View
10
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
KEWARISAN MASYARAKAT ADAT SAMONDO MANDAILING
NATAL DAN RELEVANSINYA DENGAN ‘URF
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
DESI PURNAMA
1150440000008
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
iv
ABSTRAK
Adat samondo merupakan penggabungan diri seorang suami kepada keluarga
istri setelah terjadinya pernikahan. Permasalahan utama yang terdapat penelitian ini
adalah setelah adanya ikatan pernikahan akan menimbulkan kewarisan dan
bagaimana sebenarnya sistem pembagian adat samondo dikecamatan Muarasipongi
dan bagaimana tanggapan tokoh adat Samondo Muarasipongi Mandailing Natal ini
terhadap sitem pembagian warisannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
sitem pembagian kewarisan Adat Samondo yang ada dikecamatan Muarasipongi
Mandailing Natal apakah sistem pembagiannya sesuai dengan hukum Islam atau
bertentangan dengan hukum Islam.
Metode penelitian yang di gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Penulisan
skripsi ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan metode pendekatan
hukum normatif yaitu pendekatan penelitian menggunakan sumber dari data primer
dan sekunder. Adapun yang menjadi data primer adalah hasil wawancara dengan
ketua tokoh adat atau yang dinamakan dengan ninik mamak dan data sekunder yang
berasal dari buku-buku yang berhubungan dengan skripsi ini diuraikan dan
dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam praktiknya perempuan di
kecamatan Muarasipongi ini mendapatkan harta waris yang lebih banyak
dibandingkan laki-laki. Penerapan kewarisannya adat samondo ini tercermin dari
ketentuan adat yang menetapkan pembagian warisan yang dilakukan dengan jalan
mengedepankan perdamaian dan mufakat dengan seorang datuk. Pembagian warisan
dalam adat samondo ini masuk kedalam ‘urf yang fasid atau urf yang salah, karena
sistem pembagiannya bertentangan dengan hukum Islam
Kata Kunci : Samondo, Waris, Adat
Pembimbing : Hotnidah Nasution S.Ag.,M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1973-2017
v
KATA PENGANTAR
هللا الرحمن الر حيمبسم
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan dan Rahmat-Nya atas nikmat yang berlimpah bagi seluruh mahluk, kepada-
Nya kita meminta pertolongan dan ampunan, kepada-Nya kita mmemohon
perlindungan. Sholawat dan salam kita haturkan kepada Nabi dan Rasul junjungan
ummat Islam, yakni Baginda Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga beliau,
sahabat dan seluruh pejuang ummat Islam, yang selalu di muliakan oleh Allah SWT.
Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul’’ Kewarisan Masyarakat Adat Samondo Mandailing Natal dan Relevansinya
Dengan ‘Urf’’ dapat di selesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk
memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana S1, Sarjana Hukum pada
prodi Hukum Keluarga di Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam peroses pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan
yang dialami penulis, baik yang berhubungan dengan pengaturan waktu,
pengumpulan data-data maupun sebagainya. Namun berkat bantuan dan motivasi
berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan ini dapat diatasi tentunya dengan
izin Allah SWT oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak, terutama pada:
1. Prof.Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A.
vi
3. Ketua dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag
dan Ahmad Chairul Hadi, M.A yang telah memberikan fasilitas dan dorongan
yang sangan berharga bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Hotnidah Nasution, S.AG., M.A. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya yang selalu memberikan
pengarahan dan bimbingan kepada penulis guna menyelesaikan tugas skripsi
ini.
5. Bapak dan Ibu dosen Hukum Keluarga yang telah membekali penulis dengan
ilmu yang berharga. Seluruh Staf dan karyawan perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan yang baik.
6. Ibu tersayang Nur Intan terima kasih telah memberi kasih sayang yang tak
terhingga untuk penulis serta bantuan dalam bentuk meteril, doa, dukungan,
dan semuanya yang terus menerus tanpa lelah.
7. Keluarga yang di rumah Khususnya buat abang ku Rahmad Lubis S.H., M.H.
yang selalu memberikan dukungan berupa materil selama kuliah dan
dukungan juga agar penulis bisa menyelesaikan kuliah mulai dari awal sampai
selesai.
8. Terimakasih penulis ucapkan kepada semua keluarga di rumah buat kakak,
adek, abang ipar, dan juga semua keluarga yang turut mendukung dan selalu
memberi motivasi buat penulis.
9. Teman-teman dekat yang jadi tempat pelampiasan keluh kesah penulis,
teman-teman seperjuangan Khususnya buat Tiyas Puji Istanti, Nurdiana
Ramadhan, Ilham Ramadhan, Muhammad Iqbal dan semua teman-teman yang
seperjuangan lainnya yang sudah memberikan motivasi buat penulis.
10. Teman yang selalu memberi masukan saat penulis mengalami kesulitan
skiripsi ini yaitu makasih buat abang Zukfikar Siregar, S.T sebagai
penyemangat dan pendorong motivasi buat penulis.
11. Pihak perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia terimakasih telah
vii
menyediakan buku-buku yang lumayan lengkap sehingga penulis tidak
kebingungan mencari referensi .
12. Penulis artikel, skripsi, opini, dan yang lainnya yang membantu penulis dalam
peroses penulisan.
13. Seluruh pihak yang secara langsung dan tidak langsung sudah membantu,
menyemangati, dan mendoakan penulis.
Atas seluruh bantuan dari pihak material maupun immaterial, penulis berdoa
semoga Allah memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Jakarta, 26 Juli 2019
DESI PURNAMA
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………..…………..…… i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI …………………………………………. ii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………..……………..…. iii
ABSTRAK …………………………………………………..…………………..…. iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….….. v
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….…. viii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………………………………………...
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….……………..... 1
B. Identifikasi Masalah ……………………………………………………….… 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………………….…. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………………………………… …………... 6
E. Kajian (Review) Studi Terdahulu ……………………………………….…... 6
F. Metode Penelitian …………………………………....…………………..…...7
G. Sistematika Penulisan ……………………………………………………….. 9
BAB II ‘URF DAN KEWARISAN ISLAM
A. ‘URF
1. Defenisi ‘Urf Secara Bahasa Dan Istilah ………………...………… 10
2. Pembagian ‘Urf …………………………………………………...... 11
3. Dalil-Dalil ‘Urf ……………………………………….…...……….. 13
4. Syarat ‘Urf …………………………………………….....……….... 14
B. Kewarisan Islam
1. Pengertian Kewarisan ………………...……..……………………... 15
2. Dasar Hukum Kewarisan ………………………..………….……… 16
ix
3. Rukun Dan Syarat Kewarisan ………………………….………... .. 19
4. Sebab-Sebab Dan Penghalang Kewarisan …………………………. 22
5. Macam-Macam Ahli Waris Dan Hak Masing-Masing ……..... …… 24
BAB III KEWARISAN ADAT SAMONDO DAN WILAYAH PENELTITIAN
A. Kewarisan Adat Samondo
1. Pengertian Adat Samondo …………………………………...…… 31
2. Gambaran Umum Kewarisan Adat Samondo ……………...…….. 32
3. Sistem Pembagian Kewarisan Dalam Adat Samondo ……….…… 33
B. Deskripsi Wilayah Penelitian
1. Letak dan Kondisi Geografis ………….…………………..….….. 37
2. Demografis Masyarakat
a. Penduduk ……..……………………….……………..…… 37
b. Pendidikan………..……………....…………………... ….. 37
c. Sosial Ekonomi………….……….…………..….………… 38
d. Keagamaan …………………….……………..……….….. 40
BAB IV PEMBAGIAN WARIS DALAM ADAT SAMONDO MANDAILING NATAL
A. Dalam Kewarisan Adat Pembagian Waris Dalam Adat Samondo Mandailing
Natal
1. Pembagian Waris Dalam Hal Yang Meninggal Istri ………..………...… 43
2.Pembagian Waris Dalam Hal Yang Meninggal Suami……....….……….. 44
3. Pembagian Waris Dalam Hal Jika Yang Meninggal Suami dan Istri…,,,.. 47
B. Analisis ‘Urf Samondo Mandailing Natal…...……………………………...… 48
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………….….….……….……. .. 51
B. Saran …………………………………………………………..…………… 51
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………53
LAMPIRAN……………..………………………………………………………….
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal
kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut dengan berbagai
nama. Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum
kewarisan Islam, seperti faraid, Fiqh mawaris, dan hukum Al-Waris.1
Hukum kewarisan Islam diikuti dan dijalankan oleh ummat Islam seluruh dunia
terlepas dari perbedaan bangsa, negara maupun latar belakang budayanya. Pada masa
sebelum faraid atau kewarisan Islam dilaksanakan, biasanya mereka telah memakai dan
melaksanakan aturan tertentu berkenaan dengan pembagian warisan berdasarkan adat
istiadat yang menjadi hukum tidak tertulis diantara mereka. Hukum tidak tertulis ini
dirancang dan disusun oleh nenek moyang mereka berdasarkan apa yang baik dan adil
menurut mereka dan disampaikan kepada generasi berikutnya secara lisan dari mulut ke
mulut.2
Demikian juga kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada
diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, kematian tersebut
menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (simayit) yang berhubungan dengan
pengurusan jenazahnya (fardu kifayah). Dengan kematian itu timbul pula akibat hukum
lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan adanya ilmu hukum yang menyangkut hak
para keluarganya terhadap seluruh harta peninggalannya. Bahkan masyarakat dan negara
(Baitul Mal), dalam keadaan tertentu, mempuyai hak atas peninggalan tersebut.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang
menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaian harta peninggalan kepada
keluarga (ahli waris)nya, yang dikenal dengan nama: Hukum waris. Dalam hukum positif
1 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011), h.5
2 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011), h.39
2
Indonesia selain dikenal hukum waris yang berasal dari syariat Islam, dikenal juga
dengan hukum waris lain, yaitu hukum waris yang berasal dari hukum adat bangsa
Indonesia dan hukum waris dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yang
terdapat pada buku II (erfecht).
Dari seluruh hukum, hukum perkawinan dan hukum kewarisanlah yang menentukan
dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Demikian
pentingnya hukum kewarisan karena sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia, bahwa setiap manusia akan mengalami peristiwa yang merupakan
peristiwa hukum yang lazim disebut meninggal dunia.3
Hukum waris di Indonsia merupakan dari bagian hukum perdata, maka sampai
sekarang hukum waris ini beraneka ragam, yang pada garis besarnya adalah:
1. Hukum waris yang terdapat dalam kitab Undang-Undang perdata ( KUHP/BW ),
Buku ke II, BAB XII s/d XVIII dari pasal 80-1130.
2. Hukum waris yang terdapat dalam hukum adat, yaitu dalam bagian hukum waris
adat.
3. Hukum waris yang terdapat dalam hukum waris Islam. Yaitu ketentuan hukum waris
dalam fiqh Islam, yang disebut fiqh mawaris atau ilmu faroidh.
Dalam bagian hukum waris adat, terdapat juga berbagai macam ketentuan hukum
waris yang tidak seragam. Hal ini antra lain disebabkan oleh adanya perbedaan sistem
kekeluargaan yang berlaku di Indonesia, yaitu matrinileal, patrilineal, dan parental.
Disamping itu juga adanya kenyataan sistem hukum adat yang berbeda-beda ditiap
lingkungan hukum adat diseluruh Indonesia.
Kenyataan lain, bahwa dalam ketentuan hukum Islam juga terdapat perbedaan
pendapat hasil ijtihad dari para ahli hukum islam (mujtahid) dalam hal-hal yang di
benarkan ijtihad.
Dari uaraian singkat diatas, nampaklah bahwa sampai dewasa ini di Negara Indonesia
masih terdapat macam-macam hukum waris yang semuanya berlaku bagi bangsa
Indonesia menurut ketentuan berlakunya masing-masing jenis hukum tersebut. Sehingga
3 Suparman Usman, Yusuf Soma Winanata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997), h.1-2
3
dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa hukum waris yang berlaku tersebut masih
beraneka ragam (pluralisme).4
Hukum kewarisan adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan asas-asas hukum kewarisan, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris
serta bagaimana cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari
pewaris kepada waris. Hukum kewarisan adat sesungguhnya adalah hukum penerusan
harta kekayaan dari suatu kegenerasi kepada keturunannya.5
Hukum adat waris yang berlaku di Indonesia sangat beraneka ragam tergantung pada
daerahnya. Dalam kewarisan adat ini ada yang bersifat patrilineal, matrilineal. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan daerah hukum adat yang satu dengan yang
lainnya, berkaitan dengan sistem kekeluargaan dengan jenis serta status harta yang di
wariskan.
Waris adat diwarnai oleh sistem kekeluargaan dalam masyarakat, sistem tersebut di
bedakan sebagai berikut:6 Pertama, sistem patrilineal adalah sistem kekeluargaan yang
menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Kedua, sistem matrilineal adalah
sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan nenek moyang dari perempuan.
Ketiga, sistem parental atau bilateral adalah sistem yang menarik garis keturunan dari dua
sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.7
Ahli waris matrilineal adalah anak-anak perempuan, sedangkan anak laki-laki bukan
ahli waris. Anak perempuan sulung berkedudukan sebagai ‘’ tunggu tubang’’ (penunggu
harta) dari semua warisan orang tuanya, yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan
pemilikannya kepada ahli waris anak perempuan yang lain. Ia di bantu saudara laki-laki
yang tertua yang di sebut ‘’ payung jurai’’ (pelindung keturunan). 8
Masayarakat desa Muarasipongi Kabupaten Mandailing Natal, mempunyai cara
tersendiri dalam menyelesaikan hubungan hukum yang ditimbulkan berkaitan dengan
harta seseorang yang meninggal dunia dengan anggota keluarga yang ditinggalkannya.
4 Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Serang:
Darul Ulum Press, 1990), h. 17 5 Hilman Hadikususma, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT Citra Aditiya Bakti, 2003), h. 7
6 Habiburrahman, Rekontrusksi rukun kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kementrian Agama, 2011).
H. 97 7 Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, (Jakata: Rajawali, 2002) h. 97
8 Wahyu Kuncoro, Waris Permasalahannya dan Sousinya, (Jakarta Timur: Raih Asa Sukses, 2015), h. 115
4
Masyarakat adat Muarasipongi menganut sistem matrilineal, yaitu anak perempuan lebih
besar bagian warisnya dibandingkan dengan laki-laki.
Adat yang hampir sama dengan adat Samondo ini yaitu adat dari Minangkabau,
dimana dalam ketentuan pewarisan harta pusako tinggi di Minangkabau jika ibu
meninggal, maka yang mendapatkan warisan adalah anak perempuannya saja. Sedangkan
jika yang meninggal itu adalah sang bapak, maka yang menjadi ahli waris bukanlah anak
kandungnya, melainkan anak-anak saudara wanita si bapak tersebut atau para
kemenakannya yang perempuan.9
Jika ditinjau dari sisi ‘urf. sebagaimana ‘urf itu sendiri ialah sesuatu yang telah sering
dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan ataupun
perbuatannya atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Dan menurut istilah syara’
tidak ada perbedaan antara ‘urf dengan adat.10
Pemakaian ‘urf juga mempunyai beberapa syarat diantaranya yaitu: ‘’ ‘urf tidak boleh
dipakai untuk hal-hal yang akan menyalahi nash yang ada, ‘urf tidak boleh dipakai bila
mengesampingkan kepentingan umum, ‘urf bisa di pakai apabila tidak membawa kepada
keburukan-keburukan atau kerusakan’’11
Adapun mengenai pembagian ‘urf itu ada dua diantara yaitu: ‘urf al-fasidah (‘urf yang
rusak/salah), yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertantangan dengan ketentuan dan
dalil-dalil syara’. Maka adat kebiasaan yang salah adalah menghalalkan hal-hal yang
haram, dan mengharamkan yang halal. Demikian juga, adat masyarakat yang
mengharamkan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram, hanya
karena keduanya beasal dari komunitas adat yang sama (atau pada msyarakat adat Riau
tertentu). Atau hanya karena keduanya semarga pada masyarakat Tapanuli Selatan,
Sumatra Utara).
Para Ulama sepakat bahwa ‘urf al-fasidah tidak dapat menjadi landasan hukum, dan
kebiasaan tersebut batal demi hukum. 12
9 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau,
(Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1982), h.269 10
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, ( Jakarta: PT Raja Grafindo,
2000), h. 130 11
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh (satu & dua), (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 166. 12
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), h. 211
5
Dari uraian diatas maka penulis ingin meneliti lebih dalam lagi mengenai sistem
kewarisan adat samondo ini ditinjau dari ‘urf dengan judul ‘’Kewarisan Dalam
Masyarakat Adat Samondo Mandailing Natal Dan Relevansinya Dengan ‘Urf’’.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang diatas, terdapat beberapa masalah berkaitan dengan kewarisan
masyarakat adat samondo Mandailing Natal dan Relevansinya dengan ‘urf maka peneliti
menuliskan beberapa permasalahan yaitu diantaranya:
a) Apakah pembagian kewarisan dalam adat Samondo sudah sesuai menurut kewarisan
Islam?
b) Bagaimana Penerapan ‘Urf Dalam Sistem Pembagian Kewarisan Adat Samondo?
c) Bagaimana Analisis ‘urf dalam Pembagian Kewarisan Adat Samando Mandailing
Natal?
2 . Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dan sesuai dengan studi yang dikaji maka untuk
mempermudah penyusunan proposal ini penulis membatasi penelitian ini seputar
’’Kewarisan Adat Samondo Dilihat Dari ‘Urf Di Kecamatan Muarasipongi’’.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah, maka peneliti akan memfokuskan:
‘’Bagaiamana Hukum Pembagian Kewarisan Menurut Adat Samondo Mandailing Natal
Di Analisis Dari Pendekatan ‘urf ?’’
6
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin di capai oleh penulis dalam melakukan penelitian ini adalah:
a) Untuk mengetahui secara hukum pembagian kewarisan adat samondo Mandailing
Natal ditinjau dari pendekatan ‘urf.
b) Untuk mengetahui sistem pembagian kewarisan dalam masyarakat adat Samondo di
Muarasipongi.
2. Manfaat Penelitian
Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari hasil penelitian ini dapat
memperoleh manfaat sebagai berikut:
a. Secara Akademis
Diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuwan bagi peneliti, untuk dapat di
kembangkan dikemudian, apalagi dalam kajian hukum Islam dan hukum positif. Dan
diharapkan juga dapat memberikan masukan bagi perkembangan penelitian-penelitian
yang tema dan kajian hampir sama dengan yang dilakukan oleh penulis ini.
b. Secara Praktis
Diharapkan dapat memberikan pencerahan buat masyarakat, mahasiswa
khususnya tentang persoalan Sistem pembagian kewarisan dalam adat samondo di
Kecamatan Muarasipongi. Dan dapat memberikan kontribusi khazanah bagi lembaga-
lembaga yang menangani masalah sistem pembagian kewarisan dalam adat samondo
di Kecamatan Muarasipongi.
D. Review Terdahulu
Tinjauan pustaka adalah kajian literatur yang relevan dengan pokok bahasan penelitian
yang akan dilakukan, atau bahkan memberikan inspirasi dan mendasari dilakukannya
penelitian. Penulis menemukan karya, yaitu:
1. Dalam skripsi karya Muhammad Hafizz, yang berjudul: ‘’ Pergeseran Hukum Waris
Adat Minangkabau (jual-beli harta pusako tinggi di kecamatan Banuhampu Kabupaten
7
Agam Sumatra Barat)’’ skripsi ini menjelaskan mengenai masalah terhadap pergeseran
hukum waris adat minangkabau. Yang ditulis pada tahun 2013 M.
2. Dalam Skripsi karya Muhammad Faudzan, yang berjudul: ‘’ Pembagian Hak 1:1 Waris
Laki-Laki dan perempuan ( Analisis Putusan Agama Medan ). Yang ditulis pada tahun
2014 M.
3. Dalam skripsi karya Ikhwan Lubis, yang berjudul:’’ Pelaksanaan Waris Bagi Rata
Menurut Penuturan Pemuka Masyarakat Desa Hutanopan Dalam Presfektif Hukum
Islam. Yang ditulis pada tahun 2013.
Dari beberapa skripsi diatas, terlihat adanya beberapa perbedaan dengan penelitian ini.
Adapun penulis disini memebahas tentang sistem pembagian kewarisan dalam
masyarakat samondo dan relevansinya dengan ‘urf. Selain akan ditinjau dari segi hukum
Islam maka ini akan ditinjau dari hukum adat juga serta relevansinya dengan penerapan
‘urf.
E. Metode Penelitian
Penenelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research). Untuk penelitian
lapangan penulis memilih kecamatan Muarasipongi sebagai objek penelitian, ini dikarenakan
adat diwilayah ini menarik untuk dikaji khususnya didalam bidang kewarisannya.Adapun di
lapangan penulis akan mencari informasi dari tokoh adat yang ada dalam desa kecamatan
tersebut. sebelum penulis melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu mengadakan kajian
kepustakaan untuk merumuskan dan mengungkapkan kajian teoritis yang berhubungan
dengan kajian penelitian ini, dalam library research penulis memilih perpustakaan umum dan
perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, namun tidak
tertutup kemungkinan penulis juga mengambil data dari beberapa buku, jurnal, artikel, yang
terdapat di luar perputakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun untuk penelitian lapangan ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Metode
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati.13
Penelitian ini bersifat
13
Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan Tindakan, ( Bandung: PT Refika
Aditama, 2012 ), h. 181
8
prespektif, yang berusaha memaparkan tentang kewarisan dalam adat samondo di kecamatan
Muarasipongi.
Dan pendekatan yang digunakan juga adalah pendekatan hukum normatif. Pada
penelitian ini, dikonsepkan sebagai suatu pendekatan tentang hukum pendekatan normatif,
yaitu pendekatan dengan menggunakan sudut pandang Islam yakni penulis akan
menggunakan metode ushul fiqh yang berarti bahwa AL-Quran, Hadis, dan pendapat para
ulama menjadi rujukan pada pendekatan ini.
1.Sumber Data
Penelitian ini mengungkapkan mengenai Sistem pembagian Kewarisan dalam
masyarakat adat samondo dan relevansinya dengan ‘urf, maka yang menjadi sumber data
penelitian ini adalah terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer, data yang dapat dari hasil observasi, wawancara dengan tokoh adat,
masyarakat, ulama, termasuk keberadaan penulis berasal dari masayarakat yang
pernah tinggal di kecamatan tersebut.
.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data tambahan yang digunakan untuk mendukung
sumber data primer. Dalam data sekunder penulis memberikan data yang berupa bahan
tidak langsung atau data yang didapatkan selain dari data primer. Data ini juga di
kumpulkan melalui studi pustaka yang berkaitan diantaranya buku-buku tentang waris,
buku tentang adat samondo di kecamatan Muarasipongi atau adat yang hampir sama,
dan data lain yang terkumpul yang mempunyai hubungan dengan tema ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan teknik
mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan Sistem pembagian kewarisan dalam
adat Samando di Kecamaan Muarasipongi, observasi ke lapangan, wawancara dengan
tokoh adat.
9
3. Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik menganalisa data penulis menggunakan metode deskriftif
kualitatif. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk menuturkan, menafsirkan, serta
menguraikan data yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi,
dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Teknik Penulisan
Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku pedoman
penelitian Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2017.
F. Rancangan Sistematika Peneltian
Sitematika penelitian yang ditulis peneliti terdiri dari judul penelitian, Latar Belakang
Masalah, Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Tinjauan (Review), Metode Penelitian, Rancangan Sistematika Penelitian, dan
Daftar Pustaka.
10
BAB II
PEMBAHASAN
A. ‘Urf
1. Defenisi ‘Urf
„Urf secara bahasa berarti sesuatu yang telah dikenal dan dipandang baik serta
dapat diterima akal sehat. ‘Urf yang bermakna berbuat baik dapat ditemukan dalam
surah Al-A’raf (7) : 199 yang berbunyi:
يه أػشض ػه اىجا أمش تاىؼشف خز اىؼف
Artinya: „‟Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang yang mengerjakan yang makruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh‟‟.
Dalam kajian ushul fiqh, ‘urf adalah suatu kebiasaan masyarakat yang sangat
dipatuhi dalam kehidupan mereka sehingga mereka merasa tentram. Kebiasaan yang
telah berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan perbuatan, baik yang bersifat
khusus maupun yang umum. Dalam konteks ini, istilah ‘urf sama dengan istilah al-
adah (adat istiadat).1
Menurut defenisi ahli Ushul Fiqh ‘urf adalah:
مااػرادي اىيىاس فى مؼامال ذم اسرقامد ػي امسم
Artinya:„‟Sesuatu yang sudah dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah
mantap dalam urusan-urusannya‟‟.2
Secara harfiyah ‘urf berarti „‟sesuatu yang dikenal‟‟. Sedangkan adat menurut
penggunannya dalam bahasa Arab mengandung arti berbilang atau adanya
pengulangan.3
Ibnu Abidin mendefenisikan ‘urf dengan kata‟ اىؼادج . Kata ini menurutnya terambil
dari kata اىماد yaitu suatu pekerjaan yang diulang-ulang sehingga menjadi biasa dan
ma‟ruf. Kemudian diterima oleh jiwa dan akal sekalipun tanpa ada hubungan dan
keterangan sehingga menjadi kebenaran yang terbiasa.4
1 Firdaus, Usul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, ( Depok: PT
Grafindo Persada), h.108. 2 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), h. 71
3 Busriyanti, Ushul Fiqh Metodologi Istinbath Islam, (Bengkulu: LP2 STAIN Curup), h. 100.
4 Mualiadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, ( Ulee Kareng Banda aceh: Lembaga Naskah
Aceh, 2015),h. 226
11
Oleh sebab itu perbuatan yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan adat.
Dalam pemakaiannya kata adat dan ‘urf ini sering diidentikkan walaupun sebenarnya
terdapat perbedaan. Kata ‘urf tidak selalu menghendaki perbuatan tersebut dilakukan
secara berulang kali, namun lebih ditekankan pada sejauh mana perbuatan tersebut
dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Dilihat dari kata selain ‘urf dan adat adat adalah kata adat memiliki arti yang
netral , dalam arti dalam kata adat terkandung arti yang baik dan buruk karena
penilaiaannya hanya berdasarkan kepada berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan.
Sedangkan kata ‘urf mengandung pengertian perbuatan yang baik. Kata ‘urf lebih di
tekankan pada kualitas perbuatan yang sudah dikenal atau sudah diterima oleh orang
banyak tersebut.
Mustafa Syalabi melihat perbedannnya dari segi ruang lingkup penggunaannya.
Kata ‘urf selalu digunakan untuk jama‟ah atau segolongan orang, sedangkan kata adat
juga melingkupi perbuatan seseorang (individu).
Walaupun antara adat dan ‘urf dapat dibedakan seperti diatas, namun didalam
ushul fiqih antarara adat dan ‘urf sering disamakan.Jadi adat atau ‘urf menurut
pengertian ushul fiqih adalah “segala sesuatu yang sudah dikenal ditengah-tengah
kehidupan manusia dan menjadi kebiasaan atau tradisi, baik berbentuk perkataan
maupun perbuatan.’Urf ini dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.5
2. Pembagian ‘Urf
Pemggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu dapat dilihat dari beberapa segi:
1. Ditinjau dari segi ucapan dan perbuatan. Dari segi ini ‘urf itu ada dua macam:
a. ‘Urf Qauli
Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tertentu dipahami bersama dengan
makna tertentu bukan dengan makna yang lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum
diseluruh negeri muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan
sandaran hukum. Misalnya: Kalau ada seseorang yang berkata „‟ Demi Allah,
saya hari ini tidak akan makan daging‟‟. Ternyata kemudian dia makan ikan,
maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpahnya, karena
5 Busriyanti, Ushul Fiqh Metodologi Istinbath Islam, (Bengkulu: LP2 STAIN Curup), h. 101
12
kata‟‟daging‟‟ dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimasukkan kecuali
daging binatang darat seperti kambing, sapi dan lainnya.
b. ‘Urf Amali
Yaitu sebuah perbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyarakat
tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat qauli.
Misalnya: Dalam masyarakat tertentu bahwa orang kerja dalam sepekan libur
dalam satu hari yaitu hari Jum‟at. Lalu kalau orang yang melamar pekerjaan
jadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar tiap bulan sebesar Rp 500.000
maka pekerjaan tersebut berhak libur setiap hari jum‟at dan tetap mendapatkan
gaji tersebut.6
2. Dari segi ruang lingkup penggunannya, ‘urf terbagi kepada:
a. Adat atau ‘Urf Umum
Yaitu kebiasaan yang telah berlaku umum dimana-mana, hampir diseluruh
penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa, dan agama.
Umpamanya:‟‟menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan
kepala tanda menolak atau menidakkan. Kalau ada orang yang berbuat kebalikan
dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil‟‟.
b. Adat atau ‘Urf Khusus
Yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat tertentu atau
pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan disembarang waktu.
Umpamanya: (1) adat menarik garis keturunan dari ibu atau perempuan
(Matrilineal) di Minangkabau dan garis keturunan dari bapak (Patrilineal) di
kalangan suku Batak.7
3. Dari segi keabsahannya, ‘urf terbagi kepada:
a. Al-‘Urf ash-Shahihah (‘Urf yang absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan
aturan-aturan hukum Islam. Dengan kata lain, ‘urf yang tidak mengubah
ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal
menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat,
6 Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Figh Islami, Purwodadi
Sidayu Gresik: Pustaka Al-Furqon, 2009), h.109-110. 7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2009), h.392
13
hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak
dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak
laki-laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminangan adalah pihak wanita,
maka‟‟hantaran‟‟ yang diberikan kepada pihak wanita dikembalikan dua kali
lipat jumlahnya kepada pihak laki-laki. Demikian juga dalam jual-beli dengan
cara pemesanan (inden), pihak pemesan memberi uang muka atau panjar atas
barang yang di pesannya. Adapun ‘urf yang benar dapat juga berupa saling
mengerti manusia tentang kontrak pemborongan, atau saling mengerti mereka
tentang pembagian mas kawin (mahar) kepada mahar yang didahulukan dan di
akhirkan.8
b. Al-‘Urf al-Fasidah (‘urf yang Rusak/Salah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan
dalil-dalil hukum syara’. Sebalik dari ‘urf as-shahihah, maka adat kebiasaan
yang salah adalah yang menghalalkan hal-hal yang haram, atau mengharamkan
yang halal. Demikian juga perkawinan adat masyarakat yang mengharamkan
perkawinan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram, hanya karena
keduanya berasal dari komunitas adat yang sama (pada masyarakat adat Riau
tertentu), atau hanya karena keduanya semarga pada adat masyarakat Tapanuli,
Sumatra Utara9. Adat kebiasaan yang tidak benar ini juga bisa berupa
menyajikan minuman memabukkan pada upacara-upacara resmi, apalagi upacara
keagamaan, serta mengadakan tari-tarian wanita berbusana seksi pada upacara
yang di hadiri peserta laki-laki.10
3. Dalil-Dalil ‘Urf
Dalil mengenai dijadikannya Adat dan ‘Urf sebagai bagian dari dalil hukum Islam
diantaranya adalah firman Allah Ta'ala:
يه أػشض ػه اىجا أمش تاىؼشف خز اىؼف
Artinya: „‟Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. QS Al-A'raf: 199.
8 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002),h.131 9 Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Amzah,2010), h.210-211
10
Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), h.141
14
Kata „urf dalam ayat tersebut di pahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang
telah di anggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-
ma‟ruf artinya ialah kata umum yang mencakup setiap hal yang di akui.
تإدسان فاذثاع ت أداء إى اىمؼشف
Artinya: „‟Hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik
(pula)". QS Al-Baqarah: 178.
ىيمط يقاخ مراع تاىمؼشف دقا ػيى اىمرقه
Artinya: ‟‟ Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya)
mut'ah (pemberian) menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang
bertakwa". QS Al-Baqarah: 241
ه تاىمؼشف ػاشش .
Artinya: „‟Dan bergaulah dengan mereka secara patut". QS An-Nisaa : 19.
Kata ma’ruf (yang baik) dalam ayat tersebut mencakup syariat, juga yang baik menurut
akal.
Adapun didalam As-Sunnah diantaranya adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wasalam :
ىذك تاىمؼشف خزي ما نفل
Artinya: „‟Ambillah hartanya untuk mencukupi kebutuhanmu serta anakmu dengan cara
yang ma'ruf". HR. Bukhori, Muslim, Syafi'i, Abu Dawud, An-Nasa'i, dll.
ىا أن ؤمو مىا تاىمؼشف ال جىاح ػيى مه
Artinya: „‟…dan tidak mengapa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya
dengan cara yang ma'ruf"‟. HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dll.
ذ تاىمؼشف ى مس يمميك غؼام
Artinya: „‟Bagi budak ada hak untuk diberi makan dan pakaian dengan cara yang ma'ruf".
HR. Malik, Al-Baihaqi, dll.
ػىذللا دسه. اخشج أدمذ ػه إته مسؼد ن دسىا ف ماسآي اىمسيم
Artinya: „‟Apa yang dipandang baik oleh orang Islam, maka baik pula di sisi Allah". HR
Ahmad dari Ibnu Mas‟ud dengan derajat Mauquf.
Pada dasarnya syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat dan
tradisi itu selama tidak bertantangan dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Maksud dari ayat
15
ma’ruf ini adalah dengan cara yang baik dan diterima akal sehat dan kebiasaan manusia
yang berlaku.
4. Syarat ‘Urf
Para Ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa suatu ‘urf, baru dapat dijadikan sebagai
salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara‟ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. ‘Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum, maupun yang bersifat perbuatan dan
ucapan), berlaku secara umum. Artinya ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang
terjadi ditengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya di anut oleh mayoritas
masyarakat tersebut.
2. Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga meneyebabkan hukum yang di
kandung nash itu tidak bisa di terapkan. ‘Urf seperti ini tidak bisa dijadikan dalil
syara‟, karena kehujjahan ‘urf bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung
hukum permasalahan yang dihadapi11
.
3. Adat itu telah berlaku sebelum itu, dan tidak ada yang datang kemudian.
4. Adat itu bernilai maslahat dalam arti dapat memberikan kebaikan kepada ummat dan
menghindarkan ummat dari kerusakan dan kebururkan.12
B. Kewarisan Islam
1. Pengertian Kewarisan
Mawaris secara etimonologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal mirats
artinya warisan. Dalam hukum Islam dikenal adanya ketentuan-ketentuan tentang
siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang
tidak berhak menerimanya. Istilah fiqh mawaris di maksudkan ilmu fiqh yang
memepelajari siapa-siapa yang berhak menerima ahli warisan, siapa yang tidak
berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Fiqh mawaris di
sebut juga ilmu faraid bentuk jamak dari kata tunggal faridah artinya ketentuan-
ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di dalam Al-Quran.
11
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h.143-144 12
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h.74
16
Secara terminologis, fiqh atau ilmu yang mempelajari tentang siapa orang-orang
termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara
menghitungnya. 13
1. Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris.
2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris.
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan
pembagian harta waris.14
Faraid menurut istilah bahasa artinya: Ketentuan, menurut istilah ahli fiqh atinya:
Bagian yang tertentu yang dibagi menurut agama Islam untuk orang yang berhak.
Pada masa jahiliyyah hanya orang laki-laki saja yang mendapat warisan. Orang
perempuan, orang tua, dan anak-anak tidak mendapat. Setelah Islam lahir Allah
menghapus cara itu ( Jahiliyyah)15
.Dengan demikan, ilmu faraid mencakup tiga
unsur penting di dalamnya:
Hukum Waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam. Ayat Al-
Quran mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat dimengerti
sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Kecuali itu, hukum waris
langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan pasti, amat
mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris. Setiap terjadi kematian seseorang,
segera timbul pertanyaan bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan dan
kepada siapa harta itu dipindahkan serta bagaimana caranya. Sedemikian penting
kedududukan hukum waris Islam dalam hukum Islam sehingga hadis nabi riwayat
Ibnu Majah dan Addaraquthni mengajarkan,‟‟Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah
kepada orang banyak karena faraid adalah setengah ilmu dan mudah dilupakan serta
merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari ummatku‟‟.16
2. Dasar Hukum Kewarisan
Ayat 7 Surah An-Nisa
13
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1995),h.1-2 14
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris Terlengkap, (Jakarta Selatan: Senayan
Abadi Publishing, 2004), h.13 15
Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fiqh Islam Lengkap, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), h.204 16
Destri Budi Nugraheni, Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2014), h.1-2
17
القش اىذان ا ذشك اى ىيىساء وصة مم القشتن اىذان ا ذشك اى جاه وصة مم مصش تن ىيش ا قو مى أ وصثا مم
مفشظا
Artinya: „‟Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Ayat 11
الدمم ف أ ه صنم للا مش مصو دظ الوص ه فيهفإن مه و ىيز ق اشىر ادذج فيا شيصا ما ذشك ساء ف إن ماود
ىذ اىىصف اذشك إن مان ى ذس مم ادذ مىما اىس ىنو لت اىصي اي فلم سش أت ىذ فإن مان س فإن ىم نه ى
ج ذس ى إخ اىس ه فلم د صح ص تا أ م مه تؼذ أتىاإمم ال ذذسن أ فشعح مه قشب ىنم وفؼا ا آتاإمم
مان ػيما دنما للا إن للا
Artinya: „‟“Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua
pertiga dari harta y ng ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh setengah harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagian masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
An-Nisa Ayat 12
ىذ فإن اجنم إن ىم نه ىه ىنم وصف ما ذشك أص صح صه تا أ ا ذشمه مه تؼذ تغ مم ىذ فينم اىش مان ىه
ىذ فيه اىصمه ىذ فإن مان ىنم ا ذشمرم إن ىم نه ىنم تغ مم ىه اىش ه ا ذشمرم مه تؼ د مم صح ذصن تا أ ذ
ذس ادذ مىما اىس أخد فينو ى أر أ امشأج إن مان سجو سز مالىح أ ه ىل فم د فإن ماوا أمصش مه ر
صح ص ػيم ديمششماء ف اىصيس مه تؼذ للا صح مه للا ش معاس ه غ د ى تا أ
18
Artinya: „‟Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya. Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) setelah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu,
setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya dengan
tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun.‟‟
An-Nisa Ayat 33
اىزه ػقذخ أ القشتن اىذان ا ذشك اى مم اى ىنو جؼيىا م مان ػيىمى نم فآذم وصثم إن للا
ذا ء ش مو ش
Artinya: „‟dan tiap-tiap dari kalian itu Kami jadikan wali-wali (ahli waris) dari apa-apa
yang ditinggalkan kedua orang tua dan kaum kerabat. Dan orang-orang yang kalian
mengikat perjanjian dengan kalian, maka berikanlah bagian mereka, sesungguhnya Allah
itu Maha menyaksikan atas segala sesuatu.‟‟
An-Nisa Ayat 176
ى أخد فيا وص ىذ س ى فرنم ف اىنالىح إن امشإ يل ى ششا إن ىم نه ىا سرفرول قو للا ف ما ذشك
ه فيما اىص ىذ فإن ماورا اشىر ه ثه للا مش مصو دظ الوص وساء فييز ج سجاال إن ماوا إخ ا ذشك ىنم أن يصان مم
ء ػيم تنو ش للا ا ذعي
19
Artinya: „‟Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Hadis Kewarisan
Hadis dari Abdullah bin „Amr.
س سيم اىؼيم شالشح فما ػي صيى للا ته ػمش قاه قاه سسه للا ػه ػثذ للا سىح قائمح أ فعو آح مذنمح أ اء رىل ف
فشعح ػادىح
Artinya: „‟dari Abdullah bin „Amr, bahwa Nabi saw. bersabda: “Ilmu itu ada tiga macam
dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat, sunnah yang
datang dari Nabi dan faraidh yang adil”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).‟‟
Hadis dari Ibnu Mas‟ud berikut:
ػيمي اىىاس سيم ذؼيما اىؼيم ػي صيى للا ذؼيما اىفشائط قاه اته مسؼد قاه ى سسه للا
ػيمي ذظش اىفره اىؼيم سقثط ػيمي اىىاس فإو امشإ مقثض درىاىىاس ذؼيما اىقشآن
ىما خريف اشىان ف فشعح ال جذان أدذا فصو ت
„‟Ibnu Mas'ud pernah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda
kepadaku: Hendaklah kalian belajar ilmu, dan ajarkanlah kepada manusia, pelajarilah
ilmu fara`idl dan ajarkanlah kepada manusia, pelajarilah Al Qur`an dan ajarkanlah kepada
manusia, karena aku seorang yang akan dipanggil (wafat), dan ilmu senantiasa akan
berkurang sedangkan kekacauan akan muncul hingga ada dua orang yang akan berselisih
pendapat tentang (wajib atau tidaknya) suatu kewajiban, dan keduanya tidak
mendapatkan orang yang dapat memutuskan antarakeduanya."(HR.ad-Darimi)‟‟17
17
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris IslamDalam Pendekatan Teks&Konteks, (Depk: PT
Raja Grafindo Persada, 2013), h. 27.
20
3. Rukun Dan Syarat Kewarisan
a. Rukun Mewarisi
Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam hal waris-mewarisi, tiap-tipa unsur
tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fiqh di
namakan rukun, dan persayaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap rukun.
Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi pembahasan.
Pembahasan ini tidak sempurna, jika salah satu rukun tidak ada misalnya wali dalam
salah satu rukun perkawinan.
Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun waris-
mewarisi ada tiga, yaitu sebagai berikut:
1) Harta Peninggalan
Harta peninggalan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit
yang akan di pusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk
biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat. Harta
peninggalan dalam kitab fiqh biasa di sebut tirkah, yaitu apa-apa yang di
tinggalkan oleh orang meninggal dunia berupa harta secara mutlak. Jumhur
fuqaha berpendapat bahwa tirkah ialah segala apa yang menjadi milik
seseorang, baik harta benda maupun hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh
ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Jadi, disamping harta benda, juga
hak-hak, termasuk hak kebendaan maupun bukan kebendaan yang dapat
berpindah kepada ahli warisnya. Seperti hak menarik hasil dari sumber air,
piutang, benda-benda yang digadaikan oleh simayit, barang-barang yang telah
dibeli simayit sewaktu masih hidup yang harganya sudah dibayar, tetapi
barangya belum diterima, barang yang dijadikan maskawin untuk istrinya
yang belum di serahkan sampai ia meninggal, dan lain-lain.
2) Orang Yang Meninggalkan Harta Warisan
Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris.
Didalam kasus di Indonesia disebut‟‟Pewaris‟‟ sedangkan dalam kitab fiqh
disebut muarrits.
Bagi muwarrits berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan
miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik
21
menurut kenyataan baik menurut hukum. Kematian muwarist menurut para
ulama fiqh di bedakan menjadi 3 macam, yaitu:
a) Mati haqiqy (sejati)
b) Mati hukmy (berdasarkan keputusan hakim)
c) Mati taqdiry (menurut dugaan)
Mati haqiqy ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu
telah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indra dan
dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Sebagai akibat dari kematian
seluruh harta ditinggalkannya setelah dikurangi untuk memenuhi hak-hak
yang bersangkutan dengan harta peninggalannya, beralih dengan sendirinya
kepada ahli waris yang masih hidup disaat kematian muwarist, dengan syarat
tidak terdapat salah satu halangan mempusakai.
Mati hukmy, suatu kematian yang disebabkan oleh adanya vonis hakim,
baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam dua
kemungkinan antara hidup dengan mati.
Mati taqdiry, yaitu suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy,
tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian
seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan terhadap perut
ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun. Kematian tersebut hanya
semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat juga disebabkan oleh yang lain,
namun kuatnya perkiraan atas akibat perbuatan semacam itu.
3) Ahli Waris atau Waarist
Waarist adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si
muarrist lantara mempuyai sebab-sebab untuk mewarisi.Pengertian ahli warist
disini ialah orang yang mendapat harta waris, karena memang haknya dari
lingkungan pewaris. Namaun tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan
(termasuk ahli waris). Demikian pula orang yang berhak menerima
(mendapat) harta waris mungkin saja diluar ahli waris.18
b. Syarat-Syarat Mewarisi
18
Moh Wahibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011), h.56-61
22
Selain harus memenuhi rukun waris, kewarisan itu juga memiliki syarat-syarat yang
harus dipenuhi:
1). Matinya Pewaris
Seseorang diketahui sebagai pewaris apabila ia telah mati. Kematiannya
dapat diketahui secara pasti melalui informasi yang didukung oleh fakta atau
mungkin melalui peroses hukum, apabila alternatif ini tidak dapat maka calon
pewaris masih dinyatakan hidupnya.19
2). Hidupnya Ahli Waris Disaat Kematian Pewaris
Kepastian hidup pewaris ketika wafat orang yang mewariskan, orang yang
sudah meninggal harus dianggap masih hidup, karena orang mati tidak
mungkin untuk menguasai harta apalagi mengalihkannya kepada yang lain
(ahli waris).20
3). Tidak Ada Penghalang Kewarisan
Walaupun kedua syarat diatas telah ada pada pewaris dan ahli waris,
namun salah satu dari mereka tidak dapat mewariskan harta peninggalannya
kepada yang lain atau mewarisi harta peninggal dari yang lain selama masih
terdapat dari salah satu empat penghalang kewarisan yaitu perbudakan,
pembunuhan, perbedaan agama, dan perbedaan negara. Hal-hal yang dapat
menyebabkan terhalangnya waris anatara lain adalah sebab membunuh
pewaris, sebab berlainan agama, sebab perbudakan.21
4. Sebab-Sebab Dan Penghalang Kewarisan
Sebab-Sebab dapat saling mewarisi sesuai hukum kewarisan Islam:
a. Perkawinan
19
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), h.66 20
Muhammad Ali Ash-Shobuni di terjemahkan oleh A. M. Basalamah, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran
Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), h.33 21
Muhammad Abu Zuhrah, Hukum Waris Menurut Imam Ja’far Shadiq, (Jakarta:PT Lantera
Basritama,2001), h.70
23
Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah menurut ummat
Islam, perkawinan dikatakana sah apabila syarat dan rukunnya terpenuhi sesuai
syariat Islam, sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 (1) UU RI No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan yang maksudnya bahwa; perkawinan yang dapat
dinyatakan sah, apabila perkawinan itu dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya yang kedua mempelai anut. Apabila
salah seorang seorang suami atau istri ada meninggal dunia yang
perkawinannya masih dalam keadaan utuh atau talak raj‟i yang masih dalam
keadaan iddah, maka dia berhak untuk saling mewarisi sebagaimana yang telah
di tetapkan oleh Allah SWT dalam QS an-nisa ayat 12. 22
b. Kekerabatan
Hubungan kekerabatan bersifat adanya hubungan nasabiah (genetik) antara
pewaris dengan para ahli waris. Hubungan tersebut baik bersifat lurus kebawah
(furu’iyyah) yakni anak keturunan, ataupun keatas atau (ushuliyyah) yakni para
saudara pewaris. Walaupun demikian dalam pembagian kekerabatan, ada
klasifikasi-klasifikasi tertentu yang menjadi perbedaan antar ulama yang
berakibat sejumlah orang tidak memperoleh bagian waris dan sebaliknya
orang-orang tertentu akan mendapatkan bagian dalam situasi tertentu.23
c. Wala
Wala itu hak mendapat warisan karena memerdekakan hamba. Jelasnya
apabila seseorang memerdekakan hamba kemudian hamba itu mati dengan tidak
meninggalkan ‘ashabah laki-laki, maka orangtuannya itu dapat bagian.24
Di anatara ahli waris, ada yang tidak mendapat warisan, karena beberapa
sebab:
1) Pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang
dibunuhnya. Rasulullah SAW bersabda:
س ىيقا ذو مه اىمشا ز ش ء )سي اىىا ئ تا سىادصذخ( ه
22
Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan Dalam Hukum Islam dan
Implementasinya Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 63-64 23
Sukris Sarnadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transpormatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), h. 28. 24
A. Hassan, Al-Fara’id Ilmu Pembagian Waris, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1988), h.43
24
Artinya: „‟Tidak berhak si pembunuh mendapat sesuatupun dari harta
warisan‟‟(H.R An-Nasai dengan isnad yang shohih).
Mengenai masalah ini ada beberapa pendapat:
a) Segolongan kecil berpendapat, bahwa si pembunuh tetap memiliki hak
warisan, selaku ahli waris.
b) Kemudian golongan lain memisahkan sifat pembunuhan itu. Pembunuhan
yang disengaja dan yang tersalah. Siapa yang melakukan pembunuhan
dengan sengaja, dia tidak memiliki hak warisan sama sekali. Siapa yang
melakukan pembunuhan karena tersalah, dia tetap memiliki hak warisan.
Pendapat ini di anut oleh Malik bin Anas dan pengikutnya.25
c) Orang yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang
beragama Islam, demikian pula sebaliknya.26
d) Berlainan tempat (Negeri), ialah berlainan pemerintahan yang diikuti oleh
warits dan muwarrits (yang mewariskan). Umpamanya waris menjadi
rakyat bagi suatu negara yang merdeka, Sedang muwarrits menjadi rakyat
bagi negara merdeka yang lain. Semua Ulama sependapat menetapkan
bahwasanya berlainan tempat tidak menjadi penghalang bagi pusaka
mempusakai antara sesama Islam, karena negeri-negeri Islam walaupun
berbilang-bilang pemerintahannya, dan jauh-jauh jarak yang satu dan yang
lainnya, serta berbeda pula tata aturan pemerintahannya, namun dipandang
sebagai suatu negara dengan ijma’ segenap fuqaha Islam.27
5. Macam-Macam Ahli Waris dan Hak Masing-Masing
Macam-macam ahli waris yaitu: Ahli waris dari kalangan laki-laki secara
terperinci ada 15 yaitu:
a. bapak
b. Kakek
c. Suami
d. Saudara Laki-laki seibu
25
M.Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1973), h. 13-14
26
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Prespektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2007), h. 23 27
Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) h. 64-65.
25
e. Anak laki-laki
f. Cucu laki-laki
g. Saudara Laki-laki sekandung
h. Saudara laki-laki sebapak
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
j. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
k. Saudara ayah yang sekandung
l. Saudara ayah yang sebapak
m. Anak laki-laki dari saudara ayah yang sekandung
n. Anak laki-laki dari saudara ayah yang sebapak
o. Seorang laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya.
Ahli Waris dari kalangan perempuan secara terperinci ada 10
a. Anak perempuan
b. Anak perempuan dari anak laki-laki, dan seterusnya kebawah
c. Ibu
d. Nenek dari pihak ibu, dan seterusnya keatas
e. Nenek dari pihak bapak, dan seterusnya keatas
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan sebapak
h. Saudara perempuan seibu
i. Istri
j. Seorang perempuan yang memerdekakan hamba sahayanya.28
Bagian dari masing-masing ahli waris:
1. Istri/janda
Bagian istri/janda mendapat ¼ jika suami tidak mempunyai far’u waris baik laki-
laki maupun perempuan. Dan istri mendapat 1/8 jika suami mempunyai far’u
waris, laki-laki maupun perempuan.
2. Suami
28
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Tuntunan Praktis Hukum Waris Lengkap dan Padat Menurut Al-
Qur’an dan As-Sunnah Yang Shahih, (Bogor: Pustaka Ibnu „Umar, 2010), h. 21
26
Dalam mempusakai harta istri, suami nendapat ½ apabil istri tidak mempunyai
far’u waris laki-laki maupun perempuan. Suami mendapat ¼ apabila meninggalkan
atau mempunyai far’u waris laki-laki atau perempuan.
3. Anak perempuan
Anak perempuan mendapat ½ apabila ia sendirian atau seorang saja, dan tidak
bersama anak laki-laki. Dan mendapat 2/3 apabila ia dua orang atau lebih dan tidak
bersama anak laki-laki. Anak perempuan mendapat ashabah jika ia bersama dengan
anak laki-laki baik keduanya sendiri-sendiri atau lebih dari satu. Dalam
pembagiannya anak laki-laki mendapat 2 bagian dan anak perempuan mendapat 1
bagian.
4. Anak laki-laki
Bagian anak laki-laki ketika ayahnya meninggal dunia maka bagian anak laki-laki
adalah Ashabah. Hanya saja jika anak laki-laki bersama dengan anak perempuan
maka bagian anak laki-laki 2 bagian dan anak perempuan 1 bagian.
5. Cucu perempuan
½ bila ia sendiran dan tidak bersama dengan cucu laki-laki atau tidak bersama
dengan anak perempuan atau anak laki-laki. 2/3 apabila ia dua orang atau lebih dan
ia tidak bersama dengan cucu laki-laki, serta tidak bersama dengan anak laki-laki
atau perempuan. Ashabah bila ia mewarisi bersama dengan cucu laki-laki. 1/6
adalah bagian cucu sebagai penyampuran bagian 2/3 bila ia bersama dengan anak
perempuan.
6. Cucu laki-laki
Cucu laki-laki adalah termasuk far’u waris yang statusnya sama dengan anak turun
sampai beberapa derajat menurunnya. Pusaka cucu laki-laki dari anak laki-laki
mendapat bagian Ashabah selamanya dengan syara: Jika simayit tidak mempunyai
anak laki-laki. Jika bersama dengan cucu perempuan maka bagiannya menurut
perbandingan 2 untuk laki-laki dan 1 untuk perempuan.29
7. Ibu
1/6 apabila ia mewarisi bersama-sama far’u waris ( anak/cucu maupun laki-laki
atau perempuan). Atau apabila ia bersama 2 orang atau lebih saudara
perempuan/laki-laki sekandung seayah, atau seibu. Baik ketika mereka termasuk
tidak termahjub baik dia satu kelompok saja maupun campuran. 1/3 jika ia tidak
bersama dengan far’u waris atau tidak bersama dengan 2 orang atau lebih
saudara/saudari secara mutlak baik sekandung, seayah, seibu. Meski
saudara/saudari tersebut termahjub oleh keluarga lain.1/3 sisa harta peninggalan
jika ibu bersama dengan suami/istri dan ayah. Masalah ini disebut dengan masalah
29
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), h. 164-165.
27
gharawwin yang mana ibu akan mendapat 1/3 sisa, ayah dapat bagian Ashabah dari
suami 1,2 atau istri ¼.30
8. Ayah
1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu. Mendapat sisa harta bila bersamanya tidak
ada anak atau cucu laki-laki. 1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila
bersamanya ada anak atau cucu perempuan.
9. Kakek
1/6 apabila bersamanya ada anak atau cucu. Mendapat sisa harta bila bersamanya
tidak ada anak atau cucu laki-laki. 1/6 kemudian sisa harta apabila bersamanya ada
anak atau cucu perempuan.31
10. Saudara perempuan kandung
½ bila dia seorang saja. 2/3 apabila 2 orang atau lebih dan tidak bersamanya
saudara laki-laki. Mengambil sisa harta bila bersamanya ada anak perempuan.
11. Saudara Perempuan Seayah
½ Bila dia seorang saja. 2/3 bila 2 orang atau lebih apabila tidak bersamanya
saudara laki-laki. 1/6 apabila bersama dengan seorang saudara perempuan kandung.
Mengambil sisa harta apabila bersama dengan anak perempuan.
12. Saudara Perempuan Seibu
1/6 bila dia sendiri. 1/3 untuk 2 orang atau lebih.
13. Saudara Laki-laki Seibu
1/6 apabila dia sendiri. 1/3 untuk 2 orang atau lebih.32
Menurut hukum Islam, ahli waris dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Asabah dan Zawl Al-Furud
Secara bebas, arti logawi zawl al-furud adalah orang-orang yang mempunyai
saham (bagian) pasti. Lebih kurang demikian pulalah arti teknis (istilah) yang di
kandung istilah tersebut, yaitu ahli waris yang sahamnya telah ditentukan secara
terperinci ( seperdua, sepertiga, seperempat, seperenam, atau seperdelapan dari
warisan). Menurut jumhur ulama mereka ini adalah: Istri, Suami, Anak Perempuan,
Ibu, Nenek, Ayah, Kakek, Saudara Seibu laki-laki atau perempuan, Saudara
perempuan kandung atau seayah.33
Suami dan istri disebut ashhabul furudh as-sababiyyah yang memperoleh bagian
tertentu karena satu sebab. Sebab pewarisan mereka adalah pernikahan bukan sebab
30
M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996), h. 40 31
Syarifuddin Arief, Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta:
Darunnajah Production House), h.18 32
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), h.
62 33
Abu Bakar, Al Yasa, Ahli Waris Sepertlian Darah, (Jakarta: Inis, 1998), h. 140.
28
kekerabatan. Sementara yang lainnya disebut ashhabul furudh an-nasabiyyah
kalangan yang berhak memperoleh bagian warisan tertentu dengan kekerabatan.34
2. Dzawil Arham
Secara harfiah, istilah ini berarti orang yang mempunyai hubungan darah. Secara
teknis ulama fikih mendefenisikannya sebagai anggota kerabat yang tidak menjadi
dzawil furud dan ashabah.35
Hal-hal yang terkait dengan asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat
hukum kewarisan serta sunnah nabi Muhammad SAW. Asas-asas dapat diklasifikasi sebagai
berikut:36
Asas Ijbari (Paksaan)
Dalam hukum Islam, peralihan harta seseorang yang telah meninggal
dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup berlaku dengan sendirinya
menurut ketetapan Allah, tanpa digantungkan kepada usaha dan kehendak
pewaris maupun ahli warisnya. Cara peralihan seperti ini disebut asas ijbari.
Atas dasar ini, pewaris tidak perlu merencanakan penggunaan dan pembagian
harta peninggalannya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan
kematiannya harta yang ia miliki otomatis akan berpindah kepada ahli
warisnya dengan peralihan yang sudah ditentukan. Kata ijbari secara
refleksikan mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu diluar
kehendaknya sendiri. Unsur paksaan (ijbari) ini terlihat dari segi ahli waris
yang berhak menerima harta warisan beserta besarnya penerimaan yang diatur
dalam ayat-ayat Al-Quran yaitu surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176. Bentuk
ijbari dari segi jumlah yang diterima, tercermin dari kata mafrudan, bagian
yang telah di tentukan. Istilah ijbari di refleksikan sebagai hukum mutlak.
Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan
Islam adalah seorang menerima hak kewarisan bersumber dari kedua
belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun
keturunan laki-laki.37
Asas kebilateralan itu mempunyai dua dimensi saling
mewarisi dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176, yaitu(1)
antara anak dan orangtuanya, (2) antara orang yang bersaudara bila
34
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim di terjemahkan oleh Darwis, Shahih Fikih Sunnah Jilid 4, (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2017), h. 618.
35 Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 63
36 Suharawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1995), h. 37 37
Suhrawardi Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, (Cetakan Kedua,
h. 40.
29
pewaris tidak mempunyai anak dan orangtua. Hal ini diuraikan sebagai
beriku:38
Pertama, dimensi saling mewarisi antara anak dengan orangtuanya.
Dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 7 ditegaskan bahwa laki-laki dan
perempuan berhak mendapat harta warisan dari ibu-ayahnya. Demikian
juga dalam garis hukum surah An-Nisa ayat 11 ditegaskan bahwa anak
perempuan berhak menerima warisan dari orangtuanya sebagaimana
halnya dengan anak laki-laki dengan perbandingan bagian seorang anak
laki-laki sama dengan perempuan. Dengan demikian juga dalam garis
hukum surah An-Nisa ayat 11 ditegaskan bahwa ayah dan ibu mendapat
warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, sebesar
seperenam, bila pewaris meninggalkan anak.39
Kedua: Dimensi saling mewarisi antara orang yang bersaudara
juga terjadi bila pewaris tidak mempunyai keturunan atau orang tua.
Kedudukan saudara sebagai ahli waris dal Al-Quran Surah An-Nisa ayat
12, ditentukan bahwa bila seorang laki-laki mati punah dan mempunyai
saudara, maka saudaranya (saudara laki-laki atau perempuan) berhak
mendapat harta warisannya. Demikian juga dalam Al-Quran surah An-
Nisa ayat 12, bila pewaris yang mati punah seorang perempuan dan
mempunyai saudara, maka saudaranya laki-laki atau perempuan berhak
menerima harta warisannya. Selain itu, dalam Al-Quran Surah An-Nisa
ayat 176 menegaskan bahwa seorang anak laki-laki yang tidak mempunyai
keturunan, sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, saudaranya yang
perempuan itulah yang berhak menerima warisannya. Demikian juga bila
seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan ia
mempunyai saudara laki-laki, saudaranya yang laki-laki itulah yang
berhak menerima harta warisannya.40
Asas Individual
Asas individual adalah setiap ahli waris secara individu berhak atas
bagian yang didapatkannya tanpa terikat kepada ahli waris lainnya
sebagaimana halnya dengan pewaris kolektif yang dijumpai ketentuan
dalam hukum adat. Seperti adat msayarakat Minangkabau di Sumatra
Barat.41
Dengan demikian, bagian yang diperoleh ahli waris dari harta
pewaris dimiliki secara perorangan, dan ahli waris yang lainnya tidak
ada sangkut paut sama sekali dengan bagian yang diperolehnya
38
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, h. 54.
39
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, h. 55-54. 40
Suhrawardi Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, Cetakan Kedua, h.
40. 41
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, h. 34-35.
30
tersebut, sehingga individu masing-masing ahli waris bebas menetukan
atas bagian yang diperolehnya.
Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan yang dimaksud harus ada keseimbangan antara hak
yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau
beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan
perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan
kewajiban yang dipikulnya masing-masing kelak dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung
jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak
dan istrinya sesuai Al-Quran 2: 233 dengan kemampuannya.
Tanggung jawab merupakan kewajban yang harus dilaksanakan,
terepas dari persoalan apakah istri mampu atau tidak, anak-anaknya
memerlukan bantuan atau tidak.42
42
Sahrawardi Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, Cetakan Kedua, h.
31
BAB III
KEWARISAN ADAT SAMONDO DAN WILAYAH PENELITIAN
A. Kewarisan Adat Samondo
1. Pengertian Adat Samondo
Adat samondo Muarasipongi yaitu adalah adat yang lahir jika seorang laki-laki
menikahi perempuan salah satu dari warga Muarasipongi dan laki-laki tersebut
menggabungkan dirinya ke rumah istrinya dan menetap tinggal di rumah istrinya
setelah adanya pernikahan.Adat Muarasipongi ini adalah salah satu suku yang
mendiami wilayah kabupaten Mandailing Natal tepatnya kecamatan
Muarasipongi.Berdasarkan cerita dari para orang tua terdahulu, suku ulu berasal dari
Rao, Sumatra Barat. Sampai dengan tulisan ini dibuat belum ada penelitian lebih
lanjut terkait dengan asal usul dari suku ulu ini. Tak ada bukti tertulis tentang asal
usul dari suku ulu ini. Salah satu informasi tentang asal usul atau sejarah tanah ulu
bersumber dari cerita lisan yang dituturkan oleh orang- orang tua terdahulu, menitik
beratkan bahwasanya suku ulu ini berasal dari Rao, Sumatra Barat.Orang ulu
muarasipongi mempunyai tiga suku besar yaitu Mondoiligh ( Mandailing), Pungkik (
Pungkut), Kandang Kepuh ( Kandang Kapuh). Tiga suku besar di atas hanya di temui
di daerah Muarasipongi, Rao, Rokan Hulu dan Sumatra Barat. 1
Istilah Sumando itu yaitu bahasa tersendiri berbeda dengan bahasa Batak,
Mandailing maupun bahasa-bahasa lain yang ada di wilayah Mandailing Natal dan
Tapanuli Selatan.Apabila di perhatikan bahasa ulu ini bernuansa melayu, tetapi lebih
tua dari bahasa Melayu nya sendiri dan juga menyerap penbendaharaan kata dari
bahasa Mandailing, walaupun terjadi perubahan penglafalan bunyi yang
menyesuaikan dialek suku ulu.
Secara tidak langsung letak geografis ini mempengaruhi aspek kehidupan
masyarakat Muarasipongi termasuk di dalamnya dalam penerapan hukum Islam. Adat
samondo di Muarasipongi ini terhimpit antara adat Mandailing dan Adat Sumatra
Barat, ini merupakan salah satu keunikan dari adat samondo ini. Masyarakat
Muarasipongi memiliki toleransi yang begitu kuat sehingga tidak ada yang merasa
mendominasi dan di dominasi. Dalam pernikahan masyarakat Muarasipongi
1Burhanuddin Datuk Rimambang, Tokoh Adat, Wawancara pribadi, Pasar Muarasipongi 19 Juni 2019
32
mengambil unsur kebudayaan Mandailing yaitu mempelai laki-laki sebagai pihak
yang memiliki kewajiban memberikan mahar. Namun dalam hal kewarisan
masyarakat Muarasipongi mengambil kebudayaan Minang yang mengutamakan hak-
hak kaum perempuan.
Masyarakat Muarasipongi menjalankan bentuk perkawinan Samondo.Bentuk
perkawinan samondo adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur dari pihak
pria kepada pihak wanita.Bagi keluarga istri, suami merupakan orang datang kerumah
istrinya.Oleh karena itulah perkawinan masyarakat adat samondo itulah bersifat
matrilokal yaitu istri tidak ikut kerumah suami dan tidak pula masuk sebagai anggota
keluarga dalam keluarga suaminya namun si suamilah yang berdiam diri di rumah
istri. Pengertian ‘’berdiam di rumah istri’’ di dalam perkawinan samondo, sebenarnya
suami tidak menetap di rumah istrinya tapi ia menetap di rumah keluarga asalnya. 2
Masyarakat matrilineal mengenal pula bentuk perkawinan eksogami, dengan
beberapa perbedaan dengan masyarakat patrilineal.Misalnya perkawinan samondo
ini, kedudukan suami semata-mata berstatus sebagai tamu, yang bertandang ke
keluarga istrinya.Ia tidak berhak atas anaknya, harta benda istri, dan segala hal yang
bersangkutan dengan rumah tangga. Harta kekayaan yang di hasilkan suami hanya
untuk dirinya sendiri, ibunya, saudara-saudaranya, dan anak-anaknya (harta
suarang).3
2. Gambaran Kewarisan Adat Samondo
Pada umumnya, bentuk harta warisan dalam waris adat yaitu harta warisan
berwujud dan tidak berwujud.Harta warisan berwujud seperti sawah, kebun, tanah,
bangunan rumah dan hewan ternak.Harta warisan tidak berwujud seperti gelar adat,
kedudkan dan jabatan adat.Gelar-gelar adat dalam masyarakat masih tetap di
pertahankan hingga kini.
Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat kecamatan Muarasipongi yang
beragama islam ternyata masih menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang mereka hadapi termasuk dalam bidang waris. Ketika
penulis menayakan hukum manakah yang digunakan untuk menyelesaikan
2Burhanuddin Datuk Rimambang, Tokoh Adat, Wawancara pribadi, Pasar Muarasipongi 19 Juni 2019 3 Dewi Sulastri, Pengantar Hukum Adat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), h. 113
33
pembagian harta waris, tanpa ada keraguan sedikitpun para informan menjawab
hukum adat.Ketika pertanyaan ini dilanjutkan, mengapa harus hukum adat kenapa
tidak dengan hukum Islam?Jawaban yang di kemukakan informan sangat sederhana
menyatakan bahwa hukum adatlah yang pertama hadir di kecamatan Muarasipongi
ini.Lalu kemudian Islam datang dengan pranata hukumnya.Artinya sejak lama
mereka telah tunduk pada hukum adat.4
Adat Samondo Muarasipongi ini menempatkan bahwa laki-laki dan perempuan
dalam posisi yang tidak seimbang. Anak perempuan sebagai pembawa marga
mendapatkan kehormatan-kehormatan di dalam pelbagai peristiwa adat, termasuk di
dalamnya dalam peroses harta waris.Kedudukannya yang tinggi juga menempatkan
sebagai orang yang harus didahulukan dan diutamakan. Menariknya laki-laki
Muarasipongi ini sangat menyadari posisi yang tidak seimbang tersebut. Oleh sebab
itu, ekspresi inferirioritas ditunjukkan dengan sikap mengalah, tidak menuntut harta
waris, dan merelakan harta warisan orang tuanya jatuh kepada saudara yang
perempuan.
Disamping itu, perempuan Muarasipongi ini juga menyadari aturan-aturan adat
yang menempatkan mereka sebagai mahluk kelas pertama.Pada satu sisi, anak
perempuan biasanya menjadi tempat orang tua mengadukan pelbagai hal.Anak
perempuan menjadi teman berbagai cerita.Bahkan ketika orang tua sakit, anak
perempuanlah yang mengurusnya.Ini dipandang sebagai kewajiban.Bahkan tidak
jarang, anak perempuan bukan hanya sekedar mengurus tetapi juga menanggung
biaya pengobatannya.Dalam kenyatannya, orang tua pun merasa lebih nyaman tinggal
dengan anak perempuannya ketimbang dengan anak laki-lakinya (bersama menantu
perempuannya). Namun dalam sisi lain, pada saat pembagian harta waris, mereka
mendaptkan harta warisan yang lebih besar di banding dengan bagian dari saudara
laki-lakinya.
3. Sistem Pembagian Kewarisan Dalam Adat Samondo
Penulis menemukan pola pembagian harta waris yang berkembang pada
masyarakat Muarasipongi ini dalam kaitannya dengan harta warisan untuk anak
perempuan.Pola tersebut yaitu anak perempuan mendapat harta warisan lebih besar di
4Syahrul, Masyarakat, Wawancara Pribadi, Kotoboru 18 Juni 2019
34
bandingkan anak laki-laki.Penelitian ini menujukkan bahwa diantara informan
ternyata masih ada yang melaksanakan hukum adat secara utuh. Hal ini sebagaimana
yang ditunjukkan oleh beberapa informan bahwa selaku anak perempuan ia mendapat
warisan yang lebih dibandingkan dari saudara laki-lakinya. Adapula informan
mengatakan bahwa disebabkan harta waris yang sedikit, saudara laki-lakinya rela
untuk tidak mendapatkan apapun dari harta warisan tersebut. Tidak kalah menariknya
bahwa saudara laki-laki tidak menuntut apapun dari harta warisan tersebut di pahami
bahwa sebagai bentuk kesadaran dan kepatuhan saudara laki-laki tersebut terhadap
hukum adat.5
Hukum waris menurut hukum adat Muarasipongi senantiasa menjadi masalah
aktual dalam berbagai pembahasan.Seperti telah dikemukakan, bahwa sistem
kekeluargaan di Muarasipongi adalah sistem menarik garis keturunan ibu, yakni
saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik
laki-laki mapun perempuan.
Mengenai warisan dalam adat samondo ini yaitu ada yang dinamakan dengan
harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah, dimana yang dimaksud dengan harta
pusaka tinggi yaitu harta yang turun temurun dari nenek moyang yang perempuan
dan kemudian turun ke ibu dan seterusnya ke keturunan dari kaum perempuan dan
jelas pasti untuk anak perempuan. Dan mengenai harta pusaka tinggi ini yaitu dia
berupa harta yang sangat tidak bisa dibagi atau dijual Seperti dalam contohnya
pusaka tinggi itu yaitu ada yang namanya rumah gedak ( rumah harta peninggalan)
maka rumah tersebut didiami oleh keturunan perempuan.Sedangkan harta pusaka
rendah adalah harta yang didapatkan setelah terjadinya pernikahan, yaitu berupa
harta bersama.
Harta pusaka di Muarasipongi menjadi milik kaum perempuan, karena sistem
kekerabatan di Muarasipongi di susun berdasarkan garis ketururnan dari ibu.Sistem
inilah yang di sebut dengan sistem matrilineal.
5Syafei, Camat Muarasipongi,Wawancara pribadi, Kantor Camat Muarasipongi 19 Juni 2019
35
Alasan berlakunya sistem matrilineal dalam urusan harta pusaka adalah karena
harta di Muarasipongi adalah milik kaum perempuan.Dengan demikian, segala hak
terhadap harta pusaka berada pada pihak perempuan.6
Tujuan lain dari sistem ini adalah untuk keselamatan hidup kaum perempuan. Hal
ini dikarenkan menurut kodrat, kaum perempuan bertulang lemah. Meskipun seorang
perempuan tidak lagi mempunyai seorang suami, ia masih tetap bisa menghidupi
dirinya dan anak-anaknya, karena harta pusaka yang menjadi miliknya. Oleh karena
itulah pewarisan harta dilakukan berdasarkan sistem matrilineal.
Ciri-ciri khas sistem matrinileal yang memebedakan dari sistem patrilineal adalah
sebagai berikut:7
1) Ketururnan ditelusuri melalui garis wanita.
2) Anggota kelompok keturunan di rekrut melalui garis ketururnan wanita.
3) Pewarisan harta pusaka dan suksesi politik melalui garis wanita.8
Sturuktur Organisasi Ninik Mamak/ Pemangku Adat
Tanah Ulu Muarasipongi
6 Yulfian Azrial, Budaya Alam Minangkabau, (Padang: Angkasa Raya, 2008), h. 40
7 Jurnal Adat dan Budaya Minangkabau, Edisi Kedua/Vol.2/Maret-Mei/Jakarta: 2004, h. 12
8Burhanuddi Datuk Rimambang, Tokoh Adat,Wawancara pribadi, Pasar Muarasipongi18 Juni 2019
Urak Tuo Adet
Datuk Urak Samondo Tuo Bapak Datuk/ Endek
Datuk
Mamak Rumah Mamak Rumah Mamak Rumah
36
Ket: 1). Urak Tuo Adet yaitu orang tua yang diangkat sebagai orang yang terlebih
dahulu menangani masalah keluarga sebelum menyelesaikan adatnya ke seorang
Datuk. 2). Datuk yaitu orang yang diangkat sebagai pemangku adat atau disebut
dengan tokoh adat. 3). Mamak rumah yaitu keluarga dari seorang istri yang laki-laki
baik itu abang atau adek istri. 4). Urak Samondo Tuo yaitu seseorang yang
melakukan adat samondo atau seorang suami yang sudah melakukan adat samondo.
5). Bapak Datuk/ Endek Datuk yaitu bapak atau ibu atau yang sering di sebut dengan
orang tua yang mengerti adat di dalam desa.
Kewarisan dalam adat samondo ini dibagi langsung oleh seorang Datuk didalam
suatu suku itu, dimana dalam satu suku ada yang dinamakan datuk atau disebut juga
dengan ketua adat, datuk inilah yang berperan sebagai pembagi warisan ditengah-
tengah keluarga dan didepan mamak rumah. Datuklah yang melihat kepada siapa
harta pusaka tinggi ini cocok diberikan dan siapa yang paling berhak untuk
mendapatkan harta pusaka tinggi ini.
Masyarakat adat Samondo ini memiliki asas-asas hukum waris yang bersandar
pada sistem kemasyarakatan dan bentuk perkawinannya. Asas-asas hukum waris adat
Samondo yaitu:
1. Asas Unilateral
Artinya, hak kewarisannya didasarkan hanya pada satu garis keturunan yaitu
garis ibu (matrilineal) dan harta warisannya adalah harta warisan yang
diturunkan dari nenek moyang melalui garis ibu, diteruskan kepada anak
cucu-cucu melalui anak perempuan.
2. Asas Kolektif
Asas kolektif berarti bahwa harta pusaka tersebut di warisi bersama-sama oleh
para ahli waris dan tidak dapat dibagi-bagi kepemilikannya kepada masing-
masing ahli waris.Yang dapat dibagikan hanyalah hak penggunannya.
3. Asas Keutamaan
Asas keutamaan atau garis pokok keutamaan ialah suatu garis yang
merupakan lapisan keutamaan antara golongan-golongan yang satu lebih di
37
utamakan diantara golongan yang lainnya.Akibatnya adalah sesuatu golongan
belum boleh dimasukkan dalam perhitungan jika masih ada golongan yang
lebih utama.9
B. Deskripsi Wilayah Penelitian
1. Letak dan Kondisi Geografis
Kecamatan Muarasipongi adalah salah satu kecamatan dari kabupaten Mandailing
Natal, yang masih jauh dari ibu kota kabupaten Mandailing Natal berjarak lebih
kurang 13 km. Kecamatan ini terletak di awal dari permulaan provinsi Sumatra Utara
atau bisa disebut perbatasan antara Sumatra Utara dengan Provinsi Sumatra Barat.
Kecamatan Muarasipongi ini memiliki 16 desa.
Kecamatan Muarasipongi merupakan daerah yang terletak didaerah kawasan
pegunungan, berbukit, dan suram sekali yang datar, sehingga rata-rata mata
pencaharian penduduk kecamatan Muarasipongi adalah bertani.Karena itu, sektor
pertanian menjadi andalan masyarakat di daerah ini, disamping sektor lainnya.
Batas wilayah kecamatan Muarasipongi ialah sebagai berikut:
Utara : Kec. Kotanopan
Selatan : Prov. Sumatra Barat
Barat : Kecamatan Kotanopan
Timu : Prov. Sumatra Barat
2. Demografis Masyarakat
a. Penduduk
Kecamatan Muarasipongi ini mempunyai beberapa desa yang di pinpin
atau di kepalai oleh seorang kepala desa dan dibantu oleh perangkat desa yang
lainnya. Luas wilayah kecamatan Muarasipongi ini lebih kurang 13.149 Ha.
Jumlah penduduk saat ini adalah laki-laki 5214 jiwa, dan perempuan 5272 jiwa,
sebagai jumlah penduduk pada tahun 2019 ini sebanyak 10486 jiwa.
Pada tahun 2019 mutasi penduduk terjadi dengan gambaran
Lahir : 4 orang
9 Burhanuddin Datuk Rimambang, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Pasar Muarasipongi 18 Juni 2019
38
Pindah : 0 orang
Meninggal : 0 orang
Datang : 0 orang
Mayoritas kecamatan Muarasipongi dari etnis Batak Mandailing, yang
masih kental dengan adat dan budayanya.Hal ini tercermin dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, misalnya dalam masalah waris. Masyarakat disini
memakai sistem matrilineal diantara ahli waris., karena menurut mereka sudah
adil dalam pembagian seperti itu.
b. Pendidikan
Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting bagi bangsa dan
merupakan sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan
manusia.Untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas.Baik
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat secara keseluruhan. Pembangunan
yang sedang di laksanakan di Indonesia tidak akan terwujud bila sumber daya
manusianya tidak disiapkan dengan baik.Di sisi lain, pendidikan merupakan
sarana yang ampuh dalam mempersiapkan tenaga kerja yang professional.
Dengan tingkat pendidikan yang semakin baik, setiap orang akan dapat secara
langsung memeperbaiki tingkat kehidupan yang layak, sehingga kesejahtraan
masyarakat akan semakin cepat diwujudkan.
Sarana pendidikan didaerah ini mulai dari pendidikan taman kanak-kanak,
Sampai tingkat menengah atas, baik yang berstatus negeri, maupun yang di
kelola oleh swasta, dapat dilihat pada table dibawah ini:
Komposisi Jumlah Sarana Pendidikan Di Kecamatan Muarasipongi
No Nama
Desa
TK SD SLTP MTS SLTA MA PT
1 Ranjo
Batu
1 1 0 0 0 0
39
2 Kampung
Pinang
1 0 0 0 0 0
3 Simpang
Mandepo
1 0 0 0 0 0
4 Bandar
Panjang
1 0 0 0 0 0
5 Pasar
Muara
Sipongi
2 0 0 0 0 0
6 Sibinail 1 1 0 0 0 0
7 Koto
Beringin
0 0 0 0 0 0
8 Tanjung
Alai
1 0 0 0 0 0
9 Limau
Manis
1 0 0 0 0 0
10 Bandar
Panjang
Tuo
1 0 0 0 0 0
11 Tamiang
Mudo
1 0 0 0 0 0
12 Tanjung
Medan
0 0 0 0 0 0
13 Aek
Botung
1 0 0 0 0 0
14 Koto
Boru
1 1 0 0 0 0
15 Muara
Kumpulan
1 0 0 1 0 0
40
16 Tanjung
Larangan
0 0 O 0 0 0
Sumber data: Dinas pendidikan Kab. Mandailing Natal
c. Sosial Ekonomi
Komposisi penduduk masyarakat kecamatan Muarasipongi
Petani : 745 orang
Pedagang : 320 orang
PNS/TNI/Polri : 39 orang
Buruh : 456 orang
Sumber utama kehidupan masyarakat adalah pertanian, selain pedagang, menjadi
PNS, dan buruh.Secara umum dapat dirinci dalam presentase keadaan lahan
pertanian, industri, dan perdagangan.10
d. Keagamaan
Kecamatan Muarasipongi ini dikenal juga sebagai desa yang agamis
karena di kecamatan ini banyak terdapat alumni-alumni pondok pesantren.
Mayoritas penduduk kecamatan Muarasipongi ini adalah Islam, pemeluk agama
lain adalah minoritas. Hubungan antara ummat beragama baik.Di kecamatan ini
terdapat banyak masjid dan tempat ibadah lainnya.11
Secara faktual kehidupan agama di kecamatan Muarasipongi ini berjalan
dengan lancer.Hal ini dapat di perhtikan dalam realita kehidupan masyarakat yang
aman, damai, dan sejahtra.Masyarakat Muarasipongi termasuk penganut agama
yang taat, hal ini dapat dilihat bahwa hampir setiap kampung atau nagari
mempunyai beberapa masjid dan mushalla yang di jadikan sebagai tempat ibadah
dan upacara-upacara keagamaan lainnya.Mesjid dan mushalla juga berfungsi
sebagai tempat pertemuan dan musyawarah dalam membicarakan perbaikan
kampung setempat.
10
Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Muarasipongi Dalam Angka 2018,
(Mandailing Natal: CV Rilis Grafika, 2018), h. 61 11
Syahrul, Ulama Muarasipongi, Wawancara Pribadi, Kotoboru 19 Juni 2019
41
Bnyaknya rumah ibadah menurut jenisnya dan desa/ kelurahan
No Desa Mesjid Surau Gereja Kuil Vihara Jumlah
1 Ranjo Batu 3 2 0 0 0 5
2 Kampung
Pinang
1 0 0 0 0 1
3 Simpang
Mandepo
1 0 0 0 0 1
4 Bandar
Panjang
1 0 0 0 0 1
5 Pasar
Muarasipo
ngi
4 5 1 0 0 10
6 Sibinail 2 1 0 0 0 3
7 Koto
Beringin
1 4 0 0 0 5
8 Tanjung
Alai
2 1 0 0 0 3
9 Limau
Manis
1 1 0 0 0 2
10 Bandar
Panjang
Tuo
2 0 0 0 0 2
11 Tamiang
Mudo
1 0 0 0 0 1
12 Tanjung
Medan
1 0 0 0 0 1
13 Aek
Botung
2 0 0 0 0 2
14 Koto Boru 3 0 0 0 0 3
42
15 Muara
Kumpulan
1 1 0 0 0 2
16 Tanjung
Larangan
1 0 0 0 0 1
Sumber data: Kantor Camat Muarasipongi
43
BAB IV
PEMBAGIAN WARIS DALAM ADAT SAMONDO MANDAILING NATAL
A. Pembagian Waris Adat Samondo Mandailing Natal
1. Pembagian Waris Dalam Hal Yang Meninggal Istri
Meninggalnya istri menimbulkan adanya pembagian kewarisan, pembagiannya
baik itu hak anak maupun hak suami.Adapun mengenai pembagian kewarisan setelah
isrinya meninngal terlebih dahulu datuk didalam desa ini melihat harta yang
ditinggalkan terlebih dahulu, baik itu harta pusaka tinggi atau harta pusaka
rendah.Harta pusaka tinggi terlebih dahulu dipisah dari harta pusaka rendah, dimana
harta pusaka tinggi ini tidak bisa dibagikan kepada ahli waris dan hanya diturunkan
atau dipindah alihkan kepada anak perempuan atau saudara perempuan dari istri.
Dan selanjutnya dilakukan pembagian harta pusaka rendah kepada ahli warisnya,
terlebih dahulu warisannya dibagi kepada suami yaitu ¼ jika tidak mempunyai
keturunan dan 1/8 jika ia mempunyai keturunan. Menurut penuturan bapak
Burhanuddin bahwa apabila meninggal seorang istri maka suami juga mendapatkan
warisan seperti halnya jikalau suami yang meninggal.1
Apabila seorang istri meninggal maka akan ada pembagian harta peninggalan
setelah selesai semua dilaksanakan kepentingan yang menyangkut kepada si mayit,
maka sebelum pembagian harta warisan kepada masing-masing ahli waris, terlebih
dahulu harta bersama dibagi dua, kemudian mengenai bagian suami seharusnya
mendapat 1/4 apabila bersama dengan anak laki-laki dan perempuan dan ½ apabila
tidak bersama dengan anak laki-laki dan perempuan, akan tetapi kalau ada
kesepakatan bahwa suami tidak mendapatkan lagi harta yang sudah dibagi dua,
diperbolehkan apabila ada persetujuan diantara ahli waris yang lain.
Bagian Yang didapatkan oleh suami setelah harta bersama dibagi dua yaitu lebih
sedikit dibanding dengan bagian istri.Kemudian Bapak Burhanuddin menambahkan
bahwa selain suami mendapatkan harta bersama, dia juga masih ber hak katas bagian
seorang istri, tetapi apabila ada hasil musyawarah atau hasil kesepakatan diantara ahli
waris, maka suami boleh tidak mendapatkan selain harta bersama, karena menurut
1Burhanuddin Datuk Rimambang, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Pasar Muarasipongi 18 Junil 2019
44
beliau kesepakatan lebih diutamakan dalam pembagian warisan untuk mempererat
hubungan kekeluargaan.Kalau tidak ada kesepakatan diantara ahli waris, maka
pembagian warisan dilaksanakan sesuai dengan hukum adat.2
Dalam pembagian waris dalam adat Samondo ini bagian dari perempuan lebih
besar dibanding dengan bagian laki-laki, bagian ahli waris laki-laki yaitu 1 dan
bagian ahli waris perempuan 2. Demikian juga Bapak Sahrul menambahkan apabila
yang meninggal seorang istri dan mempunyai ahli waris selain anak maka akan
mendapatkan bagian apabila ada terlebih dahulu kesepakatan para ahli waris, dan
kalau tidak ada kesepakatan maka ahli waris selain anak akan mendapatkan bagian
sesuai dengan hukum adat yang berlaku.3
Menurut keterangan dari para tokoh adat (Hatobangon), apabila seorang istri
meninggal dan meninggalkan suami dengan meninggalkan dua orang anak laki-laki
dan satu orang anak perempuan, maka dalam pembagian waris suami akan
mendapatkan 1/8 dari harta yang ditinggalkan istri, Dan bagian dari anak laki-laki
lebih sedikit dibanding dengan anak perempuannya.4
2. Pembagian waris dalam hal yang meninggal suami
Kasus pembagian waris dari salah satu masyarakat desa Muarasipongi yang
bernama bapak haji, Meninggal setelah beberapa bulan yang lalu, Beliau
meninggalkan anak laki-laki 2 orang dan anak perempuan 2 orang, adapun yang
beliau tinngalkan berupa kebun dan sawah.
Dalam kasus pembagian waris ini masing-masing ahli waris baik anak laki-laki
maupun anak perempuan mendapatkan bagiannya masing-masing sesuai dengan
hukum adat waris yang berlaku yaitu untuk bagian anak laki-laki 1 dan untuk bagian
anak perempuan 2, begitu juga dengan bagian istri mendapatkan ¼ sesuai dengan
hukum adat waris yang berlaku didesa ini. Karena sebelum dibagikan kepada anaknya
terlebih dahulu diberikan kepada istri harta bersama yang didapatkan selama
perkawinan.5
2Syafei, Camat Muarasipongi, Wawancara Pribadi, Pasar Muarasipongi 18 Juni 2019
3Syafei, Camat Muarasipongi, Wawancara Pribadi, Kantor Camat Muarasipongi 18 juni 2019
4Marzuki, Kepala Desa Kotoboru, Wawancara Pribadi, Kotoboru 19 Juni 2019
5Siri, Masyarakat, Wawancara pribadi, Kotoboru 19 Juni 2019
45
Dalam surah An-Nisa ayat 11 sudah dijelaskan bahwa anak laki-laki dan anak
perempuan mendapatkan bagian yang berbeda, yaitu bagian laki-laki dua kali bagian
anak perempuan, sebagaimana dalam firman-Nya
في أولدكم كس مثل حظ الوثييه يىصيكم للاه للره
Artinya: ‘’Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan.’’(An-Nisa ayat 11).6
Setelah selesai memutuskan beberapa bagian semua ahli waris, maka akan
dilaksanakan pembagian harta baik sawah maupun kebun, dengan cara langsung ke
persawahan atau perkebunan untuk mengukur atau memetakkan bagian masing-
masing ahli waris yang mana menurut mereka lebih baik, supaya nantinya tidak
terjadi kecemburuan diantara bagian masing-masing ahli waris, Karena kualitas
kebun ataupun sawah yang tidak sama, maka oleh karena itu semua ahli waris di
suruh untuk memilih mana bagian yang baik menurut mereka masing-masing.7
Harta peniggalan pewaris akan dibagikan kepada semua hali waris tergantung
kesepakatan para ahli waris, tetapi biasanya dibagikan setelah dua minggu atau
sebulan setelah selesai putusan dari hasil masing-masing pembagian buat ahli waris,
dan bisa juga lebih lama dari sebulan. Namun biasanya sebelum dilakukan eksekusi
terhadap harta yang dibagikan, biasanya seluruh keluarga atau ahli waris melakukan
musyawarah terlebih dahulu dirumah salah satu keluarga untuk membicarakan
masalah kapan ahli waris masing-masing dapat melakukan eksekusi terhadap harta
yang akan di terima pewaris.8
Dan apabila dilihat dari kitab-kitab fiqh klasik maka disitu sudah
dilihat jelas bagian dari seorang istri apabila suaminya meninggal
sebagaimana firman Allah
ا تسكتم إن لميكه لكم ولد فإن كان بع ممه ا تسكتم ولههه الس لكم ولد فلههه الثمه ممه
6 Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama, 2002
7Syahrul, Ulama Muarasipongi,Wawancara Pribadi Kotoboru 18 Juni 2019
8Burhanuddin Datuk Rimambang, Tokoh Adat, Wancara Pribadi, Pasar Muarasipongi 19 Juni 2019
46
Artinya: ‘’Para istri memeperoleh ¼ harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh 1/8 dari
harta yang kamu tinggalkan.(An-Nisa ayat 12)’’.9
Bagian seorang istri juga disebutkan dalam kompilsai hukum Islam dalam pasal
180, yang isinya sesuai dengan ketentuan fiqh yang sudah dijelaskan di atas yaitu:
Janda mendapat ¼ bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak maka janda akan mendapatkan 1/8 bagian.’’10
Jika dilihat dari pembagian secara hukum adat maka istri akan mendapatkan bagian
yang tidak sesuai dengan hukum Islam dan KHI, adapun bagiannya yaitu:
a. Istri mendapatkan ½ apabila tidak ada keturunan
b. ¼ apabila ada keturunan anak laki-laki maupun perempuan.11
Saat seorang istri ditinngal oleh suaminya maka disini terlihat jelas bagaimana
sebenarnya adat samondo ini berlaku, dan begitu kuatnya kedudukan pusaka tinggi itu
juga, sehingga harta pencaharian orang samondo misalnya rumah yang dibuatnya
untuk anak-anaknya dan istri, tidak terletak ditanah pusaka istrinya, tidaklah berhak ia
menjualnya kembali, meskipun harta pencahariannya sendiri,. Ia tercela keras oleh
adat berbuat demikian. Sebab itu kalau seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan
istri dan anak-anaknya rumahnya itu tinggalnya menjadi hak milik istrinya. Kalau si
istri bersuami baru, suami yang baru itupun tidak berhak atas rumah itu. Kalau
bercerai, yang dibawa keluar hanyalah pakaiannnya sehari-hari saja.Dan kalau istri itu
meninggal, yang mengusai harta itu adalah anak-anaknya.Terutama anak perempuan.12
9Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama, 2002
10Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo,2010), h. 158
11Siri, Masyarakat, Wawancara Pribadi, Kotoboru 19 Juni 2019
12Burhanuddin Datuk Rimambang, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Pasar Muarasipongi 18 Juni 2019
47
3. Pembagian Waris Dalam Hal Jika Yang Meninggal Suami Dan Istri
Pembagian waris jika suami dan istri sudah meninggal maka yang berhak
menerima warisan yaitu anak laki-laki dan perempuan dari suami istri dan juga ahli
waris lainnya. Didalam pembagian warisan jika didalam satu keluarga tersebut suami
dan istrinya sudah meninggal dunia dan meninggalkan keturunan maka semua harta
nya akan dibagi kan oleh datuk didesa tersebut dan dibagi sesuai dengan hukum
adatnya, diamana terlebih dahulu dipisahkan dulu antara harta pusaka tinggi dan
harta bersama, baru dilakukan musyawarah tentang bagaimana pembagiannya kepada
saudara dari si istri dan terhadap saudara si suami itu tidak mendapatkan harta
warisan, karena didalam adat samondo ini sudah menggap bahwa laki-laki atau suami
itu hanya menggabungkan diri kepada keluarga si perempuan pada saat terjadinya
perkawinan, dan si uami juga tidak memberikan barang apapun kepadasi istri kecuali
maharnya. Maka jika dilihat dari awal perkawinana si suami hanya menggabungkan
diri saja kepada keluarga si perempuan dan semua harta si perempuan juga yang di
pergunakan selama pernikahan itu.13
Seperti contoh dalam penulisan ini yaitu seorang istri yang bernama Risdawati
dan seorang Suami yang bernama Muhammad, mereka melangsungkan pernikahan
sekitar 24 tahun yang lalu. Sampai sekarang bapak Muhammad ini melaksanakan adat
samondo dalam pernikahannya dan tinggal dirumah si istri sampai hari tuanya
sekarang, si suami meninggalkan rumah keluarganya dan menggabungkan diri
kerumah si istri dan menetap tinggal dirumah istri mulai dari terjadinya awal
pernikahan sampai nanti hari tua nya, mengenai warisannya nanti akan dibagikan
kepada keluarga semuanya dari istrinya dan tidak ada campur tangan dari keluarga
suami, karena dalam adat samondo ini kaum laki-laki juga sudah mengetahui
bagaimana sebenarnya posisi dia didalam rumah tangga tersebut dan begitu juga
keluarga dari si suami tidak akan menuntut harta warisan dari saudaranya yang laki-
laki jika sudah meninggal dunia, karena mereka mengetahui bahwa saudaranya yang
laki-laki dulu pada saat melaksanakan pernikahan tidak membawa harta sedikitpun
atau mempunyai harta buat yang akan di kasih sama istri.
13
Risdawati, Masyarakat, Wawancara Pribadi, Kotoboru 19 Juni 2019
48
B. ANALISIS URF
Islam merupakan agama yang fleksibel dan dinamis, cocok untuk semua kalangan,
untuk semua waktu dan kondisi. Islam juga sebenarnya mengatur tentang kehidupan
bermasyarakat, dalam fiqh tidak detail membahas mengenai cara bermasyarakat.
Namun itulah fungsi manusia diberikan akal supaya berfikir, penyelesaian masyarakat
dengan cara yang islami. Hukum Islam juga ditetapkan untuk kesejahtraan ummat,
baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat.14
Fiqh memang tidak menjelaskan mengenai tradisi adat Samondo, tradisi ini hanya
dijelaskan didalam salah satu adat di Indonesia.Meskipun demikian, pada dasarnya
yang sudah memenuhi syarat dapat diterima secara prinsip.15
Masyarakat Muarasipongi ini menyangkut persoalan nasab dan warisan menjadi
sorotan tajam pandangan agama Islam. Meskipun pada dasarnya adat samondo ini
yaitu ‘’ Adat basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah’’ akan tetapi falsafah ini tidak
diterapkan secara seimbang karena pada kenyataannya masyarakat Muarasipongi
lebih dominan kepada adat dari pada syara’ padahal seharusnya falsafah Adat basandi
syara’ dan syara’ basandi kitabullah dipahami sebagai landasan agar adat dipertajam
makna dan fungsinya oleh kuatnya peran syariat. Adat samondo ini seharusnya
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan ajaran agama Islam yang berlandaskan
kepada Alquran dan Hadis Rasulullah SAW, akan tetapi pada kenyatannya adat
Muarasipongi ini lebih banyak berpegang teguh kepada adat.
Apalagi jika dilihat dari kacamata pendidikan agama Islam.Dalam pendididkan
agama Islam khususnya dalam fiqh mawaris yang menjadi modul pembelajaran
perihal adat yang membagi harta warisan kepada anak perempuan lebih besar
daripada anak laki-laki tentu saja menimbulkan ketidak seimbangan antara pandangan
hukum adat dan agama.Hal ini dikarenakan melihat begitu berbedanya sistem
pembagian harta warisan adat di Muarasipongi ini dengan sistem pembagian warisan
menurut ukum Islam.
14
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h.13
15 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 74
49
Urf diakui oleh ulama sebagai salah satu dalil yang dijadikan pertimbangan dalam
menetapkan hukum syarak. Namun, tidak semua urf bisa dijadikan pertimbangan
dalam menetapkan hukum syarak apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai
berikut:
1. Urf bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.
2. Urf berlaku umum dan merata.
3. Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada berlaku pada
saat itu, bukan yang akan muncul kemudian.
4. Urf itu tidak bertantangan dan melalaikan dalil syarak yang ada atau bertantangan
dengan perinsip yang pasti.
Adat Istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat yang merupakan bagian dari budaya
manusia, mempunyai pengaruh didalam penentuan hukum.Tetapi yang perlu dicatat,
bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam
syariat.
Adat istiadat, kebudayaan ataupun tradisi yang kebaikannya Nampak
(mengandung kebaikan) dapat dianggap sebagai hukum agama yang disandingkan
dengan tatanan hukum agama secara menyeluruh, meliputi berbagai bidang kehidupan.
Pada saat itulah tradisi yang baik dianggap sebagai bagian dari agama ketika tidak ada
nas yang berkaitannya dengannya., dan ketika tidak bertentangan dengan nas yang
ada.
Para ulama sepakat bahwa adat istiadat yang baik itu wajib dipelihara dan diikuti
jika menjadi norma kemasyarakatan. Seorang mujtahid wajib menjadikannya sebagai
acuan dalam menggali hukum-hukum syariat..Rasionalitasnya, suatu kebiasaan yang
berlaku secara umum dan konstan disuatu masyarakat telah menjadi suatu kebutuhan
masyarakat primer-elementer.
Tradisi kewarisan adat samondo ini merupakan urf yang fasid, dimana dalam
sistem pembagian kewarisannya bertantangan dengan pembagian kewarisan dalam
hukum Islam.
Dengan demikian tradisi adat samondo ini dalam sistem pembagian kewarisnnya
dimasukkan dalam kategori urf yang fasid, urf yang fasid ini yang telah berjalan dalam
masyarakat, tetapi kebiasaan itu bertantangan dengan hukum Islam.
50
Dalam Al-Quran juga jelas disebutkan bahwa hukum yang berasal dari Allah tidak bisa di
tinggalkan atau d larang.Surat An-Nisa Ayat 13 juga menjelaskan bahwa hukum itu adalah
ketentuan dari Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah SWT:
وزسىله يدخله جىهات تجسي مه تحتها الوهاز خالديه ومه يطع للاه لك الفىش العظيم تلك حدود للاه فيها وذ
Artinya: ‘’(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah kemenangan yang
besar’’.16
16
Al-Quran Surah An-Nisa ayat 13
51
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapatlah
diambil kesimpulan berkenaan dengan rumusan masalah dan tujuan
penelitian skripsi ini. Adapun kesimpulan tersebut:
1. Berdasarkan dari adat samondo ini maka sistem pembagian
kewarisannya lebih dominan kepada perempuan. Perempuan lebih
besar bagiannya dibandingkan dengan laki-laki.
2. Penerapan kewarisan adat dalam kewarisan adat Samondo ini
tercermin dari ketentuan adat yang menetapkan bahwa untuk
membagikan harta warisan pewaris harus dilakukan dengan jalan yang
mengedepankan perdamaian,kekeluargaan dan kerelaan dengan jalan
musyawarah mufakat para ahli waris dan dibagikan oleh seorang
datuk.
3. Analisis‘urf dalam pembagian warisan dalam adat samondo ini yaitu
masuk kedalam ‘urf yang fasid atau ‘urf yang salah, karena sistem
pembagiannya bertentangan dengan hukum Islam dan tidak sesuai
dengan ilmu faraid.
B. SARAN
Berdasarkan pembahasan yang telah tertulis dalam skripsi ini, penulis
ingin menyampaikan beberapa saran sebagai penutup, yakni:
1. Penulis mengharapkan kepada alim ulama/tokoh agama dan
masyarakat yang memahami kewarisan Islam dengan baik, khususnya
dikecamatan Muarasipongi ini untuk menyampaikan dan memberi
pelajaran ilmu agama dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat awam
khususnya ilmu kewarisan agar masyarakat dapat memahami
kewarisan Islam dengan baik.
2. Penulis mengharapkan kepada seluruh lapisan masyarakat
Muarasipongi di kecamatan Muarasipongi ini untuk lebih mendalami
52
ilmu pengetahuan agama, khususnya dalam kewarisan. Karena walau
bagaimana agama haruslah didahulukan dari pada adat istiadat.
53
DAFTAR PUSTAKA
A. Hassan, Al-Fara’id Ilmu Pembagian Waris, Surabaya: Penerbit: Pustaka
Progressif, 1988.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo,2010.
Abdul Ghofur, Anshari, Filsafat Hukum Kewarisan Islam.
Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam.
Abu Bakar Al Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah, Jakarta: Inis 1998.
Suma, Muhammad Amin, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan
Teks&Konteks, Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Arief,Syarifuddin, Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta
Peninggalan, Jakarta: Darunnajah Production House.
Ash-Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi, FiqhMawaris, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2001.
Ash-Shobuni, Muhammad, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam.
Azrial,Yulfian, Budaya Alam Minangkabau, Padang: Angkasa Raya, 2008.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Muarasipongi
Dalam Angka2018, Mandailing Natal: CV Rilis Grafika, 2018.
.Busriyanti, UshulFiqh Metodologi Istinbath Islam, Bengkulu: LP2 STAIN
Curup
Dahlan,Abd. Rahman, Ushu lFiqh, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010.
Dahlan,Abd.Rahman ,Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah,2010.
Djalil,Basiq, Ilmu Ushul Fiqh (satu&dua), Jakarta: Prenada Media Group, 2010.
Effendi,Satria,Zein Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2017.
Firdaus, Usul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif, Depok: PT Grafindo Persada.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010.
Habiburrahman, Rekontrusksi rukun kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kementrian Agama, 2011.
Hadikusuma,Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: PT Citra AditiyaBakti,
2003.
54
Haroen,Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
Hasan, M. Ali, Hukum Warisan Dalam Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996.
Hasan,M.Ali, Hukum Warisan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1973.
Idris, Abdul Fatah, Abu Ahmadi, Fiqh Islam Lengkap, Jakarta: PT Rineka Cipta,
2004.
Jurnal Adat dan Budaya Minangkabau, Edisi Kedua/Vol.2/Maret-Mei/Jakarta:
2004
.
Kamal, Abu Malik bin as-Sayyid Salim, Tuntunan Praktis Hukum Waris Lengkap
Dan Padat Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah Yang Shahih, Bogor:
Pustaka Ibnu ‘Umar, 2010.
Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Khallaf,AbdulWahhab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh,
Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris Terlengkap, Jakarta
Selatan: Senayan Abadi Publishing, 2004.
Kuncoro,Wahyu, WarisPermasalahannya dan Solusinya, jakartaTimur: Raih
Asa Sukses, 2015.
Mawaris Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Moh,Wahibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011.
Mualiadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal,Ulee Kareng Banda aceh:
Lembaga Naskah Aceh, 2015.
Muchcit A. Karim, Pelaksanaan Hukum Waris Di Kalangan Ummat Islam Di
Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
Muhammad, Abu Zuhrah, Hukum Waris Menurut Imam Ja’far Shadiq, Jakarta:PT
Lantera Basritama,2001.
Nugraheni,Destri Budi, Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di
Indonesia, Yogyakarta: GadjahMada University Press, 2014.
Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Quran, Jakarta: Grafindo Persada, 1995.
55
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1995.
Sabiq, Ahmad bin Abdul Latif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami
Figh Islami, Purwodadi Sidayu Gresik: Pustaka Al-Furqon, 2009.
Salihima,Syamsul bahri, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan Dalam
Hukum Islam dan Implementasinya Pada Pengadilan Agama, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015.
Samadi,Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transpormatif,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Soekanto,Soerjono,Hukum Adat Indonesia, Jakata: Rajawali, 2002.
Suharawardi, K Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam Lengkap dan
Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Suharsaputra,Uhar, Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan
Tindakan,Bandung: PT Refika Aditama, 2012.
Sulastri,Dewi, Pengantar Hukum Adat, Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.
Suparman,Eman , Hukum Waris Indonesia Dalam Prespektif Islam, Adat, dan
BW, Bandung: PT RefikaAditama, 2007.
Syarfuddin, Amir, Garis-GarisBesar UshulFiqh, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
Syarifuddin, Amir, Garis-GarisBesarUshulFiqh,Jakarta: KencanaPrenada
Media Group, 2012.
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2011
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan
Adat Minangkabau, Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1982.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh,Jakarta: KencanaPrenada Media Group,2009.
Usman,Suparman ,Ikhtisar Hukum Waris Menurut KitabUndang-Undang
HukumPerdata, Serang: Darul Ulum Press, 1990.
Usman,Suparman, Yusuf Soma Winanata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan
Islam,Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia
Foto saat melaksanakan wawancara di Kecamatan Muarasipongi
Saat melaksanakan wawancara dengan Camat Muarasipomgi
saat melaksanakan wawancara dengan Bapak Burhanuddin Datuk Rimambang Sebagai tokoh adat
Saat melaksanakan wawancara dengan kepala desa Koto Boru
Saat melaksanakan wawancara dengan masyarakat dan ulama Muarasipongi
Kutipan wawancara dengan tokoh adat kecamatan Muarsipongi
Wawancara dengan tokoh adat Kecamatan Muarasipongi
1. Penulis : Bagaimana tatacara perkawinan adat Sumondo?
Narasumber : Tatacara pernikahan sumondo( Suku Ulu) ini yang
artinya si pihak laki-laki menggabungkan diri
kepada pihak perempuan.
2. Penulis : Apakah bapak tau tentang tradisi adat Samondo di
kecamatan Muarasipongi ini?
Narasumber : iya, saya tahu tentang adat sumondo di kecamatan
Muarasipongi ini. Karena saya juga disini sebagai
salah satu Datuk di adat Sumondo ini.
3. Penulis : Apakah manfaat dari adat Samondo ini?
Narasumber :Adapun manfaat dari adat sumondo ini yaitu
berupa besar manfaat- manfaatnya buat anak
perempuan dan orang tua, dimana saat orang tua itu
sudah mulai tua, maka yang mengasuh orang tua
tersebut anak perempuannya, bukan menantu
perempuan dari anak laki-laki.
4. Penulis :Apakah tradisi Adat Samondo ini menjadi suatu
Adat yang harus di patuhi oleh seluruh masyarkat
kecamatan Muarasipongi ini?
Narasumber : Tidak, karena di kelurahan pasar Muarasipongi ini
ada sebagian yang tidak melaksanakan adat
Samodo
5. Penulis : Bagaimana ketentuan adat tentang kewarisan
dalam adat Samondo ini?
Narasumber : Kalau dia pusaka tinggi( harta yang turun temurun)
dari nenek moyang itu tidak bisa di jual dan itu
hanya sifatnya turun temurun, seperti contohnya
rumah gadang.
6. Penulis : Mengapa ketentuan kewarisan adat Samondo tidak
menetapkan besarnya bagian ahli waris sesuai
bagian yang di tetapkan hukum Islam?
Narasumber : Karena pada dasarnya sebelum Islam datang
hukum adat duluan yang udah di terapkan di
kecamatan Muarasipongi ini, maka dari itu bukan
berarti masyarakat mengesampingkan agama Islam.
7. Penulis : Apa saja sanksi yang di berikan jika terjadi
pelanggaran terhadap hukum adat?
Narasumber : Jika seseorang itu melanggar aturan maka semua
hubungan dia dengan adat tidak di masuki kedalam
adat, dan akan di keluarkan dari daerah ini dan tidak
di urusi oleh datuk-datuk yang ada di kecamatan
Muarasipongi ini.
Kutipan Wawancara dengan Kepala Desa Koto Boru
1. Penulis : Apakah bapak mengerti tentang sejarah kewarisan
adat sumondo disini ?
Narasumber : Mengerti, tapi tidak begitu lebih paham karena
karena orang tua terdahulu sudah banyak yang
meninggal dunia atau di sebut dengan datuk yang
paham dengan adat ini, tapi saya juga sedikit paham
kalau adat sumondo ini berasal dari Rao.
2. Penulis : Bagaimana kehidupan keagamaan di desa ini ?
Narasumber : Keagamaan di desa ini menyeimbangkan antara
hukum adat dengan hukum Islam.
3. Penulis : Menurut bapak seberapa kuatkah masyarakat di
desa ini memegang adat istiadat?
Narasumber : Klo di persenkan 90% masyarakat di desa ini
memegang hukum adat tapi hukum Islam juga di
seimbangkan dengan hukum adat.
4. Penulis :Apakah ada hukuman jika tidak membagi
kewarisan tidak berdasarkan adat Samondo?
Narasumber :tidak, karena pembagian warisan itu tergantung
dari keluarga memilih apakah di bagi sesuai hukum
islam atau di bagi dengan melalui datuk di depan
adat.
5. Penulis :Siapa saja yang menjadi ahli waris dalam
kewarisan adat Samondo?
Narasumber : Keturunan dari ibu, karena laki-laki dalam adat
samondo sudah mengerti posisi dia sebagai laki-laki
yang sumondo.
Kutipan Wawancara dengan Tokoh Ulama desa Koto Boru
1. Penulis : Bagaimana kehidupan keagamaan di desa Koto
Boru ini?
Narasumber : Kehidupan keagamaan di desa ini begitu kuat dan
juga masyarakat disini menyeimbangkan anatara
hukum adat dengan hukum Islam.
2. Penulis : Menurut bapak seberapa kuatkah masyarakat di
desa ini memegang adat istiadatnya?
Narasumber : Masyarakat di desa ini begitu kuat memegang
adat, dan kuat juga dengan keagamaan.
3. Penulis : Bagaimana sebenarnya posisi Islam terhadap adat
istiadat?
Narasumber : Posisi Islam di Muarasipongi ini masih bisa di
katakana paling tinggi di banding dengan Hukum
adat, dimana apabila permasalahan ada, maka
hukum Islam yang di lihat dulu baru di lihat hukum
adatnya. Tapi bukan berarti hukum adat juga di
lupakan.
4. Penulis : Apa yang bapak ketahui tentang kewarisan adat
Samondo disini?
Narasumber : Mengenai kewarisan di kecamatan Muarasipongi
ini dan di desa Koto Boru ini khususnya yang
memegang adat sumondo maka kewarisannya
semuanya di ambil dari keturunan dari ibu dan
bukan dari bapak. Apabila ada pusaka tinggi maka
itu akan di turunkan kepada saudara perempuan,
dan apabila ada harta gono gini maka itu lebih
besar kepada perempuan.
5. Penulis : Apakah adat Samondo ini di dalam Islam di
perbolehkan?
Narasumber : Memang kami mengetahui bahwa adat ini tidak di
perbolehkan dalam Islam, tapi karena kami sudah
terlebih dahulu memakai hukum adat dari situ
hukum kewarisannya di pakai, dan apabila ada
masyarakat yang memakai hukum Islam maka itu di
perbolehkan.
6. Penulis : Apakah pedoman masyarakat dalam system
kewarisan adat Samondo ini?
Narasumber : Pedoman masyarakat dalam adat sumondo ini
yaitu memakai hukum adat.
7. Penulis : Bagaimana menurut bapak sebagai masyarakat
Muarasipongi apakah tradisi ini
Perlu dihapus atau tidak?
Narasumber : Tidak perlu, karena hukum adat ini bukan yang
harus di hapuskan, melainkan yang harus di
lestarikan dan di kembangkan, dan apabila terdapat
kesalahanm maka itu bisa di luruskan.
8. Penulis : Bagaimana pandangan Islam mengenai kewarisan
adat Samondo ini?
Narasumber : Pandanga Islam terhadap kewarisan ini memang
jelas-jelas bertantangan dari hukum Islam, tapi
alasan adat sumondo ini masih di pakai karena itu
juga masyarakat memandang bahwa perempuan itu
sebagai rajam dimana harus di muliakan.
Kutipan wawancara dengan masyarakat yang menganut adat Samondo
1. Penulis : Apa yang Ibu ketahui tentang kewarisan adat
Samondo ini?
Narasumber : Yang saya ketahui tentang adat Samondo ini yaitu
berupa pembagian kewarisannya yang berbanding
terbalik dengan adat patrilineal dimana dalam adat
sumondo ini kewarisan ini di berikan kepada pihak
perempuan saja.
2. Penulis : Bagaimana system pembagian kewarisan jika
dalam keluarga istri yang meninggal?
Narasumber : Jika dalam suatu keluarga seorang istri yang
meninggal, maka harta si suami turun kepada anak
perempuannya, dan saudara-saudara perempuannya.
Dan adapun mengenai harta bersama itu di
musyawarahkan mengenai harta nya dan pembagian
kewarisannya, dan itu tetap anak perempuan lebih
tinggi bagiannya di bandingkan dengan anak laki-
laki.
3. Penulis : Bila tidak mempunyai keturunan, diberikan kepada
siapa warisan tersebut?
Narasumber : Jika tidak memepunyai keturnunan maka hartanya
di lihat dulu terlebih dahulu apakah itu harta
pusaka tinggi atau harta gono gini, jika harta
tersebut gono gini maka bisa di bagi oleh keluarga
nya, dan harta pusaka tinggi itu akan kembali
kepada tokoh adat mengenai pembagian atau
penempatan harta pusaka tinggi itu.
4. Penulis :Kapankah dan dimana pembagian harta warisan di
berikan kepada ahli waris?
Narasumber : Pembagian warisan itu setelah si pewaris
meninggal dunia, dan keluarga membagi
warisannya itu di depan datuk atau tokoh adat.
5. Penulis : Apakah dalam pembagian kewarisan mengenal
yang namanya harta bersama?
Narasumber : iya, di dalam adat sumondo ini ada yang namanya
harta bersama dan harta pusaka tinggi.
Kutipan Wawancara dengan Camat Muarasipongi
1. Penulis : Berapa Jumlah desa se Kacamatan Muarasipongi
Ini?
Narasumber : 16 desa.
Penulis :Mengenai batas wilayah kecamatan apa saja yang
dekat dengan kecamatan Muarasipongi ini Utara,
Selatan, Barat, Timur ?
Narasumber : Utara: Kec. Kotanopan, Selatan: Prov. Sumatra
Barat, Kec. Pakantan, Barat: Kec. Kotanopan, T
imur: Prov Sumatra Barat.
2. Penulis : Mengenai Jumlah penduduk, berapa yang lahir
Pada tahun 2019, Pindah, Meninggal, Pendatang,
dan jumlah penduduk se kecamatan Muarasipongi
ini.
Narasumber : Lahir 4 orang, Pindah 0, Meninggal 0, Datang 0,
dan jumlah penduduknya 10486 jiwa. Dalam bidang
pendidikan berapa jumlah sekolah TK, SD, SLTP,
MTS, SLTA, MA, PT?
Narasumber :SD 14, SLTP 3, MTS 1, SLTA 1, MA 1 dan PT 0.
3. Penulis :Dalam bidang ekonomi di Kecamatan Muarsipongi
ini berapa jumlah petani, Pedagang, Buruh.
Narasumber : Ptani 745 orang, Buruh 456 orang, PNS 39 orang.
4. Penulis : Berapa jumlah luas wilayah kecamatan
Muarasipongi?
Narasumber : 13 149 km
5. Penulis : Berapa jumlah penduduk Laki-Laki dan jumlah
Perempuan?
Narasumber : Laki-laki 5214 dan Perempuan 5272 jiwa.
Recommended