View
562
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
Article
Citation preview
ISSN Cetak : 2087-9423 Vol. 2, No. 2, Desember 2010 ISSN Electronik: 2085-6695
JURNAL ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN TROPIS
Diterbitkan Oleh: Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis merupakan pengembangan dari E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis yang mulai terbit semenjak Juni 2009, mulai Desember 2010 diterbitkan secara cetak dan elektronik. Jurnal ini merupakan jurnal ilmiah dibidang ilmu dan teknologi kelautan tropis dan diterbitkan secara berkala sebanyak dua kali dalam setahun. Redaksi menerima paper dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang diketik di atas kertas A4 dalam 1 spasi, Times New Roman, Font 12, termasuk gambar dan tabel dan dikirim melalui email ke alamat redaksi. Pedoman penulisan paper dapat dilihat pada bagian belakang jurnal ini.
Diterbitkan oleh : Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
Penanggung Jawab : Ketua Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB Pemimpin Redaksi : Bisman Nababan, Ph.D. Penyunting Ahli (Mitra Bebestari):
Augy Syahailatua, Ph.D. (Marine Fisheries and Marine Biology, P2O-LIPI) Bambang Yulianto, Ph.D. (Marine Ecotoxicology, FPIK-UNDIP) Prof. Dr. Bonar Pasaribu (Marine Acoustic, ITK-IPB) Prof. Dr. Feliatra (Marine Microbiology, ITK-UNRI) Dwi Djoko Eny Setyono, Ph.D. (Marine Biology and Aquaculture, P2O-LIPI) Prof. Dr. Inneke Rumengan (Marine Biotechnology, FPIK-UNSRAT) Iskaq Iskandar, Ph.D. (Physical Oceanography, NOAA-PMEL, USA) Iqbal Djawad, Ph.D. (Marine Aquaculture & Physiology., FIKP-UNHAS) John I. Pariwono, Ph.D. (Physical Oceanography, ITK-IPB) Joko Santoso, Ph.D. (Aquatic Product Processing Technology, THP-IPB) Dr. Jonson L. Gaol (Marine Remote Sensing & GIS, ITK- IPB) Prof. Dr. Mulia Purba (Physical Oceanography, ITK-IPB) Neviaty P. Zamani, Ph.D. (Marine Biology, Coral Reef, ITK-IPB) Suhartati M. Natsir, Ph.D. (Marine Ecology, P2O-LIPI) Wahyu Pandoe, Ph.D. (Physical Oceanography, Modeling, BPPT) Zainal Arifin, Ph.D. (Marine Pollution, Chemical Oceanography, P2O-LIPI) Tri Prartono, Ph.D. (Chemical Oceanography, ITK-IPB)
Penyunting Pelaksana: Sri Ratih Deswati, M.Si., Meutia Samira Ismet, M.Si., Jafar Elly, M.Si., Muhammad Subhan, S.Pi., dan
Sahat M.R. Tampubolon, Amd.
Alamat Redaksi : Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK Jl. Lingkar Akademik, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
e-mail: simson_naban@yahoo.com Isi dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya
___________________________________________________________________
KATA SAMBUTAN
Saya sebagai Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) sangat senang dan bangga atas terbitnya Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (ITKT) Volume 2 Nomor 2 Desember 2010 ini yang merupakan pengembangan dari E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis yang sudah terbit semenjak Juni 2009. Dengan terlaksananya kerjasama antara ISOI dengan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor maka Jurnal ITKT dapat diterbitkan dan menjadi jurnal cetak sekaligus jurnal elektronik serta diharapkan menjadi jurnal andalan ISOI. Seperti disepakati bersama, Jurnal ITKT akan terbit dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Juni dan Desember setiap tahun. Dengan manajemen yang baik, diharapkan Jurnal ITKT ini dapat terbit tepat waktu. Melalui mitra bebestari yang professional dan ahli dalam bidangnya diharapkan mutu artikel (paper) yang terbit dalam Jurnal ITKT ini memiliki mutu ilmiah yang tinggi dan dapat dipertanggung jawabkan. Semoga dalam waktu dekat, Jurnal ITKT ini dapat memperoleh akreditasi dari Kementerian Pendidikan Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menjaga dan meningkatkan mutu ilmiah dari jurnal ini. Ucapan terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Kementerian Pendidikan Nasional yang telah bersedia menyediakan dana untuk penerbitan Jurnal ini. Penghargaan sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Pemimpin Redaksi, Mitra Bebestari, dan Penyunting Pelaksana yang telah bekerja keras untuk dapat menyelesaikan proses penerbitan Jurnal ini. Akhir kata, saya sebagai Ketua Umum ISOI mengucapkan selamat atas terbitnya Jurnal ITKT Volume 2 Nomor 2 Desember 2010 ini. Semoga Jurnal ITKT ini dapat menjadi rujukan utama dalam bidang ilmu dan teknologi kelautan serta bidang perikanan tropis di Indonesia maupun di dunia. Jakarta, Desember 2010
Prof. Dr. Indroyono Susilo Ketua Umum ISOI
KATA SAMBUTAN
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas bimbingan-Nya sehingga Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (ITKT) Volume 2 Nomor 2 Desember 2010 dapat terbit. Jurnal ini merupakan pengembangan dari E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis yang sudah terbit semenjak Juni 2009 melalui kerjasama antara Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) dengan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Seperti E-Jurnal ITKT, Jurnal ITKT akan terbit dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Juni dan Desember setiap tahun dan diharapkan dapat terbit tepat waktu. Dengan mitra bebestari yang professional dan ahli dalam bidangnya, diharapkan mutu paper dalam Jurnal ITKT ini dapat ditingkatkan dan diharapkan dapat memperoleh akreditasi dari Kementerian Pendidikan Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada Kementerian Pendidikan Nasional yang telah bersedia menyediakan dana untuk penerbitan Jurnal ini. Begitu juga kepada Pemimpin Redaksi, Mitra Bebestari, dan Penyunting Pelaksana yang telah bekerja keras untuk dapat menyelesaikan proses penerbitan Jurnal ini. Akhir kata, saya mengucapkan selamat atas terbitnya Jurnal ITKT ini dan semoga Jurnal ini dapat digunakan sebagai media diseminasi hasil-hasil penelitian dalam bidang ilmu dan teknologi kelautan serta bidang perikanan tropis di Indonesia maupun di dunia. Bogor, Desember 2010
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat-Nya sehingga Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Volume 2 Nomor 2 ini dapat terbit. Melalui seleksi dan review oleh tim reviewer (mitra bebestari), dari sejumlah paper yang masuk sebanyak 11 (sebelas) paper dapat diterima dengan perbaikan untuk diterbitkan pada edisi ini dengan judul sebagai berikut: (1) Pengaruh calsium dan fosfor terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan, kandungan mineral dan komposisi tubuh juvenil ikan kerapu macan (epinephelus fuscoguttatus); (2) Identifikasi jenis ikan anemon (amphiprioninae) dan anemon simbionnya di kepulauan spermonde, sulawesi selatan; (3) Keragaan reproduksi ikan kerapu bebek (cromileptes altivelis) dari alam (f-0), induk generasi pertama (f-1), dan induk generasi ke dua (f-2); (4) Pemeliharaan gelondongan kerapu sunu (plectropomus leopardus) dengan persentase pergantian air yang berbeda; (5) Karakteristik senyawa bioaktif bakteri simbion moluska dengan gc-ms; (6) Akumulasi logam berat pb, cu, dan zn di hutan mangrove muara angke, jakarta utara; (7) Kajian stabilitas empat tipe kasko kapal pole and line; (8) Struktur komunitas ikan pada padang lamun yang berbeda di pulau barrang lompo; (9) Distribusi foraminifera bentik resen di laut Arafura; (10) Perencanaan waktu tetas telur ikan kerapu dengan penggunaan suhu inkubasi yang berbeda; dan (11) Massa air subtropical di perairan hamahera.
Semoga Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis ini dapat meningkatkan diseminasi dan ketersediaan informasi akan hasil-hasil penelitian di bidang ilmu dan teknologi kelautan serta perikanan tropis.
Pemimpin Redaksi
ISSN Cetak : 2087-9423
ISSN Elektronik : 2085-6695
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
Vol. 2, No. 2, Desember 2010
DAFTAR ISI
PENGARUH CALSIUM DAN FOSFOR TERHADAP PERTUMBUHAN, EFISIENSI PAKAN, KANDUNGAN
MINERAL DAN KOMPOSISI TUBUH JUVENIL IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)
(THE EFFECT OF CALCIUM AND PHOSPHOROUS ON GROWTH, FEED EFFICIENCY, MINERAL CONTENT AND
BODY COMPOSITION OF BROWN MARBLED GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus) JUVENILE)
Zainuddin ............................................................................................................................................................................... 1
IDENTIFIKASI JENIS IKAN ANEMON (Amphiprioninae) DAN ANEMON SIMBIONNYA DI KEPULAUAN
SPERMONDE, SULAWESI SELATAN
(IDENTIFICATION OF ANEMONEFISHES (Amphiprioninae) AND THEIR SIMBIONT IN SPERMONDE
ARCHIPELAGO, SOUTH SULAWESI)
Inayah Yasir, Syafiuddin, dan Sumarjito ............................................................................................................................ 10
KERAGAAN REPRODUKSI IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) DARI ALAM (F-0), INDUK
GENERASI PERTAMA (F-1), DAN INDUK GENERASI KE DUA (F-2)
(REPRODUCTION PERFORMANCE OF HUMPBACK GROUPER (Cromileptes altivelis) FROM WILD
BROODSTOCK (F-0), FIRST GENERATION BROODSTOCK (F-1), AND SECOND GENERATION BROODSTOCK (F-
2))
Tridjoko .................................................................................................................................................................................. 17
PEMELIHARAAN GELONDONGAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) DENGAN PERSENTASE
PERGANTIAN AIR YANG BERBEDA
(DIFFERENT PERCENTAGE OF WATER EXCHANGE ON GROWTH OF CORAL TROUT GROUPER FINGERLING
(Plectropomus leopardus))
Titiek Aslianti ......................................................................................................................................................................... 26
KARAKTERISTIK SENYAWA BIOAKTIF BAKTERI SIMBION MOLUSKA DENGAN GC-MS
(CHARACTERISTIC BIOACTIVE COMPOUND OF THE MOLLUSC SYMBIOTIC BACTERIA BY USING GC-MC)
Delianis Pringgenies ............................................................................................................................................................... 34
AKUMULASI LOGAM BERAT PB, CU, DAN ZN DI HUTAN MANGROVE MUARA ANGKE, JAKARTA
UTARA
(ACCUMULATION OF HEAVY METALS PB, CU, AND ZN IN THE MANGROVE FOREST OF MUARA ANGKE,
NORTH JAKARTA)
Faisal Hamzah dan Agus Setiawan ....................................................................................................................................... 41
KAJIAN STABILITAS EMPAT TIPE KASKO KAPAL POLE AND LINE
(STABILITY ANALYSIS OF FOUR TYPES OF POLE AND LINER)
St. Aisyah Farhum ................................................................................................................................................................. 53
STRUKTUR KOMUNITAS IKAN PADA PADANG LAMUN YANG BERBEDA DI PULAU BARRANG LOMPO
(FISH COMMUNITY STRUCTURE IN DIFFERENT SEAGRASS BEDS OF BARRANG LOMPO ISLAND)
Rohani Ambo Rappe .............................................................................................................................................................. 62
DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK RESEN DI LAUT ARAFURA
(THE DISTRIBUTION OF RECENT BENTHIC FORAMINIFERA IN THE ARAFURA SEA)
Suhartati M. Natsir dan Rubiman ........................................................................................................................................ 74
PERENCANAAN WAKTU TETAS TELUR IKAN KERAPU DENGAN PENGGUNAAN SUHU INKUBASI
YANG BERBEDA
(PLANNING ON HATCHING TIME OF GROUPER EGGS THROUGH DIFFERENT INCUBATION TEMPERATURES)
Regina Melianawati, Philip Teguh Imanto, dan Made Suastika ..................................................................................... 83
MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HALMAHERA
(SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS)
Hadikusumah ......................................................................................................................................................................... 92
Pedoman Penulisan Naskah Artikel ..................................................................................................................................... 109
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 1-9, Desember 2010
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 1
PENGARUH CALSIUM DAN FOSFOR TERHADAP PERTUMBUHAN, EFISIENSI PAKAN, KANDUNGAN MINERAL DAN KOMPOSISI TUBUH
JUVENIL IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)
THE EFFECT OF CALCIUM AND PHOSPHOROUS ON GROWTH, FEED EFFICIENCY, MINERAL CONTENT AND BODY COMPOSITION OF BROWN
MARBLED GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus) JUVENILE
Zainuddin Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
Email: zainuddinlatief@yahoo.co.id
ABSTRACT The objectives of this study were to know concentration of calcium (Ca) and posphorus (P) in feed for growth, feed efficiency, proximate composition of the body and mineral content of brown marbled grouper juvenile. The study was conducted in the Center for Brackiswater Aquaculture Development, Takalar with randomized completed design 6 x 3 with the treatment of Ca and P supplement in feed i.e., (A) the supplement of 0 g/kg Ca and 0 g/kg P, (B) the supplement of 6 g/kg Ca and 0 g/kg P, (C) the supplement of 0 g/kg Ca and 6 g/kg P, (D) the supplement of 6 g/kg Ca and 6 g/kg P, (E) the supplement of 12 g/kg Ca and 6 g/kg P, and (F) the supplement of 18 g/kg Ca and 6 g/kg P. The result showed that P supplement with doses of 6 g/kg and Ca of 0 g/kg in feed are significantly affects on relative growth, feed efficiency, proximate composition and mineral content of brown marbled grouper juvenile. Keywords: growth, feed efficiency, proximate composition, brown marbled grouper
juvenile
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi calcium (Ca) dan fosfor (P) dalam pakan terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan, komposisi proksimat dan kandungan mineral tubuh juvenil ikan kerapu macan. Penelitian dilakukan di Balai Budidaya Air Payau Takalar. Penelitian dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap 6 x 3 dengan perlakuan penambahan Ca dan P dalam pakan. Perlakuan A : penambahan Ca 0 g/kg pakan dan P 0 g/kg pakan, perlakuan B : penambahan Ca 6 g/kg pakan dan P 0 g/kg pakan, perlakuan C : penambahan Ca 0 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan, perlakuan D : penambahan Ca 6 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan, perlakuan E : penambahan Ca 12 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan dan perlakuan F : penambahan Ca 18 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan P sebesar 6 g/kg dan 0 g/kg ke dalam pakan secara nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan relatif, efisiensi pakan, kompisisi prosimat dan kandungan mineral tubuh juvenil ikan kerapu macan.
Kata Kunci: pertumbuhan, efisiensi pakan, komposisi proksimat, juvenile ikan kerapu
macan
Pengaruh Calsium dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan, Efisiensi Pakan...
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22 2
I. PENDAHULUAN Calcium(Ca) dan phosphor (P)
merupakan makro mineral yang ber-hubungan langsung dengan perkem-bangan dan pemeliharaan sistem skeleton serta berpartisipasi dalam berbagai proses fisiologis tubuh organisme. Kebutuhan Ca pada ikan dipengaruhi oleh kimia air, level P dalam pakan dan spesies (Lall, 2002). Hossain dan Furuichi (2000a, b, c) melaporkan bahwa penambahan Ca dalam pakan sangat diperlukan untuk pertumbuhan ikan belanak merah, Japanese flounder dan ikan scorpion. Pada kebanyakan spesies ikan, defisiensi P berakibat pada pertumbuhan yang lambat, efisiensi pakan yang jelek, mineralisasi tulang yang buruk, kandungan lipid tubuh yang tinggi serta kadar abu yang rendah (Tacon, 1992; Zainuddin et al., 2000; dan Lall, 2002). Ca dan P merupakan mineral yang saling sinergis (Zainuddin, 2001, 2004a) dan dalam bentuk hydroxyapatite dalam membentuk kristal-kristal tulang (Ye et al., 2006).
Beberapa spesies ikan kerapu sangat potensial dibudidayakan karena pertumbuhannya cepat, konversi pakan yang efisien dan nilai jualnya yang tinggi (Millamena, 2002; Zainuddin et al., 2004b). Sebagai contoh kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan salah satu jenis yang umum dibudi-dayakan di Indonesia (Zainuddin et al., 2008). Penelitian tentang aspek nutrisi ikan kerapu yang dilaporkan umumnya pada komponen utama pakan diantaranya kebutuhan protein (Shiau dan Lan, 1996), karbohidrat (Shiau dan Lin, 2001) dan kebutuhan lipid (Lin dan Shiau, 2003). Informasi tentang kebutuhan mineral bagi ikan kerapu sangat terbatas. Penelitian Zhou et al. (2004) melapor-kan kebutuhan P dalam pakan kerapu E. coioides sebesar 0,86% dari total pakan, serta Ye et al. (2006) melaporkan
penambahan Ca dan P masing-masing 6 g/kg pakan memberikan pertumbuhan yang optimum pada spesies yang sama. Namun demikian, penelitian kebutuhan akan Ca dan P dalam pakan pada jenis kerapu macan E. fuscoguttatus masih sangat terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar Ca dan P dalam pakan yang sesuai untuk pertumbuhan, efisiensi pakan juvenil kerapu macan, komposisi proksimat tubuh, morfometri dan kandungan mineral tubuh juvenil kerapu macan.
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah diperolehnya infor-masi baru bagi pengembangan iptek khususnya dalam bidang nutrisi dengan penentuan komposisi pakan juvenil kerapu macan yang tepat, akurat dan efisien serta sebagai informasi baru bagi industri/perusahaan pakan khususnya pakan kerapu macan. II. METODE PENELITIAN
2.1. Tempat dan Waktu
Penelitian berlangsung dari Juli – Nopember 2009 di Balai Budidaya Air Payau Takalar. 2.2. Pakan uji
Pakan uji yang digunakan sebanyak 6 pakan dengan dua level P (dengan dan tanpa penambahan P). Pakan uji meru-pakan pakan dengan formulasi sendiri dengan formulasi pakan dasar seperti yang disajikan pada Tabel 1.
Pakan A dan B tanpa penambahan P, pakan C, D, E dan F dengan penambahan P masing-masing 6 g/kg (sumber P digunakan NaH2PO42H2O).
Kedalam masing-masing pakan tersebut (A, B, C, D, E, dan F) masing-masing ditambahkan Ca berturut-turut sebesar 0,0; 6,0; 0,0; 6,0; 12,0; dan 18,0 g/kg (Ca-carbonat sebagai sumber Ca) (Tabel 2).
Zainuddin
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 3
Tabel 1. Komposisi pakan dasar
Tabel 2. Komposisi pakan uji setelah ditambahkan Ca dan P
Bahan pakan Pakan uji (g/kg pakan)
A B C D E F Tepung ikan 400 400 400 400 400 400 Tepung kedelei 150 150 150 150 150 150 Tepung jagung 100 100 100 100 100 100 Minyak ikan 65 65 65 65 65 65 Minyak jagung 70 70 70 70 70 70 Mineral mix 20 20 20 20 20 20 Vitamin mix 20 20 20 20 20 20 Ca 0 6 0 6 12 18 P 0 0 6 6 6 6 Sellulosa 175 169 169 163 157 151
Semua bahan kering yang diguna-kan ditimbang dan dicampur dalam mixer selama 15 menit, minyak ikan dan minyak jagung ditambahkan ke dalam mixer lalu diaduk selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan air sebanyak 250 mL/kg pakan kering dan diaduk selama 15 menit. Selanjutnya dibuat pakan dalam bentuk semimoist. Pakan ini disimpan dalam lemari pendingin pada suhu –20oC sebelum digunakan.
Setelah analisis proksimat diper-oleh komposisi nutrisi pakan uji seperti yang disajikan pada Tabel 3. 2.3. Prosedur penelitian
Juvenil kerapu macan E. fusco-guttatus diperoleh dari pendederan Balai Budidaya Air Payau Takalar. Jumlah juvenil yang disiapkan sebanyak 300 ekor dengan panjang rata-rata 12 cm dan
bobot rata-rata 40 g/ekor. Juvenil-juvenil ini diadaptasikan di dalam bak-bak berkapasitas 5 ton pada kondisi lingkungan suhu 31oC dan salinitas 30 ppt. Selama masa adaptasi ikan uji diberi pakan uji A (pakan tanpa penambahan Ca dan P) hingga juvenil terbiasa memakan pakan buatan secara total. Aklimatisasi dilakukan selama 3 hari supaya P yang terdeposit masih sangat rendah. Juvenil yang telah diaklimatisasi dan diseleksi menurut ukuran panjang dan bobot yang relatif sama ditebar secara acak ke dalam 18 buah ember plastik berkapasitas 80 L. Setiap wadah diisi juvenil sebanyak 5 ekor dengan panjang tubuh rata-rata 12 ± 0,3 cm dan bobot rata-rata 40 ± 0,85 g per ekor. Air yang digunakan adalah air laut yang telah disaring dengan salinitas 30 ± 0,5 ppt.
Komposisi bahan g/kg pakan kering Tepung ikan 400 Tepung kedelai 150 Tepung jagung 100 Minyak jagung 70 Minyak ikan 65 Mineral mix tanpa Ca & P 20 Vitamin mix 20 Sellulosa 175
Pengaruh Calsium dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan, Efisiensi Pakan...
4 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tabel 3. Komposisi nutrisi pakan uji
Pakan Komposisi (%)
Protein kasar
Lemak kasar
Serat kasar
BETN Kadar Abu Ca P
A 41,31 22,83 2,11 16,19 17,56 2,44 1,36 B 40,96 23,11 2,32 15,79 17,83 2,99 1,70 C 41,12 22,97 2,08 15,73 18,10 3,18 1,86 D 41,28 23,04 2,18 15,37 18,13 3,58 1,89 E 40,88 22,86 2,29 16,14 17,83 3,68 1,91 F 41,42 23,19 2,13 15,30 17,96 3,79 1,94 Ket. Hasil analisis Lab. Kimia Makanan Ternak, Fak. Peternakan Unhas,2009
Cahaya alami digunakan selama
pemeliharaan.Pemberian pakan dilakukan secara satiasi (kenyang) yang diberikan dua kali perhari yakni pukul 09.00 dan 16.00 selama 8 minggu.
2.4. Sampling dan metode analisa
Pada awal percobaan, sebanyak 5 ekor juvenil diambil secara acak untuk analisa awal komposisi tubuh.Pada akhir penelitian (hari ke-60 pemeliharaan), 5 ekor juvenil diambil secara acak dari setiap tangki untuk analisa komposisi tubuh. Kandungan mineral pada pakan dan tubuh juvenil ikan diukur dengan menggunakan plasma atomic emission spectrophotometer. Kadar air, protein kasar, lemak kasar dari pakan uji, dan tubuh ikan diukur dengan metode standar (AOAC, 1984). Kadar air diukur melalui pengeringan dalam oven pada 105oC selama 24 jam; protein kasar dianalisa dengan metode Kjeldahl; lemak kasar dianalisa dengan metode ekstraksi ether melalui system Soxlec. Analisa kadar abu dilakukan dengan pengabuan pada suhu 550oC selama 24 jam dalam muffle furnace.
2.5. Parameter uji
Paramater yang akan diuji dalam penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Ye et al. (2006) sebagai berikut:
1. Pertumbuhan bobot, WG = 100x
2. Efisiensi pakan, FE = 100%
3. Kandungan mineral Ca dan P pada tubuh
4. Komposisi proksimat tubuh yang diuji pada seluruh tubuh
5. Morfometri meliputi: a. Faktor kondisi,
CF = 100x
b. Indeks somatic organ dalam, VSI = 100x
2.6. Rancangan Perlakuan Adapun perlakuan yang diterapkan
dalam penelitian ini adalah penambahan Ca dan P dalam pakan masing-masing sebagai berikut: Perlakuan A: penambahan Ca 0 g/kg pakan dan P 0 g/kg pakan, Perlakuan B: penambahan Ca 6 g/kg pakan dan P 0 g/kg pakan, Perlakuan C: penambahan Ca 0 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan, Perlakuan D: penambahan Ca 6 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan, Perlakuan E: penambahan Ca 12 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan, dan Perlakuan F: penambahan Ca 18 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan
Zainuddin
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 5
Setiap perlakuan diberi ulangan sebanyak 3 kali sehingga terdapat 18 satuan percobaan.Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL).
2.7. Analisis Statistik
Seluruh data dipresentasikan secara rata-rata dan dianalisis varians satu arah (SPSS for Windows ver 11,5) untuk menguji perbedaan antara perlakuan. Jika terdapat pengaruh perlakuan terhadap parameter uji, maka dilanjutkan dengan uji beda nilai tengah BNT pada taraf kepercayaan 5%.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pertumbuhan Bobot Relatif dan
Efisiensi Pakan Data hasil pertumbuhan bobot
relatif dan efisiensi pakan juvenil ikan kerapu macan selama pemeliharaan disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan bobot relatifjuvenil kerapu macan tertinggi diperoleh pada perlakuan C sebesar 66,25% diikuti oleh perlakuan F 65,25%, perlakuan B 65,00%, perlakuan E 52,00%, perlakuan D 44,75% dan terendah pada perlakuan A sebesar
42,25%. Sementara itu, efisiensi pakan tertinggi diperoleh pada perlakuan C sebesar 12.30% diikuti perlakuan B 11.30%, perlakuan F 10.61%, perlakuan E 8.88%, perlakuan D 7.88% dan terendah pada perlakuan A sebesar 7.70%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot dan efisiensi pakan juvenile yang tidak ditambahkan Ca dan P dalam pakannya (perlakuan A) secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang di dalam pakannya ditambahkan Ca dan P. Hal ini disebabkan karena pakan A (tanpa Ca dan P) mengakibatkan juvenile ikan kerapu macan mengalami defisiensi terhadap Ca dan P. Defisiensi terhadap Ca dan P tidak hanya mengakibatkan pertumbuhan yang terhambat tetapi efisiensi pakan juga jelek serta dalam jangka panjang ikan akan mengalami malformation (Steffens, 1989). Hasil penelitian menunjukkan perlakuan C (penambahan P 6g/kg) menyebabkan pertambahan bobot dan efisiensi secara nyata signifikan (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan P. Hal ini menunjukkan bahwa pada pakan uji dengan penambahan P sebesar 6g/kg telah mencukupi kebutuhan juvenile sehingga
Tabel 4. Pertumbuhan bobot relatif dan efisiensi pakanjuvenil kerapu macan pada
semua perlakuan
Perlakuan Penambahan Ca dan P dalam pakan
(g/kg pakan)
Rerata Pertumbuhan bobot relatif
(%)
Efisiensi Pakan (%)
A (0 Ca, 0 P) 42,25±5,303a 7.70±1,041a B (6 Ca, 0 P) 65,00±4,419b 11.30±0,352bc C (0 Ca, 6 P) 66,25±1,767bc 12.30±0,288b D (6 Ca, 6 P) 44,75±0,353a 7.88±0,354a E (12 Ca, 6 P) 52,00±9,899acd 8.88±1,346ac F (18 Ca, 6 P) 65,25±9,545bd 10.61±1,823bc
Ket. Huruf superscript yang berbeda dibelakang angka pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05)
Pengaruh Calsium dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan, Efisiensi Pakan...
6 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
dapat bertumbuh dengan baik. Demikian pula halnya dengan kondisi lingkungan pemeliharaan yang sesuai dengan pertumbuhan dan efisiensi pakan juvenile kerapu macan. Selama masa pemeliharaan kondisi lingkungan meliputi oksigen terlarut sebesar 4,5 ± 0,15 ppm, suhu 31 ± 0,5 oC, salinitas 30 ± 0,5 ppt dan pH 8 ± 0,5. Kondisi lingkungan seperti ini sangat mendukung kelangsungan hidup organisme budidaya. Sebagai perbandingan dengan peneliti lain yang menunjukkan terjadinya pertumbuhan yang lambat dan efisiensi pakan yang rendah akibat defisiensi P pada ikan sea bass Eropa (Oliva-Teles and Pimentel-Rodrigues, 2004), dan haddock (Roy and Lall, 2003).
3.2. Komposisi Proksimat Tubuh dan
Morfometri Komposisi proksimat tubuh juvenil
kerapu macan yang diberi pakan dengan kandungan Ca dan P yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan uji tanpa penambahan Ca dan P memiliki kandungan lemak tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kandungan lemak tubuh semakin menurun seiring dengan peningkatan level penambahan Ca dan P ke dalam pakan meskipun tidak berbeda secara signifikan. Menurunnya kandungan lemak ini sebagai respon terhadap peningkatan jumlah P yang ada di dalam pakan dan hal ini terlihat pada setiap perlakuan penambahan Ca dan P di dalam pakan. Pakan uji tanpa penam-bahan P menyebabkan kadar abu pada tubuh lebih rendah, demikian pula halnya dengan kandungan BETN (Bahan Ekstraks Tanpa Nitrogen) meskipun keduanya tidak berbeda secara signifikan. Hal ini disebabkan karena fungsi P dalam pembentukan tulang sangat signifikan. Dalam proses mineralisasi tulang Ca dan P memiliki peran yang penting karena
sekitar 80 – 90% unsur tulang tersusun dari Ca, P dan Mg.
Pakan uji tanpa penambahan P menyebabkan faktor kondisi, indeks somatic organ dalam dan kandungan lemak tubuh tinggi. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian-penelitian sebelumnya (Skonberg et al., 1997; Zainuddin dkk. 2000; Vielma et al., 2002; Roy dan Lall, 2003). Akumulasi lemak dalam tubuh sebagai dampak dari defisiensi P berhubungan dengan perubahan metabolisme intermedier yang lebih cepat dari pakan yang dikonsumsi (Vielma et al., 2002). Dengan demikian deposit lemak akan berlangsung lebih cepat jika pakan kekurangan atau defisiensi P. Berdasarkan penelitian ini, konsumsi pakan pada perlakuan tanpa penambahan P juvenil mengkonsumsi pakan lebih sedikit. Hal ini membuktikan bahwa akumulasi lipid tidak berhu-bungan dengan banyaknya pakan yang dimakan.
3.3. Kadar Abu dan Kandungan Ca
dan P pada Tulang Kadar abu dan kandungan mineral
pada tulang belakang juvenil kerapu macan disajikan pada Tabel 6.
Hasil penelitian menunjukkan kadar abu, kandungan Ca dan P pada tulang ikan kerapu macan secara signifikan (P<0,05) lebih rendah pada pakan uji tanpa penambahan P. Kecuali perlakuan A, semua perlakuan lainnya mengalami peningkatan kadar abu tulang juvenil ikan kerapu macan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan Ca dan P berpengaruh positif terhadap peningkatan kadar abu tulang. Demikian pula halnya dengan kandungan Ca dan P pada tulang menunjukkan peningkatan yang signifikan pada semua perlakuan penambahan Ca dan P dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan Ca dan P (Tabel 7). Hal ini mempertegas
Zainuddin
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 7
Tabel 5 Komposisi tubuh dan morfometri juvenil kerapu macan yang diberi pakan dengan kandungan Ca dan P yang berbeda
Komposisi (%) Awal Perlakuan Penambahan Ca dan P dalam pakan (g/kg pakan)
A B C D E F Tubuh Protein 76.02 79.75 79.27 78.21 78.06 79.63 77.73 Lemak 8.04 7.44 6.65 6.90 6.56 6.42 6.42 Sera kasar 5.51 1.95 1.27 2.75 2.30 1.79 3.32 BETN 1.98 2.16 2.60 2.69 2.88 2.22 3.32 Kadar Abu 8.45 8.71 10.21 9.46 10.21 9.95 10.06 Morfometri CF (g/cm3) 2,30 2.34 2.29 2.27 2.55 2,42 2,57 VSI 3.18 4.09 3.21 4.23 4.22 3.93 4.65 Ket. Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05); CF = faktor kondisi; VSI = indeks
somatic organ dalam; BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Tabel 6. Kadar abu dan kandungan mineral pada tulang juvenil kerapu macan pada semua perlakuan
Konsentrasi (%) Awal Perlakuan Penambahan Ca dan P dalam pakan (g/kg pakan)
A B C D E F Kadar Abu 31.18 26.44a 32.94b 31.50b 31.11b 32.27b 31.55b Ca 10.39 8.96a 10.96b 10.92b 10.67b 11.17b 11.04b P 5.02 5.10a 6.44b 6.16b 6.23b 6.57b 6.43b
Ket. Huruf superscript yang berbeda dibelakang angka pada baris yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05)
bahwa P sangat dibutuhkan dalam proses mineralisasi tulang, karena 80 – 90% tulang tersusun oleh P, selain Ca dan Mg. Hasil yang sama pada penelitian Roy dan Lall (2003) yang melaporkan penggunaan pakan tanpa penambahan P menyebabkan kadar abu, Ca dan P secara nyata lebih rendah pada tulang dan operculum ikan haddock.
Penambahan Ca dalam pakan berpengaruh signifikan terhadap kadar abu, Ca dan P tulang pada dua level P yang berbeda. Ketika pakan tidak ditambahkan dengan P, penambahan Ca pada pakan basal memberikan pengaruh yang sama terhadap kadar abu, Ca dan P tulang. Hal ini menunjukkan bahwa jika P tidak tersedia maka penambahan Ca juga tidak akan mampu memperbaiki proses mineralisasi tulang atau deposit Ca dan P. Ca dan P merupakan mineral
yang saling sinergis (Zainuddin dkk. 2000). Penelitian yang menunjukkan hasil yang sama telah dilakukan diantaranya pada ikan black sea bream (Hossain and Furuichi, 1999) dan atlantic salmon (Vielma and Lall, 1998a).
Lebih lanjut hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan Ca di atas 12 g/kg pakan akan menurunkan kadar abu, Ca dan P tulang. Hasil penelitian serupa pada kerapu batik (Ye et al., 2006). Porn-Ngam et al. (1993) melaporkan bahwa absorbsi P dapat terhalang akibat adanya peningkatan Ca dalam pakan. Hal ini terjadi karena pada ikan laut mampu menyerap lebih banyak Ca dari lingkungannya. Akan tetapi, penelitian Vielma and Lall (1998a) menunjukkan bahwa penambahan Ca dalam pakan tidak memberikan dampak negatif terhadap kadar abu, Ca dan P
Pengaruh Calsium dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan, Efisiensi Pakan...
8 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
tulang ketika P juga ditambahkan. Berbeda halnya di perairan tawar yang membutuhkan Ca lebih tinggi di dalam pakannya. Hal ini bisa saja terjadi karena kondisi media air tawar dan air laut yang digunakan berbeda, dimana diketahui bahwa kandungan Ca pada air laut jauh lebih banyak dibandingkan pada air tawar.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan Pertumbuhan bobot
relatif,efisiensi pakan, komposisi proksimat tubuh dan kandungan mineral tubuh juvenil ikan kerapu macan secara signifikan mengalami perubahan setelah ditambahkan Ca dan P di dalam pakannya. Perlakuan terbaik dari penelitian ini adalah penambahan P sebesar 6g/kg pakan dan Ca 0g/kg ke dalam pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Hossain, M.A., and M. Furuichi. 1999.
Necessity of dietary calcium supplement in black sea bream. Fish. Sci., 65:893-897.
Hossain, M.A., and M. Furuichi. 2000a. Essentiality of dietary calcium supplement in redlip mullet Liza haematocheila. Aquac. Nutr., 6:33–38.
Hossain, M.A., and M. Furuichi. 2000b. Necessity of calcium supplement to the diet of Japanese flounder. Fish. Sci., 66:660–664.
Hossain, M.A., and M. Furuichi. 2000c. Essentiality of dietary calcium supplement in fingerling scorpion fish (Sebastiscus marmoratus). Aquaculture, 189:155–163.
Lall, S.P. 2002. The minerals. In: Halver, J.E., Hardy, R.W. (Eds.), Fish Nutrition, 3rd ed. Academic Press, San Diego, CA, 259–308pp.
Lin, Y.H. and S.Y. Shiau. 2003. Dietary lipid requirement of grouper, Epinephelus malabaricus, and effects on immune responses. Aquaculture, 225:243–250.
Millamena, O.M. 2002. Replacement of fish meal by animal byproduct meals in a practical diet for grow-out culture of grouper Epinephelus coioides. Aqua-culture, 204:75–84.
Oliva-Teles, A. and A. Pimentel-Rodrigues. 2004. Phosphorous requirement of European sea bass (Dicentrarchus labrax L.) juveniles. Aquac. Res., 35:636-642.
Porn-Ngam, N., S. Satoh, T. Takeuchi, and T. Watanabe. 1993. Effect of the ratio of phosphorous to calcium on zinc availability to rainbow trout in high phosphorous diet. Nippon Suisan Gakkaishi, 59:2065-2070
Roy, P.K. and S.P. Lall. 2003. Dietary phosphorous requirement of juvenile haddock (Melanogram-mus aeglefinus L.). Aquaculture, 221:451-468.
Shiau, S.Y. and C.W. Lan. 1996. Optimum dietary protein level and proteinto energy ratio for growth of grouper (Epinephelus malaba-ricus). Aquaculture, 145: 259–266.
Shiau, S.Y. and Y.H. Lin. 2001. Carbohydrate utilization and its proteinsparing effect in diets for grouper, Epinephelus malabaricus. Anim. Sci., 73:299–304.
Skonberg, D.I., L. Yogev, R.W. Hardy, and F.M. Dong. 1997. Metabolic response to dietary phosphorous intake in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Aqua-culture, 157:11-24.
Steffens, W. 1989. Principles of fish nutrition. John Wiley & Sons. New York.
Zainuddin
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 9
Suderajad, P. 2003. Pengaruh penam-bahan kalsium dalam pakan terhadap pertumbuhan dan sintasan juvenil ikan bandeng (Chanos chanos). Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Univer-sitas Hasanuddin. Makassar.
Tacon, A.G. 1992. Nutritional fish pathology. Morphological signs of nutrient deficiency and toxicity in farmed fish. FAO Fisheries Technical Paper, vol. 330. FAO, Rome, Italy. 75 pp.
Vielma, J. and S.P. Lall. 1998a. Phosphorus utilization by Atlantic salmon (Salmo salar) reared in freshwater is not influenced by higher dietary calcium intake. Aquaculture, 160:117–128.
Vielma, J. and S.P. Lall. 1998b. Control of phosphorous homeostasis of Antalantic salmon (Salmo salar) in fresh water. Fish Physiol. Biochem., 19:83-93.
Vielma, J., J. Koskela, and K. Ruohonen. 2002. Growth, bone minerali-zeation, and heat and low oxygen toelance in European whitefish (Coregonus lavaretus L.) fed with graded levels of phosphorous. Aquaculture, 212:321-333.
Ye, C.X., Y. Liu, L. Tian, K. Mai, Z. Y. Du, H. Yang, and J. Niu. 2006. Effect of dietary calcium and phosphorus on growth, feed efficiency, mineral content and body composition of juvenil grouper, Epinephelus coioides. Aquaculture, 255:263–271
Zainuddin, I. Mokoginta, R. Affandi, dan D. Yusadi. 2000. Kadar Fosfor Optimum dalam Pakan Benih Ikan Jambal Siam (Pangasius sutchi Fowler), Hayati, 7(2):41-44.
Zainuddin. 2001. Pengaruh Pemberian Mineral Fosfor dalam Pakan terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Juvenil Udang Windu (Penaeus mono-don), Lembaga Penelitian, Uni-versitas Hasanuddin. Makassar.
Zainuddin. 2004a. Pengaruh Calsium-Fosfor Dengan Rasio Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Udang Windu (Penaeus Monodon Fabr.). Lem-baga Penelitian, Universitas Hasa-nuddin, Makassar.
Zainuddin, A. Niartiningsih, Arifin, dan Supriadi. 2004. Pembesaran ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dalam Karamba Jaring Apung. Adaptive Research and Extention. Proyek Penge-lolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (MCRMP) Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.
Zainuddin, M.N. Nessa, M.I. Djawad, dan D. Dh. Trijuno. 2008. Deposit glikogen juvenil ikan kerapu macan (Epinephelus fuscogu-ttatus) pada frekeunsi pemberian pakan yang berbeda. Torani,18(2):179–186.
Zhou, Q.C., Y.J. Liu, K.S. Mai, and L.X. Tian. 2004. Effect of dietary phosphorus level on growth, body composition, muscle and bonemi-neral concentrations for orange-spotted grouper Epinephelus coioides reared in floating cages. J. World Aquac. Soc., 35:427–435.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 10-16, Desember 2010
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
10 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
IDENTIFIKASI JENIS IKAN ANEMON (Amphiprioninae) DAN ANEMON
SIMBIONNYA DI KEPULAUAN SPERMONDE, SULAWESI SELATAN
IDENTIFICATION OF ANEMONEFISHES (Amphiprioninae) AND THEIR
SIMBIONT IN SPERMONDE ARCHIPELAGO, SOUTH SULAWESI
Inayah Yasir, Syafiuddin, dan Sumarjito Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasauddin
Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar-90245
email: inayah.yasir@unhas.ac.id
ABSTRACT
The study was conducted in June 2009 around the waters of Samalona, Barranglompo,
Koedingareng Keke, Badi, Langkai and Kapoposang islands, representing four zones of
Spermonde Archipelago of South Sulawesi. Seven species of anemonefish from two
genera were found living symbiotically with 7 species of sea anemones. Those fishes
were Amphiprion clarkii, A. melanopus, A. ocellaris, A. sandaracinos, A. perideraion,
A. polymnus and Premnas biaculeatus. Three of these fishes were simbiotically found
with one species of anemone (specific symbiont), and one species of fish was
symbiotically found with five species of anemones.
Keywords: Amphiprioninae, Spermonde Archipelago, anemone symbiont
ABSTRAK
Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2009 di perairan pulau Samalona, P.
Barranglompo, P. Koedingareng Keke, P. Badi, P. Langkai dan P. Kapoposang yang
mewakili empat zona perairan Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Pada penelitian
ini ditemukan 7 jenis ikan giru yang berasal dari 2 genera dan hidup bersimbiosis
dengan 7 jenis anemon laut. Ketujuh jenis ikan giru tersebut adalah Amphiprion clarkii,
A. melanopus, A. ocellaris, A. sandaracinos, A. perideraion, A. polymnus dan Premnas
biaculeatus. Tiga diantara ikan giru ini ditemukan bersimbiosis hanya dengan 1 jenis
anemon saja (simbion spesifik), sedangkan 1 jenis lainnya ditemukan bersimbiosis
dengan 5 jenis anemon.
Kata Kunci: Amphiprioninae, Kepulauan Spermode, anemon
I. PENDAHULUAN
Ikan merupakan organisme yang
jumlah biomassanya terbesar dan juga
organisme besar yang mencolok yang
dapat ditemui di ekosistem terumbu
karang. Banyaknya celah dan lubang
yang terdapat di daerah terumbu karang
memberikan tempat tinggal, perlindung-
an, tempat mencari makan dan ber-
kembang biak bagi ikan dan hewan
invertebrata yang berada disekitarnya
(Nybakken dan Bertness, 2004). Lebih
dari 4000 species ikan (atau sekitar 18%
dari jumlah species ikan yang ada di
seluruh dunia) dapat ditemukan di daerah
terumbu karang. Umumnya ikan-ikan
yang hidup di daerah terumbu karang ini
berukuran kecil dan menetap sepanjang
hidupnya di daerah tersebut. Salah satu
jenis ikan karang yang hidup di daerah
terumbu karang adalah ikan-ikan dari
Familia Pomacentridae, subfamilia
Amphiprioninae.
Semua ikan dalam subfamilia
Amphiprioninae hidup bersimbiosis
dengan anemon laut (Dunn, 1981; Fautin,
1991) dalam hubungan simbiosis
Yasir et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 11
mutualisme (Fautin dan Allen, 1992)
sehingga kelompok ikan ini juga dikenal
sebagai ikan anemon (anemonefish).
Pola warnanya yang indah, kemampuan-
nya untuk hidup dalam akuarium dan
hubungan simbiosis yang menarik
dengan anemon membuat ikan ini sangat
diminati oleh pencinta ikan hias laut
(Fautin dan Allen, 1997). Akibat
kepopularannya, ikan anemon dijuluki
juga ‘ikan mas’ akuarium air laut (Hoff,
1996).
Kepulauan Spermonde,yang oleh
masyarakat di kepulauan ini dikenal
dengan nama Pulau-pulau Sangkarang,
adalah gugusan pulau-pulau yang terletak
di pesisir barat daya Pulau Sulawesi.
Mata pencaharian utama penduduk di
Kepulauan Spermonde adalah sebagai
nelayan yang memanfaatkan sumberdaya
wilayah pesisir. Menurunnya hasil tang-
kapan ikan di daerah sekitar Kepulauan
Spermonde memaksa hanya nelayan
dengan modal menengah hingga besar
yang dapat tetap melaut, sedangkan yang
hanya bermodalkan perahu kecil tanpa
motor harus mencari sekitar pulau saja.
Alternatif lain muncul seiring dengan
meningkatnya jumlah pemelihara ikan
hias air laut di seluruh dunia (Ziemann,
2001). Permintaan yang meningkat
akhirnya berdampak juga terhadap ikan-
ikan terumbu karang yang tadinya tidak
dieksploitasi karena tidak dikonsumsi.
Ikan-ikan anemon termasuk yang
paling terkena imbas dari trend ini,
karena permintaan dunia yang memang
tinggi untuk kelompok ikan ini (Wood,
2001; Wabnitz, 2003). Selain itu, keter-
gantungannya terhadap anemon membuat
ikan ini mudah untuk ditangkapi karena
di alam ikan ini tidak pernah jauh
meninggalkan anemon simbionnya.
Meskipun telah dikenal dan dieksploitasi
untuk keperluan ekspor, belum ada data
akurat tentang jenis ikan anemon yang
dapat ditemukan di pulau-pulau Kepu-
lauan Spermonde.
Diketahui di dunia terdapat 28 jenis
ikan anemone dari 2 genera yaitu genus
Amphiprion dengan 27 species dan genus
Premnas dengan 1 species (Allen, 1991)
yang tersebar di seluruh dunia. Menurut
Allen (1991) di Indonesia ditemukan 9
species yaitu Amphiprion akallopsis, A.
clarkii, A. ephippium, A. frenatus, A.
melanopus, A. ocellaris, A. periderion, A.
polymnus, A. sebae, dan A. sandaracinos,
lalau oleh Kuiter dan Tonozuka (2001)
ditambahkan dengan A. percula.
Semua ikan anemon hidup ber-
simbiosis mutualistik dengan anemon
tertentu (Allen, 1991). Dalam simbiosis
ini, ikan mendapat proteksi dan memakan
material non-metabolik yang dikeluarkan
oleh anemon. Di sisi lain, anemon
‘dibersihkan’ dan dilindungi dari pre-
dator oleh ikan simbionnya (Randall dan
Fautin, 2002).
Upaya identifikasi suatu organisme
diperlukan dalam pengenalan jenis ber-
dasarkan sifat-sifat morfologi, anatomi,
bahkan perilaku organisme tersebut.
Identifikasi didasarkan pada karak-ter
fisik dari bagian-bagian tubuh. Untuk
ikan kelompok Amphiprioninae, karakter
yang umum digunakan adalah perpaduan
antara penggunaan karakter morfometrik,
meristik dan pola pewarnaan tubuh
(Allen, 1991).
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan dari bulan
Juni sampai bulan Agustus 2009 pada 4
zona Kepulauan Spermonde yang berada
dalam kawasan pemerintahan Provinsi
Sulawesi Selatan. Pengambilan sampel
dilakukan pada tanggal 6 hingga 10 Juni
2009. Untuk zona 1 diwakili oleh Pulau
Samalona, zona 2 diwakili oleh P.
Barrang lompo dan P. Koedingareng
Keke sedangkan zona 3 diwakili oleh P.
Badi. Pulau Kapoposang dan P. Langkai
adalah pulau-pulau yang mewakili zona 4
(Gambar 1). Sampling dilakukan dengan
Identifikasi Jenis Ikan Anemon (Amphiprioninae) dan Anemon Simbionnya...
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22 12
cara menyelam menggunakan peralatan
selam hingga kedalaman 25 meter. Satu
pulau pengamatan dibagi ke dalam 4
daerah untuk memudahkan sampling.
Sampling dimulai dengan langsung turun
ke kedalaman 25 meter sebagai posisi
awal (starting point), lalu bergerak ke
satu arah hingga batas daerah sampling.
Sampling dilanjutkan dengan berbalik ke
arah diagonal mengikuti kontur perairan
naik ke kedalaman 15 meter. Lanjut lagi
dengan cara yang sama ke kedalaman 5
meter dst.
Ikan anemon yang ditemukan
diamati pola warna tubuh dan kecen-
derungan bentuk tubuh. Pola warna ikan
yang ditemukan kemudian dibandingkan
dengan pola warna ikan pada gambar
yang dibawa serta. Setelah proses iden-
tifikasi visual selesai, ikan kemudian
diambil gambarnya. Bila identifikasi
dengan pola warna masih meragukan, 2
ekor dari kelompok tersebut kemudian
ditangkap dengan menggunakan serok
lalu dipasangi label dan dimasukkan ke
dalam tas jaring untuk kemudian
diadakan identifikasi lanjutan di
laboratorium Biologi Laut, Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan
Yasir et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 13
Untuk identifikasi jenis, anemon
yang berasosiasi dengan ikan giru dicatat
lalu diambil gambarnya sebagai bahan
re-check nantinya untuk keperluan
identifikasi di laboratorium. Pengukuran
diameter anemon kemudian dilakukan
lalu dilanjutkan dengan menghitung
jumlah ikan yang ada dalam kelompok
itu. Data penunjang lainnya termasuk
organisme lain yang ikut menghuni
anemon (bila ada), kondisi ikan
Amphiprion (bertelur atau tidak) dan
kondisi ekologi sekitar anemon juga
dicatat dan diamati.
Ikan yang identifikasi lapangannya
dianggap meragukan, ditangkap untuk
kemudian diidentifikasi lebih lanjut di
laboratorium biologi laut dengan meng-
gunakan kombinasi metode morfometrik
dan meristik (Allen, 1991).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Di lokasi penelitian ditemukan
tujuh jenis dari dua genera dari
subfamilia Amphiprioninae, yaitu Amphi-
prion clarkii, A.melanopus, A. ocellaris,
A. perideraion, A. polymnus, A. san-
daracinos dan Premnas biaculeatus.
Ketujuh jenis Amphioprioninae yang
ditemukan di lokasi penelitian dapat
ditemukan di semua pulau lokasi
penelitian yang masuk pada zona 1, 2 dan
3, namun pada zona 4, hanya ada 5 jenis
yang ditemukan (Tabel 1).
Tabel 1. Penyebaran Amphiprioninae berdasarkan zona di Kepulauan Spermonde
Zona Pulau Jenis Amphiprioninae Kedalaman (m)
1 Samalona
Amphiprion clarkii 1-10
Amphiprion melanopus 1-10
Amphiprion ocellaris 1- 10
Amphiprion perideraion 1- 10
Amphiprion polymnus 16
Amphiprion sandaracinos 1- 2
Premnas biaculeatus 1- 10
2
Kodingareng Keke
dan Barrang
Lompo
Amphiprion clarkii 1- 19
Amphiprion melanopus 6
Amphiprion ocellaris 1- 13
Amphiprion perideraion 1- 12
Amphiprion polymnus 23
Amphiprion sandaracinos 2
Premnas biaculeatus 1- 15
3 Pulau Badi
Amphiprion clarkii 1-19
Amphiprion melanopus 4-6
Amphiprion ocellaris 4- 11
Amphiprion perideraion 1- 15
Amphiprion polymnus 9
Amphiprion sandaracinos 3- 9
Premnas biaculeatus 2- 12
4 Kapoposang &
Langkai
Amphiprion clarkii 3-11
Amphiprion ocellaris 5 -15
Amphiprion perideraion 4-29
Amphiprion polymnus 4-14
Premnas biaculeatus 5-11
Identifikasi Jenis Ikan Anemon (Amphiprioninae) dan Anemon Simbionnya...
14 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Pada zona 1, zona 2 dan zona 3
ditemukan Amphiprion clarkii, A.
melanopus, A. ocellaris, A. Polymnus, A.
Sandaracinos, A. perideraion dan
Premnas biaculeatus. Pada Zona 4 yang
merupakan zona terluar, hanya 5 jenis
Amphiprioninae yang ditemukan tanpa A.
sandaracinos dan A. melanopus. Pola
penyebaran yang tidak merata pada
kelompok ikan kemungkinan besar
disebabkan oleh kondisi lingkungan
pulau, seperti gelombang, arus,
kedalaman perairan dan kompleksitas
terumbu karang pada masing-masing
zona. Pada zona 1, 2 dan 3, kontur
kedalaman terumbu sekeliling pulau
berupa reef flat yang dilanjutkan dengan
reef slope. Kompleksitas terumbu karang
yang relatif bagus dan beragam jenisnya
di hampir semua sisi pulau
memungkinkan beragam anemon hidup
yang pada akhirnya menyediakan tempat
berlindung bagi ikan Amphiprioninae
(Allen, 1998). Zona-zona ini relatif
berbeda dibandingkan dengan zona 4
dengan areal yang cenderung sempit, dan
keberagaman kondisi terumbunya yang
kurang. Beberapa bagian pulau yang
berupa drop off dengan kondisi arus yang
cukup kuat kemungkinan besar menjadi
kendala bagi anemon simbion ikan
Amphiprioninae untuk hidup.
Keberadaan jenis anemon juga
turut mempengaruhi sebaran ikan
Amphiprioninae (Allen, 1972 dan Dunn,
1981). Jenis dan jumlah anemon yang
ditemukan di setiap pulau pada zona 1, 2
dan 3 cukup banyak bila dibandingkan
dengan jenis dan jumlah anemon yang
ditemukan di pulau-pulau yang mewakili
zona 4. Adanya beberapa jenis ikan
Amphiprioninae yang anemon simbion-
nya spesifik seperti A. sandaracinos yang
hanya berasosiasi dengan Stichodactyla
mertensii dan Premnas biaculeatus
dengan Entacmaea quadricolor (Allen,
1991), membuat penyebarannya tidak
merata.A. clarkiiditemukan di setiap zona
penelitian karena mampu menerima
berbagai jenis anemon sebagai
simbionnya. Dengan kata lain, jenis ini
tidak memiliki 'host' yang spesifik (Allen,
1991; Dunn, 1981).
Jenis anemon yang berbeda
mempunyai jenis toksin yang berbeda
pula, sehingga beberapa anemon
memiliki toksin yang lebih kuat daya
racunnya dibandingkan dengan jenis
yang lain (Mebs, 1994). Di lokasi
penelitian ditemukan A. clarkii yang
mampu bersimbiosis dengan 5 (lima)
jenis anemon yaitu Stichodactyla
mertensii, S. gigantea, Heteractis crispa,
H. aurora dan Entacmaea quadricolor.
Dari hasil analisis kimia lendir yang
menyelimuti A. clarkii disimpulkan kalau
jenis ini menghasilkan lendir sendiri yang
spesifik yang menyebabkan nematocyst
anemon tidak ditembakkan (Mebs, 2009).
Kemampuan ini menyebabkan A. clarkii
dapat hidup di banyak jenis anemon. A.
clarkii dapat hidup di tujuh jenis anemon
(Tabel 1, Fautin dan Allen, 1997), namun
di lokasi penelitian, hanya ditemukan
berasosiasi dengan lima jenis anemon
saja (Tabel 2).
Berbeda dengan A. clarkii, A.
sandaracinos ditemukan hanya beraso-
siasi dengan anemon jenis Stichodactyla
mertensii. Anemon jenis ini ditemukan
di semua pulau di zona 1, 2 dan 3,
sedangkan di zona 4 hanya ditemukan di
P. Langkai dengan ko-simbion A. clarkii.
Premnas biaculeatus dan A. melanopus
di lokasi penelitian hanya ditemukan
berasosiasi dengan anemon Entacmaea
quadricolor. Padahal menurut Allen
(1991), A. melanopus juga ditemukan
bersimbiosis dengan H. crispa dan H.
magnifica. Kedua jenis anemon ini juga
dijumpai di lokasi penelitian. Tidak
dihuninya kedua jenis anemon ini oleh A.
melanopus di lokasi penelitian
membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Yasir et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 15
H. crispa dan E. quadricolor
masing-masing dapat bersimbiosis
dengan 3 jenis Amphiprioninae (Tabel
2), namun H. crispa adalah jenis yang
paling banyak ditemukan dan juga paling
banyak dihuni oleh ikan Amphiprioninae.
Hal ini disebabkan karena H. crispa
dapat hidup di semua habitat yang bisa di
tempati anemon untuk hidup.
Berdasarkan pengamatan di
lapangan, jenis ini umumnya menghuni
habitat dengan kondisi pecahan karang
hancur, pasir dan celah-celah karang.
Kondisi ekologi ini pula yang men-
dominasi lokasi penelitian.
Selain ikan dari subfamilia
Amphiprioninae, di lokasi penelitian
ditemukan beberapa jenis biota lain yang
juga hidup berasosiasi dengan anemon.
Yang paling umum ditemukan adalah
ikan damsel Dascyllus trimaculatus,
kepiting Neopetrolisthes maculatus, dan
udang Periclemenes tosaensis. Namun
jenis ini ditemukan tidak di semua jenis
anemon. Untuk Dascyllus trimaculatus
hanya ditemukan di anemon jenis H.
magnifica, S. mertensii, H. crispa, S.
haddoni dan S. gigantea. Neopetrolisthes
maculatus hanya di anemon jenis S.
mertensii, E. quadricolor, S. haddoni dan
S. gigantea. Udang Periclimenes
tosaensis hanya ditemukan bersimbiosis
dengan anemon H. crispa, H. magnifica
dan S. haddoni (Tabel 2).
Berdasarkan hasil uji statistik
dengan analisis regresi menunjukan
bahwa tidak ada pengaruh yang nyata
antara besarnya koloni dengan ukuran
anemon simbionnya (P>0,05). Besar
atau kecilnya koloni ikan simbionnya
sepertinya lebih tergantung pada perilaku
dari masing-masing jenis daripada
ukuran anemon simbionnya.
Anemon dari jenis S. haddoni
dengan diameter 51 cm bersimbiosis
dengan A. polymnus dengan jumlah
hingga 31 ekor. Anemon jenis E.
quadricolor yang umumnya berukuran
besar, hanya dihuni oleh sepasang P.
biaculeatus. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan karena pola perilaku jenis
yang beragam. Sebagai contoh P.
biaculeatus cenderung sangat agresif
terhadap apapun yang mendekati anemon
simbionnya termasuk peneliti sendiri.
Jenis ini juga terkait sangat dekat dengan
anemonnya.
Tabel 2. Amphiprioninae dan jenis anemon simbionnya
No Simbiosis 1 2 3 4 5 6 7
1 Amphiprion clarkii X X X X X X
2 Amphiprion melanopus X
3 Amphiprion ocellaris X X
4 Amphiprion perideraion X X
5 Amphiprion polymnus X X
6 Amphiprion sandaracinos X
7 Premnas biaculeatus X
8 Dascyllus trimaculatus X X X X X
9 Neopetrolisthes maculatus X X X X
10 Periclimenes tosaensis X X X
Keterangan: 1. Heteractis magnifica, 2. H. crispa, 3. H. aurora, 4. Stichodactyla
haddoni, 5. S. gigantea, 6. S. mertensii, 7. Entacmaea quadricolor
Identifikasi Jenis Ikan Anemon (Amphiprioninae) dan Anemon Simbionnya...
16 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hal berbeda diamati pada A.
polymnus. Bila merasa terancam, koloni
A. polymnus yang mendiami anemon
cenderung meninggalkan anemone
simbionya meskipun tidak terlalu jauh.
Tetapi dua ikan dari koloni tersebut yang
berukuran paling besar akan berlindung
dengan cara masuk ke dalam mulut
anemon untuk kemudian keluar lagi bila
sumber gangguan telah hilang.
IV. KESIMPULAN
Terdapat tujuh jenis dari dua
genera Amphiprioninae yang ditemukan
di Kepulauan Spermonde berdasarkan
pembagian zona yaitu Amphiprion
clarkii, A. melanopus, A. perideraion, A.
polymnus, A. ocellaris, A. sandaracinos
dan Premnas biaculeatus. Ketujuh jenis
Amphioprioninae yang ditemukan di
lokasi penelitian berada pada zona 1, 2
dan 3, sedangkan di zona 4, hanya
ditemukan lima jenis. Terdapat tujuh
jenis anemon yang hidup bersimbiosis
dengan genera Amphiprioninae di
Kepulauan Spermode yaitu Heteractis
aurora, H.crispa, H. magnifica,
Stichodactyla mertensii, S. haddoni, S.
gigantea dan Entacmaea quadricolor.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G. R. 1991. Damselfishes of the
world. Germany, Hans A. Baensch.
Dunn, D. F. 1981. The clownfish sea
anemones: Stichodactylidae
(Coelenterata: Actiniaria) and other
sea anemones symbiotic with
pomacentrid fishes. Transactions of
the American Philosophical
Society, 71:115.
Fautin, D. G. 1991. The anemonefish
symbiosis: what is known and what
is not. Symbiosis, 10:23-46.
Fautin, D.G. and G.R. Allen. 1992. Field
guide to anemonefishes and their
host sea anemones. Australia,
Western Australian Museum.
Fautin, D.G. and G.R. Allen. 1997.
Anemone fishes and their host sea
anemones: a guide for aquarists and
divers. Western Australian
Museum.
Hoff, F.H. 1996. Conditioning, spawning
and rearing of fish with emphasis
on marine clownfish. Florida, Dade
City, Aquaculture Consultants, Inc.
Kuiter R.H. and T. Tonozuka. 2001.
Pictorial guide to Indonesian reef
fishes – Zoonetics- Australia
Mebs, D. 1994. Anemonefish symbiosis:
vulnerability and resistance of fish
to the toxin of the sea anemone.
Toxicon, 32:1059-1068.
Mebs, D. 2009. Chemical biology of the
mutualistic relationships of sea
anemones with fish and
crustaceans, Toxicon, doi:10.1016/
j.toxicon. 2009.02.027
Nybakken, J. W. and M. D. Bertness.
2004. Marine Biology: An
Ecological Approach.
Randall, J. E dan D.G. Fautin. 2002.
Fishes other than anemonefishes
that associate with sea anemones.
Coral Reefs, 21:188–190
Wabnitz, C.; M. Taylor; E. Green and T.
Razak. 2003. From Ocean to
Aquarium. Cambridge, UK, UNEP-
WCMC: 64.
Wood, E.M. 2001. Collection of coral
reef fish for aquaria: global trade,
conservation issues and
management strategies. Marine
Conservation Society, UK. 80pp.
Ziemann, D. A. 2001. The potential for
the restoration of marine
ornamental fish populations
through hatchery releases.
Aquarium Sciences and
Conservation, 3:107–117.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 17-25, Desember 2010
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 17
KERAGAAN REPRODUKSI IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis)
DARI ALAM (F-0), INDUK GENERASI PERTAMA (F-1), DAN INDUK
GENERASI KE DUA (F-2)
REPRODUCTION PERFORMANCE OF HUMPBACK GROUPER (Cromileptes
altivelis) FROM WILD BROODSTOCK (F-0), FIRST GENERATION
BROODSTOCK (F-1), AND SECOND GENERATION BROODSTOCK (F-2)
Tridjoko Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut – Gondol,
Email: tridjoko_gondol@yahoo.co.id
ABSTRACT
Grouper seeding technology still relies on the broodstock from the ocean, eventhough, the
existence of the broodstock is rare and difficult to obtain. The broodstock takes a long time to
mature and spawn. Therefore, to anticipate the scarcity humpback grouper from wild, it is
important to produce broodfish from aquaculture. This study was aimed to know the
reproduction performance of humpback grouper wild broodstock F-0, first generation
broodstock (F-1) and second generation broodstock (F-2). The cultured of humback grouper
broodstock used three tanks 75 m3 in volume (tank I, II and tank III). Tank I: reared 35 fishes
broodstock F-0. Tank II and tank III for reared each 50 fishes F-1 and F-2 broodstock. Food
for broodstock from the wild (F-0) was given from fresh trash fish, squid, and added vitamin
mixture, vitamin C and vitamin E. Meanwhhile, food given to F-1 and F-2 broodstock was a
commercial dry pellet (PG 9-10) that contains following nutrients: protein content of 43%, min.
fat of 9%, ash content of 13%, fiber levels of 2%, and moisture content of 12%. Mixture of
vitamin C and E were also added. The results showed that the humpback grouper F-0, F-1 and
F-2 were cultured in 75 m3 concrete tank was successfully spawn with the fertilization rate of
87%, 78% and 45% respectively. This result proves that the broodstock from F-0 gaved the best
results.
Keywords: Humpback grouper reproduction, wild broodstock (F-0), first generation (F-1),
seccond generation (F-2)
ABSTRAK
Teknologi pembenihan ikan kerapu bebek masih mengandalkan induk dari laut. Padahal induk
dari laut sudah sulit didapatkan dan hanya ada di perairan tertentu saja. Disamping itu induk dari
laut diperlukan waktu yang cukup lama untuk bisa matang gonad hingga memijah. Oleh karena
itu untuk mengantisipasi kelangkaan induk ikan kerapu bebek hasil tangkapan dari laut perlu
diupayakan produksi induk ikan kerapu yang berasal dari budidaya/generasi pertama (F-1)
maupun induk generasi ke dua (F-2). Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaan reproduksi
induk ikan kerapu bebek F-0, F-1 dan F-2. Bak pemeliharaan induk ikan kerapu bebek
menggunakan 3 tangki volume 75 m3 (tangki I, II dan III). Untuk tangki I diisi 35 ekor induk
kerapu bebek F-0, sedangkan pada tangki II dan III diisi induk F-1 dan F-2 masing-masing 50
ekor. Pakan induk F-0 yaitu ikan rucah segar, cumi-cumi dan juga ditambahkan vitamin mix,
vitamin C dan vitamin E. Sedangkan pakan untuk induk F-1 dan induk F-2 adalah pellet kering
komersial (PG 9-10) dengan kandungan nutrisi sebagai berikut: kadar protein min. 43%, kadar
lemak min 9%, kadar abu max. 13%, kadar serat max. 2% dan kadar air max. 12%, juga
ditambahkan vitamin mix, vitamin C dan vitamin E. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
induk ikan kerapu bebek F-0, F-1 dan F-2 yang dipelihara pada tangki volume 75 m3 secara
terkontrol sudah berhasil memijah dengan tingkat fertilisasi tertinggi 87%, 78% dan 45%. Hal
ini membuktikan bahwa induk F-0 memperlihatkan hasil yang terbaik.
Kata Kunci: reproduksi, induk kerapu alam (F-0), induk generasi pertama (F-1), induk
generasi ke dua (F-2)
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
18 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
I. PENDAHULUAN
Dari beberapa jenis ikan kerapu,
ikan kerapu bebek (Cromileptes
altvelis) adalah satu diantara jenis ikan
keluarga Serranidae yang bernilai
ekonomis tinggi, karena banyak diminati
oleh konsumen baik sebagai ikan hias
maupun sebagai ikan konsumsi. Upaya
untuk membudidayakan melalui pem-
benihan telah dilakukan oleh Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol
dan telah berhasil memproduksi benih
kerapu bebek dengan kelangsungan
hidup yang relatif tinggi (Tridjoko et al.,
1999; Sugama et al., 2001).
Salah satu faktor yang menjadi
kendala dalam usaha pembenihan ikan
kerapu khususnya ikan kerapu bebek
adalah ketersediaan induk. Selama ini
induk ikan kerapu yang dipijahkan
berasal dari alam yang biasa ditangkap
oleh para nelayan. Untuk memperoleh
induk ikan kerapu bebek ini relatif sulit,
karena hanya ada pada perairan-perairan
tertentu saja. Untuk menanggulangi
tantangan tersebut, maka sebagai
alternatif sudah saatnya dilakukan kajian
dan usaha-usaha untuk menyediakan
calon induk untuk dijadikan induk dari
hasil budidaya.
Dengan tersedianya induk hasil
budidaya ini diharapkan dapat diproduksi
induk yang berkualitas baik dan tidak
terjadi penurunan genetik serta bebas
penyakit. Produksi benih di hatcheri
sangat dipengaruhi oleh kondisi ling-
kungan (suhu, salinitas, variasi pakan,
kandungan nutrisi, kepadatan larva) dan
faktor genetik yang berbeda. Akhir-akhir
ini telah banyak dilakukan penelitian
mengenai pakan buatan terutama
kandungan nutrisinya pada ikan kerapu
bebek ( Giri et al., 1999 ; Suwirya et al.,
2001; Suwirya et al., 2002). Selanjutnya
keragaman genetik ikan perlu diper-
tahankan dalam proses penggunaan induk
dalam perbenihan, karena terjadinya
reduksi gen akan mengakibatkan
hilangnya sebagian karakter genetik
benih turunannya (Gondie et al., 1995;
Benzie dan William, 1996; Sugama et al.,
1998).
Tingginya keragaman genetik ini
juga banyak dipengaruhi oleh jumlah
induk dalam suatu populasi pembenihan
dan juga jumlah induk yang effektif
dalam suatu pemijahan. Benih hasil
budidaya turunan pertama (F-1) yang
dijadikan calon induk untuk pembenihan
sangatlah penting untuk diketahui nilai
rasio RNA/DNA-nya. Semakin tinggi
nilai rasio RNA/DNA pada ikan tersebut,
maka kualitas ikan juga semakin baik
(Caldarone dan Buckley, 1997; Jung dan
Clemmesen, 1997; Seginni dan Chung,
1997; Chicharo et al., 1998).
Secara bertahap penelitian induk
ikan kerapu bebek telah dimulai dari
induk yang berasal dari alam (F-0),
kemudian induk ikan hasil budidaya (F-
1) dan berikutnya induk generasi ke dua
(F-2). Penelitian diarahkan untuk
menghasilkan induk yang dapat diman-
faatkan untuk produksi benih berkualitas,
sehingga tidak lagi tergantung dari hasil
tangkapan di laut.
II. METODE PENELITIAN
Hewan uji yang digunakan adalah
induk ikan kerapu bebek F-0, F-1 dan F-
2. Untuk pemeliharaan induk ikan kerapu
bebek menggunakan 3 (tiga) bak beton
(bak I, bak II dan bak III) yang berbentuk
silinder , vulome 75 m3 dan kedalaman
air 2 meter. Pada bak I diisi induk ikan
kerapu bebek F-0 sebanyak 35 ekor,
sedangkan pada bak II dan bak II diisi
induk F-1 dan F-2 masing-masing 50
ekor.
Pada bak pemeliharaan induk
dilengkapi dengan airasi sebagai sumber
oksigen dan sistem air mengalir dengan
laju pergantian air antara 350 –
500%/hari. Pakan yang diberikan untuk
Tridjoko
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 19
induk F-0 adalah ikan rucah segar, cumi-
cumi dan juga ditambahkan vitamin mix,
vitamin C dan vitamin E. Sedangkan
pakan untuk induk F-1 dan induk F-2
adalah pellet kering komersial (PG 9-10)
dengan kandungan nutrisi sebagai
berikut: kadar protein min. 43%, kadar
lemak min 9%, kadar abu max. 13%,
kadar serat max. 2% dan kadar air max.
12%, juga ditambahkan vitamin mix,
vitamin C dan vitamin E. Bila pada bak
pemeliharaan induk ikan kerapu terlihat
adanya sisa makanan atau kotoran, maka
dilakukan penyiponan.
Selanjutnya antara 3 - 5 minggu
sekali induk direndam air tawar selama 5
- 10 menit untuk menghilangkan parasit
dan bak pemeliharaan induk dibersihkan
untuk menghindari dan menanggulangi
adanya berbagai kemungkinan serangan
penyakit. Pada pipa pembuangan air
dipasang jaring kecil berbentuk segi
empat dengan ukuran panjang 1 meter,
lebar 75 cm dan tinggi 60 cm sebagai
tempat penampungan telur yang terbuat
dari nylon monofilamen dengan ukuran
mata jaring 400 m.
Untuk mengetahui produksi telur
ikan kerapu bebek, maka setiap pagi jam
07:30 WITA dilakukan pengamatan pada
tempat penampungan telur . Selanjutnya
dilihat kualitas dan kuantitas telur
tersebut, yaitu jumlah telur yang
mengapung, jumlah telur yang teng-
gelam, jumlah total telur yang dihasilkan,
diameter telur, jumlah gelembung
minyak pada telur, diameter gelembung
minyak dan daya tetas telur.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan pemijahan induk
ikan kerapu bebek dari alam (F-0) yang
dipelihara pada tangki volume 75 m3
(tangki I) selama 1 tahun dari bulan
Januari sampai dengan Desember, tertera
pada Tabel (1). Dari 35 ekor induk
kerapu bebek dengan bobot tubuh antara
1800–3800 gram/ekor telah berhasil
memijah sebanyak 33 kali. Jumlah total
telur yang dihasilkan mencapai
15.349.000 butir telur. Dari jumlah total
telur yang didapatkan nampaknya telur
yang dibuahi berjumlah 8.350.000 butir
dan daya tetasnya antara 15-85%.
Sedangkan telur yang tidak dibuahi
sebanyak 6.995.000 butir. Dari hasil-hasil
penelitian mengenai pemijahan, bahwa
telur yang mempunyai daya tetas rendah
atau dibawah 35% akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan larva. Hal tersebut
berakibat pertumbuhan larva lambat, dan
sering terjadi kematian massal atau tidak
sampai umur 45 hari. Seperti halnya yang
terjadi pada ikan kerapu batik (Slamet
dan Tridjoko, 1997), kerapu bebek
(Tridjoko et al., 1999), dan juga pada
ikan laut lainnya seperti ikan napoleon
(Slamet et al., 1998), ikan cobia (Priyono
et al., 2005).
Dari 33 kali pemijahan, terlihat
bahwa pada bulan April, Mei dan Juni
tidak terjadi pemijahan (Gambar 1). Pada
bulan Maret, Juli, Agustus dan
September jumlah telur yang dihasilkan
masing-masing 699.000, 3.350.000,
3.325.000 dan 2.825.000 butir.
Sedangkan jumlah telur terbanyak terjadi
pada bulan Oktober yaitu 5.150.000
butir. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemijahan ikan-ikan
laut ekonomis penting pada umumnya
jumlah telur yang dihasilkan setiap
bulannya tidaklah stabil melainkan
terjadi fluktuasi. Seperti halnya yang
terjadi pada ikan bandeng (Vanstone et
al., 1977), ikan kerapu macan
(Setyadharma et al., 2003), dan ikan
kerapu sunu (Suwirya et al., 2003).
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
20 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tabel 1. Hasil pengamatan pemijahan induk ikan kerapu bebek dari alam (F-0) selama
penelitian berlangsung.
______________________________________________________________________
Parameter Hasil Pengamatan (Tangki I)
______________________________________________________________________
Jumlah Induk (ekor) 35
Kisaran bobot tubuh (g) 1900-3800
Pemijahan (kali) 33
Jumlah total telur (butir) 15.349.000
Telur yang mengapung/dibuahi (butir) 8.350.000
Telur yg mengendap/tdk dibuahi (butir) 6.995.000
Diameter telur (m) 820-915
Diameter gelembung minyak (m) 158-215
Daya tetas telur (%) 15-87
______________________________________________________________________
Gambar 1. Jumlah total telur yang dihasilkan dari pemijahan induk ikan kerapu bebek
dari alam (F-0).
Selanjutnya hasil pengamatan
pemijahan induk ikan kerapu bebek
generasi pertama (F-1) yang dipelihara
pada tangki volume 75 m3 (tangki II)
selama 8 bulan dari bulan Januari sampai
dengan Agustus, tertera pada Tabel (2).
Dari 50 ekor induk kerapu bebek dengan
bobot tubuh antara 1150– 18500
gram/ekor telah berhasil memijah
sebanyak 27 kali. Jumlah total telur yang
dihasilkan mencapai 5.642.000 butir
telur. Dari jumlah total telur yang
didapatkan nampaknya telur yang
dibuahi berjumlah 1.154.000 butir dan
yang tidak dibuahi 4.488.000 butir.
Diameter telur 799 – 818 m , sedangkan
daya tetas telur antara 10-78%. Induk
ikan kerapu bebek generasi pertama ini
memijah setiap bulan, dan frekuensi
pemijahan sebanyak 27 kali (Gambar 2).
Jumlah total telur tertinggi yang
dihasilkan selama pemijahan terjadi pada
bulan Agustus yaitu sebanyak 1.045.000
butir, sedangkan yang terrendah pada
bulan Januari yaitu 260.000 butir.
0
1.000.000
2.000.000
3.000.000
4.000.000
5.000.000
6.000.000
Jum
lah
telu
r (bu
tir)
Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt
Bulan
Tridjoko
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 21
Tabel 2. Hasil pengamatan pemijahan induk ikan kerapu bebek generasi pertama (F-1)
selama penelitian berlangsung
______________________________________________________________________
Parameter Hasil Pengamatan (Tangki II)
______________________________________________________________________
Jumlah Induk (ekor) 50
Kisaran bobot tubuh (g) 1150-1850
Pemijahan (kali) 27
Jumlah total telur (butir) 5.642.000
Telur yang mengapung/dibuahi (butir) 1.154.000
Telur yg mengendap/tdk dibuahi (butir) 4.488.000
Diameter telur (m) 799-818
Diameter gelembung minyak (m) 162-165
Daya tetas telur (%) 10-78
______________________________________________________________________
Gambar 2. Jumlah total telur yang dihasilkan dari pemijahan induk ikan kerapu bebek
generasi pertama (F-1)
Jumlah telur yang dihasilkan dari
pemijahan induk kerapu bebek generasi
pertama lebih sedikit jika dibandingkan
dengan induk ikan kerapu bebek
tangkapan di alam. Hal tersebut diduga
bahwa ukuran induk dari alam lebih
besar, disamping faktor lainnya seperti
umur ikan dan lain-lain (Tridjoko et al.,
1996). Dari bulan Januari sampai dengan
bulan April jumlah total telur yang
dihasilkan terus mengalami trend
kenaikan, dan turun lagi pada bulan Mei.
Pada bulan berikutnya Mei, naik lagi
hingga bulan Agustus, seperti yang
tertera pada Gambar (2).
Berikutnya hasil pengamatan
pemijahan induk ikan kerapu bebek
generasi ke dua (F-2) yang dipelihara
pada tangki volume 75 m3 (tangki III)
selama 8 bulan dari bulan Januari sampai
dengan Agustus, tertera pada Tabel (3).
Dari 50 ekor induk kerapu bebek F-2
dengan bobot tubuh antara 850– 1200
gram/ekor telah berhasil memijah
sebanyak 36 kali. Jumlah total telur yang
dihasilkan mencapai 12.800.000 butir
0
200000
400000
600000
800000
1000000
1200000
Jum
lah
telu
r (bu
tir)
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul AgtBulan pemijahan
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
22 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
telur. Dari jumlah total telur yang
didapatkan, telur yang dibuahi berjumlah
1.497.000 butir dan yang tidak dibuahi
11.303.000 butir. Diameter telur 710 –
861 m, sedangkan daya tetas telur
antara 0-55%.
Dari 36 kali pemijahan, terlihat
bahwa dari bulan Maret sampai dengan
bulan Oktober terjadi pemijahan dan
(Gambar 3). Jumlah telur terbanyak
terjadi pada bulan Juni yaitu 2.285.000
butir. Dari hasil pengamatan pemijahan
induk kerapu bebek F-2 yang masih
belum stabil dan masih relatif sedikit,
diduga bahwa jumlah individu jantan
yang siap membuahi masih belum
memadai.
Hal tersebut berkaitan dengan
perkembangan gonad yang secara alami
membutuhkan waktu yang cukup lama
terutama bagi induk kerapu bebek jantan,
karena sifatnya yang "protogynous
hermaphrodit". Sifat tersebut dimana
betina dewasa akan mengalami
perubahan kelamin menjadi jantan
(Mishima dan Gonzares, 1994). Namun
perubahan kelamin ikan kerapu
tergantung pada ukuran, umur dan
jenisnya. Oleh karena itu dalam
manejemen induk kerapu bebek hasil
budidaya F-1 maupun F-2 agar cepat
mendapatkan induk jantan diperlukan
rekayasa hormonal.
Tabel 3. Hasil pengamatan pemijahan induk ikan kerapu bebek generasi pertama (F-2)
selama penelitian berlangsung
______________________________________________________________________
Parameter Hasil Pengamatan (Tangki III)
______________________________________________________________________
Jumlah Induk (ekor) 50
Kisaran bobot tubuh (g) 850-1200
Pemijahan (kali) 36
Jumlah total telur (butir) 12.800.000
Telur yang mengapung/dibuahi (butir) 1.497.000
Telur yg mengendap/tdk dibuahi (butir) 11.303.000
Diameter telur (m) 710-861
Diameter gelembung minyak (m) 147-175
Daya tetas telur (%) 0-45
______________________________________________________________________
Gambar 3. Jumlah total telur yang dihasilkan dari pemijahan induk ikan kerapu bebek
turunan ke-2 (F-2)
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep OktBulan pemijahan
Jum
lah
telu
r (bu
tir)
Tridjoko
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 23
Rekayasa hormonal merupakan
salah satu alternatif dalam menunjang
atau mempercepat proses perkembangan
oosit. Untuk perkembang biakan secara
buatan tersebut dapat dilakukan dengan
cara implantasi (Vanstone et al., 1977;
Crim, 1985; Lee et al., 1986 ; Kuo et al.,
1988; Tridjoko et al., 1997). Penelitian
implan hormon juga telah dilakukan pada
beberapa jenis ikan, seperti pada ikan
bandeng ( Prijono et al, 1990), ikan
kerapu macan (Setiadharma et al, 2001)
ikan napoleon (Slamet et al., 1999) ikan
kerapu sunu (Suwirya et al, 2005).
Dari hasil pemijahan induk kerapu
bebek F-0, F-1 dan F-2, maka dilakukan
pengamatan pemeliharaan larva.
Pertumbuhan larva hingga mencapai
umur 25 hari , seperti yang tertera pada
Gambar (4) berikut ini :
0 5 10
D-1
D-10
D-20
Um
ur (h
ari)
Panj. total larva (mm)
F-3F-2F-1
Gambar 4. Pertumbuhan panjang total
larva ikan kerapu bebek F-1,
F-2 dan F-3 yang dipelihara
selama 25 hari (D-25)
IV. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa induk ikan kerapu bebek F-0, F-1
dan F-2 yang dipelihara pada tangki
volume 75 m3 secara terkontrol sudah
berhasil memijah dengan tingkat
fertilisasi tertinggi 87%, 78% dan 45%.
Hal ini membuktikan bahwa induk F-0
memperlihatkan hasil yang terbaik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bpk/Ibu : Bagus Winaya, M.
Rivai, dan semua kelompok Peneliti/
Teknisi serta para Siswa/Mahasiswa
Praktek Kerja Lapangan/Magang yang
telah membantu selama penelitian ini
berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Benzie,J.A.H. and S.T.W. Williams.
1996. Limitation of the genetic
variation of hatchery produced
batches of Giant Clam, Tridacna
gigas. Aquaculture, 139:225-241.
Caldarone, E.M. and L.J. Buckley. 1997.
Relationship between RNA/DNA
ratio, temperature and growth rate
in Atlantic cod larvae.
Ichthyoplankton Ecology Fishries
Society of the British Isles, 50pp.
Chicharo, M.A., L. Chicharo, L. Valdes,
E. Lopez-Jamar, and P. Re. 1998.
Estimation of starvation and diet
variation of the RNA/DNA ratios
in Field-caught Sardina pilcardus
larvae of the North of Spain. Mar.
Ecol. Prog. Ser., 164:273-283.
Crim, L.W. 1985. Methods for acute and
chronic hormone administration in
fish ,p : 1-9 In Proceeding for a
workshop held at Tungkang Marine
Laboratory Taiwan, April 22-24,
1985.
Giri, N.A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi.
1999. Kebutuhan protein, lemak,
dan vitamin C untuk yuwana ikan
kerapu bebek (Cromileptes
altivelis). Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia, 5(3):38-46
Goundie, C.A., Q. Liu. B.A. Simeo, and
K.B. Davis. 1995. Genetic
relationship of growth sex and
glucose phosphate isomerase-B in
channel cat fish. Aquaculture,
138:119-124.
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
24 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jung, T. and C. Clemmesen. 1997. Effect
of different food organism on the
development and nutritional
condition of cod larvae (Gadus
morhua L.) in laboratory rearing
experiment. Ichthyoplankton
Ecology Fisheries Society of the
British Isles, 50pp.
Kuo, C.M., Y.Y. Thing, and S.L. Yeh.
1988. Induced sex reversal and
spawning of spotted grouper, E.
fario. Aquaculture, 74:113-126.
Lee, C.S., C.S. Tamaru, J.E. Banno, and
C.D. Kelly. 1986. Influence of
administration of LHRH analoque
and/or 17 methyltestoteron on
maturation in milkfish, Chanos
chanos. Aquaculture, 59:147-159.
Mishima, H. and B. Gonzaes. 1994.
Some biological and ecological
aspect on Cromileptes altivelis
around Palawan Island, Philippines.
Suisanzoshoku, 42(2):345-349
Prijono, A., G. Sumiarsa, dan Z.I.
Azwar. 1990. Implantasi hormon
LHRH-a dan atau 17a MT untuk
pematangan gonad induk bandeng.
J. Penel. Budidaya Pantai, 6(1):20-
23
Priyono. A., B. Slamet, dan Asmanik.
2005. Pengamatan pemijahan alami
di bak pemeliharaan,
perkembangan embrio dan awal
larva ikan cobia (Rachycentron
canadum). Seminar akuakultur
Indonesia, Hotel Sahid Jaya,
Makasar, 23-25 Nopember 2005.
12 hal.
Seginni, M.I., and K. S. Chung. 1997.
Influence of environmental factors
on the instant growth of tropical
fishes assessed by the RNA/DNA
relationship. Biol. Inst. Oceanogr.
Venez., 36(1/2):21-29
Setiadharma,T., N.A. Giri, Wardoyo, dan
A. Prijono. 2001. Pembenihan Ikan
Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus) ). Pros. Lokakarya
Nasional Pengembangan Agribisnis
Kerapu hal 165-174. Jakarta 28-29
Agustus 2001.
Setiadharma, T., A. Prijono, dan N.A
Giri. 2003. Aplikasi hormon
LHRH-a untuk meningkatkan
pemijahan dan kualitas telur induk
ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus). Laporan Teknis
Proyek Riset Perikanan Budidaya
Laut, Gondol Bali. P.101-109.
Slamet, B., Hersapto, dan Tridjoko. 1999.
Pematangan induk ikan napoleon
Cheilinus undulatus dengan
perbandingan pakan segar yang
berbeda. Seminar Nasional
Penelitian dan Deseminasi
teknologi Budidaya Laut dan
Pantai. Jakarta, 2 desember 1999.
Slamet, B. dan Tridjoko. 1997.
Pengamatam pemijahan alami,
perkembangan embrio dan larva
ikan kerapu batik, Epinephelus
microdon dalam bak terkontrol. J.
Pen. Perikanan Indonesia, 3(4):40-
50.
Slamet, B., Hersapto, dan Tridjoko. 1998.
Pengamatan panjang-bobot,
kebiasaan makan dan aspek biologi
reproduksi ikan napoleon,
Cheilinus undulatus. Prossiding
Seminar Teknologi Perikanan
Pantai. Bali, 6-7 Agustus 1998:
119-123.
Sugama, K., Tridjoko, Haryanti, S.B.
Moria, dan F. Cholik. 1998.
Genetic variation and population
stucture in the Humback grouper,
Cromileptes altivelis throughout its
range in Indonesian waters.
Indonesian Fisheries Research
Journal, 5(1)1:32-38
Sugama, K., Tridjoko, B. Slamet, S. Ismi,
E. Setadi, dan S. Kawahara. 2001.
Petunjuk teknis produksi benih ikan
kerapu bebek, Cromileptes
altivelis. BBRPBL, Pusris., DKP
dan JICA. 40p
Tridjoko
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 25
Suwirya, K., N.A. Giri, dan M. Marzuqi.
2001. Pengaruh n-3 HUFA
terhadap pertumbuhan dan efisiensi
pakan yuwana ikan kerapu bebek,
Cromileptes altivelis. In Sudrajad,
A., E.S. Heruwati, A. Poernomo,
A. Rukyani, J. Widodo, dan E.
Danakusuma (Eds) Teknologi
Budidaya Laut dan Pengembangan
Sea Farming di Indonesia.
Departemen Kelautan dan
Perikanan p.201-206.
Suwirya, K., N.A. Giri, M. Marzuqi, dan
Tridjoko. 2002. Kebutuhan
karbohidrat untuk pertumbuhan
yuwana ikan kerapu bebek,
Cromileptes altivelis. JPPI, Edisi
Akuakultur, 8:9-14.
Suwirya,K., A. Prijono, N.A Giri, B.
Slamet, dan Marzuqi. 2003.
Pematangan induk induk kerapu
sunu, Plectropomus leopardus
dengan penambahan vitamin C
pada pakan. Laporan Teknis
Proyek Riset Perikanan Budidaya
Laut, Gondol Bali. hal. 314-223
Suwirya, K., A. Priyono, M. Marzuqi,
N.A. Giri, dan R. Andamari. 2005.
Pemijahan dan pemeliharaan larva
kerapu sunu halus, Plectropomus
leopardus. Warta Penelitian
Perikanan Indonesia. Edisi
Akuakultur, 2(3):7-10.
Tridjoko, B. Slamet, D. Makatutu, dan K.
Sugama. 1996. Pengamatan
pemijahan dan perkembangan telur
ikan kerapu bebek (Chromileptes
altivelis) pada bak secara
terkontrol. J. Penel. Perikanan
Indonesia, 2(2):55-62.
Tridjoko, B. Slamet, dan D. Makatutu.
1997. Pematangan induk kerapu
bebek (Cromileptes altivelis)
dengan rangsangan suntikan
hormon LHRH-a dan 17 alpha-
methyltestoteron. J. Penel.
Perikanan Indonesia, 3(4):30-34.
Tridjoko, B. Slamet., T. Aslianti,
Wardoyo, S. Ismi, J.H. Hutapea,
K.M. Setiawati, I. Rusdi, D.
Makatutu, A. Prijoni, T.
Setiadharma, H. Matsuda, and S.
Kumagai. 1999. The seed
production technique of humback
grouper, Cromileptes altivelis.
Japan International Cooperation
Agency (JICA) and Gondol
Research Station For Coastal
Fisheries (GRSCF). 56p.
Vanstone, W.E., Tiro, Jr., L.B. Villaluz,
A.C. Ramsingh, D.C. Kumagai, S.
Dulduco, P.T. Barnes, M.M. L.,
and C.E. Duenas. 1977. Breeding
and Larval rearing of the milkfish
Chanos-chanos (Pisces Chanidae)
SEAFDEC, Aquculture Deparment
Tech. Report, 3:3-17.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 26-33, Desember 2010
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan 26 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
PEMELIHARAAN GELONDONGAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) DENGAN PERSENTASE PERGANTIAN AIR YANG BERBEDA
DIFFERENT PERCENTAGE OF WATER EXCHANGE ON GROWTH OF
CORAL TROUT GROUPER FINGERLING (Plectropomus leopardus)
Titiek Aslianti Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol
PO Box 140 Singaraja 81101, Bali E-mail: tiaspriyono@yahoo.com
ABSTRACT
Coral trout grouper (Plectropomus leopardus) is the prospective aquaculture commodities with a high demand. Fingerling culture is the one of shortly rearing time methods for grow out in net-cages in order to produce continuously. Two hundred fishes with initial total length 16.6±0.5 cm and 72.2±7.6 g of body weight were stocked in each of three of concrete tanks of 4m3 seawater. Water replace as a treatment was applied i.e. A (200%/day), B (300%/day) and C (400%/day).respectively. Feeding frequency of pellet was done twice a day of about 3 - 5% of body weight. Survival and growth of fishes were monitored during two-month period. The result showed that the different percentage of water replace had a significant role in increasing the growth and survival rate of the fishes. Water replaced of 400% daily (treatment C) gave the best survival rate (97%) and growth performance (TL 21.61±0,54 cm; BW 156.84±1.05 g). In contrast, the treatment B (300%/day) and A (200%/day) resulted in a lower survival and growth , i.e. (SR 95.5%; TL 19.51±0.52 cm; BW 140.96±0.08 g) and A (SR 93%; TL 19.08±0.30 cm; BW 132.2±2.65 g)., respectively. Keywords: Coral trout grouper, growth, survival rate, water exchange
ABSTRAK
Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) termasuk komoditas budidaya yang prospektif dengan pangsa pasar cukup tinggi. Upaya penggelondongan merupakan salah satu cara untuk mempersingkat waktu pemeliharaan di keramba jaring apung (KJA) agar kontinuitas produksi dapat terpenuhi sesuai permintaan pasar. Penelitian dilakukan selama 2 bulan dengan menggunakan 3 unit bak fiber (4m3), masing-masing diisi 200 ekor kerapu sunu yang berukuran awal rata-rata panjang total (TL) 16.6±0.5cm dan berat tubuh (BW) 72.2±7.6g. Pergantian air pemeliharaan merupakan perlakuan yaitu A (200%/hari), B (300%/hari) dan C (400%/hari). Pakan berupa pellet komersial diberikan dua kali sehari 3-5% dari bobot biomas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan persentase pergantian air memberikan pengaruh yang berbeda terhadap peningkatan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Pergantian air 400%/hari (C) menghasilkan kelangsungan hidup (97%) dan pertumbuhan (TL 21.61±0,54cm; BW 156.84±1.05g) paling baik, sedangkan perlakuan B (300%/hari) dan A (200%/hari) menghasilkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan lebih rendah dari pada C yaitu berturut-turut B (SR 95.5%; TL 19.51 ±0.52cm; BW 140.96±0.08g) dan A (SR 93%; TL 19.08±0.30cm; BW 132.2±2.65g). Kata Kunci: Ikan kerapu sunu, pertumbuhan, laju kelangsungan hidup, pergantian air
Aslianti
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 27
I. PENDAHULUAN Ikan kerapu sunu (Plectropomus
leopardus) yang dikenal dengan kerapu bintang termasuk satu diantara komoditas ekspor unggulan Indonesia dari budidaya laut (marine fin-fish culture). Warna merah pada kerapu sunu merupakan daya tarik tersendiri bagi beberapa negara importir seperti Hongkong dan China, yang sebagian besar masyarakatnya masih meyakini bahwa warna merah identik dengan keberuntungan, sehingga pangsa pasar kerapu sunu di kedua negara tersebut sangat tinggi dan merupakan negara tujuan ekspor yang potensial (Sidik, 2002; Nurjana, 2006).
Kerapu sunu dalam budidayanya memiliki prospek pengembangan yang sangat baik, karena tehnik produksi benih secara masal telah dikuasai dan dapat diterapkan di hatchery skala rumah tangga (Aslianti et al., 2009a). Permintaan pasar terhadap kerapu sunu terutama dalam keadaan hidup sangat tinggi (Sutarmat et al., 2007) dan terus meningkat, sementara pemenuhan melalui penangkapan di alam sangat tidak disarankan, karena memiliki banyak resiko yang merugikan diantaranya adalah jumlah tidak kontinyu, ukuran tidak seragam, resiko cacat fisik saat penangkapan dan dampak tertinggi adalah berkurangnya populasi di alam. Hal ini memberikan peluang cukup besar bagi kegiatan budidaya sekaligus meningkatkan pasok yuwana yang kontinyu, namun faktor kualitas tetap menjadi prioritas yang perlu diperhatikan mengingat persaingan pasar yang semakin ketat (Nurjana, 2010).
Dalam usaha pembesaran kerapu sunu di Keramba Jaring Apung (KJA) hingga mencapai ukuran konsumsi (300-400gr) biasanya memerlukan waktu pemeliharaan yang cukup lama dan memiliki resiko kematian yang tinggi. Oleh karenanya upaya penggelondongan
perlu dilakukan agar waktu pemeliharaan di KJA dapat dipersingkat dan diperoleh produksi yang tinggi dengan kualitas dan tampilan yang proporsional. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mempersiapkan yuwana sebagai benih untuk pembesaran di KJA antara lain ukuran yang seragam, tidak cacat tubuh dan ikan sudah terbiasa mengkonsumsi pakan buatan (Sutarmat, 2005). Uji coba pendederan dalam wadah terkontrol dengan berbagai ukuran hingga pembesarannya di KJA telah dilakukan Sutarmat dan Ismi (2007), namun tingkat kelangsungan hidup yang dihasilkan belum stabil (Suwirya et al., 2006), dan masih perlu dilakukan perbaikan yang mengarah pada peningkatan produksi
Dalam kegiatan budidaya, selain pakan yang memerlukan biaya ±60% dari total biaya operasional, faktor lingkungan juga merupakan sarana yang tidak kalah pentingnya, mengingat air sebagai media tempat ikan dipelihara juga merupakan media tumbuh bagi berbagai macam mikroorganisme baik yang pathogen maupun nonpathogen. Sedangkan di alam, golongan ikan kerapu umumnya hidup di perairan karang, bersifat menyendiri dan lebih menyukai habitat yang bersih dengan kondisi perairan yang stabil (Aslianti et al., 1998). Mengantisipasi sifat alami ikan kerapu tersebut, pergantian air merupakan faktor penting dalam menjaga kestabilan kualitas air selama pemeliharaan dalam wadah terkontrol. Oleh karenanya pengelolaan lingkungan pemeliharaan kerapu sunu melalui pergantian air yang kontinyu dengan prosentase yang optimal diharapkan dapat mengurangi kendala-kendala ekstrim yang terjadi.
Dengan melihat permasalahan yang cukup konkrit dan tuntutan peluang pasar yang memerlukan solusi secara cepat, maka perlu dilakukan penelitian penggelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol melalui perbaikan
Pemeliharaan Gelondongan Kerapu Sunu (Plectropomus Leopardus)…
28 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
lingkungan sampai mencapai ukuran siap tebar (± 150gr) sehingga masa pemeliharaan di KJA dapat dipersingkat. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi pemeliharaan gelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol, serta kendala yang dihadapi selama pemeliharaan sehingga resiko yang mungkin terjadi pada budidaya pembesaran di KJA dapat diperkecil. II. BAHAN DAN METODE 2.1. Persiapan wadah
Kegiatan penelitian diawali dengan pencucian wadah penelitian berupa tiga (3) unit bak fiber kapasitas 4 m3
berbentuk segi empat berukuran 2x2x1m, dengan cara menyikat dan menyemprot dengan air tawar, kemudian dikeringkan selama satu hari. Hal ini untuk menghindari kemungkinan kontaminasi parasit. Selanjutnya wadah diisi air laut bersalinitas 30-33 ppt sampai ketinggian air 75 cm. Pengaturan pipa dan batu aerasi disesuaikan dengan kebutuhan dan diatur sedemikian rupa sehingga pasok oksigen yang mengalir dalam bak diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ikan. Demikian juga pengaturan debit air masuk (inlet) dan keluar (outlet) disesuaikan dengan perlakuan dengan cara terlebih dahulu memposisikan stop kran yang disesuaikan dengan jumlah air masuk per menit, sehingga dalam waktu 24 jam (sehari semalam) diharapkan air dapat terganti sesuai perlakuan.
2.2. Hewan uji.
Hewan uji (kerapu sunu) yang telah melalui seleksi (keseragaman ukuran dan kondisi fisik) dimasukkan kedalam masing-masing bak dengan kepadatan 200 ekor. Rata-rata panjang total (TL) dan berat tubuh (BW) awal adalah 16.6±0.5cm dan 72.2±7.6g. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan komersial berbentuk pellet berdiameter ±5 mm dengan kandungan protein 42%,
lemak 10%, abu 13%, dan kadar air 10% (Aslianti et al., 2009b). Pakan diberikan dua kali sehari sebanyak 3-5% dari bobot biomasa (±500 gr) dengan cara menebar hingga ikan tidak merespon (ad-libitum). Sisa pakan ditimbang untuk mengetahui jumlah pakan yang terkonsumsi setiap hari serta dilakukan penghitugan pada akhir penelitian untuk mengetahui nilai rasio konversi pakannya. Penelitian dilakukan selama 2 bulan dengan menggunakan sistim air mengalir dan persentase pergantian air merupakan perlakuan yaitu A (200%/hari); B (300%/hari) dan C(400%/hari). Penyiponan dasar bak dilakukan setiap 2 hari untuk membersihkan sisa metabolisme berupa faeses ataupun sisa pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan.
2.3. Parameter yang diamati
Pengamatan pertumbuhan dilaku-kan setiap bulan melalui pengukuran panjang total dan berat tubuh terhadap 20 ekor sampel (10% dari jumlah biomas) yang diambil secara acak dari masing-masing perlakuan. Untuk mengetahui efektifitas pakan terhadap pertumbuhan dilakukan dengan cara menghitung rasio konversi pakan (FCR), sedangkan kualitas air diamati secara kontinyu setiap minggu sebagai data pendukung meliputi oksigen terlarut (DO), ammonia (NH3-N), nitrit (NO2-N) dan pH.
2.4. Analisa data
Semua data yang diperoleh dihimpun secara tabulasi dan dianalisis secara diskriptif serta diolah dengan menggunakan program microsoft Excel.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap per-tumbuhan panjang dan berat mutlak, kelangsungan hidup dan rasio konversi pakan gelondongan kerapu sunu dari masing-masing perlakuan tertera pada Tabel 1.
Aslianti
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 29
Dari Tabel 1. diketahui bahwa persentase kenaikan pertumbuhan perlakuan C baik terhadap panjang total (30.18%) maupun berat tubuh (117.23%) terlihat lebih tinggi dari pada perlakuan A (14.94% dan 83.10%) maupun B (17.53% dan 95.24%). Demikian juga tingkat kelangsungan hidup yang dicapai perlakuan C lebih tinggi (97%) dari pada perlakuan A (93%) ataupun B (95,5%). Hal ini menunjukkan bahwa pergantian air sebesar 400% setiap hari terbukti sangat mendukung pertumbuhan maupun kelangsungan hidup kerapu sunu. Makin tinggi persentase pergantian air dalam
penelitian ini mempunyai dampak yang positip terhadap kestabilan kualitas air pemeliharaan. Kondisi air yang kotor akibat terakumulasinya sisa metabolisme ataupun kotoran lain yang terdapat dalam bak, akan terganti secara cepat jika persentase pergantian air cukup tinggi, sehingga diprediksi dapat menghambat tumbuhnya parasit (jamur ataupun bakteri). Kondisi ini didukung dari hasil pengamatan kualitas air yang dilakukan setiap tiga hari yang menunjukkan bahwa kandungan nitrit dan ammonia cenderung menurun dengan meningkatnya persentase pergantian air (Tabel 2).
Tabel 1. Pertumbuhan panjang dan berat mutlak, kelangsungan hidup dan rasio konfersi pakan kerapu sunu dari masing-masing perlakuan
Parameter A (200%/day)
B (300%/day)
C (400%/day)
Panjang total awal/Initial length (cm) 16.60 16.60 16.60 Panjang total akhir/Final length (cm 19.08 19.51 21.61 Pertambahan panjang/TL gain (%) 14.94 17.53 30.18 Berat tubuh awal/Initial weight (g) 72.20 72.20 72.20 Berat tubuh akhir/Final weight (g) 132.20 140.96 156.84 Pertambahan berat/BW gain (%) 83.10 95.24 117.23 Kelangsungan hidup/SR (%) 93 95.5 97 Rasio konfersi pakan/FCR 1.05 1.21 1.34
Tabel 2. Hasil rata-rata pengamatan kualitas air yang dilakukan setiap tiga hari dari masing-masing perlakuan
Parameter A (200%/day)
B (300%/day)
C (400%/day)
Suhu maximum/Temp. max (oC) 28.50 ± 0.16 28.28 ± 0.19 27.96 ± 0.23 Suhu minimum/Temp. min (oC) 26.64 ± 0.21 26.98 ± 0.45 27.30 ± 0.42 Salinitas/Salinity (ppt) 32.4 ± 1.61 32.4 ± 1.61 32.40 ± 1.61 pH 7.78 ± 0.30 7.51 ± 0.23 7.05 ± 0.10 DO/Disolve Oksigen (mg/L) 6.39 ± 0.13 6.72 ±0.31 7.10 ± 0.29 NO2/Nitrite (mg/L) 1.50 ± 0.25 1.26 ± 0.04 0.69 ± 0.13 NH3/Amonium (mg/L) 1.83 ± 0.06 1.57 ± 0.08 0.98 ± 0.05
Pemeliharaan Gelondongan Kerapu Sunu (Plectropomus Leopardus)…
30 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tingginya kandungan nitrit dan ammonia pada perlakuan A dan B diduga sebagai akibat adanya proses pembusukkan serta penguraian sisa metabolisme yang mengendap di dasar bak. Pengendapan terjadi akibat jumlah pergantian air yang kurang mencukupi sehingga badan air tidak cukup mampu mendorong sisa metabolisme ke-arah saluran pembuangan. Kondisi ini akan semakin buruk apabila air laut yang mengalir saat itu dalam keadaan keruh yang biasa terjadi akibat adanya hujan. Mekanisme toksisitas dari nitrit dapat berpengaruh terhadap transportasi oksigen dalam darah dan kerusakan jaringan tubuh ikan. Sesuai pendapat Boyd (1990) yang menyatakan bahwa kandungan ammonia dalam media pemeliharaan merupakan hasil meta-bolisme ikan, pembusukan senyawa organik dan bakteri. Amonia adalah hasil utama penguraian protein dan merupakan racun bagi ikan, karenanya kandungan ammonia dianjurkan tidak lebih dari 1 mg/L (Pescod, 1973 dalam Aslianti , et al. 1998). Tingginya kandungan nitrit dan ammonia pada perlakuan A dan B diduga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan sehingga lebih rendah dari pada C. Namun demikian kondisi suhu, salinitas, pH dan DO nampak masih berada dalam batas normal dan masih
mendukung kehidupan ikan. Kualitas air yang baik dan stabil sangat berpengaruh terhadap kesehatan ikan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kelang-sungan hidupnya.
Ditinjau dari hubungan partum-buhan panjang dan berat tubuh secara linier (Gambar 1) pada perlakuan C (pergantian air 400%/hari) diperoleh persamaan regresi Y=1.6972X+120.24 dengan R2 = 0.9354. Hal ini menunjukkan bahwa antara pertumbuhan panjang dan berat tubuh kerapu sunu pada perlakuan C terdapat korelasi yang positif, yang berarti bahwa pergantian air sebesar 400%/hari tidak saja berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang tetapi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan berat dengan tingkat korelasi sebesar 93.54%.
Dari hasil pengamatan selama pemeliharaan gelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol terdapat beberapa ekor ikan yang mengalami kematian. Hingga akhir penelitian kematian paling banyak terjadi pada perlakuan A (14 ekor), sedangkan B (9 ekor) dan C (6 ekor). Dari hasil deteksi laboratorium diketahui bahwa kematian umumnya disebabkan oleh penyakit infeksi bakteri gram negatif yang merupakan penyakit utama kerapu sunu.
y = 1.6972x + 120.24R2 = 0.9354
148.0
152.0
156.0
160.0
164.0
19.0 21.0 23.0 25.0
PANJANG TOTAL (CM)
BERA
T TU
BUH
(GR)
Gambar 1. Hubungan pertumbuhan panjang dan berat tubuh kerapu sunu
dengan pergantian air 400%/hari (linier) pada akhir penelitian
Aslianti
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 31
Gejala kematian ditandai dengan ikan tidak nafsu makan dan berenang lemah, cenderung sering berada di permukaan air, menyendiri, dan terdapat luka pada permukaan kulit (Gambar 2a). Infeksi bakteri diduga berasal dari lingkungan pemeliharaan (air) yang juga merupakan media hidup bagi semua mikroorganisme baik yang patogen maupun nonpatogen. Semakin tinggi persentase pergantian air terlihat semakin sedikit jumlah ikan yang mati karena dengan semakin cepat air media terganti maka kemungkinan ikan terinfeksi parasit yang ada dalam air media semakin kecil. Penanggulangan pertama yang dilakukan adalah dengan merendam ikan yang sakit dengan 100 ppm formalin selama 1 jam atau dalam larutan streptomysin 1 gram dalam 100 liter air laut selama 1 jam serta memisahkan ikan yang sakit dari yang lainnya (Sutarmat et al., 2007).
Selain itu pada akhir penelitian juga ditemukan beberapa ekor ikan dengan performansi mulut yang abnormal (deformity) yaitu antara mulut bagian atas dan bawah tidak simetris (Gambar 2b). Kondisi ini dapat menyebabkan ikan tidak bisa merespon pakan dengan sempurna yang pada gilirannya dapat mengakibatkan kema-tian. Sesuai pendapat Kordi (2004), yang menyatakan bahwa ikan yang cacat akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan
makanannya, sehingga ikan akan mengalami keterlambatan pertumbuhan (kerdil), memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan akan sangat mudah diserang penyakit.
Terjadinya performansi yang abnormal belum diketahui penyebabnya secara pasti, namun diduga adanya faktor genetis dari induk sebagai penghasil telur. Oleh karenanya dalam proses pembenihan, tahap seleksi telur sangat penting sebelum dilakukan penebaran dalam wadah pemeliharaan larva. Tingkat pembuahan telur yang optimal dengan daya tetas mencapai 90% umumnya menghasilkan benih yang normal. Namun demikian deformity pada mulut biasanya ditemukan justru setelah ikan bertumbuh menjadi gelondongan. Diduga selain faktor genetis, juga faktor nutrisi pakan selama pemeliharaan kurang mendukung (malnutrition), sehingga dapat memicu terjadinya ketidaknormalan pada mulut. Dengan demikian pemeliharaan gelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol hingga mencapai ukuran ± 150 gram memberikan dampak positif terhadap tingkat selektifitas performansi ikan sebelum ditebar di KJA. Selain waktu pemeliharaan di KJA hingga mencapai ukuran konsumsi dapat dipersingkat, juga performansi yang dihasilkan sesuai dengan selera pasar.
Gambar 2. Penyakit bakteri gram negatif yang menimbulkan luka pada permukaan tubuh kerapu sunu (a), dan kerapu sunu yang mengalami deformity pada mulut unsimetris (b)
b a
Pemeliharaan Gelondongan Kerapu Sunu (Plectropomus Leopardus)…
32 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
IV. KESIMPULAN Pergantian air dalam pemeliharaan
gelondongan kerapu sunu secara terkontrol merupakan faktor penting yang mendukung kelangsungan hidup maupun pertumbuhannya.
Kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan yang dipelihara dengan pergantian air 400%/hari lebih tinggi (SR 97%; TL 21.61±0,54 cm, BW 156.84±1.05g) dari pada pergantian air 300% (SR 95.5%; TL 19.51±0.52 cm; BW 140.96±0.08 g) ataupun 200% (SR 93%; TL 19.08±0.30 cm; BW 132.2±2.65 g).
Pergantian air hingga 400%/hari dapat menghindarkan ikan dari serangan parasit sehingga ikan bertumbuh normal dan memperkecil jumlah ikan yang cacat tubuh (deformity).
DAFTAR PUSTAKA
Aslianti, T., K.M. Setiawati dan
Wardoyo. 1998. Pengaruh Peningkatan Pergantian Air terhdap Pertumbuhan dan Sintasan Larva Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis. Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Denpasar-Bali, 6-7 Agustus 1998. hal 173-177.
Aslianti, T., P.T. Imanto, dan M. Suastika. 2009a. Dampak Minyak Buah Merah, Pandanus conoideus Lam pada Performansi Yuwana Kerapu Sunu, Plectropomus leopardus. Jurnal Perikanan, XI(1):1-8.
Aslianti T, Afifah dan M. Suastika. 2009b. Pemanfaatan Minyak Buah Merah, Pandanus conoideus Lam dan Carophyll Pink dalam Ransum Pakan Yuwana Ikan Kakap Merah, Lutjanus sebae. Jurnal Riset Akuakultur, 4(2):191-200.
Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama : Auburn University. 482p.
Kordi, M.G.H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta. PT Rineka Cipta dan PT Bina Adikarsa. Hal 68.
Nurjana, M.L. 2006. Indonesian Aquaculture Development. Inno-vative and Eco-friendly Techno-logies for the Production of Safe Aquaculture Food. Food & Fertilizer Technology Center For The Asian and Pacific Region (FFTC-ASPAC)/RCA. International Workshop. Den-pasar Bali, Indonesia. December 4-8, 2006. pp 81-100.
Nurjana, M. L. 2010. Proyeksi produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama 2009 s/d 2014. Materi presentasi pada acara Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur. Puriskan Budidaya. Bandar Lampung, 20-24 April 2010.
Sidik. 2002. Alternatif Kebijakan Budidaya Ikan Kerapu Masya-rakat Nelayan dalam Pengem-bangan Industri Perikanan Kerapu. Majalah Ilmiah Analisis Sistem, 4(IX):104-109
Sutarmat, T. 2005. Analisis Finansial Produksi Yuwana Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan Pakan Pelet Komersial dan Ikan Rucah dalam Keramba Jaring Apung. Jurnal Perikanan, VII(2):144-150.
Sutarmat, T. dan S. Ismi. 2007. Variasi ukuran tubuh benih pada pendederan ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus). Buku Pengembangan Teknologi Budi-daya Perikanan. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. hal 59-63.
Aslianti
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 33
Sutarmat, T., K. Suwirya, dan N. A. Giri. 2007. Penelitian pendahuluan pembesaran kerapu sunu (Plectropomus leopardus) dalam Keramba Jaring Apung. Buku Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. BRKP. Hal 438-445.
Suwirya, K., A. Priyono, A. Hanafi, R. Andamari, R. Melianawati, M. Marzuqi, K. Sugama dan N.A. Giri. 2006. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus). Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 18 hal.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 34-40, Desember 2010
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
34 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
KARAKTERISTIK SENYAWA BIOAKTIF BAKTERI SIMBION
MOLUSKA DENGAN GC-MS
CHARACTERISTIC BIOACTIVE COMPOUND OF THE MOLLUSC SYMBIOTIC
BACTERIA BY USING GC-MC
Delianis Pringgenies Marine Science Departement, Faculty of Fisheries and Marine Science
Diponegoro Univeristy, Semarang, e-mail: pringgenies@yahoo.com
ABSTRACT
It has been discovered that mollusca produce a secondary metabolite and in the same time
bear its important role in its ecosystems so became a strategic target for the development of
noble bioactive substances for marine pharmacology. The current study of mollucs
symbiotic bacteria showed that from species of Conus miles, Stramonita armigera,
Cymbiola vespertilo and from based on screening of symbiotic bacteria in the Mollusc
toward some bacteria , 3 isolates had been had good performance in inhibiting the grow
of bacteria and to be the best candidates for a new antibiotic based on result of screening
consistency. Size and character inhibiting zone resulted toward test bacteria were TCM,
TCAand TOV. The research aims to current study of characteritic of symbiotic bacteria
from mollucs that produce a new anti-pathogenic bacteria by using GC-MS method. GC-
MS result showed that fraction TCM-6.1 consist of some compounds, that are Nitrogen
oxide (N2O) (CAS) Nitrous oxide; Acetic acid (CAS) Ethylic acid; Propanoic acid,2-
methyl-(CAS) Isobutyric acid and fraction TOV12.16 consist of compound such as
Propanoic acid,2-methyl-(CAS)Isobutyric acid; Butanoic acid, 2-methyl-(CAS) 2-
Methylbutanoid acid then fraction TSA8.7 consist of 1,2-Propadiene (CAS) Allene. The
research pointed towards the three active symbiotic bacteria seems to be promising since
this three candidates potential result for the development of a new antibiotic.
Keywords: Bacteria simbiont, mollusc, anti-bacteria, bioaktif compound
ABSTRAK
Keberadaan bakteri yang berasosiasi dengan moluska laut telah memungkinkan penggunaan
organisme tersebut sebagai sumber utama bakteri yang baru dan sumber senyawa bioaktif
termasuk senyawa antimikroba. Hasil penelitian sebelumnya dari isolasi bakteri simbion
jenis Conus miles, Stramonita armigera, Cymbiola vespertilo dan berdasarkan konsistensi
hasil skrining, besar kecilnya zona hambat yang dihasilkan dan sifat penghambatannya
terhadap beberapa jenis bakteri uji melalui uji sensitivitas maka dihasilkan 3 isolat bakteri
simbion yang memiliki senyawa bioaktif antibakteri yakni: TCM, TCA dan TOV. Tujuan
penelitian adalah mengetahui karakteristik senyawa bioaktif bakteri yang berasosiasi
dengan Moluska jenis Conus miles, Stramonita armigera, Cymbiola vespertilo dengan
metode GC-MS. Analisis GC-MS dilakukan menggunakan GCMS-QP2010S Shimadzu.
Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa terdapat beberapa senyawa yang terdeteksi dari
fraksi isolat TCM6.1, yakni: Nitrogen oxide (N2O) (CAS) Nitrous oxide; Acetic acid
(CAS) Ethylic acid; Propanoic acid,2-methyl-(CAS) Isobutyric acid dan fraksi isolat
TOV12.16. : Propanoic acid,2-methyl-(CAS)Isobutyric acid; Butanoic acid, 2-methyl-
(CAS) 2-Methylbutanoid acid sedang fraksi isolat TSA8.7: 1,2-Propadiene (CAS) Allene.
Hasil penelitian disimpulkan bahwa isolat bakteri aktif yang diperoleh dalam penelitian ini
menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan.
Kata Kunci: Bakteri simbion, moluska, anti-bakteri, senyawa bioaktif
Pringgenies
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 35
I. PENDAHULUAN
Lautan merupakan sumber dari
kelompok besar kimia bahan hayati laut
dengan struktur yang unik, yang terutama
terakumulasi pada hewan-hewan aver-
tebrata yang banyak terdapat pada
ekosistem terumbu karang, seperti,
sponge, tunikata, bryozoa, karang lunak
dan moluska. Beberapa metabolit
sekunder yang dimiliki avertebrata laut
tersebut menunjukkan adanya aktifitas
farmakologi dan merupakan kandidat-
kandidat baru untuk bahan obat-obatan.
Sejumlah senyawa bioaktif yang diper-
oleh dari hewan avertebrata diduga
dihasilkan juga oleh mikroorganisme
yang berasosiasi dengannya. Seperti
dinyatakan oleh Watermann, 1999;
Burgess et al. (2003) bahwa mikro-
organisme yang berasosiasi dengan
organisme laut akan mensistesa metabolit
sekunder seperti organisme inangnya.
Keberadaan bakteri yang ber-
asosiasi dengan moluska laut telah
memungkinkan penggunaan organisme
tersebut sebagai sumber utama bakteri
yang baru. Bukti-bukti ilmiah
menunjukkan bahwa bakteri yang
berasosiasi dengan avertebrata filum
Moluska jenis Conus miles, Stramonita
armigera, Cymbiola vespertilo mem-
punyai peranan dalam produksi senyawa
bioaktif, sehingga menjadi pemacu dalam
pencarian senyawa antimikroba dari
bakteri yang berasosiasi dengan Moluska
(Pringgenies et al., 2008). Penanganan
bakteri patogen di dalam bidang
kesehatan serta pemanfaatan senyawa
antibiotik yang ramah lingkungan yang
dihasilkan oleh bakteri yang berasosiasi
dengan Moluska telah menjadi pekerjaan
rumah yang harus segera ditangani secara
multidisiplin (Hunt and Vincent, 2006).
Secara geografis perairan Ternate
merupakan pertemuan lempeng antara
benua Australia dan Indonesia dan biota
di tempat tersebut memiliki potensi yang
sangat spesifik terutama sebagai bahan
farmasi bahari, maka sampel bakteri yang
berasosiasi dengan Moluska dikoleksi
dari perairan Ternate.
Tujuan penelitian adalah menge-
tahui karakteristik senyawa bioaktif
bakteri yang berasosiasi dengan Moluska
jenis Conus miles, Stramonita armigera,
Cymbiola vespertilo dengan metode GC-
MS.
II. METODE PENELITIAN
Sampling Moluska jenis Conus
miles, Stramonita armigera, Cymbiola
vespertilo dikoleksi dari perairan pulau
Bastiong Kepulauan Ternate, Maluku.
Selanjutnya dilakukan isolasi bakteri,
skrining bakteri penghasil senyawa anti-
MDR, uji antibakteri moluska, isolasi
bakteri patogen klinik (MDR) jenis
Klebsiella, E. coli, Coagulase Negatif
Staphylococcus (CNS), Enterobacter 5,
Enterobacter 10 dan Pseudomonas, uji
sensitifitas antibakteri, uji kepekaan
terhadap kuman antimikroba. Hasil
seleksi dari 12 isolat bakteri moluska
jenis Conus miles, Stramonita armigera,
Cymbiola vespertilo yang sudah
dilakukan sebelumnya memperlihatkan
bahwa ada 3 isolat yang dianggap paling
berpotensi untuk dijadikan sebagai
sumber antibiotik baru berdasarkan
konsistensi hasil skrining, besar kecilnya
zona hambat yang dihasilkan dan sifat
penghambatannya terhadap beberapa
jenis bakteri uji yakni isolat bakteri
TCM, TCA dan TOV digunakan untuk
studi selanjutnya. Selanjutnya dilakukan
ekstraksi DNA, amplifikasi DNA dengan
metode PCR, Sekuensing DNA. Hasil
sekuen 16S rDNA selanjutnya dianalisis
dan diedit dengan menggunakan program
GENETYX dan Analisis sekuen 16S
rDNA.
Amplifikasi DNA dari ke 3 isolat
bakteri moluska yakni: TCM, TCA dan
TOV yang sudah dilakukan sebelumnya
Karakteristik Senyawa Bioaktif Bakteri Simbion…
36 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
menunjukkan bahwa semua isolat
menghasilkan single band (pita tunggal)
dengan ukuran sekitar 1500 bp sesuai
dengan pembandingan menggunakan
marker DNA. Analisis homologi
menggunakan BLAST searching menun-
jukkan bahwa isolate TOV12.16
memiliki prosentase kesamaan tertinggi
dengan genus Vibrio alginolyticus strain
VM341 (96%). Sedangkan isolat TCM
memiliki prosentase kesamaan tertinggi
dengan genus Pseudoalteromonas sp.
(99%), dan isolate TCA memiliki
tertinggi dengan Vibrio sp. AC1 (99 %).
Hasil identifikasi bakteri diketahui bahwa
isolat TCM memiliki kekerabatan
terdekat dengan Pseudoalteromonas
sedangkan isolat TCA dan TOV
memiliki kekerabatan yang dekat isolat
yang sama-sama berada dalam genus
Vibrio. Hasil penelitian ini dilajutkan
untuk mengetahui karakteristik senyawa
bioaktif Moluska sampel isolat TCM,
TCA dan TOV dengan analisis Gas
Chromatography-Mass Spectrometer
(GC-MS).
2.1. Analisis Gas Chromatography-
Mass Spectrometer (GC-MS)
Analisis GC-MS dilakukan meng-
gunakan GCMS-QP2010S Shimadzu
dengan kondisi analisis sebagai berikut :
kolom Rtx-5MS 30 meter, diameter 0,25
mm, suhu terprogram dari 80 oC sampai
300 oC dengan kenaikan suhu 10
oC/menit, dan gas pembawa Helium,
sedangkan untuk tekanannya sebesar 22
kPa. Jumlah senyawa yang terdapat
dalam ekstrak ditunjukkan oleh jumlah
puncak (peak) pada kromatogram,
sedangkan nama/jenis senyawa yang ada
diinterpretasikan berdasarkan data
spektra dari setiap puncak tersebut
dengan menggunakan metode pendekatan
pustaka pada database GC/MS
(Hendayana, 1994).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Skrining terhadap isolat bakteri
simbion pada moluska jenis Conus
miles, Stramonita armigera, Cymbiola
vespertilo dari perairan pulau Bastiong
Kepulauan Ternate, Maluku telah
dilakukan. Hasil penelitian dapat disim-
pulkan bahwa isolat bakteri aktif yang
diperoleh dalam penelitian ini
menunjukkan hasil yang sangat
menjanjikan karena ketiga isolat mampu
menghambat bakteri MDR lebih dari satu
jenis yang meliputi Klebsiella,
Pseudomonas, Staphylococcus, E.coli
dan Enterobacter. Hasil penelitian
disimpulkan bahwa isolat TCM memiliki
kekerabatan terdekat dengan Pseudo-
alteromonas sedangkan isolat TCA dan
TOV memiliki kekerabatan yang dekat
isolat yang sama-sama berada dalam
genus Vibrio.
Dari 3 isolat yang paling aktif dan
menjanjikan yang berasosiasi dengan
moluska dalam penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut
tersebut termasuk genus Vibrio dan
Pseudoaltermonas. Anggota dari
Alteromonadales dan Vibrionales dalam
Proteobacteria dikenal sebagai produser
dominan antibiotic (Long and Azam,
2001; Grossat et al., 2004). Lebih lanjut
Radjasa et al. (2007a), melaporkan
aktivitas antibakteri dari bakteri
Pseudoalteromonas luteoviolacea TAB
4.2 yang berasosiasi dengan karang keras
Acropora sp. aktif menghambat
pertumbuhan bakteri karang dan
pathogen. Bakteri Pseudoalteromonas
flavipulchra BSP5.1 yang merupakan
simbion sponge Haliclona sp. yang
diperoleh dari perairan Bandengan,
Jepara mempunyai aktivitas antibakteri
terhadap bakteri pathogen Alteromonas
hydrophila dan Vibrio parahaemolyticus
(Radjasa et al., 2007c). Penelitian lain
(Radjasa et al., 2007d), melaporkan
aktivitas antibakteri dari 3 isolat bakteri
Pringgenies
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 37
dari sponge Aaptos sp. termasuk
Pseudoalteromonas luteoviolacea SPA21
yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri MDR Escherichia coli dan
Proteus sp. Bakteri genus Pseudo-
alteromonas diketahui memiliki fragmen
gen Non-ribosomal peptide syntehase
(NRPS) yang diketahui menghasilkan
siderophore Alterobactin (Deng et al.,
1995).
Genus Vibrio diketahui sebagai
sumber potensial antibiotika, Radjasa et
al (2007c) menyatakan bahwa bakteri
Vibrio BSP1.12 yang diisolasi dari
sponge Haliclona sp. mampu meng-
hambat pertumbuhan bakteri pathogen
Alteromonas hydrophila yang merupakan
causative agent pada penyakit Motile
Aeromonas Septicemia (MAS) yang
menyerang ikan mas. Bakteri Vibrio
MJ.11 yang diisolasi dari karang lunak
Porites lutea juga diketahui mampu
menghambat bakteri pathogen Bacillus
subtilis dan Staphylococcus sp. (Radjasa,
tidak dipublikasikan).
Hasil skrining menunjukkan bahwa
bakteri simbion moluska sangat potensial
dalam menghambat pertumbuhan bakteri
MDR. Hal ini menjadi poin penting
karena selama ini masalah suplai bahan
baku menjadi kendala dalam
pengembangan senyawa bioaktif dari
avertebrata laut (Proksch et al., 2002),
karena senyawa yang dihasilkan sangat
terbatas sehingga dapat mengancam
keberadaan avertebrata laut itu sendiri.
Hasil skrining terhadap isolat
bakteri simbion pada moluska yang
diambil dari wilayah Maluku Utara
menunjukkan bahwa bakteri simbion
moluska sangat potensial dalam
menghambat pertumbuhan bakteri MDR.
Hal ini menjadi poin penting karena
selama ini masalah suplai bahan baku
menjadi kendala dalam pengembangan
senyawa bioaktif dari invertebrate laut
(Proksch et al., 2002), karena senyawa
yang dihasilkan sangat terbatas sehingga
dapat mengancam keberadaan avertebrata
laut itu sendiri. Jadi dalam konteks
pemanfaatan sumber daya laut yang
berkelanjutan hasil penelitian ini sangat
menjanjikan untuk ditindak lanjuti lebih
lanjut.
Analisis GC-MS dilakukan pada
isolat aktif TCM6.1, TCA8.7 dan
TOV12.sebagai fraksi yang memiliki
aktivitas anti bakteri terbaik. Pendugaan
senyawa dengan menggunakan Gas
Chromatography menunjukkan terdapat
beberapa senyawa yang terdeteksi dari
fraksi TCM, yakni: Nitrogen oxide
(N2O) (CAS) Nitrous oxide; 1,3-
Dioxolane, 2-(6-octynyl)-(CAS); Acetic
acid (CAS) Ethylic acid; Propanoic
acid,2-methyl-(CAS) Isobutyric acid;
Iso-VALERIC ACID; Butanoic acid, 2-
methyl-(CAS) 2-Methylbutanoic acid; 1-
Pentadecanol (CAS) Pentadecanol; 1,2-
Benzenedicarboxylic acid, dioctyl ester
(CAS) Dioctyl phthalate; Tetradecane,1-
iodo-; Cholastane, 3-thiocyanato,
(3.aplpha,.5.alpha.)-(CAS) Thiocyanic
acid,5.alp. Sedang fraksi TOV terdekteki
senyawa Propanoic acid,2-methyl-
(CAS)Isobutyric acid; Butanoic acid, 2-
methyl-(CAS) 2-Methylbutanoid acid
dan fraksi TSA terdekteksi senyawa: 1,2-
Propadiene (CAS) Allene seperti yang
tertera pada Gambar 1, 2 dan 3.
Hasil GC-MS pada sampel fraksi
TCM memperlihatkan bahwa pada fraksi
terdeteksi 10 puncak senyawa, tapi hanya
3 senyawa yang lebih dominan, yakni
senyawa Nitrogen oxide (N2O) (CAS)
Nitrous oxide; Acetic acid (CAS) Ethylic
acid; Propanoic acid,2-methyl-(CAS)
Isobutyric acid dan fraksi isolat
TOV terdeteksi senyawa Propanoic
acid,2-methyl-(CAS)Isobutyric acid;
Butanoic acid, 2-methyl-(CAS) 2-
Methylbutanoid acid sedang fraksi isolat
TSA terdeteksi senyawa 1,2-Propadiene
(CAS) Allene.
Karakteristik Senyawa Bioaktif Bakteri Simbion…
38 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Gambar 1. Kromatogram GC-MS TCM memperlihatkan bahwa senyawa yang
dominan adalah Acetic acid (CAS) Ethylic acid
Gambar 2. Kromatogram GC-MS TOV memperlihatkan bahwa Propanoic acid,2-
methyl-(CAS) Isobutyric acid
Pringgenies
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 39
Gambar 3. Kromatogram GC-MS TSA memperlihatkan bahwa Propadiene (CAS)
Allene
Senyawa acid memperlihatkan
senyawa yang yang potensi sebagai anti
bakteri dengan cara menghancurkan
dinding sel dan menghambatan sintesis
dinding sel (Mutchler, 1991). Diduga
senyawa acid tersebutlah yang berperan
memiliki kemampuan antibakteri (Kim et
al., 2004). Seperti yang dinyatakan oleh
Hillenga et al. (1995), bahwa Asam
Benzenasetat digunakan dalam pem-
buatan Penicilin G. Asam Benzen-asetat
mempunyai kemampuan untuk menem-
bus membran plasma pada sel.
Dapat diasumsikan bahwa
mekanisme kerja dari TCM, TOV dan
TSA dari bakteri simbion Moluska
adalah melalui penghambatan sintesis
dinding sel seperti mekanisme kerja
penisilin melalui penghambatan sintesis
dinding sel (Jawetz et al, 2001).
Ditambahkan pula oleh Katzung (2004),
bahwa antibiotik beta-laktam melintasi
membran luar dan memasuki organisme-
organisme gram negatif melalui saluran
protein membran luar. Jadi dalam
konteks pemanfaatan sumber daya laut
yang berkelanjutan hasil penelitian ini
sangat menjanjikan untuk ditindak lanjuti
lebih lanjut.
IV. KESIMPULAN
Isolat bakteri aktif yang diperoleh
dalam penelitian ini menunjukkan hasil
yang sangat menjanjikan karena ketiga
isolat mampu menghambat bakteri MDR.
Hasil GC-MS pada sampel fraksi
TCM memperlihatkan bahwa pada fraksi
terdeteksi 10 puncak senyawa, senyawa
yang lebih dominan yakni senyawa
Acetic acid (CAS) Ethylic acid dan fraksi
isolat TOV terdeteksi senyawa yang lebih
dominan yakni Propanoic acid,2-methyl-
(CAS) sedang fraksi isolat TSA
terdeteksi senyawa 1,2-Propadiene
(CAS) Allene.
Isolat fraksi TCM berpotensi
memberikan kontribusi sebagai sumber
alternatif baru metabolit sekunder dari
bahan farmasi bahari dalam meng-
hasilkan produk sebagai desinfektan.
Karakteristik Senyawa Bioaktif Bakteri Simbion…
40 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan Nasional, Hibah
Kompetensi 2010. Ucapan terima kasih
disampaikan kepada Dr. Ocky K Radjasa
dan Dr. Adus Sabdono MSc Jur. Ilmu
Kelautan FPIK UNDIP Semarang.
DAFTAR PUSTAKA
Burgess J.G., K.G. Boyd, E. Amstrong,
Z. Jiang, L. Yan, M. Berggren, U.
May, T. Pisacane, A. Granmo, and
D.R. Adams, 2003. Development
of a marine natural product-based
antifouling paint. Biofouling,
19:197- 205
Hunt, B., and A.C.J. Vincent. 2006. Scale
and sustainability of marine
bioprospecting for pharmaceu-
ticals. Ambio, 35(2):57-64.
Kim TK, MJ Garson., and J A Fuerst.
2005. Marine actinomycetes related
to the Salinospora group from the
Great Barrier Reef sponge
Pseudoceratina clavata. Environ.
Microbiol., 7:509-518.
Long R, and F. Azam, 2001.
Antagonistic interactions among
marine pelagic bacteria. Appl
Environ Microb., 67:4975-4983
Pringgenies. D, O.K. Radjasa, dan A.
Sabdono. 2008. Bioprospeksi
Moluska dan Bakteri Simbionnya
Dalam Rangka Penanganan Strain
MDR (Multi Drug Resistant.
Program Intensif Riset Dasar
2007/2008.. LembagaPenelitian
Universitas Diponegoro. Novem-
ber 2008. Laporan Penelitian. 40
Hal.
Proksch, P., R.A. Edrada, and R. Ebel.
2002. Drugs from the sea-current
status and microbiological impli-
cations. Appl. Microbiol. Bio-
technol., 59:125-134.
Sukarmi dan O.K. Radjasa. 2007.
Bioethical Consideration in the
Search for Bioactive Compounds
from Reef’s Invertebrates. J. Appl.
Sci., 7(8):1235-1238
Rajasa, O.K. 2003. Marine invertebrata-
associated bacteria in coral reef
ecosystems as a new source of
bioactive compounds. J. Coast.
Dev., 7: 65-70
Radjasa, O.K. and A.Sabdono. 2003.
Screening of secondary metabo-
lite-producing bacteria associated
with corals using 16S rDNA-based
approach. J. Coast. Dev., 7:11-19.
Radjasa, O.K., A. Sabdono, Junaidi, and
E. Zocchi. 2007c. Richness of
secondary metabolite- producing
marine bacteria associated with
sponge Haliclona sp. Int. J.
Pharmacol., 3(3):275-279.
Radjasa, OK, H Urakawa, K Kita-
Tsukamoto, and K Ohwada. 2001.
Characterization of psychrotro-phic
bacteria in the surface and deep-sea
waters from north-western Pacific
Ocean based on 16S ribosomal
DNA approach. Mar. Biotechnol.,
3:454-462.
Hunt, B., and A.C.J. Vincent. 2006. Scale
and sustainability of marine
bioprospecting for pharmaceuti-
cals. Ambio, 35(2):57-64.
Olivera, B.M. 2000. Conotoxin MVIIA:
From marine snail venom to
analgesic drug. In: Fusetani (ed.)
Drugs from the sea. Karger, 74–
85pp.
Watermann, B. 1999. Alternative anti-
foulant techniques present and
future. Limno. Mar., 1(6):6-7.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 41-52, Desember 2010
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 41
AKUMULASI LOGAM BERAT PB, CU, DAN ZN DI HUTAN MANGROVE MUARA ANGKE, JAKARTA UTARA
ACCUMULATION OF HEAVY METALS PB, CU, AND ZN IN THE MANGROVE
FOREST OF MUARA ANGKE, NORTH JAKARTA
Faisal Hamzah dan Agus Setiawan Balai Riset dan Observasi Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan
ching_ai_hamzah@yahoo.com, setiawan.agus@gmail.com
ABSTRACT In this study, the concentrations of three kinds of heavy metals, namely Pb, Zn, and Cu from 3 species of mangrove that grow in Muara Angke were measured and analyzed. Our result showed that substrate of mangrove ecosystem in Muara Angke was dominated by clay (30.5% - 62.4%), silt (21.7% -35.6%), and sand (2% -39.5%). The heavy metals accumulation in roots is higher than in sediment, water and leaves with concentration of Zn as the highest. Bioconcentration Factor (BCF; content ratio of heavy metal concentrations in roots or leaves and sediment) and Translocation Factor (TF; ratio of heavy metal concentrations in leaves and roots) of non-essential heavy metals (Pb) is higher in leaves than in roots, but for essential heavy metals (Zn and Cu), the BCF and TF was higher in roots than in leaves. TF values for heavy metals Pb, Cu, and Zn were 0.98-2.59, 0.17-0.51, and 0.52-0.86, respectively. The values of root BCF of those three heavy metals were 0.71-3.17, 0.27-0.74, and 0.95-1.53, while the values of leaf BCF were 1.84-3.45, 0.07-0.34, and 0.72-1.19, respectively. Furthermore, by calculating the phytoremediation (FTD), i.e. the difference between BCF and TF, it is obtained that Sonneratia caseolaris and Avicennia marina can be used in phytoremidiation, with leaves and roots FTD of 1.93 and 2.09, respectively for Sonneratia caseolaris and 1.93 and 1.98 for Avicennia marina. Keywords: heavy metals, mangroves, phytoremidiation, Muara Angke, bioconcentration factor,
translocation factor
ABSTRAK Dalam penelitian ini, konsentrasi tiga jenis logam berat, yaitu Pb, Zn, dan Cu dari 3 spesies mangrove yang tumbuh di Muara Angke diukur dan dianalisis. Hasil analisa menunjukkan bahwa substrat yang mendominasi ekosistem mangrove di Muara Angke adalah liat (30,5% - 62,4%), debu (21,7%-35,6%), dan pasir (2%-39,5%). Akumulasi logam berat di akar lebih tinggi daripada di daun, dimana konsentrasi logam berat Zn adalah yang tertinggi. Nilai Bioconcentration Factor (BCF; rasio kandungan konsentrasi logam berat dalam akar atau daun dengan sedimen) dan Translocation Factor (TF; rasio konsentrasi logam berat dalam daun dan akar) logam berat non esensial (Pb) lebih tinggi di daun daripada di akar, namun untuk logam berat esensial (Zn dan Cu), BCF dan TF lebih tinggi di akar daripada di daun. Nilai TF untuk logam berat Pb, Cu, dan Zn berturut-turut adalah 0,98-2,59; 0,17-0,51 dan 0,52-0,86. Sementara itu, nilai BCF akar ketiga logam berat tersebut adalah 0,71-3,17; 0,27-0,74, dan 0,95-1,53. BCF daun logam Pb, Cu, dan Zn adalah 1,84-3,45, 0,07-0,34, dan 0,72-1,19. Selanjutnya, dengan menghitung fitoremediasi (FTD), yang merupakan selisih antara BCF dan TF, diperoleh bahwa Sonneratia caseolaris dan Avicennia marina merupakan spesies mangrove yang dapat digunakan dalam fitoremidiasi di Muara Angke, dengan FTD daun dan akar sebesar 1,93 dan 2,09 untuk Sonneratia caseolaris dan 1,93 dan 1,98 untuk Avicennia marina. Kata Kunci: logam berat, mangrove, fitoremidiasi, Muara Angke, bioconcentration faktor,
translocation faktor
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, dan Zn…
42 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
I. PENDAHULUAN Mangove merupakan salah satu
ekosistem pesisir yang mempunyai peranan penting di daerah estuari. Ekosistem mangrove memiliki tingkat produktivitas paling tinggi dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya. Mangrove juga merupakan tempat mencari makan, memijah dan ber-kembang biak bagi udang dan ikan serta kerang dan kepiting. Ekosistem mangrove bagi manusia juga bermanfaat baik secara langsung dan tidak langsung terhadap sosio-ekonomi penduduk sekitar. Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai perangkap sedimen dan mencegah erosi serta penstabil bentuk daratan di daerah estuari (Harty, 1997).
Disamping kegunaan mangrove yang begitu banyak, adapula usaha dan aktvitas lain yang menyebabkan luasan mangrove berkurang. Kegiatan ini seperti reklamasi pantai, pembukaan lahan untuk pertanian dan perikanan budidaya, industri serta pengembangan perumahan didaerah pesisir (Eong, 1995). Dampak dari aktivitas diatas dapat menyebabkan secara langsung masuknya limbah kedalam ekosistem estuari yang salah satunya adalah logam berat (MacFarlane, 2002). Peningkatan kadar logam berat pada ekosistem mangrove dapat juga berasal dari perkapalan, wisata, tumpahan minyak, pengolahan limbah tumbuhan serta peningkatan sampah dan aktivitas pertambangan (Peters et al., 1997). Masukan dari aktivitas pertanian seperti penggunaaan insektisida dan pupuk yang berlebihan juga meningkatkan konsen-trasi logam berat di estuari (Alloway, 1994). Konsentrasi logam berat yang tinggi akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan meningkatkan daya toksisitas, persistan dan bioakumulasi logam itu sendiri (Lindsey et al., 2004).
Secara umum, logam berat untuk pertumbuhan dan perkembangan tum-buhan dibagi menjadi dua yaitu logam esensial dan non esensial. Cu dan Zn merupakan logam yang termasuk esensial, sedangkan Pb merupakan logam non esensial bagi tumbuhan (Baker dan Walker, 1990 dalam MacFarlane and Burchett, 2002). Cu sangat berguna untuk pertumbuhan jaringan tumbuhan teruta-ma jaringan daun dimana terdapat proses fotosintesis (Kamaruzzaman et al., 2008). Selain itu, Cu juga mempunyai fungsi sebagai salah satu mikronutrien yang diperlukan didalam mitokondria dan kloroplas, enzim yang berhubungan dengan transpor elektron II, proses sintesis dan metabolisme karbohidrat dan protein serta sebagai dinding sel lignin (Verkleij dan Schat, 1990 dalam MacFarlane and Burchett, 2003). Pb merupakan logam yang sangat rendah daya larutnya bersifat pasif, dan mem-punyai daya translokasi yang rendah mulai dari akar sampai organ tumbuhan lainnya. Pb juga memiliki toksisitas yang tertinggi dan menyebabkan racun bagi beberapa spesies (Wozny dan Kzreslowka, 1993 dalam MacFarlane and Burchett, 2002). Zink sangat berguna dalam sistem enzim, enzim aktivator dalam proses respirasi dan hormon pertumbuhan. Mills (1995) telah melakukan observasi terhadap beberapa logam berat yang masuk ke daerah estuari, dan hasilnya adalah sebagian besar logam yang masuk kedalam estuari berasal dari aktivitasi industri antara lain Cu, Pb, dan Zn. Ketiga logam tersebut masuk kedaerah estuari dengan konsen-trasi yang tinggi dengan peningkatan nilai konsentrasi sampai dengan 1000 µg Cu g-1, 1000 µg Pb g-1, dan 2000 µg Zn g-1 didalam sedimen yang terkontaminasi (Irvine dan Birch, 1998).
Walaupun masukan sumber pen-cemar sangat banyak, mangrove memiliki toleransi yang tinggi terhadap logam
Hamzah dan Setiawan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 43
berat (Macfarlane dan Burchett, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa mangrove secara aktif menghindari masukan logam berat yang berlebih dan berfungsi sebagai penyaring dan memiliki daya treatment khas secara alami melalui organ akar (Clark et al., 1998 dalam Kammaru-zaman et al., 2008) Akumulasi logam berat terjadi pada akar dan dibawa ke jaringan lainnya dan proses ini bisa membatasi masuknya udara ke dalam jaringan tersebut (Silva et al., 1990; Chiu dan Chou, 1991 dalam MacFarlane et al., 2003).
Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) merupakan kawasan konservasi di daerah Muara Angke yang terletak di ujung Jakarta dengan luas hutan seluas 44,7 Ha. Luasan hutan ini termasuk kecil, namun mengingat keberadaan dan fungsinya kawasan ini mempunyai nilai yang sangat khusus. Sebagian besar ekosistem yang tumbuh didaerah HLAK yaitu mangrove jenis Avicennia marina, Rhizophora mucronata, dan Sonneratia caseolaris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akumulasi logam pada mangrove terutama pada jaringan utama seperti akar dan daun. Selain itu, diketahuinya perbandingan konsentrasi logam antara di mangrove dengan di lingkungan sehingga diketahui apakah vegetasi tersebut dapat dijadikan indikator pencemaran logam berat di kawasan Muara Angke. II. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Jenis Sampel
Survey pengambilan sampel dilak-sanakan pada bulan Juni 2010 di Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK), Muara Angke, Jakarta. HLAK merupakan daerah konservasi hutan mangrove berada dibawah koordinasi Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta. Sebanyak 3 titik diambil pada penelitian
ini yaitu stasiun 2A, 2B dan 5 (Gambar 1). Pemilihan jenis mangrove berda-sarkan spesies yang dominan yang ditemukan di daerah penelitian. Secara umum jenis mangrove yang dominan yang ditemuakan adalah Avicennia marina, Rhizophora mucronata, dan Sonneratia caseolaris.
Sampel yang diambil meliputi parameter fisika kimia air dan sedimen yaitu suhu, pH, salinitas air dan tanah, kandungan oksigen terlarut (DO). Logam yang dianalisa meliputi logam esensial dan non esensial bagi mangrove yaitu Pb, Cu, dan Zn. Sampel untuk analisa logam berat berasal dari air, sedimen, akar dan daun mangrove.
2.2. Pengambilan Sampel dan Metode
Ekstraksi Pengukuran insitu dilakukan
terhadap parameter suhu, salinitas, kandungan oksigen terlarut (DO) dan pH. Suhu diukur dengan menggunakan termometer, salinitas air diukur dengan menggunakan refraktometer sedangkan salinitas sedimen diukur dengan SCT Meter. pH air diukur dengan menggunakan pH meter sedangkan pH sedimen diukur dengan mengunakan ekstrak H2O dan CaCl2 dimana pH yang diekstrak dengan air merupakan kemasaman aktif (aktual) dan ekstrak CaCl2 0.01 M merupakan kemasaman potensial (cadangan). Kandungan oksigen terlarut diukur dengan menggunakan metode titrasi winkler. Sampel air untuk logam diambil dengan menggunakan Van Dorn dan dimasukkan kedalam botol polietilen yang terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan HCl 6 N dan dibilas dengan aquadest (Hutagalung et.al., 1997). Sampel sedimen diambil dengan menggunakan Ekman grab dan dimasukan kedalam botol polietilen.
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, dan Zn…
44 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Muara Angke, Juni 2010
Kandungan logam berat pada air
diukur dengan cara terlebih dahulu menghilangkan ion mayor seperti Na+, Ca2+, SO4-2, K+, dan Mg2+ dengan menambahkan metil iso butil keton, APDC, dan NaDDC sehingga memudahkan proses adsorbsi logam berat oleh AAS (Hutagalung et.al., 1997). Untuk logam berat pada sedimen juga dihilangkan ion mayor kemudian ditambahkan HF hingga suhu mencapai 1300C. Setelah dingin, sampel siap diukur dengan AAS menggunakan nyala udara asitilen. Fraksinasi sedimen juga dilakukan pada penelitian ini. Fraksinasi sedimen dilakukan dengan menganalisa tekstur dengan menggunanakan metode fraksional yang menggunakan alat saringan bertingkat.
Sampel akar dan daun mangrove diambil dengan menggunakan gunting tanaman. Sampel akar yang diambil merupakan akar mangrove yang masuk kedalam sedimen, sedangkan daun mangrove yang diambil merupakan daun mangrove yang tidak terlalu tua dan tidak juga terlalu muda. Sebanyak ± 30 daun
diambil dari 5 jenis pohon 3 spesies. Pohon yang diambil mempunyai diamater berkisar antara 15-20 cm dengan tinggi 3-5 m. Sampel daun dan akar, terlebih dahulu di keringkan dengan menggunakan oven pada suhu 1050C selama 24 jam. Tambahkan HNO3 dan HClO4 (APHA, 2005), Kemudian dipanaskan dan ditambah HNO3, dan siap diukur dengan menggunakan nyala udara asitilen.
2.3. Analisa Data
Untuk mengetahui terjadi akumulasi logam pada mangrove dilakukan dengan cara menghitung konsentrasi logam pada sedimen, akar dan daun. Perbandingan antara konsen-trasi logam di akar/daun dengan konsentrasi di sedimen dikenal dengan bio-concentration factor (BCF). BCF pada daun dan akar dihitung untuk mengetahui seberapa besar konsentrasi logam pada daun dan akar yang berasal dari lingkungan (MacFarlane et al., 2007). Selain itu juga dihitung perbandingan antara konsentrasi logam
Hamzah dan Setiawan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 45
pada daun dan akar yang dikenal sebagai translocation factors (TF). Nilai TF dihitung untuk mengetahui perpindahan akumulasi logam dari akar ke tunas (MacFarlane et al., 2007). Selisih antara nilai BCF dan TF digunakan untuk menghitung fitoremediasi (Yoon et al., 2006). Pearson correlation digunakan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi logam pada sedimen, akar dan daun.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Paramater Fisika dan Kimia
Parameter fisika dan kimia air yang diukur secara insitu adalah adalah pH, suhu, salinitas dan oksigen terlarut sedangkan untuk sedimen, paramater yang diukur adalah salinitas dan pH. Secara umum, pH hasil pengukuran diketiga lokasi hampir sama yaitu berkisar 7,53 - 7,68. Nilai tertinggi untuk pH ditemukan pada Stasiun 2B. Untuk suhu, secara umum juga hampir sama di semua lokasi penelitian yaitu berkisar antara 28.5-29 0C (Tabel 1). Nilai suhu dan pH berdasarkan baku mutu air laut untuk biota laut didaerah mangrove masih berada dibawah baku mutu (KepMen LH No 51, 2004). Nilai salinitas dan oksigen terlarut memiliki nilai yang beda antarstasiun. Stasiun 5 merupakan stasiun yang paling rendah salinitas dan DO-nya (3 ‰ & 1,77 mg/l), sedangkan stasiun 2B memiliki salinitas dan DO paling tinggi yaitu 19 ‰ dan 6,39 mg/l. Rendahnya salinitas pada stasiun 5 diduga bahwa Stasiun 5 dekat dengan Sungai Angke, sehingga mendapat pengaruh dari masukan air tawar. Kondisi substrat yang bersifat anaerob merupakan salah satu ciri daerah estuari. Hal ini mengindi-kasikan bahwa secara umum oksigen terlarut di daerah estuari memang sangat rendah dan bersifat anaerob. Oksigen terlarut dari air diserap ke sedimen dan digunakan untuk
kegiatan respirasi oleh bakteri (Hogarth, 1999).
Salinitas pada sedimen berkisar 12-25 ‰, sedangkan pH sedimen yang diukur melalui pendekatan H2O berkisar 5,2-7,5 dan CaCl2 berkisar 5,1-7,4. Secara umum pH dengan menggunakan pendekatan ekstraksi H2O dan CaCl2 tidak jauh beda antarstasiun dan jika dibandingkan antara pH air dan sedimen, maka stasiun 2A dan 2B memiliki pH yang sama, tetapi untuk stasiun 5 memiliki perbedaaan nilai antara air dan sedimen. Pengukuran pH dengan menggunakan ekstraksi H2O akan mendapatkan hasil lebih besar dibandingkan dengan menggunakan ekstrak CaCl2 0.01 M karena ekstrak CaCl2 merupakan kemasaman cadangan sehingga nilainya selalu lebih kecil dari ekstrak air. Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya nilai pH pada stasiun 5 adalah proses reaksi reduksi dan oksidasi yang terjadi pada sedimen diduga bisa mengurangi kandungan pH.
Secara umum, kondisi ekosistem mangrove di Muara Angke berada didaerah tercemar (Teluk Jakarta). Masukan limbah yang berasal dari industri, pelabuhan, dan aktivitas rumah tangga menyebabkan tingginya pencemaran yang terjadi terutama logam berat. Sumber pencemar yang berasal dari aktivitas rumah tangga yang mengandung bahan organik akan mempengaruhi kondisi ekosistem mangrove terutama sedimen. Bahan organik yang ada pada ekosistem mangrove secara alami berasal dari serasah mangrove. Selain itu, bahan organik juga akan mempengaruhi derajat keasaman (Setyawan, 2008). Peningkatan logam didaerah estuari juga dipengaruhi oleh faktor sedimen yang dipengaruhi oleh pH, bahan organik, perpindahan kation, spesies mangrove, dan umur mangrove. Mobilitas logam dan ketersediaan dari logam berat di sedimen
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, Dan Zn…
46 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
secara umum rendah. Kondisi ini ditentukan sekali oleh pH yang tinggi, sedimen berbentuk lempung dan bahan organik tinggi. (Jung dan Thomton, 1996; Rosselli et al., 2003 dalam Yoon et al., 2006).
3.2. Fraksinasi Sedimen
Sedimen di daerah Muara Angke terdiri dari berbagai tipe substrat dengan ukuran yang berbeda, penentuan jenis dan komposisi sedimen dilakukan dengan mengidentifikasi fraksi-fraksi pemben-
tuknya yakni pasir, debu dan liat. Gambar 2 menunjukkan bahwa, berdasarkan hasil analisa laboratorium, komposisi substrat didaerah Muara Angke sebagian besar didomininasi oleh liat (30,5 - 62,4%), sedangkan untuk fraksi lainnya yaitu debu (21,7%-35,6%), dan pasir (2%-39,5%). Stasiun 2B dan 2A merupakan stasiun tertinggi komposisi liatnya yaitu 62,4% dan 45,6%. Stasiun 5 lebih didominasi oleh pasir dengan jumlah persentase mencapai 39, 5%.
Tabel 1. Parameter fisika kimia air dan sedimen di daerah Muara Angke
No Parameter Satuan Stasiun
5 2A 2B
Air 1 pH (in-situ) - 7,56 7,53 7,68
2 Suhu (in-situ) oC 28,5 29 29
3 Salinitas (in-situ) ‰ 3 10 19
4 Oksigen Terlarut mg/L 1,77 5,68 6,39
Sedimen 5 Salinitas ‰ 13 12 25
6 pH
H2O - 5,2 7,5 7,5
CaCl2 - 5,1 7,4 7,4
Gambar 2. Komposisi tekstur sedimen di Muara Angke
Hamzah dan Setiawan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 47
Prosentase antara liat dan debu pada Stasiun 5 hampir sama yaitu 30,5% dan 30%. Kondisi substrat dengan fraksi lumpur akan berpengaruh terhadap konsentrasi logam (Hogarth, 1999). 3.3. Kandungan logam berat Pb, Cu
dan Zn pada air dan sedimen Hasil pengukuran kandungan
logam Cu dan Pb total pada air menunjukkan kurang dari 0,006 ppm, sedangkan untuk logam Zn total berkisar antara 0,044-0,062 ppm. Pada sedimen, kandungan logam berat Cu total berkisar antara 28,41-51,36 ppm, kandungan logam Zn total berkisar 56,58-69,3 ppm dan 18,64-29,57 ppm untuk logam Pb total. Kandungan rerata logam berat Pb, Cu, dan Zn pada air dan sedimen dapat dilihat pada Tabel 2.
Secara umum kandungan logam baik Pb, Cu, dan Zn dalam air memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan yang di sedimen. Dalam air, logam Zn memiliki konsentrasi tertinggi di dibandingkan logam lainnya. Pb dan Cu memiliki daya larut yang rendah dibandingkan dengan Zn, sehingga di perairan konsentrasinya rendah. Di sedimen, konsentrasi logam Zn memiliki nilai konsentrasi yang tinggi dibandingkan dengan Cu dan Pb. Tingginya konsentrasi logam Zn total
baik di air dan sedimen dapat menunjukkan bahwa terdapat masukan dari aktivitas industri, pelabuhan, dan perumahan yang menuju HLAK. Jika dikaitkan dengan kondisi perairan yang asam, Zn akan berikatan dengan Cl- dan mudah terlarut sehingga bisa meningkat konsentrasi Zn. Tingginya kandungan Zn di sedimen dibandingkan dengan air dikarenakan ion Zn sangat mudah terserap kedalam sedimen. Dalam hal ini, konsentrasi Zn dalam air, tidak berupa ion melainkan berbentuk senyawa (Effendi, 2003).
3.4. Kandungan logam berat Pb, Cu,
dan Zn pada daun dan akar Kandungan logam Cu pada akar
berkisar antara 12,17-37,68 ppm dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada species Avicennia marina ke-3 stasiun 2. Kandungan logam Zn total pada akar berkisar 55,38-99,88 ppm, sedangkan kandungan logam Pb berkisar 20,98-68,78 ppm. Logam Zn tertinggi ditemukan di St. 2 pada species Avicennia marina ke-5 dan Pb teringgi ditemukan di stasiun 5 pada spesies Sonneratia caseolaris. Kandungan logam Cu pada daun berkisar 2,07 - 10,07 ppm dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada spesies Avicennia marina stasiun 2 (Tabel 3).
Tabel 2. Kandungan rerata logam berat Pb, Cu dan Zn pada air dan sedimen
No Parameter Satuan Stasiun
5 2A 2B
Air
1 Cu Total ppm <0,006 <0,006 <0,006
2 Pb Total ppm <0,006 <0,006 <0,006
3 Zn Total ppm 0,062 0,048 0,044 Sedimen
4 Cu Total ppm 28,41 29,68 51,36
5 Zn Total ppm 56,58 65,28 69,3
6 Pb Total ppm 23,23 18,64 29,57
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, Dan Zn…
48 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Logam Zn dan Pb berkisar 47,86-
67,45 ppm dan 54,31-85,48 ppm, dengan konsentrasi logam Zn dan Pb tertinggi terdapat pada stasiun 5, spesies Sonneratia caseolaris dan Rhizophora mucronata. Kandungan logam berat pada akar dan daun dapat dilihat pada Tabel 4.
Jika dilihat perbandingan konsen-trasi logam pada akar dan daun, maka kandungan logam berat pada akar lebih tinggi dibandingkan pada daun. Logam Cu dan Zn lebih tinggi pada akar dibandingkan pada daun, namun sebaliknya konsentrasi logam Pb lebih tinggi di daun dibandingkan pada akar. Tingginya konsentrasi logam Pb pada daun diduga tingkat mobilitas logam Pb yang tinggi, namun berbeda dengan apa yang dilakukan oleh MacFarlane et al., (2003). Kandungan logam berat Pb pada Avicennia marina pada kondisi terkontrol lebih tinggi di akar dibandingkan di daun. Baker (1981) dalam MacFarlane et al., (2003) menyatakan bahwa Avicennia marina merupakan spesies mangrove yang sangat ketat dalam menyerap logam Pb bahkan sampai tidak menyerap sama sekali. Berdasarkan mekanisme fisio-logis, mangrove secara aktif mengurangi penyerapan logam berat ketika konsen-trasi logam berat di sedimen tinggi.
Penyerapan tetap dilakukan, namun dalam jumlah yang terbatas dan terakumulasi di akar. Selain itu, terdapat sel endodermis pada akar yang menjadi penyaring dalam proses penyerapan logam berat. Dari akar, logam akan di translokasikan ke jaringan lainnya seperti batang dan daun serta mengalami proses kompleksasi dengan zat yang lain seperti fitokelatin. (Baker dan Walker, 1990 dalam MacFarlane et al., 2003).
3.5. Akumulasi dan translokasi logam
Cu, Zn, dan Pb Berdasarkan data konsentrasi akar,
daun dan sedimen, akumulasi logam bisa dilihat dengan cara membandingkan konsentrasi antar jaringan tumbuhan mangrove. Baker dan Brooks (1989) menyatakan bahwa, tumbuhan mampu mengakumulasi logam berat hingga > 1000 mg kg-1 dan dikenal sebagai hiperakumulator. Pada dasarnya, tumbuh-an mempunyai daya toleransi dan mengakumulasi logam berat dan hal ini berkaitan dengan tujuan fitostabilisasi. Bioconcentration factors (BCF) dan Translocation factors (TF) bisa digunakan untuk menduga tumbuhan yang bisa dijadikan sebagai fitoremidiasi.
Tabel 3. Kandungan rerata logam berat Pb, Cu dan Zn pada daun dan akar
No Parameter Satuan Lokasi dan Spesies mangrove
5 - RM 3 5 - SC 4 2A - AM 3 2A - AM 4 2A - AM 5
Akar 1 Cu Total ppm 12,17 15,36 37,68 13,88 22,04
2 Zn Total ppm 55,38 83,05 95,61 66,18 99,88
3 Pb Total ppm 53,89 68,78 20,98 57,52 59,16 Daun
4 Cu Total ppm 2,07 2,57 8,45 7,08 10,07 5 Zn Total ppm 47,86 67,45 50,15 51,76 54,22 6 Pb Total ppm 85,48 67,71 54,31 61,93 64,32
Keterangan : 5 - RM 3 : Rhizophora mucronata St.5; 5 - SC 4: Sonneratia caseolaris St. 5; 2A - AM 3: Avicennia marina St. 2; 2A - AM 4: Avicennia marina St. 2A; 2A - AM 5: Avicennia marina St. 2A
Hamzah dan Setiawan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 49
Tabel 4. Akumulasi dan translokasi logam Cu, Zn dan Pb di daerah Muara Angke
Spesies Stasiun BCF Daun BCF Akar TF
Cu Zn Pb Cu Zn Pb Cu Zn Pb Rhizophora mucronata 5 0,07 0,85 3,68 0,43 0,98 2,32 0,17 0,86 1,59 Sonneratia caseolaris 5 0,09 1,19 2,91 0,54 1,47 2,96 0,17 0,81 0,98 Avicennia marina-3 2 B 0,16 0,72 1,84 0,73 1,38 0,71 0,22 0,52 2,59 Avicennia marina-4 2 B 0,14 0,75 2,09 0,27 0,95 1,95 0,51 0,78 1,08 Avicennia marina-5 2A 0,34 0,83 3,45 0,74 1,53 3,17 0,46 0,54 1,09
Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat
bahwa dari 5 pohon mangrove untuk logam Pb, Rhizophora mucronata pada stasiun 5 memiliki nilai BCF daun paling tinggi yaitu 3,68 kemudian diikuti oleh Avicennia marina-5 pada stasiun 2A (3,45). Hal ini bisa dilihat bahwa konsentrasi logam Pb total pada daun memang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan daun mangrove lainnya dan juga didukung oleh konsentrasi total logam Pb pada sedimen di stasiun 5 lebih tinggi dibandingkan pada stasiun 2A (23,23 ppm). Berbeda dengan logam Pb, nilai BCF daun untuk logam Zn tertinggi ditemukan pada spesies Sonneratia caseolaris (1,19) di stasiun 5 dan untuk BCF daun logam Cu tertinggi ditemukan di stasiun 2A spesies Avicennia marina-5 (0,34). Nilai BCF daun rata-rata logam Pb dan Zn (2,46 dan 0,76) spesies Avicennia marina lebih besar dibandingkan oleh yang dilakukan McFarlane et al., 2007 (BCF= 0,17 dan 0,45).
Akumulasi logam dari sedimen menuju akar yang dilihat dari nilai BCF akar. Secara umum, akumulasi dan penyerapan logam Pb, Cu, dan Zn dari sedimen ke akar tertinggi ditemukan pada spesies Avicennia marina-5 di stasiun 2A dengan nilai BCF akar logam Pb, Cu, dan Zn berturut-turut adalah 3,17; 0,74 dan 1,53. Tingginya nilai BCF akar untuk semua logam didukung oleh tingginya konsentrasi semua logam pada akar dan rendah pada sedimen sehingga menghasilkan nilai BCF akar yang tinggi.
Nilai BCF daun rata-rata logam Cu (0,58) spesies Avicennia marina lebih kecil dibandingkan oleh yang dilakukan McFarlane et al., (2007) (BCF= 0,92), sedangkan untuk BCF rata-rata akar logam Pb dan Zn jauh lebih tinggi (1,94 dan 1,62) dibandingkan dengan yang dilakukan oleh McFarlane et al., (2007) (BCF akar Pb=0,57; BCF akar Zn=0,69).
Translokasi logam dihitung antara rasio konsentrasi logam di daun dan di akar. Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan bahwa nilai TF Cu, Zn, dan Pb berkisar 0,17-2,59. Nilai TF tertinggi ditemukan pada spesies Avicennia marina-3 stasiun 2B untuk logam Pb dan nilai TF terendah ditemukan pada logam Cu spesies Rhizophora mucronata dan Sonneratia caseolaris (0,17). Nilai TF daun rata-rata logam Pb dan Zn (1,58 dan 0,61) spesies Avicennia marina lebih besar dibandingkan oleh yang dilakukan McFarlane et al., 2007 (TF= 0,41 dan 0,51) namun, untuk logam Cu pada spesies yang sama, nilai TF rata-rata lebih kecil (TF= 0,39) dibandingkan yang dilakukan McFarlane et al. (2007) (TF=0,50). Jika dilihat kandungan total logam Pb pada akar dan daun Avicennia marina-3 pada Tabel 4, spesies ini merupakan spesies yang paling kecil memiliki kandungan logam dibandingkan dengan Rhizophora mucronata dan Sonneratia caseolaris. Avicennia marina merupakan salah satu jenis mangrove yang mensekresi garam melalui daun. Selain itu juga pada bagian akar terdapat pneumatopora sehingga dapat mentrans-
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, Dan Zn…
50 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
lokasikan berbagai kandungan garam dan logam menuju daun (MacFarlane et al., 2007).
Translokasi logam dari akar ke daun untuk logam esensial (Cu dan Zn) sangat rendah dibandingkan pada logam non esensial (Pb). Rendahnya nilai TF pada logam esensial menunjukkan bahwa mangrove menggunakan kedua logam tersebut untuk aktivitas metabolisme dan pertumbuhan. Sedangkan untuk logam non esensial, proses mobilitas logam dari akar ke daun sangat tinggi, hanya Sonneratia caseolaris yang nilai mempunyai nilai TF dibawah 1 (0,98). Pada daun, Pb bersifat racun terutama pada saat tumbuhan melakukan fotosintesis, sintesa khlorofil, dan sintesa enzim antioksidan (Kim et al., 2003 dalam Yoon et al., 2006). Terkadang akar juga mempunyai sistem penghentian transpor logam menuju daun terutama logam non esensial, sehingga ada penumpukkan logam di akar (Yoon et al., 2006).
Analisa Pearson Correlation dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kandungan logam pada daun dan sedimen, serta kandungan logam pada sedimen dan akar. Berdasarkan per-hitungan didapatkan bahwa hubungan antara kandungan logam pada sedimen dan daun berkorelasi negatif terjadi pada logam Cu dengan nilai korelasi -0.296 dan berkorelasi positif pada logam Zn dan Pb dengan nilai korelasi masing-masing 0.192 dan 0.135. Hal ini menunjukkan bahwa, konsentrasi Cu
pada daun secara tidak langsung ditranslokasikan dari sedimen menuju daun, tetapi diakumulasikan terlebih dahulu diakar sedangkan pada logam Pb dan Zn, sekitar 19 % dan 13 % kedua logam tersebut di transfer dari sedimen menuju daun. Hubungan antara kandungan logam berat di akar dan di sedimen untuk logam Pb, Cu dan Zn berturut-turut adalah -0.57, 0.57, dan -0.04. Korelasi antara kandungan logam Cu pada akar dan sedimen mempunyai hubungan yang positif yaitu sebesar 57%. Hal ini mengindikasikan bahwa sebanyak 57 % logam di sedimen diserap oleh organ akar. Sedangkan untuk logam Pb dan Zn mempunyai hubungan negatif.
Ma et al. (2001) menyatakan bahwa fitoremidiasi merupakan salah satu solusi yang murah biaya, waktu yang lama, dan hemat tenaga didaerah terkontaminasi. Salah satu aplikasi dari fitoremidiasi yaitu fitostabilisasi. Fitostabilasasi merupakan usaha untuk mengurangi kandungan polutan dimana tumbuhan yang digunakan sebagai sarananya dengan tujuan mengurangi tingkat pergerakan logam pada tanah atau sedimen. Fitoremidiasi (FTD) merupa-kan selisih antara nilai BCF dan TF. FTD akan maksimal jika BCF tinggi dan TF rendah (Yoon et al., 2006).
Berdasarkan Tabel 6, Avicennia marina-5 stasiun 2A merupakan jenis mangrove yang mempunyai nilai FTD paling besar dibandingkan dengan jenis mangrove lainnya (FTD akar dan daun; 1,93 dan 2,09), kemudian diikuti oleh
Tabel 5. Fitoremidiasi pada akar dan daun di Muara Angke
Spesies Stasiun FTD Daun FTD Akar
Cu Zn Pb Cu Zn Pb Rhizophora mucronata 5 -0,1 -0,02 2,09 0,26 0,11 0,73 Sonneratia caseolaris 5 -0,08 0,38 1,93 0,37 0,66 1,98 Avicennia marina-3 2 B -0,06 0,2 -0,8 0,51 0,86 -1,88 Avicennia marina-4 2 B -0,37 -0,04 1,02 -0,24 0,17 0,87 Avicennia marina-5 2A -0,12 0,29 2,36 0,29 0,99 2,09
Hamzah dan Setiawan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 51
Sonneratia caseolaris stasiun 5 dengan nilai FTD daun dan akar masing-masing 1,93 dan 1,98. Untuk spesies Rhizophora mucronata stasiun 5, spesies ini mempunyai nilai FTD daun cukup tinggi (2,09), namun nilai FTD akar cukup kecil (0,73) dan juga nilai TF cukup besar (1,59).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa untuk didaerah Muara Angke, spesies mangrove yang dapat digunakan untuk tujuan fitoremidiasi dilingkungan tercemara adalah Avicennia marina-5 dan Sonneratia caseolaris. Fitoremidiasi dan fitostabilisasi bisa digunakan untuk mengurangi pergerakan polutan didalam tanah/sedimen. Proses ini menggunakan kemampuan akar tanaman (mangrove) untuk mengubah kondisi lingkungan tercemar berat menjadi sedang bahkan ringan. Mangrove bisa mengentikan atau mengurangi proses penyerapan dan akumulasi logam berat melalui akar. Proses ini akan mengurangi pergerakan logam dan mengencerkannya serta mengurangi logam masuk kedalam system rantai makanan di daerah estuari (Susarla et al., 2002). IV. KESIMPULAN
Secara umum konsentrasi logam
berat di Muara Angke pada akar mangrove lebih tinggi dibandingkan pada daun, sedimen dan air dengan konsentrasi: akar (12,17-99,88 ppm), daun (2,07-85,48 ppm), sedimen (18,64-69,3 ppm), air (<0,006-0,0062 ppm). Konsentrasi Zn paling tinggi dibandingkan dengan Pb dan Cu. Akumulasi logam berat pada daun dan akar bisa dihitung melalui BCF. Nilai BCF daun tertinggi pada logam Pb species Avicennia marina (3,45) dan BCF akar juga tertinggi pada logam Pb pada Avicennia marina (3,17). Nilai TF tertinggi ditemukan pada spesies
Rhizophora mucronata (1,59). Untuk tujuan fitoremidiasi, Sonneratia caseolaris dan Avicennia marina merupakan spesies mangrove yang dapat digunakan didaerah Muara Angke.
DAFTAR PUSTAKA Alloway, B.J. 1994. Toxic metals in
soil–plant systems. Chichester, UK: John Wiley and Sons.
American Public Health Association, American Water Works Assosiation dan Water Pollution Control Federation. 2005. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, AWWA, WPCF. 21st Eds. Hal 3-10.
Baker, A.J.M. and R.R. Brooks. 1989. Terrestrial higher plants which hyperaccumulate metallic elements—a review of their distribution, ecology and phyto-chemistry. Biorecovery,1:81–126.
Eong, O.J. 1995. The ecology of mangrove conservation and management. Hydrobiologia, 295: 343–351.
Harty, C. 1997. Mangroves in New South Wales and Victoria. Vista Publications, Melbourne, 47 pp.
Hutagalung, H.P, D. Setiapermana, dan S.H. Riyono. 1997. Metode Analisis Air laut, Sedimen dan Biota (Buku Kedua). P3O LIPI. Jakarta.
Irvine, I. and G. F. Birch. 1998. Distribution of heavy metals in surficial sediments of Port Jackson, Sydney, New South Wales. Aust. J. Earth Sci., 45:297–304.
Kamaruzzaman, B.Y., M.C. Ong., K.C.A., Jalal., S. Shahbudin., dan O.M. Nor. 2008. Accumulation of Lead and Copper in Rhizophora apiculata from Setiu Mangrove Forest, Terengganu, Malaysia.
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, Dan Zn…
52 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Journal of Environ-mental Biology: 821-824
KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004. Baku mutu Air Laut.
Lindsey, H.D., M.M. James, and M.G. Hector. 2004. An Assessment of Metal Contamination in Mangrove Sediments and Leaves from Punta Mala Bay, Pacific Panama. Marine Pollution Bulletin., 50:, 547-552.
Ma, L. Q., K.M. Komar, C. Tu, and W. A. Zhang. 2001. A fern that Hyperaccumulator arsenic. Nature 409:579.
MacFarlane, G.R. and M.D. Burchett. 2001. Photosynthetic pigments and Peroxides activity as indicators of Heavy Metal stress in the Grey Mangrove Avicennia marina (Forsk.) Veirh. Marine Pollution Bulletin, 42: 233-240.
MacFarlane, G.R. 2002. Leaf bio-chemical parameters in Avicennia marina (Forsk.) Vierh as potential biomarkers of heavy metal stress in estuarine ecosystems. Mar. Pollut. Bull, 44: 244–256.
MacFarlane, G.R. and M.D. Burchett. 2002. Toxicity, growth and accumulation relationships of copper, lead and zinc in the Grey Mangrove Avicennia marina (Forsk.) Veirh. Marine Environ-mental Research, 54: 65–84.
MacFarlane, G.R., Pulkownik, and M.D., Burchett. 2003. Accumulation and Distribution of Heavy Metals in grey Mangrove, Avicennia marina (Forsk) Vierh: Biological indication potential. Environmental Pollution, 123: 139-151.
MacFarlane, G.R., E.C. Koller, and S.P. Blomberg. 2007. Accumula-tion and Patitioning of Heavy Metals in Mangrove: A Synthesis of Field-based Studies. Chemosphere. 1454-1464.
Mills, W.B. 1995. Water Quality Assessment: A Screening Proce-dure for Toxic and Conventional Pollutants in Surface and Ground Water – Part 1. US EPA, Georgia.
Peters, E.C., N.J. Gassman, J.C. Firman, R.H. Richmond, and E.A. Power. 1997. Ecotoxicology of tropical marine ecosystems. Environmental Toxicology and Chemistry, 16:12–40.
Rao, N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Setyawan, A.D. 2008. Biodiversitas Ekosistem Mangrove di Jawa; Tinjauan Pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah. Cetakan Pertama. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Bioteknologi dan Biodi-versitas, LPPM Universitas Sebelas Maret. Surakarta: 71-79.
Susarla S., V.F. Medina, and S.C. McCutcheon .2002. Phytoreme-diation, an ecological solution to organic contamination. Ecol Eng, 18:647–58.
Yoon, J., C. Xinde, Z. Qixing , and L.Q. Ma. 2006. Accumulation of Pb, Cu, and Zn in Native Plants Growing on a Contaminated Florida Site. Science of the Total Environment: 456-464.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 53-61, Desember 2010
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 53
KAJIAN STABILITAS EMPAT TIPE KASKO KAPAL POLE AND LINE
STABILITY ANALYSIS OF FOUR TYPES OF POLE AND LINER
St. Aisyah Farhum Faculty of Marine and Fisheries Science, Hasanuddin University, Indonesia;
email: icha_erick@yahoo.com
ABSTRACT This study was purposed to compare the stability of four types of pole and liner casco (round bottom, round flat bottom, round sharp bottom and u-v bottom),. The stability value was analyzed by calculating the stability on the curve with the heeling angle of 0-90°. The stability results of each casco type were then compared with the criteria of minimum standard value derived from IMO (International Maritime Organization). Results showed that the four casco types had greater stability values than IMO standard values. This study found that the stability value of the round –sharp bottom casco was better than the others. Keywords: Stability of fishing boat, Pole and liner, casco
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan nilai stabilitas pada empat tipe kasko kapal pole and line, masing-masing round bottom, round flat bottom, round sharp bottom dan u-v bottom. Analisis nilai stabilitas dilakukan melalui perhitungan nilai stabilitas terhadap kurva stabilitas pada sudut kemiringan 0 – 90o. Hasil analisis stabilitas masing-masing bentuk kasko kemudian dibandingkan dengan standar minimum kriteria stabilitas kapal perikanan yang dikeluarkan International Maritim Organization. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, keempat bentuk kasko kapal pole and line memiliki nilai stabilitas yang lebih besar dari kriteria stabilitas minimum IMO, dimana tipe kasko round-sharp bottom merupakan tipe kasko kapal yang memiliki nilai stabilitas yang lebih baik dibandingkan tipe kasko yang lain. Kata Kunci: Stabilitas, Kapal Pole and Line, Kasko I. PENDAHULUAN
Desain merupakan hal yang penting
dalam pembangunan kapal ikan (Fyson, 1985). Sesuai dengan perbedaan jenis kapal ikan, maka desain dan konstruksi kapal dibuat berbeda-beda dengan memperhatikan persyaratan teknis pengoperasian setiap jenis kapal berdasarkan alat tangkap yang dioperasi-kan. Desain dan konstruksi yang berbeda berdasarkan jenis kapal ikan ini, membuat bentuk badan kapal (kasko) menjadi berbeda-beda (Gillmer and Johnson, 1982 ; Fyson, 1985).
Bentuk badan kapal bergantung pada ukuran utama, perbandingan ukuran utama dan koefisien bentuk kapal (Fyson, 1985). Ukuran utama kapal terdiri dari panjang kapal (L), lebar kapal (B), tinggi/dalam kapal (D) dan draft/sarat air kapal (d). Kesesuaian rasio dimensi sangat menentukan kemampuan suatu kapal ikan, karena akan mempengaruhi resistensi kapal (nilai L/B), kekuatan memanjang kapal (nilai L/D) dan stabilitas kapal (nilai B/D) (Fyson, 1985)
Stabilitas kapal merupakan kemam-puan sebuah kapal untuk kembali ke posisi semula setelah mengalami
Kajian Stabilitas Empat Tipe Kasko Kapal Pole and Line
54 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
keolengan. Stabilitas kapal terkait erat dengan distribusi muatan dan perhitungan nilai lengan penegak (GZ). Perbedaan distribusi muatan yang terjadi pada setiap kondisi pemuatan akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada nilai KG, yaitu jarak vertikal antara titik K (keel) dan titik G (centre of gravity) yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai lengan penegak (GZ) yang terbentuk (Hind, 1982; Derret, 1990).
Stabilitas kapal bergantung pada beberapa faktor antara lain dimensi kapal, bentuk badan kapal yang berada di dalam air, distribusi benda-benda di atas kapal dan sudut kemiringan kapal terhadap bidang horizontal (Fyson, 1985).
Pada kapal pole and line, keberhasilan pengoperasian sangat ber-gantung pada kondisi stabilitas kapal karena sifat pengoperasiannya yang oseanik. Kapal pole and line di Sulawesi Selatan, memiliki bentuk badan kapal yang beragam. Berdasarkan hasil penelitian Farhum (2006), ada empat bentuk badan kapal pole and line di Sulawesi Selatan, yaitu round bottom, round flat bottom, round sharp bottom dan u-v bottom.
Penelitian yang menitikberatkan pada kajian stabilitas ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kestabilan masing-masing jenis kasko kapal pole and line, sehingga dapat diperoleh informasi mengenai perbandingan nilai stabilitas pada empat tipe kasko kapal pole and line.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Data yang Digunakan
Kajian ini menggunakan data: empat karakteristik kapal pole and line dengan masing-masing bentuk kasko round-sharp botttom (K-A), round-flat bottom (K-B), U-V bottom (K-C) dan round bottom (K-D). Spesifikasi sampel kapal yang digunakan untuk keempat bentuk kapal pole and line diterakan pada Tabel 1.
2.2. Analisis Data
Perhitungan stabilitas kapal pole and line sampel meliputi analisis terhadap perkiraan perubahan nilai KG pada empat kondisi distribusi muatan terhadap empat bentuk badan kapal, masing-masing adalah: 1) Kondisi kapal kosong; pada kondisi
ini bahan bakar, umpan hidup dan muatan diasumsikan kosong (0%).
Tabel 1. Spesifikasi Kapal Pole and Line Sampel
Sampel LOA (m) B (m) D (m) d (m) Cb GT K-A K-B K-C K-D
20.44 22.20 21.50 18.40
4.06 5.04 3.84 3.52
1.75 2.12 1.92 1.80
1.40 1.70 1.20 1.44
0.46 0.54 0.57 0.43
24.31 30.71 26.82 17.83
Keterangan: LOA: lenght over all (panjang keseluruhan kapal) B: Breadth (lebar kapal) D: Depth (dalam/tinggi kapal) D: Draught (tinggi garis air) Cb: Coefficient of block GT: Gross tonnage
Farhum
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 55
2) Kondisi kapal berangkat; pada kondisi ini bahan bakar, umpan hidup diasumsikan penuh (100%) dan muatan kosong (0%).
3) Kondisi kapal beroperasi; pada kondisi ini bahan bakar diasumsikan setengah penuh (50%), umpan hidup seperempat penuh (25%) dan muatan tigaperempat penuh (75%).
4) Kondisi kapal pulang; pada kondisi ini bahan bakar diasumsikan seperempat penuh (25%), umpan hidup 10% dan muatan penuh 100%.
Perubahan nilai KG dianalisis dengan membuat perkiraan perubahan jarak vertikal – horizontal pada setiap kondisi perubahan distribusi muatan. Nilai KG diperoleh dengan menggunakan formula berikut (Hind, 1982):
∆∆
= ZofmomentKG
dimana: ∆Z adalah momen vertikal Analisis stabilitas statis melalui
kurva stabilitas statis GZ dilakukan dengan metode Attwood’s Formula (Hind, 1982). Metode ini menganalisis stabilitas statis kapal pada sudut keolengan 0O - 90O.
Hasil perhitungan stabilitas kemudian dibandingkan dengan standar stabilitas kapal yang dikeluarkan oleh United Kingdom Regulations [The Fishing Vessels (Safety Provision) Rules,1975] (Hind, 1982) dan
International Maritime Organization (IMO) pada Torremolinos International Convention for The Safety of Fishing Vessels–regulation 28 (1977) melalui kurva GZ.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Nilai KG Kapal Pole and Line
Sampel pada Berbagai Kondisi Muatan
Hasil perhitungan terhadap nilai KG kapal yang dibuat pada empat kondisi muatan disajikan pada Tabel 2.
Analisis nilai KG dilakukan berdasarkan hasil perkiraan perubahan distribusi muatan pada empat kondisi pemuatan. Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa nilai KG kapal akan berubah jika terjadi perubahan distribusi muatan Jika nilai ton displacement bertambah maka nilai KG kapal akan semakin besar, tetapi nilai GM-nya menjadi lebih kecil. Umumnya nilai KG tertinggi pada keseluruhan kapal sampel berada pada kondisi kapal beroperasi yaitu pada kondisi bahan bakar diasumsikan setengah penuh (50%), umpan hidup satu per empat penuh (25%) dan muatan tiga per empat penuh (75%).
Kapal sampel K-A dengan bentuk round sharp dan K-B dengan bentuk round flat memiliki nilai KG yang lebih
Tabel 2. Hasil perhitungan perkiraan nilai KG, ton displacement (∆) dan GM
pada empat kondisi distribusi muatan No Kondisi Kapal
K-A K-B K-C K-D ∆ KG GM ∆ KG GM ∆ KG GM ∆ KG GM
1. Kapal Kosong 66.0 1.90 0.68 78.2 1.87 0.46 44.0 1.45 0.50 32.5 1.35 0.42 2. Kapal Berangkat 87.3 1.95 0.63 101.9 1.92 0.41 59.6 1.50 0.45 47.0 1.37 0.40 3. Kapal Beroperasi 87.5 1.97 0.61 99.2 1.94 0.40 58.7 1.51 0.44 45.2 1.40 0.37 4. Kapal Pulang 87.2 1.96 0.62 96.4 1.93 0.41 57.4 1.52 0.43 44.2 1.39 0.38
Kajian Stabilitas Empat Tipe Kasko Kapal Pole and Line
56 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
tinggi dibandingkan kedua kapal sampel lainnya, karena nilai ton displacement kedua kapal tersebut juga lebih besar.
Sebuah kapal dapat dikatakan stabil apabila kapal tersebut dapat kembali menjadi tegak setelah mengalami momen kemiringan. Stabilitas pada kapal ikan amat bergantung dari distribusi muatan yang ada pada kapal tersebut.
Taylor (1977) dan Hind (1982) menyatakan bahwa stabilitas sebuah kapal dipengaruhi oleh letak ketiga titik konsentrasi gaya yang bekerja pada kapal tersebut. Ketiga titik tersebut adalah titik B (centre of bouyancy), titik G (centre of gravity) dan titik M (metacentre). Selanjutnya Hind (1982) mengemukakan bahwa posisi titik G bergantung dari distribusi muatan dan posisi titik B bergantung pada bentuk kapal yang terendam di dalam air.
Saat kapal berangkat menuju daerah penangkapan, muatan pada kapal pole and line terdiri atas perbekalan, bahan bakar dan bak umpan hidup yang terisi penuh. Pada saat kembali, muatan-muatan tersebut akan berkurang tetapi palkah ikan akan terisi oleh hasil tangkapan. Hal ini menyebabkan perubahan titik berat pada kapal, sehingga letak titik G (centre of gravity) kapal akan berubah.
Titik berat (G) pada sebuah kapal merupakan titik tangkap dari sebuah titik pusat seluruh gaya berat yang menekan ke bawah. Letak titik G dapat ditentukan dengan meninjau semua pembagian berat yang berada di atas kapal terhadap lunas kapal. Letak titik berat di atas lunas (KG) akan mempengaruhi besar kecilnya nilai lengan penengak GZ yang terbentuk pada saat kapal mengalami keolengan.
Berdasarkan hasil perkiraan perubahan distribusi muatan pada keempat bentuk kapal (K-A, K-B, K-C dan K-D) yang diterakan pada Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa nilai KG kapal akan berubah jika terjadi perubahan berat
dan distribusi muatan. Hal ini juga dijelaskan oleh Hind (1982) bahwa penambahan dan perpindahan muatan pada kapal dapat mengakibatkan perubahan nilai displacement, draft, posisi G, posisi B, posisi M dan trim fore dan aft.
Dari Tabel 2 diketahui bahwa, perubahan nilai ton displacement berpengaruh terhadap nilai KG kapal, tetapi tidak menentukan peningkatan dan penurunan nilai tersebut. Peningkatan dan penurunan nilai KG bergantung kepada distribusi muatan yang ada di atas kapal. Hasil penelitian dari Iskandar (1997) juga menjelaskan bahwa tinggi rendah nilai KG tidak bergantung pada nilai ton displacement kapal, tetapi pada kondisi penempatan muatan di atasnya.
Berdasarkan Tabel 2 juga diketahui bahwa nilai ton displacement ber-pengaruh terbalik terhadap nilai tinggi metacentre (GM) yang terbentuk, dimana semakin tinggi nilai ton displacement kapal, maka tinggi metacentre akan menurun. Hal ini dapat dijelaskan pada Gambar 1 bahwa, jika sebuah beban w (ton) meningkatkan draft kapal maka centre of gravity kapal akan meningkat, sehingga terjadi sebuah posisi GG1 yang baru, sehingga tinggi metacentre akan menurun.
Kapal sampel K-A dengan bentuk round sharp bottom memiliki nilai KG yang lebih tinggi dibandingkan ketiga
Gambar 1. Penambahan beban pada
kapal (Sumber: Hind, 1982)
Farhum
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 57
kapal sampel lainnya. Hal ini disebabkan karena bentuk seperti ini memungkinkan untuk mendistribusikan muatan yang lebih banyak pada bagian atas deck sehingga titik berat kapal bergerak ke atas. Dengan demikian nilai KG yang terbentuk menjadi lebih tinggi.
Nilai KG tertinggi pada kese-luruhan kapal sampel berada pada saat kondisi kapal beroperasi dan pulang, Tingginya nilai KG pada saat kondisi tersebut karena bertambahnya muatan di atas dek oleh hasil tangkapan sedangkan muatan di bawah dek seperti bahan bakar dan umpan hidup menjadi berkurang, sehingga titik G bergerak ke atas.
3.2. Nilai Lengan Penegak GZ Kapal
Pole and Line Sampel Stabilitas statis keempat kapal
sampel diukur dengan menghitung nilai lengan penegak (GZ) yang terbentuk pada kurva GZ. Pada kurva GZ ditunjukkan nilai GZ pada berbagai sudut keolengan (00 – 800). Kurva stabilitas
statis kapal pole and line sampel pada berbagai kondisi distribusi muatan disajikan pada Gambar 2.
Nilai lengan penegak GZ yang terbentuk pada kurva GZ berbanding terbalik dengan nilai KG. Pada kurva tersebut terlihat bahwa semakin tinggi nilai KG maka nilai GZ akan semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Dari keempat bentuk kapal yang ada, kapal K-A dengan bentuk badan round-sharp bottom memiliki nilai GZ yang lebih tinggi dibandingkan kapal sampel dengan bentuk badan kapal yang lain.
Nilai lengan penegak GZ menun-jukkan nilai stabilitas suatu kapal. Nilai ini memiliki standar yang ditetapkan oleh IMO. Hasil perhitungan stabilitas kapal pole and line sampel yang diterakan pada Tabel 3 sampai Tabel 6, menunjukkan bahwa seluruh nilai lengan penegak GZ kapal pole and line sampel memiliki nilai lebih besar dibandingkan nilai minimum yang ditetapkan oleh IMO.
Gambar 2. Kurva GZ Kapal Pole and Line Sampel
K-A
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0 10 20 30 40 50 60 70 80Heel Angle (deg)
GZ (m)
KG-1 KG-2 KG-3 KG-4
Kajian Stabilitas Empat Tipe Kasko Kapal Pole and Line
58 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Gambar 2. Kurva GZ Kapal Pole and Line Sampel (lanjutan)
Gambar 2. Kurva GZ Kapal Pole and Line Sampel (lanjutan)
Gambar 2. Kurva GZ Kapal Pole and Line Sampel (lanjutan)
K-B
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Heel Angle (deg)
GZ (m)
KG-1 KG-2 KG-3 KG-4
K-C
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0 10 20 30 40 50 60 70 80Heel Angle (deg)
GZ (m)
KG-1 KG-2 KG-3 KG-4
K-D
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0 10 20 30 40 50 60 70 80Heel Angle (deg)
GZ(m)
KG-1 KG-2 KG-3 KG-4
Farhum
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 59
Tabel 3. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-A dan nilai standar IMO 0BNilai Pada Standar IMO Kurva GZ (Nilai Minimum)
Kondisi Distribusi Muatan 1 2 3 4
A (0-300) 0.005 m-rad 0.087 0.081 0.078 0.079 B (0-400) 0.090 m-rad 0.140 0.128 0.124 0.125 C (30-400) 0.030 m-rad 0.052 0.047 0.045 0.046 D (sudut GZmax) 30 deg 37 36 36 36 E (GZmin) 0.2 m 0.305 0.280 0.263 0.267 F (GM) 0.15 m 0.680 0.630 0.610 0.620
Tabel 4. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-B dan nilai standar IMO
2BNilai Pada Standar IMO Kurva GZ (Nilai Minimum)
3BKondisi Distribusi Muatan 1 2 3 4
A (0-300) 0.005 m-rad 0.061 0.054 0.052 0.053 B (0-400) 0.090 m-rad 0.095 0.083 0.079 0.082 C (30-400) 0.030 m-rad 0.035 0.029 0.028 0.029 D (sudut GZmax) 30 deg 37 36 35 35 E (GZmin) 0.2 m 0.200 0.170 0.160 0.170 F (GM) 0.15 m 0.460 0.410 0.400 0.410
Tabel 5. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-C dan nilai standar IMO
4BNilai Pada Standar IMO Kurva GZ (Nilai Minimum)
5BKondisi Distribusi Muatan 1 2 3 4
A (0-300) 0.005 m-rad 0.064 0.057 0.056 0.055 B (0-400) 0.090 m-rad 0.105 0.093 0.091 0.088 C (30-400) 0.030 m-rad 0.041 0.036 0.035 0.033 D (sudut GZmax) 30 deg 37 35 35 35 E (GZmin) 0.2 m 0.240 0.210 0.200 0.200 F (GM) 0.15 m 0.500 0.450 0.440 0.430
Tabel 6. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-D dan nilai standar IMO
6BNilai Pada Standar IMO Kurva GZ (Nilai Minimum)
7BKondisi Distribusi Muatan 1 2 3 4
A (0-300) 0.005 m-rad 0.049 0.047 0.043 0.044 B (0-400) 0.090 m-rad 0.073 0.069 0.061 0.064 C (30-400) 0.030 m-rad 0.023 0.022 0.019 0.019 D (sudut GZmax) 30 deg 30 30 30 30 E (GZmin) 0.2 m 0.140 0.130 0.120 0.120 F (GM) 0.15 m 0.420 0.400 0.370 0.380
Berdasarkan kurva stabilitas,
diperoleh nilai stabilitas maksimum dan kisaran stabilitas yang diterakan pada Tabel 7. Stabilitas maksimum adalah nilai GZ maksimum yang dapat dicapai oleh kapal pada kondisi tertentu dan terjadi pada besar sudut tertentu. Kisaran
stabilitas merupakan sudut terbesar kemiringan kapal tanpa terjadinya nilai GZ yang negatif. Besar sudut ini diketahui dari titik potong kurva GZ dengan sumbu X (axis), dimana nilai GZ sama dengan 0 dan disebut dengan angle of vanishing stability.
Kajian Stabilitas Empat Tipe Kasko Kapal Pole and Line
60 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tabel 7. Nilai maksimum dan kisaran stabilitas kapal pole and line sampel No. Kapal Kondisi Maksimum Stabilitas Sudut Kisaran Sudut (º) GZ (m) Stabilitas (º) 1. K-A Kapal Kosong 37 0.305 0 – 80 Kapal Berangkat 36 0.280 0 – 77 Kapal Beroperasi 36 0.263 0 – 74 Kapal Pulang 36 0.267 0 – 75 2. K-B Kapal Kosong 37 0.200 0 – 72 Kapal Berangkat 36 0.170 0 – 67 Kapal Beroperasi 35 0.160 0 – 65 Kapal Pulang 35 0.267 0 – 67 3. K-C Kapal Kosong 37 0.240 0 – 80 Kapal Berangkat 35 0.210 0 – 75 Kapal Beroperasi 35 0.200 0 – 74 Kapal Pulang 35 0.200 0 – 72 4. K-A Kapal Kosong 30 0.140 0 – 70 Kapal Berangkat 30 0.130 0 – 67 Kapal Beroperasi 30 0.120 0 – 62 Kapal Pulang 30 0.120 0 – 64
Ada dua gaya yang mengatur
kestabilan kapal di laut, yaitu gaya berat (forces of gravity, G) yang selalu bergerak vertikal ke bawah dan gaya apung (forces of bouyancy, B) yang bergerak vertikal ke atas. Pada saat kapal dalam kondisi tenang, kedua gaya ini berada pada satu garis vertikal yang sama. Pada saat kapal mengalami keolengan, gaya berat dan gaya apung kapal akan bergerak ke arah yang berlawanan. Jarak perpendicular yang dibentuk oleh kedua garis gaya ini disebut lengan penegak (GZ). (Gillmer dan Johnson, 1982).
Perhitungan stabilitas statis kapal pole and line sampel dilakukan dengan analisis nilai GZ kapal pada beberapa sudut keolengan yang sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh IMO. Nilai lengan GZ kapal pole and line sampel yang disajikan pada Tabel 3 – 6 memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan nilai minimum yang ditetapkan oleh IMO. Hal ini dapat dilihat dari nilai margin yang positif (Tabel 7). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada keempat kondisi pemuatan, kapal dapat menghasilkan momen kopel yang positif untuk mengembalikan kapal
ke posisi semula setelah terjadi oleng akibat gaya yang bekerja padanya.
Nilai GZ akan menjadi negatif jika sudut keolengan lebih besar dari batas nilai maksimum kisaran stabilitas (Tabel 7), yang mengakibatkan kapal tidak lagi menghasilkan lengan GZ yang positif. Bila hal ini terjadi kapal akan terbalik karena saat terjadi keolengan pada sudut tersebut. Kapal dengan lengan GZ negatif akan meneruskan geraknya ke arah kemiringannya dan tidak kembali ke posisi semula. IV. KESIMPULAN
Lengan penegak GZ yang terbentuk
pada keempat kapal pole and line sampel pada setiap kondisi pemuatan bernilai positif dan berada di atas nilai standar minimum yang ditetapkan oleh IMO, yang berarti nilai lengan penegak GZ yang dihasilkan masih dapat mengembalikan kapal ke posisi semula setelah terjadi keolengan, sehingga dapat disimpulkan bahwa keempat kapal sampel tersebut memiliki stabilitas yang baik.
Kapal sampel K-A dengan bentuk round-sharp bottom memiliki nilai kriteria stabilitas yang lebih tinggi
Farhum
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 61
dibandingkan ketiga bentuk kapal lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Derret, D.R. 1990. Ship Stability for
Masters and Mates. Fourth Edition, Revised. Butler & Tanner Ltd, Frome and London.
Farhum, S.A. 2006. Kajian Stabilitas dan Keselamatan Pengoperasian Kapal Pole and Line pada Kondisi Gelombang Beam Seas. Disertasi pada Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Farhum, S.A. 2007. Distribusi Statistik Karakteristik Teknis Kapal Pole and Line Sulawesi Selatan. Jurnal Torani, 3(17):246-253
Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessels. Fishing News (Books) Ltd. England.
Gillmer, T.C and B. Johnson. 1982. Introduction to Naval Architecture. Naval Institute Press. Annapolis. Maryland.
Hind, J.A. 1982. Stability and Trim of Fishing Vessels and Other Small Ships. Second Edition. Fishing News Books Ltd. Farnham, Surrey, England.
International Maritime Organization (IMO). 1983. International Confrence on Safety Fishing Vessels 1977. IMO. London.
Iskandar, B.H. 1997. Studi tentang Desain Kapal Kayu Mina Jaya BPPT 01. Tesis pada Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Kok, H.G.M, E.G.V. Lonkhyusen, and F.A.C. Nierich. 1983. Bangunan Kapal. Zundort. Netherland.
Taylor, L.G. 1977. The Principles of Ship Stability. Brown, Son & Publisher, Ltd., Nautical Publisher, 52 Darnley Street. Glasgow.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 62-73, Desember 2010
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan 62 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
STRUKTUR KOMUNITAS IKAN PADA PADANG LAMUN YANG BERBEDA DI PULAU BARRANG LOMPO
FISH COMMUNITY STRUCTURE IN DIFFERENT SEAGRASS BEDS OF
BARRANG LOMPO ISLAND
Rohani Ambo Rappe Marine Science Department, Hasanuddin University, Makassar 90245
Email: rohani_amborappe@yahoo.com
ABSTRACT The importance of seagrass meadows as a habitat for fishes, including several of economic importance, is widely acknowledged. The complexity of seagrass beds might offer a different condition of habitat for fishes. The physical nature of the seagrass canopy is thought to play a major role, potentially influencing available shelter, food, and protection from predators. Structural complexity of seagrass such as shoot and leaf density is also an important factor in determining ecological function of seagrass in the marine environment. The objective of the research is to assess the ecological function of different seagrass beds (in terms of spesies and density) in supporting fish community. The study found 28 species of fish originating from 14 families and Pomacentridae were dominantly found. Abundance of fish found to be higher in seagrass beds with high densities both composed by one species of seagrass (monospesific) or by more than one species of seagrass (multispesific), compared to the seagrass beds with low density and bare areas. Fish community diversity index was found higher in dense seagrass beds composed of many species of seagrass compared to the rare and consists of only one species of seagrass. The presence of epiphytes as nutrients for the fish that live in seagrass beds may contribute to the finding. Keywords: Seagrass, fish, Barrang Lompo Island
ABSTRAK Peranan padang lamun terhadap keberadaan ikan terutama yang bernilai ekonomis penting, sudah sering dilaporkan. Hal ini terkait dengan kompleksitas dari padang lamun yang dapat menyediakan makanan dan perlindungan dari predator bagi ikan-ikan tersebut. Kompleksitas padang lamun dapat diukur dari kepadatan tegakan dan daun penyusunnya, penutupan daun, serta jenis-jenis lamun penyusun padang lamun tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi fungsi ekologis dari padang lamun yang berbeda (dalam hal perbedaan spesies lamun penyusun dan kerapatan lamun) dalam mendukung keberadaan komunitas ikan. Penelitian ini menemukan 28 spesies ikan yang berasal dari 14 famili dan Pomacentridae adalah famili yang dominan ditemukan. Kelimpahan ikan ditemukan lebih tinggi pada padang lamun dengan kerapatan yang tinggi baik itu tersusun oleh satu spesies lamun (monospesifik) maupun oleh lebih dari satu spesies lamun (multispesific), dibandingkan pada padang lamun dengan kerapatan rendah dan pada daerah tidak bervegetasi. Nilai indeks keanekaragaman komunitas ikan ditemukan lebih tinggi pada padang lamun yang rapat dan tersusun oleh banyak spesies lamun dibandingkan pada padang lamun jarang dan hanya terdiri dari satu spesies lamun. Keberadaan epifit sebagai nutrisi bagi ikan yang hidup di padang lamun dapat berkontribusi terhadap hasil yang dicapai.
Kata Kunci: Padang lamun, ikan, Pulau Barrang Lompo
Rappe
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 63
I. PENDAHULUAN Lamun (seagrass) adalah satu-
satunya tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut. Seperti halnya rumput di darat, mereka mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap efektif untuk berkembang-biak dan mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat hara (Romimohtarto dan Juwana, 2001)
Lamun juga merupakan tumbuhan yang telah menyesuaikan diri hidup terbenam di laut dangkal. Lamun mempunyai akar dan rimpang (rhizome) yang mencengkeram dasar laut sehingga dapat membantu pertahanan pantai dari gerusan ombak dan gelombang. Padang lamun dapat terdiri dari vegetasi lamun jenis tunggal ataupun jenis campuran (Hemminga and Duarte, 2000).
Padang lamun memiliki produktivitas sekunder dan dukungan yang besar terhadap kelimpahan dan keragaman ikan (Gilanders, 2006). Padang lamun merupakan tempat berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan, bertelur, dan membesarkan anaknya. Ikan baronang, misalnya, adalah salah satu jenis ikan yang hidup di padang lamun. Bell dan Pollard (1989) mengidentifikasi 7 karakteristik utama kumpulan ikan yang berasosiasi dengan lamun yaitu: (1) Keanekaragaman dan kelimpahan ikan di padang lamun biasanya lebih tinggi daripada yang berdekatan dengan substrat kosong, (2) Lamanya asosiasi ikan-lamun berbeda-beda diantara spesies dan tingkatan siklus hidup, (3) Sebagian besar asosiasi ikan dengan padang lamun didapatkan dari plankton, jadi padang lamun adalah daerah asuhan untuk banyak spesies yang mempunyai nilai ekonomi penting, (4) Zooplankton dan epifauna krustasean adalah makanan utama ikan yang berasosiasi dengan lamun, dengan
tumbuhan, pengurai dan komponen infauna dari jaring-jaring makanan di lamun yang dimanfaatkan oleh ikan, (5) Perbedaan yang jelas (pembagian sumberdaya) pada komposisi spesies terjadi di banyak padang lamun, (6) Hubungan yang kuat terjadi antara padang lamun dan habitat yang berbatasan, kelimpahan relatif dan komposisi spesies ikan di padang lamun menjadi tergantung pada tipe (terumbu karang, estuaria, mangrove) dan jarak dari habitat yang terdekat, (7) Kumpulan ikan dari padang lamun yang berbeda seringkali berbeda juga, walaupun dua habitat itu berdekatan.
Hasil penelitian Radjab et al. (1992) menemukan 1.588 jumlah individu ikan yang terdiri dari 61 spesies yang mewakili 10 suku di areal padang lamun Teluk Baguala, khususnya di perairan Passo. Sedangkan hasil penelitian Rani et al. (2010) pada areal lamun buatan menemukan bahwa ikan memilih padang lamun dengan struktur yang lebih kompleks dibandingkan struktur yang sederhana. Oleh karena itu peneliti marasa perlu untuk membuktikan pengaruh keberadaan padang lamun dengan tingkat kompleksitas yang berbeda terhadap kelimpahan dan keragaman jenis ikan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan kelimpahan ikan pada padang lamun yang berbeda kerapatan dan komposisi jenisnya. II. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan waktu pengamatan
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2010 pada daerah padang lamun perairan Pulau Barrang Lompo, Kota Makassar (Gambar 1). Terdapat 5 stasiun pengamatan yang ditetapkan berdasarkan tingkat kompleksitas yang berbeda berdasarkan kerapatan dan jenis lamun penyusunnya, yaitu: (1) LPU; lamun
Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun…
64 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
padat multispesifik, (2) LPO; lamun padat monospesifik, (3) LJU; lamun jarang multispesifik; (4) LJO; lamun jarang monospesifik, dan (5) LNV; daerah tidak bervegetasi. Terdapat 3 ulangan untuk setiap stasiun.
Masing-masing stasiun dibatasi menggunakan tali untuk membuat area pengamatan seluas 10m x 10m. Pengambilan data ikan meliputi pengamatan jenis dan jumlah ikan dilakukan dalam area pengamatan (10m x 10m) pada setiap stasiun. Pengamatan ini dilakukan pada saat air pasang dengan metode sensus visual dengan bantuan kamera bawah air mengikuti Edgar et al. (2001). Metode ini dapat dilakukan untuk mengambil data ikan yang berukuran cukup besar pada daerah padang lamun di perairan dangkal dengan kecerahan air yang tinggi.
Pengukuran parameter lingkungan meliputi pengukuran suhu, salinitas, pH,
kedalaman dan kecerahan perairan dilakukan secara in situ pada setiap stasiun pengamatan.
Adapun biomassa epifit diukur dengan mengambil secara acak 3 sampel daun lamun pada setiap stasiun pengamatan menggunakan kuadrat 20cm x 20cm. Epifit diserut dari permukaan daun lamun kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama 48 jam, kemudian ditimbang. Metode pengukuran biomassa epifit ini mengikuti Sidik et al. (2001). 2.2. Pengolahan data
Parameter yang diamati untuk data ikan adalah kelimpahan, komposisi jenis (KJ), indeks keanekaragaman (H’), Indeks keseragaman (E), dan Indeks dominansi (C).
Komposisi jenis adalah perban-dingan antara jumlah jenis tiap suku dengan jumlah seluruh jenis yang
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Rappe
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 65
ditemukan dengan formula sebagai berikut:
KJ = Nni x 100%
dimana: KJ = Komposisi jenis (%) Ni = Jumlah individu setiap jenis N = Jumlah individu seluruh jenis
Indeks keanekaragaman adalah nilai yang dapat menunjukkan keseimbangan keanekaragaman dalam suatu pembagian jumlah individu tiap jenis. Sedikit atau banyaknya keanekaragaman spesies dapat dilihat dengan menggunakan indeks keaneka-ragaman (H’). Keanekaragaman (H') mempunyai nilai terbesar jika semua individu berasal dari genus atau spesies yang berbeda-beda. Sedangkan nilai terkecil didapat jika semua individu berasal dari satu genus atau satu spesies saja (Odum, 1983).
Adapun kategori Indeks Keaneka-ragaman dapat dilihat pada Tabel 1.
Adapun indeks keanekaragaman Shannon (H’) menurut Shannon and Weaver (1949) dalam Odum (1983) dihitung menggunakan formula sebagai berikut:
H’ = -∑ (ni/N)ln(ni/N) dimana: ni = Jumlah individu setiap jenis N = Jumlah individu seluruh jenis
Pengujian juga dilakukan dengan pendugaan indeks keseragaman (E), dimana semakin besar nilai E menunjukkan kelimpahan yang hampir seragam dan merata antar jenis (Odum, 1983). Adapun kriteria komunitas lingkungan berdasarkan nilai indeks keseragaman disajikan pada Tabel 2.
Rumus dari indeks keseragaman Pielou (E) menurut Pielou (1966) dalam Odum (1983) yaitu:
E = S
Hln
'
dimana: E = Indeks keseragaman H’ = Indeks keanekaragaman S = Jumlah jenis
Nilai dari indeks dominansi Simpson memberikan gambaran tentang dominansi organisme dalam suatu komunitas ekologi. Indeks ini dapat menerangkan bilamana suatu jenis lebih banyak terdapat selama pengambilan data. Adapun kategori penilaiannya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 1. Kategori Indeks Keanekaragaman
Nilai Keanekaragaman (H’) Kategori
H’ ≤ 2,0 2,0 < H’ ≤ 3,0
H’ ≥ 3,0
Rendah Sedang Tinggi
Tabel 2. Kriteria Komunitas Lingkungan Berdasarkan Nilai Indeks Keseragaman
Nilai Indeks Keseragaman (E) Kondisi Komunitas 0,00 < E ≤ 0,50 0,50 < E ≤ 0,75 0,75 < E ≤ 1,00
Komunitas berada pada kondisi tertekan Komunitas berada pada kondisi labil Komunitas berada pada kondisi stabil
Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun…
66 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tabel 3. Kategori Indeks Dominansi
Dominansi (C) Kategori 0,00 < C ≤ 0,50 0,50 < C ≤ 0,75 0,75 < C ≤ 1,00
Rendah Sedang Tinggi
Rumus indeks dominansi Simpson
(C) menurut Margalef (1958) dalam Odum (1983) yaitu:
C = ∑(ni/N)2
dimana: C = Indeks dominansi Simpson ni = Jumlah individu spesies ke-i N = Jumlah individu seluruh spesies 2.3. Analisis data
Perbedaan kelimpahan ikan antara stasiun pengamatan dianalisis menggu-nakan uji statistik One-way ANOVA dengan bantuan paket program SPSS (Statistical Product and Service Solutions).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kelimpahan ikan pada daerah
padang lamun Kelimpahan ikan ditemukan
berbeda antar stasiun pengamatan (p<0,05). Hasil uji lanjut menunjukkan
bahwa ikan lebih melimpah pada daerah padang lamun dengan kerapatan tinggi baik monospesifik (hanya tersusun oleh satu jenis lamun; LPO) maupun multispesifik (tersusun oleh lebih dari satu jenis lamun; LPU) dibandingkan pada padang lamun jarang terutama monospesifik (LJO) maupun daerah yang tidak bervegetasi (LNV) (Gambar 2). Menurut Hemminga and Duarte (2000), padang lamun terutama dengan kerapatan yang tinggi menyediakan perlindungan bagi ikan dari serangan predator, selain itu kerapatan lamun yang tinggi tentunya meningkatkan luas permukaan bagi perlekatan hewan-hewan maupun tumbuhan renik yang merupakan makanan utama bagi ikan-ikan di padang lamun. 3.2. Komposisi jenis
Hasil penelitian pada ekosistem padang lamun di perairan Pulau Barrang Lompo secara keseluruhan ditemukan 28 spesies ikan yang berasal dari 14 famili yaitu 1 spesies dari famili Gerreidae, 3 spesies dari Siganidae, 2 spesies dari Labridae, 8 spesies dari Pomacentridae, 3 spesies dari Nemipteridae, 2 spesies dari Gobiidae, 2 spesies dari Apogonidae, dan masing-masing 1 spesies dari Sphyrae-nidae, Muraenidae, Monachanti dae, Tetraodontidae, Hemiramphidae,
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
LPU LPO LJU LJO LNV
Kelim
paha
n Ik
an (
ekor
/100
m²) a
a
b
b
ab
Gambar 2. Kelimpahan ikan (mean±SE, n=3) pada setiap stasiun pengamatan
Rappe
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 67
Serranidae, dan Acanthuridae. Keter-sediaan pangan dan tempat perlindungan dari predator juga menjadikan sejumlah besar organisme termasuk ikan hidup pada padang lamun (Gilanders, 2006). Adapun jenis yang ditemukan maupun tidak ditemukan pada setiap stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 4.
Jumlah jenis ikan yang ditemukan pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan hasil yang didapatkan peneliti sebelumnya di lokasi yang sama yaitu Erftemeijer and Allen (1993) dan Supriadi et al. (2004) yang menemukan berturut-turut 27 dan 19 spesies. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian di tempat lain, jumlah jenis ikan yang ditemukan di daerah padang lamun Pulau Barrang Lompo ini masih lebih rendah dibandingkan dengan yang ditemukan di daerah padang lamun Pulau Wakatobi Marine National Park sebanyak 81 jenis (Unsworth et al., 2007). Hal ini dikarenakan areal pengamatan di Wakatobi yang lebih luas dan terutama teknik pengambilan data ikan yang berbeda, dimana teknik “beach seining” digunakan di Wakatobi dan teknik “visual sensus” digunakan pada penelitian ini. Beach seine dapat menjaring ikan yang jauh lebih banyak termasuk ikan-ikan yang bersembunyi di antara rhizoma dan daun lamun, yang kemungkinan tidak terdata pada saat teknik visual sensus diterapkan.
Dari hasil pengamatan, ikan yang dominan ditemukan di daerah padang lamun Pulau Barrang Lompo ini juga banyak ditemukan pada daerah terumbu karang (Kuiter and Tonozuka, 1992; Azis, 2002). Hal yang sama ditemukan sebelumnya oleh Erftemeijer and Allen (1993) dan Supriadi et al. (2004). Pola yang serupa juga ditemukan oleh Unsworth et al. (2007) di Taman Laut Nasional Wakatobi. Menurut Kikuchi
dan Peres (1977), padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang penggembalaan dan mencari makan bagi berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (coral fishes). Hal ini didukung pula oleh karena daerah padang lamun perairan Pulau Barrang Lompo merupakan areal yang bersambungan langsung dengan daerah terumbu karang (seagrass associated reef system).
Stasiun pengamatan LPU (lamun padat multispesifik) memiliki jumlah jenis ikan yang tertinggi yaitu 21 jenis dibanding stasiun lain, dan yang terendah adalah pada stasiun LNV (daerah tidak bervegetasi) yaitu hanya ditemukan 4 jenis ikan (Tabel 4).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara umum ikan memilih berada pada daerah padang lamun dibandingkan pada daerah kosong yang tidak bervegetasi kemungkinan berkaitan dengan tersedianya perlindungan dan makanan pada daerah padang lamun untuk ikan-ikan tersebut. Lebih spesifik untuk daerah padang lamun yang berbeda, ikan-ikan memilih padang lamun dengan susunan yang lebih kompleks (yaitu kerapatan tinggi dan terdiri dari banyak spesies lamun) seperti pada stasiun LPU. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rani et al. (2010) pada lamun buatan yang mendapatkan bahwa lamun buatan dengan struktur yang lebih kompleks menarik lebih banyak jenis ikan dibandingkan lamun buatan dengan struktur yang lebih sederhana. Padang lamun multispesifik di Pulau Barrang Lompo tersusun atas enam spesies lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Syringodium isotifolium, Cymodocea rotundata, dan Halodule pinifolia (Amran and Ambo Rappe, 2009).
Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun…
68 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tabel 4. Jenis ikan yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan
Famili Spesies LPU LPO LJU LJO LNV
Gerreidae Gerres oyena + + + - + Siganidae Siganus margaritiferus + + - + -
Siganus canaliculatus + + + + - Siganus virgatus - + - -
Labridae Halichoeres chloropterus + + + + - Novaculichthys sp + - + + -
Pomacentridae Pomacentrus simsiang + + + - Pomacentrus saksoni + + + - + Pomacentrus sp. - - + - - Dischistodus perspicillatus + + - + + Dischistodus fasciatus + + - - - Dischistodus sp. - - - + - Abudefduf vaigiensis + + + - - Amphiprion ocellaris + - - - -
Nemipteridae Pentapodus trivittatus + + - + - Pentapodus bifasciatus + + + + - Scolopsis sp. + + - + -
Gobiidae Cryptocentrus cinctus + + + + - Cryptocentrus sp. + + + + +
Apogonidae
Apogon cyanosoma - - + - - Apogon males - + - + -
Sphyraenidae Sphyraena barracuda + - - - - Muraenidae Gymnothorax sp. + - - - - Monachantidae Acreichthys tomentosus + - - - - Tetraodontidae Arothron manilensis - - - + - Hemiramphidae Tylosurus sp. + + + + - Serranidae Ephinephelus ongus - + - - - Acanthuridae Acanthurus auranticafus + - - - -
Jumlah Jenis 21 16 14 15 4 Ket : + = Ditemukan, - = Tidak Ditemukan
LPU = lamun padat multispesifik, LPO = lamun padat monospesifik, LJU = lamun jarang multispesifik, LJO = lamun jarang monospesifik, LNV = daerah tidak bervegetasi
Keenam jenis lamun ini
mempunyai bentuk morfologi yang berbeda-beda dalam hal bentuk dan ukuran daun. Hal inilah yang meningkatkan kompleksitas padang lamun multispesifik sehingga dapat menawarkan perlindungan dan penyediaan makanan yang lebih optimal bagi ikan-ikan di padang lamun tersebut.
Komposisi jenis ikan pada stasiun LPU didominasi oleh 4 jenis yaitu Siganus margaritiferus (20%), Gerres oyena (19%), Pentapodus bifasciatus (14%), dan Tylosurus sp (12%). Sedangkan pada stasiun LPO, komposisi jenis ikan tertinggi ada pada Siganus canalicatus (46%) yang disusul Siganus margaritiferus (27%) (Gambar 3).
Rappe
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 69
Tingginya persentasi komposisi jenis Siganus canalicatus dan Siganus margaritiferus pada stasiun LPO diduga disebabkan antara lain karena ikan tersebut memiliki kebiasaan hidup bergerombol di daerah padang lamun, terutama lamun monospesifik yang hanya disusun oleh jenis Enhalus acoroides. Sesuai dengan pernyataan Darsono dan Prapto (1993) sebagian besar jenis Siganus (Siganidae) hidup menggerombol (schooling).
Komposisi jenis tertinggi pada stasiun LJU adalah Siganus canalicatus (27%) namun tidak berbeda jauh dengan spesies lain. Sedangkan pada stasiun LJO, komposisi jenis dengan persentase tertinggi terdapat spesies Cryptocentrus sp. Walaupun stasiun LJU dan LJO memiliki kepadatan lamun yang jarang namun masih mendukung keberadaan berbagai jenis ikan, yaitu 14 jenis pada LJU dan 15 jenis pada LJO. Adapun komposisi jenis ikan pada stasiun LNV sangat kurang yaitu hanya ditemukan 4 spesies (Cryptocentrus sp, Dischistodus perspicillatus, Gerres oyena, dan Pomacentrus saksoni) (Gambar 3).
Rendahnya jumlah spesies disebabkan karena stasiun ini tidak bervegetasi, hal ini sesuai dengan perrnyataan Hemminga and Duarte
(2000) bahwa keanekaragaman dan kelimpahan ikan di padang lamun biasanya lebih tinggi daripada yang berdekatan dengan substrat kosong.
Meskipun didominasi oleh ikan yang berasal dari terumbu karang, pada penelitian ini teridentifikasi 2 spesies yang khas ditemukan pada daerah padang lamun Pulau Barrang Lompo, yaitu Acreichthys tomentosus dan Novaculich-thys sp, sesuai dengan Erftemeijer and Allen (1993). Pada penelitian ini ditemukan pula 2 spesies ikan bernilai ekonomis penting yang menghuni daerah padang lamun Pulau Barrang Lompo yaitu Siganus canaliculatus dan Sphyraena barracuda. 3.3. Indeks keanekaragaman, kesera-
gaman, dan dominansi Indeks keanekaragaman, keseraga-
man, dan dominansi menunjukkan keseimbangan dalam pembagian jumlah individu setiap jenis dan juga menunjukkan kekayaan jenis (Odum, 1983). Hasil analisa data untuk indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C) ikan yang ditemukan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi komunitas ikan
pada daerah padang lamun Pulau Barrang Lompo
Stasiun Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Keseragaman (E) Indeks Dominansi (C) LPU 2,44 0,80 0,12 LPO 1,65 0,60 0,29 LJU 2,24 0,85 0,14 LJO 2,19 0,81 0,16 LNV 1,10 0,79 0,41
Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun…
70 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Siganus margaritiferus
20%Siganus canalicatus
1%
Gerres oyena19%
Acreichthys tomentosus
1%
Halichoeres chloropterus
4%
Pomacentrus simsiang
4%Pomacentrus
saksoni7%
Novaculichthys sp1%
Dischistodus perspicillatus
1%
Dischistodus fasciatus
1%
Cryptocentrus cinctus
3%
Cryptocentrus sp.4%
Sphyraena barracuda
1%Gymnothorax sp.
1%
Scolopsis sp.2%
Amphiprion ocellaris
1% Pentapodus bifasciatus
14%
Pentapodus trivittatus
4%
Acanthurus auranticafus
2%
Abudefduf vaigiensis
2%
Tylosurus sp.12%
LPU
Siganus canaliculatus
46%
Siganus margaritiferus
27%Pentapodus trivittatus
1%
Pentapodus bifasciatus
3%
Cryptocentrus cinctus
2%
Cryptocentrus sp.4%
Gerres oyena7%
Pomacentrus saksoni
1%
Halichoeres chloropterus
7%
Tylosurus sp.1%
Apogon males1%
Scolopsis sp.1%
Dischistodus fasciatus
1%
Dischistodus perspicillatus
1%
Abudefduf vaigiensis
1%
Ephinephelus ongus1%
LPO
Pentapodus bifasciatus
12%
Cryptocentrus cinctus
5%
Cryptocentrus sp.12%
Gerres oyena3%
Abudefduf vaigiensis
7%Halichoeres chloropterus
10%
Siganus canaliculatus
27%
Siganus virgatus3%
Pomacentrus simsiang
1%
Pomacentrus saksoni
3%
Pomacentrus sp.1% Apogon
cyanosoma12%
Novaculichthys sp2%
Tylosurus sp.2%
LJU
Scolopsis sp.10%
Cryptocentrus cinctus
6%
Cryptocentrus sp.30% Tylosurus sp.
2%
Dischistodus perspicillatus
2%Dischistodus sp.
3%
Pomacentrus simsiang
2%
Halichoeres chloropterus
3%
Arothron manilensis
1%
Pentapodus bifasciatus
4%
Pentapodus trivittatus
12%
Siganus margaritiferus
1%
Siganus canalicatus17%
Apogon males1%
Novaculichthys sp6%
LJO
Gerres oyena13%
Dischistodus perspicillatus
20%
Pomacentrus saksoni
8%
Cryptocentrus sp.59%
LNV
Gambar 3. Komposisi jenis ikan pada setiap stasiun pengamatan
Nilai indeks keanekaragaman ikan pada semua stasiun berkisar antara 1,10 – 2,44. Berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman, pada stasiun pengamatan LPO dan LNV masih tergolong rendah sedangkan LPU, LJU, LJO tergolong sedang.
Rendahnya keanekaragaman pada stasiun LNV disebabkan oleh sedikitnya jumlah spesies ikan yang ditemukan, yaitu hanya ditemukan 4 spesies, dan kecenderungan indeks dominansi yang cukup besar. Hal ini disebabkan stasiun pengamatan tidak bervegetasi sehingga
Rappe
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 71
tidak ditemukan banyak spesies ikan serta adanya kemungkinan dominansi oleh spesies tertentu yaitu Cryptocentrus sp (lihat Gambar 3). Sedangkan pada stasiun LPO didapatkan nilai indeks keanekaragaman yang rendah meskipun jumlah jenis cukup banyak. Hal ini disebabkan indeks keseragaman pada stasiun LPO termasuk dalam kategori komunitas yang labil, hal ini menunjukkan kemerataan jumlah individu untuk setiap jenis ikan di stasiun LPO rendah. 3.4. Keberadaan ikan, epifit, dan
faktor lingkungan di daerah padang lamun
Adapun data parameter lingkungan yang diukur seperti suhu (28,8 – 32,0oC), salinitas (29 – 31 ppt), pH (7,80 – 8,14), kedalaman (83 – 283 cm), dan kecerahan perairan pada semua stasiun mencapai 100%. Parameter lingkungan tersebut tidak berpengaruh terhadap hasil yang dicapai.
Tingginya kelimpahan dan jumlah jenis ikan yang didapatkan pada stasiun pengamatan LPU, lamun padat multispesifik, lebih berkaitan dengan ketersediaan makanan yang tinggi di daerah tersebut. Hal ini didukung oleh
data biomassa epifit yang diperoleh, dimana biomassa epifit tertinggi didapatkan pada stasiun pengamatan LPU, padang lamun dengan kerapatan tinggi dan tersusun atas kurang lebih 6 spesies lamun (Gambar 4).
Epifit pada lamun adalah seluruh organisme autotrofik (yaitu, produsen primer) yang menempel pada rhizoma, batang dan daun lamun. Epifit merupakan produsen primer yang penting dalam ekosistem lamun dan memberikan konstribusi yang signifikan dalam rantai makanan. Konstribusi epifit bisa mencapai lebih dari 50% dalam rantai makanan di padang lamun. (Borowitzka et al., 2006). IV. KESIMPULAN
Padang lamun dengan tingkat
kompleksitas yang berbeda (dapat diukur dari tingkat kerapatan dan banyaknya jenis lamun penyusun) berpengaruh terhadap keberadaan ikan di daerah tersebut. Kelimpahan ikan ditemukan lebih tinggi pada padang lamun dengan kerapatan yang tinggi baik itu tersusun oleh satu spesies lamun (monospesifik) maupun oleh lebih dari satu spesies
0,0000
0,1000
0,2000
0,3000
0,4000
0,5000
0,6000
0,7000
BIO
MA
SSA
EPI
FIT
(GRA
M)
Gambar 4. Biomassa epifit (mean±SE, n=3) pada setiap stasiun pengamatan
Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun…
72 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
lamun (multispesific), dibanding-kan pada padang lamun dengan kerapatan rendah dan pada daerah tidak bervegetasi. Nilai indeks keaneka-ragaman dan keseragaman komunitas ikan yang lebih tinggi dengan indeks dominansi yang rendah ditemukan pada padang lamun yang rapat dan tersusun oleh banyak spesies lamun.
DAFTAR PUSTAKA Amran, M.A. and R.A. Rappe. 2009.
Estimation of Seagrass Coverage by Depth Invariant Indices on Quickbird Imagery. Research Report DIPA Biotrop 2009.
Aziz, A.W. 2002. Studi Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang Famili Pomacentridae dan Labridae pada Daerah Rataan Terumbu (Reef Flat) di Perairan Pulau Barrang Lompo. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Bell, J.D. and D.A. Pollard. 1989. Ecology of Fish Assemblages and Fisheries Associated with Seagrasses. In: Larkum, A.W.D., McComb, A.J., and Shepherd, S.A. (Eds.), Biology of Seagrasses: A Treatise on the Biology of Seagrasses with Special Reference to the Australasian Region. Elsevier, Amsterdam, 565– 609pp.
Borowitzka, A.M., S.P. Lavery, and V.M. Keulen. 2006. Epiphytes of Seagrasses. In: Larkum, A.W.D., Orth, R.J., Duarte, C.M. (Eds.), Seagrasses: Biology, Ecology, and Conservation. Springer, The Netherland, 441-461pp.
Darsono dan Prapto. 1993. Culture Potential Of Rabbitfishes, Siganus (Siganidae) . Bidang Sumberdaya Laut, P2O-LIPI.
Edgar, G.J., H. Mukai, and R.J. Orth. 2001. Fish, Crabs, Shrimps and Other Large Mobile Epibenthos: Measurement Methods for Their Biomass and Abundance in Seagrass. In: Short, F.T., Coles, R.G. and Short, C.A. (Eds.), Global Seagrass Research Methods. Elsevier, New York, 255-270pp.
Erftemeijer, P.L.A. and G.R. Allen. 1993. Fish fauna of seagrass beds in South Sulawesi, Indonesia. Rec. West. Aust. Mus., 16(2):269-277.
Gilanders, B.M. 2006. Seagrasses, Fish, and Fisheries. In: Larkum, A.W.D., Orth, R.J., Duarte, C.M. (Eds.), Seagrasses: Biology, Ecology, and Conservation. Springer, The Netherland, 503-536pp.
Hemminga, M.A. and C.M. Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Hind, J.A. 1982. Stability and Trim of Fishing Vessels and Other Small Ships. Second Edition. Fishing News Books Ltd. Farnham, Surrey, England.
International Maritime Organization (IMO). 1983. International Confrence on Safety Fishing Vessels 1977. IMO. London.
Iskandar, B.H. 1997. Studi tentang Desain Kapal Kayu Mina Jaya BPPT 01. Tesis pada Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Kok, H.G.M, E.G.V. Lonkhyusen, and F.A.C. Nierich. 1983. Bangunan Kapal. Zundort. Netherland.
Kikuchi, T., J.M. Peres. 1977. Consumer Ecology of Seagrass Beds. In: McRoy, C.P., Helffrich, C. (Eds.), Seagrass Ecosystems: A Scientific Perspective. Marcel Dekker, Inc., New York, 147-193pp.
Kuiter, R.H. and T. Tonozuka. 1992. Tropical Reef of The Western Pacific, Indonesia and Adjacent
Rappe
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 73
Waters. PT Gramedia Pustaka Major, Jakarta.
Odum, E.P. 1983. Basic Ecology. Saunders College Publishing, New York.
Radjab, W. A. S. Dody, dan F.D. Hukom. 1992. Komunitas Ikan di Padang Lamun Perairan Passo Teluk Baguala. Balai penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, P2O-LIPI, Ambon.
Rani, C., Budimawan, dan Rohani. 2010. Kajian keberhasilan ekologi dari penciptaan habitat dengan lamun buatan: penilaian terhadap komunitas ikan. Ilmu Kelautan. Indonesian Journal of Marine Sciences, 2(Edisi Khusus):244-255.
Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Sidik, B.J., S.O. Bandeira, and N.A. Milchakova. 2001. Methods to Measure Macroalgal Biomass and Abundance in Seagrass Meadows. In: Short, F.T., Coles, R.G. and Short, C.A. (Eds.), Global Seagrass Research Methods. Elsevier, New York, 223-235pp.
Supriadi, Y.A. La Nafie, dan A.I. Burhanuddin. 2004. Inventarisasi jenis, kelimpahan, dan biomassa ikan di padang lamun Pulau Barrang Lompo Makassar. Torani, 14(5): 288-295.
Taylor, L.G. 1977. The Principles of Ship Stability. Brown, Son & Publisher, Ltd., Nautical Publisher, 52 Darnley Street. Glasgow.
Unsworth, R.K.F., E. Wylie, D.J. Smith, and J.J. Bell. 2007. Diel trophic structuring of seagrass bed fish assemblages in the Wakatobi Marine National Park, Indonesia. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 72:81-88.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 74-82, Desember 2010
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan 74 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK RESEN DI LAUT ARAFURA
THE DISTRIBUTION OF RECENT BENTHIC FORAMINIFERA IN THE ARAFURA SEA
Suhartati M. Natsir dan Rubiman
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Email: suhartatinatsir@yahoo.com
ABSTRACT
Arafura Sea consists of shallow waters and located in the Southern of Papua to the north coast of Australia. The waters is vegetated by shallow-water ecosytems such as mangrove, seagrass bed, and coral reefs. The Arafura continental shelf is predominated by sediment from late Paleozoic, Mesozoic to Cenozoic and underlain by granitic basement. Foraminifera is a single cell microorgainsm, has pseudopodia with high level of diversity. Foraminifera dwells in every level of sea depth, from estuary to the deep sea. However, a certain species commonly dwells in the specific profundity. The aim of the study was to recognize the distribution of benthic foraminifera in the waters of Arafura Sea and it relation with the environmental characteristics. As many as 11 sediment samples was collected in May 2010 from the water of Arafura Sea using a box core with capcity of 0,3 m3. Laboratory analyses on the colleted samples were performed to determine the type of sediments and identify the benthic foraminifera, and to determine the abundance of each samples. The number of species found from the collected sediments were 37 species consisting of 29 genera of which most of them were member of Suborder Rotaliina and many of them belong to Suborder Miliolina and Textulariina. The most common species of the sampling sites were Ammonia beccarii and Pseudorotalia schroeteriana. The Arafura Sea commonly recognized as shallow waters, open seas, with current speed of midium to high. The predominant sediment type of the waters is sandy mud and little of clay.
Keywords: distribution, benthic foraminifera, sediment and Arafura
ABSTRAK Laut Arafura merupakan perairan dangkal yang terletak di wilayah Papua bagian Selatan sampai bagian utara pantai Australia. Ekosistem yang terdapat pada perairan tersebut merupakan ekosistem penciri perairan dangkal seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Sedimen yang mendominasi landas kontinen perairan Arafura berasal dari masa Paleozoikum akhir, Mesozoikum sampai Kenozoikum yang dilandasi oleh lapisan granit pada bagian bawah. Foraminifera merupakan mikroorganisme bersel tunggal dan berkaki semu yang mempunyai keragaman sangat tinggi. Habitat foraminifera terdiri dari semua kedalaman laut dari tepi pantai sampai pada laut dalam. Secara umum, suatu spesies bentik hidup pada kedalaman tertentu. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi foraminifera bentik yang terdapat pada sedimen di perairan Laut Arafura dan kaitannya dengan karakteristik perairan tersebut. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei 2010 di Peraiaran Laut Arafura. Sebanyak 11 sampel sedimen diambil dari dasar perairan menggunakan box core. Kemudian sampel yang diperoleh dianalisis jenis sedimennya dan kandungan foraminifera bentik didalamnya. Jumlah spesies yang ditemukan mencapai 37 spesies yang termasuk dalam 29 genus yang sebagian besar merupakan anggota dari subordo Rotaliina dan beberapa spesies merupakan anggota Miliolina dan Textulariina. Spesies yang ditemukan merata hampir di semua stasiun adalah Ammonia beccarii dan Pseudorotalia schroeteriana. Karakeristik sebagian besar perairan Laut Arafura merupakan perairan dangkal, terbuka dengan tingkat energi arus menengah sampai kuat. Jenis sedimen yang mendominasi perairan Laut Arafura adalah Lumpur pasiran dengan sedikit lempung.
Kata Kunci: distribusi, foraminifera bentik, Sedimen, Arafura
Natsir dan Rubiman
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 75
I. PENDAHULUAN Laut Arafura merupakan perairan
yang meliputi landas kontinen Arafura – Sahul dan terletak di wilayah Papua bagian Selatan sampai perbatasan Benua Australia. Batas bagian Utara perairan tersebut merupakan Laut Seram dan Pulau Irian Jaya (Papua), sedangkan Pantai Utara Australia dari Semenanjung York sampai Semenanjung Don merupakan batas di bagian Selatan. Di bagian Barat, perairan tersebut dibatasi oleh Laut Banda dan Laut Timor yang melewati Kepulauan Aru dan Tanimbar. Sedangkan di bagian Timur terdapat Pulau Dolak dan Semenajung Don yang membatasi perairan tersebut. Brdasarkan tingkat kedalamannya, Laut Arafura termasuk perairan dangkal dengan kisaran kedalaman antara 30-90 m. Ekosistem yang terdapat pada perairan tersebut merupakan ekosistem penciri perairan dangkal seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang (Wagey dan Arifin, 2008). Menurut Katili (1986), sedimen yang mendominasi landas kontinen perairan Arafura berasal dari masa Paleozoikum akhir, Mesozoikum sampai Kenozoikum yang dilandasi oleh lapisan granit pada bagian bawah.
Foraminifera merupakan mikroor-ganisme bersel tunggal dan berkaki semu yang mempunyai keragaman sangat tinggi dan menempati hampir 2,5% dari seluruh hewan yang dikenal sejak zaman kambrium hingga resen. Sebanyak 38.000 spesies berupa fosil dan 10.000 – 12.000 spesies foraminifera resen ditemukan di seluruh lauatan (Boltovskoy and Wright, 1976). Menurut Murray (1973), distribusi dan kelimpahan spesies mendapat perhatian yang cukup besar, baik spesies yang masih hidup maupun yang sudah mati. Foraminifera merupakan kelompok hewan yang sebagian besar hidup di laut.
Program pemantauan lingkungan perairan dapat dilakukan berdasarkan distribusi foraminifera karena beberapa keunggulannya antara lain ukurannya yang relatif kecil, hidup pada lingkungan tertentu, jumlahnya melimpah, mudah dikoleksi, ekonomis dan secara signifikan dapat diolah secara statistik. Habitat foraminifera terdiri dari semua kedalaman laut dari tepi pantai sampai pada laut dalam. Secara umum, suatu spesies bentik hidup pada kedalaman tertentu. Kedalaman merupakan faktor ekologi yang mempengaruhi distribusi-nya (Boltovskoy and Wright, 1976). Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi foraminifera bentik yang terdapat pada sedimen di perairan Laut Arafura dan kaitannya dengan karakteristik perairan tersebut. II. METODE PENELITIAN
Secara umum, metode yang
digunakan dalam penelitian dilapangan adalah metode survey, sedangkan observasi dan analisis dilakukan di dalam laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei 2010 di Laut Arafura dari bagian tenggara Kepulauan Tanimbar ke arah bagian selatan dan timur Kepulauan Aru sampai sekitar Pulau Dolak dan Pulau Irian Jaya (Papua) (Gambar 1). Sedimen dasar laut diambil dengan menggunakan box core yang berkapasitas 0,3 m3 untuk memperoleh sampel foraminifera bentik dari 11 lokasi yang telah ditentukan. Sampel yang diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label untuk dianalisa lebih lanjut di laboratorium. Proses preparasi, observasi dan analisis terhadap sampel dilakukan di laboratorium Geologi Laut, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta.
Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura
76 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel di perairan Laut Arafura
Sampel yang diperoleh merupakan material dari dasar laut secara keseluruhan yang meliputi material sedimen, serasah dan organisme termasuk foraminifera bentik. Tahap preparasi diperlukan untuk memisahkan foraminifera bentik yang terdapat pada sampel tersebut dari bahan-bahan dan organisme lain sehingga dapat diidentifikasi dengan mudah. Preparasi sampel dilakukan dengan beberapa tahap, antara lain pencucian sampel, picking, deskripsi dan identifikasi serta sticking dan dokumentasi.
Pencucian sampel dilakukan dengan menggunakan air mengalir diatas saringan dengan diameter berturut-turut 1.0, 0.5, 0.250, 0.125, 0.063 mm. Setelah pencucian, sampel tersebut dikeringkan menggunakan oven pada suhu 30°C sampai kering (selama ± 30 menit). Sampel yang telah kering dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label untuk analisis lebih lanjut. Setelah
pencucian dan pengeringan, saringan harus direndam dalam larutan methiline blue untuk mencegah kontaminasi oleh sampel berikutnya dan dicuci. Tahap selanjutnya adalah picking yang dilakukan dengan menyebarkan sampel yang telah dicuci pada extraction tray dibawah mikroskop secara merata. Foraminifera yang terdapat dalam sampel tersebut diambil dan disimpan pada foraminiferal slide.
Kemudian dilakukan proses deskripsi dan identifikasi terhadap spesimen yang didapatkan. Spesimen yang telah dipisahkan diklasifikasikan berdasarkan morfologinya seperti bentuk cangkang, bentuk kamar, formasi kamar, jumlah kamar, ornamentasi cangkang, kemiringan apertura, posisi apertura dan kamar tambahan. Sedangkan proses identifikasi dilakukan berdasarkan berbagai referensi tentang foraminifera bentik. Tahap selanjutnya merupakan kajian sistemik dan analisis kuantitatif
Natsir dan Rubiman
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 77
untuk mendapatkan data kelimpahan. Proses sticking dan dokumentasi dilakukan dengan meletakkan spesimen yang terpilih pada foraminiferal slide dengan posisi tampak apertura, tampak dorsal, tampak ventral dan tampak samping yang kemudian didokumen-tasikan dibawah mikroskop.
Pengelompokan kelimpahan fora-minifera bentik yang ditemukan berdasarkan jumlah spesimen yang ditemukan. kelimpahan foraminifera bentik dikelompokkan kedalam 3 kategori yaitu tinggi (melimpah), sedang dan rendah (jarang). Spesies yang tergolong dalam kelimpahan tinggi merupakan spesies yang ditemukan sebanyak lebih dari 50 spesimen, sedangkan kelimpahan sedang dan rendah masing-masing diwakili oleh jumlah spsies yang ditemukan sebanyak 11 – 50 spesimen dan kurang dari 11 spesimen.
Penentuan jenis sedimen dari sampel yang diambil dilakukan dengan analisis granulometri menggunakan ayakan berukuran 0,063 – 4 mm. Pengelompokan butir sedimen dilakukan berdasarkan skala Wenworth (1922) dan penamaannya berdasarkan klasifikasi Shepard (1960).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Laut Arafura terletak di wilayah Papua bagian Selatan sampai perbatasan Benua Australia. Menurut Wagey dan Arifin (2008), perairan Laut Arafura merupakan perairan dangkal dengan kisaran kedalaman antara 30-90 m dengan Ekosistem yang terdapat pada perairan tersebut merupakan ekosistem penciri perairan dangkal seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Namun, pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perairan yang mempunyai kedalaman lebih dari 300 m.
Stasiun 13 yang terletak di bagian Selatan Kepulauan Tanimbar tercatat mempunyai kedalaman yang mencapai 341 m. Lokasi tersebut diduga merupakan titik pertemuan antara Busur Banda dan lempeng Benua Australia seperti yang dinyatakan oleh Katili (1986) bahwa terdapat lengkungan kebawah pada sedimen di perairan Arafura yang berbatasan dengan Busur Banda. Pola tektonik dari deformasi tersebut terjadi karena dorongan Busur Banda ke arah Benua Australia dan semakin meningkat ke arah Utara. Sedangkan kedalaman di stasiun lainnya tercatat tidak lebih dari 60 m dan perairan paling dangkal ditemukan di dekat Pulau Dolak (stasiun 14).
Secara keseluruhan, hasil analisis terhadap sampel sedimen yang diperoleh dari 10 lokasi di perairan Laut Arafura diperoleh foraminifera bentik resen sebanyak 1593 individu. Jumlah tersebut terdiri dari 37 spesies yang termasuk dalam 29 genus (Tabel 1). Sebagian besar spesies yang ditemukan merupakan anggota dari subordo Rotaliina, namun juga ditemukan beberapa spesies yang merupakan anggota Milioliina dan Textulariina. Kelimpahan dan jenis foraminifera bentik yang ditemukan pada masing-masing stasiun berbeda-beda seiring dengan komposisi atau jenis sedimennya.
Setiap stasiun mempunyai kompo-sisi kelimpahan foraminifera bentik yang berbeda. Jumlah foraminifera terbanyak diperoleh dari stasiun 22 dengan kedalaman 38 m yang terletak di sebelah tenggara Kepulauan Aru. Sedimen yang mendominasi stasiun tersebut adalah jenis lumpur pasiran dan sedikit lempung (Tabel 2). Spesies yang ditemukan melimpah pada stasiun tersebut adalah Ammonia beccarii dan Pseudorotalia schroeteriana yang masing-masing mencapai 111 dan 64 individu (Tabel 1).
Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura
78 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tabel 1. Jumlah foraminifera bentik yang ditemukan pada sampel yang berasal dari perairan Laut Arafura
Foraminifera Benthic Sampel 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Ammonia beccarii (Linnaeus) - 104 21 46 121 69 14 116 131 111 14 Amphistegina lessonii - - - - - - - - - - 1 Anomalina rostrata (Bradyi) 21 - - - - - - - - - - Asterorotalia trispinosa - - - - - - - - - 1 - Astocolus reniformis (d'Orbigny) 6 - - - - - - - - - - Bolivina earlandi (Parr) 82 - - - 2 - - - - - - Bolivina spathulata (Williamson) 26 16 - - 41 4 - - - - 4 Bolivina subspinecens (Cushman) 12 - - - - - - - - - - Cancris oblongus (Cushman) 40 - 48 - - - - - - 18 - Cibicides berthelotianus (d'Orbigny) - - - - - - 2 - - - - Cibicides molis - - - - - - - - - 14 - Discorbinella biconcavus (Parker & Jones) - - - - - - - - - - 2 Elphidium craticulatum - - - - - - - 6 9 41 - Elphidium crispum - - 7 - - 8 4 - - 29 - Eponides berthelotianus (d'Orbigny) - 12 - - - - - - - - - Fissurina exsculpra (Brady) - - - - 1 - - - - - - Guttulina dawsoni (Chusman and Ozawa) - - - - - - 2 - - - - Gyroidina neosoldanii - - - - - - 2 2 - - 2 Hoglundina elegans (d'Orbigny) - - - - 6 - 2 4 - - - Lagena gracillisima (Sguenza) 1 - - - - - - - - - - Nonion sp. 8 12 - - - - 24 2 - - 2 Oolina apiculata (Reuss) - - - - - 2 - - - - - Operculina ammonoides - - - - - - - 12 12 - 1 Planispinoides bucculantus (Brady) - - - - - - - - 6 - - Planorbulina sp. (d'Orbigny) - - - - - - - - - - 3 Pseudopolymorphina ligua (Rosmer) - - - - - - 2 - - - - Pseudorotalia schroeteriana - 40 - 28 30 24 3 21 6 64 2 Quinqueloculina cultrate - - - - 2 - - - - - - Quinqueloculina granulocostata - - - - - 4 - - - 3 - Quinqueloculina parkery - 2 - - 1 3 - - - 8 1 Quinqueloculina seminulum - - - - - 2 - - - 8 2 Quinqueloculina sp. - - - - 1 - - - - 4 - Rosalina sp. - - - - - - - - - - 2 Spiroloculina communis - - - - - 2 - - - - 3 Textularia pseudogramen - - - - - - - - - - 2 Triloculina tricarinata - - - - - - - - - - 8 Young miliolidae 4 - - - - 2 - - - - -
Natsir dan Rubiman
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 79
Tabel 2. Kedalaman dan jenis sedimen pada masing-masing stasiun pengambilan sampel di perairan Laut Arafura
Stasiun Kedalaman (m) Jenis sedimen 13 341 Lempung 14 19 Lempung 15 35 lumpur pasiran - pasir sedang 16 29 lanau – lempung 17 35 Lumpur - pasir sedang – lempung 18 38 Lumpur pasiran – lempung 19 48 Lumpur pasiran – lempung 20 60 Lumpur pasiran 21 35 Lumpur pasiran – lempung 22 38 Lumpur pasiran – Lempung 23 59 Pasir (sedang-kasar) lumpuran
Boltovskoy and Wright (1976)
menyatakan bahwa Asterorotalia trispinosa dan Ammonia beccarii banyak dijumpai pada sedimen pasir dan lumpur pasiran. Namun A. Trispinosa hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Spesies yang ditemukan dengan tingkat kelimpahan sedang pada stasiun tersebut adalah Cancris oblongus, Cibicides molis dan dua spesies dari genus Elphidium. Spesies yang terdapat melimpah dan sedang tersebut merupakan anggota dari Subordo Rotaliina.
Selain itu, pada stasiun 22 juga ditemukan beberapa spesies yang termasuk dalam Subordo Miliolina, namun dalam jumlah yang sedikit atau termasuk dalam kelimpahan rendah. Spesies-spesies tersebut diwakili oleh merupakan anggota dari genus Quinqueloculina yang diwakili oleh Quinqueloculina sp., Q. granulocostata, Q. parkery dan Q. seminulum. Spesies-spesies yang bercangkang hialin tersebut masing-masing ditemukan tidak lebih dari 10 individu.
Spesies yang bersimbiosis dengan terumbu karang, berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Hallock et al. (2003) hanya ditemukan pada stasiun 23 dengan
jumlah yang sangat sedikit. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa perairan tersebut bukan termasuk lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang. Spesies tersebut adalah Amphistegina lessonii yang ditemukan dengan kondisi cangkang yang sudah rusak. Demikian pula dengan beberapa spesies yang ditemukan pada stasiun 17 dan 19 juga ditemukan dengan kondisi cangkang yang rusak. Hal tersebut dapat dimungkinkan akibat hempasan arus sehingga dapat menghancurkan cangkang foraminifera bentik yang terdapat di perairan tersebut.
Beberapa spesies yang ditemukan di lokasi ini merupakan penciri perairan dangkal dan terbuka dengan kecepatan arus menengah sampai tinggi. Menurut Gustiantini dan Usman (2008), beberapa spesies dari genus Elphidium merupakan penciri perairan dangkal dengan energi arus yang relatif tinggi. Sedangkan spesies dari genus Quinqueloculina merupakan penghuni lingkungan perairan terbuka dengan kecepatan arus sedang sampai tinggi, serta sedimen lumpur dan pasir (Boltovskoy and Wright, 1976; Yassini and Jones, 1995; dan Rositasari dan Rahayuningsih, 2000). Suhartati (1994 dan 2010) juga menemukan
Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura
80 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Quinqueloculina melimpah di Pulau Pari dan Pulau Belanda, Kepulauan Seribu pada kedalaman 26-32 m, sedangkan Barker (1960) menemukannya di bagian selatan Papua pada kedalaman 37 m. Graham dan Milante (1959) menemukan spesies-spesies tersebut sangat melimpah pada beberapa stasiun di Teluk Puerto Galera, Philipina dan termasuk spesies kosmopolitan.
Spesies yang ditemukan hampir di seluruh stasiun adalah Ammonia beccarii dan Pseudorotalia schroeteriana. A. beccarii ditemukan sangat melimpah pada semua stasiun kecuali stasiun 13 dengan kedalaman yang mencapai 341 m. Menurut Hallock et. al. (2003), A. beccarii tergolong dalam spesies yang oportunis sehingga dapat ditemukan di berbagai lokasi yang berbeda. Walaupun demikian, terdapat spesies oportunis lain yang ditemukan dalam jumlah melimpah dan dominan pada stasiun 13, yaitu dari genus Bolivina. Genus tersebut didominasi oleh spesies Bolivina erlandi yang ditemukan mencapai 82 individu, sedangkan B. spathulata dan B. subspinecens masing hanya mencapai 26 dan 12 individu.
Sebagai spesies penciri perairan dangkal, P. schroeteriana juga ditemukan hampir di semua stasiun kecuali stasiun 13 dan 15. Spesies tersebut ditemukan dengan kelimpahan rendah sampai tinggi. Menurut Biswas (1976), P. schroeteriana merupakan penciri perairan dangkal, terbuka dengan tingkat energi arus menengah dengan sedimen pasir halus. Oleh karena itu karakeristik sebagian besar perairan Laut Arafura merupakan perairan dangkal, terbuka dengan tingkat energi arus menengah sampai kuat karena juga ditemukan Elphidium sebagai penciri perairan berarus kuat.
Selain itu, spesies dari genus Elphidium juga termasuk dalam genus oportunis sesuai dengan pernyataan
Hallock et al. (2003), terbukti dengan ditemukannya spesies tersebut pada 6 stasiun dari 11 stasiun yang diteliti. Namun, genus yang diwakili oleh E. craticulatum dan E. crispum tersebut hanya ditemukan dengan kelimpahan rendah sampai sedang (tidak lebih dari 50 individu). Spesies-spesies tersebut ditemukan pada stasiun yang memiliki kisaran kedalaman antara 35-60 m. Hal ini sesuai dengan hasil peneletian yang dilakukan oleh Murray (1973) dan Boltovskoy dan Wright (1976) yang menyatakan bahwa E. craticulatum dan E. crispum memiliki penyebaran yang luas dari daerah pantai hingga neritik tengah.
Menurut Katili (1986), sedimen yang mendominasi landas kontinen perairan Arafura berasal dari masa Paleozoikum akhir, Mesozoikum sampai Kenozoikum yang dilandasi oleh lapisan granit pada bagian bawahnya. Hasil analisis sedimen yang diperoleh pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sedimen di perairan Laut Arafura adalah lumpur pasiran. Sedimen berupa lempung ditemukan disekitar Kepulauan Tanimbar dengan kedalaman 341 m (stasiun 13) dan di sekitar Pulau Dolak (stasiun 14). Sedangkan sedimen pasir sedang sampai kasar yang bercampur dengan fragmen karang dan moluska ditemukan pada stasiun 23 yang terletak di bagian selatan Kepulauan Aru (Tabel 2 dan 3). Jenis spesies yang ditemukan pada stasiun tersebut sebanyak 13 spesies. Jumlah tersebut relatif lebih banyak dibandingkan dengan stasiun lainnya, namun kelimpahan masing-masing spesies tergolong sangat rendah. Kelimpahan tertinggi hanya mencapai 14 individu, yaitu pada spesies Ammonia beccarii. Secara keseluruhan jumlah foraminifera bentik yang ditemukan di stasiun 23 hanya mencapai 48 individu.
Natsir dan Rubiman
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 81
Selain foraminifera bentik, juga ditemukan foraminifera planktonik yang menyebar hampir di semua stasiun kecuali stasiun 16, 17 dan 22. Begitu pula dengan fragmen moluska yang juga terdapat di hampir semua stasiun (Tabel 3). Hal ini diduga karena karakteristik perairan Laut Rafura yang terbuka dengan arus yang relatif kuat memungkinkan distribusi foraminifera planktonik dan fragmen moluska tersebut ke beberapa staiun disekitarnya, termasuk perairan dalam (stasiun 23).
IV. KESIMPULAN
Jumlah spesies yang ditemukan di
perairan Laut Arafura dari sekitar Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru hingga Pulau Dolak adalah 37 spesies yang termasuk dalam 29 genus. Sebagian besar spesies yang ditemukan merupakan anggota dari subordo Rotaliina dan beberapa spesies yang merupakan
anggota Milioliina dan Textulariina. Spesies yang ditemukan merata hampir di semua stasiun adalah Ammonia beccarii dan Pseudorotalia schroeteriana. Berdasarkan distribusi foraminifera bentik yang ditemukan, karakeristik sebagian besar perairan Laut Arafura merupakan perairan dangkal, terbuka dengan tingkat energi arus menengah sampai kuat. Selain P. schroeteriana, juga ditemukan spesies penciri lainnya seperti dari genus Elphidium dan Quinqueloculina. Selain itu, pada perairan terbuka tersebut juga ditemukan foraminifera planktonik yang dtersebar merata hampir di setiap stasiun. Jenis sedimen yang mendominasi perairan Laut Arafura adalah Lumpur pasiran dengan sedikit lempung. Jumlah individu terbanyak diperoleh dari stasiun dengan sedimen lumpur pasiran, sedangkan jumlah spesies terbanyak diperoleh dari sedimen pasir lumpuran dengan butiran pasir sedang sampai kasar.
Tabel 3. Organisme selain foraminifera bentik yang ditemukan dari sampel yang
berasal dari perairan Laut Arafura
Keterangan Stasiun 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Foraminifera planktonik - - - Moluska - - - - - - Bryozoa - - - - - - Gastropoda - - - - - - - - - - Ostracoda - - - - - - - - Fragmen karang - - - - - - - - Fragmen moluska - -
Keterangan: = terdapat dalam jumlah banyak; = terdapat dalam jumlah sedang; = terdapat dalam jumlah sedikit; − = tidak ada
Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura
82 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
DAFTAR PUSTAKA Barker, R.W. 1960. Taxonomic Notes.
Society of Economic Paleontologist and Mineralogist. Special Publication No. 9. Tulsa. Oklahoma, USA. 238 pp.
Boltovskoy, E. and R. Wright. 1976. Recent Foraminifera. Dr. W. June, B. V. Publisher, The Haque, Netherland.
Graham, J.J. and Militante. 1959. Recent Foraminifera from The Puerto Galera Area Northern Mindoro, Philippines. Stanford University, California.
Hallock, P., B.H. Lidz, E.M. Cockey-Burkhard, and K.B. Donnelly. 2003. Foraminifera as bioindicators in coral reef assessment and monitoring: the FORAM Index. Environmental Monitoring and Assessment, 81(1-3):221-238.
Katili, J.A. 1986. Geology and hydrocarbon potential of the Arafura Sea. In: Future Petroleum Provinces of the World. AAPG Memoir 40, M.T. Halbouty (editor) 487-501.
Murray, J. W. 1973. Distribution and Ecology of Living Foraminifera. The John Hopkins Press. Baltimore.
Rositasari R. dan S. K. Rahayuningsih. 2000. Foraminifera Bentik: Dalam Foraminifera sebagai bioindikator pencemaran, hasil studi di perairan estuarin Sungai Dadap, Tangerang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 3-26.
Shepard, F. P. 1954, Nomenclature based on sand-silt-clay ratios: Journal of Sedimentari Petrology, 24:151-158.
Suhartati, M.N. 1994. Benthic Forami-nifera In The Seagrass Beds of Pari Island, Seribu Islands, Jakarta. Proceedings. Third ASEAN-Australia Symposium on Living Coastal Resources. Volume 2: Research Papers. Chulalongkorn University Bangkok, Thailand. 323p.
________. 2010. Sebaran Foraminifera Bentik di Pulau Belanda, Kepulauan Seribu pada Musim Barat. Ilmu Kelautan, Edisi khusus, 2:381–387.
Wagey, T., Arifin, Z. 2008. Marine Biodiversity Review of The Arafura and Timor Seas. Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Indonesian Institute of Sciences, United Nation Development Program, and Cencus of Marine Life. Jakarta. 136 pp.
Wentworth, C. K. 1922, A scale of grade and class term for clastic sediment. Jour. Geol. 30:337-392
Yassini, I. and B.G. Jones. 1995. Foraminiferida and Ostracoda from estuarne and shelf environments on The South Eastern Coast of Australia. University press., Wollonggong. 270 pp.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 83-91, Desember 2010
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB 83
PERENCANAAN WAKTU TETAS TELUR IKAN KERAPU DENGAN PENGGUNAAN SUHU INKUBASI YANG BERBEDA
PLANNING ON HATCHING TIME OF GROUPER EGGS THROUGH
DIFFERENT INCUBATION TEMPERATURES
Regina Melianawati, Philip Teguh Imanto, dan Made Suastika Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Bali;
email: regina_melnawati@yahoo.com
ABSTRACT Groupers were known as a high economically marine commodity and in order to support groupers production, the seed availability was the most important. Eggs are still as limited factor in hatchery production, for this reason the success of eggs transportation is one as base of successful production of seed. Planning on hatching time of eggs through different incubation temperature was an option to solve that problem. This experiment was aimed to find out the optimum temperature for groupers eggs and the minimum temperature to arrange incubation time and to plan the hatching time. Fertilized eggs were incubated into three beaker glasses of 1 liter in volume with the density of ± 250 eggs/liter. The incubation was done under laboratory condition at controlled temperature, i.e. (A) 21-22 ºC, (B) 24-25 ºC, (C) 27-28 ºC and (D) 30-31 ºC. The eggs that used were including orange spotted grouper (Epinephelus coiodes), brown marbled grouper (E. microdon), tiger grouper (E. fuscoguttatus) and humpback grouper (Cromileptes altivelis). Investigated variables were embryonic development pattern, incubation time and hatching rate. The result showed that the eggs incubated in temperature range of 24-31°C had the normal sequence of embryonic development pattern, but in temperature of 21-22°C performed irregular sequence and the embryonic development stopped at blastula or gastrula stage or even the eggs could still develop but the body of hatched larvae were abnormal. In lower temperature incubation, the incubation time was longer and the hatching rate of eggs was lower than those in higher temperature. Therefore the optimum temperature for incubation of orange spotted grouper, marbled grouper, tiger grouper and humpback grouper eggs ranged between 24-31 ºC, while the lowest possible temperature was 24 ºC.
Keywords: incubation temperature, embryonic development pattern, grouper eggs, hatching rate
ABSTRAK Ikan kerapu merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi dan benihnya sangat diperlukan Pasok telur masih menjadi faktor pembatas dalam produksi benih, dan transportasi telur menjadi salah satu kunci keberhasilan produksinya. Transportasi telur jarak jauh dapat dilakukan dengan perencanaan waktu tetas melalui manipulasi suhu media penetasan. Tujuan penelitian untuk mengetahui kisaran suhu optimum dan batas toleransi suhu terendah untuk mengatur masa inkubasi dan perencanaan waktu tetas telur ikan kerapu. Penelitian menggunakan telur fertil yang diinkubasikan dalam 3 buah beaker glass volume 1 liter dengan kepadatan ± 250 butir/liter. Suhu inkubasi yang diujikan adalah (A) 21-22 ºC ; (B) 24-25 ºC ; (C) 27-28 ºC dan (D) 30-31 ºC. Jenis telur ikan kerapu yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur kerapu lumpur (Epinephelus coiodes), kerapu batik (E. microdon), kerapu macan (E. fuscoguttatus) dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Parameter pengamatan meliputi pola perkembangan embrio, masa inkubasi dan tingkat penetasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur yang diinkubasikan pada suhu 24-31°C menghasilkan pola perkembangan embrio yang teratur, sedang pada suhu 21-22°C perkembangan embrio terhenti pada stadia blastula atau gastrula atau terus berkembang tetapi menghasilkan larva yang cacat. Pada suhu rendah, masa inkubasi berlangsung lebih lama dan tingkat penetasan telurnya lebih rendah dibandingkan pada suhu yang lebih tinggi. Kisaran suhu optimum bagi penetasan telur kerapu lumpur, kerapu batik, kerapu macan dan kerapu bebek adalah 24-31oC, dengan batas toleransi suhu terendah dalam kaitannya untuk mengatur masa inkubasi dan perencanaan waktu tetas adalah 24oC.
Kata Kunci: suhu inkubasi, pola perkembangan embrio, telur ikan kerapu, tingkat penetasan
Perencanaan Waktu Tetas Telur Ikan Kerapu dengan…
84 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
I. PENDAHULUAN Ikan kerapu merupakan komoditas
perikanan laut yang bernilai ekonomis tinggi. Permintaan terhadap jenis ikan ini tidak saja berasal dari dalam negeri tetapi juga sebagai komoditas ekspor yang banyak diminati, baik di Asia seperti Taiwan, Jepang, Singapura dan Hongkong, maupun di Eropa, Australia dan Amerika (Andamari et al., 2005). Beberapa jenis ikan kerapu yang bernilai ekonomis tinggi diantaranya adalah ikan kerapu lumpur Epinephelus coiodes (Lau dan Jones, 1999), kerapu batik E. microdon (Slamet, et al., 1997), kerapu macan E. fuscoguttatus (Kohno et al., 1990; Sudjiharno et al., 2001) dan kerapu bebek Cromileptes altivelis (Putro et al., 1999; Sudaryanto et al., 1999).
Selama ini pemenuhan kebutuhan pasar mayoritas diperoleh dari hasil penangkapan di alam. Untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin tinggi dan sekaligus menjaga kelestarian populasi ikan kerapu di alam, maka kegiatan budidaya mutlak diperlukan. Hal ini menjadikan produksi benih yang berasal dari hatchery (panti benih) menjadi sangat penting peranannya.
Dalam usaha pembenihan, pasok telur menjadi faktor pembatas produksi karena tidak semua panti benih mampu mencukupi sendiri kebutuhan telurnya. Penanganan telur, termasuk transportasi-nya hingga sampai di lokasi pembenihan merupakan tahap awal yang menentukan keberhasilan usaha tersebut. Hambatan yang sering dialami pada transportasi telur ini adalah masa inkubasinya yang singkat sehingga sering terjadi telur telah menetas sebelum tiba di lokasi tujuan. Apabila hal ini terjadi akan menyebabkan kualitas air media menjadi buruk dan mengakibatkan kematian pada telur atau larva yang baru menetas dalam proses transportasi (Slamet, 1993). Suhu merupakan salah satu faktor yang penting
dalam transportasi karena berpengaruh terhadap nilai metabolisme mahkluk hidup dan perkembangan embrio (Mulyanto, 1990 dalam Setiadharma et al., 1997).
Penelitian ini bertujuan mengetahui kisaran suhu optimum dan batas toleransi suhu terendah dalam kaitannya untuk mengatur masa inkubasi dan perencanaan waktu tetas telur ikan kerapu.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di laborato-
rium Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Bali. Telur yang digunakan untuk pengamatan adalah telur yang fertil dan merupakan hasil pemijahan induk secara alami pada tangki beton.
Telur fertil yang telah diseleksi selanjutnya diinkubasi dalam wadah beaker glass volume 1 liter, masing-masing beaker glass diisi dengan 250 butir. Setiap ulangan (3 beaker glass) ditempatkan dalam sebuah wadah plastik berbentuk empat persegi panjang dengan volume ± 46 liter dan semua wadah tersebut kemudian ditempatkan dalam sebuah cooler waterbath yang dilengkapi dengan alat pengatur suhu. Suhu pada waterbath diatur pada 21-22°C untuk menyesuaikan dengan suhu terendah yang diujikan dalam penelitian ini. Untuk mengatur suhu dalam masing-masing wadah tersebut digunakan heater yang suhunya disesuaikan dengan perlakuan yang diujikan.
Penelitian dilaksanakan dengan 4 perlakuan tingkat suhu inkubasi yang berbeda yaitu (A) 21-22 ºC, (B) 24-25 ºC, (C) 27-28 ºC dan (D) 30-31 ºC. Masing-masing perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Jenis telur ikan kerapu yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kerapu lumpur (Epinephelus coiodes), kerapu batik (E. microdon), kerapu macan (E. fuscoguttatus) dan kerapu bebek
Melianawati et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 85
(Cromileptes altivelis). Parameter yang diamati meliputi pola perkembangan embrio, masa inkubasi dan tingkat penetasan.
Pengamatan perkembangan embrio, baik menurut waktu dan suhu media inkubasi, dilakukan dengan cara mengambil 10-15 butir sampel telur secara acak dari ketiga media inkubasi masing-masing perlakuan dengan meng-gunakan pipet, menempatkannya pada single concave object glass dan kemudian mengamatinya di bawah mikroskop. Pengamatan dilakukan setiap interval waktu satu jam sampai dengan saat telur menetas. Masa inkubasi dihitung mulai dari saat inkubasi dilakukan hingga telur menetas selu-ruhnya.
Klasifikasi perkembangan embrio (Chen et al., 1977) didasarkan atas 7 tingkat stadia (Tabel 1) untuk memper-mudah dalam pengamatan perkembangan embrio.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap per-
kembangan embrio telur ikan kerapu yang diamati dalam penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing stadia ditandai dengan karakteristik perkembangan embrio (Gambar 1).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbedaan suhu inkubasi berpengaruh pada pola perkembangan embrio dan masa inkubasi telur ikan kerapu. Secara umum terlihat bahwa pada telur yang diinkubasikan pada suhu yang lebih tinggi perkembangan embrionya terjadi lebih cepat dibandingkan dengan yang diinkubasi pada suhu yang lebih rendah (Gambar 2, 3, 4, 5). Hal ini disebabkan karena pada suhu yang lebih tinggi proses metabolisme terjadi lebih cepat.
Tabel 1. Klasifikasi perkembangan embrio (Chen et al., 1977)
Stadia Perkembangan embrio Deskripsi
1 Pembuahan hingga multisell 2 Blastula 3 Gastrula 4 Pembentukan bayangan embrio
5 Pembentukan kuppfer vesicle 6 Pergerakan embrio 7 Penetasan embrio
1 2 3 4 5 6 7
Gambar 1. Stadia perkembangan embrio ikan kerapu (1. Multisel; 2. Blastula; 3.
Gastrula; 4. Pembentukan bayangan embrio; 5. Pembentukan kuppfer vesicle; 6. Pergerakan embrio; 7. Penetasan embrio)
Perencanaan Waktu Tetas Telur Ikan Kerapu dengan…
86 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hasil pengamatan pada telur ikan kerapu lumpur yang diinkubasikan pada kisaran suhu 24-31°C (perlakuan B, C dan D) cenderung membentuk pola yang hampir sama, dimana dari tujuh stadia perkembangan, perkembangan embrio pada stadia 5 cenderung berlangsung paling lama. Pola perkembangan embrio telur yang diinkubasi pada suhu terendah 21-22oC (perlakuan A) berbeda dengan pada perlakuan lainnya. Pada suhu inkubasi ini terjadi ketidakteraturan pola perkembangan embrio mulai dari awal hingga akhir masa inkubasi. Kondisi suhu media yang rendah diduga berpengaruh terhadap ketidakteraturan tersebut sehingga menghambat proses perkembangan embrio telur ikan kerapu lumpur (Gambar 2).
Hasil pengamatan terhadap telur kerapu batik menunjukkan bahwa telur yang diinkubasi pada suhu 27-31 ºC
cenderung memiliki pola perkembangan yang sama pada masing-masing stadianya. Perkembangan embrio pada stadia 1 sampai dengan stadia 3 berlangsung lebih lama daripada stadia 4, sedangkan pada stadia 5 cenderung berlangsung paling lama dan pada stadia 6 serta stadia 7 berlangsung paling singkat. Perbedaannya adalah pada kecepatan perubahan pada masing-masing stadia perkembangan embrio, dimana telur yang diinkubasi pada suhu 30-31 ºC perkembangan embrionya terjadi lebih cepat daripada yang diinkubasi pada media dengan suhu 27-28 ºC. Perkembangan embrio dari telur yang diinkubasi pada suhu 24-25 ºC menunjukkan pola yang tidak teratur mulai stadia 1 sampai dengan stadia 3.
Gambar 2. Pola perkembangan embrio telur ikan kerapu lumpur yang diinkubasi pada suhu berbeda (S: Stadia)
0%20%40%60%80%
100%
0:00 5:00 10:00 15:00 20:00 25:00 30:00 35:00 40:00
TIME (HOUR)
S2 S3 S4 S5 S6 S7
0%20%40%60%80%
100%
0%20%40%60%80%
100%
0%20%40%60%80%
100%
30-31oC
27-28oC
24-25oC
21-22oC
Perkembangan Embrio
Melianawati et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 87
Setelah melewati stadia 3 pola perkembangan embrio menunjukkan kecenderungan yang sama dengan telur yang diinkubasi pada suhu 27-31ºC. Telur yang diinkubasi pada suhu 21-22 ºC tidak berhasil menetas. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa telur mengalami kematian embrio pada stadia 3. Hal ini menunjukkan bahwa suhu inkubasi berpengaruh terhadap perkembangan embrio telur ikan kerapu batik (Gambar 3).
Pola perkembangan embrio telur ikan kerapu macan yang diinkubasikan pada kisaran suhu 24-31°C cenderung hampir sama. Dari 7 stadia perkembangan yang diamati, stadia 4 berlangsung dalam waktu yang paling singkat, sedangkan stadia 5 berlangsung paling lama. Perbedaan yang nampak
dari setiap perlakuan adalah lama waktu perkembangan pada masing-masing stadia. Perkembangan masing-masing stadia pada telur yang diinkubasi pada suhu 24-25oC terjadi lebih lambat dibandingkan pada telur yang diinkubasi pada suhu 27-28oC. Sedangkan perkembangan stadia pada telur yang diinkubasi pada suhu 27-28oC itu sendiri masih lebih lambat dibandingkan pada telur yang diinkubasi pada suhu 30-31oC. Dengan demikian nampak bahwa suhu media inkubasi berpengaruh terhadap kecepatan perkembangan masing-masing stadia pada perkembangan embrio ikan kerapu macan. Sedangkan perkembangan embrio telur yang diinkubasi pada suhu 21-22oC hanya berlangsung sampai stadia 3 atau fase gastrula.
Gambar 3. Perkembangan embrio telur kerapu batik yang diinkubasi pada suhu berbeda
(S: Stadia)
0%25%50%75%
100%
30-31 oC
0%25%50%75%
100%
0%25%50%75%
100%
0%25%50%75%
100%
0:00 2:05 4:45 7:45 10:45 13:45 16:45 19:45 22:45 25:45 28:45
Time (hour)S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7
27-28 oC
21-22 oC
24-25 oC
Perkembangan Embrio
Perencanaan Waktu Tetas Telur Ikan Kerapu dengan…
88 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa batas suhu terendah untuk inkubasi telur kerapu macan adalah 240C (Gambar 4).
Hasil pengamatan terhadap telur ikan kerapu bebek yang diinkubasi pada kisaran suhu 24-31ºC cenderung memiliki pola perkembangan embrio yang sama. Perbedaan yang terjadi adalah pada lama waktu perkembangan masing-masing stadia, dimana perkembangan stadia terjadi lebih lambat pada suhu inkubasi yang lebih rendah dan sebaliknya. Perkembangan embrio pada stadia 1 sampai dengan stadia 4 terjadi relatif cepat, sedang perkembangan embrio yang paling lama terjadi pada stadia 5 (Gambar 5).
Pola perkembangan embrio pada suhu inkubasi 21-22ºC nampak kurang teratur pada stadia 1 hingga stadia 2. Ketidakteraturan ini diduga karena ketidakmampuan telur untuk berkembang pada kondisi suhu inkubasi yang rendah.
Hal ini terlihat dari paling banyaknya kematian telur yang terjadi pada stadia tersebut. Perkembangan embrio mulai teratur pada stadia 3 dan hal ini terus berlanjut hingga menetas. Pada suhu inkubasi ini waktu perkembangan yang paling lama terjadi pada stadia 6. Hal ini mungkin disebabkan karena embrio kesulitan untuk menetas. Suhu inkubasi yang rendah di dalam media penetasan diduga juga berpengaruh terhadap lambatnya proses penetasan telur.
Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa suhu inkubasi berpengaruh terhadap masa inkubasi. Telur ikan kerapu yang diinkubasi pada suhu lebih rendah, masa inkubasinya berlangsung lebih lama (dibandingkan telur yang diinkubasikan pada suhu lebih tinggi) (Tabel 2). Srihati (1997) mengemukakan bahwa suhu air berpengaruh terhadap penetasan telur dimana makin tinggi suhu air makin cepat terjadi penetasan telur.
Gambar 4. Pola perkembangan embrio telur ikan kerapu macan yang diinkubasi pada
suhu berbeda (S: Stadia)
0%20%40%60%80%
100%0%
20%40%60%80%
100%0%
20%40%60%80%
100%
0%20%40%60%80%
100%
0:00 3:00 6:00 9:00 12:00 15:00 18:00 21:00
TIME (hour)
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7
Perkembangan Embrio
Melianawati et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 89
Tabel 2. Masa inkubasi dan Tingkat penetasan telur ikan kerapu yang diinkubasi pada beberapa tingkatan suhu
Jenis telur Suhu inkubasi Masa Inkubasi Tingkat penetasan
Kerapu Lumpur 21-22oC * 0% 24-25oC 24 jam 30 menit 36% 27-28oC 17 jam 30 menit 50% 30-31oC 14 jam 30 menit 82%
Kerapu batik 21-22oC * 0% 24-25oC 29 jam 45 menit 58% 27-28oC 19 jam 45 menit 100% 30-31oC 15 jam 45 menit 100%
Kerapu macan 21-22oC * 0% 24-25oC 21-23 jam 84% 27-28oC 18-22 jam 100% 30-31oC 16-21 jam 100%
Kerapu bebek 21-22oC 45 jam 45 menit 3% 24-25oC 27 jam 45 menit 57% 27-28oC 18 jam 45 menit 100% 30-31oC 14 jam 45 menit 100%
* Perkembangan embrio terhenti pada stadia 2 dan 3
Gambar 5. Pola perkembangan embrio telur ikan kerapu bebek yang diinkubasi pada suhu berbeda (S: Stadia)
0%
25%
50%
75%
100%
0%
25%
50%
75%
100%
1 7 13 19 25 31 37 43
WAKTU (jam)
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7
0%
25%
50%
75%
100%
30-31 ºC
0%
25%
50%
75%
100%
24-25 ºC
27-28 ºC
21-22 ºC
Perencanaan Waktu Tetas Telur Ikan Kerapu dengan…
90 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Secara alami masa inkubasi telur ikan kerapu lumpur tergantung pada suhu media, seperti halnya pada kegiatan pembenihan ikan laut di Singapore, masa inkubasi telur ikan kerapu lumpur (E. tauvina) dilaporkan berlangsung selama 23-25 jam pada suhu 27-28°C dan selama 20-22 jam pada suhu 29-30°C (Cheong dan Chuan, 1980) atau setelah 23-25 jam masa inkubasi pada suhu 27°C (Chen et al., 1977), sedangkan di Kuwait penetasan telur jenis ikan tersebut terjadi setelah 26-35 jam inkubasi pada kondisi suhu 27-30°C (Hussain et al., 1975). Masa inkubasi telur ikan kerapu batik secara alami berlangsung sekitar 18 jam 30 menit pada suhu air 27-29 ºC (Slamet dan Tridjoko, 1997). Pada kondisi normal telur ikan kerapu bebek menetas setelah inkubasi selama 17 jam 45 menit pada kisaran suhu 27,5-30,5ºC dan salinitas 31-33 ppt (Tridjoko et al., 1996).
Dari keempat jenis telur kerapu yang digunakan dalam penelitian ini hanya telur kerapu bebek yang embrionya dapat berkembang pada suhu inkubasi 21-22oC, sedangkan pada telur kerapu lumpur, kerapu batik dan kerapu macan perkembangan embrio terhenti pada stadia 2 atau 3. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian suhu inkubasi yang rendah pada fase awal inkubasi mengakibatkan terhambatnya proses pembelahan sel. Sugama et al (2001) mengemukakan bahwa fase yang sangat peka dalam perkembangan telur adalah sebelum stadia embrio, terutama sebelum mencapai stadia blastula. Untuk telur-telur yang dapat melewati fase kritis tersebut, selanjutnya dapat terus berkembang dengan baik hingga mencapai stadia embrio dan menetas dengan bentuk tubuh normal.
Telur kerapu bebek yang diinkubasi pada suhu 21-22ºC mempunyai masa inkubasi yang paling lama yaitu 45 jam 45 menit. Larva yang
berhasil menetas tubuhnya tidak normal dan bengkok. Ketidaknormalan tubuh larva ini kemungkinan dipengaruhi oleh masa inkubasi, dimana masa inkubasi yang terlalu lama mengakibatkan pertumbuhan embrio di dalam telur juga terlalu lama dan kurang sempurna sehingga embrio menjadi tidak normal. Larva yang bentuk tubuhnya tidak normal tidak akan dapat bertahan hidup. IV. KESIMPULAN
Telur yang diinkubasikan pada
suhu 24-31°C menghasilkan pola perkembangan embrio yang teratur, sedangkan pada suhu 21-22°C perkembangan embrio terhenti pada stadia blastula atau gastrula atau embrio terus berkembang tetapi menghasilkan larva yang tidak normal tubuhnya.
Suhu inkubasi 24-25oC dapat dimanfaatkan untuk menunda waktu tetas dalam kaitannya untuk transportasi telur jarak jauh, meskipun tingkat penetasan telurnya lebih rendah dibandingkan pada suhu 27-31oC.
Kisaran suhu optimum bagi penetasan telur kerapu lumpur, kerapu batik, kerapu macan dan kerapu bebek adalah 24-31oC, sedangkan batas toleransi suhu terendah dalam kaitannya untuk mengatur masa inkubasi dan perencanaan waktu tetas adalah 24oC.
DAFTAR PUSTAKA Andamari, R., B. Teguh dan Mujimin.
2005. Kajian ekspor kerapu dari propinsi Bali. Dalam: Sudrajat et al. (2005). Buku Perikanan Budi-daya Berkelanjutan. Hal:259-268.
Chen, F.Y., M. Chow, T.M. Chao and R. Lim. 1977. Artificial spawning and larval rearing of the grouper, Epinephelus tauvina (Forskal) in Singapore. Singapore J. Pri. Ind., 5(1):1-21.
Melianawati et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 91
Cheong, L. and L.L. Chuan. 1980. Current work on the induced breeding of grouper Epinephelus tauvina, F. in Singapore. 4pp.
Hussain, N., M. Saif, and M. Ukawa. 1975. On the culture of Epinephelus tauvina (Forskal). Kuwait institute for scientific research. 14 pp.
Kohno, H., P.T. Imanto, S. Diani, B. Slamet, and P. Sunyoto. 1990. Reproductive performance and early life history of the grouper, Epinephelus fuscoguttatus. Bull. Penelitian perikanan, 1(special edition):27-35.
Lau, P.P.F. and R.P. Jones, 1999. The Hongkong trade in live reef fish for food. TRAFFIC East Asia and World Wide Fund for Nature Hongkong. 64 p.
Putro, D.H., Evalawati dan P. Hartono. 1999. Pengamatan pendahuluan pembesaran kerapu bebek (Cromileptes altivelis) di karamba jaring apung. Bulletin Budidaya Laut, 12:5-8.
Setiadharma, T., A.Prijono dan T. Ahmad. 1997. Pengaruh kepadatan pasa pengangkutan dengan system tertutp terhadap daya tetas telur bandeng (Chanos chanos. Forsskal). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 3(1):68-72.
Slamet, B. 1993. Pengaruh penurunan suhu media terhadap penundaan penetasan dan peningkatan optimasi kepadatan pada trans-portasi telur ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus. J. Penelitian Budidaya Pantai, 9(5):30-36.
Slamet, B. dan Tridjoko. 1997. Pengamatan pemijahan alami, perkembangan embrio dan larva ikan kerapu batik, E. microdon, dalam bak terkontrol. J. Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi khusus 3(4):40-50.
Srihati. 1997. Pengaruh suhu terhadap penetasan telur, pertumbuhan dan daya tahan hidup larva ikan bandeng (Dicentranchus labrax L.) Seminar biologi XV. Bandar Lampung: 872-876.
Sudaryanto, Sudjiharno dan P. Hartono. 1999. Upaya mengubah kelamin pada kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Bulletin budidaya laut 12, Lampung:1-4.
Sudjiharno, H. Minjoyo, E. Sutrisno dan Mustamin. 2001. Teknologi produksi massal benih kerapu macan (Epinephelus fuscogut-tatus) di Balai Budi Daya Laut Lampung. Dalam Sudradjat, A., Heruwati, E.S., Poernomo, A., Rukyani, A., Widodo, J. dan Danakusumah, E. 2001. Teknologi Budi Daya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Puslitbang Eksplorasi Laut dan Perikanan. 489 p.
Sugama, K., Tridjoko, B. Slamet, S. Ismi, E. Setiadi, dan S. Kawahara 2001. Petunjuk teknis produksi benih ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis. Balai Riset Budidaya Laut Gondol dan Japan International Cooperation Agency. 40p.
Tridjoko, B. Slamet, D. Makatutu, dan K. Sugama.1996. Pengamatan pemija-han dan perkembangan telur ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) pada bak secara terkontrol. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 2(2):55-62
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 92-108, Desember 2010
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan 92 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA
SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS
Hadikusumah Bidang Dinamika Laut – Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI
Jl. Pasir Putih No.1, Ancol Timur, P.O. Box 480 /JKTF. 14430 E-mail: Uhadi_kusumah@yahoo.comU
ABSTRACT
Research of water masses by using conductivity temperature depth (CTD), are conducted in the eastern path of the Indonesia Throughflow (ITF) in the Halmahera, Seram and Banda seas during March-April 2007 under the Expedition of Widya Nusantara (EWIN). The objective of this research is to see maximum salinity spread of South Pacific Subtropical Water (SPSW) water masses enter the eastern Indonesia Waters. The temperature and salinity profiles show the presence of the presence of SPSW have been very much confined to the Halmahera Sea only. Little of this water masses have been detected in the eastern Seram Sea, but none in Banda Sea. Early data of Arlindo Mixing (ARMIX) experiment in southeast monsoon 1993 indicated that this water masses SPSW may entered the southern most part of the Moluccas Sea. Type of South Pacific Subtropical Water (SPSW) water masses appears in the Halmahera Sea at an average depth of 200m and the dominant flows between Halmahera and Obi Islands (Moluccas Sea continues to the east). Type of South Pacific Intermediate Water (SPIW) water mass appeared on average Halmahera Sea at a depth of 750m and the dominant flows between Halmahera and Obi Islands (Moluccas Sea continues to the east). Type of North Pacific Subtropical Water (NPSW) water masses at an average depth of ~ 150m found in the northern part of Halmahera, the dominant flow to the Celebes Sea, Makassar Strait, Flores Sea and partly flows into Lombok Straits. Type of minimum salinity water mass of North Pacific Intermediate Water (NPIW) obtained at an average depth of ~ 400m dominant flow towards the Celebes Sea, Makassar Strait and Flores Sea. Keywords: maximum salinity, SPSW, Halmahera, Seram, and Banda Seas
ABSTRAK Penelitian massa air dengan menggunakan conductivity temperature depth (CTD), dilakukan di bagian timur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO – ITF) di Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda dari bulan Maret - April 2007 pada pelayaran Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN). Tujuan penelitian ini untuk melihat penyebaran salinitas maksimum dari massa air South Pacific Subtropical Water (SPSW) masuk ke bagian timur Indonesia. Profil suhu dan salinitas menunjukkan adanya kehadiran SPSW sudah sangat terbatas ke Laut Halmahera saja. Sebagian kecil massa air ini telah terdeteksi di bagian timur Laut Seram, tapi tidak ke Laut Banda. Awal data Arlindo Mixing (ARMIX) eksperimen di musim tenggara 1993 menunjukkan bahwa massa air SPSW ini dapat masuk ke bagian paling selatan Laut Maluku. Jenis masa air South Pacific Subtropical Water (SPSW) muncul di Laut Halmahera pada rata-rata kedalaman 200m serta dominan mengalir di antara Pulau Halmahera dan Pulau Obi (terus ke Laut Maluku bagian timur). Jenis massa air South Pacific Intermediate Water (SPIW) muncul di Laut Halmahera rata-rata pada kedalaman 750m serta dominan mengalir di antara Pulau Halmahera dan Pulau Obi (terus ke Laut Maluku bagian timur).Jenis massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) pada rata-rata kedalaman ~150m didapatkan di bagian utara Halmahera, dominan mengalir menuju ke Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores dan sebagian mengalir ke Selat Lombok. Jenis massa air bersalinitas minimum North Pacific Intermediate Water (NPIW) didapatkan pada rata-rata kedalaman ~400m dominan mengalir ke arah Laut Sulawesi, Selat Makassar, dan Laut Flores. Kata Kunci: salinitas maksimum, SPSW, Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda
Hadikusumah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 93
I. PENDAHULUAN Perairan Indonesia terletak diantara
Samudera Pasifik dan Hindia. Massa air dari Pasifik masuk dan menyebar di perairan Indonesia sebelum mengalir keluar Indonesia (Wyrtki, 1956). Empat jenis massa air telah diketahui dan menyebar pada lapisan termoklin dan lapisan dalam, yaitu massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) dan North Pacific Intermediate Water (NPIW) yang merupakan massa air yang dibawa oleh arus Mindanao Eddy dan arus North Equatorial Current (NEQ), massa air South Pacific Subtropical Water (SPSW) dan South Pacific Intermediate Water (SPIW) yang merupakan massa air yang dibawa oleh arus New Guinea Coastal Current (NGCC) dan arus South Equatorial Current (SEQ) (Tomczak & Godfrey, 1994). NPSW adalah massa air dari Pasifik utara yang bergerak ke arah selatan dan masuk ke Laut Sulawesi pada lapisan dangkal (lapisan termoklin); SPSW yaitu massa air dari Pasifik Selatan yang bergerak ke arah Laut Halmahera lewat perairan pantai utara Pulau Papua di lapisan dangkal (lapisan termoklin). Keberadaan massa air tersebut diindikasikan oleh salinitas maksimum (Smaks). Di bawah lapisan salinitas maksimum (NPSW) terdapat lapisan massa air NPIW yaitu massa air dari Pasifik utara yang bergerak ke arah selatan dan masuk ke Laut Sulawesi pada lapisan dalam; SPIW adalah massa air dari Pasifik selatan yang bergerak ke arah Laut Halmahera lewat utara Pulau Papua terletak di lapisan dalam (Wyrtki, 1962) dan (Ffield, 1994). Keberadaan massa air tersebut diindikasikan oleh salinitas minimum (Smin).
Pada lapisan pycnocline (100 sampai 300 m) ada lapisan salinitas maksimum dari utara dan selatan Samudera Pasifik. Massa air ini disebut
Northern/Southern Subtropical Lower Waters (Wyrtki, 1961) atau North/South Pacific Tropical Waters (Fine et al., 1994) dalam (Yuji et al., 1996). Gambaran umum dari sirkulasi di perairan lautan Indonesia yang menunjukkan dengan jelas pembalikan aliran musiman pola arus permukaan dan distribusi massa air laut dalam yang lebih jelas berasal dari berbagai lokasi Samudra Pasifik bagian utara atau bagian barat Samudera Pasifik. Lautan Indonesia merupakan satu-satunya penghubung antar samudera antara Pasifik bagian barat dengan Samudra Hindia bagian timur (Birowo 1990).
South Pacific Central Water (SPCW) melewati Halmahera Sea (HS) ke South Banda (BS) dan Timor Sea (TS). North Pacific Central Water (NPCW) melewati Makassar Strait (MS) ke Timor Sea (TS). Keduanya kemudian diubah menjadi Indian Central Water (ICW) (Ffield et al., 1992). Air bersalinitas asal Pasifik Selatan (South Pacific) diamati di bawah lapisan termoklin di Laut Seram dan Laut Maluku bagian selatan terutama pada musim barat laut (Ilahude dan Gordon, 1996). Di dalam perairan Indonesia, mass air berstratifikasi dari Samudera Pasifik secara nyata diubah oleh pencampuran vertikal seperti maksimum salinitas yang berbeda yang berasal dari North Pacific (salinitas 34,8psu pada 100m) dan South Pacific (salinitas 35,4psu pada 150m) akhirnya hilang. Akibatnya, pada saat air throughflow meninggalkan Indonesia untuk memasuki Samudra Hindia mereka membawa salinitas homogen (34,6psu) melalui termoklin bagian atas, dinyatakan oleh (Ffield et al., 2005). Air subtropical Samudera Pasifik bagian selatan bersalinitas tinggi tidak menyebar ke bagian atas termoklin di Laut Banda dari pintu masuknya di Laut Halmahera (Gordon 2005). Air bagian atas South Pacific mengalir menuju searah jarum
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
94 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
jam sekitar Halmahera eddy (HE) dan kembali untuk menggabungkan dengan arus kearah timur dari Midanau Current (MC). Sejumlah kecil air massa air South Pacific memasuki Laut Seram dan terbagi menjadi dua cabang. Cabang ke arah utara kembali ke Samudera Pasifik dan ke arah selatan mengalir memasuki Laut Banda (Liu et al., 2005).
Tujuan penelitian EWIN Ambon 2007 salah satunya ialah untuk melihat sebaran salinitas maksimum masa air South Pacific Subtropical Water (SPSW) dan North Pacific Subtropical Water (NPSW) dan sebaran salinitas minimum masa air South Pacific Intermediate Water (SPIW) dan North Pacific Intermediate Water (NPIW) di perairan Indonesia Timur.
II. METODE PENELITIAN
Pengukuran parameter Oseano-
grafi fisika di sekitar perairan Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda dan Teluk Ambon telah dilakukan dari tanggal 8 Maret s.d 3 April 2007 dengan menggunakan KR. Baruna Jaya VII dalam program Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN). Jumlah stasiun oseanografi CTD yaitu 30 stasiun (Gambar 1). Parameter fisika yang diukur adalah suhu, salinitas dan turbiditas dengan menggunakan instrumen CTD Model SBE-91. Profil data pengukuran CTD dengan interval kedalaman 0.5
meter di stasiun-stasiun perairan dangkal (stasiun biologi) dan 1 meter di stasiun laut dalam. Stasiun CTD di bagian selatan Halmahera dan bagian tengah Laut Seram hampir berimpit dengan program Arlindo Mixing (ARMIX) 1993 pada musim tenggara (Ilahude & Gordon 1996). Untuk melengkapi analisa massa air Pacific bagian selatan ke perairan Laut Halmahera bagian selatan dan Laut Seram telah ditambah data WOCE Line 08 dan 09. Analisa data suhu dan salinitas yaitu dengan membuat distribusi salinitas penampang vertikal dan korelasi antara salinitas dan suhu dalam diagram T-S. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kondisi Arus
Arus di stasiun MBIO-2A di bagian timur Pulau Misol pada kedalaman 5m diperoleh kecepatan arus bervariasi dari 0,18 – 74,34 cm/dt dan hasil analisis didapatkan rata-rata komponen arus timur barat (TB) ialah 0,96 cm/dt dan komponen arus utara selatan (US) ialah -1,99 cm/dt. Hasil analisis progressive vector diagram (PVD) didapatkan mampu menempuh jarak 3,37 km dalam waktu 42 jam 22 menit dan resultante arahnya (current direction) ialah 154,22° atau arus bergerak ke arah tenggara, serta arus sisanya (residual current) sebesar 2,21 cm/dt (Gambar 2).
Hadikusumah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 95
126 128 130 132 134 136 138 140 142 144Longitude, E
-6
-4
-2
0
2
4
La
titu
de
, N
/S
40414243444546
373839
812 13
914107
432165
11
2526282930
2427
21202322
19181716
15
14 27
105
PACIFIC OCEAN
P A P U A
Seram Sea
BANDA SEA
Seram
Obi
Buru
Mangole Misol
Waigeo
Biak
Yapen
Gambar 1. Peta dan stasiun oseanografi Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) pada tahun 2007 di stasiun bertanda lingkaran hitam dan Arlindo mixing (ARMIX) pada ekspedisi selama musim tenggara tahun 1993 di stasiun bertanda lingkaran biru dan merah dan WOCE di stasiun bertanda hijau
PVD arus, Jam 21:10 s/d 13:00, 10 - 12 Maret 2007
Posisi: 2° 4.063 S; 130° 15.133 E, Kampung Lelintah - P. Misol
-3.5
-3
-2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2
Pergeseran Komponen Arus, TB (km)
Perg
eser
an K
ompo
nen
Arus
, US
(km
)
22
0
36
912
1
18
2
0
3
6 9
12
Gambar 2. Proressive Vector Diagram arus di stasiun MBIO-1, Jam 21:10 s/d 13:00, 10
- 12 Maret 200, Posisi: 2° 4.063 S; 130° 15.133 E, Kampung Lelintah - P. Misol
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
96 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Arus di stasiun MBIO-13 di bagian timur Pulau Seram pada kedalman 5m didapatkan kecepatan arus bervariasi dari 0,6 – 31,9 cm/dt dan rata-rata komponen arus TB ialah 5,5 cm/dt dan komponen arus utara selatan (US) ialah -2.2 cm/dt. Hasil analisis arus PVD didapatkan mampu menempuh jarak 5,84 km dalam waktu 27 jam 20 menit dan resultante arahnya (current direction) ialah 111,7° atau arus menuju ke arah tenggara, serta arus sisanya (residual current) ialah 5,92 cm/dt.
Arus di stasiun MBIO-14 diperoleh kecepatan arus bervariasi dari 0.30 – 43.80 cm/dt dan hasil analisa diperoleh rata-rata komponen arus TB ialah -1.11 cm/dt dan komponen arus US ialah -0.13 cm/dt. Hasil analisa progressive vector diagram diperoleh bahwa PVD arus dapat menempuh jarak 0.32 km dalam waktu 7 jam 55 menit dan resultante arahnya (current direction) ialah 262.95 ° atau arus ke arah barat daya, serta arus sisanya (residual current) ialah 1.12 cm/dt (Gambar 3). Pola arus di stasiun MBIO-
2A, MBIO-13 dan MBIO-14 menandakan bahwa masa air tersebut bergerak ke arah tenggara sampai barat daya dan ini merupakan masa air ARLINDO di bagian permukaan.
Berdasarkan data arus mooring 1993-1994 selama setahun pada stasiun 29; dari Program Kerjasama antara ASEAN dan Australia di Laut Halmahera bahwa kecepatan arus rata-rata maksimum pada kedalaman 428m didapatkan tertinggi (25,95cm/dt) pada bulan Februari, jika dibandingakan kecepatan arus pada kedalaman 720m (19,42 cm/dt) pada bulan Desember dan kecepatan arus paling rendah pada kedalaman 912m (16,90cm/dt) bulan Desember. Hasil analisis progressive vector diagram (PVD) menunjukkan bahwa pergeseran arus selama satu tahun pada kedalaman 720 m didapatkan terbesar (2875,6km) dengan arah arus dominan bergerak ke selatan (188°) atau masuk ke perairan Indonesia (ARLINDO), dibandingkan dengan kedalaman 428m, pergeseran arusnya
-0.1
-0.05
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
-0.35 -0.3 -0.25 -0.2 -0.15 -0.1 -0.05 0 0.05 0.1
Pergeseran komponen arus, TB (km)
Perg
eser
an k
ompo
nen
arus
, US
(km
)
PVD arus di stasiun MBIO-14 di Tl. Seleman Posisi 2° 57.321' S; 129° 07.19' E tanggal 2 April 2007
12
15
18
Gambar 3. Proressive Vector Diagram arus di stasiun MBIO-14 di Teluk Seleman
Posisi: 2° 57.321' S; 129° 07.19' E tanggal 2 April 2007
Hadikusumah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 97
(556,86km) dengan arah arus dominan ke barat daya (204°) serta kedalaman 912m, pergeseran arusnya paling rendah (453km) dengan dominan arah arus bergerak ke barat daya (264°) atau ke perairan Indonesia. Pola arus antara
bulan Mei s.d September arah arus dominan menuju ke arah barat laut, sebaliknya antara bulan Oktober s.d April arah arus dominan menuju ke arah dominan ke arah selatan (Gambar 4).
-2000
-1500
-1000
-500
0
500
-600 -500 -400 -300 -200 -100 0 100
Current displacement comp_EW (km)
Cur
rent
dis
plac
emen
t com
p_N
S (k
m) August 93
January 94
October
December
MarchJune
Mooring #5, 428 m depthHalmahera Strait
Gambar 4. Proressive Vector Diagram arus di stasiun mooring di Laut Halmahera pada
kedalaman 428m dari tahun 1993/1994 3.2. Karakteristik dan Distribusi
Tegak massa Air Salinitas maksimum 34,988psu
(St.1) pada profil salinitas didapatkan pada kedalaman 236m yaitu pada lapisan termoklin. Dari perairan yang diobservasi ternyata didapatkan ada dua massa air yang berbeda dari permukaan sampai kedalaman ~700 m, yaitu masa air besalintas rendah di Laut Banda Seram timur dan salinitas tinggi di Laut Halmahera sampai Laut Seram bagian barat. Sedangkan massa air permukaan bersalinitas rendah (kedalaman <185m) di St.15 didapatkan sama dengan salinitas Laut Banda, sedangkan di kedalaman >185m didapatkan masa air bersalinitas
tinggi, demikian pula salinitas maksimum masih didapatkan di St-16 (34,65psu) di kedalaman >164m. Ini menandakan bahwa pertemukan atau front masa air besalinitas tinggi dan rendah ada di antara St.15 sampai 16.
Distribusi horizontal salinitas di bagian permukaan (1m) didapatkan antara 32 s.d 34psu, dimana salinitas Selat Halmahera dan Laut Seram didapatkan lebih tinggi dibandingkan salinitas Laut Banda atau perairan Seram timur. Distribusi horizontal salinitas pada kedalaman 50m didapatkan antara 33,5 s.d 34,3psu, di mana salinitas lepas pantai Selat Halmahera (>34,2psu) dan salinitas perairan lepas pantai Laut Seram
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
98 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
(>34,1psu) didapatkann lebih tinggi dibandingkan salinitas Laut Banda (<34psu) atau perairan Seram timur, sedangkan salinitas perairan pantai lebih rendah (<33,5 psu).
Distribusi tegak salinitas antara St.1 sampai 4 bahwa antara St.1 sampai 2 didapatkan inti (core) salinitas <34,9psu pada kedalaman 200m dengan ketebalan inti salinitas makin ke arah timur makin berkurang. Salinitas minimum (<34,6psu) juga didapatkan di laut dalam pada kedalaman >465m dan diduga sampai dasar. Distribusi salinitas vertikal antara St.1 sampai 11 didapatkan bahwa core salinitas maksimum di St.1 (<34,9psu) dengan ketebalan ~120m dan makin ke arah selatan (St.11) core salinitasnya makin berkurang (>34,8psu) dengan ketebalan <70m. Sedangkan salinitas minimum (<34,6psu) didapatkan pada kedalaman >440m dan diduga sampai dasar.
Distribusi tegak salinitas antara St.2 sampai 12 didapatkan bahwa core salinitas (>34,9 psu) di St.2 dengan ketebalan ~ 60m dan makin ke arah selatan nilai salinitasnya makin berkurang atau mengecil (>34,7) yaitu antara St.8 s.d (di Laut Seram) dengan ketebalan ~60m. Sedangkan salinitas minimum di laut dalam didapatkan pada kedalaman ~ 460m (St.2) dan makin ke arah selatan (dangkal sampai kedalaman ~360m). Distribusi tegak salinitas antara
St.11 sampai 14 (di Laut Seram) bahwa core salinitas (>34,8 psu) didapatkan pada kedalaman 200m dengan ketebalan ~ 65m. Core salinitas makin ke arah timur didapatkan nilai salinitasnya makin berkurang dan sampai di St.14 (>34,6psu) dengan ketebalan <20m. Salinitas <34,6psu didapatkan di laut dalam di St.11 dikedalaman ~ 400m dan makin ke arah timur salinitas (<34,6psu) didapatkan di kedalaman ~ 240m (makin dangkal atau naik).
Distribusi salinitas vertikal antara St.1 sampai 30 yaitu dari Selat Hamahera, Laut Seram dan Laut Banda bahwa salinitas di bagian lapisan permukaan antara St.1 sampai St.13 didapatkan salinitas lebih besar (>34 psu) dibandingkan salinitas di bagian permukaan ke arah selatan Laut Banda (<34psu). Inti salinitas di St.1 adalah sama seperti pembahasan di atas, didapatkan bahwa salinitas makin ke arah selatan core salinitas Selat Halmahera sudah tidak muncul lagi. Core salinitas >34,6 psu masih muncul di St.15 pada kedalaman 200m. Ini artinya bahwa salinitas maksimum tersebut tidak mengalir secara kuat ke arah timur ke arah Laut Banda. Karena di St.24 sampai 27 dan 30 nilai salinitas >34,6psu sudah tidak muncul lagi, sehingga yang disebut lapisan minimum salinitas (<34,6 psu) di lapisan dalam sudah tidak terstatifikasi lagi (Gambar 5).
Hadikusumah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 99
Latitude, S
-1000
-800
-600
-400
-200
0
de
pth
(m
)
158131518212427
-4.5 -4.0 -3.5 -3.0 -2.5 -2.0 -1.5
>
St_30
Salinity (psu)
Gambar 5. Distribusi tegak salinitas antara St.1 sampai 30 dari Laut Halmahera, Laut
Seram dan Laut Banda.
Distribusi tegak salinitas antara St.4 sampai 28 bahwa salinitas perairan dangkal di lapisan permukaan (mixed layer depth) bagian timur Pulau Misol didapatkan salinitas (>34 psu) yaitu antara St.4 sampai St.14. Sedangkan salinitas makin ke arah selatan, salinitas makin berkurang (<34psu). Demikian juga bahwa core salinitas (>34,6psu) masih muncul didapatkan di St.15 pada
kedalaman ~ 200m. Ini menandakan bahwa salinitas (>34,6psu) masih menyebar ke arah timur, meskipun core salinitas tersebut sudah berkurang 0,3psu dari St.1. Demikian salinitas <34,6psu didapatkan salinitas minimum di kedalaman laut dalam sudah tidak terstatifikasi lagi, sama seperti pada distribusi tegak salinitas antara St.1 sampai St.30 (Gambar 6).
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
100 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Latitude, S
-1000
-800
-600
-400
-200
0
De
pth
(m
)
4710141517192225
-4.5 -4.0 -3.5 -3.0 -2.5 -2.0
Salinity (psu)
St_28
Gambar 6. Distribusi tegak salinitas antara St.4 sampai 28 di Laut Seram sampai Laut Banda
Distribusi tegak salinitas Line 08
bahwa inti salinitas maksimum >35,3psu didapatkan pada kedalaman rata-rata 110m (~100 – 175m) antara St.23 sampai St.27. Salinitas maksimum tersebut berada dibagian mulut Laut Halmahera antara Pulau Halmahera dan Pulau Papua, dan makin ke arah utara nilai salinitas makin berkurang. Salinitas >35,2psu, posisi penyebarannya bergerak naik ke arah permukaan antara kedalaman 90m s.d 100m (St.23 sampai St.19) yang disebut masa air South Pacific Subtropical Water (SPSW). Salinitas 35,1psu didapatkan di St.27 berada antara kedalaman 90m s.d 220m dan makin ke arah utara ketebalan lapisan salinitas makin menipis (80m sampai 100m) di St.13. Salinitas 35,0psu
didapatkan di St.27 terletak antara kedalaman 90m s.d 225m. Gradasi sebaran salinitas 35,0 didapatkan makin ke arah utara ketebalan lapisan salinitas makin menipis (100m s.d 200m) atau disebut masa air North Pacific Subtrophical Water (NPSW).
Inti salinitas minimum <34,5psu didapatkan rata-rata pada kedalaman 360m antara St.23 sampai St.13 (5°N). Di bagian selatan antara St.27 s.d 24 inti salinitas minimum <34,5psu tidal muncul lagi. Inti salinitas <34,6psu didapatkan pada lapisan atas yaitu antara kedalaman ~520m (St.27) dan ~250m (St.25 sampai St.13), dan pada lapisan bawah rata-rata pada kedalaman ~1500m (antara suhu 3°C s.d 8°C). Masa air bersalinitas rendah di lapisan bawah tersebut disebut
Hadikusumah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 101
dengan masa air North Pacific Intermediate Water (NPIW). Selanjutnya makin kebawah didapatkan salinitas >34,6psu dengan suhu <3°C s.d <1°C.
Distribusi tegak salinitas Line 09 bahwa inti salinitas maksimum lebih besar 35,5psu didapatkan antara kedalaman 150m s.d 180m antara St.105 s.d St.103. Salinitas >35,3psu didapatkan antara kedalaman 125m s.d 140m antara St.105 s.d St.92 dan salinitas >35,0psu didapatkan antara kedalaman 60m s.d 300m (St.105), dan makin ke arah utara ketebalan sebaran salinitas makin menipis antara kedalaman 95m s.d 140m (St.79), makin ke arah utara lagi (St.76) nilai salinitas didapatkan makin mengecil (>34,8psu). Nilai salinitas 34,6psu didapatkan antara kedalaman 70m s.d 520m (St.105), dan makin ke arah utara ketebalan lapisan salinitas 34,6psu makin menipis dari kedalaman ~140 m s.d 75m (St.76). Sedangkan inti salinitas <35,5psu secara ruang baik memanjang maupun vertikal di Line 08 pada kedalaman yang sama tidak muncul lagi. Sedangkan salinitas <34,6psu didapatkan antara kedalaman ~500m s.d 1500m dan makin ke arah utara lapisannya makin menebal antara ~150m s.d 1500m (St.76). Masa air bersalinitas demikian disebut dengan massa air South Pacific Intermediate Water (SPIW). Massa air SPSW dan SPIW di Selat Damper, Raja Empat sudah didapatkan oleh Hadikusumah (2009).
Penampang tegak salinitas Line 09 di utara Papua dapat disimpulkan bahwa inti salinitas (>35,5psu) yang paling tinggi berada di pantai utara Papua, dan makin ke arah utara (5°N), inti salinitas >35,5psu makin berkurang atau menurun. Ketebalan lapisan salinitas (>35psu) di bagian selatan (St.105) sampai mencapai 240m dan dibagian utara (5°N) didapatkan hanya 45m (St.79). Salinitas maksimum demikian disebut dengan
massa air South Pacific Subtropical Water (SPSW) dari Samudera Hindia.
Penampang tegak salinitas di Laut Flores antara St.1 sampai St.7 dapat disimpulkan bahwa inti salinitas (34,551psu) adalah massa air yang sudah terencerkan oleh masa air Laut Jawa, dibandingkan dengan salinitas maksimum Selat Makassar (34,862psu) disebut dengan masa air North Pacific Subtrophical Water (NPSW). Salinitas minimum (<34,5) pada kedalaman ~400m yang mempunyai pola kedalaman yang sama dengan salinitas minimum laut dalam Selat Makassar disebut dengan masa air North Pacific Intermediate Water (NPIW) (Gambar 7) seperti diuraikan oleh Hadikusumah (2008).
3.3. Diagram T-S
Dalam membahas TS-diagram sekaligus dibandingkan dengan data ARMIX 93 dan WOCE, didapatkan ada enam jenis masa air yaitu: (1). Jenis masa air campuran antara Laut Banda dan Laut Seram yaitu antara sigma-t <21 s.d <22 pada lapisan antara permukaan sampai kedalaman <100m dengan suhu antara 29,24 °C s.d 28,56 °C dan salinitas antara 33,068 psu a/d 33,942 psu disebut masa air lokal Laut Banda dan Seram (BSW); (2). Jenis masa air campuran antara Selat Halmahera dan perairan Misol dengan sigma-t >21 s.d 23 yaitu dari permukaan s.d <100m, dengan suhu antara 29,26 s.d 27,00 °C dan salinitas antara 33,901 s.d 34,213psu; (3). Jenis massa air Laut Banda antara sigma-t 25 – 26, dengan suhu antara 17,47 s.d 13,10°C dan salinitas antara 34,512 s.d 34,512psu antara kedalaman <200 m s.d 400m; (4). Jenis masa air South Pacific Subtropical Water (SPSW) merupakan masa air Laut Halmahera bagian selatan, Laut Seram antara salinitas 34,987 s.d 34,721psu dalam sigma-t ~25 s.d ~26 dengan suhu 16,04 s.d 15,95°C pada rata-rata
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
102 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
kedalaman 200m; merupakan massa air Laut Banda bagian Seram timur pada salinitas 34,663 psu dalam sigma-t ~26 dengan suhu 14,96°C (Gambar 8),
merupakan massa air yang mengalir diantara Pulau Halmahera dan Pulau Obi dan Laut Seram tengan (ARMIX 93).
Latitude, S
-500
-400
-300
-200
-100
0
Dep
th (
m)
< 34.5
>34.54
>34.5
-8.1 -8.0 -7.9 -7.8 -7.7 -7.6 -7.5 -7.4 -7.3
Salinity (psu)
< 33.3
>34.54
>34.54
St.1 2 3 4 5 6 7
120 120.5 121 121.5 122Longitude, E
-9
-8.5
-8
-7.5
-7
-6.5
-6
Latit
ude,
S
1234567
8
FLORES
FLORES SEA
Gambar 7. Distribusi tegak salinitas di Laut Flores, bulan Mei 2005
Hadikusumah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 103
127 128 129 130 131 132Longitude, E
-5
-4
-3
-2
-1
0L
atitu
de, S
373839 PAPUA
SERAM
MISOL
WAIGEO
OBI
Halmahera Sea
Seram Sea
Banda Sea
HALMAHERA
Gambar 8. Distribusi tegak salinitas antara St.37 sampai St.39 pada program ARMIX 93
Salinitas 34,744psu s.d 34,688psu antara sigma-t ~25 s.d ~26 dengan suhu 15,15°C s.d 17,02 °C, merupakan massa air bagian utara Laut Halmahera sampai bagain utara (Line08) dengan salinitas antara 35,393 psu s.d 35,057 psu antara sigma-t ~22 - ~25 dengan suhu antara 23,54 s.d 23,71°C merupakan massa air dibagian utara Pulau Papua antara sigma-t ~22 s.d ~26 dengan suhu antara 20,61°C s.d 20,76°C dan salinitas antara 35,459psu a/d 34,813psu; (5). Jenis massa air South Pacific Intermediate Water (SPIW) atau masa air dari Samudera Pasifik bagian selatan merupakan massa air Laut Halmahera dengan salinitas 34,538 psu dengan sigma-t ~ 27 dan suhu 6,45°C pada rata-rata kedalaman 750m, merupakan masa air antara Pulau Halmahera dan Laut
Seram bagian dibagian tengah (ARMIX 93) dengan salinitas antara 34,604 psu sampai 34,601 psu dalam sigma-t ~27 - <27,5 dan suhu 5,27 s.d 6,08°C, merupakan masa air utara Pulau Papua (Line 09) dengan salinitas antara 34,471psu s.d 34,633psu dalam sigma-t (27 s.d <72,5) antara suhu 8,27°C s.d 8,48°C pada rata-rata kedalaman 750m; (6). Jenis massa air Antartic Intermediate Water (AAIW) untuk massa air Laut Halmahera dan Seram antara salinitas 34,167psu – 34,614 psu dalam sigma-t ~27,5 s.d <28 antara suhu 3,48°C s.d 3,28°C pada kedalaman >1500m, masa air Laut Halmahera bagian utara dan utara Pulau Papua bersalinitas antara 34,673 s.d 34,675psu dalam sigma-t ~28 antara suhue 1,57°C s.d 1,58°C pada kedalaman ~ 3200m (Gambar 9).
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
104 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
T-S Diagram Misol, Seram dan Banda bulan Maret - April 2007
0
5
10
15
20
25
30
35
33 33,5 34 34,5 35 35,5Salinity (psu)
Tem
pera
ture
(°C
)
27
24
L.Band
SPIW
Sl. Halmahera, Misol, S
22
23
25
26
σ-t= 21
28
L. Banda, Seram
1000
500
200
100
50 m
SPSW
300
75 m
Gambar 9. Diagram T-S Laut Halmahera, Laut Seram (merah dan kuning) dan Laut Banda
(biru) pada program EWIN 2007
Massa air bersalinitas maksimum antara 34,51psu s.d 34,981psu didapatkan pada sigma-t (24 s.d <27), dengan suhu antara 21,77 s.d 15,94°C dan kedalaman antara 150m s.d <300m. Kondisi ini sesuai dengan hasil analisa (Wyrtki 1961; Fine et al., 1994) bahwa pada lapisan pycnocline (100 to 300m) ada lapisan salinitas maksimum dari South Pacific. Kondisi inipun sesuai dengan (Ffield et al., 1992) bahwa South Pacific Central Water (SPCW) melewati Halmahera Sea (HS) memesuki South Banda (BS) and Timor Seas (TS). Kondisi ini sesuai dengan hasil (Ilahude and Gordon 1996) bahwa air bersalinitas dari asal South Pacific telah diobservasi dibawah thermocline di Laut Seram dan bagian selatan Laut Maluku. Inti (core) salinitas 34,98 psu di St.1 makin ke arah timur sudah tidak didapatkan lagi, bahkan inti salinitas >34,6 psu hanya diketemukan di St.15 pada kedalaman 200m. Kondisi ini menggambarkan bahwa salinitas maksimum tersebut tidak mengalir secara
kuat ke arah timur ke arah Laut Banda. Karena di St.24 sampai St.27 dan St.30 nilai salinitas 34,6psu sudah tidak diketemukan lagi atau tidak muncul. Kemungkinan salinitas maksimum mengalir ke arah barat ke Selat Obi dan ke barat laut Laut Seram.
Arah transport salinitas maksimum tersebut adalah sesuai dengan (Liu, et al., 2005) bahwa air di atas South Pacific mengalir searah Halmahera eddy (HE) dan bergabung dengan arus ke arah timur dari Midanau Current (MC). Suatu jumlah yang kecil salinitas maksimum yang masuk Laut Seram dan Laut Banda dan kondisi demikian adalah sesuai dengan Ffiel et al. (2005). Hal ini pun sesuai dengan Gordon (2005) bahwa bersalinitas tinggi South Pacific Subtropical Water tidak menyebar kedalam lapisan thermocline di Laut Banda dari pintu gerbang Laut Halmahera. Setelah masuk perairan Indonesia bagian timur terjadi gradasi penurunan dari salinitas maksimum masa
Hadikusumah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 105
air South Pacific Subtropical Water (SPSW) pada rata-rata kedalaman ~200m karena ada vertical mixing (Ffield, et al., 2005) yaitu dimulai dari salinitas maksimum 35,459psu bagian pantai utara Pulau Papua, sampai di mulut Halmahera menjadi 35,394psu, sampai di Laut Halmahera bagian selatan menjadi 34,987psu , sampai di Halmahera bagian barat antara Pulau Halmahera dan Pulau Obi menjadi 34,744psu, sampai Laut Seram bagian tengah menjadi 34,721psu, sampai di Laut Banda menjadi 34,663 psu. Sedangkan North Pacific Subtropical Water (NPSW) pada rata-rata kedalaman ~150m yaitu di mulai dari salinitas 35,057psu di utara Halmahera, sampai di Selat Makassar menjadi 34,863psu, sampai di Laut Flores menjadi 34,567psu dan sampai di Selat Lombok menjadi 34,555psu.
Sebaliknya salinitas minimum massa air North Pacific Intermediate Water (NPIW) justru ada kenaikan setelah bercampur dengan massa air laut dalam perairan Indonesia, dimulai dari Laut Hamahera bagian utara salinitas minimum pada rata-rata kedalaman ~400m yaitu salinitas 34,395psu, sampai di Selat Makassar menjadi 34,481 psu (Anonimus, 2003 and 2004), sampai di Laut Flores menjadi 34.464 psu (Anonimus, 2005) dan sampai di Selat Lombok menjadi 34.464 psu (Instant, 2003). Demikian untuk salinitas minimum massa air South Pacific Intermediate Water (SPIW) rata-rata pada kedalaman ~750m, dimulai dari pantai utara Pulau Papua yaitu salinitas 34.537psu, sampai di mulut Laut Halmahera salinitas menjadi 34.534 psu dan Halmahera bagian selatan 34.538 psu, sampai di Selat Obi menjadi 34.604 psu dan Seram 34.535 psu, sampai di
Laut Banda Seram bagian timur menjadi 34.547 psu.
Penurunan salinitas maksimum masa air NPSW pada kedalaman ~120m s.d 160m yaitu dimulai dari pantai utara Pulau Papua yang bersalinitas 35.576 psu dan sampai di mulut Halmahera menjadi 35.394 psu. Selajutnya salinitas masimum tersebut masuk ke perairan Indonesia bagian timur di Laut Halmahera bagian selatan menjadi 34.987 psu, sampai di Halmahera bagian barat antara Pulau Halmahera dan Pulau Obi menjadi 34.744 psu, sampai Laut Seram bagian tengah menjadi 34.721 psu, sampai di Laut Banda menjadi 34.663 psu. Sedangkan salinitas maksimum masa air NPSW pada rata-rata kedalaman ~150 m yaitu di mulai dari salinitas maksimum 35.057 psu di utara Halmahera, sampai di Selat Makassar menjadi 34.863 psu, sampai di Laut Flores menjadi 34.567 psu dan sampai di Selat Lombok menjadi 34.555 psu.
Sebaliknya salinitas minimum massa air NPIW justru didapatkan kenaikan setelah bercampur dengan massa air laut dalam perairan Indonesia, dimulai dari Laut Hamahera bagian utara salinitas minimum pada rata-rata kedalaman ~400m yaitu salinitas 34,395psu, sampai di Selat Makassar menjadi 34,481psu, sampai di Laut Flores menjadi 34.464psu dan sampai di Selat Lombok menjadi 34,464psu. Demikian untuk salinitas minimum massa air SPIW rata-rata pada kedalaman ~750m, dimulai dari pantai utara Pulau Papua (34,537psu), sampai di mulut Laut Halmahera salinitas menjadi 34,534psu dan Halmahera bagian selatan 34,538psu, sampai di Selat Obi menjadi 34,604psu dan Seram 34,535 psu, sampai di Laut Banda Seram bagian timur menjadi 34,547psu (Gambar 10).
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
106 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
0
5
10
15
20
25
30
35
33 33.2 33.4 33.6 33.8 34 34.2 34.4 34.6 34.8 35 35.2 35.4 35.6 35.8 36Salinity (psu)
Tem
pera
ture
(°C
)
0
5
10
15
20
25
30
♦ Flores St_6▲ Flores St_8▲ Halmahera St_1● Seram St_8– Seram St_15♦ Banda St_21▲Banda St_30ж Armix St_37+ Armix St_38- Armix St_39■ Armix St_45▲Papua St_105♦ Halmahera St_27▲Halmahera St_14
50 m
100
150
200
300
500700
1000
4700
14
105
27
1
45
8
38
8
6
15
30
21Sigma_t = 21
22
23
24
25
26
27 28
SPSW
NPSW
SPSW
NPIW
SPIW
AAIW
BANDA
FLORES
HALMAHERASERAM
39
Seram - Banda Halmahera
Gambar 10. Diagram T-S bagian selatan Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda (2007),
Laut Floras (2005), Selat Obi (ARMIX 1993). Bagian utara Pulau Halmahera dan Pulau Papua pada Expedisi WOCE
IV. KESIMPULAN
Arus bagian permukaan dan bagian
dalam lebih dominan bergerak ke arah selatan sampai barat daya, ini menggambarkan bahwa arus tersebut adalah arus ARLINDO yaitu dari massa air Samudera Pasifik bagian selatan melalui Laut Halmahera.
Kedalaman lapisan permukaan perairan Halmahera, Seram dan Banda didapatkan berkisar antara 18m s.d 74m. Kedalaman lapisan batas atas termoklin berkisar antara 25m s.d 96m dengan rata-rata 70m, sedangkan kedalaman termoklin batas bawah berkisar antara 75m - 267m dengan rata-rata kedalaman 180m.
Suhu di lapisan permukaan (mixed layer) di Laut Halmahera didapatkan lebih tinggi dibandingkan suhu Laut Seram dan Laut Banda, demikian pula di lapisan termoklin pada kedalaman antara
225m – 385m. Pada kedalaman antara 545m s.d 612m didapatkan mempunyai nilai salinitas maksimum. Perairan yang diobservasi ternyata didapatkan ada dua massa air yang berbeda dari permukaan sampai kedalaman ~700m, yaitu masa air besalintas rendah di Laut Banda dekat dengan Seram bagian timur dan salinitas tinggi di Selat Halmahera sampai Laut Seram di bagian barat. Massa air bersalinitas maksimum (34,988psu) antara densitas <25 s.d >26 didapatkan pada kedalaman 236m terdapat pada lapisan termoklin, dan mengecil ke arah barat dan timur Laut Seram sampai Laut Banda.
Hasil analisa diagram T-S didapatkan ada enam jenis masa air yaitu massa air Selat Halmahera dan perairan Misol (HMW); massa air Laut Seram dan Laut Banda (SBW); masa air Laut Banda (BW); masa air South Pacific Subtropical Water (SPSW); massa air South Pacific
Hadikusumah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 107
Intermediate Water (SPIW); massa air Antartic Intermediate Water (AAIW).
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada rekan peneliti dan awak kapal KR. Baruna Jaya VII. Penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi yaitu kepada mereka, Prof Dr Lukman Hakim, sebagai Ketua LIPI, Dr Herry Harjono, sebagai Deputi Bidang IPK - LIPI, Dr Suharsono sebagai Ketua Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI untuk saran dan dukungan kebijakan penerapan program. Terima kasih dan penghargaan kepada Fredy Letemia sebagai Koordinator Program EWIN di Ambon.
DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2003. Laporan akhir studi
dinamika Selat Makassar serta interaksinya dengan daratan PULAU Kalimantan dan PULAU Sulawesi. Program kompetitif Kalimantan Timur dan Bangka – Belitung – LIPI. 105 hal.
Anonimus. 2004. Laporan akhir studi dinamika Selat Makassar serta interaksinya dengan daratan PULAU Kalimantan dan PULAU Sulawesi. Program kompetitif Kalimantan Timur dan Bangka – Belitung - LIPI. 146 hal.
Anonimus. 2005. Laporan akhir Penelitian Arlindo dan Efeknya pada Stratifikasi Massa Air Laut Flores dan Sekitarnya. P2O - LIPI. 36 hal.
Birowo. 1990. Introduced the scientific knowledge of circulation in Indonesia Seas. In. Intergovernmental Oceanographic Commission Workshop Report No. 72.
Ffield, A. 1994. Tidal mixing in Indonesian Seas. Paper presented at International Scientific Symp. of the IOC-WESTPAC, Intergov. Oceanogr. Comm. Bali. Indonesia.
Ffield, A. and A.L. Gordon, 1992. Vertical mixing in the Indonesian thermocline, J. Phys. Oceanogr., 22:184-195.
Ffield, A. and R. Robertson. 2005. Indonesian seas fine structure variability. Oceanography., 18(4):108–111.
Fine, R.A., R. Lukas, F.Bingham, M. Warner, and R. Gammon. The western equatorial Pacific: A water masses crossroads, J. Geophys. Res., 99:25,063-25,080
Gordon, A.L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their trough flow. Oceanography, 18(4):14–27.
Hadikusumah. 2008. Masa Air Subtropikal dan Intermediate Melalui Selat Makassar. J. Segara, 4(2):111-120
Hadikusumah. 2009. The Circulation of Raja Ampat Waters – Papua with Pacific intrusion to the East Indonesian Waters. Jurnal Ichthyos, 8(1):27-34.
Ilahude, A.G. and A.L. Gordon. 1996. Thermocline Stratification Within the Indonesian seas. Journal of Geophysical Research, 101(C5):12,401–12,409.
Liu Hailong, Li Wei, Yu Yongqiang, and Zhang Xuehong. 2005: Climatology and variability of the Indonesian throughflow in an Eddy-permitting Oceanic GCM, Adv. Atmos. Sci., 22(4):496-508.
Tomczak, M. and J. S. Godfrey. 1994. Regional Oceanography: An Introduction. Pergamon.
Wyrtki, K. 1956. The subtropical lower water between the Philippines and New Guinea. Mar. Res. Indonesia, 1:21-45.
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
108 http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian Waters. Scientific results of Marine investigations of the South China Sea and the Gulf of Thailand 1959-1961. The University of California, Scripps Institution of Oceanography La Jolla, California: 195 pp.
Wyrtki, K. 1962. Physical oceanography of the Southeast Asian waters, Naga Report, Vol.2. Scripps Institution of Oceanography, California:195 pp.
Yuji, K., M., Aoyoma, T., Kawano, N. Hendiarti, Syaefudin, Y., Anantasena, K. Muneyama, and H., Watanabe. 1996. The water masses between Mindanao and New Guinea. J. Geophys. Res., 101(C5):12,391-12,400.
109
Pedoman Penulisan Naskah Artikel
1. Ketentuan Umum
Artikel merupakan hasil penelitian atau sanggahan (note) ilmiah bidang ilmu dan teknologi kelautan tropis dan belum pernah dimuat maupun dalam proses pengajuan dalam publikasi ilmiah lain. Artikel yang diusulkan dapat berasal dari bidang ilmu dan teknologi kelautan tropis sebagai berikut: biologi laut, ekologi laut, biologi oseanografi, kimia oseanografi, fisika oseanografi, geologi oseanografi, dinamika oseanografi, coral reef ecology, akustik kelautan, remote sensing kelautan, sistem informasi geografis kelautan, mikrobiologi kelautan, pencemaran laut, akuakultur kelautan, teknologi hasil perikanan, bioteknologi kelautan, air-sea interaction, dan ocean engineering.
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris diketik dengan MS-
Word, font Times New Roman ukuran 12 pada kertas kuarto atau A4 termasuk Gambar
dan Tabel dengan margin top and bottom 3 cm serta left and right 3cm. Untuk artikel
dalam bahasa Indonesia, tulisan dilengkapi dengan abstract (bahasa Inggris) dan abstrak
(bahasa Indonesia). Sedangkan artikel dalam bahasa Inggris, tulisan hanya menyertakan
abstract (bahasa Inggris).
Semua komunikasi dengan penerbit dilakukan secara electronic (email). Naskal
artikel harap dikirim ke Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
dengan email address: simson_naban@yahoo.com. Semua naskah yang masuk akan
mendapat balasan penerimaan. Hasil review dari reviewers (mitra bebestari) juga akan
dikirim via email.
2. Sistematika Susunan Artikel
2.1. Sistematika susunan artikel hasil penelitian umumnya sebagai berikut:
Judul (sesingkat mungkin) dan disertai dengan terjemahan dalam bahasa Inggris yang
diketik secara miring (italic).
Nama Penulis, nama dan alamat instansi, dan e-mail corresponding author.
Abstract dalam Bahasa Inggris (memuat sedikit latar belakang, tujuan, metode,
dan hasil penelitian serta tidak lebih dari 250 kata. Semua ditulis dalam Bahasa
Inggris dengan cetak miring)
Artikel dalam bahasa Indonesia (memuat sedikit latar belakang, tujuan, metode, dan
hasil penelitian serta tidak lebih dari 250 kata).
Keywords maximum 8 words (English)
Kata kunci maksimal 8 kata (Bahasa Indonesia)
Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang, masalah, rumusan
masalah, rangkuman kajian teoretik, ulasan ilmiah terkait judul berdasarkan rujukan
(pustaka) terkini, dan tujuan penelitian). Dalam pendahuluan ini juga disajikan
pertanyaan ilmiah (scientific question) yang akan dijawab dalam penelitian tersebut.
Metode Penelitian (ditulis dengan jelas waktu, lokasi, bahan, dan analisis data
penelitian sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi percobaan yang
110
terkait). Bagian ini dapat dibuat dalam beberapa sub-bab.
Hasil dan Pembahasan (sajikan hasil terlebih dahulu kemudian diikuti dengan penjelasan
atau pembahasan. Pembahasan harus menggunakan rujukan atau dibandingkan (diulas)
dengan rujukan (pustaka) terkini).
Kesimpulan dan Saran (ditulis dalam bentuk essay (paragraph) secara ringkas dan jelas dan harus bisa menjawab (menjelaskan) judul, tujuan, dan hasil penelitian).
Ucapan Terima Kasih (ditulis dengan jelas dan ringkas kepada siapa ucapan terima kasih itu diberikan. Penelitian yang dibiayai DIPA, hibah, atau sejenisnya agar mencantumkan nomor kontraknya).
Daftar Pustaka (lihat ketentuan berikutnya)
Lampiran (jika ada)
2.2. Sistematika susunan sanggahan (note) ilmiah umumnya adalah
sebagai berikut:
Judul (sesingkat mungkin) dan disertai dengan terjemahan berbahasa Inggris yang
ditulis dalam bentuk miring (italic).
Nama penulis, nama dan alamat instansi, dan e-mail address corresponding author.
Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat pengantar topik utama diakhiri dengan
rumusan tentang hal-hal pokok yang akan dibahas)
Pembahasan diikuti dengan Subjudul sesuai kebutuhan
Kesimpulan (bila perlu)
Daftar Pustaka
Lampiran (jika ada)
3. Teknik Penulisan
3.1. Judul
Judul ditulis dengan huruf kapital, dicetak tebal, di tengah (center), font Times
New Roman 12, hitam. Di bawah judul naskah dalam bahasa Indonesia, diberikan
terjemahan judul dalam bahasa Inggris dengan huruf miring (italic). Contoh:
STUDI INTERAKSI PADA HUMIN UNTUK ADSORPSI Mg (II) DAN Cd (II)
DALAM MEDIUM AIR LAUT
STUDY OF INTERACTION ON HUMIN FOR Mg (II) AND Cd (II) IN THE SEA WATER MEDIUM
3.2. Nama Penulis
Nama penulis ditulis tanpa gelar dengan huruf kapital pada awal nama, dicetak tebal, di tengah, font Times New Roman 12, hitam. Dilengkapi dengan nama
dan alamat instansi dan e-mail untuk corresponding author dengan font Times New
Roman 12, hitam dengan spasi 1. Contoh:
111
Tuti Wahyuni
Pusat Riset Teknologi Kelautan-BRKP-DKP
e-mail: tuti@dkp.go.id
Jika artikel ditulis lebih dari satu orang dan alamat instansinya berbeda maka disetiap nama penulis diikuti dengan nomor yang ditulis secara superscript
Email address yang dicantumkan hanya utk corresponding author saja.
Contoh 1:
Tuti Wahyuni1 dan Dendy Mahabror
2
1 Pusat Riset Teknologi Kelautan-BRKP-DKP
e-mail: tuti@dkp.go.id 2 Balai Riset Observasi dan Kelautan-BRKP-DKP
Contoh 2:
Tuti Wahyuni1, Dendy Mahabror
2, dan Rani Ulawi
3
1 Pusat Riset Teknologi Kelautan-BRKP-DKP
e-mail: tuti@dkp.go.id 2 Balai Riset Observasi dan Kelautan-BRKP-DKP
3Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
3.3. Abstrak Berbahasa Inggris dan Keywords
Tulisan “Abstract” ditulis dengan huruf kapital, tengah (center) dicetak tebal-
miring (italic), font Times New Roman 12, hitam, spasi 1. Isinya tidak dicetak tebal.
Penulisan rata kiri dan kanan, tanpa alinea (abstract keseluruhan merupakan satu alinea).
Tulisan “Keywords” ditulis dengan huruf kapital di awal kata, dicetak tebal, font
Times New Roman 12, hitam, diberi titik dua, selanjutnya tidak dicetak tebal. Penulisannya
rata kiri.
Contoh:
ABSTRACT
A study of interaction on humin for Mg(II) and Cd(II) in the sea water medium was
investigated... ... and so on.
Keywords: Adsorption, Humin, Magnesium, Cadmium
3.4. Abstrak Berbahasa Indonesia dan Kata Kunci
Tulisan “Abstrak” ditulis dengan huruf kapital, tengah (center) dicetak tebal, font
Times New Roman 12, hitam, spasi 1. Isinya tidak dicetak tebal. Penulisan rata kiri dan
kanan, tanpa alinea (abstrak keseluruhan merupakan satu alinea).
Tulisan “Kata kunci” ditulis dengan huruf kapital di awal kata, dicetak
tebal, font Times New Roman 12, hitam, diberi titikdua, selanjutnya tidak dicetak tebal.
Penulisannya rata kiri.
Contoh:
112
ABSTRAK
Penelitian tentang studi interkasi pada humin untuk absorpsi Mg(II) dan Cd(II) dalam
medium air laut .... dan seterusnya.
Kata kunci: Adsorpsi, Humin, Magnesium, Kadmium
3.6. Bab (Chapter) dan Sub-Bab (Sub-Chapter)
Bab (Chapter) ditulis dengan urutan angka romawi, huruf kapital, dicetak tebal,
rata tepi kiri, font Times New Roman 12, hitam sedangkan sub-bab (sub-chapter) ditulis
dengan urutan angka biasa, huruf kapital di awal kata, dicetak tebal, rata tepi kiri, font
Times New Roman 12, hitam. Apabila di bagian sub-bab masih ada subnya lagi, maka
penulisannya diberi nomor paralel dengan sub-bab sebelumnya diikuti titik, judul
dengan huruf kapital di awal kata, cetak tebal, rata tepi kiri, font Times New Roman 12,
hitam.
Contohnya berikut ini:
---------------------------------------------------------------
I. PENDAHULUAN
II. METODE PENELITIAN
2.1. Waktu dan Tempat Penelitian
2.2. Bahan dan Data
2.3. Analisis Data
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
3.1.1. Suhu Permukaan
3.1.2. Konsentrasi Klorofil-a
3.2. Pembahasan
IV. KESIMPULAN
-----------------------------------------------------------------
3.8. Catatan Kaki (Footnote)
Catatan kaki diberi simbol angka setelah frase/istilah(1) yang akan diterangkan.
Catatan kaki yang merupakan keterangan kata/frase ditulis dengan font Times New Roman
8, hitam.
3.9. Tabel
Judul tabel diletakkan di atas tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf kapital di
awal kata, diletakkan di tengah (center), font Times New Roman 12. Tabel diberi
nomor, diikuti titik, kemudian judul tabel (misalnya Tabel 1. Judul…, Tabel 2.
Judul…). Jarak peletakan table dari kalimat diatasnya sebanyak 2 spasi dan jarak tabel ke
kalimat baru dibawahnya sebanyak 2 spasi. Jarak dari judul tabel terhadap tabel itu sendiri
sebanyak 1 spasi. Kalau ada catatan kaki untuk tabel tersebut maka jaraknya dari table
ádalah 1 spasi. Bila lebih dari satu baris menggunakan spasi 1.
Contoh:
113
Tabel 1. Kandungan Humin dan Asam Humat Hasil Isolasi Tanah Gambut
ctional Group Content (cmole/kg)
Humin (1)
Humin (2)
Total Acidity 677 543
-COOH 115 199
-OH Phenolic 562 344
1= Isolated Peat Soil from Siantan Hulu, West Kalimantan.
2= Isolated Peat Soil from Siantan Hulu, West Kalimantan (Saleh, 2004)
3.10. Gambar
Gambar dapat berupa diagram, grafik, peta, foto (yang mengemukakan data) dan
lain-lain. Judul gambar diletakkan di bawah gambar, ditulis dengan huruf kapital di
awal kata, diletakkan di tengah (center), font Times New Roman 12. Jarak dari judul
gambar terhadap gambar itu sendiri sebanyak 1 spasi. Kalau ada catatan kaki untuk gambar
tersebut maka jaraknya dari table ádalah 1 spasi. Gambar diberi nomor diikuti titik,
kemudian judul gambar (misal Gambar 1. Judul..., Gambar 2. Judul ...). Bila judul lebih
dari dua baris menggunakan spasi 1.
Contoh penulisan sebagai berikut:
Gambar 1. Dermaga Tetap
3.11. Rujukan dan Daftar Pustaka
Teknik penulisan rujukan dalam teks dan daftar pustaka, menggunakan gaya
yang umum dipakai dalam pedoman penulisan ilmiah khususnya dalam International
Journal. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk dalam teks saja.
Sebaliknya, referensi yang dirujuk dalam teks harus dicantumkan dalam daftar pustaka.
Daftar pustaka diurutkan secara alfabetis, menggunakan font Times New Roman 12,
hitam. Bilamana referensinya lebih dari satu maka diurutkan berdasarkan tahun terbit
yang paling baru. Cara menuliskan sumber pustaka (rujukan) adalah sebagai berikut.
Menulis Rujukan dalam Teks
Untuk penulisan rujukan, tulis nama keluarga dari pengarang diikuti koma atau titik
dan tahun terbit artikel/paper/laporan/prosiding/dll. Untuk pengarang lebih dari 2
orang dituliskan dengan menggunakan “et al.” (ditulis miring). Penulisan “dan” atau ”and” sebelum nama terakhir ditulis sesuai dengan judul tulisan
tersebut yaitu ”dan” untuk Indonesia dan ”and” untuk Inggris.
Contoh:
Anastasi (1997) menyatakan ..... atau .....(Anastasi, 1997).
Kiswara dan Winardi (1994) menyimpulkan ..... atau ..... (Kiswara dan Winardi,
1994).
114
Berk and Romly (1984) meneliti .... atau ...... (Berk and Romly, 1984).
Ali et al. (2008) menjelaskan....atau...... (Ali et al., 2008).
Menulis Daftar Pustaka
Tulis nama keluarga diikuti koma, satu spasi jarak, singkatan nama pertama atau
kedua (bila ada) diikuti titik, dua spasi jarak, tahun terbit diikuti dengan titik, dua
spasi jarak, Judul artikel/paper, nama jurnal (ditulis dengan miring) diikuti titik,
volume(edisi), titik dua, nomor halaman paper/artikel dalam jurnal.
Bila lebih dari satu baris, maka baris selanjutnya masuk dengan 9 ketukan (1,25 cm
hanging left).
Contoh:
Kiswara, W. dan L. Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk
Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. Jurnal Teknologi Kelautan
Nasional: 3(1):23-36.
Mardi, L.M., T.M. Nathan, R.A. Raman, and W.L. Joran. 2008. Fish stock
assessment in Java Sea. J. Marine Science, 3(2):123-145.
Buku dengan seorang penulis atau lebih
Anastasi, A. 1997. Psychological Testing. 4
th ed. MacMillan Press. New York. 234p.
Berk, R.A., B.A. Romly, and N.N. Siogu. 1984. A Guide Criterion Referenced Test Construction. The John Hopkins University Press. Baltimore. 389p.
Artikel dalam sebuah buku/prosiding
Artikel yang terdapat dalam sebuah buku atau prosiding, ditulis dengan menulis
artikel itu terlebih dahulu lalu diikuti dengan buku atau prosiding tersebut.
Contoh:
Berk, R.A.1988. Selecting index or realibility. In: R.A. Berk (ed.), A Guide to
Criterion-Referenced Test Construction. The John Hopkins University Press.
Baltimore. 200-217pp.
Ramdi, N.S., B.K. Roland, and D. Torres. 2010. Variabilitas konsentrasi klorofil-a di
Laut Jawa. Dalam: Nababan et al. (ed.). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan
VI ISOI 2009, International Convention Center, Botani Square, Bogor, 16-17
November 2009. Hal.: 223-247.
Dua artikel dalam sebuah buku
Ditulis dengan cara seperti yang telah diuraikan, dengan tambahan huruf a, b, c, dan seterusnya, yang ditempatkan dibelakang tahun terbit.
Contoh:
Berk, R. A. 1984a. Selecting index or realibility. In: R.A. Berk (ed). A Guide to Criterion-Referenced Test Construction. The John Hopkins University Press. Baltimore, 234-345p.
115
Berk, R. A 1984b. Conducting the item analysis. In: R.A. Berk (ed). A Guide to
Criterion-Referenced Test Construction. The John Hopkins University Press.
Baltimore. 123-134p.
Terjemahan
Cara penulisannya sama dengan cara menulis pustaka lain, kecuali judul buku diganti dengan judul yang sudah diterjemahkan.
Di belakang judul tersebut dituliskan nama penerjemah, yang diawali dengan
nama kecilnya, yang di belakang dituliskan kata penterjemah.
Contoh:
Gagne, R.M., L.J. Briggs, and W.W. Wage. 1988. Prinsip-prinsip Desain Instruksional,
(3rd
Ed.). Soeparman, K. (penterjemah). Holt, Rineahart, and Winston press.
Chicago.
Artikel dari Internet
Artikel yang diambil dari internet (website) maka cara menulisakannya sebagai berikut: nama pengarang artikel, tahun terbitan, judul artikel, nama majalah/ artikel/jurnal/yang lain, alamat website, tanggal akses.
Contoh:
Lynch, T. 1996. DS9 Trials and Tribble – Actions Review. From Psi Phi:Bradley’s
Science Fiction Club, http://www.bradley.edu/compusorg/psiphi/DS9/ep/SO3r.htm.
Retrieved on 23 March 2007.
Artikel pada surat kabar
Surat kabar atau artikel dalam surat kabar, pada umumnya dicantumkan dalam
daftar pustaka dengan menulis nama penulis, tahun terbit, judul artikel, nama
surat kabar dan tanggal terbit.
Contoh:
Nababan, B. 2009. Laut Bukan Lagi Penyerap Carbon. Antara, 12 Mei 2009.
Artikel yang tidak dipublikasikan
Skripsi, tesis, dan disertasi dapat digolongkan ke dalam materi yang tidak
dipublikasikan.
Contoh:
Nababan, B. 2005. Bio-optical Variability of Surface Waters in the Northeastern Gulf
of Mexico. Dissertation. College of Marine Science. University of South
Florida. 158p.
Buku/Laporan Hasil Penelitian Tanpa Pengarang
Buku atau laporan hasil penelitian yang merupakan hasil penelitian dari institusi
atau lembaga ditulis dengan menyebutkan nama institusi atau lembaga yang
menerbitkan buku atau laporan hasil penelitian tersebut, diikuti tahun penerbitan, judul
buku, penerbit (institusi penerbit), dan diikuti jumlah halaman.
116
Contoh:
Kementerian Pendidikan Nasional. 1985. Kurikulum Sekolah Menegah Pertama (SMP).
Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta. 219hal.
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI). 2008.
Prospek Perikanan Indonesia. P2O-LIPI, Jakarta. 234hal.
Recommended