View
237
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA
PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG (INCEST)
(Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms)
SKRIPSI
Disusun Oleh :
DHIMAS PANDU PUTRA
E1A007203
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
i
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK
PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG (INCEST)
(Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms)
SKRIPSI
Disusun Oleh :
DHIMAS PANDU PUTRA
E1A007203
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat, karunia serta hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM
TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG
(INCEST) (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/
2009/PN. Bms)”. dengan melalui proses yang panjang, berlomba dengan waktu,
pengorbanan, serta suka dan duka telah penulis lewati. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara materiil maupun
immateriil. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
2. Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H ., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I,
sekaligus sebagai Pembimbing Akademik Saya. Terimakasih atas
segala wawasan, saran, nasihat, dan dan dukungan dalam akademis
serta tidak lupa mendidik saya menjadi pribadi yang perfeksionis
seperti beliau;
v
4. Pranoto S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II, yang telah
sudi meluangkan waktu untuk konsultasi dan berdiskusi dengan
penulis, sehingga penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berfikir
lebih baik serta segala wawasan, saran, nasihat, dan perhatian yang
telah diberikan kepada penulis selama ini sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini;
5. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji. Terimakasih
atas segala masukan baik berupa saran dalam penulisan maupun
segala pengertian serta kesabaran yang dicurahkan, sehingga
menjadikan penulis tidak patah arang untuk menyelesaikan penulisan
skripsi ini;
6. Kedua orang tua saya, Babe Kunto (Tuan Takur) dan Mama Aries
Setyamami, S.Sos.,M.Si., (Kumis). yang telah melahirkan, mendidik
dan membesarkan penulis de ngan segala kasih sayang, memberi
dukungan, dan selalu memotivasi penulis hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan tak henti mengucap syukur dan
penuh rasa bangga ;
7. Dewi Sinta S.E Beserta Keluarga Kecilnya, Bripka. Wahyu
Pamungkas, S.H dan Kedua buah hatinya Panjul dan Gutheng yang
akan selalu menjadi saudari dan keluarga kedua saya;
8. Nenek Murwati (Guruh), Dini Famz, Iig Famz, Cunong Famz, Wa’
Sur Famz, Mas Pur Fams, dan Seluruh keluarga besar saya yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu. Terimakasih te lah memberikan
dukungan kepada penulis dan baik materiil maupun spiritual hingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
vi
9. Yayu Usri Famz yang selalu memberi petuah-petuah bijak dan
dorongan spiritual bagi kehidupan penulis;
10. Budiman Haryanto S.H.,M.H., selaku dosen sekaligus ayah kedua
saya yang selalu memberi masukan-masukan dalam bentuk dukungan
moral maupun spiritual yang berma nfaat untuk penulis dalam
menjalani dan mengilhami kehidupan penulis hari ini dan seterusnya ;
11. Hj. Rochani Urip Salami S.H.,M.S., selaku dosen sekaligus ibu kedua
saya, yang tak pernah luput untuk menghimbau perjalanan hidup
penulis selama menjadi mahasiswa. Beliau selalu membantu, memberi
masukan, memberi nasihat, dan memberi petuah-petuah yang
menjadikan penulis menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari.
Terimaksih Ibunda Rochani untuk semuanya, mungkin bila tidak ada
beliau penulis tidak akan pernah menyelesaikan studinya di Fakultas
Hukum Unsoed;
12. Seluruh staf dan jajaran dosen yang sudah memberi ilmu kepada
penulis;
13. Para keajaiban penulis selama penulis menjadi mahasiswa, Ghifari
(PAY), Angger Pradipta Tama (Kustarika), Iwan Saefudin (Udet),
Talenta Gilang Sidiq Purwanto (Tatul), Nimas Linggar Panggraita
(Fat Nimsky) , Yosephin Elkontantia Rizki Wiharyanti (Pipin), Inggit
Wahyu Putra (The Legend Of Banyuwangi), Gideon Manurung (Prof.
Grandson Of Gates), Ayu Nahdiatuzahra, Rika Fitriyani, Danang
Satriyo, Rosandra Gisca Andiny (Medina Kimcil), Tedy Jawono,
Kiswanto;
vii
14. Rekan-rekan penulis di Fakultas Hukum Unsoed, Arinal Nusisyad
Hanum, Khairah Ummah, Friska Mahardika, Chandra Kurniawan,
Muhammad Abduh (Rival), Muhammad Iqbal, David Prima,
Subkhan Hidayatulloh, Ikhsan Fathony, Eky Nurizky, Ilham
Mahardika, Nugraha Irman, Raden Ahmad Fauzi Zulfikar, Gatot
Sudewo;
15. Para wanita yang mengisi kehidupan penulis sejak penulis menjadi
mahasiswa. (maaf tidak bisa disebutkan) terimakasih telah mengajari
penulis arti cinta;
16. Bapak dan Mas Baiz, yang selalu memberi tempat dan kemudahan
penulis dengan materi fotokopi, dan juga kopinya;
17. Ibu Kantin, yang selalu memberi menu terlezat dalam setiap hidangan
masakanya disaat suntuk dan lelah menjalani kuliah;
18. Bapak Satpam, yang selalu memberi perlindungan intern dan extern
terhadap keamanan Fakultas Hukum Unsoed;
19. Team HOTSPOT F H Unsoed Tyas Swastyo Aji (El-Com mander),
Nawaf Abdullah (The Captain), Zaky Abdullah (The Handsome Boy),
Raditya Alferro (The Care Boy) Thanks Buat Putusanya. Reymon
Fanal, Danang Satriyo, Adhitia Pradana (Kopet) Bayu Sendy Pratama,
Indra Santosa, Ali Dwi Iskandar, Denny Zambrut (Sang Penerus),
Ryan Boby;
20. Team Pra Seminar (Rio, Lulu, Heru, Wahyu, Gideon, Nimas, Inggit,
Ozi, dll) ;
viii
21. Seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
angkatan 2007. Terimakasih atas bantuan, dukungan, dan
kerjasamanya selama menjalani masa studi bersama;
22. Seluruh pihak, baik di dalam maupun diluar Fakultas Hukum yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Mohon maaf belum sempat
tersebut semuanya , namun bukan berarti penulis melupakanya.
Kepada seluruh pihak yang terkait, penulis mengucapkan
terimakasih banyak untuk bantuan, dukungan, serta kerjasamanya,
hingga pada akhirnya terselesaikannya skripsi ini. Dalam
perjalana nnya, penulis merasa bahwa cinta, tawa, duka, dan usaha,
adalah bait setiap prosa dalam kehidupan penulis, semuanya itu
menjadi inspirasi terbesar dalam perjalanan kehidupan penulis.
(dhimaspanduputra.blogspot.com,“RONA” Karna Hidup Penuh
Warna).
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, karenanya penulis
mengharapkan kritik dan sa ran dari berbagai pihak demi penyempurnaan skripsi
ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Purwokerto, Agustus 2014
DHIMAS PANDU PUTRA
E1A007203
ix
ABSTRAK
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK KANDUNG (INCEST)
(Tinjauan Yuridis terha dap Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms)
Kasus perkosaan terhadap anak kandung yang dilakukan oleh seorang bapak ternyata bukan hanya fenomena perkotaan, tapi juga fenomena kejahatan di daerah. Di Kabupaten Banyumas tepatnya di Desa Tanggeran RT 06 RW 01 Tuslam Turyadi melakukan perkosaan terhadap satu ana k tirinya dan satu anak kandungnya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis diperlukannya Visum et Repertum dalam tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest). Selain itu ditujukkan pula untuk mengetahui akibat hukum dari putusan pemidanaan dalam dalam Putusan Nomor : 124/Pid.Sus/2009/Pn.Bms. Guna mencapai tujuan tersebut maka peneletian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data sekunder yang terkumpul kemudian diolah, disajikan, dan dianalisa secara kua litatif dengan penyajian data teks naratif.
Hasil penelitian menyatakan bahwa, diperlukannya Visum et Repertum dalam tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest), pada dasarnya untuk membuktikan unsur “melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang orang lain” pada Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Keterangan saksi pada dasarnya kurang cukup untuk dapat memberikan keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan incest terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Visum et Reppertum dalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada alat bukti surat ini tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Dalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN. Bms, Visum et Repertum RSUD Banyumas No.440/1082/X/2009 dan visum et Repertum RSUD Banyumas No.440/1081/X/2009 yang masing-masing ditandatangani oleh dr.Amrizal, Sp.Og tanggal 7 Oktober 2009 dipertimbangkan oleh Majelis Hakim sebagai dasar untuk membuktikan adanya persetubuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
*Kata Kunci: Incest dan Visum
x
ABSTRACT
VISUM ET REPERTUM EVIDENTIARY POWER IN CRIMINAL ACTS OF RAPE AGAINST CHILDREN(INCEST)
(Juridical Review verdict Number of 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms)
Cases of rape against children committed by a father turns out to be not just an urban phenomenon, but also the phenomenon of crime in the area. Banyumas Regency at Tanggeran Village RT 01 RW 06, Tuslam Turyadi do rape against one his stepdaughter and one his children. This research was conducted with the aim to analyze the need for Visum et Repertum in criminal acts of rape against children (Incest). In addition it is intended also to know the legal consequences of a criminal Verdict in the award number: 124/Pid. Sus/2009/PN.Bms. in order to achieve these goals then this research was conducted by using the juridical normative approach. Secondary Data are collected and then processed, presented, and analyzed qualitatively with the presentation of narrative text data.
Results of the study stated that, it needs Visum Et Repertum In criminal acts of Rape Against Children (incest) basically to prove the element of "doing violence or threats of violence to force children perform coitus with him or with others", in section 81 subsection (1) of Act No. 23 of 2002 on child protection. Witnesses are essentially lacking enough confidence to give judges that the defendant has committed acts of Incest against a child as set forth in article 81, paragraph (1) of Act No. 23 of 2002 on child protection. Visum et Repertum award number: 124/Pid. Sus/2009/PN. Bms. is not evidence, which has the force of law. On the evidence of these letters are not attached to the power of proof which is binding. Rating the strength of evidence proving the letter as well as the value of the strength of witnesses and proof evidence expert description, equally has the power of proof are free. The award number: 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms. Visum et Repertum Bms HOSPITALS Banyumas No. visum et Repertum and 440/1082/X/2009 HOSPITALS Banyumas No. 440/1081/X/2009 who each signed by dr.Amrizal, SP. Og 7 October 2009 considered by Tribunal Judges as the basis to prove the existence of promiscuity as provided for in article 81, paragraph (1) of Act No. 23 of 2002 on child protection.
*Keywords: Incest and Visum
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
LEMBAR PERNYATAAN..............................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................…..............
ABSTRAK.........................................................................................................
ABSTRACT……………………………………………………………............
DAFTAR ISI.....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
B. Perumusan Masalah ....................................................................
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
D. Kegunaan Penelitiaan .................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tujuan Hukum Acara Pidana…………………………..………
B. Pembuktian……………………………………………………..
1. Pengertian Pembuktian…………………………………….
2. Alat Bukti Menurut KUHAP……………………………...
3. Teori Pembuktian………………………………………….
C. Visum et Repertum…………………………………………………...
1. Pengertian Visum et Repertum………………………………...
2. Kekuatan Pembuktian Visum et Repertum…………………..
D. Tindak Pidana Perkosaan, Incest,dan Persetubuhan…..…….....
i
ii
iii
iv
ix
x
xi
1
6
6
6
8
10
10
12
25
32
32
36
37
xii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan………………………………………………
B. Spesifikasi Penelitian…………………………………………….
C. Sumber Data................…………………………………………..
D. Metode Pengumpulan data………………………………………
E. Metode Penyajian data...................................................................
F. Metode Analisis data…………………………………………….
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian…………………………………………………..
1. Duduk Perkara ……………………………………………..
2. Dakwaan Penuntut Umum………………………………….
3. Pembuktian………………………………………………….
4. Tuntutan Penuntut Umum…………………………………..
5. Putusan………………………………………………………
B. Pembahasan……………………………………………………...
1. Tujuan Diperlukannya Visum Et Repertum Dalam Tindak
Pidana Perkosaan Terhadap Anak Kandung (Incest).............
2. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat Berupa Visum Et
Repertum Dalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN.
Bms………………………………………………………….
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ....................................................................................
B. Saran .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
46
46
47
48
48
48
49
49
53
53
72
73
80
80
90
102
103
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Kejahatan merupakan bagian kehidupan sosial, hidup, dan tidak terpisahkan
dari kegiatan manusia sehari-hari. Perampokan, pemerkosaan, penipuan,
penodongan, dan berbagai bentuk perilaku sejenis, menunjukan dinamika sosial,
suatu bentuk normal dari kehidupan sosial. 1 Tindak pidana perkosaan terhadap
anak kandung merupakan fenomena sosial yang melampaui batas moral. Tindak
pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur, termasuk pula ke dalam salah
satu masalah hukum yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam.
Sejumlah kasus pemerkosaan anak yang dilakukan ayah kandung kembali
terkuak. Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto
Mulyadi, memaparkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak di
lingkungan keluarga meningkat. Hal ini menurut lelaki yang biasa disapa Kak
Seto itu karena perubahan situasi lingkungan dan maraknya peredaran video
porno. 2
Data statistik dari Komnas Nasional Perlindungan Anak menyatakan, telah
menerima 673 pengaduan eksploitasi seksual komersial terhadap anak sepanjang
2012. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 480 kasus.
Sedangkan untuk kasus perkosaan tercatat pada periode 1998-2010 terjadi 4.845
1 Mien Rukmini, 2006, Apek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai),
Alumni, Bandung, hal. 81. 2 Edo, Kekerasan Seksual terhadap Anak Meningkat ,
http://news.liputan6.com/read/398970/kekerasan-seksual-terhadap -anak-meningkat, diakses pada tanggal 10 Desember 2013.
2
di Indonesia.Bahkan lebih jauh lagi, dari catatan Indonesia Police Watch (IPW)
sudah ada 25 kasus perkosaan yang terjadi sepanjang Januari 2013.Mengutip
keterangan Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, “Pada Januari 2013 tepatnya
hingga 25 Januari 2013 sudah terjadi 25 kasus perkosaan dan dua kasus
pencabulan, dengan jumlah korban sebanyak 29 orang dan jumlah pelaku
mencapai 45 orang diantaranya perkosaan terhadap anak kandung.3
Maraknya kasus pemerkosaan dengan korban anak di bawah umur
khususnya terhadap anak kandung memang sungguh memilukan. Tindakan
tersebut tidak hanya merusak masa depan korban, tetapi juga berpotensi
mengganggu kejiwaan korban dan kehidupan sosialnya. Korban yang merasa
dirinya telah ternoda mungkin tidak berani berbaur dengan lingkungan sosialnya,
karena malu. Selain itu, gunjingan masyarakat sekitar bisa saja mengakibatkan
korban semakin terpuruk. Jika hal ini berlangsung terus-menerus tanpa ada
dukungan yang memicu keberanian korban untuk tampil kembali di depan publik,
tidak tertutup kemungkinan korban justru akan mengalami gangguan kejiwaan
sehingga mengakibatkannya depresi.
Pemerkosaan terhadap anak di bawah umur umumnya dilakukan oleh orang
terdekat, bisa keluarga baik itu ayah, paman, kakak, ataupun teman-temannya.
Pelaku diduga mengalami depresi dengan kehidupannya sendiri. Kondisi tersebut
menyebabkan pelaku mengalami penyimpangan sosial sehingga
melampiaskannya kepada orang-orang terdekat. Oleh sebab itu, banyak ditemukan
3Junet Rajagukguk, Fenomena Meningkatnya Pemerkosaan (Pencabulan) Terhadap Anak
di Bawah Umur , http://hukum.kompasiana.com/2013/02/14/fenomena-meningkatnya-pemerkosaan-pencabulan-terhadap-anak-di-bawah-umur-533665.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2013.
3
kasus-kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh kakak, paman, bahkan ayah
kandung sendiri.
Penegakan hukum terhadap kejahatan tersebut tentunya perlu dilakukan.
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada
hakekatnya bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid )
yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat waktu dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwa melakukan suatu
pelanggaran hukum.
Proses pencarian kebenaran materiil atas peristiwa pidana melalui tahapan-
tahapan tertentu yaitu, dimulai dari tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menentukan lebih lanjut putusan
pidana yang akan diambil. Putusan pidana oleh hakim itu sendiri didasarkan pada
adanya kebenaran materiil yang tepat dan berlaku menurut ketentuan undang-
undang, dalam hal ini hukum acara pidana. Penemuan kebenaran materiil tidak
terlepas dari masalah pembuktian, yaitu tentang kejadian yang konkret dan
senyatanya. Membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan
hal-hal yang dapat ditangkap oleh pancaindera, mengutarakan hal-hal tersebut
secara logika.4
Dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib
mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang
ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah
4 Y.A. Triana Ohoiwutun, 2006, Profesi Dokter dan Visum et Repertum (Penegakan Hukum
dan Permasalahannya) , Dioma, Malang, hal. 10.
4
sebagaimana dimaksud di atas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan
perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (yang
selanjutnya disebut KUHAP) pada Pasal 184 ayat (1).5
Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dalam
penyelesaiannya memerlukan bantuan seorang ahli dalam rangka mencari
kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya. Mengenai permintaan bantuan
tenaga ahli diatur dalam KUHAP yakni Pasal 120 ayat (1), yang menyatakan :
“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus”. Keterangan dokter yang dimaksudkan
tersebut dituangkan secara tertulis sebagai hasil pemeriksaan medis yang disebut
dengan Visum et Repertum.
Dalam hukum positif Indonesia arti perbuatan perkosaan dapat dikaitkan
dengan kekerasan terhadap perempuan. Perkosaan adalah bagian dari kekerasan
terhadap perempuan yang terdiri atas kekerasan fisik, psikis, dan seksual. 6
Perkosaan dapat disebabkan karena korban, pelaku dan situasi yang
memungkinkan terjadinya perkosaan terhadap anak kandung.
Tindak pidana perkosaan merupakan tindakan penggunaan ancaman,
kekuatan fisik, atau intimidasi dalam rangka memperoleh relasi seksual dengan
kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang tersebut.Laki-laki
5Waluyadi, 1999, Pengetahuan dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung, hal.
100. 6 A gus Purwadianto, 2003, Perkosaan Sebagai Pelanggaran HAM, Djambatan Jakarta,
hal. 65.
5
pelaku berniat bukan hanya sekedar melampiaskan hasrat seksualnya saja, tetapi
berkeinginan untuk menista dan merendahkan perempuan korban dengan cara
memakai seks sebagai senjata untuk menyatakan kekerasan, kekuatan, dan
agresinya. 7
Wirjono,8menyatakan bahwa :
Kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya (belanda) yakni Verkrachting tidaklah tepat karena istilah perkosaan tidak menggambarkan secara tepat tentang perkosaan menurut arti yang sempit sebenarnya, dari kualifikasi Verkrachting , yakni perkosaan untuk bersetubuh oleh karena itu menurut beliau kualifikasi yang tepat untuk Pasal 285 ini adalah perkosaan untuk bersetubuh.
Kasus perkosaan terhadap anak kandung yang dilakkan oleh seorang bapak
ternyata bukan hanya fenomena perkotaan, tapi juga fenomena kejahatan di
daerah. Di Kabupaten Banyumas tepatnya di Desa Tanggeran RT 06 RW 01
Tuslam Turyadi melakukan perkosaan terhadap satu anak tirinya dan satu anak
kandungnya. Perilaku ini dilakukan terus menerus dan dilatarbelakangi
ketidakpuasan terhadap istrinya. Perilaku amoral tersebut tentunya menarik untuk
dikaji secara mendalam.
Berdasarkan latar belakang di atas maka, penulis tertarik melakukan
penelitian yang menitik beratkan aspek normatif dengan judul
“KekuatanPembuktian Visum et Repertum Dalam Tindak Pidana Perkosaan
Terhadap Anak Kandung (Incest)(Tinjauan Yuridis terhadap Putusan
Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms ).
7Oka Dhermawan, 2005, Perlindungan Hukum Pelaksnaan Aborsi Bagi Perempuan
Korban Perkosaan, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal. 20 8 Adam Chazawi, 2005, Tindak Pidana mangenai Kesopanan, Raja Grafindo, Jakarta,
hal. 62 -63.
6
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan
sebagai berikut :
1. Apakah dalam (incest) tindak pidana perkosaan terhadap anak
kandung Visum et Repertumdiperlukan ?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti surat berupa Visum et
RepertumdalamPutusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisisdiperlukannya Visum et Repertum dalam tindak
pidana perkosaan terhadap anak kandung (incest).
2. Untuk menganalisis kekuatan pembuktian alat bukti surat berupa
Visum et RepertumdalamPutusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN. Bms.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat pada pengembangan teori
dalam hukum acara pidana khususnya mengenai kekuatan
pembuktian alat buki surat berupa Visum et Repertumdalam
tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung.
b. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan
pengajaran menambah materi perkuliahan khususnya dalam
Mata Kuliah Hukum Acara Pidana.
7
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penelitian
sejenis.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi aparatur
penegak hukum baik Polisi, Jaksa, maupun Hakim khususnya
mengenai kekuatan alat bukti Visum et Repertumdalam tindak
pidana perkosaan terhadap anak kandung.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tujuan Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana merupakan peraturan hukum yang mengatur tentang
bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana
dan menjatuhkan pidana. 9 Oleh karena itu Hukum Acara Pidana mempunyai suatu
tujuan, tujuan dari Hukum Acara Pidana tersebut dimuat dalam Pedoman
Pelaksanaan KUHAP merumuskan bahwa :
"Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 10
Simons dan J.M. van Bemmelen menganggap tujuan hukum acara pidana
sebagai ketentuan hukum yang mencari kebenaran materiil sehingga kebenaran
formal bukanlah merupakan tujuan dari hukum acara pidana. Lilik Mulyadi juga
menyataklan bahwa:
Pedoman pe laksanaan KUHAP yang menyebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana guna "... mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil rasanya kurang sepadan dan selaras dengan ketentuan hukum acara pidana sebagai bagian dari ketentuan hukum publik yang mengatur kepentingan umum juga mencari, mendapatkan, serta menemukan
9Nikolas Simanjuntak. 2009. Acura Pidana Indonesia datum Sirkas Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 23. 10 Andi Hamzah, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8.
9
"kebenaran materiil". Jadi, bukantah untuk "setidak-tidaknya mendekati ke-benaran materiil. 11
Hakikat kebenaran materiil yang ingin dicapai oleh hukum acara pidana ini
merupakan manifestasi dari fungsi hukum acara pidana, yaitu sebagai ber ikut:
1. Mencari dan menemukan kebenaran;
2. Pemberian keputusan oleh hakim; dan
3. Pelaksanaan keputusan. 12
Fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini selaras dengan ketentuan Pasal
183 KUHAP sehingga dapat disimpulkan sekati lagi merupakan "hakikat
kebenaran materiil sesungguhnya", jadi bukan "mendekati kebenaran materil"
atau tertebih lagi bukan "setidak-tidaknya mendekati kebenaran materill".Tujuan
dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran meteriil, ialah kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepa t, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti
bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu
dapat dipersalahkan.
Dalam tujuannya mencari kebenaran materil, maka suatu proses peradilan
pidana harus dilakukan proses pembuktian. Pembuktian tindak pidana
persetubuhan terhadap anak kandung, di pengadilan sangat tergantung sejauh
11Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 12 12Ibid.
10
mana penyidik dan penuntut umum mampu menunjukkan bukti-bukti bahwa telah
terjadi tindak pidana persetubuhan. Harus diakui pembuktian dalam tindak pidana
persetubuhan adalah sangat sulit, sebab pihak yang berwenang harus memastikan
benar apakah perbuatan persetubuhan tersebut dilakukan dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan.
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Jimly Asshidiqie 13 menyatakan bahwa:
Pembuktian yang dilakukan mengenai argumentasi atau dalil yang didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan perkara, merupakan bagian penting hukum acara di pengadlan, karena di dalamnya terkait persoalan hak-hak hukum bahkan hak-hak asasi setiap orang atau pihak-pihak yang dipersangkakan telah melakukan peanggaran hukum. Menurut Eddy O.S. Hiariej14,hukum pembuktian didefinisikan sebagai
:
Ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian. Seda ngkan hukum pembuktian pidana adalah ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian dalam perkara pidana.
Menurut Andi Hamzah15 Pembuktian dalam hukum acara pidana
(KUHAP) adalah:
13 Jimly Asshidiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang , Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 139. 14 Eddy O. S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian¸ Erlangga, Jakarta, hal. 15.
11
Suatu upaya mendapatkan keterangan-ketarangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. Menurut R. Soesilo16, peraturan pembuktian di dalam KUHAP adalah
mengenai :
a. Alat-alat bukti, artinya alat-alat bukti macam apa yang dapat dipergunakan untuk menetapkan kebenaran dalam penuntutan pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa).
b. Peraturan pembuktian, artinya peraturan-peraturan cara bagaimana hakim boleh mempergunakan alat-alat bukti itu (cara penyumpahan saksi-saksi, cara pemeriksaan saksi dan terdakwa, pemberian alasan-alasan pengetahuan pada kesaksian dan lain-lain).
c. Kekuatan alat-alat bukti, artinya ketentuan banyaknya alat-alat bukti yang harus ada untuk dapat menjatuhkan pidana (misalnya keterangan terdakwa itu hanya merupaka n bukti yang sah apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 189 KUHAP).
Berdasarkan pendapat Jimly Asshidiqie, Andi Hamzah dan R. Soesilo
pembuktian selalu terkait atas atas alat-alat bukti. R. Soesilo memberikan
penjelasan lebih detail mengenai masalah pembuktian yaitu mengenai arti
dan jenis alat-alat bukti, peraturan pembuktian, artinya peraturan-peraturan
cara bagaimana hakim boleh mempergunakan alat-alat bukti itu dan juga
kekuatan alat-alat bukti. Pembuktian merupakan salah satu esensi dalam
suatu peradilan pidana.
15 Andi Hamzah, Op cit., hal. 77. 16 R.Soesilo, 2002, Hukum Acara Pidana, Politeia, Bogor,hal. 111.
12
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril 17 mendefinisikan
pembuktian yang merupakan masalah yang memegang peranan penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, ia menyatakan bahwa :
Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dan hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian
Pembuktian diatur lebih lanjut oleh Undang-Undangan yaitu KUHAP
hal ini guna penerapan azas legalitas dalam suatu peraturan. Menurut
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, apabila hasil pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dan
hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan
alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus
dinyatakan bersalah. Berdasarkan hal tersebut jelas, bahwa pembuktian
memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan.
2. Alat Bukti Menurut KUHAP
Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang diatur dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP, terdiri dari :
a. Keterangan saksi
17 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 102-103.
13
Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi
adalah :
"orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri".
Mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti telah diatur dalam
Pasal 185 ayat (1) KUHAP ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan. Sedangkan pengertian umum keterangan saksi ada dalam
Pasal 1 butir 27 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut :
"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu".
Kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut
dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi.
Begitu pula pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil
pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5)
KUHAP).
Berdasarkan Pasal 1 butir 27 KUHAP dihubungkan dengan
Pasal 135 ayat (1) KUHAP dapat diketahui sebagai berikut :
1) Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat
14
dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian.
2) Testimonium de Auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
3) Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.18
Darwin Prints 19 berpendapat bahwa, keterangan saksi supaya
dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah harus memenuhi dua syarat
yaitu :
1) Syarat Formil. Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah jika
diberikan di bawah sumpah. Keterangan saksi yang tidak di bawah sumpah hanya boleh digunakan sebagai penambah penyaksian yang sah.
2) Syarat Materil Bahwa keterangan saksi saja tidak dapat dianggap sebagai
alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.
Menjadi saksi adalah suatu kewajiban setiap orang namun
demikian Pasal 168 KUHAP menentukan siapa-siapa yang tidak dapat
18 M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 266. 19 Darwan Prints, 1989, Hukum Acara Pidana suatu Pengantar, Bina aksara, Jakarta, hal.
108.
15
didengar keterangannya dan dapat minta mengundurkan diri sebagai
saksi, yaitu apabila :
1) Mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2) Saudara terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau bersamasama sebagai terdakwa.
Nilai kekuatan pembuktian yang melihat pada alat bukti
keterangan saksi :
1) Mempunyai kekuatan pembuktian bebas. Pada alat bukti kesaksian tidak melekat pembuktian yang
sempurna (volledig bewijs kracht) dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (besliessende bewijs kracht). Tegasnya alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai pembuktian bebas. Oleh karena itu alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat dapat dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah alat bukti yang bersifat bebas dan tidak sempurna serta tidak menentukan atau tidak mengikat.
2) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas, yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima
16
kebenaran setiap saksi. Hakim bebas untuk menilai kekuatan dan kebenaran yang melekat pada keterangan itu. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya.20
Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang diberikan dalam
persidangan dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu :21
1) Keterangan yang diberikan “tanpa sumpah”
Mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah bisa terjadi:
a) Karena saksi menolak bersumpah
Keterangan yang diberikan tanpa disumpah karena
saksi menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji,
bukan merupakan alat bukti.Pasal 161 ayat (2) KUHAP
menilai kekuatan pembuktian keterangan tersebut
“dapat menguatkan keyakinan hakim” apabila
pembuktian yang telah ada telah memenuhi batas
minimum pembuktian.
b) Keterangan yang diberikan tanpa sumpah
Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161
KUHAP, yakni saksi yang telah memberikan
keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan
tidak disumpah, ternyata “tidak dapat dihadirkan”
dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.Keterangan
saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan
20 M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 273-274. 21Yahya Harahap, op. cit . , hal. 291-295
17
dibacakan di sidang pengadilan, dalam hal ini undang-
undang tidak meyebut secara tegas nilai pembuktian
yang dapat ditarik dari keterangan kesaksian yang
dibacakan di sidang pegadilan.
c) Karena hubungan kekeluargaan
Seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga
tertentu dengan terdakwa tidak dapat memberi
keterangan dengan sumpah.
d) Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171
KUHAP
Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan
belum pernah kawin atau orang sakit ingatan atau sakit
jiwa meskipun kadang-kadang baik kembali, boleh
diperiksa memberi keterangan tanpa sumpah di sidang
pengadilan. Nilai keterangan mereka dinilai bukan
merupakan alat bukti yang sah.Penjelasan Pasal 171
KUHAP telah menentukan nilai pembuktian yang
melekat pada keterangan itu dapat dipakai sebagai
petunjuk.
2) Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang
disumpah
a) Mempunyai kekuatan pembuktian bebas
18
Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah
bersifat bebas dan “tidak sempurna” dan tidak
“menentukan” atau “tidak mengikat”.
b) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada
penilaian hakim
Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menarima
kebenaran setiap keterangan saksi.
b. Keterangan ahli
Pengertian umum dari keterangan ahli tercantum dalam Pasal 1
butir 28 KUHAP, yang merumuskanbahwa:
"Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan Pemeriksaan"
Keterangan ahli menurut Pasal 186 KUHAP ialah dari seorang
ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. Dalam penjelasan Pasal 186
KUHAP disebutkan :
"Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan, maka di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim".
19
Keterangan ahli diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau
janji di hadapan hakim dan juga keterangan ahli itu diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan,
baik itu pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik maupun
pemeriksaan yang dilakukan di pengadilan.
Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai
kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan
demikian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya
dengan nilai pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli.
Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti
keterangan ahli :
1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas ( Vrij Bewijs Kracht) Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, terserah pada penilaian hukum. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud.
2) Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak Cukup dan tidak memadai dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan, terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai oleh alat bukti lain.22
22Ibid., hal. 283-284
20
R Wirdjono Prodjodikoro, yang dikutip oleh Djoko Prakoso 23
dan I Ketut Murtika berpendapat bahwa :
"Keterangan ahli dapat dinamakan alat bukti atau sebagai alat bukti apabila keterangan tentang penghargaan dan kesimpulan dari para ahli mengenai akibat dalam suatu perbuatan terdakwa menimbulkan bukti atau dapat membuktikan peristiwa pidana".
c. Surat
Pasal 187 KUHAP memberikan pengertian alat bukti surat
sebagai berikut :
Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c
KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah adalah;
1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal keadaan;
3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang secara resmi daripadanya;
4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain".
Surat yang dimaksud pada Pasal 187 KUHAP adalah surat-surat
yang dibuat oleh pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat
23 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Mengenal Lembaga Kejaksaan Di Indonesia,
Bina Aksara, Jakarta, hal.38.
21
keterangan atau surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara
yang sedang diadili.
Syarat mutlak dalam menentukan suatu surat dikategorikan
sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus
dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Nilai
kekuatan pembuktian surat :
1) Ditinjau dari segi fomil Ditinjau dari segi formil, alat bukti surat yang disebut
Pasal 187 huruf a,b dan c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna. Sebab bentuk-bentuk surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formil dalam pembuatannya dan dibuat berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang serta keterangan yang terkandung dalam surat tadi dibuat atas sumpah jabatan, maka jika dari segi formil alat bukti surat seperti yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP adalah alat bukti yang bernilai sempurna. Oleh karena itu alat bukti surat resmi mempunyai nilai "pembuktian formil yang sempurna".
2) Ditinjau dari segi materiil Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti yang disebut
dalam Pasal 187 KUHAP, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada alat bukti surat ini tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat inipun sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formil alat bukti surat yang disebut Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP, sifat kesempurnaan formil tersebut tidak dengan sendirinya mengadung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat saja menggunakan atau menyingkirkannya. 24
24 M Yahya Harahap , Op cit., hal.. 288-289.
22
d. Petunjuk
Alat bukti petunjuk dapat ditemukan dalam pasal 188 KUHAP
yang terdiri dari ayat (1), (2), dan (3). Dalam ayat (1) yang diartikan
dengan petunjuk adalah :
"Petunjuk ialah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya".
Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP petunjuk hanyalah dapat
diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Syarat-syarat untuk da pat dijadikannya petunjuk sebagai alat bukti
haruslah :
1) Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi;
2) Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu lama lain dengan kejahatan yang terjadi;
3) Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan. 25
Berdasarkan Pasal 188 ayat (2) KUHAP dapat diketahui bahwa
tidak semua pristiwa dapat dikategorikan sebagai petunjuk. Djoko
Prakoso dan I Ketut Murtika 26 berpendapat bahwa :
“Alat bukti petunjuk baru dapat digunakan sebagai alat bukti jika petunjuk tersebut mempunyai persesuaian dengan keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Jika petunjuk
25 Andi Hamzah, 2002, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal. 263. 26 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op cit ., hal. 44
23
tidak memiliki persesuaian dengan ketiga alat bukti tersebut tidak bisa dipergunakan sebagai alat bukti”.
Menurut ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP bahwa penilaian
atas kekuatan pembuktian dan suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilaksanakan oleh hakim dengan arif dan bijaksana. Setelah
hakim melakukan pemeriksaan dengan cermat dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya.
Alat bukti petunjuk mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang
bebas yakni :
1) Hakim tidak terikat pada kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas menilainya dan menggunakannya sebagai upaya pembuktian.
2) Petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. 27
e. Keterangan terdakwa
Alat bukti terdakwa didapati pada urutan terakhir dari alat-alat
bukti yang ada dan uraiannya terdapat pada Pasal 189 ayat (1)
KUHAP dinyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah yang terdakwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri. Di dalam HIR, alat bukti ini disebut
dengan istilah pengakuan terdakwa, dalam KUHAP disebut dengan
istilah keterangan terdakwa.
27 M. Yahya Harahap, Op cit., hal. 296
24
Andi Hamzah 28 berpendapat bahwa, “keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama ata u berbentuk pengakuan, semua keterangan terdakwa hendaknya didengar apakah itu berupa penyangkalan ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadaan”.
Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan
karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat :
1) Mengaku ia melakukan delik yang didakwakan; 2) Mengaku ia bersalah. 29
Pada pengakuan terasa mengandung suatu pernyataan tentang
sesuatu yang dilakukan seseorang sedangkan pada keterangan
pengertiannya lebih bersifat suatu penjelasan akan sesuatu yang akan
dilakukan seseorang.
Keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah
menurut undang-undang dengan diperlukan beberapa alat sebagai
landasan berpijak, antara lain :
1) Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan. 2) Tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri
atau ia alami sendiri. Sebagai asas kedua ini, agar keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus memuat pernyataan atau penjelasan tentang :
a) Perbuatan yang dilakukan terdakwa; b) Apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa; c) Atau apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.
3) Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti bagi dirinya sendiri. Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan :"keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri". Semua yang diterangkan seseorang dalam
28 Andi Hamzah, Op cit., hal. 273. 29Ibid ., hal. 273.
25
persidangan yang kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat digunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara pidana terdakwanya terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat pada diri sendiri.
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalahannya. Pasal 189 ayat (40) KUHP merumuskan bahwa : "keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Ketentuan tadi merupakan penegasan prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 30
Berdasarkan penjelasan di atas maka alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, terdiri dari
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Masing-masing alat bukti memiliki kekuatan pembuktian dan sahnya alat
bukti masing-masing.
3. Teori Pembuktian
Rusli Muhammad31 menyatakan bahwa :
“Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa di sidang pengadilan. Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam perkembangannya dikenal ada 4 (empat) macam sistem atau teori pembuktian. Masing-masing teori ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan menjadi ciri dari masing-masing sistem pembuktian ini.
30M.Yahya Harahap, Op cit., hal. 299-300. 31 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer , Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 187.
26
Adapun teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :32
a. Conviction Intime (Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim
Belaka)
Conviction intime dapat diartikan sebagai pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim belaka. Sistem pembuktian ini lebih memberikan
kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Tidak ada alat
bukti yang dikenal selain alat bukti berupa keyakinan seorang hakim.
Artinya jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti
suatu perbuatan sesuai dengan keyakinannya yang timbul dari hati nurani,
terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhi putusan. Keyakinan
hakim pada sistem ini adalah menentukan dan mengabaikan hal-hal
lainnyajika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan
hakim tersebut. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah maka teori
berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan
hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang telah didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan
dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-
undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis.33
Konsekuensi dari sistem pembuktian yang demikian tidak membuka
kesempatan atau paling tidak menyulitkan bagi terdakwa untuk mengajukan
pembelaan dengan menyodorkan bukti-bukti lainnya sebagai pendukung
pembelaannya itu.
32Ibid., hal. 187. 33 Andi Hamzah, Op.Cit, hal.248.
27
Andi Hamzah34 menyatakan bahwa :
“Sistem yang demikian memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan sehingga di dalam penerapan dengan sistem tersebut membuat pertimbangan berdasarkan metode yang dapat mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh”.
b. Conviction Rasionnee(Pembuktian Berdasarkan Keyakinan
Hakim dan Alasan Rasional)
Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian
yang tetap menggunakan keyakinan hakim tetapi keyakinan hakim
didasarkan pada alasan-alasan (reasoning ) yang rasional. Berbeda dengan
sistem conviction intime, dalam sistem ini hakim tidak lagi memiliki
kebebasan untuk menentukan keyakinannya, keyakinannya itu harus diikuti
dengan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya itu dan alasan-alasan
itupun harus “reasonable ”yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima
oleh akal pikiran. Sistem conviction rasionnee masih menggunakan dan
mengutamakan keyakinan hakim didalam menentukan salah tidaknya
seseorang terdakwa. Sistem ini tidak menyebutkan adanya alat-alat bukti
yang dapat digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa selain dari
keyakinan hakim semata-mata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sistem ini hampir sama dengan sistem pembuktian conviction intime yaitu
sama-sama menggunakan keyakinan hakim, bedanya adalah terletak pada
ada tidaknya alasan yang rasional yang mendasari keyakinan hakim. Jika
dalam sistem conviction intime keyakinan hakim bebas tidak dibatasi oleh
34Ibid ., hal. 248.
28
alasan-alasan apapun sementara dalam pembuktian conviction rasionnee
kebebasan itu tidak ada tetapi terikat oleh alasan-alasan yang dapat diterima
oleh akal sehat.
Andi Hamzah35 menyatakan ba hwa :
“Persamaan dari kedua teori pembuktian ini ialah berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah, sedangkan perbedaannya ialah pertama berpangkal tolak kepada keyakinan hakim, teta pi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan, kemudian yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua, yaitu pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang tidak didasarkan dengan suatu konklusi undang-undang, sedangkan kedua pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.
c. Positief Wettelijk Bewijstheorie(Pembuktian Berdasarkan Alat
Bukti Belaka)
Sistem ini adalah sistem pembuktian berdasarkan alat bukti menurut
undang-undang secara positif. Pembuktian menurut sistem ini dilakukan
dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan
dalam undang-undang. Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan
seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti.36
Peradilan pidana terutama pada waktu mengadili perkara yang tidak
ringan sudah banyak keberatannya untuk menggunakan teori pembuktian
35 Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 250. 36 Rusli Muhammad, Op cit., hal.189.
29
menurut undang-undang secara positif karena ada kecenderungan dengan
mutlak memperlakukan pemeriksaan perkara secara inquisitoir dan apabila
sudah dapat pengakuan terdakwa atau keterangan saksi-saksi, wajib diputus
terbukti dan dipidana oleh hakim sekalipun dapat dirasakan pengakuan dan
keterangan itu bohong sebagai versi buatan. 37
d. Negatief Wettelijk Bewisjtheorie (Pembuktian Berdasarkan Alat
Bukti dan Keyakinan Hakim)
Negatief wettelijk bewisjtheorie ataupun pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan
alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang juga
menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim,
namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam
undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam
undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga
disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag). Sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatief adalah sistem yang
menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime,
dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang
tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif.
37Loc cit.
30
Inti ajaran teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatief adalah bahwa hakim di dalam menentukan terbukti tidaknya
perbuatan atau ada tidaknya perbuatan kesalahan terdakwa harus
berdasarkan alat-alat bukti yang tercantum di dalam undang-undang dan
terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai keyakinan terhadapnya.
Jika alat bukti terpenuhi tetapi hakim tidak memperoleh keyakinan
terhadapnya, hakim tidak dapat menjatuhkan putusan yang sifatnya
pemidanaan. Sebaliknya sekalipun hakim mempunyai keyakinan bahwa
terdakwa adalah pelaku dan mempunyai kesalahan, tetapi jika tidak
dilengkapi dengan alat-alat bukti yang sah, ia pun tidak dapat menjatuhkan
putusan pidana tetapi putusan bebas.
Berkaitan dengan sistem pembuktian maka dalam KUHAP, diatur
dalam Pasal 183 KUHAP yang merumuskan bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa dalam pembuktian
diperlukannya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan
hakim. Kedua syarat ini harus ada dalam setiap pembuktian dan dengan
terpenuhinya kedua sya rat tersebut, memungkinkan hakim menjatuhkan
pidana kepada seorang terdakwa, sebaliknya jika kedua hal ini tidak
terpenuhi berarti hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa.
Berdasarkan penjelasan tersebut, nyatalah bahwa sistem pembuktian
yang dianut KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang
31
secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) karena kedua syarat yang
harus dipenuhi dalam sistem pembuktian ini telah tercermin dalam Pasal
183 KUHAP dan dilengkapi Negatief wettelijk bewisjtheorie ataupun
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian
yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam
undang-undang juga menggunakan keyakinan hakim. Rusli Muhamad 38
menyatakan bahwa :
“Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat bukti yang tercantum dalam undang-undang. Dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam undang-undang dan keyakinan hakim maka teori pembuktian ini sering juga disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag)”. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatiefadalah
sistem yang menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-
undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction intime, dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling
bertolak belakang tersebut, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif.
Inti ajaran teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatief adalah bahwa hakim di dalam menentukan terbukti tidaknya
perbuatan atau ada tidaknya perbuatan kesalahan terdakwa harus
berdasarkan alat-alat bukti yang tercantum di dalam undang-undang dan
terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai keyakinan terhadapnya.
Sebaliknya sekalipun hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwa adalah
38Ibid., hal. 187.
32
pelaku dan mempunyai kesalahan, tetapi jika tidak dilengkapi dengan alat-
alat bukti yang sah, ia pun tidak dapat menjatuhkan putusan pidana tetapi
putusan bebas.
Pasal 184 KUHAP menyebutkan alat-alat bukti yang sah dan
digunakan dalam sistem pembuktian yang dianut KUHAP yaitu :39
1) Disebut wetelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian undang-undanglah yang menentukan tentang jenis danbanyaknya alat bukti yang harus ada.
Disebut negatief karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti
yang ditentuakan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim
harus menjatuhkan putusan pidana bagi seorang terdakwa apabila jenis-jenis
dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan pada
dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa
terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
C. Visum et Repertum
1. Pengertian Visum et Repertum
Istilah Visum et Repertum tidak disebutkan dalam KUHAP, tetapi
terdapat dalam Stbl. Tahun 1937 No. 350 tentang Visa Reperta . Visa
Reperta merupakan Bahasa Latin. Visa berarti penyaksian atau pengakuan
telah melihat sesuatu; dan Reperta berarti laporan. Dengan demikian,
apabila diterjemahkan secara bebasberdasarkan arti kata, Visa
39Ibid., hal. 187.
33
Reperta,berarti laporan yang dibuat berdasarkan penyaksian atau pengakuan
telah melihat sesuatu. 40
Visum et Repertum merupakan bentuk tunggal dari Visa et Reperta.
Stbl. Tahun 1937 No. 350 selengkapnya menyatakan, bahwa "Visa Reperta
para dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada
waktu menyelesaikan pelajarannya di Indonesia, maupun atas sumpah
khusus seperti tercantum dalam Pasal 2, mempunyai daya bukti yang sah
dalam perkara pidana, selama berisi keterangan mengenai hal yang dilihat
oleh dokter itu pada benda yang diperiksa.41
Stbl. Tahun 1937 No. 350 hingga saat ini belum dicabut, meskipun
KUHAP telah berlaku lebih dari dua puluh tahun. Namun demikian,
KUHAP tidak menggunakan istilah Visum et Repertum untuk menyebut
keterangan ahli, yang merupakan hasil pemeriksaan ahli kedokteran
kehakiman. Menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.
M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan, bahwa hasil aemeriksaan ilmu
kedokteran kehakiman disebut Visum et Repertum. Dengan demikian,
menurut KUHAP keterangan ahli yang diberikan oleh ahlikedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya disebut Visum et Repertum.42
Menurut Karjadi dan Soesilo, “dokter juga seorang ahli kesehatan
yang dalam perkara penganiayaan dan pembunuhan (menerangkan tentang
besar kecilnya luka atau tentang sebab kematian korban). Dalam pemeriksa-
an perkara oleh penyidik, dokter sebagai seorang ahli harus tunduk pada
40 Y.A. Triana Ohoiwutun, Op cit ., hal. 12 41Ibid ., haal. 13 42Ibid ., hal. 14
34
Pasal 120 KUHAP, yaitu untuk melaksanakan pembuatan surat keterangan
yang disebut Visum et Repertum”.
Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 dan pendapat M. Karjadi
maka dapat diambil kesimpulaan bahwa, “Visum et Repertumadalah laporan
tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang
berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat
dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada
waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-
baiknya. Meninjau pada definisi tersebut, maka Visum et Repertum dapat
digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam pasal 187
huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
“Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.” Pengertian alat bukti surat khususya Visum et Repertum ialah surat
yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan atau dengan sumpah,
sebagaimana ketentuan Pasal 187 KUHAP. Jadi surat yang dimaksud pada
Pasal 187 KUHAP adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat resmi yang
berbentuk berita acara, akte, surat keterangan atau surat lain yang
mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili. Sebagai syarat
mutlak dalam menentukan suatu surat dikategorikan sebagai suatu alat bukti
yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat di atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah.
35
Visum et Repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil
pemeriksaan medik yang tertuang di dalam Pemberitaan, yang karenanya
dapat dianggap sebagai benda bukti. Kekuatan pembuktian dari alat bukti
surat adalah kekuatan pembuktian bebas seperti halnya kekuatan
pembuktian alat bukti lainnya, disini hakim bebas menentukan apakah alat
alat bukti surat tersebut berpengaruh dalam membentuk keyakinan ataupun
tidak. Walaupun begitu bukan berarti hakim bisa menyangkal tanpa alasan
suatu alat bukti surat yang sudah terbukti kebena rannya dan bersesuaian
dengan alat-alat bukti lainnya.
Keterangan ahli yang dimaksud yaitu keterangan dari dokter yang
dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti. Bukti tersebut berupa
keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai
keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda
kekerasan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara
tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan
Visum et Repertum.43
R. Antang Ranoemihardja 44mengatakan berpendapat sebagai berikut:
“Visum et Repertummerupakan rencana (verslag) yang diberikan seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan secara objektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya dari padanya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat”.
43NN, Peran Visum et Repertum Dalam Pennyidikan Tindak Pidana Di Indonesia Beserta
Hambatan yang Ditimbulkannya , www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ea793e8c75da.diakses pada tanggal 10 Desember 2013.
44 R. Atang Ranoenihardja, 1991, Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensik science), Bandung, Torsito, hal. 21.
36
Visum et Repertumselain dari pada itu dipakai pula sebagai dokumen
dengan mana dapat dinyatakan pada dokter lain tentang barang bukti yang
telah diperiksa apabila yang bersangkutan (Jaksa, Hakim) tidak menyetujui
hasil pemeriksaan tersebut. Unsur dari Visum et Repertum yaitu :
a. Laporan tertulis; b. Dibuat oleh dokter; c. Permintaan tertulis dari pihak yang berwajib; d. Apa yang dilihat atau diperiksa berdasarkan keilmuannya. 45
Menurut M. Yahya Harahap46, alat bukti keterangan ahli mempunyai
sifat dualisme sebagai alat bukti yaitu :
a. Pada suatu segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau Visum et Repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli;
b. Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat sebagaimana ketentuan Pasal 187 huruf c KUHAP yang menentukan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diterima secara resmi dari padanya.
2. Kekuatan Pembuktian Visum et Repertum
H.M. Soerdjatmiko47 mengatakan, “sebagai suatu keterangan tertulis
yang berisi hasil pemeriksaan seorang dokter ahli terhadap barang bukti
yang ada dalam suatu perkara pidana, maka Visum et Repertum mempunyai
peran sebagai berikut :
a. Sebagai alat bukti yang sah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) jo Pasal 187 huruf c;
b. Bukti penahanan tersangka.
45 Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hal. 1. 46 M. Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta,
Sinar Gra fika, hal.282. 47Ibid., hal. 303.
37
Di dalam suatu perkara yang mengharuskan penyidik melakukan penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik harus mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut. Salah satu bukti adalah akibat tindak pidana yang dilakukan oleh dokter dapat dipakai oleh penyidik sebagai pengganti barang bukti untuk melengkapi surat perintah penahanan tersangka;
c. Sebagai bahan pertimbangan hakim Meskipun bagian kesimpulan Visum et Repertumtidak mengikat hakim, namun apa yang diuraikan di dalam bagian pemberitaan sebuah Visum et Repertumadalah merupakan bukti materiil dari sebuah akibat tindak pidana, di samping itu bagian pemberitaan ini adalah dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti yang telah dilihat dan ditemukan oleh dokter. Dengan demikian dapat di pakai sebagai bahan pertimbangan hakim yang sedang menyidangkan perkara tersebut.
D. Tindak Pidana Perkosaan, Incest dan Persetubuhan
Dalam hukum pidana kita mengenal beberapa rumusan pengertian tindak
pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah "Strafbaarfeit".
Sedangkan dalam perundang-undangan negara kita istilah tersebut disebutkan
sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang
dimaksud di atas, maka pembentuk undang-undang sekarang sudah konsisten
dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para sarjana hukum pidana
mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri. Soedarto menyebut
Staafbaarfeit dengan istilah tindak pidana, dengan unsur-unsur sebagai
berikut :
Perbuatan 1) Perbuatannnya memenuhi rumusan undang-undang; 2) Bersifat melawan hukum. Orang (Berupa Kesalahan / Pertanggungjawaban) 1) Mampu bertanggungjawab; 2) Tidak ada alasan pemaaf. 48
48 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2007, hal. 23
38
Pipin Syarifin menyatakan bahwa, secara mendasar perumusan delik dalam
teori Sudarto mempunyai dua elemen (unsur dasar) yaitu :
1. Bagian yang objektif menunjuk delik dari perbuatan/kelakuan dan akibat, yang merupakan kejadian-kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum yang dapat diancam dengan pidana ;
2. Bagian-bagian yang subjektif yang merupakan anasir kesalahan dari delik. 49
Berdasarkan hal-hal tersebut maka syarat dapat dipidananya seseorang /
syarat pemidanaan di dasari oleh dua kritera yaitu subjektif dan objektif. Secara
objektif seorang yang dapat dipidana haruslah terlebih dahulu melanggar rumusan
suatu aturan perundang-undangan. Kedua perbuatan tersebut memiliki sifat
melawan hukum.
Salah satu unsur dari tindak pidana adalah sifat melawan hukum. Perbuatan
dikatakan sebagai tindak pidana apabila memiliki unsur sifat melawan hukum.
Sudarto menyatakan perbuatan dikatakan memiliki sifat melawan hukum apabila
perbuatan tersebut masuk dalam rumusan delik sebagaimana yang dirumuskan
dalam undang-undang. 50 Pengertian perbuatan melawan hukum lebih luas dan
umum daripada kejahatan maupun pelanggaran. 51
Tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP, Bab XIV tentang
Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Namun demikian ada pasal-pasal lain yang dapat
digunakan untuk menjaring pelaku perkosaan, yaitu Pasal 286 dan 287 KUHP.
Pasal 285 KUHP sifatnya adalah pasal pokok untuk kasus perkosaan. Ketiga pasal
49 Pipin Syarifin, 2000, Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia, Jakarta, hal. 55 50 Sudarto, Op cit., hal. 44 51 Ibid.
39
tersebut mengandung unsur yang sama yaitu adanya persetubuhan diluar
perkawinan.
Pasal 285 KUHP merumuskan sebagai berikut:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.52
Dengan demikian unsur -unsur pasal yang terdapat dalam Pasal 285 KUHP
adalah sebagai berikut:
1. Barang siapa
Tentang unsur “barang siapa” (subyek tindak pidana) dalam
KUHP memang tidak ada penjelasan yang expressis verbis.
Namun kalau kita simak makna Pasal 2, 44, 45, 46, 48, 49, 50,
dan 51 KUHP dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
barang siapa adalah “orang” atau subyek tindak pidana adalah
“orang” atau “manusia”;53
2. Kekerasan
Yang dimaksud dengan “kekerasan” adalah kekuatan fisik atau
perbuatan fisik yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak
berdaya tidak mampu melakukan perlawanan atau pembelaan.
Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana perkosaan antara lain
berupa perbuatan mendekap, mingikat, membius, menindih,
memegang, melukai dan lain sebagainya perbuatan fisik yang
52 Moeljatno, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 278 53 Abdul Wahid, Op, Cit., hal. 110.
40
secara obyektif dan fisik menyebabkan orang yang terkena tidak
berdaya;54
3. Ancaman kekerasan
Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan
orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan
pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum di
wujudkan tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak
mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang
mengancam dengan kekerasan;55
4. Unsur memaksa
Dalam perkosaan menunjukkan adanya pertentangan kehendak
antara pelaku dan korban. Pelaku mau/ingin bersetubuh
sementara korban tidakmau/tidak ingin, pelaku ingin berbuat
cabul sementara korban tidak mau/tidak ingin. Karenanya tidak
ada perkosaan apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan
itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Sebagaimana juga tidak
ada kekerasan atau ancaman kekerasan bila tidak ada
memaksa;56
5. Adanya persetubuhan
Dalam KUHP tidak ditemukan pengertian dari persetubuhan.
Persetubuhan dalam arti biologis adalah Suatu perbuatan yang
memungkinkan terjadinya kehamilan, sehingga harus terjadi:
54Ibid ., hal. 111 55 Abdul Wahid, Loc cit 56Ibid ., hal.112
41
erection penis; penetration penis ke dalam vagina; dan
ejaculation penis ke dalam vagina. Namun dalam ilmu hukum
hanya mensyaratkan adanya penetrasi penis kedalam va gina;57
6. Di luar perkawinan
Maksudnya adalah bahwa persetubuhan secara paksa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan itu dilakukan terhadap
seorang wanita yang bukan istrinya. Hal itu berarti bahwa
seorang suami tidak mungkin dituntut telah melakukan
perkosaan terhadap istrinya atas dasar Pasal 285 KUHP.58
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto,59 bahwa :
“Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar”. Menurut R.Sugandhi,60 yang dimaksud dengan perkosaan adalah :
“Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dala m lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”.
Adapun unsur-unsur selengkapnya tentang perkosaan menurut
R.Sugandhi61adalah :
1. Pemaksaan bersetubuh oleh laki-laki kepada wanita yang bukan menjadi istrinya;
2. Pemaksaan bersetubuh itu diikuti dengan tindakan atau ancaman kekerasan;
3. Kemaluan pria harus masuk pada lubang kemaluan wanita, dan
57Ibid ., hal. 113 58Ibid ., hal. 114 59 Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual Advokasiatas Hak Asasi Perempuan, Rafika Aditama, Malang, hal. 40. 60 Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, Loc cit 61Ibid ., hal. 41
42
4. Mengeluarkan air mani.
Pendapat itu menunjukkan pada suatu perkosaan yang terjadi secara tuntas,
artinya pihak pelaku (laki-laki pemerkosa) telah menyelesaikan perbuatannya
hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka
secara eksplisit, apa yang dilakukan laki-laki itu belum patut dikategorikan
sebagai perkosaan.
Incest berasal dari bahasa latin Incestus yang berarti tidak suci, tidak
senonoh dan Incestare yang berarti menodai atau mengotori. Definisi incest yang
diterima masyarakat luas sekarang ini adalah hubungan seks atau aktivitas seksual
lainnya antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan
diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur.62
Ruth. S. Kempe dan C. Henry Kempe mendefenisikan Incest sebagai
hubungan seksual antara anggota keluarga dalam rumah, baik antara kakak-adik
kandung atau tiri, ayah-anak kandung, ayah-anak tiri, paman-keponakan kandung
atau tiri.63 Sedangkan pengertian yang lebih luas lagi ialah hubungan seksual yang
dilakukan seseorang dalam keluarga atau seseorang yang sudah seperti keluarga,
baik laki-laki ataupun perempuan seperti ayah kandung, ayah tiri, ibu dari pacar,
saudara laki-laki, saudara tiri, guru, teman, pendeta/ulama, guru, paman atau
kakek.64
Incest (hubungan seksual yang dilakukan oleh individu didalam sebuah
keluarga dengan anggota keluarga lainnya, baik itu ayah dengan anak, ibu dengan
62Akademia, Vol. 4 No. 3 Juli 2000, hal. 1 63 Sulaiman Zuhdi Manik, 2002, Penanganan dan Pendampingan Anak Korban Incest,
PKPA, Jakarta. hal.37 64Ibid ., hal. 38
43
anak, kakek dengan cucu, kakak dengan adik) sebagian termasuk kedalam
kejahatan atau penganiayaan seksual, dimana perilaku seksual yang dilakukan
dapat berupa penganiayaan secara fisik maupun non fisik, oleh orang yang lebih
tua atau memiliki kekuasaan yang bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual.
Pengaturan perbuatan incest atau yang lebih dikenal dengan hubungan
seksual sedarah dalam KUHP Indonesia sangatlah penting, terutama mengenai
sanksi-sanksinya. Pengaturan untuk kasus -kasus incest masih berdasarkan pada
Pasal 285, Pasal 287, Pasal 294 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) butir (1). Untuk
Pasal 285 KUHP kurang tepat, karena Pasal 285 KUHP adalah pasal perkosaan.
Pasal 287 KUHP juga belum tepat untuk pengaturan incest. Sedangkan bagi
Pasal 294 ayat (1) dan Pasal 295 ayat (1) butir (1) masih relevan untuk mengatur
incest. Kasus incest bukanlah kasus perkosaan biasa, melainkan menyangkut juga
kepercayaan, kelangsungan sebuah keluarga, masa depan anak, dan kondisi
psikologi yang terbentuk. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika UU Indonesia
memperlakukan pelaku incest sama dengan korban perkosaan biasa. Oleh karena
itu, sangat disayangkan jika UU Indonesia memperlakukan pelaku incest sama
dengan korban perkosaan biasa.
Pertanggung jawaban pidananya terhadap pelaku incest, menurut KUHP
hanya relevan dengan Pasal 294 ayat (1) dan Pasal 295 ayat (1) butir (1). Dalam
kedua Pasal ini tidak dikenal pidana penjara dan denda paling sedikit/minimalnya,
hanya mengenal pidana penjara paling banyak/maksimal saja, yaitu 7 (tujuh)
tahun pada Pasal 294 ayat (1) dan 5 (lima) tahun untuk Pasal 295 ayat (1) butir
(1).
44
Pengaturan mengenai kejahatan incest dalam KUHP berada di dalam Pasal
294 ayat (1) :
“Melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tiri, anak angkat, anak belum dewasa, yang pemeliharaanya, pendidikan atau pengawasannya diserahkan padanya atau pun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun”.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, mengatur
masalah incest sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan anak di Pasal 59,
dimana pemerintah dan/atau lembaga negara secara jelas menyebutkan memberi
kepastian perlindungan khususnya antara lain kepada anak dalam situasi yang
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual. Incest dititik beratkan pada
adanya tindak pidana persetubuhan. Tindak pidana persetubuhan pada anak secara
khusus diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa:
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000. 000,00 (enam puluh juta rupiah);
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Baik perkosaan maupun Incestmemiliki persamaan yaitu adanya perbuatan
persetubuhan. Persetubuhan dalam arti biologis adalah suatu perbuatan yang
memungkinkan terjadinya kehamilan, sehingga harus terjadi: erectio n penis;
penetration penis ke dalam vagina; dan ejaculation penis ke dalam vagina.
45
Namun dalam ilmu hukum hanya mensyaratkan adanya penetrasi penis kedalam
vagina. 65
Secara khusus berdasarkan azas asas lex specialis derogat legi generalisdan
asas lex posterimaka incestdiatur berdasarkan Pasal 81 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Konteks pemidanaannyapun lebih
berat yaitu pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun. Hal ini berbanding jauh dengan Pasal 294 ayat (1) KUHP yang hanya
memberikan ancaman pidana 7 (tujuh) tahun penjara. Namun Pasal 81 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak justru tidak
memperlihatkan kekhususan pengaturan incest.
Hal ini terlihat dari rumusan Pasal 81ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak setiap orang yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Ketentuan Pasal 81ayat (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlin dungan Anakjuga tidak
menambahkan spesifikasi incest, namun hanya menambahkan bahwa, ketentuan
tersebut berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain. Apabila dibandingkan dengan Pasal 294 ayat
(1) KUHP terlihat jelas unsur ke khususan incest yaitu melakukan perbuatan cabul
dengan anaknya, anak tiri, anak angkat, anak belum dewasa, yang
pemeliharaanya, pendidikan atau pengawasannya.
65Ibid ., hal. 113
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif,
yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini, hukum dilihat
sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai sistem lain yang
ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas anatara sistem hukum dengan
sistem lainya.66
Metode pendekatan yuridis normatif digunakan dengan tujuan untuk
menganalisis diperlukannya Visum et Repertum dalam tindak pidana perkosaan
terhadap anak kandung (Incest). Selain itu ditujukan pula untuk menganalisis
kekuatan pembuktian alat bukti surat berupa Visum et RepertumdalamPutusan
Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms melalui peraturan perundang-undangan dan
kajian literatur.
B. Spesifikasi Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan hukum,
maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian preskripsi. Spesifikasi penelitian
ini adalah preskripsi, yaitu suatu penelitian yang menjelaskan keadaan obyek
66 Ibrahim, Jhonny, 2007, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang,
Cetakan Ketiga, Banyumedia Publishing.
47
yang akan diteliti melalui kaca mata disiplin hukum, atau sering disebut oleh Peter
Mahmud Marzuki sebagai yang seyogyanya. 67
C. Sumber Data
Penelitian yang dilakukan ini adalah merupakan penelitian yuridis normatif,
maka sumber data yang digunakan yaitu data sekunder data utama dan data primer
sebagai penunjang data sekunder.Data sekunder adalah data yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer.68 Data sekunder merupakan data
pokok dalam penelitian ini yang bersumber dari studi pustaka berupa peraturan
perundang-undangan, buku literatur, dokumen-dokumen atau arsip -arsip yang
ada kaitannya dengan masalah penelitian.Data sekunder di bidang hukum dapat
dibedakan menjadi:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu
diperoleh melalui peraturan perundang-undangan serta dokumen-
dokumen resmi lain yang sesuai dengan pokok masalah penelitian
yang diajukan. Bahan hukum primer yang digunakan antara lain
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang 8 Tahun 1981 tentangKitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Putusan Nomor:
124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms.
67Ibid ., hal 91. 68 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal.13.
48
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang bersumber
langsung dari kepustakaan, doktrin maupun referensi ilmiah yang
relevan dengan penelitian atau bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap/mengenai bahan hukum primer.
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian,
kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh.
E. Metode Penyajian Data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun secara
sistematis, maksudnya adalah keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan
satu dengan lainya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh.
F. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode normatif
kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh
berdasarkan norma-norma atau kaidah-kaidah, teori-teori, pe ngertian-pengertian
hukum dan doktrin-doktrin yang terdapat dalam ilmu hukum, khususnya dalam
hukum pidana.
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Duduk Perkara
Terdakwa TS BIN TR pada hari dan tanggal yang sudah tidak dapat
diingat lagi dengan pasti tahun 1998 sampai dengan Januari 2008 dan pada
hari minggu tanggal 28 Desember 2008 sekira pukul 22.00 WIB sampai
dengan 15 Juni 2009 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu di tahun 1998
sampai dengan Januari 2008, bertempat di Pekarangan Ny Dinem dan di
dalam kamar rumah orang tua saksi korban Desa Tanggeran RT.06Rw.01,
Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya di suatu
tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Banyumas, setiap orang
yang dengan kekerasan memaksa anak yaitu saksi korban SR umur 16 tahun
dan saksi TRS umur 13 tahun melakukan persetubuhan dengannya.
Terdakwa TS BIN TR sewaktu berada di pekarangan/ kebun bersama
saksi korban SR mengambil daun pisang sebanyak 4 buah yang berada di
pekarangan tersebut kemudian mengelarnya di tanah dan mengatakan
kepada saksi korban SR supaya dipakai untuk duduk setelah itu terdakwa
dengan tiba-tiba menarik tangan dan mendorong tubuh saksi korban SR
kemudian membaringkan di atas daun pisang melihat saksi korban SR
memberikan perlawanan terdakwa menampar pipi kiri, saksi korban SR
yang mengetahui perangai sehari-hari terdakwa yang kalau marah bisa
berbuat apapun ketakutan dan tidak memberikan perlawanan terdakwa
50
kemudian menciumi pipi dan membuka pakaian yang dikenakan saksi
korban SR kemudian terdakwa melepas celananya sampai lutut kemudian
memegangi alat kelamin dan melumat payudara saksi
korban SR setelah itu terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke dalam
lubang vagina saksi korban yang saat itu saksi korban merasakan kesakitan
dan pedih dan terdakwa terus saja menggerak-gerakkan alat kelaminnya
hingga merasakan puas dan mengeluarkan sperma di vagina saksi korban di
vagina saksi korban SR yang perbuatan tersebut
dilakukan terdakwa berulang kali yang terakhir dilakukan pada bulan
Januari 2008 kepada saksi SR yang perbuatan tersebut dilakukan di dalam
kamar rumah terdakwa maupun di pekarangan, selain dengan saksi korban
SR terdakwa juga melakukan kepada anakkandungnya sendiri yaitu saksi
korban TRS yang dilakukan pada hari Minggu tanggal 28 Desember 2008
sekira pukul 22.00 WIB terdakwa yang pada waktu itu sedang berada di
rumah bersama anaknya yaitu saksi korban TRS melihat TRS di dalam
kamar sendirian dankeadaan rumah sepi karena istri terdakwa sedang
memba ntu di rumah tetangga yang punya hajatan timbul hasrat seks
terdakwa kepada saksi korban TRS kemudian terdakwa masuk ke kamar
saksi korban yang tidak dalam keadaan terkunci dan mendapati saksi korban
sudah tertidur terdakwa membangunkannya kemudian melepas celana
panjang dan celana dalam yang dikenakan saksi korban TRS kemudian
terdakwa melepas celana yang dikenakannya dan menindih tubuh saksi
korban melepas celana yang dikenakannya dan menindih tubuh saksi korban
51
TRS yang atas tindakan terdakwa tersebut saksi korban TRS berusaha untuk
melawan dengan mendorong tubuh terdakwa dan bertetiak melihat itu
terdakwa marah dengan memelototkan matanya kearah saksi korban TRS
dan membungkam mulutnya hingga saksi korban takut apalagi saksi korban
mengetahui perangai terdakwa sehari-harinya suka memukul jika marah
melihat saksi korban takut terdakwa menindih dan kedua kaki terdakwa
berada di dalam kedua kaki saksi korban TRS, selanjutnya terdakwa
memegang alat kelaminnya yang telah tegang dan memasukannya ke dalam
lubang vagina saksi korban TRS sambil menggerak-gerakkan berulang-
ulang hingga terdakwa merasakan puas dan mengeluarkan spermanya di
dalam lubang vagina saksi korban TRS, sedangkan saksi korban TRS
merasakan kesakitan dan menangis yang mana terdakwa mengulangi
perbuatan tersebut sebanyak kurang lebih 11 kali hingga kurun waktu
terakir perbuatan tersebut dilakukan pada saksi korban TRS hari Senin
tanggal 15 Juni 2009 yang atas perbuatan terdakwa tersebut tidak berani
melawan karena mengetahui perangai terdakwa sehari-hari yang suka marah
dan melakukan pemukulan jika emosi sehingga para saksi korban takut dan
saksi korban TRS hanya bisa menangis dan pada hari Senin tanggal 28
September 2009 saksi korban TRS menuangkan perasaannya dalam surat
dan diketahui oleh saksi korban SR dan membaca surat yang ditulis oleh
saksi korban TRS yang berisi "bahwa terdakwa telah diperkosa saksi
TRS"dan memberikan surat tersebut kepada saksi Satinem setelah membaca
surat tersebut dan mendengar pengakuan para saksi korban melaporkan ke
52
pihak berwajib pada tanggal 02 Oktober 2009, kemudian pada hari Sabtu
tanggal 03 Oktober 2009 dilakukan pemeriksaan oleh dokter di RSUD
Banyumas kepada saksi SR dan saksi korban TRS.
Saksi korban SR adalah anak tiri dari terdakwa yang pada saat
kejadian berumur 16 tahun yang lahir pada tanggal 03 Nopember 1992
sesuai dengan surat kelahiran yang dikeluarkan dari Pemerintahan Desa
Tanggeran Banyumas yang ditandatangani oleh Reksomihardjo. Sedangkan
saksi korban TRS bin Tuslam Turyadi adalah anak kandung terdakwa yang
saat kejadian berumur 13 tahun yang lahir pada tanggal 09 Mei 1996 sesuai
dengan kutipan akta kelahiran No.4749/TP/2001 yang dikeluarkan Catatan
Sipil, Kabupaten Banyumas.
Akibat perbuatan terdakwa saksi korban SR bin Sardi dan saksi
korban TRS bin Tuslam Turyadi sesuai dari hasil pemeriksaan/Visum et
Repertum RSUD Banyumas No.440/1082/X/2009 dan Visum et Repertum
RSUD Banyumas No.440/1081/X/2009 yang masing-masing ditandatangani
oleh dr.Amrizal,Sp.Og tanggal 7 Oktober 2009 mengalami : Pada waktu
Pemeriksaan pada hari Selasa tanggal 06 Oktober 2009 pada saksi korban
SR sekitar kemaluan tidak ada tanda-tanda kekerasan, dilakukan colok
dubur didapati selaput dara sobek (sobekan lama pada arah jam 2,7 dan 10
dan liang senggama dalam posisi terbuka. Kesimpulan : Liang senggama
seperti orang yang sudah sering bersetubuh, tetapi belum mempunyai anak,
sedangkan untuk saksi korban TRS pada waktu pemeriksaan pada hari
Selasa tanggal 06 Oktober 2009 terdapat luka robek tidak teratur pada
53
selaput darah alat kelamin akibat dimasuki benda tumpul seperti penis orang
dewasa secara paksa kesimpulan luka-luka dan lain-lain tersebut di atas
disebabkan karena benda tumpul secara paksa.
2. Dakwaan Penuntut Umum
Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan
Dakwaan subsideritas sebagai berikut :
a. Dakwaan Primair
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak.
b. Dakwaan Subsidair
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak.
c. Dakwaan Lebih Subsidair
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak.
3. Pembuktian
a. Keterangan Saksi
1) Saksi Sutrisno
54
Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan membenarkan isi
dalam BAP yang telah dibuat penyidik. Saksi hadir
dipersidangan karena diberitahu saksi Satinem terdakwa telah
berbuat cabul terhadap anaknya yaitu saksi TRS dan anak tirinya
yaitu saksi SR. Saksi tidak tahu persis kapan kejadiannya
tersebut.
Saksi Satinem yang merupakan ibu dari saksi TRS dan
saksi SR datang ke rumah saksi pada hari rabu tanggal 30
September 2009 sekira pukul 15.00 WIB ketika bertemu saksi,
Satinem menceritakan ia selesai membaca surat yang diberikan
saksi SR yang dari surat tersebut mengetahui terdakwa yang
telah berbuat cabul dengan saksi TRS dan saksi SR.
Benar saksi mendengarkan cerita dari saksi Satinem
bersama dengan istrinya yang bernama Kamitri. Berdasarkan
keterangan saksi Satinem yang menulis surat tersebut saksi TRS
yang menuangkan perasaannya setelah diperkosa terdakwa.
Surat tersebut diambil saksi SR sewaktu mengetahui saksi TRS
menangis sambil menulis surat yang surat tersebut kemudian
diambil saksi SRdan dberikan kepada saks i Satinem.
Dari cerita saksi Satinem, saksi TRS dalam surat tersebut
menuliskan bapaknya/terdakwa jahat sekali dan telah
memperkosanya. Saksi Satinem meminta saksi agar diantar ke
kantor polisi untuk melaporkan kejadian tersebut, dan saksi
55
bilang nanti setelah saksi selesai nderes, dan sekitar jam 19.00
WIB, saksi Satinem diantar ke rumah ketua RT dan Kadus
(Kepala Dusun) sete lah sampai di rumah ketua RT dan Kadus
menyarankan supaya melaporkan kejadian ke kantor Polsek
Somagede. Tanggal 2 Oktober 2009 saksi menemani saksi
Satinem melaporkan terdakwa ke kantor Polsek Somagede.
Yang melaporkan ke polisi adalah saksi, saksi Satinem dan saksi
TRS, sedangkan saksi SR tidak ikut karena sedang bekerja di
Purwokerto, kemudian hari berikutnya saksi SR baru diperiksa
di kantor Polsek Somagede.
Sete lah melapor korban TRS dan SR diperiksa di Rumah
Sakit Umum Banyumas, dan sete lah ditunjukkan hasil visumnya
saksi membenarkan. Saksi korbap pada saat kejadian masih
sekoiah di SDNTanggeran umur 13 tahun dan be lum pernah
menikah, sedangkan saksi SR saat ini berumur 16 tahun dan
belum pernah menikah. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa
menyatakan benar dan tidak keberatan.
2) Saksi Kamitri
Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan membenarkan isi
dalam BAP yang telah dibuat penyidik. Saksi hadir
dipersidangan karena diberitahu saksi Satinem terdakwa telah
berbuat cabul terhadap anaknya yaitu saksi TRS dan anak tirinya
56
yaitu saksi SR. Saksi tidak tahu persis kapan kejadiannya
pencabulan tersebut dan kejadia nnya dirumah terdakwa di
grumbul labruk, Desa Tanggeran RT.06 RW.01, Kecamatan
Somagede, Kabupaten Banyumas.
Saksi Satinem yang merupakan ibu dari saksi TRS dan
saksi SR datang ke rumah saksi pada hari Rabu tanggal 30
September 2009 sekira pukul 15.00 WIB bermaksud mencari
suami saksi yang bernama Sutrisno,dan setelah bertemu,saksi
Satinem bercerita kepada saksi Sutrisno dan saksi ia selesai
membaca surat yang diberikan saksi SR yang dari surat tersebut
mengetahui terdakwa yang telah berbuat cabul dengan saksi
TRS dan saksi SR.
Berdasarkan keterangan saksi Satinem yang menulis surat
tersebut saksi TRS yang menuangkan perasaannya setelah
diperkosa terdakwa. Surat tersebut diambil saksi SR sewaktu
mengetahui saksi TRS menangis sambil menulis surat yang
surat tersebut kemudian diambil saksi SR dan diberikan kepada
saksi Satinem.
Dari cerita saksi Satinem, saksi TRS dalam surat tersebut
menuliskan bapaknya/terdakwa jahat sekali dan telah
memperkosanya. Saksi tidak membaca surat terseut hanya
mendengar dari saks i Satinem dan menurut Satinem surat
tersebut telah disobek-sobek dan dibakarnya. Menurut
57
keterangan dari saksi Satinem saksi TRS dinakali bapaknya di
rumah sedangkan saksi SR dikebun pekarangan milik Bu Dinem
dan dirumah.
Menurut keterangan dari saksi Satinem, TRS diperkosa
bapaknya sejak bulan Desember 2008 dan saksi SR sejak tahun
1998 sampai bulan Januari 2008. Saksi Satinem meminta suami
saksi agar diantar ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian
tersebut, dan suami saksi bilang nanti setelah ia selesai nderes,
dan sekitar jam 19.00 WIB, saksi Satinem diantar ke rumah
ketua RT dan kadus (kepala dusun) setelah sampai di rumah
ketua RT dan kadus menyarankan supaya melaporkan kejadian
ke kantor Polsek Somagede. Tanggal 2 Oktober 2009 suami
saksi menemani saksi Satinem melaporkan terdakwa ke Kantor
Polsek Somagede. Yang melaporkan ke polisi adalah suami
saksi, saksi Satinem dan saksi TRS, sedangkan saksi SR tidak
ikut karena sedang bekerja di Purwokerto, kemudian hari
berikutnya saksi SR baru diperiksa di kantor Polsek Somagede.
Setelah melapor korban TRS dan SR diperiksa di Rumah
Sakit Umum Banyumas, dan saksi mengantarnya setelah
ditunjukkan hasil visumnnya saksi membenarkan, selaput dara
saksi TRS dan saksi SR telah robek. Saksi sewaktu dilakukan
pemeriksaan di Polsek Somagede saksi ikut dan mendengar
pengakuan saksi TRS dan saksi SR kalau terdakwa jahat dan
58
telah memperkosa, dan jika menolah terdakwa marah-marah dan
mengancam akan menempeleng para saksi korban, hingga
mereka takut, dan hanya diam dan menangis saja.
Saksi korban pada saat kejadian masih sekolah di
SDNTanggeran umur 13 tahun, lahir tanggal 09 Mei 1996 dan
belum pernah menikah, sedangkan saksi SR saat ini berumur 16
tahun dan belum pernah menikah dan menur ut keterangan saksi
SR sejak umur 7 (tujuh) tahun ia disetubuhi oleh terdakwa.
Saksi membenarkan barang bukti yang ditunjukan majelis
dipersidangan. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa
menyatakan benar dan tidak keberatan.
3) Saksi Satinem
Saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan membenarkan isi
dalam BAP yang telah dibuat penyidik. Saksi hadir
dipersidangan ia melaporkan suami/terdakwa telah berbuat
cabul terhadap anaknya yaitu saksi TRS dan anak tirinya yaitu
saksi SR. Tanggal 02 Oktober 2009 saksi melaporkan bersama-
sama dengan saksi Sutrisno dan anak saksi TRS sedangkan SR
tidak ikut karena sedang bekerja sebagai pembantu rumah
tangga di Purwokerto. Saksi mengetahui anaknya yang bernama
TRS dan SR dicabuli terdakwa dari tulisan surat yang ditulis
oleh anak saksi TRS.
59
Tulisan surat yang ditulis oleh TRS diterima saksi pada
tanggal 28 Oktober 2009 sekira jam 18.00 WIB dirumah saksi
sendiri dari anak saksi yang bernama SR yang isinya bapak
jahat, aku habis diperkosa sama bapak, itu yang masih saksi
ingat dan sekarang tulisan surat tersebut sudah saksi sobek dan
saksi bakar sedangkan anak saksi SR mengalami itu juga telah
diperkosa oleh ba pak tiri/terdakwa.
Setelah menerima tulisan surat tersebut saksi menanyakan
kepada suami saksi/terdakwa apa benar telah melakukan
pencabulan terhadapTRS dan SR tetapi terdakwa marah marah-
marah dan saksi TRS dilempar sandal, akhirnya saksi diam takut
terjadi keributan yang lebih parah.
Pada hari Rabu tanggal 30 September 2009 sekira jam
15.00 WIB saksi datang ke rumah saksi Sutrisno bercerita
tentang isi tulisan yang ditulis anak saksi TRS dan saksi minta
tolong diantar ke kantor Polsek Somagede, tetapi saksi diantar
ke rumah ketua RT dan kadus setelah itu disarankan oleh ketua
RT dan kadus supaya melaporkan kejadian tersebut ke kantor
Polsek Somagede.
Menurut keterangan dari TRS dan SR sudah banyaksekali
suami saksi/terdakwa telah melakukan pencabulan/
pemerkosaan.Saksi TRS lahir pada tanggal 09 mei 1996 sesuai
dengan akte kelahiran dan saksi SR lahir pada tanggal 03
60
Nopember 1992, usia anak saksi TRS sekitar 13 (tiga belas)
tahun sedangkan SR sekitar 16 (enam belas) tahun. Saksi
mempunyai 4 (empat) orang anak yaitu SR, anak saksi dari lain
bapak,TRS , Misem, dan Imam Catur Mahyudi, anak kandung
terdakwa. Menurut keterangan dari TRS perbuatan pencabulan/
pemerkosaan yang dilakukan oleh terdakwa sejak bulan
Desember 2008 sampai dengan bulan Juni 2009 sedangkan SR
sejak tahun 1998 sampai dengan bulan Januari 2008.
Menurut keterangan dari TRS kejadian yang dilakukan
oleh terdakwa sejak bulan Desember 2008 sampai dengan bulan
juni 2009, sedangkan SR sejak tahun 1998 sampai dengan bulan
januari 2008. Pertama kali dicabuli/diperkosa usia saksi TRS
sekitar 12 tahun, sedangkan SR sekitar 7 tahun.
Menurut keterangan dari TRS kejadian pencabulan di
rumah sendiri di Grumbul Labruk, Desa Tanggeran
RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas,
sedangkan saksiSR di rumah dan di kebun pekarangan milik Ibu
Dinem.Saksi TRS dan saksi SR pada hari Sabtu tanggal 3
Oktober 2009 dilakukan pemeriksaan di RSUD Banyumas, dan
diketahui hasil pemeriksaan pada saksi TRS selaput darah robek
begitu pula yang terjadi pada saksi SR. Saksi membenarkan
mengenali barang bukti yang ditunjukkan majelis ha kim di
61
persidangan. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa
menyatakan benar dan tidak keberatan.
4) Saksi SR
Saksi pernah diperiksa di penyidik dan keterangan yang
diberikan adalah benar. Saksi kenal dengan terdakwa karena
terdakwa adalah suami ibunya dan merupakan bapak tiri
terdakwa. Saksi diajukan dipersidangan karena saksi telah
diperkosa/dicabuli oleh terdakwa. Pada hari minggu tanggal 28
September 2009 sekira pukul 16.00 WIB saksi mengetahui
korban TRS sedang menangis sambil menulis surat, karena
penasaran saksi merebut surat tersebut kemudian membacanya.
Saksi kemudian membaca isi surat yang ditulis saksi
korban TRS yang salah satunya mengatakan kalau terdakwa
jahat dan telah memperkosa saksi TRS berulang-ulang pada
bulan Desember 2008
Sampai dengan Maret 2009 di rumah terdakwa di
Grumbul Labruk, desa Tanggeran RT.06/RW.01, Kecamatan
Somagede, Kabupaten Banyumas. Setelah membaca dan
mengetahui isinya saksi memberikan surat yang ditulis saksi
TRS tersebut kepada ibunya saksi Satinem. Saksi, sewaktu
saksi Satinem membacanya dan menanyakan kepada saksi TRS
dan saksi TRS membenarkan dan menceritakan is diperkosa
berulang-ulang oleh terdakwa dikamarnya disaat saksi Satinem
62
pergi membantu ke hajatan tetangganya. Karena jengkel surat
tersebut oleh saksi Satinem dirobek-robek dan dibakar. Saksi
Satinem juga menanyakan kejadian tersebut kepada terdakwa
atas kebenaran isi surat yang ditulis saksi TRS, kemudian
terdakwa marah-marah dan melempar sandal kepada saksi TRS.
Atas kejadian tersebut saksi TRS sering menangis dan
menjadi pendiam. Menurut keterangan saksi TRS kepada saksi,
ia tidak menghendaki perbuatan yang dilakukan terdakwa
kepadanya dan saksi TRS tidak berani melawan karena takut
dengan terdakwa yang perangainya sehari-hari suka marah-
marah dan suka memukul dan terdakwa selalu memaksa jika
melakukan perbuatan tersebut dan mengatakan anak harus nurut
orang tua.
Selain saksi korban TRS, terdakwa juga memperlakukan
saksi sebagaimana yang dilakukan terhadap saksi TRS.
Perbuatan terhadap saksi dilakukan terdakwa pada hari dan
tanggal yang tidak diingat lagi oleh terdakwa, namun dipastikan
sekitar tahun 1998 sewaktu terdakwa bersama saksi sedang
berada di kebun dekat rumah terdakwa di Grumbul Labruk,
Desa Tanggeran RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede,
Kabupaten Banyumas, terdakwa pada waktu itu mengambil 4
(empat) lembar daun pisang dan diletakkan ke tanah.
63
Terdakwa menyuruh saksi untuk duduk, melihat saksi
diam saja terdakwa menarik tangan saksi. Kemudian terdakwa
mendorongnya dan membaringkan saksi di atas daun pisang
tersebut karena saksi melakukan perlawanan, terdakwa
menampar pipi saksi sebelah kiri, setelah saksi diam karena
takut, terdakwa menciumi pipi saksi sambil melepas pakaian
yang dikenakan saksi.
Setelah itu terdakwa melepas celana yang dikenakannya
sampai sebatas lutut ke mudian meraba-raba alat kelamin/vagina
saksi. Terdakwa juga memegang payudara saksi dan
memasukkan alat kelamin terdakwa yang telah tegang ke dalam
lubang vagina saksi dan digerak-gerakan hingga terdakwa puas
dan keluar sperma di vagina saksi. Saat itu saksi merasa
kesakitan dan pedih pada alat kelamin saksi dan benar saksi
tidak menghendaki perbuatan tersebut. Terdakwa melakukan
perbuatan tersebut pertama kalinya saat usia saksi 7 (tujuh)
tahun dan masih sekolah di SDN.Tanggeran kelas 2 dan belum
menstruasi.
Hingga saksi lulus SD terdakwa masih melakukan
perbuatan berulang ulang lebih dari 15 kali dan setelah lulus SD,
saksi bekerja ke Purwokerto sebagai pembantu rumah tangga
dan jika pulang terdakwa masih memaksa saksi mau melayani
terdakwa walaupun saksi menolak terdakwa terus memaksa jika
64
teriak terdakwa membungkam saksi dan tidak segan-segan
memukul saksi sehingga saksi takut dan menurut saja.
Terdakwa pernah menjajikan akan membelikan baju, sepatu dan
memberi Rp.500,-(lima ratus rupiah) jika habis melakukan
perbuatan tersebut kepada saksi. Atas keterangan saksi tersebut
terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan.
5) Saksi TRS Binti Tuslam Turyadi
Saksi pernah diperiksa di penyidik dan keterangan yang
diberikan adalah benar. Saksi kenal dengan terdakwa karena
terdakwa merupakan bapak kandung terdakwa. Saksi telah
dicabuli/diperkosa oleh terdakwa, dan juga memperkosa kakak
tirinya yang bersama SR.
Saksi mengetahui sewaktu saksi sedang menulis surat
sambil menangis dikamarnya lalu saksi SR membaca surat yang
saksi buat tersebut, berisi tentang perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa terhadap saksi. Ternyata kakaknya juga menceritakan
bahwa ia mengalami perbuatan yang sama yang dilakukan oleh
terdakwa.
Setelah itu saksi SR langsung menyerahkan surat tersebut
kepada ibu kandung saksi yaitu saksi Satinem, setelah itu surat
tersebut dirobek-robek kemudian dibakar oleh ibu saksi. Minggu
tanggal 28 Desember 2008 sekira pukul 22.00 WIB bertempat di
65
dalam kamar saksi Grumbul Labruk, Desa Tanggeran,
RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas,
telah disetubuhi terdakwa.
Saat itu saksi dan terdakwa berada berdua di rumah
sedangkan ibu saksi sedang berada di rumah tetangga yang
sedang punya hajatan. Waktu itu saksi sedang tid ur sendirian di
dalam kamar, pintu kamar tidak dalam keadaan terkunci,
terdakwa tiba-tiba masuk ke kamar saksi dan membangunkan
saksi.
Terdakwa selanjutnya melepas celana dalam dan celana
panjang yang dipakai saksi setelah itu terdakwa melepas celana
dalam dan celana pendeknnya. Terdakwa waktu itu tidak
menggunakan pakaian sewaktu masuk ke kamar saksi sehingga
waktu celananya sudah terlepas, terdakwa sudah telanjang.
Dalam keadaan telanjang terdakwa menindih tubuh saksi dan
menciumi pipi serta meraba vagina saksi, kemudian terdakwa
memasukan alat kelaminnya.yang telah tegang ke dalam lubang
vagina saksi digerak-gerakkan, naik turun hingga terdakwa
merasakan puas dan mengeluarkan cairan sperma yang
ditumpahkan di alat kelamin saksi.
Saat terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke lubang
vagina saksi yang dirasakan sakit pada alat kelaminnya, dan
saksi tidak menghendaki perbuatan yang dilakukan terdakwa
66
tersebut. Saat kejadian tidak ada orang lain di rumah,saksi tidak
melakukan perlawanan karena takut dengan bapaknya, hanya
diam, mau menangis takut, dan terdakwa mengatakan kepada
saksi, jadi anak harus nurut sama orang tua sambil
memelototkan matanya sehingga membuat saksi takut, apalagi
melihat perangai sehari-hari terdakwa suka marah kepada
anak-anaknya dan suka memukul.
Setelah selesai kejadian terdakwa bilang jangan
diomongkan keorang-orang termasuk ibunya, lalu terdakwa
memakai celana dalamnya dan celana panjangnya lalu keluar
kamar, sedangkan saksi memakai celana dalam dan celana
panjangnya sendiri dan kembali tidur sambil menangis.
Terdakwa sering mengulangi perbuatannya menyetubuhi
saksi dan terakhir dilakukan pada bulan maret 2009 sehingga
saksi merasakan batinnya tersiksa dan dihantui rasa takut, saksi
hanya bisa menangis dan menuangkan perasaan saksi kedalam
tulisan/surat.
Sewaktu terdakwa menyetubuhi saksi pertama kali saat
usia saksi 12 (dua belas) tahun dan belum menstruasi dan masih
kelas 3 SD, dan sekarang berumur 13 (tiga belas) tahun (lahir
tanggal 9 mei 1996). Setiap melakukan persetubuhan terdakwa
selalu memaksa dan saksi takut untuk menolaknya karena
terdakwa sering memukul saksi. Terdakwa menyetubuhi saksi
67
berulang-ulang, lebih dari 15 (lima belas) kali, dari bulan
Desember 2008 dan terakhir dilakukan tahun 2009, dan
tempatnya selalu di kamar saksi.
Senin tanggal 28 September 2009 saksi menuangkan
perasaan saksi atas perbuatan terdakwa ke saksi melalui tulisan
surat yang diketahui kakak saksi yaitu SR yang kemudian
dibacanya yang isinya pada pokoknya adalah bapak jahat, dan
telah memperkosa saksi. Kemudian surat tersebut oleh saksi SR
diberikan kepada ibunya yaitu saksi Satinem.
Sewaktu saksi Satinem menanyakan kepada terdakwa
tentang kebenarannya, terdakwa marah-marah dan melempar
sandal kepada saksi, sehingga saksi menjadi takut. Perbuatan
terdakwa telah dilaporkan ibu saksi yaitu saksi Satinem tanggal
2 Oktober 2009. Hari Sabtu tanggal 3 Oktober 2009, saksi
diperiksa di rumah sakit banyumas. Saksi membenarkan hasil
Visum et Repertum yang ditandatangani oleh dr. Amrizal,
Sp.Og, dari Rumah Sakit Umum Banyumas tertanggal 9
September 2009. Atas kejadian tersebut saksi mohon agar
terdakwa dihukum seumur hidup.
b. Keterangan Terdakwa
Terdakwa pernah diperiksa oleh penyidik dan membenarkan
semua keterangan yang ada dalam Berita Acara Pemeriksaan.
68
Diajukan dipersidangan karena telah menyetubuhi anak tirinya yang
bernama SR dan anak kandungnya yang bernama TRS. Pada hari dan
tanggal yan tidak lagi diingat, namun dapat dipastikan pada tahun
1998 sewaktu di pekarangan/kebun Ny.Dinem,di Grumbul Labruk,
Desa Tanggeran RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten
Banyumas, melihat SR sedang bekerja timbul hasrat sexnya.
Cara terdakwa mengajak SR ke kebun pekarangan Ibu Diwen,
dengan mengatakan,“ayo main ke kebun bu D iwen”, sambil terdakwa
menujukan ibu jari diapit ditengah dengan kedua jari (isyarat kawin)
kepada SR. Terdakwa kemudian mengambil 4 (empat) batang daun
pisang dan menggelarnya di atas tanah kemudian menyuruh saksi
korban SR untuk dipakainya istirahat/duduk. Kemudian saksi korban
oleh SR tidak segera duduk dan oleh terdakwa ditarik, kemudian
didekap, didorong dan dibaringkan di atas daun pisang.
Selanjutnya terdakwa membuka paksa celana dalam dan pakaian
dari saksi korban SR, kemudian terdakwa melepas celana yang
dikenaka nnya sendiri, kemudian menindih tubuh korban. Setelah itu
terdakwa menciumi pipi dan diremasnya payudara dan vagina korban
SR. Setelah itu terdakwa menindih saksi korban sambil memasukkan
alat kelaminnya ke dalam alat kelamin saksi korban SR, sambil naik
turunkan pantatnya sampai akhirnya ia mengeluarkan air mani.
Sewaktu memasukkan alat kelaminnya ke lubang vagina saksi
korban SR, terdakwa merasa kesulitan, dan terdakwa mengetahui
69
saksi korban SR masih berumur kurang lebih 7 tahun dan masih
duduk di sekolah dasar, saat itu belum menstruasi dan belum tumbuh
bulu pada alat kelamin saksi SR. Terdakwa kemudian masih
mengulangi perbuatan tersebut berkali-kali, dan terakhir sekitar bulan
Januari 2009 pada malam hari sewaktu SR pulang kerja sebagai
pembantu rumah tangga di Purwokerto. Perbuatan terhadap saksi SR
tersebut dilakukan terdakwa di kebun/pekarangan dan juga di kamar
saksi SR.
Saksi SR, selalu menolak melayani terdakwa, tetapi terdakwa
selalu marah-marah sehingga saksi SR takut, dan te rdakwa
mengetahui saksi korban mau melayani karena takut pada terdakwa,
dan tidak pernah menangis. Waktu pertama kali terdakwa
memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin SR, terdakwa
tidak tahu keluar darah atau tidak. Saksi korban diancam untuk tidak
bercerita kepada siapa-siapa termasuk ibunya dan diberi uang ratus
rupiah,dibelikan seragam dan sepatu.
Terdakwa mengetahui saksi korban tidak menikmati saat
terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke lubang vagina saksi SR.
Hari Minggu tanggal 28 Desember 2008 sekira jam 22.00 WIB
sewaktu terdakwa melihat acara TV dan saat istri terdakwa tidak
berada di rumah sedang di hajatan tetangga, tiba-tiba terdakwa yang
sudah tidak memakai baju dan celana dalam masuk ke kamar anak
70
kandungnya TRS yang sedang tidur di kamar yang tertutup namun
tidak terkunci.
Di dalam kamar , anak kandungnya yang bernama TRS ia
bangunkan, setelah bangun celana anak kandungnya ia lepas,
kemudian ia melepas celana yang dipakainya sendiri, kemudian ia
meniduri anaknya dengan cars kedua kaki terdakwa berada di dalam
kedua belah kaki anak kandung saksi TRS, kemudian terdakwa
memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam alat
kelamin saksi TRS, kemudian menggerak-gerakka n berulang kali
sampai terdakwa puas dan mengeluarkan mani.
Terdakwa mengetahui saksi korban TRS saat itu ketakutan , dan
terdakwa tidak menghiraukannya, sambil memelototkan matanya dan
mengatakan agar saksi TRS sebagai anak menuruti orang tuanya. Saat
kejadian tersebut saksi TRS berusia kurang lebih 12 (dua belas) tahun,
dan masih sekolah kelas 2 SD dan belum menstruasi tumbuh payudara
dan dan rambut pada alat kelaminnya.
Terdakwa mengetahui sewaktu alat kelamin terdakwa masuk ke
alat kelamin TRS, korban merasa sakit dan mau menangis tetapi
ditahannya dan terdakwa tahu saksi korban takut melawan keinginan
terdakwa. Kemudian terdakwa menyuruh saksi korban TRS untuk
memakai celananya dan mengatakan jangan bilang ke siapa-siapa.
Terdakwa mengulangi perbuatannya berkali-kali karena ibu korban
71
tidak mau melayani. Terdakwa terakhir melakukan kepada korban
TRS hari Senin tanggal 15 Juni 2009 sekira pukul 21.00 WIB.
Sekarang saksi korban TRS berumur 13 tahun dan masih
sekolah di SD kelas 3. Sekitar bulan September 2009 perbuatan
terdakwa tersebut diketahui saksi Satinem, karena tulisan saksi TRS,
kemudian terdakwa dilaporkan ke Polsek Somagede dan ditahan.
Terdakwa mengetahui barang bukti yaitu 1 (satu) celana kolor pendek
pria warna coklat tua yang bertuliskan Spor t,1 (satu) buah kaos
berkerah warna hitam milik terdakwa Tuslam Turyadi, 1 (satu) buah
celana kolor pendek wanita warna abu-abu, 1 (satu) baju wanita
lengan panjang warna pink,1 (satu) buah celana dalam warna pink
milik saksi TRS yang dikenakan pada saat kejadian. Atas pembacaan
Visum et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh
dr.Amrizal,Sp.OG dari Rumah Sa kit Umum Banyumas pada tanggal 7
Oktober 2009, Nomor: 440/1082/X/2009 atas nama SR, dan tanggal 9
Oktober 2009 nomor : 440/1081/X/2009 atas nama TRS, terdakwa
tidak keberatan.
c. Barang Bukti
Selain bukti saksi,dan alat bukti lainnya Jaksa Penuntut Umum
mengajukan barang bukti berupa:
1) 1 (satu) celana kolor pendek pria warna coklat tua yang
bertuliskan Sport, 1 (satu) buah kaos berkerah warna
72
hitam, milik terdakwa Tuslam Turyadi, 1 (satu) buah
celana kolor pendek wanita warna abu-abu.
2) 1 (satu) baju wanita lengan panjang warna pink,
3) 1 (satu) buah celana dalam warna pink milik saksi TRS
4. Tuntutan Penuntut Umum
Berdasarkan pembuktian dan fakta-fakta hukum yang terungkap di
dalam persidangan,maka Jaksa Penuntut Umum berdasarkan tuntutan
pidana tanggal 4 Februari 2009, yang pada pokoknya memutuskan sebagai
berikut:
a. Menyatakan terdakwa TS Bin TR telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
yaitu saksi korban SR 16 tahun dan TRS bin Tuslam Turyadi
berumur 13 tahun, melakukan perbuatan dengannya
sebagaimana terurai dalam dakwaan primair kami yaitu Pasal
81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak.
b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 14 (empat belas) tahun dengan
dikurangkan sepenuhnya selama ditahan dengan perintah
terdakwa tetap berada dalam tahanan, dan denda sebesar Rp.
60. 000.000,- (enam puluh juta rupiah).
c. Menetapkan barang bukti berupa :
73
1 (satu) celana kolor pendek pria warna coklat tua yang
bertuliskan Sport,
1 (satu) buah kaos berkerah warna hitam
dikembalikan kepada TS Bin TR.
1 (satu) buah celana kolor pendek wanita warna abu-abu.
1 (satu) baju wanita lengan panjang warna pink,
1 (satu) buah celana dalam warna pink
di kembalikan kepada saksi TRS.
d. Membebankan supaya TS Bin TR membayar biaya perkara
kepada terdakwa sebesar Rp.2. 500,-(dua ribu lima ratus rupiah)
5. Putusan
a. Pertimbangan Hakim
Dakwaan Penuntut Umum disusun secara Subsidaritas, oleh
karena itu majelis hakim akan mempertimbangkan dakwaan Primair
terlebih dahulu, yaitu melanggar Pasal 81 ayat (1) Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang unsur-
usurnya sebagai berikut:
1) Setiap orang
2) dengan sengaja
3) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang orang lain
74
Ad. Unsur Setiap Orang
Setiap orang adalah subyek hukum penyandang hak dan
kewajiban, yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dipersidangan Penuntut Umum telah menghadirkan terdakwa
bernama TS bin TRlengkap dengan identitasnnya, yang selama
persidangan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta mampu
menjawab pertanyaan majelis dengan baik, dengan demikian unsur ini
telah terpenuhi.
Ad. Unsur dengan sengaja
Sengaja adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan
kesadaran dan akibat dari perbuatan tersebut diketahui serta
dikehendaki oleh pelaku. Menimbang bahwa berdasarkan keterangan
saksi-saksi, keterangan terdakwa.
Pada hari dan tanggal yang tidak bisa diingat lagi pada tahun
1998 sewaktu di pekarangan/kebun Ny.Dinem, di Grumbul Labruk,
Desa Tanggeran RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten
Banyumas, terdakwa telah menyetubuhi SR (anak tirinya) yang saat
itu terdakwa tahu saksi masih berumur kurang lebih 7 (tujuh) tahun
dan masih duduk di sekolah dasar,
Terdakwa kemudian masih mengulangi perbuatan tersebut
berkali-kali dan terakhir sekitar bulan Januari 2009 pada malam hari
sewaktu SR pulang kerja sebagai pembantu rumah tangga di
Purwokerto.
75
Kemudian hari Minggu tanggal 28 Desember 2008 sekira jam
22.00 WIB sewaktu terdakwa juga menyetubuhi anak kandungnya
yang bernama TRSyang sedang tidur di kamar, dan saat kejadian
tersebut saksi TRS berusia kurang lebih 12 (dua belas) tahun, dan
masih sekolahkelas 2 SD dan belum menstruasi tumbuh payudara dan
dan rambut pada alat kelaminnya.
Terdakwa terakhir melakukan kepada korban TRS hari Senin
tanggal 15 Juni 2009 sekira pukul 21.00 WIB. Menimbang, bahwa
terdakwa menyetubuhi anak tirinya yaitu saksi korban SR dan anak
kandungnya yang bernama TRS dalam keadaan sadar dan mengetahui
akibat perbuatannya dan dilakukan terdakwa berulang-
ulang,berdasarkan pertimbangan tersebut menurut majelis unsur ini
telah terpenuhi.
Ad. Unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain.
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan kekerasan adalah
mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak
sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam
senjata,menyepak, menendang, dan sebagainya, sehingga membuat
orang tidak berdaya atau tidak mempunyai kekuatan atau tenaga
sehingga tidak dapat mengadakanperlawanan, sedangkan yang
dimaksud dengan memaksa artinya perbuatan yang mengakibatkan
76
sesuatu yang buruk, atau yang merugikan, atau perbuatan yang tidak
dikehendaki. Kekerasan tersebut tidak hanya kekerasan fisik tetapi
juga kekerasan psikis, sedangkan persetubuhan adalah peraduan antara
kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dilakukan untuk
mendapatkan anak, jadi alat kelamin laki-laki harus masuk ke dalam
alat kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan air mani.
Pada hari dan tanggal lupa tahun 1998 sewaktu di
pekarangan/kebun Ny.Dinem ,di Grumbul Labruk, Desa Tanggeran
RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas,
terdakwa telah menyetubuhi SR (anak tirinya) yang saat itu terdakwa
tahu bahwa anak tirinya masih berumur kurang lebih 7 tahun dan
masih duduk di sekolah dasar, dan terakhir dilakukan terdakwa sekitar
bulan Januari 2009 pada malam hari sewaktu SR pulang kerja sebagai
pembantu rumah tangga di Purwokerto.
Kemudian hari Minggu tanggal 28 Desember 2008 sekira jam
22.00 WIB sewaktu terdakwa juga menyetubuhi anak kandungnya
yang bernama TRS yang sedang tidur di kamar , dan saat kejadian
tersebut saksi TRS berusia kurang lebih 12 tahun, dan masih sekolah
kelas 2 SD, dan belum menstruas, belum tumbuh payudara, dan
rambut pada alat kelaminnya ,dan dilakukan terdakwa berulang-ulang,
terakhir melakukan kepada korban TRS hari Senin tanggal 15 Juni
2009 sekira pukul 21.00 WIB.
77
Saksi SR, selalu menolak me layani terdakwa, tetapi terdakwa
selalu marah-marah sehingga saksi SR ketakutan, dan terdakwa
mengetahui saksi korban mau melayani karena takut padaterdakwa
dan tidak pernah menangis. Terdakwa juga mengetahui saksikorban
TRS saat itu juga ketakutan dan terdakwa tidakmenghiraukannya,
sambil memelototkan matanya dan mengatakan agar saksi TRS
sebagai anak menuruti orang tua dan mengancam jangan bilang ke
siapa-siapa termasuk ibunya yang bernama Satinem.
Terdakwa menyetubuhi para korban tidak hanya dengan dengan
kekerasan secara fisik saja tetapi juga kekerasan ps ikis sehingga saksi
korban SR dan saksi korban TRS tidak berdaya dan mau menuruti
kehendak terdakwa, hal itu juga diperkuat dari hasil Visum et
Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.Arnrizal,Sp.OG dari
Rumah Sakit Umum Banyumas pada tanggal 7 Oktober 2009,
Nomor440/1082/X/2009 atas nama SR, pada waktu Pemeriksaan hari
Selasa tanggal 6 Oktober 2009 pada saksi korban SR, sekitar
kemaluan tidak ada tanda-tanda kekerasan, dilakukan colok dubur
didapati selaput dara sobek (sobekan lama pada arah jam 2,7, 10, dan
liang senggama dalam posisi terbuka. Kesimpulan : Liang senggama
seperti orang yang sudah sering bersetubuh, tetapi belum mempunyai
anak, dan tanggal 9 Oktober 2009 nomor : 440/1081/X/2009 atas
nama TRS pada sedangkan untuk saksi korban TRS pada waktu
pemeriksaan pada hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009 terdapat luka
78
robek tidak teratur pada selaput darah alat kelamin akibat dimasuki
benda tumpul seperti penis orang dewasa secara paksa, kesimpulan
luka-luka dan lain -lain tersebut di atas disebabkan karena masuknya
benda tumpul secara paksa. Berdasarkan pertimbangan tersebut
menurut majelis unsur ini telah terpenuhi pula.
Karena semua unsur dalam dakwaan tersebut telah terpenuhi,
maka majelis berkeyakinan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah
dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya.
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa terhadap anak tirinya SR dan anak
kandungnya TRS yang masih di bawah umur
menyebabkan trauma bagi korban.
- Terdakwa sebagai seorang ayah tidak melindungi bagi
anak-anaknya malah merusak masa depan mereka.
- Perbuatan terdakwa melanggar norma agama, sosial dan
nilai-nilai dalam masyarakat.
- Bahwa para korban dan ibu korban mohon terdakwa
dihukum seberat-beratnya.
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa mengaku terus terang, menyesali perbuatannya,
dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
79
- Terdakwa belum pernah dihukum.
b. Amar Putusan
1) Menyatakan terdakwa TS Bin TR telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan pe rsetubuhan dengannya
dengannya.
2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun, dan
denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
3) Menetapkan apabila denda tidak dibayar maka diganti
dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
4) Menetapan masa tahanan yang telah dijalani oleh
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
5) Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan.
6) Menetapkan barang bukti berupa :
1 (satu) celana kolor pendek pria warna coklat tua yang
bertutiskan Sport,
1 (satu) buah kaos berkerah warna hitam
dikembalikan kepada TS Bin TR.
1 (satu) buah celana kolor pendek wanita warna abu-abu.
80
1 (satu) baju wanita lengan panjang warna pink,
1 (satu) buah celana dalam warna pink
di kembalikan kepada saksi TRS.
7) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar
Rp.2.500,-(dua ribu lima ratus rupiah)
B. Pembahasan
1. Tujuan Diperlukannya Visum et Repertum Dalam Tindak Pidana
Perkosaan Terhadap Anak Kandung (Incest)
Incest(hubungan seksual yang dilakukan oleh individu didalam sebuah
keluarga dengan anggota keluarga lainnya, baik itu ayah dengan anak, ibu
dengan anak, kakek dengan cucu, kakak dengan adik) sebagian termasuk
kedalam kejahatan atau penganiayaan seksual, dimana perilaku seksual yang
dilakukan dapat berupa penganiayaan secara fisik maupun non fisik, oleh
orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan yang bertujuan untuk
memuaskan hasrat seksual pelakunya.
Incestakan dapat terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhinya,
baik itu secara internal dan eksternal. Kasus incest yang terjadi, banyak
sekali tidak dilaporkan oleh korban incest. Jika dibandingkan dengan kasus
yang terjadi, hal itu tidak sebanding dengan kasus yang terjadi sebenarnya.
Karena hal itu dianggap sebagai aib keluarga, apabila diketahui masyarakat
umum akan menyebabkan keluarga yang bersangkutan menanggung malu
dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
81
Penyebab atau pemicu timbulnya incest salah satunya adalah karena
pengaruh aspek struktural, yakni situasi dalam masyarakat yang semakin
kompleks. Kompleksitas situasi menyebabkan ketidakberdayaan pada diri
individu. Khususnya apabila ia seorang laki-laki (notabene cenderung
dianggap dan menganggap diri lebih berkuasa) akan sangat terguncang, dan
menimbulkan ketidakseimbangan mental-psikologis. Dalam
ketidakberdayaan tersebut, tanpa adanya iman sebagai kekuatan
internal/spiritual, seseorang akan dikuasai oleh dorongan primitif, yakni
dorongan seksual ataupun agresivitas.
Perbuatan Incest TS Bin TR pada dasarnya dilakukan tanpa
sepengetahuan Satinem sebagai ibu korban. TS Bin TR pada saat itu sangat
berkuasa di rumah karena, istri terdakwa bekerja di luar rumah, sehingga
anak-anak tidak berada dalam pengawasan Saksi satinem, bahkan
mengetahui perbuatan te rsebut melalui surat. Senin tanggal 28 September
2009 saksi korban TRS menuangkan perasaannya dalam surat dan diketahui
oleh saksi korban SR dan membaca surat yang ditulis oleh saksi korban
TRS yang berisi bahwa terdakwa telah diperkosa saksi TRS,dan
memberikan surat tersebut kepada saksi Satinem, setelah membaca surat
tersebut dan mendengar pengakuan para saksi korban melaporkan ke pihak
berwajib pada tanggal 2 Oktober 2009, ke mudian pada hari Sabtu tanggal 3
Oktober 2009 dilakukan pemeriksaan oleh dokter di RSUD Banyumas
kepada saksi SR dan saksi korban TRS.
82
Ketidakberdayaan korban untuk mengungkapkan kasus incestyang
dialaminya disebabkan adanya pengalaman di masyarakat yang
menunjukkan bahwa terjadinya kasus incest, adalah kesalahan dan aib si
korban, rasa malu yang tinggi sangat menghambat terbukanya kasus incest
ini ke permukaan. Oleh karena itu saksi korban TRS hanya dapat
menuangkan perasaannya dalam surat.
Korban yang notabene adalah anak perempuan, tidak tahu dan tidak
memiliki kapabilitas untuk membuat pengaduan, sistem hukum yang
kompleks membuat anak korban incest hanya mampu memendam apa yang
telah dialaminya. Hal inilah yang dialami SR , sehingga korban bahkan tidak
mengadukan sama sekali perbuatan ayah tirinya tersebut.
Perilaku incest merupakan hubungan seksual diantara keluarga yang
mempunyai pertalian darah yang dekat. Yang dimaksud pertalian darah
yang dekat adalah hubungan antara ayah dan anak perempuannya, antara ibu
dan anak laki-lakinya, antara saudara sekandung, antara paman dan
keponakan dan antara ayah tiri dan anak tiri. Pengertian incest pada masa
sekarang ini telah diperluas lagi meliputi peradaban pada genital, buah dada
dan pantat, oral-genital, dan hubungan seksual anal maupun vagina”. Di
sini incest meliputi tindakan seksual yang tidak hanya bersifat penetrasi alat
seksual secara wajar, namun juga dapat dikatakan kurang wajar, yang
meliputi tindakan anal sex, juga tindakan yang bersifat peradaban terhadap
daerah-daerah sensitif.69
69 Sulaiman Zuhdi Manik, Op cit., hal. 37
83
Pengaturan mengenai kejahatan incest dalam KUHP berada di dalam
Pasal 294 ayat (1) :
Melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tiri, anak angkat, anak belum dewasa, yang pemeliharaanya, pendidikan atau pengawasannya diserahkan padanya atau pun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Sebelum diterbitkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, konteks kejahatan incest hanya diatur dalam
Pasal 294 ayat (1) KUHP. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, mengatur masalah incest sesuai dengan Undang-undang
Perlindungan anak di Pasal 59, dimana pemerintah dan/atau lembaga negara
secara jelas menyebutkan memberi kepastian perlindungan khususnya
antara lain kepada anak dalam situasi yang tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual. Incest dititikberatkan pada adanya tindak pidana
persetubuhan. Tindak pidana persetubuhan pada anak secara khusus diatur
dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa:
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
84
Dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak tidak menekankan apakah itu perkosaan ataupun incest,
namun yang ditekankan adalahperbuatan persetubuhan. Persetubuhan dalam
arti biologis adalah Suatu perbuatan yang memungkinkan terjadinya
kehamilan, sehingga harus terjadi: erectio n penis; penetration penis ke
dalam vagina; dan ejaculation penis ke dalam vagina. Namun dalam ilmu
hukum hanya mensyaratkan adanya penetrasi penis kedalam vagina.70
Oleh karena itu bentuk unsur yang perlu dibuktikan adalah ada atau
tidaknya persetubuhan. Dalam kasus kejahatan seksual dalam kaitannya
dengan fungsi penyidikan ditujukan kepada:
1. Menentukan adanya tanda -tanda persetubuhan, persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin pria masuk ke dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa terjadinya orgasme.
2. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas luka tergantung antara lain dari penanpang benda, daerah yang terkena kekerasan serta kekuatan dari kekeresan itu sendiri.
3. Memperkirakan umur, merupakan pekerjaan yang paling sulit, oleh karena tidak ada satu metode apapun yang dapat memastikan umur seseorang dengan tepat, walaupun pemeriksaan sendiri memerlukan sarana serta keahlian, seperti pemeriksaan keadaan pertumbuhan gigi atau tulang dengan memakai alat rontgen71
Peranan Visum et Repertum dalam pengungkapan suatu kasus incest,
menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak kepolisian
selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana incest dari
70 Abdul Wahid, Op cit. hal. 113 71Abdul Mun’in Idries , Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses
Penyidikan, Karya Unipers, Jakarta, 1982, hal. 113-115.
85
hasil pemeriksaan yang termuat dalam Visum et Repertum, menentukan
langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus incest.
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan
pada hakekatnya bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile
waarheid ) yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat waktu dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum.
Proses pencarian kebenaran materiil atas peristiwa pidana melalui
tahapan-tahapan tertentu yaitu, dimulai dari tindakan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk
menentukan lebih lanjut putusan pidana yang akan diambil. Putusan pidana
oleh hakim itu sendiri didasarkan pada adanya kebenaran materiil yang tepat
dan berlaku menurut ketentuan undang-undang, dalam hal in i hukum acara
pidana. Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari masalah
pembuktian, yaitu tentang kejadian yang konkret dan senyatanya.
Membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan hal-hal
yang dapat ditangkap oleh pancaindera, mengutarakan hal-hal tersebut
secara logika.72
Proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib
mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana
yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti
72 Y.A. Triana Ohoiwutun, 2006, Profesi Dokter dan Visum et Repertum (Penegakan
Hukum dan Permasalahannya) , Dioma, Malang, hal. 10.
86
yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut
ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP) pada Pasal 184 ayat (1).73
Usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dalam
penyelesaiannya memerlukan bantuan seorang ahli dalam rangka mencari
kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya. Mengenai permintaan
bantuan tenaga ahli diatur dalam KUHAP yakni Pasal 120 ayat (1), yang
menyatakan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta
pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”. Keterangan
dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis sebagai hasil
pemeriksaan medis yang disebut dengan Visum et Repertum. Berdasarkan
ketentuan tersebut diatas jelas bahwa untuk mengungkap ada tidaknya
persetubuhan maka harus dilakukan pemeriksaan dokter melalui Visum et
Repertum.
Sesuai Dakwaan Penuntut Umum yang disusun secara Subsidaritas,
majelis hakim lebih mempertimbangkan dakwaan Primair terlebih dahulu
yaitu melanggar Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang unsur -usurnya sebagai ber ikut:
1) Setiap orang
2) dengan sengaja
73Waluyadi, 1999, Pengetahuan dasar Hukum Acara Pidana, Mandar Maju, Bandung,hal.
100.
87
3) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang orang
lain.
Berdasarkan unsur -unsur Pasal 81 ayat (1) undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka penuntut umum harus dapat
membuktikan adanya unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
orang lain.
R Sugandhi menyatakan bahwa, baru dikatakan persetubuhan apabila
anggota kelamin pria telah masuk ke dalam lubang anggota kelamin wanita
sedemikian rupa sehingga akhirnya mengeluarkan air mani.74 Berdasarkan
pendapat tersebut maka ketika seorang Jaksa Penuntut Umum akan
membuktikan adanya persetubuhan, terlebih dahulu ia harus membuktikan
adanya proses masuknya anggota kelamin pria telah ke dalam lubang
anggota kelamin wanita sedemikian rupa sehingga akhirnya mengeluarkan
air mani dengan mendasarkan pada bekas luka, adanya unsur paksaan,
robeknya selaput dara ataupun bercak mani. Hal ini tentunya hanya dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan dokter atau Visum et
Repertum.
Majelis Hakim dalam membuktikan adanya atau terpenuhinya unsur
“melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang orang lain”, ternyata
74R. Sugandhi, 2006, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, hal. 301
88
mempertimbangkan Visum et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh
dr. Arnrizal, Sp.OG dari Rumah Sakit Umum Banyumas pada tanggal 07
Oktober 2009, Nomor 440/1082/X/2009 atas nama SR. Majelis hakim
menyatakan bahwa:
Terdakwa menyetubuhi para korban tidak hanya dengan dengan kekerasan secara fisik saja tetapi juga kekerasan ps ikis, sehingga saksi korban SR dan saksi korban TRS tidak berdaya dan mau menuruti kehendak terdakwa, hal itu juga diperkuat dari hasil Visum et Repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Arnrizal, Sp.OG dari Rumah Sakit Umum Banyumas pada tanggal 7 Oktober 2009, Nomor 440/1082/X/2009 atas nama SR, pada waktu Pemeriksaan hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009 pada saksi korban SR, sekitar kemaluan tidak ada tanda-tanda kekerasan, dilakukan colok dubur didapati selaput dara sobek (sobekan lama pada arah jam 2,7, 10, dan liang senggama dalam posisi terbuka. Kesimpulan : Liang senggama seperti orang yang sudah sering bersetubuh, tetapi belum mempunyai anak, dan tanggal 9 Oktober 2009 nomor : 440/1081/X/2009 atas nama TRS, sedangkan untuk saksi korban SR pada waktu pemeriksaan hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009 terdapat luka robek tidak teratur pada selaput darah alat kelamin akibat dimasuki benda tumpul seperti penis orang dewasa secara paksa, kesimpulan luka-luka dan lain -lain tersebut diatas disebabkan karena masuknya benda tumpul secara paksa. Apabila di hadapkan terhadap kasus incestTuslam Turyadi, memang
menimbulkan pertanyaan bahwa, kasus tersebut sudah lama terjadi yaitu
Tahun 1998, apakah masih terlihat bekas perbuatan terdakwa. Kemudian
dengan adanya pengakuan korban, apakah tidak cukup untuk memastikan
bahwa, terdakwa telah melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak
kandung/anak tiri (Incest).
Berdasarkan fakta hukum yang terbukti di dalam persidangan,
mendeskripsikan bahwa, telah terjadi persetubuhan (incest) pada tahun 1998
yang dilakukan olehterdakwa TS BIN TR, bertempat di Pekarangan
89
Ny.Dinem dan di dalam kamar rumah orang tua saksi korban Desa
Tanggeran RT.06/RW.01, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas,
memaksa anak yaitu saksi korban SR umur 16 tahun dan saksi TRS umur 13
tahun untuk melakukan persetubuhan dengannya.
Minggu tanggal tanggal 28 Desember 2008, sekira pukul 22.00 WIB
terdakwa melakukan persetubuhan bersama saksi korban TRS. Terdakwa
juga mengulangi perbuatan tersebut sebanyak kurang lebih 11 (sebelas) kali
hingga kurun waktu terakir perbuatan tersebut dilakukan pada saksi korban
TRS hari Senin tanggal 15 Juni 2009.
Berdasarkan perbuatan yang berulang tersebut, maka jelas akan
menimbulkan kerusakan pada organ vital korban, mengingat usia korban
masih anak. Hal ini juga dapat dibuktikan sesuai dari hasil pemeriksaan/
Visum et Repertum RSUD Banyumas No.440/1082/X/2009 dan Visum et
Repertum RSUD Banyumas No.440/1081/X/2009 yang masing-masing
ditandatangani oleh dr.Amrizal, Sp.Og tanggal 7 Oktober 2009 mengalami :
Pada waktu Pemeriksaan hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009 pada saksi
korban SR sekitar kemaluan tidak ada tanda-tanda kekerasan, dilakukan
colok dubur didapati selaput dara sobek (sobekan lama pada arah jam 2, 7,
10, dan liang senggama dalam posisi terbuka. Kesimpulan : Liang senggama
seperti orang yang sudah sering bersetubuh, tetapi belum mempunyai anak,
sedangkan untuk saksi korban TRS pada waktu pemeriksaan pada hari
Selasa tanggal 06 Oktober 2009 terdapat luka robek tidak teratur pada
selaput darah alat kelamin akibat dimasuki benda tumpul seperti penis orang
90
dewasa secara paksa, kesimpulan luka-luka dan lain-lain tersebut di atas
disebabkan karena masuknya benda tumpul secara paksa.
Ketepatan penggunaan Visum et Repertumtidak dapat digantikan
hanya dengan kesaksian saksi yang melaporkan adanya tindak pidana
persetubuhan pada anak kandung/tiri (incest). Hal ini karena pada saat ibu
korban melaporkan, bukti-bukti yang dikumpulkan kurang lengkap. Bahkan
bisa saja karena unsur kekerasan, saksi akan bersikap diam sebagaimana
yang dialami saksi korban, baik TRS dan Sri Wahyuni.
Diperlukannya Visum et Repertumdalam tindak pidana perkosaan
terhadap anak kandung (incest) pada dasarnya untuk membuktikan unsur
“melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang orang lain” pada Pasal 81 ayat
(1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Keterangan saksi pada dasarnya kurang cukup untuk dapat memberikan
keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan incestterhadap
anak sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat Berupa Visum et
RepertumDalamPutusan Nomor: 124/Pid.Sus/ 2009/PN. Bms .
Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang
dihadapi oleh setiap masyarakat. Karakteristik di setiap masyarakat masing-
masing memberikan corak permasalahannya tersendiri didalam kerangka
91
penegakan hukumnya. Penegakan hukum pada hakekatnya adalah
perlindungan kepentingan manusia, yang merupakan pedoman tentang
bagaimana sepatutnya seseorang harus bertindak75. Penegakan hukum pada
prins ipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna bagi
masyarakat, dan diharapkan masyarakat turut serta dalam penegakan hukum
yang berkeadilan, dan penegakan hukum berkeadilan itu adalah bagian dari
perjuangan hidup dan sekaligus menggambarkan karekteristik
masyarakatnya.
Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan
bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat dianggap
sederhana dan mudah. Ketika penegak hukum dihadapkan pada suatu tindak
pidana yang tingkat pembuktiannya sangat kompleks dan sulit, tidak
mustahil produk putusan pengadilan yang dihasilkanpun dapat berakibat
menjadi keliru atau tidak tepat. Apabila hal tersebut terjadi akan membawa
dampak penegakan hukum yang dapat menyakiti rasa keadilan bagi pihak
terkait atau masyarakat tertentu.
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan
pada hakekatnya bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile
waarheid ). Lilik Mulyadi menyatakan bahwa:
Fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini selaras dengan ketentuan Pasat 183 KUHAP sehingga dapat disimputkan sekati lagi merupakan "hakikat kebenaran materiil sesungguhnya", jadi bukan
75 Sudikno Mertokusumo, 2006, Bunga Rampai Ilmu Hukum ,Yogyakarta Liberty, hal. 107,.
92
"mendekati kebenaran mate riil" atau terlebih tagi bukan "setidak-tidaknya mendekati kebenaran mate riil"76
Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak
hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak
dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar
kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang
ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil
selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Dalam rangka membuktikan adanya suatu tindak pidana incest dan
guna memperoleh kebenaran materil, pembuktian dapat dimintakan bantuan
ahli. Mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan
didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap
penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : “Dalam
hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus”.
Untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan
persidangan, disebutkan pada Pasal 180 ayat (1) KUHAP menyatakan :
“Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang
timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan
ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang
berkepentingan”.
76 Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Suatu Tinjauan Khusus
Terhadap: Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12
93
Keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP
diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke -28 KUHAP, yang
menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan
perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap
pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam
membantu apara t yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara
pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus,
memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta
pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan
tepat terhadap perkara yang diperiksanya.
Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses
penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana,
tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan
untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan
pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian atau
pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari
94
tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses
pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.
Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses
pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan
juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik
mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan
kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu,
bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk
mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya.
Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan
perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan
tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk
memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya
cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut
kasus tersebut.
Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak kepolisian selaku
aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan
yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus incest. Kasus kejahatan
kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan
tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman
kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam
penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari
dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa
95
keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai
keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda
telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara
tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan
Visum et Repertum. Menurut pengertiannya, Visum et Repertum diartikan
sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas
permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala
sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti,
berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan
pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
Dalam Perkara incest yang dilakukan oleh TS Bin TR, Visum et
Reppertum digunakan sebagai suatu data utama untuk melanjutkan
penyidikan dan dasar membuktikan unsur persetubuhan. Setelah perbuatan
TS Bin TR, korban melakukan pemeriksaan di RSUD Banyumas.
Berdasarkan surat Visum et Repertum RSUD Banyumas
No.440/1082/X/2009 dan Visum et Repertum RSUD Banyumas
No.440/1081/X/2009 yang masing-masing ditandatangani oleh dr.Amrizal,
Sp.Og tanggal 7 Oktober 2009 mengalami : Pada waktu Pemeriksaan pada
hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009 pada saksi korban SR sekitar kemaluan
tidak ada tanda-tanda kekerasan, dilakukan colok dubur didapati selaput
dara sobek (sobe kan lama pada arah jam 2, 7, 10, dan liang senggama dalam
96
posisi terbuka. Kesimpulan: Liang senggama seperti orang yang sudah
sering bersetubuh, tetapi belum mempunyai anak, seda ngkan untuk saksi
korban TRS pada waktu pemeriksaan hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009
terdapat luka robek tidak teratur pada selaput darah alat kelamin akibat
dimasuki benda tumpul seperti penis orang dewasa secara paksa kesimpulan
luka-luka dan lain-lain tersebut di atas disebabkan karena masuknya benda
tumpul secara paksa.
Berdasarkan visum tersebut dapat diketahui bahwa, benar korban telah
mengalami robek pada bagian selaput dara akibat perkosaan. Apabila
dikaitkan dengan perbuatan pelaku, maka terdapat kesamaan fakta bahwa
telah terjadi persetubuhan (incest) tahun 1998 Terdakwa TS bin TR,
bertempat di Pekarangan Ny.Dinem dan di dalam kamar rumah orang tua
saksi korban,yaitu memaksa SR umur 16 (enam belas) tahun dan saksi TRS
umur 13 (tiga belas) tahun melakukan persetubuhan dengannya. Pada hari
Minggu tanggal tanggal 28 Desember 2008, sekira pukul 22.00 WIB
terdakwa juga melakukan persetubuhan bersama saksi korban TRS.
Terdakwa juga mengulangi perbuatan tersebut sebanyak kurang lebih 11
(sebelas) kali hingga kurun waktu terakhir perbuatan tersebut dilakukan
pada saksi korban TRS hari Senin tanggal 15 Juni 2009. Berdasarkan fakta
tersebut jika dikaitkan dengan pemeriksaan dr.Amrizal, Sp.Og yang
dituangkan dalam Visum et Repertum No.440/1082/X/2009 dan Visum et
Repertum No.440/1081/X/2009 terhadap korban SR diketahui liang
senggama seperti orang yang sudah sering bersetubuh. Hal ini sesuai dengan
97
fakta hukum perbuatan pelaku. Sedangkan pada korban TRSterdapat luka
robek tidak teratur pada selaput darah alat kelamin akibat dimasuki benda
tumpul seperti penis orang dewasa. Hal ini juga memperlihatkan perbuatan
pelaku yang telah dilakukan.
Peranan Visum et Repertumselain sebagai bukti permulaan yang telah
dilakukan pada tahap penyidikan di Kepolisian, juga dipertimbangkan
hakim dalam pertimbangannya unsur ke dua yaitu dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan , dan unsur ke tiga yaitu
memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain .
Visum et Repertumsangat bermanfaat dalam pembuktian suatu perkara
berdasarkan hukum acara. Di dalam upaya pembuktian, biasanya barang-
barang bukti akan diperlihatkan di sidang pengadilan untuk memperjelas
masalah. Tetapi pada prakteknya tidak semua barang bukti dapat dibawa ke
depan sidang pengadilan, seperti misalnya, tubuh manusia baik hidup
maupun mati. Pada perkara-perkara yang menyangkut kejahatan terhadap
tubuh manusia, maka antara lain akan dibuktikan penyebab luka atau
kematian. Bahkan tidak jarang dapat dicari pembuktian tentang tempos
delicti dan locus delicti. Untuk itu tentu yang seharusnya diketengahkan di
sidang pengadilan adalah luka atau kelainan pada saat (atau paling tidak
mendekati saat) peristiwa pidana terjadi. Hal ini boleh dikatakan sangat sulit
dikerjakan karena tubuh manusia senantiasa mengalami perubahan, baik
berupa penyembuhan luka (pada korban hidup) atau proses pembusukan
98
(pada korban mati), sehingga gambaran mengenai benda bukti tersebut
(luka, kelainan, jenazah) tidak sesuai lagi dengan semula.
Karena itu semua hal yang terdapat pada tubuh manusia (benda bukti)
harus direkam atau diabadikan oleh seorang dokter dan dituangkan ke dalam
sebuah Visum et Repertumyang berfungsi sebagai pengganti barang bukti
(tubuh manusia). Kemudian guna memudahkan para praktisi hukum dalam
memanfaatkan Visum et Repertumtersebut, perlu dibuat suatu kesimpulan
dari hasil pemeriksaan. Bagian kesimpulan ini akan menjembatani ilmu
kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga para praktisi hukum dapat
menerapkan norma-norma hukum pada benda atau bukti tersebut.
Visum et Repertumadalah hasil pemeriksaan seorang dokter, tentang
apa yang dilihatnya, apa yang diketemukannya, dan apa yang ia dengar,
sehubungan dengan orang yang luka, seseorang yang terganggu
kesehatanya, dan seseorang yang mati. Berdasarkan pemeriksaan tersebut
diharapkan akan terungkap sebab-sebab terjadinya itu dalam kaitanya
dengan kemungkinan telah terjadinya tindak pidana.
Aktivitas seorang dokter ahli sebagaimana di atas, dilaksanakan
berdasarkan permintaan dari pihak yang berkompeten dengan masalah
tersebut. Visum et Repertumadalah merupakan surat yang dibuat atas
sumpah jabatan, yaitu jabatan sebagai seorang dokter, sehingga surat
tersebut mempunyai keotentikan.
99
Dalam proses selanjutnya, Visum et Repertumdapat menjadi alat bukti
petunjuk. Yang demikian itu didasarkan, oleh karena petunjuk sebagaimana
tersebut dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP hanya dapat diperoleh dari :
a. Keterangan saksi
b. Surat
c. Keterangan terdakwa ( simak Pasal 188 ayat (2) KUHAP )
Kemudian, apabila kita berkeyakinan bahwa pada proses awalnya
Visum et Repertumyang selanjutnya disebut sebagai alat bukti surat, yang
untuk memperoleh Visum et Repertumtersebut berasal dari keseksian dokter
terhadap seseorang, menunjukan bahwa di dalamnya telah terselip alat bukti
berupa keterangan saksi.77
Yahya Harahap menyatakan bahwa : Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti yang disebut dalam Pasal 187 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada alat bukti surat ini tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat inipun sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formil alat bukti surat yang disebut Pasal 187 huruf a, b dan c Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sifat kesempurnaan formil tersebut tidak dengan sendirinya mengadung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat saja menggunakan atau menyingkirkannya. 78 Nilai kekuatan pembuktian alat bukti Visum et reppertum sama halnya
dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti
77 Waluyadi, Op.Cit,. hal. 37 - 38 78 M. Yahya Harahap, 2002, Op cit, hal. 288-289.
100
keterangan ahli, yaitu sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian
yang bersifat bebas. Alat bukti rekam medis yang dikategorikan surat formil
dalam Pasal 187 huruf a, b dan c Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, sifat kesempurnaan formil tersebut tidak dengan sendirinya
mengadung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk
menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat saja menggunakan atau
menyingkirkannya.
Kedudukan Visum et reppertum sebagai bukti tidak dapat dilepaskan
dengan dukungan alat bukti lainya, seperti halnya keterangan terdakwa tidak
dapat berdiri sendiri dengan alat bukti lainnya ataupun keterangan ahli dan
surat. Dalam hal ini terlihat bahwa nilai kekuatan pembuktiannya tergantung
pada penilaian hakim. Visum et Reppertum sebagai bukti yang bebas, yang
tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak
menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim.
Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap saksi. Hakim bebas untuk menilai kekuatan dan kebenaran yang melekat pada keterangan itu. Hakim dapa t menerima atau menyingkirkannya.79
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan Visum et
Repertumdalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms selain sebagai
bukti permulaan yang telah dilakukan pada tahap penyidikan di kepolisian,
juga dipertimbangkan hakim dalam pertimbangannya , unsur ke tiga yaitu
memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain .
79Ibid ., hal. 273-274.
101
Visum et Repertum dalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN. Bms
bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada alat bukti surat
ini tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan
pembuktian alat bukti surat inipun sama halnya dengan nilai kekuatan
pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas.
102
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat diambil suatu simpulan sebagai berikut:
1. Diperlukannya Visum et Repertumdalam tindak pidana perkosaan
terhadap anak kandung (incest) ditujukkan untuk membuktikan unsur
“melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang orang lain”
pada Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Keterangan saksi saja kurang cukup untuk dapat
memberikan keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan incestterhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat
(1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
2. Visum et Reppertum dalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN.
Bmsbukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada alat
bukti surat ini tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat.
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama halnya dengan nilai
kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli,
sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat
bebas. Dalam Putusan Nomor: 124/Pid.Sus/2009/PN.BmsVisum et
103
Repertum RSUD Banyumas No.440/1082/X/2009 dan Visum et
Repertum RSUD Banyumas No.440/1081/X/2009 yang masing-
masing ditandatanga ni oleh dr.Amrizal, Sp.Og tanggal 7 Okt ober
2009 dipertimbangkan oleh majelis hakim sebagai dasar untuk
membuktikan adanya persetubuhan sebagaimana diatur dalam Pasal
81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
B. Saran
1. Sebaiknya Pasal 81ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anakjuga menambahkan spesifikasi incest
sebagai pemberatan.
2. Sebaiknya hakim memberikan putusan maksimal terhadap terdakwa,
yang telah melakukan tindak pidana incest.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Asshidiqie, Jimly. 2010. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang . Sinar Grafika. Jakarta.
Chazawi, Adam. 2005. TindakPidanaMengenaiKesopanan . Raja Grafindo.
Jakarta. Dhermawan, Oka. 2005.
PerlindunganHukumPelaksnaanAborsiBagiPerempuanKorbanPerkosaan . PT. Raja Grafindo. Jakarta.
Hamzah,Andi. 2000. HukumAcaraPidana Indonesia.SinarGrafika. Jakarta . Harahap, M. Yahya. 2002. PembahasanPermasalahandanPenerapan
KUHAP.SinarGrafika. Jakarta. Hiariej, Eddy O. S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian¸ Erlangga. Jakarta. Jhonny,Ibrahim. 2007. TeoridanMetodelogiPenelitianHukumNormatif.
Banyumedia Publishing. Malang. Makarao, Mohammad TaufikdanSuhasril. 2004.
HukumAcaraPidanaDalamPraktek. GhaliaIndonesia. Jakarta. Manik, Sulaiman Zuhdi. 2002. Penanganan dan Pendampingan Anak
Korban Incest. PKPA. Jakarta. Moeljatno.2007. KitabUndang-UndangHukumPidana.BumiAksara. Jakarta. Purwadianto,Agus. 2003. PerkosaanSebagaiPelanggaran HAM. Djambatan
Jakarta. Ranoenihardja , R. Atang. 1991. IlmuKedokteranKehakiman (forensik
science). Torsito. Bandung. Rukmini, Mien. 2006. ApekHukumPidanadanKriminologi
(SebuahBungaRampai).Alumni. Bandung. Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acura Pidana Indonesia datum
SirkasHukum.Ghalia Indonesia. Jakarta. Soekanto. 1981. PengantarPenelitianHukum. UI Press. Jakarta. Soekanto,Soerjonodan Sri Mamuji. 2003. PenelitianHukumNormatif. Raja
GrafindoPersada. Jakarta.
Soesilo, R. 2002. Hukum Acara Pidana . Politeia. Bogor. Ohoiwutun, Y.A. Triana. 2006. ProfesiDokterdanVisum et Repertum
(PenegakanHukumdanPermasalahannya) .Dioma. Malang. Wahid,AbduldanMuhamadIrfan. 2001.
PerlindunganTerhadapKorbanKekerasanSeksualAdvokasiatasHakAsasiPerempuan.RafikaAditama. Malang.
Waluyadi. 1999. PengetahuandasarHukumAcaraPidana.MandarMaju.
Bandung.
PeraturanPerundang-undangan. Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana -------------,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara No. 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara No. 3258).
-------------,Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara No. 109 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara No. 4235).
Sumber Lainnya
Edo.KekerasanSeksualterhadapAnakMeningkat.http://news.liputan6.com/read/398970/kekerasan-seksual-terhadap-anak-meningkat. diakses pada tanggal 10 Desember 2013.
NN, PeranVisum et RepertumDalamPennyidikanTindakPidana Di
Indonesia BesertaHambatan yang Ditimbulkannya. www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ea793e8c75da. diakses pada tanggal 10 Desember 2013.
Rajagukguk, Junet. FenomenaMeningkatnyaPemerkosaan (Pencabulan)
TerhadapAnak di BawahUmur.http://hukum.kompasiana.com/2013/02/14/fenomena -meningkatnya -pemerkosaan-pencabulan-terhadap-anak-di-bawah-umur-533665.html. diakses pada tanggal 10 Desember 2013.
Recommended