Kolokium_Antirayap

Preview:

DESCRIPTION

aaa

Citation preview

Usulan Penulisan Disertasi

PAGE 1

bioprospeksi tumbuhan pionir

hutan sekunder dataran rendah KALIMANTAN TIMUR

sebagai sumber senyawa bioaktif insektisida

TERHADAP RAYAP Coptotermes sp

Usulan Penelitian untuk Disertasi S3Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan

Diajukan oleh :SudrajatNIM 080301030KepadaProgran Studi Doktor Ilmu Kehutanan

Program Pascasarjana Fakultas Kehutanan

Universitas Mulawarman

Samarinda

2010

USULAN PENELITIANbioprospeksi tumbuhan pionir

hutan sekunder dataran rendah KALIMANTAN TIMUR

sebagai sumber senyawa bioaktif insektisida

TERHADAP RAYAP Coptotermes sp

Diajukan oleh :SudrajatNIM 080301030Telah disetujui oleh :

Promotor

Prof.Dr.Ir.H. Wawan Kustiawan, M.Agr.Sc.tanggal ..NIP.Promotor Pendamping I

..

tanggal ..

Dr.Ir.Djumali Mardji, M.Agr.

.

Dr.

tanggal ..

NIP.

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Rayap merupakan salah satu jenis serangga dari ordo Isoptera dan tercatat ada sekitar 200 jenis dan baru 179 jenis yang sudah teridentifikasi di Indonesia. Beberapa jenis rayap yang secara ekonomis merugikan sebagai menjadi hama ada tiga yaitu jenis rayap tanah/subteran (Coptotermes curtvignathus Holmgren), Macrotermes gilvus Hagen dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer dan satu jenis rayap kayu kering ( Cryptotermes cynocephalus Light). Rayap tanah khususnya Coptotermes sp memiliki sebaran yang luas dan telah menyebabkan kerusakan tanaman kehutanan, perkebunan, pertanian dan kayu yang cukup parah. Di Indonesia, kerugian akibat serangan rayap perusak mencapai 224-238 milyar rupiah per tahun ( Prasetiyo dan Yusuf, 2004). Berbagai bahan kimia telah digunakan untuk menanggulangi bahaya serangan rayap, tetapi penggunaan bahan kimia tersebut dipandang kurang menguntungkan karena selain biaya mahal, pemakaian insektisida sintetik juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, seperti keracunan pada hewan dan manusia serta pencemaran air.

Upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mencari sarana pengendalian alternatif yang dapat mengendalikan hama secara efektif tetapi ramah lingkungan. Salah satu alternatif yang memiliki prospek baik untuk mengendalikan rayap tanah perusak tanaman dan kayu adalah dengan insektisida nabati. Hal ini mendorong pentingnya pencarian senyawa- senyawa metabolit sekunder anti serangga yang ramah lingkungan seperti insektida yang berasal dari tumbuhan. Hutan menyimpan organisme-organisme liar yang memiliki potensi senyawa bahan obat-obatan (Seters, 1997; Bryant, 2002). Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa bioaktif antara lain alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida dan repelen (Campbell, 1933, Burkill, 1935). Lebih dari 30 jenis senyawa kimia berasal dari sumberdaya hayati hutan antara lain alkaloid, cocaine, reserpine, quinine, ipecac, ephedrine, caffeine, nicotine,senyawa antibacterial dan senyawa antifertilitas. Menurut Matsumura, 1975, produk bahan alam dari tumbuhan seperti rotenon, nikotin dan pyrethrin telah lama dipergunakan untuk pengendalian serangga perusak dan vektor-vektor beberapa penyakit. Diyakini senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tumbuhan tersebut terjadi sebagai hasil seleksi alam selama proses coevolusi antara serangga dan tumbuhan ( Mello dan Silva Filho, 2002).Ratusan jenis tumbuhan telah dipelajari senyawa-senyawa bioaktifnya yang memiliki sifat insektisidanya terhadap beberapa jenis hama tanaman bernilai ekonomis. Beberapa diantara beberapa jenis tumbuhan yang bersifat insektisida adalah Meliaceae,Rutaceae, Asteraceae, Labiateae, Piperaceae dan Annonaceae yang sering diacu untuk menggambarkan sifat anti insektisida terhadap beberapa hama dan cara kerjanya masing-masing ( Akhtar dan Isman, 2004). Dalam beberapa referensi yang ada belum tersedia informasi tentang sifat aktivitas insektisida dari jenis-jenis tumbuhan pioneer ( fast growing species) hutan sekunder dataran rendah Kalimantan Timur yang diduga memiliki aktivitas biologis yang berbeda-beda. Penggalian dan pemberdayaan tumbuhan lokal sebagai sumber insektisida masih sedikit yang dilaporkan. Guna menjaga punahnya suatu jenis tumbuhan serta menggali potensi kekayaan daerah Kalimantan Timur baik potensi sumber daya alam atau sumber daya manusia diperlukan studi pemanfaatan tumbuhan yang melimpah jumlahnya di kawasan-kawasan hutan sekunder sebagai insektisida.Hutan sekunder adalah salah satu bentuk ekosistem kompleks yang umum ditemui di Indonesia terutama di Pulau Kalimantan akibat terganggunya hutan primer baik oleh faktor antropogen ( penebangan hutan, perladangan, pengusahaan hutan, konversi menjadi pertambangan batubara) maupun oleh faktor alami seperti kebakaran hutan dan lainnya. Terdapat variasi ekosistem hutan sekunder di wilayah Kalimantan Timur, tergantung kepada faktor penyebabnya dan dapat dibedakan atas hasil suksesi sekunder dan hasil suksesi siklik. Mengingat hutan sekunder dataran rendah mengandung beberapa jenis tumbuhan pioner mendominasi kawasan-kawasan hutan terdegradasi serta memiliki prospek sebagai sumber zat aktif insektisida nabati maka dipandang perlu melakukan kajian tentang kandungan zat bioaktif dan sifat toksisitas sebagai insektisida. Sehingga penelitian bioprospeksi tumbuhan pioner dari hutan sekunder ini dipandang penting. Dalam jangka panjang, pengembangan bioteknologi pemanfaatan tumbuhan pioner ini dapat menjadi sumberdaya utama pengganti industri perkayuan di wilayah-wilayah yang selama ini menggantungkan PDBnya terhadap kehutanan.Namun demikian, sampai sejauh ini belum diketahui dengan pasti jenis tumbuhan pioner apa saja yang mendominasi dan apa potensi manfaatnya. Oleh karena itu permasalahan penelitian ini adalah seberapa besar tingkat kekayaan jenis tumbuhan dan potensi pemanfaatan tumbuhan pioner pada hutan sekunder untuk bahan insektisida nabati terhadap rayap.Adapun beberapa masalah yang hendak dijawab dengan penelitian ini adalah:

1). Bagaimanakah karakteristik zat bioaktif dalam daun, dan kayu/ kulit

beberapa jenis tumbuhan pioner hutan sekunder dataran rendah Kalimantan Timur 2). Seberapa besar daya racun ekstrak beberapa jenis tumbuhan pioner sebagai insektisida terhadap Coptotermes sp 3). Jenis tumbuhan pioner hutan sekunder dataran rendah Kalimantan apa yang menunjukkan daya racun terbaik sebagai insektisida anti rayap Coptotermes sp 4). Apakah ada perbedaan efektivitas daya insektisida terhadap rayap Coptotermes sp antara fraksi-fraksi, isolat-isolat dan jenis-jenis senyawa- senyawa aktif yang diperoleh

5). Seberapa besar rendemen terbaik zat boaktif dari berbagai jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi beberapa tumbuhan pioner hutan sekunder dataran rendah Kalimantan Timur

1.2.Tujuan Penelitian1.2.1. Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji jenis-jenis tumbuhan pioner hutan sekunder di Kalimantan Timur dan potensinya sebagai sumber bahan insektisida anti rayap Coptotermes sp 1.2.2. Tujuan khusus

Beberapa tujuan khusus yang dijabarkan berdasarkan tujuan umum di atas adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan karakteristik zat bioaktif dalam daun, dan kayu/ kulit beberapa jenis tumbuhan pioner hutan sekunder dataran rendah Kalimantan Timur .

2. Menentukan nilai daya racun ekstrak beberapa jenis tumbuhan pioner terhadap rayap Coptotermes sp 3. Menentukan jenis tumbuhan pioner hutan sekunder dataran rendah yang menunjukkan potensi terbaik sebagai insektisida terhadap rayap Coptotermes sp4. Memperoleh gambaran efektivitas daya larvasida terhadap rayap Coptotermes sp antara fraksi-fraksi, isolat-isolat dan jenis-jenis senyawa-senyawa aktif yang diperoleh

5. Memperoleh gambaran hasil rendemen zat boaktif terbaik dari berbagai jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi tumbuhan pioner hutan sekunder dataran rendah Kalimantan Timur . 1.3. Hasil yang diharapkan Hasil yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :

1. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pihak yang terkait dengan pembangunan dan pengembangan lahan hutan sekunder baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

2. Memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ekologi komunitas untuk lebih memahami potensi ekonomi jenis-jenis tumbuhan pioneer di kawasan hutan sekunder sebagai bahan insektisida antirayap.

3. Memberikan kontribusi manfaat bagi masyarakat sekitar hutan , untuk mengembangkan jenis-jenis tumbuhan tersebut agar diupayakan sebagai salah satu unit usaha mikro yang akan dapat dapat mengurangi kegiatan impor bahan kimia pembasmi serangga hama ( rayap).II Tinjauan Pustaka2.1. Bioprospeksi tumbuhanBioprospeksi berasal dari kata biodiversity dan prospecting, yang berarti proses pencarian sumber daya hayati terutama sumber daya genetik dan materi biologi lainnya untuk kepentingan komersial. Kegiatan ini ditujukan untuk upaya mencari kandungan kimia baru pada makhluk hidup, baik mikroorganisme, hewan maupun tumbuhan yang mempunyai potensi sebagai obat atau nilai komersial lainnya (Moeljopawiro,1999;Muchtar,2001).Secara rinci, bioprospeksi didefinisikan lebih luas dan detil yaitu kegiatan mengeksplorasi, mengoleksi, meneliti dan memanfaatkan sumber daya genetik dan biologi secara sistematis guna mendapatkan sumber-sumber baru senyawa kimia, gen, organisme, dan produk alami lainnya yang memiliki nilai ilmiah dan/atau komersial ( Lohan dan Johnston,2003). Senyawa biologis tersebut dapat berupa obat-obatan, anti mikroba, anti viral, enzim industri dan sebagainya (Helianti,2007). Bioprospeksi, dapat digunakan sebagai alternatif strategis di dalam proses analisis pemanfaatan sumber daya hayati hutan pengganti kayu. Dengan menilai potensi ekonomi suatu organisme yang ada di dalam suatu ekosistem, maka konsep bioprospeksi dapat diterapkan secara formal dalam pengelolaan suatu kawasan ekosistem.

Indonesia merupakan salah satu negara mega diversiti untuk tumbuhan obat di dunia. Hutan tropika di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 di dunia setelah Brazilia. Dari 40 000 jenis flora yang ada di dunia sebanyak 30 000 jenis dijumpai di Indonesia dan 940 jenis di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat yang telah dipergunakan dalam pengobatan tradisional secara turun-temurun oleh berbagai etnis. Jumlah tumbuhan obat tersebut meliputi sekitar 90% dari jumlah tumbuhan obat yang terdapat di kawasan Asia (Puslitbangtri, 1992).

Setiap jenis tumbuhan merupakan sumber bahan kimia hayati ( chemical resources), sehingga keanekaragaman hayati dipandang sebagai suatu industri atau pabrik bahan kimia yang berproduksi sepanjang tahun menghasilkan bahan kimia berguna ( chemical prospectives) melalui proses rekayasa bioteknologi alami (Achmad, 2001). Beberapa ahli ekologi tumbuhan menyatakan bahwa kelompok-kelompok tumbuhan dalam satu unit taksonomi akan mengandung senyawa kimia racun yang sama untuk melindungi diri. Senyawa-senyawa racun tersebut disimpan di dalam buah, kulit, organ lainnya. Beberapa senyawa bioaktif dari tumbuhan ini ada yang bersifat racun dan sifat ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk bahan obat-obatan.

Bioprospeksi tumbuhan bahan obat-obatan erat kaitannya dengan jenis bahan kimia yang dikandungnya seperti beberapa jenis asam amino, alkaloid, glikosida dan senyawa lain yang bersifat racun ( Ascher dan Reynold, 2002; Sakamura dan Sogawa, 1989). Di Jawa Barat, Supriyatna, dkk ( 1995), melaporkan adanya zat bioaktif dari tumbuhan gulma bekerja sebagai senyawa racun, fitobakterisida, fitofungisida, anti germinasi dan pengatur tumbuh tanaman. Selain itu, sejumlah senyawa dari tumbuhan seperti alkaloid, terpentinoid, fenol dan lain-lainnya memiliki potensi anti makan ( senyawa yang menghambat proses makan tapi tidak membunuh secara langsung) (Van Beek, 1987).

Sudrajat,dkk (1995),melaporkan hasil penelitian fitokimia terhadap beberapa tumbuhan dari hutan tropika dataran rendah menunjukkan bahwa dari 84 cuplikan terdeteksi sebanyak 55 % mengandung saponin; 26,19 % mengandung flavonoid ; 71,42 % mengandung fenolhidrokinon ;35,71 % mengandung alkaloid; 26,19 % mengandung steroid 32 dan 54,76 % mengandung Triterpen.Tumbuhan yang memiliki potensi tinggi sebagai sumber saponin adalah jenis sirih alas/ Heckeria umbellata ( Piperales); Jabon ( Antocephalus mutabile) ( Rubiales) ; Rambutan liar ( Nephelium mutabile) ( Lauraceae) ; Kayu Ulin ( Eusideroxylon Zwagery ) ( Lauraceae) dan Kayu Bawang ( Scorodocarpus borneensis) ( Olacaceae). Tumbuhan yang memiliki potensi tinggi sebagai sumber flavonoid adalah blustru/ Luffa aegyptiaca Mill ( Lauraceae); untuk triterpen adalah Awar-awar ( Ficus septica ) (Moraceae) dan sebagai sumber fenolhidrokinon tersebar merata pada berbagai jenis. Dari hasil studi Sudrajat, dkk ( 1995) di atas, diperoleh data bahwa kelompok piperales menunjukkan potensi yang tinggi sebagai sumber saponin.

Beberapa peneliti lain, melaporkan bahwa ekstrak beberapa jenis tumbuhan berperanan sebagai larvasida nyamuk Aedes sp. Daun Piper spp ( Piperaceae) menghasilkan zat bioaktif antara lain zat phenylpropanoids, lignoids dan flavonoids (Bernard dkk., 1995). Satu senyawa spesifik bersifat insecticidal dari kelompok phenylpropanoid adalah dimethoxy-4,5-methylenedioxy-allylbenzene (dillapiol) (Gottlieb dkk., 1981).Wiesman Zeev dan Bishnu P.Chapagain, (2005), melaporkan bahwa fraksi saponin dari mesocarp buah B.aegyptiaca memiliki daya larvasida lebih baik untuk melawan A.aegypti dibandingkan dengan crude saponin dan hasil ekstraksi oleh metanol.Pada kadar 35 ppm fraksi saponin dari mesokarpium buah B. Aegypti telah membunuh 50 % larva uji, sehingga dapat mengurangi secara signifikan perkembangbiakan larva nyamuk tersebut. Sedangkan nilai LC50 terhadap larva nyamuk dari ekstrak saponin dan crude saponin adalah 145,315 dan 935 ppm.

Pemakaian ekstrak tumbuhan sebagai biopestisida dapat menekan pemakaian pestisida kimia sehingga mengurangi biaya dan ramah lingkungan. Masih banyak potensi lain yang dapat digali dari sumber daya hayati hutan. Oleh karena itu, kajian bioprospeksi terhadap beberapa jenis tumbuhan hutan dapat dilakukan karena besarnya kekayaan plasma nuftah hutan tropik dataran rendah di Kalimantan Timur. Hal ini diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, melalui upaya ekstraktif zat bioaktif secara tepat guna dan berkesinambungan.

2.2. Tumbuhan pioner hutan sekunder dataran rendahUNESCO (1978) mendefinisikan hutan sekunder sebagai vegetasi yang mengkolonisasi areal-areal, dimana sebagian atau seluruh vegetasi asli telah menghilang akibat gangguan-gangguan alam atau manusia. Jenis tumbuhan pionir yang mula-mula tumbuh pada tempat terbuka bekas penebangan dan perladangan akan membentuk kalampoyan (Anthecephalus ehinensis) , Macaranga sp., legundi (Vitex sp), seru (Schima walichii) , tembesi (Fragrea fragrans ) dan sungkai (Peronema canes cens ). Jenis jenis tersebut berumur pendek dan akan segera digantikan jenis lain yang lebih toleran dan tahan naungan. Pada akhirnya jenis klimaks inilah yang akan dominan seperti golongan Diptercarpaceae (meranti) antara lain meranti (Shorea) , kapur (Dryobalanops ) , dan keruing resak. Pohon besar tumbang dan mati akan tercipta sebuah celah (gaps ) atau bukaan dalam hutan. Ini adalah suatu permulaan terjadinya proses regenerasi atau permudaan alami. Batang tersebut akan mengalami pelapukan sebagai akibat dari bentukan dan penghancuran secara alami. Selang beberapa tahun kemudian pohon tersebut berkembang lebih cepat, terlebih-lebih bagi jenis memerlukan cahaya (intoleran). Akibat sering terkena cahaya matahari dinamika dan pertumbuhan hutan sekunder pohon tersebut akhirnya digantikan dengan yang lebih besar. Celah yang terjadi tampak lebih besar, yang tumbuh sebagai pohon pionir dan cepat tumbuh tetapi pendek umur adalah Macaranga, Malotus, Trema, Anthocephalus , Duabanga, dan lain-lain (Manan, 1980).Suksesi sekunder yang terjadi pada daerah hutan hujan yang diusahakan lalu ditinggalkan, pertumbuhannya akan dimulai dengan vegetasi rumput dan semak kecil atau terna, seperti Imperata Cylindrica (alang-alang), Amaranthus (bayam), Mimosa (rebah bangun), Ageratum dan Physalis (ciplukan). Semak-semak seperti Lantana camara (tembelekan), Salanum, Eupator ium (kirinyu), Piper aduncum, Tetracera dan Blumea sp akan tumbuh sesudah itu. Disusul kemudian oleh pohon-pohon seperti Macaranga, Vitex, Dillenia dan Ficus. Akhirnya apabila keadaan lingkungan memungkinkan, seperti keadaan tanah yang tidak tererosi, sesudah 15-20 tahun akan terjadi hutan sekunder muda dan 50 tahun kemudian akan menjadi hutan sekunder tua yang berangsur-angsur akan mencapai klimaksnya, yaitu hutan hujan dataran rendah. Hasil penelitian Soerianegara (1972) di daerah Gunung Honye Banten menunjukkan bahwa pada tanah-tanah yang baru sekitar 6 bulan sampai 12 bulan ditinggalkan untuk perladangan, hanya akan ditumbuhi rumput alang-alang, Terna stachytarpheta (jarong), Amaranthus, Mimosa, Ageratum dan semak-semak Grewia, Melas toma (senggani), Lantana, Solanum, Blumea (sembung), Eupatorium dan pohon-pohon Dillenia (sempur),Ficus hispida ( leluwing), Vitex (laban). Sedangkan hutan sekunder yang lebih tua strukturnya akan lebih rapat dan ditumbuhi seperti jenis jenis pohon Alstonia (lame), Radermachera (padali), Pomotia (leungsir), Artocarpus elasticus (teureup) dan Baccaurea javaniea (houcit). Kerusakan yang sering terjadi justru sangat parah, yakni keadaan tanah dan air yang terganggu sehingga klimaks asal tidak mungkin dapat dicapai lagi. Dengan demikian, terbentuklah apa yang dinamakan disklimaks. Suatu contoh yang relevan didapati pada vegetasi yang sering mengalami gangguan karena pembakaran terusmenerus untuk perladangan berpindah tempat, yang hasilnya akan didominasi oleh adanya pertumbuhan seperti alang-alang (Imperata cylindrica).

Hutan sekunder memiliki potensi ekonomi yang tinggi dan dapat dijadikan komoditas antara lain madu, bambu, rotan, tanaman buah-buahan, tanaman obat, tanaman hias hingga zat pewarna; sebagai sarana wisata alam ; penyimpan bahan untuk penelitian ilmuwan ; penjaga tanah dan air sehingga mencegah banjir dan longsor; sumber oksigen, penyerap energi matahari sehingga bumi tidak semakin panas dan penyerap gas-gas berbahaya di udara.2.3. Senyawa Bioaktif Tumbuhan sebagai insektisida

Menurut Takahashi (1981), pada dasarnya bahan alami yang mengandung senyawa bioaktif dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu (a) bahan alami dengan kandungan senyawa antifitopatogenik (antibiotika pertanian), (b) bahan alami dengan kandungan senyawa bersifat fitotoksik atau mengatur tumbuh tanaman (fitotoksin, hormon tanaman dan sejenisnya) dan (c) bahan alami dengan kandungan senyawa bersifat aktif terhadap serangga (hormon serangga,feromon, antifidan, repelen, atraktan dan insektisidal).

Insektisida nabati adalah insektisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang atau buah. Bahan-bahan ini diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil pengambilan cairan metabolit sekunder dari bagian tumbuhan atau bagian tumbuhan dibakar untuk diambil abunya dan digunakan sebagai insektisida..

Pada tahun 1960-an telah ditemukan beberapa insektisida dari bahan tumbuhan yang memiliki cara kerja spesifik, seperti azadirakhtin dan senyawa lain dari tanaman meliaceae yang menghambat aktivitas makan dan perkembangan hama serangga. Sediaan insektisida dari tumbuhan mimba juga telah diketahui efektif menekan populasi hama serangga dan relatif aman terhadap lebah dan beberapa musuh alami. Pada umumnya insektisida berbahan nabati bersifat sebagai racun perut yang tidak membahayakan terhadap musuh alami atau serangga bukan sasaran, sehingga penggunaan pestisida berbahan nabati dapat dikombinasikan dengan musuh alami. Cara kerja beberapa insektisida nabati yang umumnya tidak dapat mematikan langsung serangga, biasanya berfungsi seperti berikut:

1. Refelen, yaitu menolak kehadiran serangga terutama disebabkan baunya yang menyengat2. Antifidan, menyebabkan serangga tidak menyukai tanaman, misalnya disebabkan rasa yang pahit3. Mencegah serangga meletakkan telur dan menghentikan proses penetasan telur4. Racun syaraf5. Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga6. Attraktan, sebagai pemikat kehadiran serangga yang dapat digunakan sebagai perangkap

2.4. tumbuhan sebagai insektisia nabati Hutan tropis merupakan sumber hayati yang kaya berbagai spesies tumbuh-tumbuhan.Sebagai salah satu sumber daya alam, hutan harus dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Selain tumbuhannya dapat dimanfaatkan untuk produksi kayu, dalam beberapa hal secara langsung ataupun tidak tumbuhan hutan dapat dimanfaatkan untuk tujuan non-kayu. Untuk jangka panjang pengusahaan hutan non-kayu ini tidak kalah pentingnya bila dikelola secara tepat. Salah satu pengusahaan hutan non-kayu yang dapat dikembangkan selain sebagai sumber bahan bangunan dan bahan obat-obatan tradisional juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber insektisida.Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa bioaktif antara lain alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida dan repelen (Campbell, 1933,Burkill, 1935). Sedikitnya 2000 jenis tumbuhan dari berbagai famili telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap organisme pengganggu tanaman (Grainge dan Ahmed, 1988; Prakash dan Rao, 1977), diantaranya terdapat paling sedikit 850 jenis tumbuhan yang aktif terhadap serangga (Prakash dan Rao, 1977). Di Filipina, tidak kurang dari 100 jenis tumbuhan telah diketahui mengandung bahan aktif insektisida (Rejesus, 1987). Laporan dari berbagai propinsi di Indonesia menyebutkan lebih 40 jenis tumbuhan berpotensi sebagai pestisida nabati (Direktorat BPTP & Ditjenbun, 1994). Hamid & Nuryani (1992) mencatat di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun. Famili tumbuhan yang

dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae,

Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Arnason et al., 1993; Isman 1995).

Selama dekade terakhir terdapat peningkatan minat yang besar dalam pencarian senyawa insektisida dari tumbuhan (Schmutterer, 1995).Hasil ekplorasi Thamrin, dkk tentang potensi ekstrak flora lahan rawa sebagai pestisida nabati yang telah dilaksanakan di Kalimantan Selatan dan Tengah, diperoleh sebanyak 122 jenis tumbuhan yang dicurigai berpotensi sebagai pestisida nabati. Tumbuhan tersebut sebagian besar berhasiat sebagai obat, selainnya memiliki bau menyengat dan tidak terserang hama atau penyakit. Terdapat 21 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida nabati yang dapat membunuh penggerek batang padi putih, ulat plutella, ulat jengkal, ulat buah paria, ulat daun terong dan ulat buah tomat.Banyak senyawa kimia aktif yang sangat efektif telah diisolasi dan dielusidasi struktur kimianya seperti azadirachtin dari tumbuhan Nimba (Azadirachta indica), piretrin dari bunga Krisan (Chrysanthemum cinerarifolium), senyawa rotenon dari Akar tuba (Derris elliptica) yang semuanya digunakan sebagai pestisida. Sedangkan senyawa kimia taksol dari tumbuhan Taxus brevifolia untuk obat kanker, artemisin dari Artemisia annua dan kuinin dari tumbuhan Kina (Chinchona sp.) yang digunakan untuk obat penyakit malaria.Hamid & Nuryani (1992) mencatat di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Arnason et al., 1993; Isman, 1995), namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Didasari oleh banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki khasiat insektisida maka penggalian potensi tanaman sebagai sumber insektisida botani sebagai alternatif pengendalian hama tanaman cukup tepat.

Anggota Meliaceae yang paling banyak diteliti adalah nimba/mimba (Azadirachta indica A. Juss) dengan bahan aktif utama azadirachtin (limonoid). Tanaman ini tersebar di daratan India. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di sekitar provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur). Ekstrak biji tanaman mimba mengandung senyawa aktif utama azadiraktin. Senyawa aktif dari tanaman ini memiliki aktivitas insektisida, antifeedant dan penghambat perkembangan (Scmutterer & Singh 1995) serta berpengaruh terhadap reproduksi berbagai serangga (Schmutterer & Rembold 1995). Sediaan insektisida komersial dengan formulasi dasar ekstrak nimba (neem) telah dipasarkan di Amerika Serikat dan India (Wood et al. 1995, Parmer 1995). Selain bersifat sebagai insektisida, jenis-jenis tumbuhan tertentu juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, mitisida maupun rodentisida.

Selain tanaman di atas, Aglaia sp. (Meliaceae) merupakan salah satu tanaman yang akhir-akhir ini banyak diteliti aktivitasnya. Daerah penyebaran tanaman ini meliputi India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara, Australia bagian utara dan kepulauan di Samudra Pasifik. Di Indonesia tumbuhan dapat ditemui tumbuh di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Philipina, Sulawesi, Bali dan Flores. Janpraset et al. (1993) berhasil mengidentifikasi senyawa aktif yang bersifat insektisida dari ranting A. odorata (Meliaceae) (culan, pacar cina) sebagai rokaglamida. Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida ini termasuk dalam golongan benzofuran. Pada daun A. odorata selain rokaglamida juga ditemukan dan tiga senyawa turunannya, yaitu desmetilrokaglamida, metil rokaglat dan rokaglaol (Ishibashi et al., 1993). Rokaglamida juga telah diisolasi dari empat spesies Aglaia lain, yaitu dari akar dan batang A. elliptifolia (Wu et al., 1997), ranting A. duppereana (Nugroho et al., 1997), dan buah A. elliptica serta daun A. harmsiana. Tiga jenis tanaman yang disebutkan terakhir tumbuh dengan baik di Kebun Raya Bogor. Aktivitas ekstrak bagian tanaman Aglaia selain dapat bersifat sebagai insektisida dapat juga bersifat sebagai antifidan dan/atau penghambat perkembangan.

Beberapa spesies tanaman famili Annonaceae ternyata cukup berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai insektisida nabati. Jenis-jenis tanaman famili Annonaceae yang disebutkan di atas umum dijumpai di Indonesia. Ekstrak biji tanaman srikaya (Annona squamosa) dan nona seberang (A. glabra) mempunyai aktivitas insektisida yang tinggi terhadap Crocidolomia binotalis (Basana & Prijono, 1994; Prijono et al., 1995). Sementara itu Budiman (1994) melaporkan ekstrak biji tanaman A. reticulata, A. montana, A. deliciosa dan Polyalthia littoralis efektif terhadap serangga gudang Callosobruchus chinensis. Senyawa aktif utama dalam A. sqoamosa dan A. glabra adalah squamosin dan asimisin yang termasuk golongan asetogenin. 2.5. eradiasi rayap dengan insektisida nabatiIII METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2010 Desember 2011 di Laboratorium Bioprospek; Laboratorium Kimia Organik FMIPA Unmul dan Laboratorium Bioteknologi LIPI Cibinong Bogor, meliputi analisis vegetasi hutan sekunder, skrening fitokimia, analisis senyawa bioaktif, bioassay anti rayap terhadap hewan uji.3.2. Bahan penelitian

Bahan tumbuhan terdiri atas kulit batang, dan daun tumbuh-tumbuhan pioner dikoleksi dari daerah hutan sekunder, Hutan Pendidikan dan Penelitian UNMUL Bukit Soeharto Kalimantan Timur. Spesimen voucher disimpan di Laboratorium Biologi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Mulawarman, Samarinda. Bahan dikering anginkan selama 3-6 hari. Bahan kimia ekstrak, yaitu metanol sebagai pelarut untuk maserasi bahan ekstrak, kloroform, hexana, DMSO, yeast, Artemia salina Leach.

Alat penelitian, yaitu tabung kaca bermulut lebar untuk tempat perendaman ekstrak, corong kaca dan kertas saring untuk menyaring filtrat; rotary evaporator untuk menguapkan pelarut ekstrak. Alat uji hayati terdiri atas; neraca analitik untuk menimbang ekstrak; gelas ukur untuk mengukur volume ekstrak; gelas beaker untuk tempat uji biolarvasida ; pengaduk kaca untuk homogenitas larutan; counter untuk menghitung jumlah larva uji; serta alat untuk mengukur faktor lingkungan yaitu termometer, higrometer dan pH meter.3.3. Cara penelitian 3.3.1. Ekstraksi dan fraksinasi bahan tumbuhan.

Bahan tumbuhan dihancurkan dengan mesin penggiling hingga menjadi serbuk. Serbuk bahan disaring dengan saringan kawat kasa berjalinan 1 mm. Serbuk halus diekstrak menggunakan pelarut etanol dengan perbandingan berat bahan : pelarut 1 : 10. Ekstraksi dilakukan dengan metode perendaman (maserasi) selama 24 jam. Ekstrak bahan tumbuhan disaring dengan kertas saring, kemudian diuapkan dengan rotary evaporator (Buchi R-114) pada suhu 40 45 C dan pada tekanan 580 - 600 mmHg. Ekstrak kasar yang dihasilkan dipartisi dalam corong pemisah dengan menggunakan pelarut-pelarut yang sesuai menjadi tiga fraksi yaitu fraksi heksana, fraksi etil asetat dan fraksi air. Masing-masing fraksi heksana dan etil asetat diuji aktivitas insektisidanya. Fraksi yang terbukti memiliki aktivitas yang tinggi selanjutnya difraksinasi menggunakan beberapa teknik kromatografi dengan fase tetap silika gel.3.3.2. Karakterisasi zat bioaktif

3.3.2.1. Identifikasi zat bioaktif

Pada penelitian identifikasi senyawa aktif ditujukan untuk menentukan golongan senyawa aktif apa yang terdapat di dalam setiap isolat dilakukan dengan uji busa untuk golongan saponin, uji warna dengan larutan SbCl3 dalam kloroform, uji warna Liebermann Buchard untuk menentukan adanya triterpenoid.

Identifikasi adanya senyawa alkaloid

Hasil ekstrak sampel ( ekstrak kasar) atau fraksi aktif sebanyak dua tetes dimasukkan ke dalam plat tetes dan ditambahkan pereaksi Dragendroff. Bila terjadi perubahan warna jingga sampai merah coklat berarti ekstrak mengandung senyawa alkaloid.

Identifikasi adanya senyawa saponin

Sebanyak dua tetes ekstrak kasar atau fraksi aktif dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air panas,kemudian didinginkan, lalu dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Bila terdapat senyawa saponin dalam ekstrak yang diuji, maka akan terbentuk buih mantap selama kurang lebih 10 menit. Tinggi buih 1 Cm sampai 10 Cm, dan buih tidak hilang jika ditambahkan 1 tetes HCl 2 N ( Harborne, 1987).

Identifikasi adanya senyawa flavonoid

Sebanyak dua tetes ekstrak kasar atau fraksi aktif dimasukkan ke dalam plat tetes,ditambahkan serbuk Magnesium dan ditambahkan HCl pekat dua tetes. Bila terbentuk warna orange ( kuning-coklat), menunjukkan ekstrak mengandung flavonoid ( Harborne, 1987).

Identifikasi adanya senyawa triterpenoid

Sebanyak 1 ml ekstrak kasar atau fraksi aktif dimasukkan ke dalam plat tetes,ditambahkan 10 tetes asam asetat anhidrid ( AC20) dan 2 tetes asam sulfat pekat secara berurutan. Larutan diaduk secara perlahan beberapa saat sampai kering. Uji positif ditandai dengan terbentuknya warna merah atau ungu untuk triterpenoid serta hijau atau biru untuk steroid (Harborne, 1987).

Di maserasi dengan ethanol 95%

Dan dilakukan penyaringan

Dirotary

evaporasi (40 o C)

partisi: Hexana-metanol-air(5:9:1)

Dirotary evaporasi (40 o C)

Rotary Evap.40 o C

Manfaat Penelitian

Gambar. 2. Bagan alir karakterisasi zat bioaktif , ektraksi-fraksinasi, identifikasi

dan uji toksisitas senyawa bioaktif tumbuhan pioneer hutan sekunder

dataran rendah sebagai bahan insektisida nabati Pemisahan komponen ekstrak aktif dengan kromatografi

Analisis KLT ( Kromatografi Lapisan Tipis)

Analisis ini bertujuan untuk mencari eluan yang cocok untuk pemisahan komponen aktif dalam ekstrak daun dan kulit kayu tumbuhan pioneer hutan sekunder. Sebagai fase diam digunakan silika gel G60 F254. Jenis eluen yang digunakan berdasarkan hasil analisis kualitatif supaya jumlah komponen yang terisolisasi dapat dioptimumkan. Pelat yang digunakan adalah pelat silikagel G60 F254. Larutan penampat noda yang digunakan adalah CeSO4.

Kromatografi kolom

Sebanyak 0,5 gr sampel yang telah diupakan pelarutnya diaduk dengan celite sampai homogen. Kemudian pada kolom dipadatkan silica gel 60 dengan menggunakan campuran kloroform : metanol: air = 7:3:1. Setelah padat dilapisi kertas saring sebagai penutup dan masukkan campuran celite dan sampel tadi lalu dielusi. Eluen ditampung dengan tabung reaksi dan uji fraksi-fraksinya dengan kromatografi lapisan tipis untuk menyatukan fraksi-fraksi yang mempunyai harga Rf yang sama.

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ( KCT atau HPLC)

Agar dapat diketahui pemisaan yang dilakukan telah bai, maka sampel yang didapat harus murni dan untuk membuktikan bahwa senyawa-senyawa aktif tersebut sudah benar-benar murni maka dilakukan analisis dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ( HPLC). Dalam hal ini dilakukan dengan menggunakan alat HPLC Jasco Model MD 010 UV/Vis, Detector Multiwave Length dengan kondisi alat :

Kolom Bondapack C18 type 3,9 x 300 mm

Detektor UV/Vis

Volume injek 20 L

Flow rate 1 mL/min dan panjang gelombang 264 nm 3.3.4. Uji Toksisitas dengan Metode BSLT

Uji BSLT mengikuti metode Meyer dkk., 1982 , dengan sedikit modifikasi. Uji ini digunakan untuk mempelajari toksisitas sampel secara umum dengan menggunakan telur udang Artemia salina Leach.

- Penetasan Larva A.salina Leach

Disiapkan bejana uji untuk penetasan telur udang Artemia. Di satu ruang dalam bejana tersebut diletakkan lampu pijar/neon 40-60 watt untuk menghangatkan suhu dalam penetasan ( 25-30 oC), sedangkan di ruang sebelahnya diberi air laut.Air laut dapat dibuat dengan kadar garam NaCl 15 g/L. Kemudian ke dalam air laut dimasukkan 50-100 mg telur udang Artemia untuk ditetaskan. Kadar oksigen dijaga > 3 mg/L dengan cara memberikan aerator / blower ke dalam media dalam bejana pemeliharaan.

Telur akan menetas 24 jam menjadi Nauplii dan akan menuju daerah terang melalui sekat. Pada bagian telur ditutup dengan alumunium foil ( menjadi ruang gelap), dan lampu dinyalakan selama 48 jam untuk menetaskan telur. Larva ( Nauplii) yang sehat bersifat fototropik dan siap dijadikan hewan uji setelah berumur 48 jam. Diambil larva udang Artemia yang akan diuji dengan pipet.

- Pelaksanaan Uji Letal terhadap A.salina Leach

Larutan stok (induk) sampel dibuat dengan konsentrasi 50 mg dalam 5 ml metanol atau dengan pelarut lain yang sesuai, lalu dibuat serangkaian konsentrasi sebesar 1 , 10, 100, 200, 500, 1000 dan 1500 g/ml ke dalam vial-vial ( bejana uji). Larutan uji dalam vial ( bejana uji) tersebut diuapkan sampai kering dan tidak mengandung pelarut organik. Untuk kontrol negatif ( blanko) diberi perlakuan sama seperti larutan uji tetapi tanpa ekstrak ( hanya diberi metanol dalam jumlah yang sama dengan sampel). Setiap konsentrasi dibuat tiga replikasi ( triplikat).Jika kelompok kontrol menunjukkan mortalitas > 5 %, maka pengujian di ulang kembali.

Ekstrak kering dalam vial ( bejana uji) dilarutkan dalam air laut secukupnya. Bila sampel tidak larut tambahkan 2 tetes larutan dimethyl sulfoxide (DMSO). Sepuluh ekor larva Artemia dipindahkan ke dalam masing-masing vial ( bejana uji) yang telah berisi senyawa uji dan ditambahkan air laut sampai volume 5 ml. Ke dalam setiap vial ( bejana uji) dimasukkan satu tetes suspensi ragi ( 0,6 mg/ml) sebagai pakannya. Pengamatan dilakukan selama 24 jam dan tingkat toksisitas ditentukan dengan menghitung jumlah larva yang mati. Hasil dibandingkan dengan kontrol negatif.

jumlah kematian jumlah kematian kontrol X 100 %

% kematian = -----------------------------------------------------------------

Jumlah larva awal ( 10 )

- Pengujian Aktivitas Insektisida.

Pengujian bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya sebagai insektisida. Semua fraksi hasil setiap tahapan pemurnian diuji aktivitasnya pada larva serangga uji rayap Coptotermes. Pengujian bioaktivitas insektisida dilakukan dengan metode percobaan makan dan percobaan kontak. Pengujian aktivitas insektisida dilakukan dengan beberapa taraf konsentrasi. Pada perlakuan kontrol, serangga uji hanya diberi makan daun yang diolesi dengan pelarut saja (tanpa ekstrak).Ekstrak dengan konsentrasi tertentu dioleskan merata pada setiap permukaan pakan serangga dengan sonde mikro (microsyringe). Pakan yang digunakan adalah potongan-potongan daun brokoli ( 3 cm). Potongan pakan yang diberi perlakuan ditempatkan dalam cawan petri ( 9 cm) yang dialasi kertas tissue. Dengan kuas, ke dalam setiap cawan petri dimasukkan 15 ekor larva instar II. Pengamatan mortalitas larva uji dilakukan setiap hari hingga larva mencapai instar IV. Penentuan nilai LC50 (lethal concentration) dilakukan dengan analisis probit dengan program komputer (SAS Institut 1990).

- Pengujian Antifidant. Pengujian antifidan dilakukan dengan percobaan pilihan, di mana serangga uji diberi pilihan makan dengan dan tanpa ekstrak. Pengujian dilakukan dengan beberapa taraf konsentrasi. Konsentrasi yang digunakan untuk setiap jenis ekstrak adalah konsentrasi sub letal. Pada perlakuan kontrol, serangga uji hanya diberi makan daun yang diolesi dengan pelarut (tanpa ekstrak). Ekstrak dengan konsentrasi tertentu dioleskan merata pada setiap permukaan pakan serangga dengan sonde mikro (microsyringe). Pakan yang digunakan adalah potongan daun brokoli. Potongan pakan yang diberi perlakuan ditempatkan dalam cawan petri yang dialasi kertas tissue. Dengan kuas, ke dalam setiap cawan petri dimasukkan 15 ekor larva. Sebelum perlakuan semua daun ditimbang untuk mengetahui bobot segarnya. Dari tiap daun yang digunakan diambil dan ditimbang berat basah satu contoh potongan daun untuk penentuan kadar air. Contoh daun tersebut dikeringkan dalam oven suhu 100 oC selama 2 hari dan selanjutnya ditimbang untuk mendapatkan berat kering. Lama pemberian pakan perlakuan dan kontrol dilakukan selama 48 jam, selanjutnya sisa daun perlakuan dan kontrol yang tinggal ditimbang untuk mendapatkan berat daun yang dikonsumsi.

Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan empat ulangan. Indeks hambatan makan (IHM) dihitung dengan rumus:

IHM = (BK BP) / (BK + BP)

BK = bobot daun kontrol yang dimakan, BP = bobot daun perlakuan yang dimakan. Data indeks hamabatan makan dianalisis dengan sidik ragam. dan dilanjutkan dengan Pembandingan nilai tengah antar perlakuan. Analisis data menggunakan program SAS (SAS Institute 1990).

3.5.Analisis Data

Data hasil penelitian kemudian ditabulasikan ke dalam tabel pengamatan, sedangkan hasil isolasi diuraikan secara deskriptif. Nilai dugaan kematian 50 % hari ( LC-50 dalam unit waktu ) ditentukan dengan menggunakan persamaan garis regresi antara log konsentrasi dan probit kematian ( Probit analisis). Efektivitas dari fraksi-fraksi terhadap larva Artemia salina Leach dinyatakan dalam LC-50 (ppm) duapuluh empat jam dan empat puluh delapan jam setelah perlakuan. Data LC-50 kemudian diperbandingkan, jika LC-50 tersebut memiliki konsentrasi kecil maka isolat tersebut sangat efektif dipergunakan sebagai larvasida dan sebaliknya.

3.6. Rencana Jadual Pelaksanaan PenelitianNoKegiatanBulan Pelaksanaan

12345678910

A.PERSIAPAN

1.Pemesanan Bahan dan Penambah alat-alat sederhana

B.OPERASIONAL PENELITIAN

1.Observasi Pendahuluan

2.Penyiapan Bahan dan Peralatan Uji

3.Studi Lapangan

4.Ekstraksi, fraksiona-lisasi, isolasi, identifikasi dan bioassay

5.Tabulasi dan analisis Data

6.Interpretasi dan Pembahasan

C.PENYUSUNAN LAPORAN

1.Penyusunan draft laporan

2.Seminar

3.Ujian Disertasi

IV. DAFTAR PUSTAKA

Achanta,G., Modzeleska, Feng, Li, Khan, S.R., Huang.,P., 2006. A Boronic

Chalcone Derivative Exhibits Potent Anticancer Activity through Inhibition

of the Proteosome,.Mol.Pharmacology, 70: 426-433.

Akhtar,Y, Isman,M.B. 2004. Comparative growth inhibitory and antifeedant effects

of plant extracts and pure allelochemicals on four phytophagus insect

species. Journal of Applied Entomology 128, 32-38.

Arnason, J.T., S. Mackinnon, A. Durst, B.J.R. Philogene, C. Hasbun, P.Sanchez,

L. Poveda, L. San Roman, M.B. Isman, C. Satasook, G.H.N. Towers, P.

Wiriyachitra, J.L. McLaughlin. 1993. Insecticides in Tropical Plants with

Non-neurotoxic Modes of Action.p. 107-151.In K.R.Downum, J.T. Romeo, H.A.P. Stafford (eds.), Phytochemical Potential of Tropical Plants. New York: Plenum Press.Ascher,K.R.S. and H.Rembold.2002. Natural Pesticides from Cinnamomum.

Eschborn, Rottach- Egern,FRG.

Basana, I.R., D. Prijono. 1994. Insecticidal Activity of Aqueous Extracts of Four

Species of Annona (Annonaceae) against Cabbage Head Caterpillar,

Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae). Bul. HPT. 7:50-60.

Bernard CB, Krishanmurty HG, Chauret D, Durst T, et al. (1995). Insecticidal

defenses of Piperaceae from the neotropics. J. Chem. Ecol. 21: 801-814.Budiman, C.P. 1994. Kajian Manfaat Bahan Tanaman Famili Annonaceae

sebagai Pestisida Alami untuk Pengendalian Organisme Pengganggu

Tumbuhan. Dalam H. siswomihardja, U. Damiati, Hidayat, I. Kamal,

E.T. Purwani, M. Sinuraya, Basuki, Andrizal, Sutripriarso (eds.), Kumpulan

Makalah Seminar Pemanfaatan Bahan Alami Dalam Upaya Pengendalian

Organisme Pengganggu Tumbuhan.Jakarta: Program Nasional

Pengendalian Hama Terpadu dan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman dan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman PanganBurkill, J.H. 1935. A dictionary of economic products of the Malay Peninsullar. Government of the Straits Settlement. Milbank. London S.W. 340 hal.

Campbell, F.C. and W.N.Sullivan. 1933. The relative toxcity of nicotine

anabasine,methyl anabasine and lupinene for culicine mosquito larvae.

Journal of Economic Entomlogy,26: 500-509.

Choochote W, Udom Chaithong ,Kittichai Kamsuk , Eumporn Rattanachanpichai,

Atchariya Jitpakdi , Pongsri Tippawangkosol , Dana Chaiyasit , Daruna

Champakew,Benjawan Tuetun & Benjawan Pitasawat . 2006. Adulticidal

Activity Against Stegomyia aegypti (DIPTERA: CULICIDAE) of Three

Piper spp. Rev. Inst. Med.trop. S. Paulo 48(1):33-37, January-February,

2006

Das N.G., D. Goswami & B. Rabha.2007. Preliminary evaluation of mosquito

Larvicidal efficacy of plant extracts.. J Vect Borne Dis 44, June 2007, pp.

145148

Djauhariya, E. dan Sukarman. 2002. Pemanfaatan plasma nutfah dalam industri

jamu dan komestika alami. Buletin Plasma Nutfah 8(2):12-13.

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Ditjen Pertanian Tanaman Pangan.

1987. Pestisida Untuk Pertanian dan Kehutanan.

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan [DBPTP] dan Direktorat

Jenderal Perkebunan [Ditjenbun]. 1994. Upaya Pemanfaatan Pestisida

Nabati dalam Rangka Penerapan Sistem Pengendalian Hama Terpadu.

Dalam Dj. Sitepu, P. Wahid, M. Soehardjan, S. Rusli, Ellyda, I. Mustika, D.

Soetopo, Siswanto, I.M. Trisawa, D. Wahyuno, M. Nuhardiyati (eds.),

Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfatan Pestisida

Nabati, Bogor, 1-2 Desember 1993. Bogor: Balai Penelitian dan

Pengembangan Pertanian dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan

Obat..Ehrenfeld, Joan.G. Effect of Exotic Plant Invasions on Soil Nutreint Cycling

Processes. Ecosystem (2003): 6: 503-523.

Grainge, M and S. Ahmed. 1988. Handbook of Plants with Pest Control

Properties. New York: J. Wiley.

Gollin, L.X. 2001 The Taste and Smell of Taban Kenyah (Kenyah Medicine): An

Exploration of Chemosensory Selection Criteria for Medicinal Plants among

the Kenyah LepoKe of East Kalimantan,Borneo.Ph.D.Thesis, Anthropology

Department. Honolulu,University of Hawaii: 514.

Gottlieb ORM, Koketsu M, Magalhes MT, Maia JGS, et al. (1981). leos

essenciais da Amaznia VII. Acta Amazon. 11: 143-148.

Hamid, A., Y. Nuryani. 1992. Kumpulan Abstrak Seminar dan Lokakarya

Nasional Etnobotani, Bogor. P.1. Dalam S. Riyadi, A. Kuncoro, dan A.D.P.

Utami. Tumbuhan Beracun. Malang: Balittas.

Harborne, 1987. Phytochemical Methods. London :Chapman and Hall.

Isman, M.B., J.T. Arnason, G.H.N. Towers. 1995. Chemistry and Biological

Activity of Ingredients of Other Species of Meliaceae. p. 652-666. In H.

Schmutterer (ed.), The Neem Tree: Source of Unique Natural Products for

Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purpose.

Weinheim (Germany): VCH.

Leite,A.C., Adriano., A.L., Massuo,J.K., Vanderlan da S.Balzari and Maysa F. Biosynthetic Origin of the Isoprene Unit in Chromenes of Piper aduncum ( Piperaceae).J.Braz.Chem.Soc.Vol.18, No.8, 1500-1503, 2007.

Lohan, D and S.Johnston.2003. The International Regim for Bioprospecting.

UNU/IAS.26 pp.

Matsumura,F. 1975. Toxicology of Insecticides. New York, Plenum Press.

Mello,M.O; Silva-Filho,M.C.2002. Plant-inect interactions; an evolutionary arms

race between two distinct defence mechanisms. Brazilian Journal of Plant

Physiology 14,71-81.Metcalf, R.L. & Luchman,W.H.1982. Introduction to insect pest management.

Jhon Wiley & Sons. New York.p.5-6.

Meyer, B.N., N.R. Feerigni.J.E.Outnam, L.B. Jacobson, D.E.Nicholas, J.E.

McLaughlin. Planta Medica 45 (1982) 31-34.

Moehamadi Noer. 2005. Potensi Biolarvasida ekstrak herba Ageratum conyzoides

Linn dan Daun Saccopetalum horsfieldii Benn terhadap Larva Nyamuk

Aedes aegypti L. Berkala Penelitian Hayati: 10 (1-4).2005. Moeljopawiro, S.1999.Bioprospecting.Peluang,potensi dan tantangan.Buletin

AgroBio 3(1):1-7.

Muhtar,M.2001. Bioprospeksi. Indonesia Nature Conservation Newsletter.11 pp.

National Institute of Allergy and Infectious Diseases.Dengue fever-overview.[Cited 2007 Dec 12] Available at http://www3.niaid.nih.gov /healthscience /healthtropics/dengue/overview.htm.

Napis Amri, 1991.Kemotaksonomi Di Daerah Padang Ganting. Dalam. Hamzar

Suyani ( Editor ). Kimia dan Sumber Daya Alam. Pusat Penelitian

Universitas Andalas Padang. halaman 9-18.

Nath, D.R., M.Buyan dan S. Goswami. 2006. Botanical as Mosquito Larvicides.

Defence Science Journal, Vol. 56, No. 4, October 2006, pp. 507-511.

Odda John, Sibylle Kristensen, John Kabasa & Paul Waako.J.Vector Borne Dis

45, December 2008, pp.321-324.

Parmar , B. S. 1995. Results with commercial neem formulations produced in

India. In H. Schmutterer (eds), The Neem Tree Azadirachta indica A.

Juss. And Other Meliaceous Plants. Sources of Unique Natural Products

for Integrate Pest Managemant, Medicine, Industry and Other Purposes.

pp. 453-470. VCH Weinheim. New York, Basel, Cambridge, Tokyo.

Prakash, A and J. Rao. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton:

Lewis Publishers.

Prasetiyo,K.W. dan S.Yusuf.2004. Mencegah dan Membasmi Rayap secara

Ramah Lingkungan dan Kimia. Agro Media Pustaka.Jakarta.

Puslitbangtri. 1992. Sepuluh Tahun Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Industri 1982-1991. Sumbangan Penelitian dalam

Pembangunan Perkebunan Rakyat. Jakarta: Deptan. R.I.

Rali Topul., Stewart W.Wossa., David N.Leach and Peter G.Waterman. Molecules 2007, 12, 389-394.

Sakamura, S and K.Sogawa.1989. Plant toxic for botanical insecticides.Progress

report.Kanazawa University Press, Japan.

Sarmoko. 2009. Bioinformatika Docking: Contoh studi senyawa aktif dalam

P.aduncum L terhadap protein tubulin. Fak Farmasi UGM, Yogyakarta.

Soedarmo, 1988. Demam Berdarah ( Dengue) pada Anak. UI Press, Jakarta.

Sudrajat, Hartati, Sudiastuti, Lariman dan Dwi Susanto.1995.Studi Fitokimia Farmakologik Tumbuhan Hutan Hujan Tropik Humida Dataran Rendah, Kalimantan Timur. Lemlit UNMUL, 161 halaman ( Lap.tidak dipublikasikan).

Sudrajat, Djoko Mintargo dan Rudi Kartika. 2009.Isolasi Bahan Bioaktif dari Kulit

Pohon Kayu Bawang Kalimantan ( Scorodocarpus boorneensis Becc)

Sebagai Larvasida Nyamuk. Jurnal Ilmiah Mulawarman Scientifie.Vol.8

Nomor 1, April 2009 : 30-38. Schmutterer, H. 1995. The neem tree, Azadirachta indica A. Juss. And other

Meliaceous plants: Source of Unique Natural Products for Integrated Pest

Management,Medicine, Industry and Other Pusposes.: Weinham: VCH.

Syamsuhidayat, S. S., dan Hutapea, J. R., 1991, Inventaris Tanaman Obat

Indonesia (I), Departemen Kesehatan RI, Jakarta, page 452-453

Susanna Dewi, A.Rahman dan Eram Tunggul Pawenang.Potensi Daun Pandan

Wangi Untuk Membunuh Larva Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Ekologi

Kesehatan Vol 2 No.2, Agustus 2003:228-231.

Starr Forest., Kim Starr and Lloyd Loope. Piper aduncum Spiked pepper,Piperaceae.USGS-Biological Resources Division, Haleakala Field Station,

Maui, Hawaii.2003. 8 page.

Syafii,W.2001. Eksplorasi dan Identifikasi Komponen Bioaktif Beberapa Jenis

Kayu Tropis dan Kemungkinan Pemanfaatannya sebagai Bahan

Pengawet Alami. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu

Indonesia IV.pp.III-43 III 53.

Thamrin,M., S. Asikin, Mukhlis dan A.Budiman. Potensi Ekstrak Flora Lahan Rawa. Monograf Penelitian Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. halaman 35-54.The Center fo Disease Control.The dengue fever fact sheet-CDC Division of

Vector-Borne Infectious Diseases [Cited 2007 Dec12]. Available at

http:/.cdc.gov/ncidod /dvbid/dengue.

Takahashi, N. 1981. Applicati of BiologicallyNatural Products in Agricultural

Fields. Dalam Proc. Of Reg. Seminar on Recnet Trend in Chemistry

of Natural Product Research, M.Wirahadikusumah and A.S Noer

(Eds.). 110 132. Penerbit ITB, Bandung.Tjokronegoro, R,K., Sayuti Murat, Anni Anggraeni dan Husein H.Bahti. 1995.Pemanfaatan Kulit Polong Jengkol ( Pythellobium jiringa Prain)

Sebagai Bahan Larvasida Nyamuk Disertai karakterisasi dari Senyawa

Aktifnya. Dalam. Prosiding Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi,

Tanggal 2 S/d 6 Januari 1994. Buku VIII Bidang MIPA dan Kimia

Farmasi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada

Masyarakat, Dirjen Dikti.hal. 334-349.

Orjala,J., Wright A.D., Behred,H.,Folker, G.,Sticher,O.,Ruegger, H. Rail,T. 1994. Cytotoxic and antibacterial Dyhidrohalcones from Piper aduncum. J.

Nat.Prod.,Jan : 57 (1): 18- 26.

Odda John , Sibylle Kristensenb, John Kabasac & Paul Waako.2008.Larvicidal

activity of Combretum collinum Fresen against Aedes aegypti. J Vector

Borne Dis 45, December 2008, pp. 321324

Van Beek, T.A & A.de Groot,1986.Terpenoid Antifeedant, Part I. An Overview

of Terpenoid Antifeedant of Natural Origin.Recl.Trav.Chim.Paya Bass

105 : 513-527.

Wiesman Z and Chapagain B. Laboratory evaluation of natural saponin as a

bioactive agent againts Aedes aegypti and Culex pipiens. Dengue Bull.

2003 ; 27: 168-173

------------------------------------. Larvicidal Activity of the Fruit Mesocarp Extract of

Balanites aegyptiaca and its Saponin Fraction against Aedes

aegypti . Dengue Bull. 2005 ; 29: 203-207.

Wood, T., W. Ruggero & R. Nelson. 1995. Performance profile for the neem-

based insecticide ALIGNTM . In The Neem Tree- Source of Unique Natural

Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other

Purposes. pp. 445 453. VCH, Weinheim. New York, Basel, Cambridge,

Tokyo.

Zakaria Zuraini, Sasidharan Screenivasan and Mastura Mohamad. Journal of

Applied Biological Science 1(3) : 87-90, 2007.Zebith,C.P.W. 1986. Potential of neem seed kernel extracts in mousqoito control.

In. Proceeding 3rd.International Neem Conference.Nairobi.p.555-573.

Studi Biofisik Tumbuhan Hutan Sekunder

- Morfologi, Taksonomi

Di lapangan

Sampel Daun, Kulit Batang dan Kayu tumbuhan Kering angin

K

P

Uji Fitokimia

Uji Brine Saline Test

Uji daya racun terhadap Serangga

Residu ( dibuang)

Bahan terlarut dalam alkohol 95 %

Ekstrak Kasar

Fase heksana

Fase metanol-air

Fase air

Fase kloroform

Fraksi heksana

Fraksi Air

Fraksi kloroform

Fraksi Aktif

Identifikasi struktur senyawa bioaktif dengan UV, HPLC, GC-MS, IR

USAHA MIKRO UNTUK

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM RANGKA REVITALISASI INDUSTRI HASIL HUTAN