View
227
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
KAJIAN KERJA SAMA BILATERAL
INDONESIA – AMERIKA SERIKAT
DI BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN
Kerjasama
Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Kementerian Keuangan RI
dan
Program Studi Kajian Wilayah Amerika Program Pascasarjana Universitas Indonesia
2012
ii
DAFTAR ISI
halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii
DAFTAR GRAFIK ................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... iv
EXECUTIVE SUMMARY ........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Penelitian ..................................................................................................... 1
1.2. Metodologi Penelitian ........................................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................................................... 2
1.4. Struktur Laporan Hasil Penelitian ......................................................................................... 2
BAB II HUBUNGAN EKONOMI INDONESIA-AMERIKA SERIKAT ........................... 3
2.1. Hubungan Perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat ...................................................... 3
2.2. Hubungan Investasi Indonesia dan Amerika Serikat ............................................................ 6
2.3. Bantuan Ekonomi dan Keuangan Amerika Serikat kepada Indonesia .................................. 10
2.4. Kerangka Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Amerika Serikat ................................................ 11
BAB III ANALISIS KEKUATAN, KELEMAHAN, HAMBATAN DAN PELUANG KERJA SAMA INDONESIA-AMERIKA SERIKAT ........................................... 14
3.1. Kekuatan dan Kelemahan Indonesia .................................................................................... 14
3.1.1. Kekuatan Indonesia ........................................................................................................... 14
3.1.2. Kelemahan Indonesia ........................................................................................................ 15
3.2. Kekuatan dan Kelemahan Amerika Serikat .......................................................................... 19
3.2.1. Kekuatan Amerika Serikat ................................................................................................ 20
3.2.2. Kelemahan Amerika Serikat ............................................................................................. 20
3.3. Hambatan Kerjasama Ekonomi Indonesia-Amerika Serikat ............................................... 23
3.3.1. Hambatan Kerjasama Ekonomi dari Sisi Indonesia .......................................................... 23
3.3.2. Hambatan Kerjasama Ekonomi dari Sisi Amerika Serikat ............................................... 26
3.4. Peluang Kerjasama Ekonomi antara Indonesia dan AS ....................................................... 30
BAB IV REKOMENDASI KEBIJAKAN KERJA SAMA BILATERAL INDONESIA – AS .................................................................................................... 40
REFERENSI ................................................................................................................................ 45
LAMPIRAN ................................................................................................................................ 46
iii
DAFTAR GRAFIK
halaman
Grafik 1. Ekspor Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan ............................................................ 3
Grafik 2. Ekspor Non Migas Indonesia ke Amerika Serika ........................................................ 4
Grafik 3. Impor Indonesia dari Amerika Serikat ......................................................................... 4
Grafik 4. Impor Indonesia Berdasarkan Negara Asal ................................................................. 5
Grafik 5. Posisi FDI Beberapa Negara di Indonesia per 2010 .................................................... 6
Grafik 6. Posisi FDI per Negara di Indonesia ............................................................................. 7
Grafik 7. Perkembangan Posisi FDI Amerika Serikat di Indonesia ............................................ 7
Grafik 8. Kontribusi Beberapa Bidang Jasa terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ............ 9
Grafik 9. Nilai FDI bidang-bidang Jasa ...................................................................................... 9
Grafik 10. Nilai Pinjaman dari Beberapa Negara terhadap Indonesia (dalam US$miliar) ......... 11
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan
Rahmat-Nya sehingga terlaksananya penelitian dengan judul “Kajian Kerjasama Bilateral
Indonesia – Amerika Serikat Di Bidang Ekonomi Dan Keuangan” tahun 2012. Penelitian ini
merupakan kerjasama antara Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan Program Studi Kajian Wilayah Amerika
Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan sejauh mana kerjasama bilateral Indonesia
– Amerika Serikat di bidang ekonomi dan keuangan hingga tahun 2012 dan mengapa masih
rendahnya nilai perdagangan kedua belah pihak serta mengapa Indonesia belum menjadi mitra
utama kerjasama di bidang ekonomi dan keuangan oleh Amerika Serikat. Untuk itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan berupa rekomendasi
kepada para pembuat kebijakan terutama Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan
Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI.
Kami menyampaikan penghargaan kepada berbagai pihak yang telah berpartisipasi sehingga
penelitian ini bisa diselesaikan, termasuk pihak-pihak yang telah memberikan
masukan/tanggapan pada saat pelaksanaan Focus Group Discussion dan seminar mengenai
kajian ini.
Akhir kata semoga hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif kepada para
pengambil kebijakan dan pelaku usaha di Indonesia sehingga pada akhirnya bisa meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Jakarta, Desember 2012
Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
Decy Arifinsjah
v
Executive Summary
KAJIAN KERJASAMA BILATERAL INDONESIA – AMERIKA SERI KAT
DI BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN
Indonesia menjalin hubungan politik dan strategis yang cukup baik dengan Amerika
Serikat (AS) terutama sejak Rezim Orde Baru berkuasa di Indonesia yaitu paruh kedua dekade
1960an. Namun hubungan ekonomi kedua pihak tidak cukup berkembang dibandingkan dengan
hubungan ekonomi AS dengan negara tetangga Indonesia, seperti Singapura dan Australia.
Dominasi aspek politik dan strategis dalam hubungan kedua negara mengakibatkan AS dan
Indonesia kurang mengembangkan potensi-potensi ekonomi diantara keduanya. Sejak tahun
2009 AS juga dilanda krisis ekonomi. Upaya peningkatan hubungan kedua belah pihak muncul
dalam beberapa tahun terakhir karena dorongan Duta Besar Indonesia yang baru dan upaya AS
untuk mencari pasar lebih besar dalam rangka pemulihan krisis ekonominya. Pada bulan
November 2010 pemimpin kedua negara menandatangani the US-Indonesia Compherensive
Partnership Agreement (US-Indonesia CPA) yang merupakan komitmen jangka panjang kedua
negara untuk meningkatkan dan memperdalam hubungan bilateral. Salah satu sektor yang
menjadi fokus kerja sama adalah sektor ekonomi.
1. Perkembangan Hubungan Ekonomi dan Keuangan Indonesia-AS
Selain menandatangani CPA, upaya Pemerintah Indonesia dan AS untuk meningkatkan
hubungan ekonomi kedua negara ditandai dengan pembentukan beberapa forum untuk
memfasilitasi dialog dan kerjasama ekonomi diantara kedua negara. Forum dan insiatif tersebut
terdiri atas: US-Indonesia Trade and Investment Dialogue, Commercial Dialogue, dan Overseas
Private Investment Corporation (OPIC). Selain itu, Indonesia menjadi satu dari negara fokus
ekspor AS yang tercantum dalam National Export Initiatives (NEI), dan AS menyelenggarakan
Global Entrepreneurship Program (GEP) untuk mendorong wirausaha di Indonesia dan United
States Trade and Development Agency (USTDA) Geothermal Development untuk mendorong
kerja sama energi.
Dalam, hubungan dagang, AS merupakan mitra dagang terbesar ketiga bagi Indonesia
setelah Cina dan Jepang. Neraca perdagangan Indonesia terhadap Amerika Serikat menunjukkan
nilai yang positif. Ekspor nonmigas yaitu karet, tekstil dan pakaian jadi, alas kaki dan mesin
listrik mendominasi komoditas Indonesia yang dikirim ke AS. Nilai ekspor nonmigas Indonesia
secara keseluruhan mengalami tren yang meningkat, kecuali di tahun 2009 sebagai dampak dari
vi
krisis ekonomi di AS; kenaikan ekspor tahun 2010 dan 2011 mencapai 31,49% dan 15,37%
(Kementerian Perdagangan, 2012). AS juga merupakan salah satu negara asal impor terbesar,
bersama dengan negara-negara ASEAN, Jepang, dan Cina. Nilai impor Indonesia dari Amerika
Serikat pada tahun 2011 mencakup 6,09% dari total impor Indonesia, lebih kecil dari nilai impor
tahun 2009 dan 2010.
Walaupun tren sejak tahun 2008 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nilai transaksi
berjalan yang positif, terjadi defisit transaksi berjalan yang mencapai 3,1% dari PDB pada awal
tahun 2012 dan 2,6% dari PDB pada kuartal ketiga 2012. Salah satu penyebab defisit transaksi
berjalan sebesar USD 561,1 juta pada periode Januari – Oktober 2012 adalah impor pesawat dari
AS ke Indonesia.
Nilai investasi Amerika Serikat ke Indonesia pada 2011 mencapai USD 1,5 miliar, atau
7,6% dari total investasi yang masuk ke Indonesia dan meningkat dibanding tahun sebelumnya
yang mencapai US$ 1 miliar. Investasi langsung (Foreign Direct Investment) dari AS
menyumbang 4% dari total nilai FDI di Indonesia. Posisi FDI Indonesia terhadap Amerika
Serikat mencapai puncaknya pada tahun 2005, namun kemudian menurun hingga bernilai negatif
di 2006. Tren posisi FDI dari 2007 hingga 2010 mengalami penurunan.
Pasang surut FDI AS ke Indonesia tidak terlepas dari perubahan rezim atau undang-undang
yang berlaku di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai produk perundang-
undangan yang meliberalisasi investasi asing di Indonesia pada tahun 1980an dan tahun 1990an.
Namun krisis yang terjadi akhir tahun 1990an menyebabkan Indonesia tidak menjadi tujuan
investasi yang menarik dimata investor asing. Keadaan ini mulai membaik setelah tahun 2001
ketika Pemerintah bersikap lebih terbuka terhadap investasi asing, daya tawar perusahaan-
perusahaan Indonesia yang kompetitif, privatisasi dan rekapitalisasi bank-bank di Indonesia, dan
privatisasi beberapa BUMN. Pada tahun 2005, ketika saham FDI di Indonesia mencapai US$10
Milyar, perusahaan multinasional AS mendominasi investasi asing di Indonesia. Hampir 60%
FDI dari AS terkonsentrasi pada sektor minyak, gas, dan pertambangan.
AS turut memberikan berbagai macam bentuk bantuan bagi Indonesia yang disalurkan
melalui United States Agency for International Development (USAID). Terkait dengan bidang
ekonomi, terdapat beberapa aspek yang menjadi fokus dari bantuan AS ini, diantaranya:
Penguatan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan, Pengembangan iklim
usaha dan perusahaan, stabilitas dan kewajaran sektor keuangan, perbaikan kualitas jasa
kebutuhan dasar, jasa lingkungan, jasa kesehatan, serta sektor pangan dan gizi. Selain itu, AS
vii
juga memberikan pinjaman luar negeri. Pinjaman bilateral yang berasal dari Amerika Serikat
menempati peringkat kedua setelah pinjaman bilateral yang berasal dari Jepang.
2. Kekuatan dan Kelemahan Indonesia dan AS sebagai Mitra dalam Kerjasama Ekonomi
2.1. Kekuatan dan kelemahan Indonesia
Indonesia memiliki beberapa kekuatan yang menarik AS untuk menjalin hubungan
ekonomi yang lebih maju. Kekuatan Indonesia antara lain meliputi: (i) stabilitas makro ekonomi,
yang dibuktikan dengan angka pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat stabil dan rasio
hutang pemerintah yang rendah -bahkan pengelolaan fiskal Indonesia dianggap terbaik se Asia-
Pasifik; (ii) potensi pasar yang besar, yang menurut World Economic Forum menempati ukuran
terbesar ke-15 dunia. Besarnya pasar Indonesia ini juga diikuti daya beli yang makin besar dari
kelas menengah yang makin berkembang.
Namun demikian, Indonesia juga memiliki beberapa kelemahan yang menghambat
hubungan ekonomi dengan negara lain, termasuk AS. Pertama, infrastruktur yang buruk dan
tidak menunjang kegiatan ekonomi merupakan kekurangan Indonesia yang paling sering
dikeluhkan oleh mitra kerjasama ekonomi termasuk AS. Infrastruktur yang dikeluhkan
mencakup sarana jalan, fasilitas pelabuhan dan transportasi udara, suplai energy dan jaringan
telekomunikasi. Kedua, institusi di Indonesia yang tidak efisien, tidak transparan dan masih
kuatnya budaya dan praktek korupsi menjadi hambatan yang menakutkan bagi mitra kerjasama
ekonomi. Ketiga, penerapan peraturan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang masih lemah
di Indonesia. Meskipun Indonesia sudah mempunyai berbagai peraturan hukum HKI namun
dalam implementasinya masih sering terjadi pelanggaran HKI dan penegakan hukumnya kurang
efektif. Keempat, kualitas barang hasil produksi yang sering di bawah standar keamanan,
keselamatan dan kesehatan, atau kalaupun berhasil mencapai standar maka sering tidak
konsisten. Kelima, banyaknya hambatan birokrasi terutama masalah perizinan yang memakan
waktu sehingga cukup sulit dan rumit untuk melakukan aktifitas bisnis di Indonesia. Keenam,
aspek teknologi yang masih merupakan salah satu titik terlemah dalam perekonomian Indonesia.
Ketujuh, kurangnya kepastian hukum yaitu payung hukum yang dapat memberikan keamanan
bagi mereka untuk menjalankan usaha pertambangan. Sektor energi dan pertambangan
merupakan salah satu sektor yang menjadi prioritas kerjasama RI-AS dengan nilai investasi AS
pada sektor pertambangan mencapai $3,6 Milyar tahun 2011. Peraturan Pemerintah No. 23 tahun
2010 yang mengatur tata cara pertambangan mineral dan batubara memberikan dampak positif
dan negatif terhadap investasi pertambangan AS di Indonesia. Walaupun akan ada penyesuaian
viii
pada isi perjanjian atau kontrak lama dengan existing shareholder asing, diprediksikan UU ini
tidak akan mengganggu iklim investasi di Indonesia, khususnya hubungan RI-AS dalam sektor
pertambangan.
2.2. Kekuatan dan kelemahan AS
Sebagai mitra dalam hubungan ekonomi, AS juga memiliki kekuatan dan kelemahan yang
harus diperhatikan Indonesia. Kekuatan AS mencakup, pertama, kemudahan dalam melakukan
usaha sehingga International Finance Corporation (IFC) menempatkan Amerika Serikat sebagai
salah satu negara terbaik untuk melakukan usaha. Kedua, posisi yang kuat dalam organisasi
internasional, mengingat AS adalah pelopor sistem perdagangan internasional modern dan
pendiri berbagai institusi perdagangan dan keuangan internaional. Dengan demikian pengaruh
dan leverage AS sangat besar dalam menentukan aturan main yang terkait hubungan ekonomi
internasional. Ketiga, inovasi dan teknologi maju yang menjadi menggerak perdagangan dan
investasi. Keempat, infrastruktur yang mendukung berbagai aktifitas ekonomi sehingga tercapai
efisiensi yang sangat dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi. Kelima, daya saing utama AS terletak
di sumber daya manusia yang berkualitas.
Walau AS dapat dikatakan sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, AS
juga memiliki beberapa kelemahan. Pertama, terancamnya perkembangan daya saing AS di masa
yang akan datang yang disebabkan oleh: (i) menurunnya perkembangan inovasi (Atlantic Report
melaporkan bahwa dari tahun 1999 hingga 2008, perbaikan dalam bidang inovasi di Amerika
Serikat sangat minim), dan (ii) ketidak-seimbangan makro ekonomi AS padahal stabilitas makro
ekonomi merupakan penunjang utama daya saing suatu negara. Kedua, peraturan terkait
perdagangan dan investasi internasional yang menghambat import dan investasi asing di dalam
Amerika Serikat yang mencakup: (i) Jumlah peraturan standar produk yang terlalu banyak yang
menunjukkan trade barrier dan Pemerintah AS menetapkan standar kesehatan, keselamatan, dan
lingkungan sendiri; (ii) prosedur impor dari negara lain ke AS yang bersifat protektif seperti
Trade Expansion Act 1962; (iii) peraturan procurement bagi lembaga publik AS menyulitkan
supplier yang berasal dari luar AS; (iv) subsidi kepada petani dan industri lokal, kebijakan
perlindungan, dan perlakuan pajak secara khusus berdasarkan Farm Security and Rural
Investment Act of 2002; dan (v) batasan terhadap FDI terutama yang menyangkut keamanan
nasional.
Selain itu, terdapat beberapa kondisi AS yang menghambat hubungan ekonomi Indonesia-
AS, yaitu: (i) pertumbuhan perekonomian yang melambat sejak tahun 2009 yang disebabkan
melemahnya belanja konsumsi terutama oleh pemerintah. Melambatnya pertumbuhan ekonomi
ix
AS ini sudah memberi dampak negatif terhadap ekspor Indonesia yang turun 1,76% pada
semester pertama tahun 2012 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu muncul juga
ancaman kesenjangan fiskal pada awal tahun 2013 yang dalam jangka pendek menyebabkan
resesi di AS, walaupun dalam jangka panjang akan menguntungkan AS karena mengurangi
tingkat utang secara signifikan. Kondisi ini mengancam ekspor ke AS termasuk dari Indonesia.
Lebih jauh, defisit transaksi berjalan AS yang berkepanjangan karena dianggap krisis keuangan
dunia; (ii) AS terlibat kompetisi pengembangan energi yang pada gilirannya dapat menghambat
peningkatan hubungan ekonomi dengan Indonesia. Misalnya upaya pengembangan biofuel di AS
dapat menghambat ekpor CPO Indonesia karena adanya trade barrier berdasarkan UU
Keamanan Energi AS tahun 2007; (iii) hambatan nontarif juga diterapkan oleh AS terutama yang
berkaitan dengan produk yang harus ramah lingkungan.
Sementara beberapa kondisi di Indonesia juga menjadi hambatan bagi AS yaitu: (i)
kebijakan Pemerintah Indonesia yang berupaya melakukan penguatan daya saing industri dalam
negeri; (ii) gangguan keamanan terutama terkait aksi unjuk rasa yang menandakan berjalannya
proses demokrasi tetapi ternyata berujung anarkis membawa dampak negatif bagi kegiatan
perekonomian; (iii) pasokan energi yang kurang karena besarnya kebutuhan konsumsi dalan
negeri; (iv) kurangnya laboratorium nasional yang berstandar internasional; (v) relabelling dan
illegal transshipment dalam berbagai modus operasinya. Namun pemalsuan dokumen Surat
Keterangan Asal, yang menjadi motif transshipment, juga mungkin dilakukan importir di
Amerika Serikat.
3. Peluang Kerja Sama Ekonomi antara Indonesia dan AS
Berdasarkan kondisi yang terkait dengan Indonesia dan AS, terdapat berapa bidang kerja
sama yang berpeluang untuk dikembangkan kedua negara, yaitu:
a. Kerja sama di bidang infrastuktur yang masih menjadi kelemahan utama di Indonesia
sebenarnya juga menjadi peluang utama kerjasama ekonomi dengan AS. Selain proyek
pembangunan, AS dapat memberikan konsultasi infrastruktur yang dibutuhkan Indonesia,
terutama untuk sektor informasi dan teknologi (IT) dan migas.
b. Meningkatkan perdagangan bilateral yang tidak hanya menyangkut perdagangan komoditas
terutama pertanian, tekstil, perkayuan, dan industri perfilman, tapi juga berbagai kegiatan
yang dapat mendorong perdagangan syaitu sertfikasi dan labeling, pemberian General System
of Preferences (GSP) bagi Indonesia, perlindungan HKI oleh Pemerintah Indonesia bagi
x
produk dari AS, dan tindakan tegas terhadap praktek-praktek korupsi dan birokrasi yang
berbelit-belit.
c. Perbaikan pelaksanaan debt-swap. AS merupakan negara kreditor yang paling banyak
memberikan pengurangan utang dengan menggunakan skema debt-for nature swap (DNS).
Pada tahun 2009, Indonesia juga menandatangani perjanjian DNS dengan AS untuk
mengalihkan sisa pembayaran enam jenis utang pemerintah Indonesia hingga US$29.2 juta
selama 8 tahun ke depan namun pelaksanaan DNS ini cukup banyak menimbulkan masalah
karena besarnya jumlah hutang yang tetap harus dibayar Pemerintah Indonesia.
d. Kedua negara dapat meningkatkan hubungan ekonomi dengan meningkatkan transparansi
akun wajib pajak AS di Indonesia. Indonesia dapat membantu pelaksanaan FATCA yang
menjadi mekanisme Pemerintah Amerika Serikat untuk menyingkap dan membuka
penyalahgunaan pajak yang dilakukan oleh warganya yang memiliki akun keuangan di luar
negeri.
4. Rekomendasi Kebijakan bagi Kementerian Keuangan terkait Kerjasama Indonesia – AS
Dari hasil kajian, terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi bagi
Kementerian Keuangan RI agar Indonesia dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari kerja
sama bilateral ekonomi dan keuangan Indonesia-AS, yaitu:
a. Pemberian insentif pajak bagi produk prioritas ekspor Indonesia ke AS
Untuk mendukung kerjasama bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat, beberapa
rekomendasi dapat dilakukan, baik dalam bidang perdagangan maupun investasi. Dalam
bidang perdagangan, peningkatan ekspor ke Amerika Serikat dapat dilakukan dengan
pemberian insentif pajak kepada sektor-sektor yang menjadi prioritas ekspor Indonesia ke
Amerika Serikat. Sektor ini meliputi sektor pertanian, garmen, peralatan elektronik, dan
minyak. Insentif pajak ini dapat berupa pengurangan pajak atas pendapatan dari hasil ekspor,
sehingga diharapkan dapat menggiatkan pelaku usaha pada sektor ini untuk meningkatkan
kapasitas produksi dan ekspor ke Amerika Serikat.
b. Pembatasan impor dari AS khususnya hasil pertanian, benang katun dan garmen
Di sisi impor, melambatnya tingkat pertumbuhan perekonomian dunia akibat krisis telah
menyebabkan derasnya impor barang ke Indonesia. Langkah yang dapat dilakukan adalah
dengan mendorong industri pemasok bahan baku dan bahan penolong domestik untuk
memenuhi kebutuhan yang selama ini diimpor. Dalam kaitannya dengan perdagangan
Indonesia-AS, pengendalian impor dapat dilakukan dengan membatasi impor hasil pertanian,
xi
benang katun, dan garmen dari AS. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian insentif pajak
pada sektor pertanian dan tekstil di Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.
c. Pembenahan sistem kepabeanan Indonesia
Untuk mendukung kegiatan ekspor-impor Indonesia-AS dan mitra dagang lainnya, perlu
dilakukan pembenahan pada sistem kepabeanan. Hal ini terkait dengan maraknya ekspor
ilegal dari Indonesia ke Amerika Serikat, terutama untuk tekstil dan kayu. Sistem kepabeanan
di Indonesia harus diperbaiki yang meliputi peningkatan penggunaan saarana telekomunikasi
real time, electronic custom clearance, serta prosedur dan tenaga inspeksi.
d. Mendorong peningkatan investasi AS di Indonesia
Dalam bidang investasi, perlu dirumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat menstimulus
peningkatan investasi Amerika Serikat di Indonesia dengan tetap mempertimbangkan cost
and benefit yang diperoleh Indonesia dari investasi tersebut. Pemerintah Indonesia harus
dapat memaksimalkan pendapatan negara melalui pajak dan royalti yang diperoleh dari
investasi AS ke Indonesia. Untuk itu, perlu ditinjau kembali mengenai peraturan pajak dan
royalti atas investasi AS di Indonesia.
Selama ini Indonesia memberlakukan tax incentives namun fasilitas ini cukup bermasalah
karena: (i) bertentangan dengan peraturan WTO yaitu melanggar prinsip keadilan; (ii)
efektifitas pemberian tax incentives untuk meningkatkan FDI dan mendorong pertumbuhan
masih belum terbukti; dan (iii) pemberlakuan tax incentives akan menyebabkan menurunnya
pendapatan negara dari sektor pajak.
Berdasarkan beberapa point diatas, maka pemberian tax holiday belum menjadi solusi yang
tepat untuk meningkatkan aliran FDI dari US ke Indonesia. Kalaupun kebijakan ini memang
harus diberlakukan, maka sudah seyogianya dilakukan ex anteanalysis yang meliputi bidang,
area, jangka waktu, serta tarif yang akan diberlakukan.
e. Perbaikan infrastruktur Indonesia
Hal yang lebih mendesak yang perlu dilakukan dalam rangka mendorong investasi AS ke
Indonesia adalah perbaikan infrastruktur Indonesia. Komitmen dari pemerintah untuk terus
meningkatkan anggaran belanja modal dan perbaikan infrastrukur di Indonesia diharapkan
dapat menarik lebih banyak investor Amerika Serikat untuk berinvestasi di Indonesia serta
meningkatkan kesejahteraan sosial secara keseluruhan.
xii
f. Kebijakan pengelolaan utang publik.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat ketergantungan Indonesia pada utang luar
negeri. Selain penurunan utang publik, beberapa hal yang mendukung rating Indonesia pada
level ini antara lain rendahnya defisit anggaran pemerintah, likuiditas eksternal yang menguat
dan kinerja ekonomi yang tangguh.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian
Sampai saat ini Amerika Serikat (AS) masih merupakan kekuatan utama di dunia, baik dari
sisi politik, militer, maupun ekonomi. Amerika Serikat merupakan negara dengan jumlah
penduduk terbesar ketiga di dunia yakni sekitar 311.6 juta jiwa pada tahun 2011 (World Bank
2012). Pendapatan per kapita penduduknya tercatat sebesar US$ 48,100 menjadikannya sebagai
kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Perekonomian AS baik sektor manufaktur maupun sektor
jasa sudah cukup maju.
Hubungan ekonomi Indonesia dan AS sangat dekat terutama sejak pemerintahan Orde
Baru. Neraca perdagangan nilai ekspor komoditas non migas Indonesia ke Amerika Serikat
selama Januari – September 2012 tercatat sebesar US$ 11,08 miliar atau 9,69 % dari keseluruhan
ekspor non migas sebesar US$ 114,36 miliar (BPS: 2012). Berdasarkan data Kementerian
Perdagangan, nilai perdagangan Indonesia – AS cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Tercatat terdapat peningkatan nilai perdagangan sebesar 12.08% dari tahun 2007-2011. Di
bidang investasi, nilai investasi AS ke Indonesia pada tahun 2011 mencapai US$ 1,5 miliar
dengan porsi 7,6% dari total investasi dan meningkat dibanding tahun sebelumnya yang
mencapai US$ 1 miliar. Kementerian Koordinator Perekonomian dalam laporan tahun 2011
memperkirakan nilai investasi AS ke Indonesia akan semakin meningkat seiring dengan recovery
ekonomi AS pasca krisis global 2008-2009.
Walaupun menunjukkan peningkatan, aktivitas perekonomian Indonesia-AS tidak sebanding
dengan peningkatan hubungan politik dan potensi yang dimiliki kedua negara. AS adalah mitra
utama perdagangan internasional Indonesia, namun volume dan nilainya masih kecil. Data di
atas memperlihatkan masih kecilnya volume perdagangan antara Indonesia dan AS dewasa ini
dibandingkan dengan potensi yang dimiliki oleh keduanya. Selain perdagangan, investasi AS di
Indonesia (berkisar pada 4% dari total investasi di Indonesia tahun 2010) juga masih relatif kecil
dibandingkan dengan Jepang (29% tahun 2010) (Sumber: Kementerian Koordinator
Perekonomian: 2011).
Hubungan ekonomi yang kurang berkembang ini cukup memprihatinkan mengingat
kedua negara memiliki potensi yang besar dan peningkatan kegiatan ekonomi diantara kedua
negara dapat memperkuat perekonomian kedua negara. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu
kajian (study) dalam menganalisis peluang dan tantangan guna meningkatkan hubungan ekonomi
2
dan finansial yang saling menguntungkan terutama bagi Indonesia dalam suatu bentuk kajian
penelitian.
2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data primer maupun
sekunder. Data dikumpulkan dan dianalisis melalui: studi pustaka, wawancara, Focus Group
Discussion (FGD) dan lokakarya/seminar. Wawancara, FGD maupun lokakarya melibatkan
berbagai pihak terdiri dari berbagai stakeholders diantaranya: perwakilan dari beberapa unit di
Kementerian Keuangan RI, Kementerian Perdagangan RI, Kementerian Luar Negeri RI,
Kementerian PPN/Bappenas, Direktorat Jendral Imigrasi), unsur bisnis (KADIN, Euro
Chamber), dan akademisi, serta Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa
Tengah.
3. Tujuan Penelitian
Kajian mengenai kerja sama bilateral Indonesia – Amerika Serikat di bidang Ekonomi dan
Keuangan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai perkembangan kerja
sama bilateral Indonesia dan Amerika Serikat, khususnya di bidang Ekonomi dan Keuangan, dan
rekomendasi kepada Kementerian Keuangan mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan
untuk meningkatkan kerja sama tersebut sehingga Indonesia bisa mendapatkan lebih banyak
manfaat dari kerja sama bilateral di bidang Ekonomi dan Keuangan dengan Amerika Serikat.
4. Struktur Laporan Hasil Penelitian
Laporan hasil penelitian ini terdiri atas beberapa Bab sebagai berikut: Bab I yang
merupakan Pendahuluan, antara lain menjelaskan mengenai latar belakang, metodologi dan
tujuan penelitian. Bab II memberikan gambaran mengenai situasi dan perkembangan hubungan
ekonomi dan keuangan antara Indonesia dan Amerika Serikat. Selanjutnya, Bab III membahas
tentang analisis mengenai kekuatan, kelemahan, hambatan, dan peluang yang terdapat dalam
pelaksanaan kerja sama bilateral ekonomi dan keuangan antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Sedangkan Bab IV, yang merupakan bab terakhir, berisi rekomendasi mengenai pre-kondisi yang
dibutuhkan, mitigasi dampak negatif, dan inovasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan manfaat
hubungan ekonomi dan keuangan Indonesia dan AS serta rencana tindak dalam rangka
meningkatkan manfaat hubungan tersebut.
BAB II
HUBUNGAN EKONOMI INDONESIA - AMERIKA SERIKAT
2.1. Hubungan Perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat
Amerika Serikat sampai saat ini masih merupakan kekuatan utama di dunia, baik dari sisi
politik, militer, maupun ekonomi. Bagi Indonesia, AS merupakan salah satu mitra dagang utama,
yakni setelah Republik Rakyat Cina dan Jepang. Total nilai ekspor Indonesia ke US mencapai
$1.56 milyar, yang terdiri dari $56 juta ekspor migas dan $1.5 juta ekspor non migas.
Sebaliknya, total ekspor AS ke Indonesia mengalami penurunan sebesar 7.84%, dengan
penurunan terbesar terjadi ekspor migas (mengalami penurunan lebih dari 50%). Ekspor
Indonesia ke US terdiri dari karet, tekstil dan pakaian jadi, alas kaki dan mesin listrik, sedangkan
ekspor US ke Indonesia terdiri dari produk pertanian, pesawat, mesin, dan kapas benang serta
kain.
Grafik 1. Ekspor Non Migas Indonesia berdasarkan Negara Tujuan
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (2011)
Dapat dilihat dari grafik 1 di atas bahwa nilai ekspor non migas Indonesia secara
keseluruhan mengalami tren yang meningkat, kecuali di tahun 2009 sebagai dampak dari krisis
global. Sebagaimana bisa dilihat pada grafik 2 di bawah, angka ekspor Indonesia terhadap
Amerika Serikat juga memiliki pola serupa, yakni meningkat sebesar 12,25% pada 2008, lalu
turun sebesar 16,77% pada 2009, namun disusul kemudian dengan kenaikan di tahun 2010 dan
2011, masing-masing sebesar 31,49% dan 15,37% (Kementerian Perdagangan, 2012).
4
Grafik 2. Ekspor Non Migas Indonesia ke Amerika Serikat
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (2011) dan Kementerian Koordinator Perekonomian (2012)
Neraca perdagangan Indonesia terhadap Amerika Serikat menunjukkan nilai yang positif,
atau dengan kata lain nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat lebih besar dibandingkan
dengan nilai impor Indonesia dari Amerika Serikat. Amerika Serikat sendiri merupakan salah
satu negara asal impor terbesar, bersama dengan negara-negara ASEAN, Jepang, dan Republik
Rakyat Cina, serta negara-negara Uni Eropa (SEKI, 2011). Walaupun sempat mengalami
penurunan dari 2000 hingga 2002, nilai impor Indonesia dari Amerika Serikat mengalami tren
hingga 2008. Sama seperti nilai ekspor Indonesia terhadap Amerika Serikat, nilai impor
mengalami penurunan sebagai akibat dari krisis finansial yang melanda dunia, lalu diikuti oleh
peningkatan di 2010. Nilai impor Indonesia dari Amerika Serikat pada tahun 2011 mencakup
6,09% dari total impor Indonesia. Dibandingkan dengan proporsi dua tahun sebelumnya, yakni
sebesar 7,32% di tahun 2009 dan 6,93% pada 2010, angka ini menunjukkan penurunan
(Kementerian Perdagangan, 2012).
Grafik 3. Impor Indonesia dari Amerika Serikat
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (2011) dan Kementerian Koordinator Perekonomian (2012)
5
Grafik 4. Impor Indonesia berdasarkan Negara Asal
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (2011)
Walaupun tren keseluruhan sejak tahun 2008 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nilai
transaksi berjalan yang positif, awal tahun 2012 ditandai dengan defisit transaksi berjalan yang
mencapai 3,1% dari PDB. Nilai defisit transaksi berjalan ini sendiri sudah berangsur menurun,
hingga mencapai 2,6% dari PDB pada kuartal ketiga 20121. Walaupun nilai defisit tersebut
masih bisa dikatakan relatif kecil, pemerintah Indonesia akan berupaya untuk mencegah agar
nilai defisit tersebut tidak membesar dan tetap di angka 2,2% - 2,5%2. Selain itu, nilai defisit
transaksi berjalan sebesar USD 561,1 juta pada periode Januari – Oktober 2012 salah satunya
disebabkan oleh impor pesawat yang dilakukan Indonesia.
Defisit transaksi berjalan sendiri memang seringkali dianggap sebagai salah satu ukuran
posisi sebuah negara dalam perdagangan internasional, dan bisa disebabkan oleh hal-hal positif
dan juga negatif, sebagaimana yang diutarakan oleh Blanchard dan Milletti-Feresi (2010). Salah
satu contoh alasan “buruk” timbulnya defisit transaksi berjalan dapat berupa kegagalan regulasi
keuangan untuk mendukung pertumbuhan kredit, sedangkan alasan “baik” defisit transaksi
1 www.bisnis.com 2 www.bisnis.com
6
berjalan termasuk harga barang ekspor yang rendah secara sementara. Defisit transaksi berjalan
suatu negara secara signifikan dalam jangka waktu yang relatif panjang merupakan salah satu
sinyal bahwa negara tersebut bukanlah tujuan ekspor yang potensial, karena pemerintah negara
tersebut kemungkinan akan menekan angka defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan
juga menunjukkan potensi pergerakan nilai mata uang suatu negara yang kemungkinan akan
mengalami pelemahan (Eun dan Resnick, 2009). Defisit transaksi berjalan yang tinggi juga
berisiko terhadap sudden stop dan berujung pada ketidakstabilan sektor keuangan. Oleh karena
itulah, pemerintah berupaya untuk menjaga agar defisit transaksi berjalan tidak meningkat dan
berlangsung permanen.
2.2. Hubungan Investasi Indonesia dan Amerika Serikat
Nilai investasi Amerika Serikat ke Indonesia pada 2011 mencapai USD 1,5 miliar, dengan
porsi 7,6% dari total investasi dan meningkat dibanding tahun sebelumnya yang mencapai US$ 1
miliar. Hubungan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment - FDI) mencakup 4% dari
total nilai FDI di Indonesia secara keseluruhan. Data pada grafik 6 dan 7 memperlihatkan posisi
FDI Amerika Serikat di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2005, namun kemudian
menurun hingga bernilai negatif di 2006. Tren posisi FDI dari 2007 hingga 2010 mengalami
penurunan.
Grafik 5. Posisi FDI Beberapa Negara di Indonesia per 2010
Sumber: Kementerian Koordinator Perekonomian (2011)
7
Grafik 6. Posisi FDI per Negara di Indonesia
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (2011)
Grafik 7. Perkembangan Posisi FDI Amerika Serikat di Indonesia
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (2011)
Pasang surut FDI AS ke Indonesia tidak terlepas dari perubahan rezim atau undang-undang
yang berlaku di Indonesia. Selama periode tahun 1980-2000, Pemerintah Indonesia telah
menginisiasi liberalisasi investasi asing di Indonesia. Terdapat dua reformasi penting terkait
dengan peraturan invetasi asing di Indonesia. Reformasi pertama terjadi pada tahun 1980,
pemerintah menghapuskan pembatasan modal, penjualan, serta perdagangan pada beberapa
sektor tertentu. Selain itu, pada periode tersebut, pemerintah juga mengizinkan adanya joint
venture dan mengizinkan kepemilikan 100% oleh pihak asing. Reformasi kedua, pada
pertengahan 1990-an, peraturan terkait divestasi yang mensyaratkan perusahaan asing untuk
menerima minority ownership dan memberikan kesempatan kepada investor asing untuk
melakukan investasi pada beberapa sektor vital seperti batubara, pelabuhan, telekomunikasi,
listrik, komunikasi, pelayaran, transportasi udara, rel kereta api, dan media massa (Heggard
2000). Dengan adanya liberalisasi ini, pada 1994-1997 FDI yang masuk ke Indonesia mencapai
US$4.3 miliar per tahunnya. Hal yang serupa juga terjadi pada portfolio capital, yang berada
pada level yang tinggi.
8
Krisis yang terjadi pada tahun 1998 telah menyebabkan Indonesia tidak lagi menjadi tujuan
investasi yang menarik dimata investor asing. Sebagai respon dari hal ini, Presiden RI waktu itu,
BJ. Habibie, melakukan upaya liberalisasi undang-undang investasi dengan menghapuskan
batasan maksimum kepemilikan asing, mengurangi daftar kegiatan yang tidak diizinkan bagi
investor asing, dan mengeliminasi pengendalian harga dan pajak ekspor. Liberalisasi ini
merupakan usaha yang paling ‘bebas’ jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang
juga ikut terkena dampak krisis.
Namun, usaha ini tampaknya belum berhasil meningkatkan tingkat FDI ke Indonesia.
Keadaaan politik dalam negeri yang tidak stabil dan implementasi yang masih setengah-setengah
merupakan penyebab dari belum tercapainya tujuan dari kebijakan ini. Pasca krisis Indonesia
mengalami net divestasi dan rendahnya FDI inflow yang masuk ke Indonesia. Pada tahun 1996,
saham FDI hanya 15% dari total seluruh FDI yang masuk ke negara-negara ASEAN yang saat
itu masih berjumlah tujuh negara.
Keadaan ini mulai membaik setelah tahun 2001. Sikap pemerintah yang lebih terbuka
untuk investasi asing, daya tawar perusahaan-perusahaan Indonesia yang kompetitif, privatisasi
dan rekapitalisasi bank-bank yang ada di Indonesia, dan privatisasi beberapa BUMN di
Indonesia telah menarik kembali minat investor, baik investor yang berasal dari luar negeri,
maupun investor domestik yang tengah ‘memarkirkan’ dananya di luar negeri.
Pada tahun 2005, ketika saham FDI di Indonesia mencapai $10 Milyar, perusahaan
multinasional AS mendominasi investasi asing di Indonesia. FDI AS ke Indonesia terkonsentrasi
pada sektor minyak, gas, dan pertambangan. Hampir 60% dari seluruh FDI AS di Indonesia
terpusat pada sektor pertambangan dan minyak yang telah membantu produksi tembaga, emas,
minyak dan gas dalam skala nasional. Selanjutnya, pada periode ini terdapat pergeseran tren
investasi dimana investor AS mulai melirik pasar tembakau di Indonesia.
Walaupun terdapat trend investasi yang positif, namun tingkat FDI AS ke Indonesia masih
relatif rendah jika dibandingkan dengan masa sebelum krisis ekonomi 1998. Salah satunya
penyebabnya adalah belum bangkitnya sektor manufaktur yang sebelum krisis 1998 meruapakan
sektor andalan FDI. Hal ini mengakibatkan beralihnya minat investor untuk melakukan investasi
pada sektor manufaktur negara-negara tujuan investasi lainnya seperti China dan Vietnam.
Bidang lapangan usaha, yang dapat diklasifikasikan sebagai sektor jasa, termasuk
perdagangan, hotel, dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan, dan jasa,
serta jasa-jasa lainnya merupakan bidang-bidang penting yang meyumbang pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, data BPS menunjukkan bahwa sejak tahun 2008, sektor
pengangkutan dan komunikasi merupakan kontributor utama dan secara konsisten menyumbang
9
lebih dari 10% pertumbuhan ekonomi Indonesia, walaupun memiliki tren yang menurun. Detail
mengenai kontribusi bidang-bidang usaha yang tergolong sektor jasa terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia dapat dilihat pada grafik 8 di bawah ini.
Grafik 8. Kontribusi Beberapa Bidang Jasa terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik (2010)
Namun demikian, apabila dibandingkan dengan beberapa negara patner investasi utama
Indonesia lainnya, seperti negara-negara Uni Eropa dan Jepang, nilai FDI dengan Amerika
Serikat di bidang-bidang yang termasuk jasa, seperti: perdagangan besar dan eceran, perbaikan
kendaraan bermotor, barang-barang rumah tangga, hotel dan restoran, transportasi, pergudangan,
dan komunikasi, lembaga perantara keuangan, real estate, persewaan, dan jasa bisnis, masih
relatif terbatas. Hal ini dapat dilihat pada grafik 10 di bawah ini.
Grafik 9. Nilai FDI bidang-bidang Jasa
Sumber: Badan Pusat Statistik (2010)
10
2.3. Bantuan Ekonomi dan Keuangan Amerika Serikat kepada Indonesia
Amerika Serikat juga turut serta memberikan berbagai macam bentuk bantuan bagi
Indonesia. Bantuan ini salah satunya dilakukan melalui United States Agency for International
Development (USAID). Terkait dengan bidang ekonomi, terdapat beberapa aspek yang menjadi
fokus dari bantuan Amerika Serikat ini, diantaranya:
a. Penguatan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan
Bantuan terhadap Pemerintah Indonesia dan sektor swasta difokuskan untuk menciptakan
lapangan pekerjaan dengan cara meningkatkan iklim usaha dan investasi, memberantas
korupsi, meningkatkan daya saing di sektor-sektor kunci, dan meningkatkan stabilitas sistem
keuangan.
b. Pengembangan iklim usaha dan perusahaan
Usaha untuk mendorong peraturan terkait usaha yang transparan ditujukan untk mengurangi
hidden cost dalam melakukan kegiatan usaha, mengurangi ketidakpastian, dan mendorong
perdagangan, investasi, serta penciptaan lapangan pekerjaan. USAID memberikan bantuan
teknis terhadap sektor-sektor industri untuk mendorong pertumbuhan, ekspor, pekerjaan, dan
kesejahteraan. Diharapkan agar tindakan-tindakan ini dapat meningkatkan produktivitas dan
daya saing nasional.
c. Stabilitas dan kewajaran sektor keuangan
USAID berusaha membantu regulator untuk meningkatkan pengawasan terhadap lembaga
keuangan bank dan non bank untuk mendorong stabilitas sistem keuangan dan meningkatkan
transparansi serta tata laksana (governance).
d. Perbaikan kualitas jasa kebutuhan dasar
USAID Basic Human Services memberikan bantuan kepada Indonesia melalui strategi
terintegrasi yang mengkombinasikan bidang kesehatan, pangan dan gizi, manajemen
lingkungan, dan air di tingkat kecamatan dan kelurahan.
e. Jasa lingkungan
Bantuan USAID ini bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap air bersih dan
sanitasi. Langkah nyata dukungan USAID ini salah satunya tercermin dari bantuan dalam
proyek Air Rahmat, yang bertujuan untuk memberikan air minum yang aman untuk
dikonsumsi bagi masyarakat miskin kota.
f. Jasa kesehatan
Program USAID di bidang ini berfokus pada kesehatan ibu dan anak, termasuk kesehatan
reproduksi, HIV/AIDS, tubercolosis (TBC), malaria, dan proses desentralisasi sektor
11
kesehatan. Tidak hanya itu, bantuan di bidang kesehatan juga tanggap melihat masalah-
masalah kesehatan baru yang muncul di Indonesia. Sebagai contoh, selain program-program
di atas, terdapat inisiatif baru untuk mengatasi masalah flu burung di Indonesia.
g. Pangan dan gizi
Bantuan USAID di bidang pangan dan gizi juga menyentuh masyarakat miskin, dengan fokus
pada program yang memiliki dampak langsung terhadap wanita dan anak-anak. Salah satu
bentuk nyata dari program ini adalah edukasi terhadap wanita dan anak-anak mengenai
suplemen makanan dan gizi.
h. Pinjaman/utang
Utang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman bilateral dari berbagai negara dan juga
utang dari organisasi-organisasi internasional. Pinjaman bilateral yang berasal dari Amerika
Serikat menempati peringkat kedua setelah pinjaman bilateral yang berasal dari Jepang.
Grafik 10. Nilai Pinjaman dari Beberapa Negara terhadap Indonesia (dalam US$ miliar)
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (2011)
2.4. Kerangka Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Amerika Serikat
Sejak penandatanganan Indonesia-US Comprehensive Partnership Agreement (CPA) tahun
2010, hubungan ekonomi Indonesia dan Amerika Serikat (AS) makin diwarnai oleh kepentingan
meningkatkan kerja sama energi mengingat energi menjadi komoditas strategik kedua negara.
Kerangka kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dapat dijelaskan oleh
gambar 1 sebagai berikut:
12
Gambar 1. Kerangka Kerjasama Ekonomi Indonesia dan Amerika Serikat
Sumber: Kedutaan Besar Republik Indonesia untukAmerika Serikat (2012)
Dalam rangka mendukung kerjasama ekonomi antara Indonesia dan AS, Pemerintah AS
telah mengembangkan beberapa inisiatif seperti yang tertuang di Fact Sheet Economic and
Trade Cooperation with Indonesia yang diterbitkan oleh Gedung Putih pada tahun 2010 sebagai
berikut:
a. US-Indonesia Trade and Investment Dialogue
Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat secara rutin terlibat dalam pembahasan isu-isu
perdagangan dan investasi melalui US-Indonesia Trade and Investment Agreement (TIFA).
Indonesia dan Amerika Serikat memiliki komitmen untuk meningkatkan hubungan bilateral,
termasuk di bidang perdagangan dan investasi. Beberapa pertemuan telah dilakukan antara
pimpinan kedua belah negara, termasuk: pertemuan bilateral di tahun 2005 dan 2006 di
Washington, D.C. dan Bogor; pertemuan di konferensi APEC di Santiago, Chile, pada 2004,
dan Busan, Korea, pada 2005, dan Sydney, Australia, tahun 2007.
b. USAID Economic Growth Assistance Program
Pemerintah Amerika melakukan investasi di beberapa proyek bantuan dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara cepat, inklusif, dan berkesinambungan. Investasi
senilai USD 65 juta, bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan World Bank, diharapkan
dapat meningkatkan penciptaan lapangan kerja dan akses yang lebih baik terhadap
infrastruktur dasar pedesaan. Pemerintah Amerika Serikat juga menawarkan bantuan
penasehat bagi Kementerian Perdagangan Indonesia untuk mendorong perdagangan dan
investasi internasional, serta memperbaiki lingkungan bisnis untuk produk pertanian yang
bernilai tinggi.
13
c. Export Sucesses for American Businesses
Indonesia merupakan salah satu dari enam National Export Initiatives (NEI) yang difokuskan
untuk menjadi sasaran ekspor Amerika Serikat. Adapun bidang-bidang ekspor ke Indonesia
dari Amerika Serikat difokuskan pada transportasi, energi, teknologi informasi, lingkungan,
pendidikan, pangan / pertanian, kesehatan, pertahanan, dan industri kreatif.
d. Perjanjian Overseas Private Investment Corporation (OPIC)
OPIC merupakan perjanjian yang relatif baru baru untuk mendorong investasi Amerika
Serikat di Indonesia. Pada bulan April 2010 ditandatangani perjanjian investasi baru yang
menggantikan perjanjian tahun 1967, dengan kerangka yang telah diperbaharui, termasuk
project finance dan jasa asuransi risiko politik untuk proyek-proyek besar.
e. Global Entrepreneurship Program (GEP) Indonesia
Program ini berfungsi untuk mendukung dan memberdayakan wirausaha Indonesia, di mana
Pemerintah Amerika Serikat mengembangkan program-program yang mendukung ekosistem
bagi wirausahawan dan wirausahawati. Indonesia sendiri merupakan salah satu dari dua
negara percobaan atas GEP global.
f. United States Trade and Development Agency (USTDA) Geothermal Development
Sebagaimana yang dapat dilihat dari gambar 1 di atas, salah satu bagian dari kerjasama
ekonomi Indonesia dan Amerika Serikat adalah bidang energi. USTDA dan Pemerintah
Indonesia serta sponsor dari pihak swasta mengembangkan beberapa proyek terkait energi,
seperti proyek geothermal Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) di Jawa Barat, proyek
geothermal swasta di daerah Halmahera, dan program pelatihan untuk memperkuat
kemampuan pemerintah daerah dalam mengembangkan proyek berbasis energi panas bumi.
BAB III
ANALISIS KEKUATAN, KELEMAHAN, HAMBATAN DAN PELUANG
KERJA SAMA INDONESIA-AMERIKA SERIKAT
3.1. Kekuatan dan Kelemahan Indonesia
Walaupun pemerintah kedua belah pihak telah melakukan berbagai upaya untuk
meningkatkan hubungan ekonomi melalui kerangka TIFA, masih terdapat beberapa hal yang
harus menjadi fokus perhatian dan perlu diperbaiki. Beberapa hambatan perdagangan dan
investasi antara Indonesia dan Amerika Serikat bersumber dari Indonesia. Bagian ini akan
memaparkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh Indonesia dalam kaitannya dengan
hubungan ekonomi dengan negara/kawasan lain, termasuk Amerika Serikat.
3.1.1. Kekuatan Indonesia
Beberapa kekuatan Indonesia yang dapat menjadi modal dalam meningkatkan hubungan
ekonomi dengan negara lain terutama adalah sebagai berikut:
a. Kondisi makro-ekonomi
Stabilitas makro-ekonomi sebuah negara merupakan faktor yang sangat penting untuk
menarik negara-negara lain agar tertarik untuk terlibat dalam hubungan ekonomi dengan
Indonesia. Sebagai contoh, defisit fiskal secara berkepanjangan dapat menghambat kemampuan
pemerintah untuk merespon siklus bisnis. Angka inflasi yang terlampau tinggi juga bisa
membuat perusahaan tidak bisa beroperasi secara efisien.
Pasca diterpa krisis ekonomi pada akhir dekade 1990an, perekonomian Indonesia terus
mengalami pertumbuhan. Antara tahun 2004 – 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada
dalam kisaran 5% - 6% per tahun, dan mengalami penurunan tahun 2009 sebagai dampak dari
krisis global, yakni menjadi 4,5%. Dari segi pengelolaan fiskal, nilai rasio utang Indonesia
terhadap PDB mengalami penurunan secara konstan, dari angka 83% di tahun 2001 menjadi
29% di 2009. Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara
(dengan pengecualian Singapura karena tidak memiliki utang pemerintah), rasio utang terhadap
PDB Indonesia merupakan salah satu yang terendah. Keberhasilan penurunan tingkat utang ini
membuat Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan pengelolaan fiskal terbaik di kawasan
Asia Pasifik oleh Standard & Poor, salah satu lembaga pemeringkat kredit internasional yang
diakui. Selain itu, sebagai akibat dari membaiknya kondisi perekonomian Indonesia, dua
lembaga pemeringkat kredit internasional, yakni Fitch dan Moody’s telah meningkatkan
peringkat Indonesia menjadi investment grade pada akhir 2011 dan awal 2012.
15
World Economic Forum menggunakan beberapa kriteria untuk menentukan peringkat daya
saing dalam hal lingkungan makroekonomi: keseimbangan APBN, utang negara, inflasi, tingkat
simpanan nasional, spread tingkat suku bunga, dan peringkat kredit negara. Dalam lima tahun
belakangan, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, kondisi makroekonomi Indonesia
mengalami perbaikan, rasio utang terhadap GDP saat ini berada di bawah 30%, dan inflasi relatif
terkendali. Dalam hal stabilitas ekonomi, Indonesia menempati posisi ke 35, lebih baik
dibandingkan India, Rusia, dan Brazil, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Cina dan Singapura
memiliki lingkungan makroekonomi yang lebih stabil. Peringkat ini menunjukkan kemajuan
yang pesat, mengingat tahun 2007 Indonesia menempati peringkat ke 89. Bagi Indonesia,
ancaman makroekonomi terbesar adalah tingkat inflasi yang tidak terkendali.
b. Potensi pasar yang besar
Ukuran pasar yang besar akan menarik minat investor asing untuk melakukan bisnis di
suatu negara dan menarik mitra dagang yang potensial. Hal ini didukung oleh tren globalisasi
yang menyebabkan pasar internasional menjadi sesuatu yang sangat penting. Indonesia
merupakan negara dengan lebih dari 240 juta penduduk, sekaligus negara dengan jumlah
penduduk keempat terbesar di dunia. Selain itu, masyarakat yang masuk ke dalam golongan
kelas menengah mengalami pertumbuhan yang pesat. Atas dasar inilah, berdasarkan survey daya
saing World Economic Forum, dalam hal ukuran pasar, Indonesia menempati peringkat ke 15.
3.1.2. Kelemahan Indonesia
Beberapa kelemahan Indonesia yang dapat mengurangi kemampuan Indonesia dalam
upaya meningkatkan hubungan ekonomi dengan negara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Infrastruktur yang tidak memadai
Salah satu kelemahan mendasar Indonesia yang mempengaruhi kegiatan perdagangan
dan investasi adalah ketersediaan infrastruktur fisik yang kurang memadai, sebagaimana hasil
survey yang dilakukan oleh World Economic Forum (WEF) yang menunjukkan bahwa Indonesia
menempati peringkat ke-82. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari segi kualitas
infrastruktur, Indonesia masih berada di belakang Singapura, Malaysia, Thailand, Republik
Rakyat Cina, dan Brazil, namun lebih baik dari Vietnam, India, dan Filipina. Infrastruktur fisik
dalam hal ini termasuk jalan, rel kereta api, pelabuhan, sarana pelabuhan udara, sumber energi
yang memadai, dan jaringan telekomunikasi yang baik. Secara spesifik, hasil survey WEF
tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 84 dalam hal kualitas jalan, urutan 96 dalam hal
kualitas pelabuhan, urutan 69 mengenai transportasi udara, peringkat 97 dalam hal jaringan
16
energi, serta urutan ke 82 dalam hal jaringan telekomunikasi. Dalam hal transportasi darat, studi
yang dilakukan oleh LPEM pada 2008 menunjukkan bahwa biaya penggunaan truk sebagai
sarana transportasi membutuhkan biaya USD 0,34 per kilometer. Studi yang dilakukan oleh
Bank Dunia memperkirakan bahwa hanya sekitar 55% jalan di Indonesia yang beraspal, lebih
rendah dibandingkan Malaysia, Filipina, dan Thailand yang memiliki persentase sekitar 80%.
Infrastruktur yang tidak berkualias ini menghambat perkembangan sektor manufaktur dan juga
ekspor Indonesia. Kualitas infrastruktur semakin penting bagi Indonesia mengingat Indonesia
merupakan negara maritim yang terdiri dari ribuan pulau, di mana transportasi antara satu pulau
dengan pulau lainnya menjadi hal yang sangat penting. Oleh karena itu, kondisi infrastruktur
pelabuhan yang berada di peringkat ke 96 menunjukkan adanya kebutuhan perbaikan yang
mendesak.
b. Institusi yang korup
Institusi pemerintah yang efisien, transparan dan bebas korupsi merupakan salah satu
persyaratakan kunci untuk menarik minat investor. Apabila tidak, maka perusahaan
membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengurus perizinan, dan terkadang biaya perizinan
dapat lebih mahal akibat adanya pungutan liar. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Bank
Dunia, dalam hal institusi, Indonesia menempati peringkat ke 61 dengan nilai 4 (skala 1-7).
Ukuran-ukuran yang terkait dengan korupsi tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan.
c. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual yang lemah
Perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di suatu negara sangatlah penting
untuk menstimulus kegiatan inovasi dan investasi. Investor, baik dalam negeri maupun luar
negeri, akan tertarik dengan dengan standar perlindungan HKI yang tinggi. Di Indonesia,
pengaturan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual setidaknya dapat ditemukan di Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Namun, meskipun
cakupan hukum HKI di Indonesia relatif luas, dalam implementasinya sering terjadi pelanggaran
HKI. Di Indonesia kasus pembajakan masih merupakan permasalahan yang serius dan belum
ditindak dengan tegas sesuai dengan peraturan yang ada.
17
d. Kualitas produk tidak memenuhi standar
Kesamaan standar kualitas merupakan salah satu faktor penting yang diperhatikan oleh
suatu negara. Standar yang diberlakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan
Uni Eropa terhadap produk yang diimpor relatif tinggi, terutama menyangkut keamanan,
keselamatan, dan kesehatan. Atas alasan inilah, produk-produk Indonesia mengalami kesulitan
masuk ke dalam pasar negara maju karena standar dan persyaratan teknis yang tinggi. Peraturan
sanitasi dan fitosanitasi Indonesia tidak mengenali standar keamanan makanan Uni Eropa dan
laboratorium teknis Uni Eropa juga tidak mengenali tes untuk standar teknis Indonesia. Salah
satu penyebab rendahnya kualitas barang hasil produksi Indonesia adalah rendahnya tingkat
pendidikan tinggi. Akses terhadap pendidikan tinggi merupakan hal yang krusial agar proses
produksi dapat bergerak maju dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang dinamis.
e. Kerumitan melakukan bisnis
Tingginya sektor informal disebabkan oleh proses birokrasi yang menyulitkan. Riset yang
ada menunjukkan bahwa perizinan malalukan/memulai usaha yang lebih mudah akan
meningkatkan jumlah bisnis dan lapangan kerja. Riset Doing Business yang dilakukan oleh
World Bank menunjukkan hasil empiris bahwa penurunan biaya registrasi usaha yang disertai
dengan stimulus ekonomi lainnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hasil serupa juga
berlaku di Meksiko, di mana reformasi registrasi usaha meningkatkan registrasi perusahaan
sebesar 5% dan meningkatkan lapangan pekerjaan sebesar 2,2%.
Lebih lanjut lagi, hasil survey Doing Business menunjukkan bahwa di Indonesia, lama
waktu yang dibutuhkan untuk memulai suatu usaha rata-rata tahun 2006 adalah 151 hari, dan
berhasil dikurangi menjadi 45 hari di tahun 2011. Jumlah prosedur yang harus diikuti semula
berjumlah 12 di tahun 2006, namun menjadi 8 di 2012. Izin konstruksi berkurang dari 186 hari di
tahun 2005 ke 158 hari di tahun 2011. Namun, hasil penelitian World Bank tersebut
menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal apabila dibandingkan dengan rata-rata negara
APEC, yakni satu bulan lebih lama dibandingkan dengan Malaysia dan empat kali lebih lama
dibandingkan dengan Thailand. Modal disetor minimal yang disyaratkan juga mecakup 46,6%
dari pendapatan per kapita nasional, sementara peraturan sejenis di negara-negara APEC lainnya
telah dihapuskan.
Dalam kerjasama RI-USA, sektor energi dan pertambangan merupakan salah satu sektor
yang menjadi prioritas. Pada tahun 2011, nilai investasi USA pada sektor pertambangan
mencapai $3.6 Milyar. Salah satu faktor yang menjadi perhatian investor AS dalam melakukan
investasi pada sektor pertambangan adalah payung hukum yang dapat memberikan keamanan
bagi mereka untuk menjalankan usaha pertambangan. Pada awalnya, ketentuan hukum
18
pertambangan diatur pada UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan.
Sebelumnya, pemerintah pernah melakukan revisi pada peraturan pertambangan di
Indonesia pada tahun 2010. Melalui peraturan No. 23/2010 terdapat beberapa poin yang perlu
diperhatikan. Pertama, UU Minerba yang baru ini mensyaratkan bahwa badan usaha pemegang
IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing harus melakukan divestasi sebesar 20% dari
kepemilikannya setelah lima tahun beroperasi di Indonesia. Kepemilikan ini nantinya akan
dialihkan kepada pemerintah pusat, BUMN, atau pemerintah daerah dimana lokasi
pertambanagn itu berada dengan mekanisme lelang. Hal ini akan menyulitkan investor potensial
mengingat masing-masing proyek investasi di sektor pertambangan ini memilki waktu Break-
Even Point yang berbeda. Hal ini juga terkait dengan keuntungan yang diinginkan oleh pemilik
usaha. Kedua, pembatasan luasan wilayah minimal untuk melakukan usaha tambang juga akan
mengurangi insentif investor untuk menanamkan modal pada sektor ini. Pembatasan luasan
wilayah minimal untuk eksplorasi yang terdapat dalam Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal
58 ayat (1) dan pasal 61 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 berpotensi menghambat persaingan
usaha yang sehat dengan menciptakan hambatan masuk ke dalam industri pertambangan mineral
dan batubara. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang batasan minimal dan maksimal untuk IUP
Eksplorasi yang dibedakan antara mineral logam, mineral non logam, batuan dan batubara.
Pembatasan tersebut dikhawatirkan akan membuat wilayah yang sebenarnya mempunyai potensi
cadangan mineral menjadi tidak dapat diusahakan. Penetapan luasan minimum yang tidak
memperhatikan karakteristik daerah penghasil tambang di Indonesia sebagai sebuah negara
kepulauan pada akhirnya juga berpotensi menimbulkan high cost economy, yang menghalangi
pelaku usaha tertentu.
Namun, bagi AS sendiri, UU No. 23/2010 tenatang Minerba ini bukan tidak memberikan
dampak positif sama sekali. Sisi positifnya, aturan ini diharapkan memberikan kepastian hukum
bagi investor AS pada sektor pertambangan. Melalui RUU ini, kontrak kerjasama RI-AS yang
selama ini berupa Kontrak Kerja (KK) akan diubah menjadi IzinUsaha Pertambangan, dimana
pemegang IUP ini akan diberikan kepastian melalui proses tender yang kompetitif. Selain itu,
dengan berlakunya peraturan ini, investor asing diizinkan untuk memegang 100% IUP
concession.
Selain itu, seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi global pada rentang tahun 2010-
2011, maka pertumbuhan industri batubara dan mineral akan ikut meningkat sehingga
permintaan terhadap produk tambang seperti batu bara, nickel, besi, dan timah akan diramalkan
turut mengalami peningkatan. Hal ini mendorong perusahaan-perusahaan tambang asing,
19
termasuk yang berasal dari USA untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Menanggapi hal
ini, beberapa perusahaan tambang asal USA akan tetap mengimplementasikan investasinya di
Indonesia.
Berkembangnya isu mengenai kepentingan masyarakat lokal yang tinggal disekitar wilayah
pertambangan telah memaksa pemerintah untuk kembali merevisi UU Minerba ini. UU
No.23/2010 ini dianggap sudah tidak relevan dengan era reformasi dan otonomi daerah sehingga
saat ini pemerintah, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sedang mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang akan menggantikan UU ini.
Poin penting terdapat dalam Bab 25 pasal 169 ayat (a) dinyatakan disebutkan bahwa kontrak
karya (KK) dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang telah ada
sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya
kontrak/perjanjian. Hal ini menunjukkan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menjalankan
kontrak sesuai dengan kesepakatan awal, dimana melalui peraturan ini pengusahaan
pertambangan yang selama ini memakai sistem KK dan PKP2B akan ditunggu hingga
berakhirnya kontrak. Sehingga dapat dikatakan RUU ini tidak akan memberi efek yang
signifikan bagi existing investor yang berasal dari USA yang telah berinvestasi di sektor
pertambanagan di Indonesia. Walaupun akan ada penyesuaian pada isi perjanjian atau kontrak
lama dengan existing shareholder asing, diprediksikan UU ini tidak akan mengganggu iklim
investasi di Indonesia, khususnya hubungan RI-AS dalam sektor pertambangan.
f. Kurangnya kesiapan teknologi
Daya saing sebuah negara sangat ditentukan oleh perkembangan teknologi yang dapat
meningkatkan produktivitas sebuah bangsa. Berdasarkan analisis dari Global Competitiveness
Report yang dikeluarkan oleh World Economic Forum pada 2011, aspek teknologi merupakan
salah satu titik terlemah Indonesia, dengan peringkat 91. Peringkat Indonesia ini berada jauh dari
beberapa negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
3.2. Kekuatan dan Kelemahan Amerika Serikat
Selain berasal dari sisi Indonesia, beberapa hambatan kerja sama juga berasal dari sisi
Amerika Serikat. Bagian ini akan membahas kelemahan Amerika Serikat, yang secara umum
berkaitan dengan peraturan lokal yang cenderung bersifat proteksionis. Namun, sebelumnya
akan dijelaskan mengenai kelebihan Amerika Serikat, terutama dari segi daya saing sebagai
negara maju. Hal ini terlihat dari posisi Amerika Serikat di ranking Doing Business 2012 oleh
International Finance Corporation, yang menempatkannya pada posisi keempat.
20
3.2.1. Kekuatan Amerika Serikat
Beberapa yang dimiliki dan menjadi kekuatan AS dalam menjalin kerja sama ekonomi dan
keuangan dengan negara lain terutama adalah sebagai berikut:
a. Kemudahan dalam melakukan usaha
Survei Doing Business 2012 yang dilakukan oleh International Finance Corporation (IFC)
menempatkan Amerika Serikat sebagai salah satu negara terbaik untuk melakukan usaha,
sehingga berpotensi menjadi tujuan Foreign Direct Investment (FDI). Secara keseluruhan,
Amerika Serikat berada di posisi 4 pada 2012 (tidak mengalami perubahan sejak 2011).
Peringkat ini relatif lebih baik apabila dibandingkan dengan rata-rata negara OECD high income
(seperti Kanada, Jerman, dan lain-lain). Secara spesifik, Amerika Serikat menempati peringkat
13 untuk kemudahan dalam memulai bisnis, peringkat 17 dalam hal izin konstruksi/ pendirian
bangunan, posisi 16 untuk registrasi properti, posisi 4 untuk mendapatkan kredit, peringkat 7
dalam contract enforcement, dan peringkat 17 dalam mendapatkan listrik. Peringkat Amerika
Serikat tidak terlalu baik dalam hal pembayaran pajak, yakni di posisi 72 dari 183 negara.
b. Posisi yang kuat di organisasi internasional
Amerika Serikat merupakan salah satu negara pelopor dari sistem perdagangan
internasional modern. Negara ini juga memiliki peranan penting di dalam berbagai organisasi
internasional, termasuk yang bergerak di bidang ekonomi dan perdagangan, seperti World Trade
Organization (WTO). Posisi penting membuat Amerika Serikat memiliki pengaruh yang kuat
dalam menentukan arah kebijakan organisasi internasional, yang seringkali dijadikan sebagai
acuan bagi negara-negara dalam merumuskan kebijakan.
3.2.2. Kelemahan Amerika Serikat
Seperti halnya dengan negara-negara lainnya di dunia, AS juga memiliki beberapa
kelemahan yang kurang mendukung pelaksanaan kerja sama ekonomi dengan negara lainnya,
termasuk:
a. Potensi perkembangan daya saing di masa depan yang terbatas
Walaupun survei World Economic Forum (WEF) 2012 mengenai daya saing menempatkan
Amerika Serikat sebagai salah satu negara dengan daya saing yang tinggi, Atlantic Report
melaporkan bahwa dari tahun 1999 hingga 2008, perbaikan dalam bidang inovasi di Amerika
Serikat sangat minim. Laporan ini juga menyebutkan bahwa dasar-dasar ilmu pengetahuan dan
teknologi mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Sebagai indikator, kemampuan siswa usia
15 tahun secara rata-rata memiliki kemampuan matematika dan ilmu pengetahuan yang lebih
21
rendah dibanding rata-rata negara OECD high income. Padahal, pendidikan merupakan faktor
yang sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia sebuah negara.
Pertumbuhan daya saing Amerika Serikat ini juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi
di masa depan yang juga terbatas, salah satunya dikarenakan krisis ekonomi yang terjadi sejak
2008. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan bahwa Amerika Serikat akan
“mengalami masa pemulihan yang lemah dengan masa depan yang tidak pasti”.
Berdasarkan survei Doing Business 2012, daya saing Amerika Serikat mengalami
penurunan dari tahun ke tahun. Stabilitas makro-ekonomi merupakan salah satu faktor utama
penyebab penurunan daya saing, di mana untuk kategori ini Amerika Serikat menempati
peringkat 111. Situasi politik juga merupakan salah satu indikator daya saing sebuah negara,
karena instabilitas dapat menyebabkan investor asing enggan untuk berinvestasi di negara
tersebut dan perdagangan internasional dapat terganggu. Indikator bidang politik menunjukkan
bahwa kepercayaan masyarakat Amerika Serikat terhadap pemerintah menurun, termasuk
pandangan para pebisnis mengenai kemampuan pemerintah untuk menjaga hubungan dengan
sektor swasta.
b. Peraturan terkait perdagangan dan investasi internasional
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menerapkan beberapa batasan dalam
perdagangan dan investasi lintas negara. Peraturan-peraturan tersebut berpotensi menghambat
perdagangan dan investasi internasional, terutama yang mengarah ke Amerika Serikat (impor
dan investasi asing di dalam Amerika Serikat). Beberapa permasalahan yang timbul terkait
peraturan oleh AS tersebut bervariasi, antara lain sebagai berikut:
1) Jumlah peraturan standar produk yang terlalu banyak
Dokumen trade barriers yang disusun oleh European Commission menunjukkan bahwa untuk
beberapa produk, Pemerintah Amerika Serikat menetapkan standar kesehatan, keselamatan,
dan lingkungan sendiri. Pemenuhan standar internasional oleh seorang eksportir yang menjual
produknya di pasar Amerika Serikat tidak serta merta menjadikan eksportir tersebut tidak
perlu mendapatkan sertifikat pemenuhan standar lokal Amerika Serikat. Rumitnya peraturan
ini terutama berlaku untuk produk-produk farmasi. Kepatuhan terhadap standar-standar
nasional di Amerika Serikat merupakan tantangan sendiri bagi pengusaha Indonesia. Produk-
produk yang tidak ada standar tersendiri atau khusus juga menghadapi kesulitan terkait isu
standardisasi ini, karena standar yang berlaku umum tiba-tiba dapat berubah. Standar
keselamatan juga bisa berbeda-beda antara satu negara bagian dengan negara bagian lainnya,
di mana standar yang berlaku di suatu negara bagian lebih tinggi dibandingkan dengan standar
di negara bagian lainnya. Oleh karena itu, dapat dibayangkan apabila sebuah perusahaan ingin
22
memasarkan produknya di beberapa negara bagian Amerika Serikat, standar masing-masing
negara bagian yang berbeda-beda harus dipenuhi terlebih dahulu.
2) Prosedur impor
Beberapa prosedur impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat seringkali dianggap
sebagai hambatan perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara tersebut. Peraturan
Counter Security Initiative yang bertujuan untuk mencegah ancaman teroris memiliki dampak
samping negatif, yakni meningkatkan biaya bagi pelaku usaha luar negeri yang mengekspor
produknya ke Amerika Serikat. Di samping itu, Amerika Serikat memiliki Trade Expansion
Act 1962 yang di salah satu klausulnya menyebutkan bahwa industri di Amerika Serikat dapat
menyampaikan petisi untuk menolak impor dari negara lain dengan alasan keamanan
nasional. Namun, dalam undang-undang ini tidak diatur mengenai apakah petisi harus
dilengkapi dengan bukti yang sah atau tidak, sehingga dikhawatirkan bahwa peraturan ini
dijadikan landasan oleh perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat untuk menghambat
kompetisi dari perusahaan luar negeri.
3) Peraturan Procurement Lembaga Publik
Beberapa peraturan procurement bagi lembaga publik di Amerika Serikat menyulitkan
supplier yang berasal dari luar Amerika Serikat. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya
peraturan Buy America Act (BAA), mendorong lembaga publik untuk lebih memilih supplier
domestik ketimbang luar negeri. Adanya peraturan ini mengurangi kesempatan perusahaan-
perusahaan asing untuk menjadi supplier bagi lembaga publik di Amerika Serikat.
4) Subsidi terhadap Petani dan Industri oleh Pemerintah
Pemerintah Amerika Serikat memberikan subsidi langsung maupun tidak langsung kepada
petani dan industri lokal, kebijakan perlindungan, dan perlakuan pajak secara khusus. Subsidi
kepada petani didasarkan pada Farm Security and Rural Investment Act of 2002.
5) Batasan terhadap Foreign Direct Investments
Terdapat hukum yang memperbolehkan pembatalan terhadap akuisisi perusahaan Amerika
Serikat karena alasan keamanan nasional, seperti yang dinyatakan dalam Exon Florio
Amendment to 1950 Defense Production Act. Pelaksanaan peraturan ini sendiri diserahkan
kepada Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS). Hambatan terhadap
FDI terutama dirasakan di sektor shipping, energi, dan komunikasi.
23
3.3. Hambatan kerjasama ekonomi Indonesia - Amerika Serikat
3.3.1 Hambatan kerjasama dari sisi Indonesia
Beberapa hal dari Indonesia yang dapat menghambat kerja sama ekonomi Indonesia
dengan Amerika Serikat antara lain adalah sebagai berikut:
a. Daya saing industri dalam negeri yang lemah
Di tengah implementasi Free Trade Agreement (FTA), penguatan daya saing industri dan
pengamanan pasar produk dalam negeri menjadi sangat diperlukan. Pemerintah Indonesia telah
mengupayakan untuk mendongkrak penggunaan produk-produk dalam negeri, melalui penerapan
berbagai macam regulasi teknis dan tata niaga untuk pengamanan pasar dalam negeri, serta
program-program promosi seperti kampanye cinta produk dalam negeri, sosialisasi produk dalam
negeri hingga melalui pameran-pameran. Peningkatan daya saing melalui optimalisasi
penggunaan produk dalam negeri dengan menjaga kualitas dan standar.
Kementerian Perindustrian Indonesia telah melakukan empat langkah strategis terkait
penguatan daya saing industri dalam negeri3. Pertama, restrukturisasi industri. Langkah ini
terkait dengan pemanfaat teknologi yang efisien, hemat energi, dan ramah lingkungan melalui
restrukturisasi permesinan dan peralatan produksi yang lebih eco-friendly. Implementasi ini pada
industri tekstil, alas kaku, gula, serta industri pupuk. Kedua, menjamin kecukupan bahan baku
yang terkait dengan pengembangan industri hulu seperti industri gas, kimia dasar, dan logam
dasar. Ketiga, peningkatan kualitas sumber daya manusia industri melalui fasilitasi
pembangunan Unit Pelayanan Teknis (UPT) untuk mendukung pelatihan dengan keahlian
khusus di bidang industri. Keempat, perbaikan pelayanan publik melalui birokrasi yang efektif,
efisien, dan akuntabel.
Selain itu, Kementerian Perindustrian telah melakukan inisiatif melalui penerapan Standar
Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk produk industri, kebijakan Tata Niaga seperti penerapan
Importir Produsen (IP) maupun Importir Terdaftar (IT), penerapan trade defends seperti
safeguard, anti dumping, dan countervailing duties, serta optimalisasi peningkatan penggunaan
produk alam negeri (P3DN) di semua lini kegiatan perekonomian..
b. Gangguan keamanan
Keamanan berinvestasi menjadi salah satu faktor penentu masuknya penanaman modal
asing. Gangguan keamanan yang terjadi belakangan ini berdampak pada iklim investasi di
Indonesia. Saat ini investor asing yang berdatangan ke Indonesia banyak juga yang datang dari
3 http://www.kemenperin.go.id/artikel/3313/Menperin-Mendorong-Peningkatan-Daya-Saing-Industri-Nasional, diunduh pada 15 Agustus 2012.
24
AS, selain dari Asia seperti Jepang, Korea, dan Cina. Aspek keamanan terkait aksi unjuk rasa
yang menandakan berjalannya proses demokrasi tetapi harus berujung anarkis membawa
dampak yang kurang baik bagi iklim investasi. Kondisi ini membuat investor bersikap menunggu
hingga keamanan kondusif. Akibatnya, investor yang seharusnya sudah masuk dan memulai
aktivitas usahanya harus tertunda menunggu kepastian keamanan. Adanya aksi demonstrasi yang
besar dan disiarkan media membuat investor asing mempertanyakan kemungkinan dampak yang
terjadi pada aktivitas usahanya. Selain itu, kurangnya perlindungan kawasan industri oleh aparat
penegak hukum menjadi faktor pertimbangan juga bagi investor asing.
c. Pasokan energi kurang terjamin
Kurangnya jaminan pasokan energi sebagai sumber listrik manjadi hambatan dalam iklim
investasi di Indonesia. Alternatif terkait pasokan energi mulai dari batubara, gas, pasokan listrik
dari PT PLN. Namun, masing-masing sumber energi ini di Indonesia masih menghadapi kendala.
Permasalahan utama terkait gas bumi adalah pasokan gas bumi untuk domestik tidak mencukupi
real demand yang ada disebabkan kontral gas banyak yang sudah terikat kontrak jangka
panjang4. Selain itu, ketiadaan infrastruktur gas juga membuat cadangan gas yang ada di
Kalimantan dan Papua belum dapat dipergunakan untuk memenuhi pusat-pusat industri yang
terletak di pulau Jawa dan Sumatera. Seperti contohnya, kurangnya pasokan gas untuk PLTGU
milik PLN dimana total kebutuhan gas tahun 2011 sebesar 2.060 bbtud hanya dipenuhi 832
bbtud. Hal yang sama terjadi pada industri di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, serta
Sumatera Utama dimana real demand gas yang mencapai 1.529 bbtud hanya dapat dipenuhi
sebesar 494 bbtud. Kondisi ini jelas dapat menghilangkan kesempatan derasnya investasi asing
(FDI) yang masuk saat ini ke Indonesia.
d. Minimnya laboratorium nasional dengan standar internasional
Keamanan, mutu, dan pemenuhan gizi pangan terkadang menjadi hambatan nontarif dalam
perdagangan pangan dunia. Kehadiran laboratorium dan lembaga uji mutu pangan Indonesia
diperlukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Dengan demikian, produk Indonesia
bisa menembus pasar dunia dengan harga bersaing. Keberadaan laboratorium pangan nasional
dengan standar internasional sangat penting dalam menopang industri pangan, pertanian, dan
komoditas lainnya yang berbasis ekspor. Dengan demikian, standar mutu yang diuji laboratorium
tersebut bisa diterima di pasar internasional. Saat ini banyak produk Indonesia yang mengalami
hambatan dalam uji mutu dan sertifikasi sehingga terkadang menjadi mahal atau ditolak negara
pembeli. Kehadiran laboratorium pangan dengan standar internasional penting sehingga tidak
lagi menjadi semacam hambatan nontarif yang menyulitkan produk Indonesia. 4 Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2011, Kementerian Koordinator Perekonomian.
25
Indonesia merupakan salah satu negara pengeskpor ikan tuna yang disegani di dunia
dengan tujuan ekspor terbesar ke Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Banyak terjadi
penolakan terhadap produk ikan tuna Indonesia ke negara tersebut disebabkan adanya kandungan
merkuri dalam ikan tuna melebih batas maksimum yang dipersyaratkan oleh negara tujuan
ekspor. Peran Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanana (LPPMHP) sangat
penting dalam pembinaan dan pengujian mutu ekspor hasil perikanan terumatam untuk
meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia di pasaran internasional baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Selain itu, keberadaan Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang
(BPSMB) diperlukan untuk mengawal komoditas suatu produk agar dapat memenuhi
persyaratan pasar negara tujuan ekspor.
e. Relabelling
Dari pemetaan Kementerian Keuangan, ada tiga kategori pelaku penyelundupan yang
berada dalam tanggung jawabnya. Yaitu importir risiko tinggi sejumlah 6.200 importir atau
sekitar 42%, importir dengan risiko menengah sejumlah 2.900 importir atau 19,9%, dan importir
risiko rendah sebanyak 5.413 importir atau 37,29% (2006). Tindakan-tindakan illegal yang
berhubungan dengan peraturan kepabeanan di antaranya illegal transshipment atau yang
berhubungan dengn sertifikat Surat Keterangan Asal, certificate of origin yang ada hubungannya
dengan berbagai penyalahgunaan fasilitas-fasilitas yang berhubungan dengan kawasan berikat
maupun gudang berikat. Modus yang selama ini berhubungan dengan penanganan
penyelundupan adalah penyelundupan yang bearasal dari kawasan berikat, gudang berikat
maupun perusahaan-perusahaan yang menerima kemudahan impor untuk tujuan ekspor. Modus
operasinya dengan menggunakan kawasan tersebut atau gudang hanya untuk melakukan
relabeling dan melakukan tindakan re-ekspor ataupun penyelundupan ke dalam pasar dalam
negeri. Untuk mengatasi hal tersebut, Bea dan Cukai melakukan peningkatan audit terhadap
perusahaan yang menerima fasilitas tersebut, penertiban ijin fasilitas tersebut, pemberian saksi
berupa denda dan pencabutan ijin bagi perusahaan yang terlibat penyelundupan.
Sejak 2006, Indonesia dan Amerika Serikat telah memiliki nota kesepahaman tentang kerja
sama mengamankan perdagangan tekstil dan produks tekstil kedua negara. Nota kesepahaman
ini terkait masalah praktek transshipment ilegal, pengalihan rute, deklarasi yang keliru mengenai
negara atau tempat asal barang, atau penggelapan dokumen resmi tidak lagi terjadi. Praktik-
praktik seperti ini terjadi akibat penerapan kebijakan Amerika Serikta yang memberlakukan
pengamanan produk dalam negerinya. Di antaranya melalui: safeguard, antidumping, dan
countervailing duties untuk tekstil dan produk tekstil kategori tertentu dari beberapa negara.
Proses verifikasi transshipment tidak ditujukan pada produsen tekstil Indonesia, tetapi juga
26
kalangan importir di Amerika Serikar. Pemalsuan dokumen Surat Keterangan Asal-yang menjadi
motif transshipment-juga mungkin dilakukan importir di Amerika Serikat.
3.3.2. Hambatan kerja sama dari sisi Amerika Serikat
Hambatan dalam kerja sama ekonomi antara Indonesia dan AS tidak hanya berasal dari
Indonesia, melainkan juga ada yang berasal dari AS, termasuk:
a. Pertumbuhan perekonomian AS yang melambat
Amerika Serikat belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan perekonomiannya pasca
krisis 2009, bahkan cenderung melambat. Pertumbuhan ekonomi AS melambat pada tingkat
tahunan hanya 1,5 persen dari April sampai Juni tahun ini (2012). Tingkat pertumbuhan 1,5
persen pada kuartal kedua tersebut merupakan yang terlemah, yang diukur dengan produk
domestik bruto. Pertumbuhan lebih melemah terutama disebabkan belanja konsumen melambat
dengan pertumbuhan hanya 1,5 persen. Jumlah ini turun dari 2,4 persen pada kuartal pertama.
Belanja pemerintah turun jauh, melebihi dari setengah persentasi poin dari pertumbuhan total.
Adanya krisis anggaran di AS diperkirakan akan memperlambat investasi bisnis ke depan.
Sejauh ini, investasi yang mengalami penurunan tajam adalah dalam bidang pertambangan,
minyak dan gas.
Departemen Perdagangan AS merevisi perkiraan pertumbuhan selama tiga tahun terakhir.
Revisi menunjukkan bahwa ekonomi mengalami kontraksi 3,1 persen pada 2009, lebih rendah
dari 3,5 persen dari laporan sebelumnya. Pertumbuhan pada tahun 20120 sebesar 2,4 persen,
turun dari 3 persen, dan pertumbuhan tahun 2011 sebesar 1,8 persen. Perekonomian AS yang tak
kunjung membaik mulai dirasakan dampaknya terhadap Indonesia. Pasa semester pertama 2012,
ekspor Indonesia mencapai 96 miliar dolar AS, turun 1,76 persen dibandingkan tahun lalu.
Salah satu isu penting lainnya terkait dengan perkembangan ekonomi Amerika Serikat
adalah fiscal cliff yang timbul di awal 2013. Fiscal cliff sendiri merupakan istilah yang
dipopulerkan Ben Bernanke, kepala Federal Reserve Amerika Serikat, terkait dengan kondisi
ekonomi Amerika Serikat sebagai akibat prakiraan kondisi defisit anggaran pemerintah yang
menurun tajam karena meningkatnya penerimaan pajak dan menurunnya pengeluaran
pemerintah (government spending). Peningkatan pajak salah satunya diakibatkan oleh
berakhirnya Tax Relief Act atau yang juga dikenal sebagai Bush Tax Cuts, sementara penurunan
pengeluaran pemerintah merupakan konsekuensi dari diterapkannya Budget Control Act 2011
oleh pemerintah Amerika Serikat. Banyak pihak, seperti Congressional Budget Office (CBO)
yang memperkirakan bahwa fiscal cliff dalam jangka pendek menyebabkan resesi di Amerika
27
Serikat, walaupun di jangka panjang kondisi ini diharapkan memberikan keuntungan berupa
pengurangan tingkat utang secara signifikan. Kondisi resesi ini dikhawatirkan dapat menurunkan
potensi ekspor berbagai negara yang memiliki pasar di Amerika Serikat pada masa depan,
termasuk Indonesia, serta penurunan nilai investasi. Hal ini tentunya akan memiliki dampak
signifikan terhadap Indonesia, mengingat seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya,
Amerika Serikat merupakan partner perdagangan dan investasi utama Indonesia5.
Kondisi defisit transaksi berjalan Amerika Serikat yang sudah berlangsung dalam beberapa
tahun terakhir dan mencapai 6% dari PDB pada tahum 2006 (Borio dan Disyatat, 2006) juga
menjadi perhatian karena isu global imbalance yang oleh banyak pihak disebut-sebut sebagai
penyebab krisis keuangan dunia (Bernanke, 2009; Dunaway, 2009; Economist, 2009;
Eichengreen, 2009; dan Krugman, 2009). Global imbalance merupakan fenomena di manaexcess
savings yang terjadi di beberapa negara dengan surplus transaksi berjalan, terutama negara-
negara berkembang, menyebabkan capital flow dalam jumlah besar ke negara-negara yang
mengalami defisit (termasuk Amerika Serikat) sehingga berujung pada longgarnya kondisi
keuangan di negara-negara yang mengalami defisit dan menurunkan tingkat suku bunga global,
lalu mendorong terjadinya credit boom yang tidak terkendali. Walaupun demikian, global
imbalances yang hanya dilihat dari defisit transaksi berjalan mendapat kritik dari berbagai pihak,
termasuk Brender dan Pinsani (2010) dan Borio dan Disyatat (2010). Mereka menganggap
bahwa imbalance yang dimaksud juga harus mencakup transaksi aset keuangan, tidak hanya
barang dan jasa sebagaimana yang dicerminkan oleh transaksi berjalan.
b. Kompetisi pengembangan energi
Amerika Serikat tengah gencar memberdayakan penggantian energi fosil, salah satunya
dengan biofuel yang mencapai momentum politiknya karena adanya pasar baru yang
menguntungkan bagi produk pertanian. Kongres di Amerika Serikat telah memberikan mandat
yang luas dan subsidi untuk mendapatkan industri biofuel dari tanah. Didorong langkah-langkah
legislatif, terutama Keamanana Energi 2007 dan Undang-Undang Kemerdekaan,
mengamanatkan peningkatan industri biofuel. Melalui Menteri Pertaniannya, mendesak
perusahaan-perusahaan minyak di AS untuk meningkatkan campuran etanol dengan banein
untuk mengurangi ketergantungan Amerika Serikat pada minyak asing.
Ekspor CPO Indonesia ke Amerika Serikat sekitar 1 - 1,5 juta ton setiap tahunnya. Dalam
rangka program Green Product, Amerika Serikat menggiatkan penetapan standar minimum
kandungan CO2 pada level 20%. Selain menggunakan crude palm oilsebagai bahan bakar
5www. inilah.com, - Ekonom BNI Ryan Kiryanto menilai fiscal cliff AS atau tebing fiskal dalam jangka pendek akan berdampak negative.
28
biodiesel, Amerika Serikat juga menggunakan bunga matahari dan minyak kedelai. Isu
pelarangan yang muncul awal tahun ini dapat berkaitan dengan khawatirnya Amerika Serikat
dengan persaingan pengembangan energi. Selama ini Amerika Serikat gencar memberdayakan
kedelai untuk menggantian energi fosil.
c. Hambatan nontarif
Produk-produk ekspor Indonesia sering terganggung oleh hambatan non-tarif di berbagai
negara, salah satunya isu lingkungan. Regulasi mengenai produk ramah lingkungan sering
menyebabkan produk ekspor Indonesia dilarang masuk. Produk kertas Indonesia pernah dilarang
di Amerika Serikat dan Korea karena dituduh menggunakan bahan baku dari kayu hasil
pembalakan liar. Padahal, Indonesia telah memiliki Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SLVK)
untuk menyeleksi bahan baku industri. Selain itu, CPO Indonesia juga ditolak masuk dalam
daftar 53 produk ramah lingkungan APEC.
Notifikasi Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (Environment Protection
Agency- EPA) menyatakan bahwa minyak sawit Indonesia belum memenuhi persyaratan seperti
yang ada di dalam Cleain Air Acti (CAA). Kemudian hal ini diamandemen dengan Energy
Independence and Security Act of 2007 (EISA) yaitu minimum 20% pengurangan emisi dalam
Lifecycyle GreenHouse Gas (GHG) untuk bisa dianggap sebagai bahan bakar terbarukan dan
masuk dalam program Renewable Fuel Standrad (RFS) Amerika Serikat.
Perdagangan minyak sawit ke Amerika Serikat tahun 2011 total volume ekspor sebesar
49,4 ribu ton atau senilai US$ 51,7 juta. Hambatan perdagangan minyak sawit di Amerika
Serikat antara lain:
1) Environmental Protection Agency (EPA) yang merupakan lembaga Pemerintah AS yang
membuat kebijakan untuk memelihara lingkungan melalui pencegahan pemanasan global
disebabkan oleh peningkatan peredaran gas CO2. Salah satu kebijakannya uuntuk mengurangi
pemanasan global adalah melalui peningkatan penggunaan bio energy termasuk biodiesel
yang salah satu bahan bakunya adalah minyak sawit.
2) Amerika Serikat telah memperhitungkan bahwa kebutuhan biodiesel mereka akan terus
meningkat sebanyak 36 milyar gallon pada tahun 2022. Peningkatan kebutuhan biodiesel
tersebut dikhawatirkan akan mendorong pembukaan lahan kelapa sawit secara besar-besaran
dan mengakibatkan peningkatan emisi gas rumah kaca.
3) Pada bulan Januari 2012, EPA melalui Federal Register mengeluarkan hasil analisisnya,
bahwa biodiesel dan renewable diesel dari minyak sawit tidak dapat memenuhi batas minimal
penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 20%. Berdasarkan perhitungan mereka, biodiesel
29
dan renewablediesel dari minyak sawit hanya menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 17%
dan 11%.
4) Hasil analisis EPA tersebut dapat dikatakan tidak valid karena menggunakan banyak asumsi.
Hal ini bertentangan dengan ketentuan WTO bahwa regulasi yang dikeluarkan oleh suatu
pemerintah yang berdampak besar terhadap akses pasar barang yang diimpor maupu produksi
lokal harus dapat dibuktikan secara ilmiah.
5) Faktor asam lemak trans juga berpengaruh terhadap perkembangan permintaan minyak sawit.
Mulai tahun 2006, Amerika Serikat melalui Food and Drug Administration (FDA)
mengeluarkan peraturan pencantuman asam lemak trans pada pelabelan bahan makanan.
Peraturan ini akan mempengaruhi permintaan minyak sawit di Amerika, karena minyak sawit
tidak mengandung trans fat yang merugikan kesehatan manusia.
Dalam analisisnya, EPA mengasumsikan sebanyak 400 juta gallon biofuel berbahan baku
CPO digunakan di Amerika pada 2022. Dengan asumsi itu, EPA, menghitung tambahan lahan
sawit baru di Indonesia, proses produksinya, dan transportasinya hingga 2012. Akan tetapi, EPA
tidak memperhitungkan adanya moratorium konversi hutan menjadi lahan sawit di Indonesia
hingga 2013, seperti isi Kesepakatan Oslo antara Indoensia dan Norwegia.
Selain produk CPO, produk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang terganggung adalah
rokok kretek. Sejak beberapa negara tujuan mengeluarkan kebijakan memperketat masuknya
produk impor kretek, maka Indonesia akan semakin sulit mengekspor rokok kretek, termasuk
Amerika Serikat. Amerika Serikat mengeluarkan regulasi teknis “the Family Smoking Prevention
and Tobacco Control Act” yang melarang produksi dan penjualan rokok dengan bahan
tambahan, termasuk rokok kretek. Amerika Serikat menganggap kretek Indonesia terbuat dari
cengkeh yang dianggap Amerika tidak sesuai dengan aturan ekspor mereka. Sedangkan rokok
menthol tetap boleh dijual di negara ini.
Regulasi teknis AS ini berimplikasi pada pelarangan impor rokok kretek sejak tahun 2009
yang membuat Indonesia kehilangan pendapatan ekspor kretek Amerika Serikat yang nilainya
mencapai 200 juta dolar AS. Kebijakan ini merugikan Indonesia dimana Indonesia memiliki
kepentingan sebagai produsen rokok kretek terbesar di dunia. Selama ini, ekspor produk rokok
kretek dari Indonesia mencapai 5-8 persen dari total produksi rokok kretek nasional.
Kasus ini telah dibawa Indonesia hingga sidang World Trade Organization (WTO) yang
menyatakan bahwa Amerika Serikat melakukan pelanggaran ketentuan Perjanjian WTO yaitu
Technical Barrier to Trade Agreement (TBT). Dalam laporan Appelate Body WTO, Amerika
Serikat dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 2.1 TBT mengenai less favourable treatment atau
diskriminasi dagang, dan Pasal 2.12 TBT mengenai reasonable interval terhadap waktu
30
sosialisasi dan penetapan kebijakan. Ke depannya, Indonesia siap bekerjasama dengan Amerika
Serikat untuk melaksanakan hasil keputusan Panel dan Appelate Body dan berharap bahwa
Amerika Serikat akan melaksanakan keputusan ini secara konsisten. Kasus ini dapat menjadi
pembelajaran bagi seluruh negara anggota WTO, termasuk Indonesia sendiri.
3.4. Peluang Kerjasama Ekonomi antara Indonesia dan AS
Mengingat kekuatan dan potensi yang dimiliki Indonesia dan AS, kedua negara
berpeluang meningkatkan hubungan ekonomi yang menguntungkan kedua belah pihak yang
meliputi beberapa sektor, antara lain:
a. Penguatan kerja sama di bidang infrastruktur
Bidang infrasturktur yang masih menjadi kelemahan utama di Indonesia sebenarnya juga
menjadi peluang utama kerjasama ekonomi dengan Amerika Serikat.
Kurang memadainya infrastruktur di Indonesia merupakan faktor lain yang perlu diatasi
untuk meningkatkan kemitraan dagang antara Amerika Serikat dan Indonesia. Infrastruktur yang
kurang memadai ini menyebabkan besarnya biaya logistik. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah
memasukkan perbaikan infrastruktur sebagai salah satu prioritas utama dalam anggarannya.
Infrastruktur yang baik tidak hanya dilihat dari lebih banyaknya jalan raya atau bandar udara,
namun lebih kepada sistem transportasi yang berdaya guna tinggi6. Investor dari AS dapat
terlibat dalam pembiayaan dan pengadaaan infrastruktur di Indonesia.
Proyek pembangunan infrastruktur pada sektor yang menjadi prioritas kerjasana Indonesia-
AS meliputi zona industri, energi dan listrik, transportasi, dan air bersih. Kerjasama ini
membantu Indonesia memenuhi kebutuhan infrastrukturnya serta membantu penciptaan
lapangan pekerjaaan. Bagi Amerika Serikat, kerjasama ini diharapkan mendorong pertumbuhan
ekonomi mereka dan ekspansi perusahaan-perusahaan AS.
Selain proyek pembangunan, Amerika Serikat dapat memberikan konsultasi infrastruktur
yang dibutuhkan Indonesia, terutama untuk sektor informasi dan teknologi (IT) dan migas.
Kelebihan yang dimiliki Amerika Serikat dalam industri ramah lingkungan yang amenghemat
energi pun dapat diterapkan di Indonesia.
b. Peningkatan perdagangan Indonesia dan AS
Amerika Serikat merupakan mitra dagang terbesar ketiga bagi Indonesia. Dari data dan
penjelasan di atas dapat dilihat bahwa hubungan perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat
memiliki arti yang sangat penting bagi perekonomian kedua negara. Namun, dalam
6 Scissors, Darek.”Strengthening U.S.–Indonesia Economic Relations”, 2012.
31
perjalanannya, kemitraan dagang antara Amerika Serikat dan Indonesia menghadapi beberapa
kendala yang menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan potensi perdagangan yang ada.
Kendala perdagangan ini meliputi hambatan perdagangan (Technical Barriers to Trade atau
TBT) untuk beberapa produk, infrastruktur yang kurang memadai, perlindungan terhadap HKI,
serta tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis
dalam mengatasi hambatan perdagangan antara kedua negara di berbagai bidang, antara lain
sebagai berikut:
1) Bidang Pertanian
Hasil pertanian merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia ke Amerika.
Permasalahan utama pada produk pertanian Indoneisa adalah rendahnya daya saing produk jika
dilihat dari segi jaminan mutu. Untuk itu, salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan
meningkatkan kerja sama yang melibatkan peran serta pemerintah, sektor swasta, dan universitas
dalam pengembangan penelitian dan inovasi teknologi pada sektor pertanian. Untuk menjamin
kualitas ekspor hasil pertanian, pemerintah juga perlu melakukan pemantauan dan evaluasi
kebijakan pemerintah daerah yang berpengaruh terhadap ekspor hasil pertanian. Selain itu,
sosialisasi dan penyebarluasan informasi mengenai ketentuan impor hasil pertanian ke negara
tujuan ekspor, dalam hal ini Amerika Serikat, perlu ditingkatkan sebagai rujukan bagi para
pelaku ekspor produk pertanian.
2) Bidang Tekstil
Tekstil merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia ke Amerika Serikat.
Kebijakan yang dapat diambil terkait dengan ini adalah dengan peningkatan kapasitas industri
tekstil Indonesia dan pemberian insentif pajak bagi pelaku usaha tekstil yang mengekspor
produknya ke Amerika Serikat. Selain itu, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan kesempatan bagi negara lain yang ingin melakukan investasi pada sektor tekstil di
Indonesia untuk mendukung perkembangan industri tekstil di Indonesia. Sebagai contoh,
rencananya investasi yang dilakukan oleh Korea Selatan dan China pada industri tekstil di
Indonesia akan membantu Indonesia meningkatkan kualitas dan kapasitas produk tekstil yang
nantinya akan dipasarkan ke luar negeri. Selain itu, untuk mengurangi ekspor tekstil ilegal, perlu
dimantapkan kembali MoU antara US-Indonesia yang merumuskan mengenai upaya pencegahan
perdagangan tekstil secara illegal.
3) Bidang Perkayuan
Untuk sektor perkayuan, maraknya ekspor kayu ilegal merupakan permasalahan tersendiri
bagi Indonesia. Trade in Textile and Apparel Goods and Illegal Logging in 2006 merupakan
32
salah satu upaya yang ditempuh oleh US dan Indonesia untuk mengatasi masalah ini. Langkah
konkret yang dilakukan dalam pencegahan ekspor ilegal ini adalah dengan diberlakukannya
Sistem Informasi Verifikasi Legalitas Kayu (LIU-Licences Information Unit) sebagai pendukung
implementasi Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sertifikasi ini merupakan bentuk
kepastian yang ditawarkan kepada negara-negara tujuan ekspor, termasuk Amerika Serikat,
bahwa kayu yang diekspor merupakan kayu yang telah memperhatikan pengelolaan hutan lestari.
Upaya ini diharapkan akan dapat memperlihatkan keseriusan Pemerintah Indonesia dalam
memberantas ekspor kayu ilegal sekaligus mempromosikan kayu legal kepada dunia.
4) Industri Perfilman
Pada industri perfilman, pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia telah membatasi
partisipasi asing dalam industri perfilman di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk melindungi
industri perfilman domestik. Selain itu, peningkatan bea masuk impor film yang diberlakukan
pada Januari 2011 telah menyebabkna MPPA (Motion Picture Assosiation of America)
menghentikan distribusi film ke Indonesia. Menanggapi hal ini, perlu ditinjau ulang lagi
mengenai cost-benefit dari diberlakukannya peraturan ini. Pada satu sisi, pembatasan impor film
dari Amerika Serikat akan melindungi industri perfilman domestik, namun di sisi lain,
pembatasan dan peningkatan bea masuk film impor ini akan mengurangi pendapatan negara dari
pajak impor dan royalti film.
5) Sertifikasi/ Labelling
Permasalahan sertifikasi merupakan hambatan perdagangan lainnya. Pada tahun 2009,
Kementerian Perdagangan Indonesia telah menetapkan peraturan labelling yang mengharuskan
importir dari luar negeri, termasuk Amerika Serikat, untuk menyertakan label dalam bahasa
Indonesia pada setiap produk yang diekspor ke Indonesia7. Dampak dari adanya peraturan ini
akan meningkatkan biaya produksi perusahaan asing yang akan mengekspor barangnya ke
Indonesia. Selain itu, untuk melindungi konsumen di Indonesia yang mayoritas warganya adalah
Muslim, Indonesia juga mensyaratkan sertifikasi Halal untuk setiap produk makanan, obat,
kosmetik, dan barang jenis lainnya yang diimpor dari luar negeri. Peraturan ini sedikit banyak
akan mempengaruhi proses produksi dan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan pengimpor
barang-barang tersebut. Untuk itu mempermudah proses sertifikasi tersebut, pemerintah perlu
memberikan kejelasan prosedur yang diperlukan dalam pemenuhan persyaratan sertifikasi.
Selain itu, proses approval dari lembaga terkait (misalnya: MUI untuk sertifikasi halal, dan
sebagainya) juga perlu dipersingkat, mengingat proses approval yang panjang akan
meninagkatkan biaya bagi perusahaan pengimpor. 7 2011 Report on Technical Barriers to Trade, Office of the United States Trade Representative.
33
6) Pemberian General System of Preferences (GSP) bagi Indonesia
Permasalahan lainnya yang perlu diatasi terkait dengan kemitraan dagang Amerika Serikat
- Indonesia adalah sulitnya produk Indonesia bersaing pada pasar Amerika. GSP (General
System of Preferences) merupakan salah satu kunci penting dalam mengatasi hambatan tersebut.
Dengan adanya GSP dari Pemerintah Amerika untuk beberapa produk Indonesia, baik berupa
akses bebas masuk (free-access) ataupun pengurangan tarif, diharapkan akan dapat mengurangi
biaya yang harus dikeluarkan oleh eksportir Indonesia ke Amerika Serikat, sehingga produk
Indonesia memiliki harga yang kompetitif di pasar Amerika Serikat.
7) Perlindungan HKI oleh Pemerintah Indonesia bagi produk dari AS
Isu lain yang menjadi perhatian dalam kemitraan daganga Indonesia – Amerika Serikat
adalah terkait mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Pembajakan barang-barang impor dari
luar negeri marak dilakukan di Indonesia. Pada bulan Mei 2012, Amerika Serikat menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara dengan pelanggaran HKI terbesar atas produk industri dari
Amerika Serikat. Pelanggaran HKI yang dilakukan meliputi hak cipta, paten, merek, dan desain
industri8. Lemahnya perlindungan HKI di Indonesia akan menjadi faktor yang mengurangi
insentif negara asing, termasuk Amerika Serikat, dalam melakukan kemitraan dagang. Terlebih
lagi, bagi negara seperti Amerika Serikat, property rights merupakan salah satu komponen
pendapatan yang cukup besar. Usaha-usaha yang dilakukan selama ini oleh pemerintah dalam
pemberantasan pembajakan barang-barang negeri, hanya memberikan hasil untuk jangka pendek.
Untuk itu, perlu ditinjau ulang langkah-langkah konkret pemerintah dalam usaha memberantas
praktek pelanggaran ini, yang meliputi sanksi hukum yang tegas bagi pengusaha atau perusahaan
yang melakukan praktek pembajakan barang impor. Diperlukan komitmen yang tinggi dari
Pemerintah Indonesia untuk menegakkan hukum yang terkait dengan pelanggaran HKI,
mengingat sudah tersedianya kerangka hukum yang jelas yang mengatur mengenai HKI di
Indonesia.
8) Tindakan tegas terhadap praktek-praktek korupsi dan birokrasi yang berbelit-belit
Praktek korupsi dan birokrasi yang merugikan investor/importer/eksportir yang terjadi di
Indonesia segera diatasi atau diminimalisir dalam rangka memberikan kelancaran hubungan
dagang antara Indonesia dengan mitra dagangnya, termasuk Amerika Serikat. Dalam bidang
perdagangan internasional, hal yang dapat dipertimbangkan untuk meminimalisir praktek
korupsi ini adalah dengan adanya transparansi dan sosialisi prosedur yang harus dilalui para
pengekspor yang akan memasarkan produknya di Indonesia. Selain itu, perlu adanya inisiatif
8 http://www.forumkeadilan.com.
34
dari Pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi pertukaran informasi dengan mitra dagang
Indonesia dan diskusi rutin mengenai isu perdagangan.
9) Perbaikan program Debt-Swap
Program Debt Swap merupakan mekanisme yang dapat mengonversi stok utang luar negeri
Indonesia terhadap negara-negara kreditor yang tergabung dalam Paris Club dengan ekuitas atau
dana dalam mata uang lokal untuk pembiayaan suatu proyek atau program (OECD, 2000).
Kesepakatan ini kemudian dilaksanakan pemerintah negara debitor dengan negara kreditor
secara bilateral. Dalam menjalankan program debt-swap ini, pembayaran utang dapat
dijadwalkan kembali sesuai dengan negosiasi antara negara kreditor dan negara debitor. Sebagai
konsekuensinya, pemerintah negara debitor juga harus bisa menawarkan alternatif pembayaran
lain, baik dalam bentuk pembangunan, upaya pelestarian lingkungan, serta pengentasan
kemiskinan.
Hal utama yang harus dipahami adalah bahwa walaupun mekanisme debt-swap ini
merupakan bagian dari skema penghapusan utang luar negeri, bukan berarti pengurangan yang
dimaksud dalam bentuk hard currency. Utang tersebut dapat dialihkan sehingga jika pada
awalnya pemerintah negara debitor harus membayar sesuai dengan jumlah utang yang
dimilikinya, maka dengan debt swap sejumlah dana tersebut dapat dikonversi menjadi program
dan proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah negara debitor di negaranya sendiri.
Debt swap cenderung dikaitkan dengan upaya pelestarian alam karena istilah ini muncul
seiring dengan gencarnya tuntutan dari kelompok environmentalist yang menginginkan agar
negara-negara berkembang juga turut memperhatikan keberlangsungan dan kelestarian
lingkungan dalam upayanya meningkatkan pembangunan ekonomi.Untuk itu, pada tahun 1984,
muncul skema debt-for-nature swapyang diusulkan oleh Thomas Lovejoy, Wakil Ketua WWF
Amerika Serikat saat itu, yang dianggap menjadi win-win solution dalam penyelesaian masalah
keuangan untuk konservasi lingkungan di negara-negara berkembang.
Amerika Serikat merupakan negara kreditor yang paling banyak memberikan pengurangan
utang dengan menggunakan skema debt-for nature swap. Melalui mekanisme ini, Amerika
Serikat telah dua kali menggunakan skema penghapusan utang bagi negara-negara berkembang.
Pertama melalui the Enterprise for the Americas Initiative pada 1991 dan yang kedua melalui
Tropical Forest Conservation Act (TFCA) pada tahun 1998. TFCA meliputi kawasan hutan
tropis di seluruh dunia dan memungkinkan proses penghapusan utang lain selain penukaran
utang, yakni melalui debt reduction dan debt buybacks. Mekanisme ini melibatkan pihak ketiga
sebagai “pembeli” utang, biasanya organisasi-organisasi non-pemerintah, yang nantinya akan
menyalurkan dana tersebut untuk program konservasi alam di negara-negara debitor.
35
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat, melalui program debt-for-
nature swap dibawah TFCA ini, Amerika Serikat telah mengurangi utang luar-negeri negera-
negara debitornya senilai lebih dari US$ 109,5 juta untuk 14 perjanjian TFCA dengan lebih dari
12 negara debitor. Selain untuk konservasi alam, TFCA juga dimaksudkan untuk upaya
pengembangan civil society di negara-negara penerima uang.
Beberapa negara yang berada dalam skema debt-for-nature swap dengan Amerika Serikat
kebanyakan berasal dari kawasan Amerika Latin seperti Brazil, Peru, Colombia, Costa Rica, dan
Guatemala, yang memiliki area hutan tropis yang luas. Namun hingga sekarang tidak hanya
kawasan Amerika Latin yang terlibat dalam skema tersebut.Beberapa negara di Asia dan Afrika
juga ikut dalam mekanisme penghapusan utang ini, seperti Filipina, Bangladesh, dan Botswana.
Pada tahun 2009, Indonesia juga menandatangani perjanjian debt-for-nature swap dengan
Amerika Serikat untuk mengalihkan sisa pembayaran enam jenis utang pemerintah Indonesia
hingga US$29.2 juta selama 8 tahun ke depan. Dalam pelaksanaannya, DNS di Indonesia juga
melibatkan pihak ketiga yaitu NGO seperti Conservation International dan Yayasan
Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Proyek DNS ini meliputi sekitar 7 juta hektar
kawasan hutan di Sumatera. Lokasi program di Sumatera bagian utara dipusatkan di Taman
Nasional Batang Gadis, di Sumatera bagian tengah di TN Bukit Tigapuluh dan Sumatera bagian
selatan di TN Way Kambas.
Proyek DNS ini mendapatkan cukup banyak sorotan, terutama mengenai bagaimana
pengurangan utang Indonesia dan seberapa besar utang tersebut dapat dikurangi. Beberapa
aktivis lingkungan mengutarakan kekhawatirannya terhadap proyek ini. Direktur Eksekutif
Greenomics Indonesia, Elfian Effendi, mengemukakan bahwa proyek DNS dari Pemerintah
Amerika Serikat ini sebenarnya tidak memberikan potongan terhadap sisa pembayaran utang
pemerintah Indonesia. Elfian menjelaskan, sisa utang Pemerintah Indonesia sebesar USS29,92
juta ke Pemerintah Amerika Serikat itu ternyata tetap dibayarkan penuh oleh Pemerintah
Indonesia, tanpa mendapatkan potongan utang satu dolar pun. Selain itu, pengelolaan dana
seharusnya dilakukan di Indonesia, bukan di Singapura, dengan alasan bahwa Indonesia tidak
mempunyai mekanisme “trust fund” atau dana abadi. Pemerintah Amerika Serikat juga
berkeberatan untuk menyimpan dana tersebut di Indonesia karena pengenaan pajak yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap dana tersebut.Greenomics menganggap
keengganan Amerika Serikat untuk secara penuh memercayakan pengalihan dana tersebut
kepada Indonesiamenunjukkan bahwa mekanisme ini hanya akan menguntungkan Amerika
Serikat, terutama dari sisi publisitas yang menekankan pada usaha mereka untuk ikut memerangi
36
peningkatan jumlah emisi di atmosfer. Padahal industri Amerika Serikat termasuk penyumbang
polusi terbesar di dunia.
Utang Pemerintah Indonesia yang dihitung dalam mekanisme DNS ini termasuk utang
yang dibuat oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1974-1976 yang ditandatangani oleh Menteri
Luar Negeri Adam Malik. Berarti utang tersebut sudah berumur lebih dari 30 tahun. Menurut
Elfian, Amerika Serikat sama sekali tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa selama kurun
waktu tersebut, Indonesia tetap membayar cicilan utang pokok kepada Amerika Serikat termasuk
bunganya. Jika memang Amerika Serikat berniat baik untuk mengurangi utang Indonesia, maka
perjanjian DNS yang ditandatangani pada tahun 2009 tersebut harus ditinjau ulang isi,
pelaksanaan, serta pengawasannya. Dengan demikian, perjanjian ini tidak hanya menguntungkan
pemerintah Amerika Serikat, namun juga dapat mengurangi beban utang Indonesia dalam jumlah
yang berarti.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman dari negara-negara yang telah melakukan DNS
dengan Amerika Serikat, muncul pendapat yang berbeda dari para ahli dan pihak yang terlibat
tentang bagaimana dampak DNS ini bagi negara debitor.Ada yang mengritik, namun juga ada
yang mendukung proyek DNS ini.Kritik yang muncul berargumen bahwa mekanisme konversi
utang luar negeri untuk lingkungan hidup tidak berpengaruh terhadap pengembangan kebijakan
lingkungan yang sesuai dengan manajemen pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, dan
tidak menjawab masalah kualitas hidup masyarakat lokal (berdasarkan hasil seminar yang
dilaksanakan oleh Brasilian Institute for Economic and Social Analysis pada bulan September
1991).Proyek DNS dianggap tidak demokratis dan tidak mempertimbangkan kedaulatan negara
debitor. Selain itu, kelompok yang skeptis terhadap mekanisme dan proyek DNS juga
menganggap bahwa pada akhirnya ini hanya akan menguntungkan organisasi dan bank yang
berasal dari negara-negara utara karena hampir 80% pengelolaan dana tersebut dilakukan oleh
pihak ketiga dimana keterlibatan pemerintah negara debitor sangat dibatasi. Intinya, proyek DNS
ini dianggap mencoba menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru. Untuk contoh
beberapa program Debt Swap yang dilakukan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia, dapat
dilihat pada Lampiran (Tabel 1 dan Tabel 2).
Selain kritikan mengenai kerugian-kerugian yang dimunculkan karena proyek DNS ini,
juga terdapat potensi keuntungan yang didapatkan oleh pihak-pihak yang terlibat. Ochiollini
(1990) mendeskripsikan debt swap sebagai “deals where everyone benefits”. Keuntungan yang
bisa didapatkan dari mekanisme ini antara lain9:
9 Kurniawan Ariadi, Staf Direktorat Kerja Sama Luar Negeri Bilateral, Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. Pokok‐pokok dalam tulisan berjudul Pemanfaatan Skema Debt Conversion
37
i. Bagi negara kreditor, dapat memperoleh kembali piutangnya dalam bentuk hard currency
karena piutang tersebut dibeli oleh pihak ketiga dalam pasar sekunder. Selain itu, negara
kreditor juga bisa mendapatkan keuntungan non-ekonomis berupa promosi dan publisitas
politik.
ii. Bagi negara debitor, mempunyai kesempatan untuk mengurangi tekanan kebutuhan devisa
dalam rangka debt service karena adanya kesempatan untuk mengganti pembayarannya
dengan mata uang lokal.
iii. Bagi kelompok-kelompok sasaran proyek DNS, mereka bisa mendapatkan keuntungan
dengan tersedianya dana tambahan bagi konservasi lingkungan serta program pembangunan
wilayah di sekitarnya.
10) Transparansi akun wajib pajak AS di Indonesia
Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) merupakan sebuah ketentuan baru yang
ditetapkan oleh Pemerintah Amerika Serikat yang termasuk di dalam Hiring Incentives to
Restore Employment Act yang disahkan pada tanggal 18 Maret 2010 dan efektif per 1 Januari
2013 (namun pemungutan withholding tax baru akan dimulai per 1 Januari 2014). Pada dasarnya,
FATCA menjadi upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk menyingkap dan
membuka penyalahgunaan pajak yang dilakukan oleh warganya yang memiliki akun keuangan di
luar negeri. Undang-undang ini dirancang untuk mengungkapkan uang-uang yang seharusnya
dimiliki oleh Amerika Serikat dengan cara menelusuri akun-akun keuangan para pembayar pajak
yang tidak diungkapkan kepada pemerintah.
Dengan ketentuan-ketentuan di bawah FATCA, perusahaan perusahaan asing diminta
untuk menyediakan data-data kepada IRS (Internal Revenue Service) mengenai orang Amerika
yang memiliki saham asing lebih dari US$ 50.000 Jika mereka tidak mau menyediakan data-data
tersebut, maka perusahaan asing tersebut harus membayar withholding tax sebesar 30% dari
keseluruhan pemasukan di Amerika Serikat yang mereka terima. Mekanisme lain yang juga
muncul dalam FATCA in iadalah keberadaan FFI (Foreign Financial Institution) yang bisa
mendapatkan pengecualian penarikan pajak FATCA dengan cara membuat perjanjian dengan
AmerikaSerikat. Secara umum, sebuah perjanjian FATCA membutuhkan penjelasan akun mana
yang disebut sebagai “akun Amerika Serikat” kepatuhan terhadap prosedur verifikasi, laporan
tahunan mengenai wajib pajak Amerika Serikat kepada US Treasury, kepatuhan terhadap
laporan-laporan tambahan yang dibutuhkan oleh IRS, dan 30% pungutan pajak.
Sebagai Upaya Pengurangan Utang Luar Negeri Pemerintah pernah disampaikan pada Rapat Interdep mengenai Pemanfaatan Skema Debt Swap di Kantor Menko Perekonomian, Mei 2002.
38
FFI ini diaharapkan dapat mengembalikan pajak AS yang hilang sebesar hampir US$ 8
miliar. Crossbridge, sebuah lembaga konsultan untuk industri investasi perbankan yang berbasis
di London, memperkirakan bahwa compliance cost yang harus dibayarkan nantinya akan
berkisar antara US$ 100 hingga US$ 200 juta, untuk setiap bank ukuran menengah. Angka yang
besar ini muncul dari penambahan obligasi yang harus dijalanka noleh FFI. FATCA meminta
FFI untuk menelusuri dan mengidentifikasi semua uang Amerika Serikat atas nama IRS. Hal-hal
yang harus dimunculkan dalam data-data yang harus disediakan FFI untuk IRS antara lain:
Nama, alamat, dan Tax Identification Number (TIN, bisa disetarakan dengan NPWP di
Indonesia) yang dipegang oleh wajib pajak AS. Nama, alamat, dan TIN yang dipegang oleh
wajib pajak AS yang memiliki saham di perusahaan asing. Nomor rekening, jumlah saldo
pendapatan bruto dan penarikan/pembayaran dari rekening Wajib Pajak AS yang menjadi
pemilik dari perusahaan asing termasuk di dalamnya warga AS yang baik secara langsung
maupun tidak langsung memiliki lebih dari 10% bunga keuntungan dalam sebuah perusahaan,
kerjasama, dan reksadana.
FFI yang memiliki FFI Agreement dengan AS ini juga diharapkan dapat menyemangati
FFI lainnya untuk ikut bergabung dan menjadi perpanjangan tangan bagi IRS di luar negeri. Di
bawah FATCA, FFI yang berpartisipasi akan diminta untuk membebankan penarikan pajak
sebesar 30% kepada FFI yang tidak berpartisipasi. FFI menurut FATCA meliputi semua entitas
non-AS yang menerima deposito, memiliki aset-aset keuangan yang diatasnamakan orang lain,
bergerak terutama dalam bidang bisnis investasi dan keamanan perdagangan, komoditas, atau
partnership. Seperti yang dijelaskan dalam Notice 2011-53, FFI yang berpartisipasi dalam FFI
Agreement sebelumt anggal 30 Juni 2013, akan diidentifikasi sebagai FFI peserta sehingga dapat
terhindar dari ketentuan-ketentuan FATCA yang efektif mulai 1 Januari 2014. FFI yang
berpartisipasi dalam FFI Agreement setelah tanggal 30 Juni 2013 tapi sebelum 1 Januari 2014,
tetap akan terdaftar sebagai FFI peserta namun karena proses pengidentifikasian yang
mungkinkan lama, maka mereka mungkin akan dikenakan winthholding tax dari FATCA.
Fakta bahwa sebuah negara memiliki perjanjian double taxation relief dan atau perjanjian
pertukaran informasi dengan Amerika Serikat tidak dapat menghindarkan seorang individu atau
sebuah entitas yang berada di bawah jurisdiksi AS untuk menaati aturan-aturan FATCA.
Individu atau entitas harus mematuhi aturan-aturan FATCA untuk mereka atau klien mereka
sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan dari perjanjian-perjanjian selanjutnya. Perjanjian
pertukaran informasi dengan AS akan digunakan ketika AS ingin mengumpulkan data mengenai
wajib pajak mereka.
39
Permasalahan yang kemudian teridentifikasi muncul ketika terdapat satu non-peserta FFI
dalam sebuah seri transaksi dapat menyebabkan FFI lain harus menyediakan 30% withholding
tax. Keberadaan satu non-peserta FFI ini dalam siklus pembayaran berarti penerima terakhir
akan menerima potongan pajak yang signifikan.
Dengan munculnya rezim FATCA, maka akan timbul sejumlah kesulitan karena pada
dasarnya dunia finansial saling terhubung dan sering sekali transaksi melibatkan banyak pihak.
Untuk mulai mempersiapkan diri di bawah rezim FATCA ini, makan FFI perlu untuk
mengidentifikasi apakah institusi lain yang berada dalam siklus merupakan peserta atau non-
peserta FFI. Ini akan memerlukan informasi-informasi yang lebih banyak mengenai identitas
rekanannya dibandingkan informasi-informasi standar. FFI juga harus bisa menelusuri mana
yang merupakan sumber pemasukan AS dan mana yang bukan. Ini tentunya akan menimbulkan
kesulitan-kesulitan mengenai apakah aset-asetnya ditukar atau siapa yang menjadi penerima
dana menjadi tidak jelas.
Bagi FFI yang ingin berpartisipas idalam FFI Agreement, persiapan data-data untuk
memasukkan aplikasi tentu harus sesegera mungkin dilakukan karena butuh waktu yang cukup
banyak untuk mengidentifikasi dana-dana yang berasal dari Amerika Serikat dan menyiapkan
setiap data yang dibutuhkan. Dengan kebingungan yang dihadapioleh FFI dalam meninjau
ketentuan dibawah undang-undang baru, maka akan dibutuhkan juga perubahan signifikan untuk
anti-money laundering (AML), know-your-client (KYC) dan pelaporan prosedur untuk patuh
kepada aturan. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan dengan biaya yang tidak sedikit.
Beberapa pendapat mengungkapkan ketidakefektifan dari sistem ini, namun mengingat jumlah
dana yang dapat dikembalikan AS kepundi-pundinya, sepertinya AS akan terus menggunakan
undang-undang ini untuk memastikan wajib pajaknya memenuhi kewajibannya.
BAB IV
REKOMENDASI KEBIJAKAN KERJA SAMA BILATERAL INDONESI A – AS
Berdasarkan analisis mengenai kekuatan, kelemahan, hambatan, dan peluang kerja sama
antara kedua negara, dapat disampaikan beberapa rekomendasi bagi kebijakan Kementerian
Keuangan secara umum terkait kerja sama bilateral ekonomi dan keuangan Indonesia dan
Amerika Serikat agar Indonesia dapat memetik manfaat yang optimal dari perlaksanaan kerja
sama bilateral dengan AS sebagai berikut:
1. Pemberian insentif pajak bagi produk prioritas ekspor Indonesia ke AS
Untuk mendukung kerjasama bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat, beberapa
rekomendasi dapat dilakukan, baik dalam bidang perdagangan maupun investasi. Dalam bidang
perdagangan, peningkatan ekspor ke Amerika Serikat dapat dilakukan dengan pemberian insentif
pajak kepada sektor-sektor yang menjadi prioritas ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Sektor
ini meliputi sektor pertanian, garmen, peralatan elektronik, dan minyak. Insentif pajak ini dapat
berupa pengurangan pajak atas pendapatan dari hasil ekspor, sehingga diharapkan dapat
menggiatkan pelaku usaha pada sektor ini untuk meningkatkan kapasitas produksi dan ekspor ke
Amerika Serikat.
2. Pembatasan produk impor dari AS khususnya hasil pertanian, benang katun dan garmen
Di sisi impor, melambatnya tingkat pertumbuhan perekonomian dunia akibat krisis telah
menyebabkan derasnya impor barang ke Indonesia. Negara-negara seperti China harus mencari
pasar baru, seperti Indonesia, akibat berkurangnya permintaan dari negara mitra dagangnya
seperti Uni Eropa yang saat ini sedang mengalami krisis keuangan. Tingginya impor Indonesia
akan mempengaruhi neraca perdagangan. Pada akhir Juni 2012, neraca perdagangan RI
mengalami defisit sekitar US$ 1,32 miliar10 akibat tingginya impor dan melemahnya ekspor.
Untuk itu, pemerintah perlu melakukan pembatasan impor dari luar negeri guna menghindari
defisit anggaran yang lebih besar. Langkah yang dapat dilakukan adalah dengan mendorong
industri pemasok bahan baku dan bahan penolong domestik untuk memenuhi kebutuhan yang
selama ini diimpor. Dalam kaitannya dengan perdagangan Indonesia-AS, pengendalian impor
dapat dilakukan dengan membatasi impor hasil pertanian, benang katun, dan garmen dari AS.
Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian insentif pajak pada sektor pertanian dan tekstil di
Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.
10 http://www.tempo.com/
41
3. Pembenahan sistem kepabeanan Indonesia
Untuk mendukung kegiatan ekspor-impor Indonesia-AS dan mitra dagang lainnya, perlu
dilakukan pembenahan pada sistem kepabeanan. Hal ini terkait dengan maraknya ekspor ilegal
dari Indonesia ke Amerika Serikat, terutama untuk tekstil dan kayu. Untuk itu, pada tahun 2006,
pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat telah menyepakati Textile and Apparel Goods and
Illegal Logging. Sebagai tindak lanjut dari MoU ini, maka sistem kepabeanan di Indonesia harus
diperbaiki yang meliputi peningkatan penggunaan saarana telekomunikasi real time, electronic
custom clearance, serta prosedur dan tenaga inspeksi.
4. Kebijakan untuk mendorong investasi AS di Indonesia
Dalam bidang investasi, perlu dirumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat menstimulus
peningkatan investasi Amerika Serikat di Indonesia dengan tetap mempertimbangkan cost and
benefit yang diperoleh Indonesia dari investasi tersebut. Amerika Serikat merupakan salah satu
sumber FDI terbesar bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah perusahaan
yang berbasis di Amerika Serikat yang melakukan investasi langsung di Indonesia, yang meliputi
sektor migas, pertambangan, perbankan dan investasi, perhotelan, dan farmasi. Sementara itu, di
pasar modal Indonesia, dari total investor asing yang tercatat di bursa, 9% berasal dari Amerika
Serikat. Agar dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi perekonomian Indonesia, maka
pemerintah harus dapat memaksimalkan pendapatan negara melalui pajak dan royalti yang
diperoleh dari investasi Amerika Serikat ke Indonesia. Untuk itu, perlu ditinjau kembali
mengenai peraturan pajak dan royalti atas investasi Amerika Serikat di Indonesia.
Pada tahun 2011, Kementerian Keuangan melalui Peraturan Nomor 130/PMK.011/2011
telah memberlakukan tax holiday investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.
Fasilitas yang ditujukan kepada investor besar dengan orientasi jangka panjang ini berupa
pembebasan dan pengurangan PPh Badan. Adapun syarat untuk mendapatkan fasilitas ini adalah:
Pertama, merupakan industri pionir dan dengan prioritas tinggi dalam skala nasional. Kedua,
memiliki rencana penanaman modal baru minimal Rp. 1 Triliun. Ketiga, harus menempatkan
dana paling sedikit 10% dari total pendanaan pada perbankan di Indonesia.
Terkait dengan hal ini, ada beberapa poin yang perlu dipertimbangkan. Pertama,
pemberlakuan tax incentives bertentangan dengan peraturan WTO karena melanggar prinsip
keadilan. Nurmanto (2010) menjelaskan bahwa walaupun tujuan pemberian tax holiday adalah
untuk meningkatkan jumlah investasi, mengurangi pengangguran, substitusi impor,dan untuk
mendorong laju pertumbuhan pada umumnya, akan tetapi pada dasarnya pemberian fasilitas tax
holiday kepada Wajib Pajak tertentu melanggar asas keadilan dan netralitas. Fasilitas tax holiday
melanggar asas keadilan karena kepada Wajib Pajak tertentu dibebaskan dari pengenaan PPh
42
Badan selama sekian sekian tahun, sedangkan Wajib Pajak lainnya yang (mungkin) dalam
bidang bisnis yang sama tetap membayar PPh 3 Badan sesuai dengan tarif yang berlaku. Fasilitas
tax holiday melanggar asas netralitas, karena Wajib Pajak pasti akan mempunyai preferensi ke
daerah atau ke bidang tertentu yang menawarkan fasilitas tax holiday untuk menanamkan
modalnya.
Kedua, efektifitas pemberian tax incentives untuk meningkatkan FDI dan mendorong
pertumbuhan masih belum terbukti. Menurut Nurmantu (2010), isu pokok dalam pemberlakuan
tax holiday di Indonesia adalah lack of clear, preferably measurable, goals. Belum ada
penelitian, cost-benefit analysis yang dilakukan untuk mengukur efektivitas dari kebijakan tax
holiday tersebut. Cost-benefit ini diperlukan sebagai forward looking untuk menggali informasi
tentang antara lain jumlah minimal: berapa dolar investasi yang akan masuk, berapa jumlah
industri yang akan dibangun, berapa jumlah tenaga kerja yang akan terserap dan berapa jumlah
tax expenditure/forgone tax yang akan dipikul, efektifitas dari pemberlakuan tax holiday pada
peningkatan fdi tergantung pada FDI incentives (incentives (Brewer,1993; Friedman et al., 1992;
Coughlin et al., 1991; Woodward and Rolfe,1993) dan juga pada lokasi tujuan FDI tersebut
(Brewer,1993). Selain itu, perlu jenis tax-incentive yang diberikan juga harus ikut
dipertimbangkan karena jenis tax incentives yang berbeda akan memiliki dampak yang berbeda
pula pada FDI.
Ketiga, pemberlakuan tax incentives akan menyebabkan menurunnya pendapatan negara
dari sektor pajak. Marr, Highsmith, dan Huang (2011) melakuakn kajian mengenai
pemberlakuan tax holiday di USA dan menjelaskan bahwa pemberlakuan tax holiday akan
mengurangi di USA pendapatan negara, menyebabkakan deficit dan meningkatkan hutang
negara tanpa dapat mencapai tujuan utama dari tax holiday itu sendiri yaitu untuk meningkatkan
lapangan pekerjaan dan meningkatkan investasi di USA. Selain itu, dari penelitian ini juga
diperloheh fakta bahwa tax holiday hanya akan meningkatkan pendapatan negara dalam jangka
waktu pendek dan akan menimbulkan cost bagi pemerintah dalam jangka panjang.
Berdasarkan beberapa point diatas, maka pemberian tax holiday belum menjadi solusi yang
tepat untuk meningkatkan aliran FDI dari US ke Indonesia. Kalaupun kebijakan ini memang
harus diberlakukan, maka sudah seyogianya dilakukan ex anteanalysis yang meliputi bidang,
area, jangka waktu, serta tarif yang akan diberlakukan. Selanjutnya perlu juga dikaji pengusaha -
pengusaha nasional mana yang akan kena externalities, serta impak terhadap pengamanan
APBN.
43
5. Perbaikan infrastruktur Indonesia
Hal yang lebih mendesak yang perlu dilakukan dalam rangka mendorong investasi
Amerika Serikat ke Indonesia adalah perbaikan infrastruktur Indonesia. Peningkatan alokasi
belanja negara pada belanja modal merupakan sinyal positif bagi investor akan membaiknya
infrastruktur di Indonesia. Untuk mengatasi hambatan ini, rekomendasi untuk arah kebijakan
yang dapat diambil adalah dengan meningkatkan belanja negara untuk meningkatkan kualitas
infrastruktur di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengurangi subsidi BBM
dan mengalokasikan anggaran tersebut untuk meningkatkan belanja modal. Dari tahun 2005
hingga 2012, alokasi belanja negara untuk subsidi BBM mengalami penurunan, yaitu 33,4%
pada tahun 2005, 26,1% pada 2011, dan 21,9% pada 2012. Sebaliknya, alokasi belanja negara
untuk belanja modal telah mengalami peningkatan, yaitu dari 9,1% pada 2005, 15,5% pada 2011,
dan 17,65 pada 201211. Komitmen dari pemerintah untuk terus meningkatkan anggaran belanja
modal dan perbaikan infrastrukur di Indonesia diharapkan dapat menarik lebih banyak investor
Amerika Serikat untuk berinvestasi di Indonesia serta meningkatkan kesejahteraan sosial secara
keseluruhan. Selain dari peningkatan alokasi belanja negara pada barang modal, pembiayaan
peningkatan infrastruktur di Indonesia dapat mempertimbangkan peran investor Amerika Serikat
yang memiliki minat untuk berinvestasi pada sektor infrastrukur di Indonesia. Untuk itu, perlu
dirumuskan jenis dan tingkatan dukungan pemerintah, yang meliptui pembelian kembali, tingkat
laba komersial yang diharapkan, dan perbandingan risiko/laba terhadap adanya prospek investasi
ini. Selain itu, bersama dengan instansi terkait lainnya, perlu dirumuskan kebijakan-kebijakan
dan kerangka hukum yang memberikan kepastian bagi investor Amerika Serikat yang ingin
melakukan investasi pada pengadaan infrastruktur di Indonesia.
6. Pengelolaan hutang publik
Kebijakan pengelolaan utang publik ini perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat
ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri. Dari tahun 1999 hingga 2007, Indonesia telah
berhasil mengurangi utang publik dari 100% pada tahun 1999 menjadi 35.6% pada tahun 2007.
Dampak positif dari pengurangan utang publik ini adalah meningkatnya investment grade bagi
surat-surat berharga Indonesia. Hingga tahun 2011, investment grade untuk surat-surat berharga
Indonesiaberada pada Baa3 (Moody’s), BB+ (S&P), dan BBB- (Fitch)12. Dengan naiknya
peringkat surat utang Pemerintah Indonesia diharapkan akan memberikan sinyal positif bagi
dunia internasional mengenai potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga akan menarik
11 Fiscal Policies For Oil and Gas Industry in Indonesia, Fiscal Policy Office, Ministry of Finance of Republic Indonesia. 12 Fiscal Policies For Oil and Gas Industry in Indonesia, Fiscal Policy Office, Ministry of Finance of Republic Indonesia.
44
minat investor asing, termasuk investor Amerika Serikat untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Selain penurunan utang publik, beberapa hal yang mendukung rating Indonesia pada
level ini antara lain rendahnya defisit anggaran pemerintah, likuiditas eksternal yang menguat
dan kinerja ekonomi yang tangguh13.
13 http://www.infobanknews.com
45
REFERENSI
_____, Presiden: Jaga Ekspor Tidak Turun. 24 Agustus 2012. http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/12/08/24/m99gfd-presiden-jaga-ekspor-tidak-turun, diunduh 3 September 2012.
_____, US economic growth slowed to 1,5 pct rate in Q2. 27 Juli 2012. http://finance.yahoo.com/news/us-economic-growth-slowed-1-123346624.html, diunduh 3 September 2012.
Harder, Amy. The Nexus Between Biofuels, Energy, and Agriculture. 7 Maret 2012. http://energy.nationaljournal.com/2012/05/the-nexus-between-biofuels-ene.php, diunduh 3 September 2012.
European Commission (2007), United States Barriers to Trade and Investment Report for 2006.
http://www.whitehouse.gov/sites/default/files/india-factsheets/US-Indonesia_Economic_and_Trade_Cooperation_Fact_Sheet.pdf, diunduh 22 Juli 2012
http://www.whitehouse.gov/sites/default/files/india-factsheets/US-Indonesia_MCC_Fact_Sheet.pdf , diunduh 22 Juli 2012
International Finance Corporation (2012), Doing Business, Economy Profile: United States.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011), StatistickPerekonomian, 1(5).
Schwab, K. (2012), The Global Competitiveness Report 2012-2013, World Economic Forum
United States Department of Commerce (2012), The Competitiveness and Innovative of the United States.
Scissors, D. (2012), Strengthening US-Indonesia Economic Relations, The Heritage Foundation Issue Brief, 3531.
Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (2011)
World Bank (2012), Doing Business in Indonesia 2012.
World Economic Forum (2012), The Indonesia Competitiveness Report 2011: Sustaining Growth Momentum.
Background Paper “ Analisis KPPU Terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara”
International copyright, U.S. & Foreign Commercial Service and U.S. Department of State.2012.”Doing Business in Indonesia: 2012 Country Commercial Guide for U.S. Company”
Marr, Highsmith, & Huang, 2011. “Repatriation Tax Holiday Would Increase Deficits and Push Investment Overseas Proponents Are Distorting Joint Tax Committee Analysis”
Nurmantu, Safri. 2010. “Matreri Diskusi: Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik dalam Bidang Perpajakan”. Bali, 2010.
Panagiota, Boura.”The Effect of tax Incentives on Investment – Decission of Transnational Enterprises (TNEs) in an Integrated World: A Literature Review”
www.inilah.com
46
LAMPIRAN
Lampiran I : Perbandingan Program Debt-Swap di Berbagai Negara
Lampiran II : Beberapa Program Debt Swap Indonesia
47
Lampiran I
Perbandingan Program Debt-Swap di Berbagai Negara
NO. NAMA NEGARA MEKANISME KETERANGAN
1. US – Brazil
Debt-For-Nature Swap Agreement
Dalam mekanisme debt-swap Brazil-Amerika Serikat, Brazil akan mengonservasi hutan hujan daerah pantai Atlantic, juga ekosistem Cerrado dan Caatinga.
Besar utang yang dikonversi sebesar US $21 juta (£13,5 juta). Brazil akan menggunakan debt-swap tersebut selama 5 tahun ke depan untuk mengonservasi dan mendorong penghidupan orang-orang tinggal di daerah hutan yang terancam.
2. US – Peru
Debt-For-Nature Swap Agreement
Berdasarkan perjanjian tersebut, Peru dapat mengalihkan pembayaran utangnya menjadi bantuan konservasi untuk melindungi hutan hujan tropis di lembah sungai Amazon dan hutan gugur tropis di Andes tengah.
Hingga tahun 2008, Peru menjadi negara yang paling diuntungkan di bawah mekanisme Tropical Forest Conservation Act (TFCA). Dana yang akan dikonversi lebih dari US$ 25 juta, yang tidak hanya direncanakan untuk konservasi lingkungan, tapi juga untuk membangun civil society di Peru.
3. US – Colombia
Debt-For-Nature Swap Agreement
Sebagai ganti dari pembayaran utang Colombia kepada Amerika Serikat, Colombia akan menginvestasikan sejumlah dana untuk melindungi titik-titik penting dari hutan tropis di Andes, pantai Karibia, dan Llanos (dataran) di sepanjang Sungai Orinoco. Setengah dari dana tersebut akan digunakan untuk mendanai organisasi-organisasi lingkungan yang beroperasi di wilayah tertentu. Sisanya akan digunakan untuk mendanai Fondo Patrimonial atau Heritage Trust, untuk meningkatkan tambahan utang hingga $40 juta yang akan menjamin kerberlangsungan finansial jangka panjang bagi area-area yang dilindungi di Colombia.
Perjanjian ini akan menyediakan investasi sebesar kurang lebih $10 juta untuk 12 tahun ke depan untuk melindungi setidaknya 11 juta acre dari hutan tropisnya. Amerika Serikat akan mendanai sebesar $7 juta sedangkan $1.4 juta akan didanai oleh Conservation International’s Global Consevartion Fund, The Nature Conservancy, dan WWF (World Wildlife Fund).
4. US – Costa Rica
Debt-For-Nature Swap Agreement
Dengan menggunakan dana dari debt-swap ini, Costa Rica diharapkan dapat melakukan konservasi terhadap kawasan liar di daerah Mesoamerica Biodiversity Hotspot. Kawasan hutan hujan tropis di sepanjang Osa Peninsula, dimana beragam satwa liar tinggal dan berkembang biak.
Amerika Serikat setuju untuk mengampuni utang Costa Rica sebesar $26 juta selama 16 tahun ke depan.
5. US – Guatemala
Debt-For-Nature Swap Agreement
Dana tersebut diharapkan digunakan untuk membantu konservasi hutan pegunungan, hutan hujan, rawa bakau tepi pantai, yang menjadi rumah bagi ratusan spesies burung, juga hewan-hewan yang hampir punah.
Besar dana yang akan dikonversi sebesar $15 juta. Guatemala berkomitmen untuk menggunakan dana ini selama 15 tahun ke depan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukan non-governmental organizations (NGOs) yang bergerak di bidang konservasi lingkungan.
48
Lampiran II
Beberapa Program Debt Swap Indonesia
NO. NAMA NEGARA TAHUN MEKANISME KETERANGAN
1. Indonesia – Germany Debt Swap Agreement
2004 Untuk mengonversi utang Indonesia kepada Jerman, maka Indonesia berjanji untuk memberikan beasiswa kepada senilai €9.4 juta bagi siswa Indonesia untuk belajar ke Jerman. Dengan demikian, program tersebut dapat mengakomodasi lebih kurang 200 siswa Indonesia untuk bersekolah di Jerman.
Saat ini, Jerman dan Indonesia juga sedang menegosiasikan mekanisme debt-swap untuk biodiversity sebesar 20 juta Euro.
Sebagai gantinya, Jerman akan mengampuni utang Indonesia sebesar €18.8 juta. Sejak tahun 2002, KfW Entwicklungsbank (The German Development Bank) telah menandatangani 6 debt-swap agreement dengan Indonesia dengan total senilai 143,6 juta euro.
2. Indonesia – Australia Debt Swap Agreement
2010 Pada tahun 2010, Australia menandatangani perjanjian debt swap pertamanya. Dana tersebut akan digunakan untuk penanggulangan serta pencegahan penyakit tuberculosis.
Australia berjanji untuk menghapus utang Indonesia sebesar $75 juta.
Recommended