View
224
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN KARYA AL-NAWAWI;
TERJEMAHAN AHMAD NAJIH S.
Studi Pemenggalan Kalimat (Pungtuasi)
Skripi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh
Aa Maulana
(1111024000028)
PRODI TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437/2016
i
ii
iii
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab yang kemudian
ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan pedoman
transliterasi Arab-Latin dalam buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2007.
1. Pedoman Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
v
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
‘ عkoma terbalik di atas
hadap kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ھـ
apostrof ‘ ء
y ye ي
2. Vokal
A. Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fat�ah ــــــ
i kasrah ــــــ
u ammah ــــــ
vi
B. Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ـــ ي
au a dan u ـــ و
C. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a dengan topi di atas ــــــا
î i dengan topi di atas ـــــي
u dengan topi di atas ــــــو
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh: al-rijal, al-bait.
4. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda (ـــــ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan menggandakan huruf
yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
vii
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikut oleh huruf-
huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis a - ar rah, demikian
seterusnya.
5. Ta Marb��ah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marb��ah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marb��ah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marb��ah diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No. Kata Arab Alih Aksara
ariqah طریقة 1
al-jâmi’ah al-islamiyyah الجامعة اإلسالمیة 2
wa وحدة الوجود 3 dat al-wujud
6. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam kaidah Ejaan Ynag Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
viii
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: Ab Zakariya al-Nawawi bukan Ab
Zakariya al-Nawawi, al-Imâm bukan Al-Imâm.
Beberapa ketentuan lain dalam kaidah EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengeani huruf cetak miring (italic) atau
cetak tebal (bold). Jika menurut EYD judul buku itu ditulis dengan cetak miring,
maka demikian hanya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab, misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-
Samad al-Palimbani; Nuruddin al-Raniri, tidak N r al-Din al-Râniri.
7. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (�arf)
ditulis secara terpisah. Di bawah ini adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذھب الأستاذ
رجأال تبث tsabata al-ajru
ةیرصعة الكرحلا al- arakah al-‘asriyyah
ا اهللالإ ھلا ال نأ دھشأ asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
ix
ABSTRAK
Aa Maulana. 1111024000028. Kitab Riyâd al-Sâlihîn Karya al-Nawawi; Terjemahan Ahmad Najih S. Studi Pemenggalan Kalimat (Pungtuasi).
Seorang penerjemah tidak hanya dituntut mampu menguasai bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa) atau mampu memilih diksi yang tepat untuk mengalihkan pesan yang terdapat dalam teks sumber (Tsu) ke dalam teks sasaran (Tsa), tetapi ia juga harus memahami kaidah-kaidah pemenggalan kalimat (pungtuasi) atau pemakaian tanda baca sesuai dengan pedoman yang berlaku dalam bahasa sasaran, dalam hal ini pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD) dalam bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hasil terjemahan Ahmad Najih S. dalam kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm Abû Zakaria Yahya al-Nawawi sudah tepat, khususnya dari segi pemenggalan kalimat (pungtuasi). Dan Apakah hasil terjemahannya sudah sesuai dengan tata bahasa Indonesia?
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, menurut peneliti, pemenggalan kalimat (pungtuasi) pada terjemahan Ahmad Najih S. dalam kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm Abû Zakaria Yahya al-Nawawi belum tepat. Namun, apabila ditinjau dari segi tata bahasa Indonesia terjemahan tersebut sudah cukup baik.
x
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi, atas
segala nikmat, dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah sampaikan kepada utusan-Nya, nabi
Muhammad SAW, yang selalu menjadi suri tauladan bagi kita semua.
Saya menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat selesai tanpa
adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui selembar
kertas dan tinta ini saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada semua pihak yang telah membantu penulisan karya ilmiah ini, khususnya
kepada Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag, selaku dekan Fakultas Adab dan Humaniora.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Dr.
Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum, selaku ketua jurusan Tarjamah, dan Ibu Rizqi
Handayani, MA, selaku sekretaris jurusan Tarjamah. Terima kasih juga kepada
Bapak Abdul Wadud Kasyful Anwar, Lc.,MA, selaku dosen pembimbing penulisan
skripsi, yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan referensi serta motivasi,
sehingga karya ini dapat ditulis sebagaimana mestinya.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Darsita S, M.Hum, dan Drs. A.
Syatibi, M.A yang telah menjadi penguji dalam sidang munaqasyah, sudah
meluangkan waktunya untuk mengkaji, mengkritisi dan mengoreksi skripsi ini,
sehingga menjadikan skripsi ini lebih baik lagi. Terima kasih juga kepada seluruh
xi
dosen jurusan Tarjamah atas segala ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan
selama ini, semoga bermanfaat dan menjadi bekal di masa depan.
Penghormatan yang setinggi-tingginya serta salam cinta dan sayang saya
sampaikan kepada dua sosok yang sangat berjasa selama ini, yakni Ayahanda
Ahmadi dan Ibunda Aisah. Terima kasih Ayah dan Ibu, atas doa-doa yang senantiasa
kalian panjatkan, atas dedikasi dan motivasinya selama ini. Terima kasih juga kepada
adik-adik tercinta, yaitu Sahrul Fauzi, Nurmala Sari, dan Indri Widya Sari, yang
sudah membantu dan mendukung penulisan skripsi ini.
Terima kasih kepada teman-teman Tarjamah, khususnya angkatan 2011, yang
telah mewarnai hari-hari semasa kuliah, atas canda tawa serta suka duka yang kalian
berikan. Semoga kita semua dapat meraih cita-cita dan kesuksesan bersama.
Saya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu,
bila ditemukan kesalahan atau kekurangan, harap disampaikan kepada penulis, demi
pengembangan dan pembelajaran diri. Di samping itu saya berharap semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya, dan bagi ilmu pengetahuan dan
ilmu penerjemahan pada umumnya. Terima kasih atas segala perhatian, dukungan,
kritik dan sarannya, semoga apa yang kita lakukan dan korbankan menjadi nilai
ibadah di sisi Allah SWT. Amiin.
Ciputat, 03 Maret 2016
Penulis
xii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN .................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ......................................................................................... x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 7
D. Kajian Pustaka .......................................................................................... 8
E. Metode Penelitian ..................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 11
BAB II KERANGKA TEORI
A. Gambaran Umum Penerjemahan ............................................................... 13
1. Definisi Penerjemahan ......................................................................... 14
2. Proses Penerjemahan ........................................................................... 15
3. Metode Penerjemahan ......................................................................... 17
4. Teori Penerjemahan Hadits .................................................................. 20
B. Gambaran Umum Pungtuasi Bahasa Indonesia .......................................... 23
1. Definisi Pungtuasi ............................................................................... 25
xiii
2. Macam-macam Pungtuasi .................................................................... 25
BAB III BIOGRAFI PENGARANG DAN GAMBARAN UMUM KITAB RIYÂD
AL-SÂLIHÎN
A. Biografi Pengarang dan karyanya .............................................................. 42
B. Gambaran Umum Kitab Riyâd al-Sâlihîn ................................................ 47
BAB IV ANALISIS
A. Pendahuluan ............................................................................................. 48
B. Analisis ..................................................................................................... 48
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 66
B. Saran ......................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 69
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................... 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya terjemahan bukanlah hal yang asing dalam wawasan keilmuan. Banyak
buku yang diterjemahkan demi membuka tabir ilmu pengetahuan, melalui
penerjemahan banyak wawasan keilmiahan yang ditransfer sekaligus menjadi sarana
penghubung.1
Secara luas, penerjemahan dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan manusia
dalam mengalihkan informasi atau pesan, baik verbal maupun nonverbal; dari
informasi asal atau informasi sumber kedalam informasi sasaran. Dalam pengertian
dan cakupan yang lebih sempit, terjemah biasa diartikan sebagai suatu proses
pengalihan pesan yang terdapat dalam teks bahasa pertama atau bahasa sumber (BSu)
dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau bahasa sasaran (Bsa).2
Memahami struktur dan gramatikal bahasa menjadi sangat penting untuk
mempermudah penerjemah dalam memahami dan mengkaji suatu naskah atau teks.
Dengan demikian, kita akan lebih mudah dalam menentukan bagian-bagian
terpenting dalam sebuah kalimat seperti subjek, predikat, objek ataupun keterangan
yang lainnya. Di samping itu, untuk menghasilkan terjemahan yang baik ternyata
1 Widyamartaya A, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta : Kanisius, 1989), h. 9 2 Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan
Sosiolinguistik, (Bandung : Mandar Maju, 1994), h.8
2
tidak cukup dengan memahami makna gramatikal saja, tetapi juga makna leksikal
yang sudah tetntu sangat membantu dalam menerjemahkan.3
Dalam menerjemahkan suatu BSu, seorang penerjemah harus mengalihkan
pesan dengan gaya bahasa yang enak dibaca dan mudah dipahami, sehingga ketika
orang mendengar atau membaca hasil terjemahannya, dia seperti mendengar
pembicaraan atau membaca tulisan aslinya. Karena menerjemahkan bukanlah
memindahkan atau mengganti kata demi kata, melainkan memindahkan konsep,
pengertian dan amanat.
Menerjemahkan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah. Karena kegiatan tersebut tidak hanya membutuhkan
kemahiran dalam berbahasa asing saja, tetapi penerjemah juga harus
mempertimbangkan beberapa batasan, termasuk konteks, aturan tata bahasa, konvensi
penulisan, idiom, serta hal-hal lain yang bersangkutan dengan bahasa sumber (BSu)
dan bahasa sasaran (Bsa). Sehingga ia dapat memilih dari sekian banyak alternatif
padanan terjemahannya.4
Selain itu, guna menjadikan hasil terjemahan yang baik dan mudah dipahami,
penerjemah dituntut juga untuk mampu menerapkan tanda baca atau pungtuasi
dengan tepat sesuai dengan kaidah yang berlaku, dalam hal ini pedoman Ejaan yang
Disempurnakan (EYD).
3 Zuchridin Suryawinata, Translation (Bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan),
(Yogyakarta : Kanisius, 2003), h. 7 4 Suhendra Yusuf, Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan
Sosiolinguistik, h. 8.
3
Kata pungtuasi berasal dari Yunani “punctus” yang berarti “poin”. Pungtuasi
mengarah pada sistem tanda atau poin yang dimasukkan ke dalam teks untuk
memperjelas arti atau tanda perubahan dalam intonasi.
Pungtuasi atau tanda-tanda sebagai hasil usaha menggambarkan unsur-unsur
suprasegmental, itu tidak lain dari gambar-gambar atau tanda yang secara
konvensional disetujui bersama untuk memberi kunci kepada pembaca terhadap apa
yang ingin disampaikan penulis kepada mereka.
Menurut Gorsys Keraf, dewasa ini penggunaan pungtuasi lazim didasarkan
atas nada, dan lagu (suprasegmental), dan sebagian didasarkan atas relasi gramatikal,
frase, dan intel relasi antar bagian kalimat (hubungan sintaksis), yaitu:
1. Unsur-unsur sintaksis yang erat hubungannya tidak boleh dipisah oleh tanda
baca.
2. Unsur-unsur sintaksis yang tidak erat hubungannya harus dipisah dengan
tanda baca.
Berikut adalah beberapa fungsi dan contoh pungtuasi:
1. Menghindari salah baca
Contoh : Dari dalam kelas terdengar beirisik. (tidak jelas)
: Dari dalam, kelas terdengar beirisik. (jelas)
: Dari dalam kelas, terdengar beirisik. (jelas)
2. Memisahkan aposisi dari kata yang diterangkan
Contoh : Kota ini, Bogor, terkenal dengan sebutan kota Hujan.
4
3. Memisahkan ucapan langsung
Contoh : Rasulullah SAW bersabda, “Shalatlah sebagaimana kalian
melihatku shalat”.
4. Memisahkan anak kalimat sederajat
Contoh : Karena lapar; karena tidak ada makanan; mereka menjadi
liar.
Itulah sebagian kecil dari fungsi dan contoh pungtuasi, yang mana akan
dibahas pada bab II secara lebih lengkap. Dan ini adalah salah satu sampel dari buku
terjemahan Riyâd al-Sâlihîn karya Ahmad Najih S.:
قلت یا رسول اهللا إن لي جارین : رضي اهللا عنھا قالت وعن عائشة )رواه البخاري. (منك باباا مفإلى أیھما أھدي؟ قال إلى أقربھ
Dari Aisyah ra. ia berkata: “Saya bertanya: “Ya Rasulullah saw., saya mempunyai dua tetangga, maka kepada tetangga yang mana saya harus memberi sedekah?”. Beliau menjawab: “Kepada tetangga yang pintunya lebih dekat dengan kamu”. (HR. Bukhari.)5
Menurut saya terjemahan hadis di atas masih belum tepat, khususnya dari segi
pemenggalan kalimat (pungtuasi), karena titik dua (:) tidak bisa menjadi tanda
pemisah antara ucapan langsung maupun ucapan tidak langsung dengan kalimat
sebelumnya, harusnya ucapan di atas dipisah dari kalimat sebelumnya dengan
menggunakan tanda baca koma (,). Sebab, bila mengacu pada pedoman Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD), salah satu fungsi tanda koma adalah untuk memisahkan
5 Abû Zakariya Yahya al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n. Penerjemah Ahmad Najih
S., (Surabaya : CV. Karya Utama), h. 130
5
ucapan atau petikan dari kalimat sebelumnya.6 Contoh: Kata Ibu guru, “kerjakan
tugasmu!”
Penerjemah juga tidak tepat dalam memberikan tanda petik (“…”) atau
mengapit petikan yang terdapat dalam petikan lain. Pada Tsa di atas terdapat dua
kutipan, pertama kutipan langsung yang dikutip dari pernyataan Aisyah r.a. dan kedua
kutipan yang dikutip dari pertanyaan Aisyah, yang mana petikan ini terletak dalam
petikan sebelumnya. Pada kutipan pertama, penerjemah sudah tepat dalam mengapit
kutipan tersebut, yakni menggunakan tanda petik. Namun, pada petikan kedua,
penerjemah mengapitnya dengan menggunakan tanda petik lagi. Padahal, harusnya ia
mengapit kutipan tersebut dengan menggunakan tanda petik tunggal (‘…’). Sebab,
kutipan tersebut merupakan kutipan yang berada dalam kutipan sebelumnya. Dalam
EYD dijelaskan salah satu fungsi tanda petik tunggal adalah untuk mengapit petikan
yang tersusun dalam petikan lain.7 Contoh: Abû Bakrah r.a. berkata, “Saya
mendengar rasulullah saw. bersabda, ‘siapa pun yang menghina pemerintah maka
Allah akan menghinakan dirinya.’”
Begitupun dengan kalimat yang dikutip dari jawaban Rasulullah saw.
merupakan kutipan yang terdapat pada kutipan sebelumnya. Karenanya, kutipan
tersebut lebih tepat jika diapit dengan memakai tanda petik tunggal.
6 Tim Redaksi Pustaka Setia (TRPS), Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan
Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Disalin dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 1992), h. 48.
7 , TPRS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah , h. 49.
6
Kemudian pada bagian akhir dari masing-masing kutipan, penerjemah tidak
tepat dalam meletakkan tanda kutip penutup. Harusnya, tanda kutip penutup
mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung. Misal: Kata Ibu, “adikmu
sakit.”
Dengan demikian, menurut saya Tsu di atas akan lebih tepat jika
diterjemahkan seperti berikut.
Aisyah r.a. meriwayatkan, “Saya bertanya, ‘Ya Rasulullah saw., saya
mempunyai dua tetangga, maka tetangga mana yang harus saya sedekahi?’ Beliau
menjawab: ‘Kepada tetangga yang pintunya lebih dekat denganmu.’” (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, tidak semua hasil karya terjemahan dapat kita terima apa
adanya, karena setiap hasil karya terjemahan perlu dianalisis dan dikritisi dengan
mengacu beberapa acuan standar penerjemahan yang mampu menopang diakuinya
mutu karya terjemahan tersebut, dan mengacu pada Ejaan yang Disempurnakan
(EYD) dari tata bahasa sasaran itu sendiri, dalam hal ini bahasa indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis menganggap perlu meneliti
salah satu karya terjemahan yang ada, untuk mengkaji dan mengetahui secara spesifik
apakah penerapan pungtuasi dalam terjemahan kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm
al-Nawawi sudah tepat.
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitan ini lebih terarah, maka dalam meneliti terjemahan Ahmad
Najih S. pada kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi ini, saya hanya akan
menganalisis beberapa hadis yang diambil secara acak (random).
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Ahmad Najih menerapkan pungtuasi dalam terjemahan kitab
Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi?
2. Apakah hasil terjemahannya sudah sesuai dengan struktur tata bahasa bahasa
Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka tujuan umum yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah ingin membuktikan betapa pentingnya pungtuasi dalam
penerjemahan, agar Tsa tersebut nyaman dibaca dan mudah dipahami. Adapun tujuan
khusus dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui apakah penerapan pungtuasi pada terjemahan kitab Riyâd
al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi sudah tepat.
2. Untuk mengetahui apakah hasil terjemahannya sudah sesuai dengan struktur
gramatikal bahasa Indonesia?
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan pada terjemahan buku tersebut.
8
Semoga dengan adanya penelitian ini kita mendapatkan beberapa manfaat, di
antaranya :
1. Dapat mengetahui macam-macam pungtuasi, berikut fungsi dan contohnya.
2. Dapat mengetahui penerapan pungtuasi yang tepat.
3. Dapat mengaplikasikan penerapan pungtuasi yang sesuai dengan pedoman
EYD.
4. Dapat mengetahui kelebihan dan kelemahan pada terjemahan buku tersebut.
D. Kajian Pustaka
Setelah melihat dan menelaah dari berbagai karya ilmiah baik melalui
perpustakaan Adab dan Humaniora atau pun Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, penulis menemukan skripsi yang memiliki kesamaan studi
penelitian, yaitu tentang pemenggalan kalimat (Pungtuasi). Skripsi tersebut berjudul
“Teori Pemenggalan Kalimat (Pungtuasi) dalam Bahasa Indonesia dan Waqaf dalam
al-Quran: Studi Komparatif Terhadap Terjemahan QS. al-Baqarah pada Tafsir al-
Bayân Karya Habsy Assiddiqy” oleh Muhammad Tohadi, mahasiswa Tarjamah,
tahun 2008.
Tohadi membatasi rumusan masalah pada skripsinya dengan membuat
beberapa pertanyaan, yaitu (1) apakah hubungan teori pemenggalan kalimat dalam
bahasa Indonesia dan waqf dalam al-Quran? (2) Bagaimana pengaplikasian kedua
teori tersebut dalam terjemahan al-Quran karya Habsi ash-Shiddiqy? Adapun objek
yang diteliti yaitu QS. al-Baqarah ayat 1-160.
9
Pada penelitian tersebut Tohadi menggunakan metode penelitian kulitatif
yang bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan komparatif atau perbandingan,
untuk mengetahui fungsi dua entitas, membandingkan dan menguraikan relasi dalam
pembentukan kalimat. Kemudian berusaha memberikan pemecahan masalah dengan
cara mengumpulkan data, menyusun dan mngklasifikasikannya, menganalisis serta
menginterpretasikannya.
Dalam sebuah karya, tidak lepas dengan adanya kelebihan maupun
kekurangan. Pada skripsi Tohadi, dalam analisisnya peneliti dapat membandingkan
dan membedakan pemenggalan kalimat dalam bahasa Indonesia dengan waqf dalam
al-Quran. Sayangnya, penelitian tersebut tidak didukung dengan analisis yang detail
dan tidak diikuti dengan rujukan yang lebih ilmiah.
Sedangkan skripsi ini berjudul “Kitab Riyâd al-Sâlihîn Karya al-Nawawi;
Terjemahan Ahmad Najih S.: Studi Pemenggalan Kalimat (Pungtuasi)”. Selain
berbeda dari segi objek penelitian dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini
penulis hanya terfokus pada pemenggalan kalimat dalam bahasa Indonesia saja
(pungtuasi) dalam hal ini terjemahan kitab Riyâd al-Sâlihîn. Dengan tujuan dapat
menganalisis secara lebih detail dan terprinci.
E. Metode Penelitian
a. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab Riyâd al-
Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi yang diterjemahkan oleh Ahmad Najih S. Di antara
10
beberapa kitab hadis karangan al-Nawawi, kitab Riyâd al-Sâlihîn lah yang paling
populer. Karena kitab ini terdiri dari kumpulan hadis sahih dan hasan yang
mengajarkan tentang bagaimana keseharian seorang mu’min yang sesuai dengan
anjuran Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, kitab ini sangat diminati oleh para
pembaca dan menjadi salah satu mata pelajaran di berbagai pondok pesantren.
b. Teknik Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan dengan menginventarisasi teks-teks hadis
berikut terjemahannya yang terdapat dalam kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-
Nawawi dengan cara membuka kitab tersebut secara sembarang, dari setiap halaman
yang dibuka peneliti mengambil satu teks hadis berikut terjemahannya secara acak
(random). Hal itu dilakukan secara berulang-ulang sampai enam kali, sehingga
terkumpullah enam sampel atau data yang menjadi bahan penelitian.
c. Analisis Data
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan dua macam metode:
1. Menggunakan metode kualitatif dengan melakukan pendekatan penilaian
penerjemahan berdasarkan analisis deskriftif. Dalam pembahasannya, penulis
menganalisis data-data yang telah terkumpul sekaligus menggambarkan teori-
teori pemenggalan kalimat (pungtuasi) sesuai dengan pedoman tata bahasa
baku bahasa Indonesia dan pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD).
11
2. Menggunakan metode library research (penelitian / studi kepustakaan), yaitu
dengan mengumpulkan bahan pustaka yang berkaitan dengan kitab Riyâd al-
Sâlihîn, terjemahannya maupun dengan teori-teori pemenggalan kalimat.
Adapun pedoman penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang disusun oleh tim UIN
Syarif Hidayatullah dan diterbitkan oleh Center for Quality Development and
Assurance (CeQDA), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari:
1. Bab I pendahuluan, berisi:
a) Latar belakang masalah,
b) pembatasan dan perumusan masalah,
c) tujuan penelitian,
d) metode penelitian, dan
e) sistematika penulisan.
2. Bab II membahas:
a) Gambaran umum tentang penerjemahan, yang berisi:
1) Definisi penerjemahan,
2) macam-macam penerjemahan,
3) perangkat penerjemahan, dan
12
4) peranan penerjemahan.
b) Gambaran Umum Pungtuasi Bahasa Indonesia, berisi:
1) Definisi pungtuasi dan
2) macam-macam pungtuasi
3. Bab III membahas:
a) biografi pengarang dan
b) gambaran umum kitab Riyâd al-Sâlihîn.
4. Bab IV berupa analisis terhadap terjemahan Ahmad Najih S. pada buku
Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi Abû ZakaRiyâ Yahya.
5. Bab V berupa penutup yang membahas:
a) Kesimpulan dan
b) saran.
13
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Gambaran Umum Penerjemahan
Penerjemahan merupakan salah satu sumber berkembangnya kebudayaan dan
ilmu pengetahuan. Catatan sejarah menegaskan bahwa peradaban Islam pertama-tama
berkembang melalui penerjemahan karya-karya lama Yunani, Persia, India, dan
Mesir dalam bidang ilmu eksakta dan kedokteran. Kegiatan ini dimulai pada masa
kepemerintahan khalifah Abû Ja’far al-Mansûr (137-159 H/754-775 M), seorang
khalifah dari dinasti Abbasiah. Upayanya itu mencapai kegairahan yang menakjubkan
pada masa khalifah al-Ma’mûn sehingga mengantarkan umat Islam ke masa
keemasan.8
Al-Ma’mûn menfokuskan revolusi besar-besaran yang menakjubkan terkait
kitab-kitab peninggalan zaman dahulu. Sehingga, terbentuklah badan penerjemah dan
pensyarah serta para penjual kertas untuk menjaga agar naskah kuno itu tidak sampai
punah dan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ia menentukan penanggung
jawab dalam urusan ini pada setiap bahasa sebagai pengawasan terhadap siapa yang
menerjemahkan naskah-naskah kunonya, memberikan gaji kepada mereka dengan
gaji yang besar. Setiap bulan mereka digaji sebesar 500 dinar, atau setara 2 kilogram
emas.9
8 A.M. Majid, Sejarah Kebudayaan Islam (Bandung : Pustaka, 1997), h. 31 9 Raghib al-sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2011), h. 242.
14
1. Definisi Penerjemahan
Kata penerjemahan merupakan kata turunan dari terjemah, yang berasal dari
bahasa Arab, yakni “tarjama”, yang berarti sebuah kegiatan pengalihan dari satu
bahasa ke bahasa lain. Maka, penerjemahan merupakan kegiatan secara tertulis
mengalihkan pesan dari teks suatu bahasa ke bahasa lain. Dalam hal ini, teks yang
diterjemahkan disebut teks sumber (Tsu) dan bahasanya disebut bahasa sumber
(Bsu), sedangkan teks yang disusun penerjemah disebut teks sasaran (Tsa) dan
bahasanya disebut bahasa sasaran (Bsa).10
Telah banyak definisi yang diberikan oleh para ahli terkait penerjrmahan. Dari
berbagai definisi yang ada, secara umum dapat disimpulkan bahwa penerjemahan
adalah “proses memindahkan makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu
(Bsu) ke dalam bahasa yang lain /bahasa sasaran (Bsa) secara sepadan dan wajar
dalam pengungkapannya sehingga tidak menimbulkan kesalahan persepsi dan kesan
asing dalam menangkap pesan tersebut.”11 Dalam pengertian dan cakupan yang lebih
sempit, terjemah biasa diartikan sebagai suatu proses pengalihan pesan yang terdapat
dalam teks bahasa pertama atau BSu dengan padanannya di dalam bahasa kedua atau
Bsa. 12
10 Beny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006),
h. 23 11 Moch. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer,
(Ciputat : Uin Press, 2014), cet. I, h. 17 12 Suhendra Yususf, Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan
Sosiolinguistik, (Bandung : Mandar Maju, 1994), h.8
15
2. Proses Penerjemahan
Menerjemahkan bukanlah menuliskan pikiran-pikirannya sendiri, betapapun
baiknya. Dan bukan pula menyadur saja, dengan pengertian menyadur sebagai
pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan detail-
detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam
bahasa lain. Selain memahami apa itu menerjemahkan dan apa yang harus dihasilkan
dalam terjemahannya, seorang penerjemah hendaknya mengetahui bahwa kegiatan
menerjemahkan itu kompleks, merupakan suatu proses, terdiri dari serangkaian
kegiatan-unsur sebagai integralnya.13
Proses yang dilalui penerjemah sangat variatif. Hal ini tergantung pada
kualifikasi penerjemah. Langkah yang ditempuh oleh penerjemah yang sudah ahli
lebih singkat dan bersifat otomatis. Proses itu pun tergantung pada jenis nas yang
diterjemahkan, kerumitan nas, dan kedekatan hubungan antara bahasa sumber dan
bahasa penerima. Namun, secara global proses penerjemahan itu terdiri atas dua
tahap, yaitu (a) memahami makna yang terkandung dalam nas sumber dan (b)
mengungkapkan makna tersebut ke dalam nas penerima.14
Dalam resensi Willie Koen, disebutkan bahwa menurut Nida dan Traber
“proses menerjemahkan dapat diringkas sebagai berikut: analysis-transfer-
restructuring. Analisis digunakan untuk mengetahui pesan yang ingin diterjemahkan,
dan memuat analisis gramatikal dan analisis semantik (baik arti referensial maupun
13 Widyamartaya A, Seni Menerjemahkan, h. 14. 14 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung : Humaniora,
2005), cet. I, h. 168
16
arti konotatif). Transfer mempersoalkan “bagaimana hasil analisis tersebut di atas
ditransfer dari bahasa sumber berbahasa terjemahan dengan sedikit pemincangan arti
dan konotasi tetapi dengan kesamaan reaksi seperti pada orang aslinya. Maka di sini
perlu diperingatkan adanya sikap hati-hati jangan-jangan soal-soal pribadi dimasukan.
Dibicarakan pula kerja sama antara penerjemah sendiri, antara mereka dan orang
asing pada tingkat transfer.” Restructuring membicarakan “macam-macam bahasa
atau gaya bahasa, teknik yang dapat dipakai untuk membuat gaya yang diinginkan”.15
Sedangkan menurut Moch. Syarif Hidayatullah, proses penerjemahan
setidaknya melalui sebelas proses, mulai dari struktur luar Bsu hingga menjadi
struktur luar Bsa, dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) struktur luar Bsu berarti masih
berupa teks sumber (Tsu), belum mengalami proses apapun; (2) pemahaman leksikal
Tsu mengharuskan pernerjemah memiliki kepekaan leksikal, sehingga dia bisa
memahami makna kosa kata yang terlihat pada Tsu: (3) pemahaman morfologis Tsu
mengharuskan penerjemah memahami bentuk morfologis kosa kata Tsu, sehingga dia
mengerti perubahan bentuk kosa kata pada Tsu yang berimbas pada perubahan
makna; (4) pemahaman sintaksis Tsu mengharuskan penerjemah memahami pola
kalimat dalam Tsu, yang pada gilirannya mengontraskannya dengan Tsa; (5)
pemahaman semantis Tsu mengharuskan penerjemah memahami pemaknaan yang
berlaku pada Tsu; (6) pemahaman pragmatis Tsu mengharuskan penerjemah
memahami pemahaman yang dikaitkan dengan konteks yang berlaku pada Tsu; (7)
pada struktur batin Tsu dan Tsa terjadi transformasi pada diri penerjemah untuk
15 A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, h. 14.
17
kemudian menyelaraskan pemahaman Tsu kedalam pemadanan Tsa; (8) pemadanan
leksikal Tsa mengharuskan penerjemah memilih padanan yang tepat untuk tiap kata
yang ditemuinya pada Tsu; (9) pemadanan morfologis Tsa mengharuskan penerjemah
memiliki pengetahuan soal pada padanan yang tepat pada suatu kata setelah
mengalami perubahan bentuk; (10) Pemadanan sintaksis Tsa mengharuskan
penerjemah memiliki kepekaan makna pada tiap pola kalimat dalam Tsa, sehingga
dapat memilih padanan yang akurat pada tiap kalimat yang ada di hadapannya; (11)
pemadanan semantis Tsa berhubungan dengan pemadanan sintaksis Tsa; (12)
pemadanan pragmatis Tsa merupakan hasil dari pemahaman kontekstual Tsu,
sehingga penerjemah dapat menerjemahkan dengan tepat kalimat dalam konteks
tertentu, yang tentu saja akan berbeda maknanya, meskipun bentuknya sama; (13)
ramuan dari pemahaman yang kemudian menghasilkan pemadanan itulah yang bisa
melahirkan struktur luar Tsa yang layak dikonsumsi.16
3. Metode Penerjemahan
Metode penerjemahan berarti cara penerjemahan yang digunakan oleh
penerjemah dalam menyampaikan makna Bsu secara keseluruhan ke dalam Bsa. Jika
sebuah nas, misalnya al-Quran, diterjemahkan dengan metode harfiah, maka makna
yang terkandung dalam surah pertama hingga terakhir disampaikan secara harfiah.
Namun, pada kenyataannya sebuah metode tidak dapat digunakan secara
konsisten dari awal hingga akhir. Demikan halnya dengan sebuah metode
16 Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia,
(Pamulang : Dikara, 2009), h. 13.
18
penerjemahan, keragaman yang dihadapi seorang penerjemah menuntutnya untuk
menyelesaikan dengan cara yang bervariasi pula. Karena itu, metode penerjemahan
biasanya digunakan hanya sebagai pendekatan umum atau perinsip pokok dalam
menerjemahkan sebuah teks sumber (Tsu).
Dalam literatur Barat, metode penerjemahan dikaji dan diklasifikasikan secara
lebih rinci. Newmark (1988:45-47) misalnya, memandang bahwa metode
penerjemahan dapat ditilik dari segi penekanannya terhadap Bsu dan Bsa.
penekanannya terhadap Bsu melahirkan metode penerjemahan sebagai berikut.17
a. Penerjemahan Kata Demi Kata
Melalui metode ini penerjemahan dilakukan antarbaris. Terjemahan untuk tiap
kata berada di bawah setiap bahasa sumber. Urutan kata bahasa sumber dijaga dan
dipertahankan. Kata diterjemahkan satu demi satu dengan makna yang paling umum
tanpa mempertimbangkan konteks pemakaiannya. Metode ini digunakan untuk
memahami cara operasi Bsu dan untuk memecahkan kesulitan nas, sebagai tahap
awal kegiatan penerjemahan.
b. Penerjemahan Harfiah
Penerjemahan dilakukan dengan mengkonversi konstruksi gramatika Bsu ke
dalam konstruksi Bsa yang paling dekat. Namun, kata-kata tetap diterjemahkan satu
demi satu tanpa mempertimbangkan konteks pemakaiannya. Metode ini pun
17 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 71.
19
digunakan sebagai tahap awal dari kegiatan penerjemahan untuk memecahkan
kerumitan srtuktur Tsu.
c. Penerjemahan Setia
Metode ini berupaya untuk memproduksi makna kontekstual bahasa sumber
kedalam struktur bahasa penerima secara tepat. Karena itu, kosa kata kebudayaan
ditransfer dan urutan gramatikalnya dipertahankan di dalam terjemahan. Metode ini
berupaya untuk setia sepenuhnya pada tujuan penulis.
d. Penerjemahan Semantis
Dalam metode penerjemahan semantis, nilai estetika nas Bsu
dipertimbangkan, makna diselaraskan guna meraih asonansi, dan dilakukan pula
permainan kata serta pengulangan. Metode ini bersifat fleksibel dan memberi
keluasan kepada penerjemah untuk berkreatifitas dan untuk menggunakan intuisinya.
Adapun penerjemahan yang menekankan Bsa melahirkan jenis-jenis metode sebagai
berikut.18
e. Penerjemahan Adaptasi
Adaptasi merupakan cara penerjemahan nas yang paling bebas dibandingkan
dengan cara penerjemahan lainnya. Metode ini banyak digunakan dalam
menerjemahkan naskah drama dan puisi dengan tetap mempertahankan tema,
karakter, dan alur cerita. Penerjemah pun mengubah kultur Bsu ke dalam Bsa.
18 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 72.
20
f. Penerjemahan Bebas
Penerjemah memproduksi masalah yang dikemukakan dalam Bsu, tanpa
menggunakan cara tertentu. Isi Bsu ditampilkan dalam bentuk Bsa yang benar-benar
berbeda. Metode ini bersifat parafrastik, yaitu menggunakan amanat yang terkandung
dalam Bsu dengan ungkapan penerjemah sendiri di dalam Bsa sehingga terjemahan
menjadi lebih panjang dari pada aslinya.
g. Penerjemahan Idiomatis
Penerjemahan dilakukan dengan memproduksi pesan Bsu, tetapi cendrung
mengubah nuansa makna penerjemah menyajikan kolokasi dan idiom-idiom yang
tidak terdapat dalam Tsu.
h. Penerjemahan Komunikatif
Penerjemahan komunikatif dilakukan dengan mengungkapkan makna
kontekstual Tsu ke dalam Tsa dengan suatu cara sehingga isi dan maknanya mudah
diterima dan dipahami oleh pembaca.
4. Teori Penerjemahan Hadis19
Penerjemahan hadis adalah mengalihkan pesan dari Tsu yang berisi segala
informasi yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa ucapan,
tindakan, karakter, dan ketetapan. Hadis terdiri dari sanad (nama-nama rawi yang
19 Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, h. 55.
21
meriwayatkan hadis) dan matan (redaksi informasi tentang Nabi). Seorang
penerjemah hadis harus mengetahui model periwayatan hadis, seperti berikut:
a. Periwayatan yang mencantumkan sanad dan matan secara lengkap.
b. Periwayatan yang mencantumkan hanya rawi sahabat dan matan
seperlunya.
c. Periwayatan yang hanya mencantumkan matan saja dan nama
kompilatornya di akhir hadis.
d. Periwayatan yang mencantumkan hanya matan.
e. Periwayatan yang mencantumkan hanya matan, tetapi diberikan catatan
kaki terkait informasi hadis itu terdapat pada kitab apa.
Setelah mengetahui kelima model tersebut, ia baru dapat menentukan strategi
penerjemahan apa yang bisa digunakan. untuk model periwayatan hadis jenis
pertama, ia bisa memanfaatkan strategi berikut:
a. Sanad diterjemahkan secara lengkap.
b. Redaksi yang dipergunakan untuk meriwayatkan, seperti أنبأنا, سمعت,
diterjemahkan dengan diriwayatkan (apabila di rawi pertama) atau أخبرنا
diterjemahkan dengan dari (bila selain di rawi pertama).
c. Matan juga diterjemahkan secara lengkap.
d. Nama kompilator (seperti al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i) harus
dicantumkan di akhir matan.
22
e. Kata yang sulit harus dicarikan padanannya dengan melihat syarah hadis
dan kamus khusus kosakata hadis.
Untuk model periwayatan hadis kedua, ia bisa memanfaatkan strategi sebagai
berikut:
a. Nama sahabat dicantumkan sebelum matan.
b. Sekiranya diketahui nama kompilatornya, akan baik juga kalau
dicantumkan.
c. Matan diterjemahkan sesuai konteks.
Untuk model periwayatan hadis ketiga, ia bisa memanfaatkan strategi sebagai
berikut:
a. Nama Kompilator harus dicantumkan di akhir matan dengan teknik yang
lazim digunakan, seperti (HR al-Bukhari)
b. Matan diterjemahkan sesuai konteks.
Untuk model periwayatan hadis keempat, ia bisa memanfaatkan strategi
sebagai berikut:
a. Matan diterjemahkan sesuai konteks.
b. Jika diketahui rawi sahabatnya, akan baik bila dicantumkan.
c. Jika diketahui nama kompilatornya, akan baik jika dicantumkan.
23
Untuk model periwayatan hadis kelima, ia bisa memanfaatkan strategi sebagai
berikut:
a. Matan diterjemahkan sesuai konteks.
b. Informasi terkait hadis yang terdapat di catatan kaki, tetap dicantumkan di
catatan kaki, kecuali nama kompilator hadis yang dicantumkan di teks
atas.
Selain strategi di atas ada teknik umum yang harus pula diketahui oleh
seorang yang hendak menerjemahkan hadis, seperti berikut:
a. Penerjemahan matan sebaiknya tidak ditulis miring. meski demikian, ada
pula penerbit yang menulis miring untuk hadis qauli.
b. Penulisan r.a. (radiyallâh ‘anh) dicantumkan di belakang nama sahabat,
meskipun di Tsu tidak ada.
c. Penerjemahan nama kompilator dituliskan sesuai dengan kelaziman yang
dipakai, seperti (HR al-Bukhari).
B. Gambaran Umum Pungtuasi
Bahasa dalam pengertian sehari-hari adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa
tulis merupakan pencerminan kembali dari bahasa lisan itu dalam bentuk symbol-
simbol tertulis. Dalam percakapan-percakapan secara lisan jelas terdengar bahwa
kata-kata seolah-olah dirangkaikan satu sama lain, serta di sana sini terdengar
24
perhentian sebentar atau agak lama dengan suara menaik atau menurun selai itu
masih terdapat ekspresi-ekspresi muka, berupa menggerak-gerakan alis mata,
menggeleng-geleng atau mengangguk-anggukkan kepala, mengangkat bahu,
mengacungkan tangan, dan sebagainya.
Kata “ya” saja dapat diucapkan sedemikian rupa, untuk menyatakan
persetujuan yang bersemangat, atau bernada kemalu-maluan, kebimbangan atau
sebagai suatu penolakan yang kasar. Banyak sekali warna arti yang dapat diberikan
kepada suatu ucapan dengan perbedaan variasi kecepatan, keras-lembut, dan intonasi
yang berlainan. Semua itu begitu biasa dalam percakapan sehari-hari, sehingga tidak
muncul persoalan bagi pendengar. Setiap orang yang diajak bicara langsung
memahami apa fungsi dari suara naik atau menurun, apa makna dari suara keras atau
lembut.
Tetapi semua ini baru menjadi persoalan bila bahasa lisan itu ditranskripsikan
dalam tulisan. Bagaimana seorang dapat menyatakan nada yang naik atau turun,
bagaimana ia harus melukiskan ujaran-ujaran yang keras, lembut, dan sebagainya?
Oleh karena itu unsur-unsur suprasegmental menjadi penting dalam mengatasi
persoalan-persoalan tersebut. Biasanya unsur-unsur tersebut ditulis melalui tanda-
tanda baca atau pungtuasi.
1. Definisi Pungtuasi
Kata pungtuasi berasal dari kata “punctus” yang berarti “poin”. Pungtuasi
mengarah pada sistem tanda atau poin yang dimasukkan ke dalam teks untuk
25
memperjelas arti atau tanda perubahan dalam intonasi. Pungtuasi yang lazim
digunakan dewasa ini menurut Gorsys keraf didasarkan atas nada dan lagu
(suprasegmental), dan sebagian didasarkan atas relasi gramatikal, frase, dan inter-
relasi antar bagian kalimat (hubungan sintaksis).20
2. Macam-macam Pungtuasi
Berdasarkan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) dalam bahasa Indonesia
pungtuasi atau pemakaian tanda baca terbagi menjadi 15 bagian:21
a. Titik (.)
Tanda ini lazimnya dipakai untuk :
1) Menyatakan akhir dari sebuah tutur atau kalimat.
Misalnya:
Adik pergi ke sekolah.
2) Tanda titik dipakai pada akhir singkatan gelar, jabatan, pangkat dan
singkatan kata atau ungkapan yang sudah lazim. Pada singkatan yang
terdiri dari tiga huruf atau lebih biasanya hanya dipakai satu tanda
titik.
Misalnya:
20 Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Flores: Nusa Indah,
1994), h. 15 21 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 36
26
Dr. (Dokter) a.n. (atas nama)
Ir. (Insinyur) d.a. (dengan alamat)
Kol. (Kolonel) dkk. (dan kawan-kawan)
M.A. (Magister of Arts) Yth. (yang terhormat)
Semua singkatan kata yang menggunakan inisial atau akronim tidak
menggunakan tanda titik, seperti MPR, DPR, ABRI, Hankam, dsb.
3) Tanda titik dipergunakan titik untutk memisahkan angka ribuan,
jutaan, dan seterusnya yang menyatakan jumlah ; juga dipakai untuk
memisahkan angka jam, menit dan detik.
Misalnya:
1.000 pukul 5.45.42
123.000
1.000.000
b. Koma (,)
Koma atau perhentian antara yang menunjukkan suara menaik di tengah-
tengah tutur, biasanya dilambangkan dengan tanda (,). Selain itu, koma juga dipakai
untuk :
27
1) Memisahkan bagian-bagian kalimat, antara kalimat setara yang
menyatakan pertentangan, antara anak kaliamat dengan induk kalimat,
dan antara anak kalimat dengan anak kalimat.
Misalnya:
Ia sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi maksudnya tidak
tercapai.
2) Koma dipergunakan untuk menandakan suatu bentuk parentetis
(keterangan-keterangan tambahan yang biasanya ditempatkan juga
dalam kurung) dan unsur-unsur yang tak restriktif22.
Misalnya:
Anak-anak, yang sudah melaksanakan shalat tarawih itu,
pulang ke rumahnya masing-masing.
3) Tanda koma dipergunakan untuk memisahkan anak kalimat dari induk
kalimat apabila anak kalimat mendahului induk kalimatnya, atau untuk
memisahkan induk kalimat dengan sebuah bagian pengantar yang
terletak sebelum induk kalimat.
Misalnya:
Karena marah, ia meninggalkan kami.
4) Koma dipergunakan untuk menceraikan beberapa kata yang disebut
berturut-turut.
Misalnya:
22 Restriktif yaitu bersifaf restriksi; bersifat membatasi; terbatas. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), h. 1170
28
Ia membeli tiga buah apel, sepuluh jeruk dan setengah kilo
anggur sebagai oleh-oleh untuk anaknya.
5) Tanda koma dipergunakan di belakang kata atau ungkapan transisi
yang terdapat pada awal kalimat, misalnya: jadi, oleh karea itu, lagi
pula, meskipun begitu, akan tetapi, di samping itu.
Misalnya:
Biarpun demikian, pelajar-pelajar yang berkualitas baik tidak
sepenuhnya tertampung dalam universitas-universitas.
6) Koma selalu dipergunakan untuk menghindari salah baca atau keragu-
raguan.
Misalnya:
Di luar rumah kelihatan suram (kurang jelas)
Di luar, rumah kelihatan suram (jelas)
Di luar rumah, kelihatan suram (jelas)
7) Koma dipakai untuk menandakan seseorang yang diajak bicara.
Misalnya:
Saya mendoakanmu, yanto, agar diterima di universitas ini.
8) Koma dipakai untuk memisahkan aposisi dari kata yang
diterangkannya.
Misalnya:
Orang tuanya, Pak Yakub, telah meninggal tadi malam.
9) Koma dipakai untuk memisahkan kata-kata efektif seperti, o, ya, wah,
aduh, kasihan dari bagian kalimat lainnya.
29
Misalnya:
Aduh, betapa sedih nasibnya.
10) Tanda koma dipakai juga untuk memisahkan sebuah ucapan langsung
dari bagian kalimat sebelumnya.
Misalnya:
Kata ibu, “Saya harus bersungguh-sungguh dalam belajar.”
11) Koma dipergunakan untuk beberapa maksud berikut:
a) Memisahkan nama dan alamat, bagian-bagian alamat, tempat
dan tanggal.
Misalnya:
Bila anda ingin bertemu dengan saya, datang ke
Universitas UIN Syarif Hidayatullah, jln. Ir. H. Juanda,
Ciputat, Tangerang Selatan.
b) Menceraikan bagian nama yang dibalikkan.
Misalnya:
Maulana, Aa
c) Memisahkan nama keluarga dari gelar akademik.
Misalnya:
A.K. Pardede, S.S., M.A.
d) Untuk menyatakan angka desimal.
Misalnya:
Tanah ini panjangnya 25,56 m.
30
c. Titik-Koma (;)
Fungsi titik–koma sebenarnya terletak antara titik dan koma. Di satu pihak
orang ingin melanjutkan kalimatnya dengan bagian-bagian kalimat berikutnya, tetapi
di pihak lain dirasakan bahwa bagian kalimat tadi sudah dapat diakhiri dengan sebuah
titik.
Titik-koma dipakai dalam hal-hal berikut:
1) Untuk memisahkan dua bagian kalimat yang sederajat, di mana tidak
dipergunakan kata-kata sambung.
Misalnya:
Ia seorang sarjana yang sangat cerdas; seorang atlit yang
potensial; seorang aktor yang baik.
2) Titik-koma dipergunakan juga untuk memisahkan anak-anak kalimat
yang sederajat.
Misalnya:
Ia mengatakan bahwa ia kecapaian; ia membenci pekerjaan itu:
sebab itu ia ingin segera meninggalkan pekerjaannya.
3) Memisahkan ayat-ayat atau perincian-perincian yag bergantung pada
suatu pasal atau pada suatu induk kalimat.
Misalnya:
Menurut penyelidikan lembaga tersebut, kekurangan yang
menyolok di kalangan mahasiswa, antara lain:
31
1. Pengetahuan umum mereka kebanyakan berada di bawah
taraf;
2. tidak cukup menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris;
3. cara belajar mereka kurang efisien.
Pendeknya, sebagai pedoman dapat diingat bahwa titik-koma merupakan
sebuah perhentian yang lebih lama dari koma. Dengan mempergunakan sebuah titik-
koma, penulis dapat terhindar dari tiga kemungkinan kesalahan:
1) Berhenti secara tiba-tiba pada suatu rangkaian kalimat-kalimat pendek
yang terpisah, yang diakhiri dengan titik biasa;
2) menghilangkan kejemuan (monotoni) dari suatu kalimat yang panjang,
terdiri dari bagian-bagian kalimat atau anan-anak kalimat yang
dirangkaikan begitu saja dengan kata dan atau dengan kata sambung
yang lain;
3) menghindari kekAbû ran dari sebuah kalimat yang berbelit-belit yang
dipisahkan oleh sebuah koma saja.
d. Titik dua
Titik dua biasanya dilambangkan dengan (:). Titik dua dipergunakan dalam
hal-hal berikut:
1) Tandan titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap yang
diikuti rangkaian atau pemerian.
Misalnya:
32
Kita sekarang memerlukan perabot rumah tangga: kursi, meja,
dan lemari.
2) Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan
pemerian.
Misalnya:
Ketua : Ahmad
Sekretaris : Citra
3) Tanda titik dua dapat dipakai dalam naskah drama sesudah kata yang
menunjukan pelaku dalam percakapan.
Misalnya:
Amir : “Amir pamit dulu yaa, Bu.”
Ibu : “Iya. Hati-hati, Nak.”
Amir : “Iya, Bu.”
4) Tanda titik dua dipakai di antara (a) jilid atau nomor dan halaman, (b)
bab dan ayat dalam kitab suci, (c) judul dan anak judul suatu karangan,
serta (d) nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan.
Misalnya:
a) Horison, XLIII, No. 8/2008: 8
b) Surah Yasin: 9
c) Tarjim Al-an: Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia
33
d) Pedoman Umum Pembentukan Istilah Edisi Ketiga. Jakarta:
Pusat Bahasa
e. Tanda Hubung
Tanda hubung di lambangkn dengan tanda (-). Adapun fungsinya yaitu untuk
hal-hal berikut:
1) Untuk menyambung suku-suku kata yang terpisah oleh pergantian
baris.
Misalnya:
Sebagaimana kata pribahasa, tak ada gad-
ing yang tak retak.
2) Untuk menyambung awalan dengan bagian kata yang mengikutinya
atau akhiran dengan bagian kata yang mendahuluinya pada pergantian
baris.
Misalnya:
Kini ada cara yang baru untuk mengukur pa-
nas.
3) Untuk menyambung unsur-unsur kata ulang.
Misalnya:
Anak-anak
Berulang-ulang
4) Untuk menyambung bagian-bagian tanggal dan huruf dalam kata yang
dieja satu-satu.
34
Misalnya:
25-11-2015
C-i-n-t-a
5) Tanda hubung dapat dipakai untuk memperjelas (a) hubungan bagian-
bagian kata atau ungkapan dan (b) penghilangan bagian klausa atau
kelompok kata.
Misalnya:
Ber-evolusi
Tanggung jawab-dan-kesetiakawanan sosial
6) Tanda hubung dipakai untuk merangkai:
a) se- dengan kata berikutnya yang diawali huruf kapital: se-
Indonesia.
b) ke-dengan angka: ke-2.
c) angka dengan –an: tahun 90-an.
d) kata atau imbuhan dengan singkatan berhuruf kapital: hari-H
e) kata ganti yang berbentuk imbuhan:ciptaan-Nya
f) gAbû ngan kata yang merupakan kesatuan: alat pandang-
dengar.
7) Tanda hubung dipakai untuk merangkai unsur bahasa Indonesia
dengan unsur bahasa asing.
Misalnya:
35
di-smash
di-copy
f. Tanda Pisah (--)
1) Tanda pisah dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat
yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat.
Misalnya:
Keberhasilan itu–saya yakin—dapat dicapai kalau kita mau
bekerja keras.
2) Tanda pisah dipakai untuk menegaskan adanya keterangan aposisi atau
keterangan yang lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas.
Misalnya:
Gerakan Pengutamaan Bahasa Indonesia—amanat Sumpah
Pemuda—harus terus ditingkatkan.
3) Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan, tanggal, atau tempat
dengan arti ‘sampai dengan’ atau ‘sampai ke’.
Misalnya:
Tahun 1990—1995
Jakarta—Bogor
Catatan:
36
Tanda pisah tunggal dapat juga digunakan untuk memisahkan keterangan
tambahan pada akhir kalimat.
Misalnya:
Kita memerlukan alat tulis—pena, pensil,dan kertas.
g. Tanda Tanya
1) Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.
Misalnya:
Kapan kamu berangkat?
2) Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian
kalimat yang disangsikan kebenarannya.
Misalnya:
Uangnya sebanyak 10 juta rupiah (?) hilang.
h. Tanda Seru
Tanda seru dipakai untuk mengakhiri ungkapan atau pernyataan yang berupa
seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupau
emosi yang kuat.
Misalnya:
Alangkah indahnya pemandangan ini!
Bersihkan kamarmu sekarang juga!
i. Tanda Elipsis (…)
1) Tanda ellipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus.
Misalnya:
37
Kalau begitu …, marilah kita laksanakan sekarang.
2) Tanda ellipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat
atau naskah ada bagian yang dihilangkan.
Misalnya:
Sebab-sebab kemerosotan … akan diteliti lebih lanjut.
3) Tanda ellipsis pada akhir kalimat tidak diikuti dengan spasi.
Misalnya:
Dalam tulisan, tanda baca harus digunakan dengan cermat…
j. Tanda Petik (“ ”)
1) Tanda petik dipakai untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari
pembicaraan, naskah, atau lahan tertulis lain.
Misalnya:
Pasal 36 UUD 1945 menyatakan, “Bahasa negara adalah
bahasa Indonesia.”
2) Tanda petik dipakai untuk mengapit judul puisi, karangan, atau bab
buku yang dipakai dalam kalimat.
Misalnya:
Sajak “Pahlawanku” terdapat pada halaman 5 buku itu.
3) Tanda petik dipakai untuk mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal
atau kata yang mempunyai arti khusus.
Misalnya:
Pekerjaan itu dilaksanakan dengan cara “coba dan ralat”
saja.
38
Catatan :
a) Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan
langsung.
Misalnya:
Kata Tono, “Saya juga minta satu.”
b) Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di
belakang tanda petik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai
dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian kalimat.
Misalnya:
Bang Komar sering disebut “pahlawan”; Ia sendiri tidak tahu
sebabnya.
c) Tanda petik pembuka dan tanda petik penutup pada pasangan tanda
petik itu ditulis sangat tinggi di sebelah atas baris.
d) Tanda petik dapat digunakan sebagai pengganti idem dan sda (sama
dengan di atas) atau kelompok kata di atasnya dalam penyajian yang
berbentuk daftar.
Misalnya:
Zaman bukan jaman
Asas “ Azas
Jadwal “ Jadual
k. Tanda Petik Tunggal (‘ ’)
39
1) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit petikan yang terdapat di
dalam petikan lain.
Misalnya:
Tanya dia, “Kau dengar bunyi ‘kring-kring’ tadi?”
2) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna kata atau ungkapan.
Misalnya:
Terpandai ‘paling’ pandai
3) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna, kata atau ungkapan
bahasa daerah atau bahasa asing.
Misalnya:
Feed-back ‘balikan’
l. Tanda Kurung (())
1) Tanda kurung dipakai untuk mengapit tambahan keterangan atau
penjelasan.
Misalnya:
Anak itu tidak memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk).
2) Tanda kurung dipakai untuk mengapit keterangan atau penjelasan yang
bukan bagian utama kalimat.
Misalnya:
Sajak Tranggono yang berjudul “Ubud” (nama tempat
yangterkenal di Bali) ditulis pada tahun 1962.
40
3) Tanda kurung dipakai untuk mengapit huruf atau kata yang
kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan.
Misalnya:
Kata Cocaine diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
kokain(a).
4) Tanda kurung dipakai untuk mengapit angka atau huruf yang
memerinci urutan keterangan.
Misalnya:
Faktor produksi menyangkut masalah (a) bahan baku, (b)
biaya produksi, dan (c) tenaga kerja.
m. Tanda Kurung Siku ([])
1) Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit huruf, kata, atau kelompok
kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat
yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan atau
kekurangan itu memang terdapat di dalam naskah asli.
Misanya:
Sang Sapurba men[d]engar bunyi gemercik.
2) Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit keterangan kalimat penjelas
yang sudah bertanda kurung.
Misalnya:
Persamaan kedua proses ini (perbedaannya dibicarakan di
dalam bab 2 [lihat halaman 35-38]) perlu dibentangkan di
sini.
41
n. Tanda Garis Miring (/)
1) Tanda garis miring dipakai di dalam nomor surat, nomor pada alamat,
dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim
atau tahun ajaran.
Misalnya:
No. 7/Pk/2008
2) Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata, atau, tiap, dan
ataupun.
Misalnya:
Dikirim lewat darat/laut ‘Dikirm lewat darat atau lewat
laut’
Catatan:
Tanda garis miring ganda (//) dapat digunakan untuk membatasi penggalan-
penggalan dalam kalimat untuk memudahkan pembacaan naskah.
o. Tanda Penyingkat atau apostrof (‘)
Tanda penyingkat menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka
tahun.
Misalnya:
Dia ‘kan sudah ku surati. (‘kan = bukan)
42
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG DAN
GAMBARAN UMUM KITAB RIYÂD AL-SÂLIHÎN
A. Biografi Pengarang
Nama lengkapnya adalah al-Imâm Abû ZakaRiyâ Yahya bin Syaraf bin
Muriy bin Hasan bin Husain bin Hizam bin Muhammad bin Jam’ah al-Nawawi.23 Dia
dilahirkan oleh kedua orang tua yang saleh pada bulan Muharam di desa Nawa,
sebuah dusun di daerah Haruan, Suria, dari Damaskus sekitar dua hari perjalanan.
Oleh karena itu ia dikenal dengan sebutan al-Nawawi.
Diriwayatkan bahwa al-Nawawi yang terkenal pintar itu, di masa kecilnya
selalu menyendiri. Tidak seperti teman-temannya yang suka menghabiskan waktu
untuk bermain. Dalam kondisi yang demikian al-Nawawi yang dari kecilnya
mendapat perhatian besar dari orang tuanya, banyak menggunakan waktunya untuk
membaca dan mempelajari al-Qur’an.24
Pada suatu hari ada seorang syeikh yang melewati desa itu, yakni syaikh
Yasin bin al-Maraakisyi. Syeikh Yusuf melihat al-Nawawi kecil yang sedang dipaksa
bermain oleh teman-temannya, lalu ia menangis dan pulang. Kemudian syeikh
tersebut menemui kedua orang tuanya dan menyuruhnya untuk menjaga dan
mendidiknya dengan baik. Karena syeikh ini yakin bahwa anak ini akan menjadi
orang yang paling pintar dan zuhud pada masanya, dan bisa memberikan manfaat
23 Al-Imâm al-Nawawi, Riyâd al-Sâlihîn, (Beirut: Manahil al-Irfan, 1395), h. 5.
24 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), cet. ke-1, h. 1315
43
besar kepada umat Islam. Sejak saat itu perhatian orang tua dan guru-guru al-Nawawi
pun menjadi semakin besar.
Semakin bertambahnya usia, bertambah pula keilmuan dan keshalehan al-
Nawawi. Dia terus berusaha agar dapat melakukan yang terbaik untuk menghasilkan
dan mengembangkan ilmu, mengerjakan amal-amal yang shaleh, menyucikan jiwa
dari kotoran hawa, akhlak tercela dan keinginan-keinginan yang tercela. Dia juga
berusaha menguasai hadis beserta apa saja yang berkaitan dengannya, hafal mazhab
dan mempunyai wawasan luas dalam islamologi.25
Al-Imâm al-Nawawi adalah seorang yang zuhud, bertakwa dan berwibawa.
Dia menghabiskan waktunya dalam ketaatan. Jarang tidur malam untuk ibadah dan
menulis. Dia juga selalu menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, dan memberikan
manfaat kepada umat Islam dengan karya-karyanya.26 Bahkan ia sering menegakkan
‘amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa. Karena itu beliau
digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Tetapi ia membenci gelar ini karena
sikap tawadu’nya. Bahkan diriwayatkan bahwa beliau pernah berkata, “Aku tidak
akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”
1. Latar Belakang Pendidikannya
Pada mulanya dia mempelajari ilmu pengetahuan dari ulama-ulama
terkemuka di tempat kelahirannya. Kemudian setelah umurnya menginjak dewasa,
ayahnya merasa tidak cukup kalau anaknya belajar di dusun tempat kelahirannya itu.
25 Ahmad Farid, 60 Biografi ‘Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar , 2005), Cet. ke-1, h.
761. 26 Farid, 60 Biografi ‘Ulama Salaf, h. 757.
44
Maka pada tahun 649 H, bersama ayahnya, al-Nawawi berangkat ke Damaskus. Saat
itu di sana lah tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, dan merupakan tempat
destinasi yang baik untuk orang-orang yang ingin mendalami ilmu-ilmu keislaman.27
Begitu sampai di Damaskus, al-Nawawi langsung berhubungan dengan
seorang alim terkenal, yaitu Syekh Abdul Kafi bin Abdul Malik al-Rabi. Melalui
syeikh tersebut al-Imâm al-Nawawi banyak belajar. Beberapa waktu kemudian, dia
dikirim oleh gurunya itu ke sebuah lembaga pendidikan yang terkenal, yaitu
Madrasah al-Rawahiyyah.28
Di sana beliau belajar di madrasah Dârul Hadis, ia menghabiskan hari-harinya
dengan menuntut ilmu dan beribadah kepada Allah swt. Dikatakan bahwa beliau
menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Dengan ketekunannya beliau mampu
menguasai berbagai bidang ilmu dan menghafal berbagai matan dan syarah. Hal itu
lah yang menjadikan beliau lebih menonjol dari teman-teman seangkatannya. Dan
membuat gurunya, Abi Ibrahim Ishaq bin Ahamd al-Maghribi tertarik untuk
menjadikan al-Nawawi sebagai asisten dalam pelajarannya.
Banyak ilmu keislaman yang dikuasai oleh al-Imâm al-Nawawi. Dalam
bidang fiqih dia belajar dari ulama-ulama terkemuka dari Mazhab Syafi’i. Oleh sebab
itu, al-Imâm al-Nawawi dikenal sebagai seorang pembela Mazhab Syafi’i.29
Di antara guru-gurunya dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih adalah Abdul Fatah
Umar bin Bandar bin Umar al-Taflisi, Syekh Abû Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin
27 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, h. 735-736. 28 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, h. 736. 29 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam di Indonesia, h. 736.
45
Usman al-Maghribi, Syamsuddin Abd al-Rahman bin Nuh al-Maqdasy, Syekh Abû
Hasan Sallar bin al-Hasan al-Dimasyqi.30
Adapun guru-gurunya dalam bidang ilmu hadis adalah Ibrahim bin Isa al-
Muradi al-Andalusi al-Mashri al-Dimasyqi, Abû Ishaq Ibrahim bin Abi Hafsh Umar
bin Mudhar al-Wasithi, Zainuddin Abû al-Baqa’ Khâlid bin Yusûf bin Sa’ad al-Rida
bin al-Burhân dan ‘Abd al-Aziz bin Muhammad bin ‘Abd al-Muhsin al-Ansari.
Kemudian guru-gurunya dalam bidang Nahwu dan Lughah adalah Malik dan al-Fakhr
al-Maliki.31
Pada tahun 651 ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, dan menetap di
Madinah selama satu setengan bulan lalu kembali ke Damaskus. Pada tahun 665 H ia
mengajar di madrasah Dâr al-Hadîts al-Asyrafiyyah. Di antara murid-muridnya
adalah: Ibnu al-‘Aththar al-Syafi’iy, Abû al-Hajjaj al-Mizziy, Ibn al-Naqib asy-
Syafi’iy, Abû al-Abbas al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abd al-Hâdi, al-Khatib Sadar Sulaiman
al-Ja’fari, Syeikh Abû al-din Ahmad bin Ja’wan, Syeikh Abû al-din al-Arbadi dan
Ibnu Abi al-Fath.32
Pada tanggal 24 Rajab 676 H, al-Imâm al-Nawawi wafat pada usia 45 tahun di
desa Nawa. Beliau tidak meninggalkan keturunan karena beliau tidak berkeluarga.33
Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat yang luas dan segala ilmunya
bermanfaat. Amin.
30 Ibnu Qadi al-Syuhba al-Dimasyqi, Thabaqât Al-Syafi’iyah, (India: The Da’iratul
Ma’arifil Osmania, 1979), h. 197. 31 Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi ‘Ulama Salaf, h. 773. 32 Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996), Cet. ke-1, h. 1315. 33 Dewan Redaksi Depag RI, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV. Anda Utama,
1993), h. 846.
46
2. Karya-karya al-Imâm al-Nawawi
Al-Imâm al-Nawawi, selain dikenal sebagai seorang ulama yang zuhud, ia
pun dikenal sebagai seorang pengarang yang handal. Sejak usia 25 tahun dia banyak
menulis karya-karya ilmiah, di antaranya:
a. Kitab-kitab hadis dan ilmu hadis;
1) Kitab Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi,
2) kitab Riyâd al-Sâlihîn,
3) kitab al-Arba’in al-Nawawiyah,
4) kitab ‘Ulûm al-Hadîts,
5) kitab al-Irsyâd fî al-‘Ulûm al-Hadîts,
6) kitab Khulasah fî al-Hadîts,
7) dan lain-lain.
b. Kitab-kitab fiqih;
1) Kitab al-Majmu’,
2) kitab Raudat al- âlibîn,
3) kitab Minhâj
4) kitab al-Fatwa, yang kemudian dikenal dengan Masail al-Mansûrah,
5) kitab al-Idah fî al-Manâsik,
6) kitab al-Tahqîq, dan
7) kitab Hasiyah.
c. Kitab yang berisi tentang biografi, yakni kitab Tabaqât al-Fuqaha.
47
d. Kitab yang berisi tentang bahasa;
1) kitab Tahzîb al-Asma’ wa al-Lughah, dan
2) kitab Tahrîr al-Faz al-Tanbîh.
e. kitab yang berisi tentang pendidikan dan etika;
1) Kitab Adab Hamalah al-Qurân, dan
2) kitab Bustân al-‘Ârifîn.
B. Gambaran Umum Kitab Riyâd al-Sâlihîn
Ada beberapa kitab karangan al-Imâm al-Nawawi dalam bidang hadis. Akan
tetapi, kitab Riyâd al-Sâlihîn lah yang paling populer di antara karya-karyanya. Kitab
ini menjelaskan tentang bagaimana keseharian seorang mu’min yang sesuai dengan
anjuran Nabi Muhammad saw. Kitab ini terdiri dari 2 jilid, yang masing-masing jilid
mencakup banyak bab. Pada jilid yang pertama terdapat 129 bab. Sedangkan pada
jilid kedua terdapat 243 bab. Pada awal bab biasanya dicantumkan ayat-ayat suci al-
Quran yang berkaitan dengan masing-masing bab, yang kemudian diikuti oleh hadis-
hadis Nabi Muhammad SAW. Ini menunjukkan bahwa setiap apa yang dilakukan
oleh Rasulullah saw. sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Pada
kitab ini, dicantumkan pula nama-nama perawi dari masing-masing hadisnya.
48
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Pendahuluan
Pada bab ini saya akan menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan
selama beberapa bulan terakhir, yakni menganalisis tentang kualitas terjemahan kitab
Riyâd al-Sâlih n yang diterjemahkan oleh Ahmad Najih S. khususnya dari segi
ketepatan penerjemah dalam penerapan tanda baca atau pungtuasi. Karena
keterbatasan waktu, penulis tidak meneliti secara keseluruhan, di sini saya hanya
mengambil beberapa hadis yang akan dijadikan sebagai sampel untuk dianlisis.
B. Analisis
Berikut ini adalah beberapa sampel yang diambil secara acak (random):
1. Data I : Bab Tentang Zuhud dan Dorongan Agar Tidak Rakus Serta
Keutamaan Miskin (Hadis ke-11)
قال قال رسول اهللا صلى اهللا علیھ وعن أبي ھریرة رضي اهللا عنھفھو أنظروا إلى من أسفل منكم ولا تنظروا إلى من ھو فوقكم: وسلم
.وھذا لفظ مسلم. متفق علیھ. أجدر أن لا تزدروا نعمة اهللا علیكمDari Abû Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda : “Pandanglah orang yang berada di bawahmu, dan janganlah kamu memandang orang yang di atasmu karena yang demikian itu lebih tepat agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kamu semua”. (HR. Muslim).34
34 Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h.185
49
Menurut penulis, terjemahan tersebut masih belum tepat, khususnya dari segi
pemenggalan kalimat (pungtuasi) atau pemakaian tanda baca. Pada terjemahan
tersebut, penerjemah kurang tepat dalam memberikan tanda petik (“…”) atau
mengapit kutipan, baik itu kutipan langsung maupun kutipan yang terdapat dalam
kutipan lain. Pada Tsa di atas terdapat dua kutipan, pertama kutipan langsung yang
bersumber dari Abû Hurairah r.a. dan kedua kutipan yang berasal dari Rasulullah
saw., yang mana kutipan ini terletak dalam kutipan sebelumnya. Harusnya tanda petik
diapitkan pada kutipan pertama, bukan pada kutipan yang terdapat dalam kutipan
sebelumnya. Sebab, bila mengacu pada pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD),
salah satu penggunaan tanda petik adalah untuk mengapit kutipan langsung yang
berasal dari pembicaraan, naskah atau bahan tertulis lain.35 Contoh: Ibuku berkata,
“Kamu harus rajin belajar!”
Sedangkan untuk mengapit kutipan yang terdapat dalam kutipan lain,
penerjemah dapat menggunakan tanda petik tunggal (‘…’).36 Misal, Abû Bakrah r.a.
berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa pun yang menghina
pemerintah maka Allah akan menghinakan dirinya.’” Sebab selain digunakan untuk
menunjukkan makna, tanda petik tunggal dapat digunakan juga untuk mengapit
petikan yang terdapat dalam petikan lain.
Kemudian penerjemah lebih memilih tanda baca titik dua (:) untuk
memisahkan ucapan atau kutipan dari kalimat sebelumnya, yang mana seharusnya
35 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 48 36 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 49
50
ucapan dipisah dari kalimat sebelumnya dengan menggunakan tanda baca koma (,).
Karena salah satu fungsi tanda koma yaitu untuk memisahkan petikan langsung dari
bagian lain dalam kalimat.37
Pada akhir kalimat, penerjemah tidak tepat dalam meletakkan tanda petik
penutup (”). Seharusnya tanda tersebut diletakkan setelah tanda titik (.), akan tetapi ia
malah meletakkannya sebelum titik. Dalam EYD dijelaskan bahwa tanda petik
penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung.38
Berdasarkan hasil analisis di atas maka Tsu di atas akan lebih baik jika
diterjemahkan seperti berikut.
Abû Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Pandanglah orang yang (statusnya) berada di bawah kalian, jangan memandang
mereka yang berada di atas kalian karena yang demikian itu lebih baik, agar kalian
tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian.’” (HR. al-
Bukhari dan Muslim).
Kata “dari” pada terjemahan di atas sengaja dihilangkan, karena partikel " عن"
pada Tsu di atas sebaiknya tidak perlu diterjemahkan. Apabila kalimat وعن أبي... ھریرة قال pada Tsu di atas diterjemahkan dengan Dari Abû Hurairah ra. ia
berkata ... akan terlihat rancu dan tidak sesuai dengan struktur tata bahasa Indonesia.
37 Abd. Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 2011),
cet. ke-3, h. 77. 38 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 49.
51
Sebab, seorang penerjemah dituntut sekreatif mungkin dapat menghasilkan
terjemahan yang yang indah dan mudah dipahami.
Kemudian pada kalimat pandanglah orang yang berada di bawahmu ...
ditambahkan keterangan untuk memperjelas dan menghindari salah paham. Pada
konteks hadis di atas, Nabi menyuruh kita untuk melihat orang yang status sosialnya
berada di bawah kita, bukan menyuruh untuk melihat orang yang posisinya berada di
bawah kita.
2. Data II : Bab Tentang Sabar dan Bersikap Ramah Tamah/Lemah Lembut
(Hadis ke-5)
بي في المسجد فقام ابال أعر: وعن أبي ھریرة رضي اهللا عنھ قال دعوه وأریقوا : فقال النبي صلى اهللا علیھ وسلم , الناس إلیھ لیقعوا فیھ
فإنما بعثتم میسرین ولم , أو ذنوبا من ماء, على بولھ سجلا من ماء .رواه البخاري. تبعثوا معسرین
Dari Abû Hurairah ra. ia berkata: “Ada seorang Badui sedang kencing di dalam masjid lalu orang-orang bangkit untuk memukulnya, maka Nabi saw. lalu bersabda: “biarkanlah dia dan tuangkanlah setimba air pada kencingnya itu. Sesungguhnya aku diutus kepada kamu semua adalah untuk mempermudah dan bukan untuk mempersulit kamu semua”. (HR. Bukhari).39
Pada terjemahan di atas, kasusnya hampir sama, yaitu penerjemah lebih
memilih tanda baca titik dua (:) untuk memisahkan ucapan atau kutipan dari kalimat
sebelumnya, yang mana seharusnya petikan dipisah dari kalimat sebelumnya dengan
39 Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h. 236.
52
menggunakan tanda baca koma (,). Karena salah satu fungsi tanda koma yaitu untuk
memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.40
Kemudian pada kutipan pertama, penerjemah sudah tepat dalam mengapit
kutipan tersebut, yakni menggunakan tanda petik (“...”). Namun, pada kutipan kedua
ia tetap menggunakan tanda petik, padahal kutipan tersebut merupakan kutipan yang
terdapat dalam kutipan sebelumnya, yang mana seharusnya kutipan tersebut diapit
dengan tanda petik tunggal. Sebab, berdasarkan pedoman EYD apabila terdapat
petikan yang berada dalam petikan lain maka harus diapit menggunakan tanda petik
tunggal (‘...’).41
Sama halnya seperti kasus pada terjemahan data I, yakni penerjemah tidak
tepat dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti
tanda baca yang mengakhiri petikan langsung,42 akan tetapi ia malah meletakkannya
sebelum titik.
Dengan demikian, menurut saya Tsu di atas akan lebih tepat jika
diterjemahkan seperti berikut ini:
Abû Hurairah r.a. bercerita, “Ada seorang Arab Badui kencing di dalam
masjid, lalu para sahabat bangkit ingin memukulnya, namun Nabi saw. melarangnya,
‘Biarkanlah ia dan siramlah bekas air kencing itu dengan seember air. Sesungguhnya
kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit.’” (HR. al-Bukhari).
40 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 40. 41 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 49. 42 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 83.
53
Kata قال tidak selamanya harus diterjemahkan dengan berkata, penerjemah
harus menyesuaikan dengan konteks dan isi perkataannya. Kata قال dapat
diterjemahkan bertanya bila perkataannya berupa kalimat interogatif; dapat juga
diterjemahkan menyuruh atau melarang bila perkataannya berupa kalimat imperatif;
dan sebagainya. Karena ucapan Abû Hurairah r.a. berisi cerita, maka saya memilih
menerjemahkan kata قال dengan kata bercerita.
Lalu pada kata بعثتم, menurut saya kata tersebut kurang tepat jika
diterjemahkan dengan aku diutus karena kata بعثتم merupakan verba perfektif (fi’l
mâdî) yang diikuti sufiks pronomina persona kedua kategori jamak (أنتم) bukan
pronomina persona pertama (أنا). Oleh karena itu, kata بعثتم akan lebih tepat jika
diterjemahkan dengan kalian diutus. Dalam konteks ini, maksud dari kata بعثتم pada
hadis di atas yaitu, Nabi Muhammad saw. hanya sebagai penyampai wahyu dan
perintah Allah swt. yang harus diteruskan oleh umatnya.
3. Data III : Bab Tentang Marah Ketika Hukum Allah Dilanggar dan
Membela Agama Allah (Hadis Pertama)
جاء : وعن أبي مسعود عقبة بن عمرو البدري رضي اهللا عنھ قالعن صلاة م فقال إني لأتأخرى اهللا علیھ وسللرجل إلى رسول اهللا ص
ى اهللا علیھ رأیت النبي صلفما , الصبح من أجل فلان مما یطیل بناالناس یاأیھا : فقال, مما غضب یومئذ ب في موعظة قط أشدوسلم غض
فأیكم أم الناس فلیوجز فإن من ورائھ الكبیر, ینرإن منكم منف .متفق علیھ, ر وذا الحاجةوالصغی
Dari. Abû Mas’ud Ukbah bin Amr Al Badri ra. ia berkata : “Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata: “Saya terpaksa mundur dari
54
shalat jamaah subuh sebab si Fulan memanjangkan bacaan shalatnya bersama kami”. Ukbah berkata : “Saya tidak pernah melihat Nabi saw. marah saat memberi nasehat melebihi marahya waktu itu, dimana beliau bersabda: “Hai Manusia, masih ada juga diantara kamu semua, orang yang membuat orang jauh, maka barangsiapa di antara kamu menjadi imam maka persingkatlah bacaannya, sebab di belakangnya ada orang yang sudah tua, ada orang yang lemah dan ada juga yang mempunyai keperluan lain”. (HR. Bukhari dan Muslim).43
Kasus pada terjemahan di atas, ditemukannya tanda baca titik setelah kata
pertama, tetapi saya yakin kalau itu hanyalah kesalahan redaksi saja. Kemudian sama
seperti pada kasus-kasus sebelumnya, yakni penerjemah menggunakan tanda titik dua
untuk memisahkan petikan langsung dari kalimat sebelumnya, yang mana seharusnya
dua kalimat tersebut dipisah dengan menggunakan tanda baca koma. Dalam EYD
dijelaskan macam-macam fungsi tanda koma, salah satunya yaitu untuk memisahkan
petikan dari kalimat sebelumnya.44
Pada terjemahan tersebut, penerjemah juga tidak tepat dalam memberikan
tanda petik atau mengapit petikan. Pada Tsa di atas terdapat dua petikan, pertama
petikan langsung yang bersumber dari Abû Mas’ûd Uqbah r.a. dan kedua petikan
yang berasal dari seorang laki-laki, yang mana petikan ini terletak dalam petikan
sebelumnya. Harusnya tanda petik diapitkan pada kutipan pertama saja, sedangkan
untuk mengapit kutipan yang terdapat dalam kutipan, penerjemah dapat
menggunakan tanda petik tunggal. Sebab, dalam EYD dijelaskan, salah satu fungsi
43 Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h. 240. 44 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 40.
55
tanda petik adalah untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan,
naskah atau bahan tertulis lain.45
Kemudian pada kalimat ... orang yang membuat orang jauh, Maka ...,
penerjemah lebih memilih tanda koma untuk memisahkan kalimat tersebut dengan
kalimat sesudahnya. Padahal menurut saya kalimat tersebut lebih tepat jika diakhiri
dengan tanda titik karena di dalamnya sudah terpenuhi syarat-syarat sebuah kalimat,
yakni ada subjek, predikat dan objek.
Pada kalimat Maka barangsiapa diantara kamu menjadi imam maka
persingkatlah bacaannya, sebab di belakangnya ada orang ... Penerjemah
memberikan tanda koma untuk memisahkan induk kalimat dari anak kalimat,
meskipun anak kalimat itu mengiringi induk kalimat. Seharusnya, untuk memisahkan
anak kalimat dari induk kalimat, tanda koma dapat dipakai jika anak kalimat
mendahului induk kalimat.46 Contoh: Karena sakit, ia tidak kuliah.
Sama halnya seperti kasus pada terjemahan data I, yakni penerjemah tidak
tepat dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti
tanda baca yang mengakhiri petikan langsung,47 akan tetapi ia malah meletakkannya
sebelum titik.
Dengan demikian, Tsu di atas menurut saya akan lebih tepat jika
diterjemahkan seperti berikut.
45 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 82. 46 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 77. 47 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 49.
56
Abû Mas’ûd Ukbah bin Amr al-Badri r.a. bercerita, “Ada seorang laki-laki
datang kepada Nabi saw., lalu berkata, ‘Saya sengaja terlambat datang shalat subuh
berjamaah sebab si Fulan (imam) memanjangkan bacaan shalatnya.’ Saya belum
pernah melihat Nabi saw. marah saat memberi nasehat melebihi marahya waktu itu,
di mana beliau bersabda, ‘Hai para sahabat, ternyata masih ada di antara kalian
yang suka membuat orang benci. Siapa pun di antara kalian yang menjadi imam,
persingkatlah bacaan shalatnya karena di belakang ada orang yang sudah tua, ada
anak kecil dan ada juga yang mempunyai keperluan lain,’” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Menurut saya kalimat عن صلاة الصبح إني لأتأخر kurang tepat jika
diterjemahkan saya terpaksa mundur dari shalat jamaah subuh karena kata تأخر aritnya buka mundur, tapi terlambat; tertinggal; memperlambat; atau tertunda.48 Saya
lebih memilih menerjemahkannya dengan sengaja terlambat karena dianggap lebih
sesuai dengan konteks hadis tersebut.
Kemudian pada kata منفرین, dalam kamus al-‘Asriy artinya yang menjijikan;
yang memuakkan.49 Namun, jika mengacu pada konteks hadis tersebut, menurut saya
kata منفرین lebih tepat jika diterjemahkan dengan kata membuat orang benci, karena
sebagaimana kita ketahui, Nabi Muhammad terkenal dengan kelemahlembutannya.
Jadi, semarah-marahnya Nabi, ia tidak mungkin mengeluarkan kata-kata kasar, apa
lagi kepada para sahabatnya sendiri.
48 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, al-‘Asriy: Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi
Karya Grafika), cet. ke-9, h. 383. 49 Ali dan Ahmad, al-‘Asriy: Arab-Indonesia, h. 1844.
57
4. Bab Tentang Larangan Meminta Jabatan Kecuali Ditunjuk Sendiri atau
Dalam Keadaan Terpaksa (Hadis ke-3)
قال قلت یا رسول اهللا ألا تستعملني؟ رضي اهللا عنھ أبي ذر وعنوإنھا أمانة , یا أبا ذر إنك ضعیف: فضرب بیده على منكبي ثم قال
ى الذي علیھ دا وأمن أخذھا بحقھوإنھا یوم القیامة خزي وندامة إلا . رواه مسلم. فیھا
Dari Abû Dzarr ra. ia berkata: “Saya bertanaya: “Ya Rasulullah saw., mengapa engkau tidak memberi jabatan kepadaku ?”. Maka beliau menepuk bahuku sambil bersabda: “Hai Abû Dzarr, engkau adalah seorang yag lemah dan jabatan itu merupakan amanat yang besok di hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan kecuali pejabat yang dapat memanfaatkan haknya dan dapat menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya”. (HR. Bukhari).50
Kasus pada Tsa di atas sama seperti pada kasus data I,II dan III, yakni
penerjemah tidak tepat dalam memberikan tanda petik (“…”) atau mengapit petikan.
Pada terjemahan tersebut terdapat dua petikan. Pertama, petikan langsung yang
bersumber dari Abû Dzarr dan kedua, petikan yang berasal dari Rasulullah saw.,
yang mana petikan ini terletak dalam petikan sebelumnya. Harusnya tanda petik
diapitkan pada kutipan pertama saja, sedangkan untuk mengapit kutipan yang
terdapat dalam kutipan, penerjemah dapat menggunakan tanda petik tunggal (‘…’).
Sebab, dalam EYD dijelaskan, salah satu fungsi tanda petik adalah untuk mengapit
petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, naskah atau bahan tertulis lain.51
50 Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlih n, h. 249. 51 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 48
58
Selain tidak tepat dalam mengapit petikan, penerjemah juga tidak tepat dalam
memisahkan kutipan dari kalimat sebelumnya, yanki ia memisah dua kalimat tersebut
dengan menggunakan tanda titik dua, padahal seharusnya dipisah dengan
menggunakan tanda koma.
Kemudian pada bagian “Ya Rasulullah saw., mengapa engkau tidak memberi
jabatan kepadaku ?”. Maka beliau menepuk bahuku sambil menjaab, …, jika kita
cermati pada tanda baca yang telah digaribawahi di atas, selain tidak tepat dalam
meletakkan tanda Tanya (?), yakni memisah tanda tanya dari kalimat sebelumnya
dengan spasi, penerjemah juga membubuhi kalimat tersebut dengan tanda titik yang
mana sebenarnya telah diakhiri dengan tanda tanya. Mestinya, jika kalimat tersebut
merupakan kalimat interogatif, maka pada akhir kalimat cukup diakhiri dengan tanda
tanya saja.52
Lalu pada bagian sabda Rasulullah saw., “Hai Abû Dzarr, engkau adalah
seorang yang lemah dan jabatan itu merupakan amanat ..., penerjemah tidak
membubuhi tanda koma untuk memisahkan dua kalimat setara yang saling
bertentangan di atas. Menurut Rasulullah saw. Abû Dzarr seorsng yang lemah,
sedangkan jabatan merupakan amanat yang pada hari Kiamat akan diminta
pertanggungjawabannya. Sebab, salah satu fungsi tanda koma yaitu untuk
memisahkan bagian-bagian kalimat, antara kalimat setara yang menyatakan
pertentangan, antara anak kaliamat dengan induk kalimat, dan antara anak kalimat
52 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 46.
59
dengan anak kalimat.53 Karenanya, dua kalimat di atas akan lebih tepat jika dipisah
dengan tanda koma.
Sama halnya seperti kasus pada terjemahan data I, II, III, yakni penerjemah
tidak tepat dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut
mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung,54 akan tetapi ia malah
meletakkannya sebelum titik.
Berdasarkan hasil analisis di atas maka menurut saya, Tsu di atas akan lebih
baik jika diterjemahkan seperti berikut.
Abû Dzarr r.a. bertanya, “Ya Rasulullah saw., mengapa engkau tidak
memberikan jabatan kepadaku? Lalu beliau menepuk bahuku sambil menjawab,
‘Abû Dzarr, engkau adalah seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu merupakan
amanat yang pada hari Kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan,
kecuali pejabat yang dapat Melaksanakan tugas dan menunaikan kewajiban dengan
sebaik-baiknya,’” (HR. Bukhari).
5. Bab Tentang Memohon Izin dan Sopan Santun (Hadis ke-3)
حدثنا رجل من بني عامر أنھ استأذن على : وعن ربعي بن حراش قالأألج؟ فقال رسول اهللا : فقال ,النبي صلى اهللا علیھ وسلم وھو في بیت
: ل لھ فق, أخرج إلى ھذا فعلمھ الاستئذان, صلى اهللا علیھ وسلم لخادمھ
53 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 76. 54 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, h. 83.
60
أذن ل السلام علیكم أأدخل؟ فاالسلام علیكم أأدخل؟ فسمعھ الرجل فق قل .رواه أبو داود. لھ النبي صلى اهللا علیھ وسلم فدخل
Dari Rib’i bin Hirasy ia berkata: “Seorang laki-laki dari Bani Amir bercerita kepada kami tatkala ia memohon izin untuk masuk rumah Nabi saw. yang mana saat itu beliau berada dalam rumah. Laki-laki itu berkata: “Apakah saya boleh masuk ?”. Lalu beliau bersabda kepada pelayannya: “Keluarlah dan ajarkan kepada laki-laki itu tentang cara mohon izin, dan katakan kepadanya: “Ucapkan ASSALAMU ‘ALAIKUM, apakah saya boleh masuk ?”. Laki-laki itu mendengar apa yang diajarkan Nabi saw. itu maka ia berkata: “ASSALAMU ‘ALAIKUM, apakah saya boleh masuk ?”. Kemudian beliau memberi izin kepadanya selanjutnya laki-laki itu pun masuk”.55 ( HR. Abû Daud).
Pada terjemahan di atas, kasusnya sama dengan data-data sebelumya, yaitu
penerjemah lebih memilih tanda baca titik dua (:) untuk memisahkan ucapan atau
kutipan dari kalimat sebelumnya, yang mana seharusnya kutipan dipisah dari kalimat
sebelumnya dengan menggunakan tanda baca koma (,). Karena salah satu fungsi
tanda koma yaitu untuk memisahkan kutipan langsung dari bagian lain dalam
kalimat.56
Penerjemah juga tidak tepat dalam memberikan tanda petik atau mengapit
kutipan. Pada terjemahan tersebut terdapat dua kutipan. Pertama, kutipan langsung
yang bersumber dari Rib’i bin Hirasy. Pada bagian ini penerjemah sudah tepat
mengapit kutipan langsung dengan menggunakan tanda petik. Dan kedua, petikan
yang berasal dari seorang laki-laki, yang mana petikan ini terletak dalam petikan
sebelumnya. Pada Tsa penerjemah mengapit kutipan tersebut dengan menggunakan
55 Al-Nawawi, Terjemah Riyâd al-Sâlihîn, h. 313 56 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 40
61
tanda petik lagi. Sedangkan, untuk mengapit kutipan yang terdapat dalam kutipan,
penerjemah harusnya menggunakan tanda petik tunggal (‘…’). Sebab, salah satu
fungsi tanda petik tunggal adalah untuk mengapit petikan yang tersusut dalam petikan
lain.57
Kemudian, jika kita perhatikan terjemahan di atas, ada tiga kalimat interogatif
yang masing-masing diakhiri dengan tiga tanda baca sekaligus, yaitu tanda tanya,
tanda petik penutup dan tanda titik. Padahal seharusnya, apabila kalimat tersebut
merupakan kalimat interogatif, maka penerjemah cukup membubuhi dengan tanda
tanya yang kemudian diapit dengan tanda kutip penutup.
Pada kutipan yang beasal dari Nabi saw., “Ucapkan assalamu ‘alaikum,
apakah saya boleh masuk ?”, penerjemah memisahkan dua kalimat tersebut dengan
menggunakan tanda koma, padahal klausa Ucapkan Assalamu ‘alaikum merupakan
kalimat imperatif, yang mana seharusnya klausa tersebut diakhiri dengan tanda seru
(!).
Kemudian pada kutipan berikutnya yang dipetik dari ucapan laki-laki itu,
“Assalamu ‘alaikum, apakah saya boleh masuk ?”, pada kutipan tersebut penerjemah
memisahkan ucapan salam dari kalimat apakah saya boleh masuk? dengan
menggunakan tanda koma. Padahal, ucapan assalamu ‘alaikum merupakan sebuah
kalimat. Sebagaimana telah dikutip oleh Moch. Syarif Hidayatullah, dalam bahasa
Arab, definisi kalimat adalah konstruksi yang tersusun dari dua kata atau lebih yang
57 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesi., h. 83.
62
mengandung arti, disengaja, serta berbahasa Arab.58 Oleh karena itu, kutipan tersebut
akan lebih tepat jika dipisah dengan tanda titik.
Lalu pada bagian Laki-laki itu mendengar apa yang diajarkan Nabi saw. itu
maka ia berkata ..., penerjemah tidak membubuhi tanda koma untuk memisahkan dua
klausa di atas. Padahal kedua klausa tersebut terdiri dari anak kalimat dan induk
kalimat, yang mana anak kalimat mendahului induk kalimatnya. Dalam EYD
dijelaskan, jika anak kalimat mendahului induk kalimat, maka harus dipisah dengan
menggunakan tanda koma.59
Sama seperti pada kasus data-data sebelumnya, yakni penerjemah tidak tepat
dalam meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti tanda
baca yang mengakhiri petikan langsung,60 akan tetapi ia malah meletakkannya
sebelum titik.
Berdasarkan hasil analisis di atas, menurut saya Tsu di atas akan lebih baik
jika diterjemahkan seperti berikut.
Rib’i bin Hirasy meriwayatkan, “Ada seorang laki-laki dari Bani Amir
menceritakan kepada kami ketika ia memohon izin kepada Nabi saw., yang saat itu
Nabi berada di dalam rumah. Ia mengucapkan, ‘Apakah saya boleh masuk?’ Lalu
Rasulullah saw. menyuruh pelayannya, ‘Keluarlah dan ajarkan laki-laki itu cara
58 Moch. Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab, (Tangerang Selatan: Alkitabah,
2012), h. 96 59 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h.39 60 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesi., h. 83.
63
memohon izin. Katakan padanya, ‘Ucapkanlah ‘Assalamu ‘alaikum! Apakah saya
boleh masuk?’ Laki-laki itu mendengar perkataan Nabi tersebut, lalu ia
mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaikum. Apakah saya boleh masuk?’ Lalu Nabi saw.
mengizinkannya, maka ia pun masuk.’” ( HR. Abû Daud).
6. Bab Tentang Zuhud dan Dorongan agar Tidak Rakus serta Keutamaan Miskin (Hadis ke-30)
صلى اهللا اهللا لوسر امن الق ھنع اهللا يضر دوعسم نب اهللا دبع نعو ول اهللا لوسا ری: ا نلقف, ھبني جف رثا دقو امقف ریصى حلععلیھ وسلم
باكرا كلا إیني الدا فنا أم, اینلدلو يالم: الق؟ فاءطو كا لنذخات . رواه الترمذي, اھكرتو احر مث ةرجش تحت لظتاس
Dari Abdullah bin Mas’ud ra. ia berkata: “Rasulullah saw. tidur di atas tikar sehingga sewaktu bangun membekaslah tikar itu pada pinggangnya. Lalu kami bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana kalau kami buatkan kasur lembut untukmu?” Beliau bersabda: “Buat apa dunia ini bagiku”. Aku di dunia ini bagaikan orang yang berpergian berteduh di bawah pohon lalu pergi meninggalkannya”. (HR. Al Turmudzi).
Sama seperti pada kasus-kasus sebelumnya, yakni penerjemah menggunakan
tanda titik dua untuk memisahkan petikan langsung dari kalimat sebelumnya, yang
mana seharusnya dua kalimat tersebut dipisah dengan menggunakan tanda baca
koma. Dalam EYD dijelaskan macam-macam fungsi tanda koma, salah satunya yaitu
untuk memisahkan petikan dari kalimat sebelumnya.61
Penerjemah juga tidak tepat dalam memberikan tanda petik atau mengapit
petikan. Pada terjemahan tersebut terdapat tiga petikan. Pertama, kutipan langsung
yang berupa isi cerita Abdullah bin Mas’ûd. Pada bagian ini penerjemah sudah tepat
61 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 40.
64
dalam mengapit kutipan langsung, yakni dengan menggunakan tanda petik. Kedua,
kutipan yang berupa pertanyaan Abdullah kepada Nabi saw. Dan ketiga, kutipan yang
berisi jawaban Nabi saw. Petikan kedua dan ketiga merupakan petikan yang berada
dalam petikan pertama, harusnya kedua kutipan tersebut diapit menggunakan tanda
petik tunggal, bukan lagi kutip ganda. Sebab, salah satu fungsi tanda petik tunggal
adalah untuk mengapit petikan yang tersusun dalam petikan lain.62
Pada Tsa di atas, khususnya pada kutipan pertama, penerjemah tidak
membubuhi tanda koma untuk menghindari salah baca. Karena, kalimat tersebut
merupakan kalimat yang keterangannya terdapat pada awal kalimat. Dalam EYD
dijelaskan tanda koma dipakai - untuk menghindari salah baca – dibelakang kalimat
yang terdapat pada awal kalimat.63
Kemudian penerjemah keliru dalam menutup kutipan yang berisi jawaban
Rasulullah saw. Ia menutupnya pada bagian tengah kutipan, harusnya kutipan
tersebut ditutup pada bagian akhir kutipan. Penerjemah juga tidak tepat dalam
meletakan tanda petik penutup (”), seharusnya tanda tersebut mengikuti tanda baca
yang mengakhiri petikan langsung,64 akan tetapi ia malah meletakkannya sebelum
titik.
Berdasarkan hasil analisis di atas, menurut saya Tsu di atas akan lebih baik
jika diterjemahkan seperti berikut.
62 Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesi., h. 83. 63 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 41 64 TRPS, Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah, h. 49.
65
Abdullah bin Mas’ûd r.a. bercerita, “Rasulullah saw. tidur di atas tikar lalu
ketika bangun, membekaslah tikar itu pada pinggangnya. Kemudian kami bertanya,
‘Ya Rasulullah, bagaimana kalau kami buatkan kasur empuk untukmu?’ Beliau
menjawab, ‘Buat apa dunia ini bagiku? Aku di dunia ini bagaikan seorang musafir
yang berteduh di bawah pohon lalu pergi meninggalkannya.’” (HR. Al-Turmudzi).
Sama seperti kasus data II, kata قال tidak selamanya harus diterjemahkan
dengan berkata, Karena seorang penerjemah harus dapat menyesuaikan dengan
konteks dan isi perkataannya. Kata قال dapat diterjemahkan bertanya bila
perkataannya berupa kalimat interogatif; dapat juga diterjemahkan menyuruh atau
melarang bila perkataannya berupa kalimat imperatif; dan sebagainya.
Karenanya, pada Tsu di atas saya memilih menerjemahkan kata قال pertama
dengan kata bercerita, karena ucapan Abdullâh bin Mas’ûd r.a. berisi cerita.
Kemudian pada kata فقلنا, saya menerjemahkannya dengan kata bertanya, karena
ucapannya berisi pertanyaan. Selanjutnya, karena ucapan Rasulullah saw. berupa
jawaban atas pertanyaan Abdullâh, maka saya menerjemahkan kata لاق tersebut
dengan kata menjawab.
BAB VI
PENUTUP
66
A. Kesimpulan
Pada bab ini penulis akan memberikan beberapa kesimpulan sekaligus
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah dalam bab
I, yaitu: (1) Apakah penerapan pungtuasi dalam terjemahan kitab Riyâd al-Sâlihîn
karya al-Imâm al-Nawawi sudah tepat? dan (2) Apakah hasil terjemahannya sudah
sesuai dengan struktur gramatikal bahasa Indonesia?
Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada pada bab sebelumnya,
kita dapat menyimpulkan sekaligus mendapatkan jawaban atas pertanyaan pertama,
yaitu, bahwa hasil terjemahan Ahmad Najih S. dalam kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-
Imâm al-Nawawi belum tepat, khususnya dari segi pemenggalan kalimat (pungtuasi)
atau pemakaian tanda baca. Hal ini terlihat jelas dari kesalahan-kesalahan penerjemah
dalam menempatkan tanda baca atau pungtuasi pada teks terjemahannya.
Ketidaktepatan tersebut dapat disebabkan dengan tiga kemungkinan: pertama,
penerjemah tidak mengacu pada pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD), kedua,
penerjemah kurang teliti dalam melakukan pemenggalan kalimat, dan ketiga,
penerjemah tidak memahami pemakaian tanda baca.
Apabila ditinjau dari segi gramatikalnya terjemahan Ahmad Najih sudah
cukup baik. Namun, dari enam sampel yang telah dianalisis pada bab IV, ada
beberapa kalimat yang masih rancu dan belum sesuai dengan kaidah tata bahasa
Indonesia. Penerjemah juga kerap kali keliru dalam memilih diksi yang tepat saat
menerjemahkan kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi.
67
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut adalah beberapa saran yang dapat
saya berikan:
1. Dalam menggeluti dunia kepenerjemahan, seorang penerjemah harus
selalu mengasah kemampuannya dengan sering berlatih dan berdiskusi,
agar hasil terjemahannya semakin indah. Karena bagaimanapun,
menerjemahkan membutuhkan keterampilan khusus.
2. Seorang penerjemah harus selalu memperkaya diri dengan kosakata-
kosakata, baik kosakata Bsu maupun Bsa.
3. Agar hasil terjemahannya nyaman dibaca dan mudah dipahami, seorang
penerjemah harus memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa sasaran, baik
itu dari segi struktur kalimat, gaya bahasa, pemilihan diksi, pemakaian
tanda baca (pungtuasi) dan lain-lain; tidak terpaku pada teks sumber (Tsu).
Tentunya, tanpa menghilangkan atau mengurangi pesan yang terkandung
dalam Tsu.
4. Seorang penerjemah harus mengikuti perkembangan bahasa, baik bahasa
sumber (Bsu) maupun bahasa sasaran (Bsa). Sebab, bahasa itu selalu
berkembang mengikuti perkembangan zaman.
5. Seroang penerjemah juga harus kreatif dalam menerjemahkan suatu Tsu
dan mencarikan padanan yang paling sesuai dengan apa yang diinginkan
pengarang.
68
Saya sadar bahwa dalam penelitian ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh
karenanya, penelitian ini harus diteruskan dan dijabarkan kebali secara lebih lengkap,
khususnya dari segi pemenggalan kalimat (pungtuasi) yang terdapat dalam buku
terjemahan kitab Riyâd al-Sâlihîn karya al-Imâm al-Nawawi.
69
DAFTAR PUSTAKA
A, Widyamartaya. Seni Menerjemahkan, Yogyakarta : Kanisius, 1989.
Al-Dimasyqi, Ibnu Qadhi al-Syuhba. Thabaqât al-Syafi’iyah, India: The Da’iratul.
Ali, Atabik dan Muhdor, Ahmad Zuhdi. Al-‘Asriy: Arab-Indonesia, Yogyakarta:
Multi Karya Grafika.
Al-Nawawi, Abû Zakariya Yahya. Terjemah Riyâd al-Sâlih n. Pnerjemah Ahmad
Najih S., Surabaya : CV. Karya Utama.
Al-sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2011.
Chaer, Abdu. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: PT RINEKA CIPTA,
2011.
Chaer, Abdul. Bahasa Indonesia Baku, Jakarta: FPBS-IKIP, 1984.
Dahlan, Abdul Aziz. dkk. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996.
Dewan Redaksi Depag RI. Ensiklopedi Islam Di Indonesia, Jakarta: CV. Anda
Utama, 1993.
Farid, Ahmad. 60 Biografi ‘Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar , 2005.
Hidayatullah, Moch. Syarif. Cakrawala Linguistik Arab, Tangerang Selatan:
Alkitabah, 2012.
Hidayatullah, Moch. Syarif. Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia
Kontemporer, Ciputat : Uin Press, 2014.
Hidayatullah, Moch. Syarif. Tarjim Al-an; Cara Mudah Menerjemahkan Arab-
Indonesia, Pamulang : Dikara, 2009.
Keraf, Gorys. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Flores: Nusa Indah,
1994.
Keraf, Gorys. Tata Bahasa Indonesia, Ende-Flores: Nusa Indah, 1980.
Kridalaksana, Harimurti. Kalimat, Klausa dan frase, Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1976.
70
Machali, Rochayah. Pedoman bagi Penerjemah. Bandung: Kaifa, 2009.
Majid, A.M. Sejarah Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1997.
Nasuhi, Hamid. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi),
Ciputat: CeQDA, 2007.
Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Trans
Pustaka, 2011.
Suhardi. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Suryawinata, Zuchridin. Translation (Bahasa Teori dan Penuntun Praktis
Menerjemahkan), Yogyakarta : Kanisius, 2003.
Syihabuddin. Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), Bandung :
Humaniora, 2005.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: PT.
Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Tim Redaksi Pustaka Setia (TRPS). Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan
dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Disalin dari Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia,
Bandung: Pustaka Setia, 1992.
Yususf, Suhendra. Teori Terjemah, Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan
Sosiolinguistik, Bandung : Mandar Maju, 1994.
Recommended