok, yang dikenal dengan
pola belajar kolaborasi. Menurut dia, dalam
kelompok belajar siswa harus mengungkapkan
bagaimana ia melihat persoalan dan apa yang
akan dibuatnya dengan persoalan itu. Inilah salah
satu cara menciptakan refleksi yang menuntut
kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan
dilakukan. Selanjutnya, ini akan memberikan
kesem-patan kepada seseorang untuk secara aktif
membuat abstrak. Usaha menjelaskan sesuatu
kepada kawan-kawan justru membantunya untuk
melihat sesuatu dengan lebih jelas dan bahkan
melihat inkonsistensi pandangan mereka sendiri.
Mengerti bahwa teman lainnya belum
memiliki jawaban yang siap, akan meningkatkan
keberanian siswa untuk mencoba dan mencari
jalan. Sekaligus, jika ia menemukan jawaban, itu
akan mendorong yang lain untuk menemukannya
juga. Ketidakkonsistenan dan kesalahan yang
ditunjukkan teman dianggap kurang meyakinkan
dibandingkan kalau ditunjukkan guru. Ini akan
meningkatkan harga diri mereka.
Pandangan konstruktivisme sosial
menekankan belajar berarti dimasukkannya
70
seseorang ke dalam suatu dunia simbolik.
Menurut Suparno (1997: 64), pengeta-huan dan
pengertian dikonstruksi kalau seseorang terlihat
secara sosial dalam dialog dan aktif dalam
percobaan-percobaan dan pengalaman.
Pembentukan mak-na merupakan dialog
antarpribadi. Belajar merupakan proses
masuknya seseorang ke dalam kultur orang-orang
yang terdidik. Dalam hal ini, siswa bukan hanya
memerlukan akses ke pengalaman fisik,
melainkan juga ke konsep-konsep dan model-
model ilmu pengetahuan konvensional. Guru
berperan penting karena mereka menyediakan
kesempatan yang cocok dan prasarana
masyarakat ilmiah bagi siswa. Dalam konteks ini,
kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa
berdialog dan berinteraksi dengan para ahli,
dengan lembaga penelitian, dengan sejarah
penemuan ilmiah, dan dengan masyarakat
pengguna hasil ilmiah akan sangat membantu
dan merangsang siswa untuk membangun sendiri
pengeta-huannya.
Perubahan Cara Pandang terhadap Makna
Mengajar
Pandangan filsafat konstruktivisme,
mengajar bukanlah kegiatan memindah-kan
pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu
kegiatan yang memung-kinkan siswa membangun
sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti
partisipasi dengan siswa dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mencari keje-
lasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
mengajar merupakan suatu bentuk belajar
sendiri, atau dapat dikatakan bahwa mengajar
adalah membantu seseorang berpikir secara
benar dengan membiarkannya berpikir sendiri.
Mengajar adalah proses membantu
seseorang untuk membentuk pengetahuan-nya
sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer
pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru)
kepada yang belum tahu (siswa), melainkan
membantu seseorang agar dapat mengonstruksi
sendiri pengetahuannya melalui kegiataannya
terhadap fenomena dan objek yang ingin
diketahui. Dalam hal ini penyediaan prasarana
dan situasi yang memungkinkan dialog secara
kritis perlu dikembangkan.
Tugas guru dalam proses tersebut lebih
menjadi mitra yang aktif bertanya, merangsang
71
pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan
siswa mengung-kapkan gagasan dan konsepnya,
serta kritis menguji konsep siswa. Yang terpen-
ting adalah menghargai dan menerima pemikiran
siswa apa pun adanya sambil menunjukkan
apakah pemikiran itu jalan atau tidak. Guru harus
menguasai bahan secara luas dan mendalam
sehingga dapat lebih fleksibel menerima gagasan
siswa yang berbeda.
Perubahan Peran Guru Geografi
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang
guru berperan sebagai fasilitator, motivator, dan
konsultan yang membantu supaya proses belajar
siswa berjalan dengan maksimal. Tekanan ada
pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin
atau pun guru geografi yang mengajar. Fungsi
fasilitator, motivator, konselor, dan konsultan
dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai
berikut.
a. Menyediakan pengalaman belajar yang
memungkinkan siswa bertanggung
jawab dalam membuat rancangan, proses,
dan penelitian. Karena itu, jelas
memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas
utama seorang guru.
b. Menyediakan atau memberikan kegiatan
yang merangsang keingintahuan sis-
wa dan membantu mereka untuk
mengekspresikan gagasan-gagasannya dan
mengomunikasikan ide ilmiah mereka.
Menyediakan sarana yang merangsang
siswa berpikir secara produktif. Menyediakan
kesempatan dan pengalaman
yang paling mendukung proses belajar siswa.
Guru harus menyemangati siswa.
Guru perlu menyediakan pengalaman konflik.
c. Memonitor, mengevalusi, dan menunjukkan
apakah pemikiran siswa jalan atau
tidak. Guru menunjukkan dan
mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu
berlaku untuk menghadapi persoalan baru
yang berkaitan. Guru membantu
mengevaluasi hipotesis dan simpulan siswa.
d. Sebagai konsultan, guru menjelaskan materi
sulit yang tidak dapat dipahami
siswa. Materi geografi dikategorikan sulit kalau
memenuhi kriteria, yakni (a)
abstrak, artinya tidak nyata dan sulit
dibayangkan siswa, (b) kompleks, artinya
72
perlu penalaran mendalam dengan
menggabungkan antarbidang ilmu, dan (c)
asing, artinya tidak dikenal siswa karena tidak
terjangkau.
Menuntut Guru Menguasai Bahan Ajar dengan
Mendalam dan Luas
Peran guru geografi sangat menuntut
penguasaan materi mendalam dan luas. Guru
geografi perlu memiliki pandangan yang sangat
luas mengenai pengetahuan tentang bahan yang
akan diajarkan. Pengetahuan luas dan mendalam
memung-kinkan seorang guru menerima
pandangan dan gagasan yang berbeda dari siswa
dan juga memungkinkan apakah gagasan itu jalan
atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan
seorang guru mengerti aneka metode dan model
untuk sampai pada suatu pemecahan masalah
tanpa terpasung pada satu metode atau model.
Selain itu, guru geografi juga dituntut untuk
dapat mengembangkan bahan dalam mengelola
pembelajaran dengan kekhususan daerah
(keunikan wilayah), baik yang menyangkut
kondisi khas keadaan alam dan kehidupan
daerah, kebutuhan lingkungan serta ketersediaan
(keterlimpahan maupun keterbatasan) fasilitas
sarana dan prasarana belajar mengajar. Karena
geografi itu, merupakan ilmu observasional,
menurut Iman Sudradjat (Daldjoeni, 1997: 130)
maka diper-lukan pengamatan lapangan. Selain
itu, pengetahuan peta ditambahkan supaya
pemahaman konsep keruangan menjadi lebih
jelas.
Sebagai contoh, untuk sekolah yang para
siswanya hidup di wilayah dengan kondisi daerah
pegunungan kapur (dengan gejala karst) yang
’tandus’ dan kurang hujan, pengembangan bahan
perlu diperluas dengan membahas lebih lanjut
keadaan pola persebaran air, khususnya sungai di
bawah tanah, keadaan morfologi bentang lahan,
dan juga kemungkinan tumbuhan yang paling
sesuai untuk diusahakan di daerah yang
bersangkutan.
Guru konstruktivis harus memahami konsep
kunci. Konsep kunci adalah suatu konsep yang
hanya spesifik terdapat pada satu disiplin ilmu.
Seorang guru yang berlatar belakang pendidikan
ekonomi tidak boleh mengajar geografi, karena
guru itu tidak memahami konsep kunci geografi,
walaupun guru itu menguasai bahan ajar
geografi. Guru yang hanya menguasai bahan ajar
73
saja atau hanya memahami konsep inti, belum
mampu mengajarkan geografi yang sesuai
karakter geografi. Pengertian konsep inti adalah
suatu konsep yang secara bersama-sama dimiliki
oleh beberapa disiplin ilmu. Guru yang demikian
ini selamanya belum mampu membelajarkan
wawasan kegeografian kepada siswa secara
maksimal.
Perubahan Konsep Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran geografi
mengharuskan guru adalah membantu agar siswa
mampu mengontruksi pengetahuannya sesuai
dengan situasinya yang konkret maka strategi
pembelajaran perlu juga disesuaikan dengan
kebutuhan dan situasi siswa. Karena itu, tidak ada
suatu strategi pembelajaran yang satu-satunya
yang dapat digunakan di manapun dan dalam
situasi apapun. Strategi pembela-jaran yang
disusun selalu hanya menjadi tawaran dan saran,
bukan suatu menu yang sudah jadi. Setiap guru
profesional akan mengembangkan gaya mengajar
dan model pembelajarannya sendiri. Mengajar
adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya
penguasaan teknik, melainkan juga intuisi.
Beberapa ciri strategi pembelajaran
geografi dengan perspektif konstrukti-visme, di
antaranya (1) orientasi, artinya siswa diberi
kesempatan untuk mengem-bangkan motivasi
dalam mempelajari suatu topik. Siswa diberi
kesempatan untuk melakukan observasi terhadap
topik yang akan dipelajari; (2) elicitasi, artinya
siswa dibantu mengungkapkan idenya secara
jelas dengan berdiskusi, menulis laporan,
membuat peta, dan sejenisnya yang berkaitan
dengan studi geografi. Siswa diberikan
kesempatan untuk mendiskusikan apa yang
diobservasikan, dalam wujud tulisan geografi,
peta, ataupun globe; (3) restrukturisasi ide
melalui klarifikasi ide, membangun ide yang baru,
dan mengevaluasi ide barunya dengan
eksperimen di laboratorium geografi; (4)
penggunaan ide dalam banyak situasi; dan (5)
Review, artinya bagaimana itu ide berubah
menjadi lebih jelas dan leng-kap.
Hubungan Guru dan Siswa sebagai Mitra Belajar
Geografi
Dalam konstruktivisme, guru bukanlah yang
mahatahu dan siswa bukanlah yang belum tahu
dan karena itu, mereka harus diberi tahu. Pada
74
proses belajar siswa aktif mencari tahu dengan
membangun pengetahuannya, sedangkan guru
membantu agar pencarian itu berjalan baik. Pada
banyak hal, guru dan siswa ber-sama-sama
membangun wawasan kegeografian dan berpikir
geografik. Dalam artian inilah hubungan guru dan
siswa lebih sebagai mitra yang bersama-sama
membangun wawasan kegeografian dengan
mendalam dan luas.
Perubahan Model Pembelajaran Geografi
Model pembelajaran yang dikembangkan
dengan perspektif konstruktivisme adalah model
pembelajaran berbasis masalah dan
pembelajaran kolaborasi. Model pembelajaran ini
mencakup suatu pendekatan yang luas dan
menyeluruh (Arends, 1997: 7). Model
pembelajaran berbasis masalah meliputi
kelompok-kelompok belajar, siswa bekerja sama
memecahkan suatu masalah yang telah
disepakati bersama. Siswa menggunakan
bermacam-macam keterampilan dan prosedur
pemecahan masalah serta berpikir kritis. Dengan
demikian, model pembelajaran yang
dikembangkan menggunakan sejumlah
keterampilan metodologis dan prosedural,
misalnya merumuskan masalah, mengajukan
pertanyaan, melakukan penelitian, berdiskusi,
dan memperdebatkan temuan, bekerja secara
kolaboratif, menciptakan suatu karya, dan
melakukan presentasi.
Pembelajaran kolaborasi menekankan
pentinya pengembangan belajar secara bermakna
dan pemecahan masalah secara intelektual serta
pengembangan aspek sosial. Dengan demikian, di
antara siswa bergantung satu sama lain dan
mereka bekerja sama saling menguntungkan.
Dalam praktiknya, pembelajaran kolaborasi yang
dilakukan di sekolah lebih berkenaan dengan
kerja kelompok biasa yang antaranggotanya tidak
bergantung satu sama lain (Setyosari, 2010).
PRESKRIPSI MERANCANG PEMBELAJARAN
GEOGRAFI
Proposisi: Belajar ialah proses pemaknaan
informasi baru. Belajar adalah penyu-
sunan pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaborasi, dan
refleksi serta interpretasi.
Implikasinya terhadap pembelajaran
dan evaluasi :
75
Dorong munculnya diskusi
terhadap pengetahuan baru yang
dipe-lajari. Pengetahuan baru
bukan dijiplak untuk diterima
sebagai-mana adanya melainkan
dibangun oleh siswa secara aktif.
Dorong munculnya berpikir
divergen, kaitan, dan pemecahan
gan-da, bukan hanya ada satu
jawaban benar.
Dorong munculnya berbagai jenis
luapan pikiran/aktivitas, seperti:
main peran, simulasi, debat, dan
pemberian penjelasan kepada
teman berkaitan dengan
kegeografian.
Tekankan pada keterampilan
berpikir kritis: analisis,
membanding- kan, generalisasi,
memprediksi, menghipotesis, yang
kesemuannya
untuk mencari solusi dalam
perspektif studi geografi.
Kaitkan informasi baru ke
pengalaman pribadi atau ke
pengetahuan konsep-konsep
geografi yang telah dimiliki oleh
siswa.
Gunakan informasi pada situasi
baru.
Proposisi: Progresivisme berangkat dari
pengakuan bahwa orang yang belajar
harus bebas. Hanya di alam yang
penuh dengan kebebasan si belajar
dapat mengungkapkan makna yang
berbeda dari hasil interpretasinya
terhadap segala sesuatu yang ada di
dunia nyata. Kebebasan menjadi
unsur yang esensial dalam lingkungan
belajar.
Implikasinya terhadap pembelajaran
dan evaluasi :
Sediakan pilihan tugas (tidak
semua mengerjakan tugas yang
sama).
Sediakan pilihan bagaimana cara
memperlihatkan bahwa siswa
telah menguasai apa yang
dipelajari.
76
Sediakan waktu yang cukup untuk
memikirkan dan mengerjakan
tugas.
Jangan terlalu banyak
menggunakan tes yang telah
ditetapkan waktunya.
Sediakan kesempatan untuk
berpikir ulang dan melakukan per-
baikan.
Libatkan pengalaman-pengalaman
konkrit.
Proposisi: Strategi yang dipakai siswa dalam
belajar akan menentukan proses dan
hasil belajarnya.
Implikasinya terhadap pembelajaran
dan evaluasi:
Berikan kesempatan untuk
menerapkan cara berpikir dan
belajar yang paling cocok dengan
dirinya.
Suruh siswa melakukan evaluasi
diri tentang cara berpikirnya,
tentang cara belajarnya, tentang
mengapa ia menyukai tugas
tertentu.
Proposisi : Motivasi dan usaha mempengaruhi
belajar dan unjuk kerja.
Implikasinya terhadap pembelajaran
dan evaluasi:
Motivasilah siswa dengan tugas-
tugas riil dalam kehidupan sehari-
hari dan kaitkan tugas-tugas
dengan pengalaman pribadinya.
Dorong siswa untuk memahami
kaitan antara usaha dan hasil.
Proposisi : Belajar pada dasarnya memiliki aspek
sosial. Kerja kolaborasi sangat
berharga.
Implikasinya terhadap pembelajaran
dan evaluasi:
Beri kesempatan untuk melakukan
kerja kelompok,
Gabungkan kelompok-kelompok
yang heterogen,
Dorong siswa untuk memainkan
peran yang bervariasi,
Perhitungkan proses dan hasil
kelompok.
77
BEBERAPA KENDALA IMPLEMENTASI
PEMBELAJARAN GEOGRAFI
Ada beberapa faktor yang dapat
menghambat implementasi pembelajaran
geografi dengan perspektif konstruktivisme
adalah sebagai berikut.
1. Kesalahan cara pandang guru geografi
terhadap pembelajaran;
2. Rendahnya budaya belajar untuk
meningkatkan kompetensi profesional di ka-
langan guru geografi;
3. Kesalahan cara pandang siswa terhadap
belajar;
4. Rendahnya budaya belajar dan membaca di
kalangan siswa;
5. Belum tersedianya buku paket geografi yang
dikembangkan dengan pendekatan
geografi; dan
6. Belum beragamnya sumber belajar dan sarana
pendidikan yang disediakan oleh
sekolah.
SOLUSI IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN
GEOGRAFI
Beberapa solusi yang dapat digunakan untuk
implementasi pembelajaran geo-grafi sesuai
dengan perspektif konstruktivisme adalah
sebagai berikut.
1. Mengaktifkan kegiatan MGMP Geografi dan
seminar pendidikan geografi yang
mengubah cara pandang guru geografi
terhadap pembelajaran yang aktif, inova-
tif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
2. Guru geografi yang sudah mendapatkan
tunjangan sertifikasi dituntut untuk me-
ningkatkan kompetensi profesional, misalnya
melanjutkan pendidikan ke S2
prodi pendidikan geografi dan memiliki laptop
standar.
3. Siswa diberikan pencerahan pentingnya
belajar mandiri dan membudayakan
budaya membaca.
4. Guru mengembangkan bahan pembelajaran
geografi dengan model R2D2 dalam
perspektif keruangan.
5. Sekolah dan keluarga menyediakan sumber
belajar yang beragam dan sarana
pendidikan yang memadai, sehingga siswa
dapat membangun sendiri wawasan
kegeografiannya.
78
KESIMPULAN
Konstruktivisme dipandang sangat penting
dipelajari dan dipraktikkan dalam pendidikan
geografi sekolah, karena memiliki banyak
keunggulan, terutama untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran geografi yang menekankan
kreativitas siswa dalam belajar geografi dan
membangun guru geografi profesional yang
mampu mengujicobakan model pembelajaran
berbasis masalah dan model pembelajaran
kolaborasi pada mata pelajaran geografi melalui
penelitian tindakan.
Konstruktivisme memandang belajar
merupakan penyusunan pengetahuan dari
pengalaman konkret, aktivitas kolaborasi,
refleksi, dan interpretasi, sedang-kan mengajar
sebagai proses membantu siswa untuk
membentuk pengetahuannya sendiri. Peran guru
sebagai fasilitator, motivator, konselor, dan
konsultan bagi siswa terutama dalam memahami
materi sulit.
Guru geografi yang progresivis harus
menguasai bahan ajar geografi secara luas dan
mendalam yang dilandasi pemahaman konsep
kunci, sehingga dapat lebih fleksibel menerima
gagasan siswa yang berbeda. Kebebasan
menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan
belajar dan evaluasi belajar otentik.
Kendala implementasi pembelajaran geografi,
di antaranya (1) kesalahan cara pandang guru
geografi terhadap pembelajaran; (2) rendahnya
budaya belajar untuk meningkatkan kompetensi
profesional di kalangan guru geografi; (3)
kesalahan cara pandang siswa terhadap belajar;
(4) rendahnya budaya belajar dan membaca di
kalangan siswa; (5) belum tersedianya buku paket
geografi yang dikembangkan dengan
pendekatan geografi; dan (6) belum beragamnya
sumber belajar dan sarana pendidikan yang
disediakan sekolah.
Solusi kendala tersebut adalah (1)
mengaktifkan kegiatan MGMP Geografi dan
seminar pendidikan geografi yang mengubah cara
pandang guru geografi terhadap pembelajaran;
(2) guru geografi yang sudah mendapatkan
tunjangan ser-tifikasi dituntut untuk
meningkatkan kompetensi profesional; (3) siswa
diberikan pencerahan pentingnya belajar
mandiri dan membudayakan budaya membaca;
(4) guru mengembangkan bahan pembelajaran
79
geografi; dan (5) sekolah dan kelu-arga
menyediakan sumber belajar yang beragam.
DAFTAR RUJUKAN
Ardhana, W.2001. Reformasi Pembelajaran Menghadapi Abad Pengetahuan. Ma- kalah disampaikan dalam kuliah perdana program S2Teknologi Pembelajaran Universitas PGRI Adi Buana Surabaya di Surabaya, 19 Mei.Ariends, R.I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw- Hill.Daldjoeni, N. 1997. Pengantar Geografi untuk Mahasiswa dan Guru Sekolah. Bandung: Alumni.Degeng, I.N.S. 1998. Mencari Paradigma Baru Pemecahan Masalah Belajar dari Keteraturan Menuju Kesemrawutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang, 30 November.Gandhi HW, T.W. 2011. Filsafat Pendidikan: Mazhab-madzab Filsafat Pendi- dikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.Mudyahardjo, R. 2004. Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.Mustaji dan Sugiarso. 2005. Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik Penerapan dalam Pembelajaran Berbasis Masalah. Surabaya: Unesa University Press.Setyosari, P. 2009. Pembelajaran Kolaborasi: Landasan untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial, Rasa Saling Menghargai, dan Tanggung Jawab. Pidato jabatan guru besar bidang ilmu teknologi pembelajaran pada Fakultas Ilmu Pendidikan disampaikan dalam sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang.Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kani- sius.
80
Recommended