View
5
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
Dua Mukmin Berhadapan
Citation preview
KETIKA DUA KELOMPOK MUKMIN SALING BERPERANG
Oleh
Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA
فإن فاءت قاتلوا التي تبغي حتى تفيء وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينھما فإن بغت إحداھما على األخرى ف إلى أمر هللا يحب المقسطين فأصلحوا بينھما بالعدل وأقسطوا إن هللا
Dan kalau ada dua kelompok dari orang‐orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian
antara keduanya! Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka
perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada
perintah Allâh. Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan
hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orang‐orang yang berlaku adil [al‐
Hujurat/49:9]
RINGKASAN TAFSIR
(Dan kalau ada dua kelompok dari orang‐orang yang beriman) baik jumlahnya sedikit ataupun banyak,
(berperang), baik yang sedang berperang atau akan berperang, (maka damaikan oleh kalian antara
keduanya!) dengan membuat perjanjian kesepakatan. (Akan tetapi, kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain), dengan menolak perjanjian tersebut atau tidak ridha dengan hukum
Allâh, (maka perangilah oleh kalian (kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali
kepada perintah Allâh,) yaitu sampai mereka kembali kepada kebenaran.
(Kalau mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan hendaklah kalian
berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orang‐orang yang berlaku adil.)[1]
Syaikh as‐Sa’di rahimahullah berkata, “Peperangan merusak hubungan persaudaraan seiman. Oleh
karena itu, dia termasuk dosa besar yang paling besar. Sesungguhnya iman dan persaudaraan seiman
tidak lenyap dengan adanya peperangan (antara sesama orang yang beriman), sebagaimana dosa‐dosa
besar lain yang berada di bawah syirik (tidak melenyapkan iman). Dan inilah madzhab Ahlus Sunnah wal‐
Jamaa’ah, begitu pula dalam permasalahan: wajibnya mengadakan perdamaian di antara orang‐orang
yang beriman dengan adil, wajibnya memerangi orang‐orang melanggar perjanjian atau pemberontak
sampai mereka kembali kepada perintah Allâh... Dan (setelah memerangi mereka), harta mereka
dilindungi (atau tidak menjadi ghanîmah), yang dibolehkan hanyalah membunuh mereka ketika mereka
terus melakukannya, tetapi tidak dibolehkan mengambil harta‐harta mereka.”[2]
PENJABARAN AYAT
Sebab Turunnya Ayat
Para Ulama berbeda pendapat tentang sebab turun ayat ini. Sebab turun yang shahîh tercantum dalam
hadits berikut:
بي صلى هللا عليه وسلم : لو أتيت عبد هللا بن أ بي عن أنس رضي هللا عنه قال: قيل للن بي صلى هللا عليه وسلم وركب . فانطلق إليه الن
بي صلى هللا عليه وس حم ا أتاه الن لقد آذاني نتن حمارك ارا فانطلق المسلمون يمشون معه وھي أرض سبخة فلم لم فقال: إليك عني! وهللا .
لح تما فغضب مار رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أطيب ريحا منك. فغضب لعبد هللا رجل من قومه فش فقال رجل من األنصار منھم: وهللاھا أنزلت: وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينھما لكل واحد منھما أصحابه فكان بينھما ضرب بالجريد واأليدي والنعال فبلغنا أن
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam disarankan, ‘Sebaiknya engkau menemui ‘Abdullah bin Ubay.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun pergi dan diikuti oleh kaum Muslimin menuju tanah yang tandus. Ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menemuinya, berkatalah ‘Abdullah bin Ubay, ‘Menjauhlah dariku! Demi Allâh! Bau
keledaimu telah menggangguku.’ Maka berkatalah seorang laki‐laki dari Anshâr, ‘Demi Allâh! Keledai
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih harum daripada dirimu.’ Kemudian marahlah seorang laki‐
laki dari kaumnya karena ‘Abdullah diejek. Mereka berdua pun saling mengejek, kemudian teman‐teman
kedua laki‐laki tersebut saling marah dengan yang lain. Dan terjadilah pemukulan dengan pelepah
kurma, tangan dan sandal‐sandal. Dan kami diberitahukan bahwa karena hal itulah diturunkan ayat,
yang artinya, "Dan kalau ada dua kelompok dari orang‐orang yang beriman berperang, maka damaikan
oleh kalian antara keduanya!”[3]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينھما
Dan kalau ada dua kelompok dari orang‐orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian
antara keduanya!
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla masih menamai kedua kelompok tersebut sebagai kaum yang
beriman, meskipun sekelompok orang Mukmin yang satu memerangi dan membunuh sekelompok orang
Mukmin lainnya. Allâh Azza wa Jalla juga tidak mengatakan bahwa orang atau kelompok yang
membunuh sebagai orang kafir.
Imam al‐Bukhâri mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla menamai mereka sebagai orang‐orang yang
beriman.”[4] Ini menunjukkan bahwa Imam al‐Bukhâri memahami bahwa hal tersebut tidak
menyebabkan salah satu dari dua kelompok tersebut keluar dari agama Islam.
Begitu pula jika kita perhatikan ayat yang berbicara tentang qishâsh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ھا الذين آمنوا كتب عليكم ال باع قصاص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد واألنثى باألنثى فمن عفي له من أ يا أي خيه شيء فات بالمعروف وأداء إليه بإحسان
Hai orang‐orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishâsh berkenaan dengan orang‐orang yang
dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.
Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, maka hendaklah (yang dimaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik. [Al‐Baqarah/2:178]
Pada ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebut orang yang membunuh sebagai seorang yang beriman dan
tidak menghilangkan keimanan dan persaudaraan seiman pada dirinya dengan firman‐Nya, yang artinya
“maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya.” Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla
masih menyebut orang yang membunuh sebagai saudara yang lain.
Begitu pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ال ترجعوا بعدي كفارا يضرب بعضكم رقاب بعض
Janganlah kalian setelahku menjadi orang‐orang kafir, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang
lain.[5]
Pada hadits ini, meskipun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut mereka sebagai orang yang
kafir, tetapi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap sebagian mereka sebagai bagian yang
lain. Ini menunjukkan bahwa kekafiran yang dimaksud bukanlah kekafiran yang menyebabkan mereka
keluar dari agama Islam.
Begitu pula dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau menyebutkan tentang
pemberontakan yang akan terjadi di antara para Shahabat:
ائفتين بالحق وتمرق مارقة عند فرقة من المسلمين يقتلھا أولى الط
Dan akan ada kelompok yang keluar ketika terjadi perpecahan di antara kaum Muslimin. Kemudian
kelompok yang lebih utama memerangi mereka dengan haq (kebenaran).[6]
Dan kita ketahui dalam sejarah Islam, bahwa setelah ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu wafat, maka
terjadilah perselisihan antara pendukung pemerintahan ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu dengan
pendukung Mu’âwiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhu , sehingga terjadi peperangan antara dua
kelompok besar kaum Muslimin.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan hal ini sebelumnya, yaitu tentang cucu Beliau yang
bernama al‐Hasan bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhuma :
أن يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين د ولعل هللا إن ابني ھذا سي
Sesungguhnya anakku ini (yaitu cucu Beliau) adalah sayyid (pemimpin). Mudah‐mudahan Allâh akan
mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin dengan sebabnya[7]
Dengan demikian, kita mengetahui bahwa peperangan dan bunuh‐bunuhan yang terjadi antara kedua
kelompok besar tersebut tidak menyebabkan salah satu kelompok menjadi orang kafir, keluar dari
agama Islam.
Kekafiran Ada Dua Jenis
Sangat perlu ditekankan pada tulisan ini, bahwa tidak semua lafaz: kefasikan, kekafiran, kemunafikan
dan kezhaliman, di dalam ayat‐ayat Al‐Qur’ân dan juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti
hal tersebut menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Kefasikan (al‐fisq), kekafiran (al‐kufr), kemunafikan (an‐nifâq) dan kezhaliman (adzh‐dzhulm) terbagi
menjadi dua, yaitu: akbar dan ashghar.
Al‐Kufr al‐Akbar menyebabkan pelakunya dari Islam, sedangkan al‐kufr al‐ashghar tidak menyebabkan
pelakunya dari Islam.
Contoh al‐kufr al‐akbar (kekafiran yang besar) tercantum pada ayat berikut:
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
واستكبر وكان من الكافرين وإذ قلنا للمالئكة اسجدوا آلدم فسجدوا إال إبليس أبى
Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam,’ maka
sujudlah mereka kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang‐orang
yang kafir. [Al‐Baqarah/2:34]
قد ضلوا ضالال بعيدا وا عن سبيل هللا إن الذين كفروا وصد
Sesungguhnya orang‐orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allâh sekali‐kali tidak akan
mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka [An‐Nisâ’/4:167]
Kekafiran yang dimaksudkan pada kedua ayat tersebut adalah kekafiran yang menyebabkan pelakunya
keluar dari agama Islam.
Contoh al‐kufr al‐ashghar tercantum pada hadits berikut:
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر
Mencela seorang Muslim adalah perbuatan fasiq (dosa) dan membunuhnya adalah perbuatan kafir
Kekafiran pada hadits ini tidak menunjukkan bahwa pembunuhan merupakan perbuatan yang dapat
menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Inilah aqidah Ahlussunnah wal‐Jamâ’ah. Mereka tidak mengkafirkan orang‐orang yang melakukan dosa
besar, seperti: membunuh, berzina, minum‐minuman keras dan lain‐lain. Ini sangat berbeda dengan apa
yang dipahami oleh orang‐orang sesat dari kaum khawarij. Mereka mengkafirkan orang‐orang yang
melakukan dosa‐dosa besar tersebut. [8]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
فإن بغت إحداھما على األخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر هللا
Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, maka perangilah oleh kalian
(kelompok) yang melanggar perjanjian itu sampai mereka kembali kepada perintah Allâh
Para pemberontak yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang adil boleh diperangi dan dibunuh.
Dalilnya adalah ayat yang sedang kita bahas ini. Apabila ada suatu kelompok yang memiliki:
1. Kekuatan untuk memberontak, tidak mau menaati imam yang adil,
2. Memiliki syubhat/kesalahan dalam memahami dalil dan
3. Mereka mengangkat seorang imam, maka imam tersebut wajib mengutus perwakilan kepada mereka
dan mengajak mereka untuk taat kepadanya.
Apabila mereka menyatakan bahwa telah terjadi kezhaliman kepada mereka, maka sang Imam harus
menyelesaikannya. Apabila ternyata tidak ada kezhaliman yang dilakukan imam kepada mereka, tetapi
mereka tetap memberontak, maka sang Imam berhak memerangi mereka sampai mereka kembali
menaati sang Imam.
Tetapi perlu diingatkan pada tulisan ini, memerangi mereka bukan berarti dihalalkan mengambil harta
mereka, memperbudak mereka dan juga memperbudak anak‐istri mereka setelah terjadi peperangan,
sebagaimana dihalalkan mengambilnya dari orang‐orang kafir. Mereka adalah orang‐orang Islam,
apabila ketika mereka diperangi dan melarikan diri, maka mereka tidak boleh dikejar, apabila mereka
ditawan, maka mereka tidak boleh dibunuh, apabila mereka terluka, maka harus diberikan pengobatan.
Jika terpenuhi ketiga syarat tersebut, barulah sang Imam boleh memerangi mereka.
Namun, jika belum terpenuhi syarat‐syarat tersebut, misalkan kelompok pemberontak tersebut:
1. Jumlahnya sedikit dan tidak memiliki kekuatan,
2. Mereka tidak memiliki syubhat atau salah dalam memahami dalil atau
3. Mereka tidak mengangkat seorang imam dan tidak mengumumkan peperangan kepada kaum
Muslimin, maka tidak boleh memerangi mereka. Kecuali mereka sangat mengancam bagi kaum
Muslimin, maka diperbolehkan untuk memerangi mereka.[9]
Ayat ini menunjukkan wajibnya memerangi kelompok pemberontak yang benar‐benar memberontak
kepada Imam, pemerintah atau membunuh orang‐orang Islam. Ini tidak bertentangan dengan hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وقتاله كفر
Membunuhnya adalah perbuatan kafir.
Kita ketahui bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak mungkin memerintahkan para hamba‐Nya untuk melakukan
perbuatan kafir. Oleh karena itu, perintah dalam ayat tersebut di atas adalah salah satu bentuk taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla .
Kita juga mengetahui bahwa Abu Bakr ash‐Shiddîq Radhiyallahu anhu memerangi orang Islam yang tidak
mau bayar zakat.[10]
TIDAK BERMUDAH‐MUDAH DALAM MASALAH MEMEMBUNUH PARA PEMBERONTAK
Meskipun Allâh Azza wa Jalla mengizinkan untuk memerangi para pemberontak dan orang yang
membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi, sudah sepantasnya para pemegang kekuasaan tidak
menganggap sepele masalah pembunuhan terhadap para pemberontak. Pertimbangan untuk
membunuh mereka haruslah benar‐benar matang. Pemegang kekuasaan harus menimbang
kemaslahatan (kebaikan) dan kemudaratan (keburukan) yang akan terjadi jika para pemberontak
tersebut diperangi.
Diriwayatkan dari Nâfi’ rahimahullah , bahwa ada seseorang mendatangi Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
anhuma dan berkata, “Ya Abu ‘Abdirrahman[11] ! Apakah engkau tidak mendengar ayat yang Allâh
sebutkan dalam kitab‐Nya:
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينھما
Dan kalau ada dua kelompok dari orang‐orang yang beriman berperang, maka damaikan oleh kalian
antara keduanya! [Al‐Hujurat/49:9]
Apa yang menghalangimu untuk tidak memerangi (orang‐orang) sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla
sebutkan dalam kitab‐Nya?
Beliau pun berkata, “Wahai anak saudaraku! Saya tidak ingin salah dalam memahami ayat ini. Tidak
memerangi (mereka) lebih saya sukai daripada salah dalam memahami ayat yang Allâh Azza wa Jalla
firmankan:
م خالدا فيھا دا فجزاؤه جھن ومن يقتل مؤمنا متعم
Barang siapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, dia
kekal di dalamnya. [An‐Nisâ/4:93]
Beliau berkata, sesungguhnya Allâh berkata:
ين وقاتلوھم حتى ال تكون فتنة ويكون الد
Dan perangilah mereka sampai tidak terjadi fitnah [Al‐Baqarah/2:193]”[12]
Dari atsar di atas kita dapat memahami bahwa Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma sangat berhati‐hati
dalam menghukumi suatu permasalahan, karena permasalahan tersebut sangat besar dan beliau takut
terjatuh pada kesalahan sehingga seorang Mukmin membunuh saudaranya bukan dengan alasan yang
benar, sehingga dia terjatuh pada ayat:
عليه ولعنه وأعد له عذابا ومن يقت م خالدا فيھا وغضب هللا دا فجزاؤه جھن عظيمال مؤمنا متعم
Barang siapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, dia
kekal di dalamnya. Dan Allâh murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan untuknya azab
yang besar [An‐Nisâ’/4:93]
Begitu pula, beliau c memahami bahwa halalnya memerangi orang yang memberontak adalah karena
pertimbangan maslahat yang besar atau menghindarkan mudarat (bahaya). Akan tetapi, jika dengan
memerangi mereka bukan karena Allâh Azza wa Jalla dan akan terjadi fitnah yang sangat besar di antara
kaum Muslimin, maka hal tersebut tidak disyariatkan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
المين وقاتلوھم حتى ال تكون فتنة فإن انتھوا فال عدوان إال على الظ ين ويكون الد
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata‐
mata untuk Allâh. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi),
kecuali terhadap orang‐orang yang zalim. [Al‐Baqarah/2:193]
Firman Allâh Ta’ala:
يحب المقسطين فإن فاءت فأصلحوا بينھما بالعدل وأقسطوا إن هللا
Dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allâh mencintai orang‐orang yang berlaku adil.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan orang yang berbuat adil, beliau
berkata:
حمن ع على منابر من نور عن يمين الر ز وجل وكلتا يديه يمين الذين يعدلون فى حكمھم وأھليھم وما ولواإن المقسطين عند هللا
Sesungguhnya orang‐orang yang muqsith (adil) nanti akan berada di sisi Allâh di atas mimbar‐mimbar
dari cahaya di sebelah tangan kanan Ar‐Rahmaan, dan kedua tangan Allâh adalah kanan. Mereka adalah
orang‐orang yang berbuat adil ketika berhukum, berbuat adil terhadap keluarganya dan orang‐orang
yang menjadi tanggungannya.[13]
KESIMPULAN
Dengan membaca paparan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa:
1. membunuh seorang Muslim tidak mengeluarkan seseorang dari agama Islam, tetapi orang yang
melakukannya telah melakukan dosa yang sangat besar dan diancam untuk masuk ke dalam neraka.
2. Pemegang kekuasaan berhak untuk memerangi para pemberontak yang sangat mengancam negeri
kekuasaannya dan dihalalkan untuk membunuh mereka jika tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat.
Daftar Pustaka
1. Aisarut‐Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil‐Kabîr. Jâbir bin Musa Al‐Jazâiri. Al‐Madinah: Maktabah Al‐‘Ulûm wal‐
hikam
2. Al‐Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al‐Qurthubi. Kairo: Daar Al‐Kutub Al‐Mishriyah.
3. Ma’ârijul Qabûl Bisyarhi Sullamil Wushûl ilâ ‘Ilmil‐Ushûl. Hafidzh bin Ahmad bin Al‐Hakami.
Dammaam: Daar Ibnil‐Qayyim.
4. Ma'âlimut‐tanzîl. Abu Muhammad Al‐Husain bin Mas'ûd Al‐Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath‐
Thaibah.
5. Syarh I’tiqâd Ahlis‐Sunnah wal‐Jamâ’ah minal‐Kitab was‐Sunnah wa Ijmâ’ish‐shahâbah. Ar‐Riyadh: Dar
Ath‐Thaibah.
6. Tafsîr Al‐Qur'ân al‐'Adzhîm. Ismâ'îl bin 'Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath‐Thaibah.
7. Taisîr al‐Karîm ar‐Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As‐Sa'di. Beirut: Muassasah Ar‐Risâlah.
8. Dan sumber‐sumber lain yang sebagian besar sudah tercantum di footnotes.
[Disalin dari majalah As‐Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo‐Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271‐858197 Fax 0271‐
858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Aisarut‐Tafâsîr IV/122 dan Tafsîr as‐Sa’di hlm. 800
[2]. Tafsîr as‐Sa’di, hlm. 800
[3]. HR. Al‐Bukhâri, no. 2691
[4]. Catatan beliau di Bab 23 dalam Shahîh Al‐Bukhâri, sebelum hadits ke‐31
[5]. HR. Al‐Bukhâri no. 121 dan Muslim no. 65/223
[6]. HR. Muslim no. 1065/2458
[7]. HR. Al‐Bukhâri no. 2704
[8]. Lihat Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlissunnah wal‐Jamâ’ah I/163‐164 dan Ma’ârijul Qabûl III/1018‐1019
[9]. Ma’âlimut Tanzîl VII/341
[10]. Lihat Ma’âlimut Tanzîl VII/341‐342
[11]. Kunyah atau panggilan untuk ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma
[12]. HR. Al‐Bukhâri no. 4650
[13]. HR Muslim, no. 1827/4721
Recommended