View
19
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PENGHAYATAN SPIRITUALITAS PERKAWINAN KATOLIK
OLEH KELUARGA-KELUARGA KATOLIK
DI LINGKUNGAN ST. YOHANES PAULUS
PAROKI ST. ANTONIUS KOTABARU YOGYAKARTA
DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA KATOLIK YANG BERIMAN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh :
Tiovilla Kleden
NIM : 011124034
PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN
KEKHUSUSAN ILMU PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
ii
iii
iv
PESEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada: Keluarga di Kalimantan-Barat
dan Keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus Paroki
St.Antonius Kotabaru Yogyakarta
v
HALAMAN MOTTO
“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu
dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”
(Kej 2:24)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
termuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaiman layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 Maret 2007 Tiovilla Kleden
vii
ABSTRAK
Judul skripsi adalah “PENGHAYATAN SPIRITUALITAS PERKAWINAN KATOLIK UNTUK KELUARGA-KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO YOHANES PAULUS PAROKI SANTO ANTONIUS KOTABARU YOGYAKARTA DALAM MENGHAYATI DAN MEWUJUDKAN SPIRITUALITAS PERKAWINAN KATOLIK”. Judul ini dipilih bertitik tolak dari situasi keluarga Katolik yang sedang menghadapi berbagai tantangan hidup yang berdampak pada munculnya persoalan-persoalan rumah tangga. Sebab dari satu sisi yang utama, keluarga-keluarga dipanggil untuk menegakkan Kerajaan Allah juga dalam keluarga, dari sisi lain keluarga-keluarga dihadapkan pada tantangan (tawaran, godaan dan cobaan) masuk dalam kerajaan duniawi.
Pembimbing dan pedoman hidup keluarga Katolik adalah anugerah Roh Kudus yang dicurahkan ke dalam hati suami-istri dalam sakramen perkawinan. Oleh karena itu dalam persekutuan yang erat antara Roh Kudus dan GerejaNya suami-istri dipanggil untuk mengamalkan dan mewujudkan pengabdiaannya sebagai suami-istri dalam iman, harapan dan cinta kasih.
Spiritualitas keluarga akan tetap menjadi suatu teori apabila tidak dihayati dan diwujudnyatakan dalam hidup setiap keluarga. Namun demikian perlu disadari bahwa untuk mewujudkan spiritualitas keluarga, setiap keluarga perlu secara terus menerus menghayati dan mewujudkan nilai-nilai spiritualitas perkawinan mereka dengan penuh kesabaran dan penuh keuletan dalam hidup konkret.
Untuk memjawab permasalahan tersebut penulis menguraikan skripsi ini menjadi lima bab. Bab I berupa pendahuluan yang akan menguraikan pokok latar belakang penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, kajian pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II memaparkan penghayatan spiritualitas perkawinan katolik. Selanjutnya bab III membahas gambaran keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus Paroki St.Antonius Kotabaru, Yogyakarta di dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan. Berkaitan dengan topik tersebut akan dijelaskan tentang gambaran umum lingkungan St.Yohanes Paulus dan penelitian sederhana keluarga-keluarga Katolik di lingkungan St.Yohanes Paulus Kotabaru Yogyakarta dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan Katolik Bab IV akan membahas katekese keluarga sebagai jalan untuk meningkatkan penghayatan spiritualitas perkawinan Katolik. Bab V kesimpulan dan saran keseluruhan isi karya tulis berdasarkan pengolahan dan pemikiran yang menyeluruh.
viii
ABSTRACT
The title of the thesis is “THE CHATOLIC MARRIAGE SPIRITUALITY COMPREHENSION BY CATHOLIC FAMILIES IS SAINT YOHANES PAULUS PARISH NEIGHBORHOOD SAINT ANTONIUS KOTABARU – YOGYAKARTA IN REALIZING FAMILIES CATHOLIC THE BELIFE.” This title has been chosen toward the situation of Catholic families who have faced a lot of life challenge and gave impacts to the family problems. Because of the first main part, the Catholic families has been faced toward the life offer, temptation, and teasing in the profane kingdom. The guidance and basic life of Catholic families are the blessing of the holy spirit that is blessed inside husband and wife’s heart in the marriage sacrament. Moreover, in the federation which has connected the power of the holy spirit and God’s churches, the couples are called to practice and realize the serving activities as husband and wife in faith, hopes, and affection. The family spirituality will become only a theory if it can’t be comprehended and realized in the every family life. But, there must be understood that for realizing family spirituality, every family must comprehend and realize their marriage spiritually value every time with a great passion and afford in the daily life. To answer the problems, the author has published the thesis into 5 chapters. Chapter I is the Introduction which will explain the back ground of the study, methodology of the problem, the objectives of the study, writing methods, and writing systematic. In Chapter II, the writer will explain the Catholic marriage spiritually comprehension for Catholic families in Saint Yohanes Paulus Parish neighborhood – Saint Antonius Kotabaru Yogyakarta. Furthermore, in Chapter III the writer will discuss the picture of Catholic families in Saint Yohanes Paulus Parish neighborhood– Saint Antonius Kotabaru Yogyakarta in comprehending and realizing marriage spirituality. In Chapter IV, the writer will discuss family catechism as the way out to increase the Catholic marriage spirituality comprehension. In chapter V, the writer will show the conclusion and the suggestion. All the thesis materials have been written based on the idea and the writer’s effort.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang memberi dan memelihara kehidupan
kepada semua orang, karena atas anugerah dan bimbingannyalah penulis akhirnya
dapat menyelesaikan skripsi ini, setelah melewati perjalanan panjang yang cukup
melelahkan. Namun dalam situasi seperti itulah penulis pada akhirnya sungguh
dapat merasakan karya Roh Tuhan dalam hidup penulis.
Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana pendidikan program studi ilmu pendidikan kekhususan
pendidikan agama Katolik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Skripsi ini ingin membantu para keluarga-keluarga Katolik di lingkungan
St.Yohanes Paulus, Paroki St.Antonius Kotabaru Yogyakarta, agar semakin
mampu mengahayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinannya dalam
menghadapi tantangan jaman yang terus merongrong kehidupan setiap manusia
tak terkecuali keluarga.
Dengan segala usaha dan kemampuan, serta dukungan dari semua pihak
yang berupa petunjuk, nasehat, saran, dan bimbingan serta kesadaran akan
bimbingan Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada
kesempatan ini penulis dengan rasa bahagia menghaturkan terima kasih yang
mendalam kepada:
1. Drs. F.X. Heryatno W.W. SJ. M.Ed selaku dosen pembimbing utama dan
sebagai dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini dan yang
telah banyak memberi semangat kepada penulis.
2. Yoseph Kristianto, SFK selaku dosen penguji II yang telah meluangkan
waktunya untuk menjadi dosen penguji II.
3. YH. Bintang Nusantara, SFK yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai
dosen penguji III.
x
4. M. K Sudarmo selaku ketua lingkungan St.Yohanes Paulus, Paroki
St.Antonius Kotabaru Yogyakarta, yang telah memberikan ijin kepada penulis
untuk melakukan penelitian sederhana kepada para keluarga-keluarga Katolik.
5. Mas Wondo selaku sekretaris lingkungan St.Yohanes Paulus, yang telah
memberikan data tentang situasi umum lingkungan St.Yohanes Paulus dan
data keluarga-keluarga Katolik sehingga terselesainya skripsi ini.
6. Para keluarga-keluarga Katolik di lingkungan St.Yohanes Paulus yang tak bisa
penulis sebutkan namanya masing-masing, yang telah meluangkan waktunya
untuk diwawancarai.
7. Bapak dan ibu yang ada di Kal-Bar yang telah mendukung dan menyemangati
penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini.
8. Teman-temanku yang telah memberikan dukungan bagi terselesainya skripsi
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
dan memerlukan kritik dan saran yang membantu dan membangun. Akhirnya
penulis berharap agar skripsi ini dapat menjadi inspirasi bagi mereka yang
memiliki perhatian pada karya pastoral Gereja pada umumnya dan katekese
keluarga pada khususnya.
Yogyakarta, 26 Maret 2007
Penulis
Tiovilla Kleden
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT..................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI.................................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xiv
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Permasalahan ............................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan........................................................................................ 5
D. Kajian Pustaka............................................................................................ 5
E. Metode Penulisan ....................................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 6
BAB II PENGHAYATAN SPIRITUALITAS PERKAWINAN KATOLIK.. 8
A. Pengertian Spiritualitas dan Spiritualitas Perkawinan Katolik .................. 9
1. Pengertian Spiritualitas ........................................................................ 9
2. Spiritualitas Perkawinan Katolik ......................................................... 11
B. Gambaran Keluarga Katolik yang Menghayati Spiritualitas Perkawinan . 17
C. Makna Spiritualitas Perkawinan Katolik untuk Keluarga-Keluarga Katolik 19
1. Fides (makna kesetiaan)....................................................................... 20
2. Bonum prolis (makna prokreatif) ......................................................... 21
3. Sacramentum........................................................................................ 23
xii
BAB III GAMBARAN KELUARGA-KELUARGA KATOLIK DI
LINGKUNGAN ST. YOHANES PAULUS PAROKI ST.
ANTONIUS KOTABARU YOGYAKARTA DI DALAM
MEWUJUDKAN KELUARGA KATOLIK YANG BERIMAN . 25
A. Gambaran Umum Lingkungan St.Yohanes Paulus.................................... 27
B. Penelitian Sederhana Keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes
Paulus dalam Mewujudkan Keluarga Katolik Yang Beriman ................... 30
1. Pengantar Penelitian............................................................................. 30
2. Laporan Hasil Penelitian ...................................................................... 36
3. Pembahasan Hasil Penelitian ............................................................... 38
4. Rangkuman .......................................................................................... 43
BAB IV KATEKESE KELUARGA SEBAGAI JALAN UNTUK
MENINGKATKAN PENGHAYATAN SPIRITUALITAS
PERKAWINAN KATOLIK MELALUI METODE SCP ................ 46
A. Pengertian Katekese Keluarga ................................................................... 48
1. Pengertian Katekese Keluarga ............................................................. 48
2. Tujuan Katekese Keluarga ................................................................... 49
3. Isi Katekese .......................................................................................... 49
B. Kekhasan Katekese Keluarga..................................................................... 51
C. Metode Katekese........................................................................................ 52
D. Model Shared Christian Praxis ................................................................. 53
1. Shared .................................................................................................. 54
2. Christian............................................................................................... 55
3. Praxis ................................................................................................... 56
E. Langkah-langkah Shared Christian Praxis ................................................ 57
F. Usulan Tema Katekese Keluarga ............................................................... 61
1. Alasan Pemilihan Tema ....................................................................... 63
2. Gambaran Pelaksanaan Katekese......................................................... 64
3. Matriks Katekese.................................................................................. 65
4. Contoh Persiapan Katekese.................................................................. 67
xiii
BAB V PENUTUP........................................................................................... 76
A. Kesimpulan ................................................................................................ 76
B. Saran........................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 80
LAMPIRAN..................................................................................................... 83
1. Panduan pertanyaan wawancara .......................................................... (1)
2. Identitas responden .............................................................................. (2)
3. Waktu pelaksanaan wawancara............................................................ (3)
4. Hasil wawancara dengan responden .................................................... (4)
5. Surat ijin penelitian .............................................................................. (5)
6. Dokumen Familiaris Consortio ........................................................... (6)
7. Cerita “Pengalaman Ibu Masri” ........................................................... (7)
xiv
DAFTAR SINGKATAN
A. Daftar Singkatan Kitab Suci Dalam skripsi ini singkatan Kitab Suci mengikuti daftar singkatan dari Direktorat
Jendral Bimas Katolik Departeman Agama Republik Indonesia, Ed, Kitab suci
Perjanjian Baru: Dengan Pengantar dan Cacatan Singkat, (Ende:Arnoldus
1995/1996.
B. Daftar Singkatan Dokumen Resmi Gereja CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II
tentang Katekese Masa Kini, tanggal 16 Oktober 1979.
DCG : Directorium Catechisticum Generale, Konggresi Suci Para Klerus
tentang Pedoman Umum Katekese, tanggal 11 April 1971.
FC : Familiaris Concortio, Anjuran Apostolik Yohanes Paulus II tentang
Keluarga Kristiani Dalam Dunia Modren, tanggal 22 November 1981.
GS
: Gaudium et Spes, Kontitusi Pastoral Dokumen Konsili Vatikan II
tantang Gereja Dalam Dunia Modern.
KHK : Kitab Hukum Kanonik
LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Dokumen Konsili Vatikan II
tentang Gereja
C. Daftar Singkatan Umum CT : Catechesi Tradendae
DCG : Directorium Catechisticum Generale
Ef : Efesus
GS : Gaudium et Spes
Kan : Kanon
Kej : Kejadian
Luk : Lukas
Mat : Matius
xv
Mark : Markus
PKKI : Pekan Komunikasi Kateketik Indonesia
SCP : Shared Christian Praxis
St : Santo
Yoh : Yohanes
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman tidak akan pernah berhenti, permasalahan
keluargapun tidak akan pernah habis. Setiap perubahan jaman membawa akibat
positif dan negatif bagi masyarakat tidak terkecuali keluarga. Perubahan-
perubahan yang meliputi hampir seluruh segi kehidupan itu berlangsung sangat
cepat dan menimbulkan ketegangan bagi manusia dan dalam keluarga sebagai
masyarakat kecil. Pertanyaan sekarang adalah: bagaimana keluarga dapat berdiri
teguh mempertahankan keutuhan dan perannya dalam jaman yang terus
berkembang, karena kehidupan keluarga dari generasi ke generasi akan ikut
berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan jaman.
Jika keluarga berdiri kokoh dengan identitasnya dan menjalankan peranannya
sesuai dengan ajaran gereja, maka perubahan apapun yang dialami tidak akan
menjadi batu sandungan keluarga Katolik tersebut.
Dengan bergulirnya perubahan zaman keluarga-keluarga Katolik di
lingkungan St.Yohanes Paulus juga menghadapi berbagai tantangan hidup yang
berdampak pada munculnya persoalan-persoalan rumah tangga. Sebab dari satu
sisi yang utama, keluarga-keluarga dipanggil untuk menegakkan Kerajaan Allah
juga dalam keluarga, dari sisi lain keluarga-keluarga dihadapkan pada tantangan
tawaran, godaan dan cobaan masuk dalam kerajaan duniawi.
2
Kualitas keluarga sangat dituntut untuk menghadapi berbagai tuntutan
jaman, karena apapun ancaman atau akibat perkembangan jaman bagi keluarga
adalah tanggung jawab dan tugas keluarga untuk mempersiapkan pribadi-pribadi
yang merupakan anggota masyarakat dan anggota gereja. Oleh sebab itu tanggung
jawab keluarga-keluarga Katolik dalam menghayati spiritualitas perkawinan
masih sangat perlu dikembangkan secara terus menerus dan berkesinambungan,
agar cinta kasih antar suami-istri, antar orang tua dan anak, antar sanak saudara,
membuat keluarga menjadi komunitas cinta yang semakin dalam dan kuat.
Setiap pribadi yang ada atau dipercayakan kepada keluarga patut dihargai
dan dihormati karena melalui keluarga Allah melaksanakan pengembangan umat-
Nya. Keluarga mempunyai tanggung jawab untuk mencintai dan mendidik anak-
anak yang dipercayakan kepada mereka. Sebagai generasi baru anak-anak perlu
didampingi baik moral maupun spiritual sehingga mereka menjadi anggota
masyarakat dan Gereja yang lebih baik dan lebih siap dalam menghadapi
tantangan jaman.
Melihat kenyataan ini Gereja tidak bisa menutup mata terhadap keadaan
yang terjadi didalam keluarga Katolik yang merupakan Gereja kecil. Gereja
mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan menolong kelangsungan hidup
keluarga Katolik terutama menyadari peranannya bagi Gereja dan dunia dengan
berbagai usaha.
Dengan demikian diharapkan para suami-istri dalam menanggapi panggilan
Allah untuk menjadi keluarga Katolik, yang sering kali digambarkan sebagai
hubungan Kristus dengan Gereja-Nya. Karena di dalam Kristus ada kekuatan Roh
3
Kudus yang menggerakkan para suami-istri untuk selalu hidup berdasarkan
kekuatan Roh Kudus. Roh Kudus inilah yang dapat mengaktualisasikan seluruh
hidupnya sehingga bertumpu pada Allah, dan bila para suami-istri hidup di dalam
Allah berarti para suami-istri harus membangun hidup yang harmonis dan erat
dengan Allah sehingga para suami-istri akan dikuatkan oleh Roh Kudus di dalam
mengembangkan hidupnya.
Kehadiran Allah dalam keluarga merupakan aspek yang hendak dituju
melalui spiritualitas keluarga. Namun perlu diingat bahwa menyadari dan
mewujudkan kehadiran Allah dalam keluarga bukanlah suatu hal yang mudah.
Dari diri mereka dituntut sikap percaya, pengampunan, keberanian, ketekunan dan
kesabaran untuk mewujudkan sakramen perkawinan di tengah kompleksitas
kehidupan mereka. Agar hubungan suami-istri sungguh-sungguh menghadirkan
apa yang di simbolkan itu, dibutuhkan spiritualitas perkawinan. Adapun
spiritualitas perkawinan yaitu iman, harapan dan kasih Ilahi, yang mendorong dan
memperkuat mereka yang kawin agar mereka mampu mewujudkan sakramen
perkawinan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa spiritualitas merupakan sikap
dasar yang menjiwai keluarga Katolik dalam menghayati dan mewujudkan
panggilan hidup mereka.
Maka dari itu, penulis merasa tertarik untuk mempelajari dan lebih
mendalami tentang penghayatan spiritualitas perkawinan ini untuk membantu para
suami-istri dalam mengingkatkan kembali akan janji perkawinan dan
memberikan motivasi/dorongan kepada keluarga-keluarga Katolik yang
mengalami krisis dalam perkawinan mereka. Penulis merasa tertarik untuk
4
mempelajarinya karena hal ini sangat penting tetapi sering kali kurang disadari
oleh keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus. Hal ini penulis
tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Penghayatan Spiritualitas
Perkawinan Katolik Oleh Keluarga-Keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes
Paulus Paroki St.Antonius Kotabaru Yogyakarta dalam Mewujudkan Keluarga
Katolik Yang Beriman”. Alasan penulis memilih judul ini yaitu: Perkawinan
adalah sakramen. Yang terpenting disini adalah bagaimana para suami-istri
merealisasikan janji perkawinan mereka dalam sakramen dengan kehidupan
sehari-hari secara konkret dengan dasar iman yang tulus. Kasih Kristus yang
menjadi dasar hidup suami-istri dalam sakramen perkawinan mereka. Maka dari
itu, kasih Kristus disalurkan kepada suami-istri melalui mereka sendiri yaitu
mereka sendirilah yang menjadi tanda atau sakramen satu bagi yang lain. Dengan
demikian diharapkan para suami-istri akan berusaha untuk mampu mewujudkan
kasih Kristus dalam perkawinan mereka. Kristus adalah dasar hidup yang paling
kuat untuk hidup perkawinan mereka.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran tersebut di atas, maka permasalahan
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang spiritualitas perkawinan?
2. Bagaimana keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus
memahami spiritualitas perkawinan?
5
3. Apa saja permasalahan yang mereka hadapi dalam menghayati dan
mewujudkan spiritualitas perkawinannya?
4. Apakah melalui usaha katekese dapat menemukan pemecahan dari setiap
persoalaan yang mereka hadapi dalam menghayati spiritualitas perkawinan?
C. Tujuan Penulisan
Dengan memperhatikan latar belakang dan permasalahan yang telah di
sajikan di atas, maka tujuan penulisan proposal ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejauh mana pandangan Gereja Katolik tentang
spiritualitas perkawinan.
2. Untuk mendalami hakekat dan makna spiritualitas perkawinan Katolik.
3. Untuk menemukan usaha yang telah keluarga-keluarga Katolik dalam
menghayati spiritualitas perkawinan.
4. Melalui katekese keluarga-keluarga Katolik mampu mewujudkan
spiritualitas perkawinan.
5. Guna memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Strata 1 (S1) pada
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
D. Manfaat Penulisan
Sumbangan pemikiran ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Membantu para keluarga-keluarga Katolik di lingkungan St.Yohanes
Paulus, untuk lebih tanggap bahwa panggilan hidup sebagai keluarga
6
Katolik yang dialami perlu disikapi dengan baik sehingga dapat dihayati
dan ditekuni dengan lebih bersemangat dalam mewujudkan keluarga
Katolik melalui spiritualitas keluarga.
2. Memberikan gambaran bagi keluarga kristiani agar dapat mengembangkan
diri dengan setia dan tekun dalam menanggapi panggilan hidup sebagai
suami-istri.
3. Bagi penulis manfaat yang dapat dipetik adalah penulis semakin diperkaya
(pengetahuan dan wawasan) tentang spiritualitas perkawinan Katolik.
E. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini menggunakan dua metode pendekatan yaitu
melalui wawancara dengan 10 (sepuluh) responden di lingkungan St. Yohanes
Paulus Paroki St.Antonius Kotabaru, serta studi kepustakaan yang saya peroleh
sebagai bahan pengetahuan dan pengalaman yang dapat membantu demi
tercapainya penulisan skiripsi ini.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini akan dibagi dalam lima bab yang akan diuraikan sebagai
berikut: bab I, berupa pendahuluan yang akan menguraikan pokok latar belakang
penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, kajian pustaka, metode
penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II memaparkan penghayatan spiritualitas perkawinan katolik yang
terurai dalam tiga sub bagian yaitu: pengertian spiritualitas dan spiritualitas
7
perkawinan Katolik, gambaran keluarga Katolik yang menghayati spiritualitas
perkawinan dan maknanya untuk keluarga-keluarga Katolik.
Selanjutnya bab III membahas gambaran keluarga-keluarga Katolik di
Lingkungan St.Yohanes Paulus Paroki St.Antonius Kotabaru, Yogyakarta di
dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan. Berkaitan dengan
topik tersebut akan dijelaskan tentang gambaran umum lingkungan St.Yohanes
Paulus dan penelitian sederhana keluarga-keluarga Katolik dalam menghayati dan
mewujudkan spiritualitas perkawinan Katolik, yang terbagi dalam tiga bagian
yaitu pengantar penelitian, hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian.
Bab IV akan membahas katekese keluarga sebagai jalan untuk
meningkatkan penghayatan spiritualitas perkawinan Katolik. Berkaitan dengan
topik tersebut bagian pertama akan menjelaskan tentang pengertian katekese
keluarga, tujuan dan isi katekese keluarga. Pada bagian kedua akan memaparkan
tentang kekhasan katekese keluarga. Bagian ketiga akan menjelaskan metode
katekese keluarga. Pada bagian keempat akan menguraikan model Shared
Christian Praxis, berkaitan dengan topik tersebut bagian keempat akan dibagi
menjadi empat sub bagian yaitu Shared, Christian, Praxis dan langkah-langkah
Shared Christian Praxis. Bagian kelima akan memaparkan tentang usulan tema
katekese keluarga. Dalam bagian kelima ini akan dibagi menjadi empat sub
bagian yaitu alasan pemilihan tema, gambaran pelaksanaan katekese dan matriks
program katekese keluarga. Akan disertakan juga contah persiapan katekese
keluarga.
Bab V kesimpulan dan saran keseluruhan isi karya tulis.
BAB II
PENGHAYATAN SPIRITUALITAS PERKAWINAN KATOLIK
Pada bab II ini akan dibahas tentang permasalahan keluarga dan perubahan jaman
yang membawa akibat postif dan negatif bagi keluarga-keluarga Katolik di jaman
sekarang ini. Di sini keluarga dituntut untuk menghadapi berbagai akibat dari perubahan
jaman, yang membawa keluarga pada situasi yang sulit. Artinya dalam menghadapi
tantangan jaman, para suami-istri diharapkan sungguh-sungguh menghayati spiritualitas
dan hakikat perkawinan mereka. Untuk itu, penulis secara khusus membicarakan dan
memaparkan secara panjang lebar dalam bab II tentang penghayatan spiritualitas
perkawinan Katolik yang pada bab I hanya dibicarakan secara singkat.
Dalam bab II ini penulis membagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama penulis akan
memaparkan secara singkat pengertian spiritualitas yang akan dilanjutkan dengan
spiritualitas perkawinan Katolik, yang terbagi dalam tiga sub bagian yaitu: perkawinan
sebagai sumber dari misteri kasih Allah, unitas, dan tak-terputuskan (Indissolubility).
Bagian kedua akan menggambarkan keluarga Katolik yang menghayati spiritualitas
perkawinan. Dan bagian ketiga akan menjelaskan makna spiritualitas perkawinan Katolik
bagi keluarga-keluarga Katolik, yang terdiri dari tiga sub bagian yaitu: Fides (makna
kesetiaan), Bonum prolis (makna prokreatif) dan Sacramentum (makna kesatuan erat
karena “sakramentalis” perkawinan sebagai simbol hubungan cinta kasih sempurna
antara Kristus dan GerejaNya). Pengahayatan spiritualitas perkawinan Katolik
merupakan tema yang akan penulis bicarakan dalam bab II ini. Yang terpenting dalam
bab ini yakni, suami-istri diingatkan kembali bahwa perkawinan mereka sebagai sumber
9
misteri dari kasih Allah, karena dalam kenyataannya timbul krisis dalam perkawinan
yang disebabkan suami maupun istri sering tidak lagi menyakini perkawinan sebagai
peristiwa yang luhur dan suci.
Tuhan itu setia di dalam cinta kasih dan mencintai masing-masing manusia secara
pribadi, maka di dalam perkawinanpun Tuhan menuntut kesetiaan itu. Oleh karenanya
perkawinan kristiani itu haruslah monogam, tidak terceraikan untuk seumur hidup.
Dengan demikian, melalui bab II ini suami-istri diharapkan terbantu untuk
menyelamatkan krisis perkawinan menuju kehidupan keluarga yang penuh kedamaian,
cinta kasih, kesetiaan dan kebahagiaan melalui perwujudan makna spiritualitas
perkawinan.
A. Pengertian Spiritualitas dan Spiritualitas Perkawinan Katolik
1. Pengertian Spiritualitas
Istilah spiritualitas agak kabur dalam pemahaman, maka perlu dijelaskan
terlebih dahulu bagaimana istilah tersebut dipahami, dan apa spiritualitas perkawinan
Katolik untuk keluarga Katolik.
Sejak tahun 70an, berkat kebangkitan kerohanian Gereja yang diseponsori oleh
Konsili Vatikan II, pembicaraan tentang hidup dalam roh (Roma 8:4.9) atau
spiritualitas makin mendapat tempat yang sentral di kalangan jemaat beriman.
Meskipun sudah secara meluas dipakai, sesungguhnya kata spiritualitas belum
tegas/utuh. Kata tersebut sudah berkembang secara subur baik di lingkungan lembaga
10
pendidikan maupun di dalam hidup beriman. Karena realitas hidup jemaat bersifat
kompleks maka juga ada berbagai pendapat tentang arti spiritualitas.
Telah banyak tokoh atau pengarang spiritualitas secara berbeda-beda di
antaranya yaitu:
a. Heryatno (2006:71-72) menyatakan bahwa makna atau arti kata spiritualitas
dapat ditemukan di dalam konteks hidup jemaat beriman. Artinya spiritualitas
mencakup hidup doa, penghayatan iman secara mendalam, seluruh
pengalaman hidup, dan juga mencakup dimensi sosial politiknya.
b. J. Darminta (2005: menegaskan bahwa spiritualitas merupakan inti iman yang
menyatukan seluruh daya dan unsur kehidupan.
c. A. Heuken (2002:11) menyatakan bahwa spiritualitas adalah istilah yang agak
baru yang menandakan ‘kerohanian’ atau hidup ‘rohani’. Kata ini
menekankan segi kebersamaan, bila dibandingkan dengan kata yang lebih tua,
yaitu ‘kesalehan’, yang menandakan hubungan orang perorangan dengan
Allah.
Berdasarkan pemahaman para tokoh yang telah pengertian dan makna
spiritualitas di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa spiritualitas
berhubungan erat dengan tindakan konkret seseorang yang berusaha
memperkembangkan hidupnya dan hal itu dikaitkan dengan relasinya dengan Tuhan,
sesama dan lingkungannya.
Spiritualitas berkaitan erat dengan segi interioritas seseorang, dengan kedalaman
hidup (jiwa), yang membentuk sikap, menentukan cara seseorang mempertimbangkan
dan mengambil keputusan serta bertindak dan menentukan pilihan seseorang pada
11
nilai-nilai yang dipegang, diwujudkan serta dikembangkan. Dengan demikian
spiritualitas dapat disebut cara mengamalkan seluruh kehidupan sebagai seorang
beriman yang berusaha merancang dan menjalankan hidup ini seperti Tuhan
menghendakinya.
2. Spiritualitas Perkawinan Katolik
Pembimbing dan pedoman hidup keluarga kristiani adalah anugerah Roh
Kudus yang dicurahkan ke dalam hati suami-istri dalam sakramen perkawinan. Oleh
karena itu dalam persekutuan yang erat antara Roh Kudus dan GerejaNya suami-istri
dipanggil untuk mengamalkan dan mewujudkan pengabdiannya sebagai suami-istri
dalam iman, harapan dan cinta kasih.
a. Perkawinan sumber dari misteri kasih Allah.
Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan Allah sendiri
adalah kasih. Karena itu panggilan untuk mengasihi merupakan panggilan khas
manusia. Manusia mirip dengan Allah sejauh ia menjadi manusia yang mencintai dan
mengasihi.
Dari relasi manusia dan Tuhan itulah bersumber ikatan yang tak terputuskan
antara roh yang mengekspresikan diri dalam tubuh. Tubuh dihidupi oleh roh yang tak
dapat mati. Karena itu, tubuh pria dan wanita bukanlah sekedar tubuh, melainkan
memiliki karekter teologis (Heuken, 2002 : 17-19).
Dari kedua ikatan itu, yakni ikatan manusia dengan Allah dan kesatuan tubuh
dan jiwa dalam diri manusia maka lahirlah ikatan ketiga yaitu ikatan antara pribadi
12
dan institusi. Dalam ikatan ketiga ini seluruh pribadi manusia dituntut secara total
untuk mewujudkan dan membuahkan kesetiaan. Hanya dengan demikian kesetiaan
dapat berkembang, memberi harapan di masa depan, dan memungkinkan anak-anak
fruit of love, untuk menaruh kepercayaan kepada manusia dan masa depannya dalam
situasi-situasi sulit sekalipun. Maka tanggung jawab ini menjamin juga masa depan
masyarakat yang lebih baik.
Perkawinan adalah sebuah perjanjian timbal balik antara seorang pria dan
seorang wanita. Pertama-tama perjanjian ini digerakkan oleh cinta kasih. Karena
cinta dan demi cinta Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sekaligus
Allah memanggil mereka untuk saling mencintai. Sebagaimana Allah adalah cinta
dan hidup di dalam persekutuan cinta kasih tritunggal demikian juga Allah menaruh
dalam hati laki-laki dan perempuan daya dan panggilan untuk mencintai dan
membentuk persaudaraan, kesatuan dan persekutuan hidup.
Allah sendirilah yang mendirikan perkawinan itu dan menganugerahinya
dengan rahmat dan tujuan, maka secara kodratinya perkawinan itu suci (GS 48).
Dengan demikian Tuhan sendirilah yang menjadi jaminan stabilitas persekutuan
cinta kasih itu.
Cinta kasih suami-istri merupakan dasar dari perkawinan. Ikatan pribadi
yang mau diusahakan dalam kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan dengan
penyerahan diri secara total. Salah satu ungkapan penyerahan diri itu adalah dengan
persetubuhan yang berdasarkan cinta kasih.
Cinta kasih yang diikat dalam suatu perkawinan hendaknya dikembangkan
oleh suami-istri secara terus menerus dan dengan sukarela, agar cinta kasih yang
13
dinyatakan dalam janji perkawinan semakin nyata. Cinta kasih suami-istri bersifat
total, menyeluruh serta melibatkan seluruh pribadi dan hidup manusia. Hal ini
meliputi seluruh aspek, misalnya persaan hati, akal budi dan kehendak
(Budyapranata 1981:13-32).
Dengan demikian cinta kasih yang total dan menyeluruh ini menggabungkan
yang manusiawi dan ilahi, serta mendorong suami-istri untuk saling memberi diri
dengan bebas. Ini diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari melalui perkataan
dan perbuatan. Cinta kasih yang seperti ini meresapi seluruh kehidupan suami-istri
dan mendorong mereka untuk saling menyerahkan diri dengan bebas dan
bertanggung jawab. Misalnya, cinta kasih penyerahan diri ini terwujud dalam
persetujuan yang bebas dan bertanggung jawab .
b. Unitas
Dalam Gereja Katolik, sifat hakiki perkawinan adalah unitas, artinya
kesatuan dan monogam, sebagai berikut:
1) Unity
Perkawinan mempertemukan dan mempersatukan dua pribadi yang
berbeda. Kesatuan ini tidak menghilangkan leprinadian tiap pihak tetapi saling
melengkapi antara pria dan wanita yang telah sepakat dengan rela untuk
bersama-sama melaksanakan seluruh rencana hidup mereka dalam hidup
berkeluarga.
14
Membangun suatu rumah tangga berarti mengembangkan hubungan
cinta kasih antara para anggota keluarga, baik antara suami-istri, antara orang
tua anak mapun sesama anggota keluarga lainnya. Dengan demikian, keluarga
Katolik dipanggil untuk melaksanakan tugas pokok ajaran Kristus yakni
“Kasih” dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai kesatuan mereka dituntut untuk
menerima satu sama lain apa adanya, saling berbagi dan saling melengkapi
serta saling mendukung baik dalam untung dan malang karena ketaatan
kepada kehendak Allah yang kudus “apa yang telah dipersatulam oleh Allah,
janganlah diceraikan oleh manusia” (Mat 19;16). Dalam perkawinan suami-
istri mempersatukan diri dengan bebas bahkan dikukuhkan oleh kehendak
Allah melalui sakramen.
Kitab Kejadian 2:24 menyatakan “Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging”. Berdasarkan Kej 2:24 ini, cinta kasih suami-
istri bersifat penuh atau utuh karena meliputi seluruh pribadi, jiwa dan raga.
Oleh akrena itu, seorang laki-laki akan meninggalkan kedua orang tuanya
untuk bersatu dengan istrinya. Hanya kepada seorang istri saja seorang suami
memberikan seluruh hidupnya termasuk tubuhnya seperti terungkap dalam
hubungan seksual. Demikian juga seorang istri memberikan seluruh diri
termasuk tubuhnya.
15
2) Monogam
Perkawinan monogam adalah perkawinan yang antara seorang pria dan
seorang wanita yang ingin mempersatukan diri dan hidupnya. Dalam hal ini
tidak dibenarkan adanya poligami atau poliandri, yaitu bahwa seorang pria
atau seorang wanita mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang dalam
waktu yang bersamaan.
Pesekutuan suami-istri membutuhkan kesetiaan yang utuh dan
dinamis. Setia berarti rela dan berani memberikan diri kepada seorang pribadi
yang menuntut ketunggalan, yaitu hanya seorang pria dan seorang wanita
yang mengambil bagian dalam hidupnya.
Dengan demikian diharapkan para suami-istri saling mengasihi dengan
kasih yang utuh dan setia. Sebab bila kasih mereka tidak utuh dan tidak setia,
perkawinan mereka tidak layak menjadi lambang dari hubungan antara Allah
dengan GerejaNya, yang juga bersifat utuh dan setia (GS 48-49). Karena itu
perkawinan bersifat monogam baik secara hukum maupun secara moral.
c. Tak-terputuskan (Indissolubility)
Yang dimaksud dengan tak terceraikan atau indissolubilitas adalah
perkawinan antara pria dan wanita yang telah dilangsungkan secara sah dengan
mengungkapkan kesepakatan nikah secara bebas, penuh, dan sungguh-sungguh
menurut tuntutan hukum (kan.1101) mempunyai akibat tetap dan tidak bisa
diceraikan atau diputuskan oleh kuasa manapun kecuali oleh kematian (Rubiatmoko,
16
2002: 12). Sifat tak terceraikan atau indissolubilitas perkawinan ini dibedakan
menjadi dua yaitu:
1) Indissolubilitas absoluta
Indissolubilitas absoluta, yaitu ikatan perkawinan tidak bisa
diputuskan oleh kuasa manapun kecuali oleh kematian, misalnya perkawinan
antara dua orang dibaptis, baik Katolik maupun Kristen (sakramen) yang
sudah disempurnakan dengan persetubuhan (ratum et consummatum). Kanon
1141 menerangkan bahwa perkawinan ratum dan disempurnakan dengan
persetubuhan tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun juga dan
atas alasan apapun, selain oleh kematian. Injil Markus 10:9 juga menyatakan
“Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia”, karena perkawinan tersebut melambangkan secara penuh dan
sempurna hubungan kasih antara Kristus dengan GerejaNya dan tidak pernah
meninggalkan GerejaNya, demikian juga antara suami-istri yang telah dibaptis
tidak dapat saling memisahkan diri (Ef. 5:22-32).
2) Indissolubilitas relativ
Indissolubilitas relativ, berarti bahwa ikatan perkawinan tersebut
memang tidak bisa diputuskan atas dasar consensus dan kehendak suami-istri,
namun bisa diputuskan oleh kuasa gerejani yang berwenang atas alasan yang
berat. Tujuan perkawinan ini baru dapat terjadi setelah terpenuhinya
ketentuan-ketentuan yang dituntut oleh hukum, seperti dalam kanon 1142
17
untuk perkawinan ratum et non consummatum. Perkawinan ini artinya
perkawinan yang tidak dapat disempurnakan dengan persetubuhan antara
orang-orang yang telah dibaptis. Untuk perkawinan non sakramen ketentuan-
ketentuan hukumnya diatur oleh kanon 1142-1149.
B. Gambaran Keluarga Katolik yang Menghayati Spiritualitas Perkawinan
Bagi kita perkawinan merupakan “ikatan cinta mesra dan hidup bersama yang
diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi oleh hukum-hukumNya” (Gaudium et spes,
48). Kasih suami-istri bersumber pada cinta Ilahi, dan seharusnya diwujudkan menurut
pola persatuan Kristus dengan GerejaNya. Perkawinan suami-istri didukung dan
disucikan oleh Kristus Sang Penyelamat dan Gereja mempelaiNya.
Kristus tetap menyertai suami-istri supaya mereka tetap saling mengasihi dan
saling menyerahkan diri, dan setia untuk selamanya, seperti Kristus telah mengorbankan
diri demi GerejaNya. Mereka harus dibimbing sungguh-sungguh menuju Allah. Mereka
perlu dibantu dan diteguhkan untuk mengamalkan panggilan luhur sebagai ayah dan ibu.
Demikian suami-istri dikuatkan dan seolah-olah ditahbiskan dengan sakramen khusus
untuk menunaikan tugas mereka yang luhur. Berkat daya sakramen inilah mereka
melaksanakan kewajiban dalam hidup berkeluarga. Semangat Kristus harus meresapi
seluruh hidup mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih. Begitulah mereka saling
menyempurnakan dan menyucikan (Gaudium et spes, 48).
Kita semakin sadar bahwa perkawinan itu persekutuan cinta kasih antara pria dan
wanita, yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta segala kemampuannya
untuk selamanya. Dalam penyerahan itu suami-istri berusaha makin saling
18
menyempurnakan dan bantu-membantu. Hanya dalam suasana hormat-menghormati,
saling menerima, saling memberi baik dalam dalam keadaan suka dan duka inilah,
persekutuan cinta kasih itu dapat berkembang sehingga tercapai kesatuan hati yang
dicita-citakan. Suasana ini pun merupakan dasar paling serasi untuk menerima buah-
buah kesatuan itu, yakni keturunan.
Tuhan bermaksud menyelamatkan manusia melalui sesamanya. Secara sangat
konkrit ini berlangsung dalam perkawinan dan kehidupan keluarga Katolik. Suami-istri
ditahbiskan untuk mengamalkan cinta kasih dan melanjutkan karya penyelamatan Kristus
dalam keluarga mereka. Demikianlah rumah tangga menjadi sel hidup Gereja (ecclesiola:
Gereja kecil).
Daya tarik dan pengaruh cita-cita Katolik janganlah diabaikan dalam menghadapi
kungkungan adat dan materialisme modern, yang keduanya sangat kuat. Kenyataan
sebagaimana adanya sering masih jauh dari cita-cita itu.
Inilah kenyataan lain yang lebih mendalam, persekutuan hidup dan cinta mereka
yang menunju pada persekutuan hidup yang lebih luhur, yaitu bahwa hubungan suami-
istri merupakan tanda dari hidup Kristus yang diserahkanNya demi keselamatan kita dan
hidup kita yang harus kita serahkan kepadaNya. Saling serah diri antara suami-istri
melambangkan kenyataan, bahwa Kristus mengorbankan diri untuk kita dan kita harus
bersedia menjadi milikNya. Sakramen perkawinan menandakan, betapa nyatanya cinta
kasih Allah, yang menyayangi manusia sehingga menyerahkan putraNya.
Dengan demikian bagi suami-istri yang mau membangun “Gereja kecil” yakni
rumah tangga, tidak pernah sumber cinta kasih Ilahi itu akan kering. Itulah warta gembira
bagi siapa saja yang mendasari hidup berkeluarga dengan sakramen. Lalu rumah tangga
19
mereka pun akan menyampaikan warta gembira itu secara nyata bagi sesama, yaitu
bahwa kita semua tetap dicintai Allah (Gaudium et spes, 17a.)
C. Makna Spiritualitas Perkawinan Katolik untuk Keluarga-Keluarga Katolik
Menurut Agustinus perkawinan kristiani mempunyai tiga makna yang luhur
yaitu: fides (makna kesetiaan), bonum prolis (makna prokreatif), dan sacramentum
(makna kesatuan erat karena “sakramentalis” perkawinan sebagai symbol hubungan cinta
sempurna antara Kristus dan GerejaNya) (Purwahadiwardoyo, 1988:88). Fides adalah
memberikan kesetiaan. Artinya para suami-istri tidak punya ikatan dengan orang lain,
proles yaitu mendorong mereka menerima anak-anak dengan penuh cinta, memberikan
nafkah secara layak, dan mendidik secara agamawi dan sacramentum menyatukan para
suami-istri sehingga tak akan bercerai.
1. Fides (makna kesetian)
Ciri-ciri perkawinan kristiani yang mengandung kesetiaan merupakan ukuran
bagi suami-istri dalam membina kelanggengan hidup perkawinan mereka bersama ke
arah iman kristiani yang semakin sempurna dan menyatu dalam hidup sehari-hari.
Unsur pokok di dalam cinta kasih perkawinan adalah kesetiaan akan
pasangannya dalam segala situasi baik dalam kebahagian maupun kesedihan. Cinta
suami-istri menunjukkan kesetiaan itu juga lewat hubungan mereka yang murni,
mengikuti norma-norma ilahi dan hukum-hukum kodrati. Kesetiaan itu juga didukung
oleh cinta kasih suami-istri (amor coniugalis), yang teramat penting bagi perkawinan,
20
yakni cinta yang tunggal, suci dan murni seperti cinta kasih Kristus kepada Gereja
(Ef.5:25).
Cinta kasih suami-istri itu tidak hanya mempersatukan mereka satu sama lain,
melainkan juga mendorong mereka kepada kesempurnaan, sampai pada cinta kepada
Allah dan sesama (Mat 22:40). Cinta kasih itulah alasan dan motif pokok perkawinan,
tak hanya sebagai lembaga prokreatif, malainkan juga sebagai persekutuan hidup
seluruhnya.
Perkawinan menjadi tempat diwujudnyatakannya kesetiaan dalam cinta kasih
antara suami-istri. Dalam perkawinan ini suami-istri berhubungan atas dasar kesetiaan
dalam cinta kasih. Ikatan kesetiaan ini pulalah yang membuat mereka saling
memperkembangkan dan saling menyempurnakan.
Kesetiaan dalam cinta kasih suami-istri ini perlu diwujudnyatakan dalam
seluruh kehidupan perkawinan mereka. Kesetiaan dalam cinta kasih suami-istri
hendaknya terungkap makin sempurna dalam perbuatan mereka. Untuk itu banyak
cara yang khas dan paling mesra untuk mengungkapkan kesetiaan dalam cinta kasih
suami-istri adalah tindakan penyerahan diri secara penuh satu sama lain.
2. Bonum prolis (makna prokreatif)
Cinta kasih suami-istri merupakan partisipasi istimewa dalam misteri
kehidupan dan cinta kasih Allah sendiri. Partisipasi ini merupakan pengabdian pada
kehidupan yang nyata secara konkret diwujudkan melalui prokreasi. Akan tetapi tidak
terbatas pada prokreasi saja, tetapi diperkaya dan diperluas dengan semua hasil moril,
21
rohani dan adikodrati, yang oleh ayah-ibu seturut panggilan mereka disalurkan
kepada anak-anak mereka, dan melalui anak-anak itu Gereja dan dunia.
Sebagai pelayan kehidupan, keluarga juga berperan sebagai pembela
kehidupan, karena dalam kehidupan setiap manusia, ia melihat Kristus sendiri. Gereja
dan keluarga bersama-sama berjuang melawan segala macam ancaman yang merusak
kehidupan, misalnya pengaturan aborsi.
Dalam rencana Allah, suami-istri melalui perkawinan, dipanggil pada
kekudusan. Dan panggilan luhur ini terpenuhi sejauh manusia berusaha menciptakan
kondisi-kondisi yang diperlukan untuk menanggapi rencana Allah itu, sehingga
mereka dapat menghayati spiritualitas perkawinan serta menyadari tujuannya sebagai
pengabdian pada kehidupan.
Suami-istri adalah penentu dan harapan masa depan bagi anak-anaknya
sekaligus contoh iman yang baik. Maka terletak peranan suami-istri dalam membina
keturunan mereka menuju ke arah yang lebih baik. Tanggung jawab itulah peranan
suami-istri dalam membina keturunan mereka menuju ke arah hidup yang baik
merupakan tugas yang berat. Meskipun tugas panggilan suami-istri sangat mulia,
karena semua tanggung jawab yang meliputi kebutuhan rumah tangga dan segala
kewajiban seperti mendidik anak dan bekerja. Maka suami-istri mempunyai peran
ganda, yakni sekaligus menjadi suami dan istri dan menjadi orang tua yang baik.
Teladan orang tua menjadi cermin anak dan lingkungan menuju kesejahteraan hidup
yang sehat.
Dengan demikian bagi orang tua kristiani, tugas mendidik anak-anak mendapat
dasar dan kekuatan baru yang bersumber dari sakramentalitas perkawinan. Rahmat
22
sakramen perkawinan menghiasi orang tua kristiani dengan martabat dan panggilan
khusus untuk mendidik anak-anak secara kristiani. Mereka dipercaya dengan
kebijaksanaan, kekuatan, nasehat dan anugerah Roh Kudus agar dapat membantu
anak-anak mereka bertumbuh secara manusiawi dan kristiani.
3. Sacramentum
Nilai tertinggi dari perkawinan adalah nilai sakramentalnya. Nilai-nilai
tertinggi perkawinan itu dihayati oleh orang beriman sebagai karya Allah sendiri yang
mencintai umatNya dan telah diangkat menjadi sakramen. Persatuan cinta kasih
suami-istri melambangkan cinta kasih Kristus pada GerejaNya. Sifat sakramentalis
perkawinan secara resmi diwujudkan sewaktu suami-istri mengikrarkan janji
perkawinan dan sifat ini perlu dikembangkan dalam kehidupan nyata dengan saling
mencintai dan saling menyerahkan diri secara terus menerus.
Perkawinan kristiani disebut sacramentum karena perkawinan dilihat sebagai
simbol kesatuan Trinitas: seperti hubungan Bapa-Putra-Roh Kudus, begitulah
hubungan suami-istri-anak. Artinya Putra berasal dari Bapa, Roh Kudus berasal dari
Bapa dan Putra, anak-anak berasal dari suami-istri (Purwa, 1988: 40).
Ciri tak terceraikannya perkawinan yang diberikan oleh Kristus sebagai tanda
yang menghasilkan rahmat. Sakramentalis perkawinan secara khusus memberikan arti
dan menjadikan persekutuan yang memberikan rahmat sebagai sumber hidup,
menyempurnakan serta meneguhkan cinta serta kesatuan suami-istri yang di dalami
sebagai kesucian oleh rahmat Allah sendiri.
23
Sakramen perkawinan dan persetujuan nikah sangat erat hubungannya,
sehingga persetujuan itu mengandung makna yang bersifat sacral. Suami-istri saling
meneguhkan melalui janji perkawinan di hadapan Tuhan sendiri dan melalui
sakramen perkawinan suami-istri dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab hidup
berkeluarga dengan kesetiaan yang mereka bina. Suami-istri harus tetap ingat bahwa
perkawinan kristiani merupakan sakramen, maka perkawinan kristiani bersifat
monogam.
Dengan demikian melalui kekuatan sakramen perkawinan ini suami-istri
diharapkan mampu menghadirkan Allah dalam kehidupannya dan mampu
mewujudkan kesetiaan dalam cinta kasih sebagai kesatuan yang tak terpisahkan,
karena dengan kesetiaan dalam cinta kasih mereka dapat merasakan kehadiran Allah
dalam kehidupannya
BAB III
GAMBARAN KELUARGA-KELUARGA KATOLIK
DI LINGKUNGAN SANTO YOHANES PAULUS PAROKI KOTABARU
YOGYAKARTA DI DALAM MENGHAYATI DAN MEWUJUDKAN
SPIRITUALITAS PERKAWINAN
Spiritualitas merupakan segi hidup kita yang sangat pribadi, yakni
mengamalkan iman akan Yesus Kristus pada masa kini, di tempat ini, bersama
dengan orang ini dan masyarakat kita ini sebagaimana adanya. Berkat Roh Kudus
orang beriman diikutsertakan dalam kepenuhan hidup Allah Tritunggal (Ef. 3,19).
Artinya umat Allah dipanggil, diutus dan dikuatkan untuk ikut serta
mengembangkan, memanusiakan atau menguduskan dunia kita ini.
Allah meletakkan dasar perkawinan manusia dengan menciptakan laki-laki
dan perempuan. Perbedaan itu dimaksudkan untuk saling melengkapi dan
menyempurnakan kehidupan perkawinan mereka (Budyapranata, 1981:73).
Dalam perkawinan usaha untuk saling menyempurnakan mendapat
perwujudan dalam ikatan kesatuan cinta kasih yang berdasarkan persetujuan bebas
untuk menikah. Persetujuan ini artinya bebas untuk mengadakan perkawinan.
Meskipun manusia bebas untuk mengadakan perkawinan, tetapi tidak mempunyai
hak untuk menentukan sifat dan hakikat dari perkawinan. Hal ini dikarenakan
perkawinan adalah institusi ilahi, yang hakekat pokoknya telah ditetapkan oleh
kodrat itu sendiri (Kartosiswoyo, 1979:5).
26
Melalui bab II, kita telah mengetahui dan memahami tentang spiritualitas
keluarga-keluarga Katolik. Spiritualitas keluarga akan tetap menjadi suatu teori
apabila tidak dihayati dan diwujudnyatakan dalam hidup setiap keluarga. Namun
demikian perlu disadari bahwa untuk mewujudkan spiritualitas keluarga, setiap
keluarga perlu secara terus menerus menghayati dan mewujudkan nilai-nilai
spiritualitas perkawinan mereka dengan penuh kesabaran dan penuh keuletan
dalam hidup konkret.
Pada Bab III ini penulis akan membahas gambaran keluarga-keluarga
Katolik bagaimana mereka menghayati spiritualitas perkawinan dan
mewujudkanya di lingkungan St.Yohanes Paulus Paroki St.Antonius Kotabaru,
Yogyakarta. Bagian pertama penulis akan memaparkan secara singkat gambaran
umum lingkungan St.Yohanes Paulus. Bagian kedua akan memaparkan penelitian
sederhana keluarga-keluarga Katolik di lingkungan St.Yohanes Paulus Paroki
St.Antonius Kotabaru, Yogyakarta. Penulis membagi menjadi tiga sub bagian:
Yang pertama pengantar penelitian, bagian ke dua hasil penelitian dan bagian
ketiga pembahasan hasil penelitian yang dilanjutkan dengan rangkuman.
Pengantar penelitian ini dibagi menjadi tujuh sub bagian yaitu: latar belakang
penelitian, rumusan masalah, jenis penelitian, teknik pengumpulan data,
responden penelitian, waktu dan tempat penelitian, variabel penelitian. Bagian ke
dua hasil penelitian dan bagian ketiga pembahasan data penelitian
27
A. Gambaran Umum Lingkungan St.Yohanes Paulus
Lingkungan St.Yohanes Paulus adalah salah satu lingkungan bagian dari
Paroki St.Antonius Kotabaru Yogyakarta. Lingkungan St.Yohanes Paulus ini, jika
dilihat dari letak geografisnya sangat strategis. Karena letak lingkungan ini bisa
dilalui oleh kendaraan baik mobil, motor, becak dan hanya berjarak + 800m dari
pusat Paroki.
Untuk memperoleh data mengenai gambaran umum di lingkungan
St.Yohanes Paulus ini, penulis meminta ijin kepada ketua lingkungan untuk
melakukan penelitian dengan metode wawancara. Adapun penelitian tersebut akan
dilakukan kepada sepuluh responden. Maka penulis dianjurkan oleh ketua
lingkungan untuk meminta langsung kepada sekretaris lingkungan yang kebetulan
juga sebagai mudika senior di lingkungan St.Yohanes Paulus. Hal ini cukup
banyak membantu penulis, karena beliau mengetahui tentang gambaran umat di
lingkungan St.Yohanes Paulus sehingga dalam memperolah data penulis merasa
sangat terbantu dan tidak mengalami kesulitan.
Dalam menentukan kesepuluh responden, penulis mencoba untuk meminta
bantuan kepada sekretaris lingkungan. Adapun alasannya karena beliau cukup
mengetahui tentang usia perkawinan di bawah sepuluh tahun dan di atas sepuluh
tahun serta mengetahui keadaan keluarga yang masih utuh dan keluarga yang
sudah tidak utuh lagi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan sekretaris lingkungan St.Yohanes
Paulus, penulis akhirnya dapat memperoleh data yang aktual mengenai letak
geografis, situasi sosial ekonomi dan budaya, jumlah umat dan situasi umat,
28
kegiatan-kegiatan yang ada, serta karya-karya umat yang ada di lingkungan
St.Yohanes Paulus Paroki St.Antonius Kotabaru, Yogyakarta.
Umat Katolik yang tinggal di lingkungan St.Yohanes Paulus sebagian besar
berasal dari suku Jawa asli atau sering disebut sebagai masyarakat pribumi. Akan
tetapi di lingkungan ini juga terdapat beberapa warga pendatang yang berasal dari
berbagai macam daerah (Sumatra, Kalimantan, Papua, Flores dan Timor-Timor).
Dalam prosentasinya bisa dikatakan bahwa 60% adalah penduduk asli dan 40%
adalah warga pendatang. Meskipun dalam lingkungan ini terdapat beraneka suku
dan kebudayaan, namun dalam kehidupan sehari-hari keluarga-keluarga Katolik
tidak pernah mempersoalkan tentang latar belakang suku, ras dan budaya yang
berbeda.
Umat Katolik menilai perbedaan merupakan peluang bagi mereka untuk
membangun kehidupan bersama dengan semangat persaudaraan sejati. Keadaan
ini terbukti dengan adanya semangat solidaritas yang tinggi antara umat yang
hidup berdampingan dengan umat yang berbudaya lain.
Lingkungan St.Yohanes Paulus dibatasi oleh: sebelah Utara dengan rel
kereta api Stasiun Lempuyangan Yogyakarta, sebelah Barat dengan Lingkungan
St.Yusuf Ledok Tukangan, sebelah Selatan dengan Jl. Mas Suharto, dan sebelah
Timur dengan Tukangan.
Latar belakang umat di lingkungan St.Yohanes Paulus adalah heterogen,
baik dalam tingkat pendidikan, suku, budaya dan mata pencarian. Keadaan yang
demikian berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi umat di lingkungan
St.Yohanes Paulus. Taraf kehidupan ekonomi umat di lingkungan St.Yohanes
29
Paulus berada pada tingkat ekonomi kalangan menengah yang rata-ratanya
sebagai pekerja swasta dan menengah ke bawah, ini dapat diukur dari pendapatan
perharian mereka yang tidak tetap. Jika di lihat dari prosentasenya menengah
sekitar 50% dan menengah ke bawah 50%. Mata pencarian umat di lingkungan
St.Yohenes Paulus ini mayoritas ada yang bertoko, berjualan makanan, dan buruh
bagunan/toko, PNS tetapi ada juga yang wiraswasta.
Umat Lingkungan St.Yohanes Paulus berjumlah 60 KK dengan 200 jiwa
dan mayoritas umatnya adalah orang tua. Hal ini disebabkan setelah selesai kuliah
anak-anak muda pergi merantau untuk mencari pekerjaan. Perkembangan
umatnya tidak tetap. Artinya umat yang dibaptis waktu bayi dan baptis dewasa
dalam tiap tahunnya tidak menentu, dan umat yang datang dan pergi adalah para
mahasiswa yang datang dari luar dari Yogyakarta untuk kuliah.
Lingkungan St.Yohanes Paulus merupakan salah satu lingkungan yang
cukup aktif di Paroki Kotabaru. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan yang
rutin dilaksanakan, misalnya pada setiap malam Jumat kliwon ada ekaristi 30 hari
sekali, sarasehan dengan romo paroki, pendalaman iman pada masa Pra-Paskah
dan Adven, pendalaman Kitab Suci pada bulan September, rosario pada bulan Mei
dan ibu-ibu wanita Katolik mengadakan arisan setiap bulannya.
30
B. Penelitian Sederhana Keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus
dalam Menghayati dan Mewujudkan Spiritualitas Perkawinan Katolik
1. Pengantar Penelitian
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai latar belakang penelitian,
rumusan masalah, jenis penelitian, teknik pengumpulan data, responden
penelitian, waktu dan tempat penelitian, variabel penelitian, hasil penelitian
serta pembahasan data penelitian di lingkungan St.Yohanes Paulus Paroki
St.Antonius Kotabaru Yogyakarta.
a. Latar Belakang Penelitian
Sakramen perkawinan adalah tanda perjanjian antara Kristus dan
GerejaNya. Ia memberi rahmat kepada suami-istri, agar saling mencintai
dengan cinta, yang dengannya Kristus mencintai Gereja. Ini berarti rahmat
sakramen menyempurnakan cinta manusiawi suami-istri, meneguhkan
kesatuan yang tak terhapuskan dan menguduskan mereka di jalan menuju
hidup abadi.
Melalui cinta perkawinan, rahmat Allah diberikan kepada suami-
istri dan anak-anak mereka. Sifat sakramental perkawinan tidak terbatas
pada upacara saja, melainkan menyangkut hidup berkeluarga seluruhnya.
Karena kesatuan suami-istri dengan Kristus, seluruh hidup mereka yang
adalah satu menjadi perwujudan rahmat. Tanda rahmat ini ialah janji
perkawinan, yang mengikat mereka untuk sehidup semati.
31
Perkawinan juga “sakramen iman”, di dalamnya dinyatakan iman
akan Kristus sebagai dasar dan kekuatan ikatan perkawinan. Perkawinan
dan hidup keluarga sendiri bagi umat beriman menjadi sarana
mengungkapkan imannya dan dengan demikian juga menghayatinya.
Keistimewaan sakramen perkawinan tidak terletak dalam bentuk
upacaranya, tetapi dalam pengungkapan iman itu.
Keluarga Katolik adalah tempat anak-anak menerima pewartaan
pertama mengenai iman. Karena itu tepat sekali ia dinamakan “Gereja
rumah tangga” satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk
membina kebijakan-kebijakan manusia dan cinta kasih kristiani.
Hal ini pula sekaligus menjadi tantangan bagi keluarga-keluarga di
lingkungan St.Yohanes Paulus. Berdasarkan keprihatinan dan hasil
wawancara dengan sekretaris lingkungan St.Yohanes Paulus,
berkurangnya semangat keluarga-keluarga Katolik dalam menghadirkan
dan mewujudkan gambaran hidup keluarga sebagai Gereja rumah tangga.
Hal ini disebab karena kesibukan para orang tua bekerja di luar rumah
untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
Bahkan ada beberapa keluarga yang tergolong cukup berpengalaman
dalam mengarungi hidup berkeluarga belum mengetahui dan memahami
sepenuhnya peranan dan tugas serta sumber kekuatan panggilan hidup
perkawinan.
Yesus sendiri melalui hidupNya mengungkapkan betapa Allah
selalu hadir dalam hidup diri keluarga-keluarga Katolik tanpa batas,
32
malalui apa yang mereka harapkan. Kehadiran Allah inipun kurang
mereka sadari. Dalam kehidupan sehari-harinya para orang tuapun kurang
memperhatikan perkembangan iman dan kebutuhan rohani bagi anak-
anaknya, karena terlalu sibuk berkerja di luar rumah mencari nafkah demi
mencukupi kebutuhan segala materi bagi keluarga.
Kehadiran Allah dalam keluarga merupakan aspek yang hendak
dituju melalui spiritualitas keluarga. Namun perlu diingat bahwa
menyadari dan mewujudkan kehadiran Allah dalam keluarga bukanlah
suatu hal yang mudah. Dari diri mereka dituntut sikap percaya,
pengampunan, keberanian, ketekunan, kesabaran untuk mewujudkan
sakramen perkawinan di tengah kompleksitas kehidupan mereka.
Maka dari itu, Kristus Tuhan melimpahkan berkat-Nya atas cinta
kasih yang beraneka ragam yang berasal dari sumber cinta kasih Ilahi, dan
terbentuk menurut pola persatuan-Nya dengan Gereja. Sebab Allah
menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan, begitu
pula sekarang Penyelamat umat manusia dan mempelai Gereja, melalui
sakramen perkawinan menghampiri suami-istri Katolik. Oleh Karena itu
suami-istri dikuatkan dan dikuduskan untuk tugas dan kewajiban maupun
martabat status hidup mereka dengan sakramen yang khas.
Dengan kekuatanNyalah mereka menunaikan tugas mereka sebagai
suami-istri dalam keluarga. Mereka dijiwai semangat Kristus, yang
meresapi seluruh hidup mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih.
33
Mereka makin mendekati kesempurnaan mereka dan makin saling
menguduskan, dan bersama-sama makin memuliakan.
Jadi keberadaan keluarga sebagai anggota gereja, masyarakat dan
negara ikut mempergaruhi seluruh kehidupan. Semua keluarga harus
mengambil peran terhadap keluarganya dan berusaha mengembangkan
hidup beriman, agar gambaran Gereja sungguh-sungguh hadir dalam
keluarga.
Dengan demikian kesadaran akan tugas perutusan yang diterima
dalam sakramen perkawinan akan membantu orang tua kristiani dalam
mendidik iman bagi anak-anak dengan penuh kesungguhan dan tanggung
jawab dihadapan Allah yang memanggil dan memberi mereka perutusan
untuk membantu Gereja dalam diri anak-anak mereka.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah-masalah yang
akan di bahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1) Apakah keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus
sudah cukup memahami spiritualitas perkawinan?
2) Apa saja permasalahan yang mereka hadapi dalam menghayati dan
mewujudkan spiritualitas perkawinannya?
3) Apa saja usaha yang telah mereka lakukan untuk menghayati
spiritualitas perkawinan?
34
c. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif
naturalistik. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian.
Sedangkan naturalistik adalah penelitian yang mengungkapkan subyek
sejauh mungkin apa adanya. Jadi penelitian kualitatif naturalistik
menunjukan bahwa pelaksanaan penelitian dilakukan dalam situasi
lapangan yang bersifat natural atau wajar (Moleong,1988:6).
d. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode wawancara. Metode wawancara adalah percakapan dengan
maksud tertentu. Artinya percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Moleong,1988:186). Dengan menggunakan metode wawancara ini,
penulis ingin mengetahui bagaimana keluarga-keluarga Katolik
memahami spiritualitas perkawinan mereka secara lebih jelas. Wawancara
dilakukan di rumah masing-masing keluarga, hal ini dimaksudkan agar
setiap keluarga dapat dengan leluasa mensharingkan pengalaman keluarga
dengan bebas, tanpa curiga dan takut.
35
e. Responden Penelitian
Responden dari kata asal “respon” atau tanggap, yaitu orang yang
menanggapi. Dalam penelitian ini, responden yang diminta untuk
memberikan keterangan tentang fakta yang berkaitan dengan penghayatan
spiritualitas perkawinan Katolik adalah keluarga-keluarga Katolik di
lingkungan St.Yohanes Paulus, yang berjumlah 10 (sepuluh) keluarga.
Responden ini dipilih berdasarkan keadaan keluarga, artinya
keluarga yang masih utuh dan keluarga yang sudah tidak utuh lagi.
Keluarga yang masih utuh maksudnya adalah keluarga yang terdiri dari
bapak, ibu dan anak dan keluarga yang sudah tidak utuh lagi maksudnya
ialah keluarga yang istri atau suaminya sudah meninggal dunia.
f. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian diadakan di Lingkungan St.Yohanes Paulus Kotabaru
Yogyakarta dan waktu dilaksanakan pada bulan September 2006.
g. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah gejala-gejala yang menunjukan variasi,
baik dalam jenisnya maupun tingkatnya (Hadiwardoyo,1986:224).
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: identitas
responden, pemahaman keluarga Katolik tentang spiritualitas perkawinan,
permasalahan-permasalahan yang dihadapi keluarga dalam menghayati
dan mewujudkan spiritualitas perkawinan dan usaha-usaha yang telah
36
dilakukan keluarga dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas
perkawinan mereka.
Variabel penelitian secara jelas diuraikan dalam empat bagian pokok
masing-masing dalam pokok variabel penelitian dapat dilihat dalam tabel
berikut ini:
No Variabel Item Jumlah
1 Identitas responden 1,2,3,4,5 5
2 Penelitian terhadap paham spiritualitas dan
perwujudannya
6,7,8 3
3 Permasalahan yang dihadapi keluarga
Katolik dalam menghayati dan mewujudkan
spiritualitas perkawinan
9,10,11 3
4 Usaha yang telah dilakukan keluarga Katolik
dalam menghayati dan mewujudkan
spiritualitas perkawinan mereka.
12,13,14,15 4
Total 15 15
2. Laporan Hasil Penelitian
Setelah melakukan penelitian dengan menggunakan metode
pengumpulan data yaitu wawancara, maka pada bagian ini penulis akan
melaporkan hasil penelitiannya tersebut.
37
Responden ditentukan oleh sekretaris lingkungan. Adapun alasannya
karena sekretaris lingkungan mengetahui mana keluarga muda (keluarga di
bawah sepuluh tahun) dan mana keluarga sudah tua (di atas sepuluh tahun).
Penelitian dengan metode wawancara ini berlangsung selama kurang
lebih satu minggu dan wawancara dilakukan di rumah masing-masing
responden agar responden lebih leluasa dan terbuka dalam menjawab setiap
pertanyaan. Dalam melakukan wawancara penulis telah mempersiapkan daftar
pertanyaan yang berfungsi sebagai acuan (lihat lampiran 1).
Selama proses wawancara berlangsung penulis menemui responden
yang terdiri dari dua pasang suami-istri, empat orang bapak dan empat orang
ibu (lihat lampiran 2).
Lamanya proses wawancara tiap responden berbeda-beda ada yang
sampai satu setengah jam karena selain para responden menjawab pertanyaan
juga bercerita panjang lebar tentang situasi kehidupan keluarganya dan ada
juga responden hanya menjawab apa adanya dari tiap pertanyaan yang penulis
ajukan dan hanya membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit serta ada
responden yang menangis ketika menjawab salah satu pertanyaan karena
teringat akan masa lalunya.
Waktu pelaksanaan wawancara disesuaikan dengan waktu para
responden, karena ada para responden yang bekerja sampai sore. Dan
wawancara dilakukan pada jam empat atau jam lima bahkan ada yang jam
enam sore. Maka dari itu penulis tidak membuat janjian terlebih dahulu
kepada responden mengingat waktu pulang mereka tidak menentu.
38
Dalam pelaksanaan wawancara penulis mengajak salah satu teman.
Alasannya untuk menghindari kecurigaan responden terhadap penulis ketika
sedang melakukan wawancara dan untuk memudahkan responden dalam
mensheringkan pengalaman mereka.
Ketika melakukan wawancara banyak pengalaman yang penulis alami.
Pengalamannya antara lain yaitu penulis merasa sangat diterima dan dihargai
oleh para responden, ada beberapa responden yang tanpa merasa malu untuk
menceritakan pengalaman hidupnya selama membina hidup berumah tangga
bersama pasangannya, ada responden yang usia perkawinannya sudah cukup
tua memberikan nasehat pada penulis dan pengalaman penulis pernah ditolak
oleh salah satu responden. Alasannya karena responden mau mengikuti arisan
WK. Pengalaman yang sangat melelahkan penulis yaitu harus bolak-balik ke
rumah responden berulang kali karena terlalu sibuk dan harus manjat tembok
setiap harinya serta penulis banyak belajar dari kehidupan para responden
dalam membina hidup berumah tangga.
3. Pembahasan Hasil Penelitian
a. Identitas responden
No Usia perkawinan Jumlah anak Pekerjaan Keterangan
1 7 tahun 2 orang Wiraswasta Pasutri
2 8 tahun 2 orang PNS Bapak
3 18 tahun 2 orang PNS Bapak
4 21 tahun 2 orang PNS Bapak
5 23 tahun 2 orang PNS Ibu
39
6 30 tahun 2 orang Swasta Bapak
7 42 tahun 5 orang Pensiunan P dan K Pasutri
8 42 tahun 3 orang Wiraswasta Ibu
9 46 tahun 2 orang Pensiunan ABRI Bapak
10 47 tahun 5 orang Wiraswasta Bapak
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis usai perkawinan
paling muda berusia tujuh tahun paling lama berusia empat puluh tujuh
tahun. Jika dilihat dari usia perkawinannya di atas sepuluh tahun para
responden telah berhasil melewati masa-masa kritis di dalam mengarungi
bahtera rumah tangga bersama pasangannya, bahkan ada responden yang
perkawinannya pada saat itu baru berusia lima tahun telah ditinggal oleh
suami tapi sampai saat ini cintanya pada suami belum berubah.
Dari sepuluh responden yang berhasil diwawancarai jumlah anak
tiap responden berbeda-beda dari dua orang sampai dengan lima orang
(lihat lampiran 2). Dengan jumlah anak dua orang mereka tidak terlalu
mengalami kesulitan dalam mendampingi, mengawasi dan mendidik anak-
anak bila dibandingkan dengan keluarga yang memiliki jumlah anak lima
orang.
Dari sepuluh responden yang diwawancarai diantaranya termasuk
orang-orang yang terpelajar artinya para responden ini memiliki
pengetahuan dan wawasan yang cukup luas sehingga dalam membina
hidup berumah tangga selalu diselesaikan secara baik-baik dan membina
hidup berumah tangga selalu sesuai dengan ajaran Katolik. Bahkan ada
40
responden yang dulunya bekerja di pemerintahan karena peralihan dari
orde lama ke orde yang baru responden ini dipecat dengan alasan dituduh
sebagai anggota PKI.
b. Paham keluarga Katolik tentang spiritualitas perkawinan
Setiap responden mengatakan bahwa tiap keluarga Katolik
mempunyai tujuan dan cita-cita yakni membangun keluarga yang penuh
dengan keharmonisan dan kebahagiaan. Untuk mencapai tujuan dan cita-
cita tersebut tiap-tiap keluarga membutuhkan perjuangan, pergulatan dan
usaha tanpa henti dalam membangun suasana penuh keharmonisan dan
kebahagiaan baik terhadap pasangannya maupun terhadap anak-anaknya.
Dalam perkawinan cinta kasih suami-istri diwujudkan dalam
kesetiaan baik dalam suka dan duka, untung dan malang, bersikap lemah-
lembut, penuh kesabaran dan penuh pengampunan bila pasangan
melakukan suatu kesalahan tanpa menyimpannya.
Berdasarkan pertanyaan yang diajukan penulis kepada responden
tentang arti sakramen perkawinan tidak semuanya menjawab sesuai yang
diharapkan. Misalnya, arti sakramen perkawinan yaitu sakramen yang
diterima saat upacara perkawinan berlangsung. Dari seluruh responden
yang penulis wawancarai hanya tujuh keluarga yang bisa menjawab
dengan memuaskan mengenai arti sakramen perkawinan. Menurut mereka
sakramen perkawinan adalah tanda dan sarana yang diberikan Allah
kepada manusia melalui keluarga lewat suami-istri dengan demikian
41
suami-istri diharapkan selalu mencintai dan selalu setia dalam membina
mahligai hidup rumah tangga.
c. Permasalahan yang dihadapi keluarga Katolik dalam menghayati dan
mewujudkan spiritualitas perkawinan
Bagi kesepuluh responden yang berhasil penulis wawancarai
semua mengatakan bahwa perjalanan dalam membangun hidup berumah
tangga penuh dengan lika-liku. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari
sebagai keluarga tak jarang pertengkaran dan perselisihan bahkan
kejenuhan dan keputuasaan kerap kali terjadi. Hal ini disebabkan bukan
masalah besar tapi hanya masalah kecil yang menjadi rutinitas di dalam
rumah tangga yang sering kali memicu terjadinya konflik. Tapi hal ini bisa
mereka selesaikan dengan kepala dingin sehingga rumah tangga yang telah
lama mereka bina bisa bertahan lama.
Salah satu tujuan dalam perkawinan Katolik adalah membesarkan
dan mendidik anak menjadi orang kristiani. Untuk itu orang tua
mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anak baik masalah pendidikan
iman, pendidikan formal dan kebutuhannya sehari-hari. Intinya adalah
bagaimana orang tua bisa menjadi teladan dan panutan bagi anak-anaknya.
Dalam mendidik anak-anaknya tiap responden mempunyai cara
yang berbeda-beda. Ada yang memberikan kebebasan pada anak-anaknya
ketika menginjak usia remaja dan ada pula responden lain yang bersikap
otoriter.
42
Dalam mendidik anak-anaknya usaha yang dilakukan oleh para
orang tua adalah dengan tidak pernah bosan-bosannya untuk
mengingatkan, mendampinggi, mengarahkan dan membimbing anak-
anaknya untuk rajin berdoa, pergi ke Gereja, mengikuti PIA, dan aktif
terlibat di mudika dengan harapan anak-anaknya mengisi waktu mereka
dengan kegiatan-kegiatan positif.
d. Usaha yang telah di lakukan keluarga Katolik dalam menghayati dan
mewujudkan spiritualitas perkawinan mereka
Untuk mewujudkan janji perkawinan tentu saja tidak selalu mulus
jalannya, tantangan dan rintangan pasti selalu ada dalam kehidupan
keluarga. Ungkapan-ungkapan yang muncul misalnya adanya kesalah-
pahaman yang menyebabkan suami-istri saling diam, kebutuhan
pendidikan anak dan masalah kebutuhan ekonomi serta masalah-masalah
sepele yang menyebabkan mereka merasakan bahwa itu adalah tantangan
yang harus dilalui bersama-sama dalam membina hidup berumah tangga.
Kalau sudah terjadi hal-hal seperti tersebut di atas, maka usaha yang harus
mereka lakukan adalah mereka harus berani mengambil sikap terbuka dan
jujur pada pasangannya dan berusaha untuk saling mengungkapkan apa
yang menjadi masalah, kemudian bersama-sama mencari jalan mana yang
terbaik untuk mengambil suatu keputusan. Dengan adanya pengertian dan
komunikasi bersama, maka diharapkan mereka dapat menemukan kembali
apa yang diharapkan bersama pasangannya.
43
Hasil wawancara penulis dengan sepuluh responden mereka
mengatakan sebagai orang tua sangat penting menanamkan kebiasaan
mengikuti perayaan ekaristi sejak mereka kecil dan aktif mengikuti
kegiatan-kegiatan yang ada didalam Gereja. Tujuannya tidak lain adalah
agar iman mereka tumbuh dan berkembang akan Kristus sehingga kelak
mereka mampu menghadapi segala cobaan hidup.
Doa adalah sarana komunikasi antara manusia dengan Allah untuk
itu mengajarkan cara berdoa kepada anak-anak sangatlah penting. Oleh
karena itu anak-anak tidak hanya diajarkan cara berdoa saja tetapi
bagaimana orang tuanya juga ikut ambil bagian dalam doa bersama
tersebut. Adapun makna doa bersama yaitu mempererat hubungan antara
anggota keluarga dan menjadi kekuatan bagi keluarga ketika dalam
menghadapi cobaan hidup.
Rangkuman
Setelah penulis melakukan penelitian sederhana dan mengolah hasilnya maka
penulis dapat menarik kesimpulan.
Keluarga dilingkungan St.Yohanes Paulus belum seluruhnya memahami arti
dari sakramen perkawinan Katolik. Responden yang mengerti tentang arti
sakramen perkawinan Katolik karena jabatan mereka sebagai pengurus
lingkungan dan para responden yang memiliki pengetahuan yang cukup luas.
Lebih dari 50% responden kurang paham mengenai arti sakramen perkawinan
44
Katolik. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan mereka tentang perkawinan
khususnya perkawinan Katolik.
Dari kesepuluh responden seluruhnya menjawab dengan memadai dan sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh penulis tentang inti perkawinan Katolik. Inti
dari perkawinan Katolik adalah bersifat monogam dan tak-terceraikan. Artinya
perkawinan Katolik dilaksanakan satu kali untuk seumur hidup dan tidak boleh
diceraikan oleh manusia kecuali oleh kematian.
Dari hasil wawancara dengan sepuluh responden, 50% lebih mengatakan
mereka mempunyai permasalahan. Permasalahan itu adalah kesulitan dalam
bidang ekonomi. Hal ini di karenakan yang mncari nafkah hanya satu orang yaitu
bapak kepala keluarga, sedangkan yang harus dinafkahi lebih dari tiga orang.
Faktor lainnya yaitu belum adanya pekerjaan tetap atau penghasilan tetap suami
maupun istrinya.
Dalam membina hidup berumah tangga, bukan saja mengalami permasalahan
dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam hal menyatukan dua orang pribadi yang
berbeda. Perbedaan itu antara lain: perbedaan karakter, perbedaan prinsip,
perbedaan pendidikkan, perbedaan sosial dan budaya, perbedaan latar belakang
keluarga yang sudah tertaman dari sejak kecil. Perbedaan-perbedaan ini kerap kali
menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, tetapi tidak sampai pada percaraian.
Ada pertengkaran ada juga penyelesaian. Kesepuluh responden mengatakan
bahwa dalam menyelesaikan tiap permasalahan atau pertengkaran selalu
menomorsatukan komunikasi. Karena dengan komunikasi yang lancar dan baik
diantara mereka dapat menyelesaikan tiap permasalahan dengan baik.
45
Komunikasi yang terjalin dengan baik dan lancar antara suami maupun
istrinya, secara tidak langsung menghindari adanya pertengkaran atau perselisihan
diantara keduanya. Dan hal ini juga untuk menghindari krisis cinta serta
perceraian diantara keduanya. Karena dengan komunikasi yang terjalin dnegan
baik dan lancar diantara keduanya dapat menyelesaikan tiap permasalahan secara
dewasa dan matang.
Kesepuluh responden mengatakan sebagai bentuk perwujudan iman mereka,
mereka aktif terlibat dalam berbagai kegiatan Gerejani dan kemasyarakatan.
Kegiatan gerejani antara lain mengikuti pendalaman iman, pendalaman Kitab
Suci, mengikuti Rosario, mengikuti sarasehan dengan dewan paroki dan aktif
diwanita Katolik. Sedangkan kegiatan yang diadakan oleh masyarakat antara lain
yaitu bakti sosial dan kegiatan hari-hari besar.
Demikianlah laporan hasil dan pembahasan penelitian yang dilaksanakan
oleh penulis di lingkungan St.Yohanes Paulus. Maka pada bab berikutnya akan
disampaikan mengenai katekese untuk meningkatkan iman keluarga-keluarga
Katolik di lingkungan St.Yohanes Paulus sesuia dengan hasil bab III. Dengan
penyelenggaraan katekese diharapkan keluarga Katolik sungguh-sungguh menjadi
tempat tumbuhnya cinta kasih antara aggota keluarga, sehingga spiritualitas
perkawinan bukan hanya sebagai suatu teori belaka tetapi bisa diwujudnyatakan
dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat luas.
BAB IV
KATEKESE KELUARGA SEBAGAI JALAN UNTUK
MENINGKATKAN PENGHAYATAN SPIRITUALITAS
PERKAWINAN KATOLIK MELALUI METODE SHARED
CHRISTIAN PRAXIS
Pola kehidupan keluarga sedang berubah, modernisasi mempergaruhi
keluarga juga. Anak-anak mendapat pendidikan yang lain dari pada orang tuanya.
Modernisasi kehidupan keluarga tidak selalu membawa kebaikan. Bisa terjadi
bahwa orang tua terbuka dan membicarakan masalah secara bersama-sama. Tetapi
bisa juga terjadi bahwa anak-anak mencari jalannya sendiri, dengan anggapan
bahwa orang tua tidak mengerti masalah anak-anaknya sehingga dalam berbagai
pandangan hidup orang tua dan anak-anak hidup terpisah.
Dalam masa perubahan yang kita alami, orang tua sering bingung dan
ragu-ragu tentang bentuk pendidikan iman yang paling tepat. Usaha orang tua
hanyalah memasukkan anak-anaknya ke sekolah Katolik. Walaupun pendidikan
iman dilaksanakan oleh sekolah, orang tua tetap mempunyai tugas utama dan
mulia untuk membimbing anak-anaknya lewat kehidupan dan pergaulan sehari-
hari, sebab iman mulai dibangun dalam keluarga. Maka peranan keluarga sangat
penting. Keluarga sebagai tempat orang mulai menghayati iman, tempat orang
berkomunikasi dengan imannya. Tetapi menghadapi kesulitan orang tua tidak
berani berbicara tentang iman. Ini disebabkan karena orang tua kurang ada
47
kesempatan memperdalam hidup imannya, sehingga anaknya lebih berkembang
kehidupan imannya dari pada orang tuanya.
Katekese keluarga adalah sarana untuk membantu keluarga kristiani dalam
menghayati imannya. Katekese keluarga menekankan aspek komunikasi iman
dan tukar pengalaman antara keluarga atau orang tua. Pembahasan tentang
katekese keluarga sebagai sarana untuk membantu keluarga kristiani dalam
menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan mereka.
Di dalam bab III kita telah mengetahui bagaimana keluarga-keluarga
Katolik di lingkungan St.Yohanes Paulus menghayati dan mewujudkan
spiritualitas perkawinan. Spiritualitas keluarga akan tetap menjadi suatu teori
apabila tidak dihayati dan diwujudkan dalam hidup setiap keluarga. Untuk
meningkatkan keprihatinan itu, maka penulis akan mambahas dalam bab IV ini.
Pada bab IV ini penulis akan membahas tentang katekese keluarga sebagai
sarana untuk membantu keluarga kristiani dalam meningkatkan penghayatan dan
perwujudan spiritualitas perkawinan Katolik di lingkungan St.Yohanes Paulus.
Bab IV ini akan dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama akan membahas
pengertian dan tujuan katekese keluarga
Recommended