View
224
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
DI DAS CISADANE HULU
IDA NURMAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Kajian Partisipasi
Masyarakat Dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010
Ida Nurmayanti NRP. A155080051
ABSTRACT
IDA NURMAYANTI. Community Participation Analysis in Forest and Land Rehabilitation in Upstream of Cisadane Watershed. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN and KUKUH MURTILAKSONO.
Forest and land degradation is the important factor for critical land, hidrological cycle disturbance, erotion and sedimentation, during the rainy season and droughts during the dry season in the upstream Cisadane watershed area. This study was aimed to identify the level of community participation, to analized factors affecting the level of community participation, and to develop alternatives of policy priority in order to improve community participation. The level of community participation was analized base on Arenstein’s theory, correlation analysis by Spearman Rank, and alternatives of policy priority by Analytical Hierarchy Process. The results show that the level of community participation in planning and evaluation phases were catagorized as low (nonparticipation), while in implementation phase was catagorized as moderate (tokenism). The Spearman Rank correlation test found that the altermining factors in the planning stage were the level of education, farming area, income level, perception, program socialization (e.g.extension), the availability of facilities and the role of local institutions. In the implementation stage the influencing were age, level of education, income level, perception, program socialization (e.g.extension). While in the evaluation stage there was only one factor that could affect the participation level which was program socialization. In order improve the community participation, alternatives of policy priority should include at least community education, community income and availability of facilities. The low level of education and low income were the important for low participation in the decision making process. In addition, the community trust to the facilitators determines the level of community participation.
Keywords : Community participation, forest and land rehabilitation, critical watershed
RINGKASAN
IDA NURMAYANTI. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu. Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan KUKUH MURTILAKSONO.
Kerusakan hutan dan lahan yang ada di daerah hulu DAS Cisadane telah menyebabkan lahan menjadi kritis, keseimbangan siklus hidrologi terganggu, erosi dan sedimentasi meningkat sehingga berimplikasi pada terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Mengatasi permasalahan tersebut maka pemerintah telah melaksanakan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Hasil program tersebut belum memberikan hasil yang diharapkan, hal ini disebabkan dalam pelaksanaan masih dilakukan secara terpusat (top down) dan tidak melibatkan masyarakat, terutama pada saat tahapan perencanaan. Sekarang pemerintah menggunakan pendekatan partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan lembaga sosial setempat. Tingkat partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dari masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji hubungan antara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi para penentu kebijakan (policy makers) dan dapat mengembangkan kegiatan program RHL secara partisipatif.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei yang bertujuan untuk dapat mengungkapkan fakta-fakta tentang partisipasi masyarakat termasuk menganalisa hubungan antara aspek-aspek yang ada di dalamnya serta dapat menyusun suatu alternatif kebijakan sebagai umpan balik untuk bisa memperbaiki dalam pelaksanaan program selanjutnya. Untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat digunakan teori Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) di mana terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu : golongan partisipasi rendah (non participation) di mana masyarakat tidak atau kurang terlibat dalam kegiatan walaupun terlibat tetapi tidak dapat memberikan masukan atau usulan-usulan, golongan sedang (tokenism) di mana masyarakat sudah mulai terlibat tetapi suara masyrakat tidak pernah diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif rendah, dan golongan tinggi (citizen power) di mana masyarakat sudah terlibat secara aktif dan memiliki kewenangan penuh di bidang kebijakan dan aspek pengelolaan pada seluruh tahapan kegitan. Tingkat partisipasi masyarakat di DAS Cisadane Hulu pada tahapan perencanaan dan tahapan evaluasi dalam kegiatan RHL tergolong rendah (non participation). Sedangkan untuk tahapan pelaksanaan tingkat partisipasi masyarakat tergolong sedang (tokenism).
Tahapan perencanaan meliputi kegiatan identifikasi masalah, penentuan lokasi, penentuan jenis tanaman, penentuan bangunan teknis sipil, pembentukan kelompok tani dan juga penenetuan biaya. Tahapan pelaksanaan meliputi kegiatan penyiapan lahan, pemeriksaan bibit tanaman, penanaman pohon, pembuatan bangunan sipil teknis seperti terasering, sumur serapan, penyiangan/pembersihan rumput, pendangiran, penyulaman, pemeliharaan, penyiapan sarana, pertemuan kelompok tani, pengamanan tebing dan penyediaan dana. Sedangkan kegiatan tahapan evaluasi adalah penilaian dan pemantauan keberhasilan kegiatan serta membantu memberikan informasi kepada tim evaluasi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat adalah
faktor internal yang terdiri dari unsur umur, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, pekerjaan sampingan dan persepsi masyarakat, serta faktor eksternal yang terdiri dari intensitas sosialisasi program (penyuluhan), peran pendamping, ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial.
Hubungan faktor internal dan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat diuji dengan metode korelasi Spearman Rank, di mana data diambil dari 90 responden di lima kecamatan. Sedangkan untuk menyusun alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dengan cara analisis terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, yaitu menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP), data diambil dari 12 orang responden yang terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang mengerti permasalahan dan punya kepentingan terhadap program RHL di DAS Cisadane Hulu. Hasil wawancara tersebut, menghitung bobot nilai alternatif kebijakan dengan aspek-aspek partisipasi masyarakat diproses komputer dengan software Expert choice 2000. Hasil uji korelasi Spearman Rank faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, persepsi, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Tahapan pelaksanaan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, persepsi, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Sedangkan pada tahapan evaluasi hanya ada satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi yaitu intensitas sosialisasi program (penyuluhan). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat tersebut pada tahapan perencanaan adalah tingkat pendidikan (0,493**), pada tahapan pelaksanaan adalah tingkat pendidikan (0,397**) dan pada tahapan evaluasi intensitas sosialisasi program (penyuluhan) (-0,254*). Untuk hasil penilaian terhadap alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat menggunakan model AHP menunjukkan bahwa aktor pemerintah (0,75) lebih penting dibanding dengan aktor masyarakat (0,25). Faktor pendukung yang menentukan tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor tingkat pendidikan (0,27), tingkat pendapatan (0,14), peran pendamping (0,12) dan ketersediaan sarana (0,20). Sedangkan untk alternatif kebijakan yang lebih mendukung partisipasi masyarakat adalah meningkatkan kemampuan anggota masyarakat (0,84) dan meningkatkan dukungan dari pemerintah (0,16). Berdasarkan unsur kebijakan tersebut maka yang menjadi alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu adalah meningkatkan kemampuan anggota masyarakat melalui sarana tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping dan ketersediaan sarana.
Tingkat partisipasi masyarakat bisa dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dari keberhasilan program RHL di DAS Cisadane Hulu secara partisipatif. Rendahnya tingkat pendidikan menunjukkan bahwa masyarakat kurang terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada saat tahapan perencanaan, ini merupakan salah satu penyebab masyarakat tidak memiliki keberanian untuk ikut dalam pengambilan keputusan. Rendahnya tingkat pendapatan dan luas lahan menyebabkan keterbatasan masyarakat untuk berpartisipasi, karena lahan yang sempit hanya dimanfaatkan untuk tanaman jangka pendek yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu faktor intensitas sosialisasi program (penyuluhan) dalam memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat belum optimal.
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
DI DAS CISADANE HULU
IDA NURMAYANTI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungan (DAS)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
Judul Tesis : Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu Nama : Ida Nurmayanti NRP : A155080051 Program Studi : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Daerah Aliran Sungai (DAS)
Prof.Dr.Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 30 Juli 2010 Tanggal Lulus : 18 Agustus 2010
Tesis ini dipersembahkan untuk mereka yang saya sayangi dan cintai, Bapak H. Hasan Muharam, Mamah Hj.Maryati (Almh),
Suami Burhanuddin,anakku Ficky Burhan, Rully Burhan dan Ocha Burhan terima kasih atas semua do’a, dorongan dan dukungannya,
semoga Alloh SWT melindungi kita semua. Amin Yaa Robbal Alamin..
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya tesis ini berhasil Penulis selesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari 2010 sampai Juni 2010 ini adalah “Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu”.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. sebagai anggota komisi pembimbing dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan serta pengarahan ke arah yang lebih baik mulai dari penyusunan usulan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini, Bapak Dr.Ir.Yayat Hidayat, M.Si. sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis dan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. sebagai ketua Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang selalu memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan studi di Pascasarjana IPB. Disamping itu, penulis juga memberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang telah memberikan banyak kesempatan dan bantuan, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, suami dan putera puteri tercinta yang selalu memberikan dorongan, kesabaran, keikhlasan, do’a restu dan kasih sayangnya.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat, khususnya bagi mereka yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2010
Ida Nurmayanti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Maret 1968 dari ayah Drs. H. Hasan Muharam dan ibu Hj. Maryati (Almh). Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Ir. Burhanuddin dan dikarunia tiga orang anak, Ficky Burhan, Rully Burhan dan Ocha Burhan.
Pada tahun 1986 penulis lulus dari SMA Negeri I Bogor, dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Universitas Nasional Jakarta, Fakultas Biologi dan lulus tahun 1991. Pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusat Diklat Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Sejak Februari 2001 sampai saat ini penulis bekerja di Balai Diklat Kehutanan Bogor, Pusat Diklat Kehutanan, Kementerian Kehutanan sebagai Widyaiswara Madya.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………............. xii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................. xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang……………………………………………………………………...... Perumusan masalah……………………………………………………....................... Kerangka Pemikiran...................................................................................................... Tujuan Penelitian……………………………………………………………............... Manfaat Penelitian……………………………………………………..……...............
1 3 5 6 6
TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai ( DAS)……………………………………………………....... Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).....…………………………………………....... Partisipasi Masyarakat..…………………………………………………….................
Pegertian Partisipasi………………………………………………………............... Derajat Partisipasi...................................................................................................... Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat............................
8
10 14 14 17 20
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………………................. Metode Penelitian......………………………………………………………................
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data………………………………………................ Pengamatan Variabel………………………………………………………................. Pengumpulan Data........................................................................................................ Tahapan Penelitian…………………………………………………………................ Analisis Data.................................................................................................................
22 22 22 23 26 26 27
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Biofisik............................................................................................................
Letak dan Luas Wilayah............................................................................................. Iklim dan Hidrologi.................................................................................................... Penutupan Lahan........................................................................................................
Aspek sosial ekonomi masyarakat................................................................................ Jumlah Penduduk, Golongan Usia dan Tingkat Pendidikan..................................... Kelembagaan sosial....................................................................................................
30 30 31 32
32 32 33
HASIL DAN PEMBAHASAN Kegitaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)............................................................ Karakteristik internal dan eksternal masyarakat...........................................................
Karakteristik internal.................................................................................................. Umur......................................................................................................................
34 35 35 35
Tingkat pendidikan................................................................................................ Luas lahan............................................................................................................. Tingkat pendapatan............................................................................................... Pekerjaan sampingan............................................................................................. Persepsi..................................................................................................................
Karakteristik eksternal................................................................................................. Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan)......................................................... Peran pendamping................................................................................................. Ketersediaan sarana............................................................................................... Peran kelembagaan sosial......................................................................................
Tingkat Partisipasi Masyarakat...................................................................................... Tahapan Perencanaan.................................................................................................. Tahapan Pelaksanaan.................................................................................................. Tahapan Evaluasi........................................................................................................
Hubungan antara faktor internal dan eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat Hubungan antara umur dengan tingkat partisipasi masyarakat................................... Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi masyarakat............. Hubungan antara luas lahan dengan tingkat partisipasi masyarakat.......................... Hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi masyarakat............ Hubungan antara pekerjaan sampingan dengan tingkat partisipasi masyarakat......... Hubungan antara persepsi dengan tingkat partisipasi masyarakat.............................. Hubungan antara intensitas sosialisasi program (penyuluhan) dengan tingkat partisipasi masyarakat................................................................................................. Hubungan antara peran pendamping dengan tingkat partisipasi masyarakat............. Hubungan antara ketersediaan sarana dengan tingkat partisipasi masyarakat............ Hubungan antara peran kelembagaan sosial dengan tingkat partisipasi
masyarakat...................................................................................................................
Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat................................ Kondisi aktual tingkat partisipasi masyarakat di DAS Cisadane Hulu..........................
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan.................................................................................................................... Saran..............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
LAMPIRAN........................................................................................................................
36 36 37 37 37
38 38 38 38 39 39 40 41 42 42 43 44 44 44 45 45 46 46 46 46
47 50
57 57 58
62
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian.......................................................................... 7
2. Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009)…………………………………….........................................
18
DAFTAR TABEL Halaman 1. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia periode 1970-2007……….... 13
2. Lokasi penelitian di DAS Cisadane Hulu……………………………………….....
3. Skala Pembanding berpasangan untuk menilai kriteria dan alternatif…………......
22
28
4. Matriks pembanding berpasangan (pairwise comparison) untuk menentukan prioritas......................................................................................................................
5. Luas Wilayah,dan Jumlah Penduduk per Kecamatan tahun 2008 ...........................
6. Data Hidrologi DAS Cisadane Hulu tahun 2007......................................................
7. Jumlah dan Nama Desa per kecamatan di lokasi penelitian.....................................
8. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin per Kecamatan di lokasi penelitian........
9. Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat di lokasi penelitian.................................................................................
10. Kategori Hasil Penilaian Masyarakat dalam kegiatan RHL pada Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi di lokasi penelitian....................................
11. Hasil Uji Korelasi Spearman Rank dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu...........................................................................................................................
12. Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat..........................
29
31
31
32
33
35
40
43
48
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta administrasi DAS Cisadane Hulu…………………….………………....
2. Daftar variabel, indikator, parameter pengukuran dan kategori......................
3. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y1).......................................................................................................
4. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y2).......................................................................................................
5. Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y3).......................................................................................................
6. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Perencanaan.....................
7. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Pelaksanaan......................
8. Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Evaluasi............................
9. Hirarki peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan..............................................................................................
10. Nilai banding berpasangan (pairwise compasrison)........................................
11. Foto kegiatan di lokasi penelitian....................................................................
63
64
66
69
72
75
77
80
81
82
85
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai
manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi.
Tetapi dari berbagai manfaat tersebut, manfaat ekonomilah yang lebih menjadi
perhatian dari sebagian besar masyarakat. Hutan sebagai sumber keanekaragaman
hayati dan sebagai penyedia kebutuhan hidup dari masyarakat di sekitar hutan. Pendapat
yang menganggap fungsi hutan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi
mengakibatkan semakin meningkatnya degradasi hutan dari tahun ke tahun.
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa
penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan
kecukupan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Undang-
Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air mendefinisikan DAS sebagai suatu
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
Menurut Sinukaban (2008) pengertian DAS adalah daerah yang dibatasi oleh
topografi secara alami sehingga semua air hujan yang jatuh diatas DAS tersebut akan
mengalir melalui titik pembuangan (outlet) yang sama. Berdasarkan pengertian tersebut
maka DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen
topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya
yang berada pada, di bawah, dan di atas tanah. Pengelolaan DAS adalah upaya dalam
mengelola hubungan timbal balik antara sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan
air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan
manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian
ekosistem DAS.
Kompleksitas permasalahan pengelolaan DAS menimbulkan adanya paradigma
baru berupa pemberdayaan masyarakat ditingkat operasional dan pelaksanaan dengan
menggunakan pendekatan bottom up. Ada beberapa hal penting dalam paradigma baru
2
tersebut, diantaranya : 1). pengelolaan dilaksanakan secara terpadu lintas sektoral; 2).
peningkatan peran serta masyarakat (partisipatif); 3). peningkatan penyuluhan baik
kualitas dan kuantitas; 4). penguatan institusi dan 5). pemberian insentif kepada petani
di kawasan DAS (khususnya di bagian hulu) (Priyono dan Cahyono, 2003 dalam
Ahsoni, 2008).
Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di wilayah DAS bukan hal baru
di Indonesia. Pada tahun 2003 pemerintah telah melaksanakan program RHL melalui
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Secara konseptual program
tersebut merupakan upaya strategis yang langsung menyentuh masyarakat. Pelaksanaan
program tersebut di beberapa daerah banyak mengalami kegagalan, misalnya tahun
2003 di Kalimantan Selatan sudah 29.000 hektar lahan kritis ditanami pohon proyek
GN-RHL, namun kurang lebih 11.600 hektar diantaranya (40%) mati (Partono, 2006).
Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat, sedikitnya 19 juta pohon atau 59% dari 32
juta pohon yang ditanam melalui GN-RHL sepanjang tahun 2003 mati. Kendala yang
menyebabkan kegagalan proyek GN-RHL di beberapa daerah di Indonesia antara lain
disebabkan oleh perencanaan yang tidak matang, pelaksanaan program tidak
memperhatikan waktu penanaman dan tingkat penerimaan masyarakat yang kurang
(Departemen Kehutanan, 2007).
Kajian terdahulu banyak menjelaskan hubungan antara tingkat partisipai
masyarakat dengan keberhasilan pembangunan kehutanan (Pujo, 1998; Sunartana,
2003; Safei, 2003; Trison, 2005; dan Muis, 2007), tetapi belum ada kajian yang secara
khusus menjelaskan faktor-faktor dominan apa saja, baik internal maupun eksternal
yang dapat menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat rendah dalam pelaksanaan
kegiatan GN-RHL. Partisipasi masyarakat merupakan modal dasar untuk membangun
sebuah kekuatan di masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama
(colection action). Tingkat partisipasi masyarakat pada setiap tahapan kegiatan RHL
sangatlah diperlukan, selain itu peran pemerintah dalam menunjang keberhasilan
pengelolaan lahan yang berkelanjutan sangatlah diharapkan.
Program RHL di DAS Cisadane Hulu melakukan kegiatan konservasi vegetatif
dan sipil teknis. Konservasi vegetatif yang dilakukan dengan cara penanaman tanaman
keras bernilai ekonomi tinggi seperti rambutan, pete, sengon, mahoni, nangka di lahan
masyarakat (783,4 Ha), sedangkan untuk konservasi teknik sipil berupa pembuatan teras
3
gulud (3.883,9 Ha), sumur resapan, dan dam penahan (BPDAS Citarum Ciliwung,
2007). Program tersebut merupakan program terpadu antar departemen dengan
menggunakan pendekatan partisipatif yang melibatkan mayarakat dan lembaga sosial
pada setiap tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi.
Adanya pendekatan partisipatif diharapkan masyarakat dapat ikut berperan aktif,
sehingga implementasi program RHL di DAS Cisadane Hulu ini dapat berhasil dengan
baik.
Hasil penelitian Ahsoni (2008) menyatakan bahwa masyarakat pada umumnya
memiliki kondisi sosial ekonomi yang terbatas, hal ini tercermin dari : 1). buruknya
infrastruktur rumah; 2). rendahnya tingkat pendidikan (80% tidak tamat Sekolah Dasar);
3). sempitnya kepemilikan lahan rata-rata hanya 0,2 Ha; 4). rata-rata pendapatan
keluarga sebesar Rp 11.849.550/tahun dan 5). mata pencaharian sebagai buruh tani
(51%) dan penggarap (31%). Adanya keterbatasan kondisi sosial ekonomi tersebut
maka kemampuan masyarakat dalam keterlibatan program RHL terbatas, sehingga
dapat mempengaruhi tingkat partisipasi.
Keberhasilan tingkat partisipatif sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi
masyarakatnya, biasanya partisipasi masyarakat yang tinggal di wilayah terkena
kebijakan, program atau proyek dimungkinkan untuk: 1). merumuskan persoalan
dengan lebih efektif; 2). mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan
dunia ilmiah; 3). merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan
dapat diterima dan 4). membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan
penyelesaian, sehingga memudahkan dalam penerapan. Oleh karena itu dalam konteks
partisipasi masyarakat, maka program RHL di DAS Cisadane Hulu perlu dikaji dan
dikembangkan implementasinya.
Perumusan Masalah
Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi pada tahun 2003 luas lahan kritis
di wilayah kerja BPDAS Citarum Ciliwung adalah 498.146,4 ha yaitu di dalam kawasan
hutan 166.338,8 ha dan di luar kawasan hutan 331.807,6 ha. Penanganan lahan kritis
tersebut telah dilakukan memalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (GN-RHL) yang dimulai sejak tahun 2003. Pada tahun 2007, luas lahan kritis
yang sudah ditangani di luar kawasan hutan (terutama di lahan-lahan milik masyarakat
adalah 91.165 ha yang tersebar di beberapa Kabupaten/Kota di Wilayah BPDAS
4
Citarum-Ciliwung dengan berbagai pola penanganan baik vegetatif maupun sipil teknis
dan masih terdapat sisa lahan kritis di luar kawasan hutan yang belum tertangani seluas
240.642,6 ha (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007).
DAS Cisadane sebagai salah satu wilayah hidrologis saat ini kondisi biofisik,
sosial ekonomi dan budayanya sangat bervariasi, sehingga upaya pengembangan dan
pemasyarakatan kegiatan RHL dan konservasi tanah merupakan suatu hal yang sangat
penting serta mendesak untuk segera dilaksanakan. Luas dan kompleksnya
permasalahan dalam suatu DAS, baik yang bersifat ekonomis maupun ekologis, maka
perlu adanya upaya RHL dan konsevasi tanah yang terencana, terpadu dan lintas
sektoral dengan penanganan yang bersifat multi disipliner. Pelaksanaan RHL selalu
terdapat beberapa faktor pembatas dan permasalahan yang harus dicari penanganannya
melalui kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi dan
kelembagaan seta aspek ekologis wilayah setempat.
Menurut Kartodiharjo (2006), selama ini program pembangunan kehutanan yang
dianggap sebagai jawaban atas kerusakan hutan masih bertumpu pada tindakan-tindakan
fisik dan bukan masyarakat. Dalam rancangan anggaran GN RHL tahun 2005 misalnya,
biaya pembibitan, penanaman dan pemeliharaan mencapai 82,7%. Keyakinan itu sejak
awal tahun 80an tidak terbukti kebenarannya, yaitu dengan tingginya kegagalan
pelaksanaan reboisasi dan penghijauan, asumsi yang dipakai seolah-olah sudah terdapat
kelembagaan yang mapan dan mendukung pelaksanaan gerakan tersebut. Kelembagaan
bukan hanya keberadaan lembaga atau organisasi pengelola hutan yang mampu,
melainkan juga termasuk kepastian kawasan hutan, sistem insentif, maupun regulasi
yang tidak menyebabkan biaya transaksi tinggi.
Pengetahuan akan tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan RHL sangat
penting. Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL akan berbeda dari suatu
lokasi ke lokasi lain, sehingga sulit untuk dapat memperkirakan sampai sejauh mana
tingkat partisipasi masyarakat pada suatu lokasi terkait dengan dilaksanakan kegiatan
RHL. Selain itu, penelitian tentang hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi dari
tingkat partispasi masyarakat pada kegiatan RHL ini belum banyak dilakukan. Dalam
penelitian ini perlu kajian untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi tingkat partisipasi suatu masyarakat baik internal maupun eksternal,
sehingga tingkat partisipasi suatu masyarakat dapat diketahui dari faktor-faktor tersebut.
5
Kemampuan memprediksi tingkat partisipasi tersebut juga akan membantu dalam
penyusunan kebijakan yang tepat dan bisa digunakan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan tersebut.
Kerangka Pemikiran
Proses perencanaan yang begitu panjang dan banyak melibatkan instistusi terkait
serta luasnya sasaran lahan kritis yang perlu direhabilitasi baik di dalam maupun di luar
kawasan hutan dalam kurun waktu selama 5 tahun, pola penyelenggaraan GN-RHL
beragam, hampir dapat dipastikan dalam pelaksanaan penyelenggaraan GN-RHL akan
banyak mengalami permasalahan baik teknis maupun administratif, ditambah lagi
sistem pelaksanaan kegiatannya melalui proses tahapan-tahapan yang terputus
(discontinue). Akibat dari proses yang bertahap dan terputus tersebut mengakibatkan
pertanggungjawaban publik (public accountabillity) juga terputus dan tidak jelas
arahnya karena banyaknya pihak-pihak yang terkait, sehingga akhirnya disadari atau
tidak disadari akan berdampak kepada keluaran (out-put) atau hasil akhir dari pekerjaan
GN-RHL yang cenderung mengarah kepada ketidakberhasilan (kegagalan) di lapangan
dengan biaya ekonomi yang tinggi (inefisiensi).
Sasaran RHL adalah lahan maka keluaran (out put) dari GN-RHL tidak lain adalah
terwujudya penutupan lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan oleh
jenis kayu-kayuan tanaman hutan dan atau jenis MPTS, sehingga lahan kritis tersebut
dapat berfungsi kembali sebagai penyangga kehidupan dalam hal pencegahan banjir,
erosi, longsor dan sebagainya sesuai dengan tujuan dari GN-RHL. Lahan yang
digunakan dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu adalah lahan masyarakat.
Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL ini
dilakukan penelitian dengan melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, baik
faktor internal maupun faktor ekternal. Faktor internal merupakan ciri-ciri atau karakter
individu dari anggota masyarakat itu sendiri, yaitu dapat berupa sumbangan tenaga,
pemikiran, penyediaan lahan, perilaku dan kesepakatan anggota masyarakat dalam
pelaksanaan kegiatan. Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi yang ada di luar
karakteristik individu anggota masyarakat, dapat berupa dukungan pemerintah yang
berupa sosialisasi program dan penyuluhan, penyediaan sarana dan prasaran rehabilitasi
(dana, bibit dan pupuk), fasilitas pembentukan lembaga serta pendampingan. Hal ini
dapat menjadi bentuk kegiatan yang bersifat partisipatif. Melalui hubungan empiris
6
diantara faktor-faktor internal dan faktor eksternal terhadap tingkat partisipasi
masyarakat, maka dapat ditetapkan alternatif kebijakan yang tepat untuk peningkatan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL.
Kajian faktor internal dan eksternal mengambil sampel dari suatu populasi
melalui teknik wawancara terbuka, kuesioner, dan diskusi ahli. Wawancara ataupun
kuesioner dilakukan ke berbagai tingkatan responden, yaitu dari tingkatan petani atau
masyarakat setempat sampai kepada responden ahli yang mengetahui dan terjun
langsung dalam kegiatan RHL di lokasi tersebut.
Analisis data dari hasil wawancara menggunakan analisis statistik non
parametrik uji korelasi Spearman Rank, untuk mendapatkan ketepatan dalam mengolah
data dibantu dengan komputer program Statistical Program for Social Sience (SPSS)
versi 15. Sedangkan untuk menentukan alternatif kebijakan peningkatan partisipasi
masyarakat menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP), di mana
menggunakan bentuk hirarki sesuai tujuan, aktor, faktor pendukung dan alternatif
kebijakan, dalam mengolah data dibantu komputer dengan progran Expert Choice 2000.
Uraian tersebut menjadi landasan kerangka pemikiran untuk dapat
mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan
peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu. Secara
skematis pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi
masyarakat, mengkaji hubungan antara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan dalam peningkatan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat mengetahui tingkat partisipasi masyarakat di setiap tahapan
kegiatan dan faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi
masyarakat, sehingga dapat mengupayakan dalam mengembangkan tingkat partisipasi
masyarakat. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi acuan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam mengimplementasikan program-program pembangunan yang
bersifat partisipatif.
7
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Tahapan Perencanaan (Y1)
Tahapan Pelaksanaan (Y2)
Tahapan Evaluasi (Y3)
Faktor Internal - Umur (X1.1) - Tingkat Pendidikan
(X1.2) - Luas lahan (X1.3) - Tingkat pendapatan
(X1.4) - Pekerjaan sampingan
(X1.5) - Persepsi (X1.6)
Faktor Eksternal - Intensitas sosialisassi
program (Penyuluhan) (X2.1)
- Peran Pendamping (X2.2)
- Ketersediaan sarana (X2.3)
- Peran kelembagaan sosia (X2.4)
Tingkat Partisipasi
Masyarakat
Alternatif prioritas kebijakan
Metode AHP
Metode AHP
Kerusakan Hutan dan lahan yang menyebabkan DAS kritis
Peningkatan Partisipasi masyarakat
8
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi
dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan
untuk kemudian disalukan ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut
dinamakan daerah tangkapan air (catchment area) merupakan suatu ekosistem dengan
unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (air, tanah dan vegetasi) dan sumberdaya
manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam.
DAS terbagi ke dalam tiga bagian yaitu: bagian hulu, tengah dan bagian hilir.
Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur air,
ekosistem bagian tengah merupakan pembagi dan pengatur air, sedangkan ekosistem
bagian hilir merupakan daerah pemakai air. Hubungan antara ekosistem tersebut
menjadikan DAS sebagai satu kesatuan fungsi hidrologis. Wilayah DAS bisa meliputi
berbagai wilayah administratif, misalnya antar desa, kecamatan, kabupaten, propinsi
bahkan dapat meliputi antar negara yang mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui
daur hidrologi (Asdak, 2004).
Manan (1979) mengatakan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang di
dalamnya terdiri dari kondisi fisik, biologi dan manusia yang satu sama lain saling
berhubungan erat membentuk keseimbangan. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem
dan dapat menopang kehidupan manusia secara terus menerus, maka diperlukan
pengelolaan DAS yang baik, pengelolaan sumberdaya alam yang baik juga (renewable)
seperti tanah, air dan vegetasi dengan tujuan untuk memperbaiki, memelihara dan
melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan hasil air (water yield) untuk
kepentingan pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan masyrakat
berupa air minum, industri, irigasi, tenaga listrik, rekreasi dan sebagainya
(Puspaningsih, 1997).
Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal
balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya,
tujuannya membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan
kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen
Kehutanan, 2006). Tujuan utama pengelolaan DAS adalah meresapkan air hujan
sebanyak-banyaknya, memperkecil aliran permukaan dan mengendalikan erosi tanah
9
sehingga tercapai suatu kondisi biofisik DAS yang memungkinkan diperolehnya
keseimbangan dan tata air yang baik. Hasil air yang optimum dipandang dari aspek
kuantitas, kualitas dan regimen. Dasar pengetahuan hidrologi sangat penting untuk
menjelaskan sistem pengelolaan DAS di samping hasil-hasil dari penelitian terapan
yang dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan DAS, diantaranya dengan mempelajari
proses-proses hidrologi seperti evapotranspirasi, intersepsi, penggunaan air untuk
vegetasi, infiltrasi, perkolasi, air bumi, erosi, sedimentasi dan aliran sungai (Manan,
1997). Prinsip dasar pengelolaan DAS adalah sebagai berikut : 1). pada dasarnya berupa
pemanfaatan, pemberdayaan, pengembangan, perlindungan dan pengendalian
sumberdaya dalam DAS; 2). berdasarkan pada asas kelestarian, kemanfaatan, keadilan
dan kemandirian (kelayakan usaha) serta akuntabilitas dan berkeadilan; dan 3).
direncanakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pada dasarnya masalah erosi berkaitan dengan tingginya erosivitas hujan, sifat
tanah yang mudah tererosi, bentukan lahan dengan lereng yang curam dan panjang,
serta penggunaan lahan yang terlalu intensif dan tidak sesuai dengan kemampuan
lahannya. Terjadinya erosi dapat disebabkan oleh kondisi alamiah dan karena aktivitas
manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah secara alami
untuk mempertahankan keseimbangan tanah, sedangkan erosi karena kegiatan manusia
kebanyakan disebabkan oleh terkelupasnya tanah bagian atas akibat cara bercocok
tanam yang tidak memperdulikan kaidah-kaidah konservasi tanah (Asdak, 2004).
Meningkatnya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan serta pencemaran
kualitas air beberapa tahun terakhir mengindikasikan telah terjadinya gangguan pada
keseimbangan siklus hidrologi pada DAS yang berdampak pada kondisi kritis
sumberdaya air. Hal ini disebabkan antara lain karena penciutan area dan kerusakan
hutan serta kerusakan lahan DAS yang telah menimbulkan erosi dan sedimentasi, baik
di saluran-saluran air, sungai, waduk, danau maupun di sepanjang pantai. Banjir yang
menggenangi lahan-lahan kota dan pedesaan atau pertanian pada musim hujan sering
terjadi akibat tidak tertampungnya aliran permukaan. Sebagai akibat tidak adanya atau
berkurangnya air yang meresap dan masuk ke dalam tanah, maka tidak ada air yang
tersimpan di dalam tanah sebagai air bawah tanah (ground water) yang akan masuk ke
dalam sungai, ke dalam sumur dan ke dalam badan air lainnya pada musim kemarau,
10
yang mengakibatkan keringnya sungai, sumur dan lahan-lahan pertanian (Arsyad,
2006).
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)
Luas kawasan hutan pada tahun 2007 adalah sekitar 133,95 juta ha dan jumlah
penduduk Indonesia lebih dari 220 juta. Degradasi hutan dan lahan semakin meluas
sebagai akibat penambahan jumlah penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang,
pangan, papan dan energi (Departemen Kehutanan, 2007). Berkurangnya areal hutan
untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan akan menurunkan resapan
air hujan dan meningkatkan aliran air permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan
tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus
bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu oleh
semua pihak yang ada pada DAS dengan memperhitungkan biofosik dan semua aspek
sosial ekonomi. Degradasi hutan dan lahan selama kurun waktu 2000-2005 sangat
memprihatinkan yaitu rata-rata 1,089 juta hektar per tahun. Degradasi di lahan pertanian
terus terjadi akibat erosi tanah yang tinggi sehingga memicu semakin luasnya lahan
kritis dan meningkatnya sedimentasi pada waduk-waduk yang akan berdampak pada
berkurangnya daya tampung dan pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA). Apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah degradasi
hutan dan lahan serta upaya untuk memulihkannya, maka DAS akan semakin menurun
kualitasnya. Karena itu pengelolaan DAS di masa yang akan datang harus mampu
mengkonservasi, merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas hutan dan lahan yang
dapat memenuhi kebutuhan penduduk terhadap barang dan jasa lingkungan yang
semakin meningkat.
Tingkat kekritisan suatu DAS adalah menurunnya penutupan vegetasi permanen
dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan
air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah
longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan
tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada
kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju
deforestasi tahun 2000-2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun (Departemen Kehutanan,
2008).
11
Luasan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap meluas yaitu sekitar 30.2 juta
ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari daerah
pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi
(15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun
(Departemen Kehutanan, 2007). Tingkat kekritisan lahan sangat berkaitan dengan
tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama
jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali.
Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah
akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan)
bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan hutan di
daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di
perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan lahan. Faktor lain yang menyebabkan
pengelolaan DAS belum berhasil dengan baik adalah kurangnya keterpaduan dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal
pembiayaannya. Hal ini karena banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan
DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen
Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan
swasta dan masyarakat (Departemen Kehutanan, 2008).
Berdasarkan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, RHL dimaksudkan
untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan
sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem
penyangga kehidupan tetap terjaga. RHL merupakan bagian dari sistem pengelolaan
hutan dan lahan yang ditempatkan pada kerangka DAS, dengan cara penerapan teknik
konservasi secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan-lahan kritis dan lahan tidak
produktif yag berada di wilayah hulu DAS. Namun demikian cara penerapan program
rehabilitasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana program rehabilitasi tersebut
dilaksanakan, selain itu RHL juga sangat berperan dalam : 1). memulihkan fungsi
hidrologi hutan dan lahan dalam DAS; 2). memulihkan fungsi perlindungan tanah dan
stabilitas iklim mikro; 3). meningkatkan produksi oksigen dan penyerap gas-gas
pencemar udara; 4). memulihkan dan melestarikan sumberdaya plasma nutfah; 5).
membuka peluang kesempatan berusaha dan kesejahteraan masyarakat; 6). membuka
12
peluang untuk pengembangan ekowisata dan 7). memulihkan citra negara, bangsa,
pemerintah dan masyarakat di mata dunia (WALHI, 2004).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.20/Kpts-II/2001, RHL memiliki
beberapa prinsip, di antaranya adalah : 1). meminimumkan kegagalan kebijakan (policy
failure), sebagai akibat kegagalan birokrasi (goverment failure) dan kegagalan pasar
(market failure); 2). RHL harus menjadi kebutuhan masyarakat; 3). RHL menggunakan
DAS sebagai unit analisis dalam perencanaan dan pengendalian; 4). adanya kejelasan
wewenang dan tata hubungan kerja dalam RHL; 5). memanfaatkan potensi masyarakat
lokal; 6). tujuan RHL disesuaikan dengan fungsi utama kawasan yang menjadi sasaran
rehabilitasi; 8). perlunya pemahaman yang baik terhadap status penguasaan
/kepemilikan lahan sasaran RHL agar potensi konflik dapat diantisipasi; 9). kontribusi
biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat dan 10). adanya penguatan
kelembagaan (Timpakul, 2004 dalam Muis, 2007). Kegiatan RHL yang telah
dilaksanakan di Indonesia pada Tabel 1.
Kurun waktu lima tahun terakhir (2000-2005), pemerintah telah merehabilitasi
hutan dan lahan dalam bentuk reboisasi seluas ±469.256 ha dan penghijauan, termasuk
hutan rakyat seluas ± 1.785.149 ha. Pada tahun 2003 pemerintah melalui GN-RHL telah
mentargetkan rehabilitasi kawasan hutan dan ekosistemnya seluas ± 3 juta ha, dengan
sasaran DAS prioritas, hutan rusak dan lahan kritis, serta rawan bencana. Gerakan
tersebut diproklamirkan oleh pemerintah di tahun 2002 dengan tema ”Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebagai komitmen bangsa dalam upaya meningkatkan
kualitas lingkungan dan kesejahteraan rakyat” (WALHI, 2004).
Lingkup dari kegiatan GN-RHL yang dilakukan adalah: 1). kegiatan pencegahan
perusakan lingkungan, meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan,
pemberdayaan masyarakat, dan penegakan hukum; dan 2). kegiatan penanaman hutan
dan rehabilitasi, meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi, dan
pengembangan semua produk bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman
turus jalan, pemeliharaan tanaman) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam
pengendali dan penahan (gully plug), pembuatan teras (terasering), sumur serapan
(grass barrier) dll, penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan
kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan (Kementrian
Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2003). GN-RHL merupakan upaya rehabilitasi
13
hutan dan lahan serta perbaikan lingkungan yang sifatnya terpadu, menyeluruh,
bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan stakeholders melalui suatu
perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efisien.
Tabel 1 Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia periode 1970 - 2007
No. Tahun Kegiatan 1. 1970-1976 Setelah banjir di Solo tahun 1966 telah dilaksanakan upaya
Rehabilitasi Lahan Kritis berbantuan natura (pangan dan bibit tanaman) dari WFP (World Food Program) (hasil kurang memadai)
2. 1973-1979 Proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development
di Solo bantuan FAO/UNDP, dilakukan uji coba model pengelolaan DAS dan teknik konservasi tanah dan air (hasilnya norma, kriteria dan standar)
3.
1981-1989
Proyek Citanduy I dan II bantuan USAID di Panawangan-Ciamis (hasilnya norma, kriteria dan standar konservasi tanah dan air/mode farm)
4. 1996-1997 INPRES Reboisasi dan Penghijauan secara lintas sektor, perencanaan berbasis DAS dan pembinaan teknis oleh proyek-proyek di daerah, reboisasi dilaksanakan Pemda Propinsi dan penghijauan oleh Pemda Kabupaten (tingkat keberhasilan fisik: rendah-sedang)
5. 1990/1991-1997/1998
Kredit Usahatani Konservasi DAS (KUK DAS) (keberhailan 57% realisasi pengembalian kredit)
6. 2000-2004 RHL DAK DR (40%) di daerah penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota tanpa pembinaan teknis Departemen Kehutanan (keberhasilan: rendah/bermasalah)
7. 2000-2004 RHL DR (60%) di daerah non penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota dengan perencanaan/pembinaan teknis oleh Balai Pengelolaan DAS (keberhasilan: rendah-cukup)
8. 2003-2007 GN-RHL di DAS prioritas, perencanaan dan pembinaan teknis oleh Ditjen RLPS dan UPTnya, penyedia bibit oleh BPDAS, penanaman/konservasi tanah oleh PemKab/Kota dan BKSD/BTN, penilaian bibit/kinerja oleh Perguruan Tinggi, pengendalian oleh Pem Prop/Pusat
Sumber : Departemen Kehutanan (2006)
Menurut Asdak (2004) metode rehabilitasi untuk lahan hutan biasanya
menggunakan prinsi-prinsip : 1). menghilangkan atau membuat faktor-faktor penyebab
terjadinya kerusakan sumberdaya hutan atau lahan hutan; 2). memperluas atau
mempertahankan vegetasi, terutama pada lahan-lahan yang tidak atau kurang ditumbuhi
14
vegetasi; 3). memisahkan aliran air (hujan) dari jalan hutan dengan cara membuat
sistem drainase pada jalan tersebut dan 4). menutup jalan-jalan hutan yang tidak
direncanakan dengan baik atau tidak dilengkapi dengan saluran-saluran pembuangan
air. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka untuk RHL di wilayah DAS yang lebih
sesuai adalah dengan menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya
kerusakan hutan dan lahan disertai dengan memperluas atau mempertahankan vegetasi
yang ada.
Menurut Trison (2005) ada tiga pendekatan untuk mengatasi degradasi dan
mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery), yaitu: 1). restorasi (restoration)
didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan
aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan
tersebut sebelumnya; 2). melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan
dengan jenis asli dan jenis exotic, dalam hal ini tidak ada upaya untuk menata ulang
ekosistem asli. Tujuannya untuk mengembalikan hutan pada kondisi stabil dan
produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk
jenis asli dan 3). kegiatan reklamasi adalah penggunaan jenis-jenis exotic untuk
menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan, tidak ada sama sekali
upaya perbaikan biodiversitas asli di areal yang terdegradasi.
Permasalahan RHL dalam konteks DAS adalah degradasi lahan dan erosi.
Pemilihan teknik rehabilitasi tergantung pada sifat DAS antara lain sifat dan bentuk
tanah serta masyarakat yang ada di dalamnya. Tanah yang berlereng curam mungkin
tidak sesuai jika digunakan untuk tanaman semusim, karena disamping sistim
pengolahan semusim dapat menyebabkan tanah menjadi mudah tererosi, juga
menyulitkan dalam pengelolaannya. Sehingga jenis tanaman yang lebih cocok adalah
jenis tanaman keras (tahunan).
Partisipasi Masyarakat
Pengertian Partisipasi
Partisipasi adalah proses kesinambungan yaitu stakeholders berpengaruh dan
berperan dalam inisiatif pembangunan, keputusan dan sumber daya yang mempengaruhi
mereka (Winarto, 2003). Cohen dan Uphoff (1980) mengartikan partisipasi adalah
mencakup keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan
program, pembagian keuntungan dalam program pembangunan dan keterlibatan mereka
15
dalam usaha-usaha mengevaluasi program. Menurut Sastroepoetra (1988), partisipasi
dapat didefinisikan keterlibatan mental emosional yang mendorong untuk memberikan
sumbangan kepada tujuan dan cita-cita kelompok dan turut bertanggungjawab
terhadapnya. Partisipasi juga dapat diartikan berbagi (sharing) dalam proses interaksi
secara sadar karena rasa kesetiakawanan dan kecintaan serta tangungjawab seseorang
terhadap kelompok masyarakat tempat masyarakat tersebut menjadi anggota.
Partisipasi merupakan satu terminologi yang semakin banyak diperbincangkan
sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan, dari sentralistik menjadi
desentalistik yang mengutamakan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam
seluruh proses pembangunan. Konsep ini menempatkan masyarakat pada titik yang
sangat sentral dalam spektrum pembangunan. Slamet (2003) mengatakan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan adalah ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan,
ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut memanfaatkan dan menikmati
hasil-hasil pembangunan. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan adalah ikut
ambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses pembangunan. Khairuddin
(1992) dalam Fauzi (2009) mengemukakan partisipasi adalah keterlibatan mental,
pikiran dan perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk
memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan
bersama dan ikut bertanggungjawab tehadap usaha yang dilakukan, yaitu : 1).
partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi; 2). partisipasi menghendaki
adanya kontribusi terhadap kepentingan atau tujuan kelompok.; dan 3). partisipasi
merupakan tanggungjawab terhadap kelompok.
Mubyarto (1984) lebih menegaskan partisipasi atau peran serta masyarakat
dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan secara lebih luas yaitu kesediaan
masyarakat untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap
orang tanpa harus mengorbankan kepentingan dirinya. Muhadjir (1980) dalam Fauzi
(2009) merinci kembali tingkatan partisipasi tersebut ke dalam empat jenis keterlibatan
masyarakat dalam : 1). proses pembuatan keputusan; 2). pelaksanaan program dan
pengambilan keputusan; 3). menikmati hasil dari kegiatan dan 4). evaluasi suatu hasil
dari program yang sudah terlaksana.
Menurut Daniel (2006) tingkat partisipasi masyarakat tidak sama tergantung
sejauh mana keterlibatan mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi, misalnya:
16
1). masyarakat bertanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dari program
pemerintah; 2). anggota masyarakat ikut menghadiri pertemuan-pertemuan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengkajian ulang proyek dalam pengambilan keputusan
semata; 3). anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan
tentang cara melaksanakan sebuah proyek dan ikut menyediakan bantuan serta bahan-
bahan yang dibutuhkan dalam proyek dan 4). anggota masyarakat terlibat secara aktif
dalam semua tahapan proses pengambilan keputusan, yang meliputi perencanaan sebuah
program, pelaksanaan, pengawasan dan monitoring.
Perubahan paradigma sistem pengelolaan kebijakan dari top down ke buttom up
sudah banyak diterapkan, masyarakat sudah mulai dipandang sebagai bagian integral
dari pengelolaan suatu kebijakan. Masalah RHL merupakan salah satu kebijakan
konservasi sumberdaya alam yang tidak dapat lepas dari peran dan keberadaan
masyarakat setempat. Pada saat ini program-program pengelolaan lingkungan dan
sumberdaya alam banyak menggunakan pendekatan-pendekatan partisipatif. Hal ini
dapat dilihat dari produk-produk hukum yang telah mencantumkan hak, kewajiban dan
peran serta masyarakat, misalnya UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Bab III, pasal 7), dan masih banyak lagi produk-produk hukum
yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat. Proses ini sangat berarti bagi pengelolaan
lingkungan dan sumberdaya alam di masa-masa mendatang, karena memungkinkan
dikembangkan pendekatan partisipatif yang dapat merealisir hak-hak masyarakat yang
selama ini lebih banyak dikuasai oleh pemerintah dengan sistem kebijakan top down
nya (Pudjianto, 2009).
Mitchell dan Setiawan (2000) dalam Pudjianto (2009) mengatakan bahwa
melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah akan terkena kebijakan,
program, atau proyek, dimungkinkan untuk: 1). merumuskan persoalan dengan lebih
efektif ; 2). mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; 3).
merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan
4). membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga
memudahkan penerapan.
Pendekatan partisipatif memerlukan waktu lebih lama pada tahap-tahap awal
perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi
atau menghindari adanya pertentangan. Pendekatan partisipatif ini akan memberikan
17
keuntungan di mana orang-orang akan lebih energik, lebih sepakat dan lebih
bertanggungjawab apabila mereka mengontrol lingkungan sendiri dibanding hal itu
dilakukan oleh suatu kewenangan dari luar. Kesepakatan dan tanggungjawab dalam
berpartisipasi adalah : 1). masyarakat lebih punya kesepakatan terhadap anggotanya
daripada sistem pelayanan terhadap kliennya; 2). masyarakat lebih mengerti masalah-
masalahnya daripada para profesional pelayanan; 3). masyarakat lebih fleksibel dan
kreatif daripada birokrasi besar; 4). masyarakat lebih mudah melakukan daripada
profesional pelayanan; 5). masyarakat lebih efektif menguatkan standar sikap atau
perilaku daripada birokrasi atau para profesional pelayanan; 6). lembaga-lembaga dan
para profesional menawarkan pelayanan, msyarakat menawarkan kepedulian dan 7).
sistem pelayanan berfokus pada apa yang kurang, masyarakat berfokus pada kapasitas.
Masyarakat petani pedesaan di sekitar DAS pada umumnya mempunyai
karakteristik sosial ekonomi yang hampir sama, yaitu adanya keterbatasan-keterbatasan
seperti penghasilan, kepemilikan tanah, pendidikan dan keterampilan, namun
pemahaman terhadap konsep partisipasi masing-masing masyarakat mungkin berbeda.
Di dalam konsep partisipasi dibutuhkan pemahaman bahwa sesungguhnya partisipasi
adalah merupakan pelimpahan hak-hak kekuasaan kepada masyarakat dalan
pengambilan suatu keputusan. Pemahaman inilah yang harus disikapi oleh masyarakat
secara positif.
Derajat Partisipasi
Partisipasi masyarakat meliputi tiga tahapan, yaitu keterlibatan dalam: 1). proses
penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan; 2). memikul beban dan
tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan; dan 3). memetik hasil dalam
pembangunan secara berkeadilan. Terkait dengan partisipasi dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam, partisipasi efektif dapat dipandang sebagai sebuah
kondisi di mana kearifan lokal, keterampilan dan sumberdaya lainnya digerakkan dan
dilaksanakan secara totalitas, artinya masyarakat lokal diberdayakan untuk
menggerakkan kemampuan mereka menjadi aktor-aktor sosial dalam mengelola
sumberdaya, membuat keputusan dan mengontrol kegiatan-kegiatan yang
mempengaruhi kehidupan mereka (Muis, 2007).
Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) mengatakan bahwa partisipasi
masyarakat adalah : ”A categorical terms for citizen power. It is redistribution of power
18
that enables the have not citizens, presently excluded from the political and economi
processes, to deliberately include in the future.” Definisi tersebut menunjukkan bahwa
partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan suatu kategori istilah kekuasaan
masyarakat. Partisipasi sesungguhnya adalah pendistribusian kembali kekuasaan dari
kekangan proses politik dan ekonomi untuk kemudian bebas menentukan masa
depannya. Sehingga dapat diidentifikasi tingkatan partisipasi masyarakat menjadi
delapan tingkatan (Gambar 2).
8
7 Citizen Power
6
5
4 Tokenism
3
2
Nonparticipation
1
Gambar 2 Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009)
Pengertian dari masing-masing tingkatan partisipasi masyarakat adalah :
1. Tingkat manipulasi (manipulation), merupakan tingkatan yang paling rendah karena
masyarakat hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan
penasehat (advising board).
Citizen Control
Delegated Power
Partenership
Placation
Consultation
Information
Therapy
Manipulation
19
2. Tingkat terapi (therapy), tidak melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan.
Perencana atau perancang memperlakukan anggota masyarakat seperti dalam proses
penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy.
3. Tingkat pemberian infomasi (informing), pihak pelaksana pembangunan
memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-haknya, tanggungjawabnya
dan berbagai pilihan yang dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting
dalam pelaksanaan peran masyarakat.
4. Tingkat konsultasi (consultation), pihak penyelenggara pembangunan menggali
opini dan aspirasi setelah memberikan informasi kepada masyarakat.
5. Tingkat perujukan (placation), masyarakat mulai mempunyai pengaruh meskipun
masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Pelaksanaannya
beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota
dalam badan-badan kerja sama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-
anggota lainnya wakil-wakil dan berbagai instansi pemerintah, sehingga usul-usul
atau keinginan dari masyarakat terutama lapis bawah dapat diungkapkan.
6. Tingkat kemitraan (partnership), adanya kesepakatan bersama, kekuasaan dalam
berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan,
disepakati bersama untuk saling membagi tanggungjawab dalam perencanaan,
pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan berbagai
masalah yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tentang peraturan dasar
tersebut, maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara
sepihak oleh pihak manapun.
7. Tingkat pendelegasian kekuaaan (delegeted power), masyarakat diberi limpahan
kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Untuk
memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan yang dalam hal ini adalah
pemerintah harus mengadakan tawar menawar dengan masyarakat dan tidak dapat
memberikan tekanan-tekanan dari atas.
8. Tingkat masyarakat mengontrol (citizen control), masyarakat memiliki kekuatan
untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan
mereka, mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijaksanaan, aspek-aspek
pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak
melakukan perubahan, dapat langsung berhubunngan dengan sumber-sumber dana
20
untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melewati pihak ketiga. Pada
tingkat ini peran masyarakat dipandang tinggi karena mereka benar-benar memiliki
posisi untuk melakukan bargaining dengan pihak kedua tanpa harus melaluinya
apalagi meminta bantuan dari pihak ketiga.
Delapan tingkat partispasi masyarakat ini masih dikelompokkan lagi menjadi
tiga tingkat menurut pembagian kekuasaan, yaitu :
1. Nonparticipation (tidak ada partisipasi / tingkatan partisipasi masyarakat rendah).
Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah manipulation dan therapy.
2. Tokenism (tingkatan partisipasi masyarakat sedang). Yang termasuk kelompok ini
adalah informing, consultation, dan placation.
3. Citizen Power (tingkatan partisipasi masyarakat tinggi). Yang termasuk ke dalam
kelompok ini adalah : partnership, delegated power dan citizen control.
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran lebih utuh tentang
kondisi partisipasi masyarakat adalah memaparkan mekanisme, derajat dan efektifitas
partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang
dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas
partisipasinya. Derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme
partisipasi yang berjalan dengan tangga partisipasi, kemudian digunakan untuk
menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu
memuaskan stakeholders terhadap partisipasi masyarakat (Pudjianto, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat
Ada dua sumber munculnya partispasi, yaitu partisipasi yang muncul dari dalam
diri manusia itu sendiri dan partisipasi dorongan dari luar. Kedua bentuk partisipasi
tersebut mempunyai kekuatan sendiri-sendiri yang saling mengisi. Partisipasi dari luar
dapat berupa paksaan atau rangsangan berbuat dalam pembangunan, sedangkan
partisipasi yang muncul dalam diri manusia itu tanpa paksaan dan rangsangan dari luar.
Masyarakat dengan kesadarannya akan melaksanakan pembangunan. Dalam
pelaksanaan di lapangan biasanya akan dijumpai bebagai hambatan, di antaranya : 1).
belum dipahami makna sebenarnya dari konsep partisipasi yang berlaku di kalangan
lingkungan aparat perencana dan pelaksana pembangunan; 2). di lapangan dijumpai
lemahnya kemauan rakyat berpartisipasi dalam pembangunan berakar pada banyaknya
21
peraturan atau perundang-undangan, yang meredam keinginan rakyat untuk
berpartisipasi (Soetrisno, 1995).
Untuk membangun partisipasi masyarakat perlu diperhatikan faktor-faktor yang
dapat menghambat dan mendorong keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan. Faktor-faktor penghambat tersebut dapat berasal dari dalam masyarakat
maupun dari luar masyarakat, dalam konteks konservasi, biasanya hambatan-hambatan
tersebut dapat dibedakan menjadi hambatan fisik, hambatan ekonomi, hambatan
kelembagaan dan hambatan teknologi. Hambatan fisik seperti dalam hal pemanfaatan
lahan di daerah lereng bukit maka harus dibuatkan teras terlebih dahulu, untuk itu
diperlukan orang yang mempunyai kondisi fisik yang kuat. Hambatan ekonomi pada
umumnya disebabkan karena kurangnya pendidikan, pengetahuan dan pendapatan,
sehingga tidak memiliki akses permodalan. Hambatan kelembagaan karena mereka
kurang memperhatikan manfaatnya, sedangkan hambatan teknologi adalah penyesuaian
diri masyarakat dengan teknologi yang digunakan.
Tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup ciri-ciri atau karakter individu,
persepsi, jumlah tenaga kerja, status petani dan kekosmopolitan. Sementara yang
termasuk ke dalam faktor eksternal adalah ketersediaan saprodi, intensitas penyuluh,
dukungan pemerintah, dukungan lingkungan fisik, dukungan kelembagaan sosial, daya
tarik kerjasama, kepadatan pendudukan dan jarak lahan garapan (Trison, 2005).
Menurut Sunartana (2003) yang termasuk ke dalam faktor internal meliputi: umur,
tingkat pendidikan, status sosoal, kekosmopolitan, pengalaman berorganisasi,
pendapatan rumah tangga, motivasi, luas lahan garapan, dan persepsi. Untuk faktor
eksternalnya meliputi: peran pendamping, peran pemerintah, kejelasan hak dan
kewajiban, dan aspek sosial budaya masyarakat.
22
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2010 - Juni 2010 di DAS
Cisadane Hulu, di lima Kecamatan yaitu Kecamatan Tamansari, Kecamatan
Leuwiliang, Kecamatan Tenjolaya, Kecamatan Leuwisadeng, dan Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor. Lokasi dipilih atas dasar pertimbangan secara sengaja
(purposive), dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan areal percontohan
bagi kegiatan RHL yang telah dilaksanakan. Pertimbangan lainnya adalah lokasi ini
merupakan prioritas utama dalam penanganan banjir (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007).
Lokasi penelitian (Tabel 2) dan peta lokasi (Lampiran 1).
Tabel 2 Lokasi Penelitian di DAS Cisadane Hulu
No. Nama Desa Nama Kecamatan 1. Desa Sukaluyu Kecamatan Tamansari 2. Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang 3. Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya 4. Desa Leuwisadeng Kecamatan Leuwisadeng 5. Desa Sibanteng Kecamatan Leuwisadeng 6. Desa Sadeng Kecamatan Leuwisadeng 7. Desa Gunung Picung Kecamatan Pamijahan 8. Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan 9. Desa Ciasiman Kecamatan Pamijahan
Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan metode survei, yaitu mengambil sampel dari
suatu populasi melalui teknik wawancara terbuka, kuesioner, dan diskusi pakar. Analisis
data dari penelitian ini menggunakan uji korelasi Spearman Rank dan metode Analytic
Hierarchy Process (AHP).
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data secara langsung dari responden dengan teknik wawancara atau
mengisi kuesioner serta pengamatan langsung di lapangan. Pengumpulan data sekunder
dari data yang terkait dengan kajian penelitian yang telah dilaksanakan melalui
penelusuran berbagai pustaka yang ada, dan dari berbagai instansi yang terkait seperti:
BPDAS Citarum Ciliwung Bogor, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor,
23
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor.
Data yang digunakan adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah
data yang menyatakan dalam bentuk kalimat, atau menunjukkan perbedaan dari tinggi,
rendah, sedang. Data berjenjang ini ditransformasikan ke dalam data kuantitatif dengan
memberikan simbol angka secara berjenjang. Data kuantitatif adalah data yang
menyatakan dalam bentuk angka, baik yang berasal dari transformasi data kualitatif
maupun data dari asalnya yang bersifat kuantitatif. Teknik pengumpulan data : 1).
teknik observasi langsung yaitu melalui pengamatan dan pencatatan langsung yang
terjadi di tempat penelitian; 2). teknik komunikasi langsung adalah melakukan kontak
langsung secara lisan dengan responden (melakukan wawancara); 3). teknik komunikasi
tak langsung adalah menyampaikan pertanyan tertulis berupa kuesioner kepada
responden untuk dijawab secara tertulis dan 4). teknik dokumenter adalah menghimpun
data-data dari buku-buku/literatur, media, arsip-arsip, peraturan dan Undang-Undang
yang berkaitan dengan permasalahan.
Pengamatan Variabel
Pengamatan variabel-variabel penelitian adalah :
1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam keterlibatan program RHL mulai dari tahapan
Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi.
Partisipasi Masyarakat (Y)
a. Tahapan Perencanaan (Y1)
Indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah
identifikasi masalah, penentuan lokasi, penentuan jenis tanaman, cara
pelaksanaan, cara bangunan sipil dan penentuan biaya, yang dikatagorikan :
o Rendah ( nilai, < 10)
o Sedang ( nilai, 10 – 15)
o Tinggi ( nilai, > 15)
b. Tahapan Pelaksanaan (Y2)
Indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan meliputi
kegiatan keterlibatan responden dalam penyiapan lahan, pemeriksaan bibit
tanaman, penanaman, penyiangan, pemeliharaan tanaman, pembuatan bangunan
24
sipil teknis, penyiapan sarana rehabilitasi dan penyediaan dana yang
dikatagorikan ke dalam :
o Rendah ( nilai, < 10)
o Sedang ( nilai, 10 – 15)
o Tinggi ( nilai, > 15)
c. Tahapan Evaluasi (Y3)
Indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan evaluasi yaitu kegiatan
pemantauan dan penilaian keberhasilan kegiatan, membantu memberikan
informasi kepada tim evaluasi dan tim pendamping yang dikatagorikan :
o Rendah ( nilai, < 10)
o Sedang ( nilai, 10 – 15)
o Tinggi ( nilai, > 15)
2. Faktor internal yang terdiri dari : umur, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat
pendapatan, pekerjaan sampingan, dan persepsi.
Faktor Internal (X1)
a. Umur ( X1.1), umur responden dibagi ke dalam tiga kelompok yang
dikatagorikan :
o Rendah ( umur < 15 tahun)
o Sedang ( umur 15 - 65 tahun)
o Tinggi ( umur > 65 tahun)
b. Tingkat Pendidikan ( X1.2), adalah pendidikan formal terakhir. Dikelompokkan
tidak sekolah dan tidak tamat SD, Tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, tamat
Akademi dan tamat Perguruan Tinggi yang dikatagorikan ke dalam :
o Rendah ( nilai, 1)
o Sedang ( nilai, 2)
o Tinggi ( nilai, 3)
c. Luas Lahan ( X1.3), adalah mengukur luas lahan yang dimiliki atau digarap
oleh responden, yang dinyatakan dalam ha dan dikatagorikan ke dalam :
o Rendah ( luas < 0,3 ha)
o Sedang ( luas 0,3 – 1,0 ha)
o Tinggi ( luas > 1,0 ha)
25
d. Tingkat Pendapatan ( X1.4), adalah jumlah seluruh penghasilan rata-rata per
bulan responden yang dinyatakan dalam rupiah dan dikatagorikan ke dalam :
o Rendah ( pendapatan < Rp 500.000,-)
o Sedang ( pendapatan Rp 500.000,- - Rp 1.000.000,-)
o Tinggi ( pendapatan > Rp 1.000.000,-)
e. Pekerjaan sampingan ( X1.5), adalah pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan
yang dilakukan responden di luar pekerjaan utamanya dalam satu tahun terakhir
yang dikatagorikan ke dalam:
o Rendah ( nilai, 1)
o Sedang ( nilai, 2)
o Tinggi ( nilai, 3)
f. Persepsi ( X1.6), adalah pandangan dan penilaian responden terhadap program
kegiatan RHL dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang
dikatagorikan ke dalam :
o Rendah ( nilai, < 3)
o Sedang ( nilai, 3 - 4)
o Tinggi ( nilai, > 4)
3. Faktor eksternal yang terdiri dari : intensitas sosialisasi program (penyuluhan),
peran pendamping, ketersediaan sarana dan prasarana rehabilitasi, dan peran
kelembagaan sosial.
Faktor Eksternal (X2)
a. Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) ( X2.1), adalah jumlah kegiatan
penyuluhan yang dilakukan oleh pelaksana kegiatan RHL untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan responden baik dalam perencanaaan, pelaksanaan
dan evaluasi kegiatan yang dikatagorikan ke dalam :
o Rendah ( nilai, < 3)
o Sedang ( nilai, 3 - 5)
o Tinggi ( nilai, > 5)
b. Peran pendamping ( X2.2), adalah peranan petugas pendamping menyangkut
frekuensi kunjungan, tingkat keterlibatan dalam kegiatan dan pembinaan yang
dikatagorikan ke dalam :
o Rendah ( nilai, < 3)
26
o Sedang ( nilai, 3 - 5)
o Tinggi ( nilai, > 5)
c. Ketersediaan sarana ( X2.3), adalah sarana seperti peralatan kerja, bibit tanaman,
pupuk dan dana yang dikatagorikan ke dalam :
o Rendah ( nilai, < 3)
o Sedang ( nilai, 3 - 5)
o Tinggi ( nilai, > 5)
d. Peran kelembagaan sosial ( X2.4), adalah peran lembaga sosial dalam
mendorong partisipasi masyarakat, ini akan dapat tercermin dalam dukungannya
kepada masyarakat yang dikatagorikan ke dalam :
o Rendah ( nilai, < 3)
o Sedang ( nilai, 3 - 5)
o Tinggi ( nilai, > 5)
Pengumpulan Data
Penetapan responden dilakukan dengan teknik purpose sampling, di mana
responden ditentukan oleh peneliti dengan ketentuan mewakili lokasi kegiatan RHL.
Responden diambil sebanyak 90 orang dari lima kecamatan dan mereka adalah orang-
orang yang terkait dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu, yang berinteraksi
langsung dengan kegiatan tersebut.
Untuk menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi
masyarakat, mengambil sampel yang dianggap ahli atau dapat memberikan masukan
kepada pengambil kebijakan. Jumlah sampel sebanyak 12 responden, terdiri dari 5
orang petani, 2 orang dari BPDAS Citarum Ciliwung, 1 orang Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Bogor, 1 orang Penyuluh Lapangan Gerhan, 1 orang Polhut dan 2 orang
Pengendali Ekosistem Hutan (PEH).
Tahapan Penelitian
Penelitian dibagi ke dalam tahapan kegiatan, yaitu mempersiapkan penelitian
dan studi pustaka, mengumpulkan data lapangan, mengolah data dan analisis data dan
membahas hasil penelitian. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 1).
mengidentifikasi masalah tentang tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di
DAS Cisadane Hulu; 2). melakukan studi pustaka yang berkaitan langsung dengan
permasalahan; 3). mengumpulkan data sekunder dan data primer ; 4). mengolah dan
27
menganalisis data primer dengan uji Korelasi Spearman Rank dan metode AHP dan 5).
membahas hasil penelitian (berupa kondisi aktual dari partisipasi masyarakat dalam
kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu).
Analisis Data
Mengumpulkan data terlebih dahulu sebelum dianalisis, kemudian menghitung
total skor dari tiap-tiap variabel dari data yang bersifat kuantitatif dan mengelompokkan
data sesuai dengan variabel masing-masing. Untuk data kualitatif melalui tiga tahap
yaitu: tahap interpretasi dan penjelasan hasil catatan lapangan serta kategori data; tahap
mendeskripsikan kategori-kategori data; dan tahap terakhir adalah mengelompokkan
data.
Analisis data penelitian menjawab dari tujuan penelitian. Sehingga metode
analisis untuk menjawab dari tujuan penelitian adalah :
1. Mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL. Analisis ini
menghitung jumlah dan prosentase dari data-data yang terkumpul, melalui cara
tabulasi frekuensi yang nantinya menyajikannya dalam bentuk distribusi frekuensi.
2. Mengkaji hubungan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dengan
tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL, menjelaskan secara deskriptif-
kualitatif menggunakan analisis statistik non parametrik yaitu uji korelasi Spearman
Rank, dengan rumus: n
6Σbi² i=1
ρ = 1 - n(n²-1) dimana : ρ = koefisien korelasi Spearman Rank bi = selisih peringkat X dan Y n = banyaknya sampel
Untuk memudahkan dan mendapatkan ketepatan dalam pengolahan data dengan
menggunakan komputer program Statistical Program for Social Sience (SPSS) versi
15;
3. Menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat
dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Metode ini menggunakan
bentuk hirarki sesuai dengan tujuan, aktor, faktor pendukung dan alternatif
kebijakan. Hirarki disusun untuk memahami masalah yang akan diuraikan ke dalam
elemen-elemen yang bersangkutan, kemudian menyusunnya secara hirarki dan
28
dibantu dengan komputer program Expert Choice 2000. Langkah-langkah dalam
penyusunan metode AHP adalah sebagai berikut (Saaty dan Vargas, 1994) :
a. Menyusun Hirarki, persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-
unsur yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi status hirarki.
Langkah awal dalam menyusun hirarki adalah menentukan tujuan utama, yaitu
strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS
Cisadane Hulu yang ditempatkan pada tingkat puncak (fokus). Kemudian di
tingkat ke dua adalah faktor pendukung dari tujuan utama yaitu pemerintah dan
masyarakat. Pada tingkat ke tiga menyusun kriteria-kriteria esensial yang
berkaitan dengan tingkat partisipasi masyarakat. Pada tingkat ke empat
menyusun alternatif prioritas kebijakan yang akan dipilih untuk menentukan
strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS
Cisadane Hulu.
b. Menilai kriteria dan alternatif, melalui pembandingan berpasangan. Untuk
membuat pembandingan berpasangan membuat sebuah matriks,
membandingkan pasangan-pasangan elemen dengan kriteria di tingkat lebih
tinggi dengan memasukkan nilai-nilai kebalikannya serta memasukkan bilangan
1 sepanjang diagonal utama matrik (Tabel 3).
Tabel 3 Skala pembanding berpasangan untuk menilai kriteria dan alternatif
Nilai Keterangan
1
3
5
7
9
2,4,6,8
Ke dua elemen sama pentingnya
Elemen yang satu lebih penting dibanding yang lainnya
Elemen yang satu sangat penting dibanding elemen yang lainnya
Satu elemen sangat jelas lebih penting dari elemen yang lainnya
Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen yang lainnya
Apabila terjadi ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber: Saaty dan Vargas (1994)
c. Menentukan prioritas, untuk setiap kriteria dan alternatif perlu melakukan
perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Mengolah nilai-nilai
perbandingan relatif untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif
(Tabel 4).
29
Tabel 4 Matriks pembandingan berpasang (pairwise comparison) untuk menentukan prioritas
C A1 A2 A3 ………. Aj
A1
A2
A3
.
.
Aj
1
1
1
1
1
1 Sumber: Saaty dan Vargas (1994)
d. Memeriksa konsistensi, melakukan dengan cara mengalikan setiap indeks
konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan menjumlahkan hasil
kalinya. Melakukan pengukuran dalam dua tahap, dimana tahap pertama adalah
mengukur konsistensi setiap matrik perbandingan dan tahap keduanya mengukur
konsistensi keseluruhan hirarki. Rasio konsistensi hirarki harus dibawah 10%.
30
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Biofisik
Letak da Luas Wilayah
Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung
dengan Jakarta, luas wilayah adalah 2.301,95 km². Dengan mempertimbangkan
karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah, pola interaksi internal dan
eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun
regional serta kebijakan pengembangan dan penyebaran penduduk secara seimbang
sesuai dengan daya dukung lingkungan. Wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga
wilayah pembangunan, yaitu: wilayah pembangunan barat, tengah dan timur.
Pembangunan wilayah barat meliputi tiga belas kecamatan, yaitu Kecamatan Jasinga,
Parung Panjang, Tenjolaya, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng,
Tenjolaya, Cibungbulang, Ciampea, Pamijahan dan Kecamatan Rumpin, dengan luas
wilayah sekitar 128.750 Ha. Pembangunan wilayah tengah meliputi 20 (dua puluh)
kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur,
Bojonggede, Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Cigombong,
Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas dan
kecamatan Tamansari, dengan luas wilayah sekitar 87.552 Ha. Pembangunan wilayah
timur meliputi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Putri, Cileungsi,
Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Tanjungsari dan Kecamatan Cariu (BPS
Kabupaten Bogor, 2009).
DAS Cisadane Hulu secara geografis terletak diantara 106º 28’ 53,61” - 106º 56’
42,32” BT dan 06º 31’ 21,54” - 06º 47’ 16,87” LS dengan luas wilayah 85.954,85 ha.
Sungai-sungai utama pada DAS Cisadane Hulu adalah Cisadane, Ciapus, Cihideung,
Ciampea, Ciaruteun, Cianten dan Cikaniki. DAS Cisadane mengalir dari Gunung Salak
di bagian selatan Kabupaten Bogor. Wilayah DAS ini termasuk dalam kawasan hutan,
di mana paling selatan terdapat Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007).
31
Tabel 5 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk per Kecamatan tahun 2008
No. Kecamatan Luas Wilayah (Ha) Jumlah Penduduk (orang)
1. Leuwiliang
6.177,12
111.705 2. Leuwisadeng 3.283,12 70.631 3. Pamijahan 8.088,29 134.865 4. Tenjolaya 2.368,00 53.583 5.
Tamansari
2.161,00 84.332
Total 22.077,53 455.116
Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009)
Iklim dan Hidrologi
Iklim di Kabupaten Bogor menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, termasuk
Iklim Tropis tipe A (Sangat Basah) di bagian selatan dan tipe B ( Basah) di bagian
utara. Suhu berkisar rata-rata antara 20ºC sampai 30ºC (BPS Kabupaten Bogor, 2009).
DAS Cisadane tergolong dalam lima zona agroklimat yaitu : A (basah), B (agak
basah), C (sedang), D (agak kering) dan E (kering). Kondisi daerah hilir cenderung
kering (D dan E) dan meningkat semakin basah (A) ke daerah hulu atau dataran tinggi.
Secara umum kondisi di DAS Cisadane relatif basah dan ini menguntungkan bagi sektor
pertanian, tetapi sebaliknya dapat juga merugikan apabila suatu wilayah telah terjadi
kesalahan dalam penggunaan lahannya karena kondisi iklim yang basah memberikan
kontribusi terhadap bahaya banjir dan longsor (Tabel 6).
Tabel 6 Data Hidrologi DAS Cisadane Hulu tahun 2007
SPAS No. Parameter Cipopokol Cipeucang Lengkong
1. Curah hujan tahunan (mm)
1094
3535
3875
2. Jumlah hari hujan (hari) 107 215 266 3. Debit rata-rata harian maksimum ( m³/detik) 0,09 4,59 0,66 4. Debit rata-rata harian minimun ( m³/detik) 0,02 0,12 0,06 5. Total Direct Run off (mm) 131,54 148,45 674,30 6. Sedimen Tahunan (mm) 1,18 1,10 3,64 7. Erosi Atual (ton/tahun/ha) 17,73 16,45 54,57 8. Koefosien Reqim Sungai 3,86 37,85 11,60 9. Koefosien Variansi 0,59 - -
10. Koefosien Limpasan 0,12 0,04 0,17 11. SDR 0,33 0,18 0,35
Sumber : BPDAS Citarum Ciliwung (2007)
32
Penutupan Lahan
Penutupan lahan di bagian hulu didominasi oleh lahan pertanian semusim dan
daerah ladang, sawah dan tegalan. DAS Cisadane bagian hulu yang meliputi Kabupaten
Bogor dan sebagian Kota Bogor didominasi oleh penggunaan lahan sebagai
berikut: hutan, ladang, perkebunan, pemukiman dan lahan kosong. Sedangkan di bagian
tengah dan hilir, penggunaan lahan didominasi oleh pemukiman, ladang dan lahan
kosong.
Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian pada umumnya masih
terbatas. Hal ini tercermin dari tingkat pendidikannya yang rata-rata masih rendah yaitu
hanya lulusan SD dan sebagian besar hidupnya lebih menggantungkan pada bidang
pertanian. Banyaknya Desa per kecamatan lokasi penelitian (Tabel 7).
Tabel 7 Jumlah dan Nama Desa per kecamatan di lokasi penelitian
No. Kecamatan Jumlah Desa Nama Desa
1.
Leuwiliang
11
Purasari, Puraseda, Karyasari, Pabangbon, Karacak, Barengkok, Cibeber1, Cibeber2, Leuwimekar, Leuwiliang, Karehkel
2. Leuwisadeng 8 Wangunjaya, Sadengkolot, Leuwisadeng, Sibanteng, Babakan madang, Sadeng, Kalong1, Kalong2
3. Pamijahan 15 Cibunian, Purwabakti, Ciasmara, Ciasihan, Gng.Sari, Gng.Bunder1, Gng.Bunder2, Cibening, Gng.Picung, Cibitung Kulon, Cibitung Wetan, Pamijahan, Pasarem, Gng.Menyan, Cinayang
4. Tenjolaya 6 Tapos1, Tapos2, Gng. Malang, Situ daun, Cibitung Tengah, Cinangneng
5. Tamansari 8 Sukajadi, Sukaluyu, Sukajaya, Sukaresmi, Pasir eurih, Tamansari, Sukamantri, Sirnagalih
Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009)
Jumlah Penduduk, Golongan Usia dan Tingkat Pendidikan
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dari lima kecamatan adalah 455.116
orang, terdiri dari laki-laki 234.581 orang dan perempuan 220.535 orang (Tabel 8).
Keadaan penduduk menurut klasifikasi umur dimaksudkan untuk mengetahui
jumlah tenaga kerja yang produktif. Tenaga kerja yang produktif adalah usia tenaga
kerja yang berumur antara 15 – 55 tahun, sedangkan anak-anak di bawah umur 15 tahun
(belum produktif) dan golongan umur tua lebih dari 55 tahun (tidak produktif lagi)
33
merupakan tanggungan penduduk yang produktif. Di lokasi penelitian jumlah penduduk
menurut golongan usia kurang dari 15 tahun (anak-anak belum produktif) 18,8%, usia
15-55 tahun (produktif) 71,2% dan usia diatas 55 tahun (tidak produktif lagi) 10% (BPS
Kabupaten Bogor, 2009).
Tabel 8 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin per Kecamatan di lokasi penelitian
No. Kecamatan Laki-laki (orang)
Perempuan (orang) Jumlah (orang)
1.
Leuwiliang
57.371
54.334
111.705
2. Leuwisadeng 36.672 33.959 70.631 3. Pamijahan 69.256 65.609 134.865 4. Tenjolaya 27.567 26.016 53.583 5. Tamansari 43.715 40.617 84.332
Total 234.581 220.535 455.116
Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009)
Tingkat pendidikan masyarakat berhubungan erat dengan masuknya inovasi
baru. Dengan meningkatnya pendidikan berarti partisipasi masyarakat akan semakin
meningkat. Hal ini dapat dilihat dari kemudahan dalam penyerapan inovasi tenologi
baru. Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian masih tergolong rendah, di
mana sebagian besar penduduknya hanya mampu menamatkan pendidikan SD (81,2%),
walaupun ada juga yang menamatkan sekolahnya pada tingkat SLTP (13,6%), SLTA
(5,1%), dan Akademi atau Perguruan Tinggi (0,1%) (BPS Kabupaten Bogor, 2009).
Kelembagaan Sosial
Lembaga sosial yang ada antara lain kelompok tani, Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (LPM), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tetapi lembaga-lembaga
tersebut kurang aktif, namun ada beberapa lembaga yang masih dirasakan bermanfaat
bagi masyarakat setempat. Lembaga yang masih aktif misalnya LSM yang kegiatannya
menampung program-program GN-RHL dan program konservasi. Fungsinya
mengkoordinir pembelian pupuk dan benih secara bersama, membantu pembangunan
desa, memberikan penyuluhan dan menyediakan pupuk organik. Sementara lembaga-
lembaga sosial yang lain pada umumnya hanya aktif pada saat ada kegiatan yang
bersifat keproyekan. Kondisi ini menyebabkan fungsi dari wahana pemberdayaan
masyarakat menjadi tidak optimal.
34
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)
Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah
penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi.
Pengurangan areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan
akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air permukaan sehingga
frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan
terutama di hulu DAS harus bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang
dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang ada pada DAS dengan
memperhitungkan biofosik dan semua aspek sosial ekonomi. Penyebab utama tejadinya
bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan adalah kerusakan lingkungan,
terutama di wilayah hulu DAS sebagai daerah tangkapan air. Untuk menanggulangi hal
tersebut, perlu dilakukan upaya pemulihan dan peningkatan kemampuan fungsi dan
produktivitas hutan dan lahan melalui kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).
Kegiatan RHL harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat
setempat, misalnya kepemilikan tanah, pengetahuan, pendapatan dan jumlah tenaga
kerja. Menurut Agus dan Widianto (2004) tindakan konservasi yang mudah diterima
petani adalah tindakan yang memberi keuntungan jangka pendek dalam bentuk
peningkatan hasil panen dan peningkatan pendapatan, terutama untuk petani yang status
penguasaan lahanya tidak tetap. Kegiatan konservasi yang akan diterapkan seharusnya
dipilih oleh petani dengan fasilitas penyuluh. Petani paling berhak mengambil
keputusan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada lahan mereka. Keberhasilan
tindakan konservasi akan semakin mudah dicapai apabila masyarakat yang diharapkan
berpartisipasi mengerti permasalahan yang akan dipecahkan dan manfaat dari tindakan
tersebut. Salah satu keberhasilan dalam tingkat partisipasi masyarakat melalui
kontribusi biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat, hal ini merupakan
salah satu prinsip dari kegiatan RHL.
Pendekatan partisipatif mutlak diperlukan dalam mencapai keberhasilan
pembangunan. Lahirnya metode partisipasi masyarakat dalam pembangunan disebabkan
adanya kritik bahwa masyarakat diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek. Metode
Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan perkembangan dari metode-metode
terdahulu, di antaranya Rapid Rural Appraisal (RRA). Definisi yang tepat tentang PRA
35
masih sering diperdebatkan, namun perbedaan antara PRA dengan RRA adalah RRA
merupakan bentuk pengumpulan informasi/data oleh “orang luar” yang kemudian
dibawa keluar dan dianalisisnya sendiri. Sedangkan untuk PRA adalah kegiatan yang
bersifat partisipatif. Walaupun teknik yang digunakan bisa sama, tetapi “orang luar”
hanya berperan sebagai pemandu, perantara atau fasilitator. Masyarakat didorong untuk
melakukan kegiatan menggali informasi tentang permasalahn mereka, kemudian
menganalisis dan menentukan cara terbaik dalam mengatasi masalah.
Karakteristik Internal dan Eksternal Masyarakat
Karakteristik internal dan eksternal responden merupakan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS
Cisadane Hulu, baik faktor yang berada di dalam masyarakat (faktor internal) maupun
faktor yang ada di luar masyarakat (faktor eksternal) (Tabel 9).
Tabel 9 Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat di lokasi penelitian
Tingkat Partisipasi Masyarakat
No
Faktor Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%)
Faktor Internal 1. Umur (X1.1) 0 85,6 14,4
2. Tingkat Pendidikan (X1.2) 20 51,1 28,9
3. Luas Lahan (X1.3) 16,7 51,1 25,6
4. Tingkat Pendapatan (X1.4) 35,6 41,1 23,3
5. Pekerjaan sampingan(X1.5) 96,7 3,3 0
6. Persepsi (X1.6) 12,2 41,1 46,7
Faktor Eksternal 1. Intensitas sosialisasi program
(Penyuluhan) (X2.1) 4,4 34,4 61,2
2. Peran pendamping (X2.2) 38,9 52,2 8,9
3. Ketersediaan sarana (X2.3) 10 51,1 38,9
4. Peran kelembagaan sosial (X2.4)
21,1 66,7 12,2
Karakteristik Internal
Umur. Umur merupakan salah satu variabel yang sering digunakan untuk menganalisis
berapa besarnya tenaga kerja (manpower), angkatan kerja (labor force) serta proporsi
dari penduduk berusia dewasa yang terlibat dalam kegiatan ekonomis secara aktif di
36
suatu tempat. Penduduk muda berumur di bawah 15 tahun dianggap sebagai penduduk
yang belum produktif karena secara ekonomis masih tergantung kepada orang tua atau
orang lain yang menanggungnya. Sedangkan penduduk yang berusia di atas 65 tahun
dianggap tidak produktif lagi sesudah melewati masa pensiun. Penduduk berusia antara
15 – 65 tahun adalah penduduk usia kerja (lebih dari 10 tahun) yang dianggap produktif
(BPS Kabupaten Bogor, 2009).
Umur responden berkisar antara umur 20 tahun sampai dengan 73 tahun, di mana
sebagian besar tergolong sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
responden yang memiliki umur di bawah 15 tahun, sebagian besar responden berumur
produktif antara 15-65 tahun 85,6%, dengan hasil ini responden sebagian besar
tergolong produktif, maka masyarakat di DAS Cisadane Hulu memiliki potensi besar
untuk ikut terlibat dalam kegiatan RHL.
Tingkat Pendidikan. Kajian-kajian tentang sosial kemasyarakatan di mana tingkat
pendidikan merupakan salah satu dari tiga komponen sosial ekonomi (pekerjaan,
pendidikan, pendapatan) dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang pada setiap
tahapan kegiatan. Mereka yang berpendidikan tinggi biasanya lebih banyak terlibat
dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Sebaliknya, bagi mereka yang
berpendidikan rendah lebih banyak terlibat pada tahap pelaksanaan. Tingkat pendidikan
responden pada umumnya tergolong sedang (51,1%), sehingga rendahnya tingkat
pendidikan tersebut dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, khususnya
kegiatan yang memerlukan pemikiran-pemikiran. Berdasarkan data hasil maka tingkat
keterlibatan masyarakat dalam perencanaan program belum mendapatkan hasil yang
memuaskan, karena masyarakat masih ada rasa keraguan dalam mengemukakan
pendapatnya padahal ini sangat penting dalam menentukan akan ke mana arah dan
tujuan program ini dilaksanakan. Masyarakat lebih banyak ikut terlibat di dalam
pelaksanaan program RHL.
Luas Lahan. Luas lahan garapan yang dimiliki responden dapat mempengaruhi tingkat
partisipasi dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu. Responden yang memiliki
lahan sempit tidak memiliki alternatif mengalokasikan lahannya untuk ditanami pohon-
pohonan. Biasanya yang memiliki lahan yang sempit akan lebih cenderung
memanfaatkan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada
pohon-pohonan karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil
37
penelitian luas lahan responden tergolong sedang (51,1%), di mana sebagian besar luas
lahan responden digunakan untuk budidaya pangan sebagai sumber kehidupan bagi
anggota keluarganya.
Masyarakat yang memiliki lahan sempit dan sedang pada umumnya hanya
memanfaatkan lahannya untuk tanaman jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, sehingga akan mengalami kesulitan jika lahannya ditanami dengan tanaman
keras. Hal ini yang seharusnya dapat di atasi dengan memberikan pengetahuan,
keterampilan dan penyuluhan, sehinga mereka dapat mengetahui, mengerti dan bersedia
lahannya untuk ditanami tanaman keras walaupun hasil dan manfaat yang bisa
dirasakan dalam jangka waktu yang panjang.
Tingkat Pendapatan. Pendapatan responden adalah pendapatan rata-rata per bulan,
baik pendapatan yang berasal dari mata penharian pokok maupun sampingan. Hasil
penelitian diperoleh tingkat pendapatan responden berkisar antara Rp 100.000 – Rp
1.500.000. Rendahnya tingkat pendapatan sebagai implikasi dari rendahnya tingkat
pendidikan dan sempitnya kepemilikan lahan masyarakat. Di lokasi penelitian tingkat
pendidikan sebagian besar hanya tamatan SMP sehingga mengakibatkan masyarakat
mengalami kesulitan untuk dapat mengakses permodalan. Kondisi tersebut juga akan
berpengaruh pada sempitnya lahan, sehingga masyarakat tidak dapat mengembangkan
pertaniannya dan akan berakibat pendapatan mereka menjadi terbatas.
Pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan merupakan pekerjaan lain atau pekerjaan
tambahan yang dimiliki oleh responden di luar pekerjaan utamanya. Pekerjaan itu
dilakukan untuk menambah pendapatan, guna pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Hasil data lapangan diperoleh bahwa pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh
responden tergolong rendah, hanya berkisar 0–2. Pekerjaan sampingan yang umumnya
digeluti oleh responden adalah berdagang, beternak, ojek dan buruh bangunan.
Sebagian besar pekerjaan sampingan responden tergolong rendah (96,7%), artinya
mereka hanya tergantung kepada pekerjaan utamanya saja untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
Persepsi. Persepsi merupakan pengetahuan, pandangan dan penilaian responden
terhadap tujuan dan manfaat dari pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Untuk mengetahui tingkat persepsi masyarakat diajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
38
responden mengenai pandangan atau penilaian terhadap tujuan dan manfaat dari
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Pengukuran tingkat persepsi ini didasarkan pada
pernyataan responden tidak setuju, kurang setuju dan setuju terhadap program tersebut.
Persepsi responden sebagian besar tergolong tinggi yaitu 46,7%, artinya persepsi
masyarakat terhadap tujuan dan manfaat RHL cukup tinggi. Tingginya persepsi
masyarakat tersebut disebabkan karena pemahaman masyarakat sudah tinggi terhadap
tujuan dan manfaat RHL dan mereka bisa merasakan manfaatnya dalam kehidupan
sehari-hari.
Karakteristik Eksternal
Intensitas sosialisasi program (penyuluhan). Intensitas sosialisasi program
(penyuluhan) diukur dari jumlah atau frekuensi kegiatan-kegiatan sosialisasi
(penyuluhan) RHL yang diberikan kepada responden, baik pada tahapan perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi. Kegiatan tersebut diaktualisasikan pada kegiatan-kegiatan
seperti : pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh pihak pelaksana, kegiatan
penyuluhan dan pelatihan. Data hasil yang diperoleh umumnya tergolong tinggi yaitu
61,2%, ini menggambarkan bahwa intensitas sosialisasi program (penyuluhan) yang
dilakukan sudah optimal, walaupun masih banyak kekurangan-kekurangan yang
dirasakan masyarakat seperti masalah kurangnya Sumber daya manusia yang ada (hanya
ada tiga orang penyuluh) sehingga intensitas kunjungan dan penyuluhan ke lokasi masih
kurang.
Peran pendamping. Pendampingan adalah kegiatan yang dilakukan oleh petugas-
petugas pendamping dari lembaga sosial masyarakat yang dianggap mampu
memberikan penjelasan dan bimbingan teknis pada kegiatan RHL di lapangan.
Penilaian peran petugas ini didasarkan pada intensitas kunjungan di lapangan dan
keterlibatan langsung mereka dalam menjalankan tugasnya, melalui informasi yang
digali secara langsung dari peserta kegiatan. Sebagian besar responden menyatakan
peran pendamping tergolong sedang (52,2%). Hal ini dapat diartikan bahwa peran
petugas pendamping dalam menjalankan tugasnya belum optimal sehingga perlu
ditingkatkan.
Ketersediaan sarana. Ketersediaan sarana kegiatan RHL merupakan komponen yang
sangat penting karena sarana dimaksud sangat diperlukan untuk dapat menunjang dalam
39
pelaksanaan kegiatan rehabilitasi tersebut. Sarana rehabilitasi tersebut antara lain berupa
peralatan kerja, bahan (material), bibit tanaman, pupuk dan dana. Data hasil
menunjukkan bahwa ketersediaan sarana tergolong sedang (51,1%), karena sarana
rehabilitasi yang disediakan oleh pemerintah tidak langsung diberikan kepada
masyarakat tetapi melalui kantor dinas terkait. Untuk bibit tanaman dan pupuk
disediakan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Bogor. Sedangkan sarana rehabilitasi
sipil teknis disediakan oleh BPDAS Citarum Ciliwung. Data tersebut menunjukkan
bahwa sarana ini belum tersedia sesuai kebutuhan masyarakat. Salah satu penyebab
kurang tersedianya sarana rehabilitasi hutan dan lahan ini karena faktor anggaran
pemerintah yang bertahap.
Peran kelembagaan sosial. Kelembagaan sosial memiliki peran yang sangat penting
dalam mendorong partisipasi masyarakat. Biasanya peran kelembagaan sosial ini berupa
dukungan yang diaktualisasikan melalui kegiatan pertemuan-pertemuan pembahasan
masalah-masalah perencanaan, pelaksanaan di lapangan dan evaluasi kegiatan RHL.
Peran kelembagaan sosial tergolong sedang yaitu 66,7%, di mana responden
menyatakan bahwa lembaga sosial sangat mendukung kegiatan, salah satu peran
kelembagaan sosial yang bisa terwujud adalah terbentuknya kelompok tani yang
merupakan suatu wadah tempat berkumpulnya petani dalam mendiskusikan masalah-
masalah yang terjadi di lokasinya. Dukungan ini mulai dirasakan oleh masyarakat pada
saat perencanaan dan pelaksanaan karena pada saat evaluasi lembaga sosial ini kurang
terlibat.
Tingkat Partisipasi Masyarakat
Program RHL melibatkan partisipasi masyarakat baik disekitar obyek kegiatan
maupun masyarakat luas mulai proses perencanaan, persiapan bibit, persiapan lapangan
sampai kegiatan penanaman dan pemeliharaan. Masyarakat secara langsung maupun
tidak langsung ikut terlibat dalam setiap tahapan kegiatan. Dengan pelibatan aktif
masyarakat secara tidak langsung akan menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan masyarakat, sehingga membentuk budaya memiliki dan bertanggung
jawab terhadap kelestarian hutan dan lingkungan, sehingga akhirnya masyarakat mau
dan mampu secara swadaya melakukan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan
tanaman/hutan yang berada pada lingkungannya.
40
Partisipasi masyarakat yang dimaksud adalah keterlibatan masyarakat dalam
kegiatan RHL dalam setiap tahapan kegiatan, mulai dari tahapan perencanaan, tahapan
pelaksanaan di lapangan dan tahapan evaluasi. Data hasil diperoleh dari wawancara
responden dan kuesioner dengan parameter pengukuran tidak terlibat masuk kategori
rendah, kurang sampai cukup terlibat masuk kategori sedang, dan selalu sampai banyak
terlibat masuk katagori tinggi. Tabel 10 menunjukkan hasil dari tingkat partisipasi
masyarakat, baik pada tahapan perencanaan, tahapan pelaksanaan di lapangan dan
tahapan evaluasi.
Tabel 10 Kategori Hasil Penilaian Masyarakat dalam kegiatan RHL pada Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi di lokasi penelitian
Partisipasi Masyarakat
Tahapan Perencanaan Tahapan Pelaksanaan
Tahapan Evaluasi
Kategori
Nilai
Jumlah (orang)
% Jumlah (orang)
% Jumlah (orang)
%
Rendah < 10 42 46,7 0 0 33 36,7
Sedang 10 – 15 37 41,1 46 51,1 28 31,1
Tinggi > 15 11 12,2 44 48,9 29 32,2
Total 90 100 90 100 90 100
Tahapan Perencanaan
Pengukuran tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah
sebagai berikut: 1) identifikasi masalah, 2) penentuan lokasi, 3) penentuan luas lahan, 4)
penentuan jenis bibit tanaman, 5) penentuan bangunan sipil teknis, 6) pembentukan
kelompok tani, dan 7) penentuan biaya.
Penilaian terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL untuk
tahapan perencanaan secara umum masih tergolong rendah (46,7%), artinya peserta
hanya mengikuti sosialisasi dari pihak pelaksana tetapi mereka tidak pernah hadir dalam
rapat atau pertemuan. Tingkatan ini masuk ke dalam kelompok nonparticipation.
Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan ini disebabkan
karena rendahnya tingkat pendidikan, yaitu sebagian besar (51,1%) hanya tamat SMP,
sehingga ini berimplikasi terhadap ketidak tertarikan tingkat partisipasi masyarakat pada
tahapan perencanaan. Hasil penelitian ini sejalan denga hasil penelitian yang telah
41
dilakukan oleh Muis (2007) dan Pujianto (2009) yang menyatakan bahwa partisipasi
dalam tahapan perencanaan pada umumnya masih rendah. Tingkat partisipasi rendah di
mana masyarakat hanya digunakan sebagai alat publikasi saja, walaupun masyarakat
yang terlibat dalam kegiatan, tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak pernah aktif
memberikan masukan atau usulan-usulan dalam proses tahapan perencanaan. Pada
tahap perencanaan ini lebih banyak dilakukan oleh pihak pemerintah sehingga sampai
saat ini masih bersifat top down.
Perubahan paradigma arah penentuan kebijakan dari bersifat top down menjadi
bottom up, di mana DAS sebagai satu kesatuan atau unit perencanaan mempunyai
makna bahwa perencanaan pengelolaan DAS harus dapat menampung seluruh
kepentingan sektoral dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan, di mana perlu dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna
lahan dan sumber daya alam dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan
dinamis serta ditunjang oleh pola perkembangan kependudukan yang serasi.
Tahapan Pelaksanaan
Pengukuran untuk tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan
adalah sebagai berikut : 1) penyiapan lahan, 2) pemeriksaan bibit tanaman, 3)
penanaman, 4) pembuatan bangunan sipil teknis, 5) penyiangan/pembersihan rumput, 6)
pendangiran, 7) penyulaman, 8) pemeliharaan, 9) penyiapan sarana, 10) pertemuan
kelompok tani dan 11) penyediaan dana.
Tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan secara umum termasuk
pada kategori sedang (51,1%). Tingkatan partisipasi ini masuk ke dalam kelompok
tingkatan partisipasi tokenism. Artinya bahwa masyarakat sudah mulai diajak dalam
konsultasi pelaksanaan kegiatan, dimasukkan ke dalam anggota badan-badan kerja dan
juga berbagi tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan walaupun masih seringkali
suara mereka masih tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya relatif
rendah.
Pada kegiatan pemeriksaan bibit tanaman, penyulaman, penanaman dan
pemeliharaan tanaman tingkat partisipasi masyarakat masih tergolong rendah, ini
disebabkan karena alasan teknis, di mana wewenang untuk kegiatan pemeriksaan bibit
dikelola sepenuhnya oleh institusi independen bentukan proyek. Bahkan dalam
pemeriksaan yang dilakukan, keterlibatan masyarakat hanya sebatas mendampingi tim
42
pemeriksa, tanpa memiliki wewenang untuk melakukan penilaian terhadap kelayakan
bibit yang disediakan. Demikian pula pada kegiatan penyulaman dan pemeliharaan
tanaman, di mana bibit yang disalurkan tidak mencukupi untuk kegiatan penyulaman.
Persediaan bibit untuk kegiatan penanaman pun tidak mencukupi. Jumlah bibit yang
terbatas ini menyebabkan target luasan tanaman tidak terpenuhi.
Tahapan Evaluasi
Pada tahapan evaluasi pengukuran tingkat partispasi masyarakat dilakukan dua
kegiatan, yaitu : penilaian dan pemantauan keberhasilan kegiatan serta membantu
memberikan informasi kepada tim evaluasi. Penilaian tingkat partisipasi masyarakat
pada tahapan evaluasi termasuk pada kategori rendah (36,7%). Tingkatan partisipasi ini
masuk ke dalam kelompok non participation.
Partisipasi masyarakat tergolong rendah, artinya bahwa masyarakat hanya
mengikuti sosialisasi dari pihak pelaksana dan tidak pernah hadir dalam kegiatan rapat
atau pertemuan, dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kepentingan terhadap
kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi hanya dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai
laporan pertanggungjawaban pelaksanaan program. Hasil penelitian ini sama dengan
hasil penelitian Muis (2007) dan Pudjianto (2009) yang menyatakan bahwa dinamika
partisipasi masyarakat di DAS dalam kegiatan evaluasi pada umumnya rendah, karena
sebagian besar respondennya tidak pernah terlibat pada kegiatan evaluasi bahkan tidak
mengetahui bahwa telah dilakukan kegiatan evaluasi.
Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat
Hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal responden terhadap tingkat
partisipasi masyarakat memberikan gambaran tentang bagaimana peranan dari masing-
masing faktor, terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Hubungan ini pada tahapan
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dilakukan uji korelasi Spearman Rank. Uji
korelasi bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel yang tidak
menunjukkan hubungan fungsional, ini tidak membedakan jenis variabel. Keeratan
hubungan ini dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi.
Koefisien korelasi memiliki nilai antara -1 hingga +1. Sifat nilai koefisien
korelasi adalah plus (+) atau minus (-). Hal ini menunjukkan arah korelasi. Sifat korelasi
akan menentukan arah dari korelasi. Keeratan korelasi dapat dikelompokkan sebagai
43
berikut : 0,00 sampai 0,20 berarti korelasi memiliki keeratan sangat lemah; 0,21 sampai
0,40 berarti korelasi memiliki keeratan lemah; 0,41 sampai 0,70 berarti korelasi
memiliki keeratan kuat; 0,71 sampai 0,90 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat;
0,91 sampai 0,99 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat sekali, dan 1 berarti
sangat sempurna. Hasil uji korelasi pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
pada Tabel 11.
Tabel 11 Hasil Uji Korelasi Spearman Rank dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu
Partisipasi Masyarakat
No
Faktor Tahapan
Perencanaan (Y1) Tahapan
Pelaksanaan (Y2)
Tahapan Evaluasi (Y3)
Faktor Internal
1. Umur (X1.1) 0,151 0,322** 0,015 2. Tingkat Pendidikan (X1.2) 0,493** 0,397** - 0,129 3. Luas Lahan (X1.3) 0,371** 0,098 - 0,121 4. Tingkat Pendapatan (X1.4) 0,402** 0,279** - 0,172 5. Pekerjaan sampingan(X1.5) 0,084 0,186 - 0,072 6. Persepsi (X1.6) 0,279* 0,256* 0,040
Faktor Eksternal
1. Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan) (X2.1)
0,231* 0,268* - 0,254*
2. Peran pendamping (X2.2) - 0,094 - 0,039 0,017 3. Ketersediaan sarana (X2.3) 0,346** 0,316** 0,760 4. Peran kelembagaan sosial (X2.4) 0,298** 0,379** 0,058
Keterangan: ** Berpengaruh nyata pada α = 0,01 ; * Berpengaruh nyata pada α = 0,05
Hubungan antara Umur dengan Tingkat Partispasi Masyarakat
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman Rank menunjukkan bahwa nilai
koefisien korelasi (keeratan hubungan) antara variabel umur dengan tingkat partisipasi
pada tahapan perencanaan tidak memiliki hubungan nyata (0,151), sedangkan pada
tahapan pelaksanaan memiliki hubungan nyata (0,322**), dan pada tahapan evaluasi
memiliki hubungan lemah (0,015). Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan
bahwa variabel umur pada tahapan pelaksanaan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi
masyarakat. Sedangkan pada tahapan perencanaan dan evaluasi umur tidak berpengaruh
terhadap tingkat partisipasi, karena memiliki korelasi yang tidak nyata dan sangat
lemah. Artinya bahwa umur dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam
kegiatan RHL, karena umur di lokasi penelitian termasuk golongan produktif sehingga
akan memudahkan dalam ikut keterlibatan di program ini, berbeda apabila umur
44
responden didominasi oleh mereka yang berumur di bawah 15 tahun karena tergolong
belum produktif sehingga mereka masih tergantung pada orang tua atau orang lain yang
menanggungnya.
Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat
Nilai hasil koefisiem korelasi antara tingkat pendidikan dengan tingkat
partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah sebesar 0,493** dan tahapan
pelaksanaan sebesar 0,397** sehingga mempunyai hubungan nyata yang cukup kuat,
sedangkan pada tahapan evaluasi sebesar -0,129 memiliki hubungan yang sangat lemah.
Artinya bahwa pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan tingkat pendidikan
responden sangat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat
pendidikan masyarakat, maka akan cenderung semakin tinggi pula untuk tingkat
partisipasinya. Sedangkan pada tahapan evaluasi tingkat pendidikan tidak memiliki
pengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat.
Hubungan antara Luas Lahan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat
Luas lahan nilai koefisien korelasinya pada tahapan perencanaan 0,371**, pada
tahapan pelaksanaan 0,098, dan pada tahapan evaluasi -0,121. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa pada tahapan perencanaan luas lahan responden mempunyai
hubungan nyata yang kuat dengan tingkat partisipasi, sedangkan pada tahapan
pelaksanaan dan tahapan evaluasi tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi
masyarakat, bahkan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan yang negatif dan sangat
lemah. Hal ini berarti pada tahapan perencanaan luas lahan sangat mempengaruhi
tingkat partisipasi masyarakat. Semakin luas lahan yang dimiliki masyarakat, maka
semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Sedangkan pada tahap pelaksanaan dan
tahapan evaluasi tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat.
Hubungan antara Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat
Nilai koefisien korelasi antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi
masyarakat pada tahapan perencanaan sebesar 0,402**, tahapan pelaksanaan sebesar
0,279**, dan pada tahapan evaluasi sebesar -0,172. Nilai koefisien korelasi tersebut
menunjukkan bahwa pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan tingkat
pendapatan responden memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat,
sedangkan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan yang negatif dan sangat lemah.
45
Hal ini berarti bahwa pada tahapan perencanaan dan pelaksanaan tingkat pendapatan
dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tingi pendapatan
masyarakat maka akan semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Masyarakat yang
telah memiliki pendapatan yang tinggi tidak terlalu menggantungkan kelangsungan
hidupnya pada hasil hutan, sehingga mereka akan menjaga kelestarian hutan (tidak
merusak hutan) dibandingkan dengan masyarakat yang berpendapatan rendah.
Hubungan antara Pekerjaan Sampingan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat
Antara pekerjaan sampingan dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan
perencanaan memiliki nilai koefidien korelasi sebesar 0,084, tahapan pelaksanaan
sebesar 0,186, dan pada tahapan evaluasi sebesar -0,072. Nilai ini menunjukkan bahwa
variabel pekerjaan sampingan memiliki korelasi yang lemah terhadap tingkat partisipasi
masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan sampingan yang dimiliki oleh
responden tidak memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat.
Seperti diketahui bahwa, sebagian besar responden memiliki pekerjaan sampingan yang
sifatnya tidak tetap (musiman), sehingga mereka tetap memiliki waktu luang untuk
dapat terlibat dalam kegiatan RHL.
Hubungan antara Persepsi dengan Tingkat Partispasi Masyarakat
Hubungan antara persepsi dengan tingkat partisipasi masyarakat memiliki nilai
koefisien korelasi pada tahapan perencanaan sebesar 0,279*, tahapan pelaksanaan
sebesar 0,256*, dan pada tahapan evaluasi sebesar 0,040. Nilai koefisien korelasi
tersebut menunjukkan bahwa pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan
persepsi responden memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat,
sedangkan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan yang lemah. Persepsi yang baik
terhadap tahapan perencanaan dan pelaksanaan didukung oleh kegiatan sosialisasi yang
telah dilaksanakan oleh pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bogor. Selain itu,
masyarakat telah didampingi pula oleh lembaga sosial yang ditunjuk oleh pihak
pelaksana yang bertugas membantu dalam penyiapan masyarakat. Lewat lembaga sosial
tersebut masyarakat dikenalkan dan diberikan pemahaman tentang tujuan, sasaran dan
manfaat dari rehabilitasi hutan dan lahan.
46
Hubungan antara Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan) dengan Tingkat Partispasi Masyarakat
Nilai koefisien korelasi pada tahapan perencanaan sebesar 0,231*, tahapan
pelaksanaan sebesar 0,268*, dan pada tahapan evaluasi sebesar -0,254*, artinya
tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi antara intensitas sosialisasi program
(penyuluhan) mempunyai hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat
walaupun tidak terlalu kuat. Hal ini berarti semakin sering dilakukan sosialisasi
program (penyuluhan) kepada masyarakat maka tingkat partisipasi masyarakat akan
cenderung semakin tinggi.
Hubungan antara Peran Pendamping dengan Tingkat Partispasi Masyarakat
Antara peran pendamping dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan
perencanaan memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0,094 , pada tahapan pelaksanaan
sebesar -0,039, dan pada tahapan evaluasi sebesar 0,017. Nilai koefisien korelasi
tersebut menunjukkan bahwa pada semua tahapan peran pendamping mempunyai
hubungan yang sangat lemah. Hal ini artinya peran pendamping tidak berpengaruh
terhadap tingkat partisipasi masyarakat.
Hubungan antara Ketersediaan Sarana dengan Tingkat Partispasi Masyarakat
Nilai koefisien korelasi antara ketersediaan saranai dengan tingkat partisipasi
masyarakat pada tahapan perencanaan 0,346**, pada tahapan pelaksanaan 0,316**, dan
pada tahapan evaluasi 0,760. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan pada
tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan sarana rehabilitasi memiliki hubungan
nyata meskipun tidak terlalu kuat, sedangkan pada tahapan evaluasi ketersediaan sarana
rehabilitasi memiliki hubungan lemah. Artinya semakin tersedia sarana rehabilitasi pada
saat perencanaan dan pelaksanaan, partisipasi masyarakat akan cenderung semakin
meningkat karena salah satu faktor yang dapat mengajak masyarakat untuk ikut terlibat
dalam kegiatan RHL ini adalah sarana yang dapat mendukung kegiatan tersebut.
Sedangkan pada tahapan evaluasi sarana rehabilitasi tidak mempengaruhi tingkat
partisipasi masyarakat.
Hubungan antara Peran Kelembagaan Sosial dengan Tingkat Partispasi Masyarakat
Nilai koefisien korelasi dari peran kelembagaan sosial pada tahapan perencanaan
0,298**, pada tahapan pelaksanaan 0,379**, dan pada tahapan evaluasi 0,058. Nilai ini
47
menunjukkan pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan peran kelembagaan
sosial memiliki hubungan nyata, sedangkan pada tahapan evaluasi peran kelembagaan
sosial tidak memiliki hubungan. Hal ini berarti semakin besar peran kelembagaan sosial
pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan semakin tinggi pula tingkat
partisipasi masyarakatnya. Hal ini berarti masyarakat mulai merasakan fungsi dan
manfaat dari kelompok tani yang telah mereka bentuk, di mana kelompok tani
merupakan salah satu dari bentuk peran kelembagaan sosial.
Alternatif Prioritas Kebijakan Peningkatan Partisipasi Masyarakat
Hasil identifikasi dan analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat masih
tergolong rendah. Masih rendahnya partisipasi masyarakat tersebut disebabkan oleh
belum optimalnya faktor-faktor pendukung, baik faktor internal maupun faktor
eksternal. Untuk keberhasilan program RHL, maka partisipasi masyarakat perlu
ditingkatkan dan salah satu upayanya dengan menyusun alternatif prioritas kebijakan
peningkatan partisipasi masyarakat dengan analisis metode AHP.
Aplikasi metode AHP dalam menentukan alternatif prioritas kebijakan
peningkatan partisipasi masyarakat adalah menyusun hirarki, melakukan banding
berpasangan (pairwise comparison) dan menetapkan prioritas. Tujuan utama
penyusunan hirarki adalah untuk menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan
partisipasi masyarakat, dalam hirarki tersebut ada dua faktor yang diangap adanya
keterkaitan penting, yaitu pemerintah dan masyarakat. Pemerintah disini berperan
sebagai pencetus program dan juga sebagai fasilitator dalam kegiatan RHL, sedangkan
masyarakat berperan sebagai pelaksana kegiatan. Untuk faktor pendukung yang
dipertimbangkan adalah umur, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan,
pekerjaan sampingan, persepsi masyarakat, intensitas sosialisasi program (penyuluhan),
peran pendamping, ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Setelah semua
kriteria faktor pendukung ditentukan maka disusunlah alternatif prioritas kebijakan
yaitu meningkatkan dukungan dari pemerintah dan meningkatkan kemampuan anggota
masyarakat.
Hasil focus group discussion (FGD) dan wawancara dengan 12 responden yang
dianggap ahli maka dilakukan penilaian dan pembobotan terhadap elemen-elemen
48
partisipasi masyarakat yang telah disusun secara hirarki ke dalam matrik pembandingan
berpasangan (pairwise comparison). Kemudian data diproses dengan komputer
menggunakan software Expert choice 2000, dimana menghasilkan bobot nilai alternatif
prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat (Tabel 12).
Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa bobot nilai pemerintah (0,75) lebih
tinggi dibandingkan bobot nilai masyarakat (0,25), sehingga pemerintah merupakan
unsur prioritas dalam penyusunan kebijakan. Faktor-faktor pendukung yang memiliki
keterkaitan tinggi dengan tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor tingkat
pendidikan (0,27), tingkat pendapatan (0,14), peran pendamping (0,12) dan ketersediaan
sarana (0,20). Bobot nilai alternatif kebijakan meningkatkan kemampuan anggota
masyarakat (0,84) lebih tinggi dibanding dengan bobot nilai kebijakan meningkatkan
dukungan dari pemerintah (0,16). Alternatif kebijakan meningkatkan kemampuan
anggota masyarakat menjadi unsur prioritas utama dalam penyusunan kebijakan.
Dengan demikian alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat
adalah meningkatkan kemampuan anggota masyarakat melalui sarana tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping dan ketersediaan sarana untuk
masyarakat.
Tabel 12 Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat
Peningkatan partisipasi masyarakat Bobot
Aktor : Masyarakat Pemerintah
0,25 0,75
Faktor pendukung :
Umur Tingkat pendidikan Luas lahan Tingkat pendapatan Pekerjaan sampingan Persepsi Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan) Peran pendamping Ketersediaan sarana Peran kelembagaan sosial
0,02 0,27 0,02 0,14 0,05 0,07 0,06 0,12 0,20 0,05
Alternatif :
Meningkatkan dukungan dari pemerintah Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
0,16 0,84
49
Hasil analisis dalam prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat di
DAS Cisadane Hulu diperoleh bahwa kemampuan anggota masyarakat masih tergolong
rendah, karena masyarakat masih berfikiran program yang dilakukan di lokasinya
akankah memberikan manfaat dan keuntungan bagi kebutuhan hidupnya, artinya apabila
ada perubahan dalam kehidupannya misalnya tingkat pendapatan, mereka akan ikut
berpartisipasi melakukan program tersebut. Partisipasi masyarakat di sini adalah
keterlibatan mereka dalam suatu program, yaitu keterlibatan mental, pikiran dan
perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan
sumbangan atau bantuan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan bersama dan
ikut bertanggungjawab tehadap usaha yang dilakukannya. Sehingga partisipasi tersebut
merupakan keterlibatan mental dan emosi, menghendaki adanya kontribusi terhadap
kepentingan atau tujuan kelompok dan merupakan tanggungjawab terhadap kelompok.
Peran pemerintah juga sangat penting karena harus dapat meyakinkan
masyarakat untuk ikut berpartisipasi, diantaranya harus bisa menggali apa kebutuhan
atau keinginan masyarakat dalam program kegiatan RHL ini. Misalnya dalam
pengadaan bibit tanaman, pemerintah mau mendengar kehendak dari masyarakat
sehingga apa yang diberikan dapat bermanfaat bagi mereka, dan diharapkan mereka
mau untuk dapat memelihara dan menjaganya. Peran pihak lain pun sangat besar,
artinya pemerintah harus melakukan suatu kerjasama dengan pihak lain untuk dapat
membantu dalam mensukseskan programnya, diantaranya peran pendamping dan peran
lembaga swadaya masyarakat. Lembaga-lembaga ini dapat membantu memberikan
penyuluhan kepada masyarakat sehingga kegiatan RHL akan berhasil sesuai dengan
tujuan yang diharapkan. Apabila semua telah berjalan dengan baik, maka kebijakan top
down tidak lagi terjadi dan diharapkan mendapat hasil yang optimal. Kebijakan yang
bersifat top down merupakan kriteria lemahnya perencanaan. Masyarakat mulai
dipandang sebagai integral dari pengelolaan suatu kebijakan.
Masyarakat yang tinggal di wilayah yang terkena kebijakan, program, atau
proyek, bisa untuk merumuskan persoalan dengan lebih efektif, mendapatkan informasi
dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, merumuskan alternatif penyelesaian
masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan membentuk perasaan memiliki
terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan. Meskipun
pendekatan partisipatif mungkin memerlukan waktu lebih lama pada tahap-tahap awal
50
perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi
atau menghindari adanya pertentangan. Sehingga semua program kegiatan akan berjalan
sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Pelaksanaan program RHL di Indonesia dalam penetapan kebijakan kehutanan
yang menjadi perhatian adalah masalah kelembagaan, termasuk di dalamnya mencakup
analisis aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan, pengertian dan
pengetahuan yang digunakan, informasi yang tersedia, maupun proses pembuatan
kebijakan itu sendiri. Dengan demikian masalah kebijakan mempunyai lingkup lebih
luas dan tidak sekedar pengetahuan teknis mengenai obyek yang diatur. Kebijakan juga
tidak dapat diartikan sebatas peraturan perundang-undangan, melainkan solusi atas
masalah yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai masalah
menjadi sangat penting dalam pembuatan kebijakan. Kondisi seperti ini biasanya
disebabkan oleh: 1). Pendekatan dalam penyusunan kebijakan kehutanan hampir selalu
berangkat dari sisi fisik kayu, hutan, dan material lainnya, sebaliknya kurang
memperhatikan subyek yang diatur, seperti swasta, individu, kelompok masyarakat,
beserta kepentingan dan kemampuannya. 2). Peraturan perundangan menjadi instrumen
yang dominan bahkan tunggal. Padahal banyak hal dapat diselesaikan secara sosial,
ekonomi, maupun politik. Dalam kaitan ini juga terdapat pandangan yang kuat, bahwa
peraturan secara otomatis dapat tertuju pada penyelesaian masalah, sementara kondisi di
lapangan mempunyai banyak faktor yang dipertimbangkan oleh para pelaksana dalam
mengambil keputusan yang dijalankannya. 3). Kedua hal tersebut terjadi akibat adanya
policy narrative dan discource yang telah menjadi conventional wisdom dan tidak
sejalan dengan masalah yang dihadapi dalam pembangunan kehutanan, khususnya
dalam pelaksanaan RHL.
Kondisi Aktual Tingkat Partisipasi Masyarakat di DAS Cidane Hulu
Terjadinya lahan-lahan kritis di beberapa daerah adalah akibat dari
ketidaksinkronan antara tujuan masyarakat atau petani dengan kebijakan yang dibuat
pemerintah. Masyarakat mengacu pada tujuan untuk memperoleh manfaat dan
keuntungan sesegera mungkin, sedangkan kebijakan pemerintah mengacu pada tujuan
jangka panjang dan berkelanjutan untuk generasi masa kini dan yang akan datang.
Kesenjangan antara tujuan masyarakat dan pemerintah ini akan menjadi konflik
51
kepentingan, dan hal ini harus dihindari. Pembuat kebijakan memandang pembangunan
yang berorientasi pada produktivitas jangka panjang, sementara harapan masyarakat
adalah pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dalam jangka pendek.
Sehingga proses perumusan kebijakan RHL melalui pendekatan top down, sedangkan
harapan masyarakat di DAS Cisadane Hulu adalah pendekatan bottom up yang
melibatkan lapisan masyarakat mulai dari bawah.
Pengelolaan DAS Cisadane Hulu ditandai dengan stakeholders yang
multisektor, multifungsi, multidisiplin, beranekaragam kepentingan terhadap
sumberdaya alam. Karena itu muncul banyak aturan dan kebijakan yang berkaitan
dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, dan kadang-kadang kebijakan
yang dibuat tumpang tindih sehingga menimbulkan masalah baru dalam
pelaksanaannya. Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dirumuskan melalui
formulasi program yang kebanyakan merupakan arahan dari pusat, atas dasar
kepentingan lembaga tertentu tanpa mengembangkan integritas fungsional antar sektor,
sehingga melahirkan egoisme sektoral pada masing-masing lembaga.
Menurut Muhadjir (1980) dalam Fauzi (2009) tingkatan partisipasi terbagi
menjadi empat jenis yaitu : 1). keterlibatan orang dalam proses pembuatan keputusan;
2). keterlibatan orang dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan; 3).
keterlibatan orang di dalam menikmati hasil dari kegiatan; dan 4). keterlibatan di dalam
evaluasi suatu hasil dari program yang sudah terlaksana. Kenyataan di lapangan
tingkatan partisipasi yang ada adalah keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan
program saja, sementara keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan,
keterlibatan dalam evaluasi serta menikmati hasil dari kegiatan belum dilaksanakan
sepenuhnya di lapangan. Seharusnya yang dinamakan partisipasi masyarakat dalam
suatu kegiatan program adalah ikut memberi masukan, menerima imbalan atas
masukan tersebut dan ikut menikmati hasilnya. Walaupun kenyataan di lapangan masih
terjadi keraguan untuk mengemukakan pendapat (memberi masukan) padahal mereka
mengerti dan mengetahui kondisi di lapangan, maka mereka harus mendapatkan suatu
pengetahuan dan keterampilan untuk memiliki suatu keberanian dalam mengemukakan
pendapatnya. Sehingga hasil yang diharapkan akan sesuai dengan apa yang menjadi
tujuan dan mendapatkan manfaat, bagi masyarakat, aparat ataupun lingkungan.
52
Tingkat partisipasi masyarakat bisa dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dari
keberhasilan program RHL di DAS Cisadane Hulu. Rendahnya tingkat partisipasi
menunjukkan bahwa masyarakat kurang terlibat dalam proses pengambilan keputusan
pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Pada tahapan perencanaan
masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pemilihan dan pengadaan jenis bibit tanaman,
begitu pula saat proses penanaman dan pemeliharaan pasca tanam mereka kurang
diberikan penyuluhan mengenai tata cara menanam yang baik dan benar sehingga
banyak tanaman yang mati. Hasil laporan BPDAS Citarum Ciliwung (2008) dan
wawancara dengan masyarakat mengatakan bahwa dari jumlah bibit yang ditanam
sebanyak 49.300 batang, kurang lebih 14.790 batang atau 30% mati. Kematian dari
tanaman tersebut disebabkan antara lain karena terlambatnya pengiriman bibit,
penanaman bibit yang tidak tepat dan cara pemeliharaan pasca tanam yang salah.
Hasil penelitian tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS
Cisadane Hulu dapat dikaji sebagai berikut : 1). Masyarakat di sekitar DAS Cisadane
Hulu belum berperan secara aktif dalam kegiatan RHL. Rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat merupakan salah satu sebab mereka tidak memiliki keberanian untuk
memberikan saran atau usul kepada pemerintah dalam proses kegiatan tersebut,
misalnya pengadaan bibit yang diharapkan oleh masyarakat setempat sesuai kecocokan
lokasi setempat. 2). Masyarakat yang memiliki lahan sempit tidak ingin untuk ditanami
tanaman keras karena hasilnya terlalu lama untuk dapat dirasakan sedangkan
pendapatan masyarakat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 3).
Peran dari petugas pendamping kurang optimal sehingga tidak dapat meyakinkan
masyarakat dalam memberikan pengertian tentang pentingnya konservasi, sehingga
masyarakat tidak termotivasi untuk dapat berpartisipasi dan 4). Masyarakat belum
dipandang secara penuh sebagai bagian dari integral pengelolaan kebijakan, di mana
mereka hanya diperankan dalam kedudukannya sebagai obyek dalam kerangka
pengambilan keputusan.
Hasil penelitian ini masih memerlukan suatu penelitian lebih lanjut lagi, di mana
meningkatkan pendapatan adalah sala satu faktor utama dari beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Masyarakat akan ikut berpartisipasi
dalam suatu program apabila dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Salah
satu cara yang telah dilakukan dan mendapatkan respon yang baik dari masyarakat
53
adalah dengan cara kontribusi biaya (cost sharing) yaitu pembayaran jasa lingkungan
atau PES (Payment for Environmental Services) antara hulu dan hilir.
Pembayaran jasa lingkungan atau PES adalah pemberian imbal jasa berupa
pembayaran finansial dan non finansial kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan
yang dihasilkan. Sistem pembayaran jasa lingkungan adalah mekanisme pembayaran
finansial dan non finansial dituangkan dalam kontrak hukum yang berlaku meliputi
aspek-aspek legal, teknis maupun operasional. Komponen sistem pembayarn jasa
lingkungan adalah: 1) jasa lingkungan yang dapat diukur; 2) penyedia; 3) pemanfaat dan
4) tata cara pembayaran. Tujuan dari pembayaran finansial dan non finansial jasa
lingkungan adalah sebagai alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan yang lebih
ramah lingkungan, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan, sebagai
upaya perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan
ekonomi dan sosial yang lestari.
Saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dari timber oriented (orientasi kayu)
menjadi pemanfaatan hutan yang berbasis sumber daya hutan membuka peluang bagi
pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang selama ini masih terabaikan. Nugroho (2007),
menyebutkan dari suatu hasil penelitian, nilai ekonomi hasil hutan kayu hanya 5 % dari
nilai ekonomi total kawasan hutan dan 95 % adalah nilai ekonomi dari hasil hutan non
kayu termasuk nilai ekonomi jasa lingkungan hutan. Jadi jasa lingkungan harus segera
ditangani secara komprehensip, terencana dan terpadu untuk kelestarian lingkungan dan
kesejahteraan masyarakat.
Kondisi hulu umumnya kritis akibat perubahan pola penggunaan lahan,
penggundulan hutan dan pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman. Akibatnya,
fungsi hutan yang sejak awal berfungsi sebagai penyimpan air telah berubah, hutan
tidak dapat lagi sebagai media penyimpan air pada musim hujan, karena air hujan
umumnya berubah menjadi aliran permukaan dan kurang terserap dalam tanah.
Akibatnya jumlah dan kontiniutas air yang diperlukan setiap saat berubah-ubah.
Fenomena yang dapat dilihat saat ini adalah saat musim hujan volume air yang mengalir
lewat sungai-sungai sangat besar, sedangkan pada saat musim kering, sungai-sungai
yang mengalir makin kecil dan pada saat tertentu akan mati atau kekeringan.
Masyarakat di hulu selalu dibatasi oleh berbagai hal yang berkaitan dengan
kuantitas dan kualitas lingkungan, terutama yang berkaitan dengan pelestarian tata air
54
untuk tetap terjaga kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air baku untuk
memenuhi kebutuhan air masyarakat di hilir. Pengetahuan masyarakat hulu yang
terbatas tentang pemanfaatan lahan dan penguasaan lahan serta pola budidaya pertanian
yang dikembangkan secara tradisional telah mengakibatkan sebagian besar masyarakat
di hulu terjebak dalam perangkap kemiskinan (poverty trap). Pada akhirnya mendorong
masyarakat untuk melakukan aktivitas yang berdampak pada turunnya kuantitas dan
kualitas lingkungan pada DAS.
Bagian hilir adalah bagian yang paling banyak memanfaatkan jasa dari hulu, jasa
yang paling besar dimanfaatkan adalah jasa air yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari dan yang mengalir melalui sungai-sungai. Sungai dimanfaatkan sebagai sumber air
minum, kehidupan sehari-hari, pertanian, pengairan, trasportasi dan penggerak beberapa
industri-industri baik skala kecil maupun skala besar. Untuk beberapa industri seperti
PLTA dan PDAM serta pabrik air kemasan, keberlangsungan pergerakan industri ini
sangat tergantung pada jumlah air yang tersedia, karena sangat membutuhkan air
sebagai bahan utama dalam proses produksinya. Apabila jumlah air yang mengalir
makin kecil, maka industri-industri ini tidak akan dapat berproduksi.
Secara alamiah air pada semua badan air yang ada di DAS akan mengalir dari
arah hulu menuju ke hilir, sehingga setiap aktivitas yang berinteraksi dengan air dan
tanah di daerah hulu akan memberikan dampak pada daerah hilir. Sebagai contoh,
penebangan hutan secara liar yang tidak terkendali di hulu suatu DAS akan memberikan
dampak pada daerah hilir, antara lain meningkatnya permasalahan banjir dan tanah
longsor pada musim hujan. Cara pengolahan tanah yang tidak menerapkan aspek
konservasi di daerah hulu juga akan memberikan dampak pada daerah hilir.
Pihak yang berkepentingan (stakeholders) adalah individu, kelompok atau
lembaga yang memiliki kepentingan terhadap DAS. Masing-masing mempunyai
maksud dan tujuan yang berbeda, bahkan kadang-kadang bertentangan satu dengan
yang lainnya. Sehingga tidak mengherankan ada kecenderungan DAS dikelola secara
terfragmentasi untuk mencapai tujuannya masing-masing. Agar DAS dapat memberikan
manfaat kepada banyak pihak diperlukan penguatan pengelolaan DAS secara terpadu.
Hubungan hulu hilir pada suatu DAS tidak dapat dipisahkan. Hulu dan hilir
adalah dua tempat yang saling berhubungan antara pemberi manfaat dan penikmat
pengguna manfaat. Selama ini, hubungan antara hulu dan hilir berjalan sendiri-sendiri
55
sehingga ada suatu batas yang membuat pengelolaan DAS tidak berkembang, yaitu
masyarakat di hulu beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan
sumberdaya yang ada disekitarnya yang menyebabkan fungsi tata air terganggu.
Sebaliknya, masyarakat di hilir akan beraktivitas dengan kegiatannya tanpa menyadari
bahwa kegiatan yang dilakukannya itu berasal dari hulu seperti ketersediaan air. Jika
kondisi ini terjadi, maka sudah seharusnya masyarakat di hilir menyadari bahwa
masyarakat di hulu memiliki peranan penting dalam pengelolaan wilayah di kawasan
hulu DAS untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan air. Untuk itu perlu konsep
pembayaran jasa lingkungan dari hilir ke hulu. Konsep ini didasari dari adanya
kompensasi yang diserahkan pihak hilir ke hulu sebagai penyedia jasa lingkungan, dan
pihak di hulu memanfaatkan jasa ini untuk menjaga kelestarian hutan dan lahan di hulu
sehingga DAS dapat berfungsi sebagai sumber air yang sangat dibutuhkan di hilir.
Menurut Nugroho (2007), kebijakan dan dasar hukum pembiayaan jasa
lingkungan hutan umumnya mengarah kepada suatu mekanisme transaksi pembayaran
untuk upaya konservasi alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang
melakukan upaya konservasi, sedangkan kunci pembiayaan jasa lingkungan hutan
adalah adanya proses partisipasi antar pelaku, transparansi pembayaran, kejelasan hak
dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan transaksi dan dilakukan oleh
lembaga pengelola jasa lingkungan yang menghubungkan antara kedua belah pihak.
Mekanisme pembangunan dengan pola pembayaran jasa lingkungan sangat baik untuk
dikembangkan, tetapi yang menjadi kunci utama adalah adanya kesadaran para pihak
yang paling banyak menggunakan jasa lingkungan untuk berperan dalam pembayaran
jasa yang disediakan oleh masyarakat (seller). Contoh kasus hulu hilir dengan metode
pembayaran jasa lingkungan sudah dilaksanakan di Indonesia, contoh kasus DAS
Cidanau di Cilegon dan DAS Way Besay di Lampung.
56
Contoh Kasus 1. Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau di Cilegon Sektor industri merupakan salah satu sektor yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap DAS.
Salah satunya adalah PT Krakatau Tirta Industri (PT KTI) yang sangat tergantung pada ekosistem DAS Cidanau karena berkaitan dengan sumberdaya air untuk menghidupi kegiatan industri. PT KTI adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri air bersih khususnya air industri dan air minum. Pergerakan PT KTI ini sangat tergantung dengan jumlah dan kualitas air yang diperoleh dari hulu pada DAS Cidanau. Sebagian besar daerah tangkapan DAS Cidanau merupakan milik warga yang sangat sulit untuk mengawasinya. Pola pemanfaatan lahan inilah yang menyebabkan menurunnya fungsi resapan air dan mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan. Kondisi ini masih jauh di atas proyeksi kebutuhan air kawasan industri Cilegon sampai dengan tahun 2010. Perubahan debit air DAS Cidanau tetap harus diwaspadai apalagi jumlah lahan kritis dibeberapa lokasi di DAS Cidanau setiap tahun cenderung meningkat (Fauzi, 2005).
Proses pembangunan dan pengembangan model hubungan hulu hilir di DAS Cidanau melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan, dimulai sejak sosialisasi tentang pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services) oleh berbagai lembaga-lembaga seperti Lembaga Swadaya Masyarakat. Dibangun dan dikembangkannya hubungan hulu hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, diharapkan memberikan harapan dan aksesibilitas kepada masyarakat di hulu untuk meningkatkan kemampuan ekonomi mereka. Hal tersebut menjadi mungkin untuk dicapai, apabila seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau menyadari arti penting DAS Cidanau dalam mendukung proses pembangunan di hilir dengan pusat kegiatan pembangunan di wilayah Kota Cilegon. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan oleh pembeli (buyer) dari penjual jasa (seller) tidak mengakibatkan peningkatan harga dari produk yang dihasilkan, karena kegiatan ini bersifat kerelaan (voluntary).
Contoh Kasus 2 Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Way Besay di Lampung Sumber Jaya di DAS Way Besay merupakan daerah hulu DAS Tulang Bawang di Kabupaten
Lampung Barat Propinsi Lampung, wilayah ini sekitar 40% merupakan hutan lindung, 14 % taman Nasional dan 56% adalah penggunaan lain dan merupakan daerah yang konflik baik konflik lahan maupun konflik sosial. Hasil penelitian ICRAF menemukan adanya suatu peningkatan jasa lingkungan yang dihasilkan dari hutan lindung yang terdegradasi dan mengalami deforestasi pada praktik-praktik pengelolaan budi daya kopi multistrata. Konflik di antara petani kopi dengan pemerintah mulai mereda ketika beberapa LSM (Watala dan ICRAF) dan mahasiswa menjadi fasilitator terhadap permasalahan tersebut. Tahun 2002 terjadi kesepakatan, masyarakat diperbolehkan mengusahakan kebun kopinya di lahan negara dengan suatu persyaratan di bawah program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Program ini memberikan hak kepada petani untuk mengusahakan kebun kopinya di dalam hutan, memanfaatkan dan mengelola lahan tanpa hak memilikinya dengan beberapa persyaratan dengan tujuan untuk mempertemukan dua kepentingan yaitu kepentingan pemerintah sebagai penerima jasa lingkungan (fungsi perlindungan hutan) dan kepentingan petani (menyangkut keberlangsungan kehidupan petani) sebagai penyedia jasa.
Pemberian hak kelola atas lahan diberikan kepada petani dalam wadah kelompok. Prinsip pembayaran adalah kelompok petani yang sudah mengelola lahan di dalam kawasan hutan (dalam kondisi yang open acces) bisa menyediakan jasa-jasa lingkungan sesuai dengan kesepakatan, maka petani tersebut akan mendapatkan hak kelola atas lahan dalam kurun waktu tertentu sesuai kesepakatan. Pemberian hak kelola atas lahan mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Tahun 2006 tercatat 18 kelompok petani mendapat hak kelola seluas 11,633 Ha, yaitu sekitar 70% hak kelola berada di hutan lindung (Huang dan Upadhyaya , 2007). Tahun 2007, 5 kelompok mendapat hak kelola selama 35 tahun (2 dari sumber Jaya) dan 26 kelompok mendapat hak kelola sementara selama 5 tahun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang tergabung dalam kelompok HKm telah berhasil meningkatkan nilai jasa lingkungan dengan mengkonservasi hutan di bawah program HKm.
57
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan dan tahapan evaluasi
dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu tergolong rendah dan masuk ke dalam
tingkatan non participation. Sedangkan untuk tahapan pelaksanaan tingkat
partisipasi masyarakatnya tergolong sedang (tokenism).
2. Faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi
masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu adalah umur, tingkat
pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, persepsi, intensitas sosialisasi program
(penyuluhan), ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial.
3. Peran Pemerintah sangat penting dalam penyusunan suatu kebijakan, di mana faktor
yang mendukung adalah tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping
dan ketersediaan sarana. Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi
masyarakat adalah dengan meningkatkan kemampuan anggota masyarakat melalui
sarana tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping dan ketersediaan
sarana.
Saran
1. Untuk pengembangan program RHL di masa yang akan datang, perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme pembayaran jasa lingkungan atau PES
(Payment for Environmental Services) oleh berbagai lembaga seperti LSM,
sehingga permasalahan partisipasi masyarakat yang dapat menghambat keberhasilan
program RHL dapat diantisipasi.
2. Mengingat adanya keterbatasan kemampuan pemerintah, maka sebaiknya ada upaya
pemerintah untuk mengajak sektor swasta (dunia usaha) yang bergerak di bidang
kehutanan untuk ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan RHL serta memberikan
dukungan sarana sebagai rasa tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social
responbility) terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.
58
DAFTAR PUSTAKA Adi I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi. Edisi Revisi.
Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Adisasmita R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Cetakan Pertama. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta.
Agus F. dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. Diterbitkan oleh World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Bogor.
Ahsoni MA. 2008. Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan di Sub DAS Cisadane Hulu. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Ansar M. 2009. Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air ( Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah) [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Arsyad S. 2009. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Bogor : IPB Press. Arenstein S.R. 1969. A ladder of Citizen Participation. JAIP, 35 [4] : 216 – 224.
Asdak C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Cetakan Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
[BPDAS Citarum Ciliwung] Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung. 2003. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Cisadane. Bogor: BPDAS Citarum Ciliwung.
[BPDAS Citarum Ciliwung] Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung. 2007. Laporan Akhir. Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR. Bogor: BPDAS Citarum Ciliwung.
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2009. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008. Bogor Regency in figures 2008. Bogor.
Cohen JM. Uphoff. 1980. Rural Development Participation. New York. Itacha. Daniel M. Darmawati dan Nieldalina. 2006. PRA (Participatory Rural Appraisal)
Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian. Cetakan Pertama. Penerbit PT Bumi Aksara. Jakarta.
[Dephut]. Departemen Kehutanan. 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (Dirjen RRL), Jakarta: Dirjen RRL Dephut.
[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006 – 2025. Jakarta: Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan.
[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2007. Rencana dan Realisasi Kegiatan GN-RHL Tahun 2003 – 2007. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.
59
[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Jakarta.
[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2008. Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia. Amanah Instruksi Presiden No.5 Tahn 2008 Tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008 – 2009. Jakarta.
Fauzi A. 2009. Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus di Kecamatan Kabupaten Purbalingga Propinsi Jawa Tengah). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Fauzi. Aunul. 2005. Strategi Pengembangan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia. Laporan Lokakarya Nasional Pembayaran dan lmbal Jasa Lingkungan, 14-15 Februari 2005. Penerbit : World Agropforestry Centre (ICRAF). Jakarta.
Gautama I. 2006. Dinamika Partisipasi Masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus DAS Bila Walanae Hulu Danau Tempe. Jurnal Sains & Teknologi 6 (3): 121-134.
Gerung TSL. 2004. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kecamatan Likupang. Kabupaten Minahasa. Propinsi Sulawesi Utara. [Tesis] Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Huang dan Upadhyaya, 2007. Watershed-based Payment for Environmental Services in Asia. Working Paper No 06-07.
Indahwati DR. Evi L. Haryanti N. dan Yuliantono D. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT). Balai Penelitian Kehutanan Solo. Departemen Kehutanan.Jurnal Pengelolaan DAS, IX [1]: 30-44.
Jalal. 2008. Payments for Environmental Services: Apa dan bagaimana? Peran Pemerintah dan Perusahaan. Disampaikan dalam Diskusi mengenai PES di Berastagi SUMUT Tanggal 5 Juni 2008.
Kartodihardjo H. 2006. Bahan Kuliah Kelembagaan Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) (Konsep dan Analisis Kebijakan). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 2003. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 18 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. http://www.menlh.go.id. html (22 Desember 2009).
Manan S. 1978. Evaluasi Hasil Kegiatan Program PHTA Pelita II dan Proyeksi Pelita III; Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Mardikanto T. 1988. Komunikasi Pembangunan Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Muis. 2007. Pembangunan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan lahan (GNRHL). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Oedesaan: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
60
Nawawi H. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Cetakan kesebelas. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Nawir AA. Muniarti. Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan Indonesia: Akan Kemanakah Arahnya Setelah Lebih dari Tiga Dasawarsa ?. http://www.cifor.cgiar.org/publication/pdf_files/book/BNawir0801Ina.pdf [22 Juli 2008]
Nugroho H. 2007. Kebijakan Departemen Kehutanan Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Jasa Lingkungan Hutan Di Indonesia. Makalah. Disampaikan dalam Lokakarya dan pelatihan Pengelolaan Jasa Lingkungan. Balikpapan.
Patrono S. 1006. Hektar Lahan Gagal Ditanami Proyek GN-RHL. (Dalam Laporan Wartawan Kompas Syaifullah). KOMPAS. [cyber media]. http://www.kompas.com/ver/Nusantara/061120/16235 . htm [22 Nofember 2006].
Pudjianto K. 2009. Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan, Lahan dan Konservai Sumberdaya Air di Sub DAS Keduang, Daerah Hulu DAS Bengawan Solo. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Priyono CNS. dan Cahyono. 2003. Status dan Strategi Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Masa Depan di Indonesia. Alami 8: 1-5. Jakarta.
Pujo. 2003. Partisipasi Masyarakat pada Program Kehutanan Sosial di Perum Perhutani Unit III jawa Barat. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB : LSI IPB. Bogor
Puspaningsih N. 1997. Studi Perencanaan Pengelolaan Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu Kabupaten Bogor. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Saaty T.L and Vargas L.G. 1994. The Analytic Hierarchy Process Series VII. RWS Publication Ellsworth Avenue 4922. Pittsburgh. PA 15213 USA
Safei. 2005. Kajian Partisipasi Masyrakat terhadap Pelestarian Hutan Mangrove: Studi Kasus Desa Marobo Kecamatan Bone dan Desa Abulu-bulu Kecamatan Parigi Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Singarimbun M. dan Effendi S. 1995. Metode Penelitian Survai. Cetakan Kedua. PT. Pustaka LP3ES. Jakarta.
Sinukaban N. 2008. Bahan Kuliah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Program Studi Pengelolaan DAS. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Slamet M. 1980. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Slamet M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Bogor.
Soemarwoto O. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan kesepuluh. Djambatan. Jakarta.
Suharjito D. Sundawati L. Suyanto dan Utami S.R. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry. Bahan Ajar Agroforestry. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF): 5. Bogor.
Suhendang E. 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan: Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
61
Sunartana. 2003. Partisipasi Angota Dalam Kelompok Pengelolaan dan Pelestarian Hutan (KPPH). (Kasus di kawasan Hutan Lindung Register 19 Gunung Betung Lampung). [Tesis]. Program Pascasarjanan IPB. Bogor.
Suyanto. 2007. Imbalan Jasa Lingkungan untuk Pengentasan Kemiskinan. World Agroforestry Center.Bogor.
Soetrisno. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. PT Kanisius. Yogyakarta. Tjokroamidjojo. 1991. Pengantar Pembangunan dalam Pembangunan Pedesaan. Pustaka
Press. Jakarta. Trison S. 2005. Pengembangan Partisipai Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi
Hutan. [Tesis]. Program Pascasarjanan IPB. Bogor. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidip. Jakarta
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta. [WALHI]. Wahana Lingkungan Hidup. 2004. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (GN-RHL) Butuh Perencanaan yang Matang dan Partisipatif serta Pengawasan Aktif Masyarakat: http://www.walhi.or.id/ . html [12 Desember 2009].
Winarto, H. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestry (Kasus kegiatan Agroforestry di Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta). [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Lampiran 2 Daftar variabel, indikator, parameter pengukuran dan kategori No. Variabel Sub Variabel Indikator Parameter
pengukuran
Kategori
1. Partisipasi Masyarakat (Y)
Perencanaan kegiatan RHL (Y1)
Identifikasi masalah Penentuan lokasi tanam Penentuan luas lahan Penentuan jenis bibit
tanaman Penentuan bangunan sipil
teknis Pembentukan kelompok
tani Penentuan dana
Tidak terlibat Kurang terlibat Cukup terlibat Selalu terlibat Banyak terlibat
Rendah Sedang Tinggi
Pelakanaan kegiatan RHL (Y2)
Identifikasi masalah Pemeriksaan bibit tanaman Pembuatan bangunan sipil
teknis Penanaman, Penyiangan,
Pendangiran, Penyulaman, Pemeliharaan
Penyiapan sarana Pertemuan kelompok tani Penyediaan dana
Tidak terlibat Kurang terlibat Cukup terlibat Selalu terlibat Banyak terlibat
Rendah Sedang Tinggi
Evaluasi kegiatan RHL (Y3)
Penilaian dan pemantauan tanaman
Pemantauan perkembangan tanaman
Pemberian informasi kepada petugas
Tidak terlibat Kurang terlibat Cukup terlibat Selalu terlibat Banyak terlibat
Rendah Sedang Tinggi
2. Faktor Internal (X1)
Umur (X1.1) Umur responden
< 15 tahun 15 – 65 tahun > 65 tahun
Rendah Sedang Tinggi
Tingkat pendidikan (X1.2)
Tidak sekolah atau tamat SD
Tamat SLTP Tamat SLTA, Akademi
atau Perguruan Tinggi
Nilai 1 Nilai 2 Nilai 3
Rendah Sedang Tinggi
Luas lahan (X1.3) Tingkat pendapatan (X1.4)
Kepemilikan lahan responden
Penghasilan responden per
bulan
< 0,3 ha 0,3-1 ha > 1 ha < Rp 500.000 Rp 500.000 -
Rp 1.000.000 > Rp 1.000.000
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
65
Lampiran 2 Lanjutan No. Variabel Sub Variabel Indikator Parameter pengukuran Kategori
Pekerjaan
sampingan (X1.5)
Pekerjaan tambahan responden
Tdk ada (Nilai 0) Ada 1 (Nilai 1) Ada 2 (Nilai 2)
Rendah Sedang Tinggi
Persepsi (X1.6)
Mengetahui tujuan program RHL
Mengetahui manfat program RHL
Mengetahui pelaksanaan program RHL
Nilai < 3 Nilai 3-4 Nilai > 4
Rendah Sedang Tinggi
3. Faktor Eksternal (X2)
Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) (X2.1)
Frekuensi sosialisasi tahap perencanaan
Frekuensi sosialisasi tahap pelaksanaan
Frekuensi sosialisasi tahap evaluasi
Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5
Rendah Sedang Tinggi
Peran pendamping (X2.2)
Frekuensi kunjungan petugas pendamping
Keterlibatan petugas pendamping
Aktivitas petugas pendamping
Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5
Rendah Sedang Tinggi
Ketersediaan sarana (X2.3)
Bibit tanaman dan pupuk
Alat kerja dan tenaga kerja
Bahan/material Dana
Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5
Rendah Sedang Tinggi
Peran kelembagaan sosial (X2.4)
Koordinasi dan pemberian informasi
Pemeliharaan pasca tanam
Pendistribusian bibit tanaman
Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5
Rendah Sedang Tinggi
66
Lampiran 3 Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y1) No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1
1 35 SD 2,4 300 1 3 4 0 6 2 6 2 60 SMA 2,1 1.200 1 3 7 5 5 5 16 3 50 SMA 3,0 1.500 1 6 6 3 6 5 15 4 30 SMA 3,0 1.500 1 6 6 2 6 5 14 5 26 SMA 3,3 1.500 1 6 6 3 3 4 20 6 48 SD 0,5 550 1 6 4 6 3 2 6 7 45 SMP 0,6 500 1 4 4 2 5 2 6 8 56 SMA 0,7 1.000 1 5 7 6 5 2 10 9 56 SMP 0,5 560 1 4 7 6 5 2 9
10 63 SMP 0,5 500 2 4 6 5 5 4 14 11 60 SMP 0,5 550 0 6 6 3 6 4 13 12 56 SMP 0,5 375 1 3 7 1 4 5 9 13 50 SMP 0,5 500 1 4 4 3 5 5 8 14 63 SMP 0,8 450 1 3 4 2 5 5 15 15 70 SMA 1,0 1.500 1 6 4 4 5 5 17 16 55 SMP 0,7 450 1 3 7 1 3 5 10 17 40 SD 0,4 400 0 3 7 3 6 2 7 18 67 SMA 0,7 1.200 2 5 8 2 5 6 13 19 58 SMA 0,7 1.000 0 5 6 5 5 6 11 20 70 SMA 0,5 1.400 1 5 6 0 1 5 15 21 28 SD 0,3 300 0 3 0 3 6 2 4 22 70 SMA 1,2 1.500 0 6 8 5 5 6 18 23 63 SMA 1,0 1.200 1 6 6 1 6 5 15 24 56 SMP 2,5 400 0 6 5 0 5 3 16 25 57 SMP 0,4 500 0 4 6 0 4 3 12 26 32 SMP 0,7 500 1 5 3 1 6 2 9 27 71 SMP 0,6 400 0 5 6 3 2 3 16 28 32 SD 0,2 200 0 6 0 3 6 2 4 29 68 SMP 0,2 300 1 3 4 1 6 3 10 30 66 SMA 0,6 1.000 1 3 7 2 6 4 12 31 65 SMP 0,2 100 1 4 7 3 6 4 9 32 54 SMP 0,3 400 1 6 3 4 5 5 9 33 72 SMA 0,5 1.500 1 6 8 1 2 6 15 34 28 SD 0,5 300 1 3 4 3 3 3 6 35 38 SMP 0,5 500 0 4 6 0 5 3 12 36 55 SMA 0,9 1.000 1 5 4 1 4 5 11 37 35 SD 0,5 250 0 2 4 0 5 2 6 38 39 SD 0,4 350 1 4 3 2 5 4 5 39 60 SMP 0,2 400 0 6 8 3 5 5 10
67
Lampiran 3 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1 40 32 SMP 0,5 500 0 3 6 1 5 5 12 41 48 SD 0,5 300 1 4 5 3 3 6 6 42 28 SMP 2,5 400 2 2 6 2 6 5 17 43 50 SMA 2,4 1.300 0 6 6 2 6 4 9 44 50 SMP 2,5 500 1 6 5 6 6 5 14 45 20 SMP 2,1 500 0 3 7 3 4 2 15 46 56 SMA 3,0 1.200 1 6 6 3 6 2 20 47 26 SMA 3,5 1.300 1 3 6 3 6 5 20 48 38 SMA 0,4 1.200 1 4 5 3 3 2 6 49 44 SD 3,0 400 0 6 6 4 6 5 10 50 40 SMP 3,2 500 1 0 6 0 6 5 11 51 45 SMP 2,0 500 0 2 7 3 3 2 8 52 42 SMP 3,2 500 0 4 8 4 6 4 18 53 20 SMA 3,5 1.400 0 6 5 3 6 4 20 54 50 SMA 2,5 1.400 1 6 6 5 6 4 15 55 25 SMA 0,3 1.000 1 5 6 2 6 6 10 56 66 SMP 0,1 450 2 5 6 4 5 5 10 57 64 SMP 0,3 500 0 5 7 3 6 5 10 58 35 SMA 0,2 1.500 0 5 6 5 6 5 15 59 72 SMP 0,5 550 1 5 7 3 2 3 8 60 45 SMP 0,5 500 1 6 6 2 6 6 6 61 54 SMA 1,0 1.200 0 6 6 4 5 5 13 62 32 SMP 0,3 500 0 4 3 3 4 2 5 63 40 SMP 0,5 600 0 5 4 2 2 4 6 64 37 SMP 0,4 500 1 3 4 3 2 2 6 65 35 SMA 0,5 1.000 1 5 4 3 4 3 6 66 57 SMP 0,2 400 1 3 6 6 5 6 9 67 29 SD 0,1 700 1 2 6 2 3 6 7 68 42 SD 0,1 200 1 0 5 3 2 3 5 69 39 SMP 0,6 400 1 3 4 3 3 3 6 70 69 SMP 0,2 550 1 3 4 2 6 6 10 71 64 SMP 0,7 500 0 2 5 3 6 6 13 72 70 SMA 0,2 1.500 0 6 2 2 6 5 13 73 27 SMP 0,8 500 1 5 3 3 6 5 16 74 32 SMP 0,1 500 1 0 7 2 5 5 8 75 47 SD 0,4 300 1 3 2 6 4 2 8 76 25 SD 0,4 200 0 2 7 3 5 4 5 77 40 SMP 0,5 500 1 3 6 5 2 2 3 78 62 SMP 0,3 500 0 3 6 1 2 4 7 79 29 SMP 0,3 500 0 4 7 3 6 5 12
68
Lampiran 3 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1 80 49 SD 0,8 400 1 3 3 1 6 5 13 81 73 SMP 0,2 500 0 0 6 2 3 4 7 82 56 SMP 0,3 450 1 2 7 2 6 3 13 83 55 SMP 0,7 450 1 6 5 3 5 3 10 84 60 SMA 0,0 1.300 0 6 5 6 6 3 9 85 55 SMP 0,5 550 0 5 8 4 5 3 9 86 46 SD 0,5 1.200 0 5 6 4 6 5 13 87 55 SMP 0,5 300 0 3 6 3 5 4 6 88 47 SMP 0,0 100 0 3 6 5 5 3 9 89 34 SD 1,5 300 0 3 7 6 3 3 8 90 40 SD 0,5 200 0 6 3 2 4 2 5
Keterangan : X1.1 = Umur X2.1 = Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) X1.2 = Tingkat Pendidikan X2.2 = Peran pendamping X1.3 = Luas lahan X2.3 = Ketersediaan sarana X1.4 = Tingkat Pendapatan X2.4 = Peran kelembagaan sosial X1.5 = Pekerjaan sampingan Y1 = Partisipasi masyarakat pada tahapan Perencanaan X1.6 = Persepsi
69
Lampiran 4 Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y2) No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2
1 35 SD 2,4 300 1 3 4 0 6 2 15 2 60 SMA 2,1 1.200 1 3 7 5 5 5 16 3 50 SMA 3,0 1.500 1 6 6 3 6 5 20 4 30 SMA 3,0 1.500 1 6 6 2 6 5 19 5 26 SMA 3,3 1.500 1 6 6 3 3 4 20 6 48 SD 0,5 550 1 6 4 6 3 2 16 7 45 SMP 0,6 500 1 4 4 2 5 2 16 8 56 SMA 0,7 1.000 1 5 7 6 5 2 15 9 56 SMP 0,5 560 1 4 7 6 5 2 15
10 63 SMP 0,5 500 2 4 6 5 5 4 15 11 60 SMP 0,5 550 0 6 6 3 6 4 16 12 56 SMP 0,5 375 1 3 7 1 4 5 16 13 50 SMP 0,5 500 1 4 4 3 5 5 16 14 63 SMP 0,8 450 1 3 4 2 5 5 15 15 70 SMA 1,0 1.500 1 6 4 4 5 5 15 16 55 SMP 0,7 450 1 3 7 1 3 5 14 17 40 SD 0,4 400 0 3 7 3 6 2 15 18 67 SMA 0,7 1.200 2 5 8 2 5 6 15 19 58 SMA 0,7 1.000 0 5 6 5 5 6 15 20 70 SMA 0,5 1.400 1 5 6 0 1 5 10 21 28 SD 0,3 300 0 3 0 3 6 2 18 22 70 SMA 1,2 1.500 0 6 8 5 5 6 15 23 63 SMA 1,0 1.200 1 6 6 1 6 5 18 24 56 SMP 2,5 400 0 6 5 0 5 3 15 25 57 SMP 0,4 500 0 4 6 0 4 3 11 26 32 SMP 0,7 500 1 5 3 1 6 2 17 27 71 SMP 0,6 400 0 5 6 3 2 3 11 28 32 SD 0,2 200 0 6 0 3 6 2 15 29 68 SMP 0,2 300 1 3 4 1 6 3 18 30 66 SMA 0,6 1.000 1 3 7 2 6 4 18 31 65 SMP 0,2 100 1 4 7 3 6 4 17 32 54 SMP 0,3 400 1 6 3 4 5 5 17 33 72 SMA 0,5 1.500 1 6 8 1 2 6 10 34 28 SD 0,5 300 1 3 4 3 3 3 4 35 38 SMP 0,5 500 0 4 6 0 5 3 17 36 55 SMA 0,9 1.000 1 5 4 1 4 5 12 37 35 SD 0,5 250 0 2 4 0 5 2 14 38 39 SD 0,4 350 1 4 3 2 5 4 17 39 60 SMP 0,2 400 0 6 8 3 5 5 17
70
Lampiran 4 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2 40 32 SMP 0,5 500 0 3 6 1 5 5 16 41 48 SD 0,5 300 1 4 5 3 3 6 15 42 28 SMP 2,5 400 2 2 6 2 6 5 16 43 50 SMA 2,4 1.300 0 6 6 2 6 4 17 44 50 SMP 2,5 500 1 6 5 6 6 5 15 45 20 SMP 2,1 500 0 3 7 3 4 2 19 46 56 SMA 3,0 1.200 1 6 6 3 6 2 20 47 26 SMA 3,5 1.300 1 3 6 3 6 5 15 48 38 SMA 0,4 1.200 1 4 5 3 3 2 15 49 44 SD 3,0 400 0 6 6 4 6 5 15 50 40 SMP 3,2 500 1 0 6 0 6 5 15 51 45 SMP 2,0 500 0 2 7 3 3 2 14 52 42 SMP 3,2 500 0 4 8 4 6 4 14 53 20 SMA 3,5 1.400 0 6 5 3 6 4 15 54 50 SMA 2,5 1.400 1 6 6 5 6 4 15 55 25 SMA 0,3 1.000 1 5 6 2 6 6 17 56 66 SMP 0,1 450 2 5 6 4 5 5 17 57 64 SMP 0,3 500 0 5 7 3 6 5 17 58 35 SMA 0,2 1.500 0 5 6 5 6 5 11 59 72 SMP 0,5 550 1 5 7 3 2 3 15 60 45 SMP 0,5 500 1 6 6 2 6 6 17 61 54 SMA 1,0 1.200 0 6 6 4 5 5 11 62 32 SMP 0,3 500 0 4 3 3 4 2 14 63 40 SMP 0,5 600 0 5 4 2 2 4 13 64 37 SMP 0,4 500 1 3 4 3 2 2 12 65 35 SMA 0,5 1.000 1 5 4 3 4 3 17 66 57 SMP 0,2 400 1 3 6 6 5 6 17 67 29 SD 0,1 700 1 2 6 2 3 6 10 68 42 SD 0,1 200 1 0 5 3 2 3 15 69 39 SMP 0,6 400 1 3 4 3 3 3 18 70 69 SMP 0,2 550 1 3 4 2 6 6 18 71 64 SMP 0,7 500 0 2 5 3 6 6 17 72 70 SMA 0,2 1.500 0 6 2 2 6 5 17 73 27 SMP 0,8 500 1 5 3 3 6 5 17 74 32 SMP 0,1 500 1 0 7 2 5 5 11 75 47 SD 0,4 300 1 3 2 6 4 2 15 76 25 SD 0,4 200 0 2 7 3 5 4 10 77 40 SMP 0,5 500 1 3 6 5 2 2 14 78 62 SMP 0,3 500 0 3 6 1 2 4 16 79 29 SMP 0,3 500 0 4 7 3 6 5 16
71
Lampiran 4 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2 80 49 SD 0,8 400 1 3 3 1 6 5 15 81 73 SMP 0,2 500 0 0 6 2 3 4 16 82 56 SMP 0,3 450 1 2 7 2 6 3 16 83 55 SMP 0,7 450 1 6 5 3 5 3 16 84 60 SMA 0,0 1.300 0 6 5 6 6 3 16 85 55 SMP 0,5 550 0 5 8 4 5 3 18 86 46 SD 0,5 1.200 0 5 6 4 6 5 15 87 55 SMP 0,5 300 0 3 6 3 5 4 16 88 47 SMP 0,0 100 0 3 6 5 5 3 15 89 34 SD 1,5 300 0 3 7 6 3 3 11 90 40 SD 0,5 200 0 6 3 2 4 2 11
Keterangan : X1.1 = Umur X2.1 = Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) X1.2 = Tingkat Pendidikan X2.2 = Peran pendamping X1.3 = Luas lahan X2.3 = Ketersediaan sarana X1.4 = Tingkat Pendapatan X2.4 = Peran kelembagaan sosial X1.5 = Pekerjaan sampingan Y2 = Partisipasi masyarakat pada tahapan Pelaksanaan X1.6 = Persepsi
72
Lampiran 5 Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y3) No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3
1 35 SD 2,4 300 1 3 4 0 6 2 0 2 60 SMA 2,1 1.200 1 3 7 5 5 5 0 3 50 SMA 3,0 1.500 1 6 6 3 6 5 0 4 30 SMA 3,0 1.500 1 6 6 2 6 5 10 5 26 SMA 3,3 1.500 1 6 6 3 3 4 0 6 48 SD 0,5 550 1 6 4 6 3 2 10 7 45 SMP 0,6 500 1 4 4 2 5 2 10 8 56 SMA 0,7 1.000 1 5 7 6 5 2 0 9 56 SMP 0,5 560 1 4 7 6 5 2 0
10 63 SMP 0,5 500 2 4 6 5 5 4 12 11 60 SMP 0,5 550 0 6 6 3 6 4 16 12 56 SMP 0,5 375 1 3 7 1 4 5 12 13 50 SMP 0,5 500 1 4 4 3 5 5 12 14 63 SMP 0,8 450 1 3 4 2 5 5 12 15 70 SMA 1,0 1.500 1 6 4 4 5 5 16 16 55 SMP 0,7 450 1 3 7 1 3 5 16 17 40 SD 0,4 400 0 3 7 3 6 2 20 18 67 SMA 0,7 1.200 2 5 8 2 5 6 16 19 58 SMA 0,7 1.000 0 5 6 5 5 6 10 20 70 SMA 0,5 1.400 1 5 6 0 1 5 0 21 28 SD 0,3 300 0 3 0 3 6 2 15 22 70 SMA 1,2 1.500 0 6 8 5 5 6 17 23 63 SMA 1,0 1.200 1 6 6 1 6 5 16 24 56 SMP 2,5 400 0 6 5 0 5 3 16 25 57 SMP 0,4 500 0 4 6 0 4 3 12 26 32 SMP 0,7 500 1 5 3 1 6 2 13 27 71 SMP 0,6 400 0 5 6 3 2 3 0 28 32 SD 0,2 200 0 6 0 3 6 2 12 29 68 SMP 0,2 300 1 3 4 1 6 3 12 30 66 SMA 0,6 1.000 1 3 7 2 6 4 5 31 65 SMP 0,2 100 1 4 7 3 6 4 12 32 54 SMP 0,3 400 1 6 3 4 5 5 10 33 72 SMA 0,5 1.500 1 6 8 1 2 6 0 34 28 SD 0,5 300 1 3 4 3 3 3 12 35 38 SMP 0,5 500 0 4 6 0 5 3 0 36 55 SMA 0,9 1.000 1 5 4 1 4 5 16 37 35 SD 0,5 250 0 2 4 0 5 2 0 38 39 SD 0,4 350 1 4 3 2 5 4 10 39 60 SMP 0,2 400 0 6 8 3 5 5 0
73
Lampiran 5 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3 40 32 SMP 0,5 500 0 3 6 1 5 5 0 41 48 SD 0,5 300 1 4 5 3 3 6 10 42 28 SMP 2,5 400 2 2 6 2 6 5 0 43 50 SMA 2,4 1.300 0 6 6 2 6 4 0 44 50 SMP 2,5 500 1 6 5 6 6 5 12 45 20 SMP 2,1 500 0 3 7 3 4 2 16 46 56 SMA 3,0 1.200 1 6 6 3 6 2 11 47 26 SMA 3,5 1.300 1 3 6 3 6 5 7 48 38 SMA 0,4 1.200 1 4 5 3 3 2 16 49 44 SD 3,0 400 0 6 6 4 6 5 16 50 40 SMP 3,2 500 1 0 6 0 6 5 0 51 45 SMP 2,0 500 0 2 7 3 3 2 0 52 42 SMP 3,2 500 0 4 8 4 6 4 10 53 20 SMA 3,5 1.400 0 6 5 3 6 4 0 54 50 SMA 2,5 1.400 1 6 6 5 6 4 0 55 25 SMA 0,3 1.000 1 5 6 2 6 6 15 56 66 SMP 0,1 450 2 5 6 4 5 5 19 57 64 SMP 0,3 500 0 5 7 3 6 5 0 58 35 SMA 0,2 1.500 0 5 6 5 6 5 10 59 72 SMP 0,5 550 1 5 7 3 2 3 0 60 45 SMP 0,5 500 1 6 6 2 6 6 16 61 54 SMA 1,0 1.200 0 6 6 4 5 5 12 62 32 SMP 0,3 500 0 4 3 3 4 2 6 63 40 SMP 0,5 600 0 5 4 2 2 4 8 64 37 SMP 0,4 500 1 3 4 3 2 2 0 65 35 SMA 0,5 1.000 1 5 4 3 4 3 16 66 57 SMP 0,2 400 1 3 6 6 5 6 4 67 29 SD 0,1 700 1 2 6 2 3 6 7 68 42 SD 0,1 200 1 0 5 3 2 3 12 69 39 SMP 0,6 400 1 3 4 3 3 3 12 70 69 SMP 0,2 550 1 3 4 2 6 6 20 71 64 SMP 0,7 500 0 2 5 3 6 6 20 72 70 SMA 0,2 1.500 0 6 2 2 6 5 0 73 27 SMP 0,8 500 1 5 3 3 6 5 0 74 32 SMP 0,1 500 1 0 7 2 5 5 20 75 47 SD 0,4 300 1 3 2 6 4 2 20 76 25 SD 0,4 200 0 2 7 3 5 4 20 77 40 SMP 0,5 500 1 3 6 5 2 2 0 78 62 SMP 0,3 500 0 3 6 1 2 4 0 79 29 SMP 0,3 500 0 4 7 3 6 5 16
74
Lampiran 5 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3 80 49 SD 0,8 400 1 3 3 1 6 5 16 81 73 SMP 0,2 500 0 0 6 2 3 4 16 82 56 SMP 0,3 450 1 2 7 2 6 3 0 83 55 SMP 0,7 450 1 6 5 3 5 3 20 84 60 SMA 0,0 1.300 0 6 5 6 6 3 20 85 55 SMP 0,5 550 0 5 8 4 5 3 0 86 46 SD 0,5 1.200 0 5 6 4 6 5 0 87 55 SMP 0,5 300 0 3 6 3 5 4 13 88 47 SMP 0,0 100 0 3 6 5 5 3 12 89 34 SD 1,5 300 0 3 7 6 3 3 16 90 40 SD 0,5 200 0 6 3 2 4 2 16
Keterangan : X1.1 = Umur X2.1 = Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) X1.2 = Tingkat Pendidikan X2.2 = Peran pendamping X1.3 = Luas lahan X2.3 = Ketersediaan sarana X1.4 = Tingkat Pendapatan X2.4 = Peran kelembagaan sosial X1.5 = Pekerjaan sampingan Y3 = Partisipasi masyarakat pada tahapan Evaluasi X1.6 = Persepsi
Lampiran 6 Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Perencanaan
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1 Spearman's rho X1.1 Correlation
Coefficient 1.000 .288(**) -.293(**) .103 .081 .216(*) .155 -.049 -.159 .314(**) .151
Sig. (2-tailed) . .006 .005 .332 .449 .040 .146 .649 .135 .003 .156 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.2 Correlation
Coefficient .288(**) 1.000 .246(*) .742(**) .142 .445(**) .275(**) -.054 .082 .247(*) .493(**)
Sig. (2-tailed) .006 . .019 .000 .183 .000 .009 .612 .441 .019 .000 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.3 Correlation
Coefficient -.293(**) .246(*) 1.000 .296(**) .000 .128 .175 .053 .166 -.124 .371(**)
Sig. (2-tailed) .005 .019 . .005 .999 .230 .099 .619 .119 .245 .000 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.4 Correlation
Coefficient .103 .742(**) .296(**) 1.000 .002 .391(**) .240(*) -.002 .135 .125 .402(**)
Sig. (2-tailed) .332 .000 .005 . .988 .000 .023 .988 .206 .240 .000 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.5 Correlation
Coefficient .081 .142 .000 .002 1.000 -.054 -.074 -.109 -.046 .090 .084
Sig. (2-tailed) .449 .183 .999 .988 . .610 .486 .306 .667 .397 .432 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.6 Correlation
Coefficient .216(*) .445(**) .128 .391(**) -.054 1.000 -.022 .150 .105 .105 .279(**)
Sig. (2-tailed) .040 .000 .230 .000 .610 . .835 .159 .326 .325 .008 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90
76
Lampiran 6 Lanjutan X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1
X2.1 Correlation Coefficient .155 .275(**) .175 .240(*) -.074 -.022 1.000 -.023 -.016 .268(*) .231(*)
Sig. (2-tailed) .146 .009 .099 .023 .486 .835 . .829 .882 .011 .029 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.2 Correlation
Coefficient -.049 -.054 .053 -.002 -.109 .150 -.023 1.000 -.049 -.196 -.094
Sig. (2-tailed) .649 .612 .619 .988 .306 .159 .829 . .648 .064 .378 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.3 Correlation
Coefficient -.159 .082 .166 .135 -.046 .105 -.016 -.049 1.000 .045 .346(**)
Sig. (2-tailed) .135 .441 .119 .206 .667 .326 .882 .648 . .676 .001 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.4 Correlation
Coefficient .314(**) .247(*) -.124 .125 .090 .105 .268(*) -.196 .045 1.000 .298(**)
Sig. (2-tailed) .003 .019 .245 .240 .397 .325 .011 .064 .676 . .004 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 Y1 Correlation
Coefficient .151 .493(**) .371(**) .402(**) .084 .279(**) .231(*) -.094 .346(**) .298(**) 1.000
Sig. (2-tailed) .156 .000 .000 .000 .432 .008 .029 .378 .001 .004 . N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
77
Lampiran 7 Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Pelaksanaan
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2 Spearman's rho X1.1 Correlation
Coefficient 1.000 .288(**) -.293(**) .103 .081 .216(*) .155 -.049 -.159 .314(**) .322(**)
Sig. (2-tailed) . .006 .005 .332 .449 .040 .146 .649 .135 .003 .002 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.2 Correlation
Coefficient .288(**) 1.000 .246(*) .742(**) .142 .445(**) .275(**) -.054 .082 .247(*) .397(**)
Sig. (2-tailed) .006 . .019 .000 .183 .000 .009 .612 .441 .019 .000 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.3 Correlation
Coefficient -.293(**) .246(*) 1.000 .296(**) .000 .128 .175 .053 .166 -.124 .098
Sig. (2-tailed) .005 .019 . .005 .999 .230 .099 .619 .119 .245 .358 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.4 Correlation
Coefficient .103 .742(**) .296(**) 1.000 .002 .391(**) .240(*) -.002 .135 .125 .279(**)
Sig. (2-tailed) .332 .000 .005 . .988 .000 .023 .988 .206 .240 .008 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.5 Correlation
Coefficient .081 .142 .000 .002 1.000 -.054 -.074 -.109 -.046 .090 .186
Sig. (2-tailed) .449 .183 .999 .988 . .610 .486 .306 .667 .397 .079 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.6 Correlation
Coefficient .216(*) .445(**) .128 .391(**) -.054 1.000 -.022 .150 .105 .105 .256(*)
Sig. (2-tailed) .040 .000 .230 .000 .610 . .835 .159 .326 .325 .015 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90
78
Lampiran 7 Lanjutan X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2 X2.1 Correlation
Coefficient .155 .275(**) .175 .240(*) -.074 -.022 1.000 -.023 -.016 .268(*) .268(*)
Sig. (2-tailed) .146 .009 .099 .023 .486 .835 . .829 .882 .011 .011 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.2 Correlation
Coefficient -.049 -.054 .053 -.002 -.109 .150 -.023 1.000 -.049 -.196 -.039
Sig. (2-tailed) .649 .612 .619 .988 .306 .159 .829 . .648 .064 .715 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.3 Correlation
Coefficient -.159 .082 .166 .135 -.046 .105 -.016 -.049 1.000 .045 .316(**)
Sig. (2-tailed) .135 .441 .119 .206 .667 .326 .882 .648 . .676 .002 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.4 Correlation
Coefficient .314(**) .247(*) -.124 .125 .090 .105 .268(*) -.196 .045 1.000 .379(**)
Sig. (2-tailed) .003 .019 .245 .240 .397 .325 .011 .064 .676 . .000 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 Y2 Correlation
Coefficient .322(**) .397(**) .098 .279(**) .186 .256(*) .268(*) -.039 .316(**) .379(**) 1.000
Sig. (2-tailed) .002 .000 .358 .008 .079 .015 .011 .715 .002 .000 . N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
79
Lampiran 8 Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Evaluasi X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3 Spearman's rho X1.1 Correlation
Coefficient 1.000 .288(**) -.293(**) .103 .081 .216(*) .155 -.049 -.159 .314(**) .015
Sig. (2-tailed) . .006 .005 .332 .449 .040 .146 .649 .135 .003 .888 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.2 Correlation
Coefficient .288(**) 1.000 .246(*) .742(**) .142 .445(**) .275(**) -.054 .082 .247(*) -.129
Sig. (2-tailed) .006 . .019 .000 .183 .000 .009 .612 .441 .019 .227 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.3 Correlation
Coefficient -.293(**) .246(*) 1.000 .296(**) .000 .128 .175 .053 .166 -.124 -.121
Sig. (2-tailed) .005 .019 . .005 .999 .230 .099 .619 .119 .245 .256 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.4 Correlation
Coefficient .103 .742(**) .296(**) 1.000 .002 .391(**) .240(*) -.002 .135 .125 -.172
Sig. (2-tailed) .332 .000 .005 . .988 .000 .023 .988 .206 .240 .104 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.5 Correlation
Coefficient .081 .142 .000 .002 1.000 -.054 -.074 -.109 -.046 .090 -.072
Sig. (2-tailed) .449 .183 .999 .988 . .610 .486 .306 .667 .397 .502 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X1.6 Correlation
Coefficient .216(*) .445(**) .128 .391(**) -.054 1.000 -.022 .150 .105 .105 .040
Sig. (2-tailed) .040 .000 .230 .000 .610 . .835 .159 .326 .325 .712 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90
80
Lampiran 8 Lanjutan X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3 X2.1 Correlation
Coefficient .155 .275(**) .175 .240(*) -.074 -.022 1.000 -.023 -.016 .268(*) -.254(*)
Sig. (2-tailed) .146 .009 .099 .023 .486 .835 . .829 .882 .011 .016 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.2 Correlation
Coefficient -.049 -.054 .053 -.002 -.109 .150 -.023 1.000 -.049 -.196 .017
Sig. (2-tailed) .649 .612 .619 .988 .306 .159 .829 . .648 .064 .871 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.3 Correlation
Coefficient -.159 .082 .166 .135 -.046 .105 -.016 -.049 1.000 .045 .033
Sig. (2-tailed) .135 .441 .119 .206 .667 .326 .882 .648 . .676 .760 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 X2.4 Correlation
Coefficient .314(**) .247(*) -.124 .125 .090 .105 .268(*) -.196 .045 1.000 .058
Sig. (2-tailed) .003 .019 .245 .240 .397 .325 .011 .064 .676 . .586 N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 Y3 Correlation
Coefficient .015 -.129 -.121 -.172 -.072 .040 -.254(*) .017 .033 .058 1.000
Sig. (2-tailed) .888 .227 .256 .104 .502 .712 .016 .871 .760 .586 . N 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90 90
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
81
Lampiran 9 Hirarki peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL
Peningkatan Partisipasi Masayarakat
Pemerintah
Tingkat Pendidikan
Masyarakat
Persepsi Tingkat Pendapatan
Pekerjaan Sampingan
Umur Luas Lahan
Peran kelembagaan
sosial
Intensitas sosialisasi program
(penyuluhan)
Peran pendamping
Ketersediaan sarana
Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
Meningkatkan dukungan dari pemerintah
82
Lampiran 10 Nilai banding berpasangan (pairwise compasrison) Level : Aktor
Aktor Pemerintah Masyarakat Pemerintah 1 5 Masyarakat 1/5 1
Level : Kriteria Keterkaitan dengan : Masyarakat
Kriteria 1 2 3 4 5 6 1 1 1/7 1/3 1/6 1/6 1/5 2 7 1 5 3 5 3 3 3 1/5 1 1/3 1/5 1/3 4 6 1/3 3 1 5 3 5 6 1/5 5 1/5 1 3 6 5 1/3 3 3 1/3 1
Keterangan: 1. Umur 2. Tingkat pendidikan 3. Luas lahan 4. Tingkat pendapatan 5. Pekerjaan sampingan 6. Persepsi Level : Kriteria Keterkaitan dengan : Pemerintah
Kriteria 1 2 3 4 1 1 4 1/3 5 2 1/4 1 1/4 3 3 3 4 1 6 4 1/5 1/3 1/6 1
Keterangan: 1. Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) 2. Peran pendamping 3. Ketersediaan sarana 4. Peran kelembagaan sosial
83
Lampiran 10 Lanjutan Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Umur
Alternatif 1 2 1 1 7 2 1/7 1
1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Tingkat pendidikan
Alternatif 1 2 1 1 7 2 1/7 1
1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Luas lahan
Alternatif 1 2 1 1 7 2 1/7 1
1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Tingkat pendapatan
Alternatif 1 2 1 1 7 2 1/7 1
1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Pekerjaan sampingan
Alternatif 1 2 1 1 9 2 1/9 1
1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
84
Lampiran 10 Lanjutan Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Persepsi
Alternatif 1 2 1 1 9 2 1/9 1
1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Intensitas sosialisasi program (penyuluhan)
Alternatif 1 2 1 1 9 2 1/9 1
1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Peran pendamping
Alternatif 1 2 1 1 7 2 1/7 1
1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Ketersediaan sarana
Alternatif 1 2 1 1 3 2 1/3 1
1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Peran kelembagaan sosial
Alternatif 1 2 1 1 3 2 1/3 1
1. Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
Recommended