View
259
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
0
KONSTRUKSI OBJEK DALAM CERPEN
MADI>NATU A’S-SA‘A>DAH
KARYA MUSTHAFA LUTHFI AL-MANFALUTHI
ANALISIS SINTAKSIS
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Arab
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh
UMU ATI’AH
C1011047
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kalimat merupakan satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar,
yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan,
serta disertai dengan intonasi final (Chaer, 2007:240). Intonasi final yang
memberi ciri kalimat ada tiga, yaitu intonasi deklaratif, yang dalam bahasa
dilambangkan dengan tanda titik; intonasi interogatif, yang dalam bahasa tulis
dilambangkan dengan tanda tanya, dan intonasi seru, yang dalam bahasa tulis
ditandai dengan tanda seru (2007:241). Alwi (2003:240) mendefinisikan
kalimat sebagai satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang
mengungkapkan pikiran yang utuh. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
kalimat adalah perkataan atau tulisan yang tersusun atas unsur-unsur yang lebih
kecil dalam satuan kebahasaan, diikuti dengan intonasi final, serta dapat
menyampaikan pikiran yang utuh.
Al-Khuli (1982:253) menyepadankan istilah kalimat dengan jumlatun.
Yaitu satuan unit yang paling sempurna susunannya. A‟d-Dahdah (2000:116)
menyebut jumlatun sebagai susunan predikatif yang tersusun atas subjek dan
predikat serta membentuk satu makna yang sempurna. Selain menyebutnya
sebagai jumlatun, A‟d-Dahdah juga menyebutnya sebagai al-kala>mul-
murakkabul-mufi>du (kalimat bersusun yang sempurna maknanya). Dari dua
pendapat tersebut dapat diambil pengertian kalimat dalam bahasa Arab adalah
susunan unsur-unsur sintaksis yang mempunyai makna yang sempurna.
2
Berbeda dengan kalimat bahasa Indonesia yang menjadikan intonasi final
sebagai cirinya, bahasa Arab menjadikan “makna yang sempurna” sebagai ciri
kalimat yang membedakannya dengan klausa.
Sementara itu, susunan (tarki>b) dalam bahasa Arab terdiri dari enam
jenis, yakni isnadi>, idhafi>, baya>ni>, ‘athfi>, mazji>, dan ‘adadi>. Dari keenam jenis
susunan tersebut terdapat satu jenis yang berpotensi untuk menjadi klausa atau
kalimat, yaitu tarki>b isna>di>, atau biasa dikenal dengan al-jumlah, sedangkan
lima jenis yang lainnya hanya sebatas pada frasa (Ma‟ruf, 2002:64).
Selanjutnya, kalimat dalam bahasa Arab, sesuai dengan pola urutan yang
menyusunnya, dibagi menjadi dua: jumlah ismiyyah dan jumlah fi’liyyah (A‟d-
Dahdah, 2000:116). Jenis yang pertama merupakan jenis kalimat yang diawali
dengan ism, sedangkan jenis yang kedua adalah kalimat yang dimulai dengan
fi’l (2000:117).
Fi’l pembentuk al-jumlah, baik dalam jumlah ismiyah maupun fi’liyah,
dibagi ke dalam fi’l muta’adi (verba transitif) dan fi’l lazim (verba intransitif)
(Al-Khuli, 1982:371). Perbedaan diantara kedua verba tersebut adalah
dibutuhkan atau tidaknya kehadiran objek (Ghulayaini, 2005:27). Fi’l muta’adi
adalah fi’l yang membutuhkan kehadiran maf’ul bih (A‟d-Dahdah, 2000:233),
sedangkan fi’l lazim tidak memerlukan kehadiran maf’ul bih (2000:232).
Objek-objek tersebut tergambarkan dalam objek langsung (O) maupun objek
yang bertemu verba melaui perantara partikel (Op). Contoh objek langsung
terdapat dalam susunan berikut:
3
(63, ادلنفلوطي). وجدتىن أحًن من دمعة وجٍد ىف مقلة عاشق .1(1) Wajadtu ni> achyara min dim’ati wajdin fi> miqlati ’a>syiqin
(Al Manfaluti:63) „Aku telah menemukan diriku lebih bimbang terhadap setetes air
mata kegembiraan yang terdapat pada mata orang yang mencintai.‟
Kalimat Wajadtu ni> akhira min dim’ati wajdin fi> miqlati ’a>syiqin
Bentuk wajada tu ni> achyar
a min
dam’ati
wajdin fi> muqlati a>syiqin
Kata Kate
gori
V N Pron Adv Konj N N Konj N N
Frasa FN Pron Adv FN FN
Fungsi P S O Pel
Arti Telah
mene
mukan aku
dirik
u lebih bimbang terhadap setetes air mata kegembiraanyang
terdapat pada mata orang yang mencintai
Susunan di atas tersusun atas tiga konstituen:
(1) Wajadtu
(2) ni>
(3) achyara min dam'ati wajdin fi muqlati 'a>syiqin
Konstituen (1) merupakan predikat yang dilekati dengan subjek berupa
pronomina pertama tunggal tersembunyi yang terwujud dalam huruf ta’
berharakat dhammah menjadi tu ( تُت) menunjuk kepada “aku” sebagai pelaku.
Predikat dalam kalimat tersebut diisi oleh verba perfek wajada “menemukan”,
suatu kegiatan yang dilakukan pada masa lampau. Verba tersebut berjenis
verba transitif (ekatransitif), sehingga objek diperlukan kehadirannya dalam
kalimat.
Konstituen (2) merupakan objek. Objek dalam kalimat tersebut diisi oleh
kategori pronomina pertama tunggal yang tersusun atas huruf nu>n dan ya>’
4
membentuk kata ni> (aku). Objek tersebut mengiringi verba wajada yang
berfungsi sebagai predikat.
Konstituen (3) merupakan pelengkap yang tersusun atas frasa nominal.
Berkaitan dengan pola urutan kata dalam bahasa Arab, Objek dalam
kalimat tidak harus terletak setelah verba (A‟d-Dahdah, 2000: 311). Seperti
pada kalimat:
(64:ادلنفلوطي). رأيت ادلنازل و القصور .2
(2) Ra'aitul-mana>zila wal qushu>ra P-S O
„Aku melihat rumah-rumah dan istana-istana.‟
Susunan di atas terdiri dari dua konstituen
(1) Ra’aitu
(2) Al mana>zila wa al qushu>ra
Konstituen pertama merupakan fungsi subjek dan predikat, sedangkan
konstituen kedua merupakan fungsi objek.
Dari susunan tersebut dapat diketahui bahwa objek terletak setelah
predikat dan subjeknya, membentuk pola P-S-O. Susunan tersebut berbeda
dengan klausa (3) yang mendahulukan objek daripada subjek dalam susunan
berikut:
(2003:311الدىده، ). كتب الدرس سليم. 3
(3) Kataba’d-darsa Sali>m
„Salim telah menulis pelajaran.‟ (A‟d-Dahdah, 2000:311)
5
Pada susunan (3) di atas, terlihat bahwa objek yang berupa nomina a’d
darsa (pelajaran) mendahului posisi fungsi subjek Sali>mun (Salim). Susunan
tersebut kemudian membentuk pola P-O-S. Pola yang demikian dapat diterima
atau diperbolehkan dalam bahasa Arab (A‟d-Dahdah, 2000:311). Dengan
demikian jelaslah bahwa objek dalam bahasa Arab tidak harus terletak
langsung setelah subjek atau predikat pembentuknya.
Penelitian tentang objek sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Penelitian ini antara lain pernah dilakukan oleh Sukardi (TT) dalam
artikelnya yang berjudul “Perilaku Objek Kalimat Dalam Bahasa Indonesia”.
Dalam jurnalnya, Sukardi memberikan enam kesimpulan terkait posisi objek
saat disandingkan dengan predikat. Di antara enam kesimpulan tersebut adalah
(1) O dituntut kehadirannya dalam kalimat aktif transitif, (2) kalimat dengan
verba ekatransitif menuntut kehadiran satu objek, sedangkan verba dwitransitif
membutuhkan dua objek (O1 dan O2), (3) kalimat dengan verba dwitransitif,
jika dipasifkan O1 menjadi S dan O2 tetap dibelakang P, (4) P dan O
membentuk konstruksi yang sifatnya tegar, artinya O selalu terletak di
belakang P, (5) kategori sintaksis yang dapat menduduki fungsi O ialah nomina
atau frasa nomina dan pronomina atau frasa pronominal yang meliputi
pronominal persona, pronominal penunjuk, dan pronominal penanya, (6) peran
semantik yang dapat mengisi fungsi O adalah pasientif, benefaktif, sasaran,
lokatif, dan instrumental.
Penelitian lain berupa artikel pernah dilakukan juga oleh Wagiati (TT)
dengan judul “Objek dalam Bahasa Indonesia”. Penelitiannya tersebut
6
menghasilkan kesimpulan: (1) konstruksi objek dapat berupa klitik, kata, frasa,
dan klausa, (2) peran semantik objek bahasa Indonesia adalah sebagai objektif
atau penderita, faktif atau hasil, goal atau sasaran benefaktif atau pemeroleh,
instrumental atau alat, lokatif atau tempat, dan temporal atau waktu.
Selain itu, Ma‟ruf pada tahun 2009 juga melakukan penelitian tentang
pola urutan yang terkait dengan objek. Penelitian tersebut berupa disertasi
berjudul “Pola Urutan Kata dalam Bahasa Arab: Studi Gramatika Kontrastif
dengan Bahasa Indonesia”. Dalam penelitiannya tersebut, dapat disimpulkan
terkait dengan verba transitif dan objek yang mengiringinya, secara klausal,
bahasa Arab mempunyai tipe pokok V-O tetapi dimungkinkan pula bertipe O-
V karena urutan kata dalam kalimat bahasa Arab mempunyai mobilitas yang
tinggi.
Penelitian lain tentang pengisi fungsi objek juga pernah dilakukan oleh
Saptati dengan judul “Peran Pengisi Fungsi Objek Pada Kalimat Berpredikat
Verba Aktivitas Mata Dalam Bahasa Jawa”. Dalam penelitiannya, ia
memfokuskan penelitian pada peran objek dalam kalimat pada bahasa Jawa.
Penelitian tersebut merupakan skripsi yang diselesaikan pada tahun 1999. Dari
hasil penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa peran objek yang terdapat pada
predikat aktivitas mata dengan berbagai tipe adalah sebagai peran penderita.
Berdasarkan pada tinjauan pustaka di atas serta pengamatan yang telah
dilakukan oleh penulis, sejauh ini penelitian tentang objek dalam cerpen
Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi belum pernah
dilakukan, khususnya oleh mahasiswa Jurusan Sastra Arab. Oleh karena itu,
7
penelitian tersebut perlu dilakukan untuk menambah sumbangsih terhadap
keilmuan bahasa Arab khususnya mengenai kajian sintaksis dalam cerpen
(sastra).
Cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah merupakan salah satu karya Musthafa
Luthfi Al-Manfaluthi yang tergabung dalam kumpulan tulisannya berjudul an
Nadza>rat. Cerpen tersebut menceritakan perjalanan penulis di sebuah kota
asing. Dalam perjalanan tersebut diceritakan indahnya sebuah kota yang
memiliki penduduk aneh, menurut pandangan penulis. Penduduk kota tersebut
memiliki hati mulia. Mereka tidak melakukan pekerjaan selain untuk
kemuliaan. Mata pencaharian mereka adalah bertani. Mereka tidak memiliki
sekolah karena bagi mereka kepercayaan pendidikan adalah di tangan mereka
sendiri. Penduduk kota tersebut menyembah Allah bukan karena
mengharapkan syurga ataupun takut pada neraka. Tidak ada perselisihan di
antara mereka, tidak ada peminta-minta di antara mereka, tidak ada hakim di
antara mereka lantaran tidak adanya kejahatan, yang ada dalam kota tersebut
hanyalah kedamaian dan kasih sayang satu sama lain. Namun sayang sekali
perjalanan penulis dalam satu epik yang indah itu harus berakhir karena
perjalanan itu pada kenyataannya hanyalah sebuah mimpi.
Salah satu keistimewaan cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah dibandingkan
dengan cerpen lainya adalah cerita dalam cerpen tersebut merupakan khayalan
Al-Manfaluthi akan adanya sebuah kota dambaan manusia yang penduduknya
hidup dalam kedamaian. Ide dalam cerpen tersebut berbeda dengan cerpen-
cerpen lainnya, sehingga menjadikan peneliti tertarik memilih cerpen tersebut
8
sebagai objek penelitian. Selain itu, penulis berasumsi bahwa objek dalam
cerpen tersebut tidak selalu terletak langsung setelah verba atau predikat
pembentuknya. Adakalanya antara verba dengan objek diselipi dengan klausa
panjang yang umumnya berfungsi sebagai keterangan. Kecermatan dan
ketelitian perlu dilakukan agar satu satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai
objek tidak ditempatkan sebagai pengisi fungsi keterangan, atau subjek, atau
predikat. Konstruksi pengisis fungsi objek yang beraneka ragam dalam cerpen
tersebut juga menjadi salah satu daya tarik cerpen tersebut untuk diteliti.
Konstruksi yang mengisi fungsi objek tidak hanya diisi oleh kata saja, tetapi
juga frasa, klausa, dan kalimat. Selain itu, bahasa penyusun cerpen tersebut
indah dan menggunakan bahasa fuscha sehingga memudahkan peneliti dalam
melakukan penelitian. Oleh karena itu, berdasarkan pada asumsi sebelumnya,
cerpen ini menarik untuk dikaji lebih mendalam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang tersebut di atas, masalah dapat
dirumuskan ke dalam dua hal;
(1) Bagaimana pengisi fungsi dan kategori objek dalam cerpen Madi>natu
a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi?
(2) Bagaimana posisi objek pada pola susunan klausa dalam cerpen
Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas maka tujuan yang hendak
dicapai melalui penelitian ini adalah;
9
(1) Mendeskripsikan pengisi fungsi dan kategori objek dalam cerpen
Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.
(2) Mendeskripsikan posisi objek pada pola susunan klausa dalam cerpen
Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi?
D. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah objek yang terdapat
dalam kalimat atau klausa tunggal. Kalimat tunggal yang dimaksudkan dibatasi
lagi dalam klausa atau kalimat aktif transitif deklaratif yang terdapat dalam
cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Lutfhi Al-Manfaluthi, bukan
kalimat pasif dan bukan kalimat imperatif atau interogatif.
E. Landasan Teori
1. Sintaksis
1.1.Kalimat dan klausa
Kecuali dalam hal intonasi akhir atau tanda baca yang menjadi
ciri kalimat, kalimat dalam banyak hal tidak berbeda dengan klausa.
Keduanya merupakan konstruksi sintaksis yang mengandung unsur
predikasi (Alwi et.al 2003: 311).
1.1.1. Pengertian kalimat
Kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen
dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi
bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final. Jika sebuah
klausa telah disertai dengan intonasi final, maka klausa tersebut
adalah kalimat ( Chaer, 2007: 240).
10
Ramlan (2009:21) tidak mendasarkan penamaan “kalimat”
berdasarkan pada jumlah suku kata yang membentuk sebuah
kalimat, melainkan pada intonasi atau nada akhir dari sebuah
kalimat. Setiap satuan kalimat dibatasi oleh adanya jeda panjang
yang disertai nada akhir turun atau naik. Jadi baginya, kalimat
adalah susunan kata yang diakhiri dengan nada akhir naik atau
turun.
Ba‟albaki (1990:436) menyebut istilah kalimat dengan al-
jumlah. A‟d-Dahdah mengartikan al-jumlah sebagai:
ية تتضمن مسنداً ومسنًدا إليو يكوِّنان عمدة ىذه اجلملة وحيّققان دوحدة إسنا جيوزإحلاق العمدة بفضالت غايتها توضيح ادلعىن وحتسٌن, ادلعىن ادلفيد
فعلّية وامسية, تسّمى اجلملة أيضا الكالم ادلرّكب ادلفيد وىي نوعان. الكالم
Wachdatun isna>diyyatun tatadhammanu musnadan wa musnadan ilaihi yukawwinani ‘umdata hadzihil-jumlati wa yuchaqqiqa>nil-ma’na>l-mufi>da, yaju>zu ilcha>qul-‘umdati bifadhala>tin gha>yatuha> taudzi>chul-ma’na> wa tachsi>nul-kala>mi. Tusamma >al-jumlatu aidhan al-kala>mul-murakkabul-mufi>du wa hiya nau’a>ni, fi’liyyatun wa ismiyyatun.
Al-jumlah adalah sebuah satuan predikatif yang
mengandung musnad (predikat) dan musnad ilaih
(subjek), keduanya menyusun bagian kalimat ini serta
menegaskan makna yang sempurna. Unsur ini dapat diikat
dengan komplemen lain dengan tujuan untuk memperjelas
makna dan memperindah kata-kata. Al-Jumlah dalam
bahasa Arab juga disebut dengan “perkataan/kalam yang
tersusun yang membentuk makna sempurna, al-jumlah ada
dua macam yaitu fi’liyyah dan ismiyyah.‟ (A‟d-Dahdah,
2000: 116).
11
Hasan (2009:15) mendefinisikan al-jumlah sebagai sesuatu
yang tersusun dari dua kata atau lebih dan mempunyai makna yang
sempurna.
Ghulayaini (2005:11) menyebut al-jumlah dengan al-
murakkabul-isnadi. Dia mengartikannya sebagai ma> ta’allafa min
musnadin wa musnadin ilaihi (sesuatu yang tersusun atas musnad
(subjek) dan musnad ilaih (predikat).
1.1.2. Jenis kalimat
Berdasarkan ada tidaknya verba, kalimat dibedakan menjadi
kalimat verbal dan kalimat non-verbal (kalimat nominal). Kalimat
verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau
kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase yang berkategori
verba. Kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan
kata atau frase verbal; bias berupa nomina, adjektifa, adverbia, atau
juga numeralia (Chaer, 2007: 249).
Berkenaan dengan jenis verba yang menuntut ada atau
tidaknya kehadiran objek, kalimat verbal dibagi lagi ke dalam
kalimat transitif dan kalimat intransitif. Kalimat transitif adalah
kalimat yang predikatnya berupa verba transitif, yaitu verba
biasanya diikuti oleh sebuah objek jika verba tersebut bersifat
monotransitif, dan diikuti oleh dua buah objek kalau verbanya
berupa verba bitransitif. Kalimat intrasitif adalah kalimat yang
12
predikatnya berupa verba intransitif, yaitu verba yang tidak
memiliki objek.
Dalam bahasa Arab, berdasarkan jenis kata yang mengawali
al-jumlah, al-jumlah dibagi ke dalam dua bagian yaitu al-jumlatul-
ismiyyah dan al-jumlahul-fi‘liyyah (Al-Khuli, 1987:348). Al-jumlah
ismiyyah adalah kalimat yang diawali dengan ism, terdiri dari
subjek yang disebut dengan mubtada’ dan ism lain berfungsi
sebagai predikat yang disebut khabar (A‟d-Dahdah, 2000:117).
Sementara itu, al-jumlatul-fi’liyyah adalah kalimat yang
mengandung fi’l sempurna. Al-jumlatul-fi’liyyah ini diawali dengan
fi’l (Al-Khuli, 1987:301) dan terdiri dari musnad yang berupa fi’l
serta musnad ilaih yang berupa fa‘il atau naibul-fa>‘il. Jika musnad
berupa fi’l ma’lum maka musnad ilaih berupa fa’il. Jika musnad
berupa fi’l majhul maka musnad ilaih nya berupa na’ibu- fa’il
(2000: 117).
Hasan (2009:16) membagi kalimat ke dalam tiga bagian yaitu
al-jumlatul-ashliyyah, al-jumlatul-kubra, dan al-jumlatu’sh-
shughra.
ر على ركين اإلسناد صوىي اليت تقت. اجلملة األصلية (ا): إن اجلملة ثالثة أنواع أو ما يقوم مقام اخلرب أو تقتصر على الفعل مع , على ادلبتدأ مع خربه: أى)
وىي ما ترتكب من ادلبتدأ , اجلملة الكربى( ب )(أو ما ينوب عن الفعل, فاعلو (ج). الزىر طابت رائحتو: أو, الزىر رائحتو طيبة: حنو, خربه مجلة امسية أو فعلية
. اجلملة االمسية أو الفعلية إذا وقعت إحدامها خربا دلبتدأ: وىي: اجلملة الصغرى
13
Innal-jumlata tsala>tsata anwa>’in. (a) al-jumlahtul-ashliyyah. Wa hiya’l-lati taqtashiru ‘ala> raknail-isna>di (ay ‘ala>l-mubtada'i ma’a khabarihi, aw ma> yaqu>mu maqa>mal-khabari aw taqtashiru ‘ala>l-fi’li ma’a fa>’ilihi, au ma> yanu>bu ‘anil-fi’li) (b) al-jumlatul-kubra>, wa hiya ma> tatarakkabu minl-mubtada'i khabaruhu jumlatun ismiyyatun aw fi’liyyatun, nachwu: a’z-zuharu ra>'ichatuhu thayyibatun, aw :a’z-zuharu tha>bat ra>'ichatuhu. (c) al-jumlatu’sh-shughra>: wa hiya : al-jumlatul-ismiyyatu aw al-fi’liyyatu idza> waqa’at ichda>huma> khabaran limubtada'i. Al-jumlah ada tiga jenis: (a) al-jumlah al ashliyyah. Yaitu
yang terdiri atas minimal dua susunan predikatif (yaitu:
mubtada’ dengan khabarnya, atau sesuatu yang
menempati khabar atau paling tidak terdiri dari fi’l dan
fa>’ilnya, atau yang menggantikan fi’l) (b) al-jumlah al kubra> adalah susunan yang tersusun atas mubtada' yang
khabarnya berupa jumlah ismiyyah atau fi’liyyah, seperti
a’z-zuharu ra>'ichatuhu thayyibatun (bunga-bunga
memiliki bau yang wangi) atau a’z-zuharu tha>bat ra>'ichatuhu (bunga-bunga wangi baunya). (c) al-jumlah a’sh shughra> yaitu al-jumlatul-ismiyyah atau al-fi’liyyah
jika salah satunya jatuh sebagai khabar bagi mubtada'.
Chaer (2007:208) menyatakan bahwa keempat fungsi (S, P,
O, dan K) tidak harus selalu ada dalam setiap struktur sintaksis. Dia
menyebutkan bahwa para pakar linguistik mengatakan yang harus
ada dalam struktur sintaksis adalah subjek dan predikat. Dengan
demikian, terdapat kemungkinan bagi fungsi objek untuk
dilesapkan, sesuai dengan pendapat Chaer tersebut di atas. Hal
tersebut terjadi karena konstiruen “induk” dalam kalimat adalah
predikat yang biasanya berupa verba. Kehadiran konstituen lain
ditentukan oleh kehadiran dan jenis verba. Verba transitif tentu
akan memunculkan fungsi objek (Verhaar, 2010:165).
14
Para ahli bahasa Arab (Al-Khuli (1982:291) dan Ba‟albaki
(1990:510) menyepadankan verba transitif dengan istilah fi‘l
muta‘addi.
1.2.Frasa
Unsur klausa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
melampaui batas sebuah fungsi disebut dengan frasa (Ramlan,
2001:138). Berkaitan dengan hal tersebut, frasa dibagi lagi menjadi 5,
yaitu frasa verbal, frasa nominal, frasa bilangan, frasa keterangan, dan
frasa depan.
a. Frasa verbal
Merupakan frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan
kata verbal, misalnya sedang membaca, akan pergi, sudah datang
dan sebagainya (Ramlan, 2001:154).
b. Frasa nominal
Merupakan frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan
kata nominal. Misalnya mahasiswa lama, gedung sekolah, guru
yang bijaksana, kapal terbang itu, jalan raya ini, dan lain
sebagainya (Ramlan, 2001:154).
c. Frasa bilangan/ numeralia
Frasa bilangan ialah frasa yang mempunyai distribusi yang
sama dengan kata bilangan. Misalnya frase dua buah, tiga ekor,
lima botol, tiga puluh kilogram, dan sebagainya (Ramlan,
2001:162).
15
d. Frasa keterangan
Frasa keterangan ialah frase yang mempunyai distribusi yang
sama dengan kata keterangan. Misalnya frasa tadi malam, kemarin
pagi, sekarang ini, dan sebagainya (Ramlan, 2001:162).
e. Frasa depan
Frase depan ialah frase yang terdiri dari kata depan sebagai
penanda, diikuti oleh kata atau frasa sebagai aksisnya. Misalnya di
sebuah rumah, dengan sangat tenang, sejak tadi pagi, dari desa, ke
jakarta, daripada bambu, kepada teman sejawatnya, dan lain
sebagainya (Ramlan, 2001:162).
Ba‟albaki (1990:378) menyebut frasa sebagai syibhu jumlah
atau syibjumlah. Dia juga menyebutnya sebagai murakkab. Murakkab
yaitu susunan yang tersusun lebih dari satu kata tetapi tidak mencapai
susunan subjek predikat (1990:379). Selain itu, menurut Ghulayaini,
frasa adalah perkataan yang terdiri dari dua kata atau lebih untuk
makna tertentu, baik itu makna yang sempurna seperti pada susunan
a’n-naja>tu fi>’sh-shidqi „kesuksesan pada kejujuran‟, maupun yang
tidak sempurna seperti pada susunan nu>ru'sy-syamsi „sinar matahari‟
(Ghulayaini, 2005:11).
Terdapat enam murakkaba>t dalam bahasa Arab (Ghulayaini,
2005:11). Keenam jenis itu adalah Al-murakkab al isna>di>, Al-
murakkab al-idlafi>,Al-murakkab al baya>ni>, Al-murakkab al ’athfi>, al
murakkab al mazji>, dan Al-murakkab al ’adadi>.
16
a. Al-murakkab al-isna>di>
Al-murakkab al-isna>di> adalah susunan yang tersusun dari
subjek dan predikat (Ghulayaini, 2005:11).
b. Al-murakkab al -dlafi>
Al-murakkab al-idlafi> adalah susunan yang terdiri dari
mudla>f dan mudla>f ilaih. Seperti pada frasa kita>bu’t-tilmi>dzi ‘buku
milik murid itu‟, kha>timu fidhatin ‘cincin dari perak‟, shaumu’n-
naha>ri „puasa pada siang hari‟. Harakat atau hukum bagian ke dua
adalah selalu kashrah (Ghulayaini, 2005:13).
c. Al-murakkab al-baya>ni>
Al-murakkab al-baya>ni> adalah setiap susunan dua kata yang
mana bagian yang kedua menjadi penjelas bagi bagian pertama. Ini
terbagi lagi ke dalam tiga jenis:
1) Murakkabun washfiyyun :susunan yang terdiri dari shifah dan
maushuf. Misalnya pada susunan fa>za’t-tilmi>dzul-mujtahidu
„murid yang bersungguh-sungguh itu berhasil‟.
2) Murakkabun taukidiyyun :susunan yang terdiri dari al
mu’akkidu dan al mu’akkadu. Misalnya pada susunan ja>'al-
qaumu kulluhum „kaum itu datang keseluruhannya‟.
3) Murakkabun badaliyyun :susunan yang terdiri dari badal dan
mubdal minhu. Misalnya pada susunan ra'aitu khali>lun akha>ka
„aku telah melihat Khalil saudara laki-lakimu‟.
17
Hukum kata bagian ke dua dari Al-murakkab al-bayani>
adalah sesuai dengan kata yang mendahuluinya (Ghulayaini,
2005:13).
d. Al-murakkab al-’athfi
Al-murakkab al-’athfi adalah susunan yang terdiri dari al-
ma‘thuf dan al-ma‘thuf alaihi, di antara kedua kata tersebut diselipi
dengan charful-athfi. Misalnya pada susunan yana>lu’t-tilmi>dzu
wa’t-tilmi>dzatul-chamda wa’ts-tsana>’a „murid laki-laki dan
perempuan mendapatkan pujian dan sanjungan‟. Hukum kata
setelah charfu athfi adalah mengikuti kata yang sebelumnya
(Ghulayaini, 2005:13).
e. Al -murakkab al-mazji>
Al-murakkab al-mazji> adalah setiap dua kata yang tersusun
kemudian menjadi satu kata. Misalnya frasa ba‘labakka,
baitalchama, chadlramauta, dan si>bawaichi. Frasa-frasa dalam al -
murakkab al-mazji> ini tidak memiliki sifat la> yunsharifu (tidak
dapat ditashrif atau tidak dapat diubah-ubah susunan katanya)
(Ghulayaini, 2005:13).
f. Al-murakkab al-’adadi>
Al-murakkab al-’adadi> adalah susunan yang terdiri dari dua
bilangan angka yang ditengah-tengahnya diselipi dengan charful-
athfi yang tersembunyi. Bilangan ini meliputi angka dari 11 sampai
19, dan 21 sampai 29, sedangkan angka 20 dan sampai 99 tidak
18
termasuk dalam frasa ini karena charful-athfi nya tampak atau
terlihat. Hukum dari ini adalah selamanya fatchah. Misalya pada
susunan ja>'a achada asyara rajulan „telah datang sebelas laki-laki‟,
ra'aitu achada asyara kaukaban „aku melihat sebelas bintang‟,
achsantu ila> achada asyara faqi>ran „aku berbuat baik pada sebelas
orang fakir‟ (Ghulayaini, 2005:14).
1.3.Kata
Kata adalah bagian dari kalimat yang merupakan kesatuan yang
terkecil, yang dapat berdiri sendiri dan mengandung suatu pengertian
(Hidayatullah, 2012:91). Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata
dapat menempati fungsi-fungsi sintaksis atau menjadi bagian dari
frasa yang mengisi fungsi-fungsi sintaksis.
Ba‟albaki (1990:537) menyebutkan kata dalam bahasa Arab
sebagai kalimah. Kalimah adalah unsur terkecil dalam hierarki
gramatika, sedangkan Al-Khuli menyebutnya sebagai satuan bahasa
terkecil yang telah memiliki makna (Al-Khuli, 1982:310).
2. Kategori dan Fungsi Sintaksis
2.1.Kategori Sintaksis
Dalam ilmu bahasa, kata dikelompokkan berdasarkan bentuk
serta perilakunya. Kata yang mempunyai bentuk serta perilaku yang
sama, atau mirip, dimasukkan ke dalam satu kelompok, sedangkan
kata lain yang bentuk dan perilakunya sama atau mirip dengan
sesamanya, tetapi berbeda dengan kelompok yang pertama,
19
dimasukkan ke dalam kelompok yang lain. Dengan kata lain, kata
dapat dibedakan berdasarkan kategori sintaksisnya. Kategori sintaksis
sering pula disebut kategori atau kelas kata (Alwi, et.al 2003:36).
Dalam bahasa Indonesia, terdapat empat kategori sintaksis
utama: (1) verba atau kata kerja, (2) nomina atau kata benda, (3)
adjektiva atau kata sifat, dan (4) adverbia atau kata keterangan. Di
samping itu, terdapat satu kelompok lain yang disebut dengan kata
tugas yang terdiri atas beberapa subkategori yang lebih kecil,
misalnya preposisi atau kata depan, konjungtor atau kata sambung,
dan partikel (Alwi, et.al 2003:36).
Nomina, verba, dan adjektiva sering dikembangkan dengan
tambahan pembatas tertentu. Nomina, misalnya, dapat dikembangkan
dengan nomina lain, adjektifa, atau dengan kategori lain, kemudian
membentuk frasa nominal. Verba dapat diperluas, antara lain dengan
adverbia, kemudian menjadi frasa verbal, dan adjektiva dapat
diperluas dengan adverbia, kemudian menjadi frasa adverbial.
Preposisi yang diikuti kata atau frasa lain menghasilkan frasa
preposisional (Alwi, et.al 2003:36).
Al-Khuli (1982:311) membagi kelas kata bahasa Arab dalam
empat kategori: (1) al-asma>’ (noun), (2) al-af ‘a>l (verb), (3) a’n-nu‘u>t
(adjective), dan (4) a’zh-zhuru>f (adverb).
20
2.2. Fungsi Sintaksis
Tiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang
mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat
tersebut. Fungsi itu bersifat sintaksis, artinya berkaitan dengan urutan
kata atau frasa dalam kalimat (Alwi, et.al 2003:36).
Al-Khuli (1982:100) menyepadankan istilah fungsi sintaksis
(functional categories) dengan anma>thun wazhifiyyatun. Yaitu
sebuah pola yang menunjuk pada fungsi atau tugas kata dalam
kalimat, seperti mubtada’, khabar, dan maf‘u>lun bihi.
Fungsi sintaksis utama dalam bahasa adalah predikat, subjek,
objek, pelengkap, dan keterangan. Di samping itu, ada fungsi lain
seperti atributif (yang menerangkan), koordinatif (yang
menggabungkan secara setara), dan subordinatif (yang
menggabungkan secara bertingkat).
2.2.1. Fungsi Predikat
Ba‟albaki (1990:391) menyepadakan predikat dengan
musnadun, khabar, machku>m bih, dan machmu>l. Predikat dalam
bahasa Indonesia dapat berwujud frasa verbal, adjektival, nominal,
numeral, dan preposisional. Dengan demikian musnad dalam
bahasa Arab dapat berupa fi’l, ism fi’l, khabar mubtada’, khabar
fi’l naqis, dan khabar huruf yang setara dengan laisa dan inna wa
akhawatuha> (Ghulayaini, 2005:12).
21
2.2.2. Fungsi Subjek
Ba‟albaki (1990:479) menyepadankan istilah subjek dengan
musnad ilaihi, atau berupa fa>’il, mubtada', machku>mu ‘alaihi, dan
maudhu>’. Disamping predikat, kalimat umumnya mempunyai
subjek pula. Dalam bahasa Indonesia subjek biasanya terletak di
muka predikat. Subjek dapat berupa nomina, tetapi pada keadaan
tertentu kategori kata lain juga dapat menduduki fungsi subjek.
Ghulayaini menjelaskan musnad ilaih merupakan fa>‘il,
na>’ibul fa>‘il, mubtada’, ism fi’l naqis, ism huruf yang setara dengan
laisa dan ism inna wa akhawatua serta la> nafiyah li> jins.
2.2.3. Fungsi Objek
Ba‟albaki (1990:343) menyebut objek dengan maf’u>l bih.
Ghulayaini (2005:434) menjelaskan, maf’u>l bih dibagi menjadi
dua: shari>ch dan ghairu shari>ch . Jenis yang pertama dibagi ke
dalam dua jenis, zha>hir dan dhami>r muttashil. Sementara itu,
maf’u>l bih ghairu shari>ch dibagi menjadi tiga jenis: mu'awwalun
bimashdarin ba’da charfin mashdariyyin, jumlatun mu'awwalatun
bimufrodi, dan ja>run wa majru>run.
3. Verba Transitif
Verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat
karena dalam kebanyakan hal verba berpengaruh besar terhadap
unsur-unsur lain yang harus atau boleh ada dalam kalimat tersebut
(Alwi et.al, 2003:90).
22
Dari segi sintaktisnya, ketransitifan verba ditentukan oleh dua
faktor: (1) adanya nomina yang berdiri di belakang verba yang
berfungsi sebagai objek dalam kalimat aktif dan (2) kemungkinan
objek itu berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif (2003:90).
Verba transitif merupakan verba yang memerlukan nomina
sebagai objek dalam kalimat aktif, dan objek itu dapat berfungsi
sebagai subjek dalam kalimat pasif (2003:91).
Contoh kalimat dengan menggunakan verba transitif misalnya:
(4) Ibu sedang membersihkan kamar itu.
(5) Rakyat pasti mencintai pemimpin yang jujur.
Bentuk pasif dari kalimat tersebut adalah
(4a) Kamar itu sedang dibersihkan oleh ibu
(5a) Pemimpin yang jujur pasti dicintai oleh rakyat.
Menurut Alwi (2003:92) verba transitif dibagi ke dalam tiga
jenis yaitu verba ekatransitif, verba dwitransitif, dan verba
semitransitif.
a. Verba Ekatransitif
Verba ekatransitif adalah verba transitif yang diikuti oleh satu
objek. Seperti dalam kalimat:
(6) Saya sedang mencari pekerjaan.
S P O
b. Verba Dwitransitif
Verba dwitransitif adalah verba yang dalam kalimat aktif
dapat diikuti oleh dua nomina, satu sebagi objek dan satunya lagi
23
sebagai pelengkap. Objek dalam kalimat dwitransitif dapat tidak
dinyatakan secara eksplisit (Alwi et.al, 2003:92). Contoh kalimat
yang menggunakan verba dengan dua objek misalnya:
(7) Saya sedang mencarikan adik saya pekerjaan.
S P O2 O1
c. Verba semitransitif
Verba semitransitif ialah verba yang objeknya boleh ada dan
boleh juga tidak. Misalnya pada kalimat (8) yang dapat berupa
kalimat (8a) berikut ini:
(8) Ayah sedang membaca koran.
(8a) Ayah sedang membaca.
Ba‟albaki (1990:509) menyepadankan istilah verba transitif
(transitive verb) dengan fi‘lun muta‘adiyyun, yaitu fi‘l atau verba
yang membutuhkan hadirnya maf‘u>lun bihi.
Terkait dengan jumlah objek yang mengiringinya, Ghulayaini
(2005:28) membagi verba dalam bahasa Arab menjadi tiga, yaitu
muta‘addi ila> maf ‘u>l bih wa>chid, muta‘addi ila> maf‘u>llaini, dan
muta‘addi ila> tsala>tsata mafa>‘i>l \.
a. Muta‘addi ila> maf ‘u>l bih wa>chid
Muta‘addi ila> maf‘u>l bih wa>chid adalah verba bahasa Arab
yang membutuhkan satu objek saja. Misalnya verba-verba kataba,
akhadza, akrama (Ghulayaini,2005:28).
24
b. Muta‘addi ila> maf‘u>llaini
Muta‘addi ila> maf‘u>llaini adalah verba yang membutuhkan
dua objek. Verba ini dibagi lagi kedalam dua bagian:
1) Verba yang menashabkan dua objek yang pada dasarnya bukan
mubtada’ dan khabar, seperti verba-verba 'a‘tha>, sa'ala,
manacha, mana‘a, kasa>, albasa, dan ‘allama.
2) Verba yang menashabkan dua objek yang pada dasarnya
keduanya merupakan mubtada’ dan khabar. Verba ini dibagi
lagi menjadi dua: (1) af‘a>lul-qulu>b , seperti ra'a>, ‘alima, wajada,
ta‘allama, dan (2) af‘a>lu’t-tachwi>l yang termasuk dalam verba
ini ada tujuh, yaitu shayyara, waradda, taraka, takhidza,
ittakhadza, ja‘ala, dan wahaba (Ghulayaini, 2005:28).
c. Muta‘addi ila> tsala>tsata mafa>‘i>l \
Muta‘addi ila> tsala>tsata mafa>‘i>l \ adalah verba yang
membutuhkan tiga objek. Misalnya verba-verba ara>, a’lama,
anba’a, nabba’a, akhbara, dan khabbara (Ghulayaini, 2005:28)
Berkaitan dengan bertemunya verba dengan objeknya, A‟d-
Dahdah (2000:232) membagi verba transitif ke dalam verba transitif
yang langsung bertemu dengan objeknya dan verba transitif yang
bertemu dengan objeknya melalui perantara. Ghulayaini (2005:28)
menyebutnya dengan fi‘l muta‘addi binafsihi dan fi‘l muta‘addi
bighairihi.
25
a. Fi’l muta‘addi binafsihi
Fi’l muta‘addi binafsihi adalah fi‘l yang langsung
bertemu dengan maf‘u>lun bihinya. Misalnya pada kalimat:
(9) Kataba a’t-tilmi>dzu risa>latan (A‟d-Dahdah, 2000:280) P S O
„Murid itu menulis surat‟
b. Fi’l muta‘addi bighairihi
Fi’l muta‘addi bighairihi adalah fi‘l yang bertemu
dengan maf‘u>lun bihinya terlebih dahulu melalui partikel lain.
Contoh fi’l muta‘addi bighairihi :
(10) Raghiba’l-waladu fi> ‘ilmi (A‟d-Dahdah, 2000:281).
„Anak itu mencintai ilmu‟.
(11) Jalasa’r-rajulu tachta’sy-syajarati
(A‟d-Dahdah, 2000:281)
„Lelaki itu duduk di bawah pohon‟.
Sementara itu, berkenaan dengan pembentukan verba transitif,
dalam buku morfologi bahasa Arab (Jami>’u’d-duru>s, a’sh-sharful-ka>fi>,
Mu’jamul-af’a>lul-mutta’addyyati bicharfin) pembahasan mengenai
wazan pembentuk fi’l mutta’addi tidak dibahasa secara khusus.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wazan fi’l mutta’addi
mengikuti atau sama dengan wazan-wazan pembentuk fi’l secara
umum. Yaitu yang terbagi ke dalam tsulasi, ruba’i, khumasi, dan
sudasi.
26
Namun terdapat beberapa wazan yang dapat memuta’adikan fi’l
la>zim menjadi fi’l muta’addi (Ghulayaini, 2005:39). Fi’l lazim akan
menjadi fi’l muta’addi apabila:
a. Mengubah fi’l la >zim ke dalam bab af’ala
Misalnya dalam contoh akramtul-mujtahida „aku
memuliakan orang yang bersungguh-sungguh‟. Mujarrad dari
fi’l akrama „memuliakan‟ adalah karuma „dermawan‟ yang
merupakan fi’l la>zim.
b. Mengubah fi’l la >zim ke dalam bab fa’ala
Misalnya fi’l azhzhumtu „memuliakan‟ dalam contoh
‘azhzhumtul-‘ulama>a „aku memuliakan ulama‟. Mujarrad dari
fi’l azhzhumtu adalah „azhuma (besar).
c. Memberi charfu al jarri pada fi’l la>zim
Misalnya dalam contoh tamassak bil-fadhi>lati
„berpeganglah pada keutamaan‟. Maf’u>l bih dalam contoh
tersebut adalah dari jenis ghairu shari>ch yang majru>r secara
lafadz tapi dalam keadaan manshu>b .
4. Objek
4.1. Pengertian
Objek adalah konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut
oleh predikat berupa verba transitif pada kalimat aktif. Dalam bahasa
Indonesia, objek selalu terletak langsung setelah predikatnya (Alwi
27
et.al, 2003:328). Objek dapat dikenali dengan memperhatikan (1) jenis
predikat yang dilengkapinya dan (2) ciri khas objek itu sendiri.
Objek biasanya berupa nomina atau frasa nominal. Jika objek
tergolong nomina, frasa nominal tak bernyawa, atau persona ketiga
tunggal, nomina objek itu dapat diganti dengan pronomina –nya; dan
jika berupa pronomina aku atau kamu (tunggal), bentuk –ku dan –mu
dapat digunakan. Selain satuan berupa nomina atau frasa nominal,
konstituen objek dapat pula berupa klausa (2003:328).
Objek pada kalimat aktif transitif akan menjadi subjek jika
kalimat itu dipasifkan (Alwi et.al, 2003: 328).
Ba‟albaki (1990:343) menyebut objek (object) dengan istilah
maf‘u >l bih.
Maf’ul adalah efek sintaksis yang muncul akibat adanya fi’l
mutaadi atau “yang dijadikan” dalam sebuah kalimat lengkap (A‟d-
Dahdah, 2000: 314). Maf‘u >l bih adalah ism mansub yang ada setelah fi’l
(kata kerja) dan fa’il (pelaku) (Ad Dahdah, 2000: 311). Muhyidin
(2010:235) menyatakan maf‘u>l bih ialah: ism mansub yang menjadi
objek (sasaran) dari perbuatan (fa>’il), seperti pada perkataan:
(12) Dharabtu Zaidan
„Saya telah memukul Zaid‟ atau
(13) Rakibtul-fara>sa
„Saya telah menunggang kuda‟.
28
Diantara sifat-sifat yang memenuhi maf‘u>l bih menurut para ahli
nahwu adalah harus ism, harus manshub, dan sebagai sasaran (objek)
dari perbuatan fa’il (subjek). Maksud kata-kata sasaran dari perbuatan
fa’il adalah keterkaitan dengannya, baik bentuknya kalimat positif
seperti fahimtu’d-darsa „saya memahami pelajaran‟, ataupun kalimat
negatif seperti lam afham a’d darsa „saya tidak memahami pelajaran‟
(Muhyidin, 2010:236).
Hukum maf‘u>l bih ada empat; (1) wajib nashab, (2) boleh
dilesapkan dengan syarat, (3) boleh dilesapkan fi’lnya, (4) diletakkan
sebelum fi’l dan fa’ilnya dalam keadaan tertentu (Ghulayaini, 2005:
436).
Maf‘u >l bih ada lima macam (Muhyidin, 2010:237):
a. Ism zhahi>r.
Ism zhahi>r adalah ism yang menunjukkan pada maknanya
tanpa memerlukan adanya pertalian dengan kata ganti orang
pertama, orang kedua, atau orang ketiga, sedangkan ism mudhmar
adalah ism yang hanya menunjuk pada maknanya dengan adanya
pertalian dengan salah satu dari tiga qorinah.
b. Ism mudhmar
Ism mudhmar terbagi lagi menjadi dua:
1) Ism mudhmar yang manshub
Ism mudhmar yang manshub terbagi lagi ke dalam
dua jenis, dhami>r muttasil dan dhami>r munfashil. Masing-
29
masing dari kedua jenis ism mudhmar ini memiliki 12
kata.
2) Ism mudhmar dhami>r muttasil
Kata-kata dalam ism mudhmar dhami>r muttashil
tidak bisa diletakkan di permulaan kalimat dan tidak bisa
diletakkan setelah illa jika tidak darurat. Adapun dhami>r
munfasil bisa diletakkan di permulaan kalimat dan bisa
pula diletakkan setelah illa kapan saja (Muhyidin,
2010:237).
c. Dza>hir shari>ch mu‘rab
Seperti kata al-ma’rifata „pengetahuan‟ pada susunan:
(14) Nathlubul-ma‘rifata
„Kami minta pengetahuan‟ (Muhyidin, 2010:238).
d. Dza>hir shari>ch mabni
Misalnya kata al-qashi>dah (nada) pada susunan:
(15) Darasa’t-tilmi>dzu hadzihil-qashi>data.
„Murid belajar nada ini‟ (Muhyidin, 2010:238).
e. Mu’awwal bish shari>ch
Seperti kata qa>dimun ‘datang’ yang berarti qudu>maka
„kedatanganmu‟ pada kalimat berikut:
(16) ‘Araftu annaka qa>dimun
„aku tahu bahwa kamu datang = aku mengetahui
kehadiranmu‟ (A‟d-Dahdah, 2000:311)
30
Sementara itu, Baraka>t (2007:31) menyatakan bahwa maf’u>l bih
dapat pula berupa kalimat. Beliau mengambil contoh „qul huwa
Allahu ahadun’. ‘Huwa Allahu ahadun’ Merupakan jumlatun
ismiyyatun maqu>lul-qaulu yang menempati fungsi maf’u>l bih.
Maqu>lul-qaulu selalu berupa kalimat.
4.2. Posisi Objek dalam Kalimat
Objek dalam kalimat bersifat manasuka (Ramlan, 2001:23).
Dengan ringkas, ia menyebutkan satuan gramatikal dalam sebuah
klausa terdiri dari S P (O) (KET) (PEL) dan tanda kurung dalam setiap
unsur mempunyai makna manasuka. Maksudnya, boleh ada boleh
tidak.
Asal posisi maf’u>l bih adalah berada setelah subjek. Namun
terdapat beberapa keadaan yang mewajibkan mendahulukan maf’u>l
bih daripada subjeknya (A‟d-Dahdah, 2003:311). Misalnya pada
kalimat:
(17) Kataba’d-darsa Sali>mun
„Salim telah menulis pelajaran‟.
Pola jumlah fi’liyyah adalah fi’l - fa>’il - maf’u>l bih (Baraka>t,
2007:185). Urutan tersebut akan berubah dengan adanya keadaan-
keadaan tertentu. Perubahan-perubahan urutan tersebut antara lain
adalah:
31
a. Wajib mendahulukan maf’u>l bih daripada fa>’il
Posisi asal maf’u>l bih adalah berada setelah fa>’il (Baraka>t,
2007:189). Maf’u>l bih wajib didahulukan sebelum fa>’il dan
menengahi antaranya dan fi’l apabila :
a.1. Jika fa>’il berupa machshu>r alaih maka maf’u>l bih harus
diakhirkan. Misalnya pada perkataan innama> yakhsya’l-La>ha
min ‘iba>dihi’l-‘ulama>'u „sesungguhnya yang takut kepada
Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah ulama-ulama‟. Sifat
„takut‟ dikhususkan kepada „’ulama>’ (Baraka>t, 2007:189).
a.2. Jika fa>’il mengandung dhami>r yang menunjuk pada maf’u>l bih.
Beberapa ulama (Ibn Jinni, al-Akhfasy, Ibn Thawal, dan Ibn
Malik) mewajibkan mendahulukan maf’u>l bih daripada
fa>ilnya. Misalnya pada kalimat dza>kara’d-darsa qa>ri'uhu
„pembacanya mempelajari pelajaran‟ (Baraka>t, 2007:190).
a.3. Jika maf’u>l bih berupa dhami>r muttashi>l dan fa>’il berupa ism
zha>hir. Misalnya pada kalimat lam yu’jibkum hadzal-‘amalu
„pekerjaan ini belum mengejutkan kalian‟ (Baraka>t, 2007:191).
a.4. Jika ma’mul berupa mashdar muqaddar dengan an + fi’l atau
dengan anna + ‘a>mil sebagai adjungtif bagi maf’u>l bih, maka
wajib mengakhirkan fa>’ilnya. Misalnya pada kalimat
yu’jibuniy ikra>mu’dh-dhaifi machmu>dun yang berarti an
yukrima machmu>dun a’dh dhaifi „mengejutkanku
memuliakanya tamu Machmud‟. A’dh dhaifi sebagai adjungtif
32
bagi ikra>mu yang majru>r dengan tanda kasrah sedangkan ia
berada pada keadaan nashab (Baraka>t, 2007:192).
a.5. Jika a>mil sifah musytaq yang bergabung pada maf’u>l bih maka
wajib mengakhirkan fa>’ilnya. Misalnya pada kalimat hadza
mukarrimu sami>rin abu>hu yang berarti mukarramun abu>hu
sami>ran „ayahnya memuliakan Samir‟ (Baraka>t, 2007:192).
b. Wajib mendahulukan maf’u>l bih daripada fi’l
Urutan asal dalam jumlah fi’liyyah adalah fi’l kemudian maf’u>l
bih (Baraka>t, 2007:195). Namun dalam beberapa hal, maf’u>l bih
wajib didahulukan atas fi’l apabila:
b.1. Maf’u>l bih merupakan dhami>r munfashil (iyya>ka beserta
cabang-cabangnya yang 12). Misalnya pada kalimat iyya>ka
na’budu wa iyya>ka nasta’i>nu „hanya kepadaMu kami
menyembah dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan‟
(Baraka>t, 2007:195).
b.2. Jika berupa ism-ism yang memiliki hak untuk didahulukan
dalam jumlah. Ism yang memiliki hak untuk didahulukan
dalam jumlah hanya tertentu saja, yaitu al istifha>mu misalnya
pada man tushaddiqu? „siapa yang kamu percayai?‟. Man
adalah maf’u>l bih; a’sy syartu misalnya pada perkataan ma>
taf>’alu> ya’lamhulla>hu „apa yang kamu kerjakan maka Allah
mengetahuinya‟. Ma> merupakan maf’u>l bih; kam al
khabariyyah misalnya pada perkataan kam qalamin isytaraita
33
„betapa banyak pena yang telah kamu beli”. Kam merupakan
maf’u>l bih, kata yang bergabung dengan kata sebelumnya dan
kata itu berada pada posisi objek misalnya pada perkataan Ibna
man qa>balta fi>’l-matha>r? „anak siapa yang kamu temui di
bandara?‟. Ibna merupakan maf’u>l bih (Baraka>t, 2007:196).
b.3. Jika maf’u>l bih merupakan penengah antara ama> dan fa’ul jaza>'
atau fa’ jawa>b. Misalnya pada kalimat fa'ammal-yati>ma fala>
taqhar, wa amma>’s-sa>'ila fala> tanhar „adapun terhadap anak
yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang, dan
terhadap orang yang meminta-minta maka janganlah kamu
menghardiknya‟. Al-yati>ma dan a’s-sa>'ila merupakan maf’u>l
bih (Baraka>t, 2007:197)
4.3. Bertemunya Verba dengan Objek
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ghulayaini mengenai fi’l
mutta’addi, bahwa terdapat verba yang langsung bertemu dengan
objeknya dan ada pula verba yang bertemu dengan objeknya melalui
perantara partikel yang menjadikan harakat maf’u>l bih tersebut majru>r.
Mengutip perkataan Hasan (2010:151) yang diambil dari
penjelasan buku Al Mufashal bagian 7 halaman 65, bahwa objek yang
didahului oleh partikel (charfu jar) pada hakikatnya secara dhahir
adalah majru>r tetapi secara makna adalah nashab, karena berfungsi
sebagai objek. Misalnya pada susunan
(18) Marartu bi zaidin (Hasan, 2010:151)
34
„Aku melewati Zaid‟.
Dengan demikian, terdapat objek yang langsung (langsung
bertemu verbanya) dan terdapat pula objek yang bertemu verba
dengan perantara partikel.
5. Pola Urutan Kata Pada Kalimat
Alwi (2003:322) menjelaskan terdapat enam pola kalimat dasar
dalam bahasa Indonesia, yaitu (1) S-P, (2) S-P-O, (3) S-P-Pel, (4) S-P-
Ket, (5) S-P-O-Pel, dan (6) S-P-O-Ket.
a. S-P
Pola kalimat S-P seperti terdapat dalam contoh kalimat:
(19) Orang itu sedang tidur.
S P
(20) Saya mahasiswa.
S P
b. S-P-O
Pola kalimat S-P-O seperti terdapat dalam contoh kalimat:
(21) Ayahnya membeli mobil baru.
S P O
(22) Rani mendapat hadiah.
S P O
c. S-P-Pel
Pola kalimat S-P-Pel seperti terdapat dalam contoh kalimat:
(23) Beliau menjadi ketua koperasi.
S P Pel
(24) Pancasila merupakan dasar negara kita.
S P Pel
35
d. S-P-Ket
Pola kalimat S-P-Ket seperti terdapat dalam contoh kalimat:
(25) Kami tinggal di Jakarta.
S P Ket
(26) Kecelakaan itu terjadi minggu lalu.
S P Ket
e. S-P-O-Pel
Pola kalimat S-P-O-Pel seperti terdapat dalam contoh kalimat:
(27) Dia mengirimi ibunya uang.
S P O Pel
(28) Dian mengambilkan adiknya minum.
S P O Pel
f. S-P-O-Ket
Pola kalimat S-P-O-Ket seperti terdapat dalam contoh kalimat:
(29) Pak Raden memasukkan uang ke bank.
S P O Ket
(30) Beliau memperlakukan kami dengan baik.
S P O Ket
Bahasa Arab membagi pola urutan kata dalam klausa menjadi
delapan macam (Asrori, 2004:83). Kedelapan pola klausa tersebut
adalah:
a. S-P
Pola kalimat S-P seperti terdapat dalam contoh klausa:
(31) Huwa yamsyi
S P
„Dia berjalan‟ (Asrori, 2004:86).
36
b. S-P-O
Pola kalimat S-P-O seperti terdapat dalam contoh klausa:
(32) Irtada Achmadu mala>bisal-ichra>m S P O
„Ahmad mengenakan pakaian ikhram‟ (Asrori, 2004:86).
c. S-P-K
Pola kalimat S-P-K seperti terdapat dalam contoh klausa:
(33) Ana adzhabu ila>’n-na>di> S P K
„aku pergi ke lapangan‟ (Asrori, 2004:86).
d. S-P-O-K
Pola kalimat S-P-O-K seperti terdapat dalam contoh klausa:
(34) Ana ushalli>l-jum’ata ma’a wa>lidi> (Asrori, 2004:86).
„Aku shalat Jum‟at bersama ayahku‟.
e. P1
Pola klausa P saja seperti terdapat dalam contoh klausa:
(35) Ka>nat qaryatan kha>liyatan P
„Dahulu (merupakan) desa sepi‟ (Asrori, 2004:86).
f. P-O2
Pola kalimat P-O seperti terdapat dalam contoh klausa:
1 Susunan tersebut menurut Asrori merupakan susunan predikat. Hal tersebut dapat diasumsikan
dengan kalimat sebelum predikat tersebut. Sebelum predikat tersebut terdapat kalimat Solo
madinatun shaghi>ratun. Ka>nat qaryatan kha>liyatan ‘Solo adalah kota kecil. dulunya merupakan
kota yang sepi. 2 A’malu al wa>jiba „aku mengerjakan tugasku‟ menurut Asrori, klausa tersebut berpola P-O.
Menurut penulis klausa tersebut berpola P-S-O karena dalam predikat a’malu terdapat subjek yang
tersembunyi (zhamir mustatir).
37
(36) A’malu al-wa>jiba P O
„Aku mengerjakan tugas‟ (Asrori, 2004:86).
g. P-K3
Pola kalimat P-K seperti terdapat dalam contoh klausa:
(37) La> adzkuru jayyidan P K
„Aku tidak mengingat dengan baik‟ (Asrori, 2004:86).
h. P-O-K4
Pola kalimat P-O-K seperti terdapat dalam contoh klausa:
(38) Yattadzakkaru wa>lidahu katsi>ran P O K
‘Dia sering mengingat ayahnya’5 (Asrori, 2004:86).
Terkait dengan verba transitif dan objek yang mengiringinya,
secara klausal, bahasa Arab mempunyai tipe pokok V-O tetapi
dimungkinkan pula bertipe O-V karena urutan kata dalam kalimat
bahasa Arab mempunyai mobilitas yang tinggi (Ma‟ruf, 2009:206).
Bahasa Arab memiliki tiga jenis verba transitif, yaitu verba
transitif yang membutuhkan satu objek, dua objek, dan tiga objek
(Ghulayaini, 2005:28). Terkait dengan hal tersebut, bahasa Arab
3 Asrori berpendapat bahwa klausa tersebut berpola P-K. Menurut penulis, klausa tersebut berpola
P-S-K dengan mempertimbangkan adanya subjek yang melekat pada predikat yang terwujud
dalam partikel hamzah, menunjukkan bahwa verba yang menjadi predikat klausa tersebut
bersubjek ana „aku‟. 4 Klausa yattadzakkaru wa>lidahu katsi>ran menurut Asrori berpola P-O-K. Menurut penulis klausa
tersebut berpola P-S-O-K dengan melihat adanya subjek tersembunyi dalam verba yattadzakkaru
yang menunjuk pada „dia laki-laki satu‟. 5 Dengan demikian, Asrori memiliki 8 pola klausa dalam bahasa Arab, tapi dari kedelapan pola
tersebut yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab hanya ada lima, yaitu S-P, S-P-O, P, S-P-K, dan
S-P-O-K, sedangkan pola P-O masuk ke dalam pola S-P-O, pola P-K masuk ke dalam pola S-P-K,
dan pola P-O-K masuk ke dalam pola S-P-O-K.
38
memiliki urutan tersendiri mengenai posisi verba dengan objek. Verba
ekatransitif membentuk tiga pola, sedangkan verba dwitransitif
membentuk satu pola dengan empat variasi, dan verba tritransitif
membentuk satu pola dengan satu variasi.
Berdasarkan pada verba transitif yang membutuhkan satu objek
(ekatransitif), Ma‟ruf menyimpulkan terdapat tiga pola urutan kata
pada kalimat (2004:55). Ketiga pola tersebut adalah:
a. Pola urutan Vtran-N1-N2
(39) Fa ragiba al ami>ru fi> saidihi (Bara>niq dalam Ma’ruf, t.t.:3)
Vtran S O
„Sang pangeran menyukai buruannya‟(Ma‟ruf, 2004:58).
b. Pola urutan Vtran-N2-N1
(40) Kataba a’d-darsa Zuhairun.
Vtran O S
„Zuhair menulis pelajaran‟ (Ma‟ruf, 2004:72).
c. Pola urutan N2-V-N1
(41) Al ha>diri>na akramtu O Vtran(S)
„Para hadirin itu saya hormati‟ (Ma‟ruf, 2004:76)
Untuk verba yang membutuhkan dua kehadiran objek dalam
kalimat,dia merumuskan pola kalimat:
d. Pola urutan Vtran- N1-N2(O1)-N3(O2)
(42) Ra’at zaujaha sha>diqan Vtran(S) O1 O2
39
„Ia mengetahui (yakin) bahwa suaminya tulus‟ (Ma‟ruf,
2004:86).
Urutan tersebut dimungkinkan untuk berubah susunannya
menjadi:
1) Vtran-N1-N3-N2
2) N1-Vbit- N2-N3
3) N1-Vbit-N3-N2
4) Vbit-N2-N1-N3
Selanjutnya, urutan kata dalam klimat berverba transitif tiga objek
(verba tritransitif) adalah:
e. Pola urutan Vtran-N1-N2-N3-N4
Misalnya pada susunan:
(43) Ara> al ‘a>limu a’n na>sa a’s safara sahlan P S O1 O2 O3
„Orang yang berilmu itu memberi tahu pada manusia bahwa
pada orang bepergian ada kemudahan‟ (A’d-Dahdah, 2000:233).
Pola tersebut dapat di modifikasi dengan urutan Vtran-N1-N3-N4-
N2 (Ma‟ruf, 2004:102), menjadi kalimat (49a) berikut:
(43a) Ara> al ‘a>limu a’s safara sahlan a’n na>sa P S O2 O3 O1
40
F. Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah semua kalimat aktif deklaratif yang
terdapat dalam kalimat tunggal yang mengandung fungsi objek. Data tersebut
diambil dari sumber data yang berupa cerpen dengan judul Madi>natu a’s-
Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.
G. Metode Penelitian
Sudaryanto (1993:5) membagi tahapan dalam penelitian ke dalam tiga
bagian. Tahap pertama adalah tahap penyediaan data, tahap kedua adalah
tahap analisis data, dan tahap terakhir adalah tahap penyajian hasil analisis
data.
a. Tahap penyediaan data
Pada tahap penyediaan data digunakan metode simak. Metode
simak dilakukan dengan menyimak penggunaan objek dalam cerpen
Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi. Teknik
dasar yang digunakan dalam metode ini adalah teknik sadap dan
teknik catat sebagai teknik lanjutannya. Teknik sadap dilakukan
dengan menyadap penggunaan kalimat tunggal aktif transitif
deklaratif yang mengandung objek pada cerpen Madi>natu a’s-Sa’a>dah
karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi, kemudian dilanjutkan dengan
mencatat data-data pada kartu data dan dilanjutkan dengan klasifikasi
data. Data yang diambil berupa satuan kebahasaan yang membentuk
sebuah klausa. Adapun objek sasaran yang diteliti adalah pengisi
41
fungsi dan kategori objek dalam klausa dan kalimat pada cerpen
Madi>natu a’s-Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.
b. Tahap analisis data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode agih dengan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL)
sebagai teknik dasarnya. Penelitian ini menggunakan teknik lanjutan
teknik balik untuk menguji ketegaran posisi objek dalam kalimat.
Teknik lesap juga digunakan untuk menguji kadar keintian objek
dalam kalimat. Misalnya dalam kalimat berikut.
(67:ادلنفلوطي). ال نرى ألنفسنا يف ذلك فضال. 44
(44) La> nara> lianfusina> fi> dza>lika fadhlan (Al-Manfaluthi, tt:67) P(S) Op2 K O1
„Kami tidak melihat pada diri kami dalam hal itu sebuah
keutamaan.‟
Kalimat tersebut terdiri atas empat konstituen: (1) la> nara> (2)
lianfusina> (3) fi> dza>lika, dan (4) fadhlan . Konstituen (1) dalam
kalimat tersebut berfungsi sebagai predikat yang dilekati dengan
subjek pronomina persona pertama plural tersembunyi „kami‟ (dhami>r
mustati>r taqdiruhu nachnu). Konstituen yang berkategori sebagai
verba tersebut terdiri dari verba ra'a> „melihat‟ dan partikel nu>n
(nachnu) „kami‟, sedangkan la> merupakan partikel negasi yang
menyatakan kalimat tersebut adalah kalimat negatif, bukan positif.
42
Predikat kalimat di atas merupakan verba imperfek (mudha>ri‘)
(nara>) „melihat‟. Verba tersebut berasal dari verba perfek ra'a> .
Partikel nu>n yang menyertai di depannya menunjukkan bahwa yang
melakukan pekerjaan „melihat‟ adalah „kami‟. Selain itu, verba
tersebut merupakan verba transitif, dapat diidentifikasi dengan
munculnya objek setelah verba tersebut.
Konstituen (2) li anfusina> berfungsi sebagai objek kedua. Objek
tersebut muncul dengan adanya perantara partikel la>m, berkategori
sebagai frasa nominal. Objek tersebut terdiri dari nomina anfusu
dilekati dengan partikel nu>n yang menyatakan kepemilikan.
Konstruksi tersebut dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan tarki>b
idla>fi>.
Konstituen (3) fi> dza>lika, berkategori frasa, berfungsi sebagai
keterangan tempat. Frasa tersebut menunjukkan tempat yang merujuk
pada keadaan sebelumnya.
Sementara itu, konstituen (4) sebagai pengisi fungsi objek
pertama dalam kalimat tersebut diisi oleh kata berkategori nomina
yaitu fadhlan „keutamaan‟. Nomina dalam kalimat di atas dapat
digolongkan sebagai objek pertama karena kata tersebut manshu>b dan
menjadi subjek saat kalimat tersebut diubah wujudnya menjadi
kalimat pasif:
(44a) Fadhlun la> yura> lianfusina>. S P Pel
43
Objek dalam kalimat tersebut bersifat inti. Hal ini dapat
diketahui dengan menggunakan teknik lesap. Jika objek tersebut
dihilangkan, maka kalimat tersebut menjadi :
(44b) la> nara> lianfusina> fi>dza>lika P(S) Op2 K
„kami tidak melihat pada diri kami dalam hal itu‟.
Kalimat (44b) predikatif, tetapi tidak senyap dan tidak dapat
diketahui maknanya secara sempurna. Hal ini juga menjadi bukti
bahwa verba ra'a> merupakan verba transitif, karena tanpa kehadiran
objek verba tersebut tidak dapat dimaknai secara sempurna.
Urutan atau susunan kalimat (44) adalah P(S)-Op2-K-O1. Objek
pertama dalam kalimat tersebut terletak setelah keterangan, tidak
langsung berada setelah verba. Jika kalimat tersebut dibalik urutannya
misalnya menjadi seperti berikut,
(44c) La> nara> fadhlan lianfusina> fi> dza>lika. (1) P(S) (2)O1 (3) Op2 (4) K
„Kami tidak melihat keutamaan pada diri kami dalam hal
itu‟.
Terlihat bahwa objek pertama menempati urutan kedua, setelah
predikat dan objek dengan perantara partikel kedua, sedangkan
sebelumnya, pada kalimat (44), fungsi objek menempati urutan
keempat atau terakhir, yaitu setelah objek kedua dan keterangan.
44
Susunan tersebut kemudian dapat diubah lagi dengan
menempatkan posisi O1 dan Op2 dalam posisi berbeda seperti berikut
ini:
(44d) La> nara> fadlan fi> dzalika lianfusina> P(S) O1 K Op2
‘Kami tidak melihat keutamaan dalam hal itu pada diri kami‟.
Kalimat (44d) secara gramatikal dapat diterima dan tidak
mengubah makna. Dengan demikian dapat diketahui bahwa urutan
posisi objek dalam kalimat tersebut tidak tegar atau dapat dikatakan
objek dalam kalimat tersebut bersifat fleksibel.
c. Tahap penyajian hasil analisis data
Langkah selanjutnya setelah tahap analisis data adalah tahap
penyajian data. Penyajian hasil analisis ini disajikan dalam bentuk
laporan informal. Laporan informal yaitu penyajian laporan yang
berwujud perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto,
1993:145).
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bab I: Pendahuluan
Bab II: Pengisi fungsi dan kategori objek dalam cerpen Madi>natu a’s-
Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.
Bab III: Posisi objek pada pola klausa dalam cerpen Madi>natu a’s-
Sa’a>dah karya Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.
Bab IV: Penutup.
Recommended