View
5
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN WAHBAH AZ-ZUHAILI
TENTANG ASURANSI
SKRIPSI
Oleh :
WIWIN INDARTI
NIM. 210213010
Pembimbing
Dr. MIFTAHUL HUDA, M.Ag.
NIP. 197605172002121002
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2018
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN WAHBAH AZ-ZUHAILI
TENTANG ASURANSI
S K R I P S I
Diajukan untuk melengkapi sebagian syarat-syarat guna memperoleh
gelar sarjana program Strata Satu (S-1) pada Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo
Oleh:
WIWIN INDARTI
NIM. 210213010
Pembimbing:
Dr. MIFTAHUL HUDA, M.Ag.
NIP. 197605172002121002
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2018
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi atas nama saudara:
Nama : Wiwin Indarti
NIM : 210213010
Jurusan : Muamalah
Judul : Analisis Terhadap Pemikiran Wahbah az-Zuhaili Tentang
Asuransi
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji dalam ujian munaqosah.
Ponorogo, 8 Juni 2018
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Jurusan Pembimbing
Atik Abidah, M.S.I. Dr. Miftahul Huda, M.Ag.
NIP.197605082000032001 NIP.197605172002121002
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PONOROGO
PENGESAHAN
Skripsi atas nama saudara:
Nama : Wiwin Indarti
NIM : 210213010
Jurusan : Muamalah
Judul : Analisis Terhadap Pemikiran Wahbah az-Zuhaili
Tentang Asuransi
Skripsi ini telah dipertahankan pada sidang Munaqosah Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Ponorogo pada:
Hari : Senin
Tanggal : 09 Juli 2018
Dan telah diterima sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Syari’ah pada:
Hari : Senin
Tanggal : 16 Juli 2018
Tim Penguji:
1. Ketua Sidang : Unun Roudlotul Janah, M.Ag. ( )
2. Penguji I : Iza Hanifuddin, Ph.D. ( )
3. Penguji II : Dr. Miftahul Huda, M.Ag. ( )
Ponorogo, 16 Juli 2018
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syari’ah
Dr. H. Moh. Munir, Lc, M.Ag.
NIP. 196807051999031001
PERSEMBAHAN
Dengan seuntai doa dan rasa syukur, kupersembahkan karya ini untuk:
1. Orang tuaku tercinta (Bapak Parjan dan Ibu Partini) yang selalu memberi
semangat, membimbing dan mengarahkan hidupku untuk menjadi insan
yang lebih baik. Beliau yang selalu mendo’akan setiap kaki ini
melangkang serta dengan restunya skripsi ini bisa terselesaikan dengan
baik.
2. Guru dan Dosenku yang telah memberikan warna baru dalam hidupku,
terimakasih atas ilmu yang telah engkau berikan, semoga ini menjadi bekal
dalam menggapai kesuksesanku di masa mendatang.
3. Kepada seluruh teman-teman seperjuanganku jurusan muamalah
khususnya kelas SM.A.
Untuk kita semua, semoga Allah SWT senantiasa memudahkan langkah kita
dalam perjuangan hidup, sukses dunia akhirat, amin ya robbal alamin.
MOTTO
ها يأ ين ٱ ي لذ لكم بينكم ب مو
أ كلوا
ل تأ ن ت لبطل ٱءامنوا
أ كون إلذ
نفسكم إنذ نكم ول تقتلوا أ ٱتجرة عن تراض م ٢٩كن بكم رحيما للذ
ومن لك عدونا وظلما فسوف نصليه نارا وكن ذ ٱلك عل يفعل ذ يسيرا للذ
٣٠
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak
dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka.
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”1 (Q.S. an-Nisa’ ayat 29-
30)
1al-Qur’an, 4:20-30.
ABSTRAK
Indarti, Wiwin, NIM 210213010, 2018, “Analisis Terhadap Pemikiran Wahbah
az-Zuhaili Tentang Asuransi”, Skripsi, Jurusan Muamalah, Fakultas
Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo.
Pembimbing: Dr. Miftahul Huda, M.Ag
Kata Kunci: Asuransi
Asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan bukan bank yang
bergerak dalam bidang pertanggungan merupakan institusi modern hasil temuan
dari dunia Barat yang lahir bersamaan dengan adanya semangat pencerahan
(renaissance). Asuransi adalah salah satu jenis transaksi baru yang tidak
dijelaskan secara terperinsi baik di dalam al-Qur’an, al-Hadits maupun dalam
fikih klasik. Di dalam praktiknya asuransi, mengandung beberapa unsur yang
dapat merugikan salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut, seperti
gharar, riba, maisir, dan jahalah. Asuransi dalam pandangan ajaran Islam
termasuk dalam masalah ijtihadiyah, sehingga para ulama cendekiwan berbeda
pendapat mengenai hukum asuransi. Berawal dari permasalahan di atas, peneliti
memfokuskan penelitian dengan rumusan masalah: 1). Apa yang
melatarbelakangi pemikiran Wahbah az-Zuhaili tentang penolakannya terhadap
asuransi bisnis? 2). Bagaimana implikasi pemikiran Wahbah az-Zuhaili tentang
penolakan asuransi bisnis terhadap perkembangan asuransi syariah di Indonesia?
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian pustaka
(library research), dimana peneliti meneliti sumber-sumber tertulis yang
memuat pemikiran Wahbah az-Zuhaili tentang asuransi. Adapun data-data yang
diambil berasal dari sumber data primer, yaitu kitab fiqh Isla>m wa Adillatuhu
dan sumber data sekunder dari literatur lain yang relevan dengan judul di atas.
Teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi. Analisis data
yang digunakan adalah analisis data deskriptif induktif dengan metode
pendekatan kualitatif.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah: 1). Yang melandasi pemikiran
Wahbah az-Zuhaili tentang pelarangan terhadap asuransi bisnis adalah surat al-
Baqarah ayat 275 tentang riba, surat al-Maidah ayat 90 tentang judi, hadits Nabi
s.a.w. yang melarang jual beli gharar, serta fatwa Ibn ‘Abidin tentang haramnya
asuransi laut. 2). Implikasi pemikiran Wahbah az-Zuhaili terhadap
perkembangan asuransi syariah di Indonesia adalah adanya akad tabarru’ serta
akad tija>rah dengan premi nonsaving dalam fatwa DSN-MUI tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tentang Ta’mi >n
dan I’adah Ta’mi >n tentang akad nontabungan. Hukum reasuransi sama dengan
hukum asuransi itu sendiri, asuransi kooperatif (at-ta’mi >n at-ta’awuni) bisa
melakukan transaksi asuransi dengan perusahaan asuransi kooperatif lainnya,
perusahaan asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada
perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq
dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul: “ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN WAHBAH
AZ-ZUHAILI TENTANG ASURANSI” ini disusun untuk memenuhi salah satu
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Jurusan Muamalah
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dr. Hj. Siti Maryam Yusuf, M.Ag, selaku Rektor IAIN Ponorogo.
2. Dr. H. Moh. Munir, Lc, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN
Ponorogo.
3. Atik Abidah, M.S.I, selaku Ketua Jurusan Muamalah IAIN Ponorogo.
4. Dr. Miftahul Huda, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Segenap Civitas Akademika IAIN Ponorogo yang telah banyak
mengajarkan ilmunya kepada penulis selama perkuliahan serta segenap
karyawan-karyawati IAIN Ponorogo.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan
para pembaca pada umumnya. Amin.
Ponorogo, 8 Juni 2018
WIWIN INDARTI
210213010
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini menggunakan
pedoman transliterasi berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah IAIN Ponorogo 2017 sebagai berikut:
Arab Indonesia Arab Indonesia
{d ض ` ء
t ط b ب
{z ظ t ت
‘ ع th ث
gh غ j ج
f ف {h ح
q ق kh خ
k ك d د
l ل dh ذ
m م r ر
n ن z ز
w ه s س
w و sh ش
y ي {s ص
2. Untuk menunjukkan bunyi hidup panjang caranya dengan menuliskan
coretan horizontal di atas huruf a >, i>, dan u>.
3. Bunyi hidup dobet (diftong) Arab ditransliterasikan dengan menggabungkan
dua huruf “ay” dan “aw”
Contoh :
Bayna, ‘layhim, mawdu>’ah
4. Kata yang ditransliterasikan dan kata-kata dalam bahasa asing yang belum
terserap menjadi bahasa baku Indonesia harus dicetak miring.
5. Bunyi huruf hidup akhir sebuah kata tidak dinyatakan dalam transliterasi.
Transliterasi hanya berlaku pada huruf konsonan akhir.
Contoh :
Ibn Taymi >yah bukan Ibnu Taymi >yah. Inna al-di>n `inda Alla>h al-Isla>m
bukan al-dina `inda Alla>hi al-Isla>mu. ….Fahuwa wajib bukan Fahuwa
wa>jibu dan bukan pula Fahuwa wa>jibun.
6. kata yang berakhir dengan ta>’ marbu>tah dan berkedudukan sebagai sifat
(na’at) dan ida>fah ditransliterasikan dengan “ah”. Sedangkan muda>f
ditransliterasikan dengan “at”.
Contoh :
a. Na’at dan Mud}a>f ilayh : Sunnah sayyi’ah, al-maktabah al-mis}riyah.
b. Mud}a>f : mat}ba’at al-‘a>mmah.
7. Kata yang berakhir dengan ya’ mushaddadah (ya’ bertashdid)
ditransliterasikan dengan i >. Jika i > diikuti dengan ta>’ marbu>tah maka
transliterasinya adalah i>yah. Jika ya’ bertashdid berada ditengah kata
ditransliterasikan dengan yy.
Contoh :
a. Al-Ghaza>li>, al-Nawa>wi>
b. Ibn Taymi>yah.Al-Jawzi>yah
c. Sayyid, mu’ayyid muqayyid
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .......................................................................... i
HALAMAN JUDUL .............................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………… . iv
PERSEMBAHAN .................................................................................. v
MOTTO ................................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................ x
DAFTAR ISI ................................................................................. ......... xii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................. ...... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................. 6
E. Kajian Pustaka ................................................................... 6
F. Metode Penelitian .............................................................. 10
G. Sistematika Pembahasan .................................................... 13
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI
A. Asuransi Konvensional ....................................................... 15
1. Pengertian Asuransi Konvensional .............................. 15
2. Dasar Hukum Asuransi Konvensional ......................... 17
3. Jenis-Jenis Asuransi Konvensional .............................. 17
4. Prinsip-Prinsip Dasar Asuransi Konvensional … ......... 20
B. Konsep Asuransi dalam Fikih Klasik ................................. 22
1. Taka>ful ......................................................................... 22
2. Ta’mi >n ........................................................................... 25
3. Tadhamun ...................................................................... 27
4. Kafa>lah ......................................................................... 28
C. Pendapat Ulama Tentang Asuransi……………………… 30
D. Asuransi Syariah di Indonesia ........................................... 32
1. Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia……………… . 32
2. Kelembagaan Asuransi Syariah di Indonesia…… ....... 34
3. Produk-Produk Asuransi Syariah di Indonesia……... .. 37
4. Mekanisme Operasional Asuransi Syariah
di Indonesia............................................................... .... 39
BAB III: ASURANSI MENURUT WAHBAH AZ-ZUHAILI DAN
LANDASAN ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA
A. Biografi Wahbah az-Zuhaili ............................................. 43
1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Wahbah
az-Zuhaili ..................................................................... 43
2. Karya-Karya Wahbah az-Zuhaili ................................. 45
3. Latar Belakang Pemikiran Wahbah az-Zuhaili
Tentang Asuransi…………………………………….. 47
B. Asuransi Menurut Wahbah az-Zuhaili .............................. 49
1. Hukum Melakukan Asuransi dengan Perusahaan
Asuransi dalam Islam ................................................... 49
2. Macam-Macam Asuransi ............................................. 50
3. Pandangan Fiqih Islam terhadap Asuransi ................... 52
4. Reasuransi atau Asuransi Berantai ............................... . 54
5. Landasan tentang Larangan Asuransi .......................... 54
C. Landasan Asuransi Syariah di Indonesia .......................... 57
1. Fatwa DSN-MUI Tentang Pedoman Umun Asuransi
Syariah .......................................................................... 57
2. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Tentang Ta’min . 59
BAB IV: ANALISIS
A. Analaisis Terhadap Apa yang Melandasi Pemikiran
Wahbah az-Zuhaili Tentang Ketidaksetujuannya
Terhadap Asuransi .............................................................. 68 69
B. Analisis Tentang Bagaimana Implikasi Pemikiran
Wahbah az-Zuhaili Tentang Penolakan Asuransi
Terhadap Perkembangan Asuransi Syariah di Indonesia ... 73
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................ 78
B. Saran ................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA
BIOGRAFI PENULIS
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era yang modern ini, transformasi budaya mengakibatkan perubahan
pola-pola perilaku manusia baik di bidang sosial maupun ekonomi. Di bidang
sosial telah bermunculan karakter individualisme yang sekarang ini tumbuh dan
merebak di masyarakat perkotaan. Di bidang ekonomi peralihan pola bertani
kepada industrialisasi yang mengakibakan perpindahan penduduk dari desa ke
perkotaan untuk mengadu nasib.
Adanya kemajuan teknologi membawa banyak perubahan pada tata
kehidupan manusia. Di samping manfaat yang telah kita rasakan sekarang ini,
juga tidak luput dari bahaya yang menyebabkan kekhawatiran dan
ketidakpastian terhadap keamanan seseorang. Untuk menghindari dan mencegah
kekhawatiran tersebut ada berbagai cara yang di lakukan seseorang baik untuk
melindungi diri maupun hartanya, salah satunya dengan mengasuransikan jiwa
maupun hartanya.
Asuransi yang dalam bahasa Belanda disebut “assurantie” yang terdiri
dari asal kata “assaradeur” yang berarti penanggung dan “geassureede” yang
berarti tertanggung. Dalam bahasa Inggris kata asuransi disebut “insurance”
2
yang berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi dan
“assurance” yang berarti menanggung sesuatu yang pasti.1
Adapun menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang
perasuransian: asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung
dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.2 Pengertian asuransi juga dapat
dilihat dalam pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian yang dengan perjanjian tersebut
penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung untuk memberikan
penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya karena suatu peristiwa
yang tidak tertentu.3
Dalam bahasa Arab asuransi disebut at ta’mi >n, penanggung, sedangkan
tertanggung disebut mu’amman lahu/musa’min. At ta‘mi>n di ambil dari kata
1 Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis Dan
Praktis (Jakarta: Kencana, 2010), 151. 2 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha
Perasuransian. 3 Heykal, Lembaga Keuangan Islam, 151-152.
3
a>mana memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas
dari rasa takut.4
Dari pengertian di atas jelas bahwa asuransi memberikan layanan berupa
jaminan kepada nasabah ketika mengalami kerugian. Akad di dalam asuransi
harus terbebas dari unsur gharar, perjudian, riba, penganiaaan, suap, barang
haram, dan maksiat. Akad antara perusahaan asuransi dan peserta harus jelas.
Apakah akad jual beli (aqd tabaduli) atau akad tolong-menolong (aqd taka>fuli)
atau akad lainnya.
Menurut DSN-MUI akad dalam asuransi terbagi menjadi dua, yaitu: akad
tija>rah dan akad tabarru’. Akad tija>rah adalah semua bentuk akad yang
dilakukan untuk tujuan komersial. Sedangkan akad tabarru’ adalah semua
bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong,
bukan semata untuk tujuan komersial. Yang di maksud akad tija>rah adalah akad
mudha>rabah, sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.5
Asuransi atau pertanggungan merupakan lembaga keuangan bukan bank
yang hingga saat ini masih menimbulkan pro dan kontra (debatable) di kalangan
para ahli hukum Islam. Hal ini lebih disebabkan karena di dalam al-Qur’an dan
4Muhammad Sakir Sula, Asuransi Syariah (Life And General) (Jakarta : Gema Insani,
2004), 28. 5Hijrah Saputra, dkk, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional MUI
(Jakarta: Erlangga, 2014), 503-504.
4
al-Hadits tidak ada satu pun ketentuan yang secara eksplisit mengatur tentang
asuransi.6
Dengan demikian asuransi dalam pandangan ajaran Islam termasuk dalam
masalah ijtihadiyah, artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin karena
tidak dijelaskan oleh al-Qur’an dan Sunah secara eksplisit. Para Imam mujtahid,
seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan
para mujtahid yang semasa dengannya tidak memberikan fatwa mengenai
asuransi, karena pada masanya asuransi belum dikenal.7 Ulama cendekiwan
berbeda pendapat mengenai hukum asuransi. Pertama: pendapat yang
mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya, termasuk asuransi
jiwa. Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq yang diungkap dalam kitab fiqh al-
sunnah, Abdullah al Qalqili, Muhammad Yusuf al-Qardawi, dan Muhammad
Bakhit al-Muth’i Kedua: membolehkan asuransi dalam praktiknya sekarang ini.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa,
Muhammad Yusuf Musa. Ketiga: membolehkan asuransi yang bersifat sosial
dan mengharamkan yang bersifat komersial. Pendapat ini dianut oleh
Muhammad Abu Zahra (Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo,
Mesir). Keempat: menganggap syubhat.
Dengan memperhatikan perbedaan tersebut, Wahbah az-Zuhaili termasuk
pihak yang tidak memperbolehkan asuransi. Menurutnya akad asuransi termasuk
6 Abdul Ghofur Anshori, Asuransi Syariah Di Indonesian (Yogyakarta: UII Press, 2007),
9. 7 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2012), 303.
5
akad yang gharar yaitu akad yang tidak jelas tentang ada tidaknya sesuatu yang
diakadkan. Padahal Nabi Muhammad SAW melarang jual beli gharar. Jika
diqiyaskan kepadanya akad pertukaran harta, maka akad asuransi memberi kesan
gharar sebagaimana gharar yang terdapat dalam akad jual beli.8
Berpijak pada masalah di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih
lanjut terkait pendapat Wahbah az-Zuhaili tentang asuransi dengan judul
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN WAHBAH AZ-ZUHAILI TENTANG
ASURANSI.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang melandasi pemikiran Wahbah az-Zuhaili tentang
ketidaksetujuannya terhadap asuransi bisnis?
2. Bagaimana implikasi pemikiran Wahbah az-Zuhaili tentang penolakan
asuransi bisnis terhadap perkembangan asuransi syariah di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Dengan melihat latar belakang dan pokok masalah di atas, maka penyusunan
skripsi ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan tentang apa yang melandasi pemikiran Wahbah az-Zuhaili
tentang ketidaksetujuannya terhadap asuransi bisnis.
2. Menjelaskan tentang bagaimana implikasi pemikiran Wahbah az-Zuhaili
tentang penolakan asuransi bisnis terhadap perkembangan asuransi syariah
di Indonesia.
8 Sula, Asuransi Sariah, 63.
6
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitan diatas, penelitian ini
diharapkan memberikan manfaat dan kegunaan sebagai berikut:
1. Kajian ini diharapkan mampu memberikan sumbagan bagi pengembagan
kajian dan menambah khazanah pengetahuan pemikiran hukum Islam,
khususnya bagi jurusan muamalah serta menjadi referensi dan refleksi kajian
berikutnya yang berkaitan dengan muamalah, khususnya tentang asuransi.
2. Dari hasil penelitian, diharapkan adanya perhatian yang lebih mendalam
terhadap asuransi.
E. Kajian Pustaka
Untuk menghindari anggapan plagiasi karya tertentu, maka perlu
pengkajian terhadap karya-karya yang telah ada. Penelitian yang berkaitan
dengan pemikiran Wahbah az-Zuhaili memang bukan untuk pertama kalinya,
sebelumnya sudah ada penelitian dengan hal tersebut, dintaranya penelitian yang
sudah pernah dilakukan adalah sebagai berikut:
Pertama, skripsi yang ditulis oleh Laelatul Azizah “Pandangan Wahbah
az-Zuhaili terhadap Pematokan Harga Komoditi Perdagangan.” Hasil dari
penelitian tersebu bahwasanya Wahbah az-Zuhaili membolehkan adanya campur
tangan pemerintah dalam bentuk pematokan harga komoditi perdagangan
apabila tindakan itu memang sangat dibutuhkan. Yakni dalam kondisi adanya
kenaikan harga yang di sebabkan karena ulah pedagang. Kemudian berkaitan
dengan metode ijtihad yang digunakan Wahbah az-Zuhaili menggunakan kajian
maslahah yakni dengan mengutamakan kepentingan pembeli yang mana
7
pembeli ini menggambarkan masyarakat luas dan kaidah-kaidah fiqhiyyah yang
menyatakan bahwa tidak boleh ada suatu bahaya dan tidak boleh menyebabkan
bahaya pada pihak lain. 9
Skripsi yang di tulis oleh Khilyatun Nikmah “Wahbah az-Zuhaili dan
Istidlalnya tentang Zakat Properti.” Hasil dari penelitian tersebut, bahwa
Wahbah az-Zuhaili memandang zakat properti termasuk harta atau kekayaan
yang wajib di keluarkan zakanya, meskipun tidak disebutkan dalam al-Qur’an
dan Hadis secara tekstual. Ketetapan ini didasarkan pada keumumam nash al-
Qur’an, yaitu QS. at-Taubah ayat 103 dan QS. al-Ma’arij ayat 24, dalam kedua
ayat tersebut disebukan kata amwal yang mengandung arti umum. Wahbah az-
Zuhaili mendefinisikan amwal dengan harta atau kekayaan yang dimiliki
seseorang tanpa membedakan satu kekayaan dengan kekayaan lainnya, termasuk
properti. Di samping itu properti juga harus memenuhi beberapa syarat wajib
zakat, yaitu milik penuh, harta yang produkif, cukup nisab, berlaku satu tahun
serta melebihi kebutuhan pokok.
Kaidah yang digunakan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam memperluas
kategori harta wajib zakat, bersandar pada dalil-dalil umum, di samping
berpegang pada syarat harta wajib zakat. Adapun ijtihad yang digunakan oleh
Wahbah az-Zuhaili adalah ijithad al-qiyasi, yakni meletakkan hukum-hukum
syar’iyyah untuk kejadian atau perisiwa yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an
9 Laelatul Azizah , Pandangan Wahbah Az-Zuhaili Terhadap Pemaokan Harga Komoditi
Perdagangan (Skripsi IAIN Purwokerto, 2017).
8
dan as-Sunah dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat di dalam
nash hukum syar’i.10
Skripsi yang di tulis oleh Suryadi “Studi Pemikiran Wahbah al-Zuhaili
Tenang Pendistribusian Zakat Pada Asnaf Gharimin Sebagai Ibra’.” Hasil dari
penelitian tersebut adalah Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa al-gharimin
yang berhak menerima zakat adalah mereka yang berutang untuk kemaslahatan
mereka sendiri dan bukan digunakan untuk maksiat, kemudian mereka tidak
sanggup untuk melunasinya dan mereka yang berutang untuk mendamaikan
orang yang berselisih walaupun orang kaya. Sedangkan al-ibra’ adalah
pengguguran oleh seseorang terhadap haknya yang berada pada tanggungan
orang lain, atau menerimanya. Wahbah al-Zuhaili berpendapat tidak boleh
menunaikan zakat dengan al-ibra’ karena tidak terpenuhinya sebagian syarat
penunaiaan zakat dan juga meskipun terdapa unsur kemudahan. Pendapanya
lebih mengikuti pendapa jumhur ulama karena menurutnya dalam salah satu
metode tarjihnya adalah pendapat yang didukung oleh banyak ulama lebih kuat
daripada yang sedikit, perbuatan tersebut tidak terdapat dalam sunah Nabawi dan
Khulafaurrasyidin.11
Selanjutnya, skripsi yang di tulis oleh Fajar Indriansyah “Pandangan
Wahbah az-Zuhaili Dan Muhammad Syahrur Tentang Kepemimpinan Politik
Perempuan.” Hasil penelitian tersebut adalah perempuan menurut Wahbah
10 Khilyatun Nikmah, Wahbah Az-Zuhaili dan Istidlalnya Tentang Zakat Properti (Skripsi
UIN Sunan Kalijaga, 2008). 11 Suryadi, Studi Pemikiran Wahbah Al-Zuhaili Pendistribusian Zakat Pada Asnaf
Gharimin Sebagai Ibra’ (Skripsi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2012).
9
az-Zuhaili tidak boleh menjalani perpolitikan menurut al-Qur’an, Hadis, dan
ijma’ ulama. Sementara Muhammad Syahrur membolehkan perempuan
menjalani perpolitikan al-qiwamah, baik eksekutif maupun legislatif
berdasarkan QS. an-Nisa’ ayat 34 dan QS. al-Isra’ ayat 21 yang memberikan
peluang kepada laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin asalkan
memiliki kecakapan dalam hal itu.
Dari peneliian ini diketahui bahwa pook-pokok pemikiran Wahbah az-
Zuhaili dan Muhammad Syahrur antara lain bahwa perempuan dan laki-laki
makhluk setara oleh karena iu kaum perempuan mempunyai hak yang sama
dengan laki-laki dalam hal kepemimpinan politik. Persamaan kedua pemikiran
tersebut adalah kaum perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk
terjun ke wilayah politik. Sedangkan perbedaannya adalah pendekatan yang
digunakan, Wahbah az-Zuhaili menggunakan pendekatan historis berdasarkan
al-Qur’an, Hadis, dan Ijma’ , sedangkan Muhammad Syahrur menggunakan
pendekatan historis yang melihat langsung dari al-Qur’an.12
Dari penelitian dan tulisan yang ada, belum terdapat karya ilmiah yang
membahas secara khusus tentang asuransi menurut Wahbah az-Zuhaili. Maka di
sini, penulis akan membahas tentang ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN
WAHBAH AZ-ZUHAILI TENTANG ASURANSI.
12 Fajar Indriansyah, Pandangan Wahbah Az-Zuhaili Dan Muhammad Syahrur Tentang
Kepemimpinan Politik Perempuan (Skripsi UN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2016).
10
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian pustaka (library researchi), artinya sebuah studi dengan mengkaji
buku-buku yang ada kaitannya dengan skripsi ini yang diambil dari
kepustakaan.13
Materi pembahasan didasarkan pada kajian atas karya-karya kepustakaan
yang membahas tentang permasalahan di sekitar pemikiran Wahbah az-
Zuhaili tepatnya pada permasalahan asuransi.
2. Data Penelitian
Mengingat objek penelitian ini adalah pemikiran Wahbah az-Zuhaili
tentang asuransi, data yang diteliti meliputi deskripsi pemikiran Wahbah az-
Zuhaili tentang asuransi.
3. Sumber Data
Sumber data yang dijadikan rujukan penulis dalam menyusun skripsi ini
merupakan data yang di peroleh dari bahan-bahan pustaka, terdiri dari:
a. Sumber data primer
Sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subjek
penelitian sebagai sumber informasi yang dicari. Data ini disebut juga
dengan data tangan pertama.14 Sumber primer dalam penelitian ini adalah
kitab Al Fiqh Al Isla>mi wa Adillatuhu jilid 4 karya Wahbah az-Zuhaili.
13 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Gajah Mada, 1980), 3. 14Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 91.
11
b. Sumber data sekunder
Yang dijadikan sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah
buku- buku yang ditulis oleh pengarang lain yang relevan dengan pokok
permasalahan yang menjadi kaitan dalam skripsi ini. Menurut Sugiyono,
data sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data kepada
peneliti, misalnya peneliti harus mencari melalui orang lain atau mencari
melalui dokumen.15 Dalam skripsi ini yang dijadikan sumber data
sekunder adalah;
1. Buku Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem
Operasional yang ditulis oleh Muhammad Syakir Sula.
2. Buku Profil Para Mufasir al-Qur’an yang ditulis oleh Saiful Amin
Ghafur.
3. Buku Kumpulan Biografi Ulama Kontemporer yang ditulis oleh
Muhammad Khoirudin.
4. Ensiklopedi Hukum Islam yang ditulis oleh Abdul Aziz Dahlan, dkk.
5. Skripsi yang ditulis oleh Lisa Rahayu “Makna Qaulana dalam al-
Qur’an; Tinjauan Tematik Menurut Wahbah az-Zuhaili.”
6. Skripsi yang ditulis oleh Nila Sari Nasution “Hak Atas Air Irigasi
Menurut Wahbah az-Zuhili (Studi Kasus di Desa Panyabungan Tonga
Kec. Panyabungan).”
15 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005), 62.
12
c. Teknik Pengumpulan Data
Jenis penelitan ini adalah penelitian pustaka, maka metode
pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi yaitu dengan cara
pegumpulan data terkait pemikiran Wahbah az-Zuhaili tentang asuransi
yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan
masalah asuransi sehingga akan diperoleh data yang lengkap, sah, dan
bukan dari perkiraan. Data mengenai asuransi tersebu berupa catatan atau
tulisan, surat kabar, majalah atau jurnal dan sebagainya yang diperoleh
dari sumber data primer dan sekunder.
4. Analisis Data
Untuk menganalisis data yang terkumpul dalam rangka mempermudah
pembahasan skripsi ini penulis menggunakan metode:
a. Deskriptif, yaitu dengan memaparkan sedetail mungkin pendapat
Wahbah az-Zuhaili tentang kerangka pemikirannya mengenai asuransi,
sehingga dapat diperoleh kesimpulan yang real, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang
di selidiki. Sehingga dapat digunakan untuk membuat kesimpulan dengan
interpretasi yang tepat.
b. Induktif, yaitu suatu cara atau jalan yang di pakai untuk mendapakan
ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas
pemikiran-pemikiran Wahbah az-Zuhaili secara terperinci, kemudian
menarik kesimpulan yang bersifa umum.16
16 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 57.
13
G. Sistematika Pembahasan
Suatu upaya untuk mempermudah pembahasan masalah dalam skripsi ini,
dan mudah dipahami permasalahannya dengan teratur dan sistematis, maka
penulis kemukakan sistematika pembahasan. Perlu diketahui bahwa
pembahasan skripsi ini terdiri dari beberapa bab. Tiap-tiap bab dibagi dalam
beberapa sub bab, maka untuk lebih jelasnya penulis kemukakan sistematika
pembahasan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini berfungsi sebagai pola dasar dari seluruh isi skripsi yang
meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI
Bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang asuransi yang
meliputi asuransi konvensional dan Konsep Asuransi dalam Fikih
Klasik, Pendapat Ulama Tentang Asuransi dan Asuransi Syariah di
Indonesia.
BAB III: ASURANSI MENURUT WAHBAH AZ-ZUHAILI DAN
LANDASAN ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA
Bab ini terdiri dari tiga sub bab. Pertama, pra data berisi tentang
biografi Wahbah az-Zuhaili, wawasan keilmuan, Pendidikan dan
karya-karyanya. Kedua, berisi tentang pemikiran Wahbah az-
14
Zuhaili tentang asuransi. Ketiga, landasan asuransi syariah di
Indonesia.
BAB IV: ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN WAHBAH AZ-ZUHAILI
TENTANG ASURANSI
Bab ini berisi tentang analisis terhadap landasan pemikiran Wahbah
az-Zuhaili tentang ketidaksetujuannya terhadap asuransi bisnis dan
analisi terhadap implikasi pemikiran Wahbah az-Zuhaili tentang
penolakan asuransi bisnis terhadap perkembangan asuransi syariah
di Indonesia.
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan suatu kesimpulan dari seluruh uraian di atas,
yang merupakan inti dari maksud permasalahan, disertai dengan
saran-saran.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI
A. Asuransi Konvensional
1. Pengertian Asuransi Konvensional
Asuransi yang dalam bahasa Belanda disebut “assurantie” yang
terdiri dari asal kata “assaradeur” yang berarti penanggung dan
“geassureede” yang berarti tertanggung.1 Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, asuransi adalah pertanggungan (perjanjian antara dua
pihak, pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain
berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran
apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau barang miliknya
sesuai dengan perjanjian yang dibuat).2
Pengertian asuransi menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu
pihak perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi
penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya
suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
1 Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis Dan
Praktis (Jakarta: Kencana, 2010), 151. 2 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 73.
16
b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya
tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya
tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah dan/atau didasarkan
pada hasil pengelolaan dana.3
Asuransi adalah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian
kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian-
kerugian besar yang belum pasti.4
Dari rumusan tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya
asuransi merupakan suatu ikhtiar dalam rangka menanggulangi adanya
risiko. Risiko adalah setiap kali orang tidak dapat menguasai dengan
sempurna, atau mengetahui lebih dahulu mengenai masa yang akan datang.5
Secara umum pengertian asuransi adalah perjanjian antara
penanggung dan tertanggung dimana penanggung menerima pembayaran
premi dari tertanggung dan penanggung berjanji mambayarkan sejumlah
uang atau dana pertanggungan manakala tertanggung:
1. Mengalami kerugian, kerusakan, atau hilangnya suatu barang atau
kepentingan yang dipertanggungkan karena suatu peristiwa yang tidak
pasti.
2. Berdasarkan hidup atau hilangnya nyawa seseorang.6
3 Lihat Pasal 1 ayar (1) Undang-Undang Republik Indonesia No.40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian. 4 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), 244. 5Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 72.
6 Heykal, Lembaga Keuangan Islam, 152.
17
2. Dasar Hukum Asuransi Konvensional
Dasar hukum berlakunya Asuransi di Indonesia adalah:
a. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
c. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Buku 1 Bab 9 dan 10,
dan Buku II Bab 9 dan 10
d. Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga
Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian.
3. Jenis-Jenis Asuransi Konvensional
Usaha perasuransian menurut pasal 2 Undang-Undang No. 40 Tahun
2014 dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan:
1. Usaha asuransi umum, termasuk ini usaha asuransi kesehatan dan
lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan
2. Usaha reasuransi untuk risiko perusahaan asuransi umum lain.
b. Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi
jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini
usaha asuransi kecelakaan diri.
c. Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha
reasuransi.7
7 Lihat Pasal 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
18
Asuransi ditinjau dari segi kepemilikannya dibagi menjadi:
a. Asuransi milik swasta nasional, perusahaan asuransi yang dimiliki dan
dikelola oleh pihak swasta dan tetap dalam naungan pemerintah.
b. Asuransi milik pemerintah, perusahaan asuransi yang sepenuhnya
dimiliki oleh pemerintah dan dikelola oleh badan yang berwenang dalam
kepemerintahan.
c. Asuransi milik perusahaan asing, perusahaan asuransi yang
kepemilikannya adalah dari negara lain yang beroperasi dalam negeri
Indonesia.
d. Asuransi milik campuran, perusahaan asuransi yang saham dan
kepemilikannya milik beberapa pihak, baik pihak swasta maupun
pemerintah.8
Dari segi sifatnya asuransi dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Asuransi wajib, adalah asuransi yang mempunyai sifat wajib atau harus
diikuti oleh semua pihak yang berkaitan dengan peraturan perundang-
undangan atau ketentuan pemerintah. Contoh jenis asuransi ini adalah
asuransi jaminan sosial tenaga kerja dan asuransi kesehatan.
b. Asuransi sukarela, adalah asuransi sukarela adalah pertanggungan yang
dilakukan dengan cara sukarela. Contoh jenis asuransi ini adalah
asuransi kebakaran, asuransi risiko pada kendaraan, asuransi jiwa, dan
asuransi pendidikan.9
8 Seomitra, Bank dan Lembaga Keuangan, 270-271. 9 Ade Artesa dan Edia Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (Jakarta:
Permata Putri Media, 2006), 240-241.
19
Dari segi objek dan bidang usahanya, asuransi dibagi menjadi empat,
yaitu:
a. Asuransi orang, meliputi
1. Asuransi jiwa meliputi asuransi jiwa seumur hidup, asuransi jiwa
anuitas, asuransi jiwa jangka warsa, dan asuransi jiwa dwiguna.
2. Asuransi kecelakaan
3. Asuransi kesehatan
4. Asuransi pendidikan
5. Asuransi dana pensiun
b. Asuransi umum atau kerugian, terdiri atas:
1. Asuransi untuk harta benda, meliputi asuransi kebakaran, asuransi
pengangkutan, asuransi kendaraan bermotor, asuransi kapal laut,
asuransi pesawat terbang, asuransi minyak dan gas, asuransi rekayasa,
dan asuransi tanggung gugat.
2. Perusahaan reasuransi umum, yaitu perusahaan asuransi yang bidang
usahanya menanggung risiko yang benar-benar terjadi dari
pertanggungan yang telah ditutup oleh perusahaan asuransi jiwa dan
asuransi kerugian.
3. Perusahaan reasuransi sosial, yaitu perusahaan yang bidang usahanya
menanggung risiko finansial masyarakat kecil kurang mampu.
Biasanya perusahaan ini diselenggarakan oleh pemerintah.
20
4. Prinsip-Prinsip Dasar Asuransi Konvensional
Industri asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa,
memiliki prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh
penyelenggaraan kegiatan perasuransian di manapun berada, maka usaha
asuransi ditegakkan di atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Insurable Interest
Insurable Interest adalah prinsip asuransi yang berarti bahwa
kepentingan tertentu dapat diasuransikan. Setiap pihak yang bermaksud
mengadakan kesepakatan dalam perjanjian asuransi harus mempunyai
kepentingan yang dapat diasuransikan.
b. Utmost Good Faith
Utmost Good Faith adalah prinsip asuransi berdasarkan atas
kejujuran atau itikad baik. Prinsip ini menentukan adanya itikad baik
atas dasar kepercayaan antara pihak penanggung dengan pihak
tertanggung dalam perjanjian asuransi.
c. Indemnity
Indemnity adalah prinsip asuransi yang berdasarkan perjanjian
asuransi, pihak penanggung memberikan proteksi tertentu atas
kemungkinan kerugian ekonomi yang dapat terjadi pada pihak
tertanggung. Dengan demikian pada dasarnya perjanjian asuransi
mempunyai tujuan utama penggantian kerugian kepada pihak
tertanggung oleh pihak penanggung.
21
d. Subrogation
Subrogation adalah prinsip asuransi yang menentukan bahwa
pihak penanggung yang telah membayar kerugian akan mendapatkan
semua hak yang ada pada pihak tertanggung terhadap pihak ketiga
mengenai kerugian tersebut. Subrogasi hanya dapat dilakukan apabila
pihak tertanggung mempunyai dua hak, yaitu hak terhadap pihak
penanggung dan hak terhadap pihak ketiga. Subrogasi ini juga dapat
timbul karena adanya kerugian atau berlaku pada asuransi kerugian.
e. Proximate Cause
Proximate cause adalah prinsip asuransi yang membebaskan pihak
penaggung dari tanggung jawab membayar ganti rugi. Hal ini dapat
terjadi bila pihak tertanggung menderita kerugian akibat kesalahan,
kesengajaan, dan kelalaian yang dilakukan oleh diri sendiri.10
f. Contribution
Penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung lain yang
memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti
rugi kepada seseorang tertanggung, meskipun jumlah tanggungan
masing-masing penanggung belum tentu sama besarnya.
10 Handiman, Bank dan Lembaga Keuangan, 241-243.
22
B. Konsep Asuransi dalam Fikih Klasik
1. Taka>ful
a. Pengertian Takaful
Taka>ful secara bahasa bermakna كفل بعضهم بعضا berarti
“pertanggungan yang berbalasan” atau “hal saling menanggung”.
Adapun kata taka>ful ini sebenarnya tidak dijumpai dalam al-Qur’an.
Namun, ada sejumlah kata yang seakar dengan taka>ful, seperti dalam
surat Thaha ayat 40 Allah berfirman:
ۥ فله من يك على أدلكم تك فتقول هل أخ شي تم إذ
“(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia
berkata kepada (keluarga Fir'aun): "Bolehkah saya menunjukkan
kepadamu orang yang akan memeliharanya?"11
Yakfulu dapat juga diartikan “memikul atau menjamin”.12 Seperti
dalam surat al-Nisa>’ ayat 85 Allah berfirman:
ن نصيب ۥيكن له عة حسنةشف فع من يش عةف ش فع ومن يش ها م
ن لف ك ۥيكن له سيئة على ٱوكان ها م قيت ءكل شي لل ا م
”Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan
memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. dan Barangsiapa
memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian
(dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.13
11 Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Indah Press, 1994), 479. 12 Haykal, Lembaga Keuangan Islam, 153. 13 Ibid.,
23
Taka>ful dalam pengertian fiqh muamalah adalah jaminan sosial di
antara sesama muslim, sehingga antara satu dengan yang lainnya
bersedia saling menanggung risiko. Kesediaan menanggung risiko pada
hakikatnya merupakan wujud tolong-menolong atas dasar kebaikan
(tabarru’) untuk meringankan beban penderitaan saudaranya yang
tertimpa musibah. Dalam konteks kehidupan warga masyarakat yang
saling memberikan pertolongan dan perlindungan maka akan terwujud
kehidupan sosial yang stabil dan damai sebagai realisasi dari kesadaran
masyarakat untuk berbuat kebajikan yang didasari nilai keimanan kepada
Tuhannya.14
Apabila kita memasukkan asuransi taka>ful dalam lapangan
kehidupan muamalah, maka asuransi taka>ful mengandung pengertian
“saling menanggung risiko di antara sesama manusia sehingga di antara
satu sama lainnya menjadi penanggung atas risiko masing-masing.
Dengan demikian, gagasan mengenai asuransi taka>ful berkaitan dengan
unsur saling menanggung risiko di antara para peserta asuransi, dimana
peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya.15 Tanggung
menanggung tersebut dilakukan atas dasar saling tolong-menolong
dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang
ditujukan untuk menanggung risiko tersebut. Dalam hal ini, perusahaan
14 Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010), 98. 15 Rahmat Husein, Asuransi Takaful Selayang Pandang Dalam Wawasan Islam Dan
Ekonomi (Jakarta: Lembaga Penerbit FE- UI,1997), 234.
24
asuransi bertindak sebagai fasilitator yang saling menanggung di antara
para peserta asuransi.16
DSN-MUI dalam fatwanya tentang Pedoman Umum Asuransi Islam
mengartikan tentang asuransi menurutnya, asuransi Islam (ta’mi >n,
taka>ful, tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan saling menolong
di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset
dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad pertukaran yang sesuai dengan
syariah.17
b. Dalil Syar’i yang Melandasi Praktik Taka>ful
Di dalam Islam, ketetapan atas taka>ful merupakan aturan yang
bersifat komprehensip, aturan ini meliputi semua hal yang tercakup
dalam kata taka>ful itu sendirri, bahwa Islam telah mengukir dan
memberikan bermacam gambaran atas konsep taka>ful dalam nas al-
Qur’an dan al-Sunah sebagaimana berikut:
1. Dalam surat al-Hujurat ayat 10
لعلكم ٱتقوا ٱو كم ن أخوي لحوا بي فأص وةمنون إخ مؤ ل ٱإنما لل
حمون تر
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.18
16 Burhanuddin S, Aspek Hukum, 99. 17 Lihat Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. 18 Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 846.
25
2. Dalam surat al-Maidah ayat 2
ٱول تعاونوا على وى لتق ٱبر و ل ٱتعاونوا على و ن و عد ل ٱم و ث ل
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran”.19
3. Hadits Nabi s.a.w
صلىعن ابي عليه و مو سى قا ل قا ل رسول الله سلم الله
ق عليهد بعضه بعضا )متفالمؤ من للمؤمن كا لبنيا ن يش
“Diriwayatkan dari Abu Musa r.a. Ia berkata bahwa Rasulullah
s.a.w., bersabda: “seorang mukmin terhadap mukmin yang lain
adalah seperti bangunan di mana sebagiannya menguatkan sebagian
yang lain.”20
4. Hadits Nabi s.a.w, yang lainnya
عليه وسلم قال ل يؤمن عن ا نس عن النبي حدكم ا صلى الله
ه حتى يحب لخيه ما يحب لنفس
“Diriwayatkan dari Anas r.a.,Nabi s.a.w. bersabda, “tidak sempurna
keimanan seseorang mukmin sehingga ia menyukai sesuatu untuk
saudaranya sebagaimana ia menyukai sesuatu itu untuk dirinya
sendiri.”21
2. Ta’mi>n
Dalam bahasa Arab asuransi disebut at-ta’mi >n, penanggung disebut
mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’amman lahu atau
19 Al-Qu’an, 5:2. 20 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari juz 3 (Lebanon: Dar al-Fikr, 1981), 98. 21 Al-Bukhari, Shahih 1, 9.
26
must’amin. At-ta’mi >n diambil dari kata a>mana memiliki arti member
perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut,
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Quraisy ayat 4
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan
lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
Dari kata tersebut muncul kata-kata yang berdekatan seperti:
.aman dari rasa takut : ال منة من الخوف
.amanah lawan dari khianat : ما نة دد الخيا نةال
.iman lawan dari kufur : ل يما ن دد الكفرا
.memberi rasa aman : اعطا ء ال منة / ال من
Dari arti terakhir di atas, dianggap paling tepat untuk mendefinisikan
istilah at-ta’mi>n.
Men-ta’mi >n-kan sesuatu, artinya adalah seseorang membayar/
menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya mendapat
sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan
ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan “seseorang
mempertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau
mobilnya.”
27
Ada tujuan dalam Islam yang menjadi kebutuhan mendasar, yaitu al-
kifayah “kecukupan dan al-amnu “keamanan” . sebagaimana firman Allah
”Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan”, sehingga
sebagai masyarakat menilai bahwa bebas dari lapar merupakan bentuk
keamanan. Mereka menyebut dengan al-amnu al- qidza`i “aman konsumsi”.
Dari prinsip tersebut, Islam mengarahkan kepada umatnya untuk mencari
rasa aman baik untuk dirinya sendiri di masa mendatang maupun untuk
keluarganya, sebagaimana nasihat Rasulullah kepada Sa’ad bin Abi
Waqqash agar mensedekahkan sepertiga hartanya saja. Selebihnya
ditinggalkan untuk keluarganya agar mereka tidak menjadi beban
masyarakat.
3. At-tadhamun
Secara bahasa at-tadhamun berarti menanggung. Secara istilah berarti
seseorang yang menanggung untuk memberikan sesuatu kepada orang yang
ditanggung berupa penggantian (sejumlah uang atau barang) karena adanya
musibah yang menimpa tertanggung, dengan tujuan untuk menutupi
kerugian atas suatu peristiwa dan musibah.22
Seseorang yang menanggung memberikan pengganti kepada yang
ditanggung karena adanya musibah yang menimpa tertanggung. Tolong-
menolong merupakan makna yang ada di dalam at-tadhamun sehingga ada
rasa keharusan untuk saling tolong-menolong antar anggota masyarakat
yang terkena musibah.
22 Zainuddin Ali, Hukum Asuransi syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 4.
28
4. Kafa>lah
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah
(beban), dan za’amah (tanggungan).23 Al-kafa>lah merupakan jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain al-
kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin
dengan berpegang pada tanggung jawaab orang lain sebagai penjamin.
Kafa>lah merupakan bentuk kegiatan sosial yang disyariatkan oleh al-Qur’an,
sebagaimana dalam surat Yusuf ayat 72.
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".24
a. Rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi kafalah.
1. Kafil, yaitu orang yang berkewajiban melakukan tanggungan (makful
bih). Disyaratkan dewasa, berakal, berhak penuh untuk bertindak
dalam urusan hartanya, dan rela dengan kafalah.
2. Makful anhu, yaitu orang yang berutang, orang yang ditanggung.
23 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 187. 24 Al-Qur’an, 12:72.
29
3. Makful lahu, yaitu orang yang member utang. Disyaratkan diketahui
dan dikenal oleh orang yang menjamin.
4. Makful bih,yaitu sesuatu yang dijamin berupa orang atau barang atau
pekerjaan yang wajib dipenuhi oleh yang keadaannya ditanggung.
5. Lafadz, yaitu lafal yang menunjukkan arti menjamin.25
b. Macam-Macam Kafa>lah
Secara garis besar kafalah dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Kafa>lah dengan jiwa, yaitu keharusan bagi kafil untuk
menghadirkan orang yang ia tanggung kepada orang yang ia
janjikan tanggungan (orang yang berpiutang).
2. Kafa>lah harta, yaitu kewajiban yang harus dipenuhi oleh kafil
dengan pemenuhan berupa harta. kafalah dengan harta dibagi
menjadi tiga, yaitu:
1). Kafala>h bi al-dain, yaitu kewajiban membayar hutang yang
menjadi tanggungan orang lain.
2). Kafa>lah dengan menyerahkan materai, yaitu kewajiban
menyerahkan benda tertentu yang ada di tangan orang lain
seperti menyerahkan barang jualan kepada si pembeli.
3). Kafa>lah dengan aib, yaitu menjamin barang, dikhawatirkan
benda yang akan dijual tersebut terdapat masalah atau aib dan
cacat (bahaya).26
25Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana, 2015), 206-207. 26Ibid, 207-209.
30
Menurut Wahbah az-Zuhaili al-kafa>lah adalah kesediaan memberikan
hak sebagai jaminan pihak lain, menghadirkan seseorang yang mempunyai
kewajiaban membayar hak tersebut atau mengembalikan harta benda yang
dijadikan barang jaminan. Al-kafa>lah juga kerap digunakan sebagai istilah
sebuah perjanjian yang menyatakan kesiapan memenuhi semua hal yang
telah disebutkan sehingga al-kafa>lah itu sama dengan mengintegrasikan
suatu bentuk tanggungan ke tanggungan yang lain.
Kafa>lah adalah akad tabarru’ atau kebajikan yang akan diberi pahala
bagi kafil karena ia merupakan akad saling membantu dalam kebaikan.
Lebih baik jika tabarru’ tersebut berlangsung tanpa imbalan, namun bila
pihak yang dibantu memberi hibah atau hadiah kepada kafil maka
diperbolehkan.
Aplikasi kafa>lah pada asuransi taka>ful berbentuk kafa>lah bi al-mal,
merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang atau kafa>lah
yang berupa kewajiban yang harus dipenuhi oleh kafil dengan pemenuhan
berupa harta.
C. Pendapat Ulama Tentang Asuransi
1. Kelompok yang mengharamkam asuransi
Ulama pertama yang menbicarakan asuransi adalah Muhammah Amin
bin Umar yang terkenal dengan sebutan Ibn ‘Abidin, seorang ulama
Hanafia. Dalam kitab Hasyiyah Ibn ‘abidin yang mengangkat kasus asuransi
keselamatan barang dengan kapal laut, dimana para pedagang menyewa
31
kapal dari seorang kafir Harbi. Selain membayar sejumlah uang untuk
seorang Harbi yang berada di negeri asal penyewa kapal yang disebut
sukarah atau premi asuransi, dengan ketentuan apabila barang-barang yang
diangkut itu musnah karena kebakaran, atau bajak laut, atau kapalnya
tenggelam maka penerima uang premi menjadi penanggung, sebagai
imbalan dari uang yang diambil dari pedagang itu. Menurut Ibn ‘Abidin
dalam kasus seperti ini para pedagang tidak diperbolehkan mengambil uang
pengganti atas barang-barangnya yang musnah.27
Sayyid Sabiq juga mengharamkan asuransi, menurutnya asuransi tidak
termasuk mudha>rabah yang shahih melainkan mudha>rabah yang fasid yang
tentu hukumnya secara syara’ bertentangan dengan hukum akad asuransi,
ditijau dari segi undang-undang. Hal ini terjadi karena tidak mungkin dapat
dikatakan bahwa perusahaan menyumbang orang yang mengasuransikan
dengan pembayarannya, akad asuransi ditinjau dari segi aturan mainnya
adalah akad perolehan berdasarkan perkiraan.28
Ulama lain yang mengharamkan asuransi adalah Abdullah al-Qalqiqi,
Yusuf Qardawi, dan Muhammad Bakhit al-Mutha’ (mufti Mesir).
2. Ulama yang menyatakan asuransi dihalal atau diperbolehkan adalah Abdul
Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa,
Muhammad Nejatullah Siddiqi, dan Abdurahman Nisa. Adapun alasan yang
mereka kemukakan adalah:
27Pendapat Ulama Tentang Asuransi dalam
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab diakses pada tanggal 12 Juli 2018. 28Abdul Ghafur Anshori, Asuransi Syariah di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2007),
10-11.
32
a. Tidak ada nash (al-Qur’an dan Hadits) yang secara jelas dan tegas
melarang kegiatan asuransi.
b. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
c. Saling menguntungkan kedua belah pihak.asuransi dapat berguna bagi
kepentingan umum, sebab premi yang terkumpul dapat diinvestasikan
untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
d. Asuransi dikelola berdasarkan akad mudha>rabah.
e. Asuransi termasuk kategori koperasi (syirkah taawuniyah).29
3. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan yang
bersifat komersial semata.
Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah. Alasan yang
dapat digunakan untuk menbolehkan asuransi yang bersifat social sama
dengan alas an pendapat kedua, sedangkan alasan pengharaman asuransi
komersial semata-mata pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat
pertama.
4. Menganggap asuransi bersifat syubhat karena tidak ada dalil-dalil syar’I
yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas memhalalkannya.
Konsekuensinya umat Islam dituntut berhati-hati dalam menghadapi
asuransi. Umat Islam baru diperbolehkan menjadi polis atau mendirikan
perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat.30
29Ibid., 30 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), 312.
33
D. Asuransi Syariah di Indonesia
1. Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia
Kajian asuransi dalam hukum Islam merupakan hal yang baru, dan
belum pernah ditemukan dalam literatur-literatur fiqih klasih. Pembahasan
asuransi dalam wilayah kajian ilmu keIslman baru muncul pada fase
lahirnya ulama kontemporer. Tercatat dalam literatur sederetan mana yang
menekuni kajian asuransi diantaranya adalah, Ibn Abidin, M.Nejatullah
Siddqi, M. Muslehuddin, Faslur Rahman, Mannan, Yusuf Qardawi
merupakan deretan nama ulama ternama yang hidup di era abad modern. Di
sisi lain, kajian tentang asuransi merupakan sebuah paket dari kajian
ekonomi Islam yang biasanya selalu dikaji bersama dengan pembahasan
perbankan dalam Islam.
Secara kelembagaan, perkembangan asuransi syariah global ditandai
antara lain Sudanese Islamic Insurance (1979), Islamic Arab Insurance
Company (1979), Dar al-Maal al-Islami, Geneva (1981), Islamic Taka>ful
Company, S.A. Luxembourg (1983), Islamic Taka>ful and Retaka>ful,
Company Bahamnas (1983) Sarikat al-Taka>ful al-Isla>miyah Bahrain
(1983), Taka>ful Malaysia (1985).
Adapun perkembangan asuransi syariah di Indonesia baru ada pada
akhir tahun 1994, yaitu dengan berdirinya Asuransi Taka>ful Indonesia pada
tanggal 25 Agustus 1994, dengan diresmikannya PT Asuransi Taka>ful
Keluarga melalui SK MenKeu No. Kep-385/KMK.017/1994. Pendirian
Asuransi Taka>ful Indonesia di prakarsai oleh Tim Pembentuk Asuransi
34
Taka>ful Indonesia (TEPATI) yang dipelopori oleh ICMI melalui Yayasan
Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri,
Pejabat dari Departemen Keuangan, dan Pengusaha Muslim Indonesia.
Melalui berbagai seminar nasional dan setelah mengadakan studi
banding dengan suransi Taka>ful Malaysia, akhirnya berdirilah PT Syarikat
Taka>ful Indonesia (PT STI) sebagai Holding Company pada tanggal 24
Februari 1994. Kemudia PT STI mendirikan 2 anak perusahaan, yakni PT
Asuransi Taka>ful Keluarga (Life Insurance) dan PT Asuransi Taka>ful
Umum (General Insurance).
Setelah itu, beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain lahir,
seperti PT Asuransi Syariah Mubharakah (1997), dan beberapa unit
asuransi syariah dari asuransi konvensional seperti MAA Assurance (2000),
Asuransi Great Eastern (2001), Asuransi Bumi Putra (2003), Asuransi
Beringin Jiwa Sejahtera (2003), Asuransi Tripakarta (2002), Asuransi
Jasindo Taka>ful (2003), Asuransi Binagriya (2003), Asuransi Bumida
(2003), Asuransi Staci Jasa Pratama (2004), Asuransi Central Asian (2004),
Asuransi Adira Syariah (2004), Asuransi BNI Jiwasraya Syariah (2004),
Asuransi Sinar Mas (2004), Asuransi Tokyo Marine Syariah (2004), Reindo
Divisi Syariah (2004).31 Sampai Februari 2017 terdapat 52 perusahaan
asuransi, baik asuransi jiwa syariah dan asuransi umum syariah, dan 3
perusahaan reasuransi syariah.
31Andri Seomitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta:Kencana, 2009), 249-
251.
35
2. Kelembagaan Asuransi Syariah di Indonesia
a. Tujuan Berdirinya Asuransi Syariah
Asuransi syariah tidak hanya dituntut untuk mengejar profit dari
investasi yang dilakukan dengan sebagian dana peserta. Asuransi
syariah juga memiliki tanggung jawab social dalam memberikan
edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya tolong-menolong
sesama muslim dalam rangka menegakkan ajaran Islam ditengah-tengah
masyarakat.
Selain itu, tujuan berdirinya asuransi syariah adalah: pertama,
tolong-menolong dan bekerja sama. Kedua, saling menjaga keselamatan
dan keamanan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa asuransi jiga
berorientasikan kepada pemberdayaan ekonomi masyarakat. Melalui
aktivitas investasi yang dilakukan pihak perusahaan akan memberikan
dampak kepada tumbuhnya perekonomian masyarakat.32
b. Misi dan Visi Asuransi Syariah33
1. Misi Aqidah
Asuransi syariah membawa misi untuk membersihkan umatnya
dari praktik-praktik muamalah yang bertentangan dengan syariat-
Nya. Oleh karena itu landasan iman dan komitmen syariah yang
mendasari pemikiran akan perlunya lembaga perasuransian yang
sesuai dengan ketentuan Allah. Asuransi syariah menjadi sarana
mensucikan diri melalui praktik muamalah yang Islami, yang
32Eja Armaz Hardi, “Studi Komparatif Takaful dan Asuransi Konvensional”, dalam
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article...(diakses pada tanggal 25 April 2018). 33Sula, Asuransi Syariah, 321-325.
36
dijalankan dengan prinsip-prinsip syariah, dan membersihkan jiwa
dari prektik gharar, maisir, dan riba.
2. Misi Ibadah (Ta’awun)
Asuransi syariah adalah asuransi yang bertumpu pada konsep
tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, serta
perlindungan. Menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar
yang saling menanggung.
3. Misi Ekonomi (Iqhtishodi)
Usaha asuransi syariah mencari keuntungan ekonomis bagi
peningkatan kesejahteraan dan perjuangan umat, membangun
jaringan ekonomi umat. Selain upaya untuk menegakkan syariat
Islam dibidang ekonomi, dan menciptakan kultur ekonomi yang
Islam.
4. Misi Pemberdayaan Umat (Sosial)
Misi mengemban beban sosial terasa melekat pada dirinya,
melalui produk-produk khusus yang dirancang untuk lebih
mengarah kepada kepentingan sosial dan pemberdayaan umat
daripada kepentingan komersial.
c. Dewan Pengawas Syariah
Salah satu perbedaan dari asuransi konvensional, bahwa pada
asuransi syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Dewan Syariah
Nassional (DSN-MUI).
37
Peran utama DPS adalah mengawasi jalannya operasional sehari-
hari lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan
syariah. Fungsi DPS adalah: (1) melakukan pengawasan secara periodic
pada LKS yang berada di bawah pengawasannya, (2) berkewajiban
mengajukan usul-usul pengembangan LKS kepada pimpinan lembaga
yang bersangkutan dan DSN, (3) melaporkan perkembangan produk
dan operasional LKS yang diawasinya kepada DSN, (4) merumuskan
permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-
pembahasan DSN.34
3. Produk-Produk Asuransi Syariah di Indonesia
Produk asuransi syariah dipahami sebagai suatu model jaminan
(proteksi) yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan asuransi syariah untuk
ditawarkan kepada masyarakat luas agar ikut serta berperan sebagai
anggota (peserta) dari sebuah perkumpulan pertanggungan yang secara
materi mendapat keamanan bersama.
Proses marketing yang terjadi pada perusahaan asuransi syariah,
seharusnya tidak hanya bertumpu pada penjualan terhadap produk-produk
yang dikeluarkan oleh perusahaan tetapi lebih berorientasi pada penawaran
keikutsertaan untuk saling menanggung (taka>ful) pada suatu peristiwa yang
belum terjadi dalam jangka waktu tertentu. Sehingga uang yang disetor oleh
nasabah asuransi syariah merupakan dana tabarru’ yang sengaja diniatkan
34 Ibid, 300.
38
untuk melindungi dia dan nasabah lainnya dalam menghadapi peril
(peristiwa asuransi).
Adapun produk asuransi syariah yang sering dipakai dalam operasional
sebuah perusahaan asuransi syariah secara garis besar dapat dipilih
menjadi dua, yaitu; produk asuransi syariah dengan unsur saving dan
produk asuransi syariah non saving.
Produk asuransi syariah dengan unsur saving adalah sebuah produk
asuransi yang didalamnya menggunakan dua buah rekening dalam setiap
pembayaran premi, yaitu rekening untuk dana tabarru’ (sosial) dan
rekening untuk dana saving (tabungan). Adapun status kepemilikan dana
pada rekening saving menjadi milik peserta (anggota) bukan menjadi milik
perusahaan asuransi, perusahaan hanya berfungsi sebagai lembaga. Karena
dana tersebut masih menjadi milik peserta asuransi, maka tatkala peserta
asuransi berkeinginan untuk menarik dana itu, pihak perusahaan tidak ada
dalih untuk menolaknya.
Rekening tabungan pada produk yang menggunakan unsur saving
adalah kumpulan dana yang merupakan milik peserta dan dibayarkan bila:
(a) perjanjian berakhir (b) peserta mengundurkan diri, dan (c) peserta
meninggal dunia. Adapun rekening tabarru’ (khusus) adalah rekening yang
berisi kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai derma untuk
tujuan saling membantu dan dibayarkan bila; (a) peserta meninggal dunia,
dan (b) perjanjian berakhir, jika ada surplus dana.
39
Model pembagian di atas dijadikan acuan dalam pengelolaan dana pada
PT Asuransi Taka>ful Keluarga (ATK). Secara spesifik produk pada PT
Asuransi Taka>ful Keluarga dapat dipilih menjadi dua macam; (a) produk
taka>ful dengan unsur tabungan, yang terdiri dari: Taka>ful Dana Investasi
(Fuldana), Taka>ful Dana Haji (Fulhaji), Taka>ful Dana Siswa (Fulsiswa), (b)
Produk taka>ful tanpa unsur tabungan, yang terdiri dari: Taka>ful Kesehatan
Individu, Taka>ful Kecelakaan Diri Individu, Taka>ful al-Khairat Individu,
Taka>ful Wisata dan perhalanan, Taka>ful Majlis Ta’lim.
Sedangkan produk yang dikeluarkan oleh PT Asuransi Taka>ful Umum
diantaranya adalah: Taka>ful Kebakaran, Taka>ful Kendaraan Bermotor,
Taka>ful Rekayasa (meliputi: Taka>ful Risiko Pembangunan, Taka>ful Risiko
Pemasangan, Taka>ful Mesin-Mesin, Taka>ful Peralatan Elektronik), Taka>ful
Pengangkutan (meliputi: Taka>ful Pengangkutan Laut, Taka>ful
Pengangkutan Udara, Taka>ful Pengangkutan Darat, Taka>ful Pengangkutan
Uang), Taka>ful Rangka Kafal, Taka>ful Aneka (meliputi: Taka>ful
Penyimpanan Uang, Taka>ful Kecelakaan Diri, Taka>ful Tanggung Gugat,
Taka>ful Ketidakjujuran, Taka>ful Kebongkaran, Taka>ful Lampu Reklame.
Di samping itu PT Asuransi Taka>ful Umum juga dapat memberikan produk
asuransi Property All Risk Insurance, Oil and Gas Insurance dan asuransi
lainnya sesuai kebutuhan perseorangan dan atau perusahaan.35
35Abdul Aziz dan Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer (Bandung:
Alfabeta, 2010 ), 240-241.
40
4. Mekanisme Oprasional Asuransi Syariah di Indonesia
Perusahaan asuransi berperan sebagai lembaga keuangan yang
menghimpun dana dari masyarakat melalui penyediaan jasa asuransi
(taka>ful) untuk memberikan jaminan perlindungan kepada pemakai jasa
terhadap kemungkinan timbulnya kerugian akibat suatu peristiwa yang
tidak terduga.
Untuk mendapatkan jaminan perlindungan asuransi (taka>ful),
seseorang perlu menghubungi perusahaan yang secara hukum berkompeten
menyelenggarakan jasa tersebut. Tindak lanjut dari hubungan antara
perusahaan dengan pengguna jasa, akan diikat oleh suatu perjanjian yang
berlaku dalam perusahaan asuransi. Menurut Fatwa No.21/DSN-
MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, akad yang
dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tija>rah
dan/atau akad tabarru’. Dalam akad tijarah (mudha>rabah), perusahaan
bertindak sebagai mudha>rib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai
sha>hib al-ma>l (pemegang polis). Sedangkan dalam akad tabarru’ (hibah),
perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah yang diberikan
oleh peserta untuk menolong pihak yang terkena musibah.36
Penerapan akad mudha>rabah dalam perusahaan asuransi syariah dapat
dilihat dalam dua bidang usaha yaitu: (1) Asuransi Individu atau Asuransi
Jiwa (life insurance) dan (2) Asuransi Umum (general insurance).
Perbedaan karakteristik bisnis antara kedua jenis usaha tersebut
36Burhanuddin S, Aspek Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),
120-121.
41
menyebabkan penerapan akad mudha>rabah menjadi berbeda meskipun
secara prinsip tetap mengikuti kaidah konsep mudha>rabah di mana para
peserta asuransi berkedudukan sebagai sha>hib al-ma>l (pemilik modal) dan
perusahaan bertindak sebagai mudha>rib (pengelola).37
Berbeda dengan akad tija>rah (mudha>rabah), akad tabarru’ (gratuitous
contract) merupakan bentuk transaksi atau perjanjian kontrak yang bersifat
nir-laba (not-for-profit transaction) sehingga tidak boleh digunakan untuk
tujuan komersial atau bisnis tetapi semata-mata untuk tujuan tolong-
menolong dalam rangka kebaikan.38
Implementasi akad tija>rah dan tabarru’ dalam system asuransi syariah
direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua macam.
Produk asuransi syariah dengan unsur saving adalah sebuah produk
asuransi yang di dalamnya menggunakan dua buah rekening dalam setiap
pembayaran premi, yaitu rekening untuk dana tabarru’ (sosial) dan
rekening untuk dana saving (tabungan). Adapun status kepemilikan dana
pada rekening saving masih menjadi milik peserta (anggota) bukan menjadi
milik perusahaan asuransi. Karena dana tersebut masih menjadi milik
peserta asuransi, maka tatkala peserta asuransi berkeinginan untuk menarik
dana itu, pihak perusahaan tidak ada dalih untuk menolaknya.
Rekening tabungan pada produk yang menggunakan unsure saving
adalah kumpulan dana yang merupakan milik peserta dan dibayarkan
apabila; (a) perjanjian berakhir, (b) peserta menggundurkan diri, dan (c)
37 Ibid, 121-122. 38Ibid.,
42
peserta meninggal dunia. Adapun rekening tabarru’ (khusus) adalah
rekening yang berisi kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai
derma untuk tujuan saling membantu dan dibayarkan bila; (a) peserta
meninggal dunia, (b) perjanjian berakhir, jika ada surplus dana.39
Adapun produk taka>ful yang tidak menggunakan unsure saving adalah
kumpulan dana dari peserta yang setelah dikurangi biaya pengelolaan
dimasukkan ke dalam rekening khusus (tabarru’ atau rekening dana sosial).
Kumpulan dana peserta diinvestasikan sesuai dengan prinsip syariah. Hasil
investasi dimasukkan ke dalam dana peserta kemudian dikurangi dengan
beban asuransi (klaim dan premi reasuransi). Surplus kumpulan dana
peserta dibagikan dengan sistem bagi hasil (al-mudha>rabah).40 Keberadaan
rekening tabarru’ menjadi sangat penting untuk menjawab peranyaan
seputar ketidakjelasan (gharar) asuransi dari sisi pembayaran klaim.41
39AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Prenada Media,
2004), 168. 40Ibid, 169. 41Burhanuddin S, Aspek Hukum, 122.
43
BAB III
ASURANSI MENURUT WAHBAH AZ-ZUHAILI DAN LANDASAN
ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA
A. BIOGRAFI WAHBAH AZ-ZUHAILI
1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan Wahbah az-Zuhaili
a. Latar Belakang Kehidupan
Wahbah az-Zuhaili dilahirkan pada tahun 1932 M, bertempat di Dair
‘Atiyah kecamatan Faiha, provinsi Damaskus, Suriah. Nama lengkapnya
adalah Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili, anak dari Musthafa al-Zuhaili.
Yakni, seorang petani yang sederhana dan terkenal dalam keshalihanya.1
Sedangkan ibunya bernama Hajjah Fatimah binti Mustafa Sa’adah.2
Wahbah az-Zuhaili adalah ulama ahli fiqh dan tafsir , Guru Besar
Universitas Damaskus Syiria.3 Hampir dari seluruh waktunya semata-mata
hanya difokuskan untuk mengembangkan bidang keilmuan. Beliau adalah
ulama yang hidup di abad ke-20 yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainnya,
seperti Thahir ibnu Asyur, Said Hawwa, Sayyid Qutb, Muhammad Abu
Zahra, Mahmud Syaltut, Ali Muhammad al-Khafif, Abdul Ghani, Abdul
Khaliq, dan Muhammad Salam Madkur.4
Adapun kepribadian beliau adalah sangat terpuji di kalangan
masyarakat Syiria baik itu dalam amal-amal ibadahnya maupun
1 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), 174. 2Muhammad Khoirudin, Kumpulan Biografi Ulama Kontemporer (Bandung: Pustaka
Ilmi, 2003), 102. 3Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem
Operasional (Jakarta: Gema Insani, 2004), 63. 4 Lisa Rahayu, “Makna Qaulan dalam al-Qur’an; Tinjauan Tafsir Tematik Menurut
Wahbah al-Zuhailī” (Skripsi Sarjana, Fakutas Ushuluddin Univesitas UIN SUSKSA Riau,
Pekanbaru, 2010), 18.
44
ketawadhu’annya, di samping juga memiliki pembawaan yang sederhana.
Meskipun memiliki madhab Hanafi, namun dalam pengembangan
dakwahnya beliau tidak mengedepankan madhab atau aliran yang
dianutnya, tetapi bersifat netral dan proporsional.
Pada Sabtu 8 Agustus 2015 berpulang di Damaskus Suriah pada usia
83 tahun. Ia merupakan salah satu ulama Sunni terkemuka pada masa ini.
Popularitasnya tidak hanya di Suriah atau Timur Tengah saja, tapi juga
mendunia termasuk dikenal baik umat Islam Indonesia.5
b. Pendidikan
Dengan dorongan dan bimbingan dari ayahnya, sejak kecil Wahbah
az-Zuhaili sudah mengenal dasar-dasar keIslaman. Menginjak usia 7 tahun
sebagaimana juga teman-temannya beliau bersekolah di Ibtidaiyah di
kampungnya hingga sampai pada tahun 1946 M. Memasuki jenjang
pendidikan formalnya hampir 6 tahun beliau menghabiskan pendidikan
menengahnya, dan pada tahun 1952 M beliau mendapatkan ijazah, yang
merupakan langkah awal untuk melanjutkan keperguruan tinggi yaitu
Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus, hingga meraih gelar sarjananya
pada tahun 1953 M. Kemudian untuk melanjutkan studi doktornya, beliau
memperdalam keilmuannya di Universitas Al-Azhar Kairo. Pada tahun
1963 maka resmilah beliau sebagai doctor dengan disertasinya yang
berjudul Atsār al-Harb fi al- Fiqh al-Islāmi.
5Nila Sari Nasution, Hak Atas Air Irigasi Menurut Wahbah az-zuhaili (Studi Kasus di
Desa Panyabungan Tonga Kec. Panyabungan) (Skripsi UIN SUMUT, Medan, 2017), 28-29.
45
Pada tahun 1963, ia diangkat sebagai dosen di Fakultas Syari’ah
Universitas Damaskus dan secara berturut-turut menjadi Wakil Dekan
kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Isla>mi wa Madza>hibah di
fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal
alim dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Isla>miyyah.6
Adapun guru-gurunya adalah Muhammad Hashim al-Khatib al-Syaf’i
(w. 1958 M) guru fiqh al-Syafi’i, mempelajari ilmu fiqh dari Abdul Razaq
al-Hamasi (w. 1969 M), ilmu hadits dari Mahmud Yassin (w.1948 M),
ilmu faraid dan wakaf dari Judad al-Mardini (w. 1957 M), Hassan al-Shati
(w. 1962 M), ilmu tafsir dari Hasan Habnakah al-Midani (w. 1978 M),
ilmu bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986 M), ilmu ushul
fiqh dan mustalah hadits dari Muhammad Lutfi al-Fayumi (w. 1990 M),
ilmu akidah dan kalam dari Mahmud al-Rankusi.
Sementara selama di Mesir beliau berguru pada Muhammad Abu
Zuhrah (w. 1395 H), Mahmud Saltut (w.1963 M), Abdul Rahman Tajj, Isa
Manun, Ali Muhammad Khafif (w. 1978 M), Jad al-Rab Ramadhan (w.
1994 M), Abdul Ghani, Abdul Khalik, dan Muhammad Hafiz Ghanim,
dll.7 \
2. Karya-Karya Wahbah az-Zuhaili
Kecerdasan Wahbah az-Zuhaili telah dibuktikan dengan kesuksesan
akademisnya, hingga banyak lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga
6Ibid., 7 Putri Ajeng Fatimah, Waris Kalalah Dalam Pandangan Wahbah az-Zuhaili (Skripsi
UIN Syarf Hidayatullah, 2011), 16-17.
46
social yang dipimpinnya. Selain keterlibatannya dalam kelembagaan baik
pendidikan maupun social beliau juga memiliki perhatian besar terhadap
berbagai disiplin keilmuan, hal ini dibuktikan dengan keaktifan beliau dan
produktif dalam menghasilkan karya-karyanya. Meskipun karyannya bayak
dalam bidang tafsir dan fiqh akan tetapi dalam penyampaiannya memiliki
relefansi terhadap paradigma masyarakat dan perkembangan sains. Di sisi
lain beliau juga aktif dalam menulis artikel dan buku-buku. Diantara karya-
karyanya adalah:
1. Atsār al-Harb fi al-Fiqh al-Islāmi-Dirāsah Muqāranah, Dār al-Fikr,
Damaskus, 1963.
2. Al-Fiqh al-Islāmi fi Uslub al-Jadīd, Maktabah al-Hadits, Damaskus,
1967.
3. Nazāriat al-Darūrāt al-Syar’iyyah, Maktabah al-Farabi, Damaskus,
1969.
4. Al-Usūl al-‘Ᾱmmah li Wahdah al-Dīn al-Haq, Maktabah al- Abassiyah,
Damaskus, 1972.
5. Al-Alaqāt al-Dawliah fī al-Islām, Muassasah al-Risālah, Beirut, 1981.
6. Al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, (8 Jilid ), Dār al-Fikr, Damaskus, 1984.
7. Ushūl al-Fiqh al-Islāmi (2 Jilid), Dār al-Fikr, Damaskus, 1986.
8. Fiqh al-Mawāris fi al-Shari’ah al-Islāmiah, Dār al-Fikr,
Damaskus,1987.
9. Al-Tafsīr al-Munīr fi al-Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, (16
Jilid), Dār al-Fikr, Damaskus, 1991.
47
10. Al-Ruẖsah al-Syarī’ah-Aẖkāmuhu wa Dawabituhu, Dār al-Khair,
Damaskus, 1994.
11. Al-Asas wa al-Masādir al-Ijtihād al-Musytarikah Bayān al-Sunah wa
al-Syīah, Dār al-Maktabi, Damaskus, 1996.
12. Al-Ijtihād al-Fiqhi al-Hadīts, Dār al-Maktabi, Damaskus, 1997.
13. Al-Zirā’i fi al-Siyāsah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islāmi, Dār al-
Maktabi, Damaskus, 1999.
14. Al-Islām wa Usūl al-Hadārah al-Insāniah, Dār al-Maktabi, Damaskus,
2001.
15. Usūl al-Fiqh al-Hanāfi, Dār al-Maktabi, Damaskus, 2001.8
Selain karya-karya di atas, masih banyak lagi hasil pemikiran Wahbah
az-Zuhaili.
3. Latar Belakang Pemikiran Wahbah az-Zuhaili Tentang Asuransi
Asuransi adalah istilah baru. Pertama kali muncul pada abad ke 14
Masehi di Italia dalam bentuk asuransi laut. Tipe asuransi yang berkembang
pada saat ini adalah asuransi dengan bayaran tetap yang mana orang yang
diberi jaminan bertanggung jawab untuk memberi bayaran tertentu kepada
pihak pemberi asuransi. Adapun pihak pemberi asuransi adalah sebuah
perusahaan asuransi yang terdiri dari sejumlah orang yang memiliki saham
tertentu. Berdasarkan jumlah pembayaran yang diberikan pihak penerima
asuransi bertanggung jawab untuk memberikan jasa asuransi tertentu ketika
terjadi bahaya atau bencana pada penerima asuransi. Kompensasi akan
8 Karya-Karya Wahbah az-Zuhaili dalam http://digilib.uinsby.ac.id/6439/5/Bab%202.pdf,
(diakses pada tanggal 7 Januari 2018).
48
diberikan kepada orang tertentu yang telah dipercaya yang disebutkan
namanya dalam transaksi asuransi, atau pihak penerima asuransi sendiri,
ataukah ahli warisnya. Jadi, transaksi asuransi adalah salah satu bentuk
transaksi tukar-menukar yang memberikan hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak.
Adanya konferensi kedua ulama-ulama Islam di Kairo pada tahun 1965
M dan konferensi ketujuh tahun 1972 M, membolehkan dua bentuk asuransi
yaitu asuransi social dan asuransi kooperatif, dan keputusan ini disetujui oleh
lembaga fiqh Islam yang berpusat di Mekah tahun 1978 M. Berbeda halnya
dengan asuransi kooperatif dan asuransi sosial, asuransi bisnis atau asuransi
dengan sistem bayaran tetap tidak diperbolehkan dalam Islam, seperti
dinyatakan oleh mayoritas fuqaha saat ini, dan telah menjadi keputusan
konferensi internasional pertama ekonomi Islam di Mekah tahun 1976 M.9
Selain itu, latar belakang yang mempengaruhi pemikiran Wahbah az-
Zuhaili tentang larangannya terhadap asuransi bisnis diantaranya adalah
karena adanya fatwa Ibn ‘Abidin tentang haramnya asuransi laut.
Berdasarkan hal-hal di atas Wahbah az-Zuhaili melarang adanya asuransi
bisnis dan membolehkan asuransi kooperatif.
9Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Isla>m Wa Adillatuhu 5, terj. Abdul Hayyie al-Kattani
(Jakarta: Gema Insani, 2011), 105-111.
49
B. Asuransi Menurut Wahbah az-Zuhaili
1. Hukum Melakukan Asuransi dengan Perusahaan Asuransi dalam Islam
Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan asuransi berdasarkan pembagiannya.
Menurutnya asuransi itu ada dua bentuk, yaitu at ta’mi >n at ta’awuni
(asuransi tolong-menolong) dan at ta’mi >n bi qist sabit (asuransi dengan
pembagian tetap). At ta’mi >n at ta’awuni atau asuransi kooperatif adalah
beberapa orang sepakat agar masing-masing dari mereka membayar saham
uang dalam jumlah tertentu dengan tujuan memberi kompensasi bagi
anggota yang terkena musibah tertentu. Sedangkan At ta’mi >n bi qist sabit
atau asuransi dengan bayaran tetap adalah orang yang diberi jaminan
keamanan (asuransi) bertanggung jawab untuk memberi bayaran tertentu
kepada pihak pemberi asuransi. Lebih lanjut dikatakannya, bentuk asuransi
yang berkembang saat ini adalah at ta’mi >n bi qist sabit.
Perbedaan antara dua macam transaksi tadi adalah pelaku usaha dalam
asuransi kooperatif bukanlah sebuah organisasi yang berdiri sendiri dan
terpisah dari orang-orang penerima asuransi. Anggota yang terlibat dalam
asuransi ini tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan, namun bertujuan
untuk meringankan baban kerugian yang ditimbulkan oleh bencana yang
menimpa sebagian anggotanya. Adapun asuransi dengan sistem pembayaran
tetap maka pelaku utamanya adalah sebuah perusahaan yang tujuan
utamanya adalah memperoleh keuntungan dari orang-orang yang diberi
jaminan asuransi.
50
Hukum asuransi kooperatif seperti yang sudah dijelaskan sudah pasti
boleh dalam Islam, karena asuransi ini termasuk dalam kategori tolong-
menolong dalam hal kebaikan. Karena setiap anggotanya membayar jumlah
uang tertentu dengan keikhlasan hatinya untuk meringankan kerugian dari
bencana yang menimpa sebagian anggotanya.
Hukum asuransi dengan premi (bayaran) tetap Zuhaili menyertakan
fatwa Ibnu ‘Abidin. Dalam fatwa tersebut, Ibnu ‘Abidin mengharamkan
asuransi laut, yaitu asuransi untuk memberi jaminan asuransi terhadap
barang atau komoditas impor lewat transportasi laut bila terjadi kerusakan di
kapal. 10
2. Macam-Macam Asuransi
Asuransi dari segi bentuknya terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Asuransi gotong royong (kooperatif), yaitu beberapa orang berkumpul
lalu masing-masing bersepakat untuk membayar jumlah uang tertentu,
kemudian dari uang-uang yang terkumpul dari orang yang bersepakat
diberikan kompensasi kepada anggota yang terkena musibah.
b. Asuransi bisnis atau asuransi yang mengharuskan adanya premi
(bayaran) tetap. Dalam asuransi ini pihak penerima asuransi
bertanggung jawab akan membayar premi tertentu kepada perusahaan
asuransi yang memakai sistem saham. Konsekuensinya adalah pihak
pemberi asuransi bertanggung jawab akan memberi kompensasi atas
bahaya yang akan menimpa pihak penerima asuransi.
10 Ibid, 105-108.
51
Asuransi bisnis dari segi kandungannya terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Asuransi bahaya. Asuransi ini mencakup bahaya-bahaya yang bisa
menimpa hak milik penerima asuransi. Bertujuan untuk memberi
kompensasi atas kerugian-kerugian yang menimpa harta penerima
asuransi, dan ini mencakup asuransi tanggung jawab, seperti kecelakaan
lalu lintas. Juga mencakup asuransi barang, seperti asuransi kebakaran,
asuransi pencurian, asuransi banjir, dan asuransi musibah-musibah
pertanian.
b. Asuransi orang. Asuransi ini mencakup asuransi jiwa yaitu pihak
pemberi asuransi bertanggung jawab akan memberi jumlah uang
tertentu kepada pihak penerima atau ahli warisnya ketika dia meninggal
dunia, ketika lanjut usia, ketika sakit, atau cacat sesuai kriteria
musibahnya.
Asuransi bisnis dari segi keumuman dan kekhususannya terbagi
menjadi dua, yaitu:
a. Asuransi khusus atau asuransi pribadi. Asuransi ini khusus berlaku pada
satu orang penerima asuransi dari bahaya tertentu yang diasuransikan.
b. Asuransi sosial atau asuransi umum. Mencakup beberapa orang yang
mengandalkan usaha kerja mereka dari beberapa bahaya yang
diasuransikan seperti sakit, ketuaan, pengangguran, dan ketidaklayakan
kerja. Biasanya asuransi-asuransi seperti ini menjadi sebuah keharusan.
52
Termasuk dalam kategori ini adalah asuransi-asuransi sosial, asuransi
kesehatan, dan asuransi pensiunan.11
3. Pandangan Fiqih Islam terhadap Asuransi
Seperti yang terlihat pada pembahasan sebelumnya bahwa tidak ada
keraguan mengenai bolehnya asuransi kooperatif dalam pandangan pakar
hukum kontemporer, karena asuransi ini termasuk sumbangan sukarela, juga
termasuk salah satu bentuk tolong menolong dalam hal kebaikan dan
kebajikan yang dianjurkan dalam syariat Islam.
Begitu pula boleh dan sah asuransi wajib yang diberlakukan oleh
pemerintah seperti pemberlakuan asuransi mobil, karena asuransi semacam
ini dianggap sama dengan membayar pajak kepada pemerintah. Begitupun
halnya asuransi sosial terhadap bahaya ketidakmampuan kerja, ketuaan,
sakit, pengangguran, pensiunan, karena negara dituntut untuk melindungi
rakyatnya dalam kondisi-kondisi seperti ini. Asuransi ini tidak mengandung
riba, gharar, dan unsur judi.
Pelarangan asuransi bisnis disebabkan oleh dua faktor, yaitu karena
asuransi ini mengandung riba dan gharar. Unsur riba yang dikandung
asuransi ini adalah hal yang tidak bisa dielakkan, karena kompensasi
asuransi dari sumber yang mengandung syubhat. Hal ini disebabkan semua
perusahaan asuransi menginvestasikan modalnya di perusahaan-perusahaan
yang menggalakkan riba.
11Ibid, 109.
53
Terjadinya riba dalam asuransi ini juga sangat jelas kelihatan dari segi
jumlah yang didapat kedua pihak asuransi, pihak penerima dan pemberi.
Karena tidak ada pemerataan atau persamaan antara jumlah bayaran cicilan
yang diberikan oleh penerima asuransi dengan jumlah kompensasi yang
diberikan oleh pemberi asuransi. Kompensasi asuransi bisa jadi lebih
banyak atau lebih sedikit dari premi yang diberikan oleh penerima, atau
jumlah kompensasi sama dengan jumlah premi tapi ini jarang sekali terjadi.
Selain unsur riba, unsur gharar pun sangat jelas kelihatan dalam
asuransi bisnis. Karena pada dasarnya, transaksi asuransi berstatus transaksi
yang mengandung gharar yaitu transaksi spekulatif dimana objek transaksi
(barang atau harga) ada kemungkinan diperoleh atau tidak diperoleh.
Sementara ada hadits shahih yang diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah
dari banyak sahabat Nabi yang menyatakan, “Nabi melarang jual beli yang
mengandung gharar”. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
ه ا رسول نهي يعب عن و ةه الحصا يعه ب عن سلم و عليهه الل صل لل
الغرر
Rasulullah s.a.w melarang jual beli hasha>h dan jual beli gharar12
Hadits ini hanya menyebutkan jual beli, tetapi berlaku juga untuk
semua transaksi kompensasi finansial karena unsur gharar berpengaruh di
dalamnya seperti ia berpengaruh dalam transaksi jual beli.
Unsur gharar yang terkandung dalam asuransi bisnis memberi indikasi
bahwa asuransi juga mengandung unsur ketidakjelasan atau kekaburan
12 Imam Muslim, Shohih Muslin IX (Bairut: Darul Fikri, T.th), 127.
54
(jahalah). Ketidakjelasan mengenai jumlah uang yang akan diberikan
masing-masing dari pihak penerima dan pemberi asuransi.
Selain unsur riba, gharar, dan jahalah, dalam kesimpulannya Wahbah
az-Zuhaili menyebutkan bahwa asuransi bisnis menjadi haram karena
adanya unsur gaban dan judi.
4. Reasuransi atau Asuransi Berantai
Hukum reasuransi sama dengan hukum asuransi itu sendiri. Dengan
demikian perusahaan asuransi kooperatif bisa melakukan transaksi asuransi
dengan perusahaan asuransi kooperatif lainnya, dan begitupun sebaliknya
mengenai reasuransi bisnis, dimana hukum asuransi bisnis berlaku
padanya.13
5. Landasan tentang Larangan Asuransi Bisnis
Dalam menentukan hukum asuransi Wahbah az-Zuhaili
mengelompokkan asuransi ke dalam dua bentuk, yaitu at-ta’mi >n at-ta’awuni
dan at-ta’mi >n bi qist sabit. hukum at-ta’mi>n at-ta’awuni menurut Wahbah
az-Zuhaili diperbolehkan, karena dalam asuransi tersebut terdapat unsur
tolong-menolong sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Maidah
ayat 2.
Hukum at-ta’mi >n biqist sabit tidak diperbolehkan menurut Wahbah az-
Zuhaili, karena dalam asuransi tersebut terdapat unsur gharar. Sebagaimana
yang terdapat dalam hadits Nabi s.a.w. yang melarang jual beli gharar.
13 Zuhaili, Fiqih Islam, 115.
55
ه ا رسول نهي يعه ب عن و ةه الحصا بيعه عن سلم و عليهه الل صل لل
الغرر
”Rasulullah s.a.w. melarang jual beli hasha>h dan jual beli gharar”
Selain unsur gharar, unsur riba juga terdapat di dalam asuransi bisnis.
Perusahaan asuransi menginvestasikan modalnya di perusahaan-perusahaan
yang menggalakkan riba. Kadang-kadang dalam kasus asuransi jiwa,
perusahaan asuransi memberi bunga. Sementara itu riba diharamkan secara
pasti dalam Islam.
ين يأ ٱ بو ٱكلون لذه ن ط لشي ٱلذهي يتخبطه ٱا ل يقومون إهل كما يقوم لر
ن ث بي ل ٱا إهنما قالو لهك بهأنهم ذ مس ل ٱمه بو ٱل ع مه لر ع بي ل ٱلل ٱوأحل ا
بو لر ٱوحرم ا
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.”14
unsur judi yang terdapat dalam asuransi bisnis disebabkan karena ada
untung-untungan dalam kompensasi finansial, dimana pihak penerima
asuransi membayar premi yang jumlahnya sedikit dan menunggu
keuntungan yang besar. Di dalam Islam judi merupakan perbuatan yang
dilarang. Sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 90.
14 al-Qur’an, 2:275.
56
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.15
Wahbah az-Zuhaili juga menyertakan farwa Ibn ‘Abidin tentang
haramnya asuransi laut, yaitu asuransi untuk memberi jaminan asuransi
terhadap barang atau komoditas impor lewat laut bila terjadi kerusakan di
kapal. Pedagang tidak boleh mengambil kompensasi barang yang rusak dari
pemberi asuransi. Karena, transaksi ini termasuk menjamin sesuatu yang
tidak wajib dijamin, asuransi tidak dapat disamakan dengan jaminan pihak
yang dititipi barang jika menerima upah dari pihak penitip barang dan barang
itu rusak, asuransi tidak bisa disamakan dengan penjaminan orang yang
memanipulasi barang.
Tidak boleh mengategorikan asuransi sebagai kongsi mudha>rabah
karena premi yang diberikan oleh penerima asuransi kepada pihak pemberi
asuransi menjadi milik perusahaan asuransi secara otomatis, ketika pihak
penerima asuransi dunia maka dalam aturan transaksi boleh jadi kompensasi
tidak diberikan kepada ahli warisnya tetapi kepada orang yang disebutkan
15 Ibid, 5:90.
57
namanya transaksi asuransi. Dalam sistem mudha>rabah apabila pihak
pemodal meninggal dunia maka bisa berpindah kepada ahli warisnya.
Pada intinya, traksaksi asuransi merupakan salah satu bentuk transaksi
yang mengandung gharar, yaitu transaksi yang mengandung kemungkinan
adanya barang atau sebaliknya. Sedangkan Nabi s.a.w. melarang jual beli
gharar. Larangan jual beli yang mengandung gharar juga berlaku pada
transaksi kompensasi-kompensasi keuangan, karena gharar mempengaruhi
transaksi ini, sebagaimana berpengaruh pada jual beli.16
C. Landasan Asuransi Syariah di Indonesia
1. Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah
Dalam ketentuan umum fatwa DSN-MUI tentang pedoman asuransi
syariah menentukan:
“asuransi syariah (ta’mi >n, taka>ful atau tadha>mun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk asset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan syariah.”
“akad yang sesuai syariah adalah yang tidak mengandung gharar
(penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap),
barang haram, dan maksiat.”
Akad yang bisa digunakan dalam asuransi syariah, yaitu:
1. Akad tija>rah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan
komersial.
16 Ibid, 106-108.
58
2. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
Yang dimaksud dengan premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk
memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan
kesepakatan dalam akad. Sedangkan klaim adalah hak peserta aasuransi yang
wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam
akad.
Ketentuan akad dalam asuransi syariah yaitu akad tija>rah adalah akad
mudha>rabah, sedangkan akad tabarru’ adalah hibah. Dalam akad sekurang-
kurangnya harus disebutkan: (a) hak dan kewajiban peserta dan perusahaan;
(b) cara dan waktu pembayaran premi; (c) jenis akad tija>rah dan/atau akad
tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi
yang diakadkan.
Kedudukan para pihak dalam akad tija>rah (mudha>rabah), perusahaan
bentindak sebagai mudha>rib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai sha>hib
al-ma>l (pemegang polis). Sedangkan dalam akad tabarru’ (hibah), peserta
memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang
terkena musibah, dan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Ketentuan dalam akad Tija>rah dan Tabarru’ adalah jenis akad tija>rah
dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya,
dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak
yang belum menunaikan kewajibannya. Jenis akad tabarru’ tidak dapat
diubah menjadi jenis akad tija>rah.
59
Jenis Asuransi dan Akadnya dalam asuransi syariah adalah segi jenis
asuransi terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Sedangkan akad bagi
kedua jenis asuransi tersebut adalah mudha>rabah dan hibah.
Ketentuan premi dalam asuransi syariah adalah:
a. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tija>rah dan jenis akad
tabarru’.
b. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat
menggunakan rujukan, misalnya tabel moralita untuk asuransi jiwa dan
tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak
memasukkan unsur riba dalam perhitungannya.
c. Premi yang berasal dari jenis akad mudha>rabah dapat diinvestasikan dan
hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
d. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru’ dapat diinvestasikan.
Ketentuan dalam pemberian klaim dalam asuransi syariah adalah:
a. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal
perjanjian.
b. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang
dibayarkan.
c. Klaim atas akad tija>rah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan
merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
d. Klaim atas akad tabarru’ merupakan hak peserta dan merupakan
kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
60
Dalam melakukan investasi Perusahaan selaku pemegang amanah wajib
melakukan investasi dari dana yang terkumpul. Investasi wajib dilakukan
sesuai dengan syariah.
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan
reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah.17
2. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tentang Ta’mi>n
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, peraturan asuransi dan
reasuransi terdapat dalam bab XX tentang ta’mi >n pasal 548-568.
Asuransi (ta’mi >n) menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang pihak penanggung mengikatkan
diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk menerima
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari peristiwa
yang tidak pasti.
Pasal 548 menyebutkan tentang akad yang dapat digunakan pada ta’mi >n
dan i’adah ta’mi >n adalah: Waka>>lah bil ujrah, Mudha>rabah, dan Tabarru’.
Pada pasal 549 menjelaskan tentang prinsip waka>lah bil ujrah pada
ta’mi >n dan i’adah ta’mi >n adalah:
1. Waka>lah bil ujrah boleh dilakukan antar perusahaan ta’mi >n, agen sebagai
bagian dari perusahaan dengan peserta.
17 Lihat Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
61
2. Waka>lah bil ujrah dapat diterapkan pada produk ta’mi >n syariah yang
mengandung unsur tabungan maupun unsur nontabungan.
Objek waka>lah bil ujrah sebagaimana disebutkan dalam pasal 550
meliputi antara lain: kegiatan administrasi, pengelolaan dana, pembayaran
klaim, dhaman ishdar/underwrutung, pengelolaan portofolio risiko,
pemasaran, dan investasi.
Dalam akad waka>lah bil ujrah harus mencantumkan, antara lain (pasal
551):
1. Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan;
2. Besaran, cara dan waktu pemotongan ujrah fee dari premi;
3. Syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis ta’mi >n yang ditransaksikan.
Kedudukan para pihak dalam waka>lah bil ujrah sebagaimana diatur
dalam pasal 552.
1. Perusahaan bertindak sebagai wakil yang mendapat kuasa untuk
mengelola dana;
2. Peserta/pemegang polis sebagai individu, dalam produk tabungan dan
nontabungan bertindak sebagai pemberi kuasa untuk mengelola dana;
3. Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun nontabungan,
bertindak sebagai pemberi kuasa untuk mengelola dana;
4. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang
diterimanya, kecuali atas izin pemberi kuasa/pemegang polis;
5. Akad waka>lah bersifat amanah dan bukan tanggungan sehingga wakil
tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi
62
imbalan yang telah diterima oleh perusahaan ta’mi >n, kecuali karena
kecerobohan, wanprestasi, dan perbuatan melawan hukum, di samping
sifat akad pada umumnya;
6. Perusahaan ta’mi >n sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari
hasil investasi apabila transaksi yang digunakan adalah pelaksanaan akad
waka>lah.
Dalam menginvestasikan dananya sebagaimana dalam pasal 553,
perusahaan sebagai pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang
terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah. Dalam
pengelolaan dana investasi, baik tabungan maupun nontabungan, dapat
digunakan akad waka>lah bil ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di atas
atau akad mudha>rabah dengan mengikuti ketentuan mudha>rabah.
Selain akad waka>lah bil ujrah, asuransi dan reasuransi syariah juga dapat
menggunakan akad mudha>rabah musytarakah. Pasal 554 menjelaskan tentang
ketentuan hukum dari akad mudha>rabah musytarakah:
1. Akad yang digunakan adalah akad mudha>rabah musytarakah merupakan
perpaduan akad mudha>rabah dengan transaksi musyarakah dengan
ketentuan yang mengikat pada masing-masing transaksi.
2. Perusahaan ta’mi >n sebagai mudha>rib menyertakan modal atau dananya
dalam investasi bersama peserta.
3. Modal atau dana perusahaan ta’mi >n dan dana peserta diinvestasikan
secara bersama-sama dalam portofolio.
4. Perusahaan ta’mi >n sebagai mudha>rib mengelola investasi dana tersebut.
63
Dalam Pasal 555 menjelaskan tentang hak dan kewajiban masing-masing
pihak dalam transaksi mudha>rabah musytarakah, besaran, cara, dan waktu
pembagian hasil investasi, dan syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai
dengan produk ta’mi >n yang ditransaksikan.
Pasal 556 menjelaskan tentang ketentuan hukum dari transaksi
mudha>rabah musytarakah pada ta’mi >n dan i’adah ta’mi >n:
1. Mudha>rabah musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan ta’mi >n,
karena merupakan bagian dari hukum mudha>rabah.
2. Mudha>rabah musytarakah dapat diterapkan pada produk ta’mi >n dan
i’adah ta’mi >n yang menggunakan unsur tabungan maupun nontabungan.
Pembagian hasil investasi dapat dilakukan dengan salah satu alternativ
sebagai yang terdapat dalam pasal 557 berikut:
1. Hasil investasi dibagi antara perusahaan sebagai pengelola modal dan
peserta sebagai pemilik modal sesuai dengan nisbah yang disepakati,
atau hasil investasi sesudah diambil oleh/dipisahkan untuk/disisihkan
untuk perusahaan sebagai pengelola modal, dibagi antara perusahaan
dengan para peserta sesuai dengan porsi masing-masing.
2. Hasil investasi dibagi secara proporsional atau bagian hasil investasi
sesudah diambil/dipisahka/disishkan untuk perusahaan, dibagi antara
perusahaan sebagai pengelola modal dengan peserta sesuai dengan
nisbah yang disepakati.
64
Pasal 558 menjelaskan tentang apabila terjadi kerugian maka lembaga
keuangan syariah sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan
porsi modal yang disertakan.
Pasal 559 menjelaskan tentang perusahaan ta’mi >n selaku pemegang
amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul. Investasi
sebagaimana dalam ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.
Ketentuan umum dari ta’mi >n dan i’adah ta’mi >n nontabungan adalah
sebagaimana disebutkan dalam pasal 560, yaitu:
1. Akad nontabungan harus melekat pada semua produk ta’mi>n dan i’adah
ta’mi >n.
2. Akad nontabungan pada ta’mi >n dan i’adah ta’mi >n berlaku pada semua
bentuk transaksi yang dilakukan antarpeserta pemegang polis.
3. Ta’mi >n dan i’adah ta’mi >n yang dimaksud pada huruf a adalah:
1) Ta’mi >n ‘ala hayat / ta’mi >n jiwa;
2) Ta’mi >n ‘ala khasarah / ta’mi >n kerugian.
Pasal 561 menjelaskan bahwa akad nontabungan pada ta’mi >n dan i’adah
ta’mi >n mengikat semua bentuk transaksi yang dilakukan dalam bentuk hibah
dengan tujuan tolong-menolong antarpeserta, bukan untuk tujuan komersial.
Pasal 562 menjelaskan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak,
tata cara pembayaran premi dan klaim serta syarat-syarat lain yang disepakati
dalam transaksi.
Kedudukan para pihak dalam transaksi nontabungan dalam pasal 563
adalah:
65
1. Dalam transaksi nontabungan, peserta memberikan dana hibah yang
digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang terkena
musibah;
2. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana
nontabungan dan secara kolektif selaku penanggung; dan
3. Perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar transaksi
waka>lah dari para peserta di luar pengelolaan investasi.
Pasal 564 menjelaskan tentang bagaimana pengelolaan dana
nontabungan, yaitu:
1. Pengelola ta’mi >n dan i’adah ta’mi >n hanya boleh dilakukan oleh suatu
lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Pembukuan dana nontabungan harus terpisah dari dana lainnya.
3. Hasil investasi dari dana nontabungan menjadi hak kolektif peserta dan
dibukukan dalam akun nontabungan.
4. Dari hasil investasi, perusahan ta’mi >n dan i’adah ta’mi>n dapat
memperoleh bagi hasil berdasarkan transaksi mudha>rabah atau transaksi
mudha>rabah musytarakah atau memperoleh upah berdasarkan transaksi
waka>lah bil ujrah.
Dalam pasal 565 dijelaskan tentang alternatif yang dapat digunakan
apabila terjadi kelebihan dana nontabungan, yaitu:
1. Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun
nontabungan;
66
2. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian
lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen
risiko; dan
3. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian
lainnya kepada perusahaan ta’mi >n dan i’adah ta’mi >n dan para peserta
sepanjang disepakati oleh para peserta.
Bilamana terjadi kekurangan dana tabarru’ sebagaimana disebutkan
dalam pasal 566, maka perusahaan ta’mi >n dan i’adah ta’mi >n wajib
menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk pinjaman. Pengembalian
dana pinjaman kepada perusahaan ditutup dari surplus dana nontabungan.
Pasal 567 menjelaskan tentang penyelenggaraan ta’mi >n haji yang dapat
dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:
1. Berdasarkan prinsip-prinsip syariah;
2. Bersifat tolong-menolong antarsesama jemaah haji;
3. Transaksi bertujuan untuk menolong sesama jemaah haji yang terkena
musibah kecelakaan atau kematian; dan
4. Transaksi dilakukan antara jemaah haji sebagai peserta ta’mi >n
nontabungan dengan Lembaga Asuransi Syariah yang bertindak sebagai
pengelola dana nontabungan.
Pasal 568 menjelaskan tentang ketentuan penyelenggaraan ta’mi >n haji,
yaitu:
67
1. Dalam penyelenggaraan ta’mi >n haji:
a. Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk dari seluruh
jamaah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Jemaah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana
nontabungan yang merupakan bagian dari komponen Biaya
Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
2. Premi ta’mi >n haji yang diterima harus dipisahkan dari premi ta’mi >n
lainnya.
3. Perusahaan ta’mi >n dapat menginvestasikan dana kebajikan.
4. Perusahaan ta’mi >n berhak memperoleh imbalan atas pengelolan dana
nontabungan yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan
wajar.
5. Perusahaan ta’mi >n berkewajiban membayar klaim kepada jamaah haji
sebagai peserta ta’mi>n berdasarkan kesepakatan yang disepakati pada
awal perjanjian.
6. Kelebihan biaya operasional haji adalah hak jamaah haji yang
pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang
polis induk untuk kemaslahatan umat.18
18Lihat Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XX tentang Ta’mi >n Pasal 548-568.
68
BAB IV
ANALISIS
A. Analisis Terhadap Apa yang Melandasi Pemikiran Wahbah Az-Zuhaili
Tentang Ketidaksetujuannya Terhadap Asuransi Bisnis
Dalam Islam istilah asuransi dikenal dengan ta’mi >n disebabkan pemegang
polis sedikit banyak telah merasa aman begitu mengikatkan dirinya sebagai
anggota atau nasabah asuransi. Pengertian yang lain dari at-ta’mi >n adalah
seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan agar pemegang polis atau
ahli warisnya mendapat sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau
untuk mendapatkan ganti rugi terhadap hartanya yang hilang.
Kontrak asuransi dibuat berdasarkan prinsip ketidakpastian, kejadian yang
tidak menentu yang meliputi spekulasi suatu risiko. Baik peserta asuransi
maupun pengusaha asuransi menyepakati suatu kesepakatan untuk menanggung
risiko, pihak pertama mengalihkan risiko kerugian dan pihak kedua memperoleh
premi.
Dalam menentukan hukum asuransi, Wahbah az-Zuhaili
menggelompokkan asuransi tersebut kedalam dua jenis asuransi, yaitu at-ta’mi >n
at-ta’awuni dan at-ta’mi >n bi qist sabit. At-ta’m >in at-ta’awuni atau asuransi
kooperatif adalah sekelompok orang yang sepakat agar masing-masing dari
mereka membayar saham uang dalam jumlah tertentu dengan tujuan memberi
kompensasi bagi anggota yang terkena musibah tertentu. At-ta’mi >n at-ta’awuni
senada dengan konsep taka>ful yang terdapat dalam fiqih muamalah. Taka>ful
69
merupakan bentuk saling memikul resiko diantara sesama orang antara satu
dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya.
Kesediaan menanggung risiko pada hakikatnya merupakan wujud tolong-
menolong atas dasar kebaikan (tabarru’) untuk meringankan beban penderitaan
saudaranya yang tertimpa musibah. Dalam konteks kehidupan warga masyarakat
yang saling memberikan pertolongan dan perlindungan maka akan terwujud
kehidupan sosial yang stabil dan damai sebagai realisasi dari kesadaran
masyarakat untuk berbuat kebajikan yang didasari nilai keimanan kepada
Tuhannya. Saling pikul ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan
dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’ atau dana ibadah,
sumbangan, derma yang ditujukan untuk menanggung resiko. Sebagaimana
firman Allah s.w.t dalam QS. al-Ma’idah ayat 2 “dan tolong-menolonglah kamu
dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan
permusuhan”. Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan agar dalam kehidupan
bermasyarakat ditegakkan nilai tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa.
Hukum at-ta’mi >n at-ta’awuni menurut Wahbah az-Zuhaili adalah
diperbolehkan, karena dalam asuransi ini terdapat unsur tolong-menolong
(tabarru’) di antara para peserta asuransi. Tolong-menolong dalam hal kebaikan
di dalam Islam sangatlah dianjurkan. Dalam hal ini para peserta asuransi
membayar atau menghibahkan sejumlah uang tertentu sesuai dengan
kesepakatan bersama. Apabila salah satu dari peserta tersebut mendapat musibah
maka akan diberi pertanggungan dari dana yang terkumpul tersebut.
70
Prinsip asuransi ini menekankan pada semangat kebersamaan dan tolong-
menolong (ta’awun). Semangat asuransi menginginkan berdirinya sebuah
masyarakat mandiri yang tegak di atas asas saling membantu dan saling
menopang, karena setiap muslim terhadap muslim yang lainnya sebagaimana
sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain.
Dalam model asuransi ini, tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan,
karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata sedekah dari hasil harta
yang dikumpulkan. Selain itu keberadaannya akan membawa kemajuan dan
kesejahteraan kepada perekonomian umat.
At ta’mi>n bi qist sabit atau asuransi dengan bayaran tetap adalah akad
yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi
yang terdiri atas beberapa orang pemegang saham dengan perjanjian apabila
peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi. At ta’mi >n bi qist sabit
lebih di kenal dengan asuransi bisnis, disebut juga asuransi konvensional.
Konsep dasar asuransi ini adalah adalah jual beli antara peserta dan perusahaan
asuransi. Hal ini dapat dipahami dari arti asuransi secara umum yang berarti
“jaminan”. Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa prinsip
pengelolaan risiko asuransi bisnis (konvensional) adalah transfer risiko (risk
transfer) yaitu prinsip risiko dengan cara mentransfer atau memindahkan risiko
peserta asuransi ke perusahaan asuransi.
Hukum asuransi tersebut menurut Wahbah az-Zuhaili tidak diperbolehkan.
Yang menjadi landasan pelarangan asuransi bisnis, yaitu karena mengandung
riba, gharar, dan judi.
71
Unsur riba dalam asuransi tersebut karena adanya kompensasi dari sumber
yang mengandung syubhat, perusahaan asuransi menginvestasikan modalnya di
perusahaan-perusahaan yang menggalakkan riba. Kita dapat melihat dari
manfaat asuransi bagi kedua belah pihak, beberapa jenis asuransi juga berfungsi
sebagai tabungan atau sumber pendapatan. Yakni, selain memberikan
perlindungan, penanggung juga memberikan manfaat berupa bunga dari hasil
akumulasi total premi yang dibayarkan. Sementara itu perusahaan asuransi juga
memperoleh bunga dari invesrasi disurat-surat berharga. Sebagaimana firman
Allah s.w.t dalam surat al-Baqarah ayat 275 tentang pelarangannya terhadap
riba.
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.
Adanya unsur gharar dalam asuransi bisnis menurut Wahbah az-Zuhaili
disebabkan karena pada dasarnya, transaksi asuransi berstatus transaksi yang
mengandung gharar yaitu transaksi spekulatif dimana objek transaksi (barang
atau harga) ada kemungkinan diperoleh atau tidak diperoleh.
Sebagaimana yang terdapat dalam asuransi bisnis, objek asuransi adalah
suatu peristiwa yang tidak diketahui kapan terjadinya, apabila peristiwa yang
diasuransikan terjadi maka ia akan memperoleh pertanggungan dan apabila
peristiwa yang diasuransikan tidak terjadi maka ia tidak memperoleh
pertanggungan. Pihak tertangung tidak mengetahui sumber dana pembayaran
klaim berasal manakala ia meninggal atau mendapat musibah sebelum premi
72
yang harus dibayarkan terpenuhi. Sementara ada hadits shahih yang
diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah dari banyak sahabat Nabi, seperti hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menyatakan,
“Rasulullah s.a.w. melarang jual beli hashah dan jual beli gharar”.
Hadits ini hanya menyebutkan jual beli, tetapi berlaku juga untuk semua
transaksi kompensasi finansial karena unsur gharar berpengaruh di dalamnya
seperti ia berpengaruh dalam transaksi jual beli.
Adanya unsur judi yang terdapat dalam asuransi bisnis disebabkan karena
ada untung-untungan dalam kompensasi finansial, dimana pihak penerima
asuransi membayar premi yang jumlahnya sedikit dan menunggu keuntungan
yang besar. Di dalam Islam judi merupakan perbuatan yang dilarang.
Sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 90.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Asuransi merupakan suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian
kecil yang sudah pasti sebagai pengganti kerugian besar yang belum pasti. Unsur
gharar yang terkandung dalam asuransi bisnis memberi indikasi bahwa asuransi
juga mengandung unsur ketidakjelasan atau kekaburan (jahalah). Ketidakjelasan
mengenai jumlah uang yang akan diberikan masing-masing dari pihak penerima
dan pemberi asuransi. Selain unsur riba, gharar, dan jahalah, dalam
kesimpulannya Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa asuransi bisnis menjadi
haram karena adanya unsur gaban dan judi.
73
Wahbah az-Zuhaili juga menyertakan pendapat Ibn ‘Abidin, bahwa
asuransi bisnis tidak dapat disamakan dengan kafalah dan mudha>rabah.
Dapat disimpulkan bahwa yang dijadikan landasan oleh Wahbah az-
Zuhaili melarang asuransi bisnis adalah surat al-Baqarah ayat 275 tentang riba,
surat al-Maidah ayat 90 tentang judi, hadits Nabi s.a.w. yang melarang jual beli
gharar, serta fatwa Ibn ‘Abidin tentang haramnya asuransi laut.
B. Analisis Terhadap Implikasi Pemikiran Wahbah az-Zuhaili Tentang
Penolakan Asuransi terhadap Perkembangan Asuransi Syariah di
Indonesia.
Secara historis, kajian tentang pertanggungan telah dikenal sejak zaman
dahulu dan telah dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat, walaupun dalam
bentuk yang sederhana. Ini dikarenakan nilai dasar penopang konsep
pertanggungan yang terwujud dalam bentuk tolong-menolong sudah ada
bersamaan dengan adanya manusia.
Kebutuhan akan kehadiran jasa asuransi yang berdasarkan syariah diawali
dengan mulai beroperasinya bank-bank syariah. Hal tersebut sesuai dengan
Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Ketentuan
Pelaksanaan Bank Syariah. Pada tanggal 27 Juli 1993 dibentuk tim TEPATI
(Tim Pembentukan Takaful Indonesia) yang disponsori oleh Yayasan Abdi
Bangsa (ICMI), Bank Mu’amalat Indonesia, Asuransi Tugu Mandiri, dan
Departemen Keuangan (Depkeu). Selanjutnya beberapa orang anggota tim
TEPATI berangkat ke Malaysia untuk mempelajari operasional asuransi Islam
pada tanggal 7-10 September 1993. Setelah itu melakukan berbagai persiapan,
74
termasuk melakukan seminar nasional bulan Oktober 1993 di Hotel Indonesia.
Pada tanggal 23 Agustus 1994, Asuransi Takaful Indonesia berdiri secara resmi
berdasarkan Surat Keputusan Nomor Kep-385/KMK.017/1994 tanggal 4
Agustus 1994.
Peraturan tentang asuransi syariah di Indonesia hingga saat ini masih
mengacu kepada Fatwa DSN-MUI dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
At’ta’mi >n at-ta’awuni menurut Wahbah az-Zuhaili, adalah sekelompok
orang yang sepakat agar masing-masing dari mereka membayar saham uang
dalam jumlah tertentu dengan tujuan memberi kompensasi bagi anggota yang
terkena musibah tertentu. Pelaku usaha dalam asuransi ini bukanlah sebuah
organisasi yang berdiri sendiri dan terpisah dari orang-orang penerima asuransi.
Anggota yang terlibat dalam asuransi ini tidak bertujuan untuk memperoleh
keuntungan, namun bertujuan untuk meringankan baban kerugian yang
ditimbulkan oleh bencana yang menimpa sebagian anggotanya.
Asuransi ini termasuk sumbangan sukarela, juga termasuk salah satu
bentuk tolong- menolong dalam hal kebaikan dan kebajikan yang dianjurkan
dalam syariat Islam. Setiap anggota dalam asuransi ini membayar cicilan atas
dasar keikhlasan demi meringankan beban dari dampak-dampak bahaya dan
memperbaiki hal-hal yang rusak akibat bahaya yang melanda salah seorang dari
anggotanya, bagaimanapun bentuk bahaya baik bahaya yang melanda jiwa,
jasmani, barang-barang akibat kebakaran, pencurian, kematian hewan,
kecelakaan-kecelakaan lalu lintas, maupun bahaya dalam dunia kerja.
75
Fatwa DSN-MUI tentang pedoman umum asuransi syariah dijelaskan yang
dimaksud dengan asuransi syariah (ta’mi >n, taka>ful atau tadha>mun) adalah usaha
saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk asset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang
sesuai dengan syariah.
Dari definisi asuransi menurut fatwa DSN-MUI dan Wahbah az-Zuhaili
tersebut memiliki persamaan yaitu, akad yang dilakukan diantara sejumlah pihak
dengan membayar iuran sejumlah uang tertentu yang akan digunakan untuk
memberikan bantuan apabila salah satu dari anggota tersebut mendapat musibah.
Sedangkan perbedaannya adalah dalam definisi asuransi syariah menurut
DSN-MUI terdapat kata “investasi” yang mengindikasikan bahwa dalam
asuransi syariah tersebut tidak hanya menggunakan akad tabarru’ sebagaimana
konsep at-ta’mi >n at-ta’awuni.
Perjanjian antara peserta asuransi dan perusahaan asuransi dapat
menggunakan beberapa akad, yaitu dalam fatwa DSN-MUI tentang pedoman
umum asuransi syariah akad yang dilakukan antara peserta dan perusahaan
asuransi adalah akad tabarru’ dan akad tija>rah. Yang dimaksud akad tija>rah
adalah akad mudha>rabah. Selain akad mudha>rabah dalam perkembangannya
akad yang dapat digunkakan adalah mudha>rabah musytarakah, dan waka>lah bil-
ujrah. Dalam pasal 548 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah akad yang
digunakan pada ta’mi >n dan i’adah ta’mi >n adalah waka>lah bil ujrah,
mudha>rabah, dan tabarru’. Akad tersebut digunakan sebagai acuan dalam
76
pembayaran premi. Dalam asuransi syariah di Indonesia terdapat dua jenis
premi, yaitu premi dengan unsur tabungan dan premi dengan unsur
nontabungan. Dengan ketentuan akad tabarru’ harus melekat pada setiap
perjanjian asuransi.
Dengan adanya akad-akad tijarah tersebut menjadikan konsep asuransi
syariah di Indonesia sangat berbeda dengan at-ta’min at-ta’awuni menurut
Wahbah az-Zuhaili. Sehingga dalam asuransi syariah tersebut yang dapat
dikatakan sebagai pertanggungan hanyalah asuransi dengan akad tabarru’ dan
asuransi dengan akad tija>rah dengan premi nontabungan. Akad tija>rah dengan
premi tabungan tidak dapat dikatakan sebagai asuransi. Sebagaimana kita
menabung di perbankkan, uang yang kita tabung tersebut akan kembali kepada
kita kapanpun kita membutuhkannya. Sementara itu dalam at-ta’mi >n at-
ta’awuni menggunakan akad hibah. Ketika seseorang dengan keikhlasan hatinya
memberikan sesuatu maka ia tidak diperkenankan untuk mengambil kembali apa
yang telah dihibahkan tersebut.
Dalam ketentuan akad asuransi, baik Wahbah az-Zuhaili maupun Fatwa
DSN-MUI menjelaskan bahwa akad di dalam asuransi harus terbebas dari unsur
gharar, riba, dan judi. Wahbah az-Zuhaili menambahkan bahwa akad asuransi
juga harus terbebas dari unsur gaban dan jahalah, sementara itu dalam fatwa
DSN-MUI akad asuransi juga harus terbebas dari unsur suap, barang haram, dan
maksiat.
Hukum reasuransi menurut Wahbah az-Zuhaili sama dengan hukum
asuransi itu sendiri. Dengan demikian perusahaan asuransi kooperatif bisa
77
melakukan transaksi asuransi dengan perusahaan asuransi kooperatif lainnya,
dan begitupun sebaliknya mengenai reasuransi bisnis, dimana hukum asuransi
bisnis berlaku padanya. Sedangkan dalam fatwa DSN-MUI tentang pedoman
asuransi syariah dijelaskan bahwa asuransi syariah hanya dapat melakukan
reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berdasarkan prinsip syariah.
Dapat disimpulkan bahwa dampak (implikasi) pemikiran Wahbah az-
Zuhaili tentang penolakan asuransi bisnis terhadap asuransi syariah di Indonesia,
yaitu:
Menurut Wahbah az-Zuhaili akad yang dapat digunakan dalam asuransi
adalah akad hibah (pemberian), hal ini dituangkan dalam ketentuan akad
asuransi syariah dalam Fatwa DSN-MUI tentang pedoman umum asuransi
syariah pada akad tabarru’ serta akad tija>rah dengan premi nontabungan dan
pasal 560 tentang ketentuan umum dari ta’mi >n dan i’adah ta’mi >n nontabungan
dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Akad asuransi juga harus terbebas
dari unsur gharar, riba, dan judi. Menurut Wahbah az-Zuhaili hukum reasuransi
sama dengan asuransi itu sendiri. Perusahaan asuransi kooperatif bisa melakukan
transaksi asuransi dengan perusahaan asuransi kooperatif lainnya. Hal ini
terdapat dalam ketentuan reasuransi dalam Fatwa DSN-MUI bahwa asuransi
syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang
berlandaskan prinsip syariah.
78
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dalam menentukan hukum asuransi, Wahbah az-Zuhaili membagi asuransi
tersebut kedalam dua bentuk yaitu at-ta’mi >n at-ta’awuni dan at-ta’mi>n bi qist
sabit. Hukum at-ta’mi>n at-ta’awuni diperbolehkan karena adanya unsur
tolong-menolong yang dianjurkan dalam Islam. Sedangkan at-ta’mi >n bi qist
sabit tidak diperbolehkan karena adanya unsur gharar, riba, jahalah, dan judi.
Yang melandasi pemikiran Wahbah az-Zuhaili tentang pelarangan terhadap
asuransi bisnis adalah surat al-Baqarah ayat 275 tentang riba, surat al-Maidah
ayat 90 tentang judi, hadits Nabi s.a.w. yang melarang jual beli gharar, serta
fatwa Ibn ‘Abidin tentang haramnya asuransi laut.
2. Implikasi pemikiran Wahbah az-Zuhaili terhadap perkembangan asuransi
syariah di Indonesia adalah adanya akad tabarru’ serta akad tijarah dengan
premi nontabungan dalam fatwa DSN-MUI tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah maupun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tentang
Ta’mi >n dan I’adah Ta’mi >n pada akad nontabungan. Hukum reasuransi sama
dengan hukum asuransi itu sendiri, asuransi kooperatif (at-ta’mi >n a-ta’awuni)
bisa melakukan transaksi asuransi dengan perusahaan asuransi kooperatif
lainnya, perusahaan asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi
kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah.
79
B. SARAN
Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberikan informasi dan bahan
pertimbangan bagi perusahaan asuransi syariah dalam menawarkan produk-
produknya di masyarakat. Dimana, ketika menawarkan produk asuransi di
masyarakat terlebih dahulu benar-benar menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Rasul
s.a.w. sebagai dasar dan pedoman dalam pelaksanaannya, yaitu dengan melihat
dari segi akad.
Diharapkan kepada pemerintah agar membentuk suatu badan yang
mengawasi jalannya operasional asuransi syariah, agar dalam operasionalnya
perusahaan asuransi syariah tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.
80
DAFTAR PUSTAKA
Ali, AM. Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Prenada
Media, 2004.
Anshori, Abdul Ghofur Asuransi Syariah Di Indonesian. Yogyakarta: UII Press,
2007.
Azizah, Laelatul Azizah. Pandangan Wahbah az-Zuhaili Terhadap Pematokan
Harga Komoditi Perdagangan. Skripsi IAIN Purwokerto, 2017.
Azwar, Saifuddin Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Isla>m Wa Adillatuhu 5, terj. Abdul Hayyie al-Kattani.
Jakarta: Gema Insani, 2011.
Biografi Wahbah az-Zuhaili dalam http://etheses.uin-
malang.ac.id/294/7/10210084%20Bab%203.pdf, (diakses pada tanggal 7
Januari 2018)
Bukhari, Imam. Shahih al-Bukhari juz 3. Lebanon: Dar al-Fikr, 1981.
Dahlan, Abdul Aziz Dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Heove, 1996.
Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Indah Press, 1994.
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2015.
Ghofur, Saiful Amin Ghofur. Profil Para Mufasir al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Gajah Mada, 1980.
Handiman, Ade Artesa dan Edia. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Jakarta: Permata Putri Media, 2006.
Hardi, Eja Armaz. “Studi Komparatif Takaful dan Asuransi Konvensional”,
dalam http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article...(diakses
pada tanggal 25 April 2018).
81
Heykal, Nurul Huda dan Mohamad. Lembaga Keuangan Islam Tinjauan
Teoritis Dan Praktis. Jakarta: Kencana, 2010.
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5837dfc66ac2d/kedudukan-fatwa-mui-
dalam-hukum-indonesia, diakses pada tanggal 25 April 2018.
Husein, Rahmat. Asuransi Takaful Selayang Pandang Dalam Wawasan Islam
Dan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE- UI,1997.
Indriansyah, Fajar. Pandangan Wahbah Az-Zuhaili Dan Muhammad Syahrur
Tentang Kepemimpinan Poliik Perempuan. Skripsi UN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2016.
Karya-Karya Wahbaha z-Zuhaili dalam
http://digilib.uinsby.ac.id/6439/5/Bab%202.pdf, (diakses pada tanggal 7
Januari 2018).
Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2001.
Khoirudin, Muhammad Khoirudin. Kumpulan Biografi Ulama Kontemporer.
Bandung: Pustaka Ilmi, 2003.
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Muslim, Imam. Shohih Muslin IX . Bairut: Darul Fikri, t.th.
Nasution, Nila Sari. Hak Atas Air Irigasi Menurut Wahbah az-zuhaili (Studi
Kasus di Desa Panyabungan Tonga Kec. Panyabungan. Skripsi UIN
SUMUT, Medan, 2017.
Nikmah, Khilyatun. Wahbah Az-Zuhaili dan Istidlalnya tentang Zakat Properti.
Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Pendapat Ulama Tentang Asuransi dalam
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab (diakses pada tanggal 12
Juli 2018).
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM). Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2009.
Rahayu, Lisa. Makna Qaulan dalam al-Qur’an; Tinjauan Tafsir Tematik
Menurut Wahbah al-Zuhailī. Skripsi Fakutas Ushuluddin Univesitas UIN
SUSKSA Riau, 2010.
S, Burhanuddin. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2010.
82
Salim, Abu Malik Kamal bin as Sayyid Shahih Fiqih Sunnah, Terj. M.
Nashiruddin Al-Albani, dkk. Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006.
Saputra, Hijrah dkk, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah
Nasional MUI. Jakarta: Erlangga, 2014.
Seomitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana,
2009.
Shadily, John M. Echols dan Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Sula, Muhammad Syakir. Asuransi Sariah (Life And General). Jakarta : Gema
Insani, 2004.
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. KMA/097/SK/X/2006.
Suryadi. Studi Pemikiran Wahbah Al-Zuhaili Pendistribusian Zakat Pada Asnaf
Gharimin Sebagai Ibra’. Skripsi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2012.
Ulfah, Abdul Aziz dan Mariyah Kapita. Selekta Ekonomi Islam Kontemporer.
Bandung: Alfabeta, 2010.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha
Perasuransian.
Undang-Undang Republik Indonesia No.40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : WIWIN INDARTI
NIM : 210213010
Fakultas : Syariah
Jurusan : Muamalah
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis
ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilan alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil
tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Ponorogo, 8 Juni 2018
Yang Membuat Pernyataan,
WIWIN INDARTI
NIM: 210213010
RIWAYAT HIDUP
Wiwin Indarti dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1994 di Desa Gedangan
Kecamatan Ngrayun, Ponorogo, putri dari pasangan suami istri Parjan dan Partini.
Pendidikan dasar ditamatkan pada tahun 2007 di SDN 7 Baosan Kidul Kecamatan
Ngrayun.
Pendidikan berikutnya dijalani di MTs Ma’arif al-Hikmah Ngrayun
diselesaikan pada tahun 2010. Kemudian ia melanjutkan ke sekolah yang sama di
MA al-Hikmah Ngrayun lulus pada tahun 2013.
Dan pada tahun 2013 ia melanjutkan pendidikannya ke Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Ponorogo dengan mengambil jurusan Muamalah.
Recommended