View
218
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
“Potensi Perjanjian Dalam Perkawinan Poligami
(Studi Anlisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 184/Pdt.G/PA.Bks)''
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Ahmad Zarkasih
104044201458
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULLAH
J A K A R T A 1429 H /2009 M
KATA PENGANTAR
��� ا ا���� ا�����
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT serta Taufik dan
Hidayahnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini (skripsi ) yang merupakan
salah satu persyaratan demi mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) di
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta. Mudah-mudahan ilmu
yang penulis peroleh menjadi ilmu yuntafabihi baik untuk diri sendiri maupun orang
lain serta mendapatkan keberkahan dan dapat mengamalkannya.Amin
Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada gudangnya ilmu yaitu
Nabi Besar Muhammad SAW. Mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafaat dari
beliau di hari kemudian nanti…
Dalam suatu pribahasa Indonesia mengatakan "Tak ada Gading yang tak
Retak" itulah ungkapan bijak yang ingin penulis sampaikan dalam penyusunan
skripsi ini yang berjudul “Potensi Perjanjian Dalam Perkawinan Poligami (Studi
Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 184/Pdt.G/PA.Bks)'' di mana
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, yang disebabkan keterbatasan
penngetahuan yang penulis miliki. Maka dengan kerendahan hati, mohon di betulkan
apabila banyak kesalahan dan kealpaan, karena saran dan kritik yang membangun
adalah pintu menuju ketingkatan yang lebih tinggi dan arah yang lebih baik.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari
dukungan moril dan materil dari berbagai pihak. Baik lingkungan keluarga,
masyarakat, Universitas, Fakultas, Dan program study. Oleh Karena itu yang paling
pertama penulis sampaikan dengan sepenuh hati mengucapkan ribuan terima kasih
kepada Ayahanda tercinta KH. Makhtum Abdullah dan Ibunda Hj. Nurlaila yang
tiada kata lelah dan selalu memberi motivasi dalam mendidik demi kemajuan dan
keberhasilan anak-anaknya, penulis tidak dapat membalas kebaikannya dan
memohon do'a Mataanallahu bi thulli hayatihim, dan tak lupa penulis memohon
maghfiroh kepada Allah SWT untuk ibunda Alm Hj. Jaronah yang terkasih yang
telah lama pergi. Mudah-mudahan penulis menjadi wa waladun sholehun yad'u lahu (
Anak yang sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya)
Dalam penyelesaian tugas akhir ini penulis tidak lepas dukungan dari
beberapa pihak,baik universitas dan fakultas maka pada kesempatan yang berbahagia
ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak
Rektorat, Fakultas dan Program study dalam hal ini kepada Bpk :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH,.MA. MM,. Selaku Dekan fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta
2. Dr. H. Ahmad Mukri Adji. MA. Selaku dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktunya, tenaga dan pikiranya serta kesabaran dalam
bimbingan kepada penulis.
3. Drs. H. A. Basiq Djalil. SH.MA dan Bapak Kamarusdiana. S.Ag.MH selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Ahwal Assyakhsiyyah. Yang telah banyak
membantu selama perkuliahan serta memberikan terobosan-terobosan baru
demi kemajuan program study Adminisrasi Keperdataan Islam
4. Dr. H. Yayan Sopyan. M.Ag dan Drs. H. A. Basiq Djalil. SH.MA selaku
penguji I dan Penguji II dalam sidang munaqasah
5. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan bekal ilmu
pengetahuan agama dan umum serta menjadi tauladan bagi penulis.
6. Seluruh Pegawai Perpustakaan Syariah dan Hukum. Serta Perpustakaan
Utama Univeritas Islam Negeri Syarif hidayatullah
7. Drs. Entur Mastur SH dan Midjan SH, selaku ketua dan Wakil Sekretaris
Pengadilan Agama Bekasi. Terima kasih atas bimbingannya dalam
meneyelesaikan skripsi ini.
8. Mashuri S.Ag ( Alumni Fak. Syariah dan Hukum tahun 2000) Drs. Yayan
Atmaja SH dan Komaruddin S.Hi yang telah banyak membantu dalam
menyelesaikan tugas penelitian ini.
9. Untuk kakak-kakak ku : H. Khoiruddin dan isteri Hj. Saidah, Hj. Zulaikha
S.Pdi dan Suami H. A. Rosadi. dan Hj.Zubaidah. SH.I serta Adik dan
keponakan ku tercinta Adinda Syarif Hidayatullah, Syuaibatul Aslamiyyah,
Maulana Hasanuddin dan Muhammad Farhan.
10. Teman-teman seperjuangan Prodi Aki Angkatan 2004. The Best My Friend :
Rizal Purnomo, Taufik Jamaluddin, Mara Sutan Rambe, Dede Sahri, Abdul
Barri, Ma'min Barri, serta kaum hawa-nya : Ade Puspita sari, Hanna
Abdullah, Farida, Riana, Iyah ( maaf ga bisa di sebutin semua)
11. Sahabat KKS 2007 Bangbayang CIAMIS, Yanto Kiswanto beserta keluarga
dan jamaah di Ciamis
12. Teman-teman BEM J AKI 2006-2007. wa bil khusus Allah Yarham Alm.
Rifki Andika yang telah banyak memberikan pengalaman beorganisasi dan
pengetahuan teknologi kepada penulis, mudah-mudahan menjadi bekal amal
ibadah Almrhum dalam menempuh kehidupan yng hakiki (Akhirat)..
13. Al maghfurllah Syekh Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-dary dan keluarga
besar Pondok Pesantren Annida Al Islamy Bekasi serta teman-teman Alumni
Pondok Pesantren Annida Al-Islamy Bekasi 2004.
Demikian ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan mudah-mudahan
kebaikan-kebaikan yang telah kesemuanya perbuat hanya Allah lah yang dapat
membalasnya dan penulis dengan kerendahan hati mengucapkan Jaazakumullah
khairan katsira, wa jaza ahsanal jaaza'
Jakarta, 03 Januari 2009
( Ahmad Zarkasih)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................... 12
D. Objek Penelitian…………………………………………………… 13
E. Metode Penelitian ........................................................................ 13
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 17
BAB II PERKAWINAN DAN POLIGAMI
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan.................................... 19
B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan................................................... 26
C. Pengertian dan Sejarah Poligami ................................................. 29
D. Faktor Penyebab Poligami........................................................... 33
E. Dampak poligami ........................................................................ 37
F. Hikmah Poligami ....................................................................... 38
G. Makna Keadilan Dalam Poligami ............................................... 39
BAB III PERJANJIAN PERKAWINAN
A. Pengertian dan dasar hukum perjanjian perkawinan..................... 43
B. Hukum membuat Perjanjian Perkawinan ..................................... 45
C. Macam-macam Sifat perjanjian ................................................... 46
BAB IV TINJAUAN HUKUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN
PERKARA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI (Study analisis Putusan
Pengadilan Agama Bekasi nomor 184/pdt.G/2007/PA.Bks )
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Bekasi ............................... 48
B. Landasan Hukum Pemeriksaan Perkara Permohonan Izin
Poligami di Pengadilan Agama Bekasi ........................................ 57
C. Proses Peradilan Perkara Permohon Izin poligami di Pengadilan
Agama Bekasi ............................................................................. 63
D. Analisis Penulis............................................................................ 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 78
B. Saran-Saran................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk hidup yang di ciptakan oleh Allah SWT di dunia ini
saling berpasang-pasangan, sebagaimana firman Allah SWT :
Surat Al Hujarat ayat 13 :
����� إن�� ������آ� ��� ذ ��� أ���� ا���س � آ�) وأن&�% و$"����آ� #�"! � و
�����3) 1"�����ر/!ا إن أآ����)�.� -�����, ا�����( أ+������آ� إن ا�����( � �3�����- )١٣: ٤٩/ا67)ات(
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Q.S (Al-Hujarat 49):13
Dan di dalam Hadist Tirmidzi dari Abi Ayyub, Rasulullah SAW bersabda :
��ل ر@�!ل ا��B A% اA -�3�( و@��� : -� ا % ا�!ب ��ل : ��� C� ار �3�@(D�.�ح : @�� ااك وا!Gوا(H"1�37ء واا)ىK�(1ا L1 )روا
Artinya : Empat perkara yang merupakan sunnah para Nabi yaitu : celak, wangi-
wangi, siwak dan kawin"( HR. Turmuzi)
1 Abu Isa Muhammad Ibnu Saurah, Sunan Al-Turmudzi, (Beirut; Dar Al- Fikr,1994) juz ke 2,
H 342
Ada beberapa kebutuhan alami manusia yang perwujudannya hanya sah
apabila dilakukan melalui lembaga perkawinan. Dimana pun dimuka bumi ini dikenal
adanya lembaga perkawinan. Walaupun dengan tata cara, aturan, perwujudan upacara
yang berbeda, esensi perkawinan tetap sama, mengesahkan perwujudan beberapa
kebutuhan alami manusia.
Namun sebagaimana kita ketahui bersama arti dan tujuan perkawinan dapat
dibaca dari Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
berbunyi sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang MahaEsa”.2
Kalau materi pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
tersebut di atas dirumuskan ke dalam arti dan tujuan, maka yang dimaksud dengan
arti perkawinan adalah:
“Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri”. Sedangkan yang dimaksud dengan tujuan perkawinan adalah: “membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Dengan adanya perkawinan tersebut, maka timbullah hubungan hukum antara
seorang wanita dan seorang pria untuk hidup bersama sebagai suami istri yang sah
menurut hukum. Dengan demikian undang-undang mengatur tentang syarat-syarat
2 Undang-undang no 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Departemen Agama. Jakarta 2004
Hal 1
perkawinan, sahnya suatu perkawinan, cara pencatatan perkawinan, akibat dari suatu
perkawinan dan segala sesuatunya yang mungkin timbul karena adanya suatu
perkawinan.3
Yang dimaksud dengan ikatan lahir batin seperti yang dimaksud dalam Pasal
1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut tidak cukup
dengan ikatan lahir batin semata-mata,akan tetapi harus perpaduan antara keduanya.
Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat yang mengungkapkan adanya suatu
hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup sebagai
suami isteri secara formal. Ikatan batin adalah merupakan hubungan yang tidak
formal yaitu merupakan ikatan yang tidak dapat dilihat. Tahap pertama untuk
mengadakan perkawinan, ialah ikatan yang diawali dengan adanya kemauan yang
sungguh-sungguh untuk hidup bersama dalam suatu ikatan. Selanjutnya dalam hidup
bersama itu tergambar adanya suatu kerukunan dan seterusnya ikatan batin itu akan
merupakan inti dari suatu ikatan lahir.
Terjalinnya ikatan lahir dengan ikatan batin secara terpadu merupakan fondasi
yang kokoh untuk membentuk serta membina suatu keluarga yang bahagia serta
kekal, karena tujuan suatu perkawinan pada hakekatnya adalah agar perkawinan
berlangsung seumur hidup.
Dalam perkembangannya ikatan perkawinan mengalami poerubahan bentuk,
yaitu tidak hanya berupa ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
3 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia.
Penerbit Bina Aksara. Jakarta. 1987. Hal.10
sebagai suami isteri, tetapi timbulnya suatu ikatan antara seorang pria dengan lebih
dari seorang wanita sebagai isteri. Gejala ini timbul atas kehendak pria itu sendiri
secara murni maupun adanya problematika rumah tangga yang terjadi di sebabkan
oleh sang isteri yang tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban sebagai seorang
isteri4
Masalah poligami, dahulu pernah menjadi suatu pembicaraan masyarakat
ramai dikarenakan ada satu pihak yang menyetujui dan di lain pihak ada yang tidak
setuju dengan dicantumkannya poligami itu sebagai salah satu asas dalam undang-
undang perkawinan yang hendak diciptakan. Kemudian menjadi suatu kenyataan,
bahwa poligami merupakan salah satu asas, tetapi dengan suatu pengecualian, yaitu
yang hanya ditujukan terhadap orang yang menurut hukum dan agama yang
dianutnya mengizinkan bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang serta
hanya dalam keadaan tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula.5
Selanjutnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
memberikan batasan yang cukup ketat mengenai pengecualian itu, yaitu berupa suatu
pemenuhan syarat disertai dengan alasan-alasan yang dapat diterima serta harus
mendapat izin dari pengadilan, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 3 sampai
dengan pasal 5 Undang-Undang Perkawinan No I Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
4 Salam sholihin, Meninjau masalah poligami (Jakarta; Tinta Mas, 1959) Hal 34 5 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika.Op.cit hal 15
Hal yang merupakan alasan yang dapat memungkinkan seorang suami
diperbolehkan untuk beristeri lebih dari seorang di atur dalam pada pasal 4 Ayat 2
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai berikut: 6
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Isteri tidak dapat melahirkan
Salah satu alasan yang tersebut di atas, pasal 5 Undang-undang Perkawinan,
Menyatakan: “Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 (1) UU ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Adanya persetujuan dari suami/isteri-isteri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka..7
Hal ini diulang kembali pada pasal 41b, c dengan tambahan penjelasan
bahwa:
1. Dalam hal persetujuan lisan dari isteri/isteri, harus diucapkan di depan sidang
pengadilan
6 Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Departemen R.I Jakarta 2004 7 Ibid
2. Dalam hal adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anaknya. Suami harus memperlihatkan surat keterangan tentang
penghasilan).8
3. Dalam hal adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
Menurut K. Wantjik Saleh, “Suami harus mengemukakan suatu pernyataan atau
janji dalam bentuk yang akan ditetapkan kemudian (maksudnya rumusan dan cara
pengucapan pernyataan/janji itu)9
Merujuk pada pernyataan K. Wantjik Saleh tersebut, bahwa perjanjian yang
bentuknya akan ditetapkan kemudian rumusannya maupun cara pengucapannya, hal
ini dapat secara lisan maupun tulisan. Namun perlu diingat bahwa “yang dimaksud
dengan perjanjian perkawinan disini tidak termasuk ta’lik talak”.10
Dalam hal ini
jaminan bahwa suami sanggup berlaku adil pada umumnya hanya berupa pernyataan
dari pihak suami di depan pengadilan baik secara lisan maupun tertulis. Sebagai salah
satu syarat untuk mengajukan izin poligami, Jadi hanya berupa sebuah perjanjian
tertulis secara sepihak. Karena sifatnya yang hanya sekedar pernyataan atau janji
yang dapat dikatakan sekedar formalitas maka hal ini seringkali tidak diacuhkan oleh
para pihak yang bersangkutan, baik dari pihak suami bahkan pihak para isteri.11
8 Peraturan Pemerintah. No. 9 Tahun 1975, Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974. Penerbit DEPARTEMEN AGAMA JAKARTA 2004 Hal 89 9 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia. Penerbit Ghalia Indonesia. 1976.
Hal.23 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Op.Cit, Hal.26. 11 K. Wantjik Saleh, Op.Cit Hal 27
Padahal dikemudian hari dapat mengakibatkan timbulnya pihak yang merasa
diperlakukan tidak seimbang dalam perkawinan poligami. Maka bukan tidak
mungkin, adanya formalitas tersebut dapat melemahkan kedudukan hukum pihak
yang merasa dirugikan dalam hal ini pada umumnya adalah pihak isteri. Karena
memandang perlu dalam sebuah perkawinan poligami dibuat suatu aturan yang
sifatnya memberatkan dan dapat melindungi pihak yang merasa dirugikan berupa
sehelai surat perjanjian untuk poligami, untuk mencegah adanya pihak yang merasa
dirugikan dan agar pihak tersebut dapat memperjuangkan hak-haknya kembali di
samping memiliki kekuatan hukum yang sejajar dengan pihak suami. Tentunya hal
yang demikian harus dilakukan perjanjian-perjanjian tersendiri diantara kedua belah
pihak. Dengan tujuan agar masing-masing pihak paham akan hak dan kewajibannya.
Karena bila perjanjian-perjanjian dalam pelaksanaan poligami tidak disepakati, tidak
menutup kemungkinan akan timbul perceraian. Dimana suami sebagai pengayom dan
sebagai kepala rumah tangga tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang
berakibat salah satu pihak dari isteri mendapat perlakuan yang tidak seimbang atau
menjadi pihak yang merasa dirugikan.
Hal inilah yang sering terjadi dalam masyarakat, dimana seorang suami yang
telah memiliki isteri lagi meskipun telah membuat pernyataan sanggup berlaku adil
untuk berpoligami, masih tetap melakukan pelanggaran terhadap pernyataan sanggup
berlaku adil di depan Pengadilan, dalam arti kata sang suami ingkar janji terhadap
isterinya. Padahal, diharapkan dengan pernyataan yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak maka rumah tangga yang dijalani suami dengan memiliki dua isteri (atau
lebih) akan berjalan dengan baik. Hal ini bisa terwujud bila suami bisa berlaku adil
sesuai dengan kesepakatan yang telah diambil.12
Mungkin, karena hal tersebut pulalah, hingga saat ini, pada umumnya, wanita-
wanita Indonesia asli yang beragama Islam, sebagian besar merasa keberatan
terhadap sistem poligami, meskipun peraturan hukum Agama Islam memperbolehkan
mempunyai empat orang isteri bagi seorang laki-laki. Salah satu jalan atau
kemungkinan yang meringankan keberatan-keberatan dan memperkecil adanya
sistem poligami, yaitu dengan hukum agama islam yang mengajarkan bahwa:
“beristeri lebih dari seorang hanya diperbolehkan, apabila si suami mampu dan
berniat sungguh-sungguh untuk memperlakukan semua isterinya dengan cara yang
sama dan sepantasnya”.
Dalam hal ini Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika berpendapat, “hal ini berarti
bahwa seorang suami harus memberi nafkah kepada isteri-isterinya dengan pantas
dan tidak ada perbedaan di antara isteri-isterinya. Demikian pula dalam hal mencintai
secara layak. Karena itulah sebenarnya dimaksudkan oleh Hukum Agama Islam
adalah agar seorang laki-laki yang beristeri lebih dari seorang haruslah terlebih
dahulu mempertimbangkan kemampuan diri dalam hal materi maupun pemenuhan
janji untuk bersikap adil dalam segala hal dan bukan sekedar memenuhi kebutuhan
hawa nafsu belaka”13
12
Abdul Manan, dan M Fauzan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006. Hal 31
13 8 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op. Cit. Hal.53
Kemudian mengapa kita tidak berusaha untuk membenahi semua aturan-
aturan yang mudah untuk disimpangi. Bagaimana caranya agar pihak isteri yang
dalam hal ini sering menjadi pihak yang dirugikan, juga punya kekuatan untuk
menggugat hak-haknya yang selama ini tidak didapatkannya dari suami yang telah
berlaku tidak adil kepadanya. Tentunya agar pihak isteri menjadi pihak yang sejajar
dengan pihak suami di pengadilan maka pihak isteri harus memiliki bukti yang cukup
kuat pula, yaitu berupa sehelai surat perjanjian perkawinan untuk poligami yang telah
disepakati bersama baik sebelum, sesudah dan setelah terjadinya perkawinan
poligami tersebut diperlakukan tidak adil karena takut diceraikan oleh suami. Namun
pendapat ini juga bukan berarti bahwa penulis menganjurkan perceraian sebagai jalan
keluar dari semua permasalahan di atas.
Berangkat dari apa yang penulis paparkan seperti di atas maka penulis
bermaksud dan tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam wujud
skripsi dengan judul: “Perjanjian Dalam Perkawinan Poligami (Studi Anlisis
Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 184/Pdt.G/PA.Bks)''
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Maslah.
Mengingat banyak diantara yang belum mengetahui bagaimana prosedur yang
harus di tempuh bagi seorang yang ingin menikah lagi ( poligami) maka tidak sedikit
isteri dan anak-anak yang menjadi korban dari perkawinan poligami tersebut, Maka
dalam pembahasan skripsi ini agar tidak melebar maka penulis membatasi hanya
suatu perjanjian perkawinan yang dilakukan ketika suami akan melakukan
perkawinan poligami dengan menganalisis putusan pengadilan Agama Bekasi Nomor
184/Pdt.G/PA.Bks.
2. Perumusan Masalah
Dan uraian latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, maka penulis merumuskan bahwa kesanggupan suami dalam
berlaku adil dalam perkawinan poligami pada umumya hanya berupa pernyataan/janji
dari pihak suami di depan Pengadilan baik lisan maupun tulisan, karena sifatnya yang
hanya sekedar atau janji yang biasa dikatakan sekedar formalitas maka hal ini sering
di abaikan/diacuhkan dan banyaknya janji-janji yang tidak terpenuhi oleh para pihak
yang bersangkutan, baik pihak suami atau pihak isteri. Padahal dikemudian hari dapat
mengakibatkan timbulnya pihak yang merasa diperlakukan tidak seimbang dalam
perkawinan poligami. Maka bukan tidak mungkin, adanya formalitas tersebut dapat
melemahkan kedudukan hukum pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini pada
umumnya adalah pihak isteri. Karena memandang perlu dalam sebuah perkawinan
poligami dibuat suatu aturan yang sifatnya memberatkan dan dapat melindungi pihak
yang merasa dirugikan berupa sehelai surat perjanjian untuk poligami, untuk
mencegah adanya pihak yang merasa dirugikan dan agar pihak tersebut dapat
memperjuangkan hak-haknya kembali di samping memiliki kekuatan hukum yang
sejajar dengan pihak suami. Tentunya hal yang demikian harus dilakukan perjanjian-
perjanjian tersendiri diantara kedua belah pihak. Dengan tujuan agar masing-masing
pihak paham akan hak dan kewajibannya. Karena bila perjanjian-perjanjian dalam
pelaksanaan poligami tidak disepakati, tidak menutup kemungkinan akan timbul
perceraian. Dimana suami sebagai pengayom dan sebagai kepala rumah tangga tidak
dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang berakibat salah satu pihak dari isteri
mendapat perlakuan yang tidak seimbang atau menjadi pihak yang merasa dirugikan.
Hal inilah yang sering terjadi dalam masyarakat, dimana seorang suami yang
telah memiliki isteri lagi meskipun telah membuat pernyataan sanggup berlaku adil
untuk berpoligami, masih tetap melakukan pelanggaran terhadap pernyataan sanggup
berlaku adil di depan Pengadilan, dalam arti kata sang suami ingkar janji terhadap
isterinya. Padahal, diharapkan dengan pernyataan yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak maka rumah tangga yang dijalani suami dengan memiliki dua isteri (atau
lebih) akan berjalan dengan baik. Hal ini bisa terwujud bila suami bisa berlaku adil
sesuai dengan kesepakatan yang telah diambil.
Dan rumusan ini dapat di rinci berupa pertanyaan pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaiamana Prosedur mengajukan izin Poligami di Pengadilan Agama Bekasi
2. Bagaimana upaya Pengadilan Agama Bekasi dalam memberikan izin poligami
kepada suami agar dapat berlaku adil ?
3. Bagaimana akibat hukum dari pelanggaran perjanjian perkawinan Poligami
tersebut
4. Bagaimana upaya hukum penyelesaian pelanggaran perjanjian perkawinan
Poligami tersebut
5. Bagaimana pandangan hakim dalam memutus perkara Putusan Pengadilan Agama
Bekasi Nomor 184/Pdt.G/PA.Bks dan apa dasar hukumnya
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tata cara / Prosedur mengajukan izin Poligami di Pengadilan
Agama Bekasi
2. Untuk dapat mengetahui upaya Pengadilan Agama Bekasi dalam memberikan izin
untuk berpoligami bagi suami agar berlaku adil
3. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum yang ada dari pelanggaran perjanjian
perkawinan Poligami
4. Untuk mengetahui upaya hukum penyelesaian pelanggaran perjanjian perkawinan
Poligami tersebut.
5. Mengetahui dasar hukum bagaimana hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam
memutus perkara Nomor 184/Pdt.G/PA.Bks
Dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kepentingan ilmiah, yang bermanfaat bagi Ilmu pengetahuan khususnya dalam
Ilmu Hukum atau pun dan beberapa ilmu terkait lainnya.
2. Kepentingan praktis, yaitu bermanfaat bagi masyarakat luas, dapat menjadi sumber
informasi yang akurat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan
poligami, terutama bagi masyarakat yang awam mengenai hukum maupun hukum
perkawinan secara khususnya.
D. Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Bekasi dengan alasan karena dalam
Pengadilan Agama Bekasi telah mendapat kasus tentang izin poligami dan juga telah
menemui putusannya. Begitu juga dalam segi geografis Pengadilan Agama Bekasi
mempunyai tempat yang sangat strategis, sehingga akan mempermudah penulis
dalam melakukan penelitian baik dari segi tenaga, biaya, waktu dan informasi.
E. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Dalam penulisan hukum ini metode pendekatan yang digunakan adalah Analisa
Yurisprudensi., yaitu dengan menganalisa dalam menjawab permasalahan digunakan
sudut pandang hukum berdasarkan peraturan hukum yang berlaku di bidang
perjanjian perkawinan poligami, untuk selanjutnya dihubungkan dengan kenyataan di
lapangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.
2. Jenis Penelitian
Mengingat kajian ini bersifat ilmiah dan dituangkan dalam bentuk skripsi,
maka penulis berusaha mendapatkan data yang akurat dan bukti-bukti yang benar.
Untuk itu penulis menggunakan dua jenis penelitian yaitu metode penelitian
kepustakaan (Library Research) dan metode penelitian lapangan ( Field Research).
Penelitian Kepustakaan ( Library Research), yaitu dengan meneliti berbagai
buku-buku, majalah, surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah. Baik berupa
tulisan yang disimpan di lembaga pemerintahan maupun perpustakaan umum yang
tentunya ada kaitannya dengan karya tulisan ini.
Penelitian lapangan (Field Research), penulis langsung mengadakan
penelitian lapangan dengan mendatangi objek penelitian, yaitu pada Pengadilan
Agama Bekasi yang telah memutus perkara perjajnian poligami
3. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang dipakai dalam penelitian Analisa yurisprudensi ini adalah:
a. Data primer, yaitu data asli yang berupa putusan Pengadilan Agama Bekasi
Nomor 184/Pdt.G/2007/PA.Bks, Berita acara Persidangan dan wawancara.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan
dan dokumentasi, yang merupakan hasil dari penelitian dan pengolahannya
yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku dan dokumentasi.
4. Teknik Pengumpulan data
Dengan memperhatikan jenis data yang ada, maka penulisan hukum yuridis
sosiologis ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Menganalisis perkara yang di putus oleh Pengadilan Agama Bekasi
Nomor :184/Pdt.G/2007/PA.Bks.
b. Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Bekasi
Adalah tanya jawab dalam bentuk komunikasi verbal (berhubungan dan lisan),
bertatap muka dengan informan atau para pakar hukum dalam hal ini adlah Him
Pengadilan Agama. Bentuk wawancara yang dipilih penulis adalah wawancara tidak
berstandar, yaitu teknik wawancara yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sebelum
wawancara dilaksanakan, dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan:
1) Hakim Pengadilan Agama Bekasi
2) Panitera di Pengadilan Agama Bekasi
3) Kepala Urusan Hukum di Pengadilan Agama Bekasi
C. Studi Pustaka
Yaitu mencari bahan dan informasi yang berhubungan dengan ateri penelitian
ini melalui berbagai peraturan perundang-undangan karya Tulis Ilmiah yang berupa
makalah, skripsi, buku-buku, koran,majalah, situs internet yang menyajikan informasi
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
5. Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan
menganalisis dengan cara menguraikan dan mendepkripsikan putusan Pengadilan
Agama Bekasi dan menggabungkannya dengan hasil interview serta semua data yang
diperoleh dari hasil penelitian di lapangan serta segala informasi yang diperoleh dari
informan serta literatur-literatur yang ada, kemudian dilakukan analisa kualitatif
berdasarkan penafsiran-penafsiran yuridis guna menjawab permasalahan yang ada.
Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku pedoman
skripsi yang di terbitkan oleh Fakultas Syariah Dan Hukum tahun 2007.
6. Review studi Terdahulu.
Anita Harun.2006, Analisis Yuridis penetapan Pengadilan Agama Jak-Tim
tentang Permohonan izin poligani Nomor : 137/Pdt.G/ PA JT dan Nomor 303/
Pdt.G/2005/PA JT, dalam skripsinya beliau membahas bagaimana proses izin
poligami yang di lakukan oleh seorang suami terhadap isterinya yang ingin menikah
lagi dengan menitik beratkan memohon izin di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan
Hakim pun memberikan izin kepada suami untuk berpoligami Karena syarat-syarat
yang di atur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
memberikan batasan yang cukup ketet dengan alasan-alasan yang dapat diterima.
Erlia Mukti 2007, Poligami terhadap Kesejahteraan Kelurga ( Study kasus di
Daerah Depok), mengenai isi pembahasan skripsi tersebut penulis lebih menitik
beratkan kepada akibat poligami terhadap kesejahteraan keluarga di mana suami
harus berlaku adil kepada isteri-isterinya dan Undang-undang pun mengatur
mengenai nafkah
E. Sistematika Penulisan.
Untuk mempermudah dalam penyusunan skipsi ini penulis membagi
pembahasan ke dalam lima bab, dimana tiap-tiap bab mempunyai penekanan atau
spesifikasi pembahasan mengenai topik-topik tetentu, yaitu sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yaitu uraian secara global dan
menyluruh tentang materi yang akan dibahas yaitu terdiri dari : pendahuluan,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II. PERKAWINAN DAN POLIGAMI
Dalam bab ini berisi mengenai tinjauan umum tentang pengertian perkawinan
dan sumberhukumnya, tujuan perkawinan, pengertian poligami dan dasar hukumnya,
sejarah poligami, faktor penyebab poligami, Akibat hukum poligami dan hikmahnya.
BAB III PERJANJIAN PERKAWINAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai Pengertian dan Dasar hukum
perjanjian perkawinan, Perjanjian Perkawinan, dan Macam-macam sifat perjanjian
BAB IV TINJAUAN HUKUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN
PERKARA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI ( Studi Analisis Putusan Agama
BEKASI Nomor 184/Pdt.G/2007/PA. Bks.)
Pada bab ini merupakan permasalahan pokok yang dibahas penulis mengenai
Gambaran Umum Pengadilan Agama Bekasi, landasan hukum pemeriksaan
Permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Bekasi. Serta proses Peradilan
Perkara Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Agama Bekasi dan Analisa Penulis
BAB V PENUTUP.
Dalam bab terakhir ini akan mencakup dua sub bab yaitu kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
PERKAWINAN DAN POLIGAMI
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalm literatur fiqih berbahasa Arab di sebut
dengan dua kata yaitu nikah ( M�.ن) dan zawāj (زواج)14
. Kata nikah di ambil dari kata
"nakaha"(M��.ن),"yankihu": (M.����), "nahkan" (���.7ن),"wanikahan"(ون.���ح) yang artinya
mengawini. Sedangkan kata zawaj di ambil dari kata "zawāja" (زواج), "yuzawiju"
,yang secara harfiyah berarti mengawinkan, mencampuri ,(+Pو���6 ) "tazwijan" ,( ��Pوج )
dan memperisteri.15
Kedua kata zawaja dan nikaha banyak di gunakan dalam kehidupan sehari-
hari orang Arab dan banyak terdapat didalam Al-Qur'an. Adapun kata na-ka-ha
didalam Al-Qur'an mempunyai arti kawin, sebagimana didalam surat An-Nisa Ayat 3
:
G�+QR1� أS� ء وإنTGU�ا �U� �. ب�V�� �13�% /�ن.7!اا W/ ا!Hث ور �ع /]ن 1S�� أQR+",!ا /!اح,ة أو ����.X أ��Dن.� �&�% وث
ذa أدن% أQR+"!!ا
)٣: ٤/ا��Gء(
14. Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undng- undang perkawinan(Jakarta kencan,2006) h. 35 15. Ahmad Warson munawir, Al-Munawir Qomus Arab Indonesia, ( yogyakarta: Pondok
Pesantren Al- Munawwir,1984), h.630.
Artinya :
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."
Q.S. (An-Nisa) 4: 3
Begitu juga pada kata za-wa-ja yang terdapat didalam Al-Qur'an yang
mempunyai arti kawin, Sebagaimana dalam Surat Al-Ahzab ayat 37 :
c�Q+وا a$زو a3�- aG�3�( أ- XD"3�( وأن- Aي أن"� اKQ� وإذ +�!ل L�e�f+ أن gcأح� Aس وا�Q�ا %ef+و )�,�� A��ا aGSن W/ WSf+و Aا
���h% ز���, �U����� و��V)ا زوQ$��آ��� ��QD�/ �3��i��Dن -���% ا!��.�R W��. Aا وآ����ن أ����) ا(���Vو Q������� ا!h����ح��)ج /���W أزواج أد-T���3��� إذا
R!"S� ) ابPحR٣٣/٣٧ ا( Artinya :
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya:
"Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu
takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka
tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia,supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah
itu pasti terjadi. Q.S ( Al-Ahzab)33:37.
Pengertian perkawinan dalam hukum Islam ada dua macam, yaitu :
a. Pengertian perkawinan menurut bahasa, yaitu :
16 ءط!ا و�g اklh% ا�gا�.�ح /
Artinya : Nikah ( perkawinan) menurut bahasa yaitu berkumpul dan bersetubuh
Pengertian tersebut dapat di jelaskan dengan suatu ungkpan bahasa arab yang
berbunyi :
ا �ز�$� � ,�� " ا �% - n�H�c و " h�ا�Q و D���Xا+اذ �ر6ث� ا �7Xآ�+�Qن)@ �o/ !% ا17ءط
Artinya : Tumbuh-tumbuhan itu kawin apabila telah cenderung (bersatu)
dengan yang lainnya.
b. Pengertian perkawinan menurut syara, yaitu :
-�,� 1hD� حا�l! اءط �SpU�و ا�ح. اQ1اPو�q 18
Artinya : Akad atau perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan
hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau ja-wa-ja.
Golongan ulama syafi'iyah memberikan definisi diatas karena pada
hakikatnya dari akad tersebut apabila di hubungkan dengan kehidupan suami isteri
yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul atau bersetubuh diantara keduanya.19
16 Syekh Syihabuddin Al-Qulyubi dan Syekh umarah Jalaluddin Al-mahally, Qulyuby wa
Umairah.(maktabah Wa matba'ah Thaha putra semarang) juz 3.h.206 17 Wahbah Al-Zuhili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, ( Beirut : Dar-Al-Fikr,1989),cet ke -3,
hal 29 18. Ibid 6. Wahbah Al-Zuhaili, hal 31
Adapun definisi tersebut diatas mengandung maksud sebagai berikut :
Pertama, penggunaan lafdz akad (,���-) untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu
adalah suatu perjanjian yang di buat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat
dalam perkawinan. Perkawinan tersebut di buat dalam bentuk akad karena ia adalah
peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan kelamin antara laki-
laki dan perempuan.
Kedua, penggunaan kata ( !طء�ا lا �ح� �Dh�1� ), karena pada dasarnya hubungan baik
laki-laki dan perempuan itu adalah terlarang atau haram, kecuali ada hal-hal yang
membolehkannya secara hukum syara'. Di antara hal yang membolehkan hubungan
kelamin itu adalah adanya ikatan dalam suatu pernikahan . dengan demikian, akad itu
adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang pada asalnya di larang.
Ketiga, Menggunakan lafadz ( q�وP�1.��ح اوا�ا p�S� !طء�ا ) lafadz tersebut mengandung
maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan mesti menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja,.
Sedangkan perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974
Pasal 1 bahwa : Perkawinan ialah ikatan lahir bthin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagi suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 yang menyatakan bahwa
"Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah".20
2. Dasar hukum Perkawinan.
Di dalam hukum Islam terdapat tingkatan atau penggolongan hukum di yaitu
mubah, sunnah, makruh dan haram. Dan adapun dasar hukum perkawinan banyak
terdapat di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist.
Menurut Imam jalaluddin Al-Mahali di dalam kitab qulyubi wa 'Umairah bahwa
menikah itu mubah hukumnya.21
Dengan melihat kepada sifatnya sebgai sunnah
rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata
mubah.
Pernikahan mempunyai hukum yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan
kondisi yng dialami oleh seseorang, maka hukum nikah itu adalah :
a. Wajib. Bila seseorang dilihat dari pertumbuhan jasmaninya layak untuk
kawin, nafsunya sudah mendesak, takut terjerumus dalam perzinahan dan
mampu memberikan nafkah lahir dan bathin, maka wajiblah ia kawin. Karena
menjauhkan diri dari yang harm adalah wajib, sedangkan untuk itu dapat
dilakukan dengan baik, kecuali dengan jalan kawin.22
Dan Allah SWT
20. Pengertian Perkwinan menurut Undang- undanmg No 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam 21 Jalaluddin al-mahally, loc.cit. 22 Abd Rahman Ghadzali, fiqh Munakahat. (Jakarta Kencana,2003 ), cet. 1, hal.18
memberikan janji kepada hambanya yang shaleh untuk kawin, yaitu Allah
akan memberikn kepadanya kehidupan yang bercukupan, Sebagaimana dalam
firman Allah SWT :
����دآ - ���� �37�Qr��وا �.���� %�����sإن �.!ن��!ا وأن.��7!ا ا �.�T���وإ � �3�- C@وا Aوا )�h/ �� Aا ���k� ءt(�/)!ر�٣٢: ٢٤/ا(
Artinya : "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui." ( Q.S. An-nuur/24:32)
Untuk orang tidak mampu menahan nafsunya dianjurkan untuk berpusa
sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW :
-� - �,Aا � � G"!ض ر دW Aا - �) ��% ��B Q اAل!@� � ر �� ل��� : ل Aو (3� - ا @� � :� � �"e( Qeا �، جو�1QP 3� /ة�ء�� ا�.� � �ع1H ا@ �، � �ب
/�Qا (ن xn ��r(حا، وr� �S(وج ، ��� �� ��G1CH/ "� �3) Qr��!م ،/�Q(ن 3( ( �ء$ و(�- cS1�(23
Artinya : Dari Abdullah Bin Mas'ud R.A berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW
kepada kami ; " Wahai kaum pemuda, barang siapa yang sanggup diantar kmu akan
memberikan nafkah maka kawinlah, mak bahwasanya pernikahn itu akan
menundukan pandangan, menjaga kehormatan, dan brang siapa yang tidak mampu
menhan nfsunya maka berpuasalah,karena dengan berpuasa dapat mengendalikan
nafsu". (H.R Muttafaq'alaihi)
b. Sunnah. Adapun bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mampu untuk
menikah, akan tetapi masih dapat menahan dirinya untuk mendekati perbuatan
23 Imam Abi Husain Muslim Bin Hajjaj, Shahih Muslim, ( Mesir ; Daar Al- kutub Al
Arabiyah, 1981), h. 1018-1019.
zina, maka sunnah baginya untuk menikah24
. Namun jika ia sudah mampu
untuk kawin dan mempunyai pencaharian untuk biaya hidup berkeluarga,
maka segeralah untuk menikah, karena Nabi SAW suka kepada orang yang
menikah dan mempunyai keturunan, agar beliau dapat membanggakan jumlah
umatnya, Sebagaimana sabda nabi Muhammmad SAW :
% ��B Q اAل!@� ر�ن آ:�ل � (� - اW Aض ر د!"�a � G �z � ن ا �-Aو (3� - ا @Q� � :�{�(ن ��� : ل!�� �ا و ,�,� #� �3 � ن �1� �� اQ1 % -� �� �� و ة�ء
+PQ$و!!ااد!!اد! / Uن� � W �.�(ا �.� ث s ��� �� !� ا م3 ���l ) ,�Dاح Lراو��ن � ح��� و77B( ا � ح(25
Artinya : Dari Annas bin Malik ra telah bersbda Rasulullah Saw kepada kami untuk
segera menikah dan melarang keras untuk membujang, lalu Nabi bersabda:
" kawinlah kalian dengan wanita yang subur dan mempunyai kasih sayang. Maka
sesungguhnya aku sangat bangga dengan umat ku yang mempunyai keturunan yang
banyak pada hari kiamat " ( H.R . Ahmad bin hambal dan disahkan oleh Ibnu
Hibban)
c. Haram. Seseorang yang ingin menikah akan tetapi tidak mampu memenuhi
nafkah lahir dan bathin serta nafsunya tidak mendesak maka haramlah ia
kawin.26
. Apabila seseorang menginginkan untuk menikah dengan niat
24 Abd. Rahman Ghadzali, Op.Cit,hal.19 25 Syekh Muhammad Muhadjirin Amsar Addary, Misbah ad-Dzulam Syarah Bulugh al-
maram min Adillah Al-Ahkam, CV. Annida. Bekasi,1995 M, Juz Ke 6, h.10. 26 Abd. Rahman Ghadzali, Op.Cit,hal.20
menyakiti, menganiaya atau mempermainkan, maka ia haram mengawini
wanita tersebut.27
.
d. Mubah. Menikah di bolehkan bagi seseorang tau laki-laki yang tidak terdesak
oleh alas an-alasan yng mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan
yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah28
.
e. Makruh. Adapun nikah hukumnya makruh bagi seseorang laki-laki yang
lemah sahwatnya dan dia mampu memberikan nafkah lahir bathin, maka lebih
baik tidak menikah dahulu karena apbila ia menikah maka di kahawatirkan
membawa kesengsaran bagi isterinya29
. Mengenai hukum nikah menjadi
makruh Imam Jalaluddin Al-Mahally Menjelaskan :
�ه� ا,$ ون�/ lو )- �lآ �) آ3��"+و أ�ا� دض)�و أم)L (30
Artinya : " Maka jika seorang laki-laki mampu untuk kawin, kn tetapi laki-laki
tersebut mempunyai illat(penyakit) seperti tua, Penyakit yang tidak kunjung sembuh
atau impotent niscaya di makruhkan ia akan kawin".
B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan.
Tujuan Perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama
dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Dari ketiga
tujuan tersebut makna masing-masing diantaranya Harmonis dalam menggunakan
hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir
27 Bakri A Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum perkawinan Islam dan Hukum Perdata/BW,
( Jakarta; PT Hida karya Agung, 1998) h,22 28Abd. Rahman Ghadzali Op.Cit.h,21 29 Ibid 30 Jalaluddin Al-Mahaly. Op.Cit, h, 207
dan bathin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup dengan kecukupan, sehingga
timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Ada beberapa tujuan dan hikmah perkawinan, diantaranya :
1. Pernikahan sebagai ibadah.
Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah, yang apabila di kerjakan
mendapatkan balasan pahala, Ibadah dalam perkawinan bukan upacara-upacara ritual
belaka seperti akad dan hubungan kelamin, tetapi ibadah di sini mencakup segala
perilaku dalam seluruh kehidupan.31
.
2. Untuk mempunyai keturunan yang sah dan penyambung cita-cita.
Dengan melakukan perkawinan umat manusia akan tetap berlangsung semakin
banyak dan berkesinambungan, hingga tiba saatnya Allah mewariskan bumi dan
makhluk-makhluk yang berada diatasnya. Tidak diragukan lagi bahwa didalam
kelestarian dan kesinambungan ini terdapat suatu dorongan bagi para spesialis
untukmeletakan metode-metode pendidikan dan dasar-dasar yang benar untuk
mencapai keselamatan jenis manusia dari aspek moral dan fisikal secara
berbarengan..32
Sebagaimana Firman Allah SWT :
31 Abdurrahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta; PT Remelu Cipta,1992), Cet 4,
H.5. 32 Abullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, (kairo ; drru-salam Li'th-
Thiba'ah wa'n'-Nasyr wa 't-Tauzi', 1981 ),cet ke-3,juz 1,h.6.
وا ���"$ A��U� ���.� أنG��S.� أزوا$��� و$"��� .��� ���U� أزوا$.��� 3���� ��i� ����V�����!ن و �"X���D اA ه���� �������ت أ/U3QHا ����U� ����.�وح���S,ة ورز
�.S)ون
)٦١:٢٧/ا��7 (
Artinya : Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada
yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?".Q.S, (An-Nahl )16:72
3. Melaksanakan libido seksualitas dan menghindari godan syaitan.
Kecenderungan cinta lawan sejenis dan hubungan seksual sudah ada dalam
diri manusia atas kehendak Allah. Kalau tidak ada kecenderungan dan keinginan
untuk itu, tentu manusia tidak akan berkembang biak. 33
.
Dalam hal ini Allah menjelaskan dalam Surat Annisa ayat 1 :
������ c����واح��,ة و z��Sن ���U� ���.��� يK��Qا ���.Q ا ر!���Q+س ا���Q�ا ����g�أ�� K�Qا Aا ا!��Q+ء واTGا ون�(آ&3 R�$ر �D��� Q� و ��زو$ )� !نءTG�+ ي
��3� )٤:١/ا��Gء ( واsرح�م إنQ اA آ�ن -3�.� ر
Artinya : " Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya;
dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain,dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.QS. (An-nisa) 4:1
Semua manusia baik laki-laki atau perempuan mempunyai insting seks, hanya
kadar intensitasnya saja yang berbeda. Dengan demikian, seorang laki-laki dapat
33 M.Ali hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, pada masalah-masalah kontemporer hokum
Islam,( Jkarta; PT. Raja Grafindo Persada,2000),ed.1,cet ke-4,h.5.
menyalurkan nafsu seksulnya kepada seorang perempuan yang sah begitu juga
sebaliknya. 34
4. Untuk memperoleh keluarga bahagia yang penuh ketenangan,
Yaitu rumah tangga yang sakinah, mawadah,dan rahmah. Rasa cinta natra
suami isteri, menimbulkan rasa kasih sayang antara orang tua dan anaknya , adanya
rasa kasih sayang dalam keluarga ini akan di rasakan pula dalam masyarakat,
sehingga terbentuklah umat yang diliputi cinta kasih sayang. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam Firman Allah SWT :
و���� ءا��+��( أن c������U� ���.� أنG��S.� أزوا$��� G��1U.�!ا إ3���� و$"��� )٣٠:٢١/ا)وم( Q� �.�3!دQة ورحlD إنW/ Q ذs a��ت U�!م �Q.S1)ون
Artinya : " Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yangberfikir.Q.S.(Ar-rum) 21:31
C. Pengertian dan Sejarah poligami.
1. Pengertian poligami.
Kata poligami berasal dari bahasa yunani yaitu kata " poly" atau " polus" yang
berarti banyak, dan dari kata 'gamei" atau " gamos" yang artinya kawin atau
perkawinan. Maksudnya dari pengertian tersebut adalah laki-laki yang beristri lebih
34 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, ( Bandung : Cv Pustka Seti,1999),cet ke-
1,h.13 )
dari satu orang wanita dalam suatu ikatan perkawinan. 35
Dalam kamus hukum bahwa
poligami adalah ikatan perkawinan dimana salah satu atau pihak mempunyai atau
menikah dengan beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak berbeda. 36
Pengertian dari makna tersebut mempunyai dua kemungkinan : Seorang laki-
laki menikah dengan banyak perempuan atau seorang perempuan menikah dengan
banyak laki-laki. Adapun kemingkinan pertama di sebut polygini dan kemingkinan
kedua disebut polyandry.37
Hal ini juga dikatakan oleh Abdul Rahim Omran dalam
bukunya Family planning in the Legal of Islam, bahwa poligini menunjukan banyak
isteri, poliandri banyak suami; poligami meliputi banyak suami ataupun isteri.38
Namun dalam perkembangan zaman terjadi pergeseran makna sehingga pengertian
poligami dipakai untuk makna laki-laki beristri banyak. Sedangkan kata poligini
sendiri tidak lazim dipakai.
2. Sejarah Poligami.
Pada dasarnya sistem poligami sudah ada sebelum Islam datang. Diantara
negara-negara yang membudayakan dan menjalankan poligami, yaitu : Ibrani, Arab
Jahiliyah, dan Cisilia, yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang
menghuni Negara-negara : Rusia, Lituania, Cekoslowakia, dan Yugoslavia, dan
sebagian besar penduduk yang menghuni Negara-negara Jerman, Swiss, Belgia,
35 HM. Sufyan Raji Abdullah, poligami dan Esksensinya, ( Jakarta : CV. Cahaya esa,
2004),h.49. 36 Sudarsono, Kamus hukum,(Jakarta : Rineka Cipta,.2002 ), cet.ke-3 .h.364. 37 Achmad kuzari, Nikha Sebagai perikatan,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1995).cet.ke-
1 h.159 38 Abdul Rahim Omran, Family planning in the Legal of Islam ( London: Routledge, 1992
),cet ke-1.h.29)
Belanda,Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris.39 Jadi pendapat bahwa poligami
itu hanya produk hukum Islam adalah tidak benar. Sebab bangsa Arab sebelum masa
kedatangan Islam pun mengenal poligami. Masih menurut beliau Sayid Sabiq,
Bahwa poligami itu bukan hanya milik peradaban masa lalu dunia, tetapi hari ini
masih tetap diakui oleh negeri dengan sistem hukum yang bukan Islam seperti Afrika,
India, China dan Jepang. Sehingga jelaslah bahwa poligami adalah produk umat
manusia, produk kemanusiaan dan produk peradaban besar dunia. Islam hanyalah
salah satu yang ikut di dalamnya dengan memberikan batasan dan arahan yang sesuai
dengan jiwa manusia.
Berbicara mengenai latar belakang sejarah poligami, Seperti pada orang
Median, orang babilonia, Assiria, dan bangsa parsipun tidak membatasi mengenai
jumlah wanita yang dibolehkan kawin oleh seorang laki-laki. Seorang brahma
berkasta tinggi, boleh mengawini wanita yang ia sukai. Poligami yang dialami oleh
orang Israel sebelum zaman nabi Musa a.s. adalah meneruskan tersebut tanpa
mengadakan pembatasan mengenai jumlah perkawinan yang boleh dilakukan seorang
suami bangsa Ibrani. Pada zaman kemudian, Tamlud di Yerusalem membatasi jumlah
perkawinan poligami sesuai dengan kemampuan suami untuk memelihara Isteri-
isterinya dengan baik. Meski rabbi-rabbi menasihati supaya seorang laki-laki jangan
mempunyai lebih dari empat orang isteri, berbeda dengan kaum karait yang
menyatakan tidak ada pembatasan mengenai poligami. bagi orang Parsi, Agama
memberikan hadiah kepada orang yang mempunyai isteri yang banyak. Pada bangsa-
39 Sayyid Sabiq, Fiqhu al- sunnah, ( Beirut : Dar El- fikr, 1983 ), jilid 2, Juz 6. h.109
bangsa Sirria, Tunisia, yang digantikan, dikalahkan atau di binasakan oleh orang
Israel, Poligami turun derajatnya menjadi kebinatangnya.40
Di Athena yang paling beradab dan paling tinggi kebudayaannya diantara
semua bangsa zaman dahulu, harga wanita tidak lebih dari harga hewan yang biasa
dijual dipasar dan diperjual belikan kepada orang lain, serta biasa diwariskan. Wanita
dianggap sebagai suatu keburukan yang tidak biasa ditiadakan untuk mengatur rumah
tangga dan melahirkan anak. Orang Athena dibolehkan menggambil isteri berapa saja
yang ia mau. Demosthenes merasa senang bahwa rakyatnya mempunyai tiga
golongan wanita, dua isteri sah, dan setengan sah.41
Sementara itu agama-agama sebelum Islam. Poligami sudah dipraktekkan
oleh pengikut-pengikutnya. Bila kita menelaah kitab suci Agama Yahudi dan
Nasrani, maka ia akan mendapatkan bahwa poligami telah merupakan jalan hidup
yang diterima. Semua nabi yang di jelaskan dalam Talmud, Perjanjian lama, dan Al
Qur'an, semua nabi beristeri lebih dari seorang, kecuali nabi Isa. A.s dan apabila ia
berusia lebih panjang mungkin juga akan melakukan, menerima cara yang sama
seperti nenek moyangnya42
Adapun jazirah arab sebelum Islam, telah dipraktekkannya poligmi yang tanpa
batas, dalam kitab Taurat terdapat, bahwa nabi Sulaiman A.s. mempunyai Isteri 700
orang perempuan merdeka dan 300 orang hamba sahaya. Mengenai Agama Nasrani,
tidak ada teks kongkret yang melarang pengikutnya kawin dengan dua orang
40 Abd. Qadir jaelani, Keluarga sakinah, ( Surabaya: PT bina Ilmu, 1995) Cet.ke 1 hal 169. 41 Ibid,hal 170 42 Abdurrahman I.doi. Inilah Syariat Islam ( Jakarta Pustaka Panjimas,1999 )Cet. Ke 1 h.207
perempuan atau lebih, kiranya mereka mau, maka poligami suatu hal pemimpin
mereka dizaman dahulu, bahwa kawin dengan seorang permpuan saja lebih mudah
untuk memelihara sisitem dan kesatuan keluarga.43
Menurut seorang ilmuan terkemuka berkata : Dalam hal perkawinan, Bahwa
poligami yang diakui Gereja masih ada sampai abad ke 17 M. Bahkan banyak
poligami yang tidak tercatat di Gereja maupun pemerintah. Lebih dari itu, sebagian
sekte Kristen ada yang pindah tempat hanya untuk berpoligami. Pada tahun 1531 M,
di Monster terdapat sekelompok orang yang bereteriak-teriak, agar menganjurkan
penganut Kristen berpoligami.44
Kemudian Islam datang dalam kondisi di mana masyarakat dunia telah
mengenal poligami selama ribuan tahun dan telah diakui dalam sistem hukum umat
manusia. Justru Islam memberikan aturan agar poligami itu tetap selaras dengan rasa
keadilan dan keharmonisan. Misalnya dengan mensyaratkan adanya keadilan dan
kemampuan dalam nafkah. Begitu juga Islam sebenarnya tidak membolehkan
poligami secara mutlak, sebab yang dibolehkan hanya sampai empat orang isteri.
Adanya poligami, namun poligami yang berkeadilan sehingga melahirkan
kesejahteraan.
D. Faktor Penyebab Poligami.
Di dalam Undang- Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat
43 Said Abd.Azizi Al-jandul, Wanita dibawah Naungan Islam,( Jakarta: CV Firdaus,1991) cet
ke 1 hal 70 44 Abduttawab Haikal. Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW. Poligami Dalam Islam VS
Monogami barat,( Jakarta : CV Pedoman Ilmu jaya, 1993 )hal 49
1 menyatakan :pada asasnya dalam suatu perkawinn seorang seorang pria hanya
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Dan
dalam penjelasan Undang-undang tersebut bahwa undang- undang ini menganut Asas
monogamy. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalm surat Al- Nisa Ayat 3 :
وإن 1S�� أHG�+QR!ا /W ا�13�% /�ن.7!ا �V��ب .� �U� ا�TGUء �&�% a��ن.� ذ���D�أ X��.���� ا /!اح��,ة أو!,��"+QR1� أ��S� ث ور ���ع /��]ن وث��
)٤/٣ا��Gء (أدن% أQR+"!!ا
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adi], maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.Q.S ( Annisa) 4 : 3
Dan juga di terangkan dalam surat Al- Nisa ayat 129 :
Q3���!ا آ���D+ ��/ �1��B(! ح��ء وTG��U�!ا ��3� ا3"!ا أن +"��,H1G��+ ���واK��1/ ���3Dروه� آ�l���Q�"D وإن +��7�r!ا و+Q1���!ا /��]نQ اA آ���ن ��Sx!را
�D3حQء (ر�G�٤/١٢٩ا(
Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Q.S (An-Nisa) 4:129
Dari kedua ayat tersebut diatas dengan jelas menyatakan bahwa perkawinan
dalam Islam adalah monogamy. Di dalam kebolehan perkawinan poligami dalam
agama Islam, ada pengecualian yaitu dengan memenuhi syarat-syarat yang dapat
menjamin keadilan suami kepada isteri- isterinya terpenuhi, dan adapun syarat
keadilan ini menurut surat an- nisa ayat 129 ialah keadilan dalam membagi cinta
kasih, yang tidak dapat dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup
rapat-rapat pintu untuk perkawinan poligami, atau beristeri lebih dari satu, sepanjang
persyaratan keadilan diantara isteri- isterinya dapat di penuhi dengan baik. Karena
hukum Islam mengatur teknis bagaimana pelaksanaannya agar poligami dapat
dillaksanakan manakala memang diperlukan dan tidak merugikan dan tidak terjadi
kesewenang-wenangan terhadap isterinya maka hukum Islam di Indonesia perlu
mengatur dan merincinya. 45
Adapun alasan-alasan untuk mendapakan izin poligami yang dipedomani oleh
Pengadilan Agama, ditegaskan dalam pasal 4 ayat 2 Undang-undang perkawinan :
Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami,
menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat Fuqaha, setidaknya ada delapan
keadaan diantaranya :
(1) Isteri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan.
45 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia. PT. Grafindo Persada, Jakarta CVet.6 2003 h.
170
(2) Isteri terbukti mandul.
(3) Isteri sakit ingatan.
(4) Isteri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai isteri.
(5) Isteri memiliki sifat buruk.
(6) Isteri minggat dari rumah.
(7) terjadinya peperangan sehingga banyaknya jumlah perempuan
(8) Kebutuhaan suami isteri lebih dari satu, dan jika tidak terpenuhi
menimbulkan kemudhartan di dalam kehidupan dan pekerjaan.46
Melihat dari alasan-alasan yang di sebutkan diatas, adalah mengacu kepada
tujuan pokok-pokok perkawinan, yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau dalam rumusan
kompilasi hukum Islam adalah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan
dengan alasan-alasan terrtentu pula dalam kebolehan berpoligami, jelaslah bahwa
asas yang dianut oleh Undang-undang perkawinan bukanlah asas monogomi mutlak
melainkan disebut monogami terbuka atau monogamy yang tidak bersifat mutlak.47
Poligami di tempatkan pada status hukum darurat (emergency law), atau dalam
keadaan yang luar biasa ( extra ordinary circumstance). Di samping itu, lembaga
poligmi tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari hakim
46Abdurrahman I. Do"I, Penjelasan lengkap Hukum-hukum Allah ( Syariah), Jakrta: Rajawali
Pers,2002),h.193-195. 47 Yahya Hrahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : Zahir Trading Co medan, 1975)
H.25.
( Pengadilan ).48
Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 dalam Undang-undang perkawinan di
nyatakan :Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihk-pihk yang bersangkutan.
Dengan isi dari ayat ini, jelas sekali undang-undang perkawinan telah
melibatkan Pengadilan Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk
mengabsahkan kebolehan poligami bagi seorang, suatu yang tidak ada preseden
historisnya didalam kitab fikih.
E. Dampak poligami.
Jika kita mengkaji poligami, maka akan didapatkan bahwa poligami
dilaksanakan dengan berbagai motivasi. Ada diantaranya bermotif penyaluran
seksual, kemegahan diri, kebutuhan ekonomis, menata pembagian kerja, untuk
memperoleh keturunan atau mempertahankan bahkan meningkatkan gen melalui
regenerasi. Islam membolehkan poligami dalam kondisi dan syarat tertentu, dan di
balik kebolehan perkawinan poligami, maka terdapat dampak negatif dan hikmahnya
diantaranya :
1. Timbulnya perasan Inferior, menyalahi diri sendiri, Isteri merasa tindakan suami
berpoligami adalah akibat dari ketidak mampuan dirinya dalam memenuhi kebutuhan
biologis.
2. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang
dapat berlaku adil pada isteri-isterinya, tetapi pada prakteknya, suami lebih
48 Ibid,H, 26
mementingkan isteri muda dan menelantarkan isteri dan anka-anaknya terdahulu.
Akibatnya isteri tidak dapat memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi
kebutuhan sehari-hari.
3. Sering terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, ekonomi,
seksual maupun psikologis.
4. Sering terjadinya pernikahan di bawah tangan, yaitu pernikahan yang tidak
dicatatkan pada kantor catatan sipil atau kantor KUA. Karena perkawinan yang tidak
dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah
menurut Agama. Namun apabila terjadi perceraian maka yang di rugikan adalah
pihak perempuan, Karen atidak ada bukti autentik yang menjadi bukti perkawinan
tersebut.
5. Terjangkitnya penyakit menular, karena sering gantiny pasangan maka menjadi
rentan terhadap penyakit yang menular seperti virus HIV/AIDS.
F. Hikmah Poligami
Selain ada akibat berpoligami, maka dalam Islam mempunyai ketentuan atau
keharusan poligami mempunyai hikmah-hikmah untuk kesjahteraan umat Islam itu
sendiri . Adapun hikmah dari poligami itu sendiri adalah49
:
1. Mengindari suami dari perzinahan. Karena wanita itu mempunyai tiga
halangan yaitu Haid, nifas keadaan setelah melahirkan. Jadi, dalam keadaan
seperti ini Islam mengharuskan suami untuk berpoligami, karena di
49 Sufyan Raji Abdullah, Poligami dan Eksistensinya, ( Jkarat: CV cAhaya Esa, 2004)Hal.82.
khawatirkan suami akan melakukan perzinahan apabila siterinya ada halangan
menurut hukum syara'.
2. Untuk menyalurkan hubungan seks biologis yang berlebihan
3. Menghindari dari perceraian karena isteri mandul.
4. Untuk menghindari kelahiran anak-anak yang tidak sah.
5. Memberikan perlindungan dan kehormatan kepada kaum wanita
G. Makna Keadilan Dalam Poligami
Surat al-Nisa’ ayat 3 menegaskan bahwa syarat suami yang berpoligami
wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Berkenaan dengan syarat berlaku adil, hal
ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja dikalangan ahli hukum tetapi
juga di masyarakat. Oleh sebab itu, apa yang dimaksud berlaku adil atau makna
keadilan sebagai syarat poligami.
Imam Syafi’i, az-Zarksy dan al-Kasani mensyaratkan keadilan diantara para
istri, menurut mereka keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal
mengunjungi istri di malam atau di siang hari 50
. Seorang suami yang hendak
berpoligami menurut ulama fiqh paling tidak memliki dua syarat :
Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan
bertambahnya istri.
50 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh, Jakarta; Pustaka Pelajar.Hal 103-105
Kedua, harus memperlakukan semua istrinya dengan adil.Tiap istri harus
diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain51
Persyaratan demikian, nampak sangat longgar dan memberikan kesempatan
yang cukup luas bagi suami yang ingin melakukan poligami. Syarat adil yang
sejatinya mencakup fisik dan non fisik, oleh Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah dan
orang-orang yang setuju dengannya, diturunkan kadarnya menjadi keadilan fisik atau
material saja. Bahkan lebih dari itu, para ulama fiqh ingin mencoba menggali
hikmah-hikmah yang tujuannya adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek
poligami.
Al-Jurjawi menjelaskan ada tiga hikmah poligami.
Pertama, kebolehan polgami yang dibatasi emapt orang istri menunjukkan bahwa
manusia terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya.
Kedua, batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-laki ;
pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri.
Ketiga, bagi seorang suami yang memiliki empat orang istri berarti ia mempunyai
waktu senggang tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup untuk mencurahkan
kasih sayang.52
Berbagai pendapat diatas, para ulama fiqh cenderung memahami keadilan
secara kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Muhamad Abduh
51 Abdurrahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta;
Rajawali Press. Hal :192 52
Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah al-Tasyre’ wa Falsafatuhu, Beirut; Dar al-Fikri .Hal 10.
berpandangan lain, keadilan yang disyaratkan al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat
kualitatif seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak bisa diukur
dengan angka-angka. Ayat al-Qur’an mengatakan : “Jika kamu sekalian khawatir
tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah satu isrti saja”(QS. An-Nisa ; 3). Muhammad
Abduh menjelaskan, apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak
istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan terjadilah kekacauan dalam kehidupan
rumah tangga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah
tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga.
Mayoritas ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan kualitatif
adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Mempersamakan hak atas
kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah
kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan
mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya
sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah
seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu
yang di luar batas kontrol manusia 53
M. Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang disyaratkan oleh ayat 3 surat al-
Nisa’ bagi suami yang hendak berpoligami adalah keadilan dalam bidang material.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh ayat 4 al-Nisa’ :
53 Abdurrahman al-Jaziri, tt : hal 239).
ث وإن 1S�� أHG�+QR!ا /W ا�13�% /�ن.7!ا �V��ب .� �U� ا�TGUء �&�% وث
ور �ع /]ن 1S�� أQR+",!ا /!اح,ة أو ����.X أ��Dن.� ذa أدن% أQR+"!!ا
Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu senderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.Q.S (
An-Nisa4): 3
Keadilan yang dimaksudkan dalam ayat diatas adalah adil dalam bidang
immaterial(cinta). Keadilan ini yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan
manusia. Oleh sebab itu suami yang berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa
nafsu dan berkelebihan cenderung kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah
tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup rapat pintu poligami54
.
Berdasarkan berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam perkawinan
poligami, dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat poligami dalam
perkawinan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Hal ini menjadikan lebih
mudah dilakukan dan poligami menjadi sesuatu lembaga yang bisa dijalankan.
Sebaliknya, jika keadilan hanya ditekankan pada hal-hal yang kualitatif seperti cinta,
kasih sayang, maka poligami itu sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin
dilaksanakan.
54Shihab, M. Quraish, 1999, Wawasan al-Qur’an, Bandung; Mizan hal 201
BAB III
PERJANJIAN PERKAWINAN POLIGAMI
A. Pengertian dan Dasar hukum Perjanjian Perkawinan
1. Pengertian Perjanjian.perkawinan dan dasar hukumnya
Dalam literature fiqh klasik banyak ditemukan bahasan khusus dengan nama
perjanjian dalam perkawinan. Yang ada dalam bahasan sebagian fiqh adalah
Persyaratan dalam Perkawinan
Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian dalam perkawinan
adalah perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus di penuhi oleh pihak yang
melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat
yang ditentukan. Jadi perjanjian dalam perkawinan terpisah dari akad nikah, maka
tidak ada kaitan hukum anatara akad nikah yang dilaksanakan secara sah dengan
pelaksanaan syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu.55
Hal ini berarti
bahwa tidak dipenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah yang sudah
sah, meskipun demikian, pihak-pihak yang dirugikan dari tidak memenuhi perjanjian
tertsebut berhak meminta pembatalan perkawinan.
2. Dasar hukum Perjanjian
Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diatur mengenai
perjanjian perkawinan yaitu dalam pasal 29. yakni isinya sebagai berikut :
55 Amir Syarifuddin, Op. Cit. hal 146
(a). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mmengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(b). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama, dan kesusilaan.
(c). Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(d). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.56
Mengenai penjelasan pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal
ini tidak termasuk ta'lik talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3
Tahun 1975 pasal 11 menyebutkan aturan yang bertolak belakang yaitu :
(1). Calon suami istri dapat mengadakan perjanjin sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
(2). Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan
dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
(3) Sighat taklik talak ditentukan oleh menteri Agama57
Dan juga dalam kompilasi hukum Islam juga memuat 8 pasal tentang perjanjian
perkawinan, yaitu pasal 45 sampai 52. Adapun pasal 45 menyatakan :
56 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 29 57 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 Pasal 11
Kedua calon mempelai dapat menggandakan perjanjin perkawinan dalam bentuk :
1. taklik talak, dan
2. perjanjian yang tidak bertentangan dengan hukum Islam..
Jadi kesimpulannya perjanjian perkawinan yang di jelaskan dalam pasal 29
Undang-undang No.1 tahun 1974, telah diubah, atau setidaknya diterapkan bahwa
takik talaq termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan.58
B. Hukum Membuat perjanjian.
Hukum membuat perjanjian dalam perkawinan adalah mubah, artinya seseorang
dibolehkan membuat suatu perjanjian atau tidak. Kebolehan membuat perjanjian
perkawinan di bolehkan asalkan tidak bertentangan dengan Agama, hukum Negara
dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan Adat Istiadat. Adapun dalam hal melaksanakan
atau memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian adalah wajib sebagaimana
hukum memenuhi perjanjian lainya. Bahkan syarat-syarat yang berkaitan dengan
perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan. Kewajiban memenuhi persyaratan yang
terdapat dalam perkawinan tergantung kepada bentuk persyaratan yang ada dalam
perjanjian. Dalam hal ini ulama membagi syarat tersebut kepada tiga bagian :
1. Syarat-syarat yang dilangsungkan berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban
suami isteri dalam perkawinan dan merupakan tuntutan dari perkawinn itu
sendiri.
58 Ahmad rofiq. Op.cit. hal 162
2. syarat-syarat yang bertentangan dengan hakikat perkawinan itu secara khusus
dilarang untuk dilakukan karena memberi mudaharat kepad pihak-pihak
tertentu.
3. syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak ada
larangan secara khusus namun tidak ada tuntutan dari syara' untuk
dilakukan.59
C. Macam-macam sifat perjanjian
Lebih jauh mengenai perjanjian perkawinan ini, dapat di simpulkan macam-
macam sifat perjanjian yaitu :60
1. Syarat-syarat yang mengguntungkan isteri. Mengenai hal ini berbeda pendapat ada
yang membolehkan dan tidak. Dan sayid sabiq membolehkan si isteri menuntut
fasakh apabila suami melanggar perjanjian tersebut. Dan sayid sabiq berkata :
ط) ا��B �QM Qe �3� -جو1P� �� ا�$و% ز� -اجو اl / - %�, QP$و اQP ط)#!�/
61 ط)� اe� �� ا�ذ ااجو ا�c/ G�QP ح� �نآ ومPو
Artinya : Apabila seseorang isteri menyaratkan pada waktu akad nikah, agar
suaminya tidak kawin lagi, maka syarat tersebut sah dan mengikat, dan dia berhak
menuntut fasakh nikah apabila suami melanggar perjanjian tersebut.
59
. Ibid hal : 147 60 Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam, (Diktat tidak di terbitkan), semarng : IAIN
Walisongo, hal 109 61 Syaid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, Juz 6, Kairo: Maktabah al-Adab,tt.. Hal 114
2. Syarat-syarat apa yang bertentangan dengan apa yang di maksud akad itu sendiri.
Seperti tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris mewarisi
di antara suami isteri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua. Syarat-syarat
tersebut tidak sah dan tidak mengikat.
3. Syarat-syarat yang bertentangan dengan ketentuan hukum syara. Misalkan apabila
pernikahan telah di langsungkan, maka masing-masing akan pindah Agama.
BAB IV
TINJAUAN HUKUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN PERKARA
DALAM PERKAWINAN POLIGAMI
( Study Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor:184/Pdt.G/2007/PA.Bks)
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Bekasi
1. Dasar Hukum dan Sejarah.
Pengadilan Agama Bekasi pada masa penjajahan Belanda dan Jepang belum
ada. Pengadilan Agama Bekasi mulai berdiri pada tahun 1950 berkantor di jalan Is
Straat kampung Melayu Jatinegara dengan diketuai oleh Almarhum Bpk.Rd. H. Abu
Bakar. Kemudian pengadilan Agama Bekasi diperintahkan oleh Departemen Agama
untuk pindah ke Bekasi karena masalah hukum atau jatinegara bukan merupakan
wilayah hukum kabupaten Bekasi. dahulu Bekasi sebelum terbentuk menjadi
kabupaten tersendiri. Yaitu tunduk kepada daerah keresidenan.62
Setelah Pengadilan Agama Bekasi pindah ke Bekasi mengontrak rumah
dirumah seorang anggota Pengadilan Agama Bekasi bernama H. ABDUL KADIR
kurang lebih 3 tahun. Kemudian pindah kerumah JA'ANIH selama 15 tahun lalu
pindah lagi kerumah MAJA selama 2 tahun dan terakhir pindah ke kantor
Departemen Agama kabupaten Bekasi kurang lebih 3 tahun atau sampai tahun 1978.
Kemudian pada tahun 1979 melalui DIP tahun Anggaran 1978/1979 dibangun
gedung balai siding pengadlan Agama Bekasi di Pimpin oleh bapak H. A. DZINUN,
BA dan dibantu seorang panitera kepala bernama ROSNIDA R. BA.
Adapun ketua Pengadilan Agama Bekasi sejak berdiri sampai sekarang
dipimpin oleh :
1. R. H. ABU BAKAR
2. R, H. SYAMSUDDIN
3. KIAI HASAN
62 Wawancara Pribadi dengan Midjan MH (wakil Sekrtaris) Pengadilan Agama Bekasi
4. K.H. PALANA
5. K.H. MUHAMMAD SOIJAN
6. K.H.MOH. ALI
7. K.H. A. DZINUN. BA.
8. Drs. H. A. NAWAWI ALI. SH.
9. Drs. H. M. SAMIDJAN. SH.
10. Drs. H. ZURRIHAN AHMAD. SH.
11. Drs. H. BUNYAMIN
12. Drs. H. BUNYAMIN ALAMSYAH
13. Drs. ENTUR MASTUR. SH
Merupakan suatu sejarah, bahwa Pengadilan Agama mempunyai peranan
penting dalam proses pembinaan hukum Nasional. Pada zaman kesultanan : Demak,
Pajang, Mataram, Banten, Pasai, dan Goa, Kesultanan di Maluku. Di samping raja
selalu ada Penghulu Agama yang memberikan petunjuk pelaksanan hukum agama
kepada raja, yang waktu itu belum ada pemisahan yang jelas antara pelaksan
eksekutif dan yudikatif.
Pada zaman Belanda pengadilan Agama di pulau Jawa dan Madura diatur
dalam Staasblad 1882 No. 152 yang dirubah dengan staatsblad 1937 No. 638 dan 639
Afdeling Banjarmasin. Yang mengatur pengadilan Agama dan Kerapatan Kodi di
Kalimantan Selatan dan sebagai Kalimantan Timur yang kesemuanya itu diurus oleh
Departemen yang jastitie.63
Pada zaman penjajahan Jepang, Rood Agama dibawah kekuasaan residen.
Pada zaman kemerdekaan Pengadilan Agama diserahkan dari Departemen Van
Jastite ke menterian Agama, sedangkan untuk pengaturannya tetap. Kecuali untuk
diluar pulau Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan serta sebagian Kalimantan Timur
diatur dalam PP nomor 45/1957. Untuk menyatukan peraturan yang beraneka ragam
yang menjadi dasar hukum bagi badan Pengadilan Agama. Maka pada tahun 1989
DPR RI telah mengesahkan sebuah Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Undang-undang tersebut berlaku efektif hingga sekarang.64
Setelah diberlakukannya undang-undang No.7 tahun 1989 terjadi perubahan
yaitu menjadi Undang-undang no.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama sebagai
salah satu dari empat pelaksana kekuasaan kehakiman yang mempunyai tugas khusus
dalam menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi para pencari keadilan yang
beragama Islam, yaitu mengenai perkara perkawinan, kewarisan, wasiat hibah, wakaf
dan shodaqoh yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Disamping tugas tersebut,
Peradilan Agama dapat diminta untuk memberikan keterangan, pertimbangan dan
nasehat hukum Islam kepada instansi-instansi pemerintah di daerah hukumnya bila
diminta.
2. Gedung Pengadilan Agama Bekasi.
63
Nawawi Ali. Pofil Pengadilan agama Bekasi.tt..t.th
64 Ibid,
a. Keterangan Gedung.
Gedung Pengadilan Agama Bekasi dibangun pada tahun 1979, diatas tanah seluas
1080 m2. melalui anggaran DIP 1978/1979 Nomor 25 tahun 1979 dengan sebsar Rp.
12.000.000.-
Kemudian untuk pengadaan tanah melalui dana/BADKI Dit Binbapera Islam
dengan biaya sebesar Rp. 1.000.000,- untuk biya ganti rugi tanah, Selanjutnya pada
tahun anggaran 1982 dilaksanakan perluasan gedung Balai Sidang Pengadilan Agama
Bekasi berdasarkan DIP Nomor : 65/XXV?3?1982 tanggal 11 maret 1982 dengan
biaya sebesar Rp.25.650.000.- dilaksanakan oleh CV Kandang Besar Bekasi sehingga
luas bangunan seluruhnya 250 m2.
Pada tahun anggaran 1991/1992 telah dilaksanakan rehabilitasi gedung
Pengadilan Agama Bekasi hal ini sesuai dengan DIP No. 082/XXV/-/1991 tanggal 1
Maret 1991 dengan biaya sebesar Rp. 23.751.000.- proyek tersebut dilaksanakan oleh
CV. Berdikari Bekasi.
Kemudian pada tahun anggaran 1995/1996 Pengadilan Agama mendapat
proyek perluasan 50 m2. hal ini sesuai dengan DIP No. 054/XXV/3/1995 tanggal 28
Maret 1995 dengan biaya sebesar rp. 48.165.000 dan proyek tersebut dilaksanakan
oleh CV. Mustika Adi karya Bekasi.
b. Daerah
Kotamadya daerah Tingkat II Bekasi dengan luas wilayah 210.49 ha. Hanya
memiliki lahan sawah yang relative kecil.
Menurut jenis penggunaan tanah berikut luas msing-msing adalah sebagai
berikut Irigasi teknis sebanyak 248 Ha.
1. Setengah teknis sebanyak 88 Ha.
2. Irigasi sederhana sebanyak 231 Ha.
3. Tadah hujan sebanyak 556 Ha. Sisanya berupa lainya.
Dan jika dilihat dari presentase penggunaan tanah, penggunaan tanah sawah
seluas/sebanyak 5,34 % dan sisanya 94,66 % sebagai tanah kering.
C. Bahasa
Kotamadya daerah Tingkat II Bekasi yang terbentuk pada tanggal 10 maret
1997 berdasarkan Undang-undang nomor 9 tahun 1995 mempunyai karakteristik
kependudukan yang berbeda dengan kabupaten daerah tingkat II Bekasi sebelum
mayoritas penduduk kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi adalah Migran/ pendatang
dari daerah lain.
Secara umum penduduk ini bisaa dikelompokan menjadi 2 yaitu yang datang
dari DKI Jakarta umumnya mereka adalah orang-orang yang mata pencahariannya di
DKI Jakarta tetapi tinggal di kotamadya daerah tingkat II Bekasi dan yang datang
dari daerah timur/luar Jakarta. Umumnya mereka bekerja dan tinggal di kotamadya
daerah tingkat II Bekasi.
Dikarenakan Bekasi terdiri 2 kelompok maka penduduk yang datang dari DKI
Jakarta dan mata pencahariannya di kotamadya Bekasi mereka dalam percakapan
sehari-hari menggunakan bahasa Betawi dan bahasa Indonesia sedangkan bagi
mereka yang datang dari arah timur luar Jakarta memakai bahasa Sunda dan Jawa.
3. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Bekasi
Pengadilan Agama Bekasi merupakan Pengadilan Agama tingkat pertama,
dan mempunyai tugas-tugas pokok sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1)
undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama berwenang mengadili
perkara tertentu, dan mengenai golongan rakyat tertentu, yaitu mereka yang
beragama Islam dan berdomisili di wilayah kekuasaan hukum Pengadilan Agama
tersebut, termasuk di dalamnya menyelesaikan perkara voluntair.65
Kekuasaan Absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan
jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan, dalam perbedaannya
dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan lainnya,
misalnya Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Pengadilan
Umum.66
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama dijelaskan dalam pasal 49 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen
dengan Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang berbunyi sebagai
berikut:
65 Ibid
66 A. Roihan. A. Rasyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, cet, 10, h, 27
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infak
h. Shadakah
i. Ekonomi Syariah67
Khusus mengenai bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah:
1. Izin beristri lebih dari seorang ( Pasal 3 ayat 1)
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu ) tahun, dalam orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus
ada perbedaan pendapat ( Pasal 6 ayat 2)
3. Dispensasi kawin ( Pasal 7 ayat 2)
4. Pencegahan perkawinan (Pasal 17 ayat 1)
5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah ( Pasal 21 ayat 3)
6. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami istri (Pasal 34 ayat 3)
7. Perceraian karena talak (Pasal 39)
8. Gugatan perceraian ( Pasal 40 ayat 1)
9. Penyelesaian harta bersama ( Pasal 37)
67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2007,hal. 18
10. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya ( Pasal 41
Sub b)
11. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri ( Pasal 41 Sub c)
12. Keputusan tentang sah atau tidaknya seorang anak ( Pasal 44 ayat 2)
13. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua (Pasal 49 ayat 1)
14. Pencabutan kekuasaan wali ( Pasal 53 ayat 2)
15. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut ( Pasal 53 ayat 2)
16. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukan wali oleh orang tuanya ( Pasal 50 ayat 1)
17. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah
kekuasaannya ( Pasal 54)
18. Penetapan asal usul seorang anak (Pasal 55)
19. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran ( Pasal 60 ayat 3)
20. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain ( Pasal 60 ayat 3)
21. Bidang kewarisan yang menjadi tugas dan wewenag Pengadilan Agama
disebutkan dalam pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Pengadilan Agama dan Undan- Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama sebagai berikut:
a) Penunjukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris.
b) Penentuan mengenai harta peningalan.
c) Penentuan masing-masing ahli waris.
d) Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.68
Terhadap kekuasaan absolut ini, maka pengadilan Agama Jakarta Selatan
diharuskan untuk meeliti perkara yang diajukan kepadanya. Dengan demikian
apabila Pengadilan Agama Jakarta Selatan menerima perkara diluar kompetensi
absolutnya itu, maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut
dengan “ eksepsi absolut”.
Kekuasaan relatitif diartikan sebagai kekuasaan Peradilan yang satu jenis dan
satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan Pengadilan yang sama jenis
dan sama tingkatan. Misalnya, antara Pengadilan Negeri Bogor dengan Pengadilan
Negeri Subang, Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama
Baturaja.69
68 A. Basiq Djalil, Pengadilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006 cet 1, hal. 143
69 Ibid, h. 138
B. Landasan hukum pemeriksaan perkara permohonn izin poligami di
Pengadilan Agama Bekasi
Poligami adalah merupakan salah satu bentuk perkawinan yng secra formal
diperkenan kan atau diakui eksistensinya bagi rakyat Indonesia yang beragama Islam,
yaitu sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang nomor 1tahun 1974 pasal 3, 4
dan 5. Dan sejak di undangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah
ditentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang ingin
berpoligami, antara lain harus mendapatkan izin dari isterinya.
Selanjutnya ketentuan tersebut telah dijelaskan kembali dalam peraturan
Pemerintah nomor 9 Tahun 1975, Lembar Negara Tahun 1975 Nomor, 12 yang mana
pasal 20 menerangkan bahwa :
" Apabila seorang suami bermaksud Beristeri lebih dari satu maka ia wajib
mengajukan permohonn secara tertulis kepada pengadilan"
Permohonan izin poligami dalam ilmu hukum disebut dengan
istilah"Voluntaire Yuridicte", yaitu suatu perkara yang berisi tuntutan hak dan tidak
mengandung sengketa.70
Sebagai salah satu bentuk perkara perdata yang dikenal
dalam Undang-undnag, maka bentuk ketentuan hukum acara yang berlaku bagi
perkara perdata, dengan beberapa penambahan yang ditentukan tersendiri dalam
Undang-undang adalah:
1. Brv ( Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering ). Hukum Perdata untuk
golongan Eropa, yang berperkara di muka Raad van Justitie.
70 Soedikno Mertokusumo,Op.cit Hal 12
Ketentuan Brv yang berhubungan dengan perkara permohonan adalah
sebagimana yang ditentukan dalam pasal 227 Brv, yang menyatakan bahwa gugatan
permohonan dalam perkara perdata harus memuat :
a. Indentitas Pemohon, meliputi
1. Nama Pemohon
2. Tempat/tanggal lahir/umur Pemohon
3. Jenis kelamin
4. Umur
5. Pekerjaan
6. Agama
7. Kewarganegaraan
8. Alamat
b. Fundamentum petendi ( Dasar Gugatan)
Adapun Fundamentum petendi ini memuat tentang hal-hal sebagai berikut :
1. Uraian tentang kejadian
2. Uraian tentang hukum yang menjadi dasar tuntutan
c. Petitum permohonan atau gugatan, yaitu apa yang di mohonkan atau dituntut oleh
pemohon supaya diputus oleh Hakim.
2. HIR/Rbg.
HIR adalah kepanjangan dari Herziene Indonesia Reglement atau disebut juga
RIB yang telah diperbaharui, yaitu merupakan hukum acara perdata yang berlaku di
Jawa dan Madura bagi golongan Bumi Putera. Sedangkan Rbg dalah kepanjangan
dari Rechtsreglement Voor de buitengewesten dalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku bagi golongan Bumi Putera dan Timur sing di luar Jawa dan Madura yang
berperkara di muka Laandraad.
Adapun HIR/RBG diberlakukan sebagai hukujm acara Perdata di Pengadilan
Agama adalah berdasarkan surat Edaran Jawatan Peradilan Agama Nomor : B/1/608,
Tanggal 2 April 1962.
3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Dalam undnag-undang tersebut telah diatur kewenangan Pengadilan Agama
dalam memutus dan menetapkan sengketa perkawinan.
4. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman.
Mengenai tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman diatur pasal-pasal
berikut :
a). Pasal 4 ayat 1 yang mengatakan : "Peradilan dilakukan Demi Keadilan
bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"
b). Pasal 5 ayat 1 dan 2 berbunyi :
1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang
2.Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yng sederhana, cepat, dan
biaya ringan.
c). Pasal 19 ayat 2 :
Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan
dalam lingkungan :
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan tata usaha Negara
5. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun
1975.
Dalam peraturan perundang-undangan terdapat beberapa pasal yang dapat
dijadikan landasan hukum oleh Pengadilan Agama dalam memeriksa dan
memutuskan permohonan isin untuk melakukan poligami yaitu :
a. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3,4 dan 5 mengatur
tentang :
(1.) azas perkawinan yaitu pada azasnya perkawinan hanya boleh bagi seorang suami
untuk mempunyai seorang istri saja. Dan isteri hnya boleh mempinyai seorang
suami. Namun apabila dikehendaki oleh para pihak maka Pengadilan Agama dapat
memberikan izin kepada pihak suami untuk melakukan poligami.
(2). Alasan yang harus di penuhi oleh seorang suami untuk dpat melakukan poligami
adalah :
a Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c Isteri tidak dapat melahirkan
(3.) Syarat-syarat bagi suami dapat mengajukan permohonan izin poligami di
Pengadilan Agama. Meliputi :
a. Adanya persetujuan dari suami/isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka
b. Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975.
Peraturan pementinth nomor 9 Tahun 1975 merupakan pelaksanan dari Undang-
undang nomor 1 Tahun 1974, Yaitu :
(1.) Pasal 40. mengatur tentang ; apabila suami bermaksud beristeri lebih dari seorang
maka ia wajib mnegajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan
(2.) Pasal 41, Pengadilan yang memeriksa permohonn poligmi tersebut harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Ada atau tidaknya alasan memungkinkan suamimelakukan poligami
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri atau isteri terdahulu baik secara lisan
maupun tertulis.
c. Ada atau tidaknya persetujuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-
isterinya dn anak-anaknya
d. Ada atau tidaknya jaminan bagi suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
6. Peraturan Menteri Agama RI.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia yang dapat dijadikan sebagai dasar
pemeriksaan permohonan izin poligami di Pengadilan Agama antara lain :
a.) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 tahun 1999 tentang kewajibanPegawai
Pecatat Nikah (PPN)
b.) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 tahun 1987, tentang wali Hakim.
C. Proses Peradilan Perkara Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Agama
Bekasi.
Pemeriksaan perkara permohonan izin untuk berpoligami di lakukan melalui
tahapan –tahapan tertentu yang telah di tentukan oleh Undang-undang, diantaranya :
1. Tahapan permulaan.
Tahapan ini dilakukan dengan cara-cara berikut :
1.a. Pengajuan permohonan
Permohonan poligami harus diajukan secara tertulis, yaitu sesuai dengan
ketentun pasal 40 PP nomor. 9 Tahun 1975, yang berbunyi :
" Apabila seorang suami bermaksud beristri lebih dari satu maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan ."71
Ketentuan tersebut juga diatur dala pasal 118 ayat 1 HIR juncto pasal 142 ayat
1 Rbg. Dan bagi pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis maka dapat
diberikan dipensasi yaitu permohonan izin secara lisan kepada ketua Pengadilan
Agama. Sebagaimana dalam pasal 120 ayat 1 HIR Juncto paal 114 ayat 1 rbg, yang
berbunyi :
" Bagi penggugat/pemohon yang tidak dapat menulis atau hanya baca tulis, maka
gugatan/permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan. Kemudian
71 Lembar Negara Tahun 1975, Hal 12
panitera membantu mencatat segala sesuatu, yang dikemukakan oleh
penggugat/pemohon tersebut. Selanjutnya gugatan/permohonan itu diserahkan
kepada salah satu seorang hakim yang memeriksa/meneliti dan menanyakan kepada
penggugat/permohonan tersebut. Selanjutnya gugatan/permohonan itu diserahkan
kepada salah satu seorang hakim yang memeriksa/meneliti dan menanyakan kepada
penggugat/pemohon kebenaran isinya lalu Ketua/Hakim menanda tangani
gugatan/permohonan itu" 72
Perkara permohonan izin poligami yang masuk ke Pengadilan Agama
sebanyak 3 perkara. Dari 3 perkara yang ada, maka penulis tertarik membahas satu
(1) perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama Bekasi yaitun Nomor :
184/Pdt.G/2007PA.Bks.
Dari hasil penelitian menyatakan bahwa semua permohonan izin poligami
tersebut telah dilakukan secara tertulis diatas kertas bermaterai atu diatas kertas
bersegel dan apa yang dilaksanakan pemohon-pemohon tersebut adalah telah sesuai
dengan maksud pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor : 9 Tahun 1975 yang
menghendaki permohonn izin poiligami harus dilakukan secara tertulis.
Adapun isi permohonan tersebut menurut Hukum Acara perdata yng berlaku
di Pengadilan Agama meliputi :
1. Identitas Pemohon
Identitas pemohon yang dimaksud adalah : Nama lengkap, tempat/tanggal lahir,
umur, agama, pekerjaan, kewarganegaraan, dntempt tinggal. Dalam berkas
72 Pedoman kerja Bagi Hakim dan Panitera di lingkungan Perdilan Agama, Tahun 1989, hal 3
permohonan sebagaimana yng trmuat dalam perkara diatas telah memeuat identitas
pemohon sebagaimana yang sesuai dengan undang-undang.
2. Fundamentum Petendi.
Yaitu berisi penjelasan-penjelasan tentang keadaan/kenyataan dan penjelsan yang
berhubungan dengan hukum.
Apapun alasan-alasan dari pemohon yang mengajukan permohonan poligami di
Pengadilan Agama Bekasi dengan Nomor 184/Pdt.G/2007?PA.Bks). menurut
penulis meliputi :
a. untuk menghindari dari perbuatan perzinahan yang di larang oleh Agama.
b. Merupakan suatu ibadah dan melaksanakan sunnah Rasul
Alasan-alasan poligami diatas merupakan alasan yang tidak diatur dalam undang-
undang, akan tetapi menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
tersebut. Karena tidak terdapat dalam alasan yang membolehkan poligami
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 4 ayat 2 yang
berbunyi :
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Isteri tidak dapat melahirkan
Salah satu alasan yang tersebut di atas, pasal 5 Undang-undang Perkawinan,
Menyatakan: “Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang Perkawinan ini harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Adanya persetujuan dari suami/isteri-isteri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan idup isteri-
isteri dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka
3. Petitum
Petitum adalah apa yang dimohonkan untuk keputusan pengadilan,Agar
Pengadilan Agama dapat memberikan izin poligami.
3.a. Pendaftaran Permohonan dengan biaya.
Setelah permohonan telah lengkap dengan memuat syarat-syarat yang
telah di tentukan oleh Hukum Acara diatas, maka selanjutnya pemohon harus
mendaftarkan permohonan izin poligami kepada kepaniteraan Pengadilan Agama,
maka dengan demikin pemohon dikenakan kewajiban untuk membayar biaya perkara.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur dalm Undang-undang
Nomor : 14 Tahun 1970 pasal 4 Ayat 5 ayat 2 nJunctopasal 121 ayat 4, 182,183 HIR.
Menurut hasil penelitian penulis di Pengadilan Agama Bekasi bahwa biaya perkara
yang ditanggung oleh pemohon meliputi : Biaya panggilan pemberitahuan para pihak
serta biaya materai, sehingga besar biaya perkara rata-rata sebesar Rp. 246.000,- ( dua
ratus empat puluh eman ribu rupiah.)73
Akan tetapi bagi mereka yang tidak mampu memikul biaya perkara tersebut
maka kepada mereka diberikan dipensasi untuk membayar biaya perkara.
Salah satu bukti bahwa pemohon harus membayar perkara, dapat dilihat
perkara tersebut berikut :
1. Perkara Nomor 137/Pdt.G/2007/PA.Bks atas nam Agung Nugroho, ST bin
Tamyoso, mebayar biaya perkara sebesar Rp. 246.000,- ( dua ratus empat puluh eman
ribu rupiah.). dengan rincian :
1. Administrasi panggilan : Rp. 240.000
2. Biaya Materai : Rp. 6.000
246.000
Sedangkan untuk dispensasi untuk membayar biaya perkara belum pernah
diberikan oleh Pengadilan Agama Bekasi dengan alasan bahwa untuk permohonan
izin poligami di Pengadilan Agama Bekasi rata-rata pemohon adalah orang yang
mampu, sebab salah satu syarat untuk dapat melakukan poligami adalah orang yang
mampu memberikan nafkah bagi isteri dan anak-anaknya kelak. 74
3.b. Penetapan Majlis Hakim
Pengadilan Agama Bekasi telah menerima pendaftaran permohonan izin
poligami, Maka Pengadilan menetapkan tiga orang Hakim yang bertugas memeriksa
73 Hasil wawancara pribadi dengan panitera Pengadilan Agama Bekasi, 12 Agustus 2008 74 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Pt
kencana 2000. cet ke 3., hal 102
dan mengadili dan memutus perkara. Hal ini dilakukan untuk menjamin pemeriksaan
perkara yang seobjektif mungkin guna memberi perlindungan kepada pencari
keadilan.75
Sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 15 ayat 1 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970.
3.c. Penetapan hari sidang.
Setelah satu bulan permohonan di daftarkan kepaniteraan Pengadilan Agama,
maka pengadilan harus mulai menyidangkan perkara tersebut. Untuk itu ditetapkan
hari dan tanggal atas persidangan perkara permohonan, dalam suatu surat penetapan.
Dalam suatu penetapan tersebut memuat pula tentang perintah juru sita yang
ditunjuk untuk memanggil si pemohon dan Termohon sekaligus para saksi yang
dibutuhkan dalam perkara tersebut.76
2. Pemeriksaan Perkara di muka Sidang Pengadilan.
Proses pemeriksaan perkara di muka sidang Pengadilan tingkat pertama
adalah dilakukan menurut ketentuan hukum acara, yaitu di mulai dengan tahapan-
tahapan sebagai berikut :
a) Pembacaan surat permohonan/gugatan, kemudian dilanjutkan dengan
jawaban termohon.
b) Pembuktian.
Acara pembuktian ini dimulai dari pemerikaan alat-alat bukti berikut :
75 Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasan
Kehakiman, pasa 15 Ayat 1 76 Manan, Op.Cit hal 148
• Alat bukti surat, baik yang berupa akta autentik, akta dibawah tangan
maupun surat yang bukan akta.
• Pemeriksaan bukti saksi-saksi, yang dimulai dari pemeriksaan saksi-saksi
yang diajukan oleh pemohon, yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
saksi-saksi yang diajukan oleh termohon.77
• Pemeriksan lapangan.
2. Putusan atau penetapan.
Dalam perkara permohonan izin poligami putusan atau penetapan dijatuhkan
setelah adanya proses pembuktian, karena penetapan merupakan proses akhir dari
pemeriksaan perkara. Adapun isi dari penetapan tersebut berupa pengabulan atau
penolakan.
Dalam proses perkara ini terdapat pengecualian tertentu yang antara lain :
c. Pemeriksaan permohonan izin poligami tidak tidak adanya jawaban termohon,
Replik Atau Duplik, sebagaimana yang dilakukan dalam perkara permohonan
perceraian. Karena dalam perkara permohonan izin poligami tidak ada kedudukan
selaku pemohon atau termohon atau tergugat, dengan demikian maka sudah
cukup jika majlis hakim telah mengetahui isi dari permohonan pemohon.
d. Permohonaan materil harus diperiksa oleh Majlis Hakim. Dan tujuanya untuk
mengetahui kebenaran dri isi permononan pemohon. Dalam perkara objek
77Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, ( Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2003) hal.154-165 cet ke 4
penelitian penulis terlihat semua pemohon telah diperiksa langsung dalm
persidangan.78
e. Bahwa setelah permohonan diperiksa maka tindakan selanjutnya yng harus
dilakukan majlis hakim adalah memeriksa alat bukti yang diajukan oleh
pemohon. Alat bukti tersebut adalah sebagai berikut :
1. Fhoto kopy kutipan akta nikah
2. urat pernyataan si Isteri bahwa ia bersedia untuk di madu.
3. Surat Pernyatan Penghasilan dari suami.
4.yarat keterangan sanggup berlaku adil terhadap isteri dan anak-anaknya
- Photo kopi surat penduduk dari si pemohon (KTP)
Mengenai tata cara pembuktian di Pengadilan Agama Bekasi yaitu
menggunakan system pembuktian sebagaimana yang berlaku dalam perkara perdata
umumnya, yaitu pembuktian untuk mencapai kebenran formal, artinya pembuktian
dalam persidangan adalah terbatas pada hal-hal yang dinyatakan suami ( pemohon)
dalam permohonannya di nilai benar maka sudah cukup di jadikan dasar bagi Hakim
dalam penetapan. Dengan demikian kehadiran Si isteri di persidangan tidak mutlak,
kecuali apabila dalam surat permohonan pemohon isterinya mengajukan tuntutan atau
menyangkal hal-hal yang diungkapkan oleh sang suami dlam surat permohonannya.
Sistem pembuktian tersebut adalah lazim dalam hukum perdata, namun
khususnya dalam hukum perkawinan, sebagaimana yang yang dimaksud dalam
78 Sudikno Mertokusumo, Hukum Asara perdata Indonesia ( Yogyakarta : Liberty 2002) hal
192-199 Cat Ke 6
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, serta perkara permohonan izin poligami
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, Namun surat bukti yang diajukan Pemohon belum cukup dijadikan alasan
untuk mengizinkan suami berpoligami, melainkan Undang-undang telah
mengharuskan kepada ketua Pengadilan Agama untuk memanggil dan mendengarkan
keterangan isteri yang bersangkutan.
Dalam prakteknya peengadilan Agama Bekasi telah melakukan pemanggilan
sebagaimana di maksud dalam pasal 42 Peraturn Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974
sebagaimana perkara Nomor 184/Pdt.G/2007/PA Bekasi. Dalam pemeriksaan perkara
ini isteri telah dipanggil dan di mintai keterangan sehubungan denagn poligami. Dan
dalam keterangan tersebut isteri pemohon yang bernama ENAH Binti Markan,
memberikan keterangan sebagai berikut :
• Benar saya adalah isteri Pemohon yaitu sdr. Agung Nugroho Bin Tamayoso
• Benar penghasilan pemohon perbulan rata-rata Rp. 3.699.420,-
• Benar saya tidak akan keberatan untuk di madu dn mengizinkan suami saya
menikah lagi dengan RR. Amrita. SS binti RD. Muchtar.
• Bahwa benar persetujuan tersebut saya berikan dengan ikhlas tanpa ada paksaan
dari siapapun
D. Analisa Penulis
Dalam hal menganalisa masalah izin poligami yang ditetapkan oleh Pengadilan
Agama bekasi Nomor 184/Pdt.G/2007/PA.Bks. menurut penulis ada beberapa hal
yang menarik penulis untuk kemudian dianalisa dan diurai lebih lanjut.
Dalam permohonanya pemohon memohon pada Majelis Hakim untuk
memberikan izin poligami, selanjutnya pemohon dengan termohon telah
melangsungkan pernikahan yang di cata oleh Pegawai Pencatatn Nikah di Kantor
KUA Kecamatan Bekasi Utara. Dan hasil perkawinannya dengan termohon di
karuniai dua orang anak yang bernama Afifa Thoiroh Rabbania dan Fatimah Zahra
Robbania
Dalam pemeriksaan perkara, Pemohon hendak menikah lagi dengan seorang
perempuan bernama RR. Amrita.SS binti RD. Mukhtar dalam pembuktiannya telah
mengajukan saksi-saksi untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya dan juga untuk
pertimbangan Majelis hakim dalam memutus perkara tersebut, di antaranya
kesanggupan pemohon untuk berbuat adail, termohon menyatakan rela dan tidak
keberatan apabila pemohon menikah lagi, adanya perjanjian bahwa calon Isteri
kedua pemohon tidak akan mengganggu harta benda yang sudah ada selama ini,
melainkan tetap utuh dan tidak ada laranga melakukan perkawinan antara pemohon
dan calon isterinya baik menurut syariat Islam maupun perundang-undangan.
Dan untuk menguatkan dalil-dalil tersebut diatas majlis hakim memanggil
saksi-saksi baik dari pihak pemohon maupun termohon yang menyatakan bahwa
pemohon mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya, bahwa pihak keluarga tidak
melarang dan juga menyuruh Pemohon berpoligami.dan tidak ada cacat pada diri
termohon dan tidak ada ancaman dari pemohon dan tujuan berpoligami pemohon
adalah semata-mata karena ibadah
Setelah pemeriksaan perkara izin poligami atas nama Agung Nugroho oleh
majils hakim kemudian majlis hakim berusaha menasehati pemohon agar
mempertimbangkan kembali niatnya untuk berpoligami karena sulitnya berlaku adil.
Bila dianalisis lebih lanjut, penulis berpendapat bahwa dalam penetapan izin
pligami yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Bekasi yaitu menjalankan apa yang
di jelaskan dalam pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan pasal 103 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tersebut diatas. Yaitu
dengan mengadakan pemeriksaan yang teliti dengan menghadirkan alat bukti yang
yang memenuhi syarat dan dapat menguatkan permohonannya.
Dalam hal penetapan izin poligami oleh Majlis Hakim di pengadilan Agama
Bekasi nomor 184/P.dt.G/PA./Bks. Menimbang bahwa berdasarkan peruindang-
undangan, izin dapat di berikan kepada suami untuk menikah lagi ( poligami) apabila
syarat Alternatif sebagai dimaksud pasal 4 ayat 2 dan syarat kumulatif sebagai
dimaksud pasal 5 ayat 1 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 terpenuhi. Dalam
kasusu ini berdasarkan fakta-fkta idatas, maka ala an Pemohon untuk beristeri lagi
telah memenuhi syarat kumulatifm sedangkan syarat alternative tidak terpenuhi.
Pada hakikatnya poligami dalam Islam adalah untuk menghindari perbuatan-
perbutan tercela (Syaddu l Zariah) dari keinginan pria atau suami yang secara naluri
kemanusiaan dan kelembagaan di akui oleh Sang Pencipta Allah SWT, oleh karena
itu pondasi utama yang di Sayriatkan Allah SWT dari lembaga poigami adalah dapat
berlaku adil. Dengan demikian mendasar palogami padfa kekurangan-
kekuranganwanita atu isteri, adalah konsep yang tidak mendasar, yang menghinakan
sehingga konsep tersebut harus di tinggalkan
Dalam hal menganalisa masalah izin poligami yang ditetapkan oleh
Pengadilan Agama bekasi Nomor 184/Pdt.G/2007?PA.Bks. menurut penulis sebagai
pertimbangan hukum yaitu pada :
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu pasal 4 ayat 2 yang berbunyi :
Pengadilan yang di maksud dalam ayat 1 pasal ini hnya memeberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a.Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan
I Seorang Isteri sejak dinikahi oleh suminya maka ia mempunyai kewajiban-
kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan sebagai isteri,agar bahtera kehidupan
berumah tangga menjadi bahagia. Selanjutnya menegenai ruang lingkup kewajiban si
isteri dalam hukum Islam meliputi:
1. Isteri berkwajiban memenuhi kebutuhan biologis suami sehingga suami
merasa tentram.
2. Isteri wajib bertempat tinggal bersama suami dirumah yang disediakan
suaminya.
3. Isteri wajib taat kepada perintah-perintah suami sepanjang perintahnya
tidak melanggar hukum yang ditetapkan oleh Syara'
4. Isteri wajib berdiam dirumah, dan tidak keluar tanpa izin dari suami.
5. Isteri tidak dapat menerima menerima masuk tmu laki-laki kecuali ada izin
dari suaminya.
2. Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
Syarat-syarat untuk melakukan izin poligami yng telah dijadikan
pertimbangan hukum dalam pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama Bekasi
adalah pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi :
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 Ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari Isteri-isteri
b. Adanya jaminan/janji bahwa suami dapat menjain keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anaknya kelak.
c. Adanya jaminan/janji bahwa suami dapat berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
Mengenai syarat sebagaimana yang dimaksud dalam huruf (a) diatas menurut
penulis bahwa semua perkara izin poligami yang masuk di Pengadilan Agama Bekasi
dan telah diputus dengan menggunakan pertimbangan hukum tesebut. Dan bukti
tersebut telah diberikan oleh pemohon baik secara tertulis maupun lisan didalam
persidangan Pengadilan Agama Bekasi. Serta dihadapan pejabat yang sah.
Adapun syarat yang dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 menurut hasil penelitian
penulis bahwa semua perkara pernhonan izin poligami terrsebut telah dilengkapi
dengan surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan bahwa pemohon dapat
menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. Serta semua
permohonan tersebut dilampiri dengan keterangan penghasilan dari pemohon.
Sebagai contoh pada penelitian ini yaitu pada Nomor Perkara
184?Pdt.G/2007/PA.Bks. atas nama sdr. Agung Nugroho Bin Tamyoso, yang
menyatakan bahwa gaji bersihnya dan sebagai jminn untuk kedua Isteri dan anak-
anaknya setiap bulan adalah Rp. 3.699.420,-( tiga juta enam ratus sembilan puluh
sembilan ribu empat ratus dua puluh rupiah) yang dikeluarkan PT. Dwipa Kharisma
Mitra.
Dengan demikian maka Pengadilan Agama Bekasi yang memeriksa
pernohonna izin poligami tersebut tidak merasa kekhawatiran bahwa pemohon tidak
dapat memenuhi kehidupan isteri-isteri dan anak-anak mereka sehingga permohonan
pemohon untuk berpoligami di izinkan.
Sedangkan syarat yang dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 huruf (c) Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang kemampuan suami untuk berlaku adil kepada
isteri dan anak-anaknya, telah dipenuhi oleh pemohon yaitu dengan cara membuat
pernyataan di dengan akta dibawah tangan yang bermaterai bahwa yang
bersangkutan berjanji dapat berbuat adil kepada isteri dan anak-anak mereka.
Idealnya, jika syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka suami dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama, namun pada prakteknya,
syarat-syarat yang diajukan tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Karena tidak ada
adanya kontrol dari Pengadilan untuk menjamin bahwa syarat-syarat tersebut di
jalankan oleh suami. Bahkan dalam beberapa kasus, meski ada tidaknya persetujuan
dan janji dari isteri poligami dapat dilaksanakan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Mengenai tata cara pengajuan izin poligami di Pengadilan Agama Bekasi yaitu
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 1
dan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 yaitu pasal 40, 41, 42, 43 dan KHI
pasal 56 ayat 1 dan 2..
2. Mengenai upaya Pengadilan Agama Bekasi agar suami yang berpoligami dapat
menjamin kebutuhan isteri dan anak-anaknya, maka menurut PP No.9/1974 pasal
41 poin d yang intinya menyatakan bahwa isteri dapat meminta agar Pengadilan
memeriksa ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
memenuhi kewajibannya dengan memerintahkan suami untuk membuat surat
pernyataan atau janji secara tertulis.
3. Akibat dari suami melanggar perjanjian perkawinan poligami dalam hal tidak
memberikan nafkah kepada isteri dan anak mereka serta tidak dapat berbuat adil,
maka dalam Undang-undang perkawinan nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1
menegaskan bahwa suami wajib melindungi isteri dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam( KHI ) pasal 80 ayat 4 menjelaskan bahwa suami dengan
penghasilannya menaggung :Nafkah, kiswah termpat kediaman bagi Isteri, Biaya
rumah tangga, dan Pendidikan anak.
Dari atuiran tersebut isteri dapat memuntut suami apabila melanggar
perjanjian dan tidak berbuat adil dari perkawinan poligami yaitu dengan
mengganti pembiayaan nafkah yang tidak diberikan selama perkawinan. Suatu
hukum yang menyangkut tentang kewajiban pasti terdapat implikasi bagi hukum
yang dilanggar. Hakim dapat menentukan pembayaran nafkah tersebut. apabila
keputusan-keputusan majlis hakim tidak di penuhi oleh tergugat, maka panitera
dan juru sita Pengadilan Agama dapat mengeksekusi dengan cara menyita harta
tergugat setelah keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
4. Adapun upaya penyelesaian pelanggaran perjanjian poligami dalam kondisi seperti
ini, isteri dapat menggambil tindakan hukum atas ketidakadilan yang terjadi, yaitu
dengan cara menuntut pembatalan perkawinan kedua suaminya tentunya disertai
dengan denda yang sudah ditentukan.
5. Dalam memutus perkara yang masuk pada Pengadilan Agama Bekasi yaitu nomor
184/Pdt.G/PA.Bks. bahwa fakta-fakta dan alat bukti dan keterangan saksi-saksi
yang ada, maka alas an Pemohon untuk beristeri lagi telah memenuhi syarat
kumulatif sedangkan syarat alternative tidak terpenuhi
Apabila pemahaman poligami sudah di ubah maka tidak ada perceraian yang
disebabkan karena poligam, dan tidak ada sunnah nabi yang menyebabkan perbuatan
sunnah di benci oleh Allah, karena dalam perkawinan poligami banyak terjadi
pengabaian hak-hak kemanusiaan yang semestinya didapat oleh seorang isteri.
B. Saran-saran.
1. Untuk menjaga agar kebolehan poligami bagi seseorang dan tidak digunakan oleh
suami-suami yang kurang mengerti tentang tujuan perkawinan maka hakim
Pengadilan Agama yang akan memutuskan perkara-perkara permohonan izin
poligami di harapkan lebih teliti agar keadilan dalam perkawinan poligami bisa di
terlaksana.
2. Untuk menjamin bahwa suami akan berlaku adil dan menjamin kebutuhan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka perlua adanya suatu lembaga yang dapat
mengontrol perkawinan poligami tersebut.
3. Dalam melaksanakan perjanjian perkawinan poligami perlu adanya keterkaitan
lembaga catatan sipil untuk menguatkan perjanjian tersebut.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an Al- Karim
Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, ( Bandung : Cv Pustka
Seti,1999),cet ke-1
Azizi ,Said Abd Al-jandul, Wanita dibawah Naungan Islam,( Jakarta: CV
Firdaus,1991) cet ke 1
Abi, Imam Husain Muslim Bin Hajjaj, Shahih Muslim, ( Mesir ; Daar Al-
kutub Al- Arabiyah, 1981)
Al-Qulyubi, Syihabuddin dan Syekh umarah Jalaluddin Al-mahally,
Qulyubywa Umairah. (maktabah Wa matba'ah Thaha putra semarang) juz 3
Ali, M hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, pd msalah-masalah kontemporer
hokum Islam,( Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada,2000),ed.1,cet ke-4
Arto, Mukri. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,(
Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2003)
A, Bakri Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum perkawinan Islam dan Hukum
Perdata/BW, ( Jakarta; PT Hidakrya Agung, 1998)
Abdurrahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta; PT Remelu
Cipta,1992), Cet 4
Al-Zuhili, Wahbah .Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, ( Beirut : Dar-Al-
Fikr,1989),
Abdullah, HM. Sufyan Raji. poligami dan Esksensinya, ( Jakarta : CV.
Cahaya esa, 2004),
Addary, Muhammad Muhadjirin Amsar. Misbah ad-Dzulam Syarah Bulugh
al-maram min Adillah Al-Ahkam, CV. Annida Bekasi,1995 M, Juz Ke 6
Isa Muhammad Ibnu Saurah, Sunan Al-turmudzi, (Beirut; Dar Al- Fikr,1994)
juz ke 2,
Do"I, Abdurrahman I. Penjelasan lengkap Hukum-hukum Allah ( Syariah),
Jakarta: Rajawali Pers,2002)
Inilah Syariat Islam ( Jakarta Pustaka Panjimas,1999
)Cet. Ke 1
Ghadzali, Abd Rahman. fiqh Munakahat. (Jakarta Kencana,2003 ), cet. 1,
Harahap, Yahya. Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : Zahir Trading Co medan,
1975)
Haikal, Abduttawab. Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW. Poligami Dalam
Isalm VS Monogami barat,( Jakarta : CV Pedoman Ilmu jaya, 1993 )
munawir, Ahmad Warson. Al-Munawir Qomus Arab Indonesia, ( yogyakarta:
Pondok Pesantren Al- Munawwir,1984),
Jaelani, Abd. Qadir. Keluarga sakinah, ( Surabaya: PT bina Ilmu, 1995)
Cet.ke 1
Kuzari, Achmad Nikah Sebagai Perikatan, ( Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada,1995).cet.ke-1
Omran, Abdul Rahim. Family planning in the Legal of Islam ( London:
Routledge, 1992 ),cet ke-1
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di
Indonesia.Penerbit Bina Aksara. Jakarta. 1987
Rahman, Kholil. Hukum Perkawinan Islam, (Diktat tidak di terbitkan),
semarang : IAIN Walisongo
Rofik, Ahmad .Hukum Islam di Indonesia. PT. Grafindo Persada, Jakarta
CVet.6 2003
Saleh, K. Wantjik Hukum Perkawinan Indonesia. Penerbit Ghalia Indonesia.
1976.
Sabiq, Sayyid. Fiqhu al- sunnah, ( Beirut : Dar El- fikr, 1983 ), jilid 2, Juz 6
Salam sholihin, Meninjau masalah poligami (bjakarta; Tinta Mas, 1959)
Sudarsono, Kamus hukum,(Jakarta : Rineka Cipta,.2002 ), cet.ke-3
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh
Munakahat dan Undang- undang perkawinan(Jakarta kencan,2006)
Recommended