View
217
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
KAJIAN HUKUM ISLAM TENTANG PERANAN PEMERINTAHDESA DAN BPD DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
DAN KESEJAHTERAAN UMUM
(Studi Kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
AHMAD NURALIF
NIM: 106045201520
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/1431 H
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala
rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepada
kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi yang berjudul “Kajian Hukum Islam Tentang Peranan Pemerintah
Desa Dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan Dan Kesejahteraan Umum
(Studi Kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor)” penulis
susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana
Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah
(Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan
mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya
penulisan skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk
menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat :
ii
1. Bapak Prof. Dr. K.H.M. Amin Suma, SH., MH., MM. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag. Ketua dan
Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas
waktu dan solusinya selama ini.
3. Bapak Iding Rasyidin S.Ag., M.Si., sebagai Dosen Pembimbing I penulis
yang senantiasa membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Heldi, M.P.d., sebagai Pembimbing II yang telah banyak
memberikan arahan dan bimbingan beliau yang sangat berarti.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berate
bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas perihal Islamic
Legal Politics (Siyasah Wal Qanun).
6. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan
referensi buku-bukunya.
7. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta, Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah
Tahun Akademik 2006-2007, Ade, Apri, Asriyah, Bangkit, Deni, Dinda,
Eri, Esha, Eca, Mufti, Ridwan, Yudha, Atiqoh, Naziah, Lina, Imran, Dian,
iii
Lutfi, Supardi, Bowo, Rifqo, terima kasih penulis ucapkan kepada
sahabat-sahabat semua baik yang disebutkan namanya maupun tidak yang
telah berbagi ilmu ketika belajar di kampus tercinta ini.
8. Kakakku Husna Nurafiah S.P.d.I dan Abdul Mutaqien AMd., adikku
Robiatun Nurasyiyyah, terima kasih atas segalanya.
Last but not least, penulis memohonkan ampunan kepada Allah Robbil Izzati
terkhhusus untuk orang tua Penulis Ahmad Sulthoni (alm) semoga Allah senantiasa
melimpahkan magfirahNya di alam sana dan menjadikan kuburnya Raudhah min
riyadhil jinan terlebih ibunda tercinta Emay Sumarni terima kasih atas kasih sayang
dan ketabahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah S1 di kampus
bersejarah ini. Terakhir penulis berdo’a kepada Allah semoga ilmu yang telah kita
dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT.
Amien.
Jakarta, 20 Juni 2010 M
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
D. Kerangka Teoritis ...........................................................................8
E. Kerangka Konsepsional .................................................................9
F. Metode Penelitian ...........................................................................12
G. Review Studi Terdahulu .................................................................15
H. Sistematika Penulisan ....................................................................18
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA
A. Pengertian Pemerintahan Desa dan Dasar Hukumnya .................. 20
B. Macam-Macam Wewenang Pemerintahan Desa ............................. 29
C. Alasan-Alasan Diberlakukannya Pemerintahan Desa ..................... 35
D. Perbedaan Pemerintahan Desa Dengan Kelurahan.......................... 39
BAB III KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DAN BPD MENURUT
HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Sekilas Tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor........................... 44
B. Hubungan Pemerintahan Desa sebagai Unit Ulil Amri yang
terkecil Dalam Al-Qur’an ................................................................ 54
C. Kedudukan Pemerintah Desa Dan BPD Menurut Hukum
Islam dan Peraturan Perundang-undangan.......................................56
v
BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI DESA
PEMAGARSARI KECAMATAN PARUNG
KABUPATEN BOGOR
A. Sumber-Sumber Pendapatan Desa Pemagarsari di Bidang
Pertanian, Perindustrian, dan Perdagangan Menurut Hukum
Islam Dan Peraturan Perundang-undangan......................................73
B. Penilaian Hukum Islam Terhadap Pembangunan dan
Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari di Bidang
Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan.......................................84
C. Analisis Hasil Penelitian Di Desa Pemagarsari
Kecamatan Parung Kabupaten Bogor .............................................. 92
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 99
B. Saran-saran .................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 102
LAMPIRAN.........................................................................................................105
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan pada hakikatnya adalah usaha peningkatan taraf hidup manusia ke
tingkat yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih nyaman, lebih enak dan lebih tentram
serta lebih menjamin kelangsungan hidup dan penghidupan di masa yang akan
datang. Dengan demikian usaha pembangunan mempunyai arti humanisasi atau usaha
memanusiakan manusia.1 Pembangunan dari dan untuk manusia seutuhnya, berarti
manusia sebagai subjek dan sekaligus objek pembangunan, berusaha menciptakan
keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam hidupnya, dimulai dari lembaga
tinggi Negara seperti Presiden sampai ke tingkat Daerah dan Desa.
Pembangunan sebagai usaha memanusiakan manusia pada hakikatnya juga
merupakan usaha yang mempunyai makna etik, hukum, serta nilai ajaran agama baik
dalam tujuan yang ingin dicapai maupun dalam cara pelaksanaan usaha mencapai
tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, bukan hanya tujuan pembangunan
yang harus sesuai dengan nilai-nilai etik dan ajaran agama. Akan tetapi juga cara
mencapai tujuan pembangunan itu, jika nilai-nilai etik dan ajaran agama tidak
melekat dalam proses pembangunan maka pada gilirannya akan mengakibatkan
1 Machnun Husein, Etika Pembangunan Dalam Pemikiran Islam di Indonesia, (RajawaliPers. Jakarta. 1986). h.1.
2
lahirnya tindakan yang bersifat dehumanistik, atau merusak kemanusiaan. Oleh sebab
itu, disinilah pentingnya peran Pemerintah dari tingkat yang paling atas yaitu
Presiden, Menteri-Menteri sampai ke tingkat Pemerintahan Desa dalam pelaksanaan
pembangunan dan kesejahteraan umum.
Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa dan saat ini telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur pula tentang desa.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan saat ini telah diganti dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa desa tidak lagi
merupakan wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur
pelaksanaan daerah, tetapi menjadi daerah istimewa dan bersifat mandiri yang berada
dalam wilayah kabupaten sehingga setiap warga desa berhak berbicara atas
3
kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan
masyarakatnya.2
Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak awal berdirinya pada tanggal 17
Agustus 1945 dengan sistem desentralisasi.3 Para Pendiri Negara telah menjatuhkan
pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
Negara Indonesia yang tujuannya jelas tercantum pada alinea keempat pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“…….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial”.4
Untuk mencapai maksud itu para pejabat di daerah-daerah membantu
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kesejahteraan Sosial melalui
pembangunan daerah, karena daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat
otonom atau bersifat daerah administrasi.
2 HAW. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh, (Rajawali Pers.Jakarta. 2003). h. 16.
3 Trianto, & Titik Triwulan, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan. (PrestasiPustaka Publisher. Jakarta. 2007). h.140.
4 Amandemen I, II, III, IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. (PenerbitPustaka Agung Harapan . Surabaya. 2004). h. 2
4
Dalam perkembangannya tugas pembantuan dari pemerintah pusat kepada daerah
dan desa di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur secara garis besarnya
saja, seperti ditegaskan dalam penjelasannya, bahwa:
..........Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat
garis besar sebagai instruksi kepada Pemerintah Pusat dan lain-lain penyelenggaraan
Negara. Lebih-lebih hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan pokok itu
diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan
mencabut.5
Penjelasan tersebut diatas cukup bijaksana, karena Undang-Undang Dasar 1945
memang menghendaki hal-hal yang diatur didalamnya hanya memuat aturan-aturan
pokok saja, sedangkan hal-hal yang memerlukan pengaturan lebih rinci diserahkan
kepada Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang sesuai dengan dinamika
perkembangan masyarakat, sehingga prakteknya di desa dalam menyelenggarakan
Pemerintahan Desa, Kepala Desa melaksanakan kewenangan hak dan kewajiban
selaku Pimpinan Pemerintahan Desa yaitu Menyelenggarakan Rumah Tangga sendiri
dan merupakan tanggung jawab utama dibidang Pemerintahan Umum termasuk
didalamnya Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan umum sesuai dengan
5 Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah. (Pustaka Bani Quraisy.
Bandung. 2005). h. 116.
5
peraturan perundang-undangan yang berlaku juga menumbuhkan jiwa gotong-royong
masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan Pemerintahan Desa.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut diatas, Kepala Desa dibantu
oleh Perangkat Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa, Kepala Dusun/Unsur
Wilayah, Unsur Pelaksana Teknis dan bermitra secara sejajar dengan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) selaku Legislatif di tingkat Desa. Namun pada
implementasinya, hakikat dan makna serta tujuan dan sasaran pelaksanaan
pembangunan dan kesejahteraan umum yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan belum dapat direalisasikan secara utuh, hal ini misalnya yang terjadi di
Desa Pemagarsari Kecamatan Parung yang sampai saat ini pembangunan dan
kesejahteraan masyarakatnya masih terdapat banyak hambatan dalam pelaksanaan
pembangunannya, sehingga dalam hal inilah yang mendorong rasa ingin tahu penulis
menemui jawaban atas permasalahan tersebut dengan meneliti tentang Pemerintah
Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pelaksanaan pembangunan dan
kesejahteraan umum kemudian ditinjau dari aspek hukum Islam, dan ini menarik
untuk diteliti, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul:
“KAJIAN HUKUM ISLAM TENTANG PERANAN PEMERINTAH DESA
DAN BPD DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN
KESEJAHTERAAN UMUM (STUDI KASUS DESA PEMAGARSARI
KECAMATAN PARUNG KABUPATEN BOGOR)”.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus
pada peraturan perundang-undangan serta kajian Hukum Islam mengenai peranan
Pemerintah Desa dan BPD dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan
umum (Studi kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor).
2. Perumusan Masalah
Melihat judul skripsi tersebut dan latar belakang permasalahan seperti terurai
diatas, maka penulis perlu membuat rumusan masalah yang dianggap penting yang
akan dicari jawabannya dalam penelitian ini.
Diantara rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan
Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari?
2. Apa Sajakah Yang Menjadi Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan
Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari?
3. Bagaimanakah Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari
Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas sosial, agama serta
pertumbuhan ekonomi khususnya dalam ruang lingkup desa setelah diberlakukannya
otonomi daerah dengan seluas-luasnya serta tinjauan hukum Islam terhadap
Pemerintahan Desa. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan
Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari.
2. Mengetahui Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan
Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari.
3. Mengetahui Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari
Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang
kajian Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan mengenai proses
berjalannya kinerja Pemerintah Desa di dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam
masalah pembangunan struktur dan infrastruktur serta kesejahteraan umum setelah
diberlakukannya otonomi daerah yang seluas-luasnya oleh Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah dengan asas tugas pembantuan (medebewind). Di samping itu
8
penulis ingin mengetahui secara mendalam mengenai pertimbangan dan kebijakan
serta langkah-langkah yang diambil oleh penyelenggara Pemerintahan Desa dalam
proses pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum.Adapun manfaat yang
ingin dicapai penulis yaitu:
1. Mendapatkan pengetahuan tentang ilmu pemerintahan yang secara spesifik
membahas tentang desa sehingga penulis dapat mengetahui program-program
yang dilakukan oleh desa untuk melaksanakan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakatnya.
2. Dan mudah-mudahan hasil dari penelitian ini juga dapat menambah khazanah
keilmuan Ketatanegaraan yang secara spesifik membahas tentang tinjauan
Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Desa.
D. Kerangka Teoritis
Secara teoritis etika pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Pancasila, yang dibangun atas realitas Keindonesiaan yang sudah sekian abad
lamanya bersemayam dalam dada bangsa Indonesia, yaitu realitas kemajemukan
sosial, budaya dan agama. Adapun sumber nilai-nilai dalam Pancasila itu sendiri
sesungguhnya adalah agama. Oleh karena itu, dalam menghadapi proses
pembangunan yang senantiasa mengalami perubahan terus menerus ini, etika agama
diharapkan dapat memberikan sumbangan amat berharga dalam rangka memelihara
dan menjaga keseimbangan dalam etos pembangunan.
9
Dalam kaitan ini tampak bahwa etika agama sesungguhnya merupakan
pendukung etika Pancasila itu. Dan didalam hubungannya dengan pembangunan
manusia seutuhnya panggilan etika agama dalam rangka memperkuat etika Pancasila
terasa sangat penting.
Tanpa bermaksud memitoskan mayoritas, tentunya etika Islam mempunyai
kedudukan dan peranan yang amat penting untuk menumbuhkan dan memperkokoh
etika Pancasila, yang sekaligus merupakan dasar dan filsafat pembangunan. Pada saat
kita menghadapi pembangunan, yang digambarkan sebagai awal perwujudan yaitu
masyarakat makmur, adil dan sejahtera yang mana dengan ketaatan kepada Allah
SWT dan RasulNya serta ketaatan Kepada Pemerintah baik di tingkat pusat maupun
daerah yang sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat al-Nisa Ayat 59 yang
berbunyi:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlahkepada Rasul dan kepada pemangku kekuasaan (pemimpin, guru)diantaramu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu (urusan), kembalikanlahia pada (kitab) Allah dan (Sunnah) Rasul, jika kamu benar-benar berimanterhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih baguskesudahannya. (Q.S. al-Nisa: 59)
10
Ahmad Musthafa Al-Maraghi mengomentari ayat ini sebagai berikut: ”Taatilah
Allah dan beramalah dengan berpedoman kitab Allah; dan taatilah Rasul, karena
sesungguhnya Dialah yang menerangkan kepada manusia tentang apa yang
diturunkan Allah kepada mereka. Sesungguhnya telah berlaku ketentuan Allah itu,
bahwa para Rasul itu bertugas untuk menjalankan syari’at Allah untuk mereka yang
beriman, dan juga para Rasul itu bertanggungjawab menjaga orang-orang yang
beriman. Karena itu, Allah mewajibkan atas kaum Muslimin untuk menaati Rasul.
Pengertian taatilah Ulil Amri adalah para penguasa ahli-ahli hukum, para ulama,
panglima-panglima, para pemimpin dan para zu’ama. Mereka ini mampu
mengembalikan manusia kepada ketentuan-ketentuan yang dibawa oleh Rasul dalam
seluruh aspek kehidupan untuk kebaikan yang menyeluruh. Apabila Ulil Amri telah
bermufakat menentukan suatu peraturan, rakyat wajib untuk menaatinya dengan
syarat mereka itu bisa dipercaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan RasulNya,
yang telah diketahui secara mutawatir. Sesungguhnya mereka (Ulil Amri) adalah
orang-orang yang terpilih dalam pembahasan suatu masalah dan dalam menentukan
kesepakatan mereka.6
Dalam realitasnya, pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum tidak
terlepas oleh kinerja pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945
dan Pancasila yang dibantu pelaksanaannya dengan asas tugas pembantuan
6 Abdul Qodir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995). h.92.
11
pemerintah pusat kepada daerah dan desa, sehingga pembangunan di tingkat nasional
banyak dipengaruhi oleh faktor kinerja pemerintahan daerah dan desa. Oleh karena
itu, perkembangan dan pertumbuhan pembangunan terutama di desa sangat besar
pengaruhnya oleh etos kerja aparatur pemerintah desa itu sendiri.
E. KERANGKA KONSEPSIONAL
Untuk mengupayakan agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman
dalam hal mengartikan konsep-konsep pokok dalam penelitian ini, maka penelitian
ini ditentukan bahwa:
1. Yang dimaksud dengan “Hukum Islam” adalah hukum yang dibangun
berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun al-Sunnah
untuk mengatur kehidupan manusia yang secara universal relevan pada setiap
zaman (waktu) dan makan (ruang) manusia.7
2. Yang dimaksud dengan “Pemerintah Desa” adalah Aparatur/pejabat desa
diantaranya yaitu Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Staf desa lainnya.
3. Yang dimaksud “Badan Permusyawaratan Desa” selanjutnya disebut BPD
adalah suatu badan yang sebelumnya disebut Badan Perwakilan Desa, yang
7 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas sosial, (Penamadina, Jakarta 2004).h. 6.
12
berfungsi menetapkan peraturan desa, bersama Kepala Desa menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat.8
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam Penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah Pemerintahan Desa
dan beberapa lembaga yang ada di dalam struktur organisasi pemerintahan desa
dalam menjalankan otonomi daerah dengan tujuan pembangunan dan kesejahteraan
sosial yang kemudian dianalisis dengan Hukum Islam (Ketatanegaraan Islam). Maka
mengingat begitu pentingnya kedalaman empiris yang harus dapat dijangkau maka
cara kerja atau metode yang akan digunakan dalam kegiatan penelitian ini akan
menampilkan beberapa metode penelitian. Pada garis besarnya hanya ada dua macam
metode, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini Metode
yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif didalamnya akan
dikombinasikan dengan metode komparatif, pengamatan, survey dan observasi serta
studi kasus.
Metode Komparatif orientasi bahasannya lebih pada perbandingan berbagai
macam hal dengan tujuan mendapatkan petunjuk-petunjuk mengenai apa yang
dilakukan aparatur pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dan kesejahteraan
8 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Rajawali Pers. Jakarta. 2005). h. 170.
13
umum. Serta metode pengamatan untuk menangkap "what people do" atau apa yang
dilakukan oleh seseorang atau aparatur pemerintah serta observasi dengan tujuan
untuk mendeskripsikan setting, kegiatan yang terjadi, orang yang terlibat di dalam
kegiatan pembangunan dan juga kesejahteraan umum.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif dan juga pendekatan secara empiris, yakni dengan menekankan pada sumber
hukum Islam dan peraturan-peraturan lain yang berlaku dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Pendekataan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam
mengenai kinerja pemerintahan desa setelah diberlakukannya otonomi daerah yang
terkait dalam masalah pembangunan struktur dan infrastruktur desa serta
kesejahteraan umum.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini akan digunakan data primer dan data sekunder. Di bawah
ini akan dirinci satu per satu apa saja yang termasuk ke dalam data primer dan data
sekunder.
a. Data Primer
Didapatkan dari Kantor Pemerintahan Desa Pemagarsari Kecamatan
Parung Kabupaten Bogor, berupa dokumen-dokumen yang terkait
dengan pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum serta
keputusan-keputusan desa berdasarkan otonomi daerah kabupaten Bogor.
14
Selain itu juga data primer diperoleh lewat interview (wawancara)
kepada aparatur pemerintahan desa kemudian data tersebut dianalisis
dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang
dikaji.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
studi dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan.
Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah al-Quran, al-Hadits, kitab-
kitab fikih, buku-buku ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, Peraturan Pemerintah
Kabupaten Bogor Nomor 3 tahun 2000 tentang Organisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa serta Peraturan lainnya yang dapat mendukung skripsi
ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Untuk Memperoleh data dilakukan dengan menggunakan Studi Dokumenter.
yaitu dengan cara mengkaji yang terdapat dari berbagai macam literatur
kepustakaan berupa buku-buku, majalah-majalah, website atau literatur
lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk dikaji dan
dicatat bagian-bagian yang penting yang nantinya ada titik benang merah
15
tentang pemerintahan desa dalam mewujudkan pembangunan dan
kesejahteraan umum dalam perspektif hukum Islam.
b. Interview atau wawancara yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih
secara langung antara pewawancara dengan pihak-pihak yang ada kaitannya
dengan judul skripsi ini yaitu aparatur pemerintahan desa dan para tokoh
masyarakat setempat. Dengan tujuan agar memperoleh data yang lengkap
untuk kesempurnaan skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Di Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis isi
(content analysis) yaitu analisis data kualitatif terhadap data kuantitatif.9
Kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri,
dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan
yang diteliti.
Sementara untuk teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada
buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007".
9 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 1996). h.153
16
G. Review Studi Terdahulu
Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh
mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang
akan diteliti oleh penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca beberapa skripsi
tersebut ada perbedaan pembahasan yang cukup signifikan, sehingga dalam penulisan
skripsi ini nantinya tidak ada timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan
penulis kemukakan skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, diantaranya sebagai
berikut :
1. Judul : “Pelaksanaan Hak Interpelasi DPRD Kota Medan Dalam Rangka
Mengawasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004”.
Penulis : Muhammad Rinaldi/SS/SJS/2007.
Skripsi ini membahas seputar pelaksanaan hak interpelasi DPRD
dalam rangka mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yaitu DPRD berfungsi menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat daerahnya, sehingga kepadanya
diberikan seperangkat hak: hak anggaran, hak mengajukan pertanyaan, hak
meminta keterangan, hak mengadakan perubahan, hak mengajukan
pernyataan pendapat dan hak angket (penyelidikan).
17
Juga hak-hak lainnya yang hanya diatur melalui tata tertib DPRD,
Khusus mengenai hak penyelidikan diatur dalam undang-undang karena
penggunaan hak interpelasi mempunyai konsekuensi yang luas, baik
konsekuensi politis, yuridis, maupun sosiologis.
2. Judul:"Rukun Negara Malaysia Dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam".
Penulis: Norhalimah Ahmad SS/SJS/2009.
Skripsi ini membahas tentang Rukun Negara yang ada di Malaysia
yaitu menjelaskan tentang keberadaannya yang tidak bertentangan dengan
prinsip negara dalam Islam, yaitu dengan adanya bukti bahwa Rukun Negara
mengakui Islam sebagai agama yang utama di Malaysia tetapi tetap
menghormati dan mengharuskan rakyat Malaysia nonMuslim berpegang
teguh kepada agama masing-masing, kemudian dijelaskan juga Pemerintahan
Malaysia yang tidak zalim, yaitu rakyat Malaysia harus taat kepada
pemerintah dan negara seperti yang terdapat dalam prinsip kedua Rukun
Negara, maka dengan berjalannya Rukun Negara di Malaysia diharapkan
masyarakat warga Negara Malaysia dapat hidup secara damai dan senantiasa
mengutamakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
3. Judul: "Islam Politik Dalam Realitas: Studi Partisipasi Politik Masyarakat
Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang"
Penulis: Jaenal Abidin/SS/SJS/2009
18
Berdasarkan pada perumusan yang diangkat dalam judul skripsi ini, berikut
akan dijawab beberapa permasalahan tentang konsep partisipasi politik
menurut demokrasi modern, serta realitasnya dalam masyarakat muslim
kecamatan Cikupa.
Pertama, konsep partisipasi politik mengalami perkembangan seiring dengan
beerkembangnya konsep demokrasi. Tidak hanya berhubungan dengan
perilaku, dan juga sikap atau persepsi warga negara secara konvensional,
tetapi lebih luas mencakup segala tahapan pembuatan kebijakan. Agama
sebagai suatu fenomena sosial yang diekspresikan dalam kolektivitas sosial
anggotanya menunjukan identitas bersama, pola interaksi sosial yang teratur,
atau harapan yang sama (norma-norma agama) menyangkut keyakinan dan
perilaku. Dimensi kebudayaan sangat penting untuk menganalisa fenomena
masyarakat yang mempunyai landasan organisasi modern. Unsur agama Islam
berkolerasi positif dan signifikan dalam hampir semua aspek sampai dimensi
partisipasi politik.
19
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab Pertama, pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis, kerangka
konsepsional, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua adalah Ketentuan umum tentang pemerintahan desa yang mencakup
Pengertian pemerintahan desa dan dasar hukumnya, Macam-macam Pemerintahan
desa, Alasan-alasan diberlakukannya pemerintahan desa dan Perbedaan pemerintahan
desa dengan kelurahan.
Bab Ketiga adalah Kedudukan Pemerintah Desa dan BPD menurut Hukum Islam
dan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup sekilas tentang Desa Pemagarsari
Parung Bogor, Kedudukan Kepala Desa Menurut Hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan dan Kedudukan BPD menurut Perspektif Hukum Islam dan
Peraturan Perundang-undangan.
Bab Keempat adalah Analisis Terhadap Pelaksanaan Pembangunan dan
kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor
yang mencakup Sumber-sumber Pendapatan Desa menurut Hukum Islam dan
Peraturan Perundang-undangan, Kajian Hukum Islam tentang Pembangunan di Desa
20
Pemagarsari, Tinjauan Hukum Islam terhadap aspek kesejahteraan umum di Desa
Pemagarsari dan analisis hasil penelitian di desa Pemagarsari Kecamatan Parung
Kabupaten Bogor.
Bab Kelima merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam penulisan
skripsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
21
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA
A. Pengertian Pemerintahan Desa dan Dasar Hukumnya
Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah
pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat
desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya
yang besar, maka perlu adanya Peraturan-Peraturan atau Undang-Undang
yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang
pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal.
Sejak Tahun 1906 hingga 1 Desember 1979 Pemerintahan Desa di
Indonesia diatur oleh perundang-undangan yang dibuat oleh penjajah Belanda.
Sebenarnya pada tahun 1965 tentang Desapraja yang menggantikan
perundang-undangan yang dibuat oleh Belanda yang disebut Inlandsche
Gemeente Ordonantie (IGO) dan Inlandsche Gemeente Ordonantie
Buitengewesten (IGOB). Tetapi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1969 yang menyatakan tidak berlaku lagi dan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
dalam prakteknya tidak berlaku walaupun secara yuridis undang-undang
22
tersebut masih berlaku hingga terbentuknya undang-undang yang baru yang
mengatur Pemerintahan Desa.1
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Pemerintah
Desa diatur dengan:
a. Inlandsche Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura
(Staatblad 1936 No. 83) Inlandsche Gemeente Ordonnantie
Buitengewesten yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura (Staatblad 1938
No. 490 juncto Staatblad 1938 No. 81)
b. Indische Staatsregeling (IS) pasal 128 ialah landasan peraturan yang
menyatakan tentang wewenang warga masyarakat desa untuk memilih
sendiri kepala desa yang disukai sesuai masing-masing adat kebiasaan
setempat.
c. Herzein Indonesisch Reglement (HIR) dan Reglemen Indonesia Baru
(RIB) isinya mengenai Peraturan tentang Hukum Acara Perdata dan
Pidana pada Pengadilan-Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura.
d. Sesudah kemerdekaan peraturan-peraturan tersebut pelaksanaannya harus
berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan
Rembuk Desa dan sebagainya.2
1 HAW. Widjaja, Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa Menurut Undang-UndangNomor 5 Tahun 1979,( Rajawali Pers. Jakarta 1993). h. 11.
2 Ibid h. 11.
23
Memang sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 maka
tidak ada peraturan Pemerintah Desa yang seragam di seluruh Indonesia, misalnya
ada yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura dan ada pula yang berlaku di luar Jawa
dan Madura. Hal ini kurang memberikan dorongan kepada masyarakat untuk dapat
tumbuh dan berkembang ke arah kemajuan yang dinamis. Sulit memelihara persatuan
dan kesatuan nasional, sulit memelihara integritas nasional dan sulit untuk pembinaan
masyarakat yang bersifat terbuka terhadap pembangunan.
Adapun Dasar Hukum dalam Pemerintahan Desa yaitu subsistem daripada Sistem
Pemerintahan Daerah.
1. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 18: Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system
pemerintahan Negara, dan hak-hak usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan:
I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eendheidsstaat maka Indonesia tak
akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga,
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi akan dibagi pula
dalam daerah yang lebih kecil.
24
Di daerah-daerah yang bersifat otonom (Streek dan locale
rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan
daerah oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar
permusyawaratan.
II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan volkgemenschappen (daerah dan kelompok masyarakat
adat) seperti Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di
Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli
dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-
daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta
penjelasannya sebagaimana tersebut diatas maka jelaslah bahwa pemerintah
diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekosentrasi di
bidang ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut diatas maka
dalam undang-undang ini dengan tegas dinyatakan adanya Daerah Otonom
25
dan Wilayah Administratif.3 Dalam model ini jelas terlihat bahwa kebijakan
desentralisasi di Indonesia menghendaki penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Partisipasi menjadi konsep
penting karena masyarakat ditempatkan sebagai subjek utama dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.4
Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi disebut Daerah
Otonom yang selanjutnya disebut Daerah yang dalam undang-undang ini
dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan wilayah
yang dibentuk berdasarkan asas dekosentrasi disebut wilayah Administratif
yang dalam undang-undang ini disebut wilayah. Wilayah-wilayah disusun
secara vertikal yang merupakan lingkungan kerja perangkat pemerintah
menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan
wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah meningkatkan pengendalian
dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaran pemerintahan.5
3 M.R. Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan Daerah (SebuahKajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem). (Bayu Media Publishing. Malang 2007). h. 3
4 Ibid. hal.3.5 Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, (Bumi Aksara, Jakarta. 1991). h.
11.
26
Asas-asas Penyelenggaran Pemerintahan
a. Umum
Di muka telah dijelaskan bahwa sebagai konsekuensi dari pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diperjelas dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara, Pemerintah diwajibkan
melaksanakan asas desentralisasi dan dekosentrasi dalam
menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Tetapi di samping asas
desentralisasi dan asas dekosentrasi undang-undang ini juga
memberikan dasar-dasar penyelenggaraan berbagai urusan
pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuan.6
b. Desentralisasi
Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah
dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya
menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya.
Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah baik
yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan,
pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya.
6 Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan Dalam Al-Qur’an, (Bumi Aksara, Jakarta). h. 287.
27
Demikian pula perangkap pelaksanaannya adalah perangkat daerah
desa itu sendiri yaitu terutama Dinas-Dinas Daerah.7
c. Dekosentrasi
Oleh karena itu semua urusan pemerintahan dapat diserahkan
kepada Daerah menurut asas desentralisasi, maka penyelenggaraan
berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh
perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan asas dekosentrasi.
Urusan-urusan yang dilimpahkan Pemerintah kepada pejabat-
pejabatnya di daerah menurut asas dekosentrasi ini tetap menjadi
tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan,
pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsur pelaksanaannya
adalah terutama instansi-instansi vertikal yang dikoordinasikan
oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat
Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan urusan dekosentrasi
tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.8
d. Tugas Pembantuan
Di muka telah disebutkan bahwa tidak semua urusan pemerintah
dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
Jadi beberapa urusan Pemerintahan masih tetap merupakan urusan
7 Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Penerbit Gaya Media Pratama. Jakarta.2005). h. 207.
8 Ibid h. 207.
28
Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi
Pemerintahan Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan
pemerintah di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung
jawabnya itu atas dasar dekosentrasi, mengingat terbatasnya
kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di Daerah. Dan juga
ditinjau dari segi dayaguna dan hasilguna adalah kurang dapat
dipertanggungjawabkan apabila semua urusan Pemerintah Pusat di
Daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah
karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat
besar jumlahnya. Lagi pula mengingat sifatnya sebagai urusan sulit
untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya
Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Atas dasar pertimbangan-
pertimbangan tersebut maka undang-undang ini memberikan
kemungkinan untuk dilaksanakan berbagai urusan pemerintahan di
daerah menurut asas tugas pembantuannya.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
a. Pasal 2, Desa
1) Desa dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah
penduduk dan syarat-syarat lain yang ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri.
29
2) Pembentukan nama, batas, kewenangan, hak dan kewajiban Desa ditetapkan
dan diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan
oleh Menteri Dalam Negeri.
3) Ketentuan tentang pemecahan, penyatuan dan penghapusan Desa diatur
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
4) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) baru berlaku sesudah ada
pengesahan dari pejabat yang berwenang.
Syarat-syarat pembentukan, pemecahan dan penghapusan Desa dalam undang-
undang ini akan ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri, sedangkan
pelaksanaan diatur dengan dengan Peraturan Daerah yang baru sesudah ada
pengesahan dari pejabat yang berwenang. Peraturan Menteri Dalam Negeri
dimaksud dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Faktor manusia/jumlah penduduk, faktor alam, faktor letak dan faktor
sosial budaya termasuk adat-istiadat.
b) Faktor-faktor obyektif lainnya seperti penguasaan wilayah keseimbangan
antara organisasi luas wilayah dan pelayanan.
b. Pasal 22, Kelurahan
1) Dalam Ibukota Negara, Ibukota Propinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya,
Kota Administratif dan kota-kota lain yang akan ditentukan lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, dapat dibentuk Kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf b.
30
2) Kelurahan yang dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan memperhatikan
syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat luas wilayah, jumlah
penduduk dan syarat-syarat lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
3) Pembentukan nama dan batas kelurahan diatur dengan Peraturan Daerah
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
4) Ketentuan tentang pemecahan, pengaturan dan penghapusan kelurahan diatur
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
5) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (3), berlaku sesudah ada
pengesahan dari pejabat yang berwenang.
B. Macam-Macam Wewenang Pemerintahan Desa
Kewenangan pemerintahan dalam Negara Kesatuan seperti Indonesia
pada dasarnya adalah milik pemerintah pusat. Akan tetapi dengan kebijakan
desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan
kepada daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Apabila dicermati dari Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
dilakukan dengan cara open end arrangement atau general competence (Hanif
Nurcholis, 2005: 76). Artinya, pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan
31
kepada daerah untuk menyelenggarakan kewenangan berdasarkan kebutuhan
dan prakarsanya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki pusat.9
Penyerahan jenis kewenangan yang sifatnya luas kepada daerah
(kabupaten/kota), menurut Dede Rosyada dilandasi oleh sejumlah pemikiran
sebagai berikut:
Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik
dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran merata,
berkualitas dan terjangkau pelayanan publik tersebut. Pemerintah daerah
sebagai produsen dan distributor pelayanan publik dinilai lebih memahami
aspirasi warga daerah, lebih mengetahui potensi dan kendala daerah, dan lebih
mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik yang berlingkup
lokal.
Kedua, penyerahan kewenangan luas kepada daerah dapat membuka
peluang bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang
berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas, dan
melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas,
memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi, dan akuntabilitas mengenai jenis
kewenangan luas tersebut berada pada aktor politik lokal dan sumber daya
manusia lokal yang berkualitas.
9 Diani Budiarto, dkk, Perspektif Pemerintahan Daerah Otonomi, Birokrasi, dan PelayananPublik, (FISIP Universitas Djuanda, Bogor. 2005). h. 14.
[Type a quote from the document or the summary of aninteresting point. You can position the text box anywherein the document. Use the Text Box Tools tab to change theformatting of the pull quote text box.]
32
Ketiga, karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak
merata, dan kebanyakan berada di pusat dan kota-kota besar lainnya, maka
penyerahan jenis kewenangan luas tersebut juga dimaksudkan agar sumber
daya manusia yang berkualitas di pusat dan kota-kota besar diredistribusikan
ke daerah.
Keempat, pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah
nasional yang tidak saja dipikulkan kepada pemerintah pusat semata. Akan
tetapi dengan adanya penyerahan kewenangan tersebut diharapkan terjadi
diseminasi kepedulian dan tanggung jawab untuk meminimalisir atau bahkan
menghilangkan masalah tersebut sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan
awal dari otonomi daerah.
Penyelenggaraan kewenangan pemerintahan daerah seperti itu
dinamakan penyelenggaraan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini
berjalan dalam kerangka prinsip desentralisasi. Rondinelli dan Nellis
memaknai desentralisasi sebagai the transfer of responsibility for planning,
management, and the raising and allocation of resources from the central
government and its agencies to field units of government agencies,
subordinate units or levels of government, semi autonomous public authorities
or corporations, areawide, regional or functional authorities, or non-
governmental private or voluntary organizations.
33
Desentralisasi, dari makna tersebut memiliki empat bentuk, yaitu:
1. Devolution, yaitu penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintahan dari
pemerintah pusat atau pemerintah lebih atasnya kepada pemerintah di
bawahnya sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah;
2. Deconcentration, yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat
atau atasannya kepada para pejabat mereka di daerah;
3. Delegation, yaitu penunjukkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah
atasannya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan dengan pertanggungjawaban tugas kepada pemerintah
atasannya;
4. Privatization, yaitu pengalihan kewenangan dari pemerintah kepada
organisasi non-pemerintah baik yang berorientasi profit maupun non-
profit.
Prinsip devolution biasanya mengacu pada desentralisasi politik,
deconcentration pada desentralisasi administrasi, dan delegation maupun
privatization sebagai tugas sub-contracting. Penerapan prinsip-prinsip
desentralisasi tersebut dapat melahirkan fungsi dan peran pemerintah
daerah yang berbeda. Dalam konteks ini terdapat setidaknya dua
34
model/perspektif untuk menggambarkan peran yang dimainkan oleh
pemerintah daerah.10
Pertama, autonomus model (model otonom), menggambarkan bahwa
pemerintah daerah secara relatif terpisah (separated) dari pemerintah
pusat. Terlepas dari seberapa besar cakupan pemerintah daerah, dalam
perspektif ini peran Negara sebatas memonitor aktivitas pemerintah
daerah. Kemudian terdapat pemisahan yang jelas antara kewenangan
pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah.
Model otonom tersebut berakar dari sejarah dan budaya pemerintahan
yang disebarkan oleh Inggris. Keberadaan pemerintah daerah bukanlah
ciptaan pemerintah pusat walaupun keberadaannya terintegrasi dalam
sistem nasional. Kecuali untuk beberapa hal, menurut Alderfer,
karakteristik dasar pemerintahan daerah di Inggris adalah unit lokal yang
bebas dari pengendalian kekuasaan di luarnya.
Adapun Kewenangan Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Pada Bab III
Pasal 7 disebutkan bahwa urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan
desa mencakup:
10 Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Demokrasi, Hak AsasiManusia dan Masyarakat Madani, (Prenada Media, Jakarta. 2003). h. 151.
35
a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul
desa;
b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/kota; dan
d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-
undangan diserahkan kepada desa.
Pasal 8
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat
meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
Pasal 9 (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyerahan
urusan menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b diatur dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan
Menteri. (2). Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disertai dengan pembiayaannya.
36
Pasal 10 (1). Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf c wajib disertai dengan dukungan pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta sumber daya manusia. (2). Penyelenggaraan tugas
pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berpedoman pada
peraturan perundang-undangan. (3). Desa berhak menolak melaksanakan
tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disertai
dengan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia.11
C. Alasan-Alasan Diberlakukannya Pemerintahan Desa
Salah satu kekhasan bangsa Indonesia terletak pada keanekaragaman adat
istiadat, bahasa, pakaian, budaya dan sebagainya. Dan itu pulalah sebabnya,
dalam kenyataan terdapat keanekaragaman dalam kesatuan masyarakat yang
terendah. Kesatuan masyarakat dimaksud adalah umpamanya Desa di Jawa dan
Madura, Gampong di Aceh, Huta di Batak, Nagari di Minangkabau,
Dusun/Marga di Sumatera Selatan, Suku di beberapa daerah Kalimantan, dan
sebagainya.
Istilah “desa”, menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam makna
Hukum Tata Negara, tidaklah dipakai untuk menunjuk bahwa terdapat
keseragaman, atau kesatuan pendapat, bahwa pengertian desa di Jawa dan Madura
11 Ronal Siahaan, dkk, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia & Peraturan MenteriDalam Negeri Tahun 2008 Tentang Desa, Kelurahan, Kecamatan, (CV. Novindo Pustaka Mandiri.Jakarta. 2008). h. 13.
[Type a quote from the document or thesummary of an interesting point. You canposition the text box anywhere in thedocument. Use the Text Box Tools tab tochange the formatting of the pull quote textbox.]
37
adalah sama dengan luar Jawa dan Madura. Istilah “desa” dipakai, karena untuk
kesatuan masyarakat yang terendah istilah “desa” telah menjadi istilah umum.
Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, desa adalah suatu kesatuan hukum,
dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan
pemerintahan sendiri. Adapun Hazairin berpendapat, bahwa:
“Desa di Jawa dan Madura, Nagari di Minangkabau sebagai masyarakat adat,
yaitu masyarakat hukum adat adalah, kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup
berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya”.12
Kesatuan masyarakat, desa, huta, nagari, marga ataupun lainnya, pada
dasarnya berdasarkan pada dua hal yaitu asas territorial dan asas genekologis.
Desa di Jawa dan Madura, berasaskan territorial, sedangkan kesatuan masyarakat
di Luar Jawa dan Madura berasaskan genekologis. Perbedaan asas tersebut
menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, membawa dampak pada
perbedaan kedudukan diantara keduanya:
Pertama, di Jawa Kepala Desa dipilih oleh warga desa secara langsung,
sedangkan di Tapanuli dan Minangkabau Raja Hutau dan Wali Nagari tidak
langsung dipilih oleh rakyat, tapi dipilih oleh sekelompok orang sebagai tertua
dalam kesatuan masyarakat tersebut.
12 Trianto & Titik Triwulan Tutik, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan,(Prestasi Pustaka, Jakarta. 2007). h. 317.
38
Kedua, hubungan antar warga desa, antara warga desa dengan pimpinan desa.
Ketiga, status sosial-ekonomi kepala desa. Adanya tanah bengkok bagi kepala
desa di Jawa dan Madura, dapat dianggap sebagai suatu segi ekonomis,
sedangkan segi sosial kepala desa adalah kedudukan terhormat di desa. Di luar
Jawa, Raja Huta di Tapanuli dan Wali Nagari di Minangkabau, kedudukannya
semata-mata kehormatan saja. Sama sekali tidak ada unsur ekonomis.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Pasal 1 huruf
a, menyatakan yang dimaksud dengan Desa adalah suatu wilayah yang ditempati
oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Adapun Undang-Undang No. 22 tahun 1999 (Pasal 1 huruf o) maupun
Undang-Undang Pemerintah Daerah (Pasal 1 angka 12) memberikan definisi yang
sama mengenai “Desa”, yaitu:
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi,
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk
dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota,
39
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengakui otonomi yang dimiliki oleh
desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa diberikan penugasan
ataupun pendelegasian dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa
geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk
karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain
yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan
diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan
dari desa itu sendiri.
Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaran Pemerintahan Desa
dibentuk Badan Permusyawaran Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan
budaya yang berkembang di Desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga
pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, seperti dalam pembuatan
dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan
Keputusan Kepala Desa. Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang
40
berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan
masyarakat desa.
Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang
dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati
atau Wali Kota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala
Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada
rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun
tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan
Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-
hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.
Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan,
penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan desa
dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam
peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
D. Perbedaan Pemerintahan Desa Dengan Kelurahan
a. Pemerintahan Desa
Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan
41
berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
Bab I ketentuan umum Pasal 1 ayat 5 yang dimaksud desa atau yang disebut
nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Adapun yang dimaksud Pemerintahan Desa berdasarkan Peraturan
Pemerintah Tentang Desa Pasal 1 ayat 6 yaitu penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa dibentuk atas asas
prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat.13
13 Dr. Taliziduhu Ndraha, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, (Bumi Aksara, Jakarta,Tahun 1991). Hal. 91.
42
Adapun pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat 1
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa,
maka harus memenuhi syarat pembentukan desa yaitu:
a. Jumlah penduduk;
b. Luas wilayah;
c. Bagian wilayah kerja;
d. Perangkat; dan
e. Sarana dan prasarana pemerintahan.14
Adapun Struktur Administratif Pemerintahan Desa seabagai berikut:
Camat
LMD /BPD Kepala Desa
Sekretaris Desa
K. Urusan K. Urusan K. Urusan
Pamong Desa Pamong Desa Pamong Desa Pamong Desa
Kepala Dusun Kepala Dusun Kepala Dusun Kepala Dusun
Masyarakat
14 Ibid. h.91.
43
b. Kelurahan
Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat, yang
tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2005
tentang Kelurahan. Pada Bab I ketentuan Umum Pasal 1 ayat 5 menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai
perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan, kemudian
pada pasal 1 ayat 6 yang dimaksud Lembaga Kemasyarakatan atau sebutan lain
adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan
merupakan mitra lurah dalam memberdayakan masyarakat.
Berbeda dengan Pemerintahan Desa, Kelurahan dibentuk di wilayah
kecamatan namun pembentukannya berbeda dengan desa, berdasarkan Pasal 2
ayat 2 Pembentukan Kelurahan dapat berupa penggabungan beberapa kelurahan
atau bagian kelurahan yang bersandingan, atau pemekaran dari satu kelurahan
menjadi dua kelurahan atau lebih. Kemudian pembentukan kelurahan
sebagaimana ayat 1 harus sekurang-kurangnya memenuhi syarat;
a. Jumlah penduduk;
b. Luas wilayah;
c. Bagian wilayah kerja;
44
d. Sarana dan prasarana pemerintahan.
Adapun Struktur Organisasi Kelurahan sebagai berikut:
Camat
Lurah
Sekretaris
U 1 U 2 U 3 U4 U5
RW
RT RT RT RT RT
45
BAB III
KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DAN BPD MENURUT HUKUM ISLAM
DAN PERATURAN-PERUNDANG-UNDANGAN
A. Sekilas Tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor
I. Sejarah Singkat Desa Pemagarsari
Desa Pemagarsari berasal dari kampung yang bernama Pemagarsari, Sebelum
pemekaran pada tahun 1982 masuk ke wilayah Desa Parung. Wilayah yang
dimekarkan yaitu bagian Selatan dari Desa Parung terdiri dari 3 (tiga) nama
kampung diantaranya :
1. Kampung Lebak wangi
2. Kampung Tajur dan
3. Kampung Sawah
Berdasarkan saran yang telah masuk hingga sampai saat ini, pemekaran Desa
Parung bagian Selatan menjadi Desa PEMAGARSARI.1
Desa Pemagarsari sampai saat ini memasuki Periode ke 4 dari 3 orang
Pemimpin
i. Priode I Dipimpin oleh Bapak E. Sulaeman pada Tahun 1982–1992.
1 Laporan Data Potensi Desa Pemagarsari, (Parung: Kantor Desa Pemagarsari 2009).
46
ii. Priode II dan III Dipimpin oleh Bapak H. Mamad selama 2 Priode
pada Tahun 1992- 2007.
iii. Priode IV Dipimpin oleh Bapak Achmad Djamaludin pada tahun 2007
sampai dengan saat ini.
II. Landasan Dasar Pemerintahan Desa
Guna mengatur jalannya Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) Pemagarsari bersama-sama dengan Perangkat Desa membuat berbagai
peraturan Desa sebagai dasar operasional pelaksanaan kegiatan, yang selanjutnya
dijabarkan dan dilaksanakan oleh Kepala Desa selaku Pemerintahan Desa bersama
dengan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan Desa yaitu LPM, MUD, BKM, PKK
Karang Taruna, Ketua Rt dan Rw serta Komponen Masyarakat.
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah
Kabupaten dalam lingkungan Jawa Barat ( Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 1950 Nomor 8 ).
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 125, Tambahan
Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4437).
Sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaga
Negara Republik Indonesia Nomor 4548 ).
47
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaga Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4438).
4. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2002 tentang Bagian
Desa Dari Hasil Penerimaan Pendapatan Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Bogor Tahun 2002 Nomor 53).
5. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Desa (Lembaran Daerah
Kabupaten Bogor Tahun 2006 Nomor 254).
III. Gambaran Umum Desa Pemagarsari
Desa Pemagarsari merupakan salah satu desa dari 9 desa di Kecamatan
Parung Kabupaten Bogor, yang secara geografis berada pada ketinggian 125m
di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata -rata 298,1 mm dan suhu
udara berkisar antara 22-14 oC, dan memiliki Luas wilayah seluas 266,068
ha.Yang terdiri dari :
1. Pemukiman : 147 Ha.
4. Pertanian : 11 Ha.
5. Ladang : 70 Ha.
6. Pemakaman : 6 Ha.
48
7. lain-lain : 32.068 Ha
Dengan memiliki batas-batas wilayah teritorial sebagai berikut :
-Sebelah Utara : Desa Parung
-Sebelah Timur : Desa Citayam Kecamatan Tajur Halang.
-Sebelah Selatan : Desa Jabon Mekar
-Sebelah Barat : Desa Waru Jaya
Peta Desa Pemagarsari Sebagai Berikut:
49
Berdasarkan hasil pendataan jumlah penduduk Desa Pemagarsari pada
tahun 2006 berjumlah 11.265 Jiwa
Laki-laki : 5.729 Jiwa
Perempuan : 5.536 Jiwa
Dengan jumlah Kepala Keluarga= 2.411 KK
Sedangkan jumlah Penduduk pada tahun 2007 sebanyak 11.305 jiwa.
Laki – laki : 5.751 Jiwa
Perempuan : 5.554 Jiwa
Dengan jumlah Kepala Keluarga= 2.510 KK.2
Karena, letak geografis dan batas-batas wilayah teritorial tersebut,
Desa Pemagarsari memiliki daerah yang setrategis untuk kegiatan-kegiatan
ekonomi perdagangan, pemerintahan, dan pemukiman.
IV. Potensi Desa Pemagarsari
a. Sumber Daya Mansusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu potensi yang sangat berpengaruh
terhadap gerak Pembangunan baik Pembangunan Fisik maupun Non Fisik baik
sebagai objek maupun sebagai subjek pembangunan.
2 Kantor Desa Pemagarsari Kec. Parung, Kab. Bogor, Tgl 03/04/10.
50
Adapun jumlah mata Pencaharian Anggota Keluarga sebagai berikut :
1. PNS : 210 orang
2. TNI/PORLI : 3 orang
3. Karyawan : 183 orang
4. Wiraswasta : 315 orang
5. Petani/Peternak : 34 orang
6. Jasa/ Buruh : 726 orang
7. Lainnya : 4.134 orang
b. Potensi Pendidikan
Dalam rangka meningkatkan pendidikan masyarakat di wilayah Desa
Pemagarsari memiliki sarana dan prasarana pendidikan sebagai berikut :
1. TK / TPA : 3 buah
2. SD / MI : 7 buah
3. SLTP : 2 buah
4. SMA : 2 buah
51
berdasarkan data tingkat pendidikan masyarakat adalah :
- Tidak Tamat SD : 283 orang
- Tamat SD : 290 orang
- Tamat SLTP : 308 orang
- Tamat SLTA : 296 orang
- Tamat D.1 : 81 orang
- Tamat D.2 : 54 orang
- Tamat D.3 : 27 orang
- Tamat S.1/Sarjana : 50 orang
c. Kesehatan
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sarana dan prasarana
kesehatan yang ada di Desa Pemagarsari adalah :
1. Pos Yandu : 8 buah
2. Kader Pos Yandu : 33 orang
3. Bidan Desa : 2 orang
4. Dukun Beranak : 5 orang
52
5. Klinik : 2 buah
6. Rumah Sakit : 1 buah
d. Perekonomian
Potensi perekonomian di Desa Pemagarsari sebagian besar masyarakat
mempunyai usaha ekonomi yang mampu menggerakan perekonomian, dan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Jenis Usaha masyarakat diantaranya :
1. Usaha agrobisnis tanaman : 100 orang
2. Usaha kerajinan Bordir/mute : 5 kelompok
3. Usaha kerajinan anyaman : 2 kelompok
4. Usaha aneka makanan ringan : 4 orang
5. Usaha Menjahit pakaian : 4 orang
6. Usaha pembudidayaan lele : 2 Kelompok
7. Usaha kerajinan Pot Bunga : 1 orang
8. Usaha pedagang buah-buahan : 15 orang
9. Usaha warung/rumah makan/toko : 200 orang
53
10. Usaha Sablon pakaian : 4 kelompok
11. Usaha Jahit dan Bordir : 6 kelompok
12. Usaha kerajinan rotan : 1 orang
13. Usaha Pembuatan Roti : 1 orang
14. Usaha Peternakan Ayam Potong : 5 orang
15. Usaha Counter HP : 20 orang
V. Bidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial
Masyarakat
Pemerintahan Desa Pemagarsari menganut struktur Organisasi Pola
Maksimal yaitu terdiri dari: Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kaur
Pemerintahan, Kaur Perekonomian, Kaur Pembangunan, Kaur Keuangan,
Kaur Kesra, Kaur umum dan Bendaharawan Desa
Dengan jumlah perangkat desa seluruhnya sebanyak 11 orang. Dalam
pelaksanaan kegiatan dibidang pemerintahan telah dilaksanakan kegiatan
sebagai berikut :
1. Pelayanan administrasi Kependudukan Kepemilikan KTP, KK,
dan Akta kelahiran.
2. Pelayanan pertanahan berupa penerbitan surat keterangan yang
berkaitan dengan masalah pertanahan.
54
3. Penagihan Pajak Bumi dan Bangun (PBB)
4. Pembinaan administrasi Rt dan Rw.dan
5. Kegiatan administrasi dibidang Pemerintahan
Adapun Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Pemagarsari Sebagai Berikut:
A.
BPD KEPALA DESA
SEKRETARIS
KAUR KAUR KAUR KAUR KAUR KAUR
UNSUR WILAYAH
KADUS I KADUS II
PELAKSANA TEKNIS LAPANGAN AMIL
I II III IV V
55
B. Hubungan Pemerintahan Desa Sebagai Unit Ulil Amri Yang Terkecil
Dalam al-Qur’an
Pemerintahan Desa sebagai penyelenggara urusan pemerintahan
terkecil yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan memiliki hak dan
kewajiban sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor. 32
Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Sebagai Unit Pemerintahan dalam skala
yang lebih kecil, Pemerintahan Desa mempunyai tugas yang diamanatkan
oleh peraturan perundang-undangan, begitu pula dalam perspektif Hukum
Islam, Pemerintahan Desa mempunyai tugas sebagai pemegang amanat
kekuasaan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dalam melaksanakan Otonomi Daerah yang seluas-luasnya di dalam rumah
tangganya sendiri demi tercapainya pelaksanaan pembangunan dan
kesejahteraan umum yang merata bagi warga masyarakat Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sebagai pelaksana amanat yang dibebankan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintahan Desa mempunyai
wewenang untuk menegakan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana
dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat: 58 yang berbunyi:
56
Artinya:“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yangberhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum diantara manusiasupaya kamu menetapkan dengan adil (Q.S. al-Nisa: 58).
Sebagai pelaksana amanat dari Pemerintahan pusat dan Daerah, Pemerintahan
Desa mempunyai kewenangan dan hak-hak di dalam melaksanakan tugas-tugasnya,
dalam hal ini yang menjadi hak-hak Pemerintahan Desa adalah sebagai Ulil Amri
dimana warga masyarakat mempunyai kewajiban menaati Ulil Amri agar
terealisasinya pelaksanaan tugas-tugas yang menjadi kewenangannya di segala
bidang dalam unit lingkup pemerintahan desa. Sebagaimana dalam al-Qur’an telah
dijelaskan tentang kewajiban menta’ati Ulil Amri dalam Surat al-nisa ayat 59 yang
berbunyi:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya dan Ulil Amridiantara kalian. Maka jika kamu berselisih dalam suatu (urusan),kembalikanlah ia pada (kitab) Allah dan (sunnah) Rasul, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian, itulah yang lebih baik danlebih bagus kesudahannya”. (Q.S. al-Nisa: 59)
Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari Shalih Abu Hurairah Radhiyallahu
Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
57
،،
،،
Artinya:“Sepeninggalanku akan datang kepada kalian pemimpin-pemimpin, kemudianakan datang kepada kalian pemimpin yang baik dengan membawakebaikannya, kemudian akan datang kepada kalian pemimpin yang jahatdengan membawa kejahatannya. Maka dengarkan mereka, dan taatilah apasaja yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, makakebaikan tersebut untuk kalian dan mereka, dan jika berbuat jahat, makakalian mendapat pahala dan mereka mendapat dosa.”3
C. Kedudukan Pemerintah Desa Dan BPD Menurut Hukum Islam dan
Peraturan Perundang-undangan
Dalam Ajaran Islam telah banyak dijelaskan tentang pentingnya
masalah Pemerintahan baik yang menyangkut urusan duniawi maupun urusan
ukhrawi, hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa Islam adalah agama
yang komprehensif, didalamnya terdapat sistem ketatanegaraan, sistem
ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Namun dalam skripsi ini lebih
menerangkan tentang pandangan Hukum Islam mengenai Kedudukan
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Dalam al-Qur’an telah dijelaskan tentang prinsip kepemimpinan yaitu
dalam Surat Ali Imran ayat 118 yang berbunyi:
3 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara
Dalam Syari’at Islam), (Darul Falah, Jakarta. 2007). hal.2.
58
Artinya:“Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi temankepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka tidakhenti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apayang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dimulut mereka adalah lebihbesar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami) jikakamu memahaminya”. (Q.S. Ali Imran: 118).
Dengan demikian jelaslah pentingnya Pemerintahan baik Pusat
maupun Daerah, maka dengan adanya tugas pembantuan yang diemban oleh
Pemerintahan Desa diharapkan warga masyarakat dapat langsung
menyalurkan aspirasinya melalui orang-orang yang dipercayainya di tingkat
pemerintahan desa, karena dalam al-Qur’anpun pada Surat Ali Imran ayat
118, Allah memerintahkan ummatNya untuk mengambil dan menjadikan
orang-orang yang dipercaya di dalam menjalankan roda pemerintahan pusat
maupun desa yaitu orang-orang berasal dari golongannya, karena dianggap
lebih dapat dipercaya dan lebih mengetahui asal usul dan adat kebiasaan
masyarakat sehingga dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat. Dengan dipilihnya kepala pemerintahan dari golongan sendiri maka
59
lembaga imamah (pemerintah) mempunyai tugas dan tujuan umum
sebagaimana telah dikemukakan Imam Al-Mawardi yaitu:
Pertama, mempertahankan dan memelihara agama dan prinsip-
prinsipnya yang ditetapkan dan apa yang menjadi ijma’ oleh salaf (generasi
pertama umat Islam). Kedua, melaksanakan kepastian hukum diantara pihak-
pihak yang bersengketa atau berperkara dan berlakunya keadilan yang
universal antara penganiaya dan yang dianiaya. Ketiga, melindungi wilayah
Islam dan memelihara kehormatan rakyat agar mereka bebas dan aman baik
jiwa maupun harta. Keempat, memelihara hak-hak rakyat dan hukum-hukum
Tuhan. Kelima, membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh. Keenam,
jihad terhadap orang-orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah
agar mereka mengakui eksistensi Islam. Ketujuh, memungut pajak dan
sedekah menurut yang diwajibkan syara’, nash dan ijtihad. Kedelapan,
mengatur penggunaan harta baitul mal secara efektif. Kesembilan, meminta
nasehat dan pandangan dari orang-orang terpercaya. Kesepuluh, dalam
mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah dan kepala Negara harus
langsung menanganinya dan meneliti keadaan yang sebenarnya.4
Menurut Al-Ghazali, tugas dan tujuan lembaga pemerintahan adalah
lembaga yang memiliki kekuasaan dan menjadi alat melaksanakan syari’at,
mewujudkan kemaslahatan rakyat, menjamin ketertiban urusan dunia dan
4 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (PT. Rajawali Pers,Jakarta). Hal. 260.
60
urusan agama. Ia juga berfungsi sebagai lambing kesatuan umat Islam demi
kelangsungan sejarah umat Islam.5
Di Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maka, Peraturan
Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan
Mengenai Desa harus disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 8 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Walaupun terjadi
pergantian Undang-Undang namun prinsip dasar sebagai landasan pemikiran
pengaturan mengenai desa tetap.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Bab IV Tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Bagian Kesatu Pasal 11 disebutkan
bahwa yang dimaksud Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa dan
BPD. Kemudian dijelaskan kembali pada bagian kedua Tentang Pemerintahan
Desa paragraf Pasal 12 disebutkan;
1) Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 terdiri
dari Kepala Desa dan Perangkat Desa.
2) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya.
5 Ibid h. 260.
61
3) Perangkat Desa lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas
a. Sekretariat Desa;
b. Pelaksana Teknis Lapangan;
c. Unsur Kewilayahan.
4) Jumlah Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat.
5) Susunan Organisasi dan tata kerja pemerintahan desa
ditetapkan dengan peraturan desa.
Adapun Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Desa diatur dalam
Pasal 14 yaitu:
1) Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.6
2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa mempunyai wewenang:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;
b. Mengajukan rancangan peraturan desa;
6 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UUNo. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, (Rajawali Pers. Jakarta. 2005). h.279.
62
c. Menetapkan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas
dan ditetapkan bersama BPD;
d. Membina kehidupan masyarakat desa;
e. Membina kehidupan masyarakat desa;
f. Membina perekonomian desa;
g. Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
h. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan
i. Melakukan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.7
Dalam Pasal 15 dijelaskan sebagai berikut:
1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14, Kepala Desa mempunyai kewajiban:
a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
7 Ronal Siahaan, dkk. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia & PeraturanMenteri Dalam Negeri Tahun 2008 Tentang Desa, Kelurahan dan Kecamatan, (CV. NovindoPustaka Mandiri, Jakarta Indonesia). h. 21.
63
c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
d. Melaksanakan kehidupan demokrasi;
e. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dari Kolusi,
Korupsi dan Nepotisme;
f. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa;
g. Menaati dan menegakan seluruh peraturan perundang-undangan;
h. Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik;
i. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan
desa;
j. Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa;
k. Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa;
l. Mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa;
m. Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat
istiadat;8
n. Memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa; dan
o. Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan
hidup.
8 Jawahir Thontowi, Islam, Politik, dan Hukum, (Madyan Press Yogyakarta, Yogyakarta).
2002. h. 242.
64
2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa
mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat.
3) Laporan penyelenggaraan pemerintahan desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat 1 (satu) kali
dalam satu tahun.
4) Laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan 1 (satu) kali dalam satu tahun musyawarah BPD.
5) Menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat berupa selebaran yang
ditempelkan pada papan pengumuman atau diinformasikan secara lisan dalam
berbagai pertemuan masyarakat desa, radio komunitas atau media lainnya.
6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan oleh
Bupati/Walikota sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan desa dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut.
7) Laporan akhir masa jabatan Kepala Desa disampaikan kepada
Bupati/Walikota melalui Camat dan kepada BPD.
Adapun Prinsip yang diajarkan dalam Islam yaitu Musyawarah sebagaimana
Allah telah memerintahkan umatNya untuk selalu menyelesaikan dan mengatur
65
usrusan pemerintahan dengan cara musyawarah (syura), dalam Surat Ali Imran
ayat 159 dan Surat Al-Syura ayat 38 Allah berfirman:
Artinya:Maka disebakan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadapmereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah merekamenjauhkan dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlahampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusanitu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallahkepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakalkepadaNya. (Q.S. Ali Imran :159)
Artinya:Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya danmendirikan Shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarahantara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kamiberikan kepada mereka. (Q.S. al-Syura : 38)
Dalam kajian Fiqh Siyasah dikenal istilah Ahl al-hall wa al-‘aqd yang artinya
“Orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat”
istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang-orang yang
bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. Tugasnya
66
antara lain memilih khalifah, imam, kepala Negara secara langsung. Karena itu ahl
al-hall wa al-‘aqd juga disebut oleh Imam Al-Mawardi sebagai ahl al-ikhtiyar
(golongan yang berhak memilih). Peranan golongan ini sangat penting untuk memilih
salah seorang diantara ahl al-imamat (golongan yang berhak dipilih) untuk menjadi
khalifah. 9
Paradigma pemikiran ulama fiqih merumuskan istilah ahl al-hall wa al-‘aqd
didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh
para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan, Anshar dan Muhajirin. Mereka ini
oleh ulama fiqih diklaim sebagai ahl al-hall wa al-‘aqd yang bertindak sebagai wakil
umat.10 Walaupun sesungguhnya pemilihan itu, khususnya pemilihan Abu Bakar dan
Ali bersifat spontan atas dasar tanggung jawab umum terhadap kelangsungan
keutuhan umat dan agama. Namun kemudian kedua tokoh itu mendapat pengakuan
dari umat. Dalam hubungan ini tepat definisi yang dikemukakan oleh Dr. Abdul
Karim Zaidan. “Ahlul Halli Wal ‘Aqdi ialah orang-orang yang berkecimpungan
langsung kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas,
konsekuen, taqwa, adil dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam
memperjuangkan kepentingan rakyatnya.”
9 Muhammad Tahir Azhariy, Negara Hukum (Suatu Studi Prinsip-prinsipnya Dilihat dari SegiHukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Kencana, Jakarta.2004). h. 112.
10 Taufiq al-Syawi, Syuro Bukan Demokrasi, (Gema Insani Press, Jakarta). 1997. h. 279.
67
Bertolak dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa ahl al-hall wa al-‘aqd
merupakan suatu lembaga pemilih. Orang-orangnya berkedudukan sebagai wakil-
wakil rakyat, dan salah satu tugasnya memilih khalifah atau kepala Negara. Ini
menunjukkan bahwa sistem pemilihan khalifah dalam pemikiran ulama fiqih, dan
kecendrungan umat Islam generasi pertama dalam sejarah, adalah secara tidak
langsung atau melalui perwakilan. Ini dari segi fungsionalnya, sama seperti Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tingkat
Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tingkat Daerah dan sampai unit
pemerintahan terendah di Indonesia yaitu di tingkat Desa dikenal adanya Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Sebagaimana telah diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa disebutkan pada
bagian ketiga Pasal 29 disebutkan bahwa BPD berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa, Pasal 30 berisi sebagai berikut:
1) Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan
keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan
mufakat.
2) Anggota BPD sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri dari ketua dari Rukun
Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau
pemuka masyarakat lainnya.
3) Masa jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat
diangkat/diusulkan kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
68
Pasal 31
Jumlah Anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang
dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah
penduduk dan kemampuan keuangan desa.
Pasal 32
1) Peresmian anggota BPD sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.
2) Anggota BPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji
secara bersama-sama di hadapan masyarakat dan dipandu oleh
Bupati/Walikota.
Pasal 33
1) Pimpinan BPD terdiri dari 1 (satu) orang Ketua, 1 (orang) orang Wakil
Ketua, dan 1 (satu) orang Sekretaris.
2) Pimpinan BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh
anggota BPD secara langsung dalam rapat BPD yang diadakan secara khusus.
3) Rapat pemilihan Pimpinan BPD untuk pertama kali dipimpin oleh anggota
tertua dan dibantu oleh anggota termuda.
Pasal 34
BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Pasal 35
BPD mempunyai wewenang:
69
a. Membahas rancangan peraturan desa bersama Kepala Desa;
b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan
peraturan kepala desa;
c. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa;
d. Membentuk panitia pemilihan kepala desa;
e. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi
masyarakat; menyusun tata tertib BPD. Pasal 36 BPD mempunyai hak :
a. Meminta keterangan kepada Pemerintah Desa;
b. Menyatakan pendapat.
Pasal 37
(1) Anggota BPD mempunyai hak :
a. Mengajukan rancangan peraturan desa;
b. Mengajukan pertanyaan;
c. Menyampaikan usul dan pendapat;
d. Memilih dan dipilih; dan
e. Memperoleh tunjangan.
(2) Anggota BPD mempunyai kewajiban :
a. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-
undangan;
b. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa;
70
c. Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat;
e. Memproses pemilihan kepala desa;
f. Mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompk dan
golongan;
g. Menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat;
dan
h. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga
kemasyarakatan.
Pasal 38
1) Rapat BPD dipimpin oleh Pimpinan BPD.
2) Rapat BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah apabila
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota
BPD, dan keputusan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.11
3) Dalam hal tertentu Rapat BPD dinyatakan sah apabila dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota BPD, dan keputusan
ditetapkan dengan persetujuan sekurang-kurangnya ½ (satu per dua) ditambah
1 (satu) dari jumlah anggota BPD yang hadir.
11 http//www.bkn.go.id/peraturanisi. Diakses tanggal 04/05/10.
71
4) Hasil Rapat BPD ditetapkan dengan Keputusan BPD dan dilengkapi dengan
notulen rapat yang dibuat oleh Sekretaris Desa.
Pasal 39
1) Pimpinan dan anggota BPD menerima tunjangan sesuai dengan kemampuan
keuangan desa.
2) Tunjangan pimpinan dan anggota BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan dalam APD Desa.
Pasal 40
1) Untuk kegiatan BPD disediakan biaya operasional sesuai kemampuan
keuangan desa yang dikelola oleh Sekretaris BPD.
2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setiap tahun dalam
APD Desa.
Pasal 41
1) Pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai
Kepala Desa dan Perangkat Desa.
2) Pimpinan dan Anggota BPD dilarang :
a. Sebagai pelaksana proyek desa;
b. Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan
mendiskriminasikan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan
warga atau golongan masyarakat lain;
72
c. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang
dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau
tindakan yang akan dilakukannya;
d. Menyalahgunakan wewenang; dan
e. Melanggar sumpah/janji jabatan.
Pasal 42
1) Ketentuan lebih lanjut mengenai BPD, ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sekurang-kurangnya memuat :
a. Persyaratan untuk menjadi anggota sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat;
b. Mekanisme musyawarah dan mufakat penetapan anggota;
c. Pengesahan penetapan anggota;
d. Fungsi, dan wewenang;
e. Hak, kewajiban, dan larangan;
f. Pemberhentian dan masa keanggotaan;
g. Penggantian anggota dan pimpinan;
h. Tata cara pengucapan sumpah/janji;
i. Pengaturan tata tertib dan mekanisme kerja;
j. Tata cara menggali, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
k. Hubungan kerja dengan kepala desa dan lembaga kemasyarakatan;
73
l. Keuangan dan administratif.
Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana
keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak
pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan
Kebijakan Desa dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes), merencanakan pembangunan
desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan
rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif
bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi masyarakat dalam
mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah
ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa
tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni
masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang
dirasakannya.
Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah
Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mampu
membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan
terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar penting Otonomi
Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya
Otonomi Desa. 12
12 http://www.thamrin.wordpress.com/kewenangan-desa-antara-mimpi-dan-kenyataan.,Diakses Tgl 3/04/10.
74
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI DESA PEMAGARSARI
KECAMATAN PARUNG KABUPATEN BOGOR
A. Sumber-Sumber Pendapatan Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian,
Perindustrian, dan Perdagangan Menurut Hukum Islam Dan Peraturan
Perundang-undangan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2005 tentang Desa, Pada Bagian Kedua disebutkan tentang Sumber
Pendapatan Desa, yaitu pada Pasal 68:
1) Sumber pendapatan desa terdiri atas :
a. Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa,
hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain
pendapatan asli desa yang sah;1
b. Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per
seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian
diperuntukkan bagi desa;
c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima
oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus),
1 http//www.bkn.go.id/peraturanisi. Diakses tanggal 04/05/10.
75
yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang
merupakan alokasi dana desa;
d. Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan;
e. Hibah atau sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.2
2) Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d disalurkan melalui
kas desa.
3) Sumber pendapatan desa yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa tidak
dibenarkan diambil alih oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
Pasal 69
Kekayaan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf a terdiri
atas :
a. Tanah kas desa;
b. Pasar desa;
c. Pasar hewan;
d. Tambatan perahu;
e. Bangunan desa;
f. Pelelangan ikan yang dikelola oleh desa; dan
2 Ronal Siahaan, dkk, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia & PeraturanMenteri Dalam Negeri Tahun 2008 Tentang Desa, Kelurahan dan Kecamatan, (CV. NovindoPustaka Mandiri, Jakarta Indonesia). h. 34.
76
g. Lain-lain kekayaan milik desa.
Pasal 70
1) Sumber pendapatan daerah yang berada di desa baik pajak maupun retribusi
yang sudah dipungut oleh Provinsi atau Kabupaten/Kota tidak dibenarkan
adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa.
2) Pungutan retribusi dan pajak lainnya yang telah dipungut oleh Desa tidak
dibenarkan dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah atau Pemerintah
Kabupaten/Kota.
3) Bagian desa dari perolehan bagian pajak dan retribusi daerah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan pengalokasiannya ditetapkan
dengan Peraturan Bupati/Walikota.
Pasal 71
1) Pemberian hibah atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat
(1) huruf e tidak mengurangi kewajiban-kewajiban pihak penyumbang kepada
desa.
2) Sumbangan yang berbentuk barang, baik barang bergerak maupun tidak
bergerak dicatat sebagai barang inventaris kekayaan milik desa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Sumbangan yang berbentuk uang dicantumkan di dalam APD Desa.
Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesi Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa Bagian Kelima dijelaskan tentang Badan Usaha Milik Desa
77
Pasal 78
1) Dalam menigkatkan pendapatan masyarakat dan Desa, Pemerintah Desa dapat
mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi
Desa.3
2) Pembentukan Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Desa berpedoman pada peraturan perundang-
undangan.
3) Bentuk Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berbadan hukum.
Pasal 79
1) Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1)
adalah usaha desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa.
2) Permodalan Badan Usaha Milik Desa dapat berasal dari :
a. Pemerintah Desa;
b. Tabungan Masyarakat;
c. Bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota;
d. Pinjaman; dan/atau
e. Penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling
menguntungkan.
3 Ibid. hal.35.
78
3) Kepengurusan Badan Usaha Milik Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan
masyarakat.
Sumber pendapatan Desa dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBD). Kepala Desa dan BPD menetapkan APBD setiap tahun dengan
Peraturan Desa. Pedoman penyusunan APBD ditetapkan oleh Bupati. Tata cara dan
pungutan objek pendapatan dan belanja desa ditetapkan bersama antara kepala desa
dan Badan Perwakilan Desa.4
Adapun sumber-sumber pendapatan masyarakat Desa Pemagarsari cukup
bervariatif, yaitu dibidang perekonomian juga telah dilaksanakan pembinaan usaha
ekonomi masyarakat seperti Tanaman hias, Home industri, kerajinan rakyat yaitu
berupa bimbingan keterammpilan, manajemen usaha serta pemasarannya Desa
Pemagarsari dapat dikatagorikan sebagai daerah sentra produk diantaranya: kerajinan
tangan (beading), Industri Pembuatan Obat Tradisional, agro bisnis tanaman hias dan
pertanian perikanan lele jumbo, saat ini dari ke empat produk diatas merupakan
produk unggulan desa pemagarsai. Selain dari ke empat produk tersebut, sebagian
masyarakat juga membuka usaha kerajinan anyaman, aneka makanan ringan, usaha
bordir, usaha sablon, usaha rumah makan, usaha warung sembako /lansam, peternak
ayam broiler, bengkel sepeda motor dan lain-lain.5
4 HAW. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh, (RajawaliPers. Jakarta. 2003). h. 131.
5 Hasil Ekspos Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPM) Desa Pemagarsari. Tahun2009.
79
Adapun rincian usaha yang dilakukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
(LPM) Desa Pemagarsari untuk memberdayakan dan memberikan dukungan kepada
masyarakat, yaitu:
1. Bidang industri kecil /industri rumah tangga
a. Beading (pemasangan manik-manik)
b. Bordir pakaian dan kerudung
c. Sablon pakaian dan kerudung
d. Keripik pisang/singkong
e. Rias pengantin atau salon
f. Pembuatan kue pengantin atau catering
g. Pelatihan perbengkelan
h. Pengrajin sepatu
2. Bidang petanian dan perikanan
a. Mengembangkan tanaman hias
b. Budi daya ikan lele
c. Peternak ayam broiler
3. Perdagangan umum
a. Warung lansam /sembako
b. Rumah makan
c. Konter HP.
80
` Adapun Dalam Ajaran Islam yang menjadi sumber-sumber pendapatan
pemerintah yaitu Ghanimah, Kharaj, Fai, Jizyah, dan Tebusan Tawanan Perang
Kelima jenis pendapatan ini muncul dalam konteks Daulah Khilafah Islamiyah
sebagai dampak dari politik luar negeri (jihad) yang dilakukan oleh kaum Muslim.
ketika Daulah Khilafah Islamiyah tegak, tidak sedikit jumlah pemasukan negara yang
berasal dari pos ini. Kemudian sumber-sumber pendapatan pemerintah dalam Islam
juga berasal dari Zakat, Infak, Wakaf, Sedekah, dan Hadiah. ini adalah mekanisme
distribusi harta atau kekayaan yang sifatnya non-ekonomi. Potensi zakat di Indonesia
saat ini dengan asumsi yang minimalis diperkirakan sekitar Rp 103.5 triliun.6
Kepemilikan Negara (State Ownership) Yaitu hukum-hukum syara’ yang
menetapkan pengelolaannya didasarkan kepada pandangan khallifah, seperti harta
pajak, kharaj dan jizyah. Berdasarkan hal ini maka harta fa’i, pajak, kharaj, jizyah dan
sebagainya merupakan harta milik Negara, karena Rasulullah saw mengelola semua
jenis harta itu berdasarkan pendapatnya. Allah Swt berfirman :
6 http://www.mit-itb.blogspot.com/syariat-islam-dalam-pengelolaan sumber.html.diakses
tanggal 02/04/10.
81
Artinya:
Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yangberasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, KerabatRasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalamperjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orangkaya saja diantara kamu. (QS. al-Hasyr (59): 7).
Secara ringkas, politik ekonomi dalam Islam bisa dipaparkan sebagai berikut:
1. Wajib memenuhi seluruh kebutuhan primer (pokok) bagi setiap individu
rakyat, seluruhnya, dan mengupayakan terpenuhinya kebutuhan sekunder
dan tersier semaksimal mungkin. Allah swt berfirman :
Artinya:
Dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsaralagi fakir (Q.S. al-Hajj [22]: 28).
82
Artinya:272. Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akantetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yangdikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamumembelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari keridhaan Allah. dan apasaja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberipahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya(dirugikan).273. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahumenyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta.kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak memintakepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamunafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.(Q.S. al-Baqarah [2]: 272-273).
Artinya:
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orangmiskin, pengurus-pengurus zakat (amil), para muallaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalanAllah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.(Q.S. al-Taubah :60).
83
Jelaslah bahwa Islam memperhatikan berbagai permasalahan ekonomi, baik
mengenai kefakiran, alokasi dan distribusi yang buruk, tidak adanya produktifitas,
atau tidak adanya harta kekayaan. Islam mendorong kaum Muslim untuk
membahagiakan orang-orang fakir dan miskin, agar memungkinkan mereka bisa
memenuhi seluruh kebutuhan primernya, dan Islam mewajibkan Negara untuk
memenuhi hal itu.7
2. Memandang semua orang yang ada di tengah-tengah masyarakat sebagai
manusia, sebelum memandang dari sisi lain, baik itu dari segi agama
ataupun suku. Saat yang sama juga memandang setiap manusia sebagai
individu, bukan sebagai kumpulan individu dalam masyarakat. Islam
mendorong manusia untuk berusaha dalam mencari rizkinya. Allah swt
berfirman:
Artinya:Maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebahagian darirezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu kembali setelah dibangkitkan.(Q.S. al-Mulk [67]: 15).
Nabi Muhammad saw bersabda:
ط
7 Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam Studi Tentang Transformasi Dan Kebangkitan Umat,(Pustaka Thariqul Izzah, Penyunting; Dede Koswara, Jakarta. 2004). h. 246.
84
artinya:Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari makanmakanan kecuali hasil jerih payahnya sendiri.
: ف: ف(
(
artinya:Sesungguhnya dari berbagai dosa itu ada dosa yang tidak bisaterhapus oleh puasa dan juga tidak oleh shalat. kemudian ada yangbertanya: ‘Apakah yang bisa menghapusnya wahai Rasulullah?Rasulullah menjawab: ‘kesungguhan dalam mencari rezeki’.
)(
artinya:Imam (khalifah) itu adalah seorang pemimpin. dan diabertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya.
Inilah paparan singkat seputar sistem ekonomi Islam. Apabila
kita pelajari sejarah, kita akan menemukan bahwa Negara Islam benar-
benar telah menerapkan sistem ekonomi ini terhadap rakyatnya.
Negara telah memungut harta dari sumbernya, seperti zakat, kharaj,
dan jizyah, lalu mengembalikan harta tersebut dan
mendistribusikannya kepada mereka yang berhak. Negara Islam juga
mengambil cukai di sepanjang perbatasan dan dari pedagang non-
Muslim.
85
B. Penilaian Hukum Islam Terhadap Pembangunan dan Kesejahteraan
Masyarakat Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian, Perindustrian dan
Perdagangan
Pada dasarnya Pembangunan Desa adalah seluruh kegiatan
pembangunan yang berlangsung di pedesaan dan meliputi seluruh aspek
kehidupan masyarakat, dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan
swadaya gotong royong. Pembangunan desa diarahkan untuk memanfaatkan
secara optimal potensi sumber daya manusia dengan meningkatkan kualitas
hidup, keterampilan dan prakarsa dengan mendapat bimbingan dan bantuan
dari aparatur pemerintah sesuai dengan bidang tugas masing-masing.8
Mengacu pada pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
pembangunan desa ditunjukkan untuk kesejahteraan rakyat, dengan demikian
rakyat pulalah yang harus melaksanakan dan memelihara hasilnya serta
meneruskan langkah pembangunan selanjutnya.
Pembangunan desa secara operasional dimaksudkan sebagai proses
dimana usaha-usaha masyarakat desa dipadukan dengan usaha pemerintah
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, mengintegrasikan kehidupan
bangsa dan memungkinkan mereka memberikan sumbangan sepenuhnya
kepada kemajuan nasional.
8 Syamsir Salam & Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan, (Lembaga Penelitian UIN SyarifHidayatullah, Jakarta. 2008). h. 48.
86
Pembangunan masyarakat desa (Community Development)
mengandung makna pembangunan dengan pendekatan kemasyarakatan, dan
pengorganisasian masyarakat. Sedangkan pembangunan desa (rural
development) pengertiannya lebih luas, karena di dalamnya mencakup
pembangunan masyarakat desa, dimana terintegrasi usaha-usaha pemerintah
dan masyarakat dengan tujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat di berbagai bidang kehidupan.
Dengan demikian untuk mewujudkan desa-desa yang terus
berkembang, yakni dari desa swadaya, desa swakarsa menjadi desa
swasembada, perlu adanya sistem yang mengatur tentang kegiatan-kegiatan
pemerintah dan masyarakat antara lain dalam bentuk program pembangunan
secara terpadu.9
Secara garis besar yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan
pembangunan desa adalah: (1). Di tingkat pusat adalah Menteri Dalam Negeri
yang mempunyai tanggungjawab mengadakan kerjasama di bidang
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa dengan departemen/lembaga
pemerintah non departemen terkait. (2). Di tingkat daerah adalah Gubernur,
Bupati, Camat, dan Kepala Desa/Kelurahan sesuai dengan kedudukannya
sebagai kepala wilayah.
9 Sajogyo & Pudjiwati Sajogyo, Sosiologi Pedesaan, (Gajah Mada University Press.Yogyakarta. 1996). h. 136.
87
Pembangunan desa sebagai bagian dari pembangunan nasional tentu
memiliki tujuan yang tidak lepas dari pembangunan secara keseluruhan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tujuan pokok dari pembangunan desa
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Pertama, Tujuan jangka pendek, yaitu: menaikkan taraf hidup rakyat
khususnya rakyat pedesaan yang berarti menciptakan situasi dan kondisi
kekuatan dan kemampuan desa dan masyarakat desa dalam suatu tingkat yang
lebih kuat dan nyata untuk tahap-tahap pembangunan selanjutnya.
Kedua, Tujuan jangka panjang, yaitu tercapainya masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dalam hubungannya dengan sasaran
pembangunan desa ditujukan untuk menaikan produksi yang potensial yang
dimiliki masyarakat desa dan meningkatkan kesejahteraan dalam rangka
pembangunan ekonomi.
Islam merupakan rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) di
dalam ajarannya berisikan tentang banyak hal, masalah pembangunan dan
kesejahteraan merupakan masalah yang sangat penting karena dengannya
kehidupan akan berjalan dengan baik. Manusia di muka bumi ini yang
berkedudukan sebagai khalifah mempunyai amanat dari RabbNya untuk
senantiasa menjalankan kehidupan di dunia dengan sebaik-baiknya. Bahwa
segala hal yang diperbuat di dunia ini kelak akan dimintai
pertanggungjawabannya, terlebih dalam Islam diajarkan bahwa perbuatan
yang paling baik ialah pekerjaan yang dilakukan oleh jerih payah usaha
88
sendiri baik di bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan, karena
semua itu merupakan sumber mata pencaharian yang dapat dilakukan oleh
masyarakat yang tinggal di pedesaan meskipun untuk saat ini mata
pencaharian masyarakat desa bukan hanya sekadar di bidang pertanian,
perindustrian maupun perdagangan saja. dalam Al-Qur’an Allah Swt
berfirman:
artinya:lalu apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dancarilah sebagian dari karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyaksupaya kamu beruntung. (Q.S. al-Jumu’ah; 10)
Untuk menghilangkan kesan bahwa perintah shalat dilakukan seharian penuh,
sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang Yahudi pada hari Sabtu, ayat
diatas melanjutkan dengan menegaskan; Lalu apabila telah ditunaikan shalat, maka
jika kamu mau, maka bertebaranlah di muka bumi untuk tujuan apapun yang
dibenarkan Allah dan carilah dengan bersungguh-sungguh sebagian dari karunia
Allah, karena Allah sangat banyak dan tidak mungkin kamu dapat mengambil
seluruhnya, dan ingatlah Allah banyak-banyak jangan sampai kesungguhan kamu
mencari karunia-Nya itu melengahkan kamu. Berdzikirlah dari saat ke saat dan setiap
89
tempat dengan hati atau bersama lidah kamu supaya kamu beruntung memperoleh
apa yang kamu dambakan.10
artinya:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmudari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamuberbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukaiorang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. al-Qashash [28]: 77).
Muhammad Asad dalam ayat ini mengatakan bahwa dalam ungkapan “dan
janganlah kamu melupakan” terkandung suatu himbauan untuk menjadi dermawan
sekaligus untuk bersifat pertengahan. Kedua himbauan itu sesungguhnya sejalan
dengan pesan keadilan dalam term al-wasath yang merupakan karakteristik
masyarakat yang dibangun oleh Al-Qur’an. Dengan kata lain, ummah wasath yang
menjadi ciri masyarakat beriman, ditandai oleh keseimbangan antara pemenuhan
kebutuhan duniawi dengan pemenuhan kebutuhan ukhrawi, sebagai umat penengah
antara rasul dan manusia yang menerjemahkan keteladanan rasul bagi segenap
manusia. Tindakan ekstrem materialistik yang terlalu cenderung bersifat duniawi,
10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume14, (Lentera Hati. Jakarta. 2002). h. 229.
90
sebagaimana yang disimbolkan dengan Qarun jelas merupakan peringatan Al-Qur’an
yang paling keras.11
Sejarah mencatat bahwa kondisi masyarakat kota Madinah yang dibentuk
oleh Nabi Muhammad SAW, dimana kehidupan masyarakat Madinah pada saat itu
sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam civil society. Islam sebagai agama
universal dalam pandangan Abdurrahman Wahid tidak mengatur bentuk Negara yang
terkait dengan konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri
tidak menamakan sebagai kepala Negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide
suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan Negara. Walaupun Nabi
telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati
tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia
karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk
mendidik manusia dalam mencapai keselamatan terwujudnya kebebasan, keadilan,
dan kesejahteraan.
Selain itu Nabi Muhammad juga terbuka terhadap peradaban lain, di samping
sifat universalisme Islam. Dalam Islam sendiri terdapat lima jaminan dasar dalam
pengembangan peradaban, yaitu:
1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan
hukum;
11 Dr. H. Amiur Nuruddin, M.A. Keadilan Dalam Al-Qur’an, (Hijri Pustaka Utama. Jakarta.2008). h. 163.
91
2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk
berpindah agama;
3. Keselamatan keluarga dan keturunan;
4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum;
5. Keselamatan profesi.
Oleh Karena itu Reformasi pertanahan, kendatipun suatu keharusan dalam
rangka mengurangi konsentrasi kekayaan, tidak sendirinya menjadikan Negara-
Negara Muslim lebih dekat kepada realisasi maqhasid (pencapaian tujuan-tujuan),
kecuali ada upaya-upaya serentak untuk menghapuskan kelemahan yang diderita oleh
sektor pertanian. Kelemahan-kelemahan yang telah mengurangi efisiensi hasil panen
di sektor ini, memperburuk yang pengangguran di desa, menekankan pendapatan
mereka, dan memperlama kesenjangan.
Hambatan yang paling serius adalah ketiadaan infrastruktur yang efisien,
seperti jalan-jalan, sekolah, listrik dan fasilitas kesehatan, disebabkan oleh minimnya
anggaran pemerintah untuk sektor pertanian. Tidak seperti Negara-Negara Industri
kaya, yang mendorong para petaninya melalui berbagai intensif, seperti proteksi dari
impor, mayoritas Negara-negara berkembang melakukan diskriminasi terhadap sektor
pertanian. Mereka mencoba menggantikan dampak inflasioner yang disebabkan oleh
defisit anggaran pemerintah dengan menaikan nilai tukarnya terlalu tinggi dan
mengontrol harga bahan makanan.
92
Kebijakan-kebijakan demikian berdampak buruk pada pertanian,
meningkatkan ketergantungan pada impor, mengurangi volume ekspor, dan
menekankan pendapatan penduduk pedesaan. Penekanan pendapatan penduduk
pedesaan diikuti sistem penguasaan tanah yang tidak adil, tidak mampu menghasilkan
surplus yang cukup bagi petani penggarap sehingga mereka pada akhirnya tidak dapat
melakukan investasi di pertanian dan industri-industri mikro. Hal ini juga
memperburuk pengangguran di desa.
Dengan demikian, kita melihat adanya lingkaran kemiskinan, kecilnya nilai
inventasi menurunkan hasil panen dan menambah pengangguran. Tekanan penduduk
di wilayah-wilayah perkotaan dengan sendirinya meningkat, yang menyebabkan
penurunan pada upah di perkotaan menimbulkan wilayah-wilayah kumuh dengan
kondisi lingkungan yang teramat susah. Karena itu, akar persoalan di wilayah
pedesaan adalah distribusi pendapatan dan bukan teknik pertanian.
Hambatan serius lainnya yang dihadapi oleh sektor pertanian adalah
kurangnya ketersediaan pembiayaan bagi petani kecil dan industri-industri mikro.
“Meminjam modal yang konstan kepada para pedagang dan para rentener atau
keluarga yang telah memperpanjang kemiskinan”. Akibatnya adalah bahwa para
petani kecil tidak memiliki biaya untuk membeli faktor-faktor produksi yang
berkualitas unggul dan juga tidak mampu menjalankan roda industri kecil untuk
meningkatkan pendapatan mereka dalam memberdayakan dirinya secara penuh.
93
Karena itu, suatu distribusi kepemilikan tanah yang merata tidak dengan
mudah dicapai kecuali sejumlah persiapan yang matang dibuat untuk menyediakan
pembiayaan yang memadai, bukan saja bagi pembiayaan pertanian, tetapi juga bagi
industri-industri mikro di wilayah pedesaan sehingga para petani mempunyai sumber
pendapatan dan pekerjaan tambahan agar kondisi kehidupannya membaik. Hal itu
harus dilakukan secara alamiah dalam kerangka kerja alternatif dari sistem yang
berbasis bunga dan dapat dikembangkan sehingga sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran
Islam.
Reformasi pertanahan yang didukung oleh tindakan-tindakan untuk
membebaskan petani miskin dari ketidakadilan dan defisiensi yang mereka derita,
diharapkan tidak hanya membantu memperluas produktivitas sektor pertanian, tetapi
juga diharapkan tidak hanya membantu memperluas produktivitas sektor pertanian,
tetapi juga diharapkan mampu mengurangi daya tarik kota yang mempesona sehingga
membantu, membalik arus perpindahan penduduk dari desa ke kota dan mengurangi
kepadatan kota dan kejahatan. Demikian juga perlu adanya suatu perubahan dalam
sikap dan kebiasaan-kebiasaan kerja di wilayah pedesaan. Hal ini bisa dicapai lebih
cepat dan efektif jika perubahan sosial diinspirasi oleh Islam. Masjid-masjid yang
sudah berperan penting dalam kehidupan desa dan penggunaannya yang tepat dapat
membuka jalan yang efektif dalam memainkan karakteristik yang diinginkan di
kalangan penduduk pedesaan.
Sebagaimana dalam Al-Quran Surat Al-A’raaf ayat 96 Allah SWT berfirman:
94
Artinya:
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilahkami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapimereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa merekadisebabkan perbuatannya. (al-A’raaf: 96.)
C. Analisis Hasil Penelitian Di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung
Kabupaten Bogor
Dari pemaparan bab demi bab, maka penulis beranggapan bahwa persoalan
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di tingkat desa dianggap sebagai hal
yang sangat signifikan, hal ini dikarenakan pembangunan di tingkat nasional banyak
dipengaruhi oleh perkembangan di daerah terutama di tingkat pedesaan. Dan hal ini
memungkinkan untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang dapat dibenarkan.
Ruang lingkup tanggung jawab dari birokrasi bukan hanya melakukan
pelayanan publik secara universal dan optimal, melainkan birokrasi tentu harus
mengupayakan pemerataan dalam kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan
(dalam arti luas) kepada masyarakat. Akselerasi pembangunan memang telah
dirasakan semenjak terselenggaranya reformasi di berbagai sektor.
Disadari bahwa pembangunan pedesaan telah banyak dilakukan sejak dari
dahulu hingga sekarang, tetapi hasilnya belum memuaskan terhadap peningkatan
95
kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pembangunan pedesaan seharusnya dilihat
sebagai :
1. Upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan sarana dan
prasarana untuk memberdayakan masyarakat;
2. Upaya mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kokoh.
Pembangunan pedesaan bersifat multiaspek oleh karena itu, perlu keterkaitan
dengan bidang sektor, dan aspek di luar pedesaan (fisik dan non fisik, ekonomi dan
non ekonomi, sosial dan budaya).
Menurut Rahardjo Adisasmita tujuan pembangunan pedesaan jangka panjang
adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan secara langsung melalui
peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan berdasarkan
bina lingkungan, bina usaha dan bina manusia, dan secara tidak langsung adalah
meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi pembangunan nasional. Sehingga harus
disadari bahwa hakekat dari pembangunan nasional secara komprehensif adalah
dengan meletakkan pondasi atau penopang yang kokoh pada pembangunan di tingkat
desa. 12
Badan Perwakilan Desa (BPD) dengan Pemerintah Desa dalam hal ini Kepala
Desa diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang terdapat dalam satu koin, yang
12 http//www. uzumaki86.multiply.com/journal/item/20. Diakses tanggal 04/05/10.
96
berarti bahwa BPD dengan Kepala Desa merupakan mitra kerja yang bersifat sejajar
dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam melaksanakan aspek
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Hubungan antara Kepala Desa dengan
BPD bersifat sangat dinamis. BPD sebagai wakil rakyat dengan segala hak yang
dimilikinya dapat menjadi alat kontrol terhadap kinerja yang dilakukan oleh
Pemerintah Desa dalam pengertian Checks and Balances System dalam sistem
pembagian kekuasaan yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.13
Dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan Desa (khususnya di Desa
Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor) terdapat kebijakan yang dilakukan
oleh Kepala Desa selaku eksekutif di tingkat desa bersama BPD yaitu membuat
peraturan desa (PERDES) serta musyawarah pembangunan desa sebagai bentuk
kebijakan yang dapat membangun dan mensejahterakan kehidupan masyarakat
desa.14
Namun dalam praktiknya di lapangan terdapat hambatan-hambatan yang dihadapi
oleh Pemerintah Desa dan BPD dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan
di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor.
Penerapan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah seharusnya menghasilkan penyelelenggaraan
13 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Rajawali Pers. Jakarta. 2009). h.290.
14 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UUNo. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, (Rajawali Pers. Jakarta. 2005). h.279.
97
pemerintahan yang lebih baik, lebih praktis dan lebih nyata pada Pemerintahan
Daerah ditambah lagi dengan peraturan pelaksananya di tingkat desa yaitu dengan
adanya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, seharusnya sektor pembangunan dan kesejahteraan masyarakat
terutama di tingkat desa meningkat dan terjamin oleh Negara, namun berdasarkan
penelitian yang penulis temukan di lapangan bahwa masih terdapat kendala untuk
merealisasikan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat terutama di tingkat desa,
diantaranya lambannya bantuan yang turun dari Pemerintah Pusat ke daerah dan desa
sehingga menghambat proses pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat di pedesaan, diantaranya pembangunan infrastruktur seperti jalan-jalan
protokol yang biasa dipergunakan sarana transportasi masyarakat setempat yang
tersendat pembangunan dan perbaikannya sehingga menyulitkan warga ketika
melakukan aktifitas karena jalannya rusak, di samping itu faktor internal yang
menjadi hambatan pembangunan di desa yaitu minimnya informasi dan juga masih
kurangnya sosialisasi dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tentang
pentingnya pembangunan.
Selain faktor-faktor penghambat diatas, berdasarkan pengamatan penulis di
lapangan bahwa masih banyak terjadi kesalahan di dalam pendataan tentang warga
masyarakat yang berhak menerima bantuan, seperti terjadinya pemberian Bantuan
Langsung Tunai (BLT) yang kurang tepat sasaran, dan juga kurangnya sosialisasi
jaminan kesehatan daerah (JAMKESDA) kepada warga masyarakat sehingga
98
pelayanan kesehatan yang murah bahkan gratis yang semestinya diperoleh oleh warga
yang kurang mampu tidak dapat terealisasikan dengan baik.
Atas dasar hal tersebut, pihak tokoh masyarakat mengupayakan agar BPD
seharusnya lebih jeli lagi di dalam mengawasi roda pemerintahan di desa sehingga
berjalan dengan baik. Selain itu, berdasarkan Penelitian yang penulis lakukan di
Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Bahwa pelaksanaan
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Desa Pemagarsari banyak dipengaruhi
oleh pola hidup masyarakat setempat, untuk saat ini dari hasil penelitian yang penulis
dapatkan di lapangan bahwa pembangunan di Desa Pemagarsari bersumber dari
swadaya masyarakat setempat dan juga bantuan dari Pemerintah Daerah, retribusi
daerah serta dana lain yang berasal dari para pihak ketiga atau donatur. Sebagaimana
dalam ajaran Islam yaitu adanya konsep saling tolong menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan yaitu dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ayat: 2:
99
Artinya:
2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah,dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)binatang-binatang hadya dan binatang-binatang qalaaid dan jangan (pula)mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencarikarunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikanibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamudalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalamberbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, SesungguhnyaAllah amat berat siksa-Nya.
Sebagai contoh swadaya yang berasal dari masyarakat yaitu dengan adanya
sistem keamanan lingkungan atau ronda yang dilaksanakan masyarakat di setiap
Rukun Tetangga (RT) membuahkan hasil yang cukup signifikan yaitu dengan
mewajibkan warga masyarakat di lingkungannya, dimana setiap warga diwajibkan
untuk menaruh uang sebesar Rp. 1000,00 atau beras satu gelas di setiap rumah, yang
nantinya akan diambil oleh petugas ronda. Maka jika dikalkulasikan dari jumlah
pendapatan ronda yang dilakukan setiap malam dapat mengumpulkan dana untuk
program pembangunan jalan/infrastruktur desa dan juga dapat membantu Program
Pemerintah yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri,
selain itu dari hasil pendapatan ronda itu juga sebagian dialokasikan sebagai dana
sosial untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Adapun faktor lain yang penulis
temukan di lapangan bahwa faktor Agama dalam aspek pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat sangat erat kaitannya bahkan merupakan salah satu sumber
kesejahteraan masyarakat Desa Pemagarsari, hal ini terbukti dengan banyak lembaga-
lembaga pendidikan keagamaan dari tingkat anak-anak, dewasa sampai orang tua.
100
Dengan adanya pengajian-pengajian misalnya di kalangan ibu-ibu yang dilakukan di
setiap Majlis Ta’lim yang ada di Desa Pemagarsari, setiap kali pertemuan selain
untuk silaturrahmi dan menuntut ilmu, ibu-ibu pengajianpun rutin menggalangkan
dana sosial untuk kesejahteraan yang ditujukan untuk kaum dhua’fa dan anak-anak
yatim, selain dari ibu-ibu pengajian, kaum bapakpun demikian melakukan
penggalangan dana untuk dua’fa, lansia (lanjut usia) dan yatim. Dimana setelah dana
terkumpul, semua dana tersebut akan disalurkan kepada yang berhak menerimanya
yaitu melalui Yayasan Darul Aitam, yaitu yayasan yang ada di Desa Pemagarsari,
biasanya penyaluran dana bantuan/swadaya masyarakat tersebut disalurkan pada
setiap Perayaan Hari Raya Besar Islam (PHBI) seperti dilakukannya santunan untuk
dua’fa, lanjut usia (LANSIA) dan yatim yang dilaksanakan pada tanggal 1 al-
Syura/Tahun baru Islam dan juga menjelang hari Raya Idhul Fitri.
Berdasarkan realitas diatas, maka menuju arus globalisasi peningkatan
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa seharusnya ditingkatkan, karena
bagaimanapun majunya suatu negara ditentukan pula oleh perkembangan
pembangunan dan kesejahteraan di tingkat yang terendah yaitu pedesaan.
Pada akhirnya, keberadaan Pemerintah Desa dan BPD diharapkan dapat
menjembatani asas tugas pembantuan (medebewind) yang diamanatkan dari
Pemerintah Pusat ke Daerah demi terlaksananya pembangunan dan kesejahteraan
umum yang meningkat dan merata.
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan serta diperkuat dengan data-
data yang ditemukan di lapangan terhadap penelitian yang menyangkut masalah
proses pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum di tingkat desa, maka
kesimpulannya sebagai berikut:
I. Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan dan
Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari Berkaitan dengan Otonomi
Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung
dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Desa semakin dituntut
kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes),
merencanakan pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta
dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam
menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan
inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat
menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka
cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa
yang otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan
kebutuhan yang dirasakannya. Dalam pembangunan di desa setelah adanya
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa semakin meningkat
102
karena di desa diberikan keluasan di dalam mengatur warga masyarakatnya
sesuai adat atau kebiasaan yang berlaku. Selain itu saat ini di dalam struktur
pemerintahan desa, adanya lembaga yang dibentuk sebagai fungsi kontrol
terhadap roda pemerintahan desa dalam hal ini yaitu Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) selaku legislatif desa yang beranggotakan para tokoh masyarakat
menjadikan pemerintahan desa lebih lengkap karena adanya BPD maka cheks
and balances terhadap kepala desa selaku eksekutif berjalan dengan baik,
karena dengan adanya BPD di tingkat desa maka segala keputusan desa atau
peraturan desa tidak dapat dibuat secara sewenang-wenang karena di dalam
membuat kebijakan Badan Pemrmusyawaratan Desa (BPD) diikutsertakan.
II. Adapun Yang Menjadi Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan
Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari yaitu masih banyak masyarakat
yang belum memahami konsep pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah
pusat maupun daerah dan juga masih minimnya sarana informasi bagi
masyarakat sehingga sosialisasi dalam aspek pembangunan maupun
kesejahteraan masyarakat belum berjalan efektif.
III. Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari Dalam
Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sudah
bersesuaian dengan ajaran Islam dan peraturan yang ada namun masih ada
beberapa yang harus ditingkatkan kembali demi tercapainya pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat yang lebih merata.
103
B. Saran-Saran
Menyikapi kemungkinan terjadinya hambatan di dalam pelaksanaan
Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat di Masa Depan yang dapat dan
mungkin banyak dilakukan oleh masyarakat, maka hal-hal yang penting untuk
dipahami bahwa kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat ada di daerah
karena saat ini otonomi daerah diberlakukan seluas-luasnya dari pemerintah pusat
kepada daerah, jadi khusus bagi para pemerintah desa dan staff-staff desa beserta
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dituntut untuk benar-benar menjalankan amanat
yang telah diberikan pemerintahan kabupaten, terutama dalam pendataan warga
masyarakat dalam hal pembangunan yaitu dalam menghidupkan kembali budaya
gotong royong yang ada ada di pedesaan selain itu untuk lebih sesering mungkin
melekukan sosialisasi tentang aspek kesejahteraan masyarakat seperti sosialisasi
pentingnya jaminan kesehatan daerah (JAMKESDA) bagi warga masyarakat agar
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.
Itulah kiranya dari beberapa saran atau kritik dari penulis, semoga dapat menjadi
masukan bagi kita semua, khususnya bagi pelaksana Pemerintahan di tingkat desa.
104
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala DaerahSecara Langsung, Rajawali Pers. Jakarta. 2005.
Aliyah, Samir, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalamIslam,Khalifa,Jakarta. 2004.
Al-Zarqa, Ahmad, Mushthafa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Riora Cipta,Bandung. 2000.
Amos, H.F. Abraham, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Rajawali Pers,Jakarta. 2005.
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. 1996.
As-Sy-Syawi, Taufiq, Syuro Bukan Demokrasi, Gema Insani Press,Jakarta.1997.
Al-Mawardi,Imam, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah (Hukum-Hukum PenyelenggaraanNegara Dalam Syari’at Islam), Darul Falah, Jakarta. 2007.
Al-Munawar, Said Agil Husin Hukum Islam dan Pluralitas Sosial,Penamadani, Jakarta. 2004.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta.2009.
Azhariy, Tahir, Muhammad., Negara Hukum (Suatu Studi Prinsip-prinsipnyaDilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode NegaraMadinah dan Masa Kini, Kencana, Jakarta. 2004.
Dirdjosisworo, Soedjono , Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta.1983.
Huda, Ni'matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2005.
Kansil, C.S.T. & Kansil, Christine S.T.. Pemerintahan Daerah Di Indonesia;Hukum Administrasi Daerah 1903-2001. Sinar Grafika. Jakarta. 2002.
Marzuki, Mahmud Peter, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta. 2008.
105
Muluk, M.R. Khairul, Menggugat Partisipasi Publik Dalam PemerintahanDaerah (Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem). Bayu MediaPublishing. Malang 2007.
Nata, Abuddin, Metode Studi Islam, Rajawali Pers, Jakarta. 1998.
Ndraha, Taliziduhu Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara,Jakarta. 1991.
Prasadja, Budy, Pembangunan Desa Dan Masalah Kepemimipinannya, RajawaliPers, Jakarta. 1986.
Pudjiwati, Sajogyo & Sajogyo, Sosiologi Pedesaan, Gajah Mada UniversityPress. Yogyakarta. Yogyakarta. 1996.
Pulungan, Suyuthi. J, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, RajawaliPers, Jakarta. 1993.
Purdjosewojo, Kusuma , Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, SinarGrafika, Jakarta. 2004.
Syafi’ie, Kencana Inu, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, RefikaAditama, Bandung. 2003.
Syarifin, Pipin,. Dan Jubaedah, Dedah, Hukum Pemerintahan Daerah. PustakaBani Quraisy. Bandung. 2005.
Soetami, A. Siti, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung,2005.
Thontowi, Jawahir, Islam, Politik, dan Hukum, Madyan Press Yogyakarta,Yogyakarta. 2002.
Thoha, Miftah Birokrasi dan Politik Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. 2003.
Widjaja,. HAW., Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat Dan Utuh,Rajawali Pers, Jakarta, 2003.
---------, Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa menurut Undang-UndangNomor 5 Tahun 1979. Jakarta Rajawali Pers. 2002.
---------,Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers,Jakarta.1992.
---------, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UUNo. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Rajawali Pers.Jakarta. 2005.
106
Wibawa, Samodra Negara-Negara Di Nusantara Dari Negara-Kota hinggaNegara-Bangsa Dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi, GadjahMada University Press, Yogyakarta 2001.
Sumber dari internet:
http://www.bkn.go.id/peraturanisi. Diakses tanggal 04/05/10.http://www.mit-itb.blogspot.com/syariat-islam-dalam-pengelolaanhttp://sumber.html.diakses tanggal 02/04/10.http://www.bkn.go.id/peraturanisi.diakses tanggal 02/04/10.http://www.bapeda-jabar.go.id/docs/perundangan/ diakeses tanggal 05/04/10.http://www. uzumaki86.multiply.com/journal/item/20. Diakses tanggal 04/05/10.
Sumber Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 PascaAmandemen I, II, III, dan IV.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 Tentang Tata CaraPenyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah.
Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 24 Tahun 2006 Tentang PedomanPembentukan Badan Usaha Milik Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa.
Recommended