View
302
Download
7
Category
Preview:
DESCRIPTION
lapkas
Citation preview
Laporan Kasus
ULKUS DEKUBITUS DERAJAT II
Pembimbing: dr. Dina Arwina Dalimunthe, MKed(KK), Sp.KK
Penyaji:dr. Eka Syahrini
Divisi Dermatologi Umum
Departemen ilmu kesehatan kulit dan kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP. H. Adam Malik
Medan – 2015
Hari : Senin, 21-12-2015Pukul :
ULKUS DEKUBITUS DERAJAT II
PENDAHULUAN
Ulkus dekubitus (UD) disebut juga ulkus tekanan, merupakan kerusakan jaringan yang
terlokalisir yang disebabkan oleh tekanan yang terus menerus dalam waktu yang lama sehingga
menyebabkan kerusakan terlokalisir pada jaringan dibawahnya yang dikombinasikan dengan
gesekan yang memicu timbulnya iskemia akibat menurunnya aliran darah pada daerah
penonjolan tulang, yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan berupa nekrosis dan
ulserasi.1,2
Insidens UD bervariasi berdasarkan keadaan klinis. Diperkirakan sekitar 1,5 – 3 juta
orang di Amerika Serikat menderita UD. Penderita rawat inap dengan UD meningkat sampai
hampir 80% di Amerika Serikat antara tahun 1993 dan 2006.2 Di Asia, rata-rata insidens UD
adalah 2,1% sampai 31,1%. Di Indonesia, insidens rata-rata UD di Pontianak sebesar 33,3% pada
tahun 2003, dimana lokasi tersering adalah pada sakrum (73,7%) dan pada tumit (13,2%).3
Faktor etiologi utama yang berkontribusi terhadap terjadinya UD adalah tekanan,
pergeseran, gesekan, dan kelembaban.2 Toleransi jaringan terhadap tekanan dipengaruhi oleh
berbagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah ras, jenis
kelamin, usia, mobilitas, status mental, inkontinensia, berat badan, status gizi, suhu tubuh, obat-
obatan dan merokok. Faktor ekstrinsik berhubungan dengan lingkungan antara lain suhu
lingkungan, kelembaban lingkungan, perawatan, tekanan, pergeseran dan gesekan dengan
permukaan.2,4,5 Selain itu, gangguan mobilitas merupakan faktor yang penting dalam terjadinya
UD. Pasien yang terganggu mobilitasnya seperti pada gangguan neurologis, sedasi berat,
demensia yang tidak mampu merubah posisi mereka untuk mengurangi tekanan.2,6,7
UD dapat terjadi dimana saja, namun lebih sering terjadi pada daerah yang terdapat
penonjolan tulang. Posisi pasien dan derajat imobilitas dapat mempengaruhi lokasi yang terlibat.
Bila pasien dalam posisi supinasi, lokasi yang sering terkena adalah sakrum, coccygeus, dan
tumit. Jika pasien dalam posisi menyamping, lokasi yang sering terkena adalah panggul dan
pergelangan kaki. Jika pasien dalam posisi duduk, lokasi yang sering terkena adalah bokong.2
Stadium UD ditentukan berdasarkan The National Pressure Ulcer Advisory Panel
(NPUAP) tergantung pada jaringan yang terlibat. UD derajat I apabila dijumpai kulit yang utuh,
berwarna merah pucat yang terlokalisir pada daerah penonjolan tulang. Pada UD derajat II
dijumpai hilangnya ketebalan sebagian epidermis, dermis, atau keduanya. Dapat juga dilihat
adanya lepuh berisi serum. Pada UD derajat III terjadi hilangnya ketebalan seluruh kulit atau
nekrosis jaringan subkutis. Lemak subkutis dapat terlihat, namun tulang, tendon, atau otot tidak
terlihat. Pada UD derajat IV terjadi hilangnya seluruh ketebalan kulit dengan nekrosis yang luas
atau kerusakan pada otot, tulang, atau jaringan pendukung lainnya (misalnya fasia, tendon, atau
kapsul sendi).2,5
Penatalaksanaan secara umum terbagi menjadi pencegahan dan pengobatan. Pencegahan
yang dapat dilakukan meliputi mengatasi faktor etiologi, mengurangi tekanan, gesekan dan
pergeseran, perawatan kulit dan kelembaban, penggunaan alat-alat yang dapat mengurangi
tekanan, dan edukasi.1,2,8 Pengobatan dilakukan saat UD sudah terjadi dan memerlukan
keterlibatan interdisipliner.1,2 Pengobatan yang dapat dilakukan meliputi pemberian nutrisi yang
adekuat, penanganan nyeri, penggunaan alat-alat pendukung permukaan, pembersihan luka,
pembalutan luka dalam kondisi lembab, dan kontrol infeksi.1,2
Penatalaksanaan ulkus adalah dengan pencucian ulkus, debridement, balutan,
penatalaksanaan infeksi dan kolonisasi bakteri. Pencucian ulkus harus dilakukan dengan lembut
untuk meminimalisir trauma mekanik pada ulkus. Umumnya digunakan normal saline untuk
irigasi luka dengan tekanan 4-15 psi. Penggunaan antiseptik harus dihindari karena bersifat
sitotoksik dan dapat menghambat re-epitelisasi. Pada ulkus dengan jaringan nekrotik harus
dilakukan tindakan debridement. Pembalut luka harus diganti setidaknya satu kali dalam sehari.
Balutan pada luka dapat melindungi luka dari lingkungan, mencegah infeksi, stimulasi
debridement autolitik, mengurangi nyeri, dan menstimulasi jaringan granulasi. Pada suatu
penelitian eksperimental telah diketahui bahwa lingkungan yang lembab akan menyebabkan luka
membaik 40% lebih cepat dibandingkan luka yang terpapar udara. Antibiotik topikal yang
diaplikasikan pada luka dapat mencegah dan mengobati infeksi, mengurangi bacterial load,
mengurangi bau, dan tanda inflamasi.2
LAPORAN KASUS
Seorang wanita, usia 73 tahun, dikonsulkan dari Departemen Bedah Saraf RSUP. H.
Adam Malik Medan pada tanggal 16 Oktober 2015 dengan keluhan utama adanya luka pada
bokong sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu. Berdasarkan alloanamnesis didapatkan bahwa
sebelumnya pasien mengalami penurunan kesadaran dan sudah dirawat dirumah sakit lain
selama kurang lebih 2 minggu. Setelah masuk RSUP H.Adam Malik dan dirawat oleh
departemen bedah saraf selama lebih kurang 8 hari kondisi pasien mengalami perbaikan. Pasien
sudah mulai sadarkan diri tetapi bicara pasien masih belum jelas dan aktifitas motorik pasien
masih sangat terbatas terutama pada tubuh bagian kanan terasa lebih lemah. Sehingga pasien
terus menerus berbaring di tempat tidur dan semua aktivitas dilakukan di tempat tidur. Selama
ini pasien buang air besar dan buang air kecil (BAB/BAK) di tempat tidur dan menggunakan
popok. Awalnya pada bokong terdapat luka pada kulit. Semakin lama luka semakin luas. Selama
ini belum ada pengobatan yang diberikan untuk luka tersebut.
Riwayat trauma tajam atau trauma tumpul tidak dijumpai, riwayat menderita penyakit
diabetes tidak dijumpai, riwayat keluarga menderita penyakit diabetes tidak dijumpai. Riwayat
hipertensi dijumpai.
Pada pemeriksaan fisik (16 Oktober 2015) didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, status gizi baik, kesadaran compos mentis , tekanan darah 140/80 mmHg, frekuensi nadi
88x/menit, frekuensi pernafasan 20x/menit, suhu tubuh 36,7°C.
Pada pemeriksaan status dermatologis didapatkan erosi, berbatas tegas, permukaan
berwarna merah, ukuran 12x6 cm pada regio sacrum, eksudat purulen (+) berwarna putih
kekuningan.
Hasil pemeriksaan laboratorium (16 Oktober 2015) didapatkan Hb 12,5 gr/dl (11,7-15,5
gr/dl), Eritrosit 4,12 x 106/mm3 (4,2-4,87 x 106/mm3), leukosit 17,70 x 103/mm3 (4,5 – 11 x
103/mm3), Hematokrit 36,3% (38-44%), Trombosit 367 x 103/mm3 (150-450 x 103/mm3), hitung
jenis leukosit 86%/8,8%/5%/0,1%/0,1% (neutrofil 37-80%/ limfosit 20-40%/ monosit 2-8%/
eosinofil 1-6%/ basofil 0-1%), gula darah sewaktu 99,9mg/dl (<200 mg/dl), ureum 57,90
mg/dl(<71mgdl), kreatinin 0,98(0,5-0,98mg/dl), Natrium 132mEq/L (135-155mEq/L), Kalium
2,8mEq/L (3,6-5,5 mEq/L), Klorida 100 mEq/l (96-106mEq/L)
Penyakit pasien ini didiagnosis banding dengan ulkus dekubitus stadium II + SOL
Intrakranial dan ulkus diabetikum + SOL Intrakranial. Diagnosis kerja pada pasien ini ulkus
dekubitus stadium II + SOL Intrakranial
Dari Departemen bedah saraf, pasien diberikan terapi IVFD R Sol 20 tetes/menit, injeksi
ceftriaxone 1 gram/12 jam, injeksi ranitidine 1 ampul/12 jam, injeksi dexametasone 1 ampul/12
jam, KSR 1x600 mg.
Penatalaksanaan lesi kulit pada pasien ini adalah penjelasan kepada keluarga pasien
mengenai penyakit pasien, penyebabnya, pengobatan dan penatalaksanaan. Keluarga dianjurkan
untuk merubah posisi pasien setiap 2 jam dengan posisi miring ke kiri atau ke kanan 30, hindari
menggunakan pakaian dan alas tempat tidur yang basah atau lembab dan segera mengganti
popok setelah pasien BAB/BAK, dan membersihkan badan selain daerah luka dengan sabun
Gambar 1. Pasien saat pertama kali diterima. Tampak ulkus ukuran 12X6 cm pada regio sacrum dengan Eksudat purulen
yang lembut. Kemudian daerah luka dikompres dengan kasa yang sudah dibasahi NaCL 0,9%
selama 15 menit. Kemudian kompres kasa dibuka dan kompres diulang dua jam kemudian.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, quo ad functionam dubia ad malam, quo
ad sanationam dubia ad malam
Pada hari ke dua (17 Oktober 2015) ukuran erosi masih sama seperti hari sebelumnya.
Tetapi eksudat purulen berkurang. Penatalaksanaan yang sama dilanjutkan.
Pada hari ke tiga (18 Oktober 2015) ukuran erosi masih sama seperti hari sebelumnya,
eksudat purulen tidak lagi dijumpai. Kompres dihentikan pada lesi dioleskan krem asam fusidat
(fuson®) 2 kali sehari.
Pada hari ke empat (19 Oktober 2015) ukuran erosi berkurang dari pinggirnya. Status
dermatologis tampak erosi ukuran 10X6 cm pada regio sacrum, jaringan granulasi (+).
Penatalaksanaan yang sama dilanjutkan.
Pada hari ke lima (20 Oktober 2015) . Pasien meminta untuk pulang. Dari Departemen
Bedah Saraf pasien diizinkan pulang. Dari Departemen Kulit dan Kelamin, pasien dianjurkan
untuk melanjutkan pengobatan dengan kontrol di Poli Kulit dan Kelamin, namun pasien menolak
dengan alasan lokasi yang jauh. Kepada keluarga pasien dianjurkan untuk melakukan perawatan
luka di rumah, sebelumnya, keluarga diberikan edukasi mengenai perawatan erosi dekubitus dan
pencegahan timbulnya lesi baru maupun meluasnya lesi yang sudah ada. Kepada keluarga juga
dijelaskan bahwa pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tinggi protein, menjaga
kebersihan diri, alas tempat tidur yang basah harus segera diganti, bertukar posisi tubuh ke kiri
dan ke kanan setiap 2 jam, dan saat berbaring. Apabila dijumpai perburukan pada luka atau
timbul luka baru, atau apabila dijumpai tanda-tanda infeksi (seperti demam tinggi), keluarga
dianjurkan untuk segera membawa pasien ke rumah sakit terdekat.
DISKUSI
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan dermatologis
dan pemeriksaan laboratorium.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sudah menderita luka pada daerah bokong
belakang selama 1 bulan, dimana pasien memiliki riwayat penurunan kesadaran dan mengalami
kelumpuhan pada separuh badan sebelah kanan, maka pasien terus menerus berbaring di tempat
tidur dan semua aktivitas dilakukan di tempat tidur, begitu pula dengan b.a.b/b.a.k. Pasien juga
memiliki riwayat hipertensi. Menurut kepustakaan, UD merupakan kerusakan jaringan yang
terlokalisir yang disebabkan oleh tekanan yang terus menerus dalam waktu yang lama sehingga
menyebabkan kerusakan terlokalisir pada jaringan dibawahnya yang dikombinasikan dengan
gesekan yang memicu timbulnya iskemia akibat menurunnya aliran darah pada daerah
penonjolan tulang, yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan berupa nekrosis dan
ulserasi.1,2 Faktor etiologi utama yang berkontribusi terhadap terjadinya UD adalah tekanan,
pergeseran, gesekan dan kelembaban.2 Tekanan jaringan normal adalah antara 12 dan 32 mmHg.
Tekanan lebih tinggi dari batasan ini dapat meningkatkan tekanan interstisial, mengganggu
sirkulasi dan oksigenasi. Ketika pasien berbaring diatas tempat tidur di rumah sakit, dapat
terbentuk tekanan mencapai 150 mmHg, terutama pada penonjolan tulang.1,2 Suatu tekanan
konstan pada 70 mmHg selama 2 jam dapat menyebabkan kematian sel.1 Posisi duduk juga
dapat membentuk luka pada permukaan tubuh. Waktu dan derajat tekanan adalah penting. Jika
tekanan berkurang secara teratur, dapat terjadi penyembuhan jaringan, sedangkan tekanan yang
konstan dapat menyebabkan kematian sel
. Maka dari itu, pasien yang terbaring harus dibalik secara teratur untuk mencegah UD.2
Beban mekanik dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga menghambat aliran
darah dan mengurangi pasokan oksigen dan nutrisi pada jaringan. Secara umum, otot dapat
mentoleransi iskemia selama 4 jam, lemak selama 13 jam, dan kulit selama 24 jam.4 Toleransi
jaringan terhadap tekanan dipengaruhi oleh berbagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor
intrinsik antara lain adalah ras, jenis kelamin, usia, mobilitas, status mental, inkontinensia, berat
badan, status gizi, suhu tubuh, obat-obatan dan merokok. Faktor ekstrinsik berhubungan dengan
lingkungan antara lain suhu lingkungan, kelembaban lingkungan, perawatan, tekanan, pergeseran
dan gesekan dengan permukaan.2,4,5 Selain itu, gangguan mobilitas merupakan faktor yang
penting dalam terjadinya UD. Pasien yang terganggu mobilitasnya seperti pada gangguan
neurologis, sedasi berat, demensia yang tidak mampu merubah posisi mereka untuk mengurangi
tekanan.2,6,7 Adanya gangguan sensorik dapat mempengaruhi kemampuan pasien merasakan
nyeri akibat tekanan yang lama. Gangguan sensorik menyebabkan terjadinya ulserasi akibat
hilangnya kemampuan mengenali tanda bahaya akibat hilangnya rasa nyeri.1 Penggunaan obat-
obatan dapat mempengaruhi penyembuhan luka, seperti penggunaan obat antihipertensi yang
dapat mempengaruhi perubahan pada aliran darah, sehingga menyebabkan perfusi oksigen yang
rendah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya luka dan mempengaruhi penyembuhan luka.
Pada pemeriksaan status dermatologis didapatkan erosi, berbatas tegas, permukaan
berwarna merah, ukuran 12 x 6 cm pada regio sacrum, eksudat purulen (+) berwarna putih
kekuningan. Menurut kepustakaan, stadium UD ditentukan berdasarkan The National Pressure
Ulcer Advisory Panel (NPUAP) tergantung pada jaringan yang terlibat. Pada UD derajat II
hilangnya ketebalan sebagian epidermis, dermis, atau keduanya. Dapat juga dilihat adanya lepuh
berisi serum..2,5 Warna dasar ulkus yang merah menunjukkan jaringan yang relatif sehat. UD
dapat terjadi dimana saja, namun lebih sering terjadi pada daerah yang terdapat penonjolan
tulang. Posisi pasien dan derajat imobilitas dapat mempengaruhi lokasi yang terlibat. Bila pasien
dalam posisi supinasi, lokasi yang sering terkena adalah sakrum, coccygeus, dan tumit. Jika
pasien dalam posisi menyamping, lokasi yang sering terkena adalah panggul dan pergelangan
kaki. Jika pasien dalam posisi duduk, lokasi yang sering terkena adalah bokong.2 Lokasi yang
paling sering terkena adalah pada daerah sakrum sebanyak 28,6%. Tanda-tanda infeksi pada
ulkus berupa adanya demam dan eksudat purulen yang berbau busuk. Selain itu, pemeriksaan
laboratorium menunjukkan adanya leukositosis yang merupakan tanda infeksi sistemik. Menurut
kepustakaan, infeksi adalah komplikasi yang umum terjadi pada UD, dapat bersifat lokal maupun
sistemik.2
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis. Menurut kepustakaan, leukositosis
merupakan penanda adanya infeksi sistemik.2
Pasien didiagnosis banding dengan ulkus diabetikum + Hemiparese dekstra e.c SOL
Intrakranial. Menurut kepustakaan, ulkus diabetikum adalah ulkus yang terjadi akibat gangguan
neuropati pada penderita diabetes mellitus. Pada penderita diabetes mellitus dijumpai tanda-
tanda sering haus, sering lapar, dan sering b.a.k,10 sedangkan pada pasien ini hal tersebut tidak
dijumpai. Selain itu, diagnosis banding ini juga disingkirkan melalui pemeriksaan kadar gula
darah dalam batas normal, tidak dijumpai riwayat diabetes mellitus sebelumnya dan tidak ada
riwayat keluarga menderita penyakit diabetes mellitus.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah merubah posisi pasien setiap 2 jam dengan posisi
miring ke kiri atau ke kanan 30°, dan elevasi kepala tidak melebihi 30°, hindari menggunakan
pakaian dan alas tempat tidur yang basah atau lembab dan segera mengganti popok setelah
pasien b.a.b/b.a.k, dan membersihkan badan selain daerah luka dengan sabun yang lembut.
Menurut kepustakaan, pada pasien yang berbaring lama ditempat tidur, sangat penting untuk
merubah posisi setiap 2 jam untuk mengurangi iskemia pada daerah yang tertekan. Dianjurkan
untuk membuat suatu jadwal perubahan posisi untuk perpindahan posisi oblik kanan-oblik kiri
30° untuk mencegah terbentuknya ulkus pada daerah punggung, bokong, dan mata kaki yang
ditempelkan disebelah ranjang pasien..2,7 Kelembaban yang berlebihan dapat menimbulkan
terjadinya maserasi yang kemudian menjadi ulserasi. Selain itu dapat terjadi kontaminasi bakteri
yang terjadi akibat kontak dengan feses maupun urin.2
Dari Departemen Bedah Saraf, pasien diberikan terapi berupa injeksi ceftriaxone 1
gram/12 jam. Menurut kepustakaan, antibiotik sistemik diindikasikan apabila dijumpai adanya
bakterimia, yang ditandai dengan leukositosis. Bakterimia merupakan salah satu komplikasi yang
terjadi pada UD. Antibiotik yang dipilih adalah yang memiliki sifat bakterisida, spektrum luas
dan sensitif terhadap bakteri anaerob, basil gram negatif dan coccus gram positif.2 Ceftriaxone
merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang memiliki spektrum yang luas.
Antibiotik ini bekerja dengan menghambat dinding sel bakteri dengan menghambat
transpeptidase yang terlibat dalam sintesis peptidoglikan.11
Pada pasien ini digunakan antibiotik topikal. Menurut penelitian Sibbald et al,
penggunaan antimikroba dalam penatalaksanaan luka akan memberikan kontribusi yang baik
dalam perbaikan klinis dan mempercepat penyembuhan luka dengan menurunkan eksudat dan
membunuh bakteri. Seluruh rongga ulkus ditutup dengan kassa lembab, dimana lingkungan yang
lembab memberikan efek positif terhadap pertumbuhan jaringan granulasi.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, quo ad functionam dubia ad malam, quo
ad sanationam dubia ad malam. Menurut kepustakaan, UD merupakan suatu kondisi yang sulit
disembuhkan. Estimasi penyembuhan sempurna untuk UD adalah 10%. Kejadian rekurensi
untuk UD juga cukup tinggi tergantung imobilitas dan penyakit yang mendasari.6
KESIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus seorang pasien perempuan, usia 73 tahun, dengan
diagnosis ulkus dekubitus derajat II + Hemiparese dekstra e.c SOL Intrakranial. Pada pasien ini
faktor risiko yang berperan dalam terjadinya UD adalah adanya gangguan mobilitas disebabkan
hemiparese, yang menyebabkan pasien tidak mampu merubah posisinya sehingga terjadi tekanan
yang terus menerus pada daerah penonjolan tulang, pada kasus ini adalah os sacrum, dan
terjadilah peningkatan tekanan interstitial dan gangguan sirkulasi dan oksigenasi yang
selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya ulkus. Selain itu, dijumpai pula faktor risiko
ekstrinsik yaitu meningkatnya kelembaban disebabkan pasien b.a.b/b.a.k diatas tempat tidur
dengan menggunakan popok dalam waktu yang lama. Adanya kelembaban yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya maserasi yang kemudian menjadi ulserasi, selain itu dapat pula terjadi
kontaminasi bakteri akibat kontak dengan urin maupun feses.
Penatalaksanaan tambahan yang diberikan pada pasien ini adalah kompres luka setiap hari
dengan NaCl 0,9% dan diberikan antibiotic topical berupa krem asam fusidat. Pada kasus ini
dijumpai perbaikan lesi dimana lesi yang pada awalnya berukuran 12 x 6 cm menjadi 10 x 6 cm.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kanj LF, Wilking SVB, Phillips TJ. Pressure ulcers. JAAD. 1998; 38(4):517-32.2. Powers JG, Odo L, Phillips TJ. Decubitus (pressure) ulcers. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi 8. New York: McGraw-Hill Companies; 2012: h1121-29.
3. Suriadi, Sanada H, Sugama J, Kitagawa J, Thigpen B, Kinosita S, Murayama S. Risk factors in the development of pressure ulcers in an intensive care unit in Pontianak, Indonesia. IWJ. 2007; 4(3):208-15.
4. Loerakker S. Aetiology of pressure ulcers. Eindhoven University of Technology. Department of Biomedical Engineering. Section Materials Technology. Division Biomechanics and Tissue Engineering. 2007:1-24.
5. Livesly NJ, Chow AW. Infected pressure ulcers in elderly individuals. CID. 2002; 35(1):1390-96.
6. Dharmarajan TS, Ugalina JT. Pressure ulcers: clinical features and management. Hospital physician. 2002; 64-71.
7. Bouten CVC. Etiology and pathology of pressure sores: a literature review. Eindhoven University of Technology. Department of Computational and Experimental Mechanics. 1996:1-19.
8. Laksmi PW, Harimurti K, Setiati S, Soejono CH, Aries W, Roosheroe AG. Management of immobilization and its complication for elderly. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. 2008; 40(4):233-40.
9. Vanderwee K, Clark M, Dealey C, Gunningberg L, Defloor T. Pressure ulcer prevalence in Europe: a pilot study. Journal of Evaluation in Clinical Practice. 2006; 13:227-35.
10. Frykberg RG. Diabetic foot ulcer: pathogenesis and management. Am Fam Physician. 2002; 66:1655-62.
11. Coffman D. Antibiotics review. CME resources. 2006: 1-34.
Recommended